dewan perwakilan daerah republik indonesia ... saja lewat, kepala desa saja lari pak takut...
TRANSCRIPT
Nomor: RISALAHDPD/KMT 1-RDPU/IX/2017
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
-----------
RISALAH
RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMITE I DENGAN NARASUMBER
MASA SIDANG I TAHUN SIDANG 2017-2018
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
I. KETERANGAN
1. Hari : Senin
2. Tanggal : 4 September 2017
3. Waktu : 14.17 WIB - 16.50 WIB
4. Tempat : R.Sidang 2A
5. Pimpinan Rapat : 1. Drs. H. Akhmad Muqowam (Ketua)
2. Drs. H. A. Hudarni Rani, S.H. (Wakil Ketua)
6. Sekretaris Rapat :
7. Acara : RDPU membahas evaluasi Undang-Undang No. 6 Tahun
2014 tentang Desa dengan narasumber :
1. Sunaji Zamroni (Direktur IRE)
2. Sentot S. Satria (KOMPAK)
8. Hadir : Orang
9. Tidak hadir : Orang
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
1
II. JALANNYA RAPAT:
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Baik.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillah. Alhamdulilah.
Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati Ibu, Bapak Pimpinan dan Anggota Komite I Dewan Perwakilan
Daerah.
Kemudian sudah datang ini KOMPAK. Orang Madura itu sila ketiga diganti,
Persatuan Indonesia diganti Indonesia KOMPAK. Orang Madura pak, orang Madura itu
sudah ekspansi kemana-mana di Belanda dia punya Madura Dam, di Amerika Latin dia
punya Manuel Maduro itu orang Madura, Pak Presiden Venezuela itu. Dibelahan lain juga di
Spanyol juga ada Madura itu.
Bapak, ibu sekalian hari ini kita RDPU dengan 3 lembaga. Pertama ini KOMPAK.
KOMPAK ini sebuah lembaga masyarakat yang bergerak fokus pada desa. Kemudian ada
IRE. IRE ini singkatannya asing, susah ini fokus desa tapi namanya IRE. IRE itu singkatan
dari Institute for Research and Empowerment. Jadi namanya asing tapi hidupnya di Yogya
mestinya di London, IRE ini. Kemudian satu lagi kita undang juga dari FITRA yang dimana
hari ini Mas Sentot yang dari KOMPAK ini.
Makro desa kita hari ada posisi dijerembabkan oleh media dan pemerintah, makro ini
sehingga di 2 minggu terakhir ini 600 desa yang di anggap bermasalah dengan pengelolaan
anggaran dana desa itu menjadi bagian dari menjajah pikiran para pejabat Jakarta bahwa
Undang-Undang Desa itu nggak benar saya kira ini banyak makna mulai politik, sosial
budaya, ekonomi,dan lain lain bahwa kalau Undang-Undang Desa itu di bumi anguskan itu
cita-cita mereka yang kapitalis itu. Jadi di media itu luar biasa sepertinya sudah mau roboh
desa di Indonesia ini. Padahal di posisi lain di Undang-Undang Desa itu Bimwas di satu
gandengan itu bimbingan pengawasan, yang ada was terus tapi tidak pernah bim. Jadi kita
mau bergerak sudah diawasi terus itulah nasib desa hari ini, nasib orang desa. Bimwas
dilakukan baik dari sisi internal Kementerian Desa, Dalam Negeri, pemerintah daerah,
provinsi, kabupaten. Ada juga indirectly yang dilakukan oleh misalnya BPKP. Indirect
kenapa? Karena Mas Sentot saya kira positioning Siskudes itu adalah penumpang dipinggir
jalan itu. Siskudes itu tidak in body ke dalam kebijakan pemerintah tapi Siskudes itu tahu-
tahu ini loh ada sistem keuangan desa yang harus dilaksanakan dan desa harus beli, ini saya
kira pemerintah itu dompleng saja mohon maaf Mas Sentot dompleng saja BPKP itu dan
pemerintah menganggap bahwa BPKP punya professional seperti itu dianggap benar cara
masuknya. Jadi pada legal aspek dan prosedurnya, BPKP ini nggak benar melakukan fungsi-
fungsi pengawasan terhadap desa dengan pintu masuk seperti itu. Pintu masuknya mas. Lalu
misalnya Kejaksaan ini juga mengadakan ada sebuah institusi di Kejaksaan ada namanya
TP4D (Tim Pemantau Pengawas Pelaksanaan Pembangunan Desa). Jadi mohon maaf wong
bajunya dicantelkan dipinggir jalan saja orang takut apalagi ada orangnya, Kejaksaan itu. Iya
Bang Ali. Jadi pernah ada cerita Daerah Boyolali, Sukoharjo itu ada orang Kejaksaan mau
takziah saja lewat, kepala desa saja lari pak takut jangan-jangan disana mau diawasi begitu.
Sama dengan polisi-polisi pak, ada polisi mau datang ke mertuanya lewat balai desa lari itu
RAPAT DIBUKA PUKUL 14.17 WIB
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
2
kepala desa, hati-hati ada polisi katanya. Sama juga jurnalis ya tentu tidak bertanggung jawab
ini cari saja perkara desa kalau tidak saya muat di koran nah itu kan membuat kepala desa
dan penduduk desa waduh luar biasa ketakutannya dan mohon maaf TP4D. Hari ini posisinya
selalu ketakutan. Nah pemilihan yang dilakukan pemerintah terutama regulasinya pragmatic
lalu dari kelembagaannya juga tidak ada koordinasi ya kalau di ruangan ini saya katakan
bindeng ketemu bindeng pak. Jadi yang membina tidak pernah memahami secara detail apa
mission sakri dari Undang-Undang Desa. Mission sakri itu harus kita pahami. Sehingga
bapak, ibu sekalian terseraplah substansi Undang-Undang Desa kalau hanya material yang
ada. Idenya hendak mengembalikan desa ke dalam sebuah kultur, struktur, gotong-royong,
guyub dan lain-lain itu. Tapi hari ini yang kemudian dimana akan menjadi mengecil Undang-
Undang Desa hanya dimaknakan sebagai dana desa, ini persoalan.
Nah karena itu Mas Sentot dan kawan-kawan Komite I sangat konsen kepada
Undang-Undang 6 ini, jadi bahkan teman-teman di Komite I ini karena yang menjadi pintu
masuk dalam pengawasan program dan punya visi-visi yang meluas kepada masyarakat
Undang-Undang Desa menjadi bagian pengawasan yang efektif bagi Komite I. Jadi kalau kita
melihat sebelum ada Undang-Undang Desa, kelahiran Undang-Undang Desa di songsong
luar biasa tapi pemerintah memaknakan secara simple, saya ingin Mas Sentot, sampeyan
nyewa LSM bukan nyewa lah ya, mohon maaf. Jadi kuartet dalam Undang-Undang Desa itu
kemudian dibelah menjadi 3, pemerintahan desa menjadi Perpres 11 Kemendagri urusannya,
kemudian Perpres 12 mengambil dua, pembangunan dan pemberdayaan. Kemudian peran
kemasyarakatan tidak termasuk dalam Perpres tersebut sehingga kemudian kalau ada orang
yang menjiar saya kira pasti menang itu, pasti menang. Saya jamin pasti menang kalau di jiar
karena tidak ada republik ini yang satu kementrian, yang umum adalah satu kementerian
menangani beberapa undang-undang itu biasa tapi desa satu undang-undang ditangani dua
kementrian bahkan lebih, Bappenas terlibat, keuangan terlibat, sekarang ini yang terakhir
MK. Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Di Jawa disana Bangmanu,
pembangunan manusia dan kebudayaan. Ada lagi di Sumatera Selatan ingat PMK itu bukan
itu, singkatannya. Singkatanya apalah terserah nantikan begitu kira-kira begitu kalau jadi
presiden.
Jadi Mas Sentot, Undang-Undang Desa masa lalunya tolong dijelaskan, hari ini
bagaimana dan kemudian ketiga masih ada prospek tidak ke depan ini. Kami di Komite I ini
merasa bahwa ada something wrong dalam Undang-Undang Desa ini. Jadi hari ini centang
perenang, unorganize, disharmony, perebutan kewenangan, desa hanya menjadi objek lagi
dalam konteks pengawasan, uang hanya menjadi instrumen untuk menakut-nakuti hari ini.
Mengerikan. Jadi kami di dalam masa sidang ini fokus pada seperti itu dan tentu
rekomendasinya pada pihak terkait misalnya Menteri Desa, Mentri Keuangan, Bappenas dan
Menteri Dalam Negeri agar ya ngomong jangan parsial sesuai sektor masing-masing tetapi
inkorporasi desa dalam konteks korporasi dengan nasional, saya kira itu lebih penting
daripada cara pandang masing-masing. Jadi Pak Sentot hadir ini Pak Hudanirani jabatan
terakhir Gubernur Bangka Belitung. Kemudian Ibu Dewi sebelah kiri saya, ibu gubernur saya
kira sebelah sini, ada ibu gubernur dan bapak gubernur. Kemudian Pak Yusran Silonde wakil
gubernur dulunya di Sulawesi Tenggara. Kemudian Pak Rizal Sirait, anggota DPD 5 periode
saya kira di Sumatera Utara, 3 atau 5? 5 ya mulai dari 1997 jadi anggota DPR bosen jadi
DPRD kemudian ke DPD. Pak Ali, beliau ini adalah mantan birokrat, Sekda pak ya, asisten 1
pengalaman mengolah Gorontalo sehingga menjadi provinsi sendiri dan gubernur pertama
adalah Pak Fadel Muhammad, Radhiyallahu Anhu. Radhiyallahu Anhu itu boleh pada setiap
orang semoga dapat ridha dari Allah masa nggak boleh, oh belom pantes, ini kalau pantes ibu
yang tahu lah. Kemudian satu lagi dari Kepulauan Riau, Pak Muhammad Nabil yang saya
kira Habil dan Nabil, Habil dan Kabil bukan Nabil ya sebab kalau Nabil itu kalau di Batam
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
3
ada Pelabuhan Kabil makanya diambil Nabil itu. Jadi kalau Pak Sentot ke Batam, Pelabuhan
Kabil itu punya Pak Nabil pak. Satu lagi HMI, Haji Muhammad Idris. Beliau dari Kaltim.
Sementara ini beliau punya dua di Kaltim maksudnya Kaltara bagian dari dia juga hari ini bu.
Dua wilayah, Kaltara dan Kaltim bukan dua yang lain bu. Ibu Juniwati langsung mengiyakan
saja, jangan lihat tampilannya bu power-nya yang penting. Ibu Dewi saya kira bisa
memberikan saksi saya kira. Kemudian Pak Mawardi. Kemudian Ibu Juniwati. Pak Mawardi
dulu bupati dan akan menjadi bupati lagi. Tahu ada gula ada semut pak tapi gulanya siapa
semutnya siapa. Jadi dipikir dengan pindah akan menyelesaikan permasalahan, siang mau
nya pindah, malam maunya mendekat dia.
Jadi Mas Sentot, saya kira ini KOMPAK mohon dijelaskan dulu agar kita-kita dapat
mengapresiasi sesuai provinsi masing-masing, Jawa Tengah ada tidak, Babel ada tidak,
Kaltim ada tidak biar kita bisa inkorporasilah di dalam melakukan fungsi-fungsi yang lebih
sinergis begitu. Percayalah kawan-kawan punya otoritas dan punya macam-macamlah yang
di daerah. Saya kira demikian sebagai pengantar. Silakan Mas Sentot dari KOMPAK.
PEMBICARA: SENTOT S. SATRIA (NARASUMBER)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bapak, ibu semua dari Komite I Dewan Perwakilan Daerah yang terhormat.
Sangat berterima kasih sangat menghargai atas undangan dan kesempatan yang
diberikan kepada KOMPAK untuk berbagi update tentang pelaksanaan Undang-Undang
Desa terutama.
Ijinkan kami sedikit perkenalkan KOMPAK. KOMPAK adalah kerjasama antara
pemerintah Indonesia dan Australia untuk mengelola bantuan teknis dan bantuan hibah pada
CSO di Indonesia, LSM. Jadi sebetulnya bahkan IRE dan FITRA itu termasuk patner kami di
dalam interfensi di daerah. Jadi patner utama KOMPAK adalah Bappenas sebagai lead
agency dari pihak pemerintah Indonesia. Kemudian ada Kementrian Dalam Negeri,
Kementrian Desa, Kementrian Keuangan dan Kemenko PMK sebagai pengarah sekaligus
penerima bantuan teknis. Fokus kami ada tiga seperti sesuai dengan prioritas pemerintah ada
pada pelaksanaan pelayanan dasar, penyelenggaraan pelayanan dasar, kemudian pelaksanaan
Undang-Undang Desa dan yang ketiga adalah pengembangan ekonomi. Ini patner KOMPAK
juga Mas Nadi dari IRE.
Jadi kalau dulu mungkin bapak, ibu pernah mengenal yang namanya AUSIT. AUSIT
itu sekarang sudah tidak ada. KOMPAK itu dikelola oleh suatu perusahaan yang mengelola
semua bantuan teknis itu. Saya sendiri di KOMPAK sebagai senior advicer untuk
disentralisasi dan Undang-Undang Desa. Salam dari pimpinan kami, beliau mengutus saya
untuk memenuhi undangan bapak, ibu sekalian. Jadi ini sudah KOMPAK sendiri sudah ada
sejak tahun 2015 sejak mulainya Undang-Undang Desa dilaksanakan pada 2015 dan kami
akan berakhir tahun depan 2018. Wilayah kerja kami ada di 7 provinsi juga, jadi ada wilayah
provinsi dan kabupaten juga dimana kami mempunyai staf lapangan untuk memungkinkan
advokasi dan bantuan teknis yang lebih intensif kepada pemerintah daerah. Dari barat
lokasinya dari Aceh, kemudian Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan, Papua
dam Papua Barat, dan di 7 provinsi itu ada sekitar 33 kabupaten dimana KOMPAK ada staf
lapangan. Itu mengenai KOMPAK pak ya. Undang-Undang Desa ini sudah tahun ketiga
seperti bapak, ibu tahu dan menurut kami ada permasalahan yang paling mendesak di dalam
pekalsanaan Undang-Undang Desa ini dan itu kita juga melihat fakta bahwa menurut BPS
tingkat kedalama kemiskinan desa malah bertambah. Walaupun angka kemiskinan berkurang
di daerah pedesaan, angkanya kalau tidak salah kurang sebanyak 180.000 jiwa tapi tingkat
kemiskinan bertambah dan 180.000 jiwa kalau kita bagi dengan 74.000 desa hitungan
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
4
sederhana, simple itu yang terentaskan dari kemiskinan di desa hanya kira-kira 3 orang per
desa. 180.000 jiwa itu terentaskan dari kemiskinan untuk wilayah pedesaan menurut data
BPS tapi keparahan atau kedalaman kemiskinan bertambah. Jadi orang yang paling berada di
dasar tangga tingkat kemiskinan itu jangan-jangan malah tambah miskin. Yang menikmati
besarnya dana yang masuk desa jangan-jangan adalah kelas menengah di desa. Jadi itu
memberikan warning yang sangat kuat kepada pemerintah bahwa tentu saja pemerintah
melalui berbagai pernyataan presiden ingin agar dana desa dan seluruh anggaran yang masuk
desa ini berdampak kepada turunnya angka kemiskinan. Itu seperti arahan presiden dalam
berbagai kesempatan sejak tahun lalu harus menjadi instrumen fiskal pengentasan
kemiskinan, peningkatan akses terhadap pelayanan dasar kemudian dampak ekonominya juga
diharapkan mulai nampak. Namun dari, mohon lanjut slidenya. Dan tentu saja harapan itu
sangat berdasar ya. Pada waktu pemerintahan Bapak SBY kita mempunyai program-program
pemberdayaan masyarakat itu menunjukan ada dampak. Jadi misalnya karena di swakelola
oleh masyarakat tiap pembangunan sarana prasarana bisa lebih murah 30-50%. Kemudian
umumnya lebih dari 80% kualitas prasarana yang dibangun masyarakat itu memuaskan. Dari
sisi kemiskinan ada kenaikan konsumsi perkapita itu di daerah program, itu 9% lebih
daripada di daerah non program. Itu hanya dengan anggaran waktu itu dari tahun 1998 – 2014
hanya 85 triliun. Bandingkan dengan anggaran yang masuk desa sekarang dari DD dan ADD
saja itu tahun ini 103 triliun menurut data dari DJBK dari Kementerian Keuangan. Jadi dulu
di jamannya tahun 1998 – 2014 ada program-program termaksud desa itu 85 triliun, tidak pak
1998 – 2014 lebih hampir 16 tahun, hampir 16 tahun itu hanya 85 triliun. Dulu itu namanya
dulu ada PNPM dan saudara-saudaranya banyak ya, ada BPK dan sebagainya, itu hanya 85
triliun. Ditambah lagi dulu bapak. ibu mengingat ada namanya klaster penanggulangan
kemiskinan yang setiap tahun dulu 4 klaster program kemiskinan Pak SBY itu hanya 100
triliun sekarang dana yang masuk desa saja itu sudah 103 triliun tahun ini, tahun depan akan
sama karena pemerintah sedang putuskan dana desa sementara belum akan di tambah masih
60 triliun. Jadi ini juga seperti Pak Muqoam sampaikan tadi sayangnya juga seolah-olah
Undang-Undang Desa ini hanya soal dana desa, jangan lupa ada ADD yang juga besar sekali
yang kalau tidak diperhatikan itu juga menjadi objek ranciking kabupaten karena untuk gaji
dan operasional kepala desa itu dari ADD, diambil dari ADD. Nah kami mensinyalir banyak
ADD yang jumlahnya tidak memenuhi perintah undang-undang atau sering kali pencairannya
terlambat, 3-6 bulan baru cair sehingga kepala desa dan perangkatnya harus pinjam kesana
kemari untuk mendukung operasionalnya. Nah ini lagi-lagi menghasilkan ranciking yang
besar sekali.
Kembali ke isu utama Undang-Undang Desa. Pertama adalah formula atau policy
alokasi dana desa ini syukurlah akan diperbaiki setelah 3 tahun, jadi 2018 akan diperbaiki
tapi bagaimana perbaikannya kita belum lihat hasil akhirnya Pak Ketua. Jadi yang dulu 90%
dibagi rata dana desa nantinya akan dikurangi yang dibagi rata itu menjadi 77% saja. Ini-ini
sangat-sangat krusial karena jika acara pembaginya masih seperti sekarang nyaris dibagi rata
tentunya ini sangat tidak adil bagi desa-desa yang tertinggal apalagi yang jumlah penduduk
miskinnya besar. Jadi desa dengan 20 KK mendapatkan jumlah uang yang hampir sama
dengan desa yang 2.000 KK. Perbandingannya itu perkapita dana desa itu bisa mencapai 30
kali lipat untuk desa-desa yang kecil. Nah ini akan segera diperbaiki oleh pemerintah dan
kami sangat menghargai dan mendukung keputusan tersebut. Yang kedua adalah tentang
penggunaan dana desa. Tadi alasan dari pusat sebetulnya sudah cukup jelas untuk
peningkatan pelayanan dasar, untuk penanggulangan kemiskinan. Kemarin di nota keuangan
juga di Menteri Keuangan menggarisbawahi bahwa prioritas dana desa adalah untuk
penanggulangan kemiskinan bukan berarti dana desa dipakai untuk misalnya membeli beras
atau apa, memberikan bantuan kemasyarakat tapi harusnya masyarakat prioritas desa harus
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
5
kepada pemenuhan dasar sebagai pra syarat lawan kemiskinan tapi kemudian prioritas itu
diarahkan terlalu sempit oleh Kementerian Desa sampai sekarang di media masih sering kita
lihat Kementerian Desa mengarahkan dana desa agar untuk membangun embung,
membangun mengembangkan Bimdes, mengembangkan produk unggulan dan sarana
olahraga dan kadang-kadang dibawah itu menjadi arahan ini agar diprioritaskan menjadi
arahan diwajibkan. Belum di tambah lagi seperti bapak, ibu temukan ada kabupaten yang
sering nambah-nambahi lagi memberikan arahan juga yang terlalu spesifik misalnya. Jadi
intervensi dari kabupaten itu menambahi lagi sehingga asas Undang-Undang Desa yang
harusnya memberikan wewenang penuh untuk memutuskan prioritas skala desa mereka, ini
menjadi teroduksi banyaknya subsidi tersebut. Tapi yang paling, menurut saya yang paling
membinggungkan di lapangan adalah instruksi-instruksi, arahan-arahan dari pusat yang
terlalu spesifik mengabaikan beragamnya kebutuhan desa 74.000 desa di Indonesia. Embung
sendiri tidak cocok disemua lokasi kan ada desa yang punya, sudah punya banyak air atau
tidak punya potensi untuk membuat embung dan sebagainya. Artinya, harusnya prioritas itu
digariskan sebenarnya misalnya prioritasnya adalah penuhi dulu kebutuhan akan akses air
bersih misalnya, yaitu pelayanan dasar baru masyarakat diminta mikir oh alternatif apa, bikin
embung atau bikin perpipaan atau mencari mata air yang bisa diandalkan dan sebagainya.
Bukan spesifik embung. Nah ini sebetulnya arahan dari keuangan, dari presiden itu
sebetulnya sudah cukup jelas ya. Kemudian di dalam Musrembangnas 2018 itu juga ada 10
prioritas nasional mulai dari pendidikan, kesehatan, pertanian, penanggulangan kemiskinan
dan sebagainya ada 10 prioritas nasional nanti di akhir slide kami ada seharusnya kemudian
pemerintah memberikan, menyediakan pedoman kepada desa bagaimana mereka dapat
berkontribusi terhadap prioritas nasional tersebut. Jadi misalnya prioritas nasional adalah
pendidikan. Yang tidak jelas sekarang adalah apa, sejauh mana kewenangan desa dalam
bidang pendidikan, sejauh mana kewenangan desa dan tanggung jawab desa dalam bidang
kesehatan. Kalau di Brebes misalnya masih banyak anak putus sekolah tidak menyelesaikan
wajib belajar 9 tahun, apa yang desa bisa lakukan dan sebetulnya arahan dari Musrembangnas
sudah cukup jelas bahwa harus ada sinergi antara APBD, APBDES dan APBN kalau perlu.
Misalnya ada orang sering bilang, oh untuk anak putus sekolah kan sudah ada KIP (Kartu
Indonesia Pintar) Program Indonesia Pintar, tapi kalau di daerah, di desa berapa yang sudah
mempunyai kartu KIP, mungkin belum 50% Pak Muqowam. Buktinya presiden kalau ke
daerah masih bagi-bagi KIP kan, berarti kan belum semua memiliki itu. Nah desa misalnya
bisa berperan misalnya membantu warga-warga miskinnya untuk cepat mengurus
kepemilikan Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan sebagainya. Nah
kesinambungan ini yang belum terbangun dengan baik karena si pendamping desa yang
dimobilisasi oleh Kementerian Desa ironisnya adalah mereka fokus atau diharapkan oleh
pemerintahan desa untuk membantu mereka, membantu aparat desa. Ini terbalik ini, Pak.
Harusnya pendampingnya Kemendesa itu fokusnya mendampingi masyarakat sesuai perintah
undang-undang, memberdayakan masyarakat untuk ikut mengambil keputusan, untuk agar
aspirasi mereka tertampung di dalam musdes, tapi mereka diharapkan lebih membantu
pemerintahan desa. Kemudian ketika mereka ternyata tidak mempunyai skill yang cukup dari
segi administrasi pemerintahan, pemahaman PP, permen dan sebagainya, pemdes bilang
pendamping desa tidak ada gunanya buat kami. Jadi triliunan anggaran yang dialokasi untuk
pendampingan desa ini wasted.
Belum lagi masalah kedua adalah kemampuan untuk menyelenggarakan merekrut
pendamping. Bapak lihat di Facebook sekarang proses rekrutmen baru mulai berjalan. Ini
sudah bulan Agustus, apa gunanya mereka ke lapangan bulan Agustus, sementara proses di
desa seharusnya sudah hampir menyelesaikan RKP Des. Dan, biasanya proses seleksi ini baru
akan selesai nanti di bulan-bulan Oktober untuk 300.000. Dan ini masalah seperti ini sudah
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
6
berjalan tiga tahun Bapak/Ibu, masalah pendampingan ini. Ada kesan saya, ada keengganan
untuk mendesentralisasikan pendampingan ini atau mendekonkan pendampingan ini kepada
pemerintah provinsi. Tapi at the same time ternyata tidak mampu untuk merekrut
pendampingan on time paling tidak sehingga provinsi-provinsi yang kami sering ketemu
sama teman-teman provinsi mereka katakan, kami hanya diberlakukan sebagai juru bayar,
juru bayar gajinya pendamping-pendamping. Apalagi kabupaten yang nyaris melakukan,
kami tidak punya wewenang apa pun terkait pendampingan. Nah ini harus diperbaiki masalah
pendampingan itu.
Maaf balik ke yang kelima, nah ini tadi. Jadi penggunaan dana desa ini tidak
menghasilkan kegiatan-kegiatan yang propelayanan dasar dan melawan kemiskinan. Dan
kami ada evidence, sudah ada buktinya dari Bank Dunia dan dari hasil monitoring
Kementerian Desa sendiri. Misalnya belanja untuk kesehatan dan pendidikan itu tidak sampai
6%. Dari sampel 1.800 lebih desa, belanja untuk kegiatan yang menyangkut pendidikan
kesehatan tidak sampai 6%. Ini lagi diperburuk dengan arah-arahan tadi ya, yang berbau
penyeragaman, baik dari pusat maupun dari kabupaten. Ketiga adalah peraturan-peraturan
yang kurang selaras. Ini mungkin Mas Naji nanti bisa cerita banyak ya. Saling bertentangan
atau dianggap saling bertentangan, membingungkan, terlalu jauh mengatur, malah seperti
contoh seperti Siskeudes itu menghambat desa memilih kegiatan-kegiatan yang menurut
mereka perlu untuk warga miskinnya. Tapi sebetulnya ini bukan 100% salahnya Siskeudes,
Pak. Jadi Siskeudes itu teman-teman, mereka bilang, “Loh saya hanya mengikuti
Permendagri No. 113,” begitu kan. Nah Permendagri Nomor 113 memang sebetulnya perlu
segera direvisi. Kenapa? Kalau Bapak/Ibu menyempatkan untuk melihat bagaimana template
dari APBDes atau realisasi APBDes di 113, template itu mengakibatkan Bapak/Ibu tidak
akan mendapatkan laporan output dana desa apa, tapi hanya mendapat laporan input di desa
untuk ... (kurang jelas, red.) UU Desa apa. Jadi input-nya artinya misalnya Anda akan
menemukan berapa sak semen yang dihabiskan tahun ini, tapi berapa kilometer jalan malah
tidak jelas. Jadi itu Permendes, Permendagri satu-satu itu sangat mendesak karena ditunggu
oleh Siskeudes. Siskeudes sendiri sebetulnya mendapatkan dukungan karena waktu itu surat
ke daerah adalah surat bersama antara Bina Pemdes, Kemendagri, dengan BPKP dan
mendapatkan dukungan yang cukup besar dari presiden. Sehingga memang kalau
Permendagri-nya bisa diselesaikan dengan cepat, Siskeudes-nya bisa gampang diperbaiki.
Keempat adalah, Bapak/Ibu, kita menggelontorkan anggaran ke desa begitu besarnya,
tapi investasi untuk penguatan kapasitas aparat untuk pendampingan itu kecil sekali. Kalau
Bapak/Ibu lihat sekarang anggaran pendampingan di tempatnya Kementerian Desa 2,3 triliun
itu terlalu kecil Pak. Kayaknya besar, tapi sebenarnya kecil sekali. Jadi Bank Dunia
memperhitungkan bahwa anggaran untuk pendampingan untuk penguatan itu hanya 1,1%
dari total dana yang masuk ke desa. Bandingkan dulu dengan zamannya PNPM itu pernah
mencapai 15%, Pak. Rata-rata 10% setiap tahun. Jadi ini sangat menentukan, sangat critical.
Ibaratnya 100 triliun itu bisa jadi dua tahun ke depan tetap tidak akan menghasilkan apa pun
kalau Bapak/Ibu, pemerintah, tidak memberikan investasi yang cukup untuk penguatan.
Kedua adalah tidak ada lagi juga sebelum Undang-Undang Desa dimulai, tidak ada
kesepakatan kerangka pengawasannya bagaimana. Tadi kalau dari sisi penguatan pembinaan,
pengawasan juga sama saja. Baru belakangan setelah banyak merebak kasus-kasus, akhirnya
Desember kemarin Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran untuk pengawasan
oleh inspektorat, bulan Desember sekeluarnya. Saya tidak yakin karena keluarnya baru bulan
Desember, apakah anggaran yang diperlukan oleh inspektorat untuk melakukan pengawasan
di tahun 2017 sudah ada karena keluarnya baru bulan Desember. Dan kita bisa lihat sendiri di
daerah, teman-teman inspektorat bilang, kami tidak punya anggaran atau tidak cukup
anggaran. Paling mereka hanya bisa ke desa-desa yang ada di pusat kabupaten, di ibukota
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
7
kabupaten. Kedua adalah kerangka pengawasannya, saya belum ada kesepakatan. Bahkan
harusnya yang fokusnya kepada inspektorat atau BPD, memperkuat BPD, dan sebagainya, ini
malah pendekatannya pendekatan represif seperti Bapak bilang itu kan, ke polisi, ke
kejaksaan, dan sebagainya. Memang ini harus segera ditangani. Kalau tidak, desa akan
kewalahan menerima berbagai kunjungan, berbagai pertanyaan dari pihak-pihak yang, belum
ada lagi satgas ya mas ya, satgas lagi, satgas dana desa yang sangat ahok, saya dengar juga
belum jelas anggarannya dari mana untuk mereka. Jadi tidak ada upaya yang lebih
membangun sistem pengawasan ini. Sekarang BPK juga sama kan, BPK tidak mungkin
mensampel 10% desa saja itu. Ini harus dibicarakan di antara pemerintah, bagaimana
kerangka pengawasan. Dulu di PNPM kita mensampel 10% kecamatan Pak, 10% kecamatan.
Itu saja BPKP waktu itu harus menggandeng teman-teman inspektorat karena tidak, mereka
tidak cukup punya auditor di lapangan. Sekarang satu pihak saya juga memahami kenapa
pemerintah tidak ingin menambah dana desa dulu sesuai dengan perintah undang-undang,
tapi juga kalau kemudian menunda amanah undang-undang untuk memenuhi 10% dana
transfer ke daerah sebagai dana desa, tapi tanpa melakukan apa pun misalnya untuk
memperbaiki lima aspek ini, ya apa artinya menunda sebetulnya begitu kan. Lebih baik ada
komitmen untuk misalnya dana desa oke 60 triliun dulu, tapi kemudian ada alokasi untuk
memperkuat aparat, untuk menjelaskan pengawasan, melatih inspektorat daerah, dan
sebagainya. Kemudian mengkonsolidasikan semua peraturan-peraturan yang masih sangat
penting untuk dikonsolidasikan.
Tapi yang jelas, dua tahun ini bukan waktu yang panjang. Saya pribadi sangat
khawatir, Pak, kita tidak akan melihat dampak dana desa dalam waktu dua tahun ini,
pengurangan kemiskinan. Nanti paling gampang adalah kalau Bapak/Ibu ke lapangan dan
bertanya kepada pemda, “Dari dana desa ini, apa sumbangannya terhadap akses terhadap air
bersih?” Syukur-syukur mereka bisa jawab, jangan-jangan malah tidak memonitor. “Apa
sumbangannya terhadap berkurangnya sanitasi yang buruk?” Apa sumbangannya terhadap
rumah kumuh?” Dan sebagainya. Ini pemdanya juga mungkin akan kesulitan menjawab
pertanyaan seperti itu. Akhirnya pemerintah kita akan tidak bisa menjawab pertanyaan seperti
itu.
Mungkin itu dulu dari saya. Terima kasih. Mohon maaf kalau terlalu panjang.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Wa’alaikumsalam.
Ya Mas Sentot saya kira, Mas Sentot ini agak malu-malu bicara PNPM. Jadi
Bapak/Ibu sekalian, 100% dana PNPM itu 15% adalah untuk biaya operasional, SDM, dan
lain-lain. Kemudian, 75% dari 85% itu infrastruktur. Dan hasilnya Bapak Ibu sekalian, rata-
rata nasional itu 250% dari cost yang dikeluarkan, nilai setelah dibangun. Kalau NKRI dari
100% harga jadi 60% sudah bagus. Ini dari 100% menjadi 25%. Coba kita lihat di PNPM-
PNPM masih ada itu stempelnya masih banyak di daerah, di desa-desa itu. Nah tapi ya itu
tadi, itu kan zamanmu, zamanku yo kudu bedo begitu loh Pak. Itu kan zamannya SBY,
zamanku ya kudu bedo begitu loh, repotnya tuh di situ. Jadi yang baik itu, memang repot
kalau tidak pernah jadi NU itu. Di NU itu ada almuhafadhotu 'ala qodimis sholih wal akhdzu
bil jadidil ashlah, yang baik yang lama pertahankan, yang lebih baik nilai masuk, ambil.
Bukan untuk Pak Mawardi, yang lama tetap di rumah, yang baru di Jakarta, kan beda lagi
urusannya. Ya mestinya begitu. Nah dalam hal 25% Bapak Ibu sekalian, 25% itu hari ini
menjadi dana-dana di UPK (Unit Pelaksanaan Kegiatan). Itu jumlahnya Mas Naji, rata-rata di
atas 12 triliun saya kira. Bahkan nasional itu mungkin bukan 12, perkembangan hari ini
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
8
mungkin sudah lebih dari 13 triliun UPK (Unit Pelaksanaan Kegiatan). Jadi kantor-kantor
Bapak di daerah itu ada UPK. Jangan bertanya UPK itu apa, tapi ada duitnya di dalamnya.
UPK itu Unit Pelaksanaan Kegiatan. Ya sekarang kan belum dapat karena pemerintah Bapak
tidak mengerti mau dikemanakan ini nama ini sebab swasta bukan, pemerintah bukan,
BUMN juga bukan. Pokoknya bukan-bukan itu, jadinya bagus itu. Jadi UPK itu masih ada
hari ini. Jawa tengah UPK itu lebih dari 2,1 triliun, Jawa tengah. Dan itu hari ini efektif,
alhamdulillah teman-teman itu pada jujur semualah ya Mas Naji ya, Mas Sentot sehingga
dana itu tidak kemana-mana. Ya mungkin mereka bukan politisi sehingga dana itu aman,
mereka profesional begitu ya. Loh iya maksud saya begitu, gitu loh Pak. Tidak, tidak bahkan
merekaitu ada menciptakan social culture yang pro kepada dia sendiri. Ada lima dusun dalam
satu desa misalnya, desa dusun A dia NPL nonperform, hutangnya itu lebih dari 30% dalam
waktu tiga bulan, dusun-dusun tersebut tidak akan dapat pinjaman lagi bulan depan. Mereka
berlaku seperti itu, itu yang Indonesia di masa SBY. Tapi sekarang kan Indonesia di masanya
bukan SBY, begitu saya kira.
Jadi soal yang lain-lain saya kira, Mas, simpul saya sementara itu memang pemerintah
panjenengan itu gagal paham terhadap undang-undang, gagal paham. Kenapa? Subsidialitas
saja tidak paham mereka kok, ... (kurang jelas, red.). Jadi NKRI kembali Mas, di sini bukan
negara kesatuan saya singkat, Negara Kok Republik Indonesia. Saya kira repot, Pak. Jadi
karena itu, bagian-bagian ini menjadi menarik. Jadi kalau membandingkan tadi 85 banding
103 Pak, ya repot lagi Pak. Zamanku kudu zamanmu ... (kurang jelas, red.).
Terus kemudian empat program itu, unggulan, kemudian .... (kurang jelas, red.),
embung, olahraga. Ini yang repotnya lagi Bapak Ibu sekalian, kalau melaksanakan itu maka
desa mendapatkan eksklusivitas, ini kan gila lagi ini. Jadi bagaimana daerah pegunungan, Pak
Khaly, suruh bangun embung. Bukan embung yang didapat, tapi kembung yang dapat itu.
Duh repot ini UU Desa ini. Nah ini kalau main-main dengan satgas desa, ya saya kan agak
tahu Pak Bibit Samad. Mereka itu orang yang sangat profesional, orang yang punya
integritas, Pak Bibit Samad mantan KPK itu sekarang menjadi satgas dana desa. Ini kalau
Kemendes macam-macam bisa dilipat sama Pak Bibit. Besok kita undang Pak Bibit. Jadi Pak
Bibit orang yang cukup punya kredibilitas, punya integritas. Kalau dimain-mainkan, saya kira
Komite I harus memprovokasi Pak Bibit agar mereka melawan Kementerian Desa, saya kira
begitu.
Mas Naji silakan, Mas.
PEMBICARA: SUNAJI ZAMRONI (NARASUMBER)
Terima kasih, Pak Ketua.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat siang.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Perkenalkan saya Sunaji Zamroni, Direktur Eksekutif IRE Yogyakarta.
Bapak Pimpinan dan Bapak Ibu Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah yang
saya hormati, pertama saya mohon maaf karena datang terlambat, alasan teknis. Kemudian
berkaitan dengan rapat dengar pendapat pada kesempatan siang hari ini, kami menghaturkan
terima kasih atas undangannya. Kesempatan yang baik ini untuk kita sampaikan kepada
Bapak Ibu Komite I DPD RI.
Kebetulan, Pak Ketua dan juga Bapak Ibu, besok hari itu kami mengumpulkan banyak
desa dan daerah di kantor kami, di joglo kami untuk merefleksikan terutama soal gegeran
dana desa yang itu dilecut oleh OTT-nya di Kabupaten Pamekasan beberapa waktu yang lalu.
Nah karena hari ini kami diundang, ini sangat a baik sekali. Nanti juga kami akan sampaikan
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
9
pokok-pokok pikiran yang ada di dalam rencana kami untuk melakukan sarasehan nasional
besok pagi seharian. Ini sekaligus mengundang, Pak.
Pertama, mungkin slide-nya bisa dibantu sekretariat. Saya sudah kirim, jadi kami
siapkan paparan untuk rapat dengar pendapat ini sebenarnya melanjutkan apa yang telah kita
paparkan di tahun yang lalu. Jadi kami memang dari lembaga riset dan pemberdayaan yang
selama ini konsen di isu desa, terutama turut aktif di dalam menyusun rancangan Undang-
Undang Desa. Dulu bersama dengan Pak Ketua Komite I yang dulu Ketua Pansus Undang-
Undang Desa. Nah selama kurang lebih sejak tahun 2014 begitu Undang-Undang Desa ini
diundangkan, dilaksanakan sampai hari ini, kami terus mengawal pelaksanaan Undang-
Undang Desa ini. Sebenarnya target kami adalah membantu untuk mendesiminasikan
substansi dari Undang-Undang Desa itu. Ini kita lakukan, baik diminta maupun tidak diminta
oleh para pihak, baik pemerintah nasional maupun pemerintah lokal. Kami lakukan itu di
banyak tempat, hampir semua pulau di Indonesia sudah kami sampaikan substansi ini. Tapi
memang kami karena keterbatasan orang swasta, lembaga swasta, ya seperti itu Pak, jadi
terbatas. Nah yang paling penting di tahun 2014 itu kami sebenarnya melakukan apa yang
kita sebut dengan critical review atas Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014, PP sapu
jagat tentang pelaksanaan Undang-Undang Desa itu dan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun
2014 tentang Dana Desa. Ini yang kemudian nanti kita bisa masuk pada isu krusial tentang
dana desa. Nah tahun-tahun berikutnya, tahun 2015, 2016, sampai 2017, kami coba
melakukan riset advokasi dan juga piloting atau modeling. Bagaimana sih sebenarnya piloting
yang atau model-model pelaksanaan Undang-Undang Desa itu, baik di tingkat desa maupun
di daerah. Itu yang coba kita lakukan. Dan kebetulan sejak tahun 2016 akhir kemarin sampai
sekarang bersama dengan program kompak dari Pak Sentot, kami juga melakukan piloting itu
di 10 kabupaten di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat, dan di 20 desa. Itu
kita piloting soal akuntabilitas dan inklusi sosial dalam perencanaan penganggaran desa.
Sebenarnya kami ingin membeli warna baru bahwa pelaksanaan Undang-Undang Desa itu
bukan sekadar dana desa, bukan sekadar membicarakan uang masuk desa. Tetapi, bagi kami
adalah ada satu ikhtiar besar, satu project besar soal Undang-Undang Desa ini, yakni
mengembalikan marwah desa itu di dalam konteks historis maupun kekinian dan masa depan
desa di Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Itu yang sebenarnya kami dorong dan
memang itu menjadi satu kesepakatan politik pada saat kita juga mengusung rancangan
Undang-Undang Desa dan juga berkomitmen bersama-sama dengan para pihak, termasuk
juga dengan Pansus Undang-Undang Desa saat itu yang dipimpin oleh Pak Muqowam.
Bapak Ibu, langsung ke slide berikutnya saja Pak, nah isu-isu krusial yang kami catat
ada tiga setidaknya. Kami mencatat ada, kami mengistilahkan over policy di pemerintah
nasional. Kemudian yang kedua ada soal di simpul itu daerah yang kami sebut melamban,
bukan melambai Pak, tapi daerah yang melamban. Kemudian yang ketiga ini posisi sekarang
ini desa ketakutan, ini yang kalau kita lihat makanya kami punya kepentingan untuk
mengumpulkan sebanyak-banyaknya desa besok itu senasional agar mereka tidak takut.
Karena kami harus, kita semua harus membela desa.
Nah kita mulai dari tentang over policy yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Berdasarkan temuan dan analisa yang kami lakukan, pemerintah ini sejak 2014 menerbitkan
regulasi teknis pelaksanaan Undang-Undang Desa yang mereduksi mandat dan melahirkan
seakan-akan seperti norma baru, ketentuan baru di dalam aturan-aturan teknisnya itu. Sebagai
misal kami mencatat misalnya mandat pengaturan lebih lanjut tentang Badan
Permusyawaratan Desa itu kalau kita merujuk pada Pasal 65 Ayat (2) Undang-Undang Desa
itu harusnya sudah dimandatkan diatur lebih lanjut ke dalam peraturan daerah
kabupaten/kota. Tetapi, oleh Peraturan Pemerintah No. 43, terutama di Pasal 79, justru
pengaturan lebih lanjut itu disubdelegasikan melalui peraturan menteri. Dalam hal ini,
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
10
kemudian terbitlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 tentang BPD.
Nah ini yang kemudian mulai dari Pasal 65 Ayat (2), kemudian terutama di Pasal 79 maaf, di
Peraturan Pemerintah Nomor 43 itu kemudian seakan-akan memunculkan norma ketentuan
baru tentang pengaturan Badan Permusyawaratan Desa itu. Karena, kemudian diatur detail,
rinci, tadi itu yang kita sebut di depan Pak Ketua dan juga Pak Sentot tadi menyebut, pusat di
dalam membuat regulasi teknis itu lupa pada jati diri atau asas rekognisi dan subsidiaritas itu.
Dihabisi ruang desa, ruang kreasi daerah, maupun ruang kreasi desa di dalam mengatur.
Padahal kita ingat di Pasal 19 Undang-Undang Desa itu bahwa kewenangan desalah untuk
mengatur dan mengurus hal ihwal yang berkepentingan dengan nasib mereka, kepentingan
mereka, kebutuhan mereka, termasuk dalam hal ini dalam kasus Badan Permusyawaratan
Desa. Permendagri 110 saya pikir sudah terlalu over di dalam mengatur sehingga komplikasi-
komplikasi itu lahir saat ini di daerah, di desa. Jadi masing-masing daerah kemudian merujuk
ke Permendagri 110 dan akhirnya juga menimbulkan komplikasi-komplikasi lebih lanjut.
Yang kedua contohnya kasus yang kita utarakan adalah mandat penggunaan dana
desa. Bapak Ibu, kalau kita me-refer kepada Pasal 72 Ayat 1b, bahwa dana desa itu
sebenarnya untuk mendanai 4 bidang kewenangan desa, urusan pemerintahan, pembangunan,
sosial masyarakat, dan pemberdayaan. Jadi sudah jelas di situ, tetapi kalau kita cek di dalam
Pasal 19 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60, kemudian sebenarnya malu-malu di Pasal
20 itu diutarakan lagi bahwa di PP 60 itu bahwa dana desa itu untuk 4 bidang, tetapi di Pasal
21 PP 60 itu ditegaskan bahwa kementerian yang mengurusi desa memang dimandatkan oleh
PP 60 itu untuk membuat prioritas penggunaan dana desa, dalam hal ini prioritas penggunaan
dana desa untuk dua bidang, pembangunan dan pemberdayaan. Jadi di situlah sebenarnya asal
muasalnya kalau menurut kami kenapa dana desa tidak bisa cepat digunakan oleh desa untuk
menjalankan kewenangannya, menjalankan kekuasaan dan tanggung jawabnya untuk
mengatur, mengurus kepentingan, kebutuhan masyarakat setempat, karena sudah diikat,
sudah dikunci oleh PP 60 di Pasal 19 Ayat 2 dan Pasal 21 di PP 60, dan akhirnya dari Pasal
21 di PP 60 itu setiap tahun menteri desa, karena mandat itu mengeluarkan peraturan menteri
desa tentang prioritas penggunaan dana desa, termasuk sekarang ini yang 4 program
unggulan itu. Embung ya Pak, bukan kembung? Embung desa, sarana olahraga desa dan
seterusnya, tentang embung desa dan seterusnya. Nah itu yang kami, mencontohkan
bagaimana over policy yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat.
Nah selanjutnya kita juga mencatat. Nah ini sebenarnya menjawab tantangan dari Pak
Ketua Komite I di tahun sebelumnya. Ternyata setelah kami refleksikan, kami hitung juga
Pak, ya benar juga, Perpres 11/12 itu memang menjadi pangkal soal juga, karena desa yang
diurus oleh dua kementerian dan kebetulan dua kementerian juga sulit duduk bareng,
berkoordinasi, itu ternyata repot, rumit di dalam menyusun suatu langkah-langkah
koordinatif, apalagi membuat satu sinergi kebijakan teknis, dan akhirnya juga tadi Pak Sentot
saya kutip, dalam hal pendampingan harusnya Kementerian Desa itu menugaskan para
pendamping untuk memperkuat partisipasi, tradisi berdesa masyarakat desa malah justru dia
ngendon, apa bahasanya itu malah nempel di pemerintah desa. Temuan-temuan yang kita
peroleh saat melakukan riset tentang pendampingan desa ini, para pendamping itu bukannya
melakukan pendampingan malah justru didampingi orang yang seharusnya didampingi.
Karena fresh graduate, karena memang kompetensinya juga kurang perhatian, kurang
pelatihan dan meman ya ketemunya, sak ketemunya. Itu yang menjadi komplikasi akibat dua
pengaturan dua kementerian dan dua urusan tentang desa ini.
Berikutnya Bapak Ibu yang saya hormati, regulasi teknis tentang desa, ini terutama
peraturan di tingkat menteri ya, permendagri maupun permendesa. Tadi ada konfirmasi dari
Permendagri 113 sebelumnya atau yang lain juga Permendagri 114 tentang bagaimana
menyusun atau pedoman pembangunan desa. Itu wataknya, desainnya itu berwatak
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
11
mengendalikan dan mengontrol desa. Jadi mengutamakan aspek teknokrasi dan administrasi.
Sesungguhnya kalau mau diambil intinya itu peraturan itu satu tindakan negara yang tidak
percaya sama desa. Intinya itu. Karena desa dipandu sedemikian rigit, sedemikian njelimet
ujung-ujungnya sehingga ini malah menelikung teman-teman di desa, tidak bisa bergerak
secara leluasa di tengah sistem pengelolaan program kegiatan maupun anggaran, memang
belum disesuaikan secara frontal, secara revolusioner di dalam pengaturan tentang desa ini.
Nah ini yang menurut kami watak pengaturan di regulasi teknis ini yang justru mengabaikan
azas rekognisi dan subsidiaritas. Undang-Undang Desa itu mengakui dan menghormati
kepada desa tetapi justru melalui peraturan teknis itulah watak tidak mengakui, tidak
menghormati dan tidak percaya sama desa ditampilkan. Nah ini yang kalau, mungkin Bapak
Ibu juga selalu atau sering mendengarkan keluhan dari Bapak-bapak Ibu di desa yang
mengutarakan, ini pusat memproduksi aturan terus, kapan kami membaca apalagi memahami.
Itu apa yang proyek aturan ya Pak Hafidh? Ini kasian desa dalam situasi yang seperti ini. Dan
di dalam peraturan-peraturan teknis itu sering meminta mensubdelegasikan pada peraturan-
peraturan di bawah, ada perbup dan sebagainya.
Nah berikutnya, kami mencatat tindakan pemerintah pusat dalam hal ini kebijakan
dan sampai kepada peraturan tadi itu seperti pendampingan desa, pengembangan badan usaha
milik desa, pengawasan dana desa, kalau menurut catatan kami, menurut temuan-temuan
kami justru memicu kegaduhan di desa dan mereproduksi rasa kekhawatiran yang berlebihan
Pak tentang Undang-Undang Desa ini, makannya kami sedang bisa dikatakan siaga 1 Pak
Muqowam, karena konstruksi dalam sebulan terakhir ini gara-gara OTT di Pamekasan itu,
sebenarnya yang di-OTT ini kan karena polahnya para pimpinan di daerah yang kemudian
menggeret seorang kepala desa. Artinya memang ini ada persoalan kultur koruptif yang ada
di daerah tetapi kenapa yang akan dibumihanguskan adalah perilaku-perilaku yang masih
transisional yang ada di desa. Ini yang makanya kami besok itu mengumpulkan teman-teman
desa dan daerah itu untuk memberi warning kepada nasional bahwa desa itu banyak yang
baik meskipun ada juga oknum ataupun orang-orang desa yang memang dari lahirnya sudah
berwatak memang ingin ngakali di desa atau jahat. Nah jadi kegaduhan dan reproduksi rasa
kekhawatiran tentang Undang-Undang Desa itu bisa terjadi kalau ini tidak segera kita carikan
solusi atau kita melakukan resolusi soal-soal berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang
Desa. Nah itu yang ada di pusat.
Kemudian kenapa kami menyebut daerah melamban, Bapak, Ibu, next sebagai contoh
tentang kewenangan desa Bapak Ibu. Kalau kami atau kita sekarang ini pada saat mengikuti
alurnya pemerintah melalui PP 43, contohnya Pasal 37 di PP 43 itu bahwa masing-masing
kabupaten semestinya itu ada declare, ada pernyataan, ada peraturan bupati tentang daftar
kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan lokal berskala desa. Bank Dunia tahun 2015
melakukan riset dan hanya 15% saat itu yang baru membuat peraturan bupati tentang daftar
kewenangan desa. Sampai hari ini misalnya di.. kita sedang melakukan regulation review di
beberapa kabupaten di Jawa dan di NTB, itu kita menemukan baru satu daerah yang
menyusun peraturan bupati tentang daftar kewenangan desa. Padahal itu fundamental, itu
mendasar di dalam rangka menjalankan, menyelenggarakan kekuasaan dan tanggung jawab
berkaitan dengan Undang-Undang Desa ini. Nah ini diabaikan oleh daerah. Tahun 2015
Februari kami serombongan sebenarnya sudah sampaikan itu ke Menteri Desa saat itu, kilah
Menteri Desa saat itu adalah kami sudah sering melakukan korespondensi, memberi surat
kawat kepada daerah tetapi ternyata instruksi permintaan dari pemerintah pusat ternyata
banyak yang diabaikan oleh daerah. Nah ini yang menurut saya, menurut kami meresahkan
sampai hari ini tidak ada perkembangan yang signifikan tentang peraturan bupati ini, padahal
saya khawatir kalau teman-teman penegak hukum dikala kita sedang merepresi tentang dana
desa tentang penyelenggaraan dana desa itu kalau tahu logika ini, bisa jadi nanti digulung ini,
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
12
karena daerah, karena desa membuat program kegiatan, membelanjakan uang negara tanpa
ada kepastian hukum yang itu sudah dimandatkan di dalam peraturan pemerintah. Ini
beresiko, meskipun teman kami seorang ahli hukum tata negara dia selalu me-refer pada
Pasal 19 di Undang-Undang Desa itu bahwa kewenangan desa itu diatur dan diurus oleh desa.
Cukup Pak, tapi dalam PP 43 Pasal 37 sudah jelas mandatnya bahwa bupati harus
mengeluarkan peraturan bupati tentang daftar kewenangan desa. Jadi ini Pak yang satu di
daerah.
Yang kedua, kita ini sedang menghadapi juga kemungkinan atau potensi overlapping,
tumpang tindih antara sistem perencanaan daerah dan sistem perencanaan desa. 23/2014 dan
6/2014 itu saling tumpang susun, tumpang tindih. Pada bulan Januari,desa itu disibukkan oleh
yang namanya musrembang daerah dalam rangka menyusun RKP daerah Pak, tetapi oleh
Undang-Undang Desa oleh Permendagri 114, Januari itulah musyawarah desa untuk RKP
Desa juga. Itulah potensi tumpang tindih yang saya sebut tadi itu. Kami sekarang sedang
mengkampanyekan ke Bappenas, ke daerah agar daerah-daerah terutama Bappeda, Bappenas
dan Kemendagri menyusun terutama Bappenas Kemendagri dan Kemendesa menyusun surat
edaran bersama tentang sudahlah di dalam rangka untuk menyusun RKP daerah tidak usah
ada musrembang desa. Langsung saja musrembang kecamatan, agar desa karena sudah punya
kewenangan tadi itu agar biar dengan tenang melaksanakan musyawarah desa untuk
mengatur mengurus terutama me-review produk dokumen perencanaan enam tahunan RPJM
Desa. Nah kalau ada gangguan misalnya ada musrembang desa lagi di bulan Januari, itu yang
kemudian bisa mengkacaukan konsentrasi di desa. Nah ini yang sedang kita upayakan. Jadi
kami mohon kepada Dewan Perwakilan Daerah, Komite I juga ini bisa dipertimbangkan
untuk diadvokasi.
Kemudian menurut kami, banyak daerah juga yang mengutamakan, nah ini mencari
amannya bagi dirinya sebagai simpul di dalam pelaksanaan Undang-Undang Desa terutama
dalam lintasan dana desa maupun alokasi dana desa itu sehingga cenderung menempuh
prosedur administrasi yang lebih aman ketimbang menghidupkan dan merawat demokrasi
desa. Jarang sekali kami melakukan temuan dalam riset-riset kami, pendampingan-
pedampingan kami daerah yang concern yang aware, sadar soal aspek-aspek fundamental
tentang demokrasi desa itu, tradisi lokalitas yang ada di desa, baik itu desa yang ada di
Maluku, di Papua maupun di Sumatera, Kalimantan, yang itu yang sangat beragam itu, itu
yang kemudian tidak dirawat, dihidupkan kembali oleh daerah melalui kebijakan-kebijakan
pembinaan fasilitasi oleh daerah. Cenderung mereka aware-nya itu, sadarnya concern-nya itu
di prosedur-prosedur administrasi mengamankan uang yang menggelontor ke desa itu. Nah
itu. Padahal Undang-Undang Desa itu bukan sekedar uang masuk desa tapi Undang-Undang
Desa itu menghidupkan kembali lokalitas desa artinya demokrasi desa, dengan lokalitas desa
yang menguat itu tradisi-tradisi lama yang selama ini luluh lantah karena kebijakan-kebijakan
negara tempo lalu kemudian pulih kembali dan dengan adanya sistem yang pulih itu kalau
ada uang yang masuk menggelontor ke desa itu akan dikelola secara.. menggunakan cara-cara
sistem lokal yang baik, yang bisa untuk memupuk, menumbuhkan merawat kehidupan dan
penghidupan mereka di desa itu.
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
13
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Mas Naji, agak cepat dikit. Jadi gayanya kayak Jakarta, bukan Yogja ini.
PEMBICARA: SUNAJI ZAMRONI (NARASUMBER)
Terakhir. Catatan kami sebenarnya... Sebelumnya Mas. Highlight kami adalah
memperkuat demokrasi itu adalah jalan utama untuk menghidupkan kembali dan merawat
tradisi berdesa. Ini kami akan masuk ke jangan takuti desa. Karena sebenarnya Undang-
Undang Desa itu cara negara membela desa, tetapi kasus-kasus soal korupsi dana desa yang
dilakukan oleh oknum-oknum itu memanggil kita untuk membela masyarakat desa dengan
cara-cara mengembangkan demokrasi desa. Kami punya riset yang cukup mendalam tentang
demokrasi desa itu dan kami sudah kirimkan kepada Pak Ketua Komite I juga tentang buku
yang kami terbitkan tentang desa sebagai situs baru demokrasi lokal di Indonesia.
Saya pikir itu Pak Ketua Komite I, Bapak Ibu Anggota Komite I yang bisa kami
paparkan. Nanti bisa kita lanjutkan diskusi lebih lanjut.
Terima kasih.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Ibu Bapak sekalian, saya kira saya ingin membuka ruang komunikasi antara Ibu
Bapak dengan Mas Naji ini Direktur IRE. Mas Naji ini punya nomor telepon Bapak Ibu
sekalian, saya seizin Pak Naji... (*tidak jelas, red) sampean punya silakan. nomor
handphonenya berapa?
PEMBICARA: SUNAJI ZAMRONI (NARASUMBER)
081229706708.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
081229706708. Kemudian Mas Sentot dari IRE ini. Silakan Mas Sentot.
PEMBICARA: SENTOT S. SATRIA (NARASUMBER)
Hp saya 08128552975
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
08128552975.
Begini Mas, semakin banyak yang harus kita ajak Mas untuk mendemo kepada
pemerintah agar mereka cerdas. Ya, karena tadi Mas Naji, saya kira dari awal gremeng,
bukan gremeng, koar-koar dimana-mana bahwa PP 11-12 itu adalah awal dari kegagalan
Undang-Undang Desa. Jadi di Kompas juga pernah saya katakan dulu itu ya soal PP 11-12 ya
guyone Mas. Syarat menjadi presiden harus pernah pengalaman jadi presiden.. Nestapa juga
kita ini.
Bapak Ibu sekalian, soal pendamping, ini mengerikan. Oleh beberapa provinsi
kemudian diputar 180 derajat, ada yang 90 derajat ini. Di Jawa Timur saya … (*tidak jelasm
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
14
red) ini orang Madiun dipindah ke Bojonegoro, dari Bojonegoro dipindah ke Madura, dari
Madura dipindah ke Jember, Jember pindah ke Malang, Malang dipindah ke Madiun, ayam
saja diajak pergi kontraksi dia, apalagi manusia. Kalau ayam diajak pergi tidak bertelur dia
itu. Lalu yang kedua adalah di kabupaten saya Bapak Ibu sekalian, enam orang pendamping
tingkat kabupaten alhamdulillah empat itu dari luar Kabupaten Semarang. Ditanya, dari apa?
PPP Pak. PPP, PPP, PPP semua itu. Iya partai yang Kemendes yang paling berkuasa kira-kira
begitulah kira-kira. Lho fakta, itu fakta, karena tolak ukur saya Pak Habib, tolak ukur
Undang-Undang Desa itu adalah ya negara gitu lho. Jadi ketika Pak Ganjar mempromosi desa
berdikari, Pak Aher sudah muter juga seperti Pakde Karwo, nah itu. Saya kira ini fakta yang
di lapangan yang, yang penting mereka sebulan sekali tandatangan SPPD, itu saja,
pendamping itu. SPPD saja orentasinya. Jadi saya pribadi juga Bapak Ibu sekalian memang
banyak peraturan-peraturan Mendagri itu itu yang melawan Undang-Undang Desa. Mas Naji.
Mas Sentot saya kira Bapak kenal, ramai tapi giliran. Waktu dulu saya selalu kaih ini begini,
ini begini, begini tapi begitu jadi undanh-undang justru di-reduce Undang-Undang 6/2014 itu
di PPnya, DPR tidak ikut, DPD tidak ikut.
Bapak Ibu sekalian, ini jam setengah empat lebih sedikit. Kita selesai sampai jam
berapa nanti, kita fleksibel saja karena pasti akan menarik untuk Ibu Bapak Komite I itu
memberikan respon dari apa yang disampaikan oleh beliau berdua. Silakan dari kanan, ini
anu jangan gunakan kamar tidur tadi ya, di kamar tamu ya. Ya Pak Idris, Pak Mawardi, Pak
Habib, Pak Yusran. Cukup? Jangan Anggota DPD perwakilan daerah masih diwakili juga
ngomongnya ini. Dewan perwakilan, perwakilan daerah namanya ini, bukan DPD tapi DPPD
namanya. Bukan DPPD ya? Berarti anda ngomong berarti Anggota DPPD itu, bukan DPD
Pak. Oke nanti pertama Pak Mawardi, kemudian Pak Idris, Pak Yusran, kemudian Pak
Hafidh. Silakan Pak Mawardi.
PEMBICARA: Ir. H. MUHAMMAD MAWARDI, M.M., M.Si. (KALTENG)
Baik, terima kasih Pak Ketua.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera bagi kita sekalian.
Om swastiastu.
Menarik sekali yang dipaparkan oleh KOMPAK maupun IRE, dan ini memang
masalah kita Pak. Kita memahami begitu mulianya Undang-Undang Desa ini untuk
membangun desa, dari desa yang kita berharap justru akan memajukan bangsa dan negara
tetapi dalam hal bahannya bagus tapi dalam praktek paelaksanaannya ini yang jadi persoalan
bagi kita semua. Saya sebenarnya termasuk juga orang yang mempopulerkan PNPM ketika
saya masih di daerah sehingga pelaksanaannya itu betul-betul bagaimana kita menerapkan
masyarakat desa itu berdaulat, dia mempunyai kearifan lokal, dia mempunyai inovasi dan
kreasi karena semua itu kita serahkana pada desa untuk melaksanakan keinginan
pembangunan. Cuma sangat kita sayangkan kadang-kadang sesuatu yang sistem yang sudah
bagus itu kadang-kadang kita mencari lagi padahal sudah ada. Saya terus terang ketika rapat
dengan Pak Mendagri, Pak Ketua. Saya pernah mengatakan Pak Mendagri sistem yang baik
pemerintahan yang lalu itu harusnya dilanjutkan bukannya diganti dengan sistem baru, saya
bilang. Nah menurut hemat saya, menurut pendapat saya, apa yang terjadi sekarang ini karena
manajemen pembangunan desa itu lebih bertumpu kepadasistem proyek Pak seperti ke-PUan
melaksanakan kegiatan, seperti yang ada di SKPD-SKPD, akhirnya peraturan terlalu banyak,
saya yakin ini juga yang akan menjerat dari pelaksanaan di lapangan sehingga menurut hemat
kami memang ya saya sependapat, yang pertama itu kita menyederhanakan peraturan-
peraturannya dulu. Semakin banyak peraturan, pasti banyak membuat rumit dalam hal
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
15
pelaksanaan. Akibatnya yang Bapak sampaikan itu juga yang saya ketahui, misal saja para
kepala desa, masalah SPJ, kalau sudah selesai dipanggil para jaksa, ujung-ujungnya kan
akhirnya diperas Pak, kan di situ akhirnya;. Karena ini, harus begini, begini,begini. Kalau
sistem PNPM semua ada tim pelaksana kegiatan, dipilih oleh masyarakat,
dipertanggungjawabkan, ada fasilator yang memberikan pendampingan, kemudian hasil
pembangunan diumumkan secara terbuka. Bagus semua, dan apa yang dikatakan Pak Ketua
tadi betul, saya melihat misalnya dia akan membangun satu kilo semenisasi. Dia bisa
mendapatkan 1,3 km, saya lihat, dia membangun pada PNPM itu sumur bor misalnya. Dia
rencananya mungkin ada dua tiba-tiba jadi tiga. Dia membangun Gudung Paud, bukan hanya
gedungnya saja pengalaman saya, mebelnya juga ada. Nah saya bilang ini yang sebenarnya
sudah bagus sitemnya, kenapa kok tidak dilanjutkan begitu. Jadi hari ini kita seperti proyek
saja. Akhirnya dicari penyimpangan dan lain-lain, apalagi yang saya dengar juga para kepala
daerah apalagi incumbent yang mau maju juga ngancam-ngancam. Kalau tidak mendukung
dana tidak cair, iya kan gitu. Kalau mau dicairkan kemudian mejanya banyak harus sekian-
sekian. Coba bayangkan kalau tempat saya itu yang pernah mimpin itu 200 desa, satu desa
saja dia menguapnya satu setengah juta, sudah berapa coba? Itu yang terjadi setiap pencairan,
satu tahun tiga kali itu yang akan menguap. Nah menurut hemat kami, kita punya
kepentingan dan meminta pemerintah agar menyederhanakan peraturan-peraturan yang. Yang
kedua, saya sepakat bagaimana peningkatan sumber daya manusia. Saya melihat hari ini
misalnya kepala daerah karena ingin untuk membawa dukungan suara lebih banyak diajak
anjang sana ke tempat saya itu dibawa ke Bali, uangnya dari dana desa, dari ADD misalnya,
untuk apa saya bilang, harusnya digunakan bisa untuk pelatihan-pelatihan memahami
pelaporan administrasi dan lain-lain, sehingga ada tenaga yang paham tentang administrasi
misalnya gitu. Nah ini tidak, dibawa ke Batam akhirnya juga nyeberang ke Singapura lagi, ini
yang memang saya, saya lihat ini arah undang-undang bagus yang mulia, arahnya sudah,
terapannya ini sudah jadi, menyilang kesana kemari gitu.
Jadi menurut hemat saya, memang kita sepakat harusnya pemerintah memperbaiki
menyelenggarakan peraturan yang kedua peningkatan kapasitas pemerintahan desanya. Nah
kalau itu saya pikir kita bisa, ya sekali lagi, saya sih, bukan saya artinya, apa terhadap PNPM
ini, karena ini memang bagus saya bilang, kenapa ini tidak kita-kita terapkan kembali,
tenaga-tenaga PNPM dulu yang sudah ahli begitu tiba-tiba tidak terpakai, perekrutan tadi
Bapak jelaskan, sampai hari ini misalnya baru dimulai kemudian diserahkan lagi ke provinsi
yang jenjang pengawasannya sangat jauh sekali. Jadi saya pikir 3 persoalan itu menurut
hemat saya yang mungkin kita perlu merumuskan, khususnya kita DPD ini nanti dengan
teman-teman kita kompak, ini gimana memberikan masukan kepada pemerintahan, agar
betul-betul ini roh dari Undang-Undang Desa ini dikembalikan, bukan bicara uang gitu, tapi
bicara tentang efektifitas pelaksanaan pembangunannya. Kalau dulu, Bapak tadi jelaskan
Musrembang Pak, memang kita di daerah itu ada namanya Musrembang Kecamatan, tapi ada
juga mereka melaksanakan di Musrembang Desa. Nah, disitu dibagi dua Pak, dana PNPM
itu, mana yang akan mereka kelola, sedangkan mereka yang tidak ada anggaran, itu nanti
dilarikan kepada SKPD, jadi ini sebenarnya Pak, ini, apa ini, Musrembang itu justru
sinkronisasi bukannya saling potong satu dengan lain.
Misal dana desa mereka ada 1 miliar, apa yang mereka laksanakan yang secara
inisiatif mereka, yang mereka akan lakukan, yang tujuannya tidak ada lain tadi bapak katakan
adalah pelayanan dasar, dulukan membangun Puskesdes saya masih ingat, paud, sumur bor,
MCK. Saya pikir efektif sekali itu, nah itu harusnya roh itu dikembalikan, sedangkan yang
dia tidak mampu, jarak antar desa misalnya, ataupun tadi Bapak katakan embung, bisa saja
dilakukan oleh Dinas Pertanian yang anggaran di Kabupaten.
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
16
Jadi menurut hemat saya kita menyederhanakan mungkin begitu Pak, mungkin kita
nanti bagaimana DPD dengan Kompak, IRE merumuskan, bahwa inilah yang akan kita
berikan masukan kepada pemerintahan untuk mengembalikan ruh dari Undang-Undang Desa
yang baik itu, untuk bagaimana pelaksanaannyalah yang menurut hemat saya yang perlu
diperbaiki, baik menyangkut undang-undang maupun peningkatan kapasitas pemerintahan
desa.
Mungkin itu Pak, jadi saya sih apa yang bapak jelaskan semua, saya sangat
sependapat sekali, memahami sekali tapi dalam kondisi yang beginikan yang kita cari
solusinya itu bagaimana memperbaikinya, ya kan. Mudah-mudahan pemerintahan Menteri
Desa, Menteri Dalam Negeri juga dapat memahami gitu loh, makna dari pembangunan desa
itu, bukan istilahnya dari sudut pandang masing-masing, tetapi justru dia memahami tentang
kearifan dari pembangunan di Desa yang dilakukan oleh masyarakat. Saya pikir mungkin itu
Pimpinan, terima kasih.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Terima kasih Pak, lanjut, siap-siap Pak Yusran ya.
PEMBICARA: Drs. H. MUHAMMAD IDRIS S. (KALTIM)
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Terima kasih P impinan waktu yang diberikan pada kami.
Narasumber yang kami hormati, hadirin sekalian yang berbahagia. Saya sedikit saja
Pak, saya takut kalau saya bicara panjang dibilang ini dari kamar ke kamar lagi, karena apa,
kalau kita merujuk Pak, pada 74.000 desa se-Indonesia, apa yang Bapak paparkan tadi itu
kurang lebih, ya samalah, kondisi yang ada di Indonesia, baik itu di Sumatera, di Sulawesi
Selatan, di Jawa, maupun di Kalimantan. Tapi untuk menyukseskan Undang-Undang Desa ini
supaya bisa dirasakan oleh masyarakat se-Indonesia, tentu butuh kebijakan-kebijakan yang
sederhana, tidak muluk-muluk tapi bisa dilaksanakan. Artinya kita berpikir bagaimana
mengukur kemampuan desa, didalam menerjemahkan kebijakan yang ada.
Misalnya kalau, misanya kita mengukur Pak tingkat pendidikan desa yang ada di
Pulau Jawa misalnya, atau di Sumatera, di Sulawesi Selatan ya tentu tidak sama kalau
misalnya bagaimana tingkat kemampuan kecerdasannya, masyarakat yang ada di seperti di
Kalimantan ya. Sama halnya kita membangun provinsi di 34 provinsi ini, ya tidak bisa kita
berpikiran secara sama, karena tentu ada kelebihan-kelebihan dan kekurangan yang ada
didalamnya.
Menurut hasil pengamatan kami Pak, kami belum pernah memberikan motivasi atau
penilaian terhadap desa yang ada di wilayah kami, karena kami memahami bahwa, kapan kita
sentuh itu dana desa, pada saat itulah ada orang yang tersinggung, seperti yang Bapak
sampaikan tadi Pak. Hanya saya bisa mengatakan bahwa bicara masalah dana desa, yang dulu
waktu saya masih Ketua LKMD, itu dana desa Pak, LKMD itu hanya 750.000, tapi bisa
menggait partisipasi masyarakat sampai puluhan juat, nah sekarang sudah ada miliaran, tapi
justru desa semakin tercekam, takut. Karena kalau salah-salah, ini kalau kita dengarkan ini
dana desa sampai 1 desa sampai 1 miliar, itu luar biasa berbunga-bunga hatinya, malah justru
orang yang kelurahan pun kepingin jadi desa, yang desa pun kepingin supaya dimekarkan
lagi jadi desa, karena apa termotivasi dengan bayang-bayang yang 1 miliar itu, tapi apakah
nanti bisa dilaksanakan seperti yang dibayang-bayang seperti yang ingin dicapai itu? Itu sulit
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
17
sekali Pak, malah justru ini yang terakhir ini ada desa, gara-gara dana desa ini Pak ada yang
dipenjara dan ditangkapi itu malah justru lebih takut lagi desa, kondisi ini Pak bukan kondisi
lokal tapi, 1.315 desa di Kalimantan Timur, Kalimantan Utara punya pandangan seperti itu.
Oleh karenanya kami usulkan Pak mudah-mudahan ini bisa diterima, karena desa ini
adalah mitra terindah dari DPD RI, ya dari Kompak dan apa namanya tadi satu, ya ini bisa
kita kerjasama yang baik, dari 34 Provinsi ini Pak, mungkin Bapak bisa membuat salah satu
program, dari 34 Provinsi ini, Bapak buat kegiatan, kemudian melibatkan masing-masing
anggota DPD RI Komite I, supaya setiap provinsi, penjabat provinsi dan kabupaten/kota itu
kalau kita bertemu dengan seluruh desa, perangkat desa itu, dia akan lebih jelas Pak,
bagaimana sistem sebenarnya, petunjuk atau rujukan yang harus dilaksanakan dengan baik.
Saya kira ini akan lebih bagus, ketimbang kita mengusulkan ada, ada tenaga-tenaga
pendampingan yang notabene, itu juga dia enggak ngerti sebenarnya situasi dan kondisi di
desa dimanapun dia ditugaskan, malah justru desa-desa Pak mengusulkan supaya, kenapa
tidak orang-orang Kecamatan saja yang tahu situasi kondisi desanya itu dijadikan semacam
pendamping terhadap pelaksanaan dana desa yang ada. Saya kira itu pak terima kasih, mohon
dimaafkan.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Terima kasih Pak Haji, maaf ya, loncatlah kita ke.
PEMBICARA: Drs H. A. HAFIDH ASROM, M.M. (D.I.Y)
Sini masih anggota ini.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Oh mau duluan? Tadi maunya di penutup gitu silakan.
PEMBICARA: Drs H. A. HAFIDH ASROM, M.M. (D.I.Y)
Tahu kalau IRE dari Yogya jadi tidak diundang, terima kasih Pimpinan.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat sore.
Salam sejarahtera bagi kita semua.
Poinnya, Pimpinan dari IRE maupun dari Kompak, terima kasih atas paparannya yang
sangat bagus. Pertama, memang kita menyadari bahwa Indonesia ini beragam, ada juga saya
kemarin datang ke satu kelurahan yang menjadi juara nasional desa terbagus di Bantul. Tapi
setelah saya cek ternyata memang kepala desanya juga sarjana. Kemudian dan desanya sudah
maju sebelum ada dana desa, sebelum ada undang-undang desa. Kemudian di Klaten juga
demikian, desanya sudah maju sebelum ada undang-undang desa itu yang dipakai contoh
oleh Kementerian Desa Tertinggal gitu, jadi ini riil Pak.
Kemudian yang berikutnya, saya awal-awal sosialisasi tentang Undang-Undang Desa
pernah mengumpulkan perangkat itu sekecamatan Imogiri, Mas Narji, kemudian disana
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
18
beragam dari BPD kemudian kepala desa, sekdes saya kumpulkan untuk sosialisasi.
Pertanyaan yang sangat mengejutkan Pak Hafidh ini apa kira-kira tidak ada program untuk
menurunkan korupsi di pusat jadi di desa? Itu pertanyaan yang disampaikan dengan
ketulusan, karena apa? Mereka menyadari dari sisi perencanaan belum menguasai. Sisi
pelaksanaan juga belum menguasai apalagi sisi pelaporan, sama sekali belum menguasai
digelontor dana, apa yang terjadi? Ya seperti itulah kondisinya seperti kawan-kawan kita
yang dialami seperti di Pamekasan, itu yang terjadi.
Oleh sebab itu maka kita berkewajiban dari DPD RI bersama-sama dengan
masyarakat dikawal oleh mungkin Kompak dan IRE itu ya untuk membuat TOR, bagaimana
kita memperbaiki kondisi yang ada ini. Bersama-sama kita mengumpulkan, kemudian juga
mengumpulkan institusi yang terkait kejaksaan tinggi kemudian juga kepolisian mungkin
juga dari BPKP, BPK dan lain sebagainya untuk sama-sama sosialisasi, saya kira ini harus
kita tempuh. Sosialisasi bareng-bareng supaya masyarakat kita, terutama yang ada di desa ini
tidak terjebak dalam masalah-masalah yang tidak perlu. Karena kondisi sekarang yang ada,
istrinya Pak Lurah jadi pemborong, jadi temuan Pak, keponakannya jadi pensuplai tenaga,
jadi temuan juga. Apalagi nanti ini pertengkaran antara waktu pencalonan kades yang
kemarin ada musuh yang satu yang satunya, akhirnya itu jadi temuan yang mengakibatkan
kawan-kawan kita sebagai lurah ini jadi tersangka.
Ada juga yang lobi dan lain sebagainya, ini tugas kita Bapak Ibu semua, saya kira kita
tidak bisa menyalahkan 100% kepada pemerintah karena pemerintah butuh masukan memang
untuk sistem yang terbaik seperti apa gitu. Itu yang bisa saya sampaikan.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Terima kasih Pak Hafidh, selanjutnya Pak Yusran.
PEMBICARA: Drs. YUSRAN A. SILONDAE, M.Si. (SULTENG)
Baik.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bapak Pimpinan dan rekan-rekan Anggota DPD yang kami hormati, Bapak
narasumber hadirin sekalian yang berbahagia.
Jadi betul tadi disampaikan bahwa memang tiga tahun terakhir ini desa-desa itu
memperoleh alokasi dana yang cukup besar. Jadi disamping dari dana desa, desa-desa juga
tetap memperoleh alokasi dana desa. Dan barangkali kalau kita balik ke belakang selama
republik ada, baru tiga tahun terakhir ini dana desa ini, desa itu dapat memperoleh dana yang
begitu besar.
Harapan kita sebenarnya dengan alokasi dana yang begitu besar ini betul-betul bisa
dimanfaatkan secara maksimal untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di pedesaan.
Antara lain masalah-masalah kemiskinan, masalah-masalah kesenjangan dengan memberikan
pelayanan-pelayanan dasar. Dan tentu kalau ini betul-betul mau kita laksanakan perlu ada
pendampingan-pendampingan dan perlu ada pengawalan-pengawalan agar supaya ini bisa
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
19
Jadi melalui kesempatan ini kami ingin memberikan apresiasi kepada Bapak-Bapak
dari Kompak begitu juga bapak-bapak dari IRE yang selama tiga tahun terakhir sudah
mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pemanfaatan dana
desa yang cukup besar ini di seluruh desa-desa yang ada di seluruh Indonesia ini.
Nah, barangkali melalui kesempatan ini kami ingin sedikit bertanya, sebagai
pendamping-pendamping yang ada dalam rangka pengelolaan dana desa karena memang
untuk pemanfaatan dana desa ini perlu ada manajemen pengelolaan yang maksimal agar ini
supaya bisa terkelola dengan sebaik-baiknya. Nah, tadi dikatakan bahwa Kompak antara lain
dalam melaksanakan kegiatan itu memberikan bantuan-bantuan teknis begitu juga
mengadakan advokasi kepada pemerintah daerah.
Nah, barangkali mulai dari mekanisme kerjanya dulu, bagaimana mekanisme kerja
antara Bapak-Bapak ya sebagai NGO barangkali dengan unsur pemerintah daerah. Karena
kita tahu di pemerintah daerah ini kan juga sudah ada BAPPEDA sudah ada BPMD. Bahkan
sudah ada juga pendamping-pendamping desa lokal desa dan disana juga di tingkat kabupaten
itu sudah ada yang disebut dengan tenaga ahli. Nah, bagaimana mekanisme kerja ini
dilaksanakan agar supaya kelihatan atau terkesan jangan sampai ada tumpang tindih di
dalamnya. Satu dari unsur pemerintah, satu di luar pemerintah. Nah, sedangkan yang menjadi
objeknya ini juga adalah bapak-bapak kepala desa. Nah, ini barangkali perlu perlu sekali kita
mengetahui kita mendengarkan penjelasan dari Bapak-bapak sekalian.
Kemudian berikutnya seperti yang disampaikan dalam pemaparan tadi memeang ada
beberapa permasalahan-permasalahan yang kita jumpai selama tiga tahun terakhir ini,
barangkali dari permasalahan-permasalahan yang kita hadapi ini, ini barangkali kita bisa
menganalisis kemudian mengambil jalan keluarnya. Barangkali antara kerjasama dari IRE
dan Kompak nanti kita bisa bersama-sama bersama dengan Menteri Desa dan Menteri Dalam
Negeri juga agar supaya betul-betul masalah-masalah yang dihadapi ditingkat pedesaan ini
itu bisa segera teratasi.
Nah, pertama tadi disampaikan dari mekanisme perencanaan dimana mekanisme
perencanaan ini tentu juga mengatur kepada peraturan perundang-undangan. Kalau kita lihat
sebagai pedoman pelaksanaan dari alokasi pemanfaatan dana desa ini di tingkat desa tentu
mengacu kepada peraturan-peraturan, termasuk peraturan-peraturan kemendes tentang
petunjuk-petunjuk pelaksanaan teknis. Jadi memang kalau kita lihat ada sedikit yang
kontradiktif, dimana di dalam permendes ini kelihatan sedikit agak bertentangan dengan jiwa
daripada Undang-Undang Desa tentang Otonomi Desa.
Kita lihat otonomi desa sebenarnya memberikan kewenangan juga kepada desa untuk
memanfaatkan desa itu berdasarkan potensi yang dimiliki untuk dikembangkan agar supaya
bisa dimanfaatkan sesuai kondisi dan keadaan desa. Tetapi dari aturan-aturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini yang mengintervensi sampai kepada
kewenangan-kewenangan yang ada ditingkat desa. Mengintervensi sampai kewenangan-
kewenangan yang ada ditingkat kabupaten, nah ini kelihatannya ada semacam
penyeragaman-penyeragaman dari pusat ke daerah, padahal kita tahu kondisi-kondisi desa itu
di daerah-daerah itu berbeda.
Katakanlah secara geografis desa-desa yang ada di daerah-daerah pesisir, desa-desa
yang ada di pegunungan itu kan berbeda kondisinya. Ada desa-desa tua seperti tadi dikatakan
oleh Bapak di sebelah tadi bahwa desa-desa yang sudah desa-desa lama, bahkan desa-desa
peninggalan-peninggalan kolonial itu barangkali semua struktur organisasinya kemudian
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
20
fasilitas sarana dan prasarana desanya itu sudah lengkap. Sedangkan di daerah lain, dibelahan
lain, di provinsi-provinsi misalnya di provinsi di kawasan timur Indonesia, desa-desa inikan
pada umumnya desa-desa baru desa-desa pemekaran. Nah, desa-desa seperti ini memang
masih memerlukan perhatian terutama infrastruktur, sarana prasarana bukan saja sarana
produksi dalam peningkatan produktivitas desa tetapi lebih daripada itu juga dari
infrastruktur, pemerintahan, fasilitas sosial, fasilitas ibadah dan sebagainya. Nah, barangkali
perbedaan-perbedaan seperti ini yang perlu kita carikan jalan keluar agar supaya kewenangan
desa untuk mengatur dan memanfaatkan penggunaan dana desa itu bisa disesuaikan dengan
kondisi keadaan di desa masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan juga
ditingkat desa.
Kemudian yang kedua tadi menyangkut perencanaan juga koordinasi. Koordinasi ini
perencana ini sangat perlu sekali sebab tanpa ada koordinasi, kita khawatirkan juga ada
kegiatan, ada objek disatu desa tetapi barangkali ini mempunyai kepentingan dan ada
korelasinya dengan kepentingan-kepentingan di desa lain. Misalnya saja, dari dana desa bisa
dimanfaatkan, digunakan untuk pembuatan irigasi. Nah, pembuatan irigasi atau katakanlah
jalan desa tidak menutup kemungkinan jalan desa tersebut itu akan melampaui dua desa
dalam rangka menyalurkan hasil produksi ke daerah-daerah pemasaran, sedangkan ego
masing-masing desa kadang-kadang juga itu muncul. Nah oleh karena itu, saya sependapat
tadi oleh bapak narasumber. Katakanlah untuk mekanisme perencanaanya itu tidak usah di
tingkat desa barangkali di tingkat kecamatan. Peran kecamatan ini harus diperkuat juga, peran
kecamatan untuk memudahkan koordinasi. Jadi jangan kita hanya lihat di desanya saja dalam
bentuk desa yang kecil satu tempat itu, tetapi bagaimana kaitannya dengan desa-desa yang
ada di daerah wilayah kecamatan tersebut. Kemudian peran koordinasi dalam perencaaan,
jadi di samping melalui forum Musrembang yang kita kenal selama ini tetapi peran juga
camat sebagai koordinasi pemerintahan itu perlu. Nah kalau kita lihat baik dari mekanisme
perencanaannya, pelaksanaannya sampai kepada pelaporannya kelihatannya ini, baik di
dalam petunjuk teknis Kemendes ini nomor 22 itu sangat kecil sekali, sehingga seolah-olah
itu camat itu lepas tangan dia biarkan saja pelaksanaan kegiatan di dana desa itu berjalan, ya
sesuai tanggung jawab di desa masing-masing.
Nah barangkali perlu ada aturan yang bisa melibatkan camat dalam rangka ikut serta
dalam perencanaan, begitu juga dalam rangka pengawasan, dan koordinasi pelaksanaan
daripada kegiatan-kegiatan dana desa tersebut. Kemudian berikutnya menyangkut take and
treatment. Barangkali kita bisa sependapat Pak tadi juga sudah banyak disinggung. Jadi
pendamping desa ini juga merupakan tulang punggung keberhasilan dana desa itu. Nah cuma
masalahnya pertama yang kita lihat yang kita jumpai di lapangan mungkin kita bisa saling
apa namanya saling tukar-menukar informasi dengan Kompak dan Ire. Pertama kita mulai
dari rekrutmennya, dari rekrutmen ini kan kelihatannya seperti itu terpusat Pak terpusat dari
sini, sehingga untuk merekrut tenaga-tenaga karena ini persyaratannya kan tenaga sarjana
yang ada di daerah tersebut. Kadang-kadang kita jumpai dan setelah diadakan apa namanya
diadakan seleksi kemudian diadakan penetapan. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Nah
soal penempatan, kadang-kadang ada sarjana-sarjana, katakanlah yang berasal dari satu
daerah di daerah kepulauan, tiba-tiba di dalam penempatannya ditaruh ditugaskan di tempat
di daerah pedesaan yang jauh, sehingga ini juga tidak bisa maksimal dia melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya, ya karena jiwanya kadang-kadang ingin di desanya.
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
21
Kemudian dia punya apa namanya dia punya latar belakang keilmuan juga kadang-
kadang inikan kadang-kadang yang dibutuhkan tenaga teknis tetapi yang direkrut ini tenaga
sosial bahkan tenaga sarjana agama saya lihat diangkat untuk menjadi pendamping teknis.
Nah bagaimana caranya ya tenaga sarjana agama ini diangkat menjadi pendamping teknis
bahkan ada yang saya jumpai itu Pak tenaga sarjana agama menjadi tenaga ahli tenaga ahli
kan di tingkat kabupaten itu Pak. Itu sarjana agama bagaimana dia bisa menghitung gambar
dan sebagainya. Nah barangkali inilah perlu menjadi perhatian kita agar supaya keseragaman-
keseragaman ini barangkali kita hati-hati sekali ya dalam penentuan rekrutmen di tingkat desa
ini, rekrutmen tenaga-tenaga pendamping desa. Kemudian yang ketiga, menyangkut
pengawasan. Nah ini pengawasan kita juga harus jaga jangan sampai ini over pak
pengawasan, sebab betul tadi disampaikan oleh Bapak-bapak sekarang ini di tingkat desa itu
Bapak-bapak Kepala Desa sudah sudah mulai ada semacam apa namanya sudah ada semacam
keragu-raguan ya, dalam melaksanakan ini apa kegiatan-kegiatan desa karena pengawasan
yang sampai bisa dikatakan barangkali over.
Nah sekarang ini Pak baik dari kejaksaan, baik dari kepolisian bahkan sampai-sampai
itu LSM, wartawan, mahasiswa itu kadang-kadang sudah sampai di tingkat desa, itu ya
kadang-kadang memberikan semacam apa namanya itu semacam ancaman, atau gertak hati-
hati dalam pelaksanaan kegiatan ini, bahkan kadang-kadang meminta sesuatu dan sebagainya.
Jadi barangkali juga dalam rangka pengawasan terhadap pelaksanaan dana desa ini, ya
barangkali perlu ada semacam petunjuk-petunjuk, sampai sejauh mana batas-batas
kewenangan, ya di dalam memberikan pengawasan agar supaya ada keberanian juga di
tingkat desa untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan ini. Nah ini barangkali tiga hal yang kami
sampaikan berkaitan dengan pemanfaatan penggunaan dana desa kaitannya dengan
pelaksanaan Undang-undang Desa. Jadi saya kira kita sependapat mudah-mudahan dengan
adanya dana desa melalui Undang-undang Desa ini bisa mempercepat kemajuan-kemajuan di
tingkat desa sehingga apa yang disampaikan oleh Bapak Presiden dengan nawacitanya ya kita
memulai membangun dari pinggiran nah ini barangkali satu media yang bisa kita manfaatkan
untuk mempercepat pembangunan di tingkat desa yang muaranya nanti sampai di tingkat
kecamatan, kabupaten, tingkat provinsi, sampai di tingkat nasional. Saya kira ini yang dapat
kami sampaikan. Terima kasih.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Walaikumsalam.
Terima kasih Pak Yusran. Jadi empat sudah sampaikan Pak narasumber jadi intinya
menambah apa yang disampaikan oleh narasumber tadi. Memang yang perlu kita sampaikan
bahwa kuncinya ada hal-hal yang sangat khusus sebenarnya. Jadi satu misalnya, komando itu
harusnya satu orang. Jadi sekarang ini orang itu tidak tahu tanggung jawab siapa ini kepala
desa itu tidak tahu. Pak camat juga ada yang tidak mau ikut campur lagi. Kemarin saya
ketemu sama camat sama desanya saya bilang jangan begitu, misalnya satu contoh SMA dari
bupati diambil ke gubernur. Kalau ada apa-apa bupati tidak mau tahu lagi nah ini tidak benar
juga jadi sudahlah kalau itu salah ya. Tapi ada prinsip-prinsip yang harus kita lakukan, bahwa
pemerintah pusat selalu memberikan kepercayaan kepada daerah. Tadi kalau Perbup- tidak
mau mengeluarkan tentang desa itu karena itu tadi tidak ada kewenangan apapun desa ada
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
22
kepala desa tidak mau open lagi kepada camat karena uang desa lebih besar dari uang camat,
uang desa itu. Jadi ini barangkali tambahan itu ya, ya mudah-mudahan ini memang prinsip-
prinsip rekrutmen, seperti yang dilakukan pemilihan tenaga ahli itu lebih hebat lagi. Ada
formasi tenaga ahli pertambangan di tempat kita itu, yang ikutnya sarjana tambang, sarjana
teknik, sarjana agama yang lulus sarjana agama yang dilantik. Itu ternyata terjadi seperti itu,
tapi kita mau apa ya. Jadi proses rekrutmen itu harus benar-benar ini, ini barangkali
bahannya, dan selanjutnya kami serahkan kembali kepada narasumber untuk memberi
tanggapan dan.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Ya Mas. Kadang-kadang nawa itu itu kan sesuatu yang dilaksanakan sebelum
pekerjaan itu dilaksanakan. Sholat pun nawaitu dulu Pak, jangan-jangan nawacita pun cuma
nawaitu doang itu Pak. Ya ini yang, nawaitu coba nawaitu somagodin itukan rasanya besok.
Jangan-jangan nawa itu nawacita itu sama dengan hanya nawaitu. Lalu tadi Pak Nawardi
sampaikan tambahan tadi soal kemiskinan, Mas Sentot negara tidak bekerja pun kemiskinan
turun mas, kenapa kelahiran lebih tinggi daripada kematian. Ekstrim ini, pemerintah tidak ada
program pun turun pasti. Ketika Rhoma Irama menciptakan lagu 135 juta penduduk
Indonesia itu kemiskinan 36% pada waktu itu. Dari 135 juta ya, hari ini 11 koma sekian dari
200 sekian maka kita kurang lebih Pak Presiden kemarin sampaikan, presentasenya naik
berkurang maksud saya berkurang, jadi jumlahnya bertambah malahan. Kemarin pada waktu
Pak Presiden sampaikan di pidato kenegaraan itu, dia main pada presentase
Pak Sentot, saya koreksi Pak, Bapak tadi kayanya datanya kita perlu validasi lagi Ibu.
Presentasenya memang turun, tetapi jumlahnya tambah jumlah yang miskin itu Pak. di desa,
lah ya tapi bawa secara nasional itu bertambah kemiskinan. Nah coba nanti saya ada
dokumen-dokumennya kok. Jadi tidur saja Presiden kemiskinan turun Pak. Lah ini kan kartu-
kartu ini kan yang paling penting, KIS kartu Indonesia sabar begitu. Kalau bukan sehat Pak,
coba kalau lihat BPJS begitu rumah sakit tunggu dulu di lapangan sana itu, betul Pak Nabil ?
Bukan, tetap di lapangan jadi dikasih kursi dorong itu apa, apa namanya tempat tidur
dorongan itu tempatnya di luar sana, tiga hari lagi baru ada kamar itu BPJS. Betul Pak iya, itu
lah baru nawaitu Presiden kita belum melaksanakan sesuatu.
Silahkan Pak, Bapak saya kasih waktu masih 5 menit ya. Dan begini nanti tanggal
berapa kita punya program? Di Jawa Tengah, Sulbar, sama satu lagi Sumsel. Undangan
tolong untuk beliau berdua dan tidak boleh tidak hadir, ini permintaan, tidak boleh tidak hadir
kalau soal waktu saya tidak berani Pak. Tanggal 12 ini September, jadi nanti kita punya
program kalau nanti pihak pengawasan di tingkat regional barat di Palembang tanggal 12
pagi, kemudian di Sulbar itu tanggal 12 juga ya, di regional wilayah timur. Kemudian di
tengahnya di Semarang kiri agak mudah kalau ke Semarang ini. Semarang Jogja cukup satu
dari jambu cukup itu. Iya Mas 3 ini, Mba tolong undang untuk beliau berdua datang
Alhamdulilah tidak kebangetan itu saja artinya. Silakan Mas Sentot.
PEMBICARA: SENTOT S. SATRIA (NARASUMBER)
Terima kasih Bapak-ibu atas tanggapan, komentar pertanyaan.
Pertama perlu saya garis bawahi dulu bahwa bukan maksud saya untuk bernostalgia
PNPM bagus begitu iya, tapi kan ya kan artinya walaupun dulu saya tim leader PNPM, tapi
bahwa karena undang-undang desa ini PNPM plus jadi ini soal pelaksanaannya Undang-
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
23
undang Desa adalah produk terbaik yang penah dihasilkan pemerintah di bumi ini yang
berpihak kepada desa, tapi kemudian yang menjadi soal adalah pelaksanaanya, ini termasuk
peraturan-peraturan turunan pelaksanaan Undang-undang Desa yang kalau kita tidak awasi
ketat, itu di bawah bisa makin mereduksi azas-azas Undang-undang Desa terutama asas-asas
rekognisi dan solidaritas. Intervensi-intervensi yang terjadi di daerah juga. Jadi ini betul-betul
soal pelaksanaan, sehingga kemudian juga walaupun juga saya sepakat Ibu bahwa ada
kontribusi dari Perpres 11, 12 dalam menimbulkan kebingungan ini, tapi dua tahun ke depan
ini, fokus kita hendaklah pada perbaikan pelaksanaan dulu, karena kalau tidak hanya
menghasilkan keributan yang kontra produktif.
Pertama adalah saya ingin mendesakan lagi kepada Bapak-bapak sekalian harus ada
investasi yang cukup untuk penguatan perangkat desa dan kecamatan, karena kecamatan Pak
Yusran menyinggung peran camat kami kompak juga melaksanakan advokasi agar ada
pendelegasian wewenang dari bupati kepada camat, karena tidak mungkin seorang bupati me-
review 200 sampai 600 APBDES tidak mungkin di Aceh Utara itu ada 600 desa, di Ogan
Hilir di kabupaten Bapak 200 desa lebih, rata-rata ratusan desa. Dan kesempatan me-review
itu sekaligus untuk mengkritisi apakah kegiatan desa itu berpihak kepada warga yang miskin,
meningkatan pelayanan desa, dan sebagainya. Sehingga kecamatan harus diperkuat juga,
sehingga Kemendagri misalnya betul-betul bisa berfokus kepada kekuatan perangkat desa,
kecamatan, bahkan seharusnya juga kabupaten. Jangan sampai aparat kabupaten yang turun
ke desa arahan-arahannya malah ngawur dan Kemendagri sekarang ini anggarannya tidak
masuk akal Pak, mereka punya wewenang yang sangat besar, artinya 19 Permen itu
wewenangnya ada di Kemendagri, tapi anggaranya kecil sekali, anggaran kecil Kemendasa
sekali untuk melaksanakan ini, sehingga Kompak banyak membantu tapi juga bantuan
Kompak sebenarnya kecil sekali untuk perkuatan perangkat desa dan kecematan itu. Harus
ada investasi di situ, kemudian di Kemendasa itu fokusnya betul-betul memperkuat
masyarakatnya, memperkuat kapasitas masyarakat untuk menuntut agar asiprasinya menjadi
perhatian utama. Mohon ini menjadi prioritas dulu bagaimana kita memperbaiki.
Kemudian lagi-lagi Undang-undang Desa ini by desain sudah bagus kalau sekarang
kelihatannya di desa ada yang menonjol adalah seperti pendekatan proyek, seperti dulu lagi,
padahal perintah undang-undang sebelumnya jelas seharusnya swakelola, oleh desa
seharusnya itu yang menjadi prioritas utama dulu, kalau kita lihat di facebook, di sosial
media, kebanyakan desa bikin jalan desa pakai aspal itu jangan-jangan motivasinya proyek,
karena kontraktor sudah menunggu yang punya aspal dan punya alat berat. Demikian juga
proyek-proyek yang lain, kebanyakan apalagi dengan adanya larangan untuk memberikan
uang muka, desa sering pinjam kontrator untuk melaksanakan perlengkapan itu. Iya
swakelola ini juga kami sinyalir ini area di mana desa akan menerima banyak titipan, ada
kontraktor titipan camat, titipannya bupati, titipannya DPRD.
Nah ini dan tadi apa namanya kemudian kabupaten dan desa lebih memperhatikan
aspek administrasi, daripada aspek partisipasi sumber pemberdayaan misalnya jangan-jangan
tidak ada yang perduli Pak, apakah APBDS ini sudah melalui Musdes atau belum? Apakah
kegiatannya diswakelola masyarakat atau tidak? Apakah masyarakat desa yang bekerja di
kegiatan itu atau bukan jangan-jangan malah kontraktor dari luar, tidak ada yang perduli
dengan itu atau kurang sekali kebutuhan dengan itu, sehingga aspek pemberdayaan ini harus
jadi perhatian kita semua, kalau nanti kita, Bapak-ibu turun ke daerah. Ini dana desa ini
kesempatan yang tidak ada duanya bagi Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan sekali
lagi Pak, dana desa itu sepuluh kali lipat anggarannya PNPM, setiap tahun 10 kali lipat, dan
lebih besar dari seluruh anggaran kemiskinannya Pak SBY dulu, 1 tahun saja. Sekarang itu
anggaran dana desa sudah lebih besar daripada anggaran desa sudah lebih besar daripada
anggaran kementerian pendidikan dan kesehatan, tapi yang terjadi adalah bisa terjadi istilah
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
24
saya petak umpet dana, kalau bahasa Jawa-nya jedongan itu Pak. Di desa masih banyak anak
putus sekolah, uangnya banyak 2 miliyar yang tersisa, tapi kok angka putus sekolah masih
tinggi, angka stanting masih tinggi, nanti, angka apa Ibu-ibu melahirkan meninggal masih
tinggi, desa bilang oh itu bukan tanggung jawab saya, wong Permendagrinya tidak bilang
begitu kok, di Cianjur Pak ada desa yang ada sekolah yang dikelolah oleh Madrasah, 180
murid, guru PNS nya Cuma 1, ruang kelasnya kurang, perabotnya sudah pada rusak, desa
bilang oh saya tidak boleh tangani, karena itu SD bukan wewenang saya. Jangan-jangan
kabupaten bilang oh anggaran saya sudah habis karena harus memenuhi ADD tidak cukup
untuk bantu lagi. Kemarin Kompas menulis misalnya ada potensi wisata besar sekali di
Manggarai jalannya hancur, rusak. Kabupaten bilang oh itu jalan provinsi, jalannya negara
juga saya tidak punya wewenang begitu kan, sementara desa juga begitu anak-anak Bapak
yang foto yang terkenal itu sementara nyebrangi anak-anak pakai sling menyebrangi sungai
60 meter, desa bilang itu sungainya terlalu lebar untuk dana desa bukan wewenang saya,
kabupaten bilang, wah APBD saya habis.
Nah ini situasi yang petak umpet anggaran ini juga saya yakin di banyak tempat.
Desa merasa soal-soal pelayanan dasar itu tidak jelas wewenang saya atau tanggung jawab
saya itu apa, sehingga anak-anak naik truk ke sekolah dan harus berjalan kaki berkilo-kilo
meter dan sebagainya, mereka merasa, bahkan air bersih saja ini mohon juga apa namanya
pencermatan dari Bapak-ibu di dalam Perpers tentang SDJ, soal air bersih, itu desa tidak
diberi tanggung jawab. Kementerian desa tidak diberi peran untuk mencapai target 100%
akses air bersih, padahal anggaran desanya besar sekali.
Kemudian tadi dari Pak Yusran oh iya mungkin saya jelaskan juga tentang
mekanisme kompak, kompak itu bekerja dengan berdasarkan suatu program kerja yang
disusun setiap tahun Pak dan program kerja tersebut disepakati bersama dengan steering
committee yang kerja di lima kementerian tadi dan juga di daerah ada tim teknis yang
dipimpin oleh Bappeda. Jadi semua program yang di daerah maupun yang dipusat itu sudah
diidentifikasi dan disepakati bersama sebelum dilaksanakan dan cara memilih prioritasnya
adalah sebisa mungkin tidak over left tapi saling melengkapi misalnya di daerah itu kami
melihat bahwa advokasi atau bantuan teknis ke daerah dalam rangka penyusunan Pergub-
pergub terkait dana desa tadi itu masih kurang sehingga kami fokus di situ. Misalnya kami
membantu atau menfasilitasi penyusunan pergub tentang keuangan desa, tentang kewenangan
desa, tentang pendelegasian wewenang kepada camat, tentang pengadaan barang dan jasa di
desa, tentang pembagian DD dan ADD, di situ kami membantu daerah juga misalnya tentang
bagaimana agar pelayanan dasar menjadi prioritas kabupaten dan desa dan mereka bisa
bekerjasama. Area-area advokasi kami di situ sehingga misalnya kompak membantu sampai
bagaimana agar pelayanan KTP, Akte kelahiran dan sebagainya itu bisa diturunkan ke
kecamatan atau desa karena itu menjadi pra-syarat warga untuk mengakses segala macam
program perundingan-perundingan sosial itu. Jadi kami bekerja di wilayah yang mudah-
mudahan saling melengkapi dan kita berkomunikasi dengan para pendamping desa juga
melalui dinas pemberdayaan masyarakat di kabupaten maupun di provinsi. Jadi ada tim taktis
daerah Pak, dimana kami tidak pernah bekerja tanpa sepengetahuan pemerintah daerah selalu
berkomunikasi dengan mereka.
Yang lain komentar dari Pak Idris, dari Pak Nawardi maupun rasanya sepakat semua
kita ya, ini mungkin yang perlu saya tambahkan adalah juga peran provinsi ini Bapak Ibu
sekalian. Provinsi ini karena agak terbebaskan dari kewajiban apapun terkait undang-undang
desa artinya dari segi anggaran tidak ada kewajiban apapun begitu ya sehingga yang terjadi
adalah kebanyakan provinsi mungkin tidak melihat fungsi pengawasan pembinaan itu sebagai
fungsinya, jadi ya tidak melihat itu apalagi tidak melihat dana desa sebagai potensi terbesar
untuk penanggulangan kemiskinan saya mengikuti musrembangnas waktu itu dan pada waktu
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
25
provinsi-provinsi berkumpul soal dana desa hampir tidak disinggung sama sekali padahal
misalnya di Aceh kalau dana otsusnya 7 triliun, dana desa 5 triliun sendiri Pak, di Gorontalo
itu total anggaran provinsi 6 triliun atau berapa kalau tidak salah. Dana desanya 2 triliun tapi
provinsi itu tidak melihat dana desa itu sebagai sumber daya untuk menanggulangi
kemiskinan. Kabupaten juga jangan-jangan begitu, mereka melihat dana desa hanya sebagai
beban saja. Mungkin dari saya itu dulu, Mas Naji menambahkan.
PEMBICARA: SUNAJI ZAMRONI (NARASUMBER)
Terima kasih Pak Pimpinan, menanggapi dari Pak Nawardi, Pak Idris, Pak Hafid, dan
Pak Isran tadi itu, pertama kalau yang kita catat memang soal orang sekarang mensiasati dan
memanfaatkan dana desa atau uang yang ada di desa itu untuk kepentingan macam-macam
Pak memang Pak .. (tidak jelas terdengar, red) itu jadi yang untuk apa konsolidasi politik
untuk daerah, untuk apa ya plesir, melengkapi travelingnya, jadi sekarang bisa dikatakan ya
Pak kepala desa itu ya dari hotel ke hotel, dari kota ke kota, SPPD. Jadi meniru apa yang
dilakukan oleh seniornya.
Nah pemasalahannya dan ini saya sekaligus melaporkan ke Bapak Ibu,
pemasalahannya yang tahu soal undang-undang desa sampai ke teknisnya itu ya Bapak-bapak
itu, elit lah Pak kepala desa, kepala APBD begitu atau sekretaris desa. Mereka keliling kesana
kemari itu mereka pulangnya tidak kemudian membagi secara rata adil informasi,
pengetahuan, dan greget itu ke masyarakat. Nah ini yang kemudian kita mencoba Pak,
dengan cara bersama-sama dengan kompak itu mengembangkan alat tools yang sederhana
saja, check list. Ketika proses menyusun rencana program kegiatan di desa dan anggaran di
desa. Siapa berperan apa fungsinya apa, kepala desa apakah sudah berperan sesuai dengan
apa, ya tugas dan kewajibannya, ketua BPD seberapa, itu hanya satu dua halaman lembar tapi
itu ternyata efeknya bagus karena di situ duduk bareng dengan masyarakat kemudian saling
cross check/ Nah itu yang sebenarnya secara dini itu juga bisa melakukan apa
mengembangkan kontrol sosial Pak sehingga potensi-potensi abuse of power itu,
penyimpangan sampai nanti tindakan-tindakan korupsi itu bisa dideteksi oleh mereka. Karena
kan uang sudah diketahui bersama peruntukannya juga diketahui bersama sampai karena
kalau kita ini kan Pak, kalau masyarakat ibu-ibu warga miskin difable itu dikasih tahu dikasih
kesempatan itu ngejar Pak, diingat-ingat betul pengalaman yang kita dampingi itu seperti itu
sehingga kalau kepala desanya nguntet atau menyelipkan uang atau men-delay, menunda atau
mengalihkan kegiatan-kegiatan yang sudah disepakati itu ketahuan. Makanya kita selain itu
akan memanfaatkan ini apa yang mereka miliki selama mereka membangun kehidupan di
masyarakat itu, ruang-ruang sosial itu. Yang tradisional, yang sudah melembaga, yang lama
itu yang kita masuk di situ. Apakah dia cangkruan kalau Jawa Timur, ngopi diwarung itu kita
masuk ke situ. Kalau modelnya Pak Muqowam ya ribaan ya yasinan itu masuk di situ. Jadi
kita juga akan mendekonstruksi ketabuan bahwa forum-forum keagamaan tidak boleh
membicarakan soal keduniawian. Nah itu kita mulai masuk ke situ Pak.
Nah ini ternyata menggairahkan masyarakat itu untuk itu, apa, memikirkan desa. Nah
jadi kita tidak mengada-ada untuk mencoba membuat kelembagaan baru, cara baru, tradisi
baru tetapi kita mengaktifkan yang sudah ada saja. Itu tenyata bisa menurutkan itu, itu
sekaligus merespon Pak Hafid tadi tetang korupsi bisa menular ke desa. Nah dengan cara-
cara seperti itu jadi mulai ada ceklis, ada mulai menggunakan ruang-ruang publik, ruang-
ruang sosial yang ada untuk kontrol sosial terhadap pelaksanaan Undang-Undang Desa
maupun pengggunaan dana desa itu bisa mendeteksi secara dini Pak dan ini ingat, ini kan
masyarakat lokal, dekat sekali, beda dengan daerah. Kepala daerah dengan masyarakat itu
kan berjauhan Pak, kalau ini kan ya, tidak. Saya mau mengatakan yang 24 jam bersama
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
26
kepala desa, elite desa itu bukan peraturan. Bukan bupati, bukan undang-undang desa tetapi
ya masyarakat itu yang 24 jam. Makanya kita manfaatkan masyarakat itu dia punya kebiasaan
apa misalnya dalam hal budaya, agama, sosial itu, kita manfaatkan. Itu yang sekarang coba
kita kembangkan di 20 desa itu di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan NTB.
Sebenarnya ini sekaligus untuk ingin memberikan satu model bahwa desiminasi
sosialisasi substansi undang-undang desa itu tidak harus melalui tatap muka yang formal
tetapi melalui praktek-praktek yang keseharian mereka saja, itu lebih mengena. Nah soal
tentang pendamping, pendampingan tadi Pak, kami di dalam riset yang kami lakukan di 10
Kabupaten di Sumatera, Kalimantan, Jawa sampai Maluku, NTT itu, kita merekomendasikan
adanya model pendampingan asimetris, tidak seragam. Kemudian pendekatannya adalah
pendampingan organik Pak. jadi tidak pendampingan seperti yang sekarang dijalankan oleh
Kementerian Desa. Kami sudah sampaikan seperti itu kalau pendampingan yang dilakukan
oleh Kementrian Desa itu boros, high cost dia. Dan dia iya tadi sudah dipaparkan sarat
kepentingan politiknya sangat tinggi. Tadi Bapak, orang berpendidikan agama yang tidak
paham betul tentang desa atau soal teknis perencanaan anggaran harus menjadi tenaga ahli itu
kan memang repot itu.
Nah kalau organ yang kita bayangkan adalah relawan atau kalau orang Jawa itu bilang
orang ya volunteer di desa, wong entengan di desa. Kami meyakini itu pasti ada. Hasil-hasil
riset kami menunjukan itu malah justru dicontohkan oleh program-program teman-teman
NGO. Itu menghadirkan, melahirkan orang-orang entengan itu dan itu kita aktivasi, kita
rekognisi saja orang yang di itu. ada salah satu Kabupaten yang kebetulan kita kemarin
sedang menandatangani MOU itu di Kabupaten Mamuju Utara di Sulawesi Barat. Itu sudah
mencoba menjalankan praktek pendampingan organik itu tapi untuk pendampingan
perencanaan daerah saat itu.
Jadi kepala Bapeda membuat SK, orang-orang desa lokal itu di SK-kan dan anggaran
APBD tidak terlalu besar untuk mengongkosi mereka karena hanya untuk anu transportasi
koordinasi saja tetapi tidak ada gaji seperti yang sekarang ini. Itu yang apa penting dan setiap
misalnya desa-desa di Jawa yang sudah maju seperti yang diceritakan oleh Pak Hafid tadi itu,
itu mungkin tidak harus ada pola-pola pendampingan yang intens seperti mungkin di desa-
desa di daerah tertentu, yang struktur organisasi sistem sosialnya saja sedang membentuk.
Hal itu penting untuk apa di. Nah ini yang kami dapat kabar kurang lebih 1,5 bulan yang lalu
Kementrian Desa melalui Pak Sekjen itu sudah mau melirik menggunakan pendekatan ini
Pak.
Jadi pendampingan desa yang sekarang ini nanti akan di desentralisasikan diserahkan
kepada Kabupaten. Tidak lagi di-take over di handle di tingkat pusat seperti sekarang ini
karena repot dan berbiaya besar itu. Nah kalau itu betul berarti mohon kepada Komite 1
dukungannya untuk mengingatkan kepada Kementrian desa agar ide yang sudah terlintas
untuk merubah pendekatan pendampingan itu tetap dijalankan. Nah yang terakhir iya dengan
perbaikan sistem. Terakhir memang ini ada hal yang krusial itu disimpul provinsi sama
kabupaten/kota Pak. Jadi ini memang tidak ada penyesuaian secara cepat. Adanya undang-
undang desa selama 3-4 tahun ini daerah itu tidak banyak melakukan penyesuaian. Misalnya
SOTK-nya kemudian tentang tupoksi, staffing, sumber daya manusianya. Nah kalau melihat
misal dinas pemberdayaan masyarakat desa OPD yang mengurusi desa pemberdayaan. Kalau
itu tidak di top up dengan sumber daya manusia yang bagus wah itu kewalahan Pak. Apalagi
dia pasal 112 peran kewajiban tugasnya adalah membina dan mengawasi. Nah ini yang mesti
dilecut gimana caranya ini. Nah termasuk kecamatan karena pintu masuk untuk melakukan
review, evaluasi atas produk-produk regulasi di desa, itu kecamatan. Termasuk juga
melakukan pengawasan itu.
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
27
Nah menurut kita sebenarnya pengawasan itu tidak seperti yang sedang diminta oleh
Menteri Desa, itu represif. Pengawasan itu justru ditumbuh kembangkan dari bawah saja
melalui cara-cara check list tadi itu jadi itu kan memanggil tradisi berdesa masing-masing iya
lokalitas itu dipanggil ulang oleh desa sendiri. Otomatis kontrol sosial nanti akan terjadi Pak
ketimbang kita mengaktifkan penegak-penegak hukum yang itu nanti kemudian karakter low
investment tetapi tidak memberdayakan. Undang-undang desa itu harusnya difungsikan
digunakan untuk memberdayakan masyarakat desa bukan sekedar low investment. Oke low
investment tidak kita tolak, bukan memperdaya sehingga menurut kita, itu dan Kementrian
Dalam Negeri kemudian pemerintah daerah ini juga harus cawe-cawe tentang Badan
Permusyawaratan Desa. Praktek-praktek yang kita temukan, kita melakukan capacity
building itu, BPD tidak ada. Kalau ada, tidak aktif. Kalau aktif, dia blank Pak soal
mekanisme Musyawarah Desa, tidak ada anggaran. Padahal tugas pokok fungsinya
kewajibannya sangat besar. Dia BPD harus memimpin konsensus-konsesus politik di desa.
Investasi desa, membentuk badan usaha milik desa, perencaan desa dan seterusnya. Lah
konsesus politik di desa itu harus dipimpin oleh BPD. Kalau BPD-nya lemah tidak bisa
berfungsi, Wallahu a'lam, konsensus politik tidak terjadi, terjadinya kongkalikong nanti.
Nah makanya sekarang penting untuk mengaktifkan itu. Secara konsep teori kita tidak
akan menganut demokrasi partisipatoris yang murni seperti Kerala maupun di Porto Alegre
Brazil tapi menurut yang kita yakini yang kita mencoba mengembangkan deleberatif
demokrasi sehingga kita masih percaya lembaga perwakilan di desa itu yang namanya BPD
itu. Kalau partisipatoris demokrasi kan yang penting bagaimana ideologi politik partisipasi
masyarakat di tingkat lokal itu kuat sehingga nothing itu lembaga-lembaga perwakilan. Nah
kita tidak ke arah sana, terima kasih Pak.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Terima kasih jadi ada beberapa catatan Bapak Ibu sekalian, pertama tadi Pak Sentot
sampaikan bagaimana undang-undang desa ini ke depan. Saya kira tadi awal saya katakan
perspektif, lalunya seperti apa, prospeknya kaya apa. Saya kira the show must go on saya kira
ini tidak boleh mundur lagi. Tentunya tadi yang disampaikan tadi adalah penguatan SDM dan
kelembagaan. Sayangnya mas, ini bindeng ketemu bindeng yang mengarahkan dan yang
diarahkan sama-sama bodohnya. Yang mengarahkan bindeng-bindeng itu wah suara sengau.
Jadi misalnya ada orang menelepon orang bindeng, “Assalamualaikum“ di sana marah duluan
“kurang ajar koe, koe melu-melu aku” ko ikut-ikut aku begitu padahal ini bindeng beneran
begitu loh. Dianggapnya itu ikut sama yang dikontak tadi itu.
Hari ini, atasan tidak paham, Provinsi tidak paham, Kabupaten tidak paham. Jadi,
yang terima duit juga tidak paham. Menteri ini lahirnya sudah pakai sepatu, Pak Menteri koe
ini, dia tidak pernah tau yang namanya apakah padi itu dari tanamanan atau dari Pabrikasi
tidak tahu dia awalnya itu. maka one village one product dianggap padi itu produksi begitu
loh Pak, pabrikasi begituloh Pak. Ekstrim jadi kemudian penguatan masyarakat kemudian
undang-undang desa. Jadi mas itu tadi nangis kita kalau kemudian yang namanya rekognisi
dan subsider kemudian ditiadakan semua didistroyer pakai top down semua. Iya top down
kalau paham. Sudah tidak paham ngarahin lagi. Ini kaya orang buta diarahkan sama orang
tidak buta. Sendalnya di kanan bilang kiri-kiri begitu kan. Iya tidak bakal ketemu. Terus
kemudian yang dilakukan IRE saya kira saya setuju ini pada banyak praktek di lapangan IRE
agak apa namanya tekun dia, IRE ini, membantu masyarakat memang mas Sentot ruangnya
iya mbok ber Indonesia begituloh mas. IRE itu kasih ruang Indonesia. Loh saling lihat
sekarang.
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS I TS 2017-2018
(SENIN, 4 SEPTEMBER 2017) (SIANG)
28
Bukan, ruangnya se-Indonesia bener begitu loh. Jangan hanya NTT, NTB kemudian
Yogya, Jawa Tengah tidak pernah Pak Hafid. Loh APBN embahmu apa .. (tidak jelas
terdengar, red). Nah jadi Pak Hafid tadi betul ponggo itu dijadikan sebagai apa iklannya
Kemendes, bohong itu pembohong Menteri itu sudah. Oh ada undang-undang desa itu sudah
maju duluan ponggo itu kok. Lho memang tapi lebih pintar Menterinya. Wong itu desa itu
tidak ada undang-undang desa itu sudah maju kok kemudian ini hasil karya saya katanya.
Ndasmu kui kata orang desa ngono, lu punya kepala itu. Saya kalau sudah ketemu Menteri
desa itu, pembohong itu Pak Rizal, asli pembohong.
Terus kemudian soal pengawasan saya kira memang mas sebuah dilema hari ini
pemerintah karena tidak paham tadi, top down, depresif jadinya. Nah ini yang sekarang
digembar gemborkan oleh BPD. Gini Mas, tolong bantu undang-undang desa juga. Ini kaya
ini dikasih 1 mintanya 2, dikasi 2 mintanya 3. Coba konteks struktur undang-undang desa itu
adalah perkuatan pada aspek desa dan pada apa eksekutif desa. DPD itu nanti dulu gitu loh
karena politik kita pada waktu itu adalah bahwa DPD itu bagian dari peran serta masyarakat
bukan wakil rakyat di desa bukan sehingga kemudian di situ ada cost operasi itu memang
gradasinya seperti itu.
Nah ini kalau Bapak sudah nuntut DPD sama dengan kepala desa walak mak, salah
itu mind setting-nya mas. Jadi bagaimana kembalikan mereka pada itu bukan dewan bukan
badan perwakilan, permusyawaratan. Jadi mohon ini mohon dimaknakan permusyawaratan
bukan perwakilan dia itu. Sebab saya ke daerah juga begitu nuntut kami harus dapat ini dapat
itu. Eh bahasa undang-undang saya bilang. Nah intinya kemudian saudara sekalian saya
menghadapi situasi Mas Sentot dan iri saya kira, orang desa ini tidak bersyukur, saya sering
maki-maki kepala desa. Pak ada program tidak Pak, loh program apalagi saya bilang. Eh kau
bersyukur undang-undang desa sudah ada duit di desa masih juga sektor minta ini minta itu.
Ini kamu ini emang tidak pernah bersyukur saya katakan. Coba sudah 1,8 sudah sampai 2
milyar, mereka juga masih minta ada sektoralnya tidak Pak. Jadi memang gagal paham sih
susah.
Baik Ibu Bapak sekalian saya kira kita akhiri dan besok kita masih ada RDP besok
dengan Pak Dirjen. Iya ada 4, Dirjen P2M, Dirjen PKP, Keuangan, kemudian dari Bappenas.
Mas Sentot, Mas Naji terima kasih, Ibu Bapak sekalian jadi difoto saya kurangi ini memang
adalah the last amber pasukan terakhir Komite I yang punya ruangan ini.
Terima kasih.
Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
KETOK 3X
RAPAT DITUTUP PUKUL 16.50 WIB