demam berdarah dengue rinto word
DESCRIPTION
tinjauan pustaka,demam berdarah, demam berdarah dengue, nyamuk demam berdarah, panas badan, panas badan 3 hari, perdarahanTRANSCRIPT
Demam Berdarah Dengue
I. Pendahuluan
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue merupakan suatu penyakit akut
yang disebabkan oleh virus Dengue. Wabah Demam Dengue pertama kali ditemukan di
Batavia pada tahun 1779 dan dinamakan knokkelkorts. Adapun Demam Berdarah Dengue
pertama kali ditemukan di Filipina pada tahun 1953. sedangkan di Indonesia kasus
Demam Berdarah Dengue pertama ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta.
II. Definisi
Demam Dengue (DF) adalah penyakit Febris-virus akut, seringkali disertai
dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam serta leukopeni sebagai
gejalanya. Demam berdarah Dengue (DHF) ditandai oleh empat manifestasi klinis utama,
yaitu demam tinggi; fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegali, dan pada kasus
berat terdapat tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Pasien ini dapat mengalami syok
hipovolemik yang diakibatkan oleh kebocoran plasma. Syok ini disebut Sindrom Syok
Dengue (DSS) dan dapat menjadi fatal.
III. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.
Insiden DBD di Indonesia antara 6 – 15 per 100.000 penduduk (1989 – 1995); dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun
1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun
1999. Sejak Bulan Januari sampai dengan 5 Maret 2004 total kasus DBD di seluruh
propinsi di Indonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak 389
orang (CFR=1,53% ). Kasus DHF tertinggi terdapat di Propinsi DKI Jakarta (11.534
orang) dan CFR tertinggi terdapat di Propinsi NTT (3,96%).
Angka mortalitas dari Demam Berdarah Dengue di Indonesia dibandingkan
dengan WHO dapat dilihat pada tabel berikut:
Tahun Angka Kematian1968 41,3%1984 3,0 %1998 1,9 %2003 + 2,0 %WHO < 1 %
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Insidensi DHF di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989
– 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000
penduduk pada tahun 1998.
Adapun jumlah penderita dewasa DF, DHF dan DSS yang dirawat di RS Dr.
Hasan Sadikin Bandung selama tahun 2003 sampai dengan 2006 dapat dilihat pada
tabel berikut:
Penyakit 2003 2004 2005 2006DF 105 43 1 0DHF 844 736 1298 1239DSS 0 9 19 17Jumlah 949 788 1318 1256
Berdasarkan tabel di atas kasus infeksi virus Dengue selama dua tahun
terakhir mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun 2004 dan 2003.
begitu juga dengan insidensi kasus DSS mengalami peningkatan sebesar kurang
lebih dua kali lipat pada kurun dua tahun terakhir. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sangat diperlukan keterampilan bagi seorang klinisi untuk dapat melakukan diagnosis
dini dan penatalaksanaan yang tepat bagi penderita dengan DSS.
IV. Faktor Resiko
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu :
1. Vektor :
Perkembang biakan vektor
Untuk berkembang biak, nyamuk dewasa bertelur di air, hari pertama
langsung menjadi jentik sampai hari ke-4, lalu menjadi pupa (kepompong),
kemudian akan meninggalkan rumah pupa-nya menjadi nyamuk dewasa.
Hanya bertelur di tempat genangan air jernih dan tidak bersarang di air got
dan semacamnya.
Nyamuk aedes dapat berkembang di dalam air bersih yang menggenang
lebih dari lima hari. Dapat berkembang biak di air dengan volume minimal
kira-kira 0.5 sentimeter atau sama dengan satu sendok teh saja. Siklus
perkembangbiakan nyamuk berkisar antara 10-12 hari. Kemampuan
terbangnya antara 40 hingga 100 m.
Kebiasaan menggigit
Biasanya pada spesies A. aegypti aktivitas menggigitnya pada siang hari,
dengan peningkatan aktivitas menggigit sekitar 2 jam sesudah matahari terbit
dan beberapa jam sebelum matahari tenggelam.
Kepadatan vektor di lingkungan
Umur nyamuk betina berkisar antara 2 minggu sampai 3 bulan atau rata-rata
11/2 bulan dan tergantung suhu kelembaban udara sekelilingnya. Kepadatan
nyamuk akan meningkat saat musim hujan.
Transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain
Nyamuk Aedes Aegypty mulanya berasal dari Mesir yang kemudian
menyebar ke seluruh dunia, melalui kapal laut atau udara. Nyamuk hidup
dengan baik di belahan dunia yang beriklim tropis dan subtropis seperti Asia,
Afrika, Australia, dan Amerika.
2. Pejamu :
Semua orang rentan terhadap penyakit ini, anak – anak biasanya menunjukkan gejala
lebih ringan dibandingkan orang dewasa. Sembuh dari infeksi dengan satu jenis
serotipe akan memberikan
imunitas homolog seumur hidup tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap
infeksi serotipe lain.
3. Lingkungan :
Aedes aegypti umumnya berkembang biak di rumah penduduk, aedes albopictus
lebih suka di cekungan dahan pohon yang menampung air. Makanya nyamuk jenis
ini lebih sering ditemukan di kebun-kebun.
Setelah ditelusuri, ternyata penyebabnya banyak nyamuk albopictus terdapat di
kebun-kebun warga. Persamaannya, kedua jenis nyamuk ini sama-sama menyukai
air bersih dan nyaris terdapat di seluruh Indonesia. Kecuali di daerah yang
mempunyai ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan air laut.
V. Etiologi dan Patogenesis
Etilogi Demam Dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam
genus Flavivirus keluarga Flaviviridae. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue dan DHF. Keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak.
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat adalah mekanisme imunopatologis berperan
dalam terjadinya demam berdarah dengue. Respon imun :
a). Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berpaparan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimediasi komplomen dan sitotoksisitas yang di mediasi antibodi. Antibodi
terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikai virus pada monosit dan makrofag.
Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement(ADE).
b). Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler
terhadap virus dengue.
c). Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun
proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sitokin oleh makrofag.
d). Selain itu aktivasi komplement oleh kompleks imun menyebabkan terbntuknya C3a dan C5a.
Pada tahun 1973 Halstead mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang
berbeda. Reinfeksi menyebabkan reaksi anmnestik antibodi sehingga.mengakibatkan konsentrasi
kompleks imun yang tinggi.
Tahsun 1994 Kurane dan Ennis merangkum pendapat Halstead dan penelitian lain : menyatakan
bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktifasi makrofag yang mengfagositosis kompleks
virus-antibody non neutralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi
makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi sel T helper dan T sitotoksik sehingga di
produksi limfokin dan interferon gamma.interferon gamma akan mengaktifasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α,IL-1, PAF (platelet aktivating factor), IL-6
dan histamin mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadinya kebocoran plasma.
Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus antibody yang juga
mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma. Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi
melalui mekanisme : 1) supresi sumsum tulang, 2) destruksi dan pemendekan masa hidup
trombosit.
VI. Manifestasi KLinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik, atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue
(SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai
resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat.
Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD
ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi :
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
Uji bendung positif.
Petekie, ekimosis atau purpura.
Perdarahan mukosa (tersering epitaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain.
Hematemesis atau melena.
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ul).
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut :
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Demam Dengue (DD) merupakan penyakit demam akut selama 7 hari, di tandai dengan 2 atau
lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
- Nyeri kepala
- Nyeri retro-orbita
- Mialgia/artralgia
- Ruam kulit
- Manifestasi perdarahan (petechie atau uji bendung positif)
- Leukopenia.
Dan peneriksaan serologi dengue positif, atau di emukan pasien DD/DBD yang sudah
dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada
DBD di temukan adanya kebocoran plasma.
Sindrom Syok Dengue (SSD). Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai dengan
kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi cepat lemah, tekanan darah turun (<20
mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin, dan lembab serta
gelisah.
VII. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi
antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase
Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologi yang
mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun
IgG. Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relatif (>45% dari total leukosit).
Trombosit : umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit : kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
Protein/ albumin : dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM : terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari.
IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
Pemeriksaan Radiologi
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan. Tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur
pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
pemeriksaan USG.
VIII. Diagnosis Banding
Diagnosis di pertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam
tifoid,campak,influenza,chikungunyah dan leptospirosis.
IX. Klasifikasi Derajat Penyakit Virus Dengue
DF/DHF Derajat Gejala LaboratoriumDF Merupakan penyakit demam akut selama
2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:- Nyeri kepala- Nyeri retro-orbital
- leukopeni- trombositopenia - tidak ditemukan bukti
kebocoran plasma
Serologi dengue positif
- Myalgia/artralgia
DHF I Gejala di atas + uji Bendung positif - trombositopenia - ditemukan bukti
kebocoran plasma
DHF II Gejala di atas + perdarahan spontan - trombositopenia - ditemukan bukti
kebocoran plasma
DHF III Gejala di atas + kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab, serta gelisah)
- trombositopenia - ditemukan bukti
kebocoran plasma
DHF IV Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur
- trombositopenia - ditemukan bukti
kebocoran plasma
* DHF derajat III dan IV disebut juga sebagai sindroma syok dengue (DSS).
X. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi
suportif. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting
dalam penanganan kasus DHF. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan
oral. Jika cairan asupan oral tidak dapat dipertahankan, maka dibutuhkan asupan cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Protokol penatalaksanaan pasien DHF pada pasien dewasa adalah sebagai berikut:
Protokol I. Penanganan tersangka (probable) DHF dewasa tanpa syok
Seseorang yang tersangka menderita DHF dilakukan pemeriksaan hemoglobin,
hematokrit dan trombosit, bila:
- Hb, Ht, dan trombosit normal, atau trombosit antara 100.000-150.000/m3 pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam
waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit tiap 24
jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke instalasi gawat
darurat.
- Hb, Ht, dan trombosit <100.000/ m3 dianjurkan untuk dirawat.
- Hb, Ht meningkat, dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
dirawat.
Protokol II. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat
Pasien yang tersangka DHF tanpa perdarahan spontan dan masif serta tanpa syok,
maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus
berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari = 1500 + {20x (BB dalam Kg – 20)}
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :
- Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit kurang dari 100.000, jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombosit
dilakukan tiap 12 jam.
- Bila Hb, Ht meningkat lebih dari 20% dan trombosit kurang dari 100.000 maka
pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DHF dengan
peningkatan Ht lebih dari 20%.
Secara sistemasis dapat dilihat pada algoritma berikut:
Protokol III. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan Ht lebih dari 20%.
Pada keadaan ini terapi awal cairan adalah memberikan cairan kristaloid sebanyak
6-7 ml/kgbb/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila
terjadi perbaikan, cairan dikurangi menjadi 5ml/kgbb/jam. 2 jam kemudian dilakukan
pemantauan, dan bila keadaan tetap menunjukan perbaikan cairan infus dikurangi
menjadi 3ml/kgbb/jam. Apabila setelah pemberian cairan awal 6-7ml/kgbb/jam keadaan
tidak membaik, maka jumlah cairan menjadi 10ml/kgbb/jam. 2jam kemudian dilakukan
pemantauan, dan bila keadaan menunjukan perbaikan, maka jumlah cairan dikurangi
menjadi 5ml/kgbb/jam, tetapi bila tidak menunjukkan perbaikan , maka jumlah cairan
dinaikan menjadi 15 ml/kgbb/jam, dan bila dalam perkembangannya kondisi memburuk
dan didapatkan tanda-tanda syok, maka pasien ditangani sesuai dengan protokol
tatalaksana DSS pada dewasa.
Protokol IV. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF dewasa.
Pada keadaan ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
padakeadaan DHF tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan, dan
jumlah urine dilakukan sesering mungkin. Pemeriksaan Hb,Ht, dan trombosit sebaiknya
diulang tiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). FFP diberikan bila didapatkan defisiensi
faktor-faktor pembekuan, PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 gr/dl. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DHF dengan perdarahan spontan dan masif,
dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
Protokol V. Tatalaksana DSS pada dewasa.
Bila kita berhadapan dengan DSS, maka hal pertama yang harus diingat bahwa
renjatan harus segera diatasi, oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang
harus segera dilakukan. Angka kematian DSS 10 kali lipat dibandingkan penderita DHF
tanpa syok, dan syok dapat terjadi karena keterlambatan penderita DHF mendapatkan
pertolongan/pengobatan. Penatalaksanaan yang tidak tepat meliputi kurangnya kewaspadaan
terhadap tanda-tanda syok dini dan penatalaksanaan syok yang tidak adekuat.
Pada kasus DSS, cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan
yang harus dilakukan adalah :
1. darah perifer lengkap (DPL)
2. hemostasis
3. analisis gas darah
4. kadar elektrolit ( Na, K , dan Cl)
5. ureum dan kreatinin
XI. Pencegahan
Beri penyuluhan, informasikan kepada masyarakat untuk membersihkan tempat
perindukan nyamuk dan melindungi diri dari gigitan nyamuk dengan memasang kawat
kasa, perlindungan dengan pakaian dan menggunakan obat gosok anti nyamuk.
Lakukan survei di masyarakat untuk mengetahui tingkat kepadatan vektor nyamuk, untuk
mengetahui tempat perindukan dan habitat larva, biasanya untuk A.Aegypti adalah tempat
penampungan air buatan atau alam yang dekat dengan pemukiman manusia (misalnya
ban bekas, vas bunga, tandon penyimpanan air) dan membuat rencana pemberantasan
sarang nyamuk serta pelaksanaannya. Dikenal dengan gerakan 3 M yaitu : menguras,
menutup dan mengubur penampungan air.
Upaya pencegahan lain meskipun tidak terlalu efektif dibandingkan 3 M tetap harus
diupayakan. Salah satunya dengan dapat juga melakukan upaya mencegah gigitan
nyamuk dengan menggunakan obat gosok antinyamuk, tidur dengan kelambu,
menyemprot rumah dengan obat nyamuk yang tersedia luas di pasaran. Hal sederhana
lainnya yang dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat adalah menata gantungan baju
dengan baik agar tidak menjadi tempat hinggap dan istirahat nyamuk Aedes aegypti.
Pencegahan alternatif yang mulai dilakukan adalah penggunaan tanaman pengusir
nyamuk. Meskipun belum terbukti secara ilmiah hal ini sudah banyak dilakukan
masyarakat sejak lama. Beberapa tanaman tersebut di antaranya adalah zodia, geranium,
lavender, dan serai wangi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta : Penerbit Bhakti
Husada; 2000
2. Judarwanto, Widodo, Dr. Profil Nyamuk Aedes dan Pembasmiannya. Available from :
http:// www.medicastore.com
3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapis
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001
4. Wahono, Tri Joko. Kajian Masalah Kesehatan. Available from : http:// www.litbang-
depkes.org
5. W.Sudoyo, Aru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006
6. Lesser C F, Miller SI. Salmonellosis. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald
E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th
Edition. New York. McGraw-Hill.2005 : 897-900.
7. Brusch JL. Typhoid Fever. 2006. eMedicine