demam tifoid kk fix.doc
TRANSCRIPT
REFERAT KEDOKTERAN KELUARGA
DEMAM TIFOID
Disusun Oleh :
Mira Arlita Rahmawati
Aprima Visgint
Dosen pembimbing :
Dr. Paul Matulessy, MN, SpGK
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA
PERIODE 29 April – 25 Mei 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik terdapat di seluruh dunia dan
penyebarannya tidak bergantung pada keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-
negara sedang berkembang dan di daerah tropis, hal ini disebabkan karena penyediaan air
bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu kurang baik.
Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Tidak ada kesesuaian
paham mengenai hubungan antara musim dengan peningkatan jumlah kasus demam tifoid.
Ada penelitian yang mendapatkan peningkatan jumlah kasus pada musim hujan. Ada yang
mendapatkan peningkatan pada musim kemarau dan ada pula yang mendapatkan peningkatan
pada peralihan antara musim kemarau dan musim hujan. Penyakit tifoid dapat menyerang
manusia terutama di daerah endemik, dan transmisi terjadi melalui air yang tercemar,
makanan yang tercemar oleh karier yang merupakan sumber penularan yang paling sering
dan di daerah non endemik tidak ada perbedaan yang nyata antara insidensi demam tifoid
pada pria dan wanita.
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi typhi
dan paratyphi. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab demam yang paling sering,
tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan daerah yang mempunyai sanitasi
buruk. Satu-satunya reservoir kuman Salmonella typhi adalah manusia. Infeksi terjadi setelah
minum dan makan makanan yang mengandung kuman S. typhi. Penyakit ini ditransmisikan
dari makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan feses dan urin pasien atau karier.
Kuman ini merupakan sumber infeksi yang utama, yang mempunyai kemampuan terbesar
untuk bertahan dalam fagosit.
Di daerah endemik, demam tifoid merupakan insidensi tertinggi yang didapatkan
pada anak-anak biasanya berumur diatas satu tahun. Sedangkan orang dewasa sering
mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidensi pada umur 12-
30 tahun yaitu : 70-80%. Prognosisnya tergantung keadaan umum : derajat kekebalan tubuh,
jumlah dan virulensi salmonella serta cepat dan tepatnya pengobatan. Terdapat angka
kematian pada anak sebesar 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% (Ilmu penyakit dalam jilid I).
Akibat bagi pasien bila terlambat mendapatkan pengobatan angka kematian pada anak
meningkat menjadi 2,9%. Akibat bagi pasien bila terlambat mendapat pengobatan adalah :
pendarahan pada usus, perforasi usus dan syok serta kematian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi
Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam tifoid sangat berbeda di negara
maju dan negara berkembang. Insiden sangat menurun di negara maju. Insiden demam tifoid
di Indonesia berkisar antara 760 - 810 pasien / 100.000 penduduk pertahun. Di daerah-daerah
endemik, insidens demam tifoid tertinggi pada anak dan dewasa muda usia 5-20 tahun.
Penelanan makanan atau air yang terkontaminasi dengan tinja manusia merupakan cara
penularan yang paling sering. Gejala pada anak dapat ringan sampai berat, namun anak
dibawah usia 5 tahun jarang mendapatkan demam tifoid yang berat.
Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella typhi melalui
kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier
kronis. Transmisi secara kongenital dapat terjadi secara transplasental dari seorang ibu yang
mengalami bakteriemia kepada bayi dalam kandungan, atau tertular pada saat dilahirkan oleh
seorang ibu yang merupakan karier tifoid dengan fecal oral. Seseorang yang telah terinfeksi
dapat menjadi karier kronis dan mengeksresikan mikroorganisme selama beberapa tahun.
Definisi
Demam tifoid (Tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang
disebabkan bakteri gram negatif Salmonella typhi yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan, biasanya dimulai dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu (biasanya
makin hari makin meninggi), demam remiten, gangguan pada saluran pencernaan dan dapat
pula hingga gangguan pada kesadaran.
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhosa atau Eberthella
typhosa yang merupakan kuman gram negatif, motil, dan tidak menghasilkan spora.
Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih
rendah sedikit, serta mati pada suhu 70 C maupun oleh antiseptik. Sampai saat ini diketahui
bahwa kuman ini hanya menyerang manusia. Salmonella typhosa mempunyai 3 macam
antigen, yaitu :
1. Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (Tidak menyebar).
2. Antigen H = Hauch (Menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.
3. Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi
antigen O, antigen terhadap fagositosis.
Patogenesis dan Patologi.
Kuman Salmonella typhosa masuk bersama makanan/minuman. Setelah berada dalam
usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (Terutama Plak peyeri) dan
jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat
kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (Bakteremia primer) menuju organ
Retikuloendotelial (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel
fagosit RES dan kuman yang tidak di fagosit, berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5
– 9 hari kuman kembali masuk kedarah menyebar keseluruh tubuh (Bakteremia sekunder),
dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang
selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan
menyebabkan reinfeksi di usus. Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin
yang susunan kimianya sama dengan somatik antigen (Lipopolisakarida), yang semula
diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam tifoid.
Demam tifoid disebabkan karena Salmonella typhosa dan endotoksinnya yang
merangsang sintesa dan pelepasan zat-zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar didarah mempengaruhi pusat termoregulator
di hipotalamus yang menyebabkan timbulnya demam.
Kelainan utama terjadi di ileum terminalis dan plak peyeri yang hiperplasia (minggu
pertama), nekrosis (Minggu kedua), dan ulserasi (Minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa
adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan
sumbu panjang usus dimana ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi
dibandingkan dengan penderita dewasa. Akibatnya lebih sulit untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid pada anak terutama makin muda umur penderita. Masa inkubasi rata-rata 7-20
hari, tetapi dapat berkisar antara 3-60 hari, tergantung pada besarnya jumlah kuman yang
tertelan, keadaan umum, status imunologis penderita. Selama masa inkubasi mungkin
ditemukan gejala-gejala nyeri kepala, pusing, anoreksia, mual, muntah, diare, dan perasaan
tidak enak badan.
Secara garis besar gejala klinis yang biasa ditemukan dapat dikelompokkan menjadi :
1. Demam.
Berlangsung 1 minggu atau lebih, selama minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore atau malam
hari (demam remiten). Dalam minggu kedua penderita terus dalam keadaan demam.
Dalam minggu ketiga suhu berangsur-angsur turun, normal kembali pada akhir minggu
ketiga. Jika pengobatan tidak dimulai, maka suhu tubuh secara perlahan akan meningkat
dalam waktu 2-3 hari, yaitu mencapai 39,4 - 40 derajat celsius selama 10-14 hari. Panas
mulai turun secara bertahap pada akhir minggu ketiga dan kembali normal pada minggu
keempat.
2. Gangguan pada saluran pencernaan.
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah. Lidah
ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun yaitu apatis, sampai somnolen. Jarang terjadi
sampai sopor, koma atau gelisah.
Disamping gejala – gejala yang biasa ditemukan seperti konstipasi (sulit BAB), diare,
mual, muntah dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah ”kotor” (lidah tifoid,
putih kecoklatan di tengah), mungkin pula ditemukan gejala–gejala ini. Pada punggung dan
anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik–bintik kemerahan karena emboli basil
dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan dalam minggu pertama demam.
Relaps (Kambuh)
Yaitu keadaan berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis, akan tetapi berlangsung
lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi dalam minggu kedua setelah suhu badan normal
kembali. Relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ – organ yang tidak dapat
dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu
penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan – jaringan
fibroblast.
Laboratorium
Leukopenia biasanya ditemukan pada minggu kedua perjalanan penyakit, tapi pada
minggu pertama dapat terjadi leukositosis. Pada fase awal tifoid sering terdapat hitung
leukosit, berkisar 4000-5000/µL disertai limfositosis relatif. Leukopenia biasanya tidak
dibawah 2500/µL. Trombositopenia dapat mencolok dan menetap selama 1 minggu.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan basil Salmonella dalam cairan tubuh. Pada
minggu I dan ke II basil terdapat dalam darah dan sumsum tulang. Keberhasilan untuk
menemukan basil dalam biakan empedu akan bertambah bila metode pemeriksaan memenuhi
syarat dan darah diambil sebelum pemberian antibiotika. Pada minggu ke III dan ke IV
biasanya biakan darah akan negatif tetapi kuman akan ditemukan di dalam feses dan urin.
Pemeriksaan reaksi widal dilakukan untuk menentukan kadar antibodi terhadap Salmonella.
Pemeriksaan ini tidak dipakai untuk diagnosis pasti karena sering meningkat pada penderita
yang tidak sakit tetapi pernah terpapar terhadap basil Salmonella. Sebaliknya sering tidak
meningkat pada pasien yang mendapat antibiotika, penderita yang diperiksa pada minggu I
demam. Titer antibody O yang besarnya 1/320 atau meningkat 4 kali dalam tempo 1 minggu
mendukung diagnosis. Sedangkan antibody H tak spesifik. Pemeriksaan titer H tunggal
mempunyai sensitivitas yang serupa tetapi spesifisitasnya lebih rendah. Aglutinin H
seringkali meningkat secara tidak khas karena imunisasi atau infeksi sebelumnya dengan
bakteri lain.
Diagnosis
Menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak merupakan hal yang tidak mudah,
mengingat gejala dan tanda-tanda klinis yang tak khas, terutama pada penderita dibawah usia
5 tahun. Masalah lain dalam menegakan diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar gejala
dan tanda klinis yang ada. Mengingat hal ini maka ketajaman pengenalan tanda serta gejala
klinis sangat penting. Memastikan diagnosis dibutuhkan pemeriksaan bakterologis dan
serologis.
Pemeriksaan yang berguna untuk menyokong diagnosis :
a. Pemeriksaan darah tepi.
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada permulaan
sakit, mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.
b. Pemeriksaan sumsum tulang.
Pemeriksaan ini tidak termasuk pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran
sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan sistem
eritropoesis, granulopoesis dan trombopoesis berkurang.
Penelitian beberapa ilmuwan mendapatkan hitung jumlah dan jenis leukosit serta LED pada
pemeriksaan darah tepi tidak mempunyai nilai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi
untuk membedakan pengidap demam tifoid atau bukan, meski leukopenia dan limfositosis
sering ditemukan pada pasien demam tifoid.
Pemeriksaan laboratorium untuk membuat diagnosis :
a. Biakan empedu, untuk menemukan kuman Salmonella typhi , dimana kuman ditemukan
di darah penderita, biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering
ditemukan dalam urin dan feses.
b. Pemeriksaan Widal
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur
dengan suspensi antigen Salmonella typhi. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi
reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat
ditentukan yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk
membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang
bernilai 1/320 atau lebih menunjukkan kenaikan yang progresif, digunakan untuk
membuat diagnosis.
Titer dapat positif karena keadaan sebagai berikut :
1. Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil Coli
patogen dalam usus.
2. Pada neonatus zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.
3. Terdapat infeksi silang dengan Rickettsia ( Weil Felix).
4. Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral atau pada keadaan infeksi
subklinis.
Beberapa hal yang menyebabkan uji widal memberikan hasil negatif adalah :
Bukan infeksi oleh Salmonella typhi.
Keadaan sebagai karier.
Respon pembentukan antibodi yang tidak adekuat karena jumlah inokulum yang masuk
tidak mencukupi.
Kesulitan dan kesalahan teknis saat melakukan uji Widal (misalnya karena pengambilan
serum terlalu dini).
Pengobatan antibiotik sebelumnya.
Gangguan imunologi (misalnya pada Rheumatoid arthritis).
Sediaan antigen yang bervariasi
Pemeriksaan serologis sebaiknya tidak menjadi pegangan karena sering didapatkan hasil
positif palsu pada pasien di daerah endemis, dan hasil negatif palsu pada pasien demam tifoid
yang ternyata pada biakan darahnya menunjukkan hasil positif. Dengan demikian hasil uji
widal negatif tidak menyingkirkan kemungkinan seseorang menderita demam tifoid.
Diagnosis pasti demam tifoid dilakukan dengan isolasi Salmonella typhi. Isolasi kuman
penyebab demam tifoid dapat dilakukan dengan melakukan biakan dari berbagai tempat
dalam tubuh. Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid.
Cara Pemeriksaan Terbaru dengan tes TUBEX
Uji serolologis yang paling sering digunakan sejak dulu adalah tes Widal. Pada area
endemik, tes Widal saja tidak dapat memberi diagnosis akurat karena seringnya terpapar
S.typhi dan spesies Salmonella lain. Imunisasi tifoid sebelumnya dan agen infeksius lain
dapat mempengaruhi hasil tes. Berbagai metode diagnostik baru untuk pengganti uji Widal
pun banyak dikembangkan, yang terbaru adalah TUBEX.
Tes TUBEX merupakan uji aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang dari 2 menit) menggunakan partikel berwarna untuk meningkatkan sensitivitas.
Spesifisitas ditingkatkan menggunakan antigen spesifik. Tes ini sangat akurat dalam
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi antibody Ig M dan tidak mendeteksi
antibody Ig G dalam waktu beberapa menit. Hasil yang didapatkan TUBEX adalah infeksi
yang terjadi saat itu, tidak terpengaruh dengan paparan sebelumnya atau imunisasi. Tes
TUBEX mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari uji Widal, yakni 78% dan
89% (sedangkan Widal hanya 64% dan 76%). Penelitian lain menunjukkan TUBEX
memiliki sensitivitas dan spesifisitas hingga 100%. Waktu pemeriksaan TUBEX dapat lebih
awal dan tidak perlu diulang. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana.
Diagnosis Banding
Sesuai dengan perjalanan penyakit tifoid maka harus dibedakan antara lain :
• Demam Berdarah Dengue
• Influenza
Pada stadium selanjutnya harus dibedakan :
• Infeksi saluran kemih
• Malaria
• TBC milier
• Meningitis
• Leukemia
Pada stadium toksik harus dibedakan :
• Limfoma
• Penyakit Hodgkin
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi menjadi 2 bagian :
1. Komplikasi pada usus halus :
• Perdarahan
• Perforasi
• Peritonitis
2. Komplikasi diluar usus halus :
• Bronkitis.
• Bronkopneumonia.
• Ensefalitis.
• Kolesistitis.
• Meningitis.
• Miokarditis.
• Kronik karier
Karier Kronik
Tifoid karier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid,
tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di dalam ekskretnya. Terbanyak pasien
demam tifoid berhenti mengekskresi Salmonella dalam 3 bulan. Kira-kira 3% pasien demam
tifoid masih mengekskresi Salmonella lebih dari 1 tahun. Karier didapatkan terutama pada
usia menengah, lebih sering pada wanita dibandingkan pria dan jarang pada anak-anak.
Pengobatan karier merupakan masalah yang sulit, kadang-kadang dengan pemberian obat-
obatan antimikroba gagal karena Salmonella typhi bersarang dalam saluran empedu
intrahepatik sehingga diperlukan pengobatan kombinasi antara operasi dan obat-obatan.
Penatalaksanaan
Pengobatan tifoid terdiri dari 3 unsur yaitu perawatan, diet dan obat. Pengobatan
bertujuan supaya pasien sembuh yaitu bebas dari demam dan gejala-gejala yang lain. Setelah
pemberian obat, pemulihan diet saring menjadi diet biasa. Mobilisasi tirah baring dan pada
pemeriksaan tindak lanjut tidak terdapat relaps dan bebas kuman.
Perawatan
Penderita tifoid dirawat di RS untuk diisolasi, observasi serta pengobatan. Penderita
istirahat 5-7 hari bebas panas. Mobilisasi dilakukan sewajarnya sesuai dengan situasi dan
kondisi pasien. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi agar tidak
terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain. Mengenai lamanya
perawatan di RS sampai saat ini sangat bervariasi dan tidak ada keseragaman, sangat
tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi selama penyakit berjalan.
Diet
Diet yang mengandung cukup cairan, kalori, tinggi protein, rendah serat, tidak
merangsang, dan tidak menimbulkan banyak gas. Jenis makanan untuk penderita dengan
kesadaran menurun ialah makanan cair yang dapat diberikan melalui pipa lambung (NGT).
Bila anak sadar dan nafsu makan baik, maka dapat diberikan makan lunak.
Obat-obatan
Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan suatu obat yang paling dikenal dalam pengobatan demam
tifoid. Obat ini telah digunakan sejak tahun 1948 dan masih sebagai obat pilihan dibanyak
negara berkembang termasuk Indonesia. Untuk pengobatan demam typoid pada anak,
kloramfenikol masih merupakan piliha utama karena efekif, murah didapat dan dapat
diberikan secara oral. Dari beberapa penelitian dilaporkan sekitar 3-8 % strain Salmonella
telah resisten terhadap kloramfenikol, kejadian kekambuhan dan pengidap kuman ditemukan
pada 2-4 % kasus setelah pengoatan dengan kloramfeikol, serta adanya efek samping berupa
depresi sumsum tulang dan anemia aplastik. Keadaan tersebut mendorong untuk mencari
obat alternatif dalam pengobatan demam tifoid pada anak. Pemakaian yang luas, harga obat
yang murah dan pengalaman penggunaan yang banyak merupakan alasan obat ini masih
dipakai.
Dosis obat kloramfenikol 50mg/kgBB/24 jam peroral atau 75mg/kgBB/24jam iv
dibagi dalam 4 dosis. Skema pemberian obat lain yang kerap digunakan adalah Ampisilin
dengan dosis 200mg/kgBB/24jam iv dalam 4 sampai 6 kali dosis. Trimetoprim-
Sulfametoksazol (Kotrimoksazol) dengan dosis 10 mg Trimetoprim dan Sulfametoksazol 50
mg/kgBB/24 jam peroral dibagi dalam 2 dosis yang biasa digunakan adalah 4x500 mg
selama 14 hari. Namun belakangan ini mulai ditemukan resistensi terhadap obat tersebut.
seperti telah dilaporkan dari Asia tenggara, Mexico dan beberapa negara di Timur tengah.
Kekhawatiran terhadap efek supresi sumsum tulang, adanya resistensi obat, alergi terhadap
obat mendorong orang mencari obat lain sebagai alternatif. Antimikroba yang ideal untuk
demam tifoid mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
Murah
Dapat diberi peroral
Bisa untuk semua kelompok pasien, termasuk anak dan wanita hamil
Efektif, cepat menurunkan suhu tubuh
Dapat mencegah karier dari kandung empedu
Tidak menimbulkan perubahan flora usus
Meskipun di Indonesia belum ada laporan yang pasti tentang resistensi terhadap obat
terutama Kloramfenikol, namun kita perlu bersiap mencari alternatif obat yang dapat
digunakan dalam pengobatan demam tifoid pada keadaan-keadaan khusus seperti multidrug
resisten Salmonella typhi, adanya alergi obat, depresi sumsum tulang. Telah dilaporkan
bahwa sefalosporin generasi ketiga memberikan hasil yang baik sebagai obat alternatif.
Cefixime
Merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga yang dapat diberikan peroral.
Secara kimia cara kerja dan toksisitasnya hampir sama dengan penisilin tetapi lebih stabil
terhadap betalaktamase bakteri sehingga mempunyai spektrum aktifitas yang lebih luas.
Cefixim mempunyai waktu paruh yang panjang dibanding dengan sefalosporin oral lainnya,
mempunyai spektrum antimikroba dan daya pemusnah kuman yang lebih luas. Diabsorbsi
dari saluran cerna tetapi tidak dipengaruhi oleh makanan meskipun kecepatan absorbsinya
menurun bila ada makanan. Cefixim dapat menembus plasenta. Dosisnya pada kasus demam
tifoid 20 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis perhari selama 8 hari.
Keuntungan Cefixim pada demam tifoid adalah :
Mempunyai daya penetrasi ke dalam sel terinfeksi
Dapat diberi pada anak-anak
Dapat diberi secara oral
Cefixim stabil terhadap betalaktamase dan penisilinase
Pencegahan
Usaha pencegahan dapat dibagi atas :
Usaha terhadap lingkungan hidup
Usaha terhadap manusia
Usaha terhadap lingkungan hidup :
Penyediaan air minum yang memenuhi syarat
Pembuangan kotoran manusia yang higienis
Pemberantasan lalat
Pengawasan terhadap penjual makanan
Usaha terhadap manusia :
Imunisasi
Menemukan dan mengobati karier
Pendidikan kesehatan masyarakat
Imunisasi
Vaksin yang digunakan ialah :
Vaksin yang dibuat dari Salmonella typhi yang dimatikan
Vaksin yang dibuat dari strain Salmonella yang dilemahkan (Ty 21a)
Vaksin yang terbuat dari Salmonella yang dimatikan pada pemberian oral ternyata tidak
memberikan perlindungan yang baik, sedang vaksin yang terbuat dari Salmonella yang
dilemahkan dari strain Ty 21a pada pemberian oral memberikan perlindungan 87-95 %
selama 36 bulan.
Prognosis
Prognosis tergantung pada umur, keadaan umum, gizi, derajat kekebalan, cepat dan
tepatnya pengobatan serta komplikasi yang ada.
BAB III
KESIMPULAN
Angka kesakitan demam tifoid di Indonesia masih tergolong tinggi, oleh karena itu,
usaha pencegahan di Indonesia sebaiknya lebih digalakkan untuk menekan angka kesakitan.
Begitu pula angka kematian oleh karena demam tifoid di Indonesia, maka sebaiknya
penyuluhan tentang pentingnya berobat pada orang–orang dengan gejala tifus pada daerah
endemik diperlukan untuk mempercepat diagnosis.
DAFTAR PUSTAKA
Noer Sjaifoellah, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Ketiga: Demam
Tifoid. FK-UI. Jakarta ;1999, hal 435-442.
Rampengan TH, laurentz IR. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak: Demam Tifoid.
EGC. Jakarta; 1992, hal 53-71.
Rahim Abdul, dkk. Ilmu Penyakit Anak Diagnosa dan Penatalaksanaan : Demam
Tifoid. Salemba Medika, hal 1-67.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK-UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid
2. FK-UI. Jakarta; 1997,593-598.
http://www.digilib.litbang.depkes.go.id