demam + dehidrasi
TRANSCRIPT
xix
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengaturan Suhu
Suhu jaringan dalam tubuh (core temperature, suhu inti) tetap konstan
dalam kisaran 1 oF ( 0,6 oC) meskipun suhu lingkungan berfluktuasi tajam.
Suhu tubuh normal rerata diperkirakan antara 98oF dan 98,6 oF jika diukur melalui
mulut dan sekitar 1oF lebih tinggi di rektum (Guyton dan Hall, 2009).
Biasanya, nilai normal untuk suhu oral manusia adalah 37 C (98,6 oF),
tetapi pada sebuah penelitian besar terhadap orang-orang muda normal, suhu oral
pagi hari rerata adalah 36,7 C dengan simpang baku 0,2 C. Suhu rektum dapat
mencerminkan suhu pusat tubuh (core temperature). Suhu oral pada keadaan
normal 0,5 C lebih rendah daripada suhu rektum, tetapi suhu ini dipengaruhi oleh
banyak faktor, termasuk makanan/minuman panas atau dingin, mengunyah
permen karet, merokok, dan bernafas melalui mulut (Ganong, 2008).
Dalam tubuh, panas dihasilkan oleh gerakan otot asimilasi makanan dan
oleh semua proses vital yang berperan dalam tingkat metabolisme basal. Panas
dikeluarkan tubuh melalui radiasi, konduksi (hantaran), dan penguapan air di
saluran napas dan kulit. Sejumlah panas juga dikeluarkan melalui urine dan feses.
Keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas menentukan suhu
tubuh (Ganong, 2008).
Menurut Guyton dan Hall (2009), pengeluran panas terjadi melalui:
a) Radiasi menyebabkan Pengeluran panas dalam bentuk berkas infra
merah
Universitas Sumatera Utara
xx
b) Pengeluaran panas secara konduksi terjadi melalui kontak langsung
dengan suatu benda
c) Pengeluaran panas secara konveksi terjadi karena gerakan udara
d) Penguapan adalah mekanisme penting pengeluaran panas ketika
suhu sangat tinggi
Area preoptik dari hipotalamus memiliki kemampuan yang berfungsi
sebagai termostatik pusat pengaturan suhu tubuh. Walupun sinyal yang
ditimbulkan oleh reseptor suhu di hipotalamus sangat kuat dalam mengatur suhu
tubuh, reseptor suhu di bagian lain dari tubuh mempunyai peranan tambahan
dalam pengaturan suhu. Hal ini terjadi pada reseptor suhu di kulit dan beberapa
jaringan khusus di tubuh bagian dalam. Suhu inti tubuh, sekitar 37,1oC atau
36,5oC sampai 37,5oC, disebut “set-point” (Guyton dan Hall, 2007).
2.2 Demam
Demam adalah suhu tubuh di atas normal (Ganong 2008). Demam yang
berarti suhu tubuh di atas batas normal biasa dapat disebabkan oleh kelainan
dalam otak sendiri atau oleh zat toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan
suhu, penyakit-penakir bakteri, tumor otak, atau dehidrasi (Guyton dan Hall
2009). Walaupun demam biasanya berhubungan dengan infeksi, bukan berarti ada
hubungan yang eksklusif. Demam dapat merupakan manisfestasi penyakit
neoplastik, gangguan-gangguan peradangan noninfeksi atau katabolisme
berlebihan pada keadaan-keadaan metabolik tertentu (Sodeman dan Sodeman,
1995).
Peningkatan suhu tubuh dapat disebabkan oleh kelainan di batang otak itu
sendiri atau akibat bahan toksik yang mempengaruhi pusat pengendalian suhu.
Universitas Sumatera Utara
xxi
Demam terjadi karena penyesuaian (resetting) set point untuk kontrol suhu,
penyesuaian ini dapat disebabkan oleh protein, produk penguraian protein, atau
toksin bakteri (lipopolisakarida), yang secara kolektif dinamai pirogen. Sebagian
pirogen bekerja secara langsung pada pusat pengaturan, tetapi sebagian besar
bekerja tidak lansung (Guyton dan Hall 2009).
Sebagian besar protein, hasil pemecahan protein dan beberapa zat tertentu
lainnya, terutama toksin liposakarida yang dilepaskan dari membran sel bakteri,
dapat menyebabkan peningkatan set-point pada thermostat hipotalamus (Guyton
dan Hall, 2007). Ketika partikel virus atau bakteri muncul di tubuh, partikel
tersebut difagositosis leukosit, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh
granular besar. Sel ini melepaskan interleukin-1 sebagai respon terhadap partikel
fagosit. Interlekuin-1 menginduksi pembentukan prostaglandin E2 yang bekerja
pada hipotalamus untuk mencetuskan reaksi demam. Ketika pembentukan
prostaglandin dihambat oleh obat-obatan, demam sepenuhnya menghilang atau
setidaknya berkurang. Ini diduga pada aspirin dan antipiretik lainnya untuk
menurunkan tingkat demam, dan hal ini menjelaskan mengapa senyawa ini tidak
menurunkan suhu tubuh pada orang normal dan sehat (yang tidak mengalami
peningkatan kadar interleukin-1) (Guyton dan Hall 2009). NSAID menekan
respon demam dengan cara menghambat sintesis PGE2 ( Goodman dan Gilman,
2007).
Ketika mekanisme interleukuin-1 menset ulang set point kendali suhu,
suhu tubuh dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi. Peningkatan set point
suhu tubuh memicu perasaan dingin dan terjadi pengaktifan saraf yang
menyebabkan menggigil dan piloereksi. Jika suhu tubuh telah mencapai set point
Universitas Sumatera Utara
xxii
yang baru tersebut, yang bersangkutan tidak lagi merasa kedinginan, dan suhu
tubuh meningkat diatas normal. Jika pirogen telah dibersihkan dari tubuh, set
point untuk kontrol suhu kembali ke normal. Pada tahap ini, suhu tubuh menjadi
terlalu hangat dan timbul perasaan gerah sehingga mekanisme saraf terpicu untuk
menyebabkan vasolidasi pembulu darah kulit dan berkeringat. (Guyton dan Hall,
2009)
2.3 Dehidrasi
Tubuh harus mendapat cukup air untuk menjalankan fungsinya dengan
tepat untuk menyaring racun-racun keluar melalui ginjal, dan untuk memelihara
jumlah mineral (elektrolit) secara normal. Dehidrasi terjadi ketika tubuh
kehilangan cairan lebih cepat daripada ketika akan digantikan. Seseorang harus
meminum cairan dengan cukup untuk menggantikan cairan yang keluar dari
tubuhnya (Elsevier, 2007).
Dehidrasi dihasilkan dari kehilangan air dan elektrolit penting dalam tubuh
termasuk kalium, natrium, klorida dan banyak mineral lainnya. Organ-organ
esensial yang sangat berperan seperti otak, ginjal, jantung dan sistem saraf tidak
dapat berfungsi tanpa air atau mineral yang cukup.
Menurut Elete 1990 Penyebab dehidrasi didasarkan pada 4 dasar, yaitu :
a) Berkeringat : demam, latihan (gerakan), pembuangan panas berlebihan
b) Muntah : ulser, keracunan makanan, flu
c) Diare : flu, keracunan makanan, gastroenteritis
d) Pemasukan kalori yang tidak cukup, dapat terjadi karena tidak
mengkonsumsi mineral dan air yang cukup
Ada beberapa hal untuk menghindari gejala dehidrasi :
Universitas Sumatera Utara
xxiii
a) Minum cairan yang cukup, mengkonsumsi 8 gelas air sehari
b) Membatasi atau menghindari minuman berkafein dan beralkohol karena
kandungan keduanya meningkatkan dehidrasi
c) Menghindari minuman berkarbonat yang dapat membengkak dan memberi
sensasi penuh pada tubuh karena membatasi pemasukan cairan
d) Menggunakan penangkal cahaya matahari, menjaga diri tetap dingin dan
mencari perlindungan/naungan dimanapun berada (Elete, 1990).
Dehidrasi dapat terjadi sebagai komplikasi dari beberapa penyakit dimana tubuh
mengeluarkan atau kehilangan air dalam jumlah yang berlebihan seperti :
a) Diare
b) Muntah
c) Demam tinggi yang menyebabkan tubuh kehilangan lebih banyak air
sehingga dehidrasi dapat terjadi lebih mudah
d) Penyakit yang menyebabkan pengeluaran urin secara berlebihan seperti
diabetes juga dapat menyebabkan dehidrasi
Adapun pencegahan dehidrasi adalah memberikan asupan cairan sebanyak yang
dikeluarkan tubuh. Meskipun pasien mengeluarkan kembali semua cairan yang
diberikan kepadanya, tetaplah memberikan asupan cairan. Hal ini dapat dilakukan
dengan pemberian sejumlah kecil cairan secara berkala. Direkomendasikan juga
untuk memberikan pedialit, dan minuman berion. Setelah itu berikan makanan
untuk asupan kalori yang lengkap (Elsevier, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.4 Parasetamol
Rumus bangun : NHCOCH3
OH
Gambar : Parasetamol
Sinonim : Acetaminophen, p-acetaminophenol, n-acetyl-p-amino-
phenol.
Rumus melekul : C8H9NO2
Berat molekul : 151,16
Titik leleh : 169-172oC (Connors, dkk., 1986)
Pemerian : Serbuk hablur, putih ; tidak berbau; rasa sedikit pahit (Ditjen POM,
1995).
Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1 N; mudah
larut dalam etanol (Ditjen POM, 1995). 1 g dapat larut dalam kira-
kira 70 ml air suhu 25oC, 1 g larut dalam 20 ml air mendidih, dalam
7 ml alkohol, dalam 13 ml aseton, dalam 50 ml kloroform, dalam 40
ml gliserin dan dalam 9 ml propilen glikol. Tidak larut dalam
benzene dan eter (Connors, dkk., 1986).
Parasetamol merupakan senyawa yang sangat stabil dalam larutan air dan
pKa = 9,51 (Connors, dkk., 1986 ), dan absorpsi obat dalam saluran cerna cepat
xxiv
Universitas Sumatera Utara
xxv
dan hampir sempurna (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Asetaminofen adalah
salah satu obat yang terpenting untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang, bila
efek anti-inflamasi tidak diperlukan. Asetaminofen merupakan metabolik
fenasetin yang bertanggung jawab atas efek analgesiknya. Obat ini adalah
penghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki
efek anti-inflamasi yang bermakna (Katzung, 1998). Parasetamol merupakan obat
lain pengganti aspirin yang efektif sebagai obat analgesik-antipiretik; namun,
tidak seperti aspirin, aktivitas antiradangnya lemah sehingga bukan merupakan
oabt yang berguna untuk menangani kondisi radang. Ketidak mampuan
parasetamol memberikan efek antiradang mungkin berkaitan dengan fakta bahwa
parasetamol hanya merupakan inhibitor siklooksigenase yang lemah dengan
adanya peroksida konsentrasi tinggi yang ditemukan pada lesi radang. Sebaliknya,
efek antipiretiknya dapat dijelaskan dengan kemampuannya menghambat
siklooksigenase di otak, yang tonus peroksidanya rendah. Selain itu, parasetamol
tidak menghambat aktivitas neutrofil, sedangkan NSAID lain menghambat
aktivitas tersebut. Parasetamol merupakan antiradang yang sangat lemah dan
inhibitor siklooksigenase yang lemah. Selain itu parasetamol tampak menghambat
enzim tersebut hanya di lingkungan yang kadar peroksidanya rendah, yang
sebagian dapat menjelaskan lemahnya aktivitas antiradang parasetamol karena
pada tempat peradangan biasanya terjadi peningkatan konsentrasi peroksida yang
dibentuk oleh leukosit (Goodman dan Gilman, 2007). Asetaminofen diberikan
peroral. Absorpsi tergantung pada kecepatan pengosongan lambung, dan kadar
puncak dalam darah biasanya tercapai dalam waktu 30-60 menit. Asetaminofen
sedikit terikat dengan protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim
Universitas Sumatera Utara
xxvi
mikrosom hati dan diubah menjadi asetaminofen sulfat dan glukuronida, secara
farmakologi tidak aktif. Kurang dari 5 % diekskrasikan dalam bentuk tidak
berubah. Suatu metabolik minor tetapi sangat aktif (N-asetil-p-benzo-kuinon),
penting pada dosis besar, karena toksisitasnya terhadap hati dan ginjal. Waktu
paruh asetaminofen 2-3 jam dan relatif tidak dipengaruhi oleh fungsi ginjal. Pada
jumlah toksis atau adanya penyakit hati, waktu paruhnya bisa meningkat 2 kali
lipat atau lebih (Katzung, 1998).
2.5 Metabolisme Parasetamol
Obat, zat kimia, dan toksin semuanya merupakan benda asing untuk tubuh
kita. Tubuh kita berusaha menyingkirkan sendiri zat-zat kimia asing tersebut
tanpa memperhatikan apakah bersifat terapeutik atau berbahaya. Kebanyakan
obat-obatan harus melalui biotransformasi atau dimetabolisme, sebelum dapat di
ekskresikan (Olson, 2003). Meskipun setiap jaringan mempunyai kemampuan
untuk memetabolisme obat-obat, hati adalah organ utama dari metabolisme obat.
Jaringan-jaringan lain menunjukkan aktivitas yang besar juga termasuk saluran
cerna, paru, kulit dan ginjal. Setelah pemberian obat secara oral, banyak obat
diserap secara utuh dari usus kecil dan dibawa lebih dahulu melalui sistem porta
ke hati, dimana obat-obat mengalami metabolisme. Proses ini dikenal dengan efek
lintas-pertama. Obat-obat yang diberikan secara oral banyak dimetabolisme di
dalam usus. Jadi, metabolisme intestinal mungkin menambah efek lintas-pertama.
Efek-efek lintas-pertama kemungkinan sangat membatasi bioavailabilitas obat-
obat yang diberikan secara oral (Katzung, 2002). Menurut Neal (2005), ada dua
tipe umum reaksi metabolisme obat:
Universitas Sumatera Utara
xxvii
1. Reaksi fase 1
Reaksi ini meliputi biotransformasi suatu obat menjadi yang lebih polar
melalui pemasukan atau pembukaan suatu gugus fungsional. Metabolisme
fase 1 meliputi reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis dan hidrasi, juga
isomerisasi dan reaksi-reaksi lain yang lebih jarang (Gibson dan Skett,
1991). Oksidasi merupakan reaksi yang paling umum dan reaksi ini
dikatalisis suatu kelas enzim yang penting yang disebut oksidase dengan
fungsi campuran (sitokrom P-450).
2. Reaksi fase 2
Yang sangat menarik dalam antar hubungan dari berbagai rute metabolik
adalah reaksi kompetisi dari substrat untuk enzim-enzim fase 2. Banyak
bukti mengungkapkan bahwa reaksi-reaksi fase 1 menciptakan gugus
fungsional reaksi pada molekul sehingga dapat diserang oleh enzim-enzim
fase 2. Jadi reaksi fase 2 merupakan jalur detoksifikasi yang sebenarnya
dan memberikan produk-produk yang berarti terhadap curah dari produk
tidak aktif yang dieskresikan dari suatu obat (Gibson dan Skett, 1991).
Banyak produk-produk fase 1 tidak segera dieliminasi dan mengalami
reaksi berikutnya dimana suatu substrat endogen seperti glucuronic acid,
sulfuric acid, acetic acid, atau amino acid bergabung dengan gugus
fungsional yang baru terjadi membentuk konjugat yang sangat polar.
Reaksi-reaksi konjugasi atau reaksi-reaksi sintesis yang demikian adalah
tanda-tanda metabolisme fase 2 (Katzung, 2002).
Enzim sitokrom P-450 adalah kelompok besar protein hemetiolat yang
terdistribusi luas di semua mahluk hidup. Di tingkat mikrosomal, elektron dipasok
Universitas Sumatera Utara
xxviii
dari NADPH melalui sitokrom P-450 reduktase ada membran lipid retikulum
endoplasma halus. Sitokrom P-450 mempunyai tiga famili yang terdiri dari CYP1,
CYP2 dan CYP3 dan yang paling berperan adalah CYP1A2, CYP2A6, CYP2B6,
CYP2C9, CYP2C19, CYP2D6, CYP2E1, dan CYP3A4 dalam metabolisme obat
(Uetrecht and Trager, 2007). Parasetamol dimetabolisme oleh enzim CYP2E1
(Nadendla, 2005). Sitokrom P-450 mengkatalisis banyak reaksi, termasuk
hidroksilasi cincin aromatik dan rantai samping; N-, O-, dan S-dealkilasi; N-
Oksidasi; N-hidroksilasi; sulfoksidasi; deaminasi; dehalogenasi; dan sulfurasi.
Sedangkan parasetamol tersebut merupakan reaksi N-Oksidasi (Goodman dan
Gilman, 2007). Suatu ciri menarik dari beberapa substrat-substrat obat tertentu
untuk menginduksi sitokrom P-450 dengan menaikkan laju sintesisnya atau
mengurangi laju degradasinya. Induksi ini berakibat pada suatu akselerasi
metabolisme dan biasanya penurunan dalam kerja farmakologi obat-obat yang
diberikan bersamaan (Katzung, 2002).
Universitas Sumatera Utara