doktrin kepemlikan tunggal (single presence...
TRANSCRIPT
DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICY)
BANK BUMN DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5
TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Nur Rahmi Febriani
NIM: 11140480000038
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R TA
1440 H /2019 M
ii
DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICY)
BANK BUMN DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5
TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Nur Rahmi Febriani
NIM: 11140480000038
Pembimbing:
Indra Rahmatullah, SH.I, M.H.
NIDN : 2021088601
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H /2019 M
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Maret 2019
Nur Rahmi Febriani
v
ABSTRAK
Nur Rahmi Febriani. NIM 11140480000038. DOKTRIN
KEPEMILIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICY) BANK BUMN
DALAM PERSEPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR5 TAHUN 1999
TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT. Program Studi Ilmu Hukum. Konsentrasi Hukum
Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/ 2019 M. ix + 78 halaman + 2 halaman daftar
pustaka.
Permasalahan utama didalam skripsi ini adalah mengenai kebijakan
kepemilikan tunggal yang berasal dari PBI Nomor14/24/PBI/2012 atau yang
biasanya disebut sebagai single presence policy yang belum diterapkan oleh bank-
bank BUMN di Indonesia. Penelitian ini juga menjelaskan apa dampak yang akan
ditimbulkan ketika kebijakan tersebut diterapkan pada bank-bank BUMN, yakni
adanya persaingan usaha tidak sehat.
Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif. Penelitian yang dilakukan
dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perUndang-Undang an, buku-
buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan dengan skripsi ini, peneliti
juga melakukan perbandingan dari penerapan kebijakan tersebut kepada beberapa
negara seperti Malaysia, India, dan Thailand.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bank-bank BUMN saat ini belum
menunjukkan kepatuhan menerapkan kebijakan single presence policy dan juga
peraturan perUndang-Undang an yang telah diterbitkan sejak tahun 2012 ternyata
belum bersifat futuristik dan tidak memandang keharmonisasian antara peraturan
perbankan dengan konteks peraturan anti persaingan usaha tidak sehat. Sebab,
opsi yang terpilih dalam penerapan kebijakan ini pun belum jelas terklasifikasi
untuk bank BUMN atau bank komersil lainnya, yang justru dapat menimbulkan
pasar dominan dalam dunia perbankan di Indonesia.
Kata Kunci : Doktrin, Single Presence Policy, Bank BUMN, Praktek Monopoli,
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pembimbing : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1960-2017
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah S.W.T, karena
berkat rahmat, nikmat serta karunia dari Allah SWT peneliti dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Doktrin Kepemilikan Tunggal (Single Presence Policy)
Bank BUMN dalam Perspektif UNDANG-UNDANG Nomor5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”.
Sholawat serta salam peneliti panjatkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu’Alayhi wa Sallam, yang telah membawa umat manusia dari zaman
kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.
Selanjutnya, dalam penelitian skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan
bimbingan, arahan,dan serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam
kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam pembuatan
skripsi ini.
3. Terkhusus Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. Pembimbing Skripsi yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam
memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat
berharga kepada peneliti dalam menyusun skripsi ini.
4. Kepala dan Staff Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.
Tidak ada yang dapat peneliti berikan untuk membalas jasa-jasa kalian kecuali
dengan ucapan doa dan terima kasih.
vii
Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini banyak terdapat
kekurangan dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan
untuk perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian
dan Terima kasih.
Jakarta, 14 Februari 2019
Nur Rahmi Febriani
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ............................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan
Masalah ................................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 7
D. Manfaat penelitian ................................................................ 7
E. Metode Penelitian................................................................. 8
1. Pendekatan Penelitian ................................................... 8
2. Jenis Penelitian .............................................................. 9
3. Bahan Hukum ................................................................ 9
4. Teknik Pengumpulan Data ............................................. 10
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ........................ 10
F. Pedoman Penelitian ............................................................. 11
G. Sistematika Penelitian .......................................................... 11
BAB II KAJIAN DOKTRIN SINGLE PRESENCE POLICY ............ 13
A. Kerangka Konseptual ........................................................... 13
1. Pengertian Single Presence Policy ................................. 13
2. Sejarah Lahirnya kebijakan Kepemilikan Tunggal atau
Single Presence Policy di Indonesia .............................. 15
3. Tujuan Single Presence Policy di Indonesia .................. 21
4. Penerpana Single Presence Policy di Negara Lain ........ 22
B. Kerangka Teoritis ................................................................. 31
C. Tinjauan (review)kajian Terdahulu ...................................... 32
ix
BAB III MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK
SEHAT DI INDONESIA .......................................................... 34
A. Perjanjian dan Kegiatan yang Dilarang................................ 34
1. Hakikat dan Ruang Lingkup Persaingan Usaha ............. 34
2. Persaingan Usaha di Bidang Perbankan ......................... 34
3. Hukum materiil yang terkandung dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli
dan Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat ................... 37
4. Perjanjian yang Dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 .................................................................... 37
5. Kegiatan yang Dilarang dalam Undang-Undang Nomor5
Tahun 1999 .................................................................... 45
B. Penyalahgunaan atas Posisi Dominan dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 ........................................................... 50
1. Merger ............................................................................ 50
2. Akuisisi ......................................................................... 53
3. Konsolidasi .................................................................... 54
BAB IV SINGLE PRESENCE POLICY DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PERSAINGAN USAHA ........................................... 57
A. Analisis Pembentukan Fungsi Holding sebagai Penerapan
Single Presence Policy untuk Bank BUMN (Mandiri,
BNI, BRI, BTN) ................................................................... 57
B. Analisis Pembentukan Fungsi Holding Sebagai Penerapan
Single Presence Policy untuk Bank BUMN dalam
Perspektif UNDANG-UNDANG Nomor 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat................................................................ 60
BAB V PENUTUP .................................................................................. 65
A. Kesimpulan .......................................................................... 65
B. Rekomendasi ........................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 67
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia perbankan merupakan hal yang fundamental bagi kehidupan
sebuah negara. Dalam sistem ekonomi modern sektor perbankan memiliki
peran strategis bagi ekonomi suatu negara untuk memberikan modal kesemua
sektor perekonomian, baik usaha kecil, menengah dan besar. Sehingga
kestabilan perbankan sangat erat dengan kestabilan perekonomian demikian
sebaliknya. Oleh karenanya, mengharapkan pertubuhan ekonomi yang baik
meniscayakan mengelola serta melakukan perbaikan di sektor perbankan
guna mengimbangi pembangunan ekonomi yang semakin pesat.
Sejak tahun 1988 pemerintah telah mengeluarkan serangkaian
kebijakan paket deregulasi dibidang keuangan, moneter dan perbankan seperti
Paket Juni (Pakjun) 1983 dan Paket Oktober (Pakto) 1988. Sejak saat itu
kegiatan perbankan semakin semarak, karena dimana-mana bank-bank baru
mulai bermunculan. Pada sisilain dunia perbankan tertimpa tradegi yang
membuatnya kelam, dengan masalah-masalah baru yang belum muncul
sebelumnya. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok
Perbankan saat itu dianggap sudah tidak memadai untuk menjangkau
problematika yang ada, bahkan dapat dikatakan tidak mampu mengikuti
perkembangan ekonomi nasional dan internasional.1
Implikasinya dilakukan perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 7
tahun 1992 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor
10 tahun 1998,2
serta dengan meratifikasi General Agreement on Trade in
Service (GATS) untuk mengekspansi regulasi perbankan dengan membuka
peluang investasi kepada pihak asing untuk dapat memiliki bank umum
1 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2003) h. 3.
2 M Udin Silalahi. Single presence policy ditinjau dari prespektif hukum persaingan usaha.
Jurnal Hukum Bisnis 2008 h. 31.
2
melalui tiga cara yaitu pendirian bank baru, pembelian saham bank umum
dan pendirian kantor cabang atau perwakilan dengan maksimum kepemilikan
99%. Proses deregulasi terus disempurnakan dalam rangka menghadapi
gejolak eksternal terutama memulihkan perbankan nasional pasca krisis
moneter 1998. Oleh karenanya Bank Indonesia mengeluarkan Arsitektur
Perbankan Indonesia (API).3
API merupakan blueprint dan policy direction mengenai tatanan
industri perbankan kedepan yang bersifat menyeluruh, salah satunya dengan
melakukan penataan terhadap struktur dan pengawasan kepemilikan saham
perbankan yang ada di Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Nomor8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan
Indonesia tepatnya pada pasal 3 yang menyebutkan: 4
Sejak mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, pihak-pihak
yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu)
Bank wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sebagai berikut:
a. Mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah
satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga
yang bersangkutan hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1
(satu) Bank; atau
b. Melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-bank yang
dikendalikannya; atau
c. Membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company), dengan cara: 1) mendirikan badan hukum baru sebagai Bank
Holding Company; atau 2) menunjuk salah satu bank yang
dikendalikannya sebagai Bank Holding Company.
Kepemilikan tunggal atau Single Presence Policy (SPP) merupakan
doktrin yang mewajibkan setiap pihak Pemilik Saham Pengendali (PSP)
3 Robert Tampubolon, Risk and Systems-Based Internal Audit, (Jakarta: PT. Alex media
Komputindo. 2005) Cet.II h. 7.
4 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2014) h. 189.
3
hanya dapat melakukan pengendalian saham pada satu bank. Maksudnya,
tidak diperkenankan pihak yang menjadi PSP memiliki saham lebih dari 1
bank atau terdapat pihak yang melakukan pembelian saham kepada bank lain
sehingga yang bersangkutan menjadi pengendali pada lebih dari satu bank
wajib untuk melakukan konsolidasi dengan masing-masing kelompok
usahanya.
Kebijakan single presence policy tidak hanya mengamanatkan bank-
bank swasta, tetapi juga kepada bank BUMN (badan usaha milik negara)
untuk menyesuaikan dengan aturan ini. Sebab pada tahun 2020, akan
dimulainya integrasi sektor keuangan ASEAN yang memungkinkan bank-
bank dengan kualifikasi tertentu (Qualified ASEAN Banks – QAB) bebas
beroperasi di kawasan ASEAN, ini akan meningkatkan persaingan antara
bank-bank nasional dengan bank-bank dari kawasan ASEAN, sehingga
konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan
struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi
perbankan diharapkan terjadi peningkatan economic of scale,5
dari bank-bank
di Indonesia dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, khususnya
melalui pengawasan bank secara terkonsolidasi. Namun penerapan SPP
terhadap bank BUMN masih mengganjal, sebab bank yang dimiliki BUMN
saat ini terdapat empat bank besar yang berpengaruh terhadap perekonomian
negara yakni BRI, Bank Mandiri, BTN dan BNI. Implikasinya bank-bank
BUMN tersebut haruslah melakukan penggabungan sebagaimana yang di atur
dalam pasal 3 PBI Nomor14/24/PBI/2012 yakni:
1. Merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya
2. Membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan
3. Membentuk Fungsi Holding.
5 Sebuah konsep praktis yang penting untuk menjelaskan fenomena dunia nyata seperti
pola-pola perdagangan internasional, jumlah perusahaan di pasar, dan bagaimana perusahaan bisa
“terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan mengapa
perusahaan tumbuh besar di beberapa industri. Hal ini juga merupakan pembenaran untuk
kebijakan perdagangan bebas, karena beberapa skala ekonomi mungkin memerlukan pasar yang
lebih besar.
4
Dengan dilakukannya SPP maka bank BUMN justru tidak akan fokus
terhadap pangsa pasar masing-masing bank BUMN, BTN misalnya lebih
berfokus pada pemberian kredit rumah pada kalangan masyarakat dengan
tingkat ekonomi bawah, BRI lebih terfokus pada usaha kecil dan menengah
serta masyarakat pedesaan, Bank Mandiri lebih berfokus pada korporasi,
Sedangkan fokus BNI lebih kepada masyarakat luas. Selanjutnya status
karyawan yang bekerja pada keempat bank tersebut. Jika terjadi merger,
maka kemungkinan besar akan terjadi efisiensi pula dalam ketenagakerjaan.
Tentunya apabila ini terjadi, akan menambah jumlah pengangguran. Seperti
yang terjadi HSBC Indonesia dan PT Bank Ekonomi Raharja Tbk yang
melakukan single presence policy melalui merger menjadi PT Bank HSBC
Indonesia yang harus merumahkan karyawannya.6
Kebijakan ini tentunya juga mempunyai dampak terhadap kepemilikan
saham bank, khususnya kepada pemegang saham minoritas. Kedudukan
hukum para pemegang saham minoritas yang jauh lebih lemah dan tidak
mampu menghadapi tindakan direksi atau komisaris yang merugikan
perseroan, justru disebabkan oleh kedudukan pemegang saham mayoritas
yang identik dengan kedua organ perseroan tersebut, baik secara fisik maupun
kepentingan. Seperti Kasus PT. Clemont Finance Indonesia yang memilki 1%
saham, tidak setuju dengan rencana merger dengan PT. Bank Hana. Pada saat
diadakan RUPS pada tanggal 12 Juli 2013 yang memutuskan PT. Bank KEB
Indonesia merger dengan PT. Bank Hana sehingga PT. Clemont Finance
Indonesia meminta buy back dengan harga yang ditentukan namun ditolak
PT. Bank KEB Indonesia.
Tidak sampai disitu, penerapan single presence policy juga dapat
menyebabkan ketidakadilan dan komplikasi politik. Hal ini dikarenakan
masing-masing bank berkeinginan untuk menerapkan bank tunggal untuk
menjadi bank pengakuisisi. Sebab secara formal dibutuhkan induk bank-bank
BUMN untuk menerapkan single presence policy. Namun, secara informal
6https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171213103043-78-262029/hsbc-indonesia-
merumahkan-sementara-70-karyawan dikases pada 28 Februari 2018 Pukul 15.08 WIB
5
sebenarnya Kementerian BUMN dapat bertindak selaku induk perusahaan.
Hanya saja kuasi induk perusahaan seperti itu barangkali tidak bisa diterima
dalam aturan perUndang-Undang an, meskipun esensinya sama saja.7
Penerapan SPP jutru berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang
tidak sehat sebab Bank BUMN akan menguasai Industri Perbankan secara
dominan, sebagaimana PP Nomor 28 tahun 1999 tentang merger, konsolidasi
dan akuisisi harus meperhatikan kepentingan rakyat banyak dan persaingan
yang sehat dalam melakukan usaha bank. Dengan tidak menjadikan kekuatan
bisnis oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi atau jasa tertentu sehingga menimbulkan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum. Pelaksanaan tersebut didukung dengan Surat
Keputusan (SK) Direksi Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara
Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum, yaitu SK DIR BI
Nomor32/51/KEP/DIR bahwa persyaratan dan tata cara merger atau
konsolidasi setinggi-tingginya 20% dari jumlah aktiva seluruh bank di
Indonesia, dimana nilai 20% dari jumlah aktiva seluruh bank berdasarkan best
practice suatu negara dalam industri perbankan.
Berdasarkan kuartal I 2018 posisi Bank BUMN menempati urutan 10
bank terbesar di Indonesia berdasarkan total aset yang dimilikinya yakni:8
1. BRI dengan total aset Rp. 1.064,73 Triliun
2. Bank Mandiri dengan total aset Rp. 945,62 Triliun
3. BCA dengan total aset Rp. 745,04 Triliun
4. BNI dengan total aset Rp. 648,57 Triliun
5. BTN dengan total aset Rp. 258,74 Triliun
6. CIMB Niaga dengan total aset Rp. 255,69 Triliun
7. Bank Panin dengan total aset Rp. 197,92 Triliun
8. Bank OCBC NISP dengan total aset Rp. 161,55 Triliun
7 Krisna Wijaya. Analisis Kebijakan Perbankan Nasional. (Jakarta: PT Elex Media
Komutindo. 2010) h. 16.
8 http://raiby.com/blog/daftar-urutan-bank-terbesar-di-indonesia-2017-berdasarkan-total-
aset diakses pada 27 februari 2017 pukul 22.05 wib
6
9. Maybank dengan total aset Rp. 160,88 Triliun
10. Bank Danamon dengan total aset Rp. 153,79 Triliun
Oleh karena itu, ketika bank-bank BUMN tersebut dilakukan single
presence policy maka akan menguasai 36,01%9 dari jumlah aktiva seluruh
bank di Indonesia. Padahal dalam pasal 25 ayat 1 huruf c Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat telah menegaskan bahwa Pelaku usaha dilarang
menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan. Hal tersebut dapat merugikan bank-bank kecil
karena sulit untuk bersaing dengan Bank BUMN hasil single presence policy.
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan mengangkat judul skripsi: “Doktrin Kepemilikan
Tunggal (Single Presence Policy) Bank BUMN dalam Perspektif Undang-
Undang Nomor5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut, maka
dapat disebutkan identifikasi masalah sebagai berikut:
a. Pengaturan dan penerapan single presence policy di sektor industri
perbankan Indonesia khususnya Bank BUMN
b. Untuk mengetahui dampak single presence policy terhadap Bank
BUMN
c. Untuk mengetahui relevansi single presence policy terhadap Bank
BUMN dengan hukum persaingan Usaha khususnya dalam
penguasaan pasar atau pasar dominan.
d. Untuk mengetahui urgensi diterapkan single presence policy
terhadap Bank BUMN.
9 Diteliti oleh Bareksa, Lisensi resmi OJK RI, Reksa Dana Online, diakses pada Kamis, 20
Agustus 2018 pukul 10.57 WIB
7
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan dengan single presence policy di
sektor industri perbankan baik bank swasta maupun bank BUMN serta
prespektif yang dapat ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan, hukum
perseroan dan hukum persaingan usaha. Maka peneliti hanya membatasi
pada implikasi single presence policy terhadap Bank BUMN dengan
meninjau dari aspek hukum persaingan usaha khususnya penguasaan
pasar.
3. Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana
pengaturan dan penerapan asas kepemilikan tunggal pada perbankan atau
disebut single presence policy pada bank BUMN, namun ketika
diterapkan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yakni adanya
dominasi saham penguasaan pasar perbankan pada seluruh bank di
Indonesia, sehingga peneliti membuat pertanyaan riset sebagai berikut:
a. Bagaimana penerapan single presence policy terhadap Bank BUMN?
b. Bagaimana dampak doktrin single presence policy terhadap
kepemilikan bank BUMN dengan larangan praktek persaingan usaha
tidak sehat?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui urgensi penerapan single presence policy terhadap
Bank BUMN dalam industri perbankan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui relevansi serta implikasi single presence policy
terhadap bank BUMN dengan larangan praktek persaingan usaha tidak
sehat khususnya penguasaan saham pasar perbankan.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah
dan merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut kedalam bentuk
tulisan.
8
2) Menerapkan teori-teori yang diperoleh dari bangku perkuliahan
dan menghubungkan dengan praktik di lapangan.
3) Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dibidang hukum
pada umumnya maupun dibidang hukum bisnis pada khususnya
yaitu dengan mempelajari literatur yang ada dikombinasikan
dengan perkembangan yang terjadi dilapangan.
1. Manfaat Praktis
a. Memberikan wawasan secara umum mengenai single presence
policy yang diterapkan pada sektor industri perbankan
b. Menambah khazanah pengetahuan keilmuan dan rujukan bagi
akademisi tentang persaingan usaha di sektor perbankan baik secara
yuridis maupun sosiologis.
c. Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang akan
melakukan penelitian berkaitan dengan single presence policy.
D. Metode Penelitian
Ada beberapa hal terkait metode yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain :
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian.
Dari sekian banyak jenis penelitian, khususnya penelitian hukum yang
dipilih oleh peneliti adalah :
Metodologi penelitian hukum normatif yang berhubungan langsung
dengan praktik hukum yang menyangkut 2 aspek utama yaitu tentang
pembentukan hukum dan penerapan hukum.10
Pilihan metode suatu penelitian hukum tergantung pada tujuan
penelitian itu sendiri, sesuai dengan skripsi ini, maka penelitian hukum
yang digunakan adalah penelitian hukum normatif/ disebut juga dengan
studi kepustakaan (Library Research).
10
Johnny Ibrahim, Teori & Mclode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing,2005), h. 47.
9
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif yang artinya adalah
penelitian yang dilakukan selain melakukan pengkajian dan analisis
terhadap harmonisasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang
ada, buku-buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan dengan
skripsi ini.
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, Yang
dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang
bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna
(perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan
teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan
fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk
memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan
pembahasan hasil penelitian.
Penelitian hukum pada dasarnya merupkan suatu kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang
bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu
dengan jalan menganalisanya kecuali, jika diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam
gejala yang bersangkutan.11
3. Bahan Hukum
Materi dalam skripsi ini diambil dari data-data sekunder. Adapun
data-data sekunder yang dimaksud ialah:
a. Bahan hukum primer.
Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh
pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini di antaranya Undang-
11
Bambang Sunggono, Metedologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2012), h. 38.
10
Undang Nomor 11 Tahun 1953 (Undang-Undang Pokok Bank
Indonesia), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,
PP Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi
Bank, PBI Nomor 8/16/PBI/2006 dan Nomor14/24/PBI/2012 tentang
Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia, POJK Nomor
39/POJK.03/2017 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan
Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder
Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau hasil
kajian tentang Persaingan Usaha, Merger, Akuisisi, Konsolidasi serta
mengenai Single Presence Policy seperti jurnal-jurnal hukum, karya
tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan
persoalan di atas.
c. Bahan hukum tersier
Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan
keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian skripsi ini analisis data yang digunakan adalah
dengan menganalisis data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan
dan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif.
Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi untuk mendukung
materi penelitian ini melalui berbagai literatur seperti buku, bahan ajar
perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis dan Undang-Undang di berbagai
perpustakaan umum serta universitas.
11
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis data dalam penelitian ini diawali dengan
mengumpulkan berbagai dokumen peraturan perUndang-Undang an serta
bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul dalam skripsi ini.
kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik terkait kata-kata
(word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lain
yang dimaksudkan dalam isi peraturan perUndang-Undang tersebut.12
Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan
analisis tersebut adalah : Pertama, semua bahan hukum yang diperoleh
melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut objek
bahasanya. Kedua, setelah disistematisir dan diklasifikasikan kemudian
dilakukan eksplikasi, yang diuraikan dan dijelaskan objek yang diteliti
berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai
dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum maupun teori hukum yang
berlaku.
E. Pedoman Penelitian
Pedoman yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun skripsi ini
berpacu dengan kaidah-kaidah penelitian karya ilmiah dan buku “Pedoman
Penelitian Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”
F. Sistematika Penelitian
Agar dapat memberikan penjelasan menyeluruh mengenai isi skripsi ini,
oleh karena itu dibuatlah sistematika penulisan skripsi yang terangkum
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai Latar Belakang
Masalah, dilanjutkan dengan Identifikasi Masalah, Pembatasan dan
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian,
dan Sistematika Penelitian.
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjuan
Singkat), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. h. 24.
12
BAB II: KAJIAN TENTANG DOKTRIN SINGLE PRESENCE POLICY.
Bab ini menjelaskan mengenai pengertian, sejarah lahirnya doktrin
single presence policy di Indonesia, penerapan single presence policy
di negara lain.
BAB III : MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DI
INDONESIA. Bab ini menjelaskan mengenai kegiatan dan perjanjian
yang dilarang, penerapan merger, akuisisi, konsolidasi, fungsi holding
pada bank BUMN, serta akibat hukumnya.
BAB IV : SINGLE PRESENCE POLICY PADA BANK BUMN DITINJAU
DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA. Bab ini menjelaskan
mengenai implementasi single presence policy pada BUMN dan
Analisis mengenai Dampak Doktrin Single Presence Policy terhadap
kepemilikan Bank BUMN dengan Larangan Praktek Persaingan
Usaha Tidak Sehat
BAB V : PENUTUP. Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian di
skripsi ini yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.
13
BAB II
KAJIAN DOKTRIN SINGLE PRESENCE POLICY
A. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Single Presence Policy
Kepemilikan tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya
menjadi saham pengendali pada 1 (satu) Bank. Berdasarkan kebijakan
kepemilikan tuggal atau lebih terkenal dengan sebutan single presence
policy ini apabila pemegang saham pengendali memiliki lebih dari 2 (dua)
bank diantaranya terdapat beberapa bank yang memiliki prinsip kegiatan
usaha yang sama maka kepemilikan atas bank-bank dengan prinsip
kegiatan usaha yang sama tersebut harus diubah sesuai dengan opsi opsi
yang telah ditetapkan oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/24/PBI/2012.
Dengan kebijakan ini, Pemerintah mengajukan tiga opsi kepada pihak
yang mengendalikan lebih dari satu bank di Indonesia, yaitu:13
1. Mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah
satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga
yang bersangkutan hanya menjadi pemegang saham pengendali pada satu
bank. Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah pihak di
luar kelompok usaha dan atau keluarganya sampai dengan derajat kedua
dari Pemegang Saham Pengendali. Pengalihan sebagian atau seluruh
saham Pemegang Saham Pengendali kepada pihak lain dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang mengatur tentang akuisisi Bank Umum dan
Pembelian Saham Bank Umum.
2. Opsi melakukan merger atau konsolidasi. Merger adalah penggabungan
dari dua bank atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu bank dan membubarkan bank bank lainnya dengan atau tanpa
melikuidasi. Sementara itu, PP Nomor 28 Tahun 1999 hanya mungkin
13
Zulkarnain Sitompul, Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi Perbankan Relevansinya dengan
Single Presence Policy, Jurnal Hukum Bisnis (Vol.27- Nomor2 Tahun 2008), h. 25.
14
dilakukan tanpa melakukan likuidasi. Konsekuensinya, seluruh aktiva
dan pasiva dari bank yang bubar karena merger beralih karena bank yang
eksis setelah merger. Merger atau konsolidasi dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang mengatur tentang merger atau konsolidasi Bank Umum.
3. Opsi membentuk perusahaan Induk di bidang Perbankan (Bank Holding
Company). Opsi ini yang ditawarkan oleh Bank Indonesia adalah
pembentukan Bank Holding Company. Pengertian Holding Company
menurut Black’s Law Dictionary adalah :
Holding Company that usually confines its activities to owning
stock in, and supervising maangement of, others company. A
holding company usually owns a controlling interest in the
companies whose stocks it holds. In order for corporation to gain
the benefits of tax consolidation, including tax free dividens and
the ability to share operating losses, the holding company must
own 80% or more the voting stock of the corporation.14
Dengan opsi ini, bank-bank yang dikendalikan Pemegang Saham
Pengendali tersebut tetap ada sebagaimana semula namun saham yang
dimiliki semula dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh pemegang
saham pengendali dialihkan kepemilikannya kepada Bank Holding Company.
Konsep holding company telah banyak dipraktikkan oleh kalangan bisnis
Indonesia untuk mempermudah koordinasi antar perusahaan dimana mereka
menjadi pemegang saham atau ada hubungan khusus. Perusahaan-perusahaan
itu dimiliki dan dipimpin oleh satu perusahaan yang mandiri pula yang
disebut perusahaan holding.15
Pada awalnya kalangan perbankan menduga-duga kebijakan SPP lahir
karena untuk membatasi dominasi bank-bank milik Singapura dan Malaysia
yang mulai meluas di Indonesia. Namun diluar batas kesadaran atau
kesengajaan, SPP ini juga mengenai bank-bank BUMN yang tentu tidak
mudah diterakan karena banyaknya kepentingan politik dan sosial yang rumit.
14
Henry Campbell Black’s, Black’s Law Dictionary (6th edition), (St. Paul Minn: West
Publishing, 1990), h. 731.
15 Munir Fuady (b), Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, cet. 2, (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2002), h. 83.
15
Dalam pelaksanaannya, implementasi ketentuan SPP tidak pernah lepas
dari hambatan. Hambatan yang terbesar yaitu ketentuan SPP dinilai lebih sulit
dilakukan pada bank-bank BUMN karena ada kompleksitas pada bank-bank
negara tersebut. Alasannya bank-bank BUMN merupakan bank besar yang
pendiriannya didasarkan pada peraturan yang dibuat oleh pemerintah, karena
itu ada perbedaan sistem manajemen dengan bank-bank swasta. Pemerintah
selaku pemegang saham bank-bank BUMN berencana meminta keringanan
dengan meminta perpanjangan waktu penyerahan rencana bisnis terkait
pelaksanaan SPP hingga 2008 namun saat ini juga belum ada konfirmasi lebih
lanjut dari BI ataupun Pihak Bank BUMN terkait.
Berkaitan dengan pelaksanaan SPP, perkembangan terakhir yang
dilakukan pemerintah melalui kementrian negara BUMN adalah pemerintah
akan segera menunjuk konsultan independen untuk mengkaji SPP yang
ditetapkan Bank indonesia bagi bank-bank BUMN. Penujukan konsultan
tersebut dilakukan agar pengkajian SPP bagi bank-bank BUMN benar-benar
terperinci.
2. Sejarah Lahirnya Kebijakan Kepemilikan Tunggal atau Single Presence
Policy di Indonesia
1. Arsitektur Perbankan Indonesia
Arsitektur perbankan indonesia selanjutnya disebut dengan API
merupakan suatu sistem kerangka dasar sistem perbankan indonesia yang
bersifat menyeluruh dan memberikan arah bentuk dan tatanan Industri
perbankan untuk rentang waktu 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun ke
depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang
yang hendak dicapai oleh API adalah untuk mencapai suatu sistem
perbankan yang sehat, kuat, efisien guna menciptakan kestabilan sistem
keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional.16
Kedudukan API dalam dunia perbankan Indonesia bukanlah
16
Perry Warjiyo, Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia: Sebuah Pengantar,
(Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentraan (PPSK), 2004, h.192
16
hanya sebagai policy recommendation bagi dunia perbankan untuk
mengantisipasi segala perubahan global perbankan, namun API pada
hakekatnya adalah suatu policy direction dan blueprint dari perbankan
yang penuh visi mengenai struktur dan tatanan perbankan nasional yang
menentukan bagaimana arah dan bentuk perbankan nasional di masa
mendatang yang meliputi aspek yang luas termasuk kelembagaannya,
pengawasan, pengaturan, dan sebagainya.
Berpijak dari adanya kebutuhan blue print perbankan nasional dan
sebagai kelanjutan dari program restrukturisasi perbankan yang sudah
berjalan sejak tahun 1998, Bank Indonesia pada tanggal 9 januari 2004
telah meluncurkan API sebagai suatu kerangka menyeluruh arah
kebijakan pengembangan industri perbankan Indonesia ke depan.
Peluncuran API tersebut tidak terlepas pula dari upaya Pemerintah dan
Bank Indonesia untuk membangun kembali perekonomian Indonesia
melalui penerbitan buku putih Pemerintah sesuai dengan Inpres Nomor5
Tahun 2003, dimana API menjadi salah satu program utama dalam buku
putih tersebut.
Bertitik tolak dari keinginan untuk memiliki fundamental
perbankan yang lebih kuat dengan memperhatikan masukan masukan
yang diperoleh dalam mengimplementasikan API selama dua tahun
terakhir maka Bank Indonesia merasa perlu untuk menyempurnakan
program program kegiatan yang tercantum dalam API. Penyempurnaan
program-program kegiatan API tersebut tidak terlepas pula dari
perkembangan-perkembangan yang terjadi pada perekonomian nasional
maupun internasional. Penyempurnaan terhadap program-program API
tersebut antara lain mencakup strategi-strategi yang lebih spesifik
mengenai pengembangan perbankan syariah, BPR, dan UMKM ke depan
sehingga API diharapkan memiliki program kegiatan yang lebih lengkap
dan komprehensif yang mencakup sistem perbankan secara menyeluruh
terkait Bank Umum dan BPR, baik konvensional maupun syariah, serta
pengembangan UMKM.
17
Menurut Burhanudin Abdullah pentingnya keberadaan API secara
kontekstual setidaknya didasarkan pada tiga alasan, yaitu:17
Pertama,
bank masih merupakan institusi penting bahkan terpenting dalam
menyediakan sumber dana untuk dunia usaha sesuai dengan fungsi
financial intermediary bank yakni kemampuan untuk mengumpulka dana
masyarakat untuk kemudian membiayai pembangunan ekonomi. Kedua,
industri perbankan memiliki potensi yang dapat memicu instrabilitas
perekonomian suatu negara bahkan perekonomian global. Sebagai contoh
di Indonesia, total asset perbankan bernilai Rp.5.500 Triliun dengan total
asset seluruh lembaga keuangan adalah Rp.11.000 Triliun.18
Perbankan
menguasai sekitar 50% dari seluruh total asset dari lembaga keuangan.
Besarnya penguasaan asset perbankan dibandingkan dengan seluruh asset
lembaga keuangan memperlihatkan pentingnya kesehatan perbankan
karena jika tidak berfungsi secara optimal dapat dipastikan akan
mengganggu perekonomian negara. Ketiga, API juga menggambarkan
upaya BI sebagai otoritas perbankan untuk lebih transparan dalam
kebijakan perbankannya dan merupakan salah satu bentuk dari adanya
peningkatan good governance di pihak BI.
Dalam mencapai visi tersebut API menetapkan beberapa sasaran
yang ingin dicapai yaitu:
1. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat;
2. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif;
3. Menciptakan industri perbankan yang kuat;
4. Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat
kondisi internal perbankan nasional;
5. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap;
17
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2005), h. 190.
18 Iwan Purwanto, “Ketua OJK: Kami Mengawasi Aset Rp.11.000 Triliun”
http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2072478/ketua-ojk-kami-mengawasi-aset-rp-11000-
triliun#.VEjAxGeSxqI, diunduh pada 15 Agustus 2018.
18
6. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa
perbankan.
Keenam sasaran diatas tertuang dalam enam pilar API yang
berkaitan satu sama lainnya. Pada akhirnya keenam pilar API tersebut
bertujuan menciptakan sistem perbankan yang kuat, sehat dan efisien
guna menciptakan kestabilan ekonomi dalam rangka menyongsong
pertumbuhan ekonomi nasional.
Keberadaan API untuk meningkatkan peran perbankan dalam
pembiayaan pembangunan dan mendorong upaya penguatan industri
perbankan melalui konsolidasi, Bank Indonesia secara resmi
mengumumkan Paket Kebijakan Perbankan Oktober 2006. Dengan
dikeluarkannya paket kebijakan ini, semakin membuka ruang gerak
perbankan dalam meyalurkan kredit dengan tetap memperhatikan aspek
kehati-hatian, serta mendorong tercapainya konsolidasi perbankan pada
tahun 2010. Paket Kebijakan Perbankan Oktober 2006. Paket Kebijakan
Perbankan Oktober 2006 terdiri dari 14 Peraturan Bank Indonesia (PBI)
yang mengatur bank umum konvensional, bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha syariah, BPR dan BPR syariah.
2. Hubungan Arsitektur Perbankan Indonesia dengan Paket Kebijakan
Oktober 2006
Kebijakan kepemilikan tunggal atau single presence policy
merupakan implementasi dari Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang
ditetapkan dalam salah satu paket kebijakan Oktober 2006 yang dikenal
dengan Pakto 2006. Dalam rangka mengimplementasikannya konsep
Arsitektur Perbankan Indonesia, khususnya pilar I yakni penguatan
struktur perbankan nasional dan Pilar III yakni peningkatan efektivitas
sistem pengawasan pada perbankan yang independen dan efektif maka
Bank Indonesia selaku bank sentral sekaligus sebagai bank pengawas
mengeluarkan suatu kebijakan Pakto 2006.
BI menempuh single presence policy akibat imbauannya kepada
perbankan nasional untuk melakukan konsolidasi melalui cara merger
19
sukarela ternyata tidak membuahkan hasil menggembirakan. Sejak
diluncurkan API pada 2004, hingga tahun 2006 konsolidasi perbankan
belum mencapai target yang diinginkan. Apabila kondisi ini terus
berlanjut, dikhawatirkan dapat mengganggu agenda BI dalam
mengurangi jumlah bank pada 2010. Lewat API, BI memang berniat
mengurangi jumlah bank yang ada di Indonesia yang pada tahun 2006
tercatat berjumlah 130 bank. Ada dua langkah yang BI tempuh. Pertama
adalah mengeluarkan peraturan pemenuhan modal inti minimum sebesar
Rp80 Miliar. Seluruh bank yang bermodal minim wajib memenuhinya
tepat sebelum tahun 2007 ini berakhir. Selanjutnya mereka juga wajib
menambah Rp.100 Miliar paling lambat 31 Desember 2010. Akan tetapi
upaya ini kurang berhasil karena hingga akhir 2007 hanya empat bank
yang menyatakan akan merger. Bank tersebut yaitu Bank Windu
Kentjana akan merger dengan Bank Multicor, Bank Harmoni akan
merger dengan Bank Index Selindo. Kedua, upaya mengurangi jumlah
bank dilakukan dengan mengeluarkan aturan kepemilikan tunggal atau
single presence policy lewat PBI Nomor 8/16/PBI/2006 tentang
Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia dan Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 9/32/DPNP, tanggal 12 Desember 2007, tentang
Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. Pada saat itu, BI
tampaknya menyasar tiga pemegang saham pengendali di Indonesia
lewat kebijakan tersebut, antara lain pemerintah yang memiliki saham di
Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank
Nasional Indonesia. Dua pemegang saham pengendali lainnya adalah
Termasek investor asal negara Singapura yang menjadi pemilik Bank
Danamon Indonesia dan Bank Internasional Indonesia (BII) serta
Khazanah Berhad yang menjadi Pemilik Bank Niaga dan Lippo Bank.19
Salah satu paket kebijakan oktober 2006 yang dikenal dengan
Pakto 2006 adalah kebijakan mengenai kepemilikan tunggal perbankan
19
Novrida Manurung, “Konsolidasi Perbankan Indonesia 2007 Aturan Kepemilikan
Tunggal,” Kontan (2 Juni 2007): halaman tidak dicantumkan.
20
(single presence policy). Kebijakan serupa telah diterapkan di beberapa
negara Asia, seperti Thailand, Malaysia dan India, diyakini akan
bermanfaat bagi perkembangan industri perbankan dan perekonomian
nasional. Single Presence Policy ini diatur dalam PBI Nomor
8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006, jo PBI Nomor 14/24/PBI/2012
kebijakan mengenai pemberian insentif dalam rangka konsolidasi
perbankan sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 9/12/ PBI/2012. Single
Presence Policy mewajibkan kepada semua pemilik bank khususnya
pemegang saham pengendali untuk mengonsolidasikan kepemilikannya
di bank bank yang dalam satu grup usahanya dengan batas waktu higga
tahun 2010. Kebijakan kepemilikan tunggal sendiri dilakukan agar tidak
terjadi conflict of interest dari bank yang dimiliki sehingga dapat
dihindari persaingan tidak sehat yang akan merugikan perbankan itu
sendiri. Selain itu, pada penerapan kebijakan kepemilikan tunggal ini,
yang dilihat bukan hanya besarnya persentase kepemilikan saham,
melainkan juga komposisi sebagai saham pengendali. Meskipun
persentase sahamnya kecil tapi menjadi pemegang saham pengendali,
tetap dikenai peraturan kepemilikan tunggal pada perbankan ini. Apabila
dilihat dari sisi API, kebijakan kepemilikan tunggal perbankan
merupakan salah satu upaya Bank Indonesia untuk merampingkan
jumlah bank yang ada di Indonesia.
Dengan diterapkannya single presence policy, pemegang saham
pengendali diharuskan untuk mengonsolidasikan kepemilikannya di bank
bank yang satu grup usahaya sehingga nantinya bank hasi konsolidasi
tersebut akan menjadi lebih besar, sinergis dan lebih kuat. Di samping
kontrol dan pengawasan dari BI, tujuan dari penerapan single presence
policy ini adalah untuk menciptakan struktur permodalan perbankan yang
besar dan kuat karena saat ini banyak bank-bank kecil di Indonesia yang
belum memenuhi ketentuan BI dalam hal permodalan. Dengan demikian,
diharapkan pada tahun 2018 terciptalah bank-bank umum yang memiliki
struktur permodalan yang kuat. Semangat kebijakan BI yang baru ini
21
sebenarnya sangat baik. Single Presence Policy itu merupakan instrumen
kebijakan yang semi heavy-handed dalam rangka mendorong percepatan
konsolidasi perbankan sesuai cetak biru API. Jika ditarik kesimpulan
maka latar belakang lahirnya Single Presence Policy di Indonesia adalah:
Pertama, kenyataan bahwa di Indonesia terdapat 12 bank swasta
nasional yang dikuasai oleh asing dan beberapa diantaranya dimiliki oleh
pemegang saham pengendali (ultimate shareholder) yang sama. Kondisi
tersebut, menurut BI sangat tidak efektif dan tidak efisien dari segi
pengawasan bank.
Bukan hanya dari segi pengawasan bank, tapi juga tidak efektif dan
tidak efisien bagi pemilik modal sendiri. Hal ini disebabkan munculnya
kesulitan bagi pemilik modal sendiri untuk mengharmonisasikan strategi
usaha beberapa bank yang dikuasainya. Selain itu juga, kebijakan ini
adala untuk menghindarkan persaingan usaha antar bank yang tidak
perlu.
Kedua, kenyataan bahwa kebijakan single presence policy
merupakan sebuah kecenderungan global, artinya kebijakan ini telah
diterapkan diberbagai negara. BI berniat memanfaatkankebijakan ini
untuk mendukung kebijakan percepatan konsolidasi yang merupakan
bagian dari program kerja BI yang termuat dalam API.
Kepemilikan bank yang terkonsolidasi, secara langsung akan
mendorong pula konsolidasi strategi usaha dan menata aspek persaingan
usaha di industri perbankan. Hal yang menurut BI, akan berpengaruh
positif pada peningkatan efisensi industri perbankan secara keseluruhan.
3. Tujuan Single Presence Policy di Indonesia
Kebijakan ini akan membatasi kontrol kepemilikan sehingga tidak ada
pihak yang menguasai lebih dari satu bank dan merupakan langkah koreksi
dari Bank Indonesia yang sebelumnya terlanjur mengizinkan suatu pihak
termasuk asing menguasai lebih dari satu saham perbankan hingga 99
22
persen.20
Tujuan kebijakan ini adalah dalam rangka mempercepat
penggabungan (konsolidasi) perbankan dimana satu pengendali hanya boleh
mengendalikan satu bank, bukan satu pengendali mengendalikan atau
memiliki beberapa bank.
Adanya bank-bank yang dikendalikan oleh pihak yang sama
mengakibatkan pengawasan terhadap perbankan menjadi tidak efektif karena
rencana pengembangan bisnis yang berbeda-beda dari bank tersebut. Jika
pemegang saham pengendalinya adalah pihak yang sama akan lebih mudah
bank-bank tersebut digabungkan menjadi satu. Kebijakan ini dikeluarkan
sebagai suatu solusi atas masalah pengawasan Bank Indonesia yang menjadi
kurang efisien dikarenakan adanya bank-bank yang memiliki pemegang
saham pengendali yang sama. Setelah adanya kebijakan ini, tidak akan ada
lagi pemegang saham pengendali yang sama. Selain itu, tidak akan ada lagi
pemegang saham pengendali yang mengendalikan lebih dari satu bank,
namun untuk bank-bank yang sudah memiliki pemegang saham pengendali
yang sama harus melakukan perubahan struktur kepemilikan bank dengan
opsi-opsi yang telah disesuaikan PBI Nomor 14/24/PBI/2012.
4. Penerapan Single Presence Policy di Negara Lain
1. Malaysia
Malaysia mulai menjalankan konsolidasi perbankannya pada saat
terjadi krisis financial Asia pada tahun 1997-1998. Krisis yang terjadi
telah membuat rentan bank kecil terkena dampak buruk sehingga
mengindikasikan pentingnya permodalan yang tinggi. Setelah peristiwa
krisis tersebut, International Monetary Fund (IMF) melalui kebijakannya
memaksa negara-negara yang termasuk dalam programnya seperti
Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan, untuk mengurangi jumlah bank
nasionalnya dengan cara menutup bank-bank yang termasuk dalam
20
“Kebijakan Kepemilikan Tunggal Perbankan Disambut Baik”,
http://www.kompas.com/kirimberita/print.cfm?nnum=85653, diakses pada 28 Juli 2018.
23
kategori bank kecil.21
Malaysia merupakan negara yang tidak mengikuti
kebijakan tersebut dengan alasan tidak percaya bahwa hal tersebut adalah
pilihan yang yang paling efektif. Dengan menutup banyak bank-bank
kecil diperkirakan akan menimbulkan dampak sosial yang besar.
Maka dari itu, untuk menjamin bank lokal Malaysia dapat bersaing
ditingkat global dan mencapai standar ekonomi bank maka Bank Sentral
Malaysia mengajukan rencana restrukturisasi besar-besaran
perbankannya dengan mengkonsolidasikan empat puluh empat bank di
negaranya hanya menjadi sepuluh Institusi pada Februari 2000. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsep yang terdapat di
Malaysia tidak secara langsung menekankan pada struktur kepemilikan
seperti Indonesia dimana Pemegang Saham Pengendali hanya boleh pada
satu bank saja. Di Malaysia konsep yang diterapkan lebih kepada
pembentukan Bank-bank induk yang nantinya bank-bank lain akan
bergabung dengannya. Kebijakan yang dibuat oleh Bank Sentral
Malaysia tersebut dianggap menciptakan halangan untuk investor asing
masuk ke Malaysia. Sehingga Wolrd Trade Organization (WTO) pada
tahun 2003, sempat menekan Malaysia untuk menghapus kebijakannya
tersebut karena telah membatasi investor asing untuk masuk ke pasar
nasional Malaysia tekanan yang diberikan tersebut memberikan semangat
lebih kepada Malaysia untuk membangun bank lokal yang kuat sebagai
bekal untuk bersaing di dunia global.
Kebijakan yang diterbitkan oleh Bank Sentral Malaysia dalam
rangka konsolidasi perbankan, mengatur setiap bank untuk memiliki
modal minimum RM 2 Miliar dan memiliki asset minimal RM 25 Miliar.
Besarnya modal minimum yang harus dipenuhi menuntut bank-bank di
Malaysia yang umumnya adalah bank kecil untuk melakukan merger atau
konsolidasi yang dilakukan akan menghasilkan bank yang cukup besar
21
Ong Tze San, Capital Structure Before and After Merger and Acquisition: Banking
Industry In Malaysia, International Journal of Management Sciences and Business Research ,
(Vol.2), h. 2.
24
dan selanjutnya pemerintah menunjuk Bank besar yang tercipta tersebut
sebagai Anchor Bank atau disebut dengan Bank Jangkar. Setiap bank
yang ada di Malaysia berkewajiban untuk melakukan merger dengan
salah satu bank jangkar yang dipilihnya. Konsep konsolidasi ini berfokus
pada larangan menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari satu
Bank di Indonesia.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia untuk
mendorong terjadinya konsolidasi juga dengan memberikan insentif
kepada bank-bank yang melakukan merger dalam bentuk kredit pajak
atas kerugian yang dialami oleh lembaga keuangan yang terlibat dalam
proses merger.22
Melalui berbagai dorongan yang diberikan oleh Pemerintah
Malaysia juga Bank Sentral Malaysia, berdasarkan perkembangan yang
terlihat sekarang ini, dapat dinyatakan bahwa rencana konsolidasi yang
dibuat oleh Bank Sentral Malaysia telah berhasil. Sekarang hanya
terdapat 8 bank yang berdiri sebagai Anchor bank di Malaysia. Jumlah
ini termasuk signifikan jika dibandingkan dengan jumlah bank yang ada
sebelum keluarnya kebijakan konsolidasi perbankan Malaysia.
Tahun Jumlah Bank
Before Economic Recession in mid of 1980:
1980
80
After Economic Recession in mid of 1980:
1990
79
After Asian Financial Crisis:
1997
1999
73
54
After Central Bank Proposed Major restructing Plan
22
Tan Sri Dato’ Seri Ali Abul Hassan bin Sulaiman, “Tax Incentives for Consolidation of
Domestic Banking institutions”
http://www.bnm.gov.my/index.php?ch=en_press&pg=en_press_all&ac=572, diunduh 15 Oktober
2014.
25
in February 2000:
2003
2006
2011-current
10
9
8
Saat awal terjadinya krisis pada tahun 2003 Pemerintah Malaysia
berhasil melakukan konsolidasi perbankan sampai pada pembentukan
speuluh Bank Jangkar yang terdiri atas Malayan Banking Berhad, RHB
Bank, Public Bank, Bumiputra-Commerce Bank, Multi-Propose Bank,
Hong Long Bank, Perwira Affin Bank, Arab Malaysian Bank, Southern
Bank, and EON Bank. Konsolidasi pun diusahakan untuk tetap dilakukan
sehingga sampai saat ini bank di Malaysia terbentuk delapan Bank
Jangkar.
Sekarang melalui program merger memungkinkan selurh bank-
bank dan lembaga pembiayaan di Malaysia untuk memilih secara
sukarela bank jangkarnya. Walaupun telah berhasil melakukan
konsolidasi pad aperbankannya, masih banyak perdebatan apakah
keputusan Malaysia mengurangi bank di negaranya sampai pada delaoan
bank jangkar dan membatasi masuknya bank asing di negaranya adalah
hal yang tepat serta membawa lebih banyak keuntungan.
2. India
Kebijakan seperti Single Presence Policy di India juga bertujuan
untuk menciptakan konsolidasi perbankan. Kebijakan ini diawali dengan
keputusan pemerintah India yang terus melakukan nasionalisasi bank
asing tanpa melakukan konsolidasi. Pada tahun 1969 India melakukan
nasionalisasi 14 bank dan pada tahun 1980 kembali menasionalisasi 6
bank tanpa melakukan merger pada bank-bank tersebut.23
Banyaknya
bank yang dimiliki oleh negara saat itu juga tidak diikuti oleh
perkembangan teknologi serta pelayanan yang baik. Bank juga tidak
mengikuti sistem manajemen resiko dan prinsip kehati-hatian dengan
23
The Hindu Business line, “Going Ahead with Bank Mergers”
http://www.thehindubusinessline.com/todays-paper/article976628.ece, diunduh 29 Oktober 2014.
26
baik sehingga menimbulkan rendahnya kualitas aset dan pendapatan
yang diperoleh bank.24
Hal ini tidak hanya terjadi pada lembaga
keuangan bank namun juga pada lembaga keuangan non-bank.
Pada tahun 1991, India mengalami krisis keuangan yang
disebabkan oleh masalah pada keseimbangan sistem pembayaran. Akibat
krisis ini, India menerima bantuan dari IMF. Krisis tersebut memacu
pemerintah India untuk melakukan reformasi sistem perbankannya.
Untuk itu dibentuk dua komite dalam dua fase yang berbeda yang khusus
untuk menangani reformasi ini. fase pertama dibentuk pada tahun 1991
dengan nama Naramsiham-I yang berfokus mempelajari aspek yang
berhubungan dengan struktur, organisasi, fungsi dan prosedur dari sistem
keuangan dan untuk memberikan rekomendasi dalam peningkatan
efisiensi dan produktivitas. Komite ini menyerahkan laporannya pada
akhir tahun 1991 yang sudah mengarahkan untuk dilakukan konsolidasi
perbankan. Selanjutnya komite dilanjutkan dengan Naramsiham-II yang
dibentuk pada tahun 1992 dan menyerahkan laporannya pada tahun 1998.
Laporan Naramsiham-II kepada pemerintah India di tahun 1998
berisikan rekomendasi mengenai kemandirian bank, reformasi peran dari
RBI sebagai Bank Sentral India, memperkuat sistem perbankan,
memperetat pengawasan terhadap CAR, dan kesempatan masuknya Bank
Asing dalam Perbankan India. Mengenai konsolidasi perbankan,
merupakan salah satu mekanisme untuk memperkuat sistem perbankan.
Komite merekomendasi untuk melakukan merger terhadap bank-bank
besar di India untuk menciptakan Bank yang dapat bersaing secara
Internasional dan mendukung perdagangan internasional. Nantinya akan
ada dua sampai tiga Bank yang bertaraf Internasional, delapan sampai
24
Lok Sabha Secretariat, “Financial Sector in India: Regulations and Reforms,” Parliament
Library and reference, Research, Documentation and Information Service (Larrdis), (Nomor15
August 2013), h. 7.
27
sepuluh Bank dengan taraf Nasional, juga akan terdapat beberapa bank
lokal dan regional.25
3. Thailand
Di Thailand kebijakan dalam rangka konsolidasi perbankan disebut
dengan One Presence Policy. Kebijakan ini jiga diawali dengan krisis
ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Krisis yang dialami oleh Thailand
berdampak pada sektor finansialnya termasuk sektor perbankan. Pada
situasi tersebut pemerintah Thailand fokus pada pembenahan jangka
pendek yang berujung pada penutupan 50 lembaga keuangan yang
dianggap insolven rekapitulasi lembaga keuangan yang dianggap masih
dapat bertahan, dan melakukan restrukturisasi kredit, setelah melewati
tahap krisisnya Thailand merasa perlu untuk menetapkan strategi jangk
panjang terhadap sistem finansialnya guna mencegah terulang
kembalinya krisis yang lalu. Pada tahun 2002 Bank of Thailand
membentuk komite untuk melakukan penelitian dalam menilai masalah
internal yang menjadi penyebab terpuruknya stabilitas keuangan
Thailand. Maka disimpulkan bahwa terdapat tiga masalah utama yakni:26
1. Kurangnya substansi dalam peraturan terkait penyediaan jasa
keuangan, baik dalam penyediaan kredit maupun deposito, kepada
pengusaha ditingkat usaha kecil dan menengah dan kepada
masyarakat berpenghasilan rendah.
2. Terpecahnya sektor keuangan menjadi beberapa lembaga keuangan
kecil dan lembaga keuangan besar, sehingga tidak dapat mencapai
manfaat maksimal seperti berdampak pada produktivitas yang
relative rendah sera manajemen resiko yang lebih lemah.
3. Elemen struktural dari sistem keuangan yang tampaknya
mempengaruhi kinerja, seperti lemahnya informasi data, kurangnya
25
Abey Francis, “Naramsiham Committee on Banking Sector Reforms (1998)”
http://www.mbaknol.com/manageria-economics/naramsiham-committee-on-banking-sector-
reforms-1998/, diunduh 30 Oktober 2014.
26 R.Ashle Baxte, Financial System Reform in Thailand”, Asian Focus Country Analysis
Unit, (Juli 2010), h. 1.
28
perlindungan kepada kreditor, dan peraturan yang membatasi
kompetisi.
Dari permasalahan diatas maka Pemerintah Thailand pada tahun
2003, merampungkan rencana reformasi ekonominya yang berfokus pada
meningkatkan efisiensi sektor keuangannya, memperluas akses kepda
penyediaan jasa keuangan, dan meningkatkan perlindungan konsumen
serta transparansi. Rencana ini tertuang dalam Financial sektor Master
Plan. Financial Sector Master Plan tersebut dimaksudkan untuk mencapai
tiga tujuan yaitu:27
1. Comprehensive fiancial services for all potensial users, with no
significant difference in the level and quality of sevices between
urban and rural areas.
2. Efficient, stable, and competitive financial sector, with a balanced
composition of available sources of financing, namely: financial
institutions, debt instruments, and equity market.
3. Fairness and protection for consumers.
Konsep one presence policy yang diberlakukan di Thailand adalah
kebijakan dalam rangka mendorong terjadinya konsolidasi perbankan
Thailand guna menciptakan efisiensi di sektor keuangannya. Dahulu,
suatu Group Perusahaan yang melakukan konglomerasi, diperbolehkan
memiliki sejumlah lembaga keuangan baik bank maupun non-bank
meskipun masih berada dibawah group perusahaan tersebut.28
Untuk
meningkatkan keefektifan, dalam kebijakan One Presence Policy tersebut
diatur bahwa hanya akan ada satu lembaga keuangan bagi setiap group
perusahaan yang akan menjalankan kegiatan bank maupun non-bank
sekaligus.29
Sehingga lembaga keuangan yang terbentuk tersebut selain
27
Bank of Thailand, “Financial Sector Master Plan”,
<http.bot.or.th/bothompage/General/PressRealeseandspeech/news2547/Eng/n3647e.htm>, diakses
19 September 2018.
28 Bank of Thailand, Thailand.s Financial Sector Master Plan Handbook, h. 22.
29 Malcolm Cook, Banking Reform in Southest Asia: The Region’s Decisive Decade, (New
York: Routledge, 2008), h. 67.
29
menjalankan usaha perbankan juga menjalankan usaha lembaga
pembiayaan non-bank, usaha asuransi dan lain sebagainya. Selain itu
Pemerintah Thailand juga merubah jenis Perizinan bagi lembaga
keuangan di Thailand yang pada akhirnya hanya terdapat dua jenis izin
yaitu Bank Komersil, yang syarat minimum modalnya berjumlah 5
milyar Bath dan Bank Retail dengan minimum modalnya sebesar 250
Juta Bath, yang tidak diperbolehkan melakukan transaksi valuta asing
dan transaksi derivative.
Lembaga keuangan bank maupun non bank yang telah berdiri
seblum dikeluarkannya kebijakan ini harus menyesuaikan usahanya
dengan syarat bar yang telah ditemukan. Setiap badan usaha tersebut
harus melaukan permohonan izin ualng baik sebagai komersial bank
maupun sebagai retail bank. Sehingga pada akhirnya baik lembaga
keuangan bank maupun non-bank akan muncul sebagai satu lembaga
keuangan yang akan memiliki lisensi dalam bentuk izin bank. Dapat
dilihat bahwa untuk memperoleh izin baru, bank diwajibkan untuk
memenuhi syarat minimal modal maka lembaga keuangan kecil
disarankan untuk melakukan merger sedangkan lembaga keuangan
dibawah konglomerasi diharuskan menyatukan pula lembaga keuagannya
dalam bentuk merger dengan induk perusahaannya ataupun dengan
lembaga keuangan dalam grup yang sama yang memiliki sektor usaha
sama. Selain itu juga terdapat beberapa aturan mengenai bank asing yang
membuka cabangnya di Malaysia dengan ditawarkan dua opsi, yaitu
pertama melanjutkan kegiatan bisnisnya namun hanya diperbolehkan
mempunyai satu cabang yang harus mempunyai aset minimal 3000 juta
bath, kedua mendaftarkan banknya sebagai subsidiary bank yang dapat
memiliki empat cabang bank dengan satu kantor pusatnya. Subsidiary
bank ini harus mempunya modal disetor minimal 4000 juta bath sejak
hari bank tersebut beroperasi.
Pemerintah Thailand juga memberikan beberapa insentif untuk
mendorong kesuksesan konsolidasi perbankan yang diharapkan.
30
Lembaga keuangan yang melakukan merger diberi kelonggaran
mengenai pajak dan pengurangan biaya suatu aktivitas merger
lembaganya. Sebagai hasil dari kebijakan One Presence Policy-nya,
Pemerintah Thailand berhasil mengurangi jumlah Lembaga Keuangan
berlisensi yang sebelumnya sebanyak 83 di Desember 2003 menjadi
tinggal 38 di Maret 2010. Pada ujungnya, kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah Thailand ini diharap dapat membentuk universal banking.
31
Gambar 1.
Pola Opsi yang dapat diterapkan di Thailand.
Thai Commercial Bank &
Related IBF
Merge and Mantain
Commercial Bank Status
Finance & credit foncier
company linked to Parent
Bank
Merge with Parent Bank
Be merged by other finance
or credit foncier company to
become retail or commercial
bank
Stand-alone Finance & Credit
Foncier Company
Apply to become retail bank
Merge eith other finance or
credit foncier to become retail
or commercial bank
Foreign Bank Branch &
Relased Finance Companies
Merge to become foreign
bank branch
Apply for upgrade to
subsisiary
Stand Alone Foreign Bank
Branch
Continue as full branch
Apply for upgrade to
subsidiary
Stand Alone IBF-s Apply for upgrade to full
branch
Merge with commercial bank
or other financial institution
to become subsidiary
Gambar diatas menjelaskan bahwa:
a. Lembaga keuangan Thailand, lembaga keuangan asing, serta
perusahaan kredit yang mempunyai hubungan dengan perusahaan induk
mempunyai pilihan yaitu, mengembalikan lisensinya dan melakukan
32
merger dengan perusahaan induknya atau menjadi target merger dari
lembaga keuangan atau perusahaan kredit lain untuk mendapatkan
lisensi sebagai komersial bank atau retail bank. Suatu lembaga
keuangan atau perusahaan kredit dapat mengembalikan lisensinya
menjadi perusahaan kredit.
b. Lembaga keuangan Thailand, lembaga keuangan asing, serta
perusahaan kredit yang berdiri sendiri juga dapat merubah statusnya
menjadi retail bank atau dapat juga mengajukan lisensi sebagai full
commercial bank jika mempunyai rencana untuk melakukan merger
dengan lembaga keuangan atau perusahaan kredit lainnya. Sama seperti
poin A, suatu lembaga keuangan atau perusahaan kredit dapat
mengembalikan lisensinya menjadi Perusahaan kredit.
c. Kantor Cabang Bank Asing dan lembaga keuangan yang berhubungan
dengannya dapat melakukan merger sehingga mempertahankan
statusnya sebagai kantor cabang atau mengajukan peningkatan status
menjadi subsidiary.
d. Kantor cabang Bank Asing yang berdiri sendiri dapat mempertahankan
statusnya sebagai kantor cabang atau mengajukan peningkatan status
menjadi subsidiary.
e. IBF (International Banking Facility) yang berdiri sendiri dapat
mengajukan permohonan lisensi full branch status, atau jika
mempunyai rencana merger dengan lembaga keuangan atau perusahaan
kredit lainnya dapat menjadi subsidiary.
B. Kerangka Teoritis
Hukum persaingan usaha mengenal adanya beberapa pendekatan
dalam penerapan hukumnya, dua pendekatan diantaranya adalah
pendekatan perse illegal dan rule of reason :30
a. Rule of reason dapat diartikan bahwa dalam melakukan praktik
bisnisnya pelaku usaha (baik dalam melakukan perjanjian, kegiatan,
dan posisi dominan) tidak secara otomatis dilarang. Akan tetapi
30
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2009), h. 80.
33
pelanggaran terhadap pasal yang mengandung aturan rule of reason
masih membutuhkan suatu pembuktian, dan pembuktian ini harus
dilakukan oleh suatu majelis yang menangani kasus ini yang dibentuk
oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), kelompok pasal ini
dapat dengan mudah dilihat dari teks pasalnya yang dalam kalimatnya
selalu dikatakan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Sedangkan yang dimaksud dengan perse illegal (atau violation atau
offense) adalah suatu praktik bisnis pelaku usaha yang secara tegas
dan mutlak dilarang, sehingga tidak tersedia ruang untuk melakukan
pembenaran atas praktik bisnis tersebut.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam pembuatan proposal skripsi mengenai Implementasi Single
Presence Policy terhadap Bank BUMN (Tinjauan dari Perspektif Penguasaan
Pasar) ini peneliti menjumpai berbagai ada perbedaan dan persamaan dengan
penelitian lain, sebagai berikut :
1. Skripsi, Resi Pranacitra, Fakultas Hukum Universitas Atmajaya
Yogyakarta, Ketidaksinkronan Kebijakan Kepemilikan Tunggal Pada
Perbankan Indonesia (single presence policy) Terhadap Pengaturan
Pemilikan Saham Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1999. Skripsi ini
membahas perbandingan single presence policy dengan praktik monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat pada seluruh perbankan di Indonesia.
Sedangkan perbedaan dengan skripsi ini adalah membahas mengenai
pengaturan dan penerapan asas kepemilikan tunggal khusus pada bank
BUMN dan implikasi nya.
2. Buku, Hukum Perbankan Indonesia, Muhammad Djumhana, Buku ini
membahas mengenai hukum perbankan Indonesia perusahaan lebih luas
yang termasuk didalam nya terdapat pembahasan mengenai asas
kepemilikan tunggal atau single presence policy. Sedangkan perbedaan
dengan skripsi ini adalah membahas mengenai dampak penerapan single
34
presence policy apabila diterapkan pada bank BUMN, dan implikasi
terhadap persaingan usaha tidak sehat.
3. Jurnal, Jurnal Yustisia Vol.1 Nomor1 Januari yang ditulis oleh Pujiyono
berjudul “Implementasi Single Presence Policy (SPP) bagi dunia
perbankan dalam perspektif Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas”. Jurnal ini menuliskan tentang bagaimana
pengaturan dan penerapan asas atau doktrin kepemilikan tunggal dalam
perbankan yang tidak dapat memiliki saham dominan namun dilihat dari
perspektif hukum perusahaan khususnya perseroan terbatas, perbedaan
jurnal ini dengan skripsi peneliti adalah jurnal ini hanya menjelaskan
terkait dengan bagaimana implementasi single presence policy bagi dunia
perbankan dalam perspektif Undang-Undang Perseroan Terbatas
sedangkan peneliti mengaitkan kepada hukum persaingan usaha.
35
BAB III
MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
DI INDONESIA
A. Perjanjian dan Kegiatan yang Dilarang
1. Hakikat dan Ruang Lingkup Persaingan Usaha
Istilah “persaingan usaha” yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebuah istilah asing yaitu “competition” yang merupakan derivasi
dari verba “compete”. Dalam Black Law Dictionary’s, istilah “compete”
diartikan sebagai “to contend emulously; to strive for the position,
reward, profit, goals, etc., for which another is striving; to contend in
rivalry”.31
Sedangkan istilah “competition itu sendiri dijelaskan oleh
Black sebagai :
“Contest between two rivals; the effort of two or more parties, acting
independently, to secure the business of a third party by the offer of the
most favourable terms; it is a struggle between rivals for the same trade
at the same time; the act of seeking or endeavoring to gain at the same
time. The term implies the idea of endeavoring by two or more to obtain
the same subject or result”
Secara umum, persaingan usaha dapat diartikan sebagai berikut :
“suatu proses di mana perusahaan saling berlomba dan berusaha
keras merebut langganan untuk produk mereka, seperti persaingan
merebut langganan untuk produk mereka, seperti persaingan merebut
langganan dengan memakai harga yang bervariasi; strategi pembedaan
produk (product differentiation), dan sebagainya.32
2. Persaingan usaha di bidang Perbankan
Persaingan usaha tidak dapat dihindarkan ketika seseorang atau
sekelompok orang memutuskan untuk melakukan kegiatan usaha,
31
Henry Campbell Blacks, Black’s Law Dictionary (5th ed), St. Paul Minn: West
Publishing Co., 1979, h. 166.
32 Pass, Christoper dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, terj. Tumpul Rumapea dan
Posman Haloho (Jkt:1997), h. 95-96.
36
termasuk usaha perbankan. Persaigan yang terjadi dalam industri
perbankan Indonesia melibatkan pelaku usaha bank dengan kategori bank
pemerintah, bank swasta nasional, bank swasta asing. Kategori tersebut
ditambah pula dengan kriteria bank dengan kegiatan usaha terfokus pada
segmen usaha tertentu dan bank dengan kegiatan usaha terbatas.33
Prsaingan antar bank di Indonesia dalam kurun waktu dua tahun
terkahir menunjukkan telah terjadi dua pergerakan yang berlawanan
arah.pergerakan yang pertama adalah terjadinya persaingan yang
semakin tajam dalam meraih customer melalui berbagai penyempurnaan
karakteristik produk dan layanan, iming-iming hadiah, dan promosi yang
semakin gencar.
Persaingan yang ketat diantara bank telah mendorong setiap bank
untuk memberi pelayanan terbaik untuk memberi pelayanan terbaik
untuk menarik langganan. Persaingan yang ketat juga memaksa para
bankir untuk menemukan kiat-kiat tertentu dalam meningkatkan
performance bank nya masing-masing.
Salah satu fenomena yang menunjukkan bahwa persaingan antar
bank dalam merebut nasabah adalah dengan mempermudah syarat untuk
memperoleh kartu kredit. Kemudahan pemberian syarat kartu kredit ini
merupakan salah satu strategi yang dilakukan bank untuk dapat
menyalurkan dana yang dimilikinya. Bahkan bagi beberapa bank
tertentu, pemberian kartu kredit merupakan salah satu sumber
keutungannya, misalnya Bank BII.
Hal yang sama juga dilakukan oleh bank lain seperti BNI. BNI
menyikpai persaingan ini dengan memberikan kemudahan pembuatan
kartu kredit juga disertai iming-iming lain berupa keringanan biaya
administrasi hingga berbagai reward yang menggiurkan, termasuk undian
berhadiah mobil mewah.
33
Imam Sugema, “Persaingan Atau Kerjasama antar Bank?”, Majalah Infobank, Juni
2005, h. 66-67.
37
Perkembangan doktrin single presence policy saat ini telah masuk
ke babak baru dalam objek yang baru yaitu penerapannya pada bank
bank BUMN seperti BRI, BNI, Mandiri, dan Bank BTN. Dari tahun 2010
gubernur BI kala itu telah mengkonfirmasi bahwa yang ingin dilakukan
terhadap asas kepemilikan tunggal ini adalah membentuk Bank Holding
Company, namun saat ini kabar tersebut seakan tidak ada tindaklanjut
dari jajaran para pemimpin dan pemegang saham bank BUMN tersebut.
Sebab jika kita lihat dari historikal konteks munculnya doktrin
single presence policy ini ialah ketika krisis ekonomi yang menyerang
Thailand ternyata ikut berdampak pada keadaan ekonomi Indonesia yang
ikut runtuh. Struktur ekonomi Indonesia yang bergantung kepada
perusahaan perusahaan besar terkena dampak krisis 1997-1998 yang
membuat ekonomi Indonesia menjadi terpuruk. Maka dalam suasana
genting tersebut Indonesia terpaksa meminjam dana bantuan kepada
International Monetary Fund. Permohonan Indonesia atas bantuan dana
untuk IMF tidak sia-sia karena IMF berkenan meminjamkan dana kepada
Indonesia. Namun peminjaman dana tersebut tidak serta merta diberikan
kepada Indonesia sebab pemerintah Indonesia dipaksakan untuk
merombak hukum yang mengatur perekonomiannya.34
Salah satu
Undang-Undang yang diundangkan DPR untuk mengakomodir
permintaan IMF adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Undang-
Undang ini menjadi sangat signifikan di dalam hukum ketatanegaraan
Indonesia, sebab Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan
produk hukum hasil kompromi politik, yang pada pemerintahan
sebelumnya tidak pernah terjadi di Indonesia.
34
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya
di Indonesia, Cet.3 (Malang: Bayumedia, 2009), h. 19.
38
3. Hukum materiil yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Praktek Persaingan
Usaha Tidak Sehat
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkandung hukum
materiil dan hukum formil. Khusus untuk hukum formil Undang-Undang
ini akan dielaborasi dalam bab selanjutnya. Mengenai hukum materiil
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larang Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dibagi menjadi 3 bagian
yakni, (1)perjanjian yang dilarang, (2) Kegiatan yang dilarang dan (3)
Posisi Dominan.
4. Perjanjian Yang Dilarang Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat sepuluh
bentuk perjanjian yang dilarang, yang diantaranya ialah Perjanjian
Oligopoli, Perjanjian Penetapan Harga, Perjanjian Pembagian Wilayah,
Perjanjian Pemboikotan, Perjanjian Kartel, Perjanjian Trust, Perjanjian
Integrasi Vertikal yang selanjutnya akan dijabarkan dibawah ini.
a. Perjanjian Oligopoli
Secara sederhana oligopoli adalah monopoly by the few,35
hal ini
diakibatkan karena dalam sebuah pasar hanya terdapat beberapa pelaku
usaha yang aktif mendistribusikan barng-barang dan atau jasa dalam
suatu pasar. Dalam kenyataannya, oligopoli bukan semata mata
dikarenakan adanya sebuah perjanjian, sebab terkadang ada berbagai
pasar yang menjanjikan keuntungan yang ternyata karena Peraturan
Pemerintah tidak dapat dimasuki oleh pelaku usaha manapun kecuali
yang telah ditentukan oleh pemerintah, contohnya Perusahaan Listrik
Nasional. Oleh karena listrik merupakan hajat hidup orang banyak
maka penjual listrik di Indonesia hanya diberikan kepada Badan Usaha
Milik Negara yakni Perusahaan Listrik Nasional. Selain itu banyak
pasar yang untuk masuk kedalamnya membutuhkan modal yang sangat
35
Iskandar Putong, Ekonomi Mikro Dan Makro,( Jakarta:Ghana Indonesia,2003) h. 5.
39
besar sehingga pelaku usaha tidak berani memasukinya. Hal-hal inilah
yang membuat oligopoli berkembang.36
Tetapi pada dasarnya
Oligopoli adalah salah satu struktur pasar, dimana sebagian besar
komoditi (barang dan jasa) dalam pasar tersebut dikuasai oleh
beberapa perusahaan. Apabila perusahaan tersebut dapat menyatukan
perilakunya, maka terjadilah struktur pasar yang bersifat oligopoli
kolusif (adanya perilaku yang bersatu).37
Dalam Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua, oleh Christopher
Pass dan Bryan Lowes, oligopoli adalah suatu tipe struktur pasar yang
mempunyai sifatsifat sebagai berikut:38
a. Sedikit perusahaan dan banyak pembeli, yaitu sebagian besar
penawaran pasar berada di tangan beberapa perusahaan yang
relatif besar dan melakukan penjualan pada banyak pembeli-
pembeli kecil.
b. Produk homogen yaitu produk yang ditawarkan oleh para
pemasok biasanya dibedakan antara yang satu dengan yang lain
dalam satu atau beberapa hal. Perbedaan-perbedaan ini mungkin
sesuatu yang bersifat fisik.
c. Pasar yang sulit dimasuki, yaitu besarnya rintangan-rintangan
yang masuk (barrier to entry) yang mengakibatkan perusahaan-
perusahaan baru sulit untuk memasuki pasar tersebut.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Persaingan Usaha
menyebutkan bahwa Perjanjian Oligopoli merupakan sebuah
tindakan yang dilarang bagi pelaku usaha, namun perjanjian apakah
yang dimaksud dalam pasal tersebut. Bila merujuk pada pasal 1320
KUHPerdata tentang perjanjian, apakah yang dimaksud dengan
36
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia,
Cet.1 (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 18.
37 L. Budi Kagramanto, Hukum Persaingan Usaha, (Surabaya: Laros, 2008) h. 136.
38
Suharsil dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) h. 117.
40
perjanjian dalam pasal 1320 Kuhperdata? Ternyata dalam melakukan
perjanjian oligopoli, pelaku usaha sering kali melakukan perjanjian
lisan maupun perjanjian saling tahu-menahu. Keadaan ini yang
membua penerapan pasal 4 ayat (1) menjadi sangat sulit untuk
ditegakkan. Selain itu perlu diketahui bahwa didalam perekonomian
Amerika Serikat dikenal dengan “tacit collusion” atau “oligopoly
interdependence”. Menurut Richard A. Posner “tacit collusion” atau
“oligopoly interdependence” adalah ketika pelaku usaha oligopoli
hendak menjual barang atau jasa pada tingkat harga tertentu, namun
karena kompetitornya menjatuhkan atau meninggikan harga diatas
rata-rata pasar maka pelaku usaha tersebut melakukan hal yang
serupa dengan tingkah laku kompetitornya.39
Dalam menyamakan harga barang atau jasa antara pelaku
usaha, seperti di dalam contoh tidak dibutuhkan adanya perjanjian
terlebih dahulu. Menurut pertimbangan Posner, hal ini mampu
menimbulkan permasalahan terutama dalam penegakan hukum.
Seperti diketahui huku persaingan usaha Indonesia melarang adanya
persaingan usaha tidak sehat yang merugikan publik dan untuk
melanggar persaingan usaha para pelaku usaha harus membuat
perjanjian diantara mereka. Pada kenyataannya di dalam contoh,
pelaku usaha tidak pernah melakukan perjanjian, mereka hanya
menyamakan harga barang sesuai dengan harga yang telah
ditetapkan oleh kompetitornya. Oleh karena itu penegakan hukum
akan sulit sekali. Apabila kita merujuk pada kasus Telkomsel yang
pernah melakukan abuse of dominant position dengan meningkatkan
tarif telefon dan sms sehingga para pesaingnya terpaksa mengikuti
price leader.40
Hal tersebut juga akan sangat sulit untuk dibuktikan
39
Richard Posner, Antitrust Law, Cet.2 (Chicago: Chicago University Press, 2001), h. 37-
39.
40 Komisi Pengawas Persaingan Usaha “Era Persaingan Sehat Yang Mengedepankan
Penataan Kebijakan Pemerintah (Regulatory Reform)”,
www.kppu.go.id/baru/index.php?type=art&aid=315, diunduh pada tanggal 30 September 2010.
41
sebab didalam contoh diatas kompetitor dari pelaku usaha yang
meninggikan harga tidak pernah bermaksud untuk mendistorsi pasar
atau bertindak curang terhadap pesaingnya.
b. Perjanjian Penetapan Harga
Pelarangan atas perjanjian penetapan harga di dalam Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1999 diatur dalam pasal 5 ayat (1) yang
berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan jasa
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan”. Merujuk pada pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa perjanjian antara
produsen yang mana terkategorikan dalam satu pasar yang sama baik
dari segi faktual, distribusi dan geografis tidak boleh mengadakan
perjanjian tentang penetapan harga. Melihat rumusan pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berarti larangan ini
menggunakan pendekatan per se illegal yang berarti bahwa jika
penegak hukum menindaklanjuti perjanjian tersebut, maka mereka
tidak akan melihat implikasi dari perjanjian penetapan harga,41
sudah
cukup bagi komisi pengawas persaingan usaha untuk membuktikan
bahwa perjanjian penetapan harga telah disetujui oleh para pelaku
usaha.
Richard Posner dalam bukunya Antitrust Law menyebutkan
bahwa dalam melakukan perjanjian penetapan harga para pelaku
usaha tidak perlu untuk menandatangani sebuah kontrak atau secara
verbal menyetujui perjanjian penetapan harga. Cukup dengan
memberikan indikasi kenaikan harga sebuah produk, maka pelaku
usaha lainnya akan menaikkan harga produk juga praktek ini dikenal
dengan tacit collusion atau kolusi terselubung. Praktek ini dapat
diumumkan oleh pelaku usaha yang akan menaikkan harga dengan
41
Dhaniswara K. Harjono, Pemahaman Hukum Bisnis bagi Pengusaha, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006), h. 105.
42
mengumumkannya di media massa dengan alasan kenaikan harga
atas bahan mentah untuk produksi.42
Perjanjian price fixing dapat berupa:
a. Horizontal Price Fixing Adalah perjanjian penetapan harga
umum yang terjadi antar-sesama pelaku usaha yang selevel
seperti produsen (produsen dengan produsen) terhadap produk
barang jasa yang sama yang diberlakukan pada dasar
bersangkutan (relevant market) yang sama.43
b. Vertikal Price Fixing Adalah perjanjian penetapan harga umum
yang terjadi antara pelaku usaha yang tidak selevel, misalnya
antara produsen dan distributor (wholeseller) atau dengan
pengecer (retailer). Akibat dan tujuan diadakannya vertikal price
fixing oleh produsen ini adalah mengurangi atau meniadakan
persaingan antara sesama pengecer atau meniadakan persaingan
antarsesama distributor.44
Ada dua pengecualian terhadap perjanjian penetapan harga
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
diantaranya adalah:45
1. Perjanjian harga yang diizinkan seperti penentuan harga yang
dilakukan oleh pemerintah, contohnya kasus sewaktu
perusahaan penerbangan dalam negeri terlibat perang harga
yang sebenarnya menguntungkan konsumen, tindakan yang
diambil pemerintah adalah mendamaikan perusahaan
penerbangan dengan jalan menentukan harga yang harus
dipatuhi oleh semua perusahaan penerbangan dengan jalan
42
Richard Posner, Antitrust Law, Cet.2 (Chicago: Chicago University Press, 2001), h. 53.
43 E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic
Implications, (New York: Matthew Bender & Co, 1994), h. 75. 44
Martin Heidenhain et. al., German Antitrust Law (Frankfurt am Main: Verlap Fritz
Knapp GmbH, 1999), h. 17. 45
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dalam Teori dan Praktik
serta Penerapan Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 136.
43
menentukan harga yang harus dipatuhi oleh semua perusahaan
penerbangan.
2. Perjanjian harga yang dibuat dalam joint venture. Pada dasarnya
tidak jelas yang dimaksud dengan joint venture dalam Undang-
Undang ini. Sehingga joint venture disini dapat diartikan
penggabungan usaha tertentu dari ketentuan pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Putusan Perkara Nomor 5/KPPU-I/2003 tentang PATAS DKI
merupakan perjanjian penetapan harga yang baik untuk dikaji, dapat
memberikan gambaran mengenai praktek hukum persaingan usaha
yang ada di Indonesia mengenai perjanjian penetapan harga. Diawali
dengan monitoring yang dilakukan KPPU pada awal 2003, KPPU
menemukan adanya indikasi pelanggaran terhadap Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh pengusaha Bus Kota
Patas AC di DKI, yakni PT Steady Safe, Tbk, PT Maya Sari,
Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Jakarta, PT Bianglala
Metropolitan, PT Pahala Kencana, PT Aja Putra. KPPU menimbang
bahwa Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
mengandung unsur sebagai berikut:
a) Pelaku Usaha
Berdasarkan fakta yang terungkap dalam pemeriksaan
pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan para terlapor adalah
pelaku usaha yang bergerak di bidang jasa transportasi
perkotaan, menimbang bahwa terlapor adalah pelaku usaha
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 1 angka 5
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
b) Perjanjian untuk Menetapkan Harga
Berdasarkan fakta yang terungkap dalam pemeriksaan
pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan para terlapor telah
bersepakat untuk menaikkan tarif bus kota Patas AC dari
Rp.2500,- (dua ribu lima ratus rupiah) menjadi Rp.3.300,-
44
(tiga ribu tiga ratus rupiah) pada tanggal 15 Agustus 2001,
yang disahkan oleh DPD Organda DKI Jakarta yang
kemudian oleh DPD Organda DKI Jakarta dituangkan dalam
Surat Keputusan Daerah Pimpinan Daerah Organda DKI
Jakarta Nomor: Skep-115/DPD/IX/2001 tentang Penyesuaian
Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di Wilayah DKI
Jakarta Tanggal 5 September 2001.
c) Pelaku Usaha Pesaing
Berdasarkan fakta yang terungkap dalam pemeriksaan
pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan yang dimaksud
dengan pelaku usaha pesaing dalam perkara kartel harga ini
adalah terlapor sendiri.
d) Pasar Bersangkutan Yang Sama
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan
pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan yang dimaksud
dengan pasar bersangkutan yang sama dalam perkara ini
adalah layanan pengangkutan penumpang Bus Kota PATAS
AC yang izin trayeknya dikeluarkan oleh Pemerintah DKI
Jkarta. Majelis komisi menyatakan bahwa pengusaha Bus
Patas AC terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan
menetapkan pembatalan kesepakatan penyesuaian tarif bus
Patas AC yang dilakukan pengusaha Bus Patas AC DKI
Jakarta. Majelis Komisi menyimpulkan bahwa penetapan
tarif bus kota sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan
Dewan Pimpinan Daerah Organda DKI Jakarta Nomor Skep-
115/DPD/IX/2001 tentang Penyesuaian Tarif Angkutan
Umum Bus Kota Patas AC di wilayah DKI Jakarta tanggal 5
September 2001 merupakan penetapan harga sebagaimana
dimaksud pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
45
c. Perjanjian Pembagian Wilayah
Larangan Pembagian Wilayah pemasaran yang dilarang dalam
pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini merupakan
sebagaian saja dari pelarangan pembagian pasar seperti yang umum
dilarang oleh hukum persaingan usaha. Dalam hukum persaingan
usaha dikenal berbagian pembagian pasar yang secara yuridis
dilarang yakni:
1. Pembagian Territorial dalam hal ini yang dibagi adalah wilayah
pasar
2. Pembagian Pasar konsumen, pembagian dimana konsumen
tertentu menjadi pelanggan seorang pelaku pasar sementara
konsumen yang lain menjadi pelanggan dari pihak pelaku pasar
pesaingnya.
3. Pembagian Pasar Fungsional, di sini pasar dibagi menurut
fungsinya, misalnya pasar distribusi barang tertentu diberikan
kepada kelompok pasar yang satu, sementara pasar retail barang
yang sama diberikan pada kelompok pelaku usaha lainnya.
4. Pembagian Pasar Produk, di sini pasar dibagi menurut jenis
produk dari suatu garis produk yang sama, misalnya untuk
penjualan spare parts motor merek tertentu, seorang pelaku
usaha memasok suku cadang yang kecil sedangkan pelaku pasar
pesaingnya memasok suku cadang yang besar.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 mengasumsikan
adanya perjanjian antar pelaku usaha yang saling bersaing di dalam
pasar yang sama. Penerapan ketentuan tersebut mensyaratkan para
pihak merupakan pelaku usaha, para pihak saling bersaing satu
dengan yang lainnya, adanya perjanjian antara pelaku usaha untuk
membagi pasar dan adanya tindakan yang mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli. Perjanjian yang dilakukan memiliki tujuan untuk
membagi pasar dari segi daerah atau segi produk. Para pelaku usaha
yang melakukan usaha pada pasar bersangkutan berjanji untuk tidak
46
saling memasok barang atau jasa yang sama di wilayah geografis
tertentu maupun pasar konsumen yang dekat dialokasikan kepada
mitranya di dalam pasar bersangkutan yang sama.
d. Perjanjian Pemboikotan
Perjanjian Pemboikotan diatur dalam pasal 10 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999yang berbunyi sebagai
berikut:
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk
melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam
negeri maupun pasar luar negeri.
2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atu jasa
dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a. Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha
lain atau
b. Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli
setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
e. Perjanjian Kartel
Kartel merupakan perjanjian yang memiliki efek paling
merusak didalam sebuah konsep persaingan usaha tidak sehat di
dunia. Perjanjian Kartel di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 diatur dalam pasal 11 yang berbunyi :
“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau
jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
47
5. Kegiatan yang Dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999
Kegiatan yang dilarang menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun
1999 diantaranya adalah kegiatan monopoli, kegiatan monopsoni,
kegiatan penguasaan pangsa pasar, kegiatan predatory pricing dan
kegiatan persekongkolan. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu
kegiatan persaingan usaha yang dilarang oleh hukum persaingan usaha
Indonesia.
a. Monopoli
Monopolisasi adalah upaya perusahaan besar dan memiliki
posisi dominan dalam sebuah pasar untuk mengatur atau
meningkatkan control terhadap pasar dengan cara berbagai praktik
anti kompetitif. Jika merujk pada pasal 1 angka (1) Undang-Undang
UNDANG Nomor 5 Tahun 1999, monopoli adalah suatu
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan/atau atau
atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelopok pelaku usaha. Dengan demikian di dalam pasar monopoli
hanya terdapat satu orang penjual dan banyak pembeli, oleh karena
itu pelaku usaha yang memegang monopoli bebas untuk menaikkan
atau menurunkan harga sesuai kehendaknya.
Macam-macam bentuk dan cara terjadinya monopoli :
1. Monopoly by Law
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 juga membenarkan
adanya monopoli jenis ini, yaitu dengan memberikan monopoli bagi
negara untuk menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya serta cabang-cabang produksi yang
menguasai hajat hidup orang banyak.46
Dengan demikian menurut
Undang-Undang Dasar 1945, sektor yang menguasai hajat hidup
orang banyak seperti perlistrikan, air minum, kereta api dan sektor-
sektor lain yang karena sifatnya yang memberik palayanan untuk
46
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli, (Jakarta : Rajawali Pers, 2006), h. 5.
48
masyarakat dilegitimasi untuk dimonopoli dan tidak diharamkan.
Sayangnya masih banyak pihak yang menyalahartikan maksud mulia
yang dikandung Undang-Undang Dasar 1945 kita, seperti asas
kekeluargaan ditafsirkan sebagai “keluarga sendiri. Sehingga sering
kita lihat pada suatu institusi atau perusahaan hanya kerabat mereka
saja yang dilibatkan. Pemberian hak-hak istimewa dan eksklusif atas
penemuan baru, baik yang berasal dari hak cipta, hak paten, merk
dagang, dan lain-lain juga merupakan bentuk monopoli yang diakui
oleh Undang-Undang .
2. Monopoly by Nature
Yaitu monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena
didukung oleh iklim dan lingkungan yang cocok. Kita dapat melihat
bentuk monopoli seperti ini yaitu tumbuhnya perusahaan-perusahaan
yang karena memiliki keunggulan dan kekuatan tertentu dapat
menjadi raksasa bisnis yang menguasai seluruh pangsa pasar yang
ada. Mereka menjadi besar karena memiliki sifat-sifat yang cocok
dengan tempat di mana mereka tumbuh. Selain itu karena berasal
dan didukung bibit yang unggul serta memiliki faktor-faktor yang
dominan.47
Monopoli alamiah diperoleh ketika tidak terdapat pelaku
usaha lain disuatu pasar, hal ini biasa terjadi apabila biaya untuk
masuk kepada suatu pasar akan memakan biaya yang sangat besar.48
3. Monopoly by License
Monopoli ini diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan
mekanisme kekuasaan. Monopoli jenis inilah yang sering
menimbulkan distorsi ekonomi karena kehadirannya mengganggu
keseimbangan (equilibrium) pasar yang sedang berjalan dan bergeser
kearah yang diingini oleh pihak yang memiliki monopoli tersebut.
47
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli, (Jakarta : Rajawali Pers, 2006) h. 5. 48
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia,
Cet.1 (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) h. 138.
49
4. Monopoli karena Terbentuknya Struktur Pasar Akibat Perilaku
dan Sifat Manusia
Sifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan besar
dalam waktu yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang
sekecil mungkin atau sebaliknya, dengan menggunakan modal
(capital) yang sangat besa untuk memperoleh posisi dominan guna
menggusur para pesaing yang ada.49
Jenis monopoli yang dimaksud pada poin (3) dan (4) dapat
mengganggu bekerjanya mekanisme pasar dan harus dilarang.
Sementara itu, jenis monopoli pada poin (1) dan (2) tetap perlu
diawasi dan diatur agar pada suatu waktu kekuatan ekonomi yang
dimilikinya tidak akan disalahgunakan.
b. Monopsoni
Kegiatan Monopsoni merupakan kebalikan dari kegiatan
monopoli. Dalam monopoli pasar di gabarkan dengan terdapatnya
berbagai pembeli namun hanya terdapat satu penjual. Dalam
monopsoni maka penjual relatif banyak namun pembelinya hanya
satu. Kegiatan Monopsoni yang merugikan masyarakat diatur dalam
pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Persaingan Usaha.
Dampak negatif monopsoni adalah harga barang atau jasa akan lebih
rendah dari harga besar yang mahal dan juga terdapat potensi pasar
yang tidak sehat. Tidak semua bentuk monopsoni merupakan sesuatu
yang buruk, sebab terkadang memang didalam suatu pasar hanya
terdapat satu pembeli. Terutama di pasar yang diminati pelaku usaha
yang seara spesifik menjalankan usaha tersebut, contohnya heavy
machinery atau peralatan berat. Namun pada dasarnya bentuk
kegiatan monopsoni merugikan kepentingan publik. Contoh dari
kegiatan Monopsoni adalah ketika Badang Penyangga dan
Pemasaran Cengkeh melakukan kegiatan monopsoni dalam
49
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha , (Malang : Banyumedia, 2007), h. 43.
50
“memaksa” pembelian cengkeh dari petani-petani melalui KUD
dengan harga yang ditetapkan sepihak oleh BPPC dan Tata Niaga
Jeruk di bawah pengaruh Hutomo mandala Putra.
c. Penguasaan Pangsa Pasar, Predatory Pricing dan Persekongkolan
/Konspirasi
Kegiatan melakukan penguasaan pasar pada dasarnya tidak
dilarang, namun banyak pelaku usaha yang ingin menguasai pasar
dengan cara curang dan merugikan persaingan usaha. Pengaturan
mengenai penguasaan pangsa pasar diatur dalam pasal 19 Undang-
Undang persaingan usaha. Adapun kegiatan melakukan penguasaan
pangsa pasar meliputi (1) menolak pesaing atau menolak atau
menghalangi pelaku usaha tertentu (2) menghalangi konsumen untuk
melakukan transaksi dengan pelaku usaha lain. (3) pembatasan
peredaran produk dengan cara membatasi peredaran dan/atau
penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan (4)
diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu terhadap pesaingnya
(5)melakukan jual rugi atau predatory pricing (6) penetapan biaya
secara curang yakni dengan menetapkan harga curang pada saat
produksi. Adapun masalah persekongkolan dan konspirasi diatur
dalam pasal 22,23,24 Undang-Undang Persaingan Usaha yang
berbunyi sebagai berikut; (Pasal 22) pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau
menentukan pemenang tender sehingga terjadinya persaingan usaha
tidak sehat (pasal 23) pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan
pihak lain utnk mendapatkan informasi kegiatan usaha
pesaingnyayang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan
sehingga megakibatkan terjadi persaingan usaha tidak sehat. (pasal
24) pelaku usaha dilarang untuk bersekongkol sengan pihak lain
utnuk emnghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau
jasa pesaingnya dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang
51
ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang
baik dari kualitas maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
B. Penyalahgunaan atas posisi dominan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999
Posisi dominan dalam sebuah pasar adalah sebuah harapan dari setiap
pelaku usaha, sebab dalam pasar tersebut pelaku usaha telah mencapai tingkat
tertinggi untuk memaksimalkan output tanpa melakukan monopoli dan tanpa
takut dijerat dengan hukum yang mengatur monopoli.50
posisi ini ternyata juga
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebab pada umumnya
pelaku usaha yang telah mencapai tingkat dimana mereka menjadi market
leader, seringkali lost control dan berupaya menguasai keseluruhan pasar
dengan cara monopoli atay dengan cara bersekongkol dengan pelaku usaha
pesaingnya. Pasal mengenai abuse of dominant position diatur dalam pasal 25
mengenai ketentuan umum posisi dominan, pasal 26 mengenai jabatan
rangkap, pasal 27 mengenai pemilikan saham, 28 dan 29 mengenai
Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan yang diatur dalam Undang-
Undang persaingan usaha.
1. Merger
Pengertian mengenai merger, dalam artian yang luas merger berarti
setiap bentuk pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lainnya,
pada saat kegiatan usaha perusahaan tersebut disatukan. Adapun
pengertian secara sempit merujuk pada perusahaan dengan ekuitas yang
hampir sama menggabungkan sumber daya yang ada pada keduanya
menjadi satu usaha. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan dan
kontrol manajemen oleh satu perusahaan terhadap perusahaan lain.
Karenanya, kontrol adalah kata kunci yang membedakan merger dengan
akuisisi.51
50
Kirsty Middleton and Barry Rogers et.al. Cases and Materials on Competition Law, Cet.2
(New York: Oxford University Press, 2009), h. 3-7.
51 Merger is a combination of two or more corporation wherein the dominant unit absorbs
the passive unit, the former continuing operation usually under the same name. (Encyclopedia of
Banking & Finance)
52
Merger dalam perspektif peraturan perUndang-Undang an Indonesia
dapat dilihat sebagai berikut. Merger adalah penggabungan dari dua badan
usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu
badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.52
Menurut pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007, merger
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih
untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang
mengakibatkan activa dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri
beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan
dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri
berakhir karena hukum.
Menurut peraturan pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1998, merger
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih
untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan
selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Menurut
PP No 28 Tahun 1999 Merger adalah penggabungan dari dua bank atau
lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan
membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu.
Jadi, merger adalah bergabungnya ssatu perusahaan atau lebih
dengan perusahaan yang telah ada sebelumnya menjadi satu perusahaan.
Perusahaan yang menerima merger disebut surviving firm, atau pihak yang
mengerluarkan saham (issuing firm).53
Perusahaan yang bubar setelah
merger disebut merged firm. Perusahaan hasil merger diharapkan akan
memiliki ukuran yang lebih besar.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas
menggunakan istilah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.
Sedangkan Peraturan Pemerintah mengenai Perbankan menggunakan
istilah merger, akuisisi, dan konsolidasi. Beberapa negara lain
52
Devina Ivo Mahendra, The Determinant of the Possibility Merger in Indonesia,
International Journal of Economics and Financial Issues, Vol 7, Issue 3, 2017, h. 64. 53
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dalam Teori dan Praktik
serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h. 449.
53
meggunakan istilah konsentrasi dan takeover. Meskipun Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 menggunakan istilah penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan saham, namun komisi menggunakan istilah merger yang
didalamnya tercakup juga konsolidasi, akuisisi, penggabungan, peleburan,
dan pengambilaluhan kecuali secara tegas menunjuk kepada salah satu
bentuk peristiwa tertentu.
Meskipun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 telah
mendifinisikan apa yang dimaksud dengan penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan, namun komisi berpendapat bahwa merger yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mencakup
pengertian yang lebih luas dibanding dengan definisi dalam Undang-
Undang Nomor 40 tahun 2007 yang hanya berlaku bagi perseroan
Terbatas. Untuk itu, komisi perlu untuk menjelaskan gambaran mengenai
merger yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999.
Merger secara sederhana adalah tindakan pelaku usaha yang
mengakibatkan:
a. Terciptanya konsentrasi kendali dari beberapa pelaku usaha yang
sebelumnya independen kepada satu pelaku usaha atau satu kelompok
usaha; atau
b. Beralihnya suatu kendali dari satu pelaku usaha kepada pelaku usaha
lainnya yang sebelumnya masing masing independen sehingga
menciptakan konsentrasi pengendalian atau konsentrasi pasar.
Beberapa macam merger yaitu, merger vertikal, merger horizontal,
dan merger konglomerat.54
Merger vertikal adalah perusahaan-perusahaan
yang digabung dan beroperasi pada tingkatan berbeda dalam produksi dan
pemasaran. Namun, bertujuan untuk meningkatkan distribusi. Sedangkan
yang dimaksud merger horizontol ialah perusahaan-perusahaan yang
54
Boone, Kurtz. Contemporary Business: pengantar bisnis kontemporer, (Jakarta: Salemba
Empat, 2007), h. 271.
54
digabung karena ingin melakukan diversifikasi, meningkatkan basis
pelanggan, mengurangi biaya, atau menawarkan perluasan produk. Serta
yang terakhir ialah merger konglomerat bertujuan untuk memacu
pendapatan penjualan.
2. Akuisisi
Akuisisi berasal dari kata acquisition (latin) dan acquisition
(Inggris), makna harfiah akuisisi adalah membeli atau mendapatkan
sesuatu atau objek untuk ditambahkan pada sesuatu atau objek yang telah
dimiliki sebelumnya.55
Akuisisi adalah bentuk pengambilalihan
kepemilikan perusahaan oleh pihak pengakuisisi sehingga dapat
mengakibatkan berpindahnya kendali atas perusahaan yang diambil alih
tersebut. Ada beberapa definisi akuisisi dari beberapa sumber
perundangundangan.
Akuisisi adalah pengambilan seluruh atau sebagian saham dari satu
perusahaan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap
perusahaan tersebut. Akuisisi dimaksudkan perbuatan hukum yang
dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil
alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas
perseroan tersebut, atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan
hukum atau perseroangan untuk mengambil alih baik seluruh atau
sebagian besar saham perseoran yang dapat mengakibatkan beralihnya
pengendalian terhadap perseroan tersebut. Akuisisi adalah
pengambilalihan kepemilikan suatu bank yang mengakibatkan beralihnya
perngendalian terhadap bank. Bryan Cole pun mengakui bahwa merger
dan akuisisi tidak jauh berbeda, keduanya terjadi pada saat dua atau lebih
pelaku usaha bergabung secara operasional, baik untuk keseluruhan
maupun sebagian usaha mereka.56
55
Collins English Dictionary for Advanced Learners.http://edratna.
Wordpress.com/2007/06/18/merger.
56 Munir Fuady, Hukum tentang Merger, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), h. 21.
55
Menurut standar akuntansi Keuangan, akuisisi adalah sautu
penggabungan usaha dimana salah satu perusahaan, yaitu pengakuisisi
(acquirer) memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan
yang diakuisisi (acquiree), dengan memberikan aktiva tertentu, mengakui
suatu kewajiban, atau mengeluarkan saham.
Dalam konteks hukum persaingan usaha penegertian akuisisi atau
pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku
usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian
saham atau aset perseroan /badan usaha yang dapat mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap perseroan/badan usaha tersebut.
Biasanya pihak pengakuisisi memiliki ukuran yang besar dibanding
dengan pihak yang diakuisisi. Adapun yang dimaksud dengan
pengendalian yang terpapar pada pengertian di atas adalah kekuatan yang
berupa kekuasaan untuk :
a. Mengatur kebijakan keuangan dan operasi perusahaan
b. Mengangkat dan memberhentikan manajemen
c. Mendapatkan hak suara mayoritas dalam rapat direksi.
Dengan adanya pengendalian tersebut, maka pengakuisisi akan
mendapatkan manfaat dari perusahaan yang diakuisisi. Berbeda dengan
merger, akuisisi tidak menyebabkan pihak lain bubar sebagai entitas
hukum. Perusahaan yang terlibat dalam akuisisi decara yuridis masih tetap
berdiri dan beroperasi secara independen, tetapi telah terjadi pengalihan
pengendalian oleh pihak pengakuisisi.
3. Konsolidasi
Berbeda dengan merger atau penggabungan, konsolidasi atau
peleburan adalah penggabungan dari dua perusahaan atau lebih dengan
cara melikuidasi semua perusahaan tersebut dan dengan cara yang sama
didirikan satu perusahaan baru yang mengambil alih semua kekayaan dan
kewajiban dari perusahaan perusahaan yang bubar itu.
Konsolidasi atau peleburan merupakan bentuk khusus merger
dimana dua perusahaan atau lebih bersama-sama meleburkan diri dan
56
membentuk satu perusahaan baru.57
Sinonim kata ini adalah amalgamasi.
Menurut PP Nomor 28 Tahun 1999, konsolidasi atau peleburan adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-
masing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar.
Sebagai tambahan, ketiga jenis strategi ekspansi usaha di atas adalah
termasuk jenis pengambilalihan atau disebut juga takeover. Takeover
adalah istilah umum untuk menggambarkan pengalihan pengendalian aset
atau saham sebuah perusahaan dari satu kelompok pemegang saham
terhadap kelompok pemegang saham lain. Perusahaan atau kelompok
pemegang saham yang berinisiatif untuk mengambil alih aset disebut
bidder dan perusahaan atau kelompok pemegang saham yang akan
dijadikan objek pengambilalihan dinamakan target.
Pengambilalihan terhadap aset atau saham oleh bidder terhadap
target dapat dilakukan melalui pembayaran secara tunai, utang, pengalihan
surat-surat berharga, atau kombinasi dari ketiganya. Bidder bisa berasal
dari pihak manajemen sendiri, investor, atau institusi lain, karyawan, atau
pemegang saham. Pengambilalihan perusahaan publik oleh sekelompok
kecil investor dan selanjutnya mereka menarik saham-saham yang beredar
di pasar untuk tidak lagi diperjualbelikan (delisting) disebut going private.
Jika going private ini dilakukan oleh manajemen perusahaan yang
bersangkutan disebut management buy-out. Jika sebagian besar
pembiayaan takeover berasal dari pihak ketiga disebut leverage buy-out.
Takeover dapat terjadi dalam dua bentuk, friendly dan unfriendly
takeover. Friendly takeover berarti masing-masing pihak sepakat atas
pengambilalihan itu. Sebaliknya, jika ada tekanan dan cenderung terdapat
pemaksaan terhadap target, maka cara ini dinamakan unfriendly takeover.
Tender offer merupakan salah satu bentuk unfriendly takeover, karena
bidder langsung melakukan penawaran langsung melalui media massa
kepada pemegang saham perusahaan target tanpa melalui persetujuan
direksi/ manajemen target. Kejadian ini dapat terjadi jika manajemen atau
57
Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2005), h. 113.
57
pemegang saham minoritas target menolak atas rencana pengambilalihan
oleh bidder.
Bentuk lain dari unfriendly takeover adalah hostile takeover
(pengambilalihan secara paksa). Hal ini biasanya terjadi jika target tidak
memiliki posisi tawar (bargaining power) yang baik, seperti kesulitan
likuiditas, kerugian usaha, utang terlalu besar, manajemen yang tidak
solid, atau kesulitan dalam memasarkan produk. Alasan-alasan yang
mendasari terjadinya pengambilalihan saham atau takeover adalah:
1. Dapat memperbesar ukuran perusahaan
Dengan bergabungnya perusahaan yang lebih mandiri ataupun lebih
tinggi daya saingnya, maka perusahaan yang kecil sekalipun akan
menjadi lebih besar dan dapat tertolong dari segi operasional
pemasaran dan pemasukan.
2. Mengoptimalkan operasional manajerial
Tanpa berpindah ke industri yang lain, maka sebuah perusahaan yang
berada pada fase monoton ataupun sedang mundur akan rawan
kehilangan para eksekutif muda yang potensial dan hal ini akan
mempercepat kemunduran perusahaan. Namun, bila perusahaan
tersebut segera menggabungkan diri dengan perusahaan maju lainnya,
maka kemungkinan tersebut dapat segera terhindari.
3. Mengurangi resiko, meminimalkan tekanan biaya finansial dan
menghindari kebangkrutan
Dengan penggabungan kekayaan bersama, likuiditas perusahaan
meningkat, dan dengan berbagai keunggulan yang lebih kompetitif,
perusahaan dapat menguasai pasar yang lebih luas.
4. Menghindari pengambilalihan secara paksa
Dengan menggabungkan diri dengan perusahaan yang lain, maka akan
ada peningkatan penguasaan pasar dan dapat meningkatkan kekebalan
dari adanya kemungkinan terjadinya pengambilalihan secara paksa
oleh perusahaan lain.
58
Secara lebih jelas, peleburan dalam pasal 1 angka 2 Peraturan KPPU
Nomor1 Tahun 2009 dimaksudkan adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh satu perseroan/badan usaha atau lebih untuk meleburkan
diri dengan cara mendirikan satu perseroan/badan usaha baru yang karena
hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan/badan usaha yang
meleburkan diri berakhir karena hukum .
59
BAB IV
SINGLE PRESENCE POLICY DALAM PERSPEKTIF HUKUM
PERSAINGAN USAHA
A. Analisis Pembentukan Fungsi Holding sebagai Penerapan Single
Presence Policy untuk Bank BUMN (Mandiri, BNI, BRI, BTN)
Penerapan single presence policy terhadap dunia perbankan merupakan
upaya untuk membatasi kontrol kepemilikan perbankan. Tidak ada pihak
yang menguasai lebih dari satu bank. Ini merupakan langkah koreksi dari
Bank Indonesia yang sebelumnya terlanjur mengizinkan suatu pihak termasuk
asing menguasai lebih dari satu saham perbankan hingga 99 persen. Lebih
lanjut tujuan kebijakan ini guna mempercepat penggabungan (konsolidasi)
perbankan dimana satu pengendali hanya boleh mengendalikan satu bank,
bukan satu pengendali mengendalikan atau memiliki beberapa bank.
Kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan di Indonesia menjadi
salah satu kewajiban yang harus diterapkan oleh Bank. Hal ini sebagaimana
tercantum dalam pasal 1 poin 1 yang menyatakan bahwa Bank adalah Bank
Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang
tidak termasuk Kantor Cabang Bank Asing. Bentuk kepemilikan saham pada
perbankan menjadi salah satu fokus utama Arsitektur Perbankan Indonesia
agar tidak ada pihak yang menjadi saham pengendali pada 2 (dua) atau lebih
bank yang berbeda.
Merujuk pada Pasal 1 poin 2 Undang-Undang No 19 tahun 2003
tentang BUMN, yang dimaksud dengan usaha yang dimiliki BUMN adalah
yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh negara. Secara normatif dapat
dipahami bahwa negara memiliki posisi dominan terhadap usaha bank-bank
tersebut yang tergolong dalam bank BUMN. Jika merujuk pada Pasal 1 poin 3
60
huruf a PBI Nomor14/24/PBI/2012 bahwa setiap pemegang saham
pengendali adalah seseorang atau badan usaha yang memiliki saham
sebanyak 25% atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan bank tersebut,
maka sudah seharusnya bank-bank yang dimiliki BUMN tunduk dan patuh
terhadap aturan tersebut dengan menerapkan asas kepemilikan tunggal di
dunia perbankan.
Kementrian BUMN yang mewakili negara sebagai pemegang saham
pengendali di Bank BTN, BRI, BNI, Mandiri wajib tunduk pada Peraturan
Bank Indonesia Nomor 14/24/PBI/2012 untuk menjadi pemegang saham
pengendali di satu bank. Hal ini sesuai dengan pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 yakni
setiap pihak hanya dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu)
bank. Namun aturan itu dikecualikan bagi pemegang saham pengendali pada
2 (dua) bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip
berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah. Aturan
ini juga dikecualikan bagi pemegang saham pengendali pada 2 (dua) bank
yang salah satunya merupakan Bank Campuran (Joint Venture Bank).
Sampai saat ini, Kementrian BUMN sebagai pemegang saham
pengendali pada 4 (empat) Bank BUMN tersebut wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 1. Pemegang saham pengendali
pada lebih dari 1 (satu) Bank harus melakukan merger atau konsolidasi.
Pemegang saham pengendali juga dapat membentuk perusahaan induk di
bidang perbankan, atau membentuk fungsi holding.
Dalam menerapkan Single Presence Policy, opsi terakhir yang dipilih
oleh pemerintah adalah dengan pembentukan fungsi holding. Opsi ini
merupakan yang paling baru dari kedua opsi lainnya dengan memiliki konsep
yang hampir mirip dengan sistem Bank Holding Company. Fungsi Holding
adalah suatu fungsi yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali berupa
Bank yang berbadan hukum Indonesia atau Pemerintah Republik Indonesia
untuk mengkonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh
aktivitas Bank-bank yang menjadi anak perusahaannya.
61
Melalui pengertian tersebut terdapat perbedaan dasar antara Bank
Holding Company dan fungsi Holding. Dalam Fungsi Holding terdapat
pengkhususan untuk dapat diterapkan oleh instansi Pemerintah Indonesia atau
Bank yang berbadan hukum Indonesia sesuai dengan pasal 6 ayat 1 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 14/24/PBI/2012. Adapun Bank Holding Company
tidak terdapat pengkhususan, dimana boleh diterapkan oleh pemerintah dan
swasta. Persamaan antara Bank Holding Company dan Fungsi Holding
terletak pada pengendaliannya terhadap anak perusahaannya.
Dalam kegiatan Mandiri Economic Forum yang dihadiri oleh Direktur
Utama Bank Mandiri Zulkifli Zaini, telah disepakati bahwa
pembentukan virtual holding sudah diusulkan oleh Kementerian BUMN
selaku kuasa pemegang saham Bank BUMN kepada Bank Indonesia.58
Alternatif merger menjadi hal yang banyak ditolak pihak perbankan sebab
perlu modal besar, aspek legal, dan aspek pajak. Opsi pembentukan fungsi
Holding yang diambil merupakan virtual holding yaitu, aset tidak
digabungkan menjadi satu, tapi di bawah koordinasi yang dibentuk dalam
sebuah komite keuangan di kedeputian BUMN. Single Presence Policy
utamanya adalah shareholder action, bukan management action sehingga
yang banyak berperan yaitu bank yang tergabung di dalamnya, Mandiri, BNI,
BRI, dan BTN.
Dalam hasil forum diskusi kelompok antara Komite Kebijakan Publik
(KKP), BI, dan Bank BUMN yang diselenggarakan di Yogyakarta pada
tanggal 27 Oktober 2018, Deputi Menteri BUMN Bidang Jasa, Parikesit
Suprapto menyatakan pembentukan holding Bank BUMN akan
mempermudah koordinasi antara bank-bank BUMN. Keberadaan empat bank
BUMN di Indonesia dapat melengkapi satu sama lain dikarenakan sudah
bersifat segmentatif, misalnya BNI di segmen retail, BTN pada segmen kredit
perumahan rakyat (KPR), Bank Mandiri pada korporasi, serta BRI dalam
penyaluran kredit mikro dan retail.
58
https://id.beritasatu.com/home/bank-mandiri-setuju-virtual-holding-bank-bumn/9
62
B. Analisis Pembentukan Fungsi Holding sebagai Penerapan Single
Presence Policy untuk Bank BUMN dalam Perspektif Undang-Undang
Nomor5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Kepemilikan tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya
menjadi saham pengendali pada 1 (satu) Bank. Berdasarkan kebijakan
kepemilikan tuggal, apabila pemegang saham pengendali memiliki lebih dari
2 (dua) bank diantaranya terdapat beberapa bank yang memiliki prinsip
kegiatan usaha yang sama maka kepemilikan atas bank-bank dengan prinsip
kegiatan usaha yang sama tersebut harus diubah sesuai dengan opsi opsi yang
telah ditetapkan oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/24/PBI/2012.
Kebijakan ini akan membatasi kontrol kepemilikan sehingga tidak ada
pihak yang menguasai lebih dari satu bank. Kebijakan ini merupakan langkah
koreksi dari Bank Indonesia yang sebelumnya terlanjur mengizinkan suatu
pihak termasuk asing menguasai lebih dari satu saham perbankan hingga 99
persen. Tujuan kebijakan ini adalah dalam rangka mempercepat
penggabungan (konsolidasi) perbankan dimana satu pengendali hanya boleh
mengendalikan satu bank, bukan satu pengendali mengendalikan atau
memiliki beberapa bank.
Dalam implikasinya SPP pada bank-bank BUMN diwajibkan untuk
melakukan penggabungan sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 PBI
Nomor14/24/PBI/2012 yakni:
1. Merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya
2. Membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan
3. Membentuk Fungsi Holding.
Penerapan SPP pada bank BUMN dengan memilih salah satu dari
metode tersebut jutru berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak
sehat dalam dunia perbankan, sebab bank BUMN akan menguasai Industri
Perbankan secara dominan. Hal tersebut bertentangan dengan PP Nomor 28
tahun 1999 tentang merger, konsolidasi dan akuisisi yang sangat
63
meperhatikan kepentingan rakyat banyak dan persaingan yang sehat dalam
melakukan usaha bank.
Untuk lebih memastikan ada atau tidaknya pelanggaran terhadap
penguasaan Industri Perbankan perlu merujuk kepada Pasal 1 huruf d
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menyebutkan:
Pasal 1 huruf d
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa
pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di
antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan,
serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang
atau jasa tertentu
Selanjutnya, dalam Pasal 25 dan Pasal 27 dijelaskan bahwa yang
dimaksud pelaku usaha telah melakukan posisi dominan adalah sebagai
berikut:
Pasal 25
Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk
mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang
dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas;
atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing
untuk memasuki pasar bersangkutan.
Pasal 27
Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1)
apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu; atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu
64
Posisi dominan akan terjadi pada bank-bank BUMN terkait penerapan
SPP dalam skema merger atau konsolidasi karena bank-bank BUMN akan
menggabungkan seluruh asetnya kepada salah satu bank BUMN. Apabila
merger tersebut dilakukan maka bank BUMN hasil SPP akan menguasai
posisi dominan industri perbankan di Indonesia. Tercatat sampai bulan Juni
2018 bank BUMN menguasai 50% pangsa pasar59
. Hal tersebut jelas
merupakan unsur dari posisi dominan sebagaimana Pasal 27. Penerapan SPP
dengan skema merger juga akan menimbulkan pelaku usaha lain terhambat
dalam persaingan untuk berkembang di industri perbankan, sebab ada salah
satu bank BUMN hasil merger yang akan menjadi penguasa besar industri
perbankan.
Implikasi dari merger juga akan menimbulkan aset-aset bank-bank
BUMN menjadi satu. Berdasarkan kuartal I 2018 posisi Bank BUMN
menempati urutan 10 bank terbesar di Indonesia berdasarkan total aset yang
dimilikinya yakni:
1. BRI dengan total aset Rp. 1.064,73 Triliun
2. Bank Mandiri dengan total aset Rp. 945,62 Triliun
3. BCA dengan total aset Rp. 745,04 Triliun
4. BNI dengan total aset Rp. 648,57 Triliun
5. BTN dengan total aset Rp. 258,74 Triliun
6. CIMB Niaga dengan total aset Rp. 255,69 Triliun
7. Bank Panin dengan total aset Rp. 197,92 Triliun
8. Bank OCBC NISP dengan total aset Rp. 161,55 Triliun
9. Maybank dengan total aset Rp. 160,88 Triliun
10. Bank Danamon dengan total aset Rp. 153,79 Triliun
Data tersebut menggambarkan ketika bank-bank BUMN tersebut
dilakukan SPP dengan skema merger maka akan menguasai 36,01% dari
jumlah saham aktiva seluruh bank di Indonesia. Hal ini jelas bertentangan
dengan Surat Keputusan (SK) Direksi Bank Indonesia tentang Persyaratan
59
https://keuangan.kontan.co.id/news/ini-alasan-bank-bumn-lebih-jago-cetak-laba-dibandingkan-bank-swasta
65
dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum, yaitu SK DIR
BI Nomor32/51/KEP/DIR bahwa persyaratan dan tata cara merger atau
konsolidasi setinggi-tingginya 20% dari jumlah aktiva seluruh bank di
Indonesia, dimana nilai 20% dari jumlah aktiva seluruh bank berdasarkan best
practice suatu negara dalam industri perbankan.
Begitupun mengenai pelaksanaan SPP dengan skema perusahaan Induk
maka bank-bank BUMN harus menunjuk salah satu bank untuk dijadikan
perusahaan Induk yang hal tersebut juga akan berpengaruh pada marketing
kegiatan perbankan seperti BTN yang lebih berfokus pada pemberian kredit
rumah pada kalangan masyarakat dengan tingkat ekonomi bawah, BRI lebih
terfokus pada usaha kecil dan menengah serta masyarakat pedesaan, Bank
Mandiri lebih berfokus pada korporasi. Fokus BNI lebih kepada masyarakat
luas. Skema ini pun tidak akan dilakukan, sebab akan menjadikan salah satu
bank BUMN memiliki kedudukan yang lebih tinggi terhadap bank-bank
lainnya.
Penerapan SPP pada bank-bank BUMN apabila menggunakan skema
fungsi holding maka tidak akan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999. Sebab fungsi holding hanya menekankan kepada fungsi
pengendalian saham dibawah badan hukum pemerintah. Bahkan aset tidak
digabungkan menjadi satu, tapi di bawah koordinasi yang dibentuk dalam
sebuah komite keuangan di Kedeputian BUMN. Merujuk pada Pasal 27
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 maka tidak ada penguasaan pelaku
usaha yang menguasai 50% atau lebih pangsa industri perbankan.
Bank BUMN tetap menjalankan kegiatan perbankan tanpa harus salah
satu bank tersebut menjadi satu dengan bank-bank BUMN lainnya. Hal
tersebut menunjukkan tidak akan ada permainan Industri Perbankan yang
menghambat pelaku usaha lainnya. Dalam hal ini, pihak swasta untuk
menjalankan kegiatan perbankan di Indonesia. Tidak akan ada pelaku usaha
yang menggunakan posisi dominan sebagaimana maksud dari Pasal 25
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terlebih dalam menghambat atau
membatasi pelaku lain untuk bersaing. Penerapan SPP dengan skema fungsi
66
holding sejalan dengan asas persaingan usaha yang sehat sebagaimana Pasal 2
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Yakni menciptakan kegiatan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum
dalam menciptakan sistem perbankan yang kuat, sehat dan efisien guna
menciptakan kestabilan ekonomi dalam rangka menyongsong pertumbuhan
ekonomi nasional.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah diuraikan peneliti dalam penelitian ini,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa doktrin kepemilikan tunggal dalam
perbankan atau yang kita kenal dengan Single Presence Policy merupakan
sebuah doktrin yang seharusnya sudah dapat diterapkan secara maksimal di
Indonesia khususnya oleh bank-bank BUMN dengan opsi yang telah
disepakati. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Bank-bank BUMN seperti Mandiri, BRI, BNI, dan BTN merupakan empat
bank yang memiliki saham prioritas atau yang paling berpengaruh kuat
dalam perbankan di Indonesia. Ini merupakan cerminan dari bank-bank
lain yang ada di Indonesia. Merger, akuisisi, konsolidasi, pembentukan
bank holding company merupakan serangkaian opsi yang ada yang telah
disediakan oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor14/24/PBI/2012 tentang
Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. Opsi-opsi ini memiliki
resiko yang sangat besar apabila diterapkan kepada bank BUMN tersebut.
Hasil analisis menunjukkan opsi yang paling tepat adalah membentuk
virtual holding agar memudahkan koordinasi antar bank-bank BUMN.
Virtual holding yang dibentuk akan menjalankan fungsi-fungsi sebagai
perusahaan induk. Namun demikian, virtual holding tidak akan
menggabungkan saham empat bank BUMN yang dibawahinya.
2. Pembentukan fungsi holding tidak melanggar ketentuan posisi dominan
yang ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sebab ketentuan
melebihi 50% pangsa pasar konsumen dan menutup kesempatan untuk
pelaku usaha lain tidak terpenuhi. Namun ketika pengaturan Single
Presence Policy diterapkan di Indonesia melalui opsi merger, dan bank
holding company justru akan menimbulkan kepemilikan saham dominan
68
yakni melebihi batas ketentuan yang ada dalam PP Nomor 28 tahun 1999
tentang merger, konsolidasi dan akuisisi yang harus memperhatikan
kepentingan rakyat banyak dan persaingan yang sehat dalam melakukan
usaha bank. Hal ini justru bertolak belakang dengan tujuan single presence
policy yang pada awalnya diterapkan untuk membatasi kontrol
kepemilikan sehingga tidak ada pihak yang menguasai lebih dari satu bank
dan merupakan langkah koreksi dari Bank Indonesia yang sebelumnya
terlanjur mengizinkan suatu pihak termasuk asing menguasai lebih dari
satu saham perbankan hingga 99 persen, dan juga bertolak belakang
dengan tujuan dibentuknya Arsitektur Perbankan Indonesia.
B. Rekomendasi
1. Peneliti menilai bahwa Single Presence Policy ini sangat perlu untuk
dilaksanakan secara maksimal, untuk mencegah terjadinya penguasaan
kepemilikan saham dominan oleh pemilik bank yang mempunyai lebih
dari satu bank. Kebijakan ini belum sepenuhnya dijelaskan didalam
peraturan perundang-undangan yang tersedia baik dari segi Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia, dan Peraturan
OJK belum ada klasifikasi yang jelas tentang bank BUMN harus
menggunakan opsi yang mana untuk diterapkan. Namun, peneliti menilai
yang paling minim resiko adalah Pembentukan Fungsi Holding agar tidak
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan menjadi market power
serta posisi dominan dalam dunia persaingan usaha.
2. Peneliti merekomendasikan agar untuk selanjutnya dibuat ketentuan lebih
lanjut didalam peraturan pemerintah atau peraturan menteri BUMN
untuk menerapkan pembentukan fungsi Holding agar terlaksana dengan
baik.
69
DAFTAR PUSTAKA
Bahan Buku
Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, (Sinar Grafika, Jakarta, 2013) Burhan,
Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, ( Rineka Cipta, Jakarta , 2007)
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia. (Kencana, Jakarta, 2014)
Iskandar, Verry. 2011. Akuisisi Saham oleh Perusahaan Terafiliasi dalam
Perspektif Hukum Persaingan Usaha. Jurnal Persaingan Usaha Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Edisi 5.
Ivamy, E.R. Hardy. 1978. Topham and Ivamy’s Company Law - Sixteenth
Edition.London: Butterworth & Co.
Jones, Alison and Brenda Sufrin. 2004. EC Competition Law, Text, Cases, and
Materials. New York: Oxford University Press.
. 2008. EC Competition Law: Text, Cases, and Materials.
United States: Oxford University Press, Inc.
. 2011. EU Competition Law: Text, Cases, and Materials.
United States: Oxford University Press, Inc.
Kagramanto, L. Budi. 2008. Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif
Hukum Persaingan Usaha). Surabaya: Srikandi.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia. 2009. Buku Penjelasan
Katalog Putusan KPPU Periode 2000 – September 2009. Indonesia:
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia.
Kurniawan. 2014. Hukum Perusahaan: Karakteristik Badan Usaha Berbadan
Hukum dan Tidak Berbadan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Genta
Publishing.
Lin, Ethel and Joanne Yong. 2016. The Single Economic Entity Doctrine in
Competition Law. The Singapore Law Gazette.
Lubis, Andi Fahmi dkk. 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks &
Konteks. Indonesia: KPPU.
Margono, Suyud. 2013. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika.
Maria, Titi. 2004. Liability Aspects of Corporate Group Structures: A Primer for
Indonesian Legal Practitioners. Jakarta: PT. Tatanusa.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Ed. Revisi (Kencana Prenadamedia,
2005)
70
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Kencana, Jakarta, 2010)
Siregar, Tampil Anshari, Metode Penelitian Hukum Penelitian Skripsi, (Pustaka
Bangsa Press, Medan, 2005)
Soekanto, Soerdjono dan Sri Mahmudji. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan
di Dalam Penelitian Hukum, (Pusat Dokumentasi, Jakarta, 1979)
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Press, Jakarta, 2008)
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, (Alfabeta,
Bandung, 2005)
Syamsudi M, Operasionalisasi Penelitian Hukum. (PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007)
Tampubolon, Robert. Risk and Systems-Based Internal Audit, (PT. Alex media
Komputindo, Jakarta, 2005 Cet.II )
Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. (PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003)
Wijaya, Krisna. Analisis kebijakan perbankan nasional. (PT elex media
komutindo, Jakarta, 2010(
Bahan Jurnal
Silalahi, M Udin. Single Presence Policy Ditinjau Dari Prespektif Hukum
Persaingan Usaha, Jurnal Hukum Bisnis 2008
Prananingtyas, Paramita. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham
Minoritas dalam Merger Perbankan berdasarkan Single Presence Policy
(Studi Kasus Pada PT. Bank KEB Indonesia dan PT. Bank Hana
Indonesia). Jurnal S1 Universitas Diponegoro. 2016
Pujiyono, Implementasi Single Presence Policy (SPP) Bagi Dunia Perbankan
Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas, Yustisia Vol.1 Nomor1 Januari – April 2012.
Manurung, Adler Haymans, Restrukturisasi Bank BUMN Untuk SPP, Jakarta 12
oktober 2010.
Firda Amalia, Siti Rochmah Ika, Kinerja Bank Indonesia Setelah Melakukan
Merger dan Akuisisi Dengan Kepemilikan Asing: Apakah Lebih Baik?,
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol. 5, No 1, Juni 2014.
71
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 (Undang-Undang Pokok Bank
Indonesia)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Tentang. Larangan Praktek
Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Usaha Milik Negara. PP Nomor
28 tahun 1999 tentang merger, konsolidasi dan akuisisi.
PBI Nomor 7/15/PBI/2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank
Umum,
PBI Nomor 8/16/PBI/2006 dan Nomor14/24/PBI/2012 tentang
Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia,
PBI Nomor 8/17/PBI/2006 tentang Insentif dalam rangka konsolidasi
perbankan
Internet
http://raiby.com/blog/daftar-urutan-bank-terbesar-di-indonesia-2017-
berdasarkan-total-aset diakses pada 27 februari 2017 pukul 22.05 wib
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171213103043-78-
262029/hsbc-indonesia-merumahkan-sementara-70-karyawan dikases pada 28
Februari 2018 Pukul 15.08 WIB