diajukan sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar...
TRANSCRIPT
DISTRIBUSI SUMBER KERACUNAN PANGAN DI DKI
JAKARTA BERDASARKAN LAPORAN KASUS SENTRA
INFORMASI KERACUNAN NASIONAL – BPOM RI
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh :
Fatikhatul Mabruroh
1113101000020
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/ 1439 H
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakulas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakulas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya asli
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Fakulas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 November 2017
Fatikhatul Mabruroh
NIM. 1113101000020
7
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, Januari 2018
Fatikhatul Mabruroh, NIM. 1113101000020
Distribusi Sumber Keracunan Pangan di Dki Jakarta Berdasarkan Laporan
Kasus Sentra Informasi Keracunan Nasional – BPOM RI
(xv + 120 halaman + 4 bagan + 3 diagram + 7 tabel + 6 lampiran)
ABSTRAK
Abstrak
Keracunan pangan merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
DKI Jakarta adalah salah satu provinsi yang memiliki jumlah kasus dan
kelengkapan laporan yang lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya yaitu masing
– masing 213 kasus dan 94.6%. BPOM yang merupakan sumber data dalam
penelitian ini telah melakukan analisis terhadap data yang ada, namun hanya sampai
pada analisis deskriptif. Sehingga tujuan penelitian ini melakukan analisis analitik
keracunan pangan di DKI Jakarta pada tahun 2016 dengan menggunakan data
laporan keracunan pangan Siker Nasional BPOM – RI.
Penelitian ini adalah melakukan analisis lanjutan yang dilakukan oleh BPOM
– RI dengan menggunakan desain studi cross – sectional dengan pendekatan
kuantitaif. Jumlah sampel adalah 208 kasus dengan menerapkan kriteria inklusi.
Adapun analisis yang digunakan adalah analisis desktiptif bertahap.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keracunan pangan banyak terjadi
pada kelompok umur yang memiliki tingkat imunitas optimum (92.3%), perempuan
(51.4%) dan pada musim kemarau (62%). Sedangkan jenis pangan yang banyak
menyebabkan keracunan pangan adalah seafood dan ikan – ikanan (52.4%) dengan
sumber keracunan adalah rumah tangga (46.2%). Pada laki – laki dan perempuan,
keracunan pangan banyak disebabkan karena mengonsumsi seafood dan ikan –
ikanan (laki – laki 43.6% dan perempuan 60.7%) yang bersumber dari rumah tangga
(laki – laki 56.8% dan perempuan 52.3 %) dan jasa boga (laki – laki 29.5% dan
perempuan 43.0%). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk
BPOM dalam menentukan upaya pencegahan keracunan pangan di Indonesia.
Kata kunci : Keracunan pangan, status imunitas, jenis kelamin dan musim
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION
Undergraduated Thesis, January 2018
Fatikhatul Mabruroh, ID Number 1113101000020
Distribution of Food Poisoning Sources in DKI Jakarta Based on Case Reports
of Poisoning Information Centers - INADFC
(xv + 120 pages + 4 charts + 3 diagrams + 7 tables + 6 attachments)
Abstract
Food poisoning is a public health problem in Indonesia. DKI Jakarta is one
of the provinces that has a higher number of cases and reports completeness than
other provinces 213 cases and 94.6% respectively. BPOM which is the source of
data in this study has done an analysis of existing data, but only up to the descriptive
analysis. So the purpose of this study was to analyze the food poisoning analytics
in DKI Jakarta in 2016 using the report of food poisoning report Indonesian
National Agency Drug and Food Control (INADFC).
This research is doing continuation analysis conducted by BPOM - RI by
using cross-sectional study design with quantitative approach. The sample size was
208 cases by applying inclusion criteria. The sample size was 208 cases by applying
inclusion criteria. The analysis used is a path-descriptive analysis.
The results of this study indicate that food poisoning occurs in the optimum
immune age group (92.3%), females (51.4%) and in the dry season (62%). While
the type of food that causes food poisoning is seafood and fishes (52.4%) with the
source of poisoning is the household (46.2%). In men and women, food poisoning
is caused by eating seafood and fish (men 43.6% and women 60.7%) sourced from
households (men 56.8% and women 52.3%) and catering (men - 29.5% male and
female 43.0%). The results of this study are expected to be input to INADFC in
determining the prevention of food poisoning in Indonesia.
Keywords: Food Poisoning, immunity status, sex and season
v
RIWAYAT HIDUP
Biodata Personal
Nama : Fatikhatul Mabruroh
TTL : Jombang, 04 Maret 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
No. Hp : 0858-6602-7518
Alamat : Kandangan Rt 01/10, Gondangmanis, Bandar
Kedungmulyo, Jombang, Jawa Timur. Kode Pos 61624
Alamat Email : [email protected]
Nama Orang Tua : H. Mahmud dan Siti Masithoh
Pendidikan Formal
2013 – sekarang : Peminatan Epidemiologi, Program Studi Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2010 – 2013 : MAN Tambakberas Jombang
2007 – 2010 : MTsN Tambakberas Jombang
2001 – 2007 : MI Al-Hikmah Gondangmanis
1999 – 2001 : Raudlatul Athfal Gondangmanis
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Skripsi
ANALISIS KERACUNAN PANGAN
vi
DI DKI JAKARTAHUN 2016
(LAPORAN KASUS SENTRA INFORMASI KERACUNAN NASIONAL –
BPOM RI)
Telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, November 2017
Disusun Oleh:
FATIKHATUL MABRUROH
NIM. 1113101000020
Pembimbing
Ratri Ciptaningtyas, MHS
NIP. 19840404 200912 2 007
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2017 M/ 1438 H
vii
viii
Kupersembahkan skripsi ini untuk
abah (allahummaghfirlahu), ibuk dan masku yang selalu
memberikan do’a, harapan, semangat dan segalanya yang
terbaik.
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat,
rahim dan hidayahNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul “Karakeristik Keracunan Pangan di DKI Jakarta
Tahun 2016 (Laporan Kasus Sentra Informasi Keracunan Nasional – BPOM
RI)”. Serta semoga sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada,
1. Abahku H. Mahmud (alm), ibukku Siti Masithoh dan masku Moh.
Miftachul Abror yang senantiasa memberikan segalanya yang terbaik. Baik
moril, materil, doa, dan semangat yang terus mengalir tiada henti kepada
penulis.
2. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS. selaku pembimbing skripsi yang selalu sabar
memberikan ilmu, waktu, bimbingan, arahan, masukan, dan do’a kepada
penulis.
3. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes. sebagai pembimbing akademik telah
memberikan waktu dan arahannya kepada penulis selama masa perkuliahan.
4. Bapak Prof. Dr. Arif Sumantri, M.Kes. selaku dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, M.Kes. dan Ibu Hoirun Nisa, Ph.D. serta
dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat lainnya yang telah banyak
memberikan ilmu dan do’anya kepada penulis.
6. Pihak BPOM yang telah banyak membantu dalam pengambilan data serta
memberikan saran dan masukan kepada penulis.
x
7. Irham Pratama, S.Farm. yang telah membantu, menemani dan memberi
semangat kepada penulis.
8. Teman – teman epidemiologi 2013 Dedes, Dina, Dewi O, Rina, Sabrina,
Rista, Citra, Hindun, Fitria, Narita, Anggi, Rai, Mila, Ririn, Ica, Mutia,
Purwanti, dan Upi serta teman satu atap Iffa yang sudah banyak
memberikan cerita tersendiri bagi pribadi penulis. Menemani dan berbagi
pengalaman dalam senang dan duka.
9. Dan semua pihak yang telah membantu penulis.
Dalam penulisan skripsi ini tentunya masih terdapat kekurangan dan masih perlu
perbaikan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran. Semoga
penelitian ini dapat bermanfaat.
Jakarta, November 2017
Penulis
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii
ABSTRAK ............................................................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................. v
PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................................................................ vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
DAFTAR BAGAN, DIAGRAM, DAN TABEL .................................................. xv
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
1.3 Pertanyaan Penelitian ................................................................................... 4
1.4 Tujuan .......................................................................................................... 5
1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................................ 5
1.4.2 Tujuan Khusus ....................................................................................... 5
1.5 Manfaat ........................................................................................................ 5
1.5.1 Manfaat bagi Peneliti ............................................................................. 5
1.5.2 Manfaat bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ............................. 6
1.5.3 Manfaat bagi Siker Nasional BPOM – RI.............................................. 6
1.6 Ruang Lingkup ............................................................................................. 6
BAB II ..................................................................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 7
2.1 Keracunan Pangan ........................................................................................ 7
2.2 Faktor – faktor Keracunan Pangan ............................................................... 8
xii
2.2.1 Faktor Pejamu ........................................................................................ 8
2.2.2 Faktor Lingkungan ............................................................................... 17
2.2.3 Organisme dan bahan kimia penyebab keracunan ............................... 35
2.2 Pencegahan Keracunan Pangan.................................................................. 42
2.3 Studi Potong Lintang (Cross-Sectional Study) .......................................... 46
2.4 Kerangka Teori........................................................................................... 47
BAB III ................................................................................................................. 49
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................................ 49
3.1 Kerangka Konsep ....................................................................................... 49
3.2 Definisi Operasional................................................................................... 50
BAB IV ................................................................................................................. 54
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 54
4.1 Desain Penelitian ........................................................................................ 54
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 54
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................. 54
4.4 Sumber dan Instrumen Pengumpulan Data ................................................ 55
4.5 Manajemen Data ........................................................................................ 56
4.5.1 Pemeriksaan Kelengkapan dan Pengkodean ........................................ 56
4.5.2 Pemasukan Data ................................................................................... 57
4.5.3 Pembersihan data ................................................................................. 57
4.5.4 Analisis data ......................................................................................... 57
BAB V ................................................................................................................... 58
HASIL ................................................................................................................... 58
5.1 Distribusi Umur, Jenis Kelamin, Musim, Jenis Pangan dan Sumber
Keracunan Pangan pada Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 ........ 58
xiii
5.1.1 Umur .................................................................................................... 58
5.1.2 Jenis kelamin ........................................................................................ 59
5.1.3 Musim .................................................................................................. 59
5.1.4 Jenis Pangan ......................................................................................... 60
5.1.5 Sumber Keracunan Pangan .................................................................. 60
5.2 Distribusi Sumber Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 .......... 61
5.2.1 Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 : Laki – laki ............ 61
5.2.2 Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 : Perempuan ............ 63
BAB VI ................................................................................................................. 65
PEMBAHASAN ................................................................................................... 65
6.1 Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 65
6.2 Proporsi Faktor – faktor Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 . 65
6.2.1 Umur .................................................................................................... 65
6.2.2 Jenis Kelamin ....................................................................................... 71
6.2.3 Musim .................................................................................................. 76
6.2.4 Jenis Pangan ......................................................................................... 80
6.2.5 Sumber Keracunan pangan .................................................................. 89
6.3 Distribusi Sumber Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 ............ 94
BAB VII .............................................................................................................. 107
PENUTUP ........................................................................................................... 107
7.1 Simpulan ................................................................................................... 107
7.2 Saran .......................................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 110
LAMPIRAN INSTRUMEN PENCATATAN .................................................... 121
SURAT IZIN PENGAMBILAN DATA ............................................................ 122
xiv
LAMPIRAN HASIL ANALISIS ........................................................................ 123
xv
DAFTAR BAGAN, DIAGRAM, DAN TABEL
Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian ................................................................... 48
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ................................................................ 49
Bagan 3.2 Definisi Operasional ............................................................................ 50
Bagan 4.1 Alur Pengambilan Sampel ................................................................... 55
Diagram 5.1 Proporsi Keracunan Pangan Berdasarkan Umur di DKI Jakarta
Tahun 2016 ........................................................................................................... 58
Diagram 5.2 Proporsi Keracunan Pangan Berdasarkan Jenis Kelamin di DKI
Jakarta Tahun 2016 ............................................................................................... 59
Diagram 5.3 Proporsi Keracunan Pangan Berdasarkan Musim di DKI Jakarta
Tahun 2016 ........................................................................................................... 59
Tabel 4.1 Kode Variabel dalam Penelitian ........................................................... 56
Tabel 5.1 Proporsi Jenis Pangan Penyebab Keracuanan Pangan di DKI Jakarta
Tahun 2016 ........................................................................................................... 60
Tabel 5.2 Proporsi Sumber Keracunan Pangan di DKI Jakarta pada Tahun 2016 60
Tabel 5.3 Proporsi Jenis Pangan pada Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun
2016 : Laki – laki .................................................................................................. 61
Tabel 5.4 Jenis Pangan Berdasarkan Sumber Keracunan pada Laki – laki di DKI
Jakarta Tahun 2016 ............................................................................................... 62
Tabel 5.5 Proporsi Jenis Pangan pada Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun
2016 : Perempuan .................................................................................................. 63
Tabel 5.6 Jenis Pangan dan Tempat Sumber Penyebab keracunan Pangan pada
Perempuan di DKI Jakarta Tahun 2016 ................................................................ 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara global penyakit yang disebabkan oleh pangan dilaporkan
meningkat secara signifikan setiap tahunnya (Mutalib, 2014). Menurut WHO
lebih dari 50% kasus diare yang terjadi disebabkan oleh pangan yang
terkontaminasi dan menyebabkan 550 juta kesakitan dan 230.000 kematian
(Mutalib, 2014; Sifferlin, 2015; WHO, 2015). Adapun Afrika dan Asia
Tenggara merupakan wilayah yang memiliki angka insiden dan rata-rata
kematian yang tinggi akibat keracunan pangan (WHO, 2015). Adapun negara
berkembang memiliki risiko 4 kali lebih tinggi untuk mengalami keracunan
pangan dibandingkan negara maju (Ahmed, 2015). Risiko tersebut disebabkan
oleh higienitas masyarakat yang rendah seperti penyiapan air yang tidak aman,
kondisi penyimpanan pangan yang tidak adekuat, rendahnya tingkat
pengetahuan masyarakat serta peraturan tentang keamanan pangan yang tidak
mendukung (WHO, 2015).
Adapun menurut Sentra Informasi Keracunan (Siker) Nasional Badan
Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM – RI), keracunan
pangan di Indonesia berdasarkan laporan kasus sejak tahun 2014 cenderung
berfluktuasi. Pada tahun 2014 insiden keracunan pangan berjumlah 974 kasus
dan cenderung menurun menjadi 697 kasus pada tahun berikutnya. Sedangkan
pada tahun 2016 keracunan pangan tersebut meningkat kembali menjadi 791
kasus (BPOM, 2017). Pada tahun 2016 pula angka kesakitan akibat keracunan
2
pangan merupakan kasus tertinggi setelah keracunan akibat binatang yaitu
2.123 kasus (BPOM, 2016).
Beberapa faktor yang diidentifikasi dapat berkontribusi dalam
timbulnya keracunan pangan adalah kurangnya kebersihan diri (self hygiene)
penjamah pangan serta persediaan air dan lingkungan yang kurang bersih
(Mutalib, 2014). Namun menurut Linscott, penjamah pangan merupakan
penyebab utama kontaminasi karena mereka dapat menyebarkan organisme
berbahaya melalui lesi kulit atau fecal-oral (Campos, 2009; Linscott, 2011).
Selain itu kondisi dapur serta peralatan produksi juga mempengaruhi terjadinya
kontaminasi pada pangan (Mutalib, 2014). Di Malaysia, prosedur memasak
yang tidak bersih menyebabkan 50% kasus keracunan pangan (MOH, 2007).
Keracunan pangan ini juga dipengaruhi oleh faktor demografi. Menurut
penelitian yang dilakukan di Bostwana dan Uganda, keracunan pangan secara
signifikan banyak dialami oleh jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-
laki (Malangu, 2016). Penelitian yang sama pula mengemukakan bahwa jenis
kelamin perempuan memiliki proporsi lebih besar yaitu 54% dibandingkan
jenis kelamin laki-laki (Gumbo, 2015).
Keracunan pangan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
perlu ditanggulangi sedini mungkin. Namun untuk merumuskan upaya
penanggulangan tersebut dapat dilakukan jika tersedia data dan informasi yang
dihasilkan dari pelaksanaan monitoring ataupun surveilans yang berkelanjutan
(Kirk, 2008). Siker Nasional BPOM – RI merupakan salah satu instansi
pemerintah yang memiliki data keracunan pangan secara nasional yang
diperoleh dari laporan rumah sakit secara sukarela. Hal tersebut terjadi karena
3
belum ada regulasi yang mengatur terkait pelaporan keracunan pangan.
Sehingga dapat diperkirakan masih terdapat kasus keracunan pangan yang
tidak terlapor dan tidak tercatat. Selain itu BPOM – RI telah mengumpulkan
data keracunan pangan sejak tahun 2001, namun hanya pada tahun 2016 data
cenderung lebih lengkap dibandingkan tahun sebelumnya dimana kelayakan
data untuk diteliti adalah 97.65% dengan 208 kasus keracunan pangan.
Laporan yang diterima dari 34 provinsi pada tahun 2016, Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta memiliki 213 kasus, Papua 156 kasus dan
Sulawesi Utara 92 kasus. Ketiga provinsi tersebut merupakan provinsi yang
memiliki laporan kasus terbanyak pada tahun 2016 dalam lingkup nasional.
Sedangkan menurut kelengkapan data hanya terdapat 12 provinsi yang
memiliki kelengkapan data di atas 90%, antara lain Sumatera Barat (100%),
Riau (100%), Kalimantan Timur (100%), Kalimantan Selatan (100%),
Sulawesi Tenggara (99.35%), Banten (98.2%), Papua (95.37%), Bengkulu
(94.89%), Daerah Istimewa Yogyakarta (94.83%), DKI Jakarta (94.6%),
Kalimantan Tengah (93.6%) dan Jawa Barat (91.6%). Berdasarkan banyaknya
laporan kasus dan kelengkapan laporan data keracunan pangan pada setiap
provinsi maka penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta.
Selain itu Siker Nasional BPOM – RI telah melakukan analisis terhadap
data keracunan pangan yang diterima. Namun terbatas pada analisis deskriptif
pada setiap variabel yang didapatkan. Sedangkan analisis secara bertahap pada
setiap variabel belum dilakukan. Sehingga berdasarkan uraian tersebut maka
tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui distribusi sumber keracunan
4
pangan di DKI Jakarta berdasarkan laporan kasus sentra informasi keracunan
nasional – BPOM RI dengan menggunakan analisis bertahap.
1.2 Rumusan Masalah
Keracunan pangan merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang
masih dapat ditemukan setiap tahunnya, khususnya di DKI Jakarta. Salah satu
instansi pemerintah yang menjadi sumber data keracunan pangan adalah
BPOM – RI. Melalui pusat informasi keracunan pangan yaitu Siker Nasional
milik BPOM – RI, penghimpunan laporan keracunan pangan yang bersumber
dari rumah sakit dilakukan. Namun pelaporan tersebut masih bersifat sukarela,
sehingga masih terdapat kemungkinan adanya kasus keracunan pangan yang
belum terlapor.
Sampai pada tahun 2016 terdapat 213 kasus keracunan pangan yang
terjadi di DKI Jakarta. Namun dari data laporan tersebut, Siker Nasional
BPOM – RI belum melakukan analisis secara bertahap terhadap keracunan
pangan. Sehingga tujuan pada penelitian ini adalah mengetahui distribusi
sumber keracunan pangan di DKI Jakarta berdasarkan laporan kasus sentra
informasi keracunan nasional – BPOM RI.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana proporsi umur, jenis kelamin, musim, sumber keracunan pangan
serta jenis pangan keracunan pangan di DKI Jakarta tahun 2016 dengan
menggunakan laporan data Siker BPOM – RI?
2. Bagaimana distribusi sumber keracunan pangan di DKI Jakarta tahun 2016
dengan menggunakan laporan data Siker BPOM – RI?
5
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui distribusi
sumber keracunan pangan di DKI Jakarta berdasarkan laporan kasus
sentra informasi keracunan nasional – BPOM RI.
1.4.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang penelitian ini adalah,
1 Mengetahui proporsi umur, jenis kelamin, musim, sumber
keracunan pangan serta jenis pangan keracunan pangan di DKI
Jakarta tahun 2016 dengan menggunakan laporan data Siker BPOM
– RI.
2 Mengetahui distribusi sumber keracunan pangan di DKI Jakarta
tahun 2016 dengan menggunakan laporan data Siker BPOM – RI.
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat bagi Peneliti
Adapun penelitian yang telah dilakukan diharapkan dapat
menambah wawasan terkait analisis epidemiologi keracunan pangan.
Serta diharapkan pula dapat digunakan sebagai sarana dalam
mengembangkan kompetensi diri sesuai dengan ilmu yang diperoleh di
bangku perkuliahan khususnya yang berhubungan dengan dasar
epidemiologi, epidemiologi penyakit menular dan epidemiologi
perencanaan kesehatan.
6
1.5.2 Manfaat bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Adapun hasil dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan bacaan serta masukan dalam penelitian selanjutnya dengan
menggunakan desain studi yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas.
1.5.3 Manfaat bagi Siker Nasional BPOM – RI
Adapun manfaat bagi Siker Nasional BPOM – RI terhadap hasil
penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan informasi
terkait keracunan pangan khususnya pada tahun 2016 di DKI Jakarta
serta dapat pula dijadikan sebagai masukan dalam melakukan upaya
pencegahan dan penanggulangannya sehingga risiko terjadinya
keracunan pangan di Jakarta dapat diminimalisir.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi sumber keracunan
pangan yang terjadi di DKI Jakarta dengan menggunakan data sekunder yang
bersumber dari Siker Nasional BPOM – RI. Penelitian dilakukan pada bulan
Mei sampai dengan Agustus 2017 di DKI Jakarta menggunakan metode
epidemiologi deskriptif dengan desain studi cross-sectional.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keracunan Pangan
Pangan menurut Permenkes No 2 tahun 2013 tentang kejadian luar biasa
keracunan pangan, merupakan segala sesuatu yang bersumber dari tanaman
atau hayati dan air baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang
diperuntukkan sebagai pangan atau minuman bagi manusia. Termasuk pula
tambahan bahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan pangan serta
minuman.
Keracunan pangan (foodborne disease atau food poisoning) terjadi
apabila terdapat bakteri, virus atau parasit yang berkembang biak di dalam usus
atau toksin, bahan kimia dan lainnya yang memiliki sifat patogen melalui
pangan yang dikonsumsi (Addis, 2015; Kadariya, 2014; Mutalib, 2014). Di
Cina keracunan pangan dapat menyebabkan 289.380 kesakitan dan 12.687
kematian pada tahun 1994 – 2005. Sedangkan keracunan pangan yang
disebabkan oleh bakteri mengakibatkan 146.852 kesakitan dengan 349
kematian (Wang, 2007).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2
tahun 2013, keracunan pangan adalah seseorang yang mengalami sakit dengan
menunjukkan gejala dan tanda keracunan pangan yang diduga mengandung
cemaran biologis atau kimia. Gejala tertentu tersebut seperti mual, muntah,
nyeri perut atau gejala lainnya yang dialami oleh dua orang atau lebih setelah
8
mengonsumsi pangan. Durasi antara waktu mengonsumsi pangan dan
timbulnya gejala dapat terjadi kurang lebih 72 jam (Addis, 2015).
Adanya ingesti patogen, bahan kimia atau lainnya dapat dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak. Di Nigeria keracunan pangan erat kaitannya
dengan kejahatan yang dimaksudkan seseorang kepada korban (Malangu, s.a.).
Di China penyalahgunaan zat beracun pada makanan mengakibatkan kesakitan
sebesar 2.9% (2930 kasus) sedangkan menyebabkan adanya kasus baru
keracunan pangan 6.7% (161 kasus) (Xue, 2011).
Pada penelitian sebelumnya gejala yang banyak diderita adalah diare
berair dengan persentase 52% (Gabida, 2015). Sedangkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Gumbo (2015) sebagian besar penderita keracunan pangan
mengalami gejala nyeri perut (88.7%), diare berair (86.8%), mual (37.7%) dan
gejala lainnya kurang dari 20% (Gumbo, 2015). Adanya berbagai macam
gejala tersebut tergantung pada banyaknya tipe patogen serta kemampuan
patogen untuk memproduksi toksin yang dapat diserap oleh pembuluh darah,
organ ataupun jaringan lainnya (Ajayi, 2011). Sedangkan menurut penelitian –
penelitian sebelumnya, keracunan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu,
2.2 Faktor – faktor Keracunan Pangan
2.2.1 Faktor Pejamu
A. Umur
Keracunan pangan dapat berrisiko pada semua golongan umur
khususnya mereka yang memiliki risiko tinggi seperi bayi, anak – anak, dan
mereka yang memiliki imunitas rendah sehingga dapat berakibat pada
9
kematian (Osei-Tutu, 2016). Umur kurang dari 5 tahun memiliki sistem imun
yang belum berkembang secara optimal sehingga adanya sedikit infeksi akan
mengakibatkan kesakitan, serta umur lebih dari 60 tahun sistem imun tubuh
telah memburuk dan biasanya diperparah dengan munculnya penyakit kronik
(Lund, 2011).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gumbo di Zimbabwe,
kelompok umur yang paling banyak berisiko mengalami keracunan pangan
adalah kelompok umur 36 – 45 tahun (Gumbo, 2015). Namun berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Teschke bahwa kelompok umur 10 – 19 tahun
lebih berisiko 16.2% dibandingkan kelompok umur lainnya (Teschke, 2010).
Sedangkan di Mesir organophosphate (OP) sebagai penyebab keracunan
banyak dialami oleh anak usia prasekolah (<6 tahun) dengan persentase 33%.
Sedangkan keracunan yang disebabkan oleh ciguatera banyak dialami oleh
usia 40 – 59 tahun dengan persentase 85.7%. Dan keracunan yang diakibatkan
oleh toksik yang diproduksi oleh bakteri C. botulinum menyebabkan
kelompok umur 30 – 39 tahun memiliki persentase tertinggi untuk mengalami
keracunan dengan persentase 66.6% (Abd-ELhaleem, 2011).
Menurut Lund (2011) dan Indranil (2016) pada penelitian sebelumnya,
manusia dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu yang memiliki sistem
imunitas optimal dan rendah. Adapun individu yang memiliki sistem imunitas
optimal adalah individu yang tidak memiliki umur 6 – 59 tahun dan tidak
memiliki penyakit tertentu. Namun meskipun memiliki imunitas yang baik,
kelompok umur tersebut masih memiliki risiko mengalami keracunan
pangan.
10
Risiko tersebut seperti mobilitas yang dilakukan karena pekerjaan atau
kegiatan lainnya. Salah satu kegiatan yang banyak dilakukan oleh usia
reproduksi adalah kegiatan mengasuh anak dan bekerja. Menurut Pardhan-
Ali (2017), adanya kontak orang tua terhadap anak kecil khususnya bayi akan
meningkatkan risiko infeksi pada orang tua (Pardhan-Ali, 2017). Sedangkan
salah satu pekerjaan yang berisiko mengalami keracunan pangan adalah
penjamah pangan. Selain dapat mengkontaminasi diri sendiri, pekerja
tersebut juga meningkatkan risiko keracunan pangan bagi lingkungan sekitar
melalui kontak yang dilakukan. Namun tidak memungkiri pula jenis
pekerjaan lain tidak memiliki risiko untuk mengalami keracunan pangan
(Indranil, 2016; Lund, 2011).
Selain itu pekerja yang menyiapkan makanan di fasilitas pelayanan
kesehatan atau sejenisnya harus memperhatikan kebersihan lebih ketat lagi.
Hal tersebut bertujuan untuk mencegah adanya penularan atau kontaminasi
antara pasien dengan pekerja (Indranil, 2016; Lund, 2011).
Pedagang makanan seperti PKL juga memiliki risiko tinggi untuk
mengalami keracunan dimana 88.7% merupakan perempuan dan 31.3%
berumur 15 – 25 tahun. Dari penelitian tersebut juga 78.7% belum pernah
mendapatkan pelatihan keamanan pangan (Climat, 2013).
Sedangkan individu yang memiliki sistem imunitas rendah adalah
sebagai berikut (Indranil, 2016; Lund, 2011),
a. Wanita hamil
Adanya perubahan hormon selama kehamilan dapat menurunkan
fungsi cell – mediated immune sehingga wanita hamil rentang terhadap
11
berbagai infeksi, salah satunya keracunan pangan. Bakteri penyebab
keracunan pangan sering menginfeksi pada wanita hamil adalah Listeria
monocytogenes dan Salmonella enterica yang dapat berakibat serius pada
kondisi bayi sampai dengan kematian. Beberapa kasus juga sampai
mengakibatkan aborsi (spontaneous abortion) dan prematur pada bayi.
Insiden keracunan pangan pada wanita hamil 20 kali lebih tinggi
dibandingkan masyarakat pada umumnya. Manifestasi dapat bermacam –
macam. Namun beberapa kasus tidak menunjukkan gejala seperti demam,
nyeri otot, dan gangguan pencernaan seperti mual dan diare (Tam, 2010).
b. Memiliki kekebalan tubuh yang lemah
Memiliki penyakit kronik, autoimun ataupun sedang menjalani
pengobatan kanker dapat mengakibatkan kekebalan tubuh yang lemah
(immunocompromised). Dalam kondisi tersebut sistem imunitas tubuh
tidak mampu melakukan perlawanan terhadap organisme patogen yang
menginfeksi. Seperti pada infeksi Salmonella yang mengkontaminasi
makanan akan mengakibatkan gejala yang serius pada individu yang
memiliki kekebalan tubuh yang lemah.
Hasil penelitian di Perancis dimana diare kronik terjadi pada 47%
pasien yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah dengan
hypogammaglobulinemia. Patogen yang diidentifikasi sebagai penyebab
diare tersebut adalah Giardia, Campylobacter dan Salmonella. Sedangkan
di United State Salmonella adalah penyebab utama pada pasien yang
memiliki penyakit kronik granulomatous.
12
Pasien kanker dan resipien organ melalui operasi juga rentan terhadap
infeksi Listeria monocytogenes. Meskipun laporan infeksi patogen
tersebut cukup sedikit namun diperkirakan masih banyak kasus yang tidak
terlapor dan pada beberapa kasus yang tidak tertangani dengan baik dapat
berakibat pada kematian. di Inggris dan Wales pada tahun 1999 – 2009
lebih dari 30% pasien kanker berhubungan dengan keracunan pangan
akibat Listeria monocytogenes.
Pasien yang sedang menjalani pengobatan kemoterapi dan radioterapi
juga memiliki risiko tinggi mengalami keracunan pangan. Hal tersebut
disebabkan karena efek pengobatan tersebut pada sel sumsum tulang dan
mukosa lambung yang menyebabkan penurunan produksi sel darah
(myelosuppression) dan peradangan lapisan saluran pencernaan
(mucositis). Hal tersebut juga dialami oleh individu yang sedang menjalani
terapi steroid dimana kerentanan terhadap infeksi organisme patogen dapat
meningkat.
Faktor lainnya yang mempengaruhi manusia menjadi rentan adalah
kelebihan zat besi dalam darah, sirosis hati, alkoholisme, difisiensi nutrisi,
konsumsi antacid berlebihan, konsumsi banyak cairan dan konsumsi
banyak lemak. Kelebihan zat besi, sirosis hati serta alkoholisme dapat
menyebabkan meningkatnya patogen dalam darah serta menekan sistem
imunitas tubuh. Defisiensi nutrisi mengakibatkan sistem imunitas tubuh
menurun. Konsumsi antacid dan konsumsi banyak cairan dapat
meningkatkan pH dalam lambung sehingga patogen yang tertelan melalui
makanan dapat bertahan dalam lambung dan lolos pada organ pencernaan
13
selanjutnya. Sedangkan konsumsi banyak lemak dapat melindungi
patogen dari asam lambung yang tinggi .
c. Lanjut usia
Lanjut usia merupakan golongan umur (> 60 tahun) yang memiliki
risiko tinggi terhadap beberapa penyakit, khususnya keracunan pangan.
Hal tersebut disebabkan sistem imunitas tubuh sudah mengalami
penurunan fungsi sehingga tidak mampu menghadapi infeksi organisme
patogen. Penurunan tersebut selain terjadi secara alami juga dipengaruhi
oleh beberapa penyakit kronis yang diderita. Selain itu pada usia lanjut
terjadi penurunan produksi asam lambung yang mengakibatkan bakteri
lebih mudah memasuki sistem pencernaan dan mengakibatkan manifestasi
klinis. Menurut penelitian sebelumnya penderita keracunan pangan yang
menyebabkan kamatian adalah yang berumur lebih dari 65 tahun (J, 2004)
d. Bayi di bawah 6 tahun
Bayi umur kurang dari 6 tahun juga memiliki risiko tinggi terhadap
keracunan pangan karena sistem imunitas tubuh belum berkembang secara
sempurna. Serta adanya kebiasaan untuk memasukkan berbagai macam
benda ke dalam mulutnya akan mempermudah organisme patogen
mencapai sistem pencernaannya.
B. Jenis kelamin
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya baik di Zimbabwe maupun
di Mesir, keracunan pangan pada perempuan memiliki proporsi lebih tinggi
dibandingkan laki-laki yaitu masing-masing 54% dan 71.4% (penyebab
adalah ciguatera) (Abd-ELhaleem, 2011; Gumbo, 2015). Hal yang sama
14
pula diungkapkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami keracunan
pangan dengan persentase 50.4% dibandingkan laki-laki (Teschke, 2010).
Namun pada penelitian lain dengan penyebab tidak spesifik yang dilakukan
di Mesir jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan
dengan persentase 59% (Abd-ELhaleem, 2011).
Hasil penelitian dengan menggunakan data surveillans aktif penyakit
akibat pangan (Foodborne Diseases Active Surveillance Network), jenis
kelamin laki – laki lebih banyak mengonsumsi pangan berrisiko tinggi
seperti hamburger atau sandwich yang kurang matang (7.3%), tiram mentah
(1.9%), susu yang tidak terpasteurisasi (2.4%), keju yang terbuat dari susu
yang tidak terpasteurisasi (3.5%), dan telur mentah atau setengah matang
(12.5%). Sedangkan jenis lainnya adalah udang (32.1%), sushi atau sashimi
(7.4%), daging bebek (3.1%), dan babi (47.4%) Pada penelitian tersebut
juga diketahui bahwa perempuan lebih banyak mengonsumsi daging ayam
(69.5%), ikan – ikanan mentah (12.5%), sayuran segar (>26.2%), dan buah
– buahan (>6.7%) (Shiferaw, 2012).
Pada penelitian lain yang dilakukan di 23 negara, perempuan lebih
banyak mengonsumsi makanan tinggi serat serta menghindari makanan
tinggi lemak dibandingkan laki – laki. Serta dari 23 negara tersebut pula
diketahui 21 negara di antaranya didominasi oleh perempuan yang lebih
banyak mengonsumsi buah – buahan dibandingkan laki - laki (Wardle J,
2004). Pada penelitian yang dilakukan oleh Berbesque (2009), laki – laki
lebih suka mengonsumsi daging dan perempuan lebih suka mengonsumsi
buah beri (Arganini, s.a.).
15
Pemilihan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu dipengaruhi
faktor demografi, religius, dan ekonomi (Arganini, s.a.). Sedangkan
perempuan lebih banyak mengonsumsi makanan sehat (berserat) karena
perempuan (35%) lebih mengetahui konsumsi makanan tertentu akan
berdampak pada outcome tertentu bagi kesehatan dibandingkan laki – laki
(28%). Selain itu perempuan memilih mengonsumsi jenis pangan tertentu
karena ingin mengurangi berat badan (Elmadfa, 2005). Hal tersebut seperti
pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Pirouznia (2001) pada siswa
sekolah menengah pertama, nilai pengetahuan terkait nutrisi lebih tinggi
pada siswa perempuan dibandingkan laki – laki (Shiferaw, 2012).
Sejak usia remaja perempuan lebih perhatian terhadap pangan dan
makanan yang dikonsumsi oleh keluarga dibandingkan laki – laki. Hal
tersebutlah yang menjadikan pada usia dewasa perempuan mampu untuk
memperhatikan dan memberikan makanan yang lebih sehat untuk
dikonsumsi diri sendiri (Prattala, 2006; Wardle J, 2004).
Penyebab individu mengonsumsi pangan tidak selalu disebabkan
karena lapar, kebutuhan biologi, makanan favorit ataupun lainnya. Dalam
beberapa kondisi terkadang pilihan terhadap makanan tertentu terjadi tanpa
disadari. Adanya persepsi sensori juga mempengaruhi seseorang untuk
menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi. Pada masyarakat di negara
berkembang, pilihan tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi,
budaya, religius dan demografi (Arganini, s.a.).
16
C. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan proses komplek yang terdiri dari mengingat,
menghubungkan atau menilai sesuatu/fenomena (Gotsch, 2012). Sikap dapat
diperoleh seseorang dari kebiasaan dan persepsi lainnya yang dihasilkan dari
pengaruh lingkungan sosial, budaya dan ekonomi. Kemudian pengetahuan
yang dimiliki oleh seseorang akan membentuk sikap dan perbuatan (praktik)
(Climat, 2013). terdapat tiga faktor penting yang berhubungan dengan
penjamah pangan yang menentukan terjadinya keracunan pangan yaitu
pengetahuan, sikap dan praktik (Sharif, 2009).
Menurut Rane (2009) dan FAO (2013), Pedagang Kaki Lima (PKL)
memiliki pengetahuan yang buruk terkait keamanan pangan. Sedangkan
menurut Climat (2013) pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang berhubungan
dengan tingkat pendidikan yang dimiliki. Hal tersebut sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Soares (2012), terdapat hubungan yang positif antara tingkat
pendidikan dengan pengetahuan terkait keamanan pangan (Cuprasitrut, 2011;
McIntyre, 2013; Soares, 2012). Namun hal tersebut bertentangan dengan
penelitian lain dimana tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara
tingkat pendidikan dan pengetahuan (Annor, 2011; Omemu, 2008). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Gumbo di Ghana bahwa keracunan pangan
banyak terjadi pada masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tersier
dengan persentase 95.9% (Gumbo, 2015).
Sedangkan pada hasil penelitian di Estonia yang meneliti terkait
konsumsi daging dan buah di FInlandia dan Baltic countries, masyarakat yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi sering mengonsumsi daging. Sedangkan di
17
Lithuania, konsumsi daging rendah pada perempuan Lithuania dengan tingkat
pendidikan yang tinggi (Prattala, 2006).
2.2.2 Faktor Lingkungan
A. Musim
Selain itu terdapat pula pengaruh musim atau bulan terhadap terjadinya
keracunan pangan dimana dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahmed dan
Teschke, keracunan pangan banyak terjadi pada musim panas dengan masing-
masing persentase 26.7 % dan 25.6% dibandingkan musim-musim lainnya
(Ahmed, 2015; Teschke, 2010). Sedangkan menurut sumber lain, infeksi
virus seperti norovirus dan rotavirus banyak pada musim dingin setiap
tahunnya (Indranil, 2016).
Sedangkan pada negara yang memiliki 2 musim yaitu musim kemarau
dan musim penghujan, keracunan pangan banyak terjadi pada akhir musim
kemarau dan mulai musim penghujan. Seperti pada kasus kolera yang
endemis di pusat kota Ghana bahwa keracunan pangan dapat diprediksi akan
terjadi pada permulaan musim hujan dimana sumber air dapat tercemar baik
karena sistem air yang kurang baik maupun sistem latrin yang meluap
sehingga dapat terjadi kontak pada pangan maupun makanan (Osei-Tutu,
2016).
Suhu lingkungan juga mempengaruhi pertumbuhan beberapa patogen
keracunan pangan. Organisme patogen dapat berreplikasi lebih tinggi di
lingkungan yang bersuhu tinggi seperti pada Campylobacter dan Salmonella.
Keduanya berreplikasi secara signifikan dengan meningkatnya temperatur
dalam periode mingguan (lake, 2009; Semenza, 2009).
18
Asumsi tersebut sama seperti hasil penelitian di Kanada menyebutkan
bahwa Campylobacteriosis dan Salmonelosis memiliki signifikansi nilai P
kurang dari 0.05 dan cenderung terjadi pada akhir musim panas dan
permulaan musim gugur. Meskipun giardiasis tidak memiliki signifikansi
nilai P kurang dari 0.05, namun juga banyak menyebabkan keracunan pangan
pada musim yang sama (Pardhan-Ali, 2017). Hal yang sama pula pada hasil
penelitian yang dilakukan di Grenade dimana terjadi peningkatan kasus diare
dan muntah pada musim kemarau (Glasgow, 2013).
Logam berat penyebab keracunan pangan juga dapat disebabkan karena
mengonsumsi air minum tercemar atau keracunan pestisida akibat
menkonusmi air permukaan ataupun air tanah. Hal tersebut dapat terjadi jika
sanitasi lingkungan yang buruk. Beberapa kemungkinan buruk apabila
manusia mengonsumsi pestisida baik secara sengaja maupun tidak adalah
kerusakan pada syaraf, ketidakseimbangan hormon tubuh, sistem reproduksi
yang terganggu, hilang ingatan dan bersifat karsinogen (Vemula, 2012).
Beberapa patogen juga bersumber dari tanah, air maupun udara seperti S.
aureus. Tubuh menusia juga banyak mengandung organisme seperti yang
dapat ditemukan pada kulit dan hidung (Malangu, s.a.).
B. Sanitasi lingkungan
Sanitasi lingkungan merupakan faktor risiko yang diduga berhubungan
adalah adanya kontaminasi silang (cross-contamination), dan pengolahan
yang kurang adekuat (Fischer, 2007). Penyiapan pangan ataupun pemanasan
kembali makanan serta temperatur yang tidak tepat dapat menyebabkan
pertumbuhan mikroorganisme karena proses yang telah dilakukan tidak
19
berhasil untuk membunuh organisme tersebut dan sebaliknya membuatnya
menjadi dorman (Mutalib, 2014). Penggunaan sumber air tercemar tinja
manusia, sampah atau limbah sebagai sumber minum juga merupakan salah
satu rute utama keracunan pangan (Malangu, s.a.).
Selain itu bakteri dapat bertahan di tempat yang terlihat bersih namun
sebenarnya merupakan reservoir bagi patogen. Selain pada tangan patogen
juga ditemukan di lingkungan rumah. Menurut Scott beberapa bakteri dapat
hidup di permukaan dapur 1 jam sampai 24 jam. Sehingga memungkinkan
adanya kontaminasi silang dengan kain lap, peralatan memasak, peralatan
makan ataupun tangan penjamah pangan (Scott, 1996).
C. Kebersihan perseorangan
Keberihan pangan merupakan salah satu bentuk praktik yang seseorang
terhadap pengetahuan yang telah didapatkan dari lingkungan sosial, budaya
dan ekonomi (Climat, 2013). Menurut Sharif (2009), terdapat tiga faktor
penting yang berhubungan dengan penjamah pangan yang menentukan
terjadinya keracunan pangan yaitu pengetahuan, sikap dan praktik (Sharif,
2009). Penjamah pangan sendiri adalah individu yang menyiapkan pangan
dan menjualnya. Sedangkan menyiapkan pangan sendiri adalah
memproduksi, memproses, menyimpan dan menyiapkan pangan (Lee, 2017).
Penjamah pangan dapat menyebabkan kontaminasi pangan baik
melalui kontak yang diciptakannya. Seperti penjamah pangan yang sakit
dapat mengontaminasi pangan melalui kontak kulit, dari tinja, dari saluran
pernafasan atau kontaminasi akibat kontaminasi silang dengan pangan
mentah. Kemungkinan lainnya adalah jika penjamah pangan tidak
20
menggunakan tudung kepala dapat mengakibatkan rambut jatuh ke makanan,
penggunaan perban, perhiasan atau aksesoris lainnya (Climat, 2013).
Pada pengujian laboratorium pada penjamah makanan yang dilakukan
oleh penelitian sebelumnya yaitu pada pengujian usapan tangan dimana
terdapat masing-masing 60% dan 100% bakteri staphylococcus aureus pada
tangan dan kuku. Namun tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri pada
peralatan dapur seperti garpu, piring, pisau dan nampan (Gumbo, 2015).
Selain itu banyak laporan yang menjelaskan penyebab keracunan
pangan adalah adanya penjamah pangan yang memiliki personality hygiene
yang buruk sehingga mengakibatkan kontaminasi pangan khususnya
makanan yang telah masak. Aktivitas yang meningkatkan terjadinya
kontaminasi tersebut adalah penggunaan kertas toilet, mengusap hidung, atau
menyentuh bahan pangan mentah atau bahan mentahnya lainnya (Todd,
2010). Hal yang serupa juga terjadi di rumah makan di Bulawayo dimana
keracunan pangan terjadi karena penjamah pangan tidak terlatih serta kurang
memiliki kualifikasi sebagai penjamah makanan yang baik (Chihava. M,
2012).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Venuto adanya keracunan pangan
disebabkan oleh kontaminasi yang dilakukan oleh penjamah makanan atau
pekerja yang menyebabkan pangan menjadi berisiko dengan persentase
41.9% dan adanya kontaminasi pangan mentah dengan makanan matang siap
konsumsi dengan persentase 12.8% (Venuto, 2015).
Selain pada alat makan, pada tubuh manusia seperti kulit dan hidung
banyak terdapat organisme salah satunya adalah S. aureus yang dapat
21
menkontaminasi pangan melalui kontak langsung maupun dengan kulit atau
melalui respiratori dan sekresi hidung ketika batuk, bersin atau berbicara
(Malangu, s.a.).
D. Pengolahan Pangan
Sumber pangan yang tidak aman (contohnya penggunaan air tercemar
dan daging yang tidak layak), memasak yang tidak adekuat (suhu pemanasan
kurang optimal), interval waktu antara konsumsi dan memasak jauh dan
kurangnya kebersihan penjamah pangan dapat menyebabkan keracunan
pangan (Climat, 2013).Keracunan pangan juga dipengaruhi oleh cara
pengolahan pangan. pengolahan pangan yang adekuat dapat mencegah
terjadinya keracunan pangan. Pengolahan pangan meliputi membersihkan,
proses memanaskan baik dengan cara menggoreng, membakar dan lainnya,
menyajikan serta menyimpan. Mencuci bahan pangan yang akan dimasak
secara benar yaitu menggunakan air mengalir serta menggunakan sabun jika
diperlukan. Selain itu memisahkan antara pangan yang masih mentah dengan
makanan yang telah masak atau siap konsumsi penting dilakukan. Serta
menggunakan peralatan memasak yang berbeda untuk mengolah pangan yang
masih mentah dan makanan yang telah matang. Hal tersebut dilakukan agar
tidak terjadi kontaminasi silang (CDC, 2017; IFH, 2014).
Adapun proses pemanasan seperti menggoreng, merebus atau
membakar memerlukan suhu yang optimal waktu yang cukup. Hal tersebut
agar jumlah bakteri yang terkandung dalam pangan berkurang. Minimal
memasak potongan daging sapi, babi atau kambing pada suhu 62.8 ºC, daging
sapi giling pada suhu 71 ºC dan unggas pada 74 ºC (CDC, 2017; IFH, 2014).
22
Penyimpanan pangan atau makanan dengan suhu yang tepat seperti
menyimpan makanan panas atau hangat tetap hangat (30º C – 45 º C) serta
makanan yang dingin pada suhu yang dingin atau dalam lemari pendingin.
Menyimpan makanan dalam lemari pendingin tidak akan membunuh bakteri
namun dapat memperlambat terjadinya perkembangbiakan sehingga jumlah
bakteri dalam makanan tidak banyak dan dapat menyebabkan keracunan
pangan. Sebaiknya pula tidak meletakkan makanan yang telah disimpan di
lemari pendingin terlalu lama pada suhu ruangan karena hal tersebut dapat
mengakibatkan kontaminasi ulang oleh bakteri lain dan bakteri berkembang
biak lebih cepat (IFH, 2014).
Sedangkan pada pangan yang sengaja disajikan dalam keadaan panas
minimal ditempatkan pada fasilitas pemanas dengan suhu minimum 60 ºC.
Serta mengonsumsi makanan segera setelah dimasak, atau jika tidak langsung
dimakan sebaiknya letakkan pada tempat penyimpanan makanan secara tepat
(seperti pada poin 6) (CDC, 2017; IFH, 2014).
E. Jenis Pangan Penyebab Keracunan Pangan
1. Daging non unggas
Pada penelitian case – control FoodNet E. coli banyak ditemukan
pada daging sapi giling dan spesies Salmonella pada daging mentah.
Kejadian Luar Biasa dan kasus sporadik yang terjadi di Inggris, 33%
kasus tersebut disebabkan oleh pangan yang sering ditemukan pada
daging sapi dan daging giling dimana Enterogpathogenic E.coli (EPEC)
merupakan penyebab utamanya (Newell, 2010). EPEC merupakan jenis
strain E. coli yang melekat pada mukosa usus dan merusak vili – vili usus
23
sehingga menyebabkan gejala diare berair (Suwito, 2010). Sedangkan
pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Jones (2006) dan
Fullerton (2006) berdiri menunggu di dekat tempat penjualan daging
mentah dan uggas merupakan faktor risiko baru terjadinya infeksi pada
anak – anak (Scallan, 2007).
Namun kecenderungan sampai saat ini E.coli dengan jenis Vero
cytotoxin producing E.coli (VTEC) yang dulu paling sering dijumpai
pada daging sapi terkontaminan kini juga dijumpai pada feses hewan
ruminansia yang berpotensi menjadi perantara untuk mennkontaminasi
jenis tanaman ataupun sumber air (Newell, 2010). Selain itu pula pada
daging sapi dan babi dapat ditemukan bakteri Staphylococcus spp (Saba
Courage, 2012). Selain itu daging tersebut dapat terkontaminasi selama
proses penyembelihan, pemotongan serta penggilingan. Biasanya selama
transportasi pangan non unggas, bakteri yang berpotensi
menkontaminasi adalah Salmonella (Malangu, s.a.).
2. Daging unggas
Spesies Salmonella biasanya banyak ditemukan di produk ayam
(Scallan, 2007). Secara epidemiologi dan mikrobiologi adanya
peningkatan infeksi Salmonella melalui unggas disebabkan adanya
adaptasi koloni bakteri tersebut pada saluran reproduksi tepatnya pada
indung telur dan saluran telur (Newell, 2010). Sedangkan
Campylobacter banyak menginfeksi manusia melalui daging unggas
(Scallan, 2007). Campylobacter ini juga dilaporkan banyak ditemukan
pada penanganan pangan yang tidak benar pada daging unggas.
24
Di Australia sejak tahun 2006 terjadi peningkatan Kejadian Luar
Biasa akibat infeksi Salmonella yang terdapat pada telur mentah (Kirk,
2014). Selain beberapa bakteri sebelumnya terdapat pula Shigella spp
yang dapat ditemukan pada daging ayam namun menurut penelitian meta
– analisis yang dilakukan oleh Saba di Ghana, daging ayam yang
terkontaminasi tersebut adalah daging ayam impor (Saba Courage,
2012). Menurut data surveilans keracunan pangan CDC, konsumsi telur
berhubungan dengan keracunan pangan yang disebabkan oleh
Salmonella serogrup B dan D. Serta konsumsi daging ayam yang
disajikan di luar rumah berhubungan dengan keracunan pangan dengan
risiko 2.8 kali (95% CI, 1.8-4.4) lebih besar dibandingkan yang disajikan
di rumah (Frederick, 2006).
3. Seafood serta ikan – ikanan
Seafood dan ikan – ikanan banyak mengandung minyak omega – 3
serta konsumsi seafood dan ikan – ikanan berhubungan dengan
penurunan risiko penyakit jantung (Jahns, 2014). Hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan jenis kelamin perempuan lebih banyak
mengonsumsi ikan dibandingkan laki – laki. Dalam frekuensi konsumsi
ikan kurang dari 3 kali dalam seminggu, perempuan lebih banyak
mengonsumsi ikan 51.16% dan dalam frekuensi lebih dari 3 kali dalam
seminggu 60.2% lebih banyak dibandingkan laki – laki (Wennberg,
2012).
Konsumsi ikan atau seafood di Eropa dipengaruhi oleh umur,
pendapatan dan pendidikan (Jahns, 2014; Pieniak, 2010; Verbeke, 2005).
25
Pada penelitian terkait konsumsi ikan dan seafood menunjukkan lebih
banyak pada perempuan yaitu 51.2% (7890 orang), usia 31 – 50 tahun
yaitu 34.66% (5340 orang) dan 51% (7869 orang) yang memiliki
pendapatan di atas batas kemiskinan (Jahns, 2014).
Beberapa jenis ikan – ikanan dan seafood antara lain adalah
kepiting, kerang – kerangan, udang, semua jenis ikan dan lain
sebagainya. Pada ikan – ikanan patogen yang dapat ditemukan dan
menyebabkan keracunan pangan antara lain adalah C. diversus, E. coli,
C. luteola, P. fluorescens/putida, E. sakazakii, C. diversus/amalonatica,
K. pneumonia (Saba Courage, 2012). Selain itu pula pada ikan khususnya
ikan yang diasinkan atau diasapi dapat ditemukan bakteri C. Botulinum.
Pada kerang – kerangan bakteri yang sering ditemukan adalah
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi.
Namun seringkali sebagian masyarakat gemar mengonsumsi
seafood dan ikan – ikanan tanpa dimasak atau cara memasak kurang
adekuat sehingga mengakibatkan bakteri Vibrio cholerae dapat
menginfeksi manusia. Penyebab lain seperti racun yang diproduksi oleh
beberapa jenis ikan juga dapat menyebabkan keracunan pangan. Seperti
ikan kakap merah yang dapat memproduksi ciguatera toxin. Ikan buntal
yang memproduksi racun buntal. Ikan tuna, tenggiri, marlin, marlin,
escolar fish, dan mahi – mahi yang memproduksi racun skromboid.
Sedangkan beberapa jensi kerang juga dapat memproduksi racun yang
menyerang syaraf (HP, s.a.).
26
4. Sayuran
Di negara berkembang, penanaman sayuran seringkali
menggunakan pupuk alami yang berasal ari kotoran hewan yang dapat
menjadi perantara Salmonella untuk menginfeksi manusia. Menurut
Barak (2005), Klerks (2007), Franz dan van Bruggen (2008) telah
terdapat beberapa penelitian yang menemukan Salmonella berkembang
pada sayuran (Newell, 2010). Sedangkan pada rebusan tomat dapat
ditemukan C. freundii, E. sakazakii, E. coli (enteroaggregative localized)
dan pada rebusan sayuran berdaun ditemukan E. cloacae (Saba Courage,
2012).
5. Buah – buahan
Listeria monocytogenes banyak menginfeksi melalui buah
semangka (Scallan, 2007). Selain itu Vero cytotoxin producing E.coli
(VTEC) juga dapat menkontaminasi tanaman buah – buahan melalui
feses hewan ruminansia dimana di negara berkembang feses tersebut
bermanfaat dijadikan sebagai penyubur tanaman (Newell, 2010). Risiko
adanya keracunan pangan tersebut tentunya meningkat apabila individu
mengonsumsi buah – buahan tanpa dicuci ataupun dicuci namun
menggunakan air yang tidak bersih (HP).
6. Mie dan pasta
Pasta atau mie merupakan salah satu sumber karbohidrat yang
biasanya dalam masyarakat tersedia dalam bentuk instan. Salah satu jenis
pasta adalah makaroni dimana pada penelitian yang telah dilakukan
terdapat beberapa jenis patogen yang dapat ditemukan pada makaroni.
27
Patogen tersebut antara lain Shigella sonnei, Pseudomonas
fluorescente/putida, K. pneumoniae, Enterobacter sakazakii, E. coli
(enteroaggregative diffuse, Citrobacter freundií, Serratia liquefaciens,
Enterobacter cloacae, Enterobacter agglomerans, E. coli, Citrobacter
diversus/amalonotica, Citrobacter spp., Proteus mirabilis, Proteus spp,
Enterobacter amnigenus dan Pseudomonas cepacia (Saba Courage,
2012).
7. Nasi dan sagu
Nasi dan sagu merupakan pangan pokok bagi negara tropis seperti
Indonesia. Kontaminasi pada nasi atau sagu dapat terjadi pada beberapa
tahap mulai dari produksi agrikulur, penyimpanan, dan penyiapan (R,
2013). Kasus keracunan di Ghana yang diakibatkan karena mengonsumsi
nasi. Patogen penyebab keracunan pangan yang dapat ditemukan adalah
E. coli (enteroaggregative diffuse), Serratia marcescens, K. pneumoniae,
P. fluorescens/putida (Saba Courage, 2012). Sedangkan pada nasi yang
telah dibakar dapat ditemukan bakteri Bacillus cereus (HP, s.a.).
Selain terdapat beberapa organisme tersebut di dalam nasi,
gandum, atau jagung serta produk pertanian lainnya dapat terkontaminasi
oleh ochratoxin (OTA). OTA merupakan mikotoksin yang diproduksi
oleh beberapa spesies jamur seperti Aspergillus ochraceus dan
Penicilium verrucosum dimana keduanya dapat menyebabkan keracunan
pangan kronis. Sedangkan penelitian di Moroko mendeteksi 60 sampel
sereal yang di jual di negara tersebut 40% – 50% terkontaminasi OTA
(Malangu, s.a.).
28
8. Multiple food
Multiple food atau multi-ingredient merupakan pangan atau
makanan yang lebih dari satu jenis. Pada penelitian yang telah dilakukan
di United States oleh harvey (2016) terdapat 2 KLB keracunan pangan
yang diakibatkan oleh multiple food yang mengandung bakteri
Salmonella typhimurium. Sedangkan Harvey sendiri mendefinisikan
multiple food sebagai sup sayuran dan kentang manis (Harvey, 2016)
9. Gorengan dan bakso
Gorengan ini dapat berupa berbagai macam pangan yang diolah
melalui proses penggorengan yang sangat umum di kalangan masyarakat
Indonesia. Misalnya pada tempe maupun tahu yang dibuat dari kedelai
yang difermentasikan. Di negara lain misalnya Ghana pangan yang
melalui proses fermentasi contohnya ialah koko yang terbuat dari jagung.
Pada koko tersebut patogen yang ditemukan dapat mengakibatkan
keracunan pangan adalah Chryseomonas luteola dan Shigella spp (Saba
Courage, 2012).
10. Jengkol
Jengkol atau Archidendron pauciflorum) merupakan tanaman
yang tumbuh subur di Indonesia, Malaysia, Tailand dan Myanmar dan
digemari oleh masyarakat sebagai makanan dengan berbagai macam
proses pengolahan seperti digoreng, direbus atau dipanggang dan
terkadang dimakan dalam keadaan mentah. Jengkol mengandung asam
djengkolat (djengkolid acid) 0.3 – 1.3 g/100 g, dimana 93% dalam
keadaan bebas (Bunawan, 2014). Namun demikian jengkol ini dapat
29
mengakibatkan keracunan atau disebut djengkolism dengan gejala mual,
muntah, nyeri pinggang, hematuria, oligouri sampai pada gangguan
ginjal.
Kasus djengkolism yang cenderung bersifat sporadik dan tidak
selalu menyebabkan individu yang mengonsumsi jengkol dapat
mengalami keracunan serta mengalami gangguan ginjal. Hal tersebut
tergantung pada faktor host yaitu manusia yang memiliki hipersentifitas
tertentu dan jenis jengkol yang dikonsumsi (Bunawan,
2014).("Supplementary Table 1 : Traditional medicines and edible plants
associated with acute kidney injury,")
11. Makanan kecil (snack)
Beberapa jenis patogen dapat ditemukan pada makanan kecil
seperti Salmonella spp. yang dapat tumbuh pada makanan atau pangan
yang tidak dalam proses misalnya cokelat. Selain itu Listeria
monocytogenes juga dapat ditemukan pada makanan kecil kemasan yang
siap untuk dimakan khususnya yang disimpan pada temperatur lemari
pendingin (Newell, 2010).
F. Tempat Sumber Keracunan Pangan
Keracunan pangan yang terjadi di masyarakat dimana pangan
disiapkan dan disajikan dalam suatu populasi seperti asrama, panti jompo,
penjara dan rumah sakit dengan meningkatnya dua orang atau lebih yang
sakit (Kunwar, 2013). Selain tempat tersebut, keracunan pangan juga dapat
terjadi di tempat lainnya seperti balai terbuka (acara) (42.2%), dapur
30
(23.1%), sekolah (0.1%) dan lainnya (34.6%) (Ahmed, 2015). Beberapa
sumber keracunan pangan antara lain,
a. Rumah Tangga
Rumah tangga sebagai sumber keracunan pangan merupakan
tempat tinggal individu, sekelompok individu atau komunitas tertentu
yang memiliki dapur secara pribadi dan pengolahan pangan serta
penyiapan makanan dilakukan pada rumah tangga tersebut sehingga
berpotensi menimbulkan keracunan pangan. Adapun jenis pangan
yang banyak menyebabkan keracunan pangan di rumah tangga adalah
daging mentah dan unggas, telur, susu yang tidak terpasteurisasi dan
ikan – ikanan mentah (IFH, 2014).
Pada daging mentah baik dari babi, sapi ataupun unggas adanya
infeksi biasanya bersumber dari saluran pencernaan hewan tersebut
yang banyak mengandung organisme penyebab keracunan pangan.
Sedangkan pada proses penyiapan antara lain penyembelihan maupun
penjualan dapat terjadi kontaminasi silang. Hal tersebut diperparah
dengan kurang bersihnya tempat jual beli tersebut. Sedangkan pada
ikan – ikanan dan sayuran kontaminasi dapat dimulai dari proses
pemeliharaan yang menggunakan air limbah terkontaminasi (IFH,
2014).
Pada hasil penelitian di Itali menunjukkan masih terdapat rumah
tangga yang tidak mencuci papan alas pemotong (cutting board)
dengan sabun pada saat mengolah pangan mentah dan menyiapkan
31
makanan. Selain itu mereka juga lebih menyukai papan alas yang
terbuat dari kayu. Serta banyak pula yang tidak percaya pentingnya
mencuci tangan setelah mengolah daging, ungags ataupun ikan
mentah (Langiano, 2012).
b. Jasa boga
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri jasa boga
merupakan usaha untuk melayani pesanan hidangan untuk pesta,
pertemuan dan lain – lain. Dalam penelitian ini jasa boga meliputi
restoran, rumah makan, warung dan katering yang menyediakan jasa
pengolahan pangan untuk berbagai macam acara atau hajatan.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang persyaratan hygiene sanitasi
rumah makan dan restoran, rumah makan adalah setiap tempat usaha
komersial yang memiliki ruang lingkup menyediakan makanan dan
minuman unuk umum di tempat usahanya. Sedangkan restoran adalah
salah satu jenis usaha pangan yang bertempat sebagian dan atau
seluruh bangunan yang permanen dilengkapi dengan peralatan atau
perlengkapan unuk proses pembuatan, penyimpanan, penyajian dan
penjualan makanan atau minuman bagi umum d tempat usahanya.
Menurut Frederick (2006), dari tahun 1998 – 2004 KLB
keracunan pangan yang tercatat dalam data surveilans Centers of
Disease Control (CDC) sebagian besar didapatkan dari restoran
(52%), rumah tangga (18%), sekolah (4%), tidak diketahui (4%) dan
lainnya (22%). Pada keracunan pangan yang bersumber dari restoran,
32
39% disebabkan oleh bakteri, bahan kimia 47%, parasit 24%, virus
48% dan etiologi yang tidak diketahui 56% (Frederick, 2006).
Adapun menurut hasil penelitian sebelumya, jenis kelamin laki-
laki lebih sering mengonsumsi pangan dan makanan di luar rumah
seperti tempat berkumpul, restoran, warung jajanan dan lainnya
(POST, 2003). Hal tersebut sama seperti penelitian yang dilakukan
pada usia 19 – 24 tahun terdapat perbedaan frekuensi makan di
restoran antara laki – laki dan perempuan (nilai P <0.01) dengan
proporsi laki – laki lebih tinggi dibandingkan perempuan (Kristin,
2009).
Selain itu adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang
dipengaruhi oleh tuntutan hidup serta iklim ekonomi yang
mengharuskan untuk bekerja lebih keras sehingga hampir tidak ada
waktu untuk mengolah dan memasak makanan sendiri. Kebiasaan
lebih gemar makan tetapi tidak bisa memasak serta keuntungan
memperoleh makanan dari jasa boga akan mempersingkat waktu dan
lebih instan jika dibandingkan dengan memasak sendiri (Indranil,
2016).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1096 tentang
higiene sanitasi jasa boga, semua usaha jasa boga harus memiliki izin
usaha sesuai peraturan perundang – undangan, yaitu sertifikat yang
dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (jasa boga yang
berada di wilayah pelabuhan, bandar udara, pos pemeriksaan lintas
batas dikeluarkan oleh kepala KKP). Sertifikat tersebut berlaku
33
selama 3 tahun dan dapat diperpanjang jika memenuhi persyaratan.
Cara pengolahan pangan pun juga memiliki ketentuan – ketentuan
yang telah ditetapkan (terlampir). Penjamah pangan harus memiliki
sertifikat kursus hygiene sanitasi makanan, berbadan sehat dan tidak
menderita penyakit menular.
Adapun hasil penelitian yang dilakukan di restauran dan katering
di Iran menunjukkan pada semua sampel makanan (nasi, kebab, ayam
panggang, daging dan ikan) yang diuji pada kedua tempat tersebut
mengandung koliform melebihi standar aman yang ditetapkan (100
cfu/g) (R, 2013). Koliform sendiri didefinisikan sebagai bakteri
aerobik, anareobik fakultatif, gram negatif, tidak berspora yang
menfermentasi laktosa dengan memproduksi asam dan gas selama 48
jam pada suhu optimum yaitu 35 ºC. Selain itu pengujian pada
koliform biasanya dilakukan untuk mengetahui air yang tercemar atau
tidak. Jenis koliform yang sering menimbulkan keracunan pangan
adalah E. coli dan jenis koliform lainnya yang hidup di saluran
pencernaan (DFS, 2007).
c. Pedagang Kaki Lima (PKL)
Adanya perubahan sosial – ekonomi yang dialami oleh beberapa
negara dalam dekade terakhir, termasuk pula negara berkembang.
Seiring dengan perubahan tersebut, pertumbuhan pedagang kaki lima
juga cenderung meningkat. Hal tersebut dapat menjadi sumber
pendapatan pada beberapa orang yang memiliki modal kecil,
khususnya perempuan (Climat, 2013).
34
Pedagang Kaki Lima (PKL) atau street vendors adalah pedagang
yang menyediakan atau menjual makanan atau minuman yang siap
untuk dikonsumsi (ready to eat). PKL merupakan salah satu sumber
keracunan pangan di negara berkembang karena biasanya PKL
melakukan perpindahan tempat dari satu tempat ke tempat lain dengan
alat transportasi (Nonato, 2016). Hal tersebutlah yang biasanya
menyebabkan peralatan dan tempat yang tidak adekuat, sanitasi
lingkungan yang kurang, praktik penyimpanan dan pengolahan
pangan yang kurang tepat serta mutu atau kualitas bahan makanan
yang berkualitas rendah (Burt BM, 2003; Mamun MA, 2013;
Manguiat LS, 2013).
Sumber masalah utama PKL yang dapat menimbulkan keracunan
pangan adalah biasanya tidak terdapat air mengalir, tidak terdapat
disinfektan dan mengakibatkan serangga seperti lalat akan
beterbangan di sekitar pembuangan sampah, kedai atau alat berjualan
biasanya menggunakan peralatan yang sederhana, tidak tersedia toilet
dan tempat untuk mencuci peralatan masak atau makan atau jika ada
biasanya akan sangat terbatas. Pada umumnya PKL akan
menggunakan air dalam baskom untuk mencuci peralatan masak dan
makan serta tangan secara berulang – ulang (Climat, 2013; Mensah,
2002). Hal – hal tersebut berpotensi mengakibatkan keracunan pada
konsumen makanan yang bersumber dari PKL.
Penyiapan pangan atau makanan di jalan menyebabkan tingginya
risiko kontaminasi oleh organisme penyebab keracunan pangan
35
seperti Salmonella, Listeria monocytogenes, Enteropathogenic,
Escherichia coli) (Nonato, 2016). Orang yang sering mengonsumsi
makanan yang diperoleh dari PKL dilaporkan menderita beberapa
penyakit seperti diare, kolera, demam tifoid, dan keracunan pangan
(Mensah, 2002). Selain itu, adanya mobilitas yang dilakukan
menyebabkan risiko polusi dan debu dari jalan (Climat, 2013).
d. Lain-lain
Sumber keracunan pangan lain – lain merupakan sumber
keracunan selain pada rumah tangga, jasa boga, dan PKL. Contoh dari
sumber keracunan pangan lain adalah industri pangan, sekolah, dapur
umum, tempat kerja dan lain – lain. Penelitian di Di New Delhi
menemukan adanya keracunan pangan yang bersumber dari dapur
umum. Keracunan tersebut disebabkan oleh residu pestisida yang
disemprotkan di dapur tersebut untuk mengusir seranggga namun
terdapat bahan masakan mentah yang hanya di simpan di dalam tas
terbuka sehingga menyebabkan residu pestisda (organophosphate)
menkontaminasi. Kejadian tersebut mengakibatkan 60 orang
mengalami kesakitan (Vemula, 2012).
2.2.3 Organisme dan bahan kimia penyebab keracunan
Faktor lainnya keracunan pangan yang penting adalah adanya
organisme atau bahan kimia berbahaya pada pangan. Beberapa keracunan
dapat disebabkan oleh patogen khsusunya Champylobacter jejuni yang
banyak ditemukan pada daging setengah matang. Pada penelitian lainnya
didapatkan bahwa penyebab utama keracunan pangan adalah bakteri (66%),
36
bahan kimia (26%), virus (4%) dan parasit (4%) dengan dua kriteria besar
kategori keracunan pangan yaitu intoxication dan infection (Addis, 2015).
Salmonella, Shigella, Listeria, Campylobacter dan Norovirus merupakan
jenis infection. Sedangkan Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus
dan Bacillus cereus merupakan jenis intoxication dimana masing-masing
penyebab tersebut memiliki kriteria yang berbeda – beda.
Menurut CDC (2006), bakteri memiliki reservoir lingkunganm hewan
ataupun manusia namun hanya berkembang biak di pangan. Sedangkan virus
berkembang biak hanya di sel hidup namun tetap dapat menginfeksi melalui
pangan. Parasit dapat memperbanyak diri pada sel hidup namun tidak dapat
memperbanyak diri pada pangan. Sedangkan di lingkungan dapat membentuk
kista sehingga bersifat resisten pada lingkungan. dan toksin hanya dihasilkan
oleh bakteri tertentu berupa bahan kimia (Ezat, 2013).
Beberapa bakteri penyebab keracunan pangan menurut WHO antara
lain, Salmonella, E. coli, Shigella dysenteriae, Campylobacter jejuni,
Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Listeria monocytogenous,
dan Clostridium botulinum. Namun pada pemeriksaan spesimen di
laboratorium tidak semua bakteri-bakteri tersebut dilakukan pengujian pada
spesimen, melainkan hanya pada bakteri yang umum menjadi penyebab
keracunan di Indonesia antara lain yaitu, Salmonella, Escherichia coli,
Staphylococcus aereus, Vibrio cholerae, Clostridium perfringen dan Bacillus
cereus.
a. Salmonella
37
Salmonella adalah bakteri gram negatif tidak berspora yang berbentuk
batang sehingga sedikit sulit dibedakan di bawah mikroskop dan media agar
dengan Escherichia coli. Salmonella banyak ditemukan pada manusia dan
hewan seperti burung, reptil, dan serangga sebagai reservoir utama. Adanya
keracunan pangan karena salmonella adalah ketika adanya ingesti pangan
yang mengandung salmonella dalam jumlah yang signifikan. Genus
salmonella terdiri dari dua spesies yaitu Salmonella enteric dan Salmonella
bongorl (Addis, 2015). Biasanya sumber kontaminasi ini terdapat pada telur
mentah atau setengah mentah, daging unggas setengah matang, sayur buah
yang mentah yang terkontaminasi atau susu yang tidak dipasteurisasi (WHO).
Gejala yang timbul biasanya adalah diare (seringkali disertai darah, berair,
kehijau-hijauan dan berbau busuk), nyeri perut, menggigil, demam muncul
setelah 2 – 5 hari setelah mekonsumsi pangan yang terkontaminasi. Gejala
ini dapat terjadi lebih parah pada anak – anak (Addis, 2015; WHO). Adapun
masa inkubasi 6 sampai 72 jam dengan rata-rata 12 sampai 36 jam (WHO).
Menurut data surveilans dari CDC, 7% (349 kasus KLB) keracunan pangan
yang terjadi diakibatkan oleh spesies salmolla (Frederick, 2006).
b. Escherichia coli
Escherichia coli merupakan jenis bakteri yang banyak ditemukan pada
manusia atau hewan beradarah panas lainnya. Sebagian besar tidak bersifat
patogen hanya beberapa strain yang dapat menyebabkan keracunan pangan.
Kontaminasi Escherichia coli biasanya melalui air atau pangan misalnya
daging yang tidak matang atau susu yang tidak dipasteurisasi. Gejala yang
timbul akibat terinfeksi jenis bakteri ini adalah diare terkadang disertai darah,
38
demam, kram perut dan muntah dengan masa inkubasi kurang lebih 3 sampai
8 hari namun biasanya adalah 3- 4 hari (WHO). Kebanyakan penderita yang
terinfeksi akan sembuh kurang dari 10 hari (WHO, 2017). Menurut data
surveilans dari CDC, 1% (57 kasus KLB) keracunan pangan yang terjadi pada
tahun 1998 - 2004 diakibatkan oleh E. coli (Frederick, 2006).
c. Staphylococcus aereus
Staphylococcus aereus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk
coccus (Addis, 2015). Bakteri tersebut pada manusia dapat bersifat
komensalis ataupun oportunistik dan memiliki spektrum yang luas (Kadariya,
2014). Sumber terjadinya kotaminasi adalah dari salad, daging ham, ikan
tuna, telur ayam, kentang, makaroni, keju, roti lapis atau olahan kue yang
terkontaminasi selama persiapan, pengolahan maupun penyajian dimana
bakteri tersebut dapat memperbanyak diri pada suhu 7 – 48.5oC atau suhu
optimal yaitu 30 – 37 oC (Kadariya, 2014; WHO). Namun selain pangan-
pangan tersebut, penjamah pangan yang memiliki lesi kulit dapat menjadi
sumber kontaminasi (Addis, 2015). Gejala yang ditimbulkannya antara lain
adalah hipersaliva, mual, muntah, kram perut, dengan atau tanpa diare. Gejala
yang jarang timbul adalah sakit kepala dan demam. Masa inkubasi dimana
gejala mulai muncul sejak terinfeksi adalah 2 – 8 jam (WHO). Menurut data
surveilans dari CDC, 1% (35 kasus KLB) keracunan pangan yang terjadi
diakibatkan oleh spesies staphylococcus (Frederick, 2006)
d. Vibrio cholerae
Bakteri Vibrio cholerae merupakan salah satu penyebab diare akut
dimana diperkirakan terdapat 3-5 juta kasus dan lebih dari 100.000 kematian
39
terjadi setiap tahunnya. Infeksi bakteri ini biasanya tanpa adanya tanda atau
gejala tetapi terkadang memiliki tingkat gejala yang parah. Diperkirakan 1
dari 10 orang yang terinfeksi bakteri Vibrio cholerae akan memiliki gejala
yang parah dengan ditandai diare berair, muntah dan kejang kaki atau
beberapa orang akan mengalami kehilangan cairan tubuh secara cepat atau
dehidrasi sampai terjadi shock. Sehingg tanpa adanya perawatan yang tepat
akan mengakibatkan kematian (CDC, 2016). Masa inkubasi bakteri tersebut
beberapa jam sampai 5 hari, namun baisanya 1 – 3 hari.
e. Clostridium perfringens
Bakteri Clostridium perfringens merupakan bakteri anaerobic, gram
positif penghasil toksin berbahaya yang banyak ditemukan di lingkungan dan
seringkali juga ditemukan di usus manusia dan hewan peliharaan. Spora
bakteri tersebut banyak ditemukan di tanah (FDA, 2014a). Biasanya manusia
terinfeksi oleh bekateri tersebut melalui pangan yang terkontaminasi oleh
toksin yang dihasilkannya. Adanya keracunan pangan biasanya disebabkan
oleh konsumsi daging yang kurang matang dengan suhu pemasakan 70 – 1400
F (Clark, 2005). Individu yang telah terinfeksi bakteri tersebut biasanya akan
menunjukkan gejala 6 sampai 24 jam setelah konsumsi pangan
terkontaminasi. Gejala yang ditimbulkannya pun bermacam-macam antara
lain seperti nyeri perut, kram perut yang diikuti dengan diare, dan mual. Dan
jarang menunjukkan muntah dan demam (Clark, 2005; WHO). Diagnosa
adanya keracunan akibat toksin Clostridium perfringens dapat diketahui
dengan melakukan pemeriksaan spesimen tinja penderita atau pada pangan
yang diduga sebagai penyebab keracunan (FDA, 2014a). Menurut data
40
surveilans dari CDC, 1% (54 kasus KLB) keracunan pangan yang terjadi pada
tahun 1998 - 2004 diakibatkan oleh Clostridium perfringens (Frederick,
2006).
f. Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri yang memiliki ukuran
besar, gram positif, motil, aerob fakultatif, dan berbentuk spora (Tewari,
2015). Sumber keracunan antara lain dagiing, susu, sayuran, dan ikan-
ikannan. Terdapat dua tipe KLB yang disebabkan Bacillus cereus, yaitu tipe
diare dan tipe muntah (FDA, 2014b). Gejala yang ditimbulkannya antara lain
mual, kejang perut dan diare dengan masa inkubasi 1 sampai 6 jam pada tipe
muntah dan 6-24 jam pada tipe diare. Namun biasanya kurang lebih 12 jam
(CDC, 2015).
Dalam mencegah terjadinya keracunan pangan hal yang paling penting
dilakukan adalah memanaskan makanan atau memasak pangan khususnya daging
dengan benar kemudian menggunakan peralatan yang berbeda pada pangan mentah
dan yang telah matang untuk mencegah adanya cross-contamination (Fischer,
2007). Selain itu proses penyimpanan yang adekuat, peningkatan personal hygiene,
menjaga temperatur makanan akan mencegah dan memperlambat pertumbuhan
bakteri (Addis, 2015). Selain disebabkan oleh adanya bakteri, keracunan pangan
juga disebabkan oleh adanya kontaminasi bahan kimia antara lain nitrit, sianida,
arsen, dan logam berat.
a. Nitrit
Penyebab keracunan akibat nitrit biasanya disebabkan oleh zat nitrit
yang digunakan sebagai bahan kuring daging atau air tanah dari sumur
41
dangkal. Masa laten keracunan nitrit adalah 1 sampai 2 jam denga tanda dan
gejala mual, muntah, sianosis, sakit kepala, pusing, lemas, kehilangan
kesadaran serta darah berwarna coklat. Penyebab lain dapat berasal dari
pangan apa saja yang terkontaminasi baik sengaja maupun tidak dan
tumbuhan yang terpajan nitrifikasi yang berlebihan. Dalam pemeriksaan
laboratorium yang dapat diambil sebagai spesimen adalah sisa pangan dan
darah penderita.
b. Sianida
Masa latensi beberapa detik sampai beberapa menit dengan tanda gejala
pusing, sakit kepala, berdebar-debar, napas tidak normal, susah bernapas,
panik. Dengan cepat diikuti dengan muntah, koma, kejang-kejang pada otot,
bradikardi, hipotensi dan asidosis metabolik. Sumber pangan penyebab
keracunan antara lain adalah kernel, bir, tembakau, singkong, tepung tapioka,
kol, bayam, mustard dan berbagai pangan yang terkontaminasi. Pemeriksaan
laboratorium dilakukan dengan menggunakan darah, urin maupun sisa
pangan sebagai sampel.
c. Arsen
Tanda dan gejala keracunan akibat arsen antara lain adalah muntah,
sakit pada lambung, diare dan nafas seperti bawang putih. Masa latensi
kurang lebih adalah 1 jam setelah mengonsumsi pangan yang diduga
terkontaminasi seperti air terkontaminasi terutama air sumur atau
mengonsumsi obat-obatan yang mengandung arsen. Adapun pemeriksaan
laboratorium dapat dilakukan dengan mengambil sisa pangan atau urin
penderita.
42
d. Logam berat
Logam berat antara lain adalaha arsenik, merkuri dan kadmium.
Adapun logam berat yang dapat menyebabkan keracunan pangan pada
manusia adalah air raksa dan kadmium (Aliyah, 2016). Air raksa (Hg) secara
alami di lingkungan manusia seperti limbah pabrik. Ketika air raksa
bercampur dengan air, bakteri akan mengubahnya menjadi senyawa yang
lebih berbahaya misalnya metil merkuri yang kemudian dapat tertimbun di
dalam tubuh ikan. Hal tersebut dapat berlipat atau lebih banyak ditemukan air
raksa pada tubuh ikan dengan ukuran yang lebih besar. Keracunan air raksa
telah terjadi di pantai Minamata dan Niigata. Sedangkan kadar air raksa yang
masih dalam kadar aman adalah 0.4 – 1.0 mg/kg. Logam berat lainnya adalah
kadmium yang banyak bersumber dari lingkungan khususnya pada tumbuhan
yang berasal dari tanah dengan kandungan pupuk fosfat tinggi atau
penggunaan pupuk kandang yang berlebihan (Arisman, 2009).
Sumber adanya keracunana pangan tersebut dapat bersumber dari
laporan puskesmas, rumah sakit atau klinik dan pelayanan kesehatan lainnya,
laporan praktek profesional pelayanan kesehatan, laporan masyarakat melalui
media massa dan laporan masyarakat umum termasuk pula laporan kepala
desa, organisasi sosial, perusahaan atau lainnya (Imari, 2013).
2.2 Pencegahan Keracunan Pangan
Keracunan pangan yang terjadi di UK 39% diakibatkan oleh
penyimpanan makanan yang tidak tepat, 31% diakibatkan proses pengolahan
yang tidak adekuat dan 20% diakibatkan oleh kontaminasi silang (cross-
contamination) serta kontaminasi oleh penjamah pangan (IFH, 2014). Menurut
43
beberapa referensi lain, pencegahan keracunan pangan yang dapat dilakukan
antara lain adalah,
1. Menggunakan peralatan masak dan makan yang telah dicuci dan bersih.
Khusus peralatan masak dan alas pemotong dengan air hangat yang
dicampur sabun.
2. Cuci tangan setelah menjamah pangan dengan menggunakan air mengalir
yang bersih dan disinfektan atau dapat pula menggunakan alkohol serta
hand sanitiser
3. Mencuci bahan pangan yang akan dimasak secara benar yaitu
menggunakan air mengalir dan disinfektan, khususnya pada buah dan
salad
4. Memisahkan antara pangan yang masih mentah dengan makanan yang
telah masak atau siap konsumsi. Serta menggunakan peralatan memasak
yang berbeda untuk mengolah pangan yang masih mentah dan makanan
yang telah matang agar terhindar dari kontaminasi silang
5. Memasak dengan suhu yang optimal dalam beberapa saat yang cukup
untuk mengurangi jumlah bakteri yang terkandung dalam pangan.
Minimal memasak potongan daging sapi, babi atau kambing pada suhu
62.8 ºC, daging sapi giling pada suhu 71 ºC dan unggas pada 74 ºC.
6. Menyimpan makanan dengan suhu yang tepat seperti menyimpan
makanan panas atau hangat tetap hangat (30º C – 45 º C) serta makanan
yang dingin pada suhu yang dingin atau dalam lemari pendingin.
Menyimpan makanan dalam lemari pendingin tidak akan membunuh
bakteri namun dapat memperlambat terjadinya perkembangbiakan
44
sehingga jumlah bakteri dalam makanan tidak banyak dan dapat
menyebabkan keracunan pangan. Sebaiknya pula tidak meletakkan
makanan yang telah disimpan di lemari pendingin terlalu lama pada suhu
ruangan karena hal tersebut dapat mengakibatkan kontaminasi ulang oleh
bakteri lain dan bakteri berkembang biak lebih cepat (IFH, 2014).
7. Sedangkan pada pangan yang sengaja disajikan dalam keadaan panas
minimal ditempatkan pada fasilitas pemanas dengan suhu minimum 60 ºC
8. Mengonsumsi makanan segera setelah dimasak, atau jika tidak langsung
dimakan sebaiknya letakkan pada tempat penyimpanan makanan secara
tepat (seperti pada poin 6) (CDC, 2017; IFH, 2014).
Selain itu upaya yang dapat dilakukan khususnya oleh tenaga kesehatan
untuk menanggulangi kasus keracunan pangan lainnya seperti KLB keracunan
pangan adalah melakukan penyelidikan epidemiologi. Menurut Permenkes RI
Nomor 2 tahun 2013 adalah dengan melakukan penyelidikan. Penyelidikan
epidemiologi keracunan pangan merupakan serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara sistematis terhadap situasi KLB keracunana pangan dengan
pendekatan epidemiologi (Imari, 2013). Penyelidikan tersebut dapat dilakukan
kepada penderita ataupun seluruh aspek yang terkait dengan higiene sanitasi
pangan. Penyelidikan tersebut bertujuan antara lain adalah (Imari, 2013),
1. untuk mengetahui agen penyebab keracunan pangan, gambaran
epidemiologi dan kelompok yang terancam keracunan pangan, sumber dan
data terjadinya keracunan pangan.
2. menentukan bagaimana cara penanggulangan yang efektif dan efisien
dengan melakukan 3 hal yaitu melakukan pertolongan pada korban
45
keracunan yang meliputi pemeriksaan, pengobatan, detoksifikasi atau
perawatan dan mencegah meluasnya KLB dengan upaya penyuluhan pada
masyarakat, pengendalian faktor risiko dan kegiatan surveilans.
Keberhasilan penyelidikan epidemiologi tersebut ditentukan oleh
kecepatan respon dan tindakan ketika terjadi KLB keracunan pangan.
menurut WHO langkah-langkah penyelidikan epidemiologi adalah (WHO,
2008),
1. memastikan adanya KLB keracunan pangan dari laporan yang
didapatkan
2. memverifikasi adanya diagnosa
3. mendefinisikan dan mengetahui jumlah kasus yang ada
4. menentukan populasi berisiko
5. mengembangkan hipotesis
6. mengevaluasi hipotesis
7. melakukan studi epidemiologi, lingkungan atau laboratorium sebagai
tambahan penting
8. melakukan pencegahan dan pengendalian
9. melakukan komunikasi hasil penyelidikan
Menurut Imari (2013), langkah-langkah penyelidikan epidemiologi
dapat disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Namun prinsip umum
penyelidikan tersebut antara lain adalah (Imari, 2013),
1. menerima informasi adanya indikasi KLB dengan langsung melakukan
penyelidikan awal
2. epidemiologi deskriptif
46
3. menerapkan surveilans selama periode KLB
4. merumuskan rekomendasi penanggulangan KLB
5. membuat laporan
6. menyebarluaskan hasil penyelidikan KLB
Sebaiknya dalam melakukan penyelidikan dibentuk tim khusus yang
memiliki multidisiplin ilmu yang terdiri dari praktisi kesehatan masyarakat
atau epidemiolog, petugas kemanan pangan, laboran dalam bidang
mikrobiologi, toksikologi, atau ilmu lainnya yang berkaitan, petugas medis,
kepala puskesmas ataupun rumah sakit serta penyedia logistik (WHO, 2008).
2.3 Studi Potong Lintang (Cross-Sectional Study)
Studi potong lintang merupakan salah satu desain studi penelitian
observasional dalam bidang kesehatan. Sampel penelitian merupakan individu
yang berasal dari populasi yang diketahui pajanan dan outcome berupa
penyakit. Jenis studi ini cenderung untuk mengetahui prevalensi penyakit pada
masyarakat tanpa diketahui waktu atau durasi penyakit tersebut muncul karena
pengambilan data dilakukan dalam sekali waktu. Hal tersebutlah yang
menjadikan desain studi potong lintang mudah dilakukan namun merupakan
desain studi yang paling lemah dibandingkan kasus kontrol (case control) dan
kohrt (cohort) (CDC, 2012; Elwood, 2000).
Dalam penelitian ini studi potong lintang yang digunakan adalah untuk
mengetahui faktor risiko serta kecenderungan penyakit sehingga dapat
ditentukan strategi intervensi yang akan dipilih sebagai upaya pencegahan
(Morgenstern, 1995). Studi potong lintang mengukur prevalensi penyakit yang
47
ada di masyarakat dan sesuai digunakan sebagai dasar dalam perencanaan
pelayanan kesehatan (BMJ, 2017).
2.4 Kerangka Teori
Menurut beberapa penelitian sebelumnya, keracunan pangan dapat
terjadi apabila terjadi ingesti pangan yang mengandung patogen ataupun zat
kimia (Addis, 2015; HP, s.a.; Kadariya, 2014; Kirk, 2014; Mutalib, 2014;
Newell, 2010; Saba Courage, 2012; Scallan, 2007). Namun juga terdapat
faktor lainnya yaitu faktor pejamu dan lingkungan dimana keduanya
berinteraksi dengan patogen atau bahan kimia sehingga menyebabkan
keracunan pangan. Adapun faktor pejamu keracunan pangan adalah faktor
manusia yang ikut mempengaruhi untuk mengalami keracunan pangan. faktor
tersebut antara lain adalah jenis kelamin, umur, status pekerjaan, pendapatan,
pengetahuan, tingkat pendidikan yang dimiliki oleh manusia (Abd-ELhaleem,
2011; Arganini, s.a.; Gumbo, 2015; Osei-Tutu, 2016; Teschke, 2010) (Climat,
2013; Jahns, 2014; Sharif, 2009).
Sedangkan faktor lingkungan adalah sanitasi lingkungan dan
kebersihan individu baik penjamah pangan maupun konsumen dimana
keduanya juga dipengaruhi oleh musim (Campos, 2009; Climat, 2013; Fischer,
2007; Linscott, 2011). Selain itu pengolahan pangan yang tidak adekuat seperti
pemanasan, penyimpanan serta penyajian yang kurang tepat dapat
menyebabkan keracunan pangan (Climat, 2013; HP, s.a.; Malangu, s.a.; MOH,
2007). Pada beberapa kasus keracunan pangan merupakan tindakan sengaja
yang dilakukan oleh individu tetentu (Malangu, s.a.; Xue, 2011).
48
Serta jenis kelamin tertentu akan lebih cenderung mengonsumsi jenis
pangan yang didapatkan dari tempat tertentu yang dipengaruhi oleh
pengetahuan yang didapatkan dari lingkungan pendapatan dan aspek religius
yang dimiliki oleh seseorang (Ahmed, 2015; Arganini, s.a.; Elmadfa, 2005;
Frederick, 2006; IFH, 2014; Jahns, 2014; Kunwar, 2013; Malangu, 2016; Saba
Courage, 2012; Shiferaw, 2012; Wardle J, 2004).
Bagan020.1 Kerangka Teori Penelitian
Faktor pejamu
- Umur
- Jenis kelamin
- Pengetahuan
- Tingkat pendidikan
- Status pekerjaan
- Pendapatan
Faktor lingkungan
- Musim
- Jenis pangan penyebab
keracunan pangan
- Sumber keracunan pangan
- Religius
- Kejahatan
- Sanitasi lingkungan
- Kebersihan perorangan
- Pengolahan pangan
Keracunan
pangan
Faktor agen penyebab
Organisme dan bahan kimia
penyebab keracunan pangan
49
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka teori pada penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya
keracunan pangan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adanya organisme
atau bahan kimia, kejahatan, kebersihan individu, sanitasi lingkungan, musim,
jenis pangan, pengolahan pangan, pengetahuan, tingkat pendidikan, jenis
kelamin, umur, pendapatan, tempat sumber keracunan pangan, mobilitas dan
status pekerjaan.
Namun dalam penelitian ini tidak semua faktor tersebut dapat dijadikan
sebagai variabel penelitian. Faktor yang tidak dijadikan sebagai variabel
penelitian adalah adanya organisme atau bahan kimia, kejahatan, kebersihan
individu, sanitasi lingkungan, pengolahan pangan, pengetahuan, tingkat
pendidikan, pendapatan, mobilitas dan status pekerjaan. Hal tersebut
disebabkan faktor atau variabel tersebut tidak diukur oleh BPOM – RI.
Bagan03.0.1 Kerangka Konsep Penelitian
Tempat sumber Keracunan
pangan
Jenis kelamin Jenis pangan
Musim
Umur
Keracunan
Pangan
Keterangan
: Analisis deskriptif
: Analisis deskriptif
bertahap
50
3.2 Definisi Operasional
Adapun definisi operasional variabel pada penelitian ini adalah sebagai berikut,
Bagan03. 0.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Pengukuran Skala
Ukur
1 Sumber
keracunan
pangan
Tempat atau lokasi individu
mendapatkan pangan
sehingga menyebabkan
keracunan pangan dan tercatat
dalam data laporan Siker
Nasional BPOM – RI tahun
2016
Telaah dokumen
pelaporan keracunan
pangan yang
didapatkan dari Siker
Nasional BPOM – RI
dari tahun 2016
Formulir catatan
medis kasus
keracunan di
Instalasi Gawat
Darurat (IGD)
1. Rumah tangga
2. Jasa boga
3. PKL
4. Lain – lain dan tidak
tahu
Nominal
51
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Pengukuran Skala
Ukur
2 Umur Umur kasus keracunan
pangan dalam tahun yang
diperoleh dari laporan Siker
BPOM – RI Nasional tahun
2016
Telaah dokumen
pelaporan keracunan
pangan yang
didapatkan dari Siker
Nasional BPOM – RI
dari tahun 2016
Formulir catatan
medis kasus
keracunan di
Instalasi Gawat
Darurat (IGD)
1. Umur < 6 tahun dan >
59 tahun (Imunitas
rendah)
2. Umur 6 – 59 tahun
(Imunitas optimal)
(Lund, 2011)
Nominal
3 Jenis
kelamin
Jenis kelamin kasus
keracunan pangan yang
diperoleh dari laporan yang
Siker Nasional BPOM – RI
tahun 2016
Telaah dokumen
pelaporan keracunan
pangan yang
didapatkan dari Siker
Nasional BPOM – RI
dari tahun 2016
Formulir catatan
medis kasus
keracunan di
Instalasi Gawat
Darurat (IGD)
1. Laki-laki
2. Perempuan
Nominal
52
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Pengukuran Skala
Ukur
4 Musim Waktu berdasarkan bulan
terjadinya keracunan pangan
berdasarkan ketetapan BMKG
serta kasus keracunan tersebut
tercatatat dalam laporan
keracunan Siker Nasional
BPOM – RI tahun 2016
Telaah dokumen
pelaporan keracunan
pangan yang
didapatkan dari Siker
Nasional BPOM – RI
dari tahun 2016
Formulir catatan
medis kasus
keracunan di
Instalasi Gawat
Darurat (IGD)
1. Musim hujan
2. Musim kemarau
Nominal
5 Jenis
pangan
penyebab
Jenis pangan yang dikonsumsi
oleh individu sehingga
menyebabkan keracunan
pangan melalui anamnesa
Telaah dokumen yang
didapatkan dari Siker
Nasional BPOM – RI
dari tahun 2016
Formulir catatan
medis kasus
keracunan di
1. Seafood, ikan – ikanan
2. Mie instan dan nasi
3. Daging merah dan
unggas
Nominal
53
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Pengukuran Skala
Ukur
keracunan
pangan
baik kepada kasus, keluarga
kasus ataupun yang orang lain
yang mengetahui kronologi
kejadian dan tercatat dalam
laporan keracunan Siker
Nasional BPOM – RI tahun
2016
Instalasi Gawat
Darurat (IGD)
4. Multiple food
5. Makanan kecil
6. Lain – lain
(Shiferaw, 2012)
54
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian epidemiologi deskriptif dengan desain
studi cross-sectional. Penelitian ini merupakan analisis lanjutan dari BPOM –
RI pada tahun 2016 sehingga diperoleh penjelasan terkait analisis bertahap
terkait keracunan pangan yang terjadi di DKI Jakarta.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2017 di
DKI Jakarta. Adapun Sentra Informasi Keracunan (Siker) Nasional BPOM –
RI merupakan instanasi pemerintah yang menjadi sumber data dalam penelitian
ini, dimana instansi tersebut mendapatkan data keracunan pangan dari rumah
sakit di DKI Jakarta.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah masyarakat DKI Jakarta yang mengalami
keracunan pangan dan tercatat dalam laporan Sikernas BPOM – RI pada tahun
2016. Adapun jumlahnya adalah 213 orang. Sedangkan sampel penelitian
adalah populasi yang memiliki kriteria inklusi sebagai berikut,
1. terdapat dalam laporan Siker Nasional BPOM – RI tahun 2016
2. data memiliki variabel lengkap.
Setelah diterapkan kriteria inklusi tersebut hanya terdapat 208 kasus
keracunan pangan yang dijadikan sebagai sampel penelitian.
55
Bagan04.1 Alur Pengambilan Sampel
4.4 Sumber dan Instrumen Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari Siker Nasional BPOM – RI. Data tersebut merupakan laporan
kasus keracunan pangan di luar dari data Kejadian Luar Biasa (KLB)
keracunan pangan. Metode pengumpulan data oleh Siker Nasional BPOM – RI
adalah laporan oleh rumah sakit di DKI Jakarta dengan menggunakan
instrumen berupa formulir yang diadaptasi dari intox general yang kemudian
dilakukan penyesuaian oleh dokter Unit Gawat Darurat (UDG) dengan
mempertimbangkan fisibiltas dan kebutuhan. Namun karena pelaporan bersifat
sukarela (voluntary) menyebabkan tidak semua rumah sakit di DKI Jakarta
melaporkan adanya keracunan pangan kepada pihak Siker Nasional BPOM –
RI.
Terdapat 213 kasus keracunan
pangan yang diperoleh dari Siker
Nasional BPOM - RI
Diperoleh 208 keracunan pangan
pangan yang dapat dijadikan
sebagai sampel penelitian
Diterapkan kriteria
inklusi, yaitu terdapat
dalam laporan Siker
Nasional BPOM – RI
tahun 2016 Diperoleh 213 kasus keracunan
pangan yang diperoleh dari Siker
Nasional BPOM - RI
Diterapkan kriteria
inklusi, yaitu
kelengkapan variabel
0 kasus
dikeluarkan
5 kasus
dikeluarkan
56
4.5 Manajemen Data
4.5.1 Pemeriksaan Kelengkapan dan Pengkodean
Data yang telah diperoleh dari Siker Nasional BPOM – RI
diperiksa kembali kelengkapannya. Adapun kelengkapan tersebut
adalah kelengkapan variabel umur, jenis kelamin, musim, jenis pangan
penyebab keracunan pangan serta sumber keracunan pangan. Variabel
yang ditemukan tidak lengkap akan dikeluarkan. Kemudian data yang
telah lengkap diberikan kode untuk mempermudah dalam proses
analisis. Pemberian kode sesuai dengan definisi operasional pada tabel
berikut,
Tabel040.1 Kode Variabel dalam Penelitian
No Variabel Kode
Vari-
abel
Jumlah
Awal
Data
Lengkap
Data
Missing
Nilai
Missing
(%)
1 Umur
213 213 0 0
< 6 tahun dan > 59 tahun
(imunitas rendah)
1
6 – 59 tahun (imunitas
optimal)
2
2 Jenis kelamin
213 213 0 0 Laki-laki 1
Perempuan 2
3 Musim
213 213 0 0 Musim hujan 1
Musim kemarau 2
4 Jenis Pangan
213 208 5 2.35
Seafood, ikan – ikanan 1
Lain – lain 2
Mie instan dan nasi 3
Daging merah dan unggas 4
Multiple food 5
Makanan kecil 6
57
No Variabel Kode
Vari-
abel
Jumlah
Awal
Data
Lengkap
Data
Missing
Nilai
Missing
(%)
5 Sumber keracunan pangan
213 213 0 0
Rumah tangga 1
Jasa boga 2
PKL 3
Lain – lain 4
Tidak tahu 5
4.5.2 Pemasukan Data
Data yang telah diberikan kode pada setiap variabelnya akan
dimasukkan pada aplikasi statistik untuk dilakukan analisis deskriptif.
4.5.3 Pembersihan data
Data yang telah dimasukkan dalam aplikasi statistik akan
diperiksa kembali dengan tujuan menghindari adanya missing data.
4.5.4 Analisis data
Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif yang berguna
untuk mengetahui frekuensi atau distribusi sampel penelitian
berdasarkan karakteristik umur, jenis kelamin, musim, sumber
keracunan pangan dan jenis pangan penyebab keracunan pangan. serta
menggunakan analisis deskriptif bertahap pada variabel jenis kelamin,
jenis pangan dan tempat sumber keracunan pangan.
58
BAB V
HASIL
5.1 Proporsi Umur, Jenis Kelamin, Musim, Jenis Pangan dan Sumber Keracunan
Pangan pada Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016
5.1.1 Umur
Diagram05.1 Proporsi Keracunan Pangan Berdasarkan Umur di DKI Jakarta
Tahun 2016
Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016
Berdasarkan diagram di atas, keracunan pangan dapat terjadi pada semua
umur berdasarkan status imunitas. Namun pada tahun 2016 keracunan pangan di
DKI Jakarta banyak terjadi pada golongan umur yang memiliki imunitas optimal
(92.3%) dibandingkan golongan umur yang memiliki imunitas rendah (7.7%).
8%
92%
Imunitas Rendah Imunitas Optimal
59
5.1.2 Jenis kelamin
Diagram 5.2 Proporsi Keracunan Pangan Berdasarkan Jenis Kelamin di DKI
Jakarta Tahun 2016
Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016
Berdasarkan diagram di atas, proporsi keracunan pangan di DKI Jakarta tahun
2016 berdasarkan jenis kelamin lebih banyak dialami oleh jenis kelamin perempuan
dibandingkan laki – laki. Proporsi keracunan pangan pada perempuan tersebut
adalah 51.4%.
5.1.3 Musim
Diagram05.3 Proporsi Keracunan Pangan Berdasarkan Musim di DKI Jakarta
Tahun 2016
Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016
49%51%
Laki - laki Perempuan
38%
62%
Hujan Kemarau
60
Pada diagram di atas, proporsi keracunan pangan di Jakarta pada tahun 2016
banyak terjadi pada musim kemarau dengan proporsi 62%, sedangkan proporsi
keracunan pangan pada musim hujan adalah 38%.
5.1.4 Jenis Pangan
Tabel 5. 00.1 Proporsi Jenis Pangan Penyebab Keracuanan Pangan di DKI Jakarta
Tahun 2016
Jenis Pangan Jumlah (n) Proporsi (%)
Seafood, ikan-ikanan 109 52.4
Mie instan dan nasi 12 5.8
Daging merah unggas 15 7.2
Multiple food 32 15.4
Makanan kecil 25 12
Lain – lain 15 7.2
Jumlah 208 100
Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016
Berdasarkan tabel di atas pada tahun 2016 jenis pangan yang banyak
menyebabkan kecunan pangan di DKI Jakarta adalah seafood dan ikan – ikanan
dengan proporsi 52.4%. Sedangkan untuk jenis pangan mie instan, daging merah
dan unggas serta lain – lain memiliki proporsi masing – masing yaitu 12%, 15%
dan 15%.
5.1.5 Sumber Keracunan Pangan
Tabel 500.2 Proporsi Sumber Keracunan Pangan di DKI Jakarta pada Tahun 2016
Sumber Keracunan Pangan Jumlah (n) Proporsi (%)
Rumah tangga 96 46.2
Jasa boga 68 32.7
Jajanan PKL 26 12.5
Lain-lain dan tidak tahu 18 8.7
Jumlah 208 100
Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016
61
Berdasarkan tabel di atas keracunan pangan yang terjadi di DKI Jakarta tahun
2016 lebih banyak bersumber dari olahan rumah tangga dengan proporsi 46.2% dan
jasa boga dengan proporsi 32.7%. Sedangkan sumber lain – lain dan tidak diketahui
cenderung memiliki proporsi yang rendah yaitu 8.7%.
5.2 Distribusi Sumber Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016
5.2.1 Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 : Laki – laki
Tabel 5.3 Proporsi Jenis Pangan pada Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun
2016 : Laki – laki
Jenis Pangan Jumlah (N) Proporsi (%)
Seafood, ikan-ikanan 44 43.6
Mie instan dan nasi 10 9.9
Daging merah dan unggas 6 5.9
Multiple food 20 19.8
Makanan kecil 13 12.9
Lain – lain 8 7.9
Jumlah 101 100
Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016
Berdasarkan tabel di atas, keracunan pangan di DKI Jakarta pada laki – laki banyak
disebabkan karena konsumsi seafood dan ikan – ikanan (43.6%) serta multiple
food (19.8%). Sedangkan jenis pangan daging merah dan unggas (5.9%) dan lain -
lain (7.9%) paling sedikit menyebabkan keracunan.
62
Tabel 50.4 Jenis Pangan Berdasarkan Sumber Keracunan pada Laki – laki di DKI
Jakarta Tahun 2016
Jenis Pangan
Tempat Sumber Keracunan Pangan
Rumah
Tangga
N (%)
Jasa Boga
N (%)
PKL
N (%)
Lain – lain
& tidak
tahu
N (%)
Seafood, ikan-ikanan 25 (53.19) 13 (46.42) 4 (26.67) 2 (18.19)
Mie instan dan nasi 3 (6.38) 4 (14.28) 1 (6.67) 2 (18.19)
Daging merah dan unggas 3 (6.38) 3 (10.71) 0 (0.00) 0 (0.00)
Multiple food 8 (17.02) 6 (21.42) 4 (26.67) 2 (18.19)
Makanan kecil 2 (4.25) 2 (7.14) 6 (40) 3 (27.24)
Lain – lain 6 (12.76) 0 (0.00) 0 (0.00) 2 (18.19)
Jumlah 47 (100) 28 (100) 15 (100) 11 (100)
Berdasarkan tabel di atas, jenis pangan yang menyebabkan keracunan pangan di
DKI Jakarta pada laki – laki banyak yang bersumber dari rumah tangga adalah
seafood, ikan-ikanan (53.19%) dan multiple food (17.02%). Sedangkan jenis
pangan yang banyak menyebabkan keracunan pangan yang bersumber dari jasa
boga adalah seafood, ikan-ikanan (46.42%) dan multiple food (21.42%). Dan jenis
pangan paling banyak bersumber dari PKL adalah seafood, ikan-ikanan dan
multiple food masing – masing 26.67%. Serta pada sumber lain – lain dan tidak
diketahui makanan kecil banyak menyebabkan keracunan pangan yaitu 27.24%.
Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016
63
5.2.2 Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 : Perempuan
Tabel 5.5 Proporsi Jenis Pangan pada Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun
2016 : Perempuan
Jenis Pangan Jumlah (N) Proporsi (%)
Seafood, ikan-ikanan 65 60.7
Mie instan dan nasi 2 1.9
Daging merah dan unggas 9 8.4
Multiple food 12 11.2
Makanan kecil 12 11.2
Lain – lain 7 6.5
Jumlah 107 100
Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016
Berdasarkan tabel di atas, keracunan pangan di DKI Jakarta pada perempuan
banyak disebabkan karena konsumsi seafood dan ikan – ikanan (60.7%) serta
multiple food (11.2%) dan makanan kecil (11.2%). Sedangkan Mie instan dan nasi
juga menyebabkan keracunan pangan namun memiliki proporsi yang kecil (1,9%).
64
Tabel 5.6 Jenis Pangan dan Tempat Sumber Penyebab keracunan Pangan pada
Perempuan di DKI Jakarta Tahun 2016
Jenis Pangan
Tempat Sumber Keracunan Pangan
Rumah
Tangga
N (%)
Jasa Boga
N (%)
PKL
N (%)
Lain – lain
& tidak
tahu
N (%)
Seafood, ikan-ikanan 34 (69.38) 28 (70.00) 2 (18.18) 1 (14.29)
Mie instan dan nasi 1 (2.04) 1 (2.50) 0 (0.00) 0 (0.00)
Daging merah dan unggas 5 (10.20) 4 (10.0) 0 (0.00) 0 (0.00)
Multiple food 5 (10.20) 4 (10.0) 2 (18.18) 1 (14.29)
Makanan kecil 1 (2.04) 3 (7.50) 7 (63.63) 1 (14.29)
Lain – lain 3 (6.12) 0 (0.00) 0 (0.00) 4 (57.14)
Jumlah 49 (100) 40 (100) 11 (100) 7 (100)
Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016
Berdasarkan tabel di atas, jenis pangan yang menyebabkan keracunan pangan di
DKI Jakarta pada perempuan banyak yang bersumber dari rumah tangga adalah
seafood, ikan-ikanan (69.38%), daging merah dan unggas serta multiple food
(10.20%). Sedangkan jenis pangan yang banyak menyebabkan keracunan pangan
yang bersumber dari jasa boga adalah seafood, ikan-ikanan (70%). Dan jenis
pangan paling banyak bersumber dari PKL makanan kecil (63.63%). Serta pada
sumber lain – lain dan tidak diketahui janis pangan lain – lain banyak menyebabkan
keracunan pangan yaitu 57.14%.
65
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil
penelitian yang tidak dapat diprediksi oleh peneliti. Adapun keterbatasan tersebut
antara lain adalah,
1. Masih ada kemungkinan terdapat kasus keracunan pangan di masyarakat
namun tidak masuk dalam sampel penelitian karena kasus bersifat sporadik dan
tidak semua penderita keracunan pangan melakukan pencarian pengobatan.
Serta belum terdapat peraturan terkait pelaporan kasus keracunan pangan yang
dilakukan oleh rumah sakit kepada Siker Nasional BPOM – RI, sehingga
pelaporan tersebut dilakukan secara sukarela yang berakibat pada tidak semua
kasus dapat tercatat dan terlapor.
6.2 Proporsi Faktor – faktor Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016
6.2.1 Umur
Hasil penelitian keracunan pangan di DKI Jakarta, kasus keracunan
pangan banyak dialami oleh individu yang berumur 6 – 59 tahun dengan
proporsi 92.3%. dalam penelitian ini umur 6 – 59 tahun merupakan golongan
umur yang memiliki status imunitas optimal dimana sistem imunitas telah
berkembang dengan baik dan mampu melawan patogen atau benda asing
yang menginfeksi tubuh. Sedangkan umur kurang dari 6 tahun dan lebih dari
59 tahun merupakan golongan umur yang memiliki status imunitas rendah.
Penentuan status imunitas tersebut berdasarkan pada variabel umur yang
didapatkan dari data sekunder dari Siker Nasional BPOM - RI. Dengan
66
demikian keracunan pangan di DKI Jakarta pada tahun 2016 banyak dialami
oleh golongan umur optimal.
Umur merupakan salah satu faktor pejamu yang memicu kerentanan
individu terhadap terjadinya keracunan pangan. Selain itu terdapat pula faktor
penentu lainnya seperti status immunodeficiency syndrome, wanita hamil,
pasien yang sedang menjalani perawatan radiasi atau obat-obatan kanker,
pasien diabetic syndrome, penyakit liver dan ginjal serta penjamah pangan
(Lund 2011, Osei – Tutu, 2016, CDC, 2016). Seperti pada pasien transplantasi
organ lebih banyak terinfeksi Salmonella dan mengalami gastroenteritis
dengan proporsi 20 - 30% dibandingkan individu yang tidak melakukan
transplantasi organ (Lund, 2011). Namun pada penelitian ini yang digunakan
sebagai penentu status imunitas adalah umur. Hal tersebut disebabkan
keterbatasan variabel pada sumber data.
Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan di
Zimbabwe dan Mesir oleh Teschke (2010), Abd-Elhaleem (2011) dan Gumbo
(2015) bahwa keracunan pangan juga dialami oleh kelompok umur 6 – 59
tahun (Abd-ELhaleem, 2011; Gumbo, 2015; Majowicz, 2004; Teschke,
2010).
Sedangkan berbeda dengan hasil penelitian lain yang dilakukan oleh
Majowicz (2004), Kariuki (2008), Abd – Elhaleem (2011), Painter (2013),
dan Pardhan-Ali (2017) dimana keracunan pangan banyak dialami oleh
kelompok umur kurang dari 10 tahun dan lebih dari 60 tahun (Abd-ELhaleem,
2011; Kariuki, 2008; Majowicz, 2004; Painter, 2013). Keracunan pangan
67
pada penelitian tersebut banyak terjadi pada kelompok umur yang memiliki
sistem imunitas tubuh rendah.
Sistem imunitas rendah yang dimiliki oleh kelompok umur kurang dari
6 tahun dan lebih dari 59 tahun, disebabkan oleh sistem imunitas tubuh yang
belum berkembang secara baik atau mengalami penurunan fungsional.
Menurut penelitian sebelumnya, khusus pada umur lebih dari 59 tahun terjadi
penurunan kadar pH dalam lambung yang dimiliki oleh enzim HCL
(Hydrocloric acid). Penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian di Kota
Sao Paulo yang menyatakan bahwa proporsi penderita gastritis atrofik
meningkat dengan bertambahnya usia (AAP, 2014; Lucy, 2003; Lund, 2011;
Pardhan-Ali, 2017). Adanya penurunan tersebut tentunya akan
mempermudah terjadinya infeksi pada saluran makanan. Karena fungsi utama
enzim HCL adalah membunuh organisme patogen sehingga apabila terdapat
infeksi walaupun dalam jumlah yang sedikit akan menimbulkan manifestasi
klinis yang berarti seperti mual, muntah, demam, sakit perut dan lain – lain.
Sedangkan pada individu yang mengonsumsi susu mentah (tidak
terpasterurisasi) akan meningkatkan infeksi lambung oleh bakteri penyebab
keracunan pangan. Hasil penelitian di Pennsylvania, uji laboratorium pada
sampel susu mentah ditemukan beberapa bakteri seperti Campylobacter
jejuni (2%), Shiga toxin-producing Escherichia coli (2.4%), Listeria
monocytogenes (2.8%), Salmonella (6%), and Yersinia enterocolitica (1.2%)
(Jayarao, 2006). Sedangkan pada uji laboratorium pada susu dan daging
(daging sapi, daging kambing, daging domba, daging unta dan daging kerbau)
21.90% susu dan 26.25% daging positif diisolasi berbagai spesies H. Pylori
68
(Saeidi, 2016). Namun pada penelitian lain menyebutkan konsumsi
fermentasi susu dapat mencegah peradangan lambung dan kerusakan mukus
yang terdapat pada lambung (Pantoflickova, 2003; Sachdeva, 2014).
Adanya variasi antara hasil penelitian ini dan beberapa penelitian
sebelumnya tentunya dipengaruhi oleh faktor lain selain sistem imunitas
tubuh. Pada kelompok umur 6 – 59 tahun, individu cenderung memiliki
banyak aktivitas sehingga menciptakan berbagai kontak terhadap manusia
lainnya atau pun barang – barang di lingkungan sekitar. Menurut Tood (2010)
dalam Abd-Elhaleem (2011) seiring dengan meningkatnya aktivitas biasanya
kontaminasi jari tangan juga akan meningkat seperti penggunaan toilet,
menyentuh hidung, menyentuh benda – benda lainnya atau pun menyentuh
pangan mentah yang biasanya masih banyak mengandung patogen.
Pada usia sekolah, anak – anak yang belum mengenal kebersihan baik
diri dan lingkungan secara baik cenderung akan berperilaku kurang baik.
Seperti tidak mencuci tangan sebelum makan dan bermain, serta tidak
mencuci tangan setelah menggunakan toilet. Penelitian di Grenade
menyebutkan bahwa 11.9% siswa di sekolah menengah tidak pernah atau
jarang mencuci tangan sebelum makan dan 3.7% tidak pernah atau jarang
mencuci tangan setelah menggunakan toilet (Glasgow, 2013). Pasir, tanaman,
hewan, toilet ataupun benda di lingkungan sekitar merupakan media
penyebaran patogen yang dapat menginfeksi karena terbawa oleh jaringan
kulit akibat kontak yang terjadi. Selain itu perilaku tersebut cenderung
disebabkan oleh pengetahuan kebersihan dan pencegahan keracunan pangan
yang rendah.
69
Adapun pada golongan imunitas optimal juga terdapat kelompok yang
berstatus sebagai pekerja karena telah memasuki usia produktif. Beberapa
diantaranya pula juga memiliki status sebagai orang tua. Pekerja memiliki
aktivitas di dalam maupun di luar ruangan. Aktivitas pekerja cenderung
memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan anak usia sekolah. Pada umur 6 –
59 tahun, individu cenderung memiliki mobilitas lebih tinggi dibandingkan
dengan usia kurang dari 6 tahun dan lebih 59 tahun. Dengan tingkat mobilitas
tinggi tersebut, individu akan lebih sulit menjaga kebersihan diri, terutama
kebersihan tangan sebelum dan sesudah mengonsumsi pangan. Karena di
Indonesia tidak semua tempat menyedikan tempat mencuci tangan dan sabun
sebagai desinfektan.
Sedangkan orang tua yang memiliki tugas untuk merawat dan
mengasuh anak juga memiliki risiko tinggi untuk mengalami keracunan
pangan. Anak – anak usia sekolah yang cenderung memiliki pengetahuan
rendah terkait kebersihan dapat pula meningkatkan risiko untuk mengalami
keracunan pangan. Serta berrisiko pula untuk menyebarkan patogen kepada
orang lain. Terutama pada ibu sebagai anggota keluarga yang dekat dengan
anak.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Pardhan-Ali (2017), adanya
kontak orang tua terhadap anak kecil khususnya bayi akan meningkatkan
risiko infeksi pada orang tua. Namun hal tersebut tentunya jika anak dalam
pola pengasuhan yang memiliki sanitasi lingkungan dan kebersihan diri yang
buruk (Pardhan-Ali, 2017).
70
Tingginya keracunan pangan yang terjadi pada umur 6 – 59 tahun juga
dapat disebabkan karena tingginya laporan keracunan pangan pada golongan
umur tersebut. Pada rentang umur 6 – 59 tahun mencakup pula umur dewasa
yang telah mampu berperilaku mandiri untuk mencari pengobatan dan tidak
bergantung pada orang lain seperti halnya balita ataupun lansia. Orang
dewasa yang telah mengerti dan memiliki kesadaran akan segera mencari
pengobatan ketika mengalami gejala klinis keracunan pangan.
Hal tersebut didukung oleh pendapat Pardhan-Ali (2017) dimana orang
dewasa memiliki kemampuan untuk mencari pengobatan ke fasilitas
pelayanan kesehatan secara mandiri (Pardhan-Ali, 2017). Hal tersebut juga
didukung oleh kondisi DKI Jakarta sebagai wilayah urban yang didominasi
oleh kota/kabupaten besar yang telah dilengkapi oleh fasilitas umum yang
memudahkan masyarakat untuk mengakses fasilitas pelayanan kesehatan.
Tentunya dengan tingginya perilaku pencarian pengobatan tersebut
menyebabkan kasus keracunan pangan dapat tercatat dengan baik di fasilitas
kesehatan khususnya rumah sakit. Namun di DKI Jakarta, fasilitas kesehatan
tidak hanya rumah sakit dimana Siker Nasional BPOM RI mendapatkan data
keracunan. Tetapi juga terdapat Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas),
klinik kesehatan swasta baik milik dokter maupun tenaga kesehatan lainnya
serta tenaga medis lainnya yang membuka praktek tanpa klinik yang tidak
melaporkan keracunan pangan ke Siker Nasional BPOM RI. Sehingga masih
terdapat kemungkinan banyak kasus keracunan pangan di masyarakat yang
tidak tercatat di rumah sakit.
71
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini
menunjukkan keracunan pangan lebih banyak terjadi pada individu yang
memiliki sistem imunitas umur 6 – 59 tahun (imunitas tubuh optimal). Namun
masih terdapat kemungkinan banyak kasus keracunan pangan yang belum
tercatat di rumah sakit khususnya karena keracunan pangan masih menjadi
penyakit yang bersifat sporadis. Sehingga upaya untuk mendapatkan data
selengkapnya melalui peningkatan kemandirian masyarakat untuk melakukan
pemeriksaan diri ke rumah sakit perlu dilakukan. BPOM juga sebaiknya
memperluas kerjasama dengan rumah sakit di DKI Jakarta. Sehingga untuk
upaya pencegahan selanjutnya akan lebih efektif dengan menggunakan data
laporan yang lebih lengkap.
6.2.2 Jenis Kelamin
Keracunan pangan di DKI Jakarta lebih banyak terjadi pada jenis
kelamin perempuan dibandingkan laki – laki dengan proporsi 51.4%. Hal
yang sama pula diungkapkan pada penelitian sebelumnya dimana perempuan
lebih banyak mengalami keracunan pangan dengan proporsi 50.4% - 71.4%
dibandingkan jenis kelamin laki-laki (Abd-ELhaleem, 2011; Gumbo, 2015;
Teschke, 2010).
Tetapi berbeda dengan hasil penelitian di Mesir yang disebabkan oleh
penyebab tidak spesifik dan organophosphate (OP), jenis kelamin laki-laki
memiliki proporsi lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu 59%. Serta
keracunan pangan yang disebabkan oleh Clostridium botulinum
menunjukkan proporsi yang sama antara laki – laki dan perempuan (Abd-
ELhaleem, 2011).
72
Menurut beberapa sumber, perempuan lebih tertarik untuk mencari
informasi kesehatan dan pengobatan ketika mengalami gejala sakit (S. Ek,
2015; Nadal, 2017). Sehingga mengakibatkan kasus pada perempuan lebih
banyak tercatat dari pada kasus laki – laki.
Secara alamiah perempuan memiliki perilaku yang berbeda dengan laki
– laki dalam hal menyampaikan pengalaman dan perasaan. Perempuan akan
lebih terbuka dan mudah menyampaikannya dengan tujuan mendapatkan
solusi terhadap masalah yang dihadapi. Dengan kata lain hal tersebut
merupakan bentuk dari hubungan sosial timbal balik yang terjadi antara
perempuan dimana perempuan akan memperoleh manfaat dari dukungan
sosial sebaik apa yang telah diterimanya. Menyampaikan pengalaman atau
perasaan tersebut merupakan salah satu cara perempuan untuk bertahan dan
mengurangi tekanan serta rasa sakit baik secara fisik maupun psikis.
Namun tidak sedikit perempuan merasa perlu membagikan
pengalaman dan perasaan yang bersifat pribadi atau tabu hanya pada orang
yang dirasa dekat dan terpercaya agar informasi yang tersampaikan tersebut
tidak menjadi konsumsi publik dan menimbulkan stigma buruk terhadapnya.
Tidak sedikit pula perempuan akan lebih memilih untuk mencari seseorang
yang dianggap ahli, seperti dokter, bidan, ataupun ahli gizi.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Peer dkk. (2013) dimana
perempuan lebih sering mengunjungi tempat pelayanan kesehatan untuk
keperluan kesehatan ibu dan anak. Sedangkan laki – laki lebih peduli dengan
pekerjaan dari pada mengunjungi pelayanan kesehatan, terutama ketika jam
kerja sedang berlangsung. (Peer, 2013)
73
Kebiasaan mengunjungi tempat pelayanan kesehatan yang dilakukan
oleh perempuan menjadikan perempuan memiliki motivasi dan dorongan
lebih kuat dibandingkan laki – laki. Dorongan yang kuat cenderung
menyebabkan seseorang ringan melakukan sesuatu, terutama jika individu
tersebut mengetahui manfaat (benefit) ataupun kerugian (loss) yang
ditimbulkan akibat perilaku tersebut. Sama halnya dalam mencari pengobatan
akibat keracunan pangan, perempuan akan lebih terdorong untuk melakukan
pengobatan karena perempuan memiliki dorongan yang lebih kuat
dibandingkan laki – laki.
Umur 26 – 45 tahun masuk dalam rentang umur 6 – 59 tahun dimana
menurut Departemen Kesehatan (2009), umur 26 – 45 tahun merupakan umur
dewasa. Pada umumnya masyarakat Indonesia, perempuan yang memiliki
umur 26 – 45 tahun telah memiliki status sebagai orang tua khususnya ibu
yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak untuk melakukan
aktivitas. Melalui aktivitas tersebut, biasanya ibu dan anak melakukan kontak
langsung seperti mencium dan bersentuhan anggota badan maupun kontak
tidak langsung.
Kontak lain yang sering dilakukan ibu adalah mengganti popok bayi.
Adapun kontak tersebut dapat berisiko apabila ibu tidak melakukan cuci
tangan setelah mengganti popok. Kemudian tanpa sadar ibu tersebut
melakukan kontak dengan lingkungan termasuk pula kontak dengan pangan.
Serta intensitas kontak ibu terhadap anak tersebut lebih banyak dibandingkan
intensitas bapak terhadap anak. Khususnya pada anak umur kurang dari 6
74
tahun (balita) yang memiliki imunitas rendah sehingga rentan membawa
patogen.
Menurut Pardhan-ali (2017) kontak langsung ibu dengan anak balita
dapat meningkatkan risiko keracunan pangan pada ibu. Selain itu menurut
Scott, infeksi Salmonella oleh salah satu anggota keluarga terutama anak
kecil yang masih memiliki imunitas tubuh yang belum optimal dapat
menyebabkan anggota keluarga lainnya terinfeksi penyakit yang sama (E
Scott, 1996).
Selain itu pada masyarakat Indonesia, penjamah pangan baik yang
mengolah maupun yang menyiapkan makanan umumnya adalah perempuan,
baik di rumah tangga maupun di tempat lainnya. Hal tersebut terjadi karena
kondisi sosial dan kultural yang mengenal perempuan memiliki tanggung
jawab terhadap dapur dan makanan. Sedangkan laki – laki dianggap memiliki
tanggung jawab bekerja di luar rumah untuk menafkahi keluarga. Walaupun
dalam era sekarang, beberapa perempuan juga memiliki tanggung jawab yang
sama seperti laki – laki untuk bekerja di luar rumah dan beberapa rumah
tangga memiliki asisten rumah tangga, namun tanggung jawab terhadap dapur
dan pangan tetaplah milik perempuan.
Hasil penelitian di Ghana, 100% penjamah pangan pada PKL adalah
perempuan (Mensah, 2002). Sedangkan perbedaan kondisi laki – laki dan
perempuan dijelaskan oleh Buvinic (2006) merupakan perbedaan jenis
kelamin yang bersifat dinamis. Selain dapat dilihat dari aspek biologi, genetik
ataupun fenotip yang selanjunya disebut sebagai sex, terdapat kondisi lain
yang bersifat kultural, sosial ataupun kepercayaan keagamaan. Aspek tersebut
75
kemudian membentuk perbedaan tanggung jawab antara laki – laki dan
perempuan yang disebut sebagai perbedaan gender (Buvinic, 2006).
Adanya perbedaan gender, mengakibatkan perempuan lebih sering
melakukan kontak dengan pangan mulai dari tempat produksi sampai
penyiapan pangan yang siap dikonsumsi. Pada tempat produksi untuk pangan
seperti produksi tahu/tempe, bakso, es batu, mie dan lain – lain terjadi pada
industri skala kecil, menengah hingga besar. Sedangkan yang menjalankan
proses distribusi adalah kelompok penjual pangan di pasar, toko retail,
supermarket, warung, restoran, rumah tangga dan lain – lain. Pada tahap
distribusi ini biasanya dilakukan proses penyimpanan atau pengolahan
pangan hingga siap disajikan. Sedangkan pada tahap akhir yaitu konsumsi
yang dapat dikonsumsi oleh siapa saja. Pada ketiga tahap tersebut perempuan
memiliki peran yang besar sebagai penjamah pangan. Dengan kata lain pula
perempuan juga memiliki risiko lebih besar dibandingkan laki – laki akibat
kontak yang diciptakan terhadap pangan dalam frekuensi dan durasi yang
lebih banyak.
Penjamah pangan yang memiliki personal hygiene yang buruk dapat
menyebabkan pangan siap konsumsi terkontaminasi. Perilaku tidak mencuci
tangan setelah melakukan kontak dengan pangan mentah dan penggunaan
peralatan masak yang sama pada pangan mentah dan siap saji dapat
menyebabkan kontaminasi, seperti pada daging sapi, babi, daging unggas,
ikan – ikanan, seafood dan sayur – sayuran.
Menurut penelitian sebelumnya, patogen yang dapat diisolasi dari
daging non unggas adalah E.coli dengan jenis Enterogpathogenic E.coli
76
(EPEC) dan Vero cytotoxin producing E.coli (VTEC) (Newell, 2010).
Sedangkan pada daging ruminansia ditemukan Staphylococcus spp. dan
Salmonella spp. (Saba Courage, 2012, Malangu). Sedangkan patogen yang
dapat ditemukan pada ikan - ikanan antara lain adalah C. diversus, E. coli, C.
luteola, P. fluorescens/putida, E. sakazakii, C. diversus/amalonatica, K.
pneumonia (Saba Courage, 2012). Selain itu pula pada ikan khususnya ikan
yang diasinkan atau diasapi dapat ditemukan bakteri C. Botulinum. Pada
kerang – kerangan bakteri yang sering ditemukan adalah Salmonella typhi
dan Salmonella paratyphi. Pada sayuran juga dapat ditemukan Salmonella,
C. freundii, E. sakazakii, E. coli (enteroaggregative localized) dan pada
rebusan sayuran berdaun ditemukan E. cloacae (Newell, 2010, Saba Courage,
2012).
Namun pada dasarnya keracunan pangan dapat terjadi pada semua
jenis kelamin. Namun yang perlu ditekankan adalah adanya upaya
pencegahan dengan melakukan promosi kesehatan berupa penyuluhan
kepada masyarakat khsusnya perempuan untuk menyimpan, mengolah dan
menyiapkan pangan secara tepat untuk menghindari kontaminasi pangan.
Serta mencuci tangan sesudah dan sebelum menyentuh bahan pangan dan
makanan dan menggunakan peralatan yang berbeda pada saat mengoalah
pangan mentah dan makanan yang matang.
6.2.3 Musim
Hasil penelitian keracunan pangan di DKI Jakarta pada tahun 2016
menunjukkan keracunan pangan lebih banyak terjadi pada musim kemarau
dengan proporsi 62% dibandingkan musim hujan. Sama halnya dalam
77
penelitian yang dilakukan oleh Ahmed (2015) dan Teschke (2010), keracunan
pangan banyak terjadi pada musim kemarau dengan masing-masing proporsi
26.7 % dan 25.6%.. (Ahmed, 2015 ; Teschke, 2010).
Penelitian lain yang juga dilakukan di negara dengan 2 musim,
keracunan pangan banyak terjadi pada akhir musim kemarau dan awal musim
hujan. Seperti kasus kolera yang endemis di kota Ghana dimana keracunan
pangan dapat diprediksi akan terjadi pada permulaan musim hujan. Adanya
perubahan iklim yang disebabkan oleh meningkatnya frekuensi dan
ekstrimnya presipitasi dapat berdampak pada peningkatan terjadinya risiko
kontaminasi penyakit yang disebabkan oleh pangan (Ebi, 2006). Peningkatan
perisipitasi tersebut tentunya juga akan meningkatkan volume air.
Peningkatan volume air tanpa adanya sistem drainase yang baik berpotensi
menyebabkan banjir dan sistem air yang kurang baik serta sistem latrin yang
meluap (overflow) (Malangu, s.a.; Osei-Tutu, 2016). Pencemaran terjadi pada
sumber air yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup
seperti memasak, mencuci, mandi dan lain sebagainya. Jika air yang tercemar
tersebut tertelan baik secara langsung maupun melalui kontak pada pangan
dapat menyebabkan keracunan pangan seperti pada kasus kolera.
Pada musim kemarau volume air berkurang dibandingkan musim
hujan. hal tersebut disebabkan oleh intensitas hujan yang mulai berkurang.
Berkurangnya volume air tersebut secara tidak sadar mempengaruhi perilaku
individu dalam menjaga kebersihan diri. Sehingga individu akan berhemat
dalam menggunakan air baik untuk mencuci tangan setelah menggunakan
toilet, menjamah pangan, sesudah ataupun sebelum mengonsumsi pangan.
78
Pada individu yang sudah mencuci tanganpun masih dapat ditemukan
organisme patogen. Dengan kata lain individu yang tidak mencuci tangan
atau hanya mencuci tangan hanya dengan air tanpa menggunakan sabun
masih memiliki risiko tinggi mengalami keracunan pangan. Namun yang
perlu diperhatikan adalah pada individu yang telah mencuci tangan dengan
menggunakan sabun namun masih dapat ditemukan patogen pada usapan
tangannya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa prosedur mencuci tangan
yang dilakukan kurang tepat.
Seperti pada pengujian laboratorium penjamah makanan yang
dilakukan pada penelitian sebelumnya yaitu pada pengujian usapan tangan.
ditemukan masing-masing 60% dan 100% bakteri staphylococcus aureus
pada telapak tangan dan kuku (Gumbo, 2015). Sedangkan menurut Mensah
(2002), patogen penyebab diare ditemukan pada 11 dari 78 ibu yang telah
mencuci tangan. Dan pada anak – anak yang menderita diare, 6 dari 42 ibu
dan 37 dari 50 anak ditemukan enterotoxigenic E. coli (ETEC) pada
tangannya.
Sedangkan pada negara yang memiliki 4 musim seperti pada penelitian
yang dilakukan oleh Siiegman-Igra (2002) di Israel infeksi Listeria
monocytogenes terjadi sepanjang tahun. Namun yang paling sering terjadi
pada musim panas dan musim gugur dengan 70% kasus terjadi antara bulan
Mei sampai Oktober (Siegman-Igra, 2002). Berbeda dengan penelitian di
Australia keracunan pangan mencapai puncak pada akhir musim semi dan
musim dingin. Serta penelitian lain menyebutkan keracunan pangan banyak
terjadi pada awal musim panas (Bi, 2008; J. D. a. A. R. Greig, 2009).
79
Suhu lingkungan juga mempengaruhi pertumbuhan beberapa patogen
keracunan pangan. Menurut Semenza (2009) dan Lake (2009), suhu
lingkungan yang semakin meningkat juga berperan penting dalam
menentukan perilaku manusia terkait pangan. Semakin tinggi suhu
lingkungan dapat meningkatkan risiko kesalahan dalam menjamah pangan.
Selain itu pula organisme patogen dapat berreplikasi lebih tinggi di
lingkungan yang bersuhu tinggi seperti pada Campylobacter dan Salmonella.
Keduanya berreplikasi secara signifikan dengan meningkatnya temperatur
dalam periode mingguan (lake, 2009; Semenza, 2009).
Asumsi tersebut sama seperti hasil penelitian di Kanada menyebutkan
bahwa Campylobacteriosis dan Salmonelosis memiliki signifikansi nilai P
kurang dari 0.05 dan cenderung terjadi pada akhir musim panas dan
permulaan musim gugur. Meskipun giardiasis tidak memiliki signifikansi
nilai P kurang dari 0.05, namun juga banyak menyebabkan keracunan pangan
pada musim yang sama (Pardhan-Ali, 2017). Hal yang sama pula pada hasil
penelitian yang dilakukan di Grenade dimana terjadi peningkatan kasus diare
dan muntah pada musim kemarau (Glasgow, 2013).
Namun pada penelitian ini tidak dapat diketahui jenis patogen penyebab
keracunan pangan yang nanti dapat dikaitkan dengan faktor lingkungan
karena adanya keterbatasan data. Sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk
peningkatan laporan adalah BPOM nasional berkoordinasi dengan BPOM
pada setiap provinsi sebagai bentuk disentralisasi bidang kesehatan. BPOM
provinsi dapat melakukan penyelidikan ke rumah sakit secara langsung
kepada kasus keracunan pangan. Keuntungan lainnya yang didapat adalah
80
dapat melakukan pengambilan sampel yang dibutuhkan untuk dilakukan uji
laboratorium.
Terdapat perbedaan pada beberapa hasil penelitian tersebut. Namun
yang penting untuk ditekankan adalah pencegahan keracunan pangan dengan
melakukan prosedur penyimpanan dan pengolahan pangan yang tepat. Serta
akan lebih baik jika dalam pencatatan kasus pelaporan karcunan pangan dapat
diketahui pula jenis organisme patogen penyebab keracunan pangan yang
berimplikasi pada sasaran pencegahan yang lebih efektif. Oleh karena itu
Siker Nasional BPOM – RI perlu melakukan kerjasama dengan laboratorium
untuk melakukan uji laboratorium pada sampel.
6.2.4 Jenis Pangan
Keracunan pangan di DKI Jakarta pada tahun 2016 banyak disebabkan
karena konsumsi seafood dan ikan – ikanan dengan proporsi 52.4% dari 208
kasus keracunan pangan. Seafood dan ikan – ikanan sendiri merupakan hewan
yang hidup di air seperti kepiting, kerang – kerangan, udang, semua jenis ikan
dan lain sebagainya. Pada dasarnya seafood dan ikan – ikanan adalah sumber
gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, namun dalam kondisi tertentu seperti
perilaku yang tidak benar dalam pengolahan ataupun personal hygiene yang
tidak baik dapat mengubah fungsi seafood dan ikan – ikanan menjadi vektor
penyakit.
Adapun salah satu perilaku tersebut adalah kebiasaan masyarakat dalam
mengolah ikan dengan cara dibakar ataupun mengonsumsi ikan dalam
keadaan mentah. Tentunya pengolahan seperti dibakar, diasapi ataupun
disajikan dalam keadaan mentah akan meningkatkan risiko keracunan
81
pangan. Karena sebenarnya proses pengolahan tersebut bukanlah termasuk
pengolahan pangan yang adekuat dimana harus mencapai suhu tertentu.
Menurut beberapa ahli suhu yang disarankan dalam pengolahan ikan -
ikanan adalah 62.8 ºC – 74 ºC (CDC, 2017; Iwamoto, 2010). Pembakaran
yang dilakukan tersebut tidak membuat ikan atau seafood matang secara
keseluruhan. Kondisi luar ikan tersebut dapat terlihat matang atau hangus,
namun bagian dalam ikan tersebut belum matang secara sempurna.
Hal tersebut juga didukung oleh penelitian lain dimana pengolahan
yang kurang adekuat pada ikan dapat menimbulkan keracunan pangan (HP,
s.a.). Dan beberapa patogen yang dapat ditemukan adalah Salmonella,
Shigella spp., Clostrodium botulinum, Staphylococcus aureus, Clostridium
perfringens, C. diversus, E. coli, C. luteola, P. fluorescens/putida, E.
sakazakii, C. diversus/amalonatica, K. pneumonia dan Bacillus aureus.
Beberapa virus juga menjadi dapat menginfeksi ikan seperti Norovirus, dan
Hepatitis A. Jenis parasit antara lain cacing dan protozoa. Sedangkan pada
ikan yang cara mengolahnya hanya diasinkan atau diasapi dapat ditemukan
bakteri C. Botulinum, dan pada kerang – kerangan bakteri yang sering
ditemukan adalah Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi. (Iwamoto,
2010; Saba Courage, 2012). Oleh karena itu konsumsi ikan dan seafood tanpa
dimasak harus dihindari karena beberapa organisme tersebut masih ada dan
terus mengalami perkembangbiakan jika terdapat pada lingkungan yang
tepat.
Sama halnya yang terjadi di Amerika pada tahun 1983 – 1992 dan
mengakibatkan 99% kematian karena konsumsi seafood sebagai jenis pangan
82
penyebab keracunan pangan terbanyak ketiga (L. a. R. J. EK, 1997). Selain
mengandung patogen yang menjadi alasan ikan sebagai penyebab keracunan
pangan adalah pada beberapa jenis ikan ditemukan zat kimia yang berbahaya
bagi kesehatan manusia.
Zat kimia tersebut seperti scromboid dan ciguatera toxin. Keracunan
pangan akibat scromboid toxin mengindikasikan adanya konsumsi ikan yang
memiliki tingkat histamin tinggi. Keracunan akibat histamin disebabkan
konsumsi ikan tidak segar setelah disimpan dalam penyimpanan yang kurang
tepat misalnya menyimpan dalam suhu ruangan dalam waktu yang lama.
Histamin merupakan produk dekarboksilasi histidin di otot ikan dan
diindukasi oleh bakteri gram negatif yang hidup di saluran penceranaan ikan
tersebut. Contoh ikan yang tinggi histamin adalah ikan tuna, tenggiri, marlin,
escolar fish, mahi – mahi dan ikan mackerel. (Stratta 2012).
Pendapat yang sama pula pada penelitian lain bahwa ikan asap memiliki
risiko menyebabkan keracunan pangan jika terkontaminasi patogen pada saat
proses penyimpanan, penyiapan dan penyajian yang tidak tepat. Pada
penelitian tersebut juga diketahui bahwa ikan tuna mentah akan busuk setelah
6 hari penyimpanan dalam suhu 5 – 7 °C. Pada penyimpanan di lemari
pendingin tersebut, Listeria monocytogenes tidak mengalami pertumbuhan
secara signifikan. Dan Salmonella dan Listeria monocytogenes menurun
setelah minggu 12 pada lemari pembeku dengan suhu -18 °C (Liu, 2016).
Sedangkan racun ciguatera diproduksi oleh sejenis alga yang terdapat
pada ikan seperti ikan kakap merah yaitu Gambierdiscus toxicus. Dimana
orang yang keracunan ciguatera akan mengalami gejala berupa mual, muntah,
83
gejala yang menyerang syaraf lainnya seperti kesemutan pada jari yang
menetap sampai beberapa hari sampai tahun (CDC; HP, s.a.). Terdapat pula
ikan lainnya yang juga berracun seperti ikan buntal yang memproduksi racun
buntal. Dan beberapa jenis kerang juga memproduksi racun yang menyerang
sistem syaraf (HP, s.a.).
Selain habitat ikan sebagai lingkungan hidup seafood dan ikan – ikanan
juga ikut mempengaruhi kondisi seafood dan ikan tersebut. Lingkungan yang
kotor seperti lubang galian atau sungai yang teraliri tinja, sungai atau laut
yang menjadi tempat pembuangan limbah, laut yang tercemar sampah dan
lain – lain dapat menkontaminasi tubuh seafood dan ikan yang menjadi
pangan manusia (Iwamoto, 2010). Pada penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Reeve (1989), KLB keracunan pangan terjadi akibat konsumsi
udang mentah yang dipanen dari air yang mengandung limbah.
Di beberapa negara berkembang seperti Indonesia pembuangan limbah
dari industri cenderung belum terolah secara tepat, sehingga limbah buangan
industri tersebut bersifat toksik dan mencemari lingkungan. Salah satu bahan
kimia yang mencemari lingkungan adalah merkuri. Lingkungan yang
tercemar tersebut membentuk akumulasi konsentrasi patogen, toksik atau
bahan berbahaya lainnya dalam tubuh ikan secara terus menerus. Menurut
Maruyama (2012) individu yang mengonsumsi ikan dengan kadar methyl
mercury yang tinggi (kurang lebih 200 μg/liter) berhubungan dengan
kerusakan syaraf pada kasus KLB keracunan pangan yang terjadi di Jepang
dan Irak (Maruyama, 2012).
84
Sedangkan patogen keracunan pangan juga banyak ditemukan di
pelabuhan tempat penangkapan dan pengumpulan ikan atau seafood sebelum
didistribusikan kepada distibutor tahap selanjutnya yaitu pedagang dan
konsumen. Patogen yang banyak ditemukan adalah Vibrio gram negatif.
Bakteri ini dapat berkembang biak secara optimal dalam air memiliki
temmperatur hangat (Iwamoto, 2010).
Dan terdapat KLB keracunan pangan diakibatkan oleh konsumsi
seafood yang mengandung calicivirus, hepatitis A virus dan Salmonella
enterica serotype typhi (Iwamoto, 2010). Menurut Painter (2013) keracunan
pangan akibat konsumsi ikan 60% ditemukan biotoksin khususnya racun
ciguatera, sedangkan pada tiram ditemukan bakteri V. vulnivicus.
Namun terdapat perbedaan dengan penelitian yang dilakukan di United
State dimana kasus keracunan pangan yang menyebabkan penderita harus
menjalani perawatan di rumah sakit, 46% diakibatkan oleh konsumsi produk
hewan seperti daging unggas, telur, daging sapi ataupun daging hewan
lainnya. Sedangkan 41% diakibatkan oleh konsumsi produk tumbuhan seperti
sayuran berdaun, buah, minyak sayur ataupun produk tumbuhan lainnya serta
6% karena mengonsumsi ikan – ikanan dan seafood. Selain itu keracunan
pangan ini pula dapat menyebabkan kematian. Kurang lebih terdapat 629
kasus kematian setiap tahunnya yang disebabkan oleh konsumsi produk
hewan (43%), produk tanaman (25%) dan ikan – ikanan serta seafood (6%)
(Painter, 2013)
Di samping itu konsumsi seafood dan ikan – ikanan dan megakibatkan
keracunan pangan banyak terjadi pada perempuan Adapun dalam dunia
85
kesehatan perempuan sering mendapatkan perhatian yang khusus karena
dalam kehidupannya terdapat beberapa fase yang berbeda dibandingikan laki
– laki. Seperti masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi dan kehamilan.
Oleh karena itu perempuan dianjurkan untuk mengonsumsi beberapa jenis
pangan serta suplemen khusus seperti tablet tambah darah dan jenis seafood
dan ikan – ikanan. Dibandingkan daging sapi dan kambing, ikan dan
sejenisnya adalah pangan yang memiliki harga yang relatif murah, sehingga
kemungkinan masyarakat untuk mengonsumsi ikan jauh lebih besar
dibandingkan daging sapi, kambing ataupun daging merah lainnya.
Menurut Bloomingdale (2010) ikan – ikanan dan seafood merupakan
sumber gizi hewani yang dapat menyediakan asam lemak omega – 3 yang
baik untuk perkembangan saraf janin (Bloomingdale, 2010). Hal tersebut juga
sama seperti yang diungkapkan dalam penelitian di India dimana perempuan
dianjurkan untuk mengonsumsi ikan dua porsi lebih banyak dibandingkan
laki – laki sehingga hal tersebut yang menyebabkan perempuan lebih banyak
mengalami keracunan pangan akibat konsumsi ikan (Indranil, 2016).
Sedangkan pada penelitian ini juga terdapat jenis pangan yang tidak
diketahui. Hal tersebut tidak dketahui karena pada saat pengumpulan data di
rumah sakit, kondisi pasien yang tidak mengetahui atau tidak mengingat jenis
pangan yang telah dikonsumi pada beberapa jam sampai beberapa hari yang
lalu. Selain itu penyebab lainnya adalah petugas kesehatan di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) yang tidak melengkapi formulir catatan medis kasus
keracunan, khususnya pada bagian keracunan pangan. Dengan demikian
sebaiknya petugas kesehatan tersebut sebaiknya melakukan penggalian
86
informasi untuk menghindari missing data kepada pasien namun tetap
memperhatikan kondisi pasien. Atau dapat pula melakukannya kepada
keluarga ataupun teman yang berada di sekitar pasien keracunan pangan.
Selain kondisi keracunan pangan seperti pada penelitian ini juga
terdapat kondisi lain yaitu Kejadian Luar Biasa (KLB) dimana menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014
tentang Kejadian Luar Biasa. KLB merupakan kondisi meningkatnya
kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secra epidemiologis pada
populasi di daerah tertentu pada kurun waktu tertentu yang dikhawatirkan
akan menjurus menjadi wabah. Meskipun memiliki perbedaan kondisi
dengan penelitian ini, namun perlu diperhatikan adanya persamaan pada
faktor – faktor yang mempengaruhi, penyebabnya ataupun sumbernya.
Pada KLB keracunan pangan yang telah dilakukan investigasi
menunjukkan adanya kontaminasi dari tangan penjamah pangan yang kurang
bersih sehingga menjadi sumber patogen penyebab keracunan pangan (Abd-
ELhaleem, 2011). Penjamah pangan merupakan risiko yang secara signifikan
menyebabkan tersebarnya infeksi enteric fever di Kumasi. Hal tersebut dapat
terjadi lebih buruk lagi dengan terjadinya keracunan pangan di kota dimana
penjamah pangan memiliki pengetahuan keamanan pangan yang rendah
(Saba Courage, 2012). Selain itu adanya kebiasaan masyarakat yang
memiliki kesadaran yang rendah dalam kebersihan pangan meningkatkan
risiko keracunan pangan. Hasil penelitian Saba (2012), buah-buahan
merupakan pangan yang berisiko menyebabkan keracunan karena masyarakat
87
mengonsumsi buah tanpa proses pemanasan dan biasanya proses pencucian
yang kurang bersih (Saba Courage, 2012).
Sehingga sebagai upaya pencegahan perlu dilakukan penyimpanan,
pengolahan dan penyajian panga yang tepat dan adekuat. Melakukan
penyimpanan secara terpisah pada pangan mentah dan makanan yang telah
matang, pengolahan dengan suhu yang tepat dan segera mengonsumsi
makanan yang disajikan akan mengurangi risiko keracunan pangan. Tujuan
pengolahan pangan secara adekuat adalah untuk mengurangi jumlah
organisme patogen seperti bakteri ataupun virus sehingga petogenitas
organisme tersebut berkurang dan tidak menyebabkan keracunan pangan. (IFH, 2014).
Distribusi suhu dan pemanasan pada makanan juga mempengaruhi
tumbuhnya bakteri dalam makanan. Seperti Tavakoli et.al (2009) dalam
penelitiannya yang bertujuan untuk mengevaluasi bakteri, bahan kimia dan
kualitas makanan yang telah dimasak dengan peralatan tradisional maupun
modern menunjukkan bahwa memasak dengan suhu yang tinggi efektif dapat
mengurangi kontaminasi. Namun tentunya juga perlu diperhatikan
kandungan gizi dalam makanan sehingga tidak sampai rusak oleh suhu yang
terlalu tinggi (R, 2013).
Selain itu dalam pengumpulan data kasus keracunan pangan sebaiknya
terdapat pula variabel data jenis penyakit dan patogen penyebab keracunan
pangan seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Osei-tutu (2016) di
Ghana, Aboderin dan Bankole (2009) di Nigeria, Pardhan-Ali (2017) di
Kanada, Adak (2017) di Inggris, Scallan (2007), Gumbo (2015) di Zimbabwe,
Wang (2007) di Cina dan Kirk (2014) di Circa. Hal tersebut tentunya akan
88
sangat bermanfaat untuk menentukan upaya pencegahan yang akan
dilaksanakan baik dari aspek klinis dan preventif promotif.
Perlu juga adanya kerjasama antara surveilans, pemeriksaan
laboratorium sampel pangan, tinja ataupun sampel lainnya serta badan
pemeriksaan pangan untuk upaya pencegahan keracunan pangan. Di
Indonesia BPOM adalah badan yang bertugas untuk mengawasi keamanan
pangan, namun dalam pelaksanaan sistem surveilans keracunan pangan
sendiri belum berjalan secara optimal. Hal tersebut disebabkan karena
pelaksanaan surveilans keracunan pangan belum memiliki regulasi yang
mengikat sehingga berakibat pada pelaporan data keracunan pangan secara
sukarela oleh rumah sakit, termasuk pula rumah sakit di DKI Jakarta.
Pelaporan yang dilakukan secara sukarela cenderung menyebabkan beberapa
rumah sakit enggan melaporkan kasus keracunan pangan sehingga terdapat
kemungkinan terdapat kasus di masyarakat yang tidak tercatat dalam laporan
kasus Siker Nasional BPOM – RI. Tidak adanya regulasi juga berdampak
pada peran laboratorium yang lemah sehingga pemeriksaan secara biologi
maupun kimia tidak dilakukan.
Menurut Malangu, tidak semua negara memiliki laboratorium untuk
menentukan kontaminan pada pangan penyebab keracunan serta terdapat
beberapa negara pula yang telah memiliki laboratorium namun peran tersebut
belum dapat berjalan secara optimal. Hal tersebut disebabkan karena
kurangnya sumber daya manusia, sumber daya alam dan pembiayaan. Seperti
yang terjadi di Afrika dimana kompetensi sumber daya manusia masih
terbatas dalam pengujian bahan kimia maupun racun alami yang
89
menkontaminasi pangan (Malangu, s.a.). Keterbatasan kemampuan tersebut
tentunya dapat mengganggu sistem surveilans berbasis laboratorium.
Sehingga dalam upaya pencegahan keracunan pangan perlu dilakukan
korrdinasi dengan BPOM pada setiap provinsi untuk melakukan investigasi
secara aktif ke rumah sakit pada wilayah masing – masing. hal tersebut
diharapkan dapat mengurangi adanya ketidaklengkapan laporan. Selain itu
dengan adanya peran aktif BPOM provinsi tersebut peningkatan berupa
kemampuan untuk mengumpulkan data terkait etiologic atau jenis organisme
atau bahan kimia penyebab keracunan pangan dapat dilakukan. Namun hal
tersebut tentunya harus disertai dengan peningkatan kemampuan petugas
laboratorium melalui pelatihan.
6.2.5 Sumber Keracunan pangan
Pada dasarnya keracunan pangan dapat terjadi di semua tempat dimana
pangan disimpan, diolah dan disajikan, seperti di asrama, panti jompo,
penjara dan rumah sakit. Adapun keracunan pangan di DKI Jakarta tahun
2016 banyak bersumber dari rumah tangga dengan proporsi 46.2%. Dan hal
yang sama pula terjadi pada golongan umur yang memiliki imunitas opimal,
jenis kelamin perempuan, dan musim kemarau yang banyak mengalami
keracunan pangan bersumber dari rumah tangga dengan proporsi 44.27%,
45.8% dan 45.7%.
Penelitian ini sama dengan penelitian di China dan Ontario dimana
rumah tangga menjadi sumber keracunan pangan utama dengan proporsi
24.4% dari 2387 kasus baru dan 40.1% (J. D. Greig, et.al, 2001; Xue, 2011).
Pada penelitian ini rumah tangga sebagai sumber keracunan pangan
90
didefinisikan sebagai tempat tinggal individu atau sekelompok individu
tertentu yang memiliki dapur secara pribadi dan pengolahan pangan serta
penyajian makanan dilakukan pada rumah tangga tersebut yang berpotensi
menimbulkan keracunan pangan (IFH, 2014).
Di dalam rumah tangga tersebut terdiri dari keluarga yang merupakan
komunitas terkecil dalam kelompok konsumen yang memiliki keterikatan
yang kuat antara satu dan yang lain. Selain itu rumah merupakan tempat yang
memiliki berbagai macam fungsi yang baik secara langsung maupun tidak
mempengaruhi status kesehatan penghuninya khususnya penyakit akibat
pangan.
Namun menurut Frederick (2006), dari tahun 1998 – 2004 KLB
keracunan pangan yang tercatat dalam data surveilans Centers of Disease
Control (CDC) sebagian besar didapatkan dari restoran (52%), rumah tangga
(18%), sekolah (4%), tidak diketahui (4%) dan lainnya (22%). Sedangkan
penelitian lain yang memiliki hasil berbeda, seperti yang pernah dilakukan di
Qatar dimana keracunan pangan banyak terjadi di acara terbuka (42.2%),
dapur (23.1%), sekolah (0.1%) dan lainnya (34.6%) (Ahmed, 2015). Dan
penelitian di China keracunan pangan banyak disebabkan oleh bakteri karena
mengonsumsi pangan yang disediakan oleh jasa penyedia makanan seperti
katering, restoran maupun warung dengan proporsi 31.05%, dan makanan
olahan rumah tangga sebesar 26.25% (Wang, 2007).
Sedangkan penelitian lainnya yang dilakukan di Ghana, 60% dari 951
ibu memberikan makanan yang dijual oleh PKL kepada anaknya (Mensah,
2002). Risiko tersebut timbul karena kondisi PKL baik tempat ataupun
91
peralatan yang terbatas serta penjamah pangan yang kurang memperhatikan
kebersihan. Menurut Rane (2011) tempat yang terbatas mengakibatkan
pengolahan pangan kurang tepat dan terbatasnya tempat mencuci peralatan
memasak maupun tangan penjamah pangan sehingga kontaminasi makanan
oleh patogen Salmonella, Shigella dan E. coli dapat terjadi dari tubuh manusia
dan lingkungan. Mencuci bahan pangan mentah yang kurang adekuat seperti
mencuci sayur, buah ataupun lainnya karena terbatasnya sumber air dapat
menyebabkan patogen E. coli, Streptococcus, Salmonella masih terdapat pada
bahan pangan tersebut. Dan risiko lainnya akibat penyimpanan, pemanasan
kembali dan kebersihan penjamah pangan yang kurang (Rane, 2011).
Penelitian sebelumnya menunjukkan jenis pangan yang banyak
menyebabkan keracunan pangan di rumah tangga adalah daging mentah dan
unggas, telur, susu yang tidak terpasteurisasi dan ikan – ikanan mentah (IFH,
2014). Namun pada penelitian ini jenis pangan yang menjadi penyebab
keracunan pangan di rumah tangga adalah seafood dan ikan – ikanan dengan
proporsi 60.4%. Seafood dan ikan – ikanan ini adalah sumber gizi kompleks
yang terjangkau untuk dikonsumsi oleh masyarakat dengan berbagai tingkat
sosial ekonomi. Namun hal tersebut dapat menjadi potensi penyebab
keracunan pangan karena dalam mengolah seafood dan ikan – ikanan
tersebut, penjamah pangan mengabaikan penyimpanan, pengolahan atau pun
penyajian yang adekuat. Penggunaan air terkontaminasi untuk membersihkan
ataupun memasak juga ikut mempengaruhi jenis patogen yang terdapat dalam
pangan. Air yang bersih dan layak untuk dikonsumsi adalah air yang tidak
mengandung koliform yang diketahui melalui uji laboratorium.
92
Personsal hygiene penjamah pangan yang buruk seperti perilaku tidak
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan ataupun menjamah pangan,
setelah menggunakan toilet, kontak dengan orang lain, bermain dengan
hewan peliharaan ataupun lainnya juga menentukan risiko seseorang untuk
mengalami keracunan pangan. Banyak organisme yang dapat ditemukan di
lingkungan. Khususnya hewan peliharaan yang notabenenya tidak memiliki
kemampuan untuk membersihkan diri sendiri dapat menjadi sumber patogen
bagi pemiliknya. Masyarakat DKI Jakarta yang merupakan masyarakat
modern juga memiliki kegemaran untuk memelihara hewan tertentu di dalam
rumah seperti kucing, anjing ataupun jenis reptil. Namun pada penelitian ini
tidak ditemukan data yang mendukung terkait hal tersebut.
Adanya asumsi – asumsi tersebut didukung oleh penelitian sebelumnya
dimana penggunaan air yang terkontaminasi, kontak orang ke orang oleh
anggota keluarga ataupun sumber lainnya yang tidak teridentifikasi dapat
menjadi penyebab keracunan pangan (J. D. Greig, et.al, 2001). Serta pada
hewan peliharaan di rumah seperti kucing dan anjing dapat ditemukan
Campylobacter (ELizabeth Scott, 2003).
Sedangkan sumber lain – lain dan sumber yang tidak diketahui
cenderung memiliki proporsi yang rendah. Sumber lain – lain adalah sumber
pangan yang berasal selain dari rumah tangga, jasa boga dan PKL. Dengan
demikian yang termasuk ke dalam sumber lain – lain adalah dari sekolah,
pasar, industri pangan dan lain – lain. Sedangkan adanya sumber keracunan
pangan yang tidak diketahui disebabkan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit
yang tidak melengkapi formulir catatan medis kasus keracunan di IGD. Selain
93
itu juga pasien yang lupa atau tidak mengetahui jenis pangan yang
dikonsumsi selama beberapa jam sampai beberapa hari terakhir. Oleh karena
itu petugas kesehatan disarankan untuk tetap menggali informasi sumber
keracunan pangan kepada anggota keluarga atau teman yang sedang
mendampingi dan ada ketika korban sedang mengonsumsi pangan.
Di samping itu masih terdapat kemungkinan bias dalam pengambilan
data yang dilakukan oleh petugas kesehatan rumah sakit melalui anamnesa.
Hal tersebut karena pasien tidak mengingat, lupa dan dalam beberapa kasus
juga pasien tidak begitu memahami pertanyaan yang diberikan oleh petugas
kesehatan. Di samping itu petugas kesehatan yang melakukan pengumpulan
data tersebut dapat kurang memahami instrumen yang digunakan. Petugas
kesehatan tersebut perlu diberikan pelatihan terkait instrumen yang
digunakan. Dan instrumen yang digunakakan dalam penelitian ini sangatlah
terbatas. Instrumen yang digunakan adalah instrumen untuk mengetahui
keracunan secara umum. Hal tersebut karena BPOM dan rumah sakit sendiri
belum melakukan penyusunan ulang instrumen yang khusus digunakan untuk
mengetahui informasi secara mendalam kercunan pangan. Sehingga data
yang diperoleh sangat terbatas khususnya pada variabel tempat keracunan
pangan.
Pada dasarnya keracunan pangan dapat terjadi disemua tempat dimana
pangan disimpan, diolah dan disiapkan. Namun berdasarkan penelitian ini
rumah tangga sebagai sumber utama keracunan pangan menjadi sasaran
utama dalam menerima intervensi pencegahan keracunan pangan, terutama
ibu atau perempuan yang menjadi penjamah pangan utama. Karena ibu atau
94
perempuan memiliki fungsi sentral dalam keluarga sehingga dengan
penyuluhan informasi yang ditujukan diharapkan dapat mempercepat
informasi baik pada keluarga ataupun lingkungan masyarakat. Selain itu juga
perlu dilakukan penyesuaian media agar pesan pencegahan tersebut dapat
diterima oleh masyarakat.
6.3 Distribusi Sumber Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara jenis kelamin laki – laki
dan perempuan mengalami keracunan pangan karena mengonsumsi seafood
dan ikan – ikanan (laki – laki 43.6% dan perempuan 60.7%) serta multiple food
(laki – laki 19.8% dan perempuan 11.2%). Selain itu pula jenis pangan
makanan kecil juga menjadi penyebab keracunan pada perempuan yaitu 11.2%.
Dan pada penelitian yang dilakukan oleh Shiferaw (2012) diketahui bahwa
perempuan lebih banyak mengonsumsi daging ayam (69.5%), ikan – ikanan
mentah (12.5%), sayuran segar (>26.2%), dan buah – buahan (>6.7%).
Penelitian yang dilakukan Wennberg (2012) dan Jahns (2014),
menunjukkan jenis kelamin perempuan lebih banyak mengonsumsi ikan
dibandingkan laki – laki (Jahns, 2014; Wennberg, 2012). Serta penelitian lain
menyebutkan bahwa perempuan lebih banyak mengonsumsi pangan yang
berserat dibandingkan laki – laki. Dan laki – laki cenderung lebih banyak
mengonsumi pangan yang tinggi lemak (Arganini, s.a.; Shiferaw, 2012;
Wardle J, 2004).
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang menggunakan data surveillans
aktif penyakit akibat pangan (Foodborne Diseases Active Surveillance
Network), jenis kelamin laki – laki lebih banyak mengonsumsi pangan
95
berrisiko tinggi seperti hamburger atau sandwich yang kurang matang (7.3%),
tiram mentah (1.9%), susu yang tidak terpasteurisasi (2.4%), keju yang terbuat
dari susu yang tidak terpasteurisasi (3.5%), dan telur mentah atau setengah
matang (12.5%). Sedangkan jenis lainnya adalah udang (32.1%), sushi atau
sashimi (7.4%), daging bebek (3.1%), dan babi (47.4%) (Shiferaw, 2012).
Pada referensi lain menyebutkan babhwa perempuan lebih banyak
mengonsumsi makanan sehat (berserat) karena perempuan (35%) lebih
mengetahui konsumsi makanan tertentu akan berdampak pada outcome
tertentu bagi kesehatan dibandingkan laki – laki (28%). Hal tersebut didukung
oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Pirouznia (2001) pada siswa sekolah
menengah pertama, nilai pengetahuan terkait nutrisi lebih tinggi pada siswa
perempuan dibandingkan laki – laki (Shiferaw, 2012). Selain itu perempuan
memilih mengonsumsi jenis pangan tertentu karena ingin mengurangi berat
badan (Elmadfa, 2005).
Sejak usia remaja perempuan lebih perhatian terhadap pangan dan
makanan yang dikonsumsi oleh keluarga dibandingkan laki – laki. Hal
tersebutlah yang menjadikan pada usia dewasa perempuan mampu untuk
memperhatikan dan memberikan makanan yang lebih sehat untuk dikonsumsi
diri sendiri (Prattala, 2006; Wardle J, 2004). Di masyarakat Indonesia yang
memiliki budaya penjamah pangan adalah perempuan, maka hal tersebut pula
yang menyebabkan perempuan dari usia muda sudah dekat dengan proses
pengolahan pangan atau pun lainnya yang berhubungan dengan pangan dan
makanan. Selain secara sengaja diajarkan oleh orang tua (ibu), hal tersebut
terkadang merupakan sifat alamiah perempuan. Dengan demikian dari kegiatan
96
tersebut anak perempuan dapat mengetahui nutrisi pangan walaupun hanya
sedikit.
Penyebab individu mengonsumsi pangan tidak selalu disebabkan karena
lapar atau kebutuhan biologi, makanan favorit ataupun lainnya. Dalam
beberapa kondisi terkadang pilihan terhadap makanan tertentu terjadi tanpa
disadari. Adanya persepsi sensori juga mempengaruhi seseorang untuk
menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi (Arganini, s.a.). Pada
masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia, pilihan tersebut juga
dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, budaya, religious dan demografi. Seperti
pada penganut agama islam yang melarang makan daging babi, anjing ataupun
lainnya yang menjijikkan, akan berbeda dengan penganut agama lain yang
tidak membatasi umatnya untuk mengonsumsi jenis pangan tertentu.
Menurut Bloomingdale (2010) ikan – ikanan dan seafood merupakan
sumber gizi hewani yang dapat menyediakan asam lemak omega – 3 yang baik
untuk tubuh (Jahns, 2014). Serta ikan – ikanan tertentu memiliki harga yang
relatif lebih murah dibandingkan daging merah (daging sapi) dan daging
unggas. Sehingga peluang masyarakat untuk mengonsumsi ikan – ikanan akan
lebih besar. Selain itu pula kondisi DKI Jakarta yang dekat dengan laut juga
lebih memudahkan masyarakat DKI Jakarta untuk mengonsumsi seafood dan
ikan – ikanan.
Konsumsi ikan atau seafood di Eropa dipengaruhi oleh umur, pendapatan
dan pendidikan (Jahns, 2014; Pieniak, 2010; Verbeke, 2005). Pada penelitian
terkait konsumsi ikan dan seafood diketahui masyarakat yang memiliki
pendapatan di bawah ambang kemiskinan 34.66% (5340 orang) mengonsumsi
97
ikan dan seafood serta 51% (7869 orang) untuk yang berpendapatan di atas
batas kemiskinan (Jahns, 2014). Namun dalam penelitian ini pendapatan tidak
dapat diukur karena sumber data tidak melakukan pengukuran tersebut.
Ikan dan seafood selain menjadi sumber gizi bagi manusia juga dapat
berpotensi menimbulkan keracunan pangan. Hal tersebut terjadi apabila cara
membersihkan, pengolahan serta penyimpanan yang kurang adekuat. Adapun
menurut penelitian sebelumnya terdapat beberapa jenis bakteri antara lain
adalah C. diversus, E. coli, C. luteola, P. fluorescens/putida, E. sakazakii, C.
diversus/amalonatica, K. pneumonia (Saba Courage, 2012). Selain itu pada
ikan yang diasinkan atau diasapi dapat ditemukan bakteri C. Botulinum. Pada
kerang – kerangan bakteri yang sering ditemukan adalah Salmonella typhi dan
Salmonella paratyphi (Ahmed, 2015). Namun seringkali sebagian masyarakat
gemar mengonsumsi seafood dan ikan – ikanan tanpa dimasak atau cara
memasak kurang adekuat seperti dibakar karena cara memasak seperti itu tidak
membuat ikan matang secara sempurna. Dari luar atau kulit ikan terlihat
matang namun sebenarnya bagian dalam ikan tersebut masih belum matang.
Keracunan akibat konsumsi seafood dan ikan – ikanan pada penelitian
ini banyak bersumber dari rumah tangga dan jasa boga baik pada laki – laki
dan perempuan. Tidak adanya perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa
terdapat faktor lain yang menentukan individu untuk mengalami keracunan.
Salah satunya adalah Hygiene yang buruk pada konsumen maupun penjamah
pangan (food handler). Pada penelitian ini keracunan pangan yang bersumber
dari rumah tangga merupakan keracunan akibat pangan yang dimasak, diolah
maupun disiapkan di rumah tangga. Dengan kata lain keracunan pangan yang
98
bersumber dari rumah tangga selain yang bersumber dari jasa boga atau
katering berbasis rumah tangga (home industry).
Sedangkan jenis pangan lain yang menyebabkan keracunan pangan pada
perempuan adalah daging unggas (10.20%). Spesies Salmonella dan
Campylobacter biasanya banyak ditemukan di produk unggas (Scallan, 2007).
Secara epidemiologi dan mikrobiologi adanya peningkatan infeksi Salmonella
melalui unggas disebabkan adanya adaptasi koloni bakteri tersebut pada
saluran reproduksi tepatnya pada indung telur dan saluran telur (Newell,
2010).
Multiple food juga menjadi pangan penyebab kedua keracunan pangan
yang bersumber dari rumah tangga yaitu 17.02%. Multiple food ini juga pernah
penyebabkan 2 KLB keracunan pangan. Dan setelah dilakukan uji
laboratorium dapat ditemukan bakteri Salmonella typhimurium pada sampel
pangan tersebut (Harvey, 2016). Jenis pangan lainnya adalah gorengan dan
bakso termasuk makanan kecil yang banyak diminati di negara Indonesia.
Menurut penelitian di Ghana, pada koko (makanan yang terbuat dari jagung)
ditemukan Chryseomonas luteola dan Shigella spp sebagai patogen keracunan
pangan (Saba Courage, 2012).
Adanya keracunan pada berbagai jenis pangan tersebut disebabkan oleh
praktik kebersihan dan pengolahan pangan yang kurang adekuat. Menurut
Langiano (2012), praktik yang tidak tepat saat menyiapkan dan menyimpan
pangan sehingga mengakibatkan keracunan pangan antara lain adalah tidak
mencuci tangan setelah mengolah daging mentah (31.8%), tidak mencuci
tangan setelah mengolah ikan mentah (7.3%), menyimpan pada suhu ruang
99
(24%), menggunakan alas pemotong yang sama pada pangan mentah dan
matang (78.7%), menggunakan alas pemotong dari kayu (76.3%), tidak
memisahkan pangan mentah dan matang dalam lemari pendingin (63.5%) dan
lain sebagainya (Langiano, 2012).
Di samping itu kebiasaan buruk menyimpan pangan yang tidak tepat
masih sering dilakukan di rumah tangga. Menurut Malangu masyarakat tidak
menganggap rumah sebagai sumber potensi penyebab keracunan pangan.
Adanya anggapan tersebut dapat mengurangi kewaspadaan masyarakat
terhadap adanya risiko keracunan, sehingga risiko keracunan pangan semakin
meningkat. Hal tersebut diperparah dengan kebiasaan masyarakat pada rumah
tangga tidak menyimpan pangan secara tepat yaitu tidak memisahkan antara
pangan yang mentah dan makanan yang siap konsumsi.
Serta di India 63% rumah tangga menyimpan makanan non-vegetarian di
suhu ruang dan hanya 29.4% yang mengonsumsi makanan langsung setelah
dimasak (Vemula, 2012). Hal tersebut tentunya dapat meningkatkan
kontaminasi silang dimana menurut Scott, isolasi patogen dari sampel yang
didapatkan 49% merupakan akibat dari kontak antara pangan mentah dan
makanan siap konsumsi (E Scott, 1996). Menyimpan makanan siap konsumsi
pada suhu ruang juga berpotensi dihinggapi serangga seperti lalat, kecoa dan
lain – lain jika tidak diletakkan pada tempat terbuka dan tidak ditutup dengan
tudung saji ataupun sejenisnya. Potensi tersebut selain karena kondisi suhu
yang optimum untuk pertumbuhan organisme patogen juga berasal dari
serangga pembawa penyakit (vector borne disease).
100
Kebiasaan buruk lainnya yang dapat ditemukan di rumah tangga adalah
memanaskan kembali pangan matang yang telah disimpan. Pemanasan kembali
pangan tersebut biasanya dilakukan apabila pangan yang telah matang
sebelumnya tidak habis dalam sekali makan. Tujuannya adalah memperoleh
cita rasa yang sama seperti pertama kali penyajian. Namun hal tersebut dalam
beberapa kasus dapat menyebabkan keracunan pangan. Pada penyimpanan
yang kurang adekuat sebelum pemanasan kembali, seperti menyimpan di suhu
ruang atau pada lemari pendingin yang memiliki suhu mendekati suhu ruang
dapat mempengaruhi organisme tumbuh dan berkembang biak. Organisme
yang telah berkembang biak akan mati melalui proses pemanasan kembali
dengan suhu yang cukup tinggi dan dalam waktu yang panjang. Selain itu
terdapat pula bakteri penghasil racun dimana bakteri tersebut dapat mati namun
racun yang dihasilkannya masih menjadi kontaminan makanan tersebut dan
mengakibatkan manifestasi klinis berupa mual, muntah, diare ataupun gejala
keracunan lainnya. Sehingga pemanasan tidak dapat menghilangi racun yang
telah mengontaminasi pangan tersebut.
Bakteri penghasil racun tersebut adalah Bacillus cereus yang
menghasilkan emetic toxin (cereulide) yang tetap dapat menyebabkan
keracunan dan tidak dapat hilang melalui proses pemanasan (N, 2002). Selain
itu spora yang dibentuk tidak dapat dieliminasi melalui pemanasan,
pengasaman, pasteurisasi ataupun prosedur sanitasi (Ehling-Schulz, 2004).
Adapun sanitasi lingkungan yang buruk juga menjadi tempat hidup
organisme patogen berkembang biak. Beberapa patogen dapat bertahan hidup
di lingkungan yang yang terlihat bersih namun sebenarnya kotor. Lingkungan
101
tersebut biasanya dibersihkan namun tidak menggunakan disinfektan sehingga
masih terdapat beberapa bakteri ataupun organisme. Menurut Mensah (2002)
patogen penyebab diare dapat ditemukan pada 11 dari 78 ibu yang telah
mencuci tangan dan patogen tersebut tentunya dapat ditransmisikan ke orang
lain khususnya anak kecil. Sedangkan di Thailand dari anak – anak yang
menderia diare akibat enterotoxigenic E. coli (ETEC) terdeteksi 6 dari 42 ibu
dan 37 dari 50 anak terdapat ETEC pada tangannya (Mensah, 2002).
Selain pada tangan patogen juga ditemukan di lingkungan rumah.
Menurut Scott beberapa bakteri dapat hidup di permukaan dapur 1 jam sampai
24 jam. Sehingga memungkinkan adanya kontaminasi silang dengan kain lap,
peralatan memasak, peralatan makan ataupun tangan penjamah pangan (Scott,
1996).
Kebiasaan mencuci tangan setelah menjamah pangan mentah seperti ikan
mentah dan daging mentah juga belum menjadi kebiasaan masyarakat. Seperti
pada keracunan pangan yang terjadi Afrika Timur, 29.1% - 63% usus
penjamah pangan yang mengalami keracunan pangan diidentifikasi terdapat
parasit. Hal tersebut disebabkan oleh personal hygiene penjamah pangan yang
buruk (Malangu, s.a.). Di China kasus baru dan kesakitan keracunan pangan
banyak disebabkan oleh praktik yang tidak bersih sebesar 56.6% dan 64%
(Xue, 2011).
Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan hanya terjadi di rumah
tangga. Pada jasa boga juga masih ditemukan praktik kebersihan yang kurang.
Sehingga berpotensi menyebabkan keracunan pangan seperti penjamah pangan
tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah mengolah ataupun menyajikan
102
makanan, makanan disimpan dalam suhu ruangan dan pada beberapa tempat
makanan tersebut tidak ditutup dengan aman. Pada pengujian laboratorium
pada penjamah makanan yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya yaitu pada
pengujian usapan tangan dimana terdapat masing-masing 60% dan 100%
bakteri staphylococcus aureus pada tangan dan kuku (Gumbo, 2015).
Pada dasarnya pada tubuh manusia khususnya jaringan kulit terdapat
bakteri sebagai flora normal tubuh. Namun apabila personal hygiene dan
sanitasi lingkungan buruk, flora normal tersebut dapat menjadi patogen dan
menyebabkan dampak buruk pada kesehatan. Hal tersebut diisebabkan karena
tambahan organisme lainnya dari lingkungan serta proses replikasi sehingga
jumlah flora bertambah secara kuantitas yang dapat berubah sifat menjadi
patogen.
Pada penelitian ini pula diketahui bahwa keracunan pangan lebih banyak
terjadi pada musim kemarau. Pada masim kemarau persediaan air cenderung
lebih sedikit karena curah hujan semakin menurun sehingga masyarakat lebih
berhati – hati dalam penggunaan air. Tanpa disadari hal tersebut
mengakibatkan mencuci bahan pangan khususnya seafood dan ikan – ikanan
atau pangan lainnya tidak bersih yang berpotensi menyebabkan gejala klinis
seperti mual, muntah, nyeri perut dan diare.
Seafood dan ikan – ikanan sebagai makhluk hidup memiliki lingkungan
hidup yang beragam. Lingkungan hidup yang kotor seperti sungai yang teraliri
kotoran atau laut yang tercemar limbah dapat mengakibatkan cemaran baik
oganisme ataupun zat kimia mengendap dalam tubuh ikan. Proses mencuci
103
yang kurang adekuat seperti tidak menggunakan air mengalir menyebabkan
ikan masih kurang bersih.
Penyebab lain seperti racun yang diproduksi oleh beberapa jenis ikan
juga dapat menyebabkan keracunan pangan. Seperti ikan kakap merah yang
dapat memproduksi ciguatera toxin. Ikan buntal yang memproduksi racun
buntal. Ikan tuna, tenggiri, marlin, marlin, escolar fish, dan mahi – mahi yang
memproduksi racun skromboid. Sedangkan beberapa jensi kerang juga dapat
memproduksi racun yang menyerang syaraf (HP, s.a.).
Penggunaan peralatan makan juga mengurangi tingkat kontaminasi
dibandingkan dengan menggunakan tangan langsung ketika makan. Sama
halnya pula ketika menyiapkan serta memasak penggunaan peralatan memasak
dan tidak menggunakan tangan langsung dapat mengurangi risiko kontaminasi
(Mensah, 2002). Hal yang sama pula diungkapkan oleh Malangu dimana
peralatan makan bukan merupakan sumber utama patogen (Malangu, s.a.).
Sebagian masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan makan tanpa
menggunakan peralatan makan seperti sendok atau garpu saat mengonsumsi
berbagai macam jenis pangan. Seperti saat mengonsumsi ikan, nasi, ataupun
makanan lainnya yang tidak berkuah. Hal tersebut dianggap praktis dari pada
menggunakan sendok atau garpu. Sedangkan sebagian lainnya menganggap
makan menggunakan tangan langsung dapat menambah cita rasa makanan
tersebut. Seperti yang diungkapkan dalam penelitian Mann (2011), ketika
makan menggunakan jari (tanpa menggunakan peralatan makan seperti sendok
atau garpu), cita rasa makanan tersebut akan lebih baik (Mann, 2011).
Kebiasaan tersebut juga dilakukan oleh sebagian masyarakat DKI Jakarta.
104
Dengan demikian jika tangan yang digunakan untuk makan tersebut tidak
bersih dari patogen penyebab keracunan pangan, maka individu akan memiliki
potensi untuk mengalami keracunan pangan.
Sedangkan pada penelitian lain menyebutkan jenis kelamin laki – laki
memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan perempuan dalam hal
keamanan pangan (Courtney, 2016). Sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Unusan dimana skor pengetahuan keamanan pangan lebih
tinggi pada jenis kelamin laki - laki dibandingkan perempuan (Unusan, 2005).
Namun sebaliknya, pada masyarakat umum aktivitas yang berhubungan
dengan pangan dan makanan justru banyak dilakukan oleh perempuan yang
memiliki pengetahuan lebih rendah dibandingkan laki – laki. Pengetahuan
yang dimiliki oleh individu cenderung akan mempengaruhi bentuk perilaku
individu. Namun perilaku baik atau buruk tidak hanya ditentukan oleh
pengetahuan saja, namun juga ditentukan oleh faktor lain. Menurut Sudarma
(2008) faktor lain tersebut adalah kemauan dan kemampuan pada masing –
masing individu untuk berperilaku baik atau buruk (Sudarma, 2008).
Selain itu perempuan lebih sering berhubungan dengan aktivitas
penyimpanan sampai dengan penyajian pangan dibandingkan laki – laki
menyebabkan perempuan memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan laki – laki.
Risiko tersebut menurut Lund (2011) dan Indranil (2016) disebabkan karena
kontak terhadap bahan pangan yang masih mentah. Selain berisiko
menyebabkan keracunan pada diri sendiri, juga dapat berisiko terhadap
lingkungan. Dari penelitian ini mengindikasikan bahwa dapur merupakan
105
bagian rumah yang menjadi sumber utama yang menentukan kebersihan
pangan.
Keracunan pangan yang banyak terjadi di rumah tangga juga
kemungkinan disebabkan oleh penggunaan pestisida untuk mengusir serangga
pengganggu. Adanya penggunaan pestisida tersebut tentunya dikhawatirkan
dapat menkontaminasi pangan yang sengaja disimpan di rumah. Biasanya
pangan yang mudah terkontaminasi adalah pangan yang dibiarkan di suhu
ruang tanpa penutup yang mengakibatkan partikel zat pestisida yang telah
disebar pada ruang tersebut jatuh ke dalam makanan.
Di India dari 60 laki – laki yang berumur 20 – 30 tahun mengalami
keracunan pangan setelah mengonsumsi makanan yang dimasak di dapur
umum. Setelah dilakukan penyelidikan diketahui penyebabnya adalah
penggunaan pestisida yang mengandung organophosphate malation di pagi
hari untuk mengusir serangga. Namun partikel pestisida tersebut
menkontaminasi bahan pangan yang dibiarkan tersimpan di tempat terbuka.
Dari 60 individu yang mengonsumsi makanan tersebut seluruhnya mengalami
keracunan (Vemula, 2012).
Selain karena keracunan pangan yang terjadi akibat perilaku yang tidak
disengaja, namun tidak memungkiri pula terdapat beberapa kasus keracunan
pangan yang sengaja dan direncanakan. Seperti di Nigeria keracunan pangan
erat kaitannya dengan kejahatan yang dimaksudkan seseorang kepada korban
(Malangu, s.a.). Di China penyalahgunaan zat beracun pada makanan
mengakibatkan kesakitan sebesar 2.9% (2930 kasus) sedangkan menyebabkan
adanya kasus baru keracunan pangan 6.7% (161 kasus) (Xue, 2011).
106
Namun tingginya keracunan pangan yang bersumber dari rumah tangga
ini juga dapat terjadi karena bias dalam pengambilan data yang dilakukan oleh
petugas kesehatan rumah sakit melalui anamnesa. Hal tersebut karena pasien
tidak mengingat, lupa dan dalam beberapa kasus juga pasien tidak begitu
memahami pertanyaan yang diberikan oleh petugas kesehatan. Di samping itu
petugas kesehatan yang melakukan pengumpulan data tersebut dapat kurang
memahami instrumen yang digunakan. Petugas kesehatan tersebut perlu
diberikan pelatihan terkait instrumen yang digunakan. Dan instrumen yang
digunakakan dalam penelitian ini sangatlah terbatas. Instrumen yang
digunakan adalah instrumen untuk mengetahui keracunan secara umum. Hal
tersebut karena BPOM dan rumah sakit sendiri belum melakukan penyusunan
ulang instrumen yang khusus digunakan untuk mengetahui informasi secara
mendalam kercunan pangan. Sehingga data yang diperoleh sangat terbatas
khususnya pada variabel tempat keracunan pangan.
Oleh karena itu untuk mengurangi angka keracunan pangan perlu
dilakukan edukasi kepada masyarakat tentang kebersihan perseorangan
(personal hygiene), mengolah pangan dengan tepat serta menciptakan
lingkungan yang bersih khususnya di rumah tangga yang menjadi sumber
keracunan pangan terbanyak. Selain itu perlu juga BPOM melakukan
koordinasi dengan BPOM yang terdapat di setiap provinsi untuk melakukan
kerjasama dengan rumah sakit dan aktif melakukan penyelidikan keracunan
pangan pada penderita.
107
BAB VII
PENUTUP
7.1 Simpulan
1. Proporsi keracunan pangan di DKI Jakarta tahun 2016 lebih besar pada
golongan umur 6 – 59 tahun (memiliki imunitas optimal) yaitu 92.3% dan
jenis kelamin perempuan yaitu 52.4%. Selain itu keracunan pangan banyak
terjadi pada musim kemarau dengan proporsi 62%. Sedangkan jenis pangan
penyebab keracunan pangan terbesar adalah seafood dan ikan – ikanan
dengan proporsi 52.4%. Adapun sumber keracunan pangan yang banyak
menyebabkan keracunan pangan adalah rumah tangga yaitu 46.2%.
2. Keracunan pangan pada jenis kelamin laki – laki, jenis pangan yang
menyebabkan keracunan pangan yang bersumber dari rumah tangga adalah
seafood, ikan-ikanan (53.19%) dan multiple food (17.02%). Sedangkan jenis
pangan yang banyak menyebabkan keracunan pangan yang bersumber dari
jasa boga adalah seafood, ikan-ikanan (46.42%) dan multiple food
(21.42%). Dan jenis pangan paling banyak bersumber dari PKL adalah
seafood, ikan-ikanan dan multiple food masing – masing 26.67%.
Sedangkan pada perempuan jenis pangan yang menyebabkan keracunan
pangan yang bersumber dari rumah tangga adalah seafood, ikan-ikanan
(69.38%), daging merah dan unggas serta multiple food (10.20%).
Sedangkan jenis pangan yang banyak menyebabkan keracunan pangan yang
bersumber dari jasa boga adalah seafood, ikan-ikanan (70%). Dan jenis
pangan paling banyak bersumber dari PKL makanan kecil (63.63%). Serta
108
pada sumber lain – lain dan tidak diketahui janis pangan lain – lain banyak
menyebabkan keracunan pangan yaitu 57.14%%.
7.2 Saran
1. BPOM perlu membentuk regulasi terkait sistem pelaporan keracunan
pangan yang terjadi di rumah sakit. Sehingga pelaporan dapat berjalan
secara konsisten dan berkelanjutan serta data yang terkumpul memiliki
kelengkapan data yang lengkap. Dengan adanya regulasi tersebut juga
diharapkan akan terjalin komitmen kerjasama yang baik antara BPOM dan
rumah sakit.
2. Disarankan kepada BPOM untuk menyusun instrumen pengumpulan data
keracunan pangan secara khusus sebagai pengembangan dari formulir
catatan medis kasus keracunan di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Pengembangan tersebut bertujuan untuk penggalian data terkait keracunan
pangan lebih mendalam serta penambahan variabel pertanyaan agar variabel
yang terkumpul lebih lengkap dan dapat melengkapi varibel yang telah ada.
3. Disarankan kepada pihak BPOM untuk berkoordinasi dengan BPOM
provinsi untuk melakukan penyelidikan kepada kasus keracunan pangan
secara aktif yang terjadi di rumah sakit. Dengan adanya upaya tersebut
diharapkan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel yang dikumpulkan
juga dapat dilakukan.
4. Dinas kesehatan kab/kota perlu melakukan sosialisasi kepada pengusaha
jasa boga untuk mengajukan perizinan usaha. Selain agar terjamin
keamanan dan mutu, hal tersebut dapat dijadikan sebagai monitoring serta
109
penyampaian informasi dinas kesehatan kab/kota kepada pengusaha jasa
boga.
5. Perlu adanya pencegahan keracunan pangan berupa penyuluhan keracunan
pangan kepada keluarga khususnya ibu. Hal tersebut akan berdampak besar
dalam percepatan penyampaian informasi kepada individu ataupun keluarga
di lingkungan sekitarnya. Selain itu pula ibu memiliki peran sentral dalam
memastikan kebersihan dan keamanan pangan pada keluarganya.
110
DAFTAR PUSTAKA
AAP. (2014). Young Children and Foodborne Illness.
Abd-ELhaleem, Z. A. d. A.-E. (2011). Pattern of Food Poisoning in Egypt, a
Retrospective Study. Journal of Pharmacology and Toxicology, 5, 505-
515.
Addis, M. d. D. S. (2015). A Review on Major Food Borne Bacterial Illnesses.
Journal of Tropical Diseases, 3(4).
Ahmed, A., et.al. (2015). Poisoning Emergency Visits among Children : a 3 Years
Retrospective Study in Qatar. BMC Pediatric, 15(104), 7. doi:
10.1186/s12887-015-0423-7
Ajayi, O. e. a. (2011). Epidemiological Approaches to Food Safety. Food
Protection Trends, 31(9), 560 - 568.
Aliyah, S. d. (2016). Food Poisoning: Mini-review. Research and Reviews
Journal of Pharmaceutical Analysis, 5(2).
Annor, G. a. B., E. A. (2011). Evaluation of Food Hygiene Knowledge Attitudes
and Practices of Food Handlers in Food Businesses in Accra, Ghana. Food
and Nutrition Sciences, 2, 830-836.
Arganini, C. a. A. S. (s.a.). Gender Differences in Food Choice and Dietary Intake
in Modern Western Societies. Intechopen.
Arisman. (2009). Keracunan Makanan : Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC.
Bi, P., et.al. (2008). Weather and Notified Campylobacter Infections in Temperate
and sub-Tropical Regions of Australia: An Acological Study. Journal of
Infection : Elsivier, 57, 317 - 323.
Bloomingdale, A., et.al. (2010). A qualitative study of fish consumption during
pregnancy. The American Journal of Clinical Nutrition, 92 (5) 1234 -
1240. doi: 10.3945/ajcn.2010.30070
BMJ. (2017). Chapter 8. Case-control and cross sectional studies. Retrieved 30
September 2017, from http://www.bmj.com/about-bmj/resources-
readers/publications/epidemiology-uninitiated/8-case-control-and-cross-
sectional
BPOM. (2016). Sentra Informasi Keracunan (SIKER) Nasional. Retrieved 08
March, 2017, from http://ik.pom.go.id/v2016/
111
BPOM. (2017). Keracunan Pangan. Retrieved from
https://mail.google.com/mail/u/0/#inbox/15b8f01f69116262
Bunawan, N. C. e. a. (2014). Djenkolism: Case Report and Literature Review.
International Medical Case Reports Journal, 7, 79–84.
Burt BM, V. C., Finkel M. (2003). Safety of vendor-prepared foods: evaluation of
10 processing mobile food vendors in Manhattan. Public
Health. 118, 470 - 476.
Buvinic, M., et.al. (2006). Disease Control Priorities in Developing Countries.
2nd edition. New York: Oxford University Press.
Campos, A. K. C., et all. (2009). Assessment of Personal Hygiene and Practices
of Food Handlers in Municipal Public Schools of Natal, Brazil. 20, 807-
810.
CDC. Harmful Algal Blooms (HABs). Retrieved 4 October 2017, from
https://www.cdc.gov/nceh/ciguatera/
CDC. (2012). Lesson 1: Introduction to Epidemiology. Retrieved 30 february,
2017, from
https://www.cdc.gov/ophss/csels/dsepd/ss1978/lesson1/section7.html
CDC. (2015). Foodborne Outbreaks: Guide to Confirming an Etiology in
Foodborne Disease Outbreak. Retrieved 12 April, 2017, from
https://www.cdc.gov/foodsafety/outbreaks/investigating-
outbreaks/confirming_diagnosis.html
CDC. (2016). Cholera - Vibrio cholerae infection Retrieved 10 April, 2017, from
https://www.cdc.gov/cholera/general/
CDC. (2017). Food Safety : Keep Food Safe. Retrieved 09 October, 2017, from
https://www.cdc.gov/foodsafety/keep-food-safe.html
Chihava. M, e. a. (2012). Factors Contributing to Biological Diversity and Load in
Bulawayo Restaurants. 2(2), 7-19.
Clark, M. (2005). Foodborne Illness : Common bacteria and viruses that cause
food poisoning
112
Retrieved 10 April 2017, from
http://www.foodborneillness.com/clostridium_perfringens_food_poisonin
g/
Climat, R. (2013). Microbial safety aspects of street foods in Haiti. Universiteit
Gent.
Courtney, S., et.al. (2016). Food safety knowledge of undergraduate students at a
Canadian university: results of an online survey. BMC Public Health, 16.
doi: 10.1186/s12889-016-3818-y
Cuprasitrut, T., et.al. (2011). Food Safety Knowledge, Attitude and Practice of
Food Handlers and Microbiological and Chemical Food Quality
Assessment of Food for Making Merit for Monks in Ratchathewi District,
Bangkok Asia. Journal of Public Health, 2(1).
DFS. (2007). Coliform Bacteria - Indications in Food and Water. Cornell
University.
Ebi, K. L., et.al (2006). Climate Change and Human Health Impacts in the United
States: An Update on the Results of the U.S. National Assessment.
Environmental Health Perspectives, 114 Number 9 September 2006, 1318-
1324.
Ehling-Schulz, M., et.al. (2004). Identification of emetic toxin producing Bacillus
cereus strains by a novel molecular assay. FEMS Microbioloy Letters,
232(2), 189 - 195.
EK, L. a. R. J. (1997). The Role of Seafood in Foodborne Disease in The United
States of America. Rev Sci Tech, 2, 620 - 640.
Ek, S. (2015). Gender differences in health information behaviour: a Finnish
population-based survey. health Promotion International, 30(3), 736 -
745. doi: 10.1093/heapro/dat063
Elmadfa, I. (2005). Diet Diversification and Health Promotion. Austria:
University Vienna.
Elwood, M. (2000). Critical Appraisal of Epideiological Studies and Clinical
Trials : Second Edition. New York: Oxford University.
Ezat, S. N. D. S. (2013). Paper Review of Factor, Surveillance and Burden of
Food Borne Disease Outbreak in Malaysia. Malaysian Journal, 13 (2).
113
FDA. (2014a). Bad Bug Book: Foodborne Pathogenic Microorganisms and
Natural Toxins Handbook Clostridium perfringens. Retrieved 10 April
2017, from
https://www.fda.gov/food/foodborneillnesscontaminants/causesofillnessba
dbugbook/ucm070483.htm
FDA. (2014b). BBB - Bacillus cereus and other Bacillus spp. Retrieved 12 April,
2017, from
https://www.fda.gov/food/foodborneillnesscontaminants/causesofillnessba
dbugbook/ucm070492.htm
Fischer, A. R. H., Aarieke E.I. De Jong, Esther et.al. (2007). Food Safety in the
Domestic Environment: an Interdisciplinary Investigation of Microbial
Hazards During Food Preparation. Sociaty for Risk Analysis, 27 No. 4. doi:
10.1111/j.1539-6924.2007.00944.x
Frederick, e. a. (2006). Eating in Restaurants: A Risk Factor for Foodborne
Disease? Clinical Infectious Diseases, 43(10), 1324–1328. doi:
10.1086/508540
Gabida, M. e. a. (2015). Fodborne Illness Among Factory Workers, Gweru,
Zimbabwe 2012: Retrospective Cohort Study. BMC Research Notes. doi:
DOI 10.1186/s13104-015-1512-2
Glasgow, L. M., et.al. (2013). Estimating the Burden of Acute Gastrointestinal
Illness in Grenade. J Health Popul Nutr, 31 Number 4 (Suppl I) ;S17-S29,
12.
Gotsch, R., Keck, CW., Spencer, HC. (2012). Knowledge, Skills, and Attitudes
(KSAs) for the Public Health Preparedness and Response Core
Competency Model: CDC, Office of Public Health Preparedness and
Response. Association of Schools of Public Health.
Greig, J. D., et.al. (2001). A Descriptive Analysis of Giardiasis Cases Reported in
Ontario, 1990 - 1998. Canadian Journal of Public Health, September -
October 2001.
Greig, J. D. a. A. R. (2009). Analysis of Foodborne Outbreak Data Reported
Internationally for Source Attribution. International Journal of Food
Microbiology, 130, 77 - 87. doi: 10.1016/j.ijfoodmicro.2008.12.031
114
Gumbo, A. e. a. (2015). Staphyilococcus Aureus Food Poisoning Among
Bulawayo City Council Employees, Zimbabwe, 2014. BMC Research
Notes. doi: DOI 10.1186/s13104-015-1490-4
Harvey, R. R., et.al. (2016). Foodborne Disease Outbreaks Associated with
Organic Foods in the United States. Journal of Food Protection, 79, No.
11, 1953–1958. doi: 10.4315/0362-028X.JFP-16-204
HP. (s.a.). Scientific Committee on Enteric Infections and Foodborne Diseases
Foodborne illness – Intersection between Clinical and Public Health
Approaches: Centre of Health Protection.
IFH. (2014). Foodborne disease and the home. Retrieved from https://www.ifh-
homehygiene.org//system/files_force/publications/foodborne-disease-and-
home-hygiene.doc?download=1
Imari, S. (2013). 4. Penyelidikan KLB Keracunan Pangan : Langkah-langkah
Umum. Jakarta: Badan POM.
Indranil, P. a. (2016). Food Poisoning: Illness Ranges from Relatively Mild
Through To Life Threatening. Journal of Medical and Health Science,
5(4).
Iwamoto, M., et.al. (2010). Epidemiology of Seafood-Associated Infections in the
United States. Clinical Microbial Reviews, 23 (2), 12. doi:
10.1128/CMR.00059-09
J, B., et.al. (2004). Food Safety: Emerging Trends in Foodborne Illness
Surveillance and Prevention. Journal of the American Dietetic
Association, 10. doi: 10.1016/j.jada.2004.08.028
Jahns, L., et.al. (2014). Intake of Seafood in the US Varies by Age, Income, and
Education Level but Not by Race-Ethnicity. Nutrients, 6, 6060-6075. doi:
10.3390/nu6126060
Jayarao, e. a. (2006). A Survey of Foodborne Pathogens in Bulk Tank Milk and
Raw Milk Consumption Among Farm Families in Pennsylvania. Journal
of Dairy Science, 89(7), 2451-2458. doi: 10.3168/jds.S0022-
0302(06)72318-9
115
Kadariya, e. a. (2014). Staphylococcus Aureus and Staphylococcus Food-Borne
Disease : An Ongoing Challenge in Public Health. Biomed Research
International, 2014. doi: 10.1155/2014/827965
Kariuki, S. (2008). Typhoid Fever in sub-Saharan Africa: Challenges of Diagnosis
and Management of Infections. Regional Review Aricle, 2 (6), 443-447.
Kirk, M. D. e. a. (2008). Foodborne Disease in Australia: The OzFoodNet
Experience. Clinical Infectious Disease. doi: 10.1086/589861
Kirk, M. D. e. a. (2014). Foodborne Illness, Australia, Circa 2000 and Circa 2010.
Emerging Infectious Disease, 11 November 2014.
Kristin, M., Judy A and Driskel. (2009). Observed Sex Differences in Fast-food
Consumption and Nutrition Self-Assessments and Beliefs of College
Students. Elsevier. doi: 10.1016/j.nutres.2009.02.004
Kunwar, C. R., Maj Harpreet Singh et,al. (2013). Outbreak Investigation :
Salmonella Food Poisoning Medical Journal Armed Forces India, 69, 4.
lake, I. R., et.al. (2009). A Re-evaluatio of the Impact of Temperature and Climate
Change on Foodborne Illness. Epidemiol Infect, 137, 10. doi:
10.1017/S0950268809002477
Langiano, E., et.al. (2012). Food Safety at Home: Knowledge and Practices of
Consumers. Springer, 20, 47-57. doi: 10.1007/s10389-011-0437
Lee, H. K., et.al. (2017). Assessment of Food Safety Knowledge, Attitude, Self-
Reported Practices, and Microbiological Hand Hygiene of Food Handlers.
Pubmed, 14(1). doi: 10.3390/ijerph14010055
Linscott, A. J. (2011). Food-borne Ilnesses, Clinical Microbiology Newspaper, p.
5.
Liu, C. e. a. (2016). Behavior of Salmonella and Listeria monocytogenes in Raw
Yellowfin Tuna during Cold Storage. Food, 5(1). doi:
10.3390/foods5010016
Lucy, S. e. a. (2003). Lifestyle factors associated with atrophic gastritis among
Helicobacter pylori-seropositive Japanese-Brazilians in SÃo Paulo.
International Journal of Clinical Oncology, 8(6), 362-368.
116
Lund, B. M. d. S. J. O. B. (2011). The Occurrence and Prevention of Foodborne
Disease in Vulnerable People. Foodborne Pathogens and Disease, 8
Number 9 2011. doi: 10.1089/fpd.2011.0860
Majowicz, S. E. e. a. (2004). Magnitude and Distribution of Acute, Self-Reported
Gastrointestinal Illness in Canadian Community. Epidemiol Infect, (2004,
132), 607-617.
Malangu, N. (2016). Risk Factors and Outcomes of Food Poisoning in Africa.
Agricultural and Biological Sciences, 978-953-51-2277-7. doi:
10.5772/62274
Malangu, N. (s.a.). Risk Factors and Outcomes of Food Poisoning in Africa:
Intech.
Mamun MA, e. a. (2013). Microbiological quality of selected street food items
vended by school-based street food vendors in Dhaka, Bangladesh. Int J
Food Microbiol. 166(413 - 418).
Manguiat LS, F. T. (2013). Microbiological quality of chicken- and pork-based
street-vended foods from Taichung, Taiwan, and Laguna, Philippines.
Food Microbial, 36, 57 - 62.
Mann, A., et al. (2011). Mixing Methods, Tasting Fingers. Journal of
Ethnoghraphic Theory, 1(1), 21-243.
Maruyama, K., et.al. (2012). Methyl Mercury Exposure at Niigata, Japan: Results
of Neurological Examinations of 103 Adults. Journal of Biomedicine and
Bioetechnology, 2012, 7.
McIntyre, e. a. (2013). Evaluation of food safety knowledge, attitudes and self-
reported hand washing practices in FOODSAFE trained and untrained
food handlers in British Columbia, Canada. Food Control, 30, 150-156.
Mensah, P. e. a. (2002). Street foods in Accra, Ghana: how safe are they? Bulletin
of the World Health Organization, 8 (7).
MOH. (2007). Annua Report 2004-2013. Planning Devision, Health Informaics
Centre, MInistry of Health Malaysia.
Morgenstern. (1995). Ecologic Studie in Epidemiology: Concept, Principle and
Methods. NCBI, 16, 20.
117
Mutalib, e. a. (2014). An Overview of Foodborne Ilness and Food Safety in
Malaysia. International Food Research Journal, 22(3). doi: 896-901
(2015)
N, A., Ohta M and Yokoyama K. (2002). Production of Bacillus cereus emetic
toxin (cereulide) in various foods. 73 (1): 23 - 7.
Nadal, K. L., et.al. (2017). The SAGE Encyclopedia of Psychology and Gender.
New York.
Newell, D. G. e. a. (2010). Food-borne Diseases — The challenges of 20 years
ago still persist while new ones continue to emerge. International Journal
of Food Microbiology, 139 (2010) S3–S15. doi:
10.1016/j.ijfoodmicro.2010.01.021
Nonato, I., et.al. (2016). Nutritional Issues Concerning Street Foods. Journal of
Clinical Nutrition & Dietetics, Vol.2 No 1:7. doi: 10.4172/2472-
1921.100014
Omemu, a. A. S. T. (2008). Food safety knowledge and practices of street food
vendors in the city of Abeokuta, Nigeria. Food Control, 19, 396 - 402.
Osei-Tutu, B. d. F. A. (2016). Trends of Reported Foodborne Disease at the Ridge
Hospital, Acca, Ghana : a Retrospective Review of Routine Data from
2009-2013. BMC Infectious Diaseases, 16(139), 9. doi: 10.1186/s12879-
016-1472-8
Painter, J. A., et.al. (2013). Attribution of Foodborne Illnesses, Hospitalizations,
and Deaths to Food Commodities by using Outbreak Data, United States,
1998–2008. Emerging Infectious Diseases, 19, No. 3, March 2013. doi:
10.3201/eid1903.111866
Pantoflickova, e. a. (2003). Favourable effect of regular intake of fermented milk
containing Lactobacillus johnsonii on Helicobacter pylori associated
gastritis. Pubmed.
Pardhan-Ali, A. e. a. (2017). A Descriptive Analysis of Notifiable Gastrointestinal
Illness in The Nortwest Territories, Canada 1991 0 2008. BMJ Journal.
Peer, N., et.al. (2013). A High Burden of Hypertension in The Urban Black
Population of Cape Town: The Cardiovascular Risk in Black South
Africans.
118
Pieniak, Z., et.al. (2010). Health - related Beliefs and Consumer Knowledge as
Determinants of Fish Consumption. J. Hum. Nutr. Diet, 23, 480-488.
POST. (2003). Food Poisoning. January 2003(No.193), 1-4.
Prattala, R. (2006). Gender differences in the consumption of meat, fruit and
vegetables are similar in Finland and the Baltic countries. European
Journal of Public Health, 17 No. 5, 520 - 525. doi: 10.1093/eurpub/ckl265
R, M. e. a. (2013). Hygienic quality of food stuff in catering services and
restaurants in Iran. International Food Research Journal, 21 (2), 673 -
676.
Rane, S. (2011). Street Vended Food in Developing World: Hazard Analyses.
Indian J Microbial, Jan - Mar 2011, 6. doi: 10.1007/s12088-011-0154-x
Saba Courage, K. S. d. B. G.-Z. (2012). Microbial Food Safety in Ghana : a Meta-
analysis. Emerging Problems in Infectious Deseases, 6 (12), 828-835.
Sachdeva, A. e. a. (2014). Efficacy of fermented milk and whey proteins in
Helicobacter pylori eradication: A review. World Journal of
Gastroenterology, 20(3), 724–737.
Saeidi, E. a. A. S. (2016). vacA Genotype Status of Helicobacter pylori Isolated
from Foods with Animal Origin. Biomed Research International. doi:
10.1155/2016/8701067
Scallan. (2007). Activities, Achievements, and Lessons Learned During the First
10 Years of the Foodborne Diseases Active Surveillance Network : 1996-
2005. Food Safety Invited Article, 2007 :44 ( March), 718-725.
Scott, E. (1996). Foodborne Disease and Other Hygiene Issues in the Home.
Journal of Applied Bacteriology, 80, 5.
Scott, E. (2003). Food Safety and Foodborne Disease in 21st Century Homes.
Stainer Review, 14(5), 277-280.
Semenza, J. C. d. B. M. (2009). Climate change and infectious diseases in Europe.
The Lancet, 9 Juni.
Sharif, L. a. A.-M., T. (2009). Knowledge, attitude and practice of Taif University
students on food poisoning. Food Control, 21, 55-60.
Shiferaw, B., et.al. (2012). Sex-Based Differences in Food Consumption:
Foodborne Diseases Active Surveillance Network (FoodNet) Population
119
Survey, 2006–2007. Clinical Infectious Diseases, 54(suppl_5,), S453–
S457. doi: 10.1093/cid/cis247
Siegman-Igra, Y. e. a. (2002). Listeria monocytogenes Infection in Israel and
Review of Cases Worldwide. Emerging Infectious Diseases, Vol. 8, No. 3,
March 2002.
Sifferlin, A. (2015). 351,000 People Die of Food Poisoning Globally Every Year.
Soares, e. a. (2012). Knowledge, attitudes and practices in food safety and the
presence of coagulasepositive, staphylococci on hands of food handlers in
the schools of Camaçari, Brazil. Food Control, 27, 206-213.
Stratta , P. a. G. B. (2012). Scombroid poisoning. Canadian Medical Association
Journal, 184 (6). doi: 10.1503/cmaj.111031
Supplementary Table 1 : Traditional medicines and edible plants associated with
acute kidney injury.
Suwito, W. (2010). Bakteri yang sering Mencemari Susu: Deteksi, Patogenesis,
Epidemiologi, dan Cara Pengendaliannya. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, 29, No 3. doi: 10.21082/jp3.v29n3.2010.p96-
100
Tam, C., et.al. (2010). Food-borne Illnesses during Pregnancy. 56 (4), 3.
Teschke, K. e. a. (2010). Water and Sewage Systems, Socio-demographics, and
Duration of Residence Associated with endemic Intestinal Infectious
Diseases: A Cohort Study. BMC Public Health, 10 : 767, 1471-2458.
Tewari, A. d. S. A. (2015). Bacillus cereus food poisoning: international and
Indian perspective. Journal of Food Science and Technology, 52(5), 2500–
2511. doi: 10.1007/s13197-014-1344-4
Todd, E. C. e. a. (2010). Outbreak Where Food Workers have been IMplicated in
teh Spread of Foodborne DIsease. Part 9. Washing and Drying of hands to
Reduce Microbial Contamination (73), 1937 - 1955.
Unusan, N. (2005). Consumer Food Safety Knowledge and Practices in the Home
in Turkey. Elsevier, 7. doi: 10.1016/j.foodcont.2005.08.006
Vemula, S. R. e. a. (2012). Emerald Article: Foodborne diseases in India - a
review. British Food Journal, 114 Iss: 5 pp, 661 - 680.
120
Venuto, M. a. k. G. (2015). Analyses of the Contributing Factors Associated with
Foodborne Outbreaks in School Settings (2000–2010). Journal of
Environmental Health, 77(7).
Verbeke, W. a. V. I. (2005). Individual Determinants of Fish Consumption:
Application of the Theory of Planned Behaviour. Appetite, 44, 67-82.
Wang, S., et.al. (2007). Analysis of Bacterial Foodborne Disease Outbreaks in
China Between 1994 and 2005. FEMS Immunol Med Microbial, 51
(2007), 8-13.
Wardle J, H. A., et al. (2004). Gender Differences in Food Choice: the
Contribution of Health Beliefs and Dieting. Pubmed US National Library
of Medicine National Institutes of Health, 27(2`), 107 - 116.
Wennberg, M. e. a. (2012). Diet and lifestyle factors associated with fish
consumption in men and women: a study of whether gender differences
can result in gender-specific confounding. Nutrition Journal, 11(101). doi:
10.1186/1475-2891-11-101
WHO. Penyakit Akibat Keracunan Makanan.
WHO. (2008). Foodborne Disease Outbreaks: Guidelines for Investigation and
Control. France: WHO.
WHO. (2015). WHO’s first ever global estimates of foodborne diseases find
children under 5 account for almost one third of deaths. Retrieved 7
February 2017, from
http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2015/foodborne-disease-
estimates/en/
WHO. (2017). Health Topics: Escherichia coli infections. Retrieved 10 April,
2017, from http://www.who.int/topics/escherichia_coli_infections/en/
Xue, J. d. W. Z. (2011). Understanding China’s food safety problem: An analysis
of 2387 incidents of acute foodborne illness. Elsevier Science, 30 (2013),
7. doi: 10.1016/j.foodcont.2012.07.024
121
LAMPIRAN INSTRUMEN PENCATATAN
122
SURAT IZIN PENGAMBILAN DATA
123
LAMPIRAN HASIL ANALISIS
Statistics
Musim JK
Sumber_Penyebab
2 Kat_umur Pangan_Penyebab
N Valid 208 208 208 208 208
Missing 0 0 0 0 0
Kat_umurimun
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid imun rendah 16 7.7 7.7 7.7
Imun Optimal 192 92.3 92.3 100.0
Total 208 100.0 100.0
JK
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Laki-laki 101 48.6 48.6 48.6
Perempuan 107 51.4 51.4 100.0
Total 208 100.0 100.0
Musim
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Hujan 79 38.0 38.0 38.0
Kemarau 129 62.0 62.0 100.0
Total 208 100.0 100.0
124
JENISPANGAN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid seafood dan ikan 109 52.4 52.4 52.4
Lain - lain 15 7.2 7.2 59.6
mie instan dan nasi 12 5.8 5.8 65.4
daging dan daging unggas 15 7.2 7.2 72.6
multiple food 32 15.4 15.4 88.0
snack 25 12.0 12.0 100.0
Total 208 100.0 100.0
SUMBER2
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid RT 96 46.2 46.2 46.2
JB 68 32.7 32.7 78.8
PKL 26 12.5 12.5 91.3
LAIN TIDAK TAHU 18 8.7 8.7 100.0
Total 208 100.0 100.0
125
Jenis pangan dan sumber keracunan pangan yang banyak dikonsumsi jenis kelamin
laki – laki
Statistics
JENISPANGAN
N Valid 101
Missing 0
JENISPANGAN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid seafood dan ikan 44 43.6 43.6 43.6
Lain - lain 8 7.9 7.9 51.5
mie instan dan nasi 10 9.9 9.9 61.4
daging dan daging unggas 6 5.9 5.9 67.3
multiple food 20 19.8 19.8 87.1
snack 13 12.9 12.9 100.0
Total 101 100.0 100.0
JENISPANGAN * SUMBER2 Crosstabulation
Count
SUMBER2
Total
RT JB PKL
LAIN TIDAK
TAHU
JENISPAN
GAN
seafood dan ikan 25 13 4 2 44
Lain - lain 6 0 0 2 8
mie instan dan nasi 3 4 1 2 10
daging dan daging
unggas 3 3 0 0 6
multiple food 8 6 4 2 20
snack 2 2 6 3 13
Total 47 28 15 11 101
126
Jenis pangan dan sumber keracunan pangan yang banyak dikonsumsi jenis kelamin
perempuan
Statistics
JENISPANGAN
N Valid 107
Missing 0
JENISPANGAN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid seafood dan ikan 65 60.7 60.7 60.7
Lain - lain 7 6.5 6.5 67.3
mie instan dan nasi 2 1.9 1.9 69.2
daging dan daging unggas 9 8.4 8.4 77.6
multiple food 12 11.2 11.2 88.8
snack 12 11.2 11.2 100.0
Total 107 100.0 100.0
JENISPANGAN * SUMBER2 Crosstabulation
Count
SUMBER2
Total
RT JB PKL
LAIN TIDAK
TAHU
JENISPAN
GAN
seafood dan ikan 34 28 2 1 65
Lain - lain 3 0 0 4 7
mie instan dan nasi 1 1 0 0 2
daging dan daging unggas 5 4 0 0 9
multiple food 5 4 2 1 12
snack 1 3 7 1 12
Total 49 40 11 7 107