diagnosis dan penatalaksanaan syndrome steven

Upload: syahril-zainuddin

Post on 13-Jan-2016

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kedokteran

TRANSCRIPT

  • Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Referat

    Fakultas Kedokteran Juli 2015

    Universitas Hasanuddin

    DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN SJS/TEN

    Muhammad Fauzi Abdila

    C111 11 105

    Pembimbing

    dr. Asvina Anis Anwar

    Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

    Pada Bagian Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin

    Fakultas Kedokteran

    Universitas Hasanuddin

    Makassar

    2015

  • LEMBAR PENGESAHAN

    Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa:

    Nama : Muhammad Fauzi Abdila

    Nim : C111 11 105

    Judul referat : Diagnosis dan Tatalaksana SJS/TEN

    Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian ilmu

    kesehatan kulit dan kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

    Makassar, Juli 2015

    Mengerahui,

    Pembimbing

    dr. Asvina Anis Anwar

  • DAFTAR ISI..................................................................................................i

    HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................ii

    DAFTAR ISI..................................................................................................iii

    I. PENDAHULUAN.......................................................................1

    II. DEFINISI.....................................................................................1

    III. EPIDEMOLOGI...........................................................................2

    IV. ETIOLOGI....................................................................................2

    V. PATOGENESIS............................................................................2

    VI. GEJALA KLINIS..........................................................................4

    VII. DIAGNOSIS................................................................................. 5

    VIII. PENATALAKSANAAN...............................................................7

    IX. DIAGNOSIS BANDING...............................................................9

    X. PROGNOSIS..................................................................................9

    DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................10

  • I. Pendahuluan

    Nekrosis epidermal toksis dan syndrome steven-johnson adalah suatu

    reaksi parah yang diakibatkan oleh obat-obatan pada daerah kulit dan

    mukosa. Kedua penyakitin ini jarang ditemukan . kasus SJS/TEN

    diperkirakan 2/1.000.000 per tahun. Keduanya dikatakan sebagai penyakit

    emergensi karena memiliki potensi fatal. Keduanya digambarkan dengan

    tendernes pada mukosa dan erosi hemoragik, eritema, dan bila kondisi

    lebih parah biasa ditemukan detachment epidermal yang tampak seperti

    blister.saat ini SJS/TEN dikatakan sebagai spektrum bawah dan spektrum

    atas dari reaksi erupsi obat pada kulit yang kronis. Obat sering

    diidentifikasi sebagai penyebab utama dari SJS/TEN namun mycoplasma

    pneumoniae dan herpes simpleks virus juga tercatat sebagai salah satu

    etiologi pada kasus langka. Obat-obatan yang memiliki resiko tinggi untuk

    menyebabkan SJS/TEN adalah Allopurinol,trimethoprim-sulfamethoxazole

    dan antibiotik golongan sulfa lainnya, aminopenicilin, cephalosporin,

    quinolon,carbamazepine, phenytoin, phenobarbital, dan NSAID tipe

    oxicam.

    II. Definisi

    Sindroma steven-johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput

    lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan

    sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bulla, dapat pula

    berbentuk purpura.

    Nekrolisis epidermal toksik atau syndrome lyell umumnya merupakan

    penyakit yang lebih berat daripada sindroma steven-johnson. Sehingga jika

    pengobatan tidak cepat dan tepat maka sering menyebabkan kematian.

    Insidensnya juga makin meningkat karena penyebab utamanya alergi obat

    dan hampir semua obat dapat dibeli bebas. Gejala kulit yang terpenting

    adalah epidermosis generalisata, dapat disertai dengan kelainan mukosa di

    orifisium dan mata.

  • III. Epidemologi

    Insidensi SSJ/NET diperkirakan 2-3 persen per 1 juta populasi setiap tahun

    di eropa dan amerika serikat. Umumnya terdapat pada dewasa. Namun

    pada NET penyakit ini lebih jarang biasa 2-3 kasus per tahun

    IV. Etiologi

    Obat-obatan adalah penyebab paling umum (phenytoin,

    phenobarbital,sulfonamides, penicilin). Penyakit ini sering ditemukan pada

    pasien yang dirawat dengan keluhan kejang, ispa. Penyakit gastrointestinal,

    infeksi mycoplasma pneumoniae dan herpes simpleks virus. Penyebabnya

    harus diamati dengan teliti untuk mencegah rekurensi.

    Penyebab utama adalah alergi obat, lebih dari 50 persen. Sebagian kecil

    karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan

    radiasi. Pada penelitian Adhi Djuanda selama 5 tahun (1998-2002) SSJ

    yang diduga alergi obat tersering adalah analgetik/antipiretik ( 45 %) ,

    disusul dengan karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Sebagian besar

    jamu dibubuhi obat. Kausa lain adalah amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin,

    klorokuin, dan adiktif.

    V. Patogenesis

    Patogenesis belum jelas, mungkin disebabkan oleh reaksi alergi tipe III

    dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen

    antibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistim

    komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian

    melepaskan lisosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ

    saluran. (target organ)

    Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitasi berkontak

    kembali dengan antigen yang sama. Kemudian limfokin dilepaskan

    sehingga terjadi reaksi radang

    Pasien yang mengalami SHO memiliki sel limfosit T yang teraktivasi

    dalam sirkulasinya. Sel limfosit T yang spesifik terstimulasi dengan konsep

    (pharmacological interaction with immune receptors) menghasilkan

  • interleukin 5 (IL- 5) dan interferon gamma (IFN-g). Interleukin 5

    merupakan faktor kunci dalam pengaturan pertumbuhan, diferensiasi, dan

    aktivasi eosinofil. Sementara itu IFN-g memiliki peran dalam up regulation

    major histocompatibility complex (MHC) kelas II pada keratinosit. Aktivasi

    MHC kelas II tersebut selanjutnya akan mempresentasikan obat ke sel T

    CD4+.15 Konsep p-i menjelaskan bahwa obat memiliki kesesuaian

    terhadap protein atau enzim tertentu sehingga mempengaruhi kerjanya.

    Beberapa jenis obat dapat langsung berikatan dengan reseptor pada sel T.

    Interaksi antara obat dengan sel T akan mengaktifkan respon imun. Oleh

    karena itu terkadang reaksi yang timbul tidak mengikuti kaidah respon

    imun yang ada, yaitu reaksi dapat terjadi pada paparan pertama tanpa

    memerlukan proses sensitisasi sebelumnya. Penjelasan lain adalah pada

    reaksi eksantema makulopapular, reaksi yang berperan didominasi oleh

    aktivasi sel T helper 2 (Th2) (reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang terkait

    dengan sekresi IL-4, IL-5, serta IL 13. Selain itu juga terdapat hubungan

    dengan reaksi alergi tipe I, yaitu sekresi IL-4 dan IL-13 akan meningkatkan

    produksi IgE. Manifestasi klinis yang muncul pada pasien SHO baik pada

    kulit maupun organ terkait dengan peningkatan proliferasi klon limfosit T

    CD8 yang telah teraktivasi terhadap antigen virus sebelumnya oleh obat

    pencetus. Dugaan keterlibatan infeksi virus tersebut juga berdasarkan

    gambaran klinis pasien SHO yaitu adanya demam, edema pada wajah,

    limfadenopati, monositosis, mononukleosis, serta hepatitis yang konsisten

    dengan gambaran infeksi virus.16 Picard et al16 memperlihatkan bahwa

    sekitar 76% pasien SHO mengalami reaktivasi terhadap EBV, HHV-6, dan

    HHV-7. Limfosit T CD8 akan meningkat jumlahnya di dalam darah

    serta jaringan yang terlibat seperti kulit, hati, maupun paru.Selain itu

    limfosit T CD8 meningkatkan sekresi sitokin yaitu TNF-a, IL-2, dan IFN-g.

    Tingginya produksi sitokin tersebut terkait dengan gangguan organ dalam

    yang lebih berat. Peningkatan kadar berbagai mediator inflamasi tersebut

    bertahan selama kurang lebih 3 bulan. Hal tersebut mungkin menjelaskan

    memanjangnya periode gejala klinis yang dialami pasien SHO meskipun

    obat pencetus telah dihentikan. Keterlibatan paru serta hipereosinofilia

    yang terjadi dikaitkan dengan peningkatan transkripsi IL-17. Peningkatan

    aktivitas transkripsi IL-17 tersebut sedikit berbeda dengan peneliti lain

  • yang memperlihatkan bahwa IL-5 lebih berperan dalam terjadinya

    hipereosinofilia.

    VI. Gejala klinis

    Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat di sertai gejala

    prodromal berupa demam tinggi ( 30 C 40 C ), mulai nyeri kepala, batuk ,pilek dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung 2 minggu.

    Gejala gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah,

    kelemahan yang hebat serta menurunnya kesadaran, soporous sampai koma.

    Pada sindroma ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

    a. Kelainan kulit.

    b. Kelainan selaput lendir di orifisium.

    c. Kelainan mata.

    Kelainan pada kulit dapat berupa Eritema, vesikal, dan bulla.

    Eritema berbentuk cincin (pinggir Eritema tengahnya relative

    hiperpigmentasi ) yang berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler

    berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil.

    Vesikel kecil dan Bulla kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang

    luas. Disamping itu dapat juga terjadi Erupsi Hemorragis berupa Ptechiae

    atau Purpura. Bila disertai Purpura prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada

    keadaan yang berat kelainannya menjadi Generalisata. Kelainan selaput

    lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa mulut / bibir (100%),

    kemudian disusul dengan kelainan dilubang alat genetalia (50%),

    sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing masing 8%-4%). Kelainan yang terjadi berupa Stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah,

    mukosa mulut bagian Buccal Stomatitis merupakan gejala yang dini dan

    menyolok.

    Stomatitis ini kemudian menjadi lebih berat dengan pecahnya vesikel

    dan Bulla sehingga terjadi erosi, excoriasi, pendarahan, ulcerasi dan

    terbentuk krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir

    kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.

    Adanya stomatitis ini dapat menyebabkan penderitaan sukar menelan.

    Kelainan Dimukosa dapat juga terjadi di Faring, Traktus Respiratorius

    bagian atas dan Esophagus. Terbentuknya Pseudo membrane di Faring

    dapat memberikan keluhan sukar bernafas dan penderita tidak dapat makan

    dan minum. Kelainan pada mata merupakan 80% diantar semua kasus,

    yang sering terjadi ialah Conjunctivitis Kataralis. Selain itu dapat terjadi

    Conjunctivitis Purulen, pendarahan, Simblefaron ,

  • Ulcus Cornea, Iritis/Iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan

    sehingga dikenal trias yaitu Stomatitis, Conjuntivitis, Balanitis, Uretritis.

    Pernah dilaporkan pada beberapa kasus dapat tanpa disertai kelainan kulit,

    penderita ini hanya menunjukan Stomatitis, Rhinitis dengan Epistaxis,

    Conjunctivitis dan kadang kadang Uretritis. Tapi pada hamper semua kasus diikuti kelainan kulit berupa Vesiko Bulosa atau Erupsi

    Hemorrhagis, khususnya pada wajah, tangan dankuku. Selain trias kelainan

    diatas organorgan dalam juga dapat di serang, misalnya paru,Gastrointestinal, Ginjal (Nefritis) dan Onikolisis.

    Gambar 1 Gambar 2

    Gambar 1 adalah TEN parah. Terlihat lapisan kulit terkelupas dan eritem

    Gambar 2 adala SJS pada lapisan mukosa mata dan bibir yang tampak

    terkelupas dan kering

    VII. Diagnosis

    Diagnosa dapat dibuat berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis. Pada

    Anamnesa hendaknya ditanyakan secara teliti apakah ada hubungannya

    dengan alergi obat secara sistemik. Pada kasuskasus dimana telah

    mengalami dua kali reaksi alergi dengan obat yang sama membuktikan

    bahwa memang obat tersebutlah yang menjadi penyebabnya.

    Gambaran Klinis khas berupa adanya trias kelainan yaitu kelainan pada

    kulit, selaput lendir orifisium dan mata. Keadaan Umum penderita

    bervariasi dari ringan sampai berat. Pemeriksaan laboratorium darah dapat

    membantu memperkirakan kemungkinan

  • penyebab meskipun tidak khas. Jika terdapat lekositosis menunjukkan

    penyebabnya kemungkinan karena infeksi. Bila terdapat Eosinofilia

    kemungkinan karena alergi. Jika

    disangka penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.

    Pemeriksaan histopatologi Gambaran Histopatologinya sesuai dengan Eritema Multiforme, bervariasi

    dari perubahan Dermal yang ringan sampai Nekrolisis Epidermal yang

    menyeluruh. Kelainan berupa :

    1. Infiltrat Sel Mononuklear disekitar pembuluh pembuluh darah Dermis Superfisial.

    2. Edema dan Ekstravasasi sel darah merah di Dermis Papular.

    3. Degenerasi Hidrofik lapisan Basalis sampai terbentuk Vesikel

    Subepidermal.

    4. Nekrosis sel Epidermal dan kadang-kadang di Adnexa.

    5. Spongiosis dan Edema Interasel di Epidermis.

    Pemeriksaan histopatologi tidak penting untuk diagnosis, karena

    kelainannya sesuai dengan Eritema Multiforme

    Gambar 3 gambar 4

    Kedua gambar diatas adalah gambar daripada TEN. Gambar 3 adalah

    gambaran TEN pada fase awal. Tampak epideris dengan sedikit tanda-

    tanda inflamasi. Gambar 4 adalah gambaran TEN kronik. Terlihat

    epidermis sudah terlepas dari dermis.\

  • VIII. Tatalaksana

    Steven Johnson sindrom

    1. Kortikosteroid

    Penggunaan obat Kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada

    Sindrom Stevens Johnson yang ringan cukup diobati dengan Prednison dengan dosis 30-40mg/hari. Pada bentuk yang berat, ditandai dengan

    kesadaran yang menurun dan kelainan yang menyeluruh, digunakan

    Dexametason intravena dengan dosis awal 4-6x5 mg/hari. Setelah beberapa

    hari (2-3 hari) biasanya mulai tampak perbaikan (masa kritis telah

    teratasi),ditandai dengan keadaan umum yang membaik,lesi kulit yang baru

    tidak timbul sedangkan lesi yang lama mengalami Involusi. Pada saat

    ini dosis Dexametason diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan

    sebanyak 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan

    tablet Prednison yang diberikan pada keesokan harinya dengan dosis 20 mg

    sehari. Pada hari berikutnya dosis diturunkan menjadi 10 mg, kemudian

    obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.

    2.Antibiotika

    Penggunaan Antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi

    akibat efek Imunosupresif Kortikosteroid yang dipakai pada dosis tinggi.

    Antibiotika yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi,

    berspektrum luas dan bersifat bakterisidal. Di RS Cipto mangunkusumo

    dahulu biasa digunakan Gentamisin dengan dosis 2 x 60-80 mg/hari.

    Sekarang dipakai Netilmisin Sulfat dengan dosis 6 mg/kg BB/hari,dosis

    dibagi dua. Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa kasus

    mulai resisten terhadap Gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil

    dibandingkan Gentamisin.

    3. Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi.

    Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran atau

    bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan serta

    kesadaran yang menurun. Untuk ini dapat diberikan infuse berupa Glukosa

    5% atau larutan Darrow. Pada pemberian Kortikosteroid terjadi retensi

    Natrium, kehilangan Kalium dan efek Katabolik. Untuk mengurangi efek

    samping ini perlu diberikan diet tinggi protein dan rendah garam, KCl 3 x

    500mg/ hari dan obat-obat Anabolik. Untuk mencegah penekanan

    korteks kelenjar Adrenal diberikan ACTH (Synacthen depot) dengan dosis

    1 mg/ hari setiap minggu dimulai setelah pemberian Kortikosteroid.

  • 4. Transfusi Darah

    Bila dengan terapi diatas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3

    hari, maka dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300-500 cc setiap hari

    selama 2 hari berturut-turut. Tujuan pemberian darah ini untuk

    memperbaiki keadaan umum dan menggantikan kehilangan darah pada

    kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus Purpura yang luas dapat

    ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari intravena dan obat-

    obat Hemostatik.

    5.Perawatan Topikal

    Untuk lesi kulit yang erosive dapat diberikan Sofratulle yang bersifat

    sebagai protektif dan antiseptic atau Krem Sulfadiazin Perak. Sedangkan

    untuk lesi dimulut/bibir dapat diolesi dengan Kenalog in Orabase. Selain

    pengobatan diatas, perlu dilakukan konsultasi pada beberapa bagian yaitu

    ke bagian THT untuk mengetahui apakah ada kelainan di Faring,karena

    kadang-kadang terbentuk pseudomembran yang dapat menyulitkan

    penderita bernafas dan sebagaian penyakit dalam. Pemeriksaan sinar X

    Thoraks perlu dilakukan untuk mengetahui apakah ada kelainan pada paru,

    misalnya tuberculosis atau Bronchopneumonia Aspesifik.

    Nekrolisis Epidermal Toksik

    Cara pengobatan mirip dengan pengobatan Steven-johnson sindrom.

    Perbedaanya terletak pada dosisnya. NET lebih parah dibandingkan dengan

    SSJ sehingga kortikosteroid diberi dengan dosis lebih tinggi. Umumnya

    dexamethasone 40 mg per hari iv dosis terbagi. Apabila timbul lesi baru

    mulai pertimbangkan apakah pasien alergi terhadap obat lain yang

    diberikan seperti antibiotik atau obat lainnya. Bila terjadi maka gantikan

    obat itu dengan obat lain. Untuk pengobatan topikal dapat diberikan

    sulfadiazin perak dengan tujuan menekan/mencegah/mengobati lesi dari

    bakteri gram +, gram-, dan candida. Untuk perawatan lainnya sama dengan

    SSJ

  • IX. Diagnosis banding

    1. Pemfigus Vulgaris

    Sering dijumpai pada orang dewasa, keadaan umum buruk, tidak gatal, bula

    berdinding kendor dan biasanya generalisata.

    2. Pemfigoid Bulosa

    Pada penyakit ini keadaan umumnya baik, dinding bula tegang, letaknya

    subepidermal.

    3. Dermatitis Herpertiformis

    Didapatkan keadaan umum yang baik, keluhan dengan gatal dan dinding

    vesikel/bula tegang dan berkelompok.

    X, Prognosis

    Steven-johnson syndrome.

    Bila tindakan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan.

    Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk.

    Pada kondisi umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit

    ini dapat menyebakan kematian

    .

    Nekrolisis epidermal toksis

    Jika penyebabnya infeksi ,maka prognosisnya baik.daripada jika

    disebabkan alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit luas, meliputi 50-

    70% permukaan kulit, prognosisnya buruk. Juga bila terdapat purpura yang

    luas dan leukopenia.

  • DAFTAR PUSTAKA

    1. Thomas Harr LEF. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome. med central. 2010.halaman 1

    2. prof. Dr. dr. Adhi Djuanda dMH, Prof. Dr. dr. Siti Aisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Indonesia FKU, editor. jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.halaman 163,165,166,168

    3. Rahmat Cahyanur SK, Nanang Sukmana. Sindrom Hipersensitivitas Obat. J Indon Med assoc. 2011;61(4). Epub April 2011.halaman 181-182

    4. Lowell A. Goldsmith sIk, barbara A. Gilchrest. Amy S. Paller, David J. Leffell, Klaus Wolff. Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. USA: Mc Graw Hill; 2012. Halaman 647, 649

    5. Monica. sindrom stevenss-johnson. universitas wijaya kusuma surabaya halaman 1, 4-5