demensia pada lansia
DESCRIPTION
kedokteran, demensia, lansiaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Depresi adalah gangguan mental umum yang ditandai dengan kesedihan,
kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah, kesulitan berkonsentrasi,
tidur terganggu, nafsu makan berubah dan energi rendah. Masalah ini dapat
menjadi kronis atau berulang dan menyebabkan gangguan besar dalam
kemampuan seseorang untuk menjalankan tanggung jawab sehari-hari. 1,2
Gangguan depresif dapat terjadi pada orang usia lanjut. Hal
ini berkaitan dengan proses penuaan maupun penyakit yang
dideritanya baik secara fisik maupun psikologik. Gejala-gejala
gangguan depresif maupun kriteria diagnostik yang dipakai hampir
bersamaan dengan yang dijumpai pada kelompok usia
lainnya. Selain itu beberapa faktor resiko untuk terjadinya
gangguan depresif pada orang usia lanjut harus dapat dideteksi
sedini mungkin. Terapi yang diberikan terutama adalah terapi
farmakologik dan psikoterapi
Demensia merupakan suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual
progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari.4
Gangguan fungsi tersebut bersifat progresif dan irreversible. Prevalensi demensia
bertambah seiring bertambahnya usia, 5% pasien di Amerika Serikat yang berusia
>65 tahun mengalami demensia berat. Pada populasi yang berusia >80 tahun, 20%
menderita demensia berat.4,5 Demensia diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu
demensia Alzheimer dan demensia vaskular. Demensia Alzheimer merupakan tipe
demensia yang paling sering dijumpai (50-60%), demensia vaskular (15-30%) dan
10-20% pasien yang menderita demensia Alzheimer dan vaskular yang terjadi
secara bersama-sama.4
Klinisi telah lama mencari hubungan antara depresi dengan gangguan
kognitif yang disebut pseudodemensia.6 40 % pasien lansia dengan depresi
mengalami gangguan kognitif dan 10-20% pasien lansia tanpa depresi mengalami
gangguan kognitif.6 Hasil penelitian Franginham, dari 949 pasien yang memiliki 1
gejala depresi yang dilakukan studi kohort selama 17 tahun, 16,6% mengalami
demensia.7
1.2 Batasan masalah
Referat ini membahas tentang Depresi dan resiko terjadinya demensia
pada lansia tertua(oldest old) yang didahului dengan penjelasan mengenai definisi,
klasifikasi dan epidemiologi, etiologi, gejala klinis, diagnosis dan penatalaksanaan
serta prognosis dari depresi dan resiko terjadinya demensia pada lansia tertua
(oldest old).
1.3 Tujuan penulisan
1. Memahami tentang depresi dan resiko terjadinya demensia pada lansia
tertua (oldest old)
2. Meningkatkan kemampuan penulis di bidang kedokteran khususnya di
bidang psikiatri.
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan kepaniteraan klinik senior di
bagian ilmu psikiatri.
1.4 Manfaat penulisan
1. Bagi masyarakat: memberi informasi mengenai depresi dan resiko
terjadinya demensia pada lansia tertua (oldest old)
2. Bagi ilmu psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Riau: membuka
wacana agar diadakan riset tentang depresi dan resiko terjadinya
demensia pada lansia terua (oldest old)
3. Bagi mahasiswa: menambah pengetahuan di bidang psikiatri khususnya
mengenai salah satu gangguan depresi dan resiko terjadinya demensia
pada lansia tertua (oldest old).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 Depresi 2.1.1. Definisi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,
kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).
Maslim berpendapat bahwa depresi adalah suatu kondisi yang dapat
disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik
neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP
(terutama pada sistem limbik) (Maslim, 2002).
Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang
ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya
penderitaan berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang meresap dari
seseorang, dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu (Kaplan,
2010).
2.1.2 Klasifikasi dan etiologi
Depresi dikategorikan menjadi 3 bagian yaitu, depresi ringan (F32.0),
depresi sedang (F32.1) dan depresi berat (F32.2), episode depresi lainnya
diklasifikasikan dibagian subdivisi gangguan depresi berulang (F33,-). 11 Etiologi
depresi dapat ditinjau dari beberapa faktor, antara lain yaitu faktor biologi,
psikologi dan sosial.4
1. Faktor biologi
Disregulasi endokrin dan neurotransmitter
Beberapa hasil penelitian menemukan adanya disregulasi neuroendokrin
pada pasien depresi. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis
neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung amin biogenik, dengan
demikian regulasi abnormal mungkin merupakan hasil dari fungsi abnormal
neuron yang mengandung amin biogenik. Neurotransmitter yang terkait dengan
patologi terjadinya depresi adalah norepinefrin, serotonin dan dopamin.
Penurunan aktivitas dari ketiga neurotransmitter tersebut dapat memicu terjadinya
depresi.4
3
Faktor genetik
Faktor genetik merupakan suatu faktor penting dalam perkembangan
gangguan mood, tetapi pola penurunan secara genetik melalui mekanisme yang
sangat kompleks.4 Hasil penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa
resiko keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat
diperkirakan 2 hingga 3 kali lebih besar dibandingkan populasi umum.4
2. Faktor psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi depresi meliputi kepribadian,
psikodinamika, kegagalan yang berulang, dan teori kognitif.4
3. Faktor Sosial
- Peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan
Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului
episode pertama gangguan mood. Klinisi mempercayai bahwa peristiwa
kehidupan memegang peranan utama dalam depresi. Stressor lingkungan yang
paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan
pasangan.4
2.1.3 Gejala Klinis
Gejala klinis depresi yaitu : 12
1. Gejala utama
- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata setelah sedikit bekerja) dan menurunnya
aktivitas.
2. Gejala lainnya
- Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
- Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
- Tidur yang terganggu
- Nafsu makan yang berkurang
Untuk ketiga tingkat keparahan (depresi ringan, sedang, berat) diperlukan
waktu sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, tetapi periode
yang lebih singkat dalam mendiagnosis dapat dibenarkan apabila terdapat gejala
yang berat dan berlangsung cepat.12
2.2 Lansia
Dalam Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia
menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas.
Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada tiga aspek yang perlu
dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN
1998). Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami
proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya
tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat
menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur
dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.
Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari
pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua
tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan
bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban
keluarga dan masyarakat.
Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial
sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah
kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya
ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputuan serta luasnya hubungan sosial
yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki
kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda.
5
2.3 Klasifikasi Lansia
WHO dalam depkes RI mempunyai batasan usia lanjut sebagai berikut:
middle / young elderly usia antara 45-59 tahun, elderly usia antara 60-74 tahun,
old usia antara 75-90 tahun dan dikatakan very old berusia di atas 90 tahun. Pada
saat ini, ilmuwan sosial yang mengkhususkan diri mempelajari penuaan merujuk
kepada kelompok lansia: “lansia muda” (young old), “lansia tua” (old old). Dan
“lansia tertua” (oldest old). Secara kronologis, young old secara umum
dikategorikan kepada usia antara 65 sampai 74 tahun, yang biasanya aktif, vital
dan bugar. Old-old berusia antara 75 sampai 84 tahun, dan oldest old berusia 85
tahun ke atas, berkecenderungan lebih besar lemah dan tidak bugan serta memilki
kesulitan dalam mengelola aktivitas keseharian (Papalia dkk, 2005).
Lansia Tertua (Oldest old)
Lansia tertua didefinisikan sebagai usia yang lebih dari 85 tahun, namun
literatur lain menyatakan bahwa lansia tertua merupakan seseorang dengan usia
lebih dari 100 tahun.15,16
2.4 Demensia
2.4.1 Definisi
Demensia adalah suatu kondisi penurunan fungsi mental-intelektual
(kognitif) yang progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (fungsi kortikal
yang multipel), termasuk daya ingat, daya pikir, daya orientasi, daya pemahaman,
berhitung, kemampuan belajar, berbahasa, dan daya kemampuan menilai yang
dapat disebabkan oleh penyakit organik difus pada hemisfer serebri (demensia
kortikal misal penyakit Alzheimer). 17,18
2.4.2 Epidemiologi
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Prevalensi demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia.
Pada kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat
mencapai 5%, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya
mencapai 20-40 %. Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50-60%
diantaranya menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia
tipe Alzheimer (Alzheimer’s diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer
6
meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun
prevalensinya adalah 0,6% pada pria dan 0,8% pada wanita. Pada usia 90 tahun,
prevalensinya mencapai 21%. Pasien dengan demensia tipe Alzheimer
membutuhkan lebih dari 50% perawatan rumah (nursing home bed).17,18
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia
vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler.
Hipertensi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita
demensia. Demensia vaskuler meliputi 15-30 % dari seluruh kasus demensia.
Demensia vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang berusia antara 60-
70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Sekitar 10-15 % pasien
menderita kedua jenis demensia tersebut. Penyebab demensia paling sering
lainnya, masing-masing mencerminkan 1-5% kasus adalah trauma kepala,
demensia yang berhubungan dengan alkohol, dan berbagai jenis demensia yang
berhubungan dengan gangguan pergerakan, misalnya penyakit Huntington dan
penyakit Parkinson. Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum dan
mempunyai banyak penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan
cermat pada seorang pasien dengan demensia untuk menegakkan penyebab pada
demensia.17,18
2.4.3 Etiologi
Sindrom demensia terjadi akibat disfungsi otak yang bermanifestasi
sebagai gejala-gejala defisit kognitif seperti kelemahan memori, hendaya
berbahasa, gangguan fungsi eksekutif, apraksia dan agnosia ( DSM IV ). Etiologi
demensia adalah semua penyakit yang menyebabkan disfungsi otak antara lain
demensia penyakit Alzheimer, Demensia Lewy body, Demensia Parkinson,
AIDS dan penyakit Pick's, Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan
penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab yang reversibel seperti
kelaianan metabolik (misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya
defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat), atau sindrom demensia akibat
depresi.5,17,18
Etiologi demensia :5
- Demensia Degeneratif
· Penyakit Alzheimer
7
· Demensia frontotemporal (misalnya; Penyakit Pick)
· Penyakit Parkinson
· Demensia Jisim Lewy
· Ferokalsinosis serebral idiopatik (penyakit Fahr)
· Kelumpuhan supranuklear yang progresif
- Lain-lain
· Penyakit Huntington
· Penyakit Wilson
· Leukodistrofi metakromatik
- Trauma
· Dementia pugilistica, posttraumatic dementia
· Subdural hematoma
- Infeksi
· Penyakit Prion (misalnya penyakit Creutzfeldt-Jakob, bovine spongiform
encephalitis, Sindrom Gerstmann-Straussler)
· Acquired immune deficiency syndrome (AIDS)
· Sifilis
2.4.4 Demensia Alzheimer
Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang
selanjutnya diberi nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia
menggambarkan seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan demensia
progresif selama 4,5 tahun. Diagnosis akhir Alzheimer didasarkan pada
pemeriksaan neuropatologi otak; meskipun demikian, demensia Alzheimer
biasanya didiagnosis dalam lingkungan klinis setelah penyebab demensia lain
telah disingkirkan dari pertimbangan diagnostik.17,18
Demensia tipe Alzheimer mencapai hampir 50% dan semua tipe demensia.
Biasanya diagnosis dibuat dengan menyisihkan penyebab demensia lainnya.
Demensia tipe Alzheimer adalah demensia kortikal yang klasik sering didiagnosis
secara berlebihan. Demensia tipe Alzheimer dapat dimulai pada usia lima puluhan
(awitan dini, familial, bentuk pra-senil, sekitar 2% dari seluruh kasus).17,18
8
2.4.5 Demensia vaskuler
Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang multipel yang
menimbulkan gejala berpola demensia. Ditemukan umumnya pada laki-laki,
khususnya dengan riwayat hipertensi dan faktor resiko kardiovaskuler lainnya.
Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan
sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkhim multiple yang
menyebar luas pada otak. Penyebab infark berupa oklusi pembuluh darah oleh
plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat lain( misalnya katup
jantung).17,18
2.4.6 Gejala klinis
- Kepribadian
Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia biasanya
akan mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit mungkin
dapat menonjol selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga
menjadi tertutup serta menjadi kurang perhatian dibandingkan sebelumnya.
Seseorang dengan demensia yang memiliki waham paranoid umumnya lebih
cenderung memusuhi anggota keluarganya dan pengasuhnya. Pasien yang
mengalami kelainan pada lobus fraontalis dan temporalis biasanya mengalami
perubahan kepribadian dan mungkin lebih iritabel dan eksplosif.17
- Halusinasi dan Waham
Diperkirakan sekitar 20-30 % dengan demensia (terutama pasien dengan
demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30-40 % memiliki waham,
terutama waham paranoid yang bersifat tidak sistematis, meskipun waham yang
sistematis juga dilaporkan pada pasien tersebut. Agresi fisik dan bentuk-bentuk
kekerasan lainnya lazim ditemukan pada pasien dengan demensia yang juga
memiliki gejala-gejala psikotik.17
- Mood
Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi
dan kecemasan merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40-50 % pasien
9
dengan demensia, meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10-
20 % pasien. Pasien dengan demensia juga dapat menujukkan perubahan emosi
yang ekstrem tanpa provokasi yang nyata (misalnya tertawa dan menangis yang
patologis).17
- Perubahan Kognitif
Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia
dan agnosia dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-
tanda neurologis lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu
ditemukan kira-kira pada 10 % pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20%
pada pasien dengan demensia vaskuler. Refleks primitif seperti refleks
menggenggam, refleks moncong (snout), refleks mengisap, reflex tonus kaki serta
refleks palmomental dapat ditemukan melalui pemeriksaan neurologis pada 5-10
% pasien. Untuk menilai fugsi kognitif pada pasien demensia dapat digunakan The
Mini Mental State Examination (MMSE).17,18
- Perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang
dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau
10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan
perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori diagnostik
masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan demensia tipe
Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1-20 tahun. Data penelitian
menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau dengan
riwayat keluarga menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit
yang lebih cepat. Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit
Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia
didiagnosis, pasien harus menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap,
karena 10-15 % pasien dengan demensia potensial mengalami perbaikan
(reversible) jika terapi yang diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang
permanen terjadi.17,18
Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang
samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang
10
yang paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan
gejala-gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer,
demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme.
Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan
hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-
gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat
menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan membawa pasien untuk pergi
berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan
benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu
agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik. Pada stadium terminal dari demensia
pasien dapat menjadi ibarat “cangkang kosong” dalam diri mereka sendiri, pasien
mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik, dan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi. Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga
oleh karena perbaikan bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada
demensia dapat berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat juga
berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel
(misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus, dan tumor otak) setelah
dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi yang
stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia dengan
perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi demensia yang
stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan trauma kepala).17,18
Tabel 2.1 Gambaran klinis utama yang membedakan pseudodemensia dan
demensia4
Pseudodemensia Demensia
Perjalanan klinis dan riwayat penyakit
Keluarga selalu menyadari disfungsi dan keparahannya Onset dapat ditentukan dengan tepatGejala terjadi singkat sebelum dicari bantuan medisPerkembangan gejala yang cepat setelah onsetRiwayat disfungsi psikiatri sebelumnya sering ditemukan
Keluarga sering tidak menyadari disfungsi dan keparahannyaOnset dapat ditentukan dalam batas yang luasGejala biasanya berlangsung lama sebelum dicari bantuan medisPerkembangan gejala yang lambat pada
11
Keluhan dan prilaku klinis
Gambaran klinis yang berhubungan dengan daya ingat, kognitif dan disfungsi intelektual
Pasien biasanya lebih mengeluh kehilangan kognitif Keluhan disfungsi kognitif biasanya terinciPasien menekankan ketidakmampuanPasien menonjolkan kegagalanPasien melakukan sedikit usaha untuk melakukan tugas yang sederhana sekalipunPasien biasanya mengkomunikasikan perasaan penderitaan yang kuatPerubahan afektif sering perfasifHilangnya keterampilan sosial sering awal dan menonjolPerilaku seringkali tidak sesuai dengan keparahan disfungsi kognitifPerlemahan disfungsi nokturnal jarang
Atensi dan konsentrasi dipertahankan dengan baikTidak tahu adalah jawaban yang seringPada pemeriksaan orientasi, pasien sering memberikan jawaban tidak tahuKehilangan daya ingat untuk kejadian yang baru dan agak lama biasanya parahKehilangan daya ingat untuk periode atau kejadian spesifik sering ditemukanVariabilitas yang jelas dalam kinerja tugas dengan kesulitan yang sama.
perjalanan penyakitRiwayat disfungsi psikiatrik sebelumnya adalah jarangPasien baisanya sedikit mengeluhkan kehilangan kognitifKeluhan disfungsi kognitif pasien biasanya tidak jelasPasien menyangkal ketidakmampuanPasien senang akan pencapaian, tetapi menyepelekanPasien berusaha untuk melakukan tugasPasien menggunakan catatan, kalender dll untuk tetap ingatPasien sering tampak tidak khawatirAfek labil dan dangkalKeterampilan sosial biasanya dipertahankanPrilaku biasanya sesuai dengan keparahan disfungsi kognitifPerlemahan disfungsi nokturnal seringAtensi dan konsentrasi tergangguSering jawaban yang hampirPada pemeriksaan orientasi, pasien sering keliru jarang dengan seringKehilangan daya ingat untuk kejadian yang baru biasanya lebih parah dibandingkan kejadian yang lamaKekosongan daya ingat untuk periode adalah jarang*Kinerja yang buruk secara konsisten pada
12
tugas dengan kesulitan yang serupa.
Keterangan : *kecuali bila disebabkan oleh delirium, trauma, kejang, dll
2.5 Depresi dan resiko terjadinya demensia pada lanjut usia
Depresi merupakan gangguan psikologis yang paling umum terjadi pada
tahun-tahun terakhir kehidupan individu. Depresi pada lanjut usia muncul dalam
bentuk keluhan fisik seperti insomnia, kehilangan nafsu makan, masalah
pencernaan dan sakit kepala. Depresi merupakan kondisi yang mudah membuat
lansia putus asa karena kehidupan kelihatan lebih suram. Lansia dengan depresi
biasanya lebih menunjukkan keluhan fisik daripada keluhan emosi. Keluhan fisik
yang muncul sulit dibedakan faktor fisik atau psikis, sehingga depresi sering
terlambat untuk dideteksi dan dalam penanganannya.
2.5.1 Epidemiologi
Gangguan afektif umumnya sering terjadi pada lansia. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan Spira dkk, dalam 1 bulan prevalensi depresi pada lansia
dengan usia > 70 tahun sebesar 11% dan lebih banyak terjadi pada wanita
daripada laki-laki. Gangguan kognitif juga sering terjadi pada lansia dengan
frekuensi rata-rata 14% pada usia >70 tahun dan 37% pada usia >90 tahun.19 Hasil
penelitian Franginham, dari 949 pasien yang memiliki gejala depresi yang
dilakukan studi kohort selama 17 tahun, 16,6% mengalami demensia.7 Gangguan
afektif umumnya sering terjadi pada lansia, 10-20% merupakan gejala depresi
yang membutuhkan intervensi psikiatri. Sebagian besar lansia yang memiliki
penyakit kronis merespon penyakitnya dengan reaksi depresi dan diperkirakan
0,5-2,5% lansia tersebut mengalami depresi berat.20,21
2.5.2 Gejala depresi pada demensia
Gangguan depresi harus dipertimbangkan ketika ada satu atau lebih
kondisi berikut ini:20
- mood depresi yang meresap dan anhedonia
- pernyataan menyalahkan diri dan menyatakan keinginan untuk mati
- riwayat depresi pada keluarga atau pasien sebelum timbulnya demensia.
13
Depresi juga dapat memperburuk gejala demensia secara progresif.
Depresi dan demensia memiliki kaitan yang kompleks. Suatu gejala depresi berat
dapat muncul seperti gejala pada demensia yang disebut “pseudodemensia”, tetapi
sekarang dikenal dengan “depresi demensia”. Pada demensia yang sebenarnya,
gangguan intelektual biasanya bersifat umum dan defisit bersifat menetap. Pada
pseudodemensia didapatkan defisit pada atensi dan konsentrasi yang bersifat
bervariasi. Dibandingkan dengan pasien yang menderita demensia , pasien dengan
pseudodemensia lebih jarang memiliki gangguan bahasa dan berkonfabulasi.5
Gejala depresi dan demensia dapat muncul secara bersamaan, tetapi gejala
depresi juga dapat muncul sebelum timbulnya demensia. Adanya gejala depresi
sebelumnya pada pasien dengan demensia mungkin memperburuk defisit kognitif
pasien.14 Pasien lansia yang mengalami depresi memperlihatkan gejala yang
berbeda dengan dewasa muda. Pasien lansia yang mengalami depresi lebih
banyak mengalami keluhan somatik.5
Depresi berat pada pasien demensia dinyatakan berkaitan dengan
peningkatemensgenerasi nukleus aminergik batang otak khususnya nukleus
seruleus demeraphe midbrain. Sultzer (1996) menyatakan bahwa terdapat
hubungemeantara gejala mood dengemehipometabolisme pada korteks parietal.15
Pasien lansia dengan Perasaan kesepian, tidak berharga, tidak berdaya demetidak
ada harapan merupakan gejala depresi yang meningkatkan resiko buuh diri.
Bunuh diri merupakan salah satu penyebab kematian pada lansia di Amerika
serikat, sedemgkan di Indonesia jarang terjadi. Kesepian merupakan alasan paling
sering bagi lansia untuk bunuh diri.5
2.5.3 Penatalaksanaan
Langkah pertama delam menangani kasus demensia adalah melakukan
verifikasi diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas
penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat
diberikan. Tindakan pengukuran untuk pencegahameadalah penting terutama pada
demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga,
demepengontrolan terhadap diabetes demehipertensi. Obat-obatan yang diberikan
dapat berupa antihipertensi,eantikoagulan,eatau antiplatelet. Pengontrolan
14
terhadap tekanan darah harus dilakukan sehingga tekanan darah pasien dapat
dijaga agar berada delam batas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya
perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensia vaskuler. Tekanan darah yang
berada dibawah nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif, secara
lebih lanjut, pada pasien dengan demensia vaskuler. Pilihameobat antihipertensi
delam hal ini adalah sangat penting mengingat antagonis reseptor b-2 dapat
memperburuk kerusakan fungsi kognitif. Angiotensin-converting enzyme (ACE)
inhibitor demediuretik telah dibuktikemetidak berhubungemedengan perburukan
fungsi kognitif demediperkirakan hal itu disebabkan oleh efek penurunan tekanan
darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak. Tindakan bedah untuk
mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler berikutnya pada
pasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara
umum pada pasien dengan demensia bertujuan untuk memberikan perawatan
medis suportif, dukungan emosional untuk pasien dan keluarganya, serta terapi
farmakologis untuk gejala-gejala yang spesifik, termasuk perilaku yang
merugikan.17
Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD)
Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD) penting
untuk diperhatikan karena merupakan satu akibat yang merepotkan bagi pengasuh
dan membuat kesulitan bagi sang pasien karena ulahnya yang amat mengganggu:5
Beberapa prinsip tatalaksana yang perlu diperhatikan adalah :
1. Kualitas hidup orang dengan demensia
2. Kemunduran kognitif terjadi pelan berangsur-angsur, tidak sekaligus
hilang.
3. Kenikmatan tidak memerlukan memori yang utuh.
4. Selesaikan masalah secara kreatif.
5. Sikap keluargaeatau pelakuerawat berpengaruh terhadap kondisi
demensia.
2.5.3.1 Terapi suportif
Terapi suportif yang dapat dilakukan pada pasien demensia :5
15
1. Berikan perawatan fisik yang baik, misalnya nutrisi yang baik, alat-alat
proteksi dan lainnya
2. Pertahamkan pasien berada delam kondisi lingkungan yang sudah
dikenalinya dengan baik. Jika memungkinkan usahakan pasien dikelilingi
oleh teman-teman lamanya dan benda-benda yang biasa ada didekatnya.
Tingkatkan pengertian dan partisipasi anggota keluarga.
3. Pertahamkan keterlibatan pasien melalui kontak personal, orientasi yang
sering (mengingat nama hari, jam, dsb), diskusikan berita terkini bersama
pasien. Pergunakan alat-alat seperti kalender. Televisi,eradio dan aktivitas
hariamedilakukan terstruktur dan terencana
4. Bantu pasien untuk mempertahamkan rasa percaya dirinya
5. Hindari stimulasi yang berlebihamedamehindari suasana yang tidak biasa
dirasakan pasien
2.4.3.2 Terapi simtomatik
PertimbangamepemberiameSSRI dan anti-depresamelainnya dengan
golongametrisiklik yang dimulai dari dosis minimalehingga ditimgkatkan untuk
mencapai dosis optimal.5
2.5.3.3 Prognosis
Prognosis demensia bervariasi tergamtung penyakit atau kondisi medik
yang mendasarinya. Penyebab demensia dapat dikoreksi atau disembuhkan maka
prognosis baik, namun untuk jenis penyakit degeneratif yang belum ada obatnya
maka prognosis tidak baik.5
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,
kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri. Demensia adalah
suatu kondisi penurunan fungsi mental-intelektual (kognitif) yang progresif serta
terdapat gangguan fungsi luhur (fungsi kortikal yang multipel), termasuk daya
ingat, daya pikir, daya orientasi, daya pemahaman, berhitung, kemampuan belajar,
berbahasa, dan daya kemampuan menilai.yang dapat disebabkan oleh penyakit
organik difus pada hemisfer serebri
Depresi dan demensia memiliki kaitan yang kompleks. Suatu gejala
depresi berat dapat muncul seperti gejala pada demensia yang disebut
17
“pseudodemensia”, tetapi sekarang dikenal dengan “depresi demensia”. Gejala
depresi dan demensia dapat muncul secara bersamaan, tetapi gejala depresi juga
dapat muncul sebelum timbulnya demensia. Adanya gejala depresi sebelumnya
pada pasien dengan demensia mungkin memperburuk defisit kognitif pasien.
Pasien lansia yang mengalami depresi memperlihatkan gejala yang berbeda
dengan dewasa muda. Pasien lansia yang mengalami depresi lebih banyak
mengalami keluhan somatik.
Penatalaksanaan dapat dilakukan melalui tindakan suportif dan
penatalaksanaan simtomatik berupa pertimbangan pemberian SSRI dan anti-
depresan lainnya dengan golongan trisiklik yang dimulai dari dosis minimal
hingga ditingkatkan untuk mencapai dosis optimal
3.2 Saran
1. Diharapkan kepada dokter maupun paramedis mempunyai keterampilan
dan assesment serta teknik evaluasi yang baik untuk membuat diagnosis
kerja pada pasien depresi dan demensia.
2. Kepada pihak Rumah Sakit untuk dapat memfasilitasi peningkatan
keterampilan tenaga kesehatan dalam penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat pada pasien depresi dan demensia.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Atkinson RL. Pengantar Psikologi. Jakarta: Airlangga; 1993
2. World Health Organization Regional Office For South-East Asia. Qonquering Depression; 2001
3. World Health Organization . Depression : Mental health. WHO [serial on the internet]. 2012 [cited 2012 Jan 27]. Available from : http://www.who.int/mental_health/management/depression/definition/en/index.html
4. Kaplan, Hl, Sadock BJ, Grebb JA. Demensia, dalam : Sinopsis psikiatri, ed 7, vol 1, 1997 : 515-533
5. Elvira SD. Buku ajar psikiatri. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010
6. Mitchell AJ. Depression as a risk factor for later dementia:a robust relationship?. British : Oxford university press on behalf of the british geriatrics society; 2005: 207-209.
19
7. Saczynski JS et al. Depressive symptoms and risk of dementia. 2010; 1 (75): 35-41
8. Paul ST, Minn. Depression may nearky double risk of dementia. Jorunal of the American Academy of Neurology [serial on the internet]. July 2010 [cited 2013 Jan 5]. Available from : http://www.aan.com/press/index.cfm?fuseaction=release.view&release=847
9. Maramis WF, Maramis AA. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Edisi 2. Surabaya : Airlangga university press; 2009
10. Kimmel PL, Peterson RA. Depression in patients with end - stage renal disease treated with dialysis : has the time to treat arrived?. CJASN [serial on the internet]. 2006 may [cited 2011 nov 28] ; 349-352 (1)
11. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, I. Jakarta: Departemen Kesehatan, 1993. 105-118.
12. Tomb DA. Buku saku psikiatri. Edisi 6. Mahatma Tiara N, editor. Jakarta : EGC ; 2003
13. World Health Organization. Definition of an older or elderly person. [serial on the internet]. 2013. [cited 2013 Jan 5]. Available from : http://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefnolder/en/index.html
14. Maryam RS dkk. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta : Salemba medika ; 2008
15. Adersen RL et al. New england centerian study. New england. [serial on the internet] 2012 [cited 2013 jan 11]. Available from : http://www.bumc.bu.edu/centenarian/
16. Hinck, Susan M. The Meaning of Time in Oldest-Old Age. [serial on the internet] 2007 [cited 2013 jan 11]. Available from : http://journals.lww.com/hnpjournal/Abstract/2007/01000/The_Meaning_of_Time_in_Oldest_Old_Age.7.aspx
17. Riri J dan Ari Budiono. Demensia . Pekanbaru : Fakultas Kedokteran Universitas Riau RSJ Tampan Pekanbaru. 2008. Dikutip dari http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/01/demensia-riri-aridocx.pdf.
18. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. 49-67
20
19. Brauser D. Depression and risk for dementia in oldest old. [serial on the internet]. 2012 Oct 10. [cited 2013 Jan 5]. Available from : http://www.medscape.org/viewarticle/775314
20. Derix MMA, Jolles J. Neuropsychological abnormalities in depression: Relation between brain and behaviour. Netherland : University of maastricht;1997.
21. Sadock BJ, Sadock VA. Buku ajar psikiatri klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2010.
21