perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id peran elit lokal ... · teknik analisis data yang...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERAN ELIT LOKAL TERHADAP KEMENANGAN
GOLKAR DI KABUPATEN SRAGEN PADA PEMILU 1992 DAN 1997
SKRIPSI
Oleh :
IIS SUMARWATI
K4407024
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERAN ELIT LOKAL TERHADAP KEMENANGAN
GOLKAR DI KABUPATEN SRAGEN PADA PEMILU 1992 DAN 1997
Oleh :
IIS SUMARWATI
K4407024
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Iis Sumarwati .K4407024. PERAN ELIT LOKAL TERHADAP KEMENANGAN GOLKAR DI KABUPATEN SRAGEN PADA PEMILU 1992 DAN 1997. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juni 2010.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan: (1) berdirinya Golkar di Kabupaten Sragen; (2) peran elit lokal terhadap kemenangan Golkar di Kabupaten Sragen Pemilu Tahun 1992 dan 1997; (3) pelaksanaan pemilu tahun 1992 dan 1997 di Kabupaten Sragen.
Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah sumber primer dan sumbet sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta sejarah.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) berdasarkan Perpres No. 193 tahun 1964 pada tanggal 20 Oktober 1964 lahir Sekretaris Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) begitu juga Sekber Golkar di Kabupaten Sragen, pada tanggal 17 Juli 1971 melalui musyawarah Sekber Golkar diubah menjadi Golkar; (2) Elit lokal sangat berperan dalam kemenangan Golkar tahun 1992 dan 1997 dikarenakan elit lokal memiliki kekuasaan yang diakui dan dihormati oleh masyarakat. Hal tersebut diperlukan untuk meyakinkan rakyat memilih Golkar, peran militer pada pemilu 1992 dan 1997 melakukan intervensi kepada rakyat untuk memilih Golkar, keterlibatan ulama dalam Golkar berpengaruh untuk mengendalikan massa yang sangat fanatik dan simpatik, kaum cendekiawan (mahasiswa, pengajar, tokoh politik, anggota organisasi) berperan dalam memperjuangkan dan memenangkan Golkar dengan bergabung dalam panitia pemungutan suara dan menjadi juru kampanye, bagi elit birokrat yang tidak bersedia memilih dan mendukung Golkar maka harus rela dikeluarkan dari pemerintahan, sedangkan pengusaha berperan sebagai penyokong dana dan panutan bagi masyarakat karena memiliki status sosial atas kekayaannya; (3) penurunan 12,17 % suara Golkar pada pemilu 1992 dikarenakan kegagalan para elit lokal dalam menyelesaikan isu-isu nasional yang menyebabkan ketidakpercayaan rakyat Sragen terhadap Golkar. Kenaikan perolehan 12,43 % suara Golkar tahun 1997 dikarenakan elit lokal melakukan kecurangan dengan mengintimidasi rakyat untuk memilih Golkar. Dan adanya kisruh PDI ditingkat pusat. Setelah Orde Baru, pemilu tahun 1999 Golkar mengalami kekalahan dan PDI P meraih kemenangan dikarenakan banyaknya elit lokal Golkar yang pindah ke partai lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT Iis Sumarwati. K4407024. THE ROLE OF ELITE LOCAL TO WIN GOLKAR IN SRAGEN REGENCY IN GENERAL ELECTION 1992 AND 1997. Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University, Juni 2011.
The Objective of this research is to describe: (1) Establishment of Golkar in Sragen regency; (2) The role of elite local to win Golkar in Sragen regency in General Election 1992 and 1997; (3) The proses of General Election 1992 and 1997 in Sragen regency.
This research uses historis method. The procedure of this research consist of four activities, such as: heuristics, critics, interpretation and historiografi. The source of data that is used by writer is primary and secondary source. The technique of collecting data is library study and interview. The technique of analyzing data is historis analysis. It is analysis that give priority to sharpness in interpret the data of history.
Based on the result of research, it can be concluded that: (1) based on perpres 193/1964 on October 20, 1964 appear secretary of Golkar, and it is also appear in Sragen regency on july 17, 1971 through sekber Golkar conference is changed to Golkar; (2) the role of elite local is strong to win Golkar in 1992 and 1997 because elite local has power that is accept and also has ability to influence society. The ability to make sure the society in chosing Golkar, the role of military intervention to election can be seen when society doesn’t chose Golkar called PKI easily, even police also support the win Golkar eventhough don’t have right. The involvement of Muslim leader in Golkar politic influence society. An intellectual community in struggle to win Golkar through joining the Golkar committe. For elite bureaucrat, they don’t choose Golkar, so they have to come out. The role of entrepreneurs as supporting fund and guide for society; (3) Decrease 12,17 % of Golkar vote 1992 in Sragen regency is caused failure elite local and the society don’t believe to elite local in face issue in national. Meanwhile, the result of Golkar election 1997 in Sragen regency get 12,43% of golkar vote because the hard efforts of elite local to win Golkar and problem in PDI. After new sociopolitical, Golkar election 1999 get defeated and PDI P reach victory. It doesn’t liberate of many elite local that move to other party.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Kalau kau tak sanggup menjadi beringin yang tegak di puncak bukit
Jadilah saja belukan
Tapi belukan terbaik yang tumbuh di tepi danau
Kalau kau tak sanggup menjadi belukan
Jadilah saja rumput
Tapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan
Tidak semua jadi kapten
Tentu harus ada awak kapalnya
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu, sebaik-baiknya dirimu sendiri
(Soe Hok Gie)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada: � Ayah dan Ibu tercinta yang selalu memberikan
doa dan semangat.
� Kakak-kakakku tersayang yang memberiku
semangat dan bantuan.
� LVS yang memberiku semangat dan bantuan
� Teman-teman Pendidikan Sejarah 2007 yang
selalu memberiku canda tawa, semoga
kekeluargaan dan persahabatan kita akan tetap
terjalin selamanya..
� Almamater
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya, skripsi dengan judul “Peran Elit Lokal Terhadap Kemenangan
Golkar Di Kabupaten Sragen Pemilu Tahun 1992 dan 1997” ini akhirnya dapat
diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan.
Pada kesempatan ini dengan penuh penghargaan dan keindahan hati yang
paling dalam, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang telah memberi ijin penelitian.
2. Ketua Jurusan P.IPS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberi ijin penelitian
3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan P.IPS, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang
telah memberi ijin penelitian
4. Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum, selaku pembimbing I yang telah memberikan
masukan dan pengarahan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan
5. Isawati S.Pd, selaku pembimbing II yang telah memberikan penjelasan
dengan sabar sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
6. Berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan dari Allah
SWT.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan, karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Penulis berharap
skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Surakarta, 12 Juli 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGAJUAN............................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
ABSTRACT .................................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO .................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 6
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 7
1. Konsep Elit Lokal .............................................................. 7
2. Demokrasi .................. ....................................................... 10
3. Pemilihan Umum ................ ............................................. 14
4. Partai Politik ................................................................ ...... 18
B. Kerangka Berpikir .................................................................... 23
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat Penelitian..................................................................... 25
B. Waktu Penelitian ...................................................................... 25
C. Metode Penelitian..................................................................... 26
D. Sumber Data ............................................................................. 27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
E. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 29
F. Teknik Analisis Data ................................................................ 30
G. Prosedur Penelitian................................................................... 31
BAB IV. HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi ..................................................................... 35
1. Kondisi Geografis ............................................................. 35
2. Kondisi Ekonomi ............................................................... 36
3. Kondisi Sosial Politik ......................................................... 38
B. Latar Belakang Berdirinya Golkar Di Kabupaten Sragen ....... 39
C. Peran Elit Lokal Terhadap Kemenangan Golkar Tahun 1992
Dan 1997 Di Kabupaten Sragen ............................................... 47
D. Pelaksanaan Pemilu Tahun 1992 Dan 1997 Di Kabupaten
Sragen ....................................................................................... 58
1. Pelaksanaan Pemilu Tahun 1992 Di Kabupaten Sragen ..... 58
2. Pelaksanaan Pemilu Tahun 1997 Di Kabupaten Sragen ..... 64
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 73
B. Implikasi ................................................................................... 75
C. Saran ......................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 77
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN HALAMAN
Lampiran 1. Peta Kabupaten Sragen ............................................................ 81
Lampiran 2 Sejarah dan Perkembangan Partai Golkar ................................ 82
Lampiran 3. Gambar proses pelaksanaan peilu tahun 1992-1997 di
Kabupaten Sragen ................................................................... 86
Lampiran 4 Catatan Penghitungan Suara Daerah Tingkat 11 .................... 90
Lampiran 5. Hasil Pemilihan Umum 1997 di Kabupaten Sragen ............... 93
Lampiran 6 Hasil Penghitungan Suara Parpol di Wilayah Sragen Tahun
1999 .......................................................................................... 94
Lampiran 7 Surat Rekomendasi Penelitian KPU Kabupaten Sragen ............. 96
Lampiran 8. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ............................... 97
Lampiran 9. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan ................................................................................ 98
Lampiran 10. Surat Permohonan Ijin Research .............................................. 99
Lampiran 11 Surat Rekomendasi Penelitian DPD Golkar Kabupaten
Sragen ....................................................................................... 100
Lampiran 12 Daftar Informan ........................................................................ 101
Lampiran 13 Hasil Wawancara ...................................................................... 102
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kaum elit mempunyai kekuasaan besar dalam suatu kelompok atau
masyarakat dan mampu memperoleh bagian terbesar dari suatu sistem kekuasaan.
Kaum elit adalah kelompok kekuasaan yang paling tinggi dalam suatu sistem
politik sehingga mampu menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuannya.
Kaum elit juga sering memegang peranan penting di beberapa negara
berkembang (Aidit Alwi dan Zainal AKSP, 1989:3).
Pada masa Orde Baru berkuasa kekuasaan hanya bergulir pada kelompok
elit tertentu. Keberadaan partai politik kurang berperan sebagai saluran aspirasi
dan kepentingan masyarakat, serta alat kontrol kekuasaan. Campur tangan elit
terhadap partai politik menyebabkan partai politik tidak dapat melakukan kontrol
atas pelaksanaan kekuasaan secara maksimal.
Kondisi masyarakat yang masih kental dengan budaya patronase juga
dianggap sebagai faktor untuk memperlancar kemenangan Golkar pada masa Orde
Baru. Hal tersebut seperti dikemukakan Max Weber dalam Yahya Muhaimin
(1980:21) bahwa birokrasi patrimonial ialah suatu sistem birokrasi yang jabatan
dan perilaku dalam keseluruhan hirarki birokrasi lebih didasarkan pada hubungan
familier, hubungan pribadi, dan hubungan bapak dan anak buah (patron client).
Selain itu, para pejabat pribumi atau elit lokal dalam konteks masa penjajahan
merupakan suatu kelas penguasa yang ditakuti dan dikagumi, tetapi di satu sisi
juga merupakan wakil-wakil bawahan dari kekuasaan asing (Heather Sutherland,
1983:25).
Elit lokal merupakan bagian dari perguliran kekuasaan sehingga sangat
mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat untuk masyarakat di tingkat lokal.
Oleh karena itu, peran elit lokal perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh
pada penyampaian pesan kepada masyarakat. Apabila penyampaian pesan tersebut
salah maka akan mengakibatkan persepsi yang salah juga pada masyarakat. Selain
itu, elit lokal sebagai bagian dari pemerintah harus memiliki hubungan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
harmonis dan dinamis dengan kelompok massa, karena dengan terwujudnya
hubungan yang harmonis dan dinamis maka dapat berjalan lancar sehingga proses
demokrasi dapat terwujud. Akan tetapi, kekuasaan elit masa Orde Baru digunakan
untuk mengatur kehidupan bersama dan dituangkan dalam berbagai peraturan
perundangan. Ada negara yang memandang keikutsertaan setiap manusia dalam
penggunaan kekuasaan untuk mengatur kehidupan bersama sebagai suatu hal
yang baik, tetapi ada juga yang memandang sebaliknya. Negara yang
memandangnya buruk lazim dikategorikan sebagai negara oligarki, sebaliknya
negara yang memandangnya baik dikategorikan sebagai negara demokrasi. Suatu
negara disebut negara demokrasi apabila melibatkan partisipasi warga negara
dalam mengambil keputusan yang akan mempengaruhi jalannya kehidupan
bersama. Partisipasi tersebut dapat berbentuk tuntutan dan dukungan maupun
kontrol atau pengawasan.
Proses demokrasi ditandai dengan adanya pemilu, partai politik dan wakil
rakyat. Pada hakikatnya pemilihan umum pada masa Orde Baru adalah sarana
yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan azas
yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Pemilihan umum pada dasarnya
adalah suatu lembaga demokrasi yang memilih anggota-anggota perwakilan
rakyat dalam MPR, DPR, dan DPRD yang bertugas untuk bersama-sama dengan
pemerintah menetapkan kebijakan politik dan menjalankan pemerintahan (Ali
Moertopo, 1974:61).
Pada saat pemerintah Orde Baru mengambil alih kepemimpinan nasional
dari tangan Soekarno, pemerintah menyadari arti penting penyelenggaraan pemilu
yang dijadikannya sebagai sebuah strategi agar kepentingan dirinya dan militer
secara umum dapat terakomodir dengan sempurna. Pemilu dijadikan mekanisme
kekuatan politik, baik berupa partai-partai politik, ormas, orsospol, maupun
kelompok penekan untuk dapat mengontrol atau sekurang-kurangnya
mempengaruhi tindakan-tindakan dan kebijakan pemerintah. Dengan kata lain,
kedudukan sistem pemilu merupakan alat untuk melegitimasi kekuasaan yang ada
sehingga diharapkan aspirasi suatu kelompok tersebut dapat diimplementasikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
dan pemilu menjadi awal sukses pemerintahan Orde Baru dalam upaya menata
sistem politik.
Penguasa Orde Baru menilai partai-partai politik pada tahun 1955-1965
sebagai sumber permasalahan kemerosotan kehidupan bangsa sehingga perlu
diatur agar mudah dikendalikan. Hal ini menyebabkan banyak dari partai politik
tidak diperbolehkan kembali tampil mengusung partainya, sedangkan di lain pihak
Presiden Soeharto telah memilih Sekretariat Besar (Sekber) Golkar untuk menjadi
alat legitimasi kekuasaannya di Indonesia
Dalam perkembangannya, Golkar menjadi sebuah kekuatan politik yang
luar biasa tangguh. Golkar yang menerapkan prinsip tiga jalur yakni ABRI,
Birokrasi, dan Golkar menjadi tulang punggung kekuatan politik Orde Baru.
Kiprah Golkar dalam kancah perpolitikan nasional tidak diragukan lagi. Hal ini
dibuktikan dengan kemenangan Golkar pada pemilu pertama tahun 1971 sejak
Orde Baru berkuasa. Sekber Golkar berhasil menunjukkan dominasi politiknya
atas partai-partai dengan meraup 62,8 persen suara (227 kursi), sementara NU
meraih 18 persen (58 kursi), dan PNI 6,93 persen suara (20 kursi). Berdasarkan
hasil pemilu pada tahun 1971 tersebut Sekber Golkar yang kemudian berubah
nama menjadi Golkar selalu memperoleh kemenangan disetiap pemilu selama
Orde Baru dengan perolehan suara mencapai lebih dari 50%, bahkan sering lebih
dari 60% dan 70%, termasuk di banyak daerah-daerah di Indonesia
(http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=41).
Kemenangan Golkar secara berturut-turut membuktikan bahwa partai
Golkar benar-benar memperoleh kekuasaan penuh dalam pemerintahan. Hal ini
bearti tujuan Golkar dalam berpolitik telah tercapai karena memperoleh kekuasaan
merupakan suatu tujuan dalam kehidupan politik. Disamping itu mempertahankan
kekuasaan merupakan suatu usaha untuk melanjutkan tujuan yang akan dicapai
(Arbi sanit, 2003:51).
Sejumlah penelitian tentang Golkar pada masa Orde Baru yang dilakukan
Nishihara (1972), Imam Pratignyo (1984) , dan Leo Suryadinata (1992) secara
umum menyatakan adanya suatu sistem dan mekanisme politik yang sengaja
dirancang oleh rezim Orde Baru dalam rangka memenangkan Golkar pada setiap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
pemilu. Sistem dan mekanisme inilah yang menjadikan Golkar mampu untuk
eksis dalam perpolitikan Indonesia sepanjang Orde Baru berkuasa.
Penelitian tentang demokrasi dan partai politik dilakukan Maurice
Duverger (1981). Penelitian ini membahas seputar partai politik dan kelompok-
kelompok organisasi berpengaruh yang berkecimpung dalam proses politik.
Sedangkan penelitian tentang pemilu masa Orde Baru dilakukan William Liddle
(1992) yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu sejak tahun 1971 masa
Orde Baru dikelola serta dikontrol sangat ketat oleh pemerintah.
Beberapa penelitian yang dilakukan tersebut sejalan dengan realita yang
terjadi, karena sejak pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 Golkar
terus menerus berhasil memperoleh kemenangan sebagai mayoritas tunggal.
Kemenangan Golkar dalam pemilu secara kontinyu ini dimungkinkan salah
satunya karena peran elit lokal setempat
Kemenangan Golkar yang dipengaruhi elit lokal setempat pada beberapa
pemilu memperlihatkan ketangguhan Golkar pada tingkat lokal bahkan tingkat
nasional selama Pemerintah Orde Baru. Fakta sejarah tersebut sangat menarik
untuk dikaji terutama peran elit lokal yang merupakan faktor terpenting
kemenangan Golkar di beberapa daerah pada masa Orde Baru, salah satunya
adalah Kabupaten Sragen. Di daerah Sragen berdasarkan data menunjukkan
bahwa mayoritas penduduk Kabupaten Sragen adalah pemeluk agama Islam, akan
tetapi menariknya, sepanjang Pemilu Orde Baru, Golkar mampu keluar sebagai
pemenang. Partai berbasis Islam tidak pernah mendapatkan suara mutlak di
daerah Sragen. Hal tersebut tidak terlepas dari peran elit lokal setempat.
Kajian perkembangan politik lokal cukup menarik dibahas karena selama
pemerintahan otoriter kekuatan politik di luar negara ditekan dan dimatikan. Peran
negara yang begitu kuat pada masa Orde Baru menyebabkan kelompok elit yang
memerintah leluasa memainkan perannya sebagai kelompok yang berpengaruh.
Adapun alasan penulis untuk mengkaji tentang Golkar dikarenakan sebelum
menjadi partai politik Golkar dikenal sebagai golongan kekaryaan yang sudah
enam kali memenangkan Pemilu di Indonesia dan berhasil menempatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
wakilnya dalam lembaga perwakilan rakyat sehingga Golkar dapat dikatakan
identik dengan Orde Baru.
Penulis menjadikan Kabupaten Sragen sebagai lokasi penelitian karena
Sragen merupakan daerah pedesaan yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian petani dan tidak berpendidikan tinggi. Sragen daerahnya dibagi
menjadi dua bagian yaitu daerah utara Bengawan yang terdiri dari perbukitan
yang tandus dan gersang. Secara ekonomi, penduduknya dalam kategori miskin.
Sedangkan daerah selatan Bengawan merupakan daerah pertanian yang subur dan
secara ekonomi lebih baik. Jadi tidak mengherankan apabila para elit lokal dengan
mudah mempengaruhi masyarakat untuk memilih Golkar. Selain itu, selama 30
tahun Orde Baru berkuasa, seluruh jalur pemerintahan sipil atau para elit lokal
mulai dari departemen turun melalui gubernur, bupati, camat, kepala desa, atau
lurah diindoktrinasi bahwa Pemilu berarti menusuk tanda gambar Pohon Beringin,
yakni tanda gambar Golkar.
Sebagai pembatasan masalah pada penulisan ini didasarkan atas perolehan
suara Golkar tahun 1992 dan 1997. Tahun 1992 dipilih dengan alasan bahwa pada
masa itulah kondisi pemerintah dalam keadaan stabil baik ekonomi maupun
politik, tetapi menariknya jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya
tahun 1992 Golkar di Kabupaten Sragen berhasil tampil sebagai pemenang
meskipun mengalami penurunan. Tahun 1997 dipilih sebagai batasan akhir karena
pada tahun ini pemilu terakhir saat Orde Baru masih berkuasa dan dilaksanakan
berdasarkan UU.No.2 Tahun 1985 yang diikuti tiga peserta pemilu yaitu PDI,
PPP, dan Golkar.
Tema ini menarik dan penting untuk diteliti untuk mengetahui sejauh
mana peran elit lokal dalam kemenangan Golkar di Kabupaten Sragen Tahun
1992-1997. Hal ini perlu diteliti karena sebenarnya Golkar sebagai partai politik
telah “dianakemaskan” oleh pemerintah dan proses pemilu sendiri bersifat
sentralisasi. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih
dalam tentang peran elit lokal dalam kemenangan Golkar di Kabupaten Sragen
pada pemilu 1992 dan 1997.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang berdirinya Golkar di Kabupaten Sragen?
2. Bagaimana peran elit lokal terhadap kemenangan Golkar di Kabupaten
Sragen pada pemilu 1992 dan 1997?
3. Bagaimana pelaksanaan pemilu tahun 1992 dan 1997 di Kabupaten
Sragen?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dari
penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Golkar di Kabupaten Sragen.
2. Untuk mengetahui peran elit lokal terhadap kemenangan Golkar di
Kabupaten Sragen pada pemilu 1992 dan 1997.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan pemilu tahun 1992 dan 1997 di Kabupaten
Sragen.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam
rangka pengembangan ilmu sejarah.
b. Dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang sejarah politik lokal
khususnya tentang peran elit lokal terhadap kemenangan Golkar di
Kabupaten Sragen tahun 1992-1997.
2. Manfaat Praktis
Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana
kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Elit Lokal
Pengertian elit memiliki cakupan yang cukup luas dan dapat dilihat dari
berbagai perspektif. Istilah elit juga dikupas dalam sosiologi, dimana elit
menunjukkan suatu kelompok yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
pemerintahan, politik, ekonomi, dan agama. Orang Indonesia sejak tahun 1900
mengakui adanya dua tingkatan di dalam masyarakat yaitu rakyat jelata dan
priyayi. Administrasi, pegawai pemerintahan, dan orang-orang Indonesia yang
berpendidikan dianggap sebagai elit atau priyayi. Jadi yang disebut elit adalah
orang yang mempunyai stratifikasi di atas rakyat jelata dan mempunyai
kedudukan, memimpin, memberi pengaruh, menuntun, dan mengatur masyarakat
Indonesia (Robert Van Neil, 1984:30).
Ketika dilekatkan pada otoritas dan kekuasaan, maka elit mempunyai dua
tipe, yaitu elit yang memerintah secara formal dan elit yang tidak memerintah
secara formal. Selain itu, kata elit juga diartikan sebagai orang-orang yang
menentukan dalam pemerintahan. Pada abad ke-17 elit menunjukkan pada
kelompok-kelompok sosial yang unggul, misalnya unit-unit militer atau tingkatan
bangsawan (M Alfan Alfian, blog: alfanalfian.multiply.com). Jika dalam karya-
karya klasik golongan elit dipusatkan pada suatu kelompok yang mempunyai
pengaruh besar atau kekuasaan politik yang besar, maka dalam masyarakat Cina
istilah shen-shih atau elit menggambarkan sekelompok manusia yang memiliki
posisi dan fungsi tertentu di dalam masyarakat tradisional Cina
(Sartono kartodirjo, 1983:114).
Menurut Haryanto (2005:74) bahwa di setiap lingkungan masyarakat
terdapat peran dan pengaruh. Peran dan pengaruh tersebut harus digunakan secara
optimal oleh orang-orang yang memiliki keunggulan. Pada kenyataannya orang
yang memiliki keunggulan hanya berjumlah sedikit dari anggota masyarakat yang
lainnya. Orang yang berjumlah sedikit itulah yang disebut dengan elit. Sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
dengan batasan tersebut, Mosca dan Pareto dalam Haryanto (2005:74)
mengemukakan bahwa di setiap masyarakat baik masyarakat tradisional maupun
modern, pasti dapat diketemukan sekelompok kecil (minoritas) individu yang
memerintah anggota masyarakat lainnya. Elit muncul ketika terjadi ketimpangan
distribusi sumber daya kekuasaan. Kelompok yang berkuasa dinamakan elit
sedangkan yang dikuasai disebut massa.
Menurut Sartono Kartodirjo (1983:75) kaum elit terbentuk karena
beberapa hal antara lain karena profesi dan dunia usaha. Profesi ialah kelompok
profesional. Kaum elit yang termasuk kelompok profesional yaitu kaum
intelektual. Pada umumnya kaum intelektual dihargai menurut fungsinya dalam
masyarakat bukan berdasarkan kelas asalnya yang berbeda-beda, sedangkan dunia
usaha adalah beberapa diantara kaum industrialis yang berhasil dalam usahanya
itu bergaul dengan akrabnya dengan kaum bangsawan terutama pengusaha.
Menurut Suzanne Keller dalam Sartono Kartodirjo (1983:76-85) elit mencakup
elit industri, elit ilmu pengetahuan, elit birokrasi, elit agama, dan elit militer.
Pada abad pertengahan muncul golongan elit baru yaitu produk dari
perubahan revolusioner yang jauh lebih besar terdiri dari kaum intelektual dan
militer yang terdidik secara barat. Para cendekiawan merupakan kaum elit yang
sangat penting di negara berkembang karena kaum cendekiawan banyak
memberikan ide dan dorongan politik (Aidit Alwi dan Zainal AKSP, 1989:3).
Kaum ulama merupakan suatu bagian yang sangat berpengaruh dalam
masyarakat Islam abad pertengahan. Kaum ulama mempunyai kedudukan yang
tinggi karena pengetahuan keagamaanya yang luas. Kaum ulama bahkan dianggap
sebagai pengganti dan kadang-kadang disamakan dengan nabi-nabi (Sartono
Kartodirjo, 1983:129).
Robert H Lauer (2003:346) berpendapat bahwa dalam masyarakat
demokrasi terdapat bermacam-macam elit. Elit tersebut adalah elit politik,
organisatoris, intelektual, seniman, dan elit agama. Para penganut teori
modernisasi mengatakan elit sangat penting peranannya dalam perkembangan
masyarakat dan selalu mendorong perubahan di dalam masyarakat yang sedang
membangun. Sedikitnya ada 6 peranan penting bagi pembangunan yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
(1) administrator, (2) agitator, (3) pemersatu, (4) penyebar, (5) propaganda
ideologi, dan (6) broker politik.
Kaum elit mempunyai kekuasaan besar dalam suatu kelompok atau
masyarakat dan mampu memperoleh bagian terbesar dari suatu sistem kekuasaan.
Kaum elit adalah kelompok kekuasaan yang paling tinggi dalam suatu sistem
politik sehingga mampu menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuannya.
Kaum elit juga sering memegang peranan penting di beberapa negara
berkembang (Aidit Alwi dan Zainal AKSP, 1989:3). Sedangkan menurut Heather
Sutherland (1983:25) para pejabat pribumi atau elit lokal masa penjajahan
merupakan suatu kelas penguasa yang ditakuti dan dikagumi, tetapi mereka itu
merupakan wakil-wakil bawahan dari kekuasaan asing.
Menurut Yusron (2009:65) elit lokal adalah orang-orang yang dinilai oleh
masyarakat memiliki kecakapan atau kemampuan intelektual, memiliki
kemampuan ekonomi dan kepemimpinan agama dan budaya. Jadi secara
sederhana dapat disimpulkan bahwa elit lokal adalah kelompok kecil yang
biasanya oleh masyarakat tergolong disegani, dihormati, kaya, dan berkuasa.
Kemampuan elit lokal dalam mempengaruhi masyarakat dikarenakan oleh
beberapa hal, diantaranya kekuasaan informal yang diakui dan dihormati oleh
masyarakat. Elit juga menjadi panutan dan teladan bagi masyarakat sehingga elit
adalah sebuah simbol yang selalu dihormati dan dipatuhi. Peran elit tersebut
antara lain:
a. Peran dalam sosialisasi
Pemilu merupakan bentuk demokrasi maka sangat penting pemahaman
masyarakat terhadap sistem politik serta bagaimana masyarakat terlibat dan
memainkan peran didalamnya sehingga Golkar dipromosikan dan mendorong
agar masyarakat memilih Golkar.
b. Peran dalam partisipasi
Partisipasi pada level individu merupakan keterlibatan atau keikutsertaan
individu dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Peranan elit sebagai salah satu
aktor dalam masyarakat. Keterkaitan antara aspek kognitif, afektif dan tindakan
atau keterlibatan merupakan rangkaian dari proses partisipasi. Elit politik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
berdasarkan aspek kognitif memiliki seperangkat pengetahuan yang lebih
dibandingkan dengan masyarakat lainnya, sehingga akan berakibat pada tingginya
keterlibatan elit dalam sisi afektif meliputi kehadiran (fisik), keaktifannya, peran,
dan sumbangan dalam kegiatan-kegiatan publik.
c. Peran dalam kontrol sosial
Sosial kontrol merupakan segala proses yang direncanakan maupun tidak
direncanakan yang bersifat mengajak atau bahkan memaksa warga-warga
masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku.
(http://www.jppr.or.id/content/view/1202/08)
Dari pendapat yang dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa elit meliputi
semua pemegang kekuasaan dalam suatu bangunan politik (body politic). Dalam
masyarakat terdapat dua kategori elit, yaitu elit yang memerintah atau berkuasa
dan elit yang tidak memerintah yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan
kekuasaan. Elit lokal merupakan orang perorangan atau aliansi dari orang yang
dinilai pintar dan mempunyai pengaruh di dalam masyarakat, misalnya para tokoh
masyarakat, pemuka agama, dan orang-orang yang mempunyai kemampuan
finansial yang relatif tinggi dibanding masyarakat umum.
2. Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, ”demos” yang berarti rakyat
dan”kratos/kratein” yang berarti kekuasaan/berkuasa. Jadi demokrasi berarti
rakyat berkuasa atau government or rule by the people
(Miriam Budiarjo, 2008: 105).
Konsep demokrasi ditumbuhkan pertama kali dalam praktek negara kota
Yunani dan Athena (450 SM – 350 SM). Pada tahun 431 SM, Pericles, seorang
negarawan terkenal dan ternama dari Athena mendefinisikan demokrasi dengan
mengemukakan beberapa kriteria yaitu: (1) pemerintahan oleh rakyat dengan
partisipasi rakyat yang penuh dan langsung; (2) kesamaan di depan hukum;
(3) pluralisme yaitu penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan dan
pandangan; dan (4) penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi
untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Pada jaman yang sama, terdapat sejumlah tokoh pemikir yang menjadi
peletak dasar bagi pengertian demokrasi. Diantara tokoh tersebut adalah Plato,
Aristoteles, Polybius, dan Cicero. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah
demokrasi mengalami pertumbuhan dinamis dan pergeseran ke arah yang modern
pada masa renaissance. Masa ini ditandai dengan munculnya pemikiran-
pemikiran besar tentang hubungan antara penguasa atau negara dengan rakyat.
Diantaranya adalah pemikiran baru yang mengejutkan tentang kekuasaan dari
Niccolo Machiavelli (1469-1527), serta pemikiran tentang kontrak sosial dan
pembagian kekuasaan dari Thomas Hobbes (15881679), John Locke (1632-1704),
Montesqieu (1689-1755), dan J.J Rousseau (1712-1778). Pemikiran-pemikiran
besar ini telah memberikan andil pada pematangan konsepsi demokrasi yang
masih bertahan kekuataannya sampai saat ini.
Negara Yunani telah banyak memberikan andil besar bagi perkembangan
demokrasi, yaitu pelaksanaan demokrasi yang bersifat langsung (direct
democracy) artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik
dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan
prosedur mayoritas. Sifat langsung ini dapat dilaksanakan secara efektif karena
negara kota (City State) Yunani Kuno berlangsung dalam kondisi sederhana
dengan wilayah negara yang hanya terbatas pada sebuah kota dan daerah
sekitarnya dan dengan jumlah penduduk yang hanya lebih kurang 300.000 orang
dalam satu negara. Lebih dari itu ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku
untuk warga negara yang resmi yang merupakan sebagian kecil dari seluruh
penduduk. Sebagian besar yang terdiri dari budak belian, pedagang asing,
perempuan, dan anak-anak tidak dapat menikmati hak demokrasi
(Miriam Budiardjo, 1980:209).
Demokrasi adalah dasar hidup bernegara, memberi pengertian bahwa pada
tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok
mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara karena
kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat (Deliar Noer, 1983: 207).
Menurut Maurice Duverger dalam Kontjoro Poerbopranoto (1978:6) demokrasi
adalah cara memerintah golongan yang memerintah dan golongan yang diperintah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
adalah sama dan tidak terpisah-pisah. Pengertian demokrasi tersebut mengandung
arti bahwa suatu sistem pemerintahan negara, yang semua orang berhak sama
untuk memerintah dan juga untuk diperintah.
Lyman Tower Sargent (1987:29-50) mengungkapkan bahwa syarat
demokrasi adanya keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan, adanya
persamaan hak diantara warga negara, adanya kebebasan dan kemerdekaan yang
diberikan pada atau dipertahankan dan dimiliki oleh warga negara, adanya sistem
perwakilan efektif, dan sistem pemilihan yang menjamin dihormatinya prinsip
ketentuan mayoritas. Sedangkan demokrasi menurut Tri Yunianto (2010:3)
demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, atau setidak-tidaknya diikutsertakan
dalam pengambilan keputusan mengenai masalah-masalah penyelenggaraan
pemerintahan.
Demokrasi yang lebih menyeluruh dikemukakan oleh Gwendolen M.
Carter, John H. Herz, dan Henry B. Mayo yaitu demokrasi sebagai pemerintahan
yang dicirikan oleh berjalannya prinsip-prinsip berikut:
a. Pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan
perlindungan bagi individu dan kelompok dengan jalan menyusun
pergantian pimpinan secara berkala, tertib dan damai, dan melalui alat-alat
perwakilan rakyat yang efektif.
b. Adanya sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan.
c. Persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk
terhadap rule of law tanpa membedakan kedudukan politik.
d. Pemilihan yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan yang
efektif.
e. Diberinya kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik,
organisasi kemasyarakatan, masyarakat, dan perseorangan, serta prasarana
pendapat umum semacam pers dan media masa.
f. Adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan
pandangannya meskipun kelihatan salah dan tidak populernya pandangan
itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
g. Dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perseorangan
dengan lebih menggunakan cara-cara persuasi dan diskusi daripada koersi
dan represi (Miriam Budiardjo, 1982:86-87).
Ada beberapa alasan bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang terbaik
sampai saat ini.
a. Karena manusia merupakan makhluk yang bebas dan kreatif. Eksistensi
kebebasan ini dapat benar-benar bermakna jika kebebasan tersebut diakui
dan dihargai oleh manusia lainnya. Sifat manusia yang bebas dan kreatif
adalah alamiah, dan hal ini telah diperjuangkan dalam sejarah
kemanusiaan. Terdapat suatu dilema bahwa kebebasan satu orang akan
menghalangi kebebasan orang lain karena ada kecenderungan manusia di
dalam merealisasikan kebebasannya justru cenderung berupaya
menghalangi kebebasan orang lain. Oleh karena itu, diperlukan suatu
aturan agar kebebasan dapat terealisasi secara penuh namun tidak
menghalangi kebebasan orang lain.
b. Masing-masing manusia adalah berbeda atau plural. Perbedaan tersebut
antara lain meliputi perbedaan kelas sosial, sejarah, karakter, etnis,
budaya, kepentingan politik, agama dan keyakinan, serta nilai-nilai yang
menjadi acuan dalam motivasi hidupnya. Perbedaan tersebut membuat
antara manusia satu dengan yang lain menjadi terpisah, sehingga terdapat
kecenderungan orang-orang yang memiliki kesamaan akan berkumpul,
bersatu, dan mengedepankan kepentingan kelompoknya. Tentunya hal ini
jika tidak diatur justru akan menimbulkan konflik, dan satu-satunya sistem
yang dianggap adil oleh setiap kelompok yang berbeda adalah demokrasi.
c. Kekuasaan politik, diperlukan persamaan kesempatan dalam mengambil
keputusan bagi seluruh orang untuk terlibat didalamnya. Dalam setiap
sistem masyarakat selalu ada pihak minoritas yang memerintah yang
disebut dengan elit dan pihak mayoritas yang diperintah yang biasa disebut
dengan rakyat, warga, masyarakat, atau massa.
Dengan demikian diperlukan mekanisme kontrol agar kekuasaan elit tidak
disalahgunakan sehingga tidak merugikan pihak mayoritas yang diperintah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Sistem demokrasi lebih baik daripada sistem lainnya yaitu: (1) dapat mencegah
tumbuhnya pemerintahan otokrat yang kejam dan licik; (2) menjamin hak asasi
manusia; (3) menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas dari rakyatnya; (4)
membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasarnya; (5) memberikan
kesempatan yang sebesar-besarnya bagi rakyat untuk menggunakan kebebasan
menentukan nasibnya sendiri, yaitu hidup dibawah hukum yang mereka pilih
sendiri; (6) dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan
tanggungjawab moral; (7) membantu perkembangan kapasitas manusia lebih
besar dari sistem yang lain; (8) demokrasi menjamin perkembangan tingkat
persamaan politik yang lebih tinggi; (9) terdapat kecenderungan bahwa antar
sesama negara demokratis tidak saling berperang; (10) negara yang demokratis
cenderung lebih makmur daripada sistem-sistem pemerintahan yang lain.
Menurut cara penyaluran kehendak rakyat, dikenal dua bentuk demokrasi
yang mengacu pada bentuk melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan
yaitu, demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Demokrasi langsung
merupakan paham demokrasi yang mengikutsertakan setiap warga negaranya
dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijakan umum negara atau undang-
undang. Dalam demokrasi langsung, rakyat ikut serta secara pribadi di dalam
tindakan-tindakan sengaja dan memberikan suara atas masalah-masalah. Seluruh
rakyat ikut serta membahas dan mengesahkan semua undang-undang. Sedangkan
yang dimaksud dengan demokrasi tidak langsung adalah paham demokrasi yang
dilaksanakan melalui sistem perwakilan. Rakyat memilih warga lainnya untuk
membahas undang-undang. Penerapan demokrasi tidak langsung berkaitan dengan
kenyataan suatu negara yang jumlah penduduknya semakin banyak, wilayahnya
semakin luas, dan permasalahan yang dihadapinya semakin rumit dan kompleks.
Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan biasanya dilaksanakan
melalui pemilihan umum.
3. Pemilihan Umum
Dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi, pemilihan umum
menjadi sebuah kata kunci. Pemilu bukan satu-satunya cara melaksanakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
demokrasi, tetapi merupakan salah satu sarana utama untuk menegakkan tatanan
politik yang demokratis dan berfungsi sebagai alat menyehatkan dan
menyempurnakan demokrasi. Pengertian sederhana dari kegiatan pemilihan
umum adalah untuk memilih pemimpin rakyat atau pemimpin negara. Sedangkan
pemilihan umum juga dimaknai sebagai upaya untuk memilih wakil rakyat yang
nantinya para wakil rakyat tersebut akan memilih pemimpin negara. Makna kedua
inilah yang menjadi tujuan dari pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia
Menurut Ramlan Subekti (2000: 43-45), jika berbicara mengenai sistem
pemilu maka minimal ada empat aspek yang pasti akan secara signifikan
berpengaruh didalamnya yakni lingkup daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap
daerah pemilihan (district magnitude), formula yang digunakan untuk menentukan
pihak pemenang kursi tersebut (electoral formulae), metode pemberian suara
(balloting) dalam arti memilih partai atau kandidat dan secara kategori, dan
persyaratan peserta dan mekanisme seleksi calon. Keempat aspek tersebut,
kemudian akan terformulasi menjadi sebuah pola tertentu yang disebut sistem.
Pemilihan umum pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan
daripada hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak
tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, berdasarkan
Pancasila dalam negara Republik Indonesia, bertujuan untuk memilih wakil-wakil
rakyat yang akan duduk di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Sementara menurut
Sukarna (1981:83) Pemilihan umum merupakan suatu alat atau cara untuk
memperoleh wakil-wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat
dan bertanggung jawab atas berhasilnya pemerintah. Menurut Ali Moertopo
(1974:124-137) pada hakikatnya pemilihan umum merupakan sarana yang
tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan asas yang
tercantum dalam UUD 1945.
Menurut teori demokrasi klasik, pemilihan umum merupakan suatu
“ transmission belts of power” sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat
beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma dalam bentuk
wewenang-wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Dengan demikian, pemilihan umum dan perwakilan rakyat yang terpilih
merupakan sarana penghubung antara infrastruktur politik atau kehidupan di
lingkungan masyarakat dengan suprastruktur politik atau kehidupan politik
lingkungan pemerintah. Melalui kedua lembaga ini rakyat dapat memasuki
kehidupan politik di lingkungan pemerintahan sehingga dapat dimungkinkan
terciptanya pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan pemerintahan untuk rakyat
Indonesia (Miriam Budiardjo, 2008 :86).
Melalui pemilihan umum akan mampu mewujudkan nilai demokrasi yang
sebenarnya, karena didasarkan atas berbagai alasan yaitu
a. Pemilihan umum adalah peristiwa perhelatan rakyat paling akbar yang
hanya terjadi pada kurun waktu tertentu. Alasan kedua,
b. Melalui pemilihan umum secara langsung tanpa terkecuali benar-benar
menunjukkan eksistensinya sebagai pemegang kedaulatan dalam negara.
Vox Populi Vox Dei, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, sehingga
sebuah pemerintahan dari suatu negara haruslah memperhatikan
kepentingan dan aspirasi dari rakyatnya yang pada hakikatnya adalah suara
Tuhan sebagai pemegang tertinggi dalam suatu negara. (Miriam
Budiardjo, 1982:86-87).
Menurut M. Rusli Karim (1991:24) pemilihan umum adalah sarana
demokrasi untuk membentuk suatu sistem kekuasaan negara yang pada dasarnya
lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara
yang benar-benar memancarkan ke bawah sebagai suatu kewibawaan sesuai
dengan keinginan rakyat oleh rakyat, menurut sistem permusyawaratan
perwakilan. Sedangkan menurut Soeharto dalam M. Rusli Karim (1991: 99-105)
pemilihan umum adalah ukuran, barometer kemampuan suatu bangsa yang tinggi
asas demokrasi dalam menyalurkan aspirasi rakyat secara demokratis dan realistis.
Pemilu menjadi ukuran sampai dimana pelaksanaan asas demokrasi itu sendiri.
Pemilihan umum merupakan alat bukan tujuan, manfaat dan tujuannya adalah
menciptakan stabilitas politik dan melaksanakan salah satu wujud demokrasi yang
sehat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Menurut Sigit Pamungkas (2009:5) ada tiga alasan pemilu menjadi sarana
legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa yaitu
a. Melalui pemilu pemerintah dapat menyakinkan atau memperbarui
kesepakatan-kesepatan politik dengan rakyat.
b. Sirkulasi dan penguatan elit. Pemilu merupakan sarana dan jalur langsung
untuk mencapai posisi elit penguasa. Pintu masuk bagi terjadinya sirkulasi
dalam pemilu melalui tahap seleksi kandidat. Seleksi kandidat dapat
menjadi dasar untuk melihat adanya sirkulasi elit, yaitu individu-individu
elit berputar diantara elit dan non elit atau mengacu pada proses elit satu
digantikan oleh elit yang lain.
c. Adanya perwakilan, pemilu merupakan saluran yang menghubungkan
publik ke pemerintah. Fungsi ini menjadi kebutuhan rakyat baik dalam
rangka mengevaluasi maupun mengontrol perilaku pemerintah dan
program serta kebijakan yang dihasilkan pemerintah. Melalui pemilu
rakyat dapat memilih wakil-wakil yang akan menduduki jabatan-jabatan
pemerintahan yang dipilih. Wakil-wakil tersebut menjadi penyambung
kepentingan rakyat atas berbagai persoalan yang dihadapi rakyat. Selain
itu pemilu juga menjadi sarana pendidikan politik. Pemilu merupakan
salah satu bentuk pendidikan politik rakyat yang bersifat langsung,
terbuka, dan massal yang diharapkan dapat mencerdaskan pemahaman
politik dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai demokrasi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan umum
merupakan sarana atau alat yang tersedia bagi rakyat untuk memilih calon wakil-
wakil rakyat yang akan duduk dalam badan perwakilan rakyat, yang akan
memperjuangkan kepentingan rakyat dan akan bersama-sama dengan pemerintah
menetapkan politik dan jalannya pemerintahan. Keikutsertaan rakyat dalam
pemilihan umum dapat dipandang sebagai wujud partisipasi rakyat dalam
menentukan arah negara tersebut, sehingga dalam sebuah negara yang menganut
paham demokrasi, pemilihan umum adalah sebuah hal yang perlu dan mutlak
untuk dilaksanakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
4. Partai Politik
Dalam suatu negara demokrasi, rakyat berhak untuk mengeluarkan
pendapatnya, berhak menyatakan keinginannya dan cita-citanya tentang
kenegaraan selaras dengan dasar negara yang bersangkutan, akan tetapi pada
umumnya rakyat mempunyai pendirian yang berbeda-beda. Pendapat dan
pendirian yang berbeda itu menimbulkan berbagai aliran politik dalam
masyarakat. Meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu
diperlihatkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik lahir
dan berkembang sebagai manifestasi dari suatu sistem politik yang sudah modern
(Miriam Budiarjo, 2008: 280). Setiap partai politik menganut aliran tertentu, yang
berbeda dari partai politik lain. Melalui partai politik, pendapat dan keinginan
rakyat dapat dikemukakan bahwa dapat pula menjadi kenyataan dalam
pemerintahan negara, apabila suatu partai mendapat kepercayaan rakyat untuk
memegang pemerintahan (C.S.T. Kansil, 1979 : 17).
Partai politik menurut Sukarna (1981: 89) yang dikutip dari Carl. J
Frederich
Partai politik ialah sekelompok manusia yang terorganisir secara mapan dengan tujuan untuk menjamin dan mempertahankan pemimpin-pemimpinnya, tetap mengendalikan pemerintahan dan lebih jauh lagi memberikan keuntungan-keuntungan terhadap anggota-anggota partai baik keuntungan yang bersifat materiil maupun yang bersifat spiritual.
Melalui rumusan-rumusan di atas jelaslah bahwa tujuan partai politik
adalah menguasai negara atau pemerintahan baik secara parlementer maupun
ekstra parlementer. Hal tersebut juga dapat diartikan secara konstitusional dengan
ikut dalam pemilihan umum dan inkonstitusional dengan cara revolusi atau coup
d’etat.
Menurut R.H Soltou yang dikutip oleh Miriam Budiarjo (1982:161)
menyatakan bahwa :
Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik yang dengan memanfaatkan kekuasaan untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Dari definisi tersebut, tujuan partai politik adalah melaksanakan
kebijaksanaan unit politik untuk dapat merebut kekuasaan, juga mencirikan partai
politik dengan tujuan untuk merebut atau memberikan pemanfaatan para anggota
partainya setelah tujuan tersebut tercapai.
Miriam Budiarjo (2008: 403) berpendapat bahwa partai politik merupakan
suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik
dan merebut kedudukan politik untuk dapat melaksanakan programnya.
Menurut Carl J. Fredrich yang dikutip oleh Miriam Budiarjo (2008: 404)
partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan
tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota
berdasarkan partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.
Menurut R.Wiyono (1982: 1) partai politik adalah sekolompok orang yang
terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar dapat
melaksanakan program-programnya dan menempatkan anggota-anggotanya dalam
jabatan pemerintahan.
Menurut Inu Kencana S (2003:104) partai politik adalah sekelompok
orang-orang yang memiliki ideologi sama, berniat merebut dan mempertahankan
kekuasaan dengan tujuan untuk memperjuangkan kebenaran dalam negara. Partai
politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan.
Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa partai politik terdapat dalam
suatu masyarakat atau yang menganut paham demokrasi. Hal ini dapat
ditunjukkan dengan adanya kelompok lainnya yang terdapat dalam masyarakat
yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda untuk memperoleh dukungan
dari rakyat. Sedangkan kesempatan untuk bersaing diantara partai politik dengan
kelompok-kelompok yang lainnya tersebut hanya dapat dijumpai di negara yang
mempunyai corak demokrasi. Selain itu juga dapat ditarik kesimpulan bahwa
partai politik adalah sekelompok warga negara yang terorganisir, anggota-
anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
bertujuan untuk menguasai atau mempertahankan kekuasaan politik dalam
pemerintah, baik melalui cara-cara yang konstitusional maupun inkonstitusional.
Sedangkan menurut Nishihara (1971:05) partai politik khususnya partai Golkar
ialah partai yang didukung oleh sistem dan mekanisme politik yang dirancang
oleh pemerintah, dimana militer menjadi bagian dari sistem dan mekanisme
politik tersebut dan bagian dari strategi partai.
Partai politik merupakan alat utama dan alat yang dinamis
dalam pemerintahan. Partai diartikan sebagai organisasi manusia yang
menjadi penghubung antara rakyat dan badan-badan pemerintah, yang
pada akhirnya melaksanakan atau mengontrol pelaksanaan kehendak
rakyat sebagaimana diwujudkan dalm hukum dan kebijakan (S. Pamudji, 1983:
20).
Menurut Miriam Budiarjo (2008: 405), partai politik mempunyai beberapa
fungsi yaitu :
a. Partai politik sebagai komunikasi politik.
Salah satu tugas partai politik adalah menyalurkan pendapat aspirasi
masyarakat dan mengaturnya sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam
masyarakat berkurang. Dalam masyarakat modern pendapat dan aspirasi
seseorang atau suatu kelompok akan hilang apabila tidak ditampung dan digabung
dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang sama. Proses ini dinamakan
”penggabungan kepentingan”. Setelah digabung kemudian diolah dan dirumuskan
dalam bentuk ”perumusan kepentingan”. Partai politik selanjutnya merumuskan
sebagai usul kebijaksanaan yang dimasukkan dalam program partai yang
dijadikan kebijakan umum.
b. Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik.
Sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui nama seseorang
memperoleh sikap orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku
dalam masyarakat. Sosialisasi politik juga mencakup proses menyampaikan
norma-norma dan nilai nilai-nilai dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam usaha memperoleh dukungan yang luas, partai menciptakan ” image”
bahwa dapat memperjuangkan kepentingan umum. Selain menanamkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
solidaritas dengan partai, partai politik juga mendidik anggota-anggotanya
menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawab sebagai warga negara dan
menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional.
c. Partai politik sebagai sarana rekruitment politik.
Partai politik berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat
untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political
recruitment), yang berarti ikut memperluas partisipasi politik, melalui kontak
pribadi, persuasi dan juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk di
didik menjadi kader untuk mengganti pemimpin lama (selection of leadershi
leadership).
d. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
Dalam negara demokrasi, pertentangan, persaingan dan perbedaan pendapat
yang terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang biasa dan jika sampai terjadi
konflik, partai politik berusaha untuk mengatasinya. Dalam keadaan seperti itu,
partai politik mempunyai posisi strategis untuk mengatur perbedaan pendapat,
persaingan bahkan konflik-konflik tersebut.
Menurut Maurice Duverger (1981:21-37) sistem partai diklasifikasikan
menjadi 3 yaitu :
a. Sistem Partai Tunggal.
Partai tunggal merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara, maupun
partai yang mempunyai kedudukan yang dominan di antara partai lainnya.
Suasana kepartaian sering bersifat non kompetitif, oleh karena partai-partai yang
ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan yang tidak dibenarkan
secara bebas melawan partai yang dominan tersebut. Dalam suatu partai tunggal,
ideologi dan kepentingan partai dalam negara berbeda antara satu dengan yang
lain. Hal ini dipengaruhi oleh struktur internal negara, orientasi politik, dan
tingkat pengembangan ekonomi. Sistem partai tunggal dapat mengarahkan pada
perkembangan sosial dan ekonomi yang cepat.
b. Sistem Dwi Partai.
Sistem dwi partai diartikan adanya dua partai atau lebih, sedangkan partai
lainnya merupakan partai minoritas yang peranannya kecil. Dalam partai ini ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
partai yang berkuasa, yaitu partai yang menang dalam pemilu dan partai yang
kalah sebagai pengecam utama tetapi setia ( loyal opposition opposition) terhadap
kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan dengan pengertian bahwa
sewaktu-waktu kedua partai itu dapat bertukar tangan.
c. Sistem Multi Partai.
Sistem ini sering disebut dengan sistem banyak partai. Negara yang
menganut banyak partai biasanya terjadi pada masyarakat yang mempunyai
keanekaragaman atau kemajemukan. Sifat kemajemukan yang terdapat pada suatu
masyarakat terdiri dari ras, agama, lapisan sosial, dan sebagainya. Hal ini
menimbulkan suatu ikatan primordial yang kuat. Primodialisme tersebut akan
memunculkan organisasi-organisasi sosial politik yang berdasar pada primordial.
Sistem multi partai digunakan dalam sistem kepartaian di Indonesia.
Menurut Rusadi Kantaprawira (1997:84) sistem multi partai mendapatkan
landasan formal berdasarkan maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945
yang berisi anjuran pembentukan partai-partai politik, sehingga melalui partai
politik diharapkan segala aspirasi yang hidup dalam masyarakat dapat tersalur
dengan baik.
Pola multi partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan
berimbang atau Proportional Representatif yang memberi kesempatan luas
bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-golongan kecil. Melalui
sistem perwakilan berimbang partai-partai kecil dapat menarik
keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya di suatu
daerah pemilihan dapat ditarik ke daerah pemilihan lain untuk menggenapkan
jumlah suara yang diperlukan guna memenangkan satu kursi.
Dalam hal ini Golkar masa Orde Baru bukan berbentuk partai politik
tetapi merupakan suatu kelompok organisasi massa yang merupakan pilar utama
penyangga Orde Baru. Berdasarkan syarat dan ketentuan sebagai partai politik
sebenarnya Golkar dapat dikategorikan sebagai partai politik akan tetapi untuk
melegitimasi kekuasaan maka Golkar dijadikan alat yang dinamis dalam
pemerintahan, Golkar sebagai organisasi yang menjadi penghubung antara rakyat
dan badan-badan pemerintah, yang pada akhirnya melaksanakan atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
mengontrol pelaksanaan kehendak rakyat sebagaimana diwujudkan dalam
kebijakan pemerintah. Pada masa Orde Baru, Golkar berhasil membangun
kelembagaan politik yang kuat, Golkar menjadi kendaraan politik yang
efektif bagi rezim Orde. Ketika reformasi untuk terus berperan dalam
politik nasional, Golkar melakukan langkah strategis dengan menjadikan Golkar
sebagai Partai politik.
B. Kerangka Berpikir
Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu Peran Elit Lokal Terhadap
Kemenangan Golkar di Kabupaten Sragen Tahun 1992-1997, maka dapat disusun
kerangka pemikiran sebagai berikut:
Kerangka Berpikir:
Bagan 1. Kerangka Berfikir
Pelaksanaan Sistem Demokrasi di Indonesia
Pelaksanaan Pemilu
di Indonesia
Elit Lokal
Kemenangan Golkar di Kabupaten Sragen
Golkar
Organisasi Peserta Pemilu
(OPP)
Partai Politik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Keterangan
Pemerintahan di Indonesia menganut sistem demokrasi. Hakikat
demokrasi adalah kekuasaan rakyat, sedangkan pemilu (pemilihan umum)
merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang berdasarkan Pancasila
dalam Negara Republik Indonesia. Tujuan pemilu adalah untuk memilih wakil-
wakil rakyat yang membawa isi hati nurani rakyat, dengan kata lain pemilu
merupakan sarana untuk melaksanakan demokrasi dan merupakan sarana untuk
melaksanakan demokrasi dan merupakan perwujudan nyata keikutsertaan rakyat
dalam kehidupan negara. Pemilu merupakan satu-satunya cara mewadahi
keikutsertaan rakyat dalam berpartisipasi di bidang politik melalui partai politik.
Dengan pemilu demokrasi dapat ditegakkan, sehingga harus ada partai politik
yang dapat berkompetisi.
Partai politik merupakan organisasi yang terdiri dari sekelompok orang
yang mempunyai cita-cita, tujuan, dan orientasi yang sama. Di Indonesia Pada
pemilu tahun 1992 dan 1997 ada tiga organisasi peserta pemilu yang berpartisipasi
dalam pemilu. Ketiga peserta itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kedua partai
politik dan Golkar ini saling berjuang untuk memenangkan pemilu. Begitu juga
dengan Golkar sebagai salah satu peserta pemilu.
Kaum elit yang memerintah atau berkuasa maupun elit yang tidak
memerintah merupakan orang perorangan atau aliansi dari anggota partai politik
yang dinilai pintar dan mempunyai pengaruh di dalam masyarakat, misalnya para
tokoh masyarakat, pemuka agama, dan orang-orang yang mempunyai
kemampauan finansial yang relatif tinggi dibanding masyarakat umum sangat
diperlukan oleh Golkar karena elit lokal memiliki kekuasaan informal yang
diakui dan dihormati oleh masyarakat. Elit lokal secara umum memiliki
pengetahuan dan wawasan yang cukup luas dibanding dengan sebagian besar
masyarakat lainnya. Elit lokal memanfaatkan kekuasaannya untuk memonopoli
masyarakat atau massa politik dengan mengarahkan pada pilihan tertentu sehingga
mewujudkan kemenangan Golkar di Kabupaten Sragen pemilu tahun 1992 dan
1997.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul “ Peran Elit Lokal Terhadap Kemenangan
Golkar Di Kabupaten Sragen Pemilu Tahun 1992 dan 1997”, penulis melakukan
teknik pengumpulan data melalui studi pustaka. Studi pustaka merupakan teknik
pengumpulan data baik berupa dokumen, buku, karangan, tulisan, catatan maupun
sumber tertulis lain yang diperoleh dari museum-museum, perpustakaan, instansi
pemerintahan, koleksi swasta maupun perorangan dan di tempat-tempat yang
menyimpan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang
dilakukan (Dudung Abdurrahman,1999:55). Adapun perpustakaan yang
digunakan sebagai berikut:
a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta.
d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
e. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta.
f. Kantor DPC II Golkar Kabupaten Sragen
g. Kantor Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sragen
2. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai dari
disetujuinya judul skripsi yaitu bulan September 2010 sampai dengan selesainya
penulisan skripsi ini yaitu pada bulan Juni 2011.
25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Tabel 1. Waktu Penelitian
No Jenis Kegiatan Bulan
Sept Okt-
Des
Feb Maret April Mei Juni
1. Pengajuan
judul
2. Proposal
3. Perijinan
4. Pengumpulan
Data
5. Analisis data
6. Penulisan
laporan
B. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena
keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang
tepat. Menurut Helius Sjamsudin (1996:6), yang dimaksud dengan metode adalah
suatu prosedur teknik atau cara melakukan penyelidikan yang sistematis yang
dipakai oleh suatu ilmu (sains), seni, atau disiplin ilmu yang lain.
Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan,
mendiskripsikan, dan memaparkan peran elit lokal terhadap kemenangan Golkar
di Kabupaten Sragen Tahun 1992-1997. Peristiwa yang menjadi pokok penelitian
adalah peristiwa masa lampau, sehingga metode yang digunakan adalah metode
historis atau sejarah. Dengan melihat peristiwa di masa lampau sehingga dapat
menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Hadari Nawawi (1995:78-79) mengemukakan bahwa metode penelitian
sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu
atau peninggalan-peninggalan untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang
berlangsung pada masa lalu dan terlepas dari keadaan masa sekarang. Gilbert J.
Garraghan yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999:43) mengemukakan bahwa
metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai secara kritis, dan
mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.
Menurut Louis Gottschalk yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999:44),
metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna
menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data
semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Sedangkan menurut
Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996:61), yang dimaksud metode sejarah adalah
proses menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalan-peninggalan
masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-data yang ada
sehingga menjadi penyajian dan ceritera sejarah yang dapat dipercaya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
metode penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan
mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang
akan dikaji sehingga dapat memahami kejadian pada masa lalu. Permasalahan
tersebut kemudian diuji dan dianalisa secara kritis dan diajukan sintesis dari hasil
yang dicapai dalam bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut, agar dapat
dijadikan suatu cerita sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya.
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
sejarah. Sumber data sejarah sering disebut juga data sejarah. Menurut Dudung
Abdurrachman (1999:30) data sejarah merupakan bahan sejarah yang memerlukan
pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian. Sedangkan Helius Syamsuddin
dan Ismaun menjelaskan bahwa sumber sejarah ialah bahan-bahan yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada
masa lampau (1996:61).
Dalam usaha untuk mengunpulkan data, penulis menggunakan sumber
tertulis. Louis Gottshalck (1986:35) mengemukakan bahwa sumber tertulis primer
adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri. Sumber tertulis
primer juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan dari masa yang sejaman
dan berasal dari orang yang sejaman. Sedangkan sumber tertulis sekunder
merupakan kesaksian dari pada siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni
dari seseorang yang tidak hadir dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis
sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak
sejaman dengan peristiwa yang dikisahkannya.
Sumber primer yang penulis gunakan di dalam penelitian ilmiah ini adalah
berupa arsip -arsip data perolehan suara Golkar pada Pemilu tahun 1992 dan 1997
Kabupaten Sragen.
Selain sumber primer tertulis tersebut penulis juga mendapatkan banyak
informasi melalui wawancara dengan berbagai informan yang relevan dengan
penelitian ini. Sumber wawancara ini penulis dapatkan dari pengurus Golkar
Kabupaten Golkar tahun 1992 dan 1997, pengurus Golkar Kabupaten Sragen
tahun 2011, elit lokal setempat, serta informan lainnya yang relevan dengan
penelitian. Keterangan yang diberikan oleh para informan adalah seputar proses
sejarah terbentuknya Sekber Golkar di Kabupaten Sragen pada tahun 1969,
kemenangan Golkar pada Pemilu 1992 dan 1997 serta peran elit lokal terhadap
kemenangan Golkar di Kabupaten Sragen pada tahun 1992-1997.
Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku-
buku literature, maupun artikel-artikel yang relevan dengan penelitian. Sumber
tertulis sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini antara
lain:”Ungkapan Sejarah Lahirnya Golkar (1984)” karangan Imam Pratignyo,
”Golkar dan Militer (1992)” karangan Leo Suryadinata, “Elite dalam Perspektif
Sejarah (1983)” karangan Sartono Kartodirdjo, serta Munculnya Elit Modern
Indonesia (1984) karangan Robert Van Niel.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian historis merupakan salah satu
langkah yang penting. Berdasarkan data yang digunakan dalam penelitian ini,
maka dalam pengumpulan data dilakukan melalui dua macam, yaitu :
1. Studi Pustaka
Koentjaraningrat (1986:3) menyatakan studi pustaka penting sebagai
proses bahan penelitian. Tujuannya sebagai pemahaman secara menyeluruh
tentang topik permasalahan. Teknik studi pustaka adalah suatu metode penelitian
yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta sejarah, dengan
cara membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau
brosur yang tersimpan di dalam perpustakaan, museum ataupun instansi yang
menyediakan sumber tertulis lainya.
Pengumpulan dengan studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara mengumpulkan buku dan bentuk data lainnya tentang peristiwa masa
lampau di beberapa perpustakaan. Buku atau data yang telah terkumpul
kemudian diteliti dan disesuaikan dengan tema penelitian. Untuk memperoleh
data-data dalam penelitian ini, peneliti melakukan studi tentang sumber-sumber
primer dan sumber yang berupa buku-buku, surat kabar dan arsip yang tersimpan
di perpustakaan.
Dalam penelitian ini langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam
mengumpulkan data adalah sebagai berikut :
1) Mengumpulkan buku-buku, surat kabar, artikel-artikel internet yang
relevan dengan masalah yang diteliti.
2) Membaca dan mencatat sumber-sumber data yang diperlukan baik itu
sumber primer maupun sumber sekunder.
3) Memfotokopi dan mencatat literatur kepustakaan yang dianggap penting
dan relevan dengan masalah yang diteliti.
2. Wawancara
Menurut Koentjaraningrat (1986:129) metode wawancara atau metode
interview, mencakup cara yang digunakan untuk tugas tertentu, untuk
medapatkan keterangan atau pendirian lisan dari responden. Wawancara adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab sambil bertatap muka antara penanya atau pewawancara dengan
penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview
guide (panduan wawancara). Adapun maksud dari wawancara adalah untuk
mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motif,
tuntutan kepedulian, dan lain-lain.
Suatu wawancara mempunyai tujuan untuk mengumpulkan keterangan
tentang kehidupan manusia di dalam masyarakat, sehingga untuk memperoleh
data yang dapat dipertanggungjawabkan maka diadakan pemilihan personal
yang diwawancarai, yaitu orang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan
tentang masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
wawancara berencana, yaitu wawancara yang terdiri dari suatu daftar pertanyaan
yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya. Untuk memperoleh data
yang dapat dipertanggungjawabkan, maka diadakan pemilihan personal yang
diwawancarai, yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan dan memiliki
pengetahuan tentang Golkar khususnya di Kabupaten Sragen baik pengurus
Golkar tahun 1992 dan 1997 maupun pengurus tahun 2011. Selain itu penelitian
ini juga menggunakan wawancara terbuka yaitu wawancara yang dilakukan
dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan informan dapat
menjawab dengan panjang lebar.
E. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik
analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman
(1999:64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan analisis
sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda
dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai
metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut Helius Sjamsuddin (1996:89),
teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan kritik
sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam
penulisan sejarah. Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Historiografi
(1999: 64), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang
diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori
disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh.
Dalam penelitian ini, setelah dilakukan pengumpulan data, peneliti
melakukan analisis data dan membandingkan data satu dengan yang lain sesuai
data yang diinginkan sehingga didapatkan fakta-fakta sejarah yang benar-benar
relevan. Fakta-fakta tersebut kemudian diseleksi, diklarifikasi, dan ditafsirkan,
baru selanjutnya merangkaikan fakta-fakta tersebut untuk dijadikan bahan
penulisan penelitian yang utuh dalam sebuah karya ilmiah.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu
persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Penelitian
ini menggunakan metode historis, yang ada empat tahap yang harus dipenuhi.
Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.
Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Heuristik Kritik Interpretasi
Fakta Sejarah Cerita Sejarah
Bagan 2. Prosedur penelitian
Keterangan :
a. Heuristik
Heuristik berasal dari kata Yunani yang artinya memperoleh. Dalam
pengertiannya yang lain adalah suatu teknik yang membantu penulis untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
mencari jejak-jejak sejarah. Menurut G. J Rener (1997:37), Heuristik adalah suatu
teknik, suatu seni dan bukan suatu ilmu. Heuristik tidak mempunyai peraturan-
peraturan umum, dan sedikit mengetahui tentang bagian-bagian yang pendek.
Sedangkan Sidi Gazalba (1981:15) mengemukakan bahwa heuristik adalah
kegiatan mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan hasil
penelitian.Dengan demikian heuristik adalah kegiatan pengumpulan jejak-jejak
sejarah atau dengan kata lain kegiatan mencari sumber sejarah.
Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber
tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan
penelitian. Sumber tertulis primer berupa arsip-arsip dan surat kabar sedangkan
sumber sekunder berupa buku-buku dan literatur yang diperoleh dari beberapa
perpustakaan, diantaranya Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret,
Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Perpustakaan Program
Studi Sejarah FKIP UNS, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, Kantor DPC II
Golkar Kabupaten Sragen, dan Kantor Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Sragen.
b. Kritik
Setelah mengumpulkan data atau bahan, tahap berikutnya adalah kritik,
yaitu dengan memeriksa keaslian sumber (otentisitas) dan kredibilitas (kesahihan
sumber). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan kritik sumber secara
ekstern dan intern. Kritik ekstern adalah kritik yang meliputi apakah data itu
otentik, yaitu kenyataan identitasnya, bukan tiruan, turunan, palsu, yang semuanya
dilakukan dengan meneliti bahan yang dipakai, ejaan, tahun terbit, jabatan
penulis. Dalam penelitian ini dilaksanakan dengan menyeleksi bentuk sumber data
sejarah tertulis berupa buku-buku literatur, ensiklopedia, dan majalah. Berbagai
bentuk sumber data tersebut dikelompokkan ke dalam jenis sumber data tertulis
primer atau sekunder. Aspek fisik ke-2 jenis sumber data sejarah tersebut,
diidentifikasi meliputi pengarang, tahun, dan tempat penulisan, atau penerbitan
sumber data sejarah tertulis, orisinalitas, penulisan apakah ditulis pengarang
tersebut atau tidak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Kritik intern adalah kritik yang berkaitan dengan isi pernyataan yang
disampaikan oleh sejarawan. Kritik intern juga menyangkut apakah sumber
tersebut dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Setelah sumber dinilai
keasliannya, kemudian dilakukan kritik intern untuk dapat memastikan kebenaran
isi sumber, yang dapat ditempuh dengan cara membandingkan sumber sejarah
yang satu dengan sumber sejarah yang lain. Kebenaran isi dari sumber tersebut
dapat dilihat dari isi pernyataan dan berita yang ditulis dari sumber yang satu
dengan sumber yang lain. Kritik intern dalam penelitian ini dilaksanakan dengan
studi komparatif berbagai sumber. Langkah ini ditempuh untuk menyoroti
pengarang atau pembuat sumber, yang memberikan informasi mengenai masa
lampau yang ingin diketahui, dan harus ada kepastian bahwa kesaksiannya dapat
dipercaya. Kerja kritik adalah membandingkan isi sumber. Hasil dari kritik
sumber ialah fakta yang merupakan unsur-unsur bagi penyusunan atau
rekonstruksi sejarah. Setelah dilakukan kritik, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan interpretasi.
c. Interpretasi
Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan
atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga
dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang
menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna,
dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut
sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji.
Dengan demikian, dari kegiatan kritik, sumber, dan interpretasi tersebut
dihasilkan fakta sejarah atau sintesis sejarah.
d. Historiografi
Langkah terakhir prosedur penelitian dalam metode sejarah adalah
historiografi. Hitoriografi adalah menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam
bentuk suatu kisah atau hasil penafsiran atas fakta-fakta sejarah itu dilukiskan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
menjadi suatu kisah yang selaras dan logis. Pada tahap ini dituntut kemahiran
dalam menuliskan kisah sejarah dengan bahasa yang baik. Dalam menyusun
penelitian sejarah hendaknya disesuaikan dengan tujuan yang akan
dicapai(Nugroho Notosusanto, 1978 : 42).
Fakta sejarah belum dapat disajikan dalam bentuk hisoriografi jika belum
dieksplanasi. Eksplanasi adalah uraian penjelasan melalui pernyataan
tentang hubungan antara fakta sejarah yang satu dengan fakta sejarah
yang lain. Eksplanasi yang memuaskan tergantung dari bagaimana
diformulasikannya pertanyaan terhadap fenomena yang dikaji. Eksplanasi
yang memuaskan juga tergantung dari terdapatnya hubungan sebab-sebab
tertentu dengan akibat. Eksplanasi dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara mengemukakan pertanyaan yang lebih analitis dan menuntut jawaban
analitis kritis pula. Pertanyaan tersebut menyangkut bagaimana (how) dan
mengapa (why) seputar peran elit lokal terhadap kemenangan Golkar di
Kabupaten Sragen tahun 1992-1997. Hal tersebut dilaksanakan agar diperoleh
gambaran tentang peristiwa masa lampau yang sesungguhnya, analitis ilmiah,
dan jelas. Dengan demikian pertanyaan tidak hanya diformulasikan
dengan pertanyaan deskriptif dan jawaban yang deskriptif faktual saja, seperti apa
(what), dimana (where), kapan (when), dan siapa (Who). Fakta sejarah yang
dieksplanasi kemudian disajikan melalui historiografi. Dalam penelitian ini,
historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul
”Peran Elit Lokal Terhadap Kemenangan Golkar di Kabupaten Sragen Pada
Pemilu 1992 dan 1997”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi
1. Kondisi Geografis
Kabupaten Sragen merupakan salah satu kabupaten di wilayah Propinsi
Jawa Tengah, terletak di bagian timur Propinsi Jawa Tengah. Luas wilayah
Kabupaten Sragen adalah 941,55 km2 terbagi dalam 20 kecamatan, 8 kelurahan,
dan 207 desa. Secara fisiologis, wilayah Kabupaten Sragen terbagi atas 40.037,93
Ha (42,52%) Lahan basa (sawah), 54.117,88 Ha (57,48%) Lahan kering, dan
terdapat hutan negara seluas 5.313,00 Ha atau 5,72% dari seluruh luas Kabupaten
Sragen. Wilayah Kabupaten Sragen terdiri dari dua bagian, yaitu bagian utara dan
bagian selatan aliran Sungai Bengawan Solo. Wilayah ini terdiri dari 4 wilayah
pembantu Bupati, 20 kecamatan, dan 207 desa. Bengawan Solo bagian utara
terdiri dari 11 kecamatan 116 desa dan 4 kelurahan, sedangkan bagian selatan
terdiri dari 9 kecamatan, 80 desa, dan 8 kelurahan. Kabupaten Sragen terletak
pada 7º 15 LS dan 7º 30 LS dan 110º 45 BT dan 111º 10 BT. Wilayah Kabupaten
Sragen berada di dataran dengan ketinggian rata-rata 109 m diatas permukaan
laut. Sragen menpunyai iklim tropis dengan suhu harian yang berkisar antara
190 – 310C. Curah hujan rata-rata di bawah 3000 mm per tahun dengan curah
hujan di bawah 150 hari per tahun.
Secara geografis Kabupaten Sragen berada di perbatasan antara Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Batas- batas wilayah Kabupaten Sragen:
Sebelah Utara : Kabupaten Grobogan
Sebelah Selatan : Kabupaten Karanganyar
Sebelah Barat : Kabupaten Boyolali
Sebelah Timur : Kabupaten Ngawi (Propinsi Jawa Timur)
Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa dengan mata
air dari daerah Wonogiri dan bermuara di daerah Bojonegoro. Sungai ini
panjangnya sekitar 548,53 km dan mengaliri propinsi Jawa Tengah dan Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Timur. Kabupaten yang dilalui adalah Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Klaten,
Solo, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik. Sragen
berada di lembah daerah aliran Sungai Bengawan Solo yang mengalir ke arah
timur. Sebelah utara berupa perbukitan, bagian dari sistem Pegunungan Kendeng.
Sedangkan di selatan berupa pegunungan, lereng dari Gunung Lawu.
Sragen terletak di jalur utama Solo-Surabaya. Kabupaten ini merupakan
gerbang utama sebelah timur Propinsi Jawa Tengah, yang berbatasan langsung
dengan Propinsi Jawa Timur. Sragen dilintasi jalur kereta api lintas selatan Pulau
Jawa (Surabaya-Yogyakarta-Jakarta) dengan stasiun terbesarnya Sragen, serta
lintas Semarang-Solo dengan stasiun terbesarnya Gemolong. Keadaan Alam di
Kabupaten Sragen mempunyai relief yang beraneka ragam, ada daerah
pegunungan kapur yang membentang dari timur ke barat terletak di sebelah utara
bengawan Solo dan dataran rendah yang tersebar di seluruh Kabupaten Sragen,
dengan jenis tanah antara lain gromusol, aluvial regosol, latosol dan mediteran
(http://www.sragenkab.go.id/home.php?menu=20).
2. Kondisi Ekonomi
Wilayah Kabupaten Sragen secara geografis terbelah oleh Sungai
Bengawan Solo menjadi daerah utara Bengawan dan daerah selatan Bengawan.
Hal ini turut berpengaruh pada potensi ekonomi kedua daerah ini. Keadaan tanah
sebelah selatan Bengawan Solo yang relatif subur sangat baik untuk pertanian,
sedangkan sebelah utara Bengawan Solo keadaan kurang subur karena kawasan
sebelah utara Bengawan Solo termasuk gugusan bukit kapur. Hal ini sangat
mempengaruhi pola kehidupan penduduknya. Sedangkan kawasan selatan aliran
Bengawan Solo, tanahnya datar dengan memperoleh pengairan dari sumber air
yang berasal dari kaki Gunung Lawu.
Sektor pertanian sangat berperan dalam sumbangan perekonomian di
Kabupaten sragen. Dengan adanya irigasi Waduk Gajah mungkur Wonogiri, di
daerah Sragen termasuk daerah yang mendapat alirannya sehingga areal
pertanianya subur (Pemkab Sragen, 1986:161). Disektor perdagangan,
perkembangannya tidak dapat terlepas dari perkembangan sektor lainnya seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
sektor perhubungan, pertanian, dan industri. Letak Sragen ditinjau dari sudut
perdagangan sangat menguntungkan karena dilalui jalan raya yang
menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sektor Industri, Kabupaten Sragen antara lain industri batik tulis yang
merupakan suatu usaha industri kecil yang tersebar di wilayah Kabupaten Sragen
utamanya di sentra industri kecil kecamatan Masaran, Plupuh dan Kalijambe.
Produksi batik Sragen telah dipasarkan secara lokal, nasional maupun
internasional. Dalam rangka memperkokoh sistem pertahanan pangan regional
maupun nasional tanaman garut merupakan tanaman jenis ubi-ubian yang
mengandung banyak karbohidrat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pangan alternatif. Ubi garut yang diolah dan diproduksi menjadi makanan ringan
berupa emping garut yang diproduksi oleh para pengrajin yang berada disekitar
Kecamatan Gesi. Industri lainya adalah kerajinan Wayang Beber yang merupakan
peninggalan zaman Majapahit yang menceritakan tentang kisah Panji Asmara
Bangun dengan Sekar Taji. Wayang Beber merupakan suatu kerajinan tangan
yang bernilai seni tinggi, karena dalam memproduksi membutuhkan waktu yang
relatif lama dan penuh ketelitian, oleh karena itu produk wayang beber senantiasa
dikembangkan untuk melestarikan warisan leluhur budaya bangsa Indonesia.
Produksi Wayang Beber dibuat oleh pengrajin yang berada di sekitar Kecamatan
Tanon. Selain kerajinan Wayang Beber juga ada kerajinan batu-batuan dengan
nilai seni ukir yang banyak menggambarkan patung manusia purba, dan berbagai
bentuk lainnya.Sentra kerajinan batu-batuan terletak di Sangiran, Desa Krikilan,
Kecamatan Kalijambe yang berjarak sekitar 45 km dari kota Sragen. Produksi
batu-batuan Sangiran banyak diminati oleh para wisatawan domestik maupun
mancanegara sebagai barang souvenir dengan harga bervariasi menurut besar
kecilnya barang kerajinan dan nilai seni ukirnya.
Industri yang paling menjanjikan di Kabupaten Sragen adalah mebel yang
merupakan industri kecil padat karya dan produk yang dihasilkan mempunyai
kandungan lokal yang cukup tinggi, banyak memanfaatkan limbah kayu serta
mempunyai peluang yang cukup baik dan menghasilkan devisa non migas yang
cukup tinggi. Mebel hasil produksi Kabupaten Sragen sudah menembus pasar luar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
negeri untuk di ekspor ke Perancis dan Belanda. Sentra penghasil mebel berada di
Kecamatan Kalijambe, Gemolong, Miri, Sumberlawang dan Sambungmacan
(http://www.sragenkab.go.id/home.php?menu=71)
3. Kondisi Sosial Politik
Komposisi penduduk Sragen sangat plural baik dari sisi agama, ras, dan
adat istiadat, dengan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah yaitu 50%
berpendidikan Sekolah Dasar, dan hanya 2,5% mengenyam pendidikan tinggi.
Selama masa Orde Baru, sebagaimana daerah lain, kelompok Golkar di Sragen
saat mendominasi pentas politik di Sragen. Pada saat yang sama, tingkat apresiasi
dan partisipasi masyarakat politik di Sragen juga tampak cukup dinamis. Pada era
Soekarno, Sragen merupakan basis kelompok nasionalis yang cukup kuat. Akan
tetapi, setelah jatuhnya Soekarno dan Orde Baru memulai memimpin politik
dengan mendasarkan struktur kekuasaannya pada aliansi antara birokrasi, baik
sipil maupun militer maka kekuasaan dibawah Orde Baru bersifat sentralistik
(Pemkab Sragen, 1986:158).
Masa Orde Baru, seluruh organisasi sosial politik di Kabupaten Sragen
secara ketat dikontrol melalui sejumlah peraturan, sehingga membuat organisasi
sosial politik tidak akan menjadi ancaman berbahaya bagi negara. Sragen yang
mayoritas masyarakatnya Islam dan masa Soekarno berjiwa nasional memiliki
kekuatan ideologis yang sangat kuat. Pada masa Orde Baru mampu dijinakkan
dengan mengakui Islam sebagai agama mayoritas, akan tetapi negara tidak akan
mentoleransi setiap upaya apapun untuk menciptakan sebagai ideologi yang khas.
Nishihara (1971:2) menyatakan partai politik khususnya partai Golkar ialah
partai yang didukung oleh sistem dan mekanisme politik yang dirancang oleh
pemerintah, yaitu militer menjadi bagian dari sistem dan mekanisme politik
dan bagian dari strategi partai. Jadi tidak mengherankan jika masa Orde Baru di
Kabupaten Sragen didominasi oleh kemenangan Golkar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
B. Latar Belakang Berdirinya Golkar di Kabupaten Sragen
Semangat kekaryaan yang terwujud dalam bentuk pengakuan terhadap
golongan karya bibitnya telah tumbuh ketika pembahasan penyusunan UUD 1945.
Kedudukan golongan karya terlihat jelas pada awal kemerdekaan yaitu setelah
dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945,
yang diikuti dengan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, yang isinya
memberi kesempatan mendirikan partai-partai politik dengan ideologi yang
beranekaragam (DPD Golkar tentang sejarah partai Golkar)
Sejarah Indonesia setelah kemerdekaan dibagi menjadi tiga periode yaitu
1. Periode demokrasi parlementer atau periode berkuasanya kabinet. Periode
ini berlangsung sejak penyerahan kedaulatan pada akhir 1949 sampai
runtuhnya wewenang parlemen menjelang 1957.
2. Periode demokrasi terpimpin atau bekuasanya presiden, yakni sejak
diumumkanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945
sampai dihancurkannya PKI pada tahun 1965.
3. Periode Orde Baru yakni berkuasanya Presiden Soeharto yang berlangsung
dari tahun 1965-1998 (Miriam Budiarjo, 1998:175).
Kehidupan politik dalam sistem multi partai tersebut berlangsung sampai
tahun 1957 dalam masa yang dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer atau
demokrasi liberal. Pada masa ini kendali percaturan politik berada di tangan
partai-partai politik. Pada masa demokrasi parlementer, meskipun pemilu 1955
telah dilangsungkan namun tidak ada satupun partai politik yang cukup dominan
mengendalikan parlemen maupun pemerintahan.
Pada tahun 1950 sampai 1957 tidak kurang enam kabinet silih berganti.
Setiap kabinet baru melahirkan program baru. Program kabinet lama ada yang
diteruskan tetapi lebih banyak yang dibatalkan. Hal ini terjadi karena tidak sesuai
dengan program partai politik yang berkuasa. Akibat yang ditimbulkan yaitu
banyak program yang sedang dalam pelaksanaan menjadi terlantar dan
menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit. Pemerintah selalu ragu-ragu
untuk melaksanakan programnya karena selalu dihantui oleh seringnya pergantian
kabinet dalam waktu relatif singkat. Sejarah telah mencatat bahwa umur kabinet
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
pada masa demokrasi palementer rata-rata kurang dari satu tahun. Oleh sebab itu
dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pun kabinet dapat melaksanakan
pembangunan karena tidak mempunyai waktu yang cukup untuk bekerja.
Dalam suasana “nasakomisasi” yang menguntungkan PKI, maka pimpinan
TNI AD semakin menyadari nasakom akan cenderung menjauhkan masyarakat
dari Pancasila dan UUD 1945. Pada saat yang hampir bersamaan terjadi beberapa
pemberontakan bersenjata dan tuntutan daerah terhadap pemerintah pusat yang
semakin meluas, seperti pemberontakan DII/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan serta pemberontakan
PRRI/PERMESTA di Sumatera dan Sulawesi. Ketidakstabilan politik dan
keamanan dan tidak terjaminnya keselamatan rakyat mendorong TNI mengambil
tindakan-tindakan yang dianggap perlu seperti pemberlakuan undang-undang
keadaan bahaya pada tahun 1957.
Dalam usaha pemulihan keamanan, TNI menyadari sepenuhnya bahwa
keamanan tidak dapat dipulihkan dengan kekuatan senjata saja karena gangguan
keamanan itu berlatar belakang sosial politik. Salah satu langkah yang diambil
oleh TNI adalah penggalangan golongan-golongan fungsional dengan maksud
agar golongan tersebut dapat diajak berpartisipasi dalam usaha pemulihan
keamanan. Sebagai wadah kerjasama dibentuklah berbagai badan kerjasama sipil
militer seperti Badan Kerjasama Buruh Militer, Badan Kerjasama Tani Militer,
Badan Kerjasama Pemuda Militer, Badan Kerjasama Wanita Militer, dan Badan
Kerjasama Ulama Militer. Ajakan TNI kepada golongan-golongan fungsional
untuk bekerja sama mendapat sambutan positif. Golongan-golongan tersebut
menyatakan diri sebagai organisasi fungsional yang independen (Andreas
Pandiangan, 1996:30).
Pada tahun 1960-1964 merupakan waktu yang digunakan sebaik-baiknya
oleh partai-partai untuk mengkonsolidasikan partainya kembali, demikian pula
dengan organisasi-organisasi golongan kekaryaan non afiliasi. Pada bulan
Oktober 1964 terbentuk sebuah panitia yang terdiri dari anggota gerakan militer
pelajar, kelompok cendekiawan, dan militer. Panitia ini bertujuan untuk
mempersiapkan Piagam Pernyataan Dasar Karyawan. Pada tanggal 5 Agustus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
1964, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah peraturan presiden yang berisi
tentang syarat organisasi-organisasi yang boleh menjadi anggota dari Front
Nasional. Peraturan Presiden (Perpres) ini mempersulit organisasi-organisasi
tersebut untuk menjadi anggota Front Nasional. Pada tanggal 15 Oktober 1964,
lima orang anggota Front Nasional dari golongan kekaryaan mengeluarkan sebuah
undangan kepada semua organisasi yang dimaksudkan oleh Pepres Nomor 193
tahun 1964. Pada tengah malam tanggal 19 Oktober 1964, panitia yang menyusun
“Piagam Pernyatan Dasar Karyawan” dan wakil-wakil dari 35 organisasi non-
afiliasi berkumpul bersama menandatangani piagam (Imam Pratignyo, 1984:91).
Organisasi-organisasi golongan karya non afilisasi merasa bahwa kerja
sama yang dibentuk TNI merupakan wadah perjuangan yang tepat untuk
melaksanakan pengabdian terhadap masyarakat, bangsa, dan negara. Gerakan
golongan-golongan fungsional tersebut menyatakan diri sebagai organisasi
fungsional yang independen bersama organisasi fungsional yang otonom
membentuk organisasi fungsional dalam Pengurus Besar Front Nasional (PBFN).
Maka lahirlah organisasi fungsional SOKSI (Sentral Organisasi Sosial Indonesia),
KOSGORO (Koperasi Serba Usaha Gotong Royong), dan MKGR (Musyawarah
Kekeluargaan Gotong Royong) yang dipelopori oleh perwira-perwira TNI-AD
(Andreas Pandiangan, 1996:30). Organisasi-organisasi ini merupakan kesatuan
kelompok massa yang bercirikan kekaryaan atau golongan fungsional, yang
merupakan himpunan anggota masyarakat yang mempunyai persamaan profesi
atau jasa kerjanya masing-masing.
SOKSI dimaksudkan mengimbangi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia), serikat buruh paling berpengaruh yang dikuasai PKI yang
mempunyai tiga juta anggota pada tahun 1958. Meskipun terdapat serikat-serikat
buruh lain yang bergabung dengan partai-partai politik, kekuatan Sobsi jauh
melampaui semuanya. Munculnya Soksi tersebut merupakan tantangan bagi PKI
(Leo Suryadinata, 1992:16)
Sebagai perlawanan terhadap tekanan-tekanan PKI dan dalam rangka
pelaksanaan UUD 1945, maka golongan-golongan fungsional yang tidak
bergabung pada partai politik dengan dukungan TNI berjuang keras untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
memformalkan kehadirannya di dalam masyarakat. Melalui perjuangan yang ulet
dan terus menerus dari golongan fungsional, berdasarkan Peraturan
Presiden(Perpres) Nomor 12 tahun 1959, diangkatlah 200 orang wakil-wakil
golongan karya di MPRS. Kemudian dengan Keputusan Presiden Nomor 193
Tahun 1964 diakuilah wakil-wakil golongan karya di front nasional (Kholid
Novianto,dkk: 2004:14).
Dengan adanya pengakuan tentang kehadiran dan legalitas golongan
fungsional di MPRS dan Front Nasional, maka pada hari selasa tanggal 20
Oktober 1964 sekitar jam setengah sepuluh berhasil diselenggarakan pertemuan
pertama kalinya dengan organisasi-organisasi golongan karya non afilisasi di
Sekretariat Pengurus Besar Front Nasional Merdeka Selatan No.13. Pada saat itu
yang hadir 97 organisasi golongan kekaryaan tingkat pusat (Imam Pratignyo,
1984:95). Pada tanggal 20 Oktober 1964 secara nasional Sekber Golkar didirikan
oleh golongan militer, yakni Angkatan Darat Republik Indonesia. Panitia
pelaksana Sekber Golkar akhirnya terbentuk. Panitia Sekber Golkar diketuai oleh
Kolonel Djuhartono, kemudian empat wakil ketua, masing-masing adalah Imam
Pratignyo (NU), J. K. Tumakaka (pernah menjadi pemimpin PNI), Djamin
Gintings (militer), dan S. Sukowati (Hankam). Dr.Amino Gondoutomo bertindak
sebagai Sekretaris Jenderal, dan Sutomo Gondowongso SH sebagai wakil
sekretaris (Leo Suryadinata, 1992:15).
Pada masa awal pertumbuhannya, Sekber Golkar beranggotakan 61
organisasi fungsional yang tidak berada pada pengaruh politik tertentu, kemudian
berkembang menjadi 291 organisasi fungsional. Sekber Golkar berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945 serta tujuan dan haluannya adalah demokrasi Pancasila
untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Sekber Golkar pertama kali
dipimpin oleh Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono, yang kemudian digantikan
oleh Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati melalui Musyawarah Kerja
Nasional (Mukernas) I, pada bulan Desember 1965. Konsolidasi Golkar mulai
berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan
Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan
Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Organisasi-organisasi yang bernaung di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
bawah Sekber Golkar kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya dalam
7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO) yang diputuskan dalam Rapat
Koordinasi Nasional (Rakornas) I pada bulan Desember 1965 dan Rakornas II
pada bulan Nopember 1967, yaitu: (a) KINO Koperasi Serbaguna Gotong Royong
(KOSGORO), (b) KINO Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia
(SOKSI), (c) KINO Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), (d)
KINO Organisasi Profesi, (e) KINO Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM),
(f) KINO Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI), (g) KINO Gerakan
Pembangunan (http//www.partai-golkar.or.id).
Proses perkembangan Sekber Golkar terus berlanjut dengan keluarnya
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 tahun 1969. Selain itu, pemerintahan
Orde Baru mengeluarkan peraturan monoloyalitas, yaitu kebijakan pemerintah
yang mewajibkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi
politiknya kepada Golkar. Peraturan monoloyalitas PNS diatur dalam Undang-
Undang Nomor 6 tahun 1970 pada tanggal 11 Februari 1970. Doktrin
monoloyalitas merupakan peraturan yang menetapkan pejabat pemerintah harus
memilih kesetiaan pada pemerintah atau partai (Marbun, 2003:6). Memasuki
Pemilu 1971 rakyat mulai memberikan kepercayaan kepada Sekber Golkar,
7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber Golkar mengeluarkan
keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta
pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (Golkar). Pada
saat Pemilu 1971 yang dilaksanakan pada tanggal 5 Juli, Sekber Golkar ikut serta
menjadi salah satu kontestan dengan menggunakan nama Golkar. Pihak parpol
memandang remeh keikutsertaan Golkar sebagai kontestan pemilu, dan
meragukan kemampuan komunikasi politik Golkar. Pihak parpol juga tidak
menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-
tokohnya berpindah ke Golkar. Hasilnya di luar dugaan, Golkar sukses besar dan
berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total perolehan suara.
Perolehan suara Golkar cukup merata di seluruh propinsi, berbeda dengan parpol
yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang di Jawa Timur dan
Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak
memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR
((http//www.partai-golkar.or.id). Pada tanggal 17 Juli 1971, Sekber Golkar
mengubah nama menjadi Golkar. Keputusan perubahan nama itu sebelumnya
telah disepakati oleh tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO) Golkar yang
merupakan kekuatan ini dari Sekber Golkar. Pada tanggal 4 sampai 5 September
1973 nama Golkar kemudian dikukuhkan secara resmi (Kholid Novianto,dkk:
2004:14).
Kebijakan tersebut disusul dengan diberlakukannya UU No 3 Tahun 1975
tentang masa mengambang (floating mass) yang membatasi gerak partai politik
non Golkar hanya sampai kecamatan, sementara Golkar lepas dari aturan ini.
Golkar pada masa Orde Baru dikendalikan oleh posisi Dewan Pembina yang
diketuai oleh Soeharto. Ketua Dewan Pembina Golkar adalah sebuah jabatan yang
semenjak Munas II Golkar 1978 di Denpasar diberikan kedudukan dan otoritas
tertinggi dalam organisasi Golkar. Dewan Pembina berwenang untuk mengatur
dan memutuskan kebijakan strategis Golkar, terutama dengan tiga jalur
pengaturan informalnya, yakni jalur A, jalur B, dan jalur G. Jalur A adalah jalur
lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk Golkar.
Secara lebih khusus dalam hubungannya dengan Dewan Pimpinan Pusat Partai
Golkar, ada empat wewenang yang dimiliki oleh Dewan Pembina, yaitu:
(a) wewenang membatalkan kebijaksanaan atau keputusan DPP jika dinilai
menyimpang dari ketentuan-ketentuan organisasi (b) wewenang membekukan
sementara kepengurusan DPP jika mendesak dan mengancam kelangsungan hidup
organisasi (c) wewenang mengundang Munas Luar Biasa, (d) wewenang
menyusun komposisi personalia Dewan Pertimbangan dan Dewan Penasihat
(http//www.partai-golkar.or.id).
Dapat disimpulkan setelah peristiwa G30S, Sekber Golkar dengan
dukungan sepenuhnya oleh Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan aksi-
aksinya untuk melumpuhkan kekuatan PKI dan kekuatan Bung Karno. Pada
dasarnya Golkar dan TNI merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru.
Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan
dalam struktur eksekutif, legislatif, dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh
kader-kader Golkar. Dalam pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997
Golkar yang berlambang beringin ini juga selalu menjadi pemenang dalam
pemilu. Untuk mengetahui Sejarah Golkar di Kabupaten Sragen perlu kiranya
mengkaji tentang sejarah perkembangan kekuatan-kekuatan sosial politik di
Sragen. Sebagai ukuran dapat diambil dari hasil pemilu tahun 1955 di Sragen.
Pada pelaksanaan demokrasi liberal terjadi pertentangan atau konflik-konflik
antar partai.
Kehidupan dalam masa demokrasi liberal dan demokrasi parlementer
merupakan kehidupan politik yang segalanya dipolitisasi. Masing-masing
golongan politik berusaha memperoleh pengikut sebanyak mungkin. Akibatnya
terjadi pengelompokan terhadap warga masyarakat ke dalam golongan-golongan
politik, rakyat terkotak-kotak, pembangunan bukanlah pembangunan daerah tetapi
mengarah kepada pembangunan partai. Akibatnya pemerintah sangat labil dan
tidak mampu menciptakan kegiatan pembangunan masyarakat secara terencana
dan tuntas. Kekacauan di bidang politik berdampak pada keamanan dan bidang
ekonomi. Walaupun situasi politik kacau, Sragen di bawah Bupati R.Suprapto
masih dapat menunjukkan identitasnya dengan kemampuan yang ada dan tekad
menciptakan kesejahteraan rakyat dan pembangunan dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya (Pemkab Sragen, 1986:146).
Di Sragen, pada masa demokrasi terpimpin terlihat PKI semakin gigih
mencari pengaruh di dalam masyarakat dengan bersenjata nasakom. PKI berusaha
menanamkan pengaruh komunisme pada masyarakat luas. Lahirnya istilah kontra
revolusi dan front nasional yang kemudian dijadikan penghimpunan politik dan
arena kegiatan politik. Di Sragen ideologi komunis secara halus, teratur,
organisatoris disusupkan ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat misalnya ke
dalam tubuh ABRI (Polres, Kodim), karyawan (serikat buruh), guru (PGRI), tani
(BTI). Kemudian secara fisik PKI dan ormasnya mengadakan latihan militer,
melakukan berbagai tindakan yang provokatif dan mengadakan aksi sepihak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
dengan cara membagikan tanah milik negara seperti di Sragen kota,
Sambungmacan, Gondang, Sambirejo, dan Gemolong.
Organisasi politik dan ormas lain tentu saja tidak tinggal diam tetapi
melakukan beberapa tindakan seperti NU dalam ormas pemuda Ansornya
membentuk Banser, Muhammadiyah dalam pemudanya membentuk KOKAM
(Komando Keamanan Umat). Selain melakukan tindakan fisik ormas-ormas
tersebut juga mengadakan penerangan dan penyuluhan pada masyarakat atas
penyelewengan pemerintah Orde Lama. Organisasi politik di Sragen pada saat itu
antara lain: PNI, NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Katholik,
Parkindo, dan partai Murba (Pemkab Sragen, 1986:146).
Pada tanggal 20 Oktober 1964 secara nasional lahir Sekretaris Bersama
Golongan Karya (Sekber Golkar) begitu juga Sekber Golkar di Kabupaten Sragen
(wawancara Naryo,15/7/2011). Golkar bermula ketika Presiden Soekarno
mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.193 tahun 1964 yang isinya
agar 17 organisasi dalam Front Nasional segera berafiliasi dengan partai-partai
politik yang ada atau bergabung menjadi satu organisasi. Berdasarkan Peraturan
Presiden tersebut, organisasi-organisasi fungsional yang tidak memiliki
afiliasi dengan partai politik kemudian membentuk Sekber Golkar.
Sekber Golkar di Sragen menampung organisasi kekaryaan dan orwan
(organisasi rokhaniawan) yang tidak berafillisasi ke dalam parpol. Adapun ormas-
ormas di Sragen yang bergabung dalam Sekber Golakar pada waktu itu antara
lain: (a) ormas buruh terdiri dari KBM, organisasi buruh proklamasi, organisasi
buruh sarbumusi, organisassi buruh gasbindo, ikatan buruh pancasila, ikatan
buruh Muhammadiyah, (b) ormas tani terdiri dari persatuan tani indonesia
(Petani), persatuan tani NU (Pertanu), petani Muhammadiyah, petani pancasila,
dan Pertukin, (c) ormas wanita antara lain muslimin, wanita marhaen, wanita
Katholik. Sedangkan organisasi lainnya seperti Persit Candrakirana, Bhayangkara,
Pertiwi menunjukan dalam kegiatannya di bidang sosial. Pada tahun 1970 situasi
politik di Sragen membaik maka muncullah organisasi politik lainya di Sragen
antara lain PNI, NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Katholik, Parkindo, dan
Partai Murba.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Sesuai dengan tekad Orde Baru untuk melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen, maka pada tahun 1971 pemerintah Orde Baru
menyelenggarakan pemilu. Dari hasil perhitungan suara masing-masing organisasi
peserta Pemilu mengalami pasang surut perolehan suara. Pada Pemilu pertama
1971 Golkar di Sragen kalah dengan PDI akan tetapi pemilu-pemilu tahun
selanjutnya selama Orde Baru Golkar di Sragen Golkar selalu memperoleh
kemenangan (wawancara Naryo,15/7/2011).
C. Peran Elit Lokal Terhadap Kemenangan Golkar tahun 1992 dan 1997 di
Kabupaten Sragen
Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik
dalam pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang
memenuhi syarat. Peserta pemilu dapat berupa perorangan dan partai politik (Sigit
Pamungkas, 2009:80). Kemenangan Golkar pada beberapa pemilu Orde Baru
memperlihatkan ketangguhan Golkar pada tingkat nasional maupun tingkat lokal.
Fakta sejarah itu sangat menarik untuk dikaji terutama pada tingkat lokal yang
merupakan basis massa partai politik di tingkatan akar rumput (grass root) yang
juga menjadi bagian dari kompetisi politik Golkar dengan partai-partai politik lain
peserta pemilu sepanjang Orde Baru. Salah satu daerah tersebut adalah Kabupaten
Sragen.
Usaha yang dilakukan partai politik dalam proses pelaksanaan pemilu agar
mencapai kemenangan beraneka ragam. Dalam kaitan ini, peranan elit lokal
sangat membantu dalam upaya menggerakkan, mempertahankan dan
meningkatkan kemenangan Golkar dalam pemilu. Elit lokal sangat berperan
dikarenakan pemilu-pemilu Orde Baru dilakukan melalui sebuah proses yang
tersentralisasi pada elit. Para elit-elit itu tidak hanya mengatur hampir seluruh
proses pemilu, namun juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi
partai milik pemerintah. Elit lokal adalah orang-orang yang dinilai oleh
masyarakat memiliki kemampuan intelektual, memiliki kemampuan ekonomi dan
kepemimpinan agama dan oleh masyarakat disegani, dihormati, kaya, dan
berkuasa ditingkat lokal (Yusron, 2009:65).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Indonesia sejak tahun 1900 mengakui adanya dua tingkatan di dalam
masyarakat yaitu rakyat jelata dan priyayi. Administrasi, pegawai pemerintahan,
dan orang-orang Indonesia yang berpendidikan dianggap sebagai elit atau priyayi.
Jadi yang disebut elit adalah orang yang mempunyai stratifikasi di atas rakyat
jelata dan mempunyai kedudukan, memimpin, memberi pengaruh, menuntun, dan
mengatur masyarakat Indonesia (Robert Van Neil, 1984:30). Ketika dilekatkan
pada otoritas dan kekuasaan, maka elit mempunyai dua tipe, yaitu elit yang
memerintah secara formal dan elit yang tidak memerintah secara formal. Dalam
kegiatannya untuk mendukung Golkar, elit lokal secara aktif berperan dalam
proses kemenangan Golkar dalam pemilu. Baik sebagai sosialisator, partisipator,
dinamisator maupun sebagai komunikator.
Kemampuan elit lokal dalam mempengaruhi masyarakat dikarenakan oleh
beberapa hal, diantaranya kekuasaan informal yang diakui dan dihormati oleh
masyarakat. Elit juga menjadi panutan dan teladan bagi masyarakat sehingga elit
adalah sebuah simbol yang selalu dihormati dan dipatuhi. Kemampuan tersebut
dapat digunakan dalam pengumpulan suara dalam pemilu. Kampanye merupakan
bagian dari proses pelaksanaan pemilu. Kampanye pemilu merupakan komunikasi
politik yang dibangun oleh partai politik terutama para kaum elit lokal untuk
meraup suara sebanyak-banyaknya. Seringkali dalam kampanye keluar janji-janji
dari para kaum elit. Janji yang keluar dari mulut seorang elit lokal adalah
program-program partai dengan kalimat-kalimat yang sederhana dan mengena
pada sebuah tindakan atau pokok sasaran. Akan tetapi, saat Orde Baru elit terlihat
hanya berperan sebagai sarana tipu muslihat untuk menjaring suara dalam
pemilu. Golkar yang menginginkan kekuasaan, tidak akan mau melakukan peran
dan fungsi lain sebagai partai, seperti pendidikan dan komunikasi politik yang
merupakan sarana pendewasaan politik rakyat, penyerapan dan penyaluran
aspirasi rakyat, serta pengawasan dan peran kontrol sosial politiknya terhadap
kekuasaan.
Kompetisi ditekan seminimal mungkin, selain itu anehnya meskipun
dalam aturannya para pejabat negara diharuskan netral, akan tetapi pada
prakteknya para pejabat pemerintah justru memihak pada salah satu peserta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
pemilu, yakni Golkar. Menurut Mochtar Pabottingi (1998:12) ditinjau dari segi
struktur dan prosesnya terdapat problematika mendasar dalam format pemilu Orde
Baru yaitu:
1. Terlalu dominannya peranan pemerintah dan sebaliknya sangat
minimalnya keterlibatan masyarakat di hampir semua tingkat kelembagaan
maupun proses pemilu. Dominanasi pemerintah yang terlalu besar dalam
struktur pemilu terlihat dalam kelembagaan dan kepanitiaan pemilu.
2. Proses pemilu tidak bisa berlangsung adil karena adanya pemihakan
terselubung maupun terang-terangan aparat birokrasi pemerintah kepada
Golkar.
3. Monopoli pemerintah, dimana kepanitiaan pemilu hampir semua diisi oleh
orang Golkar dan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru bahkan merekayasa pemilu dengan berbagai aturan
yang menguntungkan Golkar. Salah satunya adalah kewajiban pegawai negeri
untuk memilih kelompok peserta pemilu berlambang beringin itu. Doktrin
monoloyalitas merupakan peraturan yang menetapkan pejabat pemerintah harus
memilih kesetiaan pada pemerintah atau partai (Marbun, 2003:6). Sejak Golkar
menjadi pemenang pemilu hingga tahun 1997, secara tidak langsung membuat
kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kendali Golkar.
Pemerintahan Orde Baru senantiasa diidentikkan dengan pemerintahan
militer, dikarenakan kebijakan Soeharto yang memberikan peran penting kepada
aparat militer dalam peran politik, sosial maupun ekonomi. Pemerintahan Orde
Baru dibawah kendali Soeharto menempatkan militer pada tempat spesial yaitu
dengan menempatkan pada posisi strategis pemerintahan baik di pusat maupun
daerah. Militer juga mendominasi struktur Golkar dengan mendapat perlakuan
istimewa dalam lembaga legislatif dengan jumlah yang besar dimana militer
mendapatkan jatah melalui mekanisme pengangkatan. Kondisi ini menyebabkan
berbagai dampak, khususnya terkait terhalangnya peluang demokrasi atau
berbaliknya Indonesia menjadi rezim otoriter serta menurunkan profesionalisme
militer. Di bidang politik elit militer sangat berpengaruh terhadap kemenangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Golkar pada pemilu Orde Baru, begitu pula dengan militer di Kabupaten Sragen
mempunyai pengaruh atas kemenangan Golkar tahun 1992-1997.
Tradisi intervensi militer terhadap pemilu sangat terlihat pada masa Orde
Baru yaitu militer tidak memiliki hak memilih serta hak dipilih dalam pemilu dan
dalam parlemen militer akan tetapi militer mendapat jatah kursi. Bahkan jatah
kursi militer kemudian ditambah setiap pelaksanaan pemilu masa Orde Baru
(http://dannish11.multiply.com/journal/item/25).
Pada masa Orde Baru militer menjadi penentu kemenangan partai
penguasa yang ditandai dengan berbagai praktek intimidasi dan kegiatan
sabotase lainnya di berbagai daerah. Angkatan bersenjata melaksanakan
intervensi dengan berkedok dwifungsi ABRI dengan menempatkan tenaga militer,
yang aktif maupun pensiunan di MPR, DPR, dan DPR tingkat propinsi dan
kabupaten sebagai eksekutif dan staf di pemerintahan yang juga ditempatkan di
pusat, propinsi dan kabupaten. Selain itu dalam posisi kekuasaan formal dan
informal pengendalian Golkar, ABRI juga mengawasi penduduk melalui gerakan
teritorial yang meliputi seluruh negara dari pusat sampai ke pulau terpencil,
termasuk setiap desa dengan gerakan ABRI masuk desa (AMD). Perwira yang
berdinas aktif rata-rata menempati sekitar seperlima dari jumlah kursi Dewan
Perwakilan Daerah Rakyat (DPRD), yang bertanggungjawab kepada komandan
setempat, dan di MPR dan DPR tingkat nasional, dimana mereka bertanggung
jawab kepada panglima ABRI. Karena diwakili secara formal dalam proses politik
melalui proses pengangkatan, tenaga militer yang aktif kurang lebih 300.000
orang pada 1996 tidak diizinkan memilih atau dipilih dalam pemilu (Emmerson,
2001:74).
Di Kabupaten Sragen intimidasi militer sangat terlihat saat pelaksanaan pemilu.
Hal tersebut terlihat jika setiap penduduk yang tidak memilih Golkar atau
dicurigai tidak mencoblos Golkar dicap sebagai PKI. Jika telah dicap PKI maka
aparat keamanan bebas melakukan apa saja, mulai dari dikucilkan masyarakat,
penyiksaan sampai penghilangan nyawa manusia. Akan tetapi, pada saat itu di
Kabupaten Sragen tidak sampai terjadi korban kekerasan pemilu apalagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
penyiksaan dan penghilangan nyawa, orang tersebut hanya dicap sebagai PKI dan
dikucilkan.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemilu, Orde Baru juga menerapkan
program pemantauan politik dengan melibatkan kepolisian. Dalam sistem Orde
Baru, ABRI menjadi kekuatan politik utama. Polri sebagai bagian dari ABRI juga
menjadi kekuatan penyokong Orde Baru. Terkait dengan Polri, pada tanggal 1 Juli
1969 sebutan menteri berubah menjadi Kepala Kepolisian Negara RI. Pembinaan
anggota Polri juga berada dalam ABRI. Akibatnya peranan, fungsi dan tugas Polri
menjadi rancu dengan tugas-tugas militer. Polri selama Orde Baru menjalankan
peran dwifungsi ABRI yaitu memiliki peran sosial politik selain peran sebagai
penegak hukum. Dengan peran sosial politik itu perwira-perwira Polri juga
dikaryakan menjadi anggota DPR, DPRD Propinsi sampai kabupaten
(http://polmas.wordpress.com/2011/02/18/385/). Saat pemilu tahun 1992-1997
polisi bertugas mengamankan kampanye Golkar dengan menghalang-halangi
kampanye PPP dan PDI. Hal tersebut dilakukan agar Golkar meraih kemenangan,
jika Golkar menang maka anggota Polri dapat memperoleh jabatan tinggi bahkan
dapat diangkat sebagai anggota DPR sehingga tidak mengherankan jika saat itu
para anggota Polri sangat mendukung kemenangan walaupun tidak memiliki hak
suara (wawancara Toto Heru Sunarto,15/4/2011).
Elit tidak saja dari kaum militer, tetapi dari segi spiritual kaum ulama juga
merupakan golongan elit. Kaum ulama merupakan suatu bagian yang sangat
berpengaruh dalam masyarakat Islam abad pertengahan. Kaum ulama mempunyai
kedudukan yang tinggi karena pengetahuan keagamaan. Kaum ulama bahkan
dianggap sebagai pengganti dan kadang-kadang disamakan dengan nabi-nabi
(Sartono Kartodirjo, 1983:129). Pada masa Orde Baru kaum ulama juga sangat
berpengaruh dalam perpolitikan Indonesia terutama bagi Golkar. Sebenarnya awal
pemerintahan Soeharto ditandai dengan hubungannya yang kurang harmonis
dengan kelompok Islam. Soeharto sangat tidak berkenan dengan Islam politik.
Soeharto melihat akan terjadi hal yang tidak baik apabila Islam sebagai ideologi
masuk ke dalam gelanggang politik maka diberlakukannya sistem asas tunggal
bagi semua organisasi masa (ormas) di seluruh Indonesia, Pancasila ditetapkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
sebagai satu-satunya asas yang sah yang diakui oleh negara. Asas lain seperti asas
Islam tidak diperbolehkan. Pada tahun 1989, dua puluh satu tokoh terkemuka dari
NU dan Muhammadiyah secara diam-diam mendukung Soeharto untuk tetap
menjadi presiden. Pada tahun 1991, Soeharto dan seluruh keluarganya pergi
menunaikan ibadah haji ke Mekkah untuk pertama kalinya. Sejak saat itu
kelompok Islam dan Soeharto mulai berjalan bersama-sama yang ditandai dengan
terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang melibatkan
B.J.Habibie (http://thekandjengivan.blog.friendster.com/2007/01/orde-baru/).
Sejak musyawarah nasional (Munas) Golkar tahun 1988, politik Indonesia
khususnya Golkar mengalami perkembangan yang baru. ABRI tidak sekompak
sebelumnya dan dukungan militer terhadap presiden juga tidak sebulat
sebelumnya. Karena hal tersebut maka Golkar merangkul golongan Islam (Leo
Suryadinata, 1992:148). Islam diperlukan dalam proses pelaksanaan pemilu
dikarenakan kelompok Islam merupakan satu-satunya kekuatan yang dapat
dimobilisasi. Dalam realitas kekuatan politik di Indonesia terdapat partai-partai
yang mengusung ideologi Islam selain ideologi nasionalis. Golkar dengan
ideologi nasionalis harus mampu berkompetisi dan bahkan tampil menjadi
pemenang sehingga diperlukan para ulama. Ulama sebagai tokoh panutan cukup
efektif dalam usaha memperoleh kemenangan Golkar terutama di Kabupaten
Sragen yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Pada tahun 1992-1997 hubungan Islam dengan pemerintah dalam keadaan
baik. Hal tersebut juga terjadi di Kabupaten Sragen, para kelompok ulama
khususnya ulama NU berperan secara efektif dalam memenangkan Golkar di
Kabupaten Sragen. Hal tersebut terlihat ketika para kaum ulama mengadakan
pengajian yang diselubungi ajakan untuk memilih Golkar. Dalam bidang politik
ulama di Kabupaten Sragen dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu
1. Ulama yang berpendapat bahwa kehidupan keagamaan dan
kemasyarakatan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, menurut kaum
ulama keterlibatan ulama dalam masalah politik sehari-hari adalah suatu
keharusan. Kelompok ulama inilah yang kemudian secara langsung ikut
terlibat dalam partai politik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
2. Kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan, termasuk politik tidak dapat
dipisahkan. Hanya saja, kaum ulama merasa tidak perlu melibatkan diri
dalam politik praktis. Kelompok ulama ini, peduli pada masalah politik
dan kenegaraan, tetapi tidak mau menjadi pendukung salah satu partai
politik secara terbuka.
3. Kaum ulama yang tidak mau berurusan dengan kehidupan politik. Kaum
ulama merasa kehidupan berpolitik bukan merupakan bidang urusan
ulama. Kelompok ini membatasi kiprahnya hanya dalam masalah moral
keagamaan. Kaum ulama sengaja menghindari kehidupan politik, karena
hal itu dianggap terlalu dunia
Peranan ulama pada pemilu tahun 1992-1997 di Kabupaten Sragen salah
satunya sebagai motivator. Kunci keberhasilan ulama sebagai pemimpin
masyarakat disini terletak pada kemampuannya untuk memberi motivasi dan
memahami kondisi pengikutnya sehingga menjadi daya pendorong yang efektif
agar Golkar meraih kemenangan. Pada kesempatan pengajian-pengajian
khususnya ulama yang terjun ke politik memberikan pengarahan dan pandangan
tentang Golkar sehingga pada kesempatan pengajian-pengajian tersebut
merupakan saat yang terbaik bagi ulama untuk mengumpulkan massa. Selain itu
ulama dalam pemilu tahun 1992-1997 juga berperan sebagai komunikator.
Maksudnya dalam menggerakkan massa ulama harus komunikatif, baik dalam
menyampaikan pengarahan, pembinaan maupun penyuluhan yang tentu saja
memberikan arti bagi Golkar. Dalam melaksanakan tugasnya ulama bertindak
sebagai mediator yang menjembatani antara kepentingan pemerintah di atasnya
dengan kebutuhan kelompoknya (NU) yang dipimpinnya. Oleh sebab itu
koordinasi antara ulama dan pemerintah sangat diperlukan agar kepentingan NU
seperti pengadaan pengajian Akbar mendapatkan izin dari pihak pemerintah
(wawancara Nur Sholikun,9/4/2011).
Masyarakat menganggap ulama khususnya dari NU bukan saja sebagai
imam sholat ataupun ahli dalam memberikan pedoman atau petunjuk hidup pada
masyarakat maupun santrinya tetapi juga sebagai pemimpin politik yang memliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
azas Islam yang selalu teguh pendirian dan pendapat. Apapun yang dikatakan oleh
seorang ulama kepada masyarakat atau umat merupakan fatwa yang harus
dipegang teguh nasehatnya bahkan sampai titik batas kemampuan dalam
menjalankan fatwa dan perintah sang ulama tersebut. Untuk itu peran ulama disini
sangat vital dalam mengendalikan massa yang sangat fanatik dan simpatik
sehingga atas peran ulama tersebut Golkar dapat memenangkan pemilu. Selain
ulama, elit yang berperan adalah kaum intelektual khususnya kaum terdidik
seperti mahasiswa, pengajar, tokoh politik, tokoh organisasi. Setelah Indonesia
merdeka khususnya masa Orde Baru para intelektual mengisi posisi-posisi
kenegaraan. Penguasa memberikan posisi-posisi strategis didalam pemerintah.
Akibatnya, banyak cendekiawan yang berusaha untuk mempertahankan
kepentingannya, tidak mengejutkan jika para kaum cendekiawan tidak mampu
lagi berdiri adil dan tidak memihak kepada rakyat. Jika berbicara tentang kaum
cendekiawan Indonesia masa Orde Baru sangat dipengaruhi oleh pemikiran Sutan
Syahrir.
Kaum cendekiawan menganggap bahwa partai-partai politik menjadi awal
dari kekacauan dari Orde Lama. Para mahasiswa dan kaum cendekiawan sangat
prihatin terhadap perilaku partai-partai politik pada tahun 1965. Para kaum
cendekiawan juga menuduh partai-partai politik menjadi semakin mementingkan
partai dan tidak ada cendekiawan yang memiliki jabatan yang berarti waktu itu.
Dalam pandangan para cendekiawan Orde Baru tidak ada satupun partai yang
tampil dengan program baru maka kaum cendekiawan bergabung dengan militer
(Leo Suryadinata, 1992:38-39). Pada saat itu kaum cendekiawan lebih
mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan individu atau
kelompok. Kaum cendekiawan senantiasa sadar bahwa terwujudnya masyarakat
yang damai dan sejahtera merupakan tugas paling utama dalam kehidupan. Oleh
karena itu, hal-hal yang mengancam kesejahteraan seperti korupsi, konflik, dan
semacamnya menjadi tanggung jawab sosial yang harus diselesaikan. Kaum
cendekiawan lebih mementingkan arti hidup bukan pada kekayaan pribadi
melainkan seberapa besar hidup itu memberi manfaat bagi kehidupan bersama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Pada masa Orde Baru, kaum cendekiawan banyak memberikan ide dan
dorongan politik bagi pelaksanaan pemerintah. Hal tersebut memperlihatkan
bahwa cendekiawan maupun militer mempunyai semacam kepentingan yang
sama. Di Kabupaten Sragen, kaum cendekiawan berada pada posisi penting dalam
memperjuangkan dan memenangkan Golkar bahkan pengaruhnya cukup
signifikan dalam proses pelaksanaan pemilu tahun 1992-1997 di Kabupaten
Sragen, banyak para mahasiswa tergabung dalam panitia pemungutan suara selain
itu para mahasiswa juga menjadi jurkam Golkar. Keterlibatan kaum cendekiawan
dalam mendukung Golkar saat itu mendapat imbalan dimana kaum cendekiawan
di Kabupaten Sragen dipercaya untuk memegang posisi penting dalam pemerintah
bahkan menjadi lurah di berbagai desa. Puncaknya saat pemerintah memberikan
ruang yang begitu luas kepada kaum cendekiawan untuk menempati kedudukan
strategis di pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif, sehingga tidak
mengherankan jika kaum cendekiawan banyak yang terjun ke politik atau
bergabung dengan Golkar karena mempunyai kesempatan untuk merubah status
sosialnya secara vertikal menjadi kelas elit atau penguasa (wawancara
Rudi,9/4/2011).
Kekuatan Golkar juga terletak pada elit birokrasi yang menduduki jabatan
dan mempunyai wewenang untuk memberikan perintah dan pengarahan kepada
pejabat bawahan dalam pemerintahan, bahkan sampai kepada lurah. Walaupun
secara resmi lurah tidak boleh masuk ke dalam Golkar ataupun Parpol. Dalam
hubungan vertikal ke bawah seperti itulah letak kekuatan Golkar, sebab hubungan
tersebut adalah hubungan kekuasaan bukan hubungan vertikal organisasi semata-
mata (Prisma, Agustus 1979:65). Pejabat pemerintah mulai dari Gubernur, Bupati,
Camat bahkan lurah sangat mempunyai andil besar dalam kemenangan Golkar.
Selain itu Pegawai Negeri Sipil yang tergabung dalam Korps Pegawai Republik
Indonesia (Korpri) juga berperan dalam kemenangan Golkar. Jika PNS yang tidak
bersedia memilih dan mendukung Golkar maka harus rela dikeluarkan. Begitu
pula dengan kepala desa yang tidak bersedia, mengalami nasib yang tidak jauh
berbeda(wawancara Dyah,22/4/2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Kemampuan pejabat pemerintah yang mempunyai kekuasaan formal yang
diakui dan dihormati sangat diperlukan untuk mempengaruhi masyarakat agar
memilih Golkar. Selain itu para elit lokal (pejabat pemerintah) juga menjadi
panutan dan teladan bagi masyarakat sehingga elit merupakan sebuah simbol
yang selalu dihormati dan dipatuhi. Peran elit atau pejabat pemerintah tersebut
antara lain:
a. Peran dalam sosialisasi
Pemilu merupakan bentuk demokrasi maka sangat penting pemahaman
masyarakat terhadap sistem politik serta bagaimana masyarakat terlibat dan
memainkan peran didalamnya sehingga Golkar dipromosikan dan mendorong
agar masyarakat memilih Golkar.
b. Peran dalam partisipasi
Partisipasi pada level individu merupakan keterlibatan atau keikutsertaan
individu dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Peranan elit sebagai salah satu
aktor dalam masyarakat. Keterkaitan antara aspek kognitif, afektif dan tindakan
atau keterlibatan merupakan rangkaian dari proses partisipasi. Elit politik
berdasarkan aspek kognitif memiliki seperangkat pengetahuan yang lebih
dibandingkan dengan masyarakat lainnya, sehingga akan berakibat pada tingginya
keterlibatan elit dalam sisi afektif yang meliputi kehadiran (fisik), keaktifannya,
peran, dan sumbangan dalam kegiatan-kegiatan publik.
c. Peran dalam kontrol sosial
Kontrol sosial merupakan segala proses baik yang direncanakan maupun
tidak direncanakan yang bersifat mengajak atau bahkan memaksa warga-warga
masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku, terutama
dalam mengontrol masyarakat untuk memilih Golkar sebagai pilihan masyarakat
dalam pemilu (http://www.jppr.or.id/content/view/1202/08).
Menurut Mochtar Pabottingi (1998:121) penguasa Orde Baru yang
didominasi oleh elit militer, merekrut birokrasi dan cendekiawan untuk
menyertainya menduduki puncak kekuasaan dan membantunya mengelola serta
memanfaatkan kekuasaan. Kerjasama dan komposisi elit penguasa dapat
dipertahankan. Akan tetapi, setelah pembangunan menghasilkan kemajuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
ekonomi dan sosial maka elit industri (pengusaha) direkrut ke dalam badan
legislatif.
Disektor Industri, Kabupaten Sragen terbilang cukup berhasil antara lain
batik tulis dan mebel. Kaum pengusaha pada masa Orde Baru sangat dekat dengan
pemerintah atau pemimpin daerah. Hal tersebut dikarenakan pengusaha yang
paling berpengaruh dalam membuat kebijakan di bidang ekonomi. Pengusaha juga
memiliki kedudukan di pemerintah sebagai anggota DPR sehingga para
pengusaha khususnya di Kabupaten Sragen secara ekonomi memberikan dana
yang tidak kecil untuk Golkar khususnya saat pemilu tahun 1992-1997, dana
tersebut digunakan untuk kepentingan kampanye maupun diberikan untuk
masyarakat agar memilih Golkar. Praktik penggunaan uang (money politics)
untuk membeli suara sesungguhnya bukan hal baru dalam praktik politik di
Indonesia. Praktik ini digunakan oleh para pengusaha untuk memenangkan Golkar
agar posisinya dalam pemerintah tidak terwakili oleh elit lainnya. Selain berperan
sebagai penyokong dana, para kaum pengusaha yang memiliki status sosial atas
kekayaannya menjadi panutan dan teladan bagi masyarakat sehingga elit
pengusaha selalu dihormati dan dipatuhi. Peran pengusaha Sragen dalam pemilu
tahun 1992-1997 antara lain pengusaha mempromosikan Golkar sebagai peserta
pemilu yang harus dipilih oleh rakyat khususnya karyawannya, peran
berpartisipasi dalam keterlibatan atau keikutsertaan dalam kegiatan Golkar,
selanjutnya elit pengusaha juga berperan dalam kontrol sosial dimana mengajak
atau memaksa warga-warga masyarakat khususnya karyawannya agar mematuhi
kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku, terutama dalam mengontrol
masyarakat untuk memilih Golkar sebagai pilihan (wawancara Rudi,9/4/2011).
Dengan kemenangan Golkar dalam pemilu, pada dasarnya posisi pemerintah
telah diduduki Golkar. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Golkar telah
memegang posisi kunci dalam menentukan kebijaksanaan politik nasional dan pada
dasarnya Golkar adalah kaum birokrat yang telah memenangkan kursi dalam pemilihan.
Oleh sebab itu pijakan mereka berdasarkan pada bagaimana caranya tetap menjaga dan
meneruskan kedudukannya (Prisma, Agustus 1979:65).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
D. Pelaksanaan Pemilu tahun 1992 dan 1997 di Kabupaten Sragen
1. Pelaksanaan Pemilu tahun 1992 di Kabupaten Sragen
Dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi, pemilihan umum
merupakan salah satu sarana utama untuk menegakkan tatanan politik yang
demokratis dan berfungsi sebagai alat menyempurnakan demokrasi. Pemilihan
umum pada dasarnya merupakan sarana azas kedaulatan rakyat berdasarkan
Pancasila, yang diselenggarakan dengan mengadakan pemungutan suara secara
langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pemilihan umum pada masa Orde Baru pada
dasarnya merupakan sarana untuk menentukan calon DPR, DPRD I, DPRD II
serta untuk mengisi keanggotaan MPR. Pemilihan umum tahun 1992
diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992, merupakan pemilu di Indonesia yang
ke-enam untukmemilih anggota legislatif, dan yang ke-lima di bawah rezim Orde
Baru. Setelah tahun 1971, pelaksanaan pemilu yang periodik dan teratur mulai
terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971,
yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Satu hal yang
nyata perbedaannya dengan pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak
pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi
setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha
menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang
Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya (Golkar).
Jadi dalam 5 kali pemilu yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997
pesertanya hanya tiga. Hasilnya yaitu Golkar selalu menjadi pemenang,
sedangkan PPP dan PDI seolah-olah hanya menjadi pelengkap.
Pada pemilu tahun 1992 mengikutsertakan seluruh rakyat untuk
berpartisipasi, akan tetapi sesuai ketentuan perundangan yang berlaku masih
terdapat pengecualian bagi sebagian kecil rakyat Indonesia yaitu WNI yang
terlibat G30S/PKI. Untuk menggunakan hak memilihnya mereka perlu
mendapatkan pertimbangan dari pemerintah (Panitia pemilu pemkab sragen,
1992:65). Dasar hukum pelaksanaan pemilu Orde Baru pertama tahun 1971
menggunakan UU No 15 Tahun 1969 Tentang Pemilu. Untuk pelaksanaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
pemilu-pemilu berikutnya, pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 UU No 15
tahun 1969 telah diperbarui dengan UU No 4 tahun 1975, UU No 2 tahun 1980
dan UU No 1 Tahun 1985 (Sigit Pamungkas, 2009:78).
Tahapan kegiatan penyelenggaraan pemlihan umum tahun 1992 di
Kabupaten Sragen antara lain:
1. Pendaftaran pemilih dan jumlah penduduk WNI dilaksanakan secara
serentak mulai tanggal 1 Mei 1991 sampai dengan 20 Juli 1991 oleh
panitia pendaftaran pemilih dibantu petugas pendaftar. Jumlah peduduk
WNI Kabupaten Sragen tahun 1992 tercatat 843.493 jiwa, adapun jumlah
pemilih yang tercatat/terdaftar adalah 522.219 terdiri dari 252.853 laki-laki
dan 269.366 perempuan.
2. Penetapan jumlah anggota yang dipilih untuk tiap daerah pemilihan
tanggal 9 Juli 1991 sampai dengan tanggal 23 Juli 1991 berdasarkan
jumlah penduduk WNI maka penetapan jumlah anggota yang dipilih untuk
tiap daerah pemilihan yang kemudian ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Dalam Negeri/Ketua Lembaga Pemilihan Umum Nomor 59 Tahun 1991
tanggal 27 Agustus 1991.
3. Pengajuan nama dan tanda gambar organisasi peserta pemilu pada tanggal
1 Mei 1991 sampai dengan 29 Juni 1991. Pelaksanaan tahapan ini berada
ditingkat pusat, masing-masing DPP organisasi peserta pemilihan umum
mengajukan usulan tanda gambar kepada menteri dalam negeri/ketua
lembaga pemilihan umum sesuai ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Nama, tanda gambar, dan nomor urut dari tiga organisasi peserta
pemilihan umum tahun 1992 ditetapkan dalam keputusan menteri dalam
negeri/ketua lembaga pemilihan umum nomor 48 tahun 1991 tanggal 26
Juni 1991.
4. Pengajuan calon dari tanggal 30 Juli 1991 sampai dengan 8 September
1991. Masing-masing pimpinan daerah/cabang organisasi peserta pemilu
pada tanggal 6 Agustus 1991 telah mengajukan berkas calon-calonnya
kepada Bupati, PPP mengajukan 39 calon, Golkar mengajukan 72 calon,
dan PDI mengajukan 23 calon.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
5. Penelitian calon tanggal 17 September 1991 sampai dengan tanggal 31
Oktober 1991 setelah berkas diterima panitia Pemilihan Daerah Sragen,
maka berkas calon tersebut diadakan penelitian oleh panitia penelitian
mencakup kelengkapan, keabsahan, dan kebenaran berkas-berkas calon.
Selain itu juga diteliti mengenai mental ideologi para calon. Bagi nama-
nama calon yang kelengkapan administrasinya belum lengkap maka perlu
diperbaiki. Dari hasil penelitian semua calon yang lolos maka dapat
diajukan masuk menjadi daftar calon sementara
6. Penetapan calon/penyusunan daftar calon tanggal 1 Desember sampai
tanggal 20 Desember 1991. Penyusunan daftar calon sementara bersama
DPC/DPD II Organisasi peserta pemilu yang bersangkutan dengan
menggunakan formulir daftar calon sementara anggota DPRD Kabupaten
Sragen.
7. Pengumuman daftar calon tetap
Dengan telah disyahkannya daftar calon tetap DPRD II Sragen, maka
setelah selesai pencetakannya kemudian diumumkan kepada masyarakat
luas melalui media yang ada baik cetak maupun elektronik.
8. Kampanye Pemilu tanggal 10 Maret sampai dengan 3 Juni 1992
Pelaksanaan kampanye secara umum dapat berjalan lancar, tertib, dan
aman. Tema dan materi kampanye adalah program tiap organisasi peserta
pemilu yang berhubungan dengan pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila. Demikian pula menggenai waktu dan tempat
penyelenggaraan kampanye. Setelah selesai masa kampanye dari tanggal
10 Maret 1992 sampai dengan tanggal 3 Juni 1992 maka berikutnya adalah
masa tenang dan tanggal 4 Juni 1991 sampai dengan tanggal 8 Juni 1992.
9. Pemungutan suara
Pemungutan suara dalam pemilu tahun 1992 dilaksanakan serentak tanggal
9 Juni 1992 dalam satu hari diselenggarakan oleh KPPS dan diawasi saksi-
saksi dari ketiga organisasi peserta pemilu. Pemungutan suara pemilu 1992
berjalan lancar, tertib, dan aman. Para pemilih dengan penuh kesadaran
telah memberikan suaranya pada TPS-TPS yang ditentukan. Dari 522.219
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
orang pemilih yang terdaftar, 481.313 orang (92,17%) telah menggunakan
hak pilihnya secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.
10. Penghitungan suara
Penghitungan suara dilaksanakan secara berjenjang dari penghitungan
suara di TPS, perhitungan suara daerah pemungutan suara, dan
penghitungan suara daerah tingkat II. Penghitungan suara di seluruh
tingkatan ini berjalan lancar dan tertib dengan disaksikan para saksi dari
ketiga organisai peserta pemilu. Penghitungan suara Sragen dilaksanakan
pada tanggal 20 Juni 1992.
11. Penetapan hasil
Sesuai jumlah suara yang diperoleh masing-masing organisasi peserta
pemilu ditetapkan calon terpilih dari masing-masing organisasi peserta
pemilu (Panitia pemilu pemkab sragen, 1992:1-3).
Hasil pemilu tahun 1992 yang dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992
mengagetkan banyak orang baik secara nasional maupun lokal. Hal tersebut
dikarenakan perolehan suara Golkar ditingkat nasional merosot dibandingkan
pemilu 1987. Kalau pada pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16%,
pada pemilu 1992 turun menjadi 68,10 % atau merosot 5,06%.
Di Kabupaten Sragen perolehan suara Golkar juga mengalami penurunan
dan PDI berhasil mendapat tambahan kursi. Pada pemilu 1992 PDI di Kabupaten
Sragen berhasil menambah 5 kursi dengan memperoleh suara 99.075 atau 21, 4%.
Sedangkan perolehan Golkar sebanyak 305.640 suara atau 67,07 % atau
mengalami penurunan sekitar 12,17%. Tahun 1987 Golkar meraih suara 79,24%
suara (Suara Merdeka, 13 Juni 1992, hlm. iv).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Tabel 2.Hasil perolehan suara pemilu 1992 di Kabupaten Sragen
No Kecamatan PPP Golkar PDI
1 Sragen 2.359 26.870 8.488
2 Kedawung 1.083 24.542 3.353
3 Masaran 4.030 21.100 7.553
4 Sidoharjo 3.963 10.579 6.237
5 Karangmalang 1.947 24.711 3.129
6 Gondang 908 10.144 4.023
7 Ngrampal 1.015 13.350 5.291
8 Sambirejo 865 12.721 5.108
9 Sambungmacan 2.230 14.986 6.045
10 Tangen 744 12.143 1.121
11 Gesi 1.504 7.805 2.095
12 Sukodono 2.728 10.907 2.977
13 Mondokan 2.478 10.964 3.511
14 Jenar 506 11.747 1.773
15 Kalijambe 7.099 10.570 5.312
16 Plupuh 3.211 15.510 6.579
17 Sumberlawang 2.700 17.306 4.560
18 Miri 2.056 10.271 4.826
19 Tanon 6.861 11.834 9.639
20 Gemolong 3.417 12.444 6.517
Jumlah 51.701 305.394 98.878
Sumber:Arsip KPU Sragen tahun 1992
Berdasarkan arsip KPU Kabupaten Sragen pada pemilu tahun 1992 di
Kabupaten Sragen terdapat 3 organisasi peserta pemilu yang terdiri dari 2 partai
politik dan satu organisasi sosial politik (Golkar). Berdasarkan Tabel 1 diatas
dapat diketahui bahwa dari 20 kecamatan di Kabupaten Sragen, Golkar
merupakan organisasi peserta pemilu yang memperoleh suara terbanyak yaitu
305.394 suara. Sedangkan partai politik yang memiliki suara terendah adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
PDI. Dari 20 Kecamatan yang ada di Kabupaten Sragen, Golkar meraih
kemenangan terbesar di Kecamatan Sragen dengan memperoleh 8,8%. Hal ini
dikarenakan Kecamatan Sragen merupakan kota Kabupaten dimana para elit lokal
bertempat tinggal di kecamatan ini jadi tidak mengherankan jika kecamatan ini
Golkar memperoleh suara yang tinggi. keterpurukannya suara paling sedikit
Golkar terdapat di kecamatan Gesi dengan perolehan suara 2,6%. Hal ini
dikarenakan jumlah pemilihnya juga relatif kecil jika dibandingkan dengan
kecamatan lainnya. Sedangkan Kecamatan yang memiliki kekuatan berimbang
dengan peserta lainnya adalah kecamatan Tanon dimana Golkar memperoleh
11.834 suara sedangkan PDI memperoleh 9.639 suara. Jika dibandingkan dengan
kecamatan-kecamatan lainnya, kecamatan Tanon yang memiliki selisih suara yang
paling kecil dengan kontenstan lainnya. Disinilah Kenaikan tersebut sebagai
indikator kepercayaan masyarakat Gesi dalam mempercayakan aspirasinya kepada
partai PDI.
Penurunan perolehan suara Golkar pada pemilu 1992 di Kabupaten Sragen
tidak terlepas dari kegagalan para elit lokal untuk mengangkat isu-isu besar yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat ditingkat nasional seperti penggusuran
tanah, regenerasi politik. Menanggapi hal tersebut pihak elit lokal Golkar tampak
pasif dan defensif dalam menanggapi isu-isu tersebut bahkan dalam kampanye
pemilu 1992 para juru kampanye atau elit lokal yang terlibat hanya minta maaf
atas kesalahan serta kekurangan pelaksanaan pembangunan selama kepemimpinan
Golkar dan tidak adanya tindakan nyata dari para elit lokal untuk memperbaikinya
sehingga tidak mengherankan jika kepercayaan masyarakat Sragen pada tahun
1992 dalam mempercayakan aspirasinya berpindah ke partai PDI.
Suara Golkar di Kabupaten Sragen pada pemilu 1992 dikarenakan
Pendukung Golkar antara lain ABRI, Birokrasi, Golkar sendiri yang mana pada
tahun 1992 tidak terang-terangan mendukung Golkar seperti pemilu-pemilu
sebelumnya. Pada tahun 1992 dana dari pusat untuk kegiatan kampanye sedikit
jadi para elit kurang bersemangat untuk berkampanye (wawancara
Naryo,15/7/2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Tabel 3. Daftar Nama Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II
yang dipilih dari Golkar periode 1992-1997
No Nama Jabatan 1 Samsul Huda Ketua 2 Nang Sri Wiyono Wakil ketua 3 Drg.Rahardjo Sekretaris 4 Ny. Sri Indiyah Soegiyoto Wakil sekretaris 5 Soetardi, SH Bendahara 6 Syamsuri, BA anggota 7 Supardhi anggota 8 Bagus Suyoto anggota
10 M.ToharKi Hardjosubroto, anggota 11 Drs.Sri Busono anggota 12 Poerwoatmodjo anggota 13 Moertoyo anggota 14 Ny.Tjut Asiah Said Nurdin anggota 15 Supirman anggota 16 Soeyadi, BA anggota 17 Ny.H. Surati Kamil anggota 18 Sumadi, BCHK anggota 19 Rawuh Soeprijanto MS anggota 20 Ny.Sumarni Palam anggota 21 J.Moehari BsHK anggota 22 Mustofa, BA anggota 23 Margono,BA anggota 24 F.X Soewito BSC anggota 25 I Made Sara,SH anggota 26 Iwan Supardji anggota
Sumber:Arsip KPU Sragen tahun1992
2. Pelaksanaan Pemilu Tahun 1997 Di Kabupaten Sragen
Pemilu 1997 merupakan pemilu keenam yang diselenggarakan di bawah
pemerintah Orde Baru. Sistem pemilu yang dipakai sama dengan pemilu Orde
Baru sebelumnya yaitu sistem proposional. Pada sistem ini peserta pemilu
mendapatkan alokasi kursi berdasarkan proporsi suara yang diperoleh. Dalam
menentukan jumlah kursi di masing-masing daerah pemilihan, tidak semata-mata
didasarkan pada jumlah penduduk, namun juga didasarkan pada wilayah
administratif. Sedangkan struktur pemilihan yang digunakan adalah sistem daftar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
tertutup. Para pemilih hanya memilih salah satu partai yang tersedia bukan
memilih kandidat (Sigit Pamungkas, 2009:80).
Pemilihan umum tahun 1997 diselenggarakan secara serentak pada tanggal
29 Mei 1997 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Propinsi maupun
DPRD Tingkat II Kabupaten atau Kotamadya untuk periode 1997-2002.
Pemilihan umum ini merupakan yang terakhir kali diselenggarakan pada masa
Orde Baru. Dasar hukum pelaksanaan pemilu tahun 1997 sama halnya dengan
pemilu 1992 yaitu memakai landasan UU No 1 Tahun 1985 yang ditindaklanjuti
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985. Berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilu, dijelaskan bahwa Peraturan Pemerintah terdiri dari
dewan pimpinan dan dewan pertimbangan. Dewan pimpinan meliputi menteri
dalam negari, menteri luar negeri, panglima ABRI. Sedangkan dewan
pertimbangan terdiri atas 1 ketua, 4 wakil ketua, perwakilan Golkar, PDI, PPP,
dan ABRI masing-masing sebanyak 3 orang. Sementara sekretariat umum dan
wakil sekretaris PP diangkat dan diberhentikan oleh presiden (Sigit Pamungkas,
2009:53).
Pada pemilu 1997 Golkar kembali merebut suara pendukungnya. Perolehan
suara Golkar secara nasional mencapai 74,51%, atau naik 6,4%, PPP juga
menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,4%. Sedangkan PDI, yang
mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati
Soekarno, perolehan suara PDI merosot 11,84%, dibandingkan pemilu 1992
(http://www.kpu.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=41).
Salah satu fenomena menarik dalam politik Indonesia Orde Baru khususnya
pemilu 1997 diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di
banyak daerah, meningkatnya protes masyarakat atas ketidakadilan, pemihakan,
dan kontrol birokrasi negara baik dalam proses pencalonan maupun atas para
calon anggota DPR (Mochtar Pabottingi, 1998:82). Protes terhadap kecurangan
terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak
suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan.
Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian. Suara protes juga dilakukan
oleh pendukung PDI karena kecewa atas penggusuran Megawati sebagai ketua
umum digantikan Suryadi yang didukung oleh pemerintah dan militer. Sementara
itu, kisruh PDI ditingkat pusat juga mempengaruhi perolehan suara PDI di
Kabupaten Sragen penurunan suara signifikan dimana pada pemilu 1992
memperoleh 98.878 sedangkan pemilu 1997 PDI hanya memperoleh 11.552
suara.
Tabel 4. Hasil pemilu tahun 1997 di Kabupaten Sragen
No Kecamatan PPP Golkar PDI 1 Sragen 7.000 31.505 1.181 2 Kedawung 2.404 30.732 406 3 Masaran 8.892 28.133 788 4 Sidoharjo 6.449 24.823 677 5 Karangmalang 2.653 29.738 319 6 Gondang 2.595 21.290 566 7 Ngrampal 3.756 16.845 860 8 Sambirejo 2.413 17.382 638 9 Sambungmacan 4.883 19.468 601 10 Tangen 857 13.873 120 11 Gesi 2.065 9.079 450 12 Sukodono 2.384 14.369 409 13 Mondokan 2.206 15.841 217 14 Jenar 1.008 13.571 344 15 Gemolong 6.193 17.871 643 16 Kalijambe 9.831 14.844 503 17 Plupuh 6.481 19.890 528 18 Sumberlawang 3.868 21.768 471 20 Miri 3.802 14.729 539 21 Tanon 10.357 19.210 1.292 Jumlah 90.097 394.966 11.552
Sumber:Arsip DPC Golkar Kabupaten Sragen tahun 1997
Berdasarkan Tabel 2 diatas diketahui bahwa Golkar memperoleh
kemenangan mutlak dari 20 kecamatan di Kabupaten Sragen dengan memperoleh
394.966 atau 79,5%. Jika hal tersebut dibandingkan dengan perolehan suara
Golkar pada pemilu sebelumnya tahun 1992 Golkar di Kabupaten Sragen hanya
memperoleh 305.394 suara atau 66,9%. Angka ini sebenarnya masih tinggi dan
Golkar masih tampil sebagai pemenang dalam pemilu itu karena PPP dan PDI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
memperoleh suara di bawah Golkar. Pada pemilu tahun 1997 menjadikan Golkar
mendapatkan suara paling tinggi dalam sejarah pemilu Orde Baru (74,51%). Di
Kabupaten Sragen Suara Golkar juga mengalami peningkatan yang cukup
signifikan 79,5%. Kemenangan tersebut tidak terlepas dari para elit lokal (militer,
pengusaha, ulama, pejabat pemerintah (birokrasi), kaum cendekiawan seperti
kaum terdidik seperti mahasiswa, pengajar, tokoh politik, anggota organisasi)
yang mampu bekerja secara maksimal sehingga Golkar mampu mencapai
kemenangan yang maksimal. Salah satu fenomena menarik dalam pemilu 1997
diwarnai banyak kecurangan termasuk kecurangan yang dilakukan oleh elit lokal
yang mengintimidasi rakyat untuk memilih Golkar seperti di Kecamatan
Kalijambe pada pemilu tahun 1997, malam hari sebelum pemungutan suara para
lurah disetiap desa diwajibkan untuk untuk mengumpulkan ketua RT untuk
menyusun strategi agar masyarakat memilih Golkar. Suara protes juga dilakukan
oleh pendukung PDI karena kecewa atas penggusuran Megawati sebagai ketua
umum digantikan Suryadi yang didukung oleh pemerintah dan militer. Sementara
itu, kisruh PDI ditingkat pusat juga mempengaruhi perolehan suara PDI di
Kabupaten Sragen penurunan suara signifikan dimana pada pemilu 1992
memperoleh 98.878 atau 21,7% sedangkan pemilu 1997 PDI memperoleh 11.552
suara atau 2,53 %.
Pemilu 1997 di Kabupaten Sragen Golkar meraih kemenangan secara
mutlak juga dikarenakan adanya aliran dana dari Bupati sehingga uang tersebut
dapat digunakan untuk kepentingan Golkar yang mana pada pemilu 1992 Golkar
dikabupaten Sragen tidak menerima dana dari pusat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Tabel 5. Daftar Nama Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Tingkat II yang dipilih dari Golkar periode 1997-2002
No Nama Jabatan 1 Alwi Suddin, SH Ketua 2 Dra. Sri Indiyah Wakil ketua 3 Drs.Sri Busono Sekretaris 4 Mutoyo Wakil sekretaris 5 Mustofa Bendahara 6 Sutrisno Yuwono anggota 7 Suparman anggota 8 Ernawati anggota 10 Bagus Suyoto anggota 11 Sukamto YS anggota 12 Utami Rahayu anggota 13 Agus Faturrahman,SH anggota 14 Drs.Kusnadi anggota 15 Sumadi,BCHK anggota 16 Ny.Suratno anggota 17 H,Maryono anggota 18 Sri Widodo anggota 19 Muh. Sufirman anggota 20 Praajo anggota 21 H.Syamsuri anggota 22 WS.Wiyono anggota 23 Drs.Subono anggota 24 Drs.Sardjono anggota 25 Sulaeman anggota 26 Ny.Said Nurdin anggota 27 Drs.Mahmudi anggota 28 Drs.Hasyim Asyari anggota 29 Tibyana Albandi Anggota
Sumber:Arsip KPU Sragen tahun 1997
Pemilu berikutnya, sekaligus pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru,
yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tanggal 7 Juni 1999 di diikuti oleh 48
partai politik. Sebagai pemenangnya adalah PDI P yang meraih 35.689.073 suara
atau 33,74 % Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 %. PKB dengan
13.336.982 suara atau 12,61 %. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 %, PAN
meraih 7.528.956 suara atau 7,12 % (http://pemilu.okezone.com/sejarah/99).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Tabel 6. Hasil pemilu tahun 1999 di Kabupaten Sragen
No Nama Partai Politik Hasil Perolehan Suara 1 PIB 502 2 PKNI 380 3 PNI 2.329 4 PADI 279 5 P.KAMI 3.075 6 PUI 783 7 PKU 598 8 P.MASUMI BARU 584 9 PPP 18.635 10 PSII 1.270 11 PDI P 252.466 12 PAY 1.307 13 PKM 716 14 PDKB 1.638 15 PAN 37.825 16 PRD 503 17 PSII 1905 318 18 PKD 357 19 PILAR 79 20 PARI 301 21 P. MASYUMI 3.180 22 PBB 4.923 23 PSP 286 24 PK 6.307 25 PNU 657 26 PNI FM 5.068 27 P.IPKI 2.446 28 P. REPUBLIK 1.115 29 PID 290 30 PNI MM 5.426 31 P.MURBA 204 32 PDI 3.104 33 P.GOLKAR 73.121 34 P.PERSATUAN 1.058 35 PKB 40.385 36 PUDI 307 37 PBN 772 38 P.MKGR 555 39 PDR 1.692 40 PCD 548 41 PKP 1.658 42 P.SPSI 307 43 PNBI 806 44 P.BHINEKA TUNGGAL IKA 208 45 P.SUNI 553 46 PND 1.216 47 PUMI 157 48 PPI 470 Jumlah 480764 Sumber Arsip KPU Kabupaten Sragen tahun 1999
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Selain ditingkat nasional peningkatan perolehan suara PDIP juga
berlangsung di daerah-daerah kabupaten salah satunya Kabupaten Sragen. Lima
besar partai yang memperoleh suara terbanyak di Kabupaten Sragen adalah Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDI P), Partai Golkar, Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
Dari hasil pengamatan Tabel 3 dapat diketahui bahwa PDIP pada pemilu
1999 di Kabupaten Sragen meraih kemenangan mutlak dengan 252.466 suara atau
52,5%. PDI Perjuangan mendapat perolehan suara tiga kali lebih banyak
dibanding partai Golkar yang memperoleh 73.121 suara atau 15,2%. Pada saat
itu kedua partai tersebut memang merupakan partai-partai besar yang sama-sama
memiliki kekuatan yang tinggi. Kemenangan PDI P dinilai sebagai bentuk
pelarian warga dari kejenuhan Orde Baru, berupa kekuatan politik yang di
dominasi oleh Soeharto melalui partai Golkar, dan ketika di hadapkan oleh dua
pilihan Golkar dan PDI P sebagai kekuatan yang besar, masyarakat memilih PDI
P sebagai sesuatu yang berbeda agar terjadi perubahan. Kemenangan PDI P tidak
terlepas dari banyaknya elit birokrat dan tokoh masyarakat yang semula dikenal
sebagai tokoh atau pengurus Golkar tiba-tiba pindah ke partai lain dan tampil
sebagai calon anggota legislatif pada pemilu tahun 1999. Sebagian lainnya adalah
mantan-mantan birokrat yang telah pensiun, para aktifis LSM, para pengusaha,
para kepala desa dan mantan kepala desa, dan bahkan para ibu rumah tangga yang
sebelumnya tidak pernah mengenal partai politik maka pada pemilu 1999 banyak
yang bergabung ke PDI P. Di tingkat nasional, diantara tokoh atau dedengkot
Golkar yang pindah ke partai lain antara lain Marzuki Ali, Ruhut Sitompul
sedangkan ditingkat lokal Kabupaten Sragen antara lain Bagus Suyoto anggota
DPRD II Sragen pindah ke PDI dan sekarang menjabat sebagai pengurus
kecamatan, bahkan para ulama-ulama yang masa Orde Baru bergabung dengan
Golkar pada pemilu 1999 pindah ke partai Islam seperti PKB, PPP, dan PAN
(wawancara Rudi,9/4/2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Tabel 7. Hasil pemilu Golkar tahun 1999 di Kabupaten Sragen
No Kecamatan Perolehan suara Golkar
1 Sragen 6.787
2 Kedawung 4.217
3 Masaran 5.051
4 Sidoharjo 2.971
5 Karangmalang 5.055
6 Gondang 3.418
7 Ngrampal 2.919
8 Sambirejo 1.917
9 Sambungmacan 2.828
10 Tangen 4.350
11 Gesi 2.519
12 Sukodono 4.808
13 Mondokan 3.064
14 Jenar 3.487
15 Gemolong 3.910
16 Kalijambe 2.988
17 Plupuh 2.765
18 Sumberlawang 4.596
19 Miri 2.705
20 Tanon 2.766
Sumber Arsip KPU Kabupaten Sragen tahun 1999
Berdasarkan Tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa dari 20 kecamatan di
Kabupaten Sragen, Golkar meraih 73.121 suara atau 15,2 %. Golkar menduduki
posisi kedua setelah PDIP. Dari kedua puluh kecamatan tersebut kecamatan
Sragen masih mempunyai suara tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya.
Reformasi telah memperlihatkan kader atau elit lokal di masa Orde Baru
hanyalah bawahan Soeharto, sedangkan sistem pengkaderan telah melahirkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
kesetiaan yang tidak loyal. Sistem pengkaderan Golkar dan kekuasaan yang
dimiliki selama 30 tahun, ternyata tidak melahirkan kebanggaan bagi kader-
kadernya dan terbukti telah gagal melahirkan kader-kader tangguh dengan
loyalitas, kemampuan dan daya tahan tinggi menghadapi tekanan, serbuan,
hujatan. Jika Golkar kehilangan suara lebih dari 50 % pada pemilu 1999 di
Kabupaten Sragen merupakan indikasi cukup kuat bahwa sistem apapun yang ada
di Golkar selama puluhan tahun, tidak mampu mengikat mayoritas anggota dan
kadernya secara kelembagaan dan ideologis. Akan tetapi, dalam situasi tertekan
dan terancam Golkar masih bisa bertahan dengan memperoleh 73.121 suara atau
15,2% pada pemilu 1999. Hal tersebut menunjukkan jika anggota dan simpatisan
Golkar (elit lokal) yang masih ada masih loyal kepada Golkar. Golkar mengalami
penurunan suara secara signifikan pada pemilu 1999 dikarenakan kesalahan
sistem pengkaderan Golkar yang sangat memanjakan para kadernya terutama
para elit lokal dengan materi, jabatan dan kekuasaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan Perpres Nomor 193 tahun 1964 organisasi-organisasi yang
berada dalam Front Nasional berafiliasi dengan partai-partai politik yang
bergabung menjadi satu organisasi. Maka organisasi-organisasi fungsional
yang tidak berafiliasi dengan partai politik pada tanggal 20 Oktober 1964
mendirikan Sekretaris Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) begitu juga
Sekber Golkar di Kabupaten Sragen. Pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber Golkar
mengubah nama menjadi Golkar.
2. Pada tahun 1971 diselenggarakan pemilu untuk pertama kalinya pada masa
Orde Baru. Pemilu tahun 1971 dilaksanakan pada tanggal 5 Juli, Sekber Golkar
ikut serta menjadi salah satu kontestan dengan menggunakan nama Golkar.
Dari hasil perhitungan suara pemilu 1971 Golkar di Kabupaten Sragen kalah
dengan PDI akan tetapi pemilu-pemilu selanjutnya selama Orde Baru Golkar di
Sragen selalu meraih kemenangan. Kemenangan tersebut tidak terlepas dari
peran elit lokal.
3. Elit lokal (elit militer, birokrasi, pengusaha, kaum cendekiawan, ulama)
merupakan orang-orang yang dinilai oleh masyarakat memiliki kemampuan
intelektual, ekonomi dan kepemimpinan agama dan oleh masyarakat disegani,
dihormati, kaya, dan berkuasa di tingkat lokal. Elit lokal sangat berperan dalam
kemenangan Golkar dikarenakan memiliki kekuasaan yang diakui dan
dihormati oleh masyarakat. Hal tersebut diperlukan untuk meyakinkan rakyat
memilih Golkar.
4. Pemilu-pemilu Orde Baru dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi
pada elit. Elit lokal mempunyai peran dalam pemilu pada masa Orde Baru.
Peran militer pada saat pemilu sangat terlihat yaitu militer melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
intervensi kepada rakyat untuk memilih Golkar. Militer tidak mempunyai hak
memilih serta hak dipilih dalam pemilu tetapi militer dapat menduduki posisi
dalam pemerintahan. Keterlibatan ulama dalam Golkar juga sangat
berpengaruh untuk mengendalikan massa yang sangat fanatik dan simpatik.
Sedangkan kaum cendekiawan (mahasiswa, pengajar, tokoh politik, anggota
organisasi) berada pada posisi penting dalam memperjuangkan dan
memenangkan Golkar dengan bergabung dalam panitia pemungutan suara
selain itu para mahasiswa juga menjadi jurkam Golkar. Bagi elit birokrasi
(PNS, kepala desa, camat) yang tidak bersedia memilih dan mendukung Golkar
maka harus rela dikeluarkan. Pengusaha berperan sebagai penyokong dana dan
panutan serta teladan bagi masyarakat karena memiliki status sosial atas
kekayaannya.
5. Perolehan suara Golkar pada pemilu 1992 di tingkat nasional maupun Sragen
mengalami penurunan. Penurunan suara Golkar pada pemilu 1992 dikarenakan
kegagalan para elit lokal dalam menyelesaikan isu-isu yang berkembang di
tingkat nasional seperti penggusuran tanah, regenerasi politik, dan
pembangunan tidak merata. Isu-isu tersebut berkembang di Sragen sehingga
muncul ketidakpercayaan rakyat Sragen terhadap Golkar maka pada pemilu
1992 masyarakat Sragen memilih ke PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Hasil
pemilu 1997, Golkar di Kabupaten Sragen memperoleh suara 394.966 atau
79,5%. Kenaikan perolehan suara Golkar dikarenakan elit lokal baik elit
militer, elit pengusaha, elit ulama maupun elit birokrasi melakukan berbagai
cara agar Golkar meraih kemenangan dengan cara melakukan kecurangan yaitu
mengintimidasi rakyat untuk memilih Golkar. Selain itu, kemenangan Golkar
juga diakibatkan adanya kisruh PDI di tingkat pusat yang mempengaruhi
perolehan suara PDI P di Kabupaten Sragen. Setelah Orde Baru, pada pemilu
tahun 1999 Golkar mengalami kekalahan dan PDI P meraih kemenangan.
Kemenangan PDI P tidak terlepas dari banyaknya elit birokrasi dan tokoh
masyarakat yang semula dikenal sebagai tokoh atau pengurus Golkar pindah
ke partai lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
2. Implikasi
1.Teoritis
Dalam mengkaji tentang peran elit lokal terhadap kemenangan Golkar di
Kabupaten Sragen pada Pemilu 1992 dan 1997 ini digunakan teori dari Sartono
Kartodirjo tentang elit. Elit dipahami sebagai suatu kelompok atau perorangan
yang mempunyai pengaruh atau kekuasaan politik yang besar. Kelompok ini
terdiri dari kaum intelektual, elit industri, elit birokrasi, elit agama, elit dunia
usaha (pengusaha), dan elit militer. Tujuan dari kelompok ini (elit lokal) pada
pemilu 1992-1997 adalah untuk memenangkan Golkar melalui kekuasaan dan
status sosialnya. Kemampuan elit lokal dalam mempengaruhi masyarakat sangat
diperlukan karena elit memiliki kekuasaan informal yang diakui dan dihormati
oleh masyarakat. Elit juga menjadi panutan dan teladan bagi masyarakat.
Kemampuan dan kekuasaan tersebutlah biasanya digunakan para elit lokal dalam
pelaksanaan pemilu untuk meraup suara sebanyak-banyaknya agar Golkar dapat
memenangkan pemilu.
2.Praktis
Implikasi praktis dari hasil penelitian tentang peran elit lokal
terhadap kemenangan Golkar di Kabupaten Sragen pada Pemilu tahun 1992 dan
1997 adalah Golkar pada masa Orde Baru selalu memenangkan pemilu. Hal
tersebut tidak terlepas dari para elit lokal (elit militer, elit pengusaha, elit ulama,
elit cendekiawan, dan elit birokrasi) yang mempunyai kemampuan dan kekuasaan
untuk mengajak masyarakat agar memilih Golkar. Hal ini terbukti saat pemilu
1992 dan 1997 elit lokal mampu meyakinkan rakyat untuk memilih Golkar
sedangkan pada pemilu tahun 1999 Golkar mengalami kekalahan dan PDI P
meraih kemenangan. Hal tersebut tidak terlepas dari banyaknya elit Golkar yang
pindah ke partai lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut:
1. Bagi para mahasiswa
Para mahasiswa sebagai bagian dari kaum cendekiawan diharapkan
mampu menghapus anggapan buruk masyarakat terhadap mahasiswa yang
bergabung dalam partai politik untuk mencari jabatan. Para mahasiswa yang
bergabung dalam partai politik hendaknya juga mampu menggunakan ilmu dan
kemampuannya untuk menyalurkan aspirasi masyarakat bukan untuk mencari
kekuasaan.
2. Bagi peneliti lain
Bagi peneliti sejarah yang ingin meneliti tentang sejarah Bangsa Indonesia
terutama yang berkaitan dengan dibalik kesuksesan Golkar masa Orde Baru,
ternyata masih banyak tema-tema penelitian tentang Golkar yang menarik untuk
dikaji secara mendalam dalam penelitian ini, misalnya tema mengenai peran
pengusaha, ulama, cendekiawan terhadap kesuksesan Golkar, karena itu bagi
peneliti yang tertarik untuk meneliti tema-tema tersebut hendaknya dikaji secara
mendalam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
GAMBAR PROSES PELAKSANAAN PEMILU TAHUN 1992-1997 DI
KABUPATEN SRAGEN