diajukan sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar...

141
DISTRIBUSI SUMBER KERACUNAN PANGAN DI DKI JAKARTA BERDASARKAN LAPORAN KASUS SENTRA INFORMASI KERACUNAN NASIONAL BPOM RI SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Oleh : Fatikhatul Mabruroh 1113101000020 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/ 1439 H

Upload: truongphuc

Post on 02-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

DISTRIBUSI SUMBER KERACUNAN PANGAN DI DKI

JAKARTA BERDASARKAN LAPORAN KASUS SENTRA

INFORMASI KERACUNAN NASIONAL – BPOM RI

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh :

Fatikhatul Mabruroh

1113101000020

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M/ 1439 H

Page 2: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakulas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakulas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya asli

atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Fakulas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 November 2017

Fatikhatul Mabruroh

NIM. 1113101000020

7

Page 3: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

iii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

Skripsi, Januari 2018

Fatikhatul Mabruroh, NIM. 1113101000020

Distribusi Sumber Keracunan Pangan di Dki Jakarta Berdasarkan Laporan

Kasus Sentra Informasi Keracunan Nasional – BPOM RI

(xv + 120 halaman + 4 bagan + 3 diagram + 7 tabel + 6 lampiran)

ABSTRAK

Abstrak

Keracunan pangan merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

DKI Jakarta adalah salah satu provinsi yang memiliki jumlah kasus dan

kelengkapan laporan yang lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya yaitu masing

– masing 213 kasus dan 94.6%. BPOM yang merupakan sumber data dalam

penelitian ini telah melakukan analisis terhadap data yang ada, namun hanya sampai

pada analisis deskriptif. Sehingga tujuan penelitian ini melakukan analisis analitik

keracunan pangan di DKI Jakarta pada tahun 2016 dengan menggunakan data

laporan keracunan pangan Siker Nasional BPOM – RI.

Penelitian ini adalah melakukan analisis lanjutan yang dilakukan oleh BPOM

– RI dengan menggunakan desain studi cross – sectional dengan pendekatan

kuantitaif. Jumlah sampel adalah 208 kasus dengan menerapkan kriteria inklusi.

Adapun analisis yang digunakan adalah analisis desktiptif bertahap.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keracunan pangan banyak terjadi

pada kelompok umur yang memiliki tingkat imunitas optimum (92.3%), perempuan

(51.4%) dan pada musim kemarau (62%). Sedangkan jenis pangan yang banyak

menyebabkan keracunan pangan adalah seafood dan ikan – ikanan (52.4%) dengan

sumber keracunan adalah rumah tangga (46.2%). Pada laki – laki dan perempuan,

keracunan pangan banyak disebabkan karena mengonsumsi seafood dan ikan –

ikanan (laki – laki 43.6% dan perempuan 60.7%) yang bersumber dari rumah tangga

(laki – laki 56.8% dan perempuan 52.3 %) dan jasa boga (laki – laki 29.5% dan

perempuan 43.0%). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk

BPOM dalam menentukan upaya pencegahan keracunan pangan di Indonesia.

Kata kunci : Keracunan pangan, status imunitas, jenis kelamin dan musim

Page 4: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

iv

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION

Undergraduated Thesis, January 2018

Fatikhatul Mabruroh, ID Number 1113101000020

Distribution of Food Poisoning Sources in DKI Jakarta Based on Case Reports

of Poisoning Information Centers - INADFC

(xv + 120 pages + 4 charts + 3 diagrams + 7 tables + 6 attachments)

Abstract

Food poisoning is a public health problem in Indonesia. DKI Jakarta is one

of the provinces that has a higher number of cases and reports completeness than

other provinces 213 cases and 94.6% respectively. BPOM which is the source of

data in this study has done an analysis of existing data, but only up to the descriptive

analysis. So the purpose of this study was to analyze the food poisoning analytics

in DKI Jakarta in 2016 using the report of food poisoning report Indonesian

National Agency Drug and Food Control (INADFC).

This research is doing continuation analysis conducted by BPOM - RI by

using cross-sectional study design with quantitative approach. The sample size was

208 cases by applying inclusion criteria. The sample size was 208 cases by applying

inclusion criteria. The analysis used is a path-descriptive analysis.

The results of this study indicate that food poisoning occurs in the optimum

immune age group (92.3%), females (51.4%) and in the dry season (62%). While

the type of food that causes food poisoning is seafood and fishes (52.4%) with the

source of poisoning is the household (46.2%). In men and women, food poisoning

is caused by eating seafood and fish (men 43.6% and women 60.7%) sourced from

households (men 56.8% and women 52.3%) and catering (men - 29.5% male and

female 43.0%). The results of this study are expected to be input to INADFC in

determining the prevention of food poisoning in Indonesia.

Keywords: Food Poisoning, immunity status, sex and season

Page 5: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

v

RIWAYAT HIDUP

Biodata Personal

Nama : Fatikhatul Mabruroh

TTL : Jombang, 04 Maret 1995

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

No. Hp : 0858-6602-7518

Alamat : Kandangan Rt 01/10, Gondangmanis, Bandar

Kedungmulyo, Jombang, Jawa Timur. Kode Pos 61624

Alamat Email : [email protected]

[email protected]

Nama Orang Tua : H. Mahmud dan Siti Masithoh

Pendidikan Formal

2013 – sekarang : Peminatan Epidemiologi, Program Studi Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2010 – 2013 : MAN Tambakberas Jombang

2007 – 2010 : MTsN Tambakberas Jombang

2001 – 2007 : MI Al-Hikmah Gondangmanis

1999 – 2001 : Raudlatul Athfal Gondangmanis

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Skripsi

ANALISIS KERACUNAN PANGAN

Page 6: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

vi

DI DKI JAKARTAHUN 2016

(LAPORAN KASUS SENTRA INFORMASI KERACUNAN NASIONAL –

BPOM RI)

Telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, November 2017

Disusun Oleh:

FATIKHATUL MABRUROH

NIM. 1113101000020

Pembimbing

Ratri Ciptaningtyas, MHS

NIP. 19840404 200912 2 007

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2017 M/ 1438 H

Page 7: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

vii

Page 8: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

viii

Kupersembahkan skripsi ini untuk

abah (allahummaghfirlahu), ibuk dan masku yang selalu

memberikan do’a, harapan, semangat dan segalanya yang

terbaik.

Page 9: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat,

rahim dan hidayahNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan judul “Karakeristik Keracunan Pangan di DKI Jakarta

Tahun 2016 (Laporan Kasus Sentra Informasi Keracunan Nasional – BPOM

RI)”. Serta semoga sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad

SAW.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada,

1. Abahku H. Mahmud (alm), ibukku Siti Masithoh dan masku Moh.

Miftachul Abror yang senantiasa memberikan segalanya yang terbaik. Baik

moril, materil, doa, dan semangat yang terus mengalir tiada henti kepada

penulis.

2. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS. selaku pembimbing skripsi yang selalu sabar

memberikan ilmu, waktu, bimbingan, arahan, masukan, dan do’a kepada

penulis.

3. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes. sebagai pembimbing akademik telah

memberikan waktu dan arahannya kepada penulis selama masa perkuliahan.

4. Bapak Prof. Dr. Arif Sumantri, M.Kes. selaku dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, M.Kes. dan Ibu Hoirun Nisa, Ph.D. serta

dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat lainnya yang telah banyak

memberikan ilmu dan do’anya kepada penulis.

6. Pihak BPOM yang telah banyak membantu dalam pengambilan data serta

memberikan saran dan masukan kepada penulis.

Page 10: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

x

7. Irham Pratama, S.Farm. yang telah membantu, menemani dan memberi

semangat kepada penulis.

8. Teman – teman epidemiologi 2013 Dedes, Dina, Dewi O, Rina, Sabrina,

Rista, Citra, Hindun, Fitria, Narita, Anggi, Rai, Mila, Ririn, Ica, Mutia,

Purwanti, dan Upi serta teman satu atap Iffa yang sudah banyak

memberikan cerita tersendiri bagi pribadi penulis. Menemani dan berbagi

pengalaman dalam senang dan duka.

9. Dan semua pihak yang telah membantu penulis.

Dalam penulisan skripsi ini tentunya masih terdapat kekurangan dan masih perlu

perbaikan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran. Semoga

penelitian ini dapat bermanfaat.

Jakarta, November 2017

Penulis

Page 11: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii

ABSTRAK ............................................................................................................. iii

RIWAYAT HIDUP ................................................................................................. v

PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................................................................ vi

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix

DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi

DAFTAR BAGAN, DIAGRAM, DAN TABEL .................................................. xv

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 4

1.3 Pertanyaan Penelitian ................................................................................... 4

1.4 Tujuan .......................................................................................................... 5

1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................................ 5

1.4.2 Tujuan Khusus ....................................................................................... 5

1.5 Manfaat ........................................................................................................ 5

1.5.1 Manfaat bagi Peneliti ............................................................................. 5

1.5.2 Manfaat bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ............................. 6

1.5.3 Manfaat bagi Siker Nasional BPOM – RI.............................................. 6

1.6 Ruang Lingkup ............................................................................................. 6

BAB II ..................................................................................................................... 7

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 7

2.1 Keracunan Pangan ........................................................................................ 7

2.2 Faktor – faktor Keracunan Pangan ............................................................... 8

Page 12: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

xii

2.2.1 Faktor Pejamu ........................................................................................ 8

2.2.2 Faktor Lingkungan ............................................................................... 17

2.2.3 Organisme dan bahan kimia penyebab keracunan ............................... 35

2.2 Pencegahan Keracunan Pangan.................................................................. 42

2.3 Studi Potong Lintang (Cross-Sectional Study) .......................................... 46

2.4 Kerangka Teori........................................................................................... 47

BAB III ................................................................................................................. 49

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................................ 49

3.1 Kerangka Konsep ....................................................................................... 49

3.2 Definisi Operasional................................................................................... 50

BAB IV ................................................................................................................. 54

METODE PENELITIAN ...................................................................................... 54

4.1 Desain Penelitian ........................................................................................ 54

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 54

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................. 54

4.4 Sumber dan Instrumen Pengumpulan Data ................................................ 55

4.5 Manajemen Data ........................................................................................ 56

4.5.1 Pemeriksaan Kelengkapan dan Pengkodean ........................................ 56

4.5.2 Pemasukan Data ................................................................................... 57

4.5.3 Pembersihan data ................................................................................. 57

4.5.4 Analisis data ......................................................................................... 57

BAB V ................................................................................................................... 58

HASIL ................................................................................................................... 58

5.1 Distribusi Umur, Jenis Kelamin, Musim, Jenis Pangan dan Sumber

Keracunan Pangan pada Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 ........ 58

Page 13: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

xiii

5.1.1 Umur .................................................................................................... 58

5.1.2 Jenis kelamin ........................................................................................ 59

5.1.3 Musim .................................................................................................. 59

5.1.4 Jenis Pangan ......................................................................................... 60

5.1.5 Sumber Keracunan Pangan .................................................................. 60

5.2 Distribusi Sumber Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 .......... 61

5.2.1 Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 : Laki – laki ............ 61

5.2.2 Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 : Perempuan ............ 63

BAB VI ................................................................................................................. 65

PEMBAHASAN ................................................................................................... 65

6.1 Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 65

6.2 Proporsi Faktor – faktor Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 . 65

6.2.1 Umur .................................................................................................... 65

6.2.2 Jenis Kelamin ....................................................................................... 71

6.2.3 Musim .................................................................................................. 76

6.2.4 Jenis Pangan ......................................................................................... 80

6.2.5 Sumber Keracunan pangan .................................................................. 89

6.3 Distribusi Sumber Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 ............ 94

BAB VII .............................................................................................................. 107

PENUTUP ........................................................................................................... 107

7.1 Simpulan ................................................................................................... 107

7.2 Saran .......................................................................................................... 108

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 110

LAMPIRAN INSTRUMEN PENCATATAN .................................................... 121

SURAT IZIN PENGAMBILAN DATA ............................................................ 122

Page 14: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

xiv

LAMPIRAN HASIL ANALISIS ........................................................................ 123

Page 15: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

xv

DAFTAR BAGAN, DIAGRAM, DAN TABEL

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian ................................................................... 48

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ................................................................ 49

Bagan 3.2 Definisi Operasional ............................................................................ 50

Bagan 4.1 Alur Pengambilan Sampel ................................................................... 55

Diagram 5.1 Proporsi Keracunan Pangan Berdasarkan Umur di DKI Jakarta

Tahun 2016 ........................................................................................................... 58

Diagram 5.2 Proporsi Keracunan Pangan Berdasarkan Jenis Kelamin di DKI

Jakarta Tahun 2016 ............................................................................................... 59

Diagram 5.3 Proporsi Keracunan Pangan Berdasarkan Musim di DKI Jakarta

Tahun 2016 ........................................................................................................... 59

Tabel 4.1 Kode Variabel dalam Penelitian ........................................................... 56

Tabel 5.1 Proporsi Jenis Pangan Penyebab Keracuanan Pangan di DKI Jakarta

Tahun 2016 ........................................................................................................... 60

Tabel 5.2 Proporsi Sumber Keracunan Pangan di DKI Jakarta pada Tahun 2016 60

Tabel 5.3 Proporsi Jenis Pangan pada Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun

2016 : Laki – laki .................................................................................................. 61

Tabel 5.4 Jenis Pangan Berdasarkan Sumber Keracunan pada Laki – laki di DKI

Jakarta Tahun 2016 ............................................................................................... 62

Tabel 5.5 Proporsi Jenis Pangan pada Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun

2016 : Perempuan .................................................................................................. 63

Tabel 5.6 Jenis Pangan dan Tempat Sumber Penyebab keracunan Pangan pada

Perempuan di DKI Jakarta Tahun 2016 ................................................................ 64

Page 16: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara global penyakit yang disebabkan oleh pangan dilaporkan

meningkat secara signifikan setiap tahunnya (Mutalib, 2014). Menurut WHO

lebih dari 50% kasus diare yang terjadi disebabkan oleh pangan yang

terkontaminasi dan menyebabkan 550 juta kesakitan dan 230.000 kematian

(Mutalib, 2014; Sifferlin, 2015; WHO, 2015). Adapun Afrika dan Asia

Tenggara merupakan wilayah yang memiliki angka insiden dan rata-rata

kematian yang tinggi akibat keracunan pangan (WHO, 2015). Adapun negara

berkembang memiliki risiko 4 kali lebih tinggi untuk mengalami keracunan

pangan dibandingkan negara maju (Ahmed, 2015). Risiko tersebut disebabkan

oleh higienitas masyarakat yang rendah seperti penyiapan air yang tidak aman,

kondisi penyimpanan pangan yang tidak adekuat, rendahnya tingkat

pengetahuan masyarakat serta peraturan tentang keamanan pangan yang tidak

mendukung (WHO, 2015).

Adapun menurut Sentra Informasi Keracunan (Siker) Nasional Badan

Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM – RI), keracunan

pangan di Indonesia berdasarkan laporan kasus sejak tahun 2014 cenderung

berfluktuasi. Pada tahun 2014 insiden keracunan pangan berjumlah 974 kasus

dan cenderung menurun menjadi 697 kasus pada tahun berikutnya. Sedangkan

pada tahun 2016 keracunan pangan tersebut meningkat kembali menjadi 791

kasus (BPOM, 2017). Pada tahun 2016 pula angka kesakitan akibat keracunan

Page 17: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

2

pangan merupakan kasus tertinggi setelah keracunan akibat binatang yaitu

2.123 kasus (BPOM, 2016).

Beberapa faktor yang diidentifikasi dapat berkontribusi dalam

timbulnya keracunan pangan adalah kurangnya kebersihan diri (self hygiene)

penjamah pangan serta persediaan air dan lingkungan yang kurang bersih

(Mutalib, 2014). Namun menurut Linscott, penjamah pangan merupakan

penyebab utama kontaminasi karena mereka dapat menyebarkan organisme

berbahaya melalui lesi kulit atau fecal-oral (Campos, 2009; Linscott, 2011).

Selain itu kondisi dapur serta peralatan produksi juga mempengaruhi terjadinya

kontaminasi pada pangan (Mutalib, 2014). Di Malaysia, prosedur memasak

yang tidak bersih menyebabkan 50% kasus keracunan pangan (MOH, 2007).

Keracunan pangan ini juga dipengaruhi oleh faktor demografi. Menurut

penelitian yang dilakukan di Bostwana dan Uganda, keracunan pangan secara

signifikan banyak dialami oleh jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-

laki (Malangu, 2016). Penelitian yang sama pula mengemukakan bahwa jenis

kelamin perempuan memiliki proporsi lebih besar yaitu 54% dibandingkan

jenis kelamin laki-laki (Gumbo, 2015).

Keracunan pangan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

perlu ditanggulangi sedini mungkin. Namun untuk merumuskan upaya

penanggulangan tersebut dapat dilakukan jika tersedia data dan informasi yang

dihasilkan dari pelaksanaan monitoring ataupun surveilans yang berkelanjutan

(Kirk, 2008). Siker Nasional BPOM – RI merupakan salah satu instansi

pemerintah yang memiliki data keracunan pangan secara nasional yang

diperoleh dari laporan rumah sakit secara sukarela. Hal tersebut terjadi karena

Page 18: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

3

belum ada regulasi yang mengatur terkait pelaporan keracunan pangan.

Sehingga dapat diperkirakan masih terdapat kasus keracunan pangan yang

tidak terlapor dan tidak tercatat. Selain itu BPOM – RI telah mengumpulkan

data keracunan pangan sejak tahun 2001, namun hanya pada tahun 2016 data

cenderung lebih lengkap dibandingkan tahun sebelumnya dimana kelayakan

data untuk diteliti adalah 97.65% dengan 208 kasus keracunan pangan.

Laporan yang diterima dari 34 provinsi pada tahun 2016, Daerah

Khusus Ibukota (DKI) Jakarta memiliki 213 kasus, Papua 156 kasus dan

Sulawesi Utara 92 kasus. Ketiga provinsi tersebut merupakan provinsi yang

memiliki laporan kasus terbanyak pada tahun 2016 dalam lingkup nasional.

Sedangkan menurut kelengkapan data hanya terdapat 12 provinsi yang

memiliki kelengkapan data di atas 90%, antara lain Sumatera Barat (100%),

Riau (100%), Kalimantan Timur (100%), Kalimantan Selatan (100%),

Sulawesi Tenggara (99.35%), Banten (98.2%), Papua (95.37%), Bengkulu

(94.89%), Daerah Istimewa Yogyakarta (94.83%), DKI Jakarta (94.6%),

Kalimantan Tengah (93.6%) dan Jawa Barat (91.6%). Berdasarkan banyaknya

laporan kasus dan kelengkapan laporan data keracunan pangan pada setiap

provinsi maka penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta.

Selain itu Siker Nasional BPOM – RI telah melakukan analisis terhadap

data keracunan pangan yang diterima. Namun terbatas pada analisis deskriptif

pada setiap variabel yang didapatkan. Sedangkan analisis secara bertahap pada

setiap variabel belum dilakukan. Sehingga berdasarkan uraian tersebut maka

tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui distribusi sumber keracunan

Page 19: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

4

pangan di DKI Jakarta berdasarkan laporan kasus sentra informasi keracunan

nasional – BPOM RI dengan menggunakan analisis bertahap.

1.2 Rumusan Masalah

Keracunan pangan merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang

masih dapat ditemukan setiap tahunnya, khususnya di DKI Jakarta. Salah satu

instansi pemerintah yang menjadi sumber data keracunan pangan adalah

BPOM – RI. Melalui pusat informasi keracunan pangan yaitu Siker Nasional

milik BPOM – RI, penghimpunan laporan keracunan pangan yang bersumber

dari rumah sakit dilakukan. Namun pelaporan tersebut masih bersifat sukarela,

sehingga masih terdapat kemungkinan adanya kasus keracunan pangan yang

belum terlapor.

Sampai pada tahun 2016 terdapat 213 kasus keracunan pangan yang

terjadi di DKI Jakarta. Namun dari data laporan tersebut, Siker Nasional

BPOM – RI belum melakukan analisis secara bertahap terhadap keracunan

pangan. Sehingga tujuan pada penelitian ini adalah mengetahui distribusi

sumber keracunan pangan di DKI Jakarta berdasarkan laporan kasus sentra

informasi keracunan nasional – BPOM RI.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana proporsi umur, jenis kelamin, musim, sumber keracunan pangan

serta jenis pangan keracunan pangan di DKI Jakarta tahun 2016 dengan

menggunakan laporan data Siker BPOM – RI?

2. Bagaimana distribusi sumber keracunan pangan di DKI Jakarta tahun 2016

dengan menggunakan laporan data Siker BPOM – RI?

Page 20: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

5

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui distribusi

sumber keracunan pangan di DKI Jakarta berdasarkan laporan kasus

sentra informasi keracunan nasional – BPOM RI.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang penelitian ini adalah,

1 Mengetahui proporsi umur, jenis kelamin, musim, sumber

keracunan pangan serta jenis pangan keracunan pangan di DKI

Jakarta tahun 2016 dengan menggunakan laporan data Siker BPOM

– RI.

2 Mengetahui distribusi sumber keracunan pangan di DKI Jakarta

tahun 2016 dengan menggunakan laporan data Siker BPOM – RI.

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat bagi Peneliti

Adapun penelitian yang telah dilakukan diharapkan dapat

menambah wawasan terkait analisis epidemiologi keracunan pangan.

Serta diharapkan pula dapat digunakan sebagai sarana dalam

mengembangkan kompetensi diri sesuai dengan ilmu yang diperoleh di

bangku perkuliahan khususnya yang berhubungan dengan dasar

epidemiologi, epidemiologi penyakit menular dan epidemiologi

perencanaan kesehatan.

Page 21: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

6

1.5.2 Manfaat bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

Adapun hasil dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi

bahan bacaan serta masukan dalam penelitian selanjutnya dengan

menggunakan desain studi yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas.

1.5.3 Manfaat bagi Siker Nasional BPOM – RI

Adapun manfaat bagi Siker Nasional BPOM – RI terhadap hasil

penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan informasi

terkait keracunan pangan khususnya pada tahun 2016 di DKI Jakarta

serta dapat pula dijadikan sebagai masukan dalam melakukan upaya

pencegahan dan penanggulangannya sehingga risiko terjadinya

keracunan pangan di Jakarta dapat diminimalisir.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi sumber keracunan

pangan yang terjadi di DKI Jakarta dengan menggunakan data sekunder yang

bersumber dari Siker Nasional BPOM – RI. Penelitian dilakukan pada bulan

Mei sampai dengan Agustus 2017 di DKI Jakarta menggunakan metode

epidemiologi deskriptif dengan desain studi cross-sectional.

Page 22: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keracunan Pangan

Pangan menurut Permenkes No 2 tahun 2013 tentang kejadian luar biasa

keracunan pangan, merupakan segala sesuatu yang bersumber dari tanaman

atau hayati dan air baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang

diperuntukkan sebagai pangan atau minuman bagi manusia. Termasuk pula

tambahan bahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan

dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan pangan serta

minuman.

Keracunan pangan (foodborne disease atau food poisoning) terjadi

apabila terdapat bakteri, virus atau parasit yang berkembang biak di dalam usus

atau toksin, bahan kimia dan lainnya yang memiliki sifat patogen melalui

pangan yang dikonsumsi (Addis, 2015; Kadariya, 2014; Mutalib, 2014). Di

Cina keracunan pangan dapat menyebabkan 289.380 kesakitan dan 12.687

kematian pada tahun 1994 – 2005. Sedangkan keracunan pangan yang

disebabkan oleh bakteri mengakibatkan 146.852 kesakitan dengan 349

kematian (Wang, 2007).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2

tahun 2013, keracunan pangan adalah seseorang yang mengalami sakit dengan

menunjukkan gejala dan tanda keracunan pangan yang diduga mengandung

cemaran biologis atau kimia. Gejala tertentu tersebut seperti mual, muntah,

nyeri perut atau gejala lainnya yang dialami oleh dua orang atau lebih setelah

Page 23: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

8

mengonsumsi pangan. Durasi antara waktu mengonsumsi pangan dan

timbulnya gejala dapat terjadi kurang lebih 72 jam (Addis, 2015).

Adanya ingesti patogen, bahan kimia atau lainnya dapat dilakukan

dengan sengaja ataupun tidak. Di Nigeria keracunan pangan erat kaitannya

dengan kejahatan yang dimaksudkan seseorang kepada korban (Malangu, s.a.).

Di China penyalahgunaan zat beracun pada makanan mengakibatkan kesakitan

sebesar 2.9% (2930 kasus) sedangkan menyebabkan adanya kasus baru

keracunan pangan 6.7% (161 kasus) (Xue, 2011).

Pada penelitian sebelumnya gejala yang banyak diderita adalah diare

berair dengan persentase 52% (Gabida, 2015). Sedangkan pada penelitian yang

dilakukan oleh Gumbo (2015) sebagian besar penderita keracunan pangan

mengalami gejala nyeri perut (88.7%), diare berair (86.8%), mual (37.7%) dan

gejala lainnya kurang dari 20% (Gumbo, 2015). Adanya berbagai macam

gejala tersebut tergantung pada banyaknya tipe patogen serta kemampuan

patogen untuk memproduksi toksin yang dapat diserap oleh pembuluh darah,

organ ataupun jaringan lainnya (Ajayi, 2011). Sedangkan menurut penelitian –

penelitian sebelumnya, keracunan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu,

2.2 Faktor – faktor Keracunan Pangan

2.2.1 Faktor Pejamu

A. Umur

Keracunan pangan dapat berrisiko pada semua golongan umur

khususnya mereka yang memiliki risiko tinggi seperi bayi, anak – anak, dan

mereka yang memiliki imunitas rendah sehingga dapat berakibat pada

Page 24: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

9

kematian (Osei-Tutu, 2016). Umur kurang dari 5 tahun memiliki sistem imun

yang belum berkembang secara optimal sehingga adanya sedikit infeksi akan

mengakibatkan kesakitan, serta umur lebih dari 60 tahun sistem imun tubuh

telah memburuk dan biasanya diperparah dengan munculnya penyakit kronik

(Lund, 2011).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gumbo di Zimbabwe,

kelompok umur yang paling banyak berisiko mengalami keracunan pangan

adalah kelompok umur 36 – 45 tahun (Gumbo, 2015). Namun berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh Teschke bahwa kelompok umur 10 – 19 tahun

lebih berisiko 16.2% dibandingkan kelompok umur lainnya (Teschke, 2010).

Sedangkan di Mesir organophosphate (OP) sebagai penyebab keracunan

banyak dialami oleh anak usia prasekolah (<6 tahun) dengan persentase 33%.

Sedangkan keracunan yang disebabkan oleh ciguatera banyak dialami oleh

usia 40 – 59 tahun dengan persentase 85.7%. Dan keracunan yang diakibatkan

oleh toksik yang diproduksi oleh bakteri C. botulinum menyebabkan

kelompok umur 30 – 39 tahun memiliki persentase tertinggi untuk mengalami

keracunan dengan persentase 66.6% (Abd-ELhaleem, 2011).

Menurut Lund (2011) dan Indranil (2016) pada penelitian sebelumnya,

manusia dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu yang memiliki sistem

imunitas optimal dan rendah. Adapun individu yang memiliki sistem imunitas

optimal adalah individu yang tidak memiliki umur 6 – 59 tahun dan tidak

memiliki penyakit tertentu. Namun meskipun memiliki imunitas yang baik,

kelompok umur tersebut masih memiliki risiko mengalami keracunan

pangan.

Page 25: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

10

Risiko tersebut seperti mobilitas yang dilakukan karena pekerjaan atau

kegiatan lainnya. Salah satu kegiatan yang banyak dilakukan oleh usia

reproduksi adalah kegiatan mengasuh anak dan bekerja. Menurut Pardhan-

Ali (2017), adanya kontak orang tua terhadap anak kecil khususnya bayi akan

meningkatkan risiko infeksi pada orang tua (Pardhan-Ali, 2017). Sedangkan

salah satu pekerjaan yang berisiko mengalami keracunan pangan adalah

penjamah pangan. Selain dapat mengkontaminasi diri sendiri, pekerja

tersebut juga meningkatkan risiko keracunan pangan bagi lingkungan sekitar

melalui kontak yang dilakukan. Namun tidak memungkiri pula jenis

pekerjaan lain tidak memiliki risiko untuk mengalami keracunan pangan

(Indranil, 2016; Lund, 2011).

Selain itu pekerja yang menyiapkan makanan di fasilitas pelayanan

kesehatan atau sejenisnya harus memperhatikan kebersihan lebih ketat lagi.

Hal tersebut bertujuan untuk mencegah adanya penularan atau kontaminasi

antara pasien dengan pekerja (Indranil, 2016; Lund, 2011).

Pedagang makanan seperti PKL juga memiliki risiko tinggi untuk

mengalami keracunan dimana 88.7% merupakan perempuan dan 31.3%

berumur 15 – 25 tahun. Dari penelitian tersebut juga 78.7% belum pernah

mendapatkan pelatihan keamanan pangan (Climat, 2013).

Sedangkan individu yang memiliki sistem imunitas rendah adalah

sebagai berikut (Indranil, 2016; Lund, 2011),

a. Wanita hamil

Adanya perubahan hormon selama kehamilan dapat menurunkan

fungsi cell – mediated immune sehingga wanita hamil rentang terhadap

Page 26: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

11

berbagai infeksi, salah satunya keracunan pangan. Bakteri penyebab

keracunan pangan sering menginfeksi pada wanita hamil adalah Listeria

monocytogenes dan Salmonella enterica yang dapat berakibat serius pada

kondisi bayi sampai dengan kematian. Beberapa kasus juga sampai

mengakibatkan aborsi (spontaneous abortion) dan prematur pada bayi.

Insiden keracunan pangan pada wanita hamil 20 kali lebih tinggi

dibandingkan masyarakat pada umumnya. Manifestasi dapat bermacam –

macam. Namun beberapa kasus tidak menunjukkan gejala seperti demam,

nyeri otot, dan gangguan pencernaan seperti mual dan diare (Tam, 2010).

b. Memiliki kekebalan tubuh yang lemah

Memiliki penyakit kronik, autoimun ataupun sedang menjalani

pengobatan kanker dapat mengakibatkan kekebalan tubuh yang lemah

(immunocompromised). Dalam kondisi tersebut sistem imunitas tubuh

tidak mampu melakukan perlawanan terhadap organisme patogen yang

menginfeksi. Seperti pada infeksi Salmonella yang mengkontaminasi

makanan akan mengakibatkan gejala yang serius pada individu yang

memiliki kekebalan tubuh yang lemah.

Hasil penelitian di Perancis dimana diare kronik terjadi pada 47%

pasien yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah dengan

hypogammaglobulinemia. Patogen yang diidentifikasi sebagai penyebab

diare tersebut adalah Giardia, Campylobacter dan Salmonella. Sedangkan

di United State Salmonella adalah penyebab utama pada pasien yang

memiliki penyakit kronik granulomatous.

Page 27: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

12

Pasien kanker dan resipien organ melalui operasi juga rentan terhadap

infeksi Listeria monocytogenes. Meskipun laporan infeksi patogen

tersebut cukup sedikit namun diperkirakan masih banyak kasus yang tidak

terlapor dan pada beberapa kasus yang tidak tertangani dengan baik dapat

berakibat pada kematian. di Inggris dan Wales pada tahun 1999 – 2009

lebih dari 30% pasien kanker berhubungan dengan keracunan pangan

akibat Listeria monocytogenes.

Pasien yang sedang menjalani pengobatan kemoterapi dan radioterapi

juga memiliki risiko tinggi mengalami keracunan pangan. Hal tersebut

disebabkan karena efek pengobatan tersebut pada sel sumsum tulang dan

mukosa lambung yang menyebabkan penurunan produksi sel darah

(myelosuppression) dan peradangan lapisan saluran pencernaan

(mucositis). Hal tersebut juga dialami oleh individu yang sedang menjalani

terapi steroid dimana kerentanan terhadap infeksi organisme patogen dapat

meningkat.

Faktor lainnya yang mempengaruhi manusia menjadi rentan adalah

kelebihan zat besi dalam darah, sirosis hati, alkoholisme, difisiensi nutrisi,

konsumsi antacid berlebihan, konsumsi banyak cairan dan konsumsi

banyak lemak. Kelebihan zat besi, sirosis hati serta alkoholisme dapat

menyebabkan meningkatnya patogen dalam darah serta menekan sistem

imunitas tubuh. Defisiensi nutrisi mengakibatkan sistem imunitas tubuh

menurun. Konsumsi antacid dan konsumsi banyak cairan dapat

meningkatkan pH dalam lambung sehingga patogen yang tertelan melalui

makanan dapat bertahan dalam lambung dan lolos pada organ pencernaan

Page 28: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

13

selanjutnya. Sedangkan konsumsi banyak lemak dapat melindungi

patogen dari asam lambung yang tinggi .

c. Lanjut usia

Lanjut usia merupakan golongan umur (> 60 tahun) yang memiliki

risiko tinggi terhadap beberapa penyakit, khususnya keracunan pangan.

Hal tersebut disebabkan sistem imunitas tubuh sudah mengalami

penurunan fungsi sehingga tidak mampu menghadapi infeksi organisme

patogen. Penurunan tersebut selain terjadi secara alami juga dipengaruhi

oleh beberapa penyakit kronis yang diderita. Selain itu pada usia lanjut

terjadi penurunan produksi asam lambung yang mengakibatkan bakteri

lebih mudah memasuki sistem pencernaan dan mengakibatkan manifestasi

klinis. Menurut penelitian sebelumnya penderita keracunan pangan yang

menyebabkan kamatian adalah yang berumur lebih dari 65 tahun (J, 2004)

d. Bayi di bawah 6 tahun

Bayi umur kurang dari 6 tahun juga memiliki risiko tinggi terhadap

keracunan pangan karena sistem imunitas tubuh belum berkembang secara

sempurna. Serta adanya kebiasaan untuk memasukkan berbagai macam

benda ke dalam mulutnya akan mempermudah organisme patogen

mencapai sistem pencernaannya.

B. Jenis kelamin

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya baik di Zimbabwe maupun

di Mesir, keracunan pangan pada perempuan memiliki proporsi lebih tinggi

dibandingkan laki-laki yaitu masing-masing 54% dan 71.4% (penyebab

adalah ciguatera) (Abd-ELhaleem, 2011; Gumbo, 2015). Hal yang sama

Page 29: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

14

pula diungkapkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami keracunan

pangan dengan persentase 50.4% dibandingkan laki-laki (Teschke, 2010).

Namun pada penelitian lain dengan penyebab tidak spesifik yang dilakukan

di Mesir jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan

dengan persentase 59% (Abd-ELhaleem, 2011).

Hasil penelitian dengan menggunakan data surveillans aktif penyakit

akibat pangan (Foodborne Diseases Active Surveillance Network), jenis

kelamin laki – laki lebih banyak mengonsumsi pangan berrisiko tinggi

seperti hamburger atau sandwich yang kurang matang (7.3%), tiram mentah

(1.9%), susu yang tidak terpasteurisasi (2.4%), keju yang terbuat dari susu

yang tidak terpasteurisasi (3.5%), dan telur mentah atau setengah matang

(12.5%). Sedangkan jenis lainnya adalah udang (32.1%), sushi atau sashimi

(7.4%), daging bebek (3.1%), dan babi (47.4%) Pada penelitian tersebut

juga diketahui bahwa perempuan lebih banyak mengonsumsi daging ayam

(69.5%), ikan – ikanan mentah (12.5%), sayuran segar (>26.2%), dan buah

– buahan (>6.7%) (Shiferaw, 2012).

Pada penelitian lain yang dilakukan di 23 negara, perempuan lebih

banyak mengonsumsi makanan tinggi serat serta menghindari makanan

tinggi lemak dibandingkan laki – laki. Serta dari 23 negara tersebut pula

diketahui 21 negara di antaranya didominasi oleh perempuan yang lebih

banyak mengonsumsi buah – buahan dibandingkan laki - laki (Wardle J,

2004). Pada penelitian yang dilakukan oleh Berbesque (2009), laki – laki

lebih suka mengonsumsi daging dan perempuan lebih suka mengonsumsi

buah beri (Arganini, s.a.).

Page 30: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

15

Pemilihan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu dipengaruhi

faktor demografi, religius, dan ekonomi (Arganini, s.a.). Sedangkan

perempuan lebih banyak mengonsumsi makanan sehat (berserat) karena

perempuan (35%) lebih mengetahui konsumsi makanan tertentu akan

berdampak pada outcome tertentu bagi kesehatan dibandingkan laki – laki

(28%). Selain itu perempuan memilih mengonsumsi jenis pangan tertentu

karena ingin mengurangi berat badan (Elmadfa, 2005). Hal tersebut seperti

pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Pirouznia (2001) pada siswa

sekolah menengah pertama, nilai pengetahuan terkait nutrisi lebih tinggi

pada siswa perempuan dibandingkan laki – laki (Shiferaw, 2012).

Sejak usia remaja perempuan lebih perhatian terhadap pangan dan

makanan yang dikonsumsi oleh keluarga dibandingkan laki – laki. Hal

tersebutlah yang menjadikan pada usia dewasa perempuan mampu untuk

memperhatikan dan memberikan makanan yang lebih sehat untuk

dikonsumsi diri sendiri (Prattala, 2006; Wardle J, 2004).

Penyebab individu mengonsumsi pangan tidak selalu disebabkan

karena lapar, kebutuhan biologi, makanan favorit ataupun lainnya. Dalam

beberapa kondisi terkadang pilihan terhadap makanan tertentu terjadi tanpa

disadari. Adanya persepsi sensori juga mempengaruhi seseorang untuk

menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi. Pada masyarakat di negara

berkembang, pilihan tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi,

budaya, religius dan demografi (Arganini, s.a.).

Page 31: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

16

C. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan proses komplek yang terdiri dari mengingat,

menghubungkan atau menilai sesuatu/fenomena (Gotsch, 2012). Sikap dapat

diperoleh seseorang dari kebiasaan dan persepsi lainnya yang dihasilkan dari

pengaruh lingkungan sosial, budaya dan ekonomi. Kemudian pengetahuan

yang dimiliki oleh seseorang akan membentuk sikap dan perbuatan (praktik)

(Climat, 2013). terdapat tiga faktor penting yang berhubungan dengan

penjamah pangan yang menentukan terjadinya keracunan pangan yaitu

pengetahuan, sikap dan praktik (Sharif, 2009).

Menurut Rane (2009) dan FAO (2013), Pedagang Kaki Lima (PKL)

memiliki pengetahuan yang buruk terkait keamanan pangan. Sedangkan

menurut Climat (2013) pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang berhubungan

dengan tingkat pendidikan yang dimiliki. Hal tersebut sesuai dengan yang

diungkapkan oleh Soares (2012), terdapat hubungan yang positif antara tingkat

pendidikan dengan pengetahuan terkait keamanan pangan (Cuprasitrut, 2011;

McIntyre, 2013; Soares, 2012). Namun hal tersebut bertentangan dengan

penelitian lain dimana tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara

tingkat pendidikan dan pengetahuan (Annor, 2011; Omemu, 2008). Pada

penelitian yang dilakukan oleh Gumbo di Ghana bahwa keracunan pangan

banyak terjadi pada masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tersier

dengan persentase 95.9% (Gumbo, 2015).

Sedangkan pada hasil penelitian di Estonia yang meneliti terkait

konsumsi daging dan buah di FInlandia dan Baltic countries, masyarakat yang

memiliki tingkat pendidikan tinggi sering mengonsumsi daging. Sedangkan di

Page 32: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

17

Lithuania, konsumsi daging rendah pada perempuan Lithuania dengan tingkat

pendidikan yang tinggi (Prattala, 2006).

2.2.2 Faktor Lingkungan

A. Musim

Selain itu terdapat pula pengaruh musim atau bulan terhadap terjadinya

keracunan pangan dimana dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahmed dan

Teschke, keracunan pangan banyak terjadi pada musim panas dengan masing-

masing persentase 26.7 % dan 25.6% dibandingkan musim-musim lainnya

(Ahmed, 2015; Teschke, 2010). Sedangkan menurut sumber lain, infeksi

virus seperti norovirus dan rotavirus banyak pada musim dingin setiap

tahunnya (Indranil, 2016).

Sedangkan pada negara yang memiliki 2 musim yaitu musim kemarau

dan musim penghujan, keracunan pangan banyak terjadi pada akhir musim

kemarau dan mulai musim penghujan. Seperti pada kasus kolera yang

endemis di pusat kota Ghana bahwa keracunan pangan dapat diprediksi akan

terjadi pada permulaan musim hujan dimana sumber air dapat tercemar baik

karena sistem air yang kurang baik maupun sistem latrin yang meluap

sehingga dapat terjadi kontak pada pangan maupun makanan (Osei-Tutu,

2016).

Suhu lingkungan juga mempengaruhi pertumbuhan beberapa patogen

keracunan pangan. Organisme patogen dapat berreplikasi lebih tinggi di

lingkungan yang bersuhu tinggi seperti pada Campylobacter dan Salmonella.

Keduanya berreplikasi secara signifikan dengan meningkatnya temperatur

dalam periode mingguan (lake, 2009; Semenza, 2009).

Page 33: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

18

Asumsi tersebut sama seperti hasil penelitian di Kanada menyebutkan

bahwa Campylobacteriosis dan Salmonelosis memiliki signifikansi nilai P

kurang dari 0.05 dan cenderung terjadi pada akhir musim panas dan

permulaan musim gugur. Meskipun giardiasis tidak memiliki signifikansi

nilai P kurang dari 0.05, namun juga banyak menyebabkan keracunan pangan

pada musim yang sama (Pardhan-Ali, 2017). Hal yang sama pula pada hasil

penelitian yang dilakukan di Grenade dimana terjadi peningkatan kasus diare

dan muntah pada musim kemarau (Glasgow, 2013).

Logam berat penyebab keracunan pangan juga dapat disebabkan karena

mengonsumsi air minum tercemar atau keracunan pestisida akibat

menkonusmi air permukaan ataupun air tanah. Hal tersebut dapat terjadi jika

sanitasi lingkungan yang buruk. Beberapa kemungkinan buruk apabila

manusia mengonsumsi pestisida baik secara sengaja maupun tidak adalah

kerusakan pada syaraf, ketidakseimbangan hormon tubuh, sistem reproduksi

yang terganggu, hilang ingatan dan bersifat karsinogen (Vemula, 2012).

Beberapa patogen juga bersumber dari tanah, air maupun udara seperti S.

aureus. Tubuh menusia juga banyak mengandung organisme seperti yang

dapat ditemukan pada kulit dan hidung (Malangu, s.a.).

B. Sanitasi lingkungan

Sanitasi lingkungan merupakan faktor risiko yang diduga berhubungan

adalah adanya kontaminasi silang (cross-contamination), dan pengolahan

yang kurang adekuat (Fischer, 2007). Penyiapan pangan ataupun pemanasan

kembali makanan serta temperatur yang tidak tepat dapat menyebabkan

pertumbuhan mikroorganisme karena proses yang telah dilakukan tidak

Page 34: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

19

berhasil untuk membunuh organisme tersebut dan sebaliknya membuatnya

menjadi dorman (Mutalib, 2014). Penggunaan sumber air tercemar tinja

manusia, sampah atau limbah sebagai sumber minum juga merupakan salah

satu rute utama keracunan pangan (Malangu, s.a.).

Selain itu bakteri dapat bertahan di tempat yang terlihat bersih namun

sebenarnya merupakan reservoir bagi patogen. Selain pada tangan patogen

juga ditemukan di lingkungan rumah. Menurut Scott beberapa bakteri dapat

hidup di permukaan dapur 1 jam sampai 24 jam. Sehingga memungkinkan

adanya kontaminasi silang dengan kain lap, peralatan memasak, peralatan

makan ataupun tangan penjamah pangan (Scott, 1996).

C. Kebersihan perseorangan

Keberihan pangan merupakan salah satu bentuk praktik yang seseorang

terhadap pengetahuan yang telah didapatkan dari lingkungan sosial, budaya

dan ekonomi (Climat, 2013). Menurut Sharif (2009), terdapat tiga faktor

penting yang berhubungan dengan penjamah pangan yang menentukan

terjadinya keracunan pangan yaitu pengetahuan, sikap dan praktik (Sharif,

2009). Penjamah pangan sendiri adalah individu yang menyiapkan pangan

dan menjualnya. Sedangkan menyiapkan pangan sendiri adalah

memproduksi, memproses, menyimpan dan menyiapkan pangan (Lee, 2017).

Penjamah pangan dapat menyebabkan kontaminasi pangan baik

melalui kontak yang diciptakannya. Seperti penjamah pangan yang sakit

dapat mengontaminasi pangan melalui kontak kulit, dari tinja, dari saluran

pernafasan atau kontaminasi akibat kontaminasi silang dengan pangan

mentah. Kemungkinan lainnya adalah jika penjamah pangan tidak

Page 35: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

20

menggunakan tudung kepala dapat mengakibatkan rambut jatuh ke makanan,

penggunaan perban, perhiasan atau aksesoris lainnya (Climat, 2013).

Pada pengujian laboratorium pada penjamah makanan yang dilakukan

oleh penelitian sebelumnya yaitu pada pengujian usapan tangan dimana

terdapat masing-masing 60% dan 100% bakteri staphylococcus aureus pada

tangan dan kuku. Namun tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri pada

peralatan dapur seperti garpu, piring, pisau dan nampan (Gumbo, 2015).

Selain itu banyak laporan yang menjelaskan penyebab keracunan

pangan adalah adanya penjamah pangan yang memiliki personality hygiene

yang buruk sehingga mengakibatkan kontaminasi pangan khususnya

makanan yang telah masak. Aktivitas yang meningkatkan terjadinya

kontaminasi tersebut adalah penggunaan kertas toilet, mengusap hidung, atau

menyentuh bahan pangan mentah atau bahan mentahnya lainnya (Todd,

2010). Hal yang serupa juga terjadi di rumah makan di Bulawayo dimana

keracunan pangan terjadi karena penjamah pangan tidak terlatih serta kurang

memiliki kualifikasi sebagai penjamah makanan yang baik (Chihava. M,

2012).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Venuto adanya keracunan pangan

disebabkan oleh kontaminasi yang dilakukan oleh penjamah makanan atau

pekerja yang menyebabkan pangan menjadi berisiko dengan persentase

41.9% dan adanya kontaminasi pangan mentah dengan makanan matang siap

konsumsi dengan persentase 12.8% (Venuto, 2015).

Selain pada alat makan, pada tubuh manusia seperti kulit dan hidung

banyak terdapat organisme salah satunya adalah S. aureus yang dapat

Page 36: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

21

menkontaminasi pangan melalui kontak langsung maupun dengan kulit atau

melalui respiratori dan sekresi hidung ketika batuk, bersin atau berbicara

(Malangu, s.a.).

D. Pengolahan Pangan

Sumber pangan yang tidak aman (contohnya penggunaan air tercemar

dan daging yang tidak layak), memasak yang tidak adekuat (suhu pemanasan

kurang optimal), interval waktu antara konsumsi dan memasak jauh dan

kurangnya kebersihan penjamah pangan dapat menyebabkan keracunan

pangan (Climat, 2013).Keracunan pangan juga dipengaruhi oleh cara

pengolahan pangan. pengolahan pangan yang adekuat dapat mencegah

terjadinya keracunan pangan. Pengolahan pangan meliputi membersihkan,

proses memanaskan baik dengan cara menggoreng, membakar dan lainnya,

menyajikan serta menyimpan. Mencuci bahan pangan yang akan dimasak

secara benar yaitu menggunakan air mengalir serta menggunakan sabun jika

diperlukan. Selain itu memisahkan antara pangan yang masih mentah dengan

makanan yang telah masak atau siap konsumsi penting dilakukan. Serta

menggunakan peralatan memasak yang berbeda untuk mengolah pangan yang

masih mentah dan makanan yang telah matang. Hal tersebut dilakukan agar

tidak terjadi kontaminasi silang (CDC, 2017; IFH, 2014).

Adapun proses pemanasan seperti menggoreng, merebus atau

membakar memerlukan suhu yang optimal waktu yang cukup. Hal tersebut

agar jumlah bakteri yang terkandung dalam pangan berkurang. Minimal

memasak potongan daging sapi, babi atau kambing pada suhu 62.8 ºC, daging

sapi giling pada suhu 71 ºC dan unggas pada 74 ºC (CDC, 2017; IFH, 2014).

Page 37: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

22

Penyimpanan pangan atau makanan dengan suhu yang tepat seperti

menyimpan makanan panas atau hangat tetap hangat (30º C – 45 º C) serta

makanan yang dingin pada suhu yang dingin atau dalam lemari pendingin.

Menyimpan makanan dalam lemari pendingin tidak akan membunuh bakteri

namun dapat memperlambat terjadinya perkembangbiakan sehingga jumlah

bakteri dalam makanan tidak banyak dan dapat menyebabkan keracunan

pangan. Sebaiknya pula tidak meletakkan makanan yang telah disimpan di

lemari pendingin terlalu lama pada suhu ruangan karena hal tersebut dapat

mengakibatkan kontaminasi ulang oleh bakteri lain dan bakteri berkembang

biak lebih cepat (IFH, 2014).

Sedangkan pada pangan yang sengaja disajikan dalam keadaan panas

minimal ditempatkan pada fasilitas pemanas dengan suhu minimum 60 ºC.

Serta mengonsumsi makanan segera setelah dimasak, atau jika tidak langsung

dimakan sebaiknya letakkan pada tempat penyimpanan makanan secara tepat

(seperti pada poin 6) (CDC, 2017; IFH, 2014).

E. Jenis Pangan Penyebab Keracunan Pangan

1. Daging non unggas

Pada penelitian case – control FoodNet E. coli banyak ditemukan

pada daging sapi giling dan spesies Salmonella pada daging mentah.

Kejadian Luar Biasa dan kasus sporadik yang terjadi di Inggris, 33%

kasus tersebut disebabkan oleh pangan yang sering ditemukan pada

daging sapi dan daging giling dimana Enterogpathogenic E.coli (EPEC)

merupakan penyebab utamanya (Newell, 2010). EPEC merupakan jenis

strain E. coli yang melekat pada mukosa usus dan merusak vili – vili usus

Page 38: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

23

sehingga menyebabkan gejala diare berair (Suwito, 2010). Sedangkan

pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Jones (2006) dan

Fullerton (2006) berdiri menunggu di dekat tempat penjualan daging

mentah dan uggas merupakan faktor risiko baru terjadinya infeksi pada

anak – anak (Scallan, 2007).

Namun kecenderungan sampai saat ini E.coli dengan jenis Vero

cytotoxin producing E.coli (VTEC) yang dulu paling sering dijumpai

pada daging sapi terkontaminan kini juga dijumpai pada feses hewan

ruminansia yang berpotensi menjadi perantara untuk mennkontaminasi

jenis tanaman ataupun sumber air (Newell, 2010). Selain itu pula pada

daging sapi dan babi dapat ditemukan bakteri Staphylococcus spp (Saba

Courage, 2012). Selain itu daging tersebut dapat terkontaminasi selama

proses penyembelihan, pemotongan serta penggilingan. Biasanya selama

transportasi pangan non unggas, bakteri yang berpotensi

menkontaminasi adalah Salmonella (Malangu, s.a.).

2. Daging unggas

Spesies Salmonella biasanya banyak ditemukan di produk ayam

(Scallan, 2007). Secara epidemiologi dan mikrobiologi adanya

peningkatan infeksi Salmonella melalui unggas disebabkan adanya

adaptasi koloni bakteri tersebut pada saluran reproduksi tepatnya pada

indung telur dan saluran telur (Newell, 2010). Sedangkan

Campylobacter banyak menginfeksi manusia melalui daging unggas

(Scallan, 2007). Campylobacter ini juga dilaporkan banyak ditemukan

pada penanganan pangan yang tidak benar pada daging unggas.

Page 39: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

24

Di Australia sejak tahun 2006 terjadi peningkatan Kejadian Luar

Biasa akibat infeksi Salmonella yang terdapat pada telur mentah (Kirk,

2014). Selain beberapa bakteri sebelumnya terdapat pula Shigella spp

yang dapat ditemukan pada daging ayam namun menurut penelitian meta

– analisis yang dilakukan oleh Saba di Ghana, daging ayam yang

terkontaminasi tersebut adalah daging ayam impor (Saba Courage,

2012). Menurut data surveilans keracunan pangan CDC, konsumsi telur

berhubungan dengan keracunan pangan yang disebabkan oleh

Salmonella serogrup B dan D. Serta konsumsi daging ayam yang

disajikan di luar rumah berhubungan dengan keracunan pangan dengan

risiko 2.8 kali (95% CI, 1.8-4.4) lebih besar dibandingkan yang disajikan

di rumah (Frederick, 2006).

3. Seafood serta ikan – ikanan

Seafood dan ikan – ikanan banyak mengandung minyak omega – 3

serta konsumsi seafood dan ikan – ikanan berhubungan dengan

penurunan risiko penyakit jantung (Jahns, 2014). Hasil penelitian

sebelumnya menunjukkan jenis kelamin perempuan lebih banyak

mengonsumsi ikan dibandingkan laki – laki. Dalam frekuensi konsumsi

ikan kurang dari 3 kali dalam seminggu, perempuan lebih banyak

mengonsumsi ikan 51.16% dan dalam frekuensi lebih dari 3 kali dalam

seminggu 60.2% lebih banyak dibandingkan laki – laki (Wennberg,

2012).

Konsumsi ikan atau seafood di Eropa dipengaruhi oleh umur,

pendapatan dan pendidikan (Jahns, 2014; Pieniak, 2010; Verbeke, 2005).

Page 40: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

25

Pada penelitian terkait konsumsi ikan dan seafood menunjukkan lebih

banyak pada perempuan yaitu 51.2% (7890 orang), usia 31 – 50 tahun

yaitu 34.66% (5340 orang) dan 51% (7869 orang) yang memiliki

pendapatan di atas batas kemiskinan (Jahns, 2014).

Beberapa jenis ikan – ikanan dan seafood antara lain adalah

kepiting, kerang – kerangan, udang, semua jenis ikan dan lain

sebagainya. Pada ikan – ikanan patogen yang dapat ditemukan dan

menyebabkan keracunan pangan antara lain adalah C. diversus, E. coli,

C. luteola, P. fluorescens/putida, E. sakazakii, C. diversus/amalonatica,

K. pneumonia (Saba Courage, 2012). Selain itu pula pada ikan khususnya

ikan yang diasinkan atau diasapi dapat ditemukan bakteri C. Botulinum.

Pada kerang – kerangan bakteri yang sering ditemukan adalah

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi.

Namun seringkali sebagian masyarakat gemar mengonsumsi

seafood dan ikan – ikanan tanpa dimasak atau cara memasak kurang

adekuat sehingga mengakibatkan bakteri Vibrio cholerae dapat

menginfeksi manusia. Penyebab lain seperti racun yang diproduksi oleh

beberapa jenis ikan juga dapat menyebabkan keracunan pangan. Seperti

ikan kakap merah yang dapat memproduksi ciguatera toxin. Ikan buntal

yang memproduksi racun buntal. Ikan tuna, tenggiri, marlin, marlin,

escolar fish, dan mahi – mahi yang memproduksi racun skromboid.

Sedangkan beberapa jensi kerang juga dapat memproduksi racun yang

menyerang syaraf (HP, s.a.).

Page 41: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

26

4. Sayuran

Di negara berkembang, penanaman sayuran seringkali

menggunakan pupuk alami yang berasal ari kotoran hewan yang dapat

menjadi perantara Salmonella untuk menginfeksi manusia. Menurut

Barak (2005), Klerks (2007), Franz dan van Bruggen (2008) telah

terdapat beberapa penelitian yang menemukan Salmonella berkembang

pada sayuran (Newell, 2010). Sedangkan pada rebusan tomat dapat

ditemukan C. freundii, E. sakazakii, E. coli (enteroaggregative localized)

dan pada rebusan sayuran berdaun ditemukan E. cloacae (Saba Courage,

2012).

5. Buah – buahan

Listeria monocytogenes banyak menginfeksi melalui buah

semangka (Scallan, 2007). Selain itu Vero cytotoxin producing E.coli

(VTEC) juga dapat menkontaminasi tanaman buah – buahan melalui

feses hewan ruminansia dimana di negara berkembang feses tersebut

bermanfaat dijadikan sebagai penyubur tanaman (Newell, 2010). Risiko

adanya keracunan pangan tersebut tentunya meningkat apabila individu

mengonsumsi buah – buahan tanpa dicuci ataupun dicuci namun

menggunakan air yang tidak bersih (HP).

6. Mie dan pasta

Pasta atau mie merupakan salah satu sumber karbohidrat yang

biasanya dalam masyarakat tersedia dalam bentuk instan. Salah satu jenis

pasta adalah makaroni dimana pada penelitian yang telah dilakukan

terdapat beberapa jenis patogen yang dapat ditemukan pada makaroni.

Page 42: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

27

Patogen tersebut antara lain Shigella sonnei, Pseudomonas

fluorescente/putida, K. pneumoniae, Enterobacter sakazakii, E. coli

(enteroaggregative diffuse, Citrobacter freundií, Serratia liquefaciens,

Enterobacter cloacae, Enterobacter agglomerans, E. coli, Citrobacter

diversus/amalonotica, Citrobacter spp., Proteus mirabilis, Proteus spp,

Enterobacter amnigenus dan Pseudomonas cepacia (Saba Courage,

2012).

7. Nasi dan sagu

Nasi dan sagu merupakan pangan pokok bagi negara tropis seperti

Indonesia. Kontaminasi pada nasi atau sagu dapat terjadi pada beberapa

tahap mulai dari produksi agrikulur, penyimpanan, dan penyiapan (R,

2013). Kasus keracunan di Ghana yang diakibatkan karena mengonsumsi

nasi. Patogen penyebab keracunan pangan yang dapat ditemukan adalah

E. coli (enteroaggregative diffuse), Serratia marcescens, K. pneumoniae,

P. fluorescens/putida (Saba Courage, 2012). Sedangkan pada nasi yang

telah dibakar dapat ditemukan bakteri Bacillus cereus (HP, s.a.).

Selain terdapat beberapa organisme tersebut di dalam nasi,

gandum, atau jagung serta produk pertanian lainnya dapat terkontaminasi

oleh ochratoxin (OTA). OTA merupakan mikotoksin yang diproduksi

oleh beberapa spesies jamur seperti Aspergillus ochraceus dan

Penicilium verrucosum dimana keduanya dapat menyebabkan keracunan

pangan kronis. Sedangkan penelitian di Moroko mendeteksi 60 sampel

sereal yang di jual di negara tersebut 40% – 50% terkontaminasi OTA

(Malangu, s.a.).

Page 43: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

28

8. Multiple food

Multiple food atau multi-ingredient merupakan pangan atau

makanan yang lebih dari satu jenis. Pada penelitian yang telah dilakukan

di United States oleh harvey (2016) terdapat 2 KLB keracunan pangan

yang diakibatkan oleh multiple food yang mengandung bakteri

Salmonella typhimurium. Sedangkan Harvey sendiri mendefinisikan

multiple food sebagai sup sayuran dan kentang manis (Harvey, 2016)

9. Gorengan dan bakso

Gorengan ini dapat berupa berbagai macam pangan yang diolah

melalui proses penggorengan yang sangat umum di kalangan masyarakat

Indonesia. Misalnya pada tempe maupun tahu yang dibuat dari kedelai

yang difermentasikan. Di negara lain misalnya Ghana pangan yang

melalui proses fermentasi contohnya ialah koko yang terbuat dari jagung.

Pada koko tersebut patogen yang ditemukan dapat mengakibatkan

keracunan pangan adalah Chryseomonas luteola dan Shigella spp (Saba

Courage, 2012).

10. Jengkol

Jengkol atau Archidendron pauciflorum) merupakan tanaman

yang tumbuh subur di Indonesia, Malaysia, Tailand dan Myanmar dan

digemari oleh masyarakat sebagai makanan dengan berbagai macam

proses pengolahan seperti digoreng, direbus atau dipanggang dan

terkadang dimakan dalam keadaan mentah. Jengkol mengandung asam

djengkolat (djengkolid acid) 0.3 – 1.3 g/100 g, dimana 93% dalam

keadaan bebas (Bunawan, 2014). Namun demikian jengkol ini dapat

Page 44: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

29

mengakibatkan keracunan atau disebut djengkolism dengan gejala mual,

muntah, nyeri pinggang, hematuria, oligouri sampai pada gangguan

ginjal.

Kasus djengkolism yang cenderung bersifat sporadik dan tidak

selalu menyebabkan individu yang mengonsumsi jengkol dapat

mengalami keracunan serta mengalami gangguan ginjal. Hal tersebut

tergantung pada faktor host yaitu manusia yang memiliki hipersentifitas

tertentu dan jenis jengkol yang dikonsumsi (Bunawan,

2014).("Supplementary Table 1 : Traditional medicines and edible plants

associated with acute kidney injury,")

11. Makanan kecil (snack)

Beberapa jenis patogen dapat ditemukan pada makanan kecil

seperti Salmonella spp. yang dapat tumbuh pada makanan atau pangan

yang tidak dalam proses misalnya cokelat. Selain itu Listeria

monocytogenes juga dapat ditemukan pada makanan kecil kemasan yang

siap untuk dimakan khususnya yang disimpan pada temperatur lemari

pendingin (Newell, 2010).

F. Tempat Sumber Keracunan Pangan

Keracunan pangan yang terjadi di masyarakat dimana pangan

disiapkan dan disajikan dalam suatu populasi seperti asrama, panti jompo,

penjara dan rumah sakit dengan meningkatnya dua orang atau lebih yang

sakit (Kunwar, 2013). Selain tempat tersebut, keracunan pangan juga dapat

terjadi di tempat lainnya seperti balai terbuka (acara) (42.2%), dapur

Page 45: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

30

(23.1%), sekolah (0.1%) dan lainnya (34.6%) (Ahmed, 2015). Beberapa

sumber keracunan pangan antara lain,

a. Rumah Tangga

Rumah tangga sebagai sumber keracunan pangan merupakan

tempat tinggal individu, sekelompok individu atau komunitas tertentu

yang memiliki dapur secara pribadi dan pengolahan pangan serta

penyiapan makanan dilakukan pada rumah tangga tersebut sehingga

berpotensi menimbulkan keracunan pangan. Adapun jenis pangan

yang banyak menyebabkan keracunan pangan di rumah tangga adalah

daging mentah dan unggas, telur, susu yang tidak terpasteurisasi dan

ikan – ikanan mentah (IFH, 2014).

Pada daging mentah baik dari babi, sapi ataupun unggas adanya

infeksi biasanya bersumber dari saluran pencernaan hewan tersebut

yang banyak mengandung organisme penyebab keracunan pangan.

Sedangkan pada proses penyiapan antara lain penyembelihan maupun

penjualan dapat terjadi kontaminasi silang. Hal tersebut diperparah

dengan kurang bersihnya tempat jual beli tersebut. Sedangkan pada

ikan – ikanan dan sayuran kontaminasi dapat dimulai dari proses

pemeliharaan yang menggunakan air limbah terkontaminasi (IFH,

2014).

Pada hasil penelitian di Itali menunjukkan masih terdapat rumah

tangga yang tidak mencuci papan alas pemotong (cutting board)

dengan sabun pada saat mengolah pangan mentah dan menyiapkan

Page 46: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

31

makanan. Selain itu mereka juga lebih menyukai papan alas yang

terbuat dari kayu. Serta banyak pula yang tidak percaya pentingnya

mencuci tangan setelah mengolah daging, ungags ataupun ikan

mentah (Langiano, 2012).

b. Jasa boga

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri jasa boga

merupakan usaha untuk melayani pesanan hidangan untuk pesta,

pertemuan dan lain – lain. Dalam penelitian ini jasa boga meliputi

restoran, rumah makan, warung dan katering yang menyediakan jasa

pengolahan pangan untuk berbagai macam acara atau hajatan.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang persyaratan hygiene sanitasi

rumah makan dan restoran, rumah makan adalah setiap tempat usaha

komersial yang memiliki ruang lingkup menyediakan makanan dan

minuman unuk umum di tempat usahanya. Sedangkan restoran adalah

salah satu jenis usaha pangan yang bertempat sebagian dan atau

seluruh bangunan yang permanen dilengkapi dengan peralatan atau

perlengkapan unuk proses pembuatan, penyimpanan, penyajian dan

penjualan makanan atau minuman bagi umum d tempat usahanya.

Menurut Frederick (2006), dari tahun 1998 – 2004 KLB

keracunan pangan yang tercatat dalam data surveilans Centers of

Disease Control (CDC) sebagian besar didapatkan dari restoran

(52%), rumah tangga (18%), sekolah (4%), tidak diketahui (4%) dan

lainnya (22%). Pada keracunan pangan yang bersumber dari restoran,

Page 47: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

32

39% disebabkan oleh bakteri, bahan kimia 47%, parasit 24%, virus

48% dan etiologi yang tidak diketahui 56% (Frederick, 2006).

Adapun menurut hasil penelitian sebelumya, jenis kelamin laki-

laki lebih sering mengonsumsi pangan dan makanan di luar rumah

seperti tempat berkumpul, restoran, warung jajanan dan lainnya

(POST, 2003). Hal tersebut sama seperti penelitian yang dilakukan

pada usia 19 – 24 tahun terdapat perbedaan frekuensi makan di

restoran antara laki – laki dan perempuan (nilai P <0.01) dengan

proporsi laki – laki lebih tinggi dibandingkan perempuan (Kristin,

2009).

Selain itu adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang

dipengaruhi oleh tuntutan hidup serta iklim ekonomi yang

mengharuskan untuk bekerja lebih keras sehingga hampir tidak ada

waktu untuk mengolah dan memasak makanan sendiri. Kebiasaan

lebih gemar makan tetapi tidak bisa memasak serta keuntungan

memperoleh makanan dari jasa boga akan mempersingkat waktu dan

lebih instan jika dibandingkan dengan memasak sendiri (Indranil,

2016).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1096 tentang

higiene sanitasi jasa boga, semua usaha jasa boga harus memiliki izin

usaha sesuai peraturan perundang – undangan, yaitu sertifikat yang

dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (jasa boga yang

berada di wilayah pelabuhan, bandar udara, pos pemeriksaan lintas

batas dikeluarkan oleh kepala KKP). Sertifikat tersebut berlaku

Page 48: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

33

selama 3 tahun dan dapat diperpanjang jika memenuhi persyaratan.

Cara pengolahan pangan pun juga memiliki ketentuan – ketentuan

yang telah ditetapkan (terlampir). Penjamah pangan harus memiliki

sertifikat kursus hygiene sanitasi makanan, berbadan sehat dan tidak

menderita penyakit menular.

Adapun hasil penelitian yang dilakukan di restauran dan katering

di Iran menunjukkan pada semua sampel makanan (nasi, kebab, ayam

panggang, daging dan ikan) yang diuji pada kedua tempat tersebut

mengandung koliform melebihi standar aman yang ditetapkan (100

cfu/g) (R, 2013). Koliform sendiri didefinisikan sebagai bakteri

aerobik, anareobik fakultatif, gram negatif, tidak berspora yang

menfermentasi laktosa dengan memproduksi asam dan gas selama 48

jam pada suhu optimum yaitu 35 ºC. Selain itu pengujian pada

koliform biasanya dilakukan untuk mengetahui air yang tercemar atau

tidak. Jenis koliform yang sering menimbulkan keracunan pangan

adalah E. coli dan jenis koliform lainnya yang hidup di saluran

pencernaan (DFS, 2007).

c. Pedagang Kaki Lima (PKL)

Adanya perubahan sosial – ekonomi yang dialami oleh beberapa

negara dalam dekade terakhir, termasuk pula negara berkembang.

Seiring dengan perubahan tersebut, pertumbuhan pedagang kaki lima

juga cenderung meningkat. Hal tersebut dapat menjadi sumber

pendapatan pada beberapa orang yang memiliki modal kecil,

khususnya perempuan (Climat, 2013).

Page 49: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

34

Pedagang Kaki Lima (PKL) atau street vendors adalah pedagang

yang menyediakan atau menjual makanan atau minuman yang siap

untuk dikonsumsi (ready to eat). PKL merupakan salah satu sumber

keracunan pangan di negara berkembang karena biasanya PKL

melakukan perpindahan tempat dari satu tempat ke tempat lain dengan

alat transportasi (Nonato, 2016). Hal tersebutlah yang biasanya

menyebabkan peralatan dan tempat yang tidak adekuat, sanitasi

lingkungan yang kurang, praktik penyimpanan dan pengolahan

pangan yang kurang tepat serta mutu atau kualitas bahan makanan

yang berkualitas rendah (Burt BM, 2003; Mamun MA, 2013;

Manguiat LS, 2013).

Sumber masalah utama PKL yang dapat menimbulkan keracunan

pangan adalah biasanya tidak terdapat air mengalir, tidak terdapat

disinfektan dan mengakibatkan serangga seperti lalat akan

beterbangan di sekitar pembuangan sampah, kedai atau alat berjualan

biasanya menggunakan peralatan yang sederhana, tidak tersedia toilet

dan tempat untuk mencuci peralatan masak atau makan atau jika ada

biasanya akan sangat terbatas. Pada umumnya PKL akan

menggunakan air dalam baskom untuk mencuci peralatan masak dan

makan serta tangan secara berulang – ulang (Climat, 2013; Mensah,

2002). Hal – hal tersebut berpotensi mengakibatkan keracunan pada

konsumen makanan yang bersumber dari PKL.

Penyiapan pangan atau makanan di jalan menyebabkan tingginya

risiko kontaminasi oleh organisme penyebab keracunan pangan

Page 50: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

35

seperti Salmonella, Listeria monocytogenes, Enteropathogenic,

Escherichia coli) (Nonato, 2016). Orang yang sering mengonsumsi

makanan yang diperoleh dari PKL dilaporkan menderita beberapa

penyakit seperti diare, kolera, demam tifoid, dan keracunan pangan

(Mensah, 2002). Selain itu, adanya mobilitas yang dilakukan

menyebabkan risiko polusi dan debu dari jalan (Climat, 2013).

d. Lain-lain

Sumber keracunan pangan lain – lain merupakan sumber

keracunan selain pada rumah tangga, jasa boga, dan PKL. Contoh dari

sumber keracunan pangan lain adalah industri pangan, sekolah, dapur

umum, tempat kerja dan lain – lain. Penelitian di Di New Delhi

menemukan adanya keracunan pangan yang bersumber dari dapur

umum. Keracunan tersebut disebabkan oleh residu pestisida yang

disemprotkan di dapur tersebut untuk mengusir seranggga namun

terdapat bahan masakan mentah yang hanya di simpan di dalam tas

terbuka sehingga menyebabkan residu pestisda (organophosphate)

menkontaminasi. Kejadian tersebut mengakibatkan 60 orang

mengalami kesakitan (Vemula, 2012).

2.2.3 Organisme dan bahan kimia penyebab keracunan

Faktor lainnya keracunan pangan yang penting adalah adanya

organisme atau bahan kimia berbahaya pada pangan. Beberapa keracunan

dapat disebabkan oleh patogen khsusunya Champylobacter jejuni yang

banyak ditemukan pada daging setengah matang. Pada penelitian lainnya

didapatkan bahwa penyebab utama keracunan pangan adalah bakteri (66%),

Page 51: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

36

bahan kimia (26%), virus (4%) dan parasit (4%) dengan dua kriteria besar

kategori keracunan pangan yaitu intoxication dan infection (Addis, 2015).

Salmonella, Shigella, Listeria, Campylobacter dan Norovirus merupakan

jenis infection. Sedangkan Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus

dan Bacillus cereus merupakan jenis intoxication dimana masing-masing

penyebab tersebut memiliki kriteria yang berbeda – beda.

Menurut CDC (2006), bakteri memiliki reservoir lingkunganm hewan

ataupun manusia namun hanya berkembang biak di pangan. Sedangkan virus

berkembang biak hanya di sel hidup namun tetap dapat menginfeksi melalui

pangan. Parasit dapat memperbanyak diri pada sel hidup namun tidak dapat

memperbanyak diri pada pangan. Sedangkan di lingkungan dapat membentuk

kista sehingga bersifat resisten pada lingkungan. dan toksin hanya dihasilkan

oleh bakteri tertentu berupa bahan kimia (Ezat, 2013).

Beberapa bakteri penyebab keracunan pangan menurut WHO antara

lain, Salmonella, E. coli, Shigella dysenteriae, Campylobacter jejuni,

Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Listeria monocytogenous,

dan Clostridium botulinum. Namun pada pemeriksaan spesimen di

laboratorium tidak semua bakteri-bakteri tersebut dilakukan pengujian pada

spesimen, melainkan hanya pada bakteri yang umum menjadi penyebab

keracunan di Indonesia antara lain yaitu, Salmonella, Escherichia coli,

Staphylococcus aereus, Vibrio cholerae, Clostridium perfringen dan Bacillus

cereus.

a. Salmonella

Page 52: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

37

Salmonella adalah bakteri gram negatif tidak berspora yang berbentuk

batang sehingga sedikit sulit dibedakan di bawah mikroskop dan media agar

dengan Escherichia coli. Salmonella banyak ditemukan pada manusia dan

hewan seperti burung, reptil, dan serangga sebagai reservoir utama. Adanya

keracunan pangan karena salmonella adalah ketika adanya ingesti pangan

yang mengandung salmonella dalam jumlah yang signifikan. Genus

salmonella terdiri dari dua spesies yaitu Salmonella enteric dan Salmonella

bongorl (Addis, 2015). Biasanya sumber kontaminasi ini terdapat pada telur

mentah atau setengah mentah, daging unggas setengah matang, sayur buah

yang mentah yang terkontaminasi atau susu yang tidak dipasteurisasi (WHO).

Gejala yang timbul biasanya adalah diare (seringkali disertai darah, berair,

kehijau-hijauan dan berbau busuk), nyeri perut, menggigil, demam muncul

setelah 2 – 5 hari setelah mekonsumsi pangan yang terkontaminasi. Gejala

ini dapat terjadi lebih parah pada anak – anak (Addis, 2015; WHO). Adapun

masa inkubasi 6 sampai 72 jam dengan rata-rata 12 sampai 36 jam (WHO).

Menurut data surveilans dari CDC, 7% (349 kasus KLB) keracunan pangan

yang terjadi diakibatkan oleh spesies salmolla (Frederick, 2006).

b. Escherichia coli

Escherichia coli merupakan jenis bakteri yang banyak ditemukan pada

manusia atau hewan beradarah panas lainnya. Sebagian besar tidak bersifat

patogen hanya beberapa strain yang dapat menyebabkan keracunan pangan.

Kontaminasi Escherichia coli biasanya melalui air atau pangan misalnya

daging yang tidak matang atau susu yang tidak dipasteurisasi. Gejala yang

timbul akibat terinfeksi jenis bakteri ini adalah diare terkadang disertai darah,

Page 53: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

38

demam, kram perut dan muntah dengan masa inkubasi kurang lebih 3 sampai

8 hari namun biasanya adalah 3- 4 hari (WHO). Kebanyakan penderita yang

terinfeksi akan sembuh kurang dari 10 hari (WHO, 2017). Menurut data

surveilans dari CDC, 1% (57 kasus KLB) keracunan pangan yang terjadi pada

tahun 1998 - 2004 diakibatkan oleh E. coli (Frederick, 2006).

c. Staphylococcus aereus

Staphylococcus aereus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk

coccus (Addis, 2015). Bakteri tersebut pada manusia dapat bersifat

komensalis ataupun oportunistik dan memiliki spektrum yang luas (Kadariya,

2014). Sumber terjadinya kotaminasi adalah dari salad, daging ham, ikan

tuna, telur ayam, kentang, makaroni, keju, roti lapis atau olahan kue yang

terkontaminasi selama persiapan, pengolahan maupun penyajian dimana

bakteri tersebut dapat memperbanyak diri pada suhu 7 – 48.5oC atau suhu

optimal yaitu 30 – 37 oC (Kadariya, 2014; WHO). Namun selain pangan-

pangan tersebut, penjamah pangan yang memiliki lesi kulit dapat menjadi

sumber kontaminasi (Addis, 2015). Gejala yang ditimbulkannya antara lain

adalah hipersaliva, mual, muntah, kram perut, dengan atau tanpa diare. Gejala

yang jarang timbul adalah sakit kepala dan demam. Masa inkubasi dimana

gejala mulai muncul sejak terinfeksi adalah 2 – 8 jam (WHO). Menurut data

surveilans dari CDC, 1% (35 kasus KLB) keracunan pangan yang terjadi

diakibatkan oleh spesies staphylococcus (Frederick, 2006)

d. Vibrio cholerae

Bakteri Vibrio cholerae merupakan salah satu penyebab diare akut

dimana diperkirakan terdapat 3-5 juta kasus dan lebih dari 100.000 kematian

Page 54: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

39

terjadi setiap tahunnya. Infeksi bakteri ini biasanya tanpa adanya tanda atau

gejala tetapi terkadang memiliki tingkat gejala yang parah. Diperkirakan 1

dari 10 orang yang terinfeksi bakteri Vibrio cholerae akan memiliki gejala

yang parah dengan ditandai diare berair, muntah dan kejang kaki atau

beberapa orang akan mengalami kehilangan cairan tubuh secara cepat atau

dehidrasi sampai terjadi shock. Sehingg tanpa adanya perawatan yang tepat

akan mengakibatkan kematian (CDC, 2016). Masa inkubasi bakteri tersebut

beberapa jam sampai 5 hari, namun baisanya 1 – 3 hari.

e. Clostridium perfringens

Bakteri Clostridium perfringens merupakan bakteri anaerobic, gram

positif penghasil toksin berbahaya yang banyak ditemukan di lingkungan dan

seringkali juga ditemukan di usus manusia dan hewan peliharaan. Spora

bakteri tersebut banyak ditemukan di tanah (FDA, 2014a). Biasanya manusia

terinfeksi oleh bekateri tersebut melalui pangan yang terkontaminasi oleh

toksin yang dihasilkannya. Adanya keracunan pangan biasanya disebabkan

oleh konsumsi daging yang kurang matang dengan suhu pemasakan 70 – 1400

F (Clark, 2005). Individu yang telah terinfeksi bakteri tersebut biasanya akan

menunjukkan gejala 6 sampai 24 jam setelah konsumsi pangan

terkontaminasi. Gejala yang ditimbulkannya pun bermacam-macam antara

lain seperti nyeri perut, kram perut yang diikuti dengan diare, dan mual. Dan

jarang menunjukkan muntah dan demam (Clark, 2005; WHO). Diagnosa

adanya keracunan akibat toksin Clostridium perfringens dapat diketahui

dengan melakukan pemeriksaan spesimen tinja penderita atau pada pangan

yang diduga sebagai penyebab keracunan (FDA, 2014a). Menurut data

Page 55: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

40

surveilans dari CDC, 1% (54 kasus KLB) keracunan pangan yang terjadi pada

tahun 1998 - 2004 diakibatkan oleh Clostridium perfringens (Frederick,

2006).

f. Bacillus cereus

Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri yang memiliki ukuran

besar, gram positif, motil, aerob fakultatif, dan berbentuk spora (Tewari,

2015). Sumber keracunan antara lain dagiing, susu, sayuran, dan ikan-

ikannan. Terdapat dua tipe KLB yang disebabkan Bacillus cereus, yaitu tipe

diare dan tipe muntah (FDA, 2014b). Gejala yang ditimbulkannya antara lain

mual, kejang perut dan diare dengan masa inkubasi 1 sampai 6 jam pada tipe

muntah dan 6-24 jam pada tipe diare. Namun biasanya kurang lebih 12 jam

(CDC, 2015).

Dalam mencegah terjadinya keracunan pangan hal yang paling penting

dilakukan adalah memanaskan makanan atau memasak pangan khususnya daging

dengan benar kemudian menggunakan peralatan yang berbeda pada pangan mentah

dan yang telah matang untuk mencegah adanya cross-contamination (Fischer,

2007). Selain itu proses penyimpanan yang adekuat, peningkatan personal hygiene,

menjaga temperatur makanan akan mencegah dan memperlambat pertumbuhan

bakteri (Addis, 2015). Selain disebabkan oleh adanya bakteri, keracunan pangan

juga disebabkan oleh adanya kontaminasi bahan kimia antara lain nitrit, sianida,

arsen, dan logam berat.

a. Nitrit

Penyebab keracunan akibat nitrit biasanya disebabkan oleh zat nitrit

yang digunakan sebagai bahan kuring daging atau air tanah dari sumur

Page 56: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

41

dangkal. Masa laten keracunan nitrit adalah 1 sampai 2 jam denga tanda dan

gejala mual, muntah, sianosis, sakit kepala, pusing, lemas, kehilangan

kesadaran serta darah berwarna coklat. Penyebab lain dapat berasal dari

pangan apa saja yang terkontaminasi baik sengaja maupun tidak dan

tumbuhan yang terpajan nitrifikasi yang berlebihan. Dalam pemeriksaan

laboratorium yang dapat diambil sebagai spesimen adalah sisa pangan dan

darah penderita.

b. Sianida

Masa latensi beberapa detik sampai beberapa menit dengan tanda gejala

pusing, sakit kepala, berdebar-debar, napas tidak normal, susah bernapas,

panik. Dengan cepat diikuti dengan muntah, koma, kejang-kejang pada otot,

bradikardi, hipotensi dan asidosis metabolik. Sumber pangan penyebab

keracunan antara lain adalah kernel, bir, tembakau, singkong, tepung tapioka,

kol, bayam, mustard dan berbagai pangan yang terkontaminasi. Pemeriksaan

laboratorium dilakukan dengan menggunakan darah, urin maupun sisa

pangan sebagai sampel.

c. Arsen

Tanda dan gejala keracunan akibat arsen antara lain adalah muntah,

sakit pada lambung, diare dan nafas seperti bawang putih. Masa latensi

kurang lebih adalah 1 jam setelah mengonsumsi pangan yang diduga

terkontaminasi seperti air terkontaminasi terutama air sumur atau

mengonsumsi obat-obatan yang mengandung arsen. Adapun pemeriksaan

laboratorium dapat dilakukan dengan mengambil sisa pangan atau urin

penderita.

Page 57: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

42

d. Logam berat

Logam berat antara lain adalaha arsenik, merkuri dan kadmium.

Adapun logam berat yang dapat menyebabkan keracunan pangan pada

manusia adalah air raksa dan kadmium (Aliyah, 2016). Air raksa (Hg) secara

alami di lingkungan manusia seperti limbah pabrik. Ketika air raksa

bercampur dengan air, bakteri akan mengubahnya menjadi senyawa yang

lebih berbahaya misalnya metil merkuri yang kemudian dapat tertimbun di

dalam tubuh ikan. Hal tersebut dapat berlipat atau lebih banyak ditemukan air

raksa pada tubuh ikan dengan ukuran yang lebih besar. Keracunan air raksa

telah terjadi di pantai Minamata dan Niigata. Sedangkan kadar air raksa yang

masih dalam kadar aman adalah 0.4 – 1.0 mg/kg. Logam berat lainnya adalah

kadmium yang banyak bersumber dari lingkungan khususnya pada tumbuhan

yang berasal dari tanah dengan kandungan pupuk fosfat tinggi atau

penggunaan pupuk kandang yang berlebihan (Arisman, 2009).

Sumber adanya keracunana pangan tersebut dapat bersumber dari

laporan puskesmas, rumah sakit atau klinik dan pelayanan kesehatan lainnya,

laporan praktek profesional pelayanan kesehatan, laporan masyarakat melalui

media massa dan laporan masyarakat umum termasuk pula laporan kepala

desa, organisasi sosial, perusahaan atau lainnya (Imari, 2013).

2.2 Pencegahan Keracunan Pangan

Keracunan pangan yang terjadi di UK 39% diakibatkan oleh

penyimpanan makanan yang tidak tepat, 31% diakibatkan proses pengolahan

yang tidak adekuat dan 20% diakibatkan oleh kontaminasi silang (cross-

contamination) serta kontaminasi oleh penjamah pangan (IFH, 2014). Menurut

Page 58: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

43

beberapa referensi lain, pencegahan keracunan pangan yang dapat dilakukan

antara lain adalah,

1. Menggunakan peralatan masak dan makan yang telah dicuci dan bersih.

Khusus peralatan masak dan alas pemotong dengan air hangat yang

dicampur sabun.

2. Cuci tangan setelah menjamah pangan dengan menggunakan air mengalir

yang bersih dan disinfektan atau dapat pula menggunakan alkohol serta

hand sanitiser

3. Mencuci bahan pangan yang akan dimasak secara benar yaitu

menggunakan air mengalir dan disinfektan, khususnya pada buah dan

salad

4. Memisahkan antara pangan yang masih mentah dengan makanan yang

telah masak atau siap konsumsi. Serta menggunakan peralatan memasak

yang berbeda untuk mengolah pangan yang masih mentah dan makanan

yang telah matang agar terhindar dari kontaminasi silang

5. Memasak dengan suhu yang optimal dalam beberapa saat yang cukup

untuk mengurangi jumlah bakteri yang terkandung dalam pangan.

Minimal memasak potongan daging sapi, babi atau kambing pada suhu

62.8 ºC, daging sapi giling pada suhu 71 ºC dan unggas pada 74 ºC.

6. Menyimpan makanan dengan suhu yang tepat seperti menyimpan

makanan panas atau hangat tetap hangat (30º C – 45 º C) serta makanan

yang dingin pada suhu yang dingin atau dalam lemari pendingin.

Menyimpan makanan dalam lemari pendingin tidak akan membunuh

bakteri namun dapat memperlambat terjadinya perkembangbiakan

Page 59: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

44

sehingga jumlah bakteri dalam makanan tidak banyak dan dapat

menyebabkan keracunan pangan. Sebaiknya pula tidak meletakkan

makanan yang telah disimpan di lemari pendingin terlalu lama pada suhu

ruangan karena hal tersebut dapat mengakibatkan kontaminasi ulang oleh

bakteri lain dan bakteri berkembang biak lebih cepat (IFH, 2014).

7. Sedangkan pada pangan yang sengaja disajikan dalam keadaan panas

minimal ditempatkan pada fasilitas pemanas dengan suhu minimum 60 ºC

8. Mengonsumsi makanan segera setelah dimasak, atau jika tidak langsung

dimakan sebaiknya letakkan pada tempat penyimpanan makanan secara

tepat (seperti pada poin 6) (CDC, 2017; IFH, 2014).

Selain itu upaya yang dapat dilakukan khususnya oleh tenaga kesehatan

untuk menanggulangi kasus keracunan pangan lainnya seperti KLB keracunan

pangan adalah melakukan penyelidikan epidemiologi. Menurut Permenkes RI

Nomor 2 tahun 2013 adalah dengan melakukan penyelidikan. Penyelidikan

epidemiologi keracunan pangan merupakan serangkaian kegiatan yang

dilakukan secara sistematis terhadap situasi KLB keracunana pangan dengan

pendekatan epidemiologi (Imari, 2013). Penyelidikan tersebut dapat dilakukan

kepada penderita ataupun seluruh aspek yang terkait dengan higiene sanitasi

pangan. Penyelidikan tersebut bertujuan antara lain adalah (Imari, 2013),

1. untuk mengetahui agen penyebab keracunan pangan, gambaran

epidemiologi dan kelompok yang terancam keracunan pangan, sumber dan

data terjadinya keracunan pangan.

2. menentukan bagaimana cara penanggulangan yang efektif dan efisien

dengan melakukan 3 hal yaitu melakukan pertolongan pada korban

Page 60: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

45

keracunan yang meliputi pemeriksaan, pengobatan, detoksifikasi atau

perawatan dan mencegah meluasnya KLB dengan upaya penyuluhan pada

masyarakat, pengendalian faktor risiko dan kegiatan surveilans.

Keberhasilan penyelidikan epidemiologi tersebut ditentukan oleh

kecepatan respon dan tindakan ketika terjadi KLB keracunan pangan.

menurut WHO langkah-langkah penyelidikan epidemiologi adalah (WHO,

2008),

1. memastikan adanya KLB keracunan pangan dari laporan yang

didapatkan

2. memverifikasi adanya diagnosa

3. mendefinisikan dan mengetahui jumlah kasus yang ada

4. menentukan populasi berisiko

5. mengembangkan hipotesis

6. mengevaluasi hipotesis

7. melakukan studi epidemiologi, lingkungan atau laboratorium sebagai

tambahan penting

8. melakukan pencegahan dan pengendalian

9. melakukan komunikasi hasil penyelidikan

Menurut Imari (2013), langkah-langkah penyelidikan epidemiologi

dapat disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Namun prinsip umum

penyelidikan tersebut antara lain adalah (Imari, 2013),

1. menerima informasi adanya indikasi KLB dengan langsung melakukan

penyelidikan awal

2. epidemiologi deskriptif

Page 61: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

46

3. menerapkan surveilans selama periode KLB

4. merumuskan rekomendasi penanggulangan KLB

5. membuat laporan

6. menyebarluaskan hasil penyelidikan KLB

Sebaiknya dalam melakukan penyelidikan dibentuk tim khusus yang

memiliki multidisiplin ilmu yang terdiri dari praktisi kesehatan masyarakat

atau epidemiolog, petugas kemanan pangan, laboran dalam bidang

mikrobiologi, toksikologi, atau ilmu lainnya yang berkaitan, petugas medis,

kepala puskesmas ataupun rumah sakit serta penyedia logistik (WHO, 2008).

2.3 Studi Potong Lintang (Cross-Sectional Study)

Studi potong lintang merupakan salah satu desain studi penelitian

observasional dalam bidang kesehatan. Sampel penelitian merupakan individu

yang berasal dari populasi yang diketahui pajanan dan outcome berupa

penyakit. Jenis studi ini cenderung untuk mengetahui prevalensi penyakit pada

masyarakat tanpa diketahui waktu atau durasi penyakit tersebut muncul karena

pengambilan data dilakukan dalam sekali waktu. Hal tersebutlah yang

menjadikan desain studi potong lintang mudah dilakukan namun merupakan

desain studi yang paling lemah dibandingkan kasus kontrol (case control) dan

kohrt (cohort) (CDC, 2012; Elwood, 2000).

Dalam penelitian ini studi potong lintang yang digunakan adalah untuk

mengetahui faktor risiko serta kecenderungan penyakit sehingga dapat

ditentukan strategi intervensi yang akan dipilih sebagai upaya pencegahan

(Morgenstern, 1995). Studi potong lintang mengukur prevalensi penyakit yang

Page 62: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

47

ada di masyarakat dan sesuai digunakan sebagai dasar dalam perencanaan

pelayanan kesehatan (BMJ, 2017).

2.4 Kerangka Teori

Menurut beberapa penelitian sebelumnya, keracunan pangan dapat

terjadi apabila terjadi ingesti pangan yang mengandung patogen ataupun zat

kimia (Addis, 2015; HP, s.a.; Kadariya, 2014; Kirk, 2014; Mutalib, 2014;

Newell, 2010; Saba Courage, 2012; Scallan, 2007). Namun juga terdapat

faktor lainnya yaitu faktor pejamu dan lingkungan dimana keduanya

berinteraksi dengan patogen atau bahan kimia sehingga menyebabkan

keracunan pangan. Adapun faktor pejamu keracunan pangan adalah faktor

manusia yang ikut mempengaruhi untuk mengalami keracunan pangan. faktor

tersebut antara lain adalah jenis kelamin, umur, status pekerjaan, pendapatan,

pengetahuan, tingkat pendidikan yang dimiliki oleh manusia (Abd-ELhaleem,

2011; Arganini, s.a.; Gumbo, 2015; Osei-Tutu, 2016; Teschke, 2010) (Climat,

2013; Jahns, 2014; Sharif, 2009).

Sedangkan faktor lingkungan adalah sanitasi lingkungan dan

kebersihan individu baik penjamah pangan maupun konsumen dimana

keduanya juga dipengaruhi oleh musim (Campos, 2009; Climat, 2013; Fischer,

2007; Linscott, 2011). Selain itu pengolahan pangan yang tidak adekuat seperti

pemanasan, penyimpanan serta penyajian yang kurang tepat dapat

menyebabkan keracunan pangan (Climat, 2013; HP, s.a.; Malangu, s.a.; MOH,

2007). Pada beberapa kasus keracunan pangan merupakan tindakan sengaja

yang dilakukan oleh individu tetentu (Malangu, s.a.; Xue, 2011).

Page 63: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

48

Serta jenis kelamin tertentu akan lebih cenderung mengonsumsi jenis

pangan yang didapatkan dari tempat tertentu yang dipengaruhi oleh

pengetahuan yang didapatkan dari lingkungan pendapatan dan aspek religius

yang dimiliki oleh seseorang (Ahmed, 2015; Arganini, s.a.; Elmadfa, 2005;

Frederick, 2006; IFH, 2014; Jahns, 2014; Kunwar, 2013; Malangu, 2016; Saba

Courage, 2012; Shiferaw, 2012; Wardle J, 2004).

Bagan020.1 Kerangka Teori Penelitian

Faktor pejamu

- Umur

- Jenis kelamin

- Pengetahuan

- Tingkat pendidikan

- Status pekerjaan

- Pendapatan

Faktor lingkungan

- Musim

- Jenis pangan penyebab

keracunan pangan

- Sumber keracunan pangan

- Religius

- Kejahatan

- Sanitasi lingkungan

- Kebersihan perorangan

- Pengolahan pangan

Keracunan

pangan

Faktor agen penyebab

Organisme dan bahan kimia

penyebab keracunan pangan

Page 64: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

49

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka teori pada penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya

keracunan pangan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adanya organisme

atau bahan kimia, kejahatan, kebersihan individu, sanitasi lingkungan, musim,

jenis pangan, pengolahan pangan, pengetahuan, tingkat pendidikan, jenis

kelamin, umur, pendapatan, tempat sumber keracunan pangan, mobilitas dan

status pekerjaan.

Namun dalam penelitian ini tidak semua faktor tersebut dapat dijadikan

sebagai variabel penelitian. Faktor yang tidak dijadikan sebagai variabel

penelitian adalah adanya organisme atau bahan kimia, kejahatan, kebersihan

individu, sanitasi lingkungan, pengolahan pangan, pengetahuan, tingkat

pendidikan, pendapatan, mobilitas dan status pekerjaan. Hal tersebut

disebabkan faktor atau variabel tersebut tidak diukur oleh BPOM – RI.

Bagan03.0.1 Kerangka Konsep Penelitian

Tempat sumber Keracunan

pangan

Jenis kelamin Jenis pangan

Musim

Umur

Keracunan

Pangan

Keterangan

: Analisis deskriptif

: Analisis deskriptif

bertahap

Page 65: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

50

3.2 Definisi Operasional

Adapun definisi operasional variabel pada penelitian ini adalah sebagai berikut,

Bagan03. 0.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Pengukuran Skala

Ukur

1 Sumber

keracunan

pangan

Tempat atau lokasi individu

mendapatkan pangan

sehingga menyebabkan

keracunan pangan dan tercatat

dalam data laporan Siker

Nasional BPOM – RI tahun

2016

Telaah dokumen

pelaporan keracunan

pangan yang

didapatkan dari Siker

Nasional BPOM – RI

dari tahun 2016

Formulir catatan

medis kasus

keracunan di

Instalasi Gawat

Darurat (IGD)

1. Rumah tangga

2. Jasa boga

3. PKL

4. Lain – lain dan tidak

tahu

Nominal

Page 66: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

51

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Pengukuran Skala

Ukur

2 Umur Umur kasus keracunan

pangan dalam tahun yang

diperoleh dari laporan Siker

BPOM – RI Nasional tahun

2016

Telaah dokumen

pelaporan keracunan

pangan yang

didapatkan dari Siker

Nasional BPOM – RI

dari tahun 2016

Formulir catatan

medis kasus

keracunan di

Instalasi Gawat

Darurat (IGD)

1. Umur < 6 tahun dan >

59 tahun (Imunitas

rendah)

2. Umur 6 – 59 tahun

(Imunitas optimal)

(Lund, 2011)

Nominal

3 Jenis

kelamin

Jenis kelamin kasus

keracunan pangan yang

diperoleh dari laporan yang

Siker Nasional BPOM – RI

tahun 2016

Telaah dokumen

pelaporan keracunan

pangan yang

didapatkan dari Siker

Nasional BPOM – RI

dari tahun 2016

Formulir catatan

medis kasus

keracunan di

Instalasi Gawat

Darurat (IGD)

1. Laki-laki

2. Perempuan

Nominal

Page 67: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

52

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Pengukuran Skala

Ukur

4 Musim Waktu berdasarkan bulan

terjadinya keracunan pangan

berdasarkan ketetapan BMKG

serta kasus keracunan tersebut

tercatatat dalam laporan

keracunan Siker Nasional

BPOM – RI tahun 2016

Telaah dokumen

pelaporan keracunan

pangan yang

didapatkan dari Siker

Nasional BPOM – RI

dari tahun 2016

Formulir catatan

medis kasus

keracunan di

Instalasi Gawat

Darurat (IGD)

1. Musim hujan

2. Musim kemarau

Nominal

5 Jenis

pangan

penyebab

Jenis pangan yang dikonsumsi

oleh individu sehingga

menyebabkan keracunan

pangan melalui anamnesa

Telaah dokumen yang

didapatkan dari Siker

Nasional BPOM – RI

dari tahun 2016

Formulir catatan

medis kasus

keracunan di

1. Seafood, ikan – ikanan

2. Mie instan dan nasi

3. Daging merah dan

unggas

Nominal

Page 68: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

53

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Pengukuran Skala

Ukur

keracunan

pangan

baik kepada kasus, keluarga

kasus ataupun yang orang lain

yang mengetahui kronologi

kejadian dan tercatat dalam

laporan keracunan Siker

Nasional BPOM – RI tahun

2016

Instalasi Gawat

Darurat (IGD)

4. Multiple food

5. Makanan kecil

6. Lain – lain

(Shiferaw, 2012)

Page 69: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

54

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian epidemiologi deskriptif dengan desain

studi cross-sectional. Penelitian ini merupakan analisis lanjutan dari BPOM –

RI pada tahun 2016 sehingga diperoleh penjelasan terkait analisis bertahap

terkait keracunan pangan yang terjadi di DKI Jakarta.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2017 di

DKI Jakarta. Adapun Sentra Informasi Keracunan (Siker) Nasional BPOM –

RI merupakan instanasi pemerintah yang menjadi sumber data dalam penelitian

ini, dimana instansi tersebut mendapatkan data keracunan pangan dari rumah

sakit di DKI Jakarta.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah masyarakat DKI Jakarta yang mengalami

keracunan pangan dan tercatat dalam laporan Sikernas BPOM – RI pada tahun

2016. Adapun jumlahnya adalah 213 orang. Sedangkan sampel penelitian

adalah populasi yang memiliki kriteria inklusi sebagai berikut,

1. terdapat dalam laporan Siker Nasional BPOM – RI tahun 2016

2. data memiliki variabel lengkap.

Setelah diterapkan kriteria inklusi tersebut hanya terdapat 208 kasus

keracunan pangan yang dijadikan sebagai sampel penelitian.

Page 70: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

55

Bagan04.1 Alur Pengambilan Sampel

4.4 Sumber dan Instrumen Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

diperoleh dari Siker Nasional BPOM – RI. Data tersebut merupakan laporan

kasus keracunan pangan di luar dari data Kejadian Luar Biasa (KLB)

keracunan pangan. Metode pengumpulan data oleh Siker Nasional BPOM – RI

adalah laporan oleh rumah sakit di DKI Jakarta dengan menggunakan

instrumen berupa formulir yang diadaptasi dari intox general yang kemudian

dilakukan penyesuaian oleh dokter Unit Gawat Darurat (UDG) dengan

mempertimbangkan fisibiltas dan kebutuhan. Namun karena pelaporan bersifat

sukarela (voluntary) menyebabkan tidak semua rumah sakit di DKI Jakarta

melaporkan adanya keracunan pangan kepada pihak Siker Nasional BPOM –

RI.

Terdapat 213 kasus keracunan

pangan yang diperoleh dari Siker

Nasional BPOM - RI

Diperoleh 208 keracunan pangan

pangan yang dapat dijadikan

sebagai sampel penelitian

Diterapkan kriteria

inklusi, yaitu terdapat

dalam laporan Siker

Nasional BPOM – RI

tahun 2016 Diperoleh 213 kasus keracunan

pangan yang diperoleh dari Siker

Nasional BPOM - RI

Diterapkan kriteria

inklusi, yaitu

kelengkapan variabel

0 kasus

dikeluarkan

5 kasus

dikeluarkan

Page 71: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

56

4.5 Manajemen Data

4.5.1 Pemeriksaan Kelengkapan dan Pengkodean

Data yang telah diperoleh dari Siker Nasional BPOM – RI

diperiksa kembali kelengkapannya. Adapun kelengkapan tersebut

adalah kelengkapan variabel umur, jenis kelamin, musim, jenis pangan

penyebab keracunan pangan serta sumber keracunan pangan. Variabel

yang ditemukan tidak lengkap akan dikeluarkan. Kemudian data yang

telah lengkap diberikan kode untuk mempermudah dalam proses

analisis. Pemberian kode sesuai dengan definisi operasional pada tabel

berikut,

Tabel040.1 Kode Variabel dalam Penelitian

No Variabel Kode

Vari-

abel

Jumlah

Awal

Data

Lengkap

Data

Missing

Nilai

Missing

(%)

1 Umur

213 213 0 0

< 6 tahun dan > 59 tahun

(imunitas rendah)

1

6 – 59 tahun (imunitas

optimal)

2

2 Jenis kelamin

213 213 0 0 Laki-laki 1

Perempuan 2

3 Musim

213 213 0 0 Musim hujan 1

Musim kemarau 2

4 Jenis Pangan

213 208 5 2.35

Seafood, ikan – ikanan 1

Lain – lain 2

Mie instan dan nasi 3

Daging merah dan unggas 4

Multiple food 5

Makanan kecil 6

Page 72: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

57

No Variabel Kode

Vari-

abel

Jumlah

Awal

Data

Lengkap

Data

Missing

Nilai

Missing

(%)

5 Sumber keracunan pangan

213 213 0 0

Rumah tangga 1

Jasa boga 2

PKL 3

Lain – lain 4

Tidak tahu 5

4.5.2 Pemasukan Data

Data yang telah diberikan kode pada setiap variabelnya akan

dimasukkan pada aplikasi statistik untuk dilakukan analisis deskriptif.

4.5.3 Pembersihan data

Data yang telah dimasukkan dalam aplikasi statistik akan

diperiksa kembali dengan tujuan menghindari adanya missing data.

4.5.4 Analisis data

Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif yang berguna

untuk mengetahui frekuensi atau distribusi sampel penelitian

berdasarkan karakteristik umur, jenis kelamin, musim, sumber

keracunan pangan dan jenis pangan penyebab keracunan pangan. serta

menggunakan analisis deskriptif bertahap pada variabel jenis kelamin,

jenis pangan dan tempat sumber keracunan pangan.

Page 73: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

58

BAB V

HASIL

5.1 Proporsi Umur, Jenis Kelamin, Musim, Jenis Pangan dan Sumber Keracunan

Pangan pada Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016

5.1.1 Umur

Diagram05.1 Proporsi Keracunan Pangan Berdasarkan Umur di DKI Jakarta

Tahun 2016

Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016

Berdasarkan diagram di atas, keracunan pangan dapat terjadi pada semua

umur berdasarkan status imunitas. Namun pada tahun 2016 keracunan pangan di

DKI Jakarta banyak terjadi pada golongan umur yang memiliki imunitas optimal

(92.3%) dibandingkan golongan umur yang memiliki imunitas rendah (7.7%).

8%

92%

Imunitas Rendah Imunitas Optimal

Page 74: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

59

5.1.2 Jenis kelamin

Diagram 5.2 Proporsi Keracunan Pangan Berdasarkan Jenis Kelamin di DKI

Jakarta Tahun 2016

Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016

Berdasarkan diagram di atas, proporsi keracunan pangan di DKI Jakarta tahun

2016 berdasarkan jenis kelamin lebih banyak dialami oleh jenis kelamin perempuan

dibandingkan laki – laki. Proporsi keracunan pangan pada perempuan tersebut

adalah 51.4%.

5.1.3 Musim

Diagram05.3 Proporsi Keracunan Pangan Berdasarkan Musim di DKI Jakarta

Tahun 2016

Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016

49%51%

Laki - laki Perempuan

38%

62%

Hujan Kemarau

Page 75: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

60

Pada diagram di atas, proporsi keracunan pangan di Jakarta pada tahun 2016

banyak terjadi pada musim kemarau dengan proporsi 62%, sedangkan proporsi

keracunan pangan pada musim hujan adalah 38%.

5.1.4 Jenis Pangan

Tabel 5. 00.1 Proporsi Jenis Pangan Penyebab Keracuanan Pangan di DKI Jakarta

Tahun 2016

Jenis Pangan Jumlah (n) Proporsi (%)

Seafood, ikan-ikanan 109 52.4

Mie instan dan nasi 12 5.8

Daging merah unggas 15 7.2

Multiple food 32 15.4

Makanan kecil 25 12

Lain – lain 15 7.2

Jumlah 208 100

Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016

Berdasarkan tabel di atas pada tahun 2016 jenis pangan yang banyak

menyebabkan kecunan pangan di DKI Jakarta adalah seafood dan ikan – ikanan

dengan proporsi 52.4%. Sedangkan untuk jenis pangan mie instan, daging merah

dan unggas serta lain – lain memiliki proporsi masing – masing yaitu 12%, 15%

dan 15%.

5.1.5 Sumber Keracunan Pangan

Tabel 500.2 Proporsi Sumber Keracunan Pangan di DKI Jakarta pada Tahun 2016

Sumber Keracunan Pangan Jumlah (n) Proporsi (%)

Rumah tangga 96 46.2

Jasa boga 68 32.7

Jajanan PKL 26 12.5

Lain-lain dan tidak tahu 18 8.7

Jumlah 208 100

Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016

Page 76: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

61

Berdasarkan tabel di atas keracunan pangan yang terjadi di DKI Jakarta tahun

2016 lebih banyak bersumber dari olahan rumah tangga dengan proporsi 46.2% dan

jasa boga dengan proporsi 32.7%. Sedangkan sumber lain – lain dan tidak diketahui

cenderung memiliki proporsi yang rendah yaitu 8.7%.

5.2 Distribusi Sumber Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016

5.2.1 Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 : Laki – laki

Tabel 5.3 Proporsi Jenis Pangan pada Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun

2016 : Laki – laki

Jenis Pangan Jumlah (N) Proporsi (%)

Seafood, ikan-ikanan 44 43.6

Mie instan dan nasi 10 9.9

Daging merah dan unggas 6 5.9

Multiple food 20 19.8

Makanan kecil 13 12.9

Lain – lain 8 7.9

Jumlah 101 100

Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016

Berdasarkan tabel di atas, keracunan pangan di DKI Jakarta pada laki – laki banyak

disebabkan karena konsumsi seafood dan ikan – ikanan (43.6%) serta multiple

food (19.8%). Sedangkan jenis pangan daging merah dan unggas (5.9%) dan lain -

lain (7.9%) paling sedikit menyebabkan keracunan.

Page 77: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

62

Tabel 50.4 Jenis Pangan Berdasarkan Sumber Keracunan pada Laki – laki di DKI

Jakarta Tahun 2016

Jenis Pangan

Tempat Sumber Keracunan Pangan

Rumah

Tangga

N (%)

Jasa Boga

N (%)

PKL

N (%)

Lain – lain

& tidak

tahu

N (%)

Seafood, ikan-ikanan 25 (53.19) 13 (46.42) 4 (26.67) 2 (18.19)

Mie instan dan nasi 3 (6.38) 4 (14.28) 1 (6.67) 2 (18.19)

Daging merah dan unggas 3 (6.38) 3 (10.71) 0 (0.00) 0 (0.00)

Multiple food 8 (17.02) 6 (21.42) 4 (26.67) 2 (18.19)

Makanan kecil 2 (4.25) 2 (7.14) 6 (40) 3 (27.24)

Lain – lain 6 (12.76) 0 (0.00) 0 (0.00) 2 (18.19)

Jumlah 47 (100) 28 (100) 15 (100) 11 (100)

Berdasarkan tabel di atas, jenis pangan yang menyebabkan keracunan pangan di

DKI Jakarta pada laki – laki banyak yang bersumber dari rumah tangga adalah

seafood, ikan-ikanan (53.19%) dan multiple food (17.02%). Sedangkan jenis

pangan yang banyak menyebabkan keracunan pangan yang bersumber dari jasa

boga adalah seafood, ikan-ikanan (46.42%) dan multiple food (21.42%). Dan jenis

pangan paling banyak bersumber dari PKL adalah seafood, ikan-ikanan dan

multiple food masing – masing 26.67%. Serta pada sumber lain – lain dan tidak

diketahui makanan kecil banyak menyebabkan keracunan pangan yaitu 27.24%.

Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016

Page 78: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

63

5.2.2 Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016 : Perempuan

Tabel 5.5 Proporsi Jenis Pangan pada Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun

2016 : Perempuan

Jenis Pangan Jumlah (N) Proporsi (%)

Seafood, ikan-ikanan 65 60.7

Mie instan dan nasi 2 1.9

Daging merah dan unggas 9 8.4

Multiple food 12 11.2

Makanan kecil 12 11.2

Lain – lain 7 6.5

Jumlah 107 100

Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016

Berdasarkan tabel di atas, keracunan pangan di DKI Jakarta pada perempuan

banyak disebabkan karena konsumsi seafood dan ikan – ikanan (60.7%) serta

multiple food (11.2%) dan makanan kecil (11.2%). Sedangkan Mie instan dan nasi

juga menyebabkan keracunan pangan namun memiliki proporsi yang kecil (1,9%).

Page 79: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

64

Tabel 5.6 Jenis Pangan dan Tempat Sumber Penyebab keracunan Pangan pada

Perempuan di DKI Jakarta Tahun 2016

Jenis Pangan

Tempat Sumber Keracunan Pangan

Rumah

Tangga

N (%)

Jasa Boga

N (%)

PKL

N (%)

Lain – lain

& tidak

tahu

N (%)

Seafood, ikan-ikanan 34 (69.38) 28 (70.00) 2 (18.18) 1 (14.29)

Mie instan dan nasi 1 (2.04) 1 (2.50) 0 (0.00) 0 (0.00)

Daging merah dan unggas 5 (10.20) 4 (10.0) 0 (0.00) 0 (0.00)

Multiple food 5 (10.20) 4 (10.0) 2 (18.18) 1 (14.29)

Makanan kecil 1 (2.04) 3 (7.50) 7 (63.63) 1 (14.29)

Lain – lain 3 (6.12) 0 (0.00) 0 (0.00) 4 (57.14)

Jumlah 49 (100) 40 (100) 11 (100) 7 (100)

Sumber : Data Sekunder Siker Nasional BPOM- RI tahun 2016

Berdasarkan tabel di atas, jenis pangan yang menyebabkan keracunan pangan di

DKI Jakarta pada perempuan banyak yang bersumber dari rumah tangga adalah

seafood, ikan-ikanan (69.38%), daging merah dan unggas serta multiple food

(10.20%). Sedangkan jenis pangan yang banyak menyebabkan keracunan pangan

yang bersumber dari jasa boga adalah seafood, ikan-ikanan (70%). Dan jenis

pangan paling banyak bersumber dari PKL makanan kecil (63.63%). Serta pada

sumber lain – lain dan tidak diketahui janis pangan lain – lain banyak menyebabkan

keracunan pangan yaitu 57.14%.

Page 80: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

65

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil

penelitian yang tidak dapat diprediksi oleh peneliti. Adapun keterbatasan tersebut

antara lain adalah,

1. Masih ada kemungkinan terdapat kasus keracunan pangan di masyarakat

namun tidak masuk dalam sampel penelitian karena kasus bersifat sporadik dan

tidak semua penderita keracunan pangan melakukan pencarian pengobatan.

Serta belum terdapat peraturan terkait pelaporan kasus keracunan pangan yang

dilakukan oleh rumah sakit kepada Siker Nasional BPOM – RI, sehingga

pelaporan tersebut dilakukan secara sukarela yang berakibat pada tidak semua

kasus dapat tercatat dan terlapor.

6.2 Proporsi Faktor – faktor Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016

6.2.1 Umur

Hasil penelitian keracunan pangan di DKI Jakarta, kasus keracunan

pangan banyak dialami oleh individu yang berumur 6 – 59 tahun dengan

proporsi 92.3%. dalam penelitian ini umur 6 – 59 tahun merupakan golongan

umur yang memiliki status imunitas optimal dimana sistem imunitas telah

berkembang dengan baik dan mampu melawan patogen atau benda asing

yang menginfeksi tubuh. Sedangkan umur kurang dari 6 tahun dan lebih dari

59 tahun merupakan golongan umur yang memiliki status imunitas rendah.

Penentuan status imunitas tersebut berdasarkan pada variabel umur yang

didapatkan dari data sekunder dari Siker Nasional BPOM - RI. Dengan

Page 81: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

66

demikian keracunan pangan di DKI Jakarta pada tahun 2016 banyak dialami

oleh golongan umur optimal.

Umur merupakan salah satu faktor pejamu yang memicu kerentanan

individu terhadap terjadinya keracunan pangan. Selain itu terdapat pula faktor

penentu lainnya seperti status immunodeficiency syndrome, wanita hamil,

pasien yang sedang menjalani perawatan radiasi atau obat-obatan kanker,

pasien diabetic syndrome, penyakit liver dan ginjal serta penjamah pangan

(Lund 2011, Osei – Tutu, 2016, CDC, 2016). Seperti pada pasien transplantasi

organ lebih banyak terinfeksi Salmonella dan mengalami gastroenteritis

dengan proporsi 20 - 30% dibandingkan individu yang tidak melakukan

transplantasi organ (Lund, 2011). Namun pada penelitian ini yang digunakan

sebagai penentu status imunitas adalah umur. Hal tersebut disebabkan

keterbatasan variabel pada sumber data.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan di

Zimbabwe dan Mesir oleh Teschke (2010), Abd-Elhaleem (2011) dan Gumbo

(2015) bahwa keracunan pangan juga dialami oleh kelompok umur 6 – 59

tahun (Abd-ELhaleem, 2011; Gumbo, 2015; Majowicz, 2004; Teschke,

2010).

Sedangkan berbeda dengan hasil penelitian lain yang dilakukan oleh

Majowicz (2004), Kariuki (2008), Abd – Elhaleem (2011), Painter (2013),

dan Pardhan-Ali (2017) dimana keracunan pangan banyak dialami oleh

kelompok umur kurang dari 10 tahun dan lebih dari 60 tahun (Abd-ELhaleem,

2011; Kariuki, 2008; Majowicz, 2004; Painter, 2013). Keracunan pangan

Page 82: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

67

pada penelitian tersebut banyak terjadi pada kelompok umur yang memiliki

sistem imunitas tubuh rendah.

Sistem imunitas rendah yang dimiliki oleh kelompok umur kurang dari

6 tahun dan lebih dari 59 tahun, disebabkan oleh sistem imunitas tubuh yang

belum berkembang secara baik atau mengalami penurunan fungsional.

Menurut penelitian sebelumnya, khusus pada umur lebih dari 59 tahun terjadi

penurunan kadar pH dalam lambung yang dimiliki oleh enzim HCL

(Hydrocloric acid). Penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian di Kota

Sao Paulo yang menyatakan bahwa proporsi penderita gastritis atrofik

meningkat dengan bertambahnya usia (AAP, 2014; Lucy, 2003; Lund, 2011;

Pardhan-Ali, 2017). Adanya penurunan tersebut tentunya akan

mempermudah terjadinya infeksi pada saluran makanan. Karena fungsi utama

enzim HCL adalah membunuh organisme patogen sehingga apabila terdapat

infeksi walaupun dalam jumlah yang sedikit akan menimbulkan manifestasi

klinis yang berarti seperti mual, muntah, demam, sakit perut dan lain – lain.

Sedangkan pada individu yang mengonsumsi susu mentah (tidak

terpasterurisasi) akan meningkatkan infeksi lambung oleh bakteri penyebab

keracunan pangan. Hasil penelitian di Pennsylvania, uji laboratorium pada

sampel susu mentah ditemukan beberapa bakteri seperti Campylobacter

jejuni (2%), Shiga toxin-producing Escherichia coli (2.4%), Listeria

monocytogenes (2.8%), Salmonella (6%), and Yersinia enterocolitica (1.2%)

(Jayarao, 2006). Sedangkan pada uji laboratorium pada susu dan daging

(daging sapi, daging kambing, daging domba, daging unta dan daging kerbau)

21.90% susu dan 26.25% daging positif diisolasi berbagai spesies H. Pylori

Page 83: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

68

(Saeidi, 2016). Namun pada penelitian lain menyebutkan konsumsi

fermentasi susu dapat mencegah peradangan lambung dan kerusakan mukus

yang terdapat pada lambung (Pantoflickova, 2003; Sachdeva, 2014).

Adanya variasi antara hasil penelitian ini dan beberapa penelitian

sebelumnya tentunya dipengaruhi oleh faktor lain selain sistem imunitas

tubuh. Pada kelompok umur 6 – 59 tahun, individu cenderung memiliki

banyak aktivitas sehingga menciptakan berbagai kontak terhadap manusia

lainnya atau pun barang – barang di lingkungan sekitar. Menurut Tood (2010)

dalam Abd-Elhaleem (2011) seiring dengan meningkatnya aktivitas biasanya

kontaminasi jari tangan juga akan meningkat seperti penggunaan toilet,

menyentuh hidung, menyentuh benda – benda lainnya atau pun menyentuh

pangan mentah yang biasanya masih banyak mengandung patogen.

Pada usia sekolah, anak – anak yang belum mengenal kebersihan baik

diri dan lingkungan secara baik cenderung akan berperilaku kurang baik.

Seperti tidak mencuci tangan sebelum makan dan bermain, serta tidak

mencuci tangan setelah menggunakan toilet. Penelitian di Grenade

menyebutkan bahwa 11.9% siswa di sekolah menengah tidak pernah atau

jarang mencuci tangan sebelum makan dan 3.7% tidak pernah atau jarang

mencuci tangan setelah menggunakan toilet (Glasgow, 2013). Pasir, tanaman,

hewan, toilet ataupun benda di lingkungan sekitar merupakan media

penyebaran patogen yang dapat menginfeksi karena terbawa oleh jaringan

kulit akibat kontak yang terjadi. Selain itu perilaku tersebut cenderung

disebabkan oleh pengetahuan kebersihan dan pencegahan keracunan pangan

yang rendah.

Page 84: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

69

Adapun pada golongan imunitas optimal juga terdapat kelompok yang

berstatus sebagai pekerja karena telah memasuki usia produktif. Beberapa

diantaranya pula juga memiliki status sebagai orang tua. Pekerja memiliki

aktivitas di dalam maupun di luar ruangan. Aktivitas pekerja cenderung

memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan anak usia sekolah. Pada umur 6 –

59 tahun, individu cenderung memiliki mobilitas lebih tinggi dibandingkan

dengan usia kurang dari 6 tahun dan lebih 59 tahun. Dengan tingkat mobilitas

tinggi tersebut, individu akan lebih sulit menjaga kebersihan diri, terutama

kebersihan tangan sebelum dan sesudah mengonsumsi pangan. Karena di

Indonesia tidak semua tempat menyedikan tempat mencuci tangan dan sabun

sebagai desinfektan.

Sedangkan orang tua yang memiliki tugas untuk merawat dan

mengasuh anak juga memiliki risiko tinggi untuk mengalami keracunan

pangan. Anak – anak usia sekolah yang cenderung memiliki pengetahuan

rendah terkait kebersihan dapat pula meningkatkan risiko untuk mengalami

keracunan pangan. Serta berrisiko pula untuk menyebarkan patogen kepada

orang lain. Terutama pada ibu sebagai anggota keluarga yang dekat dengan

anak.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Pardhan-Ali (2017), adanya

kontak orang tua terhadap anak kecil khususnya bayi akan meningkatkan

risiko infeksi pada orang tua. Namun hal tersebut tentunya jika anak dalam

pola pengasuhan yang memiliki sanitasi lingkungan dan kebersihan diri yang

buruk (Pardhan-Ali, 2017).

Page 85: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

70

Tingginya keracunan pangan yang terjadi pada umur 6 – 59 tahun juga

dapat disebabkan karena tingginya laporan keracunan pangan pada golongan

umur tersebut. Pada rentang umur 6 – 59 tahun mencakup pula umur dewasa

yang telah mampu berperilaku mandiri untuk mencari pengobatan dan tidak

bergantung pada orang lain seperti halnya balita ataupun lansia. Orang

dewasa yang telah mengerti dan memiliki kesadaran akan segera mencari

pengobatan ketika mengalami gejala klinis keracunan pangan.

Hal tersebut didukung oleh pendapat Pardhan-Ali (2017) dimana orang

dewasa memiliki kemampuan untuk mencari pengobatan ke fasilitas

pelayanan kesehatan secara mandiri (Pardhan-Ali, 2017). Hal tersebut juga

didukung oleh kondisi DKI Jakarta sebagai wilayah urban yang didominasi

oleh kota/kabupaten besar yang telah dilengkapi oleh fasilitas umum yang

memudahkan masyarakat untuk mengakses fasilitas pelayanan kesehatan.

Tentunya dengan tingginya perilaku pencarian pengobatan tersebut

menyebabkan kasus keracunan pangan dapat tercatat dengan baik di fasilitas

kesehatan khususnya rumah sakit. Namun di DKI Jakarta, fasilitas kesehatan

tidak hanya rumah sakit dimana Siker Nasional BPOM RI mendapatkan data

keracunan. Tetapi juga terdapat Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas),

klinik kesehatan swasta baik milik dokter maupun tenaga kesehatan lainnya

serta tenaga medis lainnya yang membuka praktek tanpa klinik yang tidak

melaporkan keracunan pangan ke Siker Nasional BPOM RI. Sehingga masih

terdapat kemungkinan banyak kasus keracunan pangan di masyarakat yang

tidak tercatat di rumah sakit.

Page 86: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

71

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini

menunjukkan keracunan pangan lebih banyak terjadi pada individu yang

memiliki sistem imunitas umur 6 – 59 tahun (imunitas tubuh optimal). Namun

masih terdapat kemungkinan banyak kasus keracunan pangan yang belum

tercatat di rumah sakit khususnya karena keracunan pangan masih menjadi

penyakit yang bersifat sporadis. Sehingga upaya untuk mendapatkan data

selengkapnya melalui peningkatan kemandirian masyarakat untuk melakukan

pemeriksaan diri ke rumah sakit perlu dilakukan. BPOM juga sebaiknya

memperluas kerjasama dengan rumah sakit di DKI Jakarta. Sehingga untuk

upaya pencegahan selanjutnya akan lebih efektif dengan menggunakan data

laporan yang lebih lengkap.

6.2.2 Jenis Kelamin

Keracunan pangan di DKI Jakarta lebih banyak terjadi pada jenis

kelamin perempuan dibandingkan laki – laki dengan proporsi 51.4%. Hal

yang sama pula diungkapkan pada penelitian sebelumnya dimana perempuan

lebih banyak mengalami keracunan pangan dengan proporsi 50.4% - 71.4%

dibandingkan jenis kelamin laki-laki (Abd-ELhaleem, 2011; Gumbo, 2015;

Teschke, 2010).

Tetapi berbeda dengan hasil penelitian di Mesir yang disebabkan oleh

penyebab tidak spesifik dan organophosphate (OP), jenis kelamin laki-laki

memiliki proporsi lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu 59%. Serta

keracunan pangan yang disebabkan oleh Clostridium botulinum

menunjukkan proporsi yang sama antara laki – laki dan perempuan (Abd-

ELhaleem, 2011).

Page 87: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

72

Menurut beberapa sumber, perempuan lebih tertarik untuk mencari

informasi kesehatan dan pengobatan ketika mengalami gejala sakit (S. Ek,

2015; Nadal, 2017). Sehingga mengakibatkan kasus pada perempuan lebih

banyak tercatat dari pada kasus laki – laki.

Secara alamiah perempuan memiliki perilaku yang berbeda dengan laki

– laki dalam hal menyampaikan pengalaman dan perasaan. Perempuan akan

lebih terbuka dan mudah menyampaikannya dengan tujuan mendapatkan

solusi terhadap masalah yang dihadapi. Dengan kata lain hal tersebut

merupakan bentuk dari hubungan sosial timbal balik yang terjadi antara

perempuan dimana perempuan akan memperoleh manfaat dari dukungan

sosial sebaik apa yang telah diterimanya. Menyampaikan pengalaman atau

perasaan tersebut merupakan salah satu cara perempuan untuk bertahan dan

mengurangi tekanan serta rasa sakit baik secara fisik maupun psikis.

Namun tidak sedikit perempuan merasa perlu membagikan

pengalaman dan perasaan yang bersifat pribadi atau tabu hanya pada orang

yang dirasa dekat dan terpercaya agar informasi yang tersampaikan tersebut

tidak menjadi konsumsi publik dan menimbulkan stigma buruk terhadapnya.

Tidak sedikit pula perempuan akan lebih memilih untuk mencari seseorang

yang dianggap ahli, seperti dokter, bidan, ataupun ahli gizi.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Peer dkk. (2013) dimana

perempuan lebih sering mengunjungi tempat pelayanan kesehatan untuk

keperluan kesehatan ibu dan anak. Sedangkan laki – laki lebih peduli dengan

pekerjaan dari pada mengunjungi pelayanan kesehatan, terutama ketika jam

kerja sedang berlangsung. (Peer, 2013)

Page 88: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

73

Kebiasaan mengunjungi tempat pelayanan kesehatan yang dilakukan

oleh perempuan menjadikan perempuan memiliki motivasi dan dorongan

lebih kuat dibandingkan laki – laki. Dorongan yang kuat cenderung

menyebabkan seseorang ringan melakukan sesuatu, terutama jika individu

tersebut mengetahui manfaat (benefit) ataupun kerugian (loss) yang

ditimbulkan akibat perilaku tersebut. Sama halnya dalam mencari pengobatan

akibat keracunan pangan, perempuan akan lebih terdorong untuk melakukan

pengobatan karena perempuan memiliki dorongan yang lebih kuat

dibandingkan laki – laki.

Umur 26 – 45 tahun masuk dalam rentang umur 6 – 59 tahun dimana

menurut Departemen Kesehatan (2009), umur 26 – 45 tahun merupakan umur

dewasa. Pada umumnya masyarakat Indonesia, perempuan yang memiliki

umur 26 – 45 tahun telah memiliki status sebagai orang tua khususnya ibu

yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak untuk melakukan

aktivitas. Melalui aktivitas tersebut, biasanya ibu dan anak melakukan kontak

langsung seperti mencium dan bersentuhan anggota badan maupun kontak

tidak langsung.

Kontak lain yang sering dilakukan ibu adalah mengganti popok bayi.

Adapun kontak tersebut dapat berisiko apabila ibu tidak melakukan cuci

tangan setelah mengganti popok. Kemudian tanpa sadar ibu tersebut

melakukan kontak dengan lingkungan termasuk pula kontak dengan pangan.

Serta intensitas kontak ibu terhadap anak tersebut lebih banyak dibandingkan

intensitas bapak terhadap anak. Khususnya pada anak umur kurang dari 6

Page 89: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

74

tahun (balita) yang memiliki imunitas rendah sehingga rentan membawa

patogen.

Menurut Pardhan-ali (2017) kontak langsung ibu dengan anak balita

dapat meningkatkan risiko keracunan pangan pada ibu. Selain itu menurut

Scott, infeksi Salmonella oleh salah satu anggota keluarga terutama anak

kecil yang masih memiliki imunitas tubuh yang belum optimal dapat

menyebabkan anggota keluarga lainnya terinfeksi penyakit yang sama (E

Scott, 1996).

Selain itu pada masyarakat Indonesia, penjamah pangan baik yang

mengolah maupun yang menyiapkan makanan umumnya adalah perempuan,

baik di rumah tangga maupun di tempat lainnya. Hal tersebut terjadi karena

kondisi sosial dan kultural yang mengenal perempuan memiliki tanggung

jawab terhadap dapur dan makanan. Sedangkan laki – laki dianggap memiliki

tanggung jawab bekerja di luar rumah untuk menafkahi keluarga. Walaupun

dalam era sekarang, beberapa perempuan juga memiliki tanggung jawab yang

sama seperti laki – laki untuk bekerja di luar rumah dan beberapa rumah

tangga memiliki asisten rumah tangga, namun tanggung jawab terhadap dapur

dan pangan tetaplah milik perempuan.

Hasil penelitian di Ghana, 100% penjamah pangan pada PKL adalah

perempuan (Mensah, 2002). Sedangkan perbedaan kondisi laki – laki dan

perempuan dijelaskan oleh Buvinic (2006) merupakan perbedaan jenis

kelamin yang bersifat dinamis. Selain dapat dilihat dari aspek biologi, genetik

ataupun fenotip yang selanjunya disebut sebagai sex, terdapat kondisi lain

yang bersifat kultural, sosial ataupun kepercayaan keagamaan. Aspek tersebut

Page 90: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

75

kemudian membentuk perbedaan tanggung jawab antara laki – laki dan

perempuan yang disebut sebagai perbedaan gender (Buvinic, 2006).

Adanya perbedaan gender, mengakibatkan perempuan lebih sering

melakukan kontak dengan pangan mulai dari tempat produksi sampai

penyiapan pangan yang siap dikonsumsi. Pada tempat produksi untuk pangan

seperti produksi tahu/tempe, bakso, es batu, mie dan lain – lain terjadi pada

industri skala kecil, menengah hingga besar. Sedangkan yang menjalankan

proses distribusi adalah kelompok penjual pangan di pasar, toko retail,

supermarket, warung, restoran, rumah tangga dan lain – lain. Pada tahap

distribusi ini biasanya dilakukan proses penyimpanan atau pengolahan

pangan hingga siap disajikan. Sedangkan pada tahap akhir yaitu konsumsi

yang dapat dikonsumsi oleh siapa saja. Pada ketiga tahap tersebut perempuan

memiliki peran yang besar sebagai penjamah pangan. Dengan kata lain pula

perempuan juga memiliki risiko lebih besar dibandingkan laki – laki akibat

kontak yang diciptakan terhadap pangan dalam frekuensi dan durasi yang

lebih banyak.

Penjamah pangan yang memiliki personal hygiene yang buruk dapat

menyebabkan pangan siap konsumsi terkontaminasi. Perilaku tidak mencuci

tangan setelah melakukan kontak dengan pangan mentah dan penggunaan

peralatan masak yang sama pada pangan mentah dan siap saji dapat

menyebabkan kontaminasi, seperti pada daging sapi, babi, daging unggas,

ikan – ikanan, seafood dan sayur – sayuran.

Menurut penelitian sebelumnya, patogen yang dapat diisolasi dari

daging non unggas adalah E.coli dengan jenis Enterogpathogenic E.coli

Page 91: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

76

(EPEC) dan Vero cytotoxin producing E.coli (VTEC) (Newell, 2010).

Sedangkan pada daging ruminansia ditemukan Staphylococcus spp. dan

Salmonella spp. (Saba Courage, 2012, Malangu). Sedangkan patogen yang

dapat ditemukan pada ikan - ikanan antara lain adalah C. diversus, E. coli, C.

luteola, P. fluorescens/putida, E. sakazakii, C. diversus/amalonatica, K.

pneumonia (Saba Courage, 2012). Selain itu pula pada ikan khususnya ikan

yang diasinkan atau diasapi dapat ditemukan bakteri C. Botulinum. Pada

kerang – kerangan bakteri yang sering ditemukan adalah Salmonella typhi

dan Salmonella paratyphi. Pada sayuran juga dapat ditemukan Salmonella,

C. freundii, E. sakazakii, E. coli (enteroaggregative localized) dan pada

rebusan sayuran berdaun ditemukan E. cloacae (Newell, 2010, Saba Courage,

2012).

Namun pada dasarnya keracunan pangan dapat terjadi pada semua

jenis kelamin. Namun yang perlu ditekankan adalah adanya upaya

pencegahan dengan melakukan promosi kesehatan berupa penyuluhan

kepada masyarakat khsusnya perempuan untuk menyimpan, mengolah dan

menyiapkan pangan secara tepat untuk menghindari kontaminasi pangan.

Serta mencuci tangan sesudah dan sebelum menyentuh bahan pangan dan

makanan dan menggunakan peralatan yang berbeda pada saat mengoalah

pangan mentah dan makanan yang matang.

6.2.3 Musim

Hasil penelitian keracunan pangan di DKI Jakarta pada tahun 2016

menunjukkan keracunan pangan lebih banyak terjadi pada musim kemarau

dengan proporsi 62% dibandingkan musim hujan. Sama halnya dalam

Page 92: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

77

penelitian yang dilakukan oleh Ahmed (2015) dan Teschke (2010), keracunan

pangan banyak terjadi pada musim kemarau dengan masing-masing proporsi

26.7 % dan 25.6%.. (Ahmed, 2015 ; Teschke, 2010).

Penelitian lain yang juga dilakukan di negara dengan 2 musim,

keracunan pangan banyak terjadi pada akhir musim kemarau dan awal musim

hujan. Seperti kasus kolera yang endemis di kota Ghana dimana keracunan

pangan dapat diprediksi akan terjadi pada permulaan musim hujan. Adanya

perubahan iklim yang disebabkan oleh meningkatnya frekuensi dan

ekstrimnya presipitasi dapat berdampak pada peningkatan terjadinya risiko

kontaminasi penyakit yang disebabkan oleh pangan (Ebi, 2006). Peningkatan

perisipitasi tersebut tentunya juga akan meningkatkan volume air.

Peningkatan volume air tanpa adanya sistem drainase yang baik berpotensi

menyebabkan banjir dan sistem air yang kurang baik serta sistem latrin yang

meluap (overflow) (Malangu, s.a.; Osei-Tutu, 2016). Pencemaran terjadi pada

sumber air yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup

seperti memasak, mencuci, mandi dan lain sebagainya. Jika air yang tercemar

tersebut tertelan baik secara langsung maupun melalui kontak pada pangan

dapat menyebabkan keracunan pangan seperti pada kasus kolera.

Pada musim kemarau volume air berkurang dibandingkan musim

hujan. hal tersebut disebabkan oleh intensitas hujan yang mulai berkurang.

Berkurangnya volume air tersebut secara tidak sadar mempengaruhi perilaku

individu dalam menjaga kebersihan diri. Sehingga individu akan berhemat

dalam menggunakan air baik untuk mencuci tangan setelah menggunakan

toilet, menjamah pangan, sesudah ataupun sebelum mengonsumsi pangan.

Page 93: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

78

Pada individu yang sudah mencuci tanganpun masih dapat ditemukan

organisme patogen. Dengan kata lain individu yang tidak mencuci tangan

atau hanya mencuci tangan hanya dengan air tanpa menggunakan sabun

masih memiliki risiko tinggi mengalami keracunan pangan. Namun yang

perlu diperhatikan adalah pada individu yang telah mencuci tangan dengan

menggunakan sabun namun masih dapat ditemukan patogen pada usapan

tangannya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa prosedur mencuci tangan

yang dilakukan kurang tepat.

Seperti pada pengujian laboratorium penjamah makanan yang

dilakukan pada penelitian sebelumnya yaitu pada pengujian usapan tangan.

ditemukan masing-masing 60% dan 100% bakteri staphylococcus aureus

pada telapak tangan dan kuku (Gumbo, 2015). Sedangkan menurut Mensah

(2002), patogen penyebab diare ditemukan pada 11 dari 78 ibu yang telah

mencuci tangan. Dan pada anak – anak yang menderita diare, 6 dari 42 ibu

dan 37 dari 50 anak ditemukan enterotoxigenic E. coli (ETEC) pada

tangannya.

Sedangkan pada negara yang memiliki 4 musim seperti pada penelitian

yang dilakukan oleh Siiegman-Igra (2002) di Israel infeksi Listeria

monocytogenes terjadi sepanjang tahun. Namun yang paling sering terjadi

pada musim panas dan musim gugur dengan 70% kasus terjadi antara bulan

Mei sampai Oktober (Siegman-Igra, 2002). Berbeda dengan penelitian di

Australia keracunan pangan mencapai puncak pada akhir musim semi dan

musim dingin. Serta penelitian lain menyebutkan keracunan pangan banyak

terjadi pada awal musim panas (Bi, 2008; J. D. a. A. R. Greig, 2009).

Page 94: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

79

Suhu lingkungan juga mempengaruhi pertumbuhan beberapa patogen

keracunan pangan. Menurut Semenza (2009) dan Lake (2009), suhu

lingkungan yang semakin meningkat juga berperan penting dalam

menentukan perilaku manusia terkait pangan. Semakin tinggi suhu

lingkungan dapat meningkatkan risiko kesalahan dalam menjamah pangan.

Selain itu pula organisme patogen dapat berreplikasi lebih tinggi di

lingkungan yang bersuhu tinggi seperti pada Campylobacter dan Salmonella.

Keduanya berreplikasi secara signifikan dengan meningkatnya temperatur

dalam periode mingguan (lake, 2009; Semenza, 2009).

Asumsi tersebut sama seperti hasil penelitian di Kanada menyebutkan

bahwa Campylobacteriosis dan Salmonelosis memiliki signifikansi nilai P

kurang dari 0.05 dan cenderung terjadi pada akhir musim panas dan

permulaan musim gugur. Meskipun giardiasis tidak memiliki signifikansi

nilai P kurang dari 0.05, namun juga banyak menyebabkan keracunan pangan

pada musim yang sama (Pardhan-Ali, 2017). Hal yang sama pula pada hasil

penelitian yang dilakukan di Grenade dimana terjadi peningkatan kasus diare

dan muntah pada musim kemarau (Glasgow, 2013).

Namun pada penelitian ini tidak dapat diketahui jenis patogen penyebab

keracunan pangan yang nanti dapat dikaitkan dengan faktor lingkungan

karena adanya keterbatasan data. Sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk

peningkatan laporan adalah BPOM nasional berkoordinasi dengan BPOM

pada setiap provinsi sebagai bentuk disentralisasi bidang kesehatan. BPOM

provinsi dapat melakukan penyelidikan ke rumah sakit secara langsung

kepada kasus keracunan pangan. Keuntungan lainnya yang didapat adalah

Page 95: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

80

dapat melakukan pengambilan sampel yang dibutuhkan untuk dilakukan uji

laboratorium.

Terdapat perbedaan pada beberapa hasil penelitian tersebut. Namun

yang penting untuk ditekankan adalah pencegahan keracunan pangan dengan

melakukan prosedur penyimpanan dan pengolahan pangan yang tepat. Serta

akan lebih baik jika dalam pencatatan kasus pelaporan karcunan pangan dapat

diketahui pula jenis organisme patogen penyebab keracunan pangan yang

berimplikasi pada sasaran pencegahan yang lebih efektif. Oleh karena itu

Siker Nasional BPOM – RI perlu melakukan kerjasama dengan laboratorium

untuk melakukan uji laboratorium pada sampel.

6.2.4 Jenis Pangan

Keracunan pangan di DKI Jakarta pada tahun 2016 banyak disebabkan

karena konsumsi seafood dan ikan – ikanan dengan proporsi 52.4% dari 208

kasus keracunan pangan. Seafood dan ikan – ikanan sendiri merupakan hewan

yang hidup di air seperti kepiting, kerang – kerangan, udang, semua jenis ikan

dan lain sebagainya. Pada dasarnya seafood dan ikan – ikanan adalah sumber

gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, namun dalam kondisi tertentu seperti

perilaku yang tidak benar dalam pengolahan ataupun personal hygiene yang

tidak baik dapat mengubah fungsi seafood dan ikan – ikanan menjadi vektor

penyakit.

Adapun salah satu perilaku tersebut adalah kebiasaan masyarakat dalam

mengolah ikan dengan cara dibakar ataupun mengonsumsi ikan dalam

keadaan mentah. Tentunya pengolahan seperti dibakar, diasapi ataupun

disajikan dalam keadaan mentah akan meningkatkan risiko keracunan

Page 96: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

81

pangan. Karena sebenarnya proses pengolahan tersebut bukanlah termasuk

pengolahan pangan yang adekuat dimana harus mencapai suhu tertentu.

Menurut beberapa ahli suhu yang disarankan dalam pengolahan ikan -

ikanan adalah 62.8 ºC – 74 ºC (CDC, 2017; Iwamoto, 2010). Pembakaran

yang dilakukan tersebut tidak membuat ikan atau seafood matang secara

keseluruhan. Kondisi luar ikan tersebut dapat terlihat matang atau hangus,

namun bagian dalam ikan tersebut belum matang secara sempurna.

Hal tersebut juga didukung oleh penelitian lain dimana pengolahan

yang kurang adekuat pada ikan dapat menimbulkan keracunan pangan (HP,

s.a.). Dan beberapa patogen yang dapat ditemukan adalah Salmonella,

Shigella spp., Clostrodium botulinum, Staphylococcus aureus, Clostridium

perfringens, C. diversus, E. coli, C. luteola, P. fluorescens/putida, E.

sakazakii, C. diversus/amalonatica, K. pneumonia dan Bacillus aureus.

Beberapa virus juga menjadi dapat menginfeksi ikan seperti Norovirus, dan

Hepatitis A. Jenis parasit antara lain cacing dan protozoa. Sedangkan pada

ikan yang cara mengolahnya hanya diasinkan atau diasapi dapat ditemukan

bakteri C. Botulinum, dan pada kerang – kerangan bakteri yang sering

ditemukan adalah Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi. (Iwamoto,

2010; Saba Courage, 2012). Oleh karena itu konsumsi ikan dan seafood tanpa

dimasak harus dihindari karena beberapa organisme tersebut masih ada dan

terus mengalami perkembangbiakan jika terdapat pada lingkungan yang

tepat.

Sama halnya yang terjadi di Amerika pada tahun 1983 – 1992 dan

mengakibatkan 99% kematian karena konsumsi seafood sebagai jenis pangan

Page 97: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

82

penyebab keracunan pangan terbanyak ketiga (L. a. R. J. EK, 1997). Selain

mengandung patogen yang menjadi alasan ikan sebagai penyebab keracunan

pangan adalah pada beberapa jenis ikan ditemukan zat kimia yang berbahaya

bagi kesehatan manusia.

Zat kimia tersebut seperti scromboid dan ciguatera toxin. Keracunan

pangan akibat scromboid toxin mengindikasikan adanya konsumsi ikan yang

memiliki tingkat histamin tinggi. Keracunan akibat histamin disebabkan

konsumsi ikan tidak segar setelah disimpan dalam penyimpanan yang kurang

tepat misalnya menyimpan dalam suhu ruangan dalam waktu yang lama.

Histamin merupakan produk dekarboksilasi histidin di otot ikan dan

diindukasi oleh bakteri gram negatif yang hidup di saluran penceranaan ikan

tersebut. Contoh ikan yang tinggi histamin adalah ikan tuna, tenggiri, marlin,

escolar fish, mahi – mahi dan ikan mackerel. (Stratta 2012).

Pendapat yang sama pula pada penelitian lain bahwa ikan asap memiliki

risiko menyebabkan keracunan pangan jika terkontaminasi patogen pada saat

proses penyimpanan, penyiapan dan penyajian yang tidak tepat. Pada

penelitian tersebut juga diketahui bahwa ikan tuna mentah akan busuk setelah

6 hari penyimpanan dalam suhu 5 – 7 °C. Pada penyimpanan di lemari

pendingin tersebut, Listeria monocytogenes tidak mengalami pertumbuhan

secara signifikan. Dan Salmonella dan Listeria monocytogenes menurun

setelah minggu 12 pada lemari pembeku dengan suhu -18 °C (Liu, 2016).

Sedangkan racun ciguatera diproduksi oleh sejenis alga yang terdapat

pada ikan seperti ikan kakap merah yaitu Gambierdiscus toxicus. Dimana

orang yang keracunan ciguatera akan mengalami gejala berupa mual, muntah,

Page 98: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

83

gejala yang menyerang syaraf lainnya seperti kesemutan pada jari yang

menetap sampai beberapa hari sampai tahun (CDC; HP, s.a.). Terdapat pula

ikan lainnya yang juga berracun seperti ikan buntal yang memproduksi racun

buntal. Dan beberapa jenis kerang juga memproduksi racun yang menyerang

sistem syaraf (HP, s.a.).

Selain habitat ikan sebagai lingkungan hidup seafood dan ikan – ikanan

juga ikut mempengaruhi kondisi seafood dan ikan tersebut. Lingkungan yang

kotor seperti lubang galian atau sungai yang teraliri tinja, sungai atau laut

yang menjadi tempat pembuangan limbah, laut yang tercemar sampah dan

lain – lain dapat menkontaminasi tubuh seafood dan ikan yang menjadi

pangan manusia (Iwamoto, 2010). Pada penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Reeve (1989), KLB keracunan pangan terjadi akibat konsumsi

udang mentah yang dipanen dari air yang mengandung limbah.

Di beberapa negara berkembang seperti Indonesia pembuangan limbah

dari industri cenderung belum terolah secara tepat, sehingga limbah buangan

industri tersebut bersifat toksik dan mencemari lingkungan. Salah satu bahan

kimia yang mencemari lingkungan adalah merkuri. Lingkungan yang

tercemar tersebut membentuk akumulasi konsentrasi patogen, toksik atau

bahan berbahaya lainnya dalam tubuh ikan secara terus menerus. Menurut

Maruyama (2012) individu yang mengonsumsi ikan dengan kadar methyl

mercury yang tinggi (kurang lebih 200 μg/liter) berhubungan dengan

kerusakan syaraf pada kasus KLB keracunan pangan yang terjadi di Jepang

dan Irak (Maruyama, 2012).

Page 99: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

84

Sedangkan patogen keracunan pangan juga banyak ditemukan di

pelabuhan tempat penangkapan dan pengumpulan ikan atau seafood sebelum

didistribusikan kepada distibutor tahap selanjutnya yaitu pedagang dan

konsumen. Patogen yang banyak ditemukan adalah Vibrio gram negatif.

Bakteri ini dapat berkembang biak secara optimal dalam air memiliki

temmperatur hangat (Iwamoto, 2010).

Dan terdapat KLB keracunan pangan diakibatkan oleh konsumsi

seafood yang mengandung calicivirus, hepatitis A virus dan Salmonella

enterica serotype typhi (Iwamoto, 2010). Menurut Painter (2013) keracunan

pangan akibat konsumsi ikan 60% ditemukan biotoksin khususnya racun

ciguatera, sedangkan pada tiram ditemukan bakteri V. vulnivicus.

Namun terdapat perbedaan dengan penelitian yang dilakukan di United

State dimana kasus keracunan pangan yang menyebabkan penderita harus

menjalani perawatan di rumah sakit, 46% diakibatkan oleh konsumsi produk

hewan seperti daging unggas, telur, daging sapi ataupun daging hewan

lainnya. Sedangkan 41% diakibatkan oleh konsumsi produk tumbuhan seperti

sayuran berdaun, buah, minyak sayur ataupun produk tumbuhan lainnya serta

6% karena mengonsumsi ikan – ikanan dan seafood. Selain itu keracunan

pangan ini pula dapat menyebabkan kematian. Kurang lebih terdapat 629

kasus kematian setiap tahunnya yang disebabkan oleh konsumsi produk

hewan (43%), produk tanaman (25%) dan ikan – ikanan serta seafood (6%)

(Painter, 2013)

Di samping itu konsumsi seafood dan ikan – ikanan dan megakibatkan

keracunan pangan banyak terjadi pada perempuan Adapun dalam dunia

Page 100: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

85

kesehatan perempuan sering mendapatkan perhatian yang khusus karena

dalam kehidupannya terdapat beberapa fase yang berbeda dibandingikan laki

– laki. Seperti masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi dan kehamilan.

Oleh karena itu perempuan dianjurkan untuk mengonsumsi beberapa jenis

pangan serta suplemen khusus seperti tablet tambah darah dan jenis seafood

dan ikan – ikanan. Dibandingkan daging sapi dan kambing, ikan dan

sejenisnya adalah pangan yang memiliki harga yang relatif murah, sehingga

kemungkinan masyarakat untuk mengonsumsi ikan jauh lebih besar

dibandingkan daging sapi, kambing ataupun daging merah lainnya.

Menurut Bloomingdale (2010) ikan – ikanan dan seafood merupakan

sumber gizi hewani yang dapat menyediakan asam lemak omega – 3 yang

baik untuk perkembangan saraf janin (Bloomingdale, 2010). Hal tersebut juga

sama seperti yang diungkapkan dalam penelitian di India dimana perempuan

dianjurkan untuk mengonsumsi ikan dua porsi lebih banyak dibandingkan

laki – laki sehingga hal tersebut yang menyebabkan perempuan lebih banyak

mengalami keracunan pangan akibat konsumsi ikan (Indranil, 2016).

Sedangkan pada penelitian ini juga terdapat jenis pangan yang tidak

diketahui. Hal tersebut tidak dketahui karena pada saat pengumpulan data di

rumah sakit, kondisi pasien yang tidak mengetahui atau tidak mengingat jenis

pangan yang telah dikonsumi pada beberapa jam sampai beberapa hari yang

lalu. Selain itu penyebab lainnya adalah petugas kesehatan di Instalasi Gawat

Darurat (IGD) yang tidak melengkapi formulir catatan medis kasus

keracunan, khususnya pada bagian keracunan pangan. Dengan demikian

sebaiknya petugas kesehatan tersebut sebaiknya melakukan penggalian

Page 101: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

86

informasi untuk menghindari missing data kepada pasien namun tetap

memperhatikan kondisi pasien. Atau dapat pula melakukannya kepada

keluarga ataupun teman yang berada di sekitar pasien keracunan pangan.

Selain kondisi keracunan pangan seperti pada penelitian ini juga

terdapat kondisi lain yaitu Kejadian Luar Biasa (KLB) dimana menurut

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014

tentang Kejadian Luar Biasa. KLB merupakan kondisi meningkatnya

kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secra epidemiologis pada

populasi di daerah tertentu pada kurun waktu tertentu yang dikhawatirkan

akan menjurus menjadi wabah. Meskipun memiliki perbedaan kondisi

dengan penelitian ini, namun perlu diperhatikan adanya persamaan pada

faktor – faktor yang mempengaruhi, penyebabnya ataupun sumbernya.

Pada KLB keracunan pangan yang telah dilakukan investigasi

menunjukkan adanya kontaminasi dari tangan penjamah pangan yang kurang

bersih sehingga menjadi sumber patogen penyebab keracunan pangan (Abd-

ELhaleem, 2011). Penjamah pangan merupakan risiko yang secara signifikan

menyebabkan tersebarnya infeksi enteric fever di Kumasi. Hal tersebut dapat

terjadi lebih buruk lagi dengan terjadinya keracunan pangan di kota dimana

penjamah pangan memiliki pengetahuan keamanan pangan yang rendah

(Saba Courage, 2012). Selain itu adanya kebiasaan masyarakat yang

memiliki kesadaran yang rendah dalam kebersihan pangan meningkatkan

risiko keracunan pangan. Hasil penelitian Saba (2012), buah-buahan

merupakan pangan yang berisiko menyebabkan keracunan karena masyarakat

Page 102: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

87

mengonsumsi buah tanpa proses pemanasan dan biasanya proses pencucian

yang kurang bersih (Saba Courage, 2012).

Sehingga sebagai upaya pencegahan perlu dilakukan penyimpanan,

pengolahan dan penyajian panga yang tepat dan adekuat. Melakukan

penyimpanan secara terpisah pada pangan mentah dan makanan yang telah

matang, pengolahan dengan suhu yang tepat dan segera mengonsumsi

makanan yang disajikan akan mengurangi risiko keracunan pangan. Tujuan

pengolahan pangan secara adekuat adalah untuk mengurangi jumlah

organisme patogen seperti bakteri ataupun virus sehingga petogenitas

organisme tersebut berkurang dan tidak menyebabkan keracunan pangan. (IFH, 2014).

Distribusi suhu dan pemanasan pada makanan juga mempengaruhi

tumbuhnya bakteri dalam makanan. Seperti Tavakoli et.al (2009) dalam

penelitiannya yang bertujuan untuk mengevaluasi bakteri, bahan kimia dan

kualitas makanan yang telah dimasak dengan peralatan tradisional maupun

modern menunjukkan bahwa memasak dengan suhu yang tinggi efektif dapat

mengurangi kontaminasi. Namun tentunya juga perlu diperhatikan

kandungan gizi dalam makanan sehingga tidak sampai rusak oleh suhu yang

terlalu tinggi (R, 2013).

Selain itu dalam pengumpulan data kasus keracunan pangan sebaiknya

terdapat pula variabel data jenis penyakit dan patogen penyebab keracunan

pangan seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Osei-tutu (2016) di

Ghana, Aboderin dan Bankole (2009) di Nigeria, Pardhan-Ali (2017) di

Kanada, Adak (2017) di Inggris, Scallan (2007), Gumbo (2015) di Zimbabwe,

Wang (2007) di Cina dan Kirk (2014) di Circa. Hal tersebut tentunya akan

Page 103: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

88

sangat bermanfaat untuk menentukan upaya pencegahan yang akan

dilaksanakan baik dari aspek klinis dan preventif promotif.

Perlu juga adanya kerjasama antara surveilans, pemeriksaan

laboratorium sampel pangan, tinja ataupun sampel lainnya serta badan

pemeriksaan pangan untuk upaya pencegahan keracunan pangan. Di

Indonesia BPOM adalah badan yang bertugas untuk mengawasi keamanan

pangan, namun dalam pelaksanaan sistem surveilans keracunan pangan

sendiri belum berjalan secara optimal. Hal tersebut disebabkan karena

pelaksanaan surveilans keracunan pangan belum memiliki regulasi yang

mengikat sehingga berakibat pada pelaporan data keracunan pangan secara

sukarela oleh rumah sakit, termasuk pula rumah sakit di DKI Jakarta.

Pelaporan yang dilakukan secara sukarela cenderung menyebabkan beberapa

rumah sakit enggan melaporkan kasus keracunan pangan sehingga terdapat

kemungkinan terdapat kasus di masyarakat yang tidak tercatat dalam laporan

kasus Siker Nasional BPOM – RI. Tidak adanya regulasi juga berdampak

pada peran laboratorium yang lemah sehingga pemeriksaan secara biologi

maupun kimia tidak dilakukan.

Menurut Malangu, tidak semua negara memiliki laboratorium untuk

menentukan kontaminan pada pangan penyebab keracunan serta terdapat

beberapa negara pula yang telah memiliki laboratorium namun peran tersebut

belum dapat berjalan secara optimal. Hal tersebut disebabkan karena

kurangnya sumber daya manusia, sumber daya alam dan pembiayaan. Seperti

yang terjadi di Afrika dimana kompetensi sumber daya manusia masih

terbatas dalam pengujian bahan kimia maupun racun alami yang

Page 104: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

89

menkontaminasi pangan (Malangu, s.a.). Keterbatasan kemampuan tersebut

tentunya dapat mengganggu sistem surveilans berbasis laboratorium.

Sehingga dalam upaya pencegahan keracunan pangan perlu dilakukan

korrdinasi dengan BPOM pada setiap provinsi untuk melakukan investigasi

secara aktif ke rumah sakit pada wilayah masing – masing. hal tersebut

diharapkan dapat mengurangi adanya ketidaklengkapan laporan. Selain itu

dengan adanya peran aktif BPOM provinsi tersebut peningkatan berupa

kemampuan untuk mengumpulkan data terkait etiologic atau jenis organisme

atau bahan kimia penyebab keracunan pangan dapat dilakukan. Namun hal

tersebut tentunya harus disertai dengan peningkatan kemampuan petugas

laboratorium melalui pelatihan.

6.2.5 Sumber Keracunan pangan

Pada dasarnya keracunan pangan dapat terjadi di semua tempat dimana

pangan disimpan, diolah dan disajikan, seperti di asrama, panti jompo,

penjara dan rumah sakit. Adapun keracunan pangan di DKI Jakarta tahun

2016 banyak bersumber dari rumah tangga dengan proporsi 46.2%. Dan hal

yang sama pula terjadi pada golongan umur yang memiliki imunitas opimal,

jenis kelamin perempuan, dan musim kemarau yang banyak mengalami

keracunan pangan bersumber dari rumah tangga dengan proporsi 44.27%,

45.8% dan 45.7%.

Penelitian ini sama dengan penelitian di China dan Ontario dimana

rumah tangga menjadi sumber keracunan pangan utama dengan proporsi

24.4% dari 2387 kasus baru dan 40.1% (J. D. Greig, et.al, 2001; Xue, 2011).

Pada penelitian ini rumah tangga sebagai sumber keracunan pangan

Page 105: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

90

didefinisikan sebagai tempat tinggal individu atau sekelompok individu

tertentu yang memiliki dapur secara pribadi dan pengolahan pangan serta

penyajian makanan dilakukan pada rumah tangga tersebut yang berpotensi

menimbulkan keracunan pangan (IFH, 2014).

Di dalam rumah tangga tersebut terdiri dari keluarga yang merupakan

komunitas terkecil dalam kelompok konsumen yang memiliki keterikatan

yang kuat antara satu dan yang lain. Selain itu rumah merupakan tempat yang

memiliki berbagai macam fungsi yang baik secara langsung maupun tidak

mempengaruhi status kesehatan penghuninya khususnya penyakit akibat

pangan.

Namun menurut Frederick (2006), dari tahun 1998 – 2004 KLB

keracunan pangan yang tercatat dalam data surveilans Centers of Disease

Control (CDC) sebagian besar didapatkan dari restoran (52%), rumah tangga

(18%), sekolah (4%), tidak diketahui (4%) dan lainnya (22%). Sedangkan

penelitian lain yang memiliki hasil berbeda, seperti yang pernah dilakukan di

Qatar dimana keracunan pangan banyak terjadi di acara terbuka (42.2%),

dapur (23.1%), sekolah (0.1%) dan lainnya (34.6%) (Ahmed, 2015). Dan

penelitian di China keracunan pangan banyak disebabkan oleh bakteri karena

mengonsumsi pangan yang disediakan oleh jasa penyedia makanan seperti

katering, restoran maupun warung dengan proporsi 31.05%, dan makanan

olahan rumah tangga sebesar 26.25% (Wang, 2007).

Sedangkan penelitian lainnya yang dilakukan di Ghana, 60% dari 951

ibu memberikan makanan yang dijual oleh PKL kepada anaknya (Mensah,

2002). Risiko tersebut timbul karena kondisi PKL baik tempat ataupun

Page 106: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

91

peralatan yang terbatas serta penjamah pangan yang kurang memperhatikan

kebersihan. Menurut Rane (2011) tempat yang terbatas mengakibatkan

pengolahan pangan kurang tepat dan terbatasnya tempat mencuci peralatan

memasak maupun tangan penjamah pangan sehingga kontaminasi makanan

oleh patogen Salmonella, Shigella dan E. coli dapat terjadi dari tubuh manusia

dan lingkungan. Mencuci bahan pangan mentah yang kurang adekuat seperti

mencuci sayur, buah ataupun lainnya karena terbatasnya sumber air dapat

menyebabkan patogen E. coli, Streptococcus, Salmonella masih terdapat pada

bahan pangan tersebut. Dan risiko lainnya akibat penyimpanan, pemanasan

kembali dan kebersihan penjamah pangan yang kurang (Rane, 2011).

Penelitian sebelumnya menunjukkan jenis pangan yang banyak

menyebabkan keracunan pangan di rumah tangga adalah daging mentah dan

unggas, telur, susu yang tidak terpasteurisasi dan ikan – ikanan mentah (IFH,

2014). Namun pada penelitian ini jenis pangan yang menjadi penyebab

keracunan pangan di rumah tangga adalah seafood dan ikan – ikanan dengan

proporsi 60.4%. Seafood dan ikan – ikanan ini adalah sumber gizi kompleks

yang terjangkau untuk dikonsumsi oleh masyarakat dengan berbagai tingkat

sosial ekonomi. Namun hal tersebut dapat menjadi potensi penyebab

keracunan pangan karena dalam mengolah seafood dan ikan – ikanan

tersebut, penjamah pangan mengabaikan penyimpanan, pengolahan atau pun

penyajian yang adekuat. Penggunaan air terkontaminasi untuk membersihkan

ataupun memasak juga ikut mempengaruhi jenis patogen yang terdapat dalam

pangan. Air yang bersih dan layak untuk dikonsumsi adalah air yang tidak

mengandung koliform yang diketahui melalui uji laboratorium.

Page 107: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

92

Personsal hygiene penjamah pangan yang buruk seperti perilaku tidak

mencuci tangan sebelum dan sesudah makan ataupun menjamah pangan,

setelah menggunakan toilet, kontak dengan orang lain, bermain dengan

hewan peliharaan ataupun lainnya juga menentukan risiko seseorang untuk

mengalami keracunan pangan. Banyak organisme yang dapat ditemukan di

lingkungan. Khususnya hewan peliharaan yang notabenenya tidak memiliki

kemampuan untuk membersihkan diri sendiri dapat menjadi sumber patogen

bagi pemiliknya. Masyarakat DKI Jakarta yang merupakan masyarakat

modern juga memiliki kegemaran untuk memelihara hewan tertentu di dalam

rumah seperti kucing, anjing ataupun jenis reptil. Namun pada penelitian ini

tidak ditemukan data yang mendukung terkait hal tersebut.

Adanya asumsi – asumsi tersebut didukung oleh penelitian sebelumnya

dimana penggunaan air yang terkontaminasi, kontak orang ke orang oleh

anggota keluarga ataupun sumber lainnya yang tidak teridentifikasi dapat

menjadi penyebab keracunan pangan (J. D. Greig, et.al, 2001). Serta pada

hewan peliharaan di rumah seperti kucing dan anjing dapat ditemukan

Campylobacter (ELizabeth Scott, 2003).

Sedangkan sumber lain – lain dan sumber yang tidak diketahui

cenderung memiliki proporsi yang rendah. Sumber lain – lain adalah sumber

pangan yang berasal selain dari rumah tangga, jasa boga dan PKL. Dengan

demikian yang termasuk ke dalam sumber lain – lain adalah dari sekolah,

pasar, industri pangan dan lain – lain. Sedangkan adanya sumber keracunan

pangan yang tidak diketahui disebabkan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit

yang tidak melengkapi formulir catatan medis kasus keracunan di IGD. Selain

Page 108: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

93

itu juga pasien yang lupa atau tidak mengetahui jenis pangan yang

dikonsumsi selama beberapa jam sampai beberapa hari terakhir. Oleh karena

itu petugas kesehatan disarankan untuk tetap menggali informasi sumber

keracunan pangan kepada anggota keluarga atau teman yang sedang

mendampingi dan ada ketika korban sedang mengonsumsi pangan.

Di samping itu masih terdapat kemungkinan bias dalam pengambilan

data yang dilakukan oleh petugas kesehatan rumah sakit melalui anamnesa.

Hal tersebut karena pasien tidak mengingat, lupa dan dalam beberapa kasus

juga pasien tidak begitu memahami pertanyaan yang diberikan oleh petugas

kesehatan. Di samping itu petugas kesehatan yang melakukan pengumpulan

data tersebut dapat kurang memahami instrumen yang digunakan. Petugas

kesehatan tersebut perlu diberikan pelatihan terkait instrumen yang

digunakan. Dan instrumen yang digunakakan dalam penelitian ini sangatlah

terbatas. Instrumen yang digunakan adalah instrumen untuk mengetahui

keracunan secara umum. Hal tersebut karena BPOM dan rumah sakit sendiri

belum melakukan penyusunan ulang instrumen yang khusus digunakan untuk

mengetahui informasi secara mendalam kercunan pangan. Sehingga data

yang diperoleh sangat terbatas khususnya pada variabel tempat keracunan

pangan.

Pada dasarnya keracunan pangan dapat terjadi disemua tempat dimana

pangan disimpan, diolah dan disiapkan. Namun berdasarkan penelitian ini

rumah tangga sebagai sumber utama keracunan pangan menjadi sasaran

utama dalam menerima intervensi pencegahan keracunan pangan, terutama

ibu atau perempuan yang menjadi penjamah pangan utama. Karena ibu atau

Page 109: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

94

perempuan memiliki fungsi sentral dalam keluarga sehingga dengan

penyuluhan informasi yang ditujukan diharapkan dapat mempercepat

informasi baik pada keluarga ataupun lingkungan masyarakat. Selain itu juga

perlu dilakukan penyesuaian media agar pesan pencegahan tersebut dapat

diterima oleh masyarakat.

6.3 Distribusi Sumber Keracunan Pangan di DKI Jakarta Tahun 2016

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara jenis kelamin laki – laki

dan perempuan mengalami keracunan pangan karena mengonsumsi seafood

dan ikan – ikanan (laki – laki 43.6% dan perempuan 60.7%) serta multiple food

(laki – laki 19.8% dan perempuan 11.2%). Selain itu pula jenis pangan

makanan kecil juga menjadi penyebab keracunan pada perempuan yaitu 11.2%.

Dan pada penelitian yang dilakukan oleh Shiferaw (2012) diketahui bahwa

perempuan lebih banyak mengonsumsi daging ayam (69.5%), ikan – ikanan

mentah (12.5%), sayuran segar (>26.2%), dan buah – buahan (>6.7%).

Penelitian yang dilakukan Wennberg (2012) dan Jahns (2014),

menunjukkan jenis kelamin perempuan lebih banyak mengonsumsi ikan

dibandingkan laki – laki (Jahns, 2014; Wennberg, 2012). Serta penelitian lain

menyebutkan bahwa perempuan lebih banyak mengonsumsi pangan yang

berserat dibandingkan laki – laki. Dan laki – laki cenderung lebih banyak

mengonsumi pangan yang tinggi lemak (Arganini, s.a.; Shiferaw, 2012;

Wardle J, 2004).

Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang menggunakan data surveillans

aktif penyakit akibat pangan (Foodborne Diseases Active Surveillance

Network), jenis kelamin laki – laki lebih banyak mengonsumsi pangan

Page 110: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

95

berrisiko tinggi seperti hamburger atau sandwich yang kurang matang (7.3%),

tiram mentah (1.9%), susu yang tidak terpasteurisasi (2.4%), keju yang terbuat

dari susu yang tidak terpasteurisasi (3.5%), dan telur mentah atau setengah

matang (12.5%). Sedangkan jenis lainnya adalah udang (32.1%), sushi atau

sashimi (7.4%), daging bebek (3.1%), dan babi (47.4%) (Shiferaw, 2012).

Pada referensi lain menyebutkan babhwa perempuan lebih banyak

mengonsumsi makanan sehat (berserat) karena perempuan (35%) lebih

mengetahui konsumsi makanan tertentu akan berdampak pada outcome

tertentu bagi kesehatan dibandingkan laki – laki (28%). Hal tersebut didukung

oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Pirouznia (2001) pada siswa sekolah

menengah pertama, nilai pengetahuan terkait nutrisi lebih tinggi pada siswa

perempuan dibandingkan laki – laki (Shiferaw, 2012). Selain itu perempuan

memilih mengonsumsi jenis pangan tertentu karena ingin mengurangi berat

badan (Elmadfa, 2005).

Sejak usia remaja perempuan lebih perhatian terhadap pangan dan

makanan yang dikonsumsi oleh keluarga dibandingkan laki – laki. Hal

tersebutlah yang menjadikan pada usia dewasa perempuan mampu untuk

memperhatikan dan memberikan makanan yang lebih sehat untuk dikonsumsi

diri sendiri (Prattala, 2006; Wardle J, 2004). Di masyarakat Indonesia yang

memiliki budaya penjamah pangan adalah perempuan, maka hal tersebut pula

yang menyebabkan perempuan dari usia muda sudah dekat dengan proses

pengolahan pangan atau pun lainnya yang berhubungan dengan pangan dan

makanan. Selain secara sengaja diajarkan oleh orang tua (ibu), hal tersebut

terkadang merupakan sifat alamiah perempuan. Dengan demikian dari kegiatan

Page 111: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

96

tersebut anak perempuan dapat mengetahui nutrisi pangan walaupun hanya

sedikit.

Penyebab individu mengonsumsi pangan tidak selalu disebabkan karena

lapar atau kebutuhan biologi, makanan favorit ataupun lainnya. Dalam

beberapa kondisi terkadang pilihan terhadap makanan tertentu terjadi tanpa

disadari. Adanya persepsi sensori juga mempengaruhi seseorang untuk

menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi (Arganini, s.a.). Pada

masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia, pilihan tersebut juga

dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, budaya, religious dan demografi. Seperti

pada penganut agama islam yang melarang makan daging babi, anjing ataupun

lainnya yang menjijikkan, akan berbeda dengan penganut agama lain yang

tidak membatasi umatnya untuk mengonsumsi jenis pangan tertentu.

Menurut Bloomingdale (2010) ikan – ikanan dan seafood merupakan

sumber gizi hewani yang dapat menyediakan asam lemak omega – 3 yang baik

untuk tubuh (Jahns, 2014). Serta ikan – ikanan tertentu memiliki harga yang

relatif lebih murah dibandingkan daging merah (daging sapi) dan daging

unggas. Sehingga peluang masyarakat untuk mengonsumsi ikan – ikanan akan

lebih besar. Selain itu pula kondisi DKI Jakarta yang dekat dengan laut juga

lebih memudahkan masyarakat DKI Jakarta untuk mengonsumsi seafood dan

ikan – ikanan.

Konsumsi ikan atau seafood di Eropa dipengaruhi oleh umur, pendapatan

dan pendidikan (Jahns, 2014; Pieniak, 2010; Verbeke, 2005). Pada penelitian

terkait konsumsi ikan dan seafood diketahui masyarakat yang memiliki

pendapatan di bawah ambang kemiskinan 34.66% (5340 orang) mengonsumsi

Page 112: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

97

ikan dan seafood serta 51% (7869 orang) untuk yang berpendapatan di atas

batas kemiskinan (Jahns, 2014). Namun dalam penelitian ini pendapatan tidak

dapat diukur karena sumber data tidak melakukan pengukuran tersebut.

Ikan dan seafood selain menjadi sumber gizi bagi manusia juga dapat

berpotensi menimbulkan keracunan pangan. Hal tersebut terjadi apabila cara

membersihkan, pengolahan serta penyimpanan yang kurang adekuat. Adapun

menurut penelitian sebelumnya terdapat beberapa jenis bakteri antara lain

adalah C. diversus, E. coli, C. luteola, P. fluorescens/putida, E. sakazakii, C.

diversus/amalonatica, K. pneumonia (Saba Courage, 2012). Selain itu pada

ikan yang diasinkan atau diasapi dapat ditemukan bakteri C. Botulinum. Pada

kerang – kerangan bakteri yang sering ditemukan adalah Salmonella typhi dan

Salmonella paratyphi (Ahmed, 2015). Namun seringkali sebagian masyarakat

gemar mengonsumsi seafood dan ikan – ikanan tanpa dimasak atau cara

memasak kurang adekuat seperti dibakar karena cara memasak seperti itu tidak

membuat ikan matang secara sempurna. Dari luar atau kulit ikan terlihat

matang namun sebenarnya bagian dalam ikan tersebut masih belum matang.

Keracunan akibat konsumsi seafood dan ikan – ikanan pada penelitian

ini banyak bersumber dari rumah tangga dan jasa boga baik pada laki – laki

dan perempuan. Tidak adanya perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa

terdapat faktor lain yang menentukan individu untuk mengalami keracunan.

Salah satunya adalah Hygiene yang buruk pada konsumen maupun penjamah

pangan (food handler). Pada penelitian ini keracunan pangan yang bersumber

dari rumah tangga merupakan keracunan akibat pangan yang dimasak, diolah

maupun disiapkan di rumah tangga. Dengan kata lain keracunan pangan yang

Page 113: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

98

bersumber dari rumah tangga selain yang bersumber dari jasa boga atau

katering berbasis rumah tangga (home industry).

Sedangkan jenis pangan lain yang menyebabkan keracunan pangan pada

perempuan adalah daging unggas (10.20%). Spesies Salmonella dan

Campylobacter biasanya banyak ditemukan di produk unggas (Scallan, 2007).

Secara epidemiologi dan mikrobiologi adanya peningkatan infeksi Salmonella

melalui unggas disebabkan adanya adaptasi koloni bakteri tersebut pada

saluran reproduksi tepatnya pada indung telur dan saluran telur (Newell,

2010).

Multiple food juga menjadi pangan penyebab kedua keracunan pangan

yang bersumber dari rumah tangga yaitu 17.02%. Multiple food ini juga pernah

penyebabkan 2 KLB keracunan pangan. Dan setelah dilakukan uji

laboratorium dapat ditemukan bakteri Salmonella typhimurium pada sampel

pangan tersebut (Harvey, 2016). Jenis pangan lainnya adalah gorengan dan

bakso termasuk makanan kecil yang banyak diminati di negara Indonesia.

Menurut penelitian di Ghana, pada koko (makanan yang terbuat dari jagung)

ditemukan Chryseomonas luteola dan Shigella spp sebagai patogen keracunan

pangan (Saba Courage, 2012).

Adanya keracunan pada berbagai jenis pangan tersebut disebabkan oleh

praktik kebersihan dan pengolahan pangan yang kurang adekuat. Menurut

Langiano (2012), praktik yang tidak tepat saat menyiapkan dan menyimpan

pangan sehingga mengakibatkan keracunan pangan antara lain adalah tidak

mencuci tangan setelah mengolah daging mentah (31.8%), tidak mencuci

tangan setelah mengolah ikan mentah (7.3%), menyimpan pada suhu ruang

Page 114: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

99

(24%), menggunakan alas pemotong yang sama pada pangan mentah dan

matang (78.7%), menggunakan alas pemotong dari kayu (76.3%), tidak

memisahkan pangan mentah dan matang dalam lemari pendingin (63.5%) dan

lain sebagainya (Langiano, 2012).

Di samping itu kebiasaan buruk menyimpan pangan yang tidak tepat

masih sering dilakukan di rumah tangga. Menurut Malangu masyarakat tidak

menganggap rumah sebagai sumber potensi penyebab keracunan pangan.

Adanya anggapan tersebut dapat mengurangi kewaspadaan masyarakat

terhadap adanya risiko keracunan, sehingga risiko keracunan pangan semakin

meningkat. Hal tersebut diperparah dengan kebiasaan masyarakat pada rumah

tangga tidak menyimpan pangan secara tepat yaitu tidak memisahkan antara

pangan yang mentah dan makanan yang siap konsumsi.

Serta di India 63% rumah tangga menyimpan makanan non-vegetarian di

suhu ruang dan hanya 29.4% yang mengonsumsi makanan langsung setelah

dimasak (Vemula, 2012). Hal tersebut tentunya dapat meningkatkan

kontaminasi silang dimana menurut Scott, isolasi patogen dari sampel yang

didapatkan 49% merupakan akibat dari kontak antara pangan mentah dan

makanan siap konsumsi (E Scott, 1996). Menyimpan makanan siap konsumsi

pada suhu ruang juga berpotensi dihinggapi serangga seperti lalat, kecoa dan

lain – lain jika tidak diletakkan pada tempat terbuka dan tidak ditutup dengan

tudung saji ataupun sejenisnya. Potensi tersebut selain karena kondisi suhu

yang optimum untuk pertumbuhan organisme patogen juga berasal dari

serangga pembawa penyakit (vector borne disease).

Page 115: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

100

Kebiasaan buruk lainnya yang dapat ditemukan di rumah tangga adalah

memanaskan kembali pangan matang yang telah disimpan. Pemanasan kembali

pangan tersebut biasanya dilakukan apabila pangan yang telah matang

sebelumnya tidak habis dalam sekali makan. Tujuannya adalah memperoleh

cita rasa yang sama seperti pertama kali penyajian. Namun hal tersebut dalam

beberapa kasus dapat menyebabkan keracunan pangan. Pada penyimpanan

yang kurang adekuat sebelum pemanasan kembali, seperti menyimpan di suhu

ruang atau pada lemari pendingin yang memiliki suhu mendekati suhu ruang

dapat mempengaruhi organisme tumbuh dan berkembang biak. Organisme

yang telah berkembang biak akan mati melalui proses pemanasan kembali

dengan suhu yang cukup tinggi dan dalam waktu yang panjang. Selain itu

terdapat pula bakteri penghasil racun dimana bakteri tersebut dapat mati namun

racun yang dihasilkannya masih menjadi kontaminan makanan tersebut dan

mengakibatkan manifestasi klinis berupa mual, muntah, diare ataupun gejala

keracunan lainnya. Sehingga pemanasan tidak dapat menghilangi racun yang

telah mengontaminasi pangan tersebut.

Bakteri penghasil racun tersebut adalah Bacillus cereus yang

menghasilkan emetic toxin (cereulide) yang tetap dapat menyebabkan

keracunan dan tidak dapat hilang melalui proses pemanasan (N, 2002). Selain

itu spora yang dibentuk tidak dapat dieliminasi melalui pemanasan,

pengasaman, pasteurisasi ataupun prosedur sanitasi (Ehling-Schulz, 2004).

Adapun sanitasi lingkungan yang buruk juga menjadi tempat hidup

organisme patogen berkembang biak. Beberapa patogen dapat bertahan hidup

di lingkungan yang yang terlihat bersih namun sebenarnya kotor. Lingkungan

Page 116: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

101

tersebut biasanya dibersihkan namun tidak menggunakan disinfektan sehingga

masih terdapat beberapa bakteri ataupun organisme. Menurut Mensah (2002)

patogen penyebab diare dapat ditemukan pada 11 dari 78 ibu yang telah

mencuci tangan dan patogen tersebut tentunya dapat ditransmisikan ke orang

lain khususnya anak kecil. Sedangkan di Thailand dari anak – anak yang

menderia diare akibat enterotoxigenic E. coli (ETEC) terdeteksi 6 dari 42 ibu

dan 37 dari 50 anak terdapat ETEC pada tangannya (Mensah, 2002).

Selain pada tangan patogen juga ditemukan di lingkungan rumah.

Menurut Scott beberapa bakteri dapat hidup di permukaan dapur 1 jam sampai

24 jam. Sehingga memungkinkan adanya kontaminasi silang dengan kain lap,

peralatan memasak, peralatan makan ataupun tangan penjamah pangan (Scott,

1996).

Kebiasaan mencuci tangan setelah menjamah pangan mentah seperti ikan

mentah dan daging mentah juga belum menjadi kebiasaan masyarakat. Seperti

pada keracunan pangan yang terjadi Afrika Timur, 29.1% - 63% usus

penjamah pangan yang mengalami keracunan pangan diidentifikasi terdapat

parasit. Hal tersebut disebabkan oleh personal hygiene penjamah pangan yang

buruk (Malangu, s.a.). Di China kasus baru dan kesakitan keracunan pangan

banyak disebabkan oleh praktik yang tidak bersih sebesar 56.6% dan 64%

(Xue, 2011).

Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan hanya terjadi di rumah

tangga. Pada jasa boga juga masih ditemukan praktik kebersihan yang kurang.

Sehingga berpotensi menyebabkan keracunan pangan seperti penjamah pangan

tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah mengolah ataupun menyajikan

Page 117: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

102

makanan, makanan disimpan dalam suhu ruangan dan pada beberapa tempat

makanan tersebut tidak ditutup dengan aman. Pada pengujian laboratorium

pada penjamah makanan yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya yaitu pada

pengujian usapan tangan dimana terdapat masing-masing 60% dan 100%

bakteri staphylococcus aureus pada tangan dan kuku (Gumbo, 2015).

Pada dasarnya pada tubuh manusia khususnya jaringan kulit terdapat

bakteri sebagai flora normal tubuh. Namun apabila personal hygiene dan

sanitasi lingkungan buruk, flora normal tersebut dapat menjadi patogen dan

menyebabkan dampak buruk pada kesehatan. Hal tersebut diisebabkan karena

tambahan organisme lainnya dari lingkungan serta proses replikasi sehingga

jumlah flora bertambah secara kuantitas yang dapat berubah sifat menjadi

patogen.

Pada penelitian ini pula diketahui bahwa keracunan pangan lebih banyak

terjadi pada musim kemarau. Pada masim kemarau persediaan air cenderung

lebih sedikit karena curah hujan semakin menurun sehingga masyarakat lebih

berhati – hati dalam penggunaan air. Tanpa disadari hal tersebut

mengakibatkan mencuci bahan pangan khususnya seafood dan ikan – ikanan

atau pangan lainnya tidak bersih yang berpotensi menyebabkan gejala klinis

seperti mual, muntah, nyeri perut dan diare.

Seafood dan ikan – ikanan sebagai makhluk hidup memiliki lingkungan

hidup yang beragam. Lingkungan hidup yang kotor seperti sungai yang teraliri

kotoran atau laut yang tercemar limbah dapat mengakibatkan cemaran baik

oganisme ataupun zat kimia mengendap dalam tubuh ikan. Proses mencuci

Page 118: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

103

yang kurang adekuat seperti tidak menggunakan air mengalir menyebabkan

ikan masih kurang bersih.

Penyebab lain seperti racun yang diproduksi oleh beberapa jenis ikan

juga dapat menyebabkan keracunan pangan. Seperti ikan kakap merah yang

dapat memproduksi ciguatera toxin. Ikan buntal yang memproduksi racun

buntal. Ikan tuna, tenggiri, marlin, marlin, escolar fish, dan mahi – mahi yang

memproduksi racun skromboid. Sedangkan beberapa jensi kerang juga dapat

memproduksi racun yang menyerang syaraf (HP, s.a.).

Penggunaan peralatan makan juga mengurangi tingkat kontaminasi

dibandingkan dengan menggunakan tangan langsung ketika makan. Sama

halnya pula ketika menyiapkan serta memasak penggunaan peralatan memasak

dan tidak menggunakan tangan langsung dapat mengurangi risiko kontaminasi

(Mensah, 2002). Hal yang sama pula diungkapkan oleh Malangu dimana

peralatan makan bukan merupakan sumber utama patogen (Malangu, s.a.).

Sebagian masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan makan tanpa

menggunakan peralatan makan seperti sendok atau garpu saat mengonsumsi

berbagai macam jenis pangan. Seperti saat mengonsumsi ikan, nasi, ataupun

makanan lainnya yang tidak berkuah. Hal tersebut dianggap praktis dari pada

menggunakan sendok atau garpu. Sedangkan sebagian lainnya menganggap

makan menggunakan tangan langsung dapat menambah cita rasa makanan

tersebut. Seperti yang diungkapkan dalam penelitian Mann (2011), ketika

makan menggunakan jari (tanpa menggunakan peralatan makan seperti sendok

atau garpu), cita rasa makanan tersebut akan lebih baik (Mann, 2011).

Kebiasaan tersebut juga dilakukan oleh sebagian masyarakat DKI Jakarta.

Page 119: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

104

Dengan demikian jika tangan yang digunakan untuk makan tersebut tidak

bersih dari patogen penyebab keracunan pangan, maka individu akan memiliki

potensi untuk mengalami keracunan pangan.

Sedangkan pada penelitian lain menyebutkan jenis kelamin laki – laki

memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan perempuan dalam hal

keamanan pangan (Courtney, 2016). Sama dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Unusan dimana skor pengetahuan keamanan pangan lebih

tinggi pada jenis kelamin laki - laki dibandingkan perempuan (Unusan, 2005).

Namun sebaliknya, pada masyarakat umum aktivitas yang berhubungan

dengan pangan dan makanan justru banyak dilakukan oleh perempuan yang

memiliki pengetahuan lebih rendah dibandingkan laki – laki. Pengetahuan

yang dimiliki oleh individu cenderung akan mempengaruhi bentuk perilaku

individu. Namun perilaku baik atau buruk tidak hanya ditentukan oleh

pengetahuan saja, namun juga ditentukan oleh faktor lain. Menurut Sudarma

(2008) faktor lain tersebut adalah kemauan dan kemampuan pada masing –

masing individu untuk berperilaku baik atau buruk (Sudarma, 2008).

Selain itu perempuan lebih sering berhubungan dengan aktivitas

penyimpanan sampai dengan penyajian pangan dibandingkan laki – laki

menyebabkan perempuan memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan laki – laki.

Risiko tersebut menurut Lund (2011) dan Indranil (2016) disebabkan karena

kontak terhadap bahan pangan yang masih mentah. Selain berisiko

menyebabkan keracunan pada diri sendiri, juga dapat berisiko terhadap

lingkungan. Dari penelitian ini mengindikasikan bahwa dapur merupakan

Page 120: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

105

bagian rumah yang menjadi sumber utama yang menentukan kebersihan

pangan.

Keracunan pangan yang banyak terjadi di rumah tangga juga

kemungkinan disebabkan oleh penggunaan pestisida untuk mengusir serangga

pengganggu. Adanya penggunaan pestisida tersebut tentunya dikhawatirkan

dapat menkontaminasi pangan yang sengaja disimpan di rumah. Biasanya

pangan yang mudah terkontaminasi adalah pangan yang dibiarkan di suhu

ruang tanpa penutup yang mengakibatkan partikel zat pestisida yang telah

disebar pada ruang tersebut jatuh ke dalam makanan.

Di India dari 60 laki – laki yang berumur 20 – 30 tahun mengalami

keracunan pangan setelah mengonsumsi makanan yang dimasak di dapur

umum. Setelah dilakukan penyelidikan diketahui penyebabnya adalah

penggunaan pestisida yang mengandung organophosphate malation di pagi

hari untuk mengusir serangga. Namun partikel pestisida tersebut

menkontaminasi bahan pangan yang dibiarkan tersimpan di tempat terbuka.

Dari 60 individu yang mengonsumsi makanan tersebut seluruhnya mengalami

keracunan (Vemula, 2012).

Selain karena keracunan pangan yang terjadi akibat perilaku yang tidak

disengaja, namun tidak memungkiri pula terdapat beberapa kasus keracunan

pangan yang sengaja dan direncanakan. Seperti di Nigeria keracunan pangan

erat kaitannya dengan kejahatan yang dimaksudkan seseorang kepada korban

(Malangu, s.a.). Di China penyalahgunaan zat beracun pada makanan

mengakibatkan kesakitan sebesar 2.9% (2930 kasus) sedangkan menyebabkan

adanya kasus baru keracunan pangan 6.7% (161 kasus) (Xue, 2011).

Page 121: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

106

Namun tingginya keracunan pangan yang bersumber dari rumah tangga

ini juga dapat terjadi karena bias dalam pengambilan data yang dilakukan oleh

petugas kesehatan rumah sakit melalui anamnesa. Hal tersebut karena pasien

tidak mengingat, lupa dan dalam beberapa kasus juga pasien tidak begitu

memahami pertanyaan yang diberikan oleh petugas kesehatan. Di samping itu

petugas kesehatan yang melakukan pengumpulan data tersebut dapat kurang

memahami instrumen yang digunakan. Petugas kesehatan tersebut perlu

diberikan pelatihan terkait instrumen yang digunakan. Dan instrumen yang

digunakakan dalam penelitian ini sangatlah terbatas. Instrumen yang

digunakan adalah instrumen untuk mengetahui keracunan secara umum. Hal

tersebut karena BPOM dan rumah sakit sendiri belum melakukan penyusunan

ulang instrumen yang khusus digunakan untuk mengetahui informasi secara

mendalam kercunan pangan. Sehingga data yang diperoleh sangat terbatas

khususnya pada variabel tempat keracunan pangan.

Oleh karena itu untuk mengurangi angka keracunan pangan perlu

dilakukan edukasi kepada masyarakat tentang kebersihan perseorangan

(personal hygiene), mengolah pangan dengan tepat serta menciptakan

lingkungan yang bersih khususnya di rumah tangga yang menjadi sumber

keracunan pangan terbanyak. Selain itu perlu juga BPOM melakukan

koordinasi dengan BPOM yang terdapat di setiap provinsi untuk melakukan

kerjasama dengan rumah sakit dan aktif melakukan penyelidikan keracunan

pangan pada penderita.

Page 122: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

107

BAB VII

PENUTUP

7.1 Simpulan

1. Proporsi keracunan pangan di DKI Jakarta tahun 2016 lebih besar pada

golongan umur 6 – 59 tahun (memiliki imunitas optimal) yaitu 92.3% dan

jenis kelamin perempuan yaitu 52.4%. Selain itu keracunan pangan banyak

terjadi pada musim kemarau dengan proporsi 62%. Sedangkan jenis pangan

penyebab keracunan pangan terbesar adalah seafood dan ikan – ikanan

dengan proporsi 52.4%. Adapun sumber keracunan pangan yang banyak

menyebabkan keracunan pangan adalah rumah tangga yaitu 46.2%.

2. Keracunan pangan pada jenis kelamin laki – laki, jenis pangan yang

menyebabkan keracunan pangan yang bersumber dari rumah tangga adalah

seafood, ikan-ikanan (53.19%) dan multiple food (17.02%). Sedangkan jenis

pangan yang banyak menyebabkan keracunan pangan yang bersumber dari

jasa boga adalah seafood, ikan-ikanan (46.42%) dan multiple food

(21.42%). Dan jenis pangan paling banyak bersumber dari PKL adalah

seafood, ikan-ikanan dan multiple food masing – masing 26.67%.

Sedangkan pada perempuan jenis pangan yang menyebabkan keracunan

pangan yang bersumber dari rumah tangga adalah seafood, ikan-ikanan

(69.38%), daging merah dan unggas serta multiple food (10.20%).

Sedangkan jenis pangan yang banyak menyebabkan keracunan pangan yang

bersumber dari jasa boga adalah seafood, ikan-ikanan (70%). Dan jenis

pangan paling banyak bersumber dari PKL makanan kecil (63.63%). Serta

Page 123: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

108

pada sumber lain – lain dan tidak diketahui janis pangan lain – lain banyak

menyebabkan keracunan pangan yaitu 57.14%%.

7.2 Saran

1. BPOM perlu membentuk regulasi terkait sistem pelaporan keracunan

pangan yang terjadi di rumah sakit. Sehingga pelaporan dapat berjalan

secara konsisten dan berkelanjutan serta data yang terkumpul memiliki

kelengkapan data yang lengkap. Dengan adanya regulasi tersebut juga

diharapkan akan terjalin komitmen kerjasama yang baik antara BPOM dan

rumah sakit.

2. Disarankan kepada BPOM untuk menyusun instrumen pengumpulan data

keracunan pangan secara khusus sebagai pengembangan dari formulir

catatan medis kasus keracunan di Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Pengembangan tersebut bertujuan untuk penggalian data terkait keracunan

pangan lebih mendalam serta penambahan variabel pertanyaan agar variabel

yang terkumpul lebih lengkap dan dapat melengkapi varibel yang telah ada.

3. Disarankan kepada pihak BPOM untuk berkoordinasi dengan BPOM

provinsi untuk melakukan penyelidikan kepada kasus keracunan pangan

secara aktif yang terjadi di rumah sakit. Dengan adanya upaya tersebut

diharapkan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel yang dikumpulkan

juga dapat dilakukan.

4. Dinas kesehatan kab/kota perlu melakukan sosialisasi kepada pengusaha

jasa boga untuk mengajukan perizinan usaha. Selain agar terjamin

keamanan dan mutu, hal tersebut dapat dijadikan sebagai monitoring serta

Page 124: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

109

penyampaian informasi dinas kesehatan kab/kota kepada pengusaha jasa

boga.

5. Perlu adanya pencegahan keracunan pangan berupa penyuluhan keracunan

pangan kepada keluarga khususnya ibu. Hal tersebut akan berdampak besar

dalam percepatan penyampaian informasi kepada individu ataupun keluarga

di lingkungan sekitarnya. Selain itu pula ibu memiliki peran sentral dalam

memastikan kebersihan dan keamanan pangan pada keluarganya.

Page 125: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

110

DAFTAR PUSTAKA

AAP. (2014). Young Children and Foodborne Illness.

Abd-ELhaleem, Z. A. d. A.-E. (2011). Pattern of Food Poisoning in Egypt, a

Retrospective Study. Journal of Pharmacology and Toxicology, 5, 505-

515.

Addis, M. d. D. S. (2015). A Review on Major Food Borne Bacterial Illnesses.

Journal of Tropical Diseases, 3(4).

Ahmed, A., et.al. (2015). Poisoning Emergency Visits among Children : a 3 Years

Retrospective Study in Qatar. BMC Pediatric, 15(104), 7. doi:

10.1186/s12887-015-0423-7

Ajayi, O. e. a. (2011). Epidemiological Approaches to Food Safety. Food

Protection Trends, 31(9), 560 - 568.

Aliyah, S. d. (2016). Food Poisoning: Mini-review. Research and Reviews

Journal of Pharmaceutical Analysis, 5(2).

Annor, G. a. B., E. A. (2011). Evaluation of Food Hygiene Knowledge Attitudes

and Practices of Food Handlers in Food Businesses in Accra, Ghana. Food

and Nutrition Sciences, 2, 830-836.

Arganini, C. a. A. S. (s.a.). Gender Differences in Food Choice and Dietary Intake

in Modern Western Societies. Intechopen.

Arisman. (2009). Keracunan Makanan : Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC.

Bi, P., et.al. (2008). Weather and Notified Campylobacter Infections in Temperate

and sub-Tropical Regions of Australia: An Acological Study. Journal of

Infection : Elsivier, 57, 317 - 323.

Bloomingdale, A., et.al. (2010). A qualitative study of fish consumption during

pregnancy. The American Journal of Clinical Nutrition, 92 (5) 1234 -

1240. doi: 10.3945/ajcn.2010.30070

BMJ. (2017). Chapter 8. Case-control and cross sectional studies. Retrieved 30

September 2017, from http://www.bmj.com/about-bmj/resources-

readers/publications/epidemiology-uninitiated/8-case-control-and-cross-

sectional

BPOM. (2016). Sentra Informasi Keracunan (SIKER) Nasional. Retrieved 08

March, 2017, from http://ik.pom.go.id/v2016/

Page 126: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

111

BPOM. (2017). Keracunan Pangan. Retrieved from

https://mail.google.com/mail/u/0/#inbox/15b8f01f69116262

Bunawan, N. C. e. a. (2014). Djenkolism: Case Report and Literature Review.

International Medical Case Reports Journal, 7, 79–84.

Burt BM, V. C., Finkel M. (2003). Safety of vendor-prepared foods: evaluation of

10 processing mobile food vendors in Manhattan. Public

Health. 118, 470 - 476.

Buvinic, M., et.al. (2006). Disease Control Priorities in Developing Countries.

2nd edition. New York: Oxford University Press.

Campos, A. K. C., et all. (2009). Assessment of Personal Hygiene and Practices

of Food Handlers in Municipal Public Schools of Natal, Brazil. 20, 807-

810.

CDC. Harmful Algal Blooms (HABs). Retrieved 4 October 2017, from

https://www.cdc.gov/nceh/ciguatera/

CDC. (2012). Lesson 1: Introduction to Epidemiology. Retrieved 30 february,

2017, from

https://www.cdc.gov/ophss/csels/dsepd/ss1978/lesson1/section7.html

CDC. (2015). Foodborne Outbreaks: Guide to Confirming an Etiology in

Foodborne Disease Outbreak. Retrieved 12 April, 2017, from

https://www.cdc.gov/foodsafety/outbreaks/investigating-

outbreaks/confirming_diagnosis.html

CDC. (2016). Cholera - Vibrio cholerae infection Retrieved 10 April, 2017, from

https://www.cdc.gov/cholera/general/

CDC. (2017). Food Safety : Keep Food Safe. Retrieved 09 October, 2017, from

https://www.cdc.gov/foodsafety/keep-food-safe.html

Chihava. M, e. a. (2012). Factors Contributing to Biological Diversity and Load in

Bulawayo Restaurants. 2(2), 7-19.

Clark, M. (2005). Foodborne Illness : Common bacteria and viruses that cause

food poisoning

Page 127: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

112

Retrieved 10 April 2017, from

http://www.foodborneillness.com/clostridium_perfringens_food_poisonin

g/

Climat, R. (2013). Microbial safety aspects of street foods in Haiti. Universiteit

Gent.

Courtney, S., et.al. (2016). Food safety knowledge of undergraduate students at a

Canadian university: results of an online survey. BMC Public Health, 16.

doi: 10.1186/s12889-016-3818-y

Cuprasitrut, T., et.al. (2011). Food Safety Knowledge, Attitude and Practice of

Food Handlers and Microbiological and Chemical Food Quality

Assessment of Food for Making Merit for Monks in Ratchathewi District,

Bangkok Asia. Journal of Public Health, 2(1).

DFS. (2007). Coliform Bacteria - Indications in Food and Water. Cornell

University.

Ebi, K. L., et.al (2006). Climate Change and Human Health Impacts in the United

States: An Update on the Results of the U.S. National Assessment.

Environmental Health Perspectives, 114 Number 9 September 2006, 1318-

1324.

Ehling-Schulz, M., et.al. (2004). Identification of emetic toxin producing Bacillus

cereus strains by a novel molecular assay. FEMS Microbioloy Letters,

232(2), 189 - 195.

EK, L. a. R. J. (1997). The Role of Seafood in Foodborne Disease in The United

States of America. Rev Sci Tech, 2, 620 - 640.

Ek, S. (2015). Gender differences in health information behaviour: a Finnish

population-based survey. health Promotion International, 30(3), 736 -

745. doi: 10.1093/heapro/dat063

Elmadfa, I. (2005). Diet Diversification and Health Promotion. Austria:

University Vienna.

Elwood, M. (2000). Critical Appraisal of Epideiological Studies and Clinical

Trials : Second Edition. New York: Oxford University.

Ezat, S. N. D. S. (2013). Paper Review of Factor, Surveillance and Burden of

Food Borne Disease Outbreak in Malaysia. Malaysian Journal, 13 (2).

Page 128: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

113

FDA. (2014a). Bad Bug Book: Foodborne Pathogenic Microorganisms and

Natural Toxins Handbook Clostridium perfringens. Retrieved 10 April

2017, from

https://www.fda.gov/food/foodborneillnesscontaminants/causesofillnessba

dbugbook/ucm070483.htm

FDA. (2014b). BBB - Bacillus cereus and other Bacillus spp. Retrieved 12 April,

2017, from

https://www.fda.gov/food/foodborneillnesscontaminants/causesofillnessba

dbugbook/ucm070492.htm

Fischer, A. R. H., Aarieke E.I. De Jong, Esther et.al. (2007). Food Safety in the

Domestic Environment: an Interdisciplinary Investigation of Microbial

Hazards During Food Preparation. Sociaty for Risk Analysis, 27 No. 4. doi:

10.1111/j.1539-6924.2007.00944.x

Frederick, e. a. (2006). Eating in Restaurants: A Risk Factor for Foodborne

Disease? Clinical Infectious Diseases, 43(10), 1324–1328. doi:

10.1086/508540

Gabida, M. e. a. (2015). Fodborne Illness Among Factory Workers, Gweru,

Zimbabwe 2012: Retrospective Cohort Study. BMC Research Notes. doi:

DOI 10.1186/s13104-015-1512-2

Glasgow, L. M., et.al. (2013). Estimating the Burden of Acute Gastrointestinal

Illness in Grenade. J Health Popul Nutr, 31 Number 4 (Suppl I) ;S17-S29,

12.

Gotsch, R., Keck, CW., Spencer, HC. (2012). Knowledge, Skills, and Attitudes

(KSAs) for the Public Health Preparedness and Response Core

Competency Model: CDC, Office of Public Health Preparedness and

Response. Association of Schools of Public Health.

Greig, J. D., et.al. (2001). A Descriptive Analysis of Giardiasis Cases Reported in

Ontario, 1990 - 1998. Canadian Journal of Public Health, September -

October 2001.

Greig, J. D. a. A. R. (2009). Analysis of Foodborne Outbreak Data Reported

Internationally for Source Attribution. International Journal of Food

Microbiology, 130, 77 - 87. doi: 10.1016/j.ijfoodmicro.2008.12.031

Page 129: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

114

Gumbo, A. e. a. (2015). Staphyilococcus Aureus Food Poisoning Among

Bulawayo City Council Employees, Zimbabwe, 2014. BMC Research

Notes. doi: DOI 10.1186/s13104-015-1490-4

Harvey, R. R., et.al. (2016). Foodborne Disease Outbreaks Associated with

Organic Foods in the United States. Journal of Food Protection, 79, No.

11, 1953–1958. doi: 10.4315/0362-028X.JFP-16-204

HP. (s.a.). Scientific Committee on Enteric Infections and Foodborne Diseases

Foodborne illness – Intersection between Clinical and Public Health

Approaches: Centre of Health Protection.

IFH. (2014). Foodborne disease and the home. Retrieved from https://www.ifh-

homehygiene.org//system/files_force/publications/foodborne-disease-and-

home-hygiene.doc?download=1

Imari, S. (2013). 4. Penyelidikan KLB Keracunan Pangan : Langkah-langkah

Umum. Jakarta: Badan POM.

Indranil, P. a. (2016). Food Poisoning: Illness Ranges from Relatively Mild

Through To Life Threatening. Journal of Medical and Health Science,

5(4).

Iwamoto, M., et.al. (2010). Epidemiology of Seafood-Associated Infections in the

United States. Clinical Microbial Reviews, 23 (2), 12. doi:

10.1128/CMR.00059-09

J, B., et.al. (2004). Food Safety: Emerging Trends in Foodborne Illness

Surveillance and Prevention. Journal of the American Dietetic

Association, 10. doi: 10.1016/j.jada.2004.08.028

Jahns, L., et.al. (2014). Intake of Seafood in the US Varies by Age, Income, and

Education Level but Not by Race-Ethnicity. Nutrients, 6, 6060-6075. doi:

10.3390/nu6126060

Jayarao, e. a. (2006). A Survey of Foodborne Pathogens in Bulk Tank Milk and

Raw Milk Consumption Among Farm Families in Pennsylvania. Journal

of Dairy Science, 89(7), 2451-2458. doi: 10.3168/jds.S0022-

0302(06)72318-9

Page 130: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

115

Kadariya, e. a. (2014). Staphylococcus Aureus and Staphylococcus Food-Borne

Disease : An Ongoing Challenge in Public Health. Biomed Research

International, 2014. doi: 10.1155/2014/827965

Kariuki, S. (2008). Typhoid Fever in sub-Saharan Africa: Challenges of Diagnosis

and Management of Infections. Regional Review Aricle, 2 (6), 443-447.

Kirk, M. D. e. a. (2008). Foodborne Disease in Australia: The OzFoodNet

Experience. Clinical Infectious Disease. doi: 10.1086/589861

Kirk, M. D. e. a. (2014). Foodborne Illness, Australia, Circa 2000 and Circa 2010.

Emerging Infectious Disease, 11 November 2014.

Kristin, M., Judy A and Driskel. (2009). Observed Sex Differences in Fast-food

Consumption and Nutrition Self-Assessments and Beliefs of College

Students. Elsevier. doi: 10.1016/j.nutres.2009.02.004

Kunwar, C. R., Maj Harpreet Singh et,al. (2013). Outbreak Investigation :

Salmonella Food Poisoning Medical Journal Armed Forces India, 69, 4.

lake, I. R., et.al. (2009). A Re-evaluatio of the Impact of Temperature and Climate

Change on Foodborne Illness. Epidemiol Infect, 137, 10. doi:

10.1017/S0950268809002477

Langiano, E., et.al. (2012). Food Safety at Home: Knowledge and Practices of

Consumers. Springer, 20, 47-57. doi: 10.1007/s10389-011-0437

Lee, H. K., et.al. (2017). Assessment of Food Safety Knowledge, Attitude, Self-

Reported Practices, and Microbiological Hand Hygiene of Food Handlers.

Pubmed, 14(1). doi: 10.3390/ijerph14010055

Linscott, A. J. (2011). Food-borne Ilnesses, Clinical Microbiology Newspaper, p.

5.

Liu, C. e. a. (2016). Behavior of Salmonella and Listeria monocytogenes in Raw

Yellowfin Tuna during Cold Storage. Food, 5(1). doi:

10.3390/foods5010016

Lucy, S. e. a. (2003). Lifestyle factors associated with atrophic gastritis among

Helicobacter pylori-seropositive Japanese-Brazilians in SÃo Paulo.

International Journal of Clinical Oncology, 8(6), 362-368.

Page 131: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

116

Lund, B. M. d. S. J. O. B. (2011). The Occurrence and Prevention of Foodborne

Disease in Vulnerable People. Foodborne Pathogens and Disease, 8

Number 9 2011. doi: 10.1089/fpd.2011.0860

Majowicz, S. E. e. a. (2004). Magnitude and Distribution of Acute, Self-Reported

Gastrointestinal Illness in Canadian Community. Epidemiol Infect, (2004,

132), 607-617.

Malangu, N. (2016). Risk Factors and Outcomes of Food Poisoning in Africa.

Agricultural and Biological Sciences, 978-953-51-2277-7. doi:

10.5772/62274

Malangu, N. (s.a.). Risk Factors and Outcomes of Food Poisoning in Africa:

Intech.

Mamun MA, e. a. (2013). Microbiological quality of selected street food items

vended by school-based street food vendors in Dhaka, Bangladesh. Int J

Food Microbiol. 166(413 - 418).

Manguiat LS, F. T. (2013). Microbiological quality of chicken- and pork-based

street-vended foods from Taichung, Taiwan, and Laguna, Philippines.

Food Microbial, 36, 57 - 62.

Mann, A., et al. (2011). Mixing Methods, Tasting Fingers. Journal of

Ethnoghraphic Theory, 1(1), 21-243.

Maruyama, K., et.al. (2012). Methyl Mercury Exposure at Niigata, Japan: Results

of Neurological Examinations of 103 Adults. Journal of Biomedicine and

Bioetechnology, 2012, 7.

McIntyre, e. a. (2013). Evaluation of food safety knowledge, attitudes and self-

reported hand washing practices in FOODSAFE trained and untrained

food handlers in British Columbia, Canada. Food Control, 30, 150-156.

Mensah, P. e. a. (2002). Street foods in Accra, Ghana: how safe are they? Bulletin

of the World Health Organization, 8 (7).

MOH. (2007). Annua Report 2004-2013. Planning Devision, Health Informaics

Centre, MInistry of Health Malaysia.

Morgenstern. (1995). Ecologic Studie in Epidemiology: Concept, Principle and

Methods. NCBI, 16, 20.

Page 132: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

117

Mutalib, e. a. (2014). An Overview of Foodborne Ilness and Food Safety in

Malaysia. International Food Research Journal, 22(3). doi: 896-901

(2015)

N, A., Ohta M and Yokoyama K. (2002). Production of Bacillus cereus emetic

toxin (cereulide) in various foods. 73 (1): 23 - 7.

Nadal, K. L., et.al. (2017). The SAGE Encyclopedia of Psychology and Gender.

New York.

Newell, D. G. e. a. (2010). Food-borne Diseases — The challenges of 20 years

ago still persist while new ones continue to emerge. International Journal

of Food Microbiology, 139 (2010) S3–S15. doi:

10.1016/j.ijfoodmicro.2010.01.021

Nonato, I., et.al. (2016). Nutritional Issues Concerning Street Foods. Journal of

Clinical Nutrition & Dietetics, Vol.2 No 1:7. doi: 10.4172/2472-

1921.100014

Omemu, a. A. S. T. (2008). Food safety knowledge and practices of street food

vendors in the city of Abeokuta, Nigeria. Food Control, 19, 396 - 402.

Osei-Tutu, B. d. F. A. (2016). Trends of Reported Foodborne Disease at the Ridge

Hospital, Acca, Ghana : a Retrospective Review of Routine Data from

2009-2013. BMC Infectious Diaseases, 16(139), 9. doi: 10.1186/s12879-

016-1472-8

Painter, J. A., et.al. (2013). Attribution of Foodborne Illnesses, Hospitalizations,

and Deaths to Food Commodities by using Outbreak Data, United States,

1998–2008. Emerging Infectious Diseases, 19, No. 3, March 2013. doi:

10.3201/eid1903.111866

Pantoflickova, e. a. (2003). Favourable effect of regular intake of fermented milk

containing Lactobacillus johnsonii on Helicobacter pylori associated

gastritis. Pubmed.

Pardhan-Ali, A. e. a. (2017). A Descriptive Analysis of Notifiable Gastrointestinal

Illness in The Nortwest Territories, Canada 1991 0 2008. BMJ Journal.

Peer, N., et.al. (2013). A High Burden of Hypertension in The Urban Black

Population of Cape Town: The Cardiovascular Risk in Black South

Africans.

Page 133: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

118

Pieniak, Z., et.al. (2010). Health - related Beliefs and Consumer Knowledge as

Determinants of Fish Consumption. J. Hum. Nutr. Diet, 23, 480-488.

POST. (2003). Food Poisoning. January 2003(No.193), 1-4.

Prattala, R. (2006). Gender differences in the consumption of meat, fruit and

vegetables are similar in Finland and the Baltic countries. European

Journal of Public Health, 17 No. 5, 520 - 525. doi: 10.1093/eurpub/ckl265

R, M. e. a. (2013). Hygienic quality of food stuff in catering services and

restaurants in Iran. International Food Research Journal, 21 (2), 673 -

676.

Rane, S. (2011). Street Vended Food in Developing World: Hazard Analyses.

Indian J Microbial, Jan - Mar 2011, 6. doi: 10.1007/s12088-011-0154-x

Saba Courage, K. S. d. B. G.-Z. (2012). Microbial Food Safety in Ghana : a Meta-

analysis. Emerging Problems in Infectious Deseases, 6 (12), 828-835.

Sachdeva, A. e. a. (2014). Efficacy of fermented milk and whey proteins in

Helicobacter pylori eradication: A review. World Journal of

Gastroenterology, 20(3), 724–737.

Saeidi, E. a. A. S. (2016). vacA Genotype Status of Helicobacter pylori Isolated

from Foods with Animal Origin. Biomed Research International. doi:

10.1155/2016/8701067

Scallan. (2007). Activities, Achievements, and Lessons Learned During the First

10 Years of the Foodborne Diseases Active Surveillance Network : 1996-

2005. Food Safety Invited Article, 2007 :44 ( March), 718-725.

Scott, E. (1996). Foodborne Disease and Other Hygiene Issues in the Home.

Journal of Applied Bacteriology, 80, 5.

Scott, E. (2003). Food Safety and Foodborne Disease in 21st Century Homes.

Stainer Review, 14(5), 277-280.

Semenza, J. C. d. B. M. (2009). Climate change and infectious diseases in Europe.

The Lancet, 9 Juni.

Sharif, L. a. A.-M., T. (2009). Knowledge, attitude and practice of Taif University

students on food poisoning. Food Control, 21, 55-60.

Shiferaw, B., et.al. (2012). Sex-Based Differences in Food Consumption:

Foodborne Diseases Active Surveillance Network (FoodNet) Population

Page 134: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

119

Survey, 2006–2007. Clinical Infectious Diseases, 54(suppl_5,), S453–

S457. doi: 10.1093/cid/cis247

Siegman-Igra, Y. e. a. (2002). Listeria monocytogenes Infection in Israel and

Review of Cases Worldwide. Emerging Infectious Diseases, Vol. 8, No. 3,

March 2002.

Sifferlin, A. (2015). 351,000 People Die of Food Poisoning Globally Every Year.

Soares, e. a. (2012). Knowledge, attitudes and practices in food safety and the

presence of coagulasepositive, staphylococci on hands of food handlers in

the schools of Camaçari, Brazil. Food Control, 27, 206-213.

Stratta , P. a. G. B. (2012). Scombroid poisoning. Canadian Medical Association

Journal, 184 (6). doi: 10.1503/cmaj.111031

Supplementary Table 1 : Traditional medicines and edible plants associated with

acute kidney injury.

Suwito, W. (2010). Bakteri yang sering Mencemari Susu: Deteksi, Patogenesis,

Epidemiologi, dan Cara Pengendaliannya. Jurnal Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, 29, No 3. doi: 10.21082/jp3.v29n3.2010.p96-

100

Tam, C., et.al. (2010). Food-borne Illnesses during Pregnancy. 56 (4), 3.

Teschke, K. e. a. (2010). Water and Sewage Systems, Socio-demographics, and

Duration of Residence Associated with endemic Intestinal Infectious

Diseases: A Cohort Study. BMC Public Health, 10 : 767, 1471-2458.

Tewari, A. d. S. A. (2015). Bacillus cereus food poisoning: international and

Indian perspective. Journal of Food Science and Technology, 52(5), 2500–

2511. doi: 10.1007/s13197-014-1344-4

Todd, E. C. e. a. (2010). Outbreak Where Food Workers have been IMplicated in

teh Spread of Foodborne DIsease. Part 9. Washing and Drying of hands to

Reduce Microbial Contamination (73), 1937 - 1955.

Unusan, N. (2005). Consumer Food Safety Knowledge and Practices in the Home

in Turkey. Elsevier, 7. doi: 10.1016/j.foodcont.2005.08.006

Vemula, S. R. e. a. (2012). Emerald Article: Foodborne diseases in India - a

review. British Food Journal, 114 Iss: 5 pp, 661 - 680.

Page 135: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

120

Venuto, M. a. k. G. (2015). Analyses of the Contributing Factors Associated with

Foodborne Outbreaks in School Settings (2000–2010). Journal of

Environmental Health, 77(7).

Verbeke, W. a. V. I. (2005). Individual Determinants of Fish Consumption:

Application of the Theory of Planned Behaviour. Appetite, 44, 67-82.

Wang, S., et.al. (2007). Analysis of Bacterial Foodborne Disease Outbreaks in

China Between 1994 and 2005. FEMS Immunol Med Microbial, 51

(2007), 8-13.

Wardle J, H. A., et al. (2004). Gender Differences in Food Choice: the

Contribution of Health Beliefs and Dieting. Pubmed US National Library

of Medicine National Institutes of Health, 27(2`), 107 - 116.

Wennberg, M. e. a. (2012). Diet and lifestyle factors associated with fish

consumption in men and women: a study of whether gender differences

can result in gender-specific confounding. Nutrition Journal, 11(101). doi:

10.1186/1475-2891-11-101

WHO. Penyakit Akibat Keracunan Makanan.

WHO. (2008). Foodborne Disease Outbreaks: Guidelines for Investigation and

Control. France: WHO.

WHO. (2015). WHO’s first ever global estimates of foodborne diseases find

children under 5 account for almost one third of deaths. Retrieved 7

February 2017, from

http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2015/foodborne-disease-

estimates/en/

WHO. (2017). Health Topics: Escherichia coli infections. Retrieved 10 April,

2017, from http://www.who.int/topics/escherichia_coli_infections/en/

Xue, J. d. W. Z. (2011). Understanding China’s food safety problem: An analysis

of 2387 incidents of acute foodborne illness. Elsevier Science, 30 (2013),

7. doi: 10.1016/j.foodcont.2012.07.024

Page 136: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

121

LAMPIRAN INSTRUMEN PENCATATAN

Page 137: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

122

SURAT IZIN PENGAMBILAN DATA

Page 138: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

123

LAMPIRAN HASIL ANALISIS

Statistics

Musim JK

Sumber_Penyebab

2 Kat_umur Pangan_Penyebab

N Valid 208 208 208 208 208

Missing 0 0 0 0 0

Kat_umurimun

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid imun rendah 16 7.7 7.7 7.7

Imun Optimal 192 92.3 92.3 100.0

Total 208 100.0 100.0

JK

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Laki-laki 101 48.6 48.6 48.6

Perempuan 107 51.4 51.4 100.0

Total 208 100.0 100.0

Musim

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Hujan 79 38.0 38.0 38.0

Kemarau 129 62.0 62.0 100.0

Total 208 100.0 100.0

Page 139: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

124

JENISPANGAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid seafood dan ikan 109 52.4 52.4 52.4

Lain - lain 15 7.2 7.2 59.6

mie instan dan nasi 12 5.8 5.8 65.4

daging dan daging unggas 15 7.2 7.2 72.6

multiple food 32 15.4 15.4 88.0

snack 25 12.0 12.0 100.0

Total 208 100.0 100.0

SUMBER2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid RT 96 46.2 46.2 46.2

JB 68 32.7 32.7 78.8

PKL 26 12.5 12.5 91.3

LAIN TIDAK TAHU 18 8.7 8.7 100.0

Total 208 100.0 100.0

Page 140: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

125

Jenis pangan dan sumber keracunan pangan yang banyak dikonsumsi jenis kelamin

laki – laki

Statistics

JENISPANGAN

N Valid 101

Missing 0

JENISPANGAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid seafood dan ikan 44 43.6 43.6 43.6

Lain - lain 8 7.9 7.9 51.5

mie instan dan nasi 10 9.9 9.9 61.4

daging dan daging unggas 6 5.9 5.9 67.3

multiple food 20 19.8 19.8 87.1

snack 13 12.9 12.9 100.0

Total 101 100.0 100.0

JENISPANGAN * SUMBER2 Crosstabulation

Count

SUMBER2

Total

RT JB PKL

LAIN TIDAK

TAHU

JENISPAN

GAN

seafood dan ikan 25 13 4 2 44

Lain - lain 6 0 0 2 8

mie instan dan nasi 3 4 1 2 10

daging dan daging

unggas 3 3 0 0 6

multiple food 8 6 4 2 20

snack 2 2 6 3 13

Total 47 28 15 11 101

Page 141: Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38297/1... · Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

126

Jenis pangan dan sumber keracunan pangan yang banyak dikonsumsi jenis kelamin

perempuan

Statistics

JENISPANGAN

N Valid 107

Missing 0

JENISPANGAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid seafood dan ikan 65 60.7 60.7 60.7

Lain - lain 7 6.5 6.5 67.3

mie instan dan nasi 2 1.9 1.9 69.2

daging dan daging unggas 9 8.4 8.4 77.6

multiple food 12 11.2 11.2 88.8

snack 12 11.2 11.2 100.0

Total 107 100.0 100.0

JENISPANGAN * SUMBER2 Crosstabulation

Count

SUMBER2

Total

RT JB PKL

LAIN TIDAK

TAHU

JENISPAN

GAN

seafood dan ikan 34 28 2 1 65

Lain - lain 3 0 0 4 7

mie instan dan nasi 1 1 0 0 2

daging dan daging unggas 5 4 0 0 9

multiple food 5 4 2 1 12

snack 1 3 7 1 12

Total 49 40 11 7 107