dinamika ketatanegaraan lembaga perwakilan di …digilib.unila.ac.id/21676/3/skripsi tanpa bab...

164
DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan) (Skripsi) Oleh James Reinaldo Rumpia FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016

Upload: lehuong

Post on 29-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di

INDONESIA

(Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan)

(Skripsi)

Oleh

James Reinaldo Rumpia

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2016

Page 2: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

ABSTRACT

CONSTITUTIONAL DYNAMIC OF INDONESIA PARLIAMENT

(Pre Independence and Post Independence)

By

James Reinaldo Rumpia

Constitutional Dynamics of Indonesia Parliament, didn‘t only affected by changes

of the constitution. In the early days of independence to Soeharto's New Order,

the practice of representative Institution through the Majelis Permusyawaratan

Rakyat (people's consultative assembly) and Dewan Perwakilan Rakyat

(parliament) are not so run according to its function. In this case as an example the

position of the Assembly as the highest institution, actually used by the

government of New Orde to enforce authoritarian. MPR instead of being guardian

of the people's sovereignty as mandated by the constitution, but it becomes a

guardian of the interests of the New Order government. In the practice of the

Parliament, also does not run in accordance with the authority and functions,

Parliament just become only the rubber stamp parliament. After the reform in

accordance with the phenomenon of constitutionalism, Indonesia try to make

changes to the design of representative bodies through an amendment of the UUD

1945 (Indonesia Constitution). It starts with the limitation of power, strengthening

the function of the House of Representatives and the desire to fulfill the interests

of the regions through the Regional Representatives Council. Based whit it, the

purpose of this research is to describe the dynamics of Indonesia Parliament, since

the beginning of independence to post independence. This research using

normative method with historical approach, institutional approach, and purpose of

legislation. This research has shown that the dynamics of Indonesia parliament,

was also influenced by the back ground and pressure in each periods. This is

related with the spirit of parliament performance, which is based on their true

purpose or just to fulfill formalities.

Keywords: Dynamics, Parliament, Periods.

Page 3: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

ABSTRAK

DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN

di INDONESIA

(Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan)

Oleh

James Reinaldo Rumpia

Dinamika Ketatanegaraan Lembaga Perwakilan di Indonesia, tidak hanya

dipengaruhi oleh perubahan Konstitusi. Pada masa awal kemerdekaan Lembaga

Perwakilan hingga Orde Baru dibawah Soeharto, praktik dari lembaga perwakilan

melalui MPR dan DPR tidak begitu berjalan sesuai fungsinya. Dalam hal ini

sebagai contohnya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi, justru

dimanfaatkan oleh pemerintah Orde baru untuk menegakkan otoritarian. MPR

bukan menjadi penjaga kedaulatan rakyat seperti amanat konstitusi, namun justru

menjadi penjaga kepentingan dari pemerintah Orde Baru. Pada praktik DPR juga

tidak berjalan sesuai dengan kewenangan dan fungsinya, DPR hanya menjadi

rubber stamp parliament saja. Pasca reformasi sesuai dengan fenomena

konstitusionalisme, Indonesia mencoba melakukan perubahan desain lembaga

perwakilan melalui amandemen UUD 1945. Hal ini dimulai dengan pembatasan

kekuasaan, penguatan fungsi dari DPR hingga keinginan terhadap pemenuhan

kepentingan daerah melalui Dewan Perwakilan Daerah. Berdasarkan hal tersebut,

penelitian ini bertujuan menggambarkan dinamika ketatanegaraan Lembaga

Perwakilan yang ada di Indonesia, sejak Indonesia sebelum merdeka hingga

Indonesia merdeka saat ini. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan

pendekatan sejarah, pendekatan institusional, dan politik hukum. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa dinamika yang terjadi terhadap lembaga perwakilan yang

ada di Indonesia, juga dipengaruhi oleh latar belakang dan tekanan yang terjadi

pada tiap masanya. Hal ini berkenaan dengan semangat penyelenggaraan

Lembaga Perwakilan, yang hendak melaksanakannya sesuai pada tujuannya, atau

hanya memenuhi formalitas saja.

Kata Kunci: Dinamika, Lembaga Perwakilan, Masa.

Page 4: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN

DI INDONESIA

(Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan)

Oleh

James Reinaldo Rumpia

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2016

Page 5: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan
Page 6: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan
Page 7: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan
Page 8: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 18 April

1993. Putera pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Petra

Sels Rumpia dan Sri Rahayu. Penulis menyelesaikan pendidikan

dasar di SD Fransiskus II Rawa Laut, Bandar Lampung pada

tahun 2005. Tahun 2005 melanjutkan ke jenjang Pendidikan

Sekolah Menengah Pertama di SMP Xaverius II Bandar Lampung, dan lulus pada

tahun 2008. Masa sekolah di SMP bagi penulis menjadi masa perpisahan terakhir

dengan papa tercinta, karena pada tahun tersebut papa penulis menjadi korban dari

Kecelakaan Pesawat di Tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan

pendidikan di Sekolah Menengah Atas Xaverius Bandar Lampung, dan lulus pada

tahun 2011. Pasca lulus penulis belum melanjutkan menuju jenjang perkuliahan,

dan lebih memilih untuk mencoba pengalaman di bidang wirausaha bersama

Mama tercinta.

Penulis baru melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas

Lampung pada tahun 2012 dan diterima melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional

Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tertulis. Selama menjalankan masa studi di

Universitas Lampung, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi

mahasiswa di internal dan eksternal kampus. Pada organisasi internal kampus,

penulis di awal tahun perkuliahan sempat bergabung dengan Badan Eksekutif

Mahasiswa (BEM) FH UNILA, namun kemudian tidak melanjutkannya lagi

Page 9: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

karena lebih berfokus pada kegiatan lain. Penulis juga aktif di dalam Himpunan

Mahasiswa Hukum Tata Negara (HIMA HTN). Pada tahun 2015 penulis

diamanahkan sebagai Kepala Bidang Kajian. Pada organisasi eksternal kampus,

penulis sejak tahun 2012 bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Cabang Bandar Lampung, Komisariat Hukum Unila. Pada periode kepengurusan

tahun 2015-2016 penulis diamanahkan sebagai Kepala Bidang P3A (Penelitian,

Pengembangan anggota, dan Pembinaan Anggota) di HMI Cabang Bandar

Lampung Komisariat Hukum UNILA.

Penulis selain aktif dalam organisasi kemahasiswaan, juga aktif dalam

Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKP-HAM) Fakultas

Hukum UNILA. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif dalam berbagai

kegiatan akademik, seperti menulis di Jurnal Tanah Air Tahun 2014 dengan judul

Pemilu, Politik Transaksional dan Perampasan Sumber Daya Alam, mengikuti

konferensi Internasional UNS Legal Conference Sustainability tahun 2014, 3rd

IMCoSS tahun 2015, dan pada tahun 2015 mengikuti Law 2.0: New Challenges in

Asia, 12th

Asian Law Institute Conference di Taiwan. Pada tahun 2015 penulis

diberikan penghargaan sebagai Mahasiswa Berprestasi terbaik ketiga tingkat

Universitas Lampung.

Page 10: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

MOTTO

Dan ( ingatlah) ketika Tuhan-mu Memaklumkan, “ Sesungguhnya jika kamu

bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika

kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”

(Q.S. Ibrahim: 7)

Ilmu lebih baik dari pada harta. Ilmu menjagamu, sementara kau menjaga

harta. Harta berkurang jika digunakan, ilmu bertambah jika diamalkan

(Ali bin Abi Thalib)

Page 11: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

Karya ini kupersembahkan untuk:

Papaku tercinta yang telah tiada

Mamaku tersayang yang memberikan cinta, dan kasih sayangnya

Keluargaku

Guru-Guru dan Pembimbingku

Page 12: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

SANWACANA

Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena limpahan rahmat

dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul ―Dinamika

Ketatanegaraan Lembaga Perwakilan di Indonesia (Pra Kemerdekaan dan Pasca

Kemerdekaan)‖, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan dari banyak pihak baik berupa

bimbingan, dukungan, motivasi, kritik serta saran yang berarti. Sehingga pada

kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Sri Rahayu, Mamaku tercinta atas perhatian dan kasih sayangnya, yang

selalu menjadi semangat bagi penulis dan mendorong penulis ke arah

kemajuan;

2. Rudy, S.H., LL.M., LL.D, selaku pembimbing utama dan ketua bagian

Hukum Tata Negara, yang dalam hal ini sangat berkontribusi terhadap

kemajuan keilmuan yang penulis peroleh, atas dorongan motivasi,

kedisiplinan, moral, dan juga menjadi inspirasi bagi penulis;

3. Dr. Yusnani Hasyim Zum, S.H., M.Hum, selaku pembahas utama yang

dalam hal ini memberikan saran, dan kritik yang berarti dalam menulis

karya ilmiah ini;

4. Dr. Budiyono, S.H., M.H selaku pembimbing kedua yang telah

memberikan bimbingan, dan motivasi yang berarti bagi penulis dalam

menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini;

Page 13: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

5. Yulia Neta, S.H., M.H selaku pembahas kedua yang telah memberikan

kritik dan saran yang membantu penulis mengembangkan karya ilmiah

ini;

6. Dosen-Dosen Bagian Hukum Tata Negara, Armen Yasir, S.H.,M.H.,

Yusdianto, S.H., M.H., Muhtadi, S.H.,M.H., Ahmad Saleh, S.H., M.H.,

Iwan Satriawan, S.H.,M.H., Martha Riananda, S.H., M.H., Siti

Khoiriyah, S.H.,M.H., Ade Arif Firmansyah, S.H., M.H. selaku dosen

yang telah memberikan ilmu bermanfaat selama perkuliahan serta

kritikan dan masukan untuk selesainya skripsi ini.;

7. Dr Hieronymus Soerjatisnanta, S.H., M.H. yang selalu memberikan

masukan keilmuan dan pengalaman, serta mendorong penulis untuk

selalu mengembangkan keilmuan, dan untuk dapat bermanfaat bagi

sesama;

8. Keluargaku, yakni Papaku terima kasih atas kasih dan sayangmu, Bapak

Amri Lukman sebagai bapak yang telah membimbingku dan

mengarahkanku kepada kebaikan dan kemanfaatan bagi sesama, adik-

adikku terkasih Juan Randy Rumpia, dan Jane Rosalina Rumpia terima

kasih atas kebersamaannya;

9. Bapak Marjiono, Bapak Sujarwo, Bapak Supendi, Bapak Hadi dan Mas

Nur yang telah membantu banyak hal terhadap penulis yang tidak akan

mampu untuk disampaikan seluruhnya;

10. Keluarga Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKP-

HAM) UNILA, Dr. FX. Sumarja, S.H.,M.H., Fathoni, S.H.,M.H., Farid

Alrianto, Bonifa Refsi, Ricco Andreas, Putu Aditya, Cornellius C.G,

Page 14: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

Anggun Ariena Rahman, Desi Rohayati, Edius Pratama, Ade Oktariatas

K.Y., Cinda Marsya, Dedi Putra, Teta Anisah, terimakasih atas ilmu yang

diberikan, kekeluargaan dan bantuannya selama ini;

11. Saudara seperjuangan di HMI Komisariat Hukum Unila angkatan 2012

Suma Indra, Alghafiqi, Aditya, Bonifa, S.H., Belardo, S.H., Danny,

Dimas, Iqbal, Kujang, Nandha, Risky, Yudha Agung, Ragiel, Yudha

Prawira, Ragiel, Rb Pratama, Ryo Novri, S.H., Dedy Ernadi, Dedy

Sitepu, P.Dharma, Putri Utami, Julia Silviana, Silvia, Ratna Sari, Sari

Tirta, Ika Nursanti, S.H., Lidia dan lainnya yang telah memberikan

pembelajaran dan pengalaman yang baik;

12. Keluarga besar HMI Komisariat Hukum Unila, ―Samudera Byzantium‖,

―Anti Stagnasi‖, ―Victoria Bonefide‖, ―Cordova Hugo dan lain-lain

untuk kebersamaan, pengalaman dan kekeluargaan yang sangat luar

biasa;

13. Saudara seperjuangan di HIMA HTN (Himpunan Mahasiswa Hukum

Tata Negara) FH Unila. 2012: Pipin Lestari, Dewi Nurhalimah, S.H.,

Utia Meylina, S.H., Deka Nanda Prakoso, Dwi Zaen Prastyo, Shabrina

Duliyan Firda, S.H., M. Husen Rifa‘i, Anastasia Resti, Ratna Sari,

Sumaindra Jarwadi. 2013: Ridwan Saleh, Tia Nurhawa, Hendi

Gustarianda, Edius Pratama, Afrintina, Sarinah, Haves Annamir, Royzal

Annurrahman, Suhendri, Rudi Wijaya, untuk kebersamaan dan

kekeluargaannya;

14. Teman-teman angkatan 2012 FH UNILA, Nazyra, Fifin, Fiona, Iis,

Indah, dan lainnya, untuk kebersamaan dan pembelajarannya;

Page 15: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

15. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan pemikiran

serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani proses studi;

16. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu yang telah

membantu penulis selama kuliah dan selama proses penyelesaian skripsi

ini.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan Karunianya kepada

Bapak, Ibu serta rekan-rekan semua.

Bandar Lampung, April 2016

Penulis

James Reinaldo Rumpia

Page 16: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

DAFTAR ISI

Halaman Judul

Abstrak

Halaman Persetujuan

Halaman Pengesahan

Pernyataan

Riwayat Hidup

Moto

Persembahan

Sanwacana

Daftar Isi

Daftar Tabel

Daftar Gambar dan Ragaan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................... 8

C. Ruang Lingkup Penelitian................................................................... 9

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 11

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konstitusi, Hukum dan Demokrasi ...................................................... 13

1. Demokrasi ........................................................................................ 14

2. Konstitusi ......................................................................................... 35

3. Demokrasi dan Konstitusionalisme dalam Lintasan Sejarah .......... 56

B. Lembaga Perwakilan ........................................................................... 87

1. Praktik Lembaga Perwakilan Zaman Klasik Barat.......................... 91

2. Praktik Lembaga Perwakilan Kontemporer Barat ........................... 95

3. Lembaga Perwakilan dari Perspektif Islam ..................................... 99

Page 17: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

III. METODE PENELITIAN

A Jenis Penelitian ..................................................................................... 123

B Pendekatan Masalah ............................................................................. 124

C Sumber Data ......................................................................................... 125

D Metode Pengumpulan Data .................................................................. 127

E Metode Pengelolaan Data ..................................................................... 127

F Analisis Data ........................................................................................ 128

IV PEMBAHASAN

A. Masa Sebelum Kemerdekaan Indonesia .............................................. 129

1. Dewan Rakyat (Volksraad) di Masa Kolonial Belanda................... 133

2. Lembaga Perwakilan di Masa Pendudukan Jepang ......................... 166

B. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1949) ............................................... 187

C. Masa Republik Indonesia Serikat ......................................................... 199

D. Masa UUDS 1950 ................................................................................ 222

E. Masa Demokrasi Terpimpin ................................................................. 249

F. Masa Demokrasi Pancasila ................................................................... 266

G. Masa Reformasi .................................................................................... 283

V. PENUTUP

A. Simpulan .............................................................................................. 346

B. Saran ..................................................................................................... 350

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 352

Page 18: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Formulasi Alternatif Rule of Law ...................................................... 44

Tabel 2. perbedaan demokrasi majoritarian dan

konsensus berdasarkan dimensi eksekutif-partai ............................... 96

Tabel 3. Tabel perbedaan demokrasi majoritarian dan

konsensus berdasarkan dimensi federal-kesatuan .............................. 97

Tabel 4. Tujuan, norma pengaturan dan praktik di masa Hindia Belanda ...... 163

Tabel 5. Tujuan, Norma Pengaturan, dan Praktik

di masa Pendudukan Jepang .............................................................. 185.

Tabel 6. Tujuan, norma pengaturan, dan Praktik KNIP .................................. 198.

Tabel 7. Tujuan, norma pengaturan,

dan praktik Lembaga Perwakilan masa RIS ...................................... 220.

Tabel 8. Tabel hasil pemilihan umum 1955 Konstituante ............................... 241

Tabel 9. Hasil Pemilihan Umum 1955 DPR .................................................... 244

Tabel 10. Tujuan, norma pengaturan, dan

praktik lembaga perwakilan di masa UUDS ...................................... 246

Tabel 11. Tujuan, norma pengaturan, dan

praktik lembaga perwakilan di masa Demokrasi Terpimpin ............. 263

Tabel 12. Tujuan, norma pengaturan, dan

praktik lembaga perwakilan di masa Demokrasi Pancasila .............. 281.

Tabel 13. Tujuan, norma pengaturan, dan Praktik Lembaga Perwakilan

di Masa Reformasi ............................................................................. 327

Page 19: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

DAFTAR RAGAAN dan GAMBAR

Ragaan 1. Indikator Penelitian ......................................................................... 10

Ragaan 2. Das Sollen vs Das Sein dalam Lembaga Perwakilan ...................... 131

Gambar Time Line Perjalanan Lembaga Perwakilan di Indonesia .................. 329

Page 20: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Studi terhadap lembaga perwakilan tidak dapat dilepaskan dari studi

hukum tata negara yang berlandaskan pada konstitusi. Konstitusi merupakan

dasar yang menetapkan struktur lembaga negara, pengorganisasian negara,

pembatasan kekuasaan, hingga pada perwujudan tujuan tertinggi negara.1

Perubahan terhadap konstitusi akan turut pula merubah keseluruhan tatanan, dan

penyelenggaraan dari lembaga perwakilan di suatu negara.2 Indonesia sebagai

contohnya sejak awal kemerdekaan menggunakan beberapa konstitusi, mulai dari

UUD 1945, UUD RIS, dan hingga pada UUD 1945 amandemen keempat.

1 Usep Ranuwijaya menyebutkan bahwa konstitusi akan menentukan keorganisasian

negara. Lihat Usep Ranuwijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1982, hlm 184. Lain halnya dengan Soetandyo yang lebih menekankan konstitusi untuk

menentukan batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga negara. Soetandyo

Wignjosoebroto, Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum, Malang: Setara

Press, 2013, hlm 72. Hal yang sama diungkapkan oleh Sri Soemantri bahwa konstitusi berfungsi

melakukan pembatasan kekuasaan lembaga negara dari segi kewenangannya hingga pada waktu

dijalankannya kekuasaan tersebut. Lihat Sri Soematri dalam Padmo Wahjono, Masalah

Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hlm 10. Pada sisi lain

konstitusi juga dipandang sebagai sebuah konsep dasar bagi sistem pengelolaan kehidupan

bernegara atau sistem manajemen nasional. Lihat Solly Lubis, Politik Hukum dan Kebijakan

Publik, Bandung: Mandar Maju, 2014 hlm 35. Konstitusi menurut Jimly adalah untuk mencapai

tujuan tertinggi yakni: 1) keadilan; 2) ketertiban; dan 3) perwujudan nilai-nilai ideal bersama

seperti kemerdekaan atau kebebasan, dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana

dirumuskan oleh para pendiri negara. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata

Negara, Jakarta: Pt Grafindo Persada, 2013, hlm 119.

2 Solly Lubis juga berpendapat mengenai pergantian UUD dan dampaknya. Secara

teoritis pergantian UUD setidak-tidaknya membawa perubahan struktural dan mekanisme pada

pemerintahan negara, dan kemungkinan yang lebih jauh ialah perubahan dasar filsafat dan tujuan

negara, tetapi dalam praktik ketatanegaraan kita di Indonesia, perubahan tidak menyangkut pada

dasar filsafat dan tujuan negara namun hanya pada struktur, mekanisme dan policy saja. Lihat

Solly Lubis, Fungsi Perundang-undangan Dasar dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan

Indonesia Dewasa ini, Opcit, hlm 113-114

Page 21: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

2

Masing-masing dari konstitusi tersebut membawa pada desain Lembaga

Perwakilan tersendiri.

Founding fathers Indonesia sesungguhnya sudah mempunyai konsep

tersendiri mengenai lembaga perwakilan mulai dari Soepomo, Muhammad Hatta,

bahkan Muhammad Yamin mengatakan bahwa lembaga perwakilan di Indonesia

harus mengandung jiwa Permusyawaratan.3 Pada awal kemerdekaan Majelis

Permusyawaratan dan DPR yang dirancang untuk menjalankan fungsi perwakilan,

ternyata dalam hal ini belum dapat dibentuk. Dalam kondisi ini kemudian fungsi

perwakilan tersebut dijalankan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

KNIP hingga dibentuknya MPR dan DPR. Namun dalam hal ini fungsi

perwakilan yang dijalankan KNIP ternyata belum mampu mengantarkannya pada

pembentukan MPR dan DPR, di masa awal kemerdekaan. Hal ini dikarenakan

Indonesia melakukan transformasi menjadi negara serikat sistem parlementer,

sehingga dalam hal ini harus menyesuaikan kebutuhan akan lembaga yang

diperlukan.4 Lembaga Perwakilan kemudian diwujudkan dalam bentuk DPR dan

Senat yang memiliki fungsi perwakilan bagi daerah dan golongan-golongan.

Lembaga yang juga turut dibentuk pada saat itu adalah Konstituante. Konstituante

dibentuk dengan keanggotaan yang ada dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan

3 Soepomo misalnya berpendapat bahwa keberadaan dari konsep permusyawaratan,

negara harus terus menerus bersatu jiwa dengan rakyat, caranya yakni melalui badan

Permusyawaratan. Lihat Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,

Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959, hlm 119. Muhammad Hatta berkenaan dengan konsep

musyawarah mengatakan bahwa demokrasi Indonesia berdasarkan pada kekeluargaan. Lihat Yudi

Latif, Negara Paripurna, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama, 2013, hlm 417. Lihat juga

pendapat Muhammad Yamin yang mengatakan bahwa kekuasaan Majelis Permusyawaratan tidak

hanya terdiri atas wakil daerah, namun adanya wakil golongan.. lihat dalam Muhammad Yamin,

Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Opcit, hlm 232. Lihat juga mengenai kelompok

kepentingan dalam Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 2010, hlm 140.

Lihat juga Lihat Arrend Lipjhart, Pattern of Democracy, United State of America: Yale

University, 2012, hlm 158-159.

4 Mahfud MD menyebutkan pasal dalam Konstitusi RIS yang langsung menunjuk

dianutnya sistem parlementer adalah Pasal 118. Lihat Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia ,

Jakarta: LP3ES, 2006, hlm 39.

Page 22: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

3

Senat.5 Lembaga Perwakilan dalam bentuk Senat dan DPR RIS ini berakhir,

sejalan dengan tidak diterimannya bentuk Negara Serikat. Daerah-daerah yang

ada di Indonesia menghendaki untuk kembali ke kerangka negara kesatuan, dan

kemudian menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara sebagai konstitusi.6

UUDS mengatur bahwa lembaga perwakilan yang ada dalam konstitusi adalah

Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS) yang anggotanya terdiri dari Dewan

Perwakilan Rakyat ditambah utusan-utusan daerah dan golongan-golongan.

Namun ternyata Lembaga Perwakilan yang dibangun ketika itu bukan pada

perimbangan kekuasaan. Sebagai contoh dikeluarkanlah Penpres No 4 Tahun

1960 tentang susunan Dewan Perwakilan Rakyat yang baru, yakni Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong.7 Anggota DPR tidak lagi didasarkan pada

perimbangan kekuatan partai dan politik beralih menjadi kerjasama secara gotong

royong antara Pemerintah dan DPR.8 Orde Lama berakhir dan berganti kepada

Orde baru merubah pula dinamika yang terjadi terhadap lembaga perwakilan.

Dinamika terhadap lembaga perwakilan pada masa Orde Baru dapat dilihat

dari fungsi legislasi yang dimilikinya. UUD 1945 sebelum amandemen

dinyatakan bahwa kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang ada di tangan

Presiden. Hal ini diperoleh dari penafsiran Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, yang

5 Lihat Pasal 188 Konstitusi RIS

6 Perubahan yang terjadi terhadap konsep penyelenggaraan negara berdasarkan pada

UUDS mengembalikan Jabatan Wakil Presiden karena UUD itu menggunakan sistem presidensil.

Perubahan yang terjadi selanjutnya adalah menghapuskan keberadaan Senat dan Dewan

Pertimbangan Agung. Alasan ditiadakannya Senat karena daerah bagian-bagian itu sudah tidak ada

lagi, sedangkan DPA tidak ada keterangan dan dokumen yang menyatakan kebutuhan adanya DPA

tersebut ketika itu. Lihat Soepomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia,

Jakarta: Noordhoff-Kolff, 1954, hlm 61-62.

7 Setuju terhadap garis politik yang ditetapkan oleh Soekarno merupakan syarat mutlak

untuk mampu duduk sebagai anggota DPR-GR. lihat Pasal 2 Penetapan Presiden No 4 Tahun

1960.

8Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah,

Jakarta: Universitas Indonesia, 1996, Hlm 125.

Page 23: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

4

seakan pemegang kekuasaan legislasi utama adalah presiden dan fungsi DPR

hanya menyetujui rancangan. Saldi Isra dengan menelusuri penafsiran Pasal 5 ayat

(1) dan pendapat para ahli seperti A. Hamid S. Attamimi, Bagir Manan, dan

Wirjono Prodjodikoro menyimpulkan bahwa kondisi proses legislasi Orde Baru

mengalami sebuah anomali.9 Presiden dalam praktiknya menjadi pemegang

tunggal kekuasaan legislasi, dan DPR tidak dapat menggunakan haknya untuk

mengajukan rancangan undang-undang. DPR dengan kata lain tidak dapat

menggunakan kewenangannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 ayat (1)

UUD 1945 sebelum amandemen. Kondisi lemahnya kedudukan DPR ini berubah

pasca reformasi.

Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menjadi perhatian awal untuk penguatan dan

penyetaraan kedudukan DPR dan Presiden. Pasal 5 ayat (1) sebelumnya berbunyi

bahwa presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, kemudian berubah menjadi Presiden

berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Jimly berpendapat perubahan terhadap pasal 5 ayat (1) UUD 1945 adalah sebuah

pergeseran secara substantif kewenangan legislasi dari Presiden kepada DPR.10

Pasal selanjutnya yang semakin memperkuat fungsi legislasi dan memberikan

kepastian dalam kewenangan legislasi adalah Pasal 22 A UUD 1945 yang

menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan

undang-undang diatur dengan undang-undang. Pasal ini menjadi demikian penting

karena memberikan kepastian hukum, dan juga menguatkan dari pengaruh politis.

9 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer

dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hlm 139-143.

10

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm 134.

Page 24: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

5

Pengalaman Orde lama hingga Orde Baru ranah legislasi menjadi ruang yang

paling rentan, terhadap penguatan eksekutif dan pelemahan terhadap legislatif.

Perubahan yang terjadi pasca amandemen, juga melahirkan Dewan Perwakilan

Daerah yang sering disebutkan sebagai kamar kedua. Namun kamar kedua ini

tidak seperti konsep kamar yang dianut negara-negara pengguna parlemen

bikameral, dengan sistem presidensial. DPD ditempatkan dalam posisi weak

bicameralism yang seharusnya tipe weak bicameralism merupakan ciri dari

penggunaan sistem parlementer, seperti di Inggris. Dengan demikian Indonesia

memiliki dinamika tersendiri mengakar hingga pada konsep kamarnya.11

Dinamika-dinamika yang telah ditelusuri pada tiap masanya

menggambarkan bahwa studi lembaga perwakilan tidak hanya dipandangan dan

dipengaruhi oleh Konstitusi saja. Namun praktik penyelenggaraan lembaga

perwakilan dapat berbeda antara konsep yang ingin dibangun dengan praktiknya.

Hal ini dikarenakan lembaga yang mewakili demokrasi tersebut memiliki

kompleksitas yang tinggi.12

Sebagai contoh ketika masa sebelum reformasi

kedudukan lembaga perwakilan, benar-benar tidak berdaya terhadap dominasi

11 Indonesia tidak menganut strong bicameralism padahal sistem pemerintahannya adalah

presidensial. Model kamar yang biasanya dianut untuk strong bicameralism seperti di Swiss dan

Belgia. Sedangkan Inggris dengan sistem parlementer dan model demokrasi Westminsternya,

menganut weak bicameralism pada kamar keduanya, yakni House lords. Bahkan cenderung kamar

yang ada seakan unicameral dikarenakan kuatnya pengaruh House of Commons. Lihat Arrend

Lipjhart, Pattern of Democracy, Opcit, hlm 17-18. Ibid, hlm 38. Lihat juga George Tsebelis dan

Jeannette Money, Bicameralism, United State: Cambridge University Press, 2003, hlm 76.

12

Guillermo O Donnel dan Philippe Schmitter berpendapat bahwa banyak institusi yang

kini dianggap amat demokratis, pada awalnya dibentuk maksud yang sama sekali berbeda, dan

baru kemudian meleburkan diri ke dalam batasannya yang dikenal saat ini, seperti, parlemen,

partai, pemerintahan koalisi, kelompok kepentingan, dan sebagainya. Lihat Guillermo O‘Donnel

dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan

Ketidakpastian, Jakarta: Pt Pustaka LP3ES, 1993, hlm 9. Lihat juga Anthony Birch

mengungkapkan bahwa konsep perwakilan seringkali menimbulkan sengketa di tataran

praktiknya, bukan pada tahap teori dan filosofi. Lihat Anthony Birch, The Concept and Theories

of Modern Democracy, New York: Routlledge, 2007, hlm 133.

Page 25: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

6

presiden.13

Contoh lain misalnya Volksraad sebagai lembaga perwakilan yang

pernah ada di Indonesia sebelum kemerdekaan, bukan ditujukan untuk mewakili

kepentingan Indonesia. Namun dipergunakan oleh para tokoh perjuangan sebagai

saluran aspirasi mereka.14

Dinamika terhadap lembaga perwakilan di Indonesia di

sisi lain belum ada yang menelusurinya secara komprehensif, mulai tujuan yang

hendak dibangun hingga pada praktik penyelenggaraannya.

Studi terhadap lembaga perwakilan di Indonesia dalam perkembangannya

dilakukan berbagai pendekatan, secara normatif maupun melalui pendekatan

lainnya seperti sejarah. Penulis mengambil contoh studi-studi lembaga perwakilan

yang pernah ada dan cocok untuk menjadi bahan perbandingan dan penguat studi

penulis. Lembaga perwakilan dalam hal ini MPR pernah dilakukan Budiman

Sagala dengan Judul Tugas dan Wewenang MPR RI.15

Budiman dalam hal ini

hanya mengkaji permasalahan tugas dan wewenang MPR RI dari awal

kemerdekaan hingga tahun 1981. Studi yang dilakukan hanya berkenaan dengan

tugas dan wewenang dari MPR RI saja, dan hanya menggunakan perumusan

kaidah hukum positif yang ada. Padahal studi terhadap hukum tata negara dalam

13 Periode sejak dekrit presiden 5 Juli 1959 menandai pula semakin menguatnya

kedudukan presiden melalui konsep demokrasi terpimpinnya Lihat Fred Von Mehden, Politik

Negara-negara Berkembang (terjemahan Simamora), Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm 187-189.

Pada masa Orde Baru DPR secara politis dikuasai dan didominasi oleh Golongan Karya, dan

sudah menjadi rahasia umum bahwa Golkar merupakan kaki tangan Soeharto. Lihat jumlah

anggota DPR dari golongan karya di

Lihat http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2015/10/PEMILU-1977-1997/MzQz diakses 23

September 2015 pukul 08.05 wib.

14

Volksraad disebutkan juga oleh Harry J Benda sebagai eksperimentasi dari

kegembiraan perang dunia I, yang 2 (dua) tahun kemudian menjadi cetak biru hubungan kolonial

liberal. Lihat Harry J Benda, Pattern of Administrative Reforms in Closing Years of Dutch Rule in

Indonesia, dalam Journal of Asian Studies (pre-1986); Aug 1966; 25,4; Art and Humanities, hlm

592. Volksraad disebutkan juga sebagai langkah pertama dari keterlibatan orang-orang bumiputera

dalam pemerintahan kolonial. Lihat dalam Jacomina Marsman, Indonesia - Merdeka A Study Of

The Development Of The Nationalist Movement In The Dutch East Indies From 1900 To 1940,

South California: Faculty of History Southern California Univesity, 1947, hlm 61.

15

Budiman Sagala, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,

1981.

Page 26: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

7

realitasnya tidak dapat hanya ditinjau dari melihat dan mempelajari bentuk-bentuk

perumusan kaidah hukum yang dapat ditemukan dari perundang-undangan dan

sumber hukum lainnya.16

Studi terhadap MPR dengan pendekatan sejarah pernah dilakukan oleh

Samsul Wahidin dengan judul MPR RI dari Masa ke Masa.17

Kedua studi tersebut

diketahui dilakukan pada masa Orde Baru. Penulisan sebuah buku pada saat Orde

Baru tidak sebebas saat ini, sedikit banyaknya pemerintah ketika itu dapat

melakukan kontrol terhadap substansi dari pada buku ataupun majalah.18

Tentu

dalam hal ini pembahasan yang tajam mengenai lembaga perwakilan akan

dibatasi, dan kemungkinan pembahasan tentang lembaga perwakilan di Masa

Orde Baru tidak akan komprehensif. Pada Masa Orde Baru juga pernah dilakukan

studi terhadap DPR RI oleh Muchtar Pakpahan dengan judul DPR RI Semasa

Orde Baru.19

Muchtar sudah membahas mengenai Struktural, dan budaya politik

yang terjadi semasa pelaksanaan DPR RI. Namun Muchtar tidak menyentuh

permasalah dominasi presiden Soeharto. Hal ini berarti masih sama dengan 2

(dua) studi lembaga perwakilan yang disebutkan tadi.

Masa Reformasi telah lebih bebas untuk mengkaji permasalahan

kelembagaan negara dibandingkan dengan Masa Orde Baru. berbagai tulisan telah

lebih bebas untuk membahas mengenai lembaga perwakilan. Saldi Isra menjadi

16 Usep Ranuwijaya, Hukum Tata Negara Indonesia, Opcit, hlm 33. Pendapat mengenai

studi HTN juga diungkapkan oleh Abdul Gani, dia berpendapat bahwa Penguasaan ilmu hukum

tata negara selalu memperhatikan dan lebih dari itu menitikberatkan tidak saja pada aspek-aspek

yuridik, seperti norma hukum, rule of law, legalitas, kewenangan hukum, juga pada aspek-aspek

politikologik, antara lain mengenai, aliran-aliran peristiwa politik aktual, teori-teori politik,

praktek pengadilan lihat Abdoel Gani, Hukum dan Politik Beberapa Masalah, dalam Padmo

Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Opcit, hlm 163.

17

Samsul Wahidin, MPR RI dari Masa ke Masa, Jakarta: Bina Aksara, 1986.

18

Bahkan Koran sekelas Tempo pun pernah mendapat treatment pembredelan dari

pemerintah Orde Baru. lihat http://www.tempo.co/read/kolom/2013/06/21/755/19-tahun-

pembredelan-majalah-tempo diakses 12 Oktober 2015 pukul 18.20 wib.

19

Muchtar Pakpahan, DPR RI Semasa Orde Baru, Jakarta: Sinar Harapan, 1994.

Page 27: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

8

salah satu penstudi lembaga perwakilan. Saldi dalam hal ini melakukan studi

terhadap fungsi legislasi, yakni dengan judul Pergeseran Fungsi Legislasi

Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia.20

Saldi Isra hanya membahas mengenai fungsi legislasi saja dan perubahannya dari

awal kemerdekaan. Selanjutnya studi terhadap lembaga perwakilan dengan

pendekatan sejarah juga dilakukan oleh Charles Simabura dengan judul Parlemen

Indonesia Lintasan Sejarah dan Sistemnya. Charles membahas parlemen

Indonesia dengan pendekatan sejarah.

Dinamika lembaga perwakilan di Indonesia dan studi terhadapnya,

menjadi dasar diperlukannya penelitian mengenai dinamika ketatanegaraan

lembaga perwakilan di Indonesia Hal ini dikarenakan dinamika terhadap lembaga

perwakilan di Indonesia tiap periodenya tidak hanya diakibatkan oleh perubahan

konstitusi. Namun dinamika tersebut dapat saja terjadi karena perbedaan antara

tujuan pembentukannya dengan realitasnya. Tujuan berkenaan dengan alasan

mengapa dibentuknya lembaga perwakilan tersebut, dan realitas berkenaan

dengan praktik penyelenggaraan lembaga perwakilan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, masalah yang akan dikaji

dalam penelitian ini adalah Bagaimana dinamika Ketatanegaraan Lembaga

Perwakilan di Indonesia (pra kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan)?

20 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer

dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010.

Page 28: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

9

C. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah Lembaga Perwakilan yang ada di

Indonesia pada Masa sebelum kemerdekaan tepatnya pada Masa Hindia Belanda

dan Pendudukan Jepang, dan masa pasca Kemerdekaan hingga sekarang ini.

Lembaga perwakilan dalam kajian penelitian ini akan dibagi secara dua fase besar

yakni: Masa sebelum kemerdekaan Indonesia dan Masa pasca kemerdekaan

Indonesia. Pada Fase besar yang pertama yakni, masa sebelum kemerdekaan

kajian Lembaga perwakilan akan dibatasi pada masa penjajahan kolonial Belanda

(1900-1940an) dan Masa penjajahan Jepang (1942 hingga 1945). Lembaga

perwakilan yang dimaksud pada zaman penjajahan Belanda akan difokuskan

kepada dewan Rakyat (Volksraad) dimana dalam lembaga tersebut ada

keterlibatan pergerakan nasional Indonesia dan lebih lanjut tujuan sesungguhnya

dari pembentukan Volksraad ini apakah benar-benar berperan sebagai lembaga

perwakilan, yang mewakili kepentingan rakyat bumi putera di Hindia Belanda

ketika itu ataukah ada tujuan lain dari pembentukannya. Pada fase Jepang dalam

hal ini turut pula ditelusuri tujuan pembentukan lembaga perwakilan ketika itu

yakni Chuo Sangi In dan keterlibatan orang-orang Indonesia di dalamnya. Pada

Fase besar yang kedua, kajian lembaga perwakilan akan lebih difokuskan kepada

lembaga perwakilan yang ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia, yakni sejak UUD 1945 sebelum perubahan hingga pada perubahan

keempat tahun 2002.

Page 29: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

10

Dalam penelitian ini tiap lembaga perwakilan akan dilihat 3 (tiga)

indikator yang ada padanya:

1. Politik legislasi

Hal ini akan berkenaan dengan tujuan pembentukan lembaga perwakilan

tersebut pada hakikatnya adalah untuk apa dilakukan, atau kebutuhan apa yang

mendesak ketika itu sehingga perlu dibentuk lembaga perwakilan tersebut,

apakah lembaga perwakilan tersebut dibentuk untuk benar-benar mewakili

kepentingan rakyat ataupun ada alasan lainnya di balik pembentukannya;

2. Norma

Norma yang dimaksud disini adalah ketentuan yang ada dan berkenaan dengan

lembaga tersebut. Norma-norma yang ada menjadi petunjuk untuk

memperjelas bagaimana sistem perekrutan dari lembaga perwakilan tersebut

hingga pada kewenangan yang dimiliki oleh lembaga perwakilan. Pada sisi lain

peralihan dari politik legislasi menuju pada norma yang ada dalam kaitannya

politik legislasi

Norma realitas

Ragaan 1. Indikator Penelitian

Page 30: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

11

dengan lembaga perwakilan, digunakan untuk menunjukkan das sollen yakni

cita dalam pembentukan lembaga tersebut;

3. Realitasnya

Realitas yang dimaksud ini adalah berkenaan dengan bagaimana lembaga

perwakilan tersebut dijalankan, apakah telah sesuai dengan tujuan

pembentukannya atau sebaliknya pelaksanaan dari lembaga perwakilan yang

ada menyimpang dari tujuan dan ketentuannya.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, penelitian ini dilakukan

dengan tujuan untuk: Menggambarkan secara menyeluruh das sein dan das sollen

dinamika Lembaga Perwakilan di Indonesia pada masa pra dan pasca

kemerdekaan.

2. Kegunaan Penelitian

Hasil dari kegiatan penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk:

a. Kegunaan Teoretis

Dapat dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya

pembangunan lembaga perwakilan dan hukum tata negara pada

umumnya, serta dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya.

b. Kegunaan Praktis

Diharapkan kajian dari hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk

menambah pengetahuan bagi para pembaca mengenai dinamika Lembaga

Page 31: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

12

Perwakilan yang ada di Indonesia, serta dapat bermanfaat untuk

memberikan rumusan dan gagasan pembaruan dalam pembangunan

Lembaga Perwakilan di Indonesia.

Page 32: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

II. TINJAUAN PUSTAKA

A Konstitusi, Hukum, dan Demokrasi

Demokrasi merupakan ideologi yang paling rasional dan wajib ada dalam

setiap penyelenggaraan negara dewasa ini. Kebebasan dan kesetaraan menjadi

tawaran yang disediakan oleh demokrasi. Negara yang menentang ataupun

menimpang dari haluan demokrasi akan dianggap gagal dalam menyelenggarakan

pemerintahannya. Dominasi dari ideologi demokrasi, hak individu, dan

kapitalisme dibuka setelah runtuhnya komunisme.21

Ketiadaan suatu saingan

dengan demikian membuat demokrasi terus menerus menguat. Kondisi demikian

bahkan dianggap sebagai akhir zaman oleh Francis Fukuyama, ia berpendapat

bahwa:22

More than that, however, I argued that liberal democracy may constitute

the "end point of mankind's ideological evolution" and the "final form of human

government," and as such constituted the "end of history." Demokrasi liberal

dengan demikian menjadi penutup atau ideologi akhir zaman umat manusia.

Demokrasi liberal menjadi ideologi yang terakhir dan seakan paling sempurna.

Namun sebelum lebih jauh membahas demokrasi sebagai ideologi akhir zaman,

kita perlu menguraikan kembali apa itu demokrasi, teori demokrasi hingga

bagaimana kemudian demokrasi dapat berkembang menjadi sedemikian rupanya

atau disebutkan sebelumnya sebagai ideologi akhir zaman.

21 Brian Z. Tamanaha, On The Rule of Law: History, Politics, and Theorie, Cambridge:

Cambridge University Press, 2004, hlm 1

22

Francis Fukuyama, End Of History and The Last Man, United State: Maxwell, 1992,

hlm xi.

Page 33: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

14

1. Demokrasi

Demokrasi sebagai sebuah ide penyelenggaraan pemerintahan yang

berbasis pada rakyat. Rakyat bahkan sering disebutkan sebagai pemilik dari

penyelenggaraan pemerintahan apabila mengacu dari sudut pandang demokrasi.

Kata demokrasi sendiri muncul pada abad ke 5 sebelum masehi.23

Demokrasi

apabila kemudian dilihat secara terminologis sering diartikan sebagai

pemerintahan oleh dari, oleh dan untuk rakyat. Jimly Asshiddiqie menerjemahkan

makna demokrasi dalam 4 (empat) ciri besar: 1) kekuasaan berasal dari rakyat; 2)

rakyat menentukan seluruhnya arah sesungguhnya serta menyelenggarakan

kehidupan kenegaraan; 3) keseluruhan sistem penyelenggaraan negara

diperuntukkan untuk rakyat; dan 4) negara yang ideal bahkan diselenggarakan

bersama-sama dengan rakyat.24

Demokrasi dengan ciri-ciri umumnya tersebut

lebih lanjut diderivasikan ke dalam ciri yang lebih khusus apabila mengacu pada

aliran yang melatarbelakangi demokrasi tersebut. Miriam Budiarjo berkenaan

dengan demokrasi memandang bahwa ada dua kelompok aliran demokrasi yang

besar, yakni demokrasi konstitusional dan demokrasi yang berdiri diatas

komunisme.25

Jimly Asshiddiqie juga memiliki pendapat mengenai aliran besar

23 Adam Przeworski menebutkan mengenai kata demokrasi sebagai berikut: The story is

bewildering. The word ―democracy‖ appeared during the fifth century bc in a small municipality

in Southeastern Europe, acquired a bad reputation, and vanished from usage already in Rome.

According to the Oxford English Dictionary, its first appearance in English was in 1531. The 1641

constitution of Rhode Island was the first to refer to a ―Democratical or Popular Government.

Demokrasi berdasarkan pada pernyataan Adam tersebut bahwa kemunculan demokrasi berawal

dari Eropa Selatan, dan dalam kamus bahas Inggris Oxford pertama kali muncul sebagai sebuah

kata adalah pada tahun 1531. Lihat Adam Przeworski, Democracy and The Limits of Self-

Government, Cambridge: Cambridge University Press, 2010, hlm 4.

24

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar

Grafika, 2011, hlm 293.

25

Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (cetakan Ke-delapan), Jakarta: CV Prima

Grafika, 2013, hlm 105.

Page 34: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

15

demokrasi. Jimly lebih cenderung melihatnya dari subjek yang memandang

demokrasi tersebut, yakni antara pemikiran individualis dan kolektivis.26

Jimly

lebih lanjut berpandangan bahwa kaum individualist adalah rakyat berdaulat

ketika dia berdiri sebagai individu otonom, sedangkan kaum kolektivis

beranggapan rakyat berdaulat ketika berdiri dalam kolektif dan totaliter.27

Kedua

aliran demokrasi tersebut tentu dalam implementasinya memiliki alasan tersendiri.

Demokrasi dengan haluan individualis mendorong pada terbinanya masyarakat

yang dapat berdiri sendiri dan memiliki daya saing, dan dalam hal ini tidak

bergantung pada peran-peran negara. Demokrasi pada sisi lain juga sebagaimana

diungkapkan oleh Adam Prezeworski adalah sebuah sistem tertentu pemerosesan

dan pengakhiran konflik-konflik antar kelompok.28

Perkembangan pemikiran

demokrasi yang sedemikian rupanya, seringkali disebutkan berasal dari Yunani

Kuno. Namun bagaimana pemikiran Yunani Kuno hingga sekarang ini

berkembang menjadi sebuah teori demokrasi seringkali tidak terungkap.

Pemikiran politik moderen saat ini menganggap bahwa demokrasi Yunani adalah

demokrasi yang sifatnya partisipatoris. Artinya demokrasi yang menyediakan

keterlibatan bagi seluruh rakyat dalam penyelenggaraan negara.

26 Jimly, Pilar-pilar … Opcit, hlm 242.

27

Ibid.

28

Adam Prezeworksi, Sejumlah Masalah dalam Transisi Menuju Demokrasi, dalam

Guilermo O Donnel, Philippe Schimitter, dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai

Perspektif, Jakarta: LP3ES, 1993, hlm 89.

Page 35: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

16

a. Teori Demokrasi

Demokrasi dalam perkembangannya tidak lagi hanya mengandalkan ide

tentang bagaimana rakyat dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara.

Demokrasi dalam perkembangannya dengan demikian mengarah pada wujud

partisipasi yang lebih kompleks lagi, dan tidak sesederhana seperti yang ada

dalam pemikiran demokrasi klasik. Demokrasi dengan demikian memunculkan

dua pandangan besar terhadapnya, yakni demokrasi klasik dan demokrasi

kontemporer sebagaimana didapat dalam literatur-literatur ilmu politik.29

Teori

demokrasi klasik menurut Zamroni memiliki tiga makna sekaligus, yakni:30

a) Demokrasi sebagai sumber otoritas negara, yang berada di tangan rakyat,

atau merupakan kekuasaan rakyat;

b) Demokrasi sebagai tujuan dari pemerintah untuk menyediakan kebutuhan

rakyat;

c) Demokrasi sebagai metode untuk memilih pemimpin politik oleh rakyat.

Makna-makna yang terkandung dalam demokrasi klasik masih sangat sederhana,

tidak heran hal ini terjadi demikian karena makna demokrasi secara umum ketika

itu hanya dipandang sebagai dominasi kekuasaan negara oleh rakyat dan

partisipasinya saja. Demokrasi yang diselenggarakan sebagaimana diungkap

sebelumnya belum mencakup kepentingan setiap warga negara, karena masih ada

diskriminasi terhadap gender dan status sosial serta keturunan. Teori demokrasi

kontemporer di sisi menurut Zamroni disarikan dari pemikiran Jeremy Bentham

29 Zamroni, Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultur, Yogyakarta: Ombak,

2013, hlm 59.

30

Ibid.

Page 36: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

17

dan James Stuart Mill. Teori Demokrasi kontemporer disebutkan olehnya

memiliki 4 (empat) ciri utama yakni:31

a) Pemerintahan demokratis merupakan institusi penjaga kebebasan warga

masyarakat;

b) Perkembangan sistem ekonomi untuk dapat tumbuh dan berkembang

bergantung kepada pemerintahan yang demokratis;

c) Adanya sistem dan mekanisme pelaksanaan hak-hak rakyat;

d) Mekanisme dan prosedur yang ada ditetapkan melalui undang-undang

Teori demokrasi kontemporer memberikan lahan baru bagi demokrasi untuk

berkembang yakni di bidang ekonomi. Rakyat diberikan ruang lebih luas untuk

dapat menyelenggarakan kehidupannya dan memperoleh kesejahteraan yang

diidamkannya. Demokrasi kontemporer dapatlah dikatakan sebagai salah satu

wujud demokrasi moderen namun bukan berarti awal mula demokrasi dan akhir

demokrasi moderen berasal dari demokrasi kontemporer. Pemaparan dari Zamroni

tersebut hanya merupakan pengantar terhadap teori demokrasi moderen yang

hendak dibahas.

Teori demokrasi saat telah berkembang semakin beragam. Pembahasan

terhadap kata teori dewasa ini seringkali tidak pada sesuai dengan makna

sebenarnya, misalnya pembicaraan orang itu tentang pertanian hanya penuh

dengan teori saja tidak tahu bagaimana cara menanam yang baik dan memanen di

sawah. Hal seperti ini yang kemudian dianggap bahwa teori itu sebuah pemikiran

dan pandangan seseorang akan suatu hal saja. Teori tidak akan terlepas dari

preposisi-preposisi, namun ada struktur yang membangun preposisi tersebut untuk

31 Ibid.

Page 37: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

18

dapat dikatakan sebagai teori. Teori dalam pandangan ilmu logika tidak akan

terlepas dari hipotesis. Teori yang ada beranjak dari hipotesis, untuk selanjutnya

dapat menjadikan hipotesis tersebut sebagai sebuah teori maka hipotesis harus

dibuktikan kebenarannya.32

Oleh karena itu butuh proses bahkan penelitian untuk

menguji apakah hipotesis yang ada tersebut dapat dikatakan sebagai teori.

Teori telah disebutkan sebelumnya sebagai hipotesis yang diuji

kebenarnya, lalu bagaimana dengan teori demokrasi. Demokrasi juga mengalami

persimpangan arti dan makna antara teori demokrasi dan pemikiran demokratis.

Jeffri D. Hilmer menyebutkan bahwa ada perbedaan mendasar antara pemikiran

demokratis dan teori demokrasi. Pemikiran demokratis dapat didefinisikan sebagai

kategori umum yang mencakup pemikiran politik yang kurang sistematis.

Literatur, karya sejarah, pamflet politik, dan berbagai pemikiran organisasi

tentang partisipasi rakyat dalam pemerintahan berdasarkan definisi tersebut dapat

dikategorikan sebagai pemikiran demokratis. Teori demokrasi pada sisi lain

adalah upaya yang lebih sistematis untuk mendeskripsikan atau memprediksikan

atau kedua-duanya perilaku fenomena politik.33

Teori demokrasi dalam perkembangannya secara praktik digunakan

sebagai dasar dalam pemahaman hubungan antara warga negara dan pemerintah.

Pemahaman demikian menimbul pula berbagai versi tafsir demokrasi yang ada di

dunia ini. Teori demokrasi dalam hal ini banyak merupakan versi teori yang

tumbuh dan berkembang dari praktik politik di Amerika. Untuk itu pada sub bab

ini akan diberikan pemahaman mengenai teori demokrasi yang ada dan masih

32 Mundiri, Logika, Jakarta: Rajawali Press, 2014, hlm 199.

33

Lihat tulisan Jeffrey D. Hilmer, Pemikiran Demokratis Moderen dalam John T.

Ishiyama dan Marijke Breuning, Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 Sebuah Refrensi

Panduan Tematis, Opcit, hlm 977.

Page 38: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

19

eksis saat ini, sehingga akan terang pemahaman terhadap tarik ulur hubungan

pemerintah dan warga negaranya.

a) Demokrasi Partisipatoris

Yunani dalam hal pemikiran tentang demokrasi memberikan sumbangsih

yang besar terhadap model demokrasi pertama yakni demokrasi partisipatoris.

Yunani kuno dalam hal ini di Athena mengadopsi bentuk pemerintahan

demokratis yang memberikan kesempatan bagi warganya untuk dapat

berpartisipasi langsung dalam pembuatan keputusan.34

Ide dasar demokrasi

partisipatoris adalah bagaimana warga negara dapat berpartisipasi secara langsung

dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi Athena ini dalam perkembangan

pemikiran politik moderen dikembangkan oleh C.B Machperson.

Machperson sebagai seorang yang mengembangkan konsep demokrasi ini,

mulanya membahas terlebih dahulu bagaimana participatory democracy dapat

berfungsi sebagai sebuah sarana mewujudkan demokrasi diantara masyarakat.

Machperson pertama-tama menguraikan bahwa selama ini participatory

democracy dapat diwujudkan dengan menggunakan sistem piramida. Sistem

piramida menggunakan model demokrasi yang mengandalkan partisipasi di setiap

levelnya, mulai dari level sistem masyarakat paling rendah hingga pada tataran

nasional/negara. Sistem piramida menurut Machperson lebih lanjut di sisi lain,

memiliki 3 (tiga) kondisi yang mengakibatkan sistem piramida tidak berfungsi

34 John T Ishiyama, Tatyana Kelman dan Anna Pechenina, Model Demokrasi dalam John

T. Ishiyama dan Marijke Breuning, Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 Sebuah Refrensi

Panduan Tematis (terjemahan Ahmad Fedyani Saifuddin), Jakarta: Kencana Prenada Media

Grup, 2013, hlm 446

Page 39: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

20

dengan baik.35

Pertama, sistem piramida tidak membuktikan pertanggungjawaban

dari pemerintah di setiap level dibawahnya dalam kondisi pasca revolusi.; apabila

tidak demikian hal ini akan menimbulkan situasi kontra-revolusi, dengan ataupun

tidak melibatkan intervensi asing. Kedua, kondisi lain yang timbul sistem

pertanggungjawaban konsul model piramida tidak akan memberikan pokok

kemunculan dari pembagian kelas, dan oposisi. Ketiga, sistem konsul piramida

tidak akan bekerja apabila masyarakatnya apatis.

Model demokrasi participatory dalam hal ini tidak hanya dibahas oleh

Machperson, Benjamin Barber juga turut membahas mengenai teori demokrasi

ini. Benjamin menyebutkan bahwa:36

Strong democracy is a distinctively modern form of participatory

democracy. It rests on the idea of a self-governing community of citizens

who are united less by homogeneous interests than by civic education and

who are made capable of common purpose and mutual action by virtue of

their civic attitudes and participatory institutions rather than their

altruism or their good nature.

Teori demokrasi participatory dalam istilah Benjamin disebutkan sebagai

demokrasi yang kuat. Demokrasi yang menciptakan masyarakat berdasarkan pada

konsep memerintah dan memberdayakan diri sendiri, dan bersatu dalam

homogenitas yang memiliki tujuan sama serta berpartisipasi dalam institusi.

Benjamin lebih lanjut menyebutkan bahwa:37

The participatory process of self-legislation that characterizes strong

democracy attempts to balance adversary politics by nourishing the

mutualistic art of listening. " I wil l listen" means to the strong democrat not

that I wil l scan my adversary's position for weaknesses and potential trade-

offs, nor even (as a minimalist might think) that I wil l tolerantly permit hi m

to say whatever he chooses. It means, rather, " I wil l put myself i n his

place, I wil l try to understand, I wil l strain to hear what makes us alike, I

35 C.B Machperson, The life and Times of Liberal Democracy, Oxford: Oxford

University Press, 1979, hlm 108-111.

36

Benjamin. R. Barber, Strong Democracy Participatory Politics For a New Age,

Berkeley: University of California Press, 2003, hlm 117.

37

Ibid, hlm 175.

Page 40: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

21

wil l listen for a common rhetoric evocative of a common purpose or a

common good."

Benjamin dalam hal ini menganggap bahwa demokrasi Participatory harus

dapat mencerminkan suatu pendekatan yang juga berbasis pada self-legislation

dengan bersandar pada konsep mendengarkan. Konsep mendengarkan ini

berkenaan dengan terbuka kesempatan untuk mengkiritis kelemahan dan kebaikan

serta mencoba mengerti kebaikan umum. Benjamin disisi lain juga menyebutkan

adanya kesempatan bicara sebagai fungsi politik dalam participatory democracy.

Ada setidaknya 9 (sembilan) fungsi berbicara dalam pemikiran Benjamin:

1) The articulation of interests; bargaining and exchange;

2) Persuasion;

3) Agenda-setting;

4) Exploring mutuality;

5) Affiliation and affection;

6) Maintaining autonomy;

7) Witness and self-expression;

8) Reformulation and reconceptualization;

9) Community-building as the creation of public interests, comm on

goods, and active citizens.

Konsep demokrasi participatory pada akhirnya bergantung pada keaktifan dari

warga negara. Warga negara haruslah mengerti bagaimana menyuarakan hak-

haknya untuk dapat melaksanakanya melalui aktif dalam mendengar serta

berbicara.

Page 41: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

22

b) Demokrasi Pluralis

Robert Dahl mengembangkan teori Pluralist berdasarkan pada praktik

demokrasi di Amerika. Dahl dalam mengungkapkan teori demokrasi tidak secara

tegas dan ketat mengenai permasalahan definisi teori demokrasi itu sendiri. Dahl.

Demokrasi menurut penafsiran Dahl merumuskan teori demokrasi sebagai sebuah

proses kontrol tingkat tinggi warga negara terhadap pemimpin. Dahl dalam

bukunya ― Preface of democratic theory‖ membangun teori pluralistnya yakni

Poliarchy berdasarkan pada koreksi terhadap demokrasi tipe James Madison,

yang kemudian juga dibandingkan dengan teori populist democracy. Dahl

memaparkan mengenai pokok-pokok utama dari teori Madison. Teori Madison

dipaparkan oleh Dahl mulai dari pengertian Tirani menurut Madison, hingga pada

campur tangan pemerintah terhadap hak-hak natural warga negara yang harus

dijaga supaya tidak terjadi tirani.

Teori Madison dan para penerusnya menurut Dahl adalah sebagai

berikut:38

Pertama, Teori Madison tidak memberikan pengertian yang secara

eksplisit mengenai Tyranny, yang menjadi permasalahan ketika Madison

mengungkapkan mengenai teori demokrasinya. Definisi Madison menurut Dahl

mengenai Tyranny hanya menjawab kasus yang sifatnya berdasarkan momennya

yang tepat dan logis terhadap argumentasinya. Kedua, tidak ada definisi yang

tegas dan jelas mengenai apa itu natural rights. Right dan natural rights yang

dimiliki oleh warga negara tidak dijawab secara jelas oleh Madison. Absen dari

pengertian hak natural merupakan permasalahan yang ada dalam teori Madison

ini. Absensi hak natural menurut penulis juga akan menimbulkan permasalahan

38 Robert A. Dahl, A Preface of Democratic Theory (Expanded Version: 50 years

Anniversay), Chicago: University of Chicago Press, 2006, hlm 6-7.

Page 42: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

23

terhadap penafsiran tirani yang dilakukan oleh pemerintah. Tanpa adanya

pengertian yang tegas dan jelas terhadap hak natural akan memberikan ruang yang

lebih luas kepada tirani, meskipun pada dasarnya pasti selalu ada ruang untuk itu

tetapi setidaknya mengurangi intervensi negara kepada rakyatnya (dalam

perspektif demokrasi). Ketiga, Dahl menyebutkan dalam istilahnya sebagai

―severe derivation‖ dalam hal ambiguitas yang dimunculkan Madisonian. Sejauh

mana pemerintah untuk membatasi hak natural dari warga negara tanpa menjadi

tirnani? Lebih lanjut disebutkan oleh Dahl bahwa kemudian Madison dan

madisonian lainnya sudah menetapkan mengenai kriteria yang memuaskan. Dahl

demi memperkuat teorinya mengenai demokrasi, teori demokrasi Populistic turut

pula menjadi bahan kajiannya. Dahl mengkonsentrasikan permasalahan demokrasi

populistic berdasarkan pada pertanyaan signifikan. Pertama, teori tersebut tidak

mengindikasikan individual ataupun grup harus termasuk dalam sistem politik

yang berkenaan dengan kesetaraan politik, kedaulatan rakyat, dan aturan yang

akan diterapkan. Kedua, Dahl yang mengutip pendapat Gactano Mosca

mengatakan bahwa tiap Society mengembangkan kelas yang berkuasa. Ketiga,

permasalahan empiris yang ketiga adalah menjadi sumber kebingunan intelektual,

karena ambiguitas linguistik. Kedaulatan rakyat, kesetaraan politik, dan aturan

mayoritas akan menghancurkan sistem, dan metode veto akan menyelamatkan

mencegah kehancuran tersebut. Pembahasan terhadap kedua teori ini menurut

Dahl digunakan untuk membangun dan mengkonstruksi teori demokrasi poliarki.

Teori demokrasi Poliarki Dahl setelah membahas kedua teori demokrasi

yakni demokrasi Madison dan Populis, ternyata masih juga menemukan dilema.

Jeffrey D. Hilmer misalnya menyebutkan bahwa poliarki merupakan teori yang

Page 43: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

24

mengakui hak individual dan organisasinya untuk independen dan otonom, namun

ia juga tidak menyadari bahwa mereka mungkin memanfaatkan kesempatan itu

demi kepentingan privat mereka, sering mengorbankan kebaikan publik.39

c) Demokrasi Deliberatif

Demokrasi deliberatif merupakan teori yang berkembang di tahun 1980an

dan diperkenalkan oleh Jurgen Habermas. Demokrasi deliberatif merupakan teori

yang mengarahkan pada konsep demokrasi yang khususnya dapat dikembangkan

di negara-negara yang pluralitasnya tinggi. Keberadaan demokrasi delbiratif

bukan mengarah pada konsep suara terbanyak, karena dalam konsepsinya

demokrasi deliberative mengajak untuk merangkul seluruh kepentingan politik

yang ada baik mayoritas maupun minoritas. Fokus utama dari konsep demokrasi

deliberatif mengajarkan pada peranan masyarakat dalam public sphere (ruang

publik). Berikut adalah pendapat habermas mengenai public sphere yang

dimaksud olehnya:40

Basic constitutional guarantees alone, of course, cannot preserve the

public sphere and civil society from deformations. The communication

structures of the public sphere must rather be kept intact by an energetic

civil society. That the political public sphere must in a certain sense

reproduce and stabilize itself from its own resources is shown by the odd

selfreferential character of the practice of communication in civil society.

Those actors who are the carriers of the public sphere put forward

"texts" that always reveal the same sub text, which refers to the critical

function of the public sphere in general. Whatever the manifest content of

their public utterances, the performative meaning of such public

discourse at the same time actualizes the function of an undistorted

political public sphere as such. Thus, the institutions and legal

guarantees of free and open opinion-formation rest on the unsteady

ground of the political communication of actors who, in making use of

39 Jeefrey D Hilmer, Pemikiran Demokratis Moderen, Opcit,hlm 979.

40

Jurgen Habermas, Between Fact and Norm Contribution to Discourse Theory of Law

and Democracy (terjemahan William Rehg), Massachussets: Cambridge University Press, 1996,

hlm 369.

Page 44: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

25

them, at the same time interpret, defend, and radicalize their normative

content.

Ruang publik yang ada diciptakan secara aktif oleh civil society bukan pada

pemberian dan jaminan secara konstitusional. Pendekatan yang digunakan oleh

habermas hampir mirip dengan yang ada dalam participatory democracy, namun

perbedaan mendasarnya ada pada cakupan demokrasi deliberatif yang fokus pada

sektor politik saja. F. Budi Hardiman menerjemahkan demokrasi deliberatif

Jurgen Habermas adalah sebagai berikut:41

1) Demokrasi deliberatif tidak memusatkan diri pada penyusunan daftar-

daftar tertentu yang menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh warga

negara melainkan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan itu

2) Model demokrasi deliberatif juga meminati persoalan kesahihan

keputusan-keputusan kolektif itu.

3) Kontrol demokratis dilakukan melalui opini publik;

4) Opini publik lebih penting bukan pada opini mayoritas, namun dengan

cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk sedemikian rupa

sehingga seluruh warga dapat mematuhi opini-opini.

Konsep yang dibangun oleh demokrasi deliberatif bukan pada demokrasi suara

terbanyak, namun mementingkan pada konsep demokrasi yang menghasilkan

kepatuhan bersama. Konsep demokrasi ini menurut penulis mengurangi gesekan

kaum minoritas untuk tidak menerima keputusan demokratis. F. Budi Hardiman

lebih lanjut membahas mengenai konsep ruang publik habermas dalam wujud

komunitas virtual di dunia digital. Ada dua kemungkinan yang disebutkan oleh F.

41 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif Menimbang Negara Hukum dan Ruang

Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm 128-129.

Page 45: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

26

Budi Hardiman mengenai kemunculan komunitas virtual.42

Pertama, kepublikan

sebuah ruang komunikasi ditandai oleh sikap para partisipan dalam meninggalkan

orientasi privat mereka dan mengambil peran warga negara untuk terlibat dalam

persoalan-persoalan publik. Kedua, kepublikan virtual tersebut hanya dapat

memiliki efek publik, akan percuma kepublikan virtual apabila didibarengi

dengan kepentingan real.

b. Demokratisasi

Demokrasi dan pembahasan terhadapnya tidak boleh hanya melihat pada

pengertian dan teori yang berkembang saja. Demokrasi juga perlu dibahas dalam

proses menuju tahapan demokrasi tersebut. Proses menuju demokrasi yang

dimaksud dikenal dengan demokratisasi. Demokratisasi menurut Guillermo

O‘Donnel dan Philipe Schimitter merupakan suatu proses perubahan pola

partisipasi warga negara. Proses dimana aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang

dulu dijalankan dengan prinsip-prinsip lain (misalnya kontrol dengan kekerasan,

tradisi masyarakat, pertimbangan para pakar, praktek administratif) atau diperluas

sehingga mencakup mereka yang sebelumnya tidak menikmati hak dan kewajiban

(misalnya golongan bebas pajak, kaum buta huruf, wanita, remaja, golongan etnis

minoritas dan warga negara asing), atau diperluas sehingga meliputi isu-isu dan

lembaga-lembaga yang semula tidak menjadi wilayah partisipasi masyarakat

(misalnya, badan-badan pemerintah, jajaran militer, organisasi-organisasi partisan,

42 F. budi Hardiman, Dari Kolonialisasi Birokrasi Ke Birokrasi Pasar, dalam AE

Prioyono dan Usman Hamid, Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi,

Jakarta: Pt Gramedia, 2014, hlm 671.

Page 46: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

27

asosiasi kepentingan, perusahaan, lembaga pendidikan dan sebagainya).43

Perhatian yang diberikan oleh O‘Donnel dan Phillipe adalah bagaimana akses

terhadap sarana dan prasarana yang ada dalam suatu negara oleh rakyat. Indikator

yang diberikan oleh mereka berdua adalah perubahan terhadap penyelenggaraan

negara yang berbasis pada partisipasi. Terbukanya ruang-ruang partisipasi yang

sebelumnya tertutup oleh tirani atau kekuasaan otoriter. Kekuasaan otoriter yang

terdesak oleh proses demokratisasi sesungguhnya disebabkan oleh faktor internal

dari otoritarian tersebut. Adam Przeworski, yang lebih cenderung melihat secara

umum peralihan rezim otoritarian dilihat dari keretakannya. Adam Przeworski

membedah keretakan terhadap rezim Otoritarian menjadi 4 (empat) faktor:44

a) Rezim otoritarian telah menyadari kebutuhan fungsional yang dulu

membawa pada pendiriannya. Dengan demikian ia tidak lagi dibutuhkan

dan ia jatuh.

b) Rezim untuk satu alasan dan alasan lain, dengan salah satu kemungkinan

alasan adalah kehilangan legitimasi

c) konflik antara blok yang memerintah, terutama dalam militer, untuk satu

dan lain alasan, dengan satu kemungkinan alasan tidak dapat

merekonsiliasi diri secara internal, dan sejumlah faksi memusatkan

dukungan kelompok-kelompok luar.

d) tekanan asing untuk mengenakan wajah-wajah demokratis yang membawa

pada kompromi-kompromi, mungkin melalui mekanisme.

43 Guillermo O‘Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi

Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Opcit, hlm 9.

44

Lihat Adam Prezeworksi, Sejumlah Masalah dalam Transisi Menuju Demokrasi,

dalam Guilermo O Donnel, Philippe Schimitter, dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan

Berbagai Perspektif, Opcit, hlm 80.

Page 47: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

28

Adanya sebuah pergumulan yang dilakukan untuk menggeser otoriter dalam

lapangan kenegaraan, dengan menggunakan counter-majoritarian. Namun proses

untuk menuju pada perubahan tatanan otoritarian yang sebelumnya tidak

memberikan ruang partisipasi ataupun belum membuka ruang-ruang partisipasi

bagi warga negara, tidaklah mudah dan sederhana serta hanya bergantung dari

faktor keretakan internal dari otoritarian itu sendiri. Hal ini dikarenakan rezim

otoritarian juga memiliki tameng untuk tetap menumbuhkan dan menjaga

rezimnya. Richard Lowenthal membagi 4(empat) macam keabsahan yang

dijadikan tameng oleh rezim-rezim otoritarian untuk dapat bertahan:45

a) Rezim yang disahkan melalui tradisi

Negara yang kental akan tradisi seperti Arab Saudi, dan Ethiopia tetap

mempertahan pemerintahan otoriternya dibawah tradisi pemerintahan

autokrasi, walaupun kemudian mereka juga harus menyesuaikan dengan

perkembangan zaman moderen.

b) Rezim tradisional-pembangunan

Rezim ini merupakan hasil perpaduan antara dua faktor keabsahan, yakni

tradisional dan pembangunan. Negara tipe ini dapat dilihat pada negara

Jepang. Jepang pada awal abad ke-19 melakukan sebuah restorasi besar

yakni restorasi Meiji. Restorasi ini mengakibatkan berdirinya rezim

45 Richard Lowenthal dalam Mirriam Budiarjo, Masalah Kenegaraan (cetakan ketiga),

Jakarta: Pt Gramedia, 1980, hlm118. Pada sisi lain ada juga pendapat tentang analogi kontradiktif

demokrasi. Robert Tucker menyatakan bahwa Rezim otoritarian disisi lain juga menyampaikan

sebuah analogi kontradiktif berhubungan dengan demokrasi. Politisi diktator mengklaim dirinya

telah menyediakan otoritariansim sebagai kebebasan tertinggi yang dapat dicapai, dan tiada

kemerdekaan sejati di dalam demokrasi. Rezim-rezim dalam hal ini yang berlandas pada

otoritarian belum sepenuhnya hilang diatas muka bumi. Rezim-rezim tersebut meskipun mulai

berkurang namun ada beberapa yang masih tetap bertahan. Adanya sebuah perlindungan dan

keabsahan yang digunakan untuk tetap menjaga rezim otoriter tetap bertahan. Lihat Robert

Tucker, Philosophy and Myth in Karl Marx, London: Cambridge University Press, 1965, hlm 36.

Page 48: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

29

otoriter yang berlandaskan pada tradisi, yang kemudian berubah menjadi

berlandaskan pada pembangunan.

c) Rezim yang berlindung pada demokrasi

Demokrasi acapkali merupakan bentuk pemerintahan yang dipergunakan

kelompok Oligarki pemilik tanah untuk mempertahankan kekuasaanya.

d) Golongan militer

Golongan militer seringkali menggantikan kekuasaan kelompok oligarki

yang berkedok pada parlementer, sebagai contoh kasus di Amerika Latin

Proses demokratisasi dalam hal ini memiliki hambatan yang tidak hanya berasal

dari tameng-tameng yang dimiliki oleh rezim-rezim otoritarian saja. Karakteristik

dari demokrasi itu yang sangat kompleks juga menjadi kendala tersendiri. Adam

Prezeworski menyebutkan bahwa demokrasi merupakan sistem yang memiliki

karakteristik tersendiri:46

a) Kehadiran dan pengorganisasian kepentingan-kepentingan yang

bersaingan yang dikenal sebagai ciri politik permanen.

b) Konflik diproses dan diakhiri mengikuti aturan-aturan yang ditentukan a

priori, eksplisit dan secara potensial dikenal oleh semua partisipasi, hanya

dapat diubah dengan aturan.

c) Kekuatan fisik yang terorganisir sebagai pilihan apabila ada kelompok

yang menginginkan jalan tersebut.

d) Demokrasi merupakan rangkaian hubungan stabil antara tindakan-tindakan

kelompok tertentu dan efek-efek dari tindakan-tindakan ini.

46 Adam Prezeworksi, Sejumlah Masalah dalam Transisi Menuju Demokrasi, dalam

Guilermo O Donnel, Philippe Schimitter, dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai

Perspektif, Jakarta: LP3ES, 1993, hlm 89-91.

Page 49: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

30

e) Demokrasi untuk derajat tertentu tidak dapat ditentukan melalui posisi-

posisi yang ditempati para partisipan dalam semua hubungan sosial.

f) Hasil konflik demokratis tidaklah sekedar dapat ditentukan dalam batas-

batas. Mereka sangat tak menentu.

Karakter tersebut yang membuat proses demokratisasi menjadi proses yang

panjang dan kompleks. Eric M Jepsen menyebutkan untuk menuju pada

demokratisasi paling tidak harus melihat pada 6 (enam) faktor berikut:47

a) Moderenisasi

Setelah negara menjadi mampu, berkat pembangunan ekonomi dan

rasionalisasi interaksi negara masyarakat karena adanya moderenisasi,

maka demokrasi akan mungkin efektif. Tekanan dari moderenisasi

dianggap akan menciptakan kebangkitan dari demokrasi itu sendiri

b) Prakondisi Ekonomi

Kondisi ekonomi suatu negara mempengaruhi dari pada proses

demokratisasi. Kondisi ekonomi yang dimaksud antara lain 1) kekayaan

negara; 2) praktik kapitalisme dan ekonomi pasar bebas; 3) distribusi dan

akses merata akan tanah dan sumber daya. Pada kondisi pertama

berkenaan dengan bagaimana suatu kekayaan yang dimiliki negara

mempengaruhi dari dorongan terhadap proses demokratisasi ataupun

dalam sisi lain dapat pula mendorong lahirnya anti demokratisasi. Pada

kondisi kedua terbukanya praktik kapitalisme dan pasar bebas mendorong

terhadap penguatan pemodal, dan kondisi ini menciptakan suatu

independensi yang mendukung ke arah demokratisasi. Kondisi ketiga

47 Eric M Jepsen, Proses Demokratisasi dalam John T. Ishiyama dan Marijke Breuning,

Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 Sebuah Refrensi Panduan Tematis , Opcit, hlm 457-

464.

Page 50: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

31

yakni berkenaan dengan bagaimana proses distribusi dan akses terhadap

sumber daya. Semakin tidak tersentralisasinya suatu sumber daya akan

semakin membuka peluang demokratisasi

c) Prakondisi sosial

Kondisi sosial masyarakat di suatu negara mempengaruhi dari pada proses

demokratisasi. Hal ini semisal dapat dilihat dari adanya sistem feodalisme,

kelas-kelas sosial, bahkan sampai pada homogenitas kultural dan politik.

d) Waktu, sekuensi, dan politik

Kondisi yang dimaksudkan ini adalah perkembangan dan persaingan

politik yang ikut mempengaruhi sebelum meluasnya hak pilih dan

partisipasi. Kondisi ini juga berkaitan dengan rencana masa depan.

Demokrasi ke depan dianggap dapat menciptakan kesetaraan dan jaringan

kepercayaan

e) Agensi dan advokasi

Kategori ini berhubungan dengan adanya tindakan dan suatu upaya untuk

mendorong lahirnya demokrasi, yang dilakukan oleh elemen-elemen

(individu dan kelompok).

f) Aktor eksternal

Dorongan dunia atau aktor diluar negara yang bersangkutan menjadi faktor

yang ikut mendorong proses demokratisasi. Tekanan pro demokrasi dari

luar negara akan mendorong keberhasilan dan kecepatan dari proses

demokratisasi.

Faktor-faktor yang disebutkan di atas yakni pada huruf a hingga e dapat dikatakan

merupakan faktor internal yang mempengaruhi di dalam suatu negara. Faktor

Page 51: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

32

internal dapat dikatakan juga sebagai faktor utama yang mendorong proses

demokratisasi. Namun pada faktor f yakni aktor eksternal tidak dapat diacuhkan

dan dianggap kecil peranannya. Aktor eksternal memegang peranan penting

terhadap meluasnya demokrasi dan dikenalnya demokrasi secara internasional.

Konsep yang ditawarkan oleh aktor eksternal adalah pengalaman. Pengalaman

terhadap keberhasilan dari praktik demokrasi di negaranya. Laurence Whitehead

berangkat dari gerakan-gerakan yang dilakukan aktor internasional untuk dapat

mempengaruhi proses demokratisasi, merumuskan bahwa ada 3 (tiga) bentuk

pengaruh yang dilakukan aktor internasional:48

a) Pernyataan deklaratoris yang dikemukakan untuk menegaskan dan

mengasumsikan sebuah model demokrasi tertentu yang menekankan pada

kompetisi elektoral di antara partai-partai politik yang terbentuk secara

bebas dan misalnya komunisme dianggap sebagai lawan atas demokrasi.

b) Adanya pembedaan jelas yang dilakukan terhadap liberalisasi dari

otoritarian dan demokratisasi penuh.

c) Adanya aspek pusat batas luar dari semua hubungan internasional yang

diamati. Negara-negara yang mengklaim dirinya demokratis

mempromosikan pula bahwa mereka adalah masyarakat kapitalis liberal

yang relatif stabil, kaya, dan dominan.

Proses demokratisasi yang telah disebutkan pada pokoknya adalah untuk

membangun kondisi demokratis di suatu negara. Dalam hal ini kondisi menuju

pada pembangunan demokrasi tersebut dapat memunculkan pola-pola hubungan

48 Lawrence Whithead, Aspek Internasional Demokratisasi, dalam Guilermo O Donnel,

Philippe Schimitter, dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai Perspektif, Opcit, hlm

10-12.

Page 52: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

33

tertentu. Guillermo O‘Donnel beranggapan bahwa transisi demokrasi

memunculkan dua pola hubungan: 49

a) Kelompok garis keras (duros);

Kelompok ini mengutamakan sebuah gerakan untuk menggulingkan rezim

otoriter yang mereka maksud, dengan melalui jalan keras yakni melalui

sejumlah kudeta dan konspirasi. Faksi garis keras ini sebenarnya menurut

O‘Donnel juga terdiri dari mereka yang menolak mentah-mentah benih-

benih kanker dan kekacuan dalam demokrasi, dan meyakini bahwa misi

yang mereka emban adalah menghapus jejak-jejak patologis semacam itu

dalam kehidupan politik.

b) Kelompok garis lunak (blandos).

Kelompok garis lunak mungkin memiliki kecenderungan untuk terlihat

sama dengan garis keras. Perbedaan yang kemudian menjadikan kelompok

ini terlihat berbeda adalah meningkatnya kesadaran bahwa rezim yang telah

mereka dukung pendiriannya dan yang didalamnya mereka menempati

posisi-posisi penting, yang dalam waktu dekat harus menggunakan sejumlah

derajat atau bentuk legitimasi melalui pemilu. Bagaimana pun cara

mencapai dan pola hubungan yang terbentuk, pada akhirnya demokrasi

membutuhkan juga sebuah instrumen perlindungan. Konsepsi negara

moderen saat ini kemudian menjamin demokrasi tersebut dalam wujud

hukum.

Hubungan antara hukum dan demokrasi tidak lagi dapat dilepaskan. Demokrasi

membutuhkan hukum agar kebebasan dan partisipasi yang terjalin, sesuai dengan

49 Guillermo O‘Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi

Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Opcit, hlm 21-22.

Page 53: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

34

jalurnya dan tidak kemudian seenaknya mengekspresikan kebebasannya.

Hubungan antara demokrasi dan hukum selanjutnya juga diungkapkan oleh Susan

Alberts, Chris Warshaw, and Barry R. Weingast. Mereka memasukkan hubungan

tersebut sebagai sebuah efek dari ketentuan counter-majoritarian antara lain:50

1. Democracy enchancing

Demokrasi yang menggunakan ketentuan konstitusi sebagai upaya

perlindungan dari hak sipil serta politik. Konstitusi disini menjadi core

dalam penegakan demokrasi. Demokrasi hanya dapat dilindungi

seutuhnya apabila dilindungi dalam konstitusi.

2. Democracy-eroding

Pada efek demokrasi ini yang dituju adalah perolehan kekuasaan.

Ketentuan counter-majoritarian menginginkan peroleh kekuasaan

daripada pemilihan bebas. Asumsinya dengan ada kesempatan untuk

memperoleh kekuasaan dapat dengan mudah untuk mengubah sistem

yang menurut pandangan kaum tersebut sebagai authoritarian.

Proses demokratisasi dalam hal ini dapat dikatakan tidak hanya bergantung pada

bagaimana menguatkan demokrasi atau konsolidasi demokrasi melalui instrumen-

instrumen politik saja yang ditunjukkan melalui peningkatan partisipasi bagi

masyarakat. Proses demokratisasi membutuhkan hukum sebagai wujud kepastian

dan perlindungan terhadap demokrasi. Demokrasi dalam rangka mencari sebuah

kepastian tidak hanya bergantung pada hukum biasa saja. Demokrasi mencari

konstitusi sebagai pelindung terkuatnya di dalam praktiknya, karena

50 Susan Alberts, Chris Warshaw, and Barry R. Weingast, Democratization and

Countermajoritarian Institutions Power and Constitutional Design in Self-Enforcing Democracy

dalam Tom Ginsburg, Comparative Constitutional Design, New York: Cambridge Univesity

Press, 2012, hlm 72

Page 54: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

35

kedudukannya sebagai norma tertinggi dan fungsinya dalam melakukan

pembatasan kekuasaan yang sangat diperlukan oleh demokrasi untuk dapat

berkembang di suatu negara.

2. Konstitusi

Konstitusi bagi demokrasi telah disebutkan memiliki hubungan sebagai

pelindung terhadap penyelenggaraan demokrasi. Konstitusi yang dimaksud tidak

membatasi diri ataupun memfokuskan pada konstitusi tertentu, baik dalam hal ini

tertulis ataupun tidak tertulis. Miriam Budiarjo menyebutkan bahwa istilah

konstitusi (constitution) tidak hanya terbatas pada naskah tertulis saja, namun

mencakup pada keseluruhan peraturan-peraturan baik tertulis, maupun tidak

tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara pemerintahan diselenggarakan

dalam suatu masyarakat.51

Pengertian tentang konstitusi yang tidak berpihak dan

terbatas pada konsepsi konstitusi tertulis juga diungkap oleh K.C Wheare.

Konstitusi menurut K.C Wheare menggambarkan keseluruhan sistem

ketatanegaraan suatu negara, kumpulan berbagai peraturan yang membentuk dan

mengatur atau mengarahkan pemerintahan.52

Peraturan-peraturan yang dimaksud

K.C Wheare juga didalamnya termasuk peraturan non legal atau ekstra legal, yang

berupa kebiasaan, saling pengertian, adat atau konvensi yang tidak kalah

efektifnya dengan apa yang baku disebut hukum.53

Jadi konstitusi itu dalam hal

ini tidak hanya terbatas dalam pengertian peraturan tertulis saja, namun juga pada

peraturan-peraturan tidak tertulis. Lain halnya dengan Van Apeldorn yang

51 Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Opcit, hlm 169.

52

K.C Wheare, Konstitusi-Konstitusi Moderen, terjemahan Imam Baehaqie, Bandung:

Nusa Media, 2015, hlm 1.

53

Ibid.

Page 55: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

36

menyebutkan konstitusi dalam pengertian Undang-undang Dasar. Van Apeldorn

menyebutkan bahwa UUD adalah wujud perjanjian masyarakat, yaitu perjanjian

yang dibuat oleh manusia satu sama lain, dalam mana mereka membentuk

kekuasaan pemerintahan atau mendirikan suatu negara.54

Konstitusi sebagai dasar

membangun negara juga disebutkan oleh Soetandyo. Soetandyo menyebutkan

bahwa konstitusi adalah tatanan yang menjadi bangunan dasar suatu organisasi,

yang berfungsi sebagai rujukan normatif sebagai dasar pembenar baik secara

moral maupun legal kepada pejabat pengemban kekuasaan negara.55

Konstitusi

secara pengertian moderen misalnya disebutkan oleh Usep Ranuwijaya mencakup

3 (tiga) ciri:56

a. kumpulan kaidah yang lebih tinggi dari kaidah biasa yang fungsinya

membatasi kekuasaan;

b. konstitusi memuat tentang batasan kehidupan bersama; dan

c. konstitusi lahir dari momen sejarah.

Konstitusi dalam pengertian tersebut diatas merupakan pengertian konstitusi yang

mendasar, bahwa muatan darinya wajib terdiri dari batasan, dan berkedudukan

sebagai kaidah tertinggi. Pembatasan kekuasaan oleh konstitusi, secara lebih

komprehensif dibahas oleh Chris Thornhill. Chris Thornhill misalnya

menyebutkan bahwa konstitusi merupakan tatanan hukum yang berdampak pada

bekerjanya kekuatan politik yang mencakup:57

54 Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradya Paramitha, 1986, hlm 324.

55

Soetandyo, Pergeseran Paradigma… Opcit, hlm 71.

56

Usep Ranuwijaya, Hukum Tata Negara.. Opcit, hlm 184.

57

Chris Thornhill, A Sociology of Constitution: Constitution and State Legitimacy in

Historical and Sociological Perspective, New York: Cambridge University Press, 2011, hlm 11.

Page 56: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

37

a. Kandungan dari pembentukan asumsi aturan publik yang bersumber pada

prinsip dan konvensi, diekspresikan sebagai hukum, yang tidak dapat

begitu saja digantikan;

b. Konstitusi didesain untuk membatasi penggunaan kekuasaan baik secara

dilihat dari fungsi publik dan privatnya;

c. Alokasi terhadap kekuasaan dalam negara itu sendiri, dan terdiri dari

beberapa bentuk perwakilan politik yang berkenaan dengan memegang

kekuatan politik dari masyarakat;

d. Konstitusi mengekspresikan legal distinction antara bentuk dari negara

dan orang-orang yang meminjam kekuasaan dari negara.

Konstitusi apabila melihat dari pengertian-pengertian tersebut, maka konstitusi

berfungsi supaya kekuasaan tidak bertumpuk dan penyelenggaraan negara

berjalan tidak berada di dalam kesewenang-sewenangan. Robert Dahl berpendapat

bahwa, akumulasi seluruh kekuasaan, legislatif, eksekutif, dan yudisial dalam satu

tangan mengakibatkan hilangnya external check.58

Eliminasi terhadap external of

checks memproduksi tirani.59

Hal-hal semacam inilah yang kemudian inilah yang

kemudian menjadikan diperlukannya pembatasan kekuasaan melalui pembagian

dan pemisahan kekuasaan.60

Kekuasaan pemerintah harus dibagi untuk mencegah

pemusatan apapun yang bisa mengarah pada tirani.61

Konsep pembagian

kekuasaan berkembang sebagai pembagian beban kerja. Setiap penyelenggara

58 Robert Dahl, Preface Of Democratic Theory, Opcit, hlm 6.

59

Ibid.

60

Sekarang negara-negara cenderung takut untuk diperintah atau ditekan oleh

pemerintah. Ketakutan ini menjelma bahkan tindakan pemerintah mengekang daripada kebebasan

warga negara. Eric A Posner dan Adrian Vermeule menyebut kondisi ini dalam sebuah istilah

Tyranophobia. Lihat Eric A Posner dan Adrian Vermeule, Tyrannophobia, dalam Tom Ginsburg,

Comparative Constitutional Design, Opcit, hlm 343-345.

61

Norman Dorsen, dkk, Comparatives Constitusionalism Case and Materials, United

State: West Book, 2003, p 212.

Page 57: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

38

negara memiliki tugasnya masing-masing. Ketika ada tugas yang harus

diselesaikan secara bersama, esensinya tetap berasal dari tugas mereka masing-

masing. Secara visual kekuasaan dapat dibagi menjadi dua:62

a. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya dan dalam

hal ini yang dimaksud ialah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat

pemerintahan. Carl J Friederich memakai istilah pembagian kekuasaan

secara teritorial. Pembagian kekuasaan ini dengan jelas dapat kita saksikan

kalau kita bandingkan antara negara kesatuan, negara federal, serta

konfederasi.

b. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya secara

horizontal. Pembagian ini menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi

pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih

dikenal sebagai trias politika atau pembagian kekuasaan (division of

powers).

Dua konsep kekuasaan yang ada tersebut diantaranya, keduanya akan saling

mempengaruhi dan berkaitan. Konsep negara federal misalnya mempunyai

kedaulatan sendiri di setiap negara bagiannya. Setiap negara bagian bahkan

memiliki konstitusi di setiap negara bagiannya, dan mengatur urusan rumah

tangganya terpisah dari pada pemerintah federal. Pembagian kekuasaan yang ada

dalam konsepsi negara federal seperti ini dikenal sebagai pembagian secara

geografis (geographical division). Pembagian geografis membagi kekuasaan

berdasarkan pada lokasi geografis atau lokasi yang melintasi wilayah

geografis/wilayah negara bagian dalam pengartian tradisional, juga pada

62 Miriam Budiarjo, Opcit, hlm267

Page 58: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

39

kombinasi pembagian vertikal dan horizontal.63

M.J.C.Ville pada sisi lain

menyebutkan ada 3 (tiga) element dari doktrin separation of powers:64

a. Element pertama, pembagian agensi pemerintah ke dalam 3 (tiga)

kategori: legislature, the executive, dan judiciary.

b. Elemen kedua, pembagian berdasarkan pada 3 (tiga) fungsi spesifik

pemerintah

c. Elemen ketiga, pemisahan kekuasaan diluar dari teori pemisahan

kekuasaan, atau disebut sebagai separation of persons.

Elemen pertama yang dimaksud M.J.C Ville ditujukan kepada pemisahan

kekuasaan yang secara klasik membaginya dalam 3 wujud, seperti dalam

pemisahan kekuasaan Montesquieu. Pemisahan kekuasaan dalam tipe ini, disadari

juga oleh M.JC Ville sudah tidak koheren lagi dengan perkembangan

ketatanegaraan. Pada elemen kedua, dia memisahkan kekuasaan atas dasar

fungsinya. Suatu lembaga atau organ memiliki tugas khusus masing-masing,

dalam perannya di penyelenggaraan negara. Urusan dari lembaga tersebut tidak

dicampuri oleh lembaga lain, kecuali mengenai check and balance dan

pengawasan. Lembaga tersebut misalkan Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi

Informasi, Ombudsman, dan berbagai komisi independen lainnya yang

mempunyai tugas spesifik dan khusus. Pada elemen ketiga M.JC Ville

menekankan pada pemisahan personnya. Person memiliki tugas tertentu yang

tidak dicampuri atau bahkan person tersebut hanya menjalankan tugas yang

diberikan negara dan tidak bergerak diluar daripada itu. Person ini biasanya

63 Aoife O‘Donoghue, Constitutionalism in Global Constitutionalisation, United

Kingdom: Cambridge University Press, 2014, hlm 35.

64

M.J.C.Ville, Constitutionalism and The Separation of Powers, Indianapolis: Liberty

Fund, 2010, hlm 15-18.

Page 59: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

40

dilembagakan dalam bentuk pejabat publik ataupun pejabat. Teori pemisahan

kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu tidak lagi dapat dipergunakan,

mengingat perkembangan ketatanegaraan dunia sudah tidak lagi terjebak dalam

segitiga pemisahan kekuasaan milik Montesquieu. Implementasi dari pemisahan

kekuasaan bukan berarti dalam praktiknya sudah cukup memuaskan dan

menimbulkan kedudukan yang seimbang serta menjauhkan dari dominasi diantara

penyelenggara negara. Daniel H Levine misalnya mengungkapkan mengenai

munculnya obstacles dalam separation of powers:65

Separation of powers seeks to prevent any one governmental institution

from becoming too powerful and therefore able to rule tyrannically—a

problem that could arise independently of the pre-existence of factions.

Separated powers provide factions with two obstacles. First, since

governmental institutions have their own hierarchies, any faction

desiring control over the government cannot simply capture the single

top spot, but must spend resources attempting to influence several

different organizations. Second, well-designed separated institutions

have incentives to control each other. For instance, a legislature that

defers to the executive too often will find its proper powers effectively

usurped, making participation in the legislature less attractive. Once

institutions are well-established, this effect will work against the effects

of factional loyalty, even if a single faction does control more than one

governmental institution.

Pendapat dari Daniel H Levine ini dapat dikatakan separation of power dalam

praktiknya yang menyimpang, dapat menimbulkan adu kekuatan. Lembaga yang

dipisahkan kekuasaanya dapat memperkuat dirinya dengan membentuk lembaga

baru yang memperkuat kedudukan dan fungsinya. Kondisi ini memunculkan

fenomena yang dikenal saat ini sebagai executive heavy ataupun legislative heavy,

namun di sisi lain fungsi pemisahan dan pembagian kekuasaan pada akhirnya

harus bertujuan pada penyelenggaraan negara yang aktif, responsif dan seimbang.

65 Lihat Tulis Daniel H Levine, Rule of Law, Power Distribution, and The Problems of

Faction in Conflict Interventions, dalam Mortimier Seller dan Tadeusz Tomaszeweski (eds), The

Rule of Law in Comparative Prespective, London: Springer, 2010, hlm 155.

Page 60: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

41

Fungsi konstitusi dalam hal pembatasan tersebut memerlukan negara hukum

untuk dapat berjalan secara efektif.

Negara Hukum pada awalnya hanya secara formal dipandang untuk

menjauhkan penyelenggaraan negara dari rule by the man yang kecenderungannya

menuju pada pemerintahan tirani. Konsep negara hukum secara moderen mulai

berkembang pasca revolusi Perancis. Ada juga sebuah tarik ulur antara konsep

kedaulatan yang mulanya memusatkan diri pada tokoh raja sebagai pusat

kedaulatan, bergeser pada rakyat sebagai pihak yang juga berdaulat di dalam

negara. Berikut adalah pernyataan yang diungkap oleh Sieyès seorang ahli politik

yang terlibat dalam Revolusi Perancis:66

Yet, revolutionaries also brought significant innovations affecting both the

sovereign and the individual. ―Who is the sovereign?‖ asked Sieyès at the

dawn of the Revolution: sovereignty belonged to ―20 million French

people‖ who, being equal and immune from the stigma of ―privileges‖,

were the nation. The nation was sovereign and the individuals were

citizens: together with their natural civil rights, they enjoyed political

rights and played an active role in the political body.

Seieyes meyakinkan bahwa individu sebagai warga negara memiliki kedudukan

yang sama dengan negara, dan terbebas dari hak-hak istimewa.67

Keduanya saling

berproses dan berhubungan melalui badan-badan politik. revolusi Perancis lebih

jauh dan mendalam tidak hanya dapat dimaknai sebagai sebuah proses munculnya

kedaulatan rakyat saja. Revolusi Perancis menguraikan pula benang harmonisasi

diantara kedaulatan, hukum dan hak-hak

66 Lihat tulisan Pietro Costa, The Rule of Law Historical Introduction, dalam Piero Costa

dan Danilo Zolo, The Rule of Law History, Theory, and Criticism, Dordrecht: Springer, 2007, hlm

79.

67

Pendeta Seiyes meskipun dia berkedudukan dan berstatus sebagai bangsawan dan

ningrat, namun dalam hal pembelaan terhadap rakyat yang disebutnya golongan ketiga menjadi

pilihan utamanya. Golongan ketiga bagi Seiyes adalah bangsa yang sebenarnya karena itulah rapat

golongan harus menjadi rapat kebangsaan, yang sanggup menyatakan kehendak umum rakyat

Perancis. Lihat JJ Von Schmid, Pemkiran tentang Negara dan Hukum dalam Abad ke 19, Jakarta:

Pt Pembangunan, hlm 28.

Page 61: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

42

In the whirling ―historical acceleration‖ caused by the Revolution, the

spontaneous harmony that seemed to characterize the relationship between

sovereignty, law, and rights – and the belief that law could act as an

intermediary between citizens and power by implementing the natural rights

of the individual – were overturned and replaced by dramatic alternative

beliefs: on the one hand, the perception of power’s dangerousness, of the

potential discrepancy between the formal lawfulness and substantial

despotism of legislative provisions (and the ensuing attempt to make the

Declaration of Rights an unassailable safeguard); on the other hand, the

theorization of a ―state of necessity‖ capable of sweeping away formal

lawfulness and individual rights in the name of the fight against darkness, of

freedom against despotism, of virtues against corruption.

Hubungan diantara hukum, kedaulatan dan rakyat diwujudkan dalam kerangka

harmonis bahwa hukum berperan sebagai perantara diantara warga negara dan

kekuatan yang berkuasa. Hal ini dilakukan dengan mengimplementasikan hak

alamiah individu. Hak ini yang kemudian dibakukan dalam wujud deklarasi hak

sebagai hal yang tidak tergoyahkah, dalam hal ini negara bertindak tanpa

mengurangi hak alamiah warga negara tersebut. Konsep dari negara hukum ini

pada awal mulanya pasca Revolusi Perancis hanya secara formal digunakan

sebagai instrumen pemecah kekuasaan dan perlindungan dari absolutisme Raja

ketika itu.

Konsep negara hukum tersebut kemudian pada abad ke-XIX beralih

menjadi konsep negara kesejahteraan dengan berbagai perangkat hukumnya.

Jimly berpendapat bahwa Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan

mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang

fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan

infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur,

Page 62: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

43

serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan

impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.68

Konsep negara hukum dalam perkembangannya tidak hanya secara

universal mempunyai konsepsi yang sama. Konsep negara hukum yang dikenal

saat dibagi menjadi dua rumpun besar. Konsep Negara Hukum di Eropa

Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius

Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu

―rechtsstaat’. Negara hukum tidak hanya tumbuh dan berkembang pada Eropa

Kontinental saja. Tradisi Anglo Amerika pun mengembangkan konsep Negara

hukum atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan ―The Rule of Law‖.

69Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah

‗rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu :70

a. Perlindungan hak asasi manusia.

b. Pembagian kekuasaan.

c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.

d. Peradilan tata usaha Negara.

Rule of Law pada sisi lain menurut Brian Z Tamanaha berdasarkan

konteks sejarah dan politik. Konsep ini diwujudkan menjadi dua: 1) Formal

version; dan 2) substantive version.71

68

Jimly Asshidiqie, Kajian/Artikel ‖Gagasan Negara Hukum Indonesia‖ , hlm. 1-2

diakses dari jimly.com 69

Ibid 70

Ibid

71

Brian Z Tamanaha, On the Rule of Law, Opcit, hlm 91

Page 63: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

44

Tabel 1. Formulasi Alternatif Rule of Law.

Sumber: buku On the Rule of Law.72

Perbedaan dasar dapat diringkas sebagai berikut: teori formal fokus pada sumber

yang tepat dan bentuk legalitas, sementara teori substantif juga mencakup

persyaratan tentang isi hukum (biasanya yang harus membawakan dengan

keadilan atau prinsip moral).73

Apabila Tamanaha melihat pada versi substansi

dan bentuk formal dari teori negara hukum, ada lain pandangan mengenai negara

hukum melalui pendekatan elementer. Adrian Bedner membagi elemen-elemen

negara hukum dalam 3 (tiga) kategori:74

72 Ibid.

73

Ibid, hlm 92 74

Adrian Bedner ― Suatu pendekatan elementer terhadap negara hukum dalam

sulistyowati Indrianto, Kajian Sosio-legal, Denpasar: Pustaka Larasan, 2012, hlm 55-69.

ALTERNATIVE RULE OF LAW FORMULATION

Thinner----------------------------to-----------------------thicker

Formal

versions

1. rule by the law

- law as instrument

of government action

2. formal

legality

- general,

prospective,

clear, certain

3.democracy+legality

- consent determiners

content of law

substantive

versions

4. individual rights

- property,contract,

privacy, autonomy

5. right of

Dignity and for

justice

6 social welfare

a) Substantive

equality, welfare

preservation of

community

Page 64: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

45

a. Kategori pertama: elemen prosedural

a) Pemerintahan dengan hukum (rule by the law)

b) Tindakan negara hukum harus tunduk pada hukum

c) Legalitas formal (hukum harus jelas dan pasti muatannya, mudah diakses

dan bisa diprediksi pokok perkaranya, serta diterapkan pada semua orang).

d) Demokrasi (persetujuan menentukan atau mempengaruhi muatan dan

tindakan hukum).75

b. Kategori Kedua: Elemen-elemen Substantif

a) Subordinasi semua hukum dari interpretasinya terhadap prinsip

fundamental dari keadilan

b) Perlindungan hak asasi dan kebebasan perorangan

c) Pemajuan hak asasi sosial

d) Perlindungan hak kelompok

c. Kategori Ketiga: Mekanisme Kontrol (lembaga-lembaga pengawal negara

Hukum)

a) Lembaga peradilan yang independen (terkadang diperluas menjadi trias

Politica)

b) Lembaga-lembaga lain yang memiliki tanggungjawab dalam menjaga dan

melindungi elemen-elemen negara hukum.

75 Persetujuan dalam hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah keberlakuan hukum dan

penerimaannya dalam masyarakat. Sudikno Mertokusumo dalam hal keberlakukan hukum dalam

masyarakat (dalam hal ini secara sosiologis) membagi keberlakuan tersebut dalam 2 (dua) bentuk:

1 Menurut teori kekuatan (Machtstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis

apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, terlepas dari diterima ataupun tidak oleh

warga masyarakat.

2 Menurut teori pengakuan (Anerkennungstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku

sosiologis apabila diterima dan diakui oleh masyarakat

Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2002,

hlm 88.

Page 65: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

46

Konsep-konsep negara hukum yang telah disebutkan oleh para ahli, membangun

juga prespektif global bahwa urgensi penyelenggaraan negara, dengan kuasa di

tangan perseorangan, kelompok, ataupun demokrasi wajib menyandang status

negara hukum. Negara juga dengan demikian berfungsi juga secara adminsitratif

untuk membagi tugas dan kewenangan penyelenggara negara. Negara hukum di

sisi lain juga tidak menemukan format yang sama dalam hal praktiknya di setiap

negara, dalam suatu kasus misalnya China, sangat menolak konsepsi rule of law

ala Barat. China hanya menginginkan domain rule of law hanya menyangkut

pada ekonomi saja, sedangkan Amerika menginginkan cakupannya menjangkau

seluruh domain kenegaraan.76

Ada peran kultur yang membangun konsep negara

hukum tersebut. Apabila memaksakan suatu konsep yang sama akan terasa

mustahil menemukan sebuah definisi yang memuaskan bagi semua dan karenanya

memilih definisi yang lain sepertinya tidak akan banyak menjernihkan perdebatan

tentang negara hukum.77

Telah dipaparkan mengenai konsep dan unsur dari negara hukum versi

yang berkembang di kebudayaan Barat. Sekarang marilah kita lihat Indonesia

dalam kerangka negara hukum tersebut. UUDNRI 1945 sesungguhnya telah

memberikan amanat terhadap adanya negara Hukum. Jaminan terhadap konsepsi

ini termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 UUDNRI 1945. Bercermin dari penyusunan

UUD 1945 disusun, wawasan Negara Hukum (Rechtsstaat) yang demikian itulah

yang pada pokoknya mewarnai corak pemikiran kenegaraan yang diadopsikan ke

76

Sulityowati Irianto, Menuju Pembangunan Hukum Pro keadilan Rakyat dalam

Antonius Cahyadi dan Donny Danardono, Sosiologi Hukum dalam Perubahan, Jakarta, Yayasan

Obor Indonesia, 2009, hlm 4.

77

Adrian Bedner, Opcit, hlm 52.

Page 66: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

47

dalam rumusan UUD 1945.78

Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum

(rechtstaat) bukan berdasarkan pada kekuasaan (machtstaat) harus menjadikan

hukum sebagai landasan dalam setiap aktivitas di dalam negara.

Muhammad Yamin juga mendukung adanya konsepsi negara hukum di

Indonesia. Mohammad Yamin berpendapat, kekuasaan yang dilakukan

Pemerintah Indonesia itu hanya berdasarkan dan berasal dari pada undang-undang

dan sekali-sekali tidak berdasarkan pada kekuasaan senjata, kekuasaan sewenang-

wenang atau kepercayaan, bahwa kekuatan badanlah yang boleh memutuskan

segala pertikaian dalam negara.79

Kondisi dan realitas yang ada secara konsep

memang Indonesia adalah Negara hukum, terlepas dalam hal praktik masih ada

pelanggaran di dalam konsep tersebut. Padmo Wahyono menguraikan unsur-unsur

negara hukum Indonesia yang ditelusuri dari UUDNRI:80

a. Hukum di dalam konsep negara berdasarkan atas hukum bersumber pada

pancasila, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum Indonesia.

b. Negara berdasarkan atas hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka,

yang dapat kita artikan bahwa setiap kekuasaan yang ada harus

berdasarkan atas hukum dan kekuasaan yang berdasarkan atas hukum

adalah kewibawaan, yang ungkapan itu kita kenal saat ini ialah pemerintah

yang aparaturnya bersih dan berwibawa.

c. Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional (hukum dasar) tidak

bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas). Berbeda dengan negara

78

Jimly Asshidiqie, Kajian/Artikel ―Paradigma Penyelenggaraan Negara Berwawasan

Hukum‖, hlm. 1, diakses dari jimly.com

79

Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Jambatan,

, 1952, hlm 75.

80

Padmo Wahjono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, dalam Abu Daud Busroh,

Capita Selecta Hukum Tata Negara, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm 145-147.

Page 67: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

48

hukum di dalam sistem liberal dimana diutamakan prinsip wetmatig,

rechsmatig, dan doelmatig maka pemerintahan berdasar atas sistem

konstitusional (constitusional govermment) lebih baik karena dianggap

dapat mencegah detournement du pouvoir atau freises Eermessen atau

kekuatan tidak terbatas

d. Konsep negara hukum Indonesia berbeda dengan rule of law yang

mengemukakan equality before the law. Konsep negara hukum Indonesia

menekankan dua sisi hukum yaitu hukum dan pemerintahan serta hak dan

kewajiban.

e. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan merdeka artinya terlepas dari

pengaruh kekuasan pemerintah.

Negara hukum memberikan prosedur penyelenggaraan negara berdasarkan atas

hukum. Adanya prosedur tersebut tentunya membuat kekuasaan pemerintah lebih

terbatas, dan juga terbagi atas organ-organ. Namun sebelum dapat melihat apakah

prosedur pembatasan kekuasaan tersebut berjalan atau tidak hal ini akan sangat

berpengaruh dari adanya konstitusionalisme. Konstitusionalisme dalam

pemahamannya harus benar-benar jelas dan tegas dapat menggambarkan apa

sebenarnya konstitusionalisme itu, dalam hal ini akan dilihat berbagai pandangan

mengenai konstitusionalisme dari beberapa ahli. Pengertian terhadap

konstitusionalisme dapat bermacam-macam, dalam pengertiannya yang paling

mendasar dan umum adalah sebagai sebuah prinsip pembatasan kekuasaan.

Pendapat ini sebagai contoh disampaikan oleh Andras Sajo. Konstitusionalisme

menurut Andras Sajo adalah pembatasan negara dalam rangka pelestarian

Page 68: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

49

kedamaian publik.81

Andras Sajo juga mengungkapkan bahwa definisinya masih

tidak memadai, namun sedikit memuaskan.82

Definisi tentang konstitusionalisme

semacam ini juga sering dibantah pihak konservatif, karena konstitusionalisme

tidak bisa dibentuk dengan kondisi lengkap atau dengan kata lain abstrak.83

Wujud abstrak dari konstitusionalisme ini menentukan hubungannya

dengan negara hukum. Konstitusionalisme menurut Daniel S Lev adalah abstraksi

sedikit lebih tinggi dari rule of law atau rechstaat, maka berarti sedikit lebih (atau

kurang) dari negara yang terbatas, di mana kekuasaan politik resmi dikelilingi

oleh diketahui yang penerimaannya berubah menjadi otoritas yang sah yang

ditentukan secara hukum.84

Ide tentang konstitusionalisme yang lebih tinggi juga

diungkapkan oleh Aoife O‘Donoghue. Aoife mengungkapkan bahwa

konstitusionalisme adalah tatanan hukum yang ideal, sebagai dokumenter dari

sumber hukum, sebagai penjelasan historis atau justifikasi untuk bentuk

pemerintahan, atau sebagai tertib hukum normatif diliputi dengan gagasan tertentu

tentang apa yang pemerintahan seharusnya, layak dan membutuhkan

pertimbangan sebelum ada konsolidasi yang diusulkan dari tempatnya dalam

tatanan hukum global.85

Ada juga pandangan lain tentang konstitusionalisme yang

sedikit berbeda dari semangat ketiga ahli tersebut, pandangan berikut berangkat

81 Andras Sajo, Limiting Government: Introduction to Constitutionalism, Budapest:

Central European University, 1999, hlm 9.

82

Ibid.

83

Ibid.

84

Daniel S Lev , Social Movement, Constitutionalism and Human Rights: Comments

from The Malaysian and Indonesian Experience, in Constitutionlism and Democracy: Transition

in The Contemporary World, dalam Norman Dorsen, dkk, Comparatives Constitusionalism Case

and Materials, Opcit, hlm 13.

85

Aoife O‘Donoghue, Constitutionalism in Global Constitutionalisation, Opcit, hlm 1.

Page 69: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

50

dari konstitusionalisme di Russia. Andrey N. Medushevsky menerjemahkan

konstitutionalisme dalam 3 (tiga) arti dan istilah:86

a. Undang-Undang Dasar negara dan sistem dari hukum legislatif

sekunder;

b. sistem politik, masyarakat dan lembaga hukum yang menjamin

pelaksanaan norma-norma konstitusi; dan

c. gerakan sosial yang bertujuan untuk membangun masyarakat sipil dan

negara hukum, dan mengabadikan mereka dalam hukum dasar dan

institusi sosial

Louis Henkin terhadap konstitusionalisme menjelaskan lebih komprehensif lagi

tentang peranan nyata dari konstitusionalisme dan pengaruhnya dalam

penyelenggaraan negara. Louis Henkin menjelaskannya dalam 7 (tujuh) principal

demands (tuntutan prinsipil) dari konstitusionalisme:87

a. Konstitusionalisme secara kontemporer berdasarkan pada kedaulatan

rakyat. Keinginan dari rakyat merupakan sumber dari legitimasi kekuasaan

pemerintah. Rakyat sendiri dapat membentuk konstitusi dan sistem dari

pemerintah;

b. Sebuah konstitusi yang konstitusionalistik adalah preskriptif; ini adalah

hukum tertinggi;

c. Kedaulatan rakyat memunculkan ide bahwa pemerintahan berdasarkan

atas hukum dan dijalankan atas prinsip demokratis. Konstitusionalisme

dalam hal ini memerlukan demokrasi politis, dan badan perwakilan.

86 Andrey N. Medushevsky, Russian Constitutionalism Historical and Contemporary

development, United State: Routledge, 2006, hlm 48.

87

Louis Henkin, A New Birth Of Constitutionalism: Genetic Influences and Genetic

Defects, dalam Michel Rosenfeld, Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy, United

State: Duke University Press, 1994, hlm 41-42.

Page 70: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

51

d. Luar dari pada kedaulatan rakyat dan pemerintahan demokratis adalah

komitmen yang mengikuti pembatasan pemerintah; pemisahan kekuasaan

atau check and balance; kontrol sipil terhadap militer; diatur oleh hukum

dan kontrol yudisial; dan peradilan yang independen;

e. Konstitusionalisme memerlukan pemerintah yang memperhatikan hak

inidividu sebagaimana diatur dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia.

f. Pemerintahan konstitusional termasuk di dalamnya institusi untuk

memantau dan menghargai cetak biru dari konstitusi, yang digunakan

sebagai pembatasan kekuasaan dari pemerintah dan untuk hak individu;

g. Saat ini konstitusionalisme juga juga berimplikasi terhadap penentuan diri

sendiri, hak dari rakyat untuk memilih, mengganti atau menghilangkan

afiliasi politik mereka.

Pemaparan komprehensif dari Louis Henkin makin memperjelas bagaimana

bekerjanya konstitusionalisme dalam praktik negara. Namun apabila kemudian

dalam penyelenggaraannya hanya mengandalkan dari pada ketentuan konstitusi

bukan pada konstitusionalisme, kondisi yang terjadi adalah penyelenggaraan

negara hanya berdasarkan pada aturan saja.

Konstitusionalisme yang cenderung abstrak dan seringkali tidak dapat

diterjemahkan dalam praktik penyelenggaraan negara dengan tegas menyebabkan

konstitusionalisme tidak terurai secara komprehensif antara kandungan dan

tujuannya. Konstitusionalisme hanya kemudian dipandang secara formal saja,

yakni apabila sudah mampu membatasi kekuasaan sudahlah terpenuhilah maksud

dari konstitusionalisme tersebut. K.C Wheare berpendapat bahwa dalam kondisi

demikian dicontohkan olehnya bahwa pemerintahan dapat saja hanya dijalankan

Page 71: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

52

berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi, konstitusi hanya dijadikan pedoman

untuk membangun institusi-institusi pemerintahan dan membiarkannya bertindak

atas kemauannya.88

Konstitusi dalam hal ini hanya seperti GPS penunjuk arah

saja, yang memandu kendaraan sampai pada lokasinya, namun dalam hal ini tidak

dapat menjelaskan mengapa kita perlu sampai pada lokasi tersebut, ataupun apa

yang akan kita lakukan di lokasi tersebut. Konstitusionalisme dalam arti demikian

hanya dipandang dari adanya rule of law sebagai fiturnya. Hal ini dikarenakan

seringkali masih ada kekaburan dalam meletakkan dimana seharusnya posisi rule

of law dalam hubungannya dengan konstitusionalisme. Rule of law tidak boleh

berdiri sendiri untuk mewujudkan konstitusionalisme. Hal ini dikarenakan rule of

law bukan hanya ide ataupun fitur tunggal dari konstitusionalisme. Michel

Rosenfeld mengungkapkan bahwa konstitutionalisme moderen memiliki 3 (tiga)

fitur, yakni:

a. pembatasan kekuasaan;

b. rule of law; dan

c. fundamental rights.89

Hak fundamental dalam hal ini yang dimaksud adalah human rights yang

disebutkan sebagai jantung dari konstitusionalisme moderen, demokrasi dan rule

88 K.C Wheare, Konstitusi-Konstitusi Moderen, Opcit, hlm 208.

89

Michel Rosenfeld, Modern Constitutionalism as Interplay Between Identity and

Diversity, dalam Michel Rosenfeld, Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy Michel

Rosenfeld, Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy, United State: Duke University

Press, 1994, hlm 3. Lihat tulisan Louis Henkin, A New Birth Of Constitutionalism: Genetic

Influences and Genetic Defects, yang menjadi inspirasi dari Michel Rosenfeld dalam, Ibid, hlm 39-

40.

Page 72: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

53

of law ditujukan pada tujuan penegakan human rights tersebut.90

Hal yang sama

juga diungkapkan oleh Walter F Murphy bahwa:91

―Constitutionalism, too, enshrines respect for human worth and dignity as

its central principle. To protect that value, citizens must have a right to

political participation, and their government must be hedged in by

substantive limits on what it can do, even when perfectly mirroring the

popular will‖.

Konsititusionalisme pada akhirnya ditujukan pada semangat untuk menghormati

nilai kemanusiaan dan hak mendasar dari manusia itu sendiri. konstitusionalisme

menggunakan rule of law hanya sebagai alat untuk mencapai kebutuhan akan

pemenuhan hak-hak mendasar tersebut. Namun dalam memandang hubungan

konstitusionalisme dengan rule of law ataupun dalam hal ini pemahaman secara

mendasar tentang konstitusionalisme akan dapat berbeda di setiap negara. Sebagai

contoh yang terjadi pada rechtstaat di Jerman saat era Nazi konsepsi negara

hukum yang dijalankan hanya memperhatikan pada isu formalnya saja bukan pada

substansinya. Rechtstaat ketika itu meniadakan segala nilai-nilai kepercayaan dan

etik yang hidup di masyarakat Jerman, dan hanya menjadikan penyebaran dari

hukum negara yang utama.92

Namun hal demikian tidak hanya menjangkit pada

Jerman yang ketika itu memang terbukti otoritarian dalam penyelenggaraan

negaranya. Amerika Serikat sendiri sebagai pihak yang dapat mengklaim peranan

besarnya terhadap penyebaran ide konstitusionalisme, konten hak-hak,

pembangunan institusi yang esensial, dan membuktikan sebagai penyelenggara

konstitusionalisme yang berhasil, namun dalam hal ini masih saja terdapat

90 Wang Zhuo Jun, Democracy, rule of law and human rights protection under gradually

developed constitutionalism —by the clue of administrative law, dalam Journal Front Law China

2007, 2(3): 335–352, Higher Education Press and Springer-Verlag, 2007, hlm 342.

91

Walter F Murphy, Constitution Constitutionalism and Democracy, dalam Douglas

Greenberg, dkk, Constitutionalism and Democracy Transition in Contemporary World, New

York: Oxford University Press, 1993, hlm 3.

92

Michel Rosenfeld, Constitutionalism and The Rule Of Law, dalam Norman Dorsen

dkk, Comparative Constitutionalism, Opcit, hlm 18.

Page 73: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

54

kecacatan di dalam jurisprudentially, kultur, dan politiknya yang mengarah pada

tidak terpenuhinya hak dasar.93

Contoh negara lain misalnya China memiliki latar

kebangkitan dari konstitusionalisme yang sedikit berbeda, dibandingkan contoh

yang diberikan oleh Amerika. Wang Zhuo Jun menyebutkan bahwa

perkembangan konstitusionalisme melalui amandemen di China dilakukan dalam

4 (empat) periode waktu:94

a. Pada tahun 1988, status hukum sektor swasta dari ekonomi dan kebijakan

negara pada perusahaan swasta didefinisikan;

b. pada tahun 1993, tujuannya untuk membangun ekonomi pasar sosialis,

"mematuhi reformasi dan kebijakan terbuka ", dan "membangun negara

sosialis yang sangat beradab dan sangat demokratis" diubah menjadi

"membangun makmur dan kuat, demokratis, dan negara sosialis beradab ",

oleh karena itu meningkatkan posisi demokrasi;

c. pada tahun 1999 strategi dasar untuk rule of law dirumuskan; dan

d. pada tahun 2004, konten bahwa "hal negara dan melindungi hak asasi

manusia" telah ditambahkan.

Perkembangan amandemen tersebut juga menggambarkan bahwa China mulai

membangun konstitusionalisme berawal dari ekonomi bukan pada politiknya, dan

dari demokrasi ke rule of law lalu menuju pada perlindungan hak asasi manusia.95

Pembangunan konstitusionalisme China yang dimulai dari ekonomi sebenarnya

bagi kondisi negaranya merupakan langkah yang tepat. Michael C Davis

93 Louis Henkin, A New Birth Of Constitutionalism: Genetic Influences and Genetic

Defects, dalam Michel Rosenfeld, Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy, Opcit,,

hlm 51.

94

Wang Zhuo Jun, Democracy, Rule Of Law And Human Rights Protection Under

Gradually Developed Constitutionalism —By The Clue Of Administrative Law, dalam Journal

Front Law China, Opcit, hlm 336.

95

Ibid.

Page 74: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

55

menyebutkan bahwa konstitusionalisme di Asia Timur adalah krusial untuk

membangun stabilitas dan economic prosperity pasar terbuka yang kompleks.96

Pada sisi lain ketika itu Asia Timur sedang mengalami krisis ekonomi, dengan

dibukanya dukungan terhadap investor memperkuat juga pembangunan negara.97

Penegakan konstitusionalisme tidaklah mudah apabila melihat dari

pemaparan yang telah disebutkan. Konstitusionalisme sering dipandang hanya

dalam wujud formalnya saja yakni rule of law, namun tujuan di balik adanya rule

of law tersebut seperti pemenuhan hak dasar masih menjadi pertanyaan. Tentang

pemenuhan tujuan tersebut tentunya tidak dapat sama dalam sudut pandang

tentang dari mana memulai untuk memenuhi hak dasar tersebut, namun demikian

kita dapat juga mengambil kesimpulan dan ide dari pemaparan dilakukan

sebelumnya mengenai konstitusionalisme. Pemaparan akan konstitusionalisme

yang telah dilakukan dapat memberikan gambaran akan fitur-fitur dari

konstitusionalisme yakni: Demokrasi dan pembatasan kekuasaan, rule of law, dan

pemenuhan hak dasar. Ketiga fitur yang telah didapat ini selanjutnya untuk

semakin mematangkan konsep konstitusionalisme yang ada perlu dilakukan

pembahasan secara komprehensif. Hal ini dikarenakan konstitusionalisme itu

suatu yang tidak dapat dipungkiri lahir dari konflik. Daniel S Lev menyebutkan

bahwa tanpa pemahaman tentang konflik yang berlangsung di negara dan

masyarakat, dan antara dua, dari cara di mana daya yang dihasilkan dan otoritas

sebenarnya dilakukan, nilai-nilai dan ideologi yang menginformasikan struktur

politik dan perilaku, kita tidak dapat memahami gerakan konstitusionalis saat

96 Michael C Davis, East Asia After The Crisis: Human Rights, Constitutionalism, and

State Reform, dalam Human Rights Quarterly; Feb 2004; 26, 1; ProQuest, hlm 151

97

Ibid.

Page 75: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

56

mereka berevolusi.98

Pendapat yang hampir sama juga diungkapkan oleh Michael

C Davis bahwa menemukan institusi dan menerapkannya seperti institusi

konstitusional yang ada di Amerika dalam berbagai praktiknya akan berbeda bagi

misalnya Jepang, Filipina, dan Amerikan sendiri, pada akhirnya institusi

konstitusional sangat bergantung pada tantangan terhadap politik lokal.99

Oleh

karena itu perlu dilakukan penelusuran tentang konstitusionalisme dilihat dari

tinjauan sejarah untuk memperjelas bagaimana proses lahirnya

konstitusionalisme, dan konflik yang membangun konstitusionalisme tersebut.

3. Demokrasi dan Konstitusionalisme dalam Lintasan Sejarah

Demokrasi sebagai cita partisipasi rakyat sesungguhnya tidak dapat begitu

saja tegak, dalam praktik ketatanegaraan. Demokrasi dalam hal ini sangat

berhubungan erat terhadap perubahan pemikiran ketatanegaraan dan juga

konstitusi. Demokrasi entah sebagai penyebab perubahan tersebut ataupun tujuan

dari perubahan namun keberadaannya perlu dikaji secara lebih lanjut untuk

kemudian menguraikan hubungan diantara demokrasi dan konstitusi. Demokrasi

dan hubungannya dengan konstitusi perlu diurai secara periodik. Periode Yunani

kuno menjadi titik awal dan periode Revolusi Perancis ketika pemisahan

kekuasaan menjadi akhirnya. Periode Yunani perlu juga dikaji karena periode ini

awal mulanya dikenalkannya demokrasi langsung atau dalam konteks saat ini

dikenal sebagai demokrasi partisipatoris. Periode Yunani dipilih juga menjadi

titik awal karena ketika itu telah dikenal beberapa lembaga perwakilan seperti

Aeropagus, Boule, dan Dewan Eklesia, sehingga hal ini dapat dijadikan refleksi

98 Daniel S Lev , Daniel S Lev , Social Movement, Constitutionalism and Human Rights:

Comments from The Malaysian and Indonesian Experience, in Constitutionlism and Democracy:

Transition in The Contemporary World, dalam Norman Dorsen, dkk, Comparatives

Constitusionalism Case and Materials, Opcit, hlm 14.

99

Michael C Davis, East Asia After The Crisis: Human Rights, Constitutionalism, and

State Reform, dalam Human Rights Quarterly; Opcit, hlm 151.

Page 76: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

57

terhadap penyelenggaraan demokrasi perwakilan. Pada periode Revolusi Perancis

sebagai kajian untuk membuka tentang praktik moderen dari demokrasi. Revolusi

Perancis tidak hanya melegitimasi terhadap keberadaan partisipasi rakyat.

Partisipasi ini apabila dirunutkan nantinya akan dapat dilihat dari pengaruh

deklarasi hak asasi manusia.

Deklarasi hak asasi manusia Perancis inilah yang kemudian mendorong

lahirnya konstitusionalisme.100

Konstitusionalisme pada sisi lain juga dianggap

sebagai proyek politik untuk membatasi kekuasaan dan melegitimasi kedaulatan

rakyat.101

Namun untuk sampai pada tahap pembahasan demokrasi, hak asasi

manusia, dan konstitusionalisme perlu dilihat dan ditelusuri secara runut dari awal

mula demokrasi berkembang di Yunani Kuno. Penelusuran terhadap hubungan

demokrasi dan Konstitusi ini, dibagi menjadi 2 (dua) yakni, pertama melihat

tujuan dari lahirnya demokrasi; dan kedua melihat pada hubungan demokrasi dan

hukum yang ada ketika itu.

a. Yunani Kuno

Yunani kuno dikenal sebagai cikal bakal dari penyelenggaraan negara di

dunia moderen saat ini. Yunani memperkenalkan berbagai sistem pemerintahan,

mulai dari berdasarkan pada monarki, hingga pada sistem pemerintahan

100 Pendapat ini diungkapkan oleh Richard Belammy dalam tulisannya Political Form of

Constitution: the separation of power, rights, and representative democracy dalam Jurnal Political

Studies, 1996, XLIV, 436-456.

101

Lihat Thomas Muller, Global constitutionalism in historical perspective: Towards

refined tools for international constitutional histories dalam Jurnal Global Constitutionalism

(2014), 3 : 1 , 71 – 101 © Cambridge University Press, 2014 doi:10.1017/S204538171300005, hlm

82. Hubungan antara demokrasi dan konstitusionalisme bahkan diungkapkan oleh Martin Loughlin

sebagai yang penuh kontroversi. Demokrasi saat ini sangat erat dan dipengaruhi oleh liberalisme.

Liberalisme di satu sisi mempromosikan penghormatan terhadap hak-hak individu bersamaan pula

dengan demokrasi yang menjadi sumber kedua dari legitimasi konstitusional. Lihat tulisan Martin

Loughlin dengan judul Constitutional Theory: A 25th Anniversary Essay dalam Oxford Journal of

Legal Studies, Vol. 25, No. 2 (2005), pp. 183–202 doi:10.1093/ojls/gqi010, hlm 192.

Page 77: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

58

demokratis yang dikenal sebagai sistem terfavorit saat ini. Demokrasi yang

diperkenalkan oleh Yunani tidak hanya berbicara tentang bagaimana rakyat bisa

turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi yang ada pada saat

itu bahkan mendorong perubahan fundamental terhadap hukum yang ada di

Yunani. Demokrasi misalnya pada zaman Clisthenes mendorong ide akan

kesamaan di muka hukum (insonomia). Hubungan demokrasi dan hukum yang

demikian lebih jauh harus ditelusuri supaya dapat terurai benang merah hubungan

antara hukum dan demokrasi, yang dapat dikatakan merupakan hubungan yang

paling awal dalam peradaban manusia.

a) Demokrasi di Yunani

Demokrasi dalam praktik penyelenggaraannya tidak boleh dilepaskan dari

alasan dari kemunculan demokrasi tersebut. Alasan terhadap kemunculan

demokrasi tersebut akan berhubungan dengan tujuan dari keberadaan demokrasi.

Hal ini kemudian akan sangat berpengaruh terhadap operasionalisasi dari

demokrasi. Demokrasi Yunani disisi lain juga tidak boleh melupakan Pericles

sebagai seorang tokoh Politik. Luciano Canfora menyampaikan bahwa

Thucydides pernah menulis dalam epitaph102

sebagai sebuah penghargaan

terhadap Pericles. Luciano Canfora menyebutkan bahwa:103

Thucydides sees

Pericles as a veritable princeps endowed with sort of ― ―primacy‖ or ―

princedom‖: accepted and acknowledge personal power which in the end distort

balance of power, though without violating them.

102 Epitaph merupakan sebuah prasasti peninggalan kebudayaan Yunani Kuno. Lebih

terangnya merupakan prasasti peringatan pada makam atau monumen mayat tentang orang

terkubur di situs tersebut. Lihat http://dictionary.reference.com/browse/epitaph

103

Luciano, Democracy in Europe a History of an Ideology terjemahan Simon Jones,

United State: Black Well Publishing, 2006, hlm 8.

Page 78: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

59

Konsep demokrasi yang dibentuk oleh Pericles ketika itu sesungguhnya

dipandang oleh Thucydides sebagai sebuah prinsip penyelundupan kekuatan

personal. Kekuatan personal yang dimaksud adalah Pericles dapat menguasai

Yunani ketika itu, dengan membungkus kekuasaan monarki di dalam konsepsi

penegakan kebebasan. Rakyat Yunani diberikan kesempatan namun di dalam

kesempatan tersebut kuasa monarkilah yang kemudian menentukan

penyelenggaraan pemerintahan.

Yunani sendiri menurut Frans Magnis memperkenalkan tradisi demokrasi

dalam dua hal.104

Pertama, mereka mengembangkan suatu sistem kelembagaan

canggih yang secara eksplisit didasarkan pada gagasan kekuasaan di tangan

rakyat; kedua, prinsip demokrasi mereka sadari dan mereka refleksikan secara

eksplisit-filosofis, dengan mempertimbangkan pro dan kontranya, serta dengan

memperbandingkan bentuk demokrasi dengan bentuk pemerintahan lain yang

memusatkan kekuasaan pada satu orang atau elite.

Tradisi demokrasi dapat menjadi sangat berkembang di Yunani

dikarenakan semangat egaliter. Semangat tersebut merupakan nilai-nilai yang

didukung oleh 3 (tiga) faktor:105

1) Pertama koneksi warga kelas rendah dengan militer memungkinkan

mereka untuk mendapatkan status sosial ekonomi yang lebih baik, dan

untuk terlibat dalam pengambilan keputusan komunal;

104 Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka,

1995,hlm 34-35.

105

Lihat tulisan John T Ishiyama, Tatyana Kelman, dan Anna Perchinina, dengan judul

Model Demokrasi dalam buku Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 sebuah Refrensi

Panduan Tematis editor John T Ishiyama dan Marijke Breuning, Opcit, hlm 445.

Page 79: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

60

2) Kedua perkembangan polis menjadi kekuatan dunia yang baru ikut juga

mengubah tren pemikiran dan pertanyaan tentang perubahan institusi, tata

pemerintahan hingga distribusi kekuasaan;

3) Ketiga kekayaan negara kota Yunani yang ekstra memungkinkan

kesempatan pengembangan domestik.

Demokrasi yang digunakan oleh Yunani ketika itu dapat dikatakan juga

penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pada ledakan partisipasi, setiap

warga (kecuali wanita dan budak) berpartisipasi dalam menentukan jalannya

pemerintahan (konsep partisipasi langsung). Peran serta dengan model demikian

dalam penyelenggaraan pemerintahan ketika itu dapat mungkin dikarenakan:106

a)

karena pengertian negara identik dengan pengertian kota, dan yang dimaksud

dengan kota pada waktu itu ialah hanya tempat sekitar itu saja, maka wilayah

daerahnya sangat terbatas sekali; dan b) karena penduduknya pun sebagai warga

kota masih sedikit. Namun dibalik keterlibatan setiap pihak yang ada di dalam

demokrasinya Yunani juga menyimpan kritik di dalamnya.

Demokrasi Yunani memiliki kritik paling berat terhadapnya mengenai

konsep demokrasi semunya, berhubungan hanya ada 10% warga Athena yang

mempunyai hak pilih, budak, wanita, orang asing, mereka tidak mempunyai hak

pilih.107

Demokrasi dalam kerangka Yunani yang diutamakan pada akhirnya

adalah keterlibatan dari rakyat dalam penyelenggaraan negara. Apabila ditelusuri

demokrasi ketika itu dapat tumbuh dan berkembang pilihan dalam

106 Sjahran Basah, Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Negara dengan Beberapa

Pemikirnya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hlm 93.

107

LP3ES, Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES: Jakarta, 1986, hlm xii.

Page 80: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

61

penyelenggaraan pemerintahan menurut Paul Woodruff dibagi ke dalam dua

macam alasan besar:108

1) Secara internal,

mereka menemukan bahwa reformasi demokratis membuat kota lebih

harmonis dalam jangka panjang, lebih sejahtera, lebih menghidupkan

budaya. Politisi Yunani di sisi lain, ketika itu menemukan bahwa dengan

membuat reformasi demokrasi mereka bisa mendapatkan dukungan rakyat

dan menang di atas lainnya

2) Secara eksternal,

Para pemimpin menemukan bahwa setiap langkah menuju demokrasi

membuat kota mereka lebih mampu membela diri. Pada nya tinggi,

demokrasi adalah bentuk paling kuat dari pemerintah di Yunani. Pada abad

kelima sebelum Masehi, demokrasi memiliki ekonomi terkuat dan paling

kreatif budaya, tetapi keberhasilan yang membuat mereka aman adalah

militer: Demokrasi bisa memobilisasi warganya untuk perang melintasi

batasan kelas sosial.

Demokrasi Athena tidak hanya berkembang dikarenakan alasan praktis

dan politis saja.. Jill mengungkapkan bahwa Aristoteles melalui pendekatan virtue

(Kebajikan). Kebajikan tersebut adalah sebagai berikut:

―Aristotle's approach to virtue lie in its very circularity. Democracy is itself

a circular mode of governance. Citizens, who are also rulers, make the laws

to which they are subject. In other words, they follow their own law. In this

way, democracy is a mode of governance that has its source and authority

in itself. It is the selfgoverning regime. It is the same with the practice of

virtue: when I act well, I do so because my own habits so dispose me to act.

Intellectual and moral virtue both involve modes of activity-prohairetic

activity-whose origin and authority lie in themselves. The self-sovereignty

108 Paul Woodruff, First Democracy The Challenge of An Ancient Idea, United State:

Oxford University Press, 2005, hlm 26.

Page 81: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

62

associated with these practices is the same as the self-sovereignty

characteristic of democracy.‖109

Pemerintah dalam konsep yang digambarkan oleh Aristoteles sesungguhnya

menciptakan sebuah mekanisme, pemerintahan yang alamiah. Pemerintahan

tersebut berjalan diatas sebuah rencana yang dibangun oleh rakyatnya sendiri.

Demokrasi ini yang kemudian mengantarkan Yunani pada pemerintahan yang

bersumber pada kehendak dan kepercayaan rakyat. Kepercayaan terhadap

demokrasi membangun pula kepercayaan rakyat terhadap negara. Sirkulasi diri

dalam konsep demokrasi yang diungkap diatas juga merupakan suatu upaya

menerjemahkan virtue (kebajikan) dalam masyarakat Athena dan

memperkenalkannya kepada khalayak ramai. Hal ini yang kemudian juga

mencerminkan demokrasi secara pengertiannya dari rakyat dan untuk rakyat atau

sering juga dikenal sebagai self-governing.

Demokrasi Yunani dan pembahasan yang telah disebutkan sebelumnya

identik dengan konsep demokrasi yang dibahas melalui kacamata liberal.

Demokrasi dalam perkembangannya sangat kental dengan ideologi yang menjadi

kacamata dalam menginterpretasikan arti dan implementasinya. Pembahasan

terhadap demokrasi Yunani misalnya ada pula yang membahasnya melalui

kacamata marxisme. Bryan S Roper membahas sejarah demokrasi melalui

interpretasi marxisme. Demokrasi dipandang sebagai sebuah wujud pertentangan

kelas sosial yang ada di Yunani.

At crucial points in the history of classical Greek democracy they were

able to exert a decisive influence over the course of events. The radically

democratic reforms of Ephialtes and Pericles, for example, are simply

inconceivable unless we assume that the majority of citizens were able

successfully to support and defend these reforms against the resistance of

109Jill Frank, A Democracy of Distinction Aristotle and The Work of Politics, Chicago:

Chicago University Press, 2005, hlm 52 .

Page 82: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

63

the wealthy landowners. Clearly by participating in the class struggle on

the political plane, labouring citizens could win important victories. Thus

the political influence of the wealthy was substantially limited by the

reforms during the second half of the fifth century that introduced payment

for jury service, membership of the Boule, attendance at the Assembly and

the performance of other public duties, because this payment enabled even

the poorest citizens to participate.110

Brian S. Roper berpandangan bahwa demokrasi yang terjadi di Era Yunani,

merupakan bentuk kemenangan mayoritas penduduk terhadap para pemilik tanah

yang kaya. Partisipasi dalam politik membuat kelas buruh mencapai kemenangan

penting. Menurut pandangan Brian juga kemenangan tersebut dapat dilihat dalam

reformasi pada abad ke-5 dalam hal pembayaran juri, keanggotaan Boule,

majelis, dan performa dalam pelayanan publik lainnya yang dapat dicapai bahkan

oleh rakyat paling miskin sekalipun. Pandangan terhadap pertentangan kelas bagi

para pengguna kacamata Marxist selalu akan mengaitkannya dengan hal kekayaan

dan kepemilikan alat produksi. Demokrasi pada wujud dan kacamata apapun pasti

merupakan sebuah wujud hubungan rakyat dan negaranya, namun yang menjadi

pembeda adalah takaran partisipasi rakyat dan haknya dalam penyelenggaraan

negara.

b) Konstitusionalisme di Yunani

Negara yang dijalankan dalam kerangka demokrasi perlu sebuah

instrumen hukum yang kuat. Demokrasi lepas dari pada kontrol akan seperti kuda

liar yang siap menendang siapapun yang mendekatinya. Perlu tali kekang yang

kuat melalui instrumen hukum supaya kemudian demokrasi dapat berjalan sebagai

sebuah konsep bernegara yang mengintegrasikan kehendak rakyat juga kehendak

negara. Demokrasi pada awal praktiknya di Yunani, sangat diragukan keberadaan

110 Brian S. Roper, The History of Democracy A Marxist Interpretation, London: Pluto

Press, 2013, hlm 3.

Page 83: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

64

meskipun konsep ini sedikit lebih baik dibandingkan absolute tyranny yang

berdasarkan kehendak satu orang ataupun kelompok bukannya kehendak rakyat.

Plato dan Aristoteles sebagai filsuf di zaman Yunani, berpendapat bahwa rule by

the man merupakan wujud penyelenggaraan negara yang terbaik.111

. hukum

berkenaan dengan demokrasi pada zaman tersebut mengalami perdebatan antara

pemikiran Plato dan Aristoteles dengan para kaum demokrat Athena. Bryan Z

Tamanaha mengungkapkan lebih lanjut mengenai pertentangan diantara

pemikiran yang berkenaan rule of law dalam penyelenggaraan negara. Berikut

penelusuran Tamanaha mengenai kedudukan hukum dalam negara menurut:112

The rule under law that they advocated was a second-best solution, necessitated

by human weakness. Plato bid the law rule in The Laws as a more realistic

alternative to the benevolent (philosophically educated and virtuous) Guardians

he proposed to rule in The Republic.

Pada paragraf lainnya, Buku Tamanaha diungkap pula pandang kaum demokrat

sebagai berikut:113

For Athenian democrats it was essential–a prerequisite of its supremacy –

that the citizens themselves participated directly in giving rise to the law. As

we shall see, the tension between these two concerns, law as a restraint on

democracy and law as the product of self-government, has not lessened

throughout history

Pendapat dari Aristoteles dan gurunya Plato, dapat dikatakan menggunakan

hukum sebagai sebuah rem darurat. Hukum diletakkan sebagai solusi kedua untuk

menghilangkan dan mengurangi kesalahan dari kelemahan manusia. Hukum

dalam pandangan mereka berdua secara wajar demikian, karena mereka berdua

merupakan pendukung konsep penyelenggaraan negara yang berada di tangan

111 Pemikiran Kedua filsuf besar tersebut tidak terlepas dari pemikiran Filsuf Socrates

yang pemikiran tentang bentuk negara diturunkan kepada muridnya Plato. Lihat Ramlan Surbakti,

Memahami Ilmu Politik, Opcit, hlm 31-32.

112

Brian Z Tamanaha, On The Rule of Law, Opcit, hlm 10.

113

Ibid.

Page 84: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

65

pemimpin yang kuat. Mereka berdua cenderung menghindari pujian terhadap

demokrasi karena demokrasi bagi mereka pilihan sisa, apabila konsep negara

aristokrasi berubah menjadi timokrasi dan kemudian berubah menjadi oligarki.

Pada pihak kaum demokrat kedudukan rule of law yang baik menurut mereka

disisi lain bukan terletak pada pembatasan kebebasan rakyat. Kedudukan rule of

the law yang terpenting terletak pada bagaimana mengusahakan hukum tersebut

dibentuk oleh rakyat. Impian kaum demokrat Athena ketika itu sudah terwujud

pada masa Pericles. Solly Lubis menjelaskan bahwa pemikiran Pericles dan

tindakannya merupakan perwujudan demokrasi sejati ketika zaman Athena.

Wujud demokrasi yang sejati tersebut terlihat dalam tujuan dan maksud

demokrasi yakni: memberikan kedudukan yang sama serta kemerdekaan.114

Wujud demokrasi lebih lanjut ditegaskan oleh Pericles bahwa demokrasi

merupakan suatu hal yang membebaskan namun tetap berada dalam koridor

hukum, supaya kemudian tidak kemudian menjadi gerombolan anarkis yang

berbuat sesuka hati menimbulkan kerusakan. Semangat perwujudan demokrasi

langsung dan hukum sebagai instrumen penyampai kebutuhan dan juga

perlindungan warga Athena dapat dilihat melalui dewan Ekklesia. Dewan tersebut

menjadi wadah pertemuan, aspirasi, dan juga partisipasi warga Athena berkenaan

dengan permasalahan apa yang dihadapi warga Athena, dan bagaimana

menyelesaikannya. Masalah tersebut tidak hanya berkenaan dengan masalah

sosial, politik, namun juga berkenaan dengan masalah hukum. Namun secara lebih

khususnya Athena memiliki badan yang berwenang dalam hal legislasi

114 Solly Lubis, Ilmu Negara (edisi revisi), Bandung: Mandar Maju, 2014, hlm 68.

Page 85: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

66

Majelis dan Dewan 500 adalah pemilik kewenangan legislasi yang ada di

masa Athena Kuno ini.115

Fungsi legislasi tersebut dikenal sebagai Probouleusis,

dimana fungsi ini dibagi menjadi 2 (dua) yakni probouleumata terbuka dan

tertutup.116

Dalam probouleuma terbuka (tunggal), Dewan menginstruksikan

Majelis berdebat masalah tertentu dan, jika dianggap perlu oleh Majelis, untuk

mengeluarkan dekrit. Sebuah probouleuma spesifik adalah, dalam Intinya,

tagihan, subyek dari amandemen, jika perlu, dan harus diratifikasi oleh Majelis.117

Athena ketika itu sudah memiliki badan yang bahkan memisahkan fungsi

legislasinya berdasarkan pada kekhususan muatan dari produk hukum tersebut.

Namun secara garis besar hukum yang diciptakan di Athena memiliki ciri

tersendiri.

Hukum yang ada di Athena, Sparta, Locri Epizephyrii (selatan Italia),

maupun polis lainnya, ketika itu memiliki 5 ( lima) ciri yang berangkat dari

pertanyaan terhadap hukum yang ada hingga pada muatan dari hukum Athena itu

sendiri:118

1) Secara khusus kita pertama harus membedakan hukum dari kaidah atau

pernyataan umum mengenai perilaku moral atau sosial. Hukum tertulis

biasanya dicatat oleh perwakilan resmi dari polis. Fungsi utama mereka

adalah untuk memberikan pedoman untuk keputusan oleh pengadilan atau

badan publik lainnya, meskipun mereka dapat diterapkan untuk kegiatan

115 Mellisa Schwartzberg, Democracy and Legal Change, New York: Cambridge, 2007,

hlm 34.

116

Ibid.

117

Ibid.

118

Michael Gagarin, Early Greek Law, Berkeley: University California Press, 1989, hlm

53-57.

Page 86: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

67

yang tidak biasanya datang, tapi mungkin datang, sebelum pengadilan,

seperti hukum tentang perkawinan atau surat wasiat.

2) Kedua, hukum dapat dicirikan oleh tingkat umum penengah antara kaidah

(atau prinsip) dan keputusan. Meskipun garis pemisah antara ketiga

kategori tidak dapat diperbaiki dan beberapa aturan mungkin jatuh ke

daerah menengah, kita mungkin dalam keadaan umum yang kaidah

3) Ketiga, kita harus membedakan antara hukum yang tepat dan politeia,

biasanya diterjemahkan "konstitusi." Perbedaan ini, dibuat oleh Aristoteles

tidak mutlak, karena politeia yang dapat dinyatakan dalam sebagian atau

keseluruhan oleh resmi "diakui" (dan ditulis) undang-undang, seperti

dalam Konstitusi Amerika Serikat. Tetapi istilah pada dasarnya menunjuk

struktur kelembagaan untuk pemerintahan kota, yang mungkin sebagian

besar didasarkan pada tradisi yang tidak tertulis dan bukan undang-undang

tertulis, atau mungkin tersirat oleh hukum mengenai berbagai pejabat

publik atau badan, atau dapat dinyatakan dalam tulisan-tulisan resmi

pemikir seperti Plato.

4) Keempat, Hukum Draconian hadir sebagai hukum tertulis yang ada di

Athena. Hukum yang berkenaan dengan tindak kriminal

5) Kelima, pembuat hukum dan penunjukan terhadapnya sering dilakukan

dalam waktu kekacauan sipil. Pada kasus di Hesiod dan dalam laporan

Herodotus tentang karir Deioces 'bagaimana gejolak sipil pada awal

Yunani dilihat sebagai hasil dari pemecahan proses hukum, dan itu adalah

masuk akal bahwa dalam upaya untuk memulihkan stabilitas selama

periode sebuah kekacauan kota mungkin menunjuk pemberi hukum, baik

Page 87: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

68

untuk merekam beberapa praktek-praktek tradisional masyarakat dan

keputusan mendirikan kekuasaan kehakiman atau menulis undang-undang

baru tentang hal-hal yang substantif atau prosedural. Pembuat hukum

(nomothetes) didakwa dengan menulis satu set hukum untuk kota

memiliki posisi khusus di kota itu bukan bagian dari struktur normal

pemerintah.

Hukum yang ada di Yunani secara signifikan mulai berkembang lebih serius lagi

ketika memasuki abad ke-5 dan ke-4 SM. Kehidupan hukum Yunani dari 5 dan

ke-4 SM ditentukan oleh tiga faktor dominan:119

1) Pertama, adanya keragaman negara-kota (polis), yang masing-masing

dimiliki dan dikelola menetapkan sendiri hukum.

2) Kedua adalah fakta bahwa dalam banyak, jika tidak sebagian besar, dari

polis (satu pengecualian tertentu adalah Sparta) hukum yang ditetapkan

dalam undang-undang tertulis, beberapa dari mereka yang rumit dan kode

lebih atau kurang lengkap menguraikan metode prosedural dan substantif

aturan untuk administrasi peradilan.

3) Faktor yang menentukan ketiga hukum Yunani adalah tidak adanya badan

yurisprudensi sebanding dengan orang-orang Romawi. Bahkan orator

Attic, untuk semua keakraban praktis mereka dengan hukum kota,

terutama tertarik dalam menyajikan argumen cocok untuk membujuk juri

massa sebelum yang mereka harus berdebat, tidak dalam menganalisis

sistem hukum dengan tujuan memperoleh wawasan yang lebih dalam

119 http://www.britannica.com/topic/Greek-law diakses 20 Januari 2016 pukul 17.11

wib.

Page 88: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

69

implikasinya. Juga, dalam hal ini, melakukan filsuf merawat hukum

seperti itu, tujuan mereka menjadi penemuan standar abstrak keadilan.

Hukum dalam praktiknya kemudian mencirikan bahwa hukum ketika itu tidak

dapat dilepaskan dari masalah etika dan moral yang berangkat dari kebiasaan.

Kebiasaan dari leluhur menjadi pengantar dari pada landasan dan cita hukum yang

ada di Athena. Kebiasaan itu pula yang menjadi sangat berpengaruh terhadap

penegakannya. Hukum pada masa klasik ini menurut B. Arief Sidharta terbentuk

secara spontan, secara alami, di dalam sikap dan perilaku konkret dalam

kehidupan sehari-hari, jadi ditampilkan dalam hukum tidak tertulis, yakni berupa

pengulangan perilaku, tiap kali yang terjadi situasi kemasyarakatan yang sama

dan dihayati dari tuntutan keadilan.120

Aristoteles berkenaan dengan hukum dan

hubungannya dengan rakyat adalah bahwa rakyat membutuhkan hukum yang baik

dan keberadaan dari hukum itu juga harus menjadi sebuah kebiasaan.121

Pemerintah ketika itu menurut Aristoteles ditekannya menjadi penyedia yang baik

akan hukum, sedangkan rakyat menjadi penerima yang baik. Hubungan keduanya

saling berkesinambungan menciptakan suatu kehidupan penyelenggaraan

pemerintahan yang berdasarkan pada kebutuhan dan pengertian. Hukum yang

menjadi kebiasaan lebih lanjut cenderung diarahkan pada hukum yang pasti.

Kepastian ini terlihat dari hukum tersebut tidak mudah diubah, berdasarkan suatu

kepentingan tertentu yang sesaat. Namun hukum yang ada hanya dapat berubah

dengan cara tertentu saja dan jarang.122

Kekhawatiran yang muncul demikian

tidak dapat dipungkiri dikarenakan kondisi hukum di Athena ketika itu. hukum

120 B Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia Upaya Pengembangan Ilmu Hukum yang

Responsif terhadap Perubahan Masyarkat, Yogyakarta: Rajawali Press, 2013, hlm 15.

121

Jill Frank, a Democracy of Distinction… Opcit, hlm 115.

122

Ibid.

Page 89: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

70

sempat diabaikan karena keputusan aturan yang bebas dalam demokrasi.123

Kebebasan yang muncul karena demokrasi berpengaruh terhadap produk hukum

yang ada. Fleksibilitas hukum pada abad kelima memiliki konsekuensi dari

ketidakpastian, karena undang-undang diubah begitu sering bahwa itu sulit untuk

mengantisipasi konsekuensi dari tindakan.124

Kondisi demikian tidak hanya

dikarenakan oleh meluapnya demokrasi sebagai ide penyelenggaraan negara.

Namun hal in juga disebabkan oleh ketiadaan standar hukum yang dimiliki oleh

Athena.125

Brian Z Tamanaha berpendapat bahwa produksi hukum ataupun

pelayanan hukum tidak dilakukan oleh kelas profesional hukum, hukum yang

dibuat merupakan produk dari aktivis ataupun warga biasa.126

Dalam hal ini

produk-produk hukum yang dihasilkan kemudian tidak memiliki standar yang

jelas dan memiliki implikasi yang berbeda. Hal tersebut inilah yang kemudian

mendorong dibutuhkannya ide hukum yang sulit diubah dan pasti keberadaannya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah yang dimaksud hukum yang

jarang diubah adalah konstitusi? Yunani kuno sebenarnya sudah memiliki

konstitusi, meskipun konstitusi yang dibayangkan tidak seperti konstitusi moderen

saat ini. Whitelocke berpendapat bahwa: ―the natural frame of state and this idea

seems old as the politeia of Greek, which we usually translated by our word

constitution‖.127

Yunani menurut Whitelocke tidak hanya sebagai prototipe dari

negara, namun menyediakan ide tentang konstitusi. Ide tentang konstitusi dapat

dikatakan juga baru sebatas pada materinya saja, belum berkenaan dengan

123 Lihat tulisan John David Lewis, Constitution And Fundamental Law: The Lesson Of

Classical Athens, dalam Jurnal Social Philosophy and Policy, Januari 2011, Cambridge University

Press, hlm 27.

124

Mellisa Schwartzberg, Democracy and Legal Change, Opcit, hlm 36.

125

Brian Z Tamanaha, On The Rule of Law…. Opcit, hlm 7

126

Ibid.

127

Charles Howard Mcllwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, New York:

Cornell University Press, 1947, hlm 25.

Page 90: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

71

bagaimana ide tersebut diwujudkan dalam bentuk hukum positif. Konstitusi yang

dimaksud dengan demikian bukan seperti konstitusi tertulis seperti zaman

Moderen sekarang ini. Konstitusi Yunani Kuno masih bersifat materiil saja.128

Politeia dikatakan sebagai konstitusi materiil karena Politeia tersebut sudah

dianggap lebih tinggi daripada nomoi karena kekuatannya untuk membentuk.129

Konstitusi materiil apabila dikaitkan dengan pemikiran konstitusi yang moderen,

dapat dimasukkan sebagai konstitusi tidak tertulis. K.C Wheare berpendapat

bahwa konstitusi tidaklah sepenuhnya berkenaan dengan muatan legal saja,

namun konstitusi juga berkenaan dengan unsur non legal seperti adat atau tradisi,

yang turut pula mengatur tentang ketatanegaraan. Jadi dengan demikian dapat

dikatakan Politeia merupakan konstitusi juga karena dia mengandung ide untuk

ikut juga mengatur ketatanegaraan Yunani Kuno. Politeia dalam hal ikut

mengatur ketatanegaraan dapat dilihat dari fungsinya. Jill Frank berpendapat

bahwa: Konstitusi dalam pandangan Aristoteles berfungsi sebagai standar dari

evaluasi hukum yang ada dalam berbagai rezim.130

Konstitusi dengan demikian

menjadi sumber tertinggi yang menetapkan standar-standar yang boleh dan tidak

boleh dimiliki oleh suatu hukum yang ada di Yunani. Pandangan ini berangkat

dari pemikiran konsep etik, dimana keadilan memandu dari pengembangan dan

penggunaan hukum.131

Konstitusi dalam praktiknya lebih lanjut menurut

128 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Pt Raja Grafindo

Persada, 2013, hlm 72.

129

Ibid.

130

Lihat Jill Frank, Aristotle on Constitutionalism and the Rule of Law, Jurnal

Theoretical inquiries in law, edisi 8, Januari 2007.

131

John David Lewis, Constitution And Fundamental Law: The Lesson Of Classical

Athens, Opcit, hlm 26.

Page 91: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

72

Aristoteles kemudian sangat dipengaruhi oleh Theramenes.132

Berikut pendapat

Aristoteles yang ditulis oleh Jill Frank:133

Aristotle recounts that Theramenes supported Athens as both oligarchy and

democracy. Consistent with his treatment of good citizenship-which he

associates with obedience to the laws of a regime-Aristotle praises

Theramenes for his loyalty to each regime. Theramenes also, however, had

a hand in changing Athens twice from democracy to oligarchy and in

moderating the first oligarchy (the Four Hundred), although he was

executed for his attempts to moderate the second (the Thirty) . Commending

him not only for abiding by the law, Aristotle maintains that he "worked for

the good of any established government so long as it did not transgress the

laws, and in this way showed that he was able to participate in governing

under any kind of political setup, which is what a good citizen should do.

Theramenes selalu berbuat demi kebaikan untuk setiap pemerintahan asalkan

tidak melanggar hukum. Theramenes dengan demikian mencontohkan bahwa

setiap tindakan yang dilakukan apapun itu hingga pada tindakan dalam

penyelenggaraan pemerintahan, harus menjunjung hukum sebagai hal yang utama.

Namun meskipun Aristoteles mengatakan bahwa Theramenes merupakan sebuah

contoh terhadap praktik penyelenggaraan negara yang menjunjung hukum, namun

sebelum hadirnya Theramenes ada Solon dan Clisthenes yang sangat berperan

dalam soal reformasi kelembagaan yang turut pula berpengaruh pada hukum yang

diselenggarakan di Athena. Peranan kedua tokoh ini berangkat dari jasanya

membuat hukum untuk menyelesaikan masalah yang ada di Athena ketika itu.

Solon misalnya berangkat dari krisis pertanahan yang cenderung mengarahkan

pada perbudakan tanah. Solon sebagai anggota archonte dikenal sebagai

legislator Athena, ia membuat undang-undang baru: dengan menghapuskan status

132 Theramenes adalah Politisi Athena dan Jenderal, aktif dalam tahun-tahun terakhir

Perang Peloponnesia (431-404 SM) dan kontroversial dalam hidupnya sendiri dan karena.

Ayahnya, Hagnon, kontemporer dari Pericles, disajikan berulang-ulang sebagai salah satu dari 10

jenderal tahunan Athena, informasi ini dapat dilihat di http://www.

Britannica.com/biography/Theramenes diakses 20 Januari 2016 pukul 09.16 wib.

133

Jill Frank, A Democracy in Distinction… Opcit, hlm 116.

Page 92: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

73

budak.134

Peranan penting yang dilakukan oleh Clisthenes dalam kaitannya

dengan perkembangan demokrasi dan hukum di Athena adalah Clisthenes

melepaskan kaitan antara suku-suku tradisional dan wilayah yang dikuasainya.135

Model yang dianut oleh Clisthenes ini dapat dilihat dalam Dewan perwakilan

Boule yang beranggotakan 500 orang. Namun sumbangan terbesar dari Clisthenes

adalah kesederajatan di muka nomos (hukum).136

Kedua tokoh tersebut inilah

yang menjadi peletak dasar hukum yang demokratis, dan menjamin terhadap

kesetaraan. Namun dengan demikian pandangan tentang negara dan hukum yang

ada di Yunani tidaklah sama dengan pandangan yang ada dalam negara dan

hukum di era moderen ini. Aristoteles sendiri dan filsuf-filsuf yang ada di Yunani

sangat mendambakan peranan dari para tokoh-tokoh pemimpin maupun politik.

Hukum yang berjalan sangat bergantung pada siapa pemimpinnya, sehingga

dengan demikian dapat saja hukum berubah-ubah bergantung pada kehendak

pemimpinnya. Pemikiran akan ketergantungan dan pemimpin ideal yang mampu

menegakkan hukum menurut Jimly dengan melihat pemikiran Aristoteles

disebabkan oleh 3 (tiga) faktor:137

1) Pertama, di zamannya belum ada mekanisme untuk menyatakan suatu

tindak revolusioner sebagai suatu tindakan inkonstitusional

2) Kedua, revolusi besar-besaran yang terjadi tidak hanya mengubah hukum

publik namun mengubah secara besar-besaran, bahkan mengubah secara

keseluruhan kehidupan masyarakat di Yunani. Dalam keadaan demikian

134 Lihat tulisan A Setyo Wibowo, Kepublikan dan Keprivatan di Dalam Polis Yunani

Kuno, dalam buku Ruang Publik Melacak ― Partisipasi Demokrasi‖ dari Polis hingga Cyberspace,

editor: F. Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm 37

135

Ibid, hlm 40.

136

Ibid, hlm 41.

137

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 78-79.

Page 93: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

74

Aristoteles berpandangan bahwa keseluruhan polity dan konstitusi

mengalami kehancuran atau bubar;

3) Ketiga, revolusi demikian selalu ditandai dengan kekerasan, kematian dan

kehancuran

Demokrasi Yunani Kuno dan hubungannya dengan hukum dapat disimpulkan

demikian:

1) Demokrasi sebagai sebuah bentuk penyelenggaraan negara membutuhkan

peran penguasa yang kuat dalam wujud aristokrat, oligarki, ataupun

monarki. Demokrasi yang ada saat itu merupakan wujud peralihan dari

pemerintahan otoriter, sehingga apabila kemudian tiada sosok yang kuat.

Kekuasaan di tangan rakyat tersebut akan menjadi sebuah anarki.

2) Demokrasi disisi lain memerlukan juga hukum sebagai sebuah pembatas

dan koridor, sehingga demokrasi tidak Demokrasi sebagaimana telah

disebut juga merupakan alternatif dari kesalahan penguasa baik yang

disengaja maupun tidak. Penguasa secara praktisnya dapat dikatakan

membuka ruang aspirasi melalui Dewan Ekklesia, dan selanjutnya

dijalankan oleh Dewan Boule;

3) Pada akhirnya ketiga merupakan suatu bentuk mixed government yang

saling menyeimbangkan satu sama lain. Kaum Aristokrat dibela oleh

filsuf-filsuf Athena seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Di sisi lain

demokrasi merupakan sistem yang dijaga oleh kaum demokrat.

4) Hukum yang hadir pada masa Yunani kuno merupakan penjawantahan

terhadap kebiasaan dan selalu diawali oleh kekacauan sipil. Hukum yang

ada di Yunani Kuno dalam pandangan Aristoteles haruslah kemudian

Page 94: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

75

selalu diulang-ulang terus menerus sebagai kebiasaan. Namun akan lebih

baik apa bahwa kebiasaan tersebut tetap dan pasti, bukan sangat mudah

diubah.

5) Hukum Yunani dengan demikian sangat bergantung dari revolusi.

Revolusi dan kepemimpinan sangat menentukan dari pada penegakan

hukum dan konstitusi.

6) Yunani dalam hal ini memang memiliki konstitusi tidak tertulis yakni

politeia. Namun dalam hal ini nilai-nilai kebiasaan yang berada dalam

konstitusi belum dapat dikatakan dapat ditegakkan atau dapat dikatakan

konstitusionalisme sudah ada di Yunani ketika itu.

b. Romawi Kuno

Romawi merupakan salah satu kebudayaan yang turut menyumbangkan

pemikiran tentang negara moderen di Eropa khususnya. Ada legenda juga yang

mengatakan bahwa Roma didirikan oleh kakak beradik Romulus dan Remus anak

dari Dewa perang Mars.138

Namun cerita tersebut tidaklah terdapat bukti yang

cukup kuat. Atas dasar bukti-bukti arkeologi lebih mungkin bahwa Roma

didirikan oleh kaum Etrusca di abad ketujuh SM.139

Roma dibangun dibangun

pada tujuh bukit di samping Sungai Tiber, pada perbatasan Etruria dan awal Roma

diperintah oleh raja.140

Pada masa awal dari pada Romawi kuno ini Raja menjadi

penguasa tunggal dari Romawi. George Mousorakis berpendapat bahwa: The king

(rex) wielded much of the same power over his subjects as that of a Roman head

138 Simon James, Eyewitness Ancient Rome, United State: DK Publishing, 2008 hlm 6.

139

Olga Tellegen Couperus, A Short History of Roman Law, London: Routledge, 2003,

hlm 5.

140

Simon James, Eyewitness Ancient Rome, Opcit, hlm 6.

Page 95: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

76

of family over his household, including the right to inflict capital punishment. He

was also responsible for foreign relations and for war, public order, justice and

the maintenance of Roman state religion.141

Raja dalam kekuasaannya sangat luas

seakan dia bertindak seperti kepala keluarga. Segala urusan negara menjadi urusan

raja. Raja memiliki kekuasaan hingga pada urusan agama. Namun kekuasaan raja

yang sangat absolut berubah ketika Romawi memasuki Era Republik pada tahun

509 SM. Romawi pasca berubah bentuk menjadi Republik, mengubah pula

struktur politiknya, sebelumnya penyelenggara negara terdiri dari raja, senat dan

majelis berubah menjadi senat, magistrature, dan majelis.142

Pada sisi lain setelah

Romawi berubah menjadi Republik pengaruh kebudayaan Helenisme dan

pengaruh filsafat kaum Stoa menjadi ikut mempengaruhi pula pemikiran terhadap

pembangunan hukum dan konstitusionalisme di Romawi Kuno. Kedua hal

tersebut yang kemudian perlu dikaji tersendiri untuk dapat membahas hubungan

antara demokrasi, hukum dan konstitusionalisme di Romawi Kuno.

a. Dari Monarki Menuju Republik

Penyelenggaraan pemerintahan di Romawi Kuno di awal bentuknya yakni

monarki, dalam hal ini meskipun raja menjadi penguasa tunggal bukan berarti dia

tidak memiliki struktur politik yang ikut membantunya. Penyelenggaraan negara

oleh raja tidak dapat dilepaskan dari elemen masyarakat atau golongan-golongan

yang ada disana. Golongan yang ada yakni golongan patrician dan plebian. Kaum

Patrician merupakan golongan bangsawan Romawi yang dalam hal ini turut pula

membantu Raja dalam memerintah. Mereka berperan sebagai penasihat dari Raja

141 George Mousourakis, Roman Law and The Origins of Civil Law Tradition,

Switzerland: Springer, 2015, hlm 5.

142

Olga Tellegen, A Short History of Roman Law, Opcit, hlm 10.

Page 96: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

77

ketika itu, dalam hal ini senat.143

Senat disebutkan sebagai organ penasihat tertua

di Roma (dewan dari tetua).144

Anggota dari dewan ini disebutkan sebagai Patres

(ayah).145

Keistimewaan dari golongan bangsawan ini dapat dilihat dari

perbedaannya dari golongan rakyat biasa yakni Plebian. Olga Tellegen Courperus

dalam bukunya A Short History of Roman Law, menyebutkan perbedaan diantara

keduanya adalah sebagai berikut:146

1) Perbedaan antara patrician dan plebeian jelas terlihat dari posisi ekonomi

dan sosial mereka masing-masing. Mereka dimiliki cukup banyak tanah

dan terus ternak dan budak. Mereka berhak untuk melayani sebagai hakim

dan imam dan karena sistem voting memiliki pengaruh yang menentukan

pada undang-undang.

2) Plebeian di sisi lain terutama pengrajin dan petani kecil; di masa perang

mereka tidak punya budak untuk menjaga bisnis mereka berjalan dan ini

meningkat kesempatan mereka pemiskinan. Selanjutnya, seperti yang

sudah disebutkan, mereka tidak diperbolehkan untuk memegang jabatan

publik dan, sebagai akibat dari sistem voting yang disebutkan di atas,

mereka memiliki sedikit pengaruh pada undang-undang.

Kelebihan yang dimiliki oleh kaum Patrician dapat dikatakan kelebihan secara

politis. Mereka memiliki kesempatan untuk memberikan saran kepada

pemerintah, hingga keterlibatan mereka langsung dan berperan sebagai hakim dan

imam. Hal ini tentu berbeda ketika melihat posisi dari kaum plebian yang hanya

mengikuti sistem yang ada. Mereka sekedar hanya menjalani rutinitas kehidupan

143 Ibid.

144

R.M Ogilvie, Early Rome and Etruscans, Great Britain: Harvester Press, 1976, hlm

55.

145

Ibid.

146

Olga Tellegen Couperus, A Short History of Roman Law, Opcit, hlm 7.

Page 97: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

78

bernegara, tanpa punya kesempatan untuk mengubah nasib mereka. Kesempatan

yang dimiliki kaum patrician melalui pengaruhnya sebagai penasihat bahkan dapat

menimbulkan gejolak dalam pemerintah Monarki Romawi abad ke 5 sebelum

masehi. Tahun 509 SM menjadi tahun dimana raja Tarquinus Superbus

digulingkan oleh kaum bangsawan Romawi, yakni partrician.147

b. Pembangunan Hukum Romawi

Pengaruh kebudayaan Yunani ini dimulai sejak ekspansi dan dominasi

wilayah dimana Yunani tinggal, Italia, Sicilia, dan Asia pada abad ke 3 dan 2

sebelum masehi. 148

Secara tidak sadar maupun sadar mereka (bangsa Romawi)

mulai mengikuti kebudayaan Yunani. Pengaruh kebudayaan ini dapat dilihat

mulai dari pola pendidikannya yang mulai berubah di Romawi. Pendidikan

bangsa Romawi dapat dikatakan awal mulanya merupakan pendidikan dengan

sistem kekeluargaan. Sistem kekeluargaan yang dimaksud adalah seorang anak

Romawi belajar dari kedua orang tua mereka.149

Namun seiring dengan masuknya

budaya Yunani maka pendidikan di Romawi juga ikut berubah. Pendidikan di

Romawi tidak lagi hanya mengandalkan pendidikan dari kedua orangtua saja,

namun pendidikan yang ada Romawi juga dituntut untuk diselenggarakan dalam

bentuk formal yakni di luar lingkungan keluarga. William E Dunstan dalam

bukunya Ancient Rome menyebutkan bahwa pendidikan formal di Romawi dibagi

ke dalam 3 (tiga) tahap:150

147 Ibid. Lihat juga Simon James, Eyewitness Ancient Rome, Opcit, hlm 6.

148

William E Dunstan, Ancient Rome, Maryland: Rowman and Littlefield Publisher,

2011, hlm 113.

149

Ibid. hlm 114.

150

Ibid.

Page 98: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

79

1) Tahap pertama pendidikan diperkenalkan kedua anak laki-laki dan

perempuan, dimulai sekitar usia tujuh tahun, untuk membaca dasar,

menulis, dan hitung. Pendidikan sangat bergantung pada pelatihan hafalan.

Banyak ayah yang tidak menjaga guru privat di rumah terdaftar anak-anak

mereka di sekolah-sekolah yang didirikan oleh dimerdekakan Yunani.

Orang tua berusaha untuk menjaga anak-anak mereka dari pertemuan

buruk dengan mengadopsi kebiasaan Yunani mengirim mereka ke sekolah

dengan budak keluarga dipercaya. Anak laki-laki pergi ke sekolah dan

kembali dengan paedagogus-budak Yunaninya dituduh mengawasi

hidupnya dan perilaku-dan seorang gadis dengan pengasuh nya.

Pendidikan formal untuk anak perempuan biasanya berakhir pada usia dua

belas, meskipun ayah sesekali disediakan tutor khusus untuk anak

perempuan brilian.

2) tahap kedua pendidikan dimulai Anak laki-laki dua belas tahun dari

keluarga kaya yakni, penelitian bahasa dan puisi, di bawah guru di rumah

atau guru di sekolah.

3) Tahap ketiga dari pendidikan berlangsung di sekolah retorika, pertama kali

muncul di Roma pada abad kedua SM, yang memberikan pelatihan

berbicara di depan umum. Kemampuan untuk berbicara bahasa Yunani

dan berdebat dalam gaya Yunani persuasif menandakan seorang intelijen

dan kepentingan. Dengan demikian, pelatihan dalam retorika Yunani

datang untuk dianggap sebagai sangat diperlukan untuk politisi calon

Romawi.

Page 99: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

80

Pada tahapan lebih lanjut anak-anak yang telah menyelesaikan ketiga tahap

tersebut dapat pula melanjutkan pendidikan ke pusat-pusat kebudayaan Yunani,

seperti Athena, Rhodes, dan Naples.151

Mereka disana dapat mempelajari filsafat,

sastra, dan retorika lebih lanjut. Aliran filsafat yang mereka pelajari inilah yang

kemudian akan sangat mempengaruhi pemikiran bangsa Romawi, khususnya

dalam hal pemikiran hukum di abad ke 3 SM tersebut. Namun dalam hal ini

hukum yang ada terlihat lebih politis ketimbang hukum yang dibangun di Yunani.

Hukum yang diciptakan pada zaman Romawi Kuno mulai abad III

sebelum Masehi, berakar dari kehendak penguasa politik. Hukum tidak lagi hanya

sekedar berangkat dari kebiasaan ataupun berangkat dari jiwa rakyat. Penguasa

politik membentuk hukum dengan sengaja, yakni membuat putusan yang memuat

perintah-perintah yang harus dipatuhi oleh semua orang dan perintah-perintah

tersebut dirumuskan secara tertulis dalam suatu dokumen resmi dan diberlakukan

di seluruh wilayah penguasa tersebut.152

Hukum dalam hal ini ditetapkan sebagai

sebuah perintah yang sifatnya memaksa. Rakyat dituntut untuk tunduk dalam

dokumen yang berisikan perintah. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang ada

dalam dokumen resmi tersebut tentu akan berakibat pada sebuah ancaman sanksi.

Apabila melihat pada periode Yunani akan sangat berbeda dengan pemikiran yang

ada pada Romawi. Yunani Kuno belum membayangkan hukum sebagai suatu

yang terpisah dari negara dimana negara harus tunduk dan menyesuaikan diri

dengan aturan yang ditentukan olehnya.153

Perbedaan lainnya yang dapat dilihat

antara pemikiran hukum Yunani dengan Romawi kuno ada pada perwujudan dari

kebiasaan. Kaidah-kaidah yakni karakter hukum yang mengatur hubungan antara

151 Ibid.

152

B Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia… Opcit, hlm 15.

153

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 80.

Page 100: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

81

Romawi, rakyat ataupun bangsa lain berlawanan dengan hakikat keagamaan

dalam kaidah-kaidah kebiasaan yang ditaati oleh negara-negara kota (City States)

Yunani.154

Namun meskipun demikian berbeda tak dapat dipungkiri bahwa

kebudayaan Yunani juga menjadi pengaruh terbentuk pemikiran hukum dan

kenegaraan yang ada di Romawi. Aliran filsafat Stoa yang kemudian

mentransplantasikan pemikiran dari Yunani ke Romawi. Aliran filsafat stoa

menjadi yang paling berpengaruh terhadap pemikiran hukum bangsa Romawi.

Filsuf kaum Stoa tersebut antara lain Seneca, Marcus Aurelius, dan Cicero.

Namun diantara ketiganya yang paling berpengaruh terhadap konstitusionalisme

adalah Cicero.

Cicero berpendapat bahwa negara merupakan perkumpulan orang banyak

yang dipersatukan melalui suatu aturan hukum berdasarkan kepentingan

bersama.155

Dengan ini maka negara sebagai masyarakat moral berubah menjadi

negara sebagai masyarakat hukum.156

Hukum lebih lanjut menurut Cicero

memiliki status yang supreme dan bergantung pada hukum alam.157

Hukum alam

ditempatkan oleh Cicero sebagai rule of reason.158

Hukum menurut Rule of

Reason yang dimaksud oleh Cicero harus baik, menuju pada kebahagiaan dan

memberikan keselamatan bagi warga negaranya.159

Hukum dalam pandangan

Cicero dapat dikatakan berorientasi pada kebutuhan dan pemenuhan keinginan

dari warga negara.

154 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh), terjemahan Bambang

Iriana, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm 9.

155

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Filsafat Hukum dalam

Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982, hlm 33.

156

Ibid.

157

Brian Z Tamanaha, On The Rule of Law… Opcit, hlm 11.

` 158

ibid.

159

Ibid.

Page 101: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

82

c. Demokrasi Pasca Revolusi Perancis

Perancis menjadi titik tolak hadirnya konsep negara moderen yang

berbasis pada konstitusi tertulis. Keberadaan Revolusi Perancis 1789 menjadi

momen yang digunakan untuk merubah tatanan dari negara Perancis yang

sebelumnya sangat mutlak berada di tangan raja, beralih menuju kekuasaan

rakyat. Raja pada waktu sebelum adanya Revolusi 1789 menjadi sumber

kekuasaan tertinggi yang ada di dalam suatu negara. Segala sesuatu yang

diperbuat, dan diperintah raja wajib dipatuhi dan diikuti oleh warga negaranya.

Kondisi demikian kemudian menyimpang kepada kesewenang-wenangan raja

terhadap rakyatnya. Era pemerintahan Louis XVI di Perancis pada abad ke-18

menjadi contoh yang terkenal Louis XIV bersama dengan istrinya Marie D

Antoniette menggunakan kekayaan dan sumber daya negara untuk bersenang-

senang dan foya-foya, ketika kondisi rakyat Perancis sedang mengalami

kemiskinan. Louis ketika itu dengan L’etat cest moi (aku adalah negara). Sumber

kekuasaan di negara Perancis dianggap berasal dari dirinya. Absolutisme inilah

yang memicu hadirnya Revolusi Perancis, yang turut juga nantinya sebagaimana

diungkap sebelumnya akan merubah pemikiran dan tatanan kenegaraan di

Perancis.

Pandangan terhadap kekuasaan absolutisme raja ini tidak terlepas juga dari

pengaruh pemikiran kenegaraan dari Jean Bodin tentang kedaulatan khususnya.

Kedaulatan menurutnya adalah kekuasaan tertinggi para warga negara dan

rakyatnya, tanpa suatu pembatasan dari Undang-undang.160

Hal ini yang kemudian

dijadikan dasar bahwa raja pun tidak terikat oleh undang-undang (hukum positif).

160 JJ. Von Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pt

Pembangunan, 1965, hlm 144.

Page 102: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

83

Model absolutisme Raja Louis XVI akan berujung pada tewasnya Louis XVI di

tiang gantungan. Kematian dari Louis sendiri tidak hanya kemudian dapat secara

mudah dan sederhananya muncul. Ada serangkaian peristiwa yang merubah

tatanan kekuasaan tertinggi di tangan raja beralih menjadi kekuasaan di tangan

rakyat. Permasalahan krusial ketika itu adalah Perancis menuju pada ambang

kehancuran yakni krisis financial. William Doyle dalam bukunya mengenai

Revolusi Perancis, mengungkapkan secara runut kebangkrutan menjadi alasan

pemicu hadirnya revolusi Perancis.

In May 1788, a Maupeoulike attempt was made to remodel them and

reduce their powers. To win public support a wide range of legal and

institutional reforms were simultaneously announced, but they were

ignored in the public uproar that now swept the country. Even a promise

to convoke the Estates General once the reforms had taken effect was

greeted with contempt. And when, at the beginning of August, the

crown’s usual sources of short-term credit refused to lend more, the fate

of Brienne’s ministry was sealed. On 16 August, payments from the

treasury were suspended. It was the bankruptcy which successive

ministries had spent 30 years trying to avoid. Brienne resigned,

recommending the recall of Necker. The first thing the Genevan miracle-

worker did on his triumphant return to office was to proclaim that the

Estates-General would meet in 1789. The convocation of a national

representative assembly meant the end of absolute monarchy. It had

finally succumbed to institutional and cultural paralysis. Its plans for

reform fell with it. Nobody knew what the Estates-General would do, or

even how it would be made up or chosen. There was a complete vacuum

of power. The French Revolution was the process by which this vacuum

was filled.161

Negara yang dijalankan oleh monarki absolutnya Louis XVI dianggap tidak

mampu, sehingga munculnya Revolusi Perancis.162

Monarki Absolut dalam hal ini

161 William Doyle, French Revolution a Very Short Introduction, New York: Oxford

University Press, 2001, hlm 36.

162

Revolusi Perancis sendiri berangkat dari pemikiran pada kaum burg (kelas Menengah),

ketika itu. Mereka berfikir bahwa apabila ingin mendapatkan kemapanan secara ekonomi haruslah

bekerja keras. Hal berbanding terbalik dengan kenyataan ketika itu, para pemimpin menggunakan

kekuasaan begitu mudahnya mendapatkan kemapanan bahkan cenderung menindas rakyatnya.

Pemikiran-pemikiran kaum Burg ini sangat dipengaruhi oleh Pemikiran J.J.Rousseau. lihat Fx.

Adji Samekto, Hukum dalam Lintasan Sejarah, Bandar Lampung: Indepth Publishing, 2013, hlm

36. Lihat juga mengenai bahwa kaum Burg-lah yang mendorong terjadinya Revolusi karena

Page 103: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

84

juga memiliki sisi terlemah yang ada pada dirinya, sisi tersebut adalah

penyelenggaraan negara berada dalam satu tangan sehingga tiada pemisahan serta

proses check and balance tidak ada. Proses ini apabila dipandang lebih luas tidak

hanya berkenaan dengan pembatasan kekuasaan seorang penyelenggaraan.

Namun lebih penting adalah saling melakukan koreksi terhadap kinerja

kelembagaan, yang sangat sulit diwujudkan dalam bentuk monarki absolut.

Penyelenggaraan negara demikian juga berujung pada konsep negara yang harus

berlandaskan pada despotisme (ketakutan). Rakyat menjalankan kehidupannya

diajak untuk takut pada negara, atau dengan kata lain seperti kumpulan hewan

yang dikurung dalam pagar listrik, apabila kemudian mencoba menerobos pagar

yang terjadi adalah listrik menyengat mereka.

Kondisi demikian kemudian menggambarkan bahwa keberadaan

pemerintahan absolut secara tegas tidak mencerminkan demokrasi secara

substansial yakni menyangkut pada pemenuhan hak-hak warga negara. Demokrasi

dalam hal ini memerlukan instrumen hukum yang benar-benar dapat menjamin

keberadaan demokrasi substansial tersebut. Instrumen hukum yang ada tidak

dengan demikian tidak hanya menjamin terselenggaranya negara hukum.

Instrumen hukum yang dimaksud disisi lain juga harus diarahkan pada

keseimbangan antara keinginan rakyat dan penguasa. Pasalnya apabila demokrasi

dibiarkan begitu saja tanpa adanya kerangka dan jalur maka demokrasi akan

berubah menjadi sebuah anarki dan kekacauan. Konsep negara moderen saat ini

membungkus demokrasi dalam wujud negara hukum.

terganggunya kepentingan mereka berdagang. Lihat Soekarno, Pancasila Dasar Filsafat Negara,

Jakarta: Yayasan Empu Tantular, 1960, hlm 121.

Page 104: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

85

Negara Hukum pada awalnya hanya secara formal dipandang untuk

menjauhkan penyelenggaraan negara dari rule by the man yang kecenderungannya

menuju pada pemerintahan tirani. Konsep negara hukum secara moderen mulai

berkembang pasca revolusi Perancis. Ada juga sebuah tarik ulur antara konsep

kedaulatan yang mulanya memusatkan diri pada tokoh raja sebagai pusat

kedaulatan, bergeser pada rakyat sebagai pihak yang juga berdaulat di dalam

negara. Berikut adalah pernyataan yang diungkap oleh Sieyès seorang ahli politik

yang terlibat dalam Revolusi Perancis:163

Yet, revolutionaries also brought significant innovations affecting both the

sovereign and the individual. ―Who is the sovereign?‖ asked Sieyès at the

dawn of the Revolution: sovereignty belonged to ―20 million French

people‖ who, being equal and immune from the stigma of ―privileges‖,

were the nation. The nation was sovereign and the individuals were

citizens: together with their natural civil rights, they enjoyed political

rights and played an active role in the political body.

Seieyes meyakinkan bahwa individu sebagai warga negara memiliki kedudukan

yang sama dengan negara, dan terbebas dari hak-hak istimewa.164

Keduanya

saling berproses dan berhubungan melalui badan-badan politik. revolusi Perancis

lebih jauh dan mendalam tidak hanya dapat dimaknai sebagai sebuah proses

munculnya kedaulatan rakyat saja. Revolusi Perancis menguraikan pula benang

harmonisasi diantara kedaulatan, hukum dan hak-hak

In the whirling ―historical acceleration‖ caused by the Revolution, the

spontaneous harmony that seemed to characterize the relationship between

sovereignty, law, and rights – and the belief that law could act as an

intermediary between citizens and power by implementing the natural rights

of the individual – were overturned and replaced by dramatic alternative

163 Lihat tulisan Pietro Costa, The Rule of Law Historical Introduction, dalam Piero

Costa dan Danilo Zolo, The Rule of Law History, Theory, and Criticism, Dordrecht: Springer,

2007, hlm 79.

164

Pendeta Seiyes meskipun dia berkedudukan dan berstatus sebagai bangsawan dan

ningrat, namun dalam hal pembelaan terhadap rakyat yang disebutnya golongan ketiga menjadi

pilihan utamanya. Golongan ketiga bagi Seiyes adalah bangsa yang sebenarnya karena itulah rapat

golongan harus menjadi rapat kebangsaan, yang sanggup menyatakan kehendak umum rakyat

Perancis. Lihat JJ Von Schmid, Pemkiran tentang Negara dan Hukum dalam Abad ke 19, Jakarta:

Pt Pembangunan, hlm 28.

Page 105: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

86

beliefs: on the one hand, the perception of power’s dangerousness, of the

potential discrepancy between the formal lawfulness and substantial

despotism of legislative provisions (and the ensuing attempt to make the

Declaration of Rights an unassailable safeguard); on the other hand, the

theorization of a ―state of necessity‖ capable of sweeping away formal

lawfulness and individual rights in the name of the fight against darkness, of

freedom against despotism, of virtues against corruption.

Hubungan diantara hukum, kedaulatan dan rakyat diwujudkan dalam kerangka

harmonis bahwa hukum berperan sebagai perantara diantara warga negara dan

kekuatan yang berkuasa. Hal ini dilakukan dengan mengimplementasikan hak

alamiah individu. Hak ini yang kemudian dibakukan dalam wujud deklarasi hak

sebagai hal yang tidak tergoyahkah, dalam hal ini negara bertindak tanpa

mengurangi hak alamiah warga negara tersebut. Konsep dari negara hukum ini

pada awal mulanya pasca Revolusi Perancis hanya secara formal digunakan

sebagai instrumen pemecah kekuasaan dan perlindungan dari absolutisme Raja

ketika itu.

Page 106: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

87

B. Lembaga Perwakilan

Lembaga perwakilan dewasa ini menjadi perlambang tegaknya demokrasi.

Lembaga perwakilan berdiri sebagai partner sekaligus lawan dari pemerintah.

Hubungan diantara keduanya dalam penyelenggaraan negara akan membuktikan

berjalannya demokrasi. Hal ini dapat dilihat dari desain yang diciptakan oleh

Konstitusi hingga pada peraturan hukum lainnya yang mengatur tentang Lembaga

Perwakilan. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa demokrasi tidak dapat

dilepaskan dari hubungan antara tradisi dan institusi.165

Institusi dan Tradisi

saling mempengaruhi satu sama lainnya, tradisi sebagai cara bagaimana

masyarakat melaksanakannya demokrasi, sedangkan institusi sebagai perwujudan

penataan dari demokrasi itu sendiri.166

Desain dari suatu kelembagaan dengan

demikian sangat menentukan mulai dari kewenangan, hingga pada hubungannya

dengan lembaga lain. Namun disini dapat saja desain yang sudah dirancang

sedemikian rupa untuk mendukung praktik demokrasi, dapat begitu saja hancur

ataupun disalahgunakan dalam tataran yang berbeda dengan tujuan yang

dimilikinya. Pada dasarnya hal ini sama dengan yang terjadi pada pembahasan

konstitusionalisme, yakni dimana unsur-unsur formal saja yang dinampakkan ke

permukaan yakni pembatasan kekuasaan, dan negara hukum. Lembaga

perwakilan dengan demikian wajib dibahasa terlebih dahulu pada tataran

konsepnya, sebelum menuju pada desain lembaga perwakilan moderen dengan

kewenangan legislasinya.

165 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Opcit, hlm 296.

166

Ibid.

Page 107: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

88

Lembaga perwakilan dalam istilahnya sering disebutkan sebagai Assembly

yakni berkumpul.167

Pengertian berkumpul tersebut dapat dipahami sebagai suatu

kondisi untuk membahas masalah yang dimiliki rakyat. Lembaga tersebut dapat

dikatakan juga sebagai wadah dimana rakyat mengumpulkan masalahnya, untuk

kemudian dicarikan solusi terbaiknya. Istilah lain yang digunakan terhadap

lembaga perwakilan adalah parlemen atau dewan perwakilan rakyat yang berasal

dari kata parler (berbicara).168

Pada prinsipnya akan menentukan apa yang harus

dilaksanakan, suara mana disalurkan melalui utusan-utusan yang mereka dudukan

di forum perwakilan itu (demos+cratein= rakyat+pemerintah).169

Para utusan

menjadi penyambung keinginan dari rakyat, yang belum dapat dijangkau oleh

pemerintah. Peran lembaga perwakilan juga dalam hal ini tidak hanya kemudian

menyampaikan apa yang dibutuhkan rakyat saja. Lembaga perwakilan juga dalam

konsepsi moderen sering dikaitkan dengan penyebutannya sebagai lembaga

legislatif. Peran lembaga perwakilan di sini yang ditonjolkan adalah sebagai

perumus undang-undang. Rumusan dari undang-undang tersebut yang kemudian

dikatakan dapat mengubah jalannya penyelenggaraan negara. Namun hal ini justru

menyempitkan esensi perwakilan itu sendiri. Padahal lembaga perwakilan

memiliki fungsi lain seperti pengawasan, representasi adapun beberapa sarjana

menambahkan fungsi deliberative dan penyelesaian konflik.170

Bayangkan apabila

fungsi legislasi dikuatkan namun tanpa adanya fungsi lain yang kuat. Produk

167 Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Opcit, hlm 315.

168

Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 65.

169

Ibid.

170

Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 301. Mirriam

Budiarjo mengungkap hanya 2 (dua) fungsi utama dari badan legislatif, yakni membuat kebijakan,

dan mengontrol badan eksekutif. Lihat Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Opcit, hlm

322-323. Ramlan Surbakti mengungkapkan adanya fungsi lain seperti menyetujui atau

mengusulkan seorang atau lebih pejabat negara seperti yang dikehendaki oleh Konstitusi ataupun

undang-undang. Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Opcit, hlm 225.

Page 108: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

89

hukum yang dibuat seakan hanya sebagai secarik kertas semata, tanpa memiliki

kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan penyelenggaraan negara.171

Lembaga

perwakilan pada akhirnya harus mampu memahami bagaimana untuk memenuhi

kehendak rakyat, secara aktif yakni melalui pengawasan tadi dan bukan hanya

membiarkan penyelenggaraan negara berjalan diatas satu pandangan saja.

Pemahaman terhadap kehendak rakyat yang dijamin perwujudannya dalam

negara, tidak dapat dilepaskan dari pandangan JJ Rousseau. Pandangan Rousseau

terhadap kehendak rakyat adalah sebagai berikut:172

1 Kekuasaan tertinggi ada pada rakyat , sebab dalam kontrak sosial

nampaklah kehendak umum (volonte generale) sebagai akar situasi sipil

ini. Dengan demikian rakyat dapat langsung mengambil keputusan dalam

pembentukan peraturan tanpa perantara wakil-wakil;

2 Kekuasaan rakyat yang berdaulat adalah bersifat mutlak, suci, dan kebal;

3 Rousseau menolak konsep pembagian kekuasaan seperti yang

dicontohkan oleh John Locke dan Montesquieu;

4 Bentuk pemerintahan dapat berbeda-beda: monarki, aristokrasi, demokrasi.

Semangat yang dibangun dalam penyelenggaraan negara haruslah

respublica (kepentingan umum, republik), jika tidak diikuti maka

pemerintah harus digeser.

Konsep yang dibangun oleh Rousseau nampak bahwa dia mencita-citakan konsep

partisipasi rakyat langsung. Rakyat untuk dapat mewujudkan kepentingannya

171 Fungsi legislasi dalam perkembangannya di Abad ke-21, bahkan tidak lebih penting

dari fungsi pengawasan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar

Demokrasi, Opcit, hlm 5.

172

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Filsafat Hukum dalam

Lintasan Sejarah, Opcit, hlm 90-91.

Page 109: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

90

harus mampu berdiri sendiri, sebagai seorang individu. Kepentingan individu

inilah yang kemudian bersatu menjadi kepentingan kolektif yang dikenal sebagai

kehendak umum. Kehendak umum ini selanjutnya dapat diaplikasikan dalam

tataran praktikal karena pada dasarnya untuk mengadakan suatu konsep demokrasi

langsung tidaklah mungkin. Konsep demokrasi langsung ini hanya dimungkinkan

pada konsep demokrasi kuno Athena. Theo Huijbers mengungkapkan bahwa pada

akhirnya pandangan Rousseau dapat diwujudkan apabila dilakukan melalui wakil

rakyat yang turut serta mengambil keputusan dalam penyelenggaraan negara.173

Konsep perwakilan pada dasarnya kemudian menimbulkan pertanyaan mendasar,

apakah mungkin seluruh kepentingan yang ada dapat diwakili karena dalam suatu

forum terbuka tidaklah mungkin kemudian dapat langsung muncul suatu konsep

yang sama, dan selanjutnya mengantarkan pada suatu konsep mayoritas suara.

Konsep penjawantahan kekuasaan tertinggi pada rakyat tidak akan pernah

lepas dari problema mayoritas dan kepentingan kelompok pada akhirnya, namun

tidak dapat dipungkiri pula bahwa konsep tersebut sangatlah memungkinkan

untuk memanifestasikan keinginan rakyat meskipun diwarnai kepentingan

mayoritas dan kelompok. Namun hal tersebut tidak bisa dipungkiri karena

kehendak rakyat dewasa ini untuk dapat sampai pada wujud lembaga perwakilan,

harus dipatri dan dibentuk dari partai politik. Partai politik itu sendiri dapat

dikatakan tidak akan pernah terlepas dari kepentingannya sendiri, sehingga dapat

saja kepentingan rakyat tertutup oleh kepentingan partai politik. Namun dalam

173 Ibid, hlm 92. Teori kontrak sosial sebagai sebuah instrumen untuk mewujudkan

kehendak umum, belum mampu menjabarkan secara detail bagaimana kontrak yang dibuat oleh

rakyat dan pemerintah tanpa melalui sebuah partisipasi langsung yang menjadi kekurangan

terbesar daripada konsep yang dibangun oleh Rousseau. Soetandyo misalnya untuk mampu

mewujudkan kesepakatan antara rakyat dan pemerintah mengungkap bahwa: kontrak sosial adalah

suatu proses perjanjian dan kesepakatan yang melahirkan apa yang disebut konstitusi. Lihat

Soetandyo Wignjosoebroto, Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum,

Opcit, hlm 71.

Page 110: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

91

hal ini tidak akan dibahas lebih lanjut mengenai bagaimana kehendak rakyat

tersebut sangat dipengaruhi oleh unsur politik, pembahasan akan lebih difokuskan

pada desain kelembagaan dari lembaga perwakilan itu sendiri. Desain lembaga

perwakilan ini tidak akan dapat dilepaskan dari pola yang dimiliki oleh

demokrasi. Demokrasi dalam praktiknya akan berpengaruh terhadap

penyelenggaraa dari lembaga perwakilan. Namun demokrasi itu sendiri berangkat

dari proses pengolahan yang dilakukan oleh kebudayaan dan paham tertentu. Bisa

saja kebudayaan dan paham yang ada di suatu bangsa/negara menganggap

pemikiran demokrasinya adalah yang terbaik, sedangkan di bangsa/negara lagi

bisa saja itu berbeda. Hal ini yang akan membedakan desain maupun bagaimana

lembaga perwakilan tersebut menjalankan fungsi-fungsinya.

1. Praktik Lembaga Perwakilan Zaman Klasik Barat

Zaman Klasik Yunani akan menjadi awal pembahasan praktik demokrasi.

Yunani dikenal sebagai awal mula peradaban moderen, pemikiran tentang politik

dan pemerintahan masih sering dirujuk dalam teori-teori kenegaraan kontemporer.

Pembahasan terhadapnya akan mengungkap praktik demokrasi yang berlangsung

dengan berbagai instrumen maupun lembaga pelaksananya. Demokrasi Yunani

dikenal sebagai demokrasi partisipatoris dimana seluruh warga dapat

berpartisipasi dalam meyampaikan hak-haknya. Benih operasional demokrasi

yang ada di Yunani mulai muncul sekitar tahun 594 sebelum masehi, atas dasar

pemikiran Solon seorang negarawan Yunani.174

Pemikiran demokratis Solon

dapat dilihat melalui sebuah sidang umum antara lain Aeropagus, Boule, dan

174 J.H Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Machiavelli, Jakarta:

Rajawali Press, 2001, hlm 25

Page 111: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

92

Ekklesia.175

Dewan Aeropogus dikenal sebagai sidang yang paling disegani dan

dihormati. Dewan ini mulai berkurang kekuasaannya sejak pemerintahan Pericles.

Sidang Ekklesia menjadi lembaga politik tertinggi di Yunani, dan wajib dihadiri

oleh seluruh anggota yang terdiri dari warga negara Athena yang berusia dua

puluh tahun keatas.176

Kebebasan warga negara untuk mengungkap apa yang

menjadi kebutuhannya merupakan nafas utama yang ada dalam Ekklesia.177

Ada formasi demokrasi yang diciptakan oleh Negara Kota Yunani melalui

dewan-dewan yang saling berhubungan, dengan komposisi dan fungsinya masing-

masing. Namun dalam kenyataannya penyelenggaraan Negara Kota Yunani tidak

hanya berdiri diatas pilar demokrasi saja. Demokrasi dalam benak Aristoteles

berdiri berdampingan dengan aristokrasi dan monarki. Kekuasaan dalam wujud

ketiganya menghasilkan Bentuk pemerintahan Yunani berupa pemerintahan

campuran (mixed government).178

Bentuk pemerintahan campuran ini bagi filsuf-

filsuf Yunani sebagai upaya evaluasi dari kualitas institusi pemerintahan yang

ada.179

Pemerintahan campuran yang ada ternyata tidaklah seimbang

kekuatannya. Demokrasi dalam praktik kenegaraan Yunani ketika itu tetap ada

dalam ranah mayoritas, mengingat juga rakyat jelas lebih banyak dibandingkan

175 Ibid, hlm 26.

176

Ibid hlm 27.

177

Demokrasi dalam wujud sidang Ekklesia juga dapat dikataka sebagai wujud demokrasi

langsung. Pemerintahan rakyat dapat dilaksanakan di dalam arti kata yang sebenarnya, artinya

seluruh rakyat dapat diikutsertakan dalam memecahkan persoalan-persoalan negara yang penting

yaitu dengan jalan mengumpulkan rakyat negara didalam suatu tempat. Disebutkan oleh Joeniarto

menggunakan sistem demokrasi Yunani ini tidaklah sulit karena 2 (dua) hal besar:: 1) jumlah

rakyat disana ketika itu itu tidak banyak dan tidak semua orang dalam Polis itu digolongkan

sebagai rakyat negara; 2) persoalan di dalam negara tidak begitu sulit dan kompleks. Lihat

Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm 22-23.

178

Efriza, Studi Parlemen: Sejarah, Konsep, dan Lanskop Politik Indonesia, Malang:

Setara Press, 2014, hlm 4.

179

George Tsebelis dan Jeannette Money, Bicameralism, Opcit, hlm 17.

Page 112: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

93

kaum aristokrat dan bangsawan. Demokrasi dapat dikatakan juga bentuk peralihan

dari kekecewaan terhadap bentuk negara.180

Demokrasi secara praktis hingga saat

ini dipahami sebagai suara terbanyak. Kehendak mayoritas merupakan kebenaran,

dan kehendak minoritas belum tentu benar, atau bahkan dianggap salah ketika

berhadapan dengan suara mayoritas. Demokrasi bagi Yunani (abad ke 5 sebelum

masehi) selain itu, juga merupakan pencapaian besar sebagai pemerintahan yang

langsung dijalankan oleh rakyatnya. Konsep pemerintahan yang dekat dan

menyatu dengan rakyat ini tidak terlepas dari konsep kenegaraan yang dibangun

Yunani ketika itu. Aristoteles sebagai patron pemikir konsep negara polis

berpendapat bahwa negara terjadi karena penggabungan keluarga-keluarga

menjadi satu kelompok yang besar. Kelompok yang besar tersebut bergabung lagi

menjadi Desa hingga seterusnya menjadi Kota atau Polis.181

Pemikiran yang

demikian menjadi rakyatlah yang membangun negara, berdasarkan hal tersebut

kemudian maka rakyat juga bertanggungjawab dan berpengaruh besar terhadap

penyelenggaraan negara.

180 Plato sebagai filsuf yang sohor dan pemikirannnya masih dipakai hingga sekarang

sebagai bahan kajian filsafat idealisme, mengungkap ada 5 bentuk besar negara, aristokrasi,

timokrasi, oligarki, demokrasi, dan tirani. Kelima bentuk negara ini saling menyempurnakan dan

menggantikan satu sama lain. Aristokrasi merupakan bentuk negara paling ideal yang dipikirkan

oleh Plato. Konsep kenegaraan Plato pada akhirnya membentuk mengenai dua kutub pandangan

demokrasi. Demokrasi bagi negara dengan undang-undang adalah bentuk negara yang terburuk,

sedangkan bagi negara yang tidak memiliki undang-undangan adalah bentuk negara yang terbaik.

Lihat J.H Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Machiavelli, Opcit, hlm 66-67.

Plato menerjemahkan negara terbaik adalah negara dengan bentuk aristokrasi. Lain halnya dengan

negara dalam pandangan Aristoteles. Aristoteles memandang bahwa negara yang paling baik

adalah Republik konstitusional. Alasan yang digunakan Aristoteles ketika itu bahwa pemerintahan

dengan bentuk Republik Konstitusional, maka berkurang pula benih-benih perkosaan diri atau

revolusi. Lihat Juniarso Ridwan, dan Achmad Sodik, Tokoh-Tokoh Ahli Pikir Negara dan Hukum

dari Zaman Kuno sampai Abad ke-20, Bandung: Nuansa: Bandung, 2010, hlm 43. Lihat juga

Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum, Pt Citra Aditya Bakti: Bandung, 2013, hlm 257. Satjipto Raharjo

menyebutkan bahwa Plato guru dari Aristoteles juga berpendapat mengenai Republik,

dikatakannya bahwa Republik adalah suatu negara yang dipimpin oleh orang-orang yang cerdik

cendekiawan. Pengertian yang dibangun mengenai republik masih sangat kental terasa bahwa

disana dimaksudkan pada konsep negara aristokrasi.

181

Max Boli Sabon, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: Pt Gramedia

Pustaka Utama, hlm 40-41.

Page 113: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

94

Polis selain tempat berkehidupan dan beraktivitas yang paling besar bagi

masyarakat Yunani Kuno, Polis juga berkembang sebagai komunitas politik

melingkupi seluruh warga Yunani. Setiap warga negara laki-laki lebih dari tiga

puluh tahun, kelas atau kekayaan apapun, itu memenuhi syarat untuk melayani

(untuk membayar) dari juri yang memutuskan kasus hukum; mereka juga

menjabat sebagai hakim, pada mengatur Council (dengan bergantian

pemimpinnya), dan majelis legislatif, dengan posisi diisi oleh banyak warga.182

Setiap laki-laki yang mewakili keluarganya memberikan sebuah pandangan dan

pemahaman mengenai hukum yang akan dibentuk di lingkungan mereka. Warga

negara menjadi pengatur dari kehidupan mereka sendiri. Majelis dalam praktiknya

disisi lain ternyata belum cukup untuk memuaskan hasrat partisipasi dan

keterlibatan rakyat. Keinginan untuk merealisasikan kepentingan dan suara rakyat

tersebut pada akhirnya terjebak dalam elit tertentu yang dalam hal ini dapat dilihat

dari konsil (counsel) dan rhetores atau public speaker atau politisi.183

Demokrasi

Yunani dalam penelitian Danniela Louise Cammack bukan pada musyawarahnya

karena term yang digunakan adalah symbouleuo yang berarti adalah menyarankan

bukan bermusyawarah.184

. Namun bukan berarti bahwa symbouleuo tidak dapat

digunakan untuk mendeskripisikan situasi dimana 2 (dua) orang atau lebih untuk

membahas suatu hal dan memberikan penjelasan akan situasi tertentu.185

Konsepsi

yang dibangun ketika itu dapat dikatakan pula hanya menekankan pada adanya

partisipasi langsung. Demokrasi yang dimaksud belum mengkhawatirkan tentang

182 Brian Z Tamanaha, On the Rule of Law, Cambridge: Cambridge University Press,

2004, hlm 7.

183

Lihat disertasi Danniela Louise Cammack, rethinking of Athenian Democracy, pada

bagian pemerintahan jurusan ilmu politik, Cambridge: Harvard University, 2013, hlm 99.

184

Ibid, hlm 104.

185

Ibid.

Page 114: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

95

apakah seluruh kepentingan rakyat dapat diakomodir melalui lembaga demokrasi,

dan proses tersebut apakah sudah menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap

orang. Pada masa ini yang terpenting adalah adanya ruang demokrasi bagi rakyat.

2. Praktik Lembaga Perwakilan Kontemporer Barat

Demokrasi yang diterapkan akan mempengaruhi praktik penyelenggaraan

negara tersebut. Demokrasi dalam hal ini menyusun lembaga negara yang ada

dalam pola tertentu. Hal ini turut dipengaruhi oleh pola demokrasi itu sendiri.

Arend Lipjhart berkenaan dengan demokrasi mengatakan ada suatu pola tertentu

yang dimiliki oleh demokrasi. Arend membaginya secara umum dalam

Westminster dan Consensus democracy. Pola yang jelas serta regulasi tentang

institusi demokrasi seperti institusi pemerintah, legislatif, pengadilan hingga pada

interest group hanya dapat terlihat jelas apabila memeriksanya dari aturan dan

praktik yang ada.186

Arend mengarahkan pada pemikiran bahwa untuk

mengungkap berjalannya praktik institusi demokrasi tidak boleh melepaskan

desain dari praktik yang dijalankannya. Pemikiran dari Arend Lipjhart membagi

tipe demokrasi dalam 2 (dua) bentuk paling umum yakni model Westminster/

Majoritarian dan model Consensus. Westminster diambil dari contoh yang

dimiliki oleh Inggris, sedangkan Consensus diambil dari contoh Swistzerland, dan

Belgia. Berikut adalah perbedaan 2 (dua) model demokrasi tersebut. Lima

perbedaan pertama adalah dalam dimensi eksekutif-partai187

186 Arend Lipjhart, Patern of Democracy Government Form and Performance in Thirty

Six Country, United State: Yale University Press, 2012, hlm 1.

187

Ibid, hlm 3.

Page 115: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

96

Tabel 2. Tabel perbedaan demokrasi majoritarian dan konsensus berdasarkan

dimensi eksekutif-partai.

Sumber: Arend Lipjhart, Pattern of Democracy.188

Kelima perbedaan tersebut diatas hanya memfokuskan pada dimensi eksekutif-

partai. Dalam hal ini ada perbedaan lain dilihat dari dimensi yang berbeda.

Perbedaan lain dilihat dari dimensi federal-kesatuan 189

Berikut dapat dilihat di

bawah ini.

188 Ibid.

189

Ibid, hlm 3-4.

NO Majoritarian Consensus

1 Konsentrasi kekuasaan eksekutif dalam

kabinet mayoritas partai tunggal

pembagian kekuasaan eksekutif

dalam koalisi multipartai yang

luas.

2 Hubungan Eksekutif-legislatif di mana

eksekutif adalah dominan

Hubungan Eksekutif-legislatif di

mana eksekutif dan legislatif

adalah seimbang

3 Dua partai sistem multipartai

4 sistem pemilu mayoritas dan

proporsional

proporsional representasi.

5 sistem kelompok kepentingan Pluralis

dengan bebas-untuk-semua kompetisi

antara kelompok-kelompok

sistem kelompok kepentingan

"korporatis" dan terkoordinasi

yang bertujuan untuk kompromi

dan konsentrasi

Page 116: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

97

Tabel 3. Tabel perbedaan demokrasi majoritarian dan konsensus berdasarkan

dimensi federal-kesatuan.

NO Majoritarian Consensus

1 Pemerintah Kesatuan dan sentralisasi Pemerintahan desentralisasi dan

federal

2 Konsentrasi kekuasaan legislatif di

kamar tunggal

pembagian kekuasaan legislatif

antara dua sama kuat namun

berbeda rumah (house).

3 konstitusi Fleksibel yang dapat diubah

dengan mayoritas sederhana

konstitusi kaku yang dapat

diubah dengan mayoritas luar

biasa

4 Sistem di mana legislatif memiliki kata

final pada konstitusionalitas undang-

undang mereka sendiri

sistem di mana hukum tunduk

pada konstitusionalitas judicial

review oleh pengadilan tertinggi

atau konstitusi.190

5 Bank sentral yang bergantung pada

eksekutif

Bank Sentral yang independen

Sumber: Arend Lipjhart, Pattern of Democracy.191

Pemikiran yang dibangun oleh Arend Lipjhart dapat dipahami bahwa dilakukan

dengan pendekatan institusional. Dalam hal ini Arend memfokuskan pada desain

kelembagaan dalam bentuk yang berbeda akan mempengaruhi penyelenggaraan

190 Kekuatan parlemen Inggris tentu akan lebih kuat, dengan tiadanya kekuasaan judicial

pada pengadilan. Bahkan ada perdebatan mengenai judicial review sebagai sebuah alat

delegitimasi terhadap demokrasi. Alexander Bickel berpendapat bahwa judicial review merupakan

proses undemocratic. Lihat Alexander Bickel dalam International Journal of Constitutional law,

volume 10 number 4 Oktober 2012, Oxford University Press. Page 1028 Pendapat Bickel ini

sesungguhnya sudah banyak dibahas. Lihat juga Terri Perretti dalam Kenneth D.Ward et all, The

Judiciary and American Democracy: Alexander Bickel The Countermajoritarian Dificullty and

Constitusional Theory,hlm 132, yang mengemukakan bahwa: Overall, the research refutes

Bickel’s characterization of the Court as a countermajoritarian institution. While the Court does

indeed often rule against majority opinion (about one-third of the time, according to Marshall), it

more often sides with majority opinion.

191

Ibid.

Page 117: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

98

dari lembaga tersebut. Pada sisi lain dapat dipahami juga bahwa Arend

memisahkan masalah politik yang terjadi dengan desainnya. Hasil dan proses

penyelenggaraan lembaga yang ada itu bergantung pada desainya bukan pada

politik yang mempengaruhi praktik penyelenggaraan. Berkenaan dengan tabel-

tabel diatas yang kemudian akan ditegaskan kepada desain lembaga perwakilan

yang akan terbentuk. Sebagai contoh misalnya pada bidang konsentrasi kekuasaan

legislasi yang disusun atas satu kamar ataupun dua kamar dimaksudkan pada

tujuan yang berbeda. Susunan dua kamar mencerminkan adanya komposisi

kekuatan di dalam suatu negara, yang tidak hanya dapat diakomodir oleh satu

kamar saja. Hal ini sebagai contoh misalnya di negara Inggris yang memiliki dua

kamar, merupakan cerminan dari dua kekuataan yang berbeda. Upper House yang

diwakili oleh House of Lord merupakan kamar yang berfungsi untuk mewakili

kepentingan kaum bangsawan, yang dalam hal ini dipisahkan dari kepentingan

rakyat biasa. Pada Lower House merupakan kamar yang mewakili kepentingan

dan kehendak rakyat yang memilih mereka secara langsung. Hal ini kemudian

berimplikasi terhadap suatu produk hukum maupun kebijakan yang dikeluarkan

oleh Lembaga Perwakilan.

Page 118: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

99

3. Lembaga Perwakilan dari Perspektif Islam

Pemikiran Islam seringkali tidak dipakai dalam hal mencari pandangan

tentang penyelenggaraan negara. Hal ini dikarenakan pandangan terhadap Islam

yang seakan lebih tertinggal dari kebudayaan barat. Kondisi ini diperparah dengan

berbagai peristiwa yang muncul berkenaan dengan Islam adalah agama teroris dan

melahirkan berbagai pemikiran radikal yang merusak tatanan dunia. Realitas

tersebut semakin mempertebal tabir sejarah bahwa pemikiran Islam tidaklah perlu

digunakan. Padahal Islam-lah yang menjadi inisiator dari apa yang dimiliki oleh

pemikir barat saat ini. Pada saat pemikir barat belum memulai untuk berfikir

secara internasional dan kosmopolit, Islam sudah memulainya.192

Islam pada masa

klasik tidak ragu untuk mentranslasikan karya-karya ilmu pengetahuan dari

bangsa lain, selama karya tersebut berguna dan tidak bertentangan dengan ajaran

Tuhan.193

Namun pada akhirnya lagi-lagi diyakini bahwa kebangkitan peradaban

dunia adalah berasal dari barat melalui masa pencerahan (renaissance). Kondisi

lain yang membuat tertinggalnya pemikiran Islam dalam pemikiran kenegaraan

adalah aliran di dalam Islam itu sendiri.

Islam seringkali distigmakan sebagai agama yang terpisah dari hal-hal

kenegaraan. Menurut aliran pemikiran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang

rasul biasa yang mengajak pada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi nilai

budi pekerti, dan Nabi tidak pernah mengajarkan mendirikan atau mengepalai

suatu negara.194

Pandangan ini yang kemudian membelenggu perkembangan dari

pemikiran kenegaraan dari perspektif Islam. Islam pada akhirnya diarahkan

192 Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban , Jakarta: Yayasan Wakaf

Paramadina, 2001, hlm 135.

193

Ibid, hlm 134.

194

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta:

Universitas Indonesia Press, 2011, hlm

Page 119: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

100

sebagai agama yang hanya memiliki kepentingan akhirat saja, kepentingan

duniawi menjadi hal yang tabu untuk dipikirkan. Hal ini kemudian membuat

pemikiran Islam menjadi terhambat dan berkembang sebagai agama ritual saja

bukan sebagai agama umat manusia, yang mengandung nilai-nilai sosial,

ekonomi, dan politik. Dalam pemikiran aliran yang lain, Islam adalah agama yang

serba lengkap, dan memiliki sistem politik sebagaimana telah dilaksanakan oleh

Nabi Besar Muhammad dan empat Khulafa al-Rasyidin.195

Pada era kepemimpinan Nabi Muhammad SAW merupakan era dengan

tingkat kewibawaan dan solidaritas yang sangat tinggi. Rakyat tidak

mempertanyakan peranan yang sangat besar dari seorang Nabi Muhammad,

karena mereka yakin terhadap status Muhammad sebagai pembawa agama Allah.

Nabi Muhammad dalam menjalankan tugasnya sebagai messenger tidak hanya

terpatri dalam satu tugas yakni menyampaikan wahyu Allah. Imam Ahmad bin

Idris Al-Qurafi menjelaskan pemisahan fungsional sikap dan kebijakan Rasulullah

dengan mengatakan bahwa: Rasulullah merupakan pemimpin yang agung, hakim

yang bijak, dan mufti yang berpengetahuan mendalam.196

Rasulullah memegang

kekuasaan tertinggi dalam kehidupan masyarakat ketika itu. Semua tindakan dari

Rasulullah merupakan cerminan dari ketiga fungsi kekuasaan. Rasulullah sebagai

Eksekutif ketika beliau memimpin semisal dalam peperangan. Rasulullah sebagai

legislatif ketika dia menyampaikan firman dari Allah, dan yudikatif ketika sedang

berperan sebagai hakim yang memutus persoalan umat. Peranan Nabi Muhammad

disisi lain juga tidak hanya sebagai pemimpin dari umat Islam saja.

195 Ibid.

196

Ali Muhammad Ash-Shallabi, Parlemen di Negara Islam Moderen, Hukum,

Demokrasi, Pemilu dan Golput, terjemahan Masturi Irham dan Malik Supar, Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar, 2016, hlm 35.

Page 120: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

101

Kepemimpinan dari Nabi Muhammad bahkan dikatakan dapat menyatukan

masyarakat yang berbeda melalui piagam Madinah yakni, antara Islam, Yahudi

dan berbagai kaum lainnya. Nabi Muhammad dalam hal ini dikatakan memiliki

inovasi secara politik melalui toleransi terhadap agama.197

Nabi Muhammad

sampai akhir hayatnya menjadi pemimpin tunggal secara keagamaan maupun

secara pemerintahan. Kepemimpinan dari Nabi Muhammad selanjutnya

digantikan oleh Al-Khulafa Al-Rasyidin. Pergantian kepemimpinan ini secara

historis juga merupakan pertanda pembagian dari aliran pemikiran politik Islam.

Svetla Ben-Itzhak menyebutkan bahwa terpecahnya aliran Islam ke dalam 3 (tiga)

bagian yakni Sunni, Syiah, dan Khawarij turut membagi pula aliran politik

mereka.198

Dalam hal ini akan dibahas 2 (dua) aliran saja yakni, pemikiran politik

Sunni, dan Syiah yang dalam hal ini menjadi representasi terbesar dalam

pemikiran Islam.

a. Pemikiran Politik Sunni

Pasca wafatnya Nabi Muhammad umat Islam mencari bagaimana

pemilihan pemimpin yang tepat bagi mereka. Nabi Muhammad tidak pernah

melakukan penunjukan terhadap siapa pemimpin selanjutnya, ataupun melalui

lembaga mana pemimpin tersebut ditunjuk. Hal ini kemudian menjadi

kebingungan sekaligus awal perpecahan besar dari umat Islam. Musyawarah

197 George Walter Prothero, Sejarah Islam Klasik Perkembangan dari Zaman Turki

Hingga Afrika, terjemahan Sutrisno, Yogyakarta: Indopublika.

198

Svetla Ben-Itzhak, Pemikiran Politik Islam, dalam John T. Ishiyama dan Marijke

Breuning, Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 Sebuah Refrensi Panduan Tematis, Opcit,

hlm 920.

Page 121: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

102

dalam hal ini merupakan jalan terbaik bagi kaum Muslimin. Hal ini mengacu

pada surah Al Syura ayat 38 yang menyatakan bahwa:199

―Dan (bagi) orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan

mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah

antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan

kepada mereka‖.

Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa segala sesuatu urusan dunia

diputuskan dengan proses musyawarah, termasuk juga soal kepemimpinan.200

Semua Khulafa Al-Rasyidin kemudian dipilih dengan model dewan (ahlu al-aqdi

wa al-hal). Hal ini merupakan wujud pemikiran politik Sunni yang menekankan

peran dari ahlu al-aqdi wa al-hal.201

Dewan ini beranggotakan dari para sahabat

Nabi yang berkompeten dan dianggap senior. Penyebutan akan dewan ini memang

tidak pernah dilakukan oleh kaum Muslimin ketika zaman itu. Namun dalam hal

ini merujuk pada pendapat seorang Imam zaman Bani Abbasiyah yakni Imam

Mawardi. Dalam hal ini kemudian menurut Imam Al-Mawardi berkembang 4

(empat) aliran ulama berkenaan dengan jumlah anggota ahlu al-aqdi wa al-hal

yang diperlukan untuk mengangkat seorang imam:202

199 Al-Quran Surah Al Syura ayat 38.

200

Pemilihan dari Al-Khulafa Al-Rasyidin yang dimulai dari Abu Bakar hingga pada Ali

bin Abi Thalib, tidak hanya menjadi pergantian kepemimpinan biasa. Pemilihan ini juga

merupakan suatu sejarah baru yang tidak hanya bagi Bangsa Arab, namun sejarah umat manusia

mengenai pemilihan yang tidak ditempuh melalui jalur keturunan atau darah. Pemilihan pemimpin

setelah Nabi tidak berdasarkan kepada keturunan, namun berdasarkan pada musyawarah. Belum

pernah ada suatu preseden dalam sejarah umat manusia, kepemimpinan suatu negara berdasarkan

pemilihan yang dilakukan sepeninggalan Nabi Muhammad SAW. Lihat Jimly Asshiddiqie,

Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 88.

201

Svetla Ben-Itzhak, Pemikiran Politik Islam, Opcit, hlm 920.

202

Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam AS-Sultaniyyah Hukum-Hukum Penyelenggaraan

Negara dalam Syariat Islam,terjemahan Fadli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2006, hlm 5.

Page 122: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

103

a) Anggota penuh

Sekelompok ulama berpendapat bahwa pemilihan imam (khalifah) tidak

sah kecuali dihadiri oleh seluruh anggota ahlu al-aqdi wa al-hal, agar

imam yang terpilih nanti benar-benar diterima seluruh lapisan dan mereka

semua tunduk kepada semua lapisan;

b) ahlu al-aqdi wa al-hal minimal beranggotakan 5 (lima) orang

ahlu al-aqdi wa al-hal dalam hal memilih seorang imam memerlukan

minimal 5 (lima) orang supaya pemimpin yang terpilih benar-benar sah.

Salah seorang dari mereka kemudian diangkat menjadi imam dengan restu

4 (empat) orang anggota lainnya;

c) ahlu al-aqdi wa al-hal dianggap sah ketika terdiri atas 3 (tiga) orang

para ulama di Kuffah berpendapat, bahwa salah satu dari ketiganya

ditunjuk sebagai imam dengan persetujuan 2 (dua) orang anggota lainnya.

Jadi salah seorang diantara mereka menjadi imam 2 (dua) orang lainnya

menjadi saksi;

d) ahlu al-aqdi wa al-hal hanya dengan 1 (satu) anggota

Anggota yang diperlukan untuk memilih seorang imam hanya 1 (satu)

orang saja. Hal ini terjadi ketika pemilihan khalifah Ali bin Abi Thalib

oleh Abbas bin Abdul Muthalib.

Jumlah yang dimaksud dari anggota dewan ini adalah jumlah orang yang

melakukan pembaitan pertama, dan dalam hal ini menentukan keabsahan dari

pemimpin yang baru. Model pemilihan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada

awal pergantian kepemimpinan sepeninggalan Nabi Muhammad dengan demikian

dapat dikatakan tidak terbatas pada konsepsi formal belaka. Semua didasarkan

Page 123: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

104

pada musyawarah yang fokus pada tujuan. Ali Muhammad Ash Shallabi

menyebutkan ada (tiga) karakter utama yang dapat diambil dalam hal

Permusyawaratan yang ada pada zaman Khulafa Al Rasyidin:203

a) Musyawarah diselenggarakan atas dasar tujuan bukan bentuknya.

Jumlah yang hadir dalam musyawarah dalam hal ini tidak menjadi

persoalan. Jika peserta musyawarah telah diperhitungkan memiliki

kompetensi, maka musyawarah segera dapat dimulai;

b) Musyawarah diselenggarakan dengan nuansa kebebasan, keamanan, dan

keberanian.

Proses musyawarah tidak didasarkan pada keberpihakan kaum atau calon

manapun. Tidak ada suatu pihak yang menipu siapapun atau takut akan

siapapun, dan tiada yang menggantungkan kepada orang lain.

c) Musyawarah tidak membutuhkan aturan-aturan yang berbelit-belit dan

rumit.

Aturan yang berbelit-belit dan rumit akan menjadi beban, dan semakin

menghambat dari pada proses musyawarah.

Karakter yang dimiliki dalam hal musyawarah ketika itu dapat dikatakan pula

sebagai musyawarah yang berbasis pada kebutuhan. Apa yang dibutuhkan oleh

kaum Muslimin dibahas dalam musyawarah. Dalam hal pemimpin tidak ada

kriteria yang sangat rumit seperti jumlah pendukung dalam wujud Bani yang

diperlukan untuk mencalonkan diri sebagai seorang khalifah, ataupun pemilihan

langsung yang dapat dilakukan oleh seluruh warga Madinah. Semua hal tersebut

203 Ali Muhammad Ash Shallabi, Parlemen di Negara Islam Moderen… Opcit, hlm 90-

91.

Page 124: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

105

tidak diperlukan, yang diperlukan adalah pemimpinnya bukan pada

mekanismenya, dan semua mekanisme yang ada diserahkan pada sahabat Nabi.

Masa Khulafa Al-Rasyidin menjadi masa dimana praktik dari ahlu al-aqdi

wa al-hal secara nyatanya dapat berlangsung. Kewibawaan dari para sahabat

membentuk suatu ikatan sosial politis yang sangat kuat, sehingga mekanisme

pemilihan yang ditetapkan oleh masing-masing Khalifah dapat diterima. Tiap

Khalifah dipilih oleh mekanisme dewan dan musyawarah yang berbeda. Namun

suatu hal yang pasti tidak pernah ada pemilihan dengan keanggotaan penuh dari

Dewan sebagaimana dimaksud oleh Imam Mawardi. Kondisi ini terjadi karena

diperlukan gerakan cepat untuk segera memilih siapa pemimpin sepeninggal dari

Nabi Muhammad

Abu Bakar menjadi Khalifah pertama yang terpilih. Pada saat pasca Nabi

Muhammad wafat, kaum ansar berkumpul untuk mengadakan musyawarah untuk

memilih pemimpin selanjutnya dari kaum Muslimin. Kabar ini kemudian didengar

oleh Kaum Muhajirin yang selanjutnya mendatangi kaum Ansar untuk membahas

masalah pemimpin setelah Nabi Muhammad. Musyawarah yang dilakukan oleh

kedua kaum tersebut sangat sengit, dan masing-masing memiliki pandangan

tentang siapa yang pantas untuk memimpin kaum Muslimin. Namun perdebatan

yang keruh itu segera dijernihkan oleh Abu Bakar..204

Abu Bakar mengingatkan

kepada pihak-pihak yang bermusyawarah tentang Sabda Rasul yang menyebutkan

bahwa:205

―Dahulukan orang Quraisy, dan jangan kalian mendahuluinya‖ Abu

Bakar kemudian menunjuk Umar bin Khattab dan Ubaidah bin Jarrah sebagai

pilihan yang paling memungkinkan. Namun dalam hal ini Umar segera

204 Misbah Em Majid, Abu Bakar Ash Siddiq The First Khalifa, Bandung: Sygma

Creative Corp, 2013, hlm 139.

205

Imam Al Mawardi, Al-Ahkam As Sulthaniyyah.. Opcit, hlm 4.

Page 125: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

106

menyarankan bahwa Abu Bakarlah yang memiliki kualitas sebagai pemimpin

yang dapat melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad. Umar menyebutkan

bahwa Abu Bakar seringkali ditunjuk oleh Rasulullah sebagai Imam ketika beliau

sedang sakit.206

Adapun hal lain yang membuat Abu Bakar memiliki kualitas

sehingga dia benar-benar dapat melanjutkan kepemimpinan Rasulullah. Abu

Bakar memiliki cinta, kepercayaan, hingga pada disebutkan tentang jasanya Abu

Bakar kepada Rasulullah sendiri.207

Atas saran dari Umar bin Khattab ini

kemudian kelompok yang hadir dari berbagai bani sepakat untuk memilih Abu

Bakar. Kelompok tersebut terdiri dari 5 (lima) orang selain Abu Bakar, yakni:

Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarah, Basyir bin Saad, Asid bin Khudair,

dan Salim seorang budak dari Abu Khuzaifah.208

Pemilihan dari Abu Bakar dalam

hal ini menggunakan tipe majelis dengan perwakilan 5 (lima) orang. Hal ini ketika

itu tetap dianggap sah meskipun tidak dihadiri oleh seluruh sahabat senior seperti

Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abudurahman bin Auf, Zubbair bin

Awwam, Saad bin Abi Waqqash dan Thalalah bin Ubaidillah.209

Periode setelah Abu Bakar adalah kepemimpinan dari Umar bin Khattab.

Umar yang sebelumnya menolak saran dari Abu Bakar untuk menjadi pengganti

dari Nabi Muhammad, kali ini dia tidak bisa menghindar lagi. Umar bin Khattab

dipilih melalui proses penunjukan yang dilakukan oleh Abu Bakar. Penunjukkan

yang dilakukan tidak semata-mata secara absolut yang otoriter dari Abu Bakar.

Abu Bakar tetap menegakkan jalan musyawarah demi melakukan memilih

pemimpin yang pantas bagi Kaum Muslimin. Abu Bakar menunjuk 3 (tiga)

206Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara.. Opcit, hlm 23.

207

Misbah Em Majid, Abu Bakar Ash Siddiqie.. Opcit, hlm 141-142.

208

Ibid.

209

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara.. Opcit, hlm 23.

Page 126: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

107

sahabat untuk berkonsultasi dengannya , yakni Abd Al Rahman bin Auf dan

Utsman bin Affan dari kaum Muhajirin, serta Asid bin Khudair dari kelompok

Ansar.210

Musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar pada sisi lain juga

merupakan jalan untuk memberikan rasionalisasi terhadap kualitas diri pemimpin

selanjutnya, yakni Umar. Akhirnya disepakati oleh para perwakilan tersebut

adalah benar bahwa Umar memang sangat pantas sebagai pemimpin. Kualitas diri

Umar sebagai sahabat Nabi yang tegas dalam menegakkan Islam menjadi poin

yang sangat dipertimbangkan. Umar dalam kepemimpinannya mencetak berbagai

prestasi yang sangat berharga bagi Kaum Muslimin hingga saat ini. Prestasi

tersebut misalnya adalah pengumpulan dari bagia Al-Quran dalam 1 (satu) jilid

dan pencetus dari kalender Islam. Akhir kepemimpinan Umar ditandai dengan

peristiwa penusukan terhadap dirinya. Umar ketika sedang shalat ditusuk dengan

sebilah pisau oleh orang Persia bernama Abu Luluah. Namun sebelum dia wafat

Umar memiliki pandangan tentang bagaimana pemilihan dari pemimpin

selanjutnya.

Umar tidak melakukan penunjukan langsung seperti yang dilakukan oleh

Abu Bakar. Umar berpendapat bahwa pemilihan dari pemimpin yang baru harus

diserahkan kepada para sahabat Nabi. Umar dalam hal ini kemudian membentuk

sebuah komite. Komite yang terdiri dari 6 (enam) orang yang disebut oleh Tamin

Ansari sebagai komite Konsultatif (Syura) untuk memilih seorang khalifah yang

baru.211

Komite ini terdiri atas Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Saad bi

Waqqash, Abd Al Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin

210 Ibid, hlm 24.

211

Tamin Ansary, Dari Puncak Dunia Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam, terjemahan:

Yuliani Liputo, Jakarta: Zaman, 2015, hlm 104.

Page 127: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

108

Ubaidillah.212

Komite ini bertugas memilih salah satu diantara mereka sebagai

pemimpin selanjutnya dengan cara musyawarah. Musyawarah yang dilakukan

oleh komite ini pada akhirnya menghasilkan 2 (dua) nama, yakni Ali bin Abi

Thalib dan Utsman bin Affan. Komite (syura) dalam hal ini diwakili oleh ketua

komite memberikan pertanyaan bahwa: ― Jika anda menjadi khalifah, apakah anda

akan dipandu oleh Al-Quran, sunnah, dan contoh yang ditetapkan oleh Abu Bakar

dan Umar‖?.Jawaban yang dikeluarkan oleh Ali dan Utsman berbeda. Ali

menegaskan akan mengikuti Al-Quran, dan Sunnah namun tidak pada contoh

yang ditetapkan khalifah terdahulunya.213

Jawaban dari Utsman berbeda dengan

Ali, Utsman cenderung mengiyakan semua pertanyaan yang diberikan

kepadanya.214

Jawaban tersebut mengantarkan Utsman sebagai Khalifah ke-tiga.

Periode kepemimpinan Utsman ini yang merupakan awal perpecahan dari Kaum

Muslimin.

Kekacauan yang timbul di zaman Khalifah Utsman diawali dari

pengangkatan Muawiyah bin Abu Sufyan yang memerintah dari seluruh hulu

Sungai Efrat di Mediterania sampai ke pantai Mesir.215

Pemerintahan dari

Muawiyah meresahkan dan membuat rakyat Mesir menjadi tidak puas, dan

mengirimkan perwakilannya untuk menemui Khalifah Utsman.216

Ketidakpuasan

ini berakhir pada kekacauan dan kericuhan di Madinah. Hal ini kemudian

berujung pada kematian Khalifah Utsman. Kondisi kekacauan ini membuat

kekuasaan di Madinah menjadi kosong. Masyarakat ketika itu mulai mencari

solusi tentang siapakah pemimpin yang pantas.

212 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 25.

213

Ibid, hlm 26-27.

214

Ibid.

215

Tamin Ansary, Dari Puncak Bagdad.. Opcit, hlm 113.

216

Ibid.

Page 128: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

109

Ali bin Abi Thalib kemudian keluar sebagai pemimpin yang baru

menggantikan Utsman bin Affan. Ali pada awalnya menolak untuk menjadi

pemimpin, namun atas dorongan berbagai pihak dan kondisi yang mencekam di

Madinah maka Ali bersedia untuk menjadi Khalifah. Pada proses pengangkatan

Ali menjadi Khalifa ada yang menyebutkan bahwa Ali diangkat atas suara

mayoritas dan dipilih secara langsung oleh masyarakat dan anggota Dewan

perwakilan.217

Ali dalam pendapat lain juga dipilih dengan menggunakan tipe 3

(tiga) orang anggota dewan, yakni Saad bin Abu Waqqash, Zubair, dan

Thalhah.218

Ada pula yang menyebutkan bahwa Ali dilipih dan diusulkan oleh

para pemberontak yang membunuh Utsman. Karen Amstrong menyebutkan

bahwa para pemberontak yang mengumumkan Ali sebagai seorang Khalifah

baru.219

Proses pemilihan Ali ternyata pada sisi lain tidak hanya merupakan

kesepakatan dari banyak pihak di Madinah. Imam Mawardi menyebutkan bahwa

pembaitan Ali dilakukan juga oleh Abbas bin Abdul Muthalib, dan dikatakan

bahwa pembaitan ini sah meskipun hanya dilakukan oleh 1 (satu) orang saja.220

Abbas ketika itu menanggap bahwa pembaitan yang dilakukan olehnya akan

menghapus keraguan atas kepemimpinan Ali.221

Namun berbagai pandangan

tersebut pada intinya adalah melegitimasi seorang Khalifah di masa transisi yang

kacau. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pemilihan dari para khalifah tidak

terlepas dari kondisi yang terjadi ketika itu. Kebutuhan menjadi hal yang lebih

penting dibandingkan mekanisme yang berbelit-belit.

217 Ali Muhammad Ash Shallabi, Parlemen di Negara Islam Moderen… Opcit, hlm 116.

218

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 27.

219

Karen Amstrong,Sejarah Islam Telaah Ringkas Komprehensif Perkembangan Islam

Sepanjang Zaman, terjemahan Yuliani Liputo, Bandung: Mizan, hlm 83.

220

Imam Al Mawardi, Al Hakam As Sulthanian.. Opcit, hlm 5.

221

Ibid, hlm 6.

Page 129: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

110

Proses pemilihan dari para khalifah tidak menggunakan sistim one man

one vote seperti dalam praktik demokrasi liberal. Pemilihan yang dilakukan di

Madinah lebih mempercayakan sistim pemilihan dengan perwakilan oleh lembaga

syura atau yang disebut juga dengan ahlu al-aqdi wa al-hal. Tiap khalifah

memiliki tipe yang berbeda dalam menerapkan jumlah perwakilan yang

diperlukan yang secara sah untuk memilih seorang khalifah. Abu Bakar dipilih

dengan tipe 5 (lima) orang yang sepakat menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin.

Umar berbeda lagi, dia dipilih dengan kombinasi antara penunjukan oleh Khalifah

terdahulu yang kemudian diperkuat oleh musyawarah para sahabat. Utsman

memiliki tipe yang berbeda dari tipe Abu Bakar maupun Umar. Utsman dipilih

dengan lembaga syura yang dibentuk oleh Umar, dimana 6 (enam) anggota

melakukan musyawarah untuk memilih 1 (satu) diantara mereka yang pantas

menjadi pemimpin, dan kemudian sepakat untuk memilih Utsman. Ali bin Abi

Thalib dipilih dengan menggunakan kesepakatan 3 (tiga) dewan, dipilih dan

diangkat oleh para pemberontak, dan ada juga yang menyebutkan bahwa Ali

diangkat oleh Abbas bin Abdul Muthalib. Ada berbagai pendapat tentang hal

tersebut. Hal ini tidak terlepas dari kondisi yang sangat kacau pasca kematian dari

Utsman dan berbagai tuntutan terhadap pemilihan Khalifah yang baru, sehingga

kemudian timbul berbagai simpang siur terhadap pemilihan Ali.

Masa pemilihan Ali dapat dikatakan merupakan masa terakhir dalam

kepemimpinan Islam yang dilakukan oleh Sahabat Nabi.. Masa Islam selanjutnya

dilakukan dalam tatanan dinasti yang mengembalikan pola kepemimpinan

menggunakan model keturunan. Hal ini dimulai dari kisah Muawiyah. Muawiyah

menjadi pihak yang paling menentang Ali dalam kedudukannnya sebagai seorang

Page 130: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

111

Khalifah. Ada 2 (dua) isu yang diangkat oleh Muawiyah dalam hal menolak

kepemimpinan dari Ali: 222

pertama, tanggungjawab terhadap pembunuhan

Utsman. Kedua, berkenaan dengan hak pilih terhadap pemimpin tidak hanya milik

Madinah saja, namun milik wilayah lain juga. Muawiyah pada kesimpulannya

adalah menuntut ketidakadilan yang alami oleh Utsman. Utsman yang masih

keluarga dari Muawiyah hanya menjalankan tugasnya untuk menjaga wilayah

tetap aman dan damai. Pada sisi lain secara politis Muawiyah sesungguhnya juga

ingin membuka ruang partisipasi bagi dirinya yang selaku Gubernur Suriah.

Konflik dengan Muawiyah kemudian tidak hanya berakhir pada perdebatan secara

lisan saja. Konflik dengan menggunakan senjata juga turut mewarnai perdebatan

dan penolakan dari Muawiyah ini. Ali entah karena kebijaksanaannya ataupun

sifatnya yang ingin menghindari perang saudara, maka Ali bernegosiasi dengan

Muawiyah. Ali membiarkan Muawiyah untuk dapat memerintah di Suriah, dan

sisanya adalah milik Ali.223

Hasil perundingan ini tidak berujung pada kedamaian

yang dimaksudkan. Hal ini justru semakin memperkeruh suasana yang ada di

dalam pemerintahan Ali ketika itu. Para pendukung Ali berubah menjadi kaum

ekstremis yang menentang dan menarik diri dari umat. Kaum ini kemudian

dikenal dengan Khawarij (yang memisahkan). Ali dalam melihat kondisi ini

melakukan tindakan tegas kaum khawarij, namun hal justru semakin meluaskan

pemberontakan terhadap Ali bin Abi Thalib. Pada akhirnya di tahun 661 Ali

dibunuh oleh seorang Khawarij.224

Peristiwa Ali ini kemudian mengakhiri

kekhalifahan dari Khulafa Al Rasyidin, dan menjadi awal dimulainya kembali

pemilihan pemimpin berdasarkan keturunan.

222 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 28.

223

Tamin Ansary, Dari Puncak Bagdad.. Opcit, hlm 123.

224

Karen Armstrong, Sejarah Islam… Opcit, hlm 86.

Page 131: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

112

Dinasti Ummayah (661-737 M) lahir ditengah-tengah transisi dan

kebingungan umat Islam, terhadap kekacauan dan ketidakstabilan pemerintahan.

Muawiyah pada tahun 40 Hijriyah atau 661 masehi mendirikan dinasti Umayyah.

Dinasti Ummayah merubah secara garis besar model penyelenggaraan dan

hubungan antara umat dan pemimpin menjadi hubungan antara raja dan rakyat.

Perubahan tatanan dilakukan oleh Muawiyah dalam berbagai hal. Paling tidak ada

3 (tiga) hal yang diubah oleh Muawiyah dalam menyelenggarakan

pemerintahannya yang baru. Pertama, tidak ada lagi tatap muka langsung yang

dilakukan antara seorang pemimpin tertinggi dengan rakyatnya.225

Intensi

pertemuan rakyat dengan pemimpin menjadi suatu yang sakral dan eksklusif.

Dalam hal ini dibentuk suatu jabatan Hajib sebagai sebuah tugas untuk mengatur

pertemuan dengan pemimpin tertinggi di kerajaan.226

Jabatan ini yang

menentukan sesorang layak atau tidak untuk bertemu dengan pemimpiinnya. Hal

ini pada sisi lain merupakan wujud dominasi yang dilakukan untuk

mengintervensi pergerakan dunia bawah tanah. Pembatasan untuk membahas

bersama pemimpin menjadi dalih untuk mengurangi percikan-percikan konflik

yang terjadi di awal penyelenggaraan dinasti Umayyah. Kedua, perubahan yang

krusial terhadap penyelenggaraan pemerintahan juga terjadi pada penyelenggaraan

pemerintahan. Umayyah membentuk 5 (lima) dewan kepaniteraan yakni dalam

hal urusan: korespondensi, urusan pajak, urusan angkatan bersenjata, urusan

kepolisian, dan urusan peradilan.227

Perubahan terhadap penyelenggaraan

pemerintahan ini merupakan suatu kontribusi yang sangat berarti, dan hal ini

merupakan kelanjutan dari apa yang dirintis kaum pendahulu mereka. Ummayah

225 Munawir Sjadzali¸ Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 37.

226

Ibid.

227

Ibid.

Page 132: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

113

dalam hal ingin mewujudkan suatu pemerintahan sentral yang benar-benar

terstruktur dan stabil. Segala bentuk pemberontakan misalnya dapat diatasi

dengan kontrol melalui kepolisian.

Ketiga, perubahan terhadap pemikiran lembaga syura. Lembaga syura atau

ahlu al-aqdi wa al-hal sebagai cetak biru lembaga perwakilan rakyat turut juga

mengalami perubahan secara fundamental. Lembaga ini pada masa Khulafa Al

Rasyidin menjadi sebuah forum musyawarah yang mempunyai legitimasi

terhadap pembaitan seorang khalifah. Para sahabat yang dianggap berkompeten

dimasukkan dalam golongan ini untuk benar-benar menilai kualitas diri seorang

pemimpin. Pemimpin yang dihasilkan harus benar-benar mampu menjawab

kebutuhan yang ada di saat itu. Namun pada era dinasti Umayyah lembaga ini

menjadi lembaga yang berada dalam kontrol dari pemimpin. Dalam kesempatan

pertamanya beroperasi di era Umayyah lembaga syura dipaksa untuk memilih

Yazid sebagai pengganti dari Muawiyah, dan apabila tidak menerimanya

konsekuensinya adalah kematian.228

Fungsi lembaga syura ini mau tidak mau,

hanya melegitimasi atau mengiyakan terhadap memang benar adanya kualitas

pemimpin yang dibutuhkan, dan sifatnya hanya sebagai saran semata. Hal ini

hanya sebagai upaya menjaga tradisi, namun dengan perubahan di sana sini maka

sesuailah kehendak dari pemimpin. Pada sisi lain kondisi ini juga merupakan

dampak pemikiran yang ada pada dinasti Umayyah. Dinasti Umayyah

menganggap bahwa jabatan seorang khalifah itu ada suatu lembaga politik

semata.229

Khalifah tidak dipandang lagi sebagai perwujudan Allah langsung di

muka bumi. Namun benar-benar merupakan kepentingan politik semata, sehingga

228 Tamin Ansary, Dari Puncak Bagdad… Opcit, hlm 127.

229

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 39.

Page 133: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

114

keputusan seorang pemimpin adalah keputusan pribadinya, gerakan yang sedikit

berbeda dari Khulafa Al-Rasyidin menjadi sangat dimaklumi karena ada

pemisahan konsepsi antara peran pemimpin dan dirinya sebagai wakil Tuhan.

Pada pemerintahan dinasti Umayyah dengan demikian tidak ada lembaga

perwakilan yang memiliki wewenang untuk dapat memilih pemimpin seperti yang

terjadi pada zaman Khulafa Al Rasyidin. Kondisi Lembaga Perwakilan dalam

keterbatasan dan hanya seakan menjadi penasihat, dilanjutkan kepada negara-

negara Islam yang bersistem pemerintahan kerajaan. Hal ini dapat dilihat dalam

praktik kenegaraan yang terjadi di Arab Saudi dimana pemerintahan berdasarkan

raja yang sifatnya turun menurun. Raja dalam kondisi demikian memegang

kekuasaan mutlak, dimana tanpa keterlibatan Lembaga Perwakilan yang dipilih

oleh rakyat dan yang ada hanya semacam majelis Syura.230

Penyelenggaraan

negara yang demikian menurut Ali Asgar Nursati memiliki kelemahan dan

kelebihan tersendiri. Kelebihannya yakni: keterpusatan proses pengambilan

keputusan, kepraktisan penyelenggaraan urusan pemerintahan, dan tingginya

tingkat kesolidan.231

Kekurangannya yang muncul kemudian adalah kehendak

pribadi menjadi orientasi utama.232

230 Ibid, hlm 222.

231

Ali Asgar Nursati, Sistem Politik Islam, terjemahan: Musa Mouzawir, Jakarta: Nur

Alhuda, 2015, hlm 113.

232

Ibid.

Page 134: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

115

b. Aliran Syiah233

Syiah merupakan aliran yang lahir dari konflik yang terjadi pasca

wafatnya Nabi Muhammad. Ketiadaan pesan Nabi tentang siapa pemimpin

selanjutnya menjadi perdebatan dengan berbagai dalil. Kebiasaan mengambil

pemimpin dari menarik garis darah menjadi alasan bagi para pengikut Ali bahwa

Ali dapat mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad Para pengikut Ali di sisi lain

juga percaya bahwa bagaimanapun juga kualitas diri Ali seharusnya mampu

mengalahkan ketiga khalifah sebelumnya. Ali seringkali menjadi pahlawan dalam

berbagai perang dengan kekuatan dan kecerdikannya. Namun apa daya para

sahabat lebih mempercayai mekanisme pemilihan yang berdasarkan pada

musyawarah, dan dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk ahlu al-aqdi wa al-hal.

Kekecewaan kaum pendukung Ali inilah yang kemudian melahirkan kaum Syiah.

Syiah kemudian berkembang semakin pesat sejak kematian Ali dan

kondisi keluarga Ali yang teraniaya oleh dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Kaum

Syiah selanjutnya mengembangkan pemikiran yang lebih radikal lagi tentang Ali.

Ali tidak hanya kemudian sekedar seseorang pemimpin biasa. Namun seorang

pemimpin yang mewarisi sifat dan kualitas diri Nabi Muhammad. Mereka

kemudian menyebut Ali sebagai Imam. Makna Imam yang dimaksud ini tidak

hanya sekedar imam dalam hal pemimpin dalam shalat saja.

Imam yang dimaksud adalah bahwa Ali mewarisi semacam substansi

mistis yang nyata dan diberikan kepada Allah, semacam energi dan cahaya yang

mereka sebut sebagai barakah Muhammad.234

Konsep barakah yang dimaksud ini

233 Aliran Syiah yang dimaksud merupakan aliran yang berkembang di negara Iran, yakni

aliran Immamiyah Itsna Asyariyah. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm

213.

234

Tamin Ansari, Dari Puncak Bagdad.. Opcit, hlm 133.

Page 135: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

116

adalah ketika Nabi Muhammad meninggal maka cahaya tersebut diwarisi kepada

Ali.235

Ali kemudian dianggap menjadi penerus dalam hal membimbing kaumnya

kepada jalan keselamatan dunia akhirat. Aliran dari Syiah ini kemudian terpecah

dalam berbagai aliran dikarenakan adanya perbedaan pendapat mengenai

pemilihan imam. Namun yang terbesar adalah Aliran Itsna Asyariyah/ aliran dua

belas imam. Aliran ini berkembang di negara Iran, Irak dan sekitar teluk. Pokok-

pokok pendirian aliran ini antara lain:236

a) Abu Bakar dan Umar merampas jabatan dari Khalifah dari pemiliknya;

b) Kedudukan Ali satu tingkat lebih tinggi dari pada manusia biasa, dan dia

merupakan perantara antara manusia dan Tuhan;

c) Imam itu ma’sum, terjaga dari segala kesalahan, baik besar maupun kecil;

d) Ijma atau kesepakatan ulama Islam baru dapat dianggap sebagai hukum

Islam jika direstui oleh Imam;

e) Imam mereka yang ke-12 menghilang dan akan muncul di zaman akhir

untuk menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman.

Pemikiran tentang imam ke 12 ini berkembang sejak konflik yang terjadi antara

Syah dan Abbasyiah.237

Imam ke 10 Syiah Ali Al Hadi ditempatkan dalam rumah

perlindungan rahasia untuk menjamin keselamatannya dari ancaman konflik yang

terjadi dengan Abbasiyah.238

Kondisi dalam persembunyian ini kemudian

berlanjut kepada Imam ke-11. Pada tahun 874 Masehi ketika Imam ke-11

235 Ibid.

236

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara.. Opcit, hlm 214.

237

Abbasiyah sempat dikatakan menipu kaum Syiah ketika pendirian dinasti Abbasiyah.

Abu al Abbas sempat menjadi boneka dari Abu Muslim untuk mengalahkan dinasti Umayyah.

Kekuasaan kemudian diperoleh oleh dinasti Abbasiyah, namun tidak dengan Syiah. Syiah

dikhianati bahkan keturunan dari Ali sempat diburu dan dikejar untuk dibunuh. Hal ini yang

mengawali konflik antara Abbasiyah dan Syiah. lihat Tamin Ansari, Dari Puncak Bagdad.. Opcit,

hlm 152-158.

238

Karen Armstrong, Sejarah Islam… Opcit, hlm 122.

Page 136: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

117

meninggal, konon kabarnya dia meninggalkan seorang putra.239

Putra dari Imam,

ke-11 yang secara tradisi Syiah kemudian dianggap sebagai Imam ke-12 yang

akan hadir di akhir zaman. Tentu dalam kondisi Imam yang bersembunyi

demikian tidak berarti Kaum Syiah berhenti begitu saja. Kondisi yang tanpa

hubungan demikian kemudian memunculkan perkembangan pemikiran tentang

politik dan pemerintahan di Kaum Syiah. Syiah selama menunggu kedatangan

dari Imam ke 12 yakni Muhammad Al Mahdi menerima pemerintah yang ada

melalui doktrin taqiyah, yakni keyakinan politik dan religius yang digunakan

untuk menjustifikasi penerimaan pemerintahan yang ada.240

Pemerintah menjadi

pimpinan yang paling tinggi dan wajib dipatuhi sebagaimana mereka mematuhi

Imam.

Praktik dengan model ini dipraktikkan di Iran dan dikenal sebagai wilayah

al Faqih (kekuasaan ilmuan agama), yang dikembangkan dan dirumuskan secara

aplikatif oleh Ayyatullah Khomeini. Model pemerintahan yang dikembangkan ini

seakan melazimkan pemerintahan otoriter, dimana seluruh tindakan pemerintah

yang menjadi imam selalu benar tanpa dibiarkan Tuhan untuk terjerumus dalam

kesalahan. Namun konsep dari wilayah al-faqih ini membuka peluang dan juga

pembatasan terhadap kekuasaan.

Muhammad Anis menyebutkan dalam konsep Wali al Faqih bahwa

kemutlakan ini tidak seperti pemerintahan yang otoriter. Konsep mutlak yang ada

dalam Wilayah al-Faqih di sini semata-mata terkait dengan penegakan hukum

syariat, yang didasarkan pada proyeksi antisipatif sang faqih.241

Kekuasaan sang

239 Ibid.

240

Svetla Ben-Itzhak, Pemikiran Politik Islam, Opcit, hlm 922.

241

Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi Perspektif Wilayah al Faqih, Bandung: Mizan

2013, hlm 152.

Page 137: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

118

faqih tetap berada dalam batas-batas prinsip akidah dan hukum syariat.242

Rakyat

diberikan perlindungan melalui ketegasan hukum syariat. Namun bukan berarti

kemudian wilayah al Faqih sama dengan kebebasan yang diberikan dalam

konsepsi demokrasi Liberal. Forough Jahanbakhsh menyebutkan bahwa ada (2)

perbedaan mendasar antara demokrasi liberal dan wilayah al Faqih yang

dimaksud oleh Khomeini:243

a) pertama, dengan tidak adanya Imam apapun kepemimpinan politik tanpa

persetujuan dari masyarakat adalah tidak sah. Tapi dalam periode

kegaiban, kantor imamah (kepemimpinan) harus pergi ke faqih paling

terpelajar dan saleh, yang menyadari dan berpengetahuan, tidak hanya

hukum Islam, tetapi juga dari hal-hal dan kondisi sekitarnya, dan siapa

yang melindungi hak-hak rakyat, bahkan orang-orang dari minoritas non-

Muslim.

b) Kedua, dalam pemerintahan Islam kedaulatan nyata milik Allah Yang

Maha Kuasa dan agama yang benar, yaitu, Islam dan hukum yang

komprehensif. pemerintahan Islam, dalam tiga divisi kekuasaan-legislatif,

eksekutif dan yudisial-adalah bawahan hukum Islam. Itulah sebabnya

ditunjuk sebagai teokrasi sebagai lawan demokrasi.

Legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dengan demikian dimaksudkan

oleh Khomeini adalah bukan pada berapa banyak jumlah suara yang dimilikinya,

sebagaimana dalam demokrasi barat yang mementingkan hal tersebut. Namun

dalam hal ini kualitas diri berupa pengetahuan agama dan pengetahuan sosial,

yang dimiliki oleh pemimpin tersebut yang menjadi dasar dia memiliki legitimasi

242 Ibid.

243

Farough Jahabakhsh, Islam, Democracy and Religious Modernism in Iran (1953-2000)

From Barzagan to Soroush, Leiden: Koninklijk Brill, 2001, hlm 136.

Page 138: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

119

sebagai pemimpin tertinggi. Umat tidak boleh takut pemimpin yang terpilih

adalah pemimpin yang dzalim, jika ia berlaku sebagai diktator maka dia akan

terusir dari wilayahnya (kepemimpinannya).244

Khomeini dengan demikian

mengajak umat untuk tidak takut dan selalu percaya terhadap pemimpinnya. Pada

sisi lain dapat diketahui juga bahwa ternyata konsepsi yang dibangun oleh

wilayah al Faqih tidak hanya berkenaan dengan kekuasaan eksekutif saja. Namun

dalam hal ini kedaulatan Tuhan sebagai sumber tertinggi turut juga dibagi dalam

kekuasaan lain yakni legislatif dan yudikatif.245

Hal ini dengan demikian

menggambarkan bahwa wilayah al Faqih juga menyediakan desain tersendiri

berkenaan dengan lembaga perwakilan dengan tidak melepaskan kedudukan dari

faqih. Lembaga perwakilan yang ada di Iran dapat disimpulkan digolongankan

dalam 3 (tiga) jenis lembaga:

a) Guardian Council (dewan garda);

b) Islamic Consultative Assembly (majelis syura);

c) The Assembly of Expert (dewan pakar)

Dewan garda dan majelis syura memiliki kedudukan sebagai lembaga perwakilan

yang dalam hal ini memiliki fungsi legislasi. Namun keduanya ditempatkan pada

posisi yang berbeda. Pada kewenangan legislasi, ada hubungan diantara keduanya

yang akan sangat mempengaruhi terhadap produk hukum yang dihasilkan. Majelis

Syura merupakan lembaga yang berposisi sebagai pembuat undang-undang yang

sesuai dengan Syariat Islam dan tradisi yang ada di negara Iran.246

Pada proses

pembuatan undang-undang ini dapat dikatakan majelis Syura hanya memiliki

kewenangan legislasi tingkat pertama saja. Kewenangan legislasi selanjutnya

244 Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi Perspektif Wilayah al Faqih..Opcit, hlm 153.

245

Lihat Pasal 57 konstitusi Negara Iran pasca amandemen 1989

246

Lihat Pasal 58 Konstitusi Negara Iran pasca amandemen 1989

Page 139: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

120

pegang oleh Dewan Garda. Produk undang-undang yang dibuat oleh Majelis

Syura tidak dapat begitu saja diundangkan dan ditetapkan.

Produk yang ada harus melewati verifikasi dari Dewan Garda terhadap

muatan dari undang-undang, apakah kemudian sudah sesuai atau belum dengan

Hukum Islam yang ditetapkan di Iran.247

Hal ini merupakan sebuah wujud double

check terhadap produk undang-undang, bahwa undang-undang perlu diproses

dalam dua lembaga yang berbeda sehingga benar-benar dapat optimal produk

hukum yang ada. Pada dasarnya konsep double check yang dilakukan oleh kedua

lembaga ini seakan sama dengan yang ada di negara-negara liberal. Namun dalam

hal ini ada konsep teokrasi dan demokrasi yang sangat kental di dalamnya.

Produk hukum yang ada dikonsepsikan hanya merupakan bentuk

interpretasi dari Hukum Islam. Anggota parlemen dalam negara Islam moderen

sesungguhnya bukan membuat hukum yang benar-benar baru, karena pada

dasarnya legislator (pembuat undang-undang) hanyalah Allah.248

Namun produk

hukum yang dihasilkan merupakan penggalian dari sumber-sumber Hukum Islam.

Al-Quran dan sunnah merupakan sumber hukum yang dimaksud demi

mewujudkan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan syariat dalam bidang

muamalah atau sering dikenal dengan sebutan tradisi atau kebiasaan, sesuai

dengan perkembangan situasi dan kondisi.249

Produk undang-undang yang dibuat

dengan demikian tidak dapat bergantung pada Majelis Syura saja, yang

anggotanya dipilih langsung oleh rakyat dan tentunya berasal dari berbagai

247 Lihat Pasal 72 dan pasal 94 Konstitusi Iran Pasca Amandemen 1989. Waktu verifikasi

produk undang-undang yang dilakukan oleh Dewan Garda dibatasi dalam jangka waktu 10

(sepuluh) hari dan dapat ditambah lagi 10 (sepuluh) hari apabila mendapatkan persetujuan dari

Dewan Syura. Lihat Pasal 94 dan 95 Konstitusi Iran 1989.

248

Ali Muhammad Ash Shallabi, Parlemen di Negara Islam Moderen,Opcit, hlm 45.

249

Ibid.

Page 140: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

121

kalangan (Syiah, dan kalangan-kalangan minoritas seperti Yahudi, Zoroastrian,

Kristern dll) yang bisa saja bukan orang yang benar-benar mengerti Hukum Islam

secara mendalam.250

Bisa saja kemudian produk undang-undang yang dihasilkan

tidak sesuai dengan Hukum Islam dan konstitusi. Produk undang-undang juga

dalam hal ini harus diperiksa kembali dan disesuaikan oleh Dewan Garda yang

merupakan dewan yang beranggotakan pakar-pakar hukum Islam, yang dipilih

oleh wali al- Faqih.251

Para pakar ini yang dianggap memiliki kompetensi untuk

menetapkan secara final and binding terhadap produk undang-undang yang

dihasilkan.

Dewan Garda di sisi lain juga merupakan memiliki kewenangan untuk

menginterpretasikan konstitusi. Namun kedudukan dewan garda sebagai penjaga

penyelenggaraan negara dalam hal ini tidak hanya dimaksud hanya pada

penjagaan terhadap undang-undang saja, maupun interpretasi konstitusi. Dewan

Garda juga merupakan dewan penjaga yang bertugas dalam menyeleksi siapa

calon presiden dan anggota dewan Syura.252

Rakyat tidak kemudian memilih

calon yang dengan begitu saja, namun dari pihak penyelenggara negara juga

memiliki pandangan dan pengaruh terhadap siapa orang-orang yang pantas

mencalonkan diri.

Desain perwakilan rakyat Iran dalam hal ini tidak hanya bergantung pada

Dewan Garda dan Dewan Syura saja, namun juga dalam hal ini rakyat diwakilkan

oleh Dewan Pakar. Dewan Pakar merupakan perwakilan yang beranggotakan 86

250 Dewan Syura terdiri dari 270 anggota yang di dalamnya terdapat perwakilan

kelompok minoritas seperti Kristen, Yahudi, dan lainnya. Dalam hal ini perwakilan dari golongan

minoritas dipilih oleh kelompok mereka sendiri. Lihat pasal 64 konstitusi Iran pasca Amandemen

1989.

251

Pasal 91 Konstitusi Iran pasca Amandemen 1989.

252

Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi Perspektif Wilayah al Faqih..Opcit, hlm 190.

Page 141: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

122

mutjahid adil yang para kandidatnya diseleksi terlebih dahulu oleh para ulama

terkemuka, dan barulah kemudian dipilih dalam pemilu secara berkala.253

Dalam

hal ini dewan pakar yang bertugas untuk menetapkan ataupun menggugurkan

kepemimpinan dari Wali al-Faqih.254

Dewan pakar dengan demikian dapat

dikatakan merupakan representasi dari konsep Wilayah al-Faqih, yang memegang

kekuasaan tertinggi di Iran. Wilayah al-Faqih yang dalam hal ini merupakan

representasi dari kedaulatan Tuhan dan kehadiran imam ke-12 Muhammad Al-

Mahdi. Pada sisi dapat disimpulkan bahwa desain lembaga perwakilan yang ada

di Iran tidak hanya merupakan perwujudan terhadap demokrasi, seperti dalam

demokrasi liberal. Desain lembaga perwakilan yang dibangun menempatkan

lembaga perwakilan tidak hanya terbatas bagi cita-cita demokrasi. Corak teokrasi-

nya pun dalam hal ini sangat kental. Hal ini dapat dilihat dari masing-masing

keanggotaan dan kewenangan dari lembaga perwakilan tersebut, baik Dewan

Syura, Dewan Garda, maupun dewan pakar. Semua lembaga perwakilan tersebut

diatur dalam koridor Wilayah al-Faqih.

253 Ibid, hlm 18.

254

Lihat pasal 108 Konstitusi Iran.

Page 142: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum akan mempengaruhi kajian hukum tersebut hendak

diarahkan. Jenis penelitian yang akan dilakukan terhadap Lembaga perwakilan di

Indonesia adalah penelitian yang bersandar pada studi pustaka. Soerjono Soekanto

menyebutkan penelitian semacam ini dengan studi pustaka disebutnya sebagai

penelitian normatif. Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji dan

meneliti bahan-bahan pustaka berupa bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.255

Fokusnya lebih akan melihat pada sejarah hukum yang berkenaan

dengan lembaga perwakilan di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk

menelusuri perkembangan-perkembangan hukum yang ada. Penyelidikan sejarah

bagi Van Apeldorn memiliki dua fungsi: 1) Penyelidikan sejarah memiliki sifat

membebaskan: ia membebaskan kita dari prasangka-prasangka, ia menyebabkan

bahwa kita tidak begitu saja menerima yang ada sebagai demikian, tetapi

menghadapinya dengan kritis dan 2) Penyelidikan sejarah membuat kita mengenal

faktor-faktor sosial.256

Jenis penelitian semacam ini diharapkan akan mampu

membedah dinamika ketatanegaraan dari Lembaga perwakilan di Indonesia.

255

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan ke-14 2012, hlm. 13-14

256

Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Noordhoff-kolff N.V, 1959, hlm 339.

Page 143: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

124

B. Pendekatan Masalah

Studi lembaga perwakilan di Indonesia ini dilakukan dengan studi

literatur. Studi literatur tersebut dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, yakni

melalui pendekatan sejarah, pendekatan institusional, dan pendekatan politik

hukum. Pendekatan sejarah memberikan manfaat untuk memberikan pemahaman

yang lebih mendalam mengenai sistem, lembaga dan pengaturan hukum

tertentu.257

Pendekatan institusional menyangkut antara lain sifat dari undang-

undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis

dari lembaga-lembaga negara.258

Dalam hal mempelajari parlemen dengan

pendekatan ini maka yang akan dibahas adalah kekuasaan serta wewenang yang

dimilikinya seperti tertuang dalam naskah-naskah resmi (Undang-Undang Dasar,

undang-undang atau peraturan tata tertib).259

Selanjutnya pendekatan politik

hukum digunakan untuk menjawab tujuan dan isi dibalik hukum mengenai

lembaga perwakilan tersebut dibuat.260

Dengan demikian penelitian ini tidak

hanya berupa deskripsi terhadap lembaga perwakilan di Indonesia. Namun

penelitian ini akan mampu menjawab dinamika lembaga perwakilan dari 3 (tiga)

257 Lihat Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Opcit, hlm 396.

258

Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik… Opcit, hlm 72.

259

Ibid.

260

Berkenaan dengan Politik Hukum Mahfud memandang kehadiran sebuah hukum

bergantung pada konfigurasi politik yang terjadi. Mahfud MD juga membahas mengenai pengaruh

konfigurasi politik terhadap parlemen yang kuat sebagai salah satu indikator sistem politik, untuk

membedakan antara sistem politik demokratis dan otoriter. Lihat Mahfud MD, Politik Hukum di

Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2012, hlm 7. Lihat juga teori hukum politik R. Wietholter

dalam B Arief Sidharta, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, teori Hukum dan

Filsafat Hukum, Jakarta: Refika Aditama, 2013, hlm 34. Politik Hukum juga disebutkan oleh

Kelsen sebagai kebijaksanaan yang menentukan kaidah hukum. Lihat Theo Huijbers, Filsafat

Hukum dalam Lintasan Sejarah, Opcit, hlm 159. Satjipto Raharjo juga membahas mengenai studi

politik hukum. Satjipto merumuskannya dalam 4 (empat) pertanyaan. 1) tujuan dibentuknya

hukum; 2) cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut; 3) kapankan waktu perubahan

hukum tersebut; dan 4) dapatkan dirumuskan pola yang mapan. Lihat Satjipto Raharjo, Ilmu

Hukum, Opcit, hlm 399.

Page 144: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

125

poin utama, yakni 1) tujuan pembentukan lembaga perwakilan (politik hukum); 2)

struktur lembaga perwakilan; dan 3) kewenangannya. Selanjutnya ketiga poin ini

akan dielaborasi dengan kondisi empirik penyelenggaraan lembaga perwakilan di

Indonesia, sehingga benar-benar mampu menjelaskan praktik dan dinamika

lembaga perwakilan dari sisi das sein dan sollennya.

C. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari studi pustaka yang

menelaah bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan

hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1 Regering Reglemen 1854

2 Osamu Seirei No 36 Tahun 1943 tentang pembentukan Chuo Sangi In

3 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen

4 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat

5 Undang-Undang Dasar Sementara

6 Maklumat Wakil Presiden Nomor X Oktober 1945

7 Ketetapan MPR RI Nomor: VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan

Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar

Lembaga-Lembaga Tinggi Negara;

8 Ketetapan MPR RI Nomor: III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan

Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar

Lembaga-Lembaga Tinggi Negara;

Page 145: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

126

9 Ketetapan MPR RI Nomor: V/MPR/1998 tentang Pemberian Wewenang

Khusus Kepada Presiden/ Mandataris MPR RI dalam rangka Penyuksesan

dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.

10 Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan

MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum

11 Undang-Undang nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD, dan

DPD

12 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan

DPD

Selain itu digunakan pula bahan hukum sekunder yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa rancangan undang-undang,

dokumen-dokumen hukum serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi

lainnya, serta bahan hukum tersier adalah bahan hukum lain yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti hasil penelitian, Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, artikel-artikel di internet dan bahan-bahan lain yang sifatnya karya

ilmiah berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Page 146: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

127

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi

kepustakaan mengidentifikasi sumber data, mengidentifikasi bahan hukum, dan

menginventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan masalah dalam

penelitian. Setiap data maupun bahan yang telah dikumpulkan akan dikaji dan

dianalisis secara mendalam.

E. Metode Pengelolaan Data

Dalam pengelolaan data dari hasil studi kepustakaan terdapat beberapa

tahap yang perlu dilakukan, yaitu:

1. Seleksi data. Pemeriksaan data untuk mengetahui kesesuaian dan

kelengkapan data dengan keperluan penelitian.

2. Klasifikasi data. Menempatkan data berdasarkan penggolongan bidang

atau pokok bahasan agar mempermudah dalam menganalisisnya.

3. Sistematika data. Penyusunan data menurut sistematika yang telah

ditentukan agar pembahasan dapat lebih mudah dipahami.

Sejarah hukum merupakan suatu penelitian terhadap kronologi peristiwa-peristiwa

hukum pada masa lampau, yang menyebabkan terjadinya gejala hukum tertentu,

akibatnya, dan seterusnya pada masa kini.261

Dengan demikian, yang paling

penting adalah dilakukannya aktivitas ilmiah untuk menyusun pentahapan

perkembangan hukum atau perkembangan peraturan perundang-undangan.262

261

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2012, hlm. 264 262

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

Cetakanke- 12, 2011, hlm 99

Page 147: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

128

F. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dengan pendekatan sejarah,

institusional, dan politik hukum, kemudian dianalisis menggunakan argumen

deduktif.. Argumen deduktif adalah argumen yang premis-premisnya di dalam

dirinya sudah memuat kesimpulan.263

Artinya kesimpulanya sudah tersirat (sudah

ada secara implisit) di dalam premis atau premis-premisnya.264

Dalam

hubungannya dengan penelitian ini, data yang menjadi pendukung pada awalnya

merupakan kumpulan data-data yang sifatnya masih umum kemudian dianalisis

untuk menjadi kesimpulan yang sifatnya khusus, sehingga kemudian data-data

tersebut dapat digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian.

263 B. Arief Sidharta, Pengantar Logika Sebuah Langkah Penalaran Medan Telaah,

Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm 9.

264

Ibid.

Page 148: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

346

V. PENUTUP

A. Simpulan

Dinamika Lembaga Perawakilan di Indoensia terjadi tidak hanya karena

perubahan terhadap Undang-Undang Dasar saja, namun juga terjadi karena

adanya perubahan pemaknaan tujuan pembentukan Lembaga Perwakilan. Pada

masa sebelum kemerdekaan tujuan dari pembentukan Lembaga Perwakilan

sesungguhnya buka pada kepentingan rakyat Indonesia. Lembaga tersebut

dibentuk untuk mewakili kepentingan para penjajah, sedangkan ruang yang

disediakan seringkali hanya untuk meredam gerakan yang terjadi ketika itu.

Pada awal kemerdekaan tepatnya dalam pemerintahan Presiden Soekarno,

kedudukan Lembaga Perwakilan berada di dalam persimpangan antara

representasi dengan kebutuhan revolusi. Pada 1 (satu) sisi adanya kebutuhan

untuk mewakili kepentingan dan kehendak rakyat yang secara menyeluruh. Pada

sisi lain penyelenggaraan negara membutuhkan gerakan yang cepat dan tidak

terhambat oleh mekanisme-mekanisme formal. Masa pemerintahan Soekarno

pada puncaknya melalui Demokrasi Terpimpin bahkan tidak lagi memperdulikan

kedudukan Lembaga Perwakilan. Penafsiran bahwa musyawarah yang tidak dapat

diselesaikan oleh Lembaga Perwakilan, harus berakhir di tangan pemimpin besar

Revolusi Soekarno. Hal ini kemudian berdampak pada kurangnya fungsi Lembaga

Perwakilan hingga pada pembubaran Lembaga Perwakilan.

Page 149: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

347

Pada masa pemerintahan Soeharto Lembaga Perwakilan memang

dikembalikan sesuai dengan fungsinya yang ada di dalam UUD 1945. Namun

dalam hal ini fungsi tersebut ternyata dimanfaatkan bukan sesuai tujuannya yakni

untuk mewakili kepentingan rakyat. Pada kasus MPR yang berkedudukan sebagai

lembaga tertinggi dimanfaatkan untuk melindungi kedudukan dari Presiden

Soeharto. Hal ini dilakukan dengan berbagai cara mulai dari pengangkatan

Presiden Soeharto secara terus menerus, hingga pada sakralisasi amandemen

UUD 1945. Dapat dipahami bahwa penyelenggaraan Lembaga Perwakilan yang

demikian memang sesuai Konstitusi, namun secara konstitusionalisme

bertentangan karena tidak dapat membatasi kekuasaan Presiden. Pada sisi lain

desain UUD 1945 sebelum amandemen memang tidak mengatur mengenai

mekanisme check and balance diantara lembaga negara, dan juga susunan anggota

dari Lembaga Perwakilan dapat dengan mudah diisi sesuai dengan kehendak

Presiden ketika itu.

Pasca Reformasi agenda restrukturisasi Lembaga Perwakilan menjadi

agenda wajib untuk penyelenggaraan negara yang berbasis pada Demokrasi.

Namun dalam hal ini restrukturisasi dilakukan dalam porsi yang berbeda. MPR

sebagai lembaga tertinggi statusnya dicabut, dan kewenangannya tidak lagi

mengangkat Presiden dan menetapkan GBHN. Hal ini kemudian menjadi MPR

seakan hanya menjalankan kewenangannya secara periodik, dan mengikuti

momentum saja karena hanya berkenaan dengan pelantikan, pemberhentian, dan

amandemen UUD saja. Pada sisi DPR dilakukan penegasan terhadap pemegang

kekuasaan legislasi, dan juga berkenaan dengan check and balance terhadap

penyelenggaraan pemerintahan. Namun restrukturisasi bukan hanya pada kedua

Page 150: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

348

lembaga itu saja. Dewan Perwakilan Daerah menjadi lembaga yang lahir pasca

reformasi, untuk mendampingi DPR dalam kamar bikameral. Restrukturisasi

terhadap Lembaga Perwakilan ternyata masih belum optimal sesuai dengan

tujuannya. MPR yang dilemahkan melalui amandemen, mencoba bangkit kembali

dengan tugas dan kewenangannya yang diperluas melalui UU No 17 Tahun 2014

tentang MPR, DPR, DPD, dan DPD. MPR kemudian mulai diperbincangkan

kembali sebagai lembaga dengan kewenangan tertinggi. DPR dalam hal ini

memiliki dinamika tersendiri, salah satunya dikarenakan fungsi legislasi yang

masih kurang optimal. Pada sisi lain DPR juga mengalami kendala kasus korupsi

yang menimpa oknum anggotanya, dan pada akhirnya berujung pada krisis

kepercayaan rakyat. Lain hanya dengan DPD, DPD selalu mengalami kendala

bahwa kedudukannya tidak mampu mendukung desainnya yang dimaksudkan

untuk bikameral. Dinamika yang terjadi terhadap Lembaga Perwakilan pada

setiap masanya memiliki cerita tersendiri, dimana antara tujuan, praktik, dan

pengaturan.

Temuan yang muncul adalah seringkali adanya ketidaksesuaian antara

tujuan, norma, dan praktik lembaga perwakilan yang ada di Indonesia.

Ketidaksesuaian tersebut pada tiap masanya disebabkan oleh hal-hal yang

berbeda. Pada masa sebelum kemerdekaan, ketidaksesuaian terjadi dikarenakan

lembaga perwakilan yang dimaksud oleh pihak penjajah memang bukanlah

lembaga perwakilan dalam arti sesungguhnya. Lembaga Perwakilan yang ada

hanya menyediakan wadah partisipasi saja, dan bahkan lembaga-lembaga tersebut

hanya dijadikan penasihat dari pihak penjajah saja. Pada masa pemerintahan

Soekarno mulai dari awal kemerdekaan hingga masa Demokrasi Terpimpin,

Page 151: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

349

praktik Lembaga Perwakilan seringkali tidak sesuai dengan tujuan dan

pengaturannya dikarenakan adanya keinginan revolusi yang kuat. Revolusi

dijadikan alasan kuat untuk menyelenggarakan negara yang baru itu dengan

segala sesuatu yang cepat dan tepat. Dominasi dari Soekarno merupakan langkah

nyata percepatan membangun negara. Pada sisi lain keterlibatan Lembaga

Perwakilan dianggap akan menghambat jalannya penyelenggaraan negara,

sehingga lebih baik untuk memilih jalan yang cepat. Pada masa pemerintahan

Soeharto ketidaksesuaian yang terjadi ditutupi dengan menjunjung tinggi UUD

1945, atau dapat dikatakan hanya menjunjung tinggi konstitusi saja bukan

konstitusionalisme yakni dalam pembatasan kekuasaan dan pemenuhan hak-hak

dasar. Kondisi yang demikian kemudian mematikan peranan dari Lembaga

Perwakilan. Pada masa pasca Reformasi hal demikian memang tidak terjadi.

Namun ketidaksesuaian yang terjadi adalah dikarenakan kondisi Lembaga

Perwakilan itu sendiri. Lembaga Perwakilan mengalami dilema dengan

kedudukan dan kewenangannya. Kewenangan yang dimiliki masih seringkali

pasang surut, dan tidak optimal. Pada sisi lain kewenangan yang dimiliki dapat

pula melemahkan kedudukan dan kewenangan Lembaga Perwakilan lainnya. Pada

akhirnya pengalaman dari masa ke masa tentang Lembaga Perwakilan, tidak

hanya dijadikan cerita saja namun dijadikan tolok ukur koreksi dan pembangunan

Lembaga Perwakilan ke depan.

Page 152: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

350

B. SARAN

Penyelenggaraan Lembaga Perwakilan Indonesia saat ini harus

disesuaikan kembali dengan tujuan pembentukannya. Pada saat amandemen UUD

1945 tujuannya adalah restrukturisasi Lembaga Perwakilan yang disertai dengan

penguatan check and balance. Ketiga Lembaga Perwakilan yang ada dalam

praktknya memiliki penyelenggaraan yang berbeda-beda. MPR yang dilemahkan

pasca amandemen, saat ini mencoba kembali memperluas tugas dan

kewenangannya melalui pengkajian UUD 1945, dan memasyarakatkan 4 (empat)

pilar Kebangsaan yang kontroversial itu. Pada sisi DPR, produk legislasi seakan

mengalami pasang surut. Pada setiap tahun seringkali dapat selesai sesuai

Program legislasi namun juga seringkali tidak sesuai dengan targetnya.

Permasalahan UU juga berkenaan dengan substansinya yang masih seringkali

bertentangan dengan konstitusi dan dibatalkan. Kendala yang terjadi juga pada

DPR periode 2014-2015 misalnya sangat minim dalam menghasilkan udnang-

undang yang mencapai target sesuai prolegnas. Prosedur dan permasalahan waktu

pembahasan harus dipertegas. Pada sisi lain politik legislasi diantara DPR dan

pemerintah harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap undang-undang

apa yang benar-benar dibutuhkan, sehingga waktu tidak terbuang untuk

pembahasan undang-undang yang sesungguhnya kurang penting. Pada DPD saat

ini kedudukannya selalu dicap kurang optimal karena kewenangannya yang

dianggap belum mampu memenuhi aspirasi daerah. Dapat saja kewenangan DPD

diperkuat sesuai dengan ruang lingkupnya yakni masalah-masalah daerah, apabila

kemudian adanya komitmen dari para pembentuk undang-undang. Mengapa

kemudian dalam kasus MPR dapat diperluas kewenangannya sedangkan dalam

Page 153: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

351

DPD tidak hal tidak dapat diperluasnya peran DPD melalui kewenangan,

setidaknya DPD harus mencari cara mendapatkan perhatian publik. Perhatian

publik yang dimaksud dengan melakukan kegiatan dan peningkatan aspirasi

daerah. DPD setidaknya dapat merebut simpati dari publik, sehingga dorongan

terhadap perubahan DPD dapat dilakukan. Namun apabila DPD sendiri tidak aktif

dan memberdayakan dirinya, akan sangat disayangkan APBN yang telah dialokasi

untuk DPD.

Page 154: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

352

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel

Al-Mawardi, Imam. 2006. Al-Ahkam AS-Sultaniyyah Hukum-Hukum

Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam. terjemahan Fadli Bahri.

Jakarta: Darul Falah.

Anis, Muhammad. 2013. Islam dan Demokrasi Perspektif Wilayah al Faqih.

Bandung: Mizan.

Ansary, Tamin. 2015 Dari Puncak Dunia Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam.

terjemahan: Yuliani Liputo, Jakarta: Zaman.

Ash-Shallabi, Ali Muhammad. 2016. Parlemen di Negara Islam Moderen,

Hukum, Demokrasi, Pemilu dan Golput, terjemahan Masturi Irham dan

Malik Supar, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016,

Asshiddiqie, Jimly dan Bagir Manan. 2006. Amandemen UUD 1945 dan

Pemilihan Presiden Secara Langsung Sebuah Dokumen Historis. Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Asshiddiqie, Jimly dkk. 2015. Soepomo Pergulatan Tafsir Negara Integralistik

Biografi Intelektual, Pemikiran Hukum Adat dan Konstitutionalisme.

Yogyakarta: Thafha Media.

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Pt Grafindo

Persada, 2013.

---------------------. 1996. Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam

Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia, 1996.

--------------------. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:

Sinar Grafika.

--------------------. 2013. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Pt Raja

Grafindo Persada.

--------------------.2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi RI.

Page 155: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

353

---------------- Kajian/Artikel ―Paradigma Penyelenggaraan Negara Berwawasan

Hukum‖.

----------------. Kajian/Artikel ‖Gagasan Negara Hukum Indonesia‖ .

Barber, Benjamin R. Strong Democracy Participatory Politics For a New Age.

Berkeley: University of California Press, 2003.

Basah, Sjahran. 1997. Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Negara dengan

Beberapa Pemikirnya. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Birch, Anthony. 2007.The Concept and Theories of Modern Democracy.New

York: Routlledge.

Budiarjo, Mirriam. 1980. Masalah Kenegaraan (cetakan ketiga), Jakarta: Pt

Gramedia.

---------------------. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: CV Prima Grafika.

Cahyadi, Anthonius dan Donny Danardono. 2009. Sosiologi Hukum dalam

Perubahan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm 4.

Costa, Piero dan Danilo Zolo. 2007. The Rule of Law History, Theory, and

Criticism. Dordrecht: Springer.

Couperus, Olga Tellegen. 2003. A Short History of Roman Law, London:

Routledge.

Dahl, Robert A, 2006. A Preface of Democratic Theory (Expanded Version: 50

years Anniversay). Chicago: University of Chicago Press.

Desertasi Jacomina Marsman. 1947. Indonesia - Merdeka A Study Of The

Development Of The Nationalist Movement In The Dutch East Indies

From 1900 To 1940, South California: Faculty of History Southern

California Univesity.

Disertasi Danniela Louise Cammack, rethinking of Athenian Democracy, pada

bagian pemerintahan jurusan ilmu politik, Cambridge: Harvard University,

2013

Donnel, Guilermo O dkk, 1993. Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai

Perspektif, Jakarta: LP3ES, 1993.

--------------------------. 1993. Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai

Perspektif, Jakarta: LP3ES.

Donnel, Guillermo O dan Philippe C. Schmitter. 1993. Transisi Menuju

Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Jakarta: Pt

Pustaka LP3ES.

Page 156: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

354

Dorsen, Norman. 2003. dkk, Comparatives Constitusionalism Case and

Materials, United State: West Book, 2003

Doyle, William. 2001. French Revolution a Very Short Introduction. New York:

Oxford University Press.

Dunstan, William E. 2011. Ancient Rome, Maryland: Rowman and Littlefield

Publisher.

E, APriyono dan Usman Hamid. 2014. Merancang Arah Baru Demokrasi

Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Pt Gramedia. 2014.

Efriza. 2014. Studi Parlemen: Sejarah, Konsep, dan Lanskop Politik

Indonesia. Malang: Setara Press.

F, Wertheim W, 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi Studi Perubahan

Sosial, terjemahan Misbah Zulfa Elisabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya, 1999

Frank, Jill. 2005. A Democracy of Distinction Aristotle and The Work of Politics,

Chicago: Chicago University Press.

Fukuyama, Francis. 1992. End Of History and The Last Man. United State:

Maxwell.

Gagarin, Michael. 1989. Early Greek Law, Berkeley: University California Press,

1989.

Ginsburg, Tom. 2012. Comparative Constitutional Design.New York: Cambridge

Univesity Press.

Habermas, Jurgen. 1996. Between Fact and Norm Contribution to Discourse

Theory of Law and Democracy (terjemahan William Rehg).

Massachussets: Cambridge University Press.

Hardiman, F. Budi, 2009. Demokrasi Deliberatif Menimbang Negara Hukum dan

Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta:

Kanisius.

Huda, Ni‘Matul. 2004. Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap

Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press.

Huijbers, Theo. 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Filsafat Hukum

dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.

Human Rights Quarterly; Feb 2004; 26, 1; ProQuest.

Indrianto, Sulistyowati. 2012. Kajian Sosio-legal. Denpasar: Pustaka Larasan.

Page 157: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

355

International Journal of Constitutional law, volume 10 number 4 Oktober 2012,

Oxford University Press.

Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi

Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press.

J.G Starke, J G. 1995. Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh),

terjemahan Bambang Iriana, Jakarta: Sinar Grafika.

Jahabakhsh, Farough. 2001. Islam, Democracy and Religious Modernism in Iran

(1953-2000) From Barzagan to Soroush, Leiden: Koninklijk Brill.

James, Simon. 2008. Eyewitness Ancient Rome, United State: DK Publishing.

Jedawi, Murtir. 2011. Negara Hukum, Good Governance, dan Korupsi di Daerah.

Yogyakarta: Total Media.

Joeniarto. 1990. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. Jakarta: Rineka

Cipta.

Kompas Gramedia, Muhammad Hatta Politik, Kebangsaan dan Ekonomi (1926-

1977), Jakarta: Pt Gramedia, 2015.

konstitusi Negara Iran pasca amandemen 1989

Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1981. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.

Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan C.V Sinar Bakti.

Laporan Penelitian ―Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi‖ Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan

Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005

Latif, Yudi. 2013. Negara Paripurna.Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama.

Leirissa, R Z. 1985. Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950. Jakarta:

Akademika Pressindo.

Lipjhart, Arrend. 2012. Pattern of Democracy. United State of America: Yale

University.

LP3ES. 1986. Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES: Jakarta.

Lubis, Solly. 2014. Ilmu Negara (edisi revisi), Bandung: Mandar Maju.

Lubis, Solly. 2014. Politik Hukum dan Kebijakan Publik. Bandung: Mandar Maju.

Luciano, Democracy in Europe a History of an Ideology terjemahan Simon Jones,

United State: Black Well Publishing, 2006.

Page 158: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

356

Machperson, C B. 1979. The life and Times of Liberal Democracy. Oxford:

Oxford University Press.

Maggalatung, Salman. 2012. Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dan Politik Hukum

Indonesia. Jakarta: Fokus Grahamedia.

Mahendra. 1996. Dinamika Tata Negara Indonesia, Kompilasi Aktual Masalah

Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema

Insani Press, 1996

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2010. Naskah Komprehensif

Perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Buku

III Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid I. Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi. 2010. Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku

III Jilid 2. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi, 2010.

Majalah Majelis edisi NO.02/TH.IX/Februari 2015 hlm 4.

Majid, Nurholis. 2001. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf

Paramadina.

Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tahun 1945

Malaka, Tan. 2012. Parlemen atau Sovyet, cetakan ke-4 2012, Jakarta: LPPM Tan

Malaka.

Manan, Bagir dan Susi Dwi Haryanti. 2014. Memahami Konstitusi Makna dan

Aktualisasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Marsman, Jacomina. 1947. Indonesia - Merdeka A Study Of The Development Of

The Nationalist Movement In The Dutch East Indies From 1900 To

1940.South California: Faculty of History Southern California Univesity.

Maschab, Mashuri. 2013. Politik Pemerintahan Desa di Indonesia. Yogyakarta:

PolGov UGM.

Mcllwain, Charles Howard. 1947. Constitutionalism: Ancient and Modern. New

York: Cornell University Press.

MD, Mahfud. 2012. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Mertokusumo, Sudikno. 2002. Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta:

Liberty.

Misbah Em Majid, Abu Bakar Ash Siddiq The First Khalifa, Bandung: Sygma

Creative Corp, 2013.

Page 159: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

357

Mousourakis, George. 2015. Roman Law and The Origins of Civil Law Tradition,

Switzerland: Springer.

Multatuli. 2014. Max Havelaar, alih bahasa: Andi Tenri. Yogyakarta: Narasi.

Nursati, Ali Asgar. 2015. Sistem Politik Islam. terjemahan: Musa Mouzawir,

Jakarta: Nur Alhuda.

O‘Donoghue, Aoife. 2014. Constitutionalism in Global Constitutionalisation,

United Kingdom: Cambridge University Press.

Ogilvie, R M. 1976. Early Rome and Etruscans. Great Britain: Harvester Press.

Osamu Seirei No 36 Tahun 1943

Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 25, No. 2 (2005), pp. 183–202

doi:10.1093/ojls/gqi010.

Pakpahan, Muchtar. 1994. DPR RI Semasa Orde Baru. Jakarta: Sinar Harapan.

Penetapan Presiden No 2 Tahun 1959.

Penetapan Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Bandung: Dua-R, tanpa tahun, hlm

103.

Poesponegoro, Marwati Djonoed dan Nugroho Nutosusanto. 1984. Sejarah

Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. 1984.

Przeworski, Adam. 2010. Democracy and The Limits of Self-Government,

Cambridge: Cambridge University Press..

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. 1993. Perundang-undangan dan

Yurisprudensi. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Raharjo, Satjipto. 2013. Ilmu Hukum. Pt Citra Aditya Bakti: Bandung.

Rahman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa Ke Masa, Yogyakarta:

Tanah Air Beta.

Ranawijaya, Usep. 1982. Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya,

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rapar, J H. 2001. Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Machiavelli.

Jakarta: Rajawali Press.

Ricklefs, M C. 2011. Sejarah Indonesia Moderen. terjemahan Dharmono

Hardjowijono, cetakan ke-10, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik. 2010. Tokoh-Tokoh Ahli Pikir Negara dan

Hukum dari Zaman Kuno sampai Abad ke-20. Bandung: Nuansa:

Bandung.

Page 160: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

358

Roper, Bryan S. 2013. The History of Democracy A Marxist Interpretation.

London: Pluto Press.

Rosenfeld, Michel. 1994. Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy.

United State: Duke University Press.

Sabon, Max Boli. Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: Pt Gramedia

Pustaka Utama

Sagala, Budiman. 1981. Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Samekto, Fx Adji. 2013. Hukum dalam Lintasan Sejarah. Bandar Lampung:

Indepth Publishing, 2013.

Schmid, JJ. Von. 1965. Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum,

Jakarta: Pt Pembangunan.

Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2000) Tahun Sidang 1999, Jakarta:

Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008

Seller, Mortimier dan Tadeusz Tomaszeweski (eds). 2010. The Rule of Law in

Comparative Prespective. London: Springer.

Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa. 2015. Muhammad Yamin Penggagas yang

Dihujat dan Dipuja. Jakarta: Pt Gramedia.

Sidharta, B Arief. 2013. Ilmu Hukum Indonesia Upaya Pengembangan Ilmu

Hukum yang Responsif terhadap Perubahan Masyarkat. Yogyakarta:

Rajawali Press.

Sidharta, B Arief. 2013. Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,

teori Hukum dan Filsafat Hukum. Jakarta: Refika AditamaSidharta, B

Arief. 2008. Pengantar Logika Sebuah Langkah Penalaran Medan Telaah,

Bandung: Refika Aditama,.

Sjadzali, Munawir. 2011. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.

Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji. 2012. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. 2012. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Soekarno. 1960. Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta: Yayasan Empu

Tantular,.

Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indies dari Zaman Kompeni sampai Zaman

Revolusi. Depok: Komunitas Bambu.

Page 161: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

359

Soepomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Jakarta:

Noordhoff-Kolff, 1954, hlm 168.

Soepomo. 1954. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Jakarta:

Noordhoff-Kolff.

Sri Soemantri, Tentang Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1993

Sunggono, Bambang. 2011. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Suny, Ismail. 1981. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Jakarta: Bina Aksara.

Supomo dan Djokosutono. 1954. Sejarah Politik Hukum Adat 1848-1928. Jakarta:

Djambatan.

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.

Suseno, Frans Magnis. 1995. Mencari Sosok Demokrasi, Jakarta: Pt Gramedia

Pustaka.

Tamanaha, Brian Z. 2004. On The Rule of Law: History, Politics, and Theorie.

Cambridge: Cambridge University Press.

Thornhill, Chris. 2011. A Sociology of Constitution: Constitution and State

Legitimacy in Historical and Sociological Perspective, New York:

Cambridge University Press.

Tim Litbang Kompas, 1999. Partai Politik Indonesia Ideologi, Strategi, dan

Program, Jakarta: Pt Gramedia.

Tsebelis, George dan Jeannette Money. 2003. Bicameralism, United State:

Cambridge University Press.

Tucker, Robert. 1965. Philosophy and Myth in Karl Marx. London: Cambridge

University Press, 1965.

Van Apeldorn.1959. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Noordhoff-kolff N.V

Vickers, Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern,terjemahan Arif Maftuhin,

Yogyakarta: Insan Madani, 2011.

Ville, MJC. 2010. Constitutionalism and The Separation of Powers. Indianapolis:

Liberty Fund.

Wahidin, Samsul. 1986. MPR RI dari Masa ke Masa.Jakarta: Bina Aksara.

Wahjono, Padmo. 1982. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum. Jakarta:

Ghalia Indonesia.

Page 162: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

360

Wahjono, Padmo. 1985. Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini,

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Wahjono, Padmo. 1994. Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, dalam Abu

Daud Busroh.Capita Selecta Hukum Tata Negara, Jakarta: Rineka Cipta.

Wheare, K C. 2015. Konstitusi-Konstitusi Moderen, terjemahan Imam Baehaqie,

Bandung: Nusa Media.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2008. Desentralisasi dalam Pemerintahan Kolonial

Belanda Kebijakan dalam Upaya sepanjang Babak Akhir Kekuasaan

Kolonial Indonesia (1900-1940). Malang: Bayu Media Publishing.

Wignjosoebroto, Sotandyo. 2013. Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian

Sosial dan Hukum. Malang: Setara Press.

Woodruff, Paul. 2005. First Democracy The Challenge of An Ancient Idea.

United State: Oxford University Press.

Yamin, Muhammad. 1952. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia.

Jakarta: Jambatan.

Yamin, Muhammad. 1956. Konstituante Indonesia Dalam Gelanggang

Demokrasi. Jakarta: Djambatan.

Yamin, Muhammad. 1959. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,

Jakarta: Yayasan Prapanca.

Zamroni. 2013. Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultur.Yogyakarta:

Ombak.

Internet

http://dictionary.reference.com/browse/epitaph

http://lawcenter.dpd.go.id/halaman/653-tap_mpr

http://nasional.kompas.com/read/2015/05/18/05140031/Jimly.Sudah.Dibatalkan.

MK.Frasa.Empat.Pilar.Kebangsaan.Jangan.Digunakan.Lagi

http://nasional.sindonews.com/read/971366/149/mpr-tetap-gunakan-frase-empat-

pilar-1425357694

http://news.liputan6.com/read/607766/4-pilar-kebangsaan-buah-pikiran-taufiq-

kiemas

http://news.liputan6.com/read/770721/pancasila-masuk-pilar-kebangsaan-dinilai-

kesalahan-fatal

Page 163: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

361

http://politik.news.viva.co.id/news/read/493963-mk--frasa-empat-pilar-

kebangsaan-bertentangan-dengan-uud-1945.

http://politik.rmol.co/read/2015/12/27/229579/Produk-Legislasi-Minim-Bukan-

Hanya-Tanggung-Jawab-Dewan-

http://www.antaranews.com/berita/539285/ade-komarudin-fokus-tingkatkan-

produktivitas-legislasi-dpr

http://www.antaranews.com/berita/539285/ade-komarudin-fokus-tingkatkan-

produktivitas-legislasi-dpr

http://www.britannica.com/topic/Greek-law

http://www.dpr.go.id/tentang/tahun-sidang

http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2015/10/PEMILU-1977-1997/MzQz

http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2016/9/PEMILU-1971/MzQz

http://www.kpu.go.id/index.php/pages/index/MzQz

http://www.pshk.or.id/id/blog-id/kualitas-kinerja-legislasi-2015-dari-

ketidakpatuhan-terhadap-syarat-prosedur-hingga-absennya-politik-

legislasi/

http://www.republika.co.id/berita/dpr-ri/berita-dpr-ri/16/01/13/o0w3n5219-

optimalkan-legislasi-ketua-dpr-usulkan-pengurangan-waktu-reses

http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/04/03/n3gdr4-mk-batalkan-

empat-pilar-berbangsabernegara

http://www.tempo.co/read/kolom/2013/06/21/755/19-tahun-pembredelan-

majalah-tempo

Jurnal

Journal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 10/2011, Volume 167,

Issue 4, hlm 35.

Journal Front Law China 2007, 2(3): 335–352, Higher Education Press and

Springer-Verlag, 2007.

Journal of Asian Studies (pre-1986); Aug 1966; 25,4; Art and Humanities

Jurnal Global Constitutionalism (2014), 3 : 1 , 71 – 101 © Cambridge University

Press, 2014 doi:10.1017/S204538171300005,

Page 164: DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di …digilib.unila.ac.id/21676/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdfDINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan

362

Jurnal Political Studies, 1996, XLIV.

Jurnal Social Philosophy and Policy, Januari 2011, Cambridge University Press,

hlm 27.

Jurnal Theoretical inquiries in law, edisi 8, Januari 2007.

Peraturan Perundang-Undangan dan Produk Hukum

Konstitusi RIS

Tap MPR No VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja

Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi

Negara

Tap MPR No VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja

Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi

Negara

TAP MPR No XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dpr-Gr Mengenai Sumber

Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan

Republik Indonesia

TAP MPR NOMOR I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status

Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Dan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Tata Tertib DPR RI No 10/DPR-RI/III/82-83

UU No 12 Tahun 1946 tentang Pembaharuan Komite Nasional Pusat

UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan

DPRD. DPD

UUD 1945 Pasca Amandemen

UUD 1945 sebelum amandemen

UUDS 1950