perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id skripsi analisis .../analisis... · untuk studi struktur...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SKRIPSI
ANALISIS BAKTERI RIZOSFER TANPA PENGKULTURAN DENGAN PCR-RISA: HUBUNGANNYA DENGAN KESUPRESIFAN
TANAH TERHADAP BUSUK PANGKAL BAWANG PUTIH
Oleh : Fitha Septi Haryati
H0708101
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
SKRIPSI
ANALISIS BAKTERI RIZOSFER TANPA PENGKULTURAN DENGAN PCR-RISA: HUBUNGANNYA DENGAN KESUPRESIFAN
TANAH TERHADAP BUSUK PANGKAL BAWANG PUTIH
Fitha Septi Haryati
H0708101
Pembimbing Utama
Ir. Zainal Djauhari Fatawi, MS NIP 194909061979031001
Pembimbing Pendamping
Prof. Dr. Agr. Sc. Ir. Vita R. C, MP NIP. 196612051990102001
Surakarta, Desember 2012 Universitas Sebelas Maret Surakarta
Fakultas Pertanian Dekan
Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS NIP 195602251986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
SKRIPSI
ANALISIS BAKTERI RIZOSFER TANPA PENGKULTURAN DENGAN PCR-RISA: HUBUNGANNYA DENGAN KESUPRESIFAN
TANAH TERHADAP BUSUK PANGKAL BAWANG PUTIH
yang dipersiapkan dan disusun oleh Fitha Septi Haryati
H0708101
telah dipertahankan di depan Tim penguji pada tanggal : ……………………………. dan dinyatakan telah memenuhi syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Program Studi Agroteknologi
Susunan Tim Penguji
Ketua
Ir. Zainal D. F, MS. NIP. 194909061979031001
Anggota I
Prof. Dr. Agr. Sc. Ir. Vita R. C, MP NIP. 196612051990102001
Anggota II
Dr. Ir. Hadiwiyono, M.Si NIP. 196201161990021001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur pada Tuhan YME atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Bakteri
Rizosfer Tanpa Pengkulturan dengan PCR-RISA: Hubungannya dengan
Kesupresifan Tanah terhadap Busuk Pangkal Bawang Putih”. Skripsi ini
disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana
Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan
berbagai pihak, sehingga penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. H. Bambang Pujiasmanto, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dr. Ir. Hadiwiyono, MSi selaku Ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, pemberi ide penelitian dan
Dosen Pembahas.
3. Ir. Zainal Djauhari Fatawi, MS selaku Dosen Pembimbing Utama.
4. Prof. Dr. Agr Sc Ir. Vita Ratri C, MP selaku Dosen Pembimbing Pendamping.
5. Ir. HS Gutomo MP, selaku Dosen Pembimbing Akademik.
6. Bapak Ahmad Himawan, Bapak Tony Ruaedi dan Kakak Nina K selaku
Pembimbing Laboratorium.
7. Bapak Bejo Supriyanto dan Bapak Totok selaku Pembimbing Lapangan.
8. Bapak Musawab selaku Laboran Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman
9. Kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan dukungan dan doa.
10. Teman-teman Soulmated, Pondok A5, Kakak Zu, dan para sahabat yang telah
memberi semangat dan dukungan.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, tetapi diharapkan
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Surakarta, Oktober 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iv
DAFTAR ISI.............................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................vii
RINGKASAN ......................................................................................................... viii
SUMMARY ............................................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 4
A. Bawang Putih ............................................................................................. 4
B. Rizosfer dan Tanah Supresif ..................................................................... 8
C. Penyakit Busuk Pangkal Bawang Putih ................................................... 9
D. Studi Komunitas Bakteri Rizosfer dengan PCR-RISA ...........................12
III. METODE PENELITIAN ................................................................................16
A. Tempat dan Waktu Penelitian...................................................................16
B. Bahan dan Alat Penelitian.........................................................................16
C. Pelaksanaan Penelitian ..............................................................................17
D. Analisis Data ..............................................................................................19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................20
A. Pengambilan Sampel dan Ekstraksi DNA Perakaran Bawang Putih .....20
B. Analisis Struktur Komunitas Bakteri Rizosfer dengan PCR-RISA .......24
V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................30
A. Kesimpulan ................................................................................................30
B. Saran ..........................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................31
LAMPIRAN ...............................................................................................................34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
DAFTAR TABEL
Nomor Judul dalam Teks Halaman 1. Hasil Analisis Kimia Tanah dari Lokasi Pengambilan
Sampel
22
Judul dalam Lampiran 2. Jumlah Pita DNA Hasil Amplifikasi Daerah Intergenic
Spacer 35
3. Kriteria Penilaian Hasil Analisis Tanah 37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul dalam Teks Halaman 1. Sampel Tanaman Sehat Lahan Kondusif (Gondosuli) Umur
100 HST 20
2. Sampel Tanaman Sakit Lahan Kondusif (Gondosuli) Umur 100 HST
20
3. Sampel Tanaman Sakit Lahan Supresif (Pancot) Umur 100 HST
21
4. Sampel tanaman sehat lahan supresif (Pancot) umur 100 HST
21
5. Hasil Ekstraksi DNA Bakteri Rizosfer Tanah Supresif Umur 100 HST
23
6. Hasil Ekstraksi DNA Bakteri Rizosfer Tanah Kondusif Umur 100 HST
23
7. Pola Fragmen DNA Bakteri Rizosfer Tanah Supresif Umur 100 HST
24
8. Pola Fragmen DNA Bakteri Rizosfer Tanah Kondusif Umur 100 HST
25
9. Pola Fragmen DNA Bakteri Rizosfer Umur 100 HST 26 10. Dendrogram-UPGMA berdasarkan pola fragmen DNA
hasil PCR-RISA perakaran bawang putih umur 100 HST tanah kondusif dan Supresif
28
Judul dalam Lampiran 11. Skema pita DNA hasil amplifikasi daerah intergenic
spacer 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
RINGKASAN
ANALISIS BAKTERI RIZOSFER TANPA PENGKULTURAN DENGAN PCR-RISA: HUBUNGANNYA DENGAN KESUPRESIFAN TANAH TERHADAP BUSUK PANGKAL BAWANG PUTIH. Skripsi: Fitha Septi Haryati (H0708101). Pembimbing: Zainal D. Fatawi, Vita Ratri Cahyani, Hadiwiyono. Program Studi: Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Bawang putih (Allium sativum L) merupakan salah satu jenis sayuran yang penting dan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan pertanian. Tawangmangu merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang komoditas unggulannya bawang putih. Budidaya bawang putih di Tawangmangu akhir-akhir ini mengalami kendala yaitu serangan patogen penyebab penyakit busuk pangkal bawang putih Fusarium oxysporum f.sp. cepae. Di lapangan, sebagian lahan ada yang memiliki insidens penyakit sangat ringan (lahan supresif) dan adapula yang berat (lahan kondusif). Salah satu mekanisme kesupresifan tanah yaitu keterlibatan agens pengendali hayati. Perlu informasi dasar tentang hubungan struktur komunitas mikrob dengan kesupresifan tanah. Polymerase chain reaction - Ribosomal intergenic spacer analysis (PCR-RISA) merupakan salah satu teknik molekuler tanpa pengkulturan yang dapat diandalkan untuk studi struktur komunitas mikrob pada habitat tertentu. Salah satu aspek penting yang perlu dipelajari adalah bagaimana hubungan struktur komunitas bakteri rizosfer dengan kesupresifan tanah terhadap busuk pangkal bawang putih Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur komunitas bakteri rizosfer bawang putih tanpa pengkulturan dengan PCR-RISA dan hubungan struktur komunitas bakteri rizosfer dengan kesupresifan tanah terhadap busuk pangkal bawang putih.
Penelitian dilaksanakan mulai Oktober 2011 sampai September 2012 di Tawangmangu, Surakarta dan Yogyakarta. Penentuan sampel dengan metode purposive sampling. Sampel yang diambil adalah rizosfer tanaman sehat dan sakit. Sampel yang telah diambil kemudian diekstraksi menggunakan DNAMITE® kit. Hasil ekstraksi dianalisis dengan PCR-RISA kemudian divisualisasi menggunakan agarose gel dan PAGE 12%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan komunitas bakteri rizosfer pada tanah supresif dan kondusif, baik tanaman yang sehat maupun tanaman yang sakit. Berdasarkan analisis UPGMA menunjukkan bahwa nilai koefisien kesamaan genetik dari komunitas bakteri rizosfer tanah supresif dan kondusif adalah 62%. Pada tanah supresif, meskipun keragaman komunitas bakteri rizosfer lebih rendah, tetapi diduga mampu berperan sebagai agens pengendali hayati busuk pangkal bawang putih dibandingkan tanah kondusif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
SUMMARY
ANALYSIS OF RHIZOSPHERE BACTERIA THROUGH INDEPENDENT CULTURABLE APPROACH BASED ON PCR-RISA: THE RELATION TO SOIL SUPPRESSIVENESS ON BASAL ROT OF GARLIC. Thesis-S1: Fitha Septi Haryati (H0708101). Advisers: Zainal D. Fatawi, Vita Ratri Cahyani, Hadiwiyono. Study Program: Agrotechnology, Faculty of Agriculture, University of Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Garlic (Allium sativum L) is one of the important vegetables commodity and as a source of economic growth in agricultural development. Tawangmangu is one of the certain area of garlic in Central Java beside of as an important commodity in the area. Cultivation of garlic in the area recently experienced problems caused by Fusarium oxysporum f.sp. cepae causing basal rot disease. In the field, there are some land has mild disease incidence (land suppressive) and those that are heavy (land conducive). One of the mechanisms of soil suppressiveness is the involvement of soil biological control agent. The basic information about the relationship of microbial community structure to soil suppressiveness is needed. Polymerase chain reaction - Ribosomal intergenic spacer analysis (PCR-RISA) is one of the analysis tool through independent culturable approach to study bacterial community structure. The research was purposed to study rhizosphere bacterial community structure of garlic independent culture by PCR-RISA and the relationship of rhizosphere bacterial community structure to soil suppressiveness.
The research was held from October 2011 to September 2012 in Tawangmangu, Surakarta and Yogyakarta. Sampels were determined with purposive sampling. The samples are diseased and healthy plant rhizosphere growing on suppressive and conducive land. Samples have been taken then extracted using DNAMITE® kit. The results of the PCR-RISA were visualized by agarose gel and PAGE 12%. The results showed that there were differences of bacterial community in the garlic rhizosphere on suppressive soil to conducive soil healthy plants to diseased plants. Based on UPGMA analysis there are differences grouping between samples from suppressive to conducive soil. In suppressive soil, despite the diversity of the rhizosphere bacterial community is lower, but is thought to be able to act as a biological control agent basal rot garlic than conducive soil.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bawang putih (Allium sativum L) merupakan salah satu jenis sayuran yang
penting dan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi dalam
pembangunan pertanian. Bawang putih dianggap sebagai komoditas potensial
terutama untuk subsitusi impor dalam hubungannya dengan penghematan devisa.
Tahun 2011, impor bawang putih Indonesia berjumlah 351.890 ton untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri (Departemen Pertanian 2012).
Kondisi ekologi yang mendukung sangat diperlukan dalam budidaya bawang
putih. Tidak semua tanaman dapat tumbuh dengan baik di setiap tempat dengan
segala kondisi. Demikian halnya dengan bawang putih, untuk dapat tumbuh baik
dan memberikan hasil yang optimum diperlukan kondisi ekologi tertentu. Iklim,
tanah, dan air merupakan tiga faktor utama yang perlu mendapat perhatian agar
hasil yang memuaskan dapat lebih terjamin. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan
dalam budidaya bawang putih, yaitu ketinggian tempat yang berhubungan erat
dengan suhu udara (Wibowo 2003)
Tawangmangu merupakan salah satu daerah dataran tinggi di Jawa Tengah
yang salah satu komoditas unggulannya adalah bawang putih. Budidaya bawang
putih di Tawangmangu akhir-akhir ini mengalami kendala. Salah satu kendala
dalam budidaya bawang putih di Tawangmangu adanya serangan patogen
penyebab penyakit busuk pangkal bawang putih. Busuk pangkal bawang putih
disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. cepae yang merupakan penyakit
penting pada bawang putih di Tawangmangu, Karanganyar. Di pertanaman,
insidens penyakit ini dapat mencapai di atas 60% (Fatawi et al. 2003, Fatawi dan
Hadiwiyono 2004). Di lapangan, sebagian lahan ada yang memiliki insidens
penyakit sangat ringan yang disebut sebagai lahan supresif, dan adapula yang
berat, disebut lahan kondusif. Pada lahan supresif terdapat patogen tetapi penyakit
tidak berkembang, sedangkan pada lahan kondusif, terdapat patogen dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2 menyebabkan penyakit yang merugikan sehingga dapat menurunkan produktivitas
tanaman.
Salah satu mekanisme kesupresifan tanah yang penting adalah keterlibatan
agens pengendali hayati. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk memanfaatkan
agens pengendali hayati tersebut, oleh karenanya diperlukan informasi dasar
tentang hubungan struktur komunitas mikrob dengan kesupresifan tanah tersebut.
Teknik molekuler tanpa pengkulturan diperlukan untuk studi tersebut, karena 99%
mikrob tidak terkulturkan sehingga metode konvensional yang tergantung kultur
kurang terandalkan. Polymerase chain reaction - Ribosomal intergenic spacer
analysis (PCR-RISA) merupakan salah satu teknik molekuler tanpa pengkulturan
yang dapat diandalkan untuk studi struktur komunitas mikrob pada habitat tertentu
(Borneman dan Triplett 1997).
B. Rumusan Masalah
Busuk pangkal bawang (Fusarium oxysporum f.sp cepae) merupakan salah
satu penyakit penting pada bawang putih terutama di wilayah Tawangmangu,
Karanganyar. Insidens penyakit yang terjadi di lapangan mencapai frekuensi
ringan hingga berat. Berdasarkan hal tersebut perlu dipelajari bagaimana struktur
komunitas bakteri rizosfer bawang putih tanpa pengkulturan melalui pendekatan
PCR-RISA dan hubungannya dengan kesupresifan tanah terhadap busuk pangkal
bawang putih pada lahan supresif dan kondusif?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur komunitas bakteri
rizosfer bawang putih tanpa pengkulturan melalui pendekatan PCR-RISA dan
hubungannya dengan kesupresifan tanah terhadap busuk pangkal bawang putih
pada lahan supresif dan kondusif.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah informasi bagi
pelaku di bidang pertanian dalam hal eksplorasi agens pengendali hayati spesifik
lokasi yang diharapkan dapat bermanfaat pada pengembangan terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3 pengendalian penyakit busuk pangkal bawang putih, terutama di wilayah
Tawangmangu, Karanganyar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bawang Putih (Allium sativum L.)
1. Arti Ekonomi
Permintaan pasar di dalam negeri terhadap bawang putih tiap tahun
cenderung terus meningkat. Hal ini tidak diimbangi dengan ketersediaan produksi,
sehingga tiap tahun harus mengimpor bawang putih dalam jumlah yang relatif
tinggi. Pada periode tahun 1977-1987 produksi bawang putih di Indonesia
mencapai 352.914 ton atau rata-rata per tahun sebesar 32.083 ton, sedangkan
permintaan bawang putih pada periode tahun yang sama mencapai 593.184 ton
atau rata-rata per tahun 53.925 ton (Rukmana 1995).
Peningkatan produktivitas bawang putih di Indonesia terjadi setelah tahun
1981. Produktivitas yang semula hanya sekitar 3 ton per hektar meningkat tajam
sejak tahun 2000-an menjadi lebih dari 6 ton per hektar. Produksi dalam negeri
tersebut masih jauh dari kebutuhan nasional yang terus meningkat. Tahun 2003,
menurut data Susenas, konsumsi bawang putih penduduk Indonesia mencapai
1,13 kg per kapita. Tahun 2004, konsumsi bawang putih diperkirakan mencapai
273.258 ton yang kemudian meningkat menjadi 304.118 ton tahun 2005 dan tahun
2006 mencapai 315.817 ton atau dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 7,5% per
tahun. Pertumbuhan konsumsi ini tidak diimbangi sama sekali oleh produksi
Nasional yang cenderung tidak berubah (Wibowo 2009).
2. Biologi
Bawang putih termasuk salah satu familia Liliaceae yang populer di dunia.
Bawang putih yang nama ilmiahnya Allium sativum L. Ini mempunyai nilai
komersial uang tinggi dan tersebar di seluruh dunia. Tanaman ini merupakan
tanaman terna yang tumbuh tegak dengan tinggi dapat mencapai 30-60cm dan
membentuk rumpun. Sebagaimana warga kelompok Monokotiledon, sistem
perakarannya tidak memiliki akar tunggang dan akarnya serabut yang panjang,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
tidak terlalu dalam berada di dalam tanah. Dengan perakaran yang demikian,
bawang putih tidak tahan terhadap kekeringan. Padahal kebutuhan air untuk
pertumbuhannya cukup banyak. Terutama pada waktu proses pembesaran umbi
(Wibowo 2003).
Klasifikasi bawang putih dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Liliales (Liliflorae)
Famili : Liliales
Genus : Allium
Spesies : Allium sativum L.
(Rukmana 1995).
Bawang putih hingga kini belum pernah mampu berbunga di Indonesia,
walaupun muncul tangkai bunga yang kuat. Tangkai bunga ini berubah menjadi
batang sesungguhnya yang beruas. Beberapa ruas batang sering muncul umbi-
umbi kecil yang disebut umbi batang (top garlic) yang dapat ditanam. Aroma
bawang putih khas karena mengandung minyak eteris yang disebut allecin. Daun
bawang putih panjang, kecil, pipih, dan tidak berlubang (Sunarjono 2004).
Pangkal daun bawang putih tidak membentuk bengkakan sebagai cadangan
makanan seperti pada bawang merah. Bagian pangkal daun bawang putih berupa
selaput tipis yang mengering tetapi kuat dan merupakan selaput pembungkus
umbi-umbi kecil. Di dekat pusat tajuk terdapat tunas-tunas. Tunas-tunas ini berada
diantara daun-daun mudanya. Tunas-tunas ini akan terbentuk umbi-umbi kecil
atau siung (Wibowo 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
3. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bawang Putih
Rukmana (1995) menyatakan bahwa bawang putih menghendaki kondisi
lingkungan tumbuh di daerah yang suhu udaranya 15-20oC, curah hujan sekitar
100-200 mm/bulan, kelembaban udara 60%-80%, dan cukup mendapat sinar
matahari. Di daerah yang suhu udaranya di atas 25oC, pertumbuhan bawang putih
akan terhambat dan sulit membentuk umbi. Sebaliknya di daerah yang suhu
udaranya kurang dari 15oC, pertumbuhan bawang putih akan merana atau
umbinya kecil-kecil.
Bawang putih di Indonesia banyak ditanam pada ketinggian antara 600-
1200 m dpl, seperti di Sumatera (sekitar danau Toba), Jawa Timur, Jawa Tengah,
Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Bawang putih yang
ditanam di dataran rendah hasilnya tidak sebaik jika ditanam di dataran tinggi.
Jumlah siung tiap umbi juga relatif lebih sedikit. Jenis-jenis yang lain seperti
Lumbu Kuning, Tawangmangu, Cirebon, dan sebagainya mempunyai
kecenderungan yang sama (Wibowo 2009).
Bawang putih cocok ditanam pada tipe tanah andosol, latosol, dan regosol.
Karakteristik tanah andosol adalah memiliki ketebalan solum tanah agak tebal
(100-225 cm), berwarna hitam, kelabu sampai coklat tua, teksturnya debu,
lempung berdebu sampai lempung, dan strukturnya remah, serta reaksi tanahnya
antara asam sampai netral (pH 5-7). Sifat fisik dan kimia tanah andosol cukup
baik, sehingga produktivitasnya cukup baik pula, yaitu antara sedang sampai
tinggi. Tanah latosol memiliki solum tanah tebal (1,3-5,0 m), warna tanah merah,
coklat sampai kekuningan, tekstur tanahnya liat, strukturnya remah, dan derajat
keasaman tanah berkisar antara pH 4,5-6,5. Pada umumnya tanah latosol relatif
memiliki kandungan bahan organik rendah. Tanah regosol memiliki solum tanah
hanya 25 cm, berwarna kelabu sampai coklat atau coklat kekuningan sampai
keputih-putihan, strukturnya lepas (butir tunggal), tekstur pasir sampai lempung
berdebu , dan reaksi tanahnya asam, agak asam sampai netral (Rukmana 1995).
Angin berpengaruh terhadap pertumbuhan bawang putih, menurut Wibowo
(2009) angin yang cukup kencang dan berkelanjutan dapat mempengaruhi kondisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
tanah. Permukaan tanah cepat mengering dan mengakibatkan mengerasnya
permukaan tanah. Akibatnya secara tidak langsung dapat menghambat
pertumbuhan. Angin yang kencang juga dapat merobohkan tanaman. Bawang
putih dapat ditanam di tanah tegalan, pekarangan, maupun di tanah sawah setelah
panen padi. Tanah ringan atau gembur dapat menghasilkan umbi yang lebih baik
daripada tanah berat. Tanah yang gembur akan mendorong perkembangan umbi
sehingga dapat tumbuh besar. Kondisi tanah yang paling baik adalah tanah
lempung atau tanag lempung liat. Bawang putih juga menyukai tanah yang
banyak mengandung bahan orgnik atau humus, subur, gembur, aerasi baik, dan
tidak becek.
4. Budidaya
Rukmana (1995) menyatakan bahwa perbanyakan bawang putih umumnya
dilakukan dengan cara vegetatif, yaitu berupa umbi bibit. Prasyarat umbi bibit
yang baik sebagai berikut:
a. Berasal dari tanaman yang berumur tua ± 100-120 hari dan termasuk varietas
unggul.
b. Telah mengalami masa simpan selama 7-9 bulan.
c. Penampakan kulit umbi mengkilap dan bebas dari kandungan hama ataupun
penyakit.
d. Ukuran siung berkisar antara 1,1-2,0 gram.
e. Bila ujung siung dipatahkan telah tampak tunas berwarna hijau sepanjang
duapertiga siung.
Jarak tanam bawang putih berpengaruh terhadap hasilnya. Sementara itu,
jarak tanam itu sendiri dipengaruhi oleh ukuran bibit (siung). Jarak tanam juga
berpengaruh terhadap jumlah bibit yang dibutuhkan. Jarak tanam untuk bawang
putih umumnya antara 8-20 cm antar baris dan jarak masing-masing tanaman
dalam baris sekitar 15-20 cm. Siung berukuran besar sebaiknya ditanam dengan
jarak tanam agak renggang, yaitu 15 x 10 cm, sedangkan siung kecil ditanam
dengan jarak tanam 10 x 10 cm (Wibowo 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Wibowo (2009) menyatakan bahwa bawang putih bersifat musiman,
akibatnya akan terjadi fluktuasi produksi yang dapat menyebabkan fluktuasi harga
di pasaran. Oleh karena itu, perlu diusahakan budidaya bawang putih di luar
musim tanam. Penanaman bawang putih pada musim hujan tidak mudah dan besar
resikonya. Banyaknya air hujan yang turun menyebabkan terbentuknya ekologi
yang kurang menguntungkan bagi penanaman bawang putih dan sering
menyebabkan kegagalan. Penyebab kegagalan tersebut terutama oleh serangan
patogen penyebab penyakit, khususnya cendawan. Umur panen bawang putih
berkisar antara 3,4-4 bulan, tergantung varietas, kesuburan tanah, dan kesuburan
tanamannya. Saat bawang putih berumur 90-100 hari, daun-daunnya mulai
menguning dan mengering. Bila 50-60% dari seluruh tanaman bawang putih
sudah tampak menguning dan mengering, berarti sudah tiba saatnya untuk
dipanen. Tanda-tanda yang lain, batang mengering dan pangkal batangnya
mengeras. Bila daun-daun sudah kering dan batang kelihatan kering atau hijau
kekuningan, bawang putih harus segera dipanen. Terlalu awal atau terlambat
melakukan panen dapat memberikan hasil yang kurang baik.
B. Rizosfer dan Tanah Supresif
Rizosfer adalah daerah sekitar perakaran tanaman yang masih dipengaruhi
aktivitas akar dan kaya akan mikroorganisme. Kajian tentang rizosfer erat
kaitannya dengan anatomi dan struktur akar tanaman, yang banyak berperan
dalam penyediaan eksudat dan deposit akar lainnya. Rizosfer juga merupakan
tempat terjadinya interaksi mikrob tanah. Daerah rizosfer sangat berbeda dengan
daerah di luarnya atau berjarak beberapa milimeter darinya. Mikrob dijumpai
sangat besar di daerah rizosfer, sering secara kualitas berbeda dengan mikrob di
daerah lain. Populasi mikrob yang tinggi disebabkan pada daerah tersebut
merupakan bagian yang sangat kaya nutrisi seperti asam amino dan gula sebagai
sumber nitrogen dan karbon. Adanya nutrisi sangat diperlukan untuk pertumbuhan
dan perbanyakan mikrob tanah, termasuk di antaranya pengkoloni akar tanaman
dan antagonis. Mikrob yang terdapat pada daerah perakaran ini ada pula yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
bersifat patogen bagi tanaman. Patogen tular tanah (soilborne) ini beradaptasi
tumbuh dan bertahan dalam tanah. (Raaijmakers et al. 2009, Eliza et al. 2007 dan
Soesanto 2008).
Tanah merupakan tempat hidup bagi patogen, melalui pembatasan baik
lamanya bertahan hidup ataupun pertumbuhan patogen. Tanah supresif
merupakan tanah yang mampu menekan perkembangan penyakit, walaupun
patogen ada dalam tanah dan kondisi menguntungkan untuk penyakit, penyakit
tidak muncul atau kecil, tidak membahayakan bagi tanaman. Tanah supresif
sangat ditentukan oleh keragaman mikrob tanah. Keragaman mikrob tanah
dipengaruhi oleh tiga hal utama : (a) tipe tanaman, sebagai penentu utama struktur
komunitas mikrob dalam tanah, seperti tanaman penyedia utama karbon dan
sumber energi, (b) tipe tanah, seperti kombinasi struktur dan tekstur tanah, bahan
organik, stabilitas mikroagregat, pH, dan keberadaan nutrisi seperti N,P, dan Fe,
dan (c) cara mengelola pertanian yaitu rotasi tanaman, pengolahan tanah,
herbisida, aplikasi pemupukan dan irigasi juga menentukan struktur komunitas
mikrob dalam tanah. Beberapa metode untuk menciptakan tanah supresif yakni
(1) rotasi tanaman, dapat memperbaiki struktur tanah, bahan organik, mencegah
patogen tertentu. (2) conservation tillage, sekurang-kurangnya sepertiga dari
permukaan tanah tertutup oleh residu tanaman sebelumnya setelah penanaman dan
(3) pemberian kompos untuk meningkatkan sejumlah besar bahan organik yang
mampu didegradasi oleh mikrob. Peranan tanah supresif sangat signifikan dalam
menekan patogen khususnya yang bersifat tular tanah, seperti Pythium,
Phytophtora, Fusarium, Rhizoctonia, Sclerotium, Armillaria dan Verticillium
(Sudarma dan Jambe 2009, Garbeva et al. 2004).
C. Penyakit Busuk Pangkal Bawang Putih
1. Arti Ekonomi
Wibowo (2003) menyatakan bahwa tidak sedikit jenis penyakit yang dapat
menyebabkan panen bawang gagal, mulai dari cendawan, bakteri sampai virus. Di
antara ketiga kelompok tersebut yang paling sering menyerang tanaman bawang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
adalah bakteri dan cendawan. Fusarium termasuk cendawan dan menyebabkan
daun bawang menjadi layu, yang dimulai dari ujung-ujung daunnya. Ini dapat
terjadi jika cendawan ini menyerang tanaman bawang di lahan.
Busuk pangkal bawang putih merupakan penyakit yang merugikan dan
mengancam pertanaman bawang putih serta menjadi kendala baru sejak musim
tanam 2000 di Tawangmangu Karanganyar jawa Tengah. Busuk pangkal bawang
putih disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. cepae. Pada musim tanam 2000
intensitas penyakit baru mencapai 10 persen namun pada musim tanam 2002
intensitas penyakit meningkat mencapai 60 persen. Penyakit ini sangat merugikan
karena umbi tanaman sakit menjadi busuk, sehingga besarnya kerugian sama
dengan intensitas penyakit (Hadiwiyono 2004).
2. Gejala Penyakit
Penyakit layu disebabkan cendawan Fusarium oxysporum dan merupakan
penyakit tular tanah, tetapi dapat juga tersebar lewat air pengairan dari tanah yang
terkontaminasi. F. oxysporum dapat bertahan hidup lama dalam tanah tanpa
tanaman inang, karena dapat membentuk klamidospora yaitu spora aseksual yang
dibentuk dari ujung hifa yang membengkak. Gejala tanaman yang terinfeksi yaitu
daun mati dari ujung dengan cepat dan berwarna kuning, kemudian menjalar ke
bagian bawah, yang berakhir pada kematian tanaman. Pangkal tanaman
memperlihatkan akar-akar yang membusuk dan terdapat jamur berwarna keputih-
putihan pada dasar umbi. Apabila tanaman dicabut akar mudah ditarik karena
pertumbuhan akar tidak sempurna dan membusuk. Jika umbi dipotong membujur
tampak ada pembusukan yang berair, meluas ke atas maupun ke samping dan
pangkal umbi (Korlina 2011, Direktorat Perlindungan Hortikultura 2012).
3. Patogen Penyebab
Menurut Semangun (1996) jamur penyebab layu Fusarium memiliki
klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Mycetaceae
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Divisi : Eumycota (Eumycetes)
Subdivisi : Deuteromycotina (Deuteromycetes)
Kelas : Hyphomycetes
Ordo : Hyphales (Monoliales)
Famili : Tuberculariaceae
Genus : Fusarium
Spesies : Fusarium oxysporum
Busuk pangkal bawang-bawangan yang disebabkan oleh F. oxysporum f. sp.
cepae (FOCe) telah menjadi penyakit yang merugikan dan mengancam
pertanaman bawang putih di Tawangmangu Karanganyar Jawa Tengah sehingga
menjadi kendala baru sejak musim tanam 2000. Berdasarkan hasil identifikasi
penyakit, busuk pangkal Fusarium di Tawangmangu disebabkan oleh F.
oxysporum Schlecht. f. sp. cepae (Fatawi dan Hadiwiyono 2003).
Fusarium merupakan genus terpenting dari famili Tuberculariaceae karena
merupakan jenis terbesar dan sangat sukar dalam penggolongannya. Adanya
perubahan-perubahan yang terjadi pada genus ini maka para ahli mempunyai
pendapat yang berbeda-beda dalam mengklasifikasikannya. Fusarium mempunyai
makrokonidium dan mikrokonidium, dimana makrokonidium berbentuk
melengkung, panjang dengan ujung yang mengecil dan mempunyai satu atau tiga
buah sekat, sedangkan mikrokonidium mempunyai bentuk tidak bersekat atau
bersekat satu dan dihasilkan oleh sporodokium (ukuran lebih kecil dari
makrokonidium). Klamidospora dan sclerotia juga sering terbentuk dari hasil
miseliumnya. Klamidospora dihasilkan apabila keadaan lingkungan tidak sesuai
bagi patogen dan berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidup patogen.
Fusarium hidup sebagai parasit dan saprofit pada berbagai tanaman terutama pada
bagian pembuluhnya, sehingga tanaman menjadi mati karena terhambatnya
jaringan oleh suatu toksin. Fusarium mula-mula berwarna putih kemudian kream
atau kuning pucat dan apabila ditumbuhkan dalam medium PDA maka akan
berwarna merah muda atau ungu (Sastrahidayat 1990).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
4. Faktor yang Berpengaruh terhadap Perkembangan Penyakit
Drainase yang buruk dan kelembaban tanah yang tinggi sangat membantu
perkembangan penyakit busuk pangkal bawang putih. Akibat infeksi akhir dari
lapangan, di gudang cendawan Fusarium oxysporum dapat menginfeksi umbi
mulai dari dasar umbi, yang kemudian berkembang masuk ke dalam umbi dan
akan menjadi sumber infeksi pada pertanaman berikutnya (Korlina 2011).
Cendawan Fusarium oxysporum membentuk klamidospora dan dapat
bertahan lama di dalam tanah. Cendawan menginfeksi dengan cara menembus
jaringan pada dasar batang tanpa ada luka sebelumnya. Penetrasi dipermudah bila
terdapat luka. Serangan cendawan pada umbi sangat lambat sehingga tidak
menampakkan gejala, namun setelah disimpan dan bibit ditanam di lapang, maka
gejala akan timbul. Kelembaban yang tinggi di dalam tanah akan memacu
perkembangan penyakit (Direktorat Jenderal Hortikultura 2012)
5. Pengendalian yang Telah Dilakukan
Pengendalian penyakit layu Fusarium menurut Semangun (1996) dengan
penanaman varietas tahan, pemakaian fungisida, mencegah infestasi tanah,
perlakuan tanah dan mengendalikan populasi nematoda. Penggendalian penyakit
busuk pangkal bawang putih juga dapat dilakukan dengan pergiliran tanaman,
menghindari kerusakan mekanis sewaktu pemeliharaan tanaman, menggunakan
bibit yang sehat (bebas patogen), dan menghindari kerusakan umbi pada saat
penanaman (Rukmana 1995)
D. Studi Komunitas Bakteri Rizosfer dengan PCR-RISA
DNA merupakan salah satu makromolekul yang mempunyai peranan sangat
penting pada jasad hidup. DNA adalah polimer nukleotida yang tersusun secara
sistematis dan merupakan pembawa informasi genetik yang diturunkan kepada
jasad keturunannya. Informasi genetik disusun dalam bentuk kodon (codon) yang
berupa tiga pasang basa nukleotida dan menentukan bentuk, struktur maupun
fisiologi suatu jasad (Yuwono 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Analisis komunitas berdasar pada PCR memiliki sejumlah langkah, diawali
dengan ekstraksi DNA. Sel bakteri memiliki berbagai struktur diantara kelompok
taksonomi, beberapa bakteri lebih mudah rusak dibanding yang lain. Faktor
lingkungan perlu menjadi pertimbangan khusus pada saat pengumpulan sampel
dan ekstraksi DNA. Walaupun melalui beberapa tahap, metode analisis
komunitas dengan PCR umum digunakan karena kemudahannya dalam
menganalisis banyak sampel dan mampu menganalisis organisme khusus yang
diteliti atau taksa yang menarik dengan menggunakan kelompok primer umum
maupun khusus (Kent dan Triplett 2002).
Ekstraksi DNA diawali dengan cara mengisolasi DNA sampel. Proses
pengeluaran DNA dari nukleus, mitokondria maupun organel lain dengan cara
diekstraksi atau dilisiskan, biasanya dilakukan dengan homogenasi melalui
penambahan bufer ekstraksi atau bufer lisis untuk mencegah DNA rusak. Proses
selanjutnya adalah pemisahan DNA dari komponensel yang lain atau
kontaminanyang tidak diinginkan. Pemisahan DNA dari komponen selyang lain,
termasuk debris sel, dilakukan dengan sentrifugasi (Fatchiyah et al 2011)
Polymerase chain reaction - ribosomal intergenic spacer analysis (PCR-
RISA) merupakan suatu metode analisis struktur komunitas yang memberikan
estimasi keanekaragaman dan komposisi mikrob tanpa kesalahan interpretasi.
RISA merupakan metode yang sangat baik untuk mengamati struktur dan
dinamisasi komunitas bakteri yang sangat kompleks melalui perubahan pita-pita
DNA serta untuk mengidentifikasi populasi yang terjadi dalam suatu komunitas.
RISA melibatkan amplifikasi PCR daerah gen operon rRNA antara subunit kecil
(16S) dan subunit besar (23S) yang disebut intergenic spacer region (ISR),
menggunakan primer oliginukleotida dengan target daerah sasaran gen 16S dan
23S. Kemayoran rRNA operon memberikan suatu fungsi struktural, daerah 16S-
23S dapat disandi tRNAs tergantung spesies bakteri. Nilai taksonomi ISR
memberikan heterogenitas yang signifikan, baik panjang maupun urutan
nukleotida. Heterogenitas panjang ISR berkisar 150-1500 bp dengan panjang
mayoritas berkisar antara 150 dan 500 bp. RISA dapat digunakan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
mengamati ekologi bakteri pada lingkungan alamiah sehingga bermanfaat untuk
mempelajari komposisi komunitas mikrob baik untuk identifikasi genus, spesies
atau pengelompokan phylogenetik dan mengamati perubahan lingkungan yang
terjadi. Variasi bagian teramplifikasi dari intergenic spacer (IGS) dapat dengan
langsung dipisahkan atas dasar ukurannya menggunakan gel poliakrilamid.
Variabilitas ukuran yang tinggi menunjukkan adanya variabilitas yang tinggi
dalam struktur genetik komunitas (Christanto et al. 2007, Fisher dan Triplett 1999,
dan Ikeda et al. 2007).
Saito et al. (2007) mengatakan bahwa PCR-RISA akan berguna untuk
analisis peran mikrob tanpa pengkulturan dan memberikan pandangan baru pada
pemahaman terhadap mikrob berguna dan merugikan dalam fitosfer. PCR-RISA
dapat digunakan untuk menghasilkan profil komunitas mikrob yang berasosiasi
dengan tumbuhan dari berbagai produk agronomis tanpa kesalahan berarti oleh
akibat adanya sejumlah DNA tumbuhan. Ranjard et al. (2001) melaporkan bahwa
pendekatan ini telah berhasil untuk mengetahui struktur komunitas bakteri tanah
dan mengevaluasi perubahan perlakuan antibiotik, tekanan merkuri dan
pengurangan lahan hutan.
Penggunaan sekuen 16S rRNA memiliki kelemahan karena kadang-kadang
kurang dapat membedakan dengan jelas suatu spesies dalam level genus.
Beberapa bakteri memiliki sifat fisiologis yang berbeda tetapi memiliki sekuen
16S rRNA yang sama. Berbeda dengan sekuen 16S rRNA, sekuen di antara 16S-
23S rDNA yang dikenal dengan ribosomal intergenic spacer (RIS) memiliki
panjang sekuen yang berbeda untuk masing-masing spesies, sehingga sekuen RIS
dapat digunakan sebagai penanda untuk membedakan spesies dan genus dalam
suatu spesies (Yu dan Mohn 2001).
Perbedaan antara komunitas mikrob yang hidup di tanah hutan dan tanah di
dekat padang rumput diilustrasikan oleh pola pita RISA yang berbeda yang
diperoleh dari masing-masing tempat. Masing-masing jenis tanah menunjukkan
bermacam-macam pita yang tampak unik terhadap lingkungannya. Perbedaan ini
kemungkinan dipengaruhi oleh sifat tanah yang berbeda dari masing-masing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
lokasi pengambilan sampel. Identifikasi filogenetik dari organisme diditunjukkan
dengan pita RISA baik pita eksisi, ekstraksi maupun kloning DNA, kemudian
disekuensi daerah SSU rRNA (kurang lebih 138 basa) dari molekul RISA. Bagian
ini mengandung untai hipervariabel 49, yang berperan dalam identifikasi
filogenetik. Di sisi lain, jumlah yang lebih besar molekul SSU rDNA dapat
diperoleh untuk mendukung lebih banyak informasi filogenetik. Hal ini dapat
dicapai dengan amplifikasi PCR dari DNA tanah menggunakan primer untuk
menghibridisasi sekuensi dari rRNA, dapat menggunakan primer yang khusus
maupun umum (Borneman dan Triplett 1997).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 16
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2011 sampai September
2012. Pengambilan sampel dilakukan di Desa Pancot dengan ketinggian 1.193
mdpl pada posisi 7o39’ LS dan 111o8’ BT dan Desa Gondosuli dengan ketinggian
1.577 mdpl pada posisi 7o40’ LS dan 111o9’ BT Kecamatan Tawangmangu,
Karanganyar. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Hama dan
Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Laboratorium Agribiotech Yogyakarta,
dan Laboratorium PAU UGM Yogyakarta.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rizosfer bawang putih
yang diperoleh dari tanah supresif dan kondusif lahan pertanaman bawang putih
di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, DNAMITE® kit, larutan
penyangga Tris base, boric acid EDTA (TBE), gel agarose Vivantis®; campuran
reaksi PCR (DNA cetakan bakteri total; Bovine Serum Albumin (BSA), Mega Mix
Royal (MMR), Primer L189r dan S926f, air destilat ganda); polyacrilamid gel
electrophoresis (PAGE) 12%, yang dibuat dari: 6 ml 30% polyacrilamid, 3 ml
penyangga 5XTBE, 5,85 ml dH2O, 15 ml N, N, N', N'-tetramethylethylenediamine
(temmed), dan 135 ml dari 10% (Amonium persulfat) APS; larutan perak nitrat
1% (0,1% AgNO3 dan 0,56% formaldehid); larutan pewarna (3% NA2CO3,
2mg/ml NA2S2O3 dan 0,56 formaldehid).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sentrifuge, mesin
automatic thermocycler, mesin horizontal electrophoresis, mesin mini vertical
electrophoresis (BioRadTM), kamera digital.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
C. Pelaksanaan Penelitian
Tata laksana penelitian direncanakan sebagai berikut :
1. Survei lokasi dan pengambilan sampel
Pengambilan sampel ditentukan melalui purposive sampling. Kriteria lahan
yang digunakan untuk penelitian adalah pertanaman berumur 100 HST, terserang
F. oxysporum f. sp. cepae penyebab busuk pangkal bawang putih, dengan insidens
penyakit kurang 1% untuk tanah supresif dan sama atau lebih dari 40% untuk
tanah kondusif. Tanaman yang telah ditentukan dari setiap lahan diambil secara
acak kemudian dicabut. Rizosfer dikumpulkan menjadi satu untuk dijadikan
sampel komposit dalam 5 ulangan. Pengambilan sampel dari lahan supresif dan
kondusif penyakit dilakukan pada 2 lahan yang berbeda untuk dilakukan analisis
secara terpisah.
2. Isolasi DNA Bakteri Rizosfer dengan DNAMITE® Kit
Sel bakteri diperoleh melalui suspensi dari rizosfer bawang putih yang telah
direndam selama satu malam. Suspensi dalam tabung reaksi diambil ± 4,5µl untuk
dipindahkan dalam 3 tabung eppendof, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
1000 rpm 5 menit, bertujuan untuk memisahkan tanah dengan larutan. Supernatan
hasil sentrifugasi dipindahkan dalam eppendof baru untuk disentrifugasi kembali
dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit, bertujuan untuk mengendapkan
kotoran. Supernatan hasil sentrifugasi dipindahkan kembali dalam eppendof yang
baru, lalu disentrifugasi lagi dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit.
Supernatan hasil sentrifugasi dipindahkan dalam eppendof baru, lalu
disentrifugasi kembali 10.000 rpm dalam waktu 10 menit. Pelet hasil dari dua
sentrifugasi terakhir digunakan untuk ekstraksi DNA. Isolasi DNA bakteri
menggunakan DNAMITE® kit. Pelet dari dua sentrifugasi terakhir tadi, ditambah
larutan LA, dijadikan dalam 1 tabung eppendof, hingga ± sebesar 1 ml, lalu
tambahkan larutan PA masing-masing 100 µl, gojok hingga homogen. Kemudian,
menyentrifugasinya dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan
hasil sentrifugasi, ditambah ± 400 µl larutan CA, lalu disentrifugasi lagi dengan
kecepatan 10.000 rpm dalam waktu 10 menit. Hilangkan semua supernatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18 sampai bersih. Kemudian, semua sampel ditambah air destilat ganda 50 µl, lalu
disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. DNA template siap
digunakan atau simpan dalam kulkas -20oC.
3. Elektroforesis DNA pada gel agarosa 1%
Elektroforesis hasil ekstraksi DNA dilakukan menggunakan gel agarosa 1%
yang terdiri atas: 0,4 gram agarose, 40 ml TBE 1x dan 5µl/100ml alternatif
pengganti ethidium bromide (Goodview®). Hasil ekstraksi DNA sebanyak 20 µl
dihomogenkan dengan 2 µl 6x larutan pemberat DNA (Loading Dye) dan
dimasukkan dalam tiap sumuran gel. Elektroforesis dijalankan pada tegangan 100
V selama 10 menit menggunakan larutan penyangga TBE 1x dan hasil
elektroforesis dilihat dibawah UV.
4. Analisis struktur komunitas bakteri rizosfer menggunakan PCR-RISA
Intergenic spacer region (ISR) antara small-subunit (SSU) dan large-subunit
(LSU) rRNA diamplifikasi dalam 25 ml campuran reaksi PCR, yang terdiri dari
3µl DNA cetakan bakteri total, 2,5 ml dari 10mg/ml BSA (Bovine Serum
Allbumin), 12,5 µl MMR, 4 ml air destilat ganda dan 1 ml dari 100 pmol dari
masing-masing primer L189r (5’>TACTGAGATGYTTMARTTC<3’) dan S926f
(5’>CTYAAAKGAATTGACGG<3’) (Yu dan Mohn 2001). Notasi basa pada
primer menunjukkan: Y= C atau T ; M= A atau C ; R= A atau G; dan K= G atau
T. Program PCR dijalankan dengan program denaturasi awal pada 95oC selama 5
menit, 35 siklus terdiri dari denaturasi pada 95oC selama 1 menit, penempelan
50oC selama 1 menit, perpanjangan pada 72oC selama 2 menit dan pemanjangan
akhir 72oC selama 6 menit (Widayati 2007).
5. Elektroforesis dan pewarnaan DNA
Elektroforesis dari DNA teramplifikasi dilakukan dua kali, yaitu dengan gel
agarose 2% dengan marker 1 kb marker ladder (Microzone) selama 20 menit
dijalankan dengan arus 110 V kemudian divisualisasi dengan pewarnaan alternatif
pengganti Ethidium Bromida (Goodview®) dan polyacrilamid gel electrophoresis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19 (PAGE) 12% yang dibuat dari: 6 ml 30% polyacrilamid; 3 ml penyangga 5X Tris
base, boric acid EDTA (TBE); 5,85 ml dH2O; 15 ml N, N, N', N'-
tetramethylethylenediamine (temmed); and 135 ml dari 10% Amonium persulfat
(APS). Hasil amplifikasi sebanyak 12,5 µl dihomogenkan dengan 2 µl 6x larutan
pemberat DNA dan dimasukkan dalam tiap sumuran pada gel. Elektroforesis
dijalankan dengan arus 100 V selama 170 menit dalam penyangga 1xTBE
menggunakan mesin mini vertical electrophoresis (BioRadTM) kemudian
dilanjutkan dengan pewarnaan perak nitrat (silver staining).
Pewarnaan perak nitrat dimulai dengan merendam gel hasil elektroforesis
dalam asam asetat glasial 10%. Setelah kurang lebih selama 60 menit digoyang
dalam rendaman asam asetat glasial 10%, larutan dibuang dan gel dibilas dengan
air destilat ganda selama 2 menit (sebanyak 3 kali) sambil terus digoyang. Setelah
air destilat ganda bilasan terakhir dibuang, gel direndam dalam larutan perak nitrat
(0,1% AgNO3 dan 0,56% formaldehid), dan digoyang kembali selama 40 menit.
Selanjutnya gel dibilas dengan air destilat ganda (selama 15 detik) dan direndam
pada larutan pewarna (3% Na2CO3; 2 mg/ml Na2S2O3 dan 0,56% formaldehid).
Proses perendaman dilakukan secara bertahap sampai diperoleh visualisasi yang
diinginkan. Reaksi dihentikan dengan penambahan asam asetat glasial 10%
kemudiankan diamkan 60 menit. Hasil elektroforesis ditutup menggunakan plastik
kaca dan dikeringkan. Hasil visualisasi didokumentasi dengan kamera digital.
D. Analisis Data
Hasil visualisasi PCR-RISA dibuat data pola fragmen DNA masing-masing
isolat menjadi suatu matrik. Kemunculan fragmen DNA pada setiap tanaman
sampel diberi indeks 1, sedangkan yang tidak muncul diberi indeks 0. Matrik data
yang diperoleh dianalisis un-weighted pair-group method arithmetic average
(UPGMA) dengan perangkat lunak numerical taxonomy and multivariate system
(NTSYS) versi 2.1 untuk melihat hubungan kedekatan struktur komunitas bakteri
rizosfer antar tanaman sampel. Kedekatan hubungan dilihat berdasarkan koefisien
kesamaan dan pengelompokan dalam bentuk dendrogram.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengambilan Sampel dan Ekstraksi DNA Rizosfer Bawang Putih
Ekstraksi DNA rizosfer bawang putih menggunakan DNAMITE® kit.
Sampel tanaman diperoleh dari dua lokasi pertanaman bawang putih yaitu desa
Pancot dan desa Gondosuli yang diambil dengan metode purposive sampling.
Jenis tanah pada kedua lokasi pengambilan sampel adalah tanah andosol dengan
struktur yang remah. Tanaman yang digunakan sebagai sampel adalah tanaman
yang sehat dan tanaman yang terserang Fusarium oxysporum f.sp. cepae
disesuaikan dengan kondisi ketika pengambilan sampel.
Gambar 1. Sampel tanaman sehat lahan kondusif (Gondosuli) umur 100 HST
Gambar 2. Sampel tanaman sakit lahan kondusif (Gondosuli) umur 100 HST
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Gambar 3. Sampel tanaman sakit lahan supresif (Pancot) umur 100 HST
Gambar 4. Sampel tanaman sehat lahan supresif (Pancot) umur 100 HST
Tanaman yang sudah ditetapkan sebagai sampel, kemudian diproses untuk
persiapan ekstraksi DNA. Akar tanaman sampel dipotong-potong untuk dijadikan
sampel komposit, dipisahkan antara akar tanaman yang sehat dan akar tanaman
yang sakit. Selanjutnya, sampel komposit dijadikan suspensi, 1 gram akar dalam 5
ml air steril. Masing-masing sampel dibuat dalam lima ulangan kemudian
direndam selama kurang lebih satu malam. Proses selanjutnya, suspensi perakaran
tanaman bawang putih ini diekstraksi menggunakan DNAMITE® kit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Kondisi kimia tanah pada lokasi pengambilan sampel sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah dari lokasi pengambilan sampel
No Sifat Kimia Tanah Pancot Gondosuli Harkat* (Supresif) (Kondusif) Supresif Kondusif
1. C Organik (%) 0,92 1,42 Sangat rendah Rendah
2. Bahan Organik (%) 1,58 2,46 Sangat rendah Sangat rendah
3. N total (%) 0,42 0,49 Sedang Sedang
4. P tersedia (ppm) 13,35 15,22 Tinggi Tinggi
5. K tersedia (%) 0,34 0,41 Sangat rendah Sangat rendah
6. pH 6,43 6,19 Agak masam Agak masam
*Sumber: Balai Penelitian Tanah 2005
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa kondisi kimia tanah
berpengaruh terhadap intensitas penyakit busuk pangkal bawang putih. Pada tanah
kondusif, memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan
tanah supresif. Menurut Hadiwiyono dan Widono (2008), tingginya bahan organik
ini cenderung meningkatkan intensitas busuk pangkal bawang putih. Kondisi
tersebut diduga menyebabkan tersedianya nutrisi dengan KPK yang tinggi justru
memberikan medium tumbuh yang baik bagi patogen Fusarium oxysporum f.sp.
cepae, sebagai patogen penghuni tanah (soil inhabitant) yang saprotrof (Koike et
al. 2008). Selain bahan organik, kandungan nitrogen total juga berpengaruh
terhadap busuk pangkal bawang putih. Kandungan nitrogen yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan tanaman menjadi sukulen, sehingga mudah terserang patogen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Hasil ekstraksi DNA perakaran bawang putih sebagai berikut:
Gambar 5. Hasil ekstraksi DNA bakteri rizosfer tanah supresif umur 100 HST :
H1-5 sampel perakaran tanaman sehat dan J1-5 sampel perakaran tanaman sakit.
Gambar 6. Hasil ekstraksi DNA bakteri rizosfer tanah kondusif umur 100 HST :
M1-5 sampel perakaran tanaman sakit dan N1-5 sampel perakaran tanaman sehat.
Berdasarkan hasil ekstraksi DNA (Gambar 5 dan Gambar 6) dapat diketahui
bahwa terdapat bakteri rizosfer pada semua sampel, baik perakaran bawang putih
dari tanah supresif maupun kondusif. Hal yang membedakan terletak pada tebal
tipisnya pita DNA yang tampak. Hasil ekstraksi perakaran bawang putih dari
tanah supresif, menunjukkan pola pita DNA bakteri tanaman yang sehat lebih
tebal dibandingkan tanaman yang sakit. Hasil ekstraksi DNA perakaran bawang
putih dari tanah kondusif juga menunjukkan perbedaan antara tanaman yang sehat
dan tanaman yang sakit dilihat dari tebal tipisnya pita DNA yang tampak. Sama
halnya dengan tanah supresif, pada tanah kondusif, tanaman yang sehat
menunjukkan pita DNA yang lebih jelas dibandingkan tanaman yang sakit. Hal
M H1 H2 H3 H4 H5 J1 J2 J3 J4 J5
M M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3 N4 N5
250bp
750bp
250bp
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
tersebut dapat terjadi karena kemungkinan pada tanaman sehat di tanah supresif
terdapat bakteri rizosfer yang berperan dalam meningkatkan ketahanan tanaman
terhadap patogen. Sesuai dengan pernyataan Hyakumachi (1994), bahwa banyak
bakteri rizosfer mempunyai kemampuan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman
dan menekan patogen terbawa tanah. Kemampuan ini disebabkan bakteri rizosfer
menghasilkan hormon pertumbuhan dan antibiotik atau siderofor.
B. Analisis Struktur Komunitas Bakteri Rizosfer dengan PCR RISA
Hasil PCR divisualisasi menggunakan dua metode, yaitu menggunakan
agarose gel dan pewarnaan perak nitrat. Visualisasi menggunakan agarose gel
dapat menunjukkan ada tidaknya pita DNA pada sampel. Kemudian untuk
memperjelas pita DNA yang terlihat pada visualisasi agarose gel, digunakan
pewarnaan perat nitrat.
Hasil visualisasi pita DNA melalui PCR-RISA menggunakan agarose gel
dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8 :
Gambar 7. Pola fragmen DNA bakteri rizosfer tanah supresif umur 100 HST :
H1-5 sampel perakaran tanaman sehat dan J1-5 sampel perakaran tanaman sakit.
M H1 H2 H3 H4 H5 J1 J2 J3 J4 J5
250bp
500bp
750bp
1000bp 1500bp
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Gambar 8. Pola fragmen DNA bakteri rizosfer tanah kondusif umur 100 HST :
N1-5 sampel perakaran tanaman sehat dan M1-5 sampel perakaran tanaman sakit.
Berdasarkan hasil visualisasi sampel menggunakan agarose gel, dapat
diketahui bahwa seluruh sampel yang divisualisasi menunjukkan adanya
komunitas bakteri rizosfer dalam tanah. Fragmen DNA bakteri rizosfer tanah
supresif dan kondusif yang terlihat memiliki panjang sekitar 1000-1500bp. Pola
pita DNA bakteri rizosfer memiliki perbedaan, baik terkait dengan kondisi
tanaman maupun dari lahan mana tanaman tersebut berasal. Tanaman sehat dari
tanah supresif menunjukkan pita DNA bakteri rizosfer yang lebih tebal dan lebih
banyak dibandingkan tanaman yang sakit. Hal ini dimungkinkan bahwa struktur
komunitas bakteri rizosfer pada tanaman sehat jauh lebih banyak dibandingkan
tanaman yang sakit. Kondisi yang sama juga terlihat pada tanah kondusif.
Tanaman sakit yang berasal dari tanah kondusif, setelah dilakukan analisis PCR-
RISA, ternyata memiliki perbedaan pola pita bakteri rizosfer jika dibandingkan
dengan tanaman yang sehat. Pola pita tanaman yang sehat lebih tebal dibanding
tanaman yang sakit. Benizri et al. (2005) melaporkan bahwa metode PCR-RISA
tanpa pengkulturan digunakan untuk membandingkan struktur komunitas bakteri
tanah yang sehat dan sakit pada pertanaman peach.
250bp
500bp 750bp
1000bp 1500bp
M M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3 N4 N5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Hasil visualisasi secara molekular menunjukkan hanya tampak sedikit
perbedaan pola pita DNA, tetapi kondisi dilapangan menunjukkan bahwa tanah
supresif lebih mampu menekan perkembangan penyakit busuk pangkal bawang
putih. Hal ini dibuktikan bahwa tanaman di tanah supresif mulai mengalami gejala
busuk pangkal bawang putih ketika berumur lebih dari 80 hari setelah tanam,
sedangkan di tanah kondusif, tanaman umur 80 hari setelah tanam sudah mulai
menunjukkan gejala busuk pangkal bawang putih. Gejala busuk pangkal bawang
putih mulai terlihat ketika fase pengisian umbi. Hal ini didukung dengan
pernyataan Sudarma dan Jambe (2009) yang menyatakan bahwa tanah supresif
merupakan tanah yang mampu menekan perkembangan penyakit, walaupun
patogen ada dalam tanah dan kondisi menguntungkan untuk penyakit, penyakit
tidak muncul atau kecil, tidak membahayakan bagi tanaman.
Visualisasi hasil PCR-RISA diperjelas dengan polyacrilamid gel
elektroforesis sebagai berikut:
(A)
(B)
Gambar 9. Pola fragmen DNA bakteri rizosfer umur 100 HST. Tanah supresif (A): H sampel perakaran tanaman sehat dan J sampel perakaran tanaman sakit. Tanah kondusif (B): N sampel perakaran tanaman sehat dan M sampel perakaran tanaman sakit serta L marker ladder 1kb.
L H J M N L
250bp
500bp
750bp
1000bp
1500bp
250bp
500bp
750bp
1000bp
1500bp
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Berdasarkan Gambar 9, dapat diketahui bahwa visualisasi menggunakan
polyacrilamid gel elektroforesis yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak nitrat
semakin memperlihatkan perbedaan pola pita bakteri rizosfer dibandingkan
visualisasi dengan agarose gel. Perbedaan terlihat pada tanaman yang berasal dari
tanah supresif dan kondusif baik tanaman sehat maupun sakit (Gambar 9).
Fragmen DNA bakteri rizosfer tanah supresif dan kondusif yang terlihat memiliki
panjang sekitar 500-1500bp. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa
spesies bakteri rizosfer pada pertanaman bawang putih.
Berdasarkan perhitungan jumlah pita DNA bakteri rizosfer dapat diketahui
bahwa masing-masing sampel memiliki jumlah pita DNA bakteri rizosfer yang
berbeda-beda. Pada sampel rizosfer sehat yang berasal dari tanah supresif
memiliki sekitar 9-11 pita DNA bakteri rizosfer dan sampel rizosfer sakit dari
tanah supresif memiliki sekitar 13-14 pita DNA bakteri rizosfer. Sampel rizosfer
sehat yang berasal dari tanah kondusif memiliki sekitar 20-22 pita, sedangkan
sampel rizosfer sakit yang berasal dari tanah kondusif memiliki sekitar 20-21 pita
DNA bakteri rizosfer. Berdasarkan jumlah pita DNA ini, dimungkinkan masing-
masing sample memiliki struktur komunitas bakteri rizosfer yang berbeda-beda
pula. Perbedaan struktur komunitas bakteri rizosfer memungkinkan peran yang
berbeda-beda. Ada bakteri rizosfer yang berpotensi sebagai agens pengendali
hayati, tapi ada juga yang berasosiasi dengan tanaman yang dapat menyebabkan
tanaman menjadi lebih rentan terhadap patogen sehingga menyebabkan tanaman
lebih mudah sakit (menurunkan produktivitas tanaman).
Bakteri prokariotik dan jamur eukariotik memiliki berbagai hubungan
saprofitik dan simbiotik, termasuk detrimental (patogenik) dan benefisial
(mutualistik) mikrob. Sebagian besar detrimental mikrob adalah patogen dan
sebagian kecilnya merupakan bakteri dan jamur parasit dan non parasit deleterious
rizosfer. Benefisial saprofit terdiri dari berbagai kelompok mikrob yang mampu
mendukung pertumbuhan dan kesehatan tanaman. Mikrob yang termasuk
benefisial saprofit diantaranya pengurai bahan organik, PGPR, dan bakteri dan
jamur antagonis (Barea et al. 2004, Barea et al. 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Gambar 10. Dendrogram-UPGMA berdasarkan pola fragmen DNA hasil PCR- RISA perakaran bawang putih umur 100 HST tanah kondusif dan supresif.
Hasil analisis un-weighted pair-group method arithmetic average
(UPGMA) pada Gambar 10, menunjukkan bahwa terdapat pengelompokan yang
berbeda antara sampel yang berasal dari tanah supresif dan kondusif. Nilai
koefisisen kesamaan genetik dari kedua kelompok komunitas bakteri rizosfer
tersebut adalah 62%. Keragaman komunitas bakteri rizosfer cenderung lebih
banyak pada tanah kondusif. Akan tetapi, diduga komunitas bakteri rizosfer di
tanah kondusif ini tidak berperan sebagai agens pengendali hayati busuk pangkal
bawang putih. Berbeda halnya dengan tanah supresif, walaupun keragaman
komunitas bakteri rizosfernya lebih rendah dibanding tanah kondusif, tetapi
mampu menekan perkembangan busuk pangkal bawang putih, karena diduga
komunitas bakteri rizosfer di tanah supresif ini berperan sebagai agens pengendali
hayati. Menurut Agrios (1997), penekanan penyakit pada tanah supresif terjadi
karena adanya satu atau beberapa mikroorganisme antagonis pada tanah tersebut.
Koefisien kesamaan
0.62 0.68 0.74 0.80 0.86
Sup Sehat
Sup Sakit
Kond Sehat
Kond Sakit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Antagonisme ini bekerja melalui antibiotik yang dihasilkan, melalui kompetisi
terhadap makanan atau parasitisme langsung terhadap patogen, sehingga tidak
memberi peluang bagi patogen untuk mencapai populasi yang dapat menyebabkan
penyakit yang parah. Whipps (1997) melaporkan bahwa kemampuan supresif
tanah biasanya berhubungan dengan dua hal yaitu kompetisi mikroba dalam
menyerap nutrien dan produksi antibiotik oleh mikroba tanah. Keduanya
berpengaruh besar terhadap hubungan antar komunitas bakteri dalam tanah
supresif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis struktur komunitas bakteri rizosfer bawang putih
dengan PCR-RISA dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan struktur komunitas
bakteri rizosfer bawang putih pada lahan supresif dan kondusif. Tanah kondusif
cenderung memiliki keragaman bakteri rizosfer yang lebih tinggi dibanding tanah
supresif, tetapi kemungkinan komunitas bakteri rizosfer pada tanah supresif lebih
berperan sebagai antagonis patogen dibandingkan komunitas bakteri rizosfer pada
tanah kondusif.
B. Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui spesies bakteri
rizosfer dari pertanaman bawang putih di tanah supresif dan kondusif, sehingga
dapat diketahui spesies bakteri yang dapat berperan sebagai agens pengendali
hayati.