dosen.ikipsiliwangi.ac.id · prosiding seminar nasional pendidikan bahasa dan sastra indonesia 2015...
TRANSCRIPT
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
1
PERAN BAHASA INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI
UNTUK MEWUJUDKAN BANGSA YANG UNGGUL
DALAM KONTEKS MASYARAKAT EKONOMI ASEAN1
Sarwiji Suwandi2
Universitas Sebelas Maret
Pendahuluan
Kemampuan anak Indonesia usia 15 tahun di bidang matematika, sains, dan membaca
dibandingkan dengan anak-anak lain di dunia masih rendah. Hasil Programme for
International Student Assessment (PISA) 2012, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65
negara yang berpartisipasi dalam tes. Penilaian itu dipublikasikan oleh the Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD). Indonesia hanya sedikit lebih baik dari
Peru yang berada di peringkat terbawah. Rerata skor matematika anak- anak Indonesia 375,
rerata skor membaca 396, dan rerata skor untuk sains 382. Padahal, rerata skor OECD secara
berurutan adalah 494, 496, dan 501 (http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/ survei-
internasional-pisa).
Perlu ada penelitiaan yang komprehensif untuk menemukan akar permasalahan atas
kurangnya kemampuan membaca anak-anak Indonesia. Mereka pada umumnya kurang
memiliki minat dan budaya baca dan karenanya kompetensi membaca mereka kurang. Untuk
siswa SMP, misalnya, berdasarkan riset yang dilakukan Suwandi (2007b: 43) diketahui
bahwa kemampuan membaca cepat mereka rerata 144 kata per menit. Anak-anak
Indonesia—khususnya generasi muda—banyak membelanjakan waktunya untuk sekadar
“ngobrol” melalui berbagai media sosial (medsos) yang ada, seperti face book, whats ap,
twitter, instagram, dan path. Berdasarkan penelusuran terbatas pengguna medsos di kalangan
generasi muda, sedikit di antara mereka yang memanfaatkan media tersebut untuk menambah
atau memperkaya ilmu pengetahuan. Rendahnya minat dan budaya membaca berdampak pada
1Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional dengan tema “Peran Bahasa dan Sastra Indonesia
dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)” yang diselenggarakan STKIP Siliwangi
Bandung, 25 November 2015. 2Guru Besar pada FKIP dan Ketua Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
2
kurangnya kompetensi menulis mereka. Aktivitas menulis mereka lebih banyak didominasi
untuk keperluan chatting dan menulis caption. Mereka juga kurang memiliki kemahiran
berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Para siswa pun kurang memiliki
kemampuan mengapresiasi dan berkspresi sastra.
Setelah diketahui prestasi literasi siswa Indonesia dibandingkan dengan prestasi
literasi siswa dari negara-negara lain dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, perlu
dirumuskan kebijakan dan strategi implementasi yang tepat untuk meningkatkan daya saing
dan keunggulan Indonesia. Pendidikan yang berkualitaslah yang mampu menggaransi
keberhasilan upaya tersebut. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global, akuntabilitas publik terhadap kualitas
pendidikan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah,
dan berkesinambungan perlu dilakukan. Pendidikan diharapkan memiliki kesiapan dalam
memberikan respon yang positif terhadap berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat (Suwandi,
2014: 1), terlebih pada tahun 2015 kita sudah masuk pada Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC). MEA menghadapkan kita pada tantangan
kompetisi yang lebih besar. Untuk itulah, kualitas praktik dan hasil pendidikan perlu secara
terus-menerus ditingkatkan.
Upaya meningkatan mutu pendidikan harus menjadi komitmen semua guru mata
pelajaran, termasuk guru atau pendidik bahasa Indonesia. Kiranya kita bisa bersetuju bahwa
setakat ini pembelajaran bahasa Indonesia dinilai belum menunjukkan performa yang
diharapkan. Melalui berbagai forum ilmiah (seperti kongres, konferensi, seminar, workshop,
pelatihan, bimbingan teknis, atau apa pun disebut persoalan mutu pembelajaran bahasa
Indonesia terus disorot dan diartikulasikan. Kritikan terus-menerus dikumandangkan, bukan
saja oleh para pengguna lulusan dan masyarakat luas, tapi juga oleh para pelaku pendidikan.
Suara kritis dari para pelaku pendidikan (termasuk guru dan dosen) tentu pantas diapresiasi
karena hal demikian dapat dipandang sebagai hasil refleksi diri dan pertanda kedewasaan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3
Lebih dari itu, sesungguhnya harus menjadi kesadaran kolektif bahwa ikhtiar untuk
mewujudkan proses dan hasil pembelajaran yang bermutu harus dilakukan secara terus-
menerus dan berkelanjutan.
Upaya meningkatkan mutu pembelajaran bahasa Indonesia bukanlah persoalan yang
mudah karena pembelajaran merupakan sistem yang kompleks. Menurut Richards (2002: 54),
terdapat empat faktor utama dalam pembelajaran, yaitu sekolah, guru, proses pembelajaran,
dan siswa. Sesuai dengan sistem kompleks pendidikan dan pembelajaran, pendekatan
sistemik dan sistematik sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada.
Perbaikan pada berbagai komponen pendidikan/pembelajaran harus dilakukan secara
simultan. Perbaikan haruslah menjangkau dimensi teoretis konseptual, regulasi, maupun
dimensi praksis. Untuk itu, program sinergis yang dilakukan oleh seluruh pemangku
kepentingan pendidikan/pembelajaran—guru, dosen, pengawas, penulis buku, pengembang
model pembelajaran, pengembang model penilaian, perancang/pengembang kurikulum,
sekolah, perguruan tinggi, pemerintah, dan masyarakat—sangat diperlukan.
Makalah ringkas ini lebih berfokus pada upaya pengembangan budaya dan
kemampuan literasi. Kemampuan literasi menurut pandangan penulis merupakan modal yang
teramat penting bagi tercapainya keunggulan. Untuk itu, upaya mengembangkan budaya
literasi agar anak-anak Indonesia—khususnya generasi muda Indonesia—memiiki prestasi
literasi yang baik dan pada giliranya memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa
merupakan sebuah keniscayaan.
Bangsa yang Unggul
Kehendak menjadikan bangsa yang unggul menuntut ikhtiar yang sungguh-sunguh
agar masyakat dan bangsa Indonesia terlebih dahulu berilmu. Perlu ada upaya yang sistematis
untuk mencendekiakan masyarakat dan bangsa Indonesia serta menjadikan bangsa Indonesia
yang bermartabat karena kamajuan ilmunya. Untuk itu, diperlukan perencanaan dan
implementasi pendidikan secara baik.
Upaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas bertalian erat dengan
pengembangan kurikulum. Kurikulum memiliki peran yang sangat strategis dan menentukan
dalam pelaksanaan dan keberhasilan pendidikan sebagaimana dinyatakan oleh Richard (2002:
2), “curriculum development is more comprehensive than syllabus design. It includes the
processes that are used to determine the needs of a group of learners, to develop aim and
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
4
objectives for a program to address those needs, to determine an appropriate syllabus, course
structure, teachings methods, and materials, and to carry out an evaluation of the language
program that results from the processes.
Dalam upaya mengembangkan kulitas pendidikan, kurikulum—baik di tingkat
sekolah dasar dan menengah maupun pendidikan tingi—terus-menerus
diperbaiki/disempurnakan. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 untuk
pendididkan dasar dan menengah dengan segenap pro kontra dikembangkan menjadi
Kurikulum 2013. Sementara itu, Kurikulum Inti dan Institusional 2002 untuk perguruan tinggi
dikembangkan menjadi Kurikulum Pendidikan Tinggi yang mengacu pada Perpres RI No. 8
Th. 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, Permendikbud No. 73 Tahun
2013 tentang Pelaksanaan Kerangka Kualifikasi Indonesia, dan Permendikbud RI No. 49
Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.Namun demikian, perlu disadari
bahwa kurikulum yang baik belumlah menjamin dihasilkan hasil pendidikan yang baik.
Implementasi kurikulum tersebut pada akhirnya sebagai penentu terwujudnya hasil
pendidikan yang berkualitas.
Selain pendidikan, strategi yang dipandang jitu untuk menjadikan bangsa Indonesia
sebagai bangsa berilmu adalah memajukan kegiatan penelitian. Melalui penelitianlah akan
banyak diproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi baru, pemikiran-pemikiran baru, model-
model baru, dan produk-produk inovatif dalam bidang kebudayaan dan seni.
Tatkala bangsa Indonesia telah maju, yang ditunjukkan kemampuannya dalam
menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa-bangsa lain akan tertarik untuk
mempelajari dan berupaya memperoleh ilmu dan teknologi tersebut. Dalam hal kemajuan
ilmu dan teknologi itu dikemas dan disajikan dalam bahasa Indonesia, maka orang dan bangsa
lain sudah tentu akan berusaha mempelajari bahasa Indonesia.
Untuk mewujudkan bangsa dan masyarakat yang cendekia perlu ditanamkan nilai-
nilai karakter, yang menurut Indonesia Heritage Foundation meliputi (1) cinta Tuhan dengan
segenap ciptaannya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran, bijaksana, amanah,
(4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong, dan gotong royong, (6) percaya diri,
kreatif, dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, dan (9)
toleransi, kedamaian, dan kesatuan (Kesuma dkk., 2011: 14). Sementara itu, karakter bangsa
yang perlu dibentuk dan secara terus-menerus dibangun hemat saya meliputi (1) ketuhanan,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
5
(2) kejujuran, (3) kepemimpinan, (4) kedisiplinan, (5) etos kerja, (6) kepercayaan diri, (7)
kemandirian, (8) kesantunan, (9) tanggung jawab, dan (10) toleransi.
Upaya menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang unggul menuntut sikap
terbuka. Keterbukaan menjadikan bangsa dapat menerima yang baik dan bermanfaat dari
siapapun, dan menolak yang buruk melalui filter pandangan hidupnya. Berkenaan dengan ini
tampaknya perlu ada rekonstruksi pengetahuan dan sikap masyarakat Indonesia dalam
memaknai keterbukaan. Fenomena yang kita saksikan sekarang ini berkecenderungan
memaknai keterbukaan sebagai kesediaan menerima sebanyak-banyaknya unsur-unsur dari
luar, terlebih terkait dengan ideologi kapitalis. Kecenderungan yang demikian itu sangat
mengganggu dan menghambat upaya Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dan maju.
Berkenaan dengan keterbukakan, patut kita simak pernyataan tokoh pendidikan
nasional kita, Ki Hadjar Dewantara yang mengaitkannya dengan kemerdekaan bangsa.
Kebudayaan adalah buah budi manusia yang beradab dan buah perjuangan manusia terhadap
dua kekuatan yang selalu mengelilingi hidup kita, yaitu kekuatan kodrat-alam dan
zaman/masyarakat dari tiap-tiap bangsa. Hal itu yang menyebabkan corak dan warna yang
khusus pada kebudayaan masing-masing bangsa. Khususnya sifat kebangsaan berarti
kemerdekaan bangsa seutuhnya, tidak hanya kemerdekaan politik, tetapi merdeka dalam
hidup kebudayaannya dan merdeka dalam mewujudkan hidup dan penghidupannya.
Kemerdekaan politik kita akan terdesak, akan lenyap atau tidak berarti, kalau tidak didasarkan
pada kemerdekaan kebudayaan (Tauchid dkk., 2013: 171-172).
Pandangan visioner dalam pidato Ki Hadjar Dewantara yang disampaikan pada
Sidang Komite Nasional Pusat (DPR) di Malang tanggal 3 Maret 1947 tersebut masih relevan
dengan konteks perikehidupan berbangsa sekarang ini. Fenomena yang dapat kita saksikan
telah terjadi “penjajahan” di bidang ekonomi dan kebudayaan atau kita secara tidak sadar
membiarkan diri kita “dijajah”. Sikap mental yang tidak menghargai karya anak bangsa
sendiri dan sebaliknya lebih mengagung-agungkan produk bangsa lain demi menjaga image,
mengejar pencitraan, dan demi gagah-gagahan adalah salah satu bentuk sikap permisif atas
praktik penjajahan. Kecenderungan generasi muda tidak mengenal atau tidak mau megenal
produk kebudayaan sendiri yang mengandung nilai adiluhung dan sebaliknya lebih
menggandrungi produk budaya Barat tanpa filter nilai-nilai yang kita miliki memberikan
peuang besar terjadinya “penjajahan” bahkan “penindasan” kebudayaan. Jika kita
menginginkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka secara utuh sebagaimana
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
6
dinyatakan Ki Hadjar Dewantara di atas, perlu dirumuskan dan diimplementasikan strategi
kebudayaan yang tepat.
Pengembangan Budaya Literasi
Budaya literasi (tulis) sering dikontraskan dengan budaya lisan (oral). Kedua budaya
yang bersangkut paut dengan aktivitas berbahasa tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Kelebihan budaya lisan, baik yang dipresentasikan dalam
komunikasi bersemuka serta melalui media audio-visual dengan segenap aspek gesture dan
kinestetik yang menyertainya, adalah kemampuannya dalam mengomunikasikan aspek emotif
dan sering hal-hal abstrak yang sulit diungkapkan melalui budaya literasi bisa diungkapkan
dengan lebih baik. Karena aspek emotif itu pula aktivitas berbahasa lisan sering pula bisa
membuat tingkat partisipasi pendengar/pemirsa lebih tinggi. Sementara itu, budaya literasi
harus diakui sebagai landasan perkembangan ilmu pengetahuan karena bahasa ilmu lebih
menekankan pada fungsi simbolik serta menekankan aspek presisi.
Selain kelebihan di atas, harus pula diakui bahwa budaya literasi memunculkan
dampak invidualisme. Dampak tersebut sulit dihindari karena aktivitas membaca merupakan
proses individualisasi. Aktivitas membaca pada umumnya merupakan proses yang terjadi
secara sendiri dan membutuhkan internalisasi yang intens antara pembaca dengan objek
bacaan. Sikap invidualisme yang tinggi akan dapat memunculkan ancaman atau setidaknya
hambatan bagi upaya mewujudkan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat literasi.
Harmoni dalam kehidupan sering dikonotasikan dengan terwujudnya situasi keguyuban.
Sementara itu, tingkat partisipasi yang berlebihan yang terbentuk dalam budaya oral bisa
berdampak pada rendahnya produktivitas masyarakat.
Literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis atau
kadang disebut dengan istilah atau “melek aksara” atau keberaksaraan (Harras, 2011). Literasi
menurut Besnier adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara visual, bukan
melalui saluran pendengaran dan isyarat Sementara itu, menurut Kirsch dan Jungeblut, literasi
kontemporer diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi tertulis
atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi
masyarakat luas (Takdir, 2012). Dalam bahasan ini, literasi lebih berkaitan dengan konsep
membaca dan menulis. Oleh karena itu, budaya literasi yang dimaksudkan dalam tulisan ini
lebih budaya membaca dan menulis.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
7
Upaya mengembangkan budaya literasi sesungguhnya telah dilakukan sejak lama,
antara lain melalui “gerakan ayo membaca” yang dicanangkan pemerintah. Pengembangan
budaya literasi untuk siswa pun telah menjadi perhatian pemerintah. Dalam Permendiknas
No. 22 Th. 2006 tentang Standar Isi ditegaskan bahwa pada akhir pendidikan di SD/MI,
peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya sembilan buku sastra dan nonsastra; pada
akhir pendidikan di SMP/MTs, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku
sastra dan nonsastra; dan pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca
sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra. Namun demikian, hampir 10 tahun KTSP
diimplementasikan, tampaknya target tersebut tidak tercapai. Alih-alih menugasi siswa
membaca buku sain dan sastra, dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah pun guru
sering tidak menggunakan buku ajar dan menggantikannya dengan Lembar Kerja Siwa
(LKS).
Berbeda dengan KTSP, sungguhpun Kurikulum 2013 sangat menekankan kompetensi
anak dalam membaca dan menulis melalui pembelajaran berbasis teks, kurikulum ini tidak
mematok target minimal buku yang harus dibaca siswa. Dilihat dari sisi ini, tampak
kegamangan Kurikulum 2013. Secara berpikir sederhana pun tentu dapat dipahami bahwa
jika para siswa dituntut mampu memproduksi tulisan, maka tentu mereka harus banyak
membaca. Melalui aktivitas banyak membaca para siswa akan mendapat banyak inspirasi,
memiliki gagasan dan wawasan yang kaya, dan sekaligus memperoleh banyak model tulisan
yang baik.
Budaya dan minat baca masyarakat Indonesia saat ini cukup rendah. Menurut data
United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), pada 2012,
indeks minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai angka 0,001. Artinya, dari setiap
1.000 orang Indonesia hanya ada 1 orang saja yang punya minat baca
(http://www.republika.co.id/berita/nasional). Jika minat dan budaya baca masih rendah dan
belum bertumbuh, maka sulit diharapkan budaya menulis akan berkembang.
Kurangnya budaya membaca dan menulis bukan saja terjadi pada diri siswa, tapi juga
pada diri mahasiswa, guru, dan bahkan dosen di perguruan tinggi. Fakta menunjukkan bahwa
jumlah terbitan buku di Indonesia tergolong rendah, tidak sampai 18.000 judul buku per
tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang yang mencapai 40.000 judul buku per
tahun, India 60.000, dan China sekitar 140.000 judul buku per tahun.Jumlah produksi buku
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
8
Indonesia hampir sama dengan Vietnam dan Malaysia. Namun, jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk masing-masing negara tersebut, produksi Indonesia tergolong rendah.
Budaya literasi berkaitan erat dengan budaya meneliti. Perguruan tinggi sebagai
lembaga ilmiah sudah sepantasnya memiliki dinamika yang tinggi dalam penelitian. Akan
tetapi, kegiatan penelitian di perguruan tinggi masih terbatas pula. Produktivitas penelitian
dan menulis artikel yang dipublikasi di jurnal ilmiah belum sebanding dengan jumlah
perguruan tinggi dan dosen yang ada di Indonesia. Faktor paling klasik yang sering
mengemuka adalah terbatasnya dana dan kompetensi tenaga penelitian. Alasan tersebut
sebenarnya tidak terlalu tepat kerana pemerintah telah mengalokasikan dana dalam jumlah
cukup besar melalui berbagai skim penelitian (dosen pemula, kerja sama antarperguruan
tinggi atau PEKERTI, unggulan perguruan tingi, tim pascasarjana, fundamental, hibah
bersaing, disertasi doktor, strategis nasional, unggulan strategis nasional, riset andalan
perguruantinggi danindustryatau RAPID, kerja sama luar negeri dan publikasi internasional,
kompetensi, dan prioritas nasional MP3EI) dan sering tidak semua dana yang disediakan bisa
terserap. Berkenaan dengan alasan kedua, sebenarnya masalah tersebut dapat diatasi dengan
upaya peningkatan kompetensi dosen dan juga mahasiswa dalam penelitian. Dosen tentu tidak
boleh hanya berfokus pada tugas mengajar karena dosen tidak saja menyandang predikat
sebagai pendidik profesional, tetapi juga ilmuwan (lihat UU No. 14 Th. 2005 tentang Guru
dan Dosen). Dosen dituntut mampun memenuhi semua tugas tridarma.
Karakteristik profesionalisme pendidik sebagaimana telah dikemukakan
memandatkan dosen/guru untuk secara terus-menerus memikirkan secara reflektif apa yang
telah, sedang, dan akan dikerjakan dan dihasilkan. Dalam konteks pengajaran, pendidik perlu
secara sistematis mengeksplorasi, meniliai secara kritis, dan membingkai kembali praktik
pengajarannya secara holistik untuk dapat membuat interpretasi secara benar dan selanjutnya
menentukan pilihan yang tepat untuk memperbaiki kinerjanya. Demikian pula dalam bidang
penelitian. Seberapa banyak dan berkualitas penelitian yang telah dilakukan dan rencana
terbaik apakah yang akan dilakukan untuk memperbaiki kinerja penelitian
Sebagai pendidik guru/dosen harus memiliki kesadaran akan praktik pengajaran dan
penelitian serta kesediaannya untuk berubah ke arah yang lebih baik. Perubahan itu
hendaknya dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pendidik dituntut memiliki sikap
terbuka dan tanggung jawab. Untuk mewujudkan keefektifan, integrasi, dan sinergitas
kegiatan penelitian dan pendidikan serta pengabdian kepada masyarakat dibutuhkan strategi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
9
pengembangan dalam bentuk road-map yang merupakan pijakan dari ragam bentuk aktivitas
untuk mencapai tataran peningkatan kualitas yang diinginkan/ditargetkan. Road-map
penelitian perlu dimiliki lembaga pendidikan tinggi, program studi, dan bahkan dosen
peneliti. Road-Map merupakan panduan tujuan, sasaran, strategi, dan kebijakan dalam
mewujudkan visi, misi, dan tujuan organisasi. Road-Map memandu program studi/lembaga
untuk menjalankan strategi dan program-program aksi secara terarah, sistematis, terintegrasi,
termonitor, dan terukur dengan baik. Road-Map dapat diibaratkan sebagai sebuah peta jalan
dalam satu perjalanan agar perjalanan tersebut dapat efektif dan efisien. Dengan demikian,
jelaslah bahwa menyepakati “jalan” yang akan ditempuh untuk mewujudkan “tujuan (mimpi)
kreatif” di masa depan sangat diperlukan.
Dosen dan guru hendaknya tidak terjebak dalam tugas-tugas rutin belaka. Sebagai
pendidik yang kreatif, dosen dan guru perlu membuktikan diri mampu berpikir dan bertindak
'out of the box' dengan berani membuat dan mengimplementasikan program yang belum
pernah dilakukan orang lain. SUNGGUH INI SEBUAH TANTANGAN. Sudahkan kita
memiliki portofolio membaca, portofolio meneliti, dan portofolio menulis? Apakah koleksi
bahan bacaan kita meningkat dari waktu ke waktu? Berapakah jumlah buku atau bahan
bacaan lain yang telah kita baca hari ini dan seberapa banyak kita perlu menambahnya pada
waktu berikutnya. Seberapa berkualitas penelitian yang telah kita lakukan dan apa yang harus
kita lakukan ke depan untuk meningkatkan kualitas itu? Seberapa banyak dan berkualitas
tulisan (buku, modul, bahan ajar, makalah, artikel publikasi, atau tulisan lain) yang telah
dihasilkan dan apa yang kita programkan dan lakukan untuk mengembangkannnya? Cobalah
kita berefleksi diri untuk menemukan jawaban jujur atas peratanyaan itu.
Ikhtiar membenahi budaya literasi di kalangan pendidik secara simultan juga perlu
dilakukan pada diri peserta didik. Penumbuhkembangan budaya literasi harus dilakukan
secara sistematis (terencana, terus-menerus, dan dapat dievaluasi) dengan menggunakan
metode yang efektif dan efisien. Upaya itu harus ditempatkan secara tidak terpisahkan dengan
aktivitas berbagai sektor kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, upaya menumbuhkan
budaya literasi merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen atau eksponen
masyarakat, mulai dari institusi sosial paling kecil (rumah tangga) sampai ke institusi paling
besar (pemerintah).
Keluarga—terutama orang tua—mempunyai peran yang sangat menentukan. Fungsi
keluarga bukan semata-mata hanya melakukan fungsi reproduksi atau fungsi perlindungan,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
10
tetapi juga bertanggungjawab melakukan fungsi soasialisasi—termasuk di dalamnya
mendidik anak agar memiliki perilaku gemar membaca dan tentu menulis. Orang tua perlu
mengarahkan perhatian mereka dari televisi ke buku, dari budaya menonton ke budaya
membaca. Melalui membaca, keaktifan pikiran dan imajinasi anak makin berkembang.
Orang tua dapat berperan ganda, yaitu sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator,
orang tua menyediakan buku-buku atau bacaan serta kebutuhan yang lainnya untuk menopang
kegiatan membaca yang dilakukan oleh anak sehingga dapat mencapai tujuan sebagaimana
yang dikehendakinya. Sebagai motivator, orang tua perlu dengan sabar senantiasa mendorong
dan membimbing anaknya untuk senantiasa melakukan kegiatan membaca dan mencintai
bacaan. Kepada mereka perlu kita tumbuhkan sikap mental positif terhadap kegiatan
membaca dan bacaan sejak dini (Suwandia, 207: 8).
Alangkah naifnya orang tua yang berharap anaknya rajin membaca, tetapi mereka
sendiri tidak mempersentuhkan jiwa anak dengan kegemaran membaca. Bagaimana orang tua
dapat menyuruh anak-anaknya untuk membaca buku-buku yang baik dan sehat, jika dirinya
sendiri merasa cukup dengan membaca suat kabar dan majalah hiburan. Ditegaskan oleh
Syafinuddin al Mandari (2004: 118-119), peran orang tua yang setiap hari rajin membaca
akan menarik anak-anak mereka untuk mengikutinya. Demikian pula, kedisiplinan tak akan
terwujud dalam perilaku anak jika orang tunya tidak memperlihatkan kebiasaan hidup teratur
dalam rumah. Walhasil, apapun yang diharapkan menjadi sikap jiwa dan perilaku kehidupan
anak, hendaklah terdorong berkat contoh yang ditampilkan orang tuanya. Anak-anak akan
menyikapi suatu tindakan karena kebiasaan hidup yang tertanam sejak dini. Kesemuanya
berpangkal dari rumah, dan akarnya berupa teladan orang tua. Dengan demikian, yang
menjiwai pendidikan di rumah tangga adalah keteladanan.
Partisipasi aktif guru untuk meningkatkan minat baca siswa sangat diperlukan. Guru
harus memberikan contoh gemar membaca dan memiliki kemampuan membaca yang baik.
Ditegaskan oleh Suwandi (2007a: 13) bahwa guru dituntut memiliki keterampilan berbahasa.
Dengan keterampilan berbahasa itu pula guru dapat menjadi model yang baik bagi para siswa,
baik yang berkaitan dengan performasi berbahasa (yang mencakup empat aspek keterampilan
berbahasa) maupun dalam menghasilkan karya. Guru diharapkan dapat berperan sebagai figur
percontoh. Selain itu, guru harus aktif menyediakan bahan bacaan dan juga secara aktif
meningkatkan kemampuan membaca para siswa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
11
Selain sebagai figur percontoh, hal-hal berikut ini dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan guru dalam upaya meningkatkan budaya baca siswa. Pertama, guru menyediakan
pojok buku (book corner) di ruang-ruang kelas. Bagi sekolah-sekolah yang sebenarnya
memiliki koleksi buku yang memadai atau bahkan dalam jumlah banyak, tetapi tidak
memiliki ruang perpustakaan (termasuk ruang baca) yang memadai, kegiatan ini dapat
dicobakan. Prinsip dasar kegiatan ini adalah mendekatkan buku pada diri siswa. Guru
menempatkan sejumlah buku (misalnya 50 judul dan jumlahnya bisa disesuaikan) di sudut
ruang kelas yang telah disediakan. Buku itu dapat ditempatkan dalam almari atau rak buku.
Penempatan buku di kelas didahului dengan kegiatan pemetaan koleksi buku yang dimiliki
sekolah. Hal ini dimaksudkan agar guru secara berkala dapat mengganti buku-buku itu
dengan judul buku yang lain. Demikian pula yang dilakukan di kelas lain. Guru juga
menyediakan buku pinjam. Selanjutnya, siswa ditugasi membaca dan membuat ringkasan
atau sinopsisnya dalam buku yang telah ditentukan. Untuk melatih tanggung jawab siswa,
guru meminta siswa untuk mencatatkan judul buku yang dipinjam, tanggal pinjam, dan
tanggal kembali pada buku pinjam yang telah disediakan. Jika dalam jangka waktu tertentu
buku-buku itu telah dibaca oleh siswa, guru menggantinya dengan buku lainnya.
Kedua, guru melakukan kampanye membaca. Guru perlu membuat program
kampanye membaca dan memilih dan menentukan pemenangnya. Anak-anak dapat
meminjam buku yang telah tersedia di pojok buku, perpustakaan sekolah, atau perpustakaan
lainnya dan meminta mereka menyusun sinopsis (untuk buku fiksi) atau rangkuman (untuk
buku nonfiksi). Dalam setiap minggu anak dapat meminjam 1-2 buku (fleksibel menurut
kebutuhan). Setelah itu, anak-anak ditanyai tentang isi buku yang dipinjam. Bentuknya bisa
berbagai macam: anak diminta mengulang cerita yang dibaca di depan kelas atau menjawab
pertanyaan dari guru seputar isi buku yang dibaca. Bagi siswa yang bisa menjawab atau
menceritakan dengan baik atas buku yang dibacanya, siswa itu bakal dapat stampel di bagian
belakang buku harian anak tersebut atau dapat juga diberi bintang (disiapkan guru). Pada
akhir semester, guru akan mengumumkan 3 anak pembaca buku terbanyak dan mereka akan
mendapat hadiah. Program ini dapat memicu dan memacu minat baca siswa. Mereka akan
berkompetisi untuk mendapatkan predikat pembaca terbaik atau terbanyak.
Untuk lebih menggairahkan siswa membaca, guru dapat memprogramkan pemberian
hadiah tambahan yang berupa voucher. Misalnya, kalau anak berhasil mengumpulkan 5 tanda
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
12
bintang, ia akan mendapatkan voucher minum (drink voucher). Itu murah sekali, tapi yang
penting bagi anak-anak adalah penghargaan terhadap usaha mereka.
Ketiga, guru meningkatkan kemampuan membaca siswa. Makin maju dan
berkembangnya informasi yang dikemas dalam bentuk tulisan, khususnya yang berupa buku,
menjadi tantangan bagi guru. Guru dituntut memiliki keterampilan membaca dengan baik.
Namun demikian, karena kita tidak memiliki banyak waktu, kita bukan sekadar dituntut
memiliki kemampuan membaca, tetapi yang diperlukan adalah kemampuan membaca cepat
dan efektif. Berkenaan dengan pembelajaran membaca, guru perlu memahami faktor-faktor
yang menghambat siswa dalam membaca cepat dan efektif dan harus beruoaya secara optimal
untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa hingga sampai pada taraf yang efektif.
Guru perlu mencoba menerapkan berbagai strategi membaca efektif dan efisien, seperti SQ3R
(Survey-Question-Read-Recite-Review), PQRST (Preview-Question, Read-Summarize-Test),
dan sebagainya.
Selain itu, guru memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengembangkan karakter
peserta didik, baik pada konteks pembelajaran maupun di luar pembelajaran. Guru harus
mampu menanamkan cara berpikir dan tindakan positif pada disi siswa. Sebagaimana
ditegaskan oleh Orick (2002: 86) bahwa tindakan positif adalah langkah yang
palingpentingyang bisa kita ambilsebagai individu dan masyarakat untuk mempengaruhi
perubahan nyata.
Peran pemerintah jelas sangat diperlukan dan sangat menentukan. Persoalan
ketersediaan buku atau bacaan, misalnya, penanggulangannya menuntut campur tangan
pemerintah. Masalahnya terlalu nasional untuk hanya dipikirkan dan diatasi oleh inisiatif
sementara orang atau usaha swasta. Masalahnya terlalu besar untuk hanya dihadapi secara
sporadis. Penyedian buku berkaitan dengan usaha pengadaan perpustakaan, baik perpustakaan
umum, perpustakaan sekolah, maupun perpustakaan perguruan tinggi. Selain itu, untuk
memperluas jangkaun pelayanan pada masyarakat dalam hal akses baca, pemberdayaan
perpustakaan keliling menjadi pilihan penting yang mendesak untuk segera dilakukan.
Penyediaan buku-buku yang baik, berbobot dan memperhatikan konteks untuk mengisi dan
melengkapi perpustakaan-perpustakaan tersebut akan makin memprovokasi pelajar dan
masyarakat agar gemar membaca.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
13
Peningkatan Peran Bahasa Indonesia
Bahasa memiliki fungsi utama sebagai alat berkomunikasi dan interaksi. Namun
demikian, bahasa Indonesia bukan sekadar sebagai sarana komunikasi. Sugono (2012: 2)
menyatakan bahwa bahasa Indonesia telah membuktikan fungsinya sebagai media ekspresi
(1) pernyataan sikap politik identitas bangsa pada Kongres Pemuda Kedua 28 Oktober 1928
yang menyatakan pengakuan terhadap (i) satu tumpah darah, tanah air Indonesia, (ii) satu
bangsa, bangsa Indonesia, dan (iii) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, serta (2)
pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1975. Pernyataan sikap politik pada
Sumpah Pemuda tersebut mampu membangun sinergi kekuatan persatuan merebut
kemerdekaan dari cenkeraman kolonialisme Barat. Sementara itu, pernyatan kemerdekaan
Indonesia terbukti mampu memberi inspirasi membentuk persatuan bangsa-bangsa Asia
Afrika untuk melawan kolonialisme.
Nyata sekali bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan memiliki peran
politik yang sangat besar, terutama sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia
memainkan peran penting dalam penyatuan berbagai pembentukan karakter bangsa,
perjuangan kemerdekaan bangsa, pencerdasan kehidupan bangsa, dan perubahan menuju
peradaban yang lebih maju dan unggul. Sejalan dengan itu, pengefektifan pendidikan bahasa
Indonesia memiliki peran yang sangat penting dan menentukan dalam pembangunan
kecerdasan dan karakter generasi muda serta pengembangan karakter bangsa.
Menurut Suwandi (2004: 224), hal penting yang perlu dilakukan agar bahasa
Indonesia mampu menjadi wahana komunikasi yang efektif adalah pencendekiaan dan
pemerkayaan bahasa tersebut. Untuk itu, upaya peningkatan mutu rancang bangunnya atau
tingkat kebakuan kaidahnya serta pemekaran kosa katanya perlu terus dilaksanakan.
Sebagai salah satu sarana pembinaan jati diri bangsa, bahasa Indonesia senantiasa
perlu dirawat dan dikembangkan (Sedyawati, 1993: 45). Pengembangan itu meliputi dua
aspek yang perlu berjalan seimbang. Aspek pertama adalah kebahasaan yang meliputi
ketatabahasaan maupun kosa kata. Perwujudan nyata dari penanganan sisi kebahasaan ini
adalah kajian-kajian linguistik beserta penggunaannya. Bahasa adalah suatu sistem tanda. Di
dalam penggunaan sistem itu bisa terdapat perbedaan antara modus yang tepat dan salah. Di
antara keduanya terdapat modus yang menyimpang, yang apabila menjadi kebiasaan dapat
menjadi suatu penanda ragam bahasa yang khusus. Aspek kedua adalah kesusastraan. Pada
sisi ini, pokok pandang yang dipentingkan adalah bagaimana sistem tanda itu dimanipulasi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
14
dan dipergunakan sebagai media ekspresi. Pengindahan, perlambangan di atas lambang-
lambang, dan kadang-kang pengingkaran secara sengaja atas kaidah umum merupakan kiat
yang dapat dilakukan sastrawan. Karya sastra memang bukan semata-mata dimaksudkan
menyampaikan pesan, tetapi juga menumbuhkan efek afektif tertentu kepada pembaca.
Hal lain yang tidak boleh diabaikan dalam upaya meningkatkan keefektifan bahasa
Indonesia sebagai alat komunikasi adalah peningkatan mutu pendidikan bahasa. Untuk
memperbaiki sistem pendidikan di sekolah-sekolah, khususnya pendidikan bahasa, perlu terus
dilaksanakan dengan melibatkan pihak-pihak yang mempunyai tanggung jawab terhadap
upaya itu: praktisi dan ahli pendidikan (bahasa), ahli bahasa, pemerintah, dan masyarakat.
Berkenaan dengan ini, perlu penerapan pendekatan dan model yang tepat untuk pembelajaran
bahasa Indonesia, ketersediaan bahan—termasuk bacaan sastra—yang memadai,
ketersediaan guru-guru yang memiliki kompetensi profesional, dan perlunya sistem dan
pelaksanaan penilaian pebelajaran bahasa yang mampu meningkatkan dan mewujudkan
keterampilan berbahasa siswa.
Peningkatan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia juga sangat
diperlukan sebab sebagian masyarakat—sebagaimana dikemukakan Moeliono (1993: 1)—
bangga terhadap BI berdasarkan ciri ekstrinsiknya, tetapi tidak begitu bangga jika harus
menilai ciri instrinsiknya. Kebanggaan orang terhadap bahasa Indonesia bukan karena
mutunya sebagai sistem komunikasi atau karena luas kosakatanya, ataupun karena
keluwesannya dalam tata kalimat; kebanggaan orang terhadap bahasa Indonesia lebih karena
pertimbangan politik, demografi, dan ekonomi.
Sikap sebagian masyarakat terhadap bahasa Indonesia seperti diuraikan di atas diduga
disebabkan oleh persepsi yang mereka miliki bahwa bahasa Indonesia tidak mampu menjadi
bahasa modern. Jika dugaan itu benar, maka upaya peningkatan pemahaman masyarakat
terhadap bahasa Indonesia perlu dilakukan.
Sikap kurang positif masyarakat pemilik dan pengguna bahasa Indonesia berdampak
pada perilaku berbahasa mereka. Sekarang ini—bahkan telah berlangsung sejak lama—
banyak sekali kita jumpai pemakaian bahasa Indonesia yang tidak tertib. Hal itu antara lain
terlihat pada banyaknya pengambilan unsur asing (khususnya dari bahasa Inggris) secara
gampang dalam pemakaian bahasa Indonesia. Kita dengan mudah dapat menemukan contoh-
contoh pemakaian bahasa Indonesia yang tidak tertib itu.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
15
Penutup
Ikhtiar mewujudkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang unggul semestinya
menjadi komitmen semua elemen bangsa. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut pilihan
strategis yang perlu ditempuh adalah menjadikan masyakat dan bangsa Indonesia terlebih
dahulu berilmu dan untuk itu budaya literasi perlu dikembangkan. Budaya literasi akan makin
mencendekiakan masyarakat dan bangsa Indonesia Bangsa Indonesia juga dituntut memiliki
karakter, yang antara lain adalah ketuhanan, kejujuran, kedisiplinan, etos kerja, kepercayaan
diri, kemandirian, dan tanggung jawab. Ketikabangsa Indonesia telah maju, yang dibuktikan
kemampuannya dalam menghasilkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS),
bangsa-bangsa lain akan tertarik untuk mempelajari dan berupaya memperoleh IPTEKS
tersebut. Dalam hal kemajuan IPTEKS itu dikemas dan disajikan dalam bahasa Indonesia,
maka orang dan bangsa lain sudah tentu akan berusaha mempelajari bahasa Indonesia.
Namun, jika bukan karena kemajuan IPTEKS bangsa kita, mereka (bangsa-bangsa asing)
beramai-ramai dan berbondong-bondong serta sangat antusias mempelajari bahasa Indonesia,
kita hendaknya waspada. Kita tidak boleh dininabobokkan dengan fenomena makin banyak
negara mempelajari bahasa Indonesia. Patut diduga motif ekonomilah yang menggerakkkan
mereka. Jika ini benar, maka mereka sejatinya telah memilki kesadaran sejak dini tentang
hakikat pertarungan. Meraka menyadari bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN
Economic Cummunity) sesungguh pertarungan merebutkan kue. Ketika mereka memiiki
kompetensi dan penguasaan bahasa Indonesia yang baik, mereka akan masuk ke negeri kita
dan akan menjadi kompetitor kita dan anak-anak kita baca: tenaga kerja Indonesia). Siapkah
KITA? Jika lengah KITA AKAN JADI PECUNDANG dan menjadi penonton di negeri
sendiri.
Daftar Pustaka
Harras, Kholid A. 2011. “Mengembangkan Potensi Anak melalui Program Literasi
Keluarga”, Jurnal Artikulati Vol. 10 No. 1.
Kesuma, Dharma, Cepi Triatna, dan Johan Permana. 2011. Pendidikan Karakter Kajian
Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moeliono, Anton M. 1993. “Pengembangan Laras Bahasa dalam Pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Modern”, makalah disajikan dalam Kongres Bahasa
Indonesia VI. Jakarta: Depdikbud.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
16
Orlick, Terry. 2002. Nurturing Positive Living Skills for Children: Feeding the Heart and
Soul of Humanity . Journal of Excellence . 7, 86-98.
Peraturan Menteri Penidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi
Nasional.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013
tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan
Tinggi.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2014
tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Richards, Jack C. 2002. Curriculum Development in Language Teaching. New York:
Cambridge University Press.
Sedyawati, Edi. 1993. “Bahasa Indonesia dalam Pengembangan Kebudayaan Nasional,”
Makalah disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia VI, Jakarta, 28 Oktober-2
November 1993.
Syafinuddin al Mandari. 2004. Rumahku Sekolahku. Jakarta: Pustaka Zahra.
Sugono, Dendy. 2012. “Peran Bahasa Indonesia dalam pembentukan Karakter Bangsa,”
dalam Suryo Handono (Peny.) Prosiding Seminar Nasional Peningkatan peran
Bahasa dan Sastra dan Pencerdasan dan Pembentukan Karakter Bangsa.
Yogyakarta: Lokus.
Suwandi, Sarwiji. 2004. “Pemantapan Peran Bahasa Kebangsaan sebagai Alat Kohesi
Nasional” dalam Katharina Endriati Sukamto (Ed.) Menabur Benih Menuai Kasih,
Persembahan Karya Bahasa, Sosial, dan Budaya untuk Anton M. Moeliono pada
Ulang Tahunnya yang ke-75. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sarwiji Suwandi. 2007a. “Meneratas Jalan Menuju Peningkatan Minat dan Budaya Baca
Pelajar dan Masyarakat” Makalah dipresentasikan dalam Seminar yang
diselenggarakan antara kerja sama Prodi PBSI FKIP, Balai Bahasa Jateng, dan
Balai Pustaka, 20 Maret.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
17
_________. 2007b. “Kemampuan Membaca Cepat dan Efektif Siswa Sekolah Menengah
Pertama di Kota Surakarta”. Laporan Penelitian UNS, tidak diterbitkan.
_________. 2014. ”Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Teks dengan Pendekatan
Saintifik dan Upaya Membangun Budaya Literasi,” makalah dipresentasikan pada
Seminar Nasional yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesi FPBS IKIP PGRI Bojonegoro, 7 Juni 2014.
_________. 2015. ”Pendidikan Karakter Sebagai Peneretas Jalan Mewujudkan Bangsa
Indonesia yang Berjati Diri dan Bermarwah”, makalah dipresentasikan dalam
Seminar Nasional Pendidikan yang diselenggarakan STKIP Hamzanwadi Selong,
Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 10 Januari 2015.
Takdir, Muhammad. 2012. “Pendidikan Berbasis Budaya Literasi”, Suara Pembaharuan
Edisi 7 September.
Tauchid, Moch. dkk. 2013. Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan,
SikapMerdeka I (Pendidikan). Yogyakarta: UST-Press bekerja sama dengan
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
18
PERAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DALAM
MEMPERSIAPKAN ANAK BANGSA MENUJU MASYARAKAT ASEAN
Maman Suryaman (FBS dan PPS UNY)
[email protected], [email protected]
Abstrak
Makalah ini berisi paparan mengenai peran pendidikan bahasa dan sastra
Indonesia dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Parameter
yang digunakan adalah mengenai gambaran kesiapan masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat dunia pendidikan bahasa, bagi terciptanya peran
tersebut. Pertama, terkait dengan kesiapan siswa Indonesia dalam peta dunia
untuk membaca siswa Indonesia dalam peta dunia. Kedua, profil mahasiswa
Prodi PBSI dalam mempersiapkan diri memasuki MEA. Terdapat dua pokok
masalah yang disorot, yakni pertama, kemampuan membaca siswa Indonesia
berada dalam kurva rendah. Kedua, pengalaman membaca mahasiswa prodi
PBSI masih rendah.
Pengantar
Dalam lima tahun terakhir saya memberi kuliah di S1, S2, dan S3, pertanyaan mula-
mula yang muncul adalah “Apakah Anda sudah memiliki paspor?” Secara serentak mereka
menjawab “Belum”, kecuali sebagian mahasiswa S3. Kemudian, saya tanyakan, apakah Anda
pernah berkunjung ke beberapa negara tetangga. Jawabannya pun sama, yakni “Belum”.
Dalam dua tahun terakhir, saya pun masih bertanya, “Apakah Anda mengetahui
tentang MEA?” Jawaban pun sama, “Tidak tahu”, kecuali sebagai akronim “Masyarakat
Ekonomi ASEAN”.
Ilustrasi di atas merupakan suatu ironi bagi masyarakat terdidik kita mengenai
ketidaksiapannya memasuki suatu kehidupan baru. Seperti kita sepakati bersama bahwa
kehidupan baru mensyaratkan kompetensi-kompetensi yang semakin rumit. Kompetensi-
kompetensi itu akan dimediasi melalui pendidikan, khususnya pendidikan bahasa, yakni
berupa kompetensi literasi. Dunia sudah mengakui bahwa pendidikan berkewajiban untuk
membentuk masyarakat literat melalui kompetensi literasi. Terbentuknya masyarakat literat
merupakan suatu ukuran maju-tidaknya suatu bangsa. Untuk menciptakan masyarakat literat,
melek aksara harus terus diciptakan. Bangsa-bangsa di dunia telah menyadarinya sehingga
lahir kesepakatan Dakar (Global Monitoring Report 2006) tentang Literacy for Life bahwa
keberaksaraan merupakan hak seluruh umat manusia tidak hanya karena alasan moral, tetapi
juga untuk menghindari hilangnya potensi manusia dan kapasitas ekonomi. Keberaksaraan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
19
saat ini menjadi sangat penting karena munculnya masyarakat yang didasarkan pada ilmu
pengetahuan.Ukuran ini semakin menguat manakala dikaitkan dengan perkembangan
teknologi informasi yang sangat pesat. Bahkan, teknologi informasi ini telah melahirkan
revolusi telekomunikasi.
Seperti dilansir oleh banyak pihak, revolusi telekomunikasi dalam era kekinian
merupakan tenaga penggerak yang kencang luar biasa. Revolusi itu mampu mempercepat
perhubungan di angkasa; perubahan di atas tanah dan gerakan di bawah tanah. Revolusi itu
juga tidak bergerak dengan kecepatan, melainkan dengan percepatan (Sanusi, 1998:90).
Percepatan ini mampu mengatasi berbagai persoalan. Artinya, bangsa yang lamban akan
terlambat; bangsa yang lengah akan tergeser dan tersungkur di pinggir jalan raya peradaban.
Bangsa yang literasi masyarakatnya masih rendah akan mengalami peradaban yang
suram. Bangsa seperti inilah yang pertama kali akan tersungkur di pinggir jalan raya
peradaban. Untuk itu, membangun masyarakat literat harus menjadi prioritas utama di antara
prioritas-prioritas utama lainnya. Adapun masyarakat literat ditandai dengan adanya kemauan
dan kemampuan masyarakat untuk membaca (Suryaman, 2001).
Profil Siswa Indonesia
Secara empiris, hasil penelitian (Suryaman, 2012) mengenai kemampuan membaca
siswa Indonesia di dunia internasional menggambarkan kondisi yang memprihatinkan. Hasil
tes yang dilakukan oleh PIRLS tahun 2011 untuk mengukur hasil membaca teks sastra dan
teks informasi hampir pada semua butir belum dapat dijawab dengan sempurna oleh siswa
Indonesia. Subtansi yang diteskan terkait dengan kemampuan siswa menjawab beragam
proses pemahaman, pengulangan, pengintegrasian, dan penilaian atas teks yang dibaca. Jenis
teks yang digunakan adalah teks pengalaman kesastraan dan pemerolehan serta penggunaan
informasi. Komposisinya teks sastra 50% dan teks informasi 50% dengan rincian 20%
difokuskan pada informasi yang dinyatakan secara tersurat untuk diulang, 30% membuat
inferensi, 30% menafsirkan dan memadukan gagasan dan informasi, serta 20% memeriksa
dan menilai isi, bahasa, dan unsur-unsur yang terdapat di dalam teks.
Di dalam PIRLS 2011 ini teks sastra berisi cerita pendek atau episode yang disertai
dengan ilustrasi pendukung. Lima bagian berisi cerita-cerita tradisional dan kontemporer
dengan panjang teks kira-kira 800 kata dengan beragam latar. Pada setiap hal yang esensial
dua karakter utama dan sebuah alur dihubungkan dengan satu atau dua peristiwa pusat. Di
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
20
dalam bagian-bagian tersebut tercakup pula ciri-ciri gaya dan bahasa penceritaan, seperti
cerita orang pertama, humor, dialog, dan beberapa gaya bahasa.
Teks informasi berisi lima bagian termasuk ragam teks lengkap maupun tidak
lengkap berdasarkan panjang kata antara 600 sampai dengan 900. Teks tersebut
merepresentasikan ciri-ciri seperti diagram, peta, ilustrasi, fotografi, atau tabel. Rata-rata
materi mencakup materi ilmiah, etnografi, biografi, sejarah, informasi, dan gagasan praktis.
Teks disusun melalui sejumlah cara, termasuk cara logis, argumen, urutan, dan topik.
Beberapa bagian menggunakan organisasi bacaan seperti subjudul, kotak teks, atau daftar.
Berdasarkan laporan PIRLS 2011, kemampuan membaca siswa diduduki oleh siswa
Singapura dengan kategori level sempurna mencapai 24%. Urutan berikutnya adalah Rusia,
Irlandia Utara, Finlandia, Inggris, Hongkong, dan Irlandia dengan capaian antara 15-19%
mampu menjawab pada level sempurna. Di level sedang dicapai oleh siswa Perancis, Austria,
Spanyol, Belgia, dan Norwegia dengan persentase 70%. Median level sempurna 8%, tinggi
44%, sedang 80%, dan lemah 9%. Sementara itu, siswa Indonesia mampu menjawab butir
soal level sempurna (0,1%), mampu menjawab butir soal level tinggi 4%, mampu menjawab
butir soal level sedang 28%, dan mampu menjawab butir soal level lemah 66%. Artinya,
siswa Indonesia di level sempurna, tinggi, dan sedang berada di bawah persentase median
yang dicapai oleh siswa secara internasional, sementara di level lemah berada di atas median
siswa internasional.
Tabel 1
Posisi Siswa Indonesia dalam Standar Internasional
Level Negara Capaian
(%)
Median
(%)
Negara Capaian
(%)
Sempurna Singapura 24 8 Indonesia 0,1
Tinggi Rusia, 15-19 44 4
Irlandia Utara,
Finlandia,
Inggris,
Hongkong,
Irlandia
Sedang Perancis 70 80 28
Spanyol,
Belgia,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
21
Norwegia
Lemah 9 66
(Sumber: Suryaman, 2012)
Negara-negara yang mengikuti program PIRLS menjadikan hasil studi IEA sebagai
bagian penting bagi perubahan bangsanya ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, negara-
negara yang dimaksud melakukan upaya yang sangat serius untuk meningkatkan kemampuan
membaca siswanya melalui program pendidikan dan kebijakan negara, seperti membuat
perundang-undangan yang mengatur masalah literasi masyarakat sampai kepada
implementasinya. Melalui pendidikan, misalnya, Singapura mengembangkan program
membaca sebagai bagian terpenting di dalam pendidikan. Melalui kebijakan, Singapura
meratifikasi kesepakatan Dakar (Global Monitoring Report 2006) tentang Literacy for Life.
Tabel 2
Perubahan Kemampuan Membaca Siswa Indonesia dalam Standar Internasional
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
22
(Sumber: PIRLS, 2011)
Perubahan yang terjadi di Indonesia tersebut dibandingkan dengan capaian siswa
internasional pada umumnya belum maksimal. Sekalipun ada perubahan, perubahan ini pun
belum signifikan karena Indonesia masih berada di urutan terakhir dari 45 negara yang
diteliti. Artinya, perubahan yang dialami siswa di semua negara yang diteliti jauh lebih baik.
Indonesia sebenarnya sudah menyadari hal tersebut sejak lama, setidak-tidaknya
sejak Negara Republik Indonesia berdiri. Presiden Soekarno, misalnya, dalam pertengahan
tahun 1960-an menyerukan kepada segenap bangsa Indonesia untuk membiasakan diri
membaca agar dapat menambah ilmu pengetahuan. Pentingnya kegiatan membaca dalam
kehidupan sehari-hari juga diserukan kembali oleh Presiden Soeharto dalam penetapan Bulan
September sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan pada tanggal 14
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
23
September 1995 dan peresmian Perhimpunan Masyarakat Gemar Membaca (PMGM) pada
tanggal 31 Mei 1996. Hari Aksara, Hari Kunjung Perpustakaan, dan Bulan Gemar Membaca
dicanangkan pula pada tanggal 14 September 1995. Pencanangan dan peresmian itu
dimaksudkan agar segenap bangsa Indonesia memberikan perhatian terhadap membaca
sebagai suatu unsur dari budaya bangsa. Presiden Megawati menyerukan kepada segenap
komponen bangsa Indonesia untuk menyukseskan Gerakan Membaca Nasional pada tanggal
12 November 2003. Terakhir pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB),
Presiden SBY mencanangkan Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat pada
tanggal 17 Mei 2006. Namun, di tataran implementasi masalah membaca belum disertasi
dengan kemauan politik konkret.
Pada tahun 1978 Daniel Lerner mempublikasikan hasil penelitiannya tentang tradisi,
transisi, dan modernisasi di enam negara Timur Tengah (Kleden, 1999). Ia menerapkan
asumsi secara ketat tentang perbedaan antara masyarakat tradisional, masyarakat transisional,
dan masyarakat modern melalui akses terhadap tulisan dan terhadap media komunikasi
lainnya seperti radio. Berdasarkan temuan ini Lerner menyimpulkan bahwa hubungan dengan
dunia lain, kebudayaan lain, pandangan hidup lain, dan sistem sosial lain atau sistem politik
lain, lebih cepat dibuka melalui membaca.
Sebagai bagian dari suatu tingkah laku budaya (cultural behavior), baik dipandang
dari sudut pembaca maupun penulis, seorang pembaca akan terbiasa mencari informasi,
menambah pengetahuan, melakukan pengecekan pengetahuannya, atau mencari hiburan dan
kesenangan dengan membaca buku-buku. Misalnya, para murid akan membaca buku teks
pelajaran, referensi, buku pengayaan untuk menyelesaikan tugas-tugas belajarnya serta
membaca novel, majalah, surat kabar, puisi, dan sebagainya untuk mendapatkan hiburan dan
pencerahan. Seorang profesor akan membaca buku-buku baru, jurnal-jurnal ilmiah nasional
maupun internasional untuk melakukan penelitian-penelitian bagi pengembangan keilmuan
dan untuk bahan diskusi dengan para mahasiswanya, pun akan membaca novel, majalah, surat
kabar, puisi, dan sebagainya untuk mendapatkan hiburan dan pencerahan. Para artis akan
membaca buku-buku untuk pengembangan kerartisannya dan akan membaca novel, majalah,
surat kabar, puisi, dan sebagainya untuk mendapatkan hiburan dan pencerahan. Para murid,
profesor, dan artis pun akan membuat catatan-catatan harian tentang kesan-kesan dan
pengalaman belajarnya, pengalaman keilmuannya, dan pengalaman keartisannya serta
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
24
terhadap hasil kesenangan dan pencerahan dari membaca novel, puisi, majalah, dan surat
kabar. Dampaknya adalah munculnya kebiasaan dan kebutuhan untuk membaca.
Sebagai sebuah kebiasaan, membaca mempersyaratkan kesanggupan teknis untuk
memakai bahasa tulisan dengan baik serta kesanggupan budaya untuk menyendiri pada saat-
saat tertentu dalam suatu kebebasan pribadi yang tidak terganggu, tempat orang yang hanya
berhadapan dengan dirinya sendiri. Anggota suatu keluarga dapat mendengarkan radio atau
menonton televisi bersama-sama, tetapi sulit bagi mereka untuk membaca sebuah novel atau
esei bersama-sama. Kebiasaan membaca mengandaikan semacam ”individualisme
kebudayaan”. Indonesia belum mengimplementasikan program membaca secara serius.
1) Kemampuan Memecahkan Soal Sastra pada Level Lemah
Kemampuan membaca siswa di dunia ditunjukkan melalui kemampuan menjawab
butir soal sastra yang mengikat (anchoring) pada ukuran internasional di level lemah.
Berdasarkan wacana “Terbanglah Elang Terbanglah” (“Fly Eagle Fly”), siswa menunjukkan
bahwa mereka dapat menyebutkan kembali suatu rincian pernyataan tersurat dari awal sebuah
cerita. Sebagian besar siswa (89%) secara internasional mampu menyelesaikan tugas ini dan
siswa dari 11 negara mampu menjawab benar sebesar 95%. Sementara itu, siswa Indonesia
mampu menjawab secara benar sebesar 82%. Namun, masih berada di bawah rata-rata
internasional (89%). Berikut ini contoh butir soal yang diujikan.
1. Apa yang dicari petani pada awal cerita itu?
A. anak sapi
B. pengembala
C. jurang berbatu
D. anak elang
Mengapa siswa Indonesia berada di bawah rata-rata internasional? Di dalam bacaan
terdapat beberapa informasi yang terkait dengan petani, yakni anak sapi, anak elang, ayam,
dan anjing. Yang banyak diceritakan adalah anak elang dan ayam. Sementara itu, anak sapi
hanya diceritakan di awal dan di akhir. Kemungkinan siswa Indonesia terfokus kepada jumlah
penceritaan. Di dalam pembelajaran membaca sastra ada satu subkompetensi memahami
unsur intrinsik cerita, khususnya tokoh utama. Tokoh utama cerita ditandai dengan selalu
muncul sejak awal cerita dan tingkat kemunculannya sangat dominan. Padahal, di dalam
kenyataannya dapat saja tokoh utama tidak muncul di awal cerita. Kemungkinan penyebab
kedua adalah konsentrasi membaca yang tidak baik sehingga harus dilakukan secara
berulang-ulang. Padahal di dalam tes ini waktu terbatas jika harus mengulang bacaan. Jadi,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
25
siswa hanya mengandalkan teori mengenai tokoh utama dan diterapkan pada masalah yang
berbeda. Konsentrasi yang tidak baik menggambarkan juga bahwa siswa tidak terbiasa
membaca. Seseorang yang tidak biasa membaca tidak akan dapat menjaga konsentrasinya
sehingga membaca harus dilakukan berulang-ulang. Bandingkan dengan butir soal nomor 9
Ujian Nasional Bahasa Indonesia 2011/2012 berikut ini.
Tokoh utama pada penggalan drama tersebut adalah …
A. Lisna C. Joni
B. Budi D. Danu
Jenis pertanyaan tersebut menuntut siswa menggunakan kriteria tokoh utama. Nama
tokoh Danu dan Lisna paling banyak disebutkan. Artinya, jawaban atas butir soal tersebut
adalah D (Danu) atau A (Lisna). Akibatnya, siswa cenderung menebak jawaban, bukan
“menyebutkan” atau “menyimpulkan”. Kualitas butir soal seperti ini jelas lemah di satu sisi,
dan tidak menarik di sisi lain bagi siswa oleh karena “membingungkan” antara “menyebutkan
kembali” dengan “menyimpulkan” tidak jelas jawabannya. Untuk lebih menguatkan analisis
tersebut, berikut ini disajikan lagi satu butir soal nomor 10 Ujian Nasional Bahasa Indonesia
2011/2012.
Latar tempat pada drama tersebut adalah …
A. sekolah C. lapangan
B. rumah Danu D. took buah
Di dalam wacana yang ditampilkan, terdapat dua latar tersurat, yakni toko buah dan
sekolah. Di samping itu, terdapat latar yang tidak jelas, yakni tempat tokoh bernama Danu
sakit. Dalam wacana tidak ada sedikit pun tanda yang merujuk kepada tempat tokoh tersebut
sakit. Akan tetapi, jawabannya adalah “rumah Danu”. Menebak merupakan pilihan cara siswa
menjawab. Artinya, butir soal kemampuan membaca sangat subjektif jawabannya. Persepsi
ini muncul juga pada diri guru bahwa jawaban butir soal membaca sangat subjektif.
Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab rendahnya
kemampuan membaca siswa Indonesia adalah adanya kesalahan teori, belum terbentuknya
kebiasaan membaca, serta butir soal yang dujikan rendah validitasnya, khususnya validitas isi.
2) Kemampuan Memecahkan Soal Sastra pada Level Sedang
Untuk butir soal dari wacana “Kue untuk Musuh” (“Enemy Pie”), khususnya butir
soal nomor 2, berisi pertanyaan yang menuntut siswa untuk membuat inferensi sebagai
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
26
tanggapan atas karakter tokoh di awal cerita. Kemampuan siswa Singapura menjadi yang
terbaik dengan mampu menjawab benar sebesar 87% dan 70% siswa menjawab secara benar
berada di atas rata-rata PIRLS pada empat negara. Rata-rata kemampuan siswa Indonesia di
dalam menjawab butir dengan level sedang ini sebesar 45%, dan berada di bawah ukuran rata-
rata internasional (70%). Sebagian besar siswa (53%) salah dalam memberikan jawaban.
Artinya, kemampuan sebagian besar siswa Indonesia di dalam menarik inferensi masih lemah.
Berikut ini contoh butir soal.
2. Di awal cerita, mengapa Tom merasa Jeremy adalah musuhnya?
Butir pertanyaan nomor 2 merepresentasikan tanggapan atas karakter tokoh dilihat
dari hubungan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Pada saat yang bersamaan terpolakan
juga mengenai alur cerita. Butir soal seperti ini tidak biasa dalam soal-soal yang dikonstruksi
untuk ujian nasional. Konstruksi yang biasa muncul bersifat menanyakan langsung atas
karakter tokoh. Berikut ini sebagai contoh butir soal ujian nasional 2009/2010.
7. Sifat Sang Putri dalam cerita tersebut adalah …
A. cantik dan manja
B. cantik dan baik hati
C. ramah dan penolong
D. penyayang dan baik hati
Kunci jawaban atas butir nomor 7 tersebut adalah A. Jenis pertanyaan tergolong ke
dalam menyebutkan kembali. Namun, berbeda dengan standar yang dikonstruksi PIRLS
benchmarks internasional, stem pada butir soal ujian nasional tidak memberikan kesempatan
siswa berpikir oleh karena stem dan pilihan tidak problematis. Kebiasaan siswa Indonesia
menghadapi soal-soal yang tidak problematis dan tidak menantang menyebabkan siswa tidak
terbiasa berpikir dan tidak tertantang untuk menyelesaikan masalah. Akibatnya,
kecenderungan jawaban siswa diperoleh dari hasil menebak. Di sisi lain, pilihan jawaban
sangat lemah. Kata “cantik” menggambarkan fisik. Gambaran fisik biasanya berkorelasi
dengan gambaran mental. Dalam teori sastra, sifat tokoh merepresentasikan mental.
Seharusnya, pilihan dalam butir soal tersebut berupa manja, baik hati, penolong, dan
penyayang.
3) Kemampuan Memecahkan Soal Nonsastra pada Level Sedang
Pada wacana “Lintas Alam” (“Day Hiking”) butir soal yang diajukan pada siswa
adalah untuk menemukan informasi mengenai alasan yang menarik. Butir soal ini tergolong
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
27
mudah untuk siswa dengan 84% siswa internasional dapat menjawab secara benar dan lebih
dari separuh siswa dari seluruh negara mampu menjawab secara benar. Bahkan, siswa
Hongkong dapat menjawab 98% secara benar. Namun, siswa Indonesia hanya 66% mampu
menjawab soal pada butir ini dan berada di bawah rata-rata internasional (84%). Siswa lain
memilih jawaban B (23%), C (5%), dan D (5%). Karakteristik jawaban sebenarnya bersifat
tersurat di dalam brosur. Artinya, kemampuan membaca brosur masih menjadi suatu
persoalan di kalangan siswa Indonesia, sama halnya dengan membaca tabel atau peta.
5. Mengapa kamu harus
membawa kaos kaki
cadangan dalam kegiatan
lintas alam?
A. kaki mungkin saja
basah
B. cuaca mungkin saja
dingin
C. kalau-kalau lecet
D. untuk seorang teman
Dari segi isi, butir soal yang biasa dikonstruksi untuk ujian nasional biasanya berupa
informasi mengenai obat. Misalnya, butir soal nomor 5 pada ujian nasional 2011/2012 dan
2009/2010. Melihat fenomena ini, isi kasus cenderung tidak berubah dengan stem yang tidak
problematis. Berikut ini adalah contohnya.
5. Rani berusia 10 tahun maka
penggunaan obat batuk yang sesuai
adalah …
A. sehari tiga kali sebanyak 10 ml
B. sehari tiga kali sebanyak 5 ml
C. tiga hari sekali sebanyak 10 ml
D. tiga hari sekali sebanyak 10 ml
Indikasi:
Batuk berdahak
Batuk karena bronchitis
Komposisi:
Tiap 5 ml mengandung:
Bromhexine ………….. 4 mg
Guaipheresin …………. 100 mg
Ethanol ………………. 6% v/v
Cara Pakai:
Dewasa dan anak usia di atas 12 tahun: 3 kali
sehari 10 ml
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
28
Anak-anak usia 2 sampai 12 tahun: 3 kali
sehari ml
Dengan melihat kasus tersebut, butir soal untuk mengukur kemampuan menemukan
informasi dari kasus yang tidak problematis, tidak sesuai dengan dunia siswa, dan terlalu
berat untuk siswa. Dampaknya adalah siswa tidak terbiasa menghadapi butir soal yang sesuai
dengan perkembangan kognitifnya. Hal seperti ini menjadi salah satu faktor penyebab masih
banyaknya siswa Indonesia yang mendapatkan kesulitan untuk menemukan informasi secara
tepat. Artinya, informasi yang harus diingat oleh siswa terlalu sulit oleh karena hasil yang
harus diingat tidak problematis.
4) Kemampuan Memecahkan Soal Sastra pada Level Tinggi
Wacana sastra yang diujikan berjudul “Kue untuk Musuh” (“Enemy Pie”). Butir ini
mengilustrasikan kemampuan tingkat tinggi siswa untuk memadukan bukti/fakta-fakta dari
penjelasan teks sastra kontemporer untuk memahami tujuan karakterisasi tokoh. Siswa pada
tiga negara (Rusia, Hongkong, dan Finlandia) mampu menjawab secara benar sebanyak 70%
dan 50% siswa berada di atas rata-rata internasional. Siswa Indonesia hanya 12% yang
mampu menjawab secara benar dan berada jauh di bawah rata-rata internasional. Artinya,
kemampuan siswa Indonesia untuk memadukan fakta-fakta dari bacaan sastra kontemporer
terkait dengan pemahaman atas tujuan karakterisasi tokoh masih lemah. Bentuk soal berupa
uraian singkat. Dugaan bahwa siswa banyak menebak butir soal pilihan ganda yang
disebabkan oleh salah satunya stem dan pilihan tidak jelas diperkuat oleh kemampuan melalui
butir soal nomor 14. Sebagian besar siswa (78%) jawabannya tidak memperlihatkan
kemampuan siswa untuk memahami aspek yang ditanyakan. Sisanya, siswa tidak
memberikan jawaban.
14. Gunakan bagian cerita yang telah kamu baca untuk menjelaskan
mengapa ayah Tom membuat kue untuk musuh.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
29
Bentuk soal dengan stem seperti tersebut pada nomor 14 tidak biasa diujikan pada
siswa Indonesia. Padahal, soal tersebut sangat menarik karena problematis dan jawabannya
ada di dalam bacaan. Bentuk soal yang biasa diterima siswa Indonesia seperti pada soal ujian
nasional berupa pertanyaan langsung atas pokok yang diujikan. Berikut ini disajikan contoh
butir soal ujian nasional 2009/2010.
Tersedia satu kutipan cerita yang dikutip dari buku pelajaran bahasa Indonesia.
8. Amanat yang tepat untuk cerita tersebut adalah …
A. jika ingin punya anak bertapalah
B. kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula
C. menjadi anak janganlah manja
D. rakyat harus mencintai putrinya
Kunci jawaban atas butir soal tersebut adalah C. Setelah dianalisis, tidak ada satu pun
pilihan jawaban yang tepat. Kunci jawaban pun tidak ada di dalam wacana. Dijelaskan di
dalam wacana bahwa penyebab Puteri Raja manja karena dia anak satu-satunya. Orang tuanya
pun sangat memanjakan. Bahkan, rakyatnya sangat mencintai Puteri Raja.
Kebiasaan siswa Indonesia menghadapi butir soal seperti ini dapat dijadikan dasar
bahwa kemampuan tingkat tinggi siswa untuk memadukan bukti/fakta-fakta dari penjelasan
teks sastra kontemporer untuk memahami tujuan karakterisasi tokoh tidak akan tercapai.
Jawaban yang harus dipilih siswa tidak ada yang memadai. Secara psikologis, siswa akan
mengalami frustasi setiap menghadapi soal membaca.
5) Kemampuan Memecahkan Soal Nonsastra pada Level Tinggi
Butir soal standar internasional level tinggi dicontohkan melalui butir soal nomor 11
melalui membaca peta. Isi yang ditanyakan mengenai dua hal yang dapat dipelajari dari peta
brosur “Lintas Alam” (“Day Hiking”).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
30
11. Sebutkan dua hal yang dapat kamu
pelajari dengan mengamati peta?
1. -------------------------------
2. -------------------------------
Berdasarkan hasil tes, diperoleh gambaran bahwa 59% siswa secara internasional
mampu menjawab butir soal tersebut. Siswa Indonesia yang mampu menjawab sebesar 33%
dengan kecenderungan 22% skor 1, 11% skor 2, 56% salah, dan sisanya tidak menjawab.
Membaca peta atau tabel merupakan kompetensi yang sangat penting di dalam
pembelajaran membaca. Butir soal seperti ini juga biasa muncul dalam soal ujian nasional.
Berikut ini contoh butir soal ujian nasional 2009/2010 tentang membaca peta.
Disajikan sebuah peta lokasi.
17. Jika Pak Rudi mengendarai sepeda motor dari Jalan Gurame, belok ke arah Barat
dan belok lagi ke arah Utara, ia akan pergi ke …
A. lapangan golf C. pasar baru
B. kantor PLN D. kantor pajak
Tujuan butir soal tersebut hanya untuk mengukur kemampuan menyebutkan kembali.
Hal ini berbeda dengan butir soal membaca peta pada standar PIRLS yang menonjolkan segi
pemahaman. Kecenderungan membaca peta untuk pemahaman tingkat tinggi masih belum
terjadi dalam soal-soal yang dikonstruksi untuk ujian nasional maupun sekolah dan dalam
pembelajaran membaca peta pada siswa Indonesia.
Contoh kedua untuk butir soal nonsastra level tinggi dapat digambarkan melalui
analisis berikut ini. Butir soal pilihan ganda yang diambil dari wacana “Misteri Gigi Raksas”
(“The Giant Tooth Mistery”) digunakan untuk mengukur kemampuan membuat inferensi.
Berbeda dengan melakukan inferensi pada soal pengikat (anchoring) pada level sedang, siswa
menjawab butir secara benar ditunjukkan melalui inferensi berdasarkan pernyataan berseri
dalam teks lengkap yang mengandung gagasan-gagasan kompleks. Sebanyak 58% siswa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
31
mampu mengerjakan soal cerita lintas negara dan lebih dari 75% siswa di Hongkong dan Cina
Taipeh mampu menjawab secara benar. Sementara itu, siswa Indonesia hanya 35% yang
mampu menjawab secara benar dan berada jauh di bawah rata-rata internasional (58%).
Kecenderungan yang terjadi, siswa yang lain memilih A (12%), B (15%), dan D (32%).
Artinya, kemampuan sebagian besar siswa Indonesia dalam menjawab butir soal untuk
membuat inferensi (tingkat tinggi) masih lemah. Di dalam wacana tidak ada informasi selain
pada butir C.
9. Mengapa Gideon Mantell membawa fosil gigi ke museum?
A untuk bertanya apakah fosil itu milik museum
B untuk membuktikan bahwa ia adalah ahli fosil
C untuk mendengar pendapat ilmuwan yang lain tentang pikirannya
D untuk membandingkan fosil gigi dengan fosil gigi lain di museum
Kemampuan melakukan inferensi siswa Indonesia yang masih berada jauh di bawah
rata-rata internasional. Hal menggambarkan bahwa pembelajaran membaca belum berjalan
dengan semestinya. Di sisi lain, skema siswa Indonesia mengenai museum masih kurang
sehingga museum hanya dipandang sebagai tempat penyimpanan benda-benda sejarah. Orang
yang ada di museum Indonesia adalah “pegawai” museum sehingga belum dapat dijadikan
tempat untuk belajar siswa karena tidak ada ilmuwan yang bukan hanya mengetahui, tetapi
mampu menjelaskan benda-benda secara akademis. Di samping itu, pembelajaran membaca
yang cenderung hanya menekankan pada penentuan ide pokok paragraf tanpa ada penafsiran
yang lebih spesifik mengenai ide pokok paragraf menjadi salah satu penyebab kemampuan
membaca siswa lemah ketika dihadapkan pada soal-soal yang menghubungkan antara satu
fakta dengan fakta lain dalam hubungan sebab akibat.
6) Kemampuan Memecahkan Soal Sastra pada Level Sempurna
Kemampuan siswa internasional menjawab tipe butir soal level sempurna tergolong
rendah, yakni sebesar 29%. Butir soal difokuskan pada kemampuan meninterpretasi
karakteristik perilaku dari wacana yang bersifat alegoris yang mencakup ciri bawaan dan
memberikan suatu contoh dari teks yang didukung dengan interpretasi. Siswa Indonesia
hanya 3% yang mampu menjawabnya. Seperti apa kecenderungan siswa Indonesia di dalam
memecahkan soal seperti ini? Mengapa siswa Indonesia berada jauh di bawah rata-rata
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
32
internasional dalam hal menginterpretasi dan memadukan gagasan serta informasi dari
pengalaman bersastra?
Jawaban atas soal level sempurna yang salah sebesar 66%, mendapatkan skor 1
(18%), skor 2 (3%), dan sisasnya tidak memberikan jawaban. Kencenderungan ini
memberikan gambaran bahwa kebiasaan melakukan interpretasi dan memadukan gagasan
serta informasi untuk sebagian besar siswa belum terlatih dengan baik. Ada anggapan bahwa
menginterpretasi gagasan dan informasi dalam sastra bersifat multiinterpretasi sehingga
jawabannya dapat bermacam-macam. Anggapan ini tentunya sangat merugikan siswa karena
interpretasi selalu berangkat dari masalah yang ada dalam bacaan. Artinya, masalahnya pasti
sama.
12. Kamu tahu seperti apa teman petani itu dari hal-hal yang ia lakukan.
Jelaskan seperti apakah teman petani itu dan berikan contoh apa yang telah ia
lakukan untuk menunjukkan hal ini.
Di dalam sastra, ada satu teori mengenai karakteristik tokoh. Jenis pertanyaan yang
biasa muncul berupa pertanyaan tunggal tanpa ada masalah seperti pada contoh berikut ini.
7. Sifat Sang Putri dalam cerita tersebut adalah …
A. cantik dan manja
B. cantik dan baik hati
C. ramah dan penolong
D. penyayang dan baik hati
Berbeda halnya dengan butir nomor 12 standar internasional. Hampir semua butir
pertanyaan dibuat secara problematis sehingga memandu siswa dalam memberikan jawaban
secara pasti.
7) Kemampuan Memecahkan Soal Nonsastra Level Sempurna
Pada kasus contoh butir 13, dengan tujuan untuk mendapatkan dan menggunakan
informasi dengan proses untuk menginterpretasi dan memadukan gagasan dan informasi rata-
rata internasional siswa yang dapat menjawab benar sebesar 32%, sedangkan siswa Indonesia
hanya 7% yang mampu menjawabnya. Kecenderungan yang terjadi adalah 66% siswa salah
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
33
memberikan jawaban dan sisanya tidak memberikan jawaban. Bentuk soal mengklasifikasi
masalah tidak ditemukan di dalam soal-soal ujian nasional. Artinya, siswa Indonesia tidak
terbiasa untuk dilatih dan diuji dengan model pemecahan klasifikasi. Kecenderungan ini juga
tidak terjadi di dalam kelas membaca di sekolah. Artinya, siswa Indonesia tidak mengalami
pembelajaran membaca yang diarahkan pada kemampuan mengklasifikasi masalah.
Butir soal yang dikonstruksi dalam kemampuan membaca untuk mengklasifikasi
masalah di Indonesia tidak dikembangkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan pada kasus
berikut ini.
1. Apa yang menyebabkan banjir di kota-kota besar?
A. padatnya penduduk yang tinggal di kota-kota besar
B. tidak adanya daerah serapan air dan tersumbatnya saluran air
C. banyaknya gedung-gedung bertingkat serta pabrik-pabrik
D. kurangnya perhatian pemerintah dan instansi terkait.
Pertanyaan ini hanya mengungkap persoalan yang bersifat tunggal. Biasanya wacana
seperti ini sebagai hasil dari persepsi jurnalis dan masyarakat, bukan atas hasil kajian yang
mendalam. Contoh wacana yang dikutip dari media massa yang sifatnya informatif untuk soal
ujian dan dalam buku teks pelajaran tentulah kurang tepat. Seharusnya, wacana tersebut
bersifat kajian yang sumbernya dapat saja berasal dari media massa atau diambil dari hasil
penelitian jurnal yang kemudian diadaptasi. Di sisi lain, wacana yang diujikan tidak
problematis.
Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab
rendahnya kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal standar internasional oleh
13. Penemuan-penemuan selanjutnya
mem-buktikan bahwa Gideon Mantell
salah meng-gambarkan bentuk
Iguanodon. Isi bagian yang kosong
untuk melengkapi tabel.
Bentuk Iguanodon
menurut Gideon
Mantell
Bentuk Iguanodon
menurut ilmuwan-
ilmuwan masa kini
Iguanodon berjalan
dengan empat kaki.
Iguanodon memiliki
cakar di ibu jarinya.
Iguanodon berukuran
sepanjang 30 meter.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
34
karena pemilihan wacana yang cenderung bersifat informatif. Kecenderungan ini juga terjadi
di dalam kelas saat pembelajaran membaca berlangsung. Guru kurang responsif atas wacana
yang dipilih sehingga tidak dipertimbangkan dari segi kualitasnya. Pembelajaran membaca
cenderung asal dilaksanakan tanpa mempertimbangkan apakah kemampuan membaca
berkembang atau tidak.
Profil Mahasiswa PBSI
Dalam penelitian Suryaman, dkk. (2015) mengenai pengalaman membaca sastra
mahasiswa Program Studi PBSI FBS UNY, ditemukan beberapa hal berikut. Pertama, dari 4
kelas yang diteliti dengan jumlah mahasiswa semester 2, rata-rata pernah membaca sastra
selama sekolah hanya tujuh judul karya sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama). Kedua,
variasi pengalaman membaca sangat beragam mulai dari terendah 0 sampai dengan 17 judul.
Ketiga, mahasiswa yang 0 membaca karya sastra karena tidak ada kesempatan membaca
selama sekolah, sedangkan yang tertinggi karena di sekolah tersedia buku dan tugas membaca
menjadi prioritas.
Berdasarkan data tersebut, pengalaman membaca mahasiswa prodi PBSI masih
belum memadai. Padalah, seharusnya, para mahasiswa sebelum menjadi mahasiswa minimal
sudah membaca 10 buku di SMP dan 15 buku di SMA. Artinya, saat masuk ke perguruan
tinggi, apalagi di Prodi PBSI, para mahasiswa sudah berpengalaman minimal membaca 10
buku sastra. Kenyataan ini tentulah harus menjadi bahan renungan para guru bahasa Indonesia
untuk mulai mengubah paradigma pembelajaran bahasa Indonesia dari pembelajaran untuk
ujian nasional ke pengalaman membaca agar masyarakat literat akan tercipta dengan baik.
Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan pararan tersebut dapat ditarik beberapa simpulan. Pertama, menghadapi
dan memasuki MEA mepersyaratkan kompetensi membaca siswa dan mahasiswa Indonesia
yang tinggi. Kedua, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia belum memerankan dirinya
secara optimal dalam mengembangkan literasi siswa dan mahasiswa. Ketiga, pendekatan
dalam menghadapi dan menjadikan ASEAN adalah masyarakat kita menjadikan pendidikan
bahasa dan sastra Indonesia sebagai jalan utama. Keempat, guru bahasa Indonesia dan dosen
di prodi PBSI harus bahu-membahu menjadikan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia
sebagai penghela siswa untuk mempelajari bidang-bidang lain dan mahasiswa calon guru
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
35
bahasa Indonesia harus menjadikan buku sebagai sarapan pagi, makan siang, dan makan
malam.
Daftar Pustaka
Elley, W.B. (1992). How in the World Do the Students Read?, The International Association
for the Evaluation of Education Achievement (IEA).
Gibson, R. Ed. (1998). Rethinking the Future, Memikirkan Kembali Bisnis, Prinsip,
Persaingan, Kontrol dan Kompleksitas, Kepemimpinan, Pasar, dan Dunia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kleden, I. (1999). “Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi tentang Kebudayaan” dalam Buku
dalam Indonesia Baru. Editor Alfons Taryadi. Jakarta: YOI.
PIRLS 2011 International Report. Performance at the PIRLS 2011. International Benchmarks
TIMMS & PIRLS Report International Study Center (IEA): Lynch School of
Education, Boston College.
Sanusi, A., (1998), Pendidikan Alternatif: Menyentuh Aras Dasar Persoalan Pendidikan dan
Kemasyarakatan, Yogyakarta: Adicitra dan PPs UPI.
Suryaman, M. (2001). ”Kesiapan Masyarakat Sunda Menghadapi Era Global”, Makalah pada
Konferensi Internasional Budaya Sunda (The Indonesian Conference on Sundanesse
Culture), Gedung Merdeka, Bandung, 22-25 Agustus 2001.
Suryaman, M. (2012). “Analisis Hasil Belajar Peserta Didik dalam Literasi Membaca melalui
Studi Internasional (PIRLS) 2011”. Laporan Penelitian. Jakarta: Puspendik Balitbang
Kemdikbud.
Suryaman, M. Dkk. (2015). “Keefektivan Strategi Penugasan dan Presentasi dalam
Pembelajaran Membaca Sastra”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: FBS UNY.
Tim Studi Guru. 2012. Persiapan Menghadapi Ujian Nasional SD 2013. Bandung: Pustaka
Setia.
World Bank. (1995).Indonesia: Book and Reading Development Project, Staff, Appraisal,
May.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
36
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
37
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
38
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
39
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
40
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
41
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
42
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
43
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
44
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
45
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
46
”PENDEKATAN KOMUNIKATIF SEBAGAI INOVASI
DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA”
Afif Rofii
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Univeritas Batanghari
Jambi
Abstrak
Pendekatan komunikatif lahir akibat adanya ketidakpuasan para pengajar
bahasa atas hasil yang dicapai metode tradisional, yang mengutamakan
penguasaan kaidah tata bahasa dan mengesampingkan kemampuan
berkomunikasi sebagai bentuk kompetensi yang diharapkan.
Pendekatankomunikatif mengajarkan bahasa dengan tidak menekankan pada
penghafalan bentuk-bentuk kalimat yang benar, tetapi pada pemberian bekal
kepada siswa tentang berbagai kemungkinan strategi berkomunikasi,
pengayaan penggunaan bahasa dalam berbagai situasi, pemberian latihan
terus menerus, penggunaan bahasa dengan memperhatikan sopan santun
berbahasa. Pendekatan komunikatif bertujuan membentuk kompetensi
komunkatif siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia yang mencakup
empat keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Dalam mengajar dengan menggunakan pendekatan komunikatif, guru harus
mempunyai kompetensi, menyenangi bahasa Indonesia, bersikap kritis,
meningkatkan kemampuan pribadi, bekerja sama, profesional, dan mencintai
pekerjaan. Guru di dalam kelas komunikatif akan sedikit berbicara dan lebih
aktif sebagai fasilitator. Siswa diberi kebebasan berbicara untuk melatih
kemampuan berkomunikasinya menggunakan bahasa Indonesia dalam
berbagai kesempatan di dalam kelas.
Kata kunci: pendekatan komunikatif, inovasi, pembelajaran bahasa
Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
47
Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia.Dari kecil
sampai tua, manusia tetap memerlukan pendidikan.Kemajuan dalam bidang pendidikan dari
tahun ke tahun menunjukkan hal yang positif. Pengembangan berbagai aspek pembelajaran
bahasa seperti strategi pengajaran, pendekatan dalam pengajaran, penyusunan kurikulum, dan
hal lain yang terkait terus disempurnakan. Pembelajaran bahasa di Indonesia mengalami
perubahan seiring dengan perkembangan zaman.Perubahan pendekatan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia disebabkan oleh perubahan pandangan tentang hakikat bahasa serta teori
pembelajaran bahasa yang dianut.Perubahan asumsi tentang hakikat bahasa yang mendorong
muncul pendekatan baru. Salah satu hasil kerja keras para ahli dalam pembelajaran bahasa
adalah munculnya pendekatan baru tersebut yang dikenal dengan pendekatan komunikatif.
Bahasa sebagai alat komunikasi menjadi sangat penting dalam kehidupan
manusia.Untuk itu, bagaimana penggunaan bahasa dengan tepat sesuai dengan konteksnya
sangat penting dipelajari. Meskipun pada mulanya pendekatan komunikatif diciptakan untuk
mempelajari bahasa kedua di Eropa, tetapi saat ini, di Indonesia pendekatan komunikatif juga
penting diterapkan dalam pembelajaran bahasa di sekolah terutama untuk mempelajari bahasa
Indonesia.Pendekatan ini lahir akibat adanya ketidakpuasan para praktisi atau pengajar bahasa
atas hasil yang dicapai oleh metode tata bahasa terjemahan, yang hanya mengutamakan
penguasaan kaidah tata bahasa, mengesampingkan kemampuan berkomunikasi sebagai
bentuk kompetensi yang diharapkan dari belajar bahasa.
Pendekatan komunikatif adalah suatu pendekatan pembelajaran bahasa untuk
mengembangkan potensi siswa dalam menguasai empat keterampilan berbahasa, yakni,
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.Pembelajaran dengan pendekatan komunikatif
diakui bahwa keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi dapat diajarkan dan dipelajari
melalui sebuah prosedur belajar-mengajar yang dirumuskan oleh guru.
Pembahasan
1. Pengertian Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan
keterampilan siswa dalam berkomunikasi, menekankan pembinaan dan pengembangan
kemampuan komunikatif siswa.Penerapan pendekatan komunikatif sepenuhnya dilakukan
oleh siswa (student centre), sedangkan guru hanya sebagai fasilitator. Dengan demikian siswa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
48
akan mampu bercerita, menanggapi masalah, dan mengungkapkan pendapatnya secara lisan
dengan bahasa yang runtut dan mudah dipahami.
Sebelum pendekatan komunikatif ini diterapkan dalam pembelajaran bahasa
Indonesia, guru hanya diberi beban menyelesaikan materi yang telah ditetapkan dalam
kurikulum, dan meningkatkan hasil belajar siswa.Tetapi, setelah pendekatan komunikatif
diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru mendapat penambahan beban, yakni
siswa diusahakan memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik.Dalam hal ini, guru
mengamati komunikasi siswa di dalam kelas. Guru tidak boleh langsung menyalahkan siswa
atau mengoreksi kesalahan siswa meskipun siswa telah menyimpang/melanggar kaidah-
kaidah yang tata bahasa. Siswa salah sekali pun, jika komunikasi mereka berjalan dengan
lancar guru harus memberikan motivasi. Perlu diketahui bahwa koreksi yang dilakukan guru
secara langsung hanya akan mematikan keberanian siswa dan secara psikologis akan
mempengaruhi kemampuan berbicaranya. Guru diharapkan membuat koreksi dengan cara
yang halus, tidak dilakukan sembarangan, memilih waktu yang tepat, artinya guru
memperbaiki kesalahan berbahasa siswa secara tidak langsung, atau tanpa disadari oleh siswa.
Grow (1987:1) mengatakan bahwa pendekatan komunikatif adalah pendekatan
pengajaran menyeluruh. Pendekatan ini memberikan kesempatan yang tidak terbatas kepada
siswa untuk menggambarkan pengalaman mereka, memberikan makna seluruh unit pikiran
dan saling berkomunikasi di antara mereka secara aktif.Istilah pendekatan komunikatif
digunakan berdampingan dengan istilah pendekatan pragmatik.Purwo (1990:1) menyatakan
bahwa pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan dan dibedakan menjadi pragmatik sebagai
kajian linguistik, sebagai salah satu segi di dalam bahasa, ini lazim pula disebut fungsi
komunikatif. Jadi, pada dasarnya pragmatik sama dengan komunikatif.
Mushlisch (1991:17) menyebutkan bahwa pengajaran bahasa dengan pendekatan
komunikatif (pragmatik) ialah mengajarkan bahasa dengan tidak menekankan pada
penghafalan bentuk-bentuk kalimat yang benar, tetapi pada pemberian bekal kepada siswa
tentang berbagai kemungkinan strategi dalam berkomunikasi, kemudian pengayaan
penggunaan bahasa dalam berbagai situasi, pemberian latihan yang terus menerus untuk
berkomunikasi dalam berbagai aspek bahasa, penggunaan bahasa dengan memperhatikan
sopan santun berbahasa.
Selanjutnya, Purwo (1990:50) menyatakan bahwa pengajaran bahasa dengan
pendekatan pragmatik atau komunikatif lebih banyak berurusan dengan penyusunan silabus
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
49
dan bahasa pengajaran daripada dengan metode pengajaran.Ini menunjukkan bahwa di dalam
pengajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif jika kita membicarakan metode ini berarti
kita telah berbicara tentang approach, design, dan procedure (Richards, 1986; Brown, 1980).
Grow (1987) menyatakan bahwa kegiatan belajar mengajar terpusat pada siswa, dan metode
adalah sederetan strategi dan teknik-teknik yang mungkin dipakai untuk membelajarkan
siswa.
2. Ciri-ciri Pendekatan Komunikatif
Menurut Iskandarwassid dan Sunendar (2011:55), pendekatan komunikatif memiliki
ciri-ciri sebagai berikut.
a. Acuan berpijaknya adalah kebutuhan peserta didik dan fungsi bahasa.
b. Tujuan belajar bahasa adalah membimbing peserta didik agar mampu berkomunikasi
dalam situasi yang sebenarnya.
c. Silabus pengajaran harus ditata sesuai dengan fungsi pemakaian bahasa.
d. Peranan tatabahasa dalam pengajaran bahasa tetap diakui.
e. Tujuan utama adalah komunikasi yang bertujuan.
f. Peran pengajar sebagai pengelola kelas dan pembimbing peserta didik dalam
berkomunikasi diperluas.
g. Kegiatan belajar harus didasarkan pada teknik-teknik kreatif peserta didik sendiri, dan
peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok kecil.
Subyakto (1988:70) menyebutkan ciri-ciri pendekatan komunikatif sebagai berikut.
a. Aktivitas yang menunjukkan komunikasi sebenarnya/realistis akan mendorong pelajar
untuk belajar.
b. Aktivitas berbahasa yang bertujuan melakukan tugas-tugas yang bermakna akan
mendorong pelajar untuk belajar.
c. Materi silabus komunikasi dipersiapkan berdasarkan alalisis kebutuhan.
d. Aktivitas di kelas berpusat kepada pelajar.
e. Guru berperan sebagai penyuluh, penganalisis kebutuhan pelajar, dan sumber manajer
kelompok.
f. Peran bahan pengajaran ialah untuk menunjang komunikasi pelajar secara aktif.
Finnocchiaro dan Brumfit (1983: 91) mengemukakan 22 ciri utama pendekatan
komunikatif, yaitu (a) kebermaknaan, (b) dialog bersifat komunikatif, (c) premis dasarnya
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
50
adalah kontekstual, (d) pembelajaran bahasa adalah pembelajaran berkomunikasi, (e)
diutamakan komunikasi yang efektif, (f) teknik tubian boleh digunakan, (g) pelafalan
diharapkan yang komprehensif, (h) alat bantu yang digunakan siswa dalam berkomunikasi
disesuaikan dengan umur, dan minat, (i) berkomunikasi didorong sejak awal, (j) jika
diperlukan penggunaan bahasa ibu dapat dilakukan, (k) penerjemahan dapat digunakan jika
diperlukan, (l) membaca dan menulis diberikan sejak hari pertama, (m) target sistem
linguistik akan lebih baik dipelajari melalui proses berkomunikasi, (n) kemampuan
komunikatif diutamakan, (o) variasi bahasa adalah konsep utama dalam materi dan
metodologi, (p) urutan ditentukan dengan berbagai cara agar keterampilan berbahasa siswa
dapat dimotivasi dan dikembangkan, (q) siswa dibantu guru dengan berbagai cara agar
keterampilan berbahasa siswa dapat dimotivasi dan dikembangkan, (r) bahasa diciptakan oleh
individu sering kali melalui trial and error (mencoba-coba), (s) kelancaran dan bahasa yang
dapat diterima adalah tujuan utama; ketepatan diharapkan tidak dalam sesuatu yang Abstrak,
tetap, dalam kelas, (t) siswa diharapkan dapat berinteraksi dengan orang lain melalui kerja
berbapasangan atau kelompok, maupun secara tertulis, (u) bahasa yang akan digunakan
siswanya tidak dapat diketahui gurunya secara pasti, (v) minat berkomunikasi akan didorong
oleh motivasi intrinsik.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pendekatan
komunikatif adalah siswa merupakan pusat belajar, guru berperan sebagai fasilitator, tujuan
pengajaran adalah melatih siswa dapat berkomunikasi dengan baik.
3. Tujuan Pendekatan Komunikatif
Tujuan menerapkan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia
adalah untuk membiasakan siswa menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi
sesuai dengan situasi dan kondisi, agar siswa memiliki kecakapan dalam berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa Indonesia. Manfaat yang didapatkan dari penggunaan
pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah memudahkan guru
membelajarkan bahasa Indonesia, memberi kebebasan kepada siswa untuk berkomunikasi
sesuai dengan konteks situasi.
Pendekatan komunikatif bertujuan untuk membentuk kemampuan komunikatif
(kompetensi komunikatif) siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia yang mencakup
empat keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Artinya, melalui
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
51
berbagai kegiatan pembelajaran dengan pendekatan komunikatif,siswa diharapkan mampu
mengembangkan kompetensi komunikatif bahasa mereka, baik secara lisan, tulisan, maupun
situasi resmi dan tidak resmi.
4. Kompetensi Komunikatif: Pengajaran Bahasa Komunikatif dan Pengajaran
Berbasis Tugas
a. Hakikat Kompetensi Komunikatif
Menurut Brown (2007:241), istilah kompetensi komunikatif diperkenalkan oleh Dell
Hymes (1972,1967). Hymes menyebut kompetensi komunikatif sebagai aspek kompetensi
memungkinkan seseorang untuk menyampaikan dan menafsirkan pesan antarpersonal dalam
konteks-konteks tertentu. Savignon (dalam Brown, 2007:241) menyatakan bahwa kompetensi
komunikatif bersifat relatif, tidak mutlak, dan tergatung kepada kerja sama semua partisipan
yang terlibat. Pada tahun 1970-an, penelitian mengenai kompetensi komunikatifmembedakan
antara kompetensi linguistik dan komunikatif untuk menyoroti perbedaan antara pengetahuan
mengenai bentuk-bentuk bahasa dan pengetahuan yang memungkinkan seseorang
berkomunikasi secara fungsional dan interaktif.
Menurut Canale dan Merrill Swain (dalam Brown, 2007:241—242), terdapat empat
komponen yang berkenaan dengan konsep kompetensi komunikatif.Kompetensi tersebut ialah
sebagai berikut.
1) Kompetensi Gramatikal
Kompetensi gramatikal adalah aspek kompetensi komunikatif yang mencakup
pengetahuan mengenai komponen leksikal dan kaidah tata bahasa seperti
fonologi,morfologi, sintaksis, dan semantik.
2) Kompetensi Wacana
Kompetensi wacana merupakan pelengkap dari kompetensi gramatikal.Kemampuan
wacana adalah kemampuan mengaitkan kalimat-kalimat yang terdapat dalam sebuah
wacana dan kemampuan untuk memaknai sebuah wacana.Jika kompetensi gramatikal
mencakup tata bahasa pada tataran kalimat, maka kompetensi wacana mencakup hubungan
antarkalimat.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
52
3) Kompetensi Sosiolinguistik
Kompetensi sosiolinguistik adalah pengetahuan tentang kaidah sosial budaya bahasa dan
wacana.Kompetensi ini menekankan tentang konteks sosial, seperti peran para partisipan,
informasi yang dibicarakan, dan fungsi interaksi.
4) Kompetensi Srategis
Canale dan Swain (dalam Brown, 2007:242) memberikan pemahaman tentang kompetensi
srategis sebagai stategi komunikasi verbal dan nonverbal yang dipakai untuk mengimbangi
kesalahan komunikasi.Sementara itu, Savignon (dalam Brown, 2007:242) menyatakan
bahwa kompetensi strategis adalah strategi-strategi yang digunakan seseorang untuk
mengimbangi ketidaktahuan tentang kaidah-kaidah atau faktor-faktor yang membatasi
pengunaan strategi tersebut, seperti keletihan, kelalaian, dan kuarang
memperhatikan.Pendek kata, kompetensi strategis dapat dipahami sebagai strategi-strategi
komunikasi yang bisa digunakan untuk meningkatkan efektifitas komunikasi dan
kesalahpahaman.Menurut Yule dan Taron (dalam Brown, 2007:242), kompetensi strategis
dapat dipahami sebagai kemampuan memilih sarana yang efektif untuk melakukan tindak
komunikasi yang memungkinkan pendengar atau pembaca mengenali rujukan yang
dimaksud.Dengan kata lain, kompetensi stategis ini merupakan cara yang dapat dilakukan
dalam memanipulasi bahasa agar memenuhi tujuan-tujuan komunikatif tertentu.
Berbeda dengan model kompetensi komunikatif yang oleh Canale dan Swain, Lyle
Bachman (dalam Brown, 2007:243), juga memberikan pemahaman mengenai kompetensi
komunikatif yang diistilahkan dengan kompetensi bahasa.
b. Pengajaran Bahasa Komunikatif
Pengajaran bahasa komunikatif lebih dipahami sebagai pendekatan daripada metode
(Richard & Rodgers, 2001).Pengajaran bahasa komunikatif merupakan pemahaman teoritis
terpadu dan mempunyai cakupan yang luas mengenai karakter bahasa serta dalam pengajaran
dan pembelajaran bahasa kedua. Terdapat empat karakteristik yang saling terkait sebagai
pengertian dari pengajaran bahasa komunikatif.
1) Sasaran kelas difokuskan pada semua komponen kompetensi komunikatif dan tidak
terbatas pada kompetensi tata bahasa dan bahasa
2) Teknik-teknik bahasa dirancang untuk melibatkan pembelajar dalam penggunaan
pragmatik, otentik, dan fungsional bahasa untuk tujuan yang berarti. Bentuk-bentuk tata
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
53
bahasa yang bagus buka merupakan menjadi perhatian, melainkan lebih kepada aspek-
aspek bahasa yang memungkinkan pembelajar mewujudkan tujuan-tujuan tersebut.
3) Kefasihan dan akurasi dipandang sebagai prinsip-prinsip pelengkap yang mendasari
teknik-teknik komunikatif. Adakalanya kefasihan lebih dipentingkan daripada akurasi.
Hal ini dilakukan untuk menjaga agar pembelajar tetap terlibat secara berarti dalam
pengajaran bahasa.
4) Dalam kelas komunikatif, pembelajar pada akhirnya akan menggunakan bahasa secara
produktif dan berterima dalam konteks yang sopan.
Pengajaran bahasa komunikatif menyarankan bahwa sruktur gramatikal lebih baik
disisipkan kedalam berbagai kategori fungsional.Pengajaran bahasa komunikatif tidak banyak
memberi perhatian pada penyampaian dan pembahasan mengenai kaidah-kaidah gramatikal
yang lazim digunakan.Banyak pengunaan bahasa otentik disiratkan dalam pengajaran bahasa
komunikatif, hal ini terlihat ketika guru membangun kefasihan (Chambers, 1997).
Karakteristik keempat pengajaran bahasa komunikatif sering menyulitkan seorang
guru yang bukan penutur asli dan tidak terampil dalam behasa kedua dalam pengajaran yang
efektif.Dialog, dril, latihan ulangan, dan membahas (dalam bahasa pertama) kaidah-kaidah
tata bahasa jauh lebih sederhana bagian sebagian guru yang bukan penutur asli.Teknologi
seperti video, televisi, kaset audio, internet, dan perangkat lunak komputer dapat membantu
guru dalam mengatasi hal-hal tersebut.
c. Intruksi Berbasis Tugas
Intruksi berbasis tugas muncul sebagai titik fokus praktek pengaran bahasa di seluruh
dunia.Ketika intruksi berbasis tugas terus ditekankan sebagai interaksi di kelas, pengajaran
berpusat kepada pembelajar, otentisitas, dan memandang pengalaman pembelajar sebagai
kontributor penting bagi pembelajaran.Intruksi berbasis tugas menarik perhatian guru dan
pembelajar dalam melakukan tugas-tugas dikelas.Skehan (2003) mendefinisikan tugas
sebagai sebuah aktivitas yang mengharuskan pembelajar menggunakan bahasa dengan
penekanan pada makna untuk mencapai tujuan tertentu.
David Nunan (2004) membedakan antara tugas sasaran (penggunaan bahasa di luar
ruangan) dan tugas pedagogis (yang terjadi di ruang kelas).Menurutnya, tugas adalah
subhimpunan dari semua teknik dan aktivitas yang dirancang untuk kelas, dan tugas itu
menggunakan beberapa teknik. Dengan demikian, untuk tugas pemecahan masalah yang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
54
menggunakan peta, guru bisa mengawali dengan menjelaskan secara garis besar mengenai
tugas tersebut, memberikan penilaian terhadap tata bahasa atau kosakata yang digunakan
dalam tugas tersebut, membentuk kelompok untuk mendiskusikan permasalahan-
permasalahan yang ditawarkan, dan menyuruh siswa melaporkan hasil diskusi tersebut. Hal-
hal tersebut merupakan proses komunikatif dan merupakan bagian dari sifat kompetensi
komunikatif.
Sementara itu, tugas dirancang untuk membekali para pembelajar dengan bahasa
komunikatif yang diperlukan untuk memberi petunjuk bagi seseorang.Tugas khusus ini bisa
diartikan sebagai sebuah tugas pedagogis yang berhubungan dengan situasi di dunia nyata,
serta dirancang untuk memungkinkan pembelajar menyelesaikan tugas secara
terarah.Instruksi berbasis tugas adalah sebuah pendekatan yang medukung guru dalam
pembelajaran dan perancangan kurikulum.Untuk menyelasaikan sebuah tugas, seorang
pembelajar harus mempunyai kompetensi organisasional yang memadai, kompetensi
ilokusioner untuk mennyampaikan makna tersirat,kompetensi strategis untuk mengimbangi
kesalahan-kesalahan yang tidak terduga, dan semua perangkat wacana, pragmatika, serta
kemampuan komunikatif nonverbal.
d. Peran Guru dalam Pembelajaran Bahasa Komunikatif
Guru adalah aktor melaksanakan pendekatan komunikatif. Subyakto-N.(1988:108)
mengatakan bahwa guru yang sanggup menggunakan pendekatan komunikatif harus.
1) Mengetahuibagaimana berkomunikasi dalam bahasa itu.
2) Mengertidanmengetahui latar belakang tentang teori pendekatan komunikatif.
3) Mampumenyampaikan materi pelajaran kepada siswa secara komunikatif.
4) Mampumemilih/memodifikasi/menulis materi pelajaran yang komunikatif.
5) Dapatmenguji kemampuan/keterampilan komunikatif siswanya.
Dalam mengajar dengan menggunakan pendekatan komunikatif, guru harus
mempunyai kompetensi, menyenangi bahasa Indonesia, bersikap kritis, meningkatkan
kemampuan pribadi, bekerja sama, profesional, dan mencintai pekerjaan.Para guru di dalam
kelas komunikatif akan sedikit berbicara dan lebih aktif sebagai fasilitator. Guru berusaha
situasi kelas dalam keadaan akrab, tidak tegang. Siswa diberi kebebasan berbicara untuk
melatih kemampuan berkomunikasinya. Siswa diharapkan dapat menggunakan bahasa
Indonesia dalam berbagai kesempatan di dalam kelas.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
55
Pengajaran bahasa Indonesia adalah suatu kegiatan berusaha, bertujuan, dan
dilakukan dalam ruang lingkup satu lembaga pendidikan formal. Oleh karena itu, pengajaran
bahasa Indonesia memerlukan pedoman, aturan, prosedur, dan tata cara pelaksanaan kegiatan
pencapaian tujuan. Hal-hal tersebut yang telah disebut di atas tadi adalah prinsip pendekatan,
metode, dan teknik pengajaran.
Richards (1986:77) mengemukakan bahwa dalam pengajaran bahasa komunikatif,
guru berperan sebagai penganalisis kebutuhan, konselor, dan manajer. Seorang guru harus
menganalisis kebutuhan siswa sebelum mengajar, harus mengetahui apa yang dibutuhkan dan
apa yang harus diketahui siswa, bukan mengajarkan apa yang diketahui guru. Seorang guru
harus mampu menjadi tempat siswanya berkonsultasi. Guru harus memiliki kemampuan
untuk mengarahkan, memotivasi, dan menjadi tempat siswa mengemukakan permasalahan,
terutama masalah belajarnya. Selain itu, guru harus menjadi manajer, harus pandai mengelola
kelas, mengorganisasikan materi pelajaran dan menyajikannya kepada siswa sampai tujuan
yang diharapkan tercapai.
Menurut Finnochiaro (1983:4), tanggungjawab guru dalam kaitannya dengan guru
bahasa komunikatif sebagai berikut.
a. Guru harus mengetahui minat, cara belajar, dan aspirasinya.
b. Guru harus mengetahui keterampilan berkomunikasi yang telah dicapai siswa.
c. Guru mempelajari sumber insani dan lingkungan yang dapat digunakan untuk
berkomunikasi nyata.
d. Guru memperluas pengalaman siswa dengan memberi mereka cakrawala yang luas
tentang konsep nosi untuk berpikir dan berbicara.
e. Guru memperkaya kosakata siswa tidak hanya dengan memberi mereka pengalatan yang
bervariasi tetapi jiga dialog dan materi lain.
f. Guru menyajikan semua bentuk linguistik baru dan wawasan budaya dalam situasi yang
cocok yang tidak hanya akan memperjelan pengertian mereka saja teapi juga memberikan
contoh matra tentang pengalaman manusia yang biasanya mereka gunakan.
g. Guru memodifikasi penyajian buku ajar dan lebih serng mengajarkan ungkapan yang
diperlukan dalam komunikasi.
h. Guru sebelum menyajikan materi baru mengajukan lagi materi linguistik atau budaya
yang telah diajarkan. Ini membantu siswa menyusun kembali dan menggabungkan bentuk
linuistik dan konsep di dalam komunikasi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
56
i. Guru mengajukan lagi materi linguistik di dalam situasi sosial budaya yang berbeda sama
sekali untuk membentuk siswa menyadari bahwa bahasa mengungkapkan yang tidak
terbatas dengan cara yang terbatas.
j. Guru mengajukan korpus dasar materi linguistik dan budaya kepada semua siswa di
dalam kelas. Penyajian ini dapat secara berkelompok, berpasangan, dan perorangan sesuai
minat dan kemampuan siswa. Tidak semua siswa dalam waktu yang sama siap menulis
dialog misalnya, atau secara spontan bermain peran.
k. Guru meyakinkan siswa bahwa bentuk linguistik yang disajikan dalam dialog dan
membaca wacana tidak cukup dengan menghafal saja, tetapi dengan sengaja dimasukkan
ke dalam kegiatan komunikasi yang nyata dan cocok.
l. Guru mempersiapkan kegiatan nyata yang relevan dengan kehidupan nyata siswa sehari-
hari dan kebutuhan komunikasi.
m. Guru tidak memberi kritik terhadap pernyataan siswa yang kurang kreatif.
n. Guru mendorong siswa mendiskusikan nilai dan budaya mereka.
o. Guru tidak menuntut jawaban yang jujur atau pertanyaan yang jawabannya dapat
memalukan siswa. Misalnya, apa pekerjaan ayahmu?
p. Guru menyiapkan kegiatan komunikasi yang lebih fungsional yang dideskripsikan di
dalam tulisan mutakhir atau disertai gambar-gambar. Misalnya tugas memberikan
gambar, seseorang siswa memberikan isi gambar kepada temannya yang lain.
q. Guru memberikan kebebasan kepada siswa agar mereka dapat lebih kreatif.
r. Guru membantu siswa mencapai kefasihan di dalam pengertian dan bacaan melalui
latihan terbimbing.
Untuk menerapkan peran profesional di atas, guru harus memiliki modal dasar, yakni
kemampuan merancang program dan keterampilan mengkomunikasikan program kepada
siswa. Dua modal dasar ini telah dirumuskan dalam UU RI no 14 tahun 2005 bab I pasal 1
ayat 8, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi, sosial, dan
kompetensi profesional.
Kesimpulan
Pendekatan ini lahir akibat adanya ketidakpuasan para praktisi atau pengajar bahasa
atas hasil yang dicapai oleh metode tata bahasa terjemahan, yang hanya menngutamakan
penguasaan kaidah tata bahasa, mengesampingkan kemampuan berkomunikasi sebagai
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
57
bentuk kompetensi yang diharapkan dari belajar bahasa. Pendekatan komunikatif adalah suatu
pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam berkomunikasi,
menekankan pembinaan dan pengembangan kemampuan komunikatif siswa. Pendekatan
komunikatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut (1) acuan berpijaknya adalah kebutuhan peserta
didik dan fungsi bahasa; (2) tujuan belajar bahasa adalah membimbing peserta didik agar
mampu berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya; (3) silabus pengajaran harus ditata
sesuai dengan fungsi pemakaian bahasa; (4) peranan tatabahasa dalam pengajaran bahasa
tetap diakui; (5) tujuan utama adalah komunikasi yang bertujuan; (6) peran pengajar sebagai
pengelola kelas dan pembimbing peserta didik dalam berkomunikasi diperluas dan (7)
kegiatan belajar harus didasarkan pada teknik-teknik kreatif peserta didik sendiri, peserta
didik dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Pendekatan komunikatif bertujuan untuk
membentuk kemampuan komunikatif (kompetensi komunikatif) siswa dalam menggunakan
bahasa Indonesia yang mencakup empat keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis. Terdapat empat komponen yang berkenaan dengan konsep kompetensi
komunikatif, yaitu kompetensi gramatikal, kompetensi wacana, kompetensi sosiolinguistik
dan kompetensi srategis. Para guru di dalam kelas komunikatif akan sedikit berbicara dan
lebih aktif sebagai fasilitator. Dalam pengajaran bahasa komunikatif, guru berperan sebagai
penganalisis kebutuhan, konselor, dan manajer. Kegiatan belajar mengajar terpusat pada
siswa, dan metode adalah sederetan strategi dan teknik-teknik yang mungkin dipakai untuk
membelajarkan siswa. Dengan penerapan pendekatan komunkatif di dalam kelas, siswa siswa
diharapkan mempunyai kompetens komunikatif yang baik terhadap bahasa yang dipelajari,
yaitu bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka
Brown H. Douglas. 2007. Principles of Language Learning and Teaching. New York:
Pearson Inc.
Depdikbud. 1986. Kurikulum Sekolah Dasar: Garis-Garis Besar Program Pengajaran.
Jakarta: Balai Pustaka.
Finocchiaro, Mary dan Sako Sydney. 1983. The Functional Notional Approach: From Theory
to Practice. New York: Oxford University Press
Grow, Janice. 1987. “Pendekatan Komunikatif”. Makalah. Jakarta: Depdikbud.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
58
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar.2011 (cet-3).Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya Offset.
Muchlish. 1990. CBSA:Buku Panduan Mengajar Bahasa Indonesia untuk Guru Sekolah
Dasar Kelas III, IV, V, dan VI. Jakarta: Depdikbud Balitbang.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.
Richards, Jack dan Rodgere Theodore. 1986. Approach and Methods in Language Teaching:
a Description and Analysis. Cambridge: Cambridge Universty Press.
Subyakto-N, Sri Utari. 1988. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: Depdikbud.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
59
ANALISIS PUISI KONTEMPORER ANAK-ANAK MASA KINI
DALAM PERMAINAN ANAK
Agus Priyanto
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Permainan anak atau kaulinan budak (Sunda) atau dolanan (Jawa) adalah permaian
tradisi lisan (foklor) yang turun-temurun yang bisa ditemukan di seluruh nusantara.
Pemainan anak ini berbentuk nyanyian atau lagu, dan dialog diikuti dengan gerakan
atau akting berdasarkan tema teksnya. Teks dalam lagu ini merupakan merupakan sastra
lisan yang berjenis puisi. Sastra lisan biasanya diwariskan turun-temurun secara lisan
dari generasi ke generasi. Cara pewarisannya yang demikian, maka lahirlah pemahaman
baru dengan kata lain, adanya variasi dalam teks puisi permaianan anak tersebut. Selain
itu, ketidaksamaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan nilai, latar, situasi, dan
kondisi. Pergeseran zaman dan nilai ini menghasilkan puisi permainan anak-anak yang
bersifat kekinian, yaitu puisi kontemporer dalam permainan anak. Bentuk puisi
kontemporer ini bisa meniru bentuk puisi lama dengan modifikasi, bisa juga berupa
ciptaan baru. Puisi permainan anak menarik untuk diteliti, karena : 1) Teks puisi
permainan anak memiliki struktur yang menarik dari segi rimanya, 2) Penuturan puisi
permainan anak memilki konteks dengan bahasa dan lingkunagnya, 3) Puisi permainan
anak memiliki fungsi perkembangan anak.
Kata kunci : - foklor, kaulinan budak, puisi kontemporer
Pendahuluan
Permainan anak dalam khasanah Sunda disebut kaulinan budak dan dalam khasanah
Jawa disebut dolanan sebagai salah satu bentuk sastra lisan, bentuknya masih tradisional,
biasanya diwariskan turun-temurun secara lisan dari generasi ke generasi. Cara pewarisan
yang demikian sangat bergantung pada tersedia atau tidaknya penutur cerita aktif (penutur
profesional) ataupun yang pasif, yang menguasai permainan anak tersebut. Oleh karena cara
pewarisannya yang demikian, maka lahirlah pemahaman-pemahaman baru di antara
pendengar sastra lisan tersebut. Dengan kata lain, adanya variasi dalam teks puisi permaianan
anak tersebut. Bisa jadi karena penyampaian yang kadang ditambah, dikurangi sesuai cita rasa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
60
penutur menjadikan sastra lisan memiliki versi dan varian yang beraneka. Selain itu,
ketidaksamaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan latar, situasi, dan kondisi masyarakat itu
sendiri. Pergeseran nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga dapat mengubah dan akan
berpengaruh terhadap keberadaan puisi permainan anak yang cara pewarisannya bersifat
tradisional.
Berdasarkan pemikiran di atas, sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup
ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan
(Hutomo,1991:1). Selain itu, sastra lisan juga merupakan bagian dari foklor, yang tentunya
memiliki banyak genre. Salah satunya yaitu jenis puisi kontemporer dalam permainan anak
yang bersifat kekinian tersebut. Walaupun kontemporer tetapi masih bersifat puisi
tradisional.dengan ciri anonim atau tidak diketahui siapa penciptanya.
Puisi permainan anak dapat digolongkan ke dalam salah satu bentuk tradisi lisan.
Pengelompokan genre dari puisi permainan anak tersebut dapat masuk ke dalam bentuk puisi
rakyat. Hal tersebut karena sesuai dengan ciri-ciri puisi rakyat yang disebutkan oleh
Danandjaja (2002:46), bahwa kekhususan genre ini yaitu kalimatnya yang tidak berbentuk
bebas (free phase) melainkan terikat (fix phase). Maksud dari ciri tersebut adalah bentuk
tertentu yang biasanya terdiri dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan matra,
panjang pendek kalimat, suku kata, lemah tekanan suara, atau berdasarkan irama (Juariah,
2005:25).
Pada dasarnya puisi permainan anakadalah pembicaraan mengenai sebuah peristiwa
komunikasi secara khusus yang ditandai dengan adanya interaksi di antara unsur-unsur
pendukungnya secara khusus pula. Artinya, ada hubungan antara penutur, petutur,
kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubunganya dengan lingkungan serta masyarakat
pendukungnya. Komunikasi khusus inilah yang menyebabkan puisi permainan anak menarik
untuk diteliti, baik dilihat dari teks, konteks penuturan, dan fungsi.
Puisi permaianan anak terlalu luas karena mencangkup puisi permaian anak yang
bersifat tradisional atau puisi berbahasa daerah yang diciptakan pada masa dahulu dan puisi
masa kini yang bersifat kontemporer. Maka dari itu permasalah dibatasi pada puisi-puisi yang
diciptakan pada masa kini, yaitu puisi kontemporer dalam permainan anak. Pada penelitian ini
terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut. Bagaimana struktur
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
61
teks puisi permainan anak? Bagaimanakah konteks penuturan puisi permainan anak? Apa
fungsi puisi permainan anak?
Lagu permainan anak Sebagai Tradisi Lisan
Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu
kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut) atau
oral traditions (Hutomo, 1991:1). Sastra lisan bersifat komunal. Artinya, sastra lisan adalah
milik bersama masyarakat pada suatu komunitas tertentu, maka sastra ini juga disebut juga
folk literature atau sastra rakyat. Tetapi dengan pernyataan tersebut, tidak berarti sastra lisan
tidak hidup dalam masyarakat kota yang telah maju (Hutomo, 1991:4). Sedangkan menurut
Alan Dundes dalam Danandjaja, (2002:1-2) istilah folklor adalah pengindonesiaan dari kata
dalam bahasa Inggris folklor, yang merupakan kata majemuk dan berasal dari kata folk dan
lore. Menurut Dundes, folk artinya sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri fisik, sosial, dan
kebudayaan sehingga dapat dibedakan dengan kelompok yang lain. Ciri-ciri pengenal itu
dapat berwujud: warna kulit yang sama; bentuk rambut yang sama; mata pencaharian yang
sama; bahasa yang sama; taraf pendidikan yang sama; dan agama yang sama. Sedangkan lore
adalah tradisi dari folk, yaitu sebagian dari kebudayaan masyarakat yang diturunkan secara
lisan atau melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat.
Definisi folklor secara keseluruhan yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif yang
tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional
yang berbeda baik dalam lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat (mnemonic device) (Dananjaja, 2002:2). Menurut Dadanjaja (2002:21)
folklor dibagi ke dalam tiga bentuk. Pertama, folklor lisan yaitu sastra yang bentuknya murni
lisan. Seperti: bahasa rakyat (julukan, logat, pangkat tradisional, titel kebangsawanan);
ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah); pertanyaan tradisional (teka-teki); puisi rakyat
(pantun, gurindam, syair); cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng); dan nyanyian rakyat.
Kedua, folklor setengah lisan atau sebagian lisan adalah sastra lisan yang bentuknya
merupakan campuran antara unsur lisan dan bukan lisan. Seperti, permainan rakyat.
Walaupun diajarkan secara lisan, namun permainan rakyat berpadu dengan alat-alat
penunjang permainan maupun gerak dalam permainannya. Ketiga, folklor bukan lisan yaitu
folklor yang bentuknya bukan lisan. Contohnya: arsitektur rumah (bentuk rumah daerah,
bentuk lumbung padi, dan lain-lain), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
62
adat, makanan dan minuman rakyat, obat-obatan tradisional. Ada juga dalam bentuk bukan
material seperti: gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan)
dan musik rakyat.
Ciri-ciri pengenal folklor yang dikemukakan oleh para ahli kemudian dirumuskan
oleh Danandjaja (2002:3-5), yaitu:
a) Penyebaran dan pewarisan biasanya dilakukan secara lisan;
b) Bersifat tradisional;
c) Folklor ada dalam versi-versi dan interpolasi;
d) Bersifat anonim;
e) Folklor memiliki bentuk berumus dan berpola;
f) Mempunyai kegunaan (fungsi);
g) Bersifat pralogis (mempunyai logika sendiri);
h) Folklor merupakan milik bersama (kolektif tertentu); dan
i) Bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar.
Adapun fungsi folklor seperti yang dijelaskan Bascom (dalam Danandjaja, 2002:19)
bahwa fungsi folklor ada empat, yaitu: (a) sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni
sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif; (b) sebagai alat pengesahan pranata-
pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; (c) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical
device); dan (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan
selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Puisi lisan tentu saja memiliki fungsi masing-masing.
Namun fungsi-fungsi tersebut bergantung pada masyarakat pemilik tradisi lisan yang
bersangkutan. Artinya, fenomena sebuah tradisi lisan ada kecenderungan memiliki fungsi
lebih dari satu, sesuai dengan genre dan masyarakat pendukungnya.
Tradisi lisan dalam kajian folklor ini seperti telah disinggung di atas merupakan salah
satu bentuk dari pembagian kelompok dalam kajian folklor, yakni folklor lisan (verbal
folklor), folklor sebagian lisan (partly verbal folklor), dan folklor bukan lisan (nonverbal
folklor) (Danandjaja, 2002:21). Adapun bentuk dari foklor lisan yaitu (1) bahasa rakyat; (2)
ungkapan tradisional; (3) pertanyaan tradisional; (4) puisi rakyat; (5) cerita prosa rakyat; dan
(6) nyanyian rakyat (Danandjaja, 2002:21).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
63
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode
penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif, dan hasil penelitian penelitian lebih menekankan makna dari pada generalisasi.
(Sugiyono, 2009:1). Dalam terminologi Creswell penelitian kualitatif ini berjenis
peneltian etmografi, yaitu penelitian yang melakukan studi terhadap budaya kelompok
dalam kondisi yang alamiah melalui observasi dan wawancara. (Sugiyono 2013 :24).
Populasi merupakan keseluruhan objek yang diteliti yang dapat dijadikan informasi
dari kegiatan penelitian. Sugiyono (2009:49) menyatakan populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas : Obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertetntu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Populasi penelitian ini adalah semua permainan anak-anak yang berada di wilayah Kota
Bandung. Permaianan anak yang berbahasa Sunda, bahasa Indonesia maupun yang campuran
atau dwi bahasa.
Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang dipilih oleh peneliti untuk
dijadikan objek penelitian. Pengambilan sampel ini dilakukan karena populasi terlalu banyak
dan luas. Riduwan (2010:56) menyatakan sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil
sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi. Wilayah Bandung sebagai tempat
populasi permainan anak dianggap masih terlalu luas maka diambillah sampel dari populasi
tersebut. Sampel penelitian ini puisi permaian anak yang berada di lingkungan sebuah SD
Gagasceria Jalan Malabar 61 Kota Bandung.
Analisis Struktur Teks Puisi Kontemporer Permainan Anak
Teks yang dianalisis merupakan teks puisi kontemporer permainan anak yang
diperoleh dari SD Gagasceria Jalan Malabar 61 Bandung. Teks-teks tersebut menggunakan
bahasa Indonesia dan ada juga campuran. Analisis ini akan mengacu pada analisis struktur
teks, konteks penuturan, dan fungsi. Analisis teks akan meliputi analisis: struktur teks,
formula bunyi, formula irama, gaya bahasa, dan tema.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
64
1. Teks 1: Kepiting Cina
KEPITING CINA
(+) Sampurasun
(-) Rampes
(+) Di manakah rumah Kepiting Cina?
(-) Di dasar laut
(+) Mari kita kesana
(-) Mari
Kepiting Cina o e o e
Kuberi nama pahlawan muda
E jaja e jaja
Pak camat jualan tomat
Yang beli harus hormat
Nek Ijah pakai kacamata
Bolong dua bolong dua
Pak kusir jadi jatuh cinta
Jatuh cinta jatuh cinta
1.1 Deskripsi Permainan
Permainan Kepiting Cina dilakukan oleh dua orang anak. Dua anak saling
berhadapan. Anak A berhadapan dengan anak B. Si anak A mengatakan, “Sampurasun”.
Sebuah salam dari tradisi budaya Sunda. Dan anak B menjawab, “Rampes”. Rampes adalah
jawaban dari salam sampurasun. Lalu mereka bertanyajawab. Lengkapnya sebagai berikut
ini.
Anak A : “Sampurasun”
Anak B : “Rampes”
Anak A : “Dimanakah rumah kepiting cina?”
Anak B : “Di dasar laut.”
Anak A : “Mari kita kesana.”
Anak B : “Mari.”
Kemudian kedua anak tersebut melakukan koor, menyanyi bareng lagu dengan syair di bawah
ini dengan melakukan koreografi atau gerakan yang kompak.
Kepiting Cina oe oe
Kuberi nama pahlawan muda
E ja ja ejaja 2x
Pak camat jualan tomat
Yang beli harus hormat
Nek Ija pakai kaca mata
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
65
Bolong dua bolong dua
Pak kusir jadi jatuh cinta
Jatuh cinta jatuh cinta
Awal gerakan tiap anak membuat satu keplokan/tepukan tangan di depan dada saat
berkata suku kata /ke/. Ddilanjut suku kata /pi/ tidak membuat tepukan. Lalu pas bunyi suku
kata /ting/ tangan kanan kedua anak tersebut (A dan B) saling bertemu membuat tepukan,
tepukan ini terlihat menyilang. Begitu pula saat kata cina diucapkan sambil membuat tepukan
pada suku kata /ci/ masing-masing anak membuat tepukan di depan dada masing-masing.
Dilanjut suku kata /na/ tangan kiri kedua anak saling bertemu membuat tepukan. Kemudian
kata /o/, /e/, /o/, /e/ (empat suku kata) kedua tangan diangkat ke atas seperti orang menyerah,
setiap suku kata jari-jemari dibuka tutup. Syair berikutnya “Kuberi nama pahlawan muda”
gerakan sama dengan saat mengatakan “kepiting cina” tetapi dua kali gerakan. Gerakan tepuk
tangan di depan dada jatuh pada suku kata /ku/, /na/, /pah/, /mu/. Sedangkan tepukan sesama
tangan kanan kedua anak jatuh pada suku kata /ri/ dan /wan/. Sedangkan tepukan sesama
tangan kiri kedua anak jatuh pada suku kata /ma/ dan /da/. Selanjutnya syair E ja ja ejaja 2x,
kedua tangan diletakan dipinggang.
Bait berikutnya, gerakannya hampir sama dengan kepiting cina yaitu gerakan tepuk
tangan saling menyilang, tetapi akhir kalimatnya membuat gerakan yang menggambarkan
kelakuan atau benda yang menjadi tema kalimat tersebut. Pada kalimat Pak camat jualan
tomat, kedua anak tangannya mengepal membentuk buah tomat. Pada kalimat Yang beli
harus hormat diakhiri dengan cara membuat gerakan hormat tentara yaitu telapak tangan di
buka rapat diletakan di samping atas mata. Sedangkan kalimat berikutnya Nek Ijah pakai kaca
mata diakhiri dengan gerakan membaut kaca mata dari jari-jari tangan dan diletakan di depan
mata kedua anak masing-masing. Meloncat pada kalimat Pak kusir jadi jatuh cinta diakhiri
dengan gerakan jari-jari ke dua tangan membentuk hati dan diletakan di depan dada masing-
masing anak. Pada kalimat atau kata-kata Bolong dua bolong dua dan Jatuh cinta jatuh cinta,
berbeda sama sekali gerakannya dengan kaliamat yang lain. Tidak memakai tepukan tangan.
Pada kalimat Bolong dua bolong dua, bentuk gerakan melanjutkan gerakan dari akhir kalimat
Nek Ijah pakai kaca mata. Yaitu membuat kacamata dari kedua tangan dengan jari-jari
membuat lingkaran dan diletakan didepan mata. Kemudian kepala masing-masing anak maju
ke depan dan bertemu kedua “kacamata”nya kemudian kembali lagi pada posisi semula. Ini
dilakukan dua kali karena kata bolong dua diucapkan dua kali. Sedangkan pada kalimat Jatuh
cinta jatuh cinta,adalah lanjutan gerakan dari kalimat sebelumnya yaitu Pak kusir jadi jatuh
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
66
cinta. Kedua tangan dengan jemari membentuk hati diletakan di dada. Saat mengucapkan
Jatuh cinta, Anak A menghadap kanan dan si anak B menghadap kiri. Lalu kedua bahu yang
saling berdapan bergerak maju saling menyentuh dan kembali ke posisi semula. Kemudian
kedua anak balik kanan mengucakan sekali lagi jatuh cinta. Sambil kedua bahu yang saling
berdapan bergerak maju saling menyentuh lalu kembali ke posisi semula.
1.2 Struktur Teks
Teks Kepiting Cina mempunyai Sembilan larik. Dari keseluruhan larik, pertama-tama
penulis akan menganalisis pada tataran formula sintaksis, terutama untuk lebih mengangkat
aspek fungsi, kategori dan peran komponen-komponen teks teks lagu permainan anak teks
lagu permainan anak tersebut.
Secara garis besar, struktur teks Kepiting Cina terdiri atas 4 unsur atau bagian.
Keempat unsur yang membentuk struktur teks Kepiting Cina tersebut meliputi: unsur judul,
unsur pembuka, unsur tujuan, dan unsur penutup.
Unsur judul merupakan salah satu unsur pokok yang terdapat pada teks lagu
permainan anak. Unsur Judul teks lagu permainan anak biasanya terdiri atas kelompok kata
yang diasumsikan dapat mencerminkan tujuan teks lagu permainan anak yang bersangkutan.
Namun dalam kenyataan judul tidak selalu mencerminkan isinya. Jadi, seseorang yang
mengetahui judul teks lagu permainan anak tertentu belum tentu mengetahui kegunaan atau
manfaat teks lagu permainan anak tersebut. Sebaliknya, apabila sudah mengetahui isi atau
kegunaan teks lagu permainan anak seseorang akan mudah memahami judul teks lagu
permainan anak. Unsur judul pada teks ini adalah Kepiting Cina. Judul ini, selanjutnya akan
menggambarkan isi teks secara keseluruhan.
Unsur pembuka merupakan perkataan awal pada teks. Dalam konteks teks Kepiting
Cina kata-kata pada unsur pembuka adalah pada larik pertama teks yaitu: (+) Sampurasun / (-
)Rampes / (+) Di manakah rumah Kepiting Cina? / (-) Di dasar laut / (+) Mari kita kesana /
(-) Mari. Kalimat penegasan yang menyatakan bahwa anak-anak sudah bersiap sedia untuk
memulai permainan ini. Kalimat pembuka ini harus didialogkan oleh dua anak yang terlibat
dalam permainan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
67
Unsur Tujuan merupakan muara atau maksud yang ingin dicapai oleh anak-anak
dalam teks lagu permainan anak. Unsur Tujuan ini semacam kesimpulan atau intisari dari
rangkaian unsur-unsur yang membentuk struktur teks lagu permainan anak. Unsur Tujuan
juga berfungsi membedakan teks lagu permainan anak tertentu dengan teks lagu permainan
anak lainnya. Pada teks teks Kepiting Cina larik-larik pada bagian koor dapat dikatakan
sebagai unsur tujuan pada teks ini.
Unsur Penutup merupakan larik akhir yang biasanya menggunakan kata-kata atau
ungkapan penutup. Pada teks teks Kepiting Cina ini, bait terakhir merupakan unsur penutup
teks lagu permainan anak. Bait ini merupakan sebuah ungkapan bahwa permainan dalam yang
dinyanyikan sudah selesai. Biasanya lagu akan diulang kembali dalam koor. Penggunaan
ungkapan-ungkapan yang berulang pada koor bermaksud untuk ebih menegaskan teks lagu
permainan anakini.
1.3 Formula Bunyi
Pembahasan mengenai bunyi meliputi pembahasan asonansi dan aliterasi beserta efek
yang ditimbulkannya pada teks. (Pradopo, 2002:31). Pada teks lagu permainan anak Kepiting
Cina, larik pertama vokal yang sangat terasa yaitu /a/, yang dikombinasikan dengan beberapa
konsonan. Di antaranya berkombinasi dengan konsonan /n/ pada kata /Cina/, konsonan /s/ dan
/n/ pada kata /sana/, serta konsonan /t/ pada kata /kita/. Efek yang ditimbulkan pada
pengucapannya terasa ringan seakan tidak ada hambatan. Selain itu, vokal /a/ pada larik
pertama juga menimbulkan efek `pengingat` dan berpengaruh besar pada anak-anak. Artinya,
dengan dominasi vokal /a/ pada larik ini memudahkan proses penghafalan teks teks lagu
permainan anak, dengan kata lain bunyi vokal /a/ pada larik pertama merupakan formulasi
bunyi yang menimbulkan efek `pengingat`.
Kemudian vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ yang dipadukan dengan
konsonan /d/ pada kata /muda/, konsonan /j/ dan /j/ pada kata /jaja/ dan /ja/, konsonan /n/
pada kata /nama/, dan konsonan /t/ pada kata /laut/. Efek yang ditimbulkan hampir sama
dengan larik pertama. Artinya, pengucapan terasa ringan seakan tidak ada hambatan dalam
mebacakannya. Selain itu, efek `pengingat` juga menjadi lebih dominan pada larik kedua ini.
Vokal /a/ lebih terasa pada larik ini, dengan kata lain formulasi bunyi vokal /a/ menjadi alat
pembantu pengingat untuk memudahkan proses penghafalan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
68
Vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ dan vokal /i/. Vokal /a/ dikombinasikan
dengan konsonan /m/, /n/ pada kata /kacamata/ dan /cinta/, konsonan /l/ pada kata /laut/.
Efek dari kombinasi vokal /a/ dengan konsonan /m/ dan /n/, bunyi yang diucapkan menjadi
terasa agak berat. Kombinasi vokal /a/ dengan konsonan /r/ dan konsonan /s/ pada kata /rasa/
menimbulkan efek ringan pada pengucapannya. Kombinasi vokal /b/ yang dikombinasikan
dengan konsonan /l/ dan diftong /ng/ pada kata /bolong/menimbulkan efek pengucapan yang
meninggi. Kombinasi vokal /k/ juga berpadu dengan konsonan /r/ seperti pada kata /kusir/.
Efek yang dihasilkan dari kombinasi ini pada pengucapannya terasa agak berat dan naik
(meninggi).
Selanjutnya, vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ dan /u/. Vokal /a/
dikombinasikan dengan konsonan /j/ dan /t/ seperti pada kata /jatuh/. Efek yang ditimbulkan
dari perpaduan dan kombinasi ini adalah pengucapan yang terasa agak berat. Begitu juga
dengan vokal /u/ yang dikombinasikan dengan /h/ pada kata /jatuh/ dan kombinasi vokal /a/
dan /u/ dengan konsonan /j/ dan /t/ pada kata /jatuh/ menimbulkan efek yang terasa berat
pada pengucapannya.
Aliterasi yang paling dominan adalah konsonan /r/ dan /s/ yang selalu ada di setiap
larik. Larik pertama sampai dengan larik ketiga dominasi konsonan /r/ dan /s/ berkombinasi
dengan vokal /a/ pada kata /rasa/ dan / kusir /. Efek yang ditimbulkan dari kombinasi ini
adalah pengucapan yang terasa ringan tanpa hambatan. Pada larik keempat konsonan /j/ dan
/t/ berkombinasi dengan vokal /a/ dan /u/ pada kata /jatuh/. Efek yang ditimbulkan adalah
pengucapan yang terasa agak berat. Efek-efek lainnya yang ditimbulkan oleh bunyi-bunyi
tersebut menjadikan teks teks lagu permainan anak ini memiliki keseimbangan dan
keindahan. Keseimbangan yang berarti teks ini mudah dihafal oleh anak-anaknya, sedangkan
keindahan yang berarti teks ini mempunyai bunyi yang indah.
1.4 Formula Irama
Teks lagu permainan anakpada pembacaannya mempunyai irama tertentu yang
meliputi: pergantian naik-turun, panjang-pendek, keras-lembut ucapan bunyi bahasa dengan
teratur. Untuk lebih jelasnya, teks yang dianalisis diberi tanda tertentu yaitu: tanda (−)
menandakan nada yang panjang, tanda (∩) menandakan nada pendek, dan tanda (≥)
menunjukkan nada yang sedang. Untuk dapat membedakan nada panjang (−) dan nada sedang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
69
(≥) diibaratkan dengan pembacaan Al-Quran. Pada pembacaannya, nada panjang (−) dibaca
dengan lima harokat (lima ketukan) dan nada sedang (≥) dengan dua harokat (dua ketukan).
Intinya untuk melihat suku kata mana yang merupakan suku kata yang disuarakan
panjang, pendek atau suku kata yang disuarakan sedang. Berikut formulasi irama pada teks
teks lagu permainan anak Kepiting Cina:
(+) Sampurasun
(-) Rampes
(+) Di manakah rumah Kepiting Cina?
(-) Di dasar laut
(+) Mari kita kesana
(-) Mari
∩ ∩ ∩ ≥
∩ ≥
∩ ∩ ∩ ≥ ≥ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩?
∩ ∩ ∩ ∩ ≥
∩ ∩ ∩ ∩ ≥ ∩ ∩
∩ ∩
Koor
Kepiting Cina oeoe
Kuberi nama pahlawan muda
E jaja e jaja
∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ≥ ≥ ≥ ≥
∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
≥ ∩ ∩ ≥ ∩ ∩
Pak camat jualan tomat
Yang beli harus hormat
Nek Ijah pakai kacamata
Bolong dua bolong dua
Pak kusir jadi jatuh cinta
Jatuh cinta jatuh cinta
∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
∩ ∩ ≥ ≥ ∩ ∩ ≥ ≥
∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥ ≥
Formulasi irama pada teks teks lagu permainan anak Kepiting Cina. Dari deskripsi
nada-nada di atas, diperoleh gambaran yang lebih spesifik. Gambaran tersebut di antaranya
adalah nada yang dipakai pada teks ini didominasi oleh nada pendek (∩) yang terletak
disemua larik. Nada-nada sedang (≥) ada di beberapa suku kata pada setiap larik. Nada
sedang (≥) menandakan penekanan (stressing) pada pelafalannya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
70
1.5 Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang muncul dalam teks ini diantaranya adalah: metafora. Metafora
adalah bahasa kiasan seperti pembanding tetapi tidak menggunakan kata-kata pembanding
atau perbandingan secara tidak langsung (Pradopo, 2002:76). Kata kepiting Cina merupakan
metafora yang menggambarkan seekor hewan “kepiting” yang mungkin berasal dari Cina.
Penggunaan metafora tersebut memberikan kesan untuk melatih asosiasi anak dalam
memaknai permainannya. Melalui teks ini anak belajar untuk mengenal banyak hal tentang
kehidupan, terutama kehidupan di dalam laut. Selanjutnya, majas hiperbola. Hiperbola
merupakan bahasa kiasan yang memberikan makna yang dilebih-lebihkan. Hal tersebut dapat
dilihat pada larik-larik berikut:
Pak camat jualan tomat
Yang beli harus hormat
Nek Ijah pakai kacamata
Bolong dua bolong dua
Pak kusir jadi jatuh cinta
Jatuh cinta jatuh cinta
Bait tersebut merupakan majas hiperbola. Karena pada bait tersebut sangat terasa
kesan melebih-lebihkan sesuatu. Hal ini memang tidak mengherankan, karena pada teks teks
lagu permainan anak, kata-kata dan kalimat-kalimat yang hiperbolis sangat banyak
ditemukan. Ini sangat berkaitan dengan analogi-analogi dan metafora-metafora yang bersifat
sugestis bagi anak-anak. Karena dengan penggunaan kalimat yang dilebih-lebihkan dapat
menjadi pemicu sekaligus sugesti tertentu bagi anak-anak sehingga permainan lebih menarik.
Secara umum, bahasa dalam teks ini menggunakan bahasa Indonesia untuk anak-
anak. Bahasa yang digunakan dalam teks Teks Kepiting Cinaini merupakan teks bahasa
Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai bahasa yang bersifat puitis. Artinya, bahasanya
merupakan bahasa yang digunakan dalam karya sastra, khususnya puisi. Terutama terlihat
pada penggunaan rima dan pengulangan kata/frasa/atau gabungan kata tertentu. Bahasa yang
digunakan merupakan ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa komunikasi untuk
masyarakat secara luas. Hal tersebut dilakukan sebagai strategi untuk mempermudah dalam
proses bertutur dan berkomunikasi dalam permainannya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
71
1.6 Tema
Secara umum, teks lagu permainan anak bersifat “hiburan“. Artinya, unsur hiburan
pada permainan anak-anak akan sangat kental bila dibandingkan dengan unsur lainnya.
Walaupun begitu, unsur edukatif dan pengajaran dalam lagu permainan anak-anak juga sangat
dominan. Analisis tema menggunakan teori isotopi yang dikemukakan oleh Greimas. Dalam
kajian ini, suatu kata/frasa akan diidentifikasi sebagai sesuatu yang mewakili suatu gagasan.
Penjelasan mengenai isotopi-isotopi pada teks Kepiting Cina ini ada pada tabel-tabel berikut.
a. Isotopi Kesantunan
Kata/frasa isotopi
Kekuatan
Intensitas Denotatif (D)
Konotatif (K)
Komponen makna bersama
Menyapa Bertanya Menjawab
Sampurasun 1 x D/K + + -
Rampes 1 x D/K + - +
Dimanakah rumah
Kepiting Cina ?
1 x D/K + + -
Hormat 1 x K + - -
Tabel di atas menggambarkan kata-kata yang mewakili isotopi kesantunan. Dari
komponen makna yang digambarkan, terlihat komponen makna menyapa lebih dominan
dibandingkan makna yang lain. Hal ini dikarenakan kekuatan yang mempengaruhi teks lagu
permainan anak ini adalah kekuatan yang bersumber dari kesantunan, terutama kesantunan
yang berkaitan dengan kebahasaan.
b. Isotopi Permainan
Kata/frasa isotopi
pekerjaan
Intensitas Denotatif (D)
Konotatif (K)
Komponen makna bersama
Perintah Aktivitas Sifat
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
72
Mari 2 x D/K + + +
Jualan 1 x D/K + + +
Pakai 1 x D/K + + +
Dari komponen makna yang digambarkan, terlihat bahwa komponen makna aktivitas
mendominasi pada teks lagu permainan anak Kepiting Cina. Hal ini menunjukan bahwa teks
lagu permainan anak adalah sebuah aktivitas, sebuah permainan. Komponen makna yang lain
adalah komponen makna perintah dan komponen makna sifat. Kedua komponen makna
tersebut menggambarkan sifat-sifat dan perintah dari sebuah aktivitas atau pekerjaan. Artinya,
hal ini menjelaskan bahwa kebanyakan aktivitas di dalam teks teks lagu permainan anak
adalah sebuah perintah yang mempunyai sifat. Dengan kata lain, aktivitas perintah tersebut
mempunyai `sifat tertentu` yaitu sifat `hiburan`.
c. Isotopi Alam
Kata/frasa isotopi
alam
Intensitas Denotatif (D)
Konotatif (K)
Komponen makna bersama
Bumi Laut Kehidupan
Kepiting 1 x D/K + + +
Dasar laut 1 x D/K + + +
Pak Camat 1 x D/K + - +
Nek Ijah 1 x D/K + - +
Pak Kusir 1 x D/K + - +
Kata yang menggambarkan isotopi alam dalam teks Kepiting Cina ini
menggambarkan makna bersama dari isotopi alam ini adalah bumi, laut dan kehidupan.
Unsur-unsur alam, seperti: kehidupan dan bumi adalah makna yang terkandung dalam isotopi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
73
alam pada teks lagu permainan anak Kepiting Cina. Hal ini mengindikasikan bahwa teks
Kepiting Cina mempunyai makna yang tersirat, yakni teks ini digunakan untuk kehidupan
yang ada di bumi. Artinya, digunakan untuk kebahagiaan hidup di bumi. Komponen makna
laut mempunyai makna konotasi saja. Hanya sebagai metafora untuk kelangsungan permainan
supaya lebih menarik.
d. Isotopi Manusia
Kata/frasa isotopi
manusia
Intensitas Denotatif (D)
Konotatif (K)
Komponen makna bersama
Tubuh/roh Akal budi Aktivitas
Pak Camat 1 x D + + +
Nek Ijah 1 x D + + +
Pak Kusir 1 x D + + +
Kita 2 x D + + +
Pahlawan Muda 1 x D + + +
Komponen makna bersama pada isotopi manusia adalah tubuh/roh, berakal budi dan
aktivitas. Komponen makna tubuh/roh, berakal budi dan aktivitas bisa dikatakan seimbang
mengisi komponen makna bersama pada isotopi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa
manusialah yang menggunakan lagu pada permainan ini. Komponen makna pada isotopi
manusia merupakan sebuah kriteria `kesempurnaan` manusia itu sendiri, yaitu: mempunyai
tubuh/roh, berakal budi dan beraktivitas. Artinya, manusia yang mempunyai tubuh dan roh,
berakal budi dan beraktivitas adalah `manusia sempurna` yang mampu menggunakan teks
lagu permainan anak ini. Motif yang dibentuk dari isotopi manusia ini adalah deskripsi
manusia dengan segala aktivitasnya yang berhubungan dengan teks.
e. Isotopi Waktu
Komponen makna yang termasuk pada isotopi waktu adalah komponen makna:
sebelum, sedang dan setelah. Kata-kata yang menggambarkan isotopi waktu tidak tersurat.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
74
Artinya, lagu permainan ini memang bias digunakan atau dimainkan pada saat seperti apapun.
Teks lagu permainan anak ataupun bagi anak- anak, waktu siang/malam, baik itu sebelum,
sedang atau bahkan sesudahnya, (sebelum siang, sebelum malam, sedang siang, sedang
malam, setelah siang, dan setelah malam) tidak ada perbedaan. Jadi dengan kata lain, kapan
pun waktunya (siang/malam, sebelum, sedang atau sesudah) teks lagu permainan anak teks
lagu permainan anakbisa tetap dimainkan. Motif pada isotopi waktu ini adalah deskripsi
tentang waktu yang berkaitan dengan teks lagu permainan anak teks lagu permainan anak.
Pembentukan tema, seperti disebutkan di atas tidak lepas dari pembentuk motif-motif.
Artinya, semua isotopi yang telah dianalisis merupakan satu kesatuan yang membentuk motif-
motif yang mengerucut pada pembentukan tema teks. Isotopi-isotopi yang telah dianalisis di
atas adalah isotopi: kesantunan, permainan, alam, manusia, dan waktu. Isotopi-isotopi
tersebut dianalisis berdasarkan komponen-komponen makna bersama. Dari analisis di atas
dan dari pembentukan motif-motif tersebut dapat disimpulkan bahwa teks Kepiting Cina
merupakan teks yang mempunyai sifat kesantunan dalam berbahasa yang berkaitan dengan
permainan manusia (dalam hal ini anak-anak) yang dapat dimainkan kapanpun dengan tujuan
memberikan penggambaran mengenai alam.
2. Teks 2 : Berhitung.
BERHITUNG
Satu, sepatu
Dua, Dunia/Durian (?)
Tiga, mentega
Empat, Ketupat
Lima, delima
Enam, tanaman
Tujuh, tujuan…diputus
Delapan, papan tulis
Sembilan, asam urat (?)
Sepuluh, kue bolu
Sebelas, naik kelas
Duabelas, menjadi batu (?)
2.1 Deskripsi Permainan
Permainan Berhitung dilakukan oleh dua orang anak. Dua anak saling berhadapan.
Dua orang anak A dan B saling berhadapan. Kedua anak A dan B bergerak bersama dengan
koreo grafi yang kompak dan koor atau nyanyian yang bareng. Kelihatan gerakannya rumit
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
75
secara keseluruhan. Tetapi sebetulnya gerakan sederhana, cuma diulang-ulang yang makin
lama maikin cepat. Hitungan satu pelan, hitungan kedua makin cepat, ketiga ke empat dan
kelima semakin cepat. Di hitungan keenam melambat lagi seperti hitungan ke satu. Kemudian
hitungan ke tuju pelan. Mulai cepat dan makin cepat sampai hitungan dua belas.
Baris kesatu ; Satu, sepatu, diawali oleh gerakan membuat tepukan antara tangan
kanan anak A dengan tangan kiri anak B, tangan kiri A dengan tangan kanan B berbarengan.
Hasil tepukan ini membuat tepukan sejajar. Tepukan ini tepat pada suku kata /sa/, pada suku
kata /tu/ tepukan dibalik jadi antara punggung telapak tangan. Lalu jeda satu ketukan dengan
masing-masing anak membuat tepukan di depan dada. Berikutnya suku kata /se/ tangan kanan
si A menepuk telapak tangan kanan si B. Tepukan kerjasama ini terlihat menyilang atau
diagonal. Pada suku kata /pa/ membuat tepukan di depan dada masing-masing anak. Pada
suku kata /tu/ tangan kiri si A menepuk telapak tangan kiri si B. Pada ujung kalimat diakhiri
dengan jeda tetapi membuat dua tepukan cepat.
Baris kedua ; Dua, dunia/durian sampai baris keduabelas ; Duabelas, menjadi batu
koreografi atau gerakan sama persis dengan baris kesatu. Setiap jeda antar kalimat/baris, ada
dua tepukan cepat.
2.2 Struktur Teks
Teks Berhitung mempunyai duabelas larik. Dari keseluruhan larik, pertama-tama
penulis akan menganalisis pada tataran formula sintaksis, terutama untuk lebih mengangkat
aspek fungsi, kategori dan peran komponen-komponen teks teks lagu permainan anak teks
lagu permainan anak tersebut.Secara garis besar, struktur teks Berhitung terdiri atas 4 unsur
atau bagian. Keempat unsur yang membentuk struktur teks Berhitung tersebut meliputi: unsur
judul, unsur pembuka, unsur tujuan, dan unsur penutup.
Unsur judul merupakan salah satu unsur pokok yang terdapat pada teks lagu
permainan anak. Unsur Judul teks lagu permainan anak biasanya terdiri atas kelompok kata
yang diasumsikan dapat mencerminkan tujuan teks lagu permainan anak yang bersangkutan.
Namun dalam kenyataan judul tidak selalu mencerminkan isinya. Jadi, seseorang yang
mengetahui judul teks lagu permainan anak tertentu belum tentu mengetahui kegunaan atau
manfaat teks lagu permainan anak tersebut. Sebaliknya, apabila sudah mengetahui isi atau
kegunaan teks lagu permainan anak seseorang akan mudah memahami judul teks lagu
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
76
permainan anak. Unsur judul pada teks ini adalah Berhitung. Judul ini, selanjutnya akan
menggambarkan isi teks secara keseluruhan.
Unsur pembuka merupakan perkataan awal pada teks. Dalam konteks teks Berhitung
kata-kata pada unsur pembuka adalah pada larik pertama teks yaitu: Satu, sepatu / Dua,
Dunia/Durian (?) / Tiga, mentega. Kalimat penegasan yang menyatakan bahwa anak-anak
sudah bersiap sedia untuk memulai permainan ini. Kalimat pembuka ini harus dinyanyikan
oleh anak-anak yang
Unsur Tujuan merupakan muara atau maksud yang ingin dicapai oleh anak-anak
dalam teks lagu permainan anak. Unsur Tujuan ini semacam kesimpulan atau intisari dari
rangkaian unsur-unsur yang membentuk struktur teks lagu permainan anak. Unsur Tujuan
juga berfungsi membedakan teks lagu permainan anak tertentu dengan teks lagu permainan
anak lainnya. Pada teks teks Berhitung larik-larik pada bagian berhitung dapat dikatakan
sebagai unsur tujuan pada teks ini, yaitu : Empat, Ketupat / Lima, delima / Enam, tanaman /
Tujuh, tujuan…diputus / Delapan, papan tulis / Sembilan, asam urat (?) / Sepuluh, kue bolu /
Sebelas, naik kelas / Duabelas, menjadi batu (?).
Unsur Penutup merupakan larik akhir yang biasanya menggunakan kata-kata atau
ungkapan penutup. Pada teks teks Berhitung ini, bait terakhir merupakan unsur penutup teks
lagu permainan anak. bait ini merupakan sebuah ungkapan bahwa permainan dalam yang
dinyanyikan sudah selesai. Biasanya lagu akan diulang kembali dalam koor. Penggunaan
ungkapan-ungkapan yang berulang pada koor bermaksud untuk lebih menegaskan teks lagu
permainan anakini.
2.3 Formula Bunyi
Pembahasan mengenai bunyi meliputi pembahasan asonansi dan aliterasi beserta efek
yang ditimbulkannya pada teks. (Pradopo, 2002:31). Pada teks lagu permainan anak
Berhitung, larik pertama vokal yang sangat terasa yaitu /a/, yang dikombinasikan dengan
beberapa konsonan. Di antaranya berkombinasi dengan konsonan /d/ pada kata /dua/,
konsonan /t/ dan /g/ pada kata /tiga/, serta konsonan /m/ pada kata /lima/. Efek yang
ditimbulkan pada pengucapannya terasa ringan seakan tidak ada hambatan. Selain itu, vokal
/a/ pada larik pertama juga menimbulkan efek `pengingat` yang sangat terasa dan
berpengaruh besar pada anak-anak. Artinya, dengan dominasi vokal /a/ pada larik ini
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
77
memudahkan proses penghafalan teks teks lagu permainan anak, dengan kata lain bunyi vokal
/a/ pada larik pertama merupakan formulasi bunyi yang menimbulkan efek `pengingat` dan
pembacaan yang terasa ringan. Seperti pada kata: dua, lima, tiga
Kemudian vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ yang dipadukan dengan
konsonan /l/ pada kata /lima/, konsonan /t/ dan /g/ pada kata /tiga/ dan /tiga/, konsonan /d/
pada kata /dua/, dan konsonan /t/ pada kata /empat/. Efek yang ditimbulkan hampir sama
dengan larik pertama. Artinya, pengucapan terasa ringan seakan tidak ada hambatan dalam
mebacakannya. Selain itu, efek `pengingat` juga menjadi lebih dominan pada larik kedua ini.
Vokal /a/ lebih terasa pada larik ini, dengan kata lain formulasi bunyi vokal /a/ menjadi alat
pembantu pengingat (mnemonic device) untuk memudahkan proses penghafalan.
Vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ dan vokal /i/. Vokal /a/ dikombinasikan
dengan konsonan /d/ pada kata /delapan/ dan /lima/ konsonan /l/ pada kata /lima/. Efek dari
kombinasi vokal /a/ dengan konsonan /m/ dan /n/, bunyi yang diucapkan menjadi terasa agak
berat. Kombinasi vokal /a/ dengan konsonan /r/ dan konsonan /s/ pada kata /lima/
menimbulkan efek ringan pada pengucapannya. Kombinasi vokal /b/ yang dikombinasikan
dengan konsonan /l/ dan diftong /ng/ pada kata /dua/menimbulkan efek pengucapan yang
meninggi. Kombinasi vokal /k/ juga berpadu dengan konsonan /r/ seperti pada kata /kusir/.
Efek yang dihasilkan pada pengucapannya terasa agak berat dan naik (meninggi).
Selanjutnya, vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ dan /u/. Vokal /a/
dikombinasikan dengan konsonan /j/ dan /t/ seperti pada kata /tujuh/. Efek yang ditimbulkan
dari perpaduan dan kombinasi ini adalah pengucapan yang terasa agak berat. Begitu juga
dengan vokal /u/ yang dikombinasikan dengan /h/ pada kata /tujuh/ dan kombinasi vokal /a/
dan /u/ dengan konsonan /j/ dan /t/ pada kata /tujuh/ menimbulkan efek yang terasa berat
pada pengucapannya.
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa asonansi yang paling dominan adalah
bunyi vokal /a/ yang menghasilkan efek pengucapan yang ringan. Selain itu, dominasi vokal
/a/ pada teks teks lagu permainan anakini juga menimbulkan efek `pengingat` yang sangat
terasa dan berpengaruh besar pada anak-anak. Artinya, dengan dominasi vokal /a/ pada teks
ini dapat memudahkan proses penghafalan teks, dengan kata lain bunyi vokal /a/ merupakan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
78
formulasi bunyi yang menimbulkan efek `pengingat` dan pebacaan yang terasa ringan dan
juga menjadi alat pembantu pengingat dan untuk memudahkan penghafalan.
Aliterasi yang paling dominan adalah konsonan /r/ dan /s/ yang selalu ada di setiap
larik. Larik pertama sampai dengan larik ketiga dominasi konsonan /r/ dan /s/ berkombinasi
dengan vokal /a/ pada kata /lima/ dan /lima /. Efek yang ditimbulkan dari kombinasi ini
adalah pengucapan yang terasa ringan tanpa hambatan. Pada larik keempat konsonan /j/ dan
/t/ berkombinasi dengan vokal /a/ dan /u/ pada kata /tujuh/. Efek yang ditimbulkan adalah
pengucapan yang terasa agak berat. Efek-efek lainnya yang ditimbulkan oleh bunyi-bunyi
tersebut menjadikan teks teks lagu permainan anak ini memiliki keseimbangan dan
keindahan. Keseimbangan yang berarti teks ini mudah dihafal oleh anak-anaknya, sedangkan
keindahan yang berarti teks ini mempunyai bunyi-bunyi tertentu yang menjadikannya indah
dan enak didengar.
2.4 Formula Irama
Teks lagu permainan anakpada pembacaannya mempunyai irama tertentu yang
meliputi: pergantian naik-turun, panjang-pendek, keras-lembut ucapan bunyi bahasa dengan
teratur. Untuk lebih jelasnya, teks yang dianalisis diberi tanda tertentu yaitu: tanda (−)
menandakan nada yang panjang, tanda (∩) menandakan nada pendek, dan tanda (≥)
menunjukkan nada yang sedang. Untuk dapat membedakan nada panjang (−) dan nada sedang
(≥) diibaratkan dengan pembacaan Al-Quran. Pada pembacaannya, nada panjang (−) dibaca
dengan lima harokat (lima ketukan) dan nada sedang (≥) dengan dua harokat (dua ketukan).
Intinya untuk melihat suku kata mana yang merupakan suku kata yang disuarakan
panjang, pendek atau suku kata yang disuarakan sedang. Berikut formulasi irama pada teks
teks lagu permainan anak Berhitung:
Satu, sepatu
Dua, Dunia/Durian (?)
Tiga, mentega
Empat, Ketupat
Lima, delima
Enam, tanaman
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
∩ ∩, ∩ ∩ ∩ /∩ ∩ ∩ ?
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
79
Tujuh, tujuan…diputus
Delapan, papan tulis
Sembilan, asam urat (?)
Sepuluh, kue bolu
Sebelas, naik kelas
Duabelas, menjadi batu (?)
∩ ∩, ∩ ∩ ∩... ∩ ∩ ∩
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
∩ ∩, ∩ ∩ ∩ ∩ ?
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
∩ ∩, ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ?
Formulasi irama pada teks teks lagu permainan anak Berhitung. Dari deskripsi nada-
nada di atas, diperoleh gambaran yang lebih spesifik. Gambaran tersebut di antaranya adalah
nada yang dipakai pada teks ini didominasi oleh nada pendek (∩) yang terletak disemua larik.
Nada-nada sedang (≥) ada di beberapa suku kata pada setiap larik. Nada sedang (≥)
menandakan penekanan (stressing) pada pelafalannya.
2.5 Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang muncul dalam teks ini diantaranya adalah: metafora. Metafora
adalah bahasa kiasan seperti pembanding tetapi tidak menggunakan kata-kata pembanding
atau perbandingan secara tidak langsung (Pradopo, 2002:76). Kata Berhitung merupakan
metafora yang menggambarkan asosiasi “penghitungan. Penggunaan metafora tersebut
memberikan kesan untuk melatih asosiasi anak dalam memaknai permainannya. Melalui teks
ini anak belajar untuk mengenal banyak hal tentang hal ihwal penghitungan. Selanjutnya,
majas hiperbola. Hiperbola merupakan bahasa kiasan yang memberikan makna yang dilebih-
lebihkan. Hal tersebut dapat dilihat pada larik-lariknya. Karena pada bait tersebut sangat
terasa kesan melebih-lebihkan sesuatu. Hal ini memang tidak mengherankan, karena pada
teks teks lagu permainan anak, kata-kata dan kalimat-kalimat yang hiperbolis sangat banyak
ditemukan. Ini sangat berkaitan dengan analogi-analogi dan metafora-metafora yang bersifat
sugestis bagi anak-anak. Karena dengan penggunaan kalimat yang dilebih-lebihkan dapat
menjadi pemicu sekaligus sugesti tertentu bagi anak-anak sehingga permainan yang
dimainkannya terkesan lebih menarik.
Secara umum, bahasa dalam teks ini menggunakan bahasa Indonesia untuk anak-
anak. Bahasa yang digunakan dalam teks Berhitungini merupakan teks bahasa Indonesia yang
bisa dikategorikan sebagai bahasa yang bersifat puitis. Artinya, bahasanya merupakan bahasa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
80
yang digunakan dalam karya sastra, khususnya puisi. Terutama terlihat pada penggunaan rima
dan pengulangan kata/frasa/atau gabungan kata tertentu. Bahasa yang digunakan merupakan
ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa komunikasi untuk masyarakat secara
luas. Hal tersebut dilakukan sebagai strategi untuk mempermudah dalam proses bertutur dan
berkomunikasi dalam permainannya.
2.6 Tema
Secara umum, teks lagu permainan anak bersifat “hiburan“. Artinya, unsur hiburan
pada permainan anak-anak akan sangat kental bila dibandingkan dengan unsur lainnya.
Walaupun begitu, unsur edukatif dan pengajaran dalam lagu permainan anak-anak juga sangat
dominan. Analisis tema menggunakan teori isotopi yang dikemukakan oleh Greimas. Dalam
kajian ini, suatu kata/frasa akan diidentifikasi sebagai sesuatu yang mewakili suatu gagasan.
Penjelasan mengenai isotopi-isotopi pada teks Berhitung.
Pembentukan tema, seperti disebutkan di atas tidak lepas dari pembentuk motif-motif.
Artinya, semua isotopi yang telah dianalisis merupakan satu kesatuan yang membentuk motif-
motif yang mengerucut pada pembentukan tema teks. Isotopi-isotopi yang telah dianalisis di
atas adalah isotopi: kesantunan, permainan, alam, manusia, dan waktu. Isotopi-isotopi
tersebut dianalisis berdasarkan komponen-komponen makna bersama. Dari analisis di atas
dan dari pembentukan motif-motif tersebut dapat disimpulkan bahwa teks Berhitung
merupakan teks yang mempunyai sifat kesantunan dalam berbahasa yang berkaitan dengan
permainan manusia (dalam hal ini anak-anak) yang dapat dimainkan kapanpun dengan tujuan
memberikan penggambaran mengenai alam.
3. Teks 3 Popay Si Pelaut
POPAY SI PELAUT
Dimulai
Popay (Popeye)si pelaut tut tuttut
Makannya bayam yam yamyam
Olif (Olive) pacarnya pokpokpok
Satu (bulu) mata ting ting
Dua (bulu) mata ting ting
Pagi pagi dewa dewi
Suwit
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
81
3.1 Deskripsi Permainan
Permainan Popay Si Pelaut dilakukan oleh dua orang anak. Dua anak saling
berhadapan. Sebut saja anak A dan B, mereka saling berhadapan. Setiap anak telapak
tangannya saling bertemu di depan dada masing-masing dan diulurkan ke depan. Tangan kiri
dan tangan kanan yang menyatu pada telapak tangan itu seperti mau bersalaman dengan
kedua tangan. Tidak jadi bersalaman tetapi digoyang-goyang sambil membuat tepukan antar
punggung tangan mereka. Goyangan tangan dimulai arah ke kiri, dan saat punggung bertemu
kedua anak mengucapkan suku kata /di/. Goyangan tangan ke arah kanan antar punggung
tangan kedua anak bertemu dan mengucapkan /mu/. Lalu goyangan tangan ke kanan lagi saat
bertemu mengucapkan /lai/.
Selanjutnya kedua anak membuat tepuk tangan di depan dada masing-masing dengan
kedua tangannya dan mengucapkan suku kata /po/. Lalu ketukan berikutnya mengucapkan
suku kata /pai/ dengan membuat tepuk silang antara telapak tangan kanan A dan telapak
tangan B. Dilanjut tepuk tangan di depan dada masing masing dengan mengucapkan suku
kata /si/. Pada suku kata /la/ tidak ada tepukan, tepukan jatuh pada suku kata /ut/ dengan
gerakan telapak tangan kiri A ketemu telapak tangan kiri B. Gerakan berikutnya membuat
tepukan telapak tangan kanan A dan telapak tangan B dan telapak tangan kiri A dan telapak
tangan kiri B. Tepukan dilakukan bareng dengan mengucapkan suku kata /tut/. Tepukan /tut/
ini diulang sebanyak tiga kali.
Berikutnya pada baris syair Makannya bayam yam yam yam. Gerakannya sama
dengan syair Popai si pelaut. Begitujugasyair Olif) pacarnya pok pok pok, gerakannya sama
juga.
Pada syair Satu (bulu) mata ting ting sikap badan tegak, kedua tangan diletakan di
samping badan lurus ke bawah. Saat mengucapkan /ting/ mata berkedip satu kali. Karena
/ting/ dua kali maka kedip mata juga dua kali. Pada syair baris berikutnya Dua (bulu) mata
ting ting, gerakannya persis sama dengan Satu (bulu) mata ting ting.
Baris terakhir syair adalah Pagi pagi dewa dewi gerakannya sebagai berikutnya.
Tangan kanan masing-masing anak telapaknya menepuk dada kiri sambil mengucapkan kata
pagi. Lantas kata pagi yang kedua gerakannya telapak tangan kiri membuat tepukan pada
dada kanan atas. Dengan demikian kedua tangan membentuk silang di depan dada.
Berikutnya mengucapkan kata dewa telapak tangan kanan yang menempel di dada kiri atas
dipindah ke bawah di pinggang kiri. Begitu juga kata dewi telapak tangan kiri yang berada di
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
82
dada kanan atas dipindahkan ke bawah di pinggul kiri, sehingga tangan kelihatan menyilang
ke bawah.
Dan terakhir kemudian kedua anak melakukan suwit. Yaitu suatu gerakan dengan
menggunakan simbol-simbol (gunting, kertas, batu) untuk mencari siapa pemenang.
Kemudian kedua anak duduk ditelapak kaki masing-masing. Yang kalah akan memutar
badan, memunggungi yang menang. Yang memang melakukan gerakan yang sama pada syair
popeye si pelaut, dengan lawan atau medianya adalah punggung yang kalah di depannya. Ini
konsekwensi yang kalah maka punggungnya bakal ditepuk-tepuk oleh yang menang.
Begitulah permainan Popeye si pelaut. Permainan ini diulang lagi, lalu mencari
pemenang. Dan pemenang melakukan tepukan di punggung yang kalah. Begitu seterusnya
sampai bosan.
3.2 Struktur Teks
Teks Popay Si Pelaut (Suwit) mempunyai delapan larik. Dari keseluruhan larik,
pertama-tama penulis akan menganalisis pada tataran formula sintaksis, terutama untuk lebih
mengangkat aspek fungsi, kategori dan peran komponen-komponen teks lagu permainan anak
tersebut.Secara garis besar, struktur teks Popay Si Pelaut (Suwit) terdiri atas 4 unsur atau
bagian. Keempat unsur yang membentuk struktur teks Popay Si Pelaut (Suwit) tersebut
meliputi: unsur judul, unsur pembuka, unsur tujuan, dan unsur penutup.
Unsur judul merupakan salah satu unsur pokok yang terdapat pada teks lagu
permainan anak. Unsur Judul teks lagu permainan anak biasanya terdiri atas kelompok kata
yang diasumsikan dapat mencerminkan tujuan teks lagu permainan anak yang bersangkutan.
Namun dalam kenyataan judul tidak selalu mencerminkan isinya. Jadi, seseorang yang
mengetahui judul teks lagu permainan anak tertentu belum tentu mengetahui kegunaan atau
manfaat teks lagu permainan anak tersebut. Sebaliknya, apabila sudah mengetahui isi atau
kegunaan teks lagu permainan anak seseorang akan mudah memahami judul teks lagu
permainan anak. Unsur judul pada teks ini adalah Popay Si Pelaut (Suwit). Judul ini,
selanjutnya akan menggambarkan isi teks secara keseluruhan.
Unsur pembuka merupakan perkataan awal pada teks. Dalam konteks teks Popay Si
Pelaut (Suwit) kata-kata pada unsur pembuka adalah pada larik pertama teks yaitu: Dimulai /
Popay (Popeye)si pelaut tut tuttut / Makannya bayam yam yamyam / Olif (Olive) pacarnya
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
83
pokpokpok. Kalimat penegasan yang menyatakan bahwa anak-anak sudah bersiap sedia untuk
memulai permainan ini. Kalimat pembuka ini harus dinyanyikan oleh anak-anak yang
Unsur Tujuan merupakan muara atau maksud yang ingin dicapai oleh anak-anak
dalam teks lagu permainan anak. Unsur Tujuan ini semacam kesimpulan atau intisari dari
rangkaian unsur-unsur yang membentuk struktur teks lagu permainan anak. Unsur Tujuan
juga berfungsi membedakan teks lagu permainan anak tertentu dengan teks lagu permainan
anak lainnya. Pada teks teks Popay Si Pelaut (Suwit) larik-larik pada bagian Popay Si Pelaut
(Suwit) dapat dikatakan sebagai unsur tujuan pada teks ini. Popay (Popeye)si pelaut tut tuttut /
Makannya bayam yam yamyam / Olif (Olive) pacarnya pokpokpok / Satu (bulu) mata ting
ting / Dua (bulu) mata ting ting / Pagi pagi dewa dewi / Suwit.
Unsur Penutup merupakan larik akhir yang biasanya menggunakan kata-kata atau
ungkapan penutup. Pada teks teks Popay Si Pelaut (Suwit) ini, bait terakhir merupakan unsur
penutup teks lagu permainan anak. bait ini merupakan sebuah ungkapan bahwa permainan
dalam yang dinyanyikan sudah selesai. Biasanya lagu akan diulang kembali dalam koor.
Penggunaan ungkapan-ungkapan yang berulang pada koor bermaksud untuk lebih
menegaskan teks lagu permainan anakini.
3.3 Formula Bunyi
Pembahasan mengenai bunyi meliputi pembahasan asonansi dan aliterasi beserta efek
yang ditimbulkannya pada teks. (Pradopo, 2002:31). Pada teks lagu permainan anak Popay Si
Pelaut (Suwit), larik pertama vokal yang sangat terasa yaitu /a/, yang dikombinasikan dengan
beberapa konsonan. Di antaranya berkombinasi dengan konsonan /p/ pada kata /popay/,
konsonan /p/ dan /y/ pada kata /popay/, serta konsonan /m/ pada kata /mata/. Efek yang
ditimbulkan pada pengucapannya terasa ringan seakan tidak ada hambatan. Selain itu, vokal
/a/ pada larik pertama juga menimbulkan efek `pengingat` yang sangat terasa dan
berpengaruh besar pada anak-anak. Artinya, dengan dominasi vokal /a/ pada larik ini
memudahkan proses penghafalan teks teks lagu permainan anak, dengan kata lain bunyi vokal
/a/ pada larik pertama merupakan formulasi bunyi yang menimbulkan efek `pengingat` dan
pembacaan yang terasa ringan. Seperti pada kata: popay, dua, mata
Kemudian vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ yang dipadukan dengan
konsonan /m/ pada kata /mata/, konsonan /t/ dan /g/ pada kata /tiga/ dan /tiga/, konsonan /d/
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
84
pada kata /dua/, dan konsonan /t/ pada kata /mata/. Efek yang ditimbulkan hampir sama
dengan larik pertama. Artinya, pengucapan terasa ringan seakan tidak ada hambatan dalam
mebacakannya. Selain itu, efek `pengingat` juga menjadi lebih dominan pada larik kedua ini.
Vokal /a/ lebih terasa pada larik ini, dengan kata lain formulasi bunyi vokal /a/ menjadi alat
pembantu pengingat (mnemonic device) untuk memudahkan proses penghafalan.
Vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ dan vokal /i/. Vokal /a/ dikombinasikan
dengan konsonan /d/ pada kata /dua/ dan /lima/ konsonan /l/ pada kata /mata/. Efek dari
kombinasi vokal /a/ dengan konsonan /m/ dan /n/, bunyi yang diucapkan menjadi terasa agak
berat. Kombinasi vokal /a/ dengan konsonan /r/ dan konsonan /s/ pada kata /mata/
menimbulkan efek ringan pada pengucapannya. Kombinasi vokal /b/ yang dikombinasikan
dengan konsonan /l/ dan diftong /ng/ pada kata /dua/menimbulkan efek pengucapan yang
meninggi. Kombinasi vokal /k/ juga berpadu dengan konsonan /r/ seperti pada kata /pagi/.
Efek yang dihasilkan pada pengucapannya terasa agak berat dan naik (meninggi).
Selanjutnya, vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ dan /u/. Vokal /a/
dikombinasikan dengan konsonan /s/ dan /w/ seperti pada kata /suwit/. Efek yang ditimbulkan
dari perpaduan dan kombinasi ini adalah pengucapan yang terasa agak berat. Begitu juga
dengan vokal /u/ yang dikombinasikan dengan /h/ pada kata /suwit/ dan kombinasi vokal /a/
dan /u/ dengan konsonan /j/ dan /t/ pada kata /suwit/ menimbulkan efek yang terasa berat
pada pengucapannya.
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa asonansi yang paling dominan adalah
bunyi vokal /a/ yang menghasilkan efek pengucapan yang ringan. Selain itu, dominasi vokal
/a/ pada teks teks lagu permainan anakini juga menimbulkan efek `pengingat` yang sangat
terasa dan berpengaruh besar pada anak-anak. Artinya, dengan dominasi vokal /a/ pada teks
ini dapat memudahkan proses penghafalan teks, dengan kata lain bunyi vokal /a/ merupakan
formulasi bunyi yang menimbulkan efek `pengingat` dan pebacaan yang terasa ringan dan
juga menjadi alat pembantu pengingat untuk memudahkan proses penghafalan.
Aliterasi yang paling dominan adalah konsonan /r/ dan /s/ yang selalu ada di setiap
larik. Larik pertama sampai dengan larik ketiga dominasi konsonan /r/ dan /s/ berkombinasi
dengan vokal /a/ pada kata /mata/ dan /dua/. Efek yang ditimbulkan dari kombinasi ini adalah
pengucapan yang terasa ringan tanpa hambatan. Pada larik keempat konsonan /j/ dan /t/
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
85
berkombinasi dengan vokal /a/ dan /u/ pada kata /suwit/. Efek yang ditimbulkan adalah
pengucapan yang terasa agak berat. Efek-efek lainnya yang ditimbulkan oleh bunyi-bunyi
tersebut menjadikan teks teks lagu permainan anak ini memiliki keseimbangan dan
keindahan. Keseimbangan yang berarti teks ini mudah dihafal oleh anak-anaknya, sedangkan
keindahan yang berarti teks ini mempunyai bunyi-bunyi tertentu yang menjadikannya indah
dan enak didengar.
3.4 Formula Irama
Teks lagu permainan anakpada pembacaannya mempunyai irama tertentu yang
meliputi: pergantian naik-turun, panjang-pendek, keras-lembut ucapan bunyi bahasa dengan
teratur. Untuk lebih jelasnya, teks yang dianalisis diberi tanda tertentu yaitu: tanda (−)
menandakan nada yang panjang, tanda (∩) menandakan nada pendek, dan tanda (≥)
menunjukkan nada yang sedang. Untuk dapat membedakan nada panjang (−) dan nada sedang
(≥) diibaratkan dengan pembacaan Al-Quran. Pada pembacaannya, nada panjang (−) dibaca
dengan lima harokat (lima ketukan) dan nada sedang (≥) dengan dua harokat (dua ketukan).
Untuk memberikan nada-nada tersebut, dilakukan di setiap suku kata. Jadi
gambarannya adalah satu tanda untuk satu suku kata. Intinya untuk melihat suku kata mana
yang merupakan suku kata yang disuarakan panjang, pendek atau suku kata yang disuarakan
sedang. Berikut formulasi irama pada teks teks lagu permainan anak Popay Si Pelaut (Suwit):
Dimulai
Popay (Popeye)si pelaut tut tuttut
Makannya bayam yam yamyam
Olif (Olive) pacarnya pokpokpok
Satu (bulu) mata ting ting
Dua (bulu) mata ting ting
Pagi pagi dewa dewi
Suwit\
∩ ∩ ∩
∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
∩ ∩
Formulasi irama pada teks teks lagu permainan anak Popay Si Pelaut (Suwit). Dari
deskripsi nada-nada di atas, diperoleh gambaran yang lebih spesifik. Gambaran tersebut di
antaranya adalah nada yang dipakai pada teks ini didominasi oleh nada pendek (∩) yang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
86
terletak disemua larik. Nada-nada sedang (≥) ada di beberapa suku kata pada setiap larik.
Nada sedang (≥) menandakan penekanan (stressing) pada pelafalannya.
3.5 Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang muncul dalam teks ini diantaranya adalah: metafora. Metafora
adalah bahasa kiasan seperti pembanding tetapi tidak menggunakan kata-kata pembanding
atau perbandingan secara tidak langsung (Pradopo, 2002:76). Kata Popay Si Pelaut (Suwit)
merupakan metafora yang menggambarkan asosiasi. Penggunaan metafora tersebut
memberikan kesan untuk melatih asosiasi anak dalam memaknai permainannya. Melalui teks
ini anak belajar untuk mengenal banyak hal tentang hal ihwal penghitungan. Selanjutnya,
majas hiperbola. Hiperbola merupakan bahasa kiasan yang memberikan makna yang dilebih-
lebihkan. Hal tersebut dapat dilihat pada larik-larik berikut:Dimulai / Popay (Popeye)si pelaut
tut tuttut / Makannya bayam yam yamyam / Olif (Olive) pacarnya pokpokpok / Satu (bulu)
mata ting ting / Dua (bulu) mata ting ting / Pagi pagi dewa dewi / Suwit.
Bait tersebut merupakan majas hiperbola. Karena pada bait tersebut sangat terasa
kesan melebih-lebihkan sesuatu. Hal ini memang tidak mengherankan, karena pada teks teks
lagu permainan anak, kata-kata dan kalimat-kalimat yang hiperbolis sangat banyak
ditemukan. Ini sangat berkaitan dengan analogi-analogi dan metafora-metafora yang bersifat
sugestis bagi anak-anak. Karena dengan penggunaan kalimat yang dilebih-lebihkan dapat
menjadi pemicu sekaligus sugesti tertentu bagi anak-anak sehingga permainan yang
dimainkannya terkesan lebih menarik.
Secara umum, bahasa dalam teks ini menggunakan bahasa Indonesia untuk anak-
anak. Bahasa yang digunakan dalam teks Popay Si Pelaut (Suwit)ini merupakan teks bahasa
Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai bahasa yang bersifat puitis. Artinya, bahasanya
merupakan bahasa yang digunakan dalam karya sastra, khususnya puisi. Terutama terlihat
pada penggunaan rima dan pengulangan kata/frasa/atau gabungan kata tertentu. Bahasa yang
digunakan merupakan ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa komunikasi untuk
masyarakat secara luas. Hal tersebut dilakukan sebagai strategi untuk mempermudah dalam
proses bertutur dan berkomunikasi dalam permainannya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
87
3.6 Tema
Secara umum, teks lagu permainan anak bersifat “hiburan“. Artinya, unsur hiburan
pada permainan anak-anak akan sangat kental bila dibandingkan dengan unsur lainnya.
Walaupun begitu, unsur edukatif dan pengajaran dalam lagu permainan anak-anak juga sangat
dominan. Pendidikan atau pengajaran tentang gizi pada anak terasa pada permainan Popay Si
Pelaut. Anak diajak makan bayam biar bisa kuat badannya seperti Popay. Bayam adalah salah
satu sayur sayuran, anak bisa diajak makan sayur yang lain. Analisis tema menggunakan teori
isotopi yang dikemukakan oleh Greimas. Dalam kajian ini, suatu kata/frasa akan diidentifikasi
sebagai sesuatu yang mewakili suatu gagasan. Penjelasan mengenai isotopi-isotopi pada teks
Popay Si Pelaut (Suwit).
Pembentukan tema, seperti disebutkan di atas tidak lepas dari pembentuk motif-motif.
Artinya, semua isotopi yang telah dianalisis merupakan satu kesatuan yang membentuk motif-
motif yang mengerucut pada pembentukan tema teks. Isotopi yang telah dianalisis di atas
adalah isotopi: kesantunan, permainan, alam, manusia, dan waktu. Isotopi tersebut dianalisis
berdasarkan komponen-komponen makna bersama. Dari analisis di atas dapat disimpulkan
bahwa teks Popay Si Pelaut (Suwit) merupakan teks yang mempunyai sifat kesantunan dalam
berbahasa yang berkaitan dengan permainan anak-anak yang dapat dimainkan kapanpun
dengan tujuan memberikan penggambaran mengenai alam.
Konteks Penuturan
Pada dasarnya konteks penuturan pada teks lagu permainan anakadalah pembicaraan
mengenai sebuah peristiwa komunikasi secara khusus yang ditandai dengan adanya interaksi
di antara unsur-unsur pendukungnya secara khusus pula. Artinya, ada hubungan antara
penutur, petutur, kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubunganya dengan lingkungan
serta masyarakat pendukungnya. Pada teks teks lagu permainan anak, konteks penuturan
terdiri atas dua tahapan, yaitu: 1, Penutur kepada pendengar. 2, Penutur kepada permainan.
Pada tahap pertama, penutur yang menyanyikan teks lagu permainan anak kepada
pendengar (temannya). Peristiwa komunikasi khusus di antara keduanya ditandai dengan
hubungan timbal balik antara penutur dengan pendengar Pada konteks penuturan tahap
pertama ini, penutur menyanyikan sekaligus memainkan teks lagu permainan anak kepada
pendengar disertai dengan gerakan pada model pertunjukannya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
88
Pada konteks penuturan tahap kedua, yakni penutur menyanyikan teks lagu
permainan anak sekaligus memainkan permainannya.Pada konteks penuturan tahap kedua
yang dilakukan oleh penutur teks lagu permainan anak, pertunjukkanadalah bagian integral
yang tidak bisa dipisahkan dan merupakan bagian yang menentukan berhasil atau tidaknya
teks lagu permainan anak tersebut dituturkan karena dengan pertunjukkan itulah anak-anak
dapat memperoleh kesenangan.
Fungsi
Permainan anak sebagai bagian dari folklor, maka fungsi-fungsi permainan anak
memiliki fungsi yang sama dengan foklor. Fungsi dalam Foklor ini diartikan sebagai upaya
memperoleh “manfaat” oleh masyarakat yang terkait dengan unsur tersebut dari konteks
kebudayaannya. Menurut Bascom dalam Danandjaja, (2003:19) fungsi folklor meliputi : (a)
sistem proyeksi, yakni sebagai alat cermin angan-angan suatu kolektif, (b) sebagi alat
pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan
anak, (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu
dipatuhi anggota kolektifnya. Sedangkan menurut Hutomo (1991:69-74), fungsi sastra lisan
adalah sebagai berikut: (1) sebagai sistem proyeksi, (2) untuk pengesahan kebudayaan, (3)
sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial, 4)
sebagai alat pendidikan bagi anak, (5) untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan
masyarakat agar ia dapat lebih superior daripada orang lain, (6) untuk memberikan jalan
kepada seseorang yang dibenarkan oleh masyarakat agar ia dapat mencela orang lain, (7)
sebagai alat untuk memperotes ketidakadilan dalam masyarakat, dan (8) untuk melarikan diri
dari himpitan hidup, atau dengan kata lain semata-mata hanya sebagai hiburan saja.
Permainan anak-anakini memiliki beberapa fungsi. Tampaknya fungsi yang dominan
pada teks ini ada dua. Pertama, sebagai sistem proyeksi. Kedua,sebagai alat pendidikan anak.
Ketiga, sarana hiburan.Fungsi yang menonjol pertama adalah sebagai sistem proyeksi.
Sebagai sistem proyeksi artinya, ketika lagu permainan anak dilagukan, praktis anak-anak
menciptakan suatu proyeksi baru dalam pemikirannya atau hal yang ingin dicapainya (dicita-
citakan/diidam-idamkan), yaitu mendapatkan hati bahagia, kesenangan dan hiburan.Pada
permainan anak Kepiting Cina, anak-anak dibawa oleh imajinasinya sebuah petualangan ke
dasar laut. Lihat dialog awal antara dua orang anak dalam permainan Kepiting Cina ini. (+)
Sampurasun / (-) Rampes / (+) Diamanakah rumah Kepiting Cina? / (-) Di dasar laut / (+)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
89
Mari kita ke sana (-) Mari. Ternyata di dasar laut ada, mereka menemukan apa yang dicari
yaitu “kepiting cina” dengan ekspresi gembira dan berseru “o, e, o, e”. Kemudian mereka
memberi nama kepiting cina itu “Pahlawan Muda”. Mereka bernyanyi dan menari dengan
puisi bait berikut ini. Kepiting Cina oe oe / Kuberi nama pahlawan muda / E ja ja ejaja / ja
ja ejaja.
Berikut si anak melalang buana di dasar laut. Mereka melihat Pak Camat yang sedang
berdagang jualan tomat. Mereka terheran ternyata yang beli tomat pada Pak Camat bersikap
hormat. Mereka melihat juga seorang nenek naik delman pakai kaca mata, tetapi kacamatanya
bolong (dua). Nenek itu bernama NekIjah. Melihat Nek Ijah pakai kaca mata kusir delman
tertarik dan akhirnya Pak Kusir jatuh cinta pada Nek Ijah. Berikut syair yang diucapkan anak-
anak tersebut dalam permainan Kepiting Cina menggambarkan petualangan mereka. Pak
camat1 jualan tomat / Yang beli harus hormat / Nek Ijah pakai kaca mata / Bolong dua
bolong dua / Pak kusir jadi jatuh cinta / Jatuh cinta jatuh cinta.
Cerita imajinasi anak tersebut sepertinya tidak masuk akal atau tidak logis. Tetapi
bagi dunia anak-anak imaji semacam ini lumrah atau biasa. Peneliti jadi teringat dengan film
kartun yang terkenal Spongebob. Dunia imajinasi permainan Kepiting Cina sama persis
dengan dunia imajinasi Spongebob, yaitu kehidupan di bawah laut. Lihat kehidupan
SpongeBob SquarePants, tokoh utama dalam kartun ini yang adalah seekor spons yang
sebenarnya berbentuk spons mandi berwarna kuning ini adalah pribadi yang baik, mudah
diajak berteman, dan optimistis. Spongebob tinggal di dalam rumah berbentuk nanas di laut,
di Jalan Conch nomor 124, Bikini Bottom. Dia juga memelihara seekor siput yang bernama
Gary. Pekerjaannya sehari- hari adalah koki di rumah makan Krusty Krab (dia sendiri pun
mendapat penghargaan "Employee of the Month" (Pegawai Teladan Bulan Ini) 374 kali
berturut - turut), yang terkenal dengan burgernya Krabby Patty. Dia juga bersekolah di Mrs.
Puff Boating School, sekolah mengemudi Mrs. Puff, namun selalu gagal ketika tes
mengemudi. Ia juga suka berburu ubur ubur bersama Patrick.
Bagaimana cerita Spongebob yang tidak masuk akal menurut manusia dewasa, bisa
menjadi favorit dan begitu disukai oleh anak-anak? Karena anak-anak memiliki dunia
imajinasi yang luar biasa sehingga Spongebob cocok dengan dunia anak-anak. Begitu juga
permainan anak Kepiting Cina begitu disukai oleh anak-anak karena kesamaan dunia
imajinasi dengan Spongebob. Oleh karena itu sebagai sistem proyeksi artinya, ketika lagu
permainan anak dilagukan, praktis anak-anak menciptakan suatu proyeksi baru dalam
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
90
pemikirannya atau hal yang ingin dicapainya (dicita-citakan/diidam-idamkan), yaitu
mendapatkan hati bahagia, kesenangan imajinasi.
Fungsi yang menonjol yang kedua adalah permainan anak sebagai alat pendidikan.
Dalam KepitingCina anak diajak mengenal biota laut, yaitu “kepiting”. Yang terasa adalah
dalam permainan Berhitung, Anak-anak belajar mengenal hitung-hitungan sederhana yaitu
angka 1 (satu) sampai 12 (dua belas). Lihat angka-angka tersebut ada dalam syair lagu
tersebut. Salah satu metode kuno dalam dunia pendidikan/pembelajaran adalah menghafal
dengan cara mengulang-ulang materi ajar. Proses permainan anak ini selalu diulang-ulang.
Mereka kalau bosen atau jenuh dengan pasangan mainnya, maka mereka ganti pasangan
dengan teman lainnya. Maka permainan Berhitung ini selalu diulang. Jadi anak-anak akan
cepat memahami dan menghafal angka-angka. Selain belajar soal hitungan anak-anak juga
belajar mengenal dasar-dasar puisi yaitu irama dan rima. Dasar-dasar puisi ini yaitu irama
dan rima dibahas pada uraian tentang formula bunyi, formula irama tersebut.
Fungsi yang ketiga adalahsarana hiburan. Permainan anak-anak memiliki fungsi
sebagai sarana hiburan bagi anak-anak. Sarana hiburan atau pelipur lara dimaknai sebagai
bentuk “pelarian” anak-anak dalam menghibur dirinya dari kejenuhan kehidupan sehari-
harinya. Permainan ini dilakukan ketika anak-anak pada jam istirahat di sela-sela pelajaran
sekolah atau pulang sekolah sambil menunggu jemputan orang tuanya. Hasil pengamatan
peneliti mereka selalu riang gembira saat melakukan permainan ini.
Kesimpulan
1. Struktur
Teks permainan anakadalah teks puisi lisan yang berisi permainan unsur bunyi, teks,
dan pertunjukkan. Secara tekstual, wacana puitik teks permainan anak mirip dengan wacana
puitik puisi modern. Perbedaan teks permainan anak dengan puisi modern terletak pada: (1).
Tradisi keberadaannya, yakni teks permainana hidup dalam tradisi lisan, sedangkan puisi
modern hidup dalam tradisi tulis; (2). Struktur batinnya, yakni bahwa teks permainan
anakmerupakan wacana permainan, sedangkan puisi modernmerupakan wacana kesaksian
penyair terhadap pengalaman kehidupan.
Struktur teks permainan anaksecara garis besar terdiri atas empat unsur atau bagian.
Keempat unsur yang membentuk struktur teks permainan anaktersebut meliputi: unsur judul,
unsur pembuka, unsur tujuan, dan unsur penutup.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
91
Pembentukan kalimat pada teks-teks permainan anak ini tidak hanya dibentuk oleh satu larik,
namun terdapat kalimat yang dibentuk oleh dua larik, tiga larik, bahkan empat larik.
Kecenderungan teks teks permainan anakini pembentukan pola fungsi subjek banyak yang
dilesapkan. Artinya, pembentukan kalimat dengan pola fungsi subjek yang elips.
Formulasi bunyi pada teks-teks permainan anak ini banyak didominasi oleh bunyi-
bunyi vokal. Seperti bunyi vokal /a/. dominasi vokal /a/ pada teks permainan anak ini juga
menimbulkan efek `pengingat` yang sangat terasa dan berpengaruh besar pada si pengamal.
Artinya, dengan dominasi vokal /a/ pada teks ini dapat memudahkan proses penghafalan teks,
dengan kata lain bunyi vokal /a/ merupakan formulasi bunyi yang menimbulkan efek
`pengingat` dan pembacaan yang terasa ringan dan juga menjadi alat pembantu pengingat
(mnemonic device) untuk memudahkan proses penghafalan teks.
Efek-efek lainnya yang ditimbulkan oleh bunyi-bunyi tersebut menjadikan teks
permainan anak memiliki keseimbangan dan keindahan. Keseimbangan yang berarti teks ini
mudah dihafal oleh si penuturnya, sedangkan keindahan yang berarti teks ini mempunyai
bunyi-bunyi tertentu yang menjadikannya indah dan enak didengar.
Formulasi irama pada teks-teks teks permainan anak banyak mengggunakan nada-
nada yang didominasi oleh nada pendek (∩) yang terletak disemua larik. Nada-nada sedang
(≥) ada di beberapa suku kata pada setiap larik. Nada sedang (≥) menandakan penekanan
(stressing) pada pelafalannya. Penekanan (stressing)pada teks permainan anak terjadi pada
suku kata-suku kata tertentu. Penekanan (stressing) merupakan indikasi tersendiri bagi si
pengamal untuk keberhasilan teks permainan anakyang dilagukan. Penekanan (stressing) ini
juga berpengaruh pada tingkat kegembiraan anak-anak.
Bahasa yang digunakan pada teks teks permainan anakini merupakan bahasa
Indonesia ragam sedang. Artinya, ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa
komunikasi untuk masyarakat secara luas. Hal tersebut dilakukan sebagai strategi untuk
mempermudah dalam proses bertutur dan berkomunikasi yang komunikatif.Selain bahasanya
yang komunikatif, teks teks permainan anakjuga menggunakan bahasa yang puitis. Hal ini
semata-mata dilakukan untuk mengejar pemaknaan yang lebih dalam. Bukan hanya itu, yang
lebih utama dari penggunaan bahasa puitis ini dimaksudkan agar teks tampak dan terdengar
lebih indah
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
92
Penggunaan majas yang dominan pada teks-teks teks permainan anak adalah majas
hiperbola, repetisi, metafora, paralelisme. Penggunaan majas ini sebagai salah satu ciri
kepuitisan teks teks permainan anak
Secara umum, tema Secara umum, teks lagu permainan anak bersifat “hiburan“. Artinya,
unsur hiburan pada permainan anak-anak akan sangat kental bila dibandingkan dengan unsur
lainnya. Walaupun begitu, unsur edukatif dan pengajaran dalam lagu permainan anak-anak
juga sangat dominan.
2. Konteks Penuturan
Pada dasarnya konteks penuturan pada teks lagu permainan anakadalah pembicaraan
mengenai sebuah peristiwa komunikasi secara khusus yang ditandai dengan adanya interaksi
di antara unsur-unsur pendukungnya secara khusus pula. Artinya, ada hubungan antara
penutur, petutur, kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubunganya dengan lingkungan
serta masyarakat pendukungnya. Pada teks teks lagu permainan anak, konteks penuturan
terdiri atas dua tahapan, yaitu: penutur kepada pendengar dan penutur kepada permainan
3. Fungsi
Teks lagu permainan anak-anakini memiliki beberapa fungsi. Tampaknya fungsi yang
dominan pada teks ini ada dua. Pertama, sebagai sistem proyeksi. Kedua,sarana pendidikan.
Ketiga, hiburan atau pelipur lara. Sebagai sistem proyeksi. Artinya, ketika lagu permainan
anak dilagukan, praktis anak-anak menciptakan suatu proyeksi baru dalam pemikirannya atau
hal yang ingin dicapainya (dicita-citakan/diidam-idamkan), yaitu mendapatkan hati bahagia
dan kesenangan dan hiburan.
Saran
Teks permainan anakadalah salah satu produk budaya masyarakat tradisional yang
harus kita jaga dan lestarikan. Dengan melakukan penelitian teks permainan anak sebagai
salah satu tradisi lisan yang ada di masyarakat, secara tidak langsung, kita telah menjaga dan
melestarikan warisan dan tradisi kita. Ada harapan dari peneliti, bahwa pada masa yang akan
datang dapat lahir peneliti-peneliti yang akan melanjutkan penelitian mengenai tradisi lisan
yang ada di daerah. Sehingga ada harapan tradisi kita dapat lestari dan dapat dinikmati
keturunan kita di masa yang akan datang. Salah satu upaya mengarah kepada harapan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
93
tersebut, salah satunya dengan menggarap kembali tradisi lisan yang ada di masyarakat.
Harapan peneliti, bahwa penelitian mengenai teks permainan anak dapat dilanjutkan dengan
kajian yang lebih mendalam dan dapat mengkaji jenis teks permainan anak-teks permainan
anak yang lain.
Daftar Pustaka
Badrun, Ahmad. 1994. Makna Tiga Sajak Ketasawufan Abdul Hadi W. M. Jakarta: UI (Tesis).
--------. 2003. Patu Mbojo: Struktur, Konteks Pertunjukan, Proses Penciptaan, dan Fungsi.
Jakarta: UI (Disertasi).
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia: Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:
Grafitipers.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan. Surabaya: HISKI Jawa Timur.
Juariah, Siti. 2005. Analisis Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Pertunjukkan, dan Fungsi
"Cigawiran" Ragam "Sawer Panganten". Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
(Skripsi).
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi.Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Riduwan. 2008. Metode dan Teknik Menyunsun Tesis. Bandung : Alfabeta.
Sudaryanto. 1994. Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia-Keselarasan Pola Urutan.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Sugiyono. 2009.Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.
--------. 2013. Cara Mudah Menyusun : Skripsi, Tesis, dan Desertasi. Bandung : Alfabeta.
--------. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta.
Tanjung, Bahdin Nur, & Ardial. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi,
dan Tesis) dan Dapat Mempersiapkan diri MenjadiPenulis artikel Ilmiah. Jakarta :
Kencana
Teeuw, A. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka
Verhaar, J. W. M. 1983. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
94
ANALISIS PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM ATRIBUT SISTEM
TATA KOTA
Ai Siti Zenab
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Memasuki era Masyarakat Ekonimi ASEAN (MEA), upaya melestarian bahasa
Indonesia adalah salah satu hal yang harus dilakukan. Hal tersebut penting dilakukan
untuk mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia di negeri ini. Bahasa Indonesia
berfungsi sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Kedua fungsi ini harus benar-
benar bisa menopang semua kebutuhan kehidupan bangsa Indonesia dalam hal
berbahasa. Jika kedua fungsi ini bisa dipertahankan, interfensi bahasa asing bisa
diminimalisasi. Penelitian ini adalah penelitian yang berfokus pada analisis
penggunaan bahasa Indonesia sebagai upaya untuk mengukur sejauh mana bahasa
Indonesia digunakan dalam setiap keperluan. Fokus penelitian pada analisis kesalahan
berbahasa yang digunakan dalam atribut sistem tata kota seperti rambu petunjuk,
bilboard, baliho, shop sign branding, neon box, atau pun iklan tembok. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Metode ini dipakai
karena penelitian dilakukan pada kondisi objek yang alamiah dengan peneliti sebagai
instrumen kunci. Pengambilan data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik
pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif.
Lokasi penelitian di sepanjang Jalan Pasteur Kota Bandung. Hasil penelitian
menunjukkan Dari 47 data yang terdiri atas rambu petunjuk 11, spanduk 9, bilboard
4, neon box 3, baliho 9, shop sign branding 10, dan iklan tembok 1, sebanyak 25,
47 persen penggunaan bahasa Indonesia yang terdapat di dalamnya dipengaruhi oleh
bahasa Inggris.
Kata Kunci: analisis bahasa Indonesia, atribut
Pendahuluan
Memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saat ini, Indonesia dituntut tidak
hanya harus bertahan dari segi ekonomi dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) semata,
tetapi juga harus siap dengan segala pengaruh positif dan negatif yang pasti menyertainya.
Budaya luar yang pasti akan ikut masuk jangan sampai mengubah budaya asli yang dimiliki.
Bangsa Indonesia harus siap mempertahankan budaya lokal agar jangan sampai
terkontaminasi oleh budaya asing.
Budaya yang dimiliki suatu bangsa salah satunya bisa tercermin dari bahasanya.
Sebagai bagian dari budaya bangsa, bahasa Indonesia memiliki peran dan fungsi yang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
95
eksistensinya harus selalu dipertahankan. Hasil perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional
yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 (Muslich, 2010:6)
menyebutkan bahwa bahasa Indonesia merupakan lambang kebanggaan nasional, lambang
identitas nasional, alat pemersatu masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya
dan bahasanya, dan alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Sebagai lambang
kebanggan nasional, bahasa Indonesia secara otomatis harus menjadi kebanggaan masyarakat
penggunanya. Rasa bangga di sini tentu saja tidak cukup hanya dengan berkata bangga, tetapi
disertai pula dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan sebaik-baiknya, menjunjungnya,
dan ikut melestarikan dan mempertahankannya.
Sebagai identitas nasional, bahasa Indonesia memiliki peran sebagai pengirim ciri
kepribadian dan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya. Melalui fungsi ini, identitas
kewarganegaraan dan kepribadian yang menyangkut watak dan karakter sebagai bangsa
Indonesia bisa terlihat. Dengan adanya fungsi ini, peran bahasa Indonesia diharapkan jangan
sampai tidak menunjukkan gambaran bangsa yang sebenarnya.
Selain sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai bahasa
negara. Salah satu hal penting yang menyangkut fungsi ini adalah bahasa Indonesia
merupakan bahasa resmi dalam pengembang kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan
serta teknologi modern. Hal ini memiliki makna bahwa pengembangan kebudayaan,
pengembangan ilmu pengetahuan, dan pengembangan teknologi modern berada dalam ruang
lingkup fungsi bahasa Indonesia. Indikasi dari adanya fungsi ini adalah penyebarluasan,
pengembangan, dan pelestarian budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi modern baik yang
berada dalam ruang lingkup pendidikan maupun sarana-sarana lain di luar lembaga-lembaga
pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Salah satu hal yang bisa dijadikan contoh eksistensi bahasa dalam pengembang
kebudayaan dan pemanfaatn ilmu pengetahuan serta teknologi modern adalah penggunaan
bahasa dalam atribut tata kota. Bahasa yang terdapat dalam atribut tata kota bisa menjadi
salah satu acuan bagaimana bahasa tersebut berkembang di kota yang bersangkutan.
Branch (1996:2) mengartikan kota sebagai tempat tinggal dari beberapa ribu atau
lebih penduduk, sedangkan perkotaan diartikan sebagai area terbangun dengan struktur dan
jalan-jalan sebagai suatu permukiman terpusat pada suatu area dengan kepadatan tertentu.
Sebagai suatu permukiman dengan kepadatan tertentu, atribut tata kota sangat berpengaruh
terhadap eksistensi bahasa mayarakat penggunaanya. Melalui bahasa dalam atribut tata kota,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
96
tingkat penggunaan bahasa penghuninya bisa tercermin. Bahasa yang terkandung di dalam
atribut tata kota menjadi sarana komunikasi secara tidak langsung antara penghuni,
pengunjung, dan semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Kota Bandung sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, memiliki peranan yang
cukup besar dalam perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Di kota ini, industri kreatif
berkembang dengan pesat. Perkembangan industri ini turut berpengaruh pula terhadap
perkembangan dan penggunaan atribut tata kota. Atribut tata kota dijadikan sebagai wadah
promosi dan pengenalan produk terhadap masyarakat.
Adapun hubungannya dengan MEA, Kusumaningrum (2015:8) menyebutkan bahwa
Jawa Barat adalah target utama MEA. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa daerah Jawa Barat
terindikasi kuat dijadikan sasaran utama pemasaran produk-produk bisnis bebas pada
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang direncanakan diterapkan akhir tahun 2015.
Jumlah penduduk Jawa Barat yang mencapai 45 juta jiwa menjadi sasaran empuk bagi
sejumlah pebisnis untuk menjadikan Jawa Barat sebagai target utama pemasaran.
Kota Bandung sebagai sentral dari Provinsi Jawa Barat tentu akan menjadi derah
yang paling utama dan pertama dalam perkembangan MEA di Jawa Barat. Oleh sebab itu,
kesiapan dan ketahanan Kota Bandung dalam menghadapi pengaruh yang datang dari luar
sangat diperlukan.
Dengan berdasar pada hal-hal yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini bersisi
analisis penggunaan bahasa Indonesia yang terdapat dalam atribut sistem tata Kota Bandung
sebagai upaya mengukur sejauh mana ketahanan dan kelestarian berbahasa di kota Bandung
dalam menghadapi MEA. Pusat pengkajian dilakukan di sepanjang Jalan Pasteur dengan
petimbangan jalan ini adalah jalan yang dilalui ketika akan masuk dan keluar tol sehingga
aktivitas jalan ini tidak pernah berhenti dari siang sampai malam.
Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini menyangkut: 1) Bagaimana
gambaran umum pengunaan bahasa Indonesia dalam atribut sistem tata kota di sepanjang
Jalan Pasteur Kota Bandung? 2) Bagaimana hasil analisis kesalahan berbahasa yang
digunakan dalam atribut sistem tata kota di sepanjang Jalan Pasteur Kota Bandung?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) Gambaran umum
penggunaan bahasa Indonesia dalam atribut sistem tata kota di sepanjang jalan Pasteur Kota
Bandung. 2) Kesalahan berbahasa yang digunakan dalam atribut sistem tata kota di sepanjang
Jalan Pasteur Kota Bandung.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
97
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Metode ini dipakai karena penelitian dilakukan pada kondisi objek yang alamiah
dengan peneliti sebagai instrumen kunci. Pengambilan data dilakukan secara purposive dan
snowbaal, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif/kualitatif. Lokasi penelitian di sepanjang Jalan Pasteur Kota Bandung.
Hasil dan Pembahasan
1. Gambaran Umum
Secara umum penggunaan bahasa Indonesia di sepanjang Jalan Pasteur bisa diamati
dari berbagai atribut kota yang terpasang di sepanjang jalan. Atribut tersebut meliputi papan
reklame baik dalam bentuk bilboard maupan baliho, spanduk, shop sign branding, neon box,
iklan tembok, dan rambu petunjuk.
Dari 47 data yang terdiri atas rambu petunjuk 11, spanduk 9, bilboard 4, neon box
3, baliho 9, shop sign branding 10, dan iklan tembok 1, sebanyak 25, 47 persen penggunaan
bahasa Indonesia yang terdapat di dalamnya dipengaruhi oleh bahasa Inggris. Penggunaan
bahasa Inggris di sini tidak hanya ada di dalam atribut tata kota seperti yang telah disebutkan
di atas. Memasuki Jalan Pasteur dari arah barat, pengunjung akan disambut dengan salah
satu slogan Kota Bandung “Bdg, Bandung The Capital of Asia Afrika.” Slogan ini ditulis
dalam bahasa Inggris bukan dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau bahasa
Sunda sebagai bahasa Ibu di kota ini. Adapun pengaruh bahasa Inggris di dalam atribut
sistem tata kota bisa dilihat pada tabel dan diagram berikut.
Tabel Persentase Pengaruh Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia di dalam
Atribut Sistem Tata Kota
No. Jenis Jumlah data Persentase (%)
1 Rambu petunjuk 11 9,09
2 Spanduk 9 16,11
3 Billboard 4 100
4 Baliho 9 44,44
5 Neon box 3 100
6 Shop sign branding 10 80
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
98
Diagram Persentase Pengaruh Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia di
dalam Atribut Sistem Tata Kota
Dari tabel dan diagram di atas, yang mengalami interferensi l bahasa asing ke dalam
bahasa Indonesia yang cukup kecil hanya rambu petunjuk. Atribut tata kota yang lain seperti
bilboard, baliho, neon box, dan shop sign branding mengalami pengaruh dari bahasa Ingrris
yang cukup tinggi dalam penggunaan bahasa Indonesianya.
2. Analisis Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Atribut Tata Kota
Analisis penggunaan bahasa Indonesia dalam atribut sistem tata kota bisa dilihat dalam
tabel berikut.
No Bahasa yang Dipergunakan Jenis Analisis dan Perbaikan
1.
TOL PASTEUR/DR. JUNJUNAN
CIHAMPELAS
TAMAN SAPARI/DAGO
SURAPATI/GD. SATE
SURYA
SUMANTRI/SARI JADI
(LEWAT UNDER
PASS)
Rambu
petunjuk
Penulisan GD seharusnya
ditulis gedung. Istilah —under
pass— seharusnya ditulis
under pass. Jika terdapat
padanan kata dalam bahasa
Indonesia, istilah ini sebaiknya
diganti dengan bahasa
Indonesia.
2. Kunjungi....!!! IndoBuildTech
PAMERAN
TEKNOLOGI BUILDING
MATERIAL
TERLENGKAP & TERBESAR
Spanduk Penggunaan tanda seru yang
berlebihan disertai dengan
penggunaan bahasa yang tidak
konsisten. Perbaikannya
sebagai berikut.
1) Indo Build Tech
2) TECHNOLOGY
BUILDING
MATERIAL
rambu petunjuk
2%
spanduk5%
bilboard28%
baliho13%
shop sign branding
23%
iklan tembok 0%
neon box29%
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
99
3 DILARANG MEMBAWA
PENUMPANG PADA
KENDARAAN BAK TERBUKA
baliho Kata depan pada seharusnya
diganti dengan kata depan di.
4 KESUNGGUHAN HATI
MEMPERSEMBAHKAN
NUTRISI DARI ALAM
PURE PASSION
SELAMAT DATANG DI KOTA
BANDUNG
Reklame
(bilboard)
Tidak terdapat subjek dalam
kalimat ini: Kesungguhan Hati
Mempersembahkan Nutrisi
Dari Alam. Subjek dalam iklan
di bilboard ini diganti dengan
gambar produk yang
diiklankan.
Penulisan—pure passion—
seharusnya pure passion.
5 SPACE FOR RENT
Baliho Kalimat ini seharusnya ditulis
Space For Rent.
6 RAIH PELUANG, USAHA
MAKIN BERKEMBANG
DP
KPRuko Mulai 10% cicil mulai 10
jt-an bulan
PARIWARNA NIAGA
Commercial area within educational
center
EXIT TOL PADALARANG
Baliho Tidak terdapat subjek dalam
kalimat. Perbaikan untuk
kalimat ini adalah dengan
meraih peluang ini, Usaha
Anda Makin Berkembang.
Penulisan—Commercial area
within educational center—
seharusnya—Commercial area
within educational center.
exit tol Padalarang seharusnya
ditulis keluar tol padalarang
7 ANDA MEMASUKI KAWASAN
4 IN 1 MOBIL BERPENUMPANG
4 (EMPAT) ORANG ATAU
LEBIH
Rambu
petunjuk
Istilah 4 in 1 diambil dari
istilah bahasa Inggris, jika
istilah ini akan tetap digunakan
penulisan seharusnya adalah 4
in 1.
8 simPATI murahnya semaumu! Iklan
tembok
penulisan kata simPATI tidak
konsisten. Penulisan
seharusnya simpati atau
SIMPATI.
9 SUKAJADI
CIHAMPELAS
Ir. H. DJUANDA/DAGO
SURAPATI/GD. SATE
LEMBANG
BABAKAN JERUK
Rambu
petunjuk
Peulisan GD. SATE
seharusnya Gedung Sate atau
GEDUNG SATE.
10 METRIC
Innovation for better living
Neon box Penulisan—Innovation for
better living—seharusnya
ditulis Innovation for better
living.
11 RENTAL CAR SHUTTLE
TRAVEL BUS PARIWISAT
RESERVASI SHUTTLE &
TRAVEL
Spanduk RENTAL CAR SHUTTLE
TRAVEL BUS
PARIWISATA
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
100
Kami malayani sistem travel dari
BANDUNG ke:
BOGOR TASIKMALAYA
YOGYAKARTA
PURWOKERTO SEMARANG
Contact Center
022 8600 8800
RESERVASI SHUTTLE &
TRAVEL— seharusnya
ditulis —RENTAL CAR
SHUTTLE TRAVEL BUS
PARIWISAT
RESERVASI SHUTTLE &
TRAVEL
Kalimat Kami malayani
sistem travel dari .....adalah
kalimat yang tidak logis.
Kalimat ini seharusnya
Travel kami melayani Anda
dari...
Penulisan Contact Center
seharusnya Contact Center
12 HOME MADE COOKIES
J&C BOJONG KONENG 5KM
Shop Sign
Branding
Penulisan —HOME MADE
COOKIES—seharusnya ditulis
— HOME MADE COOKIES
13 Mark Pro DIJUAL APARTEMENT
DAGO SUITE
DAGO BUTIK
MAJESTI
GATEWAY PASTEUR
JIMMY
082240109030
Spanduk 3 iklan ini seharusnya ditulis: DIJUAL APARTEMENT
DAGO SUITE
DAGOBUTIK
MAJESTI
GATEWAY PASTEUR
14 HOTEL
CHERRY Homes + 5 menitRESIDENCE
Shop Sign
Branding
Penulisan— RESIDENCE—
seharusnya ditulis
RESIDENCE
15 CEPAT DAN MUDAH & LEBIH
HEMAT MANFAATKAN LAYANAN BOOKING
SERVICE
TEST DRIVE GRAND NEW AVANZA
BERHADIAH INNOVA
Neon box
2
Terdapat pemborosna kata
dan. Seharusnya—CEPAT, MUDAH, DAN
LEBIH HEMAT
BOOKING SERVICE
seharusnya ditulis
BOOKING SERVICE
TEST DRIVE GRAND
NEW AVANZA
seharusnya ditulisTEST
DRIVE GRAND NEW
AVANZA
16 DISHUB KOTA BANDUNG
BENGKEL PELAKSANA
PEMERIKSAAN EMISI
KENDARAAAN BERMOTOR
Baliho Tidak terdapat konsistensi
dalam pembentukan
akronim dishub.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
101
17 Asian African Conference
Commemoration Indonesia 2015
Reklame
(bilboard)
Seharusnya ditulis: Asian
African Conference
Commemoration Indonesia
2015
18 PASTEUR
HYPER POINT
ATM 24 JAM 500 m
Shop Sign
Branding
HYPER POINT
Seharusnya ditulis HYPER
POINT
19 SUKAJADI
CIHAMPELAS
IR. H. DJUANDA/DAGO
SURAPATI/GD. SATE
LEMBANG
SUKAMULYA
Rambu
petunjuk
GD—seharusnya ditulis
GEDUNG
20 HATI HATI KELUAR MASUK
KENDARAAN PROYEK Baliho Kalimat ini tidak
mengandung subjek.
21 Triple C Guest House
1,5 km
Shop Sign
Branding
Guest House—seharusnya
ditulis Guest House
22 Panti Yatim Indonesia
50 m
Reklame
(Baliho)
Huruf m bisa diubah
menjadi sebuah kata yang
lebih lengkap “meter”
23 PANGKALAN OJEG
OJEG
JALUR
BEBAS
Spanduk Hubungan antara subjek
dengan kata-kata
selanjutnya yang seharusnya
ditempati oleh predikat
tidak memiliki kejelasana
sehingga makna yang
muncul menjadi tidak jelas
pula. Contoh perbaikan:
Ojeg ini melalui jalur bebas
macet.
24 KAHA HOTEL RESERVATION
DISCOUNT VOUCHER HOTEL
SELURUH INDONESIA
Neon box Seharusnya ditulis:
HOTEL RESERVATION
DISCOUNT VOUCHER
HOTEL
SELURUH INDONESIA
Supaya lebih jelas bisa
ditambahkan kata di
sebelum frasa seluruh
Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
102
25 STOP GLOBAL WARMING
SAVE EARTH Rekalme
(bilboard)
Seharusnya ditulis:
STOP GLOBAL WARMING
SAVE EARTH
26 SLOW DOWN
MAGENTA LOUNGE
Shop Sign
Branding
Seharusnya ditulis:
SLOW DOWN
MAGENTA LOUNGE
Istilah slow down bisa
diubah ke dalam bahasa
Indonesia menjadi pelan-
pelan
27 RS. HASAN SADIKIN
SUKAJADI
KAWASAN TERPADU
TRANS STUDIO
GASIBU/GD. SATE
Rambu
petunjuk
GD SATE seharusnya ditulis
GEDUNG SATE
28 SETIAP ORANG YANG
MENGEMUDIKAN RANMOR
DIJALAN WAJIB MEMILIKI SIM
Baliho Terdapat
ketidakkonsistenan
pembentukan akronim
dalam kata ranmor
29 CRISTAL JACKET KULIT IMPORT
Baliho Kalimat JACKET KULIT
IMPORTtidak konsisten
dalam penggunaan bahasa.
Kata jacket dan import
berasal dari bahasa Inggris
sedangkan kulit berasal dari
bahasa Indonesia.
Perbaikannya sebagai
berikut.
JAKET KULIT IMPOR
30 BUAT BANDUNG BERSIH Spanduk Kalimat ini termasuk ke
dalam kalimat ambigu.
Perbaikannya sebagai
berikut.
Mari ciptakan Bandung
menjadi lebih bersih.
31 Taman Sari/Dago
Surapati
Cicaheum
Sukajadi/RSHS
Pasir Kaliki
Setiabudi
Rambu
petunjuk
Dari lima rambu petunjuk, 3
buah rambu petunjuk
menggunakan huruf kecil
sedangkan dua lagi
mengunakan huruf kapital.
Hal ini mengakibatkan
ketidakkonsistenan dalam
penggunaan ukuran dan 32 Sukajadi / Pasir Kaliki
Cipaganti / Cihampelas Rambu
petunjuk
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
103
Setiabudi / Lembang
jenis huruf.
Ketidakkonsistenan juga
terdapat dalam frasa Rumah
Sakit Hasan Sadikin. Di
beberapa rambu petunjuk,
Rumah Sakit Hasan Sadikin
ditulis RSUP HASAN
SADIKIN, RS. HASAN
SADIKIN, atau RSHS. Bagi
yang tidak tahu Rumah
Sakit Hasan Sadikin,
ketidakkonsistenan ini bisa
membingungkan.
33 Ir. H. Djuanda / Taman Sari
Dipatiukur / Surapati
Gedung Sate / Cicaheum
Rambu
petunjuk
34 KEBUN BINATANG
TAMAN SARI
STASIUN K.A.
SUKAJADI
Rambu
petunjuk
35 RSUP HASAN SADIKIN
IR. H. DJUANDA
SETIABUDI
PAJAJARAN
Rambu
petunjuk
36 SARAREASHUTTLE
Contack center
022 8600 8800
24 hour
Spanduk 6 Seharusnya ditulis:
SARAREA SHUTTLE
Contack center
24 hour
37 SLOW DOWN
ASTON PRIMERA
Shop Sign
Branding
Seharusnya ditulis:SLOW
DOWNatau mengganti kata-
katanya ke dalam bahasa
Indonesiapelan-pelan
38 Saung Kabayan RUMAH MAKAN KHAS SUNDA
Menu Tradisional Terkomplit di
Bandung Free delivery call
022 9122 999
Baliho Seharusnya ditulis:
Free delivery call
39 KURANGI KECEPATAN!!!
RSIA Hermina
Pasteur
Shop Sign
Branding
Tanda seru yang digunakan
berlebihan.
40 BRIDAL SALON SPA Jl. Dr. Junjunan Dalam No. 11
Bandung
Telp. 022 6036510
+ 100 mtr
Shop Sign
Branding
Kalimat BRIDAL SALON
SPAmenggunakan struktur
bahasa Inggris. Bisa
diperbaiki dengan cara
mengubah struktur sperti
berikut.
SALON DAN SPA BRIDAL
41 TOL PASTEUR
GN. BATU/CIMINDI
SURYA SUMANTRI
SARIJADI
SUKAWARNA
Rambu
petunjuk
GN BATU seharusnya
ditulis GUNUNG BATU
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
104
BANDARA
42
LANUD HUSEN SASTRANEGARA
BANDUNG PILOT AKADEMI UNIVERSITAS NURTANIO
Shop Sign
Branding
Seharusnya ditulis:
BANDUNG PILOT
AKADEMY
Atau
AKADEMI PILOT
BANDUNG
43
PELAN PELAN!!!
PINTU MASUK
BTC
Shop Sign
Branding
Penggunaan tanda seru
berlebihan.
44 Halo Fit my plan network priority
highest internet speed
biggest reward
best data package
(Reklame)
Billboard
Seharusnya ditulis:
Halo Fit my plan
network priority
highest internet
speed
biggest reward
best data package
45 LIVE MUSIC SETIAP HARI SELASA, KAMIS DAN
SABTU MALAM , MULAI DARI JAM
18.00 S/D 22.00 PM @TOPAS CAFE,
UNTUK RESERVASI HUBUNGI: 022
6020550
Spanduk Seharusnya ditulis: LIVE MUSIC
RESERVATION
Kata reservasi bisa diganti
dengan pemesanan
46 JAGA & PELIHARALAH
KEBERSIHAN TEMPAT INI Spanduk Kalimat ini tidak
mengandung subjek. Bisa
diperbaiki dengan
menambahkan subjek dalam
kalimat.
ANDA HARUS MENJAGA
DAN MEMELIHARA
KEBERSIHAN TEMPAT
INI
47 DILARANG BUANG SAMPAH
DI SUNGAI Spanduk Kalimat ini tidak
mengandung subjek dan
bisa menimbulkan makna
ganda.
ANDA DILARANG
MEMBUANG SAMPAH KE
SUNGAI
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
105
Kesimpulan
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam tataran atribut tata kota seperti rambu petunjuk,
bilboard, spanduk, baliho, shop sign barnading, neon box, dan iklan tembok masih
mengalami banyak kesalahan. Kesalahan tersebut tidak hanya kesalahan ejaan, struktur, atau
segala hal yang berhubungan dengan penggunaan bahasa Indonesia, tetapi berhubungan pula
dengan interferensi bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Tingkat interferensi bahasa
asing khususnya bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia sangat tinggi. Hampir di
sepanjang jalan di Kota Bandung khususnya di Jalan Pasteur, penggunaan bahasa Indonesia
dalam atribut kota tidak lepas dari pengaruh bahasa Inggris. Tingginya interferensi ini tentu
saja berpengaruh pada eksistensi bahasa Indonesia. Kesadaran untuk berbahasa yang baik dan
benar sangat diperlukan untuk mempertahankan dan melestarikan bahasa Indonesia agar tetap
menjadi bahasa utama di Indonesia. Dengan melihat semua yang telah dipaparkan dalam
kajian ini, jika keadaan berbahasa seperti ini terus berlanjut, bukan hal yang tidak mungkin
posisi bahasa asing bisa menjadi sebanding bahkan mungkin lebih tinggi dari bahasa
Indonesia sendiri.
Daftar Pustaka
Branch, Melville C. (1996). Perencanaan kota komprehensif pengantar dan penjelasan.
Terjemahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Kusumaningrum, Yulistyne. Jangan mau hanya jadi sasaran pasar, Jabar target utama MEA.
(2015, Oktober 26). Pikiran Rakyat, p.8.
Muslich, Masnur. (2010). Bahasa Indonesia pada era globalisasi (kedudukan, fungsi,
pembinaan, dan pengembangan). Jakarta: Bumi Aksara.
Poerwadarminta, W.J.S. (penyusun). (2007). Kamus umum bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Pusat pembinaan bahasa dan pengembangan bahasa departemen pendidikan nasional republik
Indonesia. (2012). Pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan dan
pedoman pembentukan istilah. Bandung: Yrama Widya.
Sugiyono. (2014). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sugono, D. (2009). Mahir berbahasa Indonesia dengan benar. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
106
Tarigan, Henry Guntur. (2011). Pengajarananalisis kesalahan berbahasa. Bandung:
Angkasa.
Pateda, Mansoer. (1989). Analisis Kesalahan. Flores: Penerbit Nuisa Indah.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
107
REPRESENTASI MEDIA TERHADAP MEGAWATI SOEKARNO PUTRI DALAM
ISU ‘PETUGAS PARTAI’: KAJIAN ANALISIS WACANA KRITIS
Ages Kuniawan
Universitas Padjadjaran Bandung
1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Analisis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan
dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok
dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang di
inginkan. Artinya dalam sebuah konteks kita juga harus menyadari akan adanya kepentingan,
Oleh karena itu analisis yang terbentuk nantinya telah kita sadari telah dipengaruhi oleh si
penulis dari berbagai faktor, kita dapat mengatakan bahwa di balik wacana itu terdapat makna
dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan.Sedangkan wacana
adalah proses pengembangan dari komunikasi, yang menggunakan simbol-simbol, yang
berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang
luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-
gambar, dan lain-lain, Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya,
konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi
keberadaannya, dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi,
kepentingan-kepentingan, dan lain-lain.
Jadi, analisis wacana yang dimaksudkan dalam sebuah penelitian adalah sebagai
upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subyek (penulis) yang mengemukakan suatu
pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang penulis
dengan mengikuti struktur makna dari sang penulis sehingga bentuk distribusi dan produksi
ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat di ketahui. Jadi, wacana dilihat dari bentuk
hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subyek dan berbagai tindakan
representasi.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu
dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada perbedaan yang besar dari berbagai definisi,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
108
titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau
pemakaian bahasa. Bagaimana bahasa dipandang dalam analisis wacana. Dalam analisis
wacana kritis (Critical Discourse Analysis / CDA), wacana disini tidak dipahami semata
sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam
teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis disini agak berbeda dengan studi bahasa
dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan
semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks disini
berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik
kekuasaan.
Mengenai fenomena diatas, berbagai issu dan wacana yang berkembang saat ini
menarik untuk diteliti, salah satunya issu dan wacana ‘Petugas Partai’ karena akhir-akhir ini
menjadi hangat lagi diperbincangkan. Wacana tersebut gencar lagi disajikan media dimulai
pada hari kamis, Tanggal 11 April 2015, di sebuah hotel dikawasan Sanur, Bali, Kongres IV
PDI Perjuangan resmi ditutup dengan pidato penutupan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan
Megawati Sukarnoputri. Kongres tersebut mengahasilkan beberapa poin, termasuk di
antaranya, terpilih kembali Megawati Sukarnoputri sebagai Ketua Umum.
Dalam konteks diatas, ada beberapa poin juga yang menjadi bahan pemberitaan
utama media, salah satunya adalah issu ‘Petugas partai’ yang diangkat kembali oleh media
yang juga secara langsung di singgung dalam pidato penutupan Kongres tersebut oleh
Megawati.
Issu itu sebelumnya juga telah menjadi perbincangan hangat diberbagai media, pada
saat terpilihnya Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia, sebagai salah satu pesan
langsung dari Megawati kepada Jokowi. Megawati secara langsung mengatakan bahwa
Jokowi adalah ‘Petugas Partai’ dari PDI Perjuangan.
Dari issu diatas, peneliti bermaksud menganalisa representasi media, khususnya
media online tehadap sosok Megawati dalam issu ‘Petugas Partai’ dengan menggunakan
pendekatan Analisis Wacana Kritis Media Norman Fairclough (1995) yang tefokus kepada
analisis Mikrostruktur atau analisis Linguistik diantaranya analisis Morfologi dan Sintaksis.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
109
Dalam proses pengumpulan data, peneliti menemukan 3 (tiga) data yang berasal dari
tiga sumber media online yang membahas wacana “Petugas Partai”, yaitu kompas.com,
tempo.co, dan okezon.com. Tiga media online tersebut menurut peneliti dapat mewakili
representasi media terhadap sosok Megawati dalam issu ‘Petugas Partai’.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis representasi media kompas.com,tempo.co
dan okezone.com terhadap sosok Megawati dalam issu ‘Petugas Partai’.
1.3 METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian ini memiliki
kekhasan data berupa tulisan atau teks. Pada penelitian kualitatif, peneliti berusaha
memahami subjek dari kerangka berpikirnya sendiri (Taylor & Bogdan, 1993). Dengan
demikian, yang penting adalah pengalaman, pendapat, perasaan dan pengetahuan partisipan
(Patton, 1990). Oleh karena itu, semua perspektif menjadi bernilai bagi peneliti. Peneliti tidak
melihat benar atau salah, tetapi semua data penting. Pendekatan ini sering disebut juga
sebagai pendekatan yang humanistik karena peneliti tidak kehilangan sisi kemanusiaan dari
suatu kehidupan sosial. Peneliti tidak dibatasi lagi oleh angka-angka, perhitungan statistik,
variabel-variabel yang mengurangi nilai keunikan individual (Taylor & Bogdan, 1993).
Metode yang digunakan dalam pendekatan ini tidak kaku dan tidak terstandardisasi.
Penelitian kualitatif bersifat fleksibel karena kesesuaiannya tergantung dari tujuan setiap
penelitian. Walaupun demikian, selalu ada pedoman untuk diikuti, tapi bukan aturan yang
mati (Taylor & Bogdan, 1993). Artinya, jalannya penelitian dapat berubah sesuai dengan
kebutuhan, situasi lapangan, serta hipotesis-hipotesis baru yang muncul selama
berlangsungnya penelitian tersebut.
Dengan metode ini, data penelitian yang dihasilkan adalah data yang memang sesuai
dengan keadaan di lapangan tanpa ada kontrol dari peneliti. Peneliti hanya menafsirkan data
yang berkenaan dengan fakta dan keadaan yang terjadi saat penelitian berlangsung dan
menyajikan dengan apa adanya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
110
1.3.1 SUMBER DATA
Sumber data penelitian ini adalah berita yang diambil dari media online kompas.com,
tempo.co dan okezone.com, mengenai issu ‘Petugas partai’ setelah pidato penutupan Kongres
IV PDI Perjuangan tanggal 11 April 2015.
1.3.2 METODE PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA
Data dikumpulkan dari media online yang berhubungan dengan issu ‘Petugas Partai’
seusai penutupan Kongres PDI Perjuangan tanggal 11 April 2015. Data yang dikumpulkan
sebanyak 3 (tiga) data berita yang berasal masing-masing media online, yaitu, kompas.com,
tempo.co dan okezone.com. Selanjutnya data diklasifikasi berdasarkan Prinsip Piramida
Terbalik dari mulai head, lead, body dan ending. Kemudian, data dianalisa dengan
menggunakan teori Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough (1995) untuk mengungkap
representasi media online terhadap Megawati Sukarnoputri dalam isu ‘Petugas Partai’.
2. LANDASAN TEORI
2.1 Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough
Norman Fairclough (1941) dikenal dengan pemikirannya tentang analisis wacana
kritis. Dalam bukunya Critical Discourse Analysis (1995) ia mengemukakan konsep yang ia
bentuk menitikberatkan pada tiga level, pertama, setiap teks secara bersamaan memiliki tiga
fungsi, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan cara-cara
yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk teks.
Kedua, praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal
ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja wartawan
dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput
berita, menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media.
Ketiga, praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya
berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan
nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya. Pembahasan
praktik sosial budaya meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
111
dan konteks situasinya Tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh institusi secara
internal maupun eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti
sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan.
Fairclough sebenarnya bukanlah akademisi ilmu komunikasi. Dia meminati masalah
kajian kritis wacana dalam teks berita dimulai sejak tahun 1980-an. Dia melihat bagaimana
penempatan dan fungsi bahasa dalam hubungan sosial khususnya dalam kekuatan dominan
dan ideologi. Faiclough berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa
menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-
masing. Konsep ini mengasumsikan dengan melihat praktik wacana bias jadi menampilkan
efek sebuah kepercayaan (ideologis) artinya wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan
yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan
minoritas dimana perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik sosial. Analisis Wacana
melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam
analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling berkaitan antara peristiwa
yang bersifat melepaskan diri dari dari sebuah realitas, dan struktur sosial.
Dalam memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya.
Untuk menemukan ‘realitas’ di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi
teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks.
Dikarenakan dalam sebuah teks tidak lepas akan kepentingan yang yang bersifat subjektif.
Didalam sebuah teks juga dibutuhkan penekanannya pada makna (Meaning) (lebih
jauh dari interpretasi dengan kemampuan integratif, yaitu inderawi, daya piker dan akal budi).
Arttunya, setelah kita mendapat sebuah teks yang telah ada dan kita juga telah mendapat
sebuah gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah, maka kita
langkah selanjutnya adalah kita memadukann kedua hal tersebut menjadi kesatuan yaitu
dengan adanya teks tersebut kita memakai sebuah teori untuk membedahnya.
Kemudian Norman Fairclough (1995) mengklasifikasikan sebuah makna dalam
analisis wacana sebagai berikut:
a) Translation (mengemukakan subtansi yang sama dengan media). Artinya, pada
dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
112
pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil
sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan
pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Sedangkan
sebagai seorang peneliti memulainya dengan membuat sampel yang sistematis dari isi
media dalam berbagai kategori berdasarkan tujuan penelitian.
b) Interpreatation (berpegang pada materi yang ada, dicari latarbelakang, konteks agar
dapat dikemukakan konsep yang lebih jelas).
Artinya, Kita konsen terhadap satu pokok permasalahan supaya dalam menafsirkan
sebuah teks tersebut kita bisa mendapat latar belakang dari masalah tersebut sehingga
kemudian kita bisa menentukan sebuah konsep rumusan masalah untuk membedah masalah
tersebut.
a) Ekstrapolasi (menekankan pada daya pikir untuk menangkap hal dibalik yang
tersajikan).
Artinya, kita harus memakai sebuah teori untuk bisa menganalisis masalah tersebut,
karena degnan teori tersebut kita bisa dengan mudah menentukan isi dari teks yang ada.
b) Meaning (lebih jauh dari interpretasi dengan kemampuan integrative, yaitu inderawi,
daya piker dan akal budi).
Artinya, Setelah kita mendapat sebuah teks yang telah ada dan kita juga telah
mendapat sebuah gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah,
maka kita langkah selanjutnya adalah kita memadukann kedua hal tersebut menjadi kesatuan
yaitu dengan adanya teks tersebut kita memakai sebuah teori untuk membedahnya.
Dan menurutnya dalam analisis wacana fairclough juga memberikan tingkatan
analisis, sebagai berikut.
a) Analisis Mikrostruktur (Proses produksi): menganalisis teks dengan cermat dan
focus supaya dapat memperoleh data yang dapat menggambarkan representasi teks.
Dan juga secara detail aspek yang dikejar dalam tingkat analisis ini adalah garis besar
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
113
atau isi teks, lokasi, sikap dan tindakan tokoh tersebut dan seterusnya. Adapun bentuk
analisisnya sebagai berikut.
1. Morfologi
a. Pasifasi
Pasifasi dalam teks memiliki dampak kepada pengabaian
pelaku. Pada kalimat aktif, yang ditekankan adalah pelaku dari
suatu kegiatan. Dalam kalimat pasif, yang ditekankan adalah
sasaran/korban dari suatu kegiatan, sedangkan pelaku tidak lagi
menjad fokus utama.
Penambahan anak kalimat dalam suatu kalimat dapat berdampak
pada penggantian aktor pelaku yang sekaligus menghilangkan
pelaku suatu kegiatan tersebut yang seharusnya bertanggung
jawab atas peristwa tersebut. Penambahan anak kalimat juga
digunakan sebagai penegas pembenaran atas tidakan yang
dilakukan oleh aktor pelaku.
Pasifasi dalam teks juga memiliki dampak kepada penghilangan
pelaku. Pada kalimat aktif, pelaku yang bertanggung jawab atas
suatu kegiatan wajib dihadirkan, tetapi dalam kalimat pasif,
pelaku justu dihilangkan (seakan-akan dilindungi) dan yang
dihadirkan hanyalah korban.
2. Nominalisi
Nominalisasi dalam teks juga memiliki dampak kepada
penghilangan pelaku/korban. Nominalisasi ini pada dasarnya
mengubah kata kerja yang terdapat dalam suatu teks menjadi kata
benda. Dengan strategi nominalisasi, baik pelaku maupun korban
dalam suatu kegiatan tidak lagi fokus perhatian pembaca.
Penggunaan kata penghubung dalam suatu wacana dapat
mengarahkan hubungan/pandangan yang ingin dibangun oleh
media untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Penggunaan
kata penghubung yang berbeda, dapat membawa dampak yang
berbeda pula terhadap pemaknaan suatu teks.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
114
Penggunaan kata penghubung dalam suatu wacana digunakan
media untuk mengontraskan anktor-aktor yang terlibat dalam
pemberitaan yang diturunkan. Pengontrasan ini juga dapat
menjadi penanda bagaimana suatu kelompok atau peristiwa
direpresentasikan dalam teks.
3. Kata Ganti
Penggunaan kata ganti merupakan elemen untuk memenipulasi
bahasa den menciptakan suatu komunitas yang imajinatif. Hal ini
digunakan untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam
sebuah wacana, apakah memosisiskan diri sebagai sikap pribadi
atau memosisikan diri sebagai sikap bersama.
4. Tema Rema (Pemfokusan pihak tertentu)
Tema-rema adalah salah satu strategi dalam penempatan suatu
hal tertentu yang diinginkan media menjadi fokus perhatian.
Proposisi mana yang ditempatkan di awal dan proposisi mana
yang ditempatkan di akhir ternyata mampu memengaruhi makna
yang timbul di benak pembaca.
5. Diksi
Penggunaan suatu kosakata tertentu haruslah dipahami bahwa
kata tersebut merupakan representasi pertarungan wacana dan
pembatasan pandangan. Suatu berita tertentu yang melibatkan
dua pihak yang berbeda dapat menghasilkan versi yang berbeda
pula.
Penggunaan suatu diksi tertentu dapat berdampak pada apakah
suatu peristiwa menampilkan aktor sosial dngan petunjuk yang
konkret ataukah ditampilkan secara absrak
Pada level diksi diungkapkan bagaimana peristiwa dan aktor
dalam peristiwa itu dibahasakan. Di dalamnya tidak semata-mata
menghadirkan suatu kata tertentu, tetapi ada ideologi yang
menyelimuti pilihan kata yang dihadirkan oleh media.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
115
b) Analisis Mesostruktur (Proses interpretasi): terfokus pada dua aspek yaitu produksi
teks dan konsumsi teks.
a) Analisis Makrostruktur (Proses wacana) terfokus pada fenomena dimana teks dibuat.
Dengan demikian, untuk memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan
dari konteksnya. Untuk menemukan ‘realitas’ di balik teks, kita memerlukan penelusuran atas
konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi
pembuatan teks.
2.2 Piramida Terbalik ( Inverted Pyramid )
Piramida terbalik ditemukan oleh Associated Press (1865) dan menjadi pola news
writing yang sampai sekarang dipakai sebagai salah satu acuan struktur penulisan berita.
Piramida terbalik merupakan sebuah struktur penulisan atau bentuk penyajian sebuah tulisan
yang umum dilakukan seorang wartawan. Kenapa harus menggunakan metode Piramida
Terbalik, tentu maksudnya adalah agar pembacara dapat segera mengetahui inti dari berita
yang ingin diketahuinya. Apalagi disaat seperti sekarang yang serba cepat. Berita online
misalkan, sebaiknya dalam menyampaikan berita langsung ke pokok beritanya. Informasi-
informasi penting (inti) disajikan di awal paragraf, selanjutnya informasi pendukung
mengikuti paragraf berikutnya.
Bagi pembaca sebuah artikel, piramida terbalik memudahkannya menangkap inti
cerita, sebab informasi yang paling pokok langsung dibeberkan sejak alinea-alinea awal.
Bagi wartawan maupun redaktur, akan memudahkan dalam penulisan dan editing
berita, karena mereka lebih fokus pada pokok pikiran berita yang mereka tuliskan. Sedangkan
redaktur pun akan sangat mudah dalam menyunting ataupun memotong berita, tinggal
menghapus paragraf-paragraf akhir yang dianggap tidak terlalu penting. Sedangkan bagi
media dengan penulisan Piramida Terbalik ini, akan menghemat space halaman.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
116
1. Dimulai dari hal-hal yang paling penting.
2. Makin ke bawah semakin kurang penting (bukan berarti tidak penting).
3. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada pembaca untuk langsung
ke inti berita.
a) Head ( Judul )
Judul berita merupakan bagian terpenting dari berita. Hal ini karena sebelum masuk
pada isi berita, pembaca akan melihat judul berita terlebih dahulu. Judul berita juga berperan
untuk menarik pembaca pada isi beritanya. oleh karena itu penulisan judul menggunakan font
yang lebih besar dan bercetak tebal agar mudah dikenali pembaca dan dapat menonjolkan isi
berita. Judul yang baik memiliki syarat-syarat tertentu, diantaranya :
Singkat
Padat
Relevan (mencerminkan isi)
Menghindari kalimat tanya
Lazimnya menggunakan unsur what dan who.
b) Lead ( Teras Berita )
Lead atau teras berita adalah bagian yang sangat penting dari berita. Di dalam teras
berita terangkum inti dari keseluruhan isi berita. Setiap lead juga ditulis untuk menarik
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
117
pembaca melihat lebih lanjut isi berita. Lead biasanya diawali dengan unsur siapa (who) dan
atau unsur apa (what). Syarat-syarat lead :
Menggunakan kalimat-kalimat yang pendek atau singkat
Mengindahkan bahasa baku
Susunan kalimatnya sederhana
Melaksanakan ketentuan satu gagasan dalam satu kalimat
c) Body ( Isi Berita )
Isi berita merupakan kelanjutan isi berita yang dapat memberitahukan secara lebih
rinci tentang keseluruhan peristiwa yang diberitakan. Yang memuat fakta atau informasi
penambah atau pelengkap keterangan. Pada badan berita biasanya memuat unsur bagaimana
(how) dan mengapa (why).
3.1 REPRESENTARI MEDIATERHADAP MEGAWATI SOEKARNO PUTRI
DALAM ISU ‘PETUGAS PARTAI’
3.1 Analisis Struktur Mikro dan Makro
Dalam analisis ini, data dibagi berdasarkan Judul (Title), Lead, Body, dan Ending
sesuai dengan berita yang ada di masing-masing media online. Adapun analisis sebagai
berikut.
1. Analisa Judul.
NO. MEDIA JUDUL
1. KOMPAS Megawati: Kalau Tidak Mau Disebut Petugas Partai,
Keluar!
2. TEMPO Sindir Jokowi, Mega:Tak Mau Disebut Petugas Partai,
Keluar!
3. OKEZONE Megawati Persilakan Kadernya Keluar PDIP
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
118
1) Analisis Mikro Judul Kompas
JUDUL KOMPAS
Megawati: Kalau Tidak Mau Disebut Petugas Partai, Keluar!
a) Jenis Kalimat : Kalimat langsung dan Kalimat imperatif (Perintah)
Kalimat diatas adalah kalimat langsung yang berupa kutipan ucapan seseorang.
Kalimat tersebut masuk kedalam kalimat imperatif atau kalimat perintah, dapat dilihat
dari bentuk verba dan terdapat tanda baca (!).
b) Kata Ganti : Megawati (Individu)
Dalam teks diatas, kata ganti yang digunakan adalah nama indvidu (Megawati), posisi
yang dipakai pembuat teks adalah posisi individu seorang Megawati.
c) Tema Rema : Megawati (Pelaku)
Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan terhadap pelaku, yaitu Megawati sebagai
individu.
d) Diksi :
Megawati (pembatasan pandangan)
Penggunaan kata/nama individu (Megawati) dimaksudkan untuk
pembatasan pandangan yang difokuskan kepada individu
tersebut.
Petugas Partai
Penggunaan diksi “petugas partai” yang memiliki makna
konotasi negatif.
2) Analisis Mikro Judul Tempo
JUDUL TEMPO
Sindir Jokowi, Mega:Tak Mau Disebut Petugas Partai, Keluar!
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
119
a) Jenis Kalimat : Kalimat imperatif (Perintah)
Kalimat diatas adalah kalimat langsung yang berupa kutipan ucapan seseorang.
Kalimat tersebut masuk kedalam kalimat imperatif atau kalimat perintah, dapat dilihat
dari bentuk verba dan terdapat tanda baca (!).
b) Kata Ganti : Jokowi dan Mega (Individu)
Dalam teks diatas, kata ganti yang digunakan adalah nama indvidu (Jokowi dan
Mega), posisi yang dipakai pembuat teks adalah posisi individu seorang Jokowi
Mega.
c) Tema Rema : Jokowi (Korban) dan Megawati (Pelaku)
Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan terhadap korban, yaitu Jokowi sebagai
individu yang secara tidak langsung adalah seorang presiden, dan pelaku adalah
Mega sebagai individu yang secara tidak langsung adalah ketua umum PDI
perjuangan sebagai partai utama pengusung Jokowi sebagai presiden.
d) Diksi :
Sindir Jokowi (Objektif)
Penggunaan diksi diatas menekankan bahwa, korban (Jokowi)
diposisikan sebagai sesuatu yang objektif, lebih kongkret.
Pengguaan diksi diatas juga menggambarkan bahwa ada sesuatu
permasalahan antara korban (Jokowi) dan pelaku (mega)
Petugas Partai
Penggunaan diksi “petugas partai” yang memiliki makna
konotasi negatif, dan jika disematkan kepada korban (Jokowi)
akan lebih bermakna negatif, sebab dalam hal ini posisi Jokowi
secara tidak langsung adalah sebagai seorang Presiden.
3) Analisis Mikro Judul Okezone
JUDUL OKEZONE
Megawati Persilakan Kadernya Keluar PDIP
a) Jenis Kalimat : Kalimat tak langsung dan Kalimat deklaratif (Pernyataan)
Kalimat diatas adalah kalimat tak langsung yang berupa pernyataan dari pembuat
teks. Kalimat tersebut masuk kedalam kalimat deklaratif atau kalimat pernyataan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
120
b) Kata Ganti : Megawati , kadernya dan PDIP (posisi partai)
Dalam teks diatas, kata ganti yang digunakan adalah nama indvidu (Megawati), kata
ganti “kadernya” menunjukan posisis organisasi atau partai, kemudian kata ganti
PDIP menunjukan dengan jelas bahwa posisi yang yang ditekankan diatas adalah
posisi organisasi atau partai. Dengan kata laian posisi individu Megawati diatas
adalah posisi individu Megawati sebagai Ketua umum Partai, dan posisi korban tidak
objektif dan Abstrak.
c) Tema Rema : Megawati (Pelaku), dan Kadernya (Korban)
Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan terhadap pelaku, yaitu Megawati sebagai
ketua umum PDI Perjuangan.
d) Diksi :
Persilahkan (Verba)
Penggunaan diksi diatas menekankan bahwa posisi Megawati
sebagai ketua umum sebagai pimpinan tertinggi partai membuat
pernyataan kepada kadernya.
Penggunaan diksi diatas bermakna positif, terlihat sopan sebagai
ketua umum kepada kadernya, ketika dibandingkan dengan diksi
“perintahkan” yang terkesan otorter. Dalam teks diatas juga tidak
disebutkan dengan istilah “petugai partai”. Terlihat disini
pembuat teks sangat berhati-hati menggambarkan sosok
Megawati sebagai ketua umum PDI Perjuangan.
2. Analisis Lead
Analisis Lead dibawah ini, dibagi menjadi 3 (tiga) berdasarkan media, yaitu, Kompas,
Tempo, dan Okezone. Sebagai berikut.
NO. MEDIA LEAD
1. KOMPAS Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri
meminta semua kadernya yang ada di jajaran eksekutif dan
legislatif untuk menjalankan tugas sesuai dengan garis
perjuangan partai. Instruksi itu diberikan Megawati tanpa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
121
bisa ditawar.
2. TEMPO Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa kader partai
banteng yang duduk di pemerintahan atau menjadi wakil
rakyat adalah petugas partai. Megawati mengancam mereka
akan mengeluarkan dari PDI Perjuangan bila menolak
sebutan itu. “Kalau ada yang tidak mau disebut petugas
partai, keluar!” kata Megawati dalam pidato penutupan
Kongres IV PDI Perjuangan di Sanur, Bali, Sabtu, 11 April
2015.
3. OKEZONE Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) Megawati Soekarnoputri mengatakan, setiap kader
partai harus taat dan tunduk kepada dirinya dan AD/ART
PDIP.
1) Analisis Lead Kompas
LEAD KOMPAS
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri meminta semua kadernya yang ada di
jajaran eksekutif dan legislatif untuk menjalankan tugas sesuai dengan garis perjuangan partai.
Instruksi itu diberikan Megawati tanpa bisa ditawar.
a) Jenis Kalimat : Kalimat tak langsung dan Kalimat deklaratif (Pernyataan)
Kalimat diatas adalah kalimat tak langsung yang berupa pernyataan dari pembuat
teks. Kalimat tersebut masuk kedalam kalimat deklaratif atau kalimat pernyataan.
b) Kata Ganti : Ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri, Kadernya
yang ada di jajaran eksekutif dan legislatif
Kata ganti yang digunakan dalam lead diatas adalah Ketua umum DPP PDI
Perjuangan Megawati Sukarnoputri sebagai posisi ketua umum partai, dan Kadernya
yang ada di jajaran eksekutif dan legislatif sebagai sikap bersama dalam konteks
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
122
organisasi atau partai, dan kata ganti eksekutif dan legeslatif lebih menegaskan teks
tersebut adalah teks politik. .
c) Tema Rema : Ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri (Pelaku),
dan Kadernya yang ada di jajaran eksekutif dan legislatif (Korban).
Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan terhadap pelaku, yaitu Megawati sebagai
ketua umum PDI Perjuangan.
d) Anak Kalimat : Instruksi itu diberikan Megawati tanpa bisa ditawar.
Anak kalimat diatas berfungsi sebagai penegasan posisi kekuasaan ketua umum.
e) Diksi :
Meminta (Verba)
Penggunaan diksi diatas yang berupa kategorisasi predikat yang
menekankan bahwa posisi Megawati sebagai ketua umum
sebagai pimpinan tertinggi partai membuat pernyataan kepada
kadernya.
Terlihat disini pembuat teks ingin menunjukan sikap yang
menggambarkan posisi kekuasaan sosok Megawati sebagai ketua
umum PDI Perjuangan.
2) Analisis Lead Tempo
LEAD TEMPO
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa
kader partai banteng yang duduk di pemerintahan atau menjadi wakil rakyat adalah petugas partai.
Megawati mengancam mereka akan mengeluarkan dari PDI Perjuangan bila menolak sebutan itu.
“Kalau ada yang tidak mau disebut petugas partai, keluar!” kata Megawati dalam pidato penutupan
Kongres IV PDI Perjuangan di Sanur, Bali, Sabtu, 11 April 2015
a) Jenis Kalimat : Kalimat tak langsung, kalimat langsung, kalimat deklaratif
(Pernyataan) dan kalimat imperatif (perintah)
Kalimat diatas adalah gabungan antara kalimat tak langsung yang berupa pernyataan
dari pembuat teks dan kalimat langsung berupa kutipan pidato.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
123
b) Kata Ganti :
Ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri.
Kader partai banteng
pemerintahan dan wakil rakyat
Kata ganti yang digunakan dalam lead diatas adalah Ketua umum DPP PDI
Perjuangan Megawati Sukarnoputri sebagai posisi ketua umum partai, dan Kader
partai banteng dan kata ganti pemerintah dan wakil rakyat sebagai sikap bersama
dalam konteks organisasi atau partai.
c) Tema Rema: Ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri (Pelaku),
dan Kader partai banteng(Korban).
Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan terhadap pelaku, yaitu Megawati sebagai
ketua umum PDI Perjuangan.
d) Anak Kalimat: Megawati mengancam mereka akan mengeluarkan dari PDI
Perjuangan bila menolak sebutan itu.
Anak kalimat diatas berfungsi sebagai penegasan posisi kekuasaan ketua umum, yang
diikuti oleh kalimat langsung berupa kutipan pidato yang menegaskan pernyataan
pembuat teks.
e) Diksi :
Menegaskan (Verba)
Penggunaan diksi diatas yang berupa kategorisasi predikat yang
menekankan bahwa posisi Megawati sebagai ketua umum
sebagai pimpinan tertinggi partai membuat pernyataan kepada
kadernya.
Terlihat disini pembuat teks ingin menunjukan sikap yang
menggambarkan posisi kekuasaan sosok Megawati sebagai ketua
umum PDI Perjuangan terhadap kadernya.
Pemerintah dan wakil rakyat
Diksi diatas digunakan sebagai kategorisasi objek sebagai bahasa
umum.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
124
3) Analisis Lead Tempo
LEAD OKEZONE
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengatakan,
setiap kader partai harus taat dan tunduk kepada dirinya dan AD/ART PDIP.
Terlebih, para kader yang menjadi anggota DPR, DPRD haruslah taat kepada konstitusi partai.
Sebab, mereka adalah kepanjangan partai yang fungsinya mengawal semua kebijakan dan memberi
masukan agar pemerintah bekerja sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU).
a) Jenis Kalimat : Kalimat tak langsung dan kalimat deklaratif (Pernyataan)
Kalimat diatas adalah kalimat tak langsung yang berupa pernyataan dari pembuat
teks. Kalimat tersebut masuk kedalam kalimat deklaratif atau kalimat pernyataan.
b) Kata Ganti :
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Megawati Soekarnoputri
Kader partai
DPR dan DPRD
Kata ganti yang digunakan dalam lead diatas adalah Ketua umum PDI Perjuangan
Megawati Sukarnoputri sebagai posisi ketua umum partai, dan Kader partai dan kata
ganti DPR dan DPRD sebagai sikap bersama dalam konteks organisasi atau partai.
c) Tema Rema : Ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri (Pelaku),
dan Kader partai (Korban).
Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan terhadap pelaku, yaitu Megawati sebagai
ketua umum PDI Perjuangan.
d) Anak Kalimat : Terlebih, para kader yang menjadi anggota DPR, DPRD haruslah taat
kepada konstitusi partai. Sebab, mereka adalah kepanjangan partai yang fungsinya
mengawal semua kebijakan dan memberi masukan agar pemerintah bekerja
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU).
Anak kalimat diatas berfungsi sebagai penjelas kalimat utama.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
125
e) Konjungsi : Sebab, mereka adalah kepanjangan partai yang fungsinya mengawal
semua kebijakan dan memberi masukan agar pemerintah bekerja sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang (UU).
Konjungsi “sebab” diatas jelas menggambarkan hubungan sebab-akibat yang harus
dilakukan oleh kader partai.
f) Diksi :
Mengatakan (Verba)
Penggunaan diksi diatas yang berupa kategorisasi predikat yang
menekankan bahwa posisi Megawati sebagai ketua umum
sebagai pimpinan tertinggi partai mengatakan kadernya harus taat
kepada ketua umum dan AD/ART partai .
Terlihat disini pembuat teks ingin menunjukan sikap yang
menggambarkan organisasi yang sehat berdasarkan AD/ART
didalam PDI P.
DPR dan DPRD
Diksi diatas digunakan sebagai kategorisasi objek sebagai bahasa
yang lebih bersifat instansi dan konstitusi, dari teks diatas lebih
menekankan kepada kader legeslatif, sedangkan eksekutif benar-
benar dihilangkan dari konteks.
3. Analisis Body
NO. MEDIA BODY
1. KOMPAS "Sebagai kepanjangan tangan partai, kalian adalah petugas
partai. Kalau enggak mau disebut petugas partai, keluar!"
kata Megawati dalam pidato penutupan Kongres IV PDI-P,
di Sanur, Bali, Sabtu (11/4/2015).
Menurut Megawati, kader partai yang berkecimpung di
eksekutif dan legislatif memiliki kewajiban untuk
menjalankan instruksi partai.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
126
Ia menyatakan, hal itu merujuk pada UU Partai Politik.
Meski demikian, Megawati mengingatkan agar semua
kebijakan yang diputuskan harus berpihak pada kepentingan
rakyat.
2. TEMPO Megawati mengatakan, para kader berkewajiban
menjalankan perintah partai. “Sebagai perpanjangan partai,
wajib dan sudah seharusnya menjalankan instruksi partai,”
ujarnya. Menurut Megawati, sebutan petugas partai juga
berlaku baginya. Dalam hal ini, dia telah dipilih oleh peserta
kongres untuk memimpin PDIP selama lima tahun ke depan.
Sebutan petugas partai disematkan Megawati kepada
Presiden Joko Widodo menjelang pemilihan presiden pada
tahun lalu. Sebab itu, kata Megawati, Jokowi sebagai kader
PDIP mesti mengikuti perintah partai. Ucapan itu sempat
menjadi bahan olok-olok oleh netizen di media sosial
Twitter dan Facebook.
Rupanya, cemoohan itu tak mengubah sikap Megawati.
Pernyataan ini kembali diutarakan Megawati dalam
pembukaan Kongres pada Kamis lalu. Megawati
mengingatkan Jokowi agar tunduk pada instruksi PDIP
karena berkat dukungan partai pengusung dia terpilih
menjadi presiden.
Hubungan Megawati dengan Jokowi dikabarkan tak mulus
belakangan ini. Jokowi menolak melantik calon Kepala Polri
pilihan PDIP, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, meski
Kepala Lembaga Pendidikan Polri itu memenangi
praperadilan penetapan tersangkanya oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi. Sejumlah kader PDIP kemudian
menyerang Jokowi dan orang-orang dekatnya perihal
penarikan Budi Gunawan dan kenaikan harga bahan bakar
minyak.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
127
3. OKEZONE "Kepada kader yang ditugaskan di DPR, anggota Fraksi
PDIP, yang ditugaskan di pemerintah pusat, pemerintah
daerah tingkat I dan II adalah berfungsi sebagai
perpanjangan tangan partai (yang mengawal jalannya
pemerintah)," ujar Megawati di hotel Inna Grand Bali
Beach, Sanur, Denpasar, Bali, Sabtu (11/4/2015).
1) Analisis Body Kompas
BODY KOMPAS
"Sebagai kepanjangan tangan partai, kalian adalah petugas partai. Kalau enggak mau disebut petugas
partai, keluar!" kata Megawati dalam pidato penutupan Kongres IV PDI-P, di Sanur, Bali, Sabtu
(11/4/2015).
Menurut Megawati, kader partai yang berkecimpung di eksekutif dan legislatif memiliki kewajiban
untuk menjalankan instruksi partai.
Ia menyatakan, hal itu merujuk pada UU Partai Politik. Meski demikian, Megawati mengingatkan
agar semua kebijakan yang diputuskan harus berpihak pada kepentingan rakyat.
a) Jenis Kalimat : Diawali dengan kalimat langsung berupa kutipan, yang selanjutnya
diteruskan dengan kalimat pernyataan. .
b) Kata Ganti :
Megawati
Kader partai
Eksekutif dan Legeslatif
Kata ganti yang digunakan dalam body diatas masih konsisten sesuai dengan lead dan
judul diatas, namun kata ganti megawati di bagian body ini lebih bersifat individu
dibandingkan dengan yang ada didalam lead dan judul.
c) Tema Rema : Megawati
Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan masih terhadap pelaku, yaitu Megawati.
d) Konjungsi : Ia menyatakan, hal itu merujuk pada UU Partai Politik. Meski demikian,
Megawati mengingatkan agar semua kebijakan yang diputuskan harus berpihak pada
kepentingan rakyat.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
128
Konjungsi diatas jelas memperlihatkan kontras antara pernyataan sebelum dan
sesudah konjungsi. Terlihat diatas, pembuat teks tidak saja menampilkan sosok mega
wati dari sudut pandang organisasi dan partai, tetapi juga sudut pandang negarawan
yang mengutamakan kepentingan rakyat. Namun sayangnya hal tersebut ditulis
dibagian body, sehingga berita tersebut tidak menjadi fokus utama atau tidak begitu
penting.
e) Diksi :
UU Partai politik
Penggunaan diksi diatas menunjukan bahwa konteks yang
dibangun adalah kontek politik.
Berpihak pada kepentingan rakyat.
Diksi diatas digunakan terlihat kontras dengan kalimat-kalimat
sebelumnya, pembuat teks ingin menunjukan sikap berimbang
menyoroti sosok ketua umum PDI P Megawati.
2) Analisis Body Tempo
BODY TEMPO
Megawati mengatakan, para kader berkewajiban menjalankan perintah partai. “Sebagai
perpanjangan partai, wajib dan sudah seharusnya menjalankan instruksi partai,” ujarnya. Menurut
Megawati, sebutan petugas partai juga berlaku baginya. Dalam hal ini, dia telah dipilih oleh peserta
kongres untuk memimpin PDIP selama lima tahun ke depan.
Sebutan petugas partai disematkan Megawati kepada Presiden Joko Widodo menjelang pemilihan
presiden pada tahun lalu. Sebab itu, kata Megawati, Jokowi sebagai kader PDIP mesti mengikuti
perintah partai. Ucapan itu sempat menjadi bahan olok-olok oleh netizen di media sosial Twitter
dan Facebook.
Rupanya, cemoohan itu tak mengubah sikap Megawati. Pernyataan ini kembali diutarakan
Megawati dalam pembukaan Kongres pada Kamis lalu. Megawati mengingatkan Jokowi agar
tunduk pada instruksi PDIP karena berkat dukungan partai pengusung dia terpilih menjadi presiden.
Hubungan Megawati dengan Jokowi dikabarkan tak mulus belakangan ini. Jokowi menolak
melantik calon Kepala Polri pilihan PDIP, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, meski Kepala
Lembaga Pendidikan Polri itu memenangi praperadilanpenetapan tersangkanya oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi. Sejumlah kader PDIP kemudian menyerang Jokowi dan orang-orang
dekatnya perihal penarikan Budi Gunawan dan kenaikan harga bahan bakar minyak.
a) Jenis Kalimat : Diawali dengan kalimat langsung berupa kutipan, yang selanjutnya
diteruskan dengan kalimat pernyataan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
129
Kalimat-kalimat dalam paragraf-paragraf diatas berisi tentang bagaimana unsur
intertekstualitas digambarkan, wacana-wacana sebelumnya yang menyangkut dengan
hubungan antara Megawati dan Jokowi di angkat kembali.
b) Kata Ganti :
Megawati
Presiden Joko Widodo
Budi Gunawan
Netizen
Kata ganti diatas merujuk kepada konteks yang lebih luas, dan untuk kata ganti
jokowi pada lead, didalam body ini terlihat lebih kongkret dan jelas menjadi Presiden
Joko Widodo. Kata ganti Netizen bersifat tidak objektif dan Abstrak.
c) Tema Rema : Megawati
Dalam bagian body diatas, fokus utama masih di Megawati sebagai ketua umum
partai, yang digambarkan sebagai seorang yang bersalah.
d) Diksi :
Diksi diatas menggunakan diksi yang menggambarkan wacana-wacana sebelumnya,
atau intertekstualitas, yang menunjukan hubungan tidak harmonis antara Megawati
dan Jokowi.
3) Analisis Body Okezone
BODY OKEZONE
"Kepada kader yang ditugaskan di DPR, anggota Fraksi PDIP, yang ditugaskan di pemerintah
pusat, pemerintah daerah tingkat I dan II adalah berfungsi sebagai perpanjangan tangan partai (yang
mengawal jalannya pemerintah)," ujar Megawati di hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, Denpasar,
Bali, Sabtu (11/4/2015).
a) Jenis Kalimat : Diawali dengan kalimat langsung berupa kutipan, yang selanjutnya
diteruskan dengan kalimat pernyataan.
b) Kata Ganti :
Megawati
DPR
Fraksi PDI P
Pemerintah daerah tingkat I dan II
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
130
Kata ganti diatas menggunakan kata-kata yang bersifat kanstitusional.
c) Tema Rema : Kader PDI P
Dalam teks diatas, fokus utama pada bagian body ini adalah kepada korban (kader
PDI P) yang berisi tentang apa yang harus dilakukan kader PDI P.
d) Diksi :
Diksi yang digunakan diatas digambarkan dengan kata-kata yang bersifat
konstitusional.
4. Analisa Ending
NO. MEDIA ENDING
1. KOMPAS Rakyat, kata Megawati, merupakan elemen penting yang
menjadi sumber dan tujuan kerja ideologi. "Wajib dan sudah
seharusnya menjalankan instruksi partai, ya begitu," ujarnya.
2. TEMPO Menurut Deputi IV Bidang Komunikasi Politik Kantor Staf
Presiden, Eko Sulistyo, Istana siap memperbaiki pola
hubungan dengan partai pendukung. Eko menjanjikan
komunikasi akan dijalin lebih intensif. “Ini akan menjadi
perhatian pemerintah,” katanya.
Peneliti Center for Strategic and International Studies,
Philips J. Vermonte, tak setuju bila Jokowi disebut sebagai
petugas partai. Dalam sistem presidensial, kata dia,
kekuasaan ada di tangan presiden. Kekuasaan ini jauh di atas
partai. “Jadi saat Jokowi terpilih, ia berdiri di atas semua
golongan,” ujarnya. “Dia bukan petugas partai lagi.”
3. OKEZONE Selain itu, Megawati juga menegaskan, ke seluruh kader
PDIP untuk tidak marah, apabila dikatakan sebagai petugas
partai. Sebab, memang kenyataanya para kader adalah
petugas partai, di mana telah diamanatkan partai untuk
membuat Indonesia lebih baik dan lebih maju.
"Ingat kalian adalah petugas partai, perpanjangan tangan
partai, kalau tidak ada yang tidak mau disebut petugas
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
131
partai, keluar saja. Wajib dan sudah seharusnya jalankan
instruksi partai," tegasnya.
1) Analisis Ending Kompas
ENDING KOMPAS
Rakyat, kata Megawati, merupakan elemen penting yang menjadi sumber dan tujuan kerja ideologi.
"Wajib dan sudah seharusnya menjalankan instruksi partai, ya begitu," ujarnya.
a) Jenis Kalimat : Diawali dengan kalimat langsung berupa kutipan, yang selanjutnya
diteruskan dengan kalimat pernyataan.
b) Kata Ganti :
Rakyat
Megawati
Kata ganti diatas menggunakan kata-kata yang bersifat kanstitusional.
c) Tema Rema : Rakyat
Dalam teks diatas, fokus utama pada bagian ending ini adalah kepada rakyat
d) Diksi :
Diksi yang digunakan diatas lebih menjelaskan rakyat sebagai interprestasi ideologi
partai.
2) Analisis Ending Tempo
ENDING TEMPO
Menurut Deputi IV Bidang Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo, Istana siap
memperbaiki pola hubungan dengan partai pendukung. Eko menjanjikan komunikasi akan dijalin
lebih intensif. “Ini akan menjadi perhatian pemerintah,” katanya.
Peneliti Center for Strategic and International Studies, Philips J. Vermonte, tak setuju bila Jokowi
disebut sebagai petugas partai. Dalam sistem presidensial, kata dia, kekuasaan ada di tangan
presiden. Kekuasaan ini jauh di atas partai. “Jadi saat Jokowi terpilih, ia berdiri di atas semua
golongan,” ujarnya. “Dia bukan petugas partai lagi.”
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
132
a) Jenis Kalimat : lebih fokus kepada kalimat langsung berupa kutipan dari tokoh.
b) Kata Ganti :
Deputi IV Bidang Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden, Eko
Sulistyo
Peneliti Center for Strategic and International Studies, Philips J.
Vermonte.
Kata ganti diatas menggambarkan pendapat sebagian tokoh termasuk peneliti.
c) Tema Rema : fokus terhadap tendapat tokoh istana dan peneliti.
Dalam teks diatas fokus menitik beratkan kepada pendapat tokoh istana dan peneliti.
d) Diksi :
Diksi yang digunakan diatas lebih banyak menggunakan kutipan dan pendapat
langsung dari tokoh istana dan peneliti, yang dimaksudkan untuk mempertegas
permasalahan diatas, dan membuat terlihat berimbang.
3) Analisis Ending Okezone
ENDING OKEZONE
Selain itu, Megawati juga menegaskan, ke seluruh kader PDIP untuk tidak marah, apabila dikatakan
sebagai petugas partai. Sebab, memang kenyataanya para kader adalah petugas partai, di mana telah
diamanatkan partai untuk membuat Indonesia lebih baik dan lebih maju.
"Ingat kalian adalah petugas partai, perpanjangan tangan partai, kalau tidak ada yang tidak mau
disebut petugas partai, keluar saja. Wajib dan sudah seharusnya jalankan instruksi partai," tegasnya.
a) Jenis Kalimat : Kalimat pernyataan dan kalimat langsung berupa kutipan.
b) Kata Ganti :
Megawati
Kata ganti diatas masih menggnakan Megawati sebagai individu.
c) Tema Rema : Megawati
Dalam teks diatas, fokus utama pada bagian ending ini adalah sikap Megawati
terhadap sebutan “Petugas Partai”
d) Diksi :
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
133
Megawati juga menegaskan, ke seluruh kader PDIP untuk tidak
marah, apabila dikatakan sebagai petugas partai
Diksi yang digunakan diatas lebih menjelaskan sebutan “Petugas Partai” kepada
kadernya dengan makna yang positif. Menggambarkan Megawati sebagai Ketua
Umum Partai yang santun dalam berbahasa.
4. SIMPULAN
Dari hasil pembahasan analisis struktur mikro diatas tentang representasi media
online terhadap Megawati Sukarnoputri dalam issu “Petugas Partai” pada pidato penutupan
Kongres IV PDI Perjuangan adalah sebagai berikut.
1. Media online kompas.com memfokuskan pembahasan pada kekuasaaan Megawati
Sukarnoputri sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan. Pilihan-pilahan kata yang
digunakan lebih bersifat politis, seperti kata Eksekutif dan Legeslatif. Issu “Petugas
Partai” ditujukan untuk kadernya yang ada dijajaran Ekskutif dan Legeslatif yang
besifat Abstrak dan tidak objektif kepada satu individu tertentu.
2. Media online tempo.co terlihat lebih kritis, memfokuskan pembahasan pada
kekuasaaan dan pengaruh Megawati Sukarnoputri sebagai Ketua Umum PDI
Perjuangan terhadap Presiden Jokowi. Issu “Petugas Partai” digambarkan objektif
dan ditujukan kepada Presiden Jokowi. Berita di dalam media ini terlihat lebih
terperinci karena mengangkat wacana-wacana sebelumnya yang terkait dengan issu
“Petugas Partai” dan mencantumkan pendapat beberapa tokoh khususnya peneliti
yang menguatkan bahwa issu tersebut memang disematkan oleh Megawati kepada
Presiden Jokowi.
3. Media online okezone.com memfokuskan pembahasan pada sosok Megawati
Sukarnoputri sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan sebagai organisatoris dan
pemimpin partai yang baik dan positif. Pilihan-pilahan kata yang digunakan dapat
dikategorikan kedalam bahasa yang sopan dan lebih bersifat konstitusional dan
organisatoris. Issu ‘Petugas Partai’ disebutkan diakhir berita, dengan mengguakan
pilihan kata yang bermakna positif dan menggambarkan Megawati sebagai Ketua
Umum Partai yang santun dalam berbahasa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
134
Daftar Pustaka
Bogdan, R. dan Taylor, S.J. 1993. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Terj. A. Khozin Afandi.
Surabaya: Usaha Nasional.
Fairclough, Norman, 1995. Critical Discourse Analysis. New York: Longman Publishing.
http://nasional.kompas.com/read/2015/04/11/16335651/Megawati.Kalau.Tidak.Mau.Disebut.
Petugas.Partai.Keluar. [16/05/2015]
http://www.tempo.co/read/news/2015/04/11/078657070/Sindir-Jokowi-MegaTak-Mau-
Disebut-Petugas-Partai-Keluar. [16/05/2015]
http://news.okezone.com/read/2015/04/12/337/1132756/megawati-persilakan-kadernya-
keluar-pdip. [16/05/2015]
Patton, M. Q. (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods. USA: SAGE
Publication.
LAMPIRAN
1. Kompas.com
Megawati: Kalau Tidak Mau Disebut Petugas Partai, Keluar!
Sabtu, 11 April 2015 | 16:33 WIB
SANUR, KOMPAS.com — Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati
Soekarnoputri meminta semua kadernya yang ada di jajaran eksekutif dan legislatif
untuk menjalankan tugas sesuai dengan garis perjuangan partai. Instruksi itu
diberikan Megawati tanpa bisa ditawar.
"Sebagai kepanjangan tangan partai, kalian adalah petugas partai. Kalau
enggak mau disebut petugas partai, keluar!" kata Megawati dalam pidato penutupan
Kongres IV PDI-P, di Sanur, Bali, Sabtu (11/4/2015).
Menurut Megawati, kader partai yang berkecimpung di eksekutif dan
legislatif memiliki kewajiban untuk menjalankan instruksi partai.
Ia menyatakan, hal itu merujuk pada UU Partai Politik. Meski demikian,
Megawati mengingatkan agar semua kebijakan yang diputuskan harus berpihak pada
kepentingan rakyat.
Rakyat, kata Megawati, merupakan elemen penting yang menjadi sumber dan
tujuan kerja ideologi. "Wajib dan sudah seharusnya menjalankan instruksi partai, ya
begitu," ujarnya.
Penulis : Indra Akuntono
Editor : Desy Afrianti
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
135
Sumber:
http://nasional.kompas.com/read/2015/04/11/16335651/Megawati.Kalau.Tidak.Mau.
Disebut.Petugas.Partai.Keluar.
2. Tempo.co
Sindir Jokowi, Mega:Tak Mau Disebut Petugas Partai, Keluar!
TEMPO.CO,Sanur - Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati
Soekarnoputri menegaskan bahwa kader partai banteng yang duduk di pemerintahan atau
menjadi wakil rakyat adalah petugas partai. Megawati mengancam mereka akan
mengeluarkan dari PDI Perjuangan bila menolak sebutan itu. “Kalau ada yang tidak mau
disebut petugas partai, keluar!” kata Megawati dalam pidato penutupan Kongres IV PDI
Perjuangan di Sanur, Bali, Sabtu, 11 April 2015.
Megawati mengatakan, para kader berkewajiban menjalankan perintah partai.
“Sebagai perpanjangan partai, wajib dan sudah seharusnya menjalankan instruksi partai,”
ujarnya. Menurut Megawati, sebutan petugas partai juga berlaku baginya. Dalam hal ini,
dia telah dipilih oleh peserta kongres untuk memimpin PDIP selama lima tahun ke depan.
Sebutan petugas partai disematkan Megawati kepada Presiden Joko Widodo menjelang
pemilihan presiden pada tahun lalu. Sebab itu, kata Megawati, Jokowi sebagai kader
PDIP mesti mengikuti perintah partai. Ucapan itu sempat menjadi bahan olok-olok oleh
netizen di media sosial Twitter dan Facebook.
Rupanya, cemoohan itu tak mengubah sikap Megawati. Pernyataan ini kembali
diutarakan Megawati dalam pembukaan Kongres pada Kamis lalu. Megawati
mengingatkan Jokowi agar tunduk pada instruksi PDIP karena berkat dukungan partai
pengusung dia terpilih menjadi presiden.
Hubungan Megawati dengan Jokowi dikabarkan tak mulus belakangan ini. Jokowi
menolak melantik calon Kepala Polri pilihan PDIP, Komisaris Jenderal Budi Gunawan,
meski Kepala Lembaga Pendidikan Polri itu memenangi praperadilan penetapan
tersangkanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejumlah kader PDIP kemudian
menyerang Jokowi dan orang-orang dekatnya perihal penarikan Budi Gunawan dan
kenaikan harga bahan bakar minyak.
Menurut Deputi IV Bidang Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo,
Istana siap memperbaiki pola hubungan dengan partai pendukung. Eko menjanjikan
komunikasi akan dijalin lebih intensif. “Ini akan menjadi perhatian pemerintah,” katanya.
Peneliti Center for Strategic and International Studies, Philips J. Vermonte, tak setuju
bila Jokowi disebut sebagai petugas partai. Dalam sistem presidensial, kata dia,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
136
kekuasaan ada di tangan presiden. Kekuasaan ini jauh di atas partai. “Jadi saat Jokowi
terpilih, ia berdiri di atas semua golongan,” ujarnya. “Dia bukan petugas partai lagi.”
Sumber: http://www.tempo.co/read/news/Sindir-Jokowi-MegaTak-Mau-Disebut-Petugas-
Partai-Keluar.
3. Okezone.com
Megawati Persilakan Kadernya Keluar PDIP
Gunawan Wibisono
Jurnalis
Minggu, 12 April 2015 - 04:31 wib
DENPASAR - Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Megawati Soekarnoputri mengatakan, setiap kader partai harus taat dan tunduk kepada
dirinya dan AD/ART PDIP.
Terlebih, para kader yang menjadi anggota DPR, DPRD haruslah taat kepada
konstitusi partai. Sebab, mereka adalah kepanjangan partai yang fungsinya mengawal semua
kebijakan dan memberi masukan agar pemerintah bekerja sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang (UU).
"Kepada kader yang ditugaskan di DPR, anggota Fraksi PDIP, yang ditugaskan di
pemerintah pusat, pemerintah daerah tingkat I dan II adalah berfungsi sebagai perpanjangan
tangan partai (yang mengawal jalannya pemerintah)," ujar Megawati di hotel Inna Grand Bali
Beach, Sanur, Denpasar, Bali, Sabtu (11/4/2015).
Selain itu, Megawati juga menegaskan, ke seluruh kader PDIP untuk tidak marah,
apabila dikatakan sebagai petugas partai. Sebab, memang kenyataanya para kader adalah
petugas partai, di mana telah diamanatkan partai untuk membuat Indonesia lebih baik dan
lebih maju.
"Ingat kalian adalah petugas partai, perpanjangan tangan partai, kalau tidak ada yang tidak
mau disebut petugas partai, keluar saja. Wajib dan sudah seharusnya jalankan instruksi
partai," tegasnya.
Sumber: http://news.okezone.com/read/2015/04/12/337/1132756/megawati-persilakan-
kadernya-keluar-pdip.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
137
SIKAP PEMERTAHANAN BAHASA INDONESIA DALAM PENAMAAN NAMA
PERUMAHAN DI KABUPATEN GARUT
(Studi Deskriptif pada Developer Perumahan di Kabupaten Garut tahun 2014)
Ari Kartini
STKIP Garut
Abstrak
Penelitian ini berjudul “Sikap Pemertahanan Bahasa Indonesia dalam Penamaan
Perumahan di Kabupaten Garut”. Latar belakang penelitian ini bertitik tolak dari
hasil survei awal mengenai penamaan pada perumahan yang ada di kabupaten Garut,
yang dimana sangat disayangkan nama pada perumahan tersebut penggunaan bahasa
asing lebih mencolok. Hal ini tentu saja bertentagan dengan aturan UU RI NO. 24
THN. 2009 Tentang BBLNLK, sehingga sikap pemertahanan terhadap bahasa
Indonesia sebagai cermin budaya bangsa. Berdasarkan latar belakang di atas,
rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut ini. 1) Bahasa apa saja
yang digunakan dalam penamaan perumahan di Kabupaten Garut?; 2)
Bagaimanakah wujud/frekuensi penggunaan bahasa Indonesia dalam penamaan
perumahan di Kabupaten Garut?; 3) Bagaimanakah sikap bahasa Developer terhadap
bahasa Indonesia dalam penamaan perumahan di Kabupaten Garut?; 4) Apakah
faktor penghambat pemertahanan bahasa Indonesia dalam penamaan perumahan di
Kabupaten Garut? Penelitian ini menggunakan metode deskriftif yang dalam
pelaksanaannya tidak melakukan perlakuan terlebih dahulu, melainkan langsung
mengkaji dan meyimpulkan data melalui studi dokumenter. Teknik yang digunakan
dalam pengumpulan data adalah teknik studi dokumenter dan wawancara. Hasil
penelitian menunjukkan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Garut dalam
memilih penggunaan bahasa untuk nama-nama permukiman atau perumahan adalah
bahasa Sunda, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Prekuensi penggunaan bahasa
Indonesia dapat dilihat dari presentase berikut; 10 (40%) nama perumahan yang
menggunakan bahasa Indonesia, menggunakan bahasa asing 2 (11%) perumahan, 1
(5%) menggunakan bahasa daerah dan 12 (48%) perumahan menggunakan bahasa
campuran. Sikap Developer terhadap bahasa Indonesia dalam memilih penggunaan
bahasa untuk nama-nama permukiman atau perumahan menunjukkan negatif, hal ini
dapat dibuktikan dari presentase frekuensi penggunaan bahasa dalam memberikan
nama-nama pada perumahan yang dikelolanya. faktor-faktor yang menumbuhkan
sikap negatif para Developer lebih bangga menggunakan bahasa Asing dibandingkan
bahasa Indonesia dalam memilih penggunaan bahasa untuk nama-nama permukiman
atau perumahan adalah memiliki daya jual yang tinggi, penggunaan bahasa Asing
lebih komersil, lebih bergengsi, mampu menarik perhatian para konsumen dan lebih
indah didengar. Dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini bahwa pemertahanan
terhadap bahasa Indonesia kurang diperhatikan sehingga menunjukkan sikap
kebanggan terhadap bahasa Indonesia kurang dimilikinya lagi. Rekomendasi
penelitian ini, diaharapkan para pemilikperumahan mengkaji ulang
menganaipenggunaan bahasa pada nama perumahan yang mereka kelola, dan kepada
pemerintah lebih menekankan kembali bagi mereka yang meminta izin mendirikan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
138
perumahan untuk diperhatikan dalam penggunaan bahasa dalam memberikan nama
pada perumahan mereka.
Kata Kunci: Sikap Pemertahan Bahasa Indonesia, Penamaan Perumahan
Pendahuluan
Bahasa memang tidak termasuk ke dalam permasalahan yang sangat krusial dalam
kehidupan sehari-hari tidak seperti permasalahan mengenai politik, agama, dan pendidikan.
Oleh karena itu, bahasa tidak mempunyai sanksi secara implinsit sehingga mereka para
pengguna bahasa bebas menggunakan bahasa sesuai yang dikehendaki. Namun, apabila kita
amati dalam kenyatannya ternyata permasalahan bahasa terlihat jelas terutama keterkaitan
antara pengguna bahasa, bahasa yang digunakan, dan kehidupan sosial.
Masalah kebahasaan di Indonesia tidak terlepas dari kehidupan masyarakat
penggunanya. Indonesia telah mengalami berbagai perubahan, baik sebagai akibat tatanan
kehidupan dunia yang baru, globalisasi, maupun sebagai dampak perkembangan teknologi
informasi yang sangat pesat. Kondisi itu telah memengaruhi perilaku masyarakat Indonesia,
tidak terkecuali dalam faktor berbahasa atau bahasa yang digunakan. Pemakaian bahasa
dalam komunikasi selain ditentukan oleh faktor-faktor Linguistik juga ditentukan oleh faktor-
faktor nonlinguistik, salah satunya faktor sosial yang merupakan faktor yang berpengaruh
dalam penggunaan bahasa. Pandangan demikian memang cukup beralasan karena pada
dasarnya bahasa adalah bagian dari suatu sistem sosial. Kajian tentang bahasa yang
dihubungkan dengan faktor sosial merupakan suatu kajian yang sangat menarik.
Saat ini kebebasan berbahasa telah menutupi aturan yang telah ditetapkan secara
tertulis, walaupun aturan pemakaian bahasa telah tertuang di dalam UU RI No. 24 thn. 2009
tentang BBLNLK (Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan), namun sangat
disayangkan kebanyakan masyarakat tidak memerhatikan aturan tersebut dan aturan itu hanya
diperhatikan oleh para pemerhati bahasa saja.
Bangsa Indonesia, sebagai pemakai bahasa Indonesia seharusnya bangga
menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Dengan bahasa Indonesia, mereka bisa
menyampaikan perasaan dan pikirannya dengan sempurna kepada orang lain, namun
kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Rasa bangga berbahasa Indonesia belum tertanam
pada setiap orang Indonesia. Rasa menghargai bahasa asing (bahasa Inggris) masih terus
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
139
menampak pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Mereka menganggap bahwa bahasa
asing lebih tinggi derajatnya daripada bahasa Indonesia.
Saat ini kenyataannya di lapangan masih ditemukan perilaku negatif yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat Indonesia, antara lain masih banyaknya masyarakat Indonesia yang
merasa bangga menggunakan bahasa Asing dan menganggap bahasa asing lebih bergengsi;
masyarakat Indonesia merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing (Inggris), padahal
mereka sendiri belum tentu menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Salah satu fenomena kurangnya kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, yaitu pada
pemberian nama perusahaan pemerintah dan perusahaan swasta juga pada aspek penulisan
bahasa Indonesia pada nama perusahaan pemerintah dan perusahaan swasta. Bukti nyata
yang terjadi adalah di Kabupaten Garut. Saat ini di kabupaten Garut banyak berdiri
perumahan-perumahan, perumahan tersebut ada yang dikelola oleh individu dan ada yang
kelompok. Kemajuan kabupaten Garut di bidang pembangunan memang sangat bagus, namun
sangat disayangkan nama yang digunakan untuk perumahan tersebut adalah bahasa asing atau
campran, padahal pengelola atau developernya adalah asli warga negara Indonesia dan badan
hukumnya ada di bawah hukum Indonesia. Apabila kita mengkaji aturan yang terdapat dalam
UU RI No. 24 thn. 2009 tentang BBLNLK, hal tersebut tidak sesuai. Dalam UU RI No. 24
thn. 2009 tentang BBLNLK (Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan)
yang terdapat dalam Bab III pasal 36, yaitu;
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia.
(2) Nama geografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki satu nama
resmi.
(3) Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan,
apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks, perdagangan, merek
dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau
dimiliki oleh warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
(4) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat menggunakan
bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat
istiadat, dan/atau keagamaan.
Fenomena yang terjadi itu tentunya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dimana
letak kesalahannya tidak dijadikan suatu permasalahan yang krusial. Hal ini dikarenakan UU
RI No. 24 thn. 2009 tentang BBLNLK yang membahas mengenai bahasa tidak
mencantumkan sanksi bagi mereka yang melanggarnya, apabila itu hal itu terjadi
pemertahanan terhadap bahasa Indonesia akan merosot dan bisa saja bahasa Indonesia akan
tergantikan kedudukannya sebagai bahasa yang paling penting dibandingkan bahasa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
140
Indonesia di mata masyarakat Indonesia. padahal saat ini bahasa Indonesia justru dipelajari di
negara-negara asing. Ketika orang luar negeri bangga dengan bahasa Indonesia, mengapa kita
sebagai pemiliknya malah lebih memilih bahasa asing yang notabenenya adalah bahasa orang
lain. Menyikapi fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji permasalahan
mengenai pemilihan bahasa pada penulisan nama perumahan, hal ini dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana para pengelola perumahan dan pemerintah kabupaten Garut
mempertahankan bahasa Indonesia. Adapun agar penelitian ini terarah, maka permasalahan
yang akan dikaji disusun dalam rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bahasa apa saja yang digunakan dalam penamaan perumahan di Kabupaten Garut?
2. Bagaimanakah frekuensi penggunaan bahasa Indonesia dalam penamaan perumahan
di Kabupaten Garut?
3. Bagaimanakah sikap bahasa Developer atau pengelola terhadap bahasa Indonesia
dalam penamaan perumahan di Kabupaten Garut?
4. Apakah faktor penghambat pemertahanan bahasa Indonesia dalam penamaan
perumahan di Kabupaten Garut?
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah dokumentasi nama-nama
permukiman atau perumahan dan hasil wawancara para pengelola. Data-data tersebut akan
dikaji dan dianalisis dalam bentuk sikap dan pemilihan bahasanya.
Sumber data yang dijadikan subjek penelitian ini adalah nama-nama layanan umum
permukiman yang ada di wilayah kota Garut, meliputi daerah Wanaraja, Karang Pawitan,
Garut Kota, Tarogong Kidul, Tarogong Kaler, Bayongbong, dan Samarang.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan metode
yang digunakan adalah metode deskriptif. Dalam pengumpulan data, teknik yang digunakan
adalah teknik studi dokumenter dan wawancara.
IHWAL SIKAP PEMERTAHAN BAHASA INDOENSIA
1. Sikap Bahasa dalam Mempertahankan Bahasa Indonesia
Sikap sangat berkaiatan erat dengan perilaku, boleh dikatakan bahwa sikap
merupakan cerminan dari perilaku. Chaer dan Agustina (2004; 149), memaparkan “Sikap
adalah fenomena kejiwaan yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau
perilaku”. Pendapat lain yang diungkapkan oleh Sujanto, dkk. (2004; 96-97) mengenai sikap
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
141
yaitu “Sikap (attitude) berhubungan dengan sesuatu objek atau kelompok objek, biasanya
memberikan penilaian (menerima atau menolak) terhadap objek yang dihadapi”. Sejalan
dengan itu, Sarwono (2010; 201) menjelaskan:
Sikap adalah istilah yang mencerminkan rasa senang, tidak senang atau perasaan biasa-
biasa saja (netral) dari seseorang terhadap sesuatu. Sesuatu itu bisa benda, kejadian,
situasi, orang-orang atau kelompok. Kalau yang timbul terhadap sesuatu itu adalah
perasaan senang, maka disebut sikap positif, sedangkan apabila perasaan tak senang,
sikap negatif.
Selain itu, Sarwono (2010: 201) menerangkan bahwa sikap dinyatakan dalam tiga
komponen yang disingkat dengan ABC, yaitu Affect, Bihaviour, dan Cognition. Affect adalah
perasaan yang timbul (senang dan tak senang), Behaviour adalah perilaku yang mengikuti
perasaan itu (mendekat, menghindar), dan Cognition adalah penilaian terhadap objek sikap
(bagus dan tidak bagus).
Berdasarkan pendapat-pendapat ahli mengenai pengertian sikap, maka dapat
disimpulkan bahwa sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk
bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi
obyek situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga memberikan
kesiapan untuk merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau situasi itu.
Sikap negatif seseorang terhadap bahasanya bisa saja dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan budaya. Hal ini dilakukan untuk meniru gaya budaya yang dianggap lebih
bermatabat atau bergengsi. Indrawan (2010; 109-111) memaparkan beberapa faktor yang
memengaruhi sikap bahasa seseorang, yaitu “The prestige and power of the language,
historical backround of nations, the social and traditional factors, And the language internal
system”.
Dalam mengukur keberadaan sikap positif beberapa pertanyaan yang dapat
digunakan,
yaitu seberapa jauh kita telah mencintai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan
bahasa persatuan? Seberapa jauh kita telah merasa memiliki bahasa kita itu sebagai
bahasa kekayaan yang tidak ternilai harganya? Seberapa jauh kita merasa tanggung
jawab untuk mempertahankan keberadaan bahasa kita di bumi ibu pertiwi (Amran:
2002: 1.4).
Paparan yang dikemukakan olh Amran dapat dijadikan tolok ukur dalam menentukan
sikap seseorang terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa bahasa
Indonesia memang mempunyai kedudukan yang sangat penting di bumi pertiwi ini.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
142
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa Nasional dan bahasa Negara adalah bahasa
yang harus dilestarikan dan dijadian kebanggaan oleh masyarakat Indonesia. Sudah
selayaknya orang Indonesia, lebih memerhatikan penggunaan bahasa dalam berkomunikasi.
Aturan penggunaan bahasa Indonesia dalam hal tersebut tercantum dalam pasal 25 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tersebut berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu
berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berfungsi
sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional,
pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana
pengembangan dan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media
massa.
Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan mengatur bahwa bahasa
Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau
permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga
pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan
hukum Indonesia. Selanjutnya, pada pasal 37 ayat (1) diatur bahwa bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar
negeri yang beredar di Indonesia, ayat (2) diatur bahwa informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan bahasa daerah atau bahasa asing sesuai dengan
keperluan.
Pasal 38 ayat (1) dalam undang-undang tersebut diatur bahwa bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi
lainnya yang merupakan pelayanan umum. Selanjutnya, pada ayat (2) pasal tersebut diatur
bahwa penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai
bahasa daerah atau bahasa asing jika dipandang perlu. Ketentuan lebih lanjut mengenai
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
143
penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang diatur
dalam Peraturan Presiden.
Di samping pertimbangan hukum yang telah diuraikan, terdapat pula ketentuan yang
dapat menjadi landasan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di tempat
umum sebagai berikut (Sugono, dkk 2008:4).
a. Bahasa yang digunakan di tempat umum, seperti pada papan nama, papan petunjuk,
kain rentang, dan papan iklan adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
b. Nama badan usaha, kawasan, gedung, yang memerlukan pengesahan dari instansi
pemerintah menggunakan bahasa Indonesia.
c. Nama asing badan usaha yang merupakan cabang badan usaha luar negeri dan nama
asing merek dagang yang terdaftar dan memunyai hak paten tetap dapat dipakai.
d. Pada setiap papan nama, papan petunjuk, kain rentang, dan papan iklan digunakan
tulisan/huruf latin.
e. Pada papan nama, papan petunjuk, kain rentang, dan papan iklan jika dianggap perlu,
dapat digunakan bahasa asing dan dituliskan di bagian bawah bahasa Indonesia
dengan huruf latin yang lebih kecil.
f. Penggunaan tulisan/huruf di luar tulisan/huruf latin, jika dianggap perlu, dapat
dibenarkan sepanjang
g. untuk nama/lambang produk yang telah mendapat izin sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
h. Organisasi internasional yang bernaung di bawah PBB dan perwakilan diplomatik
negara asing dapat tetap menggunakan tulisan/huruf bahasa asing yang ditulis di
bawah nama dalam bahasa Indonesianya.
Apabila kita simpulkan, masyarakat Indonesia harus mampu memilih penggunaan
bahasa Indonesia agar bahasa Indnesia dapat dipertahankan dengan baik. Dalam pemberian
nama untuk daerah permukiman seperti perumahan dan pemilihan nama untuk merk dagang
harus senantiasa menggunakan bahasa Indonesia, kecuali perusahaan dan merk dagang itu
dimiliki dan dikelola oleh orang asing.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan pengkajian terhadap penggunaan bahasa pada nama perumahan di
kabupaten Garut, di bawah ini akan dibahas beberapa sampel mengenai sikap para pemilik
yang mengelola perumahan ini.
Sampel yang dikaji mengenai nama perumahan pada peneliian ini berjumlah 25
perumahan yang berada di daerah kecamatan Karangpawitan, Tarogong Kidul, Tarogong
Kaler, Bayongbong, dan Samarang. Dari hasil pengkajian dapat disimpulkan bahwa sikap
para pemilik perumahan yang mempunyai saham tertinggi terhadap hak kepemilikan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
144
perumahan itu sangat rendah atau tergolong negatif, hal ini dibuktian dengan hasil analisis
pada pengolahan data dan hasil wawancara dengan responden.
Hasil analisis di atas dari sampel pada nama perumahan yang ada di Kabupaten
Garut, hanya terapat 10 (40%) nama perumahan yang menggunakan bahasa Indonesia, yaitu,
Griya Surya Indah, Griya Intan Asri, Pesona Intan, Bumi Campaka Indah, Puri Indah
Pratama, Perumahan Oma Indah. Menggunakan bahasa asing 2 (11%) perumahan, yaitu
Bianca Regency dan Rabbany Regency, 1 (5%) menggunakan bahasa daerah, yaitu, Saung
Sari Wates dan 12 (48%) perumahan menggunakan bahasa campuran, yaitu, Enhaka
Residence, Intan Regency, Karisma Residence, Cluster Kahuripan, Permata Hijau Land, Garut
City Residence, Cempaka Residence, Perumahan Permata Karisma Residence, Bumi Malayu
Regency.
Intan Regency merupakan perumahan konsep baru yang berdiri pertama kali di
Kabupaten Garut. Perumahan ini terbilang sangat mewah dengan desain yang indah, sehingga
yang menempatinya banyak dari kalangan elit atau kalangan masyarakat yang berada.
Posisi perumahan ini memang berada di daerah yang strategis, tidak terlalu jauh dari
jalan raya dan dekat dengan fasilitas umum. Kecamatannya berada di Tarogong Kidul.
Namun, dari aspek bahasa sangat disayangkan. Sebagai warga Negara Indonesia dan posisi
perumahannya berada di wilayah Indonesia, selayaknya bahasa yag digunakan untuk nama
perumahan ini menggunakan bahasa Indonesia utuh sesuai dengan peraturan UU mengenai
bahasa.
Kata Intan memang merupakan bahasa Indonesia, sedangkan kata Regency
merupakan bahasa Asing, yaitu bahasa Inggris yang mempuyai makna “Kabupaten; Perwalian
(Echols & Shadily: 2002: 474)”. Saat ditanyakan mengenai alasan lain mengapa
menggunakan kata Regency, alasannya tidak terlalu bersejarah hanya untuk menarik
perhatian masyarakat untuk membeli rumah disana, selain itu mereka menganggap bahwa
penggunaan bahasa Asing lebih terpandang dan bergengsi.
Perumahana Karisma Residence berada di daerah kecamatan Tarogong Kaler.
Posisinya cukup strategis dan nyaman, bentuk bangunan sudah menginduk pada bangunan
yang moderen. Sehingga tidak heran harga yang ditawarkan sungguh luar biasa.
Karisma Residence ini dikelola oleh pribadi dan pemiliknya asli warga negara
Indonesia. Inilah yag disayangkan, saat perumahan yang bagus ini kurang menghargai bahasa
yang digunakan dalam meberikan nama pada perumahannya. Alasan mereka tidak jauh
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
145
berbeda dengan yang lain yang menggunakan bahasa Asing. Alasannya untuk mearik daya
jual dan bahasa Asing mempunyai nilai yang berbobot dibandingkan bahasa Indonesia atau
bahasa Daerah.
Kata Residence ini berasal dari bahasa Inggris yang mengandung makna “Tempat
tinggal; tempat kediaman” (Echols & Shadily: 2002: 480).
Perumahan “Saung Sari Wates” berada di kecamatan Karangpawitan Kabupaten
Garut. Perumahan ini mempunyai nama yang unik dan berkesan dihati para meperhati bahasa,
karena bahasa yang digunakan adalah asli bahasa daerah yaitu bahasa Sunda. Dari sekian
nama perumahan, hanya perumahan ini yang menggunakan bahasa Sunda secara murni atau
keseluruhan.
Ketika dilakukan wawancara, makna pragmatik dari nama perumahan ini adalah
karena posisi daerah itu berada diperbatasan antara kampung wates dan posisinya asri, maka
diberi nama Saung Sari Wates untuk menunjukkan bahwa perumahan ini membudayakan
budaya Sunda.
Berbeda dengan perumahan lain, responden tidak berpikiran bahwa penggunaan
nama akan menarik daya jual para pembeli, bagi mereka nama memang penting tetapi yang
terpenting adalah pelayanan dan kualitas perumahannya. Penggunaan bahasa itu adalah
kepintaran kita mengolah kata-kata, tidak semua bahasa Sunda atau bahasa Indonesia
kampungan dan tidak memiliki gengsi yang tinggi. Justru dengan menggunakan bahasa
daerah atau bahasa Indonesia akan mudah dimengerti oleh masyarakat sekitar dan kita
sebagai warga penduduk aslinya dapat mempertahankan bahasa yang menjadi identitas
pribadi daerah atau bangsa kita.
Ada satu perumahan yang diambil dari nama salah satu pejabat di Kabupaten Garut
yaitu nama KAPOLRES Garut. Perumahan ini awalnya didirikan untuk para anggota polisi
dan polwan. Oleh karena itu, jelas yang mengelolanya adalah asili warga negara Indonesia.
Namun, karena beberapa kendala akhirnya perumahan ini dibuka untuk umum bukan saja
untuk anggota polisi.
Tempatnya cukup jauh dari jalan raya, perumahan ini cocok digunakan untuk
beristirahat karena posisinya di daerah pegunugan. Udaranya sejuk, nyaman, dan masih asri
hanya saja posisinya jauh dari fasilitas umum.
Kata ENHAKA adalah kependekkand ari nama KAPOLRES Kabupaten Garut yaitu,
Endang Kurnia. Sangat menarik, namun yang disayangkan kata ENHAKA itu diikuti oleh
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
146
kata yang berasal dari bahasa Asing yaitu kata Residence. Saat dipintai keterangan, alasan
menggunakan kata bahasa Asing adalah untuk menarik para pembeli, kata tersebut
mempunyai daya jual yang tinggi, dan sangat bergengsi. Padahal apabila disimak di kecamata
yang sama terdapat perumahan yag namanya berasal dari bahasa Sunda yaitu Saung Sari
Wates. Daya jualnya sangat tinggi tidak kalah saing dengan perumahan yang mempunyai
nama dari bahasa Asing.
Beberapa perumahan lain yang menggunakan bahasa Asing mempunyai alasan yang
sesungguhnya alasan mereka kurang berbobot dan kurang masuk akal. Ada yang mengatakan
alasannya adalah untuk menarik minat para pembeli, memiliki daya jual yang tinggi, lebih
bergengsi, dan lebih komersil Padahal apabila kita perhatikan, beberapa perumahan yang
menggunakan bahasa Indonesia murni atau bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Sunda sama-
sama mempunyai daya jual yang tinggi. Buktinya perumahan – perumahan itu mampu
menarik para pembeli dan lahan yang ditawarkan habis terjual.
Dapat dibandingkan perumahan yang saling berdekatan yaitu Bumi Malayu Asri dan
Bumi Malayu Regency. Kedua perumahan itu sangat berdampingan dan masuk dalam
gerbang yang sama. Tempatnya berada di Kecamatan Tarogong Kaler Kabupaten Garut.
Kepemilikan kedua perumahan itu dikelola oleh dua orang yang berbeda, walaupun
berdekatan.
Pemilik perumahan Malayu Asri menjelaskan bahwa usaha perumahannya itu sudah
dikelola sejak lima tahun kebelakang, lahan yang kurang lebih 1 Hektar terjual dan sudah
dibooking, malahan sekarang sedang menguruskan pembukaan lahan baru. Pemberian nama
yaitu “Bumi Malayu Asri”, karena didaerah tersebut ada kampung yang namanya malayu.
Alasan tidak menggunakan kata Asing seperti halnya perumahan yang lain, karena pemilik
merasa menghargai masyarakat disana yang notabenenya masih menjaga budaya daerahnya.
Dia mengatakan bahwa pemberian nama sebenarnya tidak menjadi masalah dalam
menjalankan bisnisnya, yang terpenting bagimana pelayanan kita dan fasilitas yang
disediakan dalam perumahan tersebut. Alasan pribadi menggunakan bahasa Indonesia, karena
dia merasa menghargai akan bahasa Indonesia.
Perumahan Bumi Malayu Regency, hampir sama mempunyai lahan kurang lebih 1
Hektar. Pendiriannya lebih muda dari perumahan Malayu Asri, yaitu sekitar 4 tahunan. Daya
jualnya memang bagus tidak kalah dengan perumahan Bumi Malayu Indah. pada kajian
penggunaan bahasa, nama pemberian nama mempunyai alasan yang sama, karena di daerah
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
147
tersebut terdapat kampung Malayu, sehingga nama Malayu digunakan untuk nama perumahan
tersebut. Namun, sangat disayangkan ketika nama Malayu itu diikuti oleh kata dari bahasa
Asing yaitu, Regency. Kata Regency merupakan bahasa Inggris yang artinya, Kabupaten;
Perwalian (Echols & Shadily: 2002: 474). Berarti, apabila telaah perumahan tersebut adalah
perumahan yang membentuk kabupaten tersendiri, karena makna kabupaten di negara kita
adalah wilayah luas yang dipimpin oleh seorang Bupati.
Alasan pemilik menggunakan memasukkan kata Asing dalam nama perumahannya
adalah untuk menarik pembeli, lebih bergengsi, dan lebih enak didengarnya.
Penggunaan bahasa Indonesia saat ini dikalangan masyarakatnya pun sudah
menunjukkan ketidakbanggaan dan ketidaksadaran dalam berbahasa terutama dalam
menjalankan sebuah bisnis atau usaha. Hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa
bahasa yang digunakan oleh para pemilik perumahan adalah bahasa Sunda, bahasa Indonesia,
dan bahasa Inggris. Sikap para penggunanya menunjukkan bahwa mereka kurang bangga
terhadap bahasa Indonesia, sehingga untuk memperindah nama perumahannya mereka
menggunakan bahasa Inggris. Padahal, bahasa yang digunakannya itu tidak mempunyai nilai
sejarah atau suatu keterkaitan yang hakiki.
Pada sampel yang dikaji hanya terapat 10 (40%) nama perumahan yang
menggunakan bahasa Indonesia, menggunakan bahasa asing 2 (11%) perumahan, 1 (5%)
menggunakan bahasa daerah dan 12 (48%) perumahan menggunakan bahasa campuran. Dari
hasil ini, kia dapat mengukur berapa persen masyarakat yang peduli terhadap bahasa
Indonesia. Padahal penggunaan bahasa Inggris, belum tentu dapat dimengertioleh masyarakat
awam, apalagi posisi perumahan tersebut berada di daerah perkampungan yang notabene
masyarakatnya masih mendominasi penggunaan bahasa daerahnya.
Peraturan yang dibuat oleh pemerintah yaitu berupa UU No. 24 tahun 2009 mengenai
BBLNLK, memang sangat bagus. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan apa yang menjadi
identitas suatu negara dan membuat kesatuan dan persatuan masyarakat Indonesia lebih
meningkat kembali. Namun, sangat disayangkan ketika pertauran yang membahas mengenai
Bendera, Lagu Kebangsaan, dan Lambang Negara Indonesia disamping membahasa kegunaan
dan pelestariannya ketiga tersebut membahas juga sanksi atau hukuman bagi masyarakat yang
tidakmenjaga, melestarikan, dan mengembangkannya. Sedangkan, pada kajian Bahasa hanya
diatur mengenai penggunaanya saja tanpa mencantumkan sanksi yang diberikan kepada
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
148
masyarakat yang melanggarnya atau tidak menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan
fungsinya.
Kelemahan itu yang mengakibatkan bahasa hanya dipandang sebelah mata.
Walaupun bahasa itu harus berkembang, dan munculnya kosa kata baru yag tidak baku
membuat kosa kata kita bertambah, namun apabila tidak dilandasi dengan ilmu
pengetahuan,masyarakat akan semaunya saja menggunakan bahasa tersebut tanpa
memandang situasi dan kondisinya.
Perkembangan bahasa yang paling cepat muncul dan terserap oleh masyarakat adalah
lewat televisi. Banyak kosa kata baru muncul yang tidak beraturan dan yang paling
mengkhawatirkan ketika kosa kata tersebut berasal dari bahasa Asing.Hal lain juga terjadi
pada masyarakat yang menggunakan bahasa Asing untuk usahanya. Seperti yang terjadi di
Kabupaten Garut ini. Meraka yang membuka usaha perumahan, lebih bangga mencantumkan
bahasa Inggris dibandingkan bahasa Indonesia. Padahal dalm Undang-Undang dijelaskan ,
bahwa pemberian nama untuk badan usaha yang mempunyai badan hukum Indonesia wajib
menggunakan bahasa Indonesia.
Beberapa faktor yang membuat mereka lebih memilih bahasa Inggris dibandingkan
bahasa Indonesia adalah, dengan menggunakan bahasa Inggris nama perumahan tersebut
kedengaran lebih keren, menarik para konsumen untuk membeli perumahan disana,
mempunyai daya jual yang tinggi, kedengaran lebih bergengsi dan lebih komersial. Namun,
hasil penelitian dilapangan ada beberapa perumahan yang menggunakan bahasa Indonesia
tetapi minat para konsumen begitu besar, lahan yang tersedia habis terjual dan sudah dipesan.
Tidak ada yang memilih perumahan dengan alasan namanya yang lebih bergengsi, dan
peneliti rasa nama tidak menjadi daftar hitungan fasilitas perumahan yang disediakan.
Fasilitas yang terjamin merupakan hal utama untuk menarik para konsumen. Oleh
karena itu, sepatutnya sebagai warga negara Indonesia para pemilik perusahaan merumuskan
kembali bahasa yang akan digunakan untuk nama perumahan. Menunjukkan kebanggan
terhadap bahasa Indonesia merupakan sikap positif terhadap bahasa Indonesia dan sudah
termasuk warga negara yang baik bagi Indonesia. Kalau bukan kita yang melestarikannya
sebagai warga negara Indonesia, siapa lagi yang akan menjaga tanah Air Tercinta ini.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
149
SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Dari hasil kajian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) bahasa yang digunakan oleh masyarakat Garut dalam memilih penggunaan bahasa
untuk nama-nama permukiman atau perumahan adalah bahasa Sunda, bahasa
Indonesia, dan bahasa Inggris.
2) sikap masyarakat Garut terhadap bahasa Indonesia dalam memilih penggunaan bahasa
untuk nama-nama permukiman atau perumahan menunjukkan negatif, hal ini dapat
dibuktikan dari presentase penggunaan bahasa dalam memberikan nama-nama pada
perumahan yang dikelolanya. Hasil analisis di atas dari sampel pada nama perumahan
yang ada di Kabupaten Garut, hanya terapat 10 (40%) nama perumahan yang
menggunakan bahasa Indonesia, menggunakan bahasa asing 2 (11%) perumahan, 1
(5%) menggunakan bahasa daerah dan 12 (48%) perumahan menggunakan bahasa
campuran.
3) faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Garut lebih bangga menggunakan bahasa
Asing dibandingkan bahasa Indonesia dalam memilih penggunaan bahasa untuk nama-
nama permukiman atau perumahan adalah memiliki daya jual yang tinggi, penggunaan
bahasa Asing lebih komersil, lebih bergengsi, mampu menarik perhatian para
konsumen dan lebih indah didengar. Dengan kata lain, mereka menganggap bahwa
bahasa Indonesia kurang menarik, dan tidak mempunyai estetika yang mampu
memberikan daya jual yang tinggi terhada bisnis yang digeluti oleh mereka.
2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pemilihan dan sikap berbahasa Masyarakat
Garut dalam menentukan bahasa yang digunakan untuk memberikan nama-nama perumahan
yang ada di Kabupaten garut, peneliti merekomendasikan saran yaitu sebagai berikut:
Untuk para pemilik perumahan, diharapkan mampu memilih bahasa yang akan
digunakan untuk nama perumahannya, yaitu dengan menggunakan bahasa Indonesia sesuai
dengan aturan yang telah diberlakukan dalam UU no. 24 tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, yang terdapat dalam pasal 36. Apabila
dikaji, sebenarnya banyak kosa kata indah dalam bahasa Indonesia yang dapat digunakan
untuk pemberian nama perumahan tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
150
Untuk para pemerhati bahasa, diharapkan mampu bergerak dan memikirkan kembali
mengenai permasahan di lapangan yang terjadi saat ini. Setidaknya para pemerhati bahasa
mampu mengadakan sebuah seminar atau loka karya untuk para pengusaha, agar mereka
mengetahui arti penting dari bahasa Indonesia.
Untuk pemerintah, diharapkan saat para pemilik meminta izin pendirian perumahan,
nama yang digunakan harus diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia sesuai UU no 24
tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Hal ini
dilakukan agar mereka mampu mengahargai bahasa Indonesia, kecuali perusahaan tersebut
mempunyai legalitas atau berbadan hukum yang dikeluarkan dari luar negeri.
Untuk para guru dan dosen bahasa Indonesia, diharapkan mampu menumbuhkan
sikap cinta, bangga, dan sadar terhadap bahasa Indonesia kepada siswa-siswa atau mahasiswa
dimulai sejak dini, sehingga saat mereka dewasa nanti mampu menghargai bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Hal yang terpenting adalah mendidik mereka
agar mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Daftar Pustaka
Chaer, A.,& Leoni,A.. (2004). Sosiolinguistik Pengantar Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Danadibrata. 2006. Kamus Basa Sunda. Bandung; Kiblat Buku Utama.
Depdikbud. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Penerbit Balai Pustaka.
Echols, John & Hassan, Shadily. 2003. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta; Gramedia Pustaka
Utama.
Finoza, Lamuddin. 2001. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Insan Mulia.
Fraenkel, J. & Norman W. (2008). How To Design And Evaluate Reseach In Education. San
Fransisco state University.
Halim, A. (1978). Sikap Bahasa dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Bahasa Nasional”.
Pengajaran Bahasa dan Sastra Th.IV, No. 6:11-26.
Hudson, Richard. 1996. Sosiolinguistics. Second Edition. Cambridge: cambridge University
Press.
Indrawan, I. (2010). Sosiolinguistics: Study of Societies’ Languages. Yogyakarta; Graha
Ilmu.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
151
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2011). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan (BBLNLK). Jakarta; Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Keraf, G. (1984). Tata Bahasa Indonesia. Florest; Nusa Indah.
Kridalaksana, H. (1985). Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Flores: Nusa Indah.
Mar’at. (1984). Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Bandung; Ghalia Indonesia.
Muslich, Mansur. 2010. Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi. Jakarta; Bumi Aksara.
Ohoiwutun, Paul. 2002. Sosiolinguistik. Jakarta: Kesain Blanc.
Pusat Bahasa. 2004. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Rahardi, Kunjana. 2009. Bahasa Prevoir Budaya. Yogyakarta; Pinus Book Publisher.
Sugono. 2008a. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional.
Sugono.2008b. Buku Praktis Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional.
Sugono. 2008d. Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang-undang RI no. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, Lagu
Kebangsaan (BBNLNLK).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
152
KIPRAH PENGAJAR BAHASA INDONESIA BAGI TENAGA KERJA ASING
DALAM MENYONGSONG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Cucu Kartini
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Proses pembelajaran bahasa Indonesia untuk orang asing (BIPA) harus ditunjang
oleh pengajar BIPA yang terampil dalam hal mengemas materi ajar dan strategi
pembelajaran bahasa Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan para tenaga kerja
asing yang datang ke Indonesia. Pendekatan pembelajaran komprehensif berbasis
budaya Indonesia yang dikemas sebagai bahan ajar dalam pembelajaran BIPA
dapat dijadikan pilihan bagi para pengajar BIPA. Program Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) merupakan salah satu peluang yang baik bagi pengajar BIPA
untuk mengembangkan kemampuan mengajarnya dengan menggunakan teknik
pengajaran yang kreatif. Komponen budaya Indonesia yang kasat mata dan yang
tidak, dapat disisipkan pada materi ajar BIPA. Selain belajar bahasa Indonesia
untuk berkomunikasi, para tenaga kerja asing juga dapat belajar tentang Indonesia.
Kata kunci: tenaga kerja asing, Masyarakat Ekonomi ASEAN
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Indonesia ikut menandatangani perjanjian lintas negara dan lintas sektoral antar
kesepuluh negara-negara ASEAN dengan membentuk konsep untuk pasar tunggal di kawasan
Asia Tenggara akhir 2015 mendatang. Kesepakatan yang dicapai dari kesepuluh negara
tersebut melahirkan sebuah konsep pasar tunggal di Asia Tenggara yang diberi nama
Masyarakat Ekonomi ASEAN. Berdasarkan informasi yang diperoleh penulis bahwa harapan
utama dibentuknya pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara adalah untuk meningkatkan daya
saing di bidang penjualan produk barang dan jasa termasuk para tenaga kerja atau buruh yang
mempunyai keahlian khusus dengan harapan dapat mengubah kehidupan mereka ke arah yang
lebih menguntungkan atau lebih baik.
Jika menelaah tujuan program tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa program
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah untuk meningkatkan stabilitas perekonomian
antar negara ASEAN, hal ini berarti sedikit kemungkinannya akan terjadi penghambatan pada
arus keluar masuknya barang. Demikian juga untuk pemberlakuan investasi modal, aturan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
153
administrasi yang selama ini dapat mempersulit para penanam modal akan ditiadakan, dengan
meniadakan aturan administrasi tersebut diasumsikan bahwa para investor akan menanamkan
modalnya di negara-negara ASEAN dengan mudah, selanjutnya, para pekerja yang
mempunyai keahlian khusus akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan di seluruh negara-
negara ASEAN termasuk Indonesia. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi persaingan
keterampilan di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, produksi barang, seni budaya, bahasa,
dan jasa.
Peluang bagi bangsa Indonesia sebetulnya sangat besar, dari segi sumber daya manusia
saja tidak bisa dianggap enteng, sebab sebelum program MEA digulirkan telah banyak tenaga
kerja Indonesia yang mempunyai keterampilan khusus yang memadai untuk bekerja di
negaranya sendiri maupun di negara lain. Demikian halnya dengan para guru, dosen, serta
para pendidik lainnya mulai dari sekarang harus dapat mempersiapkan diri meningkatkan
ketrampilan sesuai dengan bidangnya dalam menyongsong para tenaga kerja asing yang akan
masuk ke negara Indonesia.
Para pengajar bahasa Indonesia harus memiliki kemampuan khusus ketika berada di
depan siswanya, harus dapat mengemas materi pembelajaran yang menarik, sebagai sumber
penerang, dan mudah dimengerti oleh para tenaga kerja asing, agar mereka bisa cepat
beradaptasi dengan masyarakat di lingkungan tempat bekerja dan di tempat mereka tinggal.
Untuk itu, kegiatan pembelajarannya dapat menggunakan pendekatan komprehensif yaitu
selain mereka belajar bahasa Indonesia juga belajar tentang Indonesia (Sugono, 2008 hlm. v).
Dengan memperkenalkan berbagai tempat wisata di Indonesia sambil belajar bahasa
Indonesia, para pengajar bahasa Indonesia juga dapat memberikan materi ajar dengan
pembelajaran tentang kebudayaan-kebudayaan Indonesia, antara lain tentang kerajinan
tangan, kesehatan (posyandu), peternakan, pasar tradisional, dan hal-hal lain yang merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula sebaliknya mereka juga diharapkan
akan bisa berceritera tentang kebudayaan mereka dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Sumber daya manusia Indonesia juga dapat berlomba-lomba untuk memperbaiki
keterampilannya di semua bidang, dengan harapan apabila mereka lebih terampil dan
memiliki kemampuan daya saing yang kuat dengan bangsa lain maka peningkatan
kemampuan para tenaga kerja akan ditunjang dengan perbaikan penghasilan mereka. Selain
itu, para tenaga kerja Indonesia harus mahir berbahasa Inggris sebagai bahasa internasional
dan menguasai salah satu bahasa dari negara ASEAN yang menjadi tempat tujuan untuk
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
154
bekerja. Begitu pula sebaliknya bagi para tenaga kerja atau siapapun bangsa dari negara lain
yang akan bekerja di Indonesia harus bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
Indonesia agar mereka bisa beradaptasi dengan para pekerja Indonesia dan dapat
bersosialisasi dengan rakyat Indonesia di lingkungan di mana mereka berada, meskipun
pemerintah menghapuskan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk menguasai bahasa
Indonesia.
Para pekerja asing yang akan bekerja di Indonesia seharusnya diwajibkan mengikuti
Ujian Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI), kewajiban tersebut sebetulnya bisa dijadikan
salah satu persyaratan yang utama oleh sebuah perusahaan selain keterampilan khusus
lainnya. Mengapa para pekerja asing atau orang asing lainnya dengan berbagai keperluan
mereka ketika datang ke Indonesia harus bisa menggunakan bahasa Indonesia? Alasannya
berhubungan erat dengan fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia yang telah “menempatkan
bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang penting dalam jajaran bahasa-bahasa di
dunia Kenyataan tersebut telah mendorong bangsa-bangsa lain mempelajari bahasa
Indonesia” (Iskandarwassid & Sunendar, 2008, hlm. 264). Kesempatan inilah yang dapat
digunakan oleh para pengajar bahasa Indonesia yaitu menjaring para tenaga kerja asing untuk
belajar bahasa Indonesia dan belajar tentang Indonesia melalui pembelajaran lintas budaya.
Bagi para pengajar bahasa Indonesia situasi tersebut dapat dijadikan pemicu untuk
mengembangkan diri, berlomba berkreasi menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran
bahasa Indonesia bagi penutur asing. Dengan demikian, para tenaga kerja asing yang akan
mengikuti Ujian Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) sudah mempersiapkan diri terlebih
dahulu dengan belajar bahasa Indonesia, diharapkan para calon tenaga kerja asing akan
mencari tempat-tempat kursus atau mencari pengajar bahasa Indonesia dengan pembelajaran
yang tepat dan singkat. Bukankah ini suatu kesempatan yang baik bagi pengajar bahasa
Indonesia?
Program Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memberikan kesempatan atau peluang
yang luas kepada para pengajar bahasa Indonesia untuk meningkatkan keterampilannya
dalam mengajar bahasa Indonesia bagi penutur asing, tentunya situasi ini membawa
keuntungan bagi para pengajar bahasa Indonesia. Untuk itu, pengajar bahasa Indonesia dapat
mengemas materi ajarnya dengan memperkenalkan bermacam-macam budaya dari berbagai
daerah yang ada di Indonesia sebagai upaya melestarikan bahasa dan budaya Indonesia,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
155
karena siapa lagi yang akan menjunjung tinggi derajat bahasa dan budaya Indonesia kalau
bukan bangsanya sendiri.
Menurut Sumarsono & Partana (2002:21) “ Bahasa, sebagai hasil budaya, mengandung
nilai-nilai masyarakat penuturnya”. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia diharapkan dapat
mengangkat budaya Indonesia yang mengandung nilai-nilai baik masyarakat Indonesia pada
umumnya sehingga penutur asing dapat memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam
bahasa dan budaya masyarakat Indonesia.
Inilah kesempatan yang sangat baik untuk melestarikan bahasa dan budaya Indonesia
di mata bangsa lain dan hal ini merupakan bagian pengembangan bahasa Indonesia. Bahasa
sebagai bagian dari budaya harus betul-betul mendapatkan penanganan yang sangat serius
dari pemerintah dan bangsa Indonesia. Untuk itu, penulis berusaha memaparkan upaya-upaya
pelestarian bahasa dan budaya Indonesia melalui inovasi-inovasi dalam pembelajaran bahasa
Indonesia bagi penutur asing (BIPA) melalui pembelajaran bahasa Indonesia lintas budaya
2. Masalah yang Dibahas
Bertolak dari latar belakang di atas, masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1) Bagaimana fungsi bahasa Indonesia?
2) Bagaimana kedudukan bahasa Indonesia dalam pengembangan kebudayaan?
3) Bagaimana peran budaya dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing
(BIPA?
4) Bentuk kreativitas apa saja yang dilakukan para pengajar BIPA?
3. Tujuan Pembahasan
Sesuai dengan masalah di atas, penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
menginformasikan dan menjelaskan tentang fungsi, kedudukan, peran bahasa Indonesia, dan
upaya para pengajar bahasa dan sastra Indonesia bagi penutur asing dalam menyongsong
program Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Selain itu, melalui pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia bagi pekerja asing yang akan bekerja di Indonesia akan diperkenalkan
berbagai kebudayaan lokal dan sebaliknya sebelum mereka terjuan ke dunia kerja mereka.
Secara khusus, makalah ini berusaha menginformasikan dan menjelaskan tentang:
1) Fungsi Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing.
2) Kedudukan Bahasa Indonesia dalam pengembangan kebudayaan.
3) Peran budaya dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA)?
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
156
4) Kreativitas pengajar BIPA dalam pembelajaran bahasa Indonesia berbasis kebudayaan.
Pembahasan Masalah
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan pada Bab I, pembahasan masalah pada
bab ini akan menyajikan uraian tentang:1) fungsi bahasa Indonesia, 2) kedudukan bahasa
Indonesia dalam pengembangan kebudayaan, 3) peran budaya dalam pembelajaran bahasa
Indonesia bagi penutur asing (BIPA), 4) kreativitas pengajar BIPA berbasis kebudayaan.
Keempat butir masalah tersebut akan dipaparkan berikut.
1) Fungsi bahasa Indonesia
Fungsi bahasa Indonesia secara umum di dalam kehidupan manusia sehari-hari adalah
untuk :
a. mengungkapkan perasaan dan mengekspresikan diri,
b. sebagai alat untuk berkomunikasi,
c. sebagai alat berintegrasi dan beradaptasi sosial,
d. sebagai alat kontrol sosial.
Selain itu, fungsi bahasa Indonesia secara khusus digunakan untuk:
a. melakukankomunikasi dalampergaulan sehari-hari
b. mengapresiasi suatu karya seni dan karya sastra
c. Mempelajari bahasa-bahasa kuno
d. Mengeksploitasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
2) Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Pengembangan Kebudayaan.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting yang tercantum di dalam :
1. Ikrar poin ketiga dari Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi, “Kami putra dan putri
Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
2. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa Negara
ialah Bahasa Indonesia”.
Berdasarkan pencantuman dua kedudukan penting bahasa Indonesia tersebut, maka
dapat dideskripsikan bahwa kedudukan bahasa Indonesia sebagai:
1. Bahasa Nasional
a. lambang kebanggaan nasional
b. lambang identitas nasional
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
157
c. alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya
d. alat penghubung antarbudaya antardaerah
2. Bahasa Negara (Bahasa Resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)
a. bahasa resmi kenegaraan
b. bahasa pengantar resmi dilembaga-lembaga pendidikan
c. bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan
d. bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan serta teknologi terkini .
3) Peran Budaya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing
(BIPA)
Beberapa komponen budaya yang ada di Indonesia sangat beragam dari yang dapat
dilihat secara kasat mata seperti tarian, drama, puisi, adat istiadat, kegiatan keagamaan,
upacara tradisional, dan masakan, hingga berbagai konsep seperti bagaimana
menghormati orang yang lebih tua, konsep kekeluargaan, meminta ma’af , memberikan
pujian, menerima pujian, keterusterangan, kesanggupan dan ketidaksanggupan, saran,
kritik, dan sebagainya. Semua komponen-komponen tersebut dapat dibahas dengan cara
memasukkannya ke dalam catatan budaya dalam pembelajaran bahasa Indonesia sesuai
dengan kebutuhan pembelajar asing, dengan harapan bahwa penutur asing yang ingin
mempelajari bahasa dan budaya Indonesia dapat diarahkan ke pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan komprehensif agar mereka mampu menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar, serta sekaligus mempelajari tentang kebudayaan di
Indonesia.
3) Upaya-upaya dan kreativitas pengajar BIPA berbasis kebudayaan.
Interaksi dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari penggunaan bahasa, baik itu
bahasa Indonesia, bahasa daerah maupun bahasa asing. Untuk menyikapi hal tersebut,
pengajar BIPA haruslah kreatif dalam mengemas materi ajar dengan menyisipkan
kebudayaan Indonesia dengan menggunakan pendekatan komprehensif. Artinya,
pengajar BIPA harus dapat mengemas materi ajar bukan hanya tentang bahasa Indonesia
saja, melainkan memasukan budaya Indonesia ke dalam materi BIPA. Hal ini bertujuan
agar penutur asing mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
158
dengan baik dan benar sesuai dengan kebutuhan mereka, serta memahami tentang
budaya Indonesia baik budaya yang kasat mata (tarian, drama, puisi, adat istiadat,
kegiatan keagamaan ) maupun yang tidak.
Daftar Pustaka
Abidin, Y. & Astuti, S. (2013) Pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing.
Panduan praktis pembelajaran BIPA. Bandung : Rizki Press
Echols & Shadily, H. (2004) Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
Echols & Shadily, H. (2008) Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
Iskandarwassid & Sunendar, D. (2008) Strategi pembelajaran bahasa. Bandung:
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan PT Remaja
Rosdakarya
Pusat Bahasa, (2008) Kamus besar bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Sumarsono & Partana, P. (2002) Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda & Pustaka
Pelajar
Suyitno, I. (2012) Menulis makalah dan artikel. Bandung : PT Rafika Aditama
Tim BIPA Pusat Bahasa, (2008) Lentera Indonesia 3 . Penerang untuk memahami
masyarakat dan budaya Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa Depertemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Putri, R.E. (2010). Fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia.[Online].Tersedia di:
http://rahmaekaputri.blogspot.com/2010/09/fungsi-dan-kedudukan-bahasa-
indonesia.html.Diakses 05 Oktober 2015.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
159
PENGGUNAAN PRINSIP-PRINSIP PRAGMATIK
DALAM PERISTIWA TUTUR
PADA KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI STKIP SILIWANGI BANDUNG
Dede Abdurrakhman
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Salah satu bentuk kegiatan berbahasa adalah melalui medium lisan. Ketika kegiatan
itu berlangsung, maka terciptalah peristiwa tutur. Peristiwa tutur merupakan salah satu
bidang kajian Pragmatik. Pragmatik sebagai sebuah ilmu bahasa memiliki beberapa
prinsip yang harus diperhatikan oleh penutur dan petutur, yakni prinsip kesantunan
dan prinsip kerjasama. Kedua prinsip ini memiliki beberapa maksim yang mengatur
kegiatan berbahasa secara lisan agar dapat berjalan secara efektif. Tulisan ini mencoba
memaparkan hasil penelitian mengenai kondisi penggunaan prinsip-prinsip pragmatik
dalam peristiwa tutur yang terjadi saat kegiatan belajar mengajar di STKIP Siliwangi
Bandung, khususnya di Prodi PBS. Indonesia. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini didanai oleh STKIP Siliwangi
Bandung melalui Dana Penelitian Kompetitif (DPK) tahun 2012/2013. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa prinsip-prinsip pragmatik tidak sepenuhnya
dilaksanakan oleh penutur, baik doesn maupun mahasiswa. Hal ini terjadi karena
tuturan disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta isi dan tujuan tuturan itu sendiri.
Kata Kunci: prinsip pragmatik, peristiwa tutur.
Pendahuluan
Bahasa sebagai lambang bunyi yang bersistem tidak akan pernah lepas dari kehidupan
manusia. Dua medium bahasa yakni lisan dan tulis menjadi dimensi penggunaan bahasa.
Namun, dalam penggunaanya, medium lisan seringkali dinilai bersifat lebih efektif dan
komunikatif. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nurgiyantoro (2009:277) yakni bahasa lisan
lebih fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam penggunaan bahasa secara lisan, dikenal peristiwa yang disebut peristiwa tutur.
Peristiwa tutur ini diartikan Yule (2006:82) sebagai suatu kegiatan di mana para peserta tutur
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
160
berinteraksi dengan bahasa dalam cara-cara konvensional untuk mencapai suatu hasil. Inilah
yang kemudian membedakan bentuk bahasa secara lisan dan tulis. Bentuk bahasa lisan yang
disebut sebagai tindak tutur tidak akan pernah terlepas dari konteks. Segala hal yang tidak
bisa dijelaskan oleh pernyataan atau bentuk tuturan lain akan dapat dijelaskan oleh konteks.
Kehidupan manusia tidak terlepas dari peristiwa tutur karena dalam manusia
merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi untuk saling melengkapi informasi dan
bahkan mencapai suatu kesepakatan. Peristiwa tutur merupakan kegiatan yang tidak terlepas
dari konteks, yakni hal yang mendukung atau menjelaskan suatu makna, yang kemudian
menjadi salah satu bahasan pragmatik sebagai salah satu ilmu bahasa. Namun, bukan hanya
itu saja. Pragmatik juga mengkaji peristiwa tutur berdasarkan prinsip. Artinya, secara disadari
ataupun tidak, dalam peristiwa tutur, baik penutur maupun lawan tutur sebagai bagian dari
peristiwa tutur itu sendiri akan berkenaan dengan penggunaan prinsip-prinsip pragmatik.
Penggunaan prinsip-prinsip pragmatik ini akan berkaitan erat dengan kelancaran proses
berbahasa secara lisan, sehingga menciptakan komunikasi yang efektif dan efisien. Selain itu,
secara langsung maupun tidak langsung, cara dan gaya berbahasa yang baik cenderung
menjadi faktor penentu derajat pendidikan seseorang. Walaupun tentunya hal itu disesuaikan
dengan situasi dan kondisi. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang berkembang di
masyarakat mengenai gaya bertutur atau berbahasa, mulai dari “bahasa menunjukkan
bangsa”, “usul menunjukkan asal”, “budi baik basa ketuju”, hingga “yang elok budi yang
indah bahasa”.
Peristiwa tutur yang terikat prinsip-prinsip terjadi pada berbagai situasi, termasuk saat
kegiatan belajar mengajar (KBM) di dalam kelas. Proses komunikasi yang efektif dan efisien
antara dosen dengan mahasiswa ataupun mahasiswa dengan mahasiswa tentu akan
menciptakan suasana kegiatan belajar mengajar yang lebih efektif dan efisien. Proses
demikian tentu akan pula memberikan hasil pembelajaran yang lebih optimal. Inilah yang
menjadi landasan penting mengapa penggunaan prinsip-prinsip pragmatik sangat penting
untuk diperhatikan, meskipun jika melanggar belum tentu menjadi salah. Selain itu, melalui
kajian ini, penggunaan prinsip-prinsip pragmatik diharapkan dapat menjadi sebuah bahan
untuk meningkatkan kualitas penggunaan bahasa pada saat kegiatan belajar mengajar,
khususnya di STKIP Siliwangi Bandung sebagai tempat penelitian dilakukan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
161
Sebagai bahan pengantar langkah penelitian, pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
(1) Bagaimana penggunaan bahasa dosen dan mahasiswa dalam kegiatan belajar mengajar di
STKIP Siliwangi Bandung?; (2) Bagaimana penggunaan prinsip-prinsip pragmatik dalam
kegiatan belajar mengajar di STKIP Siliwangi Bandung?; (3) Apakah penggunaan bahasa
dengan memperhatikan prinsip-prinsip pragmatik membuat kegiatan belajar mengajar
menjadi lebih berkualitas?
Kajian Teori
Banyak ahli yang menyatakan pandangannya mengenai pragmatik, beberapa di
antaranya adalah Leech (1993:8) yang mengemukakan bahwa pragmatik adalah bidang
linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi tuturan (speech
situation).
Kridalaksana (2001:176) mengidefinisikan pragmatik sebagai syarat-syarat yang
mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi dan aspek-aspek
pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna
ujaran. Sementara itu, Rahardi (2003:15) dengan mengutip Levinson mengatakan bahwa
pragmatik adalah studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks
yang dimaksud tergramatisasi dan terkondifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur
bahasanya. Selanjutnya Rahardi (2003:14) juga mengutip pendapat Parker mengemukakan
bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara
eksternal. Adapun yang dimaksud dengan itu adalah bagaimana satuan lingual tertentu
digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah
cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu berkaitan
dengan bagaimana satuan bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Pragmatik pada dasarnya
menyelidiki bagaimana makna di balik tuturan yang terikat pada konteks yang melingkupi di
luar bahasa, sehingga dasar dari pemahaman terhadap pragmatik adalah hubungan antara
bahasa dengan konteks.
Dalam ilmu pragmatik, dikenal prinsip-prinsip yang harus diperhatikan penutur dan
petutur. Prinsip-prinsip pragmatik ini merupakan segala bentuk asas yang menjadi landasan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
162
bertutur. Dalam kajian formal yang menjadi landasan adalah hukum, ketika hukum itu
dilanggar, maka dinyatakan salah. Sementara itu, dalam kajian pragmatik yang menjadi
landasan adalah prinsip, di mana ketika terjadi pelanggaran maka belum tentu menandakan
sebuah kesalahan.
Secara praktis, prinsip pragmatik dibedakan menjadi dua, sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh (Wijana, 1996:55), yakni prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.
Prinsip kerja sama berhubungan dengan pernyataan Allan dalam Wijana (1996:45) yang
menyebutkan bahwa berbahasa adalah aktivitas sosial. Selanjutnya, Wijana (1996:45)
menyatakan bahwa agar proses komunikasi berjalan secara lancar, maka ada semacam prinsip
kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara.
Grice dalam Wijana (1996:46-52) dan dalam Rahardi (2005:53-59) mengemukakan
bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4
maksim percakapan, yakni: (1) maksim kuantitas, menghendaki seorang penutur memberikan
informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin; (2) maksim kualitas,
mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya; (3) maksim
relevansi, mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan
dengan masalah pembicaraan; serta (4) maksim cara/maksim pelaksanaan, mengharuskan
setiap percakapaan berbicara secara langsung tidak kabur, tidak taksa dan tidak berlebih-
lebihan, serta runtut (Rahardi 2003:36-53).
Sementara itu, sama halnya dengan prinsip kerja sama, prinsip kesopanan juga terdiri
atas beberapa maksim, seperti yang diuraikan Rahardi (2003:40-56), yakni: (1) maksim
kebijaksanaan, setiap peserta tuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain, atau
memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.; (2) maksim kedermawanan, setiap peserta
tindak tutur untuk mengurangi keuntungan bagi diri sendiri dan tambahi pengorbanan diri
sendiri; (3) maksim penghargaan, selalu berusaha untuk memberikan penghargaan dan
penghormatan kepada pihak lain secara optimal; (4) maksim kesederhanaan, peserta tutur
diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian atau penghormatan
terhadap dirinya sendiri dan memaksimalkan penghormatan atau pujian terhadap orang lain;
(5) maksim permufakatan, setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan
permufakatan atau kecocokan di antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan di antara
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
163
mereka dan maksim simpati; serta (6) maksim kesimpatisan, para peserta tutur selalu
memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya.
Lebih lanjut yang perlu diuraikan, kedudukan prinsip dalam peristiwa tutur berbeda
dengan kedudukan kaidah dalam hal berkegiatan menulis. Inilah yang kemudian membawa
kajian pragmatik menjadi sebuah kajian fungsional, bukan kajian hukum seperti kajian
formal. Pelanggaran kaidah dalam kajian formal tentu dinyatakan salah karena telah
melanggar hukum, namun pelanggaran prinsip dalam kajian pragmatik belum tentu
dinyatakan salah.
Terlepas dari masalah prinsip-prinsip pragmatik, Searly dalam Rahardi (2003:72)
mengemukakan bahwa terdapat lima bentuk tuturan yang menunjukan fungsi-fungsi
komunikatif: (1) asertif, yaitu bentuk tuturan yang mengikat penuturn pada kebenaran
proposisi yang diungkapkan misalnya menyarankan; (2) directif, yaitu bentuk tuturan yang
dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar sang mitra tutur melakukan tindakan
tertentu, misalnya memerintah; (3) ekspresif, yaitu bentuk tuturan yang berfungsi untuk
menyatakan atau menunjukan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya
permintaan maaf dan lainnya; (4) komisif, yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk
menyatakan janji atau permintaan penawaran, misalnya menawarkan; dan (5) deklarasi, yakni
bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya menghukum.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis, yaitu
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan kegiatan menganalisis data. Metode
deskriptif digunakan karena penelitian ini menggambarkan dan menjelaskan data secara apa
adanya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Arikunto (1993:310) yakni bahwa metode deskriptif
adalah metode yang menjelaskan data atau objek secara natural, objektif, dan faktual (apa
adanya).
Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah dosen dan mahasiswa STKIP
Siliwangi Bandung tahun ajaran 2012/2013 dengan berbagai latar belakang yang beraneka
ragam. Sementara itu, yang menjadi data penelitian adalah tuturan dosen dan mahasiswa
tersebut. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik, yakni observasi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
164
(rekam data), wawancara dan telaah dokumen. Lebih lanjut, teknik pengolahan data yang
digunakan adalah antisipasi, yakni menyiapkan butir-butir yang dianalisis; reduksi, memilah
dan mengelompokkan data; penyajian data, mengalisis data yang sudah dikelompokkan; serta
penarikkan simpulan, yakni menarik simpulan yang berkaitan dengan representasi prinsip-
prinsip pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.
Pembahasan
Hasil penelitian diperoleh dari 13 data yang terkumpul terkait penggunaan prinsip-
prinsip pragmatik dalam peristiwa tutur. Data tersebut dianalisis melalui pengodean dan
pembuatan matriks. Pengodean dilakukan untuk memudahkan pemeriksaan dan penarikkan
simpulan. Kode dalam analisis data terdiri atas data tuturan, kode tuturan, dan penjelasan
konteks tuturan atau informasi indeksikal. Sementara itu, matriks digunakan untuk
menampung data analisis yang terdiri atas praktik tuturan yang kemudian dianalisis menurut
skala kerja sama dan kesopanan Leech. Pada akhirnya, langkah-langkah tersebut dilakukan
untuk memperoleh simpulan umum dari semua data.
Contoh dari penganalisian data untuk memperoleh hasil penelitian adalah sebagai
berikut.
Data dan analisis data 1
D (1) : Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai hal tersebut?
M1 (2) : Iya, Bu. Menurut saya memang .................
MM (3) : Curhat, curhat...
M1 (4) : Ehm... Coba saja pikirkan oleh Ibu!
M2 (5) : Aduh nyuruh itu mah, Bu.
M1 (6) : Eh, iya, Bu. Selalu saja kami-kami ini yang nasibnya sebagai guru honorer. Ah,
pokonya sudahlah, yang enak itu guru PNS. Mereka mah masalah administrasi
selalu santai, tidak membuat juga ya gaji tetap. Akhirnya penuntasan masalah
administrasi ya harus diselesaikan oleh kami-kami ini sebagai guru honorer,
padahal gajinya tetap ga seberapa, jauh di bawah mereka.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
165
Informasi indeksikal
Peristiwa tutur terjadi saat perkuliahan Perencanaan Pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas
karyawan yang mayoritas mahasiswanya merupakan guru honorer. Peristiwa tutur terjadi
ketika pengajar bertanya mengenai pendapat mahasiswa perihal penyusunan perencanaan
pengajaran yang kadang tidak dikerjakan sendiri oleh guru yang bersangkutan.
Keterangan:
D = Dosen
M1 = Mahasiswa 1
M2 = Mahasiswa 2
MM = Mahasiswa-mahasiswa (serentak)
Analisis
1. Analisis berdasarkan prinsip kesantunan
Berdasarkan prinsip kesantunan, dalam data peristiwa tutur di atas ada bagian tuturan
yang kurang memaksimalkan atau dengan kata lain melanggar prinsip kesantunan, yakni pada
tuturan (3) dan (4). Pelanggaran prinsip kesantunan terjadi karena pelanggaran pada maksim
kebijaksanaan, yakni ketika M1 sedang bertutur tiba-tiba MM bertutur dengan kurang
memaksimalkan keuntungan bagi MM karena dengan tiba-tiba memenggal tuturan (3).
Selanjutnya, pada tuturan (4) “coba saja pikirkan oleh ibu” yang dituturkan mahasiswa
kepada pengajarnya memiliki nilai rasa yang kurang baik. Tuturan tersebut kurang
mencerminkan maksim penghargaan. Melalui tuturan tersebut, mahasiswa (M1) menyuruh
secara langsung tanpa basa-basi dengan pilihan kata yang langsung pada pokok masalah.
Berdasarkan prinsip dan budaya yang berlaku, kesantunan tuturan seseorang justru
ditunjukkan dengan tuturan yang tidak langsung dan tentu dengan pilihan kata yang lebih
sopan. Ketidakmaksimalan penggunaan prinsip kesantunan ini dirasakan dan didukung oleh
tuturan mahasiswa lain yakni M2 pada tuturan (5) yang dengan spontan menyatakan tuturan
“Aduh nyuruh itu mah, Bu.” yang bermakna bahwa tuturan M pada tuturan (4) kurang santun.
Selanjutnya, dalam data tersebut juga ketidakmaksimalan dan kemaksimalan
penggunaan prinsip kesantunan terjadi sekaligus pada tuturan (5). Secara langsung penutur
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
166
pada tuturan (5) kurang memaksimalkan penggunaan maksim kesimpatian. Artinya, M2
dalam tuturan (5) memperkecil simpati dan cenderung antipati pada M1 pada tuturan (4).
Akan tetapi, secara sekaligus, justru M2 melontarkan tuturan (5) karena adanya simpati pada
D dan tuturan itu menjadi semacam pembelaan bagi D.
2. Analisis berdasarkan prinsip kerja sama
Penggunaan prinsip kerja sama dalam peristiwa tutur pada data di atas juga kurang
dimaksimalkan. Artinya, ada bagian tuturan yang melanggar prinsip kerja sama. Sama halnya
dengan pelanggaran prinsip kesantunan, pelanggaran prinsip kerja sama terjadi pada tuturan
(3), yakni M2 sebagai peserta tutur memotong tuturan M1 dan kurang memaksimalkan
maksim relevansi, artinya kurang mendukung tuturan peserta tutur lainnya. Sementara itu,
tuturan (4) kurang memaksimalkan maksim pelaksanaan karena mengajukan perintah secara
langsung dengan bahasa yang frontal secara nilai rasa. Nilai rasa yang dikategorikan frontal
secara maksim pelaksanaan ini diperkuat oleh tuturan (5).
Hasil analisis data 1 tersebut kemudian digambarkan dalam Tabel 1 dan Tabel 2
berikut.
Tabel 1
Analisis Prinsip Kesantunan Data 1
No Da-
ta
No
Tuturan Jenis Tuturan Prinsip Kesantunan Ket. Maksim
kebijak-
sanaan
Maksim
kederma
wanan
Maksim
peng-
hargaan
Maksim
Ke-
sederha-
naan
Maksim
Per-
mufakat
-an
Maksim Ke-
simpatian
1 1 (3) Curhat, curhat... Ekspresif X X
2 1 (4) Ehm... Coba saja
pikirkan oleh Ibu!
Direktif X X X
3 1 (5) Aduh nyuruh itu
mah, Bu.
Eks-presif X X X pada
M,
√ pada D
Tabel 2
Analisis Prinsip Kerjasama Data 1
No. No
Data
Tuturan Jenis
Tuturan
Prinsip kerja sama Keterangan Maksim
Kuan-
titas
Maksim
Kuali-
tas
Maksim
Relevan
-si
Maksim
Pe-
laksana-
an
1 1 (3) Curhat, curhat... Ekspresif X 2 1 (4) Ehm... Coba saja pikirkan oleh
Ibu!
Direktif X
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
167
Penjabaran analisis data pada Tabel 1 dan Tabel 2 merupakan contoh penyajian
hasil analisis melalui deskriptif ke dalam bentuk matriks. Penjelasan dari Tabel 1 dan Tabel 2
sesuai dengan apa yang telah diuraikan sebelumnya.
Sebagai contoh penganalisisan lainnya, berikut ini disajikan data dan analisis data 2.
Data dan Analisis Data 2
D (1) : Ada yang belum masuk kelompok?
MM (2) : (hening)
D (3) : Ayo siapa yang belum masuk kelompok?
MM (4) : Sudaaahhh
D (5) : (memeriksa daftar kelompok)
D (6) : M1, belum ya?
M1 (7) : (Senyum)
D (8) : Mengapa Ma belum masuk kelompok?
M1 (9) : (senyum)
D (10) : Yang lainnya, hey, bagaimana ini temannya, qo belum masuk kelompok? Kenal
tidak dengan Ma?
M2 (11) : Kenal, bu. Tapi ga tau dianya kenal sama kita atau ngga?
D (12) : Eh, kenapa begitu, sudah 4 semester sama-sama masa begitu? Ma kenal tidak
dengan teman-teman sekelas ini?
M1 (13) : (senyum)
Informasi indeksikal
Peristiwa tutur terjadi setelah pembagian kelompok. Ma adalah mahasiswa yang pendiam dan
jarang bicara.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
168
Keterangan:
D = Dosen
M1 = Mahasiswa 1
M2 = Mahasiswa 2
MM = Semua mahasiswa
Analisis
1. Analisis prinsip kesantunan
Ditinjau dari prinsip kesantunan, dari awal peristiwa tutur di atas telah tampak
pelanggaran prinsip kesantunan. Ketika D (1) melontarkan pertanyaan, suasana hening (2)
menandakan tidak ada jawaban dari peserta tutur lainnya. Peristiwa tutur seperti ini
merupakan tanda pelanggaran prinsip kesantunan dari segi maksim kebijaksanaan. Tidak
menjawab pertanyaan lawan tutur menandakan tidak ada pemaksimalan keuntungan bagi
lawan tutur tersebut. Keadaan seperti ini juga terjadi pada (5), (7), (9), (13).
Senyum sebagai salah satu tanda kesimpatisan menandakan pemaksimalan maksim
kesimpatisan, sehingga dapat dikatakan peserta tutur yang senyum sebagai tanda kesimpatisan
adalah orang yang santun, juga sekaligus sebagai penanda maksim kesederhanaan. Namun,
lebih jauh ternyata pemaksimalan maksim ini tidak sepenuhnya menjadikan peserta tutur
sebagai orang yang santun karena dia lebih banyak melakukan pelanggaran pada maksim-
maksim lainnya.
Pelanggaran maksim terjadi pada maksim kebijaksanaan seperti yang telah diuraikan
dan maksim permufakatan, yakni ketika peserta tutur tidak dapat membina kecocokan. Selain
itu, tindak tutur seperti itu juga melanggar maksim kedermawanan, dan penghargaan.
Pelanggaran maksim kebijaksanaan, permufakatan dan kesimpatian juga terjadi pada tuturan
(11) yang dilontarkan M1, yakni “ga tau dianya kenal sama kita atau ngga”. Tuturan tersebut
jelas mencerminkan sikap antipati, sehingga dianggap tidak memenuhi maksim kesimpatian.
2. Analisis prinsip kerja sama
Sama halnya dengan prinsip kesantunan, dalam peristiwa tutur di atas juga dengan
sangat jelas terlihat pelanggaran prinsip kerja sama. Lontaran pertanyaan-pertanyaan yang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
169
tidak mendapatkan jawaban memadai, tuturan (7), (9), (13), yakni hanya dengan senyum yang
tidak jelas menandakan adanya pelanggaran prinsip kerja sama dalam semua maksim. Dari
maksim kuantitas, keadaan seperti itu jelas lawan tutur dari pemberi pertanyaan tidak
memberikan informasi yang cukup, memadai dan informatif. Dari maksim kualitas jelas tidak
ada kualitas yang diberikan. Dari maksim relevansi tidak terjalin kerja sama karena lawan
tutur tidak memberikan kontribusi yang relevan dengan yang dipertuturkan. Begitu pula dari
maksim pelaksanaan, maksim ini mengharuskan peserta tutur bertutur secara langsung, jelas,
dan tidak kabur, sementara tuturan (7), (9), dan (13) tidak menunjukkan keadaan tersebut.
Pelanggaran juga terjadi dari segi maksim relevansi pada tuturan (4), tuturan (3)
mengharapkan siapa yang belum masuk kelompok, tetapi lawan tutur menjawab sudah.
Artinya, lawan tutur tidak memberikan kontribusi yang relevan dengan tuturan sebelumnya.
Selain itu, pelanggaran juga terjadi dari segi maksim kualitas karena ternyata di antara mereka
ada yang belum masuk kelompok, tetapi tidak mengutarakannya. Artinya, peserta tutur tidak
memberikan informasi yang sesuai fakta. Meskipun demikian, tuturan tersebut secara maksim
pelaksanaan dianggap telah memenuhi maksim tersebut.
Berikut ini hasil analisis data 2 disajikan dalam Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3
Analisis Prinsip Kesantunan Data 2
No Da-
ta
No
Tuturan Jenis
Tuturan
Prinsip Kesantunan Ket. Maksim
kebijak-
sanaan
Maksim
kederma
wanan
Maksim
peng-
hargaan
Maksim
Ke-
sederha-
naan
Maksim
Per-
mufakat
-an
Maksim
Ke-
simpati-
an
1. 2 (5), (7), (9), (13) senyum
sebagai respon pertanyaan
Eks-
presif
X X X √ X √
2. 2 (11) Kenal, bu. Tapi ga tau
dianya kenal sama kita atau
ngga?
Eks-
presif
X X X
3. 2 (5), (7), (9), (13) senyum
sebagai respon pertanyaan
Eks-
presif
X X X √ X √
Tabel 4
Analisis Prinsip Kerjasama Data 2
No. No
Data
Tuturan Jenis
Tuturan
Prinsip kerja sama Keterangan Maksim
Kuan-
titas
Maksim
Kuali-
tas
Maksim
Relevan
-si
Maksim
Pe-
laksana-
an
1 2 (5), (7), (9), (13) senyum
sebagai respon pertanyaan
Ekspresif X X X X
2 2 Sudaaahhh Ekspresif √ X X √
3 2 (11) Kenal, bu. Tapi ga tau Ekspresif X
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
170
dianya kenal sama kita atau
ngga?
Deskripsi dari Tabel 3 dan Tabel 4 telah diuraikan sebelumnya. Demikianlah dua
contoh pendeskripsian dan penganalisisan data. Selanjutnya, semua data disajikan dalam satu
tabel untuk selanjutnya dibahas dan ditarik simpulan. Adapun tabel hasil dari keseluruhan
data yang telah dianalisis, disajikan dalam Tabel 5 berikut.
Tabel 5
Rekapitulasi Data Hasil Tuturan yang Mencakup Prinsip Kesantunan dan Prinsip Kerjasama
Data
Prinsip Kesantunan Prinsip Kerjasama TOTAL
Maksim
Kebijaksan
aan
Maksim
kederma
wanan
Maksim
peng-
hargaan
Maksim
Ke-
sederha-
naan
Maksim
Per-
mufakat
-an
Maksim
Ke-
simpati-
an
Maksim
kuantita
s
Maksim
kualitas
Maksim
Relevansi
Maksim
Pelaksanaa
n
√ X
Data 1
1. X X X 3
2 X X X X 4
3 X X X 3
Data 2
1 X X X √ X √ X X X X 2 8
2 X X X √ X X √ 2 5
3 X X X √ X √ X 2 5
Data 3
1 √ √ √ √ √ √ 6
2 √ √ √ √ 4
3 √ √ 2
Data 4
1 X √ X √ X 2 3
2 √ √ √ 3
3 √ √ 2
Data 5
1 √ √ X X X X 2 4
2 √ √ X √ √ X 4 2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
171
Data
Prinsip Kesantunan Prinsip Kerjasama TOTAL
Maksim
Kebijaksan
aan
Maksim
kederma
wanan
Maksim
peng-
hargaan
Maksim
Ke-
sederha-
naan
Maksim
Per-
mufakat
-an
Maksim
Ke-
simpati-
an
Maksim
kuantita
s
Maksim
kualitas
Maksim
Relevansi
Maksim
Pelaksanaa
n
√ X
3 √ 1
4 √ 1
5 √ 1
6 √ 1
7 √ 1
Data 6
1 √ √ √ √ √ 5
2 √ 1
3 √ 1
Data 7
1 √ √ √ √ √ 5
Data 8
1 √
2 √ X 1 1
3 √ √ √ √ √ 5
4 √ √ √ √ 4
Data 9
1 √ √ X X 2 2
Data 10
1 √ X 1 1
2 √ √ 2
Data 11
1 X X 2
Data 12
1 X X 2
Data 13
1 √ X 1 1
TOTAL X = 8
√ = 6
X = 2
√ = 5
X = 4
√ = 3
X = 2
√ = 8
X = 5
√ =13
X = 2
√ = 3
X = 6
√ = 5
X = 5
√ = 7
X = 8
√ = 8
X = 5
√ = 6
6
4
4
6
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
172
Dari Tabel 5 di atas, dapat ditarik simpulan bahwa hasil tuturan yang memenuhi
maksim kesantunan dan maksim kerjasama justru lebih banyak dibanding dengan jumlah
pelanggaran maksim kesantunan dan maksim kerjasama. Tuturan yang memenuhi maksim
kesantunan dan maksim kerjasama berjumlah 64, sedangkan yang melanggar maksim
kesantunan dan maksim kerjasama berjumah 46. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan
komunikasi antara dosen dengan mahasiswa dalam proses pembelajaran berjalan dengan baik.
Adapun pelanggaran terhadap prinsip pragmatik dalam kegiatan pembelajaran tentunya
tidak terlalu mengindikasikan permasalahan yang signifikan. Dengan hasil ini dapat dikatakan
bahwa komunikasi dalam proses pembelajaran justru tidak mengalami permasalahan yang
serius. Dengan hasil data ini dosen dianggap mampu menyampaikan materinya dengan baik
dan mahasiswa dianggap memiliki sikap kesantunan dan kerjasama yang baik sehingga
adanya komunikasi yang baik dalam proses pembelajaran.
Namun dari hasil tersebut, perlu adanya perbaikan, di antaranya perlu adanya
menumbuhkan sikap saling menghargai dalam memberikan pendapat (sehubungan dengan
jumlah pelanggaran maksim kebijaksanaan yang banyak berjumlah 8 dibanding dengan
tuturan yang memenuhi maksim kebijaksanaan yang berjumlah 6) dan mengeksplorasi
kemampuan berbicara mahasiswa yang sesuai dengan tema pembahasan yang dibahas pada
waktu pembelajaran (sehubungan dengan jumlah pelanggaran maksim relevansi yang relatif
sama yang berjumlah 8 dengan tuturan yang memenuhi maksim relevansi yang berjumlah 8).
Selanjutnya, setelah dianalisis, berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa
mahasiswa menggunakan bahasa yang berbeda kepada setiap orang. Artinya, mereka
menggunakan bahasa sesuai dengan lawan bicaranya. Penggunaan bahasa ini jelas dilihat dari
prinsip kesantunan dan kerja samanya. Berdasarkan wawancara prinsip-prinsip ini tidak
dieksplisitkan, namun dapat tergambar dari pernyataan mahasiswa yang menyatakan bahwa
dengan teman mereka lebih bebas dalam menggunakan bahasa, artinya mereka tidak lagi
memerhatikan aturan-aturan apapun.
Sementara itu, mereka mengaku bahwa bahasa yang mereka gunakan ketika
berbicara dengan dosen cenderung berbeda. Mereka menempatkan diri dalam menggunakan
bahasa sesuai dengan tingkat keakraban mereka dengan dosen tersebut. Selain itu, faktor yang
mempengaruhi perbedaan penggunaan bahasa adalah tingkat rasa hormat orang tersebut
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
173
terhadap lawan bicaranya. Lawan bicara yang dipandang memiliki integritas tinggi tentu
membuat seseorang menggunakan bahasa yang lebih santun dan hormat dibandingkan dengan
lawan bicara yang biasa.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan diperoleh beberapa simpulan
yang dapat menjawab rumusan masalah yang diajukan. Simpulan tersebut, pertama
penggunaan bahasa dosen dan mahasiswa dalam kegiatan belajar mengajar di STKIP
Siliwangi didasarkan pada kepentingan dan lawan bicara.
Kedua, penggunaan prinsip-prinsip pragmatik dalam kegiatan belajar mengajar di
STKIP Siiwangi beragam: ada tuturan yang memang memenuhi penggunaan prinsip-prinsip
pragmatik; dan ada pula yang tuturan-tuturan yang melanggar prinsip-prinsip tersebut.
Sementara itu, proses komunikasi dalam pembelajaran tidak mengalami permasalahan yang
serius.
Ketiga, penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip pragmatik
menjadi salah satu faktor penentu kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran di sini tidak
mengarah secara langsung pada hasil pembelajaran. Namun, setidaknya mengarah langsung
pada kualitas proses pembelajaran. Meski demikian, penggunaan prinsip-prinsip pragmatik
tetap mengacu pada situasi dan kondisi peristiwa tutur.
Hasil analisis dan simpulan yang telah diuraikan belum merepresentasikan
penggunaan prinsip-prinsip pragmatik dalam peristiwa tutur secara sempurna. Oleh karena
itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih sempurna dan representatif, diperlukan penelitian
lanjutan yang lebih menyeluruh dan mendalam.
Berdasarkan data, analisis, dan penarikkan simpulan, rumusan masalah no 3 belum
terjawab sepenuhnya karena kualitas yang dimaksud hanya mengarah pada kualitas proses
saja, tanpa melihat kualitas hasil. Hal ini terjadi karena kurangnya data serta kenyataan bahwa
kualitas pembelajaran tidak hanya berdasarkan pada penggunaan bahasa saja, tetapi juga
berdasarkan faktor lainnya. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya hendaknya merancang
instrumen penelitian yang lebih representatif untuk mendukung pengumpulan data dan
penarikkan simpulan yang lebih akurat.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
174
Penelitian ini hanya berlaku pada kurun waktu tertentu, dalam arti sesuai dengan
sumber data (mahasiswa STKIP) yang diambil adalah pada masa saat ini. Di sisi lain kualitas
mahasiswa setiap tahunnya akan berbeda, sehingga untuk melihat kualitas pembelajaran dari
sudut pandang penggunaan bahasa ini idealnya dilakukan setiap tahun sehingga dapat terlihat
progres report kualitas pembelajaran. Adapun mengenai hal tersebut penelitian selanjutnya
bisa dilakukan oleh peneliti lainnya.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI-Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Yogyakarta: BPFE.
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Imperatif Bahasa
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Wijana, I. Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.
Yule, George. 2006. Pragmatik (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
175
PENERAPAN PAYUNG HUKUM BAHASA INDONESIA
MENJELANG AJANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Diena San Fauziya
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Bahasa Indonesia sebagai salah satu identitas bangsa dipayungi oleh hukum yang jelas,
salah satunya UU No. 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, lambang negara, serta
lagu kebangsaan. Bab III Undang-Undang ini berisi kebijakan mengenai penggunaan
bahasa, mulai dari kedudukan dan fungsi; penggunaan; pengembangan, pembinaan, dan
pelindungan; hingga peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional.
Namun demikian, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana
penerapan hukum bahasa tersebut dalam kenyataannyan, khususnya menjelang ajang
Masyarakat Ekonomi Asean? Untuk menemukan jawabannya, metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian deskriptif. Populasi penelitian adalah nama dan informasi
dalam produk dan jasa, rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan
informasi lain yang merupakan pelayanan umum di wilayah Cimahi. Sampelnya adalah
yang ada di sekitar Kebun Rumput, Cimindi, dan Ganda Wijaya. Hasil yang diperoleh
adalah banyak nama usaha, informasi produk dan jasa, serta fasilitas-fasilitas umum
yang menggunakan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. data tersebut membuktikan
masih lemahnya penerapan hukum bahasa di masyarakat. Keadaan tersebut terbukti
karena kurangnya sikap positif masyarakat pengguna bahasa Indonesia, baik dari ciri
kesetiaan, kebanggaan, maupun kesadaran adanya norma bahasa.
Kata kunci: hukum bahasa, Masyarakat Ekonomi Asean
Pendahuluan
Bahasa Indonesia merupakan salah satu identitas bangsa Indonesia yang kedudukannya
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD tersebut, tepatnya Bab XV pasal 36,
bahasa Indonesia ditetapkan berkedudukan sebagai bahasa negara. Selain itu, bahasa Indonesia
juga diatur dalam UU No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu
Kebangsaan. Dengan demikian, jelaslah bahwa bahasa Indonesia memiliki payung hukum yang
jelas.
Namun demikian, bagaimana dengan implementasinya? Apakah hukum tersebut telah
diterapkan oleh para pengguna bahasa dengan bijak? Perlu dilakukan penelitian yang serius
dalam menanggapi masalah ini. Dengan demikian, melalui tulisan ini akan diuraikan hasil
penelitian berkenaan dengan penerapan payung hukum bahasa Indonesia, khususnya dalam
menghadapi ajang Masyarakat Ekonomi Asean.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
176
Seperti yang telah ditetapkan, Masyarakat Ekonomi Asean merupakan ajang dibukanya
pasar bebas. Amri (2015) mengemukakan Masyarakat Ekonomi Asean ini dibentuk dengan
tujuan untuk mencapai kesempurnaan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN yang diyakini
dapat memberikan manfaat nyata bagi seluruh elemen masyarakat. Ditinjau dari segi bahasa,
ajang ini merupakan salah satu momentum yang dapat digunakan untuk membangun kembali
dan mengukuhkan eksistensi bahasa Indonesia sebagai sebuah bahasa yang mandiri dan khas
jika masyarakatnya berniat untuk itu karena bahasa merupakan salah satu unsur yang
terintegrasi ke dalam berbagai bidang, termasukekonomi.
Masyarakat Ekonomi Asean memanglah berurusan dalam hal ekonomi. Namun, seperti
yang kita ketahui, sektor tersebut juga akan berimbas pada ranah bahasa sebagai salah satu
media perantaranya. Pandangan ini sejalan dengan apa yang dikatakan Junaidi (2015) bahwa
pertumbuhan ekonomi dapat mempengaruhi bahasa, mekipun pada akhirnya ia mematahkan
pandangannya sendiri. Tidak dapat dimungkiri, MEA memang membuka peluang besar
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa perantaranya, mengingat ajang ini merupakan
integrasi berbagai bangsa. Akan tetapi, bahasa Indonesia sesungguhnya memiliki peluang untuk
lebih eksis karena memiliki payung hukum yang jelas.
Untuk mengetahui bagaimana eksistensi dan penerapan payung hukum bahasa
Indonesia diperlukan penelusuran. Hasil penelusuran ini tentu dapat menjadi sebuah pintu
masuk yang akan memberikan dasar bagaimana tindak lanjut yang harus diambil dalam
mengokohkan hukum bahasa di Indonesia.
Sebagai landasan penelitian, kajian mengenai penerapan hukum telah pernah dilakukan
bahkan hasilnya telah banyak dipublikasikan, salah satunya hasil penelitian Nugrahani (2014)
yang membuktikan bahwa banyak penggunaan bahasa asing dalam penamaan hotel dan restoran
di Solo. Padahal, sudah terdapat hukum mengenai perniagaan. Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa masyarakat lebih mengutamakan bahasa asing karena dianggap lebih
bergengsi dan bernilai ekonomi tinggi. Hal tersebut disebabkan orientasi hidup masyarakat tidak
lagi lokal, tetapi universal.
Kajian Pustaka
1. Hukum Bahasa Indonesia
Bahasa sebagai sebuah lambang kebanggaan bangsa bagi Indonesia diatur dalam
perundang-undangan yang jelas. Beberapa di antaranya adalah UUD 1945 Bab XV pasal 36 dan
UU RI Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
177
UU No. 24 tahun 2009 bab III bagian kesatu merupakan penjelasan lebih lanjut dari
UUD 1945 bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara. Dalam ayat (3) diuraikan
bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi sebagai bahasa resmi
kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan
nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan bahasa media massa.
Selanjutnya, dalam bagian kedua UU No. 24 tahun 2009 bab III diuraikan ihwal
penggunaan bahasa Indonesia. Sesuai dengan kajian dalam penelitian ini, pasal 37 berisi bahwa
bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi
dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia; pasal 38 yang berisi bahasa Indonesia
wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan informasi
lain yang merupakan pelayanan umum; serta pasal 39 yang berisi bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam informasi melalui media massa.
2. Sikap Bahasa
Berbicara mengenai penerapan payung hukum bahasa maka tidaklah lepas dari
permasalahan sikap bahasa yang dimiliki pengguna bahasa itu sendiri. Sikap bahasa yang
dimiliki pengguna bahasa menjadi sumber dari rasa kepekaan dalam menerapkan hukum
berbahasa.
Menurut Anderson dalam Chaer (2013:54) sikap bahasa adalah tata keyakinan dan
kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa,
yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang
disenanginya. Berkenaan dengan sikap, sikap bahasa bisa bersifat positif dan juga negatif. Sikap
bahasa positif artinya berkenaan dengan sikap yang dinilai baik atau disenangi. Sementara sikap
bahasa negatif berkenaan dengan sikap yang dinilai tidak baik atau tidak disenangi.
Lebih lanjut, Garvin dan Mathiot dalam Chaer (2013:54) menyebutkan ada tiga ciri
sikap bahasa, yakni kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride),
serta kesadaran adanya norma bahasa (awakness of the norm). Kesetiaan bahasa berkenaan
dengan dorongan masyarakat suatu bahasa dalam mempertahankan bahasanya dan apabila perlu
mencegah adanya bahasa lain. Sementara itu, kebanggaan bahasa berkenaan dengan dorongan
orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan
kesatuan masyarakat. Selanjutnya, kesadaran adanya norma bahasa berkenaan dengan dorongan
orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, dan merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap perbutatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
178
3. Pembinaan Bahasa Indonesia
Pembinaan bahasa adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar, terencana, dan
sistematis mengenai peningkatan mutu bahasa sedemikian rupa sehingga masyarakat
pemakainya memiliki kebanggaan dan kegairahan untuk menggunakannya (Amran Halim
dalam Chaer, 2013:80). Merujuk pada pernyataan tersebut, dapat dipastikan bahwa pembinaan
ini berhubungan erat dengan masyarakat bahasa sebagai pengguna bahasa dan sikap bahasa
sebagai dorongan dalam berbahasa. Hubungan tersebut pada akhirnya membawa pengaruh besar
terhadap penerapan hukum bahasa dalam praktiknya.
Chaer (2013:81) menambahkan bahwa sasaran pembinaan bahasa Indonesia adalah
masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Lebih lanjut, Tasai dan Abdul (2002:53) menambahkan
bahwa sasaran pembinaan bahasa Indonesia adalah penutur asli bahasa Indonesia; bukan
penutur asli bahasa Indonesia; orang yang masih bersekolah; orang yang tidak bersekolah
(dewasa); guru di berbagai tingkat persekolahan; kalangan komunikasi media massa, termasuk
penyiar radio dan televisi; kalangan khalayak di bidang industri, perniagaan, penerbitan, dan
perpustakaan; kalangan karyawan instansi pemerintah dan swasta; serta kalangan pengelola
agama dan kepercayaan.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Cimahi. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif. Metode ini dipilih dengan didasarkan pada masalah yang hendak
dipecahkan, yakni untuk mengetahui fenomena atau gambaran mengenai penerapan payung
hukum bahasa. Penggunaan metode ini sesuai dengan hakikat metode deskriptif itu sendiri yang
didefinisikan Sukmadinata (2007:72), yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada.
Data yang dikumpulkan berupa penggunaan bahasa dalam penamaan kompleks
perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, informasi produk, rambu umum, penunjuk jalan,
serta fasilitas umum. Data tersebut dikumpulkan sebagai bukti utama penerapan payung hukum
bahasa Indonesia. Adapun teknik yang digunakan untuk menjaring data tersebut adalah dengan
cara survei dan observasi.
Teknik analisis yang digunakan untuk mengolah data yang terkumpul adalah dengan
teknik induktif. Dengan teknik ini, tahapan yang dilakukan adalah reduksi data, sajian data, dan
penarikan simpulan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
179
Hasil dan Pembahasan Hasil
Tidak dapat dimungkiri, eksistensi bahasa Inggris sebagai bahasa internasional
memberikan kesan tersendiri di mata masyarakat. Bahasa Inggris dianggap lebih keren dan lebih
modern. Setidaknya, kenyataan tersebut terbukti dari nama-nama yang digunakan pelaku usaha.
Dari data yang terkumpul, tidak sedikit pelaku usaha mengaku bahwa penggunaan
bahasa asing, khususnya bahasa Inggris memberikan kesan yang lebih “kekinian” sehingga
dapat menarik konsumen. Telah tercatat setidaknya 57 jajaran nama usaha di Cimahi
menggunakan bahasa Inggris. Angka tersebut belum menjadi jumlah keseluruhan karena
pengambilan data diambil dengan random wilayah, yakni sekitar Kebon Rumput, Cimindi, dan
GandaWijaya. Nama-nama yang digunakan antara lain Bona Fashion, Café Soulmate, Fresh
Juice, Catering Ngudirasa, Afisah Tailor, Corner Kebab, Savana Fried Chicken, Nazira Shoes,
My Shoes, Family Bed Cover, Happy Gift, Pempek Hot Punch, My Style, Ice Blend & Waffle,
Simply Happy Shop, Florist Decoration, Barbershop,Dexx Stone, Bright Clean, dan Be Bag’s.
Selain pada penamaan usaha, bahasa asing juga banyak ditemukan digunakan sebagai
informasi produk dan jasa. Beberapa di antaranya seperti mini market, laundry dry clean, super
cash back, sport club, come in we are open, press body, the strongest ladder, dan our menu.
Selain itu, ditemukan pula penggunaan bahasa asing untuk rambu umum, seperti emergency di
rumah sakit, smoking area di kantor pemerintah kota, next counter please di bank, no suap area
di kantor pemerintah kota, slow down, welcome, ada pekerjaan proyek R.0 extension, dan under
construction.
Dari data di atas, dapat dipastikan bahwa tidak sedikit pelaku usaha yang tidak
mengindahkan adanya peraturan mengenai penggunaan bahasa dalam berniaga. Namun yang
menarik adalah apakah mereka tidak mengindahkan atau justru memang tidak tahu. Untuk
mengetahui lebih lanjut, data pendukung membuktikan bahwa jawaban sama diberikan oleh
semua pelaku usaha yang terjaring pertanyaan mengenai adanya peraturan penggunaan bahasa.
Semua memberikan jawaban bahwa mereka tidak tahu mengenai adanya pasal-pasal yang
mengatur penggunaan bahasa. Dengan demikian, dapat ditarik simpulan penerapan hukum
bahasa banyak terlanggar karena eksistensinya sendiri di mata masyarakat bahasa.
Para pelaku usaha di atas, jelas kurang memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia
sebagai bahasanya sendiri. Kesimpulan itu diambil merujuk pada tiga ciri sikap bahasa menurut
Garvin dan Mathiot dalam Chaer (2013:54), yakni kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, serta
kesadaran adanya norma bahasa. Pelaku usaha yang menjadi subjek penelitian ini tentu tidak
menunjukkan adanya kesetiaan bahasa. Mereka tidak memiliki dorongan sedikitpun dalam
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasanya sendiri. Mereka tidak berupaya
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
180
mempertahankan bahasanya apalagi berupaya mencegah adanya bahasa asing. Mereka juga
tidak memiliki kebanggaan atas bahasanya. Mereka lebih bangga menggunakan bahasa asing.
Menurut mereka, bahasa asing, khususnya Inggris, lebih keren digunakan daripada bahasa
Indonesia. Satu hal yang menjadi ciri tidak adanya sikap positif yang mereka miliki adalah
mereka tidak menyadari adanya norma bahasa. Mereka tidak mengetahui adanya hukum bahasa.
Hukum mengenai penggunaan bahasa berbeda dengan hukum lainnya. Hukum ini
berbeda dengan hukum pidana atau hukum perdata yang memiliki sanksi tegas untuk
pelanggarnya. Hukum mengenai penggunaan bahasa tidak disertai dengan sanksi-sanksi yang
jelas. Dengan demikian, pelanggaran terhadap hukum ini seolah bukanlah menjadi sebuah
pelanggaran.
Di sanalah masalah kemudian berlanjut, ketika aturan ditetapkan bahkan dalam
perundang-undangan, namun ternyata tidak ada tindakan tegas terhadap pelanggar aturan
tersebut, lantas apa gunanya aturan itu diadakan. Perlu tindakan nyata dari para pemangku
kebijakan untuk lebih mendisiplinkan sasaran aturan. Dalam hal ini, perlu diadakan pembinaan
yang serius bagi pelaku usaha sebagai salah satu sasaran pembinaan seperti yang diuraikan
Tasai dan Abdul (2002:53). Jika tidak maka hukum tinggallah hukum.
Menilik akan diadakannya MEA, sesungguhnya arus global akan semakin deras
menerpa para pelaku usaha, termasuk dalam menggunakan bahasa. Penggunaan bahasa asing
seperti apa yang telah diuraikan di atas tentu akan menjadi semakin marak, mengingat data
menunjukkan mental bangsa Indonesia yang seolah lebih bertindak mengikuti zaman seperti air
yang mengalir, lebih bangga menggunakan bahasa Inggris, tanpa ada upaya meneguhkan diri
pada jati diri bangsa. Padahal, ajang MEA adalah kesempatan emas untuk dapat mengeksiskan
diri, termasuk memberikan peluang dalam berwirausaha.
Penggunaan bahasa memang seolah menjadi daya tarik terhadap produk atau jasa yang
ditawarkan meskipun pada nyatanya kemajuan usaha itu sendiri bergantung pada kualitas
produk atau jasa yang ditawarkan. Penggunaan bahasa Indonesia dalam produk atau jasa bahkan
dalam informasi laninnya seolah kurang bergengsi, tapi justru inilah kesempatan emas yang
dapat digunakan agar dapat menjadi daya tarik tersendiri, khususnya dalam pasar bebas.
Penutup
Tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran hukum bahasa menyebabkan hukum itu
sendiri menjadi lemah. Masyarakat bahasa sebagai pengguna bahasa cenderung mengabaikan
aturan-aturan yang telah ditetapkan. Keadaan ini ditengarai karena lemahnya sikap bahasa yang
dimiliki para pengguna bahasa Indonesia, baik dari masalah kesetiaan, kebanggan, maupun
kesadaran. Hasil penelusuran mengenai penerapan payung hukum yang masih lemah ini
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
181
dibuktikan dengan banyaknya ketidaksesuaian penggunaan bahasa dalam nama usaha, papan
infromasi dan fasililitas umum dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Lemahnya hukum dan kurangnya sikap positif berbahasa juga pada akhirnya
menyebabkan penerapan hukum menjadi lemah. Keadaan ini dibuktikan dengan hasil
penelusuran melalui wawancara bahwa masyarakat tidak menggunakan bahasa sesuai dengan
aturannya karena mereka tidak mengetahui aturan itu sendiri.
Untuk menanggulangi keadaan yang telah diuraikan, pembinaan dan pengembangan
bahasa hendaknya lebih digencarkan. Jika tidak, maka gempuran masyarakat bahasa asing tidak
akan dapat dilawan lagi. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan eksistensi bahasa
Indonesia di negaranya sendiri akan semakin lemah.
Daftar Pustaka
Amri, I. S. (2015). “Mea Peluang Bersyarat”. Masyarakat ASEAN, Sebelumnya: Buletin
komunitas ASEAN edisi 7/Maret 2015. Jakarta: Kemenlu RI. Tersedia:
http://www.kemlu.go.id/Majalah/ASEAN%207%202015.pdf. [diakses 17 November
2015].
Chaer, A. 2013. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Junaidi. 2015. Tantangan Masyarakat Ekonomi Asean: Bahasa sebagai Identitas atau
Komoditas. Tersedia
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/Kertas%20Kerja%2
0Universitas.pdf [diakses tanggal 17 November 2015].
Nugrahani, F. 2014. Menurunnya Kebanggaan Masyarakat terhadap Bahasa Indonesia sebagai
Jatidiri Bangsa (Tinjauan tentang Penggunaan Nama Hotel dan Restoran di Solo
Raya). Tersedia di
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/Kumpulan%20Mak
alah%20KBI%20X_subtema%203_0.pdf [diakses tanggal 17 November 2015].
Sukmadinata, N.. S. (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tasai, A. dan Abdul R. Z. 2002. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Jakarta:
Universitas Terbuka.
UU RI Nomor 24 Tahun 2014 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
182
PENTINGNYA BAHASA INDONESIA BAGI PEKERJA ASING
DI INDONESIA
Drs. Endut Ahadiat, M.Hum.1 dan Elita Sumita, S.Pd.2
1 Dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Bung Hatta
[email protected] 2 Guru Bidang Studi Bahasa Inggris di SMPN 11 Padang
Abstrak
Seiring dengan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia di tengah era global
sekarang ini, peran Indonesia dalam pergaulan antarbangsa juga telah menempatkan
bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang dipandang penting di dunia. Hal itu juga
ditunjang oleh posisi Indonesia dalam percaturan dunia yang semakin hari semakin
penting, terutama melalui peranannya, baik dalam turut serta menyelesaikan konflik-
konflik politik di berbagai kawasan maupun karena posisi geografis Indonesia yang
terletak dalam lintas laut yang sangat strategis. Kenyataan seperti itu telah menyebabkan
banyak orang asing yang tertarik dan berminat untuk mempelajari bahasa Indonesia
sebagai alat untuk mencapai berbagai tujuan, baik tujuan politik, perdagangan, seni-
budaya, maupun wisata.Terkait dengan hal tersebut, bahasa Indonesia hingga saat ini
telah diajarkan kepada orang asing di berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar
negeri. Di dalam negeri saat ini tercatat ada 50-an lembaga yang telah mengajarkan
bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA), baik di perguruan tinggi maupun di
lembaga-lembaga kursus. Sementara itu, di luar negeri, Pengajaran BIPA telah dilakukan
oleh sekitar 77 negara di dunia dengan jumlah lembaga lebih kurang dari 174 tempat,
yang terdiri atas perguruan tinggi, pusat-pusat kebudayaan asing, KBRI, dan lembaga-
lembaga kursus.
Kata kunci: Bahasa Indonesia, Pekerja Asing
Pendahuluan
Sejak diikrarkan sebagai bahasa Nasional pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dan
ditetapkan sebagai bahasa negara dalam Pasal 36 UUD 1945, bahasa Indonesia hingga saat ini
telah mengalami perkembangan sangat pesat. Seiring kemajuan yang dicapai oleh bangsa
Indonesia di era global saat ini, peran Indonesia dalam pergaulan antarbangsa juga telah
menempatkan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang dipandang penting di dunia.
Bahasa merupakan salah satu hal yang tidak akan pernah terlepaskan dalam hubungan
antarbangsa. Sebagai salah satu bangsa yang ikut berperan dalam komunikasi antarbangsa,
Indonesia juga memiliki bahasa tersendiri yang sudah dikenal bangsa lain. Bahasa Indonesia
menjadi identitas bangsa Indonesia yang mampu bertahan hingga saat ini.
Umumnya, pengajaran bahasa Indonesia di dalam negeri terkesan membosankan.
Sebagian besar pelajar beranggapan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa mereka sehari-hari
sehingga mereka cenderung meremehkannya dan merasa tidak perlu untuk mempelajarinya lagi
di sekolah. Anggapan para pelajar tersebut bahwa bahasa Indonesia itu mudah tidaklah
sepenuhnya benar. Kita akan terkejut bila melihat hasil ujian nasional para pelajar di seluruh
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
183
Indonesia yang membuktikan bahwa hasil ujian bahasa Indonesia sebagai salah satu mata
pelajaran yang diujikan tidak lebih baik dari bahasa asing yaitu bahasa Inggris, yang sama-sama
diujikan.
Berbeda dengan di Indonesia, pengajaran bahasa Indonesia di luar negeri justru menjadi
hal yang menarik dan disambut dengan baik. Setidaknya ada 50-an negara asing yang telah
membuka program bahasa Indonesia (Indonesian Language Studies). Pengajaran bahasa
Indonesia tersebut dilakukan di berbagai lembaga. Lembaga-lembaga tersebut umumnya berupa
tempat kursus, universitas, sekolah, dan sekolah Indonesia di luar negeri. Bahkan,
perkembangan ini semakin meningkat setelah terbentuk Badan Asosiasi Kelompok Bahasa
Indonesia Penutur Asing di Bandug tahun 1999.
Bahasa Indonesia menjadi bahasa populer ke-4 di Australia. Di sana ada sekitar 500
sekolah yang mengajarkan bahasa Indonesia, bahkan menjadikannya sebagai salah satu bahasa
yang wajib dipelajari di tingkat sekolah dasar. Oleh karena itu, kita tidak perlu heran jika
mendapati seorang anak SD di Australia yang dapat berbicara bahasa Indonesia dengan fasih.
Selain itu, ada beberapa universitas di sana yang membuka jurusan bahasa atau sastra Indonesia.
Namun, perkembangan bahasa Indonesia di negara ini sempat tersendat ketika pemerintah
negara setempat memberikan travel warning akibat teror bom yang terjadi di Bali. Hal ini
menurunkan minat para siswa di sana untuk belajar bahasa Indonesia karena larangan
berkunjung membuat mereka tidak dapat langsung praktek lapangan di Indonesia.
Selain di Australia, bahasa Indonesia juga menjadi bahasa yang memiliki posisi penting
di Vietnam, khususnya di Kota Ho Chi Minh, ibukota Vietnam. Menurut seorang diplomat
Indonesia, Pemerintah Kota Ho Chi Minh secara resmi mengumumkan bahasa Indonesia
menjadi bahasa kedua di Kota Ho Chi Minh pada bulan Desember 2007. Selain itu, menurut
Konsul Jenderal Republik Indonesia periode 2007-2008, Irdamis Ahmad, bahasa Indonesia
sejajar dengan bahasa Inggris, Perancis, dan Jepang sebagai bahasa kedua yang diutamakan di
Kota Ho Chi Minh.
Pada 2009 lalu, bahasa Indonesia secara resmi ditempatkan sebagai bahasa asing kedua
oleh pemerintah daerah Ho Chi Minh City, Vietnam. Kemudian, berdasarkan data Kementerian
Luar Negeri pada 2012, bahasa Indonesia memiliki penutur asli terbesar kelima di dunia, yaitu
sebanyak 4.463.950 orang yang tersebar di luar negeri. Bahkan, Ketua DPR RI (Dr. Marzuki Ali
– saat itu) dalam sidang ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) ke-32 pada 2011
mengusulkan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa kerja (working language) dalam
sidang-sidang AIPA.
Fakta-fakta tersebut mendukung usaha peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi
bahasa internasional yang sedang digalang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) melalui Program BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing). BIPA adalah
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
184
program pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia (mendengarkan berbicara, , membaca,
dan menulis) bagi penutur asing.
Antusiasme warga negara lain, terutama mahasiswa asing, terhadap bahasa Indonesia
sangat tinggi. Orang asing yang belajar bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia merupakan
jurusan yang paling favorit. Hal ini, berkat adanya Program Darmasiswa Republik Indonesia
(DRI). Program DRI adalah program beasiswa bagi mahasiswa asing yang negaranya memiliki
hubungan diplomatik dengan Indonesia, untuk belajar di Indonesia.
BIPA dipelajari oleh semua mahasiswa Darmasiswa RI yang belajar di 46 hingga 59
universitas di Indonesia. Tiap tahun ada sekitar 700 mahasiswa asing dari sekitar 77 negara
yang belajar seni, budaya, dan bahasa Indonesia juga bidang-bidang lain seperti tourism dan
hospitality.
1. Pengajaran BIPA di Luar Negeri
Bahasa Indonesia juga menjadi salah satu mata kuliah yang diajarkan di universitas-
universitas di Vietnam seperti Universitas Hong Bang, Universitas Nasional HCMC, dan
Universitas Sosial dan Humaniora. Jumlah peminat studi bahasa Indonesia di universitas-
universitas tersebut cenderung meningkat.
Di Korea Selatan, negara yang kini menjadi pusat perhatian para remaja di Indonesia
dan seluruh dunia karena budaya K-Pop dan serial dramanya, minat warganya terhadap bahasa
Indonesia juga menjadi bukti bahwa bahasa ini telah diterima di sana. Setiap tahun, pihak KBRI
Seoul Korea Selatan menyelenggarakan lomba pidato menggunakan bahasa Indonesia khusus
bagi masyarakat Korea Selatan. Antusiasme mereka untuk mengikuti lomba tersebut cukup
tinggi.
Studi bahasa Indonesia juga diselenggarakan di negara tetangga Korea Selatan, yaitu
Jepang. Di sana ada lebih dari 20 perguruan tinggi yang mengajarkan Bahasa Indonesia sebagai
mata kuliah pilihan. Di samping itu, ada pula universitas yang membuka jurusan bahasa
Indonesia seperti Universitas Kajian Asing Tokyo, Universitas Tenri, Universitas Kajian Asing
Osaka, Universitas Sango Kyoto, dan Universitas Setsunan.
Bahasa Indonesia tidak hanya dikenal di negara-negara Asia dan Australia saja, di
Afrika pun bahasa Indonesia cukup dikenal. Hubungan Indonesia dengan negara-negara Afrika
memang telah terjalin sejak lama, yaitu sejak terselenggaranya Konferensi Asia Afrika di
Bandung tahun 1955. Seperti yang kita tahu, peristiwa tersebut telah mendorong negara-negara
yang masih dijajah pada saat itu, khususnya di Afrika, untuk berusaha mencapai
kemerdekaannya. Jadi, tidak heran jika hubungan antara Indonesia dengan negara-negara
tersebut berjalan dengan baik dalam segala bidang termasuk budaya dan bahasa.
Di Mesir misalnya, banyak penduduk setempat yang mengenal bahasa Indonesia dan
mampu mengucapkannya hanya karena mereka terbiasa bergaul dengan mahasiswa Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
185
yang kuliah di Al-Azhar. Minat masyarakat Mesir untuk belajar bahasa Indonesia juga cukup
tinggi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah peserta kursus bahasa Indonesia yang diselenggarakan
pihak KBRI Kairo. Peserta kursus ini terdiri dari berbagai kalangan, seperti praktisi wisata,
pelaku ekonomi dan yang paling banyak adalah kalangan mahasiswa.
Di Maroko, pengajaran bahasa Indonesia telah diresmikan, yaitu di Universitas
Mohammed V. Di universitas tersebut, Bahasa Indonesia menjadi salah satu mata kuliah pilihan
dengan 4 SKS di samping bahasa lainnya seperti bahasa China, Jepang, Korea, Urdu, dan Turki.
Pengajaran bahasa Indonesia di Universitas Mohammed V Maroko merupakan salah satu upaya
peningkatan hubungan bilateral kedua negara tersebut, khususnya di bidang pendidikan.
Di antara kelompok yang secara tidak langsung turut membantu penyebaran bahasa
Indonesia adalah para pelajar atau mahasiswa yang belajar di luar negeri. Selain itu, para
pekerja dan seniman Indonesia yang berkiprah di sana juga memiliki peranan yang sama dalam
hal tersebut. Para musisi asal Indonesia yang mengadakan konser di luar negeri dengan
membawakan lagu-lagu mereka dalam bahasa Indonesia mampu membangkitkan rasa ingin tahu
bagi masyarakat lokal untuk mengetahui artinya sehingga mereka tertarik untuk mempelajari
bahasa Indonesia. Contohnya, Anggun Cipta Sasmi, salah satu penyanyi Indonesia yang telah
mendunia. Meski telah menjadi warga negara Perancis, tidak jarang ia membawakan lagu-lagu
ciptaannya yang berbahasa Indonesia dalam setiap penampilannya di negara-negara Eropa dan
Amerika.
Perkembangan Bahasa Indonesia di beberapa negara di dunia merupakan peluang yang
besar bagi bahasa ini untuk menjadi bahasa internasional. Usaha untuk menjadikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa internasional harus diawali dari bangsa Indonesia sendiri dengan
mencintai bahasanya. Namun kenyataannya, saat ini masyarakat Indonesia lebih terbiasa
menggunakan bahasa Indonesia yang kurang baik, seperti bahasa prokem, bahasa plesetan, dan
bahasa jenis lain yang tidak mendukung perkembangan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Di samping itu, mereka juga biasanya lebih bangga menggunakan bahasa asing seperti Bahasa
Inggris daripada Bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, sebagai bangsa Indonesia, kita harus menjaga identitas bangsa kita,
yaitu bahasa Indonesia. Salah satu langkah untuk melestarikan bahasa Indonesia adalah
mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kita tidak perlu malu untuk
menggunakan bahasa Indonesia, karena saat ini bahasa Indonesia telah mendapat perhatian
khusus di tengah bangsa lain. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Indonesia tetap mampu untuk
menunjukkan eksistensinya di era globalisasi ini.
2. Bahan Ajar BIPA Harus Praktis (Model Tutorial)
Pembelajaran BIPA model tutorial pada dasarnya merupakan pembelajaran BIPA yang
memiliki karakteristik tersendiri. Namun, bagaimanapun spesifikasinya perwujudan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
186
pembelajaran tersebut juga tidak dapat lepas dari hal-hal esensial yang selayaknya ada dalam
pembelajaran BIPA pada umumnya. Hal esensial yang dimaksud antara lain menyangkut
komponen, prinsip, dan kaidah mendasar pembelajaran BIPA. Karena itu, untuk kepentingan
pembahasan pembelajaran BIPA model tutorial sangat diperlukan pemahaman yang cukup
tentang hal esensial tersebut. Lebih lanjut, pemahaman ini dapat dimanfaatkan untuk melihat
dan mendudukkan secara tepat perspektif model tutorial tersebut dari berbagai segi, terutama
dari segi kelayakan penerapannya (Widodo, 2001).
Pembelajaran BIPA dapat disikapi sebagai sebuah sistem yang terdiri atas sejumlah
komponen pendukung, yaitu komponen instruksional dan non-instruksional. Hubungan dan
interaksi fungsional antarkomponen tersebut akan menciptakan proses belajar mengajar dan
hasil belajar (Winkel, 1987). Dalam pembelajaran BIPA keberadaan dan peran pembelajar
merupakan komponen yang menonjol. Dapat dikatakan, komponen pembelajar ini pulalah yang
membedakan secara signifikan antara pembelajaran BIPA dengan pembelajaran bahasa
Indonesia yang lain. Sosok pembelajar BIPA sebagai penutur asing bahasa Indonesia memiliki
karakteristik tertentu, terutama tampak pada (1) ciri personal, (2) latar belakang asal, (3)
bidang, (4) pengetahuan/kemampuan, (5) minat, (6) tujuan belajar, (7) strategi belajar, dan (8)
waktu belajar. Keberadaan dan kondisi pembelajar tersebut berimplikasi pada peranan serta
hubungannya dengan komponen instruksional lain dalam perwujudan pembelajaran BIPA.
Lebih lanjut, karakteristikpembelajar juga menjadi bahan yang harus dipertimbangkan sebagai
variabel yang berpengaruh dan ikut menentukan dalam pembelajaran BIPA.
Pembelajaran BIPA memiliki target tertentu, yaitu membentuk pembelajar
berkemampuan berbahasa secara wajar. Dalam pengertian yang lebih luas, kewajaran ini terkait
dengan hal-hal lain, termasuk di dalamnya budaya yang senantiasa melekat dalam substansi
bahasa. Karena itu, di samping persoalan karakteristik personal pembelajar, persoalan budaya
juga ikut terlibat dalam penciptaan pembelajaran BIPA. Terlebih lagi, jika pembelajaran BIPA
diselenggarakan di Indonesia, maka pertimbangan dari segi sosiokultural menjadi semakin
penting. Dikatakan demikian, karena pertimbangan tersebut sekaligus akan menjadi wahana dan
kebutuhan pembelajar dalam berkomunikasi secara langsung dan faktual.
Widodo (2001), mengharapkan bahwa Pembelajaran BIPA sebagai sebuah program,
tentu memiliki pijakan yang jelas sebagaimana tampak pada prinsip dasar pembelajaran pada
umumnya. Demikian pula, sebagai bentuk pembelajaranbahasa sudah semestinya juga
mendasarkan pada kaidah konseptual pembelajaran bahasaasing yang menjadi landasan
pendekatannya. Kaidah konseptual yang dimaksud terutama bersumber pada teori bahasa dan
teori pembelajaran bahasa. Secara aspektual, spesifikasi pembelajaran BIPA antara lain tampak
pada (1) tujuan pembelajaran, (2) sasaran pembelajaran, (3) tatanan materi, (4) pemilihan
metode, (5) pemanfaatan sumber/media, (6) kegiatan pembelajaran, (7) evaluasi pembelajaran,
dan (8) problematik pembelajarannya. Mengingat perwujudan aspek-aspek pembelajaran
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
187
tersebut merupakan hal yang cukup kompleks, maka diperlukan landasan konseptual
pembelajaran BIPA yang jelas. Tanpa kejelasan acuan sangat dimungkinkan arah pembelajaran
BIPA menjadi bias dan berpengaruh negatif pada produktivitasnya.
Dijelaskan lebih jauh, bahwa gambaran tentang pembelajaran BIPA sebagaimana
dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa pembelajaran BIPA merupakan perihal yang
kompleks. Kekomplekannya tidak hanya tampak pada komponen instruksionalnya saja,
melainkan juga pada keterkaitannya dengan faktor lain dalam perwujudan pembelajaran BIPA.
Untuk mewujudkan pembelajaran BIPA yang memadai tentunya perlu mempertimbangkan hal-
hal tersebut secara seksama dan menyeluruh. Ditinjau dari segi pola organisasi dan pengelolaan,
pembelajaran BIPA hendaknya (1) mampu menumbuh-kembangkan motivasi belajar, serta (2)
mampu memberikan kemudahan bagi pembelajar dalam menguasai bahasa Indonesia secara
wajar. Sasaran tersebut harus dipetakan dan diwujudkan dalam sebuah bentuk atau model
pembelajaran BIPA yang spesifik dan jelas.
Dilihat dari segi kegiatannya pada dasarnya pembelajaran BIPA merupakan suatu
proses pemolaan perilaku belajar yang mengarah pada pembangkitan dan pengkondisian
motivasi pembelajar dalam berbahasa Indonesia. Hal esensial yang perlu mendapatkan prioritas
dan perhatian khusus adalah bagaimana mengembangkan pembelajaran sedemikian rupa,
sehingga dapat mengkondisikan dan memberikan kemudahan kepada pembelajar untuk mau
dan mampu berbahasa Indonesia secara wajar (Nunan, 1993).
3. Bahasa Indonesia bagi Pekerja Asing
Menjelang realisasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015,
pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mempersiapkan masyarakat berbagai
kalangan baik akademisi maupun pelaku bisnis. MEA merupakan komitmen ASEAN untuk
membangun dan mencapai kemakmuran bersama dengan slogan One Vision, One Identity, One
Commitment. Kondisi ini akan mendorong terbentuknya pasar tunggal dimana negara anggota
ASEAN lebih mudah dalam melakukan pertukaran arus barang dan jasa, termasuk tenaga kerja
professional seperti dokter, perawat, guru, pengacara, dsb. MEA menciptakan peluang dan
tantangan bagi masyarakat Indonesia, karena bahasa resmi MEA adalah bahasa Inggris yang
notabenenya merupakan bahasa asing bagi kita. Namun, jika dilihat dari jumlah penduduk dan
luas wilayah, Bahasa Indonesia mempunyai peluang untuk menjadi bahasa kedua untuk MEA.
Oleh karena itu, sebagai langkah nyata untuk memperkuat posisi Bahasa Indonesia
menyambut MEA, maka Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) perlu mengadakan Pelatihan Pembelajar Bahasa
Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Pelatihan ini melibatkan dosen dan mahasiswa seluruh
Indonesia yang mengikuti program pertukaran pelajar maupun program internasional ke luar
negeri khususnya Jepang dan Korea sebagai Negara yang sedang “digandrungi” kaum muda
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
188
Indonesia. Kemampuan untuk mengajarkan BIPA, ini menjadi momentum untuk
mempromosikan Bahasa Indonesia dan ikut menjunjung harga diri bangsa dan meningkatkan
rasa nasionalisme. Program BIPA ini menjadi suatu langkah yang baik untuk mengakomodasi
tuntutan pembelajaran Bahasa Indonesia. Sudah saatnya orang asing yang bekerja di Indonesia,
belajar bahasa kita juga.
Perlu diketahui bahwa pemerintah Indonesia akan menetapkan kebijakan untuk
memberikan perlindungan terhadap pasar tenaga kerja Indonesia dengan diwajibkannya warga
negara ASEAN yang akan bekerja di Indonesia untuk mempelajari dan menguasai kemampuan
berbahasa Indonesia. Kemampuan ini harus dibuktikan dengan sertifikat hasil Ujian
Kemampuan Berbahasa Indonesia (UKBI). UKBI bisa diikuti oleh penutur asing dan warga
negara Indonesia. Kemdikbud telah menggolongkan kemampuan berbahasa Indonesia ke dalam
tujuh peringkat. Peringkat dari yang paling atas ke bawah adalah peringkat Istimewa, Sangat
Unggul, Unggul, Madya, Semenjana, Marginal, dan Terbatas. Tenaga kerja asing ASEAN harus
mampu menunjukkan kemampuan berbahasa Indonesia pada tingkat semenjana.
Kegiatan BIPA ini sebaiknya tidak hanya untuk diselenggarakan di perguruan tinggi
saja, tetapi hendak diperluas dengan membawa serta pada seniman dan budayawan yang biasa
menampilkan atau mementaskan hasil karyanya ke luar negeri atau sebaliknya, sanggar-sanggar
mereka yang sering di datangi oleh turis asing yang ingin belajar, baik lewat kesenian maupun
budaya Indonesia. Tentunya, orang asing atau turis harus mampu berbahasa Indonesia, bila
perlu bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang masih digunakan oleh penuturnya.
Pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing memang bukan sesuatu yang baru.
Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya program pembelajaran BIPA, baik yang
diselenggarakan di Indonesia maupun di negara lain. Namun, perlu disadari, bahwa secara
objektif, pembelajaran BIPA di Indonesia berbeda dengan di negara lain, perbedaan ini
terutama tampak pada aspek instrumental eksternal. Beberapa aspek instrumental eksternal
yang dimaksud, antara lain adalah (1) banyaknya ragam bahasa Indonesia, (2) beragamnya
penutur bahasa Indonesia, baik dilihat dari matra etnografis, geografis, maupun sosial, dan (3)
kondisi bahasa Indonesia yang masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan
(Alwasilah, 1996).
Dalam beberapa hal, kondisi bahasa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas dapat
dianggap dan dimanfaatkan bagi kepentingan pengayaan wawasan pembelajar. Namun, jika
kondisi tersebut tidak dipertimbangkan dan diantisipasi secara seksama, maka akan menjadi
hambatan yang amat berarti bagi pembelajar dalam mempelajari bahasa Indonesia.
Selaras dengan keterangan tersebut, pembelajaran BIPA yang diselenggarakan di
Indonesia memiliki spesifikasi yang tampak pada aspek instrumental eksternal. Aspek inilah
yang mewarnai iklim berbahasa masyarakat Indonesia, dan aspek ini juga perlu diperhitungkan
sebagai variabel dalam pembelajaran BIPA. Pembelajar Asing yang sedang belajar bahasa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
189
Indonesia mau tidak mau harus menghadapi fakta lingkungan berbahasa yang demikian
beragam. Kekhususannya yang terkait dengan ragam daerah (dialek), sosiolek, dan situasi
tuturan seperti alih kode dan diglosia menjadi fakta yang tidak dapat dihindari dalam
komunikasi faktual di masyarakat. Di samping itu, patut disadari, bahwa secara objektif
pengalaman yang diterima dan atau diperoleh pembelajar di dalam kelas tidak seluruhnya dapat
berkorespondensi secara langsung dengan fakta empiris bahasa yang terdapat di masyarakat.
Bahkan, tidak jarang pembelajar asing menjumpai banyak fenomena penggunaan bahasa di
masyarakat yang dirasakan berbeda dengan apa yang dipelajari di dalam kelas (Kartomihardjo,
1996). Fenomena ini pasti dijumpai oleh setiap pembelajar BIPA yang sering disikapi sebagai
problematik tersendiri dalam pembelajaran BIPA. ***
Daftar Pustaka
Alwasilah, Chaedar A. 1998. “Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Pembelajar Asing”. Makalah
Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta, 26-30 Oktober 1998.
Kartomihardjo, Soeseno. 1996. Penyelenggaraan BIPA: Beberapa Hambatan dan Usaha
Penanggulangannya. Kumpulan Makalah Kongres Internasional BIPA. Jakarta:
Listakwarta Putra.
Nunan, David. 1993. Designing Tasks for Communicative Classroom. Cambridge: Cambridge
University Press.
Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. Oxford: Oxford University
Press.
Widodo Hs. 1994. “Meningkatkan Motivasi dan Pajanan Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi
Penutur Asing”. Makalah KIPBIPA I (TISOL). Salatiga: UKSW.
________ . 2001. “(BIPA) Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing Model Tutorial”
CIS – BIPA UM Malang.
Winkel, W.S. 1987. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
190
PENGARUH METODE SUGESTOPEDIA DAN MOTIVASI BELAJAR
TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS CERPEN
SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 SALIMPAUNG KECAMATAN SALIMPAUNG
KABUPATEN TANAH DATAR
Engla Tivana
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh metode sugestopedia dan
motivasi belajar tinggi dan rendah terhadap kemampuan menulis cerpen siswa kelas X
SMA Negeri 1 Salimpaung. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 1
Salimpaung. Pengambilan sampel berjumlah 40 siswa dilakukan dengan cara purposive
sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui angket dan tes. Angket digunakan untuk
melihat motivasi belajar siswa, dan tes unjuk kerja dilakukan untuk mengetahui
kemampuan menulis cerpen siswa. Analisis dan pembahasan data dilakukan secara
deskriptif-analisis sesuai dengan konsep penelitian eksperimen. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan dapat disimpulkan empat hal sebagai berikut. Pertama, kemampuan
menulis cerpen siswa yang diajar dengan menggunakan metode sugestopedia lebih baik
daripada siswa yang diajar dengan metode konvensional. Kedua, kemampuan menulis
cerpen siswa yang memiliki motivasi tinggi yang diajar dengan menggunakan metode
sugestopedia lebih baik daripada yang diajar dengan metode konvensional. Ketiga,
kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi rendah yang diajar dengan
menggunakan metode sugestopedia lebih baik daripada yang diajar dengan metode
konvensional. Keempat, tidak terdapat interaksi antara motivasi belajar dengan metode
pembelajaran dalam mempengaruhi kemampuan menulis cerpen siswa.
Kata kunci: metode sugestopedia, motivasi belajar, kemampuan menulis cerpen
Pendahuluan
Pembelajaran bahasa bertujuan agar seseorang dapat terampil berbahasa. Salah satu
keterampilan berbahasa adalah keterampilan menulis. Keterampilan menulis pada dasarnya
mengarahkan siswa mampu secara aktif menyampaikan dan mengekspresikan berbagai
pendapat, ide, gagasan, atau perasaan untuk berbagai tujuan secara runtun dan sistematik.
Dengan keterampilan menulis, seseorang akan dimudahkan untuk mengkomunikasikan gagasan,
ide, pikiran, dan pengalamannya dalam berbagai bentuk tulisan termasuk dalam bentuk sastra
ataupun karya sastra.
Kegiatan menulis bertujuan untuk menyajikan imajinasi dan intuisi penulisan cerpen.
Materi menulis cerpen yang ada pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada
jenjang SMA kelas X semester 2 pada Standar Kompetensi 16, yaitu mengungkapkan
pengalaman diri sendiri dan orang lain ke dalam cerpen. Pada Kompetensi Dasar 16.1 menulis
karangan berdasarkan Kehidupan diri sendiri dalam cerpen (pelaku, peristiwa, latar).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
191
Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan dengan guru bahasa Indonesia secara
nonformal pada tanggal 19 Juni 2013 yaitu Ibu Dra. Zetmi Roziva dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar menulis cerpen masih berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM).
KKM sekolah yaitu 70.Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di SMA Negeri 1
Salimpaung, ditemukan bahwa penyebab permasalahan kemampuan menulis cerpen disebabkan
rendah-nya motivasi siswa dalam menulis. Hal itu dapat dicermati dari cara siswa mengerjakan
tugas-tugas menulis yaitu menulis cerpen, siswa tidak memperhatikan dengan baik apa yang
disampaikan guru. Keadaan ini tentu saja tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dan
pengalaman belajar menulis siswa di sekolah seperti wawasan dan pengalaman siswa dalam
menulis.
Selain itu, siswa sulit untuk menyusun kalimat demi kalimat sehingga menjadi sebuah
paragraf yang padu. Kenyataan ini dibuktikan dengan fenomena beberapa menit pertama hanya
sekitar tiga sampai lima orang siswa yang memulai menulis cerpen. Selain itu, beberapa siswa
tersebut, ada yang mencoret-coret buku tulisnya, dan menoleh ke arah temannya untuk
mendapatkan bantuan.
Ada siswa yang kesulitan dalam mengisahkan suatu kejadian dalam rangkaian paragraf
sehingga membentuk alur cerita yang tidak menarik. Siswa sulit menemukan ide-ide, gagasan,
perasaan, dan pikir-an tentang apa yang akan ditulisnya. Hal itu disebabkan oleh kurangnya
siswa dalam membaca. siswa dalam menulis masih banyak kesalahan EYD, pemakaian
konjungsi, dan kalimat serta pemilihan diksi yang tepat dalam menulis cerpen.
Kesalahan Menulis cerpen pernah diteliti oleh dosen Universiti Putra Malaysia dengan
judul Keberkesanan Cerpen dalam Mempertingkat Prestasi Penulisan Karangan Bahasa Melayu
dalam Kalangan Murid. Penelitian ini dilakukan karena guru perlu memlih bahan pengajaran
dalam mengajar sastra khususnya cerpen. Pemilihan bahan sastra yang sesuai dengan siswa
bertujuan untuk menanamkan minat untuk terus membaca. Dengan adanya motivasi yang tinggi
dalam diri siswa secara tidak langsung akan menanamkan bakat untuk berkarya, yaitu menulis
cerpen. Selanjutnya, membaca dapat meningkatkan penguasaan kosakata siswa. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Atmazaki (2006: 5) yang menyatakan bahwa orang yang suka
mengarang mampu duduk di muka komputer berjam-jam sambil menikmati lontaran-lontaran
idenya kelayar komputer. Pengarang yang sukses adalah pembaca yang rakus, karena untuk
dapat mengarang dengan baik diperlukan bacaan yang banyak. Pengarang adalah pembaca,
sedangkan bacaan menentukan kualitas karangannya. Pengarang juga pendengar yang baik
karena banyak informasi yang didapat dari pendengarnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Islam Prof. Dr.
Deddy Mulyana MA, pada tahun 2012, diketahui bahwa minat baca masyarakat Indonesia
tergolong rendah. Hal ini terbukti dari jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia hanya
mencapai 2500 judul tiap tahun. Negara Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris merupakan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
192
negara yang lebih besar mengeluarkan judul buku tiap tahun, tidak hanya ribuan bahkan ratusan
ribu judul buku. Hal ini disebabkan oleh bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya lisan, yang
kurang tertarik pada kegiatan membaca dan menulis.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka perlu diadakan pembaharuan metode dalam
pembelajaran menulis cerpen. Metode ceramah yang digunakan guru dalam pembelajaran
menulis cerpen sangat monoton. Pembelajaran menulis cerpen sering kali diberikan kepada
siswa dalam bentuk teori saja. Siswa jarang diberikan pengalaman mengapresiasikan dan
menciptakan karya sastra secara langsung. Guru hanya mengadopsi cerpen yang terdapat dalam
bahan ajar. Sementara siswa hanya diminta untuk menjawab pertanyaan atau soal-soal yang
sudah disiapkan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pembelajaran cerpen yang berkualitas,
guru harus memperhatikan konsep pembelajaran cerpen, dengan memperhatikan ketersediaan
sarana dan prasarana, waktu yang cukup, serta melibatkan seluruh siswa dalam kegiatan menulis
cerpen.
Dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis cerpen, guru dituntut untuk lebih
kreatif. Baik kreatif dalam memilih metode pembelajaran maupun model pembelajaran. Metode
yang dapat menjadikan pembelajaran lebih menarik sehingga siswa tidak merasa bosan dan
siswa lebih jelas dalam menerima materi pembelajaran, serta memungkinkan siswa menguasai
tujuan pembelajaran yang lebih baik. Oleh karena itu, pengoptimalisasian metode dalam
pembelajaran menulis yang dilakukan oleh guru sangatlah diperlukan. Dalam penelitian ini
penulis menerapkan metode sugestopedia sebagai alternatif untuk mengoptimalkan
pembelajaran me-nulis bagi siswa sekolah menengah atas khususnya kelas X.
Metode sugestopedia ini pernah dieksperimenkan oleh dosen bahasa dan sastra Indonesia
dan guru mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP 1 Palembang dengan judul “Penggunaan
Media Sugestopedia dapat Meningkatkan Kemampuan Siswa Menulis Cerpen”. Dari beberapa
penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa metode sugestopedia dapat
digunakan dalam rangka meningkatkan kemampuan menulis cerpen bagi siswa kelas Sekolah
Menengah Pertama di Palembang.
Tarigan (2009: 137) menyatakan bahwa metode sugestopedia merupakan teknik relaksasi
dan konsentrasi yang dapat membantu para pembelajar mengelola sumber-sumber bawah sadar
mereka dan menyimpan kosakata dan aturan kebahasaan yang pernah diajarkan kepada mereka.
Metode ini dikembangkan oleh Lozanov (1978).
Prinsip utama metode sugestopedia adalah sugesti yang dapat mempengaruhi hasil
menulis siswa, baik secara positif maupun negatif. Beberapa teknik yang digunakan dalam
memberikan sugesti positif adalah mendudukkan siswa secara nyaman, memasangkan musik
latar di kelas saat pembelajaran menulis cerpen ber-langsung, meningkatkan partisipasi
individu, dan menggunakan poster-poster sebagai media penyampaian informasi untuk
memudahkan siswa untuk mengeluarkan kata-kata serta merangkai kalimat demi kalimat
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
193
menjadi sebuah paragraf yang padu. Karakteristik umum metode ini adalah atmosfer yang
sugestif, seperti alunan musik, dekorasi ruangan yang menarik, tempat duduk yang
menyenangkan yaitu. Hal ini sangat berperan penting dalam metode sugestopedia.
Selain metode sugestopedia, untuk mengatasi kesulitan siswa dalam menulis, motivasi
belajar eratkaitannya dengan kemampuan menulis cerpen. Hal ini harus diperhatikan oleh guru
dalam proses pembelajaran. Motivasi sangat di-perlukan karena seseorang yang tidak
mempunyai motivasi dalam menulis cerpen tidak akan mampu merangkai dan menyusun
gagasan dalam sebuah paragraf yang padu. Motivasi belajar merupakan suatu kekuatan yang
dimiliki oleh seseorang dalam melakukan kegiatan menulis. Seseorang akan berhasil dalam
menulis, jika pada dirinya ada keinginan untuk menulis cerpen. Keinginan atau dorongan inilah
yang disebut dengan motivasi belajar.
Dari permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka motivasi belajar memberikan
pengaruh pada kemampuan siswa dalam menulis cerpen. Untuk menjawat per-masalahan di
atas, maka metode sugestopedia merupakan metode yang tepat digunakan dalam menulis
cerpen. Hal ini dapat dilihat bahwa metode pembelajaran sugestopedia merupakan teknik yang
digunakan untuk merangsang siswa dalam menulis cerpen.
Menulis cerpen dibutuhkan konsentrasi untuk mengumpulkan kosa kata, aturan
kebahasaan, serta cara siswa dalam merangkai kalimat. Untuk membangkitkan konsentrasi
tersebut, maka metode sugestopedia tepat digunakan dalam pelajaran menulis cerpen. Selain itu,
motivasi juga erat kaitannya dengan menulis cerpen siswa, tanpa adanya motivasi maka sebuah
paragraf yang padu tidak akan tercipta. Jadi, berdasarkan fenomena serta uraian yang telah
dipaparkan tersebut, dapat disimpul-kan bahwa penelitian ini penting untuk dilaksanakan.
Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian ini adalah men-jelaskan hal berikut.
Pertama, menjelaskan kemampuan menulis cerpen siswa dengan menggunakan metode
sugestopedia lebih baik daripada menggunakan metode konvensional siswa kelas X SMA
Negeri 1 Salimpaung. Kedua, menjelaskan kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki
motivasi tinggi dengan menggunakan metode sugestopedia lebih baik daripada menggunakan
metode konvensional siswa kelas X SMA Negeri 1 Salimpaung. Ketiga, menjelaskan
kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi rendah dengan menggunakan metode
sugestopedia lebih baik daripada menggunakan metode konvensional siswa kelas X SMA
Negeri 1 Salimpaung. Keempat, menjelaskan interaksi antara metode sugestopedia dengan
motivasi belajar dalam mempengaruhi kemampuan menulis cerpen siswa kelas X SMA Negeri
1 Salimpaung.
Metode
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode
eksperimen desain factorial 2x2. Menurut Sugiyono (2006:86), quasy eksperiment digunakan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
194
karena pada kenyataannya sulit mendapatkan kelompok kontrol yang dapat digunakan untuk
penelitian (tidak variabel-variabel yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen), kelas
eksperimen diberikan perlakuan dengan menggunakan metode sugestopedia sedangkan pada
kelas kontrol menggunakan metode pembelajaran konvensional. Populasi dalam penelitian ini
adalah siswa kelas X SMA Negeri 1 Salimpaung yang terdaftar tahun pelajaran 2013-2014 yang
terdiri dari kelas X.1, X.2, X.3, dan X.4 yang berjumlah 82 orang.
Sampel berasal dari populasi yang betul-betul homogen agar sampel representatif atau
dapat mewakili populasi. Jadi, sebelum pemilihan sampel, dilakukan uji normalitas,
homogenitas, dan uji kesamaan rata-rata terhadap populasi. Pengujian normalitas menggunakan
uji Lilliefors, homogenitas menggunakan uji Barlett, sedangkan uji kesamaan rata-rata
dilakukan dengan menggunakan rumus Anava satu arah. Pengujian menggunakan nilai ulangan
harian siswa kelas X pada mata pelajaran bahasa Indonesia.
Selanjutnya, pada kelompok kelas eksperimen dan kelas kontrol diberikan angket
motivasi belajar. Hasil angket dianalisis sehingga diperoleh kelompok siswa yang mempunyai
motivasi rendah dan siswa yang memiliki motivasi tinggi. Analisis dilakukan dengan cara
mengurutkan skor perolehan angket motivasi belajar dari skor terendah sampai skor tertinggi.
Untuk me-nentukan kelompok siswa yang memiliki motivasi rendah dan kelompok siswa yang
memiliki motivasi tinggi sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Allen dan Yen (dalam
Komaidi, 1994: 9) yang mengatakan bahwa responden yang berada pada 27% tingkat atas
tergolong sebagai siswa yang memiliki motivasi tinggi, dan 27% tingkat paling bawah tergolong
sebagai siswa yang memiliki motivasi rendah.
Data penelitian ini adalah sebagai berikut, (1) skor hasil tes kemampuan menulis cerpen
siswa dengan menggunakan metode sugestopedia dan konvensional, (2) skor hasil tes
kemampuan menulis siswa yang memiliki motivasi tinggi dan motivasi rendah dengan
menggunakan metode sugestopedia, (3) skor hasil tes kemampuan menulis siswa yang memiliki
motivasi tinggi dan motivasi rendah dengan menggunakan metode konvensional.
Instumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini terdiri dari
dua instrumen, yaitu lembaran angket dan tes. Lembaran angket digunakan untuk mengetahui
motivasi belajar siswa sedangkan tes digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan siswa
dalam menulis cerpen.
Kisi-kisi tes kemampuan menulis cerpen berdasarkan pendapat Muhardi dan Hasanuddin
(2006:31 – 48) sebagai berikut. (1) judul, (2) struktur cerpen (pendahuluan, pembukaan,
penutup, (3) ketepatan alur peristiwa, (4) unsur-unsur dalam cerpen, (5) nasihat, (6) bahasa.
Kisi-kisi angket motivasi belajar menurut sadirman (2008:85) adalah sebagai berikut, (1)
tekun dalam belajar, (2) uletdalam belajar, (3) minat terhadap belajar, (4) kemandirian dalam
belajar, (5) cepat bosan pada tugas rutin, (6) mem-pertahankan pendapat, (7) keyakinan
terhadap suatu hal, (8) suka me-nemukan dan menyelesaikan masalah.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
195
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh temuan penelitian sebagai berikut. Pertama,
ke-mampuan menulis cerpen siswa yang diajar dengan metode sugestopedia dan metode
konvensional. Kedua, kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi
yang diajar dengan metode sugestopedia dan metode konven-sional. Ketiga, kemampuan
menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi belajar rendah yang diajar dengan metode
sugestopedia dan metode konvensional. Keempat, interaksi antara motivasi belajar dan metode
sugestopedia dalam menulis cerpen
1. Kemampuan menulis cerpen siswa yang diajar dengan metode sugestopedia dan
metode konvensional
Hasil pengujian hipotesis pertama mengungkapkan bahwa secara keseluruhan
kemampuan menulis cerpen kelompok siswa yang menggunakan metode sugestopedia lebih
baik daripada kemampuan menulis cerpen siswa yang meng-gunakan metode konvensional.
Penggunaan metode sugestopedia dapat membantu siswa membuka pikiran bawah sadar
dan memproleh serta menguasai kuantitas kosakata yang lebih banyak dan struktur-struktur
kalimat yang lebih mantap. Hal ini bisa didapatkan siswa melalui kegiatan mendengarkan musik
dan mengenang kegiatan yang telah terjadi. Melalui proses ini siswa mendapatkan ide untuk
menulis cerpen. Sesuai dengan pendapat Lozanov (dalam Tarigan, 2009:88), ciri utama dari
pendekatan ini adalah penciptaan suasana pembelajaran yang “sugestif”, merangsang pikiran
bawah sadar dengan menggunakan musik barok, tempat duduk yang nyaman dan teknik-teknik
yang dramatis dilakukan guru untuk menyajikan materi bahasa.
Hasil pengamatan ketika pembelajaran dengan menggunakan metode sugestopedia
berlangsung memperlihatkan bahwa siswa menemukan ide untuk menulis cerpen. Hal ini
disebabkan oleh kelas yang ditempati siswa ditata dengan menempatkan beberapa pot kembang
dan menggunakan karpet untuk duduk. Di dinding kelas digantung contoh-contoh cerpen yang
telah disusun dengan penataan yang menarik.
Pembelajaran dengan metode sugestopedia melatih siswa untuk menguasai kosa kata
lebih banyak serta mengajak siswa untuk merangkai kata-kata menjadi suatu kalimat yang
menarik. Hal ini dapat meningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa. Siswa yang diajar
dengan metode sugestopedia mempunyai perencanaan yang jelas dalam menulis cerpen. Hal ini
bisa diketahui berdasarkan hasil menulis cerpen siswa yang sesuai dengan kriteria-kriteria
penilaian.
Berbeda dengan metode pembelajaran sugestopedia, metode pembelajaran konvensional
menempatkan siswa sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara
pasif. Pada umumnya, penyampaian pelajaran menggunakan metode ceramah, tanya jawab, dan
penugasan. Guru selalu mendominasi kegiatan pembelajaran, sedangkan siswa lebih banyak
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
196
menerima dari guru. Hal ini sesuai dengan pendapat Djaafar (2001:3) yang menyatakan bahwa
metode belajar konvensional merupakan metode yang berorientasi pada guru, dimana hampir
seluruh kegiatan belajar mengajar dikendalikan penuh oleh guru. Tidak ada kesempatan bagi
siswa untuk ikut memberikan kontribusi terhadap pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam
proses pembelajaran. Pada model pembelajaran konvensional informasi dan penjelasan oleh
guru dilakukan secara menyeluruh dan klasikal. Siswa dianggap memiliki kemampuan yang
sama dengan mengabaikan perbedaan karakteristik siswa. Siswa yang diajar dengan metode
pembelajaran konvensional cenderung tidak percaya diri, tidak punya motivasi belajar, hanya
menunggu informasi dari guru dan tidak terbiasa bekerja keras, belajar mandiri dan menemukan
sendiri pengetahuan.
Hal ini dapat dilihat pada waktu penelitian berlangsung, siswa yang diajar dengan metode
konvensional menunjukkan sikap pasif. Siswa mendengarkan penjelasan dari guru, mencatat
pengertian cerpen, ciri-ciri cerpen, serta menjawab pertanyaan guru jika guru bertanya. Tidak
punya inisiatif untuk melakukan komunikasi dengan sesama siswa untuk membahas hal-hal
yang berhubungan dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari. Kemudian mengerjakan
latihan yang ditugaskan guru.
Berdasarkan pengamatan, siswa yang diajar dengan metode konvensional bersifat pasif,
tidak punya keinginan untuk mengembangkan motivasi belajar. Ilmu yang diperoleh hampir
semuanya berasal dari guru, dari hafalan dan latihan-latihan. Guru menjadi penentu jalannya
pembelajaran sehingga tidak ada kegiatan pembelajaran kalau tidak ada guru.
Domisi guru dalam pembelajaran konvensional mengakibatkan siswa kurang berperan
aktif dan lebih banyak menunggu sajian dari guru daripada me-nemukan sendiri pengetahuan,
sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan, karena pada pembelajaran konvensional siswa
berperan sebagai objek belajar pasif yang kegiatannya mendengar uraian guru, belajar sesuai
dengan kecepatan guru mengajar dan mengikuti tes atau ulangan mengenai bahan yang
dipelajari (Nasution, 1995:209).
Lembar jawaban kemampuan menulis cerpen pada kelas kontrol memperlihatkan bahwa
siswa tidak mampu menciptakan judul yang singkat, diksi menarik dan menarik perhatian
pembaca. Unsur-unsur serta alur belum tergambar dalam sebuah cerpen. Seharusnya dalam
sebuah cerpen perlu judul yang menarik perhatian pembaca, terdapat unsur-unsur yang
membangun cerpen, serta menggunakan bahasa sesuai dengan struktur gramatika atau ejaan.
2. Kemampuan Menulis Cerpen Siswa yang Memiliki Motivasi Belajar Tinggi yang
Diajar dengan Metode Sugestopedia dan Metode Konvensional
Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa secara umum kelompok siswa yang
memiliki motivasi tinggi memperoleh kemampuan menulis cerpen yang lebih baik dengan
menggunakan metode sugestopedia daripada menggunakan metode konvensional.Pembelajaran
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
197
metode sugestopedia mampu meningkatkan ke-mampuan menulis cerpen siswa yang memiliki
motivasi belajar tinggi. Hal ini disebabkan karena metode sugestopedia diawali dengan
membuat suasana kelas berbeda sehingga siswa menemukan ide serta cara untuk
mengungkapkan masalah kedalam sebuah cepen. Adapun bagian-bagian metode sugestopedia
dalam pembelajaran menurut Lozanov (dalam Taringan, 2009:93), yaitu: (a) semua siswa duduk
me-lingkar pada kursi menyerupai seminar, (b) bahan baru disajikan dan didiskusikan,serta
siswa dituntut memandang pengalaman yang tertera dalam bahan baru sebagai menarik hati, (3)
guru mendengarkan musik yang merupakan salah satu dari ciri-ciri yang membuat sugestopedia
menarik.
Selama pembelajaran berlangsung, siswa di kelas eksperimen mempunyai rasa ingin tahu
yang lebih kuat, mereka berusaha untuk terhipnotis dengan alunan musik yang diperdengarkan.
Setelah beberapa kali musik diputarkan dan melakukan peregangan di dalam kelas barulah
siswa bisa berkonsentrasi memikirkan peristiwa yang pernah dialaminya. Siswa memejamkan
mata yang diiringi oleh musik serta diikuti kata-kata yang menyentuh yang dilontarkan oleh
guru.
Di samping itu, siswa mampu menelusuri pengetahuan yang dicari dengan membaca
serta memiliki rasa ingin tahu yang kuat karena siswa tidak akan merasa puas apabila dia belum
menemukan apa yang dicarinya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang muncul
pada saat pembelajaran berlangsung. Munandar (2004:59) menyatakan bahwa mengajukan
pertanyaan merupakan bagian berpikir kreatif dan dimaksudkan untuk mengukur kelenturan
berpikir. Dalam menulis cerpen terlihat bahwa banyak siswa yang memulai menulis dengan
ekspresi masing-masing, ada yang tersenyum, rasa marah, dan lain sebagainya.
Dalam model pembelajaran konvensional, siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi
menemukan dan memahami konsep-konsep dalam menulis cerpen sangat terbatas, karena
didominasi oleh guru dalam pembelajaran. Sementara siswa terkondisi menerima pelajaran
dengan pasif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Djaafar (2001:3), pembelajaran
konvensional ditafsirkan memasukkan isi atau bahan dari buku kepada siswa hingga mereka
dapat mengeluarkan kembali segala informasi waktu tes atau ulangan. Akan tetapi pengetahuan
yang dimiliki dikeluarkan pada waktu menjawab tes lebih banyak berasal dari mengingat dan
menghafal. Keadaan ini akan berdampak dalam menulis cerpen. Guru menyajikan pelajaran
secara klasikal, siswa dianggap memiliki kemampuan yang sama. Perbedaan individu kurang
diperhatikan guru. Pada saat penemuan konsep semua kegiatan pembelajaran diprakarsai oleh
guru, sedangkan siswa dihadapkan pada situasi menerima apa yang dipolakan guru. Jadi,
metode konvensional kurang mendukung dan menfasilitasi peningkatan aktivitas belajar siswa
yang mempunyai motivasi belajar tinggi. Hal ini menyebabkan konsep-konsep menulis cerpen
yang dipelajari relatif kurang berkembang dan tidak dapat bertahan dalam struktur kognitif
siswa. Dengan demikian, siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi tidak dapat
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
198
mengembangkan diri secara optimal, sehingga kurang mendukung peningkatan kemampuan
menulis cerpen siswa. Hal ini bisa dilihat pada penulisan judul cerpen kelas eksperimen dan
kelas kontrol. Isi cerpen pada kelas eksperimen sesuai dengan judul serta kreativitas siswa
dalam mengembangkan cerita menarik dan adanya ketuntasan dalam cerita. Hal ini
membuktikan bahwa menulis cerpen siswa pada kelas ekspeimen yang diajar dengan metode
sugestopedia dan motivasi belajar tinggi lebih memahami konsep dalam menulis cerpen. Hal ini
menunjukkan bahwa siswa bermotivasi belajar tinggi dikelas eksperimen lebih kreatif di-
bandingkan dengan siswa yang diajar dengan model konvensional di kelas kontrol.
Hal ini terlihat dari hasil menulis cerpen siswa. siswa mampu mengawali kalimat yang
menarik sebelum menulis cerpen. Hal ini dapat dilihat pada kelas kontrol penyampaian unsur-
unsur cerpen tidak lengkap dan tidak tergambar, sedangkan pada kelas eksperimen, siswa
mengawali dari alur yang sistematis, melengkapi unsur-unsur cerpen, dan terdapat nasihat
diakhir cerpen.
Berdasarkan beberapa contoh siswa dalam menulis cerpen, maka dapat disimpulkan
bahwa konsep metode sugestopedia yaitu dapat merangsang siswa untuk menyalurkan
kreativitas-kreativitas dalam mengembangkan ide-ide imajinasi dalam menulis cerpen. Hal ini
sangat sesuai dengan siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi.
3. Kemampuan Menulis Cerpen Siswa yang Memiliki Motivasi Belajar Rendah yang
Diajar dengan Metode Sugestopedia dan Metode Konvensional
Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa secara umum kelompok siswa yang
memiliki motivasi belajar rendah memperoleh kemampuan menulis cerpen yang lebih baik
dengan menggunakan metode sugestopedia daripada menggunakan metode konvensional.
Dalam pembelajaran dengan menggunakan metode sugestopedia siswa yang memiliki
motivasi rendah dapat terbantu dalam menulis cerpen. Menurut Lozanov (dalam Tarigan,
2009:292), melalui proses sugesti ini siswa diberikan rangsangan positif sehingga seolah-olah
siswa merasakan secara langsung kejadian atau keadaan yang disugestikan oleh guru. Tugas
guru adalah mengarahkan siswa agar mampu melakukan aktivitas berpikir seperti
mengklasifikasikan, mengkategorikan, menggabungkan, mengonstruksikan, dan
memformulasikan. Kelima proses tersebut kemudian diaplikasikan ke dalam proses kreatif
untuk menemukan ide orisinal yang dituangkan dalam bentuk menulis cerpen. Selain itu, dalam
metode sugestopedia imajinasi siswa lebih diperhatikan, kebebasan siswa dalam belajar lebih
tinggi dan tidak terikat dengan aturan-aturan klasikal. Hal ini menyebabkan metode
sugestopedia dapat mengembangkan struktur kognitif siswa yang mempunyai motivasi belajar
rendah sehingga mendorong peningkatan kemampuan menulis cerpen siswa.
Pada pembelajaran konvensional yang menempatkan siswa sebagai obyek belajar yang
berperan sebagai penerima informasi secara pasif, belajar lebih banyak secara individual,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
199
teoritis dan Abstrak, pengetahuan dikonstruksikan oleh orang lain dan diperoleh melalui
menghafal dan latihan-latihan (Sanjaya, 2006: 259), membuat siswa yang memiliki motivasi
belajat rendah tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran dengan baik, tidak berusaha keras
mengikuti pem-belajaran bahasa Indonesia karena memang tidak berminat dengan gaya
pembelajaran konvensional tersebut. Pada pembelajaran konvensional kesempatan siswa untuk
mengajukan ide yang mereka miliki terbatas, sehingga motivasi belajar yang dimiliki siswa
terhambat. Akibatnya struktur kognitif siswa tidak dapat berkembang secara optimal dan
akhirnya kurang mendukung peningkatan kemampuan menulis cerpen.
Hal ini ditandai bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode sugestopedia di kelas
eksperimen efektif daripada di kelas kontrol yang diajar dengan meng-gunakan metode
konvensional.
4. Interaksi antara Motivasi Belajar dan Metode Sugestopedia dalam Mem-pengaruhi
Kemampuan Me-nulis Cerpen.
Hasil perhitungan ANAVA dua arah untuk pengujian hipotesis keempat menyimpulkan
bahwa tidak terdapat interaksi antara metode sugestopedia dengan motivasi belajar dalam
mempengaruhi kemampuan menulis cerpen siswa. Berarti efek utama faktor metode
sugestopedia dan motivasi belajar masing-masing berjalan secara independen dalam
memepengaruhi kemampuan menulis cerpen siswa atau tidak terdapat pengaruh dari interaksi
anatara metode sugestopedia dan kategori motivasi belajar terhadap kemampuan menulis cerpen
siswa. Dengan demikian, metode sugestopedia untuk semua kategori motivasi belajar dalam
meningkatakan ke-mampuan menulis cerpen siswa.
Tidak terdapat interaksi antara metode sugestopedia dan motivasi belajar dalam
mempengaruhi motivasi belajar siswa antara lain disebabkan (1) dalam pembelajaran metode
sugestopedia tingkat pe-mahaman siswa terhadap materi pelajaran dapat meningkat, dengan
adanya suasana dan cara belajar yang menggunakan musik. Pembelajaran ini membuat motivasi
belajar siswa berkembang sehingga materi yang dipelajari lama diingat siswa. (2) keterampilan
siswa dalam bertanya berkembang dengan baik, misalnya dalam berdiskusi siswa tidak lagi
diam dan menerima pelajaran dari guru, siswa lebih aktif bertanya tentang apa yang tidak
diketahuinya. Sementara dalam pembelajaran dengan metode konvensional ber-jalan secara
independen dan tidak tergantung pada motivasi belajara siswa. Hal ini sesuai dengan Maryunis
(2007: 321) menyatakan jika interaksi tidak signifikan maka efek utama faktor variabel bebas A
dan variabel bebas B dapat diinterpretasikan secara independen. Dengan demikian, metode
sugestopedia selain dapat diterapkan pada siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi, juga
dapat me-ningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa yang mempunyai motivasi belajar
rendah.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
200
Simpulan
Penelitian ini membahas tentang pengaruh metode sugestopedia dan motivasi belajar
terhadap kemampuan menulis cerpen siswa kelas X SMA Negeri 1 Salimpaung. Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemuka-kan, maka diperoleh simpulan sebagai
berikut.
Pertama, Kemampuan menulis cerpen siswa yang diajar dengan metode sugestopedia
lebih baik daripada kemampuan menulis cerpen siswa yang diajar dengan metode konvensional.
Kedua, kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi yang diajar
dengan metode sugestopedia lebih baik daripada kemampuan menulis cerpen siswa yang
memiliki motivasi belajar tinggi yang diajar dengan metode konvensional. Ketiga, kemampuan
menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi belajar rendah yang diajar dengan metode
sugestopedia lebih baik daripada kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi
belajar rendah yang diajar dengan metode konvensional. Keempat, tidak terdapat interaksi
anatara metode sugestopedia dan motivasi belajar dalam mempengaruhi kemampuan menulis
cerpen siswa.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut.
Pertama, guru-guru bahasa Indonesia supaya menerapkan metode sugestopedia pada
pem-belajaran bahasa Indonesia di sekolah, terutama guru-guru bahasa Indonesia SMA Negeri 1
Salimpaung Kecamatan Salimpaung untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan
menulis cerpen siswa.
Kedua, kepada para peneliti selanjutnya agar meneliti lebih mendalam tentang
penggunaan metode sugestopedia ini pada pokok bahasan lain atau mata pelajaran lain.Ketiga,
bagi siswa, bahwa metode pembelajaran metode sugestopedia memberikan pengaruh yang
positif dan lebih baik lagi bagi masing-masing individu maupun bagi siswa dalam proses
pembelajaran berkelompok.
Daftar Pustaka
Atmazaki. 2006. Kiat-Kiat Mengarang dan Menyunting. Padang: Citra Budaya Indonesia.
Djaafar, Tengku Zahara. 2001. Kontribusi Strategi Pembelajaran terhadap Hasil Belajar.
Padang: FIP UNP.
Jamian, Abdul Rasid, dkk. 2011. Keberkesanan Cerpen dalam Mempertingkat Prestasi Penulis-
an Karangan Bahasa Melayu dalam Kalangan Murid. Jurnal Pendidikan Bahasa melayu,
Vol 16 , Bil 2, (online), (http:// .ukm.my/jpbm/pdf45-58_ Arti kel_4_Rasid_et_al.pdf.
diakses tanggal 1 April 2014).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
201
Komaidi, Didik. 2011. Panduan Lengkap Menulis Kreatif Teori dan Praktek. Yokyakarta: Sabda
Melia.
Maryunis, Aleks. 2007. Konsep dasar penerapan Statistika dan Teori Probabilitas. Padang:
Universitas Negeri Padang.
Muhardi dan Hassanuddin WS. 2006. Prosedur Analisis Fiksi: Kajian Strukturalisme. Padang:
Yayasan Citra Budaya Indonesia.
Nurhayati, Nurhayati and Jaenah, Een and Yuliati, Esana Laili. 2005. Penggunaan Strategi Suggestopedia dapat Meningkat-kan Kemampuan Siswa Menulis Cerpen.Jurnal Bahasa
dan Sastra, 8 (2),(online), (http:// eprints. unsri.ac.id, diakses tanggal 1 April 2014).
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana.
Sardiman. 2010. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&d. Bandung: Alfabeta.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa.
Tukiman. 2007. Meningkatkan Kemampuan Menulis Cerpen dengan Pendekatan Pembelajaran
Terpadu (Studi pada Siswa Kelas XII IPA-3 SMA 1 Mojolaban). Jurnal Pendidikan, Jilid
16, Nomor 2, (online), (http://ejurnal.veteranbantara.ac.idindex.phppendidikanarticleview
7869.pdf)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
202
PERAN CERITA RAKYATDALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK
Eva Krisna-Krisnawati
Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat
Abstrak
Cerita rakyat terdiri atas empat jenis, yaitu: mite, legenda, epos/sage, dan dongeng.
Biasanya, cerita rakyat merupakan kisah pendek, sederhana, bahasanya merupakan
bahasa prosa biasa, dan dituturkan oleh nenek, ibu, atau perempuan-perempuan yang
dituakan yang memiliki kemampuan bercerita. Cerita rakyat hampir-hampir tidak
mendapat perhatian yang layak dari para pemerhati sastra di Nusantara. Padahal, cerita
rakyat sangat kaya ragam dan banyaknya Namun, kekayaan khasanah budaya itu
cenderung dibiarkan begitu saja, hilang ditelan waktu. Kehilangan dan kepunahan itu
disebabkan media penyampaiannya adalah pelisanan sehingga ketika perhatian
masyarakat terhadapnya tidak ada lagi, maka hilanglah ia dari tengah masyarakat
bersangkutan. Padahal, cerita rakyat memiliki fungsi di tengah masyarakat, antara lain
sebagai alat pendidik, alat pelipur lara, media protes sosial, dan proyeksi keinginan
terpendam. Maka, selayaknya cerita rakyat seperti mulai diapresiasi, seperti
dikumpulkan, direkam, ditulis, diterjemahkan, dipublikasikan, dan dikaji manfaatnya
bagi pembaca.
Salah satu indikasi manfaat cerita rakyat bagi masyarakat adalah kandungan nilai-nliai
dan pesan-pesan yang dibawanya yang dapat dijadikan media pengajaran bagi anak.
Tulisan ini khusus membahas peran sastra rakyat dalam proses pembentukan karakter
anak dengan mengambil sampel carito (cerita rakyat Minangkabau). Sastra rakyat
(curito) bermanfaat sebagai bacaan bagi anak karena sesuai dengan kehidupan dan alam
pikiran anak-anak, yakni menonjolkan unsur fantasi, mengemukakan hal-hal yang serba
mungkin, dan menganggap bahwa segala sesuatu itu hidup sebagaimana anak-anak itu
sendiri. Di atas semua itu, nilai-nilai dan pesan-pesan tertentu yang terdapat dalam cerita
rakyatlah yang amat bermanfaat dalam proses pembentukan karakter anak. Nilai-nilai dan
pesan-pesan tertentu yang terkandung di dalam karya sastra dapat menjadi pedoman
tingkah laku dalam kehidupan anak yang akan menjadi filter dalam menghadapi budaya
global yang cenderung menggerus karakter anak Nusantara.
Kata kunci: cerita prosa rakyat, fungsi, nilai-nilai, karakter anak, dan budaya global
Pendahuluan
Hampir semua kelompok etnik di dunia ini memiliki cerita rakyat, khususnya yang
disampaikan dalam bentuk prosa, atau yang biasa disebut cerita prosa rakyat. Para ahli telah
membagi cerita prosa rakyat dalam berbagai katagori dan peristilahan masing-masingnya.
Istilah cerita prosa rakyat diperkenalkan oleh Bascom (1965:3-6) sebagai prose narrative, yakni
cerita rakyat yang disampaikan dalam bentuk prosa dan sering kali menjadi bagian dari tradisi
lisan. Cerita prosa rakyat terdiri atas tiga jenis, yaitu: mite, legenda, dan dongeng.
Mite adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi dewa dan diyakini masyarakat sebagai
suatu hal yang benar-benar pernah terjadi pada masa lampau yang sangat jauh. Mite biasanya
berupa pengajaran yang harus diyakini karena mengandung kekuatan gaib sehingga dianggap
sebagai cerita suci. Mite berfungsi untuk menjawab ketidakmengertian manusia mengenai
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
203
sesuatu hal, keragu-raguan atau ketidakpercayaan, dan sering sekali dikaitkan dengan
kepercayaan dan ritual.
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi manusia biasa atau manusia setengah
dewa, juga diyakini pernah terjadi, tetapi kejadiannya pada masa lampau yang tidak begitu jauh.
Legenda bisa saja dianggap cerita suci atau cerita biasa yang bercerita tentang perpindahan
penduduk, peperangan, kepahlawanan, raja dan para pemuka masyarakat, pergantian
kepemimpinan dalam suatu kelompok etnik, serta berkaitan dengan asal-usul penamaan suatu
hal. Biasanya legenda mengandung nilai historis yang bercampur baur dengan mitos.
Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang dianggap semata-mata sebagai cerita rekaan.
Kebenaran kejadian dalam dongeng tidak pernah dipermasalahkan orang. Dongeng dapat
berfungsi sebagai hiburan dan nasihat, kejadian dapat terjadi dimana dan kapan saja (tidak
terikat pada waktu dan tempat), serta kerap bercerita tentang dewa, peri, manusia, dan binatang.
Di Minangkabau, cerita rakyat dibagi menjadi dua, yaitu curito dan kaba. Menurut
Djamaris (2002:68&77—78), curito (cerita)merupakan kisah pendek, sederhana, bahasanya
merupakan bahasa prosa biasa, dan biasanya dituturkan oleh nenek, ibu, atau perempuan-
perempuan yang dituakan yang memiliki kemampuan bacurito (bercerita); sedangkan kaba
adalah kisah panjang, isinya hampir sama dengan hikayat/novel, disampaikan dalam bentuk
prosa berirama, dan dipertunjukkan oleh penutur profesional.
Khusus mengenai cerita prosa rakyat Minangkabau yang disebut curito, hampir-hampir
tidak mendapat perhatian yang layak dari para pemerhati sastra. Padahal, curito sangat kaya
ragam dan banyaknya di Minangkabau, seperti pada umumnya cerita rakyat, yakni ada curito
yang tergolong dongeng, tergolong mite, dan tergolong legenda. Namun, kekayaan khasanah
budaya Minangkabau itu cenderung dibiarkan begitu saja, hilang ditelan waktu. Kehilangan dan
kepunahan curito disebabkan media penyampaiannya adalah pelisanan sehingga ketika
perhatian masyarakat terhadapnya tidak ada lagi, maka hilanglah ia dari tengah masyarakat
bersangkutan. Padahal, cerita rakyat memiliki kegunaan bagi masyarakat, seperti yang diuraikan
oleh Danandjaja (1984:83), yakni: sebagai alat pendidik, alat pelipur lara, media protes sosial,
dan proyeksi keinginan terpendam. Maka, selayaknya cerita rakyat seperti curito mulai
diapresiasi, seperti dikumpulkan, direkam, ditulis, diterjemahkan, dipublikasikan, dan dikaji
manfaatnya bagi pembaca.
Salah satu indikasi manfaat cerita rakyat bagi masyarakat adalah kandungan nilai-nliai
dan pesan-pesan yang dibawanya yang dapat dijadikan media pengajaran bagi anak. Tulisan ini
khusus membahas peran sastra rakyat, dalam hal ini curito, dalam proses pembentukan karakter
anak, khususnya anak Minangkabau.
Sastra rakyat (curito) bermanfaat sebagai bacaan bagi anak karena sesuai dengan
kehidupan dan alam pikiran anak-anak, yakni menonjolkan unsur fantasi, mengemukakan hal-
hal yang serba mungkin, dan menganggap bahwa segala sesuatu itu hidup sebagaimana anak-
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
204
anak itu sendiri. Di atas semua itu, nilai-nilai dan pesan-pesan tertentu yang terdapat dalam
cerita rakyatlah yang amat bermanfaat dalam proses pembentukan karakter anak. Menurut
Sarumpaet (1976:29), nilai-nilai dan pesan-pesan tertentu yang terkandung di dalam karya sastra
dapat menjadi pedoman tingkah laku dalam kehidupan anak.
Sastra Rakyat sebagai Alat Pembentuk Karakter Anak
Pada masa lalu, orang Minangkabau amat bangga dengan penggunaan bahasa plastis
dalam komunikasi mereka sehari-hari. Orang Minangkabau dulu gemar berlama-lama dan
berbual-bual dengan pemakaian pantun, kias, dan peribahasa. Orang enggan mengungkapkan
sesuatu secara langsung, berterus terang, atau dengan lugas. Jika hendak menyampaikan pikiran
atau perasaan, seseorang akan berputar-putar dulu, sampai lawan bicara maklum terhadap hal
yang dibicarakan. Dalam hal mendidik anak pun demikian, orang tua lebih memilih penggunaan
kalimat-kalimat sastra dengan bertamsil dan beribarat, bahkan dengan menuturkan curito-curito
yang kaya dengan nilai-nilai dan pesan-pesan tentang kehidupan yang hakiki. Selanjutnya,
anaklah yang melalui kemampuan kognisi mereka menjadikan curito-curito yang sering mereka
dengar sebagai landasan bersikap dalam kehidupan bermasyarakat yang pada akhirnya menjadi
unsur pembentuk karakter sang anak.
Curito, sebagaimana sastra rakyat pada umumnya menurut Santosa dkk. (2008:8.33)
memiliki empat manfaat, yakni: estetis, pendidikan, kepekaan batin dan sosial, dan penambah
wawasan dalam pengembangan jiwa dan kepribadian (karakter) anak. Estetis berasal dari kata
estetika, yaitu cabang ilmu filsafat yang membahas tentang keindahan yang melekat dalam
karya seni. Dalam curito terdapat nilai keindahan, yaitu keindahan seni merangkai kalimat
hingga menjadi ungkapan cerita yang bagus. Curito yang biasanya dituturkan, disampaikan
dengan suara yang enak didengar sehingga pendengar memeroleh kepuasan, kenikmatan, dan
teringat lama kepada curito tersebut.
Manfaat curito sebagai unsur pendidikan maksudnya ialah dengan mendengar curito,
anak memeroleh ajaran tentang akhlak, budi pekerti, dan kecerdasan berpikir. Melalui curito,
anak memperoleh informasi yang dapat memengaruhi proses pembentukan sikap dan tingkah
laku individual atau kelompok orang dalam rangka kehidupan bersama (bermasyarakat).
Peka artinya mudah merasa, mudah tersentuh, mudah bergerak, tidak lalai, serta tajam
menerima dan meneruskan pengaruh dari luar. Manfaat sastra rakyat bagi anak sebagai
pengasah kepekaan batin dan sosial maksudnya adalah agar mereka tersentuh oleh hal-hal yang
bersifat manusiawi, seperti hasrat hidup untuk selalu member motivasi bagi orang lain, berbuat
baik sesama manusia, menolong orang yang sengsara, dan berempati terhadap masalah yang
mendera orang lain.
Wawasan artinya adalah tinjauan atau pandangan. Manfaat sastra rakyat sebagai
penambah wawasan bagi anak maksudnya adalah bahwa sastra rakyat dapat berperan sebagai
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
205
informasi, pengetahuan, pengalaman hidup, pandangan-pandangan tentang kehidupan. Dengan
memahami isi curito, anak memiliki kekayaan pengetahuan, keleluasaan berpikir, dan
pengalaman-pengalaman hidup yang dapat dipetik hikmahnya.
Dengan mengapresiasi sastra rakyat, anak memeroleh keindahan pengajaran,
pendidikan atau pengajaran, kepekaan, serta wawasan tentang budi pekerti, pesan moral, dan
teladan-teladan kebajikan yang bermanfaat dalam pengembangan jiwa dan kepribadian mereka.
Berikut ini adalah bahasan tentang keempat manfaat sastra rakyat dalam pembentukan karakter
anak yang diaplikasikan melalui tiga curito Minangkabau yang berjudul Si Bunian, Asal-Usul
Danau Maninjau, dan Tikus Beranak Putri.
Si Bunian
Konon, di Payakumbuh hidup sebangsa makhluk halus yang bernama si
Bunian. Mereka diberi nama demikian karena menyenangi segala macam buni-
bunian (bunyi-bunyian) yang berasal dari berbagai alat musik tradisional,
seperti aguang (gong), talempong, dan canang. Bunian berusaha meminjam
bunyi-bunyian tersebut ke setiap rumah gadang yang memilikinya. Untuk itu, ia
akan menyamar menjadi manusia dengan mengaku sebagai masyarakat dari
kampung lain. Mereka meminjam dengan meninggalkan uang sebagai imbalan
jasa. Ketika bunyi-bunyian tersebut dipulangkan nanti, orang baru menyadari
bahwa mereka telah berurusan dengan si Bunian karena alat musik tersebut
tidak berbunyi bagus lagi dan uang yang ditinggalkan pun berubah menjadi
daun kayu.
Tidak hanya itu, Bunian juga suka menyesatkan orang di hutan. Orang
yang disesatkan merasa bahwa ia menempuh jalan bagus yang belum pernah ia
lihat sebelumnya dan menemui kampung yang sangat indah. Orang tersebut
betah disana karena ia pun mendapat keluarga baru dan kehidupan yang
dirasanya sangat baik. Padahal, sesungguhnya ia berada dalam hutan, tinggal di
pepohonan, dan makan makanan yang menjijikkan. Sementara itu, keluarganya
di kampung kehilangan dan mencari-cari kemana tersesatnya orang itu.
Akhirnya, bila orang itu ditemukan, ia tidak akan betah di kampung, ia kabur
kembali ke kampung Bunian. Kalaupun dipaksa tinggal di kampung, ia akan
menjadi hilang ingatan. Biasanya, orang yang disesatkan Bunian adalah orang-
orang yang kondisi kejiwaannya sedang labil seperti sedang sedih atau tertekan
oleh sesuatu hal.
Curito di atas termasuk kategori mite yang mengandung pesan-pesan sosial yang dapat
diambil manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan sosial yang dapat dipetik
adalah jangan memendam perasaan sendirian dan berlama-lama. Bagilah beban perasaan kepada
orang terdekat yang dapat mengerti dan mau mencarikan jalan keluar dari setiap persoalan yang
dihadapi. Dari curito ini dapat diperoleh pengajaran bahwa sifat tertutup dan memendam
perasaan dapat membuat seseorang terpedaya oleh hal-hal yang tidak logis bahkan menipu. Bagi
anak, curito ini dapat memberikan pengajaran bahwa anak tidak boleh terlalu mudah menuruti
perasaan hati seperti merajuk ‘mamanggok’ karena sikap demikian membuat ia mudah dibujuk
orang lain yang pada akhirnya membawa kesengsaraan bagi dirinya dan keluarga.
Asal-Usul Danau Maninjau
Konon pada zaman dulu di Danau Maninjau sekarang berdiri satu
gunung merapi bernama Gunung Tinjau. Di satu desa yang berada di kaki
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
206
gunung itu hiduplah sepuluh orang bersaudara yang disebut Bujang Sambilan.
Mereka adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang,
Bayang, dan Kaciak. Adik mereka yang paling bungsu adalah seorang
perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Giran. Siti Rasani
menjalin hubungan kasih dengan anak mamak mereka bernama Giran. Namun,
kakak tertuanya tidak menyukainya karena Kukuban pernah dikalahkan Giran
dalam suatu pertandingan. Suatu hari, Giran dan Rasani dituduh melakukan
perbuatan tak senonoh karena Giran membantu mengobati Rasani yang terluka
pahanya. Keduanya dihukum menceburkan diri ke kawah Gunung Tinjau.
Namun, sebelum melompat ke dalam kawah, Giran mengucapkan sumpah,
yakni apabila tuduhan yang ditimpakan padanya tidaklah benar, maka
masyarakat akan merasakan akibat dari fitnah yang sudah mereka tujukan
padanya.
Seketika, di saat Giran dan Rasani berada di dalam kawah, Gunung
Tinjau pun meletus dan menyemburkan lahar panas melanda semua orang
kampong. Gunung Tinjau pecah sampai tak menyisakan bentuknya lagi hingga
yang ada hanyalah air yang banyak dan menggenangi tempat yang luas. Nama
gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau.
Nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama
nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto
Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Cerita rakyat atau curito di atas termasuk kategori legenda. Ia mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang
dapat dipetik adalah akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam menjadikan
Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat
dipetik pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap
orang lain, demi membalaskan dendam yang pada akhirnya berakibat fatal bagi sang
pendendam itu. Dengan pemahaman terhadap curito ini, anak dapat memedomani bahwa
pendendam adalah sifat yang harus dijauhi.
Tikus Beranak Putri
Konon, ada seorang putri raja yang berwatak baik sehingga disayang
oleh semua orang. Putri cantik itu menikah dengan seorang pangeran yang
memiliki paras tampan pula. Namun, ada seseorang yang tidak suka padanya,
yakni seorang dukun perempuan yang berwatak jahat dan memiliki wajah
buruk. Dukun tersebut iri hati pada sang putri sehingga ia pun menyihirnya
menjadi seekor tikus. Putri yang ketika disihir itu sedang hamil, melarikan diri
ke pinggir hutan karena malu atas kejadian yang menimpanya.
Di pinggir hutan, tikus jelmaan putri itu dirawat oleh seorang tua
penyayang yang menganggapnya seperti anaknya sendiri hingga suatu hari
tikus itu melahirkan. Anak yang dilahirkan adalah seorang perempuan yang
berparas secantik ibunya sebelum dikutuk dulu. Ia pun tumbuh menjadi gadis
rupawan yang tersohor ke berbagai negeri. Gadis itu dinikahi oleh seorang raja
muda yang bertahta di kerajaan seberang negeri Balai Panjang. Gadis itu tidak
melupakan ibunya, ia memboyong serta ibunya ke kerajaan suaminya secara
sembunyi-sembunyi. Disana, ia merawat ibunya dengan penuh bakti
sebagaimana seorang anak berbakti kepada ibunya sesama manusia. Ia
memberi ibunya makan enak, sarang yang layak, dan penghormatan yang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
207
pantas, meskipun semuanya harus ia lakukan dengan sembunyi-sembunyi
karena fisik ibunya yang merupakan binatang menjijikkan itu.
Tak terelakkan, suatu hari raja mendapati tikus jelmaan itu sedang
makan di piring bagus dengan makanan yang serba enak. Sang raja pun marah
dan memukuli tikus hingga mati. Alangkah sedihnya hati si putri karena
ibunya dibunuh. Ia tidak dapat menahan luapan kesedihan sehingga ia pun
menangis, meraung, dan meratap, “Meskipun hanya seekor tikus, ya ‘Bu, Ibu
bagiku tetaplah ibu yang telah merawat dan membesarkanku semenjak dari
rahimmu.” Sang suami, raja yang telah terlanjur membunuh mertuanya itu,
terperanjat mendengar ratapan istrinya. Ia segera memerintahkan
penyelenggaraan penguburan tikus jelmaan itu, seperti layaknya penguburan
manusia.
Ketika prosesi pemakaman hendak dilangsungkan, tiba-tiba bangkai
tikus tersebut menjelma kembali dalam wujudnya yang asli, yakni seorang
perempuan cantik. Ternyata, kasih sayang anak dan penyesalan menantunya
telah menghapuskan sihir dari tubuhnya. Ia pun memeluk putrinya sedangkan
menantunya pun menyampaikan permintaan maaf padanya.
Curito di atas termasuk kategori dongeng, yakni rekaan semata yang berfungsi sebagai
hiburan juga nasihat. Curito Mancik Baranak Puti (Tikus Beranak Putri) berfungsi sebagai
hiburan sekaligus nasihat agar anak-anak selalu mencintai ibu mereka, seperti apapun keadaan
ibu. Agama mengajarkan bahwa ibu adalah orang yang utama untuk dihormati, di samping
ayah. Pada dongeng itu diceritakan bahwa seorang putri, istri seorang raja, tetap menghormati
dan mencintai ibunya meskipun ibunya adalah seekor tikus. Kecintaan putri terhadap ibunya
mengakibatkan lenyapnya kutukan pada diri tikus tersebut sehingga ia kembali ke wujud
semula, yakni seorang putri pula.
Penutup
Di tengah galaunya para pemerhati anak pada dampak globalisasi terhadap proses
pembentukan karakter anak, sudah saatnya anak mengapresiasi sastra rakyat, tepatnya anak
Minangkabau mengapresiasi curito sebagai dasar pembentukan karakter anak Minangkabau.
Dengan pengapresiasian itu, nilai-nilai luhur yang telah dirumuskan oleh nenek moyang sejak
dahulu kala itu dapat diwarisi oleh generasi sekarang. Wujud pengapresiasian (kesadaran dan
penghargaan terhadap nilai-nilai seni dan budaya) curito bagi anak dapat ditempuh dengan
mendekatkan anak pada curito. Selanjutnya, langkah-langkah yang harus ditempuh adalah
menuturkan sesering mungkin curito-curito kepada peserta didik pada usia dini, yaitu ketika
anak belum mampu membaca. Kemampuan ini harus dimiliki orang tua dan para pendidik pada
tingkatan prasekolah tersebut.
Selain itu, upaya menyelamatkan curito lisan dari kepunahan pun menjadi bagian
penting dalam apresiasi tersebut. Karya sastra tersebut perlu diinventarisasi, didokumentasi
(direkam), ditranskripsi (ditulis), dan diterjemahkan (dari bahasa Minangkabau ke bahasa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
208
Indonesia), dianalisis manfaat yang dikandungnya (diklasifikasi), lalu diterbitkan sebagai
bacaan bagi anak. Dengan ketersediaan curito Minangkabau sebagai bacaan anak, pewarisan
nilai-nilai dan pesan-pesan yang disampaikan akan diterima oleh anak dan pada akhirnya nilai-
nilai dan pesan-pesan itu memainkan peranannya sebagai unsur pembentuk karakter anak
Minangkabau yang berlandaskan ajaran Islam dan adat Minangkabau. Pada akhirnya, kegalauan
para pemerhati anak terhadap pembentukan karakter anak pada era globalisasi ini dapat
terkurangi. Artinya, anak Minangkabau berada di zaman supramodern dengan karakter luhur
yang berakar pada kepribadian dan identitas suku bangsanya.
Daftar Pustaka
Balai Bahasa Padang. 2009. Kamus Bahasa Minangkabau-Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Bauman, Richard (editor). 1992. Folklore, Cultural Performance and Populer Entertainments.
New York: Oxford University Press.
Danandjaya, James. 1984. FolkloreIndonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain- Lain. Jakarta:
Grafiti Press.
Djamaris, Edwar. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Djamaris, Edwar. 2002. Cerita Rakyat Minangkabau: Dongeng Jenaka, Dongeng Berisi
Nasihat, serta Dongeng Berisi Pendidikan Moral dan Budaya. Jakarta: Pusat Bahasa.
Krisna, Eva. 2011. “Transliterasi dan Transkripsi Curito Minangkabau”. Balai Bahasa Padang:
Laporan Penelitian.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Pedoman Ejaan Bahasa Minangkabau.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa-Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Santosa, Puji dkk. 2008. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Sarumpaet, Riris K. 1976. Bacaan Anak-Anak. Jakarta: Pustaka Jaya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
209
MODERN MEISJE: REPRESENTASI PEREMPUAN INDONESIA
DALAM TOKOH NYAI ONTOSOROH PADA NOVEL BUMI MANUSIA
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
Heri Isnaini
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Modern mesije merupakan salah satu konsep yang ditawarkan oleh Kartini dalam
melihat perempuan Indonesia. Konsep perempuan pada pemkiran Kartini dapat kita
lihatdalam surat yang Kartini tujukan kepadaEstelle "Stella" Zeehandelaar, sahabat
karibya dari Belanda. Dalam suratnya, Kartini merindukan sosok modern meisje yang
sangat didambakannya, yakni perempuan merdeka, mandiri, visioner, antusias, serta
perempuan yang berkepribadian halus.Sosok itulah yang meneguhkan Kartini
memperjuangkan kaumnya yang tertindasdan selalu menjadi objek yang abjek. Konsep
modern meisje yang dikemukakan Kartini ini terrepresentasi pada tokoh Nyai Ontosoroh
pada novel Bumi Manusia karya Pramodeya Ananta Toer. Nyai Ontosoroh adalah figur
yang mempunyai pendirian kuat, ulet danpantang menyerah dalam berjuang, rasional
dan mempunyai visi kebangsaan.Nyai Ontosoroh adalah simbol perlawanan terhadap
kesewenang-wenangankekuasaan, terhadap harga diri sebuah bangsa. Representasi
tersebut pada akhirnya akan membawa kita pada pemahaman konsep modern meisje
yang disuarakan Kartini, jauh sebelum “pergerakan perempuan” pada tahun 1960-an di
Amerika, yang pada akhirnya memunculkan kritik sastra feminis.
Kata kunci: modern meisje, perempuan, tokoh, feminis
Pendahuluan
Representasi perempuan dalam sastra dirasakan sebagai salah satu bentuk
sosialisasiterpenting karena memberikan gambaran tentang perempuan yang tepat dan sah.
Dalamperjalanannya, pergerakan ini melahirkan “kritik sastra feminis”. Perhatian kritis dari
kritik sastra feminis ditujukan pada buku-buku karya penulis laki-laki yang mengonstruksi citra
perempuan dengan tujuan melanggengkan ketidaksetaraan seksual mereka. Dalam tulisannya,
Toril Moi membedakan istilah feminist, female, dan feminine. Istilah pertama adalah sebuah
“posisi politis”, yang kedua “berhubungan dengan biologi”, dan istilah ketiga didefinisikan
sebagai “seperangkat karateristik yang didefinisikan secara kultural”. Ketiga istilah inilah yang
kemudian menjadi salah satu sarana pemikiran dan pergerakan kritik sastra feminis, yang
menurut saya telah dimulai juga oleh Kartini.
Pada tanggal 25 Mei 1899, Kartini menulis surat kepada Estelle "Stella" Zeehandelaar
yang isinya berupa suara kartini yang merindukan sosok modern meisje yang selalu diangan-
angankan kartini. “I have longed to make the acquaintance of a "modern meisje” that proud,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
210
independent girl who has all my sympathy! She who, happy and self-reliant, lightly and alertly
steps on her way through life, full of enthusiasm and warm feeling; working not only for her
own well-being and happiness, but for the greater good of humanity as a whole” (Kartini,
1921:3). Surat itu jelas merupakan khayalan Kartini mengenai sosok modern meisje yang sangat
didambakannya, yakni perempuanmerdeka, mandiri, visioner, antusias, serta perempuan yang
berkepribadian halus. Kartini meyakini bahwa perempuan dapat maju berkembang dan dapat
unggul ketika perempuan menjadi sosok modern meisje.
Berangkat dari pemikiran Kartini yang revolusioner tersebut, seolah memicu ingatan
kita pada konsep kesetaraan gender yang sangat santer didengungkan pada “pergerakan
perempuan” tahun 1960-an di Amerika. Dari beberapa segi yang penting, pergerakan ini bersifat
“sastrawi”. Artinya, pergerakan ini menyadari signifikansi citra perempuan yang disebarluaskan
oleh sastra dan memandang bahwa sangat penting untuk melawan hal tersebut dengan
mempertanyakan otoritas dan koherensinya.
Pemikiran-pemikiran Kartini untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, seperti hak
untuk berpendidikan; hak untuk meperoleh kebebasan; hak untuk memilih jodoh; dan lebih jauh
lagi adalah hak “berkedudukan sama” dalam struktur sosial masyarakat adalah pemikiran
feminis yang lahir akibat tekanan yang dialami Kartini. Secara sadar Kartini melihat hal tersebut
menjadi sebuah “penindasan” dan “penyiksaan” terhadap hak-hak perempuan. Melalui surat-
surat yang dikirimkan pada Stella, sesungguhnya Kartini sedang berusaha mencoba
mengadakan perlawanan terhadap kondisi yang menyudutkan kaum perempuan pada strata
sosial masyarakat Jawa. Perlawanan yang dilakukan Kartini adalah dengan “tulisan”. Tulisan
yang khas “perlawanan perempuan”. Kartini “sengaja” menggunakan bahasa Belanda sebagai
bentuk “perlawanan” atas pengekangan dirinya. Melalui bahasa (bahasa Belanda) dalam
suratnya, Kartini ingin memperlihatkan bahwa perempuan dapat melawan dengan “senjata”
laki-laki,yakni Bahasa. Bahasa dalam surat-surat Kartini berisi pemikiran-pemikiran cerdasnya
untuk kemajuan perempuan, khususnya di bidang pendidikan. Menurut saya, khayalan Kartini
tentang modern meisje telah menjadikannya sosok feminis sejati. Setelah penjelasan singkat ini,
saya akan mencoba membandingkan pemikiran Kartini tentang modern meisje dengan tokoh
Nyai Ontosoroh pada novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang dalam berbagai
segi memiliki kesamaan, kesamaan dalam memandang perempuan, hidup, dan kehidupan.
Komparasi ini dapat bermuara pada pembicaraan pergerakan kritik sastra feminis yang dimulai
pada tahun 1970-an.
Pramoedya menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai gundik yang berbedadari
prasangka umum. Ia begitu bersahaja dan arif. Etika, tingkah laku,kemampuan menulis dan
berbicara dalam Melayu, dan Belanda.Nyai Ontosoroh adalah figur yang mempunyai pendirian
kuat, ulet danpantang menyerah dalam berjuang, rasional dan mempunyai visi kebangsaan. Nyai
Ontosoroh adalah simbolperlawanan terhadap kesewenang-wenangankekuasaan, terhadap harga
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
211
diri sebuah bangsa.Sosok Nyai Ontosoroh merupakan sosok perempuan pribumi yang
begitukuat. Bekerja menafkahi anak-anaknya dengan mengelola sebuah perusahaanbesar.
Berdiri, diposisikan sebagai gundik yang tak lain adalah budak, dihinakanoleh keluarga sendiri
dan masyarakat baik pribumi, Indo, maupun Belanda Totok.Namun, ia menjadi wanita pribumi
tangguh dengan mengandalkan alur hidup.Semua pengetahuan ia peroleh dari hidup.
Berdasarkan uraian singkat tersebut, kita akan melihat konsep modern meisje yang
ditawarkan Kartini melalui representasi perempuan pada tokoh Nyai Ontosoroh pada novel
Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Pendedahan konsep ini akan dilihat melalui
komparasi antara pemikiran Kartini, karakter Nyai Ontosoroh, dan pergerakan kritik sastra
feminis. Dengan demikian, konsep perempuan yang ditawarkan dari komparasi tersebut dapat
terlihat jelas.
Isi
1. Pemikiran Kartini
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial pd
jaman itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi
keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai
penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin perempuan memiliki kebebasan menuntut ilmu
dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-
onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar
Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan),
ditambah dengan Humanitarianisme (perikemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada Stella,
Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan
penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku
sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia
dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah
kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan
dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang
dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah
penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk
dimadu pula. Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus
dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
212
2. Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia
Bumi Manusia berlatar belakang kolonial Hindia Belanda, danMinke yang merupakan
tokoh utama adalah salah seorang pelajar pribumiyang bersekolah di HBS. Minke sangat pandai
dalam menulis, tulisannyatelah diterbitkan oleh Koran-koran Belanda pada saat itu yang
membuatbanyak orang terkagum-kagum. Minke digambarkan sebagai seorang yangberani
melawan ketidakadilan dalam negerinya melalui tulisan-tulisannya. Minke bertemu dengan
seorang perempuan cantik berketurunan Indonesia-Belanda yang bernama Annelise dimana
pada akhirnya menjadi istrinya.Annelise merupakan anak dari seorang nyai yang dipanggil
sebagai NyaiOntosoroh.
Nyai pada zaman kolonial Hindia Belanda merupakan perempuanyang tidak memiliki
norma kesusilaan karena statusnya sebagai istrisimpanan. Memiliki status sebagai nyai
membuatnya menderita karenatidak mempunyai hak asasi manusia yang sepantasnya. Meski
seorang nyaimelahirkan anak dari seorang Eropa, pemerintah Belanda tidak pernah mengangap
perkawinan itu syah. Pemerintah Hindia Belanda hanyamengakui anak yang lahir tapi tidak
perempuan yang menjadi gundik.Nyai Ontosoroh atau Sanikem adalah anak dari seorang juru
tulispada pabrik gula di Tulangan bernama Sastrotomo. Dia termasuk tipe laki-lakiyang gila
kuasa dan kekayaan. Dihormati karena satu-satunya orang
yang mampu baca tulis di desa.
Sostrotomo bercita-cita menjadi seorangjuru bayar, dia melakukan apa saja untuk
mencapai cita-cita itu tak seganmenjilat dan berkhianat. Sanikem dijadikan gundik atas
kehendak ayahnyasendiri yang dijualnya pada seorang Belanda bernama Herman
Mellemadengan imbalan gulden dan jabatan sebagai juru bayar.Semua itu tidak berarti bagi
Sanikem yang telah merasa hargadirinya direbut. Ia dendam kepada orang tuanya, lantas ia
berusahabangkit dengan belajar segala pengetahuan Eropa agar dapat diakui sebagai seorang
manusia.
Dia belajar tata niaga, belajar bahasa Belanda,membaca media Belanda, belajar budaya
dan hukum Belanda. Sebab diaberharap pada suatu hari semua pengetahuan itu akan berguna
untukdirinya dan anak-anaknya. Nyai Ontosoroh berpendapat untuk melawan penghinaan,
kebodohan, kemiskinan dan sebagainya hanya dengan belajar.
Nyai Ontosoroh tidak hanya bisa baca tulis dan berbahasa Belandatanpa cela, ia bahkan
memimpin perusahaan keluarga. Menjadi ibu tunggalbagi Robert dan Annelies Mellema, juga
bisa bersolek dengan necislayaknya priyayi, meski darah biru tak pernah mengalir dalam
tubuhnya.Nyai Ontosoroh berperan besar bagi Minke, tokoh utama dalam TetralogiPulau Buru.
Minke adalah menantu Nyai Ontosoroh, ia menikahiAnnelies.
Konflik pun terjadi, suami Nyai Ontosoroh, Herman Mellemadibunuh. Statusnya
sebagai penguasa pabrik goyah, dia sadar dirinyagundik yang tidak memiliki hak sedikit pun
untuk memiliki perusahaantermasuk anaknya sendiri. Ia tak mau menyerah begitu saja, lantas
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
213
bangkitmelawan untuk mempertahankan haknya bersama Minkemenantunya. Tapi apa daya
sekuat apa pun melawan, Nyai Ontosorohhanya seorang Nyai. Dia benar-benar tak berkutik di
hadapan hokum kolonial Belanda.
Mereka kalah di hadapan peradilan kolonial Belanda. AnneliesMellema diambil oleh
orang-orang Belanda. Minke kekasihnya takmampu berbuat banyak. Semua orang melepas
kepergian Annelies denganduka.Melalui penggambaran Pramoedya Ananta Toer di atas Bumi
Manusia melalui penggambaran tokoh Nyai Ontosoroh merupakan salahsatu novel yang
berhasil menyuarakan gabungan isu ideologis terhadapperempuan yang memperjuangkan
haknya dalam bidang ekonomi, hukum,politik dan kehidupan sosial dalam dampak
kolonialisme.
3. Kritik Sastra Feminis
Dalam kritik feminis 1970-an, upaya utama ditujukan pada pendedahan mekanisme
patriarki atau cara berpikir kultural pada diri laki-laki dan perempuan yang melanggengkan
ketidaksetaraan seksual. Feminisme menyatukan berbagai gagasan yang memiliki persamaan
dalam tiga pandangan utamanya: pertama, gender adalah konstruksi sosial yang lebih menindas
perempuan daripada laki-laki; kedua, konsrtruksi ini dibentuk oleh patriarki; ketiga,
pengetahuan eksperensial perempuan adalah dasar bagi pembentukan masyarakat nonseksis di
masa depan. Kemudian di tahun 1980-an, ada perubahan dalam feminisme. Pertama, kritik
feminis menjadi jauh lebih ekletik, artinya mulai mengambil bahan daritemuan dan pendekatan
dalam jenis-jenis kritik lainnya (marxisme, strukturalisme, linguistik, dsb). Kedua, fokusnya
dialihkan dari menyerang versi laki-laki atas dunia menjadi penyelidikan ciri-ciri dunia dan
sudut pandang perempuan serta merekonstruksi catatan pengalaman perempuan yang hilang
atau ditekan. Ketiga, perhatian dialihkan pada kebutuhan untuk mengonstruksi kanon tulisan
perempuan yang baru dengan cara menulis ulang sejarah novel dan puisi sedimikian rupa
sehingga penulis perempuan diutamakan. Elaine Showalter, misalnya, mendeskripsikan
perubahan di akhir 1970-an sebagai pergeseran perhatian dari “androteks” (tulisan laki-laki) ke
“ginoteks” (tulisan perempuan). Studi tentang “ginoteks” dan tema-tema tentang identifikasi
perempuan adalah “ginokritik”.
Pada 1980-an, fokus utama feminis adalah bahasa. Tantangannya adalah membentuk
ulang hubungan yang secara seksual ekspresif dan kuat antarbahasa, bentuk literer, dan jiwa
laki-laki dan peempuan dengan mempertanyakan hubungan antara identitas gender dan bahasa.
Para kritikus Prancis mengadopsi istilah ecriture feminine (tulisan feminin) untuk menjelaskan
gaya feminine (yang tersedia baik bagi laki-laki maupun perempuan). Mereka menemukan
“gaya” ini dalam ketidakhadiran, keterputusasaan, dan jouissance dalam tulisan modernis.
Cixous, secara khusus berpendapat bahwa ecriture feminine dapat ditemukan dalam metafora-
metafora mengenai perbedaan genital dan libidinal perempuan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
214
Kajian feminis mempertanyakan kembali nilai-nilai patriakal yang membedakan
perempuan dan laki-laki yang telah lama, bahkan begitu lama, berlaku di masyarakat sehingga
dianggap sudah sangat lumrah. Misalnya, traditional gender role atau peran jender tradisional
mengharuskan laki-laki menjadi rasional, kuat, pelindung, dan pembuat keputusan yang baik
dibandingkan dengan perempuan. Sementara perempuan diharuskan menjadi emosional
(irasional), lemah, manja, dan penurut. Peran jender ini telah lama digunakan untuk
menjustifikasi ketidakadilan. Misalnya tidak menyertakan atau menempatkan perempuan secara
setara di dalam kepemimpinan atau proses pengambilan keputusan (di dalam keluarga, ranah
politik, dunia akademik, dan dunia korporasi), dan meyakinkan perempuan bahwa mereka tidak
cocok/mampu untuk menggeluti bidang ilmu atau pekerjaan tertentu seperti matematika atau
keinsinyuran. Oleh karena itu patriakal bersifat sexist, yaitu “it promotes the belief that women
are innately inferior to men.” Patriakal mendukung dan mempromosikan ide bahwa perempuan
secara alamiah lebih rendah dari laki-laki dan inferioritas tersebut merupakan sesuatu yang tidak
dapat berubah karena memang begitulah adanya semenjak perempuan dan laki-laki lahir.
(Booker, 1996:89)
Feminis tidak memungkiri perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, malah
banyak feminis merayakan perbedaan tersebut. Namun mereka menolak jika perbedaan biologis
seperti ukuran dan bentuk tubuh semerta-merta menjadikan laki-laki secara alamiah superior
dari perempuan (misalnya lebih cerdas, logis, dan lebih berani). Oleh karena itu feminis
membedakan kata seks dan jender. Kata seks merujuk pada anatomi tubuh sebagai perempuan
(female) dan laki-laki (male), sedangkan kata jender (gender) merujuk pada konstruksi budaya
sebagai perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, “women are not born feminine, and men are
not born masculine. Rather, these gender categories are constructed by society.” Perempuan
tidak lahir dengan segala atribut feminine dan begitu juga dengan laki-laki tidak lahir membawa
maskulinitasnya. Melainkan, femininitas dan makulinitas tersebut dikonstruksi oleh masyarakat.
Itulah pemikiran yang berkembang berkaitan dengan “perempuan“. Dalam kaitannya
dengan bahasa. Ada pembedaan bahasa yang merunut pada masalah gender. Pembedaan
tersebut sepertinya lebih membela “kekuasaan“ laki-laki dan memarjinalkan kaum perempuan.
Perlu penelitian lebih dalam mengenai hal ini, tetapi sebagai contoh kecil, adanya pembedaan
gender dapat dilihat pada kosa kata di beberapa bahasa di dunia, seperti pada bahasa Inggris,
Arab, Perancis, Jerman. Pembedaan seperti ini mau tidak mau akan lebih melanggengkan
“kekuasaan“ laki-laki terhadap perempuan. Penggunaan kata ganti he dalam bahasa Inggris
sebagai kata ganti yang lebih banyak digunakan daripada bentuk she. Demikian pula pada
bahasa Arab, bentuk kata huwa lebih dominan digunakan daripada bentuk kata hiya. (dominan
dalam arti tidak hanya untuk menyatakan kata ganti orang, melainkan juga untuk kata ganti
benda yang lain).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
215
Dengan kata lain, ada dilematis tersendiri bagi kaum feminis (laki-laki atau perempuan)
yang mewakili kaum “liyan“ tersebut untuk mengekspresikan suara-suara mereka masuk ke
dalam suara umum dalam masyarakat dengan perantara tulisan, seperti makan buah
simalakama, pada saat tulisan mereka diterima oleh masyarakat, pada saat itu pula secara
tersirat mereka mengakui pembedaan yang menyudutkan mereka. Pada akhirnya, secara tekstual
perlawanan lewat tulisan seperti menegakkan benang basah, sesuatu yang sulit dilakukan, tetapi
tidak menutup kemungkinan hal tersebut dapat terwujud dengan syarat “benang“ tersebut telah
kering. Artinya, harus ada upaya alternatif yang dapat menjadi alat untuk “mengeringkan
benang tersebut“. Wahana “perlawanan“ kaum perempuan terhadap dominasi kegiatan
“menulis“ laki-laki, sebetulnya telah lama digaungkan pada masa lampau. Perlawanan itu di
antaranya dengan cara membuat tenunan atau tekstil. Menenun merupakan “perlawanan“ untuk
dominasi “menulis“. Hal tersebut dapat dilihat, ketika laki-laki membuat tulisan (baik di daun,
batu, lontar, dan sebagainya) kaum perempuan menenun “kain“ yang pada akhirnya dipakai
pula sebagai “baju“ oleh laki-laki. Balasan yang setimpal sebetulnya.
4. Irisan Hasil Komparasi
Kisah Nyai Ontosoroh berawal dari ayahnya yang sebelumnya hanyalahseorang
jurutulis yang mendambakan jabatan yang lebih tinggi yaitu sebagaijurubayar. Banyak cara
yang telah ditempuh ayahnya mulai dari menjilat danmerugikan teman-temannya sampai
melalui dukun dan tirakat tapi usahanyamenjadi jurubayar belum tercapai. Sanikem pada saat
berumur tigabelas tahun mulai mengalami pingitan danhanya tahu dapur, ruangbelakang dan
kamarnya. Ketika berumur empatbelastahun Sanikem sudah dianggap oleh masyarakat sebagai
perawan tua. Ayahnyamempunyai rencananya sendiri dengan menolak semua lamaran yang
datang.
Begitulah keadaanku, keadaan semua perawaan waktu itu, Ann- hanya
bisa menunggu datangnya seorang lelaki yang akan mengambilnya
dari rumah, entah ke mana, entah sebagai istri nomor berapa, pertama
atau keempat. Ayahku dan hanya ayahku yang menentukan. Memang
beruntung kalau jadi yang pertama dan tunggal. Dan itu keluarbiasaan
dalam masyarakat pabrik. Masih ada lagi. Apa lelaki yang mengambil
dari rumah itu tua atau muda, seorang perawan tak perlu mengetahui
sebelumnya. Sekali peristiwa itu terjadi perempuan harus mengabdi
dengan seluruh jiwa dan raganya pada lelaki yang tidak dikenal itu,
seumur hidup, sampai mati atau sampai dia bosan dan mengusir. Tak
ada jalan yang bisa dipilih. Boleh jadi dia seorang penjahat, penjudi
atau pemabuk.orang takkan bakal tahu sebelumnya jadi istrinya. Akan
beruntung bila yang datang itu seorang budiman. (Toer, 2011:119)
Tetapi dia menemukan kebangkitan diri. Kekalahannya dalam bentuk
ketidakberdayaannya menolak gundik (Nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
216
mendorong Nyai Ontosoroh untuk menyerap berbagai arus pemikiran Belanda, bahkan
mengendalikan perusahaan milik tuannya, terlihat dari kutipanberikut ini
Mama pelajari semua yang dapat kupelajari dari kehendak tuanku:
kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak
cara Eropa. Ya, Ann, aku telah mendendam orangtuaku sendiri. Akan
kubuktikan pada mereka, apapun yang telah diperbuat atas diriku, aku
harus bisa lebih berharga daripada mereka, sekalipun hanya sebagai
nyai. (Toer, 2011:128)
Pada waktu itu Mama mulai merasa senang, berbahagia. Ia selalu
mengindahkan aku, menanyakan pendapatku, mengajak aku
memperbincangkan semua hal. Lama kelamaan aku merasa sedrajat
dengannya. Aku tak lagi malu bila toh terpaksa bertemu dengan
kenalan lama. Segala yang kupelajari dan kukerjakan dalam setahun
itu telah mengembalikan harga diriku. Tetapi sikapku tetap:
mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapapun.
Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang
harga diri, apa lagi semua itu. Papamu yang mengajariku, Ann. Tentu
saja jauh di kemudian hari aku dapat rasakan wujud harga diri itu.
(Toer, 2011:130)
….Mama tumbuh jadi pribadi baru dengan penglihatan dan pandangan
baru. Rasanya aku bukan budak yang dijual di Tulangan beberapa
tahun yang lalu. Rasanya aku tak punya masa lalu lagi…. (Toer, 2011:134)
Berdasarkan kutipan di atas sangat jelas Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia adalah
tokoh yang merepresentasi perempuan dengan konsep modern meisje yang disuarakan oleh
Kartini. Setidaknya ciri-ciri modern meisje yang didambakan Kartini, seperti: perempuan
merdeka, mandiri, visioner, antusias, serta perempuan yang berkepribadian halus terepresentasi
pada sosok Nyai Ontosoroh.
Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai perempuan yang memiliki ciri seperti perempuan
terpelajar dan cerdas terlihat dari pelafalan bahasa Belanda yang fasih, menguasai banyak
istilah-istilah Eropa, gemar membaca buku-buku Eropa, memiliki pengetahuan dan
keterampilan dalam berdagang dan mampu menerangkan layaknya seorang guru-guru di
sekolah.
Nyai Ontosoroh juga memiliki ciri-ciri sebagai perempuan yang kuat dan berkuasa
terbukti dari kemampuan tokoh perempuan dalam mengurus semua kepentingannya (dirinya,
keluarga, dan perusahaan) sendiri, dia memiliki kekuatan dalam mengetahui dan mengendalikan
pedalaman orang lain, tokoh yang berani menghadapi kekuasaan Eropa dan pengendali seluruh
perusahaan.
Selain itu, Nyai Ontosoroh adalah tokoh perempuan memiliki ciri sebagai perempuan
yang berani mengambil keputusan terlihat dari berani mengambil keputusan untuk tidak
mengakui orangtuanya, mempunyai keberanian dalam mengambil keputusan untuk tetap
dipanggil dengan sebutan Nyai bukan Mevrouw. Tokoh sebagai perempuan yang memiliki ciri
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
217
sebagai perempuan mandiri terlihat dari sikap yang tidak bergantung dengan suaminya, tokoh
yang dapat melakukan semua pekerjaan kantor dan perusahaan dengan tangannya sendiri, serta
mampu mengurusi kepentingan dirinya, keluarga dan perusahaan dengan tangannya sendiri.
Gambaran-gambaran yang terepresentasi pada tokoh Nyai Ontosoroh tersebut adalah
gambaran tentang konsep modren meisje yang disuarakan Kartini. Artinya, dari komparasi yang
dilakukan ditemukan adanya irisan di antara ketiganya, yakni pemahaman terhadap representasi
perempuan Indonesia yang merdeka, mandiri, visioner, antusias, serta perempuan yang
berkepribadian halus. Sesuai cita-cita Kartini, cita-cita yang sudah lama muncul, jauh sebelum
pergerakan feminisme di Barat. Selain itu, konsep modern meisje Kartini dapat memberikan
warna pemikiran baru kepada perempuan Indonesia dalam menghadapi persaingan ketat di masa
yang akan datang.
Penutup
Berdasarkan hasil uraian di atas, dapat disajikan beberapa simpulan sebagai
berikut.Pertama, representasi perempuan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta
Toer, terefleksi melalui sikap, tindakan, jalan pikiran, rencana hidup serta ucapan tokoh
perempuan yang memiliki ciri-ciri: (1) tokoh sebagai perempuan yang memiliki ciri seperti
perempuan terpelajar dan cerdas, (2) tokoh sebagai perempuan yang kuat dan berkuasa, (3)
tokoh sebagai perempuan yang berani mengambil keputusan, dan (4) tokoh sebagai perempuan
yang mandiri. Kedua, representasi perempuan dalam keluarga yang terdapat dalam novel Bumi
Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, terefleksi dari tokoh perempuan yang berperan sebagai
seorang istri, seorang ibu dan ibu mertua dalam keluarganya.
Ketiga , representasi perempuan dalam lingkungan masyarakat yang terdapat dalam
novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, terefleksi dari tokoh perempuan yang
berkedudukan sebagai majikan dalam perusahaan, tokoh sebagai warga negara dari sistem
pemerintah kolonial atau sebagai perempuan pribumi, dan sebagai perempuan yang berstatus
sebagai gundik.Keempat, representasi yang sudah dikemukakan tersebut adalah muara dari
konsep modern meisje yang disuarakan oleh Kartini.
Daftar Pustaka
Booker, Keith. 1996. A Practical Introduction to Literary Theory and Criticism. Longman
Publishers: U.S.
Kartini, Raden Ajeng. 1921. Letters of Javanese Princess (translated from the original Dutch by
Agnes Louise Symmers). London: Duckworth & Co.
Ibrahim, Idi Subandy, Ed. 1997. Ectasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat
Komoditas Indonesia. Bandung: Mizan. (Kronik Indonesia Baru).
Ibrahim, Idi Subandi dan Hanif Suranto. 1998. Wanita dan Media: Konstruksi Idielogi Gender
dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
218
Pane, Armijn. 2008. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2004. Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Femininitas
dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra (terjemahan Okke K.S. Zaimar, dkk). Jakarta: Djambatan.
Toer, Pramoedya Ananta. 2011. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.
Tyson, Louis. 2006. Critical Theory Today. Routledge: U.S.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan (terjemahan Melani Budianta).
Jakarta: Gramedia.
Zoest, Art Van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik (terjemahan Manoekmi
Sardjoe). Jakarta: Intermasa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
219
PENGGUNAAN ANALISIS BUTIR SOAL DALAM MENENTUKAN TINGKAT
KESUKARAN SOAL BAHASA INDONESIA
Indra Permana
Aditya Permana
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Sebagai alat untuk mengukur kemampuan siswa setelah mengikuti kegiatan
pendidikan selama selang waktu tertentu, maka eksistensi tes menjadi sangat penting.
Sebuah tes yang baik, akan bisa mengungkapkan keadaan sebenarnya dari siswa, dan
tes yang tidak baik tidak akan bisa mengungkap apa kemampuan sebenarnya
siswa.Sebuah tes yang baik harus valid dan reliabel. Validitas merupakan penilaian
menyeluruh dimana bukti empiris dan logika teori mendukung pengambilan
keputusan serta tindakan berdasarkan skor tes atau model-model penilaian yang lain.
Kata kunci: analisis butir soal, tingkat kesukaran
Pendahuluan
Setiap kegiatan belajar harus diketahui sejauhmana proses belajar tersebut telah
memberikan nilai tambah bagi kemampuan siswa. Salah satu cara untuk melihat peningkatan
kemampuan tersebut adalah dengan melakukan tes. Tes yang berkaitan dengan tujuan ini sering
disebut tes prestasi hasil belajar. Tes prestasi hasil belajar adalah tes yang disusun secara
terencana untuk mengungkap infomasi subyek atas bahan-bahan yang telah diajarkan(Azwar,
2003). Pendapat lain menyatakan bahwa tes prestasi hasil belajar adalah tes yang digunakan
untuk mengungkap tingkat pencapaian belajar (Sudijono, 2005).
Dari dua pengertian di atas, ada satu benang merah yang sepertinya disepakati yaitu
bahwa tes prestasi hasil belajar merupakan salah satu cara untuk menelusuri kemampuan-
kemampuan yang telah dimiliki siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar selama waktu
tertentu. Meskipun tes bukanlah satu-satunya cara untuk mengungkap hasil belajar siswa, tetapi
ia merupakan alat yang paling sering digunakan karena kepraktisan penggunaannya serta biaya
yang murah.
Sebagai alat untuk mengukur kemampuan siswa setelah mengikuti kegiatan pendidikan
selama selang waktu tertentu, maka eksistensi tes menjadi sangat penting. Sebuah tes yang baik,
akan bisa mengungkapkan keadaan sebenarnya dari siswa, dan tes yang tidak baik tidak akan
bisa mengungkap apa kemampuan sebenarnya siswa.
Sebuah tes yang baik harus valid dan reliabel. Validitas merupakan penilaian
menyeluruh dimana bukti empiris dan logika teori mendukung pengambilan keputusan serta
tindakan berdasarkan skor tes atau model-model penilaian yang lain. Validitas sebuah tes dapat
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
220
dilakukan dalam berbagai bentuk seperti content validity, criterion validity dan construct-
related validity (Messick, 1989). Meskipun idealnya validasi dapat dilakukan dengan memakai
semua bentuk validitas tes tersebut, tetapi pengembang tes dapat memilih bentuk validasi
dengan melihat tujuan pengembangan tes (Kumaidi, 1994). Selain valid, alat ukur yang baik
juga harus reliabel. Sebuah tes dikatakan reliabel jika skor yang diperoleh oleh peserta relatif
sama meskipun dilakukan pengukuran berulang-ulang (Aiken, 1987). Untuk memperoleh skor
yang sama, maka tidak boleh ada kesalahan pengukuran. Dengan demikian, keandalan sebuah
alat ukur dapat dilihat dari dua petunjuk yaitu kesalahan baku pengukuran dan koefisien
reliabilitas. Kedua statistik tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan (Feldt,
1989).
Selain valid dan reliabel tes yang baik juga tergantung dari banyaknya butir-butir soal
berkategori baik yang terdapat dalam tes. Semakin banyak butir soal yang baik, semakin baiklah
perangkat tes tersebut. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah butir soal yang baik, semakin
buruklah kualitas tes itu. Untuk melihat kualitas sebuah tes dapat dilakukan dengan
menggunakan analisis kualitatif (teoretik) dan kuantitatif (empiris). Secara kualitatif tes
dikatakan baik jika telah memenuhi persyaratan penyusunan dari sisi materi, konstruksi dan
bahasa. Adapun secara kuantiatif dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teori tes klasik
(classical true-score theory) dan teori respon butir (Item Response Theory). Dalam tulisan
berikut ini, penulis hanya akan memberikan pengantar tentang analisis butir soal menggunakan
teori tes klasik.
Teori Tes Klasik
Salah satu teori pengukuran yang tertua didunia pengukuran behavioral adalah classical
true-score theory. Teori ini dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan teori tes klasik. Teori
tes klasik merupakan sebuah teori yang mudah dalam penerapannya serta model yang cukup
berguna dalam mendeskripsikan bagaimana kesalahan dalam pengukuran dapat mempengaruhi
skor amatan. Inti teori klasik adalah asumsi-asumsi yang dirumuskan secara sistematis serta
dalam jangka waktu yang lama. Dari asumsi-asumsi tersebut kemudian dijabarkan dalam
beberapa kesimpulan. Ada tujuh macam asumsi yang ada dalam teori tes klasik ini. Allen &
Yen (1979) menguraikan asumsi-asumsi teori klasik sebagai berikut:
1. Asumsi pertama teori tes klasik adalah bahwa terdapat hubungan antara skor tampak
(observed score) yang dilambangkan dengan huruf X, skor murni (true score) yang
dilambangkan dengan T dan skor kasalahan (error) yang dilambangkan dengan E.
Menurut Saifuddin Azwar (2001) yang dimaksud kesalahan pada pengukuran dalam
teori klasik adalah penyimpangan tampak dari skor harapan teoritik yang terjadi secara
random. Hubungan itu adalah bahwa besarnya skor tampak ditentukan oleh skor murni
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
221
dan kesalahan pengukuran. Dalam. bahasa matematika dapat dilambangkan dengan X =
T + E.
2. Asumsi kedua adalah bahwa skor murni (T) merupakan nilai harapan є(X). Dengan
demikian skor murni adalah nilai rata-rata skor perolehan teoretis sekiranya dilakukan
pengukuran berulang-ulang (sampai tak terhingga) terhadap seseorang dengan
menggunakan alat ukur.
3. Asumsi ketiga teori tes klasik menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi antara skor
mumi dan skor pengukuran pada suatu tes yang dilaksanakan ( ρet = 0). Implikasi dari
asumsi adalah bahwa skor murni yang tinggi tidak akan mempunyai error yang selalu
positif ataupun selalu negatif.
4. Asumsi keempat meyatakan bahwa korelasi antara kesalahan pada pengukuran pertama
dan kesalahan pada pengukuran kedua adalah nol (ρele2 = 0). Artinya bahwa skor-skor
kesalahan pada dua tes untuk mengukur hal yang sama tidak memiliki korelasi
(hubungan). Dengan demikian besarnya kesalahan pada suatu tes tidak bergantung
kesalahan pada tes lain.
5. Asumsi kelima menyatakan bahwa jika terdapat dua tes untuk mengukur atribut yang
sama maka skor kesalahan pada tes pertama tidak berkorelasi dengan skor murni pada
tes kedua (ρelt2). Asumsi ini akan gugur jika salah satu tes tersebut ternyata mengukur
aspek yang berpengaruh terhadap teradinya kesalahan pada pengukuran yang lain.
6. Asumsi keenam teori tes klasik adalah menyajikan tentang pengertian tes yang pararel.
Dua perangkat tes dapat dikatakan sebagai tes-tes yang pararel jika skor-skor populasi
yang menempuh kedua tes tersebut mendapat skor murni yang sama (T = T') dan varian
skor-skor kesalahannya sama (𝜎𝑒2 = 𝜎𝑒
′2). Dalam prakteknya, asumsi keenam teori ini
sulit terpenuhi.
7. Asumsi terakhir dari teori tes klasik menyatakan tentang definisi tes yang setara
(essentially τ equivalent). Jika dua perangkat tes mempunyai skor-skor perolehan Xt1
dan Xt2 yang memenuhi asumsi 1 sampai 5 dan apabila untuk setiap populasi subyek X1
= X2 + C12, dimana C12 adalah sebuah bilangan konstanta, maka kedua tes itu disebut tes
yang pararel.
Asumsi-asumsi teori klasik sebagaimana disebutkan di atas memungkinkan untuk
dikembangkan dalam rangka pengembangan berbagai formula yang berguna dalam melakukan
pengukuran psikologis. Daya beda, indeks kesukaran, efektifitas distraktor, reliabilitas dan
validitas adalah formula penting yang disarikan dari teori tes klasik.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
222
a. Daya beda
Daya beda (diskriminasi) suatu butir tes adalah kemampuan suatu butir untuk
membedakan antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dan berkemampuan rendah. Daya
beda butir dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya indeks diskriminasi atau angka yang
menunjukkan besar kecilnya daya beda. Adapun fungsi dari daya pembeda tersebut adalah
mendeteksi perbedaan individual yang sekecil-kecilnya diantara para peserta tes.
Penentuan daya beda butir biasanya dilakukan dengan menggunakan indeks korelasi,
diskriminasi, dan indeks keselarasan item. Dari ketiga cara tersebut yang paling sering
digunakan adalah indeks korelasi. Ada empat macam teknik korelasi yang biasa digunakan
untuk menghitung daya beda, yaitu : (1) teknik point biserial, (2) teknik biserial, (3) teknik phi,
dan (4) teknik tetrachorik. Brennan (1972) sebagaimana dikutip Yen W.M dalam Encyclopedia
of Educational Research memperkenalkan cara untuk menghitung Indeks diskriminasi dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
𝐵 =𝑈
𝑛1−
𝐿
𝑛2
Dari rumus di atas dapat dimaknai bahwa daya beda adalah perbedaan antara proporsi
kelompok atas yang menjawab benar butir tes (U/n1) dengan proporsi kelompok bawah yang
menjawab benar butir tes (L/n2). Rumus tersebut dapat digunakan untuk menghitung daya beda
butir-butir soal dalam bentuk pilihan ganda.
Daya beda juga dapat dijelaskan sebagai derajad hubungan antara skor butir dengan
skor total dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson. Rumus khusus
korelasi product moment yang dikenal dengan korelasi point biserial untuk data dalam bentuk
dikotomi sebagaimana dikutip dalam Encyclopedia of Educational Research adalah sebagai
berikut:
𝑟𝑝𝑏𝑖𝑠 =(�̅�+−�̅�)
𝑆𝑥√
𝑝
𝑞
Dimana �̅�+, mean total skor peserta yang memiliki jawaban benar. �̅� adalah mean skor
total Sx, adalah standar deviasi skor total, p adalah proporsi peserta ujian yang menjawab benar
pada butir tes sedangkan q adalah 1 - p. Rumus korelasi point biserial juga dapat diturunkan
langsung dari rumus korelasi produk momen tanpa membuat pembatasan asumsi.
Alternatif lain untuk melihat indeks daya beda adalah dengan menggunakan rumus
korelasi biserial. Korelasi biserial berbeda dengan korelasi point biserial baik secara teori
maupun perhitungan, akan tetapi jika digunakan untuk tujuan menganalisis butir, kedua teknik
tersebut dapat diinterpretasikan dengan cara yang sama (Ebel, 1986). Crocker (1992)
menyatakan rumus korelasi biserial sebagai berikut:
𝑟𝑏𝑖𝑠 =(�̅�+−�̅�)
𝑆𝑥
𝑝
𝑦
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
223
"y" pada rumus korelasi biserial di atas melambangkan ordinat p dalam kurva normal.
�̅�+, adalah mean skor dari peserta tes yang memiliki jawaban benar, �̅� adalah mean skor total,
Sx adalah deviasi standar total, p adalah proporsi peserta ujian yang menjawab benar butir tes.
Koefisien korelasi point biserial selalu lebih rendah dari koefisien korelasi biserial. Hal ini
dikarenakan tingkat kesukaran dikombinasikan dengan kriteria oleh koefisien point biserial.
Teknik lain untuk menentukan nilai daya beda adalah dengan menggunakan teknik
korelasi phi (φ) . Anas Sudijono (2005) menuliskan rumus tentang teknik korelasi phi sebagai
berikut:
𝜑 =𝑝𝐻 − 𝑝𝐿
2√𝑝𝑞
φ adalah angka indeks diskriminasi phi yang dianggap sebagai angka indeks diskriminasi butir.
PH adalah proporsi orang yang menjawab benar kelompok atas. PL adalah proporsi orang yang
menjawab benar kelompok bawah. p adalah proporsi seluruh peserta tes yang menjawab betul
dan q adalah 1 dikurangi p.
Untuk menyatakan bahwa besaran daya beda dapat berfungsi dengan baik, ada beberapa
patokan yang dapat digunakan. Menurut Djemari Mardapi (2005) butir yang diterima harus
memiliki indeks daya beda > 0,3. Butir dengan indeks daya beda kurang dari antara 0,1 sampai
0,3 perlu direvisi dan jika daya bedanya < 0,1 maka butir tersebut tidak diterima. Sedangkan
Ebel & Frisbie (1986) memberikan patokan indeks daya beda sebagai berikut:
Indeks daya beda Evaluasi butir
0,4 ke atas Butir yang sangat baik
0,3 – 0,39 Sedikit atau tidak memerlukan revisi
0,2 – 0,29 Butir memerlukan revisi
< 0,19 Butir harus dieliminasi
b. Indeks Kesukaran
Indeks kesukaran butir sebagaimana dinyatakan oleh Allen & Yen (1986) adalah
proportion of examinees who get that item correct. Senada dengan mereka, Sax (1980) menulis
bahwa indeks kesukaran adalah proporsi peserta ujian yang menjawab benar. Saifuddin Azwar
(2003) menyatakan dengan lebih lugas bahwa indeks kesukaran butir adalah rasio penjawab
butir dengan benar dan banyaknya penjawab butir.
Proporsi menjawab benar p (proportion correct) adalah indeks kesukaran soal yang
paling sederhana dan sering digunakan dalam menentukan besaran indeks. Rumus untuk
menentukan besarnya indeks kesukaran secara matematis dirumuskan oleh Saifuddin (2003)
sebagai berikut:
𝑃 =𝑛1
𝑁
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
224
P adalah indeks kesukaran butir, n1 adalah jumlah peserta tes yang menjawab benar sedangkan
N adalah banyaknya siswa yang menjawab butir soal tersebut. Dengan demikian untuk
menghitung indeks kesukaran butir dilakukan dengan tidak membagi kelompok peserta tes
kedalam kelompok atas dan bawah sebagaimana untuk menentukan daya beda.
Besarnya indeks korelasi berkisar antara 0 sampai 1. Makin tinggi besaran indeks
korelasi maka butir soal tersebut semakin mudah. Dan semakin kecil angka indeks korelasi
maka butir soal tersebut semakin sulit. Indeks kesukaran yang berada disekitar 0,5 dianggap
yang terbaik. Karena itulah maka menurut Allen & Yen (1986) tingkat kesukaran yang baik
adalah 0,3 sampai 0,7. Butir dengan tingkat kesulitan dibawah 0,3 dianggap butir soal yang
sukar sedangkan jika indeksnya diatas 0,7, butir soal tersebut dianggap mudah.
Dari penjelasan di atas ada beberapa hal yang bisa disimpulkan berkaitan dengan
indeks kesukaran butir yaitu bahwa nilai p bagi suatu butir hanya menunjukkan indeks bagi
kelompok yang diuji. Harga p ini bisa berubah jika tes diujikan pada kelompok yang berbeda.
Selain itu, indeks kesukaran yang dihasilkan dari rumus ini adalah indeks kesukaran yang
berlaku bagi kelompok secara keseluruhan bukan perorangan. Indeks kesukaran bagi tiap
peserta tes tidak bisa disimpulkan dengan melihat indeks proporsi menjawab benar p.
c. Efektivitas Distraktor
Setiap tes pilihan ganda memiliki satu pertanyaan serta beberapa pilihan jawaban.
Diantara pilihan jawaban yang ada, hanya satu yang benar. Selain jawaban yang benar tersebut,
adalah jawaban yang salah. Jawaban yang salah itulah yang dikenal dengan distractor
(pengecoh). Dengan demikian, efektifitas distraktor adalah seberapa baik pilihan yang salah
tersebut dapat mengecoh peserta tes yang memang tidak mengetahui kunci jawaban yang
tersedia. Semakin banyak peserta tes yang memilih distraktor tersebut, maka distaktor itu dapat
menjalankan fungsinya dengan baik.
Cara menganalisis fungsi distraktor dapat dilakukan dengan menganalisis pola
penyebaran jawaban butir. Pola penyebaran jawaban sebagaimana dikatakan sudijono adalah
suatu pola yang dapat menggambarkan bagaimana peserta tes dapat menentukan pilihan
jawabannya terhadap kemungkinan-kemungkinan jawaban yang telah dipasangkan pada setiap
butir (Sudijono, 2005).
Menurut Fernandes (1984) distraktor dikatakan baik jika dipilih oleh minimal 2% dari
seluruh peserta. Distraktor yang tidak memenuhi kriteria tersebut sebaiknya diganti dengan
distraktor lain yang mungkin lebih menarik minat peserta tes untuk memilihnya. Meskipun
penggunaan teori tes klasik relatif mudah dalam menganalisis butir, tapi teori ini memiliki
beberapa kelemahan mendasar. Kelemahan utama teori tes klasik adalah keterikatan alat ukur
teori tersebut pada sampel (sample bound) (Suryabrata, 2004). Kemampuan kelompok siswa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
225
yang mengikuti tes sangat mempengaruhi nilai statistik. sehingga nilai statistiknya akan berbeda
jika tes diberikan kepada kelompok yang lain.
Selain itu, perkiraan kemampuan peserta tergantung pada butir soal. Jika indeks
kesukaran rendah maka estimasi kemampuan seseorang akan tinggi dan sebaliknya. Perkiraan
kesalahan pengukuran tidak mencakup perorangan tetapi kelompok secara bersama-sama. Hal
ini dikarenakan respon setiap peserta tes terhadap soal tidak bisa dijelaskan oleh teori tes klasik.
Dalam proses pembelajaran hal-hal tersebut akan menimbulkan berbagai macam
kesukaran terutama untuk melihat kemampuan peserta tes secara perorangan. Oleh karena itulah
ada upaya untuk membebaskan alat ukur dari keterikatan terhadap sampel (sample-free).
Berangkat dari hal itulah maka para ahli kemudian menyusun teori baru yang bermaksud untuk
melengkapi dan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam teori tes klasik. Teori ini
kemudian dikenal dengan Item Response Theory (IRT) atau teori respon butir.
Penutup
Untuk mendapatkan perangkat tes yang baik, maka butir-butir soal yang terdapat dalam
perangkat tes tersebut haruslah baik. Pengetahuan tentang butir soal yang baik dapat dilakukan
dengan menganalisis butir soal. Secara umum, ada dua cara yang dapat dilakukan untuk
melakukan analisis terhadap sebuah soal yaitu analisis soal secara kualitatif (teoritik) dan
kuantitatif (empiris).
Analisis soal dengan cara kualitatif dapat dilakukan sebelum soal-soal diberikan kepada
peserta tes. Analisis ini dilakukan dengan cara menelaah kesesuaian dengan kemampuan dasar
dan indikator yang hendak diukur serta apakah butir-butir soal tersebut telah memenuhi
persyaratan dari aspek materi, konstruksi dan bahasa.
Analisis soal dengan cara kuantitatif (empiris) dapat dilakukan dengan menggunakan dua
pendekatan yaitu teori tes klasik dan teori respon butir. Analisis butir soal dengan teori tes
klasik merupakan yang termudah meskipun memiliki beberapa keterbatasan.
Diantara keterbatasan tersebut yang paling menonjol adalah statistik butir yang
dihasilkan berupa daya beda, tingkat kesukaran dan efektifitas distraktor sangat tergantung
kepada karaktersistik peserta. Jika kemampuan peserta rendah, maka tingkat kesukaran tes akan
tinggi dan sebaliknya. Adapun daya beda sangat tergantung pada homogenitas peserta tes.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
226
DAFTAR SKOR SISWA
Jumlah siswa yang menjawab benar = 13
Jumlah siswa yang menjawab salah = 17
Jumlah siswa keseluruhan = 30
Rata-rata siswa yang menjawab benar = 192:13 = 14,7692
Rata-rata siswa yang menjawab salah = 200:17 = 11,7647
Rata-rata skor siswa keseluruhan = (192+200) :30 = 13,0667
Simpangan baku skor total = 3,0954
Jumlah skor keseluruhan = 392
=(0,9706338) (0,4955355)
= 0,4809835
= 0,48 (Artinya butir soal diterima/baik)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
227
Daftar Pustaka
Aiken, L. R. 1987. Assessment of Intelectual functioning. Massachussetts: Allyn and Bacon Inc.
Allen, M. J., & Yen, W. M. 1979. Introduction to measurement theory. Monterey, California:
Brookd/Cole Publishing Company.
Azwar, S. 2003. Tes Prestasi: Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Crocker, L. 1992. “Item analysis”. Dalam Alkin M.C. (Eds.), Encyclopedia of educational
research. (pp. 652-657). New York: Macmillan Library reference USA.
Ebel, R. L., & Frisbie, D. A. 1986. Essentials of educational measurement. New Jersey:
Prentice Hall Inc.
Fernandes, H. J. X. 1984. Testing and measurement. Jakarta: National Education Planning,
Evaluation and Development.
Feldt, L. S. & Brennan, R. L. 1989. “Reliability” dalam Linn R. L. (Eds.), Educational
MeasurementThird Edition. (pp. 105-146). New York: McMillan.
Sudijono, A. 2005. Pengantar evaluasi pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kumaidi. 1994. “Studi analitik terhadap karakteristik internal dari ujian seleksi masuk ke
perguruan tinggi”. Makalah disajikan dalam seminar pengkajian ujian saringan masuk ke
perguruan tinggi di BALITBANG Depdiknas Jakarta.
Mardapi, D. 2005. Pengembangan instrumen penelitian pendidikan. Yogyakarta: Program
Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Messick, S. 1989. “Validity” dalam Linn, R. L. (Eds.), Educational measurement third edition.
(pp. 13-103). New York: McMillan.
Sax, G. 1980. Principles of educational and psychological measurement and evaluation.
Belmont: Wadsworth Publishing Company.
Suryabrata, S. 2004. Pengembangan alat ukur psikologi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Yen, W. M. 1992. “Item Response Theory”. dalam Alkin M. C. (Eds.), Encyclopedia of
Educational Research (pp. 657-666). New York: Macmillan Library Reference USA.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
228
PROTOTIPE GENERASI MUDA IDEAL DALAM KABA MINANGKABAU
SEBAGAI BEKAL MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Jasril
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP YDB Lubuk Alung, Sumatera Barat
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan prototipe generasi muda ideal dalam
kaba Minangkabau.Data penelitian ini berupa kata, kalimat, dan satuan cerita yang
memuat prototipe generasi muda ideal diambil dari kaba Minangkabau. penelitian ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik
baca-catat, dianalisis menggunakan teknik analisis isi. Hasil analisis menunjukkan
bahwa tokoh cerita kaba memiliki sifat-sifat religius,jujur, bertanggung jawab, disiplin,
pekerja keras, percaya diri, mandiri, menyadari hak dan kewajiban, patuh pada aturan-
aturan sosial, menghargai pendapat orang lain, menghargai karya dan prestasi orang
lain, dan santun kepada orang lain, peduli lingkungan, dan cinta tanah air. Sifat-sifat ini
teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari tokoh cerita kaba dan merupakan prototipe
generasi muda idel yang harus ditiru dan diapliksikan oleh generasi muda Indonesia
dalam rangka menghadapi masyarakat Ekonomi ASEAN.
Kata kunci: prototipe, generasi muda,kaba, Minangkabau
Pendahuluan
Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia tahun 1997/1998 membawa
dampak buruk yang sampai sekarang belum berakhir. Bermula dari krisis ekonomi, berlanjut
kepada krisis politik, hukum, kepercayaan, kepemimpinan, sampai akhirnya terjadi krisis
akhlak, dan moral. Akibatnya, sosok manusia Indonesia cukup banyak ditemukan adalah sosok
yang tidak tulus, tidak bersungguh-sungguh, senang yang semu, senang berbasa-basi,
melanggengkan budaya ABS (Asal Bapak Senang).
Krisis akhlak dan moral yang menimpa bangsa Indonesia juga menimpa generasi muda.
Dari pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik masih banyak perilaku
negatif yang dilakukan oleh generasi muda dalam bentuk main game dan playstation
saat jam pelajaran, tawuran, judi, miras, dan mengisap lem, pelaku perkosaan, dan lebih
buruk lagi ada pelajar yang melakukan pencurian kendaraan bermotor. Kondisi ini tentu
saja sangat mencemaskan, sebab bila terus berlanjut akan mengancam masa depan
Negara Republik Indonesia. Apalagi Indonesia akan ikut dalam masyarakat ekonomi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
229
ASEAN. Oleh sebab itu, diperlukan generasi muda berakhlak dan bermoral baik, serta
bermental tangguh sebagai bekal dalam percaturan perekonomian dikawasan ASEAN.
Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki krisis akhlak dan
moral generasi muda, diantaranya melalui perubahan kurikulum ke kurikulum pendidikan
berkarakter. Namun, usaha itu sampai sekarang belum memberikan hasil yang maksimal. Hal
ini ditandai dengan masih maraknya perilaku negatif generasi muda. Perilaku negatif ini
disinyalir bukan disebabkan oleh kesalahan kurikulum dan sistem pendidikan semata, namun
karena minimnya keteladanan yang dapat dicontoh. Selama ini generasi muda lebih banyak
disuguhi hal-hal yang negatif, seperti tayangan negatif sinetron, berita korupsi, suap-
menyuap, tindak kekerasan, dan perselingkuhan pejabat publik dengan porsi yang besar
dibandingkan dengan keberhasilan para pejabat dalam memimpin.
Melihat kenyataan ini, perlu dimunculkan keteladanan yang dapat dijadikan contoh oleh
generasi muda. Usaha ini dapat dilakukan dengan pemberdayaan karya sastra. Karya sastra
merupakan produk budaya yang menawarkan nilai-nilai keteladanan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ratna (2003:35), bahwa tujuan akhir dari penciptaan karya sastra adalah
sebagai motivator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna, sebagai pencari nilai-nilai kebenaran
yang dapat mengangkat dan memperbaiki situasi dan kondisi alam semesta. Dengan demikian,
karya sastra dan telaahnya dapat menambah wawasan masyarakat dalam bentuk memberikan
alternatif-alternatif dalam menyelesaikan masalah kehidupan.
Salah satu karya sastra yang banyak mengandung nilai-nilai kehidupan adalah
kaba Minangkabau. Kaba merupakan cerita rakyat Minangkabau yang menggunakan
bahasa Minangkabau disampaikan secara lisan dengan cara bercerita yang di sebut
berkaba (Ahmad, 1979:27). Sebagai cerita rakyat, kaba telah dituturkan dan diwariskan
secara turun temurun dari dahulu hingga sekarang. Keberadaan cerita kaba sebagai
produk budaya Minangkabau merupakan objek yang sarat dengan contoh-contoh yang
dapat diteladani. Menurut Djatmiko (2006:50), untuk membangun masyarakat madani
diperlukan karakter dan moral bangsa yang kokoh yang bersumber dari nilai-nilai luhur
budaya bangsa yang dipadu dengan nilai-nilai universal.
Menurut Sugono (2004), nilai-nilai karya sastra lama yang memuat informasi
kehidupan masa lalu perlu dihadirkan kembali dalam kehidupan masa kini.
Menghadirkan kembali nilai karya sastra penting karena karya sastra lama banyak
menyimpan pengetahuan masa lampau yang memiliki peran besar dalam menata hidup
masa kini dan masa depan. Penegasan ini sesuai dengan pendapat Hasannuddin WS
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
230
(2009) bahwa sastra pada zaman lampau (kaba) berperan sebagai suatu pelajaran pada
zaman sekarang terutaman kandungan nilai budi pekertinya yang disikapi secara positif.
Berkaitan dengan hal itu, penelitian ini akan mencoba menggali tentang prototipe
generasi muda ideal dalam dalam karya sastra lama, yaitu kaba Minangkabau.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik
analisis isi. Data penelitian ini berupa kata, kalimat, dan wacana yang memuat nilai-nilai
pendidikan karakter yang diambil dari kaba Angggun Nan Tongga, kaba Cindua Mato, kaba
Sutan Lembak Tuah, kaba Rambun Pamenan, dan kaba Rancak Dilabuah. Pemilihan sumber
data dilakukan secara purposivsampling dengan pertimbangan, yaitu (1) fokus penelitian; (2)
kepopuleran kaba; (3) kebertahanan kaba; dan (4) pengaruh cerita kabaterhadap masyarakat.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik baca-catat-analisis yang dilakukan secara
bersamaan dengan langkah pengambilan data, analisis data, dan interpretasi data dapat
dilakukan secara bersamaan.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, ditemukan prototipe generasi muda ideal
dalam kaba Minangkabau. prototipe generasi muda ideal yang ditemukan itu akan diuraikan
sebagai berikut.
1. Tokoh Cerita Kaba Memiliki Sifat Religius
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan beberapa kaba yang menggambarkan tokoh
cerita kaba memiliki sifat religius. Tokoh cerita kaba dalam kehidupannya berpikir, berkata, dan
bertindak selalu berdasarkan ajaran agama Islam. Tokoh cerita kaba meyakini ajal ditentukan
Allah, hidup berserah diri kepada Allah, meyakini semua peristiwa yang terjadi sebagai takdir
Allah, memohon pertolongan kepada Allah, dan hidup bersyukur kepada Allah.
Tokoh cerita kaba meyakini kematian tidak akan datang kepada seseorang melainkan
sesuai ajal yang sudah ditentukan Allah. Keyakinan ini tergambar pada kematian Datuak
Tumangguang diyakini sebagai ketetapan Allah seperti yang terlihat pada kutipan berikut.
(1) Allah Ta’ala kayo sungguah, janji sampai ajal berpulang, alah mangkat
Datuak Tumangguang….(Allah sangat kaya, ajal datang setelah janjian
sampai, telah meninggal Datuak Tumangguang (KRP, 2013:10)
Keyakinan serupa juga ditemui dalam kaba CinduaMato berkaitan dengan kecemasan
Bundo Kanduang ketika Tiang Bungkuak akan menuntut balas atas kematian anaknya Imbang
Jayo. Cindua Mato yang akan menghadapi Tiang Bungkuak meyakinkan Bundo Kanduang
bahwa kematian di tangan Allah. Dengan keyakinan bahwa mati adalah ketentuan Allah maka
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
231
tokoh-tokoh protagonis dalam kaba tidak menjadikan ketakutan akan mati sebagai penghalang
dalam berusaha memperjuangkan hidup. Seolah-olah cerita kaba mengamanatkan bahwa
ketakutan akan mati tidak akan memperpanjang umur dan keberanian melawan ajal tidak akan
memperpendek usia.
Dalam kaba juga digambarkan kesadaran para tokoh menjalani kehidupan dengan
berserah diri kepada Allah. Cindua Mato berserah diri kepada Allah ketika akan pergi
menghadapi Tiang Bungkuak yang tergambar dalam kutipan berikut.
(2) Sarahkan ka Allah Tuhan nan kuaso (Serahkan diri kepada Allah Tuhan
yang berkuasa. (KCM, 2015:147)
Berserah diri kepada Allah juga dilakukan Rambun Pamenan katika mencari
ibunya yang dilarikan oleh rajo Aniayo. Begitu juga dengan Sutan Lembah Tuah yang
berserah diri diri kepada Allah setelah dijatuhi hukuman buang ke Jawa akibat difitnah
oleh Angku Lareh. Berserah diri kepada Allah merupakan bentuk keyakinan tokoh
cerita bahwa manusia hanya berusaha sementara hasilnya Allah yang menentukan.
Berserah diri kepada Allah menambah keyakinan tokoh cerita mengenai semua
peristiwa yang terjadi sebagai takdir Allah. Misalnya, jodoh untuk Siti Budiman sudah
ditakdirkan oleh Allah yang terlihat pada kutipan berikut.
(3) Indak lari gunuang dikaja, namun takadiah pado Allah (Tidak lari gunung
dikejar, takdir berada ditangan Allah, (KRD, 2013:33)
Keyakinan bahwa semua peristiwa yang terjadi sebagai takdir Allah juga
terdapat dalam kaba Cindua Mato. Hujan deras dan angin ribut yang terjadi ketika
berlangsung pernikahan antara Imbang Jayo dengan Puti Bungsu sebagai takdir Allah.
Begitu juga belum bertemunya Alamsudin dengan jodohnya, meskipun sudah lama
gelanggang rami, juga sebagai takdir Allah. Keberhasilan Sutan Lembak Tuah
membunuh ular besar diyakini oleh okoh cerita kaba sebagai takdir Allah. Keyakinan
akan adanya takdir Allah menjadikan tokoh cerita sabar bila mendapat cobaan dan
bersyukur bila mendapat rahmat.
Tokoh cerita kaba juga digambarkan memohon pertolongan kepada Allah dan
bersyukur bila mendapat karunia Allah. Cindua Mato meminta di doakan oleh Bundo Kanduang
dan segenap rakyat Pagaruyung ketika akan berangkat melawan Tiang Bungkuak. Begitu juga
Rambun Pamenan meminta di doakan oleh kakaknya supaya selamat dalam perjalanan mencari
ibunya ke nagari Camin Tarui. Anggun Nan Tongga meminta di doakan supaya selamat dalam
perjalanannya mencari mamaknya yang tergambar dalam kutipan berikut.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
232
(4) Urang rami bukan kepalang, maantakan Nan Tongga pai balayia,
diantakan dengan doa salamaik (Orang ramai berdatangan mengantarkan
Anggun Nan Tongga pergi berlayar, mendoakan supaya selamat dalam
perjalanan (KANT, 2015:45).
Gambaran tokoh cerita kaba yang bersyukur kepada Allah ketika mendapat rahmat
adalah dilakukan oleh Mandeh Siti Rabiatun setelah mengetahui anaknya selamat dari palutan
ular besar ketika mencari obat untuk dirinya. Sementara, Bundo Kanduang bersyukur kepada
Allah dan berselawat kepada nabi Muhammad, atas nikmat Allah yang dicurahkan kepada
Cindua Mato yang memenangkan perperangan atas Tiang Bungkuak. Uangkapan syukur ini
merupakan bentuk kesadaran dalam kondisi bergembira tidak melupakan Allah dan Rasul-Nya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa para tokoh dalam cerita kaba
mengerahkan pikiran, perkataan, dan tindakan kepada Allah. Pengerahan ini sebagai bentuk
keyakinan yang kuat kepada Allah, sehingga menjadikan manusia sebagai makhluk yang
bertindak dan berperilaku sesuai dengan tuntunan yang diberikan oleh Allah yaitu Al-quran dan
hadist. Keyakinan yang kuat kepada Allah, menjadikan tokoh cerita kaba sukses dalam
mengarungi kehidupan. Sikap tokoh cerita kaba yang demikian kepada Allah dapat dijadikan
contoh bagi generasi muda dalam kehidupan.
2. Tokoh Cerita Kaba Memiliki Sikap Jujur, Tanggung Jawab, Kedisiplinan, Kerja
Keras, Percaya Diri, Kemandirian, Kreatif,dan Rasa Ingin Tahu
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan beberapa kaba yang menggambarkan tokoh
cerita kaba memiliki sikap jujur, tanggung jawab, disiplin, kerja keras, percaya diri, mandiri,
kreatif, dan memiliki rasa ingin tahu. Cindua Mato dengan jujur melaksanakan keinginan Dang
Tuanku membawa Puti Bungsu ke Pagaruyuang. Selama beberapa hari Puti Bungsu bersamanya
tidak pernah terniat olehnya untuk berperilaku buruk kepada Puti Bangsu. Begitu juga Anggun
Nan Tongga dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab mencari dan membebaskan
mamaknya yang ditawan.
Sikap disiplin digambarakan oleh Sutan Lembak Tuah selama dia menjadi polisi di
Kota Bandung. Selama menjadi polisi di Bandung, Sultan Lembak Tuah berhasil menangkap
para pencuri yang mengganggu ketentraman masyarakat. Kedisiplinannya dalam bekerja
membuahkan banyak prestasi sampai ia diangkat menjadi Asisten Damang di Banten. Sikap
disiplin yang dimiliki oleh Sutan Lembak Tuah dibarengi oleh kerja keras. Kerja keras Sutan
Lembak Tuah siang malam menjadikan dia sebagai polisi yang berprestasi.
Sikap percaya diri ditunjukkan oleh Cindua Mato. Meskipun sudah diberitahu oleh
Bundo Kanduang akan kesaktian Tiang Bungkuak, namun dia percaya diri untuk mencoba
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
233
melawan Tiang Bungkuk. Keyakinan akan kemampuan yang dimiliki oleh Cindua Mato bahwa
dia bisa mengalahkan Tiang Bungkuk, menjadikan Cindua Mato mempunyai keberanian lebih
untuk mengalahkan Tiang Bungkuk yang memiliki kesaktian tinggi. Sikap percaya diri yang
dimiliki oleh Cindua Mato pada akhirnya menjadi pendorong baginya mengalahkan Bungkuk.
Sikap mandiri digambarkan oleh Rambun Pamenan ketika mencari ibunya. Dia
berusaha sendiri membebaskan ibunya yang ditahan oleh Rajo Angek Garang. Dalam diri
Rambun Pamenan tertanam sikap bahwa dia harus membabaskan sendiri ibunya dari tahanan
Rajo Angek Garang. Selanjutnya, sikap kreatif kreatif ditunjukkan oleh Sutan Lembak Tuah
ketika ia pergi menemui Siti Rabiatun ke Padang.
(5) Lorong kapado Lembak Tuah, bamanuang-manuang juo duduak surang, pikiran
raso-raso ka sampai, dicari aka tidak mangasan, kalau mambuhua indak
mangasan, pandai mambungkui indak tabaun. (Sutan Lembak Tuah bermenung
sendiri mencari akal untuk menguji kesetiaan Rabiatun kepanya) (KSLT,
2006:73).
Bentuk keingintahuan terlihat dalam sikap Rambun Pamenan. Dia bersikeras ingin
mengetahui di mana keberadaan kedua orang tuanya. Dia menanyakan kepada kakaknya
keberadaan orang tuanya.
(6) Apo sabab mandeh ka sinan, siapo nan manjapuik mandeh, dahulu lai denai
tanyokan, kato aciak kito tidak bamandeh (Apa yang menyebabkan ibu kesana,
kata kakak kita tidak beribu) (KRP, 2013:26)
Selanjutnya, prestasi Sutan Lembak Tuah selama menjadi polisi menyebabkan dia
diangkat menjadi asisten Damang. Prestasinya yang semakin bagus selama menjadi asisten
Damang mengangkatnya menjadi Damang di Kampuangnya.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa kaba dalam hubungan dengan diri
sendiri menonjolkan sikap kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, kerja keras, percaya diri,
kemandirian, kreatif,dan rasaingintahu. Sikap hidup yang dimiliki oleh tokoh cerita kaba
menjadikan tokoh cerita kaba sukses dalam kehidupan. Dengan demikian, sifat-sifat yang ada
dalam diri tokoh cerita kaba dapat dijadikan contoh bagi generasi muda dalam kehidupan. Hal
ini relevan dengan pendapat Samovar dan Porter (2001) yang mengatakan bahwa setiap cerita
rakyat bercerita tentang orang-orang yang digunakan untuk mentransfer nilai kehidupan dari
generasi ke generasi berikutnya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
234
3. Tokoh Cerita Kaba Memiliki Sikap Menyadari Hak dan Kewajiban, Patuh kepada
Aturan-Aturan Sosial, Menghargai Pendapat Orang Lain, Menghargai Karya dan
Prestasi Orang Lain, Santun Kepada Orang Lain, Toleransi, Demokratis,
Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, dan Peduli Sosial
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan tokoh cerita memiliki sikap menyadari hak dan
kewajiban, patuh pada aturan-aturan sosial, menghargai pendapat orang lain, menghargai karya
dan prestasi orang lain, santun kepada orang lain, toleransi, demokratis, bersahabat/komunikatif,
cinta damai, dan peduli sosial. Dalam kerajaan Pagaruyuang terdapat strata sosial yang berbeda.
Bundo Kandung menjalin kerjasama yang baik dengan para pembantunya yaitu Si
Salamaik dan Si Kambang, meskipun antara dia dengan pembantunya memiliki kedudukan
yang berbeda. Dia tidak membeda-bedakan antara pembantunya dan membangun sikap saling
menghargai. Mereka tinggal bersama saling tolong-menolong dan memahami peran masing-
masing.
Hubungan baik bak bersaudara kandung juga terjalin antara Dang Tuangku dengan
Cindua Mato. Meskipun Dang Tuanku anak raja, sementara Cindua Mato anak dayang kerajaan,
tetapi mereka digambarkan sebagai orang yang bersaudara saling tolong-menolong dalam segala
hal. Tidak tampak perbedaan kedudukan antara mereka berdua. Hubungan baik juga terjalin
antara aparat kerajaan. Antara Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato mempunyai
hubungan yang baik dengan Basa Ampek Balai dan Rajo Duo Selo. Mereka saling memberikan
masukan demi kebaikan bersama. Antara mereka saling menghargai dan menghormati dalam
kapasitas masing-masing.
Sebagai cerita dengan latar belakang budaya Minangkabau yang menganut cara
musyawarah-mufakat, penghargaan, dan saling tolong-menolong sesama manusia digambarkan
pada tokoh-tokoh cerita. Tolong-menolong dilihat hampir disetiap bagian cerita. Misalnya,
ketika Rabiatun dipalut ular besar, datanglah Lembak Tuah menolong, bahkan menolong
mencarikan obat untuk ibu Rabiatun. Dibagian lainnya juga terjadi pertolongan Lembak Tuah
kepada Rabiatun ketika akan diperkosa Lelo Kayo. Selain itu juga diceritakan Lembak Tuah
ditolong oleh Tuan Residen sehingga dia menjadi seorang polisi sampai akhirnya menjadi
demang.
Walaupun terdapat tingkat kekuasaan yang berbeda antara Bundo Kanduang, Dang
Tuanku, Cindua Mato dengan aparat kerajaan, yaitu Basa Ampek Balai dan Rajo Duo Selo,
namun dalam memberikan masukan untuk mencapai keputusan hokum tidak menggunakan
kekuasaan mutlak. Keputusan mereka ambil dengan musyawarah berdasarkan pertimbangan
alur adat dan kepatutan dengan bukti dan pertimbangan rasional. Dengan demikian, terdapat
orientasi hubungan yang setara dalam kebersamaan, demokratis dan bertanggung jawab. Hal
serupa juga ditemukan dalam kaba Rancak Dilabuah.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
235
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa tokoh cerita kaba memiliki sikap sikap
menyadari hak dan kewajiban, patuh pada aturan-aturan sosial, menghargai pendapat orang
lain, menghargai karya dan prestasi orang lain, santun kepada orang lain,
toleransi,demokratis,bersahabat/komunikatif,cinta damai, danpeduli sosial. Sikap menjaga
hubungan baik dengan sesama, menjadikan tokoh cerita bisa bergaul dengan baik dngan orang
lain. Bentuk Dengan demikian, kaba dapat difungsikan sebagai sarana pendidikan dalam
hubungan dengan sesama.
4. Tokoh Cerita Kaba Memiliki Sikap PeduliLingkungan
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan tokoh cerita kaba yang memperlakukan
lingkungan dengan baik dalam bentuk menjalin pertemanan dengan lingkungan. Persabatan
dengan lingkungan akan mendatangkan manfaat bagi manusia. Pertemanan dengan lingkungan
(hewan) oleh tokoh dalam kaba Cindua Mato, dapat membantu pemenuhan kebutuhan. Kuda
digunakan sebagai alat transportasi, ayam sebagai alat permainan, kerbau sebagai hewan
peliharaan, dan burung sebagai hewan kesayangan. Selain itu, juga digambarkan tokoh cerita
pemeliharaan tanaman hias sebagai perbuatan memelihara lingkungan. Pemanfatan lingkungan
juga ditemukan pada Puti Andami Sutan yang menyuruh sahabatnya burung nuri mencari Puti
Gondoriah ke Tiku Pariaman guna mengabarkan kondisi Anggun Nan Tongga Magek Jabang
yang selamat dalam pelayarannya. Nan Tonga telah berhasil mengalahkan para penyamun dan
menyelamatkan mamaknya yang tergambar sebagai berikut.
(7) Adiak denai buruang nuri, sajak ketek denai gadangkan…adik disuruak disarayo
(Adik saya burung nuri, sejak kecil saya besarkan, adik saya suruh (KANT,
2015:110)
Persahabatan dengan lingkungan juga dilakukan oleh Rambun Pamenan dengan garuda
besar. Perteman Rambun Pamenan dengan garuda besar terjalin setelah Rambun pamenan
membunuh ular naga yang hendak memakan anak garuda. Sebagai ucapan terima kasih, induk
garuda membantu mengantarkan Rambun Pamenan ke nagari cermin tarui. Burung garuda juga
membantu Rambun Pamenan ketika hendak kembali pulang ke kampung halamannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat simpulkan bahwa tokoh cerita kaba yang menjaga
lingkungan dengan baik dan memanfaatkan lingkungan untuk kemaslahatan hidup. Dengan
demikian, pola hubungan dengan lingkungan yang digambarkan dalam kaba dapat dijadikan
sebagai contoh dalam kehidupan.
5. Tokoh Cerita Kaba Memiliki Sikap CintaTanahAir
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa tokoh cerita kaba memiliki sikap cinta
tanah air dalam bentuk, tokoh cerita berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa di atas kepentingan diri dan kelompok. Sutan Lembak Tuah ketika menjadi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
236
Damang mengutamkan kepentingan masyarakat dalam pembangunan yang terlihat pada kutipan
berikut.
(8) Sajak manjadi Tuanku Damang, surau musajik didirikan, banda jo sawah
disuruah buek (Sejak menjadi Damang, surau dan masjid didirikan, saluran irigasi
dibuat (KSLT, 2006:94)
Perilaku serupa juga dilakukan oleh Cindua Mato ketika melihat banyak jatuh korban
rakyat yang tidak bersalah, dia berpura-pura menyerah kepada Tiang Bungkuak. Dia pun di
tawan oleh Tiang Bungkuk sampai tau cara membunuh Tiang Bungkuk. Kebaikan dalam
memimpin yang mengutamakan kepentingan orang banyak menjadikan Rambun Pamenan
disenangi oleh rakyat nagari Camin Tarui yang dipimpinnya setelah dia menggantikan
menggantikan rajo Angek Garang yang dibunuhnya. Selama diperintah oleh raja Angek Garang,
rakyat Rakyat Camin Tarui sangat menderita karena raja lebih mementingkan kepentingan
pribadinya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat simpulkan bahwa tokoh cerita yang mengutamakan
kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan kelompok berhasil dalam memimpin.
Pemimpin seperti ini mendapat dukungan dari masyarakat dan disenangai oleh masyarakat.
Dengan demikian, pola kepemimpinan yang digambarkan dalam kaba dapat dijadikan sebagai
contoh dalam kehidupan.
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa prototipe generasi
muda ideal yang digambarkan dalam kaba Minangkabau adalah generasi muda yang memiliki
sifat religius, jujur, bertanggung jawab, disiplinan, pekerja keras, percaya diri, dan mandiri,
menyadari hak dan kewajiban, patuh pada aturan-aturan sosial, menghargai pendapat orang
lain, menghargai karya dan prestasi orang lain, santun kepada orang lain, peduli lingkungan, dan
cinta tanah air. Prototipe ini harus ditiru dan diaplikasikan dalam kehidupan generasi muda
sebagai bekal menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN
Daftar Pustaka
Abdurrahman. 2011. Nilai-nilai Budaya dalam Kaba Minangkabau Suatu Interpreatsi Semiotik.
Padang: UNP Press.
Ahmad, Sabaruddin. 1979. Kesustraan Minang Klasik. Jakarta: Depdikbud.
Alam, Dt. Panduko. 2013. Kaba Rancak Dilabuah. Bukitting: Kristal Multimedia.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
237
Amir, Adriyeti dkk. 2006. Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau. Padang: Andalas University
Press.
Amir MS. 2007. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minangkabau. Jakarta:
Mutiara Sumber Wijaya.
Djatmiko, Harmonto Edy. 2006. Revolusi Pemikiran Bangsa Menurut Pemikiran M Soeparno.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Endah, Sjamsuddin St. Rajo. 2006. KabaSutan Lembak Tuah. Bukittinggi: Kristal Multimedia.
Endah, Sjamsuddin St. Rajo. 2015. Kaba Cindua Mato. Bukittinggi: Kristal Multimedia.
Hasanuddin WS. 2004. ”Latar Belakang Penulisan Kaba Cindua Mato Sebagai Karya Sastra
Historiografi Minangkabau” dalam Humanus Vol VII No 1. Hal 32—41.
Hasanuddin WS. 2009. Ensiklopedi Kesusastraan Indonesia. Bandung: Angkasa.
Mahkota, Ambas. 2015. Anggun Nan Tongga. Bukittinggi: Kristal Multimedia.
Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Pangaduan, Sutan Mangkudun Ilyas Sutan.2013. KabaRambunPamenan. Bukittinggi: Kristal
Multimedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter. 2001. Communication Between Cultures. Belmont
CA: Wadsworth Publishing Company.
Sugono, Dendi. 2004. “Kata Pengantar Kepala Pusat Bahasa” dalam Kaba Minangkabau:
Ringkasan Isi Cerita Serta Tema dan Amanat. Jakarta: Pusat Bahasa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
238
PENERAPAN TEORI HONEY DAN MUMFORD PADA MATA KULIAH
KEBAHASAAN GUNA MENYONGSONG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Latifah
[email protected] R. Mekar Ismayani
[email protected] STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Mata kuliah Morfologi adalah kajian ilmu yang termasuk ke dalam kelompok kebahasaan,
mata kuliah ini dianggap sulit oleh mahasiswa dikarenakan struktur-struktur serta
penggunaan bahasa yang sesuai dengan ejaan yang berlaku harus dipahami secara benar,
ketepatan penggunaan kata pada setiap kalimat agar menjadi wacana yang utuh yang bisa
dipahami oleh pembaca/penyimak bergantung pada penggunaan struktur-struktur kata
tersebut, oleh karena itu penulis mencoba melakukan penelitian tentang penggunaan
bahasa khusunya di bidang morfologi dengan menerapkan teori humanistik menurut
pandangan Honey dan Mumford. Hasil yang didapat pembelajaran analisis morfologi
khususnya dalam penggunaan afiks dan kata depan mengalami peningkatan, sebelum
menerapkan teori Honey dan Mumford rata-rata nilai mahasiswa sebesar 5,60 setelah
menerapkan teori Honey dan Mumford hasil nilai mahasiswa menjadi 9,2, mengalami
kenaikan yang signifikan sebesar 3,67. Dengan kemampuan menganalisis secara
morfologis mahasiswa akan siap menyongsong MEA sebagai bekal mereka untuk
dijadikan sebagai keahlian profesi, serta mampu membina dan mempertahankan eksistensi
bahasa Indonesia di Asean.
Kata kunci: Morfologi, Teori belajar Honey dan Mumford, dan Masyarakat Ekonomi
ASEAN
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Mata kuliah yang termasuk ke dalam lingkup kebahasaan adalah morfologi, sintaksis,
dan semantik. Mata kuliah ini dianggap sulit oleh mahasiswa walaupun dalam kesehariannya
mayoritas mereka menggunakan bahasa Indonesia akan tetapi belum tentu mereka mampu
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka harus memahami dengan benar
kaidah-kaidah kebahasaan yang sesuai dengan ejaan yang berlaku. Kesulitan ini dapat diketahui
oleh penulis setelah melakukan tes kebahasaan (pretes) di STKIP Siliwangi Bandung, nilai
yang didapat belum mencapai hasil yang memuaskan. Mahasiswa perlu dilatih agar mereka
mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga diperlukan teori belajar
yang sesuai guna menunjang proses pembelajaran. Penulis akan mencoba menerapkan teori
belajar humanistik menurut pandangan Honey dan Mumford dalam mata kuliah kebahasaan
khususnya kajian morfologi guna mempersiapkan mahasiswa yang berkompeten serta mampu
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
239
mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia agar tetap terjaga dan terpelihara dan mampu
mendunia. Bahasa Indonesia akan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat ekonomi Asean
Kajian Teori
Kebahasaan
Bangsa Indonesia harus bangga karena bangsa ini mempunyai bahasa Negara sebagai
bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah salah satu ciri, karakter
bangsa Indonesia harus selalu terpelihara dan terjaga. Bangsa-bangsa di dunia sangat beragam,
dari warna kulit, budaya, dan bahasa. Namun bangsa Indonesia memiliki kelebihan dibanding
bangsa lain karena kita memiliki bahasa persatuan sebelum Negara ini lahir yaitu dengan
adanya ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sedangkan proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia terjadi pada tangga 17 Agustus 1945. Kita patut berbangga dan harus mensyukuri
karena kita memiliki bahasa Indonesia
Sejarah bahasa Indonesia begitu panjang sehingga dapat berbentuk seperti hari ini . dan
memunculkan rasa bangga bagi bangsa Indonesia , salah satu rasa kebanggan kita terhadap
bahasa Indonesia adalah dengan memasukan mata pelajaran bahasa Indonesia di semua jenjang
sekolah juga di tingkat universitas, bahasa Indonesia di pelajari disemua jurusan sebagai MKDU
dan dipelajari juga secara khusus di program studi bahasa Indonesia. Pada program studi bahasa
Indonesia mata kuliah yang termasuk ke dalam kelompok kebahasaan yaitu morfologi (
mempelajari seluk beluk kata), sintaksis ( mempelajari frase, klausa, dan kalimat), dan semantic
( mempelajari makna dalam bahasa) mata kuliah ini harus dikuasai mahasiswa sebagai tuntutan
kurikulum, rasa tanggung jawab memiliki bahasa Indonesia dan tanggung jawab dalam
memelihara kelestarian bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada
materi kebahasaan lingkup morfologi yaitu ketepatan dalam penggunaan afiks dan ketepatan
dalam penggunaan kata depan di, ke, dan dari.
Afiks atau imbuhan dalam bahasa Indonesia terdiri dari
a. Prefiks adalah imbuhan yang ditambahkan pada bagian awal sebuah kata dasar atau
bentuk dasar
b. Sufiks adalah imbuhan yang ditambahkan pada bagian belakang sebuah kata dasar
atau bentuk dasar
c. infiks adalah morfem yang disisipkan di tengah kata
d. konfiks adalah gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk suatu kesatuan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
240
kata depan adalah kata-kata yang secara sintaksis diletakan sebelum kata benda. Kata
kerja,
kata keterangan dan penulisan kata depan ditulis secara terpisah.
Teori Honey dan Mumford
Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditunjukan untuk
kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, teori belajar humanistik lebih
abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat. Teori humanistik sangat mementingkan isi
yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri
Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal
tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, serta realisasi diri
orang yang belajar secara optimal. Banyak tokoh penganut aliran humanistik salah satunya
adalah Honey dan Mumford pabdangannya tentang belajar dibagi ke dalam 4 macam di
antaranya yaitu
a. Kelompok aktivis
Orang- orang yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang
melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk
memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah untuk diajak
berdialog, memiliki pemikiran terbuka , menghargai pendapat orang lain dan mudah
percaya. Namun dalam melakukan tindakan sering kali kurang mempertimbangkan
secara matang dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri.
Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada hal-hal yang sifatnya
penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru. Namun mereka
cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama
b. Kelompok reflector
Mereka yang termasuk kelompok reflector cenderung berlawanan dengan kelompok
aktivis. Dalam melakukan tindakan , orang-orang tipe reflector sangat berhati-hati dan
penuh pertimbangan. Pertimbangan baik-buruk, untung-rugi, selalu diperhitungkan
dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang –orang demikian tidak mudah
dipengaruhi, sehingga cenderung bersifat konservatif ( bersikap mempertahankan
keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang berlaku
c. Kelompok teoris
Orang-orang tipe ini memiliki kecenderungan yang sangat kritis. Mereka suka
menganalisis, berpikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu
dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
241
menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam memutuskan sesuatu,
kelompok teoritis penuh dengan pertimbangan, sangat selektif dan tidak menyukai hal-
hal yang bersifat spekulatif ( pemikiran dalam-dalam secara teori).
d. Kelompok pragmatis
Orang-orang tipe pragmatis memiliki sifat-sifat yang praktis. Mereka tidak suka
berpanjang lebar denga teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil dan sebagainya. Bagi
mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis. Sesuatu hanya bermanfaat jika
dipraktikan. Bagi mereka, sesuatu adalah baik dan berguna jika dapat dipraktikan dan
bermanfaat dalam kehidupan.
Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses
pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi,
kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman
belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Aplikasi dan Implikasi Humanisme terhadap guru :
a. Guru Sebagai Fasilitator
b. Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator.
c. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi
kelompok, atau pengalaman kelas
d. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di
dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum. Dia mempercayai
adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang
bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar
yang bermakna tadi
e. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling
luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
f. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok
g. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima
baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk
menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
h. Bilamana kondisi penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat
berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok,
dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
242
Aplikasi dan Implikasi Humanisme terhadap siswa : Siswa berperan sebagai pelaku
utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa
memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan
potensi diri yang bersifat negatif. Pembelajaran berdasarkan teori humanisme ini cocok untuk
diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani,
perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini
adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola
pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas,
berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara
bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma ,
disiplin atau etika yang berlaku
Aplikasi pembelajaran
a. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
b. Menentukan materi pelajaran
c. Mengidentifikasikan kemampuan awal ( entry behavior) siswa
d. Mengidentifikasikan topic-topic pelajaran yang memmungkinkan siswa secara aktif
melibatkan diri atau mengalami dalam belajar
e. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
f. Membimbing siswa secara aktif
g. Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya
h. Membimbing siswa dalam konseptualisasi pengalaman belajarnya
i. Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata
j. Mengevalusi proses dan hasil belajar
Pengertian Masyarakat Ekonomi ASEAN
Secara umum, Masyarakat Ekonomi ASEAN diartikan sebagai sebuah masyarakat yang
saling terintegrasi satu sama lain (maksudnya antara negara yang satu dengan negara yang lain
dalam linhgkup ASEAN) dimana adanya perdagangan bebas diantara negara-negara anggota
ASEAN yang telah disepaki bersama antara pemimpin-pemimpin negara-negara ASEAN untuk
mengubah ASEAN menjadi kawasan yang lebih stabil, makmur dan kompetitif dalam
pembangunan ekonomi.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif yang dilakukan
untuk mengetahui nilai variabel mandiri. Baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa
membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel yang lain
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
243
Pembahasan
Pentingnya seseorang menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar guna
mempersiapkan mahasiswa yang siap berkompeten khususnya di bidang kebahasaan guna
menyongsong MEA dan sebagai pemertahanan terhadap eksistensi bahasa Indonesia sebab
dengan kita mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia dan menguasai bahasa Indonesia, kita
dapat memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai bekal kita dalam menghadapi MEA dan sebagai
wujud kecintaan kita terhadap bahasa Indonesia. Di beberapa Negara bahasa Indonesia di
pelajari secara khusus, di sana mereka membuka program studi bahasa Indonesia seperti di
Australia, Perancis, dan Tiongkok. Sebagai bukti bahwa bahasa Indonesia sudah diakui dunia.
Untuk itu kita harus benar-benar menggunakan bahasa Indonesia dan mempertahankan agar
bahasa Indonesia tetap terjaga. Penerapan teori Honey dan Mumford dalam pembelajaran
bahasa diharapkan mampu memberi kemudahan bagi mahasiswa dalam mempelajari bahasa
Indonesia khusunya morfologi.
Pembelajaran Bahasa dengan Teori Belajar Honey dan Mumford
a. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
Tujuan mempelajari mata kuliah kebahasaan bidang morfologi yaitu mahasiswa mampu
menggunakan afiks dan kata depan denga benar
b. Menentukan materi pelajaran
Materi yang mencakup ke dalam materi kebahasaan bidang morfologi khususnya
penggunaan afiks (prepiks, infiks, sufiks, konfiks) dan kata depan di, ke, dan dari
c. Mengidentifikasikan kemampuan awal ( entry behavior) siswa
Mahasiswa sudah mengetahui kata dasar
d. Mengidentifikasikan topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif
Memilih wacana dengan tema yang menarik akan tetapi penggunaan afiks serta kata
depannya masih salah
e. Melibatkan diri atau mengalami dalam belajar
Wacana ditampilkan menggunakan infokus kemudian mahasiswa memilih serta
memperbaiki kata-kata yang penggunaan afiks serta kata depannya masih salah
f. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran
Dibuat kelompok yang variatif berdasarkan kompetensi dan genre, pembelajaran
menggunakan infokus menampilkan slide (power point)
g. Membimbing siswa secara aktif
Mengarahkan siswa untuk berdiskusi dengan teman kelompok
h. Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
244
Menjelaskan kegunaan mempelajari materi morfologi yaitu agar siswa mampu
menggunakan bahasa Indonesia yang benar, mampu menjaga eksistensi bahasa
Indonesia di tengah-tengan masyarakat ekonomi Asean
i. Membimbing siswa dalam konseptualisasi pengalaman belajarnya
j. Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata
Konsep kebahasaan yang dipelajari bias digunakan ketika mahasiswa akan membuat
sebuah karya (tulisan)
k. Mengevalusi proses dan hasil belajar
Hubungan pembelajaran bahasa Indonesia dengan MEA
Pentingnya menguasai bahasa Indonesia sebagai bekal mahasiswa untuk terjun
langsung dalam kehidupan sosialnya, menjadi masyarakat yang mandiri dan mempunyai
keahliah khususnya di bidang kebahasaan, mampu mempertahankan kecintaan dan rasa
memiliki bahasa Indonesia kendati mahasiswa akan menghadapi Mea yang menggunakan
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar akan tetapi jati serta identitas bangsa Indonesia
khususnya bahasa tidak akan terkikis sebagai
Wacana yang belum diperbaiki
Pemerolehan bahasa kedua merupakan hal yang penting bagi tiap individu untuk bias
interaksi dengan baik dilingkungannnya. Bagi sebagian besar anak Indonesia, bahasa Indonesia
bukan bahasa pertama mereka, melainkan bahasa kedua, atau ketiga. Pengenalan atau penguasa
bahasa Indonesia dapat jadi melalui proses pemerolehan atau proses belajar. Pemerolehan
bahasa merupakan proses yang bersama dengan cara anak-anak kembangkan bahasa pertama
mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Pemerolehan bahasa
mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa.
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing adalah pembelajaran bahasa kedua yang di
lakukan oleh orang asing. Biasanya dilakukan oleh orang asing yang datang keIndonesia dengan
berbagai macam tujuan. Baik tujuan pendidikan, perdagangan, sosial, politik, maupun
pariwisata. Mereka ajari bahasa Indonesia dengan maksud untuk mengimbangi/dapat
berkomunikasi dengan orang Indonesia, untuk menambah kemampuan bahasa, untuk nambah
kadar ilmu mereka.
Belajar bahasa kedua pasti alami beberapa kendala yang di tunjukkan baik dari faktor
usia, motivasi, psikologis, dll. Ada juga tingkat dalam pembelajaran BIPA sama halnya dengan
tingkat jenjang pendidikan. Bedanya BIPA dilakukan secara informal. Di Indonesia pada saat
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
245
ini banyak diselenggara pengajaran BIPA, hal ini diingat bahwa banyak sekali orang asing yang
datang ke Indonesia khusus para wisatawan yang kagum akan keindahan alam Indonesia.
Wacana yang sudah diperbaiki
Pemerolehan bahasa kedua merupakan hal yang penting bagi tiap individu untuk bisa
berinteraksi dengan baik di lingkungannnya. Bagi sebagian besar anak Indonesia, bahasa
Indonesia bukan bahasa pertama mereka, melainkan bahasa kedua, atau ketiga. Pengenalan atau
penguasaan bahasa Indonesia dapat terjadi melalui proses pemerolehan atau proses belajar.
Pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak
mengembangkan bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar.
Pemerolehan bahasa mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan
belajar bahasa.
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing adalah pembelajaran bahasa kedua yang di
lakukan oleh orang asing. Biasanya dilakukan oleh orang asing yang datang ke Indonesia
dengan berbagai macam tujuan. Baik tujuan pendidikan, perdagangan, sosial, politik, maupun
pariwisata. Mereka mempelajari bahasa Indonesia dengan maksud untuk mengimbangi/dapat
berkomunikasi dengan orang Indonesia, untuk menambah kemampuan berbahasa, untuk
menambah kadar keilmuan mereka.
Belajar bahasa kedua pasti mengalami beberapa kendala yang ditunjukkan baik dari
faktor usia, motivasi, psikologis, dll. Ada juga tingkatan dalam pembelajaran BIPA sama halnya
dengan tingkatan jenjang pendidikan. Bedanya BIPA dilakukan secara informal. Di Indonesia
pada saat ini banyak diselenggarakan pengajaran BIPA, hal ini mengingat bahwa banyak sekali
orang asing yang datang ke Indonesia khususnya para wisatawan yang kagum akan keindahan
alam Indonesia.
Bagan Analisis Morfologis
DATA
KESALAHAN PENGGUNAAN
AFIKS
KESALA
HAN
PENGGU
NAAN
KATA
DEPAN
PERBAIKAN
PREFI
KS
SUFI
KS
INFI
KS
KONF
IKS
Interaksi √ berinteraksi
Dilingkungan √ di lingkungannya
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
246
Penguasa √ penguasaan
Jadi √ terjadi
Bersama √ bersamaan
Kembangkan √ mengembangkan
di lakukan √ dilakukan
Keindonesia √ ke Indonesia
Pendidik √ pendidikan
Komunikasi √ berkomunikasi
Bahasa √ berbahasa
Nambah √ menambah
Ilmu √ keilmuan
Alami √ mengalami
di tunjukan √ ditunjukan
Tingkat √ tingkatan
di
selenggarakan
√ diselenggarkan
Beda √ bedanya
ingat √ mengingat
Khusus √ khususnya
Bagan Hasil Pretes dan Postes Analisis Kebahasaan Morfologi
No
Subjek Pretes Postes
Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata
1 Rina Rosdiana 11 5,5 17 8,5
2 Maryana 11 5,5 17 8,5
3 Yuliana Tika.TA 14 7 18 9
4 Fauziah Nurul.F 12 6 19 9,5
5 Fadillah Muslim 10 5 18 9
6 Ricky Surya.A 8 4 18 9
7 Gusti AChmad.F. 12 6 19 9,5
8 Purwati 12 6 20 10
9 Yunas Sabri 10 5 18 9
10 Wulan Nurjanah 10 5 20 10
11 Putri Ayu C.A 11 5,5 19 9,5
12 Deri Saputra 12 6 19 9,5
13 Hadni Imayanti 13 6,5 20 10
14 Sohib 12 6 18 9
15 Vivin Kusmianti 11 5.5 19 9,5
16 Yuli Yulianti.N 11 5,5 19 9,5
17 Peryoga Trisna 10 5 18 9
18 Salman Paris 11 5,5 18 9
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
247
19 Yuli Maryam 12 6 18 9
20 Ayu Ajeng 11 5,5 19 9,5
Hasil Rata-rata
5,60
9,27
Simpulan
Penggunaan teori humanistik menurut pandangan Honey dan Mumford mampu
meningkatkan pembelajaran morfologi khususnya penggunaan afiks ( imbuhan ) ; prefiks (
awalan), infiks (sisipan), sufiks ( akhiran ), dan gabungan ( konfiks ) serta pegunaan kata depan.
Peningkatan ini dapat dilihat dari hasil pretes dan postes mahasisiwa, hasil pretes mahasiswa
mendapat nilai 5,60 sedangkan postes mendapat nilai 9,27 mengalami peningkatan sebesar 3,67.
Kemampuan mahasiswa dalam ketepatan penggunaan afiks dan kata depan bisa dijadikan bekal
untuk mahasiswa dalam mengahadapi tantangan masyarakat ekonomi Asean, dijadikan sebagai
jati diri bangsa yang tetap mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia. Serta diharapkan
dengan mereka menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar mampu menggunakan bahasa
Indonesia sebagai keahlian yang bisa dijadikan profesi yang professional serta wujud kita dalam
membina dan mengembangkan bahasa Indonesia serta mempertahankan, menjaga eksistensi
bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka
Arifin, Zaenal dan Junaiyah. 2007. Morfologi. Jakarta.PT Grasindo.
Arifin, Zaenal dan Junaiyah. 2008. Sintaksis. Jakarta. PT Grasindo.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta.
Budiningsih Asri. 2005. Belajar dan pembelajaran. Jakarta.PT Rineka Cipta.
http://sukasosial.blogspot.com/2015/08/masyarakat-ekonomi-asean.html
Latifah. 2009. Riksa Bahasa. Bandung.Rizqi Press.
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung. Pusat Bahasa Depdiknas
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
248
PENGGUNAAN KONJUNGSI BAHASA INDONESIA PADA TAJUK RENCANA
SURAT KABAR PIKIRAN RAKYAT
Lilis Amaliah Rosdiana
Universitas Winaya Mukti
ABSTRAK
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mendeskripsikan konjungsi-konjungsi
koordinatif dan subordinatif dalam Tajuk Rencana Surat Kabar Pikiran Rakyat. Metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Objek penelitian dalam
penelitian ini adalah Tajuk Rencana yang terbit selama bulan Juni 2015. Kemudian
peneliti mengambil sampel selama dua minggu yaitu minggu pertama dan minggu kedua
di bulan Juni. Pengumpulan data diakhiri dengan mengklasifikasi data konjungsi
koordinatif dan subordinatif, kemudian dianalisis. Adapun hasil penelitian bahwa
penggunaan konjungsi yang digunakan dalam kolom Tajuk Rencana Surat Kabar
Pikiran Rakyat terdapat 168 kata konjungsi koordinatif dan dikelompokan menjadi
sembilan jenis konjungsi koordinatif dan 97 kata konjungsi subordinatif dikelompokan
menjadi tujuh jenis konjungsi subordinatif. Secara keseluruhan, jenis konjungsi
koordinatif dan konjungsi subordinatif antara lain: (1) penggambungan biasa; (2)
pemilihan, (3) pertentangan, (4) pembetulan, (5) penegasan, (6) pembatasan, (7)
pengurutan, (8) penyamaan, (9) penyimpulan, (10) penyebab, (11) syarat; (12) tujuan;
(13) waktu; (14) akibat; (15) sasaran; (16) perbandingan.
Kata Kunci: penggunaan konjungsi, tajuk rencana.
Pendahuluan
Tujuan peneliti memilih judul “Penggunaan Konjungsi Bahasa Indonesia pada Tajuk
Rencana Surat Kabar Pikiran Rakyat” ialah ingin mendeskripsikan konjungsi koordinatif dan
konjungsi subordinatif yang biasa digunakan penulis kolom Tajuk Rencana pada surat kabar
Pikiran Rakyat untuk dikaji lebih lanjut.
Konjungsi digunakan dalam berbahasa sebagai penyambung kata, frase, atau kalimat
untuk memudahkan kita dalam berkomunikasi. Tanpa konjungsi komunikasi kita tidak akan
lancar, menimbulkan banyak hambatan, dan dapat menyebabkan pesan atau makna komunikasi
menjadi tidak jelas pada si penerima. Dengan kata lain, si penerima menjadi tidak paham akan
komunikasi tersebut.
Penggunaan konjungsi, sering kita temukan pada ragam bahasa tulis dan bahasa lisan.
Ragam bahasa baik lisan maupun tulis memerlukan kohesi dan koherensi, kohesi diperlukan
untuk menata pikiran, bentuk kata, serta kalimat yang tepat dan baik. Ragam bahasa tulis dapat
ditemukan dalam majalah, surat kabar, tabloid, cerpen, novel, dan lain sebagainya. Salah satu
ragam bahasa tulis yang akan dijadikan sumber data penelitian adalah kolom Tajuk Rencana
pada surat kabar Pikiran Rakyat. Surat kabar Pikiran Rakyat banyak memberikan informasi
kepada masyarakat Jawa Barat, dengan bahasa jurnalistik yang ringan agar pembaca dengan
mudah dapat memahami dan menikmati isinya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
249
Menurut Badudu (dalam Widiawati, 2014) mengatakan bahasa jurnalistik memiliki
sifat-sifat yang khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, dan jelas. Ciri-ciri tersebut
harus dipenuhi oleh bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh lapisan masyarakat
yang tidak sama tingkat pengetahuannya, dari masyarakat yang berpendidikan dasar sampai
dengan masyarakat yang berpendidikan tinggi. Di samping itu, tidak semua orang bisa
meluangkan waktunya untuk membaca surat kabar.
Dalam surat kabar Pikiran Rakyat, berdasarkan observasi penulis banyak ditemukan
konjungsi koordinatif dan subordinatif. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk memilih objek ini
dengan menggunakan sumber data surat kabar Pikiran Rakyat pada kolom Tajuk Rencana.
Menurut Chaer (2006), konjungsi koordinatif adalah “Kata-kata yang digunakan untuk
menghubungkan kata dengan kata, klausa dengan klausa, atau kalimat dengan kalimat yang
kedudukammya sederajat atau setara. Sedangkan konjungsi subordinatif adalah kata
penghubung yang menghubungkan klausa dengan klausa yang kedudukannya tidak sederajat,
melainkan bertingkat.”
Kemudian Kosasih (dalam Widiawati, 2014) mengatakan pengertian konjungsi
koordinatif adalah “konjungsi yang menghubungkan dua klausa yang memiliki kedudukan
setara dan konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua klausa atau lebih
yang memiliki hubungan bertingkat.
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas penulis merumuskan masalah sebagai
berikut. (a) Berapa jumlah kata-kata konjungsi koordinatif dan subordinatif yang terdapat dalam
Tajuk Rencana Surat Kabar Pikiran Rakyat? (b) Ada berapa jenis konjungsi koordinatif dan
subordinatif dalam Tajuk Rencana Surat Kabar Pikiran Rakyat?
Adapun yang menjadi tujuan penelitian antara lain: (a) mengetahui jumlah kata-kata
konjungsi koordinatif dan subordinatif yang terdapat dalam Tajuk Rencana Surat Kabar Pikiran
Rakyat; (b) mendeskripsikan jenis koordinatif dan subordinatif dalam Tajuk Rencana Surat
Kabar Pikiran Rakyat.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif. Menurut Sugiyono (2013) penelitian
deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu
variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan dengan
variabel yang lain.
Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tajuk Rencana yang terbit
selama bulan Juni 2015. Kemudian penulis mengambil sampel selama dua minggu yaitu minggu
pertama dan minggu kedua di bulan Juni. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu metode simak dengan teknik lanjutan catat. Karena data dalam penelitian ini
berupa data tertulis, maka metode simak dilakukan dengan cara membaca dengan seksama yang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
250
kemudian diikuti dengan teknik catat untuk mengklasisfikasikan data yang relevan. Sebagai
langkah analisis data, pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualiatif dengan
teknik analisis deskriptif. Pada proses selanjutnya, metode deskriptif diterapkan sebagai usaha
memberikan gambaran atau menguraikan sasaran penelitian.
Pembahasan
Dari semua Tajuk Rencana selama dua minggu berturut-turut, yaitu minggu pertama
dan minggu kedua bulan Juni penulis dapatkan 168 kata konjungsi koordinatif dan
dikelompokan menjadi sembilan jenis konjungsi koordinatif dan 97 kata konjungsi subordinatif
dikelompokan menjadi tujuh jenis konjungsi subordinatif. Untuk lebih jelasnya, berikut
pemaparan penulis terhadap penggunaan kata konjungsi pada Tajuk Rencana Surat Kabar
Pikiran Rakyat. Kata-kata konjungsi yang penulis dapatkan adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Daftar kata konjungsi yang terdapat dalam Tajuk Rencana
pada Surat Kabar Pikiran Rakyat
Kata Konjungsi
bahkan tetapi sedangkan
dan dengan sebaliknya
untuk karena kecuali
atau ketika sejak
yaitu namun sementara itu
sehingga bahwa hingga
seperti agar oleh karena itu
seperti serta yakni
malah meskipun selain itu
ketika kemudian adalah
jika apalagi melainkan
Berdasarkan kata-kata konjungsi di atas, penulis kemudian diklasifikasikan menurut fungsinya.
Diperoleh data sebagai berikut:
1. Konjungsi koordinatif
a) penggabungan biasa: dan, dengan, serta
b) menyatakan pemilihan: atau
c) menyatakan pertentangan: tetapi, namun, sedangkan, selain itu, sebaliknya
d) menyatakan pembetulan: melainkan, hanya
e) menyatakan penegasan: bahkan, malah, apalagi
f) menyatakan pembatasan: kecuali, hanya
g) menyatakan pengurutan: kemudian, selanjutnya
h) menyatakan penyamaan: yaitu, yakni, bahwa, adalah
i) menyatakan penyimpulan: oleh karena itu
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
251
2. Konjungsi subordinatif
a) menyatakan sebab: sebab, karena
b) menyatakan syarat: jika, apabila
c) menyatakan tujuan: agar
d) menyatakan waktu: ketika
e) menyatakan akibat: hingga, sehingga
f) menyatakan sasaran: untuk
g) menyatakan perbandingan: seperti
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa bentuk penggunaan konjungsi
koordinatif sebanyak 168 kata konjungsi koordinatif dan dikelompokan menjadi sembilan jenis
konjungsi koordinatif dan 97 kata konjungsi subordinatif dikelompokan menjadi tujuh jenis
konjungsi subordinatif.
Secara keseluruhan, jenis konjungsi koordinatif dan konjungsi subordinatif antara lain:
(1) penggambungan biasa; (2) pemilihan, (3) pertentangan, (4) pembetulan, (5) penegasan, (6)
pembatasan, (7) pengurutan, (8) penyamaan, (9) penyimpulan, (10) penyebab, (11) syarat; (12)
tujuan; (13) waktu; (14) akibat; (15) sasaran; (16) perbandingan. Dengan mempertimbangkan
keuntungan dan kerugian penggunaan tajuk rencana surat kabar Pikiran Rakyat sebagai sumber
belajar yang didasarkan pada kriteria dan efektivitas pemilihan sumber belajar, bahwa
penggunaan tajuk rencana surat kabar Pikiran Rakyat sebagai sumber belajar bahasa Indonesia
khususnya pembelajaran konjungsi tergolong efektif. Meskipun demikian, para tenaga pendidik
dituntut untuk lebih cermat dalam pemanfaatannya sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai
dengan baik.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. (2006). Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. PT Rineka Cipta: Jakarta.
Kosasih, E. (2010). Kompetensi Ketatabahasaan dan Kesastraan.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R &
D. Alfabeta: Bndung.
Widiawati, Nur. (2014). Analisis Konjungsi dalam Wacana Berita pada Rubrik Sariwarta di
Majalah Panjebar Semangat Edisi Januari-Desember 2013.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article. [Online] Diunduh pada 03 Agustus
2015.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
252
PEMERTAHANAN BAHASA DAN PRINSIP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
BERBASIS BUDAYA LOKAL DI INDONESIA
Lina Siti Nurwahidah
STKIP Garut
Abstrak
Sudah sejak orde baru kita diarahkan pada keseragaman dalam berbagai hal. Indonesia
yang begitu beragam budayanya diarahkan hanya untuk keseragaman yang membentuk
kebudayaan nasional, termasuk bahasa Indonesia. Warna-warna lokal hanya merupakan
penyedap, penambah hiasan sehingga tidak dilirik dan hanya dianggap sebagai budaya
sekunder. Apalagi awal tahun 90-an gaung globalisasi mulai marak memasuki relung
jiwa masyarakat Indonesia. Dengan hal tersebut, sebagian masyarakat Indonesia banyak
yang terkikis rasa nasionalismenya sehingga menggoyahkan penggunaan bahasa
Indonesia dan mengagungkan semua yang berasal dari luar negeri termasuk bahasa asing.
Padahal budaya lokal sangat penting dalam pendidikan multikulturalisme seperti yang
terjadi di wilayah seperti kita, Indonesia. Penyebabnya adalah dengan kelokalan itulah
mereka dapat melihat dirinya (self) dan juga dapat melihat orang lain (other).
Desentralisasi kebudayaan termasuk penggunaan bahasa daerah tidak hanya akan
menumbuhkan budaya lokal tetapi juga akan menambah kreativitas dan ketahanan
bangsa ini, termasuk ketahanan bahasa Indonesia dari gempuran globalisasi.
Kata kunci: pemertahanan bahasa, pendidikan multikultural, dan budaya lokal
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara majemuk yang dihuni oleh masyarakat dari berbagai suku
bangsa. Tiap suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa daerahnya masing-masing, yang
digunakan dalam lingkungan yang terbatas di antara sesamanya. Berdasarkan data yang
dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 bahwa Indonesia terdiri atas 1.128
suku bangsa dan data etnografis mencatat terdapat sekitar 700-an bahasa daerah. Keragaman
suku bangsa di Indonesia disebabkan oleh faktor historis, dan faktor isolasi alam yang lama.
Kondisi Indonesia saat ini dihuni oleh berbagai suku bangsa yang beragam yang memiliki
karakteristik tersendiri dari segi bahasa dan budayanya, walaupun semuanya masuk dalam
rumpun bahasa yang sama rumpun bahasa Austronesia.
Dengan berbagai ragam bahasa dan budaya, Indonesia memiliki kearifan lokal yang
kaya yang berasal dari berbagai suku bangsa yang ada. Kearifan lokal tersebut menjadi
pandangan hidup yang mendasari berbagai pola perilaku dan tindakan setiap masyarakat
Indonesia. Kearifan lokal lahir sebagai respon terhadap fenomena globalisasi yang seolah-olah
berupaya untuk menyeragamkan manusia ke dalam pola-pola budaya yang sama. Kondisi
tersebut dapat menyebabkan bangsa Indonesia tercerabut dari akar budayanya sendiri dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
253
menjadi bangsa yang kehilangan identitas. Pada saat ini mereka yang peduli terhadap
kebudayaan Indonesia, berupaya mengambil kearifan-kearifan yang terdapat dalam budaya
mereka tersebut menjadi nilai-nilai yang dapat dipedomani untuk diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari
Dari hal di atas masyarakat Indonesia ikut terkena imbas budaya global, yang sebagian
besar didominasi oleh standar budaya Barat. Standar peradaban diukur dari cara pandang barat
dalam melihat berbagai hal. Padahal sebagai bangsa yang beradab, bangsa Indonesia pun
memiliki akar budaya yang kuat yang berasal dari nenek moyangnya terdahulu, yang tidak kalah
penting dan bermaknanya bagi kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Semuanya tersimpan dalam
sanubari budaya kita sendiri, yang dalam ilmu antropologi lazim dikenal dengan istilah kearifan
lokal (local genius). Kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat (indigenous or
local knowledge), atau kecerdasan setempat (local genius), yang menjadi dasar identitas
kebudayaan (cultural identity).
Semakin hari semakin banyak kekayaan budaya kita yang hilang dikarenakan tidak ada
lagi generasi penerus yang mau melestarikannya. Sebagai salah satu indikatornya dapat dilihat
dari kepunahan beberapa bahasa daerah di Indonesia akhir-akhir ini. Data hasil penelitian
(Lewis, 2015) di Indonesia terdapat 719 bahasa yang terdaftar, 706 masih dipakai, sudah ada
13 bahasa daerah yang sudah punah. Dari bahasa yang sudah terdaftar, 19 dipakai dalam situasi
resmi, 86 sedang berkembang, 260 dipakai secara aktif, 266 terancam punah, dan 75 bahasa
sedang punah.
Pakar budaya dan bahasa Universitas Negeri Makassar (UNM), Zainuddin Taha,
mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50 persen dari 5.000 bahasa di dunia terancam
punah, atau setiap dua pekan hilang satu bahasa. Selanjutnya, dikatakan olehnya bahwa
kepunahan tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban,
melainkan para penuturnya meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang
dianggap lebih menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Di Indonesia
sendiri, katanya, keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada kepunahan ini semakin
nyata dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan keluarga yang tinggal di perkotaan.
Pergeseran ini tidak hanya dialami bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya sudah sangat
kurang (bahasa minoritas), tetapi juga pada bahasa yang jumlah penuturnya tergolong besar
(bahasa mayor) seperti bahasa Jawa, Bali, Banjar, dan Lampung, termasuk bahasa-bahasa
daerah di Sulawesi Selatan seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrempulu.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
254
Prinsip Pemertahanan Bahasa dan Prinsip Multikultural
Prinsip Pemertahanan Bahasa
Pemertahanan bahasa adalah masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa untuk
tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa-bahasa lainnya Chaer dan
Agustina, (1993:177). Pemertahanan bahasa pada umumnya bertujuan untuk mempertahankan
budaya yang berfungsi sebagai identitas kelompok atau komunitas, untuk mempermudah
mengenali anggota komunitas, dan untuk mengikat rasa persaudaraan sesama komunitas.
Keadaan ini umumnya terjadi pada komunitas masyarakat yang memiliki bahasa lebih dari satu.
Faktor yang mendorong bisa saja berasal dari dalam diri individu yang memiliki rasa cinta akan
bahasa ibu sehingga menanamkannya kepada keluarga dan masyarakat dan dari rasa persatuan
serta kecintaan pada identitas kelompok atau komunitas yang dimiliki.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran dan pemertahanan bahasa antara lain; (a)
kedwibahasaa atau kemulitibahasaan; (b) industrialisasi; (c)imigrasi; (d) politik; (e) pendidikan;
(f.) mobilitas sosial; (g) efisiensi bahasa; (h) jumlah penutur; dan (i)konsentrasi pemukiman.
Secara umum pemertahanan bahasa didefinisikan sebagai keputusan untuk tetap
melanjutkan pengunaan bahasa secara kolektif oleh sebuah komunitas yang telah
menggunakan bahasa tersebut sebelumnya (Fasold:1984). Lebih lanjut, Fasol juga
menyatakan bahwa pemertahanan bahasa ini merupakan kebalikan atau sisi yang berlainan
dari pergeseran bahasa; yaitu sebuah komunitas memutuskan untuk mengganti bahasa yang
telah digunakannya atau memilih bahasa lain sebagai pengganti bahasa yang telah
digunakannya.
Konsep pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata
masyarakat pendukungnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Danie (dalam Chaer 1995:193)
bahwa menurunnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena
pengaruh bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa
Indonesia yang jangkauan pemakaiannya bersifat nasional. Namun ada kalanya bahasa pertama
(B1) yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan
bahasa kedua (B2) yang lebih dominan.
Konsep lain yang lebih jelas lagi dirumuskan oleh Fishman (dalam Sumarsono 1993: 1).
Pemertahanan bahasa terkait dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di satu pihak
dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain dalam masyarakat multibahasa.
Salah satu isu yang cukup menarik dalam kajian pergeseran dan pemertahanan bahasa adalah
ketidakberdayaan minoritas imigran mempertahankan bahasa asalnya dalam persaingan dengan
bahasa mayoritas yang lebih dominan.Ketidakberdayaan sebuah bahasa minoritas untuk
bertahan hidup itu mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah kontak guyup minoritas dengan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
255
bahasa kedua (B2), sehingga mengenal dua bahasa dan menjadi dwibahasawan, kemudian
terjadilah persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya bahasa asli (B1) bergeser atau punah.
Dibutuhkan sebuah komitmen dalam pemertahanan sebuah bahasa. Hal ini dikarenakan
tingkat kemajuan ilmu pengetahuan masyarakat yang semakin maju, serta semakin banyak
bahasa–bahasa asing masuk ke dalam kehidupan masyarakat.Hal tersebut bisa kita lihat
darimaraknya perusahaan yang menyertakan kemampuan bahasa asing sebagai persyaratan
utama untuk menjadi pegawai di tempat tersebut. Hal sama juga terjadi di dalam dunia
pendidikan, bahasa asing juga menjadi mata pelajaran wajib serta sebagai syarat utama
kelulusan. Namun di lain hal, bahasa nasional maupun daerah kurang mendapatkan perhatian.
Prinsip Multikultural
Sejak kemunculannya sebagai sebuah disiplin ilmu pada dekade 1960-an dan 1970-an,
pendidikan berbasis multikultural atau Multicultural Based Education (MBE) telah
didefinisikan dalam banyak cara dan dari berbagai perspektif.
Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai
realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu akan muncul jika seseorang
membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai
kemestian hidup yang kodrati, baik dalam kehidupan dirinya sendiri yang multidimensional
maupun dalam kehidupan masyarakat yang lebih kompleks, dan karenanya muncul kesadaran
bahwa keanekaragaman dalam realitas dinamika kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak
bisa ditolak, diingkari, apalagi dimusnahkan (Asyari dalam Mahfud, 2013:103). Dalam
keragaman kultur inilah meniscayakan adanya pemahaman, saling pengertian, toleransi dan
sejenisnya, agar tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik
berkepanjangan.
Pengertian multikulturisme sebagai pandangan dunia diwujudkan juga dalam Politic of
Recognition. Hal seperti itu juga dikemukakan oleh Parekh (Mahfud, 2013:93) yang secara jelas
membedakan lima macam multikulturalisme, yakni multikulturalisme isolasionis,
multikulturalisme akomodatif, multikulturalisme otonomis, multikulturalisme kritikal, dan
multikulturalisme kosmopolitan. Dari berbagai jenis multikulturalisme dapat disimpulkan
bahwa multikulturalisme adalah kesejajaran budaya. Tiap-tiap budaya manusia atau kelompok
etnis harus diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan lebih dominan.
Semua kebudayaan pada dasarnya mempunyai kearifan-kearifan tradisional yang berbeda-
beda.Kearifan-kearifan tersebut tidak dapat dinilai sebagai positif negatif dan tidak dapat
dijelaskan melalui kaca mata kebudayaan yang lain. Hal ini disebabkan oleh sudut pandang dan
akar baik buruk dari setiap kebudayaan mempunyai volume yang berbeda pula.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
256
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh para pendiri bangsa ini untuk
mendesain kebudayaan Indonesia, pada umumnya orang Indonesia masih memandang asing
konsep multikulturalime ini. Konsep ini tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman
suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk (plural society) karena
menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan
yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen dan plural. Terlebih lagi
pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak tahun 1999 hingga saat ini.
Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan
demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah. Apabila hal tersebut tidak dijalankan hati-hati, justru mungkin akan menjerumuskan kita
ke dalam perpecahan nasional (disintegrasi bangsa dan separatisme).
Pemanfaatan Budaya Daerah untuk Pemertahanan Bahasa dalam masyarakat
Multikultural
Pentingnya peran bahasa daerah sudah dirumuskan di dalam penjelasan pasal 36 UUD
1945 yang menyebutkan antara lain, bahwa bahasa-bahasa daerah yang dipelihara baik oleh
para penuturnya akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara karena bahasa-bahasa daerah
tersebut merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Selain itu, di dalam
peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan
provinsi sebagai daerah otonom disebutkan antara lain, dua hal yang masing-masing berkenaan
dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Menurut peraturan pemerintah itu, secara jelas disebutkan bahwa pembinaan dan
pengembangan bahasa dan sastra Indonesia merupakan kewenangan pusat. Adapun kegiatan-
kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan bahasa dan budaya daerah termasuk ke
dalam kewenangan daerah. Dengan demikian, negara yang dimaksudkan di dalam penjelasan
pasal 36 UUD 1945 itu adalah pemerintah daerah. Itulah sebabnya di dalam kebijakan bahasa
nasional dikemukakan bahwa dalam hubungannya dengan perkembangan kehidupan kenegaraan
di Indonesia ke arah pemerintahan otonomi daerah serta pentingnya pembinaan dan pelestarian
budaya daerah, bahasa daerah perlu diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk memainkan
peranan yang lebih besar. Kebijakan bahasa nasional pada tahun 1999 menggarisbawahi
perlunya memberikan perhatian yang lebih luas dan mendalam terhadap bahasa daerah.
Bentuk perhatian tersebut di antaranya mengembangkan kosakata bahasa daerah. Di
samping mengembangkan kosakata/istilah bidang ilmu dan teknologi (informasi),
pengembangan kosakata/istilah juga harus mencakup bidang kebudayaan. Pengembangan
kosakata bidang itu dapat memanfaatkan sumber kekayaan dari bahasa daerah di seluruh
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
257
wilayah penggunaan bahasa Indonesia. Indonesia memiliki 719 bahasa daerah (Lewis et.all.,
2015). Bukankah itu dapat dimanfaatkan sebagai sumber pengayaan bahasa Indonesia?
Pemanfaatan kosakata bahasa daerah itu sekaligus merupakan upaya pelestarian budaya daerah
di samping juga merupakan upaya pemberian warna keindonesiaan dalam mengembangkan
kosakata bahasa Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian kosakata bahasa daerah.
Kosakata bahasa daerah yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, sebaiknya,
dimasukkan ke dalam warga kosakata bahasa Indonesia. Jika terdapat perbedaan dalam lafal
atau dalam ejaannya dengan sistem bahasa Indonesia, perlu dilakukan penyesuaian dengan
sistem lafal dan ejan dalam bahasa Indonesia (lihat Pedoman Umum Pembentukan Istilah).
Upaya pelibatan bahasa-bahasa daerah dalam pengembangan kosakata bahasa Indonesia
itu merupakan usaha menjadikan masyarakat Indonesia merasa ikut mengarahkan
pengembangan bahasa kebangsaannya sehingga tumbuh kepedulian dan rasa ikut memiliki
terhadap bahasa Indonesia yang pada akhirnya makin memupuk rasa cinta terhadap bahasa
Indonesia.Dengan demikian, budaya daerah termasuk dalam hal ini bahasa daerah akan tetap
eksis dengan segala macam pernak pernik bahasanya, karena merasa dilibatkan. Keterlibatan
tersebut akhirnya akan dipelihara dan terus dikembangkan.Keberadaan jati diri bahasa Indonesia
pun akan tetap dapat dipertahankan di antara budaya-budaya daerah.
Berkaitan dengan pemertahanan bahasa Indonesia, dalam perjalanan perkembangannya
juga terdapat tantangan yang tidak kecil. Menurut Halim (dalam Muslih, 2010: 33) setelah
bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan ditandai oleh dua
tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan bahasa Indonesia yang dinamis, tetapi tidak
menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Pada saat bersamaan bangsa Indonesia
kedewasaan berbahasa. Sekarang tumbuh kesadaran emosional bahwa prilaku berbahasa tidak
terkait dengan masalah nasionalisme. Buktinya banyak orang yang lebih suka memakai bahasa
asing. Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini
yang menimbulkan prasangka yang tetap dihadapi ilmuan kita yang mengatakan bahawa bahasa
Indonesia miskin, bahkan kita dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah
yang terdapat banyak dalam disiplin ilmu, teknologi dan seni. Menurut Moeliono prasangka itu
bertumpu pada apa yang dikenal dan atau diketahui, tidak ada dalam bahasa indonesia.
Beberapa kebiasaan yang mendorong pergeseran bahasa Indonesia yang ditemukan di
dalam masyarakat harus segera dicegah dan dihilangkan untuk tetap mempertahankan identitas
bangsa. Kebiasaan-kebiasaan tersebut antara lain sebagai berikut.
a. Banyak orang Indonesia lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, ungkapan-
ungkapan asing padahal kata-kata, istilah-istilah dan ungkapan itu sudah memiliki padanan
dalam bahasa Indonesia, bahkan sudah umum dipakai. Misalnya, page, background, reality,
alternatif, airport, masing-masing untuk halaman, latar belakang, kenyataan, kemungkinan
pilihan dan lapangan terbang atau bandara.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
258
b. Banyak orang Indonesia menghargai bahasa asing secara berlebihan sehingga ditemukan kata
adan istilah asing yang amat asing, atau hiper asing. Hal ini karena salah pengertian dalam
menerapkan kata-kata asing tersebut, misalnya, rokh, insyaf, fihak, fatsal,syarat, syah, dll.
c. Banyak orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik tetapi menguasai
bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang Indonesia yang mempunyai
bermacam-macam kamus bahasa asing tetapi tidak memiliki satu pun kamus bahasa Indonesia.
Keadaan ini mengakibatkan sering terjadinya kesalahan penggunaan istilah seperti, yang mana
yang kurang tepat, pencampuradukan penggunaan kata tidak dan bukan, pemakaian kata ganti
saya, kami, kita yang tidak jelas.
Dari banyaknya perbedaan budaya di negara kita, keajegan, kekonsistenan kita dalam
mempertahankan bahasa Indonesia dengan tetap mengedepankan nilai-nilai budaya lokal yang
tersebar di seluruh Indonesia akan sangat membantu mematangkan konsep-konsep bahasa
Indonesia. Konsep-konsep yang sudah teratur tersebut dapat ditambahkan dengan nilai-nilai
yang ada pada budaya-budaya lokal yang ada di daerah kita dan masih memiliki peluang untuk
dapat dikembangkan. Meskipun demikian, pengaruh-pengaruh budaya dari luar dapat kita
terima sesuai dengan fungsi dan kedudukannya sehingga tersedia bahasa yang lengkap untuk
berbagai kebutuhan/kepentingan tanpa menghilangkan jati diri budaya bangsa.
Penutup
Perubahan zaman akan senantiasa terjadi, terlebih-lebih dalam era globalisasi pada abad
ke-21 ini. Perkembangan dan kemajuan dalam bidang teknologi informasi dengan tingkat
kecepatan yang begitu tinggi pasti akan secara langsung berpengaruh pada berbagai bidang
kehidupan. Kesemuanya itu pada gilirannya akan melahirkan tuntutan dan tantangan baru bagi
keberlangsungan kehidupan berbahasa dan berbangsa.
Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia harus tetap dipertahankan.
Pergaulan antarbangsa memerlukan alat komunikasi yang mudah dipahami tetapi dapat
menyampaikan gagasan dengan bernas. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus terus dibina
dan dikembangkan agar dapat menjadi kebanggan bagi bangsa Indonesia yang pada akhirnya
dapat dijadikan alternatif untuk alat komunikasi perdagangan minimal di antara negara-negara
ASIA.
Untuk hal tersebut dibutuhkan rencana dan kerja keras dalam pemertahanan sebuah
bahasa. Hal ini disebabkan oleh tingkat kemajuan ilmu pengetahuan masyarakat, serta semakin
banyaknya bahasa asing masuk ke dalam kehidupan masyarakat.Tidak akan menjadi
permasalahan jika mereka masih kokoh dalam mempertahankan dan menempatkan fungsi-fungsi
tiap bahasa tersebut secara bertanggung jawab. Akan tetapi akan menjadi bermasalah jika tidak
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
259
adanya keloyalan dari tiap pemakainya untuk terus mempertahankan dan melestarikan bahasa dan
budayanya.
Akhirnya, tanggung jawab terhadap perkembangan bahasa Indonesia terletak di tangan
pemakai bahasa Indonesia sendiri. Baik buruknya, maju mundurnya, dan teratur kacaunya bahasa
Indonesia bergantung kepada para pemakai bahasa Indonesia yang mengaku berbangsa Indonesia,
bertanah air Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka
Alwasilah,A.Chaedar.1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Alwi, H. dan Dendy Sugono (Ed.). 2000. Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa.
Alwi, H., Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan. (Ed.). Bahasa Indonesia dalam Era
Globalisasi. Jakarta: Pusat Bahasa.
Anderson, dan Cusher. Multiciltural and Internatural Studies. Sydney: Prentice Hall.
Badan Pusat Statistik.2010. Jakarta.
Chaer,Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan awal. Edisi Revisi.
Jakarta:PT Rineka Cipta.
Chaer,Abdul dan Leonie Agustina. 2013. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Crystal, David. 2003. Language Death.NewYork: Cambridge University Press.
Fasold, R.1984. The Sociolinguistics of Society. Cambridge: Cambridge University Press.
Halim, A. 1976. Politik Bahasa Nasional Jilid 1. Jakarta: Pusat Bahasa.
Halim, A. 1976. Politik Bahasa Nasional Jilid 2.Jakarta: Pusat Bahasa.
Hassan, A. (ed.). 1994. Language Planning in Southeast Asia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka.
Holmes,Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistic.NewYork.Longman.
Lewis, At. al. 2015. Ethnologue: languages of the world. Dallas: SIL International.
Muslich, M. dan I Gusti Ngurah Oka. 2010. Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Mahfud, Ch. 2013. Pendidikan Multikultural.Yogyakarta:PT PustakaPelajar.
Moeliono, A. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam
Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
260
Moeliono, A. 2000. “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi” dalam
Hasan Alwi, Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan (ed.). Jakarta: Pusat Bahasa.
Nancy, Hornberger (ed).2006. Language Loyalty, Continuity and Change.Toronto: Multilingual
Matters Ltd.
Sugono, D. (ed.). 2003. Bahasa Indonesia Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Progress.
Sugono, D. et.al 2003. Setengah Abad Kiprah Kebahasaan dan Kesastraan Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Sugono, D. 2004. “Strategi Perancangan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia”.
Makalah Kongres Bahasa Utama Dunia. Kuala Lumpur, 5—8 Oktober 2004.
Sugono, D. 2005. “Dinamika Bahasa dan Sastra Peneral Jiwa Bangsa Serantau” Makalah
Seminar Mabbim dan Mastera, Mataram, 7—8 Maret 2005.
Sumarsono.2011. Sosiolinguistik.Yogyakarta:Pustaka.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002.Sosiolinguistik.Yogyakarta: Penerbit Sabda.
Suwito.1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Edisi ke-2. Surakarta:
Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
261
Menulis Karya Ilmiah dengan Pendekatan Sistem
dalam Menghadapi MEA
Mimin Sahmini, S.S., M.Pd.
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Karya tulis ilmiah merupakan tulisan yang membahas ilmu pengetahuan disusun secara
sistematis dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar. Salah satu jenis karya
ilmiah adalah makalah. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan dalam menulis
makalah adalah pendekatan sistem. langkah awal dari pendekatan sistem adalah
perencanaan, pelaksanaan, observasi untuk mengenali kontroversi, refleksi lalu
menimbang untuk memecahkan masalah, dan menentukan evaluasi yang tepat dengan
permasalahan. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh pengembangan
evaluasi keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian dan pengembangan/research and developments (R&D)
yaitu penelitian yang menggabungkan penelitian kualitatif dan kuantitatif.Data
keterampilan menulis makalah diperoleh melalui hasil tugas proyek menulis makalah
dan hasil observasi kegiatan di kelas. Selain itu, data diperoleh juga melalui penyebaran
angket kepada mahasiswa. Analisis data kualitatif dengan beracuan pada teori Jacob
dalam bukunya Sihabudin. Adapun analisis data kuantitatif menggunakan uji t.
Berdasarkan hasil analisis data terdapat kenaikan yang berarti dari setiap perlakuan.
Sebelum model pendekatan sistem diterapkan, nilai rata-rata mahasiswa sebesar 2,153
dan pada penerapan model ujicoba 1 nilai rata-rata mahasiswa menjadi 2,800 atau
megalami kenaikan 23%. Pada penerapan model pendekatan sistem ujicoba 2 nilai
mahasiswa meningkat menjadi 3,18 atau 32%. Berikutnya pada penerapan model
pendekatan sistem ujicoba3 nilai mahasiswa menjadi sebesar 3,34 atau meningkat 36%.
Setelah seluruh model diterapkan maka nilai mahasiswa menjadi 3,60 atau atau
meningkat 40%, sehingga memenuhi nilai yang diharapkan (ideal).
Kata kuncil: karya ilmiah, pendekatan sistem
Pendahuluan
Keterampilan menulis memiliki peranan penting dalam kehidupan. Hampir semua kegiatan
tidak terlepas dari kegiatan menulis. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat
ditemukan dari hasil karya penulisan, baik dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan,
teknologi, analisis sastra, dan lain sebagainya.Karyatulis ilmiah merupakan tulisan yang
membahas ilmu pengetahuan disusun secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang baik
dan benar. Karya ilmiah merupakan bagian yang tidak terpisahkan di lingkungan akademik
karena karya ilmiah menjadi tugas utama dan menjadi syarat dalam setiap mata kuliah dan
kelulusan. Karya ilmiah menjadi tolok ukurinsan akademik dalam penerapan wawasan keilmuan
yang dimilikinya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
262
Makalah merupakan salah satu karya ilmiah yang membahas ilmu pengetahuan
berdasarkan kajian teoritis dan kajian lapangan. Dalam menulis makalah diperlukan
keterampilan menulis dan menerapkannya dalam tahapan awal penulisan. Sebelum kita menulis
makalah sebagai langkah awal kita menentukan tema dan pembatasan tema, langkah berikutnya
adalah menentukan tujuan dan mengumpulkan referensi yang berkaitan dengan judul. Setelah
itu kita membuat kerangka karangan.
Pendekatan sistem merupakan proses pemecahan masalah secara sistematis bermulai dari
John Dewey, seorang profesor filosofi dari colombia university. Ia mengidenfikasikan tiga seri
penelitian yang terlibat dalam memecahkan suatu kontroversi secara memadai. Peneliti merasa
penting memilih pendekatan sistem dalam pengembangan evaluasi keterampilan menulis
makalah karena dengan pendekatan sistem peneliti dapat mengetahui permasalahan di lapangan
yang merupakan hambatan dalam keterampilan menulis. Adapun langkah awal dari pendekatan
sistem adalah perencanaan, pelaksanaan, observasi untuk mengenali kontroversi, refleksi lalu
menimbang untuk memecahkan masalah, dan menentukan evaluasi yang tepat dengan
permasalahan.
Kajian Teori
Ihwal Menulis
Dalam menulis semua unsur keterampilan berbahasa harus dikonsentrasikan secara penuh
agar mendapatkan hasil yang benar-benar baik. Tarigan (1986: 15) menyatakan bahwa menulis
dapat diartikan sebagai kegiatan menuangkan ide/gagasan dengan bahasa tulis sebagai media
penyampai. Semi (2007:14) dalam bukunya mengungkapkan pengertian menulis adalah suatu
proses kreatif memindahkan gagasan kedalam lambang-lambang tulisan. Dari pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa menulis itu merupakan sebuah proses yang berkelanjutan
dimana gagasan yang ada dalam pikiran kita itu harus disusun kedalam bentuk tulisan yang
berupa lambang-lambag dan menghasilkan sebuah karya tulis yang bermakna dan mengandung
arti.
Menulis dapat didefinisikan sebagai penggunaan simbol-simbol grafis (huruf atau rangkaian
huruf yang berhubungan dengan suara yang kita buat yang umumnya terjadi bila kita berbicara),
yang dibagi menurut konvensi tertentu untuk membentuk kata-kata. Kata-kata tersebut
selanjutnya disusun dalam kalimat.
1. Tujuan Menulis
Menurut Semi (2007:14), “Setiap orang yang akan menulis tentu mempunyai niat atau
maksud didalam hati atau pikiran apa yang hendak dicapainya dengan menulis. Niat atau
maksud itulah yang dinamakan tujuan menulis.
Tujuan orang menulis adalah sebagai berikut:
a. Untuk menceritakan sesuatu
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
263
b. Untuk memberikan petunjuk atau pengarahan
c. Untuk menjelaskan sesuatu
d. Untuk Meyakinkan
e. Untuk merangkum
2. Faktor-faktor yang memengaruhi keterampilan menulis
Damono (1977) menyebutkan bahwa kebiasaan membaca, pengetahuan dasar tata bahasa,
dan penggunaan kamus merupakan faktor yang memengaruhi kemampuan dan keterampilan
menulis. Pelbagai informasi bisa diperoleh dari bacaan. Membaca merupakan kegiatan untuk
memperoleh pelbagai informasi. Informasi yang bisa memperkaya wawasan. Membaca
merupakan upaya agar bisa menulis karena dengan membaca akan memiliki gagasan-gagasan
yang akan dituangkan dalam bentuk tulisan. Kosa kata, cara penyusunan kalimat dan alinea,
penentuan gagasan, da gaya menulis bisa didapatkan melalui membaca.
Pengetahuan tata bahasa jelas merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan oleh seorang
penulis. Dalam buku-buku komposisi, pengetahuan dasar ketatabahasaan itu dapat kita
pelajari.Pada waktu membaca mungkin terdapat kata atau istilah yang kurang kita pahami, dari
kata atau istilah yang kurang kita pahami itu kita dapat menggunakan kamus sebagai pedoman
untuk menambah wawasan kita tentang kata dan istilah itu agar tidak salah tafsir. Kamus bahasa
dan ensiklopedi merupakan sumbangan besar bagi penulis.
3. Langkah-langkah menulis makalah adalah sebagai berikut.
a. Tahap Persiapan
1) Pemilihan Tema
2) Pembatasan Tema
3) Menentukan maksud dan tujuan penulisan
4) Menyusun Outline
b. Tahap Pengumpulan Data
c. Penyusunan instrument
d. Uji coba instrument
e. Pengumpulan data
f. Melakukan wawancara dengan nara sumber yang layak
g. Penyebaran angket
h. Tahap Analisis Data
1) Kualitatif
a) Identifikasi data
b) Klasifikasi data
c) Analisis data
d) Interpretasi data
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
264
e) Simpulan
2) Kuantitatif
i. Tahap penyusunan draft laporan
j. Menyajikan hasil studi pustaka.
k. hasil pengumpulan data
l. hasil analisis data
m. Simpula
n. Tahap Revisi
Tahapan menulis diatas harus dilaksanakan sebelum kita menulis karya ilmiah,
agar tulisan kita sistematis dan terarah. Hal tersebut dapat membantu penulis jika
terdapat kebakuan kata dalam penulisan karya ilmiah sehingga penulis tidak merasa
kesulitan dalam penulisan. Dalam menulis karya ilmiah perlu perencanaan yang dapat
menunjang keberlangsungan penelitian.
Karya Tulis Ilmiah
Karya ilmiah atau tulisan ilmiah adalah suatu karangan yang disusun secara sistematis dan
bersifat ilmiah. Sistematis berarti bahwa karangan atau karya tulis tersebut disusun menurut
aturan tertentu sehingga kaitan antara bagian-bagian tersebut sangat jelas dan padu. Bersifat
ilmiah, berarti bahwa karya tulis tersebut menyajikan satu deskripsi, gagasan, argumentasi atau
pemecahan masalah yang didasarkan pada berbagai bukti empirik atau kajian teoretis sehingga
para pembacanya dapat merunut atau mencari kebenaran bukti empirik atau teori yang
mendukung gagasan tersebut.
Menurut Brotowijoyo dalam Arifin (1993:2), karangan ilmiah adalah karangan ilmu
pengetahuan yang menyajikan fakta dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan
benar. Karangan ilmiah harus ditulis secara jujur dan akurat berdasarkan kebenaran tanpa
mengingat akibatnya. Kebenaran dalam karya ilmiah bukan merupakan kebenaran normatif,
melainkan kebenaran objektif dan positif sesuai dengan fakta dan data di lapangan.
Berdasarkan pengertian di atas, sebuah karya ilmiah dapat dikenali dari ciri-ciri seperti yang
disebutkan sebagai berikut.
a. Dari segi isi, karya ilmiah menyajikan pengetahuan yang dapat berupa gagasan,
deskripsi tentang sesuatu atau pemecahan suatu masalah.
b. Pengetahuan yang disajikan didasarkan pada fakta atau data (kajian empirik) atau pada
teori-teori yang telah diakui kebenarannya.
c. Sebuah karya ilmiah mengandung kebenaran yang objektif serta kejujuran dalam
penulisan.
d. Bahasa yang digunakan adalah bahasa baku dan banyak menggunakan istilah teknis, di
samping istilah-istilah yang bersifat denotatif.
e. Sistematika penulisan mengikuti cara tertentu.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
265
Makalah
Makalah merupakan salah satu karya ilmiah yang membahas suatu kajian ilmu berdasarkan
teoritis dan kajian lapangan disertai interpretasi penulis terhadap teori. Suatu makalah
dikategorikan baik jika makalah tersebut dapat memberikan manfaat dan dapat menyelesaikan
permasalahan. Syarat makalah yang baik salah satunya cermat, tepat waktu, sederhana dan jelas.
Seluruh insan akademik harus terampil dalam menulis makalah.
Seperti yang dikemukakan oleh Abidin (2010 hlm.39) Makalah adalah salah satu jenis karya
tulis ilmiah yang membahas satu permasalahan tertentu sebagai hasil kajian pustaka ataupun
kajian lapangan. Makalah disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas tertentu (tugas
akademik maupun tugas nonakademik). Sebagai sarana untuk mendemonstrasikan pemahaman
penulis tentang pokok permasalahan teoretis yang dikaji atau kemampuan penulis dalam
menerapkan suatu prosedur, prinsip, atau teori yang berhubungan dengan masalah
tertentu.Sebagai sarana untuk menunjukkan kemampuan pemahaman terhadap isi dari berbagai
sumber yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah, jadi bukan rangkuman.
1. Ciri-ciri makalah
Adapun ciri khusus makalah yang baik harus:
a. Data yang digunakan mempunyai validitas yang tinggi dan analisis serta interpretasi
haruslah objektif.
b. Makalah harus mampu menunjukkan kejujuran ilmiah penulis. Dalam hal ini, penulis
makalah harus menyebutkan dengan jelas sumber data dan pendapat yang digunakan
dalam makalahnya.
c. Makalah harus menggunakan bahasa yang jelas, tegas, singkat, sederhana, dan teliti.
d. Makalah harus sistematis dan utuh.
Fungsi penulisan makalah adalah untuk melatih mahasiswa agar terampil dalam menulis
karya ilmiah dan melatih mahasiswa agar terampil dalam berinterpretasi terhadap teori,
sehingga mahasiswa dapat memahami ilmu berdasarkan pemahaman bacaan.
2. Sistematika Makalah
Makalah harus memiliki sistematika yang benar. Menurut Abidin (2010 hlm.41) sistematika
makalah dibedakan berdasarkan jenis makalah. Sistematika makalah lengkap adalah sebagai
berikut.
Bagian Awal terdiri atas:
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar/Tabel/ Lampiran/ Lambang atau Singkatan (jika diperlukan)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
266
Bagian Isi, terdiri atas:
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Batasan Masalah
1.3 Masalah
1.4 Tujuan
1.5 Manfaat Makalah
1.6 Metode Penyusunan
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan/Kajian Teoretis
2.2 Pembahasan
BAB 3PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
Bagian Penutup terdiri atas
Daftar Pustaka
Lampiran (jika ada)
Sistematika yang diuraikan di atas merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan dan bolak-balik susunannya.
Pendekatan Sistem
Proses pemecahan masalah secara sistematis bermulai dari John Dewey, seorang profesor
filosofi dari Colombia University. Dewey mengidenfikasikan tiga seri penelitian yang terlibat
dalam memecahkan suatu kontroversi secara memadai.
1. Mengenali kontroversi
2. Menimbang klaim alternatif
3. Membentuk penilaian
Tahap-tahap dan langkah-langkah pendekatan sistem
Tahap I: Usaha Persiapan
Langkah 1: Memandang sekolah sebagai suatu sistem.
Langkah 2: Mengenali sistem lingkungan.
Langkah 3: Mengindentifkisi subsistem sekolah.
Tahap II: Usaha Definisi
Langkah 4: Bergerak dari tingkat sistem ke subsistem.
Langkag 5: Menganalisa bagian sistem-sistem dalam urutan tertentu
Tahap III: Usaha Solusi
Langkah 6: Mengidentifikasi solusi alternatif
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
267
Langkah 7: Mengevaluasi solusi alternatif
Langkah 8: Memilih solusi terbaik
Langkah 9: Menerapkan solusi terbaik
Langkah 10: Membuat tindak lanjut bahwa solusi itu efektif
Istilah sistem menurut KBBI adalah perangkat unsur yang secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Dengan demikian dalam sistem diperlukan
seperangkat komponen yang saling berkaitan dengan yang lainnya dalam mencapai suatu
maksud atau tujuan. Tujuan suatu sistem menurut Hamalik dapat bersifat alami dan bersifat
manusiawi. Tujuan yang alami tak mungkin menjadi tujuan-tujuan yang tinggi tingkatannya,
bahkan mungkin bernilai sangat rendah. Tujuan sistem yang bersifat manusiawi (man-made)
senantiasa dapat berubah. Tujuan-tujuan itu dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan lingkungan
yang senantiasa berubah, akibat perubahan lingkungan atau karena tujuan itu bersifat
perorangan (personal). Jadi perubahan sistem terjadi karena terdapat perubahan-perubahan di
lingkungan.
Pada akhir tahun 1950 dan awal 1960-an, pendekatan sistem mulai dipergunakan dalam
bidang latihan dan pendidikan (merumuskan masalah), analisis kubutuhan dengan maksud
mentransformasikannya menjadi tujuan-tujuan (analisis masalah), desain metode dan materi
instruksional (pengembangan suatu pemecahan), pelaksanaan secara eksperimental, dan
akhirnya menilai dan merevisi. Adapun desain sistem pengajaran menurut Hamalik adalah
sebagai berikut.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan/research and
developments (R&D). Penelitian R&D digunakan untuk menghasilkan produk pengembangan
evaluasi keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem, dan menguji keefektifan alat
evaluasi tersebut. Menurut Sugiyono (2011, hlm.297) untuk dapat menghasilkan produk tertentu
digunakan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan dan untuk menguji keefektifan produk
tersebut supaya dapat berfungsi di masyarakat luas, maka diperlukan penelitian untuk menguji
keefektifan produk tersebut.
Adapun alur penelitian R&D tersebut secara rinci diawali dengan kegiatan studi pustaka
lalu diteruskan dengan studi lapangan untuk melihat pola pembelajaran yang diterapkan selama
ini oleh dosen. Setelah melakukan analisis temukan, berikutnya peneliti mendesain model
pembelajaran yang akan dicobakan. Desain model diujicobakan ke sampel terbatas yang
ditetapkan, lalu dievaluasi dan diperbaiki bila masih terdapat kelemahan. Hasil evaluasi dan
perbaikan tersebut dijadikan sebagai model hipotetik. Model hopotetik berikutnya diterapkan
dalam pembelajaran di kelas sebagai pemberlakuan tahap pertama lalu dievaluasi den
disempurnakan bila dipandanng masih terdapat kekurangan atau kelemahan yang masih terdapat
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
268
kekurangan atau kelemahan yang masih muncul, berikutnya diterapkan kembali dalam
pembelajaran di kelas sebagai pemberlakuan tahap kedua, lalu dievaluasi dan disempurnakan
kembali bila masih terdapat kelemahan. Demikian seterusnya sampai penelitian tersebut
mendapatkan hasil yang diharapakan.
Data penelitian ini akan dikumpulkan melalui penulisan makalah dan observasi kegiatan
mahasiswa di kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Data tentang tanggapan
mahasiswa diambil dari penyebaran angket kepada mahasiswa. Penyebaran angket dilakukan
diawal pembelajaran, hal ini dilakukan agar menemukan permasalahan tetntang tahapan
menulis, tata tulis karya ilmiah dan penilaian makalah dari dosen, yang peneliti jadikan
rancangan model pengembangan evaluasi keterampilan menulis makalah dengan pendekatan
sistem.
Pengujian Perbedaan Antara Pretest dan Postest pada Ujicob1, Ujicoba2 Dan Ujicoba3,
menggunakan uji paired sample t tes, pada prinsipnya ingin menguji suatu nilai tertentu apakah
berbeda secara nyata (signifikan) atau tidak sebelum dan sesudah perlakuan. Pengambilan
keputusan pada uji t dua sampel berkaitan adalah dengan cara :
a. Membandingkan t hitung dengan t table. Jika statistic hitung > statistic table maka Ho
ditolak dan Ha diterima. Jika statistic hitung < statistic table maka Ho diterima dan Ha
ditolak
b. Berdasarkan nilai probabilitas. Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima dan Ha
ditolak. Jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. (Singgih Santoso,
2002 : 231 – 235).
Untuk memperoleh informasi tentang pengaruh pengembangan evaluasi keterampilan
menulis makalah dengan pendekatan sistem., dilakukan pengujian statistik paired sample t
–test.
Hasil dan Pembahasan
A. Pengembangan Evaluasi Keterampilan Menulis Makalah Dengan Pendekatan Sistem
Berdasarkan pada teori Hamalik penulis merancang pengembangan evaluasi keterampilan
menulis makalah dengan pendekatan sistem sebagai berikut.
1) Merumuskan tujuan sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui kendala mahasiswa dalam langkah-langkah menulis.
b. Untuk mengetahui kendala mahasiswa dalam menulis makalah.
c. Untuk mengetahui evalusi keterampilan menulis.
d. Dari temuan masalah dihasilkan alat evaluasi keterampilan menulis makalah dengan
pendekatan sistem yang merupakan pengembangan program.
2) Langkah awal dilakukan pre test menulis makalah dengan tema “Analisis Kesalahan
Berbahasa” dan post test dengan tema yang sama.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
269
3) Peneliti menentukan rangkaian materi Kegiatan Belajar dan Belajar (KBB) sebagai berikut.
a. Teori menulis dan langkah-langkah dalam menulis.
b. Karya tulis ilmiah dan Makalah
c. Tata Tulis Karya Ilmiah (TTKI)
d. Analisis Kesalahan Berbahasa
4) Diskusi materi dan praktik dalam penulisan makalah.
5) Melaksananakan kegiatan belajar dan belajar (KBB) dengan pendekatan sistem.
6) Pedoman perbaikan atau revisi, yang merupakan pengembangan alat evaluasi setelah
dilaksanakan perbaikan.
1. Langkah pembelajaran dengan pendekatan sistem adalah sebagai berikut.
a. Dosen mengenali permasalahan dalam menulis makalah dari hasil penilaian angket.
b. Dosen merancang pembelajaran dari permasalahan yang dikenali.
c. Dosen menerapkan metode pembelajaran yang telah dirancang.
d. Dosen melakukan evalusi dari uji coba I
e. Dosen melakukan perbaikan dari kekurangan uji coba I
f. Dosen melakukan evaluasi dari uji coba II
g. Dosen melakukan perbaikan dari uji coba II
h. Dosen melakukan evaluasi uji coba III.
i. Hasil dari ketiga uji coba yang dilakukan dianalisis dan dilakukan pengolahan data sesuai
dengan tahapan metode R&D
j. Dosen menemukan pengembangan alat evaluasi dari keterampilan menulis makalah
dengan pendekatan sistem
Berdasarkan pada temuan di lapangan peneliti menemukan pelbagai permasalahan dalam
menulis karya ilmiah, diantaranya sebagai berikut.
1) Mahasiswa mengetahui langkah-langkah menulis makalah, tapi dalam praktiknya kurang
memahami dengan alasan hanya materi saja yang diterima mahasiswa kemudian diberi
tugas dan tidak ada tindak lanjut dari tugas tersebut. Dari permasalahan ini peneliti
memutuskan untuk menggunakan evaluasi dalam tahap pra penulisan agar mahasiswa
termotivasi untuk melakukan kegiatan pra penulisan dan dilakukan perbaikan melalui
diskusi antara dosen, mahasiswa dan kelompok diskusi.
2) Mahasiswa mengetahui karya ilmiah namun dalam praktik penulisan karya ilmiah kurang
terampil. Dari permaslahan tersebut peneliti merasa penting untuk memberikan penilaian
draf makalah sebagai tahap pengembangan kerangka karangan yang telah dibuat dalam
tahap pra penulisan, sebagai upaya untuk memotivasi mahasiswa dalam pengembangan
keterampilan menulis.
3) Mahasiswa mengeluhkan tentang penulisan makalah, terkait dengan penilaian yang tidak
jelas. Pekerjaan yang tidak mudah, namun para mahasiswa jarang mendapat revisi dari hasil
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
270
tulisannya, sehingga para mahasiswa tidak mengetahui letak kesalahannya. Dan
permasalahan ini yang menjadikan mahasiswa terampil untuk copy paste sebagai jalan
pintas. Jika permasalahan ini berkelanjutan berakibat kemunduran khusunya di bidang
pendidikan. Peneliti merasa penting untuk mengembangkan evaluasi keterampilan makalah
dengan pendekatan sistem. Penilaian tersebut merupakan serangkaian kegiatan yang
berkelanjutan, adapun kriteria penialian makalah sebagai berikut.
Tahap Pra Penulisan (pre-writing)
a. Pemilihan Tema
b. Pembatasan Tema
c. Menentukan maksud dan tujuan penulisan
d. Menyusun Outline
Pada tahap pra penulisan para mahasiswa melakukan penulisan di kertas buram atau dalam
kertas HVS yang dibagikan oleh dosen, tema yang dipilih harus kajian yang digemari oleh
mahasiswa, hal dilakukan agar mempermudah mahasiswa ketika berkendala dalam tulisannya.
Setelah itu mahasiswa menginventarisasi topik-topik bawahan dan penentuan judul karya
ilmiah. setelah judul penentuan maksud dan tujuan yang harus relevan dengan judul. Kegiatan
terakhir dari pra penulisan adalah membuat kerangka karangan. Adapun skor dalam kegiatan
pra penulisan adalah 15% dengan rincian skor sebagai berikut.
NO ASPEK KATEGORI Skor KETERANGAN
1 Tema, judul dan
penentuan
maksud/tujuan.
A= jika tema,
orsinilitas judul
dan tujuan sangat
relevan.
B= jika tema dan
judul cukup
orsinil dan
relevan dengan
tujuan.
C= jika tema dan
judul kurang
orsinil dan
relevan dengan
tujuan
D= jika tema
7% dengan
rincian sebagai
berikut.
A=6-7
B=4,1-5,9
C=2,1-4
D=1-2
Penskoran
tersebut terlihat
dari penulisan di
kertas buram atau
kertas HVS
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
271
dan judul tidak
orsinil dan
relevan dengan
tujuan
2 Kerangka
Karangan
A= susunan runut
B= susunan
cukup runut
C= susunan
kurang runut
D= susunan tidak
runut
Skor 8%
dengan rincian
sebagai berikut.
A=6,1-8
B=4,1-6
C=2,1-4
D=1-2
Penskoran
tersebut terlihat
dari penulisan di
kertas buram atau
kertas HVS
Tahap Penulisan (writing)
Dalam tahap penulisan adalah membuat draf makalah dan pengembangan dari draf tersebut.
Dari draf yang ditulis oleh mahasiswa dalam kertas buram atau HVS dosen memberi masukan
dan kritikan mengenai bagaian-bagian yang harus ditambah dan bagian-bagian yang harus
dihilangkan. Setelah revisi draf makalah kemudian mahasiswa melakuan kegiatan penulisan.
Skor penilaian draf makalah adalah 15%.
Penulisan draf makalah harus sistematis, item-item yang harus ada dalam draf makalah
adalah sebagai berikut.
Bagian Awal terdiri atas:
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar/Tabel/ Lampiran/ Lambang atau Singkatan (jika diperlukan)
Bagian Isi, terdiri atas:
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Batasan Masalah
1.3 Masalah
1.4 Tujuan
1.5 Manfaat Makalah
1.6 Prosedur Makalah
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan/Kajian Teoretis (Teori yang relevan dengan judul)
2.2 Pembahasan ( pembahasan masalah berdasarkan teori)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
272
BAB 3 PENUTUP
3.1 Simpulan (berbentuk pointer relevan dengan rumusan masalah)
3.2 Saran
Bagian Penutup terdiri atas
Daftar Pustaka ( sejumlah pustaka yang digunakan di bab 2)
Lampiran (jika ada)
Adapun skor dalam kegiatan pra penulisan adalah 15% dengan rincian skor sebagai
berikut.
NO ASPEK KATEGORI SKOR KETERANGAN
1 Sistematik
makalah
A= Draf
makalah
sistematis
B= Draf makalah
cukup sistematis
C= Draf makalah
kurang sistematis
D= Draf
makalah tidak
sistematis
Skor 15%
dengan rincian
sebagai berikut.
A=10,6-15
B=7,1-10,5
C=4,1-7
D=1-4
Penskoran
tersebut terlihat
dari penulisan di
kertas buram atau
kertas HVS
Tahap Hasil Penulisan (post-writing)
Dalam tahap post writing, penilaian pada hasil penulisan atau makalah jadi. Adapun aspek
penilaian terdiri dari beberapa butir, adalah sebagai berikut.
Penggunaan Bahasa
a. Ejaan
b. Pilihan kata
c. Struktur kalimat
d. Paragraf
e. Gaya bahasa
Isi dan Penalaran
a. Keruntutan
b. Pengembangan isi
c. Relevansi argumentasi
d. Kedalaman argumentasi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
273
Penutup
a. Simpulan relevansi dari rumusan masalah
b. Saran baik praktis maupun teoritis
Simpulan dan Saran
Simpulan
Keterampilan menulis yang menjadi pedoman peneliti adalah menggunakan kriteria
penilaian dari Jacob (Shihabudin). Aspek yang dinilai dari keterampilan menulis adalah
penggunaan bahasa yang meliputi: ejaan, pilihan kata, struktur kalimat, paragraf, gaya bahasa.
isi dan penalaran meliputi: keruntutan; pengembangan isi; relevansi argumentasi; kedalaman
argumentasi.
Langkah Pembelajaran Pendekatan Sistem
1) Dosen mengenali permasalahan dalam menulis makalah dengan menyebarkan angket.
2) Dosen merancang pembelajaran dari permasalahan yang dikenali.
3) Dosen menerapkan metode pembelajaran yang telah dirancang.
4) Dosen melakukan evalusi dari uji coba I
5) Dosen melakukan perbaikan dari kekurangan uji coba I
6) Dosen melakukan evaluasi dari uji coba II
7) Dosen melakukan perbaikan dari uji coba II
8) Dosen melakukan evaluasi uji coba III
9) Hasil dari ketiga uji coba yang dilakukan dianalisis dan dilakukan pengolahan data sesuai
dengan tahapan metode R&D
10) Dosen menemukan pengembangan alat evaluasi dari keterampilan menulis makalah dengan
pendekatan sistem
Pengembangan evaluaasi menulis makalah dengan pendekatan sistem
1) Tahap Pra Penulisan (pre-writing)
a. Pemilihan Tema
b. Pembatasan Tema
c. Menentukan maksud dan tujuan penulisan
d. Menyusun Outline
Pada tahap pra penulisan para mahasiswa melakukan penulisan di kertas buram atau dalam
kertas HVS yang dibagikan oleh dosen, tema yang dipilih harus kajian yang digemari oleh
mahasiswa, hal dilakukan agar mempermudah mahasiswa ketika berkendala dalam tulisannya.
Setelah itu mahasiswa menginventarisasi topik-topik bawahan dan penentuan judul karya
ilmiah. setelah judul penentuan maksud dan tujuan yang harus relevan dengan judul. Kegiatan
terakhir dari pra penulisan adalah membuat kerangka karangan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
274
2) Tahap Penulisan (writing)
Dalam tahap penulisan adalah membuat draf makalah dan pengembangan dari draf tersebut.
Dari draf yang ditulis oleh mahasiswa dalam kertas buram atau HVS dosen memberi masukan
dan kritikan mengenai bagaian-bagian yang harus ditambah dan bagian-bagian yang harus
dihilangkan. Setelah revisi draf makalah kemudian mahasiswa melakuan kegiatan penulisan.
Skor penilaian draf makalah adalah 15%.
3) Tahap Hasil Penulisan (post writing)
Dalam tahap post writing, penilaian pada hasil penulisan atau makalah jadi. Adapun aspek
penilaian terdiri dari beberapa butir, adalah sebagai berikut.
Penggunaan Bahasa
a. Ejaan
b. Pilihan kata
c. Struktur kalimat
d. Paragraf
e. Gaya bahasa
Isi dan Penalaran
a. Keruntutan
b. Pengembangan isi
c. Relevansi argumentasi
d. Kedalaman argumentasi
Penutup
4) Simpulan relevansi dari rumusan masalah
5) Saran baik praktis maupun teoritis
1. Perbedaan Pretest dengan Postest
Adapun pengujian hipotesisnya menggunakan two-tiled (2 arah) dengan hipotesis :
Ho : μ1 = μ2
Ha : μ1 ≠ μ2
Ho : Tidak terdapat perbedaan nilai tes peserta didik antara
sebelum dan sesudah pelaksanaan pembelajaran
keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem
setelah seluruh ujicoba dilakukan
Ha : Terdapat perbedaan nilai tes peserta didik antara sebelum
dan sesudah pelaksanaan pembelajaran keterampilan
menulis makalah dengan pendekatan sistem setelah seluruh
ujicoba dilakukan
Kriteria pengambilan keputusan menggunakan α = 5% :
Jika t hitung > t tabel atau nilai probabilitas (sig) ≤ 0,05 maka Ho ditolak
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
275
Jika t hitung > t tabel nilai probabilitas (sig) ≥ 0,05 maka Ho diterima
Hasil perhitungan disajikan dalam tabel sebagai berikut :
Berdasarkan pengujian statistik uji t (paired sample t –test), tercatat nilai rata-rata Pretest
(tanpa perlakuan dalam keterampilan menulis makalah) diterapkan adalah 2,15 dengan jumlah
mahasiswa 38orang, sementara nilai rata-rata tes mahasiswa setelah semua model diterapkan
(postest)dalam pendekatan sistem dalam keterampilan menulis makalah diterapkan adalah 3,60.
Berarti ada peningkatan nilai rata-rata hasil belajar peserta didik setelah pendekatan sistem
diterapkan.
Berdasarkan perhitungan, diperoleh nilai probabilitas (sig) pada df=37 adalah 0,000 < 0,05
dan t hitung = 62,325 > t tabel = 2,026 pada α = 5%. Dengan demikian berarti ada perbedaan
yang sangat berarti (sangat signifikan) nilai tes peserta didik antara sebelum dan sesudah
pelaksanaan model pendekatan sistem dalam keterampilan menulis makalah. Dengan demikian
terdapat pengaruh yang berarti pendekatan sistem yang digunakan dalam keterampilan menulis
makalah.
Secara keseluruhan penerapan model pendekatan sistem dalam keterampilan menulis
makalah adalah sebagai berikut :
Tabel
Perbandingan Rata-rata Keseluruhan
Perlakuan Rata-rata Persentase
Kenaikan
Pair 1 Pretest 2,1539
Ujicoba1 2,8000 23%
Series1, pretest, 2.15
Series1, ujicoba1, 2.80
Series1, ujicoba2, 3.18
Series1, ujicoba3, 3.35
Series1, postest, 3.60
grafik perbandingan rata-rata skor
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
276
Pair 2 Pretest 2,1539
Ujicoba2 3,1842 32%
Pair 3 Pretest 2,1539
Ujicoba3 3,3487 36%
Pair 4 Pretest 2,1539
Postest 3,6011 40%
Berdasarkan tabel maka terdapat kenaikan yang berarti dari setiap perlakuan. Sebelum
model pendekatan sistem diterapkan, nilai rata-rata mahasiswa sebesar 2,153 dan pada
penerapan model ujicoba1 nilai rata-rata mahasiswa menjadi 2,800 atau megalami kenaikan
23%. Pada penerapan model pendekatan sistem ujicoba2 nilai mahasiswa meningkat menjadi
3,18 atau 32%. Berikutnya pada penerapan model pendekatan sistem ujicoba3 nilai mahasiswa
menjadisebesar 3,34 atau meningkat 36%. Setelah seluruh model diterapkan maka nilai
mahasiswa menjadi 3,60 atau atau meningkat 40%, sehingga memenuhi nilai yang diharapkan
(ideal).
Saran
1) Penelitian ini merupakan langkah awal dari pengembangan R&/D tentang pengembangan
evaluasi keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem sehingga hasil penelitian
ini dapat digunakan sebagai acuan dalam evaluasi keterampilan menulis makalah.
2) Disarankan kepada peneliti untuk melakukan pengembangan keterampilan menulis berbasis
keterampilan proses dengan pendekatan sistem.
Daftar Pustaka
Arifin, Z. (2002). Dasar-dasar Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Grasindo
Ary, D. dkk. (2007). Pengantar penelitian dalam pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Brown, H. D. (2008). Edisi kelima prinsip pembelajaran dan pengajaran bahasa.Jakarta:
Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Creswell, J.W. (2002). Research design: desain penelitian qualitative &quantitative
approaches. Pendekatan kualitatif. Alihbahasa angkatan III&IV KIK-UI dan bekerjasama
dengan Nur Khabibah.Jakarta: KIK Press.
Elfindri, dkk. (2010). Soft Skilluntuk pendidik. (Tidak ada): Baduose Media.
Fathurrohman, P. & Sobry S. (2007). Strategi belajar mengajar strategi mewujudkan
pembelajaran bermakna melalui penanaman konsep umum & konsep islami. Bandung:
Refika Aditama.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
277
Iskandarwassid & Dadang S. (2008). Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Joyce, Bruce dkk. (2009). Models of Teaching Model-Model Pengajaran Edisi Delapan:
Terjemahan Models of Teaching oleh Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
LPMP SMA Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas.
Muslich, M. (2011). Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimentional.
Jakarta: Bumi Aksara.
Nurgiyantoro, B.(2010). Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis Kompetensi. Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta.
Semi, M. A. (2007). Dasar-dasar keterampilan menulis. Bandung: Angkasa.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, N.S. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.
Tarigan, H.G. (1993). Strategi Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. Cetakan ke-1. Bandung:
Angkasa.
Tarigan, H. G. (2000). Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Cetakan ke-6.
Bandung: Angkasa.
Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi
Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
278
PERAN KOMUNITAS SASTRA DALAM MENGEMBANGKAN EKONOMI KREATIF
Mukodas
Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak
Komunitas merupakan gudangnya ide kreatif. Ada banyak pemikiran jernih yang
dicetuskan ketika sekelompok manusia berembuk bersama. Salah satunya adalah
mencari cara untuk tetap bertahan hidup. Beberapa komunitas kemudian
mengembangkan bisnis dalam bidang ekonomi kreatif. Makalah ini mengambil sample
dua komunitas sastra, Komunitas KCCI (Kumpulan Cerpen Cerbung dari Bandung dan
Komunitas Arteri (Art dan Literasi) dari Bogor. Hal ini didasari karena komunitas
arteri telah menerbitkan beberapa buku antologi. “Bogor dalam Komposisi” yang
merupakan buku antologi puisi dari Arteri, dan “Antologi Cerpen Ababil”, “Cerita
Kita”, “Tentang Bulan”, “Dongeng Suka-suka”, dan “Mitologi Negeri Fantasi” yang
merupakan antologi cerita pendek dari KCCI. Makalah ini lantas diberi judul “Peran
Komunitas Sastra dalam Mengembangkan Ekonomi Kreatif”. Penelitian ini bertujuan
untuk memaparkan partisipasi komunitas sastra dalam mengembangkan ekonomi
kreatif dan kendala-kendala yang dihadapi komunitas.
Kata kunci : komunitas, sastra, ekononomi kreatif
Pendahuluan
Senang berkelompok adalah sifat dasar manusia, atau disebut juga dengan makhluk
sosial. Ketika sekelompok orang berkumpul dan memiliki pandangan yang sama, maka piluhan
terbaik adalah dengan membuat komunitas yang menaunginya. Hal ini pun bertujuan untuk
lebih terjalin kerja sama yang berkelanjutan sesuai dengan visi dan misi.
Komunitas di Indonesia kini seperti jamur di musim penghujan. Jumlah yang diketahui
pun tak ubahnya puncak gunung es. Hal ini disebabkan kegemaran yang beragam dari setiap
kelompok. Ditambah dengan menciptakan komunitas baru adalah hal yang mudah.
Secara teori, pengertian komunitas mengacu pada sekumpulan orang yang saling berbagi
perhatian, masalah, atau kegemaran terhadap suatu topik dan memperdalam pengetahuan serta
keahlian mereka dengan saling berinteraksi secara terus menerus (Wenger dalam Septiana 2007:
12).
Komunitas terbentuk akibat dari persamaan minat antara individu yang kemudian
membuat suatu wadah untuk mengaspirasikan minat mereka. Setiap komunitas mempunyai ciri
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
279
khas masing-masing yang membedakan mereka dengan komunitas lain. Ciri khas tersebut
terletak pada ruang lingkup komunitas, minat, maupun tempat komunitas tersebut berada.
Keberadaan sebuah komunitas sangat ditentukan oleh aktivitas anggota, karena sumber
kekuatan utama dari komunitas adalah sumber daya manusia. Pada umumnya komunitas
mempunyai visi dan misi yang akan dicapai, dan mereka membuat suatu program untuk
menunjang visi dan misi tersebut. Program tersebut dijadikan alat untuk mengembangkan
komunitas mereka atau hanya sekadar untuk mempertahankan eksistensi.
Komunitas Sastra
Komunitas yang banyak memiliki beragam jenis. Salah satunya adalah komunitas sastra.
Ada banyak alasan mengapa pemakalah memfouskan masalah sastra sebagai bahan untuk dikaji
lebih jauh. Pada dasarnya sastra adalah hasil dari kebudayaan masyarakat. Produk-produk sastra
pun lebih memasyarakat. Yang dikenal oleh kalangan masyarakat adalah novel.
Komunitas sastra pun bisa dijadikan sebagai pelopor dalam menyokong ekonomi kreatif
dalam memperkenalkan produk sastra itu sendiri. Menurut Howkins, Ekonomi Kreatif adalah
kegiatan ekonomi dimana input dan outputnya adalah gagasan. Esensi dari kreativitas adalah
gagasan itu sendiri. Terlebih komunitas merupakan gudangnya ide kreatif.
Ada 14 subsektor yang dipetakkan oleh departemen perdagangan RI. Keempat belas
tersebut adalah (1) periklanan, (2) arsitektur, (3) pasar barang seni, (4) kerajinan, (5) desain, (6)
fashion (7) video, film, fotografi, (8) permainan interaktif, (9) musik, (10) industri
pertunjukkan, (11) penerbitan dan percetakan, (12) layanan komputer dan piranti lunak, (13)
televisi dan radio,terakhir (14) penelitian dan pengembangan.
Dalam makalah ini akan difokuskan pada bagian penerbitan dan percetakan. Sebenarnya
subsektor yang lain pun bisa dilakukan seperti insustri pertunjukan. Pertunjukan drama yang
utama, sebab drama tak bisa dikatakan drama jika naskahnya saja. Harus dipertunjukkan. Film
pun bisa saja seperti film yang diangkat dari karya sastra seperti kebanyakan film box office.
Tetapi untuk lebih memfokuskan pembahasan, pemakalah akan membatasi pada ekonomi
kreatif subsektor penerbitan dan percetakan.
Penerbitan adalah kegiatan intelektual dan profesional dalam menyiapkan naskah,
menyunting naskah, menghasilkan berbagai jenis bahan publikasi kemudian memperbanyak
serta menyebarluaskannya untuk kepentingan umum. Penerbitan merupakan proses panjang
yang melibatkan banyak waktu dan orang untuk mengolah naskah sampai berbentuk enak
dibaca.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
280
Ada dua macam penerbit ketika seseorang ingin mewujudkan naskahnya. Penerbit mayor
dan penerbit indie. Penerbit mayor adalah penerbit yang menerbitkan karya dengan
menanggung biaya percetakan dan biaya distribusi. Contohnya adalah penerbit gramedia atau
bentang.
Proses dalam penerbitan di sini adalah penulis mengirim naskah, editor memilih naskah
yang menarik untuk diterbitkan, bagian administrasi membagi-bagi kriteria penggolongan
naskah, pemasaran memilah kembali naskah-naskah mana yang potensial laris di pasar, bagian
lay outer merapikan naskah yang sudah fix, dan terakhir bagian produksi yang menyeleksi
naskah yang berprioritas terlebih dahulu untuk dicetak.
Penerbit indie lebih sederhana. Ibarat kita adalah penjual pisang goreng secara mandiri.
Kita yang membuat, kita yang memproduksi, dan kita yang memasarkan. Secara kasarnya, dana
disediakan oleh penulis itu sendiri. Keuntungannya adalah sejelek apapun tulisan yang
dihasilkan, pasti diterbitkan. Sehingga akan menjadi ladang untuk pembelajaran.
Masalah yang ditemukan berkaitan dengan penyediaan dana oleh penulis. Jika tulisannya
bagus tetapi tidak punya modal, tulisan yang bagus tersebut hanya bisa dinikmati sebagian
kalangan. Sebaliknya, jika tulisan yang dihasilkan termasuk ke dalam kategori buruk sedangkan
memiliki modal besar, maka buku indie yang bertebaran adalah buku yang buruk. Faktanya,
orang awam akan menggeneralisasikan bahwa buku indie adalah buku yang tidak baik.
Ekonomi Kreatif Komunitas Sastra
Produk buku yang paling mudah diterbitkan adalah kumpulan cerpen atau antologi puisi
bersama dengan menggunakan penerbit indie. Komunitas adalah gudangnya ide kreatif.
Begitupun dalam berkarya, komunitas memiliki peranan penting untuk menyokong kemampuan
tersebut.
Ketika pemakalah masih sedang bergerak di Komunitas KCCI (Kumpulan Cerpen
Cerbung Indie), ada banyak buku kumpulan cerpen yang telah diterbitkan. “Antologi Cerpen
Ababil”, “Cerita Kita”, “Tentang Bulan”, “Dongeng Suka-suka”, dan “Mitologi Negeri
Fantasi”. Naskah-naskah tersebut diambil dari karya-karya anggota komunitas.
Yang menjadi kendala dalam penerbitan oleh komunitas ini adalah ruginya karya yang
bagus menjadi sebatas konsumsi pribadi. Penerbitan dalam buku-buku tersebut menggunakan
penerbit indie dan dilakukan penggalangan dana secara patungan. Sehingga ketika setelah terbit
pun yang memiliki buku tersebut adalah kontributor yang menulis, dan ketika dipasarkan tidak
terlalu laku. Hingga pada akhirnya komunitas tersebut pun sejak tahun 2012 tidak kembali
membuat buku antologi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
281
Selanjutnya ketika pemakalah aktif di Komunitas Arteri (art dan literasi) berhasil
menerbitkan buku antologi puisi berjudul “Bogor dalam Komposisi”. Penerbitan ini
bekerjasama dengan penerbit mayor bernama Kapas Publishing. Kontributor pada buku ini
diberikan secara cuma-cuma sebagai reward telah berpartisipasi sebagai penulis.
Kendala yang ditemukan adalah kontrak kerja sama MoU yang sulit ditemukan titik
temunya ole kedua belah pihak. Di sisi lain, masa tunggu penerbitan pun memakan waktu yang
lama, sedangkan para anggota komunitas seakan tidak sabar menantikan kepastian terbit atau
tidaknya buku yang mereka tulis. Di sisi lain, penerbit lebih menyukai buku-buku sastra
bergenre novel daripada antologi cerpen atau antologi puisi.
Kesimpulan
Komunitas adalah gudangnya ide kreatif. Pada dasarnya komunitas sastra mampu
berkontribusi dalam memajukan ekonomi kreatif di Indonesia. Yang dibutuhkan adalah
dorongan dan sokongan pihak-pihak luar dalam membangun dan memotivasi komunitas agar
tidak surut. Salah satunya adalah bagian penerbitan dan percetakan. Komunitas sastra memiliki
peranan penting sebagai peletupan semangat agar terus berkarya. Sedangkan pihak luar
semestinya mendukung dengan cara membeli atau bahkan ikut mendanai penerbitan jika
dikelola penerbit indie.
Daftar Pustaka
Kelompok Kerja Indonesia Design Power – Departemen Perdagangan. (2008). Pengembangan
Ekonomi Kreatif Indonesia 2025. Jakarta :Departemen Perdagangan Republik Indonesia.
Naibaho, Kalerensi. (2007). Menciptakan Generasi Literat Melalui Perpustakaan. Esai: Tidak
diterbitkan.
Syahid, Muhammad. (2014). Pengantar Ilmu Penerbitan. Paper : Tidak diterbitkan.
Simatupang, Togar M. (2008). Perkembangan Industri Kreatif. Makalah : Tidak diterbitkan.
Affif, Faisal. (2012). Pilar-Pilar Ekonomi Kreatif. Jurnal : Rangkaian Kolom Kluster I, 2012.
Septiana, Ratri Indah. (2007). Perkembangan Perpustakaan Berbasis Komunitas: Studi Kasus
pada Rumah Cahaya, Melati Taman Bacadan Kedai Baca Sanggar Barudak. Skripsi :
Tidak diterbitkan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
282
TINDAK TUTUR ILOKUSI DIREKTIF
DALAM SIDANG GUGATAN CERAI
DI PENGADILAN AGAMA KOTA SUKABUMI
Nenden Liska Gipari
Pascasarjana Linguistik Umum, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjajaran
Abstrak
Kegiatan komunikasi manusia melibatkan bahasa berupa tindak tutur verbal yang
dapat menimbulkan berbagai tafsiran. Tindak tutur yang sama dapat ditafsirkan
sebagai dua macam tindak tutur yang berbeda. Tidak hanya tindak tutur dalam
kehidupan sehari-hari saja yang dapat menimbulkan berbagai persepsi, tindak
tutur dalam ranah khusus seperti ranah hukum juga dapat menimbulkan persepsi
yang berbeda-beda pula. Salah satu bentuk kegiatan hukum yang akan
menimbulkan berbagai persepsi adalah tindak tutur yang terjadi pada sidang
gugatan cerai di pengadilan agama karena melibatkan tindak tutur sebagai bentuk
argumentasi dari berbagai pihak, yakni hakim, pengacara, penggugat, tergugat,
dan para saksi.Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud tindak tutur
ilokusi direktif yang terdapat dalam sidang gugatan cerai di Pengadilan Agama
Kota Sukabumi. Metode dalam tulisan ini dilakukan dengan tiga tahapan, yakni
pegumpulan data, analisis data, dan penulisan hasil data.Wujud tuturan ilokusi
direktif dalam sidang gugatan cerai di Pengadilan Agama Kota Sukabumi
memiliki dua pola, yaitu (1) direktif – perintah dan (2) direktif – penawaran. Pola
pertama memiliki lima kalimat yang terdiri dari satu kalimat tidak langsung dan
empat kalimat langsung, sedangkan pola kedua memiliki satu kalimat dengan
bentuk tidak langsung.
Kata kunci: tindak tutur, direktif, dan pragmatik
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari kegiatan komunikasi. Komunikasi
memerlukan bahasa sebagai perantaranya. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat
menyampaikan gagasan berupa perasaannya kepada lawan tutur. Dengan segala aspek,
bahasa telah memfasilitasi manusia untuk menjalankan peran sebagai individu ataupun
kelompok masyarakat. Bahasa yang digunakan seseorang tentu saja harus dapat dipahami
oleh lawan tuturnya. Dengan kata lain, pemahaman yang baik terhadap informasi yang
terkandung di dalam peristiwa tutur akan terwujud jika lawan tutur sama-sama memiliki
kemampuan untuk melakukan encode atas apa saja yang ingin disampaikannya melalui
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
283
decode terhadap bentuk bahasa lawan tuturnya sehingga ia dapat menangkap pesan berupa
informasi yang disampaikan lawan tuturnya.
Kegiatan komunikasi akan melibatkan bahasa berupa tindak tutur verbal yang dapat
menimbulkan berbagai tafsiran seperti yang dikemukakan George Yule dalam bukunya
yang berjudul “Pragmatics” Tindak tutur yang sama dapat ditafsirkan sebagai dua macam
tindak tutur yang berbeda. Terdapat lebih banyak yang ditemukan dalam penafsiran tindak
tutur daripada makna yang terdapat dalam tindak tutur itu sendiri (Yule, 1996: 83). Yule
membagi jenis tindak tutur ke dalam tiga bagian, yaitu tindak ilokusi, tindak lokusi, dan
tindak perlokusi, sedangkan klasifikasi tindak tutur berdasarkan fungsinya dibagi menjadi
lima bagian yaitu deklarasi, representasi, ekspresif, direktif, dan komisif. (Yule, 2014: 92).
Ada perdebatan panjang mengenai keefektifan bahasa yang berdampak pada hukum
karena bahasa hukum yang digunakan di Indonesia saat ini tidak sesuai dengan kaidah
baku, selain itu bahasa yang digunakan cenderung sulit untuk dipahami sehingga dapat
menimbulkan berbagai celah untuk membuat orang berlindung dalam suatu pasal tertentu
untuk menutupi kesalahannya. Kajian kebahasaan mengenai bahasa berdampak hukum
selalu dilihat dari aspek kesalahan berbahasa, padahal hal tersebut akan menarik jika dikaji
dari sudut pandang lain, seperti aspek penggunaan bahasa dalam ranah pragmatik yang
dapat menimbulkan berbagai tafsiran, yang selama ini belum tersentuh oleh penelitian pada
umumnya.
Salah satu bentuk kegiatan hukum yang akan menimbulkan berbagai tafsiran adalah
tindak tutur yang terjadi pada sidang gugatan cerai di pengadilan agama karena melibatkan
tindak tutur sebagai bentuk argumentasi dari berbagai pihak, yakni hakim, pengacara,
penggugat, tergugat, dan para saksi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam mengenai tindak tutur ilokusi direktif pada sidang gugatan cerai di Pengadilan
Agama Kota Sukabumi untuk mengetahui berbagai tafsiran yang muncul dari sebuah
tindak tutur. Selain itu Pengadilan Agama Kota Sukabumi merupakan pengadilan agama
pusat yang mengurus berbagai kasus yang datang dari seluruh wilayah kota Sukabumi
sehingga kasus yang ditangani sangat beragam dan berasal dari berbagai jenis latar
belakang pendidikan dan pekerjaan.
Sidang cerai yang diajukan penggugat perempuan diangkat sebagai tema karena
jumlah penggugat perempuan lebih banyak dibandingkan penggugat laki-laki sehingga data
yang dijaring akan semakin banyak. Contohnya dalam persidangan di Pengadilan Agama
Kota Sukabumi pada tanggal 11 februari 2015, terdapat tiga belas sidang yang dilakukan
dan delapan di antaranya diajukan oleh penggugat perempuan. Proses sidang perceraian
berbeda dengan sidang pidana di pengadilan negeri. Hal tersebut disebabkan perbedaan
pada bentuk kasus yang akan menghasilkan putusan yang berbeda pula. Proses persidangan
di pengadilan agama memiliki rentan waktu antara tiga sampai dua puluh menit. Hal
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
284
tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari kehadiran pihak penggugat, tergugat,
saksi, dan pengacara hingga agenda sidang apa yang sedang di bawakan.
Bahasa merupakan media yang sangat penting dalam proses komunikasi di
pengadilan untuk meluruskan masalah yang terjadi dalam rumah tangga penggugat dan
tergugat. Bahasa bisa mengantarkan pihak penggugat dan tergugat untuk rujuk kembali,
namun bahasa juga bisa membuat masalah semakin meruncing apabila maksud dan tujuan
penggugat ataupun tergugat tidak tersampaikan dengan baik. Oleh karena itu penulis akan
mengkaji mengenai wujud tindak tutur ilokusi direktif untuk mengetahui maksud
sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penuturnya agar tidak menimbulkan kesalahan
persepsi bagi lawan tutur.
1.2 Masalah
Berdasarkan paparan pada latar belakang, masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana
wujud tindak tutur ilokusi direktif yang terdapat dalam sidang gugatan cerai di Pengadilan
Agama Kota Sukabumi?
1.3 Tujuan
Sesuai dengan masalah yang telah disebutkan di atas, tulisan ini bertujuan untuk
mendeskripsikan wujud tindak tutur ilokusi direktif yang terdapat dalam sidang gugatan
cerai di Pengadilan Agama Kota Sukabumi.
1.4 Metode
Metode dalam tulisan ini dilakukan dengan tiga tahapan, yakni pegumpulan data,
analisis data, dan penulisan hasil data. Pada pengumpulan data digunakan metode simak.
Dalam hal ini penulis menyimak dan mencermati tindak tutur ilokusi direktif yang
digunakan pada data. Selanjutnya, data dicatat, diklasifikasikan, dan dianalisis (Sudaryanto,
2001: 4).
1.5 Sumber Data
Sumber data tulisan ini berupa hasil transkrip dari data lisan yang direkam oleh peneliti
pada saat proses sidang gugatan cerai di Pengadilan Agama Kota Sukabumi berlangsung.
Data yang diperoleh berasal dari tindak tutur penggugat perempuan yang menyatakan
permohonan perceraian terhadap majelis hakim dan tergugat di Pengadilan Agama Kota
Sukabumi. Data tersebut diambil pada tanggal 11 Februari 2015 dengan menggunakan
digital voice recorder sebagai alat perekamnya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
285
2. Kerangka Teori
Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.I. Austin,
seorang guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1959. Leech (1993: 5-6) menyatakan
bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan;
menanyakan apa yang seorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan
makna dengan siapa berbicara pada siapa, di mana, dan bagaimana. Tindak tutur merupakan
entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga dasar bagi analisis topik-topik lain
di bidang ini, seperti praanggapan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip
kesantunan.
Sementara itu, Austin (dalam Leech, 1993: 280) menyatakan bahwa semua tindak tutur
adalah sebuah bentuk tindakan dan tidak sekadar sesuatu tentang dunia tindak tutur dan
tutur (speech act) adalah fungsi bahasa sebagai sarana petindak. Semua kalimat atau ujaran
diucapkan oleh penutur sebenarnya mengandung fungsi komunikatif tertentu. Berdasarkan
pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa mengujarkan sesuatu dapat disebut sebagai
aktivitas atau tindakan. Hal tersebut dimungkinkan karena terdapat maksud tertentu yang
berpengaruh pada orang lain.
Leech (1993: 13) menyatakan bahwa pragmatik erat kaitannya dengan tindak tutur
karena pragmatik menelaah makna yang berkaitan dengan situasi tindak tutur. Tindak tutur
merupakan bagian dari pragmatik, sedangkan pragmatik berkaitan erat dengan performansi
linguistik. Dengan demikian, dapat dideskripsikan bahwa tindak tutur merupakan bagian
dari performansi linguistik.
Istilah tindak tutur (speech act) tidaklah merujuk hanya pada tindakan berbicara saja,
tetapi merujuk pada keseluruhan situasi komunikasi, termasuk di dalamnya konteks ucapan
(yaitu situasi di mana wacana terjadi, para partisipannya dan semua interaksi verbal atau
fisik yang terjadi sebelumnya) serta ciri-ciri paralinguistik yang bisa memberikan kontribusi
bagi makna dari interaksi (Black, 2011: 37).
Beranjak dari pemikiran Austin (1962), Searle (1969) menyatakan bahwa secara
pragmatis dalam praktik penggunaan bahasa setidak-tidaknya terdapat tiga jenis tindakan
yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni (1) tindak lokusi (locutionary acts), (2)
tindak ilokusi (illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary acts).
Tindak lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan
makna yang dikandung di dalamnya (Rahardi, 2000: 32). Tindak tutur lokusi adalah tindak
tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut the act of saying something.
Tindak lokusi menghasilkan ucapan yang tertata baik menurut tata bahasa yang sedang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
286
digunakan penutur (Black, 2011: 38). Menurut Wijana (1996: 18), Wijana dan Rohmadi
(2009: 20). Tindak lokusi adalah tindak tutur yang relatif paling mudah untuk diidentifikasi
karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tindak
tutur yang tercakup dalam situasi tutur. Dengan kata lain, tindak lokusi tidak
dipermasalahkan maksud dan fungsi tindak tutur yang disampaikan penutur. Pada tindak
tutur ruangan ini panas, misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberi tahu
mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tindak tutur itu ruangan dalam keadaan panas.
Sebuah tindak tutur bukan hanya berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan
sesuatu, melainkan juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Bila hal ini terjadi, tindak
tutur yang terbentuk adalah tindak ilokusi. Menurut Rahardi (2000: 33) tindak ilokusi
adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini
disebut the act of doing something. Tindak tutur ruangan ini panas yang diucapkan penutur
bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberi tahu mitra tutur bahwa pada saat
dituturkannya tindak tutur itu ruangan tempat penutur berada memiliki suhu udara yang
tinggi, melainkan lebih dari itu. Penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan
tertentu seperti menyalakan kipas angin atau membuka jendela.
Yule (1996: 92) mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi ke dalam lima fungsi umum,
yaitu tindak tutur deklarasi, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif.
Direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain
melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur.
Tindak tutur ini meliputi perintah, pemesanan, permohonan, atau pemberian saran, dan
bentuknya dapat berupa kalimat positif atau negatif. Sebagai contoh:
X : Dapatkah Anda meminjami saya sebuah pena?
X : Jangan sentuh itu!
Tindak tutur dibedakan berdasarkan wujudnya menjadi dua jenis yaitu tindak tutur
langsung dan tindak tutur tidak langsung. Leech (2011:19) mengungkapkan bahwa
pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar. Untuk memperjelas
batasan ini terlebih dahulu dapat disimak pada kalimat berikut:
- Letaknya jauh dari kota
- Temboknya baru dicat
Kalimat di atas merupakan kalimat deklaratif yang berfungsi menginformasikan
sesuatu, yakni ‘tempat penutur jauh dari kota’ dan ‘tembok yang sedang dibicarakan baru
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
287
dicat’. Akan tetapi, bila konteks keberadaan kalimat itu dipertimbangkan secara saksama,
kedua kalimat di atas memungkinkan untuk dipergunakan dalam menyatakan berbagai
maksud.
3. Hasil dan Pembahasan
Tindak tutur ilokusi direktif yang digunakan dalam sidang gugatan cerai di Pengadilan
Agama Kota Sukabumi memiliki wujud sebagai berikut.
3.1 Direktif – Perintah
(1) ... Anda dihadirkan oleh sodara penggugat untuk menjadi saksi. Bersedia?
Konteks tindak tutur:
Dituturkan hakim untuk mengawali agenda permintaan keterangan mengenai
masalah rumah tangga penggugat dan tergugat.
Tindak tutur (1) memiliki jenis tindak tutur direktif – perintah dalam bentuk kalimat
tanya, sebenarnya secara tidak langsung hakim sedang menyuruh saksi untuk mau
dimintai keterangan agar proses sidang dapat berjalan dengan baik.
(2) Lanjutkan!
Konteks tindak tutur:
Dituturkan penggugat saat menjawab pertanyaan hakim mengenai kesediannya
untuk melanjutkan gugatan atau menarik kembali gugatan cerai.
Tindak tutur (2) memiliki jenis tindak tutur direktif – perintah. Penggugat secara
langsung meminta hakim untuk melanjutkan kembali persidangan yang sempat
tertunda.
(3) ... disumpah dulu, silakan berdiri!
Konteks tindak tutur:
Dituturkan hakim sebelum meminta keterangan kepada saksi mengenai kondisi
rumah tangga penggugat dan tergugat.
Tindak tutur (3) memiliki jenis tindak tutur direktif – perintah. Hakim secara
langsung meminta saksi untuk disumpah dan memerintahkan saksi untuk berdiri
sebelum dimintai keterangan mengenai kondisi rumah tangga penggugat dan
tergugat.
(4) ... sodara saksi dipersilakan keluar dulu ya, nanti dipanggil ya.
Konteks tindak tutur:
Dituturkan hakim saat meminta salah satu saksi yang telah disumpah untuk
menunggu giliran dalam proses permintaan keterangan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
288
Tindak tutur (2) memiliki jenis tindak tutur direktif – perintah. Hakim secara
langsung memerintah salah satu saksi untuk meninggalkan ruangan sidang.
(5) ... jawab pertanyaan pak hakim ya.
Konteks tindak tutur:
Dituturkan hakim ketua kepada salah satu saksi agar saksi menjawab setiap
pertanyaan yang akan diajukan oleh hakim anggota.
Tindak tutur (2) memiliki jenis tindak tutur direktif – perintah. Hakim ketua secara
langsung memerintah salah satu saksi untuk menjawab pertanyaan yang akan
diajukan oleh hakim anggota.
3.2 Direktif – Penawaran
(6) ... saudara penggugat gimana kesimpulannya? Masih tetap pisah dengan suami?
Konteks tindak tutur:
Dituturkan hakim kepada penggugat saat mengkonfirmasi mengenai keputusan
terakhir penggugat terhadap kasus perceraian yang ia ajukan.
Tindak tutur (2) memiliki jenis tindak tutur direktif – penawaran berupa kalimat
tanya. Hakim secara tidak langsung sedang membujuk penggugat apakah akan terus
melanjutkan gugatan atau masih memberikan kesempatan kepada tergugat untuk
memperbaiki hubungan rumah tangganya.
4. Penutup
4.1 Simpulan
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa wujud tuturan ilokusi direktif dalam sidang
gugatan cerai di Pengadilan Agama Kota Sukabumi memiliki dua pola, yaitu (1) direktif –
perintah dan (2) direktif – penawaran. Pola pertama memiliki lima kalimat yang terdiri dari
satu kalimat tidak langsung dan empat kalimat langsung, sedangkan pola kedua memiliki
satu kalimat dengan bentuk tidak langsung.
4.2 Saran
Kajian mengenai tindak tutur ilokusi direktif dalam tulisan ini dapat dikembangkan lagi
dengan mencermati aspek-aspek lainnya sehingga bisa menjadi referensi bagi penelitian
selanjutnya, khususnya penelitian linguistik yang berkaitan dengan disiplin ilmu lain.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
289
Daftar Pustaka
Djajasudarma, T. Fatimah. (1993). Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian.
Bandung: Eresco.
Djajasudarma, T. Fatimah. (2010). Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung:
Refika Aditama.
Ibrahim, A. Syukur. (1993). Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.
Leech, Geoffrey. (2011). Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press.
Lubis, Hamid Hasan. (1993). Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Mahsun. (2013). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta:
Rajawali Pres.
Mey, J. L. (2009). Concise Encyclopedia of Pragmatics. Oxford: Elsevier ltd.
Rahardi, Kunjana. (2000). Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga.
Searle, J. R. (1979). Expression and Meaning: Studies in Theory of Speech Acts. Cambridge:
Cambridge University Press.
Wijana, I. Dewa Putu. (1996). Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.
Yule, G. (1996). Pragmatics. New York: Oxford University Press.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
290
REPRESENTASI SIKAP BAHASA DALAM TEKS PAPAN NAMA USAHA DI CIMAHI
Nofiyanti
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan bahasa yang terdapat dalam
papan nama usaha dan sikap bahasa pengusaha di Cimahi. Data dalam penelitian ni
diperoleh dengan teknik dokumentasi berupa foto. Objek penelitian ini adalah
penggunaan bahasa pada penulisan teks papan nama badan usaha swasta yang ada di
Cimahi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Jumlah sampel papan nama usaha sebanyak 50 papan nama usaha yang
dianalisis berdasarkan dari segi kosa kata.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
bahasa yng digunakan dalam papan nama usaha di Cimahi adalah bahasa Indonesia,
bahasa Inggris dan bahasa daerah. Adapun kosa kata yang dipakai dalam teks papan
nama usaha di Cimahi ada tiga kosa kata, yaitu; papan nama usaha yang menggunakan
kosa kata bahasa indonesia sebanyak 11 atau (22%); papan nama usaha yang
menggunakan kosa kata bahasa asing yaitu bahasa Inggris sebanyak 13 atau (26%) dan
kosa kata bahasa sunda sebanyak 7 atau (14%) ; sedangkan papan nama usaha yang
menggunakan kosa kata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebesar 19 atau (38%).
Untuk mengungkapkan latar belakang penggunaan bahasa, peneliti menghubungkan
sikap bahasa pengusaha dalam pemilihan kosa kata pada papan nama badan usaha
swasta. Adapun sampel yang digunakan sebanyak 50 pengusaha kecil menengah dengan
menggunakan wawancara. Dari hasil analisis bahwa sikap pengusaha mempengaruhi
dalam pemilihan penggunaan bahasa. Berdasarkan data tersebut maka dapat
menunjukkan bahwa sikap bahasa pengusaha/masyarakat di Cimahi terhadap bahasa
Indonesia rendah atau kurang positif.
Kata Kunci: Representasi, sikap, sikap bahasa, papan nama usaha
Pendahuluan
Pada saat ini, bangsa Indonesia telah mengikuti perkembangan dunia atau bisa disebut
globalisasi. Globalisasi menuntut dunia, termasuk bangsa Indonesia untuk dapat saling
berkomunikasi dengan negara-negara lain agar dapat berinteraksi dan berperan di dalam dunia
persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi maupun komunikasi. Era globalisasi hampir
tidak ada batasnya, meskipun era ini memudahkan di segala aspek kehidupan, namun
globalisasi bukanlah hal yang tanpa cela. Globalisasi dengan segala pengaruhnya akan
berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan terutama bahasa. Penggunaan bahasa asing
yang berlebihan akan mengancam keberadaan bahasa Indonesia dan bisa saja menggesernya.
Kuatnya pengaruh bahasa asing terhadap bahasa Indonesia akan semakin mendominasinya
apalagi ditunjang oleh penuturnya yang kurang menghargai bahasa Indonesia. Keadaan ini akan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
291
semakin mempercepat pergeseran bahasa Indonesia menjadi bahasa lemah dan lama-kelamaan
bisa saja bergeser kedudukanya.
Secara umum masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan merasa sudah tahu dan
dapat menggunakan bahasa indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada kenyataanya
kemampuan berbahasa Indonesia pada masyarakat Indonesia sangat tidak memuaskan. Hal ini
disebabkan karena bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu atau bahasa pertama bagi sebagian
besar orang Indonesia. Bahasa ibu atau bahasa pertama mereka adalah bahasa daerahnya
masing-masing sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua. Selain itu faktor lain yang
menyebabkan kemampuan berbahasa Indonesia pada masyarakat Indonesia belum memuaskan
karena adanya erosi rasa kebangsaan terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonsia) oleh
banyak orang Indnesia. Erosi rasa kebangsaan ini telah berlangsung sejak beberapa dasawarsa
yang lalu, yang mengakibatkan hilangnya rasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Memang
bahasa Indonesia masih digunakan, tetapi masyarakat Indonesia tidak ada kemauan untuk
menggunakannya dengan baik, minimal sesuai dengan aturan tata bahasa. Hal ini senada dengan
pendapat Koentjaraningat (dalam Chaer, 2013: 81) menyatakan bahwa banyak orang Indonesia
yang memiliki sikap negatif terhadap bahasa Indonesia, sehingga mereka berbahasa Indonesia
dengan prinsip “asal mengerti” tidak memperhatikan kaidah-kaidah dan aturan-aturan tata
bahasa yang benar. Sikap negatif ini diperparah pula dengan sikap bangga terhadap bahasa asing
(dalam hal ini bahasa Inggris) sehingga bahasa Indonesia mereka ditaburi dengan kosakata
bahasa Inggris. Masyarakat Indonesia menjadi lebih bangga menggunakan bahasa Inggris
meskipun cuma sebatas kata-kata atau frase-frase singkat.
Bahasa itu adalah dinamis dan selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Perkembangan bahasa akan selalu membawa efek positif dan negatif untuk masyarakat itu
sendiri. Jika kita perhatikan, masyarakat saat kini kurang berhati-hati dalam menggunakan
bahasa asing atau kata-kata asing yang tepat dalam kehidupan sehari-hari, contohnya penamaan
yang sekarang lagi semarak di kota besar-besar, seperti di kota Cimahi. Pada saat ini
penggunaan bahasa asing di kalangan para pengusaha untuk menamakan usaha mereka di kota
Cimahi sangat populer. Pemakaian bahasa pada teks papan nama usaha sampai pada saat ini
masih beragam. Dikatakan beragam karena papan-papan nama yang terpampang, ada yang
sudah sesuai dengan kaidah yang berlaku dan ada juga yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa
yang berlaku. Ketidaksesuaian dengan kaidah bahasa yang berlaku tampak pada papan nama
usaha yangberbau asing, Tekspapan nama usahavang demikian dapatdikatakan bahwa papan
nama usaha bersifat keinggris-inggrisan. Yang dimaksud dengan papan nama usaha yang
keinggris-inggrisan adalah papan nama yang memiliki struktur/ pola urutan kata dan diksi
bahasa Inggris. Struktur dan diksi yang dipakai pada papan nama tersebut condong ke kaidah
bahasa Inggris. Teks papan nama usaha yang di pasang baik yang bersifat keinggris-inggrisan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
292
atau yang sudah sesuai dengan kaidahbahasa indonesia semuanya mencerminkan sikap bahasa
pengusaha yang positif ditunjukkan pada papan nama usaha yang sudah sesuai dengan kaidah
bahasa dan aturan penulisan yang berlaku. Sikap bahasa pengusaha yang negatif tampak pada
teks papan nama usaha yang belum taat asas. Sifat keinggris-inggrisan bahasa papan nama,
cerminan sikap bahasa negatif seorang pengusaha. Dalam ha ini, penguaha (pengusaha asliorang
Indonesia) tidak meunjukkan rasa bangga terhadap bahasanya sendiri yaitu bahasa Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji adalah sebagi berikut: 1)
Bagaimanakah penggunaan bahasa yang terdapat dalam papan nama usaha di Cimahi?; 2)
Bagaimanakah sikap bahasa pengusaha di kota Cimahi dalam pemilihan kosa kata pada papan
nama usaha?; dan 3) faktor apa sajakah yang melatarbelakangi dalam pemilihan kosa kata papan
nama usaha?
Representasi Sikap Bahasa Dalam Papan Nama Usaha
1. Sikap
Sikap atau attitude adalah kesediaan bereaksi terhadap suatu hal atau objek. Sikap dapat
diartikan satu kecenderungan individu untuk menolak atau menerima sesuatu yang didasarkan
pada penilaian apakah sesuatu itu berharga atau tidak bagi dirinya. Sikap bersifat kompleks,
karena pembentukanya melibatkan semua aspek kepribadian yaitu kognisi afeksi, dan konasi.
Seperti yang diutarakan oleh Lambert dalam Baker (1992) yang mengutip pendapat plato bahwa
sikap terbagi atas tiga kmponen, yaitu (1) komponen kognitif, (2) komponen afektif, dan (3)
komponen konatif. Komponen kognitif menyangkut pengetahuan megenai alam sekitar dan
gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipakai dalam proses berpikir. Komponen
afektif menyangkut perasaan atau emosi terhadap sesuatu. Biasanya menyangkut nilai rasa “baik
atau tidak baik”, “senang atau tidak senang” yang membawa seseorang untuk menilai sikap
positif atau negatif terhadap sesuatu tersebut. Komponen konatif menyangkut perilaku yang
menunjukkan kecenderungan seseorang untuk berbuat atau bereaksi dengan cara tertentu
terhadap suatu keadaan. Menurut Vaugen dan Houg (1955: 359) menyatakan bahwa sikap
adalah perasaan umum dan evaluasi positif, negatif mengenai seseorang, objek atau isu. Dengan
demikian sikap terhadap sesuatu menunjukkan besarnya nilai keyakinan dan hasil evaluasi
tentang objek sikap, yang akhirnya akan melahirkan keputusan senang atau tidak senang, setuju
atau tidak setuju, menerima atau menolak terhadap keberadaan objek siakap (Allport dalam
Mar’at, 1984:13). Selanjutya menurut Azwar (1983:4) mengemukakan faktor yang menentukan
bentuk respon indivdu, yaitu suka atau tidak suka, mendukung atau tidak mendukung terhadap
stimulus yang diterima yaitu objek sikap tergantung pada berbagai faktor, antara lain latar
belakang, pengetahuan dan motivasi. Sikap berperan dalam kehidupan karena sikap selalu
dihadapkan suatu pilihan antara senang dan tidak senang. Berdasarkan pendapat-pendapat di
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
293
atas, dapat disimpulkan bahwasikap adalah kesiapan untuk bertindak, suatu bentuk reaksi akibat
adanya
rangsangan yang diwujudkan dalam bentuk tindakan/perilaku.
2. Sikap Bahasa
Representasi berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata representation. Representasi
adalah perbuatan mewakili, keadaan diwakili, apa yang mewakili atau perwakilan (Depdiknas,
2008:1167). Representasi juga diartikan sebagai gambaran. Representasi merekonstruksi serta
menampilkan berbagai fakta sebuah objek sehingga eksplorasi sebuah makna dapat dilakukan
dengan maksimal (Ratna dalam Putra, 2012:17). Jika dkaitkan dengan sikap berbahasa,
representasi dalam sikap berbahasa merupakan penggambaran sikap berbahasa atau perasaan
terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain.
Sikap bahasa adalah peristiwa kejiwaan dan merupakan bagian dari sikap pada
umumnya. Sikap bahasa merupakan reaksi penilaian terhadap bahasa tertentu (Fishman, 198).
Menurut Kridalaksana (2001:179) sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan seseorang
terhadap bahasanya sendiri atau bahasa orang lain. Selanjutnya sikap bahasa menurut Anderson
(dalam Chaer: 2013:54) adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang,
sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada
seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Sumarsono (dalam Purwo,
2000: 197) menyatakan bahwa hubunganantara sikap bahasa dan penggunaan bahasa memang
bisa positif atau negatif. Garvin dan Mathiot (dalam Chaer, 2004: 152) mengemukakan terdapat
tiga ciri sikap bahasa (sikap positif), antara lain yaitu: (1) kesetiaan bahasa (language loyalty)
yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu
mencegah adanya pengaruh bahasa lain, (2) kebanggaan bahasa dan menggunakanya sebagai
lambang identitas dan kesatuan masyarakat, dan (3) kesadaran adanya norma bahasa yang
mendorong orang menggunakan bahasanya yang mendorong orang menggunakan bahasanya
dengan cermat dan santun dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa. Ketiga jenis ciri sikap bahasa di atas termasuk
ciri sikap positif terhadap bahasa. Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah
dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap
negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Sikap negatif
terhadap suatu bahasa bisa terjadi juga bila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai
lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkan rasa bangga itu kepada bahasa lain yang
yang bukan miliknya. Sebagian masyarakat pengguna bahasa Indoesia mulai tidak setia
menggunakannya. Fenomena ini terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya
fakor politis, ras, etnis, ekonomi, gengsi dan berbagai alasan lainnya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
294
3. Jenis-jenis sikap bahasa
a. Sikap positf
Adul (1986 : 44) berpendapat bahwa “pemakai bahasa bersifat positif ialah pemakaian
bahasa yang memihak kepada bahasa yang baik dan benar, dengan wajar dan sesuai dengan
situasi”. Garvin dan Mathiot (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 153) merumuskan tiga ciri
sikap bahasa positif yaitu: 1) Kesetiaan bahasa yang mendorong masyarakat suatu bahasa
mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain; 2)
Kebanggaan bahasa yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan
menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat; 3) Kesadaran
Adanya Norma Bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat
dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu
kegiatan menggunakan bahasa (language use).
b. Sikap negatif
Menurut Adul (1986 : 44), berpendapat “pemakaian bahasa bersifat negatif adalah
tidak mengacuhkan pemakaian bahasa yang baik dan benar, tidak memperdulikan situasi
bahasa, tidak berusaha memperbaiki diri dalam berbahasa”. Sikap negatif terhadap bahasa
merupakan sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap bahasa nasionalnya. Ia akan
beranggapan bahwa bahasa orang lain lebih baik dari bahasa nasional sehingga timbul
sikap negatif terhadap bahasa. Garvin dan Marthiot, (dalam suwito, 1996 : 33)
memberikan ciri-ciri sikap bahasa negatif pemakai bahasa, yaitu : (1) Jika seseorang atau
sekolompok anggota masyarakat bahasa tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk
mempertahankan kemandirian bahasanya, maka hal itu merupakan suatu petunjuk bahwa
kesetiaan bahasanya mulai lemah yang pada gilaranya tidak mustahil akan menjadi hilang
sama sekali. (2) Jika seseorang atau sekelompok orang sebagai anggota suatu masyarakat
tidak ada rasa bangga terhadap bahasanya dan mengalihkan kebanggannya kepada bahasa
lain yang bukan miliknya. (3) Jika seseorang atau sekolompok orang sebagai anggota
suatu masyarakat sampai kepada ketidak sadaran akan adanya norma bahasa. Sikap
demikian biasanya akan mewarnai hampir seluruh perilaku berbahasanya. Mereka tidak
ada lagi dorongan atau merasa terpanggil untuk memelihara cermat bahasanya dan santun
bahasanya.
Dengan demikian jenis-jenis sikap bahasa, orang akan dapat mengukur sikap bahasa
seseorang dalam menggunakan suatu bahasa, suatu dialek, atau suatu aksen dengan
menggunakan suatu bahasa. Orang itu berperan sebagai samaran untuk melakoni sikap
bahasa dengan menggunakan aksen tertentu.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
295
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa
dan lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
Bahasa Indonesia yang di nyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam pasal 36
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari
bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa
persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Hal tersbut tercantum
dalam pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri
bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi
antar daerah dan antarbudaya daerah. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan,
pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional pengembangan kebudayaan nasional,
transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan bahasa media massa.
Pasal 36 ayat ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan mengatur bahwa Bahasa
Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedug, jalan, apartemen atau
pemukiman, perkantoran, kompleks, perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga
pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan
hukum Indonesia. Selanjutnya pada pasal 37 ayat (1) diatur bahwa bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar
negeri yang beredar di Indonesia, ayat (2) diatur bahwa informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilengkapi dengan bahasa daerah atau bahasa asng sesuai dengan keperluan.
Pasal 38 ayat (1) dalam undang-undang tersebut diatur bahwa bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam rambu umum, petunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi
lainya yang merupakan pelayanan umum. Selanjutnya pada ayat (2) pasal tersebut diatur bahwa
penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai bahasa daerah
atau bahasa asing jika dipandang perlu. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa
Indonesia sebagaimana yan dimaksud dalam Undang-Undang diatur dalam perauran presiden.
5. Bahasa Iklan
Iklan adalah sarana promosi bagi perorangan pengusaha organisasi, ataupun lembaga
pemerintah untuk menyarnpaikan pesan-pesan yang bersifat menguntungkan.Keuntungan di sini
tidak selalu dikaitkan dengan materi seprrti uang, tetapi juga dikaitkan dengan keuntungan
moral, misalnya promosi yang menyangkut kebudayaan, pendidikan dan keagamaan. Namun
secara umum iklan lebih sering dikaitkan dengan segi-segi komersialnya saja. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1997:.322), iklan memiliki pengertian adalah berita pesanan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
296
(mendorong, membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda atau barang jasa yang
ditawarkan. Bahasa iklan sebagai ragam bisnis pada dasamya merupakan salah satu bentuk
pemakaian bahasa dalam berkomuikasi yang bertujuan untuk meyakinkan konsumen agar
mereka tergerak untuk melakukan sesuatu seperti yang diinginkan oleh pengiklan. Dilihat dari
aspek fungsi, pemakaian bahasa iklan merupakan fungsi transaksional.
Pemakaian bahasa iklan semakin berkembang sesuai dengan semakin banyaknya
produknya disertai perusahaan barang/jasa yang ingin memasarkan pula dengan semakin
berkembaagnya media massa baik eleknonik maupun cetak sebagai media pemasangan iklan. Di
satu sisi merupakan kebanggaan bagi para pekerja bahasa yang keatif, karena lapangan kerja
bertambah melalui perusahaan-perusahaan iklan, di sisi lain perlu adanya pembinaan iklan
tidak merusak atau menghambat perkembangan bahasa. Namun dernikian agar pembinaan
pemakaian bahasa tidak salah arah dan tidak mengorbankan kekhasan bahasa iklan, perlu
dilakkan kajian secara ermat terlebih dahulu terhadap bahasa yang dipakai dalam berbagai iklan
(Pranowo: 1996:1). Menurut Yustianto (196:3) penggunaan bahasa pada papan nama usaha
sampai pada batas tertentu termasuk pada ragam iklan. Hal ini dilihat dari situasi pemakaiannya
dapat digolongkan dalam situasi resmi, atau setidak- tidaknya termasuk agak resmi. Dilihatdari
tingkat keresmiamya dapatlah dimasukan dalam ragam usaha'. Pengguna bahasa Teks papan
nama usaha pada umumnya bersikap menghargai atau menghormati para pembacanya,
betapapun dan siapapun golongan pembaca itu. jadi para pengusaha itu akan berupaya agar
bahasayang dipakainya sebaik mungkin dan semenarik mungkin bagi para pembacanya"
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif,
yang menerapkan metode analisis isi dengan cara menganalisis penggunaan bahasa, sikap
bahasa pengusaha yang terdapat pada papan nama usaha secara deskriptif. Pengertian deskriptif
kualitatif mengambil masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian.
Data dalam penelitian ini adalah penggunaan bahasa yang terdapat dalam papan nama
usaha yang didokumentasikan dalam bentuk foto. Oleh karena itu, pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan metode foto, baca, kutip , catat dan wawancara. Data diperoleh
berdasarkan penemuan di lapangan dengan cara mengambil gambar/foto pada papan nama
usaha yang terdapat di wilayah kota Cimahi dengan teknik dokumentasi. Batas wilayah yang
menjadi acuan dalam penelitian ini meliputi jalan-jalan utama di Kota Cimahi. Data diambil
dengan teknik cara memfoto papan nama usaha secara langsung. Data yang diperoleh
selanjutnya dicatat dan diklasifikasikan dan dianalisis secara deskriptif. Adapaun data yang
dijadikan sampel dalam penelitian ini sebanyak 50 papan nama usaha yang ada di kota Cimahi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
297
Hasil dan Pembahasan
Data yang dibahas pada penggunaan bahasa pada papan nama usaha yang terdapat dalam
teks papan nama usaha di cimahi meliputi papan nama usaha yang menggunakan kosa kata
bahasa Indonesia, kosa kata bahasa asing,; kosa kata bahasa Indonesia dan bahasa asing;.
Berikut ini akan diuraikan beberapa bentuk pengguanan bahasa yang terdapat pada teks papan
nama usah di kota Cimahi.
1. Kosa kata bahasa Indonesia yang terdapat dalam papan nama usaha
Berdasarkan data yang telah dianalisis dari segi kosakata, data penelitian ini memberikan
informasi mengenai jumlah teks papan nama usaha yang berkosakata bahasa Indonesia.
Berdasarkan hasil dari rekapitulasi data menunjukkan jumlah teks papan nama usaha yang
menggunakan kosa kata bahasa Indonesa sebanyak 11 atau (22 % ) papan nama usaha.
2. Kosa kata bahasa asing yang terdapat dalam papan nama usaha
Data penelitian menunjukkan adanya papan nama usaha yang menggunakan bahasa
Inggris. Berdasarkan dari hasil rekapitulasi data, jumlah teks papan nama usaha yang
menggunakan kosakata bahasa Inggris berjumlah sebanyak 13 atau (26%). Berikut adalah
wujud sampel data yang dimaksud adalah sebagai berikut. Gracia T-shirt, Alvacia Parfum,
Army Fashion, Queen Furniture dan Columbia Cash & Credit. Apabila kita merujuk pada
aturan yang berlaku, penggunaan bahasa asing seperti yang terdapat pada papan nama usaha
tersebut seharusnya diulis dalam bahasa Indnesia karena kata-kata tersebut sudah ada padananya
dalam bahasa Indonesia. Misalnya pada padanan kata Cash dalam bahasa Indonesia adalah
“tunai” dan credit adalah “kredit”. Akan tetapi apabila bentuk asingnya tetap dipertahakan
sebaiknya padanaya dalam bahasa Indonesia tetap ditulis sebelum asingnya.
Selain bahasa Inggris, bahasa asing lain yang dipakai dalam papan nama usaha adalah
bahasa daerah. Berdasarkan data penelitian, bahasa daerah yang dipakai adalah bahasa Sunda.
Pemakaian bahasa sunda pada kaitanya dengan lokasi usaha dan etnis pengusahanya. Alasan
yang menjadi fokus pemakaian bahasa sunda adalah karena lokasi tempat usaha yang berada di
Jawa barat. Berdasarkan dari hasil rekapitulasi data, jumlah teks papan nama usaha yang
menggunakan kosakata bahasa daerah (Sunda) berjumlah sebanyak 7 atau (14%). Berikut
adalah wujud sampel data yang dimaksud adalah sebagai berikut. Waroeng sangu lembur raos,
saung rasa, waroeng mie baso raos cimuncang.
3. Kosa kata bahasa Indonesia dan bahasa asing (bahasa Inggris)
Seperti disebutkan di atas bahwa pemakaian kosakata bahasa Inggris dalam teks papan
nama usaha sangat marak. Pemakaian bahasa Inggris dalamdunia usaha memberikan motivasi
tertentu pada diri pengusaha. Berbagai alasan dikemukakan oleh para pelaku usaha dengan
dipakainya bahasa Inggris. Semua alasan motivasi yang dikemukakan oleh para pelaku usaha
bertujuan untuk meningkatkan hasil usahanya. Penggunaan kosakata bahasa lnggris yang
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
298
dipakai dalam papan nama usaha dapat dilihat pada diksi bahasa Inggris. Berikut ini akan
diuraikan beberapa wujud sampel data bentuk pengguanan bahasa asing dan bahasa Indonesia
yang terdapat pada teks papan nama usah di kota Cimahi.
(1) Anisa
Tailor
Jl. Baros No. 6 Cimahi
(2) Pelangi Laundry
Jl. Padasuka, no. 7 Cimahi
(3) Andi Celluler
Menerima jasa service Hp
Jual beli & tukar tambah hp baru/second
Jual pulsa elektrik
Service computer
Service laptop
(4) Warung Steak and shake
(5) Lia
Salon &Bridal
Gunting, treatment, smoothing, bonding, keriting bulu mata, extention bulu mata,
sanggul, make up, keriting rambut, pewarnaan rambut, hair extention, tato alis
temporary,
Data di atas adalah papan nama usaha yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris. Berdasarkan dari hasil rekapitulasi data yang penulis lakukan, ada beberapa teks papan
nama usaha yang menggunakan kosakata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, yaitu sebanyak
19 atau (38%) . Teks papan nama usaha pada data 1-19 berkosa kata bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris adalah pada bidang usaha rumah makan, salon, rental mobil, usaha isi ulang
pulsa, mebel, mainan anak, dan sebagainya. Informan pada papan nama usaha tersebut ditulis
dengan menggunakan dua unsur bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa asing (bahasa
Inggris). Kata yang merupakan unsur bahasa Inggris pada informan di atas sudah ada padananya
dalam bahasa Indonesia. Misalnya dalam kata treatment dalam bahasa Indonesia padananya
adalah pengobatan; kata smoothing padananyaadalah pelembutan; hair extention adalah
sambung rambut; make up padananya tata rias. Pemakaian kosa kata bahasa asing di atas sudah
ada padananya dalam bahasa Indonesia. Namun dengan pertimbangan tertentu informan lebih
memilih kata-kata bahasa asing dari pada padanan bahasa Indonesianya. Hal ini menunjukkan
adanya sikap informan yang masih bangga (prestise) dengan menggunakan bahasa asing
(bahasa Inggris) dalam pembuatan papan nama khususnya dalam papan nama usaha, terbukti
informan dalam membuat penulisan teks papan usahamenggunakan bahasa asing tersebut
merasa prestisenya lebih tinggi.
Berikut ini akan dipaparkan mengenai alasan yarng melatarbelakangi para pengusaha
menggunakan kosakata bahasa Inggris dalam menyusun teks papan nama usaha. Berdasarkan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
299
wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada responden, yaitu kepada para pengusaha di
Cimahi, ditemukan beberapa alasan mengapa para pengusaha menggunakan bahasa asing
(terutama bahasa Inggris). Sebagian besar dari pengusaha (lokal) mengakui bahwa penggunaan
bahasa asing itu sengaja dimaksudkan untuk mendapatkan citra positif dan menciptakan prestise
yang baik bagi usahanya. Mereka mengatakan bahwa penggunaan kata-kata asing (terutama
bahasa Inggris) itu dinilai dapatmemberikan kesan lebih bagus, lebih menarik, lebih gaya, lebih
keren, lebih ngetrend, lebih intelek, dan tidak kuno.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemakaian bahasa asing bagi
pengusaha tampaknya memang memiliki makna yang cukup penting dalam kehidupan usaha
mereka. Kata-kata asing itu dinilai dapat memberikan nuansa makna positif dan menciptakan
prestise yang lebih baik lagi bagi usaha mereka. Penggunaan kata-kata asing (terutama bahasa
Inggris) itu dinilai dapat memberikan kesan lebih bagus, lebih menarik, lebih gaya, lebih keren,
lebih intelek, tidak kuno dan lebih bergengsi. Namun disisi lain hal ini menunjukkan bahwa
sikap bahasa yang dimiliki pengusaha terhadap bahasa Indonesia rendah atau kurang positif. Ha
ini dapat ditunjukkan dengan adanya sikap informan/ pengusaha yang masih bangga (prestise)
dengan menggunakan bahasa asing (bahasa Inggris) dalam pembuatan papan nama khususnya
dalam papan nama usaha.
Simpulan
Berdasarkan dari hasil analisis data, jenis bahasa yang digunakan dalam papan nama usaha
ada 3 macam, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa sunda. Adapun kosa kata yang
dipakai dalam teks papan nama usaha di Cimahi ada 3 kosa kata, yaitu; papan nama usaha yang
menggunakan kosa kata bahasa indonesia sebanyak 11 atau (22%); papan nama usaha yang
menggunakan kosa kata bahasa asing yaitu bahasa Inggris sebanyak 13 atau (26%) dan kosa
kata bahasa sunda sebanyak 7 atau (14%) ; sedangkan papan nama usaha yang menggunakan
kosa kata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebesar 19 atau (38%). Berdasarkan data tersebut
maka dapat menunjukkan bahwa sikap bahasa yang dimiliki pengusaha di Cimahi terhadap
bahasa Indonesia rendah atau kurang positif.Hal ini dapat kita lihat dari lunturnya kebanggaan
terhadap bahasa Indonesia dan mengalihkan kebanggannya kepada bahasa lain yang bukan
miliknya. Pengusaha cenderung lebih senang dan merasa lebih intelek untuk menggunakan
bahasa asing. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya sikap informan/ pengusaha yang masih
bangga (prestise) dengan menggunakan bahasa asing (bahasa Inggris) dalam pembuatan papan
nama usaha. Dengan demikian, hal ini memberikan dampak terhadap pertumbuhan bahasa
Indonesia sebagai jati diri bangsa. Akhirnya, kepopuleran bahasa Inggris menjadikan bahasa
Indonesia tergeser pada tingkat pemakaiannya. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika pelaku-
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
300
pelaku usaha kita kembali ke bahasa nasional, yaitu menggunakan bahasa Indonesia pada papan
nama usaha mereka.
Alasan yang melatarbelakangi mengapa pengusaha/masyarakat Cimahi memiliki sikap
bahasa rendah/kurang positif terhadap bahasa Indonesia dan lebih suka menggunakan istilah
asing dalam menawarkan barang produksinya di sebuah reklame/ papan nama usaha. Hal ini
dikarenakan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor itu meliputi,1) karena
untuk menarik perhatian masyarakat/konsumen/pengunjung; 2) Menandakan lebih bergengsi
dan berkelas; 3) Supaya lebih terkenal dan menarik para pengunjung dan sekaligus untuk
meningkatkan mutu/kualitas. 4) Agar lebih keren, ngetrend, intelek, dan tidak kuno; dan 5)
mengikuti kemajuan zaman.
Daftar Pustaka
Arifin, E. Zaenal, dkk., 1992.Pemakaian Bahasa dalam Iklan Berita dan Papan Reklame.
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Bhineka
Cipta
Kridalaksara, Harimurti. 1982. Fungsi Bahasa dan Siktp Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah.
Garvin, P.L. Mathiot M. 1968. The Urbaization of Guarani Language. Problem in Language
and Culture, dalamFishman, J.A. (Ed) Reading in Tes Sosiology ofLanguage,
Mounton. Paris–The Hague.
Mar‟at. 1984. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta.Ghalin Indonesia.
Fathurrokhman. http://fathurrokhmancenter.wordpress.com, “Sikap Bahasa dan Pemilihan
Bahasa”. Diakses pada hari Minggu, 12 Oktoberr 2015, pukul. 09:47 WIB.
Pusat Bahasa. 2004. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
301
SIKAP POSITIF TERHADAP BAHASA INDONESIA PADA LAYANAN NIAGA
SEBAGAI UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA
Ninah Hasanah
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Garut
Abstrak
Latar belakang tulisan ini yakni masih kurangnya sikap positif warga negara
Indonesia dalam menggunakan bahasa Indonesia. Kita prihatin menyaksikan
pemakaian bahasa Indonesia dalam masyarakat sekarang ini. Penggunaan bahasa
Indonesia pada layanan niaga dalam papan iklan menunjukkan ketidakbanggaan
bangsa kita untuk menggunakan bahasa sendiri. Kesadaran bahwa bahasa Indonesia
adalah milik kita dan tanggung jawab kita, tampaknya belum merata dimiliki seluruh
warga negara. Tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa nasionalisme kita dalam
berbahasa masih sangat tipis. Padahal, pemerintah melalui undang-undang No. 24
tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan pasal
36 ayat 3 mengatur tentang penggunaan bahasa yakni, “Bahasa Indonesia wajib
digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman,
perkantoran, komplek perdagangan, merk dagang, lembaga usaha, lembaga
pendidikan, organisasi yang didirikan atau yang dimiliki oleh warga negara Indonesia
atau badan hukum Indonesia”.
Hanya sedikit bangsa di dunia yang menggunakan bahasa nasionalnya sendiri.
Adanya bahasa nasional, bahasa Indonesia harus diperlihatkan melalui kebanggaan
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional meskipun fakta kebahasaan
di Indonesia yakni situasi masyarakat kemultibahasaan. Faktor situasi tersebut dapat
menyebabkan pergeseran bahasa. Akan tetapi, sebagai warga Indonesia yang baik kita
harus dapat menempatkan penggunaan bahasa Indonesia, bahasa daerah begitu pula
bahasa asing sesuai dengan konteks atau situasi.
Mengingat hal tersebut, maka sikap positif terhadap bahasa Indonesia melalui
kesetiaan, kebanggaan, dan kesantunan berbahasa dapat dijadikan sikap pemertahanan
bahasa Indonesia. Kita dituntut membina dan mengembangkan bahasa Indonesia agar
bukan saja mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
melainkan juga jika mungkin mendudukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang
terpandang di tengah-tengah pergaulan dunia dalam menghadapi berbagai tantangan
global dan mencegah pengaruh asing yang berlebihan.
Kata kunci: sikap positif, pemertahanan bahasa, bahasa Indonesia.
Pendahuluan
Berkaitan dengan masyarakat pemakai bahasa atau pengguna bahasa, dewasa ini
kepedulian terdapat bahasa Indonesia makin menipis dan penggunaan bahasa Indonesia pun
kian menyempit. Penggunaan bahasa Indonesia pada media massa, media iklan dan luar ruang
kini banyak menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Pendapat ini mengisyaratkan
bahwa jika penggunaan bahasa Indonesia tidak segera ditertibkan, akan memengaruhi
perkembangan bahasa Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
302
Berdasarkan pada kenyataan tersebut perlu diupayakan kebanggaan terhadap
penggunaan bahasa Indonesia. Adanya kebanggaan terhadap bahasa Indonesia merupakan
cerminan sikap positif berbahasa berupa setia dan bangga dalam berbahasa Indonesia. Setia
dalam berbahasa Indonesia adalah suatu sikap positif untuk selalu berpegang teguh serta selalu
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan bangga berbahasa Indonesia adalah hal
positif dengan merasa bangganya berbahasa Indonesia, merasa berbesar hati dan dengan
gagahnya mengutamakan bahasa Indonesia daripada bahasa asing.
Sikap positif dapat pula ditunjukkan melalui pemakaian bahasa yang sesuai keperluan.
Artinya, penggunaan bahasa asing hanya akan dilakukan bila memang diperlukan karena tidak
ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Kedwibahasaan atau ketribahasaan tidak merugikan,
bahkan menguntungkan pemakai bahasa asal tidak mengorbankan bahasa kebangsaan sendiri
sehingga dalam Sumpah Pemuda butir ketiga, para pendahulu kita pun tidak memaksakan kita
untuk ”berbahasa satu”, tetapi ”menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia”.
Sikap bangga terhadap bahasa Indonesia dapat diperlihatkan melalui kebanggaan
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bangga menggunakan bahasa
Indonesia dapat dilihat dari gejala kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia walau tidak
menguasai bahasa asing dengan baik, tidak malu apabila tidak menguasai bahasa asing tetapi
malu apabila tidak menguasai bahasa Indonesia, tidak menganggap remeh bahasa Indonesia,
dan mau mempelajarinya.
Memasuki percaturan global, tidak dapat dimungkiri terdapat pengaruh bahasa asing
dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia terutama terhadap penggunaan bahasa
Indonesia pada layanan niaga. Akan tetapi, sebagai warga Indonesia yang baik kita harus dapat
menempatkan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing sesuai dengan konteks atau
situasi. Bahasa Indonesia harus diutamakan, dimartabatkan, diadabkan, dijunjung setinggi-
tingginya, dan menjadi tuan di negeri sendiri sedangkan bahasa asing dipergunakan sebagai
bahasa pergaulan dunia atau percaturan internasional.
Semestinya kita prihatin menyaksikan pemakaian bahasa Indonesia dalam masyarakat
sekarang ini. Kesadaran bahwa bahasa Indonesia adalah milik kita dan tanggung jawab kita,
tampaknya belum merata dimiliki seluruh warga negara. Tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa
nasionalisme kita dalam berbahasa masih sangat tipis. Penggunaan bahasa Inggris
secaraberlebihan dan salah kaprah seperti tampak pada papan nama pada layanan niaga yang
menunjukkan rasa rendah diri bangsa kita karena tidak adanya kebanggaan menggunakan
bahasa sendiri, bahasa Indonesia.
Tiga ciri sikap positif bahasa menurut Garvin dan Mathiot, 1968 (Chaer, 2013:54) yaitu
kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride), dan kesadaran
adanya norma bahasa (awareness of the norm). “Bahasa menunjukkan bangsa”. Maka, tidak
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
303
ada alasan bagi kita untuk tidak bangga terhadap bahasa Indonesia. Kebanggaan dan kecintaan
kita kepada bahasa Indonesia tersebut tentu tidak cukup bila hanya diucapkan.
Jika ketiga ciri sikap positif tidak ada lagi pada diri bangsa Indonesia maka
kemungkinan kurangnya pemertahanan bahasa. Hilangnya sikap positif bangsa Indonesia
terhadap bahasa Indonesia menandakan sikap negatif telah melanda bangsa Indonesia yang akan
berpengaruh kepada pergeseran dan pemertahanan bahasa. Pergeseran dan pemertahanan
bahasa di Indonesia dipengaruhi oleh faktor situasi kedwibahasaan atau kemultibahasaan.
Begitu pula industrialisasi dan urbanisasi dipandang sebagai penyebab utama bergeser atau
punahnya sebuah bahasa yang dapat berkait dengan keterpakaian praktis sebuah bahasa,
efisiensi bahasa, mobilitas sosial, kemajuan ekonomi dan sebagainya.
1. Sikap Positif terhadap Bahasa Indonesia
Sebelum mengemukakan mengenai sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Lambert,
1969:91-102 (Chaer, 2013:52) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu
komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif,
berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya
merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir.Komponen afektif, menyangkut
masalah penilaian baik, suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan, maka orang
itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya, disebut memiliki sikap negatif dan
komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif
terhadap suatu keadaan.Ketiga komponen sikap ini (kognitif, afektif, dan konatif) pada
umumnya berhubungan dengan erat. Apabila ketiga komponen itu sejalan, maka bisa
diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Tetapi kalau tidak sejalan, maka dalam hal itu
perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap
Adapun sikap bahasa menurut Anderson (Chaer, 2013:54) adalah, “Tata keyakinan atau
kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa,
yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang
disenanginya”. Dikemukakan juga bahwa sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan
terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Sikap bahasa dapat
mengacu pada,”Gerak-gerik perbuatan atau tindakan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya
suatu hal atau kejadian” (Chaer, 2013:51). Dengan demikian, sikap bahasa merupakan
penghargaan terhadap bahasa sendiri atau orang lain berupa tindakan atau pun pandangan
terhadap suatu bahasa yang dapat berupa sikap positif dan negatif, maka sikap terhadap bahasa
pun demikian.
Sikap positif terhadap bahasa Indonesia dikemukakan Garvin dan Mathiot 1968 (Chaer,
2003:54) tercermin dari 3 hal. Pertama, kesetiaan bahasa yang mendorong masyarakat suatu
bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain.
Kedua, kebanggaan bahasa yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
304
menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat. Ketiga, kesadaran
adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan
santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan
menggunakan bahasa sedangkan sikap negatif yaituke-3 sikap yang dikemukakan Garvin dan
Mathiot tidak ada lagi pada diri seseorang.
Ketiga ciri yang dikemukakan Garvin dan Mathiot tersebut merupakan ciri-ciri sikap
positif terhadap bahasa. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya.
Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri
sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa
telah melanda diri atau kelompok orang itu. Ketiadaan gairah atau dorongan untuk
mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa
kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali.
Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak
mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang
bukan miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: faktor politis,
etnis, ras, gengsi, menganggap bahasa tersebut terlalu rumit atau susah dan sebagainya.
Berkenaan dengan sikap negatif terhadap bahasadikemukakan Halim, 1978:7 ( Chaer, 2013:55)
bahwa jalan yang harus ditempuh adalah yaitu melalui pendidikan bahasa yang dilaksanakan
atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat
bahasa yang bersangkutan.
Namun, menurut Lambert (1976: 55-56) motivasi belajar bahasa berorientasi pada dua
hal. Pertama, Perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi instrumental mengacu/banyak
terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan
menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa
Jepang.Kedua, Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari
(orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu
masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat
komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.Kedua orientasi tersebut juga merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa seseorang. Selain itu sikap bahasa juga bisa
mempengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam
masyarakat yang bilingual atau multilingual.
Di samping melalui pendidikan, upaya pembinaan bahasa ke arah penggunaan bahasa
yang positif yakni melalui penumbuhan sikap positif berbahasa, kegairahan berbahasa
Indonesia, dan meningkatkan keikutsertaan khalayak di dalam menjaga mutu bahasa Indonesia
(Tasai, 2002:1.3-1.5). Sikap positif terhadap bahasa Indonesia ditunjukkan dengan rasa
kebanggaan terhadap bahasa Indonesia berupa kebanggaan memiliki bahasa Indonesia yang
berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, lebih mengutamakan bahasa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
305
Indonesia daripada bahasa lain, disiplin berbahasa berupa sadar akan kaidah dalam bahasa
Indonesia dalam menggunakan bahasa dalam komunikasi lisan dan tulisan yakni penggunaan
kata baku, tidak asal dipahami ketika menggunakan bahasa Indonesia tetapi menggunakan
bahasa sesuai dengan konteks. Sehingga ada ungkapan, “Bahasa menunjukkan bangsa”.
Makin tinggi rasa kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, makin tinggi mutu sikap
bahasa kita. Demikian juga semakin kita memiliki dorongan yang tinggi untuk meningkatkan
pengetahuan bahasa dan meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia kita, maka hal itu
berarti semakin positif sikap bahasa kita. Kemampuan kita memilih ragam bahasa Indonesia
yang sesuai dengan konteks situasi penggunaanya, menunjukkan kadar sikap kita terhadap
bahasa Indonesia. Sebaliknya, makin rendah rasa kebanggaan kita, atau kita sama sekali tidak
memiliki rasa kebanggaan, serta makin rendah dorongan untuk berupaya meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan berbahasa kita, hal itu berarti semakin rendah sikap kita.
2. Pemertahanan Bahasa Sebagai Sikap Positif Berbahasa
Sebagai salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala pemertahanan bahasa sangat
menarik untuk dikaji. Konsep pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan prestise suatu
bahasa di mata masyarakat pendukungnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Danie (Chaer,
1995:193) bahwa menurutnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah
karena pengaruh bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan
bahasa Indonesia yang jangkauan pemakaiannya bersifat nasional. Namun ada kalanya bahasa
pertama yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan
bahasa kedua yang lebih dominan.
Fishman (Sumarsono, 1993:1) menjelaskan pemertahanan bahasa yakni dipengaruhi
oleh perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa juga proses psikologis, sosial, dan kultural
dalam masyarakat multibahasa.Masalah bergeser dan bertahannya sebuah bahasa bukanlah
hanya karena masalah bahasa imigran, melainkan dipengaruhi oleh banyaknya faktor lain yang
dapat memengaruhi pemertahanan bahasa. Meskipun bahasa Inggris dianggap mempunyai
prestise, tetapi sebagai warga Indonesia yang bangga mempunyai bahasa nasional bahasa
Indonesia maka, kita harus lebih bangga terhadap bahasa sendiri daripada bahasa asing. Sikap
positif berbahasa tersebut merupakan upaya pemertahanan bahasa. Dengan demikian,
diperlukan sikap positif berbahasa sebagai upaya pemertahanan bahasa.
3. Penggunaan Bahasa Asing pada Iklan Papan Layanan Niaga
Dengan globalisasi,banyak masyarakat menggunakan bahasa asing pada layanan niaga.
Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa asing di dunia usaha daripada menggunakan
bahasa Indonesia karena mereka beranggapan dengan menggunakan bahasa asing akan lebih
menarik. Mereka juga beranggapan bahwa karena sudah memasuki berhadapan dengan warga
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
306
lokal, tetapi juga dengan warga asing dalam dunia usaha. Itu sebabnya banyak masyarakat yang
menggunakan bahasa asing daripada bahasa lokal.
Layanan niaga adalah kegiatan jual beli untuk memperoleh untung dalam kegiatan
niaga atau perdagangan. Layanan niaga sangat berhubungan dengan iklan. Mengacu pada apa
yang dikemukakan Bungin (2008:67) spanduk, papan iklan, dan baliho merupakan media
layanan niaga media iklan cetak tulis. Layanan niaga merupakan salah satu bentuk untuk
penyebaran penggunaan promosi dari sebuah perniagaan. Dikemukakan Bungin (2008:67)
yakniPemilihan media iklan terdiri atas, “iklan cetak tulis, iklan radio, dan iklan televisi. Iklan
cetak tulis terdiri dari iklan papan dan spanduk, iklan brosur, iklan media massa cetak, dan
semacamnya sedangkan iklan radio adalahyang disiarkan melalui radio. Demikian juga iklan
televisi adalah yang ditayangkan melalui televisi.
Penggunaan bahasa pada iklan media cetak kurang menunjukkan sikap positif terhadap
bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan bahasa pada iklan media cetak yang
menggunakan bahasa asing, yakni bahasa Inggris. Apalagi penggunaan bahasa Inggris dalam
iklan-iklan yang dikeluarkan instansi-instansi pemerintah terjadi karena, “Proses komunikasi
sosial tidak dipahami dan karena nilai-nilai kebudayaan bangsa sendiri tidak dihargai”.
(Kridalaksana, 1985:8). Penggunaan bahasa pada papan iklan media cetak khususnya harus
menggunakan bahasa Indonesia karena jika bahasa asing yang digunakan , “tidak mendorong
orang untuk orang asing untuk belajar dan mempergunakan bahasa Indonesia yang merupakan
ciri khas kebudayaan Indonesia untuk memahami kebudayaan Indonesia” (Kridalaksana,
1985:7).
Salah satu contoh penggunaan bahasa Inggris pada layanan niaga papan iklan media
cetak, hampir di setiap tempat menuliskannya menggunakan bahasa Inggris yakni photo copy
bukan fotokopi. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan bahasa pada papan iklan media
cetak.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
307
Penutup
Sikap bahasa tidak selamanya tercermin dalam perilaku tutur tetapi tercermin pula pada
bentuk komunikasi tulis seperti penggunaan bahasa Indonesia pada papan iklan layanan
niaga.Dalam era globalisasi, masyarakat pengguna bahasabanyak menggunakan bahasa asing.
Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa asing di dunia usaha daripada menggunakan
bahasa Indonesia karena mereka beranggapan dengan menggunakan bahasa asing akan lebih
menarik. Mereka juga beranggapan bahwa karena tidak hanya berhadapan dengan warga lokal,
tetapi juga dengan warga asing dalam dunia usaha. Itu sebabnya banyak masyarakat yang
menggunakan bahasa asing daripada bahasa lokal dalam dunia usaha.
Gerakan reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 telah mengubah paradigma
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Kenyataan itu akan menyudutkan
penggunaan bahasa Indonesia. Kalau bahasa Indonesia tidak segera diatur penggunaannya,
bahasa Indonesia tidak akan mampu menunjukkan gengsinya, baik di negara sendiri (nasional)
maupun internasional.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
308
Sikap positif mengandung tiga ciri pokok, yakni: kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa,
dan kesadaran akan adanya norma bahasa. Kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran
akan adanya norma bahasa merupakan ciri-ciri sikap positif terhadapsesuatu bahasa. Sebaliknya,
jika seseorang atau sekelompok anggota masyarakat tutur tidak lagi bergairah atau terdorong
untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, itu merupakan salah satu petunjuk bahwa
kesetiaan bahasanya mulai melemah, dan tidak mustahil akan hilang sama sekali. Sikap negatif
seperti itu akan terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang sebagai anggota suatu
masyarakat tidak ada rasa bangga terhadap bahasanya dan mengalihkan kebanggaannya kepada
bahasa lain yang bukan miliknya.
Untuk menanamkan sikap setia-bahasa. bangga-bahasa dan sadar-norma bahasa sebagai
upaya pemertahanan bahasa perlu dilakukan dengan pendidikan bahasa melalui motivasi
instrumental dan integratif. Pelaksanaan pendidikan bahasa didasarkan atas asas-asas
pembinaan kaidah dan norma bahasa, disamping norma-norma sosiolinguistik dan norma-norma
hidup yang hidup di dalam masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Dengan cara
demikian diharapkan akan timbul sikap positif sebagai dasar pembinaan dan pengembangan
bahasa lebih lanjut.
Tumbuh dan berkembangnya sikap positif terhadap bahasa juga terkait dengan kondisi
kebahasaan suatu masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multilingual atau aneka
bahasa. Tiap kelompok masyarakat atau etnis dalam wilayah negara kesatuan RI paling tidak
menguasai dua bahasa, yaitu bahasa daerah atau bahasa ibu mereka dan bahasa Indonesia.
Sebagian dari warga Indonesia menguasai juga satu atau beberapa bahasa asing. Dalam kondisi
kebahasaan yang demikian, ditambah adanya globalisasi yang menuntut penguasaan bahasa
Inggris sebagai bahasa Internasional, maka kita berhadapan dengan pilihan-pilihan. Namun
demikian, sikap positif sebagai upaya pemertahanan yakni melalui pengaplikasian sikap positif
kita terhadap penggunaan bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka
Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2011. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan. Jakarta:
Bungin, H.M. Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media
Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsumen Serta Kritik terhadap Peter L. Berger &
Thomas Luckmann. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Chaer, Abdul. 2013. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah.
Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tasai, S. Amran. 2002. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Jakarta: UT.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
309
FLASH FICTION 100 KATA:
MENGGAGAS TEKS SASTRA ALTERNATIF
DALAM KURIKULUM NASIONAL
Panji Pratama
SMA Negeri 1 Nagrak
Abstrak
Sifat sastra sangat dinamis. Peralihan budaya yang cepat ikut mempengaruhi
perkembangan sastra, terutama sastra multimedia. Semenjak booming sosial media via
internet, karya-karya sastra beralih rupa ke ruang yang lebih singkat namun tetap
imajinatif. Flash fiction adalah salah satu jenis fiksi yang lebih ringkas dari cerita
pendek. Uniknya, meski dibatasi penggunaan kata, flash fiction masih harus
mengandung 4 elemen wajib fiksi yaitu karakter, konflik, latar, dan resolusi. Keketatan
ruang kata ini menjadikan sebuah karya fiksi yang lebih berisi, antibertele-tele, dan
berslogan show don’t tell. Proses dan hasil telaah terhadap karya-karya flash fiction
selama hampir satu windu terakhir mengindikasikan perubahan kebiasaan menulis
sastra di lingkungan masyarakat urban. Hal itu berarti sastra era kini bermetaforfosis
menjadi serba terbatas namun justru lebih kreatif. Di lain sisi, pembelajaran bahasa
Indonesia pada Kurikulum Nasional berorientasi pada teks. Asupan-asupan materi
bahasa Indonesia pada Kurikulum Nasional membatasi ruang gerak pembelajaran
sastra. Akan tetapi, justru memunculkan inovasi bentukan teks alternatif sebagai bahan
ajar pembelajaran berbasis teks. Flash fiction dapat diajukan sebagai teks alternatif
untuk memudahkan pembelajaran pemodelan teks cerpen. Selain itu, flash fiction juga
dapat dijadikan alternatif bentukan teks hasil konversi dari teks-teks lain pada
kompetensi dasar mengonversi teks. Dengan demikian, flash fiction mengemban tugas
untuk menjadi jembatan promosi teks sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia
dengan lebih portable (mudah dibawa) dan saintifik.
Kata kunci: Flash fiction, teks sastra alternatif, kurikulum nasional
Pendahuluan
Pengajaran bahasa dan pengajaran sastra merupakan pengajaran yang selalu sejalan,
karena keduanya dapat saling menambah wawasan pengetahuan, yakni kosakata dan
keterampilan bahasa peserta didik. Dalam kaitannya dengan pengajaran di sekolah, tidak setiap
karya sastra dapat disajikan sebagai bahan ajar. Karya sastra yang dapat dijadikan bahan ajar
perlu mempertimbangkan berbagai segi, yaitu segi estetik, ideologis, psikologis, dan pedagogis
(Jabrohim, 1994: 179).
Berkenaan dengan pentingnya keberadaan sastra dalam pendidikan, dibahas pula oleh
Rusyana (1982: 6) yang berpendapat bahwa bertahannya pengajaran sastra dalam kurikulum
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
310
karena pengajaran sastra mempunyai peranan penting dalam mencapai berbagai aspek
pendidikan, susila, sosial, perasaan, sikap, penilaian, dan keagamaan.
Sastra (litterature-Latin), secara etimologis, berarti segala sesuatu yang tertulis;
pemakaian bahasa secara tertulis (Sardjono, 1992: 6). Ini berarti bahwa bahasa yang dipakai
sebagai sarana primer sastra adalah bahasa tulis. Pernyataan Sardjono ini senada dengan
pendapat Prof. Dr. Mahsun, M.S. mengenai pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum
Nasional yang berbasis teks dalam salinan Permendikbud No. 65 tahun 2013 tentang Standar
Proses. Dia mengatakan bahwa sastra sebagai teks, merupakan pembelajaran yang
memungkinkan siswa untuk menguasai dan menggunakannya di masyarakat. Hal ini karena
manusia tidak terlepas dari penggunaan teks yang berupa tulisan. Sementara itu, struktur teks
merupakan cerminan struktur berpikir. Penguasaan berbagai jenis teks, termasuk sastra, oleh
siswa menjadikan struktur berpikir mereka makin banyak. Sehingga siswa dapat mengonstruksi
ilmu pengetahuan mereka melalui langkah-langkah ilmiah, termasuk di dalamnya
memublikasikan teks buatan siswa dalam forum komunikasi atau media komunikasi di sekolah
(Kemendikbud, 2013: v-vii).
Selain itu, salah satu karakteristik Kurikulum 2013 sebagaimana dijelaskan dalam
Permendikbud No. 69 tahun 2013 tentang Kurikulum SMA/MA, adalah menegaskan mengenai
kompetensi yang dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam
kompetensi dasar mata pelajaran. Dari empat kompetensi utama, kompetensi inti IV, yang
mencakup aspek keterampilan, diperoleh melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba,
menalar, menyaji, dan memproduksi. Enam langkah pembelajaran ini dikemas dalam satu
konsep bernama pendekatan saintifik.
Pendekatan saintifik dalam Bahasa Indonesia berkenaan dengan ramuan apik dari
pendekatan teks dan sains terpadu yang kelak menguatkan kedudukan dan fungsi bahasa
Indonesia dalam pendidikan sekolah sebagai penghela dan pembawa ilmu pengetahuan. Dengan
kedudukan tersebut, Bahasa Indonesia sebagai teks, mengemban fungsi sosial dan tujuan
tertentu untuk menjadi sumber aktualisasi diri dan mengembangkan kegiatan ilmiah atau
saintifik.
Proses pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teks ditempuh melalui tahapan
kegiatan peserta didik yang bersistem, yaitu tahap pembangunan konteks dan pemodelan teks,
tahap kerja sama membangun teks, tahap kerja mandiri menciptakan teks sesuai dengan teks
model, dan tahap mengonversi teks model ke dalam bentuk teks lain.
Pada tahapan-tahapan pembelajaran tersebut masih ada beberapa kendala yang
ditemukan di lapangan, terutama berkenaan dengan unsur sastra. Misalnya saja, pada kelas X,
lima jenis teks sebagai materi pokok dalam silabus adalah Teks Laporan Observasi, Teks
Negosiasi, Teks Anekdot, Teks Eksposisi, dan Teks Prosedur Kompleks. Kelimanya terbatas
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
311
pada teks umum yang unsur sastranya minim sekali. Jenis teks yang memungkinkan terdapat
nilai sastranya hanya Teks Anekdot saja.
Kendala yang sama ditemukan pula pada lima jenis teks di kelas XI, yakni Teks Cerpen,
Teks Biografi, Teks Pantun, Teks Drama, dan Teks Eksplanasi. Meskipun aroma sastranya kuat
terutama pada Teks Cerpen dan Teks Drama, akan tetapi peserta didik terlanjur jenuh dengan
struktur fiksi yang dijadikan teori. Struktur fiksi yang dipaparkan seolah membatasi kreativitas
peserta didik dalam mencipta teks itu sendiri.
Lebih parah dari itu, lima jenis teks di kelas XII, yakni Teks Berita, Teks Sejarah, Teks
Iklan, Teks Novel, dan Teks Editorial, sama sekali tidak tersentuh nilai-nilai sastranya. Hal ini
berkaitan dengan terbatasnya waktu pembelajaran di kelas XII. Adapun Teks Novel yang
dimasukkan sebagai salah satu materi ajar, di dalam silabus diletakan pada semester dua.
Tentunya hal tersebut tidak efektif dikarenakan pada semester dua, siswa kelas XII disibukan
dengan persiapan Ujian Nasional, Ujian Sekolah, dan Ujian Praktik. Belum lagi Teks Novel
terlalu memakan waktu jika harus dijelaskan seutuhnya.
Selain pemodelan teks sastra yang minim, pada tahapan kegiatan mengonversi teks
model ke dalam bentuk lain, pendidik dan peserta didik kesulitan mencari bentukan teks lain
yang lebih segar. Pada buku-buku pelajaran saat ini, konversi teks masih berkutat dengan drama
dan esai saja. Hal itu tentu saja membuat pendidik dan peserta didik mengalami kejenuhan
terhadap bahan ajar yang dijadikan model teks dalam pembelajaran. Kejenuhan ini disebabkan
karena rangkaian proses pembelajaran seolah hanya berputar dalam pemodelan teks yang sama,
sehingga tidak ada alternatif teks yang dapat dipilih.
Dari permasalahan-permasalahan tersebut diperlukan kreativitas pendidik dan alternatif
bentuk teks sastra lain sebagai bahan ajar. Namun demikian, teks sastra alternatif tersebut tidak
terlalu jauh melenceng dari silabus bahasa Indonesia Kurikulum Nasional. Teks sastra fiksi
yang sesuai dengan struktur yang dijadikan model dalam silabus bahasa Indonesia Kurikulum
Nasional adalah Teks Cerpen yang ada pada kelas XI semester 1.
Menjawab minimnya bentuk teks sastra pada silabus Bahasa Indonesia SMA dalam
Kurikulum Nasional, penulis menawarkan bentukan teks sastra yang populer di dunia
cybersastra, yakni teks flash fiction. Flash fiction adalah karya fiksi yang sangat singkat,
bahkan lebih ringkas daripada cerita pendek. Walaupun tidak ada ukuran jelas tentang berapa
ukuran maksimal sebuah flash fiction, umumnya karya ini lebih pendek dari 1.000 kata. Rata-
rata flash fiction memiliki antara 50 hingga 1.000 kata (Sebagai perbandingan, ukuran cerita
pendek berkisar antara 2.000 hingga 20.000 kata).
Ikhwal flash fiction di tanah air
Di dunia maya, flash fiction sudah cukup dikenal sejak tahun 2010 lalu, dengan
beberapa sebutan. Graffiti Imaji terbitan Yayasan Multimedia Sastra, sebagai contoh, adalah
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
312
antologi "cerpen pendek" Flash! Flash! Flash!, terbitan Gradien, yang menyebut dirinya
sebagai kumpulan "cerita sekilas". Sejumlah sastrawan juga menyebutnya sebagai "cerita mini",
disingkat "cermin". Semua ini mengacu pada rupa flash fiction yang sepertinya dirancang untuk
dibaca sekaligus.
Keterbatasan jumlah kata flash fiction sendiri sering kali memaksa beberapa elemen
kisah (protagonis, konflik, tantangan, dan resolusi) untuk muncul tanpa tersurat; cukup hanya
disiratkan dalam cerita. Secara ekstrem, prinsip ini dicontohkan oleh Ernest Hemingway dalam
cerita enam katanya, "Dijual: sepatu bayi, belum pernah dipakai."
Begitu pesatnya era jejaring sosial di internet ternyata membawa angin segar pada
pertumbuhan sastra, terutama di kalangan anak muda. Situs-situs penyedia layanan update
status yang notabene sangat terbatas jumlah katanya, terkadang dimanfaatkan penulis fiksi
untuk berkreasi. Hal ini misalnya terdapat di twitter, facebook, atau blog pribadi. Selain
membuat penulis fiksi lebih bebas berimajinasi, Flash fiction ini juga dapat menolong penulis
fiksi untuk membuat semacam kerangka. Mereka yang belum bisa menuangtuliskan idenya
secara panjang lebar seperti sebuah cerita pendek utuh, maka dapat menuliskannya melalui flash
fiction.
Flash fiction di Indonesia bentuknya beragam. Beberapa penggiat flash fiction di
jejaring social twitter, ada yang mengistilahkannya sebagai fiksi mini. Hal ini berhubungan
dengan keterbatasan linimasa dalam twitter. Dalam beberapa contoh yang penulis temukan,
flash fiction tipe ini jumlah katanya di bawah 55 kata. Berikut ini adalah contoh flash fiction tipe
ini:
@teddysnur: @fiksimini PELURU MELETUS. Aku tertegun, seharusnya pistol air ini
menyemprot muka Ayah.
Pada contoh di atas, nampak cerita seorang tokoh aku yang mengalami shock setelah
pistol air yang dipegangnya meletus. Akan tetapi, pembaca masih belum menangkap cerita
utuhnya, apakah pistol air itu meletus ke tokoh aku sendiri atau ke orang lain. Bisa jadi juga
pistol air itu mengarah ke tubuh ayahnya, namun tidak ke arah muka ayahnya.
Terjadinya potongan-potongan cerita yang tidak utuh seperti tadi merupakan
kekurangan dari flash fiction tipe ini. Kekurangan flsh fiction tipe ini, narasi teksnya kurang
komplit, sehingga cerita terasa mengambang tanpa akhir yang jelas. Hal ini membuat seorang
pembaca harus menguras imajinasi secara lebih untuk memahami maksud si pengarang. Tipe ini
juga seolah-olah meniru puisi-liris macam yang dipopulerkan oleh Sapardi Djoko Damono
dalam kumpulan sajak Perahu Kertas: Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang
keluar. Banyak sekali interpretasi dari pembaca terhadap puisi Sapardi itu, macam yang
dilakukan oleh Okke Kusuma Sumatri Zaimar, yang menafsirkan teks tersebut sebagai
gambaran sikap manusia yang selalu “menyuruh” Tuhan menunggu. Bisa jadi, pembaca lain
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
313
menafsirkan berbeda dengan yang dilakukan Okke. Jadi, masalahnya, tidak semua pembaca,
terutama siswa, mempunyai tahapan apresiasi seperti yang dipunyai Okke. Maka dari itu, teks
fiksi tipe ini tidak bisa dijadikan bahan ajar untuk pengenalan teks sastra di jenjang SMA.
Flash fiction tipe selanjutnya adalah apa yang disebut sebagian penulis fiksi sebagai
cerita mini. Kriteria yang paling nampak pada flashfiction tipe ini adalah jumlah katanya yang
cenderung hampir setara cerita pendek. Dalam beberapa contoh yang penulis dapatkan, teks
flash fiction cerita mini berkisar pada 750 s.d. 1000 kata atau satu-setengah hingga empat
lembar kertas ukuran A4.
Teks flash fiction tipe ini seringkali muncul dalam antologi-antologi lomba menulis di
dunia maya, seperti yang sering dilakukan oleh grup kepenulisan facebook seperti Unsa,
Inspirasi-Ku, Rumpun Nextar, dan lain sebagainya, Hal ini cenderung mirip dengan cerita
pendek biasa. Dengan demikian, teks flashficiton tipe ini pun tidak bisa dijadikan bahan ajar.
Karena selain sudah ada pemodelan teksnya di kelas XI yakni teks cerpen, teks seperti ini
memakan waktu jam pelajaran yang cukup banyak untuk mengenalkannya pada siswa.
Maka dari itu, dalam penelitian ini, teks flash fiction yang dipakai adalah teks flash
fiction dengan jumlah 100 kata. Pertimbangannya bahwa teks flash fiction 100 kata cukup
singkat untuk dikenali peserta didik. Siswa tidak terlalu terbebani dengan struktur teks dan
jumlah kata yang cukup banyak ketika masuk pada kompetensi dasar memproduksi atau
menulis teks jenis ini. Di lain sisi, teks flashfiction 100 kata masih harus dibangun oleh empat
elemen wajib fiksi yaitu karakter, konflik, latar, dan resolusi. Dengan begitu, siswa secara
bertahap dikenalkan dengan sastra fiksi dengan tanpa harus kaget berhadapan dengan teks yang
berlembar-lembar. Berikut ini adalah contoh teks flashfiction 100 kata:
SENDIRI LAGI
Aku termanggu sepi di sini. Walau demikian banyak orang berlalu lalang di sekitarku.
Mereka yang hendak mengisi perut mereka karena lapar. Mereka yang memesan banyak
makanan di kantin ini. Memang di tempat ini disediakan banyak tawaran pelipur lapar, tapi tak
bisa membasuh rasa sepiku.
Kuputuskan untuk berjalan ke pelataran parkir. Kuyakin di tempat ini lebih
menenangkanku. Suara kicau burung menemani rasa sunyiku. Beringin yang kokoh ini saksi
hatiku saat ini. Hingga kuyakin aku harus berubah. Berubah untuk mengubah status facebookku
dari tunangan menjadi sendiri lagi.
Jumlah 100 kata dalam flashfiction tidak berarti tepat 100 kata. Dalam teks flashfiction
di atas, keseluruhan jumlah katanya adalah 87 kata. Hal ini berarti maksud 100 kata ini adalah
kisaran yang ideal. Bisa dikatakan bahwa rata-rata flashfiction 100 kata berkisar antara 75 – 150
kata saja.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
314
Di bandingkan teks fiksimini yang lebih mirip puisi-liris, flashfiction ini mempunyai
kriteria berbeda. Coba perhatikan kembali teks SendiriLagi tersebut. Terdapat tokoh aku, yang
meski singkat tetapi tetap tergambarkan karakternya. Karakter ini dijelaskan dalam kata yang
diulang dua kali yakni sepi, yang mengisyaratkan kebimbangan sang tokoh aku. Begitu pula
dengan latar yang cukup jelas digambarkan dalam narasi yakni kantin. Konflik yang terjadi ada
dalam benak sang tokoh atau konflik batin sesuai dengan kalimat “Memang di tempat ini
disediakan banyak tawaran pelipur lapar, tapi tak bisa membasuh rasa sepiku”. Yang menarik
adalah resolusi atau adanya twist di penghujung narasi yang memudahkan pembaca memahami
keseluruhan cerita. Pembaca yang dibawa suasana galau sebelumnya, menjadi paham setelah
membaca kalimat “Hingga kuyakin aku harus berubah. Berubah untuk mengubah status
facebookku dari tunangan menjadi sendiri lagi.”
Tahapan teks flashfiction sebagai teks alternatif sastra dalam pembelajaran
Berkaitan dengan pemodelan teks dalam pembelajaran bahasa Indonesia, teks
flashfiction dapat menjadi alternatif bentukan sederhana dari teks fiksi. Siswa yang belum dapat
mengembangkan hasil konversi teks anekdot misalnya ke dalam cerpen, dapat terlebih dahulu
mencoba mengonversikan teks anekdot menjadi teks flashfiction. Tentunya, hal ini harus
terlebih dahulu dipahami oleh pendidik bahwa jenis teks fiksi superpendek memang ada dalam
perkembangan sastra mutakhir.
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, guru-guru dihadapkan persoalan yang sama di
kelas, yaitu tentang proses pembelajaran yang itu-itu saja. Dalam sebuah wawancara yang
dilakukan penulis pada MGMP Bahasa Indonesia SMA Kabupaten Sukabumi, 70% guru
mengaku bosan melakukan hal yang sama dalam mengajarkan teks dalam Kurikulum 2013. Hal
itu dilakukan berulang selama satu tahun pada lima teks pokok yang ada dalam silabus. Proses
yang sama itu mengenai Pemodelan Teks, Analisis Struktur dan Kaidah Kebahasaan,
Membandingkan Dua Teks, MengAbstraksi Teks, atau Mengonversi Teks Menjadi Teks Dialog.
Penulis mencoba untuk menawarkan gagasan teks flashfiction sebagai alternatif teks
bentukan konversi dalam pembelajaran dengan Kompetensi Dasar mengonversi teks menjadi
teks lain. Pertimbangannya adalah teks flashfiction merupakan teks fiksi popular, sehingga
siswa dapat mempelajari teks sastra dengan relatif mudah. Hampir semua teks yang dimodelkan
dalam Kurikulum 2013 dapat dikonversi menjadi teks flashfiction. Misalnya saja, dalam tulisan
ini saya contohkan bagaimana mengonversi teks pantun menjadi teks flashfiction.
Elemen dasar sebuah teks flashfiction sendiri terdiri atas empat unsur, yaitu karakter,
konflik, latar, dan resolusi.
a. Karakter adalah tokoh yang mempunyai peran dalam cerita.
b. Konflik adalah pusat masalah cerita.
c. Latar adalah dimensi ruang dan waktu yang cerita kisahkan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
315
d. Resolusi adalah jawaban dari konflik yang sifatnya mengejutkan, disebut juga twist.
Dari pemaparan di atas, langkah-langkah mengonversi teks pantun menjadi teks
flashfiction dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Membaca teks pantun (teks asal) dan menganalisis maksudnya
Contoh:
Kemumu di dalam semak
Jatuh melayang seleranya
Meski ilmu setinggi tegak
Tidak sembahyang apa gunanya
Maksud dari pantun tersebut adalah apalah gunanya sebuah ilmu dan teori, jika tidak
dibarengi dengan beribadah dan praktik sesungguhnya.
2. Menentukan tokoh/karakter yang akan dijadikan pelaku dalam teks flashfiction.
Contoh:
Tokoh 1 adalah Anggota Dewan
Tokoh 2 adalah makmum/rakyat
Tokoh 3 adalah wartawan
3. Membuat cerita berdasarkan ilustrasi maksud pantunnya.
Dzuhur Blusukan
Untuk mengurangi gejolak tentang kinerja dewan, seorang anggota DPR dikirim tugas
blusukan bersama puluhan wartawan ke sebuah desa pedalaman. Begitu sampai suara adzan,
Bapak dewan yang terhormat diminta menjadi imam shalat dzuhur oleh para warga. Dengan
percaya diri, sang pejabat menanggapinya seketika. Mereka pun shalat berjamaah. Hingga
setelah takbiratul ihram, sang anggota DPR melafalkan surat Alfatihah.
“Loh bukannya shalat dzuhur tidak boleh dikencangkan lafalnya?” dalam hati para
makmum berujar. Semua makmum hanya bisa pasrah menunggu langkah selanjutnya dari sang
anggota dewan.
Dari teks flashfiction di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun ilmu dunia dan
kedudukan manusia tinggi, tapi kalau tidak pernah dipraktikan akan percuma. Bahkan jadi salah
kaprah. Konflik utama dan latar dijelaskan singkat dari kalimat “Untuk mengurangi gejolak
tentang kinerja dewan, seorang anggota DPR dikirim tugas blusukan bersama puluhan
wartawan ke sebuah desa pedalaman” bahwa ntersebut, yaitu kebiasaan blusukan para pejabat
untuk mengalihkan kinerja yang lemah. Ternyata resolusinya tergambar dari pertanyaan para
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
316
makmum/rakyat yang tidak bisa berbuat apa-apa meskipun sang anggota DPR salah karena
shalat dzuhur dengan suara dilantangkan.
Demikian langkah sederhana untuk memperkenalkan teks sastra fiksi ke para siswa.
Penutup
Pemodelan teks flashfiction 100 kata pada pembelajaran Bahasa Indonesia diupayakan untuk
menjawab masukkan para guru Bahasa Indonesia yang menganggap suplemen sastra dalam
Kurikulum 2013 sangat terbatas. Karakteristik teks flashfiction 100 kata yang unik merupakan
peluang baik untuk mengenalkan sastra kepada siswa.
Pemodelan teks flashfiction 100 kata ini masih berada dalam tataran konseptual. Karena itu,
penulis berharap kepada Tim Pengembang Kurikulum Nasional untuk dapat menghadirkan
gagasan ini dalam Silabus Bahasa Indonesia. Dalam tataran sederhana, penulis pun mengajak
rekan-rekan sesama guru Bahasa Indonesia untuk mengujicobakan teks flashfiction 100 kata
sebagai salah satu alternatif teks sastra dalam pembelajaran. Kita tidak perlu menunggu hingga
gagasan ini terdedah dalam Silabus Kurikulum Nasional, tapi kita dapat memulainya dari
pelaksanaan pembelajaran di kelas, seperti dalam Kompetensi Dasar mengonversi teks tertentu
menjadi bentuk teks flashfiction 100 kata.
Daftar Pustaka
Jabrohim (ed). 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kemendikbud. 2013. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik: Buku Guru. Jakarta:
Kemendikbud.
Kemendikbud. 2014. "Modul: Materi Pelatihan Guru, Implementasi Kurikulum 2013 tahun
2014". Jakarta: Kemendikbud.
Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Teori Pengkajian FIksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang.
Sardjono, Partini. 1992. Pengantar Pengkajian Sastra. Bandung: Pustaka Wina.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Anto, Daeng. 2014. “Artikel: 4 Tips Yang Akan Memudahkan Anda Menulis Flash Fiction”.
Diunduh dari http://www.indonovel.com/4-langkah-menulis-flash-fiction/
.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
317
PEMBERITAAN MENGENAI SULTAN BRUNEI DAN HUKUM SYARIAH
ISLAM PADA KOMPAS.COM
Reka Yuda Mahardika
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Tuliskan ini membahas pemberitaanberjudul “Membedah Kehidupan Rahasia Sultan
Brunei” yang diterbitkan Kompas.com. Dengan menggunakan pisau Analisis
Wacana Kritis versi Roger Fowler, penulis akan menggunakan diksi dan kalimat
dalam pemberitaan, untuk menganalisis mengapa tulisan yang memarjinalkan
Keluarga Sultan Brunei dan Hukum Syariah Islam ini, diprotes oleh sebagian
umat Islam hingga kemudian ditarik/dihapus dari pemberitaan.
Kata kunci: pemberitaan, hukum syariah
Pendahuluan
Pandangan bahwa bahasa berfungsi sekadar alat komunikasi kini mulai ditinggalkan.
Salah satu fungsi terpenting bahasa, memang, sebagai alat komunikasi. Namun demikian, para
bahasawan kini menyepakati bahwa bahasa memiliki fungsi yang lebih luas. Untuk
mempengaruhi, melakukan sebuah tindakan, bahkan untuk merepresentasikan keinginan,
pemikiran, dan sikap pemakai bahasa.
Sekait dengan poin terakhir di atas bila bahasa dituturkan oleh individu, maka bahasa
tersebut tentu merepresentasikan keinginan, pemikiran, dan sikap individu tersebut. Oleh karena
itu, pun dapat dipastikan bila bahasa dituturkan oleh sebuah lembaga, maka dapat ditafsirkan
bahasa tersebut merepresentasikan lembaga tersebut.
Bertolak dari pernyataan di atas media massa sebagai sebuah lembaga yang niscaya
menggunakan peranti bahasa dalam segala sepak terjangnya tentu dapat pula ditafsirkan
memiliki keinginan, pemikiran, dan terutama memiliki sikap. Sikap tersebut dapat juga diartikan
sebagai keberpihakan. Meski idealnya media massa harus netral, tidak memiliki keberpihakan
tatkala menyampaikan sebuah isu, namun kenyataannya tidak demikian. Melalui peranti bahasa
seperti kata, frasa, klausa, kalimat, dan tanda-tanda lainnya, media massa seringkali mengangkat
sebuah informasi sambil di sisi lain menyembunyikan informasi lainnya. Melalui peranti
bahasa, media massa sering bermain informasi dengan tujuan membatasi bahkan
menghilangkan pandangan pembaca. Media massa sering memilih dan memilah mana saja
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
318
berita yang layak dibesar-besarkan atau malah sebaliknya, layak untuk dikecilkan dengan
agenda tertentu.
Media massa dalam tinjauan Analisis Wacana Kritis (AWK) merupakan objek
penelelitian yang menarik. Terutama karena fungsinya untuk menyebarkan informasi dari
seluruh dunia dan kemampuannya untuk mempengaruhi perspektif pembaca. Namun demikian,
karena kemampuan yang dimilikinya itulah timbul anomali ketika media massa cenderung
memiliki keberpihakan terhadap sebuah isu hingga pembacanya pun ikut terpengaruh.
Permasalahannya, seringkali terdapat intervensi dan penyaringan yang ketat dari redaksi
sebelum informasi diberitakan. Intervensi dan penyaringan itulah yang menjadi pokok
persoalan, karena seringkali dipilih dan dipilah sesuai dengan selera, ideologi, bahkan perspektif
redaksi. Padahal, idealnya, media massa harus menyampaikan informasi apa adanya.
Berangkat dari hal di atas, sebagai pisau analisis AWK mampu mendedahkan
kecenderungan keberpihakan media massa dalam memberitakan sebuah informasi. Melalui
AWK pembaca akan mampu memahami dan membedakan mana informasi yang layak untuk
dicerna secara langsung dan informasi yang bersifat opini yang tidak dapat langsung dicerna.
Kemampuan itu dimiliki, karena analisis ini mampu menganalisis hingga unsur paling dalam,
yakni bagaimana bahasa itu diproduksi. Jorgensen dan Phillips (2010, hal. 120) mengatakan
analisis ini mampu mengungkap peran praktik kewacanaan yang melibatkan hubungan
kekuasaan yang tidak sepadan, juga mampu memihak pada kelompok-kelompok sosial yang
tertindas.
Bertolak dari pembahasan di atas peneliti merasa tertarik untuk menganalisis bagaimana
Kompas.com merepresentasikan keberpihakannya melalui peranti bahasa yang digunakannya.
Hingga mengungkap alasan mengapa pemberitaan berjudul “Membedah Kehidupan Rahasia
Sultan Brunei” dalam media online Kompas.com tersebut diprotes oleh sebagian umat Islam
hingga akhinya dicabut dalam pemberitaan.
Tinjauan Pustaka
Roger Fowler dkk., berpandangan bahwa bahasa, tatabahasa, dan pilihan kosakata dapat
berimplikasi terhadap ideologi yang diusungnya (Eriyanto, 2012, hal.133). Hal tersebut berarti
bahasa dapat merepresentasikan dan mewakili ideologi yang diusung baik oleh perseorangan,
kelompok, maupun lembaga. Maka dari itu, bila ada sebuah media massa, misalnya, yang
memberitakan hal yang memojokkan mengenai ideologi A, maka tesis bahwa media tersebut
memiliki ideologi yang berseberangan dengan ideologi A dapat dibenarkan.
Ideologi menurut sinar (2012, hal. 125) adalah pemahaman atau kepercayaan, nilai
yang dianut atau dipakai bersama oleh masyarakat. Hasan (Sinar, 2012, hal. 126) mengatakan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
319
bahwa ideologi merupakan sistem ide yang dikonstruksi secara sosial yang tak bisa dihindari
oleh pengikutnya. Berangkat dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi
merupakan sistem ide, baik berupa pemahaman, kepercayaan, maupun nilai yang dikonstruksi
secara sosial yang tidak dapat dihindari oleh pengikutnya. Dalam konteks kekinian dapat
dikatakan ada tiga ideologi yang terus-menerus bertarung untuk tujuan tertentu, baik secara fisik
melalui peperangan maupun dalam dimensi perang pemikiran melalui wacana/bahasa, yaitu
antara ideologi Komunis Sosialis, Liberal Sekuler, dan Islam.
Berikut adalah tabel kerangka analisis wacana menurut Roger Fowler (Anshori, 2011,
hal. 35)
Tabel 1
Hal yang Diamati dalam Pemberitaan
Struktur Wacana Hal yang Diamati Keterangan
Kata Membuat klasifikasi
Membatasi pandangan
Pertarungan wacana
Bagaimana kata yang
digunakan menggambarkan
peristiwa dan objek dalam
peristiwa
Kalimat/Tata Bahasa Aksional – Relasional
Transitif - intransitif
Aktif – pasif
Verba – nomina
Bagaimana peristiwa
digambarkan dalam kalimat
(rangkaian kata)
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif-analitis. Komponen yang dianalisis adalah unsur kata dan
kalimat yang diturunkan dari teori Roger Fowler dkk..
Hasil dan Pembahasan
Tulisan berikut akan menganalisis pemberitaan berjudul “Kehidupan Rahasia Sultan
Brunei dari Seks Dusta dan Hukum Syariah” yang terbit pada 27 April 2015. Judul tersebut
dengan alasan tertentu kemudian diubah menjadi “Membedah Kehidupan Rahasia Sultan
Brunei”. Meski masih asumsi, namun penghilangan kata “syariah” dalam judul tersebut
merupakan usaha sadar dari pihak Kompas.com untuk tidak menggeneralisasikan judul tersebut
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
320
ke konsep “syariah” pada umumnya, yang memang memiliki cakupan luas, tidak hanya hukum
semata. Pengubahan judul tersebut juga diasumsikan ada usaha dari Kompas.com untuk
membatasi persoalan hanya pada “Sultan Brunei dan keluarga” yang menerapkan hukum
syariah, bukan kepada pemimpin-pemimpin Islam lainnya.
Namun demikian, meski judul telah diubah, pemberitaan ini masih diprotes oleh umat
Islam karena dianggap memojokkan dan menjatuhkan citra “hukum syariah khususnya dan
syariah pada umumnya”. Protes tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Kompas.com dengan
mencabut dan menghapus berita tersebut dari laman. Selain itu, wartawan penulis berita tersebut
diberi sanksi dengan dipindahtugaskan ke bagian lain (cek berita protes di www.arrahmah.com).
Meski demikian, pemberitaan itu sempat beberapa hari diterbitkan dan penulis akan
mengungkap alasan mengapa berita tersebut diprotes umat Islam sehingga harus
dicabut/dihapus dalam laman.
Dalam pemberitaannya Kompas menggunakan diksi yang menggambarkan perilaku
anomali Sultan Brunei dan hukum syariah seperti “mewah”, “moderat”, “harem (gundik)”,
“kemunafikan”, “kejahatan”, “pesta pora playboy”, dan diksi-diksi tidak netral lainnya yang
merepresentasikan keburukan-keburukan kehidupan keluarga sultan. Selain itu, Kompas juga
menyajikan keburukan-keburukan dari Hukum Syariah Islam, seperti ”hukum kuno”, “dipotong
tangan”, “dirajam mati”, “apatis”, “muak”, “hukum Islam kuno”, “aneh”.
Penelanjangan secara sepihak kehidupan keluarga sultan yang notabene pemimpin
Islam yang menerapkan Hukum Syariah Islam (HSI), secara tidak langsung merepresentasikan
bahwa HSI tidak berdampak terhadap sendi-sendi kehidupan keluarga sultan. Malah, meski
menerapkan HSI, keluarga sultan masih hidup dalam balutan kemewahan dan kemaksiatan.
Namun demikian, pemberitaan ini terkesan subjektif dan tidak netral, karena Kompas terlampau
membesarkan (berpesta-pora) memberitakan keburukan-keburukan kehidupan keluarga sultan,
di sisi lain meniadakan pemberitaan kebaikan-kebaikan sultan serta menyembunyikan fakta
pemberitaan mengenai kehidupan masyarakat secara komprehensif setelah hukum tersebut
diterapkan.
Dalam penggunaan diksinya mengenai Hukum Syariah Islam, Kompas menggunakan
diksi seperti ”hukum kuno”, “dipotong tangan”, “dirajam mati”, “apatis”, “muak”, “hukum
Islam kuno”, dan “aneh”. Dengan diksi-diksi tersebut Kompas.com telah memojokkanHSI.
Kompas juga tidak memberikan ruang agar pemberitaan terkesan berimbang, misalnya dengan
memilih narasumber yang mampu bersikap netral dan berimbang, bukan malah menukil
pendapat-pendapat artis Hollywood mengenai hukum syariah. Padahal, dalam buku sejarah
diungkap fakta bahwa selama 1300 tahun Islam berdiri sebagai sebuah institusi serta ketika
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
321
Islam yang ditetapkan sebagai hukum, tercatat hanya ada 200 kasus pencurian yang berujung
hukum hudud (Abdurrahman, 2014, hal. 23). Sebuah prestasi gemilang bila dibandingkan
kondisi sekarang ketika Islam tidak ditegakkan.
Bertolak dari pemberitaan dan penjelasan di atas, Kompas dengan jelas telah
menunjukkan keberpihakan ideologinya yang anti HSI. Karena, terminologi yang digunakan
Kompas berbeda dengan yang digunakan oleh yang pro hukum syariah, seperti “hukum Allah”,
“adil”, “berkah”, dan lain sebagainya.
Tabel 2
Penggunaan Diksi/Klasifikasi Kata dalam Pemberitaan
Judul Klasifikasi Kata Keterangan
Kehidupan Rahasia Sultan
Brunei dari Seks Dusta dan
Hukum Syariah
mewah
modera
harem (gundik)
kemunafikan
kejahatan
pesta pora
playboy
hukum kuno
dipotong tangan
dirajam mati
apatis
muak
hukum Islam kuno
aneh
Diksi yang digunakan Kompas
bersifat searah. Kesan tidak
netral tampak jelas. Opini
yang dikutip hanya dari pihak
yang kontra. Kompas tampak
mengangkat satu fakta dan
menyembunyikan rapat fakta
lainnya demi memperkuat
ideologinya.
Dalam pemberitaan idealnya Kompas mematuhi kode etik jurnalistik. Dalam kode etik
jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), diatur 14 keharusan wartawan, salah satunya
adalah harus “mempertimbangkan pemuatan berita dengan bijaksana” dan “berita harus
disajikan secara berimbang dan adil” (Sumadiria, 2014, hal. 240).
Sekait dengan kode etik di atas, Kompas.com secara gegabah sempat menerbitkan
berita yang tendesius. Misalnya tecermin dalam kalimat, “Walau sebagian hukum kuno dalam
Islam itu diterapkan secara bertahap, Brunei kini diambang untuk mengadopsi hukum rajam di
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
322
depan umum”. Dalam kalimat di atas, Kompas.com secara subjektif dan tanpa ada ukuran yang
pasti telah menjustifikasi bahwa hukum Islam masuk dalam kategori “kuno”.
Hanya berdasarkan sedikit fakta adanya hukuman hudud (rajam, potong tangan, dan
mati) Kompas.com secara tendensius menggeneralisasikan bahwa seluruh hukum Islam adalah
hukum yang “kuno”. Generalisasi tersebut sangat tendensius, mengingat hukum Islam amat
komprehensif meliputi seluruh kehidupan. Mulai dari yang kecil seperti menguap, bersin,
hingga yang besar seperti pemerintahan, perekonomian, pendidikan, dan pengadilan. Dengan
menuliskan frasa “hukum kuno” yang secara anafora dan katafora merujuk pada HSI, maka
Kompas.com secara tidak langsung telah menggeneralisaikan bahwa Hukum Syariah Islam
yang paripurna tersebut sudah kuno. Dalam KBBI kuno bermakna (Lama; dahulu kala; kolot;
tidak modern; pendapat – harus ditinggalkan).
Adapun opini Kompas.com yang mengatakan bahwa dalam HSI pencuri akan dipotong
tangan dan pezina dirajam memang benar adanya. Namun hukuman tersebut tidak dapat
dilaksanakan semena-mena. Perlu pembuktian ketat berupa teks maupun konteks ketika hukum
tersebut akan dilaksanakan. Abdurrahman (2014, hal. 236) mengatakan bahwa hukuman bagi
pezina dapat dilaksanakan bila ada empat saksi yang adil, atau pengakuan pelaku, atau bukti
kehamilan disertai pengakuan. Bukti tersebut harus ada di pengadilan dan bukan karena dipaksa
untuk zina. Demikian halnya dengan pencuri, tidak bisa dihukum bila karena lapar atau
keterpaksaan karena hal darurat. Tetapi bila mencuri karena keinginan dan kerakusan (korupsi)
baru bisa dilaksanakan hukuman potong tangan.
Penting pula untuk diulang, bahwa dalam buku sejarah diungkap fakta bahwa selama
1300 tahun Islam berdiri sebagai sebuah institusi khilafah serta ketika Islam yang ditetapkan
sebagai hukum, tercatat hanya ada 200 kasus pencurian yang berujung hukum hudud
(Abdurrahman, 2014, hal. 23). Sebuah prestasi gemilang bila dibandingkan kondisi sekarang
ketika Islam tidak ditegakkan.
Tidak berimbangnya opini, terlihat dari kalimat, “warga tampaknya apatis terhadap
Hukum Syariah”. Tidak dijelaskan dalam opini tersebut apakah pendapat tersebut berlandaskan
pada survei dan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Kompas.com
menggeneralisasikan menggunakan kata “warga”. Seolah-olah semua warga Brunei apatis
terhadap keadaan tersebut. Dalam pemberitaan tersebut Kompas.com tidak menuliskan dasar
yang terukur dan valid ketika beropini bahwa “semua” warga Brunei apatis terhadap keadaan di
Brunei.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
323
Tabel 3
Penggunaan Metafora dalam Pemberitaan
Berita Metafora Generalisasi
Kehidupan Rahasia Sultan
Brunei dari Seks Dusta dan
Hukum Syariah
Walau sebagian hukum kuno
dalam Islam itu diterapkan
secara bertahap, Brunei kini
di ambang untuk mengadopsi
hukum rajam di depan
umum.
Berdasarkan hukum itu,
pencuri akan dipotong
tangannya
pezinah serta kaum
homoseksual akan dirajam
hingga mati.
hukum kuno dalam Islam
warga tidak pernah
mengkritik keluarga
kerajaan
warga tampaknya apatis
terhadap Hukum Syariah.
tidak satu pun dari mereka
mengecam keluarga
kerajaan, karena mereka
memang tidak
diperbolehkan untuk itu.
Brunei merupakan tempat
yang sungguh aneh
Sahabat karip dalam
hedonism
Penggunaan Kalimat
Penggunaan kalimat aktif dan pasif mampu memberikan penekanan dan kesan yang
berbeda dalam pemberitaan. Eriyanto (2012, hal. 153) mengatakan bahwa dalam kalimat aktif
aktor sebagai pelaku diletakkan di muka digambarkan melakukan suatu tindakan yang mengenai
objek yang dikenai. Di sini, proses atau tindakan ditujukan kepada subjek. Ketika kalimat aktif
diubah ke dalam bentuk pasif, pola akan berubah. Proses bukan ditujukan kepada subjek, tetapi
objek, yang menjadi titik perhatian adalah objek atau pihak yang dikenai tindakan.
Dalam pemberitaan Kompas.com menuliskan “... namun tahun lalu sultan itu
memperkenalkan hukum syariah. Berdasarkan hukum itu, pencuri akan dipotong tangannya
dan pezinah serta kaum homoseksual akan dirajam hingga mati”. Dalam pemberitaan tersebut
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
324
digunakan kata aktif “memperkenalkan”. Hal ini bermakna bahwa “sultan” yang
memperkenalkan hukum syariah. Dalam kalimat aktif tersebut “sultan” yang mendapat
penekanan. Sultan menjadi sasaran, bahwa ia yang memperkenalkan penerapan hukum syariah
di Brunei.
Sebagai konsekuensi diperkenalkannya hukum syariah tersebut, ditulis menggunakan
kalimat pasif oleh Kompas, “pencuri akan dipotong tangannya, pezina serta kaum homoseksual
akan dirajam hingga mati”. Akibat dari penggunaan kalimat pasif tersebut adalah penekanan
terhadap konsekuensi negatif, yaitu “kehilangan tangan” dan “kehilangan nyawa”. Para pencuri
harus siap kehilangan tangan dan pezina serta pehomoseksual kehilangan nyawa. Namun
demikian tidak dijelaskan konsekuensi positif bila hukum tersebut dilaksanakan, yang telah
dijelaskan dalam paragraf sebelumnya, yaitu fakta sejarah mengenai keamanan dan ketentraman
ketika hukum ini dilaksanakan.
Selain kalimat aktif dan pasif Kompas.com menggunakan kalimat negasi. Tujuannya
untuk mempertegas anomali mengenai sebuah negara (Brunei) yang “aneh”. Secara katafora,
diksi “aneh” merujuk anomali-anomali yang dilakukan oleh keluarga dan sultan, tampak dalam
kalimat berikut, “Brunei merupakan tempat yang sungguh aneh. Tidak ada yang tahu tentang
apa yang Sultan dan saudaranya telah lakukan. Mereka tidak tahu tentang para perempuan aksi
seks dan minum alkohol. Mereka tidak tahu tentang itu”. Penggunaan kalimat negasi tersebut
tidak diimbangi oleh penggunaan kalimat positif. Sehingga kesan yang ditonjolkan hanya
pemberitaan negatif. Selain itu fokus pemberitaan yang ditujukan terhadap keburukan sultan dan
keluarga, tetapi tidak terhadap kebaikan sultan dan keluarga, juga terhadap kesejahteraan rakyat
Brunei menjadi penegas adanya marjinalisasi dan penyembunyian fakta dalam pemberitaan
tersebut.
Tabel 4
Penggunaan Kalimat dalam Pemberitaan
Judul Jenis Kalimat Pemakaian
Kehidupan Rahasia Sultan
Brunei dari Seks Dusta dan
Hukum Syariah
Pasif
Namun tahun lalu Sultan
itu memperkenalkan
Hukum Syariah.
Berdasarkan hukum itu,
pencuri akan dipotong
tangannya dan pezinah
serta kaum homoseksual
akan dirajam hingga mati
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
325
Negasi
Aktif
Brunei merupakan tempat
yang sungguh aneh. Tidak
ada yang tahu tentang apa
yang Sultan dan
saudaranya telah lakukan.
Mereka tidak tahu
tentang para perempuan,
aksi seks dan minum
alkohol. Mereka tidak
tahu tentang itu
Sultan Brunei menjalani
kehidupan yang sangat
mewah tetapi agak
moderat secara Islam
Simpulan dan Saran
Bertolak dari uraian, penulis berkesimpulan sebagai berikut.
1. Melalui diksi yang digunakannya, Kompas secara tersurat dan tersirat telah
memperlhatkan sikapnya terhadap Sultan Kerajaan Brunei dan keluarga yang telah
menerapkan HSI sebagai landasan hukumnya. Namun demikian, melalui diksi yang
digunakannya, pemberitaan yang dibuat malah menunjukkan ketidaknetralan dengan
memojokkan dan memarjinalkan sultan dan keluarga. Konsekuensi dari pemberitaan
yang memojokkan sultan dan keluarga tersebut nyatanya menyebar liar menjadi
pemarjinalan ke arah “Hukum Syariah Islam” yang dimiliki umat Islam dan diterapkan
oleh sebagian negara mayoritas berpenduduk Islam.
2. Melalui kalimat aktif Kompas telah menjelaskan dan menekankan bahwa Sultan Brunei
adalah pemprakarsa diterapkannya Hukum Sariah Islam di Brunei. Melalui kalimat
pasif, direpresentasikan penekanan terhadap konsekuensi “negatif” ketika hukum
tersebut dilaksanakan, khususnya mengenai hukum potong tangan dan hukum rajam.
Tanpa ada penjelasan mengenai konsekuensi “positif” bila hukum tersebut
dilaksanakan, yakni tercipta keamanan dan ketentraman.
3. Protes yang dilakukan sebagian umat Islam terhadap Kompas.com merupakan tindakan
tepat. Begitu pula itikad baik Kompas.com untuk menghapus berita tersebut dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
326
memberikan sanksi terhadap wartawan yang menerbitkannya merupakan tindakan yang
tepat dan patut diapresiasi. Maka dari itu media massa perlu mengedepankan kode etik
jurnalistik dalam tiap pemberitaan untuk meminimalkan kesalahan yang sama.
Saran
Karena dibatasi oleh jumlah halaman, penelitian ini hanya menganalisis satu
pemberitaan saja sehingga tidak cukup komprehensif. Akan lebih komprehensif dan mendalam
bila penelitian mengenai AWK ini mengambil pemberitaan lebih dari dua berita. Bahkan akan
sangat ideal bila kemudian ada proses membandingkan pemberitaan bertema sama dengan
media lain.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Hafidz. (2014). Diskursus Islam politik dan spiritual. Bogor: Al Azhar Press.
Anshori, Dadang. (2011). Terorisme dalam pemberitaan majalah Tempo: analisis wacana kritis
Roger Fowler. @rtikulasi, 10 (2): 130-145.
Eriyanto. (2012). Analisis wacana: pengantar analisis media. Yogyakarta: PT LKIS Printing
Cemerlang.
Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Philips. Analisis wacana: teori dan metode. Terjemahan
oleh Imam Suyitno dkk.. (2010). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tn. 2015, 27 April. “Membedah Kehidupan Rahasia Sultan Brunei”. Kompas.com [Online].
Tersedia: www.kompas.com (sudah dihapus). [27 April 2015].
Sinar, Tengku Silvana. (2012). Teori dan analisis wacana. Medan: CV Mitra Medan
Sumadiria, AS Haris. (2014). Jurnalistik Indonesia: menulis berita dan feature. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
327
KEKUNOAN DALAM KEKINIAN
Resti Nurfaidah
Balai Bahasa Bandung
Jalan Sumbawa Nomor 11, Bandung 40113
Abstrak
Sebagai bagian dari kekayaan budaya Sunda, legenda Sangkuriang tidak pernah hilang
dari peradaban manusia Sunda. Sangkuriang dalam berbagai media selalu digambarkan
sebagai laki-laki ambisius, cenderung obsesif, kepada ibu kandungnya--Nyai Dayang
Sumbi. Sejak tersebutkan dalam naskah Bujangga Manik, sampai saat ini Sangkuriang
masih "diproduksi" dalam berbagai media dengan plot yang sama. Kisah si Kabayan juga
menjadi abadi dalam berbagai versi. Kisah Ciung Wanara dan Cindelaras kerapkali
dibandingkan. Makalah ini akan membahas mengenai aspek kekunoan dalam kehidupan
manusia modern. Kemodernan peradaban yang sarat kompleksitas ternyata sulit
mengabaikan kekunoan atau nilai-nilai tradisi. Pembahasan dilakukan dengan
mengedepankan beberapa karya sastra, baik berupa sastra kuno maupun modern yang
mengusung nilai-nilai tradisional, beberapa produk budaya modern--film atau sinetron,
serta mengaitkan kekunoan tersebut ke dalam kekinian. Pembahasan tersebut akan
menggunakan konsep semiotika, intertekstualitas, dan hermeneutika. Kehidupan modern
selalu berkaitan erat dengan kekunoan.
Kata Kunci: kekunoan, kekinian, dan Barthez.
Pendahuluan
Ada pepatah yang mengatakan bahwa kehidupan kita ibarat putaran roda. Saat kita
berada di atas, kita diuji dengan kesenangan, kesuksesan, kebahagiaan, bahkan kekayaan.
Namun, ada kalanya kita berada di bawah ketika kita diuji dengan kesulitan, kemiskinan, atau
kesedihan. Hal-hal yang menjadi bagian dalam kehidupan manusia juga mengalami perputaran.
Apa yang pernah terjadi, digunakan, atau dilakukan pada masa lalu akan terulang kembali pada
masa yang akan datang. Di dunia fashion, pada era 50-an nama Marilyn Monroe dikenal di
seluruh dunia. Penampilannya yang khas dengan gaya retro menjadikan perempuan berambut
pirang tersebut sebagai ikon Hollywood abadi. Sederet artis yang berasal dari generasi
sesudahnya, senang meniru gaya Monroe, di antaranya Madonna, Lady Gaga, dan Lisa
Standsfield, atau vokalis band Aqua. Mereka gemar memakai warna kulit pucat dengan lispstik
yang merah menyala, garis alis rapi, dan pemakaian eye liner dan bulu mata yang signifikan.
Gaya riasan wajah dan rambut era 80-an kembali hadir pada 2000-an. Lucille Petite dalam
http://forums.thefashionspot.com (diakses 1 November 2015) mengatakan bahwa dalam konsep
Oidipus atau Elektra kompleks, bahwa seorang anak akan meniru gaya kedua orangtuanya
setelah dua puluh tahun kemudian. Artinya, trend fashion atau gaya hidup akan berulang pada
setiap dua dekade. Ketika Kate Middleton mengucapkan janji suci di Westminster Abbey pada
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
328
tahun 2011 lalu, ia mengenakan gaun pengantin yang terinspirasi dari gaun pengantin Putri
Grace dari Monaco. Mencuatnya hijab sejak beberapa tahun lalu merupakan reduplikasi mode
gaya berkerudung kaum hawa masa lalu di kawasan Timur-Tengah. Dalam kehidupan sosial,
maraknya kehidupan pasangan sejenis dan prostitusi sekarang merupakan perulangan fenomena
yang sama yang pernah terjadi pada masa kaum Nabi Luth di kawasan Israel dan warga
Pompeii di Italia. Kasus pembunuhan yang marak pada saat ini merupakan replika kasus serupa
yang terjadi di antara anak Adam as, Habil dan Qabil. Genocide yang terjadi pada masa kini
juga memiliki hipogram berupa pemberantasan massa oleh tokoh sejarah pada masa lalu, atau
bahkan sebelum itu. Peristiwa hujan ikan yang terjadi pada beberapa tahun silam pernah terjadi
pada masa Nabi Musa as. Jangan kira jika kehidupan yang serba hiperrealitas, mengutip istilah
Piliang tentang kehidupan yang melampaui masa realitas itu merupakan era kehidupan baru.
Konsep touchscreen dan widescreen pada gawai (gadget) atau televisi mutakhir sekarang, sudah
tergambarkan dalam serial Startrek pada era 70-an—80-an. Pintu-pintu otomatis yang terdapat
pada mall atau gedung pencakar langit juga diilhami oleh benda serupa yang sudah
dimunculkan dalam film Starwarspada era 80-an.
Fenomena reduplikasi bukan hanya terdapat pada realitas. Sastra juga mengalami hal
itu. Setiap hipogram atau sumber induk mengalami penurunan atau melahirkan teks-teks
berikutnya. Makalah ini akan mengekplorasi pada kehadiran berbagai teks (dalam pandangan
culture studies semua benda dapat dijadikan sebagai teks, tidak bertumpu pada teks sastra—
drama, puisi, atau prosa) yang muncul dalam kekinian dengan berpijak pada kekunoan—berasal
dari hal-hal atau teks pada masa lalu. Penelurusuran tersebut akan dilakukan dengan
menggunakan konsep interkstualitas dan semiotik. Teks menurut pendapat Barthes (1981:32)
adalah permukaan teks. Teks, bagi Barthes bukan merupakan benda yang solid. Teks memiliki
sifat dinamis setelah lepas dari pengarangnya. Pembaca memiliki opini sendiri terhadap teks,
dan mungkin akan bergeser jauh dari pemikiran sang penulis sendiri. Teks tidak hanya berbicara
tentang dirinya sendiri, tetapi mampu berbicara tentang lingkungan saat itu dalam berbagai
sudut pandang, seperti hukum, sosial, atau agama. Barthes memandang bahwa tidak satu pun
teks sastra, tidak tertutup teks lain, yang memiliki keaslian. Sebuah teks akan mengusung teks
lainnya. Inilah yang dinamakan intertekstualitas. Kristeva (dalam Junus, 1985:87—89)
menegaskan bahwa intertektualitas hakekat suatu teks yang di dalamnya ada teks lain. Hal yang
dapat kita kaitkan dalam intertektualitas adalah fungsi teks asing pada teks primer, serta
bagaimana perilaku pengarang terhadap teks. Dalam beberapa penelitian, intertekstualitas dapat
dijadikan sebagai alat untuk menentukan teks yang terlebih dulu hadir di antara beberap teks
serupa, seperti yang dilakukan oleh Amertawengrum (2010:1—5) untuk menentukan bahwa
teks cerita Bapak Belalang lebih dulu daripada teks Hikayat Mahsyud Hak.
Konsep lain adalah semiotik Barthes yang dikaitkan dengan mitos. Pemakaian konsep
tersebut adalah untuk mengungkap makna yang terdapat di balik serangkaian teks yang ada,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
329
baik pada teks primer maupun teks asing. Konsep Barthez tersebut kerapkali digunakan
dalam berbagai penelitian tentang petanda dan penanda, di antaranya iklan, film, atau
sastra. Berbagai teks dapat diterapkan dalam teori tersebut, termasuk klausula peraturan
perundang-undangan atau rambu-rambu lalu lintas. Secara ringkas teori dari Barthes ini
dapat diilustrasikan sebagai berikut. Tanda, kita bedakan dalam dua tahap. Pertama,
tanda dapat dilihat latar belakangnya pada (1) penanda dan (2) petandanya. Tahap ini
lebih melihat tanda secara denotati atau menelaah tanda secara bahasa. Berpijak pada
pemahaman tersebut, kita dapat melihat pada tahapan kedua, yakni menelaah tanda
secara konotatif. Tahapan tersebut melibatkan konteks budaya. Benda yang dapat
dicontohkan dalam konsep mitos tersebut, misalnya, bunga mawar. Pada tahap I, bunga
mawarberwarna merah jika ditandai secara denotatif terlihat secara kasat mata bahwa
wujudnya berupa sekuntum mawar berwarna merah. Pada pemaknaan tahap II, bunga
mawar yang berwarna merah tersebut merupakan tanda cinta. Kehidupan modern
mengenal mawar merah sebagai lambang pernyataan cinta. Hal itu banyak digambarkan
dalam film atau sinetron. Pada tahapan ketiga (sign) dapat kita katakana bahwa bunga
mawar merah merupakan simbol kekuatan cinta sekokoh gambaran pekatnya warna
merah pada kelopak bunga mawar. Simbol kekuatan cinta itu dalam wujud mawar
merah sangat abadi karena mampu bertahan pada setiap generasi. Makna denotatif dan
konotatif tersebut dapat digabung sehingga dapat mengarahkan kita pada sebuah mitos,
yaitu kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi segalanya.
Table 1
Teori Mitologi Barthez
1. Signifier (Penanda) 2. Signified (Petanda)
3. Sign (Tanda)
Sumber: Barthez, R. 1972. Mythologies. NY: Noondy Press.
Table 2
Teori Semiologis Barthez
1. Signifier
(Penanda)
2. Signified
(Petanda)
3. Sign (Tanda)
1) Signifier (Penanda)
2) Signified
(Petanda)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
330
3) Sign (Tanda)
Sumber: Barthez, R. 1972. Mythologies. NY: Noondy Press.
Konsep pemaknaan yang lain yang jarang dikemukakan dan diketahui oleh suku Sunda
sendiri adalah Panca Curiga (lima senjata/ilmu) yang dikemukakan oleh Suryalaga (2005,
www.ahmad-samantho.wordpress.com, diakses 2015). Panca Curigaterdiri atas silib
(memaknai sesuatu yang disampaikan secara tidak langsung, tetapi dikiaskan pada hal
lain/allude), sindir (penggunaan susunan kalimat yang berbeda/allusion), simbul (penggunaan
lambang berupa simbol, icon, heraldica), siloka (pengandaian atau penggambaran yang berbeda
/aphorisma), dan sasmita (berkaitan dengan penggambaran suasana dan perasaan hati/depth
aphorisma).
Konsep-konsep tadi diaplikasikan pada beberapa korpus berikut, yaitu legenda
Sangkuriang dan Cinderella. Kedua korpus tersebut telah mengalami perkembangan yang cukup
signifikan sejak kehadiran hiprogram pertama kali. Legenda Sangkuriang diperkirakan sudah
ada sejak sebelum abad ke-13. Hal itu terbukti bahwa legenda tersebut disebut dalam naskah
Bujangga Manik yang ditulis pada peralihan, akhir tahun 1.400 dan awal 1.500. Selepas itu,
legenda tersebut hadir dalam sederet naskah, drama, prosa, puisi, atau bentuk seni lain yang
disebutkan Suryalaga berikut, yaitu Sang Koeriang (A.C. Denik dari Pleyte), Gunung
Tangkuban Parahu (R. Satjadibrata, 1946), Babad Sangkuriang dalam Naskah Sunda Lama
Kelompok Babad (Edi S. Ekadjati, 1983), Sangkuriang (Hasan Wahyu Atmakusumah, 1955),
Sang Kuriang (Kusnadi Prawirasumantri, 1992), Ngabendung Situ (Ajip Rosidi, 1962), Sang
Kuriang (Beni Setia, 1972), Tapak Sangkuriang (Dadan Bahtera, 1989), Sangkuriang
Kabeurangan (Wahyu Wibisana, 1992), Sangkuriang (Tatang R. Sontani, 2004), Sangkuriang
(R. T. A. Sunarya, tt), Sangkuriang Larung (Hidayat Suryalaga, 1973), “Sangkuriang Ninun
Wanci” (Absurditas Malka, dalam http://mangle-online.com, diakses 2015), “Karémbong
Sréngéngé” (Us Tiarsa R., 2010), dan “Kalangkang Budah” (Godi Suwarna, 2004).
Legenda Sangkuriang juga telah banyak dijadikan sebagai tema penelitian, di antaranya,
“Pergeseran Fungsi Mitos Sangkuriang dari Cerita Sangkuriang ke dalam Sajak Sunda”
(Suhandi, skripsi, 1994); “Perubahan Ideologi dari Drama Sangkuriang Dayang Sumbi ke
Sangkuriang Karya Utuy Tatang Sontani” (Lina Meiliawati Rahayu, tesis, 2004), “Peran
Dayang Sumbi dan Sangkuriang dalam Konsep Budaya Sunda: Kajian Hermeneutika Terhadap
Legenda dan Mitos Gunung Tangkuban Parahu dengan Segala Aspeknya” (Suryalaga, Hidayat.
2005.), “Sangkuriang Ori, Sangkuriang Modifikasi, dan Sangkuriang Terkini” (Resti Nurfaidah,
2010), dan “Membaca Religiusitas Sunda dalam Sasakala Sangkuriang” (Deri Hudaya, 2015).
Suhandi membahas . Rahayu membahas perubahan ideologi yang dianut oleh Sontani sebelum
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
331
dan sesudah sang pengarang tersebut bergabung dengan LEKRA. Suryalaga mengamati mitos
dari aspek hermeneutika pada nama tokoh dan nama tempat dalam legenda tersebut. Nurfaidah
membahas deskripsi kisah Sangkuriang dalam tiga wahana yang berbeda. Hudaya meneliti kisah
Sangkuriang dari sudut pandang religiositas Sundawi melalui pendekatan hermenutika. Makalah
ini akan memberikan gambaran bahwa dari nilai-nilai kuno tersirat nilai-nilai kontemporer dan
terwujud dalam dunia kontemporer. Pembahasan mengenai hal itu akan menggunakan
perbandingan dengan mengambil beberapa perumpamaan dari beberapa peristiwa yang terjadi
pada saat ini.
Demikian pula halnya dengan Cinderella. Dalam https://id.wikipedia.org (diakses
2015) versi paling awal Cinderella ditemukan pada naskah Cina kuno pada 860, yaitu The
Miscellaneous Record of Yu Yang yang ditulis oleh Tuan Ch'ing-Shih--sebuah buku yang
diterbitkan pada masa Dinasti Tang. Versi Cinderella yang paling terkenal ditulis oleh penulis
Perancis Charles Perrault dengan judul Cendrilion (1697), berdasarkan cerita rakyat yang
ditulis oleh Giambattista Basile sebagai La Gatta Cennerentola pada 1634. Namun film animasi
dari Walt Disney Production (lihat Cinderella), dijadikan sebagai versi standar dari sudut
pandang kontemporer. Versi Walt Disney diambil dari kumpulan kisah anak-anak yang ditulis
oleh Grimm bersaudara pada tahun 1812. Beberapa penelitian tentang Cinderella, antara lain,
dilakukan oleh Taibe “The Effects of Bugis Culture Upbringing Pattern to Cinderella Complex
Tendency in Bugis Women” yang mengamati kecenderungan Cinderella Complex dalam pola
asuh orang Bugis; Luries dalam “A Comparison of Cinderella Fairy Tale: Grimm Version vs
Traditional French Version” dalam https://www.kibin.com diunduh 4 November 2015; dan
Kelompok Riset dengan makalah “Cinderella, God, and Self-Esteem” dalam
http://getparticipants.com diunduh 4 November 2015; dan Shirley Spencer (2015) dalam
“Cinderella and Ever After: A Comparison of Gender Stereotype”. Penelitian Taibe difokuskan
untuk mengeksplorasi Cinderella complex dalam pola asuh orang Bugis yang membentuk tingkt
ketergantungan tinggi pada perempuan terhadap lawan jenisnya. Luries membandingkan teks
Cinderella versi Grimm bersaudara dan versi Prancis serta menggarisbawahi perbedaan dan
persamaannya. Sementara itu, Kelompok Riset melakukan penelusuran aspek religiusitas dan
konsep kemandirian pada perempuan dalam teks Cinderella versi Grimm. Dalam bentuk film,
kedua versi Cinderella telah diangkat ke layar lebar, antara lain, Cinderella (1950), Ever After:
A Cinderella Story (1998), dan Cinderella (1950). Ketiga film tersebut berpijak pada versi
Perrault. Sementara itu, Achenputtel (2010) merupakan film yang dibuar berdasarkan versi
Grimm.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
332
Pembahasan
Pembahasan dalam eksplorasi berikut dibagi dalam dua bagian, yaitu kekunoan dalam
kekinian pada konsep Sangkuriang serta kekunoan dan kekinian pada konsep Cinderella.
Kekunoan dalam Kekinian pada Konsep Sangkuriang
Konsep Sangkuriang dalam berbagai versi selalu bertumpu pada satu titik temu,
kegagalan untuk menyunting Dayang Sumbi. Penelitian yang mendalam terdapat pada
Suryalaga (2005) dan Hudaya (2015). Analisis yang dalam menunjukkan bahwa Sangkuriang
bukan semata seorang laki-laki yang berada pada ranah hirarki tertinggi dan melakukan
penjajahan kepada Dayang Sumbi sebagai perempuan subordinat. Sangkuriang lebih tepat dapat
dikatakan sebagai perwujudan nafsu atau api dalam sisi manusia yang mudah muncul, tetapi
sulit untuk diatasi. Hal itu dapat kita lihat dalam berbagai peristiwa yang marak muncul pada
beberapa tahun belakangan, misalnya peristiwa tawuran, pembunuhan, perudapaksaan yang
berakhir dengan pembunuhan, bunuh diri, dan perselingkuhan. Peristiwa tawuran dalam
pandangan Abigail (2013, dalam www.kompasiana.com, diakses 2015) disebabkan peranan
media dan lingkungan yang membentuk pola pikir anarkis, longgarnya pengawasan orangtua,
dan kurangnya arena bermain yang menyebabkan banyaknya anak-anak yang kehilangan masa
kanak-kanak. Ketiga hal itulah yang menyebabkan sisi anarkis dalam diri individu tumbuh pesat
dan hampir tidak terkendali. Dalam sudut pandang maskulinitas Beynon, hal itu dinamakan
maskulinitas imperialis dengan kecenderungan bersifat menjajah, baik kepada lawan jenis
maupun sesama jenis. Dalam makulinitas imperial, masalah diselesaikan dengan kekuatan fisik
dan cenderung mengabaikan negosiasi. Ego Sangkuriang terbangun dengan kokoh sejak ia
terlepas dari asuhan ibu kandungnya, sejak terjadinya peristiwa pemukulan tersebut. Luka hati
yang sangat dalam, membuat efek traumatis yang hebat di dalam diri Sangkuriang. Ia tidak mau
mendengarkan pandangan orang lain, termasuk ibunya sendiri.
Sangkuriang merasa menang sendiri dengan kekuatan fisik dan kehebatan ilmunya. Ia
menganggap sang ibu hanyalah wanita lemah. Dalam versi Malka, Sangkuriang berhasil
mendapatkan mesin waktu yang dapat membawanya kembali ke masa lalu untuk bertemu
dengan ibunya. Ia berusaha untuk mewujudkan ambisinya untuk mengawini sang ibu. Namun,
Dayang Sumbi tetap bertahan. Desakan Sangkuriang dibalasnya dengan tuntutan untuk
membuat bendungan dan sebuah perahu seperti permintaan yang pernah ia sampaikan kepada
anaknya itu. Sangkuriang berpendirian bahwa sang ibu masih perempuan yang bodoh. Kali ini,
ia menginginkan untuk meminta selendang yang dulu pernah digunakan untuk menghentikan
langkahnya. Kali ini, pekerjaan Sangkuriang dapat terselesaikan dengan bantuan para makhluk
gaib. Sangkuriang memanggil ibunya. Namun, ia sangat murka ketika disadarinya Dayang
Sumbi, dalam sepucuk surat yang ditulis di atas sehelai kain berwarna putih, bahwa ia tidak
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
333
mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Dayang Sumbi memutuskan untuk meninggalkan
Sangkuriang dengan menggunakan mesin waktu.
Suryalaga dan Hudaya memaknai Dayang Sumbi sebagai, sebenarnya, sebuah solusi
terbaik bagi ambisi liar Sangkuriang. Namun, ego Sangkuriang menutup jalan untuk membuka
hatinya. Sangkuriang hanya dapat mematuhi nafsunya sendiri. Suwarna menuliskan sequel
Sangkuriang dalam “Kalangkang Budah” dan mempertemukan Sangkuriang dengan tokoh
mitologi yang memiliki persamaan nasib, Oidipus. Nasib Oidipus sangat parah karena ia
menikahi ibunya dan memiliki anak hasil incest, yaitu Antigone. Oidipus digambarkan sudah
mengalami titik puncak kekeliruannya dan bertobat. Ia ingin mengubah nasib dengan
mengembara ke negeri selatan. Di peristirahatannya, Oidipus dipertemukan pengarang dengan
Sangkuriang. Carpon “Kalangkang Budah” didominasi dengan dialog antara kedua orang
berbeda bangsa tersebut. Oidipus berperanan sebagai penasihat. Namun, Sangkuriang belum
puas dengan dialog mereka dan ingin melanjutkan perbincangan mereka sesaat setelah
terbangun pada keesokan harinya. Namun, Oidipus telah berlayar kembali dan melanjutkan
perjalanannya. Ego Sangkuriang kembali memuncak seperti sediakala. Dalam beberapa
peristiwa kriminal, para pelaku kerapkali mengaku tidak sadar ketika melakukan sebuah
tindakan keji. Namun, sebagian lain melakukan hal yang sama dalam kondisi sadar. Jika
diamati, para pelaku kriminal mengalami pembelaan diri karena rasa takutnya. Dalam sebuah
kasus pembuhunan, seorang pelaku pada awalnya hanya menginginkan tubuh si korban. Namun,
satu sisi dirinya merasa takut kalau-kalau si korban akan melaporkan diri kepada pihak keluarga
atau berbagai pihak yang berwenang. Korban lalu dihabisinya dengan harapan agar ia dapat
hidup tenang. Ego yang berlebihan, yang tergambarkan dalam kepribadian Sangkuriang, akan
mengundang bencana, antara lain, memenangkan diri sendiri dan, pada kenyataannya akan
menyulitkan orang lain, selain merugikan diri sendiri. Sebagai ilustrasi, dapat kita ambil contoh
kasus bunuh diri seorang perwira polisi karena kekasihnya menolak untuk dijadikan sebagai istri
kedua. Longgarnya ikatan keluarga dan persaingan yang tinggi di lingkungan sosial
menyebabkan rendahnya penerimaan seorang anak dalam sebuah keluarga. Peristiwa buang
bayi merupakan buah ego dan superego para pelaku. Nilai sebuah hubungan seksual tidak lagi
mulia, melainkan sudah sedemikian rendah. Anak sebagai produk resmi dari sebuah hubungan
sepasang manusia tidak ditempatkan sebagai fokus kasih sayang dan penerus keturunan. Anak
buah hubungan illegal kebanyakan dibuang begitu saja dan dianggap sebagai penghalang
kebahagiaan ayah dan ibunya.
Kekunoan dan Kekinian pada Konsep Cinderella
Geliat gerakan kaum feminis dalam berbagai aliran semakin meningkat. Namun, tidak
semua perempuan dapat mengikuti gerakan tersebut. Terkadang para penggiat feminisme
berjalan tanggung. Pada satu sisi, mereka menyuarakan kesetaraan gender, persamaan hak, dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
334
berbagai tuntutan lainnya. Namun, di sisi lain, gerakan mereka terbentur tradisi. Salah satu
contoh, seorang perempuan, sejak menikah, senang menambahkan nama suami di belakang
namannya sendiri. Lebih parah lagi, jika ia bersembunyi secara seutuhnya di balik naman
suaminya. Salah seorang penulis terkenal, mengaku sebagai feminis, terbiasa memasang nama
suami dalam setiap tulisan yang ia buat. Kesulitan pun terjadi ketika terjadi perceraian. Ia
bernegosiasi untuk mempertahankan nama mantan suaminya demi mempertahankan
kesuksesan. Hal itu dilakukannya untuk mempertahankan kesuksesan di ranah publik. Namun,
semakin lama, ia merasa jenuh dan kembali menggunakan nama ayahnya. Dalam pandangan
Faruk HT, Kartini sekalipun melakukan hal yang paradoks. Sebelum bertemu dengan calon
suaminya, ia gencar memperjuangkan cita-citanya. Namun, pada satu titik, ia berbalik melawan
pandangannya sendiri yang antipoligami. Sebaliknya, Kartini terikat dalam poligami itu sendiri.
Setelah itu, Kartini berbalik menyampaikan puji-pujiannya kepada suaminya dengan
mengedepankan dukungannya terhadap perjuangan Kartini selama ini. Faruk HT (2006:39)
dengan berani mengatakan bahwa titik balik Kartini tersebut disebabkan oleh satu hal sepele,
ketakutan Kartini menjadi perawan tua jika ia melanjutkan sekolah ke negeri Belanda.
Geliat kesetaraan gender yang mengalami peningkatan drastik, tidak menutup tingkat
ketergantungan perempuan terhadap kaum laki-laki seutuhnya. Taibe mengemukakan bahwa
pola asuh keluarga terhadap kaum wanita Suku Bugis membentuk tingkat ketergantungan yang
tinggi pada lawan jenisnya. Cinderella dalam berbagai versi tidak pernah menghilangkan satu
titik intinya, yaitu menyuarakan subordinasi perempuan. Meskipun terdapat unsur perlawanan
atau ikhtiar dari Cinderella sendiri, tetapi hal itu tidak melunturkan dominasi maskulin dari
lingkungan di sekitarnya, terutama pada tokoh pangeran. Meskipun, dalam Cinderella versi
Italia yang mutlak tidak menghadirkan sosok peri, karena tokoh utama dihadirkan pada situasi
modern—dilengkapi dengan promosi motor vespa sebagai produk khas negara tersebut, tidak
mampu meningkatkan aspek ketergantungan perempuan terhadap lawan jenisnya itu.
Sebaliknya, dipandang dari aspek maskulinitas, sosok maskulin menunjukkan ambiguitas. Pada
satu sisi, tokoh maskulin digambarkan sebagai sosok yang dibutuhkan, bahkan diperebutkan.
Namun, pada sisi lain, tokoh laki-laki digambarkan menonjol sisi femininitasnya, misalnya
menunjukkan kesedihannya karena kehilangan jejak Cinderella sebelum pesta berakhir, sosok
ayah (dalam versi Achenputtel) digambarkan sebagai laki-laki lemah yang tidak dapat bersikap
tegas dalam mengambil keputusan dan menghadapi permasalahan, pemenuhan ambisi dilakukan
dengan cara yang halus berupa sayembara—penyelenggaraan sayembara tersebut, menunjukkan
supremasi, di balik aspek kelembutan tokoh maskulin, laki-laki (pangeran) sebagai fokus yang
diperebutkan oleh kaum perempuan. Perempuan ditekankan untuk menonjolkan potensi sensual
mereka demi mendapatkan iming-iming yang dikemas sangat menawan, seorang pangeran yang
lembut hati, tampan, baik hati. Peristiwa serupa sayembara tersebut juga benar-benar terjadi di
dunia nyata. Wajarlah jika seorang gadis memiliki kekhawatiran akan kehilangan kekasihnya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
335
Terlebih jika sang kekasih dikenal luas di ranah publik. Persaingan untuk mendapatkan sang
kekasih tentu memerlukan tak-tik tersendiri bagi seorang perempuan untuk menangkis serangan
rivalnya itu. Namun, wajar pula jika seorang istri menaruh kekhawatiran dengan tingkat yang
lebih tinggi karena pascapernikahan, tidak berarti persaingan akan berakhir. Interaksi sosial
yang semakin mudah dengan kondisi dan situasi lingkungan sosial yang semakin longgar,
kemudahan penggunaan perangkat teknologi, serta landasan keimanan yang lemah tidak
menutup kemungkinan untuk membuka peluang terjadinya sayembara berikutnya.
Amatilah isu-isu perselingkuhan, baik di antara para pesohor maupun masyarakat lain.
Perselingkuhan, terakhir kasus Arzetti Bilbina yang sampai saat ini belum terselesaikan,
merupakan bukti yang cukup signifikan terhadap tingginya ketergantungan kaum perempuan
terhadap lawan jenisnya. Peristiwa tersebut merupakan bukti bahwa masyarakat kita, meskipun
telah hidup pada era postmodern, tidak dapat meninggalkan nilai-nilai tradisional/kuno, yaitu
memerlukan peranan lawan jenisnya sebagai penyeimbang dalam menjalani kehidupan, seperti
sudah digariskan dengan tegas dalam berbagai akidah. Dalam kasus lain, aborsi atau
pembuangan bayi yang baru dilahirkan, jika dikaji dengan lebih dalam, terjadi karena satu
alasan, yakni takut dalam memandang berbagai hal, seperti memandang masa depan,
menghadapi pandangan massa, dan berbagai aspek ketakutan lain. Perudapaksaan berujung
kematian, jika ditengarai bermuara pada rasa takut, misalnya takut diketahui keluarga korban
atau pihak berwajib. Untuk menghindari hal itu, menghilangkan nyawa korban dijadikan
sebagai solusi yang cepat. Peristiwa tersebut dapat dimaknai bahwa si pelaku perudapaksaan
tidak dapat menghindari nilai-nilai tradisi, seperti penggugatan keluarga korban untuk menikahi
korban jika kelak hamil, pengaduan kepada pihak berwajib, atau sanksi adat.
Penutup
Meskipun era modern telah terlampaui sampai ke posmodern, manusia tidak dapat
melarikan diri dari sederet nilai-nilai tradisional atau kuno di dalam kehidupannya. Peningkatan
gerakan kesetaraan gender juga dihadapi oleh sebagian kalangan dengan kebimbangan.
Keinginan untuk mencapai kondisi merdeka kerapkali terhadap pandangan individu sendiri
terhadap nilai-nilai tradisional itu, seperti pernah dilakukan oleh Kartini terhadap poligami.
Mengapa hal itu terjadi? Manusia tidak dapat meninggalkan jejak masal lalu yang disampaikan
dan dilesatarikan secara turun-temurun, seperti penyampaian dongeng Sangkuriang.
Sangkuriang dan Cinderella merupakan teknologi penyampaian nasihat dari nenek moyang kita
terhadap generasi penerusnya agar terhindar dari malapetaka. Banyak peristiwa tragis yang
terjadi pada saat ini merupakan dampak dari lunturnya nilai-nilai tradisi. Kekikinian tidak
pernah meninggalkan kekunoan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
336
Daftar Pustaka
Amertawengrum, Indiyah Prana. 2010. “Teks dan Intertekstualitas” dalam Jurnal Magistra
Nomor 73, Tahun XXII, September 2010, hlm. 1—5. Klaten:Universita Widya Darma
Klaten.
Barthes, Roland. 1981. “Theory of the Text” dalam Untying the Text: A Post-Srtucturalist
Reader dengan Robert Young (Ed.). Boston, London, and Henley: Routledge and
Kegan Paul.
Duguay, Christian. 2011. Cinderella: Ein Liebermärchen in Rom. Italia.
Faruk HT. 2006. “Pendekar Wanita di Goa Hantu” dalam Sangkan Paran Gender. Edisi ketiga.
Hlm. 31—60. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Grimm, Jacob, dan Wilhelm Grimm. Tt. “Cinderella” dalam http://www.pitt.edu diunduh 2
November 2015, pukul 14:25 WIB.
Hudaya, Deri. 2015. “Membaca Religiusitas Sunda dalam Sasakala Sangkuriang” dalam
Prosiding Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia.
Bandung: Departemen Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Suryalaga, Hidayat. 2005. “Peran Dayang Sumbi dan Sangkuriang dalam Konsep Budaya
Sunda: Kajian Hermeneutika Terhadap Legenda dan Mitos Gunung Tangkuban Parahu
dengan Segala Aspeknya”. Naskah orasi ilmiah pada Wisuda Itenas 2005. Bandung:
koleksi pribadi.
Suwarna, Godi. 2004. “Kalangkang Budah” dalam Murang-Maring, hlm. 11—21. Bandung:
Kiblat.
Taibe, Patmawaty. 2012. “The Effects of Bugis Culture Upbringing Pattern to Cinderella
Complex Tendency in Bugis Women” https://www.kibin.com diunduh 4 November
2015, pukul 12:00 WIB.
Zanke, Susane. 2010. Aschenputtel. Germany: Provobis (Berlin), Moviepool GmbH (München).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
337
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERPEN ANAK
SEBAGAI WUJUD PRIBADI YANG MANDIRI, KREATIF, DAN INOVATIF DALAM
MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL
Riana Dwi Lestari STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Arus globalisasi mampu mengubah pribadi manusia ke arah yang memprihatinkan.
Perubahan pribadi manusia ini menyangkut pola asuh maupun gaya hidup yang diajarkan
orang tua, juga peran pendidikan karakter yang ditanamkan di lingkungan sekolah. Pola
asuh orang tua dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orang tua,
yang menyangkut pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan
kebutuhan non-fisik (seperti perhatian, empati, kasih sayang, dan sebagainya)
(Kurniawan, 2013: 80-81). Pola asuh orang tua berperan penting dalam membentuk
karakter anak sebagai rasa tanggung jawab mereka, untuk mewujudkan pribadi anak yang
mandiri, kreatif, dan inovatif. Perubahan gaya hidup yang semula manusia sebagai
makhluk sosial yang saling membutuhkan berubah menjadi bersikap individualis yang
tidak membutuhkan orang lain. Pola asuh dan perubahan gaya hidup mempengaruhi
perubahan hidup seseorang. Pendidikan karakter sebaiknya dikembangkan melalui
pendekatan terpadu dan menyeluruh, efektivitas pendidikan karakter tidak selalu harus
dengan menambah program tersendiri, tetapi bisa melalui transformasi budaya dan
kehidupan di ligkungan sekolah (Kurniawan, 2013: 107). Metode yang digunakan dalam
pendekatan ini adalah analisis teks berdasarkan nilai-nilai pendidikan karakter, sehingga
dapat diketahui unsur yang dapat mewujudkan pribadi yang mandiri, kreatif, dan inovatif
dalam sastra anak. Hal ini diharapkan dapat menyiapkan mentalitas anak dalam
menghadapi persaingan global.
Kata kunci: nilai pendidikan karakter, cerpen anak, mandiri, kreatif, dan inovatif.
Pendahuluan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin berkembang pesat di
tengah persaingan global, namun moralitas bangsa semakin terpuruk. Salah satu contoh dari
perkembangan IPTEK yaitu pemakaian gadget di kalangan masyarakat dari mulai anak-anak
hingga orang dewasa. Orang tua lebih senang dan bangga jika anaknya terampil menggunakan
gadget, padahal banyak dampak negatif dari penggunaannya. Seperti halnya manusia dewasa,
anak pun membutuhkan informasi tentang dunia yang terjadi disekelilingnya. Sastra anak dapat
dijakan alternatif orang tua untuk mendidik anaknya. Sastra anak adalah buku-buku bacaan
yang sengaja ditulis untuk dikonsumsikan kepada anak, buku-buku yang isi kandungannya
sesuai dengan minat dan dunia anak, sesuai dengan tingkat perkembangan emosional dan
intelektual anak, dan buku-buku yang karenanya dapat memuaskan anak (Nurgiyantoro:2013:8).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
338
Salah satu strategi membermaknakan nilai pendidikan karakter pada anak, yaitu melalui
kegiatan apresiasi sastra. Cerita anak yang disajikan dengan menarik berpotensi dapat
mengembangkan kognisi dan daya apresiasi anak. Apresiasi cerita anak memiliki sumbangan
bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan sebagai manusia yang
mempunyai jati diri. Pendidikan karakter menekankan nilai etis-spiritual bukanlah hal yang
baru. Secara mendasar, pendidikan karakter memuat pada pengajaran inti berbasis pada model
pembelajaran mengalami (experience). Inti pembelajarannya adalah mengajarkan kepada anak
tentang adanya suatu kekuatan lebih tinggi yang mengatur alam dan isi jagad raya ini. Ajarkan
sesuatu pada anak bahwa sebagai manusia senantiasa tidak lepas dari kekuatan tersebut untuk
mampu menciptakan dan merasakan hidup yang lebih baik. Apabila anak sudah meyakini ada
Yang Maha Kuasa tidak sebagai pengetahuan kognitif saja.
Mandiri adalah suatu sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas-tugas (Kurniawan, 2013: 143). Dengan melakukan kegiatan
apresiasi sastra, anak diharapkan mampu menjadi pribadi yang mandiri yang tidak
menggantungkan diri pada orang lain. Kegiatan apresiasi diharapkan dapat menstimulus anak
anak dalam mengerjakan dan melaksanakan tugas tanpa tergantung pada orang lain. Anak bisa
menyelesaikan permasalahan secara bijak, menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah
menyerah.
Kreatif adalah suatu kemampuan umum untuk menciptakan suatu yang baru, sebagai
kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan
masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur
yang sudah ada sebelumnya (Kurniawan, 2013: 140). Kreatif berarti dapat meningkatkat
kualitas diri dengan meningkatkan kreatifitas. Kreatifitas untuk menciptakan hal yang baru.
Inovatif adalah cara berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki. Mampu
menciptakan sesuatu yang unik dan juga berbeda agar mempunyai nilai jual yang tinggi.
Berorientasi pada penemuan baru dengan melihat kebutuhan masyarakat, pandai membaca
peluang.
Dalam menghadapi persaingan ekonomi global yang semakin kompleks, maka
kreativitas menjadi hal yang utama dalam menciptakan keunggulan kompetitif. Dunia global
memerlukan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif. Untuk menjadi seorang wirausaha,
sikap mental yang tangguh ditunjang dengan kompetensi yang tinggi dan penuh perhitungan
sangat membantu keberhasilan dalam berwirausaha.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
339
Selanjutnya akan dibahas mengenai cerpen anak yang berjudul “Laptop Si Calon
Penulis”, di mana akan dianalis berdasakan nilai pendidikan karakternya. Cepen anak ini berisi
mengenai perjuangan seorang anak dalam mewujudkan impiannya. Seorang anak yang terus
berjuang mengembangkan bakatnya untuk merubah hidupnya.
Hasil dan Pembahasan
Istilah karakter dapat dimaknai sebagai kualitas individu yang menjadi ciri seseorang
atau kelompok dalam masyarakat. Dalam konteks pendidikan, karakter merupakan nilai-nilai
yang unik. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan siswa agar dapat member keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan
mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Rencana Aksi
Nasional Pendidikan Karakter, Kemendiknas 2010-2014). Peran pembelajaran bahasa
Indonesia diharapkan dapat membantu siswa mengenal dirinya, budaya, bernegosiasi dalam
kehiduan bermasyarakat, dan menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang dalam
dalam diri siswa. Salah satu tujuan mata pelajaran bahasa Indonesia yaitu agar peserta didik
memiliki kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperluas budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
Nilai merupakan daya dorong yang melandasi sikap dan perilaku; dan nilai-nilai yang
terpatri dalam diri kita melalui pengalaman, pendidikan, dan pengorbanan, menjadi nilai
intrinsik yang melandasi sikap dan berperilaku kita. Kenyataannya, pendidikan nilai karakter di
sekolah selama ini baru mencapai pengenalan norma atau nilai-nilai, belum pada internalisasi
dan implementasi nilai dalam kehiduan sehari-hari.
Prinsip-prinsip pengembangan nilai pendidikan karaker melalui pembelajaran bahasa
Indonesia. (Kemendikbud, 2012: 9-12)
1. Berklanjutan berarti proses implementasi dan pengembangan nilai karakter
merupakan sebuah proses panjang dnan berkelanjutan, mulai dari peserta didik
masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan, dari lingkungan keluarga,
sekolah berlanjut ke ligkungan masyarakat.
2. Menyeleruh berarti proses implementasi dan pengembangan pendidikan karakter
tidak hanya melalui pembelajaran di kelas, tetapi juga melalui ekstrakurikuler,
pengembangan budaya sekolah, dan peningkatan peran serta masyarakat.
3. Nilai tidak hanya diajarkan tapi dipraktikan melalui peneladanan dan pembiasaan.
4. Partisipasi, aktif, dan menyenangkan. Proses penanaman nilai melalui pembelajaran
dilakukan secara partisipatif, aktif dan menyenangkan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
340
5. Latihan dan pembiasaan.
6. Keteladanan
7. Keterkaitan.
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan untuk:
1) membentuk bangsa yang tangguh;
2) kompetitif;
3) beakhlak mulia;
4) bermoral;
5) bertoleran;
6) bergotongroyong;
7) berjiwa patriotik;
8) berkembang dinamis;
9) berorientasi ilmu pengetahuanan teknologi.
Pendidikan karakter berfungsi, sebagai berikut:
1) menggambarkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik;
2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur;
3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
18 Nilai Pendidikan Karakter
No Nilai Karakter yang
Dikembangkan
Deskripsi Prilaku
1 2 3
1 Nilai karakter dalam
hubungannya dengan Tuhan
Yang Maha Esa (Religius).
Berkaitan dengan nilai ini, pikiran, perkataan, dan
tindakan seseorang yang diupayakan selalu
berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan/atau
ajaran agamanya.
2 Nilai karakter dalam
hubungannya dengan diri
sendiri yang meliputi;
Jujur Merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain.
Bertanggung jawab Merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk
melakanakan tugas dan kewajibannya
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
341
sebagaimana yang seharusnya dia lakukan,
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), Negara dan Tuhan
YME.
Bargaya hidup sehat Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang
baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan
menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat
mengganggu kesehatan.
Disiplin Merupakan suatu tindakan yang menunjukkan
perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan.
Kerja keras Merupakan suatu perilaku yang menunjukkan
upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas
(belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.
Percaya diri Merupakan sikap yakin akan kemampuan diri
sendiri terhadap pemenuhan ketercapaiannya
setiap keinginan dan harapannya.
Berjiwa wirausaha Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau
berbakat mengenali produk baru, menentukan
cara produksi baru, menyusun operasi untuk
pengadaan produk baru, memasarkannya, serta
mengatur permodalan operasinya.
Berpikir logis, kritis, kreatif,
dan inovatif
Berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan
atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil
baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.
Mandiri Suatu sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan
tugas-tugas.
Ingin tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa
yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
Cinta ilmu Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
3 Nilai karakter dalam
hubungannya dengan sesame
Sadar akan hak dan
kewajiban diri dan orang
lain.
Sikap tahu dan mengerti serta melaksnakan apa
yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang
lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang
lain.
Patuh pada aturan-aturan
sosial.
Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan
berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan
umum.
Menghargai karya dan
prestasi orang lain.
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat dan mengakui dan menghormati
keberhasilan orang lain.
Santun Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata
bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.
Demokratis Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan
orang lain.
4 Nilai karakter dalam Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
342
hubungannya dengan
lingkungan
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
Nilai kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan Negara
diatas kepentingan diri dan kelompoknya.
Nasionalis Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsanya.
Menghargai keberagaman Sikap memberi respek/hormat terhadap berbagai
macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat,
budaya, suku, dan agama.
Manfaat Sastra Anak
Kesesuaian dalam memilih satra sebagai bacaan anak akan memberikan manfaat yang dapat
dirasakan anak. Manfaat sastra anak menurut Ampera (2010: 12-13), yaitu :
1. Anak akan memperoleh kesenangan dan mendapatkan kenikmatan ketika membaca atau
mendengarkan cerita yang dibacakan untuknya.
2. Anak dapat mengembangkan imajinasinya.
3. Anak memperoleh pengalaman yang luar biasa.
4. Anak dapat mengembangkan intelektualnya.
5. Kemampuan berbahasa anak akan meningkat.
6. Anak akan lebih memahami kehidupan sosial.
7. Anak akan memahami nilai keindahan.
8. Anak akan mengenal budaya,
Hubungan Perkembangan Anak dengan Sastra
Secara umum, periode perkembangan kognitif manusia menurut Piaget dalam Kurniawan
(2013: 40) adalah sebagai berikut:
Periode I : Kepandaian Sensorik-Motorik (dari lahir sampai 2 tahun)
Periode II : Pikiran-Pra Operasional (2 sampai 7 tahun)
Periode III : Operasi-Operasi Berpikir Konkrit (7 sampai 11 tahun)
Peride IV : Operasi-Operasi Berpikir Formal (11 sampai dewasa)
Oleh karena itu, pembentukan nilai pendidikan karakter yang mandiri, kreatif, dan
inovatif perlu ditanamkan sejak dini. Penanaman pribadi yang mandiri sehingga mampu
berkreasi dan berinovasi harus dilakukan sedini mungkin. Pembentukan nilai pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
343
karakter tersebut membutuhkan media yang tepat, yaitu dengan mendongeng, membaca cerpen
anak untuk menstimulus perkembangan kemampuan berpikir secara sistematis. Berdasarkan
perkembangan kognitif menurut Piaget, pada periode III anak-anak mengembangkan
kemampuan berpikir sistematis, namun hanya ketika mereka dapat mengacu pada objek-objek
dan aktivitas-aktivitas konkret.
Sinopsis Laptop Si Calon Penulis
Mengishakan seorang anak yang masih duduk dibangku Sekolah Dasar, bernama Najwa
Khairunnisa. Najwa berasal dari keluarga yang sederhana, ayahnya bekerja sebagai pegawai
kantoran biasa. Najwa mempunyai sahabat bernama Gina. Gina berasal dari keluarga kaya,
namun baik hati dan selalu menolong Najwa dalam kesulitan. Gina selalu memberikan
semanagat pada Najwa untuk selalu berkarya. Najwa bercita-cita menjadi seorang penulis
terkenal. Dia terpakau dengan karya-karya penulis terkenal, selain itu juga dari menulis bisa
mengahsilkan uang.
Najwa akan mengikuti lomba menulis yang dikirimkan lewat pos atau melalui internet.
Waktu pengumpulan cerita untuk lombanya tinggal 2 minggu lagi. Sedangkan komputer yang
ada di rumahnya selalu digunakan oleh ayah untuk mengerjakan pekerjaan kantor yang belum
terselesaikan. Gina menawarkan bantuan pada Najwa, untuk memakai laptop pribadinya.
Namun, Najwa menolak karena dia terlalu sering menggunakan laptop Gina. Dia memilih
mengerjakan di warnet dalam menyelesaikan cerita yang akan dilombakan.
Najwa ingin sekalai mempunyai laptop. Jika ia memenangkan lomba menulis ini,
rencananya uang yang ia daptkan akan dipergunakan untuk membeli laptop. Najwa selalu
menyisihkan uang jajannya untuk ditabung. Kalau hanya mengandalkan uang yang
disisihkannya setiap hari dari uang sakunya rasanya mustahil. Dia memikirkan cara agar cepat
mendapatkan uang. Dia memutuskan untuk berjualan. Najwa membuat tempat pensil dan
dompet, ternyata hasilnya pun lumayan.
Pengumuman pemenang lomba diumumkan melalui internet. Najwa merasa kecewa
karena namanya tidak berada di urutan juara 1, 2, dan 3 lomba menulis cerpen, ia masuk ke
dalam 5 besar pemenang hiburan. Hadiah uang sebesar Rp. 500.000, 00 dimaukkan ke dalam
rekeningnya untuk membeli laptop.
Beberapa bulan kemudian, uang Najwa sudah terkumpul lebih dari Rp. 2.000.000, 00.
Itu sudah cukup untuk membeli sebuah laptop yang sedang diskon. Walaupun kurang bagus,
yang penting bisa dipakai. Seminggu kemudian, ia mendapat surat dri redaksi majalah anak-
anak. Ternyata karyanya kemarin, diterima dan akan dimuat. Ia diminta membuat cerpen lagi
untuk majalah itu. ia juga mulai menulis novel dan mengirimkan ke sebuah oenerbit. Sekarang,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
344
ia sudah membuat 4 judul buku. Juga sudah banyak yang mengenalnya. Akirnya impian Najwa
terwujud, ia mempunyai peluang untuk menjadi penulis terkenal di Indonesia.
Nilai Pendidikan Karakter dalam Cerpen “Laptop Si Calon Penulis”
Karya Nur Alfia Rahmah
No Nilai Pendidikan
Karakter dalam Teks
Teks Analisis
1 Nilai Karakter dalam
hubungannya dengan
Tuhan Yang Maha Esa
(Religius)
Allahu Akbar, allahu Akbar
… Azan magrib
berkumandang. Ah, tak
terasa, hari sudah hampir
malam. Setelah menyimpan
kerangkaku ke dalam
flasdisk, aku segera pulang.
Kalimat disamping
mencerminkan bahwa,
ketika suara adzan
berkumandang Najwa
akan berbegas pulang. Hal
ini menandakan keimanan
dan ketaqwaannya
terhadap Tuhan Yang
maha Esa.
Aku melepas kerudungku
dan bergabung dengan
adikku.
Tokoh aku “Najwa”
mengenakan kerudung
dalam kesehariannya. Hal
ini sesuai dengan apa yang
diperintahkan Tuhan Yang
Maha Esa untuk menutup
aurat yaitu dengan
berkerudung.
“Kakak sholat dulu ya, lalu
makan malam! Mau
berjamaah bersama ibu?”
Tanya ibuku.
Kewajiban menunaikan
sholat merupakan tindakan
yang sesuai dengan nilai-
nilai atau ajaran agamanya
(islam).
2 Mandiri “Tidak usah! Aku tidak enak
jika harus memakai
laptopmu terus,” tolakku
lembut.
Kalimat disamping
mencerminkan bahwa,
tokoh aku tidak mau
merepotkan orang lain
untuk memenuhi
kebutuhannya. Aku
berusaha memecahkan
persoalannya sendiri tanpa
tergantung kepada orang
lain.
Hmmm … sebaiknya aku ke
warnet,” aku berkata sendiri.
Perilaku yang ditunjukkan
aku merupakan bentuk
kemandirian dengan
mencari jalan lain untuk
menyelesaikan tugasnya.
3 Kerja keras Aku mulai mengumpulkan
uang. Sehari, dua hari,
seminggu, akhirnya berlalu.
Aku sudah menyisihkan
uang jajan sehari-hari.
Kalimat disamping,
merupakan upaya
sungguh-sungguh yang
dilakukan aku untuk
mengumpulkan uang. Ia
rela meyisihkan uang
jajannya untuk ditabung.
Perilaku menyisihkan uang
jajan merupakan wujud
kerja keras yang dilakukan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
345
untuk memenuhi
keinginannya.
Biasanya, aku membeli
makanan lain selain untuk
makan siang di sekolah.
Misalnya, membeli makanan
ringan setelah makan mie
ayam. Tetapi, sekarang
tidak.
Proses untuk tidak
membeli makanan ringan
setelah makan mie ayam
merupakan kerja keras
yang dilakukan tokoh aku.
Ia berusaha menahan
dirinya untuk tidak
membeli makan ringan,
agar uang yang dia
butuhkan cepat terpenuhi.
4 Berjiwa wirausaha “Kucoba dulu segini,
mungkin bisa laku. Aku juga
akan menerima pesanan,
ucapku gembira.
Perilaku yang ditunjukkan
aku dalam kalimat
disamping merupakan
perilaku kemandirian
dalam berwirausaha
memasarkan sebuah
produk.
Aku memutuskan untuk
berjualan. Aku akan
membuat tempat pensil dan
dompet untuk dijual.
Perilaku yang mandiri
untuk memproduksi
tempat pensil dan dompet,
serta memasarkannya,
merupakan bentuk jiwa
wirausaha yang tertanam
dalam tokoh aku.
5 Berpikir logis Aku memang bercita-cita
menjadi seorang penulis
terkenal sejak kecil. Aku
begitu terpukau dengan
karya-karya penulis terkenal
itu. aku, dengar jika jadi
penulis, bisa menghasilkan
uang dari karyanya. Aku
ingin uang itu nanti untuk
membantu keluargaku.
Tokoh aku bercita-cita
ingin menjadi penulis
dengan bakat yang ada
dalam dirinya. Ia
berpikiran bahwa dengan
menjadi penulis ia akan
menghasilkan banyak
uang, sehingga dapat
membantu keuangan
keluarganya.
6 Sadar akan hak dan
kewajiban diri dan
orang lain
“Bagaimana kalau pakai
laptopku saja?” tawar Gina
yang memang mempunyai
laptop pribadi.
Gina menyadari akan
kewajibannya untuk
membantu teman yang
sedang dalam kesulitan.
Gina berusaha
menawarkan laptopnya
kepada Najwa.
7 Menghargai karya dan
prestasi orang lain
“Tapi, kamu sebaiknya
mengikuti lomba itu! kalau
kamu menang, ka nada
hadiah uangnya juga.
Lumayan lho, hadiahnya, 5
juta rupiah! Lalu, karyamu
juga akan dimuat di sebuah
buku anak-anak,”bujuk
Gina.
Kalimat disamping
menunjukkan, betapa
gigihnya Gina membujuk
Najwa untuk mengikuti
lomba menulis cerpen.
Gina mempunyai
keyakinan bahwa tulisan
Gina layak untuk dimuat
di sebuah buku. Perilaku
ini menunjukkan sikap
menghargai karya orang
lain.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
346
8 Santun Komputer di rumahku
memang ada satu, dan sering
dipakai untuk keperluan
kerja ayah. Aku juga hanya
bisa memakainya saat
ayahku tidak sibuk.
Sikap santun berdasarkan
perilaku dengan
kesabarannya
menggunakan komputer
jika ayahnya tidak sibuk
merupakan wujud santun
tokoh aku.
“Jangan begitu dong, nanti
laptop impianmu tidak
terbeli. Kan, sayang!
Mungkin saja, beberapa
bulan ke depan, harga laptop
akan turun. Jadi, kamu lebih
mudah untuk membelinya!”
Sikap halus ditunjukkan
Gina berdasarkan sudut
pandang tata bahasa
tercermin dalam kalimat
disamping. Gina berusaha
memberikan semangat
dengan kata-kata yang
halus.
“terima kasih, Gina … kamu
memang sahabat terbaikku,”
ucapku sambil mengusap air
mata yang tiba-tiba
mengalir.
Sikap halus ditunjukkan
oleh tokoh aku
berdasarkan sudut pandang
tata bahasa dengan
mengucapkan terima
kasih.
9 Rela berkorban “Biaya administrasi Gina
kurang Rp. 2.000.000! Ayah
lupa membawa uang lagi.
Kalau tidak segera dibayar,
Gina akan dikeluarkan!”
serunya. Aku menawarkan
uang buat membeli laptopku
untuk dipakai dulu
membayar biaya
administrasi Gina. Aku ingin
sekali menolong sahabat
yang telah banyak
menolongku.
Tokoh aku rela
mengorbankan uang
tabungannya untuk
membantu Gina. Wujud
perilaku rela berkorban
yang lebih mementingkan
kepentingan orang lain
daripada diri sendiri.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, anak diharapkan mampu berpikir secara sistematis dan logis.
Anak bisa memahami karakter yang dibentuk oleh penulis sebagai cerminan hidup sehari-hari.
Sehingga, anak tidak tergantung pada orang lain, mempunya daya kreativitas yang tinggi
sehingga mampu menciptakan hal-hal yang baru. Tentunya dengan didasari dengan keimanan
kepada Tuhan Yang Esa dan menghargai orang lain sebagai identitas dari bangsa Indonesia.
Simpulan
Pendidikan karakter merupakan suatu kebutuhan mendasar dalam proses berbangsa.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter dan jati diri yang kuat untuk
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
347
mengahadapi persaigan global. Penddikan karakter di Negara kita belum berjalan optimal. Hal
ini disebabkan oleh tiga aspek yaitu pola asuh maupun gaya hidup yang diajarkan orang tua,
juga peran pendidikan karakter yang ditanamkan di lingkungan sekolah. Hal ini harus berjalan
secara beriringan baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah.
Pelaksanaan pendidikan karakter perlu direvitalisasi sehingga mampu mendukung
terbentuknya karakter positif siswa sebagaimana yang diharapkan dalam tujuan pendidikan
nasional. Peran keluarga dalam pembentukkan karakter anak yang menyangkut pola asuh dan
gaya hidup sama pentingnya. Penanaman gemar membaca perlu diterapkan sedini mungkin
pada anak. Sehingga dengan membaca cerpen, diharapkan mampu menanamkan nilai
pendidikan karakter dalam diri anak. Bukan hanya sekedar memahami nilai-nilai moral saja
tetapi bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pada usia 7-11 tahun anak sudah memiliki kemampuan untuk menguasai keterampilam
berbahasa seperti, menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan tersebut
merupakan bekal dalam memahami sastra. bahkan, pada usia ini, dapat dikatakan jika anak-anak
lebih menyukai dunia sastra dibandingkan dengan berhitung. Hal ini terjadi karena sastra anak
disesuaikan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman anak. Perkembangan intelektual dan
emosional anak ditentukan oleh karakter kepribadian dan lingkungan. Ini berarti bahwa jati diri
anak yang sudah mempunyai karakteristik pengetahuannya sendiri, juga dipengaruhi oleh
pendidikan di sekolah, keluarga, dan lingkungan sosialnya.
Daftar Pustaka
Ampera, Taufik.2010.Pengajaran sastra Teknik Mengajar sastra Anak Berbasis
aktivitas.Bandung: Widya Padjadjaran.
Izzati, Sri.2014.Kecil-Kecil Punya Karya: Sejuta Bibit Impian.Bandung: Mizan.
Kemendikbud.2012.Panduan Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia di Sekolah Dasar.Kemendikbud.
Kurniawan, Heru. 2013. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika,
hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kurniawan, Syamsul.2013.Pendidikan Karakter.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Nurgiyantoro, Burhan.2013.Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak.Yogyakarta:
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
348
Gajah Mada University Press.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
349
INFERENSI PRAGMATIK
TERHADAP LIRIK “JUPE PALING SUKA 69” DAN “BELAH DUREN”
YANG DIPOPULERKAN OLEH JULIA PEREZ
Rizki Hidayatullah Nur Hikmat dan Siti Hasti
Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi maksud tersirat dari penggunaan lirik lagu
“Jupe Paling Suka 69” dan “Belah Duren” dari sudut pandang Pragmatik. Dalam
penelitian ini, kerangka analisis Pragmatik meliputi dua lapisan analisis: implikatur dan
inferensi. Analisis implikatur dan inferensi pragmatik digunakan untuk mengeksplorasi
lirik lagu “Jupe Paling Suka 69” dan “Belah Duren” yang dipopulerkan oleh Julia Perez.
Data dalam penelitian ini berupa lirik lagu “Jupe Paling Suka 69” dan “Belah Duren”
yang dipopulerkan oleh Julia Perez. Kedua lagu tersebut sempat populer dan diberitakan
mendapat pencekalan dari KPI (Komisi penyiaran Indonesia) karena berpotensi
diinterpretasi sebagai tuturan porno. Inferensi Pragmatik mutlak diperlukan oleh mitra
tutur dalam upaya mengungkap implikatur percakapan dari lirik lagu “Jupe Paling Suka
69” dan “Belah Duren”. Dalam proses menyimpulkan maksud, mitra tutur perlu
mengubungkan tuturan dengan konteks dan koteks dari tuturan tersebut. Hasil analisis
menunjukkan bahwa tuturan dari lirik lagu “Jupe Paling Suka 69” dan “Belah Duren”
yang dipopulerkan oleh Julia Perez berpotensi diinterpretasi sebagai tuturan porno. Hal
tersebut dilandasi dengan analisis terhadap konteks dan koteks tuturan tersebut.
Kata kunci: jupe paling suka 69, belah duren, inferensi pragmatik
Pendahuluan
Baik secara eksplisit maupun implisit, bahasa yang dibangun dalam bentuk lirik lagu
menyimpan pesan dari para penciptanya. Pesan yang terkandung dalam sebuah lirik pun
bervariasi. Mulai dari ungkapan rasa kesal, senang, sedih, hingga moral dan sosial yang
disampaikan, baik secara eksplisit maupun implisit kepada para pendengarnya. Selain berguna
sebagai salah satu media penyampai pesan, lirik lagu pun dapat berguna sebagai media hiburan.
Hal ini lah yang membuat musik terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Begitu pun
dengan jenis musik, seperti pop, keroncong, dangdut, dan sebagainya.
Dangdut merupakan salah satu jenis musik yang tidak sedikit diminati oleh masyarakat,
khususnya di Indonesia. Dahulu, musik dangdut dimainkan hanya untuk hiburan semata. Alat
musik dan gerakan ketika menyanyikan pun masih sederhana. Selain itu, dahulu musik dangdut
juga digunakan sebagai alat dakwah. Salah satu musisi dangdut, seperti Rhoma Irama, yang juga
dikenal sebagai raja dangdut, telah menciptakan banyak lagu dangdut bertemakan keislaman
dan kemanusiaan. Saat ini, jauh setelah musik dangdut berkembang khususnya di Indonesia,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
350
dangdut ternyata banyak menuai perdebatan. Salah satunya, pelarangan panggung dangdut
dalam perayaan Sekaten di Yogyakarta. Pelarangan tersebut terjadi akibat gaya panggung
penyanyi, khususnya penyanyi wanita yang dinilai terlalu seronok dan berselera rendah
sehingga tidak sesuai dengan misi Sekaten sebagai suatu perayaan keagamaan. Tidak hanya itu,
saat ini pun masih marak pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik mengenai
lirik lagu berkonten porno yang tersirat dalam lirik lagu dangdut. Hal tersebut berpotensi
memicu terjadinya pencekalan terhadap para penyanyi maupun musik dangdut yang dianggap
dapat memberikan pengaruh negatif bagi para pendengarnya. Hal tersebut terjadi, salah satunya
pada lirik lagu dangdut dalam album “Kamasutra” yang dipopulerkan oleh Julia Perez.
Penyanyi yang bernama asli Yuli Rachmawati ini sempat heboh diberitakan mendapat
pencekalan dari sejumlah daerah di Indonesia. Pencekalan tersebut muncul karena lagu-lagu
yang dibawakan, seperti “Belah Duren” dan “Jupe Paling Suka 69” sempat menuai kecaman
dari bebagai kalangan masyarakat. Kecaman tersebut lahir dari penggunaan lirik lagu yang
berpotensi diinterpretasi sebagai tuturan porno sehingga dirasa dapat memberikan pengaruh
negatif bagi para pendengarnya.
Dari paparan tersebut, peneliti tertantang menelaah maksud tuturan dari lirik lagu
dangdut dalam album “Kamasutra” yang dipopulerkan oleh Julia Perez melalui perspektif
Pragmatik. Levinson (1987: 5) memaparkan, Pragmatik meupakan kajian mengenai penggunaan
bahasa atau kajian bahasa dengan perspektif fungsional. Artinya, setiap fenomena kebahasaan
yang diteliti secara deskriptif dijelaskan tanpa menghakimi benar dan salahnya suatu fenomena
kebahasaan tersebut. Selain itu, dalam upaya mengungkap maksud dari sebuah tuturan, peneliti
menggunakan inferensi pragmatik. Inferensi pragmatik merupakan pengetahuan tambahan yang
digunakan oleh mitra tutur untuk mengungkap implikatur percakapan (maksud yang tersirat dari
sebuah ujaran penutur) yang dikombinasikan dengan konteks tuturan (Cummings, 1999:105).
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam proses pengumpulan dan
penganalisisan data. Sudaryanto (1986: 62) memaparkan, penelitian deskriptif adalah penelitian
yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta dan fenomena yang memang secara
empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa
perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret.Dalam pendeskripsian data-data yang
telah dikumpulkan, peneliti melakukannya tanpa mempertimbangkan benar atau salahnya
penggunaan bahasa. Sementara itu, analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
analisis kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena kebahasaan yang
tengah diteliti. Oleh sebab itu, analisis kualitatif berfokus pada penunjukan makna, deskripsi,
penjernihan, dan penempatan data pada konteksnya masing-masing dan sering kali
melukiskannya dalam bentuk kata-kata daripada angka-angka (Mahsun, 2007: 257). Dalam
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
351
penelitian kualitatif instrumennya adalah orang atau human instrument, yaitu peneliti itu sendiri
(Sugiyono, 2008:8). Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti adalah instrumen kunci.
Pembahasan
Unit analisis dalam penelitian ini adalah tuturan yang terdapat dalam lirik lagu dangdut
pada album “Kamasutra” yang berpotensi diinterpretasi sebagai tuturan porno. Mengingat pisau
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Pragmatik maka variabel-variabel
yang berpengaruh terhadap lahirnya interpretasi porno dalam tuturan (dalam hal ini unit
analisis) menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Variabel tersebut berkaitan
dengan Speaker, Utterance, Hearer, dan Context (Bachari, 2012: 49). Dalam sudut pandang
Pragmatik, sebuah tuturan tidak akan bermakna apa-apa apabila komponen-komponen yang
terkait dengan lahirnya interpretasi porno dalam tuturan tersebut (Speaker, Uttrance, Hearer,
Context) diabaikan atau tidak teridentifikasi.
Analisis Implikatur dan Inferensi Pragmatik Lirik Lagu “Belah Duren”
Mey (1993: 45) mengatakan, implikatur berasal dari kata kerja ‘to imply’ yang berarti
menyiratkan atau melipat sesuatu ke dalam sesuatu yang lain. Hal tersebut karena ‘to imply’
berasal dari bahasa Latin ‘plicare’ yang berarti melipat, sehingga sesuatu yang dilipat tersebut
harus dibuka agar dapat dipahami. Oleh karena itu, sebuah implikatur percakapan atau sesuatu
yang tersirat dalam percakapan yaitu sesuatu yang dibiarkan implisit dalam penggunaan bahasa
sebenarnya. Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang terdapat di dalam
percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap salah satu atau lebih
dari PKS (Bachari, 2010:33).
Dalam menginterpretasi maksud tuturan dari lirik lagu, terlebih dahulu dianalisis
implikatur dari lirik lagu tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengeskplorasi adanya pelanggaran
PKS yang memicu lahirnya implikatur. Berikut merupakan bentuk penggunaan lirik dalam lagu
“Belah Duren” yang berpotensi menimimbulkan implikatur:
makan duren di malam hari paling enak dengan kekasih (1)
dibelah bang dibelah enak bang silahkan dibelah (2)
jangan lupa mengunci pintu nanti ada orang yang tau (3)
pelan-pelan dibelah enak bang silahkan dibelah (4)
reff:
semua orang pasti suka belah duren (5)
apalagi malam pengantin sampai pagi pun yo wis ben (6)
yang satu ini durennya luar biasa (7)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
352
bisa bikin bang gak tahan sampai-sampai ketagihan (8)
kalo abang suka tinggal belah saja, kalo abang mau tinggal bilang saja (9)
jangan lupa mengunci pintu nanti ada orang yang tau (10)
pelan-pelan dibelah enak bang silahkan dibelah (11)
repeat reff
makan duren di malam hari paling enak dengan kekasih (12)
dibelah bang dibelah enak bang silahkan dibelah (13)
Dalam lagu “Belah Duren” terdapat tiga belas larik. Pada tiap lariknya akan dianalsis
pelanggaran PKS yang berpotensi menimbulkan implikatur percakapan. Dengan memperhatikan
PKS sebagai pintu masuk untuk mengungkap implikatur, lirik lagu “Belah Duren” berpotensi
diinterpretasi sebagai tuturan porno. Dari korpus tersebut, terlihat penggunaan bentuk belah
duren sebagai judul lagu yang dihubungkan dengan bentuk malam hari paling enak dengan
kekasih ̧seolah menyiratkan maksud yang ingin disampaikan melalui simbol “belah duren”. Hal
ini tentunya melanggar salah satu dari PKS, yaitu maksim cara. Karena arti dari “belah duren”
yang dimaksudkan oleh penutur dapat dianggap menimbulkan ketaksaan atau memiliki makna
lebih dari satu. Pelanggaran maksim cara pada lagu tersebut juga berpotensi menimbulkan tanda
tanya dibenak mitra tutur. Akan timbul pertanyaan, mengapa makan duren harus di malam hari
dan paling enak dengan kekasih? Padahal, dalam kenyataannya, kegiatan membelah buah durian
dapat dilakukan dengan siapa saja dan kapan saja, tidak perlu dengan kekasih apalagi pada
malam hari. Penggunaan bentuk makan duren ketika dihubungkan dengan bentuk paling enak
dengan kekasih pada tuturan (1) juga melanggar maksim relevansi. Tidak relevan jika bentuk
makan duren haruslah dihubungunkan bentuk dengan kekasih, jika makan duren yang dimaksud
pada tuturan (1) bermakna memakan buah durian. Beda halnya, jika makan duren yang
dimaksud bermakna lain, hal ini tentu memicu lahirnya sebuah implikatur.
Pelanggaran terhadap maksim cara dan maksim relevansi juga terjadi pada tuturan (3)
dan (4). Sama halnya dengan tuturan sebelumnya pada tuturan (3) pun terjadi pelanggaran
maksim cara. Hal tersebut dapat dibuktikan dari penggunaan bentuk jangan lupa mengunci
pintu nanti ada orang yang tau. Bentuk tersebut akan menimbulkan ketaksaan di benak mitra
tutur karena terjadi ketidakjelasan maksud dari tuturan tersebut. Hal ini tentunya akan
menimbulkan pertanyaan di benak mitra tutur, mengapa harus mengunci pintu dan orang tidak
boleh tahu? Padalah, kegiatan belah duren secara konvensional bebas dilakukan di mana saja
tidak harus mengunci pintu dan melarang orang untuk tau. Terlebih dengan hadirnya tuturan (4)
yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap maksim relevansi. Hal tersebut terjadi
karena penggunaan bentuk pelan-pelan dibelah enak bang silahkan dibelah pada tuturan (4)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
353
tidak memiliki hubungan yang jelas dengan tuturan (3) sehingga memicu terjadi ketaksaan
dibenak mitra tutur.
Pada tuturan (5) dan (6) terlihat pernyataan semua orang pasti suka belah duren.
Padalah dalam kenyataannya, ada orang yang tidak menyukai belah duren. Hal tersebut jelas
melanggar maksim kualitas karena tidak ada bukti kuat yang menjelaskan bahwa semua orang
pasti suka belah duren. Ditambah lagi muncul bentuk malam pengantin sampai pagi pun yo wis
ben yang dihubungkan dengan belah duren sehingga terjadi pelanggaran terhadap maksim
relevansi. Karena penyataan dalam lirik tersebut tidak relevan jika belah duren harus
dihubungkan dengan malam pengantin sedangkan bentuk belah duren yang konvensional di
masyarakat tidak harus dilakukan pada malam pengantin, terlebih dilakukan sampai pagi.
Pelanggaran maksim ini tentunya akan menimbulkan implikatur di benak mitra tutur.
Dari tuturan (7) dan (8), terlihat pernyataan mengenai duren yang luar biasa dan dapat membuat
ketagihan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan makna ambigu dari belah duren yang dimaksud
dalam lagu tersebut. Karena penggunaan bentuk durennya luar biasa berpotensi membuat mitra
tutur bertanya-tanya, duren apa yang luar biasa? Ditambah lagi, terlihat pernyataan mengenai
duren yang membuat orang ketagihan. Tentunya akan kembali timbul pertanyaan, duren apa
yang membuat orang ketagihan? Pertanyaan tersebut timbul dari penggunaan bentuk yang sulit
ditangkap maksudnya oleh mitra tutur sehingga menimbulkan implikatur.
Dari tuturan (9), terlihat penawaran penutur yang mempersilahkan seseorang (abang)
untuk membelah saja dan jika mau tinggal bilang saja. Pada tuturan (9) terjadi pelanggaran
maksim cara karena bentuk belah dan mau dari tuturan (9), belum jelas rujukannya, sehingga
dapat menimbulkan ketaksaan di benak mitra tutur. Ketaksaan tersebut, dapat dibuktikan
dengan timbulnya pertanyaan, apa yang dibelah oleh Abang? Apa yang dimau oleh Abang? Dari
pentanyaan tersebut, tentunya mitra tutur memiliki anggapan yang bermacam untuk
menyimpulkan maksud dari tuturan pada larik (9).
Dari analisis implikatur lirik lagu “Belah Duren”, terjadi pelanggaran PKS yang
ditandai dengan pelanggaran maksim. Seperti pelanggaran maksim cara, maksim relevansi, dan
maksim kualitas. Pelanggaran maskim-maksim tersebut, menimbulkan lahirnya implikatur
percakapan. Mitra tutur memerlukan inferensi pragmatik sebagai pengetahuan tambahan dalam
upaya mengungkap implikatur percakapan dari lirik lagu “Belah Duren”.
Gagasan inferensi membentuk batu pijakan bagi pragmatik (Cummings, 105:1999).
Inferensi Pragmatik mutlak diperlukan oleh mitra tutur dalam upaya mengungkap implikatur
percakapan.
Melalui inferensi pragmatik, tuturan Jupe dalam lirik lagu “Belah Duren” dapat
disimpulkan bahwa secara implisit, tuturan Jupe berpotensi memiliki implikasi porno, yaitu
menjelaskan aktivitas berhubungan seks, yang secara disimbolkan dengan “belah duren”.
Bentuk belah duren secara leksikal memiliki makna kegiatan membelah buah durian. Akan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
354
tetapi, terjadi ketaksaan jika konteks belah duren dalam lirik lagu “Belah Duren” harus
dikaitkan dengan malam pengantin, paling enak dengan kekasih, jangan lupa mengunci pintu
nanti ada orang yang tau, sampai pagi pun yo wis ben dan lirik lain yang mengindikasi
munculnya kesan porno.
Kesan porno terhadap lagu “Belah Duren” juga didukung dengan fakta di luar lirik lagu
tersebut. Sejak dipublikasikannya album “Kamasutra” pada tahun 2008, lagu pertama berjudul
“Belah Duren” yang dibawakan oleh Jupe langsung menuai pro dan kontra dari masyarakat,
khusunya di Indonesia. Hal tersebut dipicu dari bangunan lirik lagu yang dianggap masyarakat
sebagai lirik porno serta berpotensi memberikan efek negatif bagi penikmatnya, sehingga dinilai
menyalahi Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang
Pornografi.
Citra kontroversial Jupe sebagai orang yang menyanyikan sekaligus memopulerkan
lagu ini, memang sulit dipisahkan. Aksi panggung dan cara berpakaian Jupe sebagai penyanyi
memberi kesan porno di benak mitra tutur. Tidak hanya itu, nyanyian dibalut desahan dari Jupe
ketika menyanyikan lagu ini berpotensi menambah kesan porno dari tuturan dalam lirik lagu
“Belah Duren”.
Analisis Implikatur dan Inferensi Pragmatik Lirik Lagu “Jupe Paling Suka 69”
Dalam lagu “Jupe Paling Suka 69” terdapat lima bait dan pada tiap baitnya, menyimpan
maksud yang beragam. Kemunculan lagu ini serupa nasibnya seperti lagu “Belah Duren” yang
juga menuai pro dan kontra dari masyarakat di Indonesia. Kontroversi dari lagu “Jupe Paling
Suka 69” salah satunya muncul dari penggunaan bentuk gairah cinta 69 yang berpotensi
diinterpretasi sebagai tuturan porno.
Dalam menginterpretasi maksud tuturan dari lirik lagu, terlebih dahulu dianalisis
implikatur dari lirik lagu tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengeskplorasi adanya pelanggaran
terhadap PKS yang memicu lahirnya implikatur. Berikut merupakan pertautan lirik lagu “Jupe
Paling Suka 69”:
JUPE PALING SUKA 69 (Julia Perez)
kau elus-elus tubuhku (1)
kau belai-belai rambutku (2)
terpejam-pejam mataku (3)
aduh aduh aduh nikmatnya (4)
duh aduh aduh asiknya (5)
desah indahmu menusuk kalbu (6)
kau elus-elus tubuhku (7)
kau belai-belai rambutku (8)
oh yes sungguh nikmatnya (9)
oh yes sungguh bahagia (10)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
355
suka suka jupe paling suka (11)
kasih sayangmu luar biasa (12)
gairah cinta 69 (13)
suka suka jupe paling suka (14)
kau buat aku tak berdaya (15)
gairah cinta pun membara (16)
halus halus halusnya selembut sutra (17)
irama gaya kamasutra ala india (18)
Pada tuturan (1) dan (2) ditemukan terjadi pelanggaran PKS, yaitu pelanggaran terhadap
maksim cara sedangkan pada tuturan (3) terjadi pelanggran maksim kuanitas. Tuturan (1) dan
(2) melanggar maksim cara karena terjadi ketidakjelasan maksud sebuah tuturan. Ketidakjelasan
tersebut terjadi karena penggunaan bentuk kau pada tuturan kau elus-elus tubuhku dan kau
belai-belai rambutku, tidak secara jelas tergambar sosok “kau” yang dimaksud sehingga
berpotensi menimbulkan ketaksaan dibenak mitra tutur. Kejelasan sebuah tuturan mutlak
diperlukan agar mitra tutur dapat menangkap dengan mudah maksud dari tuturan tersebut. Pada
tuturan (3) terjadi pelanggran maksim kuantitas karena tuturan tersebut seolah melebih-
lebihkan. Penggunaan bentuk terpejam-pejam mataku pada dasarnya terjadi akibat efek dari
tuturan (1) dan (2), atau ketika “kau” melakukan aktivitas membelai dan mengelus sehingga si
“aku” menjadi terpejam-pejam. Akan tetapi, bentuk terejam-pejam mataku tidaklah mutlak
diperlukan hanya karena ingin menggambarkan efek dari tuturan sebelumnya.
Pada tuturan (4) dan (5) terjadi pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Tuturan (4) dan
(5) yang berhubungan dengan tuturan sebelumnya juga terjadi pelanggaran terhadap maksim
kuantitas. Hal tersebut dibuktikan dengan penggunaan bentuk aduh yang intensitasnya
berlebihan. Karena dengan menyederhanakan tuturan menjadi aduh nikmatnya dan aduh
asyiknya sudah cukup menyiratkan maksud yang ingin disampaikan kepada mitra tutur serta
tidak akan mengubah makna dari tuturan sebelumnya.
Pada tuturan (6) terlihat penggunaan bentuk desah indahmu. Bentuk tersebut berpotensi
menimbulkan ketaksaan di benak mitra tutur karena terjadi ketidakjelasan mengenai maksud
dari desah indahmu. Secara leksikal desah bermakna bunyi nafas. Pada tuturan tersebut, makna
dari desah yang dimaksud menjadi kabur jika dihubungkan dengan bentuk indah. Karena akan
sulit membayangkan desah indah yang dimaksud pada tuturan tersebut. Selain itu, terjadi
pelanggaran maksim relevansi pada tuturan (6). Pelanggaran maksim relevansi terjadi karena
terdapat penggunaan bentuk desah indahmu yang dihubungkan dengan menusuk kalbu.
Pelanggaran maksim relevansi pada tuturan (6) berpotensi menimbulkan pertanyaan,
seperti “Mengapa desahan bisa menusuk kalbu?”. Tuturan yang tidak relevan juga akan memicu
lahirnya implikatur.
Pada tuturan (9) dan (10) terjadi pelanggaran maksim kuantitas. Penggunaan bentuk oh
yes pada tuturan (9) dan (10) menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap maksim kuantitas.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
356
Karena penggunaan bentuk oh yes pada tuturan (9) seolah melebih-lebihkan. Dengan
menyederhanakan tuturan menjadi sunggu nikmatnya dan sungguh asyiknya sudah cukup
menyiratkan maksud yang ingin disampaikan kepada mitra tutur serta tidak akan mengubah
makna dari tuturan sebelumnya.
Pada tuturan (11), (12), dan (13) terjadi pelaggaran terhadap maksim relevansi dan
maksim cara. Pelanggaran terhadap maksim relevansi terjadi karena muncul bentuk gairah cinta
69 setelah tuturan (11) dan (12). Bentuk tersebut, jika diperhatikan tidak relevan dengan tuturan
(11) dan (12). Pada tuturan (12) terdapat bentuk kasih sayangmu luar biasa yang dihubungan
dengan bentuk gairah cinta 69 sehingga bepotensi menimbulkan keambiguan dari tuturan
tersebut. Pada tuturan (13) juga terjadi pelanggaran terhadap meksim cara karena penggunaan
bentuk gairah cinta 69 berpotensi menyebabkan ketakasaan. Ketekasaan tersebut muncul dari
penggunaan bentuk 69 yang dihubungkan dengan bentuk gairah cinta. Ketaksaan pada tuturan
tersebut dapat menimbulkan pertanyaan dibenak mitra tutur, “Seperti apa gairah cinta 69 yang
dimaksud?”. Maksud dari bentuk gairah cinta 69 pada akhirnya berpotensi menjadi tidak jelas
rujukannya sehingga memicu lahirnya implikatur.
Pada tuturan (14), (15), dan (16) terjadi pelanggaran terhadap maksim cara, maksim
kuantitas, dan maksim relevansi. Pada tuturan (14) terjadi pelanggaran terhadap maksim cara
karena penggunaan bentuk suka pada tuturan sukasuka jupe paling sukayang disampaikan oleh
penutur kepada mitra tutur, tidak jelas arahnya. Kesukaan penutur yang terdapat pada tuturan
(14) sulit diketahui. Selain itu, pada tuturan (14) terjadi pelanggaran terhadap maksim kuantitas.
Pelanggaran maksim kuantitas terjadi kerena penggunaan bentuk suka pada tuturan sukasuka
jupe paling suka, digunakan secara berlebihan oleh penutur. Padahal, jika tuturan tersebut
berubah menjadi jupe paling suka, makna sekaligus maksud yang disampaikan dari tuturan
tersebut tidak akan berubah.
Pelanggaran terhadap maksim relevansi terjadi pada tuturan (15). Karena tidak ada
hubungan yang relevan antara tuturan (14), (15), dan (16). Pada tuturan (14) penutur
menyebutkan rasa sukanya terhadap sesuatu, tetapi pada tuturan (15) penutur menyebutkan rasa
tidak berdaya, seperti pada tuturan kau buat aku tak berdaya. Setelah itu, muncul tuturan (16)
gairah cinta pun membara, dari tuturan tersebut tergambar gairah cinta yang memebara dari diri
penutur, padahal sebelumnya, penutur menyebut bahwa dirinya tidak berdaya. Pada tuturan (16)
juga terjadi pelanggaran terhadap maksim cara karena penggunaan bentuk gairah cinta
membara berpotensi menimbulkan ketaksaan di benak mitra tutur. Ketaksaan tersebut dapat
dibuktikan dengan munculnya pertanyaan, mengapa gairah cinta bisa membara? Karena secara
leksikal bentuk membara hanya lekat dengan api. Seperti pada kalimat “Api yang membara itu
menghanguskan banyak rumah.”, berdeda halnya jika bentuk membara dihubungkan dengan
bentuk gairah cinta. Hal tersebut, berpotensi menimbulkan ketaksaan di benak mitar tutur,
sehingga perlu pengetahuan tambahan untuk menangkap maksud dari tuturan tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
357
Pada tuturan (17) dan (18) terjadi pelanggaran terhadap maksim cara, maksim kuantitas,
dan maksim relevansi. Pada tuturan (17) terjadi pelanggaran terhadap maksim kuantitas.
Pelanggaran maksim kuantitas terjadi kerena penggunaan bentuk halus pada tuturan
halushalushalusnya selembut sutra, digunakan secara berlebihan oleh penutur. Padahal, jika
tuturan tersebut berubah menjadi halusnya selembut sutra, makna sekaligus maksud yang
disampaikan dari tuturan tersebut tidak akan berubah. Pada tuturan (17) juga terjadi pelanggaran
terhadap maksim cara karena penggunaan bentuk halusnya berpotensi menimbulkan ketaksaan
di benak mitra tutur. Bentuk halusnya pada tuturan (17) belum jelas rujukannya. Ketaksaan
tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya pertanyaan, apa yang halusnya selembut sutra?
Pada tuturan (18) juga terjadi pelanggaran terhadap maksim cara karena terdapat penggunaan
bentuk irama gaya kamasutra ala india yang berpotensi menimbulkan ketaksaan di benak mitra
tutur. Belum dapat ditentukan maksud yang jelas dari penggunaan bentuk tersebut, sehingga
perlu pengetahuan tambahan untuk menangkap maksud dari tuturan tersebut.
Dari analisis implikatur lirik lagu “Jupe Paling Suka 69”, terjadi pelanggaran PKS yang
ditandai dengan pelanggaran maksim. Seperti pelanggaran maksim cara, maksim relevansi, dan
maksim kuantitas. Pelanggaran maskim-maksim tersebut, memicu lahirnya implikatur
percakapan. Mitra tutur memerlukan inferensi pragmatik sebagai pengetahuan tambahan dalam
upaya mengungkap implikatur percakapan dari lirik lagu “Jupe Paling Suka 69”.
Dari analaisis implikatur, dapat terungkap pelanggaran-pelanggaran terhadap PKS yang terjadi
pada tuturan dalam lirik lagu “Jupe Paling Suka 69”. Interpretasi dari sebuah tuturan, dalam hal
ini lirik lagu “Jupe Paling Suka 69” pun dapat muncul dari bahasa yang disampaikan secara
implisit oleh penutur. Dalam lagu “Jupe Paling Suka 69” seolah mengisyaratkan tentang
kesukaan Jupe. Dalam lagu tersebut terlihat bahwa Jupe menyukai “69”. Hal tersebut terbukti
dari penggunaan judul “Jupe Paling Suka 69”. Selain itu terlihat juga aktivitas yang telah
dilakukan oleh “kau”, seperti pada tuturan kau elus-elus tubuhku, kau belai-belai rambutku yang
membuat Jupe merasa nikmat dan bahagia hingga tak berdaya. Terdapat juga tuturan kasih
sayangmu luar biasa dan gairah cinta 69 yang berpotensi diinterpretasi sebagai tuturan porno.
Selain itu, interpretasi porno yang muncul dikuatkan dengan penggunaan bentuk irama
gaya kamasutra ala india. Karena secara etimologis, “Kamasutra” memilik makna prinsip dasar
bercinta, dikenalkan pertama kali di India pada tahun 1883 sebagai sebuah buku dengan judul
“Kama Sutra”. “Kama Sutra” disusun pada abad 4 M oleh Malinaga Vatsayana. Ia mengajarkan
anak muda tentang masalah universal mengenai bagaimana memiliki kehidupan memuaskan
dan penuh secara seksual.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan maksud tuturan dari lirik lagu “Jupe Paling
Suka 69” yang mengisyaratkan tentang “69” sebagai posisi ketika berhubungan seks. Maksud
dari tuturan tersebut, dikuatkan dari penggunaan bentuk gairah cinta 69 yang dihubungkan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
358
dengan bentuk irama gaya kamasutra ala india sehingga berpotensi diinterpretasi sebagai
tuturan porno.
Simpulan dan Saran
Penggunaan bentuk bahasa yang beragam sehingga maksud tuturan terekam secara
implisit, menggambarkan strategi penutur dalam mengemas tuturannya, sebagai upaya
memperhalus maksud yang ingin disampaikan. Selaras dengan pertanyaan-pertanyaan
penelitian, maka ada dua simpulan dari penelitian yang menyoroti hal-hal yang berkenaan
dengan lirik lagu dangdut dalam album “Kamasutra” yang berpotensi diinterpretasi sebagai
tuturan porno.
Pertama, implikatur percakapan dari tuturan dalam lirik lagu “Belah Duren”, “Jupe
Paling Suka 69” dalam album “Kamasutra” yang dipopulerkan oleh Jupe teridentifikasi melalui
analisis terhadap penerapan Prinsip Kerja Sama. Dalam lirik lagu “Belah Duren”, “Jupe Paling
Suka 69”, implikatur tuturan adalah strategi penutur dalam upaya mengemas tuturan, agar tidak
sembarang orang yang mengetahui maksud dari tuturan tersebut. Hal tersebut menyiratkan
strategi penutur dalam mengemas tuturannya sehingga tuturan yang sampaikan secara implisit
dapat diterima oleh mitra tutur. Oleh karena itu, perlu pengetahuan tambahan untuk
mengungkap maksud yang tersirat dari tuturan tersebut.
Kedua, inferensi pragmatik mutlak diperlukan oleh mitra tutur dalam upaya
mengungkap implikatur percakapan. Melalui inferensi pragmatik, tuturan Jupe dalam lirik lagu
“Belah Duren”, “Jupe Paling Suka 69” dapat disimpulkan bahwa secara implisit, tuturan Jupe
berpotensi memiliki implikasi porno, yaitu menggambarkan aktivitas berhubungan seks sampai
posisi dalam bercinta.
Pada akhirnya, berkaca dari penelitian ini, alangkah baiknya jika penelitian selanjutnya
memperluas sampel tuturan yang diteliti, misalnya menganalisis seluruh lagu dangdut yang
berpotensi mengandung maksud porno. Diharapkan, hasil penelitian semacam itu akan lebih
bervariasi, representatif, dan menginspirasi.
Daftar Pustaka
Bachari, Andika Dutha. 2011. “Analisis Pragmatik terhadap Tuturan Berdampak Hukum (Studi
Kasus Terhadap Laporan Dugaan Tindak Penghinaan, Penipuan, dan Pencemaran Nama
Baik yang Ditangani Satreskrim Polrestabes Bandung)”. Tesis tidak dipublikasikan
pada Program Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana, UPI, Bandung.
Cummings, Louise. 2007. Pragmatik, Sebuah Perspektif Multidisipliner (Diterjemahkan
Setiwati¸ dkk).Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Levinson, Stephent C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
359
Mahsun.2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Grafindo.
Mey, J.L. 1993. Pragmatics: An Introduction. Oxford: Basil Blackwell.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Undang-Undang Pornografi. 2008. [Online]http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-
Undang_Pornografi. (diakses pada 5 Oktober 2015 pukul 15:00).
Yatulyanah, Putri. 2010. “Citra Pornografis dalam Iklan Premium Call Surat Kabar Lampu
Hijau”. Skripsi. UPI: Bandung, Tidak diterbitkan.
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Yuniawan, Tommi. 2007. “Fungsi Asosiasi Pornografis dalam Wacana Humor”. Jurnal
Linguistika, Vol. 14, No. 27.
[Online]http://www.seksualitas.net/sejarah-dan-asal-usul-kitab-kamasutra.htm. (diakses pada 15
Oktober 2015 pukul 15.35).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
360
KEDWIBAHASAAN DALAM KELUARGA
Rochmat Tri Sudrajat
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Komunikasi antara individu dengan individu, individu denga kelompok keberhasilannya
dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa pembicara dan pendengar. Dengan menguasai
keterampilan berbahasa maka seorang pembicara akan mampu mengekspresikan
keinginan, kehendak, atau hasrat yang menjadi cerminan dari kehidupan sosial mereka.
Domisili pembicara yang dwibahasa akan mempengaruhi bahasa pembicara terutama
jika bahasa yang berlaku di tempat tinggalnya sangat dominan.
Kata kunci: kedwibahasaan, keluarga
Pendahuluan
Bahasa merupakan alat yang digunakan dalam berkomunikasi antara individu dengan
individu atau kelompok. Untuk melakukan kegiatan komunikasi setiap individu harus memiliki
keterampilan berbahasa. Bahasa memungkinkan manusia untuk meningkatkan kemampuan
intelektual, kemampuan berpikir dan bernalar (depdikbud, 1994:4).
Kemampuan berbahasa seseorang dipengaruhi oleh pemerolehan bahasanya.
Pemerolehan bahasa adalah proses pemahamandan penghasilan (produksi). Bahasa pada diri
anak melalui beberapa tahap mulai dari meraban sampai pada kefasifan penuh (Kridalaksana,
1983:123). Pemerolehan bahasa dapat berlangsung dengan berbagai cara. Cara pertama adalah
pemerolehan bahasa pertama kemudian bahasa kedua. Cara kedua adalah pemerolehan bahasa
pertama dan kedua secara serempak. Akibat pemerolehan dua bahasa atau lebih maka
menimbulkan sesuatu hal yang berdampak positif maupun negatif. Pada anak-anak yang
memperoleh dua bahasa atau lebih akan terjadi kontak bahasa pada dirinya, dan bahasa yang
satu akan mempengaruhi bahasa yang lain (Weinrich, 1968:1).
Masalah lain muncul adalah penguasaan multi bahasa. Dalam masyarakat Indonesia
banyak ditemukan sejumlah orang yang magnesia lebih dari dua bahasa. Dengan adanya gejala
ini, maka di masyarakat terdapat ekhabahasawan, dwibahasawan, dan multibahasawan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah penelitian
ini dengan mencari hubungan antara domisili dwibahasawan dengan interferensi bahasa dan
apakah interferensi akan terjadi pada setiap kedwibahasaan berpengaruh terhadap pemakaian
bahasa pertama dan kedua.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
361
Tujuan Penelitian
Mengetahui interferensi yang terjadi pada kedwibahasaan dalam lingkungan keluarga
dan untuk mengetahui jenis interferensi yang terjadi pada dwibahasawan dalam lingkungan
keluarga
Tinjauan Teoritis
A. Pengertian Kedwibahasaan
Kdwibahasaan pada dasarnya adalah penguasaan dua bahasa, namun dalam
kenyataannya tidak sesederhana kalimat di atas. Kedwibahasaan dapat ditinjau dari berbagai
aspek sehingga pengertiannya menjadi beragam, karena setiap pakar memberikan syarat yang
berbeda. Berikut berbagai macam pengertian kedwibahasaan:
(a) Kedwibahasaan, yaitu dapat memakaidua bahasa secara pengertian (Weinreich dalam
Rusyana, 1989:1)
(b) Kedwibahasaan, yaitu dapat menghasilkan kalimat-kalimat bermakna dalam B2 (bahasa
kedua) (Haugen, 1969 dalam Tarigan, 1989:3).
(c) Kedwibahasaan sebagai penguasaan sama baiknya terhadap dua bahasa seperti halnya
penguasaan oleh penutur aslinya (Bloomfield dalam Rusyana, 1989:1).
(d) Kedwibahasaan, yaitu dapat menggunakan pengetahuan B2 secara pasif dan sekelumit
kompetensi leksikal untuk melakukan transaksi usaha atau bisnis dalam B2 (Diebold,
1961:39).
Berbagai macam pengertian di atas dipengaruhi oleh maksud dan tujuan penggunaan
dua bahasa dipengaruhi oleh topic, penyimak, konteks serta suasana. Oleh karena itu, tidak
realistik untuk menuntut agar kedwibahasaan selalu dibatasi sebagai penguasaan dua bahasa
sempurna dalam segala konteks, dalam semua keadaan, dalam semua kondisi dan situasi
(Ovando&Colier dalam Tarigan, 1989:3).
B. Jenis-jenis Kedwibahasaan
Jenis-jenis kedwibahasaan atau bilingualisme sangat beagam, Weinreich (1955. 9-11)
dalam Romaine membahas bilingualisme dalam kaitan dengan asumsi bahwa konsep suatu
bahasa disimpan dalam otak individu: coordinate dan compound, perbedaan ini diyakini berasal
dari cara bahasa itu dipelajari.
Dalam coordinate bilingualism, seseorang mempelajari kedua bahasa dalam konteks
yang sama, di mana keduanya digunakan dalam waktu yang berurutan atau bersamaan, sehingga
akan terjadi penggabungan representasi tentang kedua bahasa tersebut dalam otak.
Kedwibahasaan dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara, tergantung dari sudut
pandangan, antara lain: (a) berdasarkan hipotesis ambang; (b) berdasarkan tahapan usia
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
362
pemerolehan; (c) berdasarkan usia belajar B2; (d) berdasarkan konteks; (e) berdasarkan hakikat
tanda dalam kontak bahasa; (f) berdasarkan tingkat pendidikan; (g) berdasarkan keresmian dan,
(h) berdasarkan kesosialan (Tarigan, 1989:3).
Berikut penjelasan mengenai klasifikasi kedwibahasaan berdasarkan uraian di atas.
a. Berdasarkan Hipotesis Ambang
Berdasarkan hipotesis ambang atau threshold oleh Cummins (1976) maka dapat dibedakan
kedwibahasaan subtratif dan kedwibahasaan aditif. Apabila bahasa asli sang anak yang
minoritas digantikan oleh bahasa mayoritas, maka hal ini mengandung efek subtratif (atau
akibat pengurangan) pada anak sedangkan kedwibahasaan aditif yang merupaan wadah BI
sang anak merupakan bahasa mayoritas atau dominant dalam kebudayaan. Pemakaian dan
pemerolehan B2 merupakan prestasi tambahan bagi anak dan belajar kognitifnya pun
menjadi lebih jelas.
b. Berdasarkan Tahapan Usia pemerolehan
Berdasarkan usia seseorang memperoleh B2 yang membuatnya menjadi dwibahasawan,
maka dapatlah dibedakan empat jenis kedwibahasaan yaitu:
(a) Kedwibahasaan masa kecil (infant bilingualism)
(b) Kedwibahasaan masa kanak-kanak (child bilingualismI
(c) Kedwibahasaan masa remaja (adolescent bilingualism)
(d) Kedwibahasaan masa dewasa (adult bilingualism)
c. Berdasarkan Usia Belajar
Ditinjau dari segi usia eseorang belajar B2 maka dapat dibedakan, (a) kedwibahasaan
serentak (b) kedwibahasaan berurutan.
d. Berdasarkan Konteks
Bila berdasarkan konteks yang merupakan wadah kedua bahasa yang bersangkutan
dipelajari maka dapat dibedakan dua jenis kedwibahasaan, yaitu: kedwibahasaan buatan
dan kedwibahasaan alamiah (Stren, 1973)
e. Berdasarkan Hakikat Tanda dalam Kontak Bahasa
Jenis kedwibahasaan ini merupakan penjelasan pendapat Weinreich yang mengatakan
bahwa kedwibahasaan terbagi atas, (i) diterapkan pada dua sistem yang benar-benar
mandiri, yaitu makna dan ekspresi; (ii) diterapkan kalau hanya ada satu sistem ekspresi
yang sama namun terpisah atau mandiri; dan (iii) diterapkan kalau ada sistem ekspresi
subordinate (Harding & Riley, 1986, 37-38)
f. Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pemakaiannya
Bila ditinjau dari segi tingkat pendidikan dwibahasawan maka dapat dibedakan:
(a) Kedwibahasaan kaum elit (Paulston, 1975)
(b) Kedwibahasaan rakyat biasa (Tosi, 1982)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
363
Daftara Pustaka
Alwasilah, A.Chaedar. (1985). Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa
Hudson, RA. (1980). Sosiolinguistik. London: Cambridge University.
Kridalaksana, H. (1989). Perihal Kedwibahasaan. Jakarta: Depdikbud.
Slobin. (1974). Psycholinguistics. USA: Scott, Foresman and Co.
Subyakto, Sri Utari. (1989). Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Depdikbud.
Trudgil, Peter. (1995). Sosiolinguistics an Introduction to Language and Society. England:
Penguin Book.
Wardaugh, Ronald. (1988). An Introduction Sociolinguitics. New York: Basil Blackwell.
Weinreich, Uriel. (1968). Language in Contack Finding and Problem. Paris: Manton The
University Press.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
364
REVOLUSI MENTAL BAHASA DAN SASTRA INDONESIA: UPAYA
MEWUJUDKAN PEMUDA PAHLAWAN BAHASA TANPA TANDA JASA
Rozali Jauhari Alfanani, Hendra Prasetyo, dan Ratnatul Faizah
Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Mataram
Abstrak
Era modern dengan tajuk globalisasi sudah kadung mengglobal dan menjadi bagian dari
perjalanan bangsa ini. Masa kekinian yang sudah semakin maju menuntut kita juga
harus mampu lebih maju dalam setiap aspek kehidupan. Salah satu upaya yang sedang
digaungkan untuk mewujudkan kemajuan tersebut ialah Gerakan Nasional berlabel
Revolusi Mental. Gerakan yang bertujuan secara detail mengenai perubahan besar-
besaran dan masif terkait dengan mental bangsa ini agar mampu terus berkembang dan
bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Dalam hal ini, salah satu objek yang menjadi
wadah dan sekaligus alat dalam perwujudan revolusi mental tersebut adalah unsur
kebahasaan dan kesastraan. Bahasa mampu mengejewantahkan diri ke dalam seluk-
beluk intelektualitas manusia dan sastra secara gamblang diyakini sebagai salah satu
pembentuk etika dan karakter manusia. Dalam pada itu, kaitannya dengan bahasa dan
sastra serta revolusi mental, yang menjadi inti persoalan bangsa saat ini adalah
terjadinya kemerosotan kebanggaan terkait bahasa selaku identitas bangsa dan adanya
kemunduran moral etika terkait sastra sebagai wahana pembina karakter itu sendiri.
Padahal, bahasa dan sastra merupakan sarana penting dalam mewujudkan cita-cita
bangsa. Oleh sebab itu, tulisan dan upaya-upaya lain mesti terus dihadirkan sebagai
langkah dan bagian dari revolusi mental tersebut. Melalui observasi dan studi
kepustakaan dapat dilahirkan uraian penting mengenai revolusi mental bahasa dan sastra
tersebut. Hingga pada akhirnya, esensi utama dari semuanya adalah terwujudnya para
“pemuda bangsa” yang mampu unjuk gigi sebagai “para pahlawan”, khususnya dalam
bidang “bahasa” yang tentu tetap memegang prinsip “tanpa tanda jasa” sebagai bentuk
kebanggaan dan kecintaan terhadap bangsa dan negara ini sehingga mampu bersaing di
tingkat regional dan internasional.
Kata kunci: Revolusi Mental, Bahasa dan Sastra, Pemuda, Pahlawan Bahasa,
Tanpa Tanda Jasa
Revolusi Mental Bahasa dan Sastra
Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara lisan
maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai
sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-
nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Bahasa selalu mengikuti kehidupan manusia
sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa.
Sejak diikrarkannya suatu paradigma yang dikenal dengan “Sumpah Pemuda” pada 28
Oktober 1928 yang salah satu isinya adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa
Indonesia, maka sejak itu pulalah bangsa Indonesia memiliki salah satu tolok ukur identitas
suatu bangsa yang berdaulat, yakni bahasa. Bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting bagi
suatu bangsa. Bahasa, sebagai alat komunikasi yang efektif mutlak diperlukan bagi setiap
bangsa. Tanpa bahasa, bangsa tidak akan mungkin dapat menggambarkan dan menunjukan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
365
dirinya secara utuh dalam dunia pergaulan dengan bangsa lain. Akibatnya, bangsa tersebut akan
“lenyap” ditelan masa. Jadi, bahasa menunjukan identitas suatu bangsa.
Bahasa, sebagai bagian dari kebudayaan dapat menunjukan tinggi-rendahnya kebudayaan
bangsa. Bahasa akan menggambarkan sudah sampai seberapa jauh kemajuan yang telah dicapai
oleh suatu bangsa. Dengan demikian, bahasa yang dengan fungsinya baik sebagai bahasa
persatuan, bahasa negara, bahasa resmi, atau bahasa ilmu pengetahuan memegang peranan
penting bagi keberlangsungan hakikat kemajuan dari suatu bangsa itu sendiri.
Namun demikian, kencangnya arus globalisasi dengan konsep modernisme yang melanda
“habitat kebahasaan” seperti sekarang ini telah mulai sedikit demi sedikit meruntuhkan atau
mengaburkan hakikat bahasa sebagai unsur penting kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang ada di
muka bumi ini akan dinilai maju atau mengalami perkembangan yang luar biasa apabila telah
memiliki, menguasai, atau mampu menciptakan perangkat-perangkat yang berkaitan dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah kadung dianggap sebagai satu—bahkan satu-
satunya—tolok ukur kemajuan pada era sekarang ini. Posisi bahasa yang dahulunya menjadi
dasar pemikiran yang maju untuk suatu bangsa (dalam filsafat, agama, maupun ilmu) kini telah
terpinggirkan dengan sangat cepat, sehingga memiliki kemampuan berbahasa, terutama yang
baik dan benar bukan lagi menjadi budaya, tidak lagi membanggakan, bahkan cenderung
dianggap biasa saja dan tidak dianggap sebagai hal yang penting dalam perkembangan zaman
seperti sekarang ini. Dalam setiap bidang kehidupan orang akan “meng-elu-elukan” seseorang
yang mampu menguasai teknologi terkini, namun cenderung memendang sebelah mata pihak-
pihak yang mampu menguasai dan mengaplikasikan unsur kebahasaannya dalam kehidupannya.
Hal ini tidak terlepas dari arus zaman yang memang sudah masuk pada masa kemenangan
mutlak teknologi dan kekalahan telak kebahasaan. Padahal, jika disadari dan mau membuka
mata, hati, dan pikirannya bahwa tanpa bahasa maka ilmu itu hanya sekumpulan ruang hampa
yang butuh diproduksi, dan produksinya pun harus menggunakan bahasa. Teknologi pun begitu,
tanpa sedikitpun mengurangi esensi penting penguasaan teknologi maka bisa dipastikan
perkembangan teknologi sejak dahulu, pada masa kini, dan untuk waktu-waktu yang akan
datang telah disepakati bahwa bahasalah yang juga memainkan peranan penting untuk hal
tersebut.
Namun demikian, akibat paradigma modernisme dan globalisasi yang cenderung sempit
tersebut maka kita (dan semua manusia lainnya) menganggap bahwa “bahasa adalah hal yang
tidak ada apa-apanya”. Padahal, modernisme dan globalisasi tersebut diciptakan atau
ditakdirkan bukan menjadi sesuatu yang pada akhirnya melunturkan nilai-nilai dan semangat
kemajuan itu sendiri yang didasari oleh faktor bernama bahasa. Paradigma yang salah tersebut
pun sudah meracuni banyak orang, khususnya di negeri ini yang notabenenya merupakan negara
yang berwilayah luas, berpenduduk banyak, dan memiliki pula potensi kebahasaan yang sangat
luar biasa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
366
Selain itu, faktor lain yang juga terkena dampak dari arus modernisasi ialah unsur
kesasatraan. Sastra di negeri ini seolah hanya “tinggal kenangan”. Sastra pada masa kini tidak
seampuh sastra pada masa lalu yang sering dikatakan sebagai era kejayaannya. Hal tersebut
tampaknya tidaklah mengherankan, bagaimana tidak sastra pada masa itu mampu mengoyak-
ngoyak sisi-sisi kehidupan manusia, baik secara lokal maupun nasional, secara individual
maupun sosial, dan secara etis maupun pragmatis. Sastra pun mampu menjadi bagian penting
dalam suatu hakekat perjuangan, baik melawan penindasan bangsa asing, melawan kondisi
hidup kala itu, hingga melontarkan kritisi pedas kepada penguasa yang lupa sedang berada di
mana dan untuk apa ia berkuasa.
Terlepas dari masa itu yang hanya menjadi bagian dari sejarah masa lalu, kini sastra telah
menemukan berbagai cangkang untuk hidup. Sastra dikatakan terus berkembang seiring
perkembangan zaman. Berbagai resolusi, terobosan, hingga karya-karya fenomenal dilahirkan
untuk mendongkrak kembali jati diri sastra itu sendiri. Akan tetapi, semua hal tersebut seakan-
akan hanya bagian dari “pelaksanaan kewajiban” sebagaimana seseorang yang sholat hanya
karena sejak dahulu sholat itu ada dan dilaksanakan, tetapi ia tidak menemukan maknanya, tidak
mampu mengubah dirinya dari keji dan mungkar, serta hanya menjadi pelengkap kehidupan
yang ia telah jalani secara nyata di dunia. Begitu pula sastra pada era sekarang ini, hanya
didengungkan ke mana-mana, digaungkan seeras-kerasnya, dan disosialisasikan dalam segala
cara. Namun demikian, tidak tercipta makna-makna hakiki akibat dari perluasan kekuasaan
sastra tersebut. Tidak ada lagi nilai keetisan, religiusitas, sosial-budaya, dan lainya yang dapat
dijadikan pedoman yang realistis bagi manusia Indonesia, sehingga tidak mengherankan pulalah
segala kejadian demi kejadian yang melanggar etika, peristiwa yang mencoreng nama, dan atau
hal-hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya kini telah tersaji dengan nyata di tengah-
tengah kehidupan kita. Hal ini tentu mengharukan, karena jika dikaji secara seksama, sastra
sebenarnya mampu menjadi “penawar” dari segala macam hal-hal negatif tersebut, walaupun
memang tidak sepenuhnya hal itu mampu ditangani oleh sastra namun sastra dapatlah menjadi
bagian penting yang mesti dijadikan pedoman dalam menghadapi hal-hal seperti itu.
Oleh sebab itu, dua hal di atas yang telah diuraikan secara sederhana yakni bahasa dan
sastra semestinya dikembalikan pada tempatnya yang seharusnya. Bahasa harus sudah mulai
dibanggakan lagi sebagai identitas kebangsaan kita, begitu pula sastra sebagai bagian lain dari
unsur kehidupan kita sudah selayaknya dijadikan salah satu dari sekian pedoman hidup agar
mendapatkan hakekat hidup sebagai manusia yang beretika, bernorma, dan bersusila. Hal
tersebut kini mulai mendapat angin segar walaupun belum sesegar yang diharapkan, yaitu
dengan adanya Gerakan Nasional Revolusi Mental yang digaungkan oleh rezim saat ini.
Revolusi Mental yang digadang-gadang sebagai bagian penting bagi perkembangan bangsa ini
dengan mengembalikan semangat perjuangan membara Bung Karno, semangat pembangunan
Pak Harto, semangat keilmuan Habibie, semangat religiusitas Gus Dur, semangat gotong-
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
367
royong Bu Mega, hingga semangat demokrasi SBY ini diharapkan menjadi pembuka lagi bagi
kembalinya keagungan bahasa sebagai identitas kebanggaan kita dan sastra sebagai bagian dari
perubahan moral dan etika bangsa menuju Indonesia yang lebih sempurna.
Pemuda Pahlawan Bahasa
Berbicara mengenai hal-hal di atas, maka untuk saat ini yang sedang dibutuhkan oleh
bangsa ini adalah sosok-sosok yang mampu dan memang mau berjuang dalam kecimpungnya di
bidang bahasa dan sastra. Sebenarnya, secara nasional memang semua pihak mesti terlibat
dalam aktivitas ini. Akan tetapi, mungkin memaksakan diri untuk meminta keterlibatan semua
pihak yang notabenenya masih terkungkung dalam kesibukan masing-masing menjadi hal yang
memakan waktu lama. Oleh sebab itu, tawaran paling memungkinkan dan dirasa paling masuk
akal adalah membangun peran para pemuda bangsa ini yang pada akhirnya nanti memang akan
menjadi penerus bangsa pada masa-masa yang akan datang.
Pemuda adalah generasi yang disiapkan Tuhan untuk menentukan nasib dunia secara luas
dan dirinya secara terbatas, seperti itulah kutipan salah satu Motivator nasional bernama Mario
Teguh. Artinya, pemuda memang telah menjadi bagian dari rencana Tuhan untuk menjadikan
individu tersebut seperti apa nantinya dan dunia secara luas pada akhirnya. Sekarang
pertanyaannya, pemuda yang seperti apa yang dibutuhkan dan benar-benar mampu
mengembalikan bangsa ini pada posisi yang semestinya?
Secara sederhana, tawaran yang dipaparkan dalam tulisan yang juga sederhana ini ialah
pemuda yang memiliki jiwa pahlawan. Mengapa begitu, karena bangsa ini memang memiliki
jutaan pemuda yang menjadi penghuninya, akan tetapi tidak sebanyak itu pemuda yang benar-
benar paling tidak berpikir akan nasib bangsa ini ke depannya. Oleh sebab itulah, pemuda-
pemuda pilihan yang secara sukarela mau menempatkan bangsa ini dalam pikirannya
tersebutlah yang bisa dijadikan sebagai tonggak pembangun bangsa. Pemuda yang seperti itu
tentu memiliki jiwa kepahlawanan yang memang dibutuhkan juga demi mewujudkan kemajuan
bangsa dan negara.
Kaitannya dengan unsur identitas kebanggaan tersebut, maka pemuda dengan jiwa
pahlawan saja masih belum cukup. Harus ada sasaran kepahlawanan dari para pemuda yang
dimaksud, dan dalam hal ini tentu kita tidak terlampau luas dulu mewadahi sasaran yang
dimaksud. Cukuplah pemuda dengan jiwa pahlawan yang mau dan mampu membangun bangsa
pada aspek kebahasaan menjadi salah satu prioritas dalam pelaksanaan pembangunan bangsa.
Jika seorang pemuda mau dam mampu berjiwa pahlawan untuk memikirkan nasib bangsa ini,
khususnya dalam hal bahasa dan sastra, maka bagaimana jika ratusan, ribuan, bahkan jutaan
pemuda yang bisa seperti itu. Dengan hal itu, maka bangsa ini tidak perlu khawatir terkait
nasibnya di masa kelak. Hal tersebut karena dengan adanya banyak pemuda berjiwa pahlawan
dalam hal bahasa dan sastra, maka identitas kebahasaan dan kesastraan Indonesia bisa dijamin
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
368
tetap bertahan, makin meraja, dan bahkan menjadi kuasa di era yang akan datang. Oleh sebab
itu, sejak saat ini penguasa negeri harus terus memberi wadah perjuangan membangun bangsa
bagi para pemuda agar nantinya bangsa ini tidak menjadi sarang pemuda yang tidak punya
karya bagi masa depan.
Tanpa Tanda Jasa
Tanpa tanda jasa, mungkin sering kita dengar apalagi jika berkaitan dengan datangnya
salah satu peringatan bagi bangsa ini, yakni yang berkaitan dengan unsur pendidikan yaitu
keguruan. Namun demikian, istilah tersebut tidak secara khusus dimaknai sebagai bentuk dari
peringatan tersebut. Istilah tanpa tanda jasa ini lebih dicondongkan pada kelanjutan uraian
sebelumnya mengenai pemuda pahlawan bahasa. Mengapa berkaitan? Hal tersebut karena,
ketika seorang bahkan jutaan pemuda bangsa ini yang dengan jiwa pahlawannya mau dan
mampu membangun unsur kebahasaan sebagai bagian pembangunan bangsa, maka perlulah
ditekankan bahwa hal yang dilakukan tersebut adalah bagian dari sesuatu yang tidak boleh
mengharapkan apa-apa, baik itu pujian, imbalan materi, atau hal-hal yang dapat meruntuhkan
semangat pembanguna bangsa itu sendiri. Hal itu karena jika pemuda yang diharapkan sebagai
penerus bangsa dengan jiwa dan sikap kepahlawanan tadi masih juga memikirkan,
mengharapkan, atau meminta balasan dan imbalan terkait usahanya membangun bangsa, maka
sebenarnya sia-sialah perjuangan yang ia berikan. Oleh sebab itu, pemuda pahlawan bahasa
harus benar-benar bebas dari pikiran dan perbuatan yang dapat mencoreng perjuangannya.
Pemuda harus berjuang, bekerja, dan memberikan segenap usahanya demi bangsa ini dengan
teguh memegang prinsip tanpa tanda jasa. Seperti ungkapan yang sudah sama-sama kita ketahui,
jangan tanyakan apa yang telah diberikan negara kepadamu, tetapi tanyakan apa yang telah kau
berikan kepada negara. Mungkin dengan begitu, sikap pemuda bangsa ini akan terus terjaga
kesuciannya dalam mengemban tugas mulia sebagai bagian dari rencana Tuhan dalam
menentukan nasib dirinya, nasib bangsanya, dan nasib dunia.
Revolusi Mental Bahasa dan Sastra Indonesia: Upaya mewujudkan Pemuda Pahlawan
Bahasa Tanpa Tanda Jasa
Berdasar pada uraian-uraian di atas, maka simpulan umum yang mesti menjadi perhatian
bersama adalah muara dari perjuangan yang sedang dimulai melalui berbagai aspek saat ini
untuk terus mempertahankan eksistensi bangsa ialah bagaimana kita sebagai manusia Indonesia
terus meningkatkan diri dalam segala aspek perjuangan. Perjuangan dalam bidang bahasa dan
sastra mugkin menjadi salah satu fokus kita, karena ada persepsi yang menyatakan bahwa
melalui bahasa kita mampu membentuk dan mewujudkan aspek intelektualitas manusia dan
melalui sastra kita yakin untuk menciptakan dan memiliki aspek moralitas dan etika sebagai
manusia yang hidup secara individu maupun sosial kemasyarakatan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
369
Revolusi mental harus terus dipandang positif sebagai bagian dari ikhtiar kita menjamin
masa depan bangsa, khususnya dalam bidang bahasa dan sastra. Kemudian, pelaku perjuangan
berlabel pemuda harus tetap berada dalam jalur yang tepat dengan semangat dan jiwa
kepahlawanannya. Pada akhirnya, prinsip tanpa tanda jasa harus menjadi perisai utama dalam
menjalani hidup di tengah amanat perjuangan agar rencana Tuhan terkait dengan nasib bangsa
dan dunia ini berjalan semestinya, yaitu berada pada jejak-jejak kebenaran.
Sebagai bangsa yang berdaulat, maka gerakan revolusi mental bidang bahasa dan sastra
dengan pelaku utama pemuda dengan jiwa pahlawan yang berpegang teguh pada kaidah tanpa
tanda jasa harus benar-benar bisa dijadikan sebagai “pedang sekaligus perisai” dalam
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA bukan ditakuti, tapi menjadi jalan kita
sebagai bangsa yang besar untuk membuktikan pada dunia bahwa kita ada, kita mampu, dan kita
berdaya, semua itu karena kita adalah INDONESIA.
Daftar Pustaka
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1957. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pustaka Rakyat.
Burhan, Jazir. 1976. “Politik Bahasa Nasional dan Pengajaran Bahasa Indonesia.” Dalam Politik
Bahasa Nasional I, Amran Halim, ed. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975. Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa
Nasional 25-28 Februari. Jakarta: Depdikbud.
Fitriany, Yunita. 2015. EYD dan Kaidah Bahasa Indonesia. Jakarta: Transmedia Pustaka.
Kemenegpora. 2009. Dialog Pemuda dalam Membangun Bangsa. Jakarta: Kemenegpora.
Mahsun. 2011. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya (edisi
revisi 2011). Jakarta: Rajawali Pers.
Muslich, Masnur. 2012. Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Sumarsono. 2014. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengantar Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Veerhar, J.W.M. 1989. Identitas Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Wareing, Shan dan Linda Thomas. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
370
KONSEP HISTORIS SISTEM MATRILINEAL
TERHADAP APLIKASI FILOSOFI SASTRA MINANGKABAU KEKINIAN
Sri Rustiyanti
Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung
Abstrak
Sistem matrilineal tidak akan lepas dari adat istiadat masyarakat Minangkabau yang
masih berpegang kuat pada filosofi adat bersandi syarak – syarak bersandi kitabullah.
Sistem matrilineal yaitu keturunan yang mengikuti garis ibu, sehingga dengan
demikian seorang anak laki-laki secara historis tidak mempunyai ‘hak milik’, tetapi
hanya sekedar memiliki ‘hak pakai’. Dampak dari sistem ini, anak laki-laki harus
berani meninggalkan kampung halamannya untuk pergi merantau. Berbekal dengan
filosofi ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’. Filosofi ini sudah sangat
popular dan familiar menjadi pijakan hidup orang Minang yang berani keluar dari alam
Minangkabau untuk mencari kehidupan dan mengembangkan diri di perantauan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu
menggambarkan dan menganalisis data atau fakta yang ditemukan secara objektif
dengan penekanan utama pada penelitian sumber yaitu teknik yang menggambarkan,
memaparkan dan menginterpretasikan objek orang Minangkabau yang berada di
perantauan Bandung dan sekitarnya yang diteliti dengan sistematis.Penelitian ini
menggunakan pendekatan fenomenologi dengan menjelaskan atau mengungkap makna
konsep filosofi Minang dalam kehidupan sehari-hari dengan fenomena pengalaman
yang didasari oleh kesadaran yang terjadi di sekitarnya. Perempuan dalam adat
Minangkabau diberi keistimewaan bahwa di Minangkabau telah diberikan emansipasi
kepada kaum perempuan untuk menempatkan harkat perempuan pada kedudukan yang
tinggi, sehingga perempuan memiliki arti action (tindakan)atau agency (peran) sebagai
anggota masyarakat, di mana tindakan dan peranannya akan memperoleh makna yang
penting.
Kata Kunci: matrilineal, filosofi, historis, kekinian.
Pendahuluan
Saat ini banyak kaum perempuan yang memasuki berbagai bidang aktivitas, seperti
bidang ekonomi, politik, social, dan budaya. Semua ini menandakan sedang terjadi perubahan
dalam sistem peranan gender dari peranan yang tradisionil kepada peranan yang modern.
Walaupun begitu hingga sekarang belum jelas bagaimana masyarakat memahami perubahan ini
dan bagaimana masyarakat mengkonstruksi secara sosial realitas perubahan peranan ini. Salah
satu cara untuk mengetahui pemahaman masyarakat yang dikonstruksi secara sosial tentang
kehidupan, terutama yang berkaitan dengan sistem gender, yaitu dengan melihat kepada budaya
populer atau budaya massa. Produk-produk budaya populer akan menunjukkan pemahaman
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
371
orang-orang tentang pandangan dunianya yang diekspresikan dalam kehidupan atau aktivitas
publiknya. Setiap anggota masyarakat, akan menanggapi setiap karakter fiksional sesuai dengan
yang dapat diidentifikasikan. Di samping itu, budaya populer itu sendiri dapat mempengaruhi
interpretasi setiap orang mengenai makna dari pengalaman hidup mereka, juga
mengekspresikan konsepsi populer (massa). Melalui budaya populer ini dapat juga diketahui
bagaimana pemahaman masyarakat terhadap perubahan sistem gender atau gambaran tentang
perempuan dan pria di media massa.
Begitu pula dengan perempuan di Minangkabau juga mempunyai peranan penting
dalam bidang perekonomian. Sesuai dengan sifatnya yang dinilai lebih bersifat ekonomis dan
lebih teliti, maka perempuan Minangkabau dipercayakan untuk mengatur penggunaan hasil
sawah dan lading, yang diungkapkan dengan pepatah adat ‘Umbun puruik pegangan kunci,
umbun puruik aluang bunian’ yang artinya bahwa hasil ekonomi sebagai pegangan kuncinya
adalah Bundo Kanduang (kaum perempuan). Rangkiang yang berfungsi untuk menyimpan hasil
sawah ladang terletak di halaman Rumah Gadang yang ditempati oleh Bundo Kanduang. Dalam
musyawarah, perempuan di Minangkabau mempunyai hak suara yang sama dengan kaum laki-
laki, baik dalam hal penetapan waktu hajatan maupun mendirikan gelar pusaka harus melalui
persetujuan Bundo Kanduang. Termasuk pula dalam penggunaan harta pusaka untuk
kepentingan bersama, menggadai dan menghibah harus dengan kesepakatan bersama termasuk
kaum perempuan.
Demikian Adat Minangkabau memposisikan kedudukan perempuan pada kehidupan
berkaum dalam masyarakat yang memperlakukan perempuan dengan mulia. Berbeda sekali
dengan perlakuan pada zaman jahiliyah yang merendahkan martabat perempuan dan
menganggap kaum laki-laki lebih mulia dari kaum perempuan. Ataupun pandangan dunia
modern yang menyerukan kesetaraan terhadap kaum perempuan dan perbaikan perlakukan bagi
kaum perempuan.
Ajaran adat yang begitu memuliakan Bundo Kanduang akan nyata implementasinya
dalam kehidupan bermasyarakat jika kaum perempuan mampu memposisikan dirinya sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) serta memiliki sifat-sifat yang disyaratkan oleh
adat yang harus dimiliki oleh seorang Bundo Kanduang. Dengan demikian, gerakan
pengatasnamaan gender tidak akan populer didengungkan di bumi alam Minangkabau. Hanya
saja prakteknya dalam kehidupan sehari-hari pada masa sekarang mulai dipertanyakan. Apakah
ketentuan adat sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan falsafah hidup di zaman modern dengan
era globalisasi sekarang ini? Bukankah Adat disebutkan sebagai sesuatu yang “tak lakang dek
paneh, tak lapuak dek hujan”? Yang artinya tidak terpengaruh oleh apapun, kapanpun
ketentuan adat tetap harus dijalankan. Sehingga perspektif Adat Minangkabau terhadap
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
372
perempuan merupakan suatu gambaran yang utuh dan nyata sehingga gerakan feminisme yang
menyuarakan kesetaran gender benar-benar tidak dibutuhkan lagi.
Pembahasan
Manusia hidup dan tumbuh menjadi manusia berbudaya dengan kondisi terhadap nilai
masyarakat sekitar, melalui orang tua dan keluarga. Manusia tidak dapat memilih untuk
dilahirkan sebagai suku mana dan bangsa mana. Tidak pula dapat menolak dari kebudayaan
mana ia dibesarkan. Meskipun setelah dewasa ia dapat tinggal di luar tempat ia berasal, ia tidak
dapat mengingkari budaya asalnya. Manusia bebas menentukan masa depannya, tetapi tidak
dapat bebas dari masa lampaunya. Itulah sebabnya hingga saat ini masih banyak berbagai seni
budaya yang masih dilakukan serta dilestarikan sebagai kebanggaan serta identitas suatu daerah,
ataupun jati diri bangsa. Berbagai tradisi yang berkembang di masyarakat, mulai dari bercocok
tanam, mengolah ladang, mengekspresikan seni melalui seni tari, lagu, sastra, dan berbagai
macam makanan khas, hingga nilai-nilai yang terkandung dalam upacara perkawinan, upacara-
upacara ritual sebagai tanda syukur pada Tuhan yang Maha kuasa, serta berbagai upacara yang
berkaitan dengan siklus kehidupan manusia. Hal ini semuanya merupakan kekayaan masing-
masing masyarakat, suku ataupun bangsa sebagai identitas pribadi dan identitas sosial seseorang
yang terbentuk tidak akan lepas oleh identitas budayanya. Manusia tidak dapat menolak di
kebudayaan mana ia dibesarkan, meskipun setelah dewasa ia dapat mengingkari budaya asalnya
dan memasuki budaya lain, manusia tetap terbebani dengan budaya asalnya3. Keragaman
Indonesia terpendam dalam sikap dan nilai nilai yang masih dipertahankan. Orisinalitas budaya
Indonesia terletak pada keragamannya. Setiap wilayah budaya memiliki budaya dengan nilai
serta filosofi dasarnya masing-masing, yang kemudian berfungsi bagi kehidupan manusia.
Dalam era otonomi daerah, Sumatera Barat sejak awal Januari 2001 kembali ke sistem
pemerintahan nagari (institusi terendah dalam sistem pemerintahan, menggantikan desa),
menyusul keluarnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2000. Nagari dalam tradisi
masyarakat Minangkabau merupakan identitas kultural yang menjadi lambang mikrokosmik
sebuah tatanan makrokosmik lebih luas. Dalam nagari terkandung sistem yang memenuhi
persyaratan embrional sebuah sistem negara. Nagari adalah negara dalam artian miniatur, dan
merupakan republik kecil yang sifatnya self contained, otonom, dan mampu membenahi diri
sendiri (Yulrizal Baharin, ahli pakar nagari). Yang menjadi tantangan luas di kalangan
masyarakat Sumatera Barat adalah bila Indonesia sekarang dipimpin seorang perempuan,
Megawati Soekarnoputri, apakah tidak mungkin nagari juga dipimpin seorang perempuan?
3 Yakobus Sumardjo, “Indonesia Mencari Dirinya”, dalam Orasi Ilmiah Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Sejarah Kebudayaan, STSI Bandung, Tanggal 11 September 2003, p.
1.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
373
Pertanyaan ini sangat mendasar dan beralasan, karena dalam kaba (cerita tradisi yang
memasyarakat dan tumbuh subur di Minangkabau) peran penting perempuan di Minangkabau
sering diungkapkan dan cukup popular dalam sastra kaba (cerita) Minangkabau.
Menurut pakar sastra dari Universitas Negeri Padang, Prof Dr Mursal Esten, pada
umumnya pengungkapan permasalahan perempuan dalam kaba adalah permasalahan perempuan
dalam nagari-nagari. Peranan perempuan dalam masyarakat Minangkabau, sebagaimana sering
diungkapkan dalam kaba Minangkabau, antara lain:
1. Bundo Kanduang
Di dalam kaba Rancak di Labuah misalnya, digambarkan laki-laki lebih banyak
merusak masyarakat yang akhirnya diselamatkan perempuan. Seolah-olah rumah tangga itu
dikendalikan perempuan. Banyak kaba lain memperlihatkan perempuan menyelamatkan
masyarakat, anak, putra-putri, sedangkan mamaknya atau bahkan bapaknya kadang-kadang
malah tidak muncul dalam kaba. Bahkan, dalam kaba Cindua Mato, sebagaimana dikemukakan
oleh budayawan yang bernama Edy Utama, Bundo Kanduang (sebutan untuk perempuan
Minang) digambarkan sebagai orang yang sangat berkuasa. Tidak saja karena sistem sosial
matrilineal, tetapi juga punya kekuasaan memerintah. Posisi Bundo Kanduang begitu sentral
dan amat menentukan. Dalam banyak hal, secara realitas, perempuan Minangkabau dari dulu
sampai sekarang sudah banyak berperan dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, politik, dan
sebagainya.
2. Fungsi Politik Wanita Minang
Perempuan Minangkabau memiliki fungsi politik dan telah menjalani peranan itu sejak
lama. Peranan politik perempuan Minangkabau semakin memperjelas bahwa meskipun laki-laki
diberikan kepercayaan sebagai pemimpin politik dalam komunitas nagari, tetapi sistem politik
Minangkabau tidak bersifat patrialistik, tidak disusun berdasarkan aturan yang membedakan
laki-laki dan perempuan di dalam sistem itu. Susunannya atau pengaruh seseorang di dalam
sistem politik Minangkabau memang tidak berdasarkan gender, tetapi dilihat dari kemampuan
dan pengalaman seseorang menyediakan perlindungan serta pengawasan dari kerusakan kultural
dan material kelompok yang diwakilinya. Berdasarkan logika sistem matrilineal, sangatlah
mungkin perempuan dan laki-laki sama pentingnya dalam struktur sosial dan politik
Minangkabau, karena beberapa kewenangan yang diberikan kepada perempuan, merupakan
dasar bagi perempuan memiliki peranan dan pengaruh dalam struktur politik Minangkabau.
Dalam fenomena perempuan Minangkabau yang diakui sebagai Bundo Kanduang sangat sarat
hubungannya dengan sosial mikro, dewasa ini cenderung diidentifikasikan sebagai apa yang
sering disebut kekinian. Pengertian kekinian yang bersifat sosial-mikro menekankan arti
pentingnya action (tindakan)atau agency (aksi) sebagai Bundo Kanduang, di mana tindakan dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
374
peranan tidak sama satu dengan yang lain.4Action dan agency itulah yang menyebabkan seorang
perempuan eksis dalam kegiatan dan seterusnya memperoleh maknanya.
Dari fakta yang telah dijelaskan tersebut, perempuan memiliki posisi dan peranan dalam
struktur politik Minangkabau. Dan sesungguhnya, partisipasi politik perempuan Minangkabau
cukup penting. Peranan aktif perempuan dalam formasi politik Minangkabau bersifat integral
dalam setiap proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan. Oleh karena itu, perempuan
Minangkabau berdasarkan fakta yang ada, dapat menggunakan peranan dan politiknya secara
efektif, kalau kondisi material cukup untuk melaksanakan kekuasaan tersebut secara baik. Jadi,
di sinilah letaknya kenapa perempuan tidak bisa dipisahkan sama sekali dari fungsi dan struktur
sosial politik di Minangkabau.
3. Kerajaan Pararuyung
Berdasarkan sosial, politik, dan budaya Minangkabau, artinya perempuan Minangkabau
sangat mungkin menjadi elite politik atau menjadi pimpinan politik Minangkabau. Jadi, seorang
perempuan Minangkabau - sebagaimana laki-laki Minangkabau - kalau ia memiliki kualifikasi
materi yang kuat maka ia tidak akan dapat dihalangi menjadi pemimpin politik di dalam
kaumnya. Ia tidak akan dihambat karena ia perempuan. Buktinya, dalam cerita sastra kaba
Gadih Ranti, seperti yang dilakukan tokoh utama yang bernama Gadih Reno Ranti. Oleh karena
mamak, ayah, dan saudara laki-lakinya yang lain tidak dapat melakukan tugas sebagai
pemimpin, maka ia mengambil alih tugas kepemimpinan politik tersebut. Kemudian memimpin
Kerajaan Pagaruyung yang telah hancur karena serangan Belanda. Dengan contoh ini, artinya
perempuan memang dapat menjadi pimpinan politik yang efektif di Minangkabau.
Di Indonesia, folklor merupakan suatu disiplin atau cabang ilmu pengetahuan yang
berdiri sendiri dan belum banyak dikembangkan orang. Kata folklor sendiri merupakan
pengindonesiaan dari kata inggris folklore. Folk memiliki pengertian, kolektif, yaitu sekelompok
orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan yang membedakannya
dengan kelompok lain. Adapun kata lore berarti tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaan yang
diturunkan generasi demi generasi, secara lisan dengan atau tanpa alat lain sebagai alat
pembantu pengingat (Danandjaja: 1982: 1). Di dalam prakteknya, pengkajian terhadap folklor
ini terbagi dua. Para ahli bahasa dan kesusasteraan, misalnya, tidak hanya memasukkan
kesusasteraan lisan, seperti cerita rakyat, sebagai objek kajian, tetapi juga pola kelakuan
manusia seperti tari, bahasa isyarat, arsitektur rakyat, permainan rakyat, dan pakaian rakyat
sebagai folklor. Mereka lebih mementingkan aspek lor daripada folk-nya. Sementara para ahli
4 Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, Bandung, 1983,
p. 76-77.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
375
antropologi yang meneliti folklor, lebih mengkhususkan diri pada unsur-unsur kebudayaan yang
bersifat lisan saja seperti cerita prosa rakyat, teka-teki, peribahasa, syair rakyat, dan
kesusasteraan lisan lainnya. Para ahli antropologi ini lebih mementingkan aspek folk daripada
lor-nya. Folklor tidak semata-mata merupakan kreasi budaya yang memiliki nilai seni. Folklor
juga merupakan produk komunikasi karena di dalam folklor terdapat transformasi nilai-nilai
sosial budaya. Oleh sebab itu, sebagai produk komunikasi, folklor juga dapat dikatakan sebagai
proses sosial karena berhubungan erat dengan perubahan masyarakat termasuk perubahan
politik, terutama pada zamannya. Sebagai produk komunikasi dan seni budaya, folklor tentunya
tak dapat dilepaskan dari proses kreatif sebagai hasil karyanya.
Dengan demikian dapat dirumuskan, proses kreatif dalam suatu folklor memiliki dua
aspek, yakni: 1) Aspek sosio-psikologisnya, yaitu suatu penggambaran atau pembentukan ide
cerita. Di sini diperlukan suatu kemampuan untuk memunculkan gagasan orisinil dan baru,
suatu kemampuan untuk menangkap serta merumuskan struktur, latar belakang dan karakter
budaya. Singkatnya konsep atau gagasan ini harus menggambarkan dinamika realitas sosial
serta romantika kehiduan masyarakat yang menjadi target sasarannya; 2) Unsur teknis. Apabila
faktor penggambaran atau pembuatan suatu tema atau ide dasar selesai, maka langkah
berikutnya menuangkan ke dalam bentuk penyusunan kata-kata. Ada enam bentuk folklor lisan
Indonesia yang dicatat oleh Danandjaja (1982: 22-152), yaitu bahasa rakyat, ungkapan
tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan puisi rakyat, nyanyian rakyat (folksongs) dan cerita
prosa rakyat, yang terbagi atas mite, legenda, serta dongeng.
Sastra Minangkabau ada cerita Bundo Kanduang, sedangkan dalam sastra Sunda ada
Sastra Pantun, sangat menarik untuk dijadikan bahan kajian lebih lanjut atau penelitian, sebagai
komparasi tokoh perempuan versi Minang dan Sunda. Ceritera Pantun dan ceritera yang
bercorak mitos, di setiap daerah mempunyai versi tersendiri. Terutama cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh perempuan yang mempunyai posisi unik, memiliki kekuatan, serta
menjadi panutan masyarakat. Perempuan yang sangat dominan, begitu gigih membela
kebenaran, kesetiaan, serta sangat bijaksana. Di beberapa cerita Sunda muncul pula tokoh
perempuan Sunan Ambu sebagai Dewi Kehidupan (Ibu Dewata), yang selalu menuntun manusia
pada ruang kebajikan pada tingkat sempurna, dan menghukum kezoliman, bahkan mampu
menghidupkan orang yang sudah meninggal. Yang dapat ditarik pada Sastra Pantun, adalah
nilai-nilai serta semangat juang yang tinggi, tertutama bagi para perempuan generasi muda, di
mana konsep berpikir instan lebih ‘meruang’ pada pola pikir yang terkadang ‘kering makna’
dalam arti kehilangan roh esensi nilai-nilai.
Penelitian ini akan menggunakan analisis genre dan narasi teks, serta analisis
hermeneutika. Fokus dari analisis genre adalah untuk memperoleh wawasan yang lebih baik
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
376
terhadap sifat alami setiap genre baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Genre
folklor mencerminkan nilai-nilai dominan saat itu dan dapat dianggap sebagai sebuah barometer
dari fenomena sosial budaya. Genre tersebut tidak bersifat netral tapi tergantung pada konteks
sosial budaya. Narasi teks mempunyai dua bagian, pertama story (contents) atau rangkaian
peristiwa, baik dalam bentuk tindakan maupun kejadian. Kedua, discourse (exspression) yang
merupakan pengekspresian, maksudnya bagaimana isi cerita dikomunikasikan. Selanjutnya,
melalui analisis hermeneutika dicoba digali makna di balik teks. Dengan demikian diharapkan
dapat memberikan pemahaman yang bersifat menyeluruh dan mendalam tentang konsepsi
liberalisme dan patrialisme, khususnya yang berkaitan dengan masalah gender, yang
dikonstruksi secara sosial.
Penutup
Gender merupakan karakteristik paling penting dalam kehidupan sosial dengan
mengklaim bahwa masyarakat telah dikonstruksi secara sosial dalam cara-cara patriarkal
(dominasi pria), sehingga suara-suara perempuan dalam banyak bidang kehidupan telah
dibungkam secara sistematik. Dengan menekankan pentingnya menyimak, memahami, dan
mendukung nilai-nilai feminin yang melewati batas nilai-nilai maskulin yang rasional, hirarkis
dan pengendalian yang dibingkai oleh feminisme. Hal ini nampaknya ingin mengemukakan
bahwa kaum perempuan merupakan karakteristik paling penting dalam kehidupan sosial. Kritik
sosial terhadap cara-cara patriarkal yang didominasi kaum pria telah dikonstruksi secara sosial.
Kaum perempuan memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan kaum laki-laki, yang hanya
dapat diperoleh apabila kaum perempuan dapat menguasai dan mengendalikan institusi yang
selama ini didominasi oleh kaum pria.
Bahwasannya, Liberalisme tanpa moralitas tidak akan bertahan lama dan hanya akan
mendatangkan petaka. Liberalisme tanpa moralitas hanya akan memunculkan kapitalisme yang
berorientasi pada keuntungan dengan cara melakukan eksploitasi terhadap sumber daya manusia
dan material. Akhirnya manusia akan terjebak dalam hedonisme. Munculnya kritikan sosial ini
mengindikasikan, kemungkinan pada saat itu para bangsawan (kalangan atas dan menengah)
umumnya sering bersikap semena-mena terhadap masyarakat kelas bawah. Sementara para
bangsawan yang bersikap baik terhadap rakyat sangat sedikit jumlahnya, itu pun mungkin
sering dianggap ‘aneh’ atau lain dari yang lain. Bisa jadi pada saat itu budaya patriakal begitu
kuat sehingga sangat membelenggu kaum perempuan. Kaum perempuan sering diperlakukan
tidak adil dan tidak memiliki kebebasan bergerak dan berpendapat. Sehingga kaum perempuan
tidak memiliki peran dalam kehidupan publik. Situasi dan kondisi seperti ini mendorong melalui
tulisan ini, untuk memberikan pemahaman tentang potensi dan peranan perempuan ke arah yang
lebih baik, yang dapat menghargai potensi dan peranan perempuan dalam kehidupan sosial.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
377
Dengan demikian, seni sastra yang beraneka ragam dapat difungsikan masyarakat,
mulai dari untuk kepentingan politik, sosial, budaya, ritual, hiburan, dan apresiasi estetis.
Dengan berjalannya waktu, seni sastra dapat menjadi inspirasi berbagai bentuk seni pertunjukan
kemudian berperan juga sebagai sarana pendidikan, penerangan, penyebaran agama, atau media
politik, ajang gensi, ajang prestise, bahkan kini telah banyak yang menjadikan sebagai ajang
ekonomi sebagai seni industri.
Daftar Pustaka
Berger, Peter L. dan Thomas Luckman. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan. Penerjemah: Hasan Basari, Jakarta. LP3ES.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta.
Grafiti Pers.
Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta. Lkis,
Moriaty, Sandra E. 1991. Creative Advertising: Theory & Practice, New Jersey 07632: Prentice
Hall, Engelwood Cliffs.
Rosidi, Ayip. 1970. Nyi Sumur Bandung. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore
Sunda.
Sumardjo, Yakobus. “Indonesia Mencari Dirinya”, dalam Orasi Ilmiah Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Sejarah Kebudayaan, Tanggal 11 September 2003,
STSI Bandung.
Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta. Kanisius.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
378
PEMBELAJARAN MELALUI MEDIA KONKRET DI SEKOLAH DASAR
(Potret Pembelajaran di Sekolah Dasar Negeri Rawu, Serang, Banten)
Sundawati Tisnasari
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Abstrak
Membidik pembelajaran di Indonesia sangatlah multikasus. Namun, yang harus
dibedakan dari permasalahan pembelajaran, yaitu kekhasan karakter kedaerahan dan
faktor pembelajar. Karena itu, perlu adanya perhatian agar tercipta pembelajaran yang
baik. Kadang praanggapan bahwa pembelajaran baik itu adalah yang berhasil. Namun,
berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran semua tergantung dari faktor-faktor tertentu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut meliputi pengajar, siswa, media
pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, serta kurikulum yang dapat menunjang
keberhasilan suatu pembelajaran. Dalam meraih tujuan tersebut, pengajar harus
mempunyai kredibilitas dan kompetensi dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
Sehingga dapat membangkitkan kemampuan, minat, dan bakat siswa. Dalam proses
pembelajarannya diperlukan kematangan perencanaan pengajaran, artinya adanya
kesesuaian terhadap tujuan pembelajaran. Pada dasarnya media tidak ada yang buruk,
tetapi ada yang harus diperhatikan, yaitu media yang sesuai dengan pembelajaran.
Media konkret adalah sarana yang membantu pengajar dalam melakukan proses
pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan media konkret ini ternyata sangat
membantu dalam membangkitkan daya kemampuan dan minat siswa.
Kata kunci: Pembelajaran, Pengajar, Media, Media Konkret, Sekolah Dasar
Pendahuluan
Pembelajaran di Indonesia sangatlah multikasus. Semisal pendidikan di Indonesia
memiliki kualitas masih dianggap rendah. Hal ini terjadi karena tingkat kemampuan peserta
didik yang belum mencapai standar ketentuan. Di samping itu, mutu pendidikannya yang
menjadi permasalahan pembelajaran. Padahal, dalam pembelajaran peserta didik mempunyai
kekhasan karakter kedaerahan. Karena itu, perlu adanya perhatian agar tercipta pembelajaran
yang baik.
Adanya praanggapan pembelajaran yang berhasil dari nilai kognitif siswa menjadi
parameter yang kurang tepat. Padahal, berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran tergantung
dari faktor pengajar, siswa, media pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, serta
kurikulum yang dapat menunjang keberhasilan suatu pembelajaran. Dalam meraih tujuan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
379
tersebut, pengajar harus mempunyai kredibilitas dan kompetensi dalam melakukan kegiatan
pembelajaran. Sehingga dapat membangkitkan kemampuan, minat, dan bakat siswa.
Pembelajaran tematik digunakan di Sekolah Dasar. Pembelajaran tematik ini seharusnya
ditunjang dengan penggunan media yang terencana. Karena media pembelajaran sebagai alat
yang membantu dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran pun bermanfaat memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat langsung, seperti menyentuhnya, mengamati,
mengujicoba, menumbuhkan rasa ingin tahudan mengambil keputusan. Pemelajaran dengan
menggunakan media dapat membangun suatu pendidikan yang berarti dan relevan dalam
kehidupan peserta didik. Sehingga membantu ketercapaian kompetensi dasar peserta didik dan
meningkatkan keefektifan pembelajaran.
Pengajar sedapat mungkin bisa menggunakan media yang murah dan efisien meskipun
sederhana. Media tersebut diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu,
media konkret merupakan salah satu media yang dapat mengajarkan siswa untuk lebih dekat
dengan lingkungan di sekitarnya. Pemilihan media yang dipilih pengajar harus sesuai dengan
tujuan, materi, serta kemampuan dan karakteristik siswa, akan sangat menunjang efektivitas dan
efisiensi dalam proses belajar mengajar. Kemudian, jika melihat fungsi media di antaranya
sebagai sumber belajar, dapat membangun imajinasi, dan motivasi siswa. Selain itu, fungsi
media juga memiliki fungsi yang lain, yaitu: 1) menyampaikan dan memperjelas pesan serta
mengatasi keterbatasan ruang; 2) memberikan stimulus sehingga siswa dapat memberi respons
dan memunculkan persepsi yang sama; 3) pembelajaran lebih efektif yang disertai teori belajar
4) membuat konsep-konsep konkret yang dapat dijelaskan secara langsung kepada siswa.
Media membantu dalam kesiapan belajar. Hal tersebut mengandung arti bahwa
kesiapan belajar peserta didik dapat dikondisikan oleh pengajar melalui suatu media dan metode
mengajar yang tepat. Peserta didik sebagai individu yang potensial tidak dapat berkembang
tanpa bantuan pengajar. Sebagai dampak dari usaha tersebut adalah kemauan belajar peserta
didik akan meningkat yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap prestasi belajar peserta
didik. Pada dasarnya ini akan menimbulkandan meningkatkan kemampuan berpikir yang
dimiliki peserta didik.
Di samping itu, ternyata pengajar yang berkualitas harus memiliki kriteria berikut,
yaitu: 1) bekerja dengan siswa; 2) persiapan dan perencanaan mengajar; 3) pendayagunaan alat
pelajaran; 4) pelibatkan siswa dalam berbagai pengalaman; 5) kepemimpinan aktif dari pengajar
(Kusnandar, 2009:61). Oleh karena itu, kemampuan dan keterampilan mengajar merupakan
suatu hal yang dapat dipelajari serta diterapkan atau dipraktikkan oleh setiap orang pengajar.
Mutu pengajaran akan meningkat apabila pengajar mempunyai cara yang tepat.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
380
Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif-kualitatif. Lokasi penelitian
ini, yaitu di Sekolah Dasar Negeri Rawu, Serang, Banten. Data yang diperoleh berdasarkan
wawancara dan pengamatan proses pembelajaran yang dilakukan peneliti, pengajar, dan
mahasiswa yang sedang mengikuti (PPLK). Pada saat itu, PPLK dilakukan selama 3 bulan,
yaitu dari Maret, April, dan Mei.
Pembahasan
1. Ihwal Proses Pembelajaran di SDN Rawu
Praktek pangalaman lapangan kependidikan (PPLK) merupakan kegiatan intrakulikuler
yang dilaksanakan oleh mahasiswa yang mencakup baik latihan mengajar secara langsung atau
terbimbing dan terpadu untuk memenuhi syarat pembentukan profesi pendididkan. Dalam usaha
mencerdaskan kehidupan bangsa, tugas pengajar sebagai pendidik tidaklah dapat dikatakan
ringan, sebab tidak hanya memberikan bekal pada anak pendidik berupa ilmu semata, melainkan
hal yang lebih penting adalah membentuk kepribadian anak didik menjadi manusia yang
berguna bagi sendirinya, orang tua, masyarakat, agama, bangsa, dan negara.
Pendidikan merupakan proses pengembangan utuh menuju ke arah kedewasaan dalam
proses berpikir dan bertindak. Oleh karena itu, calon pendidik sebelum diterjunkan ke dunia
pendidikan hendaknya dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
sesuai dengan profesi dan kemampuan. Kemampuan diri tersebut dituntut untuk melaksanakan
tugasnya sehingga berhasil seperti yang diharapkan.
Sekolah Dasar Negeri Rawu Kota Serang merupakan salah satu sekolah yang dipercaya
oleh FKIP Untirta untuk menjadi tempat pelaksanaan PPLK. Sekolah Dasar Negeri Rawu Kota
Serang diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada mahasiswa yang melaksanakan
PPLK tersebut. Dalam pelaksanaannya mahasiswa dituntut untuk bertanggung jawab sebagai
praktikan yang baik ilmiah, aktif, dan memberikan angin segar secara kognitif terhadap siswa.
Mahasiswa PPLK adalah mahasiswa FKIP Untirta yang telah menempuh kelulusan dari
mata kuliah dengan jumlah nilai SKS sekurang-kurangnya 140 sks dan telah mendaftar diri
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan kemudian ditetapkan menjadi mahasiswa PPLK
2013. Adapun mahasiswa yang mengikuti tugas PPLK ini terdiri atas 12 orang. Pelaksanaan
PPLK pada bulan Maret, April, Mei.
Selama tiga bulan pratikan berada di SDN negeri Rawu, praktikan selalu berusaha ikut
berparsitipasi kegiatan dalam lingkungan sekolah. Kegiatan tersebut seperti, mengikuti upacara
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
381
kenaikkan bendera, kegiatan pramuka, kesenian, dan lain-lain. Di samping itu, melaksanakan
tugas administrasi kelas dan memperkenalkan metode serta trik dalam materi pembelajaran.
Kurikulum yang digunakan SD NegeriRawu dalam melaksanakan proses belajar
mengajar dengan menggunakan kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP). Sebelum
pengajar melaksanakan pembelajaran di kelas selalu menyiapkan seperangkat perencanaan
pengajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan skenario, agar materi yang
akan disampaikan lebih terancana dan terarah. Proses pengajaran dan pengelolaan kelas yang
terjadi antarpengajar dan siswa selama kegiatan belajar mengajar interaksinya cukup baik.
Dalam implementasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di SD NegeriRawu
dituangkan dalam dalam silabus demi memaksimalkan tujuan pembelajaran upaya penyusunan
yang dilakukan dalam mengondisikan waktu agar tahap proses belajar dapat dilaksanakan
secara sangkil dan mangkus. Adapun waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran di SD
NegeriRawu sama dengan waktu yang digunakan oleh sekolah-sekoah yang lain, yaitu dari
Senin sampai dengan Sabtu dengan jadwal pelajaran mulai dari 07.00 sampai 12.00, kecuali
Jumat dari 07.00 sampai dengan 11.00. Para pengajar berpenampilan rapi, sopan,
menyenangkan sehingga dapat melayani siswa dengan maksimal selayaknya sikap dan sifat
pengajar yang baik dan sopan di semua lingkungan sekolah.
Ketika proses kegitan belajar mengajar berlangsung masih ada yang perlu diperhatikan
dan diperbaiki, yaitu penguasaan materi agar bisa mengondisikan kelas dan interaksi dengan
siswa agar lebih aktif. Hambatan PPLK dalam pelaksanaan praktik mengajar di SDN Rawu
Kota Serang yang ditemukan, sebagai berikut.
1) Banyaknya siswa dalam tiap-tiap kelas, jumlah siswa melebihi kapasitas sehingga sulit
bagi praktikan mengondisikan kelas;
2) Beberapa peserta didik yang kurang menanggapi kehadiran pengajar sehingga
menyebabkan tidak kooperatif;
3) Kurangnya sikap sopan santun yang dilakukan siswa; dan
4) Kurangnya pengajar mengefesienkan waktu belajar.
Di samping itu, permasalahan yang dijumpai yang berkaitan sarana dan prasarana yang
kurang menunjang bahkan tidak ditemui di SDN Rawu Kota Serang, sebagai berikut.
1) kurangnya ruangan kelas, sehingga proses pembelajaran dilakukan secara bergantian.
2) Tidak ada lapangan olah raga bagi siswa
3) Tidak ada infokus yang dapat menunjang pembelajaran
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
382
4) Kurangnya kelengkapan, seperti tidak adanya penghapusan papan tulis, alat
kebersiahan, jam dinding, dan gambar-gambar yang menunjang sebagai media
pembelajaran.
2.Penerapan Mediakonkret
Berdasarkan hasil data di lapangan pada saat proses pembelajaran sebaiknya harus
memperhatikan perangkat pembelajaran, selain itu sebaiknya pengajar harus memperhatikan
dan mengoreksi sistematika penulisan perangkat pembelajaran (program pembelajaran, silabus,
dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran) dengan teliti dan cermat. Selanjutnya, memperhatikan
kelengkapan perangkat silabus dan RPP aspek-aspek yang ada dalam silabus dan RPP, agar
matangnya perangkat pembelajaran tersebut. Lalu, pengajar haruslah teliti dan cermat untuk
menentukan indikator, karena indikator yang akan dicapai haruslah disesuaikan dengan alokasi
waktu yang ada. Oleh sebab itu, pengajar harus menentukan dan menuliskan indikator yang baik
dan tepat sesuai dengan alokasi yang ada. Pengajar mampu mengondisikan kelas, walaupun
jumlah siswa dihadapi cukup banyak. Pengajar bersikap konsisten terhadap rencana pelaksanaan
pengajaran dan mengaplikasikan langkah-langkah pembelajaran yang sudah direncanakan.
Pengajar mampu menggunakan media konkret yang mendukung proses pembelajaran.
Berdasarkan hasil pengamatan media konkret ini ternyata sangat membantu dalam
membangkitkan daya kemampuan dan minat siswa sehingga dapat menciptakan pembelajaran
yang interaktif, memfasilitasi siswa dalam belajar, dan melibatkan peran aktif siswa saat
mengikuti pelajaran. Kondisi peserta didik yang melebihi kapasitas seharusnya ada perhatian
sehingga dapat mengefesienkan keadaan dengan adanya penambahan ruangan kelas.
Peserta didik juga harus bisa memanfaatkan fasilitas buku-buku yang berada di
perpustakaan. Perhatian khusus bagi peserta didik yang mempunyai kelebihan dalam hiperaktif.
Peserta didik yang hiperaktif harus diberikan arah yang lebih positif sehingga dapat diarahkan
menjadi peserta didikan yang kreatif yang tidak mengganggu teman sebayanya di dalam kelas
ketika sedang terjadi proses pembelajaran.
Faktor saran dan prasarana dapat memengaruhi proses pembelajaran, seperti ruang kelas
yang tidak memadai, tempat praktik olah raga. Oleh karena itu, solusinya yaitu, sekolah mampu
melakukan kerja sama dan berkomunikasi dengan pihak dinas pendidikan dan komite sekolah
sehingga faktor kekurangan ini dapat terselesaikan.
Di samping itu, pengolahan dan pendayagunaan media pembelajaran yang dipakai
pengajar, contohnya mengembangkan dan memanfaatkan media konkret seperti gambar-
gambar, benda yang dekat dengan kehidupan di lingkungan sekitar sekolah. Media konkret ini
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat langsung dan aktif dalam proses
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
383
pembelajaran. Penggunaan media konkret dalam pembelajaran baik sebagai alat bantu
pengajaran maupun sebagai pendukung agar materi pembelajaran semakin jelas dan dapat
dengan mudah dipahami siswa, karena media konkret dapat dimanfaatkan peserta didik, yaitu
dengan mengotak-atik benda secara langsung di dalam proses pembelajaran.
Dalam kehidupan nyata lingkungan adalah sesuatu yang bisa membuat inspirasi dan
motivasi pengajar dalam pembelajaran. Dengan adanya lingkungan peningkatan kreativitas anak
dalam pembelajaran bisa terlihat. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
yaitu dengan seringnya pengajar mengajak anak ke dunia yang nyata atau sebenarnya dalam
kehidupan ini.
Alasan lain penggunaan lingkungan adalah ketidakterbatasan sumber alam yang bisa
dimanfaatkan oleh siswa dalam pembelajarannya. Lingkungan mampu menyediakan berbagai
kebutuhan siswa untuk belajar, yang akan menjadikan mereka mampu menjadi orang yang
kreatif dan mampu menghargai alam sebagai bagin dari kehidupan mereka. Selain alasan di atas
lingkungan juga bisa mempengaruhi kejiwaan mereka. Secara perlahan akan tumbuh sikap
empati dalam dirinya terhadap alam. Hal ini merupakan contoh dalam mempelajari alam
sebagai media pembelajaran dalam memperoleh pengalaman langsung dan menciptakan rasa
ingin tahu yang tinggi bagi peserta didik.
Dalam mempersiapkan dan memanfaatkan lingkungan alam sebagai sumber belajar.
Lingkungan sebagai pembelajaran sangatlah penting untuk tumbuh dan berkembangnya potensi
anak dengan bangkitnya minat belajar dalam diri siswa. Pembelajaran di luar kelas di samping
akan membuat anak tambah gairah juga tentunya menghindari rasa bosan bagi anak. Melalui
keaktifan peserta didik belajar di lingkungan dan mampu mendorong siswa untuk berinteraksi
dengan lingkungan sehingga pengalaman langsung dengan lingkungan. Selain itu, belajar yang
baik merupakan bukan rutinitas di dalam kelas melainkan bagaimana menciptakan proses
belajar mengajar yang mengusahakan banyaknya terjadi pembaharuan dan perubahaan dalam
diri anak baik secara pedagogis, proses, dan hasil.
Selain itu, pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan akan menambah anak
menjadi inovatif dan kreatif. Selanjutnya, memanfaatkan pembelajaran digunakan sesuai dengan
tujuan pembelajaran, sehingga tercipta kegiatan belajar lebih menarik dan tidak membosankan.
Hal ini membuat peserta didik merasa memahami dan menghayati aspek-aspek kehidupan lokal
dan mewujudkan nilai-nilai kehidupan.
3. Teknik Penggunaan Lingkungan Sebagai Media Pembelajaran
Dalam pembelajarannya ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika pengajar akan
menggunakan lingkungan sebagai pembelajaran. Cara ini dilakukan dengan cara melihat atau
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
384
mengunjungi lingkungan yang akan dijadikan objek pembelajaran. Misalnya lingkungan
masyarakat dengan cara mempelajari budaya dan kehidupan masyarakat. Kegiatan ini bisa
dilakukan dengan cara wawancara kepada pihak tertentu misalnya tokoh masyarakat, adat, atau
dengan cara melihat dokumentasi langsung. Hasil dari lapangan bisa berupa laporan yang dibuat
dan dikemas untuk dilaporkan di depan kelas ketika presentasi.
Penutup
Proses pembelajaran di kelas diperlukan kematangan dalam perencanaan pengajaran,
artinya adanya kesesuaian terhadap tujuan pembelajaran. Pada dasarnya media tidak ada yang
buruk, tetapi ada yang harus diperhatikan, yaitu media yang sesuai dengan pembelajaran. Media
konkret adalah sarana yang membantu pengajar dalam melakukan proses pembelajaran.
Berdasarkan hasil pengamatan media konkret ini ternyata sangat membantu dalam
membangkitkan daya kemampuan dan minat siswa sehingga dapat menciptakan pembelajaran
yang interaktif, memfasilitasi siswa dalam belajar, dan melibatkan peran aktif siswa saat
mengikuti pelajaran.
Daftar Pustaka
Arsyad Azhar. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kusnandar. 2009. Pengajar Profesional. Jakarta: Rajawali Pers.
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Sadiman Arief, dkk. 2005. Media Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Setiawan, Denny. 2005. Komputer dan Media Pembelajaran. Jakarta: UT.
Sudjana, Nana. dkk. 2010. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Suparman Atwi. 1997. Model-model Pembelajaran Interaktif. Jakarta: STIA LAN Press.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
385
PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN WACANA NARATIF
YANG BERORIENTASI KEARIFAN LOKAL DENGAN MENGGUNAKAN
PENDEKATAN DISCOVERI LEARNING
Via Nugraha
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kurangnya tingkat pemahaman mahasiswa dalam
membaca baik secara interpretatif, kritis, maupun kreatif. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan persiapan dan pelaksanaan pembelajaran serta mengetahui
hasil pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan
lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen. Yang menjadi populasi adalah
mahasiswa semester 2 STKIP Siliwangi Bandung. Sampel berjumlah 60 mahasiswa
dipilih secara acak melalui random assignment. Teknik pengumpulan data dilakukan
melalui observasi dan tes. Sementara itu, analisis dan pembahasan data dilakukan
secara deskriptif-analisis. Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa
penggunaan discovery learning lebih efektif dibandingkan model konvensional. Hal
ini terlihat dari perbedaan hasil pembelajaran antara kelas eksperimen dan kontrol
sebesar 27,4. Sesuai dengan kriteria pengambilan keputusan maka nilai signifikansi
lebih kecil dari 0,05 artinya H0 ditolak. Hal ini menjukan bahwa pendekatan
discovery learning efektif digunakan dalam pembelajaran membaca pemahaman
wacana naratif berorientasi kearifan lokal.
Kata kunci: membaca komprehensif, wacana naratif, pendekatan discovery learning
Pendahuluan
Membaca merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang perlu terus menerus
dikembangkan. Menurut Hodson (dalam Tarigan, 1990:7), membaca adalah suatu proses yang
dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan
oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis. Selanjutnya, Kridalaksana (2001: 135)
menjelaskan bahwa membaca adalah suatu keterampilan mengenal dan memahami lambang-
lambang diam. Berdasarkan studi pendahuluan dalam bentuk observasi serta pengalaman
penulis di lapangan selama ini, terhadap mahasiswa yang mengikuti mata kuliah keterampilan
membaca diperoleh informasi bahwa proses perkulihan membaca pemahaman di kelas, sering
dirasakan mahasiswa sebagai kegiatan yang melelahkan. Mahasiswa cenderung mempunyai
orientasi untuk mendapatkan nilai semata. Padahal sebagian besar ilmu didapat dari proses
membaca. Wawancara informalkan juga dilakukan kepada dosen pengampu mata kuliah
keterampilan membaca. Dari hasil wawancara informal pada tanggal 3 Maret 2015 dengan
dosen keterampilan membaca dapat disimpulkan bahwa dosen melaksanakan perkuliahan
keterampilan membaca dengan memberikan tugas membaca kepada para mahasiswa kemudian
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
386
dievaluasi. Setelah selesai memahami wacana, dosen memberikan tugas berikutnya dan
dilanjutkan dengan langkah-langkah yang sama. Dosen tidak memperhatikan dan
mengembangkan langkah pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman membaca
mahasiswanya, karena menurut persepsi dosen pemahaman membaca akan berkembang sendiri
secara natural selama para mahasiswa mengetahui makna/arti kosa kata yang berada di dalam
wacana.
Berdasarkan observasi yang dilakukan sebelum penelitian, dapat disimpulkan bahwa
dalam proses perkulihaan keterampilan membaca dosen masih menekankan tingkat pemahaman
literal. Dengan demikian sangatlah wajar jika tingkat pemahaman mahasiswa masih berada pada
tingkatan pemahaman literal (literal comprehension). Hal ini dapat dilihat dari alat evaluasi
yang dibuat oleh dosen pengampu mata kuliah.
Idealnya, pada tingkat kelas 13 ke atas atau tingkatan pendidikan tinggi, kemampuan
pemahaman mahasiswa seharusnya berada pada tinggkat tinggi (higher order comprehension).
Pemahaman tingkat tinggi ini dimaksudkan adalah pemahaman interpretatif (interpretatif
comprehension), pemahaman evaluatif (evaluative comprehension), dan pemahaman kreatif
(creative comprehension). Selama ini perkuliahan keterampilan membaca pemahaman
dilakukan dengan membaca wacana dan bersama-sama menjawab pertanyatan berdasarkan
wacana. Dosen cenderung tidak memperhatikan bagaimana cara mengembangkan kemampuan
membaca pemahaman bagi para mahasiswanya. Penggunaan teknologi informasi dalam
penugasan belum dilakukan dan kreativitas mahasiswa tidak teralu diperhatikan. Sikap positif
mahasiswa yang seharusnya dipupuk, terkesan terabaikan sehingga mahasiswa terlena dan
mengabaikan waktu yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan membaca.
Berdasarkan deskripsi di atas mengenai beberapa kesulitan dalam pembelajaran membaca
pemahaman maka diperlukan sebuah pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan
kemampuan membaca pemahaman mahasiswa dalam pembelajaran keterampilan membaca.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka perlu diadakan pembaharuan metode dalam
pembelajaraan membaca pemahaman wacana naratif berorientasi kearifan lokal. Metode
konvensional yang dgunakan oleh dosen sangat monoton. Oleh sebab itu, model pembelajaran
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan discovery learning. Pendekatan
discovery learningmenurut Suryosubroto (2002:192) diartikan sebagai suatu prosedur mengajar
yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain, sebelum sampai
kepada generalisasi. Sund (dalam Suryosubroto, 2002:193) mengatakan bahwa penemuan
merupakan proses mental dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip.
Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan,
menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian adalah menjelaskan hal berikut.
Pertama,Persiapan pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
387
kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning. Kedua, Pelaksanaan
pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan
menggunakan pendekatan discovery learning. Ketiga, Mengetahui hasil pembelajaran membaca
pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan
discovery learning.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen, dengan desain penelitian “the
Randomized Pretest-Posttes Control Group Desing” (Fraenkel & Wallen, 1993:248). Sesuai
dengan rancangan di atas, maka langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut.
Pertama, membentuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Untuk kelas eksperimen peneliti
mengambil sampel kelas A2 reguler angkatan 2014, sedangkan untuk kelas kontrol peneliti
mengambil sampel kelas A3 angkatan 2014. Kedua, melaksanakan tes awal (pretest). Ketiga,
melaksanakan perlakuan (treatment). Keempat, melaksanakan tes akhir (posttes). Kelima,
menganalisis data. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester 2 Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, di STKIP Siliwangi Bandung tahun pelajaran
2014/2015, yang terdiri dari 3 kelas reguler. Penentuan sampel ini ditentukan secara acak,
selanjutnya ditentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Diperoleh kelas A2 sebagai kelas
eksperimen dan kelas A1 sebagai kelas kontrol. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 60
mahasiswa, yakni 30 mahasiswa untuk kelas eksperimen dan 30 mahasiswa untuk kelas kontrol.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasi, dan tes. Prosedur penelitian dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1)
Studi pendahuluan, mengontrol kondisi yang ada dilapangan, serta menyiapkan teori-teori yang
relevan, (2) Menyusun intrumen penelitian, kemudian instrumen tersebut diujicobakan lalu
menganalisisnya, (3) Menyusun Satuan Acara Perkuliahan (SAP) untuk kegiatan pembelajaran
baik di kelas esperimen maupun dikelas kontrol, (4) Menetapkan kelas eksperimen dan kelas
kontrol, (5) Melaksanakan pretes dan postes baik dikelas eksperimen maupun kelas kontrol. (6)
Melaksanakan penelitian yaitu dengan memberikan kuliah keterampilan membaca pada dua
kelas yang telah ditetapkan sebelumnya sebagai sampai penelitian. Pada kelas eksperimen,
perkuliahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan discovery learning, sedangkan pada
kelas kontrol perkuliahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan konvensional.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas tiga macam, yaitu (1) SAP
(Satuan Acara Perkuliahan), (2) Lembar tes pengetahuan membaca pemahaman dengan
menggunakan pendekatan discovery learning, (3) lembar penilaian kemampuan membaca
pemahaman. Teknik analisis data dengan uji normalitas, uji homogenitas, dan uji linieritas.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
388
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasakan hasil analisis data diperoleh temuan penelitian adalah sebagai berikut.
Pertama, persiapan pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi
kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning. Kedua, pelaksanaan
pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan
menggunakan pendekatan discovery learning. Ketiga, mengetahui hasil pembelajaran membaca
pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan
discovery learning.
1. Persiapan pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan
lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning.
Persiapan model pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif berorientasi
kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan Discovery Learning dilakukan dengan
semaksimal mungkin. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penelitian ini
sebagai berikut. Pertama, peneliti melakukan studi pendahuluan dengan mengontrol kondisi
yang ada di lapangan, serta menyiapkan teori-teori yang relevan dengan penelitian. Observasi
ini dilakukan pada tanggal 19 Mei 2015, di STKIP Siliwangi Bandung pada mahasiswa
semester 2 angkatan 2014. Kedua, membuat silabus dan Satuan Acara Perkuliahan (SAP) serta
materi yang diperlukan untuk pelaksanaan pembelajaran tersebut. Silabus dan Satuan Acara
Perkuliahan (SAP) tersebut dirancang berdasarkan dengan pendekatan yang akan digunakan.
Selanjutnya, peneliti menyiapkan bahan pembelajranwacana naratif yang bersifat kearifan lokal
yang bertujuan untuk menguji tingkat pemahaman mahasiswa dalam membaca wacana naratif.
Silabus, SAP, serta wacana yang bersifat kearifan lokal divalidasi terlebih dahulu sebelum
melakukan penelitian di lapangan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepercayaan data
penelitian yang akan diujikan.
Ketiga, peneliti menyusun instrumen penelitian untuk diuji kepada mahasiswa. bentuk
instrumen penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah observasi dan tes. Instrumen
penelitian ini harus di validasi terlebih dahulu oleh validator. Validasi instrumen penelitian
dilakukan satu kali validasi oleh validator. Mahasiswa yang menjadi sampel dalam penelitian ini
adalah mahasiswa kelas A1 angkatan 2014 sebagai kelas kontrol dan kelas A2 angkatan 2014
sebagai kelas eksperimen.
Demikian sejumlah data yang diperoleh dari persiapan penelitian. Selain itu, peneliti
mendapatkan beberapa perbaikan mulai dari silabus, SAP, bahan pembelajaran wacana naratif
yang bersifat kearifan lokal, serta instrumen-instrumen yang akan diujikan dalam penelitian ini.
2. pelaksanaan pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan
lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
389
Proses pelaksanaan model pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif
berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan Discovery Learning dilaksanakan
sesuai dengan prosedur yang telah dicantumkan pada SAP. Komponen-komponen pembelajaran
diperlakukan sesuai dengan komponen-komponen yang telah tertera pada prosedur penelitian.
Setelah komponen-komponen pembelajaran dipersiapkan, maka peneliti mengumpilkan data
penelitian untuk dianalisis berdasarkan fakta-fakta yang ditemui dalam pembelajaran, baik itu
berupa hasil observasi maupun tes kemampuan membaca pemahaman wacana naratif
mahasiswa semester 2 STKIP Siliwangi Bandung.
3. mengetahui hasil pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi
kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning.
Analisis kemampuan membaca pemahaman wacana yang berorientasi kearifan lokal
kelas eksperimen (tes awal) sebelum dilakukan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
Discovery Learning adalah jumlah skor 1190 dengan nilai rata-rata 39,7. Rata-rata kemampuan
awal mereka tergolong kurang. Adapun aspek kemampuan awal mahasiswa berdasarkan butir-
butir soal dapat dideskripsikan sebagai berikut: a) pemahaman interpretatif terdapat pada soal
no.1 dengan rata 3,2 (baik) dan soal no.2 dengan rata-rata 2,7 (cukup), b) pemahaman kritis
terdapat pada soal no.3 dengan rata-rata 2,6 (cukup), soal no.4 dengan rata-rata1,7 (kurang),
soal no.5 dengan rata-rata 1,7 (kurang), c) pemahaman kreatif terdapat pada soal no.6 dengan
rata-rata 1,7 (kurang), soal no. 7 dengan rata-rata 1,4 (kurang), soal no. 8 dengan rata-rata 1,5
(kurang), soal no.9 dengan rata-rata 2 (kurang), dan soal no.10 dengan rata-rata 1,5 (kurang).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata mahasiswa pada kemampuan awal di kelas
eksperimen masih tergolong kurang.
Dengan demikiam, tingkat pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal
dapat dideskripsikan berdasarkan tingkat pemahaman interpretatif, kritis, dan kreatif. Tingkat
pemahaman interpretatif dalam wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal, kemampuan
mahasiswa tergolong kurang mampu dalam menilai, mengumukakan pendapat tentang wacana
naratif yang dipahami mahasiswa. Tingkat pemahaman kritis mahasiswa dalam memahami
wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal, kemampuan mahasiswa dalam mengkritik dan
membandingkan wacana yang dipahami dengan pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa
masih kurang sekali. Artinya mahasiswa belum mampu dalam mengkritik serta membandingkan
wacana yang dipahaminya dengan pengetahuan yang dimilikinya. Serta, tingkat pemahaman
kreatif mahasiswa dalam mengembangkan, memprediksi, dan memberikan ide baru tergolong
buruk. Jadi, rata-rata tingkat pemahaman mahasiswa dalam bidang interpretatif, kritis serta
kreatif masih tergolong kurang sekali.
Analisis kemampuan membaca pemahaman wacana yang berorientasi kearifan lokal
kelas eksperimen (tes akhir) dengan menggunakan pendekatan Discovery Learning dengan
jumlah skor 2014 dengan nilai rata-rata 67,1 Rata-rata kemampuan awal mereka tergolong
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
390
sedang. Adapun aspek kemampuan awal mahasiswa berdasarkan butir-butir soal dapat
dideskripsikan sebagai berikut: a) pemahaman interpretatif terdapat pada soal no.1 dengan rata
4,2 (baik sekali) dan soal no.2 dengan rata-rata 3,8 (baik), b) pemahaman kritis terdapat pada
soal no.3 dengan rata-rata 3,6 (baik), soal no.4 dengan rata-rata 3,4 (baik), soal no.5 dengan
rata-rata 3 (baik), c) pemahaman kreatif terdapat pada soal no.6 dengan rata-rata 3,1 (baik), soal
no. 7 dengan rata-rata 3,1 (baik), soal no. 8 dengan rata-rata 3,4 (baik), soal no.9 dengan rata-
rata 3,0 (baik), dan soal no.10 dengan rata-rata 3,0 (baik). Jadi, dapat disimpulkan bahwa nilai
rata-rata mahasiswa pada kemampuan akhir dikelas eksperimen sudah tergolong baik.
Dengan demikiam, tingkat pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal
dapat dideskripsikan berdasarkan tingkat pemahaman interpretatif, kritis, dan kreatif. Tingkat
pemahaman interpretatif dalam wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal, kemampuan
mahasiswa tergolong sudah mampu dalam menilai, mengumukakan pendapat tentang wacana
naratif yang dipahami mahasiswa. Tingkat pemahaman kritis mahasiswa dalam memahami
wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal, kemampuan mahasiswa dalam mengkritik dan
membandingkan wacana yang dipahami dengan pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa
sudah baik. Artinya mahasiswa sudah mampu dalam mengkritik serta membandingkan wacana
yang dipahaminya dengan pengetahuan yang dimilikinya. Serta, tingkat pemahaman kreatif
mahasiswa dalam mengembangkan, memprediksi, dan memberikan ide baru tergolong baik.
Jadi, rata-rata tingkat pemahaman mahasiswa dalam bidang interpretatif, kritis serta kreatif
sudah tergolong baik.
Berdasarkan hasil perhitungan gain antara tes awal dan tes akhir kelas eksperimen,
maka peningkatan hasil kemampuan membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi
kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan Discovery Learning meningkat dengan rata-
rata peningkatan 27,5. Dari kemampuan awal dengan rata-rata 39,67 pada kemampuan rata-rata
kurang meningkat menjadi berkemampuan rata-rata 67,13 pada kemampuan rata-rata cukup.
Sesuai dengan hasil uji Mann Whitney Data Postes (tes akhir) diperoleh nilai signifikansi
lebih kecil dari 0,05 artinya H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa Kemampuan membaca
pemahaman wacana naratif berorientasi kearifan lokal kelas eksperimen lebih baik dari pada
kelas kontrol. Dengan demikian pendekatan discovery learning efektif digunakan dalam
pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan local pada
mahasiswa tingkat satu semester dua di STKIP Siliwangi Bandung Tahun Ajaran 2014/2015.
Simpulan
Penelitian ini membahas tentang penerapan pendekatan Discovery Learning dalam
meningkatkan kemampuan membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan
lokal pada mahasiswa tingkat 1 semester 2 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
391
Indonesia di STKIP Siliwangi Bandung. Berdasarkan hasil penilitian diperoleh beberapa
simpulan sebagai berikut : 1) Pendekatan pembelajaran Discovery Learning efektif digunakan
dalam pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal . Hal
ini dapat dilihat dari nilai tes awal dan tea akhir. 2) Penggunaan Pendekatan Discovery learning
dalam pembelajaran membaca pemahaman memiliki keunggulan tidak hanya dalam
meningkatkan hasil belajar membaca pemahaman, tetapi menaikan level atau tingkat
pemahaman mahasiswa, yakni tingkat kritis dan kreatif. 3) Melalui pendekatan discovery
learning, mahasiswa akan mengetahui alasan mengapa dia harus aktif dalam belajar, karena di
dalam langkah-langkah pembelajarannya mahasiswa dituntut untuk aktif, kreatif, menemukan,
menganalisis serta mengembangkan ide dari apa yang telah dibacanya. 4) Hasil bealajar
mahasiswa dalam membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan
menggunakan pendekatan discovery learning mengalami kenaikan yang signifikan. Perolehan
rata-rata nilai tes awal pada kelas eksperimen 39,7 sedangkan rata-rata nilai tes akhir 67,1 jadi
terdapat kenaikan sebesar 27,4.
Saran
Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini, ada beberapa saran yang perlu
dikemukakan. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut. 1) Kepada peneliti lain agar dapat
melakukan penelitian terkait dengan wacana yang berbeda sehingga pengetahuan serta
pemahaman mahasiswa terhadap wacana dapat meningkat dan bervariatif. 2) Kepada dosen,
khusus nya dosen keterampilan membaca harus mampu menerapkan pendekatan, strategi,
metode, teknik dan taktik yang bervariatif dalam pembelajaran keterampilan membaca
khususnya menbaca pemahaman. 3) Kepada pihak kampus, agar melengkapi refersi buku-buku
tentang membaca, wacana, dan kearifan lokal di perpustakaan untuk memfasilitasi mahasiswa
dalam kegian membaca. 4) Kepada mahasiswa, agar lebih banyak meluangkan waktu untuk
membaca berbagai wacana, agar dapat memperkaya pemahaman interpretatif, kreatif dan kritis.
Daftar Pustaka
Fraenkel, J.R. & N.E. Wallen, (1993). How to Design and Evaluate Research. Newyork :
McGraw-Hill-Inc
Heriawan, Adang dkk (2012). Metodelogi Pembelajaran Kajian Teoritis dan Praktis: Banten.
LP3G
.
Kridalaksana. (2001). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan, H.G. (1990). Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung : Angkasa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
392
PEMAHAMAN TENTANG ALOKASI FUNGSIONAL BAHASA DALAM
MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Woro Wuryani
STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak
Pemahaman Tentang Alokasi Fungsional Bahasa dalam Menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN.Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk
menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati. lebih jauh bahasa adalah alat untuk
berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan
pikiran, gagasan, konsep atau perasaan.Masalah-masalah kebahasaan yang dihadapi
setiap bangsa adalah tidak sama, sebab tergantung pada situasi kebahasaan yang ada di
dalam negara itu. Secara politis di Indonesia ada tiga buah bahasa, yaitu bahasa
nasional, bahasa daerah, dan bahasa asing. Peristiwa pengangkatan bahasa Indonesia
yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam suatu ikrar yang di sebut Sumpah
Pemuda. Kemudian, penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa Negara dalam
Undang-undang Dasar 1945Bahasa Indonesia adalah dialek baku Baahasa Melayu yang
pokoknya berasal dari Bahasa Melayu Riau, Bahasa Indonesia diresmikan pada
Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahasa Indonesia merupakan
bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui
penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Pendek kata, Bahasa
Indonesia akan terus berkembang laksana berkembangnya zaman.Bahasa Indonesia
adalah bahasa resmi Republik Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam Undang-
Undang Dasar 1945, Pasal 36. Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa,
sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. “Kami Berbahasa
Satu, Bahasa Indonesia”. Indonesia kini tengah berpacu dengan waktu dalam
menyambut pelaksanaan pasar bebas Asia Tenggara atau biasa disebut dengan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai pada tahun 2015.
Kata kunci: alokasi fungsional bahasa, masyarakat ekonomi asean
Pendahuluan
Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang
terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk
berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan.
Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi,
bersifat arbiter, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi.
Kebijaksanaan bahasa itu dapat diartikan sebagai suatu pertimbangan konseptual dan politis
yang dimaksud untuk dapat memberikan perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan
yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan yang
dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional. Jadi, kebijaksanaan bahasa itu merupakan suatu
pegangan yang bersifat nasional, untuk kemudian membuat perencanaan bagaimana cara
membina dan mengembangkan satu bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dapat
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
393
digunakan secara tepat di seluruh negara, dan dapat diterima oleh segenap warga yang secara
lingual, etnis, dan cultural berbeda.
Masalah-masalah kebahasaan yang dihadapi setiap bangsa adalah tidak sama, sebab
tergantung pada situasi kebahasaan yang ada di dalam negara itu. Negara-negara yang sudah
memiliki sejarah kebahasaan yang cukup, dan di dalam Negara itu hanya ada satu bahasa saja
meskipun dengan sekian dialek dan ragamnya cenderung tidak mempunyai masalah kebahasaan
yang serius. Negara yang demikian, misalnya Saudi Arabia, Jepang, Belanda, dan Inggris.
Tetapi di Negara-negara yang terbentuk, dan memiliki sekian banyak bahasa daerah akan
memiliki persoalan kebahasaan yang cukup serius, dan mempunyai kemungkinan untuk
timbulnya gejolak social dan politik akibat persoalan bahasa itu.
Indonesia sebagai Negara yang relative baru dengan bahasa daerah yang tidak kurang dari
400 buah, agak beruntung sebab masalah-masalah kebahasaan yang bisa terjadi di Negara lain,
secara historis telah di selesaikan sejak agak lama.
Secara politis di Indonesia ada tiga buah bahasa, yaitu bahasa nasional, bahasa daerah, dan
bahasa asing. Jauh sebelum kebijaksanaan bahasa diambil untuk menetapkan fungsi ketiga
bahasa itu, para pemimpin perjuangan Indonesia, berdasarkan kenyataan bahasa Melayu telah
sejak berabad-abad yang lalu telah digunakan secara luas sebagai lingiua franca di seluruh
nusantara dan sistemnya cukup sederhana, telah menetapkan dan mengangkat bahasa Melayu itu
menjadi bahasa persatuan untuk seluruh Indonesia, dan memberinya nama bahasa Indonesia.
Peristiwa pengangkatan bahasa Indonesia yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam
suatu ikrar yang di sebut Sumpah Pemuda itu tidak pernah menimbulkan protes atau reaksi
negatif dari suku-suku bangsa lain di Indonesia, meskipun jumlah penuturnya lebih banyak
berlipat ganda. Kemudian, penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa Negara dalam Undang-
undang Dasar 1945 pun tidak menimbulkan masalah.
Oleh karena itulah, para pengambil keputusan dalam menentukan kebijaksanaan bahasa
yang menetapka fungsi-fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dapat
melakukannya dengan mulus. Bahasa Indonesia ditetapkan, sesuai dengan kedudukannya,
sebagai bahasa nasional dan bahasa Negara, sebagai lambang kebangsaan nasional, dan sebagai
alat komunikasi nasional kenegaraan atau intrabangsa (bahasa daerah berfungsi sebagai
lambang kedaerahan) dan alat komunikasi intrasuku (sedangkan bahasa asing berfungsi sebagai
alat komunikasi antar bangsa dan alat penambah ilmu pengetahuan). Ketiga bahasa itu dengan
fungsinya masing-masing tidak menimbulkan masalah. Yang menjadi masalah adalah
bagaimana mengaktifkan pembinaan pan peningkatan penggunaan bahasa Indonesia dari para
warga bangsa Indonesia, sebab hingga kini penguasaan mereka akan bahasa Indonesia masih
jauh dari yang diharapkan (Chaer: 2004). Masalah kebahasaan yang dihadapi bangsa Filipina
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
394
agak mirip dengan keadaan di Indonesia, tetapi tampaknya persoalan yang mereka hadapi lebih
ruwet.
Dengan demikian hingga saat ini untuk komunikasi kenegaraan dan komunikasi antar suku
masih digunakan bahasa Inggris, diseluruh wilayah Filipina.
Indonesia kini tengah berpacu dengan waktu dalam menyambut pelaksanaan pasar bebas
Asia Tenggara atau biasa disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan
dimulai pada tahun 2015.
Pembahasan
Alokasi fungsional bahasa
Fungsi Sosiolinguistik Bahasa
Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu
yang terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat
untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau
perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa
bunyi, bersifat arbiter, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi.
Menurut Anton M. Moeliono (2007:38) mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah alat
komunikasi manusia baik tertulis maupun lisan. Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa
adalah alat atau berfungsi untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit, sebab seperti
dikemukakan oleh Anton M.Moeliono (2007) bahwa yang menjadi persoalan sosiolinguistik
adalah “ who speak what language to whom, when and to what end”. Oleh karena itu, fungsi-
fungsi bahasa itu antara lain dapat dilihat dari segi penutur, pendengar, topic, kode dan amanat
pembicaraan.
Dilihat dari segi penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi. Maksudnya,
si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya
mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu
menyampaikan tuturannya.
Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu
mengatur tingkah laku pendengar. Disini bahas itu tidak “hanya membuat si pendengar
melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimulai si pembicara.
Dilihat dari segi topic ujaran, maka bahasa itu berfungsu referensial. Disini bahasa itu
berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
395
atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham
tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyampaikan pikiran, untuk menyatakan
bagaimana pendapat sipenutur tentang dunia di sekelilingnya.
Dilihat dari segi kode yang digunakan, maka bahasa itu berfungsi metalingual atau
metalinguistik (Chaer dan Leonie Agustina:2004), yakni bahasa itu digunakan untuk
membicarakan bahasa itu sendiri. Tetapi dalam fungsinya di sini bahasa itu digunakan untuk
membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa
dimana kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan dengan bahasa.
Dilihat dari segi amanat yang akan disampaikan maka bahasa itu berfungsi imajinatif.
Sesungguhnya bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan,
baik yang sebenarnya maupun yang hanya imajinasi (khayalan, rekaan).. Bahasa Negara
Setelah 28 Oktober 1928 tanggal penting lainnya bagi Bahasa Indonesia adalah 18
Agustus 1945. Pada tanggal tersebut Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai Bahasa Negara.
Ketetapan ini tercantum dalam pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi: Bahasa Negara adalah
Bahasa Indonesia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Bahasa Negara adalah sebuah sistem linguistik yang
secara resmi kenegaraan. Artinya, segala urusan kenegaraan, administrasi kenegraan, dan
kegiatan-kegiatan kenegaraan dijalankan dengan menggunakan bahasa itu.
Selain sebagai bahasa Negara, Bahasa Indonesia juga menjadi bahasa nasional. Dengan
menjadi bahasa nasional, maka Bahasa Indonesia menjadi lambang kebanggan nasional,
lambang identitas nasional, alat pemersatu, alat perhubungan antarwarga.
Bahasa Resmi
Bahasa resmi adalah sebuah sistem linguistik yang ditetapkan untuk digunakan dalam
suatu pertemuan, seperti seminar, konferensi, rapat, dan sebagainya.
Bahasa resmi merupakan satu atau lebih bahasa yang dipakai oleh pemerintah dalam
menerbitkan maklumat-maklumat dan juga bahas yang dipakai oleh warganya untuk
berhunbungan dengan intansi pemerintah secara resmi. Bahas resmi juga yang dipakai dalam
pengajaran di intansi pendidikan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
396
Bahasa Kebangsaan
Bahasa kebangsaan merupakan sebuah bahasa yang melambangkan identity kebangsaan
suatu bangsa atau Negara secara unik. Bahasa kebangsaan biasanya digunakan untuk wacana
politik dan undang-undang dan ditetapkan sebagai kerajaan Negara tersebut.
Setengah Negara mempunyai lebih dari satu bahasa kebangsan, seperti Kanada, yang
menggunakan bahasa Perancis dan Inggris. Bahasa kebangsaan boleh jadi sama dengan bahasa
resmi. Bahasa kebangsaan juga mngkin berbeda dengan bahasa yang umum digunakan rakyat
Negara tersebut.
Bahasa untuk Tujuan Khusus
Bagi bangsa Indonesia ada dua fungsi bahasa Indonesia secara khusus dan sangat
penting bagi kita pahami, yaitu sebagai nahasa nasional dan sebagai bahasa Negara.
1.Fungsi dan kedudukan Bahasa Indonesia sebagai nahasa nasional.
Bahasa Indonesia digunakan sebagai pemersatu Bangsa Indonesia. Hal ini merupakan
suatu terobosan yang sangat besar yang dilakukan oleh persatuan pemuda-pemuda Indonesia.
Mereka menjadikan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Nasional Bangsa Indonesia. Kita tahu
bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa melayu dipakai sebagai lingua
franca di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi berabad-abad sebelumnya. Dengan
adanya kondisi semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa daerahnya
disaingi. Sebaliknya, mereka telah menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak mungkin dapat
dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai
bahasa daerah tersendiri. Adanya bahasa melayu yang dipakai sebagai lingua franca ini pun
tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai dalam situasi
kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran masyarakat yang semacam itulah, khususnya
pemuda-pemudanya yang mendukung lancarnya inspirasi tersebut. “Hasil Perumusan Seminar
Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975
antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya bahasa nasional, Bahasa Indonesia
berfungsi sebagai .
a. Lambang kembanggan Nasional
b. Lambang identitas nasional
c. Sebagai Alat Pemersatu Berbagai Masyarakat yang Berbeda Latar belakang Sosial,
Budaya dan Bahasanya.
d. Sebagai Penghubung Antar Budaya Antar Daerah.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
397
2.Fungsi dan kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara.
Pada awalnya yaitu zaman penjajahan Belanda, bahasa yang digunakan untuk bahasa
Negara adalah bahasa melayu. Selain itu, bahasa melayu merupakan bahasa Negara (resmi)
kedua yang dipakai untuk golongan-golongan rendah.. bahasa Indonesia belum bisa tersebar
bebas pada saat itu. Hanya segelintir orang yang berjiwa nasionalis yang menggunakan
Bahasa Indonesia.
Bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia diangkat pula. Bahasa Indonesia
menjadi bahasa Negara. Hal ini tercantum dalam UUD 1945, Baab XV, pasal 36.
Pengangkatan bahasa Indonesia menjadi bahasa Negara bukanlah hal mudah, banyak hal
yang harus dipertimbangkan. Karena bila terjadi kesalahan dapat berakibat ketidak stabilan
suatu Negara. Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang
diselenggarakan di Jakarta tanggal 25 sampai dengan 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa
di dalam kedudukannya sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
a. Bahasa resmi kenegaraan
b. Bahasa pengantar resmi di Dunia Pendidikan.
c. Bahasa remi dalam perhubungan pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan.
d. Bahasa resmi dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan
serta teknologi modern.
Bahasa dalam Dunia Pendidikan
Fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam lembaga-lembaga pendidikan
harus dilaksanakan dengan komprehensip sehingga lembaga pendidikan, dalam proses belajar-
mengajarnya Bahasa Indonesia digunakan sebagai pengantar dalam penyajian materi-materinya.
Berkaitan dengan hal ini, muncul fenomena menarik dan sebuah kekhawatiran dengan adanya
Sekolah Nasional Berstandar Internasional (SNBI). Kekhawatiran segolongan masyarakata
terhadap keberadaan dan eksistensi Bahasa Indonesia dalam SNBI muncul, sebab bahasa
pengantar yang digunakan di Sekolah Nasional Berbasis Internasional dalam beberapa mata
pelajaran adalah bahasa asing. Padahal kalau kembali ke fungsi bahasa Indonesia, salah satunya
adalah bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan. Seiring dengan itu, munculnya
Sekolah Nasional Berstandar Nasional (SNBI) menimbulkan kegalauan akan hilangnya Bahasa
Indonesia di arena pelaku pendidikan. Para pelauk pendidikan akan selalu berkutat dalam
bahasa Internasional, sehingga bahasa warisan bangsa akan semakin lapuk dimakan rayap
modernisasi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
398
Pada dasarnya kekhawatiran seperti itu adalah hal yang biasa, namun jika desas-desus
ini terus bergulir mengikuti perkembangan zaman, maka secara otomatis akan menimbulkan
virus-virus yang bisa menciptakan jurang pemisah antara SNBI dengan sekolah nin SNBI.
Orang tua akan merasa bimbang menitipkan anak mereka. Ada rasa ragu diantara memilih
menjaga budaya bangsa dengan mengikuti tren modernisasi bahasa. Para orang tua akan dilema
menentukan posisi dalam masalah tersebut. Sebenarnya, adanya Sekolah Nasional Berstandar
Internasional (SNBI) tidak perlu memunculkan kekhawatiran akan hilangnya bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan.
Hal ini karena penggunaan bahasa asing sebagai pengantar tidak diterapkan pada semua
mata pelajaran. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di SNBI hanya diterapkan
pada beberapa mata pelajaran. Memang, intensitas penggunaaan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar dalam proses KBM akan menjadi berkurang. Hal itu bisa disiasati dengan
lebih mengefektifkan proses pembelajaran bahasa Indonesia dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Pelajaran lebih banyak diarahkan kepada hal-hal yang bersifat teoritis. Siswa lebih
banyak dikondisikan pada pemakaian bahasa yang aplikatif tetapi sesuai dengan aturan
berbahasa Indonesia secara baik dan benar.
Masyarakat ekonomi ASEAN
Masyarakat ekonomi ASEAN adalah sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam
menghadapi perdagangan bebas antarnegara-negara ASEAN. Seluruh negara anggota ASEAN
telah menyepakati perjanjian ini. MEA dirancang untuk mewujudkan wawasan ASEAN 2020.
Dalam menghadapi persaingan yang teramat ketat selama MEA ini, negara-negara ASEAN
haruslah mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang terampil, cerdas, dan kompetitif.
Masyarakat Ekonomi ASEAN atau biasa yang disingkat menjadi MEA secara
singkatnya bisa diartikan sebagai bentuk integrasi Ekonomi ASEAN yang artinya semua
negara-negara yang berada dikawasan Asia Tenggara (ASEAN) menerapkan sistem
perdagangan bebas. Indonesia dan seluruh negara-negara ASEAN lainnya (9 negara lainnya)
telah menyepakati perjanjian MEA tersebut atau yang dalam bahasa Inggrisnya adalah ASEAN
Economy Community atau AEC.
Pengertian Masyarakat Ekonomi ASEAN secara umum, Masyarakat Ekonomi ASEAN
diartikan sebagai sebuah masyarakat yang saling terintegrasi satu sama lain dimana adanya
perdagangan bebas diantara negara-negara anggota ASEAN yang telah disepakati bersama
antara pemimpin-pemimpin negara-negara ASEAN untuk mengubah ASEAN menjadi kawasan
yang lebih stabil, makmur dan kompetitif dalam pembangunan ekonomi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
399
Pengertian Masyarakat Ekonomi ASEAN menurut ASEAN.ORG Halaman resmi
organisasi internasional ASEAN menyatakan bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan
tujuan dari integrasi ekonomi regional kawasan Asia Tenggara yang diberlakukan pada
tahun2015.
Di bawah ini beberapa dampak positif atau manfaat dari Masyarakat Ekonomi ASEAN itu
sendiri.
1. Masyarakat Ekonomi ASEAN akan mendorong arus investasi dari luar masuk ke dalam
negeri yang akan menciptakan multiplier effect dalam berbagai sektor khususnya dalam bidang
pembangunan ekonomi.
2. Kondisi pasar yang satu (pasar tunggal) membuat kemudahan dalam hal pembentukan joint
venture (kerjasama) antara perusahaan-perusahaan diwilayah ASEAN sehingga akses terhadap
bahan produksi semakin mudah.
3. Pasar Asia Tenggara merupakan pasar besar yang begitu potensial dan juga menjanjikan
dengan luas wilayah sekitar 4,5 juta kilometer persegi dan jumlah penduduk yang mencapai 600
juta jiwa.
4. MEA memberikan peluang kepada negara-negara anggota ASEAN dalam hal meningkatkan
kecepatan perpindahan sumber daya manusia dan modal yang merupakan dua faktor produksi
yang sangat penting.
5. Khusus untuk bidang teknologi, diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN ini
menciptakan adanya transfer teknologi dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang
yang ada diwilayah Asia Tenggara.
Itulah lima dampak positif atau manfaat diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN
yang mulai berlangsung pada tahun 2015. Sebelumnya juga dijelaskan sekilas mengenai MEA
dan juga pengertiannya dari berbagai sumber terpercaya.
Simpulan
Bahasa Indonesia adalah dialek baku Bahasa Melayu yang pokoknya berasal dari
Bahasa Melayu Riau, hal ini sesuai dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Ki Hajar
Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia 1 tahun di Solo, Jawa Tengah. Bahasa Indonesia
diresmikan pada Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahasa Indonesia
merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
400
melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Pendek kata, Bahasa
Indonesia akan terus berkembang laksanaberkembangnya zaman.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia, sebagaimana disebutkan
dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 36. Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan
bangsa, sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. “Kami Berbahasa
Satu, Bahasa Indonesia”. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang
benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu dan bahasa persatuan.
Sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia mempunyai beberapa fungsi yang perlu
dicermati, pertama bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa resmi Negara. Kedua, bahasa adalah
alat perhubungan bagi kepentingan roda pemerintahan dan pembangunan. Selanjutnya, Bahasa
adopsi dari Bahasa Melayu ini merupakan alat pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan. Terakhir, bahasa yang bermula dari ejaan Van Ovhusyen ini ialah bahasa
pengantar di lembaga-lembaga pendidikan. Masyarakat ekonomi ASEAN adalah sebuah
integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas antarnegara-negara ASEAN.
Masyarakat Ekonomi ASEAN atau biasa yang disingkat menjadi MEA secara singkatnya bisa
diartikan sebagai bentuk integrasi Ekonomi ASEAN yang artinya semua negara-negara yang
berada dikawasan Asia Tenggara (ASEAN) menerapkan sistem perdagangan bebas.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2013. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta; Rineka Cipta
http://fungsibahasaindonesia22bandit33oran.blogspot.com/2013/01/makalah-fungsi-bahasa-
indonesia.html
http://perananbahasa.blogspot.org/wiki/Bahasa_kebangsaan
http://rubrikbahasa.wordpress.com/2009/04/02/bahasa-negara-bahasanasional/
http://rantautolang.blogspot.com/2011/03/esensi-bahaasa-indonesia-dalam-dunia.html
Moeliono.M.A. 2007. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta: Jambatan
Sukasosial.blogspot.com/2015/08/masyarakat-ekonomi-asean.html
http://pemahamanmae2015.blogspot.com/2015/01/jurnal-mea-2015.html
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
401
PEMANFAATAN MEDIA INTERAKTIF PANTUN BERBASIS PENDEKATAN
SAINTIFIK SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR
PANTUN PADA KELAS XI AKSELERASI SMAN 1 GARUT
Yulianti
SMAN 1 Garut
Abstrak
Makalah ini merupakan best practice yang disusun berdasarkan pengalaman
penulis mengajar kelas akselerasi. Tugas dan tanggung jawab guru di kelas akselerasi
lebih kompleks karena waktu yang lebih sedikit dibanding dengan kelas reguler. Hal ini
menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai usaha yang lebih dinamis dan
kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Adapun yang menjadi
rumusan masalah pada best practice ini adalah (1) Bagaimana proses pembuatan media
interaktif pembelajaran Pantun yang berbasis saintifik?, dan (2) Apakah pemanfaatan
media interaktif Pantun berbasis pendekatan saintifik efektif dalam meningkatkan hasil
belajar Pantun pada siswa kelas akselerasi SMAN 1 Garut?Untuk menjawab rumusan
masalah tersebut, penulis mengumpulkan data melalui tes tertulis dan skala sikap untuk
memperoleh tanggapan terhadap proses pembelajaran.Setelah dilakukan analisis
terhadap data penelitian penggunaan media interaktif pantun yang berbasis saintifik,
diperoleh hasil bahwa waktu pembelajaran menjadi lebih efektif, adanya peningkatan
hasil belajar, dan tercapainya kepuasan siswa selama mengikuti pembelajaran.
Kata kunci: media interaktif, saintifik, pantun
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan termasuk
memperoleh pelayanan pendidikan, begitu juga dengan anak yang memiliki kebutuhan-
kebutuhan khusus. Anak cerdas istimewa termasuk anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Program percepatan (akselerasi) merupakan program yang memberikan layanan
pendidikan sesuai potensi siswa yang memiliki kecerdasan dan kemampuan belajar yang tinggi.
Hal ini sesuai Undang-Undang No. 20 pasal 5 ayat 4 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, menegaskan bahwa "Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus".
Kurikulum sekolah akselerasi pada dasarnya sama dengan sekolah reguler, tetapi
kurikulum akselerasi memfasilitasi percepatan dan pengayaan belajar. Hal ini sesuai dengan
pendapat Pressey (Hawadi, 31:2006) bahwa akselerasi adalah sebagai suatu kemajuan yang
diperoleh dalam program pengajaran, pada waktu yang lebih cepat atau usia yang lebih muda
daripada yang konvensional.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
402
Pada kelas akselerasi, dalam satu tahun dibagi menjadi 3 semester. Setiap semester
hanya selama 4 bulan. Untuk semester 1 kelas XI, jumlah KD yang harus diselesaikan adalah 27
KD, sementara waktu yang tersedia hanya 40 jam belum termasuk ulangan harian dan minggu
cadangan. Ketika dirata-ratakan, satu kompetensi dasar hanya memiliki waktu kurang dari dua
jam pelajaran. Akibatnya, siswa dibebani tugas yang begitu banyak demi “kejar setoran”. Oleh
karena itulah, diperlukan media pembelajaran yang dapat membantu guru dan siswa dalam
proses pembelajaran yang efektif, efisien dan menyenangkan. Adapun media yang dipilih oleh
penulis adalah media interaktif yang berbentuk CD dan soft file yang diunggah di web sekolah.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada best practice ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana proses pembuatan media interaktif pembelajaran Pantun yang berbasis
saintifik?
2. Apakah pemanfaatan media interaktif Pantun berbasis pendekatan saintifik efektif
dalam meningkatkan hasil belajar Pantun pada siswa kelas akselerasi SMAN 1 Garut?
Kajian Pustaka
A. Media Interaktif
Untuk mengatasi permasalahan mengenai waktu yang singkat yang mengakibatkan
pemahaman materi kurang optimal, penulis menggunakan media pembelajaran. Menurut
Sadiman, dkk. (2009: 7) media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan
pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan
minat siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Media yang digunakan penulis
adalah media audio visual yang berbentuk cakram padat interaktif dan soft file yang diunduh di
web. Dalam bahan ajar interaktif ini, pengguna (peserta didik) terlibat interaksi dua arah dengan
bahan ajar yang sedang dipelajari.
B. Pendekatan Saintifik
Media interaktif ini berisi materi yang penyajiannya disajikan secara saintifik. Hal ini
sejalan dengan perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini. Dalam Modul Pendekatan
dan Strategi Pembelajaran (Kemdikbud, 2013: 1) dijelaskan konsep dasar pendekatan saintifik
yang merupakan pendekatan dalam mengimplementasikan kurikulum 2013.
Proses pembelajaran pada kurikulum 2013 dilaksanakan dengan menggunakan
pendekatan saintifik. Dalam lampiran Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang
Implementasi Kurikulum, diuraikan langkah-langkah pendekatan saintifik dalam pembelajaran
meliputi hal-hal sebagai berikut.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
403
a. Mengamati
Kegiatan mengamati dalam pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam
Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013, “hendaklah guru membuka secara luas dan bervariasi
kesempatan peserta didik untuk melakukan pengamatan melalui kegiatan: melihat, menyimak,
mendengar, dan membaca.”
b. Menanya
Dalam Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013, kegiatan menanya adalah mengajukan
pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk
mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (mulai dari pertanyaan faktual
sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik).
c. Mengumpulkan Informasi (Mencoba)
Dalam Permendikbud nomor 81A Tahun 2013, aktivitas mengumpulkan informasi
dilakukan melalui eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati
objek/kejadian, aktivitas wawancara dengan narasumber, dan sebagainya.
d. Mengasosiasi (Menalar)
Kegiatan mengasosiasi (menalar) dalam Permendikbud Nomor 81A tahun 2013 adalah
memproses informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan
mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan
informasi.
e. Mengomunikasikan
Kegiatan “mengomunikasikan” dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana disampaikan
dalam Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 adalah menyampaikan hasil pengamatan,
kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya.
Pembahasan Masalah
A. Pembuatan Media Interaktif Pembelajaran Pantun yang Berbasis Saintifik
Alur proses pembuatan media interaktif untuk materi pantun adalah sebagai berikut.
Gambar 1
Alur Pembuatan Media Interaktif
Identifikasi Kebutuhan dan
Karakteristik Siswa
Perumusan Tujuan
Perumusan Materi
Penulisan Naskah Media
RevisiNaskah Siap
Produksi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
404
a. Identifikasi Kebutuhan dan Karakteristik Siswa
Kelas akselerasi dengan waktu yang dipercepat membutuhkan sebuah media yang dapat
memfasilitasi siswa untuk dapat belajar sendiri yang efektif, efisien dan menyenangkan.
Pembelajaran bahasa Indonesia selama ini lebih bersifat ‘yang penting materi tersampaikan
semua’ tanpa memperhatikan kedalaman pemahaman siswa terhadap materi tersebut.
Akibatnya, nilai yang diperoleh siswa selama ini belum optimal.
b. Perumusan Tujuan
Tujuan pembelajaran yang terdapat dalam media interaktif Pantun ini disesuaikan
dengan tujuan yang tercantum dalam kurikulum 2013.
c. Perumusan Materi
Materi berkaitan dengan substansi isi pelajaran yang harus diberikan. Materi yang
dirumuskan dalam media interaktif ini diambil dari buku pegangan siswa yang diperkaya dari
berbagai sumber.
Bahan ajar pembelajaran pantun dikembangkan dengan memuat empat bagian yaitu
memahami, menginterpretasi, membandingkan, dan memproduksi. Pada setiap akhir bagian
tersebut dilengkapi dengan evaluasi. Selain itu, pada bagian memahami dilengkapi dengan
video lagu yang berisi pantun dan video penggunaan pantun di masyarakat untuk memberikan
fakta kepada siswa mengenai pantun.
d. Penulisan Naskah Media
Materi yang telah dirumuskan, disusun dalam media interaktif yang dikembangkan
dengan menggunakan aplikasi macromedia flash CS5.5.
Adapun proses pembuatan media interaktif adalah sebagai berikut.
1) Membuat rancangan tampilan visual menggunakan Adobe Photoshop (membuat
background, bentuk tombol)
2) Mengatur bidang kerja (yang dibuat 800 pixel x 600 pixel)
3) Memasukkan background dan tombol-tombol ke dalam library Adobe Macromedia Flash
4) Memasukkan background dan tombol-tombol ke dalam keyframe pada timeline
5) Membuat layerbackround, tulisan, tombol, dan lainnya yang akan dimasukkan ke dalam
layer secara terpisah dalam satu timeline
6) Mengatur lamanya setiap tampilan pada timeline per halamannya (ada yang hanya satu
keyframe, ada juga yang hingga puluhan frame tergantung ada tidaknya animasi maupun
transisi lainnya)
7) Membuat file .fla masing-masing judul secara terpisah agar tidak berat saat disajikan
8) Memasukkan actionstop pada setiap keyframe yang kemudian dilanjutkan dengan menekan
tombol
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
405
9) Mengatur perintah tombol, baik itu yang dalam satu timeline maupun ke file .swf yang
berbeda
10) Setelah selesai, publishfile ke dalam bentuk file .swf, dan file pembukanya dalam bentuk
.exe agar bisa dimainkan di PC manapun.
e. Revisi
Tahap revisi terdiri dari dua tahap yaitu pengujian dan pembahasan.
f. Naskah Siap Produksi
Setelah proses perbaikan dilakukan, media interaktif siap diproduksi. Produk yang
dihasilkan dibuat dalam 3 bentuk, yakni berbentuk CD dan berbentuk soft file yang diunggah di
web sekolah juga dimasukkan dalam flash disk. Target utama penulis adalah pemanfaatan media
interaktif yang diunggah di web sekolah. Hal ini dimaksudkan agar mempermudah siswa dalam
mengakses media interaktif ini tanpa harus membawa CD atau flash disk. Sementara itu,
penyediaan media interaktif dalam bentuk CD dan flash disk untuk mengantisipasi apabila ada
siswa yang tidak bisa membuka karena keterbatasan internet.
B. Implementasi Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Pantun
Proses pembelajaran pada kurikulum 2013 dilaksanakan dengan menggunakan
pendekatan saintifik. Adapun langkah-langkah pendekatan saintifik yang terdapat pada media
interaktif pembelajaran pantun meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Mengamati
Pada media interaktif pantun ini, siswa diberikan kesempatan untuk mengamati sebuah
video lagu Rasa Sayange yang memuat pantun. Dalam video tersebut juga digambarkan film
dokumenter tentang keadaan Indonesia pada zaman Belanda yang menggunakan lagu Rasa
Sayange sebagai musik pengiring. Hal tersebut diharapkan dapat membangkitkan rasa
nasionalisme siswa terutama tentang pentingnya menjaga warisan budaya.
b. Menanya
Dalam media interaktif ini, kegiatan menanya bisa dilakukan siswa dengan menuliskan
pertanyaan pada blog yang ditautkan dengan web sekolah yang memuat media interaktif ini.
Selanjutnya, bagi siswa yang membuka media interaktif ini melalui CD atau soft file, pertanyaan
yang muncul bisa disimpan untuk disampaikan ketika tatap muka.
c. Mengumpulkan Informasi (Mencoba)
Dalam media interaktif ini, materi telah dilengkapi dengan berbagai informasi baik
berupa teori dari sumber lain maupun berupa bukti-bukti tayangan yang bisa diamati siswa.
Setelah memahami materi yang terdapat dalam media tersebut, siswa dapat mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada setiap akhir bagian materi. Pertanyaan-pertanyaan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
406
tersebut dilengkapi dengan tanda betul atau salah dalam setiap jawaban yang tampil secara
otomatis ketika siswa memilih jawaban yang tersedia. Siswa dapat kembali membuka materi
yang belum dipahami ketika hasil jawaban masih salah.
Selain itu, siswa memiliki kesempatan untuk menggali informasi lain secara lebih
mendalam sesuai dengan kebutuhan karena media yang digunakan dapat diakses kapan saja dan
di mana saja sebelum tatap muka di kelas sehingga siswa memiliki waktu yang cukup untuk
memuaskan rasa ingin tahunya mengenai materi terkait.
d. Mengasosiasi (Menalar)
Dalam kegiatan ini, siswa dapat mencoba menghubungkan antara teori dengan contoh-
contoh yang disajikan dalam media interaktif secara individu sehingga menghasilkan sebuah
kesimpulan sementara. Selanjutnya dalam proses pembelajaran di kelas, siswa dapat
mendiskusikan kesimpulan sementaranya dalam sebuah kelompok.
e. Mengomunikasikan
Melalui media interaktif, kegiatan mengomunikasikan bisa secara langsung melalui
blog yang terpaut dengan web yang memuat media interaktif tersebut dan mendapat tanggapan
langsung dari teman-temannya dalam satu komunitas atau dapat juga secara langsung
dikomunikasikan di kelas ketika proses pembelajaran berlangsung. Hal yang dapat
dikomunikasikan dapat berupa hasil memahami, menginterpretasi, membandingkan, ataupun
hasil memproduksi.
C. Hasil atau Dampak yang Dicapai
Setelah proses pembelajaran menggunakan media interaktif pembelajaran pantun,
diperoleh hasil sebagai berikut.
a. Efektivitas Waktu
Penggunaan waktu dalam proses pembelajaran digambarkan sebagai berikut.
Tabel 1
Penggunaan Waktu dalam Proses Pembelajaran dengan Menggunakan Media Interaktif
Pantun
No. Kegiatan Guru Kegiatan Siswa Waktu
1 Kegiatan Pendahuluan
1)Membuka pelajaran dengan salam
2)Melakukan apersepsi mengenai
pembelajaran sebelumnya
1)Siswa merespon salam
2)Siswa menerima informasi
tetang keterkaitan pembelajaran
10’
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
407
3)Menjelaskan kompetensi, materi,
tujuan, manfaat, dan langkah-langkah
pembelajaran yang akan dilaksanakan
sebelumnya dengan pembelajaran
yang akan dilaksanakan.
3)Siswa menerima informasi
tentang kompetensi, materi,
tujuan, manfaat, dan langkah-
langkah pembelajaran yang akan
dilaksanakan
2 Kegiatan inti
1)Guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk bertanya jawab
setelah mempelajari pantun dengan
menggunakan media interaktif
2)Guru membagi siswa ke dalam
beberapa kelompok
3)Guru mempersilakan siswa untuk
mengomunikasikan hasil
penemuannya mengenai Pantun yang
ditanggapi oleh siswa lain
4)Guru menugaskan siswa untuk
membuat pantun secara perorangan
dalam kelompok
5) Guru mempersilakan siswa untuk
mengomunikasikan pantun yang telah
dibuatnya yang ditanggapi oleh siswa
lain
1)Siswa bertanya jawab setelah
mempelajari pantun dengan
menggunakan media interaktif
2)siswa dibagi ke dalam beberapa
kelompok
3)Siswa mengomunikasikan hasil
penemuannya mengenai Pantun
yang ditanggapi oleh siswa lain
4)Siswa membuat pantun secara
perorangan dalam kelompok
5)Siswa mengomunikasikan
pantun yang telah dibuatnya yang
ditanggapi oleh siswa lain
10’
5’
15’
20’
20’
3 Kegiatan Penutup
1)Bersama siswa, menyimpulkan
materi pembelajaran dan nilai sikap
yang perlu diperkuat dalam diri siswa
2)Bersama siswa, melakukan refleksi
terhadap kegiatan yang telah
dilakukan.
3)Memberikan informasi kompetensi
yang dipelajari pada pertemuan
berikutnya.
1)Bersama guru, menyimpulkan
materi pembelajaran dan nilai
sikap yang perlu diperkuat dalam
diri siswa
2)Bersama guru, melakukan
refleksi terhadap kegiatan yang
telah dilakukan.
3)Menyimak informasi
kompetensi yang dipelajari pada
pertemuan berikutnya.
10’
Dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan media interaktif dapat mengefektifkan
waktu pembelajaran di kelas karena ada beberapa tahapan pembelajaran yang bisa dilakukan
siswa secara mandiri di luar kelas yaitu pada tahapan memahami, menanya, mengumpulkan
data, mengasosiasi, bahkan mengomunikasikan. Proses pembelajaran di kelas sifatnya
penyempurnaan tahapan-tahapan tersebut, seperti tahapan menanya, mengasosiasi, dan
mengomunikasikan lebih lanjut.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
408
b. Peningkatan Hasil Belajar
Setelah proses pembelajaran dengan menggunakan media interaktif Pantun, hasil belajar
siswa sangat memuaskan. Dengan perolehan nilai terendah 80 dan tertinggi 100. Berikut ini
adalah nilai ulangan harian pantun siswa secara lengkap.
Tabel 2
Nilai Ulangan Harian Pantun Siswa Kelas XI Akselerasi
No. Nama Nilai
1 Ahmad Faris Abdulloh 90
2 Asti Andriani Putri 83
3 Beryl Clearly Hermanto 95
4 Dhanisa Rahmi Sofiawati 95
5 Ega Raisya 88
6 Feri Arosa 91
7 Fikri Luthfi Budiman 80
8 Gema Muhammad 85
9 Ghassani Izlyn Fathara Sri N. 91
10 Ghifariyatu Rohimah 95
11 Gina Nur’aini Buchory 96
12 Hardian 96
13 Ida Setia Lestari 97
14 Ilham Fauzi Noer Putra 80
15 Jhody Satia Pribadi 86
16 Jimmi 81
17 Joshua Evangelli 86
18 Laylia Nabilajauza Salmaisya 100
19 M. Abdul Malik Fajar 87
20 M. Zihad Zidan 97
21 Nisaa Alberta Wishnuartini 86
22 Novan Rifky Lutfhyansyah 84
23 Nur Mahmud Ismail 95
24 Ockeu Ainoersalas K. 93
25 Putri Utami Rynaldi 87
26 R. Napisah Assayyidah 91
27 Rena Nur Fitria K. 80
28 Rifan Azki Maulid 93
29 Rifanni Julianti 93
30 Rofa Hasna Nafisah 84
31 Rohmat Gunawan Yusuf 96
32 Sabrina Daniswara 88
33 Seni sumiati 91
34 Shaffiratul Aziz 80
35 Sheila Nur Azijah 93
36 Yuceu Sania Kamulyan 80
37 Zulfan Dwi Respati 81
c. Kepuasan Siswa
Untuk mendapatkan masukan mengenai penggunaan media interaktif Pantun, penulis
menyebarkan angket kepada siswa yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang keefektifan dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
409
kemenarikan media interaktif yang digunakan. Sebagian besar siswa berpendapat bahwa media
interaktif yang digunakan sangat membantu dan mempermudah mereka dalam memahami
materi karena tampilannya yang menarik dan tidak membosankan. Selain itu, sebagian besar
siswa merasa media interaktif yang ditayangkan sudah bagus dan banyak kelebihannya karena
dilengkapi dengan gambar, audio, dan video, tetapi ada sebagian siswa yang menyarankan agar
ada tombol untuk mempercepat tayangan dan tombol on/off musik karena tidak semua siswa
suka belajar dengan diiringi musik. Adapun saran yang disampaikan oleh sebagian besar siswa
adalah agar lebih banyak lagi memproduksi media pembelajaran interaktif karena dapat
mempercepat proses pembelajaran.
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan pengalaman pembelajaran dengan menggunakan media interaktif Pantun
berbasis pendekatan saintifik di kelas XI akselerasi SMAN 1 Garut, dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1. Permasalahan yang terdapat pada kelas akselerasi adalah waktu yang lebih sedikit
mengingat akselerasi adalah kelas percepatan yang membuat waktu belajar di SMA menjadi
2 tahun.
2. Penggunaan media interaktif terbukti berhasil membuat pembelajaran menjadi lebih cepat
karena ada beberapa langkah pembelajaran yang bisa dilakukan secara mandiri di rumah
sehingga pembelajaran di kelas hanya tinggal penyempurnaan. Sisa waktu yang cukup
banyak dapat digunakan untuk lebih mengasah keterampilan siswa.
Saran
Saran yang berkaitan dengan best practice ini adalah sebagai berikut.
1. Penerapan media interaktif pantun ini membutuhkan peralatan yang mendukung seperti
laptop dan jaringan internet yang memadai agar lebih optimal.
2. Guru diberikan pelatihan pemanfaatan program-program komputer yang lebih dari sekadar
Microsoft excel, Microsoft word, dan Microsoft power point agar dapat lebih variatif dalam
membuat media pembelajaran.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
410
Daftar Pustaka
Akbar, R. - Hawadi (Ed). (2004). Akselerasi: A-Z informasi program percepatan belajar.
Jakarta: Grasindo Widiasarana Indonesia.
Sadiman, A. S. dkk. (2009). Media pendidikan: pengertian, pengembangan, dan
pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Press.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Modul pendekatan dan strategi pembelajaran.
Jakarta: Kemdikbud.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
411
PANDANGAN SISWA SMA TENTANG PENTINGNYA BAHASA INDONESIA
BAGI PEKERJA ASING:STUDI TENTANG KEDUDUKAN
DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA
Yusra Alfarizi
(Duta Bahasa Pelajar, Jawa Barat)
Abstrak
Bahasa Indonesia memiki kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara
dengan berbagai fungsinya. Apa yang membedakan bangsa satu dengan bangsa
lainnya? Tentu saja, bahasa yang membedakannya. Sebuah peribahasa yang sudah
sangat pekat untuk menunjukkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia adalah
‘Bahasa menunjukkan bangsa’. Hal ini berarti bahwa bahasa menunjukkan latar
belakang bangsa, ras, dan etnis penuturnya. Misalnya, bangsa Sunda dan bangsa Jawa,
tentu saja yang membedakan kedua bangsa ini adalah bahasanya. Ketika orang Sunda
tidak menggunakan bahasa Sunda, mereka bukan lagi orang Sunda. Oleh karena itu,
ketika bahasa Indonesia memiliki grafik penutur yang fluktuatif setiap tahunnya, bukan
hanya bahasa Indonesia yang terancam musnah, melainkan juga bangsa Indonesia.
Faktanya, bahasa Indonesia hampir tergeser kedudukannya oleh bahasa asing. Hal ini
tampak pada kebijakan pemerintah dalam menghapuskan bahasa Indonesia sebagai
salah satu syarat bagi pekerja asing yang akan bekerja di Indonesia.
Lalu, bagaimanakah pentingnya bahasa Indonesia bagi para pekerja asing yang akan
bekerja di Indonesia? Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode angket yang digunakan sebagai
alat untuk menjaring tanggapan dan pendapat para siswa SMA tentang hal tersebut.
Penelitian dilakukan terhadap 100 siswa di SMA Negeri 1 Ciparay Kabupaten
Bandung. Sampel penelitian ini diambil secara acak tanpa memperhatikan kelas,
jenjang, dan jenis kelamin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 93% siswa SMA menyatakan bahwa bahasa
Indonesia sangat penting bagi pekerja asing yang bekerja di Indonesia. 6% siswa SMA
menyatakan bahwa bahasa Indonesia penting bagi pekerja asing yang bekerja di
Indonesia, sedangkan 1% lainnya menyatakan bahwa bahasa Indonesia tidak begitu
penting bagi pekerja asing yang bekerja di Indonesia.
Kata kunci: pekerja asing, kedudukan dan fungsi bahasa, peran
Pendahuluan
Bahasa menunjukkan bangsa, begitu melekat peribahasa tersebut dalam benak
kita. Bagaimana tidak? Pada tahun 2009 pemerintah menetapkan untuk mengembangkan
bahasa Indonesia agar menjadi bahasa Internasional secara bertahap. Namun, yang terjadi
adalah justru bangsa Indonesia tidak dikenali karena menuturkan bahasa asing di negara
asing yang bersangkutan.
Bahasa Indonesia yang sejatinya akan dikembangkan menjadi bahasa
Internasional kini semakin memudar di kalangan bangsa Indonesia sendiri, hal ini
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
412
merupakan anomali bagi bahasa Indonesia. Faktanya, orang Indonesia lebih bangga
menggunakan bahasa asing dibandingkan bahasa Indonesia, padahal mereka masih berada
di negara Indonesia.
Bahkan, pada tahun 2015 pemerintah membuat kebijakan untuk menghapuskan
bahasa Indonesia sebagai syarat masuknya pekerja asing ke Indonesia. Hal ini merupakan
pelecehan bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak? Bangsa Indonesia sebagai tuan rumah
harus melayani tamu dengan menggunakan bahasa asing. Jika hal ini terjadi bahasa
Indonesia terancam punah. Hal ini benar-benar bertolak belakang dengan kebijakan
pemerintah tahun 2009 tentang mengembangkan bahasa Indonesia ke jenjang Internasional.
Padahal, kondisi akan menjadi ideal apabila pemerintah mewajibkan pekerja
asing untuk menguasai bahasa Indonesia dengan rentang yang ditentukan. Ketika mereka
belajar untuk menggunakan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia dapat berkomunikasi
dengan lebih baik, bahasa Indonesia dapat menyebar luas karena pekerja asing yang
menguasai bahasa Indonesia, dengan begitu bahasa Indonesia sedikit demi sedikit akan
menuju ke taraf internasional.
Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan metode angket yang digunakan sebagai alat untuk
menjaring tanggapan dan pendapat para siswa SMA tentang hal tersebut.
2. Langkah-langkah penelitian
Langkah-langkah yang diambil untuk melaksanakan penelitian ini adalah
sebagai berikut.
a. Pemilihan populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMANegeri 1 Ciparay
Kabupaten Bandung tahun ajaran 2015-2016, kelas X, XI, dan XII. Dari populasi
tersebut penulis memilih 100 siswa-siswi yang diambil dari 30 kelas.Dari 30
kelas tersebut, penulis memilih sampel sebanyak 30 orang dari kelas IPS, 10
orang dari kelas Bahasa, dan 60 orang dari kelas MIPA.
b. Pengumpulan data
Data tentang pentingnya bahasa Indonesia bagi warga negara asing yang
bekerja di Indonesia dikumpulkan melalui angket. Angket tersebut disebarkan
kepada 100 sampel, yakni 100 siswa-siswi SMA Negeri 1 Ciparay.
c. Analisis data
Data yang dianalisis dari 100 angket adalah data berupa respons siswa
terhadap pentingnya berbahasa Indonesia bagi warga negara asing yang akan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
413
bekerja di Indonesia. Respons dari siswa dapat beragam, mulai dari siswa yang
mendukung kebijakan pemerintah yang menghilangkan kewajiban berbahasa
Indonesia bagi pekerja asing sampai siswa yang benar-benar menolak kebijakan
tersebut.
d. Pelaporan hasil analisis data
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang pandangan
para remaja, khususnya siswa-siswi SMA Negeri 1 Ciparay tentang pentingnya bahasa
Indonesia bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia.
Pembahasan dan Hasil Penelitian
1. Pembahasan
a. Sekilas tentang Sejarah Lahirnya Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Sebagai
sebuah kebangganbangsa, bahasa Indonesia tidaklah diperoleh dengan mudah.
Diperlukan perjuangan dan pengorbanan untuk menjadikannya kebanggaan
bangsa.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu adalah
bahasa yang digunakan di daerah Jambi sampai ke Palembang dan Pulau Bangka.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa prasasti di sekitar daerah-
daerah tersebut.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa
kebudayaan, yaikni bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga
dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara maupun sebagai
bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar
Nusantara. (Mulyadi, 2013: 7)
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu semakin jelas dari
peninggalan kerajaan Islam. Hal ini ditandai dengan ditemukannya berbagai batu
tulis, seperti batu tulis pada nisan. Selain itu, ditemukan juga berbagai karya
sastra berbahasa Melayu, seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja,
Sejarah Melayu Tjussalatin dan Bustanussalatin.
Ketika kaum imperialis belum datang ke Indonesia, bahasa Melayu
mendapatkan kedudukan yang sangat terhormat di antara bahasa lain. Selain
digunakan sebagai bahasa penghubung antarbangsa, bahasa Melayu digunakan
pula sebagai bahasa ilmiah dan bahasa kebudayaan.
Ketika kaum imperialis datang ke Indonesia, terutama Belanda,
kedudukan bahasa Melayu yang sangat terhormat tergeser oleh bahasa Belanda.
Bahasa Melayu tergeser dan menjadi bahasa kedua setelah bahasa Belanda.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
414
Namun karena semangat nasionalisme yang sngat tinggi pada diri bangsa
Indonesia, bahasa Belanda tidak mampu menggeser kedudukan bahasa Melayu
meskipun bangsa Belanda menjajah bangsa Indonesia selama ratusan tahun.
Semangat nasionalisme bangsa Indonesia ditandai dengan lahirnya Budi
Utomo pada tahun 1908 yang diprakarsai oleh Dr. Soetomo. Berdirinya Budi
Utomo telah memicu berdirinya organisasi lain yang menunjukkan semangat
nasionalisme bangsa Indonesia, terutama kaum pemuda. Di antara organisasi
tersebut adalah Sarekat Islam, Balai Pustaka, dan sebagainya.
Pada akhir perjuangannya dalam memperjuangkan tanah air Indonesia,
bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia, para pemuda mengikrarkan sebuah
sumpah yang kita kenal dengan ‘Sumpah Pemuda’. Sumpah Pemuda tahun 1928
mengikrarkan tiga hal utama yang mereka perjuangkan saat itu: mengaku
bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; mengaku berbangsa satu, bangsa
Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sejak itulah, bahasa Indoensia memiliki kedudukan dan fungsi yang kuat di
negara Indonesia. Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia semakin kokoh
sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara.
b. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam
Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan
dinamika peradaban bangsa.(UU RI No.24 Tahun 2009: 13).
Berdasarkan undang-undang tersebut, bahasa Indonesia tumbuh dan
berkembang di tanah air Indonesia ini sesuai dengan dinamika peradaban bangsa.
Hal ini mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia sebagai pengguna
bahasa Indonesia harus senantiasa mengikuti arus perkembangan zaman dan
teknologi. Bangsa Indonesia yang diwakili oleh pemerintah Indonesia telah
melakukan itu. Buktinya? Pada era informasi ini telah muncul berbagai istilah
baru berbahasa Indonesia dalam bidang teknologi dan informasi. Tentu
pemerintah juga tengah gencar mempersiapkan upaya-upaya kebahasaan dalam
menghadapi MEA.
Berdasarkan perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang
diselenggarakan di Jakarta pada 25 s.d. 28 Februari 1975, sesuai dengan sejarah
pertumbuhnnya bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional
dan sebagai bahasa negara. Kedudukannya sebagai bahasa nasional melekat sejak
diikrarkannya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Sejak itulah bahasa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
415
Indonesia secara resmi telah diakui keberadaannya dan bangsa ini mempunyai
kewajiban untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu
bangsa.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesai
memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut.
1) Lambang kebanggaan nasional
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia memancarkan
nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai
yang mencerminkan keluhuran budi bangsa Indonesia, bahasa Indonesia
harus menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
2) Lambang identitas nasional
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’
bagi bangsa Indonesia. Sebuah peribahasa mengungkapkan bahwa Bahasa
menunjukkan bangsa. Bahasa Indonesia akan memberikan identitas bagi
bangsa Indonesia.
3) Alat pemersatu masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya
dan bahasanya
Bangsa Indonesia yang beragam akan merasa aman dan serasi hidupnya
karena mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh
masyarakat suku lain. Bahasa Indonesia adalah pemersatu budaya,
pemersatu suku bangsa, pemersatu bahasa.
4) Alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah
Dengan bahasa Indonesia, seluruh bangsa Indonesia yang beragam suku,
beragam budaya, beragam adat istiadat, dan bahkan beragam pula
bahasanya, dapat dipersatukan. Bangsa Indonesia yang beragam dapat
berkomunikasi dengan menggunakan satu bahasa pemersatu, yakni bahasa
Indonesia. Bahasa daerah dalam hal ini berfungsi sebagai pemerkaya
khazanah bahasa Indonesia.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki
fungsi-fungsi sebagai berikut.
1) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan
Bahasa Indonesia digunakan dalam naskah-naskah dan dokumen resmi
kenegaraan. Selain itu, bahasa Indonesia digunakan pula sebagai bahasa
resmi pidato kenegaraan.
2) Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
416
Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran di
lembaga-lembaga pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai perguruan
tinggi. selain itu, bahasa Indonesia juga wajib digunakan dalam media
pembelajaran seperti buku pelajaran.
3) Bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan
Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi dalam hubungan
antarbadan pemerintah dan dalam penyebarluasan informasi kepada
masyarakat. Karena itu, dalam hal ini harus diadakan penyeragaman sistem
administrasi dan mutu media komunikasi agar isi atau pesan yang
disampaikan dapat dengan cepat dan dengan mudah diterima oleh
masyarakat.
4) Bahasa Indonesia sebagai pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan
teknologi
Bahasa Indonesia digunakan dalam pnyebaran budaya nasional, ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Untuk memperkenalkan kebudayaan daerah
tertentu kepada daerah lainnya tidak mungkin dilakukan dengan
menggunakan bahasa daerah itu sendiri, tetapi harus menggunakan bahasa
Indonesia.
c. Pentingnya Bahasa Indonesia bagi Warga Negara Asing yang Bekerja di
Indonesia
Seperti dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, kedudukan dan
fungsi bahasa Indonesia sangatlah penting. Salah satunya adalah bahasa
Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa negara dengan fungsi sebagai
penghubung pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan.
Bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat penting bagi semua lapisan
masyarakat di Indonesia. Berbagai bentuk hubungan nasional dalam berbagai
bidang seperti ideologi, poitik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan
keamanan, dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam hubungan tingkat
nasional tentu tidak hanya berlaku untuk orang Indonesia. Kewajiban ini
dikenakan pula kepada seluruh bangsa asing yang berada di Indonesia. Apalagi
bangsa asing tersebut akan dan telah bekerja di Indonesia.
Untuk apa pekerja asing menggunakan bahasa Indonesia? Tentulah untuk
dapat berbicara (berkomunikasi) dengan bangsa Indonesia. Apa itu berbicara?
Untuk apa kita berbicara? Berbicara berarti berkata, bercakap, berbahasa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
417
(KBBI, 1996: 130). Berbicara merupakan proses perubahan bentuk
pikiran/ angan-angan/ perasaan, dan sebagainya menjadi wujud bunyi
bahasa yang bermakna (Tarigan, 1985: 48).
Berbicara ‘speaking’ adalah suatu proses keterampilan berbahasa.
Dell Hymes (1968) dalam Lubis (1991) mengemukakan adanya faktor-
faktor yang menandai terjadinya suatu proses/ peristiwa tutur dengan
singkatan S P E A K I N G, yang mengandung maksud dalam setiap
fonemnya.
S : Settingandscene ‘latar’ ;
P : Participant ‘partisipan’ ;
E : Ends ‘hasil’ ;
A : Act sequence ‘pesan’ ;
K : Keys ‘cara’ ;
I : Instrumentalities ‘sarana’ ;
N : Norms ‘norma’, ‘aturan’ ; dan
G : Genre ‘jenis’.
a. Settingandscene ‘latar’
Setting atau latar mengacu pada waktu dan tempat sebuah peristiwa
tutur yang pada umumnya berupa lingkungan fisik.
b. Participant ‘partisipan’
Participant mengacu pada penutur dan petutur ‘speaker and
audience’.
c. Ends ‘hasil’
Ends mengacu pada maksud ‘purposes’, tujuan ‘goals’, dan hasil
‘outcomes’.
d. Act sequence ‘pesan’
Act sequence mengacu pada pesan dan urutan peristiwa.
e. Keys ‘cara’
Keys mengacu pada cara yang menentukan nada bicara ‘tone’, cara
‘manner’ atau semangat ‘spirit’ pada tindak tutur.
f. Instrumentalities ‘sarana’
Instrumentalities mengacu pada bentuk dan gaya ujaran.
g. Norms ‘norma’
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
418
Norma mengacu pada aturan-aturan sosial yang mengatur peristiwa,
aksi, an reaksi partisipan.
h. Genre ‘jenis’
Genre mengacu pada jenis ujaran atau peristiwa.
Dengan demkian, bangsa asing jelas harus menggunakan bahasa
Indonesia ketika melakukan proses berbicara dengan bangsa Indonesia. Untuk
mewujudkan angan-angan, perasaan, pikiran, dan ide, tentu bahasa Indonesia
sangatlah penting ketika proses komunikasi itu dilakukan di Indonesia.
Bagaimana mungkin komunikasi lisan dilakukan ketika satu pihak dengan pihak
lainnya menggunakan bahasa yang berbeda-beda.
Jadi, bahasa Indonesia bagi para pekerja asing di Indonesia jelas sangat
penting. Untuk dapat bekerja di Indonesia, bangsa asing sekurang-kurangnya
dapat memanfaatkan bahasa Indonesia untuk hal-hal berikut ini.
1) Untuk berkomunikasi dengan orang Indonesia
2) Untuk memperkenalkan identitas personal dan profesional
3) Untuk bersinergi dan bekerja sama dengan para pekerja Indonesia
4) Untuk mengungkapkan pikiran/ gagasan tentang pekerjaan yang
dibidanginya
5) Untuk memahami proses pekerjaan yang harus dilakukan
6) Untuk mengembangkan pekerjaan yang dibidanginya
2. Hasil Penelitian tentang Pentingnya Bahasa Indonesia bagi Warga Negara Asing
yang Bekerja di Indonesia
Bagaimanakah pandangan para siswa SMA tentang pentingnya bahasa Indonesia
bagi para pekerja asing di Indonesia? Berikut ini akan dibahas hasil penelitian tentang
pentingnya bahasa Indonesia bagi pekerja asing di Indonesia.
Tabel berikut menunjukkan hasil penelitian tersebut.
No Item Kuesioner Jumlah
a. Bahasa Indonesia sangat penting bagi warga negara
asing yang bekerja di Indonesia 93 orang
b. Bahasa Indonesia cukup penting bagi warga negara
asing yang bekerja di Indonesia 6 orang
c. Bahasa Indonesia tidak begitu penting bagi warga
negara asing yang bekerja di Indonesia 1 orang
Tabel di atas memberikan penjelasan bahwa pada umumnya para siswa
menganggap bahwa bahasa Indonesia sangat penting bagi warga negara asing yang
bekerja di Indonesia. Sangat sedikit siswa yang berpandangan bahwa bahasa asing
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
419
cukup penting bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia. Bahkan hampir tidak
ada siswa yang berpandangan bahwa bahasa asing tidak begitu penting bagi warga
negara asing yang bekerja di Indonesia.
Para siswa beralasan bahwa warga negara asing tidak akan bisa melaksanakan
tugasnya secara optimal manakala bahasa Indonesia tidak dijadikan sebagai bahasa
komunikasi dalam dunia pekerjaannya di Indonesia. Para siswa pun mengungkapkan
bahwa pekerjaan dan dunia kerja di Indonesia dapat berhasil secara maksimal bila
dilaksanakan melalui kerja sama dengan bangsa asing. Dan di sinilah dibutuhkan
komunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia ketika para pekerja asing tersbut
sudah bekerja di Indonesia.
Untuk apa para pekerja asing menggunakan bahasa Indonesia? Para siswa pada
umumnya mengungkapkan bahwa para pekerja asing harus berbahasa Indonesia untuk
dapat berkomunikasi dengan orang-orang Indonesia, terutama di dalam dunia
pekerjaannya.
Simpulan dan Saran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 93% siswa SMA menyatakan bahwa bahasa
Indonesia sangat penting bagi pekerja asing yang bekerja di Indonesia. 6% siswa SMA
menyatakan bahwa bahasa Indonesia cukuppenting bagi pekerja asing yang bekerja di
Indonesia, sedangkan 1% lainnya menyatakan bahwa bahasa Indonesia tidak begitu
penting bagi pekerja asing yang bekerja di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa
Indonesia bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia memiliki peran yang tidak
bisa dispelekan.
Oleh karena itu, penguasaan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi harus dimiliki
oleh para pekerja asing di Indonesia. Selain itu, pemerintah Indonesia harus mewajibkan
penggunaan bahasa Indonesia bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia. Harus
diakui bahwa kondisi bahasa Indonesia saat ini sudah terkontaminasi dengan bahasa asing
dan daerah. Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia bagi warga negara asing yang
bekerja di Indonesia akan meminimalisasi kontamininasi bahasa yang berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Ali, Mohammad. 2010. Metodologi dan Aplikasi Riset Pendidikan. Bandung:
Pustaka Cendekia Utama.
Lubis, A. Hamid Hasan. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Mulyadi, Yadi. 2013. Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/ MA Kelas X
(Peminatan). Bandung: Yrama Widya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
420
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009tentang
Bendera, Bahasa, dan Lagu Kebangsaan.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Tarigan, HG. 1985. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
421
PENYUSUNAN MODEL INTEGRATIF BAHAN AJAR BIPA TINGKAT MENENGAH
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKATIF
SISWA BIPA
Mochamad Whilky Rizkyanfi1
Universitas Telkom
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh langkanya bahan ajar BIPA yang beredar di pasaran.
Padahal sekarang ini minat bangsa asing untuk mempelajari bahasa Indonesia sangat
besar. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) profil
model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah; 2) pengaruh model integratif bahan
ajar BIPA untuk meningkatkan kemampuan komunikatif pembelajar BIPA tingkat
menengah.Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen subjek tunggal.
Hasil pembahasan dan temuan menunjukkan bahwa 1) model integratif bahan ajar BIPA
tingkat menengah disusun berdasarkan sistem satu kesatuan yang utuh. Artinya, seluruh
aspek keterampilan berbahasa disajikan sejara terintegrasi, 2) H1 = Terdapat perbedaan
kemampuan komunikatif BIPA tingkat menengah dengan menggunakan model integratif
bahan ajar BIPA dalam penelitian ini dapat diterima secara empiris. Hal ini terlihat dari
perolehan rata-rata skor kemampuan awal (A-1) dengan skor 57 mengalami kenaikan
pada mean level proses intervensi sebesar 69, dan kemampuan akhir pada postes (A-2)
menjadi 75.
Kata Kunci : Model Integratif, Bahan Ajar, BIPA, Kemampuan Komunikatif
Pendahuluan
Kedudukan Bahasa Indonesia dalam dunia Internasional memang belum setenar bahasa
lainnya yang ada di dunia, seperti bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Spanyol, dan bahasa
Perancis. Hal ini memang wajar adanya, mengingat usia bahasa Indonesia yang belum mencapai
usia genap 100 tahun (Rusli, 1994: 1). Keberadaan bahasa Indonesia saat ini telah diketahui
sepenuhnya sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia. Hal ini tentu saja memberikan pengaruh
positif pada kemandirian bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang digunakan oleh
bangsa Indonesia.
BIPA diibaratkan sebagai “bayi” yang baru lahir dan perlu didewasakan secara
profesional dengan tanggung jawab keilmuan semua pihak. Oleh karena itu, untuk memastikan
bahwa BIPA dapat dikembangkan secara sistematis dan sekaligus responsif terhadap keperluan
pembelajar maka diperlukan telaah dan penataan saksama terhadap pola tutur esensial yang
terdapat dalam Bahasa Indonesia. Kegiatan ini harus membuahkan deskripsi baku ”pola tutur
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
422
pokok” bahasa Indonesia lengkap dengan deskripsi bentuk, makna, dan distribusinya dalam
wacana yang bersifat semesta.
Dalam perjalanannya, bahasa Indonesia sekarang ini memberikan masukan yang cukup
besar pada kemajuan bangsa Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari semakin besarnya
ketertarikan bangsa lain untuk mempelajari bahasa Indonesia. Tujuan utama bangsa lain
mempelajari bahasa Indonesia tidak lain adalah untuk dapat berkomunikasi bila mereka berada
di Indonesia. Selain itu, bila mereka dapat menggunakan bahasa Indonesia secara benar, mereka
pun dapat lebih mendalami kekayaan budaya Indonesia yang sangat beraneka ragam.
Pengetahuan akan kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam itulah yang menjadi salah satu
idealisme dalam pembelajaran BIPA.
Dalam praktiknya, membelajarkan BIPA kepada pembelajar asing memang harus secara
tidak langsung disertai dengan memberikan pengetahuan tentang karakter atau jati diri bangsa
Indonesia. Hal ini tecermin dalam penyusunan bahan ajar BIPA yang tidak terlepas dengan
karakter bangsa Indonesia yang majemuk dan kaya akan sumber daya alam dan kebudayaannya.
Mulyana (2009) menyebutkan,
Dalam pembelajaran BIPA, kita bisa sekaligus mengaitkan bahan pembelajarannya
dengan hal-hal yang bersentuhan dengan dimensi ideal dari sebuah proses pendidikan,
yakni pembelajaran BIPA yang kita lakukan selama ini harus mampu memperkenalkan
dan mendidik aspek karakter dan jati diri bangsa Indonesia. Hal tersebut menjadi
penting untuk dijadikan pilihan kebijakan dan tindakan dalam pembelajaran BIPA
karena pembelajaran BIPA sebenarnya bukan hanya mengajarkan bahasa Indonesia
sebagai ilmu pengetahuan atau keterampilan, tetapi yang lebih utama ialah
pembelajaran BIPA sebagai sebuah peluang menjadi ‘jalan masuk’ untuk pendidikan
karakter dan jati diri bangsa Indonesia, termasuk pula ke dalamnya sebagai kesempatan
emas untuk mengenalkan karakter dan jati diri bangsa Indonesia kepada penutur asing.
Kepedulian terhadap bahasa Indonesia tidak hanya datang dari orang Indonesia, tetapi
juga dari bangsa asing. Kepedulian orang asing itu diwujudkannya dengan berbagai cara. Di
antaranya dengan mempelajari bahasa Indonesia, baik di negerinya sendiri maupun di Indonesia
dan dengan orang Indonesia. Dari tahun ke tahun, jumlah pemakai bangsa-bangsa lain yang
mempelajari bahasa Indonesia selalu menunjukkan perkembangan dan kemajuan yang
menggembirakan.
Tak hanya itu, jumlah pemakai bahasa Indonesia dari waktu ke waktu memang
mengalami peningkatan. Hal ini seiring dengan apa yang diutarakan Suhardi dan Dardjowidjojo
(dalam Kariman dan Roswaty, 1994: 147). Dari segi penyebarannya, bahasa Indonesia sebagai
bahasa asing telah diajarkan hampir di seluruh dunia. Perinciannya adalah Amerika Serikat: 9
Universitas, Jerman: > 6 Universitas, Jepang: 28 Universitas. Di negara-negara tersebut, pada
umumnya, bahasa Indonesia telah diajarkan semenjak tingkat SMP. Australia merupakan negara
yang sangat antusias melaksanakan program pengajaran bahasa Indonesia. Selain bahasa
Jepang, bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran wajib di Australia. Selain itu, di Australia
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
423
bahasa Indonesia diajarkan dan dijadikan sebagai salah satu bahasa asing utama di tingkat
sekolah maupun universitas, lebih banyak daripada di negara lain manapun di dunia (Sneddon
dalam Kariman dan Roswaty, 1994:147).
Berita gembira tersebut tentu saja harus dilayani sepenuhnya dengan materi-materi yang
menarik minat bangsa asing untuk mempelajari bahasa Indonesia. Salah satunya, yaitu dengan
materi dalam bahan ajar BIPA yang terintegrasi, mencakup segala aspek untuk melatih
kompetensi berbahasa para pembelajarnya.
Namun, begitu besarnya minat bangsa asing untuk mempelajari bahasa Indonesia tidak
didampingi dengan bahan ajar yang selaras dengan keinginan bangsa asing dalam mempelajari
bahasa Indonesia. Hal ini terkait dengan langkanya buku-buku bahan ajar yang beredar di toko
buku yang sekait dengan bahan ajar BIPA.
Berdasarkan permasalahan di atas, kiranya peneliti merasa tertarik untuk meneliti
keotentikan model integratif bahan ajar BIPA untuk tingkat menengah sebagai bentuk apresiasi
bahan ajar BIPA yang langka di pasaran. Konsep bahan ajar yang diusung dalam penelitian ini
disesuaikan dengan profil pembelajar BIPA itu sendiri, yakni disesuaikan dengan keperluan
pembelajar tersebut dalam mempelajari bahasa Indonesia, apakah untuk keperluan akademik
atau untuk keperluan kunjungan wisata ke Indonesia.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. profil model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah;
2. pengaruh model integratif bahan ajar BIPA untuk meningkatkan kemampuan komunikatif
pembelajar BIPA tingkat menengah.
Metode
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan di antara variabel-variabel
penelitian yang secara umum ingin mengkaji “Penyusunan Model Integratif Bahan Ajar BIPA
Tingkat Menengah untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikatif Siswa BIPA”. Sesuai
dengan masalah penelitian, teknik analisis data, dan metode penelitian yang digunakan, yaitu
siswa tunggal, pengolahan data hasil penelitian dilakukan secara kuantitatif dan secara individu.
Sementara itu, model integratif bahan ajar BIPA untuk tingkat menengah akan dipaparkan
berdasarkan hasil expert judgment.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen subjek tunggal (single subject
experiment). Metode eksperimen subjek tunggal berbeda dengan metode eksperimen yang lain.
Dalam metode tersebut tidak dilakukan pembagian kelompok antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol karena jumlah subjeknya terbatas. Hasil eksperimen disajikan dan dianalisis
berdasarkan subjek secara individual (Sukmadinata, 2005: 209).
Metode eksperimen subjek tunggal ini dipilih karena terbatasnya jumlah responden
yang diteliti, yakni 3-5 orang, dan tidak mungkin dilakukan pembagian kelompok antara
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
424
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Metode penelitian ini sesuai dengan hakikat
penelitian yang akan dilakukan, yakni untuk melihat perubahan perilaku dan perbedaan secara
individu dari subjek yang diteliti. Selain itu, metode penelitian eksperimen subjek tunggal
merupakan suatu desain eksperimen sederhana yang dapat menggambarkan dan
mendeskripsikan perbedaan setiap individu disertai dengan data kuantitatif yang disajikan
secara sederhana dan terinci (Herlina, 2009:11).
Karakteristik desain subjek tunggal yang memperoleh validitas internal yang berbeda
dari teknik yang meliputi desain konteks. McMilan dan Schumaker (2001: 473) menyatakan
bahwa karateristik terpenting dari desain subjek tunggal sebagai berikut.
1) Pengukuran terpercaya. Desain subjek-tunggal biasanya meliputi banyak pengamatan
terhadap perilaku sebagai teknik pengumpulan data. Ini penting bahwa kondisi pengamatan
seperti waktu dan lokasi, yang distandarisasi; pengamatan haruslah dilatih dengan baik agar
bisa dipercaya atau bisa jadi prasangka; dan perilaku yang teramati bisa diidentifikasi secara
operasional.
2) Pengukuran berulang. Karakteristik yang jelas dari subjek tunggal adalah bahwa aspek
tunggal perilaku ini diukur beberapakali, dengan cara yang sama hanya ada sekali
pengukuran, yaitu sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Perlakuan berulang mengontrol
variasi normal yang diketahui selama interval waktu yang pendek, menyediakan deskripsi
perilaku dengan jelas dan lugas.
3) Deskripsi kondisi. Ketepatan, deskripsi rinci dari seluruh kondisi perilaku diamati harus ada.
Deskripsi ini membolehkan aplikasi studi terhadap individu lain untuk memperkuat validitas
internal dan eksternal.
4) Kondisi perlakuan dan basis; durasi dan stabilitas. Prosedur yang lazim adalah untuk setiap
kondisi haruslah mempunyai waktu dan jumlah pengamatan yang sama.
5) Aturan variabel-tunggal. Ini penting untuk mengubah satu variabel selama perlakuan pada
fase riset subjek tunggal dan variabel yang diubah harus dijelaskan dengan tepat.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimen subjek
tunggal A-B-A. Sukmadinata (2005: 211) mengemukakan bahwa desain eksperimen subjek
tunggal A-B-A merupakan model desain yang sering digunakan dalam eksperimen subjek
tunggal. Desain ini hampir sama dengan desain A – B, tetapi setelah perlakuan diikuti oleh
keadaan tanpa perlakuan seperti dalam keadaan sebelumnya. A adalah lambang dari data garis
dasar (baseline data), B untuk data perlakuan (treatment data), dan A kedua ditujukan untuk
mengetahui apakah tanpa perlakuan kegiatan akan kembali pada keadaan awal, atau masih terus
seperti keadaan dalam perlakuan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
425
GrafikDesain Eksperimen Subjek Tunggal A-B-A
Keterangan:
1. A-1 (Garis dasar 1) adalah kondisi kemampuan komunikatif siswa pada subjek
penelitiansebelum memperoleh intervensi.
2. B (Intervensi) adalah kondisi intervensi kemampuan komunikatif bahasa Indonesia dengan
menggunakan model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah.
3. A-2 (Garis dasar 2) adalah kondisi kemampuan komunikatif siswa pada subjek penelitian
dengan menggunakan model integratif bahan ajar BIPA setelah intervensi.
Subjek penelitian ini adalah siswa asing dengan kemampuan berbahasa Indonesia
tingkat menengah berjumlah lima orang. Pembelajar asing tersebut diberikan pembelajaran
secara terpisah, yakni Cho Sung Ok - Korea, Wichan Anisong (Nicky), Durati Waesani
(Dunya), Daniya Machae (Daniel), dan Atif Bensulong (Atif) - Thailand. Cho Sung Ok belajar
formal secara individu di Balai Bahasa UPI, sedangkan Nicky, Dunya, Daniel, dan Atif belajar
secara nonformal di rumah. Karakteristik penggunaan bahasa Indonesia tingkat menengahnya
pun bermacam-macam. Cho Sung Ok dan Wichan Anisong berada di tingkat menengah dasar –
menengah karena mereka berada di Indonesia dan belajar bahasa Indonesia sejak 1 tahun yang
lalu, sedangkan Durati Waesani, Daniya Machae, dan Atif Bensulong berada pada tingkat
menengah - atas karena mereka berlatar belakang Melayu dan sudah tiga tahun belajar bahasa
Indonesia. Cho Sung Ok belajar bahasa Indonesia untuk kebutuhan komunikatifnya selama
berada di Indonesia, sedangkan semua mahasiswa Thailand belajar bahasa Indonesia untuk
keperluan pendidikannya di Indonesia. Pembelajar asing tersebut dipilih menjadi subjek
penelitian karena selaras dengan apa yang diinginkan oleh peneliti, yakni mereka belajar bahasa
Indonesia pada tingkat menengah.
Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia sebagai salah satu penelitian dipilih
sebagai lokasi penelitian karena merupakan salah satu institusi formal di Kota Bandung yang
menyelenggarakan pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA). Alasan-alasan
lainnya yang lebih praktis yakni peneliti lebih mendapatkan kemudahan dalam hal perizinan,
kedekatan lokasi dengan peneliti, dan kehematan biaya penelitian.
O O O O O
X X X X X
O O O O O O O O O O
Garis dasar (A-1) Perlakuan (B) Garis dasar (A-2)
Waktu
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
426
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes yang ada dalam
penelitian ini terdiri atas prates (pretest) dan pascates (postes), serta tugas akhir dalam proses
intervensi. Pratest diberikan pada kondisi garis dasar 1, yaitu kondisi pada saat siswa belum
mengikuti pelajaran dengan menggunakan model integratif bahan ajar BIPA. Tes ini dilakukan
dengan tujuan untuk memastikan sejauh mana pengetahuan awal siswa yang berkaitan dengan
kemampuan komunikatif siswa dalam berbahasa Indonesia. Selanjutnya pada tahap intervensi
siswa diberikan model integratif bahan ajar BIPA dengan latihan di setiap akhir bahan ajar. Tes
ini adalah bagian dari prosedur kegiatan intervensi model integratif bahan ajar BIPA tingkat
menengah yang bertujuan untuk melihat kondisi dan kestabilan siswa pada saat memperoleh
intervensi. Pascates diberikan pada kondisi garis dasar 2 untuk mengevaluasi sejauh mana
terjadi peningkatan kemampuan komunikatif siswa setelah tidak dilakukan intervensi.
Adapun instrumen tes yang digunakan dalam prates dan postes adalah tes kemampuan
komunikatif siswa yang dikhususkan pada keterampilan berbicara dalam menarasikan
pengalaman hidupnya. Semua yang ada dalam model integratif bahan ajar BIPA menengah
tersebut akan menggiring kemampuan siswa dalam kemampuan komunikatif berbicaranya. Hal
ini selaras dengan apa yang diungkapkan Nurgiyantoro (2009: 283) bahwa tujuan utama
dilaksanakan tes berbicara adalah untuk menentukan tingkat kefasihan berbicara seorang
pembelajar.
Selain itu, untuk mengetahui tingkat kesahihan (validitas) model integratif bahan ajar
BIPA tingkat menengah yang disusun oleh peneliti, peneliti menggunakan expert judgment yang
paham dan berkompeten di bidang BIPA dan bahan ajar. Pakar yang menilai bahan ajar peneliti
tersebut sekurang-kurangnya berjumlah tiga orang. Adapun kriteria penilaian bahan ajar yang
disusun peneliti tersebut lebih bersifat mendeskripsikan hasil penilaian dan saran-saran yang
akan diberikan oleh pakar. Adapun kriteria penilainnya adalah sebagai berikut.
Tabel
Instrumen Penilaian Bahan Ajar
No.
Komponen Bahan Ajar yang Dinilai
Skala Nilai
SS S CS TS STS
5 4 3 2 1
1 Bahan ajar ini mampu mencerminkan
keotentikan bahan ajar yang integratif, yakni
memadupadankan beberapa keterampilan
berbahasa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
427
2 Bahan ajar ini memunculkan keragaman materi
sesuai dengan kompetensi yang seharusnya
diberikan pada siswa BIPA tingkat menengah
3 Bahan ajar ini memunculkan berbagai variasi
cara dan media pembelajaran
4 Bahan ajar ini mampu melatih kemampuan
komunikatif siswa dalam berbahasa Indonesia
5 Kebahasaan yang digunakan dalam bahan ajar ini
berkesesuaian dengan kemampuan komunikatif
siswa BIPA tingkat menengah, yakni mampu:
a) memunculkan pertuturan dengan kombinasi-
kombinasi elemen bahasa yang dipelajari
b) memulai dan menutup pertuturan dengan
cara sederhana sesuai dengan tugas-tugas
komunikatif yang mendasar
c) bertanya dan menjawab pertanyaan
sederhana
d) mengembangkan narasi atau deskripsi
sederhana.
Keterangan:
SS : Sangat Sesuai
S : Sesuai
CS : Cukup Sesuai
TS : Tidak Sesuai
STS : Sangat Tidak Sesuai
Hasil dan Pembahasan
Profil Model Integratif Bahan Ajar BIPA Tingkat Menengah
Beranalogi pada teori dan hasil uji coba instrumen seperti uji coba bahan ajar, angket,
observasi dan khususnya wawancara peneliti dengan pengajar BIPA tingkat menengah di Balai
Bahasa yang mempunyai pengalaman yang cukup banyak dalam mengajar BIPA. Kemudian
pertanyaan yang diajukan peneliti pun mencakup keseluruhan unsur bahan ajar yang disajikan,
maka model integratif profil bahan ajar tingkat menengah di Balai Bahasa adalah sebagai
berikut.
Penggunaan bahasa dalam bahan ajar BIPA tingkat menengah sebaiknya
menggabungkan penggunaan bahasa resmi dan penggunaan bahasa takresmi. Dengan kata lain,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
428
penggunaan bahasa Indonesia yang lebih tepatnya adalah sebagai satu keseluruhan berdasarkan
konteks penggunaannya yang ditujukan untuk penguasaan dan kemampuan berbahasa Indonesia
secara baik dengan tidak mengabaikan berbagai ragam bahasa Indonesia yang hidup di
masyarakat.
Sebagai sebuah sistem, bahasa Indonesia harus dipandang sebagai satu kesatuan yang
utuh. Oleh karena itu, bahanajar tata bahasa diintegrasikan dengan bahanajar aspek lain; begitu
juga sistem tulis (ejaan). Aspek belajar bahasa lisan (menyimak dan berbicara) serta aspek
belajar bahasa tulis (membaca dan menulis) dilakukan secara terintegrasi pula. Pintu masuk
model bahan ajar ini selalu disusun atas dasar keterampilan berbahasa yang terintegrasi.
Materi-materi yang disampaikan dalam bahan ajar tingkat menengah ini disesuaikan
dengan keperluan siswa belajar bahasa Indonesia. Apakah mereka belajar bahasa Indonesia
untuk keperluan akademik atau profesional, misalnya, akan belajar atau bekerja di Indonesia?
Apakah mereka belajar bahasa Indonesia untuk keperluan kunjungan wisata ke Indonesia agar
dapat lebih menghargai dan menikmati perjalanan wisatanya?
Model integratif bahan ajar ini disusun dan disesuaikan dengan kemampuan para subjek
sekaligus pembelajar BIPA tingkat menengah, yang tujuannya belajar bahasa Indonesia hanya
sekadar meningkatkan kemampuan dirinya dalam berbahasa Indonesia sekaligus untuk
keperluannya kunjungan wisata ke Indonesia agar lebih menikmati perjalanan wisatanya. Oleh
karena itu, semua materi dalam bahan ajar ini bertujuan untuk melatih kemampuan komunikatif
berbahasa Indonesianya selama berada di Indonesia.
Tak lupa, model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah ini menghadirkan
catatan-catatan bahasa dan budaya sebagai tanggung jawab peneliti dalam menjaga karakter dan
jati diri bangsa Indonesia. Selain itu, pembelajaran dan kosakata-kosakata baru yang ada dalam
bahan ajar ini dapat sepenuhnya digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengaruh Model Integratif Bahan Ajar BIPA terhadap Kemampuan Komunikatif
Pembelajar BIPA Tingkat Menengah
Berdasarkan hasil analisis data penelitian, ditemukan bahwa pelaksanaan intervensi
berupa penerapan model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah dapat membantu
pembelajar BIPA untuk meningkatkan kemampuan komunikatif berbahasa Indonesia 5 subjek
yang diteliti sebagai pembelajar BIPA tingkat menengah.
Hasil analisis data penelitian membuktikan telah terjadi beberapa peningkatan skor, baik
itu selama intervensi ataupun setelah dilakukannya postes. Trend stability menunjukkan
kestabilan kemampuan komunikatif rata-rata siswa yang terlihat dari kecenderungan arah garis
grafik yang menaik. Tidak ada rentang pada fase A-1 dan A-2 karena peneliti hanya melakukan
satu kali prates dan postes. Sedangkan rentang pada fase treatment antara 64 hingga 72. Level
change menunjukkan kenaikan persentase kemampuan komunikatif siswa dilihat dari sesi akhir
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
429
terhadap sesi awal dalam tiap kondisinya. Adapun kenaikan rata-rata pada fase A-1 adalah 0%
karena peneliti hanya melakukan prates, fase treatment sebesar +8 artinya mengalami
peningkatan sebesar 12%, dan fase A-2 0% juga, lagi-lagi karena peneliti hanya melakukan
postes.
Melihat hasil penelitian dari penerapan model integratif bahan ajar BIPA tingkat
menengah, maka model integratif bahan ajar ini dapat meningkatkan kemampuan komunikatif
berbicara siswa BIPA. Hal ini terlihat dari perolehan rata-rata skor kemampuan awal kelompok
subjek (A-1) dengan skor 57 mengalami kenaikan pada mean level proses intervensi sebesar 69,
dan kemampuan akhir pada postes (A-2) menjadi 75. Hal tersebut menunjukkan bahwa model
integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah ini mampu meningkatkan tingkat kefasihan
pembelajar asing dalam hal berbicara walaupun belum terlihat kesignifikanannya karena
beberapa persoalan. Tingkat kefasihan pembelajaran yang awalnya berada di level 2+ dengan
deskripsi: “Mampu memenuhi kebutuhan rutin sosial untuk keperluan pekerjaan secara terbatas”
berubah ke level 3+, dengan deskripsi yakni mengarah ke “Mampu berbicara dengan ketepatan
tata bahasa dan kosa kata untuk berperan serta dalam umumnya percakapan formal dan
nonformal dalam masalah yang bersifat praktis, sosial, dan profesional”.
Dengan demikian, H1 = Terdapat perbedaan kemampuan komunikatif BIPA tingkat
menengah dengan menggunakan model integratif bahan ajar BIPA tersebut dapat diterima
secara empiris.
Simpulan
Penelitian ini berusaha mengkaji keefektifan model integratif bahan ajar BIPA tingkat
menengah dalam meningkatkan kemampuan komunikatif berbahasa Indonesia yang sampai saat
ini menjadi tujuan utama para pembelajar asing mempelajari bahasa Indonesia.
Merujuk pada rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, ditemukan beberapa
hasil temuan di lapangan seperti berikut ini.
1. Penggunaan bahasa dalam bahan ajar BIPA tingkat menengah sebaiknya menggabungkan
penggunaan bahasa resmi dan penggunaan bahasa takresmi. Dengan kata lain, penggunaan
bahasa Indonesia yang lebih tepatnya adalah sebagai satu keseluruhan berdasarkan konteks
penggunaannya yang ditujukan untuk penguasaan dan kemampuan berbahasa Indonesia
secara baik dengan tidak mengabaikan berbagai ragam bahasa Indonesia yang hidup di
masyarakat.
Sebagai sebuah sistem, bahasa Indonesia harus dipandang sebagai satu kesatuan
yang utuh. Oleh karena itu, bahanajar tata bahasa diintegrasikan dengan bahanajar aspek
lain; begitu juga sistem tulis (ejaan). Aspek belajar bahasa lisan (menyimak dan berbicara)
serta aspek belajar bahasa tulis (membaca dan menulis) dilakukan secara terintegrasi pula.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
430
Pintu masuk model bahan ajar ini selalu disusun atas dasar keterampilan berbahasa yang
terintegrasi.
Materi-materi yang disampaikan dalam bahan ajar tingkat menengah ini disesuaikan
dengan keperluan siswa belajar bahasa Indonesia. Khusus untuk penelitian ini, model
integratif bahan ajar telah diuji tingkat kesahihannya (validitas) dengan menggunakan
penilaian 4 orang pakar (expert judgment) yang ahli dalam bidang BIPA dengan skor tingkat
kesahihannya sebesar 86%.
2. H1 = Terdapat perbedaan kemampuan komunikatif BIPA tingkat menengah dengan
menggunakan model integratif bahan ajar BIPA dalam penelitian ini dapat diterima secara
empiris. Hal ini terlihat dari perolehan rata-rata skor kemampuan awal (A-1) dengan skor 57
mengalami kenaikan pada mean level proses intervensi sebesar 69, dan kemampuan akhir
pada postes (A-2) menjadi 75. Hal tersebut menunjukkan bahwa model integratif bahan ajar
BIPA tingkat menengah ini mampu meningkatkan tingkat kefasihan pembelajar asing dalam
hal berbicara walaupun belum terlihat kesignifikanannya karena beberapa persoalan. Tingkat
kefasihan pembelajaran yang awalnya berada di level 2+ dengan deskripsi : “Mampu
memenuhi kebutuhan rutin sosial untuk keperluan pekerjaan secara terbatas” berubah ke
level 3+, dengan deskripsi yakni mengarah ke “Mampu berbicara dengan ketepatan tata
bahasa dan kosa kata untuk berperan serta dalam umumnya percakapan formal dan
nonformal dalam masalah yang bersifat praktis, sosial, dan profesional”.
Daftar Pustaka
Herlina, Lina. (2009). Peningkatan Kemampuan Penguasaan Kosakata Berimbuhan dan
Membaca Pemahaman Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing pada Pembelajar BIPA
(Bahasa Indonesia Penutur Asing) Melalui Pelatihan Strategi Metakognitif. Disertasi
pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Herman, Els. (Tanpa Tahun). Bahan Ajar yang Bertopik dan Bertingkat Kesulitan Runtut.
[Online]. Tersedia: http://www.ialf.edu/kipbipa/papers/ElsHerman.doc [30 April 2010]
Heritaningsih, Anneke. (Tanpa Tahun). Pengembangan Bahan Ajar BIPA Melalui Materi
Otentik yang Bermuatan Budaya Indonesia. [Online]. Tersedia:
http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/.../Makalah%20BIPA,%20anneke.doc[11 Maret
2010]
Kariman, Tina Mariany dan Roswaty. (1994). “Pengembangan Materi Pengajaran Bahasa
Indonesia untuk Penutur Asing”, dalam Satya Wacana Christian University. 1994,
KIPBIPA. Salatiga: Satya Wacana Christian University.
Lado, Robert. (1985). “Memory Span as a Factor in Second Language Learning,” dalam IRAL
3: hlm. 23-129.
McMilan dan Schumacer. (2001). Research in Education. New York: Longman.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
431
Mulyana, Yoyo. (2009). “Pembelajaran BIPA dalam Paradigma Membangun Karakter dan
Jatidiri” dalam Prosiding Riksa Bahasa 3. Bandung: Rizqi Press.
Nurgiyantoro, Burhan. (2009). Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Edisi Ketiga.
Yogyakarta: BPFE.
Rusli, Ratna Sajekti. (1994). “Kurikulum beserta Bahan Pengajarannya yang Berorientasi pada
Kebutuhan Masyarakat”, dalam Satya Wacana Christian University. 1994, KIPBIPA.
Salatiga: Satya Wacana Christian University.
Sugiyono. (2008). Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sunanto, Juang, dkk. (2006). Penelitian dengan Subjek Tunggal. Bandung: UPI Press.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
432
Upaya Mengintegrasikan Konten Bahasa Indonesia Kurikulum 2013
dalam Pembelajaran Menuju ‘Masyarakat Ekonomi ASEAN’
Imas Mulyati
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Ciparay Kab. Bandung,
Abstrak
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan wujud kesepakatan negara-
negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam
upaya meningkatkan daya saing ekonomi dengan menjadikan ASEAN sebagai
basis produksi dunia. Salah satu kunci keberhasilan MEA adalah konektivitas
atau kontak antara satu warga negara dengan warga negara lainnya. Sebagai salah
satu negara anggota ASEAN, Indonesia memiliki tanggung jawab yang sangat
besar. Karena itu, sosialisasi MEA kepada seluruh warga negara Indonesia yang
memiliki jumlah penduduk terbesar di ASEAN, menjadi sangat penting.
Berbagai upaya pemerintah pun dilakukan. Dalam bidang pendidikan telah
dilakukan berbagai upaya pemerintah merevisi kurikulum yang disesuaikan
dengan kebutuhan negara Indonesia dan berbagai perkembangan zaman,
termasuk perkembangan di kawasan ASEAN. Meskipun perubahan kurikulum
tidak secara khusus ditujukan bagi kepentingan pemerintah dalam menghadapi
MEA, namun perubahan/revisi kurikulum telah dipersiapkan untuk menyiasati
berbagai tantangan perkembangan zaman. Karena itulah, perubahan kurikulum
seharusnya dapat pula menjadi solusi untuk mendukung terwujudnya MEA. Lalu,
apakah revisi kurikulum dan konten pembelajaran Bahasa Indonesia telah
memenuhi kebutuhan untuk mendukung dan mewujudkan MEA? Upaya apa
yang dapat dilakukan guru untuk memberdayakan konten Kurikulum 2013
sehingga dapat mendukung terwujudnya MEA? Penelitian ini dilakukan untuk
menemukan informasi tentang materi pembelajaran Bahasa Indonesia dan
menawarkan alternatif pembelajaran dalam upaya mendukung terwujudnya MEA
melalui konten tersebut. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif-analitik
terhadap konten kurikulum 2013 yang tertuang dalam silabus dan buku
pembelajaran Bahasa Indonesia Wajib kelas X, XI, dan XII. Hasil penelitian
menunjukkan adanya delapan konten yang secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mendukung upaya mewujudkan MEA. Konten tersebut adalah
Teks Laporan Hasil Observasi, Teks Negosiasi, Teks Prosedur Kompleks, Teks
Eksplanasi, Teks Cerita Sejarah, Teks Berita, Teks Iklan, dan Teks Opini/
Editorial. Untuk mendukung upaya mewujudkan MEA, setiap konten dibahas
melalui pembelajaran terintegrasi dengan tiga tahap: pemodelan teks, kerja sama
membangun teks, dan kerja mandiri membangun teks.
Kata kunci: konten kurikulum, pembelajaran terintegrasi, MEA
Pendahuluan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan wujud kesepakatan negara-
negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam upaya
meningkatkan daya saing ekonomi dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi
dunia. Salah satu kunci keberhasilan MEA adalah konektivitas atau kontak antara satu
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
433
warga negara dengan warga negara lainnya, konektivitas antara satu suku bangsa dengan
suku bangsa lainnya, bahkan konektivitas antara satu bangsa dengan bangsa lainnya di
kawasan ASEAN.
Sebagai salah satu negara anggota ASEAN, Indonesia memiliki tanggung jawab
yang sangat besar. Karena itu, sosialisasi MEA kepada seluruh warga negara Indonesia
yang memiliki jumlah penduduk terbesar di ASEAN, menjadi sangat penting. Upaya
Indonesia pun dilakukan dalam berbagai sektor, termasuk dalam sektor pendidikan. Dalam
sektor pendidikan ini, Indonesia telah melakukan pembaharuan kurikulum pada tahun
2013.
Mengapa pembaharuan kurikulum dilakukan? Kurikulum adalah landasan utama
pengembangan pendidikan. Kurikulum menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
Pasal 1 Ayat (19) adalah “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan pengembangan
Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan Kurikulum 2006
yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.
Kurikulum 2013 disusun dan dikembangkan dengan berbagai alasan yang didasarkan pada
berbagai tantangan baik tantangan internal maupun tantangan eksternal.
Meskipun perubahan kurikulum tidak secara khusus ditujukan bagi kepentingan
pemerintah dalam menghadapi MEA, namun perubahan/revisi kurikulum telah
dipersiapkan untuk menyiasati berbagai tantangan perkembangan zaman. Karena itulah,
perubahan kurikulum seharusnya dapat pula menjadi solusi untuk mendukung terwujudnya
MEA.
Metode Penelitian
1. Metode
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi dokumentasi.
Studi dokumentasi dilakukan untuk menganalisis konten kurikulum 2013.
Dokumen yang dijadikan objek studi adalah Salinan Lampiran Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2013
tentang Standar Isi: Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) Bahasa
Indonesia kelas X, XI, dan XII. Selain itu, objek studi dalam penelitian ini adalah
buku Bahasa Indonesia Wajib kelas X, XI, dan XII, baik buku guru maupun buku
peserta didik. Buku yang dipilih adalah buku yang diterbitkan langsung oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
434
Dokumen-dokumen itulah yang dipilih sebagai objek studi. Hal ini dilakukan
karena kedua jenis dokumen tersebut dianggap layak dan representatif untuk
memenuhi kebutuhan penelitian ini.
2. Tujuan Penelitian
Apakah revisi kurikulum dan konten pembelajaran Bahasa Indonesia telah
memenuhi kebutuhan untuk mendukung dan mewujudkan MEA? Upaya apa yang
dapat dilakukan guru untuk memberdayakan konten Kurikulum 2013 sehingga dapat
mendukung terwujudnya MEA? Penelitian ini dilakukan untuk menemukan informasi
tentang materi pembelajaran Bahasa Indonesia dan merumuskan sebuah inovasi
pembelajaran dalam upaya mendukung sosialisasi MEA di kalangan peserta didik
melalui konten tersebut.
3. Langkah-Langkah Penelitian
Penelitian kualitatif dengan metode studi dokumentasi dilakukan dengan
langkah-langkah yang dikemukakan oleh Milles and Huberman (1984). Langkah-
langkah yang dimaksud adalah data reduction, data display, dan conclusion drawing/
verification. Secara lengkap, langkah-langkah yang ditempuh penulis dijelaskan
sebagai berikut.
a. Reduksi data
1) Menganalisis konten pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013
berdasarkan KI an KD
2) Menganalisis konten pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013
berdasarkan buku guru
3) Menganalisis konten pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013
berdasarkan bukku peserta didik
4) Memilih konten pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 yang tepat
dan dapat dikemas melalui pembelajaran terintegrasi dalam upaya mendukung
terwujudnya MEA
b. Penyajian data
1) Menyajikan data berupa konten pembelajaran Bahasa Indonesia dalam bentuk
tabel atau bagan hubungan antarkategori
Dalam hal ini kategori yang dicari keterhubungannya adalah konten Bahasa
Indonesia, pembelajaran terintegrasi, dan MEA.
2) Mengeksplanasi hubungan antara konten Bahasa Indonesia, pembelajaran
terintegrasi, dan MEA
3) Merumuskan inovasi pembelajaran Bahasa Indonesia dengan model
pembelajaran terintegrasi dalam upaya mendukung terwujudnya MEA.
c. Konklusi dan verifikasi data
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
435
1) Menarik kesimpulan
2) Verifikasi
3)
Pembahasan dan Hasil Penelitian
1. MEA sebagai Tantangan Eksternal Pengembangan Kurikulum 2013
Terdapat beberapa alasan pengembangan kurikulum 2013. Di antaranya
adalah adanya tantangan, baik internal maupun eksternal.
Tantangan internal mencakup dua hal berikut. Pertama, tuntutan pendidikan
yang mengacu kepada delapan Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar
pengelolaan, standar biaya, standar sarana prasarana, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar isi, standar proses, standar penilaian, dan standar kompetensi
lulusan. Kedua, terkait dengan faktor perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari
pertumbuhan penduduk usia produktif.
Tantangan eksternal yang menjadi dasar pengembangan kurikulum 2013
terdiri atas tantangan masa depan dan kompetensi masa depan.
a. Tantangan masa depan: gobalisasi: WTO, ASEAN Community, APEC, CAFTA,
masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu dan
teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan, kebangkitan industri kreatif dan
budaya, pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains,
mutu, investasi dan transformasi pada sektor pendidikan.
b. Kompetensi masa depan: kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih
dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan,
kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawab, kemampuan
mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda,
kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal, memiliki minat luas
dalam kehidupan, memiliki kesiapan untuk bekerja, memiliki kecerdasan sesuai
dengan bakat/minatnya, dan memiliki rasa tanggungjawab terhadap lingkungan
Bila kita cermati, tantangan eksternal pengembangan Kurikulum 2013
adalah berbagai tantangan yang berasal dari luar proses pendidikan itu sendiri. Sebagai
suatu bentuk tantangan yang datang dari luar, MEA merupakan salah satu tantangan
masa depan pendidikan di Indonesia.
2. Konten Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013
Konten Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 tergambar dalam tabel
berikut. Konten ini terdiri atas lima belas jenis teks yang dipelajari mulai kelas X
sampai dengan kelas XII.
Tabel 1
Konten Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
436
No Kelas Konten Kegiatan
1 X
Teks laporan hasil observasi
Teks prosedur kompleks
Teks eksposisi
Teks anekdot
Teks negosiasi 1. Pemodelan teks
2. Kerja bersama
membangun teks
3. Kerja mandiri
membangun teks
2 XI
Teks cerita pendek
Teks pantun
Teks cerita ulang biografi
Teks eksplanasi
Teks ulasan film dan drama
3 XII
Teks cerita sejarah
Teks berita
Teks iklan
Teks editorial/ opini
Teks cerita fiksi dalam novel
3. Pembelajaran Terintegrasi dalam Konten Kurikulum Bahasa Indonesia Menuju
‘Masyarakat Ekonomi ASEAN’
a. Pembelajaran Terpadu (Terintegrasi)
Dalam kurikulum 2013, pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan
saintifik. Pendekatan saintifik menurut kurikulum 2013 dilaksanakan dengan lima
langkah pembelajaran: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi,
mengasosiasikan/ menalar, dan mengomunikasikan.
Pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang
sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif membangun konsep, hokum,
atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau
menemukan masalah), merumuskan masalah, megajukan atau merumuskan
hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data,
menarik kesimpulan, dan mengomunikasikan konsep, hukum, atau prinsip
yang ditemukan (Apandi, 2015: 119).
Dalam pelaksanaannya, pendekatan saintifik direalisasikan dalam
pembelajaran melalui empat model, yakni problem based learning, project based
learning, discovery learning, dan inquiry learning. Bila kita identifikasi lebih
lanjut, keempat model tersebut dapat berupa pembelajaran terpadu, yakni
pembelajaran yang mengupayakan integrasi berbagai kemampuan peserta didik
dalam pembelajarannya, baik secara proses maupun secara konten (tematik).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
437
Dalam pembelajaran terpadu secara tematik, guru dapat mengintegrasikan muatan
nilai karakter di dalamnya.
Pembelajaran terpadu (terintegrasi) memiliki kesamaan dengan
pembelajaran biasa, nonterpadu. Yang membedakannya secara mendasar
adalah pembelajaran terpadu dalam pengemasan materi belajarnya tidak
mengikuti struktur suatu disiplin ilmu atau mata pelajaran tertentu, tapi terjadi
lintas bahasan bidang studi/ topik bahasan yang dipadukan oleh suatu focus
tertentu (Kurniawan, 2011: 50).
Sejalan dengan pendapat Kurniawan (2015), Oliva (1992: 518)
menyampaikan tiga model organisasi kurikulum (pembelajaran). Ketiga model
tersebut adalah discrete model (model terpisah), correlated (terhubung), dan
integrated (terpadu). Mengenai pembelajaran terpadu, Oliva (1992: 518)
menyimpulkan bahwa integrated model, adalah sistem pengorganisasian materi
yang memadukan materi mata pelajaran ke dalam satu fokus perhatian.
Menurut Kurniawan (2011), model-model pembelajaran terpadu/
terintegrasi dimulai dari derajat keterpaduan/ integrasi rendah sampai dengan
derajat keterpaduan/ integrasi tinggi.
Mengacu pada pendapat Oliva (1992: 518), pembelajaran terintegrasi
dalam penelitian ini dilakukan dengan memadukan beberapa konten
pembelajaran Bahasa Indonesia. Pengintegrasian dilakukan dengan memilih
konten-konten yang secara isi atau secara proses memiliki keterkaitan dengan
program MEA.
Berdasarkan hasil studi dokumentasi, diperoleh beberapa konten yang
secara proses atau secara isi memiliki keterkaitan dengan program MEA. Konten-
konten tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 2
Konten Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 yang Diintegrasikan
dalam Pembelajaran Sosialisasi MEA
No Kelas Konten
1 X
Teks laporan hasil observasi
Teks prosedur kompleks
Teks negosiasi
2 XI Teks eksplanasi
3 XII
Teks cerita sejarah
Teks berita
Teks iklan
Teks editorial/ opini
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
438
Pembelajaran terpadu ini dilaksanakan di kelas XII, semester II. Hal ini
dilakukan karena kelas XII sudah memahami seluruh jenis teks yang dipelajari
dalam Kurikulum 2013, seluruh jenis tejs yang akan dipadukan. Integrasi
pembelajaran dilakukan pada konten belajar, yakni jenis-jenis teks dan integrasi
antarpeserta didik.
b. Langkah Pembelajaran
Pembelajaran berbagai jenis teks di atas dilakukan dengan model
Problem Based Learning (PBL). Problem Based Learning (PBL) adalah model
pembelajaran yang dirancang agar peserta didik mendapat pengetahuan penting,
yang membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki model
belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses
pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan
masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari.
Pembelajaran terintegrasi dengan model PBL ini dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut.
1) Orientasi peserta didik kepada masalah
a) Peserta didik menyaksikan tayangan tentang perekonomian di Indonesia
atau negara lainnya di kawasan ASEAN
b) Peserta didik mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi terkait
kondisi perekonomian berdasarkan tayangan
2) Mengorganisasikan peserta didik
a) Peserta didik dibimbing untuk melakukan pendataan masalah
perekonomian. Setiap peserta didik yang mengajukan masalah yang
sama bergabung dalam satu tempat sehingga terbentuk delapan tempat
pembelajaran dalam kelas tersebut.
b) Peserta didik dibimbing untuk membentuk kelompok pembelajaran,
terdiri atas delapan kelompok berdasarkan masalah yang diajukan.
Selanjutnya setiap kelompok diberi nama sesuai dengan jenis teks; teks
laporan hasil observasi, teks prosedur kompleks, teks negosiasi, teks
eksplanasi, teks cerita sejarah, teks berita, teks iklan, dan teks editorial/
opini.
c) Setiap kelompok diberi arahan tentang pembelajaran yang akan
dilakukan terkait tugas yang harus ditempuh oleh setiap kelompok.
3) Membimbing penyelidikan individu dan kelompok
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
439
Setiap kelompok melaksanakan tugas pembelajaran di bawah bimbingan
guru. Setiap tugas dilaksanakan dalam upaya menyelesaikan masalah yang
telah ditemukan dan diusulkan dalam kelompok masing-masing.
a) Kelompok 1 bertugas untuk melakukan observasi langsung dan
membuat teks laporan hasil observasi tentang perekonomian di
Indonesia.
b) Kelompok 2 bertugas untuk membuat teks prosedur kompleks tentang
proses pembentukan kerja sama MEA.
c) Kelompok 3 bertugas untuk membuat teks negosiasi tentang
pembentukan kerja sama MEA dan memerankannya.
d) Kelompok 4 bertugas untuk membuat teks eksplanasi tentang
pentingnya MEA bagi negara Indonesia.
e) Kelompok 5 bertugas untuk membuat teks cerita sejarah tentang kerja
sama ekonomi ASEAN sejak berdirinya ASEAN hingga sekarang.
f) Kelompok 6 bertugas untuk membuat teks berita tentang kerja sama
MEA dan membacakannya secara berpasangan
g) Kelompok 7 bertugas membuat teks iklan yang menarik berisi promosi
program MEA.
h) Kelompok 8 bertugas untuk membuat teks editorial/ opini tentang
kontribusi Negara Indonesia dalam menyukseskan program MEA.
4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Setiap kelompok mempresentasikan hasil kerja masing-masing dalam
seminar kelas.
5) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
a) Setiap kelompok lain (yang tidak presentasi) melakukan evaluasi
tentang hasil kerja kelompok presentasi terkait struktur-kaidah
kebahasaan dan penyelesaian masalah yang dipresentasikan.
b) Peserta didik menyimak arahan dan evaluasi guru tentang hasil kerja
kelompok; struktur-kaidah kebahasaan dan penyelesaian masalah yang
dipresentasikan.
c. Keterkaitan Konten dengan Proses Pembelajaran dan Program MEA
Keterkaitan materi/ konten Bahasa Indonesia dengan proses pembelajaran
dan MEA digambarkan dengan skema berikut ini.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
440
Gambar 1
Skema Keterkaitan Konten dengan Proses Pembelajaran dan MEA
Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 adalah
pembelajaran berbasis teks. Dalam pembelajaran ini, MEA berfungsi sebagai
tema seluruh teks yang disajikan; teks laporan hasil observasi, teks prosedur
kompleks, teks negosiasi, teks eksplanasi, teks cerita sejarah, teks berita, teks
iklan, dan teks editorial/ opini. Sesuai dengan karakter teks dan lima langkah
pembelajaran saintifik, pembelajaran terpadu ini dilaksanakan dengan
menggunakan model PBL.
Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Terdapat delapan konten yang secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mendukung upaya mewujudkan MEA. Konten tersebut adalah teks laporan hasil
observasi, teks prosedur kompleks, teks negosiasi, teks eksplanasi, teks cerita sejarah,
teks berita, teks iklan, dan teks editorial/ opini.
Untuk mendukung upaya mewujudkan MEA, setiap konten dibahas melalui
pembelajaran terintegrasi dengan model problem based learning. PBL yang dilakukan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
441
secara terpadu merupakan sebuah inovasi pembelajaran yang diharapkan dapat
menggali potensi dan kreativitas peserta didik.
2. Saran-Saran
a) Pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks memungkinkan kretiavitas dan
potensi peserta didik lebih tergali. Peserta didik jangan merasa terbebani dengan
segala bentuk pembelajaran saintifik pada Kurikulum 2013.
b) Kurikulum 2013 menuntut guru untuk menjadi pembelajar yang kretif dan
inovatif. Guru dapat melakukan berbagai inovasi pembelajaran sesuai dengan
karakteristik materi, perkembangan zaman dan teknologi, dan karakteristik
peserta didik.
Daftar Pustaka
Ali, Mohammad. 2010. Metodologi dan Aplikasi Riset Pendidikan. Bandung: Pustaka
Cendekia Utama.
Apandi, Idris. 2015. Guru Qalbu. Penguatan softskill untuk Mewujudkan Guru Profesional
dan Berkarakter. Bandung: Smart Learning Solution.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Buku Peserta didik: Bahasa Indonesia:
Ekspresi Diri dan Akademik (Kelas X, XI, dan XII). Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Buku Guru: Bahasa Indonesia: Ekspresi
Diri dan Akademik (Kelas X, XI, dan XII). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan
Kurniawan, Deni. 2011. Pembelajaran Terpadu: Teori, Praktik, dan Penilaian. Bandung:
Pustaka Cendekia Utama.
Milles Mathew, B and Huberman Michael, A. 1984. Qualitative Data Analysis: A
Sorccebook of New Methods. London: Sage Publications, International
Educational.
Oliva, PF. (1992). Developing The Curriculum. New York: Harper Collins Publisher.
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Dokumen
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia terkait
Kurikulum 2013:
Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi
Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses
Nomor 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 SMA/ MA
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
442
Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan
Menengah
Nomor 104 Tahun 2014 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik pada
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Salinan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
443
Pemberdayaan Pembelajaran Bahasa Indonesia
Melalui Pendekatan Komunikatif
untuk Terampil Berbahasa
Adrias
STKIP PGRI Sumatera Barat
mahasiswa Program Doktor Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak
Pendekatan komunikatif bagian yang penting diterapkan bagi guru dan siswa
dalam proses belajar mengajar. Melalui makalah ini berupaya medeskripsikan
pemberdayaan pembelajaran Bahasa Indonesia melalui pendekatan komunikatif
dapat membantu siswa dalam menguasai keterampilan berbahasa, membantu
guru memahami pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa
Indonesia, membantu guru melaksanakan pendekatan komunikatif dalam
pembelajaran bahasa, meningkatkan keterampilan berbahasa sisiwa secara lisan
atau pun tertulis, sebagai usaha untuk memenuhi tuntutan dan amanat kurikulum
2013. Pembahasan lebih diarahkan pada strategi dalam pembelajaran bahasa
Indonesia melalui pendekatan komunikatif. Sasaran dari kajian teoritis ini
adalah guru dan siswa.
Kata Kunci: pembelajaran, pendekatan komunikatif, terampil berbahasa
Pengantar
Berbagai fenomena tentang pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sering kita
dengar Proses pembelajaran bahasa Indonesia sering dipandang berbagai kalangan
masih gersang dan membosankan. Proses pembelajaran Bahasa Indonesia juga dirasakan
masih belum berhasil dengan memuaskan. Para siswa sekolah menengah dikatakan masih
kering bahasa dan rendah bersastra. Siswa hafal dengan berbagai jenis imbuhan, jenis kata,
dan jenis kalimat, bahkan berbagai jenis gaya bahasa, Namun mereka belum terampil
menggunakannya dalam berbahasa.
Banyak keluhan yang dilontarkan tentang kemampuan berbahasa siswa baik
kemampuan secara tertulis atau pun secara lisan. Ketika seorang siswa diminta untuk
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
444
menyusun konsep surat atau menyusun sebuah laporan kegiatan di masyarakat, mereka
belum mampu. Begitu juga ketika diminta berpidato ataupun memimpin sebuah acara
diskusi atau rapat mereka belum mampu, mereka kering dengan ide dan gagasan. Mereka
tidak mampu memandu dengan baik, karena tidak memiliki penguasaan kosakata atau
perbendaharaan kata yang banyak. Pengembangan wawasan mereka dalam mengembangkan
argumentasi tidak bervariasi cenderung sangat dangkal pengetahuan mereka. Bahkan
pembicaraan siswa cenderung tidak memiliki tujuan dan berbelit belit sulit dimengerti oleh
pendengarnya. Pada hal kalau dilihat perolehan nilai bahasa Indonesia mereka sangat
memuaskan.
Apakah yang terjadi dengan fenomena di atas? Siapakah yang mesti
disalahkan?Atau diminta pertanggungjawaban? Pemerintah, guru masyarakat atau kurikulum?
Sebagai orang yang paling bertanggung jawab dengan proses pembelajaran mestinya
kita sebagai guru mengintrospeksi diri sendiri tentang apa yang telah kita lakukan, meskipun
tidak sepenuhnya semua tanggung jawab guru.
Kurikulum pun sering mengalami perubahan dan penyempurnaan.
Diberlakukannya kurikulum KTSP yang sekarang diperbaharui lagi dengan Kurikulum 2013
bentuk penyempurnaan dari kurikulum yang ada. Kurikulum ini bertujuan memberikan ilmu
pengetahuan secara utuh kepada siswa dan tidak terpecah-pecah. Kurikulum 2013 juga
menekankan pada keaktifan siswa untuk menemukan konsep pelajaran dengan guru berperan
sebagai fasilitator. Selain itu, tujuan utama dari Kurikulum 2013 adalah pertama, menciptakan
lulusan yang memiliki kemampuan berkomunikasi, kedua, menciptakan lulusan yang memiliki
kemampuan berpikir kritis dan jernih, ketiga menciptakan lulusan yang memiliki kemampuan
mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, keempat menciptakan lulusan yang mampu
menjadi warga negara yang bertanggungjawab, kelima, menciptakan lulusan yang memiliki
kemampuan mengerti dan toleran terhadapa pandangan yang berbeda, keenam, menciptakan
lulusan yang memiliki kemampuan kemampuan hidup dalam masyrakat yang mengglobal,
ketujuh, menciptakan lulusan yang memiliki minat luas dalam kehidupan, menciptakan lulusan
yang yang memiliki kesiapan untuk bekerja, kedelapan, menciptakan lulusan yang memiliki
kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, terakhir, menciptakan lulusan yang memiliki rasa
tanggungjawabterhadap lingkungan.
Dari beberapa tujuan tersebut pertama yang ingin dicapai adalah kemampuan
berkomunikasi. Melalui pembelajaran yang dipandu oleh kurikulum 2013 siswa diharapkan
memperoleh keahlian praktis untuk berkomunikasi. Keterampilan itu mencakup aspek
mendengar, bebicara , membaca dan menulis. Agar, siswa mampu bekomunikasi,
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diarahkan untuk membekali siswa trampil
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
445
berkomunikasi secara lisan ataupun tulisan. Siswa dilatih lebih banyak menggunakan
bahasa untuk berkomunikasi, tidak dituntut untuk lebih banyak menguasai pengetahuan
tentang bahasa.
Kurikulum yang diatur oleh pemerintah hanya sebagai panduan bagi guru untuk
mengatur sisitem pembelajaran. Bagaimanapun bagusnya kurikulum, tetapi kalau tidak
diringi dengan guru yang kreatif yang mampu membawa inovasi dan menjalankan
amanat kurikulum, pembelajaran bahasa akan tetap seperti biasa seperti kasus yang
disamapaikan di atas. Untuk itu, melalui makalah ini akan dibahas sebuah strategi dalam
pembelajaran bahasa melalui pendekatan komunikatif.
Tujuan
Tujuan dari tulisan ini dapat diuraikan sebagai berikut ini.
1. membantu guru memahami pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa
2. Membantu guru melaksanakan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa
3. Meningkatkan keterampilan berbahasa sisiwa secara lisan atau pun tertulis
4. Sebagai usaha untuk memenuhi tuntutan dan amanat kurikulum 2013
Latar Belakang Lahirnya Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa mulai ditemukan pada
tahun 1960-an. Ketika itu pembelajaran bahasa di Inggris mengalami perubahan yang
mendasar. Dua faktor utama yang mempengaruhi lahirnya pendekatan komunikatif adalah
surutnya popularitas metode lisan dan situasional di Inggris, dan makin eratnya kerja sama
antara negara-negara di Eropa dalam bidang dan kebudayaan dan pendidikan ( Huda, dalam
Pateda 1991) pendekatan komunikatif lahir dari situasi pengajaran bahasa di Inggris yang
tidak puas dengan dengan metode pengajaran saat itu , misalnya metode audiolingual.
Pendekatan komunikatif berakar dari prinsip-prinsip linguistik yang landasan
teorinya didukung oleh oleh teori belajar dari Amerika. Prinsip ini kemudian diperkuat oleh
prinsip nonlinguistik berupa kerja sama dalam bidang kebudayaan dan pendidikan antara
negara-nagara di Eropa Barat. Kelahiran pendekatan komunikatif di Inggris tidak
mengherankan karena Inggris merupakan kelompok negara tersebut , dan letaknya pun
berdekatan. Selain itu penghasilan masyarakat negara Inggris pun relatif memadai untuk
melaksanakan pendekatan tersebut.
Di Indonesia pendekatan komunikatif baru diluncurkan pada tahun 90-an, Sejak
bergulirnya kurikulum 1994, di Indonesia pun pendekatan komunikatif sudah diperkenalkan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
446
dan mulai dilaksanakan. Namun pelaksanannya yang belum maksimal, yang disebabkan
terbatasnya kemampuan guru untuk memulai sesuatu hal yang baru, dana yang
kurang memadai atau belum tersosialisasi dengan baik sampai ke daerah-daerah, dan lain-lain.
Prinsip Dasar Pendekatan Komunikatif
Menurut Siahaan dalam Pateda (1991: 86) prinsip dasar pendekatan komunikatif sebagai
berikut ini.
1. Materi harus terdiri dari bahasa sebagai alat berkomunikasi
2. Desain materi harus lebih menekankan proses belajar- mengajar dan bukan pokok
bahasan.
3. Materi harus memberi dorongan kepada pelajar untuk berkomunikasi secara wajar.
Selain itu perlu diketahui bahwa prinsip dasar berlangsungnya komunikasi
antara lain:
a. Harus ada pembicara/ penulis dan pendengar/ pembaca
b. Pesan harus disampaikan
c. Syarat fisik berupa alat bicara atau grafem harus berfungsi
d. Antara pembicara/ penulis dan pendengar/ pembaca harus saling mengerti
e. Fungsi bahasa harus diperhatikan
Pada tataran teori bahasa , pendekatan komunikatif memiliki dasar teori yang kaya
dan banyak pilihannya. Beberapa ciri pandangan komunikatif tentang bahasa adalah:
1) Bahasa merupakan sistem untuk mengekspresikan makna.
2) Fungsi utama bahasa adalah untuk berinteraksi dan berkomunikasi
3) Struktur bahasa merefleksikan fungsinya dan penggunaan komunikatif
4) Unit utama bahasa bukan hanya ciri struktural dan gramatikal, tetapi kategori makna
komunikatif dan fungsional seperti tampak dalam wacana.
Berdasarkan uraian di atas yang menjadi acuan dalam pendekatan
komunikatif adalah kebutuhan siswa dan fungsi bahasa yang bertujuan agar siswa dapat
berkomunikasi dalam situasi sebenarnya. Dengan demikian, yang dipentingkan
siswa bukanlah pengetahuan tentang bahasa, tetapi kebahasaan bukan sebagai tujuan
akhir tetapi sebagai sarana untuk melaksanakan komunikasi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
447
Karakteristik Pendekatan Komunikatif
Pada hakikatnya pendekatan komunikatif berorientasi dengan fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi. Tujuan pembelajarannya adalah untuk mengembangkan kompetensi komunikatif,
dengan cara mengembangkan keterampilan komunikasi pembelajar, menekankan pada makna
secara utuh dan fungsional dan penyajian bahan tidak terpotong-potong, berorientasi pada
konteks, mempertajam kepekaan sosial, belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi,
komunikasi yang efektif merupakan tuntutan, latihan komunikasi dimulai sejak permulaan
belajar bahasa, kompetensi komunikatif merupakan tujuan utama, urutan pembelajaran tidak
selalu linear, didasarkan atas kebutuhan, pembelajar sebagai pusat belajar, kesalahan berbahasa
merupakan sesuatu yang wajar, materi senantiasa melibatkan aspek linguistik, makna
fungsional dan makna sosial. (Finochiaro, dalam Suwarna, 2002: 56 )
Sekitar tahun 1980-an akhir pendekatam komunikatif bergema di Indonesia.
Kurikulum 1994 sudah mulai dirancang dengan menggunakan pendekatan komunikatif
sampai pada Kurikulum 2013. Pembelajaran bahasa Indonesia dengan pendekatan
komunikatif sangat tepat . Hal ini didasarkan atas beberapapertimbangan antara lain:
1. Bahasa sebagai alat komunikasi, sebetulnya siswa memiliki bekal berbahasa untuk
mengembangkann kompetensi komunikatif
2. Tujuan Pembelajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif adalah pengembangan
kompetensi komunikatif
3. Pendekatan komunikatif berorientasi pada pembelajaran yang aktif, kreatif dan
produktif. Tugas guru bahasa dalam hal ini adalah mnciptakan suasana belajar yang
memungkinkan siswa aktif berpendapat, kreatif melahirkan ide, dan produktif dalam tindak
ujaran.
4. Pendekatan komunikatif mementingkan konteks. Dalam hal ini pembelajaran
bahasa dapat terjadi dalam konteks yang bagaimanapun. Guru harus mampu
menghadirkan konteks yang dibutuhkan dalam kelas.
5. Pembelajaran dengan pendekatan komunikatif senantiasa melibatkan aspek linguistik
bahasa. (kebahasaan, tindak ujaran dan aspek sosial)
6. Kesalahan berbahasa merupakan hal yang wajar, karena kesalahan terjadi menunjukkan
bahwa siswa sedang berproses.
F. Penerapan Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk menigkatkan kemampuan peserta didik
untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
448
tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.
(Depdiknas 2005)
Amanat yang disampaikan kurikulum tersebut adalah meningkatkan kemampuan
berkomunikasi, dan hal ini sangat tepat dicapai melalui pendekatan komunikatif sesuai
dengan uraian di atas. Dalam hal ini diperlukan kreativitas guru dalam mengembangkan
proses pembelajarannya. Tugas pokok guru yang harus dilaksanakan dalam mengemban
amanat kurikulum dan dapat dijadikan penerapan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran
berbahasa sebagai berikut ini.
1.Memahami hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjabarkan kurikulum
a. memahami secara benar dan mendalam mengenai kurikulum, tujuan, fungsi
mata pelajaran, ruang lingkup, kompetensi inti, kompetensi dasar dan
penilaian hasil belajar. Pada poin ini seringkali guru melebur pada aspek aspek yang tidak
menjadi tujuan kompetensi inti dan kompetensi dasar, tetapi dikombinasikan dalam
proses belajar mengajar.
b. memiliki kompetensi yang baik berkaitan substansi materi pembelajaran
c. memiliki pemahaman yang baik tentang pendekatan komunikatif dan
pembelajaran kontekstual
2. Merencanakan program pembelajaran
a. Merencanakan program tahunan dan program semester
b. menyusun silabus
Silabus dalam pendekatan komunikatif sangat penting. Silabus merupakan garis besar,
ringkasan, atau garis garis besar program pembelajaran yang berisi rencana pelaksanaan
pembelajaran dan penilaiannya. Kurikulum 2013 memberi keluasan kepada guru untuk
mengembangkan silabus sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan, sepanjang tidak
menyimpang dari pokok-pokok yang telah digariskan secara nasional.
c. menyusun rencana / skenario pembelajaran
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
449
3. Melaksanakan kegiatan belajar mengajar
a. menciptakan suasana pembelajaran yang bermakna sesuai dengan metode
kontekstual.
b. menggunakan media pembelajaran yang bermakna dan bervariasi
c. kegiatan belajar mengajar lebih berpusat kepada siswa, guru hanya sebagai
motivator dan fasilitator dalam kelas.
4. Menilai proses pembelajaran
Penilaian yang dilakukan dalam pendekatan komunikatif sesuai dengan
penilaian otentik dengan menggunakan penilaian berbasis kelas, yang dinilai
bukan pengetahuan tentang bahasa siswa tetapi proses berbahasa dalam
berkomunikasi
5. Melaksanakan program remedial atau perbaikan.
Kesalahan berbahasa siswa dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam
berproses. Perbaikan dilaksanakan langsung ketika terjadi kesalahan agar lebih
bermakna
6 . Melaksanakan program pengayaan. Hal ini sanagt bermanfaat bagi siswa untuk
mengembangkan kecakapannya sebagai sesuatu yang bermakna. Siswa yang
terampil menulis bisa dilatih untuk menulis artikel, puisi , karya tulis yang
bermanfaat untuk masa depannya. Siswa terampil berbicara bisa diarahkan
untuk menjadi presenter , pembawa acara atau wartawan.
Berbagai kegiatan di atas memang membutuhkan jamahan tangan guru yang kreatif. Guru
harus mampu menciptakan suasana di kelas yang komunikatif tersebut misalnya dengan
materi yang otentik dan kontekstual. Kegiatan harus berpusat pada siswa , guru hanya
sebagai fasilitator. Semua yang ada di kelas harus bermakna dan membantu proses siswa
berbahasa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
450
Simpulan
Pendekatan komunikatif sangat relevan digunakan dalam konteks pembelajaran
bahasa saat ini di berbagai jenjang pendidikan, karena pendekatan komunikatif mempunyai
ciri-ciri yang sesuai dengan amanat kurikulum diantaranya;
a. lebih mengutamakan makna bukan bentuk
b. mengutamakan fungsi komunikatif
c. Kontekstualisasi merupakan pernyataan dasar
Dengan tujuan utama adalah fungsi komunikatif, pendekatan komunikatif mengatur
model pembelajarannya yang selalu berpusat kepada siswa. Guru hanya berperan sebagai
organisator, motivator, dan fasilitator. Maka hal ini berpulang kepada guru bagaimana
menciptakan suasana kelas yang bermakna, karena tidak ada materi yang bagus, penilaian
yang benar dan metode yang tepat tanpa guru yang berkualitas dan penuh kretivitas dalam
pembelajaran.
Daftar Pustaka
Depdiknas,. 2005. Prisip dan Pendekatan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia.
Depdiknas
Pateda, Mansoer. 1991. Linguistik Terapan. Ende-Flores: Nusa Indah
Pringgawidagda,Suwarna.2002. Strategi Penguasaan Berbahasa. Yogyakarta:
. Adicita Karya Nusa
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Pogresif. Jakarta: Kencana