diplopia putra

Upload: ananda-putra

Post on 29-Feb-2016

26 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fiiicgh

TRANSCRIPT

  • Penyusun:

    Oleh Dokter Muda Nurul Mahirah Binti Meor Halil

    030.04.267

    Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

    Jakarta 2011

    1

  • BAB IPENDAHULUAN

    Istilah diplopia berasal dari bahasa Latin: diplous yang berarti ganda, dan

    ops yang berarti mata. Diplopia (penglihatan ganda) adalah keluhan subjektif

    yang umum atau yang sering didapatkan selama pemeriksaan pada mata.

    Selain itu, diplopia sering menjadi manifestasi pertama dari banyak kelainan,

    khususnya proses muskuler atau neurologis, atau kelainan pada organ lainnya.

    Oleh karena etiologinya sangat bervariasi mulai dari akibat astigmatisme yang

    tidak terkoreksi sampai kelainan intrakranial yang mengancam jiwa, para klinisi

    harus menyadari kepentingan untuk memberikan respons yang tepat untuk

    keluhan ini. 1,2

    Dari anamnesis dan pemeriksaan yang lengkap dan menyeluruh akan

    didapatkan deskripsi akurat mengenai gejala-gejalanya: apakah konstan atau

    intermiten; variabel atau tidak berubah; terjadi pada saat objek jaraknya dekat

    atau jauh; terjadi saat melihat dengan satu mata (monokuler) atau dua mata

    (binokuler); horizontal, vertikal atau obliks; apakah sama terjadi di semua

    lapangan pandang (komitan) atau bervariasi sesuai arah pandang (inkomitan).

    Bila anamnesis dan pemeriksaan sudah lengkap dan menyeluruh akan sangat

    membantu diagnosis sekaligus menyingkirkan berbagai penyakit dengan gejala

    diplopia yang sifatnya mengancam jiwa. Selain itu, diagnosis yang tepat juga

    akan membuat tata laksana yang diberikan maksimal dan meminimalkan

    komplikasi.1,3,4

    2

  • BAB II

    Diplopia

    2.1 Definisi

    Istilah diplopia berasal dari bahasa Latin: diplous yang berarti ganda, dan

    ops yang berarti mata. Diplopia atau penglihatan ganda adalah keluhan berupa

    melihat dua gambaran dari satu objek.1,2

    2.2 Fisiologi Penglihatan Binokuler

    Pada dasarnya, kita melihat dengan otak. Mata hanyalah sebuah organ

    yang menerima rangsang sensoris. Gambaran didapatkan dari proses

    mengartikan rangsangan yang diterima oleh retina. Saraf optikus dan jalur

    isual mengantarkan informasi ini ke korteks visual. Sistem sensoris

    menghasilkan gambaran retinal dan mengantarkan gambaran ini ke pusat

    pengaturan yang lebih tinggi. Sistem motorik membantu proses ini dengan

    mengarahkan kedua mata pada objek sehingga gambaran yang sama dibentuk

    di tiap retina. Otak kemudian memroses informasi ini menjadi kesan

    penglihatan binokuler. Hubungan antara sistem sensoris dan motoris ini tidak

    dapat dirasakan atau disadari. 5

    Terdapat 3 syarat yang menentukan kualitas penglihatan binokuler:

    1. Penglihatan simultan. Retina kedua mata menerima kedua gambaran

    secara simultan. Pada penglihatan binokuler yang normal, kedua mata

    mempunyai titik fiksasi yang sama, yang akan berada di fovea sentralis

    3

  • kedua mata. Bayangan kedua objek yang selalu sampai ke area identik

    di retina, disebut sebagai titik korespondensi retina. Objek-objek yang

    terletak pada lingkaran imajiner dikenal sebagai horopter geometrik

    diproyeksikan pada titik-titik di retina ini. Horopter yang berbeda akan

    berlaku untuk jarak fiksasi berapapun. Oleh karena itu, gambar di kedua

    retina akan identik pada penglihatan binokuler yang normal. Fenomena

    ini dapat diperiksa dengan menampilkan gambar yang berbeda ke

    masing-masing retina; normalnya kedua gambar akan diterima,

    menimbulkan diplopia fisiologis.5

    Diplopia fisiologis dapat didemonstrasikan dengan menempatkan 2

    pensil vertikal pada sebuah garis sesuai dengan axis visual subjek,

    dengan pensil kedua jaraknya kira-kira 2 kali jauhnya dari pada subjek

    pertama. Ketika subjek fokus pada 1 pensil, pensil yang lain akan

    tampak ganda. 5

    2. Fusi: hanya saat kedua retina membuat impresi visual yang sama, yakni

    transmisi gambar-gambar identik ke otak, 2 gambaran retinal akan

    bercampur menjadi persepsi tunggal. Impair fusi dapat menimbulkan

    diplopia. 5

    3. Penglihatan stereoskopis. Sifat ini adalah tingkat tertinggi kualitas

    penglihatan binokuler dan hanya mungkin jika beberapa kondisi

    terpenuhi. Agar objek-objek diproyeksikan pada titik korespondensi atau

    identik pada retina, mereka harus terletak di horopter geometrik yang

    sama. Objek yang berada di depan atau di belakang lingkaran ini tidak

    akan diproyeksikan ke titik korespondensi tapi ke titik non-korespondensi

    4

  • atau disparate. Hasilnya, objek-objek ini akan dianggap sebagai 2 benda

    (diplopia). Sedangkan objek-objek yang berada dalam jangkauan sempit

    di depan dan di belakang horopter difusikan sebagai gambaran tunggal.

    Area ini disebut sebagai area Panum. Otak memroses gambaran

    nonkorespondensi retina dalam area Panum sebagai persepsi visual

    tunggal 3-dimensi bukan sebagai gambaran ganda. Sebaliknya, otak

    menggunakanv vgambaranv vgandav vtersebutv vuntukv vmembedakan

    kedalaman. 5

    Gambar 1a. Horopter Geometrik. Berkas sinar dari titik fiksasi mencapai fovea sentralis pada kedua mata pada penglihatan simultan normal. Karena itu, objek A dan B pada horopter geometrik diproyeksikan pada titik korespondensi di retina. 1b. Horopter Fisiologis. Pada jangkauan sempit di depan dan di belakang horopter (area Panum) 2 gambaran retinal masih bisa berfusi. Titik A dan B yang berada di luar area Panum, diproyeksikan ke titik nonkoresponden di retina.5

    5

  • 2.3Pembagian Diplopia

    1. Diplopia Monokuler

    Diplopia monokuler adalah penglihatan ganda yang timbul pada

    mata yang sakit saat mata yang lain ditutup. Diplopia monokuler

    merupakan keluhan yang dapat diberikan oleh penderita dan sebaiknya

    diperhatikan adalah adanya kelainan refraksi. Bila terjadi gangguan

    pembiasan sinar pada mata, maka berkas sinar tidak homogen sampai

    di makula yang akan menyebabkan keluhan ini. 6

    Aberasi optik dapat terjadi pada kornea yang ireguler akibat

    mengkerutnya jaringan kornea atau permukaan kornea yang tidak

    teratur. Hal ini juga terjadi pada pemakaian lensa kontak lama atau

    tekanan kalazion. Diplopia monokuler sering dikeluhkan oleh penderita

    katarak dini. Hal ini juga akibat berkas sinar tidak difokuskan dalam satu

    per satu. Kadang-kadang iridektomi sektoral juga memberikan keluhan

    diplopia.v 6

    Kelainan di luar bola mata yang dapat menyebabkan diplopia

    monokuler adalah bila melihat melalui tepi kaca mata, koreksi

    astigmatisme tinggi yang tidak sempurna, sedang kelainan optik di dalam

    mata yang memberikan keluhan diplopia monokuler adalah miopia tinggi,

    astimatireguler, dislokasi lensa, udara atau benda transparan dalam

    mata, spasme ireguler dari badan silier dan megalokornea, makulopatia,

    ablasi retina, iridodialis, ireguler tear film, dan katarak. 6

    2. Diplopia Binokuler

    6

  • Diplopia binokuler adalah penglihatan ganda terjadi bila melihat

    dengan kedua mata dan menghilang bila salah satu mata ditutup. Pada

    esotropia atau satu mata bergulir ke dalam maka bayangan di retina

    terletak sebelah nasal makula dan benda seakan-akan terletak sebelah

    lateral mata tersebut sehingga pada esotropia atau strabismus

    konvergen didapatkan diplopia tidak bersilang (uncrossed) atau

    homonimus. Sedang pada eksotropia atau strabismus divergen

    sebaliknya diplopia bersilang (crossed) atau heteronimus. 6

    Penyebab diplopia binokuler dapat terjadi karena miastenia gravis,

    parese atau paralisis otot penggerak mata ekstraokuler. Saraf kranial III

    yang mengenai satu otot kemungkinan adalah lesi nuklear. 6

    2.4 Mekanisme Diplopia

    Dua mekanisme utama diplopia adalah misalignment okuler dan aberasi

    okuler (misal defek kornea, iris, lensa, atau retina). Kunci paling penting untuk

    mengidentifikasi mekanisme diplopia adalah dengan menentukan termasuk

    diplopia monokuler atau diplopia binokuler. Misalignment okuler pada pasien

    dengan penglihatan binokuler yang normal akan menimbulkan diplopia

    binokuler. Misalignment okuler menyebabkan terganggunya kapasitas fusional

    sistem binokuler. Koordinasi neuromuskuler yang normal tidak dapat menjaga

    korespondensi visual objek pada retina kedua mata. Dengan kata lain, sebuah

    objek yang sedang dilihat tidak jatuh pada fovea kedua retina, maka objek akan

    tampak pada dua tempat spasial berbeda dan diplopia pun terjadi. 1,7

    7

  • Pada hampir semua keadaan, diplopia monokuler disebabkan oleh aberasi

    lokal pada kornea, iris, lensa, atau yang jarang yaitu retina. Diplopia monokuler

    tidak pernah disebabkan oleh misalignment okuler.v 7

    Mekanisme diplopia yang ketiga dan jarang terjadi adalah disfungsi korteks

    isual primer atau sekunder. Disfungsi ini akan menimbulkan diplopia

    monokuler bilateral dan harus dipertimbangkan saat tidak ditemukan aberasi

    okuler pada pasien. 7

    Terakhir, diplopia yang terjadi tanpa penyebab patologis, biasa disebut

    diplopia fungsional/ fisiologis. Pasien dengan diplopia fungsional juga sering

    mengeluhkan berbagai gejala somatik atau neurologis.v 7

    2.5 Anamnesis

    Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh merupakan evaluasi yang paling

    berguna dalam menangani pasien dengan diplopia. Setiap upaya dibuat untuk

    menyakinkan apakah diplopia yang terjadi adalah diplopia monokuler atau

    binokulerv vkarenav vakanv vsangatv vmenentukanv vmekanismev vterjadiv vdan

    penyebabnya. Pada pasien dengan diplopia binokuler, pemeriksa dapat

    mengevaluasi kelainan-kelainan yang dapat menimbulkan misalignment okuler

    baik karena proses neurologis maupun karena penyakit orbita. Sedangkan

    pada pasien dengan diplopia monokuler, pemeriksa dapat memfokuskan pada

    kelainan di mata.1,7

    Tiga gejala yang penting harus diketahui dengan jelas:

    1. Apakah menutup salah satu mata membuat diplopia hilang? Jika

    seorang pasien ragu apakah ia mengalami diplopia monokuler atau

    8

  • binokuler, pasien disuruh melihat sebuah objek yang ada di ruang

    pemeriksaan yang tampak ganda dan menentukan apakah penglihatan

    ganda menetap jika mata kanan ditutup atau menetap jika mata kiri yang

    ditutup. Namun, perlu diingat bahwa diplopia monokuler dapat terjadi

    pada kedua mata secara simultan (disebut diplopia monokuler bilateral).

    1,7

    2. Apakah deviasi sama pada semua arah gaze (pandangan) atau oleh

    penekukan dan pemutaran kepala dalam berbagai posisi? Hal ini

    menentukanv vdeviasiv vkomitan,v vdenganv vtanpav vperbedaanv vdalam

    pemisahan objek-objek pada semua arahv gaze. Jika taraf deviasi

    berubah (dan mungkin hilang pada arah tertentu) maka deviasinya

    inkomitan dan diperkirakan ada masalah inervasi, paling mungkin adalah

    parese otot. 1,7

    3. Apakah objek kedua terlihat horizontal (bersisian) atau vertikal (atas dan

    bawah)? Diplopia obliks (terpisah secara horizontal dan vertikal) dapat

    dipertimbangkan sebagai manifestasi diplopia vertikal. 1,7

    Dalam anamnesis juga perlu memasukkan elemen-elemen yang dapat

    membantu melokalisasikan sumber masalah. Seperti biasa pemeriksa harus

    mengumpulkan informasi mengenai onset, durasi, frekuensi, gejala-gejala yang

    berhubungan, dan faktor yang menimbulkan atau menghilangkan keluhan.

    Pasien harus ditanya dengan spefisik mengenai penurunan visus, trauma,

    strabismus masa kanak-kanak, ambliopia, dan pembedahan mata atau

    strabismus sebelumnya. Yang juga penting adalah meninjau seluruh sistem

    neurologis dan oftalmis. 1,7

    9

  • 2.6 Diplopia Monokuler

    1.Penyebab Oftalmik

    Penyebab oftalmik paling umum untuk diplopia monokuler adalah

    kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dan defek kornea yang lain (Tabel

    1). Deskripsi tertentu mengenai diplopia dapat membantu pemeriksa

    menentukan penyebabnya. Pasien dengan defek kornea sering

    mengalami penglihatan ganda sebagai sebuah bayangan atau

    gambaran kedua yang mengelilingi objek. Mereka juga akan mengeluh

    penglihatannya berkabut atau kabur. Kelainan kornea yang umum

    termasuk astigmatisme, jaringan parut kornea, dan defek kornea yang

    diinduksi pembedahan laser mata (LASIK). Pembentukan katarak

    menyebabkan kehilangan tajam penglihatan dan silau, namun kadang-

    kadang pasien melaporkan diplopia sebagai gambaran hantu yang

    lebih ringan dan kurang jelas. Defek retina yang melibatkan makula

    menyebabkan distorsi objek yang tampak tertekuk atau melengkung.

    Beberapa defek makula (misal membran neovaskuler subretinal)

    biasanya monokuler namun dapat pula binokuler. Oftalmoskopi

    memungkinkan pengenalan penyakit makular dengan mudah dan harus

    dilakukan saat penyakit retina dicurigai. 7

    2.Penyebab Neurologis

    Manifestasi yang jarang terjadi pada penyakit yang melibatkan korteks

    isual primer maupun sekunder adalah persepsi gambaran visual

    multipel yang merupakan fenomena monokuler bilateral karena ada pada

    saat penutupan mata kanan ataupun kiri. Polipia serebral (melihat 3 atau

    10

  • lebih gambaran) dan diplopia serebral adalah penyakit kortikal yang

    jarang. Palinopsia (gangguan kortikal), dengan keluhan gambaran objek

    multipel yang segera hilang bila menoleh dari objek atau setelah objek

    dikeluarkan dari lapangan penglihatan. Pasien sering menggunakan

    istilahv strobe effect vatau setelah gambar untuk mendeskripsikan

    palinopsia.v vLesiv vdiskretv vpadav vkorteksv voksipitoparietalv vatau

    oksipitotemporal, kejang, obat, dan migrain dapat menyebabkan diplopia

    serebral, polipia serebral, atau palinopsia. Defek lapangan pandang

    homonimus (defisit pada sisi yang sama untuk kedua mata) sering

    dihubungkan dengan ilusi visual kortikal ini. Meskipun pasien tidak selalu

    sadar akan kehilangan lapangan pandang. 7

    3.Penyebab nonpatologis

    Pasien yang diplopianya fungsional umumnya memiliki keluhan samar

    tentang penglihatan mereka. Pasien tidak boleh dilabel fungsional

    sampaiv vpemeriksaanv voftalmikv vdanv vneurologikv vyangv vlengkap

    mengindikasikan tidak adanya penyebab patologis. Kontrol ulang

    mungkin diperlukan untuk meyakinkan bahwa etiologi dengan fase

    relaps dan remiten bukanlah sumber dari diplopia. 7

    Tabel 1. Penyebab Diplopia Monokuler

    Kelainan refraksi

    Defek kornea (astigmatisme ireguler)

    Luka pada iris, iridektomi

    Katarak

    Defek makular (misal membran epiretinal, choroidal fold)

    Opasitas media refraksi

    Disfungsi kortikal serebral (diplopia monokuler bilateral)

    11

  • 2.7 Diplopia Binokuler

    Dari mata hingga ke otak, terdapat 7 mekanisme berikut dan lokasi yang

    terkait yang harus diingat saat mengumpulkan informasi mengenai diplopia

    binokuler:

    1. Displacement orbital atau okuler: trauma, massa atau tumor, infeksi,

    oftalmopati terkait-tiroid.

    2. Restriksi otot ekstraokuler: oftalmopati terkait-tiroid, massa atau tumor,

    penjepitan otot ekstraokuler, lesi otot ekstraokuler, atau hematom karena

    pembedahan mata.

    3. Kelemahan otot ekstraokuler: miopati kongenital, miopati mitokondrial,

    distrofi muskuler.

    4. Kelainan neuromuscular junction: miastenia gravis, botulism.

    5. Disfungsi saraf kranial III, IV, atau VI: iskemia, hemoragik, tumor atau

    massa, malformasi vaskuler, aneurisme, trauma, meningitis, sklerosis

    mutipel.

    6. Disfungsi nuklear saraf kranial di batang otak: stroke, hemoragik, tumor

    atau massa, trauma, malformasi vaskuler.

    7. Disfungsi supranuklear yang melibatkan jalur ke dan antara nukleus

    saraf kranial III, IV atau VI: stroke, hemoragik, tumor atau massa,

    trauma, sklerosis multipel, hidrosefalus, sifilis, ensefalopati Wernicke,

    penyakit neurodegeneratif.

    Pasien harus ditanya diplopianya horizontal, vertikal, atau obliks, memburuk

    pada arah gaze tertentu, atau memburuk saat melihat jauh atau dekat. Diplopia

    horizontal disebabkan oleh impaired abduksi atau adduksi (berhubungan

    12

  • dengan kontrol dan pergerakan otot rektus medial, rektus lateral, atau

    keduanya) (Gambar 1 dan Gambar 2). Diplopia vertikal disebabkan oleh

    impaired elevasi atau depresi (`berhubungan dengan kontrol dan pergerakan

    otot rektus inferior, rektus superior, oblik inferior, oblik superior, atau kombinasi

    dari otot-otot ini).7

    Perburukan diplopia para arah gaze tertentu menunjukkan gerakan ke arah

    itu impaired. Gejala neurologis lain juga harus dinilai: kelemahan otot proksimal,

    kesulitanv vmenelan,v vsesakv vnapas,v vmisalnyav vmenunjukkanv vdisfungsi

    neuromuskuler, dan deteriosasi visus monokuler dan proptosis menunjukkan

    proses orbital.

    Gambar 2. Otot Ekstraokuler7

    13

  • Gambar 3. Kerja otot ekstraokuler dan saraf kranial dari sisi pemeriksa. Tanda panah yang tebal adalah kerja primer otot, dan tanda panah tipis adalah kerja sekunder otot. Otot rectus superior dan obliks superior intorsi (berputar ke dalam), dan otot rectus inferior dan obliks inferior ekstorsi (berputar ke luar) yang ditandai dengan tanda panah melengkung.7

    Arah gaze yang menyebabkan diplopia atau meningkatkan pemisahan

    objek dapat membantu menentukan struktur mana yang menimbulkan diplopia.

    Singkatnya, jika diplopia binokuler horizontal lebih buruk pada arah gaze kiri,

    maka bisa saja karena mata kiri tidak dapat abduksi (palsi saraf VI) atau karena

    mata kanan tidak dapat adduksi (oftalmoplegia intranuklear kanan). 7

    1.Penyakit orbita atau restriksi otot ekstraokuler

    Sebagian besar pasien dengan penyakit orbital atau restriksi otot

    ektraokuler akan memiliki tanda periorbita atau abnormalitas orbita yang

    mencolok saat pemeriksaan. Pasien harus ditanyai mengenai perubahan

    bentuk karena perubahan awal atau perubahan simetris sulit dideteksi

    oleh pemeriksa. Sebagai contoh, tanda seperti retraksi kelopak mata dan

    edema periorbita pada penyakit seperti oftalmopati terkait tiroid yang

    14

  • kurang nyata pada stadium awal penyakit. Foto lama atau foto SIM

    pengemudi sangat berguna dalam deteksi perubahan yang subtil. Pasien

    juga harus ditanyai tentang operasi mata, trauma dan nyeri mata

    sebelumnya.v 7

    2.Kelemahan Ekstraokuler Miopatik

    Miopati mitokondrial, di antaranya miopati kongenital, dan distrofi

    muskuler seperti distrofi okulofaringeal, dapat dengan keluhan diplopia

    karena kelemahan otot ekstraokuler yang signifikan. Jika dicurigai

    sebuah miopati, gejala yang menunjukkan kelemahan otot kranial atau

    skeletal lain harus diketahui. Informasi mengenai riwayat keluarga dan

    riwayat kelemahan otot pada masa kanak-kanak harus dikumpulkan.

    Sebagai catatan, miopati inflamatori seperti dermomiositis, polimiositis,

    dan miopati diinduksi steroid tidak pernah melibatkan otot-otot

    ekstraokuler. Penjelasan alternatif untuk diplopia pada kelainan ini harus

    dicari. 7

    3. Kelainan Neuromuscular Junction

    Kelemahan yang berfluktuasi adalah tanda khas dari disfungsi

    neuromuscular junction, dan pasien dengan diplopia harus ditanya

    mengenai variasi diurnal diplopia. Sebagai contoh, diplopia yang tidak

    dijumpai pada pagi hari dan memburuk secara progresif sepanjang siang

    hari atau memburuk saat membaca merupakan gejala yang umum pada

    kelainan neuromuscular junction yang mempengaruhi otot ekstraokuler.

    Lebih dari 50% pasien dengan miastenia gravis, yang merupakan

    15

  • kelainan neuromuscular junction terbanyak, ditandai dengan ptosis dan

    diplopia tanpa gejala atau tanda kelemahan lain. 7

    4.Palsi Saraf Kranial III, IV, dan VI

    Informasi mengenai riwayat penyakit sebaiknya dikumpulkan dengan

    pemahaman yang baik mengenai jalur saraf kranial III, IV, dan VI dari

    batang otak sampai orbita. Saraf kranial yang menginervasi otot-otot

    ekstraokuler dapat terluka di berbagai tempat dari mata ke otak: 1)

    orbita, 2) fisura orbita superior, 3) sinus cavernosus, 4) ruang

    subarachnoid, dan 5) batang otak. Deskripsi mengenai riwayat, gejala,

    dan hasil pemeriksaan yang terkait adalah vital untuk melokalisasi

    tempat perlukaan dan lokalisasi akan menuju ke diagnosis banding yang

    akurat. Sebagai contoh, pasien berusia 65 tahun dengan sakit kepala

    berat dan palsi saraf III terisolasi dengan midriasis, dan pupil yang

    paralisis mengimplikasikan luka kompresif saraf kranial III di ruang

    subarachnoid, dan penyebab yang paling mungkin adalah aneurisme

    intrakranial yang melibatkan arteri posterior komunikans. 7

    Saat palsi saraf kranial terjadi dalam isolasi, pasien harus ditanya

    mengenai faktor risiko vaskuler dan diabetes karena infark iskemik

    mikrovaskuler dari saraf kranial III, IV, dan VI dapat terjadi. Vaskulitis

    sistemik seperti arteritis temporal, dapat dengan palsi saraf kranial;

    gejala klaudikasio rahang, sakit kepala, tender kulit kepala, dan artralgia

    harus ditanyakan pada pasien usia tua dengan diplopia karena palsi

    saraf kranial. 7

    16

  • Palsi saraf kranial III biasa dengan gejala diplopia vertikal dan horizontal

    yang akan membaik bila mata yang terkena diabduksi karena otot rektus

    lateral dan saraf kranial VI mengabduksi mata. Palsi saraf kranial IV

    biasa dengan diplopia vertikal yang memburuk atau hanya muncul saat

    melihat dekat dan gaze ke bawah dalam arah yang berlawanan dari

    mata yang terkena. Karena otot oblik superior mengintorsi mata, pasien

    dengan palsi saraf IV juga melaporkan bahwa salah satu gambaran

    tampak miring. Pasien dengan palsi saraf VI mengalami diplopia

    horizontal yang memburuk saat mata yang terkena diabduksi (misal

    pada pandangan ke lateral ke sisi mata yang terkena) atau saat melihat

    objek dari jauh karena mata akan berdivergensi. 7

    5. Lesi batang otak

    Lesi pada batang otak pada jalur supranuklear, nuklei saraf kranial, atau

    fasikulusv vsarafv vkranialv vjarangv vmenimbulkanv vdiplopiav vterisolasi.

    Sebaliknya, sebagian besar pasien mengalami diplopia yang terkait

    dengan gejala neurologis tambahan karena struktur anatomis yang

    mengontrol fungsi sensorik, motorik, koordinasi, dan gait berada dekat

    struktur yang mengontrol pergerakan mata. Pengetahuan akan struktur-

    struktur di otak tengah, pons, dan medulla diperlukan untuk melokalisasi

    lesi menggunakan informasi dari riwayat penyakit. Pasien harus ditanya

    tentang mati rasa dan kelemahan fasial, kehilangan pendengaran,

    disfagia, disartria, vertigo, dan ketidakseimbangan serta inkoordinasi,

    mati rasa, atau kelemahan pada ekstremitas. 7

    6.Jalur supranuklear

    17

  • Jalur supranuklear membuat koneksi ke dan antara nuclei saraf kranial

    dan berasal dari korteks, batang otak, serebelum, dan struktur vestibuler

    perifer. Disfungsi supranuklear dapat menimbulkan abnormalitas arah

    gaze konjugat atau diskonjugat. Jika kedua mata mengalami derajat

    parese yang setara pada arah gaze yang sama karena lesi supranuklear,

    maka defisitnya konjugat dan pasien tidak mengalami diplopia. Defisit

    dapat congenital maupun didapat.

    Palsiv gaze vsupranuklear dapat horizontal maupun vertical. Pada

    sebagian besar kasus, palsi gaze horizontal konjugat berlokasi ke pons

    atau korteks frontal dan palsi gaze vertical konjugata berlokasi ke otak

    tengah. Palsi gaze diskonjugat memiliki beragam lokasi. Contoh dari

    palsiv gaze vhorizontal supranuklear diskonjugat adalah oftalmoplegia

    intranuklear. Oftalmoplegia intranuklear dicirikan dengan deficit adduksi

    pada mata di sisi yang sama dengan lesi dengan nistagmus simultan

    mata yang abduksi selama gaze lateral, dan sering dikaitkan dengan

    sklerosis multiple atau stroke. Contoh dari palsi vertical supranuklear

    diskonjugat adalah deviasi miring. Lokasinya di batang otak, serebelum,

    atau sistem vestibuler perifer. Tidak seperti palsi gaze konjugat, palsi

    gaze vdiskonjugat menimbulkan diplopia karena misalignment okuler

    terjadi pada satu atau banyak arah gaze. 7

    Seperti pada luka saraf kranial dan nukleinya, lesi jalur supranuklear

    sering disertai gejala dan tanda neurologis lain. Banyak struktur dan

    etiologi yang umumnya dikaitkan dengan lesi jalur supranuklear seperti

    ditunjukkan table 5. Pasien harus ditanya mengenai kelemahan, mati

    18

  • rasa, impairment kognitif, ketidakseimbangan, inkoordinasi, disfagia,

    disartria, vertigo, mual, dan muntah. 7

    2.8 Pemeriksaan untuk Lokalisasi Anatomik

    Pemeriksaan semua fungsi sensorik visual normal dan fungsi motorik

    okuler perlu dalam evaluasi diplopia. Tajam penglihatan yang paling baik

    diperbaiki, lapangan pandang ke konfrontasi, penampakan pupil, dan reaksi

    terhadap cahaya, dan fundus posterior harus diperiksa pada setiap pasien.

    Sebagai tambahan, jika respons cahaya pupil abnormal untuk salah satu mata,

    maka respons pupil saat melihat target yang dekat harus dicatat (bagian dari

    refleks akomodasi). Alignment harus diperhatikan saat pasien fiksasi pada

    target jarak jauh dan dekat pada semua arah gaze, dan evaluasi duksi, versi,

    saccade, danv pursuit vharus dilakukan. Alat yang sangat berguna untuk

    mengukur tajam penglihatan adalah pinhole yang memungkinkan pasien

    melihat melalui lubang kecil. Pinhole dapat mengeliminasi kelainan refraktif dan

    mengeliminasi diplopia monokuler yang disebabkan oleh banyak tipe kelainan

    refraktif. 7

    2.9 Pemeriksaan Diplopia Monokuler

    Untuk menentukan penyebab okuler spesifik dari diplopia monokuler perlu

    dilakukan pemeriksaan oftalmologik lengkap termasuk pemeriksaan slit lamp.

    Jika keahlian atau perlengkapan inadekuat, konsultasi oftalmologik harus

    dilakukan untuk refraksi dan pemeriksaan kornea, iris, lensa, media okuler, dan

    retina untuk setiap pasien yang mengeluh diplopia monokuler. Jika pinhole

    19

  • mengoreksi diplopia, maka penyebabnya mungkin melibatkan kornea atau

    lensa. Kelainan macula retina tidak akan membaik dengan pinhole. Amsler

    chart dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit macula yang harus

    diverifikasi dengan oftalmoskopi direk. 7

    2.10 Pemeriksaan Diplopia Binokuler

    Pemeriksaan pasien dengan misalignment okuler tidak hanya mencakup

    pemeriksaanv vpergerakanv vmata.v vPemeriksav vharusv vmengukurv vatau

    memperhatikan misalignment okuler dari berbagai arah gaze, pembengkakan

    periorbital, abnormalitas orbital seperti eksoftalmus/ proptosis atau enoftalmus,

    injeksi konjungtiva atau sklera, posisi palpebra, dan kelemahan otot-otot

    ekstraokuler atau otot levator palpebra. Pemeriksaan neurologis lengkap perlu

    dilakukan.v 7

    1. Pemeriksaan Bola Mata, Orbita, dan Kelopak Mata

    Eksoftalmometer digunakan untuk mendeteksi dan mengukur proptosis

    atau enoftalmus, dan pembacaan yang lebih besar dari 21 mm untuk

    salah satu mata atau perbedaan lebih dari 2 mm antara tiap mata

    mengindikasikan proptosis atau enoftalmus. Beberapa orang (misal

    wanita Afrika-Amerika) memiliki orbita yang dangkal dan pembacaan

    antara 23-25 mm adalah normal. Jika eksoftalmometer tidak tersedia,

    pemeriksa dapat melihat mata dari satu sisi atau dari atas untuk

    mengevaluasi asimetri. 7

    Fungsi palpebra dan posisinya juga harus diperiksa. Posisi palpebra atas

    harus sedikit berada di bawah puncak iris. Jika kelopak atas berada di

    20

  • atas iris dan sklera tampak, didiagnosis sebagai retraksi palpebra, dan

    jika palpebra ketinggalan di belakang mata dengan gaze ke bawah

    disebut lid lag. Kedua tanda ini sangat umum pada pasien dengan

    oftalmopati terkait-tiroid. Penyakit pada otak tengah dorsal dapat

    menyebabkan retraksi palpebra tapi tidak lid lag. Ptosis timbul bila jarak

    antara reflex cahaya kornea di tengah pupil (terlihat saat pasien fiksasi

    pada cahaya yang diarahkan padanya) dan palpebra atas kurang dari 4

    mm. Penyebab neurologis ptosis berasal dari disfungsi otot levator

    palpebra, yang dikontrol oleh saraf kranial III, atau dari disfungsi otot

    Muller, yang dikontrol oleh inervasi simpatis. Ptosis dari kelemahan otot

    Muller disebabkan oleh sindrom Horner selalu minimal dan seringkali

    palpebra bawah sedikit terangkat. Foto-foto lama membantu diferensiasi

    proses akut vs kronik yang melibatkan bola mata, orbita, dan kelopak.v 7

    2.Pemeriksaan Pergerakan Otot Ekstraokuler

    Posisi gaze pokok diperiksa dengan menyuruh pasien mengikuti target

    atau jari pemeriksa yang berada pada jarak 12 sampai 14 inci dari mata

    pasien. Jika duksi atau versi terbatas, pemeriksa harus menentukan

    apakah keterbatasan disebabkan oleh proses restriktif, kelemahan otot,

    disfungsiv neuromuscular junction, palsi saraf kranial, atau proses

    supranuklear. Tes duksi paksa berguna untuk mendeteksi keterbatasan

    mekanik untuk pasien dengan keterbatasan otot ekstraokuler yang

    substansial. Setelah pemberian anestesi topical kornea dan konjungtiva,

    ujung kapas digunakan untuk mencoba menggerakkan atau memaksa

    21

  • mata kearah di mana ada keterbatasan. Jika tidak ada tahanan maka

    berarti tidak ada restriksi mekanik. 7

    Pemeriksaan secara garis besar mungkin tidak sensitif untuk mengetahui

    penyebab diplopia binokuler, khususnya bila berhubungan dengan palsi

    saraf III atau IV parsial. Maddox rod- sebuah lensa merah dengan ridge-

    atau sebuah lensa merah tanpa ridge dapat dipakai untuk menentukan

    keberadaan dan derajat misalignment okuler. Lensa merah dipegang di

    depan mata kanan, sedangkan pasien melihat cahaya putih pinpoint dari

    transluminator oftalmoskop atau dari sumber cahaya lain yang dipegang

    oleh pemeriksa. Lokasi dari bar merah dilihat oleh pasien menggunakan

    Maddox rod, atau cahaya merah dilihat oleh pasien menggunakan lensa

    merahv vtanpav ridge,v vdalamv vhubunganv vdenganv vcahayav vputih

    mengindikasikan bagaimana mata misalignment. Torsi okuler dapat

    diukur menggunakan double Maddox rod. 7

    3. Pemeriksaan Neuromuscular Junction

    Pemeriksaan untuk tanda otot ekstraokuler fatigable dan kelemahan

    palpebra fatigable dengan pemulihan kekuatan didapat dengan teknik-

    teknik seperti sustained gaze atau penutupan mata repetitif. Kelelahan

    ototv vekstraokulerv vsulitv vuntukv vdiamativ vnamunv vusahav vuntuk

    mempertahankan posisi eksentrik gaze oleh pasien yang mengalami

    kelainanv neuromuscular junction vakan menunjukkan peningkatan

    strabismus, bahkan pada pasien tanpa bukti awal misalignment okuler.

    Tes duksi dan versi berulang otot ekstraokuler tanpa istirahat atau

    pemulihanv vsetelahv vmempertahankanv vgazev vakanv vmeningkatkan

    22

  • oftalmoplegia. Kelemahan pada otot levator palpebra menyebabkan

    ptosis. Ptosis yang dicirikan pemulihan setelah istirahat dikenal sebagai

    Cogans lid twitch yangv vdiamativ vdenganv vmenyuruhv vpasien

    mempertahankan fiksasi pada gaze ke bawah selama 10-20 detiik.

    Pasien kemudian refiksasi dengan saccade (gerakan mata yang cepat)

    pada sebuah target pada gaze primer (lurus ke depan). Jika saat kembali

    ke gaze primer palpebra yang ptosis terangkat dan jatuh dengan cepat,

    Cogans lid twitch positif. Trias ptosis fatigable, kelemahan otot

    ekstraokuler fatigable, dan kelemahan otot orbicularis oculi merupakan

    dugaan kuat miastenia. 7

    4.Pemeriksaan Saraf Kranial III, IV, dan VI

    Pemeriksaan batas pergerakan otot ekstraokuler serta penentuan derajat

    misaligment horizontal atau vertikal pada berbagai posisi gaze, dan

    dengan kepala miring ke kanan atau ke kiri, dapat membantu

    menentukan keterlibatan saraf kranial untuk defisit yang terjadi.

    Misalignment okuler paling nyata pada arahv gaze dari otot yang

    mengalami kelemahan.

    Saraf kranial III menginervasi otot rectus superior, inferior, dan medial;

    otot obliks inferior; otot sfingter pupil; dan levator palpebra superior. Lesi

    pada saraf III memiliki gejala: supraduksi terbatas, infraduksi, dan

    adduksi; midriasis dan paralisis pupil total atau parsial; dan ptosis total

    atau parsial dari mata yang terkena. Ketika mata yang normal fiksasi

    pada target yang jauh pada gaze primer, mata yang sakit biasanya akan

    ke bawah dan keluar karena kerja otot rektus obliks superior dan rectus

    23

  • lateral yang diinervasi saraf IV dan VI yang tidak dapat dilawan. Paralisis

    total otot ekstraokuler dan palpebra tanpa keterlibatan pupil paling

    karena iskemia saraf III. Pada kasus palsi saraf III, Maddox rod atau tes

    kaca merah diperlukan untuk memverifikasi diagnosis. Maddox rod

    memperlihatkan hiperdeviasi pada mata yang sakit pada gaze ke bawah

    dan hiperdeviasi mata yang sehat pada gaze ke atas dikenal sebagai

    hiperdeviasi alternatif. Ada juga eksodeviasi yang memburuk saat mata

    yang sakit diadduksi. 7,8

    Saraf kranial IV menginervasi otot obliks superior yang infraduksi dan

    intorsi mata. Saat mata yang normal fiksasi pada target yang jauh pada

    gaze primer, misaligment tidak tampak, untuk itu karena keterbatasan

    pada gaze ke bawah sulit diamati secara langsung, palsi saraf IV kurang

    dikenal. Jika tanpa keterbatasan dengan infraduksi dan adduksi jelas

    bagi pemeriksa, pasien dapat disuruh melihat garis lurus pada kertas

    yang ditempatkan dekat dan di bawah mata ke kanan dan ke kiri. Jika

    penglihatan ganda ada, pasien menggambar gambar kedua yang salah.

    Gambar yang salah harus berada di bawah garis dan miring pada kasus-

    kasus palsi saraf IV yang membuat tanda panah yang menunjuk ke sisi

    yang palsi. Oleh karena fungsi intorsi otot obliks superior, pemisahan

    gambar ganda meningkat saat kepala dimiringkan ke arah sisi yang palsi

    saraf IV dan defisit membaik jika kepala dimiringkan ke sisi yang

    berlawanan dengan palsi saraf IV. Singkatnya palsi saraf IV memburuk

    bila kepala dimiringkan. 7,8

    24

  • Saraf kranial VI menginervasi otot rectus lateral yang mengabduksi mata.

    Saat mata yang normal difiksasi pada target yang jauh pada gaze primer,

    mata yang sakit akan deviasi ke dalam (esotropia). 7,8

    5.Pemeriksaan batang otak

    Supaya dapat mengetahui fungsi batang otak, saraf III, IV, dan VI juga

    saraf kranial lain- harus dites. Tes kekuatan dan sensasi fasial, sensasi

    kornea, kekuatan maseter, pendengaran, elevasi palatum dan uvula,

    kekuatan sternokleidomastoid dan trapezius, refleks muntah, dan posisi

    dan kekuatan lidah akan melengkapi pemeriksaan saraf kranial.v 7

    6.Pemeriksaan jalur supranuklear

    Kemampuan untuk mengatasi keterbatasan motilitas okuler adalah

    pemeriksaan yang penting pada defisit motilitas supranuklear. Pada

    kasus dengan lesi supranuklear, nuklei yang mengontrol saraf III, IV dan

    VI masih intak dan fasikulus masih berfungsi normal. Oleh karena itu,

    stimulasi nuklei dengan gerakan kepala menimbulkan duksi okuler

    penuh. Untuk melakukan manuver okulosefalik, pasien harus fiksasi

    pada objek yang jaraknya 14-16 inci, seperti jempol pasien atau hidung

    pemeriksa. Kemudian, saat pasien sedang fiksasi, kepala di putar ke

    kanan dan kiri dan atas dan bawah. Gerakan kepala ini mengatasi

    keterbatasanv vduksiv vatauv versiv vkarenav vkelainanv vdisfungsiv vjalur

    supranuklear. 7,8

    7. Lain-lain

    Individu yang histeris mungkin mengeluh diplopia. Photopsia dan

    skotoma yang terjadi selama aura migraine klasik mungkin dapat dikira

    25

  • sebagai diplopia. Karena axis visual hanya dapat bertempat di satu

    lokasi pada ruang 3D, objek yang yang berada di depan atau belakang

    tampak ganda. Hal ini dapat didemonstrasikan dengan fokus pada satu

    jari sejauh lengan. Objek yang berada di belakang jari tampak kabur dan

    ganda. Pemindahan fokus ke objek pada arah yang sama namun di

    belakang jari menyebabkan objek jadi tunggal, sedang jari tampak kabur

    dan ganda. Jika seseorang tiba-tiba sadar akan diplopia ini menunjukkan

    kelainan fungsi serebral yang lebih tinggi.

    2.11 Penatalaksanaan

    Penatalaksanaan diplopia bergantung pada penyebab diplopia itu sendiri.

    Pada kasus diplopia monokuler dilakukan koreksi refraksi. Untuk kelainan orbita

    pemeriksaan CT scan dan MRI adalah suatu indikasi. Pada kasus-kasus kronik,

    diplopia binokuler, MRI adalah suatu indikasi kecuali jika etiologi sudah jelas.

    Pembedahan atau pemberian obat-obatan atau penggunaan lensa prisma

    dapat mengurangi gejala diplopia bila etiologinya telah ditemukan dan keadaan

    umum telah baik.

    1.Klinis

    - Menutup satu mata: menutup mata sering diperlukan, karena pasien

    harus terus beraktivitas sambil menunggu intervensi.1

    - Lensa oklusifv stick-on vdapat dipakaikan ke kacamata untuk

    meminimalkan handicap pada penggunaan tutup mata, sambil

    mengaburkan satu mata untuk meminimalkan penglihatan ganda

    yang mengganggu. 1

    26

  • - Prisma Fresnel: prisma ini dapat melekat ke kacamata. Meski prisma

    ini hanya cocok untuk deviasi stabil yang ada di semua arah gaze,

    prisma ini mengaburkan gambar dari mata itu dan berfungsi dalam

    banyak hal seperti lensa oklusif. 1

    - Pengobatan miastenia gravis: mestinon atau agen antikolinergik kerja

    lama, serta kortikosteroid. 1

    2.Pembedahan

    - Pembedahan strabismus kadang-kadang diperlukan. Resesi/ reseksi

    khas jarang diindikasikan karena satu otot yang sering lemah

    permanen, dan pembedahan standar apapun akan kehilangan efek

    pada akhirnya. Pengecualian pada fraktur blow out saat dilakukan

    pelepasan pada penjepitan jaringan lunak dari fraktur di dasar orbita

    dapat sangat efektif. 1

    - Pembedahan transposisi (pembedahan Hummelsheim). Dengan

    paralisis permanen otot rectus lateral, mengatasi kerja otot rectus

    medial yang tidak dilawan, mungkin dilakukan dengan membagi otot

    rectus superior dan inferior dan dengan memasukkan setengah

    lateral dari kedua otot itu ke insersio otot rectus lateral. Jika tidak,

    resesi otot rectus medial yang tercapai hanya dalam waktu

    sementara. Meskipun dapat melihat tunggal pada pandangan lurus,

    diplopia tetap ada dengan pandangan ke otot yang paralisis. 1

    - Paralisis otot obliks superior Knapp

    27

  • Dengan kelemahan permanen otot obliks superior, mungkin dapat

    dilakukan pelemahan otot yoke mata yang lain (otot rectus superior)

    juga yang merupakan antagonis direk (otot obliks inferior) pada mata

    yang sama, bersama-sama dengan pemendekan otot yang terkena,

    dapat meminimalkan deviasi. 1

    - Kemodenervasi

    Membantu mencegah kontraktur di mata dengan paresis otot

    ekstraokuler, khususnya saat kembalinya fungsi diharapkan. Injeksi

    multipel selama beberapa bulan dengan toxin botulinum ke otot

    rectus medial mengurangi kontraktur karena kelemahan otot rectus

    lateral akibat paralisis saraf VI. Efeknya lebih permanen dibanding

    dengan yang diharapkan, otot yang tidak disuntik malah membantu

    pemendekan dan kontraktur. 1

    2.12Komplikasi

    Pada bayi dan balita, diplopia dapat menyebabkan supresi atau

    ambliopia1

    2.13Prognosis

    Penyebab diplopia bervariasi dari yang ringan hingga kondisi yang

    memiliki konsekuensi kesehatan yang besar. 1

    - Sebagai patokan, pasien dengan multipleks mononeuritis diabetik

    yang sembuh spontan dalam 6 minggu.

    28

  • - Penyebab optikal (misal dislokasi lensa, kelainan korneal) dapat

    diperbaiki.

    - Frakturv blow out vmemiliki prognosis berbeda tergantung jumlah

    jaringan yang rusak

    - Pusat (neurologik) menyebabkan diplopia dapat memiliki konsekuensi

    yang serius dan dalam hal tumor primer atau sekunder, prognosisnya

    jelek.

    29

  • DAFTAR PUSTAKA

    1.Wesselsv vIF.v vDiplopia.v vAvailablev vfrom:v vURL:v vHIPERLINK

    http://emedicine.medscape.com/article/1214490-overview

    2. Finlay A. The differential diagnosis of diplopia. Available from: URL:

    HIPERLINK http://www.optometry.co.uk

    3.Liesegang TJ, Skuta GL, Cantor LB. Basic and clinical science course:

    Neuro-Ophthalmology.v vSanv vFransisco:v vAmericanv vAcademyv vof

    Ophthalmology.2008.

    4.Karmel M. Deciphering diplopia. Available from: URL: HIPERLINK

    http://www.eyenetmagazine.org

    5.Recker D, Amann J, Lang GK. Ocular motility and strabismus. In: Lang

    GK, editor. Ophthalmology: A short textbook. Stutgart: Appl Wernding.

    2000.

    6.vIlyas S. Ilmu penyakit mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008

    7.Pelak VS. Evaluation of diplopia: An anatomic and systemic approach.

    Hospital Physician: March, 2004.

    8.Rucker JC. Acquired ocular motility disorders and nystagmus. In: Kidd

    DP, Newman NJ, Biousse V, editors. Neuro-ophthalmology. Philadelphia:

    Butterworth-Heinemann. 2008.

    30