dermatitis seboroik

17
ALERGI KONTAK TERHADAP KORTIKOSTEROID DAN MALASSEZIA FURFUR PADA PASIEN DENGAN DERMATITIS SEBOROIK S. Ljubojevic, J. Lipozencic, A. Basta-Juzbasic ABSTRAK Latar Belakang: Dermatitis Seboroik (DS) merupakan suatu penyakit kulit kronis, yang membutuhkan terapi jangka panjang, sehingga dapat memicu timbulnya suatu proses sensitisasi. Malessezia furfur (Mf) memiliki peranan penting pada dermatitis seboroik. Tujuan: Tujuan dari dilakukannya studi ini adalah untuk menentukan frekuensi sensitivitas kontak pada pasien dengan DS. Pasien dan Metode Penelitian: Dilakukan penelitian terhadap sejumlah total 100 pasien dan 20 subyek sehat sebagai kontrol (HC): 50 orang diantaranya menderita DS tanpa riwayat terapi kortikosteroid lokal sebelumnya (SDN), 50 lainnya adalah pasien DS yang diterapi dengan kortikosteroid lokal (SDC). Dilakukan pemeriksaan mikologi terhadap Mf. Juga dilakukan uji tempel (patch test) pada semua pasien dengan menggunakan alergen standar, kortikosteroid generik, dan 12 preparat kortikosteroid komersil/paten yang banyak digunakan di Kroasia; dan juga dengan Mf.

Upload: nimas-ayu-suri-patriya

Post on 04-Oct-2015

6 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

gfhghy

TRANSCRIPT

ALERGI KONTAK TERHADAP KORTIKOSTEROID DAN MALASSEZIA FURFUR PADA PASIEN DENGAN DERMATITIS SEBOROIKS. Ljubojevic, J. Lipozencic, A. Basta-JuzbasicABSTRAKLatar Belakang: Dermatitis Seboroik (DS) merupakan suatu penyakit kulit kronis, yang membutuhkan terapi jangka panjang, sehingga dapat memicu timbulnya suatu proses sensitisasi. Malessezia furfur (Mf) memiliki peranan penting pada dermatitis seboroik.Tujuan: Tujuan dari dilakukannya studi ini adalah untuk menentukan frekuensi sensitivitas kontak pada pasien dengan DS.Pasien dan Metode Penelitian: Dilakukan penelitian terhadap sejumlah total 100 pasien dan 20 subyek sehat sebagai kontrol (HC): 50 orang diantaranya menderita DS tanpa riwayat terapi kortikosteroid lokal sebelumnya (SDN), 50 lainnya adalah pasien DS yang diterapi dengan kortikosteroid lokal (SDC). Dilakukan pemeriksaan mikologi terhadap Mf. Juga dilakukan uji tempel (patch test) pada semua pasien dengan menggunakan alergen standar, kortikosteroid generik, dan 12 preparat kortikosteroid komersil/paten yang banyak digunakan di Kroasia; dan juga dengan Mf.Hasil: Malessezia furfur ditemukan pada 44 (88%) pasien SDN, 37 (74%) pasien SDC, dan 4 (20%) pasien kontrol/HC; reaksi patch test terhadap Mf ternyata positif pada 1 pasien SDN dan 3 pasien SDC. Hasil positif patch test dengan alergen standar dijumpai pada 17 (34%) pasien SDN, 33 (66%) pasien SDC dan 2 (10%) pasien kontrol/HC. Hasil patch test berupa reaksi positif terhadap paparan kortikosteroid generik ditemukan pada 4 pasien SDC dan hasil positif patch test juga dijumpai pada 7 pasien dengan paparan kortikosteroid paten, yakni masing-masing pada 2 pasien DS dan 5 pasien SDC.Kesimpulan: Patch test dengan menggunakan paparan alergen standar dan preparat kortikosteroid, baik yang generik maupun paten, sebaiknya dilakukan pada pasien DS dengan dermatitis yang persisten (menetap), karena reaksi kontak-alergi dapat mempersulit penyembuhan dermatitis yang mereka derita. Sensitisasi terhadap Mf ternyata jarang terjadi.Kata Kunci: alergi kontak, kortikosteroid, Malassezia furfur, dermatitis seboroik, patch test.

PENDAHULUANSelama satu dekade terakhir, insidensi kejadian reaksi alergi terhadap kortikosteroid lokal yang pernah dilaporkan semakin meningkat secara signifikan. Diagnosis masih sulit ditegakkan, karena aktivitas anti-inflamasi dari kortikosteroid sering menyebabkan timbulnya gambaran klinis yang tidak spesifik. Selain itu, gejala-gejala yang muncul seringkali bercampur dengan gejala penyakit kulit yang mendasarinya, seringkali berupa dermatitis jangka panjang yang tidak berespon, atau justru semakin parah, setelah pemberian kortikosteroid.Dermatitis seboroik (DS) merupakan salah satu contoh penyakit kulit yang sifatnya kronis, yang membutuhkan terapi jangka lama yang mungkin dapat memicu terjadinya suatu proses sensitisasi. Malassezia furfur (Mf) merupakan suatu ragi lipofilik dimorfik yang membentuk sebagian mikroflora normal pada kulit manusia. DS adalah suatu penyakit multifaktor yang memerlukan faktor predisposisi endogen maupun eksogen untuk perkembangannya. Patogenesis dan mekanisme pasti bagaimana ragi ini menyebabkan proses inflamasi masih belum sepenuhnya diketahui. Dihipotesiskan bahwa patogenesis DS melibatkan komponen imun, dimana hal ini didukung oleh adanya peningkatan insidensi DS pada pasien dengan gangguan imunosupresi. Tidak ada data di dalam sumber pustaka terkait dengan sensibilitas kontak terhadap Mf pada pasien DS. Tujuan dari studi ini adalah untuk menentukan frekuensi sensitivitas kontak, khususnya terhadap kortikosteroid, ketika dilakukan patch test pada pasien dengan DS.

PASIEN DAN METODE PENELITIANKami meneliti sejumlah 100 pasien: 50 pasien DS tanpa riwayat terapi kortikosteroid lokal sebelumnya (SDN) (10 pasien laki-laki dan 40 wanita) dan 50 pasien DS yang diterapi dengan kortikosteroid lokal (SDC) (10 pasien laki-laki dan 40 wanita) selama jangka waktu mulai dari 1 bulan sampai lebih dari 1 tahun, serta 20 subyek sehat sebagai kelompok kontrol (HC) (5 laki-laki dan 15 wanita). Jika dijumlahkan, terdapat 25 laki-laki dan 95 wanita dengan rata-rata usia 45 tahun dan kisaran usia 11-83 tahun. Diagnosis klinis DS ditegakkan berdasarkan riwayat keparahan waxing dan waning serta distribusi area yang terlibat (mengalami dermatitis) saat pemeriksaan. Semua pasien yang diperiksa menunjukkan gambaran klinis DS berat yang melibatkan area kulit kepala, alis, lipatan nasolabial, pipi, telinga dan bahkan pada beberapa pasien juga melibatkan regio presternum. Lamanya dermatitis berkisar dari beberapa tahun sampai lebih dari 10 tahun. Walaupun semua pasien DS menunjukkan gambaran klinis yang parah, 50 orang diantaranya mengaku bahwa mereka tidak pernah menggunakan kortikosteroid topikal (kelompok SDN). Pasien pada kelompok SDN menggunakan krim netral lokal dan krim antimikotik, sedangkan pasien dalam kelompok SDC menggunakan krim netral lokal, krim antimikotik serta krim kortikosteroid.Pemeriksaan mikologi untuk memeriksa Mf dilakukan dengan menggunakan skalpel steril, menggunakan kerokan kulit dari lipatan nasolabial, area supraorbita dan sisi dorsal hidung. Sampel diletakkan di atas slide mikroskopik bersih, dengan tambahan satu tetes KOH 10% kemudian ditutup dengan kaca obyek.Patch test dilakukan pada semua dari 100 pasien dengan DS dan 20 subyek kontrol menggunakan alergen standar (Tabel 1), yang diperoleh dari pabrik Institut Imunologi (Zagreb, Kroasia); kortikosteroid generik (Tabel 2), yang diperoleh dari Chemotechnique Diagnostics (Vellinge, Swedia); dan sejumlah 12 preparat kortikosteroid paten yang paling banyak digunakan di Kroasia. Kedua belas preparat tersebut terdiri atas 7 kortikosteroid lokal, 3 kombinasi kortikosteroid-antibiotik, dan 2 kombinasi kortikosteroid-agen keratolitik (Tabel 3). Patch test dengan ragi Mf dilakukan menggunakan ekstrak Mf yang bersifat menyerap air (water-soluble) dengan konsentrasi protein sebanyak 5 mg/ml, disediakan oleh ALK Herholm, Denmark. Larutan tersebut diaplikasikan pada selembar kertas penyaring yang ditempelkan pada strip perekat. Patch test dilakukan menggunakan Finn Chambers pada pita Scanpor yang dibiarkan menempel di kulit punggung selama 2 hari. Hasil patch test dibaca pada hari-2 dan hari-3, juga pada hari-7. Reaksi dinilai menggunakan skor sesuai rekomendasi dari International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG). Semua kortikosteroid dites dalam ethanol, kecuali tiksokortol pivalat yang dites dalam petrolatum. Metode statistik yang digunakan dalam studi ini adalah chi-square dan tes-Z.

Tabel 1. Reaksi patch test positif terhadap alergen standar

Tabel 2. Reaksi patch test positif terhadap kortikosteroid generikHASILBerdasarkan riwayat pasien, dari 50 pasien dalam kelompok SDC ada 10 (20%) diantaranya yang pernah menggunakan kortikosteroid lokal selama lebih dari 1 tahun, 10 (20%) lainnya antara 6 sampai 12 bulan, 16 (32%) lainnya antara 1 sampai 6 bulan dan 14 (28%) orang sisanya kurang dari 1 bulan saja.Kerokan kulit yang menunjukkan Mf ditemukan pada 44 (88%) pasien di kelompok SDN, 37 (74%) di kelompok SDC dan 4 (20%) orang di kelompok kontrol/HC. Perbedaan antara kelompok SDN dan SDC tidak signifikan secara statistik. Adanya ragi yang ditemukan di kelompok SDC bergantung pada lamanya penggunaan kortikosteroid dan sedikit berkurang pada pasien yang diterapi selama lebih dari 1 tahun (Gambar 1). Reaksi patch test terhadap Mf terbukti positif hanya pada 1 (2%) pasien SDN dan 3 (6%) pasien SDC, dimana pada kelompok kontrol semuanya negatif.

Gambar 1. Perbandingan frekuensi hasil tes positif vs negatif terhadap ragi Malassezia furfur pada pasien SDC terkait dengan lamanya terapi kortikosteroid lokalPatch test dengan alergen standar (Tabel 1) terbukti positif pada 52 pasien, dimana beberapa diantara mereka menunjukkan reaksi positif multipel: 17 (34%) SDN, 33 (66%) SDC dan 2 (10%) HC. Perbedaan antara kelompok SDN dan SDC signifikan secara statistik (P = 0,00069). Nikel sulfat diketahui sebagai alergen yang paling sering pada kelompok SDN maupun SDC (dan merupakan satu-satunya alergen yang positif pada kelompok HC), diikuti oleh campuran carba, kobalt klorida dan neomisin sulfat (Tabel 1). Pasien-pasien SDC yang pernah diterapi dengan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama menunjukkan reaksi positif yang lebih sering terhadap alergen standar: lebih dari 1 tahun: 9 dari 10 orang; 6-12 bulan: 10 pasien; 1-6 bulan: 13 pasien; kurang dari 1 bulan: 1 dari 14 pasien (Gambar 2). Hasil studi pada pasien-pasien yang pernah menggunakan kortikosteroid kurang dari 1 bulan secara statistik signifikan jika dibandingkan dengan pasien dalam kelompok lain yang diteliti dalam studi ini (P = 0,00000).

Gambar 2. Hasil patch test terhadap alergen standar pada pasien SDC terkait dengan lamanya penggunaan kortikosteroid lokal.Hasil patch test yang positif pada individu dengan riwayat terapi kortikosteroid dijumpai pada 4 (3%) pasien dalam kelompok SDC (Tabel 2), sedangkan 50 pasien kelompok SDN dan 20 subyek sehat dalam kelompok kontrol tetap menunjukkan hasil negatif. Karena tiksokortol 21-pivalat tidak tersedia secara komersil di Kroasia, pasien-pasien alergi tidak terpapar dengan molekul ini dan reaksi positif terhadap paparan zat ini dikaitkan dengan sensitivitas-silang. Hasil patch test dengan kortikosteroid paten menunjukkan reaksi positif pada 7 (6 %) pasien, yaitu 2 pasien SDN dan 5 pasien SDC (Tabel 3). Dua pasien kelompok SDN yang menunjukkan reaksi positif terhadap krim Dexamethasone + Neomycin (LEK, Ljubljana, Slovenia) juga menunjukkan reaksi alergi kontak terhadap neomisin pada paparan alergen standar. Empat pasien SDC menunjukkan reaksi positif multipel terhadap kortikosteroid generik (2 pasien positif terhadap 2 kortikosteroid generik dan 2 lainnya positif terhadap 4 kortikosteroid generik, dengan 3 dari 4 pasien tersebut juga bereaksi positif terhadap kortikosteroid paten (2 pasien alergi terhadap 2 preparat dan 1 pasien alergi terhadap 1 preparat kortikosteroid paten) (Tabel 2 dan 3). Pada semua 4 pasien tersebut, ditemukan reaksi-silang sejati.

Tabel 3. Reaksi patch test positif terhadap kortikosteroid patenDISKUSISetengah (50%) pasien dari kelompok SDN bereaksi positif terhadap alergen-alergen standar, dimana kelompok SDC menunjukkan reaksi patch test positif yang lebih banyak daripada kelompok SDN. Frekuensi alergi semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya durasi penggunaan kortikosteroid. Pasien-pasien yang pernah menggunakan kortikosteroid menunjukkan reaksi alergi yang signifikan secara statistik lebih positif terhadap alergen standar (P = 0,00069). Walaupun nikel sulfat merupakan alergen yang paling sering menimbulkan reaksi alergi, alergen ini tidak dianggap relevan. Reaksi alergi positif terhadap neomisin sulfat, Balsam Peru justru dianggap relevan karena pasien-pasien itu pernah menggunakan krim-krim yang mengandung alergen tersebut. Selain kortikosteroid lokal, pasien-pasien di kelompok SDC menggunakan krim dan salep topikal lainnya, dan mengalami sensitisasi multipel terhadap alergen-alergen dalam kelompok alergen standar, seperti Balsam Peru, campuran wewangian dan neomisin. Beberapa pasien, selain hipersensitif mereka terhadap kortikosteroid, juga menunjukkan tanda-tanda dermatitis di daerah perioral, sentrofasial atau dermatitis steroid difus, termasuk juga acne steroid.Meskipun 10 dari 50 pasien SDC mengeluhkan dermatitis yang mereka alami semakin memburuk selama pemberian kortikosteroid, patch test dengan kortikosteroid mendeteksi alergi hanya pada 6 orang diantara mereka. Pada semua pasien SDC yang menunjukkan reaksi patch test positif terhadap kortiksoteroid tersebut, DS yang diderita pasien-pasien ini justru membaik setelah mereka mendapatkan anjuran sesuai hasil patch test.Beberapa pasien juga menunjukkan reaksi tes positif yang multipel: 9 pasien SDN bereaksi positif terhadap 3 atau lebih alergen standar dan 2 pasien SDC juga menunjukkan sampai 4 reaksi alergi positif terhadap kortikosteroid. Salah satu alasan yang menjadi penyebabnya adalah mungkin pasien-pasien ini pernah menggunakan berbagai macam kortikosteroid sehingga mereka rentan terhadap proses sensitisasi penyerta/konkomitan.Dermatitis kronis seperti eczema fasial memang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya sensitisasi (multipel), khususnya terhadap produk-produk obat topikal seperti kortikosteroid. Pasien-pasien dengan alergi terhadap kortikosteroid sering mengalami reaksi alergi multipel terhadap kortikosteroid lokal, termasuk agen kortikosteroid yang belum pernah mereka gunakan sekalipun, yang dengan kuat memicu proses reaktivitas-silang. Untuk mencegah pemeriksaan/tes menggunakan berbagai macam kortikosteroid, maka digunakan agen skrining, yaitu tiksokortol pivalat dan budesonid. Boffa et al. menemukan kombinasi keduanya dapat mengidentifikasi 91,3% subyek yang alergi terhadap kortikosteroid dan setidaknya 90% individu dengan patch test positif terhadap budesonid juga alergi terhadap kortikosteroid lainnya.Dua pasien kelompok SDC tidak menunjukkan reaksi alergi terhadap kortikosteroid generik, tapi menunjukkan reaksi patch test positif terhadap preparat kortikosteroid paten. Beberapa penulis berpendapat bahwa melakukan patch test menggunakan kortikosteroid milik pasien dengan dasar krim paten akan memberikan hasil yang lebih positif daripada patch test yang dilakukan dengan dasar salep kortikosteroid paten, atau dengan kortikosteroid murni baik dalam petrolatum ataupun dalam alkohol. Hal ini telah dipastikan dalam studi ini. Preparat kortikosteroid paten mungkin mengandung komponen yang dapat meningkatkan daya penetrasi dan bioavailabilitasnya ke dalam kulit. Akan tetapi, harus diingat bahwa bahan apapun yang terkandung dalam preparat kortikosteroid, bahan aktif (sebagai contohnya neomisin pada 2 kasus dalam studi ini) dan juga bahan pendukungnya, bisa saja menjadi penyebab timbulnya alergi.Studi kami menunjukkan bahwa kortikosteroid yang sebelumnya dilaporkan sebagai bahan sensitizer yang sangat jarang (seperti bethamethasone valerate dalam kelompok kortikosteroid generik dan juga preparat yang mengandung bethamethasone-dipropionate dan mometasone-furoate) ternyata justru yang paling sering menimbulkan reaksi positif. Jadi, berlawanan dengan praktik klinis di Kroasia saat ini, kortikosteroid poten ini sebaiknya tidak digunakan untuk mengobati DS.Reaksi patch test terhadap kortikosteroid yang negatif palsu atau meragukan dapat saja terjadi karena efek anti-inflamasi dari kortikosteroid, efek farmakologis dari vasokontriksi dan vasodilatasi. Selain itu, salah satu pasien kami menunjukkan hasil patch test yang negatif saat pembacaan hasil pertama kali, namun kemudian menjadi positif pada saat pembacaan hasil yang kedua; dan 2 pasien yang awalnya menunjukkan hasil negatif menunjukkan hasil positif pada hari-7. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Isaksson et al., 30% reaksi alergi kontak terhadap kortikosteroid mungkin akan terlewatkan (missed) jika tidak dilakukan pembacaan hasil patch test di hari-7.Analisis dari kerokan kulit dan mikologi menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan DS biasanya mengalami peningkatan frekuensi infeksi Mf jika dibandingkan dengan orang-orang yang tidak menderita DS. Mekanisme pasti bagaimana lesi kulit tersebut dapat terinduksi masih belum diketahui. Selain itu, sel-sel ragi juga ditemukan pada kelompok kontrol yang sehat. Reaksi patch test yang positif terhadap Mf seringkali dijumpai pada kasus dermatitis atopik dan lebih jarang ditemui pada pasien dengan DS. Dalam studi kami, reaksi positif ditemukan pada 1 pasien SDN dan 3 pasien SDC; keempat pasien tersebut mengalami dermatitis yang sering mengalami kekambuhan.Penagurh kortikosteroid lokal terhadap Mf tidak jelas. Sebuah studi yang membandingkan terapi DS di kulit kepala dengan agen antimikotik (mikonazol 2%), kortikosteroid (hidrokortison 1%) dan kombinasi keduanya menemukan bahwa banyaknya sel ragi paling sedikit didapati pada kelompok pasien yang diterapi dengan agen antimikotik dan sel ragi paling banyak didapati pada mereka yang diterapi dengan hidrokortison. Setelah terapi selama 3 bulan, banyaknya sel ragi yang terbanyak dijumpai masih pada kelompok dengan terapi kortikosteroid. Hasil yang sama, dimana menunjukkan adanya peningkatan sel ragi setelah pemberian kortikosteroid, juga ditemukan pada studi-studi lainnya. Temuan-temuan ini berkebalikan dengan data yang kami temukan dimana jumlah sel ragi lebih sedikit pada kelompok SDC, walaupun secara statistik tidak signifikan (P = 0,03718) (kontrol adalah 50 pasien SDN yang menggunakan krim antimikotik dan krim netral saja). Kami menemukan puncak insidensi (90%) pada kelompok SDC yang menggunakan kortikosteroid antara 6 bulan sampai 1 tahun dan insidensi yang lebih rendah (40%) pada kelompok SDC yang menggunakan kortikosteroid selama lebih dari 1 tahun (Gambar 1). Data yang memaparkan penurunan hitung/jumlah Mf setelah penggunaan kortikosteroid jangka lama (lebih dari 1 tahun) tidak dilaporkan.

KESIMPULANStudi kami juga menunjukkan bahwa pasien DS juga dapat mengalami reaksi alergi-kontak terhadap beberapa alergen standar, dan juga terhadap kortikosteroid, yang dapat memperparah gambaran klinis yang muncul. Berdasarkan studi kami, sensitivitas kontak lebih sering terjadi pada pasien yang sebelumnya menggunakan kortikosteroid untuk mengobati DS yang dideritanya. Jika lesi eksematosa tidak berespon baik terhadap terapi kortikosteroid, patch test dengan menggunakan paparan produk paten dan bahan-bahan pembuatnya harus dilakukan.