donna, kelinci ajaib: sebuah trilogi
DESCRIPTION
Trilogi ini berisi tiga cerita mini yang saya tulis dalam bahasa Indonesia. Inti cerita berpusat pada Donna, seekor kelinci ajaib yang bisa berubah menjadi seorang kakek tua semacam penyihir bijaksana. Ia tampak diam namun sebenarnya menuntun tokoh cerita lainnya. Cerita ini hanya fiksi belaka dengan menekankan pada aspek-aspek filosofis yang dibungkus oleh atribut magis. Kesamaan nama, tempat atau ide cerita hanya kebetulan belaka. Karena saya masih belajar menulis, setiap masukan konstruktif akan saya terima dengan senang hati :). Selamat membaca dan berimaginasi!TRANSCRIPT
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 1 ©Made Hery Santosa
TRILOGI DONNA, KELINCI AJAIB Story | Made Hery Santosa
Trilogi ini berisi tiga cerita mini yang saya tulis dalam bahasa Indonesia.
Inti cerita berpusat pada Donna, seekor kelinci ajaib yang bisa berubah
menjadi seorang kakek tua semacam penyihir bijaksana. Ia tampak diam
namun sebenarnya menuntun tokoh cerita lainnya. Cerita ini hanya fiksi
belaka dengan menekankan pada aspek-aspek filosofis yang dibungkus
oleh atribut magis. Kesamaan nama, tempat atau ide cerita hanya
kebetulan belaka. Karena saya masih belajar menulis, setiap masukan
konstruktif akan saya terima dengan senang hati :). Selamat membaca dan
berimaginasi!
©mhsantosa (2013)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 2 ©Made Hery Santosa
BAGIAN I
KELINCI AJAIB DAN GADIS KECIL
Hari masih pagi. Ikan-ikan di kolam besar tampak riang melompat-lompat.
Taman disamping kolam berkilau ketika rumput yang berembun
mendapat sinar matahari pagi. Seorang gadis kecil tampak asik menunjuk-
nunjuk, mencoba mendekati sesuatu di bawah pohon mangga.
Wajahnya riang ketika didekatkan pada Donna. Ia tampak sedikit takut-
takut ketika mencoba menyentuh mahluk lucu ini. Donna, demikian
dipanggilnya, adalah seekor kelinci gemuk berwarna coklat yang dibiarkan
bebas di taman kecil ini. Ia biasanya senang berlari ke balik pohon-pohon
kayu manis bertinggi selutut untuk bisa dengan bebas makan rumput
atau wortel yang diberikan padanya. Donna sangat ramah pada setiap
orang. Ia sangat suka dielus-elus oleh tangan-tangan halus dan mungil ini.
Sambil tetap asik menyantap rumput melimpah di depannya, Donna
sesekali melirik tangan mungil yang mengelusnya. Siapa pemilik tangan
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 3 ©Made Hery Santosa
halus ini? Ia mendapati senyuman riang ditujukan padanya. Gigi tonggos
Donna terlihat setelah ia tahu pemilik senyum riang ini.
Tiba-tiba saja Donna berlari menuju semak di sebelah kolam ikan dan
menghilang. Pemilik tangan mungil ini merasa kehilangan. Donna ternyata
masuk ke semacam lubang panjang dan berlari kecil menuju ujung lubang
tersebut dimana seberkas cahaya terang tampak. Ada matahari yang
menyinari tempat di ujung lubang ini. Ketika Donna sampai di ujung
lubang, iapun tiba-tiba berubah menjadi tinggi, dengan janggut panjang,
bertopi lancip dan jubah membalut seorang kakek yang menumpukan
satu tangannya pada tongkat kayu Oak tua.
Sungguh senang hati kakek, yang tadinya adalah Donna, ini. Ia seperti
menemukan sesuatu yang penting.
“Ya!” katanya. “Ya! Gadis kecil itu!”
Ia kemudian bergegas menuju pohon besar di ujung jalan setapak yang
ada di tengah hutan ini. Sesampainya di bawah pohon itu, ia
mengetukkan ujung tongkatnya tiga kali.
“Remnitalis,” suara beratnya mengiringi.
Akar-akar pohon itu, tiba-tiba bergerak dan membuka, seakan-akan
memberi jalan untuk bisa dimasuki. Memang benar, itu adalah pintu
rumah dari si kakek. Ia kemudian bergegas masuk, langsung menuju
lemari yang penuh berisi buku-buku tebal. Kakek ini menuju sisi kanan
atas lemari ini.
“Barrimu Sesethi,” ia terus berguman dan matanya mencari-cari di
tumpukan buku-buku itu.
“Aha!” serunya.
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 4 ©Made Hery Santosa
Ia kemudian menarik sebuah buku tebal bersampul kecoklatan yang agak
lusuh dan sedikit berdebu itu dari lemari buku. Ia menaruhnya di meja dan
mulai membuka halaman demi halaman buku itu. Mulutnya berguman
Barrimu Sesethi terus menerus.
Diluar sana, mata bulat gadis kecil itu terus mencari-cari Donna setelah ia
pergi menghilang. Iapun duduk di kebun ini diatas rerumputan hijau
sambil bermain. Tangan-tangan mungilnya mengambil daun-daun kering,
mencabuti rumput, ‘memanggil-manggil’ ayam dengan melambaikan
tangannya. Donna masih belum kelihatan lagi.
Kakek itu berhenti pada halaman 515 dan terpaku pada satu bagian yang
telah dilingkari dengan tinta tebal. Barrimu Sesethi, begitu tulisannya.
Ia membaca kalimat yag ditandai pada halaman itu.
“Barrimu Sesethi adalah campuran elemen. Elemen api yang panas
membara dan mematikan namun membuat abu kesuburan. Elemen air
yang tenang namun bisa menghanyutkan. Elemen udara yang sejuk
namun bisa menghancurkan. Elemen tanah yang subur namun bisa
mematikan.”
Cuma itu. Ia mencari-cari lagi, membolak balik halaman tersebut. Ia tidak
menemukan apapun. Si kakek tampak lelah. Ia tidak sadar memejamkan
matanya dan tertidur.
“Halo gadis kecil,” sapanya.
Gadis kecil itu hanya melambai-lambai, tersenyum riang.
“Aku menemukan Barrimu Sesethi untukmu.”
Gadis kecil itu mendekat, berusaha mengelus-elus bulu lembutnya. Mata
mereka saling tatap.
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 5 ©Made Hery Santosa
Kakek itu tiba-tiba terbangun dari tidurnya yang tak disengaja. Badannya
terguncang sedikit.
“Aku harus mencari gadis itu lagi.”
Ia menutup buku tebal itu. Tak sengaja, matanya melihat sobekan kecil di
ujung sampul depan buku itu. Ia meneliti sebentar. Dituntun instingnya, ia
merobek sampul itu, dan raut mukanya langsung berubah. Ada potongan
kain lusuh yang tampaknya terbuat dari kulit kambing. Ia menarik kain itu.
Ada semacam gambar di bagian tengah kain itu. Lingkaran berisi tulisan
aneh di sekelilingnya.
“Ommi. Linous. Crosui. Canasi. Ki.”
“Apa ini?”
Ia membalik kain lusuh itu. Ada semacam potongan-potongan gambar.
Seperti puzzle. Semuanya tampak bagai mata bulat besar, ada rahang
bergigi banyak, ada bulu halus kuning, ada warna emas berkilat, ada
logam bulat terukir penuh pendar.
Kakek itu mencoba memutar-mutar potongan kain itu. Membolak-
baliknya.
“Apa arti semua ini? Apa makna kata-kata dan potongan-potongan
gambar ini?” batinnya.
Ia bergegas menuju pintu akan keluar. Akar-akar itu langsung
membukakan jalan baginya untuk keluar. Sambil membawa potongan
kain lusuh itu, kakek berjalan pelan dan sebentar-sebentar bergumam.
“Ommi. Linous. Crosui. Canasi. Ki.”
“Potongan gambar-gambar,” lanjutnya.
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 6 ©Made Hery Santosa
Ia terus melangkah di jalan setapak menuju lubang penuh cahaya tadi.
“Mungkinkah?”
“Erat hubungannya.”
Ujung lubang sudah dekat. Ia bersiap. Sesampainya diujung lubang itu,
cahaya terang langsung menerpa tubuhnya. Seketika itu, tubuhnya
menyusut, berubah kecoklatan dengan kaki empat, telinga panjang dan
dua gigi depan tonggos.
Donna kemudian berlari kencang menuju ujung lubang satunya lagi. Ia
harus cepat. Hari sudah sore. Ia tahu, gadis kecil itu biasanya kembali
bermain di bawah pohon mangga di taman dekat kolam itu sebelum
kembali esok hari. Namun, ia harus bertemu dengannya hari ini, segera.
Ia sampai pada ujung lubang yang menuju taman di sebelah kolam ikan
ini. Pepohonan kayu manis masih berdiri tegak berjejer. Donna keluar dan
melihat gadis kecil riang itu sedang bermain dengan asik. Ia mengambil
daun-daun kering, rumput-rumput hijau, dan tanah coklat subur.
Gadis itu melihat Donna. Ia langsung menunjuk-nunjuk. Donna tahu, ia
mendekatinya. Gadis kecil itu bergerak dan berusaha mengelus bulu
lembutnya. Donna sangat menikmati elusan sayang gadis kecil ini. Ia
berusaha menatap mata gadis ini.
“Aku kembali padamu, gadis kecil.”
Gadis itu, karena belum bisa berbicara, tampak mengangguk dan
tersenyum.
“Apa engkau pernah mendengar Barrimu Sesethi? tanyanya.
Gadis itu menggeleng. Ia tetap mengelus-elus Donna.
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 7 ©Made Hery Santosa
“Barrimu Sesethi adalah kumpulan elemen dasar di bumi ini. Ada api, air,
udara, dan tanah. Masing-masing memiliki kebaikan dan keburukan.” kata
Donna.
Mata mereka tetap saling tatap.
Gadis kecil itu tampak belum sepenuhnya paham, namun mengangguk.
“Di dalam elemen-elemen itu, ada unsur-unsur dasar sifat bernama Ommi,
Linous, Crosui, Canasi, dan Ki,” lanjutnya.
Gadis itu kelihatan tambah tidak mengerti. Ia menggeleng-geleng
kepalanya.
“Dengarlah gadis riang, elemen-elemen itu penting sekali dipahami.
Unsur-unsur dasar selanjutnya yang menuntun hidup. Ommi adalah
burung hantu, lambang kebijaksanaan, juga gelap malam.”
Gadis kecil itu mulai menyimak.
“Linous adalah singa, lambang kekuatan, penghormatan, juga kekuasaan,”
lanjutnya.
Gadis itu menatap mata Donna dan tersenyum.
“Crosui adalah buaya, lambang dari pemangsa, tipu daya, namun kuat dan
cekatan.”
Donna mendekatkan tubuhnya lagi sehingga gadis kecil itu kini bisa
memegang telinga panjangnya.
“Canasi, Donna melanjutkan, adalah burung kenari, lambang ceria, riang,
namun bisa kecil dan lemah.”
Donna menggeliat-geliat ketika tangan mungil gadis itu berusaha
memeluknya.
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 8 ©Made Hery Santosa
“Dan Ki, adalah energi, lambang pengikat semua elemen dan unsur
tersebut. Ia selalu berpendar menetralisir keekstreman.”
Donna kemudian melanjutkan, “Aku paham, engkau belum paham. Tidak
apa-apa, gadis kecil. Engkau bisa menemuiku setiap saat.”
Gadis kecil itu menatap mata Donna sekali lagi dan mengangguk.
“Lihat, ibumu sudah datang menjemput. Ketika engkau sudah besar,
engkau bisa bercerita tentang percakapan kita ini.”
Sumber Gambar
Sumber Tulisan
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 9 ©Made Hery Santosa
BAGIAN II
ARANES DAN TELUR NAGA
Rambut panjang yang sudah memutih itu menutupi punggung
bungkuknya. Ia sedang duduk di atas kayu jati yang tampaknya sudah
cukup tua. Tongkat kayu coklat kehitaman yang terbuat dari Oak
tergeletak di samping kiri tempat duduknya. Ia tampak asyik melihat
koleksi buku-bukunya.
“Siapa dia?” batin Aranes. Ia duduk di lantai kayu di bawah, membelakangi
orang tadi.
“Selamat malam,” sapa Aranes, dengan sedikit takut. Dari belakang, orang
tua ini kelihatan tak ramah.
“Ada apa Aranes?” orang itu membalas sapaannya. Aranes terkejut.
“Darimana ia tahu namaku?” batinnya.
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 10 ©Made Hery Santosa
“Mmm, begini… Saya datang kesini, ingin…”
“Aku sudah tahu,” suara renta itu berat, seakan menyambar Aranes.
Aranes lagi-lagi terkejut. Bagaimana kakek tua ini tahu pikirannya.
“Namun, sebelumnya ijinkan aku menceritakan hal ini,” lanjut kakek itu.
***
Donna sibuk memakan rumput hijau yang melimpah di kebun ini. Lama ia
tak melihat gadis kecil yang ia temui lalu. Kemana gerangan gadis mungil
itu? Sakitkah? Selesaikah ia mengunjungi arena bermain ini? Batinnya
terus bertanya-tanya sambil tetap asyik mengunyah rumput lezat
dihadapannya (Sebagai rujukan, tolong dibaca cerita “Donna, Kelinci Ajaib
sebelumnya).
Ia ingat, beberapa hari lalu ia bertemu dengan seorang pemuda berambut
hitam keabuan, bertelinga sedikit runcing. Pemuda itu menghampiri ketika
ia sedang duduk menghadapi rak buku-buku yang merupakan sumber
pengetahuannya selama ini. Pemuda itu tampak lelah namun matanya
tetap penuh nyala semangat.
Aranes, demikian namanya, duduk bersila di balik punggungnya. Ia agak
sedikit gemetar. Tangannya meremas-remas ujung baju perang yang
terbuat dari kulit bison tebal.
Janggut kakek melambai sebentar karena tiupan angin. Musim gugur kali
ini terasa lebih dingin dari sebelumnya, namun perapian hangat selalu
melakukan tugasnya dengan baik.
***
“Aranes, ada dua buah telur naga yang berwarna kebiruan dihadapanmu.
Telur-telur ini merupakan jenis naga dari pegunungan berapi Naria yang
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 11 ©Made Hery Santosa
penuh bebatuan panas. Jika engkau disuruh memilih, telur manakah yang
paling baik?” tanya sang kakek.
Aranes diam. Ia merasa tidak tahu banyak tentang naga atau telurnya.
“Ayo, gunakan akal yang paling baik,” suara kakek tua itu menyentak
hening Aranes.
“Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu,” sahut Aranes, kebingungan.
“Jawablah. Aku tahu engkau bisa,” kakek itu membalas kebingungan
Aranes.
Aranes kemudian ingat. Dulu, ibunya sering memberitahu cara
mengetahui telur yang baik dan tidak. Ia bisa mengangkat dan merasakan
telur yang ringan dan berat. Jika ringan, itu tandanya telur tersebut tidak
baik; tentu saja tidak akan mungkin menetas.
Ia kemudian berkata, “Bolehkah aku mengangkat telur-telur ini?”
“Tentu saja,” sahut sang kakek.
Aranes kemudian mengangkat telur-telur naga itu. Ia rasakan yang mana
yang lebih ringan. Setelah beberapa lama, ia merasa kedua telur itu tidak
ada yang lebih ringan daripada yang lain.
“Bagaimana, sudahkah engkau tahu jawabannya?” tanya kakek itu.
“Belum,” sahut Aranes.
Aranes kebingungan kembali. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba,
ia ingat cara lain untuk mengetahui telur yang baik.
“Bolehkah aku merendamnya di wadah berisi air?”
“Tentu saja boleh,” kakek itu menjawab, sedikit tersenyum.
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 12 ©Made Hery Santosa
Aranes kemudian langsung mencari wadah dan mengisinya dengan air. Ia
mengambil satu telur dan mencelupnya di wadah berisi air tersebut. Telur
tersebut tidak mengambang. Ia lalu mengambil telur kedua dan
mencelupnya di wadah tadi. Telur kedua ini juga tidak mengambang.
Artinya, kedua telur itu baik. Aranes tampak bingung lagi.
Ia kemudian ingat beberapa fragmen mengenai naga yang ia pernah baca
atau tonton.
Ia pernah membaca cerita Eragon dimana Saphira, naga kebiruan yang
perkasa yang menjadi tunggangan Eragon di medan perang. Ia adalah
naga yang lahir dari telur – pada awalnya hanya dikira batu besar
berwarna biru -yang ditemukan secara tidak sengaja oleh Eragon.
Pertemanan keduanya mengalami pasang surut namun menjadi bumbu
penguat persahabatan mereka.
Aranes juga pernah melihat naga, paling tidak bagaimana ia
dipersepsikan, di beberapa film. Di film Lord of the Rings, naga ini
ditunggangi oleh para Nazgul – dulunya sembilan raja penerima cincin
simbol kekuatan, namun kemudian dibutakan oleh ketamakan akan
kekuasaan itu sendiri. Witch-king of Angmar juga menunggangi salah satu
naga yang menyerang raja Theodon ketika perang. Naga dan
penunggangnya kemudian bisa dibunuh oleh Eowyn, keponakan raja
Theodon dengan bantuan Merry, teman Frodo, Sam dan Pippin, seorang
Hobbit. Naga ini juga terus menerus mencari Frodo yang bersama Sam
sedang berjuang menuju gunung api Mordor.
Ada juga fragmen mengenai naga yang berkelebat di benak Aranes. Naga
bijak penuntun jalan Merlin dalam usahanya membantu Arthur muda
menjadi raja dalam serial Merlin. Naga itu bersuara tidak berat dan selalu
ingin Merlin berjanji melepaskannya setelah memberi petunjuk. Naga
dipercaya telah hidup ribuan tahun sehingga bisa memberi gambaran
akan situasi tertentu yang manusia belum pernah temui sebelumnya.
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 13 ©Made Hery Santosa
Ia juga ingat akan sebuah fragmen tentang naga Ukrainian Ironbelly yang
berkulit pucat, mungkin karena tidak pernah terkena sinar matahari, dari
cerita Harry Potter and the Deathly Hallows yang diikat di kedalaman bank
Gringotts untuk mencegah penyusupan. Naga tersebut kemudian malah
menjadi jalan keluar Harry Potter dan teman-temannya dari penjagaan
super ketat bank di dunia sihir tersebut.
Yang paling berhubungan dengan situasinya saat ini adalah fragmen
tentang naga jenis Hungarian Horntail yang harus dilawan oleh Harry
Potter dalam film Harry Potter and the Goblet of Fire. Ketika itu, Harry
Potter harus berjuang keras menghadapi naga ganas tersebut dalam
usahanya merebut telurnya karena telur tersebut adalah kunci ke
pertandingan selanjutnya.
Semua fragmen itu berdatangan satu-persatu dalam benaknya. Satu
fragmen terakhir tadi seaakan menuntunnya pada sebuah jawaban. Ia
tahu, ia harus memutuskan, menjawab pertanyaan kakek tua ini.
“Baiklah,” kata Aranes, “Aku memilih telur ini.”
Ia menunjuk telur di sebelah kanannya. Kalau diteliti, tidak ada ciri yang
cukup signifikan berbeda dari telur yang satu lagi.
“Mengapa telur ini?” tanya sang kakek.
“Oh, aku hanya memilih secara acak. Aku pilih telur di sebelah kananku ini
karena aku yakin ia lebih baik dari yang satunya lagi,” lanjutnya.
“Hmmm, menarik sekali. Apa alasanmu?” tanya kakek itu, untuk kali kedua.
“Aku tahu jika aku memilihnya, aku akan bertanggung jawab terhadapnya
dan memberikan yang terbaik untuk pilihan itu. Pilihan itu akan selalu ada,
kadang tidak ada yang baik atau yang buruk. Namun ketika kita sudah
memilih, itu berarti kita sudah memberanikan diri menjatuhkan pilihan
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 14 ©Made Hery Santosa
pada suatu hal termasuk menghadapi resikonya. Yakinlah dan jalani yang
terbaik. Rawatlah pilihan itu,” tutur Aranes panjang lebar.
“Menarik, menarik sekali anak muda!” mata kakek itu sedikit bersinar.
“Nah, karena engkau sudah memilih telur di sebelah kananmu, engkau
boleh membawa dan merawatnya, dengan penuh hati-hati dan tanggung
jawab, seperti yang engkau katakan sebelumnya,” kata kakek itu.
Seperti penggalan kisah di fragmen terakhir diatas tadi. Harry Potter
mengambil sendiri pilihannya – melalui undian, kebetulan itu pilihan
terakhir – dan melakukan tugasnya untuk mengambil telur naga terganas
itu, dengan baik.
“Jika telur yang kau pilih ini kelak bisa memberimu jawaban atas hidupmu,
kembalilah padaku. Saat itu, aku akan memberi pilihan lagi,” kata kakek itu
kembali.
Sumber Gambar
Sumber Tulisan
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 15 ©Made Hery Santosa
BAGIAN III
KISAH TEROPONG GALILEO, PALANTIR, BUKU DAN
PEDANG DI UNIVERSITAS LEIDEN
Hari sudah gelap. Musim dingin kali ini terasa lebih dingin dari
sebelumnya dan matahari jauh lebih cepat terggelam. Aku mematikan
lampu dan menutup pintu kantorku. Seperti biasa, aku adalah orang
terakhir yang pulang dari kantor ini. Caroline, temanku yang cantik, sudah
lebih dulu pulang.
Aku menyusuri anak tangga menuju lantai 2. Udara dingin langsung
menampar pipi kering ini. Untung, aku selalu menyiapkan syal dan topi
kupluk serta selop tangan tebal sebagai antisipasi cuaca dingin ini.
Sepanjang jalan, hanya suara angin yang aku dengar. Kutengadahkan
kepalaku, bintang sepertinya enggan. Bulan purnama kali inipun tersaput
kabut.
Ketika melewati jalan setapak di gedung Pusat Penelitian Bio-Research,
mataku tak sengaja melihat 2 cahaya berpendar di kejauhan. Kadang
berkedip. Semakin dekat, aku sadar, ia hanya seekor binatang. Namun,
aku masih ragu, apa ia wallaby, sejenis kangguru tapi lebih kecil, atau
kelinci yang besar. Tampak dua kuping lebar dan tinggi menjulang. Ia
berhenti, sambil mengunyah, ia menatapku.
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 16 ©Made Hery Santosa
Aku seperti mengenalnya. Kelinci coklat ini tampak seperti Donna, kelinci
yang pernah aku ceritakan sebelumnya (untuk lebih jelasnya, silahkan
baca cerita ‘Kelinci Ajaib’ dan ‘Telur Naga’). Kali ini, ia seperti nyata.
“Engkau nyata,” kataku.
Ia tampak mengangguk. Aku tidak yakin. Tapi, kepalanya naik turun.
Mulutnya terus mengunyah sesuatu, mungkin rumput.
***
“Dimana ini?” aku bertanya-tanya.
Mataku menatap sekeliling rumah yang temaram ini. Kubuka mataku lebih
lebar lagi. Aku terbaring di lantai beralaskan karpet krem. Lantainya kayu
berwarna coklat. Dindingnya seperti dari kayu juga. Ada rak berisi banyak
buku tebal di kiri ruangan ini. Perapian di sebelah kananku memberi
hangat yang membuat nyaman tubuhku. Di depan perapian, aku melihat
seseorang duduk di kursi goyang, membelakangiku.
“Halo,” kataku. “Aku ada dimana?” aku memberanikan diri untuk bertanya.
Orang itu diam saja. Namun ayunan kursi goyangnya berhenti.
“Mengapa aku ada disini?” tanyaku lagi.
Ia tampak melipat buku yang dibacanya kemudian ia bangkit dari kursi itu.
Aku tersentak! Tampak wajah keriput berjanggut panjang. Ia tampak
menyeramkan di ruangan yang temaram ini. Tongkat kayunya menjulang
dihadapanku.
“Bangun,” katanya. Suaranya pelan, terdengar berat.
Aku bangkit dari tidurku, dan duduk di karpet krem sambil memeluk
lututku.
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 17 ©Made Hery Santosa
“Ah!” Aku terkejut. “Kenapa kakiku?”
Kakiku, kini bengkok, berjumlah empat. Aku benar-benar tidak menyadari
hal ini sebelumnya.
“Kenapa kakiku? Kau apakan kakiku?” tanyaku, setengah menuduh.
“Bukan aku yang membuat kakimu begitu,” sahut kakek itu.
“Lalu, mengapa ia menjadi seperti ini?” tanyaku. “Sebelumnya tidak
begini!” aku histeris.
“Aku tidak tahu. Yang aku tahu, engkau memilihnya sendiri” sahutnya.
Aku tak mengerti. Baru saja aku melihat seekor kelinci di pelataran parkir
di jalan setapak menuju rumahku. Kini, aku berada di rumah kayu
temaram ini.
“Dengar, aku tidak memilih apa-apa,” kataku. “Jadi, jangan membuat-buat
sesuatu yang aku tidak lakukan,” kataku lagi.
“Dengar anak muda, aku tidak membuat-buat cerita,” katanya.
“Sekarang,coba engkau berjalan ke arah rak buku itu,” lanjutnya.
Aku mencoba bangkit. Tertatih-tatih aku mencoba berjalan. Aku
terhenyak. Aku tidak lagi berjalan tegak namun merangkak.
“Ya Tuhan, kenapa ini?” benakku berkecamuk.
Perlahan, aku bisa mencapai rak buku yang dimaksud.
“Sekarang, coba ambil buku tebal nomor dua dari kiri di rak paling bawah.
Buku itu bersampul kulit rusa berwarna coklat,” kata kakek tua itu.
Aku mencoba mencari-cari buku yang dimaksud. Mataku tertumbuk pada
satu buku berwarna coklat tua. Aku tahu, buku itu yang dimaksud. Aku
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 18 ©Made Hery Santosa
kemudian menarik perlahan buku tebal itu. Namun, seiring tarikanku,
sebuah gulungan perkamen ikut keluar. Warnanya coklat lusuh. Sekilas,
aku melihat beberapa figur dan lingkaran.
“Apa ini?” aku mengeryitkan alis.
“Sudah kau temukan bukunya?” tanya kakek itu.
“Su, sudah,” kataku agak tersentak karena ia mengagetkanku.
“Bawa kesini,” katanya lagi. Aku menyelipkan gulungan perkamen itu di
lengan baju panjangku, kemudian merangkat ke dekatnya.
Aku kemudian merangkak lagi, menuju kakek tua itu. Aku sodorkan buku
tua itu kepadanya. Aku menunggu. Ternyata kakek tua itu hanya diam dan
duduk kembali di kursi goyangnya. Sambil menghadap perapian, ia
berguman sambil mebaca buku yang aku berikan. Akupun terdiam, tak
tahu harus bagaimana. Dalam diam, aku mulai terusik oleh perkamen
yang aku lihat tadi. Perlahan, aku merangkak menuju rak buku di dekatku.
Kakek itu hanya menoleh sebentar, kemudian asyik membaca sambil
berguman.
Hening aku rasakan. Hanya guman kakek itu sesekali aku dengar.
Beberapa waktu kemudian, aku tidak lagi mendengar gumannya. Hanya
dengkur halus memenuhi ruang temaram ini. Aku sedari tadi hanya
memeluk kedua kakiku dengan tanganku, well, kini menjadi kakiku. Aku
tidak berani juga tidak tahu harus berbuat apa ketika kakek itu masih
terjaga. Sekarang ia tertidur, aku memberanikan diri untuk membaca
perkamen yang aku ambil tadi. Sambil menikmati hangat perapian di
ruangan ini, aku perlahan mengeluarkan gulungan perkamen tadi. Aku
mencoba membuka gulungan tersebut. Pelan-pelan.
Perlahan, melihat beberapa garis, motif dan figur, semacam lambang. Ada
tiga lambang yang ukurannya lebih besar dari garis dan motif lainnya. Aku
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 19 ©Made Hery Santosa
merunduk, memperhatikan lambang tersebut, agar lebih seksama, satu-
persatu.
Lambang pertama dari perkamen ini seperti pipa lonjong berukuran
sekitar 30 sentimeter. Ujung satu dengan ujung lainnya berbeda ukuran,
kecil dan lebih besar sepersekian sentimeter. Aku melihatnya seperti
teropong sederhana. Sama sederhananya dengan teropong pertama
buatan Galileo Galilei ketika mencoba mengamati Jupiter dan bulannya.
Saat itu, di tahun 1909-1010, ia berhasil memperbesar objek angkasa
sampai 30 kali dari aslinya. Tiap hari, ia mengamati fenomena astronomi,
termasuk Jupiter. Ia kemudian menemukan tiga benda bulat lainnya suatu
malam, yang kemudian disebut satelit atau bulan. Di malam lainnya, ia
menemukan empat. Begitu seterusnya. Ia kemudian sadar, bahwa benda-
benda bulat kecil ini mengelilingi Jupiter yang lebih besar dari mereka. Ia
menemukan kalau benda-benda kecil itu tertarik oleh sesuatu yang tidak
kelihatan untuk tetap mengelilingi Jupiter. Akan ada suatu waktu, mereka
tertutup oleh penglihatan (seperti fenomena gerhana). Itulah sebabnya
kadang ia melihat hanya tiga bulan saja. Hal ini tentu saja hal biasa saat
ini, namun ketika Galileo menemukannya, itu penemuan luar biasa.
Sesuatu yang mendukung Copernicus, sesuatu yang juga mengusik
kenyamanan pandangan orang-orang umumnya, utama pihak Gereja
yang memiliki pengaruh kuat akan konsep “Semua yang ada diciptakan
oleh dan atas kehendak Tuhan” (kemudian dikenal dengan konsep
heliosentris versus geosentris).
Namun, bayanganku tentang teropong ini tidaklah sejauh itu. Tidak ada
keterangan apa-apa di atas, bawah, dan sekitar lambang pertama ini. Aku
belum paham. Aku melanjutkan pandanganku ke lambang kedua.
Lambang kedua ini berbentuk lingkaran, seperti iris, satu bagian mata.
Ada satu lingkaran kecil di tengahnya, lebih hitam. Tentu saja ia tidak
berwarna apa-apa, kecuali kecoklatan di perkamen lusuh ini. Tidak seperti
iris yang bisa berwarna hijau, biru, coklat dan lainnya. Itulah sebabnya,
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 20 ©Made Hery Santosa
bagian mata dinamai iris, mengambil nama dewi pelangi menurut orang
Yunani kuno. Di bagian luarnya, terdapat beberapa corak berbeda-beda,
kadang bulat, kadang garis.
“Apa ia Palantir?” gumanku.
Palantir adalah batu bulat magis imaginasi Tolkien. Salah satunya,
Orthanc, adalah palantir yang digunakan oleh Saruman dalam karangan
Lord of the Ring: The Two Towers untuk berkomunikasi dengan Sauron.
Sekali lagi, tidak ada keterangan lanjutan dari lambang ini. Hanya itu.
Akupun hanya bisa meraba-raba, menginterpretasi. Akupun terdiam
sesaat. Terdengar dengkur si kakek tua agak keras dari sebelumnya. Ia
menggumankan sesuatu, namun aku tidak begitu jelas mendengarnya.
Aku kemudian lanjut membuka gulungan perkamen ini. Ada lambang lain
diujungnya.
Lambang ketiga ini menyerupai kotak-kotak kecil dalam jaring yang
tergantung. Disampingnya ada benda pipih panjang dengan tangkai ada
di bagian atas. Sama, tergantung juga. Benda-benda ini mirip dengan
kumpulan buku dan pedang tergantung yang pernah aku lihat
sebelumnya di Universitas Leiden, Belanda. Beragam buku dikumpulkan
dan dijadikan satu dengan wadah jaring besar, kemudian digantung di
langit-langit gedung. Disampingnya, sebuah pedang besar tergantung
terbalik. Persis!
Namun, sekali lagi, aku tidak menemukan keterangan apa-apa di sekitar
lambang ini. Aku mencoba membolak-balik perkamen lusuh ini. Mencoba
menemukan sesuatu yang bisa membantuku memahami isi perkamen ini.
Tapi, tidak satu keteranganpun aku bisa temukan. Aku coba mencari di
sela-selanya, berharap sesuatu ada didalamnya, namun perkamen ini tidak
punya celah.
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 21 ©Made Hery Santosa
Aku kembali menggulung perkamen itu dan memasukkannya ke kantung
celanaku. Aku memutuskan untuk menyimpannya.
“Apa yang kau baca?” tiba-tiba, suara berat mengagetkanku. Kakek itu
sudah bangun dan matanya tajam menatapku.
“Oh, ti.. tidak aaadaa,” jawabku, gemetar.
Kakek itu bangkit. “Tidak apa-apa, aku melihatmu memegang perkamen
itu.” Ia beringsut, mendekatiku.
Akhirnya, aku mengeluarkan perkamen tadi. Aku menceritakan apa yang
aku lihat dan pikirkan.
“Begitukah yang engkau pikir? tanyanya. Suaranya seperti melembut
sedikit.
“Iya, begitu. Mungkin itu hanya interpretasi dari pengalamanku saja. Bisa
saja kurang tepat. Bagaimana menurutmu, Kek? tanyaku.
“Oh, aku lebih tertarik dengan apa yang engkau artikan dari lambang-
lambang itu. Aku ingin tahu lebih lanjut kenapa,” sahutnya, dengan
senyum lebih manis kali ini.
“Well,” kataku, “aku melihat lambang pertama sebagai teropong karena
bentuknya memang seperti teropong menurutku. Aku menonton kisah
Galileo dalam film dokumenter berjudul ‘Did God create the Universe?’
yang berisi pemikiran Stephen Hawking mengenai terjadinya alam
semesta. Galileo dikisahkan meneropong Jupiter dan menemukan bulan-
bulan tersebut berotasi pada Jupiter. Saat itu, temuannya termasuk
menggegerkan pandangan bahwa bumi itu datar dan semua atas
kehendak Tuhan, minim dasar ilmiah. Hingga ia harus dipenjara dan
menderita karena pandangannya tersebut. Aku pikir, kadang kita harus
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 22 ©Made Hery Santosa
melihat, mengindentifikasi sesuatu, agar lebih jelas menggunakan alat
yang tidak biasanya.”
“Menarik sekali!” jerit kakek tua itu. “Aku tidak menyangka engkau
memaknainya demikian. Jauh dari apa yang aku dulu pikirkan dulu,”
sambungnya. “Bagaimana dengan lambang kedua?” tanyanya kemudian.
“Seperti aku ceritakan, lambang kedua itu aku lihat seperti iris, bagian
mata. Dari bentuknya memang tidak mirip sekali, apalagi warna, karena
memang lambang kedua itu tidak berwarna. Tapi aku berimajinasi kalau
itu iris, yang bisa menampung cahaya, yang bisa berwarna berbeda-beda.
Selain iris, palantir juga masuk ke benakku. Lebih pada fungsinya
membantu melihat sesuatu yang jauh, yang tidak selalu tampak,” aku
berbicara panjang lebar mengenai inpterpretasiku terhadap lambang
kedua itu.
“Wow, sampai seperti itukah engkau melihatnya?” ia bertanya. “Aku dulu
melihatnya berbeda sekali,” sambungnya.
Sudah dua kali kakek itu mengatakan “Dulu aku berpikir atau melihatnya
berbeda.” Aku bertanya, “apa engkau pernah melihat perkamen ini
sebelumnya, Kek?”
“Oh iya, beberapa tahun yang lalu. Waktu itu, aku menemukannya di
dalam tongkat Oak yang aku pakai sekarang” katanya. Tapi sudahlah, aku
ingin tahu bagaimana engkau melihat lambang ketiga itu.
“Lambang ketiga itu, mirip sekali dengan apa yang aku pernah lihat
sebelumnya tergantung di salah satu gedung di Universitas Leiden di
Belanda. Buku-buku dimasukkan dalam jaring kuat dan besar kemudian
digantung. Benda pipih panjang itu juga mengingatkanku akan pedang
besar yang tergantung di sebelah buku-buku tersebut. Waktu itu, aku
senang sekali melihatnya, penuh estetika. Begitu akademis kesannya
dalam bangunan kuno berarsitektur Eropa kental. Rasanya itu seperti
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 23 ©Made Hery Santosa
tempat pencarian ilmu terindah. Dengan buku-buku (dan sumber lainnya)
aku tahu kita bisa belajar, bisa berkontribusi. Dengan pedang, aku pikir
kita bisa memilah, bisa mengasah, namun bukan membunuh,” tutupku.
“Wah, imaginasimu sungguh liar! Aku dulu tidak melihatnya demikian,” ia
lagi menenekankan hal itu.
Aku terdiam sejenak. “Seperti yang aku bilang sebelumnya, Kek, apa yang
aku lihat bisa saja berbeda dari orang lain. Kakek selalu bilang dulu tidak
seperti itu. Kalau aku boleh tahu, seperti apakah dulu Kakek lihat
lambang-lambang itu?” tanyaku.
“Oh, aku hanya melihatnya sebagai pipa air, bola, dan karung beras serta
besi pengecek kualitas beras,” sahutnya.
“Kenapa begitu, Kek?” tanyaku.
“Ah, sudahlah, aku sudah lupa,” jawabnya, seperti membiarkan
pandangannya terhadap lambang-lambang tersebut lepas, liar, dan penuh
misteri. “Baiklah, aku mau melanjutkan tidurku,” lanjutnya lagi.
Ia berjalan ke dalam ruangan lain dan tak lama aku mendengar dengkur
halusnya. Di sudut ruangan temaram ini, aku memeluk kembali erat kedua
kakiku. Hangat perapian masih baik. Di luar sana, salju turun dengan lebat.
Jalanan pasti tertutup salju tebal esok hari. Tak sadar, akupun tertidur
karena kelelahan.
***
Aku tersentak. Seperti terbangun dari mimpi. Aku masih ada di jalan tadi
melihat kelinci coklat itu di kejauhan. Ia menatapku, lama. Aku tertegun. Ia
kemudian melompat-lompat menjauh, menuju pepohonan di belakang
mobil-mobil yang parkir di tempat parkir nomor 3 ini. Aku sempat melihat
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 24 ©Made Hery Santosa
ia melompat-lompat ketika sebuah bus lewat menghalangi pandanganku.
Ia kemudian menghilang.
Sampai sekarang, aku belum mengerti arti lambang-lambang di perkamen
itu. Mungkin saja itu kertas lusuh biasa yang tak bermakna apa-apa. Aku
bisa saja membayangkan lambang-lambang tersebut sebagai teropong,
mata, dan buku pedang saat ini. Namun, aku tidak mau membatasi arti
dan makna dengan berhenti pada interpretasi sebelumnya. Seperti ayah
Hugo dalam film Hugo, berkata “A mystery will always make you happy.”
Aku tahu rasa ingin tahu akan membuatmu terus belajar dan
berimaginasi. Bukankah Einstein berkata “The most important thing is not
to stop questioning. Curiosity has its own reason for existing.”
Sumber Gambar: Teropong Galileo, Palantir, Buku & Pedang: ©Santosa Photography
Sumber Tulisan
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 25 ©Made Hery Santosa
Rekan pembaca, terima kasih sudah membaca sampai habis. E-Book ini
bisa diunduh dan disebarluaskan dengan sepengetahuan saya. Karena
masih belajar, saya yakin ada banyak kekurangan. Sekali lagi, saya dengan
senang hati menerima masukan konstruktif pembaca sekalian. Selamat
berbagi!