dewan redaksi daftar isimagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../jurnal-selisik-5.pdf ·...

140
MAGISTER HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PANCASILA Jl. Borobudur No. 7 Jakarta Pusat 10320 Telp. (021) 3919013 http://www.univpancasila.ac.id/ Dewan Redaksi DEWAN REDAKSI Prof. Mardjono Reksodiputro, SH., MA (Ketua) Prof. Ade Saptomo, SH., M.Si Dr. Adnan Hamid, SH., MH., MM Diani Kesuma, SH, MH Redaktur Pelaksana Agus Surono, S.Sos Sekretaris Redaksi Rizky Prasetia, S.Sos ADMINISTRASI Keuangan: Dariah Informasi Teknologi (IT): Muhammad Wildan Muttaqien Distribusi: Dewi Kartika, SE, Herman DAFTAR ISI DARI REDAKSI: KEPASTIAN HUKUM DI TENGAH DINAMIKA POLITIK .............. 2 MENGGUGAT KEBIJAKAN IZIN EKSPOR TAMBANG MINERAL MENTAH (Tinjauan Juridis PP 1/2017 serta Permen ESDM 5/2017 dan Permen ESDM 6/2017) Bisman Bhaktiar ........................................ 4 TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT Erna Widjajati ............................................ 17 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM PENGGUNAAN DANA DESA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM, SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT (Studi di Desa Waepana, Piga, dan Piga I, Kabupaten Ngada Provinsi NTT Albertus Drepane Soge, Lamtiur Hasianna Tampubolon, Dhevy Setya Wibawa .......... 33 PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Andreas Eno Tirtakusuma ......................... 56 PERATURAN DAERAH PERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUM Mawardi Khairi .......................................... 79 KOMNAS PEREMPUAN SEBAGAI STATE AUXIALIARY BODIES DI DALAM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA PEREMPUAN DI INDONESIA Laurensius Arliman S ................................. 103 ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA WAJIB DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Imam Budi Santoso ................................... 116 NOTA BENE MERAKYATKAN WIBAWA NEGARA HUKUM Mardjono Reksodiputro ............................ 127 Biodata Penulis ........................................ 131 Volume 3, Nomor 5, Juni 2017 ISSN : 2460-4798

Upload: buihuong

Post on 09-Apr-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

MAGISTER HUKUMSEKOLAH PASCASARJANAUNIVERSITAS PANCASILA

Jl. Borobudur No. 7 Jakarta Pusat 10320Telp. (021) 3919013

http://www.univpancasila.ac.id/

Dewan Redaksi

DEWAN REDAKSIProf. Mardjono Reksodiputro, SH., MA

(Ketua)Prof. Ade Saptomo, SH., M.Si

Dr. Adnan Hamid, SH., MH., MMDiani Kesuma, SH, MH

Redaktur PelaksanaAgus Surono, S.Sos

Sekretaris RedaksiRizky Prasetia, S.Sos

ADMINISTRASIKeuangan:

DariahInformasi Teknologi (IT):

Muhammad Wildan MuttaqienDistribusi:

Dewi Kartika, SE, Herman

DAFTAR ISI

DARI REDAKSI: KEPASTIAN HUKUM DI TENGAH DINAMIKA POLITIK .............. 2

MENGGUGAT KEBIJAKAN IZIN EKSPOR TAMBANG MINERAL MENTAH(Tinjauan Juridis PP 1/2017 serta Permen ESDM 5/2017 dan Permen ESDM 6/2017)Bisman Bhaktiar ........................................ 4

TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILITErna Widjajati ............................................ 17

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM PENGGUNAAN DANA DESA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM, SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT (Studi di Desa Waepana, Piga, dan Piga I, Kabupaten Ngada Provinsi NTTAlbertus Drepane Soge, Lamtiur Hasianna Tampubolon, Dhevy Setya Wibawa .......... 33

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSIAndreas Eno Tirtakusuma ......................... 56

PERATURAN DAERAH PERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUMMawardi Khairi .......................................... 79

KOMNAS PEREMPUAN SEBAGAI STATE AUXIALIARY BODIES DI DALAM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA PEREMPUAN DI INDONESIALaurensius Arliman S ................................. 103

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA WAJIB DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIALImam Budi Santoso ................................... 116

NOTA BENEMERAKYATKAN WIBAWA NEGARA HUKUMMardjono Reksodiputro ............................ 127

Biodata Penulis ........................................ 131

Volume 3, Nomor 5, Juni 2017 ISSN : 2460-4798

Page 2: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

Dari Redaksi

Kepastian Hukum Di Tengah Dinamika Politik

Jurnal Selisik merupakan media yang diterbitkan oleh Program Magister Hukum Universitas Pancasila. Jurnal Selisik dimaksudkan untuk menyemaikan pelbagai pemikiran, kajian dan hasil-hasil penelitian. Pada

awalnya Jurnal Selisik difokuskan pada dua objek isu, yakni, bidang Hukum dan Bisnis. Pilihan pada dua isu tersebut mengacu pada konsentrasi Program Magister Hukum Universitas Pancasila, terutama mengenai hubungan hukum dan bisnis dengan ragam cabangnya.

Sementara mulai terbitan volume 3, edsi 5 Juni 2017, Jurnal Selisik meluaskan objek isu sebagai materi dalam jurnal, yakni mengenai Hukum Konstitusi dan Tata Kelola Pemerintahan. Penambahan objek tema ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hadirnya konsentrasi baru pada Program Magister Hukum Universitas Pancasila, yakni, Konsentrasi Hukum Konstitusi dan Tata Kelola Pemerintahan. Dengan demikian diharapkan peluasan isu dalam Jurnal Selisik semakin memperkaya khazanah dan gagasan dibidang hukum pada umumnya.

Dengan melihat dinamika kebangsaan dan praktik kenegaraan dalam era reformasi yang menghasilkan banyak perubahan dibidang konstitusi, hukum, regulasi dan bisnis, maka diperlukan juga, pemikiran, pendekatan dan kajian yang mampu menjawab kompleksitas dan tantangan yang sedang dan akan terjadi di Indonesia.

Amandemen UUD 1945 dan pelbagai perubahan regulasi di bawahnya belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Masih banyaknya peraturan yang tumpang tindih dan tidak integratif mencerminkan visi pembangunan kebangsaan menjadi kabur dan tidak fokus. Tengerai adanya pelbagai produk undang-undang yang tidak memihak kepentingan nasional menjadi bahan polemik dan problematik dalam pelaksanaannya. Hal ini bisa dilihat antara lain dalam banyak regulasi mengenai tata kelola sumber daya alam.

Page 3: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

Sementara dalam postur konstitusi dan tata kelola pemerintahan masih menyisakan pekerjaan rumah, baik dalam tataran kajian akademis maupun praktiknya. Otonomi daerah dan pemekaran daerah belum menampakkan hasil yang substantif. Kesejahteraan dan keadilan sebagai idealisasi dari cita-cita otonomi daerah dan pemekaran terlihat masih juah api dari panggang.

Demokrasi lokal yang mengadaptasi demokrasi modern lebih banyak menghasilkan raja-raja kecil, baik pada tingkatan ekskutif maupun legislatif. Banyaknya ekskutif dan legislatif di daerah yang terlibat dalam tindak pidana korupsi menjadi indikator yang tidak terbantahkan, bagaimana kekuasaan di daerah banyak disalahgunakan. Sepertinya masih banyak pekerjaan rumah yang mesti segera dikerjakan dan diselesaikan dalam upaya pembangunan dan penegakan hukum di republik ini. Harapannya apa yang disajikan Jurnal Selisik sampai edisi ke 5 kali ini mampu memberikan sumbang saran yang berharga dalam bentuk gagasan dan pimikiran hukum. Selamat membaca.

Selamat Membaca

DARI REDAKSI

Page 4: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

MENGGUGAT KEBIJAKAN IZIN EKSPOR TAMBANG MINERAL MENTAH(Tinjauan Juridis PP 1/2017 serta Permen ESDM 5/2017 dan Permen ESDM 6/2017)1

Bisman Bhaktiar

AbstrakUU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur upaya peningkatan nilai tambah pertambangan mineral dengan kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemunian hasil tambang mineral di dalam negeri. Namun dalam pelaksanaannya, ketentuan tersebut tidak dijalankan oleh Pemerintah secara konsisten. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP 1/2017) dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri (Permen ESDM 5/2017) dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian (Permen 6/2017) sebagai legitimasi memberikan izin ekspor mineral mentah. PP dan Permen yang dikeluarkan pemerintah tersebut bertentangan dengan undang-undang.

Kata Kunci: Pertambangan Mineral, Pengolahan dan Pemurnian.

AbstractLaw no. 4 of 2009 on Mineral and Coal Mining has regulated an efforts to increase value-added of minerals mining with the obligation to conduct processing and

1 Tulisan ini merupakan bagian dari Permohonan Hak Uji Materi yang diajukan ke Mahkamah Agung terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP 1/2017) dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri (Permen ESDM 5/2017) dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian (Permen 6/2017) yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam pada 30 Maret 2017.

1

Page 5: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

refinery mineral in the country / Indonesia. However, in the practice, the regulations are not executed by the Government consistently. The Government shall issue Government Regulation no. 1 of 2017 on the Fourth Amendment to Government Regulation no. 23 of 2010 on Mineral and Coal Mining Business Activities (PP 1/2017) and Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources no. 5 of 2017 on Increasing Mineral Added Value through proccessing and refinery minerals in the country (Permen ESDM 5/2017) and Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources no. 6 of 2017 on Procedures and Requirements for Provision of Mineral Export Recommendation as a Result of Processing and Refinery Mineral (Permen 6/2017) as legitimation of raw ores mineral exports. Thus, Government Regulation and Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources as stated above are against with the law No. 4 of 2009.

Keywords: Mineral Mining, processing and refinery.

I. PendahuluanKondisi pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya

pertambangan mineral di Indonesia telah berpuluh-puluh tahun hingga saat ini sebagian besar diekspor masih dalam bentuk bahan mentah, tanpa sebelumnya dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri terlebih dahulu. Kondisi ini mengakibatkan sumber daya mineral tidak menghasilkan nilai tambah (added value) maupun dampak berganda (multiplier effect) secara langsung kepada rakyat sebagaimana yang diharapkan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya mineral harus dikaitkan dengan sifat sumber daya alam tersebut yang tidak terbarukan, yang artinya suatu saat apabila terus dieksploitasi dipastikan akan habis. Sebagai sumber daya alam yang tidak terbarukan dan berbagai jenis tambang mineral dalam waktu cepat atau lambat suatu saat akan mengalami kelangkaan atau bahkan tidak dapat ditemukan lagi, padahal keberadaan sumber daya alam tersebut di bumi Indonesia belum secara optimal dirasakan manfaatnya oleh rakyat.

Dengan kondisi demikian, maka telah terdapat arah politik hukum yang ditetapkan oleh DPR RI dan Pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang mengharuskan melakukan upaya strategis dengan kewajiban untuk meningkatkan nilai tambah mineral dengan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Kebijakan peningkatan nilai tambah mineral dan batubara melalui

Bisman Bhaktiar - MENGGUGAT KEBIJAKAN IZIN EKSPOR TAMBANG MINERAL MENTAH

Page 6: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 102 dan Pasal 103 serta Pasal 170 UU Minerba sangat tepat dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan Bangsa Indonesia, mengingat kondisi pengelolaan sumber daya alam mineral yang saat ini sebagian besar diekspor dalam bentuk mineral mentah. Lebih dari itu, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan bahwa kebijakan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang tertuang dalam UU Minerba juga telah tepat dan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XII/2014.

UU Minerba juga menegaskan bahwa tujuan pengelolaan mineral dan batubara, diantaranya untuk menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara2. Kepastian hukum tersebut dapat tercapai apabila seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dibuat dengan benar dan sesuai aturan yang telah ditetapkan. Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang telah ditetapkan. Artinya sebuah peraturan perundang-undangan harus dibentuk sesuai dengan prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan juga harus sesuai antara jenis, hierarki, serta materi muatannya sebagaimana asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.3

Namun demikian, Pemerintah telah tidak taat pada undang-undang dengan memaksakan mengeluarkan kebijakan pemberian izin ekspor tambang mineral mentah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP 1/2017), berikut peraturan pelaksanaanya dalam bentuk Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri (Permen ESDM 5/2017) dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian (Permen 6/2017). PP dan Permen ESDM tersebut berisi kebijakan tentang izin 2 Pasal 3 UU Minerba.3 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan (UU Pembentukan PUU).

Page 7: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

7

ekpor tambang mineral mentah bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) termasuk kepada pemegang Kontrak Karya (KK) dengan cara KK diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) atau lebih tepatnya pemegang KK juga diberikan IUPK.

Kebijakan Pemerintah dengan mengeluarkan PP dan Permen ESDM yang memberikan izin ekpor tambang mineral mentah tersebut menjadi polemik yang luas di masyarakat dan di kalangan pelaku usaha pertambangan. Selain itu juga terdapat problem hukum yang cukup serius dengan PP dan Permen ESDM tersebut, baik dari aspek formil maupun dari aspek materiil. Untuk itu, berdasarkan uraian singkat pendahuluan ini, maka sangat penting untuk mengkaji lebih dalam secara juridis dengan meninjau dari aspek formil dan materiil tentang apakah sudah tepat kebijakan pemberian izin ekpor tambang mineral mentah yang dituangkan dalam PP 1/2017, berikut peraturan pelaksanaanya dalam bentuk Permen ESDM 5/2017 dan Permen 6/2017.

II. Pokok Permasalahan1. Apakah kebijakan Pemerintah tentang izin ekpor tambang mineral

mentah telah sesuai dengan undang-undang?2. Apakah kebijakan Pemerintah tentang perubahan Kontrak Karya

menjadi IUPK telah sesuai dengan undang-undang?

III. PembahasanPembahasan dalam kajian ini dilakukan terhadap PP 1/2017 beserta Permen

ESDM 5/2017 dan Permen ESDM 6/2017 ditinjau secara juridis dari aspek formil dan materiil.

A. Aspek Formil1. Delegasi Pengaturan Lebih lanjut tentang Peningkatan Nilai

Tambah serta Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri dalam bentuk/jenis Peraturan Menteri (Permen 5/2017 dan Permen 6/2017) bertentangan dengan UU Pembentukan PUU dan UU MinerbaPermen 5/2017 merupakan peraturan turunan/delegasi dari PP 1/2017,

sedangkan Permen 6/2017 merupakan tatacara untuk melaksanakan Permen 5/2017 atau dapat disebut bahwa keduanya, yaitu Permen 5/2017 dan Permen

Bisman Bhaktiar - MENGGUGAT KEBIJAKAN IZIN EKSPOR TAMBANG MINERAL MENTAH

Page 8: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

6/2017 merupakan turunan/delegasi pengaturan dari PP 1/2017. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat konsideran “menimbang” pada Permen 5/2017 yang menyatakan bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 96, Pasal 112C angka 5, dan Pasal 112F PP 1/20174. Sehingga dengan demikian jelas bahwa Permen 5/2016 merupakan peraturan turunan (delegasi) dari PP 1/2017. Sedangkan Permen 6/2017 merupakan tatacara untuk melaksanakan Permen 5/2017, dapat dilihat dari dasar hukum pembentukan “mengingat” pada Permen 6/2017 yang didasari oleh PP 1/2017 dan Permen 5/2017, sehingga dengan demikian jelas bahwa Permen 6/2017 juga merupakan peraturan turunan (delegasi) dari PP 1/2017.

Bahwa PP 1/2017 yang menjadi dasar pembentukan Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 merupakan peraturan turunan/delegasi dari UU Minerba5, sehingga Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 merupakan subdelegasi (turunan/delegasi lebih lanjut) dari UU Minerba. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 103 ayat (3) yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah”. Dari ketentuan ini tampak jelas bahwa pada ayat (3) tersebut terdapat perintah delegasi pengaturan tentang peningkatan nilai tambah serta pengolahan dan pemurnian kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya yaitu dalam bentuk/jenis Peraturan Pemerintah (menggunakan frasa: “diatur dengan” sebelum menyebut bentuk/jenis Peraturan Pemerintah). Penggunaan frasa “diatur dengan” sebelum frasa Peraturan Pemerintah dalam Pasal 103 ayat (3) menunjukkan bahwa materi muatan itu harus diatur hanya di dalam peraturan perundang-undangan yang didelegasikan (yaitu dalam bentuk Peraturan Pemerintah) dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi).

Hal ini sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan PUU pada Lampiran II nomor 201 yang mengatur sebagai berikut: “Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok- pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan

4 Sebelumnya PP 23/2010 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan PP 1/2017.5 Pasal 103 UU Minerba.

Page 9: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai.... “diatur dengan”......

Apabila merujuk ketentuan UU Pembentukan PUU pada Lampiran II nomor 201, telah jelas bahwa Pasal 103 ayat (3) UU Minerba menghendaki dan menentukan delegasi pengaturan lebih lanjut tentang peningkatan nilai tambah serta pengolahan dan pemurnian diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, termasuk tidak dapat didelegasikan dalam bentuk Peraturan Menteri. Namun demikian, UU Minerba mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk PP dan PP mendelegasikan lagi (subdelegasi) dalam bentuk Permen sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 112C angka 5 PP 1/2017 yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengolahan dan pemurnian, batasan minimum pengolahan dan pemurnian serta penjualan ke luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri”.

Tindakan Menteri ESDM membentuk Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 yang mengatur mengenai pelaksanaan pengolahan dan pemurnian mineral juga merupakan pelanggaran terhadap “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat”6 dan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan”7 karena sesuai dengan Pasal 103 ayat (3) UU Minerba seharusnya pengaturan tentang pelaksanaan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri harus diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan tidak dapat didelegasikan/diturunkan lagi ke Peraturan Menteri. Menteri ESDM tidak mempunyai kapasitas dan kewenangan untuk mengatur mengenai pengolahan dan pemurnian yang telah ditentukan dalam UU Minerba.

Bahwa terkait dengan kewenangan ini telah ditegaskan oleh Philipus M. Hadjon� mengatakan bahwa setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Lebih lanjut menurut Jimly

6 Pasal 5 huruf b UU Pembentukan PUU.7 Pasal 5 huruf c UU Pembentukan PUU.� Philipus M. Hadjon, 2005. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Bisman Bhaktiar - MENGGUGAT KEBIJAKAN IZIN EKSPOR TAMBANG MINERAL MENTAH

Page 10: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

10

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Asshiddiqie9 bahwa pemberian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut kepada eksekutif harus dinyatakan dengan tegas di dalam undang-undang. Norma hukum yang bersifat pelaksanaan dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa didasarkan atas delegasi kewenangan dari peraturan yang lebih tinggi.

Ketidakabsahan Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 ini sejalan dengan pendapat PWC Akkermans10 (dalam I Made Arya Utama, Hukum Lingkungan: Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan, 2007) yang mengemukakan beberapa hal yang harus diikuti dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang akan berakibat tidak sahnya peraturan perundang-undangan yang dibentuk jika tidak mengikutinya, antara lain yaitu: Faktor wewenang, artinya badan yang menyusunnya diberikan wewenang secara konstitusional; Faktor substansial, artinya materi muatan produk hukum itu sesuai dengan lingkup kewenangan yang diaturnya; dan Faktor konstitusional, artinya materi muatan atau isi produk hukum itu tidak menyimpang dari hierarki peraturan perundang-undangan; dan Faktor prosedural, artinya dalam pembentukan produk hukum itu telah dipenuhi prosedur pembahasan menurut hukum. Dalam hal ini jelas bahwa menteri ESDM tidak mempunyai wewenang, karena yang diberikan wewenang oleh UU Minerba adalah Presiden dalam bentuk pengaturan melalui PP.

Bahwa dijelaskan oleh Bagir Manan11 mengenai keberlakuan yuridis dari kaidah hukum diperinci dalam syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Kedua, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis atau peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

9 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers.10 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan: Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan

untuk Pembangunan Berkelanjutan, Bandung: Pustaka Sutra.11 Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Ind. Hill, co.

Page 11: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

11

2. Proses dan Tahapan Pembentukan Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 bertentangan dengan UU Pembentukan PUUPermen 5/2017 dan Permen 6/2017 merupakan Peraturan Menteri yang

diterbitkan atau ditetapkan oleh Menteri ESDM pada tanggal 11 Januari 2017 dan juga diundangkan pada tanggal 11 Januari 2017. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 merupakan Peraturan Menteri turunan atau delegasi dari PP 1/2017 yang juga ditetapkan oleh Presiden pada tanggal 11 Januari 2017 dan juga diundangkan pada tanggal 11 Januari 2017. Artinya, Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 sebagai turunan (delegasi) atau aturan pelaksanaan dari PP 1/2017 ditetapkan dan diundangkan secara bersamaan dengan PP 1/2017 pada hari yang sama tanggal 11 Januari 2017.

Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pembentukan Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 tidak melalui tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Pembentukan PUU. Selain itu, proses tahapan pembentukannya tidak dilakukan dengan transparan dan terbuka yang dapat diakses oleh masyarakat. Hal ini melanggar Pasal 5 huruf g UU Pembentukan PUU yang menyatakan “Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi asas keterbukaan”12.

B. Aspek Materiil1. Pemberian Izin Penjualan ke Luar Negeri terhadap Mineral

yang Belum Dilakukan Pengolahan dan Pemurnian (Pasal 10 Permen 5/2017 jo. Pasal 2 Permen 6/2017) Bertentangan dengan UU MinerbaKebijakan tentang pemberian izin ekpor tambang mineral mentah

diatur dalam dalam Pasal 10 Permen 5/2017 jo. Pasal 2 Permen 6/2017 yang secara ringkas dapat disarikan sebagaiberikut:

12 Penjelasan Pasal 5 huruf g: Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang -undangan.

Bisman Bhaktiar - MENGGUGAT KEBIJAKAN IZIN EKSPOR TAMBANG MINERAL MENTAH

Page 12: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

a. Pasal 10 ayat (2) Permen 5/2017 jo. Pasal 2 ayat (3) Permen 6/2017 mengatur bahwa bagi Pemegang IUP Operasi Produksi Nikel dan Operasi Produksi Khusus yang telah memenuhi kewajiban memanfaatkan nikel dengan kadar <1, 7% sekurang-kurangnya 30% dari total kapasitas input fasilitas pengolahan dan pemurnian yang dimiliki dapat melakukan penjualan nikel dengan kadar < 1, 7% ke luar negeri;

b. Pasal 10 ayat (3) Permen 5/2017 jo. Pasal 2 ayat (4) Permen 6/2017 mengatur bahwa bagi Pemegang IUP Operasi Produksi Bauksit dapat melakukan penjualan bauksit yang telah dilakukan pencucian dengan kadar >42% ke luar negeri;

c. Ketentuan dapat melakukan penjualan ke luar negeri tersebut diikuti dengan persyaratan telah atau sedang membangung fasilitas pemurnian (smelter) dan membayar bea keluar.

Pada pokoknya kedua Peraturan Menteri ini memperbolehkan penjualan keluar negeri (ekspor) dengan batasan tertentu terkait kadarnya. Dimana, apabila kadar tersebut telah terpenuhi, izin ekspor dapat diberikan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 102, Pasal 103, dan Pasal 107 UU Minerba. Norma yang terkandung dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba merupakan norma yang tegas dan jelas serta tidak multi tafsir yang memuat kewajiban bagi Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri atau dengan kata lain hasil penambangan wajib diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil tambang ini ini untuk memberikan nilai tambah kepada negara dan rakyat agar Bangsa Indonesia tidak terus menerus menjual tanah air (batuan, bijih atau mineral mentah) kepada bangsa asing.13

Hal ini dapat dimaknai bahwa hasil penambangan yang tidak diolah dan dimurnikan di dalam negeri dilarang atau tidak boleh dibawa/dijual ke luar negeri. Begitu juga dengan Pasal 170 tentang kewajiban bagi pemegang Kontrak Karya untuk melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1). Hal mana ketentuan tentang kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri ini juga telah diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi.

13 Nandang Sudrajat, 2013, Teori dan Praktik Pertambangan di Indonesia, Jakarta: Pustaka Yustisia.

Page 13: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1�

Pengaturan dalam Pasal 10 Permen 5/2017 jo. Pasal 2 Permen 6/2017 yang berisi tentang izin ekspor dengan batasan tertentu sesungguhnya telah menegasikan norma wajib meningkatkan nilai tambah dengan melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 102 dan 103 UU Minerba. Artinya, makna wajib dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba dimaknai oleh Permen 5/2017 jo. Permen 6/2017 hanya dalam bentuk kadar pemurnian tertentu saja. Padahal, UU Minerba sama sekali tidak dimaksudkan demikian, melainkan pengolahan dan pemurnian sepenuhnya harus dilakukan di dalam negeri.

Akibatnya, makna “wajib” melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam rangka meningkatkan nilai tambah mineral sebagaimana diamanatkan oleh UU Minerba menjadi tereduksi atau dihilangkan oleh Permen 5/2017 dan Permen 6/2017. Artinya, norma wajib dalam UU Minerba telah dikesampingkan atau dikalahkan oleh kedua Permen tersebut. Pengolahan dan pemurnian tambang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pelaku usaha pertambangan. Kebijakan ini untuk memberikan nilai tambah kepada negara dan rakyat agar Bangsa Indonesia tidak terus menerus menjual tanah air (batuan, bijih atau mineral mentah) kepada bangsa asing.

2. Perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi (Pasal 17 angka 2 Permen 5/2017) bertentangan dengan UU MinerbaPengaturan tentang perubahan KK menjadi IUPK terdapat dalam Pasal

17 angka 2 Permen 5/2017 yang intinya berisi KK harus melakukan perubahan menjadi IUPK agar dapat melakukan ekpor mineral mentah. KK dianggap perlu berubah menjadi IUPK karena terdapat ketentuan tentang kewajiban bagi KK untuk melakukan pemurnian paling lambat 5 tahun sejak UU Minerba diundangkan sebagaimana terdapat dalam Pasal 170 UU Minerba. Artinya seharusnya sejak tahun 2014 sudah tidak dapat melakukan ekspor hasil penambangan yang belum dilakukan pengolahan dan pemurnian. Dikarenakan ketentuan Pasal 170 UU Minerba tersebut, maka Pemerintah “bersiasat” melakukan “akal-akalan” agar KK diubah menjadi IUPK agar dapat melakukan ekspor mineral mentah.

Bisman Bhaktiar - MENGGUGAT KEBIJAKAN IZIN EKSPOR TAMBANG MINERAL MENTAH

Page 14: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Perubahan KK menjadi IUPK Operasi Produksi (Pasal 17 angka 2 Permen 5/2017) bertentangan dengan Pasal 1 angka 13 UU Minerba yang berbunyi “IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus”, juga bertentangan dengan Pasal 27 sampai dengan Pasal 32 UU Minerba yang mengatur tentang Wilayah Pencadangan Negara (WPN) karena IUPK berasal dari Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang merupakan bagian dari WPN, dan bertentangan dengan Pasal 74 sampai dengan Pasal �3 UU Minerba yang mengatur tentang IUPK.

IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK)14. WUPK adalah bagian dari Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang dapat diusahakan15. Dalam hal WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu dapat diusahakan sebagian luas wilayahnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Secara lebih jelas dapat digambarkan sebagai berikut:

Berdasarkan UU Minerba IUPK adalah izin usaha pertambangan khusus yang diberikan di WPN yang dijadikan WUPK atas persetujuan DPR RI dan 14 Pasal 1 angka 13 UU Minerba 15 Pasal 1 angka 34 UU Minerba

Page 15: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1�

dapat diberikan dengan pertimbangan untuk pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri, sumber devisa negara, berpotensi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, daya dukung lingkungan, dan penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar.16 IUPK sebagaimana dimaksud dalam Permen 5/2017 bertentangan dengan UU Minerba, serta perubahan KK menjadi IUPK merupakan norma baru yang diciptakan oleh Permen 5/2017 yang tidak berdasar kepada kepada UU Minerba.

IV. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan alasan yang telah disampaikan tersebut di atas,

maka sampai pada kesimpulan sebagai berikut:1. Proses dan tahapan pembentukan Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 tidak

sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan bertentangan dengan UU Pembentukan PUU.

2. Delegasi pengaturan lebih lanjut peningkatan nilai tambah mineral dengan kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang diatur dalam bentuk/jenis Peraturan Menteri merupakan pelanggaran terhadap Pasal 103 ayat (3) UU Minerba serta bertentangan dengan Pasal 5 huruf b dan huruf c dan Lampiran II nomor 201 UU Pembentukan PUU.

3. Pemberian izin ekspor dengan syarat dan kondisi tertentu terhadap hasil penambangan mineral yang belum diolah dan dimurnikan sebagaimana diatur dalam PP 1/2017, Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 merupakan pelanggaran dan bertentangan dengan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba.

4. Perubahan bentuk pengusahaan KK menjadi IUPK Operasi Produksi sebagaimana diatur dalam Pasal 17 angka 2 Permen 5/2017 merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 angka 13, Pasal 27 sampai dengan Pasal 32, Pasal 74 sampai dengan Pasal �3 UU Minerba.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa PP 1/2017, Permen 5/2017 dan Permen 6/2017 telah mendegradasikan kehendak dan upaya strategis yang diamanatkan oleh UU Minerba untuk meningkatkan nilai tambah hasil penambangan mineral dengan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi pengelolaan sumber daya alam,

16 Tri Hayati, 2015, Era Baru Hukum Pertambangan di Bawah Rezim UU No. 4 Tahun 2009, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Bisman Bhaktiar - MENGGUGAT KEBIJAKAN IZIN EKSPOR TAMBANG MINERAL MENTAH

Page 16: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

khususnya sumber daya tambang mineral di Indonesia telah berpuluh-puluh tahun hingga saat ini sebagian besar diekspor masih dalam bentuk bahan mentah, sehingga mengakibatkan sumber daya pertambangan mineral tidak menghasilkan nilai tambah (added value) maupun multiplier effect secara langsung sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat.

DAFTAR PUSTAKAAsshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers.Hadjon, Philipus M., 2005. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.Hayati, Tri, 2015, Era Baru Hukum Pertambangan di Bawah Rezim UU No. 4 Tahun

2009, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Ind.

Hill, co. Sudrajat, Nandang, 2013, Teori dan Praktik Pertambangan di Indonesia, Jakarta:

Pustaka Yustisia.Utama, I Made Arya, 2007, Hukum Lingkungan: Sistem Hukum Perizinan

Berwawasan Lingkungan untuk Pembangunan Berkelanjutan, Bandung: Pustaka Sutra.

Peraturan Perundang-undangan:Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang

Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

Page 17: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

17

TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATASYANG DINYATAKAN PAILITErna Widjajati

AbstrakTanggung jawab Direksi Perseroan yang perusahaannya mengalami kepailitan pada prinsipnya sama dengan tanggung jawab Direksi yang perusahaannya tidak sedang mengalami kepailitan. Pada prinsipnya Direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama Perseroan berdasarkan wewenang yang dimilikinya. Akan tetapi, dalam beberapa hal Direksi dapat pula dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam hal kepailitan Perseroan. Berdasarkan Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, seorang anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban hukum ketika Perseroan Pailit sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya dalam mengurus Perseroan. Berdasarkan Pasal 104 ayat (2) UUPT, bahwa UUPT membuat beberapa pengecualian terhadap tanggung jawab anggota Direksi dalam hal Perseroan dinyatakan pailit, yaitu: Ada unsur kesalahan atau kelalaian yang dilakukan Direksi dalam mengurus dan mewakili Perseroan. Artinya, tanggung jawab secara pribadi anggota Direksi akan terkait dengan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota Direksi dalam mengurus dan mewakili Perseroan. Kedudukan Perseroan yang dinyatakan Pailit tidak secara otomatis berhenti dan bubar, melainkan masih eksis sebagai Badan Hukum Perseroan tersebut karena masih ada proses dan tahapan-tahapan tertentu dari sejak dinyatakan Pailit sampai dengan selesainya pemberesan harta Pailit dari perseroan itu. Dasarnya organ-organ Perseroan tetap berfungsi dengan UUPT dan Anggaran Dasarnya. Seperti apabila dalam Anggaran Dasar Perseroan Pailit terdapat ketentuan yang mempersyaratkan persetujuan RUPS untuk pengalihan saham dalam Perseroan, maka RUPS tetap berwenang dalam memberikan Persetujuan tersebut.

Kata kunci: Tanggung Jawab Direksi, Perseroan Terbatas, Pailit

AbstractThe responsibility of the Board of Directors that the company insolvent in principle the same as responsibilities of the Directors that the company was not insolvent. In principle, the Board of Directors is not responsible personally

2

Page 18: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

to the deeds done for and on behalf of the Company pursuant to its authority. However, in some cases the Board of Directors may also be held responsible personally in the event of bankruptcy of the Company. Pursuant to Article 104 paragraph (2) of Law No. 40 of 2007 on Limited Liability Company, a member of the Board of Directors can be held accountable when the Company Bankruptcy law as a result of fault or negligence in managing the Company. Pursuant to Article 104 paragraph (2) of the Company Law, that the Company Law makes some exceptions to the responsibilities of member of the Board of Directors of the Company declared bankrupt in the event, namely: There is an element of fault of negligence committed in taking care of and representing the Board of Directors of the Company. That is, the personal liability members of the Board of Directors will be associated with the presence or absence of errors or omissions committed by members of the Board of Directors in taking care of and represent the Company. Status of the Company declared bankrupt is not automatically stopped and dispersed, but still exists as a legal entity of the Company because there is still a process and certain stages of since declared bankrupt until the completion of settlement assets Bankruptcy of the company was final. Essentially organs of the Company continued to work with the Company Law and the Articles of Association. As if the Articles of Association Bankrupt there are provisions which require the approval of the General Meeting of Shareholders (GMS) for transfer of shares in the Company, the General Meeting of Shareholders remains authorized to give such approval.

Keywords: Responsibilities of Directors, Limited Liability Company, Bankrupt

A. PendahuluanSeiring dengan perkembangan dunia usaha, maka berbagai pihak melakukan

pengkajian terhadap dunia usaha tersebut lebih komprehensif, baik dari sudut pandang praktik maupun pemikiran secara teoritis. Munculnya pemikiran baik dalam teori maupun praktik harus dilakukan pada saat sekarang ini, karena apabila berbicara dalam menjalankan bisnis hampir tidak ada lagi batas antar negara. Hal ini disebabkan dalam perkembangan dunia bisnis melintas antar negara sangat cepat. Oleh karena itu, tanpa terasa norma hukum maupun karakteristik dari perusahaan yang akan melakukan kegiatan bisnis, bagi yang hendak melakukan kegiatan bisnisnya di luar negeri harus memahami ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut, khususnya yang berkaitan dengan badan usaha Perseroan Terbatas.

Page 19: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1�

Perseroan Terbatas merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling disukai saat ini, disamping karena pertanggungjawabannya yang bersifat terbatas, Perseroan Terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemilik atau pemegang sahamnya untuk mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaannya tersebut. Kehadiran Perseroan Terbatas salah satu kendaraan bisnis yang memberikan kontribusi pada hampir semua bidang kehidupan manusia. Perseroan telah menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk pembangunan ekonomi dan sosial.

Pada prinsipnya Perseroan Terbatas sebagai badan hukum yang dapat memiliki segala hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang. Guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang dimilikinya tersebut, ilmu hukum telah merumuskan fungsi dan tugas dari masing-masing organ Perseroan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Organ-organ tersebut dikenal dengan sebutan Rapat Umum Pemegang Saham, Dewan Komisaris, dan Direksi.

Direksi diberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham untuk menjadi Organ Perseroan yang akan bekerja untuk kepentingan Perseroan, serta kepentingan seluruh pemegang saham yang mengangkat dan mempercayakan sebagai satu-satunya Organ yang mengurus dan mengelola Perseroan. Keberadaan Direksi dalam suatu Perseroan merupakan suatu keharusan, atau dengan kata lain Perseroan wajib memiliki Direksi, karena Perseroan sebagai artificial person tidak dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bantuan dari Direksi sebagai natural person1. Oleh karena itu keberadaan Direksi bagi Perseroan sangat penting. Sekalipun Perseroan Terbatas sebagai badan hukum, yang mempunyai kekayaan terpisah dengan Direksi, tetapi hal itu hanya berdasarkan fiksi hukum, bahwa Perseroan dianggap seakan-akan sebagai subjek hukum, sama seperti manusia2.

Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan jalannya perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan. Di dalam menjalankan tugasnya, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekuensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi diberikan hak dan 1 I.G. Rai Wijaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Jakarta: Kesain Blanc, 2002)2 Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal.7

Erna Widjajati - TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT

Page 20: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�0

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

kekuasaan penuh, dengan konsekuensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi akan dianggap dan diperlukan sebagai tindakan dan perbuatan Perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Anggaran Dasar Perseroan. Apabila tindakan Direksi merugikan Perseroan, yang dilakukan di luar batas kewenangan yang diberikan kepadanya oleh Anggaran Dasar, berarti Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas setiap tindakannya di luar batas kewenangan yang diberikan dalam Anggaran Dasar Perseroan3.

Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap Perseroan, Direksi tidak hanya bertanggung jawab terhadap Perseroan, melainkan juga terhadap pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dengan Perseroan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Perseroan. Oleh karena itu, seorang Direksi harus bertindak hati-hati dalam melakukan tugasnya (duty of care). Selain itu dalam melakukan tugasnya seorang Direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyalty). Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan Direksi untuk dimintai pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada pemegang saham maupun kepada pihak lainnya4.

Fiduciary Duty seorang Direksi adalah tugas yang secara hukum (by the operation of law) dari suatu hubungan fiduciary antara Direksi dan perusahaan yang dipimpinnya, menyebabkan Direksi berkedudukan sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang Direksi harus mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaan dengan derajat yang tinggi5. Pelanggaran terhadap fiduciary duty, sebagaimana halnya pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dan atas namanya melakukan gugatan terhadap pihak yang menerbitkan kerugian tersebut. Terjadi tidaknya pelanggaran terhadap fiduciary duty oleh Direksi dalam mempergunakan business judgement rule6. 3 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),

hal.974 Bismar Nasution, Undang-Undang No. 40 tahun 2007 dalam Perspektif Hukum Bisnis Pembelaan Direksi

Melalui Prinsip Business Judgmen Rule, disampaikan pada seminar bisnis 46 tahun Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, (Medan: Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 2007), hal.7

5 Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2003), h.�1 6 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi dan Komisaris Perseroan Terbatas, (Jakarta: Forum

Sahabat, 200�), h. 64

Page 21: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�1

Terjadinya Kepailitan di dalam Perseroan, membawa akibat bahwa Direksi tidak berhak dan berwenang lagi untuk mengurus harta kekayaan Perseroan, sebagai suatu Badan Hukum yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan perusahaan. Kepailitan dapat mengakibatkan Perseroan tidak mungkin lagi melaksanakan kegiatan usahanya. Apabila Perseroan tidak melaksanakan kegiatan usaha, tentunya menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi Perseroan itu sendiri, melainkan juga kepentingan dari pemegang saham Perseroan, belum lagi kepentingan para kreditur yang tidak dapat dibayar lunas dari hasil penjualan seluruh harta kekayaan Perseroan7.

Berdasarkan kasus tersebut di atas, maka penulis tertarik mengambil judul jurnal selisik tentang “TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT”.

B. Permasalahan Hukum1. Bagaimana tanggung jawab Direksi Perseroan yang dinyatakan pailit ?2. Bagaimana kedudukan Perseroan dan Organ-Organ Perseroan yang

dinyatakan pailit ?

C. Analisis HukumKepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang

mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitur tidak dapat membayar utangnya�. Menurut Soemantri Hartono, kepailitan adalah lembaga hukum perdata Eropa sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa yang tercantum dalam pasal-pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)9.

Pasal 1131: “menetapkan bahwa semua harta kekayaan debitur (si berutang) baik benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi jaminan untuk semua perikatan-perikatan pribadinya”.

Pasal 1132: “menetapkan bahwa benda-benda milik debitur tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi para krediturnya (si berpiutang) dan hasil 7 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2002), hal. �� Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 29 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003), h. 341

Erna Widjajati - TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT

Page 22: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

penjualan benda-benda milik debitur itu menurut keseimbangan (proporsional) yaitu menurut besar kecilnya tagihan kreditur masing-masing kreditur, kecuali apabila diantara kreditur ada alasan-alasan untuk didahulukan”.

Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan bahwa yang dimaksud dengan: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. Debitur sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) adalah: “Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”.

Jadi berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam kepailitan ada unsur-unsur:

a. Adanya keadaan “berhenti membayar” atas suatu utang;b. Adanya permohonan pailit;c. Adanya pernyataan pailit (oleh Pengadilan Niaga);d. Adanya sita dan eksekusi atas harta kekayaan pihak yang dinyatakan

pailit (debitur), yang dilakukan oleh pihak yang berwenang, semata-mata untuk kepentingan kreditur.

Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh Kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing. Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu10:

a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utang-utangnya kepada semua kreditur.

b. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai

10 Imran Nating, Op.Cit, h. 9

Page 23: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata merupakan perwujudan adanya jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh debitur terhadap kreditur-krediturnya dengan kedudukan yang proporsional. Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut: bahwa kekayaan debitur (pasal 1131) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (pasal 1132) secara proporsional, kecuali kreditur dengan hak mendahului (Hak Preferens).

Dalam Undang-Undang Kepailitan pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa: “Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus telah memenuhi dua syarat yaitu11:

a. Memiliki Minimal Dua Kreditur: Keharusan ada dua kreditur yang disyaratkan dalam Undang-Undang Kepailitan merupakan pelaksanaan dari ketentuan pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena seorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit jika ia hanya mempunyai seorang kreditur adalah tidak ada keperluan untuk membagi aset debitur diantara para kreditur.

b. Harus Ada Utang: Di dalam pasal 1 ayat (6) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan: “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur”.

c. Jangka Waktu dan Dapat Ditagih: Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan yang dimaksud dengan: “Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar

11 Ibid., h. 23-26

Erna Widjajati - TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT

Page 24: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase”.

Apabila seorang debitur secara resmi dinyatakan pailit maka secara yuridis akan menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:

a. Debitur kehilangan segala haknya untuk menguasai dan mengurusi atas kekayaan harta bendanya (asetnya), baik menjual, menggadai, dan lain sebagainya, serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan;

b. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya;c. Untuk melindungi kepentingan kreditur, selama putusan atas

permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, kreditur dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk:1) Meletakan sisa jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan

debitur;2) Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha

debitur, menerima pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau penggunaan kekayaan debitur (pasal 10);

3) Harus diumumkan di 2 (dua) surat kabar (pasal 15 ayat (4))12.

Akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah bahwa ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah Kurator. Untuk menjaga dan mengawasi perjalanan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit).

Tanggung jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas yang dinyatakan pailit. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa organ perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisasris, dan Direksi. Ketiga organ ini memiliki tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang berbeda satu sama lainnya. Direksi adalah salah satu organ perseroan terbatas yang memiliki tugas serta bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Anggaran Dasar. Direksi

12 Ibid., h. 153

Page 25: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

mempunyai fungsi dan peranan yang sangat sentral dalam paradigma Perseroan Terbatas. Hal ini karena Direksi yang akan menjalankan fungsi pengurusan dan perwakilan Perseroan Terbatas13. Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Anggaran Dasar.

Menurut teori Organisme dari Otto von Gierke sebagaimana yang dikutip oleh Syuiling, “Direksi adalah organ atau alat perlengkapan badan hukum. Seperti halnya manusia mempunyai organ-organ, seperti tangan, kaki, mata, telinga dan seterusnya dan karena setiap gerakan organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan oleh otak manusia, maka setiap gerakan atau aktivitas Direksi badan hukum dikehendaki atau diperintah oleh badan hukum sendiri, sehingga Direksi adalah personifikasi dari badan hukum itu sendiri. Sebaliknya Paul Scholten dan Bregstein (1954), langsung mengatakan bahwa Direksi mewakili badan hukum14.

Bertitik tolak dari pendapat ketiga ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Direksi PT itu bertindak mewakili PT sebagai badan hukum. PT memperoleh status sebagai badan hukum, menurut Pasal 7 ayat (4) UUPT adalah “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan”. Hakekat dari sebuah perwakilan adalah bahwa seseorang melakukan sesuatu perbuatan untuk kepentingan orang lain atas tanggung jawab dari orang yang mewakilkan itu15.

Menurut Paul Scholten dan Bregstein, pengurus mewakili Badan Hukum. Analog dengan pendapat Gierke dan Paul Scholten maupun Bregstein tersebut, maka Direksi PT bertindak mewakili PT sebagai Badan Hukum. Hakikat dari perwakilan adalah bahwa seseorang melakukan sesuatu perbuatan untuk kepentingan orang lain atas tanggung jawab orang itu16.

Dari ketentuan normatif dalam UUPT dan teori Gierke-Scholten Bregstein, maka fungsi Direksi adalah melakukan pengurusan dan perwakilan. Pengurusan

13 M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi pertama, (Jakarta: Predana Media Group, 200�), h. 225

14 Nindyo Pramono, Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT/Bank Menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 15

15 Ibid.16 M. Hadi Subhan, Op.Cit., h. 226

Erna Widjajati - TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT

Page 26: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

akan berkaitan dengan tugas-tugas internal suatu Perseroan Terbatas untuk kepentingan dalam raangka pencapaian maksud dan tujuan perseroan, sedangkan perwakilan adalah berkaitan dengan tugas Direksi mewakili perseroan dalam berinteraksi dengan pihak ketiga maupun mewakili di luar dan di dalam pengadilan.

Di samping tugas utama Direksi tersebut, Rudhi Prasetya menyatakan bahwa termasuk sebagai tugas Direksi dalam perbuatan dan kejadian sehari-hari tersebut, menurut Anggaran Dasar:

a. Menandatangani saham-saham yang dikeluarkan, bersama-sama Komisaris;

b. Menyusun laporan neraca untung rugi perseroan pada akhir tahun, sebagai pertanggungjawaban Direksi, dengan menyampaikan dan meminta untuk disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);

c. Melakukan pemanggilan RUPS dan memimpin RUPS (khusus untuk PT terbuka RUPS dipimpin oleh Komisaris)17.

Tugas dan wewenang Direksi tersebut di atas penting untuk diketahui sebelum menganalisis tanggung jawab Direksi. Rudhi Prasetya menyatakan bahwa: “Jika berbicara mengenai pertanggungjawaban, maka dapat dilihat dari segi hubungan ekstern dan segi hubungan intern”. Tanggung jawab ekstern adalah tanggung jawab sebagai dampak dalam hubungan dengan pihak luar. Sedangkan tanggung jawab intern adalah dampak dari hubungan pengurus sebagai organ terhadap organ lainnya, yaitu Komisaris dan/atau Rapat Umum Pemegang Saham. Sedangkan jika dilihat dari substansinya, maka tanggung jawab Direksi Perseroan Terbatas dibedakan setidak-tidaknya menjadi empat kategori, yakni:

a. Tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duties dan duty to skill and care;

b. Tanggung jawab berdasarkan doktrin manajemen ke dalam (indoor management rule);

c. Tanggung jawab berdasarkan prinsip Ultra vires; dand. Tanggung jawab berdasarkan prinsip piercing the corporate veil18.

17 Ibid., h. 2271� Ibid.

Page 27: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�7

Ketentuan Pasal �0 UUPT menjelaskan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Perseroan Terbatas terutama sanksi jika Direksi melakukan kelalaian dan kesalahan. Dalam Pasal �0 ayat (1) UUPT dikatakan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Sedangkan Pasal �0 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal �0 ayat (3) UUPT dikatakan bahwa atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.

Rudhi Prasetya menyatakan prinsip kehati-hatian Direksi dalam menghindari kesalahan dan kelalaian dengan menjalankan prinsip “good corporate government”. Dalam kaitan dengan prinsip piercing corporate viel, tanggung jawab Direksi bisa dikurangi dan bahkan dibebaskan jika memenuhi kondisi-kondisi antara lain: tindakan Direksi tersebut dalam rangka menjalankan keputusan RUPS, diterima oleh RUPS yang dibuat setelah tindakan tersebut, tindakan tersebut bermanfaat bagi perseroan tanpa melanggar hukum yang berlaku, terhadap Direksi diberikan release and discharge (et quit de charge) oleh RUPS, mengikuti pendapat dari pihak luar yang profesional seperti legal opini dari lawyer, financial report dari akuntan, pendapat tertulis dari appraiser.

Prinsip pertanggungjawaban Direksi tersebut di atas adalah prinsip tanggung jawab Direksi pada umumnya. Dalam arti hal itu merupakan tanggung jawab Direksi dalam menjalankan perseroan secara umum dan belum berkaitan dengan kepailitannya perseroan yang dikendalikan oleh Direksi tersebut. Pada prinsipnya Direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukan untuk dan atas norma Perseroan berdasarkan wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan Direksi dipandang sebagai perbuatan Perseroan Terbatas yang merupakan subjek hukum mandiri sehingga Perseroan yang bertanggung jawab terhadap perbuatannya Perseroan itu sendiri yang dalam hal ini dipresentasikan oleh Direksi. Namun, dalam beberapa hal Direksi dapat pula dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan Perseroan Terbatas ini19.19 Ibid., h. 232

Erna Widjajati - TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT

Page 28: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Tanggung jawab Direksi yang perusahaannya mengalami Pailit, pada prinsipnya adalah sama dengan tanggung jawab Direksi yang perusahaannya tidak mengalami Pailit. Pengaturan lebih lanjut dari tanggung jawab Direksi dapat dilihat dari kondisi tertentu. Pada prinsipnya Direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukan atas nama Perseroan yang dilakukan berdasarkan wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan Direksi dipandang sebagai perbuatan Perseroan Terbatas yang merupakan subjek hukum. Namun ada beberapa hal Direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan Perseroan Terbatas20.

Berdasarkan Pasal 104 ayat (2) UUPT, menyatakan bahwa “Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta Pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut. Setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta Pailit tersebut”. Selain itu, Pasal 104 ayat (4) menyebutkan: “Anggota Direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan:

a) Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;b) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan

penuh tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan

d) Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.

Namun demikian, bukan hal yang mudah untuk membuktikan bahwa Direksi telah melakukan kesalahan dan/atau kelalaian sehingga menyebabkan suatu Perseroan mengalami kebangkrutan yang berujung pada kepailitan. Dari pengaturan tersebut maka sebenarnya ada benang merah antara tanggung jawab Direksi Perseroan Terbatas tidak dalam Pailit dan tanggung jawab Direksi dalam hal Perseroan Terbatas mengalami Pailit. Dengan demikian, berbagai teori tanggung jawab Direksi di atas dapat digunakan pula untuk mengukur tanggung jawab Direksi dalam hal Perseroan Terbatas mengalami kepailitan. Sedangkan Pasal 104 ayat (2) UUPT adalah merupakan implikasi yuridis dari sifat 20 Agus Salim Harahap, Tanggung Jawab Direksi dalam Kepailitan Perseroan Terbatas, (Lex Jurnalica,

200�), h. 166

Page 29: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

kolegialitas dari Direksi di mana segenap Direksi bertanggung jawab secara renteng (jointly and severely) sehingga bagi anggota Direksi yang berkehendak untuk melepaskan tanggung jawab renteng tersebut, maka anggota Direksi itu wajib membuktikan mengenai hal itu.

Mengenai tanggung jawab Direksi yang Perseroan mengalami Pailit, Munir Fuadi mengatakan bahwa apabila suatu Perseroan Pailit, tidak demi hukum pihak Direksi harus bertanggung jawab secara pribadi. Agar pihak anggota Direksi dapat dimintakan tanggung jawab pribadi ketika suatu perusahaan Pailit, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Terdapat unsur kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian dari Direksi (dengan pembuktian biasa);

b. Untuk membayar utang dan ongkos-ongkos kepailitan, haruslah diambil terlebih dahulu dari aset-aset Perseroan. Bila aset Perseroan tidak mencukupi, barulah diambil aset Direksi pribadi;

c. Diberlakukan pembuktian terbalik bagi anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan Perseroan bukan karena kesalahan (kesengajaan) atau kelalaiannya.

Di samping pertanggungjawaban Perdata (Civil Liability) tersebut, Direksi dapat dikenakan pertanggungjawaban Pidana (Criminal Liability) dalam kepailitan Perseroan Terbatas ini. Ketentuan Pidana ini berkait dengan tindakan organ Perseroan setelah Perseroan Terbatas tersebut dinyatakan Pailit dan juga berkait dengan terjadinya Pailit Perseroan Terbatas.

Tanggung jawab Direksi ketika terjadinya Kepailitan pada Perseroan Terbatas menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, adalah dalam hal Kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta Pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut; sebaliknya anggota Direksi tidak bertanggung jawab atas Kepailitan perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan:

a. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan

penuh tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

Erna Widjajati - TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT

Page 30: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�0

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.

D. Kesimpulan1. Direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan yang

dilakukan untuk dan atas nama Perseroan berdasarkan wewenang yang dimilikinya. Hal tersebut karena perbuatan Direksi dipandang sebagai perbuatan Perseroan yang merupakan subjek hukum mandiri sehingga Perseroan bertanggung jawab terhadap perbuatan Perseroan itu sendiri yang dipresentasikan oleh Direksi. Akan tetapi, Direksi dapat pula diminta tanggung jawab secara pribadi. Berdasarkan Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, seorang anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban hukum ketika Perseroan Pailit sebagai kesalahan atau kelalaiannya dalam mengurus Perseroan.

2. Kedudukan Perseroan yang telah dinyatakan Pailit tidak secara otomatis bubar; melainkan masih eksis sebagai Badan Hukum. Masih eksisnya Badan Hukum dari Perseroan tersebut dalam arti bahwa masih ada proses dan tahapan-tahapan tertentu dari sejak dinyatakan pailit sampai dengan selesainya pemberesan harta pailit perseroan tersebut. Terhadap organ-organ Perseroan, kepailitan mengakibatkan organ-organ Perseroan tidak lagi secara sah dapat melakukan perbuatan hukum yang mengikat harta pailit Perseroan, karena kewenangan secara eksklusif ada pada Kurator. Pada dasarnya organ-organ Perseroan tetap berfungsi sesuai dengan UUPT dan Anggaran Dasarnya. Seperti apabila dalam Anggaran Dasar Perseroan pailit terdapat ketentuan yang mensyaratkan persetujuan RUPS untuk pengalihan saham dalam Perseroan, maka RUPS tetap berwenang dalam memberikan Persetujuan tersebut.

Daftar Pustaka

I. BukuAli, Chidir. 1991. Badan Hukum: Rechtspersoon. Bandung: AlumniFuady, Munir. 2003. Perseroan Terbatas Paradigma Baru. Bandung: PT. Citra

Aditya

Page 31: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�1

___________. 2007. Perlindungan Pemegang Saham Minoritas. Bandung: CV. Utomo

___________. 200�. Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007)

Harahap, Agus Salim. 200�. Tanggung Jawab Direksi Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas. Lex Jurnalica

Istanto, F. Sugeng. 2007. Penelitian Hukum, cetakan ke-1. Yogyakarta: CV. Ganda

Jono. 2007. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar GrafikaNasution, Bismar. 2007. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif

Hukum Bisnis Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule, disampaikan pada Seminar Bisnis 46 tahun Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Medan: Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

Nating, Imran. 2009. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Simanjuntak. 2009. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: DjambatanSubhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan.

Tumbuhan, Fred B.G. 2004. Tujuan dan Wewenang Kurator Mengurus atau Membereskan Harta Pailit, dalam: Emmy Yuhassarie. Revitalisasi Tugas dan Wewenang Kurator/Pengurus, Hakim Pengawas dan Hakim Niaga dalam Rangka Kepailitan. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum (PPH)

______________. 2004. Pembagian Kewenangan Antara Kurator dan Organ-Organ Perseroan Terbatas, dalam: Emmy Yuhassarie Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya

Suharmoko. 2004. Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Predana Media Group

Sutarno. 2003. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Bandung: AlfabetaWidjaja, Gunawan. 2002. Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan.

Jakarta: PT. Raja Grafindo PersadaWidiyono, Try. 2004. Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan, Tugas, Wewenang

dan Tanggung Jawab. Jakarta: Ghalia Indonesia

II. Peraturan Perundang-UndanganRepublik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum PerdataRepublik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Erna Widjajati - TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT

Page 32: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 19�2 tentang Wajib Daftar Perusahaan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

III. Sumber InternetAmirudin, Badriyah Rifai. Peran Komisaris Independen Dalam Mewujudkan Good

Corporate Govermance di Tubuh Perusahaan Publik, http://researchengines.co./badriyahamirudin.html

Mulyana, Iman. Good Corporate Govermance, http://id.shvoong.com/businessmanagement/management/165�624-good-corporate-govermance.html

Kasim, Umar. Tanggung Jawab Korporasi dalam Mengalami Kerugian, Kepailitan atau Likuidasi, http://helmilawhelmi.blogspot.com/200�/07/tanggung-jawab-korporasi-dalam-hal.html

Page 33: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

3 PENGGUNAAN DANA DESA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM, SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT (Studi di Desa Waepana, Piga, dan Piga I, Kabupaten Ngada Provinsi NTT)

Albertus Drepane Soge, Lamtiur Hasianna Tampubolon, Dhevy Setya Wibawaya Wibawa

AbstrakDana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten / Kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Dana Desa mulai dialokasikan oleh Pemerintah sejak tahun 2015 dan jumlahnya terus meningkat tiap tahunnya (pada tahun 2016 alokasinya sebesar Rp 46.9�2.0�0.000.000, -). Dengan adanya alokasi dana yang cukup besar ke tiap Desa tersebut, maka menarik untuk diteliti mengenai pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan partisipasi masyarakat (behaviour) dalam pengelolaan Dana Desa tersebut, sehingga dengan penelitian ini dapat diketahui Peraturan Daerah ataupun Kebijakan Publik apa saja yang perlu diperbaharui atau ditambahkan. Dari aspek hukum, penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Dari aspek sosial dan budaya peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner dan juga mengumpulkan informasi empiris melalui pengamatan atau observasi, wawancara mendalam atau in-depth interview, dan diskusi kelompok terfokus (FGD - Focus Group Discussion) di tiga Desa di Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada, Provinsi NTT. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penggunaan Dana Desa terhambat karena partisipasi masyarakat yang rendah, semakin berkurangnya warga yang menjadi TPK (Tim Pengelola Kegiatan), dan proses administrasi yang tidak tertib. Sedangkan kunci keberhasilan penggunaan Dana Desa adalah adanya nilai gotong royong yang masih kuat, penggunaan Dana Desa ditentukan secara “Bottom Up”, adanya sosialisasi dan pelaporan penggunaan Dana Desa, sampai dengan sanksi bagi warga yang tidak terlibat.

Kata kunci: Dana Desa, knowledge, attitude, behaviour, Peraturan Daerah.

Page 34: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

AbstractVillage Fund are funds from Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) which is applied to the village that is transferred through Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Regency / City and used to fund governance, implementation of the development, fostering social and community empowerment. Village Fund began to be allocated by the Government since 2015 and the number continues to increase each year (in 2016 the allocation is Rp 46, 982, 080, 000, 000, -). With the allocation of considerable funds to the village each, then interesting to study about the knowledge, attitude, and participation (behavior) in the management of the Village Fund, so with this research can be known Local Regulation or Public Policy what needs to be updated or added. From the legal aspect, this research is a Normative Juridical and Empirical Juridical research. From the social and cultural aspects researchers used a quantitative approach by distributing questionnaires and also gather empirical information through observation, in-depth interviews and Focus Group Discussions (FGD) in three villages in the District Soa, Ngada , NTT Province. Based on the results of research conducted, the use of the Village Fund hampered by low public participation, the decreasing of residents to be TPK (Tim Pengelola Kegiatan), and administrative processes that are not orderly. While the key to the successful use of the Village Fund is the value of gotong royong is still strong, the use of the Village Fund determined by the “Bottom Up” process, socialization and reporting of usage Village Fund, up to sanctions for people who are not involved.

Keywords: Village Fund, knowledge, attitude, behaviour, Local Regulation.

I. PENDAHULUANNegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjalankan sistem otonomiegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjalankan sistem otonomi (NKRI) menjalankan sistem otonomi

yang seluas-luasnya. Hal ini diatur dalam Pasal 1� ayat (5) UUD 1945 pascaa-mandemen. Sistem otonomi ini memberikan keleluasaan pada daerah untukkeleluasaan pada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidangpemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali urusan pemerintahan pusat. Selanjutnya dalam Pasal 1�B ayat (2) UUD 1945 pascaamandemen dinyatakan bahwa “Negara mengakuiNegara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pasal 1� B ayat (2) UUD 1945 pascaamandemen tersebut merupakan dasarpascaamandemen tersebut merupakan dasar hukum dan pengakuan adanya Desa, yang kemudian diatur lebih lanjut dengan diatur lebih lanjut dengan

Page 35: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur bahwa Desa merupakan daerah otonom NKRI yangdaerah otonom NKRI yang terkecil karena Desa dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri. Dengan demikian Desa menjadi ujung tombak dalam proses pembangu-nan, yang bertujuan mendorong partisipasi dan kontribusi yang lebih dari masy-arakat Desa untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Hal ini sesuai dengan visi, misi, dan program aksi dari pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, yaitu Sembilan Agenda Prioritas (Nawa Cita). Agenda ketiga dari Nawa Cita adalah “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan Desa dalam kerangka Negara Kesatuan. Dengan demikian pembangunan Desa dan daerah jelas menjadi salah satu prioritas utama pemer-intahan baru, pembangunan yang awalnya hanya berpusat di ibu kota, akan lebih diratakan ke seluruh daerah pinggiran di Indonesia.

Fenomena ketimpangan pendapatan antar daerah yang stagnan 0, 41 dalam kurun waktu 4 tahun terakhir (www.kemenkeu.go.id, 2014), dijawab oleh pemerintah dengan mulai mengalokasikan anggaran Dana Desa yang bersum-ber dari APBN sejak tahun 2015. Sumber keuangan Desa berasal dari berbagai macam sumber, yaitu seperti yang digambarkan pada diagram di bawah:bawah:

Diagram 1. Sumber Keuangan Desa

Albertus Drepane Soge, dkk - PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM ...

Page 36: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Catatan:Diagram berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2015 tentang APBN Tahun Anggaran berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2015 tentang APBN Tahun AnggaranNomor 14 Tahun 2015 tentang APBN Tahun Anggaran 2016 dan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pada diagram tersebut, sumber keuangan Desa yang berasal dari APBN Ta- tersebut, sumber keuangan Desa yang berasal dari APBN Ta-hun Anggaran 2016 adalah dari Transfer ke Daerah (Rp 723.191.242.52�.000, -) dan Dana Desa (Rp 46.982.080.000.000, -)Rp 46.982.080.000.000, -), dengan total anggaran sebesar Rp 770.173.322.52�.000 (37% dari total Belanja Negara Tahun Anggaran 2016).

Khusus mengenai anggaran Dana Desa diatur dalam Pasal 72 ayat (1) b dan ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber Dari APBN, beserta 2 PP perubahannya yaitu PP Nomor 22 TahunAPBN, beserta 2 PP perubahannya yaitu PP Nomor 22 Tahun 2015 (perubahan I) dan PP Nomor � Tahun 2016 (perubahan II). Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui APBD Kabupaten / Kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Dana Desa dialokasikan kepada setiap Kabupaten / Kota dengan ketentuan 90% dialokasikan secara merata kepada setiap desa (Alokasi Dasar), dan 10% dialokasikan berdasarkan jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan tingkat kesulitan geografis desa (Alokasi Formula). DenganDengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dana Desa disalurkan ke setiap Kabupaten / Kota dan kemudian disalurkan ke tiap Desa. 90% Dana Desa yang dianggar-kan dialokasikan secara merata ke setiap Desa, dan 10% Dana Desa tersebut di-alokasikan dengan perhitungan tertentu.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) biasa digunakan untuk menentukan keberhasilan pembangunan dan dana yang akan dialokasikan ke suatu daerah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), IPM dibentuk oleh 3 dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak. Berikutdan standar hidup layak. Berikutstandar hidup layak. Berikut Berikut adalah data 10 urutan IPM terendah per Provinsi di Indonesia pada tahun 2010 – 2014 (data tahun 2015/2016, belum tersedia di website BPS) yang dibuat oleh BPS (www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1796, 2015):

Page 37: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�7

Tabel 1. IPM Metode Baru Menurut Provinsi Tahun 2010-2014

Catatan:1. Pengelompokan IPM:

IPM < 60 : IPM rendah 60 ≤ IPM < 70 : IPM sedang 70 ≤ IPM < 80 : IPM tinggi IPM ≥ 80 : IPM sangat tinggi

2. IPM menggunakan metode terbaru sehingga pendeskripsian pendidikan dan pendapatan lebih relevan.

Berdasarkan data tersebut, pada tahun 2014 Provinsi NTT dengan IPM 62, 26, berada di peringkat keempat dari Provinsi di Indonesia yang memiliki IPM dengan peringkat terendah. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan kualitas hidup manusia (masyarakat) di Propinsi NTT masih berada di tingkat sedang dan cenderung rendah. Penduduk NTT masih kurang dapat mengakses hasil pembangunan dalam hal memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.

Kabupaten Ngada adalah sebuah kabupaten di bagian tengah pulau Flores, Provinsi NTT. Luas wilayah 1.621 km² dengan jumlah penduduk 142.254 jiwa. Ibu kota Kabupaten Ngada adalah Bajawa. Daerah Ngada dimasukkan ke dalam World Heritage Tentative List UNESCO pada tanggal 19 Oktober 1995 dalam kategori “Kebudayaan” (https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Ngada, 2015).

Berikut adalah data IPM menurut Kabupaten atau Kota di Provinsi NTT pada tahun 2014 (http://ntt.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/69, 2015):

4

1.

2.

Albertus Drepane Soge, dkk - PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM ...

Page 38: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Tabel 2. IPM Metode Baru Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010-2014

IPM Kabupaten Ngada berada diperingkat kesebelas dari antara 21 Kabupaten dan 1 Kota di Provinsi NTT. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Ngada cukup dapat mengakses hasil pembangunan dibandingkan dengan Kabupaten atau Kota yang ada di Propinsi NTT.

Provinsi NTT merupakan wilayah pinggiran Indonesia yang cenderung rendah tingkat pembangunannya. Kabupaten Ngada merupakan daerah di tengah Pulau Flores, dan mempunyai tingkat IPM yang juga berada di tingkatan menengah di antara Kabupaten dan Kota di seluruh Provinsi NTT. Sehingga Kabupaten Ngada diharapkan dapat dijadikan sample untuk mempelajari dan memberi solusi perbaikan proses pembangunan daerah yang ada di Propinsi NTT pada khususnya dan di wilayah pinggiran Indonesia pada umumnya.

5

Page 39: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

Sehubungan dengan adanya bantuan Dana Desa, menarik untuk ditelitiadanya bantuan Dana Desa, menarik untuk diteliti bagaimana pengetahuan (knowledge) masyarakat Desa di Kabupaten Ngadadi Kabupaten Ngada terhadap Dana Desa. Peneliti ingin melihat sejauh mana masyarakat tahu dan paham bahwa desanya berhak mendapatkan dana pembangunan dari pemerin-tah. Selanjutnya, jika mereka tahu, bagaimana sikap (attitude) mereka terhadap Dana Desa tersebut? Apakah mereka menjadi warga yang aktif dan memberi-kan suaranya agar Dana Desa tersebut digunakan sebaik-baiknya? Lalu, apakah masyarakat berpartisipasi aktif (behaviour) dalam pengelolaan Dana Desa terse-but? Sehingga dengan penelitian ini dapat diketahui Peraturan Daerah ataupun Kebijakan Publik apa saja yang perlu diperbaharui atau ditambahkan.

II. METODE Penelitian ini merupakan penelitian multi disiplin karena ditinjau dari

beberapa aspek yaitu aspek hukum, sosial dan budaya.

A. Jenis Penelitian Dari segi Hukum penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Normatif dan

Yuridis Empiris (Purwaka, 2007: 27-30). Peneliti mendeskripsikan norma-norma yang terkandung di dalam UUD 1945, peraturan perundang-undangan tentang Desa dan Dana Desa serta peraturan pelaksana dari Dana Desa di wilayah pene- wilayah pene-litian. Selain studi normatif, penelitian ini juga dilakukan secara empiris untuk. Selain studi normatif, penelitian ini juga dilakukan secara empiris untuk mengetahui sikap dan perilaku pemerintahan Kabupaten / Kota dan Desa pada saat menggunakan Dana Desa.menggunakan Dana Desa..

Dari segi sosial budaya, penelitian ini termasuk sebagai penelitian, penelitian ini termasuk sebagai penelitian deskriptif sosial terapan, khususnya social impact assessment. Jenis penelitian ini bisa dilakukan interdisiplin dengan pengumpulan data secara kuantitatif dan kualitatif (Neuman, 2014: 31). Penelitian ini secara empiris memperoleh gambaran pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude) masyarakat dan aparat pemerintahan Kabupaten / Kota dan Desa tentang Dana Desa dan penggunaannya serta memperoleh gambaran keterlibatan ((behaviour) masyar-akat dalam pengelolaan dalam penggunaan Dana Desa untuk pembangunan daerah dan komunitasnya.

B. Data yang DiperlukanData yang diperlukan dalam penelitian Yuridis Normatif adalah data

sekunder. Data sekunder didapat dengan melakukan studi pustaka, yaitu

Albertus Drepane Soge, dkk - PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM ...

Page 40: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�0

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

mengumpulkan informasi dari sumber-sumber data penemuan hukum yang tersusun secara hirarkis (Sudikno Mertokusumo, 2014: 63 dst) dalam peraturan perundangan-undangan termasuk penjelasannya.

Dari aspek sosial dan budaya peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan menyebarkan kuesioner kepada warga desa terkait tingkat pengetahu-an, sikap dan keterlibatan masyarakat mengenai Dana Desa dan penggunaan-nya. Pemilihan responden menggunakan accidental sampling. Peneliti juga men-gumpulkan informasi empiris melalui pengamatan atau observasi, wawancara mendalam atau in-depth interview, dan diskusi kelompok terfokus (FGD - Focus Group Discussion) terhadap kelompok bapak, kelompok ibu, dan kelompok re-maja (total 3 FGD). Metode sampling yang digunakan yaitu purposive sampling. Narasumber diwawancarai antara lain anggota dan mantan anggota Pemerin-tahan Kabupaten / Kota, Desa dan Dinas terkait, tokoh masyarakat, dan warga desa (sekitar 10-15 orang).

Pemilihan desa melalui tahapan sebagai berikut, yaitu memilih Kecamatan di wilayah Kabupaten Ngada yang paling mudah diakses, kemudian dari Keca-matan yang terpilih diambil 3 Desa yang memperoleh bantuan Dana Desa ter-tinggi dan rendah serta terbaik pengelolaan Dana Desanya. Dari hasil observasiDari hasil observasi dan wawancara maka pengumpulan data dilakukan di wilayah Kecamatan Soa. Dari 14 Desa di Kecamatan Soa peneliti memilih Desa Waepana (bantuan Dana Desanya tertinggi), Desa Piga (bantuan Dana Desanya rendah), dan Desa Piga I (terbaik pengelolaan Dana Desanya).

C. Metode Analisis DataTerhadap data yang terkumpul dari hasil studi Yuridis Normatif dianalisis

dengan menggunakan metode penafsiran atau interpretasi hukum (Sudikno Mertokusumo, 2014: 74 dst). Terhadap data yang terkumpul dari hasil studi Yuridis Empiris dianalisis secara kualitatif. Beberapa data sosial empirik akan diolah dan dianalisis secara kuantitatif (kuesioner) sebagai pendukung analisis kualitatif hasil studi Yuridis Empiris.

Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan program SPSS sehingga diperoleh data tentang karakteristik warga di tiga desa, yaitu Desa Waepana, Desa Piga, dan Desa Piga I. Selain itu analisis data dilakukan sehingga diketahui data deskripsi yang membandingkan tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku warga di tiga desa terkait Dana Desa.

Page 41: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�1

III. HASIL DAN PEMBAHASANDesa Piga, Piga I, dan Waepana terletak di Kecamatan Soa, Kabupaten

Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Jumlah total responden dari ketiga desa adalah 148 orang.

Tabel 3. Demografi Responden Berdasarkan Desa Asal

Catatan: 2 kuesioner tidak dikembalikan kepada peneliti

A. Karakteristik RespondenDari total responden tersebut yang berjenis kelamin perempuan lebih

banyak, yaitu sebanyak 76 orang (51%), laki-laki sebanyak 63 orang (43%), dan sisanya 9 orang (6%) tidak mengisi. Tingkat pendidikan responden yang terbanyak adalah SD (Sekolah Dasar), yaitu sebanyak 63 orang (43%). Urutan kedua adalah SMU (Sekolah Menengah Umum) berjumlah 40 orang (27%), disusul dengan pendidikan SMP (Sekolah Menengah Pertama) sebanyak 19 orang (13%), S1 10 orang (7%), Diploma 4 orang (3%), dan S2 1 orang (1%). Namun ada 11 orang (7%) yang tidak mengisi kolom tingkat pendidikan ini.

B. Persepsi Responden Terhadap Dana Desa

1. Data Rata-Rata Skor Persepsi Responden Terhadap Dana Desa

Pada data di bawah ini diketahui rata-rata persepsi warga terhadap Dana Desa. Baik pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) maupun perilaku atau keterlibatan (behavior) warga memiliki rata-rata sama yaitu 4. Ini berarti antara pengetahuan warga, sikap dan keterlibatan mereka cukup baik dan berimbang, seperti yang digambarkan pada grafik berikut:

Desa Asal f %

Piga I 50 34%

Waepana 50 34%

Piga 48 32%

Total 148 1

Albertus Drepane Soge, dkk - PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM ...

Page 42: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Grafik 1. Rata-Rata Skor Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Warga Terhadap Dana Desa

Apabila data tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku (keterlibatan) masyarakat dibandingkan antara responden laki-laki dan perempuan, secara umum di ketiga desa rata-rata skor sama yaitu 4 (skor 1-5, skor tertinggi menjawab sangat setuju). Akan tetapi jika dicermati pada grafik di atas maka skor pengetahuan, sikap dan perilaku (keterlibatan) masyarakat terhadap dana desa lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan.

Grafik 2. Rata-Rata Skor Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Warga Terhadap Dana Desa (Berdasarkan Jenis Kelamin)

Dana Desa juga diakui memberi manfaat bagi berbagai pihak, terutama masyarakat. Bantuan ini diakui bermanfaat bagi pihak aparat desa, atau kelompok yang spesifik seperti kelompok tani, warga yang tidak mampu, dan lain - lain.

Page 43: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

Tabel 4. Penerima Manfaat Program Dana Desa

2. Data Rata-Rata Skor Persepsi Responden Terhadap Dana Desa Berdasarkan Desa Asal

Apabila dibandingkan rata-rata skor persepsi antar tiga Desa, maka grafik di bawah ini menunjukkan pengetahuan dan perilaku (keterlibatan) antar tiga desa sama. Hanya pada data sikap dan penggunaan Dana Desa, memperlihatkan bahwa Desa Piga 1 memiliki rata-rata skor lebih tinggi dibandingan skor Desa Waepana dan Desa Piga, seperti yang digambarkan pada grafik 3.

Grafik 3. Rata-Rata Skor Persepsi Responden Terhadap Dana Desa Berdasarkan Desa Asal

C. Proses Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana DesaMenurut Permenkeu RI Nomor 49/PMK.07/2016 proses pengalokasian,

penyaluran, penggunaan, pemantauan dan evaluasi Dana Desa dilaksanakan

NoSiapa Yang Paling Merasakan Manfaat

Dana DesaJumlah Responden

(f)%

1 Masyarakat 144 95,0%

2 Aparat Desa 3 2,0%

3 Kelompok Tani 1 0,7%

4 Hanya orang yang tidak mampu 1 0,7%

5 Sebagaian masyarakat Desa 1 0,7%

6 KK miskin yang sama 1 0,7%

151 100%Total

Albertus Drepane Soge, dkk - PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM ...

Page 44: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

sebagai berikut:

1. Pengalokasian

Diagram 2. Proses Pengalokasian Dana Desa

Total alokasi Dana Desa Tahun Anggaran 2016 di Kabupaten Ngada adalah sebesar Rp 81.041.776, -, yang terdiri dari Alokasi Dasar sebesar Rp 76.361.400, - dan Alokasi Formula sebesar Rp 4.680.376, - (http://www.djpk. kemenkeu.go.id /web/attachments/article/60�/DANADESA2016.pdf, 2016). Secara lebih rinci, alokasi Dana Desa di Desa Waepana, Piga, dan Piga I adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Alokasi Dana Desa

Berdasarkan data hasil pengisian kuesioner dengan pertanyaan ”ada so-ada so-da so-sialisasi (penjelasan) Kepala Desa tentang penggunaan Dana Desa” didapat-kan skor 4, 4 untuk Desa Piga I dan Desa Waepana, sedangkan Desa Piga 4, 2.

Page 45: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

Namun pada data tabel di bawah menunjukkan bahwa sejumlah responden dari hasil pengisian kuesioner dan FDG, masih belum tepat menyebutkan bantuan yang berasal dari Dana Desa, misalnya pembangunan infrastruktur Pelangi dan ADD (Alokasi Dana Desa) sebenarnya merupakan jenis bantuan lain yang ber-beda dengan Dana Desa. Dengan demikian warga masih belum memahami per-bedaan bantuan Dana Desa dengan sejumlah bantuan yang saat ini diberikan oleh pemerintah. Tabel di bawah ini memperlihatkan jenis bantuan Dana Desa yang diketahui oleh responden.

Tabel 6. Jenis Bantuan Dana Desa

Hal ini menunjukkan walaupun Kepala Desa sudah mensosialisasikan mengenai Dana Desa, tetapi kualitas sosialisasi dari aparat Pemerintah Desa Waepana Desa Piga I dan Piga masih kurang. Sosialisasi yang baik, benar dan menyeluruh diperlukan agar masyarakat dapat lebih cermat dan kritis dalam ikut mengawasi pengelolaan Dana Desa.

2. Penyaluran

Diagram 3. Proses Pengalokasian Dana Desa

13

Albertus Drepane Soge, dkk - PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM ...

Page 46: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Dana Desa disalurkan dari RKUN ke RKUD dan dilanjutkan ke RKD. Penyalu-ran dari RKUD ke RKD dilakukan paling lambat 7 hari kerja setelah Dana Desa diterima di RKUD. Pada tahun 2016 penyaluran Dana Desa dilakukan dalam 2Pada tahun 2016 penyaluran Dana Desa dilakukan dalam 2 tahap, yaitu tahap I pada bulan Maret sebesar 60%, dan tahap II pada bulan Agustus sebesar 40%.

Pencairan Dana Desa tahap I di Desa Piga dan Piga I sudah berjalan, den-gan adanya Peraturan Desa (Perdes) Piga Nomor 3 Tahun 2016 tentang APB-Des 2016 dan Perdes Piga I Nomor 4 Tahun 2015 tentang APBDes Piga I Tahun Anggaran 2016 serta Laporan Realisasi APBDes Piga tahun 2015 dan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Desa Piga I Bulan Desember Tahun Anggaran 2015.

Dana Desa tahap I di Desa Waepana belum disalurkan, karena belum mem-buat Laporan Realisasi. Laporan Realisasi belum dibuat karena masih ada kegia-tan atau proyek yang belum selesai. Dana Desa tahap I periode 2016 di Desa

Direktur Pembiayaan dan Transfer Non Dana Perimbangan

RKUN (Rekening Kas Umum Negara)Direktur Pembiayaan dan Transfer Non Dana Perimbangan menyalurkan Dana Desa

setelah Menteri cq Dirjen Perimbangan Keuangan menerima: 1. peraturan daerah mengenai APBD kabupaten/ kota tahun anggaran berjalan;2. peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan rincian

Dana Desa setiap Desa; dan3. laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan Dana Desa tahun

anggaran sebelumnya dari bupati/ walikota.

RKUD (Rekening Kas Umum Daerah)Bupati / Walikota menyalurkan Dana Desa

RKD (Rekening Kas Desa)

setelah Menteri cq Dirjen Perimbangan Keuangan menerima laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan Dana Desa tahap I dari bupati/walikota, dan menunjukkan paling kurang sebesar 50% telah terealisasi

setelah bupati/walikota menerima:1. peraturan Desa mengenai APBDesa; dan2. laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahun anggaran sebelumnya dari kepala

Desa.

setelah bupati/ walikota menerima laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahap I dari kepala Desa, dan menunjukkan paling kurang telah digunakan sebesar 50%

Tahap I (60%)bulan Maret

Tahap I

Tahap II (40%)bulan Agustus

Tahap II

Page 47: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�7

Waepana yang ditunda tersebut menjadi SiLPA (Selisih Lebih Realisasi Pener-imaan dan Pengeluaran Anggaran selama 1 periode anggaran).

Proses pelaporan dan penyelesaian program ataupun proyek-proyek yang menggunakan Dana Desa merupakan kendala yang dialami oleh ketiga Desa responden. Hal ini diuraikan lebih lanjut pada bahasan mengenai Penggunaan dan Pelaporan Dana Desa.

3. PenggunaanPrioritas Penggunaan Dana Desa diatur dalam PP Nomor 60 Tahun 2014 dan

perubahannya yaitu PP Nomor 22 Tahun 2015, serta Permendes PDTT (Peratu-ran Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) Nomor 21 Tahun 2015. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, Dana Desa diprioritas-kan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat mengacu pada RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) dan RKPDes (Rencana Kerja Pemerintah Desa) yang disepakati dan diputuskan melalui Mu-syawarah Desa. RPJMDes merupakan pedoman rencana pembangunan DesaRPJMDes merupakan pedoman rencana pembangunan Desa selama 5 tahun, sedangkan RKPDes merupakan pedoman untuk 1 tahun.

Kegiatan pembangunan Desa meliputi pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan infrasruktur atau sarana dan prasarana fisik untuk:

a. penghidupan, termasuk ketahanan pangan dan permukiman;b. kesehatan masyarakat;c. pendidikan, sosial dan kebudayaan;d. produksi dan distribusi; e. energi terbarukan serta kegiatan pelestarian lingkungan hidup.

Sedangkan kegiatan pemberdayaan Masyarakat Desa digunakan untuk meningkatkan kapasitas warga atau masyarakat desa dalam pengembangan wirausaha, peningkatan pendapatan, serta perluasan skala ekonomi individu warga atau kelompok masyarakat dan desa.

Dana Desa dapat digunakan untuk membiayai kegiatan yang tidak termasuk dalam prioritas penggunaan Dana Desa, setelah mendapat persetujuan Bupati/ Walikota, yang diberikan pada saat evaluasi rancangan peraturan Desa mengenai APBDesa. Sebelum menyetujui kegiatan tersebut, Bupati/Walikota harus memastikan pengalokasian Dana Desa untuk kegiatan yang menjadi prioritas telah terpenuhi dan/atau kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat telah terpenuhi.

Albertus Drepane Soge, dkk - PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM ...

Page 48: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Berikut adalah RPJMDes dan RKPDes dari Desa Waepana, Piga dan Piga I:

Tabel 7. RPJMDes & RKPDes

Desa Waepana mendapatkan alokasi Dana Desa yang terbesar di wilayah Kecamatan Soa. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM), yaitu 117 RTM. Sebagian besar penduduk merupakan pendatang yang tidak mempunyai lahan, sehingga pendapatan mereka dari bagi hasil mengerjakan lahan atau sawah milik orang lain.

Berdasarkan hasil wawancara dan FGD dengan masyarakat Desa, diketahui bahwa penentuan prioritas dan kegiatan yang menggunakan Dana Desa di Desa Waepana sudah melibatkan masyarakat melalui Musyawarah Desa. Namun, penggunaan Dana Desa agak terhambat karena partisipasi masyarakat di Desa ini rendah. Dana Desa pada periode tahun 2016 belum dapat disalurkan karena realisasi dan pelaporan beberapa kegiatan pada periode 2015 belum ada, sehingga rencana kegiatan pada tahun 2016 belum dapat terlaksana. Penyebab belum selesainya realisasi kegiatan tersebut adalah karena kurangnya partisipasi masyarakat yang disebabkan oleh:a. rendahnya upah HOK (Harian Orang Kerja) Pada tahun 2016 standart upah HOK menurut SK Bupati Ngada tahun 2016

sudah dinaikkan yaitu Rp 57.000,-, sebelumnya pada tahun 2015 upah HOK yang diterima adalah Rp 30.000,-, sedangkan tukang dihargai Rp 42.000,-.

Pada akhirnya warga Desa memilih bekerja di ladang atau sawah yang upah perjamnya Rp 10.000,- (perhari mendapatkan Rp 70.000,- s/d Rp 100.000,-).

b. pelaporan penggunaan Dana Desa ke masyarakat tidak jelas Sosialisasi mengenai Dana Desa yang masuk dan penggunaannya tidak ada,

sehingga masyarakat menjadi skeptis dan apatis dengan kegiatan-kegiatan yang ada.

Desa Piga membuat RPJMDes dan RKPDes dengan mengumpulkan aspirasi masyarakat dalam Musyawarah Desa. Penentuan prioritas pembangunan dilakukan dalam forum Musyawarah Desa. Penentuan prioritas pembangunan jalan di daerah dilakukan dengan cara musyawarah yang mempertimbangkan

Desa RPJMDes RKPDes

WaepanaPerdes Waepana Nomor 1 Tahun 2016 tentang Review RPJMDes Waepana Tahun 2016-2022

Perdes Waepana Nomor 2 Tahun 2016 tentang RKPDes Tahun 2016

PigaPerdes Piga Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan ke 01 Atas Perdes Piga No 1 Tahun 2015 tentang RPJMDes Tahun 2016-2021

Perdes Piga Nomor 2 Tahun 2016 tentang RKPDes tahun 2016

Piga I RPJMDes Piga I tahun 2014-2020 RKPDes Piga I tahun 2016

Page 49: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

jalan yang arus mobilitasnya tertinggi, tingkat kerusakan tertinggi, dan membawa manfaat yang paling besar untuk masyarakat.

Dalam penggunaan Dana Desa, pemerintah Desa Piga menghadapi beberapa kendala, yaitu:a. Semakin berkurangnya warga yang menjadi TPK (Tim Pengelola Kegiatan). Hal ini disebabkan insentif yang kecil bagi TPK. Pada periode tahun 2015,

insentif bagi TPK yang bekerja dalam penggunaan Dana Desa hanya berkisar Rp 500.000, - s/d Rp 600.000, -, padahal pekerjaannya sebagai koordinator dan pengawas kegiatan membutuh waktu dan tenaga yang tidak sedikit.

b. Proses administrasi penggunaan Dana Desa yang tidak tertib Pada saat supplier menurunkan material untuk pembangunan, tidak ada

petugas Desa ditempat, sehingga tidak adanya pengecekan, tanda terima ataupun bukti pengiriman material sudah selesai. Hal ini menyebabkan semakin lamanya proses penyelesaian penggunaan Dana Desa.

Desa Piga I merupakan pemekaran dari Desa Piga. Menurut penilaian dari Pemerintah Kabupaten Ngada, Desa Piga I merupakan Desa di Kecamatan Soa yang terbaik pengelolaan Dana Desanya. Hal-hal yang menjadi kunci keberhasilan penggunaan Dana Desa di Desa Piga I adalah sebagai berikut:a. Penggunaan Dana Desa ditentukan secara Bottom Up Penentuan kegiatan yang menggunakan Dana Desa diawali dari adanya

Musyawarah Dusun. Pada Musyawarah Dusun ini masyarakat Dusun memberikan usulan mengenai hal-hal yang perlu dibangun dan diberdayakan di daerah Dusunnya masing-masing. Usulan dari tiap Dusun tersebut dibawa ke Musyawarah Desa yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat seperti ketua RT, Kepala Dusun, perwakilan perempuan, perwakilan anak muda, dan lain-lain.

Dalam Musyawarah Desa, usulan-usulan dari tiap Dusun disampaikan ke peserta Musyawarah, agar dapat menentukan kegiatan prioritas atau tidak prioritas untuk dilaksanakan.

Dengan demikian pada saat pelaksanaan kegiatan, masyarakat akan merasa memiliki kegiatan tersebut dan mau bekerja secara swadaya.

b. Adanya sanksi bagi warga yang tidak terlibat Denda diberikan jika ada warga yang tidak ikut terlibat. Denda yang dibe-

rikan adalah sebesar Rp 50.000, - per hari, dan pembayaran denda adalah sewaktu warga tersebut mengurus surat-suratnya ke Pemerintah Desa.

Albertus Drepane Soge, dkk - PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM ...

Page 50: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�0

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

c. Nilai gotong royong masih kuat Warga masyarakat Desa Piga I adalah penduduk asli di daerah tersebut,

yaitu etnis Soa. Hal ini menyebabkan nilai gotong royong, saling membantu dan saling terlibat masih kuat, masyarakat dilokasi pembangunan yang berbeda pun tetap ikut membantu.

d. Sosialisasi penggunaan Dana Desa Setelah pelaksanaan kegiatan, ada pelaporan kegiatan dan penggunaan

dana. Pelaporan dilaksanakan dalam Musyawarah Desa maupun pengumuman di papan kegiatan.

Selanjutnya, ada beberapa hal yang masih dibutuhkan oleh pemerintah Desa Piga I dalam penggunaan Dana Desa, yaitu:a. Insentif yang sesuai bagi TPK TPK bekerja 3 s/d 4 hari dalam 1 minggu dalam mengawasi kegiatan

penggunaan Dana Desa, namun insentif yang diberikan hanyalah sebesar Rp 300.000, - s/d Rp 500.000, - per orang.

b. Pendampingan dan pelatihan Pendampingan dan pelatihan masih diperlukan untuk peningkatan

kinerja SDM pemerintah Desa dalam menyelesaikan tugas administratif penggunaan Dana Desa.

4. Pelaporan

Diagram 4. Proses Pelaporan Dana Desa

Page 51: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�1

Kepala Desa menyampaikan laporan realisasi penggunaan Dana Desa setiap tahap kepada Bupati / Walikota, yang terdiri atas:a. laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahun anggaran sebelumnya

(paling lambat minggu kedua bulan Februari tahun anggaran berjalan);b. laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahap I (paling lambat minggu

kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan).

Berikut laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahun anggaran sebelum-nya dan penggunaan Dana Desa tahap I di Desa Waepana, Piga, dan Piga I:

Tabel 8. Laporan Realisasi Penggunaan Dana Desa

Desa Waepana belum membuat laporan realisasi penggunaan Dana Desa untuk tahun anggaran 2015. Berdasarkan hasil wawancara dan FGD, diketahui bahwa kendala-kendala yang menyebabkan belum adanya laporan realisasi tersebut adalah karena ada beberapa kegiatan yang belum selesai dikerjakan karena rendahnya partisipasi masyarakat (seperti yang dijelaskan pada sub bab nomor 3. Penggunaan). Salah satu penyebab rendahnya partisipasi masyarakat adalah karena tidak adanya pertanggungjawaban atau laporan yang jelas mengenai penggunaan Dana Desa. Tidak adanya pertanggungjawaban atau laporan ini disebabkan karena masih rendahnya SDM yang dimiliki pemerintah Desa Waepana untuk membuat administrasi laporan pertanggungjawaban.

Desa Piga sudah melaporkan penggunaan Dana Desa tahun anggaran 2015 dalam bentuk Laporan Realisasi APBDes Piga tahun 2015. Pemerintah Desa Piga melakukan transparansi anggaran dengan membuat forum MBST (Musyawarah Serah Terima), sehingga masyarakat menerima informasi mengenai penggunaan Dana Desa.

Berdasarkan data yang didapat, pemerintah Desa Piga belum membuat laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahap I yang seharusnya sudah dilaporkan paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan

Desa Tahun Anggaran Sebelumnya (2015) Tahap I (2016)

Waepana N/A N/A

Piga Laporan Realisasi APBDes Piga tahun 2015 N/A

Piga ILaporan Pertanggungjawaban Bendahara Desa Piga I Bulan Desember Tahun Anggaran 2015

N/A

Albertus Drepane Soge, dkk - PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM ...

Page 52: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

(2016). Hal ini disebabkan karena pendampingan fasilitator dari Kecamatan sudah berkurang, selain itu proses administrasi pelaporan yang tidak tertib, misalnya tidak lengkapnya tanda tangan suatu dokumen menyebabkan semakin lamanya penyelesaian suatu laporan.

Desa Piga I juga sudah melaporkan penggunaan Dana Desanya, namun juga belum membuat laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahap I. Hal ini disebabkan karena Desa Piga I masih kekurangan SDM dari segi kualitas untukesa Piga I masih kekurangan SDM dari segi kualitas untuk melaksanakan administrasi yang baik.

5. Pemantauan dan Evaluasi

Diagram 5. Proses Pemantauan & Evaluasi Dana Desa

Kewenangan Bupati / Walikota yang diatur pada Permenkeu RI Nomor 49/PMK.07/2016 hanyalah melakukan pemantauan dan evaluasi atas sisa Dana Desa di RKD saja, jadi tidak memantau penggunaan Dana Desa secara keseluru-han. Evaluasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan Dana Desa dilakukan oleh Menteri c.q Dirjen Perimbangan Keuangan. Dari hasil wawancara dengan Kepala Desa Piga (Bp. Eduardus Mehwatu), diketahui bahwa pemantauan dan

Page 53: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

evaluasi di Desa masih kurang, audit berkala tiap tahun tidak ada. Menurut be-liau, selama 5 tahun menjabat, audit yang dilakukan baru 3 kali.selama 5 tahun menjabat, audit yang dilakukan baru 3 kali.

6. Sanksi AdministratifTerdapat 2 sanksi administratif yang diatur dalam Permenkeu RI Nomor

49/PMK.07/2016, yaitu penundaan dan pemotongan penyaluran Dana Desa. Bupati/walikota menunda penyaluran Dana Desa, dalam hal:a. Bupati / Walikota belum menerima dokumen syarat penyaluran Dana Desa

dari RKUD ke RKD tahap I;b. Sisa Dana Desa di RKD tahun anggaran sebelumnya lebih dari 30%; dan

atau c. terdapat usulan dari aparat pengawas fungsional daerah.

Penyaluran Dana Desa tahap I dari RKUD ke RKD dilakukan oleh Bupati / Walikota setelah menerima Peraturan Desa mengenai APBDes dan laporan re-setelah menerima Peraturan Desa mengenai APBDes dan laporan re-alisasi penggunaan Dana Desa tahun anggaran sebelumnya dari kepala Desa. Desa Waepana belum membuat laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahun anggaran 2015, sehingga Dana Desa tahap I ditunda penyalurannya.

IV. PENUTUPBerdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya maka peneliti

menyimpulkan dan mensarankan bahwa diperlukan: a. Sosialisasi mengenai pengalokasian sampai dengan pertanggungjawaban

penggunaan Dana Desa.Sosialisasi tersebut diperlukan karena dengan semakin transparannya

pengalokasian, penggunaan, sampai dengan pertanggungjawaban Dana Desa maka masyarakat akan ikut mengawasi dan mengawal pengelolaan Dana Desa. Hal yang lebih penting lagi adalah masyarakat akan lebih ber-partisipasi dalam tiap penyelesaian kegiatan-kegiatan yang menggunakan Dana Desa.

Agar sosialisasi ini tertib, menyeluruh dan berkelanjutan maka diperlu-kan pengaturan mengenai sosialisasi Dana Desa. Pengaturan ini bisa dimu-engaturan mengenai sosialisasi Dana Desa. Pengaturan ini bisa dimu-lai dari tingkat Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Ngada sampai dengan Petunjuk Teknis di tiap Desa, seperti pengaturan mengenai waktu diada-kannya, aparat yang diberi tugas, sampai dengan materi untuk sosialisasi.

b. Perencanaan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan dan merupakan hasil musyawarah bersama masyarakat Desa tersebut.

Albertus Drepane Soge, dkk - PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM ...

Page 54: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Masyarakat dilibatkan sejak Musyawarah Dusun dan kemudian Musyawarah Desa untuk mengambil keputusan mengenai jenis kegiatan yang akan dilaksanakan dengan menggunakan Dana Desa. Masyarakat yang sudah memilih kegiatan yang sesuai dengan kebutuhannya dan dilakukan secara musyawarah akan memiliki kesadaran yang lebih untuk ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan kegiatan tersebut, bahkan dengan usaha dan dana swadaya sekali pun.

Mengenai perencanaan kegiatan, dibutuhkan petunjuk teknis di tingkat Desa untuk mengatur cara pengumpulan jenis kegiatan yang dibutuhkan oleh masyarakat sampai dengan penentuan prioritas dan manfaat dari setiap kegiatan. Pengaturan dalam petunjuk teknis ini harus berdasarkan asas musyawarah mufakat dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat Desa.

c. Sistem sanksi untuk memastikan keterlibatan masyarakat Desa.Sanksi bagi masyarakat yang tidak ikut terlibat dalam penyelesaian

kegiatan yang menggunakan Dana Desa perlu diatur di dalam Perdes. Hal ini untuk memastikan komitmen yang sudah dibuat oleh masyarakat Desa pada saat memilih kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan.

d. Pendampingan dan pelatihan untuk SDM pemerintah Desa. Pendampingan kepada aparat Desa untuk pengelolaan Dana Desa su-

dah seharusnya dilakukan. Hal ini dilakukan agar pengelolaan Dana Desa dapat berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan pelaksanaannya terpantau dengan baik.

Peningkatan kualitas SDM pemerintah Desa pada khususnya adalah untuk peningkatan kinerja administrasi laporan pertanggungjawaban Dana Desa. Bimbingan teknis dan pelatihan secara terus-menerus, membutu-imbingan teknis dan pelatihan secara terus-menerus, membutu-hkan peran dan tanggung jawab pemerintah Kecamatan sampai dengan pemerintah Kabupaten. Dengan demikian diperlukan adanya pengaturan mengenai pendampingan dan pelatihan mengenai tata kelola Dana Desa dalam Perda Kabupaten Ngada.

e. Perhitungan insentif bagi aparat pemerintah Desa yang sesuai dengan beban kerja dan UMR.

Pemerintah daerah Kabupaten Ngada perlu mengadakan review men-genai perhitungan insentif bagi aparat pemerintah Desa yang mengelola Dana Desa. Besarnya insentif tersebut seharusnya disesuaikan dengan be-ban kerja, kemampuan pendanaan daerah dan UMR di daerah Kabupaten

Page 55: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

Ngada, serta tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang ada. Perhitungan dan besarnya insentif tersebut dapat dibuat dalam Perda Perda Kabupaten Ngada dan/atau Petunjuk Teknis dalam Perdes.

f. Audit penggunaan Dana Desa diadakan reguler tiap tahun.Audit oleh pemerintah daerah Kabupaten untuk mengevaluasi

pengelolaan Dana Desa perlu dilakukan tiap tahun, karena program Dana Desa adalah program yang baru berjalan 2 tahun dengan alokasi dana tiap Desa yang cukup besar. Hal ini dilakukan agar lebih cepat mendapatkan hasil evaluasi untuk memperbaiki program pengelolaan Dana Desa secara berkelanjutan.

Daftar ReferensiAdi, Rianto. 2010. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit.Badan Pusat Statistik. 2015. Indeks Pembangunan Manusia 2010 – 2014 (Metode

Baru). https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1796, diakses tang-gal 23 April 2016.

Badan Pusat Statistik. 2015. Indeks Pembangunan Manusia 2010 – 2014 Metode Baru Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur 2010 – 2014. https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/69, diakses tanggal 23 Ap-ril 2016.

Dirjen Perimbangan Keuangan RI. 2016. Alokasi Dana Desa 2016. http://www.djpk.kemenkeu.go.id/web/attachments/article/60�/DANADESA2016. pdf, diakses tanggal 31 Oktober 2016.

Dirjen Perimbangan Keuangan RI. 2016. Kebijakan Dana Desa TA 2016. http://www.djpk.depkeu.go.id/wp-content/uploads/2016/03/01.-KEBIJAKAN-DANA-DESA-dan-ADD-2016_Kemenkeu.pdf, diakses tanggal 21 April 2016.

Ensiklopedia Bebas, Wikipedia Bahasa Indonesia. 2016. Kabupaten Ngada. https: //id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Ngada, diakses tanggal 23 April 2016.

Haryanto, Joko Tri. 2014. Manfaat Bijak Dana Desa http://www.kemenkeu.go.id/ Artikel/manfaat-bijak-dana-desa, diakses tanggal 14 April 2016.

Mertokusumo, Sudikno. 2014. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Neuman, W. Lawrence. 2014. Social Research Metode: Qualitative And Quantitative

Approaches. Seven Edition. London: Pearson Education LimitedPurwaka, Tommy Hendra. 2007. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit

Universitas Atma Jaya.

Albertus Drepane Soge, dkk - PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM ...

Page 56: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI1

Andreas Eno Tirtakusuma

AbstrakKorupsi disebut sebagai tindak pidana yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Sedemikian luar biasanya kejahatan korupsi, hingga PBB pun mengadakan konvensi khusus untuk melawan korupsi, yang dikenal dengan nama United Nations Convention Against Corruption, yang diselenggarakan di Merida, Meksiko, pada tahun 2003. Di Indonesia, berbagai macam instansi telah dibentuk, demikian juga berbagai aturan hukum telah dilahirkan, telah pula dirubah berkali-kali, seakan-akan upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan semangat yang supergigih. Dari kutipan rumusan tindak pidana berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, secara gamblang telah menyebut adanya unsur “dapat” sebagai salah satu unsur perbuatan pidananya. Mengenai unsur “dapat” ini, dalam penafsiran otentik berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) diterangkan bahwa kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Terkait unsur “dapat” telah diuji dalam 2 Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 26 Juli 2006 Nomor 003/PUU-III/2006, yang menegaskan unsur “dapat” dan Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Januari 2017 Nomor 25/PUU-XIV/2016, yang menghilangkan unsur “dapat.” Adanya kontradiktif kedua putusan tersebut menyebabkan perubahan kriminalisasi perbuatan korupsi. Pemberantasan korupsi selalu menimbulkan polemik yang bisa terjadi karena korupsi selalu melibatkan dan dilindungi oleh suatu kekuasaan yang besar. Untuk menjerat perbuatan korupsi, maka diperlukan kriminalisasi yang tepat.

1 Artikel ini merupakan pengembangan presentasi yang disajikan penulis dalam Dialog Interaktif: “Pro & Kontra Terkait Putusan MK Menghilangkan Kata ‘Dapat’ dalam Pasal 2 ayat 1 & Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor, ” diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, 13 April 2016.

4

Page 57: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�7

Kata Kunci: Pemberantasan Korupsi, Putusan Mahkamah Konstitusi, Kriminalisasi

AbstractCorruption is a criminal offense that has inflicted damage in various facets of people’s life, nation, and state. Therefore, efforts to prevent and eradicate corruption need to be done continuously. Such was the extent of corruption, that the United Nations convened a special convention to fight corruption, known as the United Nations Convention against Corruption, held in Merida, Mexico, in 2003. In Indonesia, there are established bodies, as well as various rules of law have been regulated, have also been changed many times, as if efforts to eradicate corruption must be done in a tenacious spirit. From the excerpt of the formulation of criminal acts of Article 2 and Article 3 of Act Number 31 Year 1999, it clearly mentioned the existence of the “can” element as one element of his criminal acts. Regarding this “can” element, in the authentic interpretation based on the Elucidation of Article 2 paragraph (1), the explanation of the word “can” before the phrase harm the state finance or state economy indicates corruption crime as a formal offense, namely the existence of corruption is enough to fulfill the elements that have been formulated, not with the onset of the consequences. Related to the “can” element, it has been tested in 2 Decisions of the Constitutional Court, namely the Constitutional Court Decision dated July 26, 2006 No. 003 / PUU-III / 2006, which affirms the “can” element, and Court Decision dated 25 January 2017 No. 25 / PUU-XIV / 2016, which eliminates the “can” element. The contradictionsof those decissionsmay cause the changing of criminilization on corruption practice. The eradication of corruption always creates a polemic that can occur because corruption is always linked and protected by a great power. To ensnare corruption, it is necessary to proper criminalize.

Keywords: Corruption Eradication, Constitutional Court Decision, Criminalization.

1. Korupsi sebagai Kejahatan Luar BiasaUmumnya, khalayak sudah sepaham perbuatan korupsi sebagai suatu

kejahatan. Korupsi disebut sebagai tindak pidana yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.2

2 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Nomor 155 Tahun 2009, Tambahan Nomor 5074.Dalam penjelasan umum undang-undang ini dijelaskan mengapa perlu dibentuk pengadilan khusus untuk mengadili kasus-kasus korupsi.

Andreas Eno T. - PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Page 58: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Untuk itu, diperlukan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan yang menuntut peningkatan kapasitas sumber daya, baik kelembagaan, sumber daya manusia, maupun sumber daya lain, serta mengembangkan kesadaran, sikap, dan perilaku masyarakat anti korupsi agar terlembaga dalam system hukum nasional.

Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya pun pernah menyatakanadanya anggapan yang telah diakui oleh masyarakat internasional bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak “kejahatan luar biasa”.3

Sedemikian luar biasanya kejahatan korupsi, hingga PBB pun mengadakan konvensi khusus untuk melawan korupsi, yang dikenal dengan nama United Nations Convention Against Corruption, yang diselenggarakan di Merida, Meksiko, antara tanggal 9 Desember 2003 hingga 11 Desember 2003.Pada saat adopsi hasil konvensi tersebutdalam General Assembly, Sekjen PBB pada saat itu, Kofi Ananmenyatakan:

Corruption is an insiduos plague that has a wide range of corrosive effects on societies. It undermines democracy and the rule of law, leads to violations of human rights, distort markets, erodes the quality of life and allows organized crime, terrorism and other threats to human security to flourish. This evil phenomenon is found in all countries - big and small, rich and poor - but it is in the developing world that its effects are most destructive.

Corruption hurts the poor disproportionately by diverting funds intended for development, undermining a government’s ability to provide basic services, feeding inequality and injustice and discouraging foreign aid and investment. Corruption is a key element in economic underperformance and a major obstacle to poverty alleviation and development.

I am therefore very happy that we now have a new instrument to address this scourge at the global level. The adoption of the United Nations Convention against Corruption will send a clear message that the international community is determined to prevent and control corruption. It will warn the corrupt that betrayal of the public trust will no longer be tolerated. And it will reaffirm the importance of core values such as honesty, respect for the rule of law, accountability and transparency in promoting development and making the world a better place for all.

3 Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, 24 Juli 2006, p. 65.

Page 59: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

Dalam pidatonya, Kofi Anan bermaksud menekankan dampak korupsi yangmemiliki berbagai efek korosif pada masyarakat, merongrong demokrasi dan peraturan hukum, menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, mendistorsi pasar, mengikis kualitas hidup, memungkinkan kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman lainnya terhadap keamanan manusia. Fenomena jahat ini ditemukan di semua negara - besar dan kecil, kaya dan miskin - tapi di negara berkembang efeknya paling merusak.Korupsi merugikan orang miskin secara tidak proporsional dengan mengalihkan dana yang dimaksudkan untuk pembangunan, merongrong kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dasar, memberi makan ketidaksetaraan dan ketidakadilan dan mengecilkan hati bantuan dan investasi luar negeri. Korupsi adalah elemen kunci dalam kinerja ekonomi dan merupakan hambatan utama dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan.

Pada prinsipnya, KonvensiMelawan Korupsi ini menyoroti:a. Pencegahan Korupsi, meliputi peranan seperti pembentukan badan

antikorupsi dan peningkatan transparansi dalam pembiayaan kampanye pemilu dan partai politik menangani sektor publik dan swasta. Persyaratan juga ditetapkan untuk pencegahan korupsi di bidang peradilan dan pengadaan publik. Konvensi tersebut meminta negara-negara untuk secara aktif mempromosikan keterlibatan organisasi nonpemerintah dan organisasi berbasis masyarakat, serta elemen masyarakat sipil lainnya, untuk meningkatkan kesadaran publik tentang korupsi.

b. Kriminalisasi, yaitu mengenai perlunya negara-negara peserta merumuskan tindak pidana dan pelanggaran lainnya untuk mencakup berbagai tindakan korupsi. Ini mencakup tidak hanya bentuk dasar korupsi, seperti penyuapan, penggelapan dana publik, tapi juga perdagangan pengaruh dan penyembunyian dan pencucian hasil korupsi.

c. Kerjasama internasional, yang mendorong negara untuk setuju bekerja sama dalam memerangi korupsi, termasuk kegiatan pencegahan dan penyelidikan, dan penuntutan terhadap pelaku. Konvensi tersebut juga mengikat negara-negara untuk memberikan bentuk bantuan hukum timbal balik yang spesifik dalam mengumpulkan dan mentransfer bukti untuk digunakan di pengadilan dan untuk mengekstradisi pelanggar. Negara juga harus melakukan tindakan untuk mendukung penelusuran, pembekuan, penyitaan, dan penyitaan hasil korupsi. Pemulihan aset. Ini adalah isu

Andreas Eno T. - PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Page 60: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�0

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

penting bagi banyak negara berkembang di mana korupsi tingkat tinggi telah menjarah kekayaan nasional, dan di mana sumber daya sangat dibutuhkan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi masyarakat di bawah pemerintahan baru. Langkah-langkah tersebut meliputi pencegahan dan pendeteksian transfer aset yang diakuisisi secara tidak sah, pemulihan properti, dan pengembalian dan disposisi aset.

d. Mekanisme pelaksanaan, dimana konvensi ini membutuhkan 30 ratifikasi untuk mulai berlaku. Konferensi Negara-negara Pihak dibentuk untuk meninjau pelaksanaan dan memfasilitasi kegiatan yang disyaratkan oleh Konvensi.Konvensi Melawan Korupsi ini telah ditandatangani oleh Indonesia pada

tanggal 18 Desember 2003 dan telah juga diratifikasi pada tanggal 19 September 2006 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).4

2. Sejarah Panjang Pemberantasan Korupsi di IndonesiaDi Indonesia, boleh dibilang niat pemerintah untuk memerangi kejahatan

korupsi sudah dimulai jauh sebelum adanya Konvensi PBB Melawan Korupsi. Sepertinya istilah korupsi menjadi istilah hukum untuk pertama kalinya di Indonesia dapat ditemukan dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam peraturan ini, korupsi diartikan bahwa suatu perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. Penguasa Militer pada masa itu memperkuat peraturan ini dengan mengeluarkan Peraturan Nomor Prt/PM/0�/1957 tentang Penilikan Harta Benda, yang memberi wewenang kepada Penguasa Militer untuk mengadakan penilikan terhadap harta benda seseorang atau suatu badan yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.5

4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), Lembaran Negara Nomor 32 Tahun 2006, Tambahan Nomor 4620.

5 Kedua peraturan tersebut dilengkapi dengan Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/011/1957, yang memberikan keweanangan kepada Penguasa Militer untuk mensita dan merampas barang-barang dari seseorang yang diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.

Page 61: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�1

Pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 74 tahun 1957Tentang Pencabutan ‘Regeling op De Staat Van Oorlog En Van Beleg’ dan Penetapan ‘Keadaan Bahaya’, maka berbagai peraturan tersebut ikut pula diganti, termasuk kedua peraturan tersebut yang digantikan denganPeraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/013/195� tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Perbuatan Tindak Pidana Korupsi Dan Penilaian Harta Benda. Lembaga pemberantas korupsi pada saat itu adalah Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN). Karena kuatnya reaksi dari pejabat korup, PARAN berakhir tragis.6Kewenangan PARANsempat dianggap bertentangan dengan kewenangan pemberantasan korupsi ada di tangan Presiden. PARAN dibubarkan setelah melalui kericuhan politik.7

Kemudian, pada tahun 1960-1971, tepatnya pada tanggal 9 Juni 1960, Pemerintah mengeluarkan PERPU Nomor 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.�dibentuk lembaga khusus untuk memberantas korupsi dengan namaOPERASI BUDHI, 9khususnya untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI yang korup. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil alih, dijadikan BUMN kemudian dipimpin oleh para perwira TNI. Awal kinerja OPERASI BUDHI dipandang menjanjikan karena tercatat berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp 11 milyar, pada saat itu suatu jumlah yang sudah luar biasa. Tetapi OPERASI BUDHIakhirnya dibubarkan ketika akan menjerat Direktur Pertamina dan diganti dengan lembaga baru yakni Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAR). KONTRAR tidak memiliki catatan signifikan dalam pemberantasan korupsi dan dibubarkan ketika Soekarno tidak lagi menjadi presiden.10

Pada masa Soehartomulai menjabat sebagai Pejabat Presiden, pada saat pidato di depan anggota DPR/MPR pada tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana.

6 http://www.bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-7.pdf7 http://cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id/index.php/2015-0�-20-05-19-20/korupsi� Diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 72. Satu tahun

kemudian, PERPU Nomor 24 tahun 1960 tersebut ditingkatkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 (disebut menjadi Undang-Undang Nomor 24/PRP/1960).

9 Dibentuk dengan mengunakan KEPPRES Nomor 275 Tahun 1963. Lihat http://www.bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-7.pdf

10 http://cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id/index.php/2015-0�-20-05-19-20/korupsi

Andreas Eno T. - PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Page 62: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Soeharto mengisyaratkan tekadnya membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya dengan membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.11Tetapi TPK dianggap kurang serius melakukan pemberantasan korupsi dan dipandang gagal memiliki kemampuan dan kemauan dalam memberantas korupsi.Ketika kasus korupsi di Pertamina diajukan oleh TPK pun tidak ditanggapi oleh berbagai institusi penegak hukum lainnya. Melemahnya TPK mendorong pembentukan Operasi Tertib (OPSTIB) pemberantasan korupsi.12OPSTIB merupakan gabungan unsur polisi, kejaksaan, militer, dan dari menteri pedayaguanaan aparatur negara dan setiap tiga bulan melaporkan kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan jawatan pemerintah.13OPSTIB pun tercatat tidak berfungsi karena terjadi perselisihan internal.14 Kinerja Tim OPSTIB akhirnya juga menjadi vakum.15

Perusahaan-perusahaan negara seperti: Bulog, Pertamina dan Departemen Kehutanan, pada masa itubanyak dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa, ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat, 16yang beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, yaitu: Prof. Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo dan A. Tjokroaminoto. Namun komite ini juga dianggap “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina juga tak direspon oleh pemerintah.17

Selain Komisi Empat, dimasa pemerintahan Soeharto (masa orde baru) juga pernah berdiri Komisi Anti Korupsi (KAK), yaitu pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa eksponen 66 seperti: Akbar Tanjung, Thoby Mutis dan Asmara Nababan. Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua bulan sejak terbentuk, sebelum ada hasil yang telah dicapai.1�

11 http://www.untukku.com/artikel-untukku/sejarah-korupsi-di-indonesia-untukku.html12 OPSTIB dilancarkan berdasarkan INPRES Nomor 9 Tahun 1977. Pada masa ini, PERPU Nomor 24

Tahun 1960 yang telah menjadi hukum materiil yang diguakan untuk menjerat kejahatan telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.

13 http://www.bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-7.pdf14 Op. Cit.15 Op. Cit.16 Dibentuk dengan KEPPRES Nomor 12 Tahun 1970.17 http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-dari-dulu-hingga-kini1� https://polmas.wordpress.com/2011/03/15/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-pidana-korupsi-di-

indonesia/

Page 63: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini berada di bawah Jaksa Agung Marzuki Darusman. TGPTPK dibentuk sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Sayang, TGPTPK yang beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari masyarakat juga kurang mendapat dukungan. Permintaan TGPTPK untuk mengusut kasus BLBI yang banyak macet prosesnya ditolak oleh Jaksa Agung. Akhirnya, TGPTPK dibubarkan tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga orang Hakim Agung yang pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung.19

Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaran Negara (KPKPN) berdasarkan Undang-Undang Nomor 2� Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Komisi ini bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara. Sejumlah pejabat pernah dilaporkan oleh KPKPN ke Kepolisian, namun banyak yang tidak ditindaklanjuti.

Pemberantasan tindak pidana korupsi pada masa-masa itu tetap dirasa belum dapat dilaksanakan optimal dan lembaga pemerintah yang dibentuk pun belum bisaberfungsi secara efektif dan efisien.Hingga pada era Megawati sebagai Presiden, denganUndang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPKPN akhirnya dilebur menjadi bagian KPK. KPK sedikit banyak memberikan harapan bagi upaya penuntasan beberapa kasus korupsi di Indonesia.20

Setelah Megawati digantikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dibentuk Tim Pemburu Koruptor yang dipimpin oleh oleh Wakil Jaksa Agung.21 Tim ini terdiri dari Kejaksaan dan Kepolisian yang bertugas memburu terpidana dan tersangka kasus korupsi, yang melarikan diri keluar negeri, terutama yang kasusnya ditangani Kejaksaaan Agung, serta menyelamatkan

19 Ibid.20 Ibid.21 Dibentuk berdasarkan Keputusan Menko Polhukam Nomor Kep-54/Menko/Polhukam/12/2004

tanggal 17 Desember 2004 yang telah diperbarui dengan Keputusan Menko Polhukam nomor Kep-05/Menko/Polhukam/01/2009 tanggal 19 Januari 2009 dan beranggotakan sejumlah instansi terkait seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Kementerian Luar Negeri, serta Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).

Andreas Eno T. - PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Page 64: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

aset negara yang diduga dilarikan mereka.Pernah pula ada Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi (TIMTASPIKOR),

yang merupakan lembaga pemerintah dalam menindaklanjuti kasus korupsi yang dibentuk dan bertanggung jawab secara langsung kepada presiden.22 Adapun TIMTASPIKOR ini beranggotakan Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Namun karena keberadaan TIMTASPIKOR dinilai kurang efektif dan tegas serta kewenagannya tumpang tindih dengan lembaga pemerintah lainnya seperti kepolisian, kejaksaan dan KPK23 sehingga dibubarkan.24

Uraian sekilas tentang sekelumit kisah pemberantasan korupsi di atasmenunjukkan betapa rumitnya usaha yang telah dilakukan untuk memerangi korupsi di Indonesia. Berbagai macam instansi telah dibentuk, demikian juga berbagai aturan hukum telah dilahirkan, telah pula dirubah berkali-kali, seakan-akan uapaya pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan semangat yang supergigih.Kisah tersebut menunjukkan pula bahwanegara ini sudah dari jauh hari telah bertekad membenci dan membasmi korupsi, bahkan sebelum PBB melahirkan Konvensi Melawan Korupsi.

3. Kriminalisasi Perbuatan KorupsiDi atas telah disinggung, dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi, salah

satu hal yang disorot adalah mengenai kriminalisasi, yaitu perlunya negara-negara peserta merumuskan tindak pidana dan pelanggaran lainnya untuk mencakup berbagai tindakan korupsi. Ini mencakup tidak hanya bentuk dasar korupsi, seperti penyuapan, penggelapan dana publik, tapi juga perdagangan pengaruh dan penyembunyian dan pencucian hasil korupsi.

Yang dimaksud dengan kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.Menurut Muladi, kriminalisasi mencakup lingkup 22 Dibentuk berdasarkan KEPPRES Nomor 11 Tahun 2005.23 Berbeda dengan KPK yang telah menentukan adanya kriteria kasus korupsi yang dapat langsung

ditangani oleh komisi, dalam KEPPRES Nomor 11 Tahun 2005, tidak menyebutkan kriteria kasus apa saja yang menjadi kewenangan TIMTASPIKOR. Lihat https://polmas.wordpress.com/2011/03/15/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia/.

24 TIMTASPIKOR dibubarkan dengan KEPPRES Nomor 10 Tahun 2007.

Page 65: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

perbuatan melawan hukum (actus reus), pertanggungjawaban pidana (mens rea) maupun sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan i(treatment). Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip ultimum remedium (ultima ration principle) dan menjadi boomerang dalam kehidupan sosial berupa kriminalisasi yang berlebihan (oever criminalization), yang justru mengurangi wibawa hukum. Kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan diikuti pula oleh langkah-langklah pragmatis dalam hukum pidana formil untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.25

Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy).Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap, yakni formulasi (kebijakan legislatif);aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) dantahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui kebijakan hukum pidana. Kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi. Kebijakan formulasi merupakan tahapan yang paling stategis dari penal policy karena pada tahapan tersebut legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan, pertanggung jawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum tetapi juga tugas aparat pembuat undang-undang (aparat legislatif).26

Di Indonesia, kriminalisasi perbuatan korupsi, dimulai adanya rumusantindak pidana korupsi diartikan bahwa suatu perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara dalamPeraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Kemudian dilanjutkan dengan

25 Muladi, Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah Media Hukum Vol. 1 No. 3 tanggal 22 Agustus 2003, p. 1-2.

26 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Prenada Media Group, 200�), p. 75.

Andreas Eno T. - PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Page 66: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

rumusan tindak pidana korupsi dalam PERPU Nomor 24 Tahun 1960. Tetapi aturan dalam PERPU Nomor 24 Tahun 1960 diaggap tidak sesuai harapan untuk pemberantasan korupsi. Masih ada perbuatan yang merugikan keuangan negara tetapi tidak tidak dapat dipidana. Pelaku korupsi yang bisa dijerat hanyalah pegawai negeri serta sistem pembuktian yang digunakan memakan waktu lama dan sulit.Pada masa orde baru (tahun 1971-1999), diundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perumusan tindak pidana korupsi mengacu pada pasal-pasal yang ada di KUHP dan perumusannya menggunakan delik formal.Karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum, makaUndang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut digantikan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Undang-undang ini kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang ini adalah penyempurnaan kembali perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (yang didalamnya telah ada aturan tentangkorupsi aktif dan korupsi pasif), dengan penegasan perumusan tindak pidana korupsi dengan delik formil dan memperluas pengertian pegawai negeri.

Dari berbagai variasi tindak pidana korupsi yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, terdapat rumusan Pasal 2 dan Pasal 3, yang tertulis:27

Pasal 2:(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3:Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,

27 Rumusan tindak pidana menurut Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak dirubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Page 67: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�7

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000, 00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu milyar rupiah).

4. Unsur “Dapat” dalam Rumusan Pasal 2 dan Pasal 3Dari kutipan rumusan tindak pidana berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999, secara gamblang telah menyebut adanya unsur “dapat” sebagai salah satu unsur perbuatan pidananya. Selengkapnya, unsur “dapat” tertulis: “… yang dapat merugikan keuangan negara.” Mengenai unsur “dapat” ini, dalam penafsiran otentik berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) diterangkan bahwa kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Sebagai perbandingan, tidaklah rugi apabila unsur “dapat” dalam rumusan tindak pidana korupsi diperbandingkan dengan unsur “dapat” dalam rumusan tindak pidana umum menurut KUHP. Dalam KUHP, unsur “dapat” bisa ditemukan dalam rumusan-rumusan tindak pidana menurut Pasal 263, Pasal 264, Pasal 266, Pasal 452dan Pasal 494 huruf 3 KUHP.

Ambil contoh Pasal 263 KUHP ayat (1) yang mengatur:

Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.

Menurut M. Karjadi dan R. Soesilo, unsur ‘dapat’ dalam Pasal 263 KUHP berarti penggunaannya itu harus dapat mendatangkan kerugian. “Dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan

Andreas Eno T. - PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Page 68: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

saja akan adanya kerugian itu sudah cukup, yang diartikan dengan “kerugian” di sini tidak saja hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian di lapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan, dan sebagainya.2�

5. Kontradiktif Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Rumusan Tindak Pidana KorupsiDi Indonesia, undang-undang yang telah sah berlaku mengikat, tidak

berarti akan selalu mutlak keberlakuannya. Undang-undang tersebut dapat diuji. Untuk peraturan setingkat undang-undang, Mahkamah Konstitusi-lah yang menjadi lembaga dengan kewenangan untuk mengujinya, yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.29 Demikian juga dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pun tidak luputdimohonkan untuk diuji materiil di Mahkamah Konstitusi.Bahkan, undang-undang ini telah mengalami dua kali pengujian.

Terkait unsur “dapat” dalam rumusan tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, terdapat 2 Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu: a. Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 26 Juli 2006Nomor 003/PUU-

III/2006. Putusan ini berawal dari permohonan uji materiil yang diajukan oleh Ir.

Dawud Djatmiko, yang pada saat itu berstatus tersangka dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan tanah untuk proyek pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) Ruas Taman Mini Indonesia Indah-Cikunir, Seksi E-1, yang diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tersebut.

Dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi menolak untuk menghilangkan unsur “dapat” dalam rumusan tindak pidana korupsi menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

b. Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Januari 2017Nomor 25/PUU-XIV/2016.

2� M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar), (Bogor: Politea, 1997).

29 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat. Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Bandingkan kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan di bawah undang-undang. Lihat Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Page 69: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

Putusan ini berawal dari permohonan uji materiil yang diajukan oleh: Firdaus, S.T., M.T. , yang pada saat itu berstatus terdakwa Pasal 3 UU Tipikor, yang kemudian dipidana penjara 1 tahun dan denda Rp 50.000.000, - dengan pidana pengganti 1 bulan kurungan; Drs. H. Yulius Nawawi dan Ir. H. Imam Mardi Nugroho, terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 tersebut; Ir. H. A. Hasdullah, M.Si, H. Sudarno Eddi, S.H., M.H., Jamaludin Masuku, S.H. dan Jempin Marbun, S.H. yang berpotensi dikenakan ketentuan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 tersebut.

Dalam Putusan ini, Mahkamah Konstitusi mengabulkan penghilangan unsur “dapat” dalam rumusan tindak pidana korupsi menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dengan amar:30

Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dua putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah memberikan putusan yang kontradiksi. Yang pertama (Putusan Nomor 003/PUU-III/2006) justru menegaskan pentingnya kata “dapat” dalam rumusan tindak pidana korupsi yang dimaksud Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebaliknya, yang terakhir(Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016) justru menghilangkan unsur “dapat”.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 berawal dari adanya permohonan yang mempersoalkan kata “dapat” dan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” di dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Keduanya pasal itu dinilai multitafsir, ambigu, penerapannya tidak pasti, dan potensial disalahgunakan aparat penegak hukum. Dengan alasan pemaknaan kata “dapat” Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi paara pemohon yang kebetulan berstatus sebagai terdakwa dan terpidana korupsi. 30 Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Januari 2017 Nomor 25/PUU-XIV/2016, Diktum angka 2, p.

116.

Andreas Eno T. - PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Page 70: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

70

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Praktiknya, adanya kata “dapat” menimbulkan rasa takut dan kuatir bagi orang yang sedang menduduki jabatan pemerintahan. Sebab, setiap mengeluarkan keputusan atau tindakan dalam jabatannya dalam ancaman diusut sebagai pelaku korupsi. Adanya kata ‘dapat’ dalam rumusan Pasal 2 dan 3 tersebut dianggap telah menimbulkan rasa khawatir dan takut dikriminalisasi meskipun yang terjadi adalah kesalahan administrative sehingga Penyelenggara negara, khususnya Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), takut mengambil keputusan atau menjalankan kebijakan.

Dalam pemeriksaan permohonan uji materiil terdebut, Maruarar Siahaan, Mantan Hakim Konstitusi yang kebetulan dihadirkan untuk memberikan keterangan sebagai ahli, menyarankan Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir ulang atau baru yang memberi pemaknaan kembali yang lebih jelas terkait rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut, terkait unsur kepastian hukum yang adil dan hak bebas dari rasa takut dalam konteks yang berubah menjadi indicator konstitusionalitas dua pasal tersebut harus ditafsirkan kembali untuk menegaskan makna kondisi yang berubah, yaitu atas alasan adanya perubahan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan administrasi negara sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang ini menyebutkan penyelesaian kerugian negara yang timbul menggunakan pendekatan administratif. Norma ini seakan menegaskan doktrin bahwa jalur pidana adalah upaya terakhir (ultimum remedium).31

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menilai terkait penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tersebut, unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materil). Tegasnya, unsur merugikan keuangan negara tidak perlu lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tipikor. Mahkamah Konstitusi menerima argumentasi pemohon yang menyatakan pencantuman kata ‘dapat’ membuat delik kedua 31 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57569071d1699/mk-diminta-tafsirkan-ulang-delik-

tipikor. Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini menjadi diuji materiil untuk kedua kalinya di Mahkamah Konstitusi. Dalam tanggapannya, pemerintah menyatakan pengujian untuk kedua kali tersebut sebagai nebis in idem.Maruarar Siahaan, menilai uji materi pasal tersebut dapat dikatakan memiliki alasan konstitusionalitas yang berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 sebelumnya karena ada perubahan konteks sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang menyebabkan tafsir sebelumnya menjadi kurang memadai yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam tujuan bernegara sehingga tidak dapat dianggap sebagai nebis in idem.

Page 71: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

71

pasal tersebut menjadi delik formil.32 Padahal, praktiknya sering disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara termasuk kebijakan atau keputusan diskresi atau pelaksanaan asas freies ermessen yang bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya. Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan hal ini bisa berakibat terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang, bisa berdampak stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi. Mahkamah Konstitusi memandang ada perbedaan pemaknaan kata ‘dapat’ dalam unsur merugikan keuangan negara oleh aparat penegak hukum, sehingga seringkali menimbulkan persoalan mulai perhitungan jumlah kerugian negara sesungguhnya hingga lembaga manakah yang berwenang menghitung kerugian negara sehingga pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tersebut dipandang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan secara nyata bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan dalam Pasal 2�G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, adanya kata “dapat” dipandang bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa), bertentangan dengan prinsip negara hukum seperti ditentukan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Mahkamah Konstitusi juga mendasarkan putusannya pada pertimbangan bahwa unsur merugikan keuangan dengan konsepsi actual losslebih memberi kepastian hukum yang adil dan sesuai upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional, seperti dalam Undang-Undangtentang Administrasi Pemerintahan, tentang Perbendaharaan Negara, tentang Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) dan Konvensi PBB Melawan Korupsi Tahun 2003. Karena itu, konsepsi kerugian negara yang dianut dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan merugikan keuangan negara

32 Delik korupsi selama ini dirumuskan sebagai delik formil. Dengan adanya Putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 harus berubah menjadi delik materil yang mensyaratkan ada akibat yakni unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata/pasti. Bandingkan dengan penafsiran otentik berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang menerangkan kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5���f5b5bb039/begini-alasan-mk-ubah-delik-tipikor.

Andreas Eno T. - PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Page 72: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

7�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata atau aktual. Salah satu acuannya dengan mengkaitkan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyebut secara nyata telah ada kerugian negara yang dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk dengan ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mendefiniskankerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Perkembangan dan perubahan pengaturan dan penerapan unsur merugikan keuangan negara yang demikian memberikan alasan yang menjadi dasar untuk merubah penilaian konstitusionalitas putusan sebelumnya (Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006), yang dipandang berulang-ulang justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam upaya pemberantasan korupsi.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 ini tidak diambil dengan suara bulat. Ada empat Hakim Konstitusi yang mengajukan dissenting opinion, yang intinya menolak pengujian Pasal 2 dan 3 tersebut. Mereka beralasan kedua pasal yang diajukan tersebut tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap sebagai delik formil.Dengan menghilangkan kata “dapat” justru mengubah secara mendasar kualifikasi delik formil tindak pidana korupsi menjadi delik materil. Konsekuensinya, jika akibat yang dilarang yakni “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” belum atau tidak terjadi meski unsur “secara melawan hukum” dan unsur “memperkaya diri sendiri atau atau orang lain atau suatu korporasi” telah terpenuhi, maka berarti belum terjadi tindak pidana korupsi. Bagi para Hakim Konstitusi yang berpendapat berbeda, kekuatiran adanya kata “dapat” berpotensi menjadikan seseorang pejabat pemerintah dapat dijatuhi pidana tanpa adanya kesalahan berupa kerugian negara tidaklah beralasan karena Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan telah memberi perlindungan terhadap pejabat pemerintah yang diduga menyalahgunakan wewenang yang merugikan keuangan negara dengan mekanisme pengujian melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sedangkan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang diduga menimbulkan kerugian negara akan diputuskan berdasarkan hasil pengawasan aparat intern pemerintah.

Page 73: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

7�

6. Kesimpulan dan SaranMasalah pemberantasan korupsi di Indonesia telah melalui jalan yang

panjang, rumit dan penuh tantangan. Di awal telah diceritakan sejarah dimulainya upaya pemberantasan korupsi. Dimulai dari pembentukan PARAN hingga lahirnya KPK, demikian juga mulai diatur dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957, yang mengartikan korupsi diartikan bahwa suatu perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negar, hingga lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Niat dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah ada jauh sebelum adanya Konvensi PBB Melawan Korupsi Tahun 2003.

Pemberantasan korupsi selalu menimbulkan polemik. Bisa jadi hal demikian terjadi karena korupsi selalu melibatkan suatu kekuasaan yang besar. Itu sebabnya memberantas korupsi dianggap sebagai usaha memberantas kejahatan yang luar biasa. Dikatakan luar biasa, karena kejahatan korupsi dapat menimbulkan dampak yang luar biasa. Itu sebabnya Kofi Anan menyatakan korupsi memiliki dampak pada berbagai efek korosif pada masyarakat, merongrong demokrasi dan peraturan hukum, menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, mendistorsi pasar, mengikis kualitas hidup, memungkinkan kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman lainnya terhadap keamanan manusia.

Untuk menjerat perbuatan korupsi, maka diperlukan kriminalisasi, yaitu membuat perbuatannya menjadi suatu kejahatan berdasarkan ketentuan hukum. Kriminalisasi dari salah satu variasi perbuatan korupsi telah dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pada akhirnya, kata “dapat” dalam rumusan kedua pasal tersebut telah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Telah ada dua uji materiil yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan tanggal 26 Juli 2006 Nomor 003/PUU-III/2006 dan Putusan tanggal 25 Januari 2017 Nomor 25/PUU-XIV/2016. Kedua putusan tersebut adalah kontradiftif. Yang satu menolak penghilangan kata “dapat” dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebaliknya Putusan tanggal 25 Januari 2017 Nomor 25/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi menyatakan kata “dapat” dalam kedua pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Andreas Eno T. - PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Page 74: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

7�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Indonesia Tahun 1945 sehingga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Akibatnya, putusan yang terakhir merubah delik korupsi yang selama ini adalah delik formil menjadi delik materiil. Lebih lanjut, hal ini akan membuat pembuktian dakwaan berdasarkan kedua pasal tersebut menjadi lebih sulit, memerlukan pembuktian seluruh unsur, termasuk mengenai adanya kerugian negara sebagai actual loss, tidak lagi sekedar sebagai potential loss.

Bisa jadi adanya Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 tersebut menambah sejarah rintangan pemberantasan korupsi di Indonesia. Telah diketahui berbagai cara telah ditempuh oleh para koruptor untuk memuluskan niatan mereka agar dapat tetap meraup dan menikmati keuntungan haram yang besardan setelahnya dengan cerdas (atau tepatnya disebut dengan cara yang licik)dapat meloloskan diri dari jeratan hukum.Hal inilah yang menjadi salah satu sebabtumbuh dan tumbangnya aparat penegak hukum yang telah diberi tugas untuk memberantas korupsi. Telah diketahui beberapa kali gesekan antara aparat penegak hukum terjadi, seperti kasus-kasus yang dikenal dengan kasus cicak melawan buaya, demikian juga penyerangan aparat penegak hukum yang sedang mengusut peristiwa korupsi sampai adanya tuntutan hak angket DPR. Jangan sampai, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang dapat dimanfaatkan oleh para koruptor sebagai salah satu cara cerdasnya untuk meloloskan diri.

Mengenai hal ini, Amir Syamsudin berpendapat pertimbangan dan perubahan yang menghilangkan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tersebut sebagai kemajuan dengan alasan perubahan itu memperjelas dan memperkuat aspek perlindungan hukum dalam penegakan korupsi. Amir Syamsudin mengemukakan dalam praktik di tingkat penyidikan dan peradilan tipikor sering seseorang ditahan dan dihukum karena melakukan perbuatan melawan hukum korupsi berdasarkan kedua pasal tersebut, sekalipun kerugian negara riil tak terbukti.33

Putusan Mahkamah Konstitusi yang demikian tentunya berakibat pada perubahan kebijakan kriminalisasi. Terkait hal ini, pendapat Sudarto tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kriminalisasi perlu menjadi pertimbangan. Sudarto menyatakan:34

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan 33 Amir Syamsudin, “Putusan MK dalam Penegakan Hukum Korupsi, ” Harian Kompas tanggal 2

Februari 2017.34 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 19�3), p. 23.

Page 75: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

7�

nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spritual berdasarkan dengan Pancasila, sehubungan dengan ini (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan sprituil) atas warga masyarakat;

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle); dan

d. Penggunanan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jaringan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

Memang kriminalisasi perbuatan korupsi tidak boleh menghambat kegiatan pembangunan. Adanya kriminalisasi menyebabkan penggiat pembangunan menjadi takut dan akibatnya: tujuan pembangunan nasional tidak dapat dicapai dengan baik. Hal-hal seperti ini telah menjadi pertimbangan dalam membuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016.

Kegiatan pembangunan dan perbuatan korupsi adalah dua hal yang jelas bertentangan. Korupsi jelas menghambat kegiatan pembangunan dan pencapaian tujuan pembangunan nasional. Itu sebabnya apabila kriminalisasi dan pemberantasan korupsi ternyata berakibat terhambatnya kegiatan pembangunan, maka pasti ada yang salah dalam kriminalisasi perbuatan korupsi dan kegiatan penegakannya.

Terkait dengan adanya perubahan delik korupsi dari delik formil menjadi delik materiil, maka seyogyanya diperlukan konsensus nasional. Perlu ada kesepakatan bersama mengenai apa yang sebenar-benarnya dimaksudkan sebagai perbuatan korupsi, khususnya yang terkandung di dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.35

Bagaimanapun, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut harus disikapi dengan bijak supaya tidak menumpulkan pedang pemberantasan tindak pidana 35 Lihat Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan

Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), p. 51. Disimpulkan syarat kriminalisasi salah satunya adalah adanya kesepakatan sosial (public support).

Andreas Eno T. - PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Page 76: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

7�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

korupsi. Di awal, artikel ini dimulai dengan kalimat: “Umumnya, khalayak sudah sepaham perbuatan korupsi sebagai suatu kejahatan.” Sebagai penutup, adalah bijak bila kita merenungkan kalimat Edmund Burke: “The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.”36 Edmund Burke menyatakan bahwa setiap orang terhubung bersama sehingga dengan mudah dan cepat mengkomunikasikan alarm dari setiap bentuk perbuatan jahat. Orang dapat memahaminya dan menentangnya dengan kekuatan yang sama. Saat orang jahat bergabung, kebaikan harus diasosiasikan. Jika tidak, orang baik akan jatuh, satu demi satu akan menjadi korban, dan perjuangannya akan menjadi sisa-sia. Dengan kata lain, sebagai perbuatanjahat, korupsi bisa dilawan apabila kita (sebagai orang baik) bersama-sama tidak tinggal diam. Kita harus melakukan sesuatu. Berani jujur? Hebat!

DAFTAR PUSTAKALiteratur:Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Prenada Media Group. 200�.Burke, Edmund. Thoughts on the Cause of the Present Discontents 82-83 (1770)

in: Select Works of Edmund Burke. vol. 1. (Liberty Fund ed. 1999).Muladi. Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime. Majalah Media Hukum Vol. 1

No. 3 tanggal 22 Agustus 2003.Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teroi-Teori dan Kebijakan Pidana. Cet-11.

Bandung: Alumni. 199�.

36 Kalimat tersebut terdapat dalam surat Edmund Burke kepada Thomas Mercer, yang versi panjangnya tertulis: “Whilst men are linked together, they easily and speedily communicate the alarm of any evil design. They are enabled to fathom it with common counsel, and to oppose it with united strength. Whereas, when they lie dispersed, without concert, order, or discipline, communication is uncertain, counsel difficult, and resistance impracticable. Where men are not acquainted with each other’s principles, nor experienced in each other’s talents, nor at all practised in their mutual habitudes and dispositions by joint efforts in business; no personal confidence, no friendship, no common interest, subsisting among them; it is evidently impossible that they can act a public part with uniformity, perseverance, or efficacy. In a connection, the most inconsiderable man, by adding to the weight of the whole, has his value, and his use; out of it, the greatest talents are wholly unserviceable to the public. No man, who is not inflamed by vain-glory into enthusiasm, can flatter himself that his single, unsupported, desultory, unsystematic endeavours, are of power to defeat the subtle designs and united cabals of ambitious citizens. When bad men combine, the good must associate; else they will fall, one by one, an unpitied sacrifice in a contemptible struggle.” Lihat Edmund Burke, Thoughts on the Cause of the Present Discontents �2-�3 (1770) in: Select Works of Edmund Burke, vol. 1, p. 146 (Liberty Fund ed. 1999).

Page 77: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

77

Karjadi, M. dan R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar). Bogor: Politea. 1997.

Syamsudin, Amir. “Putusan MK dalam Penegakan Hukum Korupsi”. Harian Kompas tanggal 2 Februari 2017.

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.

Peraturan Perundang-Undangan:Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht].

Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.__________. Undang-Undang Darurat Tentang Pengusutan, Penuntutan dan

Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. UU Drt Nomor 7 Tahun 1955. LN Nomor 27 Tahun 1955. TLN �01.

__________. Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU Nomor 3 Tahun 1971. LN Nomor 19 Tahun 1971.

__________. Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU Nomor 31 Tahun 1999. LN Nomor 140 Tahun 1999. TLN 3�74.

__________. Undang-Undang Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. UU Nomor 46 Tahun 2009. LN Nomor 155 Tahun 2009. TLN 5074.

__________. Undang-Undang Tentang Pengesahan United Nations Convention against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). UU Nomor 7 Tahun 2006. LN Nomor 32 Tahun 2006, TLN 4620.

__________. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU Nomor 20 Tahun 2001. LN Nomor 134 Tahun 2001. TLN 4150.

__________. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Perppu Nomor 24 Tahun 1960. LN Nomor 72 Tahun 1960. TLN Nomor 2011.

Internet:Tim Pengkajian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI: Badan

Pembinaan Hukum Nasional. Laporan Akhir Tim Kompendium Hukum tentang Lembaga Pemberantasan Korupsi.http://www.bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-7.pdf. Diunduh tanggal 5 Juni 2017.

Andreas Eno T. - PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Page 78: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

7�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Cegah Korupsi. Korupsi. http://cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id/index.php/2015-0�-20-05-19-20/korupsi. Diunduh tanggal 5 Juni 2017.

Amanahonline. Sejarah Korupsi di Indonesia. http://www.untukku.com/artikel-untukku/sejarah-korupsi-di-indonesia-untukku.html. Diunduh tanggal 5 Juni 2017.

Indonesia Corruption Watch. Korupsi Dari Dulu Hingga Kini. http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-dari-dulu-hingga-kini. Diunduh tanggal 5 Juni 2017.

Police & Security Studies. Sejarah Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. https://polmas.wordpress.com/2011/03/15/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia/. Diunduh tanggal 5 Juni 2017.

ASH. MK Diminta Tafsirkan Ulang Delik Tipikor. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57569071d1699/mk-diminta-tafsirkan-ulang-delik-tipikor. Diunduh tanggal 5 Juni 2017.

Agus Sahbani. Begini Alasan MK Ubah Delik Tipikor. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5���f5b5bb039/begini-alasan-mk-ubah-delik-tipikor. Diunduh tanggal 5 Juni 2017.

Page 79: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

7�

5 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUMPERATURAN DAERAHPERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUM

Mawardi Khairi

AbstrakSalah satu ciri utama negara hukum adalah adanya ketentuan hukum yang menjadi pedoman bertingkah laku baik individu – individu maupun pemerintah. Peraturan daerah merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undanganberdasarkan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan. Adanya otonomi daerah dimana pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan daerah sebagai instrumen hukum dalam pelaksanaan tugas - tugas pemerintahan daerah. Pembentukan peraturan daerah tentu tidak bisa lepas dari semangat lahirnya otonomi daerah yakni melibatkan masyarakat di daerah dalam proses pembangunan, salah satu bentuk partisipasi masyarakat di era otonomi daerah adalah berpastisipasi dalam proses pembentukan hingga penegakan hukum peraturan daerah, karena bagaimanapun juga partisipasi masyarakat sangatlah penting dalam proses penegakan hukum lebih - lebih masyarakat di daerah yang bersentuhan langsung dengan aturan-aturan hukum yang telah di tetapkan oleh pemerintah.

Kata Kunci: Negara Hukum, Partisipasi Masyarakat, Peraturan Daerah, Penegakan Hukum

AbstractOne of the main characteristics of the state law is the existence of legal provisions that guide the behavior of both individuals and government. Local Regulation is one form of legislation based on Law Number 12 Year 2011 on the Establishment of Laws and Regulations. The existence of regional autonomy where local governments have the authority to establish local regulations as legal instruments in the implementation of duties of local government. The formation of local regulations can not be separated from the spirit of the birth of regional autonomy that involves the community in the region in the development process, one form of community participation in the era of regional

Page 80: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�0

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

autonomy is berpastisipasi in the process of formation to law enforcement of local regulations, because after all community participation is very important in the process Law enforcement more - more people in areas in direct contact with the rules of law that have been set by the government.

Keywords: State Law, Community Participation, Local Regulation, Law Enforcement

A. LATAR BELAKANG Pasal 1 ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 menyatakan bahwa negara Indonesia ialah negara hukum.Ketentuan konstitusi ini memberikan pesan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia harus di laksanakan berdasarkan hukum.Salah satu bentuk peraturan perundang-undangan adalah peraturan daerah (perda) yang merupakan produk dari pemerintahan daerah. Disamping negara hukum sebagaimana juga kita ketahui bersama bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan hal ini dapat kita identifikasi ciri-ciri batasan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah yaitu pemerintah daerah tidak memiliki kedaulatan secara sendiri - sendiri dan terlepas dari kedaulatan negara kesatuan sehingga peraturan daerah yang merupakan produk hukum pemerintahan daerah tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip pembagian kekuasaan atau kewenangan pada negara kesatuan, dapat diuraikan dalam 3 ( tiga) hal, yaitu :1

1. Kekuasaan atau kewenangan pada dasarnya milik pemerintah pusat, daerah diberi hak dan kewajiban mengelola dan menyelenggarakan sebagian kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan atau diserahkan.

2. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetap memiliki garis komando dan hubungan hirearkis namun tidak untuk mengintervensi atau mendikte pemerintah daerah dalam berbagai hal.

3. Kewenangan / kekuasaan yang dialihkan kepada daerah dalam kondisi tertentu, dimana daerah tidak dapat menjalankannya dengan baik, maka kewenangan tersebut dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat sebagai pemilik kewenangan tersebut.

1 Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Ghalia, Bandung, 2007.

Page 81: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�1

Pada dasarnya penyelenggaraan pemerintahan merupakan tugas dan kewajiban pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurusnya.2 Pasal 1� ayat (1) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen pertama menyatakan bahwa :

“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah - daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap - tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang – Undang ”.

Dalam pasal 1�, 1�A dan 1�B Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 terkandung makna keharusan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan atau desentralisasi.Desentralisasi sebagaimana yang di maksud oleh Amrah Muslimin3 adalah pelimpahan kewenangan pada badan - badan dan golongan - golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.Berlakunya Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan jawaban atas kehendak dari masyarakat untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam hal ini pemerintah daerah. Otonomi daerah dalam Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah lebih berorientasi kepada masyarakat daerah, artinya kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat adalah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Salah satu hal substansi dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah adanya pemberian otonomi seluas – luasnya kepada daerah, hal ini di maksudkan untuk melancarkan proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah. Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan, pemerintah mengemban sedikitnya 3 (tiga) fungsi, yaitu:4

1. Fungsi alokasi, meliputi :sumber - sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat;

2. Fungsi distribusi, meliputi :pendapatan dan kekayaan masyarakat;

2 Dann Sugandha, Organisasi Dan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Serta Pemerintahan di Daerah, Sinar Baru, Bandung, 19�6

3 Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 19�2. 4 Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pemerintah Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

1999.

Mawardi Khairi - PERATURAN DAERAH PERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUM

Page 82: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

3. Fungsi stabilitas, yaitu:pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pelaksanaaan kegiatan pemerintahan di daerah serta dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk membuat peraturan daerah sebagai instrumen hukum dalam pelaksanaan tugas - tugas di daerah dengan tetap mengacu pada peraturan perundang - undangan yang berlaku.Kewenangan membuat peraturan daerah merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi secara luas yang dimiliki oleh suatu daerah.5Kewenangan pembentukan peraturan daerah termasuk kewenangan atribusi yaitu kewenangan pembentukan peraturan perundang - perundangan yang diberikan kepada suatu lembaga pemerintahan dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian suatu daerah dan memberdayakan masyarakat.6

Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat daerah dalam pengambilan kebijakan pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang banyak, misalnya dengan melibatkan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan daerah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 96 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan menyatakan bahwa :

“Masyarakat berhak memberikan masukan secaradan/atau tertulis dalam PembentukanPeraturan Perundang-undangan”

Keikutsertaan masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah untuk memberikan masukan secara tertulis ataupun lisan, merupakan hal yang sangat esensial, sehingga peraturan daerah yang dibentuk diharapkan dapat berlaku secara efektif dan efisien. Peraturan daerah dibentuk berdasarkan Pasal 18 ayat (6) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Peraturan daerah sebagai salah satu tata urutan peraturan perundang - undangan, berdasarkan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang - undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing - masing daerah. Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan / atau peraturan 5 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Desa Secara Langsung, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 20056 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius Yogyakarta, 2006

Page 83: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 250 Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa :

“Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.“.

Mengingat peranan peraturan daerah yang demikian penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah, maka dalam proses penyusunannya perlu di programkan, agar berbagai perangkat hukum yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dapat dibentuk secara sistematis, terarah dan terencana berdasarkan skala prioritas yang jelas serta dituangkan dalam program legislasi daerah , yang selanjutnya disebut prolegda.

Menurut Sedarmayanti ada 4 unsur atau prinsip utama yang dapat memberi gambaran administrasi publik yang mencerminkan pemerintahan yang baik yaitu:7

1. Akuntabilitas ;adanya kewajiban bagi aparatur pemerintah untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang di tetapkannya ;

2. Transparansi ;kepemerintahan yang baik akan bersifat transparansi terhadap rakyatnya, baik di tingkat pusat maupun daerah ;

3. Keterbukaan ; menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan.

4. Aturan hukum ; kepemerintahan yang baik mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan yang ditempuh.Dalam mewujudkan suatu pemerintahan atau kepemerintahan yang

demokratis maka hal yang paling utama harus diwujudkan oleh pemerintah adalah transparansi ( keterbukaan). Adapun indikasi dari suatu pemerintahan atau kepemerintahan yang transparan (terbuka) adalah apabila di dalam penyelenggaraan pemerintahannya terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan. Kepemerintahan yang tidak transparan, cepat atau lambat cenderung akan menuju ke pemerintahan yang korup, otoriter,

7 Sedarmayanti, Good Governance ( Kepemerintahan Yang Baik), CV.Mandar Maju, Bandung, 2004.

Mawardi Khairi - PERATURAN DAERAH PERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUM

Page 84: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

atau diktator. Untuk itu diperlukan suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan terbuka.Sikap terbuka penting untuk dilaksanakan untuk mendukung proses demokratisasi baik di tingkat pusat maupun daerah.

Dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak di temukan rumusan yang eksplisit tentang partisipasi masyarakat namun dalam pasal 354 ayat 3 Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa:Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:

a. penyusunan Perda dan kebijakan Daerah yang mengatur dan membebani masyarakat;

b. perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemonitoran, dan pengevaluasian pembangunan daerah;

c. pengelolaan aset dan/atau sumber daya alam Daerah; dand. penyelenggaraan pelayanan publik.Keterbukaan merupakan pelaksanaan asas demokrasi bahkan merupakan

conditio sine qua non asas demokrasi, yang memungkinkan partisipasi masyarakat dapat secara aktif dalam pembentukan peraturan perundang - undangan. Dalam rangka pembentukan peraturan perundang - undangan yang demokratis, asas keterbukaan perlu mendapat perhatian karena demokrasi perwakilan saja dewasa ini sudah tidak memadai. Keterbukaan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat kiranya merupakan prioritas pemikiran untuk mendapat perhatian khusus agar dapat segera diwujudkan dalam proses hubungan antara pemerintah dan rakyat. Untuk itu suatu kodifikasi hukum administrasi umum khususnya mengenai prosedur pemerintahan seyogyanya perlu mendapat perhatian, yang membuka peluang kodifikasi administrasi secara bertahap.Kodifikasi yang demikian tidak hanya punya arti bagi pelaksanaan asas negara hukum untuk mewujudkan asas kekuasaan berdasarkan atas hukum secara nyata.Dalam mengantisipasi era globalisasi usaha tersebut perlu mendapat prioritas karena hukumlah yang mempunyai peran utama dalam lalu - lintas ekonomi global.Daerah otonom, memiliki kewenangan untuk melaksanakan hak otonomi serta dalam pelaksanaan otonomi daerah berhak / memiliki kewenangan membentuk peraturan daerah sebagai dasar hukum untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerah.

Page 85: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

B. RUMUSAN MASALAHBerdasarkan uraian pada latar belakang di atas, permasalahan pokok yang

menjadi fokus penelitian ini, adalahbagaimanakah bentuk partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum peraturan daerah?

C. METODE PENELITIANJenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

normatif .Artinya titik tolak penelitian pada telaah analisis terhadap peraturan perundang - undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat..

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang - undangan (statute-approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan sosiologis (Sociological Yurisprudence).

Pendekatan perundang - undangan (statute approach) adalah pendekatan dengan menelusuri dan mempelajari peraturan perundang -undangan yang terkait serta ketentuan ketentuan lain yang relevan dengan penelitian ini� yaitu mengenai partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum peraturan daerah.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan pendekatan yang mengkaji dan mempelajari konsep - konsep serta pendapat - pendapat para pakar yang berkaitan dengan asas keterbukaan.

Pendekatan Sosiologis Empiris (sosilogical yurisprudence) merupakan pendekatan yang mengkaji tentang penerapan hukum atau Law In Book and Law In Action.

D. PEMBAHASAN Dengan keterbukaan dan jaminan keadilan, masyarakat akan lebih mudah

dalam menyampaikan aspirasi dan pendapatnya yang bersifat membangun. Aspirasi dan pendapat itu ditampung dan diseleksi, kemudian dijadikan suatu keputusan bersama yang bermanfaat. Berbagai aspirasi yang telah menjadi keputusan bersama dapat menjadikan daerah mudah untuk melakukan perce-patan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Jika masy-arakat suatu daerah telah ikut berpastisipasi dan munyumbangkan aspirasi dan pendapatnya, persatuan akan lebih mudah terwujud. Hal itu dikarenakan mere-ka merasa mempunyai cita - cita, tujuan, dan peranan yang sama. Keterbukaan mensyaratkan adanya kesediaan semua pihak untuk menerima kenyataan ma-

� Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cetakan IV, Prenada Media Group, Jakarta, 200�.

Mawardi Khairi - PERATURAN DAERAH PERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUM

Page 86: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

syarakat yang pluralitas, yang di dalamnya juga muncul perbedaan pendapat.Pada dasarnya kebijakan publik dan peraturan pelaksanaan yang mengiku-

tinya memuat arahan umum serta ketentuan yang mengatur masyarakat. Sehu-bungan dengan itu, semua kebijakan publik dan peraturannya membutuhkan dukungan masyarakat untuk dapat berlaku efektif. Penentangan oleh masyara-kat tehadap sejumlah kebijakan dan peraturan yang ada secara empirik lebih banyak di karenakan oleh kurangnya keterlibatan publik dalam tahap pengam-bilan kebijakan. Jika hal itu dibiarkan begitu saja maka makin besar keinginan ra-kyat untuk selalu mengadakan pembaharuan, tetapi rakyat tidak tahu arahnya sehingga mereka akan mudah kehilangan kendali dan emosianal. Rakyat cen-derung ingin membentuk suatu wadah dengan kebijakan sendiri. Akibatnya, timbul konflik yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Sebaliknya, jika keterbukaan dan jaminan keadilan selalu di pupuk dan diperhatikan akan menghasilkan suatu kebijakan publik dan peraturan hukum yang mengatur ma-syarakat dengan baik.

Selain keterbukaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak kalah pentingnya pemerintah harus mampu menciptakan keadilan. Persatuan bangsa dan keutuhan negara hanya akan terwujud jika tedapat keadilan bagi seluruh masyarakat. Keadilan merupakan unsur yang sangat esensial dalam kehidupan manusia karena semua orang berharap mendapatkan jaminan rasa keadilan. Dalam kehidupan sekarang, musuh terbesar bangsa adalah ketidakadilan. Ke-tidakadilan dapat menciptakan kecemburuan, kesenjangan, pertentangan dan disintegerasi bangsa. Apabila di amati lebih jauh keadaan negara saat ini, per-tentangan antar suku bangsa, perpecahan wilayah bersumber dari ketidakadi-lan. Karena diperlakukan tidak adil, antara anak bangsa dapat bertikai dan antar golongan saling berseteru. Dengan demikian, keadilan adalah prasyarat bagi terwujudnya persatuan bangsa dan keutuhan negara.

Dalam mewujudkan suatu pemerintahan atau kepemerintahan yang demo-kratis maka hal yang paling utama yang harus diwujudkan oleh pemerintah ada-lah transparansi (keterbukaan). Adapun indikasi dari suatu pemerintahan atau kepemerintahan yang transparan (terbuka) adalah apabila di dalam penyelen-ggaraan pemerintahannya terdapat kebebasan aliran informasi dalam berba-gai proses kelembagaan. Berbagai informasi harus disediakan secara memadai dan mudah dimengerti sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi. Kepemerintahan yang tidak transparan, cepat atau lambat cenderung

Page 87: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�7

akan menuju ke pemerintahan yang korup, otoriter, atau diktator. Adapun aki- Adapun aki-aki-bat penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan diantaranya:9

1. Kesenjangan antara rakyat dan pemerintah akibat krisis kepercayaan;2. Menimbulkan prasangka yang tidak baik dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara;3. Pemerintah tidak berani bertanggung jawab kepada rakyat;4. Tidak adanya partisipasi dan dukungan rakyat sehingga menghambat

proses pembangunan nasional;5. Hubungan kerjasama internasional yang kurang harmonis; dan6. Ketertinggalan dalam segala bidang.

Untuk itu diperlukan suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan terbuka. Penyelenggaraan negara yang baik dapat menciptakan pemerintahan yang baik (good governance). Dan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, ada beberapa asas yang perlu diperhatikan, yaitu:10

a. Asas kepastian hukumb. Asas tertib penyelenggaran negarac. Asas kepentingan umumd. Asas keterbukaane. Asas proporsionalitasf. Asas profesionalitasg. Asas akuntabilitasDalam iklim demokrasi saat ini, sikap terbuka penting untuk dilaksanakan

untuk mendukung proses demokratisasi di daerah. Dalam kehidupan berbang-sa dan bernegara, sikap terbuka harus dilaksanakan oleh setiap warga negara, termasuk oleh pemerintah. Hal ini penting agar keterbukaan tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat tetapi lebih jauh lagi keterbukaan harus juga berjalan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Setiap penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipantau oleh warga negara. Dengan dilakukannya hal ini maka kemungkinan terjadinya penyimpangan - penyim-pangan dalam penyelenggaraan negara dapat diperkecil.

Sikap terbuka adalah sikap untuk bersedia memberitahukan dan bersedia menerima pengetahuan atau informasi dari pihak lain. Sikap terbuka ini dapat ditunjukkan dengan dukungan pemerintah terhadap kebebasan pers. Dengan adanya kebebasan pers diharapkan akses informasi warga negara terhadap 9 http.hukumonline/org10 Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Liberty, Yogyakarta, 19�0.

Mawardi Khairi - PERATURAN DAERAH PERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUM

Page 88: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

penyelenggaraan pemerintahan semakin memadai. Sebagai contoh setiap pengambilan keputusan yang diambil oleh pemerintah dapat dipantau terus oleh warga negara. Pers sendiri diharapkan dapat memberikan informasi yang aktual dan tepat kepada warga negara. Selain itu, sikap netral harus terus dip-ertahankan oleh pers, pers diharapkan tidak menjadi alat bagi pemerintah un-tuk mempertahankan kekuasaannya.Ketidakadilan dapat menciptakan kecem-buruan, pertentangan, kesenjangan dan disintegrasi bangsa. Dalam kehidupan berbangsa, ketidakadilan dapat menimbulkan perilaku anarkis dan pertikaian antar golongan, bahkan dalam pertikaian antar suku bangsa dapat menyebab-kan perpecahan wilayah. Sedangkan dalam kehidupan berbangsa dan berne-gara, perbuatan tidak adil dapat menyebabkan negara mengalami hambatan dalam menjalankan roda pemerintahan sehingga mengalami keterpurukan dan berdampak pada penderitaan rakyat. Dengan demikian, keadilan adalah persyaratan bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan negara kita.Sebagai warga negara, semua pihak harus ikut serta secara aktif dalam upaya meningkatkan jaminan keadilan. Jaminan keadilan bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah.

Partisipasi warga negara juga mutlak diperlukan. Partisipasi secara dua arah diperlukan agar jaminan keadilan dapat berjalan dengan efektif. Partisipasi war-ga negara dalam upaya peningkatan jaminan keadilan dapat dilakukan dengan melakukan cara - cara berikut ini :11

a) Mentaati setiap peraturan yang berlaku di negara Republik Indonesia.b) Menghormati setiap keputusan hukum yang dibuat oleh lembaga

peradilan.c) Memberikan pengawasan terhadap jalannya proses-proses hukum

yang sedang berlangsung.d) Memberi dukungan terhadap pemerintah dalam upaya meningkatkan

jaminan keadilan.e) Memahami dan menghormati hak dan kewajiban setiap warga negara.Dengan adanya partisipasi pemerintah dan warga negara dalam

meningkatkan jaminan keadilan diharapkan rasa keadilan dapat benar - benar dirasakan oleh warga negara. Selain itu, terwujudnya rasa keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diharapkan dapat mendorong terjadinya pemerataan kesejahteraan di Indonesia. Hal ini sangatlah penting mengingat

11 //http/ HukumOnline/org.

Page 89: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

masih banyak terjadi kesenjangan ekonomi yang cukup mencolok dalam masyarakat. Tujuan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial harus terwujud.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa hal terkait dengan beberapa manfaat dari keterbukaan yaitu sebagai berikut :12

a) Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara

b) Meningkatnya persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan mencegah terjadinya KKN

c) Menciptakan hubungan harmonis yang timbal balik antara penyelenggara negara dengan rakyat

d) Meningkatkan potensi masyarakat sesuai dengan potensi yang dimiliki dapat mengungkapkan ketidak-adilan sehingga dapat menunjang terciptanya jaminan keadilan sesuai dengan hak asasi setiap manusia

Segala upaya dalam rangka mendemokratisasikan kehidupan di daerah sebenarnya harus dimulai dengan adanya partisipasi masyarakat. Kondisi demokratis dapat di ukur dari 10 (sepuluh) kriteria demokrasi sebagaimana dikemukakan Amien Rais yaitu :13

a) Partisipasi dalam pembuatan keputusanb) Persamaan kedudukan di depan hukumc) Distribusi pendapatan secara adild) Kesempatan memperoleh pendidikane) Kebebasanf) Kesediaan dan keterbukaan informasig) Mengindahkan fatsoen, yaitu tata karma politik yang mungkin tidak

tertulis tetapi jelas dirasakan baik buruknya oleh nuranih) Kebebasan indivudui) Semangat kerja sama danj) Hak untuk memprotesPartisipasi dapat diartikan sebagai ikut serta dalam kegiatan mulai dari

tahap perencanaan hingga evaluasi.Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik. Ada beberapa

12 http/ Blockdetik.com.Blockdetik.com.13 Zulkarnain dkk, Menggagas Keterbukaan Informasi Publik Upaya kolektif Berantas Korupsi, In

Trans Publishing, Malang, 2006,

Mawardi Khairi - PERATURAN DAERAH PERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUM

Page 90: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�0

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

konsep partisipasi:14

a) Partisipasi sebagai kebijakanb) Partisipasi sebagai strategic) Partisipasi sebagai alat komunikasi.d) Partsipasi sebagai alat penyelesaian sengketa.Sherry Arnstein15 membuat skema � (delapan) tingkat partisipasi masyarakat

dalam memutuskan kebijakan antara lain:a) Kendali masyarakatb) Delegasi kekuasaanc) Kemitraand) Peredamane) Konsultasif) Penginformasiang) Terapih) ManipulasiAsas keterbukaan dalam pembentukan peraturan daerah erat kaitanya

dengan bagaimana mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah, ada bebarapa mekanisme partisipasi yang harus di kembangkan pada lembaga legislatif, yaitu meliputi :16

a) Mekanisme partisipasi lewat penyediaan informasi guna menciptakan manajemen kelembagaan yang mampu mendukung mekanisme partisipasi lewat penyediaan informasi.

b) Mekanisme partisipasi melalui konsultasi guna menciptakan manajemen kelembagaan yang mampu mendukung mekanisme partisipasi lewat konsultasi

c) Mekanisme partisipasi lewat kolaborasi dengan pihak-pihak eksternal.d) Mekanisme partisipasi yang bersifat pemberdayaan.Pentingnya partisipasi publik dalam proses pembentukan Undang-Undang

dan Peraturan Daerah, dilihat dari fungsi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, merupakan perwujudan dari asas keterbukaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (e) Undang –Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pada bagian penjelasan Pasal 5 huruf (g), dengan/melalui asas keterbukaan, ditentukan bahwa dalam proses pembentukan undang - undang mulai dari 14 Hamzah Halim, Op.Cit., 15 Hamzah Halim , Op.Cit., 16 http://WWW.Parlemen.net/,

Page 91: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�1

perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasannya, harus bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, masyarakat yang berkepentingan mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan undang-undang.

Dilihat dari teori pembentukan Undang-Undang, keharusan adanya partisipasi masyarakat merupakan tujuan teori tahapan kebijakan sinoptik. Menurut teori kebijakan sinoptik17 pembentukan undang-undang sebagai suatu proses yang terorganisasi, dan terarah secara baik, terhadap suatu pembentukan keputusan yang mengikat, sebagai upaya mencari dan menentukan arahan bagi masyarakat secara keseluruhan. Suatu kebijakan dibentuk oleh lembaga yang akuntabel, syarat melalui proses yang terbuka dan bertanggung jawab, agar tercapai ketepatannya, keseimbangan, dan keterlaksanaan dari suatu aturan. Apapun konsep partisipasi yang diterapkan oleh pemerintah, setidaknya keterlibatan masyarakat dapat memberikan legitimasi terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan menimbulkan kepercayaan adanya keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat. Peran serta masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk dalam hal pembentukan peraturan daerah, secara yuridis dinormativisasikan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 354 menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. Meskipun demikian, pengaturan partisipasi masyarakat dalam ketentuan tersebut belum memberikan gambaran yang jelas. Untuk itu partisipasi masyarakat tersebut hanya bisa optimal khususnya ditingkat daerah kaitannya dengan proses pembentukan peraturan daerah apabila legislatif (DPRD) dan pemerintah daerah mau memfasilitasinya. Fasilitas yang mesti disediakan adalah pengaturan tentang prosedur, proses dan hasil dari partisipasi masyarakat.

Dari berbagai pandangan tentang asas-asas hukum kaitannya dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, menggambarkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan pelaksanaan asas konsesus yakni adanya kesepakatan rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan menaggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Hal ini mengingat

17 Hamzah Halim, Op.Cit.

Mawardi Khairi - PERATURAN DAERAH PERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUM

Page 92: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah di anggap sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama oleh pemerintah dan rakyat.

Berkenaan dengan pengaturan peran serta masyarakat dalam pemerintahan dan penyelenggaraan negara, ditemukan 2 ( dua) peraturan yakni dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6� Tahun 1999 tentang Tata Cara pelaksanaan Peran serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6� Tahun 1999 Pasal 1 ayat (2) memberikan pengertian bahwa yang di maksud dengan peran serta masyarakat adalah peran serta aktif masyarakat untuk ikut serta mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi & nepotisme, yang dilaksanakan dengan mentaati norma hukum, moral, dan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan bentuk peran serta masyarakat diatur dalam Pasal 2 menyatakan bahwa ;

“ Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk :1. Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang

penyelenggaraan negara;2. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari

penyelenggara negara;3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertang-

gungjawab terhadap kebijakan penyelenggara negara; dan;4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal;

a) Melaksanakan haknya sebagaimana di maksud dalam huruf a, b dan c.

b) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi dan saksi ahli, sesuai dengan peraturan - perundangan yang berlaku;

Partisipasi dapat diartikan sebagai ikut serta, berperan serta dalam setiap kegiatan, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan peraturan daerah dapat di kategorikan sebagai partisipasi politik. Partisipasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti bahwa ada peran serta atau keikutsertaan (mengawasi, mengontrol, dan mempengaruhi) masyarakat dalam suatu kegiatan pembentukan peraturan mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan peraturan daerah. Adapun beberapa konsep partisipasi adalah sebagai berikut 1�:1� Hamzah Halim, Cara Praktis Menyusun dan Merancanag Peraturan Daerah, PT.Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, 2010.

Page 93: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

1. Partisipasi sebagai kebijakan; partisipasi ini sebagai prosedur konsultasi para pembuat kebijakan kepada masyarakat sebagai subjek peraturan daerah;

2. Partisipasi sebagai strategi; partisipasi sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat demi kredibilitas kebijakan yang di keluarkan pemerintah;

3. Partisipasi sebagai alat komunikasi; partisipasi sebagai alat komunikasi bagi pemerintah (sebagai pelayan rakyat);

4. Partisipasi sebagai alat penyelesaian sengketa; partisipasi sebagai alat penyelesaian sengketa dan toleransi atas ketidakpercayaan dan kerancuan yang ada di masyarakat.

Sherry Arnstein dalam A Ladder of Citizen Participation membuat skema � (delapan) tingkat partisipasi masyarakat dalam memutuskan kebijakan yaitu sebagai berikut :19

1. Kontrol warga negara / kendali masyarakat (citizen control); pada tahap ini partisipasi sudah mencapai tataran di mana publik berwenang memutuskan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan sumber daya;

2. Delegasi kewenangan (delegated power); pada tahap ini kewenangan masyarakat lebih besar daripada penyelenggara negara dalam merumuskan kebijakan;

3. Kemitraan (Partnership); pada tahap ini ada keseimbangan kekuatan relatif antara masyarakat dan pemegang kekuasaan untuk merencanakan dan mengambil keputusan bersama - sama;

4. Peredaman (placation);pada tahap ini rakyat sudah memiliki pengaruh terhadap kebijakan tetapi bila akhirnya terjadi voting pengambilan keputusan akan tampak sejatinya keputusan sejatinya ada di lembaga negara, sedangkan kontrol dari rakyat tidak amat sangat menentukan;

5. Konsultasi (Consultation); pada tahap ini rakyat di dengar pendapatnya lalu di simpulkan, rakyat sudah berpastisipasi dalam membuat peraturan perundang-undangan dan lembaga negara sudah memmenuhi kewajiban melibatkan rakyat dalam membuat peraturan perundang – undangan;

19 Manajemen Prasarana & Sarana Perkotaan (MPSP), Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan dan Pemprograman Pembangunan Prasarana dan Sarana Perkotaan (Modul Peserta), Pemkot Malang Bekerjasama dengan USAID 2002.

Mawardi Khairi - PERATURAN DAERAH PERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUM

Page 94: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

6. Penginformasian (informing); pada tahap ini rakyat sekedar diberi tahu akan adanya peraturan perundang - undangan, tidak peduli apakah rakyat memahami pemberitahuan itu apalagi memberikan pilihan guna melakukan negosiasi atas kebijakan itu;

7. Terapi (therapy); pada tahap ini rakyat sebagai korban kebijakan dianjurkan mengadu kepada pihak yang berwenang tetapi tidak jelas pengaduan itu di tindaklanjuti atau tidak,

�. Manipulasi (manipulation); pada tahap ini lembaga negara melakukan “pembinaan” terhadap kelompok - kelompok masyarakat untuk seolah- olah berpastisipasi padahal sejatinya yang terjadi adalah kooptasi dan represi penguasa.

Partisipasi tidak cukup hanya dilakukan oleh segelintir orang yang duduk dalam lembaga perwakilan karena institusi dan orang-orang yang duduk di institusi sering kali menggunakan politik atas nama kepentingan rakyat. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan pemerintah sangatlah pen-ting untuk memperkecil ruang kesenjangan antara rakyat dengan penguasa.Partisipasi rakyat secara langsung akan membawa tiga dampak penting, yakni:20

1. Terhindar dari peluang terjadinya manipulasi keterlibatan rakyat dan memperjelas apa yang di ke hendaki masyarakat;

2. Memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan;3. Meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik masyarakat.Irfan Islamy, 21 menyatakan paling tidak ada � (delapan) manfaat yang akan

dicapai jika melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan yaitu:

1. Masyarakat akan semakin siap untuk menerima dan melaksanakan gagasan pembangunan;

2. Hubungan masyarakat, pemerintah, dan legislatif akan semakin baik;3. Masyarakat mempunyai komitmen yang tinggi terhadap institusi;4. Masyarakat akan mempunyai kepercayaan yang lebih besar kepada

pemerintah dan legislatif serta bersedia bekerja sama dalam menangani tugas dan urusan publik;

5. Bila masyarakat telah memiliki kepercayaan dan menerima ide -ide pembangunan, maka mereka juga akan merasa ikut memiliki tanggung

20 Alexander Abe, Perencanaan Daerah Partisipatif, Pembaruan Yogyakarta, 200521 Irfan Islamy, Membangun Masyarakat Partisipatif, Artikel dalam jurnal Admnistrasi Publik, Vol.IV

No.2 Maret-Agustus 2004

Page 95: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

jawab untuk turut serta mewujudkan ide - ide tersebut;6. Mutu / kualitas keputusan / kebijakan yang di ambil akan menjadi

semakin baik karena masyarakat turut serta memberikan masukan;7. Akan memperlancar komunikasi dari bawah ke atas dan dari atas ke

bawah;�. Dapat memperlancar kerjasama terutama untuk mengatasi masalah -

masalah bersama yang kompleks dan rumit.Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah juga

merupakan wujud penyelenggaraan pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip - prisip good governance, di antaranya : keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, dan transparansi.22

Menurut Satjipto Rahardjo, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan ( peraturan daerah ) adalah untuk menjaga netralitas. Netralitas di sini berarti persamaan, keadilan, dan perlindungan bagi seluruh pihak terutama masyarakat. Keputusan dan hasil peran serta mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat dan menjadi sumber informasi yang berguna sekaligus merupakan komitmen sistem demokrasi.

Untuk menjaga netralitas suatu hukum, Satjipto Rahardjo mengusulkan perlu adanya ’transparansi dan partisipasi (lebih besar) dalam pembentukan hukum’.Kedua hal ini kemudian dapat diangkat sebagai asas dalam pembuatan hukum untuk kemudian dilakukan elaborasi lebih lanjut ke dalam prosedur dan mekanismenya.23

Berdasarkan hasil penelitian M.Asfar dkk24, tentang partisipasi masyarakat dalam implementasi otonomi daerah menyebutkan paling tidak ada 7 (tujuh) problem dan kendala masyarakat yaitu ;

a) Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kebijakan otonomi daerah;

b) Banyaknya masyarakat yang mengaku memperoleh informasi tentang otonomi daerah dari TV yang menimbulkan persoalan tersendiri bagi upaya penyebarluasan informasi otonomi daerah sebab kebanyakan masyarakat desa - khususnya bagi penduduk miskin - belum memiliki TV;

22 Mas Achmad Santosa, Good Governance dan Hukum Lingkungan, ICEL 2001.23 Satjipto Rahardjo, Mencari Model Penyusunan Undang-Undang Yang Demokratis (kajian

sosialoogis). Makalah disampaikan dalam seminar Nasional Mencari Model Ideal Penyusunan UU yang Demokratis, Semarang 15-16 April 199�.

24 M.Asfar, dkk. Implementasi Otonomi Daerah (Kasus Jatim, NTT, Kaltim) Surabaya, CPPS Bekrjasama dengan CSSP dan Penerbit Pusdehem, 2001.

Mawardi Khairi - PERATURAN DAERAH PERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUM

Page 96: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

c) Tingginya pengetahuan masyarakat ternyata tidak banyak berkaitan dengan tingkat kemajuan suatu daerah tetapi lebih berhubung dengan persepsi dan harapan masyarakat terhadap masa depan otonomi daerah bagi kehidupannya. Persoalannya tidak semua orang mempunyai persepsi dan harapan positif terhadap masa depan otonomi daerah;

d) Beberapa organisasi kemasyarakatan atau organisasi tertentu yang ditunjuk oleh masyarakat sebagai fasilitator dalam banyak hal mereka sering terlibat konflik kepentingan politik;

e) Model partisipasi konvensional melalui demonstrasi dan unjuk rasa yang tidak jarang melibatkan kekerasan fisik yang biasa dilakukan oleh masyarakat lokal selama ini agaknya kurang kondusif bagi penciptaan budaya politik yang demokratis di masa depan;

f) Lembaga - lembaga politik di tingkat lokal umumnya kurang resfonsif terhadap berbagai tuntutan masyarakat;

g) Masyarakat lokal sering kali menemui beberapa kendala dalam melakukan aktifitas politik, di antaranya adalah soal keterbatasan dana, fasilitator, izin penyelenggaraan, kepemimpinan, terror, dan transportasi.

Di samping partisipasi masyarakat yang belum optimal yang disebabkan oleh lemahnya kemauan politik / political will dari pemerintah daerah di dalam menerjemahkan konsep otonomi daerah dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk ikut berpastisipasi di dalam proses implementasi otonomi daerah khususnya dalam pemebentukan peraturan daerah. Padahal partsispasi masyarakat di dalam suatu proses pembentukan peraturan perundang -undangan menjadi penting karena ;

a) Menjaring pengetahuan, keahlian, atau pengalaman masyarakat sehingga peraturan perundang - undangan yang lahir baik;

b) Menjamin peraturan perundang - undangan sesuai dengan kenyataan yang hidup di dalam masyarakat (politik, ekonomi, sosial dan lain-lain);

c) Menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging), rasa bertanggung jawab (sense of resfonsibility dan sense of accountability) atas peraturan perundang - undangan tersebut;

d) Akhir - akhir ini para anggota DPR maupun anggota DPRD dalam pengambilan keputusan seringkali mengabaikan aspirasi rakyat yang diwakilinya, mereka asyik dengan logika kekuasaan yang di milikinya

Page 97: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

�7

dan cenderung menyuarakan dirinya sendiri.25

Dari beberapa uraian diatas dapat dikatakan bahwa partisipasi masyarakat tidaklah tepat jika hanya pada tataran seberapa jauh masyarakat terlibat di dalam proses pembentukan peraturan perundang - undangan, tetapi seberapa jauh masyarakat terutama masyarakat marginal dan rentan dapat menentukan hasil akhir atau dampak positif dari keberadaan peraturan perundang -undangan tersebut. Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat ada 5 (lima) model partispasi yang bisa dikembangkan yaitu :26

a) Mengikutsertakan anggota masyarakat yang di anggap ahli dan independent di dalam tim atau kelompok kerja dalam penyusunan peraturan perundang – undangan;

b) Melakukan publik sharing (diskusi publik) melalui seminar, lokakarya, atau mengundang pihak-pihak yang berkepentingan (Stacke Holder) dalam rapat penyusunan peraturan perundang –undangan;

c) Melakukan uji shahih kepada pihak - pihak tertentu untuk mendapatkan tanggapan;

d) Mengadakan kegiatan musyawarah atas peraturan perundang-undangan sebelum secara resmi dibahas oleh institusi yang berkompeten, dan

e) Mempublikasikan rancangan peraturan perundang-undangan agar mendapatkan tanggapan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas tergambar tujuan utama dari adanya desentralisasi dapat tercapai, di mana pemerintah daerah lebih tahu terhadap kepentingan dan kebutuhan masyarakat di daerah sehingga kebijakan atau peraturan yang dibentuk memiliki daya guna dan tepat guna terhadap masyarakat di sekitarnya. Adapun manfaat partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah, antara lain :27

1. Meningkatkan kualitas keputusan / kebijakan yang di ambil;2. Menciptakan kesadaran politik;3. Meningkatkan proses belajar demokrasi;4. Menciptakan masyarakat yang lebih bertanggung jawab;5. Mengeliminasi perasaan terasing;6. Menimbulkan dukungan dan penerimaan rencana pemerintah;7. Meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah;

25 Hamzah Halim, Cara Praktis Menyusun dan Merancanag Peraturan Daerah, PT.Kencana Prenada Media Group, J akarta, 2010.

26 Ibid27 Ibid

Mawardi Khairi - PERATURAN DAERAH PERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUM

Page 98: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

�. Memperlancar kerjasama antara masyarakat dan pemerintah;9. Memperlancar kerjasama dalam menyelesaikan masalah - masalah

bersama.Adapun dampak negatif tidak adanya partisipasi masyarakat dalam proses

pembentukan peraturan daerah, adalah sebagai berikut:2�

1. Rendahnya rasa memiliki masyarakat terhadap program yang disusun dalam peraturan daerah;

2. Biaya transaksi yang mahal karena masyarakat kurang memahami tujuan dan program pemerintah;

3. Program pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan atau karakteristik masyarakat;

4. Lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.Partisipasi masyarakat tidak hanya pada proses pembentukan peraturan

daerah akan tetapi partisipasi masyarakat juga di perlukan pada proses penegakan hukum peraturan daerah. Sebagaiman kita ketahui bersama bahwa hukum bukanlah sesuatu yang bekerja semata – mata di ruang hampa namun hukum senantiasa berinteraksi dengan kehidupan sehari – hari masyarakat atau yang kita sebut faktor non-hukum. Adanya partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum merupakan salah bentuk faktor dimana hukum di pengaruhi oleh faktor-faktor sosial. Makna penegakan hukum peraturan daerah adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh masyarakat ketika terjadi pelanggaran peraturan daerah.

Dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam proses penegakan hukum peraturan daerah, merupakan salah satu bentuk perwujudan keadilan karena dilakukan secara adil bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum peraturan daerah. Peran serta masyarakat dalam penegakan hukum peraturan daerah dapat dilakukan dengan cara :29

1. Menaati perda yang telah diberlakukan;2. Mencegah pelanggaran yang di ketahui akan dilakukan oleh orang

lain;3. Melaporkan tindakan yang menunjukkan indikasi pelanggaran yang

dilakukan oleh siapa saja kepada pihak yang berwajib;dan4. Mengkritik penegakan perda yang dilakukan dengan setengah hati.

2� Ibid 29 Hamzah Halim, Cara Praktis Menyusun dan Merancanag Peraturan Daerah, PT.Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, 2010,

Page 99: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

��

E. PENUTUPBerdasarkan uraian demi uraian yang telah di uraikan dalam pembahasan

kita dapat menarik beberapa kesimpulan dan saranyang berkaitan dengan rumusan masalah

SIMPULANa) Partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum peraturan daerah harus

di mulai sejak proses rancangan peraturan daerah sehingga masyarakat memahami dengan detail isi dari peraturan daerah yang di tetapkan oleh pemerintah daerah

b) Partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum peraturan daerah merupakan bagian penting dalam pelaksanakan peraturan daerah dalam rangka mewujudkan tujuan dibentuknya peraturan daerah.

SARANa) Hendaknya para pembentuk peraturan daerah melibatan masyarakat di

lakukan dalam semua tahapan proses pembentukan peraturan daerah dan tidak hanya pada peraturan daerah tertentu, akan tetapi semua peraturan daerah yang dibentuk.

DAFTAR PUSTAKABuku-BukuAbdul Latif, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada

Pemerinthan Daerah, Cetakan I, UII Press, Yogyakarta, 2005.Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Ghalia, Bandung, 2007.Alexander Abe, Perencanaan Daerah Partisipatif, Pembaruan Yogyakarta,

2005.Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 19�2.Anas Ibrahim, Legislasi dan Demokrasi, In-Trans Publishing, Bandung, 200�.Andi Malarangeng dkk, Otonomi Daerah Prospektif Teoritis dan Praktis, Bigraf

Publishing , Yogyakarta, 1999.Arief Sidharta., Refleksi Tentang Hukum, PT.Citra Aditya, Bandung, 1999.Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

19�9.............., Fungsi Lembaga Legislatif di Indonesia, CV Rajawali , Jakarta, 19�5.

Mawardi Khairi - PERATURAN DAERAH PERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUM

Page 100: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

100

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

B.N.Marbun, Otonomi Daerah 1945 - 2005 Proses Dan Realita: Perkembangan Otoda, Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini, Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.

Dann Sugandha, Organisasi Dan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Serta Pemerintahan di Daerah, Sinar Baru, Bandung, 19�6.

Gouw Giok Siong, Pengertian Tentang Negara Hukum, Keng Po, Jakarta, 1955.HL.Said Ruhpina, Buku Pegangan Kuliah Mahasiswa Mata Kuliah Pengantar Ilmu

Hukum, Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2004.Harry Alexander, Panduan Perancangan Peraturan Daerah Di Indonesia,

Sulisindo, Jakarta, 2004.Hamzah Halim, CaraPraktis Menyusun dan Merancanag Peraturan Daerah,

PT.Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010.Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan

pemerintah, Cetakan I, Alumni, Bandung, 2004.Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Cetakan I, Sinar Harapan, Jakarta, 1993.Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang - Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 200�.Josef Riwu Kaho, Prospek Otoda di Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Cetakan III, Rajawali Press, Jakarta 2003.Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,

2007.Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius Yogyakarta,

2006.Max Boboy, DPR RI Dalam Persefektif Sejarah, Sinar Harapan, Jakarta, 1994. Mas Achmad Santosa, Good Governance dan Hukum Lingkungan, ICEL 2001.Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 199�.Muin Fahmal, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang layak dalam

Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Cetakan I, UII Press, Yogyakarta, 2006.

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip Prinsipnya Dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan Masa Kini, Cetakan I, Prenada Media, Jakarta, 2003.

M. Asfar, dkk., Implementasi Otonomi Daerah (Kasus Jatim, NTT, Kaltim) Surabaya, CPPS Bekerjasama dengan CSSP dan Penerbit Pusdehem, 2001.

Page 101: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

101

Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cetakan IV, Prenada Media Group, Jakarta, 200�,

Philipus M Hadjon., Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994.

Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1997.Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Desa

Secara Langsung, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.Rochmat Soemitro, Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di Indonesia,

Cetakan ke-IV, PT. ERESCO, Jakarta - Bandung, 1976.Siwi Purwandari, Pengantar Teori Hukum (Terjemahan), Cet. III, Nusa Media,

Bandung, 2010.Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Liberty, Yogyakarta, 19�0.Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 19�1.Soerjono Soekanto, Punadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, PT.Citra Aditya

Bhakti, Bandung, 19�9Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 19�6.Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pemerintah Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 1999.Soehino, Ilmu Negara, Cetakan III, Liberyty, Yogyakarta, 199�.Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), Edisi Kedua,

Liberty, Yogyakarta, 2006, Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik), CV.Mandar Maju,

Bandung, 2004.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Ichtiar, Jakarta,

1963.Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan 2� , PT. Pradya Paramita, Jakarta,

2000.

Makalah/Artikel.Bewa Ragawino, Makalah Desentralisasi Dalam Kerangka Otonomi Daerah Di

Indonesia, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2003.Irfan Islamy, Membangun Masyarakat Partisipatif, Artikel dalam jurnal

Admnistrasi Publik, Vol. IV No. 2 Maret-Agustus 2004.Manajemen Prasarana & Sarana Perkotaan (MPSP), Partisipasi Masyarakat

dalam Perencanaan dan Pemprograman Pembangunan Prasarana dan Sarana Perkotaan (Modul Peserta), Pemkot Malang Bekerjasama dengan

Mawardi Khairi - PERATURAN DAERAH PERSEPEKTIF TEORI NEGARA HUKUM

Page 102: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

10�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

USAID 2002. Nova Asmirawati, Makalah Hukum Dasar Perancangan Peraturan Daerah,

Yogyakarta, 2010.Philipus M Hadjon, Keterbukaan Pemerintah dan Tanggung Gugat Pemerintah,

Makalah disampaikan pada seminar Hukum Nasional ke-VI dengan tema Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta, 12-15 Oktober 1999.

Satjipto Rahardjo, Mencari Model Penyusunan Undang-Undang Yang Demokratis (kajian sosialoogis). Makalah disampaikan dalam seminar Nasional Mencari Model Ideal Penyusunan UU yang Demokratis, Semarang 15-16 April 199�.

Undang-UndangUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 200� tentang Keterbukaan

Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200� Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4�46).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2� Tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang bersih dan bersih Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Jenis Dan Bentuk Produk Hukum Daerah

Internethttp/ Blockdetik.com.Blockdetik.com. http://www.hukuminline.com/detail.asp?id=1504&cl=Berita.http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Hukum…http://pedulihukum.blogspot.comttp://WWW.Parlemen.net/,

Page 103: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

10�

6 KOMNAS PEREMPUAN SEBAGAI STATE AUXIALIARY BODIES DI DALAM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA PEREMPUAN DI INDONESIA

Laurensius Arliman S

AbstrakKondisi wanita-wanita Indonesia yang memprihatinkan secara nasional, dimana pendidikan wanita-wanita Indonesia pada umumnya masih rendah, begitu pula dengan kualitas fisik yang rendah dan nonfisik yang kurang memadai, ditambah kondisi lingkungan sosial dan budaya sebagin besar masyarakat Indonesia yang kurang mendukung terhadap wanita, maka penegakan terhadap hak asasi manusia tidak terlaksana. Tragedi Mei 199� mendesak Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1�1 tahun 199� sebagai landasan hukum Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005. Komisi ini adalah sebuah institusi komisi independen hak asasi manusia yang dibentuk oleh negara untuk merespon isu hak-hak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Untuk mewujudkan penegakan hak asasi perempuan maka komisi ini memiliki tugas: a) penyebarluasan pemahaman, b) kajian dan penelitian, c) pemantauan, d) rekomendasi dan kerjasama regional dan internasional.

Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Komnas Perempuan, Lembaga Negara Independen, Indonesia

AbstractThe condition of Indonesian women who concern nationally, where education Indonesian women are generally still low, as well as the quality of low physical and nonphysical inadequate, plus the conditions of social and cultural environment most of his Indonesian society are

Page 104: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

10�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

less supportive of women, the enforcement of human rights are not implemented. The tragedy of May 1998 urged the President to issue a Presidential Decree No. 181 of 1998 as the legal basis of the National Commission on Violence Against Women by Presidential Regulation No. 65 of 2005. The Commission is an institution independent human rights commission established by the state to respond to the issue of rights -hak women as part of human rights. In order to realize women’s human rights enforcement, the Commission will have the task of: a) the dissemination of understanding, b) studies and research, c) monitoring, d) recommendation and regional and international cooperation.

Keywords: Human Rights, Women’s Commission, State Auxialiary Bodies, Indonesia

PendahuluanSejak Indonesia merdeka, tampaknya perlindungan dan penegakan hak asasi

manusia (HAM) masih dan akan menjadi persoalan yang dihadapi dari waktu ke waktu. Padahal, HAM bagi masyarakat Indonesia sebenarnya bukanlah sesuatu yang aru sama sekali. Apabila telah ditelusuri dalam sejarah perjuangan bangsa, ternyata jauh sebelum kemerdekaan, para cerdik cendikia yang merupakan tokoh-tokoh pergerakan sudah sangat menyadari dan memahami arti penting HAM.1 Namun demikian, sangat disayangkan justru setelah merdeka sampai pada saat ini, perlindungan dan penegakan HAM mengalami pasang dan surut seiring dengan perjalanan bangsa ini.2 Tidak dapat dipungkuri bahwa pada waktu lalu, di satu phak dalam bidang HAM tertentu pelaksanaannya sudah dianggap cukup baik. Misalnya, pelaksanaan hak-hak politik warga negara dalam pemilihan umum, kebebasan dalam mendirikan partai politik, kebebasan menyatakan pendapat di muka umum, dan sebagainya. Akan tetapi di lain pihak, HAM juga sempat mengalami masa-masa suram karena hanya dianggap sebagai slogan yang pelaksanaannya masih sangat memprihatinkan, bahkan tidak sedikit pula

1 Bagir Manan, et-al, Perkembangan dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Bandung, Alumni, 2001, h. 53.

2 Harnadi Affandi, Problematika Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, dalam: Bagir Manan, et-al (ed), Dimensi-Dimensi Hukum Hak Asasi Manusia, Bandung, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2009, h. 30.

Page 105: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

10�

terjadi berbagai pelanggaran HAM.3 Adanya kondisi seperti itu menyebabkan sebagian masyarakat meragukan arti penting HAM dalam kehidupan mereka dengan menunjukkan sikap acuh dan tak acuh terhadap keberadan HAM.

HAM bermula dari sebuah gagasan bahwa manusia tidak boleh dipelakukan semena-mena oleh kekuasaan, karena manusia memilki hak alamiah yang melekat pada dirinya karena kemanusiannya. Kendati prinsip perlindungan HAM ini adalah kebebasan individu namun pengutamaan individu di sini tidak bersifat egoistik karena penyelenggaraan HAM terjadi dalam prasyarat-prasyarat sosial bahwa kebebasan individu selalu dipahamai dalam konteks penghormatan hak individu lain.4 Hukum internasional tentang HAM, terus dikembangkan menjadi cerminan bahwa isu dan masalah kejahatan HAM, telah menjadi perhatian dan keprihatinan internasional yang juga memunculkan solidaritas nasional.5 Wanita dan anak-anak sangat rentan HAM-nya dilanggar oleh orang yang tidak bertanggungjawab demi mencapai kepuasan semata. Hal ini dikuatkan oleh United Nations General Assembly6 yang menyatakan bahwa perempuan bagian dari kelompok rentan (vulnerable gropus), terjadinya pelanggaran HAM, lebih lanjut perempuanm kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Bisex, Transgender), migran lokal, minoritas keagamaan merupakan kelompok rentan yang sering menjadi korban dari kekerasan, diskriminasi, dan bemtuk-bentuk pelanggaran ham lainnya.

Wanita Indonesia sebagai kelompok sosial memiliki status, posisi dan peranan yang strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara kuantitatif jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah pria sehingga kaum wanita, teoritis, mempunyai potensi besar untuk berperan di tengah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Namun secara kualitatif wanita Indonesia belum mencapai tingkat mutu setaraf dengan kelompok pria karena kendala-kendala sosial, budaya, ekonomi dan politik yang melindunginya. Dengan jumlah yang besar dan kualitas yang rendah ini maka kondisi kaum wanita Indonesia pada umumnya memprihatinkan. Mereka praktis tidak mampu 3 Davies (ed), Hak-hak Asasi Manusia Sebauh Bunga Rampai, terjemahan A. Rahman Zainudin,

Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1999. h. 119.4 Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia (HAM), Semarang, Badan Penerbit Universitas

Dipenegoro, 2012, h. 51.5 Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi

Manusia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2006, h. 11.

6 Uli Parulian Sihombing, “Perlindungan Hukum Terhadap Buruh Perempuan Di Tempat Kerja”, Jurnal Selisik, Vol. 2, No. 3, 2016, h. 67.

Laurensius Arliman S - KOMNAS PEREMPUAN SEBAGAI STATE AUXIALIARY BODIES ...

Page 106: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

10�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

berbuat lebih baik mengingat keterbatasan-keterbatasannya.7 Secara sektoral masalah wanita Indonesia merupakan salah satu persoalan pembangunan yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap laju pembangunan nasional secara menyeluruh yang pada hakikatnya adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh rakyat Indonesia.

Secara kodrati wanita mempunyai tugas melahirkan, merawat, memelihara dan membesarkan bayi menjadi manusia baru. Kemampuan wanita untuk melahirkan keturunan tidak bisa dipertukarkan kepada pria. Kemampuan kodrati ini menempatkan wanita dalam posisi strategis sebagai penerus kehidupan, pencetak watak, pemberi dan pengayom nilai-nilai seorang manusia di tengah-tengah keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Wanita-wanita Indonesia pun memilki kemampuan, tugas dan tanggung jawab tersebut dalam membentuk kualitas manusia Indonesia yang senantiasa akan meningkat dan berkembang. Status wanita-wanita Indonesia sekarang, yaitu posisi dan kedudukannya diperbandingkan dengan kelompok pria, ataupun posisi wanita dari waktu ke waktu, antara wanita satu daerah dengan daerah lain, juga perbandingannya dengan kaum wanita negara-negara lain, ternyata mempunyai kaitan erat dengan kemungkinannya mengambil peranan dalam kegiatan pembangunan. Status politik, ekonomi, sosial dan budaya wanita-wanita Indonesia berhubungan kuat dengan pilihan-pilihan hidup mereka yang meliputi banyak kegiatan masyarakat, bangsa dan negara, baik di masa lampau, sekarang maupun masa mendatang.

Status wanita memiliki banyak ukuran kuantitatif dan kualitatif yang dipakai untuk menentukan posisi dan kedudukannya di tengah masyarakat. Di Indonesia, melalui penukuran data-data Biro Pusat Statistik, status wanita telah diukur seperti jumlah penduduk wanita, proporsi wanita yag melek huruf, masuk sekolah, bekerja, masuk kerja bidang atau sektor tertentu, jenjang kepangkatan pegawai negeri, tingkat pendapatan, usia kawin, moralitas dan ukuran lain. Tingkat pendidikan wanita-wanita Indonesia pada umumnya masih rendah, begitu pula tingkat upah wanita belum begitu tinggi. Kualitas fisik yang rendah dan nonfisik yang kurang begitu memadai, ditambah kondisi lingkungan sosial dan budaya sebagai besar masyarakat Indonesia yang kurang mendukung terhadap wanita dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya sangat terbatas dan tergantung pada pihak-pihak lain.�

7 Fatimah Achmad, Nasionalisme Demokrasi Dan Peranan Wanita, Jakarta, Lembaga Pengkajian Kebudayaan Tamansiswa, 1999, h. 125.

� Ibid, h. 126.

Page 107: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

107

Kondisi wanita-wanita Indonesia yang memprihatinkan secara nasional tersebut akan lebih kentara lagi apabila keadaan wanita di daerah-daerah diperbandingkan satu dengan lainnya. Tentu kita masih mengingat dengan peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Mei 199�, dimana terjadi perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa di beberapa daerah di Indonesia. Pada saat itu negara dianggap gagal memberi perlindungan kepada perempuan korban kekerasan, sehingga negara harus bertanggung jawab kepada korban tersebut. Maka Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1�1 tahun 199� sebagai jawaban pemerintah atas desakan kelompok perempuan terkait Tragedi Mei 199�. Maka dilakukanlah upaya pertanggungjawaban kepada korban dan kemudian melakukan upaya yang sistematis untuk secara terus menerus mengatasi kekerasan terhadap perempuan dengan melahirkan state auxialiary bodies yang bernama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Rahayu9 menyatakan bahwa Komnas Perempuan adalah sebuah institusi HAM yang dibentuk oleh negara untuk merespon isu hak-hak perempuan sebagai HAM. Mengingat mandatnya yang khusus dan spesifik, yaitu berkaitan dengan isu kekersan terhadap perempuan dan pelanggaran hak-hak perempuan maka Komnas Perempuan ini dikategorikan sebagai institusi HAM yang spesifik.

Dalam perkembangannya Indonesia banyak melahirkan lembaga-lembaga negara baru yang bersifat independen. Hal ini tidak terlepas akibat negara yang mengalami masa transisi, Indonesia juga mengalami salah satu fase-fase penting di masa tersebut. Salah satunya adalah kehadiran lembaga-lembaga negara penunjang (state auxiliary bodies) bersifat independen, yang berguna sebagai penunjang dan ikut membantu proses transisi. Selain ikut membantu proses transisi, lembaga-lembaga penunjang ini juga diidealkan untuk melapis atau memperbaiki lembaga-lembaga yang ada tetapi kinerjanya tidak memuaskan, terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme, serta ketidakmampuan bersikap independen dari pengaruh kekuasaan lainnya.10 Di sisi lain, kalau kecenderungan membentuk lembaga negara independen ini tidak dikendalikan, maka akan menimbulkan masalah di belakang hari karena kemungkinan akan terjadi tumpang tindih kewenangan antar lembaga itu sendiri. Di samping itu,

9 Rahayu, Op.cit, h. 173.10 Zainal Arifin Mochtar dan Iwan Satriawan, “Sistem Seleksi Komisioner State Auxiliary

Bodies (Suatu Catatan Analisis Komparatif)”, Jurnal Konstitusi, Universitas Andalas, Vol. 1, No.1, 200�, h. �6.

Laurensius Arliman S - KOMNAS PEREMPUAN SEBAGAI STATE AUXIALIARY BODIES ...

Page 108: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

10�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

juga akan menimbulkan biaya yang tidak sedikit untuk menunjang kegiatan dari masing-masing lembaga tersebut. Otomatis beban anggaran negara akan semakin besar.11

Alih-alih membantu, fakta menunjukkan bahwa beberapa lembaga negara penunjang ini malah mengalami degresi. Atas hal tersebut, melalui tulisan ini ingin melihat bagaimana peran Komnas Perempuan sebagai state auxiliary bodies di dalam melindungi dan menegakkan hak-hak perempuan di Indonesia. Tentu saja tulisan ini diharapkan menambah referensi di dalam penegakan hak-hak perempuan, terkhususnya terhadap lembaga negara independen yang beranama Komnas Perempuan.

Komnas Perempuan Sebagai State Auxialiary BodiesMemasukan norma HAM ke dalam UUD 1945 merupakan sebuah perjuangan

yang sangat panjang. Sehingga ketika UUD 1945 dilakukan amandemen sejak dari 1 (pertama) sampai dengan yang ke-4 (empat) ketentuan secara terperinci dapat dilihat dalam Pasal 2� A sampai dengan Pasal 2� J. Namun ada kelemahan yang juga hendak dihindari dengan transformasi HAM ke dalam konstitusi adalah produk enumerasinya yang dapat tertinggal oleh perkembangan zaman.12 Sehingga konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat theologis, filsafat, ideologis atau moralistik dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam konsep modern akan cenderung ke sifat yuridis dan politik, karena instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh baik tertulis maupun tidak tertulis. Konsep HAM di Indonesia disesuaikan dengan kebudayaan negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Hal ini mutlak perlu, sebab akan berkaitan dengan falsafah, doktrin dan wawasan bangsa Indonesia, baik secara Individual maupun kolektif kehidupan masyarakat yang berasaskan kekeluargaan, dengan tidak mengenal secara fragmentasi moralitas sipil, moralitas komunal, maupun moralitas institusional yang saling menunjang secara proporsional.13

11 Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta, UII Press, 2006, h. 169.

12 Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (The Jimly Court 2003-2008), Bandung, Mandar Maju, 2015, h. 27.

13 Slamet Marta Wardaya, Hakekat, Konsepsi dam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Persepektif Hukum dan Masyarakat, Bandung, Refika Aditama, 2005, h. 6.

Page 109: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

10�

Zainal Arifin Mochtar menyebutkan bahwa legitimasi bagi pembentukan komisi negara independen mendapatkan sentimen cukup baik pasca perubahan UUD 1945. Konstitusi baru hasil amandemen ini memberikan ruang yang luas untuk semakin berkembangnya model komisi negara yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden melalui undang-undang. Pembentukan komisi-komisi ini menjadi bagian dari politik hukum negara untuk melengkapi dan menguatkan daya kerja pemerintah negara. Pada intinya, UUD 1945 menempatkan begitu banyak aturan mengenai kemandirian dan indepensi lembaga-lembaga negara yang hadir setelah perubahan UUD 1945.14 Fenomena inflasi jumlah lembaga negara independen ini menarik untuk melihat penyebabnya. Harus diakui, salah satu argumentasi di balik kehadiran dan kecenderungan pembentukan lembaga-lembaga negara independen di atas, adalah karena lembaga-lembaga lama keberadaannya cenderung dipertanyakan, mengingat ketidakmampuan bersikap independen dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan politik yang sangat kejam.15

Dalam perkembangannya, secara teoritik dan praktik dikenal adanya dua jenis komisi negara, yaitu: 1) komisi negara yang merupakan perpanjangan tangan state organ, dan 2) komisi negara yang statusnya independen. Pembagian ini seperti dikemukakan Milakovich dan Gordon (2001) bahwa secara umum komisi negara (regulatory bodies) dapat dibagi dua jenis, yaitu:16

1) Pertama, disebut sebagai dependent regulatory agencies (DRAs). Komisi ini biasanya merupakan bagian dari departemen tertentu dalam pemerintahan, kabinet atau stuktur eksekutif lainnya. Konsekuensi sebagai bagian dari eksekutif, maka komisi ini sangat bergantung pada political will presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi eksekutif. Oleh karena itulah, komisi seperti ini tidak bisa bersikap independen, terutama dalam hal-hal yang terkait dengan kepentingan pemerintah itu sendiri

2) Kedua, disebut sebagai independent boards and commissions (IRCs). Menurut Miakovach dan Gordon, IRCs ini memiliki beberapa perbedaan secara struktural jika dibanding DRAs. Perbedaan kelembagaan antara keduanya sekaligus menjadi ciri khas IRCs, yang terdiri dari: a) komisi

14 Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen, Dinamika Perkembangan dan Urgensi Penatannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Jakarta, Rajawali Press, 2016, h. 6.

15 Firmansyah Arifin, et-al, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Jakarta, Konsosrsium Reformasi Hukum Nasional, 2005, h. 54.

16 Zainal Arifin Mochtar, Op-cit, h. 40-41.

Laurensius Arliman S - KOMNAS PEREMPUAN SEBAGAI STATE AUXIALIARY BODIES ...

Page 110: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

110

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

ini memilki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial, sehingga keputusan-keputusannya diambil secara kolektif; b) anggota atau para komisioner lembaga ini tidak melayani apa yang menjadi keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden lainnya; c) masa jabatan komisionernya relatif panjang; d) dalam pengisian jabatan komisioner pada umunya dilakukan secara betahap dan oleh karena itu, seorang presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga tersebut, karena periodesasinya tidak mengikuti periodesasi politik keperesidenan; d) jumlah anggota atau komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil berdasarkan suara mayoritas; dan e) keanggotaan lembaga ini biasanya menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat partisan. Dengan karakter seperti di atas, maka IRCs relatif memiliki posisi yang leluasa dalam melakukan fungsinya karena tidak berada di bawah kontrol kekuasaan manapun secara mutlak.

Komnas Perempuan sepertinya berada di dalam bentuk IRCs, mengingat dari jumlah komisioner, pengisian jabatan komisioner, jumlah keanggotaannya, serta hal lainnya seperti yang disebutkan di atas. Landasan hukum Komnas Perempuan di dalam perjalanannya ditingkatkan karena kalau hanya dengan mendasar pada Keppres saja, maka Komnas Perempuan diperkirakan tidak mungkin dapat mengungkapkan semua bentuk pelanggaran hak-hak perempuan tersebut, karena Komnas Perempuan tidak mempunyai kekuatan dan mandat untuk menanganinya. Untuk itu guna lebih memberikan mandat yang lebih luas dan kuat kepada Komnas Perempuan sebagai lembaga negara Indepeneden maka harus ada pengaturan yang lebih jelas terhadap Komnas Perempuan. Tapi didalam kenyatannya landasan hukum Komnas Perempuan hanya diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 (Perpres 65/2005).

Secara spesifik, Komnas Perempuan memaknai kekerasan terhadap perempuan merupakan perwujduan adanya ketimpangan historis dalam relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan keterkaitan antara kekerasan terhadap perempuan dengan diskriminasi berbasis gender inilah yang melandasi kerja Komnas Perempuan untuk menyikapi isu kekerasan terhadap perempuan secara komprehensif. Hal ini berarti bahwa isu tersebut ditangani secara eksklusif dan berdiri sendiri, tapi juga terhadap sebab-sebab kekerasan serta konsekuensinya. Mengingat bahwa kekerasan dan diskriminasi

Page 111: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

111

terhadap perempuan ini merupakan pelanggaran HAM maka pencegahan dan penanganannya dilakukan dalam kerangka HAM.

Sebagai bagian dari institusi HAM nasional, Komnas Perempuan berpedoman pada Prisip-Prinsip Paris (Paris Principle), yaitu prinsip yang terkait dengan status dan fungsi komisi-komisi HAM nasional untuk promosi dan perlindungan HAM. Prinsip ini dikembangkan oleh komunitas internasional untuk efektivitas institusi HAM nasional yang ada di berbagai negara di dunia. Beberapa prinsip tersebut diantaranua adalah prinsip kompetensi dan tanggung jawab, dan menunjukkan pluralitas. Prinsip ini dikembangkan dalam struktur, mekanisme dan perangkat kerja yang dibangun Komnas Perempuan. Secara kelembagaan, Komnas Perempuan memiliki struktur yang terdiri dari Komisi Paripurna yang juga pemegang kekuasaan tertinggi. Komisi Paripurna didukung oleh Badan Pekerja yang diketuai oleh Sekretaris Jenderal. Komisi Paripurna meliputi pimpinan dan anggota. Dalam menjalankan tugasnya komisi tersebut dibagi dalam sub-sub komisi yang dibentuk secara fungsional sesuai dengan kebutuhan.17

Komnas Perempuan bukan merupakan lembaga yang menerima dan menangani lansung korban kekerasan sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pendamping korban. Komnas Perempuan memantau bagaimana kasus tersebut ditangani untuk memastikan lembaga penyedia layanan di Pemerintah dan di masyarakat memebuhi hak-hak korban. Komnas Perempuan membangun mekanisme sitem rujukan kasus dan membentuk unit rujukan untuk membantu korban yang mencari informasi secara lansung ke Komnas Perempuan atau dengan melalui surat. Unit akan merujuk korban kepada lembaga penyedia layanan sesuai dengan kebutuhan korban. Berbeda dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan tidak memilki mandat untuk melakukan penyelidikan bersifat pro justicia. Dalam skala yang massive dan potensi kekerasan yang serius di suatu wilayah, Komnas Perempuan mengembangkan perangkat pendokumentasian kasus dan membentuk mekanisme pelapor khusus.1� Pelapor khusus adalah seseorang yang diberi mandat untuk mengembangkan mekanisme dan program yang komprehensif untuk menggali data dan informasi serta mendokumentasikan pengalaman-pengalaman perempuan sehubungan dengan adanya kekerasan dan diskriminasi.

17 Rahayu, Op.cit, h. 176-177.1� Ibid, h. 17�-179.

Laurensius Arliman S - KOMNAS PEREMPUAN SEBAGAI STATE AUXIALIARY BODIES ...

Page 112: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

11�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Fungsi dan Tugas Komisi Nasional Perempuan Di Dalam Melindungi Hak-Hak Perempuan

Mengacu pada Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 1993, Komnas Perempuan mendefiniskan kekerasan terhadap perempuan sebagai berikut, bahwa setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemedekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di masyarakat umum maupun dalam kehidupan pribadi. Lebih lanjut bahwa tujuan dari Komisi Perempuan ini adalah: 1) Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia; dan 2) Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan.

Landasan kerangka kerja Komnas Perempuan berdasarkan:19 1) Konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 19�4 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW); 3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 199� tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam atau tidak Manusiawi (CAT) dan 4) Deklarasi Internasional tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, serta kebijakan-kebijakan lainnya tentang hak asasi manusia.

Untuk mencapai tujuan tersebut dan berlandaskan kerangka kerja berdasarkan konstitusi dan aturan perundang-undangan yang lainnya, maka Perpres 65/2005 memberikan 5 (lima) tugas yang harus dijalankan oleh Komnas Perempuan, meliputi: a) penyebarluasan pemahaman, kajian dan penelitian, pemantauan, rekomendasi dan kerjasama regional dan internasional.20 Tugas-tugas tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:a) Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap

perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan, serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;

b) Melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai instrumen internasional

19 Komnas Perempuan, Profil Komnas Perempuan, http://www.komnasperempuan.go.id/profil/, diakses pada tanggal 22 Januari 2017.

20 Rahayu, Op.cit, h. 174.

Page 113: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

11�

yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi perempuan;c) Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendoku-

mentasian kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan, serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan;

d) Memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan yudikatif, serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan HAM penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan

e) Mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan.Selain hal tersebut Komnas Perempuan memiliki peran sebagai berikut

ini:21 a) Pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis gender dan kondisi pemenuhan hak perempuan korban; b) Pusat pengetahuan (resource center) tentang hak asasi perempuan; c) Pemicu perubahan serta perumusan kebijakan; d) Negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan komunitas pejuang hak asasi perempuan, dengan menitikberatkan pada pemenuhan tanggung jawab negara pada penegakan hak asasi manusia dan pada pemulihan hak-hak korban; e) Fasilitator pengembangan dan penguatan jaringan di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan kapasitas penanganan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

PenutupKesimpulan dari tulisan ini adalah, setelah melihat situasi dan kondisi wanita-

wanita Indonesia yang memprihatinkan secara nasional, dimana pendidikan wanita-wanita Indonesia pada umumnya masih rendah, begitu pula dengan kualitas fisik yang rendah dan faktor nonfisik yang masih kurang memadai, serta ditambah kondisi lingkungan sosial dan budaya sebagin besar masyarakat

21 Komnas Perempuan, Op.cit.

Laurensius Arliman S - KOMNAS PEREMPUAN SEBAGAI STATE AUXIALIARY BODIES ...

Page 114: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

11�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Indonesia yang kurang mendukung terhadap wanita, maka penegakan terhadap hak asasi manusia tidak terlaksana. Tragedi Mei 199� merupakan tonggak awal untuk mendesak Presiden mengeluarkan Keppres 1�1/199� sebagai landasan hukum Komnas Perempuan yang diperbaharui dengan Perpres 65/2005. Komnas Perempuan adalah sebuah institusi komisi independen hak asasi manusia yang dibentuk oleh negara untuk merespon isu hak-hak perempuan sebagai bagian dari HAM. Untuk mewujudkan penegakan hak asasi perempuan maka komisi ini memiliki tugas: a) penyebarluasan pemahaman, b) kajian dan penelitian, c) pemantauan, d) rekomendasi dan kerjasama regional dan internasional. Selain itu Komnas Perempuan Juga memilik 5 (lima) peran yang sangat vital di dalam mengawasi perlindungan hak-hak kepada perempuan.

Penulis menyarankan agar pemerintah merubah pengaturan Komisi Perempuan di dalam tingkatan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang. Karena kedudukan pengaturan Komisi Perempuan yang hanya diatur dalam Perpres dari segi Ilmu Perundang-Undangan pastilah akan tertinggal jauh jika diatur oleh Undag-Undang, hal ini untuk menjamin perlindungan hal perempuan itu dengan sendirinya. Di dalam pelaksanaan hak perlindungan perempuan di Indonesia wajiblah dibantu oleh Masyarakat serta pemerintah. Karena jika tidak ada peran aktif tersebut, dipastikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan hanyalah mimpi dan angan-anagan semata.

Daftar PustakaAdnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok

Hak Asasi Manusia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2006.

Bagir Manan, et-al (ed), Dimensi-Dimensi Hukum Hak Asasi Manusia, Bandung, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2009.

Bagir Manan, et-al, Perkembangan dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Bandung, Alumni, 2001.

Davies (ed), Hak-hak Asasi Manusia Sebauh Bunga Rampai, terjemahan A. Rahman Zainudin, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Fatimah Achmad, Nasionalisme Demokrasi Dan Peranan Wanita, Jakarta, Lembaga Pengkajian Kebudayaan Tamansiswa, 1999.

Page 115: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

11�

Firmansyah Arifin, et-al, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Jakarta, Konsosrsium Reformasi Hukum Nasional, 2005.

Komnas Perempuan, Profil Komnas Perempuan, http://www.komnasperempuan.go.id/profil/, diakses pada tanggal 22 Januari 2017.

Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Persepektif Hukum dan Masyarakat, Bandung, Refika Aditama, 2005.

Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta, UII Press, 2006.

Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia (HAM), Semarang, Badan Penerbit Universitas Dipenegoro, 2012.

Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (The Jimly Court 2003-2008), Bandung, Mandar Maju, 2015.

Uli Parulian Sihombing, “Perlindungan Hukum Terhadap Buruh Perempuan Di Tempat Kerja”, Jurnal Selisik, Vol. 2, No. 3, 2016.

Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen, Dinamika Perkembangan dan Urgensi Penatannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Jakarta, Rajawali Press.

________ dan Iwan Satriawan, “Sistem Seleksi Komisioner State Auxiliary Bodies (Suatu Catatan Analisis Komparatif)”, Jurnal Konstitusi, Universitas Andalas, Vol. 1 No.1, 200�.

Laurensius Arliman S - KOMNAS PEREMPUAN SEBAGAI STATE AUXIALIARY BODIES ...

Page 116: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

11�

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA WAJIB DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Imam Budi Santoso

AbstrakPenyelesaian perselisihan hubungan industrial kerap terjadi perselisihan yang berkepanjangan tidak hanya dari sisi peradilan hubungan industrial saja akan tetapi juga dapat masuk ke ranah pidana. Bipartite dan Mediasi merupakan alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang pada proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial merupakan prasyarat wajib untuk ditempuh atau dilalui oleh para pihak. Keduanya merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa hubungan industrial yang dapat menjadi alternative penyelesaian perselisihan antara pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja yang mengedepankan kepentingan para pihak secara langsung.

AbsractThe settlement of industrial relations disputes is often a prolonged dispute not only from the judicial side of industrial relations but also can enter the criminal sphere. Bipartite and Mediation is an alternative solution to disputes outside the courts which in the process of settling industrial relations disputes is a prerequisite obliged to be taken or passed by the parties. Both are an alternative industrial dispute resolution solution which can be an alternative dispute resolution between employers and workers or unions that prioritize the interests of the parties directly.

A. Latar BelakangUndang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial diluar pengadilan maupun didalam pengadilan hubungan industrial.

7

Page 117: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

117

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan merupakan penyelesaian wajib yang harus ditempuh para pihak sebelum para pihak menempuh penyelesaian melalui pengadilan hubungan industrial. Penyelesaian perselisihan diluar pengadilan mengutamakan musyawarah untuk mufakat.1

Undang-undang telah menentukan secara tegas bahwa setiap perselisihan yang terjadi (perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja) antara pekerja dengan pengusaha wajib hukumnya untuk diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang berselisih, yaitu secera bipartite sebelum menempuh jalur penyelesaian yang lainnya. Ketentuan semacam ini adalah tepat sebab penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak yang berselisih secara musyawarah untuk mencapai mufakat tanpa campur tangan pihak lain, sehingga mendapatkan hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.2

Kenapa akan menguntungkan kedua belah pihak? Karena dalam penyelesaian bipartit tidak ada pihak ketiga yang tahu apabila ada perselisihan, sehingga nama baik kedua belah pihak masih terjaga. Apabila perselisihan diselesaikan melalui lembaga lainbahkan wampai ke pengadilanakan memakan waktu dan biaya bahkan nama baik kedua belah pihak akan turun dimata masyarakat karena telah ada perselisihan. Keuntungan yang lain dalam bipartite ini adalah tujuan yang akan dicapai adalah sama-sama menang, tidak ada yang kalah, sehingga solusi yang dihasilkan adalah menguntungkan kedua belah pihak.3

Namun demikian, apabila para pihak gagal/ tidak tercapai kesepakatan dalam perundingan bipartit, maka para pihak dapat menempuh penyelesaian perselisihan diluar pengadilan yang telah disediakan oleh pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/ buruh dan pengusaha.:4

B. Mekanisme Pelaksanaan perselisihan hubungan industrial1. BipartitTahap pertama untuk semua jenis perselisihan hubungan industrial,

termasuk perselisihan hubungan kerja, diselesaikan melalui perundingan 1 Ditjen PHI dan JSK, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrasi, Jakarta 2007, hlm. 132 Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Hubungan Industrial, Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Hlm

543 Ibid hlm 544 Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Hubungan Industrial, Jakarta: Sinar Grafika, 2012. hlm.

96

Imam Budi Santoso - ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA WAJIB. ...

Page 118: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

11�

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

bipartite atau perundingan dua pihak. Pihak didalam perselisihan hubungan kerja adalah pengusaha dan buruh.5 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjelaskan Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

Secara normative penyelesaian secara Bipartite diatur dalam pasal 3 sampai pasal 7 dalam Undang-Undang PPHI, Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.

Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Apabila bukti-bukti dimaksud tidak dilampirkan, makainstansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.

Bahkan, apabila para pihak ingin menyelesaikan perselisihan hubungan industrial diantara mereka melalui PHI persyaratan untuk membuktikan bahwa penyelesaian perselisihan pernah diupayakan secara bipartite, merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar, seperti yang diatur dalam pasal �3 ayat (1) UU No. 2 tahun 2004, yang menggariskan:6 pengajuan gugatan yang tidak melampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, mak hakim hubungan industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.

Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak. Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :

a. nama lengkap dan alamat para pihak; 5 Abdur R Budiono, Hukum Perburuhan, PT. Indeks, Jakarta, 2009, hlm 796 Dr. Lilik Mulyadi, SH., MH, Agus Subroto, SH., MHum, Penyelesaian perkara pengadilan hubungan

industrial dalam teori dan praktik. Alumni, Bandung, hlm 65

Page 119: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

11�

b. tanggal dan tempat perundingan; c. pokok masalah atau alasan perselisihan; d. pendapat para pihak; e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan f. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.

Dalam hal musyawarah dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian Bersama wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama. Apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi.

Ketentuan pasal 3 undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial diatas diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-31/MEN/XII/200� tentang pedoman penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Bipartit.7 Yang secara umum dijelaskan sebagai berikut :

Dalam melakukan perundingan bipartit, para pihak wajib :a. memiliki itikad baik;b. bersikap santun dan tidak anarkis; danc. menaati tata tertib perundingan yang disepakati.

Dalam hal salah satu pihak telah meminta dilakukan perundingan secara tertulis 2 (dua) kali berturut-turut dan pihak lainnya menolak atau tidak menanggapi melakukan perundingan, maka perselisihan dapat dicatatkan

7 Zaeni Asyadie, SH., M.Hum, Hukum Kerja, Hukumketenagakerjaan bidang hubungan kerja, Jakarta, Raja Grafindo, 2013 hlm. 165

Imam Budi Santoso - ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA WAJIB. ...

Page 120: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1�0

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-bukti permintaan perundingan.

Perundingan bipartit dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :a. Tahap sebelum perundingan dilakukan persiapan :

1) pihak yang merasa dirugikan berinisiatif mengkomunikasikan masalahnya secara tertulis kepada pihak lainnya;

2) apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh perseorangan yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, dapat memberikan kuasa kepada pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tersebut untuk mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan;

3) pihak pengusaha atau manajemen perusahaan dan/atau yang diberi mandat harus menangani penyelesaian perselisihan secara langsung;

4) dalam perundingan bipartit, serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha dapat meminta pendampingan kepada perangkat organisasinya masing-masing;

5) dalam hal pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan bukan anggota serikat pekerja/serikat buruh dan jumlahnya lebih dari 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh, maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang disepakati paling banyak 5 (lima) orang dari pekerja/buruh yang merasa dirugikan;

6) dalam hal perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya paling banyak 10 (sepuluh) orang.

b. Tahap perundingan :1) kedua belah pihak menginventarisasi dan mengidentifikasi

permasalahan;2) kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara

tertulis dan jadwal perundingan yang disepakati;3) dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama

perundingan dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya;

4) para pihak melakukan perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang disepakati;

Page 121: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1�1

5) dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka para pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja walaupun belum mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja;

6) setelah mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja, perundingan bipartit tetap dapat dilanjutkan sepanjang disepakati oleh para pihak;

7) setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani, maka hal ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah dimaksud;

�) hasil akhir perundingan dibuat dalam bentuk risalah akhir yang sekurang-kurangnya memuat :a). nama lengkap dan alamat para pihak;b). tanggal dan tempat perundingan;c). pokok masalah atau objek yang diperselisihkan;d). pendapat para pihak;e). kesimpulan atau hasil perundingan;f). tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan

perundingan.9) rancangan risalah akhir dibuat oleh pengusaha dan ditandatangani

oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya tidak bersedia menandatanganinya;

c. Tahap setelah selesai perundingan :1) dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian

Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama;

2) apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

Skema Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial secara bipartite

Gagalperundingandalamjangkawaktu30harikerja,baikkarenasalahsatupihakmenolak,maupuntidakmencapaikesepakatandalamperundingan

Imam Budi Santoso - ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA WAJIB. ...

Page 122: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

2. Perundingan Secara TripartitPada dasarnya, perundingan tripartit merupakan perundingan yang

melibatkan pihak ketiga yang netral. dalam UU No. 2 Tahun 2004 pihak ketiga yang dilibatkan untuk menyelesaikan suatu perselisihan hubungan industrial tersebut adalah mediator, konsiliator, atau arbiter. upaya penyelesaian secara tripartit ini baru dapat dilakukan apabila usaha bipartit telah dilakukan. adapaun proses penyelesaian secara tripartit melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase sebagaimana diuraikan secara lebih terperinci dibawah ini.�

Jika ternyata penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak dapat diselesaikan atau tidak dapat dicapai kesepaatan melalui perundingan bipartit, � Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia,

Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012. hlm. 63.

Salah satu pihak mengajukan perundingan kepada pihak lain

Perundingan bipartite diselesaikan paling lama 30 hari

kerja sejak tanggal dimulainya perundingan

Mencapai kesepakatan, buat perjanjian bersama (PB) yang

ditandatangani oleh kedua belah pihak

Wajib didaftrakan di pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri setempat

Pengadilan hubungan industrial memberikan akta bukti

pendaftaran, dan akta bukti tersebut tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dengan perjanjian

bersama (PB)

Gagal perundingan dalam jangka waktu 30 hari kerja, baik karena

salah satu pihak menolak, maupun tidak mencapai kesepakatan dalam

perundingan

Mencapai kesepakatan, buat perjanjian bersama (PB) yang

ditandatangani oleh kedua belah pihakSalah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan kepada

instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan, dengan melampirkan bukti-bukti upaya perundingan bipartit

Terhadap PB yang sudah didaftar dan tidak dilaksanakan oleh salah

satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan

permohonan eksekusi kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri dimana PB didaftarkan untuk mendapat

penetapan eksekusi

Page 123: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

tahap berikutnya adalah penyelesaian melalui tripartit, yaitu secara mediasi. Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui cara ini bersifat wajib (mandatory), apabila cara penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase tidak disepakati oleh para pihak. Polarisasi melalui mediasi ini merupakan salah satu dari Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Pada dasarnya penyelesaian melalui medlasi mempunyal karakteristik yang bersifat keunggulan sebagai berikut:9

1) Voluntary keputusan untuk bermediasi diserahkan pada kesepakatan para pihak

sehingga dapat diciptakan suatu putusan yang merupakan kehendak dari para pihak. oleh karena dikehendaki para pihak, keputusan yang diselesaikan bersifat win-win solution.

2) Informal dan Fleksibel apabila diperintahkan, pihak sendiri dengan bantuan mediator dapat

mendesain sendiri prosedur, tata cara, dan mekanisme untuk melakukan mediasi. jika diperbandingkan dengan litigasi, baik tata cara, prosedur, maupun mekanismenya sangat berbeda jauh antara litigasi dan mediasi.

3) Interested based dalam mediasi tidak dicari siapa yang salah atau siapa yang benar, tetapi

yang lebih diutamakan adalah bagaimana mediasi tersebut menghasilkan dan mencapai kepentingan masing-masing pihak.

4) Future looking hakikat mediasi karena lebih menjaga kepentingan masing-masingpihak

sehingga lebih menekankan untuk menjaga hubungan para pihak yang bersengketa ke depan dan tidak berorientasi ke masa lalu.

5) Parties oriented orientasi mediasi yang bersifat prosedur yang informasi maka para pihak

lebih aktif berperan dalam proses mediasi tanpa bergantung pada peran pengacara.

6) Parties control mediator tidak dapat memaksakan kehendak atau pendapatnya untuk

mencapai kesepakatan oleh karena penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah keputusan dari pihak-pihak itu sendiri. perkembangan mediasi di Indonesia merupakan cara penyelesaian sengketa yang sesuai dengan budaya bangsa Indoensia, yaitu musyawarah mufakat.

9 Loc. cit

Imam Budi Santoso - ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA WAJIB. ...

Page 124: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang PPHI dalam pasal � sampai dengan pasal 16 merumuskan mekanisme pelaksanaan mediasi yang dilakukan oleh mediator yang berada disetiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Mediator sebagaimana dimaksud harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. warga negara Indonesia; c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; d. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenaga-

kerjaan; e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan g. s yarat lain yang ditetapkan oleh Menteri. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima

pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.

Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya. Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta.

Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka:

Page 125: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis; b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-

lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;

c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;

d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya dianggap menolak anjuran tertulis;

e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut :a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran

dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama; b. apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka

pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan HubunganIndustrial pada Pengadilan Negeri diwilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;

c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Imam Budi Santoso - ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA WAJIB. ...

Page 126: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

C. KesimpulanAlternative penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam undang-

undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa merupaka metode alternative penyelesaian sengekta atas pilihan atau kehendak para pihak, akan tetapi dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Bipartit dan Mediasi (Konsiliasi, Arbitrase) merupakan metode wajib yang harus dipilih oleh para pihak dalam menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial.

Metode alternative penyelesaian sengketa ditempatkan digarda terdepan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial sebagaimana amanat sila ke 4 Pancasila yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksaan dan permusyawaran/perwakilan. Diharapkan dengan mewajibkan ditempuhnya alternative penyelesaian sengketa akan meminimalisir perbedaan dan permasalahan yang terjadi duranah hubungan industrial.

DAFTAR PUSTAKAAbdur R Budiono, Hukum Perburuhan, PT. Indeks, Jakarta, 2009Ditjen PHI dan JSK, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrasi, Jakarta 2007Dr. Lilik Mulyadi, SH., MH, Agus Subroto, SH., MHum, Penyelesaian perkara

pengadilan hubungan industrial dalam teori dan praktik. Alumni, Bandung

Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012

Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Hubungan Industrial, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Zaeni Asyadie, SH., M.Hum, Hukum Kerja, Hukumketenagakerjaan bidang hubungan kerja, Jakarta, Raja Grafindo, 2013

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGANUndang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

penyelesaian sengketaUndang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan IndustrialPeraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-31/MEN/XII/200�

tentang pedoman penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Bipartit.

Page 127: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1�7

9 NOTABENE

Mardjono Reksodiputro

Merakyatkan Wibawa Negara Hukum

Presiden Joko Widodo baru-baru ini meminta agar ada sesuatu yang harus dilakukan dengan cepat. Ujar beliau: “… kalau ada percikan sekecil apapun untuk segera diselesaikan … (dan) selesaikan pada saat api itu

masih kecil. Segera padamkan ! 1 Apa yang dimaksudkan oleh Presiden ? Beliau tentu tidak bermaksud membicarakan masalah “kebakaran”, tetapi ternyata masalah “penegakan hukum”. Apa yang menyebabkan seorang Presiden sampai menginstruksikan hal tersebut ? Tentu hal ini berkaitan dengan “iklim hukum” sekitar ucapan dalam pidato beliau waktu itu. Di mana pidatonya ? Rupanya di muka tokoh-tokoh agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama. Iklim hukum (ataukah iklim pelanggaran hukum ?) waktu itu menyangkut isyu-isyu antara lain tentang: demonstrasi besar-besaran yang dapat menimbulkan masalah SARA, dengan kemungkinan berimplikasi pada pecahnya kerukunan hidup dalam NKRI dan mungkin juga dapat berimplikasi pada di”goyang”nya pemerintahan yang sah. Peristiwa “bom-bunuh-diri” yang terjadi di Kampung Melayu Jakarta Timur pada tanggal 24 Mei 2017, juga memperkuat dugaan adanya kelompok radikal ISIS yang “menargetkan” timbulnya kekacauan dan perasaan tidak aman dalam masyarakat Indonesia. Iklim hukum seperti ini tentunya tidak membantu usaha pemerintah menarik modal asing masuk ke sini untuk membantu pembangunan nasonal dan kekacauan pasti akan menggangu usaha memperkuat perekonomian Indonesia untuk mensejahterakan seluruh masyarakat.

1 Business News, No.�99�, 29 Mei 2017, Induk Karangan

Page 128: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Sebuah buku yang terbit dalam tahun 1990-an di New York, berlatar belakang sebuah teori tentang kesigapan kegiatan polisi di kota tersebut, dan dikenal sebagai teori “Broken Windows”. Serupa dengan pendekatan Presiden Jokowi, maka teori itu mengibaratkan bahwa, “bila dalam suatu daerah pemukiman terdapat rumah kosong dengan jendela-jendela yang pecah (broken windows), maka masyarakat harus segera memperbaikinya, kalau tidak, hal itu akan menarik pelaku pelanggar hukum menempati rumah kososng tersebut dan menjadikannya pusat kegiatan pelangaran hukum di komunitas tadi”. Pemrakarsa teori ini membangunnya dari pengalamannya menertibkan “kereta-api bawah-tanah” (underground subway) di New York, yang tadinya penuh dengan “graffiti” (coretan dan lukisan oleh anak-anak muda). Kereta-api dan statsiun disekitarnya menjadi anjang pertarungan perebutan kekuasaan antara kelompok-kelompok “anak-muda-brandal” dan menimbulkan rasa tidak-aman pengguna transportasi tersebut. Dengan segera membersihkan graffiti dan “melerai” perkelahian, telah dicegah timbulnya keadaan di mana kereta-bawah-tanah itu menjadi pusat kegiatan pelanggaran hukum (misalnya narkoba, mabuk alkohol dan pelecehan seksual).2 Kerjasama kepolisian dengan masyarakat pengguna transportasi ini, kemudian antara lain menjadi bagian dari teori pemolisian komuniti (community policing). Usaha Polda Sumut, Kalbar dan Kalteng menjalankan kegiatan “patroli kampung” menghadang kemungkinan masuknya para “terduga teroris” melalui perbatasan di daerah-daerah tersebut, adalah tepat sekali dan haruslah juga dengan falsafah “padamkan api, segera, sewaktu kecil”.

Apa kesimpulan yang dapat kita tarik dari uraian di atas ini ? Dalam Notabene Desember 2016 yang lalu, saya mengutip dari dokumen program-kerja Presiden Jokowi, dengan logo #KERJANYATA, adanya topik khusus Reformasi Hukum yang dirumuskan sebagai “Revitalisasi Dan Reformasi Hukum dari Hulu ke Hilir”. Rumusan ini sangat menarik, lebih-lebih lagi dengan adanya dua alur pikiran yang mulai dengan kalimat :” Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa …”, dan “Menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum …”. Mengkaitkan dokumen di atas dengan pernyataan Presiden tentang perlunya “penegakan hukum yang cepat/segera”, pada saya menimbulkan kesimpulan bahwa “Negara Indonesia yang sedang berada dalam posisi lemah itu harus segera dihadirkan kembali dalam posisi 2 Lihat buku George Kelling and Catherine Coles, Fixing Broken Windows. Restoring Order and Reducing

Crime in Our Community (First Touchstone Edition, 1997).

Page 129: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

Mardjono Reksodiputro - MERAKYATKAN WIBAWA NEGARA HUKUM

yang lebih kuat !”. Sekali lagi, dengan melihat iklim hukum pada saat pernyataan “dilontarkan”, dengan adanya masalah “kerukunan kehidupan berbangsa”, maka memang terlihat adanya urgensi perlunya bergerak cepat, “padamkan api sewaktu masih kecil, jangan tunggu apinya membesar!”. Tetapi apakah ini hanya ditujukan kepada alat penegak hukum ? Menurut pendapat saya tidak – bergerak cepat ini harus juga ditujukan kepada warga masyarakat, dan itu berarti mengajak partisipasi masyarakat “bergerak cepat memadamkan api sewaktu masih kecil”. Dalam konteks teori “Broken Windows” , hal itu berarti : perlu mengajak masyarakat menegakkan kembali wibawa hukum, mengajak mereka kembali memahami arti wibawa “negara hukum”.

Tidak mungkin kita dapat mengajak masyarakat, apabila mereka tidak diberikan pemahaman tentang arti dari “wibawa negara hukum” itu. Dan itu tidak dilakukan dengan indoktrinasi atau ceramah dan pidato maupun slogan. Yang perlu adalah keteladanan, yang perlu adalah masyarakat merasa manfaatnya wibawa negara hukum itu untuk mereka, yang perlu adalah bagaimana cara kita merakyatkan/mensosialisasikan wibawa negara hukum itu. Negara harus dapat membuktikan bahwa hukum adalah panglima, bukan kekuasaan. Bukan kekuasaan uang atau politik yang dijadikan acuan oleh para pemimpin negara kia, melainkan menjalankan hukum yang seadil-adilnya dan memberi kepastian hukum yang menimbulkan rasa aman.. Haruslah diakui bahwa hal ini tidaklah mudah. Penegakan hukum pidana, perdata dan administrasi negara oleh negara, haruslah dilaksanakan berdasarakan asas-asas proses hukum yang adil. Karena itu reformasi di bidang peradilan adalah yang utama dalam menjaga wibawa hukum. Pengadilan harus dikembalikan menjadi benar-benar “benteng keadilan”.

Disamping usaha di atas, yang juga penting dipikirkan adalah perlunya pendekatan atau strategi mengoperasionalkan konsep “Pemolisian Komuniti” (Community Policing). Masyarakat Indonesia yang majemuk (multi-ethnic society) harus didekati dengan konsep masyarakat multi-kultural (multi-cultural society), yang lebih menekankan kepada kesetaraan keanekaragaman kebudayaan Salah satu urgensi yang dihadapi sekarang ini adalah bagaimana memberdayakan pemolisian komuniti. Janganlah keanekaragaman suku-bangsa dapat menjadi potensi konflik, yang dapat di manfaatkan pihak-luar (ingat konsep proxy war) untuk memperlemah NKRI. Pemolisian Komuniti merupakan pendekatan reformasi dalam falsafah pemolisian yang memperluas

Page 130: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1�0

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

misi kepolisian untuk tidak saja mengurus soal kejahatan dan penegakan hukum, tetapi juga mengajak masyarakat secara kreatif memecahkan permasalahan disekitarnya, agar dapat timbul “rasa aman dalam diri masyarakat”.(MR).-

Page 131: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1�1

BIODATA PENULIS

Bisman Bhaktiar: Ketua Tim Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam. Pendidikan: Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Magister Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Magister Manajemen pada Sekolah Pascasarjana Universitas Prof. DR. Hamka. Pekerjaan: Advokat dan Staf Ahli Komisi VII DPR RI (Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral, Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi). Saat ini juga sebagai Ketua Tim Ahli/Penyusun RUU Minyak dan Gas Bumi dan RUU Pertambangan Mineral dan Batubara di DPR RI. Selain itu, juga aktif sebagai Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP). Alamat: (1) Sekretariat Komisi VII DPR RI, Gedung Nusantara 1 Lt. 1 dan 2 Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta; (2) Rasuna Epicentrum, Epiwalk 5th Floor, Suite B 532 Jl. HR. Rasuna Said Kuningan, Jakarta Selatan, HP. 0�1315151123. Email: [email protected]

Erna Widjajati: dilahirkan tahun 195�. Memperoleh gelar Sarjana Hukum (S-1) dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada lulus tahun 19�4. Pendidikan pascasarjana (S-2) Magister Hukum dari Universitas Indonesia lulus tahun 1997. Jenjang Pendidikan: Jenjang Doktor (S-3) ditempuh di Universitas Indonesia lulus tahun 2004. Sedangkan gelar Guru Besar (Profesor) pada 1 Juli 2016 dalam bidang ilmu Hukum. Sebelum terjun di bidang pendidikan, pernah bekerja di PT. Ficorinvest Leasing Company dan PT. ASTRA International Corporation sejak tahun 19�5 sampai dengan tahun 19�7. Saat ini sebagai pengajar tetap di Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana Jakarta dan sebagai pengajar di berbagai perguruan tinggi lain di Jakarta. Selain banyak menulis di jurnal, juga menulis buku antara lain; Pengantar Ilmu Hukum (1997), Hukum di berbagai Negara (suatu perbandingan) (200�), Pengantar Hukum Dagang (2009), Hukum Pajak bagi Negara dan Masyarakat (2012), Hukum Perusahaan dan Kepailitan di Indonesia (2014), Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (2015), Pembaharuan Hukum dan Kebijakan Pajak di Indonesia (2016), dan Praktek Negosiasi Kontrak (2017).

Page 132: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Imam Budi Santoso, Riwayat Pendidikan: SDM Haurgeulis Indramayu, MTs Nurul Hikmah di Haurgeulis Indramayu, SMIKN di Tasikmalaya, Fakultas Hukum UNSIKA di Karawang, S2 STIH IBLAM di Depok, Mahasiswa S3 Program Doktor UNISBA. Riwayat Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang sejak 2002, Ketua Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum (LKBH) FH Unsika 2010-2014, Koorprodi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unsika 2014 – sekarang. Riwayat Organisasi: Wakil ketua Dewan Pengupahan Karawang periode 2005-2009, Wakil ketua Dewan Pengupahan Karawang periode 2009-2014, Anggota Badan penyelesaian Sengketa Konsumen Karawang 2011 – 2016, Sekretaris PERADI Karawang 2017 – 2022. Alamat: Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang. Tlp/ email: 0�12�760665/ [email protected]

Andreas Eno Tirtakusuma, Lahir di Malang, � April 1974, Riwayat Pendidikan: menyelesaikan Pendidikan S1 Hukum di Universitas Airlangga (Surabaya, 1997), Pendidikan S2 Universitas Indonesia (Jakarta, 2002), Pendidikan S3 Universitas Indonesia (Jakarta, 2014). Pendidikan lainnya: Pendidikan dan Latihan Dasar Militer XL III Resimen Mahasiswa MAHASURYA Jawa Timur (Malang, 1994), Latihan Integrasi Taruna Dewasa Nusantara XVII, Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) (Jambi, 1996), Pendidikan dan Pelatihan Advokat Angkatan V Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) (Jakarta, 2000), Seminar Internasional tentang “Criminal Justice System” BAPPENAS-UNAFEI-JICA-UI (Jakarta, 2002), Seminar Nasional tentang “Peran Hakim Dalam Penemuan Hukum” yang diselenggarakan oleh Universitas Airlangga, (Surabaya, 2012), Pelatihan IBA Asia Pacific Arbitration Group (APAG) “IBA APAG Training Day: Best Practices in International Arbitration” (Jakarta, 2015), Seminar Internasional tentang “Second Asia-based International Financial Law Conference” yang diselenggarakan oleh IBA (International Bar Association) Banking Law Committee bersama dengan IBA Securities Law Committee dengan bantuan IBA Asia Pacific Regional Forum (Singapore, 2016), Seminar Nasional H.U.T Ikatan Hakim Indonesia ke-63 tentang “Quo Vadis Undang-Undang KPK Pasca Revisi Ditunda” yang diselenggarakan oleh Ikatan Hakim Indonesia (Jakarta, 2016), Seminar Internasional tentang “Financial Crimes: The Way to Tackle Financial Crimes Through Various Perspectives” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Surabaya, 2016), Seminar Nasional tentang “Promoting

Page 133: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

Gender Justice And Rule of Law Through Regulations At The National Level” yang diselenggarakan oleh PGA (Parliamentarians Global Actions) (Jakarta, 2016). Seminar Nasional Sehari Bela Negara tentang “Ancaman Perang Asimetris Dan Peran Institusi Pendidikan sebagai Elemen Penting Bela Negara, ” yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Universitas Indonesia bekerja sama dengan Satuan Resimen Mahasiswa Universitas Indonesia (Wira Makara), Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi di Bidang Pelatihan Terpadu SPPA bagi APGAKUM bagi Instansi Terkait Angkatan VII (Depok, 2016), “International Coference on ‘Human Rights and Judiciary’ in Asia, ” yang diselenggarakan oleh University of Tsukuba (Tokyo, 2016). Pengangkatan sebagai Pengacara Praktik Berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan Tinggi Nomor PTJ Panjum 103/PH/2000 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pernah menjadi Associate Lawyer di Jusuf Indradewa & Partners Legal Consultant Jakarta. Menjadi Delegasi Indonesia dalam High-Level Thematic Debate of the UN General Assembly tentang “Human Rights at the centre of the global agenda” (New York, 2016). Pendiri dan sebagai Direktur Kantor Hukum Tirta & Mitra. Pendiri LBH Anak Jakarta. Pada saat ini juga mengajar dan menjadi dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Pancasila.

Laurensius Arliman S, Lahir di Bukittinggi, 22 April 1990. Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum pada Pascasarjana Universitas Andalas, dan saat ini berkarya di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Padang dan Peneliti di Lembaga Anti Korupsi Integritas. Gelar Sarjana Hukum (SH) diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Andalas tahun 2012, Sarjana Ekonomi (SE) dari Pelita Bangsa tahun 2013 dan memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKN) dari Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas tahun 2014, sedang mengikuti: 1) program Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Eka Sakti, 2) Ilmu Komunikasi di STISIP Padang. Mata kuliah yang diajarkan Hukum Tata Negara, Hak Asasi Manusia, Hukum Bisnis, Perlindungan Anak, Penegakan Hukum Dan Kesadaran Masyarakat, Sosiologi Hukum

Albertus Drepane Soge, Riwayat Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta lulus 2006, Magister Hukum Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta lulus 2009. Pendidikan Non Formal : Mei 2004 Mengikuti Study Tour di Kepolisian, Kejaksaan, dan Lembaga

BIODATA PENULIS

Page 134: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Pemasyarakatan Bali. Maret 200� Workshop “Legal Drafting”. Desember 2008 Mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Mediasi bersertifikat di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Publikasi/Penelitian: Tahun 2006, Pertimbangan-Pertimbangan Mahkamah Agung Dalam Putusan Bebas Terhadap Akbar Tanjung Ditinjau Dari Segi Hukum Pidana Materiil. (Penulisan Hukum S1). Tahun 200� Penyimpangan-Penyimpangan Instalasi Gas Medis Pada Sarana Pelayanan Kesehatan. Penerapan Mediasi di Pengadilan Pada Sengketa Dugaan Malpraktek. Penyidikan Forensik Pembunuhan Siswi SMA Stella Duce 1 Yogyakarta. Tulisan di Kolom Opini Kesehatan Koran Malang Post 25 Mei 2008 dengan judul “Pelayanan Kesehatan Profit Atau Prophet”. Tahun 2009 Penelusuran Yurisprudensi Kasus Dugaan Malpraktek Usus Buntu Pasienü “Y” di RS Panti Rapih. “Telaah Terhadap Penyelesaian Laporan Kasus Dugaan Pelanggaran Hukum Yang Dilakukan Tenaga Kesehatan Oleh Penyidik Polri Dari Segi Hukum Kesehatan (Studi di Wilayah Hukum Poltabes Yogyakarta dan Polres Sleman)”. Tahun 2015 – sekarang Area penelitian yang dikerjakan yaitu mengenai Hukum Tata Negara dan Otonomi Daerah; penelitian yang sudah dikerjakan yaitu “Kewenangan DPR RI dalam Mengajukan RUU dalam Kurun Waktu Tahun 2000- 2014”. Prestasi Dan Pengalaman Kerja: Mei 2009, sebagai: Ketua Panitia Pelaksana Seminar Nasional Penyelesaian Sengketa Medis / Malpraktek Yogyakarta. Email: albertus.soge@atmajaya: .ac.id / albertussoge��@gmail.com Blog : albertdeprane.blogspot.com

Lamtiur Hasianna Tampubolon, Name of Firm: Faculty of Business Administration, Communication and Hospitality Atma Jaya Catholic University. Membership in Professional Societies: - Forum for Indonesia Anthropological Studies (FKAI-Forum Kajian Antropologi Indonesia: 2004 – at present - Association of Indonesian Anthropologists: 2016-2021 Detailed tasks assigned: 2016 Penggunaan Dana Desa Ditinjau dari Aspek Hukum, Sosial, dan Budaya Masyarakat di Wilayah Kabupaten Ngada Provinsi NTT. Team Member 2015 Atma Jaya (April-December). Saung Angklung Udjo (SAU): A Study Of the Cultural-based Tourist Place and Its Contribution to Local Tourism. Project Leader 2014 Atma Jaya (October – December). Social Enterpreneurship. Project Leader 2014 Atma Jaya (June – August). Study on Social and Economics Condition of Sampora Village in Cisauk, Tangerang. Team Member 2013 PT Freeport Indonesia. Social Assessment Project on three (3) Desa. Project Leader 2010-2012 PT Freeport Indonesia (October

Page 135: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

- November). Baseline Study on Artisanal Gold Mining in Kabupaten Mimika, Papua. Consultant and Project Leader 2010-2013 IFCU (International Federation Catholic University). Studies on Policies and Practices in the Field of Drugs Use/Abuse: the Catholic University in Dialogue with Political and Social Actors. Team Member. 2010 International Finance Corporation (World Bank Group). Child Labor Risk Study in the Cocoa Supply Chain in Indonesia (MayJune). Individual Consultant. 2009-2010 UNFPA (December-February 2010). Study on Traditional Beliefs and Practices on Maternal Health in West Nusa Tenggara (NTB) Province. Individual Consultant. 2009 ILO-IPEC (November-December). Assessment on Monitoring Mechanism to Stop Employment of Children as Domestic Workers and Protection of Older Child Domestic Workers. Principle Investigator. 2009 Monash University (September-October). Determinants of Indonesian Labour Migration to Malaysia. Associate Researcher. 2009 World Vision Indonesia (June to August).

Dhevy Setya Wibawa, Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 1� Oktober 1965. Riwayat Pendidikan: Doktor di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Sosiologi, Universitas Indonesia Tahun 2012, Master of Science (Msi). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Sosiologi, Universitas Indonesia Tahun 2000, Sarjana bidang Sosiologi, Fisipol Universitas Gadjah Mada Tahun 1991. Pengalaman Kerja: Kepala Bagian Psikologi Sosial dan Komunitas, Fakultas Psikologi Unika Indonesia Atma Jaya Tahun 2015 – saat ini, Kepala Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Universitas Katholik Indonesia Atma Jaya Tahun 2013- 2015, ini Staf Pengajar Tidak Tetap pada FKIP, Program Studi Teologi, Unika Indonesia Atma Jaya Tahun 1992 – saat ini, Staf Pengajar Luar Biasa pada Fakultas Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina Tahun 2001 – saat. Pengalaman Penelitian & Penyusunan Modul: Penelitian Evaluasi mengenai Pendampingan Keluarga di Paroki-paroki Keuskupan Agung Jakarta Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Tahun 2015, Penelitian Evaluasi Proyek I am Young with Choices. IPPF Choices Fund di tiga kota : Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar Tahun 2015, Anggota Tim Analisis Data Keuskupan. Konferensi Waligereja Indonesia Tahun 2014 – saat ini, Penelitian Analisis Situasional Panti Asuhan Perhimpunan Vincentius Jakarta Tahun 2014, Penelitian Yayasan Danamon Peduli. Pengalaman Pelatihan: Fasilitator pada Pembekalan Mahasiswa Baru tahun 2015 ”Mahasiswa Baru Maju dan Berkembang Bersama

BIODATA PENULIS

Page 136: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

SELISIK - Volume �, Nomor �, Juni �017

Unika Atma Jaya, 3-4 Agustus 2015. Fasilitator pada Lokakarya Penelitian Karya Tarekat MSF Di Lima Paroki di Kalimantan, Banjarmasin, 3-6 September 2015. Pembicara pada Pertemuan Forum Dekenat Barat 2 tentang Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) sebagai Metode Pengumpulan Data, 7 Pebruari 2015. Publikasi: Moeliono, Laurike, Wibawa, Dhevy S., Moeliono, Veronica, Laporan Evaluasi Proyek I am Young with Choices, IPPF Choices Fund di tiga kota: Bandung, Yogyakarta, Denpasar, PKBI, Jakarta, 2015. Ajisuksmo, Clara R.P, Wibawa, Dhevy S, Pramono, Herry, Nillasari, dan Han Lie Analisis Situasional Panti Asuhan Perhimpunan Vincentius Jakarta Tahun 2014. Wibawa, Dhevy S, Pramono, Herry, D. Rapid Appraisal Program Pasar Sejahtera Yayasan Danamon Peduli di Pasar Sindangkasih Kabupaten Majalengka Jawa Barat, Tahun 2014.

Mawardi Khairi, Tempat, Tanggal Lahir, Tetebatu, 31 Desember 1985. Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan-Kalimantan Utara. Riwayat Pendidikan: Sekolah Dasar Negeri 2 Tetebatu Lulus 19��, SLTP Negeri 3 Sikur lulus 2001, SLTA/SMU At-Tohiriyah Al-Fadiliyah lulus 2004, S1 Hukum Acara di Universitas Mataram lulus 200�, S2 Hukum Pemerintahan di Universitas Mataram lulus 2011. Pendidikan dan Latihan: Pendidikan Khusus Profesi Advokad KAI Nusa Tenggara Barat tahun 2012, Pelatihan E-Learning Universitas Borneo Tarakan tahun 2015, Pekerti Dosen Universitas Borneo Tarakan tahun 2016, Diklat Prajabatan Golongan III Pusdiklat Kemenristekdikti RI tahun 2016. Pengalaman Organisasi: Nusra Institute Sekretaris Umum Organisasi Riset di Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015. Alamat Rumah: Jln.Seruni No.26 Lingkungan Karang Taruna – Kelurahan Mataram Barat-Kecamatan Selaparang-Kota Mataram-Nusa Tenggara Barat. NomorTelepon/HP: 0�2236016459. Alamat E-mail: [email protected]

Mardjono Reksodiputro: Lahir di Blitar Jawa Timur, 13 Maret 1937, memperoleh gelar Guru Besar dari Universitas Indonesia tahun 1992, Master of Art (M.A) diselesaikan di Universitas of Pennsylvania dengan pendalaman Ilmu Kriminologi. Sarjana Hukum (S.H) diperoleh di Universitas Indonesia tahun 1961. Departemen Kriminologi FISIP UI secara khusus memberikan penghargaan dengan mengabadikan namanya untuk sebuah nama gedung di kampus Universitas Indonesia Salemba atas dedikasi, pengabdian dan kontibusi pemikirannya dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana, dimana gedung tersebut

Page 137: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1�7

diresmikan pada tahun 2009. Dalam khasanah akademik beberapa posisi strategis pernah diembannya, antara lain: Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (1996-2006); Sekretaris dan kemudian menjadi Ketua Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990-2002); Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (19�4-1990). Sejak tahun 2001-2014 aktif sebagai komisioner sekaligus sebagai Sekretaris Komisi Hukum Nasional (KHN). Saat ini sampai tahun 201� dipercaya sebagai Ketua Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Beberapa karya yang sudah dubukukan antara lain: Menyelaraskan Pembaruan Hukum, Penerbit Komisi Hukum Nasional, Desember 2009; Perenungan Reformasi Hukum, Penerbit Komisi Hukum Nasional, November 2013. Di luar aktifitas akademik menjalani aktifitas di Teman Serikat pada Kantor Konsultan Hukum Ali Budiardjo Nugroho Reksodiputro.

-

BIODATA PENULIS

Page 138: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

PEDOMAN PENULISANJURNAL SELISIK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA

Jurnal Selisik merupakan media yang diterbitkan oleh Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila. Secara khusus Jurnal Selisik dimaksudkan untuk menyemaikan pelbagai pemikiran, kajian dan hasil-hasil penelitian diantara bidang Hukum dan Bisnis. Persoalan Hukum dan Bisnis menjadi tema sentral dari Jurnal Selisik, terutama mengenai hubungan hukum dan bisnis dengan ragam cabangnya. Sementara secara umum Jurnal Selisik juga memfasilitasi beragam persoalan hukum lainnya, seperti persoalan ketatanegaraan, konstitusi dan disiplin ilmu hukum lainnya. Jurnal Selisik ditujukan kepada pelbagai pemangku kepentingan, antara lain akademisi, praktisi, penyelenggara negara, LSM dan lain sebagainya yang memiliki perhatian yang sama dengan Jurnal Selisik.

Syarat dan Pedoman Tulisan dapat dilihat dibawah ini:1. Naskah yang dikirim merupakan karya ilmiah asli (original) dan tidak mengandung

unsur plagiarisme2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia sepanjang 10-20 halaman, kertas ukuran A4,

jenis huruf Times New Roman dengan font 12, spasi 1, 5. Menggunakan bahasa baku, baik dan benar.

3. Sistematika penulisan artikel Hasil Penelitian mencakup: Judul artikel, Nama Penulis, Lembaga Penulis, Alamat Lembaga Penulis, Alamat Email Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan (berisi, latar belakang masalah, permasalahan, dan metode penelitian), Pembahasan (berisi, hasil penelitian, analisis dan sub-sub bahasan), Kesimpulan (berisi simpulan dan saran), Daftar Pustaka, dan terakhir Curriculum Vitae penulis.

4. Untuk sistematika artikel Kajian Konseptual terdiri: Judul Artikel, Nama Penulis, Lembaga Penulis, Alamat Lembaga Penulis, Alamat Email Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Pembahasan (analisis dan sub-sub bahasan), Kesimpulan (berisi simpulan dan saran), Daftar Pustaka, dan terakhir curriculum vitae penulis.

5. Judul dibuat dengan spesifik, lugas, tidak lebih dari 12 kata dan menggambarkan isi artikel secara menyeluruh.

6. Abstrak ditulis secara gamblang, utuh, dan lengkap yang menggambarkan substansi isi keseluruhan artikel dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, masing-masing satu paragraf.

7. Kata kunci (key word) yang dipilih harus mencerminkan konsep yang dikandung artikel sejumlah 3-5 istilah.

�. Cara pengacuan dan pengutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes)9. Daftar pustaka memuat daftar buku, jurnal, makalah/paper/orasi ilmiah, baik cetak

maupun online yang dikutip dalam naskah, disusun secara alfabetis (a-to z) dengan susunan: Nama Penulis (mendahulukan nama keluarga/marga), tahun, judul, tempat penerbitan: penerbit, dst.

10. Naskah diketik dalam bentuk file document (doc) dikirim melalui email: [email protected] atau melalui pos kepada: Redaksi Jurnal Selisik Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila, Jl. Borobudur no. 07 Jakarta 10320 Telp (021) 3919013 Fak. (021) 31922267.

Page 139: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral

1��

Jurnal Selisik merupakan media yang diterbitkan oleh Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila. Dengan ragam gagasan di bidang hukum dan bisnis yang menjadi semacam core Jurnal Selisik, maka Jurnal Selisik bermaksud menjadi informasi mengenai persoalan-persoalan Hukum yang bertalian dengan Bisnis, maupun kajian hukum dan bisnis yang memiliki disiplin dan cabangnya masing-masing Jurnal Selisik juga diharapkan dapat menyemaikan pemikiran-pemikiran kritis, segar dan menjadi alternatif yang mendorong semangat keilmuwan dengan paradigma kemajuan dan kebaruan. Jurnal Selisik di proyeksikan menjadi kanalisasi dari hasil-hasil penelitian dan gagasan

orisinil dalam bidang hukum dan bisnis

2015 Program Magister Ilmu Hukum Terbit dua kali setahun

ISSN Universitas Pancasila Harga: Rp ................................

FORM BERLANGGANAN

Kepada Yth.Sekretariat Redaksi Jurnal SelisikJl. Borobudur N0. 7 Jakarta 10320 Telp (021) 391913, Fax (021) 31922267Email: [email protected]; [email protected]

Saya ingin berlangganan Jurnal Selisike edisi No ......................... Tahun .............Harga Jurnal Selisik untuk 1 edisi Rp................................................................(Harga belum termasuk ongkos kirim)Akan saya transfer ke Rekening Jurnal selisik

Nama pelanggan : .............................................................................................Umur : ........................ Pekerjaan : .............................................................................................Alamat pengiriman : ............................................................................................. .............................................................................................Kota/Propinsi : ............................................................ Kode Pos ...............Telp. : .............................................................. Fax. : ..............................................................E-mail : ..............................................................

PEDOMAN PENULISAN JURNAL SELISIK

Page 140: Dewan Redaksi DAFTAR ISImagisterhukum.univpancasila.ac.id/wp-content/.../Jurnal-SELISIK-5.pdf · DAFTAR ISI DARI REDAKSI: ... and Regulation of the Minister of Energy and Mineral