disertasi. bab i juni. 2011
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan pada hakikatnya adalah upaya untuk mencapai taraf
hidup rakyat lebih berkualitas dengan tatanan sosial yang berlaku.
Pembangunan Indonesia mendatang masih akan menghadapi beberapa
masalah diantaranya pertama, menghadapi masalah degradasi
sumberdaya alam sebagai akibat eksploitasi dalam pengelolaan atau
kemiskinan masyarakat (kasus daerah kering atau upland). Kedua
masalah penggalian devisa untuk pembiayaan pembangunan yang
semakin besar dengan menyadari semakin menurunnya perolehan devisa
dari minyak dan gas (Anwar, 1992). Maka pada gilirannya peran komoditi
non migas semakin penting terutama komoditi pertanian yang selama ini
dominan sebagai penghasil devisa non migas (Hasyim, 1994). Sementara
itu kita juga akan segera berhadapan dengan situasi pasar dunia yang
bebas (Gonarsyah, 1994), sehingga pengusahaan komoditi pertanian
harus semakin mengedepankan aras-aras kecenderungan pasar,
misalnya efisiensi.
Pada umumnya peningkatan kesejahteraan masyarakat pertanian
sampai saat ini masih belum memuaskan. Hal ini berkaitan dengan
kebijakan yang diterapkan kurang memihak pada sumberdaya dan pasar
serta sosial budaya petani di pedesaan. Komoditas pertanian yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan adalah komoditas perkebunan,
mengingat Indonesia mempunyai potensi lahan perkebunan yang cukup
luas terutama di luar Jawa.
Pengusahaan jambu mete (Anacardium occidentale, L) dalam
kerangka kepentingan atau permasalahan pembangunan di atas
mempunyai nilai strategis terutama berkenaan pemanfaatan lahan
marginal, penyelamatan dan pelestarian aset sumberdaya pembangunan
karena jambu mete sekaligus menjadi tanaman konservasi lahan marginal
(kering dan kritis), (Ditjenbun, 1991) mengingat tanaman ini dapat tumbuh
dimana tanaman lain tidak bisa tumbuh (Puryanto, 1983; Abdullah, 1985;
Sugiyanto, 1994). Jambu mete di Sulawesi Tenggara telah menjadi
tumpuan masyarakat yang tinggal di pedesaan dalam memenuhi
kelangsungan hidupnya (survival), serta membuat kehidupan yang lebih
baik (a better living).
Sebagai komoditas komersial, jambu mete yang diproduksi petani
di Sulawesi Tenggara ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
industri hilir. Luas areal perkebunan jambu mete (Anacardium occidentale
L) di Indonesia seluas 560.813 Ha dan terluas terdapat di Provinsi
Sulawesi Tenggara : 169.926,34 Ha (30,3%) dengan produksi pada tahun
2006 sebesar 40.325 ton (BPS Sultra, 2007). Prospek pasar jambu mete
masih terus meningkat dan sumber daya agraria (lahan) yang dapat
digunakan untuk mengusahakan tanaman jambu mete masih tersedia
walaupun jumlahnya semakin berkurang.
2
Selanjutnya, gambaran penting dari keragaman usahatani jambu
mete di Sulawesi Tenggara yang lain adalah kondisi permodalan usaha
jambu mete yang lemah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kemampuan
keuangan internal dalam keluarga petani, sementara bantuan modal
kapital eksternal seperti kredit tanpa agunan dengan bunga rendah akhir-
akhir ini, baru mulai diperkenalkan. Petani lebih banyak melakukan jalan
pintas dengan meminjam uang kepada pedagang pengumpul yang
umumnya juga berprofesi sebagai tengkulak. Menurut data base
perkebunan, Puslitbangbung (Indrawanto et al. (2003) bahwa hanya
sekitar 8,35% dari pendapatan petani jambu mete di Sulawesi Tenggara
dialokasikan untuk tabungan dan investasi usahatani.
Masyarakat di lahan kering yang miskin sumberdaya alam,
umumnya hanya memiliki sumberdaya sosial sebagai satu-satunya aset
penting dalam kegiatan kehidupan rumah tangga petani. Terabaikannya
pengembangan sumberdaya sosial menyebabkan lemahnya stok modal
sosial yang dapat menekan produktivitas kerja dan mendorong
terbangunnya jaringan kerja yang tidak efisien. Irawan dan Pranadji (2002)
menyatakan bahwa kehidupan masyarakat Indonesia di masa yang akan
datang sangat ditentukan oleh kualitas pengelolaan agroekosistem lahan
kering, terutama dikaitkan dengan pengembangan pertanian dan
perekonomian pedesaan setempat secara berkelanjutan. Selanjutnya
kelemahan yang menonjol dalam pengelolaan lahan kering seperti yang
dimaksud antara lain ditunjukkan melalui tidak berkembangnya modal
3
sosial setempat, lemahnya aksesbilitas masyarakat terhadap lembaga
pelayanan publik lainnya (Pender et al., 2001)
Modal sosial, bersama-sama dengan modal lainnya, akan mampu
meningkatkan produktivitas, efisiensi dan keberlanjutan. Tanpa modal
sosial, aktivitas ekonomi akan mengalami kemunduran dan sumberdaya
alam akan menghadapi ancaman kerusakan. Sebaliknya, tanpa
pertumbuhan ekonomi, modal sosial akan terganggu Mitchel: (Suandi,
2008). Hasbullah, (2006) menyatakan bahwa modal sosial yang lemah
akan meredupkan semangat gotong-royong, memperparah kemiskinan,
meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya
untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.
Grootaert (2001) dan Brata (2004), mengemukakan bahwa modal
sosial di Indonesia menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah
kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan ketersediaan modal di tingkat
rumah tangga. Bahkan menurut Grootaert (2001), kontribusi modal sosial
dalam peningkatan pendapatan rumah tangga di Jambi, Jawa Tengah dan
Nusa Tenggara Timur sebanding dengan kontribusi modal manusia.
Modal sosial merupakan kekuatan yang mampu membangun civil
community yang dapat meningkatkan pembangunan partisipatif, seperti
trust, ideologi dan religi. Modal sosial dapat dicirikan dalam bentuk
kerelaan individu, mengutamakan keputusan kolektif atau komunitas.
Dampak dari kerelaan ini akan menumbuhkan interaksi kumulatif yang
menghasilkan kinerja yang mengandung nilai sosial.
4
Fukuyama (2002b) mengilustrasikan modal sosial seperti trust,
believe and vertrauen memiliki makna betapa pentingnya kepercayaan
yang mengakar dalam faktor kultural seperti etika dan moral. Munculnya
Trust akan mengakibatkan terdistribusinya nilai-nilai moral pada
komunitas sebagai jalan untuk menciptakan kejujuran dan kenyamanan
dalam bermasyarakat. Lebih jauh Fukuyama menyatakan bahwa asosiasi
dan jaringan lokal mempunyai dampak positif bagi perilaku ekonomi dan
kesejahteraan. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat
gotong-royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran,
kriminalitas dan menghalangi upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk (Hasbullah, 2006).
Sumberdaya (resources) dalam ilmu ekonomi adalah sesuatu yang
dapat dikonsumsi, disimpan dan diinvestasikan. Sumberdaya yang
digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Modal sosial adalah
sumberdaya ekonomi yang dapat dipandang sebagai investasi untuk
mendapatkan sumberdaya baru.
Modal sosial adalah berupa tingkat kepercayaan, rasa percaya,
jaringan kerja, dan hubungan timbal balik baik informal maupun formal
yang ada di masyarakat. Studi kasus di Indonesia yang dilakukan oleh
World Bank melaporkan bahwa modal sosial mempunyai kontribusi dan
berpengaruh positif terhadap peningkatan kesejahteraan rumah tangga
(Grootaert, 1999). Modal Sosial sebagai sine qua non bagi pembangunan
manusia, ekonomi, sosial, politik dan demokrasi (Fukuyama, 1999). Modal
5
sosial tumbuh dari fenomena kongnitif dari proses mental yang diperkuat
oleh budaya dan secara struktural modal sosial terkait dengan organisasi
dan institusi sosial dan berhubungan dengan perilaku masyarakat.
Fenomena yang menarik adalah perilaku ekonomi petani di dua
tempat yang berbatasan antara Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna
dimana warganya menunjukkan kegiatan ekonomi yang oleh Scott (1983)
dinamakan “etika subsistem” yang pada dasarnya menunjukkan perilaku
ekonomi yang hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup paling
minimal dan umumnya cenderung tidak berani mengambil resiko
(ekonomi moral).
Menurut Scott (1983) bahwa ekonomi moral telah meletakan
argumentasi bahwa para petani itu mengambil resiko ketika mereka
mengevaluasi strategi-strategi ekonomi. Mereka lebih menyukai usaha
kecil-kecil yang mendatangkan hasil-hasil yang pasti dari pada hasil
banyak tapi mendatangkan resiko. Popkin (1986) secara eksplisit
menggunakan pendekatan ekonomi politik melalui analisisnya dengan
memusatkan perhatian pada aspek “pengambilan keputusan individu”.
Pilihan ini tepat, karena pendekatan ekonomi politik mengasumsikan
manusia sebagai homo economicus yang selalu berpikir rasional dalam
menentukan tindakan-tindakannya di antara pilihan keuntungan yang akan
diperoleh dan resiko kerugian yang mungkin di dapat. Perilaku demikian
juga cenderung ditemukan pada petani dari wilayah tersebut. Nampak
pula pada dua tempat berbatasan tersebut terdapat perbedaan budaya
6
usaha dalam bidang kegiatan pertanian yang mungkin sejalan dengan
pandangan Max Weber, (1958) tentang pengaruh nilai-nilai budaya
terhadap kehidupan sosial ekonomi dalam bukunya yang sangat terkenal
The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Selanjutnya Max
Weber menekankan bahwa kekuatan atau nilai agama ternyata ikut ambil
bagian secara kualitatif terhadap pembentukan semangat kapitalisme dan
merupakan suatu faktor yang otonom dan sekaligus memiliki
kemungkinan untuk memberikan corak pada sistem perilaku ekonomi.
Perilaku ekonomi dalam usahatani semata-mata tidak hanya
ditentukan oleh kemampuan teknis dan ekonomi semata, tetapi juga di
pengaruhi oleh tingkat modal sosial yang dimiliki oleh petani dan
lingkungan sekitarnya. Pada umumnya kajian tentang kegiatan usahatani
lebih menitikberatkan pada variabel-variabel ekonomi usahatani dengan
membuat suatu kondisi variabel modal sosial adalah given atau catteries
paribus.
Modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam
menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide saling percaya dan saling
menguntungkan untuk kemajuan bersama (Hasbullah, 2006). Inti telaah
modal sosial terletak bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu
entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan
dalam mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu
pola interelasi yang imbal balik dan saling menguntungkan dan dibangun
7
di atas kepercayaan yang di topang norma-norma dan nilai-nilai sosial
yang positif dan kuat.
Hasil penelitian Putnam (1993) di Italia menemukan bahwa
perbedaan struktur sosial yang ada di masing-masing wilayah antara Italia
Utara dan Italia Selatan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Italia
utara lebih sejahtera dibanding Italia Selatan hal ini disebabkan di Italia
Utara terdapat struktur horizontal sedangkan di Selatan Struktur berbentuk
hierarki dan akhirnya pada perbedaan modal sosial.
Fenomena yang menarik adalah perilaku petani dalam usaha
jambu mete pada perbatasan antara dua Kabupaten Buton dan
Kabupaten Muna suatu lokasi pusat jambu mete Propinsi Sulawesi
Tenggara, sesuai pengamatan sementara nampak perbedaan dalam
kegiatan usaha jambu mete masyarakat.
“Di dalam usaha jambu mete, petani di Gu-Lakudo terhitung sebagai pengelola jambu mete terbesar di Sulawesi Tenggara, bahkan di Indonesia. Menurut Harjun Hatma, petani jambu mete di Gu-Lakudo tidak hanya menjual jambu mete dalam bentuk gelondongan tetapi telah di jual dalam bentuk olahan kacang mete atau bahan setengah jadi. Sebaliknya, di wilayah Tongkuno, Kabupaten Muna, wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah Gu-Lakudo, perputaran ekonomi tidak sebaik yang terjadi di wilayah Gu-Lakudo” (wawancara dengan Harjun Hatma, 11 Juli 2009).
Padahal pada kedua tempat tersebut di diami oleh satu suku yaitu
Suku Pancana (Muna), diasumsikan bahwa mereka mempunyai modal
sosial yang sama tetapi kenyataannya menunjukkan perilaku sosial
ekonomi mereka berbeda. Oleh karena itu alasan mendasar dilakukan
penelitian ini adalah untuk memahami lebih dalam mengenai perbedaan
8
modal sosial dan hubungannya dengan perilaku ekonomi dalam kegiatan
usahatani jambu mete, yang pada akhirnya akan memberikan perbedaan
pada taraf kesejahteraan dua komunitas masyarakat yang dimaksud.
Inti telaah modal sosial terletak bagaimana kemampuan
masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerja sama
membangun suatu jaringan dalam mencapai tujuan bersama. Kerjasama
tersebut diwarnai oleh suatu pola interelasi yang imbal balik dan saling
menguntungkan dan dibangun di atas kepercayaan yang di topang oleh
norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat.
Berdasarkan beberapa pernyataan yang telah dikemukakan di atas
menimbulkan anggapan bahwa adanya faktor penting yang perlu
dipahami sebagai pemicu perbedaan perilaku ekonomi yang berbeda di
perbatasan dua Kabupaten Buton di daerah Gu-Lakudo dan Kabupaten
Muna di daerah Tongkuno.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas,
maka, masalah dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: “Mengapa dua
komunitas yang sama (berasal dari etnis yang sama yaitu Pancana)
dengan asumsi memiliki modal sosial yang berbeda dalam perilaku
ekonomi usahatani jambu mete dan pada akhirnya berbeda juga di dalam
tingkat kesejahteraannya?”.
9
Beberapa pertanyaan di bawah ini merupakan rincian
permasalahan yang dapat diperoleh jawaban lebih tajam dari penelitian
ini, antara lain:
1. Apakah ada perbedaan modal sosial di dua komunitas petani jambu
mete di wilayah Gu-Lakudo Kabupaten Buton dan wilayah Tongkuno
Kabupaten Muna?
2. Apakah sama perilaku ekonomi petani jambu mete di wilayah Gu-
Lakudo Kabupaten Buton dan wilayah Tongkuno Kabupaten Muna?
3. Apakah sama kesejahteraan petani jambu mete di wilayah Gu-Lakudo
Kabupaten Buton dan wilayah Tongkuno Kabupaten Muna?
4. Apakah modal sosial di dua komunitas petani jambu mete di wilayah
Gu-Lakudo Kabupaten Buton dan wilayah Tongkuno Kabupaten Muna
mempengaruhi perilaku ekonomi dan kesejahteraan petaninya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengkaji gambaran modal sosial di dua komunitas petani jambu mete
di wilayah Gu-Lakudo Kabupaten Buton dan wilayah Tongkuno
Kabupaten Muna.
2. Mengkaji gambaran perilaku ekonomi petani jambu mete di wilayah
Gu-Lakudo Kabupaten Buton dan wilayah Tongkuno Kabupaten Muna.
3. Mengkaji gambaran kesejahteraan petani jambu mete di wilayah Gu-
Lakudo Kabupaten Buton dan wilayah Tongkuno Kabupaten Muna.
10
4. Menganalisa dan membandingkan pengaruh modal sosial di dua
komunitas petani jambu mete di wilayah Gu-Lakudo Kabupaten Buton
dan wilayah Tongkuno Kabupaten Muna terhadap perilaku ekonomi
dan kesejahteraan petaninya.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah :
1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dalam
merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan peningkatan
produksi usahatani, dan kesejahteraan petani jambu mete, bahwa
kekuatan modal sosial setempat perlu dimasukkan sebagai salah satu
komponen penting rancangan kebijakan pengembangan usahatani
jambu mete di pedesaan.
2. Bagi para peneliti dan akademisi, penelitian ini dapat memberikan
inspirasi dikembangkannya penelitian yang lebih luas untuk melihat
lebih mendalam tentang pentingnya ketepatan memilih dan membuat
model pemberdayaan sosial budaya. Serta sebagai bahan kajian dan
pengembangan ilmu sosial ekonomi pertanian, khususnya mengenai
keterkaitan antara modal sosial, perilaku ekonomi usahatani dan
kesejahteraan petani jambu mete.
E. Ruang Lingkup Penelitian/Batasan Penelitian
Penelitian ini membedakan antara modal sosial wilayah yang
berhasil mengembangkan komoditas jambu mete, dengan wilayah yang
11
kurang berhasil mengembangkan komoditas jambu mete. Yang menjadi
indikator keberhasilan pengelolaan komoditas jambu mete bukan hanya
pada keberhasilan usahatani yang dikelola oleh rumah tangga, namun
juga pada kegiatan pengolahan dan pemasaran jambu mete.
Hubungan indikator dan komponen modal sosial, perilaku ekonomi,
dan kesejahteraan rumah tangga petani dianalisa melalui model
persamaan structural atau structural equation model (SEM) yang tersedia
dalam program Lisrel 8.73. Uji beda rataan antara dua populasi dengan
indikator modal sosial, perilaku ekonomi dan kesejahteraan diuji dengan
menggunakan analisis uji t-student. Penggunaan SEM dan Uji t-student
merupakan salah satu faktor kebaruan (novelty) dari penelitian ini.
Unit analisis dalam penelitian ini menggunakan rumah tangga dan
belum memisahkan unit analisis berdasarkan kelompok/asosiasi yang
berkembang di daerah penelitian dan tipe hubungan sehingga tidak dapat
membedakan antara proporsi aktivitas masyarakat yang produktif
(ekonomi) dan non produktif (sosial).
F. Definisi, Istilah dan Glosarium
Pokadulu : Kelembagaan sosial gotong-royong yang berfungsi di
dalam pengelolaan usahatani dan segala macam aspek
kegiatan masyarakat di Kabupaten Muna.
12
Pokaowa : Kelembagaan sosial gotong-royong yang berfungsi di
dalam pengelolaan usahatani dan segala macam aspek
kegiatan masyarakat di Kabupaten Buton.
Kameko : Sejenis minuman yang memabukkan, berasal dari air
sadapan pohon enau, dikonsumsi oleh masyarakat
Tongkuno.
Jambu erang : Sebutan tanaman jambu mete di Sumatra Barat.
Gayu : Sebutan atau nama tanaman jambu mete di Lampung.
Jambu mede : Sebutan tanaman jambu mete di Jawa Barat.
Jambu monyet : Sebutan tanaman jambu mete di Jawa Timur.
Jambu jipang/jambu dwipa : Sebutan tanaman jambu mete di Bali.
Buah yaki : Sebutan tanaman jambu mete di Sulawesi Utara.
Jambu monye : Sebutan tanaman jambu mete di Sulawesi Tenggara.
Sugi Manuru : Nama raja Muna ke-VI di Sulawesi Tenggara.
Kaomu : Golongan pemerintah atau yang menguasai pemerintahan
pada masa Raja Sugi Manuru. Golongan ini adalah
turunan dari anak laki-laki sang raja dari permaisuri yang
berhak menjadi raja dan jabatan lainnya sesuai hukum
adat (kekuasaan eksekutif).
Walaka : Golongan yang berhak dan memiliki kekuasaan
menetapkan hukum adat dan mengawasi pelaksanaannya
(kekuasaan legislatif dan yudikatif). Golongan ini
merupakan turunan dari anak perempuan sang raja.
13
Olindo fitu bangkauno : Strata dalam sistem masyarakat Muna yang
berhak menjadi kepala pemerintahan daerah.
Wawono liwu : Strata ke-4 dalam sistem masyarakat Muna atau
masyarakat umum.
Kapita : Panglima angkatan bersenjata kerajaan.
Kapitalau : Angkatan laut kerajaan sebagai penjaga keamanan pantai
dari serangan pihak luar dan bajak laut.
Kacip : Alat pengupas kulit gelondong jambu mete
Sara : Merupakan majelis pemerintahan/agama
G. Organisasi/Sistematika
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
E. Ruang Lingkup Penelitian/Batasan Penelitian
F. Definisi, Istilah dan Glosarium
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Modal Sosial
1. Pengertian Modal
2. Unsur Pokok Modal Sosial
B. Modal Sosial Menjadi Tulang Punggung Bisnis Pertanian
C. Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani
D. Model Ekonomi Rumah Tangga
E. Kesejahteraan Ekonomi Keluarga
14
F. Keterkaitan Modal Sosial dengan Perilaku Ekonomi Usahatani
G. Keterkaitan Institusi Keluarga dengan Sistem Kesejahteraan di
Daerah Pedesaan
H. Persepsi Kesejahteraan Keluarga
I. Keterkaitan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi
Keluarga
J. Keterkaitan Produksi dan Pasar Jambu Mete
K. Pola Produksi Jambu Mete
L. Tata Niaga Produk Jambu Mete
M. Kerangka Konseptual
N. Hipotesis Penelitian
O. Definisi Operasional
BAB. III. METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
B. Lokasi dan Waktu
C. Populasi dan Sampel Penelitian
D. Instrumen Pengumpulan Data
E. Analisa Data
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Gambaran Umum Wilayah Lokasi PenelitianB. Keragaan Modal Sosial Petani Jambu Mete
di Kabupaten Buton dan Muna
C. Perilaku Ekonomi Petani Jambu Mete di Kabupaten Buton dan Muna
D. Analisis Kesejahteraan Petani Jambu Mete di Kabupaten Buton dan Muna
E. Pengaruh Modal Sosial Terhadap Perilaku Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Petani Jambu Mete di Kabupaten Buton dan Muna
F. Refitalisasi Modal Sosial
DAFTAR PUSTAKA
15