dinamika pedagang multietnis pasar klewer … · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dinamika...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DINAMIKA PEDAGANG MULTIETNIS PASAR
KLEWER SURAKARTA TAHUN 1958-1998
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh:
LIA CANDRA RUFIKASARI
C0506033
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
DINAMIKA PEDAGANG MULTIETNIS PASAR KLEWER
SURAKARTA TAHUN 1958-1998
Disusun oleh
LIA CANDRA RUFIKASARI
C0506033
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing
Dra. Sawitri Pri Prabawati, M.Pd
NIP. 195806011986012001
Mengetahui
Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum
NIP. 195402231986012001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
DINAMIKA PEDAGANG MULTIETNIS PASAR KLEWER
SURAKARTA TAHUN 1958-1998
Disusun oleh
LIA CANDRA RUFIKASARI
C0506033
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada Tanggal.............................
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Dra. Sri Wahyuningsih, M. Hum (.................................)
NIP. 195402231986012001
Sekretaris Tiwuk Kusuma Hastuti, S.S, M. Hum (................................)
NIP. 197306132000032002
Penguji I Dra. Sawitri Pri Prabawati, M. Pd (.................................)
NIP. 195806011986012001
Penguji II Drs. Sudarmono. S. U (.................................)
NIP. 194908131980031001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Drs. Sudarno, MA
NIP. 195303141985061001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Lia Candra Rufikasari
NIM : C0506033
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Dinamika Pedagang
Multietnis Pasar Klewer Surakarta Tahun 1958-1998 adalah betul-betul karya
sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan
karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam
daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh
dari skripsi tersebut.
Surakarta, 22 Desember 2010
Yang membuat pernyataan
Lia Candra Rufikasari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
Jangan pernah kamu melupakan pengalaman-pengalaman waktu lampau, karena
pengalaman-pengalaman itu dapat menjadi penuntun bagimu di kemudian hari
(Penulis)
Membaca tanpa berfikir seperti makan tanpa mencernanya
(Penulis)
Kita baru akan menyadari siapa yang menjadi teman sejati setelah kita
mengalami kesulitan dan ia tetap berada di samping kita
(Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Ayah dan Bunda tercinta
Kakak dan keluargaku
Cahyo Adi Utomo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah
SWT, yang telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya
kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
dengan judul “Dinamika Pedagang Multietnis Pasar Klewer Surakarta Tahun
1958-1998”
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik
moral, material maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat
berjalan dengan baik dan selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada:
1. Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Sastra dan Seni Rupa, serta selaku Ketua Penguji skripsi, yang banyak
memberikan masukan dan kritik yang membangun dalam proses penulisan
skripsi.
3. Dra. Sawitri Pri Prabawati, M. Pd, selaku Pembimbing skripsi yang telah
banyak memberi dorongan dan masukan yang membangun dalam proses
penulisan skripsi ini.
4. Drs. Sudarmono, S. U, selaku Penguji II skripsi, yang banyak memberikan
masukan dan kritik yang membangun dalam proses penulisan skripsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
5. Tiwuk Kusuma Hastuti, S.S, M. Hum, selaku Sekretaris Penguji skripsi, yang
banyak memberikan dorongan, masukan dan kritik yang membangun dalam
penulisan skripsi.
6. Insiwi Febriary Setiasih, S.S, M.A selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan selama penulis menjalani masa perkuliahan.
7. Segenap dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu
dan wacana pengetahuan.
8. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Laboratorium Sejarah, Perpustakaan
Daerah Kota Surakarta, Monumen Pers, Dinas Pengelolaan Pasar, Kantor
Pasar, Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK) dan Paguyuban Pedagang
Pelataran Pasar Klewer (P4K).
9. Bapak Totok Supriyanto (Lurah Pasar), Bapak Dwi Adi Prihutomo, Bapak H
Abdul Kadir, Bapak Atmanto, Ibu Fatimah, Ibu Hj. Juminten, Ibu Aminah.
10. Bapak dan Ibu (di Kalimantan) yang selalu memberikan kasih sayang dan
semangat dengan tulus ikhlas serta doa yang tidak pernah putus kepada
penulis.
11. Kakakku Mas Mei dan Mbak Sari, Keponakanku Roina dan Sila, Anik,
Budhe Nini, serta Eyang dirumah dan di Sragen, terima kasih doa dan
dukungannya.
12. Cahyo Adi Utomo, terima kasih atas masukan, nasehat, doa serta support
yang tak henti-hentinya kepada penulis dan selalu menemani penulis mencari
data dan informasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
13. Kakak-kakak tingkat: Mas Khanivan, Mas Budi Darmawan, Mas Yusuf Ari,
Mas Adit, Mas Daryadi, Mas Edi, Mas Warsita, Mbak Wulan, Mbak Mbak
Ning, Mbak Nurus, Mas Andri, Mas Wido, Mas Anjar, Mbak Meta, Mbak
Yuni, terima kasih atas masukannya
14. Teman-Temanku angkatan 2006 : Memik (terima kasih buku serta menemani
penulis mencari data), Aga (terima kasih atas bantuannya selama ini), Aditya,
Helmy, Indras, Adi, Bagus, Endah, Trisna, Dhani, Sidiq, Hasrie, Dyah,
Embri, Ulwa, Mira, Jarot, Dwi Ari, Jadi, Gilang , Ari, Candra, terima kasih
atas saran dan masukan dan teman-teman 2006 yang lain tetap kompak dan
cepat menyelesikan skripsi.
15. Sahabatku: Mbak Linda, Mbak Evi, Anggie, Evi, Fitri, Mbak Nana, Agnes,
Alimah, Devina, Mbak Heppy, Mas Wawan, Agus, Budi, Mas Adi, Dwi,
Achmad, Radit, Sugi, Mas Aji, terima kasih atas supportnya.
16. Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya penulisan
skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang
bersifat membangun, agar skripsi ini menjadi lebih baik.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surakarta, Desember 2010
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN.......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN.......................................................................... iv
HALAMAN MOTTO....................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................ vi
KATA PENGANTAR....................................................................................... vii
DAFTAR ISI..................................................................................................... x
DAFTAR TABEL............................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xiv
DAFTAR ISTILAH.......................................................................................... xv
ABSTRAK........................................................................................................ xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian....................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian..................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka........................................................................ 8
F. Metode Penelitian...................................................................... 12
1. Heuristik ............................................................................... 12
2. Kritik Sumber .......................................................................
3. Interpretasi ………………………………………………...
4. Historiografi ……………………………………………….
13
13
14
G. Sistematika.................................................................................
15
BAB II GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA
A. Deskripsi Kota Surakarta .........................................................
1. Keadaan Penduduk ………………………………………
2. Sarana dan Prasarana Kota ………………………………
16
17
20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
B. Kondisi Sosial Ekonomi........................................................... 22
C. Pasar-pasar Tradisional di Surakarta………………………….. 25
BAB III PERKEMBANGAN PASAR KLEWER SURAKARTA
TAHUN 1958-1998
A. Sejarah Pasar Klewer ............................................................... 35
B. Keadaan Pasar Klewer ………………………………………. 38
C. Asal Usul Pedagang Pasar Klewer ………………………….. 43
1. Etnis Jawa...........................................................................
2. Etnis Cina...........................................................................
3. Etnis Arab...........................................................................
4. Etnis Banjar........................................................................
43
45
48
51
D. Aktivitas Perdagangan di Pasar Klewer……………………...
1. Pedagang Batik…………………………………………...
2. Pedagang Tekstil………………………………………….
3. Pedagang Konveksi………………………………………
52
53
57
59
E. Karakter Pedagang……………………………………………
1. Pedagang Partai Besar (Grosir)…………………………..
2. Pedagang Partai Kecil (Eceran)…………………………..
60
61
63
BAB IV INTERAKSI PEDAGANG MULTIETNIS PASAR KLEWER
SURAKARTA TAHUN 1958-1998
A. Etos Kerja Pedagang………………………………………… 66
B. Jaringan Interaksi dalam Bidang Sosial Ekonomi…………….
1. Hubungan Antara Pedagang Pemilik Kios………………..
a. Pedagang Etnis Jawa dengan Cina………………...
b. Pedagang Etnis Jawa dengan Arab………………...
c. Pedagang Etnis Jawa dengan Banjar………………
2. Hubungan Antara Pedagang Pemilik Kios dengan
Pedagang Kaki Lima……………………………………...
73
75
76
80
83
87
C. Paguyuban Pedagang Pasar Klewer…………………………...
1. Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK)……………...
2. Paguyuban Pedagang Pelataran Pasar Klewer (P4K)……..
89
90
94
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
BAB V KESIMPULAN................................................................................ 95
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 98
LAMPIRAN.......................................................................................................... 102
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Penyebaran wilayah tempat tinggal etnis-etnis di Surakarta.......... 19
Tabel 2 Jumlah pedagang batik dan tekstil pemilik kios di Pasar Klewer.. 39
Tabel 3 Persebaran Warga Cina di Lima Kecamatan Kota Surakarta......... 47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta No. 5
Tahun 1983 tentang Pasar.................................................................. 106
2. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta No. 3
Tahun 1993 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta No. 5 Tahun 1983
tentang Pasar……............................................................................... 122
3. Surat Hak Penempatan untuk menempati kios Pasar Klewer
Blok DD No. 108................................................................................ 131
4. Kartu Tanda Pengenal Pedagang Pasar Klewer (KTPP).................... 132
5. Peta Daerah Persebaran Etnis-etnis di Surakarta ............................... 133
6. Denah Pasar Klewer............................................................................ 134
7. Foto Bagian dari Pasar Klewer........................................................... 137
8. Foto Karakter Pedagang di Pasar Klewer........................................... 138
9. Foto Aktivitas Perdagangan di Pasar Klewer..................................... 139
10. Foto Interaksi Sosial Ekonomi Pedagang di Pasar Klewer................. 141
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
1. Istilah
Babah Mayor/ Mayor : Pangkat tertinggi untuk etnis Cina
Barter : Pertukaran barang maupun uang.
Canting : Alat untuk membatik, yaitu untuk mengambil
hiasan pada kain mori sebagai calon kain batik
Cina Totok : Orang Cina pendatang baru
Indigo : Bahan pewarna untuk batik
Interstimulan : Timbal balik
Kapten : Kepala (pimpinan) untuk orang Arab
Pakretan : Tempat pemberhentian kereta milik abdi dalem
Keraton Kasunanan dari luar kota
Passenstelsel : Surat ijin melakukan perjalanan
Ritel : Pedagang eceran
Settlement : Menetap
Simbiosis mutualisme : Hubungan yang saling mnguntungkan bagi kedua
belah pihak
Sistem dumping : Sistem monopoli hasil perdagangan dengan cara
menjual murah barang diluar negeri dan menjual
mahal barang tersebut didalam negeri
Vortenlanden : Nama yang diberikan oleh Belanda untuk kerajaan
Surakarta dan Yogyakarta serta Mangkunegaran
dan Pakualaman
Wholesaler : Pedagang besar
Wholesaling : Perdagangan besar
Wijkenstelsel : Surat ijin tempat tinggal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
2. Singkatan
B.A.T.A.R.I : Batik Republik Indonesia
D.L.L.A.J : Dinas Layanan Lalulintas Jalan
H.P.P.K : Himpunan Pedagang Pasar Klewer
K.B.I : Koperaasi Batik Indonesia
K.P.N : Koperasi Pembatikan Indonesia
K.T.A : Kartu Tanda Anggota
K.T.P.P : Kartu Tanda Pengenal Pedagang
P.4.K : Paguyuban Pedagang Pelataran Pasar Klewer
P.K.L : Pedagang Kaki Lima
P.P.B.S : Persatuan Pengusaha Batik Surakarta
P.P.K.L : Persatuan Pedagang Kaki Lima Pasar Klewer
P.T : Perseroan Terbatas
S.H.P : Surat Hak Penempatan
S.I.P : Surat Ijin Penempatan
V.O.C : Vereenigde Oost Indische Compagnie
W.N.I : Warga Negara Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
ABSTRAK
Lia Candra Rufikasari. C0506033. 2010. Dinamika Pedagang Multietnis Pasar
Klewer Surakarta Tahun 1958-1998. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini berjudul Dinamika Pedagang Multietnis Pasar Klewer
Surakarta Tahun 1958-1998. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1)
Gambaran umum dari Kota Surakarta, (2) Perkembangan Pasar Klewer di
Surakarta pada tahun 1958-1998, (3) Interaksi antar pedagang multietnis di Pasar
Klewer Surakarta tahun 1958-1998.
Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-langkah
yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern
maupun ekstern, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah studi dokumen, studi pustaka dan wawancara. Dari
pengumpulan data, kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan
kronologisnya. Untuk menganalisis data, digunakan pendekatan ilmu sosial yang
lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan ekonomi, dan sosiologi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Surakarta banyak terdapat pasar-
pasar tradisional yang memiliki keunikan masing-masing. Selain itu Surakarta
juga menjadi pusat perdagangan bagi daerah-daerah di sekitarnya. Pasar Klewer
merupakan pasar tradisional yang ada di Surakarta dan banyak memiliki keunikan,
salah satu diantaranya pasar tersebut merupakan pasar tekstil terbesar di Jawa
Tengah, sehingga menarik animo pedagang dari berbagai golongan untuk
berdagang di Pasar Klewer. Perkembangan Pasar Klewer dari tahun 1958-1998
mengalami peningkatan, baik dalam hal jumlah pedagang kios dan para pedagang
kaki lima maupun kapasitas bangunan yang kemudian diperluas. Jaringan
interaksi yang terjalin antar pedagang Pasar Klewer yang multietnis ini sangat
baik dan sudah terjalin sejak nenek moyang dan bahkan turun temurun. Para
pedagang yang terdiri dari beberapa golongan, seperti: etnis Jawa, Cina, Arab dan
Banjar ini memiliki tujuan yang sama, sehingga mereka tidak membedakan
perbedaan golongan dan saling mengormati kepercayaan dalam berdagang. Para
pedagang di Pasar Klewer ini juga memiliki suatu organisasi yang dapat
menyatukan dan mempererat hubungan diantara para pedagang, yaitu HPPK dan
P4K.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian tentang dinamika pedagang
multietnis Pasar Klewer Surakarta tahun 1958-1998 adalah hubungan yang
harmonis antar pedagang, keselarasan dalam berdagang dan tidak membedakan
perbedaan golongan. Meskipun para pedagang Cina dan Arab menguasai sektor
perdagangan partai besar, namun mereka juga membantu para pedagang Jawa,
Banjar bahkan pedagang kaki lima. Keanekaragaman etnis di Pasar Klewer tidak
menyurutkan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi dan dapat berkembang
dengan baik tanpa saling menjatuhkan satu sama lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
ABSTRACT
Lia Candra Rufikasari. C0506033. The Dynamics Multiethnic Traders in
Klewer Market Surakarta in the Year 1958-1998. Thesis: History Department
Faculty of Letters and Fine Arts Sebelas Maret University.
The title of the research is “The Dynamics Multiethnic Traders in Klewer
Market Surakarta in the Year 1958-1998”. The objective of this research is to find
out (1) general description of the town of Surakarta, (2) Klewer Market
developments in Surakarta in the year of 1958-1998, (3) multiethnic interaction
betwen traders in the Klewer Market Surakarta in the year of 1958-1998.
This research is a historic research of which steps conducted include
heuristics, both intern and extern source critics, interpretation, and historiography.
Document study and literature review were used as techniques of collecting data.
From the data collection, the data were interpreted based on their chronology. In
order to analyze the data, other social science approaches as supporting science of
history were applied. The approaches included in this research were economic and
sociology approach.
Results showed that in Surakarta numerous traditional markets that have
the uniqueness of each. Surakarta in addition also a tranding center for
surrounding areas. Klewer market is a traditional market in Surakarta and many
unique, one of which market is the largest textile market in Central Java, and
attracted the interest of traders from various group to trade in the market Klewer.
So that Klewer market developments from the year 1958-1998 has increased, both
in terms of number of traders stall and street vendors as well as capacity building
which later expanded. Network interaction that exists between a multiethnic
Klewer market trader is excellent and has been stranded since the common
ancestor and even form generation to generation until now. Traders consisting of
several groups, such as: ethnic Javanese, Chinese, Arabs and ethnic Banjar has the
same goal, so they do not distinguish differences in class and mutual respect trust
in trade. Klewer market traders also has an organization that can unite and
strengthen the relationship between the merchants of HPPK and P4K.
The conclusions can be drawn from researsch on the dynamics of a
multiethnic Klewer market traders in Surakarta in the year of 1958-1998 is a
harmonious relationship between traders, harmony in the trade and did not
distinguish the difference in class. Although the Chinese and Arab traders
controlled trade bulk, but they also help the traders of Javanese, Banjar, and even
street vendors. Klewer ethnic diversity in the market did not discourage them to
conduct economic activities and to develop properly without dropping each one
another.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan sosial ekonomi di Indonesia, diawali dengan kedatangan
para pedagang Indonesia kuno atau pada masa pra penjajahan. Keadaan sosial
ekonomi, setelah kedatangan bangsa barat, telah mengalami banyak perubahan.
Indikator dari kegiatan ekonomi pada masa lampau nampak pada aktivitas
perdagangan dan pelayaran yang terkosentrasi di daerah perkotaan.1
Aktivitas perekonomian yang ada di berbagai daerah tidak dapat
dipisahkan dari adanya sektor pasar. Biasanya suatu pasar pada waktu tertentu
berfungsi juga sebagai pasar barang dari tanah asing bagi saudagar perantauan.
Begitu juga dengan daerah-daerah atau kota di Jawa, khususnya Jawa Tengah,
yang perekonomian mereka pada masa kerajaan masih tergantung pada aktivitas
perdagangan. Aktivitas perdagangan yang dilakukan pada awalnya masih bersifat
sederhana, dimulai dengan adanya sistem barter atau pertukaran uang hingga
mereka mengenal mata uang yang dijadikan sebagai alat transaksi dalam
perdagangan.2
Bagi kehidupan bermasyarakat Indonesia pasar menjadi salah satu tempat
berinteraksi dan berkomunikasi, bagi masyarakat desa maupun masyarakat kota
1 Sukanto Reksohadiprojo dan Ar. Kaseno, 1981, Ekonomi Perkotaan, Yogyakarta:
BPFE, hal:1
2 Sartono Kartodirdjo, 1977, Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial, Jakarta:
Bhatara Karya Aksara, hal: 13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
yang memandang pasar sebagai pusat kegiatan jual-beli. Pasar sebagai pusat
komunikasi dan interaksi, maka keadaan pasar sangat ramai, namun dibalik itu
banyak hal yang dapat dikaji.
Asal usul pasar telah ada sejak jaman kuno. Masyarakat telah melakukan
perdagangan satu sama lain sejak jaman es.3 Adanya pasar di dalam kota-kota
kerajaan, maupun di kota-kota yang bukan pusat kerajaan, sangatlah erat
hubungannya dengan sifat corak kehidupan ekonomi kota itu sendiri. Kota,
dilihat dari pengertian ekonomi adalah suatu tempat menetap (settlement) di mana
penduduknya terutama hidup dari perdagangan dari pada pertanian.4
Baik pasar dalam perkampungan pedagang-pedagang asing maupun di
pusat kota-kota atau di bagian lain dari kota, tidaklah lepas dari kepentingan
ekonomi masyarakat kota. Bagi kepentingan golongan atas, pasar tidak dapat
diabaikan, terutama karena merupakan hasil pendapatan bagi mereka. Pasar yang
terdapat di kota-kota pusat kerajaan atau mungkin di kota lainnya, merupakan
salah satu sumber penghasilan Raja atau Penguasa setempat, serta kaum
bangsawan atau kaum elite. Hubungan kota dengan desa disekitarnya juga tidak
dapat dipisahkan dalam kehidupan perekonomian karena saling tergantung.
Munculnya pasar tidak dapat lepas dari kebudayaan masyarakat setempat.
Pasar yang merupakan komponen penting bagi kehidupan penduduk merupakan
ciri khas dari suatu kota, baik dalam pusat kota maupun kota pinggiran. Hal ini
3 Robert L. Heilbroner, 1994, Terbentuknya Masyarakat Ekonomi, Jakarta: PT. Bumi
Aksara, hal: 27
4 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993, Sejarah Nasional
Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka, hal: 265
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
karena, pasar itu sendiri sebagai himpunan masyarakat dari berbagai tempat.
Berkaitan dengan masalah ini tentunya bagi mereka yang kehidupannya
menitikberatkan pada perdagangan. Dalam kehidupan sehari-hari, lembaga pasar
sangat berperan penting. Dapat dikatakan bahwa kemajuan atau kemunduran taraf
kehidupan masyarakat sangat ditentukan oleh lembaga pasar itu. Keadaan
demikian tentunya merupakan sesuatu yang menarik untuk diteliti.
Pada dasarnya pasar pada suatu masyarakat ditentukan oleh fungsinya,
yaitu sebagai tempat untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain,
serta sebagai tempat transaksi jual beli barang dan jasa antara anggota masyarakat
dari berbagai golongan, seperti Pasar Klewer di Surakarta. Pasar Klewer dirintis
sejak jaman penjajahan Jepang, yang pada saat itu kehidupan warga Surakarta
banyak mengalami kesulitan. Berawal dari kehidupan yang serba sulit ini
kemudian sejumlah orang berinisiatif untuk berjualan pakaian dan kain. Waktu itu
lokasinya terletak di sebelah timur pasar Legi atau kawasan kantor air minum dan
pasar Burung.
Sejumlah orang ini menjajakan pakaian dan kain dengan cara
menggantungkannya di pundak, dan berjalan hilir mudik di lingkungan tersebut,
yang tentu saja barang dagangannya menjuntai ke bawah tidak beraturan atau
istilah orang jawa “kleweran”. Berhubung komunitas tersebut belum memiliki
nama, maka disebutlah pasar Klewer. Pemerintah saat itu menilai bahwa lokasi
seputar pasar Klewer kotor, maka lokasi pasar dipindah di sebelah selatan Masjid
Agung, atau di sebelah barat gapura Keraton Kasunanan Surakarta, menyatu
dengan pasar Slompretan yang sudah ada sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Sekitar tahun 1957-1958 pasar Klewer diperluas ke barat, dengan
memindahkan pasar sepeda ke alun-alun selatan dan pasar burung dipindah ke
Widuran, karena lokasi ini akan digunakan untuk berjualan tenun dan batik. Pada
tahun 1969 kondisi pasar sudah tidak memenuhi persyaratan ekonomis, kesehatan,
dan perkembangan kemajuan pembangunan. Pemerintah kemudian merenovasi
pasar hingga memiliki bagunan dengan dua lantai. Peresmiannya dilakukan oleh
Presiden Soeharto pada 7 Juni 1971 dengan nama tetap Pasar Klewer.5
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, keberadaan
pasar Klewer semakin dikenal sebagai pusat tekstil di Jawa Tengah. Hal ini
mengakibatkan orang dari berbagai penjuru daerah, tidak hanya dari pulau Jawa
tetapi juga dari Sumatra, Lombok, Kalimantan berdatangan ke Surakarta untuk
mencari barang dagangan. Melihat keadaan pasar Klewer yang berkembang
sangat pesat, akibatnya memancing animo pedagang untuk berjualan di
lingkungan pasar Klewer, sehingga keberadaannya sangat mengganggu
kelancaran arus lalu lintas dan menganggu pedagang yang mempunyai Surat Ijin
Penempatan (SIP). Untuk mengatasi hal tersebut oleh Pemkot Solo pada tahun
1985 membangun pasar Klewer Timur yang letaknya berhimpitan dengan pasar
Klewer lama, peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah H.M Ismail
pada 17 Desember 1986.
Karakter pedagang di Pasar Klewer ini terdiri dari berbagai etnis, baik
etnis Jawa, suku Banjar, etnis Cina maupun Arab. Hubungan diantara kalangan
pedagang ini meskipun rumit, namun terjalin suasana “mutual Simbiosis”.
5 http://labucyd.blog.uns.ac.id, diakses pada tanggal 10 Juni 2010.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Disebut rumit karena pedagang yang berada di pasar ini terdiri dalam skala usaha,
mulai dari pedagang besar atau grosir, pedagang biasa hingga pedagang pengecer.
Meskipun terdapat perbedaan kepentingan diantara mereka, tetapi juga terdapat
semacam aturan, sehingga tidak terjadi persaingan yang tidak sehat.6
Etnis Arab yang terdapat di wilayah Surakarta ini berada di sekitar Pasar
Kliwon, sebelah timur Kasunanan Surakarta. Tempat tersebut dinamakan
perkampungan Arab, yang menjadi pemimpinnya adalah Kapten Arab Sungkar.7
Orang Arab tersebut bekerja sebagai pengusaha batik di pasar Klewer. Meskipun
orang Arab di kelompokkan dalam golongan Timur Asing, namun mereka banyak
berhubungan dengan orang pribumi. Kesamaan agama dan kepentingan ekonomi
yang melandasi masyarakat Arab ini lebih mendekatkan mereka dengan kalangan
penduduk pribumi daripada dengan kalangan penguasa Eropa maupun kelompok
Cina.
Kelompok Timur Asing lainnya adalah etnis Cina. orang-orang Cina di
Surakarta menempati wilayah Balong, Coyudan dan lain sebagainya, sehingga
tempat tersebut dinamakan kampung Pecinan. Masyarakat Cina ini dipimpin oleh
Babah Mayor dan banyak bekerja menjadi pengusaha di sekitar pasar Klewer.
Mereka hampir mendominasi di pasar tersebut, meskipun masih terdapat etnis lain
selain masyarakat keturunan Cina, yaitu Arab dan pribumi.
6 M. Hari Mulyadi, dkk, 1999, Runtuhnya Keraton Alit: Studi Radikalisasi Wong Solo
dan Kerusuhan Mei 1998, Surakarta: LPTP, hal: 266
7 Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, 2006, “Solo Kota Dagang”, Laporan Penelitian,
Surakarta: FSSR UNS, hal: 37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Pasar Klewer yang merupakan pasar tekstil terbesar di Surakarta, bahkan
Jawa Tengah ini banyak memperdagangkan hasil kerajinan batik dari masyarakat
sekitar maupun dari daerah lain. Bagi kehidupan masyarakat Surakarta, dapat
dilihat bahwa setiap hari masyarakat memenuhi pasar-pasar yang ada, meskipun
belum tentu mereka mendapatkan barang yang mereka inginkan sesuai dengan
harga yang diberikan oleh pedagang. Dengan demikian munculnya pasar-pasar
modern akan semakin banyak alternatif dari para konsumen untuk menentukan
pilihannya, tetapi pasar-pasar tradisional yang juga masih banyak peminatnya.
Tetapi bagaimanapun juga pasar tradisional tetap menjadi urat nadi ekonomi
rakyat.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas dan jelas tentang interaksi
pedagang Pasar Klewer yang terdiri dari etnis Jawa, Banjar, Cina dan Arab,
khususnya pada tahun 1958-1998, yang ditandai dengan perluasan wilayah pasar
seperti sekarang ini, maka penelitian ini mengambil judul “ Dinamika Pedagang
Multietnis Pasar Klewer di Surakarta Tahun 1958-1998.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran umum kota Surakarta?
2. Bagaimana perkembangan Pasar Klewer di Surakarta pada tahun 1958-
1998?
3. Bagaimana interaksi antar pedagang yang multietnis di pasar Klewer
Surakarta pada tahun 1958-1998?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui gambaran umum dari kota Surakarta.
2. Untuk mengetahui perkembangan pasar Klewer di Surakarta pada tahun
1958-1998.
3. Untuk mengetahui interaksi antar pedagang yang multietnis di pasar
Klewer Surakarta pada tahun 1958-1998.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
D. Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dapat menjelaskan melalui penulisan hasil
penelitian secara deskriptif analisis berdasarkan data-data yang relevan dengan
inti permasalahan, diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang
perkembangan dan dinamika pedagang multietnis Pasar Klewer di
Surakarta.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat
khususnya masyarakat Surakarta, mengenai perkembangan dan dinamika
pedagang multietnis Pasar Klewer di Surakarta.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini menggunakan beberapa literatur dan referensi yang relevan
dan dapat menunjang tema yang dikaji. Literatur tersebut akan dijadikan sebagai
bahan acuan untuk mengkaji, menelusuri dan mengungkapkan pokok-pokok
perasalahan. Literatur yang digunakan antara lain:
Buku karangan Clifford Geertz, yang berjudul Penjaja dan Raja, 1983.
Dalam buku ini menceritakan mengenai suatu pranata ekonomi dan cara hidup
yang membuktikan bahwa pasar merupakan suatu gaya umum dari kegiatan
ekonomi yang mencangkup semua aspek dari masyarakat, sebagai contoh dua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
kota di Indonesia, yaitu Mojokuto sebagai kota pasar dan Tabanan sebagai
Kotaraja di Bali. Selain itu juga, dijelaskan pula bahwa kedua kota tersebut
menjadi pusat pemerintahan, perdagangan dan pendidikan. Keduanya merupakan
gelanggang setempat bagi pertemuan kebudayaan antara timur dan barat,
tradisionil dan modern serta lokal dan nasional, dan keduannya menunjukkan
bukti-bukti yang jelas bahwa disitu sedang terjadi perubahan-perubahan sosial,
politik dan ekonomi. Meskipun dari segi kebudayaan kedua kota itu berlainan dan
struktur sosialnya juga menunjukkan perbedaan tertentu yang penting, namun
keduannya timbul dari tradisi historis yang sama. Hal ini sama seperti keadaan di
kota Surakarta yang banyak terdapat berbagai etnis namun dengan adanya pasar
Klewer tersebut dapat saling berinteraksi dalam bidang budaya maupun sosial
ekonomi.
Geertz juga menyebutkan tentang tiga tipe pasar dan tiga sudut
pandangnya dalam memahami pasar, antara lain sebagai arus barang dan jasa
menurut pola tertentu. Tipe yang kedua yaitu sebagai rangkaian mekanisme
ekonomi untuk memelihara dan mengatur arus barang dan jasa tersebut.Tipe yang
terakhir yaitu sebagai sistem sosial dan kebudayaan, yang mekanisme itu
tertanam. Selain itu, terdapat ekonomi pasar yang merupakan suatu perekonomian
dimana arus total perdagangan terpecah-pecah menjadi transaksi antara orang
yang satu dengan yang lainnya yang masing-masing tidak ada hubungan, dan
dalam jumlah yang besar. Mekanisme ekonomi yang mengatur dan memelihara
arus barang dan jasa dalam pasar, seperti: sistem harga luncur yang cenderung
menciptakan suatu situasi yang tekanan persaingan bukan pertama-tama antara
penjual dengan penjual seperti lazimnya, melainkan antara pembeli dan penjual.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Pola ini hanya memusatkan seluruh perhatian pedagang pada masing-masing
transaksi, tujuannya adalah selalu berusaha mendapatkan keuntungan sebanyak-
banyaknya dari transaksi jual beli yang dilakukan.
Peranan Pasar pada Masyarakat Pedesaan (Pasar “Nayak” Wamena),
yang ditulis oleh Tejo Wahyono, dkk, 1987. Buku ini mengulas tentang peranan
Pasar sebagai pusat ekonomi dan peranan pasar sebagai pusat kebudayaan, juga
mengenai masyarakat pedesaan. Selain itu, pasar tidak hanya sebagai tempat jual-
beli, namun juga tempat bertemu, tempat berinteraksi antara anggota masyarakat
dari berbagai golongan dan berbagai angkatan. Munculnya interaksi, secara
sengaja atau tidak maka terjadi transformasi nilai-nilai budaya.
Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit” (Studi Radikalisasi Sosial “wong
Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta), karangan M. Hari Mulyadi, dkk,
tahun 1999. Buku ini meyoroti mengenai kondisi sosial, politik, ekonomi,
kultural, pertahanan dan keamanan di Surakarta selama Orde Baru dan terutama
menjelang terjadinya kerusuhan. Sebelumnya juga dimulai dengan meninjau kota
Surakarta dalam perspektif historis, baik sejak masa dualisme pemerintahan
(kolonial dan Keraton Surakarta Hadiningrat) hingga pemerintahan dibawah
Negara Republik Indonesia. Pembahasan mengarah kepada berbagai kebijakan
politik maupun politik ekonomi, dengan fenomena kondisi sosial ekonominya.
Kemudian mencoba melihat mengenai hubungan antar etnis di Surakarta dan
interaksinya. Di Surakarta terdapat model perkampungan homogen seperti nama
kampung dan model perkampungan yang heterogen seperti model perkampungan
orang Eropa, Suku Banjar, Etnis Cina, Etnis Arab.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Robert L. Heirbroner, dalam buku Terbentuknya Masyarakat Ekonomi,
1982. Robert membedakan jenis pasar dari sudut pandang pembentukannya, yaitu
pasar yang timbul dengan sendirinya dan yang disengaja. Jenis pasar yang
pertama, biasanya terdapat di tempat-tempat yang strategis untuk berdagang,
seperti di tepi jalan besar, dekat pemukiman penduduk dan lain sebagainya. Jenis
pasar yang kedua yaitu berhubungan dengan keinginan penguasa untuk memenuhi
kebutuhan penduduk.
Penelitian Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah tentang Solo Kota Dagang,
2006. Laporan ini banyak menjelaskan mengenai keadaan kota Surakarta seperti
alat transportasi, pola pemukiman, pasar-pasar, bandar dan tempat-tempat
bersejarah lainnya. Faktor tersebut sangat menunjang sistem perdagangan,
misalnya dengan adanya pasar di pusat kota maka disekitar pasar tersebut akan
dibuat jalur transportasi untuk kelancaran dalam berdagang dan memudahkan para
konsumen. Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka berkembang pula
jumlah penduduk dan jumlah srtuktur yang dibutuhkan masyarakat dalam
menunjang kehidupannya. Pola pemukiman masyarakat di kota Surakarta yang
heterogen, sehingga setiap masyarakat atau etnis menempati wilayah tertentu,
seperti etnis Cina yang pola pemukimannya di daerah Pecinan, etnis Arab yang
terdapat di Pasar Kliwon serta masyarakat Banjar yang berada di kampung
Jayengan.
Tesis Karya Sudarmono, Munculnya Kelompok Pengusaha Batik Laweyan
Awal Abad XX, 1987, menjelaskan masyarakat Laweyan yang tumbuh menjadi
komunitas pengusaha diantara komunitas sosial yang lebih besar yaitu Keraton
dan rakyat Surakarta. Tulisan ini dijelaskan bagaimana Laweyan menjadi derah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
yang memiliki karakter sosial yang berbeda. Masyarakat Laweyan
mengembangkan gaya hidup yang berlawanan dengan para priyayi yang suka
berfoya-foya, feodalistis dan berpoligami. Melalui perdagangan batik, para
saudagar laweyan mampu menunjukkan kekayaan yang menyaingi para
bangsawak keraton. Peningkatan kekayaan para saudagar batik diikuti dengan
naiknya status sosial mereka sebagai “mbok mase” yaitu gelar diluar gelar
kebangsawanan sebagai majikan wanita pemilik perusahaan batik di Laweyan.
Status dan kekayaan ini diperoleh berkat etos kerja pedagang yang sangat berbeda
dengan priyayi.
F. Metode Penelitian
Metode merupakan cara yang di gunakan untuk menggunakan penelitian
terhadap data dan fakta yang objektif agar sesuai dengan tujuan penelitian,
sehingga dapat terbukti secara ilmiah. Sesuai dengan permasalahan yang dibaas,
maka metode yang digunakan adala metode historis. Menurut Louis Gottschalk
yang dimaksud dengan metode historis adalah proses menguji dan menganalisis
secara kritis rekaman dari pengalaman masa lampau.8 Metode historis ini terdiri
dari empat tahap yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya,
yaitu:
a. Heuristik, merupakan suatu proses pengumpulan bahan atau sumber-sumber
sejarah atau data-data baik dokumen hasil wawancara maupun buku-buku.
Dokumen yang terkumpul seperti berita dalam koran Dharmo Kanda terbit
8 Louis Gottschalk, 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press. Hal: 32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
tahun 1978 tentang ”Mula Bukane Jeneng Pasar Klewer”, yang di dalamnya
di bahas mengenai sejarah pasar Klewer yang dulunya bernama Pasar
Slompretan, dan data-data yang diperoleh dari Dinas Pengelolaan Pasar,
Kantor Pasar, Kantor HPPK (Himpunan Pedagang Pasar Klewer) dan P4K
(Paguyuban Pedagang Pelataran Pasar Klewer), seperti data-data mengenai
pedagang Pasar Klewer, sejarah Pasar Klewer dan dinamika Pasar Klewer.
Wawancara dilakukan terhadap informan yaitu Totok Supriyanto, Dwi Adi
Prihutomo, Atmanto, H. Abdul Kadir, Maryono, Juminten, Fatimah dan
Aminah. Proses yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan bahan buku,
koran dan majalah di Laboratorium Sejarah, Perpustakaan Sastra dan Seni
Rupa, Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Dinas Pengelolaan
Pasar, Pusdok Solopos, Rekso Pustoko Mangkunegaran, Perpustakaan dan
Arsip Daerah Kota Surakarta dan Monumen Pers. Karena di tempat tersebut
banyak terdapat sumber-sumber primer yang sangat membantu dalam
penulisan penelitian ini.
b. Kritik sumber, yang bertujuan untuk mencari keaslian sumber yang diperoleh
melalui kritik intern dan kritik ekstern.9 Kritik intern ini bertujuan untuk
mencari keaslian isi sumber atau data yang diperoleh dari Monumen Pers dan
Dinas Pengelolaan Pasar. Sedangkan kritik ekstern bertujuan untuk mencari
keaslian sumber yang telah diperoleh tersebut.
c. Interpretasi, adalah penafsiran terhadap fakta-fakta yang dimunculkan dari
data-data yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan tema yang dibahas,
9 Dudung Abdurrahman. 1999. Metode penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
hal: 58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
berdasarkan hasil data yang telah di peroleh dari Monumen Pers dan Dinas
Pengelolaan Pasar. Tujuan dari interpretasi ini adalah menyatukan sejumlah
fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah dan bersama teori
disusunlah fakta tersebut kedalam interpretasi yang menyeluruh.10
Untuk
analisa terhadap data-data dilakukan secara deskriptif kualitatif karena data-
data yang dikumpulkan pada dasarnya adalah data-data kualitatif. Analisa
setelah data-data yang terkumpul, kemudian diinterpretasikan, ditafsirkan,
dan dianalisis dengan sebab akibat dari suatu fenomena sosial pada cakupan
waktu dan tempat tertentu.
d. Historiografi, yaitu proses penulisan sejarah sebagai langkah akhir dari
penelitian sejarah, dimana dalam menyajikan hasil penelitian ini berupa
penyusunan fakta-fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus
disusun menurut teknik penulisan sejarah.
10 Ibid, hal: 64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan sistematika penulisan
yang terbagi dalam lima bab pokok pembahasan, yang urutannya sebagai berikut:
BAB I, merupakan bab pendahuluan yang mencangkup mengenai garis
besar penulisan skripsi yang di dalamnya memuat: latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian dan sistematika skripsi.
BAB II, merupakan gambaran umum mengenai kota Surakarta, serta
mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar dan keadaan pasar-pasar
tradisional pada saat itu.
BAB III, dibahas mengenai perkembangan pasar klewer pada tahun 1958-
1998, mencangkup mengenai sejarah pasar Klewer, keadaan pasar klewer,
mengenai asal usul pedagang pasar Klewer yang multietnis tersebut serta aktivitas
dan karakter pedagang di Pasar Klewer.
BAB IV, mengkaji mengenai interaksi antar pedagang pasar Klewer yang
multietnis baik dalam bidang sosial maupun ekonomi, serta paguyuban pedagang
Pasar Klewer.
BAB V, bab ini merupakan bab akhir yang akan mengungkapkan
kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
BAB II
GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA
A. Deskripsi Kota Surakarta
Surakarta merupakan bagian Vortenlanden di samping daerah Yogyakarta.
Surakarta yang sebagai suatu wilayah geografis dan administrasi pemerintahan
mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan kota Surakarta
mengikut proses pembentukan konvensional, yaitu dari suatu fungsi agraris ke
fungsi non agraris. Fungsi administrasi pemerintahan yang mula-mula berfungsi
sebagai kedudukan feodal (kerajaan), untuk selanjutnya dipindahkan pada sistem
pemerintahan kolonial, dan akhirnya sampai pada sistem pemerintahan demokratis
dengan status sebagai kotamadya.
Kota Surakarta terletak pada ketinggian 200 meter di atas permukaan laut,
di sebelah kiri Bengawan Sala, dan pada kedua belah tepi Sungai Pepe. Sebagian
besar kota tersebut masuk dalam wilayah Kasunanan dan kurang lebih seperlima
bagian merupakan daerah Mangkunegaran. Daerah Kasunanan di dalam kota
dikenal dengan nama daerah kidulan. Sebutan ini mungkin dihubungkan dengan
letak keraton yang berada di sebelah selatan, sedangkan istana Mangkungaran
terletek di sebelah utara jalan raya Purwasari dan jalan trem yang menghubungkan
Boyolali dan Wonogiri yang seakan-akan menjadi batas kedua daerah tersebut.1
Kota Surakarta sebagai pusat kerajaan tradsional Mataram, menunjukkan
ciri-ciri feodal agraris karena letak geografisnya yang dikelilingi oleh daerah
pertanian. Selain faktor geografis, pertumbuhan dan perkembangan kota Surakarta
1 Darsiti Soeratman, 2000, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Yogyakarta:
Penerbit Taman Siswa, hal: 84
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
tidak lepas dari faktor politik saat itu. Pengaruh politik dari Belanda yang semakin
intensif terutama di Pulau Jawa, yang ikut menentukan pertumbuhan kota
Surakarta, yakni kota Surakarta dijadikan sebagai pusat administrasi pemerintahan
kolonial. Ikut campurnya pemerintah asing ini mengakibatkan masuknya unsur-
unsur asing.
1. Keadaan Penduduk
Penduduk atau masyarakat merupakan salah satu komponen terpenting
dalam masalah perkotaan. Pertumbuhan, perkembangan, serta penyebarannya
sering kali menimbulkan efek sosial yang menjadi perhatian pemerintah daerah
setempat. Perkembangan penduduk yang cepat menyebabkan struktur penduduk
mengalami perkembangan juga. Struktur penduduk dari segi mata pencaharian
akan mengalami varias yang labil. Mata pencaharian penduduk akan berubah
seiring dengan perkembangna ekonomi dan potensi yang ada. Kependudukan
merupakan salah satu bidang yang menjadi perhatian pemerintah dalam proses
pembangunan, dimana dalam masalah kependudukan nantinya akan memuat
kuantitas penduduk seperti jumlah penduduk, persebaran penduduk, angkatan
kerja serta kualitas penduduk seperti pendidikan dan kesehatan.
Seperti penduduk Surakarta yang bersifat homogen. Dalam hal
pemukiman, tampak adanya segregasi yang nyata antara lapisan penduduk. Hal ini
sesuai dengan pembagian pelapisan sosial yang dilakukan oleh pemerintah
Belanda pada tahun 1854 dengan membagi-bagi penduduk menjadi tiga
kelompok, yaitu Eropa (Europeesche), Timur Asing (Vreemde Oosterlingen)
seperti Cina, Arab, India dan yang terakhir adalah Pribumi (Inlanders).2
2 Cahyo Adi Utomo, 2010, “Peran Etnis Cina dalam Perdagangan di Surakarta pada
Tahun 1959-1998”, Skripsi, Surakarta: FSSR UNS, hal: 35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Mayoritas penduduk kota Surakarta adalah orang Jawa, dan lainnya
merupakan pendatang dari luar daerah seperti Banjar dan Melayu, bahkan
keturunan etnis luar Indonesia seperti Eropa, Cina dan Arab yang telah menetap
dan menjadi bagian dari kota Surakarta karena telah berkewarganegaraan
Indonesia. Sebagian dari mereka telah mempunyai perkampungan tersendiri,
seperti komunitas keturunan Arab dikenal berada di Kecamatan Pasar Kliwon,
komunitas orang Cina di daerah Pecinan, sedangkan untuk pendatang dari
golongan pribumi seperti orang Banjar di Kampung Banjaran, orang Madura di
Kampung Sampangan dan sebagainya.
Pola pemukiman di Kota Surakarta pada awal abad ke-20 bersifat
pluralistis dan menunjukkan stratifikasi sosial dengan pengelompokan yang
sangat menyolok. Bentuk pelapisan sosial yang memisahkan antara
perkampungan Eropa dengan etnik lain merupakan wujud diskriminasi yang pada
awalnya telah diatur untuk kepentingan dan keamanan Pemerintah Kolonial
Belanda. Perkampungan Pecinan untuk orang-orang Cina ditunjukkan untuk
mengawasi gerak-gerik mereka yang ditempatkan di Sekitar Pasar Gede, diurus
oleh kepala yang diambil dari etnik yang sama, dan diberi pangkat Mayor. Di
kalangan penduduk setempat di kenal dengan sebutan Babah Mayor. Demikan
halnya dengan orang-orang Arab, mereka ditempatkan di wilayah sekitar Pasar
Kliwon, dan diurus oleh kepala dengan pangkat Kapten. Sedangkan
perkampungan untuk penduduk bumiputra terpencar di seluruh kota.3
3 Rustopo. 2007, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di
Surakarta 1895-1998, Yogyakarta: Ombak, hal: 19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Tabel 1
Penyebaran wilayah tempat tinggal etnis-etnis di Surakarta
No Etnis Wilayah tinggal
1. Jawa Tersebar di seluruh kota, etnis Jawa
merupakan etns mayortas di Surakarta
2. Cina Daerah Pasar Gede, Balong, Kecamatan
Jebres, Kelurahan Sudroprajan, Jagalan,
Langenharjo, Kecamatan Banjarsari,
Gilingan, Kestalan, Timuran, Setabelan
dan Solo Baru.
3. Arab Kecamatan Pasar Kliwon (Kecamatan
Pasar Kliwon, Semanggi, dan Kedung
Lumbu)
4. India dan Eropa Loji Wetan
Sumber: Eka Deasy Widyaningsih, 2007: 40
Pertumbuhan penduduk di Surakarta tidak lepas dari adanya mobilitas
sosial yang relatif cukup singkat sehingga mendorong terjadinya peningkatan
kepadatan penduduk di wilayah Surakarta. Mobilitas tersebut pada awalnya
diakibatkan oleh faktor penarik kota yaitu kota Surakarta telah tumbuh menjadi
kota yang modern dengan segala fasilitas penunjangnya. Meningkatnya jumlah
penduduk di dalam kota kerena luas daerah itu sendiri tidak mungkin bertambah,
sehingga pertambahan jumlah penduduk dengan pertumbuhan aspek lainnya tidak
berjalan dengan seimbang yang menyebabkan masalah sosial dan ekonomi
diantaranya terlihat kesenjangan diantara masyarakat, pemukiman kumuh, tingkat
kriminalitas yang meningkat, pengangguran dan sebagainya.
Namun jika melihat perkembangan-perkembangan yang ada, wilayah
Surakarta bisa menjadi sebuah kota yang dapat berfungsi sebagai kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
perdagangan. Di daerah ini telah terdapat banyak pusat perdagangan, seperti
adanya pasar tradisional maupun pusat perbelanjaan yang lebih modern. Selain itu
banyaknya perusahaan juga dapat menjadikan sebagai kota industri.
Perkembangan kota Surakarta tampaknya tidak hanya bertumpu pada sektor
pertanian saja, namun sudah berkembang dalan sektor lainnya.
2. Sarana dan Prasarana Kota
Adanya fasilitas yang lengkap dalam suatu daerah atau kota, akan
mempengaruhi kehidupan dan kemajuan masyarakatnya. Disadari atau tidak
bahwa kesehatan masyarakat yang baik akan menunjang pembangunan. Manusia
yang sehat akan lebih produktif sehingga akan memberi sumbangan kepada
keberhasilan dalam pembangunan. Selain itu usaha-usaha pendidikan juga
termasuk dalam usaha untuk mengembangkan sumber daya manusia. Kebutuhan
pendidikan sekarang telah menjadi kebutuhan pokok. Untuk bisa menyediakan
tenaga kerja yang terdidik dan terampil perlu pendidikan yang baik.4 Selain
fasilitas kesehatan dan pendidikan, sarana-sarana yang lain juga sangat diperlukan
untuk perkembangan suatu daerah. Misalnya: pasar, jalan yang baik, sarana
transportasi dan lainnya.
Salah satu prasarana ekonomi yang penting adalah adanya pasar. Pada
tahun 1960-an, wajah kota Surakarta masih diwarnai pasar-pasar tradisional,
seperti: Pasar Gede, Pasar Klewer, Pasar Kliwon, Pasar Tanggul, Pasar Ledoksari,
Pasar Jebres, Pasar Legi, Pasar Singosaren, Pasar Kembang, Pasar Kadipolo,
Pasar Nangka, Pasar Harjodaksino, Pasar Kleco, Pasar Kabangan, dan Pasar
Laweyan. Sedangkan pada tahun 1980-an dibangun lagi pusat pertokoan,
4 Sukanto Reksohadiprojo dan Ar. Kaseno, 1985, Ekonomi Perkotaan, Yogyakarta:
BPFE, hal: 67
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
beberapa super-market, puluhan hotel, ratusan bank, puluhan bioskop, ratusan
warung telekomunikasi, dan lain-lain. Ada empat tekstil yang dibangun di sekitar
Surakarta, yaitu: PT. Sritex, PT. Batik Keris atau Dan Liris, PT. Tyfountex, PT.
Danarhadi atau Kusumahadi, dan satu perusahaan obat-obatan yang cukup besar
yaitu PT. Konimex, serta perusahaan jamu yang terkenal, PT. Air Mancur.5
Pada tahun 1980-an pembangunan jalan dan sarana transportasi, selain
untuk memberikan fasilitas umum yang nyaman, juga untuk mendukung
perkembangan sektor industri, ekonomi, dan pariwisata, khususnya untuk
distribusi barang dan jasa. Pembangunan jalan di dalam Kota Surakarta
disesuaikan dengan suatu pola, yang menempatkan Jalan Slamet Riyadi sebagai
poros utama kota. Pembangunan jalan ke luar kota disesuaikan atau dihubungkan
dengan pusat-pusat ekonomi baru yang merupakan bagian dari pengembangan
zona ekonomi Surakarta, dan pintu masuk dan keluar dari Surakarta, seperti Palur,
Solo Baru, Colomadu, dan Kartasura.6
Berkembangnya pembangunan jalan dan perekonomian di Kota Surakarta
itu seiring dengan perkembangan transportasi perkotaan. Kebutuhan akan
transportasi perkotaan bagi masyarakat semakin meningkat, ditandai dengan
semakin banyaknya armada-armada angkutan perkotaan dengan berbagai rute
yang menjelajahi seluruh sudut kota dan antar kota Kecamatan atau Kabupaten
yang tidak pernah sepi dari penumpang. Oleh karena itu dibutuhkan terminal-
terminal bus yang memadai. Selain pembangunan terminal bus Tirtonadi untuk
angkutan antarkota dan antarpropinsi, juga dibangun terminal-terminal bus yang
lebih kecil di Palur, Kartasura, dan juga di Solo Baru dan Mojosongo. Untuk
5 Rustopo, Op. Cit, hal 22
6 Ibid, hal: 23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
angkutan kereta api masih digunakan prasarana peninggalan kolonial, seperti
Stasiun Balapan, Stasiun Jebres, Stasiun Purwosari, dan Stasiun Sangkrah (kota).
Untuk angkutan udara, Bandara Adi Sumarmo di Panasan ditingkatkan
kapasitasnya sebagai bandara internasional, sekaligus sebagai pelabuhan
embarkasi haji untuk Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.7
Pendukung dalam sektor perekonomian, seperti telah terdapat jalan-jalan
yang kondisinya baik, sehingga dapat memperlancar kegiatan ekonomi
masyarakatnya. Kondisi jalan di Surakarta pada umumnya sudah beraspal dengan
keadaan yang masih baik. Hal ini tentu akan dapat mendukung sektor
perdagangan dan perindustrian. Namun masih banyak pula kemacetan di sejumlah
tempat, terutama jalan-jalan yang melewati Pasar Klewer, Pasar Gede, Pasar Legi,
Pasar Kadipolo, kompleks pertokoan Coyudan dan Singosaren. Selain
dikarenakan tempat tersebut menjadi pusat kegiatan ekonomi, juga sebagian jalan
menjadi tempat parkir dan tempat berjualan pedagang-pedagang kaki lima yang
memenuhi trotoar, bahu jalan dan lain-lain.
B. Kondisi Sosial Ekonomi
Pengertian antropologi mengenai tindakan sosial merupakan tindakan
berpola dari setiap individu manusia. Kondisi sosial ini terdiri dari aktivitas-
aktivitas manusia yang berintraksi satu sama lain, berhubungan serta bergaul
setiap hari menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan sebagai
7 Ibid, hal: 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat yang bersifat konkret, terjadi
di sekeliling kita sehari-hari. 8
Aspek sosial ekonomi merupakan suatu hal penting dalam mempelajari
suatu aspek masyarakat dan suatu daerah, karena dari sinilah dapat diukur
seberapa berhasil atau majunya suatu masyarakat dan sebuah kota. Kota Surakarta
sendiri merupakan salah satu wilayah yang perkembangannya tergolong tinggi di
Propinsi Jawa Tengah. Salah satu penyebabnya adalah letaknya yang strategis,
tepatnya di persimpangan jalur penting yang terhubung dengan kota-kota besar
seperti: Semarang dan Yogyakarta, serta wilayah bagian timur seperti Surabaya
dan Madiun.
Kondisi sosial ekonomi di Surakarta pada masa Orde Baru, tidak jauh
berbeda dengan kondisi ekonomi nasional. Keadaan ekonomi pada masa ini, dapat
dilihat pada indikator harga sembilan macam barang kebutuhan pokok sehari-hari
(sembako) selama tahun 1966, yaitu kenaikan paling sedikit adalah Batik Kasar
pada bulan Desember menjadi Rp 185.000,-/kg atau harganya naik 116%. Gejala
lain yang muncul di masyarakat yaitu membesarnya jumlah pedagang barang-
barang bekas (klitikan), terutama di daerah Ngapeman dan di sepanjang depan
Keraton Mangkunegaran keselatan hingga ke Pasar Pon yang kemudian dikenal
oleh masyarakat dengan Pasar Yaik.9
Masyarakat Surakarta sebagian besar bermata pencaharian di bidang non
agraris, hal inilah yang menjadi pendorong bagi masyarakat Surakarta menjadi
daerah atau kota yang memiliki potensi dalam bidang perdagangan. Sedangkan
8 Koentjaraningrat, 1990, Pengantar lmu Antropologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, hal: 43
9 Hari Mulyadi, dkk, 1999, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit: Studi Radkalisasi Sosial
Wong Solo dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta, Surakarta: LPTP, hal: 74
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
prasarana yang disediakan oleh Pemerintah Daerah Kotamadya dalam
memperlancar perekonomian telah tersedia, sarana itu antara lain berupa alat
transportasi, pasar dan sebagianya.
Daerah-daerah yang berada di sekitar kota Surakarta merupakan daerah
yang cukup berpotensial untuk tanaman pangan, karena daerah-daerah tersebut
merupakan daerah yang cukup subur. Adanya berbagai program yang
dikembangkan oleh masing-masing pemerintah Daerah, seperti peningkatan
tanaman pangan maupun hasil produksi lainnya, menyebabkan wilayah Surakarta
menjadi jalur lalu lintas perdagangan yang cukup strategis. Dari masing-masing
daerah yang memiliki potensi yang berbeda antara yang satu dengan daerah yang
lainnya, maka akan memperlancar perdagangan, dalam usaha meningkatkan
ekonomi suatu daerah.
Daerah yang cukup potensial untuk pertanian terutama adalah daerah
Sragen, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo, dan wilayah lain yang masih termasuk
dalam Karesidenan Surakarta. Disamping yang dihasilkan adalah tanaman
pangan, ada juga hasil produksi lain seperti industri. Surakarta merupakan pusat
perdagangan hasil pertanian maupun industri lain yang berasal dari daerah di
sekitar wilayah Surakarta, maupun hasil produksi yang berasal dari luar
Karesidenan Surakarta.
Menurut keterangan yang diperoleh dari beberapa responden seperti
penuturan Atmanto dan Abdul Kadir, bahwa meskipun mereka berasal dari luar
wilayah Surakarta dan dari daerah yang merupakan daerah yang cukup subur
untuk lahan pertanian, namun sebagan besar dari pedagang di Pasar Klewer ini
mencari pekerjaan lain untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka di luar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
pertanian yaitu dengan berdagang di Pasar Klewer. Mereka memilih kota
Surakarta dalam mencari penghasilan, karena wilayah Surakarta merupakan kota
yang dekat dengan daerah asal mereka dan juga Surakarta merupakan daerah
tujuan wisata, dengan demikian harapan mereka untuk mendapatkan penghasilan
akan semakin besar.
Perhitungan pertumbuhan ekonomi dapat membantu dalam melihat
seberapa besar tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Sebagiaan kota
perdagangan, letak Surakarta yang juga mendukung sektor ini, hal ini dapat dilihat
letak Surakarta yang berada di tengah-tengan wilayah keresidenan Surakarta. Kota
Surakarta dengan potensi yang dimiliki akan semakin mudah berkembang serta
daerah di sekitarnya akan merasakan dampak positifnya juga. Hal yang menarik
dari kota Surakarta adalah aktifitas perekonomian yang seakan tak pernah mati.
Pada siang hari banyak masyarakat yang melakukan aktifitas perdagangan,
transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun kecil, dan sebagainya. Pada
malam harinya kota ini memberikan suasana yang merakyat dengan hadirnya
Pedagang Kaki Lima dan kuliner.
C. Pasar-pasar Tradisional di Surakarta
Daerah pusat kegiatan sangat dinamis, hidup tetapi gejala spesialisasinya
semakin kentara. Daerah ini masih merupakan tempat utama dari perdagangan,
hiburan-hiburan dan lapangan pekerjaan. Hal ini ditunjang dengan adanya
sentralisasi sistem transportasi dan sebagian besar penduduk kota masih tinggal
pada bagian dalam kota-kotanya. Proses perubahan yang sangat besar terjadi pada
daerah ini dan sering mengancam keberadaan bangunan-bangunan tua yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
bernilai historis tinggi. Pada daerah yang berbatasan dengan sungai masih banyak
tempat-tempat yang longgar dan banyak digunakan untuk kegiatan ekonomi
antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi rendah
dan sebagian lainnya dgunakan untuk tempat tinggal para imigran.10
Pasar berasal dari kata “Parsi Bazar” dalam bahasa Arab. Dalam
pengertian umum, pasar adalah tempat untuk menjalin hubungan antara pembeli
dan penjual serta produsen yang turut serta dalam pertukaran barang dan jasa.
Pasar tidak hanya terdapat di kota-kota besar namun juga di berbagai tempat di
desa-desa. Clifford Geertz menjelaskan bahwa pasar bukan hanya suatu pranata
ekonomi, tetapi sekaligus sebagai cara hidup. Dari penelitian di Pare, Jawa Timur,
membuktikan bahwa pasar merupakan suatu gaya umum dari kegiatan ekonomi
yang mencakup semua aspek dalam masyarakat.11
Bahkan dapat juga dikatakan
bahwa pasar merupakan suatu sistem sosial.
Pada dasarnya pasar pada suatu masyarakat ditentukan oleh fungsinya.
Adapun yang dimaksud disini adalah pranata yang mengatur komunkasi dan
interaksi pertukaran barang dan jasa. Hasil transaksi dapat disampaikan pada
waktu itu atau pada waktu yang akan datang berdasarkan harga yang telah
ditetapkan. Secara singkat dapat disebutkan sebagai pranata dan tempat
bertemunya antara penjual dan pembeli. Pasar yang berfungsi sebagai tempat
bertemunya penjual dan pembeli bukan hanya menyebabkan terjadinya interaksi
10
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, 2006, “Solo Kota Dagang,” dalam Laporan
Penelitian, Surakarta: FSSR UNS, hal: 54
11
Clifford Geertz, 1983, Penjaja dan Raja, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal: 30-50
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
sesama individu, tetapi dilain pihak merupakan tempat pertukaran benda-benda
hasil kebudayaan.12
Pasar merupakan suatu simbol yang menandai kemajuan perekonomian
masyarakat pada daerah tertentu. Munculnya pasar karena bersamaan dengan
adanya kegiatan dan kebutuhan yang dilakukan manusia. Dengan demikian, pasar
merupakan tempat untuk melakukan kegiatan tukar menukar barang dan jasa
sebagai pemenuh kebutuhan bagi masyarakat yang lebih dikenal dengan sistem
jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli. Sebelum pasar terbentuk,
kegiatan tukar menukar sudah lama dilakukan masyarakat yang lebih dikenal
dengan barter. Kegiatan ini dilakukan karena adanya rasa saling membutuhkan
barang atau jasa antara anggota masyarakat. Naik turunnya pendapatan pasar
ditentukan oleh jumlah pelaku transaksi di pasar. Banyaknya transaksi
dipengaruhi oleh daya beli masyarakat, sedangkan daya beli dipengaruhi oleh
tingkat pendapatan setiap orang. Seiring dengan bertambahnya kebutuhan mereka
maka diperlukan suatu tempat tertentu untuk bertemu antara penjual dan pembeli
barang mereka, maka kemudian terjadilah suatu pasar.13
Pertumbuhan dan perkembangan pasar senantiasa berhubungan erat
dengan pertumbuhan dan perkembangan kota. Adanya pasar maka telah terjadi
banyak perubahan dibidang ekonomi pada masyarakat. Perubahan itu meliputi
semua aspek perekonomian, baik produksi, distribusi maupun sistem
konsumsinya. Perubahan itu mengarah pada kemajuan, secara bertahap, walaupun
pelan namun pasti, sehingga terjadilah modernisasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa
12
Tejo Wahyono, dkk. 1987, Peranan Pasar pada Masyarakat Pedesaan (Pasar
“Nayak” Wamena), Jakarta: Depdikbud, hal: 1-2
13
Soetardjo Kartohadikusumo, 1965, Desa, Jakarta: PN. Sumur Bandung, hal: 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
pembaharuan itulah membawa banyak perubahan dibagi masyarakat, namun ada
juga terjadi kesenjangan. Kesenjangan itu terjadi sebagai akibat dari kurang
siapnya masyarakat menghadapi perubahan yang sangat drastis, perubahan yang
dapat disebut sebagai loncatan budaya.14
Pasar pada masyarakat kuno bukanlah sebagai alat yang dipergunakan
oleh masyarakat untuk memecahkan persoalan dasar perekonomian mereka. Pasar
hanyalah merupakan embel-embel bagi proses produksi dan distribusi, bahkan
merupakan bagian integral dari padanya, pasar berada diatas mesin perekonomian
yang penting dan bukanlah berada dalam mekanisme itu sendiri. Pada masa kini
dan kenyataan perekonomian pada jaman kita sekarang terdapat jarak yang sangat
besar yang memerlukan waktu berabad-abad untuk menjebataninya.15
Sebagaimana ditemui di Jawa pada umumnya, pasar-pasar tradisional di
Surakarta sudah mulai bermunculan sejak pemerintahan kolonial, dan sebagai
pengelola pasar tersebut kebanyakan dilakukan oleh kalangan etnis Cina. Mereka
ini disamping diberi kepercayaan untuk memungut pajak tol, juga berkewajiban
memungut pajak pasar yang kemudian diserahkan kepada pemerintah kolonial
atau pihak Keraton.16
Di Surakarta terdapat beberapa pasar tradsional yang berada di dalam kota.
Pasar yang terbesar adalah Pasar Gede yang terletak di sekitar istana dan
pemukiman orang Belanda. Pemerintah Mangkunegaran juga memilik pasar
sendiri, seperti pasar Legi, Pasar Pon serta pasar Triwindu. Wilayah Kasunanan
14
Ibid, hal: 71
15
Robert L Heilbroner, 1994, Terbentuknya Masyarakat Ekonomi. Jakarta: PT. Bumi
Aksara, hal: 23
16
Hari Mulyadi, dkk, Op. cit, hal: 263
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
juga melakukan pembangunan pasar, yaitu pasar Kliwon, dimana sebelumnya
merupakan sebuah pasar kambing yang berada di kawasan pemukiman etnis Arab.
Sedangkan di Gemblegan dibangun sebuah plot atau penempatan baru untuk
menampung para pendatang baru.
Perkembangan pasar di Surakarta cukup pesat seiring dengan majunya
industrialisasi di Surakarta dan daerah sekitar. Letak wilayah Surakarta yang
strategis menjadikan Surakarta sebagai kota yang berpeluang besar untuk
dijadikan kota perdagangan. Beberapa pasar di Surakarta berfungsi sebagai pasar
induk, yang digunakan oleh kalangan pedagang pengecer, selain dari kota
Surakarta sendiri juga dari berbagai daerah atau kota disekitar wilayah Surakarta
bahkan hampir sampai daerah Jawa Timur.
Hingga menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Baru di Surakarta
terdapat 36 pasar tradisional dengan jumlah keseluruhan luas pasar sebesar
134.143,68 m² atau lebih dari 13 ha, jumlah kios sebanyak 3.036 buah, jumlah los
sebanyak 5.039 petak, serta jumlah pelataran untuk 4.088 orang. Sebagian besar
terkosentrasi pada hasil bumi dan sandang, sebuah pasar tekstil, sebuah pasar
antik, sebuah pasar mebel, sebuah pasar buah, sebuah pasar sepeda, sebuah pasar
burung dan dua buah barang atau besi bekas.17
Pasar Besar Harjonegoro atau yang lebih dikenal dengan Pasar Gede dan
Pasar Legi merupakan pasar induk dari hasil bumi dan barang klontongan yang
cukup berpengaruh di wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Artefak bangunan
kota lama yang masih tersisa di kota Surakarta dan menjadikan ciri khas
peninggalan Kerajaan Mataram adalah Pasar Gede. Di kota Surakarta banyak
17
Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
terdapat pasar tetapi tidak ada yang menyamai Pasar Gede, karena selain
ditemukannya banyak rumah-rumah pertokoan yang besar juga terjadi arus barang
yang setiap hari terus menerus ada dan baru tutup pukul 5 sore. Pasar Gede
terletak di pusat kota di antara kampung Pecinan, dibangun dan diperbesar pada
tahun 1930 oleh Susuhunan Paku Buwana X.
Pasar Gede dulunya merupakan pasar sederhana, banyak pedagang yang
belum teratur dan berjualan dengan menggunakan tenda-tenda. Akan tetapi pasar
ini akhirnya dibangun oleh pemerintah Karesidenan. Selama perbaikan banyak
pedagang yang dipindahkan ke Gladag dan Alun-alun Lor. Setelah selesai
dibangun pasar ini diberi nama Pasar Harjonegoro, namun demikian nama Pasar
Gede lebih dikenal di kalangan rakyat. Luas pasar sebesar 12.244 m², jumlah kios
sebanyak 64 buah, jumlah los sebanyak 498 petak, serta jumlah pelataran untuk
320 orang.18
Di sebelah barat pasar Gede terdapat pasar buah, dengan lokasi yang
sangat strategis. Lokasi pasar buah ini menempati sebuah bangunan milik
Pemerintah Daerah Kodya Surakarta. Bangunan ini terdiri dari dua lantai, di lantai
satu bagian utara ditempati oleh pedagang buah sedangkan bagian selatan
ditempat oleh pedagang ikan hias. Di bagian lantai dua di gunakan oleh kantor
Dinas Pasar dan di sewakan untuk usaha pub dan permainan bilyard.
Pasar Legi berada di wilayah Mangkunegaran. Pasar ini ramai pedagang
pada hari pasaran legi, banyak pedagang berdatangan dari desa-desa. Pada tahun
1936 pasar tersebut direnovasi model modern, yaitu pada masa kekuasaan Sri
18
Ibid, hal: 264
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Paduka Mangkunegara VII (1916-1944).19
Perilaku pedagang di Pasar Legi sangat
khas dan ditakuti oleh para pedagang lainnya. Persaingan antara pedagang di
pasar ini cukup keras, dan banyak kalangan pedagang sendiri yang cenderung
menganggap kasar. Munculnya spekulasi bisnis yang matang, banyak pedagang di
pasar ini, terutama dari kalangan etnis Cina yang berani melakukan spekulasi.
Pasar Gede dan Pasar Legi terdapat beberapa pedagang besar yang
menjual berbagai jenis hasil bumi. Namun disekitar pasar tersebut terdapat
distributor atau agen komoditi kelontong, yang merupakan produk pabrik, serta
obat-obatan dan barang kebutuhan sehari-hari yang mayoritasnya adalah
pedagang Cina. Hal ini terutama dalam hal mengendalikan harga barang
dagangan.
Pasar tradisional di Surakarta selain menjadi perdagangan hasil bumi,
kelontong dan sandang, juga terdapat beberapa pasar yang memiliki komoditi
sendiri misalnya batik dan tekstil, pasar barang antik, mebel, buah-buahan dan
ikan, pasar sepeda, pasar burung, dan pasar barang atau besi bekas. Di wilayah
Mangkunegaran berkembang pasar yang letaknya di utara Istana Mangkunegaran
yaitu Pasar Triwindu. Pasar ini menawarkan berbagai macam barang antik, seperti
patung-patung kuno, hasil kerajinan tangan (wayang kulit, wayang golek, kain
batik, lukisan, ukir-ukiran kayu atau tembaga), keris, tombak dan sebagainya..
Pada awalnya tempat ini adalah sebuah lapangan atau alun-alun milik
Mangkunegaran, dan di tempat tersebut setiap tiga windu diadakan perayaan
peringatan oleh Mangkunegara sehingga mengundang banyak pedagang.
Awalnya, penjualan di sini menggunakan sistem barter dengan menggelar barang
19
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Op. cit, hal: 55-56
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
dagangannya di meja-meja, karena semakin bertambah, sejak tahun 1960 mereka
mulai mendirikan kios.
Berhubung dengan tradisi masyarakat Jawa, terutama dalam menghormati
leluhurnya yaitu dengan ziarah, di kota Surakarta terdapat sebuah pasar yang
khusus berjualan kembang atau yang lebih dikenal dengan nama Pasar Kembang.
Pada tahun 1967 Pasar Kembang pertama kali dibangun dan pada tahun 1970
diperluas kesebelah utara. Luas Pasar Kembang sebesar 1.409 m², terdapat kios
sebanyak 17 buah, jumlah los sebanyak 65 petak, dan memiliki pelataran untuk 60
orang.20
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Surakarta, karena itu
meningkat pula kebutuhan rumah tangga, seperti meja, kursi, almari dan tempat
tidur. Pada awal tahun 60-an banyak pedagang eceran mebel yang menjajakan di
berbagai tempat, misalnya perlimaan Balapan, perempatan Ngapeman,
Perempatan Parsar Pon dan Triwindu, daerah Purwosari dan Gading. Pada tahun
1961, Pemerintah Kota Surakarta mengatur pedagang pengecer mebel ke dalam
satu lokasi yaitu di jalan Pamedan Kepatihan Wetan, Kecamatan Jebres Surakarta.
Namun para pedagang pengecer semakin lama semakin meningkat, sehingga
diperlukan tempat usaha yang cukup luas. Pada tahun 1971 lokasi dagang para
pedagang pengecer dipindahkan ke Bibis Kulon, Kelurahan Gilingan Surakarta.21
Di Surakarta juga banyak sekali penggemar burung, yang berasal dari
berbagai lapisan masyarakat maupun etnis, maka banyak pedagang yang menjual
burung. Semula para pedagang burung berjualan di Widuran dekat Kepatihan dan
di Purwasari, kemudian oleh Pemerintah Daerah Kota Surakarta dikumpulkan di
20
Hari Mulyadi, dkk, Op. cit, hal: 270
21
Ibid, hal: 271
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Pasar Slompretan. Karena untuk pelebaran Pasar Klewer, akhir tahun 60-an pasar
burung di Pasar Slompretan dipndahkan ke pasar burung di Widuran dekat Kantor
Pegadaian Surakarta.
Berkembangnya perdagangan burung, sehingga lokasi pasar tidak muat
bagi pedagang yang semakin banyak dan hampir setiap hari melimpah di Widuran
serta mengganggu arus lalu lintas, kemudian pada tahun 1984 pasar burung
dipindah ke lokasi baru di Depok dekat Balekambang, tepatnya Kelurahan
Manahan, Kecamatan Banjarsari Surakarta. Lokasi Pasar Depok memiliki luas
sebesar 4.480 m², tidak terdapat kios tetapi memiliki los sebanyak 68 petak, dan
memiliki pelataran bagi 217 orang.22
Di dalam Pasar Depok juga terdapat sebuah
patilasan dari Ki Ageng Pamanahan dan sampai sekarang tempat tersebut di
keramatkan oleh masyarakat sekitar. Tempat tersebut dulunya digunakan oleh Ki
Ageng Pamanahan sebagai tempat sembahyang. Di sekitar Pasar Depok juga
terdapat sebuah umbul yang berkaitan pula dengan patilasan di dalam Pasar
Depok.
Di kota Surakarta juga terdapat salah satu pasar tekstil terbesar di Jawa
Tengah yaitu Pasar Klewer. Letak Pasar Klewer ini berdekatan dengan Keraton
Surakarta dan Alun-alun serta Masjid Agung, sehingga hampir setiap hari daerah
ini tak pernah sepi dari hiruk pikuknya jalan. Dulunya lokasi Pasar Klewer ini
bernama Kampung Nglorengan. Pasar Klewer pada mulanya dinamakan Pasar
Slompretan. Nama Kampung Slompretan ini berasal dari nama orang pemilik
tanah yaitu Tuan Lourens. Ketika pemlik tanah itu meninggal, tempat itu
dijadikan pasar yang bernama Pasar Slompretan. Pedagang yang berada di pasar
22
Ibid, hal: 272
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
ini umumnya berjualan minuman dan juga berbagai jenis burung. Akhirnya para
pedagang ini dipindahkan di daerah Widuran. Kemudian Pasar Slompretan ini
diisi oleh pedagang yang menjajakan dagangannya dengan dijinjing di pundak,
dan akhirnya timbul kata klewer. Masyarakat sekitar menyebut pasar tersebut
dengan nama Pasar Klewer. Di Pasar Klewer ini dijual berbagai macam tekstil dan
pakaian, serta batik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
BAB III
PERKEMBANGAN PASAR KLEWER TAHUN 1958-1998
A. Sejarah Pasar Klewer
Pasar Klewer pada mulanya dinamakan Pasar Slompretan.1 Letaknya
disebelah selatan alun-alun utara, tempat tersebut dahulunya digunakan untuk
menyimpan kereta dan tempat berhentinya kereta di pinggir jalan. Tempat tersebut
paling tua di kota Surakarta, dan jalan tersebut juga merupakan jalan tertua.
Karena pernah dipakai pada saat perpindahan kerajaan jaman Pakubuwana II, dari
Kartasura ke Sala, yang kemudian diberi nama Surakarta Hadiningrat, di sebelah
utara di bangun Masjid Agung.
Dulunya Pasar Klewer disebut juga dengan pakretan2 karena digunakan
sebagai tempat pemberhentian kereta milik para abdi dalem dari luar kota, seperti
Delanggu, Kartasura dan Boyolali pada saat ada acara kebesaran di Istana. Nama
pakretan tersebut sering kali salah dalam pengucapannya oleh masyarakat, maka
berganti menjadi Slompretan. Maka lama-kelamaan dijadikan pasar Slompretan.3
Kata Slompretan tersebut berasal dari slompret (terompet) karena suara dari kereta
yang akan berangkat mirip dengan suara terompet ditiup.4
1 Pasar Slompretan ini berasal dari nama orang pemilik tanah yaitu Tuan Lourens, dan
setelah pemilik tanah tersebut meninggal kemudian tempat tersebut diberi nama Pasar Slompretan.
Pasar Slompretan berada di Jalan Ngapeman dekat dengan Pasar Klewer.
2 Pakretan berada di sepanjang jalan Coyudan dan tempat tersebut menjadi pusat dari
transportasi local yang berupa andong. Alat transportasi andong ini biasanya digunakan oleh para
bangsawan maupun pedagang kaya yang mmbawa barang dagangannya dari rumah ke Pasar
Klewer.
3 R.M Sajid, 1984, Babad Sala, Surakarta: Reksopustoko Mangkunegaran, hal: 68
4 Wawancara dengan Dwi Adi Prihutomo pada tanggal 16 Agustus 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Pada saat dunia mengalami masa malaise (sekitar tahun 1930), yaitu
sebelum Perang Dunia ke II, kehidupan di kota Solo juga mengalami penderitaan
bagi masyarakatnya, banyak terdapat pengangguran. Hal ini menyebabkan banyak
bermunculan pedagang rombengan, yaitu pedagang yang menjual barang-barang
bekas dan dijual dengan berkeliling di perkampungan. Pedagang rombengan
tersebut berdagang di Purwadiningratan dengan para pedagang klitikan dan besi
tua. Jumlah pedagang rombengan yang tiap tahunnya mengalami peningkatan,
maka mereka mencari tempat yang sekiranya dapat digunakan untuk berdagang,
seperti sekitar jalan di Pasar Legi, Pasar Ngapeman dan Pasar Kliwon. Dan pada
sore hari, pedagang rombengan tersebut pindah ke jalan Jendral Gatot Soebroto,
sebelah selatan Pasar Pon sampai Pasar Singosaren. Selain tempat-tempat
tersebut, para pedagang rombengan ini juga berdagang di pertigaan Stabelan,
karena letaknya dekat dengan villa park (Banjarsari) yang pada saat itu masih
menjadi perkampungan orang Belanda, maka lokasi ini paling strategis.5
Pada jaman Jepang, sekitar tahun 1942-1945, biasanya barang yang dijual
berupa barang-barang bekas. Para pedagang selalu berpindah-pindah, dan
terkadang-kadang mengganggu arus lalu lintas. Pada mulanya bertempat di
Banjarsari sebelah tenggara Kantor Air Minum (Kantor Solose Water-Leiding).
Karena Pasar Slompretan dirasa sepi dan akan mati, maka para pedagang diminta
berdagang di pasar Slompretan. Dikarenakan para penjualnya berdagang dengan
berkleweran di bahunya, kemudian pasar Slompretan diganti menjadi pasar
Klewer.6
5 Dharma Kanda, “Mula Bukane Jeneng Pasar Klewer”, terbit Maret 1978, hal: V-VI
6 R.M Sajid, loc cit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Akhirnya timbul kata Klewer, yaitu pasar bagi orang miskin yang tidak
memiliki tempat tertentu. Para pedagang menawarkan barang dagangannya
dengan disampirkan di bahu mereka, sehingga para penjaja dagangan tampak
berkleweran di pinggir jalan. Dalam istilah Jawa pemandangan ini dikenal dengan
sebutan pating klewer. Oleh karena itu, akhirnya pasar tersebut dikenal dengan
sebutan Pasar Klewer.
Nama Pasar Klewer berasal dari bahasa Jawa, yang artinya memanjang
dari atas ke bawah secara tidak beraturan. Berkembangnya suatu pasar, karena
pada awalnya di tempat tersebut banyak orang menjual barang dagangannya
dengan meletakkan barang dagangannya dibahu dan dibawa kemana-mana.
Karena barang yang diletakkan dibahu banyak yang kleweran, serta barang yang
diperdagangkan sebagian besar berupa kain dan sandang, maka barang ini dapat
dijual dengan cara rombengan artinya berdagang keliling sambil membawa barang
dagangannya dengan cara digantungkan ditangan. Demikian juga halnya di Pasar
Klewer ini, barang-barang yang diperdagangkan sifatnya mudah dikemas,
digantung dan terurai di lantai, sehingga istilah Jawa tersebut dipakai sebagai
nama pasar yaitu Pasar Klewer dan nama tersebut dipakai sampai sekarang.
Setelah pembangunan pasar pada tahun 1958 yang diperluas ke barat.
Pasar Klewer mulai dikenal oleh masyarakat sekitar maupun dari berbagai kota
seputar Jawa Tengah. Pada saat yang sama pasar sepeda di pindahkan ke Alun-
alun selatan dan pasar burung dipindahkan ke Widuran, karena lokasi tersebut
akan digunakan untuk berjualan tenun dan batik. Karena kondisi pasar Klewer
yang sudak tidak memenuhi persyaratan ekonomis, kesehatan dan perkembangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
kemajuan pembangunan, maka Pemerintah melakukan renovasi pasar hingga
mencapai bentuk seperti yang sekarang ini.
B. Keadaan Pasar Klewer
Keadaan atau kondisi pasar pada dasarnya, seperti pasar tradisional pada
umumnya, yaitu tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk mengadakan
transaksi jual-beli. Bila dilihat dalam pengertian yang lebih luas lagi, pasar
merupakan sarana pendistribusian semua hasil produksi dan kebudayaan
masyarakat. Pada hakekatnya baik penjual maupun pembeli yang datang ke pasar
tradisional masing-masing berusaha mendapatkan tambahan pendapatan guna
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kota Surakarta merupakan daerah yang memiliki potensi yang besar dalam
bidang perdagangan. Sebagai usaha dalam memperlancar perdagangan tersebut
Pemerintah Daerah Kota Surakarta berusaha meningkatkan kualitas pasar. Salah
satunya adalah Pasar Klewer, pada awalnya keadaan bangunan Pasar Klewer ini
seperti Pasar Gedhe, karena pasar ini kemudian mengalami perkembangan yang
cukup pesat sehingga memerlukan lokasi permanen dan stategis. Pasar tekstil dan
batik terbesar di Surakarta adalah Pasar Klewer, yang terletak di sebelah barat
Keraton Surakarta atau di sebelah selatan Masjid Agung Surakarta. Lokasi pasar
ini termasuk wilayah Secoyudan, Kelurahan Gajahan, Kecamatan Pasar Kliwon
Surakarta. Tahun 1965 muncul gagasan dari para pedagang untuk mewujudkan
pembangunan pasar tersebut menjadi pasar yang permanen. Dana yang
dipergunakan untuk pembangunan pasar berasal dari pedagang dan Pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Kota Surakarta. Oleh Pemerintah Daerah pelaksanaan proyek pembangunan pasar
diserahkan kepada pihak swasta.
Pada awalnya rencana renovasi bangunan Pasar Klewer ini akan dibuat
empat lantai, namun tidak dijinkan oleh pihak Keraton. Karena bangunan pasar
yang terdiri dari empat lantai ini akan menghalangi bangunan Keraton yaitu
Sanggabuwana. Saat pelaksanaan pembangunan dilakukan, para pedagang
kemudian dipindahkan di Alun-alun Utara. Pembangunan pasar ini dilaksanakan
oleh PT. Sahid yang bekerja sama dengan Bank Bumi Daya (sekarang menjadi
Bank Mandiri).
Pada tanggal 9 Juni 1971 bangunan pasar yang baru telah selesai
pengerjaanya dan diresmikan menjadi Pasar Klewer. Pasar ini merupakan pasar
yang sudah permanent dan berlantai dua. Pasar Klewer memiliki areal seluas
kurang lebih sekitar 135 m x 65 m, yang tersdiri dari 1370 kios. Kios yang
digunakan untuk berjualan batik dan tekstil berjumlah 1370 buah, dan kebanyakan
dari kios tersebut dimiliki oleh WNI non pribumi (Arab dan Cina).
Tabel 2
Jumlah Pedagang batik dan Tekstil pemilik kios di Pasar Klewer
No Golongan Jumlah Batik Tekstil
1. Pribumi 670 270 400
2. Non Pribumi
- Cina
- Arab
610
90
290
60
320
30
Jumlah 1370 620 750
Sumber: Himpunan Pedagang Pasar Klewer, tahun 1984
Pada tahun 1998 Pasar Klewer memiliki luas sebesar 13.461,68 m², jumlah
kios sebanyak 2.064 buah, jumlah los sebanyak 40 petak, tidak memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
pelataran. Jumlah pedagang di Pasar Klewer sebanyak 2.046 orang, sedangkan
untuk pedagang oprokan sebanyak 450 orang. Lokasi pasar Klewer ini semula
merupakan pasar burung, tetapi jauh sebelumnya di tempat ini merupakan tempat
berkumpulnya para pedagang batik tradisional.7
Kios yang terletak dilantai bawah pada umumnya digunakan oleh para
pedagang pengecer tekstil, batik dan sebagian kecil pedagang emas. Tetapi
dilantai bawah ini terdapat pula beberapa kios yang berperan sebagai pedagang
besar atau grosir, terutama bahan produk tekstil. Selain itu, toko-toko yang
terletak di bagian barat lantai bawah, pada umumnya ditempati oleh pedagang
emas dan perhiasan. Di sepanjang trotoar depan toko di kompleks Pasar Klewer,
di setiap pintu-pintu masuk pasar, di lorong-lorong dalam pasar dan dipinggiran
anak tangga menuju lantai atas, dipenuhi oleh para pedagang kecil (pedagang kaki
lima) yang menjajakan dagangannya, sebagian besar barang-barang produk tekstil
dan batik. Para pedagang makanan tidak ada yang membuka warung di dalam
pasar. Selain karena dilarang oleh pengelola pasar, juga karena mereka ini tidak
mampu memiliki sebuah kios di pasar Klewer.
Lantai atas selain digunakan oleh pedagang pengecer, banyak sebagian
besar pedagang besar menempati kios-kios disini. Jika pedagang besar batik lebih
banyak di lantai bawah, maka di lantai atas kebanyakannya adalah pedagang besar
kain tekstil dan produksi tekstil. Sudah seperti ada kesepakatan dikalangan
pedagang pasar, mereka tidak mau melayani pembeli eceran. Meskipun demikian
pedagang besar ini juga melayani pembeli siapapun asal tidak eceran, mulai dari
partai kecil, misalnya seperempat losin atau seperempat kodi hingga partai besar.
7 Hari Mulyadi, dkk, 1999, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial
Wong Solo dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta, Surakarta: LPTP, hal: 266
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Barang dagangan produk tekstil selain dari pabrik besar, juga diperoleh dari para
pengrajin konveksi, baik dari kota Surakarta atau kota-kota disekitarnya, misalnya
dari Wedi Klaten.8
Bangunan pasar di sebelah timur, pada awalnya merupakan terminal bemo
sekitar tahun 1962-1966/1967, jumlah bemo sekitar 70 buah dan dibagi menjadi
empat jurusan, yaitu: Kartasura, Bekonang, Karanganyar dan Sukoharjo, dengan
retribusi parkir hanya RP 50,-.9 Namun setelah itu digunakan pedagang PKL
untuk berjualan makanan dan buah. Pada pertengahan tahun 80-an dilakukan
pembangunan seperti halnya bangunan Pasar Klewer bagian barat namun yang
bagian timur ini hanya satu lantai,dengan jumlah kios sekitar 600 buah. Setelah
diresmikan pada tahun 1986, para pedagang ini menjual kios mereka ke pedagang
lain dan mereka menjadi PKL disekitar Pasar Klewer. Selain banyak ditempati
oleh pedagang-pedagang partai kecil, juga terdapat pedagang besar.
Pasar Klewer saat itu, sudah penuh dengan pedagang, baik itu pedagang
lokal maupun pedagang asing. Para pedagang tersebut harus memiliki KTPP
(Kartu Tanda Pengenal Pedagang) baik Pedagang kios maupun PKL. Dan para
pedagang yang memiliki kios diwajibkan memiliki SIP (Surat Ijin Penempatan)
atau SHP (Surat Hak Penempatan) yang berlaku seumur hidup, namun tiap 3
tahun sekali harus melakukan heregritasi. Sistem kepemilikan kios ini dapat
dilakukan berdasarkan keturunan, warisan, bahkan membeli maupun sistem
8 Ibid, hal: 167
9 Dharma Kanda, “Wiwit „Perko‟ Nganti Klewer, ana sing mung Dolanan Simpoa”, terbit
September 1978, hal: III
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
kontrak antar pedagang. Berdasarkan hasil wawancara dengan Humas HPPK, di
Pasar Klewer terdapat tiga kelas kios10
, yaitu:
1. Kelas Toko
Pada kelas ini banyak terdapat di depan dan belakang jalan sekitar Pasar
Klewer Surakarta dan sangat jarang. Ukuran kios ini yaitu 3 x 3½ m dan
rata-rata dimiliki oleh pedagang non pribumi, baik Cina maupun Arab.
Kios-kios tersebut dipergunakan untuk berjualan tekstil dan batik.
2. Kelas Mini
Untuk kios-kios yang berukuran mini ini memiliki ukuran 2 x 2½ m, dan
letak kios ini rata-rata di tengah Pasar Klewer. Pemilik kios ini hampir
merata, yaitu baik orang pribumi (orang Jawa maupun Banjar), dan non
pribumi (Cina dan Arab). Kios ini untuk berjualan batik, konveksi dan
emas.
3. Kelas Supermini
Untuk ukuran kios ini yaitu 1 x 2 m. Letak kios ini di pinggiran Pasar
Klewer dan pasar bagian timur.
Sistem retribusi yang dikenakan kepada setiap pedagang ini berneda antara
pedagang pemilik kios dengan pedagang kaki lima. Pada tahun 1983 pemungutan
biaya retribusi untuk para pedagang pemilik kios atau yang memiliki SHP sebesar
Rp 3.000,-, sedangkan untuk pedagang kaki lima atau yang memiliki KTPP
sebesar Rp 1.000,-. Hal ini berdasarkan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah
Tingkat II Surakarta Nomor: 5 Tahun 1983 tentang Pasar. Namun pada tahun
1993 pemungutan retribusi dinaikan dan bagi para pedagang pemilik kios ini
10
Wawancara dengan Atmanto pada tanggal 8 Oktober 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
dibedakan menjadi beberapa kelas, seperti: Kelas I (kelas toko) sebesar Rp
10.000,- , kelas II (kelas mini) sebesar Rp 8.000,-, dan untuk kelas III (kelas
supermini) sebesar Rp 6.000,-; sedangkan untuk para pedagang kaki lima (yang
memiliki KTPP) menjadi Rp 2.000.-.
Konsumen Pasar Klewer ini terdiri dari berbagai lapisan masyarakat,
mulai dari lapisan kelas bawah sampai lapisan menengah. Kebanyakan para
konsumen tersebut adalah para pedagang dengan alasan harga yang ditawarkan
oleh pedagang sifatnya murah, dan dapat ditawar sehingga banyak pedagang yang
mencari barang di Pasar Klewer. Tidak hanya para pedagang saja, tetapi juga ada
wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang berbelanja tekstil di Pasar
Klewer.
C. Asal Usul Pedagang Pasar Klewer
a. Etnis Jawa
Hunian orang-orang pribumi bercampur, baik penghuni lama maupun
pendatang, kelas menengah maupun bawah. Semuanya tinggal di perkampungan,
di rumah-rumah dengan kebun dan halaman yang ditumbuhi pohon atau tanaman
rindang. Diskriminasi ras dan etnik masih sangat ketat, sehingga kontak sosial
melalui jaringan sosial kota hanya terbatas pada golongan pribumi.11
Pemukiman untuk penduduk pribumi Jawa terpencar hampir di seluruh
kota. Nama-nama kampung hunian penduduk suku Jawa, ada yang didasarkan
atas nama-nama bangsawan yang bertempat tinggal di sana, seperti: Ngadijayan
tempat tinggal Hadiwijaya, Mangkubumen tempat tinggal Mangkubumi,
11
Sartono Kartodirdjo, 1990, Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional,
dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jakarta: PT. Gramdia, hal: 73-74
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Jayasuman tempat tinggal Jayakusuma, Suryabratan tempat tinggal Suryabrata,
Kusumabarata tempat tinggal Kusumabarata, Sumadiningratan tempat tinggal
Sumadiningrat, Cakranegaran tempat tinggal Cakranegara, Kalitan tempat tinggal
Kanjeng Ratu Alit, Kusumayudan tempat tinggal Kusumayuda, Purwadiningratan
tempat tinggal Purwadiningrat.12
Adapula kampung-kampung yang namanya diambil dari abdi dalem,
seperti: Coyudan tempat tinggal Secayuda, Derpoyudan tempat tinggal
Derpoyudo, Mangkuyudan tempat tinggal Mangkuyuda, dan Kerten tempat
tinggal Wirakerti. Ada juga kampung-kampung yang namanya diambil dari
kesatuan prajurit keraton, seperti: Kasatriyan, Tamtaman, Sorogenen; dan
berdasarkan jenis pekerjaan penduduk, seperti: Sayangan, Gemblegan, Gapyukan,
Serengan, Slembaran, Kundhen, Telukan, (un) Dhagen, Kepunton, dan Jayengan.
Ada juga kampung-kampung yang namanya diambil dari nama jabatan di keraton,
seperti: Carikan, Jagalan, Gandhegan, Sraten, Kalangan, Punggawan, Pondhokan
dan Gadhing.13
Di Surakarta, orang-orang pribumi ini menyebar hampir di seluruh kota.
Mayoritas bekerja sebagai petani, namun karena keadaan Surakarta yang
berkembang maka mereka kebanyakan juga sebagai pedagang. Karena dengan
menjadi pedagang mereka dapat meningkatkan kehidupan mereka terutama dari
segi ekonomi. Sejalan dengan keadaan tersebut, di Surakarta banyak terdapat
pasar-pasar tradisional yang dapat menunjang kegiatan ekonomi mereka.
12
Rustopo. 2007, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di
Surakarta 1895-1998, Yogyakarta: Ombak, hal: 20
13
Darsiti Soeratman, 2000, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Yogyakarta:
Penerbit Taman Siswa, hal: 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Pada awalnya para pedagang pribumi ini berjualan secara berkeliling atau
menjadi pedagang kaki lima, namun oleh pemerintah dirasa sangat mengganggu
arus lalu lintas maka para pedagang ini dipindahkan pada lokasi tertentu.
Misalnya para pedagang yang menjual tekstil ini, yang kemudian dipindahkan ke
Pasar Klewer. Pasar klewer ini pada awalnya yang berdagang adalah etnis Jawa
yaitu berdagang batik, namun barang yang didapat selain dari orang pribumi itu
sendiri juga dari orang-orang Cina. Dan setelah mengalami perkembangan,
banyak pedagang dari berbagai golongan yang ikut berdagang. Di Pasar Klewer
ini mayoritas pedagangnya adalah orang pribumi yang berasal baik dari daerah
Surakarta maupun daerah di sekitarnya.
b. Etnis Cina
Kehadiran orang Cina di Surakarta sudah ada sejak tahun 1745, bersamaan
dengan Paku Buwana II yang memindahkan ibu kota Kerajaan Mataram dari
Kartasura ke Surakarta. Tempat tinggal orang Cina di Surakarta dilokasikan di
kampung Balong, suatu kampung (pecinan) yang dibangun sejak jaman Kompeni
dan berlanjut pada masa kolonial. Antara tahun 1904 hingga 1910, atas desakan
organisasi atau gerakan nasionalis di kalangan orang-orang Cina di Indonesia,
maka pada tahun 1911 pemerintah kolonial mengabulkan tuntutan untuk
menghapuskan wijkenstelsel dan passenstelsel, sehingga pemukiman Cina tidak
lagi mengelompok pada suatu tempat atau lokasi tertentu, tetapi menyebar ke
tempat atau lokasi lain. Sejak peraturan yang membatasi ruang gerak orang Cina
dihapuskan, dan bersamaan dengan makin bertambahnya jumlah orang-orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Cina pendatang baru, maka orang-orang Cina tidak harus tinggal di kampung
pecinan.14
Sebagian besar etnis Cina di Surakarta tinggal di kota. Pada umumnya
tempat tinggal mereka merupakan deretan rumah yang berhadap-hadapan di
sepanjang jalan utama. Deretan rumah-rumah itu merupakan rumah-rumah petak
di bawah satu atap dan tidak memiliki pekarangan seperti orang pribumi. Model
perkampungan semacam ini nampak di daerah Pasar Legi, Pasar Gede dan daerah
Secoyudan.
Perubahan rumah model tradisional ke model baru telah dilakukan oleh
orang Cina yang tinggal di pinggir jalan besar. Bentuk rumahnya adalah
bertingkat sesuai dengan kebutuhan keluarga yang tinggal. Sedangkan di
Kampung Balong bentuk rumah etnis Cina yang tinggal di daerah ini tetap dan
hanya ada sedikit perubahan. Adapun ciri khas dari rumah-rumah etnis Cina
tradisional adalah pada ujung atapnya yang selalu lancip dan ada ukir-ukiran yang
berbentuk naga. Rumah-rumah yang mempunyai tipe seperti ini banyak
ditemukan di Kampung Sudiroprajan dan di daerah Purwasari, Kratonan dan Pasar
Legi.
14
Benny Juwono, 1999, “Etnis Cina di Surakarta 1890-1927: Tinjauan Sosial Ekonomi”
dalam Lembaran Sejarah Volume 2, No. 1, hal: 51,63 dan 69
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Tabel 3
Persebaran penduduk Cina di lima Kecamatan
Kota Surakarta tahun 1996
No
Kecamatan
Penduduk Cina Penduduk
seluruhnya
Jumlah % Jumlah %
1. Laweyan 1.715 1,7 102.623 100
2. Serengan 4.617 7,5 61.765 100
3. Pasar Kliwon 2.529 3,1 83.039 100
4. Jebres 8.765 6,9 128.606 100
5. Banjarsari 6.497 4,1 159.725 100
Total 23.610 4,4 535.787 100
Sumber: Rustopo, 2007: 70
Masyarakat Cina di Surakarta, juga seperti yang tinggal di kota-kota lain,
dibedakan antara peranakan dan totok. Peranakan adalah mereka yang sudah lama
tinggal di Indonesia, sudah berbaur dengan masyarakat pribumi, berbahasa
Indonesia dan bahasa daerah setmpat, serta berperilaku seperti pribumi. Kaum
peranakan atau yang biasa disebut dengan babah ini tinggal di perkampungan-
perkampungan dalam kota. Mereka hidup berdampingan dengan kelompok
pribumi Jawa dan menjalin hubungan yang baik dalam kehidupan sosial mereka,
karena mereka menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari, maka
orang Cina peranakan tersebut banyak yang mengikuti organisasi masyarakat
sekitar, terutama dengan orang pribumi.
Adapun totok adalah orang-orang Cina pendatang baru, baru sekitar satu-
dua generasi, dan berbahasa Cina. Akan tetapi dengan berhentinya imigrasi dari
daratan Tiongkok, jumlah Cina totok semakin menurun, dan keturunan Cina totok
sudah mengalami peranakanisasi. Menurut hukum kolonial, hak orang Cina
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
peranakan sebagai warga negara lebih besar dari pada orang-orang keturunan
totok. Masyarakat Cina totok datang belakangan, mereka datang dengan
menumpang kapal dagang dan mengajak keluarga mreka untuk mencari
kehidupan yang lebih baik di tanah perantauan. Dengan menumpang kapal-kapal
dagang tersebut, mereka kemudian mendirikan kelompok-kelompok pemukiman
baru.15
Mulai dekade ketiga abad ke-20, orang-orang Cina di Surakarta mulai
menempati daerah strategis seperti Nonongan dan Coyudan. Tahun 1960-an
pedagang-pedagang Cina sudah menyebar ke lokasi-lokasi yang strategis, seperti
jalan-jalan di sekitar Pasar Legi, sekitar Pasar gede, dan Pasar Singosaren. Pada
masa Orde Baru (1966-1998) hampir semua lokasi strategis atau jalan-jalan utama
di Kota Surakarta ditempati oleh pedagang Cina. Pada tahun 1970-an merupakan
awal pedagang tekstil Cina masuk Pasar Klewer, ketika pasar itu manjadi pusat
perdagangan dan bursa tekstil seiring dengan keyajaan industri batik dan tenun.16
c. Etnis Arab
Etnis Arab datang pertama kali sejak abad ke-19. Mereka menetap di Pasar
Kliwon, dengan mayoritas golongan atau keluarga sungkar. Pada umumnya
mereka bermata pencaharian sebagai pedagang, terutama pedagang klontong.
Setelah mempunyai tempat tinggal menetap mereka mulai mengembangkan usaha
sebagai pengusaha batik.
Tumbuhnya perkampungan Arab di Pasar Kliwon, dapat dilihat dari dua
aspek yaitu yang pertama adalah sebagai akibat politik pemukiman di masa
15
Rustopo, op.cit, hal: 68-69
16
Ibid, hal: 64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
lampau dan yang kedua adalah sebagai perkembangan natural dari kota itu sendiri.
Yang dimaksud sebagai akibat dari politik pemukiman di masa lampau adalah
bahwa munculnya perkampungan Arab tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan
pemerintah jaman kerajaan maupun pada masa kolonial. Pola pemukiman di
daerah kerajaan tradisional Jawa seperti di Surakarta masih menguikuti pola
kosentris di mana raja sebagai pusatnya. Semakin jauh pemukiman itu dari pusat
raja (keraton), menunjukkan semakin rendah derajatnya.17
Munculnya perkampungan Arab di Pasar Kliwon yang telah ada semenjak
jaman kerajaan tradisional itu dipertajam lagi oleh pemerintah Belanda setelah
dapat menguasai Jawa. Pemerintah Belanda selalu berusaha memisahkan orang-
orang Arab dari pergaulan dan kontak sosial dengan penduduk Jawa. Misalnya
adanya peraturan yang membatasi masuknya para imigran Arab ke Indonesia,
mereka yang sudah terlanjur masuk ke Indonesia harus memiliki ijin menetap,
mereka hanya boleh bertempat tinggal di bagian tertentu di kota tersebut. Untuk
bepergian mereka harus mempunyai surat ijin, tidak saja dari satu kota ke kota
lainnya, tetapi juga dari satu tempat ke tempat lain di lingkungan kota, mereka
harus selalu membawa surat ijin itu. Seperti halnya dengan orang-orang Cina,
maka pada masa pemerintahan Belanda dikenal juga adanya sistem passen stelsel
dan wijken stelsel untuk orang Arab.
Kemudian aspek kedua dari munculnya perkampungan Arab tersebut
adalah sebagai perkembangan natural dari kota itu sendiri. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa sejalan dengan perkembangan kota yang diikuti dengan masuknya
beberapa imigran dari berbagai suku bangsa. Masing-masing suku bangsa itu
17
Mahani, 2003, “Pasang Surut Usaha Indusrti Batik Masyarakat Keturunan Arab di
Pasar Kliwon Tahun 1966-2002”, Skripsi, Surakarta: FSSR UNS, hal: 28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
lama-kelamaan membentuk wilayah pemukiman tersendiri, misalnya kampung
Jawa, Cina, Arab dan lain-lain. Sebenarnya Belanda mempunyai maksud untuk
menciptakan sifat eksklusif dari masing-masing kelompok yang sebenarnya
merupakan penajaman saja dari pemukiman-pemukiman yang telah dibangun oleh
para leluhur dari masing-masing kelompok etnis yang bermigrasi ke Batavia.18
Proses terbentuknya perkampungan Arab di Pasar Kliwon selain
disebabkan pola pemukiman di masa lampau, perkampungan itu muncul
disebabkan pula adanya tarikan migran yang datang kemudian ke dalam
kelompoknya sendiri yang mempunyai latar belakang kebudayaan, bahasa, serta
tradisi yang sama, sehingga terbentuklah suatu perkampungan yang khusus dihuni
oleh suku bangsa tertentu yaitu orang-orang Arab. Perkampungan orang-orang
Arab itu pada perkembangan selanjutnya bukan lagi merupakan pemukiman yang
eksklusif. Bersamaan dengan perubahan ekologi kota serta adanya pertambahan
penduduk kota dalam hal ini kota Surakarta, maka di Pasar Kliwon telah dihuni
oleh berbagai kelompok suku bangsa yang tinggal secara berdekatan.
Perkampungan orang Arab di Surakarta yang berada di Pasar Kliwon ini
merupakan tempat industri batik. Orang Arab ini, awalnya menjadi pengusaha
batik bersamaan dengan orang Cina. Barang dagangan batik tersebut dijual kepada
orang pribumi dan di pasarkan di Pasar Klewer. Namun setelah perkembangan
jaman, orang Arab ini juga ikut berdagang sendiri hasil industrinya di Pasar
Klewer. Mereka mulai masuk berdagang di Pasar Klewer sekitar tahun 80-an,
bersamaan dengan perkembangan Pasar Klewer yang sudah mulai dikenal oleh
18
Ibid, hal: 30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
masyarakat luas. Namun sekarang ini, orang Arab di Pasar Klewer tidak hanya
berdagang batik, namun juga tekstil, konveksi dan bahkan sepatu.
d. Suku Banjar
Orang Banjar menetap di Surakarta sejak akhir abad XIX. Mereka sengaja
di datangkan dari Martapura oleh Susuhunan untuk mengurusi pakaian prajurit
dan perlengkapan pakaian untuk raja. Orang-orang Banjar yang terkenal sebagai
penggosok intan sering diminta Susuhunan untuk menggosokkan barlian
miliknya. Dalam perkembangannya, para migran tersebut memperluas usahanya
sebagai pedagang perhiasan khususnya intan.19
Di kota Surakarta orang Banjar tinggal di kampung Jayengan dan
kemudian kampung tersebut dinamakan Kampung Banjaran. Pada umumnya mata
pencaharian masyarakat di Kampung Banjar bersifat homogen yaitu bekerja
sebagai wiraswasta. Stratifikasi sosial yang ada di kampung itu disebabkan adanya
perbedaan kecerdasan, kenginan, dan watak kondisi fisik. Maka ada yang disebut
majikan, buruh, pedagang, dan ulama. Lapisan sosial masyarakat yang paling
dominan adalah buruh, pedagang yang memiliki modal kecil. Sedangkan lapisan
sosial masyarakat yang paling kecil adalah kelompok ulama dan majikan.
Orang-orang Banjar ini mulai ikut berdagang di Pasar Klewer sekitar
tahun 80-an. Meraka ikut berdagang karena dengan mereka berdagang dapat
memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidup mereka. Meskipun sebagai
pendatang, namun orang Banjar ini memiliki sifat dagang yang hampir sama
dengan orang pribumi asli yaitu sabar, walaupun mereka sedikit lebih keras dari
19
Hari Mulyadi, dkk, op. cit, hal: 192
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
orang Jawa. Di Pasar Klewer, para orang Banjar ini berdagang konveksi, dan
tekstil.
D. Aktivitas Perdagangan di Pasar Klewer
Perdagangan merupakan suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan
seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencari keuntungan, yang
termasuk dalam golongan pedagang adalah orang-orang yang dalam pekerjaan
sehari-harinya membeli barang yang kemudian untuk dijual kembali. Dalam
prinsip ekonomi, perdagangan adalah untuk mencari laba yang sebesar-besarnya
dan prinsip ini menjadi simbol kekayaan sebagai adanya status sosial kelas
menengah pedagang di Jawa pada umumnya.20
Aktivitas ekonomi rakyat di Surakarta salah satunya adalah dengan adanya
pasar. Kehidupan ekonomi pasar tradisioanal menjadi ramai ketika dibangun
jembatan di Bacem dan Jurug. Kedua jembatan ini sangat vital dalam
memperlancarkan arus ekonomi pedesaan ke kota, sehingga para pedagang dari
desa tidak perlu lagi menyebrang sungai dengan perahu.21
Aktivitas pasar yang
ramai salah satunya adalah Pasar Klewer yang merupakan salah satu pusat
perbelanjaan sandang seperti batik, tekstil, tenunan dan sebagainya. Barang-
barang yang diperdagangkan di Pasar Klewer ini merupakan barang dagangan
yang dipasok dari daerah-daerah sekitar Surakarta, seperti Klaten dengan hasil
tenunanya, bahkan produksi dari luar kota seperti batik Pekalongan, batik dari
Yogyakarta, Gresik, Bandung Cirebon.
20
Ann Wan Seng, 2007, Rahasia Bisnis Orang Cina, Jakarta: Hikmah, Hal: 7-9
21
Susanto, 2005, “Surakarta: Tipologi Kota Dagang”, dalam Diakronik Vol. 2 No. 6
Januari 2005, Surakarta: FSSR UNS, hal: 13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
a. Pedagang Batik
Batik kini telah menjadi busana nasional, bukan hanya karena keindahan
coraknya saja, namun juga batik telah dikenal di seluruh nusantara. Daerah-daerah
di Indonesia ternyata memilki batik sendiri-sendiri. Oleh karenanya dikenal batik
Sumatera, batik Banten, batik Pekalongan, batik Bali, bahkan batik Nusa
Tenggara dan Papua. Motif dan ragam hias merupakan ciri khas yang
membedakan masing-masing daerah tersebut, karena telah dikenal secara umum
itulah batik dipakai sebagai pakaian resmi nasional.
Pada dasarnya batik merupakan seni lukis. Batik adalah lukisan atau
gambaran pada kain mori dengan menggunakan canting. Jadi orang yang melukis
atau menggambar pada kain mori dengan memakai canting disebut membatik atau
membuat batik (Bahasa Jawa “mbatik”). “Mbatik” yaitu gabungan dari dua kata
bahasa Jawa ngoko “mbat” yang artinya memainkan, dan “tik” berasal dari kata
nitik atau memberi titik. Pengertian ini diperoleh dari proses membatik itu sendiri
dimana ragam hiasnya banyak menggunakan unsur titik atau memainkan unsur
titik.22
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli tentang asal muasal batik.
Sebagian mengatakan bahwa batik berasal dari India. Batik masuk ke Indonesia
bersamaan dengan masuknya orang-orang India yang membawa pengaruh Hindu
ke nusantara, sehingga tradisi Hindu sangat dominan dalam budaya Indonesia.
Disebutkan pada tahun 1619 di Palikat dan Gujarat pernah dibuat sejenis batik
22
Suswandi Mangkudilaga, 1980, Batik, Jakarta: Wastaprema, hal: 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
dengan lukisan lilin yang banyak dipasarkan di Malaya yang dikenal dengan nama
kain pelekat.23
Sejak tahun 1890-an orang-orang Cina berperan dalam industri batik, yang
semula hanya berkembang di lingkungan istana dan rumah-rumah para
bangsawan. Melalui usaha mereka, lambat laun daerah pemasaran batik
menjangkau seluruh Jawa. Bukan hanya terbatas di kota-kota, tetapi juga masuk
ke daerah pedalaman. Dalam hal ini, orang-orang Cina menguasai perdagangan
berbagai jenis bahan baku pembuatan batik. Perdagangan bahan pewarna (indigo)
dan kain mori (putih) juga di tangan orang Cina dan Arab. Mereka berhubungan
dengan importir, yaitu pedagang besar Cina dalam bidang pertekstilan.
Pada awal abad ke-20 orang-orang Cina di Surakarta membentuk
perkumpulan dagang yang diberi nama kong sing. Perkumpulan ini mula-mula
hanya beranggotakan kalangan pedagang kecil Cina yang miskin, dan tujuannya
untuk membantu mereka dalam urusan kematian, pesta, dan perdagangan. Sejak
ditemukan metode batik cap dan bahan pewarna kimiawi, pedagang-pedagang
Cina di Surakarta mengalami kemajuan. Dengan kata lain, orang Cina menguasai
sektor perdagangan ini, teutama dalam hal impor bahan baku batik. Mereka
memonopoli dan menjadi pedagang perantara dalam menyuplai berbagai bahan
baku batik impor. Beberapa di antaranya memliki industri batik sekaligus manjadi
supplier bahan baku, sehingga dapat memproduksi kain batik dengan harga yang
lebih murah dibandingkan dengan harga kain batik produksi orang Jawa. Orang
Jawa menjual harga batik lebih tinggi karena seluruh ongkos produksi yang
23
Mahani, Op. cit, hal: 20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
dikluarkan lebih besar dari orang Cina. Hal tersebut terjadi karena bahan baku
yang diperoleh dari orang Cina dan Arab harganya sangat mahal.
Pada tahun 1900-an di Surakarta, orang Jawa, Cina, Arab dan sedikit
orang Eropa masuk dalam aktivitas industri dan perdagangan batik. Orang Jawa
mendominasi produksi batik di Surakarta, tetapi juga ada beberapa orang Cina dan
Arab. Seluruh pekerja batik adalah orang Jawa tanpa mmperhatikan identifikasi
etnis pemilik perusahaan. Bahkan beberapa perusahaan batik tulis berkualitas
tinggi adalah milik orang Cina. Perusahaan batik milik orang Cina hampir
seluruhnya ditemukan di sebelah timur laut kota yakni daerah Warung Pelem dan
Balong. Sedangkan majikan batik Arab dilingkungan Pasar Kliwon. Secara umum
pedagang Cina dan Arab lebih fokus pada perdagangan bukan pada produksi.
Hampir seluruh pedagang Jawa mempercayakan orang Cina dalam memenuhi
kebutuhan bahan-bahan baku batik.24
Bersamaan dengan keadaan tersebut wilayah Surakarta terbuka bagi
pengusaha swasta, sehingga daerah ini lebih banyak berhubungan dengan segala
aktivitas ekonomi dan bisnis. Sebagian besar transaksi perdagangan orang Cina
ditempatkan dibawah hukum perdata Eropa tahun 1855, adanya Undang-undang
tersebut maka posisi orang Cina dalam kedudukan sosial lebih tinggi dari orang
pribumi. Berada diantara orang-orang Eropa dan pribumi membuat bangsa Cina
dapat menarik keuntungan dari kedua belah pihak.
Orang Cina mulai terjun dalam perdagangan batik setelah diterapkan
sistem cap. Motivasi ini didasari oleh perhitungan ekonomi yakni menjangkau
pasar yang luas dan dijual dengan harga yang lebih murah, waktu pembuatan yang
24
Setiawan Budi Mulyanto, 2008, “Perkembangan Perusahaan Batik Arum Dalu Tahun
1998-2007”, Skripsi, Surakarta: FSSR UNS, Hal: 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
lebih cepat, dan pasti mereka akan memeperoleh keuntungan yang besar. Orang
Cina hampir sepenuhnya mempercayakan pekerjaan batik kepada orang Jawa di
pedesaan. Mereka diberi pekerjaan untuk membuat pola kain dan kemudian
mewarnainya. Salah satu ciri penting dari perusahaan batik milik orang Cina
adalah dipakainya paal merah.
Salah satu tempat pembuatan batik Surakarta sekaligus pusat penjualan
batik tersebar di Surakarta adalah di Pasar Klewer. Sejak tahun 70-an Pasar
Klewer menjadi incaran para agen di berbagai kota di Nusantara bahkan negeri
tetangga untuk mendapatkan batik bermutu tinggi dengan harga yang murah. Pada
awalnya para pengrajin maupun pengusaha batik kebanyakan berasal dari daerah
Laweyan dan Kauman yang dikenal sebagai kampung batik. Mereka menjajakan
dagangannya di sekitar rumah-rumah mereka, namun lama-kelamaan tempat
penjualannya berkembang menjadi sebuah komunitas pengrajin dan tempat
perdagangan.
Pada awalnya, para pedagang sandang khususnya batik di Pasar Klewer ini
bertempat di Stabelan Pasar Legi Surakarta, namun sekitar tahun 50-an di
Surakarta terserang wabah penyakit Pes maka para pedagang tersebut dipindahkan
di Nonongan. Kemudian mereka menjajakan dagangannya sampai ke Pasar
Slompretan, meskipun pada saat itu pasar tersebut masih menjadi pasar burung.
Mereka membawa barang dagangannya dengan menggunakan transportasi andong
bagi pedagang kaya dan bagi pedagang miskin menggunakan pikul. Mereka
menjual dagangan mereka dari pagi sampai sore hari.
Batik tersebut diperoleh dari daerah Surakarta seperti Pasar Kliwon,
Laweyan dan Banjarsari. Berdasarkan hasil wawancara dengan Atmanto selaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Humas HPPK dan pedagang di Pasar Klewer, batik tersebut diperoleh melalui
koperasi batik yaitu KBI (Koperasi Batik Indonesia), untuk daerah Serengan Pasar
Kliwon Surakarta terdapat KPN (Koperasi Pembatikan Nasional), di Laweyan ada
PPBS (Persatuan Pengusaha Batik Surakarta) dan di Banjarsari ada BATARI
(Batik Republik Indonesia). Pasokan batik selain dari daerah Surakarta sendiri
juga didukung dari sentral industri yang berada di sekitar wilayah Surakarta,
seperti: Kliwonan untuk daerah Sragen, Gedung Gudel untuk daerah Sukoharjo,
Tirtomoyo untuk daerah Wonogiri, Bayat untuk daerah Klaten dan Karanganyar.
Di pasar ini beragam batik yang diperdagangkan, mulai dari kain dengan
motif kuno dan sakral hingga modern. Harganya pun bersaing bila dibandingkan
dengan harga toko, karena disini pembeli diperbolehkan menawar dengan harga
terendah, semua proses jual beli dilakukan scara transparan sehingga harga yang
disepakati juga tidak jauh berbeda dengan para penjual lainnya. Sebagai satu
simbol kota tua Surakarta, Pasar Klewer juga menjadi bukti sejarah mengenai
keberadaan batik di kota ini. Di setiap gambaran motif batik yang ditawarkan para
pedagang menunjukkan era kretifitas dan perkembangan batik dari masa ke masa.
Keunikan lainnya, para pedagang yang berjualan disini juga merupakan generasi
yang turun temurun. Mereka tetap bertahan di pasar ini karena berdagang batik
merupakan lahan pencarian mereka sejak jaman buyut mereka dulu.
b. Pedagang Tekstil
Menurut penelitian Benny Juwono pada tahun 1930, ada 320 orang Cina
totok yang melakukan perdagangan kain tekstil. Jumlah tersebut jauh lebih banyak
daripada jumlah orang Cina peranakan yang melakukan perdagangan yang sama,
yaitu hanya 144 orang. Kalangan Cina totok tersebut menguasai perdagangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
tekstil untuk seluruh wilayah Karesidenan Surakarta, di samping berbagai macam
perdagangan eceran seperti toko kelontong dan penjaja keliling, serta
perkreditan.25
Bagi pedagang besar kain tekstil di Pasar Klewer pada umumnya barang
yang dijual adalah bahan-bahan untuk membuat batik, misalnya berbagai jenis
mori, kain santung, kain-kain sintetis hingga kain sutera. Meskipun kios yang
ditempati pada umumnya hanya satu atau dua buah, dagangan yang dipamerkan
juga hanya contoh-contoh kain saja. Kios ini terkesan sederhana, tetapi
sesungguhnya perputaran uang dikalangan mereka ini tiap harinya dapat mencapai
milyaran rupiah. Dengan peralatan telepon, bagi pembeli yang sudah sesuai harga
pedagang besar ini menghubungi via telepon ke gudang-gudang tempat
penyimpanan barang yang pada umumnya berada ditempat tinggalnya atau di
gudang-gudang besar di pinggiran Kota Surakarta. Barang yang sudah dibeli,
dapat dikirim ke Pasar Klewer untuk diangkut oleh pembeli sendiri atau dikirim
ke tempat jasa pengiriman barang.
Mengamati kiat pedagang besar kain tekstil maupun produk tekstil di
Pasar Klewer, biasanya yang mereka lakukan jarang ditemui seperti pedagang-
pedagang di tempat-tempat lainnya. Karena berbaga alasan, antara lain dengan
adanya target dan omset yang ditentukan oleh pabrikan, beberapa pedagang besar
ini seringkali menjual harga di bawah harga yang diperoleh dari pabrik. Jadi
semacam praktek dumping yang mereka lakukan, meskipun secara logika mereka
25
Rustopo, op.cit, hal: 80
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
mengalami kerugian namun dalam kenyataannya mereka masih tetap eksis dalam
usahanya, jarang yang mengalami kebangkrutan.26
c. Pedagang Konveksi
Selain batik dan kain tekstil, di Pasar Klewer juga terdapat pedagang
konveksi. Hal ini sejalan dengan citra Pasar Klewer yang merupakan pasar
sandang terbesar di Jawa Tengah. Banyak pedagang baik dari berbagai macam
golongan ini menjual konveksi, dan rata-rata para pedagang ini berada di Pasar
Klewer bagian barat, tepatnya lantai dua. Tidak hanya para pedagang dari etnis
Jawa yang berdagang konveks ini, tetapi para pedagang etnis Cina juga banyak
yang menjual konveksi. Meskipun mereka dari etnis yang berbeda, namun
diantara mereka tidak membedakan dalam hal perbedaan golongan dan bahkan
mereka terkadang bekerja sama dalam menjual barang dagangan mereka. Apabila
ada pedagang yang kekurangan barang dagangannya, maka mereka terkadang
mengambil dari pedagang lain.
Konveksi ini didapatkan dari pabrik tekstil di sekitar Surakarta, seperti:
daerah Wedi Klaten, Bandung, Pekalongan, Kudus dan Tasikmalaya. Pedagang
ini sudah melakukan kerja sama dengan perusahaan, sehingga perusahaan tersebut
tinggal mengirimkan barang yang telah dipesan oleh para pedagang dan
diantarkan ke gudang atau rumah pedagang. Sehingga barang konveksi yang
dijajakan dalam Pasar Klewer hanya dalam jumlah kecil atau hanya sebagai
contoh saja, dan apabila ada pembeli yang ingin membeli dalam partai besar maka
pedagang akan mengambil barang mereka di gudang atau rumah mereka.
26
Hari Mulyadi, dkk, op. cit, hal: 267
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
E. Karakter Pedagang
Pedagang adalah orang yang melakukan perdagangan dan berlaku sebagai
produsen. Pedagang dan perdagangan merupakan satu hal yang saling
mempengaruhi. Perdagangan dapat dibagi menjadi tiga jenis27
, yaitu:
a. Perdagangan besar
Perdagangan besar merupakan suatu cabang perdagangan yang mengurus
eksport-import, yang pada umumnya dikuasai oleh perusahaan swasta
Belanda.
b. Perdagangan perantara
Perdagangan perantara sebagai penghubung antara perdagangan besar dan
kecil yang umumnya dikuasai oleh golongan Timur Asing dan pribumi.
Perdagangan ini mempunyai dua fungsi yaitu perdagangan distribusi
perdagangan koleksi. Perdagangan distribusi ini menyebarkan barang-barang
konsumsi yang di import dari luar negeri. Sedangkan perdagangan koleksi
bertugas untuk mengumpulkan hasil tanaman dagang dari petani, langsung
atau melalui prdagangan kecil untuk diteruskan kepada pedagang besar.
c. Perdagangan kecil
Pedagang kecil adalah suatu cabang perdagangan yang membeli barang
dagangan dari tangan kedua atau ketiga yang kemudian dijual langsung
kepada konsumen. Perdagangan kecil ini umumnya dikuasai oleh pedagang
pribumi. Perdagangan kecil sendiri dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
perdagangan keliling dan perdagangan menetap. Perdagangan keliling juga
dapat dibagi dalam dua bagian yaitu perdagangan kelontong yang pada
27
Tri Wahyuning M. Irsyam, 1985, “Golongan Etnis Cina sebagai Pedagang Perantara di
Indonesia,” dalam Seminar Sejarah Nasional IV di Yogyakarta, tanggal 16-19 Desember 1985),
Jakarta: Depdikbud, hal: 10-11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
umumnya dikuasai oleh pedagang etnis Cina, dan perdagangan jalanan yang
pada umumnya dikuasai oleh pedagang pribumi. Perdagangan menetap dibagi
dalam tiga jnis yaitu warung, pasar, dan toko.
Hubungan diantara pedagang pasar Klewer ini meskipun rumit namun
terjalin suasana saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme, tidak saling
merugikan diantara pedagang yang satu dengan yang lain. Disebut rumit karena
pedagang di dalam pasar ini terdiri dari beberapa skala usaha, mulai dari pedagang
besar atau grosir, pedagang biasa hingga pedagang pengecer, meskipun terdapat
perbedaan kepentingan diantara mereka, tetapi juga terdapat aturan yang tidak
tertulis, sehingga tidak terjadi persaingan yang tidak sehat. Di Pasar Klewer
terdapat dua karakter dalam berdagang, antara lain:
1. Pedagang Partai Besar (Grosir)
Pedagang besar adalah pedagang yang berusaha untuk dapat
memperjualbelikan hasil produksi secara besar-besaran atau dalam jumlah
yang besar, dan biasa disebut dengan grosir. Pedagang besar di sini misalnya
pedagang tekstil, seperti batik, bahan pakaian, pakaian jadi atau konveksi dan
lain-lain.
Perdaganan grosir atau biasa disebut juga dengan wholesaling
merupakan kegiatan yang menjual produk dalam kuantitas besar kepada
pembli non-konsumen akhir untuk tujuan dijual kembali atau untuk pemakaian
bisnis. Saat ini pedagang besar (wholesaler) sangat penting keberadaannya
bagi produsen karena berbagai alasan, seperti berikut:
a. Para produsen kecil yang sumber keuangannya terbatas tidak mampu
mengembangkan organisasi penjualan langsung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
b. Produsen yang cukup mampu pun lebih suka menggunakan modalnya
untuk memperluas produksi daripada melakukan kegiatan secara partai
besar.
c. Operasi pedagang grosir lebih efisien karena skala operasi mereka, luasnya
hubungan mereka dengan pelanggannya dan keahlian khusus mereka.
d. Pengecer yang mampu banyak produk lebih suka membeli bermacam-
macam produk melalui pedagang grosir daripada melalui produsen
langsung.28
Bagi pedagang partai besar di Pasar Klewer biasanya mereka menjual
bahan-bahan untuk membatik, seperti jenis kain mori maupun sutera. Dan
dalam hal kepemilikan kios biasanya para pedagang besar ini memiliki kios
lebih dari satu yang letaknya dapat berdampingan. Sistem penjualannya dalam
bentuk kodian maupun losinan. Para pedagang besar atau grosir disamping
menjalin hubungan hutang-piutang barang dagangan dengan pedagang kecil
atau pedagang pengecer , namun mereka tidak saling menjatuhkan bahkan
saling menguntungkan, pedagang besar ini juga tidak melayani penjualan
secara eceran.
Menurut penuturan Juminten salah seorang pedagang grosir di Pasar
Klewer, barang dagangan pada waktu itu (sekitar tahun 1983) hanya
bermodalkan kepercayaan saja. Barang dikirin oleh agen dari kota Pekalongan
atau Yogyakarta dan baru dibayar setelah barang dagangannya laku. Omset
penjualan di tahun 1985 bisa mencapai Rp 390.000 per hari. Pelangganya
adalah para pedagang kecil di kampung-kampung. Mereka biasanya membeli
28
http://www.smakristencilacap.com/arti-pemasaran-dan-manajemen-pemasaran
/perdagangan-grosir-wholesaling/, diakses tanggal 12 Oktober 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
berbagai pakaian batik dan barang jadi lainnya dari berbagai kios. Modal awal
usaha ini sekitar Rp 10 juta sampai Rp 20 juta, hal ini sesuai luas kios yang
dimiliki dan jumlah barang yang diperdagangkan. Modal ini dapat diperoleh
dari koperasi Pasar Klewer yang merupakan salah satu binaan Bank Bukopin
Cabang Solo yang menyalurkan kredit Sudara. Kredit Sudara ini merupakan
hasil kerjasama Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) dengan Bank
Bukopin yang ditujukan bagi para pedagang.29
2. Pedagang Partai Kecil (Eceran)
Pedagang kecil adalah pedagang yang menjual barang dari pedagang
besar kepada konsumen atau menjual barang dari podusen ke konsumen, hal
ini biasa disebut dengan pedagang eceran. Pedagang ini menjual barang
dagangnya dalam jumlah yang kecil atau hanya satu barang. Biasanya yang
termasuk pedagang kecil atau eceran ini adalah Pedagang Kaki Lima (PKL).
Pedagang eceran adalah mata rantai terakhir dalam penyaluran barang
dari produsen ke konsumen. Pedagang eceran ini sangat penting artinya bagi
produsen karena melalui pengecer, produsen memperoleh informasi berharga
tentang barangnya. Bisnis ritel secara umum dapat diklasifikasikan secara
umum menjadi dua kelompok besar, yaitu pedagang eceran besar dan
pedagang eceran kecil. Perdagangan eceran kecil terdiri atas eceran kecil yang
berpangkalan (memiliki tempat) dan pedagang eceran kecil yang tidak
berpangkalan. Klasifikasi pedagang ritel dapat dilihat pada bagan berikut30
:
29
Wawancara dengan Juminten pada tanggal 10 Oktober 2010
30
http://haniif.wordpress.com/2008/07/08/pedagang-eceran-retailing/, diakses tanggal 12
Oktober 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Pedagang eceran
Eceran besar Eceran kecil
Berpangkal Tidak
berpangkal
Tetap tidak tetap pakai alat
Pedagang eceran merupakan suatu kegiatan menjual barang dan jasa
kepada konsumen akhir (masyarakat). Pedagang ini dapat dikatakan berhasil
apabila dapat menyesuaikan barang dan jasa dengan permintaan. Hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam pedagang eceran ini adalah:
a. Tersedianya barang yang tepat
b. Pada saat yang tepat
c. Di tempat yang tepat
d. Dalam kuantitas yang tepat
e. Dengan harga yang tepat
f. Penjualan dengan harga yang tepat
g. Dalam kualitas yang tepat.
Barang dagangan yang dijual terkadang diambil dari pedagang besar,
namun dengan demikian diantara pedagang ini tidak saling menjatuhkan.
Sehingga diantara pedagang besar maupun eceran ini saling percaya dan
melakukan kerjasama. Karena barang yang diperdagangkan dalam jumlah
yang sedikit dengan pedagang grosir, maka modal awal dalam menjalankan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
usaha ini sekitar Rp 5 juta sampai 10 juta sesuai jumlah barang
dagangannya.31
Meskipun pendapatan untuk pedagang eceran ini tidak menentu untuk
setiap harinya, namun dapat dilihat bahwa bisnis di Pasar Klewer mampu
memberi kontrbusi terhadap pendapatan daerah maupun perdagangan industri
tekstil atau pakaian pada umumnya. Hal ini juga menggambarkan kinerja
pedagang di Pasar Klewer sangat baik. Adanya kinerja yang tinggi maka
pedagang pengecer di Pasar Klewer dapat mempertahankan eksistensinya
sebagai pasar tradisional dengan memepertahankan siklus bisnis di tengah-
tengah kompetisi antar pedagang pengecer maupun pedagang lainnya.32
31
Wawancara dengan Fatimah pada tanggal 7 Oktober 2010
32
Erwien Rastana, 2004, “Analisis Faktor-faktor yang memepengaruhi Kinerja Pedagang
Batik di Pasar Klewer Surakarta”, Tesis, Bogor: IPB, hal: 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
BAB IV
INTERAKSI PEDAGANG MULTIETNIS PASAR KLEWER
SURAKARTA TAHUN 1958-1998
A. Etos Kerja Pedagang
Etos berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethikos yang artinya moral atau hal yang
menunjukkan karakter moral. Bahasa Yunani kuno dan modern, etos mempunyai arti
sebagai keberadaan diri, jiwa dan pikiran yang membentuk seseorang. Bahkan dapat
dikatakan bahwa etos pada dasarnya adalah tentang etika. Etika bukan hanya dimiliki
oleh bangsa tertentu. Masyarakat dan bangsa apapun mempunyai etika, hal ini merupakan
nilai-nilai yang universal. Nilai-nilai etika yang dikaitkan dengan etos kerja seperti rajin,
bekerja keras, berdisiplin tinggi, menahan diri, ulet, tekun dan nilai-nilai etika lainnya
dapat juga dijumpai pada masyarakat dan bangsa lain.1
Pemahaman tentang etos kerja dapat digambarkan sebagai sebuah cara hidup yang
tersirat dari masalah-masalah yang dilukiskan berupa pandangan dunia. Pengertian etos
kerja menurut Cliffort Geertz, yaitu sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang
dipancarkan oleh hidup dan direfleksikan dalam aktifitas kehidupan sehari-hari sebagai
watak yang khas, sedangkan kerja secara etimologis diartikan sebagai kegiatan untuk
melakukan sesuatu. Jadi etos kerja mempunyai arti sebagai sumber semangat atau sumber
motifasi seseorang melakukan kegiatan yang bersifat fisik maupun kegiatan yang bersifat
kerohanian.2
1 http://www.posindonesia.co.id, diakses tanggal 10 Oktober 2010
2 Taufik Abdullah, 1982, Agama, Etos Kerja dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, hal: 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Berdasarkan hal tersebut dapat diambil pengertian bahwa disamping
menghasilkan sesuatu, manusia juga dapat mengekspresikan diri dalam melakukan
pekerjaannya. Kerja berfungsi sebagai simbol yang menunjukkan suatu nilai atau makna
tertentu. Kerja sebagai aktifitas dalam kehidupan manusia yang menjadi suatu kegiatan
untuk mengisi sebagian besar dalam kehidupannya. Etos kerja juga merupakan respon
yang dilakukan seseorang, kelompok atau masyarakat terhadap kehidupan sesuai dengan
keyakinannya masing-masing. Setiap keyakinan mempunyai sistem nilai dan setiap orang
yang menerima keyakinan tertentu berusaha untuk bertindak sesuai dengan
keyakinannya.
Etos kerja juga mempunyai arti:
1. Etos kerja merupakan perilaku khas suatu komunitas atau organisasi, mencangkup
motivasi yang menggerakkan, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode
etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi, keyakinan, prinsip-prinsip.
2. Dasar motivasi yang terdapat dalam budaya suatu masyarakat yang menjadi
penggerak suatu masyarakat pendukung budaya tersebut untuk melakukan kerja.
3. Keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang, sekelompok
orang.
4. Nilai-nilai tertinggi dalam gagasan budaya masyarakat terhadap kerja yang dapat
menjadi penggerak masyarakat untuk melakukan kerja.
5. Pandangan hidup yang khas dari suatu masyarakat terhadap kerja yang dapat
mendorong keinginan masyarakat untuk melakukan pekerjaan.
Pada umumnya motivasi orang bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya. Faktor yang mempengaruhi motivasi kerja seseorang sangat banyak misalnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
rekan kerja, kebijaksanaan dan peraturan, jenis pekerjaan dan tantangan. Etos kerja yang
tinggi biasanya muncul karena adanya tantangan, harapan dan kemungkinan sesuatu yang
menarik. Hal ini akan menyebabkan manusia itu bekerja dengan rajin, teliti, berdedikasi
dan bertanggung jawab dengan besar. Kemunculan etos kerja bagi masyarakat dengan
sendirinya merupakan suatu karakter yang telah menjadi watak bagi pelakunya.
Etos kerja masyarakat lahir dan berkembang berdasarkan standart dan norma-
norma yang dijadikan orientasi warga masyarakat. Secara umum tolok ukur atau
indikator dari perilaku yang mencerminkan etos kerja adalah efisiensi, kerajinan,
kerapian, sikap tepat waktu, kesederhanaan, kejujuran, sikap mengakui rasio dalam
mengambil keputusan dan tindakan. Kesediaan untuk berubah, kegesitan dalam
menggunakan kesempatan yang ada, bekerja secara energis, bersandar pada kekuatan
sendiri, mau bekerja sama dan mau memandang ke masa depan.
Dasar etos kerja orang Jawa sebenarnya lebih mementingkan keselarasan dengan
sesama anggota masyarakatnya, dengan alam lingkungan dan Tuhannya. Keselarahan dan
keharmonisan bisa terlaksana apabila orang itu tindakannya sesuai dengan etika-etika
yang ada. Masyarakat Jawa yang banyak tinggal di pedesaan memegang etika-etika
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Tinggi rendahnya etos kerja masyarakat pedesaan
sangat ditentukan oleh sejumlah faktor tertentu seperti pola pemilikan tanah, dan faktor
produksi lainnya, serta tersedia atau tidaknya lapangan kerja diluar sektor pertanian. Jika
sektor pertanian sudah tidak mendukung lagi, maka harus ada peluang pekerjaan lain di
luar sektor pertanian, agar masyarakat tetap mempunyai semangat kerja yang tinggi.3
Dalam kebudayaan Jawa, kerja diibaratkan sebagai suatu kewajiban hidup yang
utama, karena berpangkal dari aspek inilah kelangsungan hidup manusa secara material
3 http://www.posindonesia.co.id, diakses tanggal 10 Oktober 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
dapat dipenuhi.4 Tidak dapat disangsikan lagi bahwa kerja diperlukan untuk tetap hidup
dan kerja merupakan bagian dari setiap manusia. Dasar etos kerja atau semangat kerja
para pedagang Pasar Klewer lebih mengutamakan keselarasan hubungan dengan sesama
anggota masyarakat, dengan alam lingkungan dan dengan Tuhannya. Segalanya akan
dapat tercapai bila sesuai dengan etika yang ada dan disepakati bersama. Sikap-sikap
seperti ini terjadi pada masyarakat pedagang di Pasar Klewer.
Etos kerja merupakan suatu perilaku khas yang dimiliki oleh setiap komunitas
atau etnis. Misalnya orang Jawa rata-rata memiliki etos kerja untuk saling gotong royong,
saling membantu, bersikap sopan yang masih dapat ditemukan. Keturunan Cina maupun
Arab tidak membatasi dalam perdagangan. Sifat kerja mereka pun dapat dikatakan ulet,
tekun, teliti, kerja keras, pantang menyerah dan tidak membuang waktu. Berdasarkan
sifat ketekunan yang dimiliki oleh orang Cina maupun Arab, sehingga membuat mereka
dapat menguasai sektor perdagangan dalam partai besar. Hal ini dapat dilihat di Pasar
Klewer, disana banyak pedagang dari etnis Cina dan Arab yang memiliki kios lebih dari
satu dan menjual dalam partai besar.
Setiap orang atau kelompok memiliki budaya dagang sendiri-sendiri, seperti para
pedagang di Pasar Klewer yang terdiri dari beberapa etnis yaitu Jawa, Cina dan Arab.
Etnis Arab yang merupakan masyarakat muslim, mereka membangun mengenai
pengertian etos kerja sebagai semangat kerja yang didasari oleh norma-norma atau nilai-
nilai tertentu. Etos kerja menentukan penilaian manusia yang diwujudkan dalam suatu
pekerjaan, maka akan menentukan hasil yang akan diperoleh. Dengan adanya keterkaitan
yang erat antara etos kerja dan daya tahan manusia di bidang ekonomi, maka dengan
semakin progresif etos kerja suatu masyarakat akan memperoleh hasil yang baik.
4 Koentjaraningrat, 1982, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, hal: 437
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Nilai agama dan kultural dapat memberikan dorongan kepada seseorang atau
kelompok untuk mencapai prestasi tertentu, terutama dalam bidang ekonomi. Kelompok-
kelompok tertentu yang menjalankan syariat agama dengan lebih bersungguh-sungguh,
dalam kehidupan sosial dan pribadinya, kelihatan lebih mampu beradaptasi dalam
kehidupan ekonomi. Keterkaitan yang kuat antara agama islam dengan aktivitas ekonomi
merupakan kegiatan ekonomi dalam islam. Islam pada prinsipnya mengajarkan kebaikan
dan telah mengatur kehidupan umatnya di dunia dan di akherat.
Suku-suku bangsa Indonesia memang memiliki kesesuaian antara pendalaman
penghayatan terhadap Islam dengan semangat dalam kehidupan ekonomi. Misalnya pada
akhir penjajahan Belanda, suku Banjar, Minangkabau dan Aceh secara relatif lebih
menunjukkan kemampuan beradaptasi dalam hal ekonomi yang pada saat itu didominasi
oleh kolonial. Sehingga gerakan syariat Islam pertama muncul pada saat penjajahan
Belanda berawal dari kalangan pedagang-pedagang Islam yang sadar akan persaingan
golongan bukan bumi putera.5
Prinsip etika ekonomi pada hakekatnya adalah menjalankan bisnis yang jujur
sesuai dengan aqidah agama. Oleh karena itu, tujuan manusia pada bidang ekonomi tidak
dapat dilepaskan dari tujuan hidup. Kegiatan ekonomi manusia menyatu dengan status
manusia sebagai khalifah maka kegiatan ekonomi manusia untuk mensejahterakan
seluruh bumi serta menjaga kelestariannya, sedangkan dalam ibadah maka kegiatan
tersebut hendaknya ditujukan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.6
5 Jusuf Harsono dan Slamet Santoso, 2006, “Etos Kerja Pengusaha Muslim Perkotaan di Kota
Ponorogo”, dalam Jurnal Penelitian Humaniora edisi khusus Juni 2006, Surakarta: UMS, hal: 8
6 Ibid, hal: 3-4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Menururt penuturan salah seorang pedagang Pasar Klewer keturunan Arab, yaitu
Aminah, ada beberapa hal yang mendorong etos kerja yang tinggi selain modal yang
cukup untuk usaha juga pengalaman, ketrampilan dan sesuai dengan syariat agama.
Karena dengan adanya etos kerja yang tinggi maka akan mampu mendorong
perkembangan usaha mereka meskipun dalam tingkatan yang berbeda-beda.7
Berdasarkan uraian tersebut dapat digambarkan mengenai faktor yang mendorong etos
kerja pedagang di Pasar Klewer, antara lain:
Budaya dagang dari orang Cina yaitu mereka mempercayai adanya Hopeng, Feng
sui dan Hokie, yang merupakan nilai, kepercayaan dan juga mitos yang dipakai dalam
menjalankan bisnis atau berdagang. Sebagian pedagang Cina ada yang mempercayai
akan ketiga hal tersebut, namun ada juga yang tidak. Sebagian pedagang Cina di Pasar
Klewer juga memperhatikan tentang Feng Sui yang dapat mempengaruhi nasib baik dan
buruk manusia. Feng Sui menunjukkan bagian-bagian atau bidang tertentu serta wilayah
yang sesuai dengan keberuntungan baik dalam hidup sehari-hari maupun dalam kegiatan
perdagangan.
7 Wawancara dengan Aminah, tanggal 4 Oktober 2010
MOTIF:
Religi
Ekonomi
Sosial
MODAL:
Semangat
Ketrampilan
Pengalaman
ETOS KERJA
Berkembangnya
usaha para
pedagang Muslim
di Pasar Klewer
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Kepercayaan lain yang dipegang oleh orang Cina adalah Hokie. Hokie ini lebih
dipersepsikan mengenai bagaimana menyiasati nasib agar selalu mendapatkan hasil yang
baik. Orang Cina memiliki kepercayaan bahwa sebuah bisnis yang ditekuni dengan
sungguh-sungguh dan serius, maka akan menemukan Hokie-nya. Artinya, meskipun
dimulai dengan usaha dan kerja keras namun harus diyakini juga bahwa pada saatnya
usaha itu akan mencapai puncaknya. Konsep Hokie menjadi penting karena untuk
menghindarkan mereka dari sikap fatalistik atau pesimistik pada saat mengalami
permasalahan atau benturan-benturan.8 Benda-benda yang dianggap mendatangkan
Hokie, seperti The Lucky Cat. Banyak para pedagang Cina di Pasar Klewer yang
memajang benda tersebut di dalam kios mereka.
Budaya dagang keturunan Cina, Arab maupun Jawa (termasuk orang Banjar)
memiliki pandangan yang cenderung sama, yaitu mereka melakukan cara untuk berusaha
menjaga hubungan baik dengan para pelanggan, konsumen, pemasok, pemerintah dan
lingkungannya. Cara bersikap itu merupakan manifestasi norma kehidupan berdasar pada
kehormatan dan keharmonisan. Sistem pemasaran yang dipakai oleh para pedagang
pribumi (Jawa dan Banjar) cenderung bersikap mengajak para pendatang baru untuk
bekerja sama, sedangkan para pedagang keturunan Cina dan Arab cenderung untuk
melakukan kemampuannya secara optimal tanpa melakukan kerja sama.9
8 Cahyo Adi Utomo, 2010, “Peran Etnis Cina dalam Perdagangan di Surakarta pada Tahun 1959-
1998”, Skripsi, Surakarta: FSSR UNS, hal: 87
9 Daryono, 2007, Etos Dagang Orang Jawa Pengalaman Raja Mangkunegara IV, Semarang:
Pustaka Pelajar, hal: 306-307
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
B. Jaringan Interaksi dalam Bidang Sosial Ekonomi
Seiring dengan berkembangnya perekonomian dan kehidupan kota yang disertai
dengan tumbuhnya lalu-lintas antar daerah dan interaksi sosial yang semakin intensif,
hubungan antar etnis di Indonesia juga tidak dapat dihindari. Akibatnya berbagai suku
bertemu dan berbaur dalam hubungan pergaulan mereka dengan kepentingan masing-
masing. Jadi tidaklah mengherankan apabila di sebuah kota, terutama kota Bandar, akan
ditemukan berbagai unsur etnis Indonesia seperti orang Madura, orang Bali, orang
Melayu, orang Bugis, orang Flores, orang Banjar dan sebagainya. Namun interaksi yang
terjalin tidak hanya dengan penduduk Indonesia, tetapi juga dengan para pendatang
seperti orang Eropa, Cina dan Arab. Mereka tinggal dan hidup berdampingan bersama di
suatu lahan kota yang ada.
Interaksi mengandung arti yaitu kontak secara timbal balik atau interstimulan dan
respon antar individu dan kelompok interaksi sebagai aksi dan reaksi antar orang-orang.10
Terjadinya interaksi apabila satu individu melakukan tindakan atau perbuatan sehingga
menimbulkan reaksi individu dengan individu lainnya. Proses interaksi berlangsung
karena orang mengharapkan imbalan komunikasi. Interaksi akan berlangsung selama
pihak-pihak yang terlibat menginginkan atau merasa ada keuntungan yang bisa
didapatkan dari kelangsungan komunikasi dari pihak lain.
Sistem interaksi ini tergantung dari pola masyarakat yang dominan dan interaksi
ini bukan dilihat dari jenis kelamin melainkan dilihat pada orang yang paling giat
mengadakan komunikasi. Interaksi ini berlangsung selama orang yang bersangkutan
masih mengharapkan untuk mencapai tujuan dan manusia yang berinteraksi dalam
10
Alvin L Betrand, 1980, Sosiologi (alih bahasa Sanapiah S Faisal), Surabaya: PT. Bina Ilmu
Surabaya, hal: 28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
kelompok mempunyai perasaan. Orang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan
penyesuaian diri karena seringnya mereka mengadakan komunikasi. Meningkatkan
prergaulan dalam kehidupan masyarakat akan cepat mewujudkan pembauran dalam
proses sosial yang ditandai dengan semakin berkurangnya perbedaan antar individu dan
antar kelompok dan smakin eratnya persatuan, aktivitas sikap dan proses mental yang
berhubungan dengan kepentingan dan tujuan yang sama.11
Asimilasi atau pembauran merupakan salah satu wujud adanya interaksi sosial.
Interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini sangat
penting untuk diketahui, karena intraksi yang berlangsung antara berbagai suku bangsa,
antara golongan yang dapat disebut sebagai mayoritas dan minoritas dan antara golongan
yang terpelajar. Di Pasar Klewer interaksi juga terjalin baik antara para pedagang dengan
pembeli, pedagang dengan pedagang dan juga pedagang dengan pegawai pemerintahan
daerah yang mengurusi perdagangan di Pasar Klewer. Meskipun para pedagang ini terdiri
dari beberapa golongan yaitu Jawa (asli orang Jawa dan para pendatang seperti suku
Banjar), Cina dan Arab namun mereka berinteraksi baik dalam bidang sosial maupun
ekonomi.
Interaksi yang terjalin di Pasar Klewer ini tidak hanya bagi para pedagang yang
memiliki kios, namun juga bagi mereka yang tidak memiliki kios atau para PKL. Kedua
pedagang ini saling membantu dan saling berhubungan baik, baik pada saat berdagang di
pasar maupun di luar pasar. Hubungan yang harmonis antar pedagang ini membuat
keadaan di dalam pasar menjadi nyaman dan ramah. Selain itu banyak kegiatan yang
dilakukan di luar pasar yang tujuannya untuk mempererat hubungan dan menimbulkan
11
Harsojo, 1971, Pengantar Antropologi, Bandung: Bina Cipta, Hal: 150
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
rasa kekeluargaan meskipun mereka berasal dari golongan atau etnis yang berbeda,
namun mereka tidak memandang perbadaan tersebut.
1. Hubungan Antara Pedagang Pemilik Kios
Para pedagang yang memiliki kios di Pasar Klewer ini terdiri dari beberapa
golongan, namun hal ini tidak membuat para pedagang ini membeda-bedakan antara
pedagang yang satu dengan yang lain. Sifat kekeluargaan yang diciptakan merupakan
salah satu wujud dari asimilasi atau pembauran dari semua perbedaan yang ada. Selain
interaksi ekonomi yang terjadi di dalam pasar, interaksi sosial juga terjalin dengan baik.
Meskipun mereka bersaing dalam berdagang namun diantara pedagang pemilik kios ini
tidak saling menjatuhkan atau dapat dikatakan mereka bersaing secara sehat. Hal ini
dapat dilihat pada saat salah seorang pedagang kekurangan barang dagangannya, mereka
mengambil sebagian barang dagangan dari pedagang lainnya tanpa melihat asal dan
golongan yang mereka miliki.12
Seperti penuturan Abdul Kadir salah seorang pedagang partai besar yang
berdagang batik di Pasar Klewer, menurutnya antar pedagang tidak mempersoalkan asal
dan perbedaan etnis yang ada di Pasar Klewer. Perbedaan tersebut hanyalah bentuk fisik,
namun dalam berdagang yang dicari bukanlah hal seperti itu melainkan strategi atau
sistem berdagang. Meskipun golongan Cina maupun Arab yang mendominasi
perdagangan dalam partai besar, namun mereka juga membantu para pedagang pribumi
maupun Banjar dalam hal permodalan atau lainnya.13
12
Wawancara dengan Totok Supriyanto, tanggal 11 Oktober 2010
13
Wawancara dengan H. Abdul Kadir, tanggal 8 Oktober 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
a. Pedagang etnis Jawa dengan Cina
Kelompok masyarakat Cina merupakan suatu golongan orang asing yang
banyak bergaul dan berhubungan dengan masyarakat pribumi secara sosial dan
ekonomi. Interaksi sosial yang terjadi dengan masyarakat pribumi memberi
kesempatan bagi orang-orang dan para pedagang Cina untuk mengenal lebih jauh
budaya Jawa. Mereka banyak meniru pola pemukiman dan pergaulan hidup orang
Jawa. Pola pemukiman orang Cina yang dijumpai di tepi sungai Surakarta pada awal
Perang Diponegoro tahun 1825 sudah menunjukkan percampuran antara gaya Jawa
dan Cina yang terbuat dari kayu jati.14
Kampung Balong tetap sebagai perkampungan pecinan, tetapi dalam
perkembangannya hanya orang-orang Cina miskin yang tinggal di sana. Ketrurunan
Cina yang di anggap miskin tersebut dapat menjalin komunitas sosial dengan
masyarakat pribumi disekitarnya berlangsung sangat akrab. Proses pembauran
berlangsung secara alami, termasuk perkawinan campuran antara Cina-Jawa yang
telah berlangsung beberapa generasi. Oleh karena itu, kampung Balong tumbuh dan
berkembang menjadi kampung heterogen, walaupun kesan perkampungan pecinan
lama masih dapat dirasakan. Sementara itu orang-orang Cina telah menyebar ke
kampung-kampung pribumi lainnya dan berbaur secara alami pula.15
Etnis Cina di Kampung Balong mempunyai mata pencaharian sebagai
pedagang, baik usahanya sendiri maupun generasi dari orang tua. Selebihnya bekerja
14
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, 2006, “Solo Kota Dagang,” dalam Laporan Penelitian,
Surakarta: FSSR UNS, hal: 34
15
Rustopo. 2007, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta
1895-1998, Yogyakarta: Ombak, hal: 62-63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
sebagai pegawai negeri dan buruh. Bentuk usaha lain adalah membuka toko, rumah
makan dan membuka usaha di luar Kampung Balong, seperti di Pasar Gede, Pasar
Klewer dan Coyudan. Sedangkan etnis Jawa yang tinggal di Kampung Balong berasal
dari keluarga menengah kebawah yang bekerja sebagai buruh, pedagang dan pegawai
negeri. Etnis Jawa disini kebanyakan beragama Islam tetapi ada pula yang mengikuti
aliran kepercayaan. Aliran kepercayaan yang dianut etnis Jawa di Kampung Balong
yaitu Pangestu dan Sapto Darmo.16
Kedua etnis Jawa dan Cina ini tinggal dalam
suatu komunitas, yaitu Kampung Balong. Masing-masing etnis saling menghormati
hak-hak orang lain. Dalam hal ini yang paling menonjol adalah pemakaian sarana
komunikasi berupa bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, sedangkan pemakaian bahasa
Cina oleh etnis Cina hanya digunakan oleh Cina totok.
Interaksi sosial lainnya dapat melalui perkawinan yaitu dengan perempuan
Jawa dan pemelukan agama Islam oleh imigran, menurut Carey merupakan pilihan
yang terbaik. Pertimbangan pertama adalah berkenaan dengan soal keuangan, yaitu
mereka dan keturunannya dapat terbebas dari pajak yang diberlakukan VOC bila
dikemudian hari dapat berasimilasi dengan baik ke dalam kebudayaan Jawa.
Pertimbangan yang kedua adalah karena sedikitnya perempuan Cina yang ada di
Jawa. Kebanyakan orang Cina yang baru datang itu (Hokkian dan Kanton) kawin
dengan peranakan atau dengan perempuan Jawa. Melalui perkawinan tersebut,
pengetahuan kebudayaan, bahasa dan adat istiadat Jawa melekat pada keturunan-
keturunan dari hasil perkawinan mereka. Mereka lahir dan tumbuh di dalam
16
Hari Mulyadi, dkk, 1999, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit: Studi Radkalisasi Sosial Wong
Solo dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta, Surakarta: LPTP, hal: 204
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
lingkungan keluarga yang memungkinkan untuk menyesuaikan diri dengan mudah
kedalam kehidupan dunia kultur Jawa.17
Selain itu agama merupakan sumber pemersatu yang paling baik. Agama
Nasrani yang dianut oleh sebagian besar etnis Cina merupakan landasan utama dalam
memperlancar interaksi sosial. Pada saat memperingati hari besar keagamaan, mereka
akan mnyampaikan undangan kepada umat seagama maupun yang bukan seagama
untuk menghadirinya. Di samping Nasrani, agama yang juga mempercepat interaksi
adalah agama Islam. Di dalam agama Islam persoalan realistis akan selesai, sebab
agama islam tidak membedakan umatnya menurut keturunan, ras, golongan dan
sebagainya. Etnis Cina yang beragama Islam akan diterima oleh etnis Jawa sehingga
pembauran dengan sendirinya mudah terjadi, seperti halnya antar pedagang di Pasar
Klewer.18
Kegiatan ekonomi oleh orang Cina di Indonesia pada masa kolonial memang
bergerak dan meluas dengan cepat. Pada mulanya hanya sebagai pedagang perantara
antara pedagang Eropa dengan penghasil barang komoditi dalam hai ini adalah
penduduk pribumi. Lama kelamaan hampir semua siklus kegiatan ekonomi di
dominasi oleh orang Cina yang memang ulet dan tekun. Di samping itu, kesempatan
yang diberikan oleh pemerintah kolonial untuk memonopoli barang-barang tertentu.
Hak yang mereka terima lebih luas memungkinkan operasi bisnis mereka sampai ke
pedesaan.
17
Peter Carey, 1986, Orang Jawa dan Masyarakat Cina, Jakarta: Pustaka Azet, hal: 29-30
18
Wawancara Ony Hwa Timena, tanggal 13 Oktober 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Peter Carey menulis, bahwa interaksi orang-orang Cina dengan Jawa sudah
berlangsung berabad-abad yang lalu melalui perdagangan.19
Perkembangan aktivitas
ekonomi Cina di pedesaan Jawa ini begitu pesat sehingga pada akhir abad XIX dapat
dikatakan bahwa hampir semua sektor perdagangan kecil dan perantara berada di
tangan orang Cina, dengan menyisihkan saingannya yaitu orang-orang Arab, para
pedagang Cina ini lebih mampu menjalin hubungan baik dengan kalangan bangsawan
pribumi. Ini terbukti dari munculnya beberapa orang Cina dalam kehidupan politik di
Keraton dengan penganugrahan gelar kebangsawanan dari Susuhunan Surakarta dan
hidup seperti halnya para bangsawan pribumi dengan hak-hak istimewanya.
Sedangkan interaksi sosial ekonomi yang terjadi di Pasar Klewer yaitu antara
orang Jawa dengan orang Cina adalah mereka saling berhubungan baik dan saling
menghormati hak-hak antar pedagang sejak tahun 1980-an. Hubungan harmonis yang
diciptakan merupakan wujud sistem interaksi yang terjalin. Mengenai terjadinya
proses interaksi didasari oleh sifat-sifat yang dimiliki oleh kedua etnis tersebut. Etnis
Jawa menilai etnis Cina memiliki sifat rajin, suka bekerja sama, menepati janji,
kreatif dan berani, sedangkan etnis Cina menilai etnis Jawa memiliki sifat ramah dan
suka bekerja sama. Secara umum etnis Cina dan etnis Jawa masing-masing memiliki
sifat yang ideal.20
Pemakaian bahasa di Pasar Klewer ini tidak menjadi persoalan bagi etnis
Cina, karena etnis Cina totok akan menysuaikan dengan lingkungannya. Hal ini
nampak pada saat mereka sedang berbelanja barang atau menjajakan barang
19
Ibid, hal: 15
20
Wawancara Tan Swie Lan, tanggal 9 Oktober 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
dagangannya, etnis Cina totok ini menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia
agar dapat dimengerti oleh para konsumen yang rata-ranya adalah orang pribumi.
b. Pedagang etnis Jawa dengan Arab
Pada bagian lain terdapat kelompok Timur Asing selain Cina, yakni
masyarakat keturunan Arab. Meskipun dikelompokkan sebagai golongan Timur
Asing, orang Arab lebih banyak berhubungan dengan orang pribumi. Kesamaan
agama dan kepentingan ekonomi yang melandasi kehidupan masyarakat Arab ini
lebih mendekatkan mereka dengan kalangan penduduk pribumi daripada dengan
penguasa Eropa maupun kelompok Cina. Sejauh perjalanan sejarah sosial Surakarta,
tidak pernah terdengar adanya konflik antara orang Arab dan masyarakat pribumi
selama masa kolonial.21
Kecilnya jumlah orang Arab yang bermukim di kota juga
mengakibatkan peranan mereka yang kurang menonjol dari kehidupan sosial kota
Surakarta. Selain itu keterbatasan tinggal yang ditunjuk sebagai daerah pemukiman
mereka membuat masyarakat Arab ini ikut campur dalam dinamika aktivitas sosial
ekonomi masyarakat pribumi tanpa dirasakan.
Proses interaksi yang terjalin antara penduduk etnis Arab dengan etnis Jawa
terjadi di Pasar Kliwon Surakarta, yang lebih menekankan pada integrasi bersama,
dapat dilihat melalui beberapa jaringan integrasi, yaitu aspek agama, politik,
ekonomi, pendidikan, organisasi sosial dan perkawinan. Interaksi yang terjalin dalam
bidang agama sangat mudah mengalami pembauran, hal ini dikarenakan antara etnis
Arab dan etnis Jawa, mereka memiliki kepercayaan memeluk agama yang sama yaitu
agama Islam. Hampir seluruh kegiatan ibadah antara etnis Arab dengan etnis Jawa
sudah tidak ada pembatasan-pembatasan. Mereka saling bantu-membantu dalam
21
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Op. cit, hal: 26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
mngembangkan dan mempelajari soal-soal agama baik melalui lembaga keagamaan
maupun aksi-aksi sosial keagamaan lain sehingga menambah erat hubungan etnis
Jawa dan Arab.22
Aspek ekonomi sebagai jaringan integrasi dimaksudkan adalah pertimbangan
kesempatan dibidang ekonomi antara masyarakat yang mempunyai latar belakang
kebudayaan yang berbeda, seperti keadaan di Pasar Klewer. Integrasi dalam sektor
ekonomi antara etnis Arab dengan etnis Jawa adalah tersebarnya orang Jawa ke dalam
fungsi atau kehidupan dan usaha di perusahaan-perusahaan yang seakan-akan
dimonopoli oleh etnis Arab, misalnya sektor kerajinan batik. Sebaliknya integrasi
ekonomi itu berarti tersebarnya etnis Arab ke dalam fungsi usaha dan pekerjaan yang
seolah-olah dimonopoli oleh etnis Jawa, misalnya pegawai pemerintah.
Kegiatan ekonomi dan perdagangan masih merupakan sektor yang paling
dominan bagi penduduk keturunan Arab di Pasar Kliwon. Bentuk usaha mereka yang
terpenting adalah sektor industri kecil atau kerajinan batik, baik batik tradisional
(batik tulis) maupun batik modern (batik cap atau printing), yang kemudian banyak
dipasarkan di Pasar Klewer. Secara garis besar industri atau kerajinan batik di Pasar
kliwon, dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok pengrajin, yaitu:
1) Pengrajin murni, yaitu pengrajin batik yang dimulai dari pengusahaan bahan
mentah atau penyediaan bahan lainnya, kegiatan pembatikan sampai dengan
memasarkannya ditangani sendiri oleh pengrajin.
2) Pengrajin buruh, yaitu pengrajin batik yang bekerja hanya sebagai buruh. Seluruh
bahan mentah dan proses pemasaran disediakan dan dilakukan oleh pemilik
22
Hari Mulyadi, dkk, Op. cit, hal: 199-200
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
modal. Mereka melakukan pembatikan itu bekerjasama dengan orang-orang yang
mempunyai modal untuk menyediakan bahan mentah.
3) Pengrajin pengusaha, yaitu pengusaha yang mempunyai beberapa buruh tetap
yang bekerja di perusahaannya, jadi pengrajin ini menyediakan bahan mentah,
mempunyai buruh tetap, dan menangani pemasaran.23
Sebagian besar penduduk Arab bertindak sebagai pengrajin pengusaha.
Biasanya mereka telah menggunakan peralatan dan cara yang modern yang kemudian
dikenal dengan batik printing. Etnis Jawa bertindak sebagai pengrajin buruh dan
pengrajin murni yang proses produksinya masih menggunakan cara-cara tradisional.
Disamping sektor pembatikan masih terdapat usaha-usaha perekonomian yang
dikerjakan dan diusahakan oleh etnis Arab. Usaha-usaha perekonomian yang berdiri
di dalam Pasar Klewer maupun di bagian depan pasar antara lain, toko sepatu, toko
bahan-bahan batik, maupun toko batik yang sudah jadi.
Mengenai kerja sama dibidang ekonomi antara etnis Arab dengan etnis Jawa
khususnya dalam hal penyediaan modal bersama (usaha patungan) kurang ada yang
melakukannya. Seluruh perusahaan yang ada merupakan milik perseorangan dan
modalnya juga dari perseorangan. Adapun salah satu bentuk kerja sama dalam bidang
perekonomian adalah hubungan antara buruh dengan majikan. Banyak etnis Jawa
yang bekerja sebagai buruh di perusahaan batik milik etnis Arab. Untuk usaha
pertokoan seperti di Pasar Klewer, etnis Jawa yang bekerja sebagai pembantu penjual
di toko-toko milik etnis Arab sedikit sekali. Hal itu dikarenakan usaha pertokoan etnis
Arab bersifat kecil-kecilan dan cukup dikelola sendiri atau mengambil pembantu dari
23
Ibid, hal: 201
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
anggota keluarga terdekat, seperti penuturan Aminah, salah satu pedagang di Pasar
Klewer24
.
Bentuk kerja sama antara pengusaha etnis Arab dengan penduduk etnis Jawa
lainya yaitu dalam hal mengerjakan proses pembatikan tetapi bahan mentah
disediakan oleh etnis Arab. Mereka mengerjakan pembatikan (batik tulis) di rumah
masing-masing. Setelah proses pembatikan selesai dikerjakan oleh pengrajin buruh,
kemudian barang itu diserahkan kembali pada pengusaha Arab untuk dipasarkan.
Penduduk Jawa yang mengerjakan pembatikan itu mendapat upah sesuai persetujuan
antara kedua belah pihak. Kerja sama dalam usaha pembatikan itu merupakan kerja
sama antara penduduk Arab dengan Jawa yang tidak saling menutup diri. Mereka
saling membutuhkan dan membuka diri dalam kesempatan ekonomi bersama
berdasarkan kemampuan yang dimiliki masing-masing kelompok.
c. Pedagang etnis Jawa dengan Banjar
Proses interaksi sosial antara etnis Banjar dengan etnis Jawa dalam integrasi
bersama dapat dilihat melalui beberapa aspek kehidupan antara lain, aspek ekonomi,
organisasi sosial, pendidikan dan aspek perkawinan. Kehidupan sosial orang Banjar
di Surakarta masih membawa cara hidup mereka di Kalimantan (Martapura),
misalnya dalam sistem kekerabatan dan agama digunakan sebagai alat solidaritas
kelompok dalam kehidupan sosial maupun ekonomi. Kehidupan yang mementingkan
kelompok etnis Banjar tidak saja akan membuat streotipe (pelapisan) yang tertentu
tetapi juga dapat menghambat integrasi.
Aspek kekerabatan etnis Banjar di Surakarta khususnya di Jayengan
menggunakan sistem kekerabatan menurut garis ayah. Hal tersebut terungkap dalam
24
Wawancara dengan Aminah, tanggal 4 Oktober 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
hukum waris dan perkawinan yang mengutamakan wali. Menurut hukum waris, tidak
terbatas pada warisan harta tetapi juga keahlian menggosok intan. Sistem perwalian
yang patrilineal tampak pada pernikahan yaitu yang menjadi wali dari seorang calon
mempelai wanita adalah bapaknya, jika tidak ada ditelusuri dari pihak ayah yang laki-
laki.25
Bentuk kelompok kekerabatan orang Banjar di Surakarta di dasarkan atas asal
usul wilayah yang mereka diami baik di Kalimantan Selatan maupun di Surakarta.
Bentuk kelompok kekerabatan ini kemudian menimbulkan sebutan orang Banjar di
Surakarta sebagai Banjar Martapura dan Banjar Jayengan.
Kehidupan ekonomi orang Banjar di Surakarta terutama bergerak sekitar
masalah perhiasan yang mencangkup antara lain, intan, berlian, emas dan batu
permata (akik). Walaupun profesi perdagangan mereka masih membawa pola mata
pencaharian dari daerah asal tetapi sudah mulai menunjukkan perkembangan. Sifat
urban migrasi orang Banjar ditunjukkan oleh mata pencaharian mereka sebagai
pedagang dan sebagai tukang gosok intan berlian. Para pedagang etnis Banjar di
Psasar Klewer ini banyak terdapat di lantai bawah. Mereka berdagang emas dan ada
pula yang sebagian kecil sebagai pedagang konveksi.26
Orang Banjar yang berada di Jayengan hampir seluruhnya beragama Islam.
Agama Islam bagi orang Banjar bukan hanya sekedar agama tetapi sudah merupakan
adat istiadat yang sulit ditinggalkan. Mengingat bahwa faktor agama Islam
mempunyai tempat penting dalam proses pembelajaran, norma-norma agama
berusaha dilaksananakan oleh orang Banjar dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
bidang ekonomi maupun kehidupan sosial. Ketekunan dalam menjalankan ibadah itu
25
Hari Mulyadi, dkk, Op. cit, hal: 207
26
Wawancara dengan Endang, tanggal 5 Oktober 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
antara lain dapat dilihat pada waktu sembahyang. Para pedagang yang sedang
berjualan di Pasar Klewer segera meninggalkan kegiatannya untuk pergi ke masjid
menunaikan sembahyang terlebih pada waktu Jum’at, sulit ditemui orang laki-laki di
rumah maupun di pasar.
Stratifikasi masyarakat Banjar di Kelurahan Jayengan dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
1) Tauke (juragan)
yakni seseorang yang memiliki modal besar dan biasanya bergerak dalam bidang
perdagangan perhiasan dan memiliki perusahaan srendiri seperti penggosokan
intan atau pemprosesan emas atau kemasan. Pada umumnya kelompok ini banyak
memiliki buruh
2) Pengiket
Yakni seorang yang memiliki sedikit modal, untuk membeli emas dan intan. Dari
emas yang mereka miliki itu dibuat perhiasan atau menyuruh seseorang untuk
membuat perhiasan, kemudian dijual.
3) Pengempit
Adalah seseorang yang hanya mempunyai kepercayaan untuk menjual barang
perhiasan milik orang lain.
4) Penggosok
Merupakan seseorang yang hanya menjual jasa guna mengerjakan penggosokan
intan milik orang lain.
5) Kemasan
Adalah seorang yang membuat emas menjadi barang perhiasan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
6) Pengebook atau Book
Yakni seorang yang membeli emas dari orang lain dan biasanya membuka
usahanya di pinggir-pinggir jalan serta di muka toko emas.
7) Ulama
Adalah kelompok yang terdiri dari kiai dan mubaligh. Kelompok ini
berkecimpung dalam urusan agama.
8) Kelompok lainnya sperti pegawai negeri, guru dan lain sebagainya.27
Jadi stratifikasi sosial masyarakat Banjar dipengaruh oleh faktor ekonomi
khususnya dalam perdagangan dan agama. Bagi masyarakat Banjar, agama
merupakan hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam melakukan
aktivitas perdagangan. Perubahan stratifkasi sosial dalam masyarakat Banjar
disebabkan oleh kemampuan dalam bidang perdagangan. Seorang pengebook atau
pengiket yang memiliki ketrampilan dan keuletan dalam perdagangan akan dapat
menduduki lapisan di atasnya, misalnya juragan.
Orang Banjar selalu berhubungan dengan kelompok atau etnis lainnya di
Pasar Klewer Surakarta. Hubungan orang Banjar dengan etnis Jawa lebih banyak
karena alasan ekonomi, misalnya dalam hal perdagangan intan berlian dan emas.
Mereka jarang sekali bergaul secara dekat dengan etnis lain. Saling kunjung
mengunjungi di antara mereka masih terbatas pada kelompok etnis Banjar. Hal ini
memberi kesan bahwa orang Banjar tertutup.
27
Ibid, hal: 209
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
2. Hubungan Antara Pedagang Pemilik Kios dengan Pedagang Kaki Lima
Pasar Klewer merupakan salah satu pusat perbelanjaan di Kota Surakarta. Pasar
ini dipakai sebagai tempat untuk berdagang oleh para pedagang pemilik kios dan juga
pedagang kaki lima. Pada tahun 80-an para pedagang kaki lima ini awalnya menjual
makanan untuk para pedagang kios, namun melihat perkembangan perdagangan sandang
di Pasar Klewer yang meningkat maka mereka pun beralih profesi menjadi pedagang
sandang meskipun masih sebagai pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima di Pasar
Klewer ini memilih lokasi untuk berdagang di tempat yang kosong, yang belum pernah
ditempati oleh pedagang lain, seperti lorong-lorong, anak tangga dalam pasar bahkan
kebanyakan di sepanjang pinggiran jalan atau pinggiran toko. Sebelum tahun 1985, para
pedagang kaki lima masih sangat mudah mendapatkan lokasi untuk berdagang karena
jumlah pedagang kaki lima di Pasar Klewer ini tidak sebanyak sekarang ini.28
Melihat hubungan yang baik antara pedagang kaki lima dengan pedagang pemilik
kios di Pasar Klewer, seperti adanya kerja sama diantara kedua belah pihak. Hal tersebut
dapat dilihat, dalam hal penitipan barang dagangan milik para pedagang kios kepada
pedagang kaki lima yang ada di Pasar Klewer, serta adanya peminjaman modal usaha dan
sebagainya. Menurut Fatimah salah seorang pedagang kaki lima di Pasar Klewer, ada
pedagang pemilik kios yang mengajak bekerja sama dengan para pedagang kaki lima.
Kerja sama yang dilakukan diantara kedua belah pihak tersebut terutama dalam hal
memasarkan barang dagangan.
Para pedagang pemilik kios atau toko menitipkan barang dagangannya yang telah
lama tidak terjual kepada para pedagang kaki lima, keuntungan yang diperoleh dari hasil
28
Wawancara dengan Totok Supriyanto, tanggal 11 Oktober 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
penjualan tersebut dibagi dua, jika dari hasil penjualan hanya memperoleh keuntungan
yang sedikit maka keuntungan tersebut terkadang diberikan semuanya kepada pedagang
kaki lima. Apabila barang tersebut tidak laku dijual, maka barang tersebut boleh
dikembalikan kepada pemiliknya tanpa dipungut biaya. Bentuk kerja sama yang baik
antara pemilik kios dengan para pedagang kaki lima antara lain dalam hal pengangkutan.
Pedagang kaki lima tersebut disuruh mengangkatkan barang dari suatu tempat ke tempat
lain dengan mendapatkan imbalan dari pedagang kios sebagai ucapan terima kasih atas
bantuan yang telah diberikan kepadanya.29
Para pedagang kaki lima, selama berdagang di Pasar Klewer Surakarta telah
menerima kebaikan dan sikap yang baik dari pedagang Cina maupun pedagang dari etnis
lainnya. Sikap dan perilaku yang ditunjukkan pedagang Cina menunjukkan bahwa
kebaikan pedagang pemilik kios terhadap pedagang kaki lima telah terjalin baik. Selain
itu terdapat juga wujud kebaikan pedagang kios terhadap pedagang kaki lima yaitu dapat
dilihat pada pemberian tempat di dalam tokonya untuk menyimpan barang dagangannya
milik pedagang kaki lima pada saat selesai berdagang. Barang dagangan yang dititipkan
tersebut telah dikemas dalam bungkusan sehingga tidak memerlukan tempat yang luas
untuk menyimpannya, sehingga pedagang kios tidak merasa keberatan untuk dititipi
barang dagangan milik pedagang kaki lima.
Seperti pada umumnya di kota-kota lain, sebagian besar pemilik kios adalah
orang-orang non-pribumi, seperti Cina dan WNI keturunan yang memiliki modal yang
cukup besar bila dibandingkan dengan pedagang pribumi, sehingga seolah-olah
perekonomian yang terjadi di Pasar Klewer ini dikendalikan oleh orang-orang Cina,
terutama dalam hal pengendalian harga barang di pasaran. Meskipun para pedagang Cina
29
Wawancara dengan Fatimah, tanggal 7 Oktober 2010.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
maupun Arab berdagang dalam waktu yang cukup lama dan telah membaur dengan
masyarakat setempat serta pedagang kaki lima, namun pedagang kaki lima ini masih
beranggapan bahwa para pedagang Cina maupun WNI keterununan merupakan bangsa
lain.
C. Paguyuban Pedagang Pasar Klewer
Hubungan atau relasi dalam perilaku ekonomi tidak dapat berjalan dengan
sendirinya, tetapi masih diwarnai nilai turun temurun tentang sistem yang digunakan
dalam kehidupan pasar. Nilai-nilai ini melembaga dalam kehidupan sebagai nilai hakekat
yang mampu menyeimbangkan hubungan antara individu ditengah persaingan yang ketat
dan tajam. Melembaganya nilai-nilai ini dapat dilihat dengan munculnya struktur nilai
yang nampak egaliter yang sangat berbeda dengan struktur yang ditimbulkan oleh adanya
relasi dagang dan hubungan antar golongan.
Di Pasar Klewer terdapat beberapa paguyuban atau sebuah lembaga yang
mengatur dan membantu kegiatan para pedagang. Antara pedagang pemilik kios dan para
pedagang kaki lima ini dibedakan yaitu untuk pedagang pemilik kios diatur oleh HPPK
(Himpunan Pedagang Pasar Klewer), sedangkan untuk para pedagang kaki lima ini
memiliki paguyuban yang biasa disebut dengan P4K (Paguyuban Pedagang Pelataran
Pasar Klewer). Diantara paguyuban tersebut memiliki tugas dan kewajiban masing-
masing untuk mengatur dan membantu para pedagang di Pasar Klewer.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
1. HPPK (Himpunan Pedagang Pasar Klewer)
Organisasi paguyuban ini dibentuk sekitar tahun 1975, yang pada awalnya para
pedagang mempunyai keinginan untuk menghimpun para pedagang.30
HPPK merupakan
sebuah wadah untuk menampung aspirasi para pedagang Pasar Klewer, yang kemudian
disampaikan kepada kantor pasar dan Dinas Pengelolaan Pasar. Organisasi ini sangat
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pedagang dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat
kolektif, juga kebutuhan akan rasa aman dan nyaman dalam mencari penghidupan.
Mengenai tugas dari HPPK, antara lain:
a. Menampung aspirasi para pedagang
b. Membantu dan melindungi para pedagang
c. Memberikan kenyaman bagi para pedagang
d. Memberikan informasi kepada para konsumen mengenai lokasi kios-kios di Pasar
Klewer
e. Mengatasi konflik atau masalah yang terjadi di Pasar Klewer.31
Paguyuban ini merupakan sebuah organisasi yang terhimpun atau merupakan
perkumpulan dari para pedagang pemilik kios di Pasar Klewer. Rata-rata pengurus HPPK
ini adalah para pedagang. Mengenai ketua dari organisasi ini awalnya yaitu sekitar tahun
1970-an dipilih dengan sistem pemilu setiap 3 tahun sekali, tetapi mulai tahun 1990
pemilihan dilakukan secara formatir, yaitu pemilihan yang dilakukan oleh panitia yang
diberikan hak untuk membuat kepengurusan. Para pedagang telah mempercayakan
semuanya kepada pengurus HPPK.
30
Wawancara dengan Atmanto pada tanggal 8 Oktober 2010
31
Wawancara dengan Dwi Adi Prihutomo, tanggal 16 Agustus 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Adapun struktur organisasi Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK), sebagai
berikut:
Penasehat
Ketua Umum
Sekertaris Umum Bendahara Umum
Humas
Bid. 1 Bid. 2 Bid. 3 Bid. 4 Bid. 5 Bid. 6 Bid. 7 Bid. 8
Penjelasan mengenai tugas masing-masing bagian struktur organisasi HPPK,
yaitu:
a. Penasehat
Memberikan solusi bersama ketua umum, yang terjadi (masalah) di dalam Pasar
Klewer, dan berhak memberikan masukan-masukan kepada anggota HPPK dan
sebagai pertimbangan keputusan ketua umum.
b. Ketua Umum
Bertanggungjawab dan memberikan solusi terhadap semua masalah yang ada di
HPPK dalam menjalankan roda organisasi dan berhak merekomendasikan dengan
keputusan setuju atau tidak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
c. Sekretaris Umum
Merupakan tangan kanan dari ketua umum dalam semua kebijakan menangani
masalah yang ada di HPPK, sehingga bersama-sama ketua umum menyelesaikan dan
mempertimbangkan keputusan yang akan diambil.
d. Bendahara Umum
Bertugas mencatat semua kekayaan (kas) hasil dari pedagang untuk organisasi HPPK.
Pencatatan tersebut dipisahkan antara dana kas, pengeluaran, dan pemasukan uang
yang semuanya dikerjakan oleh bendahara dan hasilnya di berikan kepada ketua
umum.
e. Humas
Bertugas menyampaikan semua informasi kepada masyarakat, anggota, instansi dan
orang yang membutuhkan informasi yang tidak menyimpang atau merugikan
organisasi.
f. Bidang Hukum (Bidang 1)
Bertugas sebagai pelindung organisasi, bila terjadi masalah yang ada didalam
organisasi maka bidang hukum berperan dan memberikan solusi untuk masalah yang
dihadapi organisasi.
g. Bidang Kesra (Bidang 2)
Bertugas sebagai wadah dan menyampaikan aspirasi pedagang serta ditangani
bersama-sama dengan kepala pasar untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara
membentuk panitia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
h. Bidang Litbang (Bidang 3)
Bertugas mendata dan mencatat pendapatan tiap tahun serta keberadaan pedagang
dengan penelitian dan pengembangan studi banding kinerja organisasi.
i. Bidang Organisasi (Bidang 4)
Bertugas sebagai job diskripsi untuk usulan sebagai hasil musyawarah mengenai
program-program yang diterapkan di organisasi HPPK, serta untuk penyeimbangan
kinerja dari pedagang.
j. Bidang Dana Usaha (Bidang 5)
Bertugas sebagai pencari dana lewat sponsor maupun donatur, khususnya untuk
mengadakan event tertentu dan mengkoordinasi pengusaha-pngusaha kecil untuk
mendapatkan dana, serta berhak mengetahui dana (uang) keluar dan masuknya dari
organisasi.
k. Bidang Usaha Kecil Menengah (Bidang 6)
Bertugas sebagai bidang koperasi (Koperasi Pasar) yang dikelola oleh Bank Bukopin
sekaligus sebagai pondasi terbentuknya koperasi pasar khususnya di Pasar Klewer.
l. Bidang Wanita (Bdang 7)
Bidang ini berbeda dengan bidang-bidang lainnya, yang membedakan adalah dalam
bidang ini harus dipegang oleh seorang wanita serta bidang ini mempunyai kegiatan
yang berkaitan dengan peran serta wanita khususnya anggota organisasi pedagang
Pasar Klewer.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
m. Bidang Keamanan (Bidang 8)
Bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, bidang ini dilakukan secara bergantian
menjaga keamanan dan ketertiban di Pasar Klewer, dan sesuai hasil musyawarah
yang telah disepakati bersama.32
2. P4K (Paguyuban Pedagang Pelataran Pasar Klewer)
Organisasi lain yang terdapat di Pasar Klewer adalah P4K (Paguyuban Pedagang
Pelataran Pasar Klewer), yang ditujukan untuk para pedagang kaki lima. Paguyuban ini
dibentuk pada tahun 80-an, yang pada awalnya bernama PPKL (Persatuan Pedagang Kaki
Lima Pasar Klewer). Organisasi ini tidak memiliki kantor khusus seperti HPPK, sehingga
untuk mengatur para pedagang kaki lima ini tiap bagian diawasi oleh ketua kelompok.
Setiap 3 bulan sekali diadakan pertemuan untuk membahas perkembangan organisasi
tersebut. Adapaun tugas dari P4K, yaitu:
a. Mengkoordinasi para pedagang kaki lima supaya tidak liar
b. Menjadi jembatan antara Lurah pasar dan DLLAJ dengan pedagang kaki lima
c. Membantu para pedagang dalam membuat KTA.33
32
Ibid.
33
Wawancara dengan Fatimah, tanggal 7 Oktober 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
BAB V
KESIMPULAN
Surakarta merupakan salah satu pusat perdagangan bagi daerah-daerah di
sekitarnya, sehingga banyak terdapat fasilitas ekonomi yang mendukung kegiatan
tersebut. Salah satunya adalah dengan keberadaan pasar-pasar tradisional yang
menjadi identitas suatu kota dan menjadi pusat kegiatan ekonomi yang selalu
ramai. Aktivitas pasar yang selalu berjalan setiap harinya dapat menjadi roda
perekonomian dan mendapatkan pemasukan bagi pendapatan daerah.
Pasar Klewer merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi yang selalu
ramai setiap harinya, meskipun sudah banyak pasar modern. Nama Pasar Klewer
ini bermula dari keramaian para pedagang kain yang menjual barang dagangannya
dengan cara diletakkan dibahu. Barang dagangan yang berupa kain itu diletakkan
dibahu, maka banyak kain yang susunanya menjadi tidak beraturan dan orang
Jawa menyebutkan “kleweran”. Berawal dari nama tersebut maka pasar
Slompretan dulunya, kini lebih dikenal dengan nama Pasar Klewer.
Perkembangan suatu kota selalu terdapat lokasi yang menjadi pusat
pelayanan dan bertindak sebagai pasar, serta tempat untuk beribadah. Fenomna ini
terjadi pada Pasar Klewer yang lokasinya terdapat pada satu komplek dengan
pusat pemerintahan, Masjid Agung dan Kraton Kasunanan. Pasar Klewer terletak
di pusat kota dan termasuk dalam budaya keraton. Sehingga dengan keadaan yang
strategis ini Pasar Klewer menjadi ikon dari Kota Surakarta
Pasar Klewer adalah pasar tekstil terbesar di Jawa Tengah, maka banyak
aktivitas yang terjalin di dalam pasar, baik pedagang batik, pedagang konveksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
maupun tekstil. Sistem penjualan di Pasar Klewer pun beragam mulai dari partai
kecil (eceran) dan bahkan dalam partai besar. Meskipun beragam jenis tekstil dan
karakter pedagang, namun di dalam Pasar Klewer juga dibentuk suatu organisasi
atau Paguyuban yang mengatur dan membantu para pedagang dalam menjaga
keamanan dan kenyamanan di dalam pasar. Paguyuban dalam pasar pun
dibedakan antara pedagang pemilik kios dengan pedagang kaki lima. Untuk
pedagang pemilik kios ini terdapat HPPK (Himpunan Pedagang Pasar Klewer),
sedangkan untuk para pedagang kaki lima terdapat P4K (Paguyuban Pedagang
Kaki Lima Pasar Klewer), meskipun dibedakan dalam hal organisasi namun
paguyuban ini mempunyai tugas yang sama bagi para pedagang.
Selain itu terdapat jaringan interaksi pedagang multietnis yang jarang
ditemui di tempat lain, yaitu antara etnis Jawa, Cina, Arab dan Banjar. Mereka
berdagang saling berdampingan dan tidak saling menjatuhkan, atau dapat
dikatakan hubungan diantara pedagang multienis di Pasar Klewer ini adalah
simbiosis mutualisme. Diantara pedagang saling membantu apabila salah seorang
pedagang lainnya membutuhkan bantuan. Suasana pasar yang diciptakan secara
kekeluargaan, gotong royong dan saling menghormati membuat suasana Pasar
Klewer menjadi nyaman.
Sikap maupun etos kerja diantara pedagang yang terdiri dari beberapa
golongan dan membuat mereka saling menghormati. Seperti halnya etos kerja
para pedagang merupakan bagian dari kepercayaan dan kebudayan yang mereka
miliki. Setiap komunitas memiliki kepercayaan dan budaya dagang tersendiri,
sehingga keanekaragaman budaya dagang ini telah mewarnai situasi di Pasar
Klewer.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Interaksi sosial ekonomi yang terjalin sejak nama Pasar Klewer ini dikenal
oleh masyarakat dan sampai tahun 1998 selalu mengalami perkembangan yang
baik, misalnya mengenai keadaan pasar yang semenjak tahun 1971 sudah
diperluas bangunannya dan bahkan mengenai para pedagang yang tiap tahunnya
mngalami peningkatan, termasuk para pedagang kaki lima. Sehingga dengan
keadaan yang seperti ini, Pasar Klewer yang merupakan pasar tradisional dapat
menjadi asset bagi pendapatan daerah kota Surakarta dan juga bagi para pedagang
yang berasal dari sekitar Surakarta.