dd epistaksis

50
ANGIOFIBROMA PENDAHULUAN Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologis terdiri dari komponen pembuluh darah dan jaringan ikat. Meskipun secara histologis jinak, tetapi secara klinis tumor ini bersifat tumor ganas karen mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak. Angiofibroma nasofaring sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Tumor ini jarang ditemukan, merupakan 0,05% dari tumor keala dan leher. Biasanya ditemukan pada laki-laki dan remaja antara usia 7-19 tahun dan jarang terjadi pada usia lebi dari 25 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiologis. Trias gejala tanda klinis adalah epistaksis masif berulang, obstruksi hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya angiofibroma nasofaring. Penanganan angiofibroma nasofaring dapat berupa pembedahan (ekstirpasi tumor), radioterapi, terapi hormonal, sitostatika. Pembedahan merupakan pilihan utama dan dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu pendekatan transpalatal, rinotomi lateral, degloving, kraniotomi. Pengobatan lain seperti pemberian hormonal, sitostatika maupun radioterapi dilakukan bila tumor tidak dapat dioperasi atau diberi sebelum operasi untuk mengecilkan tumor dan mengurangi perdarahan selama operasi.

Upload: famela-asditaliana

Post on 01-Dec-2015

107 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dd Epistaksis

ANGIOFIBROMA

PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologis

terdiri dari komponen pembuluh darah dan jaringan ikat. Meskipun secara histologis jinak,

tetapi secara klinis tumor ini bersifat tumor ganas karen mendestruksi tulang dan meluas ke

jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak. Angiofibroma

nasofaring sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Tumor ini jarang ditemukan,

merupakan 0,05% dari tumor keala dan leher. Biasanya ditemukan pada laki-laki dan remaja

antara usia 7-19 tahun dan jarang terjadi pada usia lebi dari 25 tahun.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan

radiologis. Trias gejala tanda klinis adalah epistaksis masif berulang, obstruksi hidung dan

massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya angiofibroma nasofaring.

Penanganan angiofibroma nasofaring dapat berupa pembedahan (ekstirpasi tumor),

radioterapi, terapi hormonal, sitostatika. Pembedahan merupakan pilihan utama dan dapat

dilakukan dengan beberapa metode yaitu pendekatan transpalatal, rinotomi lateral, degloving,

kraniotomi. Pengobatan lain seperti pemberian hormonal, sitostatika maupun radioterapi

dilakukan bila tumor tidak dapat dioperasi atau diberi sebelum operasi untuk mengecilkan

tumor dan mengurangi perdarahan selama operasi.

ANATOMI

Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat

dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.

1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.

2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus, yang

dikenal sebagai fossa Rosenmuller.

3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba eustachii

yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dinding

lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.

4. Koana pada posterior rongga hidung.

Page 2: Dd Epistaksis

5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari

penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glosso-

faringeus, vagus, dan spinal assesori.

6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus

inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan arteri faringea

asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.

7. Tulang temporalis bagian petrosa dan feromen laserum yang terletak dekat bagian lateral

atap nasofaring.

8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.

ETIOLOGI

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah

satu diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik

angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor

hormonaldikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan secara langsung

adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan

reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa

reseptor seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive

immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor

tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi

imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan

nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3%

positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti

langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma.

Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi

agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor

pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah

untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1

mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif

diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada

semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.

GEJALA KLINIS

Page 3: Dd Epistaksis

Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling

sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%);

khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala

lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi.

Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari

pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.

Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret sehingga timbul

rinore kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan menimbulkan

ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya menunjuukkan bahwa tumor sudah meluas ke

intrakranial.

Biasanya penderita datang karena epistaksis yang hebat, pucat karena anemi, atau hidung

terasa buntu.  Penyebab epistaksis disebabkan lepasnya krusta pada permukaan tumor atau

karena tumor sendiri mengalami ulserasi, dan jarang sekali karena erosi pembuluh darah

besar.

PATOGENESIS

Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara pasti. Beberapa pendapat

dari para ahli telah dikemukakan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu

berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal. Pada teori

tentang jaringan asal tumbuh, diduga tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan

fibrokartilago embrional di daerah oksipital os spenoidalis.

Sedangkan teori hormonal menerangkan bahwa tumbuhnya angiofibroma diduga karena

ketidakseimbangan hormonal, terutama androgen. Banyak bukti memperlihatkan secara

langsung adanya reseptor sex hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan

teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan

reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi

imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada reseptor androgen (RA), reseptor

progesteron (RP), dan reseptor estrogen (RE). Stromal positif dan nukleus endotelial

immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP

dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya

antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma. Anggapan ini didasarkan juga atas

adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada

anak atau remaja laki-laki.

Page 4: Dd Epistaksis

Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi

agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor

pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah

untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1

mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif

diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada

semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.

Tumor ini mulai tumbuh di nasofaring, kemudian dapat meluas ke rongga hidung, sinus

maksila, sinus etmoid, basis kranium. Pada pemeriksaan mungkin ditemukan benjolan pada

pipi atau proptosis, ini disebabkan karena ekspansi masa tumor ke dalam spasium

pterigomaksila dan orbita. Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal

dan pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa serebri

anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise.

PENYEBARAN

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur

sekitarnya. Dapat meluas kedalam :

a. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung.

b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua dapat

diserang.

c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.

d. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk melalui fissura

orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke orbita melalui

fissura orbitalis superior.

e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.

Ada 2 jalan masuknya :

i. Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum. Tu-

mor berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus.

ii. Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium.

Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.

Page 5: Dd Epistaksis

Biopsi.

Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk

biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik,

bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika

gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor

direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di

ruang operasi.

Pemeriksaan Radiologis.

FOTO SINAR-X

Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring.

Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang

tergantung pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai “tanda

antral” dan terdiri dari tulang anterior dari dinding posterior dari antrum maksillaris. Tanda

ini sering sulit untuk dikenali.

CT SCAN

Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau

invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.

MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)

Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama

pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.

ANGIOGRAFI

Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi

ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna.

Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial

atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal.

PENGOBATAN

EMBOLISASI

Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut

dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam

pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Dengan embolisasi saja cukup untuk

Page 6: Dd Epistaksis

menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat

tumor.

OPERASI

Digunakan untuk tumor yang kecil (Fisch stadium I atau II).

Pendekatan fossa infratemporal digunakan bila tumor meluas ke lateral.

Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa LeFort osteotomy, memanfaatkan

jalan masuk posterior ke tumor.

Pendekatan facial translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan

perluasan koronal untuk frontotemporal craniotomy dengan midface osteotomies untuk

jalan masuk.

Operasi intranasal endoscopic disiapkan untuk tumor yang terbatas pada cavum nasi dan

sinus-sinus paranasali.

RADIOTERAPI

Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi.

Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi radiasi

modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi stereotaktik (seperti sinar

Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun,

kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren.

HORMONAL

Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II

sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara

rutin.

PROGNOSIS

Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar. Dapat hilang

sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi, sekitar 6-24 %

STADIUM

Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang terlibat

adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging System

mengeluarkan untuk angiofibroma nasofaring, Chandler dan kawan-kawan

Page 7: Dd Epistaksis

merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada usulan sistem untuk kanker nasofaring

oleh AJC.

Stadium I : Tumor di nasofaring.

Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.

Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa pterygomaksillaris,

fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.

Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.

Sistem stadium lain yang diusulkan oleh Fisch :

Stadium I : Tumor terbatas pada rongga hidung, nasofaring tanpa destruksi tulang.

Stadium II : Tumor meluas ke fossa pterygomaksillaris, sinus-sinus paranasalis dengan

destruksi tulang.

Stadium III : Tumor meluas ke fossa infratemporalis, orbita dan atau regio parasellar

menyisakan lateral ke sinus kavernosus.

Stadium IV : Tumor meluas ke sinus kavernosus, regio khiasma optik dan atau fossa pitu-

itary.

Klasifikasi menurut Sessions :

- Stadium IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring.

- Stadium IB : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring dengan

melibatkan sedikitnya satu sinus paranasalis.

- Stadium IIA : Tumor meluas minimal lateral ke fossa pterygomaksillaris.

- Stadium IIB : Tumor meluas penuh pada fossa pterygomaksillaris dengan atau tanpa

erosi superior dari tulang orbita.

- Stadium IIIA : Erosi dari dasar tengkorak (fossa cranii media/dasar pterygoid);

perluasan minimal intrakranial.

- Stadium IIIB : Tumor meluas kedalam intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke

sinus kavernosus.

Karsinoma Nasofaring11

Karsinoma nasofaring ( KNF ) merupakan penyakit keganasan yang paling sering

ditemukan di bidang penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Dalam urutan 5 besar tumor

ganas dengan frekuensi tertinggi, ia menduduki tempat ke empat setelah kanker mulut rahim,

payudara dan kulit.

Page 8: Dd Epistaksis

Gangguan pendengaran merupakan salah satu gejala dini dari penyakit ini,

disamping gejala dini lain yang berupa hidung buntu atau hidung keluar darah, tetapi gejala

tersebut sering tidak terpikirkan oleh dokter pemeriksa bahwa penyebanya adalah tumor

ganas di nasofaring, sehingga baru di ketahui bila penyakit sudah dalam keadaan lanjut.

Gangguan pengdengaran kadang-kadang disertai juga keluhan rasa penuh di telinga , telinga

berbunyi atau rasa nyeri di telinga.

Lokasi permulaan tumbuh KNF, tersering di fosa Rosemuller, sebab daerah tersebut

merupakan daerah peralihan epitel. Dalam penyebarannya, tumor dapat mendesak Tuba

Eustachius serta mengganggu pergerakan otot Levator Palatini., yang berfungsi membuka

tuba, sehingga fungsi tuba terganggu dan mengakibatkan gangguan pendengaran berupa

menurunnya pendengaran tipe Konduksi yang bersifat Reversibel.

ETIOLOGI

Penyebab penyakit ini dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga

akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Kaitan antara suatu

kuman yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai

penyebab utama timbulnya penyakit ini.

KLASIFIKASI WHO

1. Tipe. 1 : Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi

2. Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi

3. Tipe 3 : Karsinoma tanpa diferensiasi

GEJALA DINI

Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan

yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana

tumor masih terbatas di rongga nasofaring.

Gejala telinga :

gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor

dekat muara tuba eustachius ( fosa Rosenmuller ). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak

nyaman pada telinga sampai rasa nyeri di telinga.

Gejala Hidung

Page 9: Dd Epistaksis

Epistaksis. Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan

dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang,

jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus. Sumbutan hidung yang menetap

terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala

menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya

ingus kental.

Gejala mata

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa

lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini.

Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, V, VI, sehingga

tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa pasien ke dokter mata.

Gejala saraf

Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, XII jika penjalaran

melalui foramen jugulare. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jakson. Bila sudah

mengenai seluruh saraf otak disebut sindrome unilateral.

Gejala akibat metastasis

Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ

tubuh yang letaknya jauh dari nasotoring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering

ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis

sangat buruk.

STADIUM

Stadium T = Tumor

Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (2002).

T = Tumor primer

T0 - Tidak tampak tumor.

T1 - Tumor terbatas di nasofaring

T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak

T2a : perluasan tumor ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke

parafaring

T2b : disertai perluasan ke parafaring

Page 10: Dd Epistaksis

T3 – Tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal

T4 - Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa

infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

N = Nodule

N – Pembesaran kelenjar getah bening regional .

NX- pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0 - Tidak ada pembesaran.

N1 – metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama

dengan 6 cm diatas fossa supraklavikula .

N2 - .metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama

dengan 6 cm diatas fossa supraklavikula

N3 - metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau

terletak didalam fossa supraklavikula.

N3a : ukuran lebih dari 6 cm

N3b : di dalam fossa supraklavikula

M = Metastasis

M = Metastesis jauh

MX – metastase jauh tidak dapat dinilai

M0 - Tidak ada metastesis jauh.

M1 – Terdapat Metastesis jauh .

Stadium :

Stadium O : T1s dan N0 dan M0

Stadium I : T1 No Mo

Stadium II A : T2a dan No dan Mo

Stadium II B : T1 N1 Mo

T2a N1 Mo

T2b No, N1 Mo

Stadium III : T1 N2 dan M0

T2a, T2b N2 Mo

T3 N2 Mo

Stadium IVa : T4 N0, N1, N2 dan M0

Page 11: Dd Epistaksis

IVb : semua T N3 Mo

IVc : semua T semua N M1

Penatalaksanaan

Stadium I : radioterapi

Stadium II & III : kemoradiasi

Stadium IV dengan N < 6 cm : kemoradiasi

Stadium IV dengan N > 6 cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi

KARSINOMA FARING

Definisi

Tumor ganas pada Nasofaring. Kanker nasofaring merupakan keganasan pada leher

dan kepala yang terbanyak ditemukan di Indonesia (60 persen). Untuk mendiagnosis secara

dini sangatlah sulit, karena tumor ini baru menimbulkan gejala pada stadium-stadium akhir.

Gejala-gejala pada stadium awal penyakit ini sukar dibedakan dengan penyakit lainnya.

Dimana letak dari tumor ini tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di dasar

tengkorak, dan sukar sekali dilihat jika bukan dengan ahlinya. Presentase untuk bertahan

hidup dalam 5 tahun juga terlihat mencolok, hal ini dilihat dari stadium I (76 %), stadium  II

(50 %), stadium III (38 %) dan stadium lanjut atau IV (16,4%).

Epidemiologi

Penyakit ini banyak ditemukan pada ras cina terutama yang tinggal di daerah selatan.

Ras mongloid merupakan faktor dominan dalam munculnya kanker nasofaring,  sehingga

sering timbul di Negara-negara asia bagian selatan. Penyakit ini juga ditemukan pada orang-

orang yang hidup di daerah iklim dingin, hal ini diduga karena penggunaan pengawet

nitrosamine pada makanan-makanan yang mereka simpan.

Patofisiologi

Sudah hampir dipastikan bahwa penyebab dari kanker nasofaring adalah infeksi virus

Epstein Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan kadar antivirus Virus Epstein

Barr didapatkan cukup tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi adalah letak geografis yang

sudah disebutkan diatas,  penyakit ini lebih sering ditemukan pada laki-laki walaupun

alasannya belum dapat dibuktikan hingga saat ini. Faktor lain yang mempengaruhi adalah

Page 12: Dd Epistaksis

faktor lingkungan seperti iritasi oleh bahan kimia, asap, bumbu masakan, bahan pengawet,

masakan yang terlalu panas, air yang memiliki kadar nikel yang cukup tinggi, dan kebiasaan

seperti orang Eskimo yang mengawetkan ikannya dengan menggunakan nitrosamine. 

Tentang faktor keturunan sudah banyak diteliti  tetapi hingga sekarang belum dapat ditarik

kesimpulan. Satu hal lagi yang penting diketahui adalah bahwa penyakit ini seringkali

menyerang masyarakat dengan golongan sosial yang rendah, hal ini mungkin berkaitan

dengan kebiasaan dan lingkungan hidup di sekitar orang-orang tersebut

Gejala dan Tanda

Gejala klinis karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu,

Gejala nasofaring, gejala ini dapat berupa perdarahan melalui hidung yang ringan hingga be-

rat, atau sumbatan pada hidung

Gejala Telinga, ini merupakan gejala dini yang timbul karena asal tumor dekat sekali dengan

muara tuba eustachius, sehingga pembesaran sedikit pada tumor akan menyebabkan tersum-

batnya saluran ini dan menimbulkan gejala pada telinga seperti, telinga nyeri, telinga

berdenging, rasa tidak nyaman.

Gejala Mata, pertumbuhan tumor ini dapat menyebabkan gangguan pada saraf-saraf di otak

salah satunya adalah keluhan pada mata berupa pandangan ganda.

Gejala di leher, Metastasis, gejala ini dapat dilihat pada beberapa stadium akhir kanker naso-

faring berupa pembesaran atau benjolan di leher.

Untuk pemeriksaan tambahan, sejak ditemukan CT-scan sangat membantu dalam diagnosis

tumor-tumor di daerah kepala dan leher sehingga tumor primer yang terletak di belakang dan

tersembunyi  dapat ditemukan. Pemeriksaan lain seperti serologi  IgA  anti EA dan IgA anti

VCA di Indonesia telah menunjukan kemajuan dalam medeteksi karsinoma.

Untuk diagnosis pasti Karsinoma Nasofaring ditegakan dengan melakukan biopsy nasofaring.

Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. 3 bentuk tersering

dari karsinoma nasofaring adalah karsinoma sel squamosa, karsinoma tidak berkeratinisasi

dan karsinoma tidak berdiferensiasi.

Penatalaksanaan

Radioterapi hingga sekarang masih merupakan terapi utama dan pengobatan tamba-

han yang dapat diberikan berupa bedah diseksi leher, pemberian tetrasiklin, interferon, ke-

moterapi, dan vaksin antivirus.

Page 13: Dd Epistaksis

Perhatian terhadap efek samping dari pemberian radioterapi  seperti, mulut terasa kering, ja-

mur pada mulut, rasa kaku di leher, sakit kepala, mual dan muntah kadang-kadang dapat tim-

bul. Oleh karena itu dapat dianjurkan pada penderita untuk membawa air minum dalam aktiv-

itas dan berusaha menjaga kebersihan pada mulut dan gigi.

Pemberian vaksin pada penduduk dengan resiko tinggi dapat dilakukan untuk mengurangi

angka kejadian penyakit ini pada daerah tersebut

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENIL

DEFINISI

Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) merupakan tumor jinak pembuluh darah di

nasofaring yang secara histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas karena

berkemampuan merusak tulang dan meluas ke jaringan di sekitarnya, misalnya ke sinus

paranasal, pipi, rongga mata atau tengkorak (cranial vault), sangat mudah berdarah dan sulit

dihentikan.

Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain juvenile angiofibroma, juvenile

nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal tumor,

tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, angiofibroma nasofaring belia.

ANATOMI

Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat dengan

beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.

1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.

2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus,

yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.

3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba eustachii

yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dind-

ing lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.

4. Koana pada posterior rongga hidung.

5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari

penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glos-

sofaringeus, vagus, dan spinal assesori.

6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus pet-

rosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan arteri

faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.

Page 14: Dd Epistaksis

7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lat-

eral atap nasofaring.

8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.

Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar nasofaring

atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul dari bagian

posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen sphenopalatina. Dari sini tumor

bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina,

berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari

pertumbuhan tumor.

EPIDEMIOLOGI

JNA banyak dialami terutama remaja putra berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri didiagnosis

JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus

dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada dekade kedua kehidupan, tepatnya pada rentang

usia 7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah usia 25 tahun.

Insiden JNA adalah 1 dari 5.000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,05% dari semua tumor

kepala dan leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.

Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur

Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya

dari satu atau dua pasien untuk 2.000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The

Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per

15.000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan

bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.

ETIOLOGI

Penyebab pastinya belum dapat ditentukan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah

bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di

turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa

beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty).

Teori lainnya yang diajukan adalah tumor berasal dari embryonal chondrocartilage yang

berada di occipital plate.

Selain itu, ada juga teori tentang respon desmoplastic dari nasopharyngeal periosteum atau

embryonic fibrocartilage antara basiocciput dan basisphenoid.

Page 15: Dd Epistaksis

Teori tentang penyebab dari sel-sel paraganglionik nonkromafin dari cabang terminal arteri

maksilaris juga dipostulasikan.

Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil mengungkapkan

delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor gene p53 sama seperti

Her-2/neu oncogene.

Berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan

asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding

posterolateral atap rongga hidung.

Faktor hormonal dikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan secara

langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen

(RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung

memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan

menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana

memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan

penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan

RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada

75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil

menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada

angiofibroma.

Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif

sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor

pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah

untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1

mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif

diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada

semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.

PATOFISIOLOGI

Menurut Mansfield E (2006), asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di

atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan aspek

posterior dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya area jaringan

endotel di daerah ini.

Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah

menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan

menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya.

Page 16: Dd Epistaksis

Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial. Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai

tumbuh di dekat foramen sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua

lobus (bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan

bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.

Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke

anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada

satu sisinya, dan septumnya berdeviasi (”bengkok”) ke sisi lainnya.

Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded).

Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat “diserbu” atau diinvasi juga jika tumor berkembang

lebih lanjut.

Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus

maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.

Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid) dapat ter-

erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus optikus jika fissura

orbita didesak oleh tumor.

Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien

yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan

pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika dibandingkan

dengan JNA.

Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak agak

lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari merah muda

sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu dibungkus oleh membran

mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang

berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau abu-abu. Secara histologik,

angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh

darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan

dilapisi oleh lapisan tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik

dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika

terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah.

Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi

batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya terjadi

trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel stromal, yang

melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan

Page 17: Dd Epistaksis

kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan

karakteristik dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur

sekitarnya. Dapat meluas kedalam :

a. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung.

b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua dapat

diserang.

c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.

d. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk melalui fis-

sura orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke orbita

melalui fissura orbitalis superior.

e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.

Ada 2 jalan masuknya :

Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum. Tumor

berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus.

Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus.

GEJALA KLINIK

Gejala

1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling

sering, terutama pada permulaan penyakit.

2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah

(blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi

(unilateral) dan berulang (recurrent).

3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.

4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.

5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.

6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga kra-

nial dan tekanan pada kiasma optik.

7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral rhin-

orrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap bau (hy-

posmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga

(otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk

pipi (deformity of the cheek), dan rhinolalia.

Page 18: Dd Epistaksis

Tanda

1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior; nonen-

capsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai (sessile) atau

bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini menca-

pai 80%.

2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging palate),

terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass), massa di pipi

(cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya disertai dengan perluasan

setempat). Angka kejadian massa di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%,

sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.

3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius, pem-

bengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan tanda

bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat penurunan pengli-

hatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.

DIAGNOSIS

Penemuan Histologis

Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa/matang (mature

fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang berdinding tipis.

Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka kekurangan

elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan

tentang kecenderungan terjadi perdarahan.

Laboratorium

Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.

Biopsi

Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi

sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik,

bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika

gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor

direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di

ruang operasi.

Pemeriksaan Radiologis

Foto Sinar-X

Page 19: Dd Epistaksis

Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring. Holman

dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang tergantung

pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai “tanda antral” dan

terdiri dari tulang Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang

besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.

MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada

kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.

Angiografi

Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi ini

terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna.

Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial

atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal.

STADIUM

Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang terlibat

adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging System

mengeluarkan untuk angiofibroma nasofaring, Chandler dan kawan-kawan

merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada usulan sistem untuk kanker nasofaring

oleh AJC :

Stadium I : Tumor di nasofaring.

Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.

Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa pterygomaksillaris,

fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.

Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.

Klasifikasi Menurut Sessions

Stadium IA – Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.

Stadium IB – Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring dengan keter-

libatan sedikitnya satu sinus paranasal.

Stadium IIA – Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary fossa.

Stadium IIB – Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa erosi su-

perior dari tulang-tulang orbita.

Page 20: Dd Epistaksis

Stadium IIIA – Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial fossa/ptery-

goid base); perluasan intrakranial minimal.

Stadium IIIB – Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke si-

nus kavernosus.

Klasifikasi Menurut Fisch

Stadium I – Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa kerusakan tulang.

Stadium II – Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal dengan

kerusakan tulang.

Stadium III – Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio parasellar;

sisanya di lateral sinus kavernosus.

Stadium IV – Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik, dan atau

fossa pituitari.

DIAGNOSIS BANDING

1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal, teratoma,

encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel

skumous).

2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.

3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.

4. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).

5. Polip koanal (choanal polyp).

6. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).

7. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).

8. Kordoma (chordoma).

9. Karsinoma (carcinoma).

10. Penyebab lain dari nasal obstruction, (seperti: nasal polyps, antrochoanal polyp, ter-

atoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, squamous

cell carcinoma)

11. Penyebab lain dari mimisen (epistaxis), baik sistemik maupun lokal.

12. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan rongga mata (orbital swellings).

PENATALAKSANAAN

Terapi Medis

Hormonal

Page 21: Dd Epistaksis

Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I

dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak

digunakan secara rutin.

o Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal androgen blocker atau testosterone re-

ceptor blocker, efektif untuk mengurangi ukuran tumor pada stadium I dan II

hingga 44%.

o Terapi hormonal dengan diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu) se-

belum eksisi dapat mengurangi vascularity JNA namun terkait dengan efek

samping memiliki sifat kewanitaan (feminizing side effects).

o Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA berulang atau kambuh.

o Schuon, et.al. (2006) melaporkan analisis immunohistochemical dari

mekanisme pertumbuhan JNA. Mereka berkesimpulan bahwa pertumbuhan

dan vaskularisasi JNA dikendalikan oleh faktor-faktor yang dibebaskan dari

stromal fibroblasts. Oleh karena itu, dihambatnya faktor-faktor ini dapat

bermanfaat untuk terapi JNA yang tidak dapat dioperasi (inoperable).

Radioterapi

Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi.

Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi

radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi stereotaktik

(seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke jaringan sekitarnya.

Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit

intrakranial atau kasus rekuren.

o Beberapa center telah melaporkan rata-rata kesembuhan 80% dengan terapi ra-

diasi.

o Radioterapi stereotactic (yakni: pisau Gamma) mengirimkan dosis radiasi

yang lebih rendah ke jaringan di sekitarnya. Para ahli telah menyediakan ra-

dioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus yang berulang.

o Radioterapi three-dimensional conformal untuk JNA yang luas (extensive)

atau penyebaran hingga intrakranial memberikan suatu alternatif yang baik un-

tuk radioterapi konvensional berkaitan dengan pengendalian penyakit dan

morbiditas akibat radiasi (radiation morbidity).

o External beam irradiation, paling sering digunakan untuk penyakit intrakranial

yang tidak dapat dibedah (unresectable), atau kambuhan (recurrent). Digu-

Page 22: Dd Epistaksis

nakan dosis yang bervariasi dari 30-46 Gy. Sisa tumor seringkali muncul dua

tahun setelah terapi. Perhatian utama termasuk kulit sekunder, tulang, jaringan

lunak, keganasan tiroid, dan hambatan perkembangan tulang wajah.

Embolisasi

Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut

dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat

dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Dengan embolisasi saja

cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan pembedahan

untuk mengangkat tumor.

Terapi Pembedahan

Beberapa pendekatan yang digunakan tergantung dari lokasi dan perluasan JNA.

Rute rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal digunakan un-

tuk tumor-tumor yang kecil (Klasifikasi Fisch stadium I atau II).

Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor telah meluas ke lateral.

Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa osteotomi LeFort, memperbaiki

akses posterior terhadap tumor.

Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan insisi Weber-Ferguson dan per-

luasan koronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan midface osteotomies untuk

jalan masuk.

Pendekatan extended anterior subcranial memudahkan pemotongan tumor sekaligus

(en bloc), dekompresi saraf mata, dan pembukaan sinus kavernosus.

Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada rongga

hidung dan sinus paranasal.

KOMPLIKASI

Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV),

perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital, dan

transfusi perioperative.

Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding). Transformasi

keganasan (malignant transformation). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai

hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena

kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the

cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.

PROGNOSIS

Page 23: Dd Epistaksis

Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah: keberadaan tumor di

fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan intrakranial, suplai makanan dari

arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya sisa tumor.

Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan (recurrence). Rata-

rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100% dengan reseksi lengkap dari

JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial. Rerata kesembuhan 90% berhubungan

dengan pembedahan kedua jika terjadi kekambuhan.

Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar. Dapat hilang

sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi, sekitar 6-24 %.

Kondisi yang harus dilakukan pasien untuk dibawa ke gawat darurat .

Mencari perawatan medis melalui dokter atau ruang gawat darurat jika :

a. Anda tidak dapat menghentikan perdarahan setelah lebih dari 15 sampai 20 menit

dengan penekanan pada hidung

b. Anda mengalami episode berulang dari perdarahan.

c. Perdarahannya cepat & kehilangan darah dalam jumlah banyak ( melebihi secangkir

kopi)

d. Pendarahan disebabkan oleh cedera, seperti jatuh atau pukulan lain pada hidung atau

wajah.

e. Anda merasa lemah dan pingsan.

f. Darah keluar melalui bagian belakang tenggorokan dan bukan melalui hidung

walaupun Anda sedang dalam kondisi duduk dan kepala agak menunduk kedepan

( Hal ini sering terjadi pada orang tua dan dengan pasien tekanan darah tinggi).

sumber : clevelandclinic.org

TUMOR HIDUNG DAN SINONASAL

Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang

jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya

sekitar 1 % dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher.

Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang

dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor

yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan,

Page 24: Dd Epistaksis

apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah

lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus

berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817

penderita rawat jalan di rumah sakit.

1. DEFINISI

Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung dan lesi

yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan

vestibulum nasi.

2. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI

Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu 2 per

10.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FKUI-RSCM, keganasan ini ditemukan pada

10,1% dari seluruh tumor ganas THT. Rasio penderita laki-laki banding wanita sebesar

2 : 1.

Etiologi tumor ganas hidung belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat hasil

industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium,

minyak isopropyl dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat kemungkinan terjadi

keganasan hidung dan sinus jauh lebih besar.

Banyak laporan mengenai kasus adeno-karsinoma sinus etmoid pada pekerja-

pekerja industri penggergajian kayu dan pembuatan mebel. Alkohol, asap rokok,

makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan,

sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan.

Di Amerika Serikat, insidensi tumor hidung tiap tahun kurang dari 1:100.000

penduduk, yang menyumbang sekitar 3% kanker dari saluran pernapasan atas. Di Jepang

dan Uganda, frekuensi tumor ini dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika

Serikat.

Page 25: Dd Epistaksis

Kecuali untuk tumor non-epitel, tumor hidung ganas hampir tidak ditemukan pada

anak-anak. Prevalensi tumor hidung ganas meningkat sesuai umur yaitu 7 : 100.000 pada

pasien dalam delapan dekade.

Rousch (1999) memperkirakan bahwa di atas 80% dari semua tumor ganas pada

manusia dihubungkan dengan lingkungan. Bagaimanapun perkiraan ini kemungkinan

tinggi, bukti adanya penyebab lingkungan dari tumor hidung terutama pada pasien-pasien

yang terpapar nikel, chromium, hydrocarbon dan isopropyl oils.

Risiko kanker meningkat pada tukang kayu, tukang sepatu dan boot, dan pembuat

furniture. Karena kompleksnya paparan faktor lingkungan pada kelompok ini, agen yang

berperan sulit diidentifikasi. Paparan hidrokarbon juga meningkatkan juga meningkatkan

kanker hidung.

Sekitar 55% tumor hidung dan sinus berasal dari sinus maxillary, 35% dari kavum

nasi, 9% sinus ethmoid, dan 1% sinus frontal dan sphenoid dan septum. Untuk tumor

yang besar, asal tumor sulit untuk diidentifikasi.

3. JENIS HISTOPATOLOGI

Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di daerah

sinonasal. Termasuk tumor jinak epitelial yaitu adenoma dan papiloma, yang non-epitelial

yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma, neurilemomma, osteoma, displasia fibrosa dan

lain-lain. Disamping itu ada tumor odontogenik misalnya ameloblastoma atau

adamantinoma, kista tulang dan lain-lain.

Tumor ganas epitelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur, adeno-

karsinoma, karsinoma tanpa diferensiasi dan lain-lain. Jenis non epitelial ganas adalah

hemangioperisitoma, bermacam-macam sarkoma termasuk rabdomiosarkoma dan

osteogenik sarcoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti limfoma malignum,

plasmasitoma atau pun polimorfik retikulosis sering juga ditemukan di daerah ini.

Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat

ganas karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papiloma inverted, displasia

fibrosa atau pun ameloblastoma. Pada jenis-jenis ini tindakan operasi harus radikal.

4. Klasifikasi Tumor :

A. Tumor Jinak

Page 26: Dd Epistaksis

Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip

dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis papiloma,

pertama eksofitik atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted.

Papiloma inverted ini bersifat sangat invasive, dapat merusak jaringan sekitarnya.

Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas. Lebih

sering dijumpai pada anak laki-laki usia tua. Terapi adalah bedah radikal misalnya

rinotomi lateral atau maksilektomi media.

Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa

yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal dan

mendorong bola mata ke anterior.

B. Tumor Ganas

Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul

oleh karsinoma yang berdeferensiasi dan tumor kelenjar.

Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid

(15-25%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang terkena.

Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga

sinus sangat miskin dengan system limfa kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi

jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan system limfatik.

Metastasis jauh juga jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan organ yang

sering terkena metastasis jauh adalah hati dan paru.

Karsinoma Sel Skuamosa

Merupakan bentuk paling sering kanker rongga hidung dan sinus paranasal yang

mengenai sinus maksila dan etmoid. Dikatakan mencapai 20% tumor pada daerah

ini. Sel skuamosa merupakan sel datar yang membuat lapisan permukaan pipih

struktur kepala dan leher. Sinus maksila terlibat 70% diikuti keterlibatan rongga

hidung dalam 20% dengan sisanya berupa etmoid. Lesi primer yang berasal dari

sinus frontal dan sfenoid jarang dijumpai. Kelainan ini terutama mengenai laki-

laki dan muncul paling sering pada dekade keenam. Menyebar keluar dari sinus

hampir merupakan kebiasaan presentasinya. Ketika ditemukan lebih dari 90%

akan menginvasi ke setidaknya satu dinding sinus yang terlibat. Jika terdapat

metastase, drainase nodus tingkat pertama adalah melalui pleksus pra-tube

Page 27: Dd Epistaksis

kedalam nodus retrofaring dan kemudian kedalam nodus subdigastrik.

Kebanyakan kanker ini muncul pada stadium lanjut (22% T3/T4). Reseksi bedah

diikuti radiasi paska operasi direkomendasikan sebagai penatalaksanaan kasus-

kasus yang dapat direseksi.

Adenokarsinoma

Dimulai di sel kelenjar, merupakan bentuk kedua tersering kanker rongga hidung

dan sinus paranasal pada sinus maksila dan etmoid diperkirakan 5-20% kasus.

Lesi ini cenderung lebih berlokasi superior dengan sinus etmoid yang paling

banyak terlibat. Kebanyakan berhubungan dengan pemaparan pekerjaan. Lesi ini

muncul mirip dengan karsinoma sel skuamosa dan dibagi secara histologis

menjadi tingkat tinggi dan rendah.

Melanoma Maligna

Berkembang dari sel yang disebut melanosit yang memberi warna pada kulit,

merupakan kanker yang agresif, namun hanya membuat sekitar 1% tumor di area

tubuh. Antara 0,5-1% dari seluruh melanoma dikatakan berasal dari rongga

hidung dan sinus paranasal, dimana merupakan 3,5% keseluruhan neoplasma

sinonasal. Insiden tertinggi pada pasien pada dekade kelima sampai kedelapan.

Rongga hidung paling sering terlibat dengan septum anterior merupakan lokasi

tersering. Antrum maksila merupakan yang paling sering terlihat pada lokasi

sinus. Biasanya terlihat sebagai massa berdaging polipoid dan pigmentasinya

beragam. Pengobatan utamanya reseksi bedah dengan atau tanpa terapi radiasi

paska operasi. Diseksi leher elektif saat ini tidak direkomendasikan disebabkan

insiden rendah metastase leher tersembunyi. Untuk lesi rekuren, penyelamatan

pembedahan, radiasi, kemoterapi atau kombinasi mungkin diperlukan.

Keseluruhan prognosisnya buruk.

Estesioneuroblastoma

Estesioneuroblastoma adalah tumor ganas elemen penunjang epitel olfaktorius

yang jarang terjadi. Tumor ini tumbuhnya lambat dan mampu bermetastasis ke

paru-paru dan servikal. Gejala-gejala dini adalah epistaksis dan obstruksi hidung.

CT-scan penting untuk menetapkan apakah terdapat perluasan pada intrakranial.

C. Invasi Sekunder

Page 28: Dd Epistaksis

a. Pituitary adenomas

b. Chordomas

c. Invasi sekunder lain (karsinoma nasofaring, meningioma, tumor odontogenik,

neoplasma skeleton kraniofasial jinak dan ganas, tumor orbita dan apparatus

lakrimal).

5. PEMERIKSAAN

A. Gejala dan Tanda :

Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di

dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar,

sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga

mulut, pipi, orbita atau intrakranial.

Tergantung dari perluasan tumor, gejala - gejalanya dapat dikategorikan

sebagai berikut :

a. Gejala Nasal : gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea.

Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat

mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor

ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.

b. Gejala Orbital : perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia,

protosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.

c. Gejala Oral : perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau

ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak

pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena

nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.

d. Gejala Fasial : perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi.

Disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus.

e. Gejala Intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala

hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan

otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media

maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi

Page 29: Dd Epistaksis

trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia

daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.

B. Pemeriksaan Fisik :

Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat

asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring

melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda

tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah

merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial

berarti tumor berada di sinus maksila.

Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor

pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun

tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.

C. Pemeriksaan Penunjang

Foto polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan

perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan dibuat suatu tomogram

atau TK. Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor dengan jaringan

normal tetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang. Foto polos

toraks diperlukan untuk melihat adanya metastasis tumor di paru.

6. DIAGNOSIS

Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor

tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera

dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau

melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal.

Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi karena

akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan

angiografi.

STAGING :

Page 30: Dd Epistaksis

Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium yang digunakan di

Indonesia adalah klasifikasi UICC dan AJCC yang hanya berlaku untuk karsinoma di

sinus maksila, etmoid dan rongga hidung sedangkan untuk sinus sphenoid dan frontal

tidak termasuk dalam klasifikasi ini karena sangat jarang ditemukan. Perlu diingat bahwa

keganasan yang tumbuh seperti basalioma dan melanoma malignum di kulit sekitar

hidung dan sinus paranasal tidak termasuk dalam klasifikasi tumor hidung dan sinus

paranasal.

Perluasan tumor primer dikatagorikan dalam T1, T2, T3, dan T4. Paling ringan T1,

tumor terbatas di mukosa sinus, paling berat T4, yakni tumor meluas ke orbita, sinus

sphenoid dan frontal dan atau rongga intracranial.

Metastasis kelenjar ke limfa leher regional dikatagorikan dengan N0 (tidak

diketemukan metastasis ke kelenjar limfa leher regional), N1 (metastasis ke kelenjar limfa

leher dengan ukuran diameter terbesar kurang atau sama dengan 3 centimeter (cm), N2

(diameter terbesar lebih dari 3 cm dan kurang dari 6 cm) dan N3 (diameter terbesar lebih

dari 6 cm). Metastasis jauh dikategorikan sebagai M0 (tidak ada metastasis) dan M1 (ada

metastasis). Adapun pembagian sistem TNM menurut Simson, adalah sebagai berikut :

T : Tumor.

T—1 :

a. Tumor pada dinding anterior antrum.

b. Tumor pada dinding nasoantral inferior.

c. Tumor pada palatum bagian anteromedial.

T—2 :

a. Invasi ke dinding lateral tanpa mengenai otot.

b. Invasi ke dinding superior tanpa mengenai orbita.

T—3 :

a. Invasi ke m. pterigoid.

b. Invasi ke orbita

c. Invasi ke selule etmoid anterior tanpa mengenai lamina kribrosa.

d. Invasi ke dinding anterior dan kulit diatasnya.

Page 31: Dd Epistaksis

T—4 :

a. Invasi ke lamina kribrosa.

b. Invasi ke fosa pterigoid.

c. Invasi ke rongga hidung atau sinus maksila kontra lateral.

d. Invasi ke lamina pterigoid.

e. Invasi ke selule etmoid posterior.

f. Ekstensi ke resesus etmo-sfenoid.

N : Kelenjar Getah Bening Regional.

N—1 : Klinis teraba kelenjar, dapat digerakkan.

N—2 : Tidak dapat digerakkan.

M : Metastasis.

M—1 : Stadium dini, tumor terbatas di sinus.

M—2 : Stadium lanjut, tumor meluas ke struktur yang berdekatan.

Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadiumnya, yaitu stadium dini (stadium 1

dan 2) dan stadium lanjut (stadium 3 dan 4). Lebih dari 90 % pasien datang dalam

stadium lanjut dan sulit menentukan asal tumor primernya karena hampir seluruh hidung

dan sinus paranasal sudah terkena tumor.

Stadium :

Stadium 0 T1s N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium IIA T2a N0 M0

Stadium IIB T1

T2a

T2b

N1

N1

N0,N1

M0

M0

M0

Page 32: Dd Epistaksis

Stadium III T1T2a,T2b

T3

N2N2N2

M0M0M0

Stadium IV A T4 N0,N1,N2 M0Stadium IV B Semua T N3 M0Stadium IV C Semua T Semua N M1

7. PENATALAKSANAA

Pada tumor jinak dilakukan eksterpasing sebersih mungkin. Pada tumor ganas,

terapi merupakankombinasi operasi, radioterapi (sesudah atau sebelim

operasi), dan kemoterapi. Kadang-kadang setelah operasi diperlukan

rekontruksi dengan protese (bedah plastik) dan rehabilitasi.

Terapi

Tumor jinak:

Terapi pilihan adalah pembedahan dengan pendekatan antara lain:

1. Rinotomi lateral

2. Caldwell-Luc

3. Pendekatan trans-palatal

Tumor ganas:

1. Pembedahan:

Reseksi:

o Rinotomi lateral

o Maksilektomi partial/total (kombinasi eksenterasi orbita atau

dengan kombinasi deseksi leher radikal)

Paliatif: mengurangi besar tumor (debulking) sebelum radiasi.

2. Radiasi:

Dilakukan bila operasi kurang radikal atau residif

Pra bedah pada tumor yang radio sensitif (misalnya Karsinoma Anaplastik

undifferentiated)

3. Kemoterapi:

Dilakukan atas indikasi tertentu (misalnya Tumor sangat besar/inop-

erable, metastasis jauh, kombinasi dengan radiasi)

Page 33: Dd Epistaksis

8. PROGNOSIS

Prognosis meningkat pada pasien penyajian dengan primary ethmoid, awal lesi

diobati dengan baik radiasi dan pembedahan, dan dengan sejarah terbalik

papilloma.20 SCCA lain seperti kepala dan leher, getah bening keterlibatan

node adalah langka dan selektif getah bening node diseksi tidak menganjurkan

. Tingkat ketahanan hidup 5 tahun adalah 60-64%, dan tingkat kekambuhan

diperkirakan 31%.