defisiensi kompleks protrombin didapat
DESCRIPTION
vit k kurangTRANSCRIPT
Heme sebagai metaloporfirin
Heme adalah kompleks senyawa protoporfirin IX dengan logam besi yang
merupakan gugus prostetik berbagai protein seperti hemoglobin, mioglobin, katalase,
peroksidase, sitokrom c dan triptophan pirolase. Kemampuan hemoglobin dan mioglobin
mengikat oksigen tergantung pada gugus prostetik ini yang sekaligus memberi warna khas
pada kedua hemeprotein tersebut.
Heme terdiri atas bagian organik dan suatu atom besi. Bagian organik protoporfirin
tersusun dari empat cincin pirol. Keempat nya terikat satu sama lain melalui jembatan
metenil, membentuk cincin tetrapirol. Empat rantai samping metil, dua rantai samping vinil
dan dua rantai samping propionil terikat kecincin tetrapirol tersebut .
Atom besi didalam heme mengikat keempat atom nitrogen dipusat cincin protoporfirin.
Atom besi dapat berbentuk fero (Fe2+) atau feri (Fe3+) sehingga untuk hemoglobin yang
bersangkutan disebut juga sebagai ferohemoglobin dan ferihemoglobin atau
methemoglobin. Hanya bila besi dalam bentuk fero, senyawa tersebut dapat mengikat
oksigen .
Biosintesa porfirin dan heme
Langkah awal biosintesa porfirin pada mamalia ialah kondensasi suksinil ko-A yang
berasal dari siklus asam sitrat dalam mitokondria dengan asam amino glisin membentuk
asam α amino β ketoadipat, dikatalisis oleh χ amino levulenat sintase dan memerlukan
piridoksal phosfat untuk mengaktifkan glisin. Asam diatas segera mengalami dekarboksilasi
membentuk χ amino levulenat atau sering disingkat ALA. Enzym ALA sintase merupakan
enzym pengendali kecepatan reaksi .
Didalam sitosol 2 molekul ALA berkondensasi dan mengalami reaksi dehidrasi
membentuk porfobilinogen/PBG yang dikatalisis oleh ALA dehidratase.
4 molekul PBG berkondensasi membentuk hidroksi metil bilana, suatu tetrapirol
linier oleh enzym uroporfirinogen I sintase atau disebut juga PBG deaminase kemudian
terjadi reaksi siklisasi spontan membentuk uroporfirinogen, suatu tetrapirol siklik. Pada
keadaan normal uroporfirinogen I sintase adalah kompleks enzym dengan uroporfirinogen
III kosintase sehingga kerja kedua kompleks enzym tersebut akan membentuk
uroporfirinogen III, yang mempunyai susunan rantai samping asimetris. Bila kompleks
enzym abnormal atau hanya terdapat enzym sintase saja, di bentuk uroporfirinogen I yaitu
suatu bentuk isomer simetris yang tidak fisiologis.
Rangka porfirin sekarang telah terbentuk, uroporfirinogen I atau III mengalami
dekarboksilasi membentuk koproporfirinogen I atau III dengan melepas 4 molekul CO2
hingga rantai samping asetat pada uroporfinogen menjadi metil, reaksi ini dikatalisis oleh
uroporfirinogen dekarboksilase. Hanya koproporfirinogen III yang dapat kembali masuk
kemitokondria, mengalami dekarboksilasi dan oksidasi membentuk protoporfirinogen III
oleh enzym koproporfirinogen oksidase, dimana dua rantai samping propionat
koproporfirinogen menjadi vinil.
Protoporfirinogen III dioksidasi menjadi protoporfirin III oleh protoporfirinogen
oksidase yang memerlukan oksigen. Protoporfirin III diidentifikasi sebagai isomer porfirin
seri IX dan disebut juga dengan protoporfirin IX. Porfirin tipe I dan III dibedakan berdasar
simetris tidaknya gugus substituen seperti asetat, propionat dan metil pada cincin pirol ke
IV.
Penggabungan besi (Fe 2+) ke protoporfirin IX yang dikatalisa oleh Heme sintase atau Ferro
katalase dalam mitokondria akan membentuk heme.
Katabolisme heme
Dalam keadaan fisiologis, masa hidup erytrosit manusia sekitar 120 hari, eritrosit
mengalami lisis 1-2×108 setiap jamnya pada seorang dewasa dengan berat badan 70 kg,
dimana diperhitungkan hemoglobin yang turut lisis sekitar 6 gr per hari. Sel-sel eritrosit tua
dikeluarkan dari sirkulasi dan dihancurkan oleh limpa. Apoprotein dari hemoglobin
dihidrolisis menjadi komponen asam-asam aminonya.
Katabolisme heme dari semua hemeprotein terjadi dalam fraksi mikrosom sel
retikuloendotel oleh sistem enzym yang kompleks yaitu heme oksigenase yang merupakan
enzym dari keluarga besar sitokrom P450. Langkah awal pemecahan gugus heme ialah
pemutusan jembatan α metena membentuk biliverdin, suatu tetrapirol linier. Besi
mengalami beberapa kali reaksi reduksi dan oksidasi, reaksi-reaksi ini memerlukan oksigen
dan NADPH. Pada akhir reaksi dibebaskan Fe3+ yang dapat digunakan kembali, karbon
monoksida yang berasal dari atom karbon jembatan metena dan biliverdin. Biliverdin, suatu
pigmen berwarna hijau akan direduksi oleh biliverdin reduktase yang menggunakan NADPH
sehingga rantai metenil menjadi rantai metilen antara cincin pirol III – IV dan membentuk
pigmen berwarna kuning yaitu bilirubin. Perubahan warna pada memar merupakan
petunjuk reaksi degradasi ini.
Bilirubin bersifat lebih sukar larut dalam air dibandingkan dengan biliverdin. Pada reptil,
amfibi dan unggas hasil akhir metabolisme heme ialah biliverdin dan bukan bilirubin seperti
pada mamalia. Keuntungannya adalah ternyata bilirubin merupakan suatu anti oksidan yang
sangat efektif, sedangkan biliverdin tidak. Efektivitas bilirubin yang terikat pada albumin
kira-kira 1/10 kali dibandingkan asam askorbat dalam perlindungan terhadap peroksida
yang larut dalam air. Lebih bermakna lagi, bilirubin merupakan anti oksidan yang kuat dalam
membran, bersaing dengan vitamin E.
Bilirubin dirubah menjadi bentuk larut
Dalam setiap 1 gr hemoglobin yang lisis akan membentuk 35 mg bilirubin. Perhari
bilirubin dibentuk sekitar 250–350 mg pada seorang dewasa, berasal dari pemecahan
hemoglobin, proses erytropoetik yang tidak efekif dan pemecahan hemprotein lainnya.
Bilirubin dari jaringan retikuloendotel adalah bentuk yang sedikit larut dalam plasma dan air.
Bilirubin ini akan diikat nonkovalen dan diangkut oleh albumin ke hepar. Dalam 100 ml
plasma hanya lebih kurang 25 mg bilirubin yang dapat diikat kuat pada albumin. Bilirubin
yang melebihi jumlah ini hanya terikat longgar hingga mudah lepas dan berdiffusi
kejaringan.
Bilirubin yang sampai dihati akan dilepas dari albumin dan diambil pada permukaan sinusoid
hepatosit oleh suatu protein pembawa yaitu ligandin. Sistem transport difasilitasi ini
mempunyai kapasitas yang sangat besar tetapi penggambilan bilirubin akan tergantung
pada kelancaran proses yang akan dilewati bilirubin berikutnya.
Bilirubin nonpolar akan menetap dalam sel jika tidak diubah menjadi bentuk larut. Hepatosit
akan mengubah bilirubin menjadi bentuk larut yang dapat diekskresikan dengan mudah
kedalam kandung empedu. Proses perubahan tersebut melibatkan asam glukoronat yang
dikonjugasikan dengan bilirubin, dikatalisis oleh enzym bilirubin glukoronosiltransferase.
Hati mengandung sedikitnya dua isoform enzym glukoronosiltransferase yang terdapat
terutama pada retikulum endoplasma. Reaksi konjugasi ini berlangsung dua tahap,
memerlukan UDP asam glukoronat sebagai donor glukoronat. Tahap pertama akan
membentuk bilirubin monoglukoronida sebagai senyawa antara yang kemudian dikonversi
menjadi bilirubin diglukoronida yang larut pada tahap kedua.
Ekskresi bilirubin larut kedalam saluran dan kandung empedu berlangsung dengan
mekanisme transport aktif yang melawan gradien konsentrasi. Dalam keadaan fisiologis,
seluruh bilirubin yang diekskresikan ke kandung empedu berada dalam bentuk terkonjugasi.
Pembentukan urobilin
Bilirubin terkonjugasi yang mencapai ileum terminal dan kolon dihidrolisa oleh enzym
bakteri β glukoronidase dan pigmen yang bebas dari glukoronida direduksi oleh bakteri usus
menjadi urobilinogen, suatu senyawa tetrapirol tak berwarna. Sejumlah urobilinogen
diabsorbsi kembali dari usus ke perdarahan portal dan dibawa keginjal kemudian dioksidasi
menjadi urobilin yang memberi warna kuning pada urine. Sebagian besar urobilinogen
berada pada feces akan dioksidasi oleh bakteri usus membentuk sterkobilin yang berwarna
kuning kecoklatan.
Klasifikasi Penyakit Hematologik
Kelainan hematologik dapat terjadi pada setiap sistem hematopoetik, yaitu pada sistem
eritropoetik, granulopoetik, trombopoetik, limfopoetik, atau sistem retikulo-endotelial
(RES).
Selain pembagian secara morfologis (anemia mikrositik, normositik, makrositik) klasifikasi
yang lebih praktis ialah menurut etiologinya dan berdasrkan seringnya terjadi keluhan dari
penderita yaitu pucat dan perdarahan.
I. anemia
1. anemia pasca perdarahan (post hemorrhagic)
Terjadi akibat perdarahan yang masif (seperti kecelakaan, luka operasi,
persalinan dan sebagainya) atau karena perdarahan menahun.
2. Anemia hemolitik
Terjadi akibat penghancuran (hemolisis) eritrosit yang berlebihan
a) Faktor intrasel
misal : talasemia, hemoglobinopati ( talasemia HbE, sickle cell
anemia), sferositosis kongenital, defisiensi enzim eritrosit (G-6PD,
piruvat kinase, glutation reduktase).
b) Faktor ekstrasel
Misal : intoksikasi, infeksi (malaria), immunologis (inkompatibilitas
golongan darah, reaksi hemolitik pada transfusi darah)
3. anemia defisiensi
Karena kekurangan faktor pematangan eritrosit (besi, asam folat, vitamin
B12, protein, piridoksin, eritropoetin dan sebagainya)
4. anemia aplastik
Disebabkan terhentinya embuatan sel darah oleh sumsum tulang.
II. Perdarahan
1. Gangguan vaskular
Telangiektasia, skorbut, sindrom Henoch Schonlein
2. Gangguan pembekuan
Gangguan dapat terjadi pada fase 1 (hemofilia A, B dan C), fase 2
(hipoprotrombinemia, defisiensi faktor V), fase 3(hipofibrinogenemia,
fibrinolisis). Kelainan pembekuan selain disebabkan oleh defisiensi faktor
pembekuan, dapat pula karena adanya antikoagulansia dalam darah.
3. Gangguan trombosit
a. Fungsi trombosit terganggu
Meskipun jumlahnya cukup, bila terdapat gangguan fungsinya, dapat
terjadi perdarahan. Keadaan ini termasuk dalam trombopatia (von
Willerbrand, trombositopatia, von Willerbrand- Jurgens, Glanzmannn).
b. Jumlah trombosit berkurang (trombositopenia)
Dibagi menjadi golongan yang disertai terdapatnya megakariosit dalam
sumsum tulang (trombositopenia pada penyakit virus, infeksi bakteri,
obat, trombositopenia neonatal, DIC, trombositopenia idiopatik) dan
golongan tanpa megakariosit dalam sumsumtulang (amegakariositik)
seperti anemia aplastik, Amekaryocytic trombocytopenic purpura,
leukimia, metastasis tmor ganas ke sumsum tulang.
III. kelainan lain sistem hematopoetik
Terutama yang mengenai sistem granulopoetik dan trombopoetik. Umumnya sama dengan
kelainan sistem eritropoetik, yaitu dapat berupa kebanyakan sel atau kekurangan sel.
Kekurangan sel ini dapat karena lisis, defisisensi atau aplasia.
Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi (ADB) masih merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia. Hasil
survai rumah tangga tahun 1995 ditemukan 40,5% anak balita dan 47,2% anak usia sekolah
menderita ADB. Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi
antara lain berupa gangguan fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh
kembang yang terlambat, penurunan aktivitas, dan perubahan tingka laku. Oleh karena itu
masalah ini memerlukan cara penanganan dan pencegahan yang tepat.
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk sintesis
hemoglobin dan merupakan defisiensi nutrisi yang paling banyak pada anak dan
menyebabkan masalah kesehatan yang paling besar di seluruh dunia terutama di negara
sedang berkembang termasuk Indonesia. Dari hasil SKRT 1992 diperoleh prevalensi ADB
pada anak balita di Indonesia adalah 55,5%. Komplikasi ADB akibat jumlah total besi tubuh
yang rendah dan gangguan pembentukan hemoglobin (Hb) dihubungkan dengan fungsi
kognitif, perubahan tingkah laku, tumbuh kembang yang terlambat dan gangguan fungsi
imun pada anak.
Prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi, awal masa anak, anak sekolah dan
masa remaja karena adanya percepatan tumbuh pada masa tersebut disertai asupan besi
yang rendah, penggunaan susu sapi dengan kadar besi yang kurang sehingga dapat
menyebabkan exudative enteropathy dan kehilangan darah akibat menstruasi.
Diagnosis
Anamnesis (Tanda dan Gejala Klinis)
- Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan
- Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh terhadap
infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi belajar
- Gemar makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas, tanah, rambut
- Memakan bahan makanan yang kurang mengandung zat besi, bahan makanan yang
menghambat penyerapan besi seperti kalsium dan fitrat (beras, gandum) serta konsumsi
susu sebagai sumber energi utama sejak bayi sampai usia 2 tahun (milkaholic)
- Infeksi malaria, infestasi parasit seperti ankylostoma dan schistosoma
Gejala dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besi tidak spesifik.4 Diagnosis biasanya
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu penurunan kadar
feritin/saturasi transferin serum dan kadar besi serum. Pada ADB gejala klinis terjadi secara
bertahap.4 Kekurangan zat besi di dalam otot jantung menyebabkan terjadinya gangguan
kontraktilitas otot organ tersebut.7 Pasien ADB akan menunjukkan peninggian ekskresi
norepinefrin; biasanya disertai dengan gangguan konversi tiroksin menjadi triodotiroksin.
Penemuan ini dapat menerangkan terjadinya iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang
berkurang, sehingga menurunkan prestasi belajar kasus ADB.7 Anak yang menderita ADB
lebih mudah terserang infeksi karena defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan fungsi
neutrofil dan berkurangnya sel limfosit T yang penting untuk pertahanan tubuh terhadap
infeksi.4 Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar makan atau mengunyah benda
tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lain lain, timbul sebagai
akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang nyaman ini disebabkan karena
enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut yang mengandung besi
berkurang.7,8 Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa permukaan yang
kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok (spoon-shaped
nails) yang juga disebut sebagai kolonikia terdapat pada 5,5% kasus ADB.7,8 Pada saluran
pencernaan, kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan dalam proses epitialisasi.
Papil lidah mengalami atropi. Pada keadaan ADB berat, lidah akan memperlihatkan
permukaan yang rata karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan stomatitis
angularis dan ditemui gastritis pada 75% kasus ADB.
Pemeriksaan fisik
- Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh keluarga. Bila
kadar - Hb < 5g/dl ditemukan gejala iritabel dan anoreksia.
- Pucat ditemukan bila kadar Hb < 7 g/dl
- Tanpa Organomegali
- Gangguan pertumbuhan
- Rentan terhadap infeksi
- Penurunan aktivitas kerja
- Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis, takikardia, gagal jantung,
protein losing enteropathy
Pemeriksaan penunjang
- Darah lengkap yang terdiri dari : hemoglobin rendah ; MCV, MCH dan MCHC rendah.
Red cell distribution width (RDW) yang lebar dan MCV yang rendah merupakan salah
satu skrining defisiensi besi.
o Nilai RDW tinggi > 14,5 % pada defisiensi besi, bila RDW normal (<13%) pada
talasemia trait.
o Ratio MCV/RBC (Mentzer index) >> 13 dan bila RDW index (MCV/RBC x RDW)
220, merupakan tanda anemia defisiensi besi, sedangkan jika kurang dari 220
merupakan tanda talasemia trait.
o Apusan darah tepi : mikrositik, hipokromik, anisositosis, dan poikilositosis.
- Kadar besi serum yang rendah, TIBC, serum ferritin < 12ng/mL dipertimbangkan sebagai
diagnostik defisiensi besi
- Nilai retikulosit : normal atau menurun, menunjukkan produksi sel darah merah yang
tidak adekuat.
- Serum Transferrin Receptor (STfR) : sensitif untuk menentukan defisiensi bsi,
mempunyai nilai tinggi untuk membedakan anemia defisiensi besi akibat penyakit kronik
- Kadar zinc protoporphyrin (ZPP) akan meningkat.
- Terapi besi (therapeutic trial) : respons pemberian preparat besi dengan dosis
3mg/kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan jumlah retikulosit antara 5-10 hari diikuti
kenaikan kadar hemoglobin 1g/dl atau hematokrit 3% setelah 1 bulan menyokong
diagnosis anemia defisiensi besi. Kira-kira 6 bulan setelah terapi, hemoglobin dan
hematokrit dinilai kembali untuk menilai keberhasilan terapi.
Pemeriksaan penunjang tersebut dilakukan sesuai dengan fasilitas yang ada.
Salah satu penyebab ADB ialah kekurangan gizi; beberapa penyebab lain yang
diklasifikasikan
menurut umur tampak pada Tabel 1.3 Pengetahuan mengenai klasifikasi penyebab menurut
umur ini penting untuk diketahui, untuk mencari penyebab berdasarkan skala prioritas
dengan tujuan menghemat biaya dan waktu. Seorang anak yang mula-mula berada di dalam
keseimbangan besi kemudian menuju ke keadaan anemia defisiensi besi akan melalui 3
stadium yaitu:4
Stadium I: Hanya ditandai oleh kekurangan persediaan besi di dalam depot. Keadaan ini
dinamakan
stadium deplesi besi. Pada stadium ini baik kadar besi di dalam serum maupun kadar
hemoglobin masih normal. Kadar besi di dalam depot dapat ditentukan dengan
pemeriksaan sitokimia jaringan hati atau sumsum tulang. Disamping itu kadar
feritin/saturasi transferin di dalam serumpun dapat mencerminkan kadar besi di dalam
depot.
Stadium II: Mulai timbul bila persediaan besi hampir habis. Kadar besi di dalam serum mulai
menurun tetapi kadar hemoglobin di dalam darah masih normal. Keadaan ini disebut
stadium defisiensi besi.
Stadium III: Keadaan ini disebut anemia defisiensi besi. Stadium ini ditandai oleh penurunan
kadar
hemoglobin MCV, MCH, MCHC disamping penurunan kadar feritin dan kadar besi di dalam
serum. Hasil penelitian di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM menunjukkan bahwa 75%
dari 47 anak yang mempunyai kadar hemoglobin normal, sudah memperlihatkan
kekurangan besi yaitu 1 anak berada dalam stadium-I dan 34 anak berada dalam stadium
II5. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa 115 dari 383 murid sekolah dasar yang
mempunyai kadar hemoglobin normal, telah menunjukkan penurunan kadar besi dalam
serumnya.6
Diagnosis
Pemeriksaan penunjang tersebut dilakukan sesuai dengan fasilitas yang ada.
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% (N: 32-35%)
Kadar Fe serum <50 μg/dL (N: 80-180 μg/dL)
Saturasi transferin <15% (N: 20-50%)
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit kriteria nomor 1, 3, dan 4. Tes yang paling efisien
untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu ferritin serum. Bila sarana terbatas, diagnosis
dapat ditegakkan berdasarkan:
Anemia tanpa perdarahan
Tanpa organomegali
Gambaran darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel target
Respons terhadap pemberian terapi besi
Pengobatan
Mengetahui faktor penyebab: riwayat nutrisi dan kelahiran, adanya perdarahan yang
abnormal, pasca pembedahan.
Preparat besi . Preparat yang tersedia ferous sulfat, ferous glukonat, ferous fumarat, dan
ferous suksinat. Dosis besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari. Respons terapi dengan menilai
kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan, yaitu kenaikan kadar Hb sebesar 2 g/dL atau
lebih. Bila respons ditemukan, terapi dilanjutkan sampai 2-3 bulan. Komposisi besi
elemental: Ferous fumarat: 33% merupakan besi elemental . Ferous glukonas: 11,6%
merupakan besi elemental. Ferous sulfat: 20% merupakan besi elemental
Transfusi darah jarang diperlukan, hanya diberi pada keadaan anemia yang sangat berat
dengan kadar Hb <4g/dL. Komponen darah yang diberi PRC.
Bila diagnosis defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan hºarus segera dimulai untuk
mencegah berlanjutnya keadaan ini. Pengobatan terdiri atas pemberian preparat besi
secara oral berupa garam fero (sulfat, glukonat, fumarat dan lain-lain), pengobatan ini
tergolong murah dan mudah dibandingkan dengan cara lain. Pada bayi dan anak, terapi besi
elemental diberikan dengan dosis 3-6 mg/kg bb/hari dibagi dalam dua dosis, 30 menit
sebelum sarapan pagi dan makan malam; penyerapan akan lebih sempurna jika diberikan
sewaktu perut kosong.8,10 Penyerapan akan lebih sempurna lagi bila diberikan bersama
asam askorbat atau asam suksinat.8 Bila diberikan setelah makan atau
sewaktu makan, penyerapan akan berkurang hingga
40-50%.8 Namun mengingat efek samping pengobatan
besi secara oral berupa mual, rasa tidak nyaman di ulu
hati, dan konstipasi,4 maka untuk mengurangi efek
samping tersebut preparat besi diberikan segera setelah
makan.4,11 Penggunaan secara intramuskular atau
intravena berupa besi dextran dapat dipertimbangkan
jika respon pengobatan oral tidak berjalan baik
misalnya karena keadaan pasien tidak dapat menerima
secara oral, kehilangan besi terlalu cepat yang tidak
dapat dikompensasi dengan pemberian oral, atau
gangguan saluran cerna misalnya malabsorpsi.4,10 Cara
pemberian parenteral jarang digunakan karena dapat
memberikan efek samping berupa demam, mual,
ultikaria, hipotensi, nyeri kepala, lemas, artralgia,
bronkospasme sampai reaksi anafilatik. Respons
pengobatan mula-mula tampak pada perbaikan besi
intraselular dalam waktu 12-24 jam. Hiperplasi seri
eritropoitik dalam sumsum tulang terjadi dalam waktu
36-48 jam yang ditandai oleh retikulositosis di darah
tepi dalam waktu 48-72 jam, yang mencapai puncak
dalam 5-7 hari. Dalam 4-30 hari setelah pengobatan
didapatkan peningkatan kadar hemoglobin dan
cadangan besi terpenuhi 1-3 bulan setelah pengobatan.
10 Untuk menghindari adanya kelebihan besi
maka jangka waktu terapi tidak boleh lebih dari 5
bulan.4 Transfusi darah hanya diberikan sebagai
pengobatan tambahan bagi pasien ADB dengan Hb 6
g/dl atau kurang karena pada kadar Hb tersebut risiko
untuk terjadinya gagal jantung besar dan dapat terjadi
gangguan fisiologis.12 Transfusi darah diindikasikan
pula pada kasus ADB yang disertai infeksi berat,
dehidrasi berat atau akan menjalani operasi besar/
narkose. Pada keadaan ADB yang disertai dengan
gangguan/kelainan organ yang berfungsi dalam
mekanisme kompensasi terhadap anemia yaitu jantung
(penyakit arteria koronaria atau penyakit jantung
hipertensif ) dan atau paru (gangguan ventilasi dan
difusi gas antara alveoli dan kapiler paru), maka perlu
diberikan transfusi darah.12 Komponen darah berupa
suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara bertahap
dengan tetesan lambat.
Telah dikemukakan di atas salah satu penyebab
defisiensi besi ialah kurang gizi.5 Besi di dalam
makanan dapat berbentuk Fe-heme dan non-heme. Besi
non-heme yang antara lain terdapat di dalam beras,
bayam, jagung, gandum, kacang kedelai berada dalam
bentuk senyawa ferri yang harus diubah dulu di dalam
lambung oleh HCL menjadi bentuk ferro yang siap
untuk diserap di dalam usus. Penyerapan Fe-non heme
dapat dipengaruhi oleh komponen lain di dalam
makanan. Fruktosa, asam askorbat (vitamin C), asam
klorida dan asam amino memudahkan absorbsi besi
sedangkan tanin (bahan di dalam teh), kalsium dan
serat menghambat penyerapan besi. Berbeda dengan
bentuk non-heme, absorpsi besi dalam bentuk heme
yang antara lain terdapat di dalam ikan, hati, daging
sapi, lebih mudah diserap. Disini tampak bahwa bukan
hanya jumlah yang penting tetapi dalam bentuk apa
besi itu diberikan. Anak yang sudah menunjukkan
gejala ADB telah masuk ke dalam lingkaran penyakit,
yaitu ADB mempermudah terjadinya infeksi sedangkan
infeksi mempermudah terjadinya ADB. Oleh
karena itu antisipasi sudah harus dilakukan pada waktu
anak masih berada di dalam stadium I & II. Bahkan
di Inggris, pada bayi dan anak yang berasal dari
keluarga dengan sosial ekonomi yang rendah
dianjurkan untuk diberikan suplementasi besi di dalam
susu formula.13
Pencegahan
Pencegahan primer
Mempertahankan ASI eksklusif hingga 6 bulan
Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun
Menggunakan sereal/makanan tambahan yang difortifikasi tepat pada waktunya, yaitu
sejak usia 6 bulan sampai 1 tahun
Pemberian vitamin C seperti jeruk, apel pada waktu makan dan minum preparat besi
untuk meningkatkan absorbsi besi, serta menghindari bahan yang menghambat absorbsi
besi seperti teh, fosfat, dan fitat pada makanan.
Menghindari minum susu yang berlebihan dan meningkatkan makanan yang
mengandung kadar besi yang berasal dari hewani
Pendidikan kebersihan lingkungan
Pencegahan sekunder
Skrining ADB. Skrining ADB dilakukan dengan pemeriksaan Hb atau Ht, waktunya
disesuaikan dengan berat badan lahir dan usia bayi. Waktu yang tepat masih
kontroversial. American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan antara usia 9–12
bulan, 6 bulan kemudian, dan usia 24 bulan. Pada daerah dengan risiko tinggi dilakukan
tiap tahun sejak usia 1 tahun sampai 5 tahun.
Skrining dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan MCV, RDW, feritin serum, dan trial terapi
besi. Skrining dilakukan sampai usia remaja.
Nilai MCV yang rendah dengan RDW yang lebar merupakan salah satu alat skrining ADB
Skrining yang paling sensitif, mudah dan dianjurkan yaitu zinc erythrocyte
protoporphyrin (ZEP).
Bila bayi dan anak diberi susu sapi sebagai menu utama dan berlebihan sebaiknya
dipikirkan melakukan skrining untuk deteksi ADB dan segera memberi terapi.
Suplementasi besi. Merupakan cara paling tepat untuk mencegah terjadinya ADB di
daerah dengan prevalens tinggi. Dosis besi elemental yang dianjurkan:
Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan dianjurkan 1 mg/kg BB/hari
Bayi 1,5-2,0 kg: 2 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
Bayi 1,0-1,5 kg: 3 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
Bayi <1 kg: 4 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
Bahan makanan yang sudah difortifikasi seperti susu formula untuk bayi dan makanan
pendamping ASI seperti sereal.
Defisiensi Kompleks Protrombin Didapat (DKPD) dengan Perdarahan Intrakranial
Dahulu penyakit ini disebut sebagai Hemorrhagic Disease of the Newborn (HDN). Dengan
ditemukannya vitamin K pada tahun 1929 maka penyakit ini diduga akibat dari defisiensi
vitamin K, sehingga pada tahun 1999 berubah menjadi Vitamin K Deficiency Bleeding
(VKDB). Defisiensi kompleks protrombin didapat (DKPD) atau Acquired Prothrombine
Complex Deficiency (APCD) adalah bentuk lanjut dari VKDB dan disebut juga sebagai
defisiensi kompleks protrombin sekunder. Etiologi penyakit ini adalah defisiensi vitamin K
yang dialami oleh bayi karena: (1) Rendahnya kadar vitamin K dalam plasma dan cadangan
di hati, (2) Rendahnya kadar vitamin K dalam ASI, (3) Tidak mendapat injeksi vitamin K1
pada saat baru lahir. Vitamin K ini berperan dalam kaskade pembekuan darah.
Semua neonatus dalam 48-72 jam setelah kelahiran secara fisiologis memiliki kadar faktor
koagulasi yang bergantung vitamin K (faktor II, VII, IX, dan X) yang rendah, yang akan
berangsur normal pada usia 7-10 hari. Keadaan ini disebabkan oleh kurangnya vitamin K
pada ibu dan tidak adanya flora normal usus yang mensintesis vitamin K. Defisiensi faktor
koagulasi tersebut dapat menyebabkan perdarahan spontan.
Perdarahan intrakranial merupakan 80-90% manifestasi klinis dari DKPD dan menyebabkan
mortalitas (10-25%) dan kecacatan yang cukup tinggi (40-65%). APCD terjadi mulai usia 8
hari–6 bulan, dengan insiden tertinggi usia 3-8 minggu.
Diagnosis
Anamnesis
• Bayi kecil (usia 1-6 bulan) yang sebelumnya sehat, tiba-tiba tampak pucat, malas minum,
lemah, banyak tidur.
• Minum ASI, tidak mendapat vitamin K1 saat lahir.
• Kejang fokal
Pemeriksaan fisis
• Pucat tanpa perdarahan yang nyata.
• Peningkatan tekanan intrakranial: UUB membonjol, penurunan kesadaran, papil edema.
• Defisit neurologi: kejang fokal, hemiparesis, paresis nervus kranialis
Pemeriksaan penunjang
• Darah perifer lengkap: anemia berat dengan jumlah trombosit normal
• Pemeriksaan PT memanjang dan APTT dapat normal atau memanjang
• USG kepala/CTScan kepala: perdarahan intrakranial
Pada bayi bila dijumpai gejala: kejang fokal, pucat disertai ubun-ubun besar yang
membonjol perlu dipikirkan pertama kali adalah APCD. Berikan tata laksana pasien seperti
APCD sampai terbukti bukan.
Tata Laksana
Medikamentosa
• Tata laksana perdarahan :
o Vitamin K1 1 mg IM selama 3 hari berturut-turut.
o Transfusi Fresh Frozen Plasma 10-15 ml/kgBB
o Transfusi Packed Red Cel sesuai kadar hemoglobin.
o Tatalaksana kejang dan peningkatan tekanan intrakranial. Manitol 0,5–1
gram/kgBB/kali atau furosemid 1 mg/kgBB/kali dapat diberikan untuk menurunkan
tekanan intrakranial. Perlu pemantauan yang ketat untuk terjadinya syok atau
perdarahan yang bertambah.
• Konsultasi ke bedah syaraf untuk tindakan operatif tergantung seberapa besar perdarahan
yang terjadi dan defisit neurologis yang timbul. Kriteria PDVK yang memerlukan tindakan
operatif yaitu volume perdarahan yang luas, menekan struktur penting otak (batang
otak), dan adanya sumbatan aliran liquor serebrospinalis akibat perdarahan.
Pemantauan
• Evaluasi Skala Koma Glasgow, refleks okulosefalik (Doll’s eye movement), pola napas,
ubun-ubun besar, dan kejang
• Monitor balans cairan dan elektrolit
• Konsultasi ke departemen rehabilitasi medis jika pasien sudah stabil untuk mobilisasi
bertahap, mencegah spastisitas, dan kontraktur
• Monitor tumbuh kembang
Pencegahan
Injeksi vitamin K1 dengan dosis 1 mg IM pada semua bayi baru lahir.
Hemofilia
Hemofilia adalah penyakit gangguan pembekuan darah yang bersifat herediter. Hemofilia A
disebabkan
Hiperleukositosis
Hiperleukositosis merupakan kedaruratan onkologi yang terjadi bila hitung leukosit
>100.000/μL, tetapi demi kepentingan klinis maka hitung jenis leukosit >50.000/μL sudah
ditata laksana sebagai hiperleukositosis. Keadaan ini ditemukan pada 9-13% anak dengan
leukemia limfoblastik akut (LLA) dan 5-22% pada leukemia non-limfoblastik akut (LNLA).
Hiperleukositosis dapat menyebabkan leukostasis dan sindrom tumor lisis (komplikasi
metabolik) yang menyebabkan mortalitas.
Diagnosis
Anamnesis
Gejala leukemia : pucat, perdarahan, demam, BB turun, nyeri sendi.--
Gejala leukostasis seperti pusing, sakit kepala, muntah, sesak nafas, hemoptisis, --
penglihatan kabur, ataksia dan kesadaran menurun.
Oliguria atau anuria.--
Pemeriksaan fisis
Tanda-tanda leukemia : pucat, perdarahan, organomegali, pembesaran kelenjar getah --
bening,
Hipotensi, gangguan sirkulasi perifer--
Leukostasis di otak : papiledema, gangguan visus, agitasi, kesadaran menurun--
Leukostasis di paru : takipnoe, --dyspnoe, sianosis
Priapismus
Laboratorium
Leukosit >50.000/μL dengan hitung jenis limfositer dan blast (+).
Bila dalam darah tepi terdapat lekosit > 50.000/ul maka harus dilakukan pemeriksaan :
Asam urat, elektrolit (dapat ditemukan hiperuricemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, --
hipokalsemia)
Analisa gas darah untuk melihat adanya asidosis metabolic dan hipoksemia
Fungsi ginjal : ureum , kreatinin
Urin rutin untuk mengethui pH urin
Foto toraks, mencari perdarahan paru dan pembesaran mediastinum
CT---scan kepala (bila ditemukan tanda-tanda perdarahan intrakranial).
Tata laksana
Tatalaksana hiperleukositosis (leukostasis) dan tumor lysis syndrome (gambar 1) :
Hidrasi dengan cairan NaCl 0,9%: D5% dengan perbandingan dengan 3:1 dengan --
kecepatan 3000 mL/m2 atau 1½ kali kebutuhan rumatan.
Alkalinisasi dengan pemberian natrium bikarbonat 35-45 mEq/m--2/24 jam atau 25-50
mEq/500 mL yang bertujuan untuk mempertahankan pH urin 7.5.
Alopurinol 10 mg/kg/hari dibagi 3 per oral--
Lakukan pemeriksaan: darah tepi lengkap, analisis gas darah, elektrolit (natrium, --kalium,
klorida, kalsium, fosfat, magnesium), fungsi ginjal, dan urinalisis (pH dan berat jenis urin)
Transfusi trombosit diberikan bila trombosit <20.000/μL--
Pemberian transfusi PRC dapat meningkatkan viskositas darah sehingga transfusi --dapat
diberikan bila terjadi gangguan oksigenisasi jaringan atau bila Hb <6.0 g/dL dengan target
Hb 8.0 g/dL.
Perlu dilakukan pemantauan secara ketat:--
Tanda vital--
Balans diuresis ketat (diuresis dipertahankan minimal 100 ml/m--2/jam
Pemeriksaan darah tepi lengkap, analisis gas darah, elektrolit (K--+, Na+, Mg, Ca), asam
urat, pH urin dan urinalisis, dilakukan tiap 6 jam bila memungkinkan.
Bila terdapat tanda-tanda DIC maka pemeriksaan PT, aPTT, fibrinogen perlu dilakukan --(PT
dan aPTT memanjang, kadar fibrinogen menurun).
Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP)
Immune thrombocytopenic purpura (ITP, yang disebut juga autoimmune thrombocytopenic
purpura, morbus Wirlhof, atau purpura hemorrhagica, merupakan kelainan perdarahan
(bleeding disorder), akibat destruksi prematur trombosit yang meningkat akibat
autoantibodi yang mengikat antigen trombosit. Umumnya terjadi pada anak usia 2-4 tahun,
dengan insiden 4-8 kasus per 100.000 anak per tahun. ITP terjadi akut dan biasanya sembuh
sendiri dalam 6 bulan, bila dalam waktu 6 bulan tidak sembuh maka diagnosis menjadi ITP
Kronis.
Diagnosis
Anamnesis
Umumnya trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi virus, atau bakteri --(infeksi
saluran napas atas, saluran cerna), bisa juga terjadi setelah vaksinasi rubella, rubeola,
varisela, atau setelah vaksinasi dengan virus hidup.
Perdarahan yang terjadi tergantung jumlah trombosit didalam darah. Diawali dengan --
perdarahan kulit berupa petekie hingga lebam. Perdarahan ini biasanya dilaporkan
terjadi mendadak.
Obat-obatan, misalnya heparin, sulfonamid, kuinidin/kuinin, aspirin dapat memicu --
terjadinya kekambuhan. Obat yang mengandung salisilat dapat meningkatkan risiko
timbulnya perdarahan.
Pemeriksaan fisis
Pada umumnya bentuk perdarahannya ialah purpura pada kulit dan mukosa (hidung, --gusi,
saluran cerna dan traktus urogenital).
Pembesaran limpa terjadi pada 10-20 % kasus. --
Pemeriksaan penunjang
Darah tepi :--
Morfologi eritrosit, leukosit, dan retikulosit biasanya normal. --
Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit normal. Anemia bisa terjadi bila --ada
perdarahan spontan yang banyak
Trpmbositopenia. Besar trombosit umumnya normal, hanya kadang ditemui --bentuk
trombosit yang lebih besar (giant plalets),
Masa perdarahan memanjang (--Bleeding Time)
Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang--: Tidak perlu bila gambaran klinis dan laboratoris
klasik. Dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang bila gagal terapi selama 3-6 bulan,
atau pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran hepar/lien/kelenjar getah
bening dan pada laboratorium ditemukan bisitopenia.
Tabel 1. Intervensi penanganan ITP berdasarkan jumlah trombosit dan manifestasi klinis
Trombosit ( x109/L) Gejala dan
pemeriksaan fisis
Rekomendasi
>50-150 Tidak ada Tidak ada
>20 Tidak ada Pengobatan individual
(terapi/preventif)
>20 dan/atau Perdarahan mukosa Dirawat di RS dan
<10 Perdarahan minor IVIG atau kortikosteroid
Tata laksana
Indikasi rawat inap
Pada penderita yang sudah tegak diagnosisnya, perlu dilakukan rawat inap bila:
Jumlah hitung trombosit <20.000/μL--
Perdarahan berat--
Kecurigaan/pasti perdarahan intrakranial--
Umur <3 tahun--
Bila tidak dirawat inap, penderita diwajibkan untuk tidak/menghindari obat anti agregasi
(seperti salisilat dan lain sebagainya) dan olah raga yang traumatis (kepala).
ITP bersifat akut dan 90 % sembuh spontan, hanya 5-10% menjadi kronis karena itu
keputusan apakah perlu diberi pengobatan masih diperdebatkan.
Medikamentosa
1. Pengobatan dengan kortikosteroid diberikan bila:
Perdarahan mukosa dengan jumlah trombosit <20.000/ μL--
Perdarahan ringan dengan jumlah trombosit <10.000/ μL--
Steroid yang biasa digunakan ialah prednison, dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dievaluasi --setelah
pengobatan 1-2 minggu. Bila responsif, dosis diturunkan pelahan-lahan sampai kadar
trombosit stabil atau dipertahankan sekitar 30.000 - 50.000/μL. Prednison dapat juga
diberikan dengan dosis tinggi yaitu 4 mg/kgBB/hari selama 4 hari. Bila tidak respons,
pengobatan yang diberikan hanya suportif.
--minggu dan paling lama 6 bulan. Pada ITP dengan kadar trombosit >30.000/μL dan
tidak memiliki keluhan umumnya tidak akan diberikan terapi, hanya diobservasi saja.
2. Pemberian suspensi trombosit dilakukan bila :
Jumlah trombosit <20.000/ μL dengan perdarahan mukosa berulang (epistaksis)--
Perdarahan retina--
Perdarahan berat (epistaksis yang memerlukan tampon, hematuria, perdarahan --organ
dalam)
Jumlah trombosit < 50.000/ul**--
Kecurigaan/pasti perdarahan intra kranial--
Menjalani operasi, dengan jumlah trombosit <150.000/ μL.--
** Bila trombosit > 50.000/ul disamping pemberian trombosit pikirkan penyebab lain
(koagulasi).
Beberapa kemungkinan pengobatan ITP pada anak dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Beberapa kemungkinan pengobatan ITP pada anak
Imunoglobulin intravena Dosis inisial 0,8 g/kg BB, 1 kali
pemberian diulang dengandosis
yang sama jika jumlah trombosit
<30.000/μL pada hari ke-3 (72 jam
setelah infus pertama).
Pada perdarahan:
Emergensi: 0,8 g/kg BB, 1-2 kali
pemberian, bersama-sama dengan
kortikosteroid dan transfusi
trombosit.
Pada ITP kronik
0,4 g/kg BB/x, setiap 2 – 8 minggu.
Antibodi anti-R(D) 10-25 lg/kg BB/hari selama 2-5 hari,
intravena dalam 50mL NaCl 0,9%
dan habis dalam 30 menit.
α –interferon 3 x 106 unit subkutan, 3 kali per
minggu selama 4 minggu
Siklosporin 3 – 8 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 –
3 dosis
Azatioprin 50-300 mg/m2 per os/hari, selama ≥
4 bulan
Faktor risiko
Jika ITP terjadi pada usia <1tahun atau >10 tahun, kelainan ini cenderung menjadi kronik
dan dihubungkan dengan kelainan imun yang umum.