perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pengaruh ... · berpikir positif terhadap asertivitas...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH PELATIHAN BERPIKIR POSITIF TERHADAP
ASERTIVITAS REMAJA PANTI ASUHAN
Skripsi
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh :
Adhisty June Ertyastuti
G 0106019
Pembimbing :
1. Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M. Si.
2. Aditya Nanda Priyatama, S. Psi., M. Si.
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sesunggguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara
tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-
hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan
saya dicabut.
Surakarta, Juli 2011
Adhisty June Ertyastuti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Proposal dengan judul : Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif terhadap
Asertivitas Remaja Panti Asuhan
Nama Peneliti : Adhisty June Ertyastuti
NIM : G0106019
Tahun : 2011
Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi
Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:
Hari : ...................................
Tanggal : ...................................
Pembimbing I Pembimbing II
Tri Rejeki Andayani, S.Psi.,M.Si. Aditya Nanda Priyatama, S.Psi.,M.Si.
NIP. 197401091998022001 NIP.197810222005011002
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M.Psi.
NIP.197608172005012002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul:
Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif terhadap Asertivitas
Remaja Panti Asuhan
Adhisty June Ertyastuti, G0106019, Tahun 2011
Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi
Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari : ..................................
Tanggal : ..................................
1. Pembimbing Utama
Tri Rejeki Andayani, S.Psi.,M.Si.
NIP. 197401091998022001
( ________________ )
2. Pembimbing Pendamping
Aditya Nanda Priyatama, S.Psi.,M.Si.
NIP.197810222005011002
( ________________ )
3. Penguji I
Dra. Salmah Lilik, M.Si.
NIP. 194904151981012001
( ________________ )
4. Penguji II
Rin Widya Agustin, M.Psi.
NIP. 197608172005012002
( ________________ )
Surakarta, _________________
Ketua Program Studi Psikologi
Drs. Hardjono, M.Si
NIP. 195901191989031002
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M. Psi
NIP. 197608172005012002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
v
MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila telah selesai (dari
suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain), dan hanya
kepada ALLAH SWT hendaknya kamu berharap.
(Q.S. Asy-Syarh: 6-8)
Mulailah dengan melakukan apa yang perlu,
Lalu diikuti dengan apa yang mungkin,
dan tanpa kau sadari, dirimu telah melakukan hal yang mustahil.
(St. Fransiskus Assisi)
Anda mungkin tidak dapat mengendalikan keadaan,
tapi Anda dapat mengendalikan pikiran Anda.
Pikiran positif menghasilkan perbuatan dan hasil yang positif.
(Dr. Ibrahim Elfiky)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk
orang-orang yang mencintaiku dan aku cintai.
Berbagai rintangan dan keputusasaan mencair
karena limpahan perhatian , dukungan, dan doa mereka.
Berkat dorongan, dukungan, dan doa merekalah karya ini terselesaikan
sebagai suatu bentuk karya terindah
dari limpahan anugerah Illahi
Karya ini kupersembahkan untuk :
1. Bapak-Ibu, adik, Mediyanto dan segenap keluarga besarku untuk doa,
kasih sayang & perhatiannya yang tak akan pernah berhenti
memberiku semangat untuk menyelesaikan karya ini.
2. The Positive Thinking Crew (Mas Burhan, Mas Redy,
Mas Yasir, Mas Agung, Mifta Chu, Arfi NH, Masrika, Ribka, Taurina dan
Aminah) yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga
untuk suksesnya penelitian ini.
3. Almamaterku tercinta, Psikologi UNS.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
vii
KATA PENGANTAR
Bissmillahirrahmanirrahim,
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-
Nya serta menganugerahkan tetesan ilmu, kesehatan, dan kekuatan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Setelah melalui sebuah perjalanan panjang dan
menghadapi berbagai rintangan yang menghadang, akhirnya skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik. Penyusunan skripsi dengan judul ”Pengaruh Pelatihan
Berpikir Positif terhadap Asertivitas Remaja Panti Asuhan” dimaksudkan untuk
memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pada Program Studi
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari
bimbingan, bantuan, dorongan dan doa dari berbagai pihak, oleh karena itu Penulis
mengucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret dan pembimbing akademik yang telah memberikan
perhatian dan arahan selama Penulis menempuh studi.
2. Tri Rejeki Andayani, S.Psi.,M.Si., selaku dosen pembimbing utama, dan Aditya
Nanda Priyatama, S.Psi.,M.Si., selaku dosen pembimbing pendamping yang telah
meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk memberikan arahan, motivasi,
masukan, dan ilmu yang bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.
3. Dra. Salmah Lilik, M.Si. dan Rin Widya Agustin M.Psi., selaku penguji I dan II
yang telah bersedia memberikan saran dan kritik kepada Penulis bagi penulisan
skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
viii
4. Bapak, Ibu dosen dan seluruh staf tata usaha dan staf perpustakaan (Mbak Ana,
Mas Dhimas, Mas Ryan, dan Pak Warno) Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan motivasi dan
bantuan kepada Penulis dalam penyelesaian studi.
5. Ibu Siti Parini, S.Ag. selaku Pimpinan Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiah
Sukoharjo, Bapak Kalimin, S.Pd., S.Ag. selaku Pimpinan Panti Asuhan Yatim
Muhammadiyah Sukoharjo, dan Ibu Siti Taurat Aly selaku Pimpinan Panti Asuhan
Yatim Mardhatilah Sukoharjo, beserta seluruh staf pengasuh yang bersedia
memberikan izin serta membantu Penulis dalam melakukan penelitian dan seluruh
remaja panti asuhan di kedua panti tersebut yang telah bersedia meluangkan waktu
untuk menjadi subjek penelitian dan membantu dalam proses pengumpulan data.
6. Bapak-Ibu, adik, Mediyanto dan segenap keluarga besarku untuk doa, kasih sayang
& perhatiannya yang tak akan pernah berhenti memberiku semangat untuk
menyelesaikan skripsi ini di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. The Positive Thinking Crew (Mas Agung, Mas Redy, Mas Burhan, Mas Yasir,
Mifta Chu, Arfi NH, Masrika, Ribka, Taurina dan Aminah) yang telah bersedia
meluangkan waktu dan tenaga untuk suksesnya penelitian ini.
8. Terima kasih untuk Ddika I.R., Rini, Dika S., Marliana, Noviana, Maria, Sheila,
Febi, Tanty dan Indri yang telah memberikan dorongan, kekuatan, waktu, dan ilmu
serta kesediaannya dalam mendengarkan keluh kesahku.
9. Keluarga besar Psikologi angkatan 2006 yang telah memberikan kenangan manis,
kebersamaan, keceriaan, kesedihan, pengorbanan, persahabatan, motivasi, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
ix
kekuatan selama menempuh studi. Perjuangan belum berakhir, masih ada
kesuksesan lagi yang menunggu kita esok.
10. Kakak-kakakku angkatan 2004 dan 2005 yang banyak memberikan ilmu dan
kebersamaannya selama menempuh studi dan menyelesaikan skripsi, serta adik-
adikku angkatan 2007, 2008, 2009 dan 2010 terima kasih atas kerja samanya.
Lanjutkan perjuangan kita.
Semoga Allah SWT berkenan memberikan pahala yang sepadan dengan jerih
payah Bapak Ibu dan teman-teman lakukan, dan semoga skripsi yang sederhana ini
bermanfaat bagi semua pihak.
Surakarta, Juli 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
x
PENGARUH PELATIHAN BERPIKIR POSITIF TERHADAP ASERTIVITAS
REMAJA PANTI ASUHAN
Adhisty June Ertyastuti
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta
ABSTRAK
Remaja sebagai salah satu tahap dalam perkembangan manusia, memiliki tugas
perkembangan yang berfokus pada upaya untuk mencapai kemampuan bersikap dan
berperilaku sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab dalam lingkungannya.
Remaja memerlukan dukungan dan pengarahan dari keluarga untuk menyelesaikan
tugas perkembangannya. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap remaja dilindungi
dalam satu keutuhan keluarga sehingga menyebabkan remaja harus berada di panti
asuhan. Keberadaan panti asuhan berperan penting sebagai lembaga yang menangani
anak-anak terlantar untuk memenuhi kebutuhan anak asuhnya baik dari segi fisik
maupun psikis tetapi panti asuhan tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan anak asuhnya
terutama kebutuhan psikis. Masalah psikologis yang sering dialami oleh remaja panti
asuhan, diantaranya mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain
(kompetensi interpersonal), salah satunya dalam asertivitas yang menjadi fokus
penelitian ini. Asertivitas merupakan suatu perilaku yang dapat dipelajari sehingga
perilaku asertif dapat ditingkatkan melalui serangkaian latihan. Latihan untuk
meningkatkan asertivitas dapat dilakukan dengan menekankan pada proses kognitif.
Salah satu pengembangan latihan dengan proses kognitif adalah berpikir positif.
Pelatihan berpikir positif ini dimaksudkan untuk meningkatkan asertivitas remaja panti
asuhan. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan
berpikir positif terhadap asertivitas remaja panti asuhan di Panti Asuhan Yatim (PAY)
Mardhatilah Sukoharjo.
Penelitian ini menggunakan Non-Randomized Pretest-Posttest Control-Group
Design dengan subjek penelitian sebanyak 10 remaja panti asuhan di PAY Mardhatilah
Sukoharjo dengan tingkat asertivitas sedang yaitu lima remaja Kelompok Eksperimen
dan lima remaja Kelompok Kontrol. Pelatihan ini menggunakan pendekatan
experiential learning dengan metode communication activities, games, role play,
sharing, relaksasi, dan pemutaran film serta materi pelatihan yang telah disusun dalam
modul. Pengambilan data dilakukan menggunakan Skala Asertivitas dengan daya beda
item 0,302 - 0,642 dan koefisien reliabilitas (α) 0,883.
Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U, diketahui besarnya nilai Zhitung = -2,627
(Ztabel = -2,409; Zhitung<Ztabel) dan p 0,008 (p<0,05). Hal ini berarti ada pengaruh
pelatihan berpikir positif terhadap asertivitas remaja panti asuhan. Selanjutnya, hasil uji
menggunakan Wilcoxon T, diketahui besarnya nilai Zhitung = -2,032 (Ztabel = -1,728;
Zhitung<Ztabel) dan p 0,042 (p< 0,05). Hal ini berarti bahwa pelatihan berpikir positif
efektif dalam meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan.
Kata Kunci : Pelatihan Berpikir Positif, Asertivitas, Remaja Panti Asuhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
xi
EFFECT OF POSITIVE THINKING TRAINING ON ASSERTIVENESS OF
ADOLESCENTS IN ORPHANAGE
Adhisty June Ertyastuti
Psychology Department, Medical Faculty
Sebelas Maret University Surakarta
ABSTRACT
Adolescents as one stage in human development, has a developmental task that
focuses on efforts to achieve the ability to act and behave as responsible adults in their
environment. Adolescents need support and guidance from family to complete their
development tasks. The reality shows that not every adolescents is protected in a family
unit, causing adolescents to be in an orphanage. The existence of an orphanage as an
institution has an important role in charge of abandoned children to fulfil the needs of
foster children in terms of both physical and psychological but the orphanage can not
always fulfil the needs of foster children in particular psychological needs.
Psychological problems often experienced by adolescents in orphanage, including
difficulties in related with others (interpersonal competence), one of them is the
assertiveness that became the focus of this research. Assertiveness is a behavior that can
be learned, therefore, assertive behavior can be improved through a series of exercises.
The exercise of assertiveness improving can be used by focusing on cognitive process.
One of the development of training with cognitive process is positive thinking training.
Positive thinking training is intended to enhance assertiveness of adolescents in
orphanage. The purpose of this study was to determine the effect of positive thinking
training on assertiveness of adolescents in orphanage in the Orphanage Orphans (PAY)
Mardhatilah Sukoharjo.
This study used a Non-Randomized Pretest-Posttest Control-Group Design
with 10 adolescents in orphanage of Mardhatilah’s Orphanage with medium level of
assertiveness that was five adolescents in Experimental Group and five adolescents in
Control Group. This training used experiential learning approaches with communication
activities through presentations, games, role play, sharing, relaxation, and film
screenings then training materials that have been compiled in the module. Data was
collected by using Assertiveness Scale with a correlations coeffisient was at 0.302 up to
0.642 and reliability coeffisient was (α) 0.883.
Based on the results of the Mann-Whitney U test, known that the value Zhitung =
-2.627 (Ztabel = -2.409; Zhitung<Ztabel) and p 0.008 (p <0.05). This means there is an effect
of positive thinking training on assertiveness of adolescents in orphanage. Furthermore,
the results of The Wilcoxon T test, it wass known that the value Zhitung = -2.032 (Ztabel =
-1.728; Zhitung<Ztabel) and p 0.042 (p <0.05). This means that positive thinking training is
effective on improving assertiveness of adolescents in orphanage.
Keywords: Positive Thinking Training, Assertiveness, Adolescents in Orphanage
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
PERNYATAAN KEASLIAN...........................................................................................ii
HALAMAN PERSETUJUAN.........................................................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................................iv
MOTTO.............................................................................................................................v
HALAMAN PERSEMBAHAN.......................................................................................vi
KATA PENGANTAR.....................................................................................................vii
ABSTRAK.........................................................................................................................x
ABSTRACT.......................................................................................................................xi
DAFTAR ISI...................................................................................................................xii
DAFTAR TABEL..........................................................................................................xiv
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................xv
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................14
C. Tujuan Penelitian.................................................................................................15
D. Manfaat Penelitian ..............................................................................................15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
xiii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Asertivitas
1. Pengertian Asertivitas.....................................................................................16
2. Proses Asertivitas............................................................................................17
3. Aspek Asertivitas............................................................................................21
4. Manfaat Asertivitas.........................................................................................24
5. Faktor yang Mempengaruhi Asertivitas..........................................................27
B. Pelatihan Berpikir Positif
1. Pengertian Pelatihan........................................................................................29
a. Konsep Pendekatan dalam Pelatihan..........................................................31
b. Experiential Learning.................................................................................35
c. Komponen Pelatihan..................................................................................38
d. Penyusunan Program Pelatihan..................................................................39
2. Berpikir Positif
a. Pengertian Berpikir Positif.........................................................................44
b. Manfaat Berpikir Positif.............................................................................46
c. Langkah Efektif Berpikir Positif................................................................50
3. Pelatihan Berpikir Positif................................................................................73
C. Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif Terhadap
Asertivitas Remaja Panti Asuhan........................................................................79
D. Kerangka Berpikir...............................................................................................84
E. Hipotesis..............................................................................................................85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
xiv
BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian...........................................................................86
B. Definisi Operasional............................................................................................86
C. Populasi dan Sampel............................................................................................90
D. Metode Pengumpulan Data.................................................................................90
E. Validitas dan Reliabilitas.....................................................................................92
F. Rancangan Penelitian..........................................................................................93
G. Prosedur Penelitian..............................................................................................94
H. Teknik Analisis Data...........................................................................................96
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian ............................................................................................97
1. Orientasi Tempat Penelitian ........................................................................97
2. Persiapan Administrasi..............................................................................100
3. Persiapan Alat Ukur...................................................................................100
a. Alat Ukur Sebelum Uji Coba.................................................................100
b. Uji Coba Alat Ukur................................................................................102
c. Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas.........................................104
d. Penyusunan Alat Ukur...........................................................................108
4. Persiapan Eksperimen................................................................................109
a. Persiapan Alat dan Bahan......................................................................109
b. Uji Coba Modul Pelatihan......................................................................110
c. Screening................................................................................................112
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
xv
B. Pelaksanaan Penelitian .....................................................................................113
1. Pelaksanaan Pengambilan Data Pretest......................................................113
2. Penentuan Sampel Penelitian .....................................................................115
3. Pelaksanaan Eksperimen............................................................................116
4. Pelaksanaan Pengambilan Data Posttest....................................................124
C. Hasil Penelitian..................................................................................................125
1. Hasil Analisis Kuantitatif...........................................................................125
a. Uji Hipotesis..........................................................................................126
b. Hasil Analisis Evaluasi Proses dan Hasil Pelatihan...............................129
2. Hasil Analisis Deskriptif ...........................................................................132
D. Pembahasan ......................................................................................................144
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan........................................................................................................153
B. Saran .................................................................................................................154
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................156
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
xvi
DARTAR TABEL
Tabel 1 Perbedaan antara Training dan Education.........................................................30
Tabel 2 Rangkaian Pelatihan Berpikir Positif.................................................................88
Tabel 3 Blue Print Skala Asertivitas Sebelum Uji Coba.................................................92
Tabel 4 Misi Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo.............................................99
Tabel 5 Distribusi Skala Asertivitas Sebelum Uji Coba................................................102
Tabel 6 Distribusi Skala Asertivitas Setelah Uji Coba..................................................106
Tabel 7 Hasil Uji Reliabilitas Cronbach’s Alpha..........................................................107
Tabel 8 Distribusi Skala Asertivitas Untuk Penelitian..................................................108
Tabel 9 Nilai Tes Evaluasi Materi (Uji Coba Modul)...................................................111
Tabel 10 Nilai Pemahaman Materi (Uji Coba Modul)..................................................112
Tabel 11 Hasil Screening...............................................................................................114
Tabel 12 Sampel Penelitian yang Menjadi Kelompok Kontrol.....................................116
Tabel 13 Sampel Penelitian yang Menjadi Kelompok Eksperimen.............................116
Tabel 14 Hasil Uji Mann-Whitney U-Test.....................................................................126
Tabel 15 Hasil Uji Wilcoxon Signed Ranks Test...........................................................128
Tabel 16 Distribusi Hasil Analisis Evaluasi Proses Pelatihan.......................................129
Tabel 17 Distribusi Hasil Evaluasi Worksheet..............................................................132
Tabel 18 Distribusi Hasil Penelitian..............................................................................133
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Integrasi Empat Kecerdasan dalam Asertivitas..............................................20
Gambar 2 Siklus Experiential Learning..........................................................................36
Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir...............................................................................84
Gambar 4 Desain Penelitian............................................................................................94
Gambar 5 Skor Asertivitas pada Peserta 1....................................................................133
Gambar 6 Skor Asertivitas pada Peserta 2....................................................................135
Gambar 7 Skor Asertivitas pada Peserta 3....................................................................138
Gambar 8 Skor Asertivitas pada Peserta 4....................................................................140
Gambar 9 Skor Asertivitas pada Peserta 5....................................................................142
Gambar 10 Grafik Skor Asertivitas Kelompok Eksperimen.........................................146
Gambar 11 Grafik Perbedaan Mean Skor Asertivitas...................................................146
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Detail Rancangan Pelatihan.....................................................................159
Lampiran B Skala Untuk Try Out dan Penelitian........................................................163
Lampiran C Penjelasan Pelatihan................................................................................173
Lampiran D Lembar Evaluasi Proses..........................................................................176
Lampiran E Modul Pelatihan Berpikir Positif.............................................................179
Lampiran F Tabulasi Try Out, Tabulasi Pretest, Tabulasi Posttest,
Kategorisasi Tingkat Asertivitas..............................................................200
Lampiran G Uji Reliabilitas, Uji Hipotesis.................................................................208
Lampiran H Dokumentasi...........................................................................................212
Lampiran I Surat-surat...............................................................................................214
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di zaman globalisasi sekarang ini, semua kebudayaan asing dapat masuk
ke dalam negara kita, yang secara otomatis akan membawa pengaruh signifikan
dalam berbagai bidang kehidupan. Lingkungan menjadi semakin selektif, hal ini
diikuti dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menuntut adanya usaha untuk menjadikan kualitas hidup selalu lebih baik dari
sebelumnya. Hidup ini memberi tantangan berupa permasalahan dan kesulitan.
Kesulitan hidup ini bisa dialami oleh siapa saja, termasuk remaja sebagai salah
satu tahap dalam perkembangan manusia. Remaja yang dihadapkan pada kesulitan
akan mudah menjadi putus asa apabila dia tidak memiliki tujuan hidup, harapan,
dan hal-hal berharga yang ingin dicapai. Bagi remaja yang mampu beradaptasi
dan menunjukkan kemampuannya dengan baik akan tetap eksis di lingkungannya,
sedangkan remaja yang tidak mampu untuk beradaptasi dan menunjukkan
kemampuannya maka remaja tersebut bisa jadi akan merasa rendah diri atau
merasa tidak berarti.
Permasalahan pada remaja bisa muncul sejalan dengan pergantian status
dari anak menjadi remaja. Ali & Asrori (2004) mengatakan bahwa remaja
sebenarnya tidak mempunyai kedudukan yang jelas. Remaja sudah tidak termasuk
dalam golongan anak, tetapi juga belum dapat diterima secara penuh untuk masuk
ke dalam golongan orang dewasa. Remaja berada di antara anak dan orang
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
dewasa. Remaja memiliki beberapa tugas perkembangan yang harus dilalui agar
dapat menjalani kehidupannya dengan lebih baik menuju kedewasaan. Menurut
Havigrust (dalam Panuju & Umami, 1999) tugas perkembangan masa remaja
difokuskan pada upaya untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku
sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab dalam lingkungannya karena hal
ini merupakan pondasi supaya remaja dapat hidup bermasyarakat. Oleh karena itu,
jika remaja berhasil melalui tugas perkembangan ini akan menimbulkan fase
bahagia dan membawa keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya,
tetapi jika gagal melalui tugas perkembangan ini maka akan menimbulkan rasa
tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Selanjutnya, menurut Panuju & Umami (1999) terdapat hubungan yang
cukup erat antara lingkungan kehidupan sosial dan tugas perkembangan yang
harus dilalui oleh remaja dalam kehidupannya. Keluarga sebagai lingkungan
sosial yang terkecil tentu sangat berperan bagi remaja dalam menghadapi tugas
perkembangannya. Remaja memerlukan dukungan dan pengarahan dari keluarga
untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya karena keluarga
mempunyai peranan yang penting dalam penanaman nilai dan norma bagi seorang
anak yang menuju masa remaja. Rasa aman yang didapat dari keluarga pada awal
pertumbuhan dan perkembangan remaja akan mendorong remaja untuk
melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya sehingga remaja dapat
mengembangkan bakat dan kemampuan yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan
bahwa keutuhan sebuah keluarga dan terpenuhinya kualitas interkasi antar
anggotanya merupakan hal yang diperlukan oleh seorang remaja agar dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
tumbuh menjadi seseorang dengan keyakinan bahwa remaja dapat meraih tujuan
hidupnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap remaja dilindungi dalam satu
keutuhan keluarga yang bisa memenuhi kebutuhan emosional dan fisik secara
optimal. Ada kondisi tertentu yang menyebabkan seorang remaja berada di
lembaga yang bernama panti asuhan. Panti asuhan diartikan sebagai rumah,
tempat atau kediaman yang digunakan untuk memelihara atau mengasuh anak
yatim, piatu dan yatim piatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Panti asuhan
sebagai lembaga yang menangani anak-anak terlantar berusaha memenuhi
kebutuhan anak asuhnya baik dari segi fisik maupun psikis. Panti asuhan tidak
hanya sebagai tempat penitipan, tetapi juga menjadi sarana pematangan mental
agar kelak setelah keluar dari panti asuhan, anak-anak yang dulunya tinggal di
panti asuhan mampu berdiri sendiri. Panti asuhan berperan sebagai pengganti
keluarga dalam memenuhi kebutuhan remaja dalam menjalani proses
perkembangannya.
Sebuah laporan yang diluncurkan oleh Departemen Sosial Republik
Indonesia (Depsos) pada Juni 2008 menyebutkan bahwa jumlah panti asuhan di
seluruh Indonesia diperkirakan antara 5.000-8.000 yang mengasuh sampai dengan
setengah juta anak ini kemungkinan merupakan jumlah panti asuhan terbesar di
seluruh dunia. Pemerintah Indonesia hanya memiliki dan menyelenggarakan
sedikit dari panti asuhan tersebut, lebih dari 99% panti asuhan diselenggarakan
oleh masyarakat, seperti yayasan sosial dan organisasi keagamaan. Depsos sendiri
hanya memiliki tiga panti asuhan di seluruh Indonesia dan Pemerintah Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
(Pemda) hanya menaungi 35 panti asuhan di seluruh Indonesia. Jumlah panti
asuhan yang berada di Provinsi Jawa Tengah mencapai 440 panti asuhan,
diantaranya 28 panti asuhan milik Pemerintah dan 412 panti asuhan dikelola oleh
pihak swasta, sedangkan jumlah panti asuhan yang berada di Kabupaten
Sukoharjo mencapai delapan panti asuhan, satu panti asuhan milik pemerintah dan
tujuh panti asuhan yang dikelola oleh pihak swasta.
Pihak swasta yang ikut mengelola panti asuhan di Kabupaten Sukoharjo
antara lain Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Grogol, Panti Asuhan Yatim
Muhammadiyah Bekonang, Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Polokarto, Panti
Asuhan Mardhatilah Putra dan Putri, Yayasan Adh-Dhuha yaitu Panti Asuhan
Adh-Dhuha, dan Yayasan Danar Hadi yaitu Panti Asuhan Al Muttaqin. Penulis
memilih untuk mengadakan penelitian di Panti Asuhan Mardhatilah Kartasura
karena sesuai dengan tujuan pendirian panti asuhan ini yaitu memberikan
pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak-anak terlantar agar dapat memenuhi
kebutuhan baik fisik, mental maupun sosial (dalam buku profil pendirian Panti
Asuhan Mardhatilah Kartasura, Sukoharjo).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memberikan potret mendalam
tentang situasi anak-anak dan pengasuhan yang didapatkan di panti asuhan. Salah
satunya adalah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa faktor perbedaan rasio
anak dengan pengasuh, stabilitas dan kontinuitas interaksi pengasuh dengan anak
serta tingkat demokratisasi pola asuh ternyata hanya memberikan sumbangan
0,23% untuk perkembangan tingkat kompetensi interpersonal anak-anak panti
asuhan di daerah Yogyakarta (Mulyati, 1997). Penelitian ini menyebutkan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
banyak faktor lain yang dimungkinkan lebih berpengaruh terhadap perkembangan
tingkat kompetensi interpersonal anak, antara lain kondisi pengasuh, kesempatan
berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa lain selain pengasuh dan
karakteristik individual anak.
Selanjutnya, penelitian yang pernah dilakukan pada remaja panti asuhan
Islam yang ada di daerah Yogyakarta (Lukman, 2000) didapatkan hasil penelitian
bahwa 97,6% remaja panti asuhan cenderung kurang mampu menunjukkan sikap
mandiri, 95,2% remaja panti asuhan mengalami kesulitan dalam menunjukkan
kompetensi interpersonal, dan 98,8% remaja panti asuhan menunjukkan konsep
diri yang kurang.
Penelitian lain yang telah dilakukan pada beberapa panti asuhan di daerah
Jawa Timur (Hartini, 2001) mengenai deskripsi kebutuhan psikologis pada anak
panti asuhan didapatkan hasil penelitian bahwa 76% anak-anak panti asuhan
cenderung kurang mampu untuk berhubungan dengan orang lain, 77% anak-anak
panti asuhan masih merasa bahwa di lingkungan panti asuhan tempat tinggalnya
kurang memberi motivasi untuk berprestasi, 56% anak-anak panti asuhan merasa
masih belum dapat diterima apa adanya dan dibiarkan berkembang sesuai
potensinya sendiri, 57% anak-anak panti asuhan merasa belum menemukan orang
yang tepat untuk dijadikan sebagai panutan dan dijadikan teman untuk menjalin
suatu komunikasi yang baik, 52% anak-anak panti asuhan cenderung
menunjukkan kesulitan dalam penyesuaian sosialnya karena merasa adanya aturan
dan tata cara yang terlalu kaku, dan 56% anak-anak putri panti asuhan masih
sangat tergantung dan kurang mempunyai motivasi untuk mandiri. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
menunjukkan bahwa kehidupan panti asuhan tersebut terlalu kaku dan kurang
memperhatikan pemenuhan kebutuhan psikologis dan sosial para penghuninya.
Selanjutnya, penelitian yang telah dilakukan di Panti Asuhan Yatim Piatu
Darul Hadlonah Kudus menyebutkan hasil bahwa sebanyak 12,5% anak panti
asuhan memiliki tingkat asertivitas yang sangat baik, sebanyak 12,5% anak panti
asuhan memiliki tingkat asertivitas yang baik, sebanyak 25% anak panti asuhan
memiliki tingkat asertivitas yang cukup, sebanyak 32,5% anak panti asuhan
memiliki tingkat asertivitas yang kurang, dan sebanyak 17,5% anak panti asuhan
memiliki tingkat asertivitas yang sangat kurang (Masriah, 2006).
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut menitikberatkan pada
masalah-masalah psikologis yang sering dialami oleh remaja yang tinggal di panti
asuhan, diantaranya hasil penelitian yang menyebutkan bahwa 95,2% remaja panti
asuhan Islam di Yogyakarta mengalami kesulitan dalam menunjukkan kompetensi
interpersonal, hasil penelitian yang menyebutkan bahwa 76% anak-anak panti
asuhan di Jawa Timur cenderung kurang mampu untuk berhubungan dengan
orang lain, dan sebanyak 75% anak panti asuhan di Kudus memiliki tingkat
asertivitas yang kurang. Dilihat dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
remaja yang tinggal di panti asuhan mengalami kesulitan dalam berhubungan
dengan orang lain yaitu dalam kompetensi interpersonalnya, termasuk dalam
asertivitas. Kompetensi interpersonal memiliki lima aspek yaitu inisiatif,
keterbukaan, asertivitas, dukungan emosional, dan kemampuan mengatasi konflik
(Buhrmester dkk, 1988). Salah satu aspek dari kompetensi interpersonal yang
menjadi fokus penelitian kali ini adalah asertivitas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Menurut Kamus Webster Third International (dalam Fensterheim & Baer,
1980), kata kerja assert berarti menyatakan atau bersikap positif, yakni berterus
terang atau tegas. Lalu menurut Lange & Jakubowski (dalam Calhoun &
Acocella, 1990) asertif atau bersikap tegas artinya menuntut hak pribadi dan
menyatakan pikiran, perasaan, dan keyakinan dengan cara langsung, jujur dan
tepat. Alberti & Emmons (dalam Rakos, 1991) secara detail menyebutkan bahwa
perilaku asertif merupakan perilaku yang memungkinkan seseorang untuk
bertindak sesuai dengan keinginan, mempertahankan diri tanpa merasa cemas,
mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman, ataupun menggunakan hak-
hak pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain.
Perilaku asertif menurut Rimm & Masters (dalam Rakos, 1991) adalah
perilaku interpersonal berupa pernyataan pikiran dan perasaan yang bersifat jujur
dan relatif langsung serta tepat secara sosial artinya tidak menganggu
kesejahteraan orang lain. Selanjutnya menurut Gunarsa (2004), perilaku asertif
adalah perilaku interpersonal yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan
pikiran dan perasaan. Perilaku asertif ini ditandai oleh adanya kesesuaian sosial
dan mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain. Perilaku asertif ini
dapat ditunjukkan dengan mengkomunikasikan keinginan, perasaan dan
pemikirannya kepada orang lain dengan cara langsung dan jujur tanpa bermaksud
menyakiti siapapun. Pada umumnya, orang yang asertif dalam kehidapannya
sehari-hari mampu mengenal dirinya sendiri dengan baik sehingga mampu
menentukan pilihan keinginan dan tujuan hidupnya tanpa harus dipengaruhi oleh
orang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Remaja panti asuhan yang memiliki tingkat asertivitas rendah maka remaja
panti asuhan tersebut akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dan
berkomunikasi dengan orang lain, baik yang berada di dalam maupun di luar
lingkungan panti asuhan. Sebaliknya, apabila remaja panti asuhan memiliki
tingkat asertivitas yang tinggi maka remaja panti asuhan dapat melakukan
penyesuaian diri dan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain sehingga
membantu dalam kehidupannya nanti setelah keluar dari panti asuhan. Remaja
panti asuhan dengan asertivitas tinggi diharapkan mampu membela dirinya sendiri
maupun orang lain ketika diperlakukan tidak adil, mampu memberikan tanggapan
terhadap masalah yang dihadapi yang dapat mempengaruhi hidupnya, serta
mampu menyatakan keinginannya secara tegas terhadap orang lain.
Selanjutnya, menurut Covey (dalam Gunarsa, 2004), latihan untuk
bersikap asertif bermanfaat untuk digunakan dalam menghadapi orang yang tidak
dapat mengekspresikan kemarahan atau perasaan yang tersinggung, mengalami
kesulitan untuk mengatakan ”tidak”, terlalu sopan berlebihan dan membiarkan
orang lain mengambil keuntungan dari keadaannya, mengalami kesulitan untuk
mengekspresikan perasaan dan respon-respon positif lainnya, dan merasa tidak
memiliki hak untuk mengekspresikan pikiran, kepercayaan, dan perasaannya.
Menurut Rich dan Schroeder (dalam Rakos, 1991), perilaku asertif
merupakan suatu bentuk perilaku atau keterampilan yang dapat dipelajari (learned
skill) yang dipengaruhi oleh lingkungan dan interaksi seseorang dengan
lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rathus dan Nevid (dalam Widjaja
dan Wulan, 1998) yang menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan pola-pola
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
yang dapat dipelajari dari lingkungan sebagai reaksi terhadap situasi sosial dalam
kehidupannya. Selanjutya, berkembangnya perilaku asertif ini dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang dialami individu dalam lingkungan dan sepanjang hidupnya.
Tingkah laku ini diduga berkembang sejak anak melakukan interaksi dengan
orang tua dan orang-orang dewasa lain di sekitarnya.
Sesuai dengan pendapat Rich dan Schroeder (dalam Rakos, 1991) bahwa
perilaku asertif merupakan suatu bentuk perilaku yang dapat dipelajari dan
dipengaruhi oleh lingkungan serta interaksi antara orang dengan lingkungannya,
maka untuk membentuk suatu perilaku asertif diperlukan suatu latihan. Latihan
untuk meningkatkan perilaku asertif ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu
pengkondisian dan pemilihan perilaku yang tepat, mempersiapkan diri untuk
bersikap asertif, berpikir positif, dan pemahaman seseorang tentang hak-hak dasar
yang dimiliki (Bishop, 2007).
Pada tahap pengkondisian dan pemilihan perilaku yang tepat, seseorang
dihadapkan pada situasi yang memungkinkan untuk memilih bersikap pasif,
agresif atau asertif di mana sikap pasif dan agresif datang secara alami sedangkan
sikap asertif memerlukan suatu proses kognitif. Pada tahap mempersiapkan diri
untuk bersikap asertif, seseorang yang telah memilih untuk bersikap asertif
melakukan latihan keterampilan untuk bersikap asertif. Pada tahap berpikir positif,
inti dari latihan bersikap asertif ini adalah berpikir positif karena seseorang yang
berpikir positif akan memiliki sebuah citra diri yang positif, menggunakan bahasa
yang positif, mencari hasil positif untuk interaksi, bekerja sama dengan orang lain
untuk memberikan solusi positif dalam suatu masalah sehingga dimenangkan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
kedua belah pihak (win win solution), menghormati pendapat orang lain secara
positif sehingga membuat seseorang menjadi lebih asertif dalam mengemukakan
pendapat, pikiran, dan perasaan secara jujur, langsung, dan terbuka. Pada tahap
terakhir yaitu pemahaman seseorang tentang hak-hak dasar yang dimiliki, di sini
yang harus disadari bahwa apa yang menjadi hak pribadi sendiri juga dimiliki oleh
pribadi orang lain maka perlu ditekankan untuk saling menghormati kebutuhan,
pendapat dan perasaan masing-masing.
Latihan untuk meningkatkan perilaku asertif di atas merupakan suatu
langkah yang dapat dilakukan secara bertahap tetapi disebutkan pula bahwa tahap
berpikir positif merupakan inti dalam latihan tersebut maka Penulis mencoba
untuk memfokuskan pada tahap berpikir positif karena berpikir positif merupakan
suatu proses kognitif yang dapat dipelajari oleh semua orang, langkah yang
mudah dilakukan dan menghasilkan manfaat yang luar biasa. Berpikir positif
dapat membuat seseorang selalu dalam keadaan positif karena selalu positif dalam
memandang kehidupan yang dijalani selama ini.
Telah disebutkan pula bahwa diperlukan suatu proses kognitif untuk
bersikap asertif. Selanjutnya, proses kognitif yang sesuai dengan konsep dasar
psikologi kognitif, menekankan pada aktivitas pikiran seseorang, proses yang
terjadi dalam pikiran ini meliputi bagaimana seseorang memperoleh informasi,
bagaimana informasi itu kemudian direpresentasikan dan ditransformasikan
sebagai pengetahuan, bagaimana pengetahuan itu disimpan di dalam ingatan
kemudian dimunculkan kembali, bagaimana pengetahuan itu digunakan seseorang
untuk mengarahkan sikap-sikap dan perilaku-perilakunya (Matlin, dkk dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Suharnan, 2005). Proses kognitif yang menjadi inti dalam latihan bersikap asertif
ini adalah cara berpikir positif. Di sini, Penulis mencoba untuk menanamkan cara
berpikir yang positif pada remaja panti asuhan agar dapat mengelola pemikiran
dan pandangannya ke arah yang positif sehingga lebih mampu mengungkapkan
pikiran dan perasaannya karena pikiran ikut menentukan sikap yang akan diambil
dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.
Menurut Peale (2006) dalam bukunya Berpikir Positif Untuk Remaja
mendefinisikan berpikir positif sebagai cara berpikir dinamis yang menyeluruh.
Pemikiran-pemikiran dinamis ini mengubah seseorang dengan perasaan yang
dikelilingi ketidakberdayaan menjadi manusia yang penuh kekuatan. Perubahan
yang terjadi dari kondisi yang hampir mutlak kalah menjadi pribadi yang penuh
percaya diri dan bisa memberi inspirasi hanya dengan proses sederhana yakni
dengan pengkondisian pemikiran. Selanjutnya, Seligman (2008) melaporkan hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa penelitian berpikir positif efektif untuk
mengubah sikap pesimis menjadi optimis dan dapat mengurangi simtom depresi.
Menurutnya, sikap pesimis disebabkan karena adanya keyakinan negatif terhadap
dirinya yang berdasar pada cara berpikir yang salah. Dengan jalan mengubah cara
berpikir yang negatif menjadi positif maka individu yang semula mempunyai
sikap pesimis akan menjadi optimis dan menjadi lebih yakin pada dirinya sendiri
sehingga lebih mampu dan berani dalam mengekspresikan apa yang dimilikinya,
dengan kata lain menjadi lebih asertif.
Asmani (2009) menyebutkan bahwa berpikir positif merupakan cara
berpikir yang berangkat dari hal-hal baik yang mampu menyulut semangat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
perubahan menuju taraf hidup yang lebih baik. Berpikir positif telah menjadi
sebuah sistem berpikir yang mengarahkan dan membimbing seseorang untuk
meninggalkan hal-hal negatif yang dapat melemahkan semangat perubahan dalam
jiwanya. Sementara menurut Elfiky (2009), berpikir positif adalah sumber
kekuatan dan sumber kebebasan, disebut sebagai sumber kekuatan karena berpikir
positif dapat membantu manusia memikirkan solusi sampai mendapatkannya
dengan begitu manusia akan bertambah mahir, percaya, dan kuat dan disebut
sebagai sumber kebebasan karena dengan berpikir positif manusia dapat terbebas
dari penderitaan dan kungkungan pikiran negatif serta pengaruhnya pada fisik.
Kekuatan berpikir positif inilah yang diharapkan dapat meningkatkan perilaku
asertif seseorang sehingga lebih mampu dan berani dalam mengemukakan
pendapat, pemikiran, dan perasaan yang dimiliki.
Selanjutnya, cara berpikir positif ini dapat dipelajari melalui pelatihan
berpikir positif. Menurut Ellis (dalam Seligman, 2008), pelatihan berpikir positif
merupakan salah satu dari terapi kognitif yang bertujuan untuk mengenali pola
pikir yang negatif dan memahaminya, mengubah pola pikir yang negatif dengan
latihan-latihan, dan menggunakan pola pikir baru untuk menghadapi peristiwa
kehidupan yang akan datang. Teknik-teknik pelatihan berpikir positif
menggunakan Model A-B-C yang dikembangkan oleh Ellis sesuai dengan tahap
pengelolaan pikiran dalam terapi rasional-emotif (dalam Seligman, 2008). A
(Adversity) adalah peristiwa yang tidak mengenakkan atau kesulitan yang
dihadapi, B (Belief) adalah keyakinan yang muncul mengenai peristiwa yang
terjadi, dan C (Consequences) adalah konsekuensi dari peristiwa yang terjadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Dengan mengikuti pelatihan berpikir positif ini, remaja panti asuhan
diharapkan mampu menggunakan cara berpikir positif dalam kehidupannya
sehari-hari karena melalui berpikir positif, remaja panti asuhan akan dapat
menjadi pribadi yang percaya diri, tidak mudah putus asa, berani dalam bertindak,
dan dapat mencapai kebahagiaan dalam hidup. Saat remaja panti asuhan tidak
dapat mengkomunikasikan apa yang dipikirkan dan dirasakannya karena kurang
mampu berpikir positif, maka tantangan kehidupan yang diterima akan disikapi
secara negatif. Tentu saja semua ini akan membuat remaja panti asuhan berada
dalam kondisi gelisah, marah, dan stres. Kondisi ini akan merugikan
perkembangan diri remaja panti asuhan dalam melalui tugas perkembangan dan
tidak dapat mengekspresikan potensi yang dimilikinya.
Pikiran positif perlu dipelajari dan dilatih secara serius agar remaja panti
asuhan mampu menjadikannya sebagai pandangan hidup. Jika remaja panti
asuhan mampu berpikir positif secara konsisten, maka remaja panti asuhan pun
mempunyai kesempatan lebih besar untuk menjadi pribadi yang tegar dan percaya
diri dalam mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya. Melalui pikiran positif,
semua kekuatan diri remaja panti asuhan akan bekerja secara otomatis sehingga
menjadi berhasil dalam meraih apa yang dicita-citakan. Kesadaran remaja panti
asuhan untuk mau berpikir positif terhadap setiap momen dalam hidupnya akan
memberikan energi positif dalam setiap tindakan yang dilakukan. Dengan berpikir
positif diharapkan remaja panti asuhan menjadi pribadi yang mampu bersikap
asertif terhadap semua aspek kehidupan yang mengelilingi hidupnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Berdasarkan uraian di atas, melihat pentingnya cara berpikir positif untuk
membantu masalah psikologis yang dialami oleh remaja panti asuhan yakni
kemampuan remaja panti asuhan untuk bersikap asertif, maka Penulis akan
memberikan pelatihan berpikir positif kepada remaja yang tinggal di salah satu
panti asuhan Islam di daerah Sukoharjo yaitu di Panti Asuhan Mardhotilah
Kartasura, Sukoharjo. Penulis akan mengadakan penelitian untuk penulisan
skripsi dengan judul Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif terhadap Tingkat
Asertivitas Remaja Panti Asuhan. Penulis berharap remaja panti asuhan tidak
membuat langkah mundur, melupakan harapan-harapan, dan pada akhirnya
menyebabkan remaja panti asuhan tidak dapat mencapai tujuan hidupnya.
Peningkatan berpikir positif diharapkan dapat membantu remaja panti asuhan
menjadi lebih asertif dalam mengekspresikan dan mengkomunikasikan apa yang
diinginkannya sehingga remaja panti asuhan pun dapat berkomunikasi secara
efektif dengan orang lain dan tercipta hubungan yang harmonis dengan
lingkungan sekitarnya. Dengan menyatakan apa adanya perasaan atau emosinya,
remaja panti asuhan tidak akan dikendalikan oleh orang lain, efektif dalam
berinteraksi, lebih dihargai orang lain, menjadi lebih percaya diri dan memiliki
rasa puas dalam hidupnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan
masalah yang ada dalam penelitian ini adalah "Apakah ada pengaruh pelatihan
berpikir positif terhadap peningkatan asertivitas remaja panti asuhan?"
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
pelatihan berpikir positif terhadap peningkatan asertivitas remaja panti asuhan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat teoretis yang dapat diperoleh apabila penelitian yang dilakukan
oleh Penulis ini terbukti adalah melanjutkan dan mengembangkan penelitian
sebelumnya mengenai modul pelatihan berpikir positif.
Manfaat praktis yang dapat diambil apabila penelitian ini terbukti adalah
sebagai upaya meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan melalui pelatihan
berpikir positif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asertivitas
1. Pengertian Asertivitas
Asertivitas merupakan salah satu kompetensi interpersonal yang
dibutuhkan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain. Beberapa
pengertian asertivitas telah diuraikan oleh para ahli. Menurut Kamus Webster
Third International (dalam Fensterheim & Baer, 1980), asertivitas berasal dari
kata kerja assert yang berarti menyatakan secara sadar atau bersikap positif
yakni berterus terang atau tegas. Selanjutnya, Fensterheim & Baer (1980)
menyatakan bahwa apabila seseorang mampu bersikap asertif maka akan
timbul suatu perasaan yang menggairahkan karena adanya hubungan pribadi
yang lebih dekat dan mendalam. Menurut Calhoun & Acocella (1990),
asertivitas adalah kemampuan untuk meminta orang lain melakukan sesuatu
yang diinginkan atau menolak melakukan hal yang tidak diinginkan.
Menurut Johnson (1993), perilaku asertif merupakan perilaku yang
berupa menguraikan perasaan, pemikiran, pendapat dan pilihan secara
langsung kepada orang lain dengan cara yang sesuai dan jujur dengan tetap
menghormati diri sendiri dan orang lain. Perilaku yang asertif adalah langsung,
jujur, menghargai diri, pernyataan diri yang tidak merugikan orang lain dan
sesuai dengan penerima dan situasi. Selanjutnya, Breakwell (1998)
mendefinisikan sikap asertif adalah menandaskan hak-hak atau opini-opini diri
16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
sendiri. Ini melibatkan usaha menuntut pengakuan dari orang lain sehingga
dalam batas hukum, seseorang mempunyai hak untuk memutuskan bagaimana
dirinya berpikir, merasa dan bertindak. Hal senada diungkapkan oleh Eggert
(1999), asertivitas adalah menegakkan integritas dan martabat diri sendiri
sementara pada saat yang sama tetap mendorong dan mengakui perilaku ini
pada orang lain.
Dari berbagai pengertian mengenai asertivitas, maka dapat diketahui
bahwa asertivitas adalah kemampuan mengekspresikan perasaan, pemikiran,
pendapat, dan pilihan secara langsung kepada orang lain dengan cara yang
sesuai dan jujur dengan tetap menghormati diri sendiri dan orang lain sehingga
dapat tercipta hubungan interpersonal yang harmonis dan efektif. Pengertian ini
sesuai dengan pengertian yang diungkapkan oleh Johnson (1993) karena
menurut Penulis, pengertian ini telah mencakup dari keseluruhan pengertian
asertivitas yang dikemukakan oleh para ahli lain.
2. Proses Asertivitas
Asertivitas merupakan suatu keterampilan yang dapat dipelajari, oleh
karena itu terjadi suatu proses dalam diri seseorang untuk menjadi asertif.
Proses yang terjadi dalam seseorang yang asertif menurut Covey & Laurence
(dalam Townend, 2007) adalah integrasi dari keempat energi atau kecerdasan
yaitu fisik, intelektual, emosional, dan kesadaran spiritual.
Integrasi dari keempat energi atau kecerdasan fisik, intelektual,
emosional, dan kesadaran spiritual inilah yang merupakan suatu proses yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
terjadi dalam diri seseorang yang asertif. Pada kecerdasan fisik (physical
quotient) dalam diri seseorang terdiri dari tubuh, alat indera, fungsi tubuh,
memori masa lalu, perilaku dan aktivitas. Pada kecerdasan intelektual
(intellectual quotient) terdiri dari pikiran, kepercayaan atau keyakinan diri,
memori masa lalu atau ingatan, self-talk, suara, imajinasi, dan cara berpikir.
Pada kecerdasan emosional (emotional quotient) terdiri dari hati, kesadaran
diri, kesadaran akan orang lain, kerentanan, kekuatan, rasa iba atau belas
kasihan, pengampunan, dan perasaan. Pada kecerdasan spiritual (spiritual
quotient) terdiri dari semangat, hubungan, nilai, makna dan tujuan, kontribusi,
integritas, intuisi, warisan, refleksi, meditasi, dan being. Keempat energi atau
kecerdasan ini berintegrasi atau saling menyatu dalam diri seseorang yang
asertif.
Ketika keempat kecerdasan ini saling menyatu atau berintegrasi maka
muncullah asertivitas dalam diri seseorang karena sesuai dengan pengertian
menurut Covey & Laurence (dalam Townend, 2007) bahwa asertivitas adalah
integrasi dari keempat kecerdasan yaitu kecerdasan fisik, intektual, emosional,
dan kesadaran spiritual. Integrasi keempat kecerdasan tersebut dapat dilihat
ketika seseorang memiliki kecerdasan intelektual (intellectual quotient) yang
efektif yaitu ketika semua hal yang meliputi kecerdasan intelektual seperti
pikiran, kepercayaan atau keyakinan diri, memori masa lalu atau ingatan, self-
talk, suara, imajinasi, dan cara berpikir dapat bekerja secara optimal sehingga
dapat diandalkan secara intelektual lalu ketika seseorang memiliki kecerdasan
emosional (emotional quotient) yang dinamis yaitu ketika hati, kesadaran diri,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
kesadaran akan orang lain, kerentanan, kekuatan, rasa iba atau belas kasihan,
pengampunan, dan perasaan dapat berkoordinasi dengan baik sehingga dapat
mengendalikan emosi dengan baik dan dapat menyesuaikan diri di berbagai
situasi yang berbeda lalu ketika seseorang memiliki kecerdasan spiritual
(spiritual quotient) yang terarah yaitu ketika semangat, hubungan, nilai, makna
dan tujuan, kontribusi, integritas, intuisi, warisan, refleksi, meditasi, dan being
dapat dikoordinasikan dengan optimal sehingga dapat bersikap arif dan
bijaksana dalam bertindak serta memiliki kehidupan rohani yang mendalam
lalu ketika seseorang memiliki kecerdasan fisik (physical quotient) yang prima
yaitu ketika tubuh, alat indera, fungsi tubuh, memori masa lalu, perilaku dan
aktivitas dapat berfungsi dengan baik sehingga selalu tampil dengan fisik yang
tampak segar dan bugar yang dapat ditunjukkan dengan ekspresi non verbal
sesuai yang dikemukakan oleh Mehrabian (dalam Eggert, 1999) yaitu ekspresi
wajah yang dapat dipercaya, prihatin, tertarik, dan responsif; postur tubuh yang
tegak lurus, santai, dan terbuka; kontak mata yang tinggi; suara yang langsung,
santai, ramah, dan tidak tegang; dan gestur yang terbuka, tidak mengangkat
tangan di atas siku, dan bahu yang paralel atau sejajar maka integrasi dari
keempat kecerdasan ini akan membuat seseorang menjadi asertif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Gambar 1
Integrasi Empat Kecerdasan dalam Asertivitas (Sumber : Townend, 2007)
Gambar di atas digunakan untuk membantu mengembangkan kesadaran
diri seseorang, mengetahui bahwa di dalam dirinya penuh dengan energi dan
vitalitas. Ini berarti memperhatikan dan melihat bagaimana perasaan seseorang
secara fisik, intelektual, emosional, dan kesadaran spiritual, dan pada saat yang
sama menyadari bahwa orang lain juga terdiri dari fisik, intelektual, emosional,
dan kesadaran spiritual. Seseorang secara sadar atau tidak, potensi kecerdasan
intelektual, emosional, spiritual dan fisik itu ada dalam keseluruhan diri
seseorang sebagai manusia. Kecerdasan intelektual mencakup unsur logis dan
Physical
- Body
- Sensing
- Bodily
functions
- Memories from
past
- Action
- Doing
Spiritual
- Spirit
- Connectedness
- Values
- Meaning and
purpose
- Contribution
- Integrity
- Intuition
- Legacy
- Reflection
- Meditation
- Being
Intellectual /
Mental
- Mind
- Self-beliefs
- Memories from
past
- Self-talk
- Voices
- Imagination
- Thinking
-
Emotional
- Heart
- Self-awareness
- Awareness of
others
- Vulnerability
- Strength
- Compassion
- Forgiveness
- Feeling
Integrasi empat kecerdasan
dalam asertivitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
linguistik. Kecerdasan emotional mencakup unsur interpersonal dan
intrapersonal. Kecerdasan spiritual lebih banyak terkait dengan masalah makna
hidup, nilai-nilai dan keutuhan diri. Kecerdasan fisik mencakup keseluruhan
yang ada pada tubuh manusia. Keempat tipe kecerdasan tersebut akan
berfungsi maksimal jika saling berkaitan erat satu sama lain. Keempat
kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan fisik adalah perangkat yang
bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait di dalam diri manusia
sehingga tidak mungkin dipisahkan fungsinya.
3. Aspek Asertivitas
Mengenai aspek perilaku asertif, para ahli banyak memberikan
penjelasan. Lazarus (dalam Rakos, 1991) pertama kali mendefinisikan perilaku
asertif secara spesifik yaitu :
a. Kemampuan untuk berkata “tidak”.
b. Kemampuan untuk meminta apa yang diinginkan atau mampu mengajukan
permintaan.
c. Kemampuan untuk mengekspresikan perasaan yang positif maupun
negatif.
d. Kemampuan untuk berinisiatif, melanjutkan dan mengakhiri suatu
pembicaraan dengan baik.
Selanjutnya, Galassi & Galassi (dalam Rakos, 1991) menambahkan perilaku
asertif menjadi sembilan kategori yaitu memberi dan menerima pujian,
membuat permintaan, memulai dan melanjutkan percakapan, berpihak kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
hak atau kebenaran, menolak permintaan, menyatakan pendapat pribadi,
mampu menyatakan kejengkelan, mampu menyatakan kemarahan, dan
merasakan hal yang positif.
Fensterheim dan Baer (1980) memberikan definisi aspek perilaku
asertif sebagai berikut :
a. Merasa bebas untuk mengemukakan dirinya sendiri. Seseorang dapat
mengemukakan dirinya melalui kata-kata dan tindakan. Hal ini senada
dengan kriteria orang asertif menurut Eggert (1999) yaitu mampu
mengungkapkan keinginan dan perasaan kepada orang lain. Misalnya,
mengeluarkan pernyataan melalui kata-kata dan tindakan yang dilakukan,
“Inilah diri saya. Inilah yang saya rasakan, saya pikirkan dan saya
inginkan.”
b. Dapat berkomunikasi secara terbuka, langsung, dan jujur dengan orang
lain dari semua tingkatan, baik dengan orang-orang yang tidak dikenal,
sahabat-sahabat, dan keluarga. Hal ini senada dengan kriteria seseorang
yang asertif menurut Eggert (1999) yaitu mampu berkomunikasi dan
bekerja dengan baik dengan orang-orang di semua tingkatan. Misalnya,
memulai suatu percakapan dengan orang tidak dikenal yang baru saja
ditemuinya, “Hai, perkenalkan nama saya Adhisty.”
c. Mempunyai pandangan yang aktif tentang hidup. Misalnya, tetap optimis
untuk menyelesaikan tugas karena yakin akan kesuksesan yang akan
diraihnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
d. Bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri karena pribadi ini
menyadari bahwa tidak dapat selalu menang maka pribadi ini dapat
menerima keterbatasannya. Misalnya, terus berusaha keras dalam
perlombaan karena kalah ataupun menang tidaklah penting, yang
terpenting adalah terus berusaha dan tetap memiliki harga diri.
Selanjutnya, menurut Johnson (1993) mengemukakan perilaku asertif
meliputi beberapa aspek yaitu :
a. Perilaku seseorang untuk bertindak sesuai dengan minat terbaik yang
dimiliki. Misalnya, meraih cita-cita yang diinginkan seperti menjadi
dokter, psikolog, dan profesi lain yang menjadi minat terbaiknya.
b. Berpihak kepada diri sendiri tanpa ketertarikan yang tidak pantas.
Misalnya, tetap berpegang teguh pada pendapat dimiliki apabila
pendapatnya memang rasional atau masuk akal.
c. Menyatakan perasaan yang jujur dengan nyaman. Misalnya, mengatakan
“tidak” terhadap sesuatu yang tidak diinginkan.
d. Berlatih meminta hak diri sendiri tanpa menyangkal hak orang lain.
Misalnya, membuat permintaan kepada orang lain.
Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas mengenai aspek asertivitas,
Penulis lebih memilih untuk menggunakan aspek perilaku asertif yang
dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980) yaitu merasa bebas untuk
mengemukakan dirinya sendiri, dapat berkomunikasi secara terbuka, langsung,
dan jujur dengan orang lain dari semua tingkatan, mempunyai pandangan yang
aktif tentang hidup, dan bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Menurut Penulis, aspek perilaku asertif yang dikemukakan oleh Fensterheim &
Baer (1980) telah mencakup aspek perilaku asertif yang dikemukakan oleh ahli
lain yaitu Johnson (1993) dan Lazarus (dalam Rakos, 1991). Misalnya, pada
aspek merasa bebas mengemukakan diri sendiri yang dikemukakan oleh
Fensterheim & Baer (1980) dapat mencakup aspek kemampuan untuk berkata
“tidak”, kemampuan untuk mengungkapkan perasaan baik yang positif maupun
negatif, kemampuan mengajukan permintaan oleh Lazarus (dalam Rakos,
1991) dan aspek menyatakan perasaan yang jujur dengan nyaman oleh Johnson
(1993), lalu kemampuan untuk memulai, melanjutkan dan mengakhiri suatu
percakapan dengan baik oleh Lazarus (dalam Rakos, 1991) dapat dimasukkan
dalam aspek dapat berkomunikasi secara terbuka, langsung, dan jujur dengan
orang lain yang dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980), lalu aspek
bertindak sesuai dengan minat terbaik yang dimiliki oleh Johnson (1993) dapat
dimasukkan dalam aspek mempunyai pandangan hidup yang aktif yang
dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980), lalu aspek berpihak kepada diri
sendiri tanpa ketertarikan yang tidak pantas dan berlatih meminta hak diri
sendiri tanpa menyangkal hak orang lain oleh Johnson (1993) dapat diwakili
oleh aspek bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri yang
dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980).
4. Manfaat Asertivitas
Asertivitas sebagai suatu perilaku yang memiliki beberapa aspek seperti
yang telah disebutkan di atas, maka dapat diketahui bahwa banyak manfaat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
yang diperoleh ketika seseorang mampu bersikap asertif. Sebelum mempelajari
manfaat dari perilaku asertif, perlu diketahui bahwa perilaku asertif ini terbagi
dalam tiga kategori menurut Christoff & Kelly (dalam Gunarsa, 2004), yaitu :
a. Asertif penolakan, perilaku asertif penolakan ini ditandai oleh ucapan
untuk memperhalus seperti menggunakan kata maaf.
b. Asertif pujian, perilaku asertif pujian ini ditandai oleh kemampuan untuk
mengekspresikan perasaan positif seperti menghargai, menyukai,
mencintai, mengagumi, memuji dan bersyukur.
c. Asertif permintaan, perilaku asertif permintaan ini terjadi kalau seseorang
meminta orang lain untuk melakukan suatu kebutuhan atau tujuan
seseorang yang memungkinkan untuk dicapai tanpa tekanan atau paksaan.
Dari uraian ini terlihat bahwa perilaku asertif adalah perilaku yang
menunjukkan adanya keterampilan untuk dapat menyesuaikan diri dalam
hubungan interpersonal dengan lingkungan sekitarnya. Seseorang yang
bersikap asertif akan mampu mengungkapkan penolakan, pujian, serta
permintaan kepada orang lain.
Selanjutnya, beberapa manfaat bersikap asertif telah dikemukakan oleh
para ahli dalam buku karangan Calhoun & Acocella (1990) yaitu bersikap
asertif membuat seseorang merasa lega dan mudah mendapatkan sesuatu yang
diinginkan dan membuat seseorang lebih dihargai oleh orang lain, dengan
bersikap asertif seseorang dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik
sehingga dapat membuat pilihan dan melaksanakannya karena seseorang akan
merasa bebas untuk memilih dan melaksanakan pilihannya serta bertanggung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
jawab atas tindakannya dan dari perasaan bebas dan bertanggung jawab inilah
akan muncul penghargaan diri, bersikap asertif akan menghasilkan peningkatan
harga diri dan kepercayaan diri. Perilaku asertif juga meningkatkan pengertian
tentang martabat sebagai makhluk manusia.
Eggert (1999) menguraikan beberapa manfaat yang dapat diperoleh
ketika seseorang dapat berperilaku asertif, yaitu :
a. Ketika seseorang berperilaku asertif maka akan meningkatkan integritas
yang dimilikinya karena jujur dengan dirinya sendiri dan dengan orang
lain sehingga dengan kejujuran tersebut, seseorang dapat memperoleh
apa yang diinginkan tanpa kompromi.
b. Menjadi seseorang yang mudah berkomunikasi dengan orang lain.
c. Tidak mudah merasa bersalah ataupun marah karena mengetahui apa
yang menjadi haknya.
d. Memiliki harga diri yang tinggi.
e. Mendapat apa yang diinginkan dan mampu mengungkapkan apa yang
perlu sehingga orang lain tidak mudah mengambil keuntungan dari
dirinya.
f. Dapat memberikan batas pada perilaku diri sendiri dan orang lain.
g. Dapat menikmati pandangan yang realistis tentang apa yang mungkin
dan apa nyang tidak mungkin bagi dirinya.
h. Dapat menikmati keberhasilan yang diperoleh dan menerima kegagalan
yang dialami.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
i. Selalu dapat mengendalikan perilaku diri sendiri dan tidak terdorong
untuk menjadi agresif ataupun dipaksa untuk menjadi tunduk (pasif).
Berdasarkan beberapa uraian manfaat perilaku asertif dari beberapa ahli
di atas, maka dapat diketahui bahwa perilaku asertif memiliki banyak manfaat,
antara lain seseorang akan merasa bebas serta akan mendapatkan kepuasan diri
karena dapat berkomunikasi dengan terbuka sehingga memudahkan orang
tersebut untuk menentukan sesuatu yang dirasa benar, seseorang dapat
membatasi perilaku diri sendiri dan orang lain sehingga dapat memperoleh apa
yang diinginkan dan orang lain tidak mudah mengambil keuntungan dari
dirinya, serta harga diri sesorang akan meningkat dengan bersikap asertif.
5. Faktor yang Mempengaruhi Asertivitas
Asertivitas sebagai perilaku yang dapat dipelajari tentu dipengaruhi
oleh faktor tertentu. Berikut ini merupakan beberapa faktor yang
mempengaruhi asertivitas, antara lain :
a. Kebudayaan (Furnham dalam Rakos, 1991)
Konsep asertivitas dipengaruhi oleh kebudayaan karena bersifat culture
bound (Furnham dalam Rakos, 1991). Di beberapa kebudayaan, asertivitas
adalah hal yang bersifat normatif di Amerika Utara dan di sebagian Eropa
bersifat tidak toleransi. Kerendahan hati, pengabdian, dan toleransi adalah
nilai yang terkandung dalam asertivitas di beberapa kebudayaan lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
b. Pola asuh orang tua (Marini & Andriani, 2005)
Perilaku asertif dapat dipelajari secara alami dari lingkungan. Perilaku
asertif merupakan pola-pola yang dipelajari dari lingkungan sebagai reaksi
terhadap situasi sosial dalam kehidupannya.Lingkungan yang dimaksud
disini adalah keluarga sebagai lingkungan sosial pertama bagi anak.
Keluarga memberikan banyak pengalaman bagi anak. Pengalaman tersebut
berupa interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang ada dalam
keluarga yang menentukan pola respons seseorang dalam menghadapi
berbagai masalah setelah ia menjadi dewasa kelak. Pola asuh orang tua
merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua
dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang
akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak.
c. Proses kognitif (Bishop, 2007)
Perilaku pasif dan agresif datang secara alami dan sering terlihat sebagai
pilihan yang mudah (meskipun jarang yang paling efektif), sedangkan
perilaku asertif membutuhkan suatu proses kognitif. Perilaku asertif ini
dipelajari karena manusia tidak dilahirkan dengan asertivitas. Perilaku
asertivitas ini tergantung pada suasana hati diri sendiri, situasi, orang-
orang yang terlibat dan seterusnya. Seseorang sering menanggapi suatu
situasi pada pilihan pasif atau agresif tanpa pertimbangan mengenai
pilihan asertif yang mengakui kebutuhan, perasaan dan pendapat diri
sendiri dan orang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa faktor yang mempengaruhi
asertivitas diantaraya adalah kebudayaan, pola asuh orang tua, dan proses
kognitif. Asertivitas merupakan perilaku yang dapat dipelajari karena manusia
sebenarnya tidak dilahirkan dengan asertivitas sehingga faktor dari luar sangat
mendukung terbentuknya asertivitas dalam diri manusia. Faktor lain yang juga
mempengaruhi asertivitas adalah usia dan jenis kelamin namun belum banyak
penelitian yang dilakukan (Marini & Andriani, 2005). Sesuai dengan pendapat
Bishop (2007) bahwa perilaku asertif membutuhkan suatu proses kognitif maka
selanjutnya proses kognitif yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah
latihan berpikir positif untuk meningkatkan perilaku asertif.
B. Pelatihan Berpikir positif
1. Pengertian Pelatihan
Dalam dunia kerja, pelatihan adalah suatu kegiatan yang direncanakan
oleh perusahaan atau institusi untuk memfasilitasi proses belajar karyawan
untuk mencapai kompetensi dalam pekerjaannya (Noe dalam Yuwono dkk,
2005). Kompetensi ini meliputi pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang
dianggap penting untuk mencapai kinerja yang maksimal. Tujuan pelatihan
adalah agar karyawan dapat menguasai pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku yang dilatihkan dalam program pelatihan sehingga dapat diterapkan
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Menurut penjelasan di atas, pelatihan
merupakan suatu proses belajar, lalu apakah yang menjadi perbedaan antara
pelatihan (training) dan pendidikan (education) karena keduanya menyangkut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
proses belajar. Berikut ini merupakan tabel yang berisi perbedaan antara
pelatihan (training) dengan pendidikan (education) menurut Beebe, Mottet, &
Roach (dalam Yuwono dkk, 2005), yaitu :
Tabel 1 Perbedaan antara Training dan Education Menurut Beebe, Mottet, &
Roach (dalam Yuwono dkk, 2005)
No Training Education
1 Pelatihan adalah suatu proses
pengembangan keterampilan dan
perubahan perilaku
Pendidikan adalah suatu proses
penanaman pengetahuan atau
informasi
2 Mengutamakan proses “doing” atau
melakukan
Megutamakan proses “knowing” atau
mengetahui
3 Mengutamakan pencapaian tingkat
keterampilan tertentu
Mengutamakan pada penguasaan
materi yang dibandingkan dengan
orang lain
4 Mengutamakan closed system
perspective,, suatu sistem yang tertutup
dimana ada kepastian tentang cara yang
benar dan salah yang telah ditentukan
dalam kondisi internal pelatihan
Mengutamakan opened system
perspective, suatu sistem terbuka
sehingga memungkinkan adanya
pengaruh luar yang menentukan
kebenaran atau kesalahan misalnya
faktor kreativitas
5 Materi pelatihan terkait dengan tugas
atau pekerjaan
Materi pendidikan lebih luas dan tidak
terkait langsung dengan pekerjaan
6 Mengutamakan comprehensive listing
atau langkah-langkah yang diatur secara
jelas untuk mencapai tujuan pelatihan
Mengutamakan open-ended approach
atau langkah-langkahnya tidak diatur
secara jelas untuk mencapai tujuan
Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa tujuan pelatihan
menurut Noe (dalam Yuwono dkk, 2005) adalah agar seseorang dapat
menguasai pengetahuan, keterampilan dan perilaku tertentu yang dilatihkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
dalam program pelatihan. Pelatihan dan pendidikan keduanya menyangkut
proses belajar, hanya saja ada yang membedakan antara pelatihan dengan
pendidikan diantaranya, pelatihan lebih menekankan pada pengembangan
keterampilan dan perubahan tingkah laku sedangkan pendidikan penanaman
pengetahuan, materi keterampilan terkait dengan tugas atau pekerjaan
sedangkan materi pendidikan lebih luas dan tidak terkait langsung dengan
pekerjaan, pelatihan mengutamakan proses melakukan dan pencapaian tingkat
keterampilan tertentu sedangkan pendidikan mengutmakan proses mengetahui
dan penguasaan materi, pelatihan mengutamakan sistem yang tertutup di mana
ada kepastian tentang cara yang benar dan salah sedangkan pendidikan
mengutamakan sistem terbuka sehingga memungkinkan adanya pengaruh luar
yang menentukan salah dan benar, langakah-langkah dalam pelatihan diatur
dengan jelas sedangkan langkah-langkah dalam pendidikan tidak diatur secara
jelas untuk mencapai tujuan.
Jadi, yang membedakan antara pelatihan dan pendidikan adalah di
dalam pelatihan sangat difokuskan pada suatu materi dan dengan cara tertentu
dengan menggunakan sistem yang tertutup sedangkan dalam pendidikan
materinya lebih luas lagi dan tidak hanya terfokus pada keterampilan saja serta
cara yang digunakan tidak ditentukan secara jelas dengan menggunakan sistem
terbuka.
a. Konsep Pendekatan dalam Pelatihan
Menurut Miner (dalam Munandar, 2006) terdapat lima konsep
pendekatan pelatihan yang efektif, yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
1) Motivasi
Pelatihan pada umumnya terjadi jika seseorang memiliki motivasi untuk
belajar atau mengikuti pelatihan. Seseorang mengikuti pelatihan karena
mengharapkan bahwa setelah pelatihan selesai maka orang tersebut akan
memiliki kemampuan seperti yang dilatihkan atau memberi dampak
positif dalam dirinya, Setiap peserta pelatihan yang mengikuti suatu
pelatihan memiliki harapan yang ingin diperoleh setelah mengikuti
pelatihan tersebut. Motivasi adalah suatu usaha menimbulkan dorongan
untuk melakukan suatu tindakan, sehingga suatu pelatihan perlu
dirancang sedemikian rupa agar dapat menimbulkan motivasi bagi
peserta pelatihan untuk mengikuti atau bertahan untuk mengikuti sebuah
pelatihan.
2) Pengukuhan Kembali (Positive Reinforcement )
Berdasarkan teori law of effect Thorndike (dalam Munandar, 2006) maka
perilaku yang dianggap mengarah ke satu hadiah atau memenuhi satu
kebutuhan cenderung untuk dipelajari dan diulangi. Setiap kejadian yang
meningkatkan kemungkinan timbulnya perilaku khusus dianggap
mengukuhkan kembali. Pengukuhan kembali yang positif perlu
diusahakan jika hasil proses pembelajaran menghasilkan perilaku yang
diharapkan. Dalam pelatihan, seorang peserta pelatihan mampu
memecahkan masalah manajerial dengan menggunakan teknik
pemecahan masalah tertentu dengan hasil yang baik, maka perilakunya
perlu dikukuhkan kembali secara positif dengan memberi pujian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
misalnya atau memberi kesempatan untuk memecahkan masalah yang
lain.
3) Pengetahuan Tentang Hasil
Dengan memberikan umpan balik kepada peserta pelatihan agar mereka
mengatahui hal-hal apa saja yang telah dikuasainya, yang telah dapat
dilakukan dengan baik, dan yang belum dikuasai. Dengan mengetahui
hasil, peserta pelatihan dapat mengkonsentrasikan pada hal-hal yang
masih harus perlu dipelajari.
4) Praktek Aktif dan Pembelajaran Melalui Pengalaman (Experiental
Learning)
Pembelajaran memerlukan praktek dan pengalaman dengan tugas.
Konsep sentral dari pembelajaran melalui pengalaman adalah bahwa
harus ada praktek yang aktif agar seseorang mengulang-ulang apa yang
harus dipelajari dan dihayati sehingga akhirnya menguasai
pengetahuannya atau keterampilannya.
5) Pemindahan dari Pelatihan (Transfer of Training)
Sering terjadi bahwa apa yang sudah dipelajari dalam program pelatihan
tidak berhasil dibawa dan diterapkan pada dunia nyata, maka dengan kata
lain pemindahan dari pelatihan dinyatakan gagal. Cara untuk mengatasi
hal tersebut adalah harus diupayakan mengadakan unsur-unsur yang
sama antara situasi nyata dengan situasi pelatihan. Diskusi dengan
peserta dapat dilakukan dalam suatu pelatihan untung mengetahui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
tentang apa saja yang akan dialami jika pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang dipelajari dalam pelatihan diterapkan dalam situasi nyata.
Lima konsep pendekatan dalam pelatihan tersebut memiliki kekuatan
dan kelemahan masing-masing. Kekuatan dari pendekatan motivasi adalah
peserta akan mengikuti pelatihan hingga akhir pelatihan jika memiliki
motivasi tinggi dan terjaga namun jika peserta tidak memiliki motivasi
maka peserta akan sulit untuk bertahan dan menerima pelatihan. Kekuatan
dari pendekatan pengukuhan kembali perilaku yang telah diubah akan
muncul dalam keseharian jika terdapat reinforcement dan perilaku sulit
untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari jika tidak ada
reinforcement. Kekuatan dari pendekatan pengetahuan tentang hasil adalah
peserta akan terus melatih hal-hal yang belum dikuasainya dan
kelemahannya adalah peserta cenderung mengabaikan hal-hal yang telah
dikuasainya. Kekuatan pendekatan pemindahan dari pelatihan adalah peserta
dihadapkan pada situasi yang telah dimanipulasi sehingga mendekati
kondisi nyata sehingga mudah untuk diterapkan dalam kehidupan nyata dan
kelemahannya adalah tidak semua program pelatihan berhasil dibawa dan
diterapkan dalam kehidupan nyata. Kekuatan pendekatan praktek aktif
melalui pengalaman (experiental learning) adalah peserta praktek langsung
tentang materi pengalaman sehingga peserta mengalaminya langsung dan
mendapatkan pengalaman yang menginternalisasi.
Pelatihan berpikir positif yang akan dilakukan dalam penelitian ini
merupakan pelatihan dengan pengembangan model kognitif maka konsep
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
pendekatan yang digunakan dalam pelatihan ini adalah experiential learning
karena menurut teori kognitif yang menggambarkan cara seseorang belajar
untuk mengenali dan mendefinisikan masalah serta bereksperimen untuk
menemukan solusinya. Menurut teori ini, jika mereka berhasil menemukan
sendiri solusinya maka hal itu akan lebih lama disimpan dalam memorinya.
Teori kognitif memiliki dasar pemikiran discovery atau do it yourself. Teori
belajar melalui pengalaman (experiential learning) seperti yang
digambarkan Kolb, Rubin, dan Mc Intyre (dalam Yuwono dkk, 2005) terdiri
dari empat siklus tahapan, yaitu pengalaman nyata, observasi dan refleksi
terhadap pengalaman, pembentukan konsep abstrak dan generalisasi yang
menjelaskan tentang pengalaman dan menentukan bagaimana hal itu dapat
diterapkan, dan menguji implikasi konsep data pada situasi yang baru.
b. Experiential learning
Belajar melalui pengalaman (experiential learning) terjadi jika
seseorang melakukan kegiatan, melihat kembali lalu melakukan analisis dari
informasi yang bermanfaat, dan menempatkan hasil belajar melalui
perubahan perilaku. Proses ini dialami secara spontan dalam kehidupan
sehari-hari. Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan perilaku, suatu
hasil dari pengalaman atau masukan, yang merupakan tujuan umum dari
suatu pelatihan. Pelatihan terstruktur akan menghasilkan suatu kerangka
kerja yang dapat difasilitasi seperti gambar di bawah ini :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Gambar 2 Siklus Experiential Learning Pfeiffer & Ballew (UA
Training, 1988)
Belajar melalui pengalaman (experiential learning) menurut Pfeiffer
& Ballew (1988) terdiri dari lima tahapan sesuai dengan gambar siklus di
atas, yaitu :
a) Experiencing, tahap awal dalam pelatihan yaitu menghasilkan
pengalaman terstruktur. Ini adalah langkah yang sering dikaitkan dengan
"permainan" atau hal-hal yang menyenangkan. Jelas, jika proses berhenti
setelah tahap ini, tidak ada kesempatan untuk mempelajari semua yang
tersisa, maka fasilitator belum menyelesaikan tugasnya. Hampir setiap
kegiatan yang melibatkan penilaian diri atau interaksi interpersonal dapat
digunakan sebagai bagian dari pembelajaran pengalaman. Contoh
kegiatan yang terdapat dalam tahap ini adalah membuat produk atau
model, menciptakan objek-objek seni, menulis, bermain peran, transaksi,
pemecahan masalah atau berbagi informasi, memberi dan menerima
umpan balik, keterbukaan diri, fantasi, memilih, berkomunikasi secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
verbal atau nonverbal, menganalisis materi kasus, negosiasi atau tawar-
menawar, perencanaan, bersaing atau bekerja sama, dan menghadapi.
b) Publishing, tahap kedua dari siklus ini kira-kira analog dengan
penginputan data, istilah-istilah dalam pengolahan data. Peserta pelatihan
telah mengalami dan mengikuti suatu kegiatan dan sekarang mereka
mungkin siap untuk berbagi tentang apa yang mereka lihat dan atau apa
yang mereka rasakan selama acara tersebut. Langkah ini melibatkan
mencari tahu apa yang terjadi di dalam dan pada individu-individu, pada
kognitif, afektif, dan tingkat perilaku, sementara kegiatan ini terus
berlanjut.
c) Processing, tahap ini dapat dianggap sebagai titik tumpu atau langkah
penting dalam pengalaman belajar. Ini adalah pemeriksaan sistematis
pengalaman umum dimiliki oleh orang yang terlibat yaitu peserta
pelatihan. Ini adalah dinamika kelompok yaitu tahap siklus di mana para
peserta pada dasarnya merekonstruksi pola dan interaksi aktivitas dari
pengumuman laporan individu (individual report). Tahap ini merupakan
bagian dari siklus yang kritis, fasilitator perlu merencanakan dengan hati-
hati bagaimana pengolahan akan dilakukan dan terfokus ke langkah
berikutnya yaitu generalisasi.
d) Generalization, jika belajar adalah untuk mentransfer ke dunia "nyata",
penting bagi para peserta untuk dapat memperkirakan pengalaman dari
pelatihan terstruktur ke dunia luar. Sebuah lompatan kesimpulan harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
dilakukan pada saat ini dalam pengalaman terstruktur, dari kenyataan di
dalam kegiatan dengan realitas kehidupan sehari-hari.
e) Applying, tahap akhir dari siklus experiential learning adalah tujuan yang
terstruktur dari seluruh pengalaman yang telah dirancang. Pertanyaan
penting di sini adalah "Sekarang apa?" Fasilitator membantu peserta
pelatihan untuk menerapkan generalisasi dengan situasi aktual di mana
diri mereka terlibat.
Berdasarkan uraian mengenai pelatihan di atas, dapat diketahui
bahwa pelatihan melalui beberapa tahapan sesuai Siklus Experiential
Learning menurut Pfeiffer & Ballew (UA Training, 1988) yaitu tahap
experiencing, publishing, processing, generalization, serta applying.
c. Komponen Pelatihan
Komponen-komponen dalam pelatihan dan pengembangan menurut
Mangkunegara (2009) adalah :
1) Tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus jelas dan dapat
diukur, yang menjadi tujuan dan sasaran dalam pelatihan ini adalah untuk
meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan.
2) Para pelatih (trainers) harus ahlinya yang berkualifikasi memadai dan
profesional, yang menjadi pelatih dalam pelatihan ini adalah mahasiswa
semester akhir dari Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
3) Materi pelatihan dan pengembangan harus disesuaikan dengan tujuan
yang hendak dicapai, materi pelatihan berpikir positif telah disesuaikan
dengan tujuan untuk meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan.
4) Metode pelatihan dan pengembangan harus disesuaikan dengan tingkat
kemampuan peserta pelatihan, metode dalam pelatihan ini menggunakan
konsep pendekatan experiential learning dengan metode presentasi,
games, role play, diskusi, sharing dan evaluasi, pemutaran video serta
relaksasi.
5) Peserta pelatihan dan pengembangan (trainee) harus memenuhi
persyaratan yang ditentukan, yang menjadi peserta pelatihan adalah
remaja panti asuhan yang memiliki tingkat asertivitas sedang atau rendah
berdasar hasil screening.
Berdasarkan uraian di atas, maka komponen dalam suatu pelatihan
menurut Mangkunegara (2009) terdiri dari tujuan dan sasaran pelatihan,
pelatih yang profesional, materi pelatihan yang sesuai dengan tujuan,
metode pelatihan yang sesuai dengan keadaan peserta, serta peserta
pelatihan yang sesuai dengan syarat yang telah ditentukan.
d. Penyusunan Program Pelatihan
Penyusunan program pelatihan menurut Munandar (2006) terdiri atas
bermacam-macam tahap, yaitu :
1) Identifikasi kebutuhan pelatihan atau study pekerjaan (job study)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Miner (dalam Munandar, 2006) mengemukakan bahwa terlibat
dalam suatu pembelajaran dapat mengembangkan empat macam
keterampilan, yang pada umumnya dilatihkan, yaitu:
a) Knowledge based skills, yaitu keterampilan yang didasarkan pada
pengetahuan yang dikuasai, keterampilan ini dikembangkan
berdasarkan pengetahuan yang diperlukan, dimiliki untuk dapat
melakukan tugas pekerjaannya dengan baik.
b) Singular behavior skills, yaitu keterampilan perilaku sederhana seperti
datang tepat waktu, menetapkan sasaran dan tujuan sendiri, dan
mencakup perilaku yang dapat dibentuk dan diamati.
c) Limited interpersonal skills, yaitu keterampilan antar pribadi yang
terbatas seperti terlibat dalam aktivitas memberi arahan kepada
karyawan baru, mendelegasikan tanggung jawab dan memberikan
feedback kepada seseorang tentang hasil kerjanya.
d) Social interactive skills, yaitu berlangsung pada taraf manajerial
mencakup memanajemen konflik, menggunakan kekuasaan secara
efektif, negosiasi suatu kontrak, dan sebagainya. Pelatihan berpikir
positif yang akan dilakukan merupakan salah satu bentuk social
interactive skills.
2) Penetapan sasaran pelatihan
Menurut Mager (dalam Munandar, 2006) merumuskan tiga aspek
untuk merumuskan sasaran peserta pelatihan yang baik, yaitu :
a) Ada uraian tentang situasi yang diberikan (given what)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
b) Ada uraian tentang apa yang harus dilakukan (does what)
c) Ada uraian tentang bagaimana baiknya peserta pelatihan (trainee)
melaksanakannya (how well)
Sasaran peserta pelatihan ini selalu menggambarkan suatu
perilaku yang diharapkan ada pada peserta pelatihan (trainee) sesudah
mengikuti suatu program pelatihan. Sasaran khusus dibedakan
berdasarkan jenis perilaku yang hendak ditimbulkan melalui pelatihan,
yaitu :
a) Sasaran kognitif, sasaran yang menggambarkan perilaku kognitif
antara lain mampu mengenal, membedakan, menilai, menganalisis,
dan sebagainya.
b) Sasaran afektif, meliputi perilaku yang berhubungan dengan perasaan
dan sikap, perilaku tentang suatu kesediaan dan kecenderungan.
c) Sasaran psikomotor, meliputi perilaku gerak.
Pelatihan berpikir positif yang akan dilakukan merupakan
pelatihan yang sasaran utamanya adalah aspek kognitif, tetapi tidak
menutup kemungkinan aspek afektif dan psikomotor pun akan ikut
terbangun dalam pelatihan ini karena terdapat langkah-langkah efektif
yang melibatkan perasaan dan praktek bersama.
3) Penetapan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya
Kriteria keberhasilan pelatihan dapat ditetapkan perilaku-perilaku
peserta pelatihan sebagaimana ditampilkan pada akhir program pelatihan
atau dapat pula ditetapkan prestasi kerja peserta pelatihan setelah mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
kembali ke pekerjaan mereka masing-masing selama waktu tertentu.
Pelatihan berpikir positif ini akan menggunakan alat ukur berupa skala
asertivitas yang berisi 64 aitem pernyataan, sesuai dengan tujuan
diadakannya pelatihan ini untuk mengetahui pengaruh pelatihan berpikir
positif terhadap asertivitas remaja panti asuhan.
4) Penetapan metode pelatihan dan penyajiannya
Bentuk pelatihan dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu :
a) Pelatihan pada pekerjaan (on the job trainning)
b) Pelatihan di luar pekerjaan (off the job trainning)
Pelatihan di luar pekerjaan menggunakan pelatihan di kelas. Metode
pelatihan di kelas terdiri atas :
(1) Kuliah, pembicaraan yang diorganisasi secara formal tentang hal-
hal khusus, merupakan suatu ceramah yang disampaikan secara
lisan untuk tujuan pendidikan.
(2) Konperensasi atau diskusi kelompok, pertemuan formal dimana
terjadi diskusi atau konsultasi tentang sesuatu hal yang penting
serta menekankan adanya diskusi kelompok kecil, bahan yang
terorganisasi dan keterlibatan peserta secara aktif.
(3) Study kasus (case study), uraian tertulis atau lisan tentang masalah
dalam perusahaan selama kala waktu tertentu yang nyata atau
hipotesis (namun didasarkan pada kenyataan).
(4) Bermain peran (role playing), mempelajari keterampilan hubungan
antar manusia melalui praktek dan untuk mengembangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
pemahaman mengenai pengaruh kelakuan mereka sendiri pada
orang lain.
(5) Bimbingan berencana atau instruksi bertahap (programmed
instruction), terdiri atas urutan langkah yang berfungsi sebagai
pedoman dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau suatu
kelompok tugas pekerjaan.
(6) Simulasi, suatu jenis alat atau teknik menyalin setepat mungkin
kondisi-kondisi nyata yang ditemukan dalam pekerjaan.
Pelatihan berpikir positif ini menggunakan metode presentasi atau
yang disebut metode kuliah (presentasi), bermain peran (role play),
diskusi kelompok, dan simulasi dengan menggunakan worksheet.
5) Pencobaan dan revisi
Setelah kebutuhan pelatihan, sasaran pelatihan ditetapkan, kriteria
keberhasilan dan alat ukurnya dikembangkan, bahan untuk latihan dan
metode latihan disusun dan ditetapkan, maka langkah berikutnya adalah
mencobakan paket pelatihan yang telah dibuat. Tujuan dari mencobakan
atau try out ini adalah untuk mengidentifikasi kelemahan apa saja yang
masih ada, apakah sasaran pelatihan telah jelas dan tepat dirumuskan,
apakah bahannya telah relevan dan metode pelatihannya sesuai dan dapat
dilaksanakan oleh fasilitator atau trainer. Jika masih terdapat kelemahan,
maka dapat langsung dilakukan revisi atau perbaikan-perbaikan apabila
diperlukan. Dengan demikian, dapat diusahakan efektivitas pelatihan
yang optimal. Sebelum diadakannya pelatihan, Peneliti akan melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
uji coba skala dan modul yang digunakan dalam pelatihan dan jika
hasilnya masih kurang maka dapat segera dilakukan revisi.
6) Implementasi dan evaluasi
Penilaian pelatihan mengacu pada suatu sistem untuk mengukur
apakah peserta pelatihan (trainee) mencapai sasaran pembelajaran dan
efektivitas pelatihan berkaitan dengan tercapai tidaknya sasaran yang
telah direncanakan yang mencakup pembelajaran dan pengalihan
pelatihan (kemampuan mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang dipelajari selama program pelatihan ke dalam kehidupan
sehari-hari). Implementasi dan evaluasi dalam pelatihan ini akan
dilakukan pada setiap akhir sesi pertemuan untuk mengetahui bagaimana
perkembangan peserta pelatihan.
Setelah melihat penjelasan di atas mengenai penyusunan program
pelatihan, maka dapat diketahui tahap-tahap penyusunan program pelatihan
yang baik menurut Munandar (2006) adalah mengidentifikasi kebutuhan
pelatihan, menetapkan sasaran pelatihan, menetapkan kriteria keberhasilan
dengan alat ukurnya, menetapkan metode pelatihan dan penyajiannya,
melakukan percobaan dan revisi, lalu melakukan implementasi dan evaluasi
terhadap pelatihan yang telah dilakukan.
2. Berpikir Positif
a. Pengertian Berpikir Positif
Berpikir positif merupakan salah satu proses kognitif yang dapat
digunakan sebagai latihan untuk meningkatkan perilaku asertif. Teori
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
berpikir positif menurut TRE-Ellis (dalam Corey, 1988) menekankan bahwa
berpikir positif adalah mengenali pola pikir dan memahaminya, mengubah
pola pikir yang negatif menjadi pola pikir yang positif, dan menggunakan
pola pikir positif yang terbentuk itu dalam menghadapi masalah kehidupan
yang akan datang. Menurut Abraham (2008), berpikir positif adalah cara
pemikiran yang mengarahkan seseorang pada perilaku untuk memecahkan
masalah. Quilliam (2008) menyebutkan bahwa berpikir positif itu berbuat
lebih dari pemikiran yang dimiliki. Berpikir positif adalah suatu pendekatan
yang positif terhadap keseluruhan hidup. Ini berarti memusatkan hidup
kepada hal-hal yang positif di dalam situasi apapun dan bukan hal yang
negatif, menganggap baik diri sendiri dan bukan secara konstan merasa
rendah diri, menganggap baik orang lain dan berhadapan dengan orang lain
secara positif, dan mengharapkan dunia yang jauh lebih baik dan pemikiran
yang positif itu akan menghasilkannya. Pikiran positif adalah pikiran yang
dapat membangun dan memperkuat kepribadian atau karakter seseorang
(Sakina, 2009). Selanjutnya, Yuri (2010) mengemukakan bahwa berpikir
positif adalah cara untuk berpikir lebih luas daripada pikiran kita sendiri,
disini berpikir positif meliputi memusatkan perhatian pada hal-hal yang
positif baik tentang diri sendiri juga tentang orang lain dan menghadapinya
secara positif.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, Penulis lebih memilih
pengertian berpikir positif dari Quilliam (2008) karena pengertiannya paling
sesuai dengan teori berpikir positif menurut TRE Ellis, memiliki cakupan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
yang lebih luas, menyeluruh tetapi spesifik yaitu bahwa berpikir positif akan
memudahkan sseorang untuk memecahkan masalah, berpikir positif itu
adalah cara untuk berpikir lebih luas melebihi pikiran diri sendiri karena
dengan berpikir positif maka seseorang akan menganggap baik orang lain
dan berhubungan dengan orang lain dengan positif. Berpikir positif
merupakan keseluruhan hidup yang secara tidak langsung membuat
seseorang merasa tidak rendah diri sehingga dunia yang lebih baik akan
didapat dengan cara berpikir positif.
b. Manfaat Berpikir Positif
Berikut ini adalah beberapa manfaat berpikir positif menurut Asmani
(2009), yaitu :
1) Tidak ada kekecewaan. Orang yang selalu berpikir positif dalam
menghadapi persoalan hidup, tidak akan terpenjara oleh perasaan
kecewa. Orang ini selalu berpikir matang dan dewasa, tidak terbawa
perasaan kalut yang membalutnya dan hanya melihat sisi positifnya.
Orang yang berpikir positif akan menjalani hidup ini dengan tersenyum
indah yang memancarkan sinar kebahagiaan dan kebeningan jiwa.
2) Tidak ada rasa putus asa. Dalam hidup orang yang berpikir positif, segala
sesuatu dilihat tanpa ada rasa putus asa. Ketika orang ini mengalami
kegagalan dan kesusahan, mentalnya tetap tangguh, tidak mundur dan
putus asa dalam melangkah. Walaupun banyak halangan menghadang,
semangat untuk berkarya terus meledak dalam dirinya. Kegagalan bagi
orang yang senantiasa berpikir positif justru semakin menambah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
pengalaman, kematangan, dan kecerdasan. Orang ini yakin sepenuhnya
bahwa dari kegagalan itulah keberhasilan diukir.
3) Tidak ada rasa kebencian. Benci kepada seseorang atau sesuatu akan
membuat orang bertindak tidak fair, tidak objektif, dan dipenuhi rasa
dendam, amarah, dan iri hati. Dengan kebencian, orang tidak akan
mampu melihat kebenaran dan kebaikan yang sesungguhnya. Oleh
karena itu, orang yang selalu berpikir positif akan berusaha
menghilangkan segala bentuk kebencian kepada seseorang yang
mengakibatkan waktu terbuang percuma hanya untuk memikirkan
seseorang yang dibenci.
4) Tidak ada kata mundur. Orang yang berpikir positif tidak akan mundur
dari tujuan atau cita-citanya. Orang ini akan terus melihat ke depan
dengan berbagai peluang yang ada, memanfaatkan semua peluang untuk
mendulang kesuksesan dan akan menciptakan peluang-peluang baru
secara progresif untuk memajukan diri dan masyarakat.
5) Tidak ada kecemasan. Cemas sering kali membuat mental seseorang
serba tidak pasti, deg-degan, dan akhirnya membuatnya tidak berani
tegas dalam melangkah. Orang yang sering dilanda cemas tidak akan
berani melangkahkan kakinya menjemput kesuksesan. Sementara orang
yang berpikir positif akan tegas dalam melangkah, terampil mengatur
ritme, dan professional dalam membuat perencanaan dan pelaksanaan.
Orang yang berpikir positif akan berusaha menghilangkan perasaan
cemas yang membuatnya bingung, tidak mampu membuat langkah dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
kebijakan, dan memaksanya berputar-putar pada satu titik yang tidak ada
kemajuan.
6) Melatih kreativitas. Kreativitas sangat dibutuhkan setiap saat. Hidup
tanpa kreativitas laksana pohon tanpa buah, tidak dapat dirasakan
manfaatnya dan hanya menjadi beban hidup bagi dirinya dan orang lain.
Kreativitas dapat menjadi penggerak yang menyalakan lampu optimism
dan menciptakan hal-hal baru yang spektakuler, sensasional, dan
fungsional bagi masyarakat banyak. Orang yang berpikir positif dalam
hidup akan terus bergerak dalam situasi apapaun. Orang ini selalu bisa
mencari celah di balik masalah dan kesulitan hidup yang membelitnya.
Orang ini akan tertantang mencari jalan keluar terbaik dalam masalah
yang menghadang.
7) Melatih keberanian. Keberanian adalah melakukan sesuatu yang menurut
anggapan banyak orang sangat berisiko dan mengandung bahaya besar.
Namun dengan kalkulasi yang matang, orang yang pemberani mengambil
langkah tersebut demi memperbaiki masa depannya sendiri dan orang
lain dan mengambil langkah-langkah besar menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan orang-orang yang berpikir positif dalam
menjalani kehidupan.
8) Melatih konsistensi. Orang yang berpikir positif akan melalui tahapan
demi tahapan dalam hidup ini secara konsisten, tidak mudah jenuh dan
frustrasi. Proses yang panjang dilalui dengan penuh kesabaran,
kegigihan, dan kematangan karena kesuksesan membutuhkan konsistensi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
dalam jangka waktu yang lama. Di sinilah letak perbedaan antara orang
yang sukses dan gagal yaitu orang yang mampu berpikir positif dan
tidak.
9) Melatih berpikir visioner. Orang yang berpikir positif akan selalu
berpikir visioner, berpikir jauh ke depan. Orang ini juga akan
menghindari berpikir instan dan pragmatis. Orang yang berpikir positif
akan menganalisis perkembangan mutakhir yang terjadi dan menyiapkan
langkah-langkah strategis bagi pengembangan dirinya.
10) Mendapatkan kebahagiaan dan kenyamanan. Pada dasarnya, tujuan hidup
setiap manusia adalah mendapatkan kebahagiaan dan kenyamanan dalam
menjalani kehidupan ini. Memang, perasaan sedih dan susah merupakan
bumbu kehidupan tetapi kalau terus menerus sedih dan susah akan
membuat hidup ini penuh kesengsaraan. Waktu akan habis percuma
hanya untuk memikirkan hal-hal yang tidak mendukung bagi
pengambangan wawasan, kepribadian dan mental. Inilah yang harus
dihindari sedini mungkin. Orang yang berpikir positif akan
menghilangkan pikiran-pikiran negatif yang mengarahkannya pada
kesusahan dan kecemasan. Orang ini akan selalu berpikir fresh, solutif,
dan aplikatif. Orang yang berpikir positif tidak ingin menjalani hidup
yang singkat ini dengan kesedihan dan kesusahan yang berlarut-larut.
Dengan positive thinking, orang dapat membangun kehidupan dengan
penuh kebahagiaan dan kenyamanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Berdasarkan penjelasan mengenai manfaat berpikir positif menurut
Asmani (2009), dapat diketahui bahwa dengan berpikir positif seseorang
akan dapat menghilangkan rasa putus asa, kekecewaan, kebencian, kata
mundur, kecemasaan, melatih kreativitas, keberanian, konsistensi dan
berpikir visioner atau berpikir jauh ke depan dengan menghindari pemikiran
yang instan atau pragmatis serta selalu menyiapakan strategi untuk
pengembangan dirinya, dan mendapatkan kebahagiaan dan kenyamanan.
Hal ini pula yang diharapkan akan muncul pada remaja panti asuhan yang
mengikuti pelatihan berpikir positif yaitu remaja panti asuhan yang
mengikuti pelatihan berpikir positif akan mampu menerapkan cara berpikir
positif dalam kehidupannya sehari-hari sehingga diharapkan akan
memperoleh manfaat berpikir positif seperti yang disebutkan di atas yaitu
tidak ada rasa putus asa, kekecewaan, kebencian, kata mundur, kecemasaan,
melatih kreativitas, keberanian, konsistensi dan berpikir visioner atau
berpikir jauh ke depan dengan menghindari pemikiran yang instan atau
pragmatis serta selalu menyiapakan strategi untuk pengembangan dirinya,
dan mendapatkan kebahagiaan dan kenyamanan yang akan membuat remaja
panti asuhan semakin asertif dalam menjalani kehidupannya.
c. Langkah Efektif Berpikir Positif
Untuk meningkatkan pendekatan seseorang untuk hidup, maka orang
tersebut harus memastikan setiap aspek perilakunya adalah positif dan jika
diperlukan, mengubah pikiran, keyakinan, dan pandangan terhadap diri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
sendiri menjadi lebih positif. Berikut ini merupakan langkah efektif untuk
berpikir positif menurut Quilliam (2008):
1) Menantang Pikiran yang Dimiliki (Challenging the thoughts)
Yang menjadi kunci keberhasilan nyata dalam berpikir positif adalah
menemukan cara sebanyak mungkin untuk menantang keabsahan pikiran
negatif yang dimiliki dan kemudian menggantinya dengan pikiran-
pikiran yang lebih positif dan lebih realistis.
a) Memikirkan kembali pikiran yang dimiliki (Rethinking the thoughts).
Untuk mengubah pikiran negatif menjadi positif, seseorang harus
menyadari bahwa pikiran negatif adalah distorsi dari realitas. Tidak
ada hal di dunia ini yang selalu buruk, melainkan hanya pikiran
defensif orang tersebut yang membuatnya tampak begitu. Jadi
membiasakan menganalisis pikiran yang dimiliki untuk melihat di
mana orang tersebut telah salah dalam menafsirkan sesuatu dan oleh
karenanya dimana hal negatif telah salah tempat. Menyeimbangkan
pikiran seperti menciptakan pergeseran emosi dan orang tersebut
mulai berpikir secara berbeda dalam jangka panjang sehingga
memiliki efek yang berakar pada pendekatan hidup yang dimiliki.
Misalnya, seseorang melihat buku harian dari pikiran yang dimiliki
dan mungkin melihat bahwa di masa lalu orang tersebut telah
mendistorsi pikiran negatif yang dimiliki.
b) Memeriksa fakta (Checking the facts). Segera setelah menjadi sadar
dari pikiran negatif, maka tantangan pun berlaku. Ini berarti seseorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
telah menyadari bahwa pengamatannya itu salah, atau orang tersebut
telah salah mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Misalnya,
melakukan konfirmasi penilaian yang dimiliki. Seorang Ayah telah
mendengar desas-desus yang mengganggu tentang tingkah laku
putranya lalu Ayah tersebut menyadari bahwa pikiran negatif itu
mungkin tidak berdasar, maka ia memeriksa fakta-fakta dengan
putranya. Ayah bertanya kepada putranya tentang rumor yang telah
didengar dan putranya memiliki bukti yang membuktikan bahwa
rumor itu salah.
c) Meninjau kembali track record yang dimiliki (Reviewing the track
record). Mungkin dapat diingat suatu saat ketika seseorang
mengharapkan yang terburuk, hanya untuk menemukan hal-hal yang
keluar berubah menjadi yang terbaik. Menyadari hal ini akan
membantu seseorang untuk menantang setiap pikiran negatif yang
dialami sekarang dan akan mengingatkan orang tersebut tentang
kecenderungan untuk berpikir negatif. Mengakui bahwa penilaian
yang dimiliki telah salah sebelumnya dan orang tersebut akan lebih
mudah menerima bahwa mungkin kali ini salah juga.
d) Menjadi realistis (Being realistic). Tentulah wajar untuk ingin menjadi
sempurna, namun bertujuan untuk kesempurnaan pasti akan mengarah
pada perasaan negatif karena dalam pekerjaan, permainan,
persahabatan, atau cinta tidak mungkin terjadi pada waktu yang
bersamaan. Jadi tantanganlah pikiran perfeksionis yang dimiliki dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
jadilah realistis pada apa yang diharapkan dari diri sendiri dan orang
lain di dunia ini. Jangan berhenti untuk bertujuan tinggi, mencapai
kebaikan, atau mengharapkan yang terbaik dari orang lain, tetapi
berhentilah merasa buruk ketika segala sesuatu gagal mencapai
kesempurnaan dalam berbagai cara.
e) Menjaga hal dalam perspektif (Keeping things in perspective). Ketika
situasi menjadi benar-benar buruk, seseorang dapat menghindari
menjadi kewalahan oleh pikiran negatif. Untuk melakukan ini, orang
tersebut harus berhenti berfokus pada area masalah dan berkonsentrasi
pada area yang baik. Jadi bawalah ke depan unsur dari pikiran yang
baik yang dimiliki. Fokuslah pada sisi positif daripada generalisasi
yang negatif. Periksa tanda-tanda bahwa diri sendiri telah melebih-
lebihkan kesulitan dan ingat bahwa hanya karena salah satu elemen
hidup yang dimiliki berjalan salah, itu tidak berarti bahwa semuanya
akan ikut berjalan salah.
f) Melihat ke sisi terang (Looking on the bright side). Pepatah Cina
untuk “masalah” juga berarti “kesempatan”. Pelajaran yang dapat
diambil di sini adalah untuk menantang pikiran negatif dengan melihat
kesempatan yang ada di dalam masalah. Mungkinkah untuk belajar
pelajaran, mendapatkan motivasi, dengan menghindari masalah?
Melatih diri untuk mencari lapisan perak, bahkan dalam kesulitan
kecil. Apabila diberi umpan balik, misalnya hasil ujian, fokuslah pada
elemen kesuksesan dan bukan pada aspek negatif. Seseorang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
memiliki pikiran negatif akan merasa kecewa dengan hasil ujiannya
yang tidak sesuai dengan harapan tetapi seorang pemikir positif tahu
bahwa dirinya telah melakukan yang terbaik, berapapun hasilnya.
2) Mengubah Gambaran Cara Berpikir yang dimiliki (Altering the mental
images)
Pikiran dapat dialami sebagai representasi dari cara berpikir yang
dimiliki: gambaran internal, suara, dan kata-kata. Dengan
mengeksplorasi, pergeseran, dan mengembangkan ini, seseorang dapat
mempengaruhi cara berpikir yang dimiliki dan merasa baik tentang diri
dan kehidupannya.
a) Membuat gambaran positif (Making positive pictures). Untuk merasa
lebih positif dalam jangka pendek, cobalah untuk mengubah isi
gambaran cara berpikir yang dimiliki. Misalnya, dengan meletakkan
gambar pantai cerah pada ruangan. Hal-hal yang dibayangkan dalam
pikiran seseorang tidak akan secara otomatis terjadi, tetapi dapat
merubah batin orang tersebut untuk melihat realitas yang akan
membuat merasa lebih baik dan lebih mampu mencapai hasil yang
baik. Memahami bahwa tidak bisa mengubah kenyataan, tetapi dapat
mengubah persepsi dan sehingga mencapai hasil yang positif.
Mengingat bahwa ketika menggunakan visualisasi, seseorang dapat
mengontrol apa yang dilihat.
b) Membuka alam tidak sadar yang dimiliki (Tapping the unconscious).
Visualisasi memungkinkan seseorang melibatkan gambaran cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
berpikir untuk memperpanjang menjadi semacam film internal.
Teknik ini berguna jika orang tersebut ingin membuat keputusan,
membayangkan tujuan, atau mengambil langkah pertama untuk
mencapai tujuan. Keluar dari situasi dalam pikiran dapat
meningkatkan kreativitas yang dimiliki, mengubah keadaan
emosional, membantu fokus, atau mengurangi ketegangan. Membuat
gambar yang jelas tentang apa yang ingin untuk dieksplorasi,
kemudian menjalankan film, melihat apa yang terjadi dan bagaimana
perasaan yang dimiliki. Jika apa yang dilihat mulai merasa negatif,
biarkan gambar itu pergi dan perlahan kembali ke sekarang: kecepatan
pernapasan atas, peregangan, dan membuka mata.
c) Menggunakan Bahasa Konstruktif (Using constructive language).
Bahasa tidak hanya mencerminkan perilaku seseorang tetapi juga
mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, untuk berhasil menjalani
hidup positif, seseorang harus memilih dan menggunakan kata dan
frase yang positif pula. Jadi memeriksa dan jika perlu mengubah kata-
kata yang digunakan.
d) Memilih kata yang benar (Choosing the right word). Seseorang perlu
menyadari akan kata-kata dan frase yang digunakan. Jika perlu,
meminta orang lain untuk memberi tahu ekspresi apa yang digunakan
kemudian mengidentifikasi kata-kata ketika orang tersebut sedang
kritis, pesimis, atau terfokus pada masalah. Untuk semuanya,
menghasilkan alternatif yang positif. Kemudian, ketika mendengar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
diri sendiri menggunakan ungkapan pesimis, berhentilah di tengah
kalimat dan beralih pada kalimat yang lebih optimis. Pada waktu itu,
orang tersebut akan melihat dirinya sendiri ketika berbicara negatif
dan secara otomatis akan mengoreksi dengan benar apa yang
dikatakan. Mengulang bahasa yang digunakan, belajarlah untuk
mengenali kapan menggunakan kata-kata dan frase yang negatif, dan
masuk ke dalam kebiasaan menggantikan kata-kata dan frase dengan
yang lebih positif.
e) Menghindari kata “seharusnya” (Avoiding “should”). Seseorang
mungkin menggunakan frase seperti “Aku seharusnya ...,” “Saya
tidak seharusnya...,” ketika orang tersebut ingin melakukan sesuatu
yang berbeda dari apa yang telah dilakukan. Namun dengan
menggunakan kata-kata tersebut, malah menyiratkan bahwa orang
tersebut telah melakukan tindakan yang keliru atau cukup buruk dan
yang mungkin membuat merasa kehilangan motivasi, cemas, atau
marah. Menganalisis mengapa seseorang merasa sulit untuk berubah
adalah mungkin menemukan alasan yang baik untuk perilakunya saat
ini dan memutuskan untuk berjalan seperti sebelumnya. Tetapi jika
ingin adanya perubahan maka cobalah menggunakan frase seperti
“Aku akan mendapatkan lebih lanjut jika saya ...,” dengan frase “Aku
berniat untuk ...,” “Saya ingin ...”. Untuk membantu mempertahankan
bahasa positif yang digunakan, maka mintalah teman untuk
menantang setiap kali mulai berbicara negatif. Buatlah daftar kata-kata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
positif dan menggunakannya salah satu per hari, sampai kata-kata
positif itu adalah bagian dari kosakata normal yang digunakan sehari-
hari.
f) Menggunakan afirmasi (Using affirmations). Afirmasi adalah frasa
yang merangkum sisi baik kehidupan: “Saya bahagia” atau “Orang
menyukai saya”. Afirmasi menghasilkan keyakinan positif pada saat
seseorang sadar dan dengan demikian dapat membantunya mencapai
tujuan. Untuk membuat penegasan, pertama yang harus dilakukan
adalah memutuskan apa tujuan yang ingin dicapai. Lalu menyatakan
ungkapkan dengan berani sehingga akan diingat dengan mudah. Kata-
kata tersebut akan masuk ke dalam pikiran yang sekarang sehingga
alam bawah sadar menyadari bahwa orang tersebut ingin
melakukannya sekarang. Kemudian ulangi afirmasi tersebut, dengan
energi, teratur, sampai berlanjut. Misalnya, bertujuan untuk yang
terbaik dalam hidup dengan mengidentifikasi tujuan, seperti
menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga. Ungkapkan
penegasan ini dalam beberapa kata-kata, ulangi, simpanlah di bagian
depan pikiran, dan mungkin untuk mewujudkannya.
3) Memikirkan Kembali Kepercayaan yang Dimiliki (Rethinking the
beliefss)
Kepercayaan adalah berbagai keyakinan yang dihasilkan dari
pengalaman setiap orang dalam hidup. Hal terbaik yang membuat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
seseorang merasa positif tentang dirinya sendiri, orang lain, dan dunia,
dan meninggalkan hal terburuk yang membuatnya merasa tidak berdaya.
a) Membangun kepercayaan yang positif (Building positive beliefs).
Memperkuat kepercayaan yang berguna dan mendukung dengan
memperhatikan apa pun yang menegaskan kepercayaan tersebut.
Misalnya, kepercayaan seseorang adalah, “Orang sangat menghargai
saya”: selama minggu ke depan atau lebih, mencatat setiap kali orang
lain melakukan atau mengatakan sesuatu untuk mendukung ini.
Beritahukan ketika orang lain meminta pendapat lalu terima ketika
orang lain memuji diri kita. Ingat saat-saat ketika seseorang
memberitahu dirinya bahwa dirinya berharga. Abaikan apapun
perasaan diri tentang menjadi “tidak berharga”, ini hanya perasaan.
Lihatlah bukti-bukti yang sebenarnya. Tanyakan kepada diri sendiri
apa yang membuat diri kita takut, kemudian memeriksa apakah
ketakutan yang dimiliki cukup beralasan. Lalu memilih pengalaman
untuk menantang ketakutan yang dimiliki dengan mengambil kursus
dan belajar sesuatu yang menakutkan diri kita.
b) Mengumpulkan bukti (Collecting the proof). Jika seseorang berjuang
untuk meyakinkan dirinya sendiri tentang kepercayaan seperti
“Orang-orang menghargai aku,” mendapati seorang teman atau
pasangan untuk memberitahu dirinya bagaimana cara mereka
mengagumi orang tersebut. Atau dalam penilaian pekerjaan, tanyakan
pada manajer untuk mendaftar bagaimana cara dirinya dihargai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Bicara dengan orang lain tentang apakah mereka merasa dihargai. Hal
ini memungkinkan dirinya akan menemukan orang lain yang merasa
tidak aman seperti yang dilakukan, namun yakin mereka tampak, dan
dirinya akan sadar bahwa dirinya tidak sendirian.
c) Melakukan percobaan (Setting up experiments). Menguji keyakinan
inti yang dimiliki. Misalnya, untuk membuktikan “Orang-orang
menghargai saya,” diri seseorang mungkin bertanya kepada sepuluh
teman yang dimiliki untuk membantu. Mungkin dirinya merasa takut
bahwa semua teman akan menolak, tetapi kemungkinan besar,
kenyataannya akan lebih baik dari apa yang dipikirkan. Jika enam
teman merespon dengan baik, dirinya akan dapat membuktikan bahwa
mayoritas orang menghargai dirinya, dan orang tersebut dapat
mengambil kepercayaan yang positif.
d) Mengevaluasi sikap yang dimiliki (Evaluating the attitudes).
Keyakinan inti yang dimiliki telah berkembang dari pelajaran
kehidupan yang telah dipelajari. Dengan berlalunya waktu, keyakinan
tersebut mungkin tidak lagi berguna. Untuk memeriksa apakah
seseorang harus mempertahankan kepercayaan atau membuang itu,
tanyakan apa manfaat dan keterbatasan itu dalam hidup dirinya.
Sebuah keyakinan inti yang negatif merugikan lebih besar daripada
membantu: “Orang tidak menghargai saya” mungkin melindungi
dirinya dari kekecewaan dalam hidup, tapi juga membuat dirinya
waspada dan curiga. Jadi, gantilah dengan sebuah keyakinan positif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
yang membantu sehingga bertahan pada hal itu: “Orang-orang
menghargai saya” membuat dirinya merasa percaya diri. Jagalah
keyakinan positif yang membuat merasa yakin pada diri sendiri dan
hubungan yang dimiliki. Lepaskan keyakinan negatif yang
mengurangi harga diri dan kembalilah pada kesuksesan.
e) Membuang rasa takut (Banishing fear). Jika keyakinan seseorang
berpusat di sekitar sesuatu yang ditakuti, wajah yang ketakutan berada
dalam pikirannya. Jika, misalnya, keyakinan inti orang tersebut adalah
bahwa orang tidak menyukai diri orang tersebut, maka “Fantasi
terburuk” mungkin bahwa semua orang berbicara tentang orang
tersebut di belakangnya. Memainkan fantasi yang dalam pikirannya.
Bagaimana orang tersebut akan membela diri? Menjalankannya
sampai akhir, dan perhatikan bahwa meskipun itu menakutkan, orang
tersebut mampu bertahan. Setelah teror itu hilang, maka kepercayaan
mungkin akan berubah ke yang lebih berguna.
f) Membangun kembali kenangan (Restructuring memories). Sebuah
keyakinan inti yang negatif biasanya dibuat dengan kunci peristiwa
yang terjadi dalam hidup seseorang. Kabar baiknya adalah bahwa jika
orang tersebut memikirkan kembali peristiwa ini, orang tersebut
mungkin menyadari bahwa ada keyakinan positif yang bisa diperoleh
dari itu. Misalnya, keyakinan bahwa “Orang-orang mengira aku
lemah” mungkin dimiliki ketika orang tersebut di sekolah. Tetapi jika
diingat bahwa sebenarnya orang tersebut tetap berdiri, orang tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
mungkin menyimpulkan, “Saya berani.” Dan jika orang tersebut dapat
melihat bahwa para penganiaya iri karena akademik orang tersebut
sukses, orang tersebut mungkin juga menyadari bahwa, “Saya cerdas.”
4) Membangun Harga Diri (Establishing Self-Esteem)
Orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah pemikir positif yang
alami. Setelah pandangan yang positif berarti memiliki harga diri tinggi.
Ini berarti bahwa jika seseorang menggunakan teknik berpikir positif
untuk meningkatkan keyakinan intinya, harga dirinya akan meningkat.
a) Memikirkan kembali pesan (Rethinking the messages). Semakin
positif penilaian orang lain yang dibuat tentang diri seseorang,
semakin baik orang tersebut merasa tentang dirinya sendiri;
sebaliknya lebih negatif penilaian orang lain, maka orang tersebut
merasa semakin buruk. Langkah yang paling penting dalam perasaan
yang baik tentang diri sendiri adalah menyadari bahwa tidak ada yang
bisa membuat diri seseorang merasa buruk kecuali jika orang tersebut
membiarkannya. Jadi menjauhkan diri dari orang-orang yang
mengkritik diri seseorang, dan sebaliknya, mendekatkan diri dengan
orang yang penuh syukur dan pujian.
b) Membuat sasaran target sendiri (Setting the own targets). Jika
seseorang merasa sebagian besar berhasil dalam apa yang diharapkan
dari diri sendiri, harga diri orang tersebut akan kuat. Jadi tujuan hanya
setinggi yang dapat dicapai orang tersebut secara realistis, daripada
berpikir harus menjadi sempurna. Dalam cara yang sama, tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
bertujuan begitu rendah sehingga orang tersebut merasa di bawah
pencapaian. Ketika orang tersebut berhasil melakukan, pujilah diri
sendiri. Hindari membandingkan diri terhadap orang lain; setiap orang
memiliki kekuatan dan kelemahan mereka sendiri. Tetapkan harapan
sendiri dan nilai prestasi yang dimiliki dengan perbaikan.
c) Menjadi baik untuk diri sendiri (Being kind to self). Jika seseorang
mendukung orang lain yang rendah harga dirinya, orang tersebut tidak
akan mengkritik mereka dan meletakkannya. Adil kepada diri sendiri,
dan menawarkan diri kebaikan yang sama seperti yang akan
ditawarkan kepada teman secara naluriah. Waktu ke waktu, siang hari,
menunjukkan apa yang dilakukan adalah benar. Ya, harus realistis
tentang keterbatasan yang dimiliki, tapi mengampuni diri sendiri
untuk setiap kegagalan. Mendorong diri sendiri untuk belajar dari
kesalahan sendiri. Menjadi teman terbaik bagi diri sendiri dengan
memperlakukan diri sendiri seakan memperlakukan teman yang baik.
Jadi berilah pujian kepada diri sendiri pada setiap kesuksesan,
betapapun kecilnya, mengajak teman atau kolega untuk berbagi
perayaan.
5) Mempertahankan Perilaku Positif (Maintaining Positive Behaviour)
Untuk mengintegrasikan strategi berpikir positif sepenuhnya ke dalam
hidup seseorang, orang tersebut harus belajar untuk menerapkannya
dalam semua keadaan, setiap saat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
a) Tetap di track (Staying on track). Ketika dalam keadaan stres,
seseorang mungkin menemukan perilaku positif yang dimiliki mulai
goyah dan jika ini terjadi, mengalihkan diri sendiri dengan
berkonsentrasi pada apa yang terjadi di sekitar diri sendiri. Mengulang
penegasan, senyum untuk menciptakan fisiologi merasa baik, atau
memberikan istirahat diri dengan menjadi negatif selama sepuluh
menit secara keseluruhan. Dan jika orang tersebut menemukan dirinya
yang suram untuk mendapatkan simpati, menemukan lainnya, lebih
ceria dengan cara mendapatkan perhatian.
b) Menjaga latihan (Keeping up the practice). Semakin positif diri
seseorang, maka semakin positif orang tersebut untuk belajar.
Perbanyak kesempatan berpikir positif dalam hidup. Pada siang hari,
pilih tugas, interaksi, atau perjalanan di mana diri seseorang fokus
pada berpikir dan bersikap positif. Menangkap diri sendiri setiap kali
diri sendiri mulai masuk ke dalam negatif dan dengan sadar
menggantinya dengan pikiran positif. Setelah orang tersebut mulai
berhasil, area hidup orang tersebut menunjukkan hidup sebagai zona
bebas negatif, di mana orang tersebut hanya merasa, berpikir, dan
bertindak positif. Mulailah dengan daerah yang paling bebas stress
dalam hidup dan secara bertahap memperluas pikiran positif di
seluruh bidang kehidupannya.
c) Menggunakan pendekatan “seolah-olah” (Using “as if” approaches).
Jika seseorang memenuhi tantangan besar untuk positif, mencoba
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
bertindak "seolah-olah" semuanya baik-baik saja. Bertindak seolah-
olah orang tersebut seperti dirinya, atau jika orang tersebut menerima
orang lain; bertindak seolah-olah masa depannya yang cerah, atau
seolah-olah masa lalunya teratasi. Bayangkan diri sendiri sebagai
orang yang sukses, cantik, efektif, cinta dan apa pun yang dikatakan
atau dilakukan, membuatnya menjadi kata-kata atau tindakan orang
yang diinginkan. Pendekatan ini mungkin terasa palsu pada awalnya,
tetapi orang tersebut akan mempelajari sebuah pelajaran berharga
tentang apa artinya menjadi positif, dan dengan latihan akan tumbuh
menjadi sebuah peran yang nyata.
d) Merencanakan hari yang positif (Planning a positive day). Cara yang
baik untuk masuk ke dalam kebiasaan berpikir positif sepanjang hari
dan setiap hari adalah dengan membuat rencana hari yang positif.
Tulislan sepuluh kemungkinan setidaknya yang spesifik dalam sehari,
dari bangun di pagi hari sampai tidur di malam hari.
Selanjutnya, berikut ini merupakan tujuh prinsip langkah efektif dalam
berpikir positif menurut Elfiky (2009) :
1) Masalah dan kesengsaraan hanya ada dalam persepsi. Kenyataan adalah
persepsi yang dibuat oleh diri sendiri. Jika seseorang ingin mengubah
kenyataan hidup, maka mulailah dengan mengubah persepsi yang
dimiliki. Misalnya, seseorang yang frustrasi, sedih dan selalu mengeluh
dioperasi hingga persepsinya dibedah dan kesehatannya kembali pulih
maka orang tersebut tidak lagi mengalami masalah karena semua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
masalah yang dihadapi ada dalam persepsinya. Selain persepsi, masalah
juga berhubungan dengan makna yang dirumuskan, cara berpikir,
keputusan dan pilihan. Jika seseorang mengubah persepsi tentang
masalah, memikirkannya sebagai hadiah terindah, lalu berkonsentrasi
pada upaya mencari solusi, maka orang tersebut akan menemukan pintu
harapan terbuka lebar di hadapannya. Oleh karena itu, jangan sampai
mebiarkan persepsi tentang suatu masalah memengaruhi diri.
2) Masalah tidak akan membiarkan seseorang dalam kondisi yang ada,
masalah akan membawa seseorang pada kondisi yang lebih buruk atau
lebih baik. Setiap masalah yang datang dalam hidup ini akan membuat
seseorang keluar dari rasa tenang, damai, dan nyaman. Masalah juga
akan memengaruhi pikiran, konsentrasi, kekuatan, dan perasaan sampai
orang tersebut dapat melepaskan diri dari masalah dengan cara-cara
tertentu. Akan ditemukan orang yang berkepribadian negatif akan
kehilangan keseimbangan ketika menghadapi masalah sehingga orang
tersebut berpikir secara negatif dan emosional. Perhatiannya akan
difokuskan pada masalah dan dampaknya yang paling buruk. Dengan
begitu, perasaannya semakin negatif dan mendorongnya berperilaku
negatif hingga masalah yang dihadapi menjadi semakin rumit. Bagi
orang tersebut, masalah membuat kondisinya menjadi lebih buruk. Orang
yang berkepribadian positif akan memusatkan perhatian pada upaya
mencari solusi dengan cara-cara yang rasional dan perasaan yang tenang.
Maka, orang tersebut mempelajari masalah yang ada dan memperbaiki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
sikapnya hingga dapat berperilaku positif. Bagi orang tersebut, masalah
justru mengantarkannya kepada kondisi yang lebih baik.
3) Memisahkan diri dari masalah. Masalah hanya salah satu kondisi
aktivitas hidup yang harus dihadapi secara wajar dan disikapi dengan
tenang hingga menemukan solusi yang tepat. Karena itu harus berhati-
hati, harus dapat menguasai masalah dan jangan sampai masalah yang
menguasai diri. Memisahkan diri dari masalah dan berhati-hatilah akan
ucapan pada diri sendiri atau orang lain setelah kata “aku” karena kata
“aku” meliputi segalanya di setiap tempat, waktu, serta pada setiap
materi dan energi. Ketika seseorang mengatakan, “Aku gagal” berarti
kegagalan itu berlaku pada setiap tempat, setiap waku, setiap pikiran,
setiap bahasa, dan potensi termasuk potensi spiritual. Oleh karena itu,
berhati-hatilah setiap kali mengatakan, “Aku...” karena kata setelahnya
adalah keyakinan yang dapat menimbulkan berbagai masalah untuk diri
sendiri dan jangan pernah meletakkan kata negatif setelahnya.
Sebaliknya, mengatakan sesuatu yang mendukung dan menguatkan diri,
seperti “Aku percaya diri”, “Aku mampu mengatur waktu”, “Aku kreatif
dan mampu menemukan solusi dari masalah apa pun”. Dengan demikian,
berarti seseorang menyuapi otaknya dengan gizi yang positif dan inilah
bekal positif dalam menghadapi setiap masalah.
4) Belajarlah dari masa lalu, hiduplah pada masa sekarang dan
rencanakanlah masa depan. Masa lalu adalah mimpi, masa depan adalah
proyeksi. Banyak orang yang mengeluhkan masa lalu dan masa depan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
padahal keduanya tudak ada saat ini. Masa lalu dan segala peristiwa yang
ada di dalamnya telah berlalu sebagai pengalaman. Ketika seseorang
memahami kemampuan yang dipelajari dari pengalaman, masa lalu justru
akan menjadi sahabat baginya dan jika bukan karena masa lalu, orang
tersebut tidak akan sekuat sekarang ini. Sesungguhnya apa yang disebut
kegagalan itu tidak ada, yang ada adalah dampak atau akibat. Maka, jika
seseorang merasa tidak rela pada apa yang telah dicapai dalam
kehidupan, perhatikanlah perilaku diri dan perbaiki. Susunlah rencana
baru dan lakukan dengan baik secara konsisten. Tentang masa kini,
hadapilah dengan segenap makna positif dan jangan sampai hidup ini
dihantui perasaan negatif masa lalu dan jangan terlena menunggu masa
depan yang belum datang. Dengan demikian, orang tersebut pasti
mendapatkan apa yang diinginkan yaitu dapat menjadikan masa lalu
sebagai kebahagiaan dan masa depan sebagai proyeksi yang indah.
5) Setiap masalah ada solusi spiritualnya. Apa pun masalah yang dihadapi,
tetaplah berpikir positif dan memusatkan perhatian pada upaya mencari
solusi dan tetap bertawal kepada Tuhan. Dengan demikian, pikiran
seseorang akan sarat dengan spiritualitas. Pada saatnya orang tersebut
akan tercengang ketika Tuhan memberikan jalan keluar untuknya,
banyak hal positif yang akan terjadi dan tidak pernah dibayangkan
sebelumnya. Sekali lagi, menyadari bahwa setiap persoalan dapat
diselesaikan dengan jalan spiritualitas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
6) Mengubah pikiran berarti mengubah kenyataan dan pikiran baru akan
menciptakan kenyataan yang baru. Jika seseorang ingin melakukan
perubahan positif dalam hidupnya, pertama kali orang tersebut harus
mengubah pikirannya dengan mengganti pikiran negatif dengan pikiran
positif karena pikiran baru melahirkan kenyataan yang baru. Oleh karena
itu, jika seseorang sungguh ingin menciptakan perubahan positif dalam
hidup, mulailah dengan mengubah bagian dalam dirinya.
7) Ketika satu pintu tertutup, pasti akan dibukakan pintu lain yang lebih
baik. Kebanyakan manusia menyia-nyiakan waktu, konsentrasi, dan
tenaga untuk memandang pintu yang tertutup daripada menyambut pintu
impian yang terbuka dihadapannya. Hal ini tentang bagaimana seseorang
tidak sabar menghadapi cobaan hidup, merasa cemas, dan takut tetapi
seiring perjalanan waktu, orang tersebut baru sadar bahwa cobaan adalah
anugerah terindah dari Tuhan. Tuhan menutup satu pintu untuk kebaikan
dan kepentingan seseorang dan sebagai gantinya, Tuhan membukakan
pintu lain yang lebih baik.
Lalu berikut ini adalah beberapa langkah efektif dalam berpikir positif
menurut Asmani (2009) :
1) Mengambil sisi baik dari permasalahan. Setiap masalah yang menimpa
seseorang, mengambil sisi baiknya menurut diri sendiri dan jangan
mengambil sisi buruknya, karena dapat melemahkan mental diri sendiri.
Ketika mental seseorang sudah jatuh, maka kekuatan untuk bangkit
mudah hilang dan akan semakin terperosok dalam perangkap kehancuran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
diri sendiri. Oleh karena itu, dalam menghadapi situasi sesulit dan
seburuk apa pun, jangan sampai melakukan respons yang justru
melemahkan mental dan spirit diri sendiri. Menyuarakan pikiran dan
perasaan yang positif terhadap kejiwaan karakter diri sendiri maka akan
menjadi semakin mantap dalam mengarungi kehidupan ini.
2) Menghindari generalisasi. Jangan suka menyamakan semua masalah,
semua mempunyai ciri khasnya sendiri-sendiri yang mungkin tidak sama
satu sama lain. Kebiasaan menggeneralisasikan masalah dapat
menyebabkan seseorang menjadi sakit mental yang tidak baik bagi
perkembangan psikologis dirinya. Menghadapi masalah harusnya dengan
kesiapan mental, ketangguhan kepribadian, dan kematangan emosi.
3) Jangan pernah berhenti melangkah. Dalam kondisi apa pun, jangan
pernah berhenti melangkah. Terus melangkah dengan menanamkan
optimisme dan buang jauh-jauh perasaan dan tekanan batin yang
melumpuhkan semangatmu. Ketika seseorang terus melangkah,
keyakinan diri akan terbangun, kepercayaan diri tumbuh dengan baik,
dan orang tersebut akan merasa menjadi seorang pemenang dalam
kompetisi hidup.
4) Tidak peduli terhadap komentar miring orang lain. Orang lain bisa saja
seenaknya menyalahkan dan mencemooh seseorang, sedangkan mereka
tidak berbuat apa pun untuk kebaikan dan nasib orang tersebut di masa
depan. Karena itu, jangan pernah memikirkan dan memasukkan
komentar miring orang lain ke dalam perasaan. Cuek atau tidak peduli
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
adalah langkah terbaik daripada orang tersebut merasa sakit hati
mendengarkan ucapan dan komentar miring orang lain karena masa
depan ada di tangan orang tersebut dan bukan di tangan orang lain.
5) Berlatih percaya diri. Berpikir positif lahir dari kepercayaan diri yang
tinggi, maka berlatihlah menjadi orang yang mempunyai kepercayaan
diri yang tinggi. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, seseorang akan
mampu melahirkan pemikiran-pemikiran cemerlang yang mempunyai
pengaruh besar dalam kehidupan. Percaya diri juga dapat menjadi modal
besar dalam mengeluarkan kemampuan terbaik. Kepercayaan diri akan
membuat seseorang mampu berpikir jernih, objektif, dan progresif.
Dengan modal ini, aktualisasi potensi diri akan berjalan sukses.
6) Memberi bukti, bukan janji. Ketika ada orang lain yang merasa ragu
terhadap kemampuan yang dimiliki seseorang, berpikirlah positif dan
jangan berdebat mereka dengan berbagai macam argumentasi yang
bertele-tele karena mereka tetap tidak akan percaya. Oleh karena itu,
orang tersebut harus membuktikan bahwa dirinya mampu meraih prestasi
dengan berusaha sungguh-sungguh dan bukan hanya mengobral janji.
Buktikan dengan sikap, perbuatan, dan aksi langsung di lapangan.
7) Tidak membesar-besarkan masalah. Jangan suka membesar-besarkan
masalah karena masalah tidak akan teratasi malah menjadi semakin
rumit. Menghadapi masalah dengan tenang sehingga orang lain tidak
terbawa dalam masalah tersebut. Sebesar apa pun masalah, kalau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
dihadapi dengan tenang dan didekati dengan sederhana, tidak akan rumit
tetapi akan cepat selesai dan teratasi dengan baik.
8) Ingat terus tujuan jangka panjang. Seseorang akan terus berpikir positif
jika tujuan hidup jangka panjangnya selalu melekat kuat dalam sanubari
orang tersebut. Tujuan jangka panjang ini akan mendorong orang
tersebut terus berjalan dan dinamis dalam melangkah, merasakan
rintangan sebagai bumbu dalam meraih kesuksesan.
9) Pentingnya gradualisasi dalam proses. Segala sesuatu di dunia ini
berjalan dengan hukum alam. Langkah seribu dimulai dari satu langkah.
Orang yang berpikir positif akan melihat bahwa proses perjalanan hidup
ini berjalan secara bertahap (gradual) dan tidak instan. Di sinilah
diperlukan perjuangan yang tanpa mengenal lelah. Kontinuitas
perjuangan menggapai tahapan kehidupan tersebut harus ditopang
dengan pikiran yang positif, dinamis, dan visioner.
10) Lebih intens kepada Tuhan. Berpikir positif akan menjadi lebih mantap
apabila disandarkan kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta, Maha Kuasa,
dan Maha Penolong. Dalam ajaran-ajaran Tuhan disebutkan banyak hal
mengenai pentingnya berpikir positif dalam menjalani aktivitas dunia.
Larangan untuk berburuk sangka kepada orang lain, semangat mengubah
diri, agungnya nilai perjuangan, dan tidak ada kata menyerah terhadap
kesulitan dan kesusahan hidup adalah sebagian ajaran Tuhan yang
menjadi pembimbing dalam hidup ini. Setiap kesulitan pasti ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
kemudahan adalah ajaran Tuhan yang seharusnya selalu menjadi
inspirasi dalam mengarungi badai kehidupan.
Langkah-langkah efektif untuk berpikir positif yang telah dijelaskan di
atas tentu mempunyai kelebihan dan kelemahannya masing-masing.
Menurut Penulis, kelebihan langkah efektif berpikir positif menurut Elfiky
(2009) adalah Elfiky sangat fokus pada penyelesaian masalah melalui
pikiran bahwa masalah yang dihadapi berasal dari pikiran yang dimiliki
sehingga penyelesaian masalah terletak pada jalan pikiran yang dimiliki,
akan cepat diselesaikan atau hanya akan berputar-putar karena takut untuk
dihadapi, sedangkan kelemahannya adalah Elfiky (2009) hanya
memfokuskan manfaat berpikir positif pada cara penyelesaian masalah
melalui pikiran dan justru hal inilah yang paling sulit dilakukan karena
pikiran yang dimiliki selalu berubah dan tidak disertai langkah-langkah
yang lebih mudah dan praktis dalam latihannya. Selanjutnya, kelebihan
langkah efektif berpikir positif menurut Asmani (2009) adalah langkah
efektif berpikir positif yang dikemukakan oleh Asmani (2009) lebih bersifat
sederhana dan praktis sehingga mudah dilakukan, namun yang menjadi
kelemahannya adalah langkahnya kurang sistematis dan kurang sesuai
dengan teknik berpikir positif Model ABC menurut Ellis. Lalu, kelebihan
langkah efektif berpikir positif menurut Quilliam (2008) adalah langkah
yang dikemukakan bersifat sederhana, praktis dan disusun secara sistematis
serta lebih sesuai dengan teknik berpikir positif Model ABC Ellis sedangkan
kelemahannya adalah langkahnya terlalu panjang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Berdasarkan penjelasan di atas, Penulis lebih memilih langkah efektif
untuk berpikir positif menurut Quilliam (2008) karena telah mencakup
langkah efektif berpikir positif menurut Elfiky (2009) dan Asmani (2009)
serta lebih sederhana dan mudah untuk dipelajari dengan latihan-latihan
praktis yang berguna dan sesuai dengan teknik dalam pelatihan berpikir
positif Model ABC (Antecedents, Behavior, Consequency) menurut Ellis
yaitu menantang pikiran yang dimiliki, mengubah gambaran cara berpikir
yang dimiliki, menggunakan bahasa yang konstruktif, memikirkan kembali
kepercayaan yang dimiliki, membangun harga diri, dan mempertahankan
perilaku positif yang dimiliki.
3. Pelatihan Berpikir Positif
Pelatihan berpikir positif merupakan salah satu pengembangan atas
model kognitif. Pelatihan ini ditujukan untuk membantu seseorang mengenali
pola pikirnya dan memahaminya, mengubah pola pikir yang negatif menjadi
pola pikir yang positif melalui serangkaian pelatihan, dan menggunakan pola
pikir positif yang terbentuk itu dalam menghadapi masalah kehidupan yang
akan datang (Ellis dalam Corey, 1988).
Pelatihan berpikir positif dalam penelitian ini dikembangkan dari model
pendekatan kognitif rasional-emotif (TRE-Model) yang telah dikembangkan
oleh Albert Ellis. Teknik kognitif Ellis menekankan pada model kognitif ABC
(Antecedents, Behavior, dan Consequency). Ellis (dalam Corey, 1988)
menekankan bahwa pada dasarnya orientasi perilaku itu bepusat pada kognitif-
tingkah laku-tindakan dalam arti menitikberatkan pada berpikir, menilai,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
memutuskan, menganalisis, dan bertindak. Corey (1988) menekankan
pendekatan menurut Ellis yaitu manusia itu lahir dengan potensi dan memiliki
kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir, mengatakan,
mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualkan
dirinya, akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan untuk
menghancurkan diri, menghindari pemikiran, menyesali, intolerensi,
menghalau aktualisasi dirinya.
Ellis (dalam Corey, 1988) juga menekankan bahwa manusia secara
simultan dan integritas berpikir, beremosi, dan berperilaku. Semuanya
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dan sifatnya reversible.
Sikap yang disfungsional dipandang sebagai pengulangan atas pemikiran
irasional yang diterima pada masa kini yang dilakukan oleh diri kita sendiri.
Pikiran dapat mempengaruhi segala bentuk kondisi psikologis manusia. Jika
seseorang merasakan buruk tentang sesuatu, maka efeknya akan dirasakan
buruk. Kalimat-kalimat pernyataan dan arti-arti yang dipersepsikan negatif
akan berpengaruh bagi emosi seseorang yang nantinya berpengaruh terhadap
aspek perilaku manusia. Pendekatan TRE menekankan penerimaan diri dengan
segala kekurangan yang ada. Pendekatan ini mengajak seseorang untuk
merasakan arti kesedihan, perih, dan sakit. Meskipun demikian, inti TRE
melakukan ini adalah untuk mengatasi segenap manifestasi dari rasa sedih,
sakit, dan perih tersebut.
Asumsi yang mendasarkan perancangan pelatihan berpikir positif dari
Ellis ini yaitu bahwa manusia memiliki kesanggupan untuk berpikir, maka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
manusia mampu untuk melatih dirinya sendiri untuk mengubah atau
menghapus keyakinan yang merusak dirinya sendiri (Ellis dalam Corey, 1988).
Sistem-sistem yang dibutuhkan adalah displin diri, berpikir positif, dan belajar
dari kesalahan serta keberhasilan lalu. Tujuan penggunaan TRE Ellis adalah
meminimalkan pandangan yang menyalahkan diri sendiri dan membantu
memperoleh esensi hidup yang lebih realistis melalui proses belajar. Teknik-
teknik yang diterapkan dalam pelatihan berpikir positif menurut TRE Ellis
(Corey, 1988) adalah :
1) TRE memberikan keleluasaan untuk menjadi eklektik. TRE menekankan
bahwa orang-orang bisa mengalami perubahan melalui banyak jalan yang
berbeda seperti pengalaman-pengalaman hidup yang berarti, belajar tentang
pengalaman hidup orang lain, menonton film, mendengarkan rekaman-
rekaman, mempraktekan tugas yang spesifik, melibatkan diri dalam
korespondensi melalui saluran TRE, menghabiskan waktu untuk berpikir
dan bermeditasi, dan banyak cara lain untuk menentukan perubahan
kepribadian yang tahan lama.
2) Teknik TRE yang esensial adalah mengajar secara aktif-direktif. Segera
setelah memulai TRE, terapis memainkan peran sebagai pengajar yang aktif
untuk mereedukasi klien. Terapis menunjukkan asal ketidaklogisan
gangguan-gangguan yang dialami klien dan verbalisasi-verbalisasi diri yang
telah mengekalkan gangguan-gangguan dalam hidup klien.
3) Lebih dari itu, TRE adalah suatu proses didaktik dan karenanya
menekankan metode-metode terapi tingkah laku seperti pelaksanaan tugas,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
desensitisasi, pengondisian operan hipnoterapi, dan latihan asertif
cenderung digunakan secara aktif-direktif di mana terapis lebih banyak
berperan sebagai guru ketimbang sebagai pasangan yang berelasi secara
intens.
Corey (1988) mengatakan bahwa salah satu model yang digunakan
dalam TRE menurut Ellis adalah model kognitif ABC (Antecedents, Behavior,
dan Consequency). A (Antecedents) adalah keberadaan suatu fakta, suatu
peristiwa, tingkah laku atau sikap seseorang. C (Consequency) adalah
konsekuensi atas reaksi emosional seseorang, reaksi ini bisa layak dan bisa
pula tidak layak. A (peristiwa yang mengaktifkan) bukan penyebab timbulnya
C (konsekuensi emosional). Tetapi B (Behavior) yaitu keyakinan individu
tentang A, yang menjadi penyebab C yakni reaksi emosional.
Misalnya, jika seseorang mengalami depresi setelah perceraian, bukan
perceraian itu sendiri yang menjadi penyebab timbulnya reaksi depresif,
melainkan keyakinan orang itu tentang perceraian sebagai kegagalan,
penolakan, atau kehilangan teman hidup. Ellis (dalam Corey, 1988) bertahan
bahwa keyakinan akan penolakan dan kegagalan (pada B) adalah yang
menyebabkan depresi (pada C), jadi bukan peristiwa perceraian yang
sebenarnya (pada A). Jadi, manusia bertanggung jawab atas penciptaan reaksi-
reaksi emosional dan gangguan-gangguannya sendiri.
Selanjutnya, gangguan-gangguan emosional itu dipertahankan oleh
putusan-putusan yang tidak logis (irasional) yang terus-menerus diulang oleh
individu. Ellis (dalam Corey, 1988) menambahkan bahwa apa yang dirasakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
oleh seseorang adalah apa yang dipikirkannya. Reaksi-reaksi emosional yang
terganggu seperti depresi dan kecemasan diarahkan dan dipertahankan oleh
sistem keyakinan yang meniadakan diri, yang berlandaskan gagasan-gagasan
irasional yang telah dimasukkan individu ke dalam dirinya.
Ellis (dalam Corey, 1988) meyakini bahwa gangguan-gangguan
emosional bisa dihilangkan atau diperbaiki dengan menangani perasaan-
perasaan (depresi, kecemasan, kebencian, ketakutan, dan sebagainya) secara
langsung. Teknik yang paling cepat, paling mendasar, paling rapi, dan
memiliki efek paling lama untuk membantu seseorang dalam mengubah
respon-respon emosionalnya yang disfungsional adalah dengan mendorong
mereka agar mampu melihat dengan jelas apa yang dikatakan oleh orang itu
kepada dirinya sendiri yaitu pada sistem B, keyakinan orang tersebut tentang
stimulus-stimulus yang mengenai diri mereka pada A (pengalaman-
pengalaman yang mengaktifkan) dan mengajari mereka bagaimana secara
aktif dan tegas membantah (pada D) keyakinan-keyakinan irasional mereka
sendiri. Sesuai dengan pemikiran Ellis (dalam Corey, 1988) bahwa manusia
memiliki kesanggupan untuk berpikir, maka manusia mampu melatih dirinya
sendiri untuk mengubah atau menghapus keyakinan-keyakinan yang
menyabotase dirinya sendiri.
Pelatihan berpikir positif ini terdiri dari tiga pertemuan dengan materi
pengenalan berpikir positif pada pertemuan pertama, lalu pada pertemuan
kedua terdapat role play Model ABC (Antecedents, Behavior, Consequency)
Ellis dan penyampaian materi tentang langkah efektif untuk berpikir positif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
sesuai dengan teknik berpikir positif Model ABC Ellis yang telah
dikembangkan oleh Quilliam (2008) yaitu menantang pikiran yang dimiliki,
mengubah gambaran cara berpikir yang dimiliki, menggunakan bahasa yang
konstruktif, memikirkan kembali kepercayaan yang dimiliki, membangun
harga diri, dan mempertahankan perilaku positif yang dimiliki, lalu materi
manfaat berpikir positif diberikan pada pertemuan ketiga. Penulis lebih
memilih langkah efektif berpikir positif yang dikembangkan oleh Quilliam
(2008) karena langkah-langkahnya sistematis dan sesuai dengan konsep Model
ABC Ellis yaitu akibat yang didapatkan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh
keyakinan yang dimiliki sehingga Quilliam (2008) pun menekankan pada
upaya untuk mengubah pikiran negatif menjadi pikiran negatif melalui
serangkaian langkah yang sistematis tetapi tetap sederhana dan mudah untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, setelah menerima pelatihan berpikir positif berdasarkan
model A-B-C dari Ellis diharapkan remaja panti asuhan dapat lebih positif
memandang seluruh peristiwa yang terjadi dalam hidupnya sehingga tidak
dikalahkan oleh pikiran-pikiran negatif yang dapat menyebabkan remaja panti
asuhan semakin terpuruk menjalani hidup. Remaja panti asuhan diharapkan
mampu berpikir positif dalam setiap momen hidupnya sehingga lebih optimis
dalam menatap masa depannya. Dengan pemikiran yang positif ini, remaja
panti asuhan akan lebih terbuka dan mampu mengungkapkan pikiran, pendapat
dan perasaannya sehingga mampu bersikap asertif dalam berkomunikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
dengan orang lain dan mendapatkan apa yang diinginkan karena tidak dapat
dikendalikan oleh orang lain.
C. Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif Terhadap Asertivitas Remaja Panti
Asuhan
Remaja merupakan masa peralihan dari anak menjadi dewasa. Seiring
dengan pergantian status anak menjadi dewasa, remaja banyak menemui
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu permasalahan yang sering
dialami oleh remaja pada umumnya terkait dengan hubungan interpersonalnya
karena tugas perkembangan remaja difokuskan pada upaya untuk mencapai
kemampuan bersikap dan berperilaku sebagai orang dewasa yang bertanggung
jawab dalam lingkungannya karena hal ini merupakan pondasi supaya remaja
dapat hidup bermasyarakat (Havighrust dalam Panuju & Umami, 1999). Remaja
membutuhkan dukungan dari lingkungan untuk dapat berhasil dalam tugas
perkembangannya, terutama dukungan dari keluarga sebagai lingkungan yang
paling dekat dalam kehidupan remaja.
Kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap remaja dilindungi dalam satu
keutuhan keluarga yang bisa memenuhi kebutuhan psikologis dan fisik yang
diperlukan dalam masa perkembangan menjadi dewasa. Misalnya, remaja yang
tidak mempunyai keluarga yang utuh atau dihadapkan pada kenyataan yang pahit
bahwa remaja harus berpisah dari keluarganya karena sesuatu alasan, seperti
menjadi yatim (tidak mempunyai ayah), piatu (tidak mempunyai ibu) bahkan
yatim piatu (tidak mempunyai ayah dan ibu). Kondisi tersebut bisa menjadi salah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
satu hal yang menyebabkan seorang remaja berada di lembaga yang bernama
panti asuhan. Panti asuhan diartikan sebagai rumah, tempat atau kediaman yang
digunakan untuk memelihara atau mengasuh anak yatim, piatu dan yatim piatu
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Panti asuhan menjadi tempat untuk
membangun karakter atau keperibadian remaja yang tinggal di dalamnya.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui bagaimana keadaan
sebenarnya yang terjadi dalam kehidupan di panti asuhan. Penelitian pertama
menyebutkan bahwa 95,2% remaja panti asuhan Islam di Yogyakarta mengalami
kesulitan dalam menunjukkan kompetensi interpersonal (Lukman, 2000) lalu hasil
penelitian selanjutnya yang menyebutkan bahwa 76% anak-anak panti asuhan di
Jawa Timur cenderung kurang mampu untuk berhubungan dengan orang lain
(Hartini, 2001), dan sebanyak 75% anak panti asuhan di Kudus memiliki tingkat
asertivitas yang kurang (Masriah, 2006). Dilihat dari hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan mengalami kesulitan
dalam berhubungan dengan orang lain yaitu dalam kompetensi interpersonalnya,
termasuk dalam asertivitas. Kompetensi interpersonal memiliki lima aspek yaitu
inisiatif, keterbukaan, asertivitas, dukungan emosional, dan kemampuan
mengatasi konflik (Buhrmester dkk, 1988). Salah satu aspek dari kompetensi
interpersonal yang menjadi fokus penelitian kali ini adalah asertivitas.
Asertivitas adalah kemampuan untuk mengungkapkan perasaan baik
perasaan positif maupun negatif, secara terbuka, langsung dan jujur (Holland &
Ward, 1990). Perilaku asertif dapat memberi manfaat besar sebagai alat
pengembangan diri. Seseorang dengan asertivitas yang tinggi akan memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
kesadaran diri, kepercayaan diri dan harga diri yang lebih besar, dan keterampilan
komunikasi yang efektif. Seseorang yang asertif akan memiliki rasa hormat bagi
dirinya sendiri dan orang lain. Menurut Rich dan Schroeder (dalam Rakos, 1991),
asertivitas merupakan suatu perilaku yang dapat dipelajari dan bukan bawaan
sejak lahir. Oleh karena itu, perilaku asertif dapat ditingkatkan melalui
serangkaian latihan. Salah satu latihan untuk meningkatkan perilaku asertif dan
merupakan inti dari latihan ini adalah dengan melalui latihan berpikir positif
(Bishop, 2007).
Pikiran positif adalah pikiran yang dapat membangun dan memperkuat
kepribadian atau karakter seseorang (Sakina, 2009). Hal ini juga berarti bahwa
seseorang yang berpikiran positif dapat menjadi pribadi yang lebih matang, lebih
berani menghadapi tantangan dan dapat melakukan hal-hal yang hebat. Pikiran
positif tidak akan membuat seseorang berhenti karena keterbatasan atau
kelemahan, namun pikiran positif justru membuat seseorang akan mencari
kekuatan yang ada dalam dirinya hari demi hari. Berpikir positif menunjukkan
bagaimana mengubah pendekatan seseorang untuk hidup sehingga orang tersebut
bisa merasa baik tentang diri sendiri, menciptakan hubungan yang bermanfaat,
dan berhasil dalam melakukannya (Quilliam, 2008). Di sini, pelatihan berpikir
positif ditujukan untuk meningkatkan perilaku asertif remaja panti asuhan.
Melalui pelatihan berpikir positif ini diharapkan agar remaja panti asuhan dapat
mengelola pemikiran dan pandangannya ke arah yang positif sehingga lebih
mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya karena pikiran ikut menentukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
sikap yang akan diambil dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan.
Pelatihan berpikir positif merupakan salah satu pengembangan atas model
kognitif. Pelatihan berpikir positif dalam penelitian ini dikembangkan dari model
pendekatan kognitif rasional-emotif (TRE-Model) yang telah dikembangkan oleh
Albert Ellis (Corey, 1988). Teknik kognitif Ellis menekankan pada model kognitif
ABC (Antecedents, Behavior, dan Consequency). A (Antecedents) adalah
keberadaan suatu fakta, suatu peristiwa, tingkah laku atau sikap seseorang. C
(Consequency) adalah konsekuensi atas reaksi emosional seseorang, reaksi ini
bisa layak dan bisa pula tidak layak. A (peristiwa yang mengaktifkan) bukan
penyebab timbulnya C (konsekuensi emosional). Tetapi B (Behavior) yaitu
keyakinan individu tentang A, yang menjadi penyebab C yakni reaksi emosional.
Selanjutnya, dalam pelatihan berpikir positif ini akan diberikan langkah-langkah
efektif dalam berpikir positif menurut Quilliam (2008) seperti menantang pikiran
yang dimiliki, mengubah gambaran cara berpikir yang dimiliki, menggunakan
bahasa yang konstruktif, memikirkan kembali kepercayaan yang dimiliki,
membangun harga diri, dan mempertahankan perilaku positif yang dimiliki.
Langkah efektif berpikir positif yang dikembangkan oleh Quilliam (2008) ini
sesuai dengan konsep berpikir positif Model ABC Ellis yang berupaya mengubah
pikiran negatif yang dimiliki menjadi pikiran yang positif karena akibat yang
dirasakan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh pemikiran yang dimilikinya.
Selain itu jika dibandingkan dengan langkah efektif berpikir positif menurut
Elfiky (2009) dan Asmani (2009), langkah efektif berpikir positif yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
dikembangkan oleh Quilliam (2008) lebih bersifat lengkap atau menyeluruh dan
sistematis tetapi tetap sederhana sehingga mudah untuk diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari sedangkan langkah efektif berpikir positif yang
dikembangkan oleh Elfiky (2009) dan Asmani (2009) lebih memfokuskan pada
penyelesaian masalah yang dihadapi dalam kehidupan seperti setiap permasalahan
pasti ada solusinya, mengambil sisi baik dari permasalahan, belajar dari masa lalu,
dan sebagainya sehingga kurang sistematis jika akan digunakan dalam sebuah
rancangan pelatihan berpikir positif.
Pelatihan ini ditujukan untuk membantu remaja panti asuhan dalam
mengenali pola pikirnya dan memahaminya, mengubah pola pikir yang negatif
menjadi pola pikir yang positif melalui serangkaian pelatihan, dan menggunakan
pola pikir positif yang terbentuk itu dalam menghadapi masalah kehidupan yang
akan datang. Pelatihan berpikir positif ini diharapkan mampu membuat remaja
panti asuhan lebih berani dalam mengekspresikan pikiran, perasaan dan
pendapatnya sehingga dapat meningkatkan perilaku asertif remaja panti asuhan.
Dengan menanamkan pikiran positif dalam diri remaja panti asuhan bahwa
dirinya mampu untuk bersikap asertif melalui tindakan-tindakan nyata dalam
kehidupannya seperti mampu untuk mengungkapkan pendapat, pikiran dan
perasaannya, mampu menolak permintaan yang tidak sesuai dengan dirinya, dan
mampu memulai, melanjutkan, dan mengakhiri percakapan dengan orang lain
yang baru dikenalnya, maka remaja panti asuhan akan menyadari bahwa dirinya
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan remaja lain yang masih
mempunyai keluarga utuh. Pikiran yang positif ini akan membuat remaja panti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
asuhan memiliki pandangan yang aktif tentang kehidupan yang merupakan salah
satu aspek perilaku asertif menurut Fensterheim & Baer (1980), lebih terbuka dan
mampu mengungkapkan pikiran, pendapat dan perasaannya sehingga mampu
bersikap asertif dalam berkomunikasi dengan orang lain dan mendapatkan apa
yang diinginkan karena tidak dapat dikendalikan oleh orang lain.
D. Kerangka Berpikir
Berdasarkan uraian di atas, diharapkan pelatihan berpikir positif dapat
meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam penelitian kali ini adalah memberikan perlakuan
yaitu pelatihan berpikir positif kepada remaja panti asuhan yang berperan sebagai
peserta pelatihan. Sebelumnya diberikan pre-test berupa skala asertivitas kepada
remaja panti asuhan untuk mengetahui tingkat asertivitas remaja panti asuhan
sebelum diberikan perlakuan. Selanjutnya, remaja panti asuhan yang memiliki
tingkat asertivitas rendah akan megikuti pelatihan berpikir positif yang berisi
materi berpikir positif, role play model ABC, langkah efektif berpikir positif, dan
manfaat berpikir positif. Setelah remaja panti asuhan mengikuti pelatihan berpikir
Pelatihan Berpikir Positif (3x pertemuan)
Peningkatan asertivitas remaja panti asuhan setelah
mengikuti pelatihan berpikir positif
Remaja Panti Asuhan (Tingkat asertivitas rendah)
Berpikir Positif, Role Play Model ABC, Langkah
Efektif dan Manfaat Berpikir Positif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
positif maka post-test pun diberikan yaitu skala asertivitas yang bersifat sejajar
dengan pre-test untuk mengetahui tingkat asertivitas remaja panti asuhan setelah
mengikuti pelatihan berpikir positif, adakah peningkatan asertivitas remaja panti
asuhan setelah mengikuti pelatihan berpikir positif sesuai dengan tujuan
diadakannya penelitian ini.
E. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh positif dari
pelatihan berpikir positif terhadap asertivitas remaja panti asuhan, yaitu setelah
mengikuti pelatihan berpikir positif ini maka ada peningkatan asertivitas yang
dimiliki oleh remaja panti asuhan yang menjadi peserta pelatihan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel merupakan konsep yang mempunyai variabilitas, suatu konstruk
yang bervariasi atau yang dapat memiliki bermacam nilai tertentu (Latipun, 2006).
Berdasarkan uraian masalah yang telah dibahas sebelumnya, maka variabel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel tergantung : Asertivitas
2. Variabel bebas : Pelatihan Berpikir Positif
B. Definisi Operasional
Definisi operasional berarti meletakkan arti pada suatu variabel dengan
cara menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu untuk
mengukur variabel itu (Latipun, 2006). Peneliti mengemukakan definisi
operasional dari variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Asertivitas
Asertivitas adalah kemampuan mengekspresikan perasaan, pemikiran,
pendapat, dan pilihan secara langsung kepada orang lain dengan cara yang
sesuai dan jujur dengan tetap menghormati diri sendiri dan orang lain
sehingga dapat tercipta hubungan interpersonal yang harmonis dan efektif.
Remaja panti asuhan yang memiliki tingkat asertivitas tinggi akan dapat
86
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
mengekspresikan perasaan, pemikiran, pendapat, dan pilihannya secara
langsung kepada orang-orang di sekitarnya sehingga remaja panti asuhan
dapat menentukan pilihan dalam hidupnya sendiri dan tidak bergantung
kepada orang lain, sedangkan remaja panti asuhan yang memiliki tingkat
asertivitas rendah tidak dapat mengekspresikan perasaan, pemikiran,
pendapat, dan pilihannya secara langsung kepada orang lain sehingga
remaja panti asuhan tidak dapat menentukan pilihan hidupnya sendiri.
Asertivitas remaja panti asuhan ini akan diukur dengan menggunakan Skala
Asertivitas yang dikembangkan berdasarkan aspek perilaku asertif oleh
Fensterheim & Baer (1980) yaitu aspek merasa bebas untuk mengemukakan
dirinya sendiri, dapat berkomunikasi secara terbuka dengan orang lain dari
semua tingkatan, mempunyai pandangan yang aktif tentang hidup, dan
bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri.
2. Pelatihan Berpikir Positif
Pelatihan berpikir positif adalah salah satu pengembangan atas model
kognitif yang bertujuan untuk membantu seseorang mengenali pola pikirnya
dan memahaminya, mengubah pola pikir yang negatif menjadi pola pikir
yang positif melalui serangkaian pelatihan, dan menggunakan pola pikir
positif yang terbentuk itu dalam menghadapi masalah kehidupan yang akan
datang. Pelatihan berpikir positif ini terdiri dari tiga pertemuan dengan
materi pengenalan berpikir positif pada pertemuan pertama, lalu pada
pertemuan kedua terdapat role play Model ABC (Antecedents, Behavior,
Consequency) Ellis dan penyampaian materi tentang langkah efektif untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
berpikir positif sesuai dengan teknik berpikir positif Model ABC Ellis yang
telah dikembangkan oleh Quilliam (2008) yaitu menantang pikiran yang
dimiliki, mengubah gambaran cara berpikir yang dimiliki, menggunakan
bahasa yang konstruktif, memikirkan kembali kepercayaan yang dimiliki,
membangun harga diri, dan mempertahankan perilaku positif yang dimiliki,
lalu materi manfaat berpikir positif diberikan pada pertemuan ketiga.
Pelatihan ini menggunakan pendekatan experiential learning dengan metode
presentasi, permainan (games), sharing, worksheet, role play, evaluasi,
relaksasi, dan tayangan video. Berikut ini merupakan rangkaian pelatihan
berpikir positif yang akan dilakukan :
Tabel 2 Rangkaian Pelatihan Berpikir Positif
(1) (2) (3) (4)
No Sesi Tujuan Metode
1 Opening session
Games
Peserta memahami rangkaian
pelatihan dan menyepakati
tentang hal-hal yang ingin dicapai
dalam pelatihan.
Peserta dapat menjadi lebih akrab
dengan peserta lain
Perkenalan
Kontrak Belajar
Games
2 Berpikir positif
Games Berpikir
Positif
Peserta mengetahui pengertian
berpikir positif
Peserta mampu mengenali dan
menerapkan cara berpikir yang
positif dan meninggalkan cara
berpikir yang negatif dalam
kehidupan sehari-hari
Presentasi
Games
3 Pengenalan Model
A-B-C Ellis
Role play
Peserta memahami teori berpikir
positif Model A-B-C Ellis
Peserta melakukan dan mampu
menerapkan role-play berpikir
positif model A-B-C menurut
Ellis
Presentasi
Role play
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
(1) (2) (3) (4)
4 Langkah Efektif
Berpikir Positif
Worksheet
Peserta mengetahui bagaimana
langkah-langkah yang efektif
untuk berpikir positif sehingga
diharapkan mampu menerapkan
langkah efektif berpikir positif
tersebut dalam kehidupan sehari-
hari
Peserta mengisi worksheet yang
telah diberikan
Presentasi
Worksheet
5 Manfaat Berpikir
Positif
Games Manfaat
Berpikir Positif
Peserta mengetahui apa saja
manfaat berpikir positif
Peserta mampu mengambil
manfaat dari langkah-langkah
efektif berpikir positif yang
diajarkan dalam menjalani setiap
momen kehidupannya
Presentasi
Games
6 Pemutaran video Peserta dapat lebih memahami
materi yang disampaikan melalui
penayangan video tentang berpikir
positif
Audio-visual,
sharing
7 Relaksasi Peserta mengikuti instruksi dari
fasilitator untuk melakukan
relaksasi sehingga menjadi lebih
rileks dan terjadi proses
internalisasi dalam diri peserta
Relaksasi
8 Evaluasi Peserta dan fasilitator mengulas
kembali materi yang telah
disampaikan dan melakukan
evaluasi untuk mengetahui sejauh
mana peserta mengerti dan
memahami materi yang
disampaikan
Evaluasi,
sharing
9 Closing session Peserta dapat mengontrol pikiran
dan benar-benar mengerti tentang
materi yang telah disampaikan
Berdoa bersama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja panti asuhan di Kabupaten
Sukoharjo. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja panti asuhan di Panti
Asuhan Yatim Mardhotilah Kartasura, Sukoharjo. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive non random sampling yaitu
memilih sampel sesuai dengan yang dikehendaki atau dengan karakteristik
tertentu (Latipun, 2006). Adapun karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah:
1. Merupakan remaja yang memiliki tingkat sertivitas rendah dan sedang
(berdasarkan hasil Skala Asertivitas) yang tinggal di Panti Asuhan Yatim
Mardhatilah Kartasura, Sukoharjo.
2. Berusia 12 – 21 tahun.
3. Mengisi Skala Asertivitas dan bersedia mengikuti seluruh rangkaian pelatihan
berpikir positif dengan mengisi lembar persetujuan kesediaan mengikuti
seluruh rangkaian pelatihan berpikir positif.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan data primer yang langsung didapat dari subjek penelitian. Data
primer ini didapat dari pengukuran dengan menggunakan Skala Asertivitas. Skala
Asertivitas ini menggunakan modifikasi skala Likert yang berisi 64 aitem
pernyataan yang terdiri dari 32 aitem pernyataan favorable dan 32 aitem
pernyataan unfavorable. Model Skala Likert yang telah dimodifikasi ini
menggunakan empat pilihan jawaban yaitu : Selalu (S), Sering (R), Jarang (J), dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Tidak Pernah (TP). Tiap-tiap skala psikologi mengandung aitem favorable
(mendukung) dan unfavorable (tidak mendukung). Pemberian skor untuk aitem
favorable dimulai dari empat sampai satu untuk S, R, J dan TP, sedangkan skor
untuk aitem unfavorable dimulai dari satu sampai empat untuk S, R, J dan TP.
Selanjutnya, skor dalam Skala Asertivitas ini akan dikategorikan menjadi tiga
kategori (Azwar, 2008) yaitu :
Rendah : X < ( - 1,0 )
Sedang : ( - 1,0 ) X < ( + 1,0 )
Tinggi : ( + 1,0 ) X
Skala Asertivitas ini disusun berdasarkan uraian aspek asertivitas yang
dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980) yaitu :
1. Merasa bebas untuk mengemukakan dirinya sendiri, melalui kata-kata dan
tindakan.
2. Dapat berkomunikasi secara terbuka, langsung, dan jujur dengan orang lain
dari semua tingkatan, baik dengan orang yang tidak dikenal, sahabat, dan
keluarga.
3. Mempunyai pandangan yang aktif tentang hidup.
4. Bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri.
a
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
BlueTabel 3
Blue Print Skala Asertivitas Sebelum Uji Coba
E. Validitas dan Reliabilitas
Validitas dan reliabilitas merupakan dua hal yang berperan penting dalam
menentukan baik atau tidaknya suatu hasil penelitian. Oleh karena itu, alat ukur
yang digunakan dalam penelitian ini pun harus memenuhi syarat valid dan
No. Aspek Indikator perilaku No aitem Jumlah
Favorable Unfavorable
1. Bebas
mengemukakan
diri sendiri
Mampu mengajukan
dan menolak
keinginan orang lain
16,32,48,64 8,24,40,56
Mampu
mengekspresikan
perasaan yang
positif maupun
negatif
7,23,39,55 15,31,47,63 16
2. Mampu
berkomunikasi
secara langsung,
terbuka dan jujur
Mampu memulai,
melanjutkan, dan
mengakhiri
percakapan
14,30,46,62 6,22,38,54
Mampu
berkomunikasi dan
bekerja sama
dengan orang lain
pada semua
tingkatan
5,21,53 13,29,37,45,61 16
3. Mempunyai
pandangan aktif
tentang hidup
Bertindak sesuai
dengan minat
terbaik yang
dimiliki
12,28,36,44,60 4,20,52
Menjadi seseorang
yang aktif , selalu
berusaha mengejar
apa yang diinginkan
3,19,35,51 11,27,43,59 16
4 Bertindak
dengan cara
yang
dihormatinya
sendiri
Meminta hak diri
sendiri tanpa
menyangkal hak
orang lain
10,26,42,58 2,18,34,50
Berpihak kepada
diri sendiri tanpa
ketertarikan yang
tidak pantas
1,17,33,49 9,25,41,57 16
Jumlah 32 32 64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
reliabel. Sebuah tes dikatakan valid jika tes tersebut dapat mengukur apa yang
hendak diukur. Lebih lanjut lagi dalam sebuah penelitian, langkah awal yang akan
dilakukan adalah menguji validitas aitem pernyataan. Pengukuran uji validitas
skala dalam penelitian ini menggunakan uji validitas isi atau content validity,
melalui review professional judgement oleh dosen pembimbing dan korelasi
Product Moment Pearson.
Ide pokok dalam konsep uji reliabilitas ini adalah seberapa jauh hasil suatu
pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2008). Analisis realibilitas dalam penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan metode Cronbach’s Alpha dalam program
SPSS for MS Windows version 16.
F. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan quasi-experimental research yaitu dengan
mengembangkan rancangan eksperimen yang dilakukan tanpa randomisasi,
namun masih menggunakan kelompok kontrol (Latipun, 2006). Desain yang
digunakan dalam penelitian ini adalah non randomized pretest-posttest control
group design. Peneliti menggunakan desain penelitian yang menggunakan
kelompok kontrol bertujuan untuk memperkuat validitas internal karena sumber
invaliditas dan variabel luar terkendali. Pertama-tama dilakukan pengukuran
(pretest) dengan menggunakan skala asertivitas pada kedua kelompok yaitu
kelompok eksperimen (Te) dan kelompok kontrol (Tk), lalu dikenakan perlakuan
berupa pemberian pelatihan berpikir positif pada kelompok eksperimen (Te) untuk
jangka waktu tertentu sedangkan kelompok kontrol (Tk) tidak mendapatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
perlakukan pelatihan berpikir positif, setelah jangka waktu tertentu kemudian
dilakukan pengukuran untuk kedua kalinya (posttest) pada kedua kelompok.
Rancangan eksperimen ini dapat digambarkan sebagai berikut (dalam Suryabrata,
2006) :
Pengukuran (T1e) Perlakuan (X) Pengukuran (T2e)
(pretest) (posttest)
Pengukuran (T1k) Pengukuran (T2k)
(pretest) (posttest)
Gambar 4
Desain Penelitian Non Randomized Control Group Pretest-Post Test Design
G. Prosedur Penelitian
Prosedur pelaksanaan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Melakukan screening sekaligus sebagai pretest berupa Skala Asertivitas yang
disusun berdasarkan aspek asertivitas menurut Fensterheim & Baer (1980)
kepada remaja yang tinggal di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Kartasura yang
menjadi peserta penelitian untuk mengetahui tingkat asertivitas remaja panti
asuhan.
2. Melakukan pemilihan peserta yang menjadi kelompok kontrol (Tk) dan
kelompok eksperimen (Te) secara non random (teknik matching) berdasarkan
hasil screening sekaligus pretest yang telah dilakukan sebelumnya.
Non Random
(teknik
matching)
((
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
3. Memberikan lembar persetujuan bersedia mengikuti seluruh rangkaian
pelatihan berpikir positif kepada remaja panti asuhan yang telah dipilih
menjadi kelompok eksperimen (Te).
4. Memberikan perlakuan pada kelompok eksperimen (Te) yaitu pemberian
pelatihan berpikir positif sebanyak 3 kali pertemuan. Pelatihan pada pertemuan
pertama terdiri dari pemberian pretest, sesi pengenalan tentang berpikir positif
berupa pengertian berpikir positif dan indikator berpikir positif, lalu pada
pertemuan kedua akan diberikan sesi langkah efektif berpikir positif dan role
play pelatihan berpikir positif Model ABC menurut Ellis, lalu pada pertemuan
terakhir yaitu pertemuan ketiga akan diberikan sesi manfaat berpikir positif,
pemutaran video, relaksasi, dan post-test. Pelatihan akan diberikan oleh
fasilitator dan dibantu co-fasilitator di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah
Kartasura, Sukoharjo. Modul pelatihan berupa modul fasilitator dan modul
peserta yang berisi makalah mengenai pengertian, indikator, langkah efektif,
dan manfaat berpikir positif.
5. Memberikan posttest berupa Skala Asertivitas yang disusun berdasarkan aspek
asertivitas menurut Fensterheim & Baer (1980) kepada remaja panti asuhan,
baik pada kelompok eksperimen (Te) maupun kelompok kontrol (Tk).
6. Menghitung perbedaan antara hasil pretest T1 dan posttest T2 untuk masing-
masing kelompok, jadi didapatkan (T2e – T1e) dan (T2k – T1k).
7. Membandingkan perbedaan-perbedaan tersebut untuk menentukan apakah
penerapan perlakuan pelatihan berpikir positif (X) itu berkaitan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
perubahan yang lebih besar pada kelompok eksperimental, jadi (T2e – T1e) –
(T2k – T1k).
8. Menganalisis hasil perlakuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan dan
nonperlakuan pada asertivitas remaja panti asuhan.
H. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan Independent Samples T-Test dan Paired Samples T-test yang
terdapat dalam program SPSS 16. Independent Samples T-test merupakan
prosedur yang digunakan untuk pengujian dua kelompok yang independen (two
independent samples), yaitu kelompok eksperimen dan kontrol, untuk melihat
apakah pelatihan berpikir positif berpengaruh terhadap asertivitas remaja panti
asuhan di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo. Selanjutnya, perhitungan
menggunakan Paired Samples T-test merupakan prosedur yang digunakan untuk
membandingkan rata-rata dua variabel yang berhubungan dalam satu kelompok
(two correlated samples), yaitu data pretest dan posttest, untuk melihat apakah
peningkatan tingkat asertivitas pada remaja panti asuhan yang menjadi kelompok
eksperimen bernilai signifikan.
Selain dari hasil analisis kuantitatif dengan Paired Samples T-test dan
Independent Samples T-test, dilakukan pula analisis data kuantitatif deskriptif
yang diperoleh dari sharing, observasi dan lembar evaluasi yang diisi oleh peserta
selama proses pelatihan. Lembar evaluasi digunakan untuk mengetahui sejauh
mana pelatihan berpikir positif meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Persiapan Penelitian
1. Orientasi Tempat Penelitian
Persiapan penelitian diawali dengan menentukan lokasi yang akan
dijadikan tempat penelitian. Penentuan tempat penelitian ini disesuaikan
dengan populasi yang sebelumnya telah ditetapkan oleh Peneliti sehingga
penelitian mengenai “Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif terhadap
Asertivitas Remaja Panti Asuhan” dilaksanakan di Panti Asuhan Yatim
Mardhatilah Sukoharjo.
Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo adalah panti asuhan
yang dikelola oleh Yayasan Pengembangan Sumber Daya Wanita dan Anak
Yatim sesuai dengan KEP.MEN.KUM. dan HAM. No. AHU-
4502.AH.01.04.Thn.2009 yang berdiri pada 10 Januari 1993 atas prakarsa
Ibu Taurat beserta empat orang ibu lainnya yang kemudian pada November
1994 diadakan peletakan batu pertama di Panti Asuhan Yatim Putri
Mardhatilah atas dana swadaya umat Islam di Surakarta, Sukoharjo dan
sekitarnya.
Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo ini terdiri dari Panti
Asuhan Yatim Putri Mardhatilah dan Panti Asuhan Yatim Putra Mardhatilah
yang memiliki dua cabang, yakni cabang Kartasura dan Polokarto. Peneliti
memilih untuk melakukan penelitian di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah I
97
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
yang beralamat di Jl. Sawo No.27 B Gempol, Ngadirejo, Kartasura,
Sukoharjo karena memiliki jumlah anak asuh lebih banyak jika
dibandingkan dengan Panti Asuhan Yatim Mardhatilah II di Polokarto yaitu
berjumlah 16 putra dan 39 putri. Panti Asuhan Yatim Mardhatilah
mengasuh anak yatim, piatu, yatim-piatu, maupun yang kurang mampu
mulai dari usia TK sampai dengan Perguruan Tinggi. Jumlah anak asuh
Panti Asuhan Yatim Mardhatilah I yang berusia remaja, usia 12-21 tahun,
berjumlah 28 orang yang terdiri dari 8 putra dan 20 putri, yang semuanya
masih duduk di bangku SMP-SMA.
Ketika Peneliti melakukan beberapa kali kunjungan untuk survei di
Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo, Peneliti mendapati bahwa
remaja panti asuhan di sana cenderung bersikap pasif, mengambil sikap
diam dan duduk manis daripada berdiskusi dengan teman-temanya. Peneliti
pun berusaha memancing respons remaja panti asuhan di sana dengan
mengajukan sejumlah pertanyaan saat perkenalan tetapi tidak mendapat
respons yang berarti, remaja panti asuhan kurang mampu untuk
berkomunikasi dengan orang yang baru dikenalnya. Begitu pula ketika
Peneliti menanyakan tentang bagaimana pendapat remaja panti asuhan di
sana tentang skala yang telah diberikan, serentak remaja panti asuhan hanya
diam. Remaja panti asuhan di sana kurang mampu untuk mengungkapkan
pandapat ataupun perasaannya. Hal inilah yang menjadi perhatian utama
Peneliti dalam mencermati permasalahan yang dialami oleh remaja yang
tinggal di panti asuhan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Setelah melakukan survei, Peneliti pun mulai mencari informasi
tentang Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo. Panti Asuhan Yatim
Mardhatilah Sukoharjo sangat tahu bagaimana posisinya sebagai tempat
pengganti keluarga bagi anak-anak asuhnya, maka Panti Asuhan Yatim
Mardhatilah memiliki visi dan misi khusus dalam pengasuhan anak-anak
asuhnya. Adapun yang menjadi visi Panti Asuhan Yatim Mardhatilah
Sukoharjo adalah menciptakan anak asuh yang percaya diri, takwa, cerdas
dan terampil ketika anak asuh tersebut telah siap untuk keluar dan berada di
tengah masyarakat. Adapun yang menjadi misi dari Panti Asuhan Yatim
Mardhatilah Sukoharjo sebagai berikut :
Tabel 4 Misi Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo
No Misi
1 Berusaha untuk mengembalikan kasih sayang anak asuh yang
hilang dari orang tuanya.
2 Pola asah, asih, dan asuh yang berorientasi pada akhlaqul
karimah.
3 Memfasilitasi anak asuh agar memiliki life skills.
4 Menggalang modal untuk pengembangan dalam bidang usaha
ekonomis produktif.
(Sumber : Buku Profil Sejarah Singkat Panti Asuhan Yatim Mardhatilah)
Penelitian ini menggunakan semua anak asuh Panti Asuhan Yatim
Mardhatilah I yang berusia remaja antara 12-21 tahun yaitu sebanyak 28
orang yang terdiri dari 8 putra dan 20 putri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
2. Persiapan Administrasi
Persiapan administrasi penelitian meliputi segala urusan perizinan
yang diajukan pada pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penelitian
“Pangaruh Pelatihan Berpikir Positif terhadap Asertivitas Remaja Panti
Asuhan”. Permohonan izin tersebut diantaranya Peneliti meminta surat
pengantar dari Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta dengan nomor surat 820/H27.06.7.1/TU/2011 yang
ditujukan kepada Pimpinan Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo.
Setelah mendapat surat pengantar dari Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta kemudian Peneliti
mengajukan permohonan kepada Pihak Panti Asuhan Yatim Mardhatilah
Sukoharjo dan setelah mendapatkan izin dari pihak panti asuhan, Peneliti
baru bisa mengadakan penelitian sesuai dengan jadwal yang telah disepakati
oleh pihak panti asuhan yakni setelah pelaksanaan ujian akhir nasional
(UAN) SMP dan SMA.
3. Persiapan Alat Ukur
a. Alat Ukur Sebelum Uji Coba
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala
Asertivitas yang disusun berdasarkan aspek perilaku asertif yang
dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980). Skala yang disusun oleh
Peneliti berdasarkan aspek perilaku asertif Fensterheim & Baer (1980) ini
memiliki empat aspek ukur yaitu merasa bebas untuk mengemukakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
dirinya sendiri, dapat berkomunikasi secara terbuka, langsung, dan jujur
dengan orang lain dari semua tingkatan, mempunyai pandangan yang
aktif tentang hidup, dan bertindak dengan cara yang dihormatinya
sendiri.
Skala Asertivitas ini menggunakan modifikasi skala Likert yang
berisi 64 aitem pernyataan yang terdiri dari 32 aitem pernyataan
favorable dan 32 aitem pernyataan unfavorable. Model Skala Likert yang
telah dimodifikasi ini menggunakan empat pilihan jawaban yaitu : Selalu
(S), Sering (R), Jarang (J), dan Tidak Pernah (TP). Tiap-tiap skala
psikologi mengandung aitem favorable (mendukung) dan unfavorable
(tidak mendukung). Pemberian skor untuk aitem favorable dimulai dari
empat sampai satu untuk Selalu (S), Sering (R), Jarang (J) dan Tidak
Pernah (TP), sedangkan skor untuk aitem unfavorable dimulai dari satu
sampai empat untuk Selalu (S), Sering (R), Jarang (J) dan Tidak Pernah
(TP).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Tabel 5 Distribusi Skala Asertivitas Sebelum Uji Coba
b. Uji Coba Alat Ukur
Uji coba alat ukur dilakukan dengan uji coba Skala Asertivitas
kepada remaja Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiah Grogol berjumlah 22
orang dan Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Grogol berjumlah 13
orang. Peneliti menggunakan remaja panti asuhan di kedua panti asuhan
No. Aspek Indikator perilaku No aitem Jumlah
Favorable Unfavorable
1. Bebas
mengemukakan
diri sendiri
Mampu mengajukan
dan menolak
keinginan orang lain
16,32,48,64 8,24,40,56
Mampu
mengekspresikan
perasaan yang
positif maupun
negatif
7,23,39,55 15,31,47,63 16
2. Mampu
berkomunikasi
secara langsung,
terbuka dan jujur
Mampu memulai,
melanjutkan, dan
mengakhiri
percakapan
14,30,46,62 6,22,38,54
Mampu
berkomunikasi dan
bekerja sama
dengan orang lain
pada semua
tingkatan
5,21,53 13,29,37,45,61 16
3. Mempunyai
pandangan aktif
tentang hidup
Bertindak sesuai
dengan minat
terbaik yang
dimiliki
12,28,36,44,60 4,20,52
Menjadi seseorang
yang aktif , selalu
berusaha mengejar
apa yang diinginkan
3,19,35,51 11,27,43,59 16
4 Bertindak
dengan cara
yang
dihormatinya
sendiri
Meminta hak diri
sendiri tanpa
menyangkal hak
orang lain
10,26,42,58 2,18,34,50
Berpihak kepada
diri sendiri tanpa
ketertarikan yang
tidak pantas
1,17,33,49 9,25,41,57 16
Jumlah 32 32 64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
tersebut sebagai subjek untuk uji coba Skala Asertivitas dengan
pertimbangan mempunyai karakteristik yang sama dengan subjek yang
menjadi subjek penelitian di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo
yaitu merupakan remaja panti asuhan tinggal di lingkungan panti asuhan
yang berasaskan Islam di daerah Sukoharjo dengan terpisahnya tempat
tinggal panti putra dan panti putri, yang memiliki tingkat asertivitas yang
rendah dan sedang berdasarkan hasil screening menggunakan Skala
Asertivitas, dan memiliki sebaran usia yang sama antara 12-21 tahun.
Uji coba Skala Asertivitas dilaksanakan tanggal 22 April 2011
di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiah Grogol kepada 22 orang dan tanggal
28 April 2011 di Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Grogol kepada 13
orang. Prosedur pelaksanaannya adalah sebelumnya Peneliti memberikan
informasi kepada pihak panti bahwa Peneliti akan melakukan uji coba
skala untuk penelitian dan meminta jadwal pasti pelaksanaan kepada
pihak panti.
Pada tanggal 22 April 2011 pada waktu yang telah dijadwalkan,
Peneliti langsung membagikan skala asertivitas kepada 22 remaja panti
asuhan di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiah Grogol dengan didampingi
Pengasuh. Sebelum melakukan uji coba, Peneliti terlebih dahulu
menginformasikan kepada seluruh anak asuh mengenai maksud dan
tujuan dari tes tersebut.
Selanjutnya, pada tanggal 28 April 2011 pada waktu yang telah
dijadwalkan, Peneliti langsung membagikan Skala Asertivitas kepada 13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
remaja panti asuhan di Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Grogol
dengan didampingi Pengasuh. Sebelum melakukan uji coba, Peneliti
terlebih dahulu menginformasikan kepada seluruh anak asuh mengenai
maksud dan tujuan dari tes tersebut.
Setelah pemeriksaan skala, diperoleh 35 skala yang dapat
dianalisis, kemudian dilakukan penskoran dan analisis terhadap 35 skala
untuk pengujian validitas dan reliabilitas. Selanjutnya, Peneliti
mengkategorikan skor menjadi tiga kategori (Azwar, 2008) yaitu :
Rendah : X < ( - 1,0 )
Sedang : ( - 1,0 ) X < ( + 1,0 )
Tinggi : ( + 1,0 ) X
Perhitungan kategori skor skala asertivitas dan distribusi try out
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran F.
c. Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas
Sebelum pengujian validitas dan reliabilitas, dilakukan terlebih
dahulu penskoran Skala Asertivitas dengan penyusunan alternatif
jawaban model skala Likert dengan empat pilihan jawaban. Penskoran
pada aitem favorable skala yaitu Selalu mendapat skor 4, Sering
mendapat skor 3, Jarang mendapat skor 2, dan Tidak Pernah mendapat
skor 1 dan sebaliknya untuk aitem yang bersifat unfavorable. Setelah
dilakukan penskoran Skala Asertivitas, maka diperoleh skor total untuk
setiap subjek. Hasil dari penskoran tersebut kemudian dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
pengujian validitas dan reliabilitas skala, untuk mempermudah
penghitungan Peneliti menggunakan bantuan program SPSS 16.
1) Uji Validitas
Uji validitas yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi
content validity dan construct validity. Content validity melalui review
professional judgment oleh Pembimbing sebagai pihak yang
berkompeten sehingga penampilan tes lebih meyakinkan dan
memenuhi kesan mampu mengungkap atribut yang hendak diukur.
Selanjutnya, skala dalam penelitian ini diuji daya beda aitem
dengan menggunakan teknik korelasi product moment Pearson dalam
program SPSS 16. Hasil uji tersebut memiliki indeks korelasi berkisar
antara -0,009 sampai dengan 0,642. Peneliti menggunakan nilai 0,30
sebagai batas nilai validitas minimal. Hal ini dikarenakan menurut
Azwar (2008) aitem dengan nilai aitem < 0,30 dapat disingkirkan dan
aitem dengan nilai ≥ 0,30 dapat diikutkan dalam skala sikap.
Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan, didapatkan
aitem yang valid berjumlah 32 aitem dari 64 aitem yang diujicobakan
dengan kisaran nilai 0,302 sampai dengan 0,642. Aitem yang valid
berjumlah 32 aitem, aitem tersebut adalah 1, 3, 6, 8, 10, 15, 16, 19, 20,
21, 22, 28, 30, 31, 33, 36, 39, 41, 42, 43, 44, 46, 48, 50, 51, 52, 55, 56,
57, 59, 60, dan 62. Aitem yang gugur berjumlah 32 yaitu 2, 4, 5, 7, 9,
11, 12, 13, 14, 17, 18, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 32, 34, 35, 37, 38, 39, 40,
45, 47, 49, 53, 54, 58, 61, 63, dan 64.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Tabel 6
Distribusi Skala Asertivitas Setelah Uji Coba
No. Aspek Indikator
perilaku
No aitem Jumlah
Favorable Unfavorable
Valid Gugur Valid Gugur
1. Bebas
mengemukakan
diri sendiri
Mampu
mengajukan dan
menolak
keinginan orang
lain
16,48 32,64 8,56 24,40
Mampu
mengekspresikan
perasaan yang
positif maupun
negatif
39,55 7,23 15,31 47,63 16
2. Mampu
berkomunikasi
secara
langsung,
terbuka dan
jujur
Mampu
memulai,
melanjutkan, dan
mengakhiri
percakapan
30,46,62 14 6,22 38,54
Mampu
berkomunikasi
dan bekerja sama
dengan orang
lain pada semua
tingkatan
21 5,53 ---- 13,29,37,45,61 16
3. Mempunyai
pandangan
aktif tentang
hidup
Bertindak sesuai
dengan minat
terbaik yang
dimiliki
28,36,44,60 12 20,52 4
Menjadi
seseorang yang
aktif , selalu
berusaha
mengejar apa
yang diinginkan
3,19,51 35 43,59 11,27 16
4 Bertindak
dengan cara
yang
dihormatinya
sendiri
Meminta hak diri
sendiri tanpa
menyangkal hak
orang lain
10,42 26,58 50 2,18,34
Berpihak kepada
diri sendiri tanpa
ketertarikan
yang tidak
pantas
1,33 17,49 41,57 9,25 16
Jumlah 19 13 13 19 64
32 32 64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
2) Uji Reliabilitas
Setelah Skala Asertivitas dilakukan pengujian validitas
kemudian dilakukan uji reliabilitas pada aitem yang valid. Pengujian
reliabilitas diperlukan untuk mengetahui konsistensi atau
keterpercayaan skala psikologis sehingga didapat skala psikologis
yang konsisten dari waktu ke waktu (Azwar, 2008). Uji reliabilitas
tersebut menggunakan teknik analisis Cronbach’s Alpha dengan
menggunakan bantuan komputer program SPSS 16. Hasil uji
reliabilitas ditunjukkan pada tabel berikut ini:
Tabel 7 Hasil Uji Reliabilitas Cronbach’s Alpha
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.883 32
Setelah dilakukan analisis, didapatkan hasil perhitungan
reliabilitas Skala Asertivitas dengan koefisien reliabilitas (rtt) sebesar
0,883. Perhitungan dan perincian selengkapnya dapat dilihat pada
lampiran G. Koefisien reliabilitas dianggap memuaskan apabila
koefisiennya mencapai 0,900 (Azwar, 2008), sehingga koefisien
reliabilitas (rtt) dari Skala Asertivitas tersebut adalah baik. Maka bisa
dinyatakan bahwa Skala Asertivitas tersebut reliabel, yang selanjutnya
dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
d. Penyusunan Alat Ukur
Tahap selanjutnya setelah pengujian validitas dan reliabilitas
adalah mempersiapkan aitem-aitem yang valid, kemudian didistribusi
ulang untuk mengambil data penelitian. Distribusi ulang skala yang
digunakan untuk penelitian ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 8 Distribusi Skala Asertivitas Untuk Penelitian
No. Aspek Indikator Perilaku No Aitem Jumlah
Favourable Unfavourable
1 Bebas
mengemukakan
diri sendiri
Mampu mengajukan
dan menolak
keinginan orang lain
16(16), 48(30) 8(8), 56(23)
8 Mampu
mengekspresikan
perasaan yang positif
maupun negatif
39(7), 55(22) 15(15), 31(29)
2 Mampu
berkomunikasi
secara langsung,
jujur dan
terbuka
Mampu memulai,
melanjutkan, dan
mengakhiri
percakapan
30(13),
46(14), 62(28)
6(6), 22(21)
6 Mampu
berkomunikasi dan
bekerja sama dengan
orang lain pada
semua tingkatan
21(5) ----------
3 Mempunyai
pandangan aktif
tentang hidup
Bertindak sesuai
minat terbaik yang
dimiliki
28(12),
36(27),
44(31), 60(32)
20(4), 52(20)
11
Menjadi seseorang
yang aktif
3(3), 19(19),
51(25)
43(11), 59(26)
4 Bertindak
dengan cara
yang
dihormatinya
sendiri
Meminta hak diri
sendiri tanpa
menyangkal hak
orang lain
10(10), 42(18) 50(2)
7 Berpihak kepada diri
sendiri tanpa
ketertarikan yang
tidak pantas
1(1), 33 (17) 41(9), 57(24)
Jumlah
Keterangan : nomor yang berada dalam tanda kurung ( ) merupakan susunan
nomor baru setelah validitas dan reliabilitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
4. Persiapan Eksperimen
Eksperimen dalam penelitian ini menggunakan Pelatihan Berpikir
Positif sebagai perlakuan terhadap kelompok eksperimen. Pelatihan Berpikir
Positif ini dilakukan oleh tiga fasilitator dan tiga co-fasilitator. Sebelumnya,
Peneliti melakukan briefing mengenai materi dan pelaksanaan pelatihan.
Hal ini dilakukan untuk memberikan penjelasan materi dan detail pelatihan
kepada fasilitator maupun co-fasilitator. Selanjutnya, Peneliti memberikan
data kepada pihak panti mengenai hasil screening tentang anak asuh yang
berada dalam kelompok eksperimen dan kontrol. Peneliti kemudian
menentukan waktu dan tempat pelatihan dengan seizin pihak Panti Asuhan
Yatim Mardhatilah Sukoharjo. Pihak panti yang menginformasikan kepada
anak asuh yang menjadi peserta pelatihan atau masuk ke dalam kelompok
eksperimen untuk mengikuti Pelatihan Berpikir Positif.
a. Persiapan Alat dan Bahan
Selanjutnya, Peneliti mempersiapkan alat-alat yang digunakan
dalam pelatihan life skills yaitun Pelatihan Berpikir Positif. Alat-alat
tersebut antara lain :
a. Tiga unit laptop, satu laptop pada penelitian ini digunakan untuk
menayangkan slide pelatihan dan tiga laptop digunakan saat memutar
film tentang berpikir positif yaitu Tanah Air Beta.
b. Satu unit sound system, sound system pada penelitian ini digunakan untuk
memperdengarkan musik saat peserta pelatihan mengerjakan worksheet,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
musik instrumental saat peserta pelatihan melakukan relaksasi, dan
pendukung dalam pemutaran film kepada peserta pelatihan.
c. Slide pelatihan, slide pelatihan dibuat untuk membantu peserta
memahami materi yang disampaikan oleh fasilitator. Slide pelatihan
meliputi opening, sesi I, sesi II, sesi III, dan closing.
d. Lembar observasi, lembar observasi dibuat untuk membantu Peneliti
dalam mengamati sikap, ekspresi dan partisipasi dari peserta pelatihan
selama mengikuti Pelatihan Berpikir Positif.
e. Lembar evaluasi proses dan hasil, Peneliti mempersiapkan lembar
evaluasi proses untuk diisi sesuai dengan keadaan dan perasaan yang
dialami subyek sesungguhnya pada akhir pertemuan pelatihan. Peneliti
mempersiapkan lembar evaluasi hasil yang termasuk pada lembar
worksheet pada pertemuan II. Evaluasi pelatihan dapat dilihat secara
lengkap pada Lampiran D.
f. Alat Tulis, alat tulis berupa bolpoin dan kertas dipergunakan oleh peserta
pelatihan untuk mengisi worksheet, lembar evaluasi pelatihan, dan
mencatat materi pelatihan.
b. Uji Coba Modul Pelatihan
Pengujian selanjutnya adalah dengan uji coba modul pelatihan
kepada responden yang memiliki karakteristik sama dengan sampel
penelitian yaitu remaja panti asuhan di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiah
Grogol yang berusia 12-21 tahun. Uji coba dilaksanakan pada tanggal 14
Mei 2011 di aula Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiah Grogol. Responden
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
uji coba modul pelatihan sebanyak 5 remaja panti asuhan di Panti Asuhan
Yatim Putri Aisyiah Grogol yang berusia 12-21 tahun. Prosedur uji coba
modul pelatihan meliputi masing-masing responden dibagikan modul
pelatihan untuk dibaca dan fasilitator menyampaikan materi secara
sekilas, meminta responden untuk mengerjakan salah satu worksheet
untuk mengetahui keefektifan worksheet kemudian responden diminta
untuk mengisi lembar evaluasi materi pelatihan. Hasil analisis evaluasi
materi uji coba modul dapat dilihat secara lengkap pada tabel berikut :
Tabel 9 Nilai Tes Evaluasi Materi (Uji Coba Modul)
Responden Nilai
1 92,5
2 90
3 92,5
4 97,5
5 92,5
Rata-rata 93
Keterangan : Sebaran Nilai 1 – 110
Pada Tabel Nilai Tes Evaluasi Materi (Uji Coba Modul)
menunjukkan bahwa nilai tertinggi yang diperoleh oleh responden adalah
97,5 dan nilai terendah adalah 90. Rata-rata nilai tes evaluasi materi uji
coba modul adalah 93, sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
responden dapat memahami isi materi yang telah disampaikan oleh
Peneliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
Tabel 10 Nilai Pemahaman Materi Uji Coba Modul
Responden Nilai
1 100
2 100
3 100
4 100
5 100
Rata-rata 100
Keterangan : Sebaran Nilai 1 – 100
Pada Tabel Nilai Pemahaman Materi Uji Coba Modul
menunjukkan bahwa nilai tertinggi yang diperoleh oleh responden
adalah 100 dan rata-rata nilai tes evaluasi materi uji coba modul adalah
100, sehingga dapat disimpulkan bahwa semua responden dapat
memahami materi dalam modul, tetapi sesuai dengan saran yang
diberikan oleh responden maka Peneliti masih perlu memperbaiki modul
agar lebih komunikatif dan mudah dipahami oleh peserta penelitian dan
menyiapkan media bantu untuk mempermudah penyampaian materi
dalam pelatihan.
c. Screening
Berdasarkan hasil uji coba Skala Asertivitas yang telah
dilakukan pada remaja panti asuhan di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiah
dan Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Sukoharjo, maka didapatkan
Skala Asertivitas yang siap digunakan dalam penelitian. Selanjutnya,
Peneliti melakukan screening yang sekaligus sebagai pretest dengan
menggunakan Skala Asertivitas di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah
Sukoharjo dengan pertimbangan memiliki karakteristik yang sama yakni
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
merupakan remaja panti asuhan yang berbasis Islam, memiliki rentang
usia 12-21 tahun, memiliki tingkat asertivitas rendah dan sedang
sehingga dapat masuk menjadi sampel penelitian ini. Teknik analisis data
statistik yang digunakan dalam penelitian ini awalnya menggunakan
parametrik dengan uji analisis Independent Samples T-Test dan Paired
Samples T-test, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
terdapat keterbatasan sampel yaitu jumlah sampel kecil (kurang dari
sepuluh) maka Peneliti memutuskan untuk mengganti teknik analisis data
dengan menggunakan perhitungan nonparametrik yaitu dengan uji Mann-
Whitney U-Test dan Wilcoxon T-Test. Uji ini merupakan salah satu uji
non-parametrik yang sangat kuat (powerful) dan merupakan alternatif
dari uji parametrik t-test, jika Peneliti ingin menghindarkan dari asumsi t-
test atau ketika pengukuran dalam data lebih lemah dibandingkan ukuran
skala interval (Ghozali, 2006).
B. Pelaksanaan Penelitian
1. Pelaksanaan Pengambilan Data Pretest
Data pretest yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang
diperoleh dari hasil screening, sehingga Peneliti mendapatkan skor
asertivitas remaja panti asuhan Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo
yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Peneliti melakukan pretest
sekaligus screening pada tanggal 17 Mei 2011 kepada 23 remaja panti
asuhan di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo yang berusia antara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
12-21 tahun, yang seharusnya berjumlah 28 orang tetapi tereksklusi karena
tidak hadir pada saat pretest berlangsung. Berdasarkan data tersebut seluruh
remaja panti asuhan dapat dikategorikan dalam tingkatan asertivitas yaitu
rendah, sedang dan tinggi. Distribusi skor asertivitas remaja panti asuhan
pada saat screening ditampilkan pada tabel di bawah ini:
Tabel 11 Hasil Screening
No Nama Usia
Jenis
Kelamin Skor Keterangan
1 H 13 L 83 Sedang
2 I 13 L 71 Sedang
3 MBR 17 L 109 Tinggi
4 AMS 14 P 78 Sedang
5 V 18 P 75 Sedang
6 AWS 14 P 96 Tinggi
7 NF 16 P 101 Tinggi
8 L 13 P 88 Sedang
9 SZ 13 P 97 Tinggi
10 TS 14 P 96 Tinggi
11 PLR 14 P 99 Tinggi
12 NA 14 P 88 Sedang
13 M 19 P 79 Sedang
14 DWS 18 P 80 Sedang
15 M 18 P 96 Tinggi
16 NS 19 P 96 Tinggi
17 LMI 19 P 100 Tinggi
18 NQ 19 P 100 Tinggi
19 K 17 L 98 Tinggi
20 DAS 17 P 79 Sedang
21 DSR 20 L 114 Tinggi
22 IT 16 P 108 Tinggi
23 FK 15 P 95 Sedang
Setelah pretest yang sekaligus proses screening dilakukan, hasil
Skala Asertivitas remaja Panti Asuhan Yatim Mardhatilah menunjukkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
tingkat asertivitas berada pada kategori sedang atau tinggi. Data yang
didapat berbeda dengan hasil survei awal yang dilakukan oleh Peneliti
bahwa hasil observasi menunjukkan remaja panti asuhan kurang asertif. Hal
ini bisa disebabkan oleh keterbatasan survei melalui observasi yang telah
dilakukan sehingga tidak mengungkap keseluruhan keadaan remaja panti
asuhan. Perbedaan hasil screening dan hasil survei ini tetap membuat
Peneliti melakukan penelitian di panti asuhan ini. Penelitian ini bertujuan
untuk meningkatkan tingkat asertivitas remaja panti asuhan, maka
berdasarkan data screening didapatkan remaja panti asuhan dengan
asertivitas kategori sedang yang digunakan sebagai subjek dalam penelitian
ini yang selanjutnya akan dibagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok
eksperimen dan kontrol. Distribusi pretest dapat dilihat secara lengkap pada
Lampiran F.
2. Penentuan Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah anak asuh Panti Asuhan Yatim
Mardhatilah Sukoharjo yang berusia antara 12-21 tahun, yang memiliki
tingkat asertivitas sedang berdasarkan hasil pretest skala asertivitas yaitu
berjumlah 10 orang. Jumlah tersebut kemudian dibagi menjadi dua
kelompok berdasarkan skor yang dipasangkan sehingga kedua kelompok
memiliki nilai mean yang berimbang (matching) yaitu lima orang untuk
kelompok eksperimen dan lima orang untuk kelompok kontrol.
Berikut adalah pembagian kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
Tabel 12 Sampel Penelitian yang Menjadi Kelompok Kontrol
No Nama Usia Jenis Kelamin Skor Skala Tingkat Asertivitas
1 H 13 L 83 Sedang
2 M 19 P 79 Sedang
3 F 15 P 95 Sedang
4 DWS 18 P 80 Sedang
5 V 18 P 75 Sedang
Tabel 13 Sampel Penelitian yang Menjadi Kelompok Eksperimen
No Nama Usia Jenis Kelamin Skor Skala Tingkat Asertivitas
1 IA 13 P 71 Sedang
2 L 13 L 88 Sedang
3 AMS 14 P 78 Sedang
4 NA 14 P 88 Sedang
5 DAS 17 P 79 Sedang
3. Pelaksanaan Eksperimen
Pelaksanaan eksperimen dengan memberikan perlakuan berupa
Pelatihan Berpikir Positif. Pelatihan Berpikir Positif ini menggunakan
pendekatan experiential learning dengan metode communication activities
melalui presentasi dengan media power point, games, role play, sharing dan
evaluasi, relaksasi, dan pemutaran film. Pelatihan ini dilaksanakan selama
tiga kali pertemuan yang dilaksanakan dalam tiga hari berturut-turut dengan
waktu 150 menit setiap pertemuan dan dihadiri oleh lima anak yang diminta
mengikuti pelatihan dan sebagai fasilitator serta co-fasilitator adalah
mahasiswa Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Semester 10 dan mahasiswa Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta Semester 14.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
Jadwal pelaksanaan dan bagan mengenai alur pelatihan selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran A, sedangkan modul pelatihan dapat dilihat
secara lengkap pada Lampiran D. Penjelasan mengenai Pelatihan Berpikir
Positif pada tiap pertemuan sebagai berikut :
a. Pertemuan Pertama
Pelatihan Berpikir Positif pertemuan pertama dilaksanakan pada hari
Jumat, tanggal 27 Mei 2011 di aula bawah Panti Asuhan Yatim Mardhatilah
Sukoharjo. Pelatihan ini berjalan selama 120 menit, yaitu mulai pukul 14.30
WIB dan berakhir pada pukul 16.30 WIB. Peserta yang hadir pada pelatihan
pertemuan ini sebanyak lima anak yang merupakan jumlah keseluruhan
subjek dalam kelompok eksperimen. Pelatihan pertemuan pertama ini
menggunakan metode communication activities melalui presentasi dengan
media power point, games, sharing, dan evaluasi. Pelatihan ini dilaksanakan
dalam beberapa sesi yaitu:
1) Pembukaan
Pada sesi ini, pelatihan dibuka dengan menampilkan slide selamat
datang dalam Pelatihan Berpikir Positif kepada seluruh peserta kemudian
dibuka oleh MC (Master of Ceremony). Kemudian peserta dan fasilitator
diberi kesempatan untuk memperkenalkan diri, hal ini dimaksudkan
untuk mencairkan suasana dan agar peserta dapat mengikuti proses
pembelajaran dengan perasaan nyaman, tanpa adanya beban.
Selanjutnya fasilitator menyampaikan informasi mengenai
rangkaian pelatihan yang harus diikuti oleh peserta. Peserta juga diminta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
untuk membuat kesepakatan atau kontrak belajar tentang harapan yang
ingin dicapai dalam pelatihan, yang harus dilakukan selama pelatihan
untuk mencapai harapan, dan hal yang tidak boleh dilakukan selama
pelatihan.
2) Sesi I “Berpikir Positif”
Sesi ini diawali dengan melempar pertanyaan kepada peserta
tentang apakah yang diketahui dari berpikir positif serta peserta diminta
untuk memberikan contoh nyata dari berpikir positif dalam kehidupan
sehari-hari. Kemudian fasilitator memberikan materi sekilas tentang
berpikir positif dengan metode presentasi menggunakan slide presentasi
dalam power point. Kegiatan selanjutnya, peserta diminta untuk
mengikuti games berpikir positif dengan menyebutkan hal-hal positif
yang ada dalam diri temannya. Permainan ini bertujuan untuk
memberikan contoh nyata kepada peserta pelatihan untuk memulai
berpikir positif dimulai dari berpikir positif tentang temannya sendiri. Di
akhir sesi, fasilitator mengajak peserta pelatihan untuk melakukan
sharing dan evaluasi tentang materi berpikir positif yang telah
disampaikan serta peserta diberikan modul pelatihan pertemuan I.
3) Pesan kesan
Peserta diminta untuk memberi pesan, kesan serta kritik tentang
pelatihan pertemuan I yang telah diadakan untuk penyajian yang lebih
baik pada dua pertemuan selanjutnya. Selanjutnya fasilitator memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
closing statement untuk memotivasi seluruh peserta agar bersemangat
untuk mengikuti pelatihan pada pertemuan kedua.
b. Pertemuan Kedua
Pelatihan Berpikir Positif pertemuan kedua dilaksanakan pada hari
Sabtu, tanggal 28 Mei 2011 di aula atas Panti Asuhan Yatim Mardhatilah
Sukoharjo. Pelatihan ini berjalan selama 180 menit, yaitu mulai pukul 14.30
WIB dan berakhir pada pukul 17.30 WIB. Peserta yang hadir pada pelatihan
pertemuan ini sebanyak lima anak. Pelatihan pertemuan kedua ini
menggunakan metode communication activities melalui presentasi dengan
media power point, games, role play, mengisi worksheet, sharing dan
evaluasi. Pelatihan ini dilaksanakan dalam beberapa sesi yaitu:
1) Pembukaan
Pada sesi ini diawali dengan doa dan perkenalan diri. Kemudian
peserta diajak mendengarkan musik instrumental untuk mencairkan
suasana dan memompa semangat peserta. Selanjutnya fasilitator
mengeksplorasi pengalaman peserta dan membahas sekilas mengenai
materi pada pelatihan pertemuan I.
2) Sesi II “Langkah Efektif Berpikir Positif”
Sesi ini dilakukan dengan metode communication activities melalui
presentasi dengan media power point, games, role play, mengisi
worksheet, sharing dan evaluasi. Fasilitator menyampaikan materi
mengenai langkah-langkah efektif untuk berpikir positif menurut Teori
ABC Ellis. Roleplay dilakukan untuk fasilitas pengaplikasian materi sesi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
II yang telah dilakukan yakni tentang Teori ABC Ellis. Masing-masing
peserta pelatihan diberikan worksheet dengan skenario yang berbeda,
namun di setiap skenario tersebut masing-masing peserta diminta untuk
menyelesaikan suatu permasalahan yang sesuai dengan tokoh yang
diperankannya. Penyelesaian dalam roleplay tersebut peserta diminta
mengganti pemikiran negatif yang muncul sebelumnya dengan pemikiran
positif yang baru dipelajari sehingga masalah dapat terselesaikan dengan
baik, yaitu masing-masing peserta mampu berpikir positif dalam situasi
apapun.
Selanjutnya, diberikan materi pengembangan dari langkah-langkah
berpikir positif menurut Quilliam (2008) yang sangat lengkap dan peserta
mendapatkan semua langkah tersebut tetapi hanya sebagian yang
diberikan worksheet karena mengingat waktu yang efektif digunakan
dalam pelatihan. Pada tengah sesi ini, peserta diminta untuk meneriakkan
jargon “aku pasti bisa” yang diajarkan oleh fasilitator untuk memompa
semangat peserta dalam pelatihan ini.
Setelah peserta selesai mengerjakan worksheet yang sekaligus
sebagai lembar evaluasi hasil pelatihan, maka fasilitator pun melakukan
sharing dan evaluasi dengan peserta pelatihan tentang semua materi yang
telah disampaikan pada pelatihan pertemuan II yaitu tentang langkah-
langkah efektif berpikir positif kemudian diberikan modul pelatihan
pertemuan II. Pemberian modul pelatihan diberikan pada setiap akhir ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
untuk membuat peserta tetap fokus pada presentasi yang disampaikan
oleh fasilitator.
3) Pesan dan kesan
Peserta diminta untuk memberi pesan, kesan serta kritik tentang
pelatihan pertemuan II yang telah diadakan untuk penyajian yang lebih
baik pada pertemuan selanjutnya yang merupakan pertemuan terakhir.
Selanjutnya fasilitator memberikan closing statement untuk memotivasi
seluruh peserta agar bersemangat untuk mengikuti pelatihan pada
pertemuan ketiga.
c. Pertemuan Ketiga
Pelatihan Berpikir Positif pertemuan pertama dilaksanakan pada hari
Minggu, tanggal 29 Mei 2011 di aula bawah Panti Asuhan Yatim
Mardhatilah Sukoharjo. Pelatihan ini berjalan selama 240 menit, yaitu mulai
pukul 10.00 WIB dan berakhir pada pukul 14.00 WIB. Peserta yang hadir
pada pelatihan pertemuan ini sebanyak lima anak yang merupakan jumlah
keseluruhan subjek dalam kelompok eksperimen. Pelatihan pertemuan
pertama ini menggunakan metode communication activities melalui
presentasi dengan media power point, games, sharing, dan evaluasi dan
pemutaran film Tanah Air Beta. Pelatihan ini dilaksanakan dalam beberapa
sesi yaitu:
1) Pembukaan
Pada sesi ini diawali dengan doa dan perkenalan diri. Kemudian
peserta diajak mendengarkan musik instrumental untuk mencairkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
suasana dan memompa semangat peserta. Selanjutnya fasilitator
mengeksplorasi pengalaman peserta dan membahas sekilas mengenai
materi pada pelatihan pertemuan I dan II.
2) Sesi III “Manfaat Berpikir Positif”
Sesi ini diawali dengan melempar pertanyaan kepada peserta
tentang apakah pentingnya atau manfaat apa yang didapatkan dari
berpikir positif serta peserta diminta untuk memberikan contoh nyata dari
berpikir positif dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian fasilitator
memberikan materi tentang apa saja manfaat berpikir positif dengan
metode presentasi menggunakan slide presentasi dalam power point.
Kegiatan selanjutnya, peserta diminta untuk mengikuti games yang
diberikan oleh fasilitator yakni peserta diminta untuk menuliskan hal-hal
yang membuat dirinya merasa belum puas hingga sekarang mulai dari
hal-hal yang paling membuat peserta kecewa, benci, putus asa, dsb untuk
kemudian peserta diajak untuk berpikir positif menghilangkan hal-hal
yang sampai saat ini masih membuat dirinya merasa belum puas.
Permainan ini bertujuan untuk menghilangkan hal-hal negatif yang masih
berada dalam pikiran dan perasaannya untuk kemudian diganti dengan
hal-hal baru yang lebih positif dengan berpikir positif.
Selanjutnya, setelah pemberian materi tentang manfaat berpikir
positif selesai, peserta diajak untuk menonton film Tanah Air Beta. Film
ini menceritakan tentang seorang adik yang selalu percaya dan yakin
bahwa dirinya bisa bertemu dengan kakaknya, si adik berusaha untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
berpikir positif tentang kakaknya walaupun batas negara Indonesia dan
Timor-Timur memisahkan mereka tetapi pada akhirnya mereka dapat
bertemu dan berkumpul bersama. Pemutaran film ini bertujuan untuk
memompa semangat peserta pelatihan untuk selalu berpikir positif dalam
kehidupan sehari-hari sehingga dapat meraih sukses dan berhasil dalam
kehidupannya. Setelah pemutaran film selesai, peserta diajak untuk
istirahat, shalat dan makan.
Setelah istirahat selesai, peserta mengikuti sesi berikutnya yaitu
relaksasi. Relaksasi ini berjalan selama 15 menit, peserta diminta untuk
hanya mendengarkan dan mengikuti suara dari fasilitator. Relaksasi ini
bertujuan untuk meredam semua rasa amarah, benci, kecewa, putus asa
dan hal-hal negatif lain yang masih berada dalam diri peserta untuk
diganti dengan semangat baru akan kehidupan yang lebih baik. Selain itu,
relaksasi ini bertujuan untuk memberikan ketenangan atau perasaan
relaks kepada peserta setelah mengikuti pelatihan selama tiga hari.
Dalam relaksasi ini digunakan musik instrumental “The Way of Life”
sebagai media pendukungnya.
Di akhir sesi, fasilitator mengajak peserta pelatihan untuk
melakukan sharing dan evaluasi tentang materi manfaat berpikir positif
yang telah disampaikan serta peserta diberikan modul pelatihan
pertemuan III. Selain evaluasi materi pertemuan III, peserta juga diminta
untuk menyampaikan kembali apa yang telah disampaikan pada
pertemuan I dan II dan kemudian penutupan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
3) Penutupan
Pada sesi ini, peserta diminta untuk merenungkan pengalaman
selama mengikuti pelatihan berpikir positif baik pada pertemuan pertama,
kedua maupun pertemuan ketiga. Fasilitator dan peserta melakukan
sharing mengenai keseluruhan pelatihan. Peserta diminta untuk mengisi
lembar evaluasi kemudian pelatihan ditutup dengan meminta setiap
peserta untuk mengucapkan kalimat motivasi untuk diri sendiri dan orang
lain agar dapat menjadi seseorang yang lebih baik dan mampu berpikir
positif dalam kehidupan sehari-hari.
4. Pelaksanaan Pengambilan Data Posttest
Pengambilan data posttest dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 2011
yaitu 12 hari setelah pelaksanaan pelatihan. Menurut Latipun (2006) untuk
mengetahui efek suatu perlakuan dilakukan dengan jalan membandingkan
kondisi atau performansi subjek antara kondisi awal dengan kondisi setelah
perlakuan dan untuk menghindari carry over effect antara pengambilan data
awal dan setelah perlakuan maka harus diberi interval waktu tertentu.
Berdasarkan teori tersebut maka Peneliti melakukan posttest 12 hari setelah
pelatihan dan 23 hari setelah pretest. Hal ini dilakukan dengan alasan
memberi waktu subjek untuk mengaplikasikan keterampilan dan
pengetahuan yang telah didapatkan dalam kehidupan sehari-hari (proses
internalisasi) dan menghindari carry over efect antara pretest dengan
posttest karena menggunakan alat ukur yang sama yaitu Skala Asertivitas.
Pengambilan posttest dijadwalkan pada tanggal 10 Juni 2011. Pengambilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
posttest dilakukan dengan Skala Asertivitas yang valid pada kelompok
eksperimen dan kontrol. Prosedur pelaksanaan posttest dilakukan dengan
mengumpulkan seluruh remaja panti asuhan baik yang merupakan
kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol dalam satu ruangan yaitu
di aula bawah Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo. Remaja panti
asuhan yang menjadi kelompok kontrol dan kelompok eksperimen mengisi
skala asertivitas bersama-sama dengan instruksi yang sama. Distribusi skor
posttest ada pada Lampiran F.
C. Hasil Penelitian
1. Hasil Analisis Kuantitatif
Berdasarkan hasil screening sekaligus pretest yang telah dilakukan,
maka didapatkan hasil yang menjadi sampel dalam penelitian ini sebanyak
lima remaja panti asuhan dalam kelompok eksperimen dan lima remaja
panti asuhan dalam kelompok kontrol. Keterbatasan sampel inilah (sampel
kurang dari sepuluh) yang menjadi dasar bagi Peneliti untuk mengganti
teknik analisis data yang awalnya menggunakan teknik analisis data statistik
parametrik dengan uji Paired Samples T-test dan Independent Samples T-
Test diganti menjadi teknik analisis data statistik nonparametrik dengan uji
Mann-Whitney U-Test dan Wilcoxon T-Test. Uji ini merupakan salah satu uji
non-parametrik yang sangat kuat (powerful) dan merupakan alternatif dari
uji parametrik t-test, jika Peneliti ingin menghindarkan dari asumsi t-test
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
atau ketika pengukuran dalam data lebih lemah dibandingkan ukuran skala
interval (Ghozali, 2006).
a. Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji statistik yaitu Mann-
Whitney U-Test dengan gain skor (selisih skor pretest dan posttest) yang
merupakan pengukuran non parametrik. Uji Mann-Whitney U digunakan
untuk melihat apakah ada pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap
peningkatan asertivitas remaja panti asuhan. Hasil pengujian terhadap
pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap peningkatan asertivitas pada
kelompok eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 14 Hasil Uji Mann-Whitney U-Test pada Dua Independen Sampel
(Kelompok Eksperimen dan Kontrol)
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Asertivitas Eksperimen 5 8.00 40.00
Kontrol 5 3.00 15.00
Total 10
Test Statisticsb
Asertivitas
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 15.000
Z -2.627
Asymp. Sig. (2-tailed) .009
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata ranking kelompok
eksperimen adalah 8,00 dengan jumlah ranking 40 dan rata-rata ranking
untuk kelompok kontrol adalah 3,00 dengan jumlah ranking 15. Besarnya
nilai Wilcoxon W (Wx) = 15 dengan nilai Z hitung -2,627 dan
probabilitas (p) 0,009 (uji dua sisi) atau 0,008 (uji satu sisi). Oleh karena
nilai probabilitas (p) 0,008 lebih kecil dari = 0,05, maka hipotesis
penelitian dapat diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan skor asertivitas kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol setelah diberikan perlakuan berupa pelatihan berpikir positif.
Artinya, ada pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap peningkatan
asertivitas remaja panti asuhan di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah
Sukoharjo.
Selanjutnya, untuk melihat apakah peningkatan asertivitas pada
kelompok eksperiman bernilai signifikan, dilakukan analisis dengan uji
Wilcoxon T. Uji Wilcoxon T-test dapat digunakan untuk menguji apakah
ada perbedaan yang signifikan antara two corected samples atau dua
kelompok data yang berhubungan (pretest dan posttest). Hasil pengujian
apakah peningkatan asertivitas pada kelompok eksperimen bernilai
signifikan, dapat dilihat pada tabel berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
Tabel 15 Hasil Uji Wilcoxon Signed Ranks Test pada Dua Kelompok
Data yang Berhubungan (Pretest dan Posttest)
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Posttest – Pretest Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 5b 3.00 15.00
Ties 0c
Total 5
a. Posttest < Pretest
b. Posttest > Pretest
c. Posttest = Pretest
Hasil uji statistik di atas mendasarkan pada ranking positif 3,00
dengan menghasilkan nilai Z hitung sebesar -2,032 dan probabilitas (p)
signifikansi 0,042 (uji dua sisi). Oleh karena probabilitas (p) lebih kecil
dari = 0,05, maka hipotesis dapat diterima sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor asertivitas sebelum
pelatihan (pretest) dan setelah pelatihan (posttest). Hal ini berarti,
pelatihan berpikir positif efektif dalam meningkatkan tingkat asertivitas
pada remaja panti asuhan di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo.
Test Statisticsb
Posttest –
Pretest
Z -2.032a
Asymp. Sig. (2-tailed) .042
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
b. Hasil Analisis Evaluasi Proses dan Hasil Pelatihan
1) Evaluasi Proses
Hasil analisis evaluasi proses pelatihan yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa seluruh peserta menyatakan materi yang
diberikan sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, penyajian
materi mudah dipahami dan menarik, serta fasilitator menyampaikan
dengan komunikatif. Seluruh peserta merasa bahwa materi yang
diberikan dapat dipahami dan menambah pengetahuan, sistematika
dan alur pelatihan dilakukan dengan runtut dan jelas, serta
penggunaan waktu yang belum efektif oleh fasilitator. Seluruh peserta
dapat mengikuti pelatihan dengan tertib dan penuh semangat tanpa
ada perasaan terpaksa atau terbebani karena pelatihan ini dilakukan di
luar jam sekolah. Hasil analisis evaluasi proses pelatihan dapat dilihat
secara lengkap pada tabel berikut :
Tabel 16 Distribusi Hasil Analisis Evaluasi Proses Pelatihan
(1) (2) (3) (4)
No Aspek yang Dinilai Kriteria Evaluasi Jumlah (%)
1 Modul Pelatihan (a,b,c,d) 80
a. Kesesuaian materi dalam modul
pelatihan dengan tujuan yang
ingin dicapai
Sangat Sesuai 20
Sesuai 80
Kurang Sesuai 0
Tidak Sesuai 0
b. Kualitas materi modul
pelatihan
Sangat Memadai 60
Memadai 40
Kurang Memadai 0
Tidak Memadai 0
c. Penyajian materi dalam modul
pelatihan
Sangat Menarik 40
Menarik 20
Kurang Menarik 40
Membosankan 0
d. Isi materi dalam modul
pelatihan
Sangat Memahami 40
Mudah Memahami 20
Kurang Memahami 40
Sulit Memahami 0
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
(1) (2) (3) (4)
2 Teknis Penyajian Pelatihan (a,b,c,d) 82
a. Cara penyajian materi pelatihan Sangat Mudah Dipahami 20
Mudah Dipahami 80
Kurang Dapat Dipahami 0
Sulit Dipahami 0
b. Cara trainer melakukan
pelatihan
Sangat Komunikatif 40
Komunikatif 60
Kurang Komunikatif 0
Membosankan 0
c. Sistematika dan alur pelatihan Sangat Runtut 20
Runtut 80
Kurang Runtut 0
Tidak Runtut 0
d. Penggunaan waktu pelatihan Sangat Efektif 40
Efektif 40
Kurang Efektif 20
Tidak Efektif 0
3 Manfaat Pelatihan (a,b,c,d) 87
a. Efek yang dirasakan peserta
setelah mengikuti pelatihan
Sangat Memahami 40
Memahami 60
Kurang Memahami 0
Tidak Memahami 0
b. Pengetahuan yang didapat
setelah mengikuti pelatihan
Sangat Menambah 60
Menambah Pengetahuan 40
Tidak Menambah 0
Bingung 0
c. Perasaan yang dirasakan
peserta setelah mengikuti
pelatihan
Sangat Bersemangat 40
Bersemangat 60
Kurang Bersemangat 0
Tidak Bersemangat 0
Keterangan : Sebaran Nilai 1 – 100; 1 : Nilai Terendah, 100 : Nilai Tertinggi
Hasil lembar evaluasi proses pelatihan, peserta pelatihan
memberikan saran dan komentar mengenai proses pelatihan, antara
lain :
a) Modul pelatihan akan lebih menarik jika diberi gambar atau warna
sehingga membuat mudah untuk dipahami.
b) Penggunaan waktu yang kurang efektif karena tidak sesuai dengan
jadwal yang ditetapkan.
c) Cara penyampaian pelatihan yang komunikatif dan menarik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
d) Cara penyampaian materi mudah dipahami.
e) Isi materi sangat bermanfaat dan menambah pengetahuan.
f) Seluruh peserta pelatihan merasa sangat senang dan bersemangat
dengan diadakannya pelatihan berpikir positif di Panti Asuhan
Yatim Mardhatillah.
2) Evaluasi Hasil Pelatihan
Berdasarkan data hasil evaluasi, dapat disimpulkan bahwa
peserta pelatihan telah mampu menerapkan keterampilan berpikir
positif dalam sehari-hari meskipun pada awalnya mengalami kesulitan
dalam menerapkannya. Peserta pelatihan juga menyatakan bahwa
ketrampilan berpikir positif bermanfaat dalam membantu menghadapi
permasalahan sehari-hari. Manfaat yang didapatkan oleh peserta
pelatihan tersebut antara lain lebih berpikir positif tentang diri sendiri
dan orang lain sehingga dapat berkomunikasi secara langsung dan
jujur dengan semua orang dari semua tingkatan termasuk pada orang
yang baru dikenalnya, lebih percaya diri dan lebih terbuka dalam
mengungkapkan pikiran, pendapat dan perasaan, lebih berpikir positif
terhadap apa yang terjadi dalam hidup sehingga membuat peserta
pelatihan mempunyai pandangan hidup yang aktif, peserta pelatihan
mampu bersikap positif dan bertindak dengan cara yang dihormatinya
dengan orang-orang di sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain, pelatihan berpikir positif yang telah dilakukan
meningkatkan perilaku asertif peserta pelatihan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
Seluruh peserta pelatihan tidak mengalami kesulitan dalam
menerapkan ketrampilan berpikir positif karena dalam pelatihan telah
diberikan langkah-langkah efektif untuk berpikir positif yang disajikan
lebih sederhana dalam bentuk worksheet yang telah diisi oleh peserta
pelatihan. Peserta pelatihan mengharapkan masih ada pelatihan lagi
yang dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Berikut
merupakan hasil worksheet yang diisi oleh peserta pelatihan :
Tabel 17 Distribusi Hasil Evaluasi Worksheet
No Nama Nilai
Worksheet I Worksheet II Worksheet III
1 IA 100 100 100
2 L 100 100 100
3 AMS 100 100 100
4 NA 100 100 100
5 DAS 100 100 100
Keterangan : Sebaran Nilai 1 – 100
2. Hasil Analisis Deskriptif
Selain analisis kuantitatif berdasarkan hasil uji statistik, Peneliti
juga melaukan analisis deskriptif yang bertujuan untuk melihat proses-
proses yang dialami oleh peserta pelatihan selama dan setelah melakukan
pelatihan berpikir positif. Analisis deskriptif ini dilakukan untuk mengetahui
gambaran proses perubahan yang dialami peserta pelatihan selama dan
setelah mengikuti pelatihan berpikir positif. Analisis deskriptif dilakukan
pada kelompok eksperimen berdasarkan skor asertivitas pretest dan posttest,
sharing selama proses pelatihan, hasil observasi, dan hasil evaluasi hasil
pelatihan. Deskripsi hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
Tabel 18 Distribusi Hasil Penelitian
Kelompok
Nama
Pengukuran
Pretest Posttest
Skor Tingkat
Asertivitas
Skor Tingkat
Asertivitas
Eksperimen IA 71 Sedang 92 Sedang
L 88 Sedang 98 Tinggi
AMS 78 Sedang 92 Sedang
NA 88 Sedang 98 Tinggi
DAS 79 Sedang 96 Tinggi
Mean 80,8 95,2
Kontrol H 83 Sedang 86 Sedang
M 79 Sedang 87 Sedang
F 95 Sedang 94 Sedang
DWS 80 Sedang 80 Sedang
V 75 Sedang 75 Sedang
Mean 82,4 84,4
1. Analisis Deskriptif pada Peserta 1 (IA)
70
80
90
100
Pretest Postest
Skor Asertivitas
Gambar 5
Skor Asertivitas pada Peserta IA (Pretest-Posttest)
Grafik pada gambar 5 di atas menunjukkan bahwa skor asertivitas
Peserta (IA) mengalami kenaikan setelah diberikan perlakuan berupa
pelatihan berpikir positif selama tiga kali pertemuan. Skor asertivitas
Peserta (IA) yang berjenis kelamin laki-laki ini sebelum mendapatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
pelatihan adalah 71 dimana termasuk kategori sedang, kemudian setelah
mengikuti pelatihan skor naik menjadi 92 walaupun masih termasuk pada
kategori sedang. Peningkatan skor asertivitas dapat dilihat dari skala
asertivitas yang diisi oleh peserta (IA) pada pretest dan postest. Hal ini
dapat dilihat selama mengikuti pelatihan, peserta (IA) mulai dapat memberi
contoh dan menerapkan berpikir positif dengan orang-orang di sekitarnya.
Peningkatan ini diperkuat dengan data-data yang diperoleh selama
pelatihan dan setelah pelatihan. Selama ini, peserta (IA) menganggap bahwa
segala sesuatu dapat diselesaikan dengan hanya dengan mengungkapkan
emosi atau marah-marah tetapi setelah mengikuti pelatihan berpikir positif
ini peserta (IA) dapat mengetahui bahwa dengan emosi tidak dapat
menyelesaikan masalah apapun dan malah hanya akan membuat teman-
temannya pergi menjauh. Pelatihan Berpikir Positif ini memberikan
pengetahuan kepada peserta (IA) mengenai bagaimana cara menghilangkan
atau mengganti pikiran negatif yang selama ini dimiliki dengan pikiran baru
yaitu pikiran positif yang telah dipelajari lebih lanjut pada pertemuan kedua
yakni pada sesi “Langkah Efektif Berpikir Positif”.
Pada awal mengikuti pelatihan, peserta (IA) kurang begitu
semangat dalam mengikuti pelatihan, karena masih merasa asing dengan
apa yang dimaksud dengan berpikir positif. Akan tetapi dengan berjalannya
waktu peserta (IA) mulai terlihat aktif setelah fasilitator sering mengajaknya
berinteraksi aktif dengan menanyai peserta (IA) sehingga peserta (IA) juga
memberikan feedback dengan menanyakan kembali mengenai hal-hal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
menurutnya kurang dimengerti. Menurut peserta (IA), setelah pelatihan
peserta (IA) lebih dapat memahami situasi yang sedang dialami atau
masalah yang sedang dihadapi sehingga merasa lebih tenang dan dapat
bertindak dengan cara yang dihormatinya dalam menghadapi masalah tanpa
perlu marah-marah yang merupakan salah satu aspek perilaku asertif
menurut Fensterheim & Baer (1980) karena dengan berpikir positif
membuat peserta (IA) lebih percaya pada diri sendiri, lebih tenang dalam
menghadapi masalah sehingga membuat teman-teman merasa nyaman
berada di dekatnya.
Berdasarkan data dari pengalaman, peserta (IA) telah menerapkan
ketrampilan berpikir positif dalam kehidupan sehari-hari setelah mengikuti
pelatihan. Melalui pelatihan, peserta (IA) telah mampu berpikir positif
tentang teman-teman peserta (IA). Peserta (IA) tetap memiliki motivasi diri
dan optimis untuk menghadapi masalah dengan berpikir positif, tanpa perlu
marah-marah.
2. Analisis Deskriptif pada Peserta 2 (L)
70
80
90
100
Pretest Postest
Skor Asertivitas
Gambar 6
Skor Asertivitas pada Peserta L (Pretest-Posttest)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
Grafik pada gambar 6 di atas menunjukkan bahwa skor asertivitas
Peserta (L) mengalami kenaikan setelah diberikan perlakuan berupa
pelatihan berpikir positif selama tiga kali pertemuan. Skor asertivitas
Peserta (L) yang berjenis kelamin perempuan ini sebelum mendapatkan
pelatihan adalah 88 dimana termasuk kategori sedang, kemudian setelah
mengikuti pelatihan skor naik menjadi 98 yang termasuk pada kategori
tinggi. Peningkatan skor asertivitas dapat dilihat dari skala asertivitas yang
diisi oleh peserta (L) pada pretest dan postest. Hal ini dapat dilihat selama
mengikuti pelatihan, peserta (L) yang awalnya malu-malu dan hanya diam
walaupun sudah ditanya, tetapi pada pertemuan kedua dan ketiga mulai
dapat memberi contoh dan menerapkan berpikir positif tentang orang lain.
Peningkatan ini diperkuat dengan data-data yang diperoleh selama
pelatihan dan setelah pelatihan. Selama ini, peserta (L) menganggap bahwa
segala sesuatu tidak perlu diceritakan kepada siapapun karena merasa tidak
percaya pada orang lain tetapi setelah mengikuti pelatihan berpikir positif
ini peserta (L) mulai mampu berpikir positif tentang orang lain dan mulai
mau berbagi cerita (sharing) selama dan setelah pelatihan. Pelatihan
Berpikir Positif ini memberikan pengetahuan kepada peserta (L) mengenai
bagaimana cara menghilangkan atau mengganti pikiran negatif yang selama
ini dimiliki dengan pikiran baru yaitu pikiran positif yang telah dipelajari
lebih lanjut pada pertemuan kedua yakni pada sesi “Langkah Efektif
Berpikir Positif”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
Pada awal mengikuti pelatihan, peserta (L) kurang begitu semangat
dalam mengikuti pelatihan dan hanya diam serta bersikap pasif di dalam
kelas, karena belum dapat percaya dengan orang lain dengan apa itu berpikir
positif. Akan tetapi dengan berjalannya waktu peserta (L) mulai terlihat
aktif setelah fasilitator sering mengajaknya berinteraksi aktif dengan
menanyai peserta (L) sehingga peserta (L) juga memberikan feedback
dengan menceritakan hal-hal yang pernah dialaminya. Menurut peserta (L),
setelah pelatihan peserta (L) dapat berkomunikasi secara langsung, jujur dan
terbuka dengan orang-orang di sekitarnya yang merupakan salah satu aspek
perilaku asertif menurut Fensterheim & Baer (1980) karena dengan berpikir
positif membuat peserta (L) lebih percaya pada orang lain sehingga
membuat teman-teman merasa nyaman berada di dekatnya.
Berdasarkan data dari pengalaman, peserta (L) telah menerapkan
ketrampilan berpikir positif dalam kehidupan sehari-hari setelah mengikuti
pelatihan. Melalui pelatihan, peserta (L) telah mampu berpikir positif
tentang teman-teman peserta (L). Peserta (L) tetap memiliki motivasi diri
dan optimis untuk menghadapi masalah dengan berpikir positif dan mau
sharing dengan teman yang dapat dipercayainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
3. Analisis Deskriptif pada Peserta 3 (AMS)
70
80
90
100
Pretest Postest
Skor Asertivitas
Gambar 7
Skor Asertivitas pada Peserta AMS (Pretest-Posttest)
Grafik pada gambar 7 di atas menunjukkan bahwa skor asertivitas
Peserta (AMS) mengalami kenaikan setelah diberikan perlakuan berupa
pelatihan berpikir positif selama tiga kali pertemuan. Skor asertivitas
Peserta (AMS) yang berjenis kelamin perempuan ini sebelum mendapatkan
pelatihan adalah 78 dimana termasuk kategori sedang, kemudian setelah
mengikuti pelatihan skor naik menjadi 92 walaupun masih termasuk pada
kategori sedang. Peningkatan skor asertivitas dapat dilihat dari skala
asertivitas yang diisi oleh peserta (AMS) pada pretest dan postest. Hal ini
dapat dilihat selama mengikuti pelatihan, peserta (AMS) mulai dapat
memberi contoh dan menerapkan berpikir positif terhadap teman-temannya.
Peningkatan ini diperkuat dengan data-data yang diperoleh selama
pelatihan dan setelah pelatihan. Selama ini, peserta (AMS) tidak berani
mengemukakan pendapat karena merasa masih sebagai anak kecil sehingga
pendapatnya sering diabaikan oleh Pengasuh tetapi dengan pelatihan
berpikir positif yang telah dilakukan membuat peserta (AMS) lebih mampu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
berpikir positif sehingga lebih terbuka dalam mengemukakan pendapatnya.
Pelatihan Berpikir Positif ini memberikan pengetahuan kepada peserta
(AMS) mengenai bagaimana cara menghilangkan atau mengganti pikiran
negatif yang selama ini dimiliki dengan pikiran baru yaitu pikiran positif
yang telah dipelajari lebih lanjut pada pertemuan kedua yakni pada sesi
“Langkah Efektif Berpikir Positif”.
Pada awal mengikuti pelatihan, peserta (AMS) kurang begitu
semangat dan kurang aktif dalam mengikuti pelatihan dan hanya berbicara
ketika ditanya oleh fasilitator, karena masih merasa asing dengan apa itu
berpikir positif. Akan tetapi dengan berjalannya waktu peserta (AMS) mulai
terlihat aktif setelah fasilitator sering mengajaknya berinteraksi aktif dengan
menanyai peserta (AMS) sehingga peserta (AMS) juga memberikan
feedback dengan menanyakan kembali mengenai hal-hal yang menurutnya
kurang dimengerti. Menurut peserta (AMS), setelah pelatihan peserta
(AMS) lebih terbuka dalam mengungkapkan pendapat, pikiran dan perasaan
kepada orang-orang di sekitarnya yang merupakan salah satu aspek perilaku
asertif menurut Fensterheim & Baer (1980) yaitu bebas mengungkapkan diri
sendiri melalui kata-kata dan tindakan.
Berdasarkan data dari pengalaman, peserta (AMS) telah
menerapkan ketrampilan berpikir positif dalam kehidupan sehari-hari
setelah mengikuti pelatihan. Melalui pelatihan, peserta (AMS) telah mampu
berpikir positif tentang teman-teman peserta (AMS). Peserta (AMS) tetap
memiliki motivasi diri dan optimis untuk menghadapi masalah dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
berpikir positif dan lebih terbuka dalam mengemukakan pendapat, pikiran
dan perasaannya.
4. Analisis Deskriptif pada Peserta 4 (NA)
70
80
90
100
Pretest Postest
Skor Asertivitas
Gambar 8
Skor Asertivitas pada Peserta NA (Pretest-Posttest)
Grafik pada gambar 8 di atas menunjukkan bahwa skor asertivitas
Peserta (NA) mengalami kenaikan setelah diberikan perlakuan berupa
pelatihan berpikir positif selama tiga kali pertemuan. Skor asertivitas
Peserta (NA) yang berjenis kelamin perempuan ini sebelum mendapatkan
pelatihan adalah 88 dimana termasuk kategori sedang, kemudian setelah
mengikuti pelatihan skor naik menjadi 98 yang termasuk pada kategori
tinggi. Peningkatan skor asertivitas dapat dilihat dari skala asertivitas yang
diisi oleh peserta (NA) pada pretest dan postest. Hal ini dapat dilihat selama
mengikuti pelatihan, peserta (NA) mulai dapat memberi contoh dan
menerapkan berpikir positif dengan orang-orang di sekitarnya.
Peningkatan ini diperkuat dengan data-data yang diperoleh selama
pelatihan dan setelah pelatihan. Selama ini, peserta (NA) merasa kesulitan
untuk percaya kepada salah seorang temannya yang pernah menghilangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
barang yang dipinjamkannya. Peserta (NA) merasa sangat kecewa dengan
sikap temannya tersebut dan sampai saat ini masih merasa dendam dan
enggan untuk bertegur sapa. Tetapi peserta (NA) mengaku mulai dapat
menyadari kesalahannya dan mulai memaafkan temannya dan berniat segera
menyapanya ketika bertemu nanti. Pelatihan Berpikir Positif ini
memberikan pengetahuan kepada peserta (NA) mengenai bagaimana cara
menghilangkan atau mengganti pikiran negatif yang selama ini dimiliki
dengan pikiran baru yaitu pikiran positif yang telah dipelajari lebih lanjut
pada pertemuan kedua yakni pada sesi “Langkah Efektif Berpikir Positif”.
Pada awal mengikuti pelatihan, peserta (NA) sudah bersemangat,
antusias dan aktif dalam mengikuti pelatihan, karena merasa ingin tahu
dengan apa itu berpikir positif. Selanjutnya, dengan berjalannya waktu
peserta (NA) mulai terlihat semakin aktif setelah fasilitator sering
mengajaknya berinteraksi aktif dengan menanyai peserta (NA) sehingga
peserta (NA) juga memberikan feedback dengan menanyakan kembali
mengenai hal-hal yang menurutnya kurang dimengerti dan mulai bercerita
tentang hal-hal yang pernah dialaminya (sharing). Menurut peserta (NA),
setelah pelatihan peserta (NA) lebih dapat memahami situasi yang sedang
dialami atau masalah yang sedang dihadapi sehingga lebih positif dalam
memandang hidup atau dengan kata lain mempunyai pandangan hidup yang
aktif sesuai dengan salah satu aspek perilaku asertif menurut Fensterheim &
Baer (1980) karena dengan berpikir positif membuat peserta (NA) lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
percaya pada diri sendiri dan orang lain sehingga membuat teman-teman
merasa nyaman berada di dekatnya.
Berdasarkan data dari pengalaman, peserta (NA) telah menerapkan
ketrampilan berpikir positif dalam kehidupan sehari-hari setelah mengikuti
pelatihan. Melalui pelatihan, peserta (NA) telah mampu berpikir positif
tentang teman-teman peserta (NA). Peserta (NA) tetap memiliki motivasi
diri dan optimis untuk menghadapi masalah dengan berpikir positif.
5. Analisis Deskriptif pada Peserta 5 (DAS)
70
80
90
100
Pretest Postest
Skor Asertivitas
Gambar 9
Skor Asertivitas pada Peserta DAS (Pretest-Posttest)
Grafik pada gambar 9 di atas menunjukkan bahwa skor asertivitas
Peserta (DAS) mengalami kenaikan setelah diberikan perlakuan berupa
pelatihan berpikir positif selama tiga kali pertemuan. Skor asertivitas
Peserta (DAS) yang berjenis kelamin perempuan ini sebelum mendapatkan
pelatihan adalah 79 dimana termasuk kategori sedang, kemudian setelah
mengikuti pelatihan skor naik menjadi 96 yang termasuk pada kategori
tinggi. Peningkatan skor asertivitas dapat dilihat dari skala asertivitas yang
diisi oleh peserta (DAS) pada pretest dan postest. Hal ini dapat dilihat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
selama mengikuti pelatihan, peserta (DAS) mulai dapat memberi contoh dan
menerapkan berpikir positif dengan orang-orang di sekitarnya.
Peningkatan ini diperkuat dengan data-data yang diperoleh selama
pelatihan dan setelah pelatihan. Selama ini, peserta (DAS) merasa tidak
percaya kepada teman di sekitarnya karena pernah suatu ketika peserta
(DAS) ini bercerita kepada temannya tetapi temannya malah
menceritakannya kembali kepada teman yang lain dan hal ini membuat
peserta (DAS) merasa malu karena yang diceritakannya terkadang
merupakan hal yang bersifat pribadi tetapi setelah mengikuti pelatihan
berpikir positif ini peserta (DAS) mulai dapat berpikir positif terhadap
temannya dan yang diceritakannya hanya hal-hal yang biasa saja. Pelatihan
Berpikir Positif ini memberikan pengetahuan kepada peserta (DAS)
mengenai bagaimana cara menghilangkan atau mengganti pikiran negatif
yang selama ini dimiliki dengan pikiran baru yaitu pikiran positif yang telah
dipelajari lebih lanjut pada pertemuan kedua yakni pada sesi “Langkah
Efektif Berpikir Positif”.
Pada awal mengikuti pelatihan, peserta (DAS) kurang begitu
semangat dalam mengikuti pelatihan, karena masih merasa asing dengan
apa itu berpikir positif. Akan tetapi dengan berjalannya waktu peserta
(DAS) mulai terlihat aktif setelah fasilitator sering mengajaknya
berinteraksi aktif dengan menanyai peserta (DAS) sehingga peserta (DAS)
juga memberikan feedback dengan menanyakan kembali mengenai hal-hal
yang menurutnya kurang dimengerti. Menurut peserta (DAS), setelah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
pelatihan peserta (DAS) lebih dapat memahami situasi yang sedang dialami
sehingga memandang hidup dengan lebih positif sesuai dengan salah satu
aspek perilaku asertif menurut Fensterheim & Baer (1980) karena dengan
berpikir positif membuat peserta (DAS) lebih percaya pada diri sendiri dan
orang-orang di sekitarnya sehingga membuat teman-teman merasa nyaman
berada di dekatnya.
Berdasarkan data dari pengalaman, peserta (DAS) telah
menerapkan ketrampilan berpikir positif dalam kehidupan sehari-hari
setelah mengikuti pelatihan. Melalui pelatihan, peserta (DAS) telah mampu
berpikir positif tentang teman-teman peserta (DAS). Peserta (DAS) tetap
memiliki motivasi diri dan optimis untuk menghadapi masalah dengan
berpikir positif.
D. Pembahasan
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menguji skor total posttest antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, serta menguji perbedaan skor
asertivitas sebelum (pretest) dan setelah (posttest) pemberian perlakuan berupa
pelatihan berpikir positif. Hasil uji skor total posttest dari kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol dengan uji statistik Mann-Whitney U-Test yang ditunjukkan
pada Tabel 14 yang menunjukkan ada perbedaan skor asertivitas antara kelompok
eksperimen dan kontrol dengan nilai Z sebesar -2,627 dan probabilitas (p) 0,008 <
0,05. Hasil tersebut berarti ada perbedaan skor asertivitas kelompok eksperimen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
dengan kelompok kontrol setelah diberikan perlakuan berupa pelatihan berpikir
positif.
Selanjutnya, hasil uji perbedaan skor asertivitas sebelum (pretest) dan
setelah (posttest) pemberian perlakuan berupa pelatihan berpikir positif diuji
dengan Wilcoxon Signed Ranks Test dapat dilihat pada Tabel 15 yang
menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara skor asertivitas sebelum
(pretest) dan setelah (posttest) pada kelompok eksperimen setelah nilai Z hitung
sebesar -2,032 dan probabilitas (p) signifikansi 0,042 < 0,05. Hal ini berarti bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara skor asertivitas sebelum pelatihan
(pretest) dan setelah pelatihan berpikir positif (posttest). Maka berdasarkan hasil
uji hipotesis yang telah dilakukan, yang menyatakan ada pengaruh pelatihan
berpikir positif terhadap peningkatan tingkat asertivitas pada remaja panti asuhan
di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo dapat diterima. Hal ini dapat
dilihat pada hasil analisis dengan menggunakan teknik analisis uji Mann-Whitney
U-Test yang ditunjukkan pada Tabel 14 dan analisis uji Wilcoxon T-test pada
Tabel 15.
Berdasarkan data yang telah dipaparkan pada Tabel 18, terlihat terdapat
kenaikan skor asertivitas pada kelompok eksperimen setelah diberi perlakuan atau
pelatihan berpikir positif. Peningkatan skor asertivitas pada kelompok eksperimen
ini dapat dilihat pada tabel berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
0
20
40
60
80
100
120
SUBJEK 1 SUBJEK 2 SUBJEK 3 SUBJEK 4 SUBJEK 5
PRETEST
POSTTEST
Gambar 10
Grafik Skor Asertivitas Kelompok Eksperimen pada Pretest dan Posttest
Perbedaan rata-rata (mean) skor asertivitas sebelum dan sesudah
perlakuan atau pelatihan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat
dilihat pada gambar grafik sebagai berikut :
70
80
90
100
Pretest Postest
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Gambar 11
Grafik Perbedaan Mean Skor Asertivitas Sebelum dan Sesudah Pelatihan
Pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Selisih skor posttest asertivitas pada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol adalah 14,40. Artinya, pada kelompok eksperimen yang diberi pelatihan
berpikir positif terjadi peningkatan skor asertivitas yang cukup tinggi antara
sebelum dan setelah pelatihan yang diberikan, sedangkan pada kelompok kontrol
yang tidak mendapatkan pelatihan berpikir positif tidak terjadi peningkatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
Hampir seluruh peserta pelatihan dalam kelompok eksperimen
menunjukkan perubahan yang positif berupa peningkatan asertivitas. Beberapa
perubahan yang mencolok adalah pemahaman peserta mengenai pengertian
berpikir positif, langkah efektif untuk berpikir positif dan manfaat berpikir positif.
Peserta pelatihan mulai dapat berpikir positif tentang diri sendiri dan orang lain
sehingga membuat peserta lebih percaya dan terbuka dalam mengungkapkan
pikiran, pendapat dan perasaan dan mampu berkomunikasi secara jujur, langsung
dan terbuka dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk orang yang baru
dikenalnya. Selain itu, menurut peserta pelatihan bahwa pelatihan berpikir positif
ini sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, peserta pelatihan merasa
bahwa dengan berpikir positif akan membuat peserta meraih kesuksesan dalam
hidup yang berarti bahwa peserta pelatihan memiliki pandangan yang aktif
tentang hidup dan membuat peserta lebih mampu memahami situasi yang
dihadapinya sehingga peserta pelatihan dapat bertindak dengan cara yang
dihormatinya dan membuat peserta semakin diterima oleh teman-temannya. Bagi
Peneliti, peningkatan yang positif dari peserta pelatihan ini menunjukkan adanya
peningkatan asertivitas remaja panti asuhan setelah mengikuti pelatihan berpikir
positif yakni ditunjukkan dengan peserta pelatihan yang lebih mampu
mengungkapkan pikiran, pendapat dan perasaan, dapat berkomunikasi secara
jujur, langsung, dan terbuka, mempunyai pandangan hidup yang aktif bahwa
peserta pelatihan akan meraih sukses dalam hidupnya, dan mampu bertindak
dengan cara yang dihormatinya yang dapat diterima oleh orang-orang di
sekitarnya tanpa perlu marah-marah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
Selain itu, pelatihan berpikir positif memberikan kesadaran mengenai
perlunya berpikir positif terhadap orang lain. Pelatihan berpikir positif mampu
memotivasi peserta untuk lepas dari rasa tidak nyaman yang dialaminya dengan
selalu berpikir positif terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya dengan tetap
melihat pada kenyataan yang ada (realistis). Hal ini terjadi karena selama
pelatihan berpikir positif, peserta dikondisikan untuk belajar secara aplikatif
mengenai bagaimana langkah efektif untuk berpikir positif yang disajikan secara
sederhana dalam bentuk worksheet sehingga memudahkan peserta dalam
memahami untuk kemudian menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap peningkatan
asertivitas ini sesuai dengan pendapat Bishop (2007) mengenai peningkatan
asertivitas melalui berpikir positif. Dalam bukunya Develop Assertiveness, Bishop
(2007) menyebutkan bahwa ada beberapa tahap untuk meningkatkan asertivitas
tetapi inti dari latihan untuk meningkatkan perilaku asertif tersebut adalah pada
proses kognitif yaitu dengan berpikir positif karena dengan berpikir positif maka
seseorang akan dapat berperilaku positif, memiliki citra diri yang positif, dan
menyelesaikan masalah dengan cara win win solution yang akhirnya menjadikan
orang tersebut menjadi lebih asertif.
Selain pendapat Bishop (2007) di atas, hasil penelitian pengaruh
pelatihan berpikir positif ini pun sesuai dengan pendapat Eggert (1999) bahwa
ketika dalam diri seseorang ditanamkan pikiran positif maka pikiran tersebut akan
membentuk diri yang positif dan kemudian akan menjadikannya berperilaku
positif. Ketika seseorang menanamkan pikiran positif dalam dirinya “Aku adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
orang yang asertif” lalu terjadi proses internalisasi dalam pikiran orang tersebut
dan terjadi pengharapan yang positif bahwa orang tersebut dapat berperilaku
asertif di saat yang tepat berupa perilaku asertif sebagai hasil dari pikiran yang
positif.
Hal inilah yang terjadi pada diri remaja panti asuhan yang menjadi
kelompok eksperimen atau peserta pelatihan berpikir positif. Pada awalnya,
remaja panti asuhan masih merasa asing dengan dengan apa yang dimaksud
dengan berpikir positif tetapi setelah diberikan penjelasan singkat melalui materi
sekilas tentang berpikir positif pada pertemuan I maka remaja panti asuhan yang
menjadi peserta pelatihan pun menjadi mengerti, memahami, dan mulai
menerapkan berpikir positif dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, peserta
pelatihan diberikan materi tentang langkah-langkah efektif untuk berpikir positif
pada pertemuan II, langkah-langkah efektif berpikir posituf yang diberikan
menggunakan pendapat dari Quilliam (2008) yaitu menantang pikiran yang
dimiliki, mengubah gambaran cara berpikir yang dimiliki, menggunakan bahasa
yang konstruktif, memikirkan kembali kepercayaan yang dimiliki, membangun
harga diri, dan mempertahankan perilaku positif. Langkah-langkah efektif untuk
berpikir positif menurut Quilliam (2008) ini disajikan secara lengkap dengan cara-
cara yang sederhana agar lebih mudah dimengerti oleh remaja panti asuhan
melalui serangkaian worksheet yang diberikan kepada remaja panti asuhan. Pada
pertemuan III, remaja panti asuhan diajak untuk mengetahui manfaat berpikir
positif, hal ini dimaksudkan agar remaja panti asuhan lebih menyadari betapa
pentingnya berpikir positif dalam kehidupannya. Setelah pelatihan selesai, peserta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
menyatakan bahwa peserta sangat senang akan adanya pelatihan berpikir positif
yang telah diadakan dan akan menggunakan ilmu yang didapat selama pelatihan
dalam kehidupannya karena sangat bermanfaat. Hal ini mendorong peserta
pelatihan untuk lebih terbuka dalam mengungkapkan pendapat, pikiran, dan
perasaannya kepada orang-orang di sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor yang mendukung keberhasilan pelatihan berpikir positif ini adalah
modul yang telah disusun Peneliti secara sistematis sehingga hal ini
mempermudah Fasilitator dalam menyampaikan serta mempermudah peserta
pelatihan dalam memahami isi materi yang diberikan. Modul pelatihan berpikir
positif disusun dengan materi yang lengkap yaitu diawali dengan pengertian
berpikir positif pada sesi I, langkah-langkah efektif berpikir positif pada sesi II,
dan manfaat berpikir positif pada sesi III. Modul pelatihan berpikir positif ini
disusun dengan menggunakan metode communication actives melaui presentasi
dengan media power point, roleplay, worksheet, relaksasi dan penayangan film
supaya membuat peserta pelatihan lebih tertarik untuk mengikuti pelatihan serta
membantu peserta pelatihan dalam mengaplikasikan materi dan keterampilan
yang diberikan selama pelatihan. Uji coba modul membantu Peneliti dalam
melakukan perbaikan dan pemilihan materi dan metode pelatihan yang lebih
efektif dan aplikatif.
Fasilitator dan asisten fasilitator mampu menyajikan modul yang telah
disusun Peneliti dalam pelatihan sehingga peran fasilitator sama pentingnya dalam
pelatihan berpikir positif ini. Pengalaman, penguasaan materi, kualitas
interpersonal yang baik dan kerja sama antar fasilitator dan asisten fasilitator
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
merupakan modal utama yang mendukung fasilitator dalam menjalankan
pelatihan dengan baik. Fasilitator mampu memimpin proses pelatihan dengan
baik, mampu menumbuhkan suasana keterbukaan dan keakraban di antara peserta
pelatihan, mampu menjelaskan materi serta menumbuhkan rasa ketertarikan
peserta terhadap pelatihan ini. Suasana keakraban sudah dibangun dari awal
pelatihan dengan ice breaking perkenalan yang penuh canda tawa. Ketertarikan
peserta tumbuh saat fasilitator menyajikan rangkaian materi penuh dengan
menarik sehingga menumbuhkan rasa ingin tahu pada subyek selain itu fasilitator
mengungkap pengalaman-pengalaman pribadi yang membuat peserta sadar akan
pentingnya pelatihan bagi peserta. Beberapa kemudahan yang mendukung
tercapainya keberhasilan dalam pelatihan ini, antara lain tersedianya sarana dan
prasarana seperti ruangan yang kondusif (tenang, terang, dan luas), perlengkapan
seperti laptop dan speaker, serta dukungan penuh dari instansi terkait.
Partisipasi dari peserta pelatihan juga mendukung keberhasilan dalam
pelatihan. Peserta dalam pelatihan ini sangat antusias dan memperhatikan apa
yang diberikan fasilitator, meskipun sebagian besar dari peserta pada awal
pelatihan masih merasa malu dan tertutup, namun setelah mendapatkan penjelasan
membuat peserta semangat dan antusias hingga akhir pelatihan.
Kendala-kendala yang dialami dalam penelitian ini adalah sulitnya
mengatur waktu agar dapat selesai pada waktunya dan tidak terdapatnya LCD
(Liquid Crystal Display) sebagai media bantu dalam penayangan slide pelatihan.
Pihak panti meminta agar kegiatan pelatihan diadakan setelah jam sekolah usai
agar tidak mengganggu kegiatan sekolah peserta pelatihan. Hal ini membuat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
minimnya observasi dan evaluasi Peneliti setelah pertemuan yang merupakan
keterbatasan dari penelitian ini. Keterbatasan selanjutnya adalah Peneliti juga
kurang mampu mengetahui atau memantau pengaplikasian keterampilan berpikir
positif di setiap harinya peserta pelatihan karena Peneliti tidak memberikan buku
harian atau agenda sebagi alat bantu memantau. Pihak panti pun menjanjikan
adanya LCD di setiap pelatihan namun hal ini tidak terealisasi karena LCD sedang
digunakan oleh pihak lain sehingga penayangan slide pelatihan hanya ditayangkan
menggunakan laptop. Keterbatasan penelitian lainnya adalah Peneliti tidak
mampu mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi asertivitas yang berasal
dari diri individu sebagai faktor bawaan (proactive history) seperti usia, jenis
kelamin, kepribadian, sikap, inteligensi dan sebagainya, akan tetapi Peneliti telah
berusaha melakukan kontrol terhadap faktor tersebut dengan menyamakan
karakteristik sampel dalam sebara usia 12-21 tahun yang diperkecil menjadi 13-18
tahun, tingkat asertivitas yang sama dalam keadaan sedang, selain proactive
history terdapat pula faktor lain seperti lingkungan panti asuhan, fisik, dan
berbagai faktor psikologis seperti keadaan emosi atau mood peserta saat
mengikuti pelatihan. Selain itu Peneliti juga tidak mampu mengendalikan faktor-
faktor yang mempengaruhi jalannya pelatihan maupun faktor yang mempengaruhi
penerimaan materi pelatihan seperti faktor fisik (dalam kondisi sakit atau tidak)
dan psikologis seperti kecemasan, motivasi mengikuti pelatihan dan lain
sebagainya. Dalam penelitian ini memang masih terdapat banyak kendala dan
keterbatasan walaupun Peneliti sudah berusaha melakukan persiapan yang matang
dan maksimal, maka perlu dilakukan perbaikan untuk penelitian selanjutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian analisis kuantitatif dan deskriptif yang telah
dilakukan, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Ada pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap peningkatan asertivitas pada
remaja panti asuhan di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo. Hal ini
dapat diketahui dari analisis kuantitatif yang menyebutkan bahwa terdapat
perbedaan skor posttest pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan yang positif berupa peningkatan
asertivitas pada remaja panti asuhan setelah mengikuti pelatihan berpikir
positif.
2. Pelatihan berpikir positif efektif dalam meningkatkan tingkat asertivitas pada
remaja panti asuhan di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo. Hal ini
dapat diketahui dari analisis kuantitatif dan deskriptif yang menyebutkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada skor skala asertivitas antara
sebelum dan sesudah pelatihan berpikir positif pada kelompok eksperimen.
3. Berdasarkan hasil analisis deskriptif yang dilakukan, remaja panti asuhan yang
tadinya tertutup dan pemalu maka setelah mengikuti pelatihan berpikir positif
menjadi lebih terbuka dalam mengungkapkan pikiran, pendapat, dan
peraasaannya kepada orang-orang di sekitarnya, remaja dan panti asuhan
menjadi lebih percaya diri, berpikir positif tentang orang lain, memiliki
153
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
pandangan hidup yang positif, dan mampu bertindak dengan cara yang
dihormatinya dengan tidak mengedepanlan emosi dalam penyelesaian masalah
yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari atau dengan kata lain, remaja panti
asuhan menjadi lebih asertif daripada sebelum mengikuti pelatihan berpikir
positif.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dikemukakan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Pihak Panti Asuhan
Pihak panti diharapkan dapat memberikan pelatihan berpikir positif ini
secara berkelanjutan karena telah terbukti untuk meningkatkan asertivitas
remaja panti asuhan kepada setiap remaja panti asuhan agar ketika remaja panti
asuhan ini telah cukup usianya untuk terjun ke masyarakat memiliki
keterampilan asertivitas dan komunikasi yang baik sehingga dapat hidup
mandiri di masyarakat. Pelatihan ini dapat dilakukan dengan bekerja sama
dengan lembaga psikologi yang ada.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan survei secara menyeluruh
sehingga hasil survei benar mengungkapkan keadaan subjek penelitian
secara keseluruhan dan mendalam.
b. Peneliti selanjutnya diharapkan memiliki persiapan yang lebih matang
mengenai alat apa saja (LCD, laptop, speaker) yang diperlukan dalam
pelaksanaan pelatihan dan memberikan tugas rumah (misalnya buku harian)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
untuk mengevaluasi dan memantau kemajuan atau peningkatan yang terjadi
pada peserta pelatihan.
c. Peneliti selanjutnya diharapkan melakukan pemantauan pada kelompok
eksperimen setelah pelatihan berakhir melalui evalusai proses, hasil dan
materi pelatihan sehingga dapat diketahui seberapa pemahaman dan
seberapa mampu subjek mengaplikasikan keterampilan yang diberikan.