download (pdf, 3.1mb)

106
Bali 1928, vol. IV Seni Pertunjukan Upacara Gamelan Gong Kebyar dengan Kakawin dan Palawakia, Gambuh dan Angklung-Kléntangan dari Belaluan, Sesetan, Sidan dan Pemogan Edward Herbst 2015 STMIK STIKOM BALI www.bali1928.net www.arbiterrecords.org

Upload: phungcong

Post on 11-Dec-2016

365 views

Category:

Documents


23 download

TRANSCRIPT

Page 1: Download (PDF, 3.1MB)

Bali 1928, vol. IV Seni Pertunjukan Upacara

Gamelan Gong Kebyar dengan Kakawin dan Palawakia, Gambuh dan Angklung-Kléntangan dari Belaluan, Sesetan, Sidan dan Pemogan

Edward Herbst 2015

STMIK STIKOM BALI www.bali1928.net

www.arbiterrecords.org

Page 2: Download (PDF, 3.1MB)

  ii  

Daftar Isi

iii Daftar Foto 1 Pendahuluan 7 Linimasa Rekaman Bali 1928 10 Nyanyian Puisi dan Kebangkitan Kebyar pada Awal Abad Ke-20 20 Gamelan Bali 25 Volume IV: Pandangan Singkat Terkait Linimasa Rekaman 26 Kakawin, Palawakia dan Tembang bersama Gamelan Gong Belaluan CD Trek #1 Sinom Surakarta 31 CD Trek #2 Sang Dasaratha 32 CD Trek #3 Nahan Tangguh 33 CD Trek #4 Sang Rama Déwa 36 CD Trek #6 Menangis Prabu Yudhistira 37 CD Trek #7 Ri Pati Sang Abhimanyu 39 CD Trek #8 Atur Sang Kresna 45 Gambuh Sesetan 52 CD Trek #9 Biakalang Prabangsa 54 CD Trek #10 Bapang Selisir 59 CD Trek #11 Peperangan Sira Panji dengan Prabangsa 68 Pandangan Singkat tentang Gamelan Angklung 72 Gamelan Angklung Sidan, Gianyar 80 Gamelan Angklung Sidan CD Trek #12 Tabuh Merdah 81 CD Trek #13 Ngisep Dublag 83 CD Trek #14 Tabuh Nandir CD Trek #15 Tabuh Lantang 86 Gamelan Angklung Pemogan, Denpasar 87 CD Trek #16 Pis Satus Selaka Loyang CD Trek #17 Sekar Jepun CD Trek #18 Pangawak Bérong CD Trek #19 Pangécét Bérong 88 CD Trek #20 Lagu Sesetan 90 CD Trek #21 Semarandana CD Trek #22 Lagu Tangis 93 Keterangan Tentang DVD Bali 1928, vol.IV 94 Penghargaan dan Ucapan Terima Kasih 98 Daftar Pustaka dan Bacaan Lanjutan

Page 3: Download (PDF, 3.1MB)

  iii  

Daftar Foto

1 Cakram Beka 78 rpm dengan label dalam bahasa Melayu dan aksara Bali 20 Gong Belaluan: Igel Jongkok oleh I Nyoman Nyongnyong 23 Ansambel caruk di Selat, Karangasem yang umum dimainkan saat odalan pura dan upacara-upacara kematian 26 Gong Belaluan saat Festival Pasar Gambir di Betawi, Jakarta 41 Gamelan gambuh Sesetan: Empat set rincik, kelenang, kenyir, suling, kendang, rebab, dan kempur 42 Gamelan gambuh Sesetan: Empat set rincik, kelenang, dan suling 43 Kangsi dan gumanak dalam gamelan gambuh Puri Tabanan 44 Kelenang dan kenyir dalam gamelan gambuh Puri Tabanan 48 Lupita dalam gamelan gambuh Puri Tabanan 50 Prabu Manis & Rangga/Patih Tua dan gamelan gambuh Sesetan 51 Gambuh Sesetan: Rangga/Patih Tua, Prabu Manis, Putri, dan Condong 55 Gambuh Sesetan: Prabu Manis, Putri, dan Togog 57 Gambuh Puri Tabanan: suling, rebab, gumanak, dan kangsi 58 Suling gambuh Puri Tabanan 63 Suling gambuh dan rebab di Batuan 64 Gambuh Sesetan: Condong 65 Gambuh Sesetan: Rangga/Patih Tua 66 Réyong kuna pada relief batu di Candi Panataran, Jawa Timur 67 Gamelan angklung kocok dari Culik, Karangasem 68 Réyong klénténg in gamelan angklung kléntangan I 72 Réyong klénténg in gamelan angklung kléntangan II 80 Prosesi angklung 84 Cungklik (tingklik) dan réyong 85 Gamelan angklung Sayan: Kayun memainkan pemadé dengan panggul gendér 86 Angklung anak-anak di Sayan, Ubud dengan angklung kocok bambu 89 Angklung kocok bambu dari Culik, Karangasem 92 Bebonangan (balaganjur)

Page 4: Download (PDF, 3.1MB)

  1  

Pendahuluan  Rekaman-rekaman bersejarah ini dibuat pada tahun 1928 (dan kemungkinan juga pada tahun 1929) sebagai bagian dari sebuah koleksi musik yang pertama kali dan satu-satunya diluncurkan secara komersial di Bali pada masa sebelum Perang Dunia II. Diluncurkan pada tahun 1929 dalam format piringan hitam 78 rpm, cakram-cakram yang diedarkan secara internasional tersebut bermaterikan beragam pilihan gamelan dan tembang Bali baik bergaya lama maupun baru. Dijual ke seluruh penjuru dunia (atau seperti yang terjadi kemudian ternyata tidak laku untuk dijual), piringan-piringan hitam tersebut secara cepat habis dan hilang dari peredaran. Saat itu merupakan masa yang sangat penting dalam kesejarahan gamelan Bali mengingat di seantero pulau tengah terjadi revolusi artistik dengan menonjolnya kebyar sebagai gaya gamelan yang baru dan berkuasa. Sekaa-sekaa ‘kelompok’ gamelan berpacu melebur gamelan kuna mereka, untuk ditempa ulang ke dalam gaya yang baru tersebut. Persaingan yang sengit antara desa-desa berikut daerah-daerah merangsang para komponis muda untuk mengembangkan berbagai inovasi dan teknik permainan yang apik dan baru. Terkait rekaman-rekaman bersejarah ini, Andrew Toth menulis:

Page 5: Download (PDF, 3.1MB)

  2  

Perwakilan dari perusahaan rekaman Odeon dan Beka dikirim pada bulan Agustus tahun 1928 untuk memperluas cakupan mereka sampai ke Bali. Lima dari 98 matriks (sisi piringan hitam) yang tersedia saat itu dipilih dan disertakan dalam sebuah antologi musik tradisi non-Barat bertajuk Music of the Orient oleh peneliti termasyhur Erich M. von Hornbostel. Koleksi inilah yang mengawali ketertarikan banyak orang, masyarakat luas, dan juga kaum etnomusikolog akan musik Indonesia. Sepertiga dari hasil rekaman Odeon dan Beka akhirnya muncul di Eropa dan Amerika, namun sebagian besar sejatinya ditujukan untuk pasar lokal di Bali. Berkaitan dengan tujuan tersebut, informasi pada label-label piringan hitam pun dicetak dalam bahasa Melayu, bahasa pengantar yang berlaku di wilayah kepulauan Nusantara, dan malahan ada yang ditulis dalam aksara Bali. Rencana ambisius untuk mengembangkan pasar lokal itu akhirnya berujung kegagalan total karena terbatasnya minat masyarakat Bali terhadap teknologi baru dan mahal tersebut, terutama karena mereka dengan mudah bisa menyaksikan secara langsung berbagai pementasan yang hadir setiap harinya secara marak di ribuan pura dan rumah-rumah di seluruh pulau. Hanya Colin McPhee yang muncul sebagai pelanggan, membeli cakram-cakram 78 rpm itu sepanjang tahun dari seorang penjual yang putus asa; dan kebanyakan koleksinya masih dilestarikan dengan baik sampai hari ini, selamat dari kekecewaan dan kemarahan sang agen yang menghancurkan semua stok yang tersisa (McPhee, 1946: 72). Menariknya, semua rekaman dilakukan di bawah bimbingan Walter Spies, seorang pelukis dan musisi yang telah lama menetap di Bali. Pengetahuan intimnya akan seni dan budaya Bali tersedia begitu bebas dan kerap menguntungan penelitian atau karya pihak lain (Rhodius, 1964: 265; Kunst, 1974: 24). Walau dibatasi oleh sarana yang hanya berdurasi tiga menit, rekaman-rekaman tersebut adalah contoh menakjubkan dari kekayaan karawitan Bali, baik vokal maupun instrumental, serta generasi komponis, seniman dan sekaa ‘kelompok’ gamelan masa itu yang kini dihormati sebagai guru-guru terpandang dan sekaa-sekaa legendaris, seperti I Wayan Lotring, I Nyoman Kaler, gamelan gong Pangkung, Belaluan, dan Busungbiu. Dokumentasi suara dari berbagai warisan dan pusaka musikal Bali yang tak ternilai harganya memuat berbagai gaya nyanyian yang nyaris tak terdengar saat ini; lalu Kebyar Ding, sebuah gubahan tabuh yang secara historis sangat penting, yang kini bisa dipelajari kembali oleh generasi penabuh masa sekarang melalui rekaman-rekaman yang dahulunya dibuat oleh para ayah dan kakek mereka seperti yang termuat dalam cakram-cakram asli tersebut; dan juga berbagai rekaman para penyanyi terkenal yang bahkan disakralkan oleh para keturunannya dengan menyimpan salinan kasetnya di pura keluarga. Tidak ada lagi materi baru yang diluncurkan di Barat pada masa depresi dan peperangan yang menyusul belakangan, hanya ada penerbitan ulang dari cakram-cakram 78 rpm yang lama pada beberapa label rekaman yang

Page 6: Download (PDF, 3.1MB)

  3  

berbeda dan dalam beberapa antologi.1 Semenjak catatan Andrew Toth, telah begitu banyak piringan hitam dan berbagai tautan informasi lainnya muncul ke permukaan. Penelitian kami menemukan fakta tentang seorang pemilik toko keturunan Cina bernama Ang Ban Siong yang terus-menerus menyediakan cakram-cakram Beka di tokonya, Toko Surabaya, yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga di Denpasar sampai tibanya masa pendudukan Jepang di tahun 1942, ketika ia akhirnya memindahkan keluarganya ke Sayan, Ubud.2 Kemudian, seorang wanita muda bernama Nancy Dean dari Rochester, New York, yang didesak oleh orang tuanya pada tahun 1936 untuk menikmati pesiar tersohor South Sea Island Cruise sebagai upaya memisahkannya dari seorang kekasih, sempat membeli beberapa keping piringan hitam dari “dua pria Jerman yang baik hati” di Bali.3 Kami sungguh beruntung, karena koleksi piringan hitam yang dibelinya tersebut (dan saat kami menemukannya di tahun 2003) masih dalam kondisi sempurna karena cakram-cakram tersebut tak pernah diputar. Pada masa tahun 1980-an dan 1990-an, Philip Yampolsky berhasil menemukan 101 matriks (sisi piringan hitam 78 rpm) di berbagai pusat arsip di Indonesia, Amerika Serikat dan Belanda. Yampolsky membagi informasinya kepada direktur Arbiter of Cultural Traditions, Allan Evans dan saya, yang selanjutnya menjembatani usaha kami ke seluruh dunia untuk mengakses dan menerbitkan kembali masing-masing cakram 78 rpm yang ada. Proses mendapatkan izin dari masing-masing pusat arsip termasuk mengunjungi sebagian besar koleksinya memakan waktu delapan tahun. Sembari mencari koleksi pribadi lainnya, kami menemukan sebuah cakram Odeon yang merupakan bagian dari koleksi asli tahun 1928 - tak tercatat oleh Toth maupun Yampolsky - pada sebuah daftar lelang di daerah pedesaan Texas. Selanjutnya, kami kembali menemukan sebuah cakram yang belum dirilis, persis sebagaimana catatan Toth di rak-rak penyimpanan pusat arsip University of California, Los Angeles (UCLA). Baru-baru ini, kami berhasil menemukan empat sisi piringan hitam lainnya di Bali. Temuan terakhir ini melengkapi jumlah koleksi kami menjadi 111 sisi piringan hitam yang masing-masing berdurasi tiga menit, dan semuanya direncanakan dirilis sebagai kumpulan CD Bali 1928 yang terdiri dari lima buah CD. Berdasarkan sebuah katalog Beka Music Company, terungkap jelas bahwa Odeon dan Beka ternyata merekam lebih banyak karya dibanding yang telah kami temukan, namun keputusan mereka untuk tidak mencetak lebih lanjut tentu diambil setelah kedua label rekaman itu menyadari keberadaan pangsa pasar yang sangat kecil. Master rekaman yang berwujud pelat aluminium kemungkinan besar disimpan di pabrik Carl Lindstorm (induk perusahaan Odeon dan Beka) di Berlin, yang dibombardir pada saat Perang Dunia II. Namun, terdapat sudut pandang lain yang mendahului peperangan. Pada tahun 1937, Béla Bartók menulis:

“Tak bisa dipungkiri bahwa perusahaan-perusahaan ini sangat sibuk merekam musik rakyat dari berbagai negara eksotis; dengan keuntungan yang diharapkan datang dari hasil penjualan kepada para penduduk asli. Namun, ketika penjualan menurun entah apa pun alasannya, perusahaan-perusahaan ini menarik produksinya dari peredaran dan berbagai piringan hitam yang ada kemungkinan besar dilebur. Ini pernah terjadi terhadap satu

                                                                                                               1 Toth (1980: 16-17) 2 Percakapan dengan putri Ang Ban Siong (2009) 3 Menurut salah seorang sahabatnya, etnomusikolog Ellen Koskoff (e-mail pribadi, 2003)

Page 7: Download (PDF, 3.1MB)

  4  

seri rekaman musik Jawa yang bernilai tinggi oleh Odeon, seperti dikutip dalam bibliografi Musique et chansons populaires dari Liga Bangsa-Bangsa. Jika semua piringan hitam itu ternyata memang benar dimusnahkan, tindakan semacam itu merupakan bentuk perusakan yang semestinya bisa dicegah oleh negara-negara melalui pemberlakuan hukum, sama halnya dengan keberadaan hukum di beberapa negara yang melarang penghancuran ataupun perusakan monumen bersejarah.”4

Delapan puluh tahun setelah sesi rekaman bersejarah itu, dan setelah mendapatkan cakram-cakram tersebut serta menyalinnya ke dalam format CD, tim peneliti kami mulai mengunjungi seniman-seniman paling tua dan berpengalaman – di desa-desa yang senimannya terlibat dalam sesi-sesi rekaman tahun 1928 – yang kebanyakan sudah berusia 80-an atau 90-an tahun, termasuk tiga diantaranya yang telah berumur 100 tahun. Kami juga berulang kali mengunjungi para keturunan dan anggota keluarga dari generasi seniman tua tersebut, yang kebanyakan juga sudah berusia 70-an dan 80-an tahun. Kami membawa sebuah tape recorder dan memutar kepingan CD yang memainkan alunan tembang dan gamelan yang tidak pernah didengar lagi oleh orang selama delapan puluh tahun. Walau beberapa repertoar masih bertahan, kebanyakan gaya dan estetikanya telah berubah dan banyak gending telah dilupakan. Beberapa keluarga seniman bahkan memberi kami foto-foto dari para seniman yang terlibat dalam perekaman tahun 1928 tersebut. Sebuah foto yang kami dapatkan di Perpustakaan Umum New York mempertemukan kami dengan salah seorang dari dua seniman yang masih hidup dan terlibat dalam perekaman pada tahun 1928 itu. Tim kami menemui seorang wanita berumur 91 tahun bernama Mémén Redia (Ni Wayan Pempen), yang ketika berumur 10 atau 11 tahun telah menjadi salah seorang pangugal ‘penyanyi utama’ dari kelompok jangér Kedaton (Bali 1928, vol. V). Mémén Redia menjelaskan suasana sesi rekaman dengan terperinci dan masih mengingat semua lirik lagu, memperbaiki transkripsi awal yang sebelumnya telah kami susun. Ia mengingat dengan gamblang bahwa rekaman dilakukan di ruang terbuka dekat pusat desa, di atas lantai tanah dan di bawah tataring ‘struktur sementara dari bambu’ yang beratapkan kelangsah ‘anyaman daun kelapa’. Ia pun memberi kesan bahwa beberapa sesi rekaman kemungkinan besar berlangsung di areal balé banjar ‘bangunan utama organisasi masyarakat tradisional Bali’ yang tiga sisinya terbuka dengan tembok dan lantai dari batu-bata atau lumpur padat, dan beratapkan anyaman daun kelapa atau jerami yang disangga tiang-tiang bambu atau kayu kelapa. Kebanyakan dari generasi tetua Bali yang kami kunjungi menyebut piringan hitam dan alat pemutarnya sebagai orgel, barangkali karena alat pemutar piringan hitam disangka berhubungan dengan instrumen orgel ‘organ pipa Belanda’ sebagai sebuah mesin yang menghasilkan bebunyian. Menurut Philip Yampolsky, sebuah katalog Beka Music Company yang kemungkinan dicetak pada tahun 1932, menunjukkan bahwa semua rekaman dalam koleksi Bali 1928 ini dilakukan di Denpasar, Bali, kecuali empat lagu yang direkam di Lombok.5 Katalog tersebut juga menyebutkan bahwa ada 34 cakram yang direkam pada tahun 1929, yang

                                                                                                               4 Bartók (1992: 294). Ketertarikan Bartók berlanjut dalam repertoar konsernya: ia dan istrinya memainkan transkripsi McPhee untuk dua piano berjudul Balinese Ceremonial Music di Amherst College pada tahun 1942 (Oja 1990:153, 179). Salah satu karya itu adalah Buaya Mangap (Tabuh Telu) dari Bali 1928, vol. I. 5 Komunikasi pribadi dengan Philip Yampolsky (2002)

Page 8: Download (PDF, 3.1MB)

  5  

keseluruhannya, kecuali empat sisi rekaman, bermaterikan nyanyian. Dua puluh lima persen dari koleksi kami tercatat dalam katalog tersebut. Sampai saat ini belum banyak keterangan yang bisa diungkap terkait tur rekaman kali kedua oleh Beka tersebut. Namun, pengarang riwayat hidup Walter Spies, John Stowell, mengatakan bahwa Spies mengungkap adanya “rekaman-rekaman baru oleh Beka” dalam suratnya kepada Jaap Kunst tertanggal 16 November 1929. Dalam sepucuk surat kepada ibunya, Martha Spies, tertanggal 1 Juli 1928, Spies mengatakan bahwa dirinya terikat sebuah kontrak kerja dengan Odeon untuk menerbitkan 50 piringan hitam dalam waktu tiga tahun.”6 David Sandberg, cucu-keponakan Spies dan juga ketua Leo-und-Walter-Spies Archiv di Berlin mengkonfirmasi bahwa surat-surat Spies hanya menyinggung kerjasamanya dengan Odeon dan bagaimana imbalan yang diterimanya nanti akan digunakan untuk membangun sebuah rumah di Ubud. Spies menulis “Imbalan yang ditawarkan ini lebih baik dibanding menerima persentase keuntungan dari rekaman yang berjumlah banyak namun bernilai kecil. Sekarang saya telah memperbaharui sebuah kontrak untuk membuat rekaman gamelan dan nyanyian Bali dengan imbalan 1.000,- guilders per tahunnya…Semua piringan hitam akan diproduksi pada bulan Agustus. Para penabuh (njogos) yang terlibat juga mendapatkan 1.000,- guilders, saya diminta bekerja untuk 50 piringan hitam.” Pada bulan April 1929, Spies menulis lagi tentang koleksi piringan hitam tersebut kepada ibunya, seraya menjanjikan, “Jikalau uangnya cukup, saya akan mengirimkan beberapa karya terbaik dari rekaman-rekaman yang ada.”7 Walau Odeon dan Beka adalah anak-anak perusahaan yang dinaungi oleh konglomerasi yang sama; Carl Lindstorm, surat-surat Spies menunjukkan adanya persaingan dan operasi bisnis yang berbeda antara masing-masing label rekaman.8 Kami sedang meneliti kemungkinan bahwa Spies tidak terlibat dalam rekaman-rekaman yang dilakukan oleh Beka. Topik ini akan dibahas lebih lanjut dalam artikel-artikel pendamping dari seri CD Bali 1928 lainnya. Mata rantai yang hilang dalam pembahasan-pembahasan di masa lalu yang berkenaan dengan rekaman-rekaman bersejarah ini adalah tentang peran Ida Boda (alias Ida Bagus Boda9) yang tentunya menjadi penasihat utama untuk Beka, dan kemungkinan besar juga untuk Odeon dan Walter Spies, terutama dalam memilih para seniman dan sekaa gamelan yang disertakan dalam sesi-sesi rekaman pada tahun 1928 itu. Kesimpulan kami tersebut didasari oleh fakta bahwa begitu banyak kelompok gamelan dan penyanyi yang terlibat dalam perekaman tahun 1928 ternyata mempunyai kedekatan yang unik dengan Ida Boda, baik sebagai murid maupun sebagai rekan sepanggungnya. Ida Boda dikenal sebagai guru légong dan panasar topéng10 ‘penari topeng-pembawa cerita-pelawak’ yang sangat

                                                                                                               6 Komunikasi pribadi dengan John Stowell (2014) 7 Korespondensi e-mail dengan David Sandberg (2009 dan 2014) 8 Salah satu contoh, David Sandberg menulis, “Di Badung (kini Denpasar) terdapat sebuah toko, Behn & Meyer, yang hanya menjual koleksi Beka.” Korespondensi e-mail pribadi (2014). Namun, McPhee pernah menyatakan bahwa sang agen yang menghancurkan keseluruhan koleksinya itu sebenarnya menjual karya-karya hasil rekaman dari kedua perusahaan rekaman, Odean dan Beka. 9 Penambahan sebutan ‘Bagus’ adalah pengembangan pada paruh awal abad ke-20. dan banyak kaum Brahmana di Bali Timur bersikukuh untuk tidak menggunakannya. Setelah mengetahui bahwa kebanyakan rekan sejawatnya memanggil beliau sebagai Ida Boda, kami menanyakan kepada para keturunannya bagaimana sebaiknya menamakan beliau, dan mereka menyepakati bahwa kami tidak perlu menggunakan ‘Bagus’. 10 Pengejaan dalam tulisan ini mengacu kepada kamus ortografi Bali modern seperti Kamus Bali Indonesia oleh I Nengah Medera dan lain-lain (1990) dan Kamus Bali-Indonesia oleh Yayasan Pustaka Nusatama,

Page 9: Download (PDF, 3.1MB)

  6  

tersohor, sering pentas bersama Ida Bagus Oka Kerebuak dari Geria Pidada, Klungkung (diketengahkan dalam CD ini) dan lazim sepanggung dengan Ida Bagus Rai Purya dan Nyarikan Seriada (Bali 1928, vol. V). Dihormati sebagai seorang tokoh pembaharuan yang memiliki jejaring luas, Ida Boda adalah empu légong bagi gamelan kebyar Belaluan (simak Bali 1928, vol. I dan IV), mengajarkan légong kepada gong kebyar Busungbiu (simak Bali 1928, vol. I), mabebasan dengan Ni Dayu Made Rai (yang bisa disimak dalam volume II),11 serta mementaskan jangér bersama sekaa dari Kedaton (Bali 1928, vol. V) sebelum akhirnya ia didaulat menjadi guru bagi kelompok tandingan di desa tetangga Bengkel pada tahun 1930-an. Meskipun kedua kelompok jangér tersebut selalu bersaing,12 peran Ida Boda jelas melampui persaingan antar kelompok tersebut,13 seperti dibuktikan dalam foto-foto dari Arthur Fleischman yang diambil antara tahun 1937-1939, di mana Ida Boda terlihat menari sebagai panasar dengan sekaa jangér Kedaton.14 Boda juga mementaskan topéng dengan gamelan angklung dari Banjar Bun (Bali 1928, vol. IV) dan mementaskan Cupak bersama Ida Bagus Oka Kerebuak diiringi sekaa gendér wayang batél dari Kaliungu (Bali 1928, vol. III). Muridnya, Nyoman Kaler (1892–1969), komponis-koreografer-teoretikus-pendidik, mengajarkan gamelan jogéd di Pagan (Bali 1928, vol. III) dan angklung di Pemogan (Bali 1928, vol. IV), serta memimpin gamelan palégongan Kelandis (Bali 1928, vol. III). Ida Boda pun sangat mengakrabi kelompok cepung Sasak yang direkam di Lombok (Bali 1928, vol. V) dari sekian banyak lawatannya ke sana. Dalam koleksi CD Bali 1928 ini, terdapat beberapa rekaman yang sempat didengar oleh komponis muda dan pianis asal Kanada bernama Colin McPhee (1900-1964) di New York, tak lama setelah peluncuran rekaman-rekaman tersebut.15 Setelah menyimak piringan-piringan hitam Odeon dari tahun 1928 itu, McPhee dan istrinya, antropolog Jane Belo terkesima dan terinspirasi mengunjungi Bali pada tahun 1931, sebuah perjalanan yang justru berkembang menjadi sebuah ekspedisi penelitian selama delapan tahun yang berpuncak pada karya agung McPhee berjudul Music in Bali serta karya-karya Belo bersama Margaret Mead dan Gregory Bateson. Adalah Belo yang kemudian menulis karya penting Trance in Bali.

                                                                                                               dengan editor I Nengah Sukayana (2008). Walau telah diusulkan sedari tahun 1972, sistem ini tidak diterapkan secara teratur dalam penulisan naskah seni, namun kami memutuskan mematuhinya sebaik mungkin demi mencerminkan keterhubungan yang erat dengan aksara Bali. Sebagai contoh, banyak kata yang terucap ‘pe’ atau ‘peng’ dituliskan di sini sebagai ‘pa’ dan ‘pang’. Perlu diperhatikan bahwa pengejaan kata-kata Bali dalam huruf Latin sangat beragam, yang menunjukkan penyesuaian yang berbeda-beda dari naskah berbahasa Bali. 11 Menurut Ida Wayan Padang dan I Wayan Rugeh 12 Menurut I Made Monog, anggota jangér Kedaton sejak tahun 1930-an 13 Menurut Ida Bagus Pujiarsa (1947—) 14 Fleischmann (2007) 15 “Seingat saya, pada tahun 1929, kami di New York berkesempatan mendengar beberapa rekaman pertama dari musik Bali, yang dibuat oleh Odeon dengan arahan dari Walter Spies. Rekaman-rekaman yang kami dengar dibawakan oleh Claire Holt dan Gela Archipenko (istri dari sang pematung) yang baru saja kembali dari Jawa dan Bali…Kami memutuskan untuk berangkat pada musim dingin…Itu terjadi pada tahun 1930-1931…” Belo: Traditional Balinese Culture: 1970: xviii. Tetapi menurut New York Public Library’s Guide to the Holt, Claire, 1901–1970. Papers, ca 1928–1970, kunjungan pertama Holt ke Indonesia adalah pada tahun 1930. Lihat http://www.nypl.org/research/manuscripts/dance/danholt.xml

Page 10: Download (PDF, 3.1MB)

  7  

Setelah empat tahun di Bali, McPhee menulis sebuah artikel berjudul The Absolute Music of Bali untuk jurnal Modern Music di mana ia mengutarakan: “hal yang membuat seorang musisi (Barat) dipenuhi rasa iri dan takjub adalah betapa musik (Bali) memiliki raison d’etre (justifikasi eksistensi) yang sungguh memuaskan untuk hadir dalam masyarakatnya. Para musisi adalah bagian tak terpisahkan dari kelompok sosial, setara pandai besi dan emas, arsitek dan pengarang, penari dan aktor, sebagai bagian dari struktur masing-masing desa. Rendah hati dan sederhana, mereka sangat bangga dengan kesenian mereka, sebuah kesenian yang tanpa kepemilikan diri sehingga komponisnya pun kehilangan identitas pribadinya.”16 Walau pandangan ideal McPhee tentang musik Bali adalah “ketiadaan kepemilikan personal,” dalam pengertian gubahan-gubahan tidak dilekatkan kepada komponis-komponis tertentu, hal ini berkurang pada masa awal tahun 1920-an dan sepanjang perjalanan abad ke-20.17 Linimasa Rekaman Bali 1928

Di tahun 1928, Bali adalah jajahan dari Hindia Belanda (kini bagian dari Republik Indonesia) walau seluruh raja-raja Bali baru sepenuhnya ditaklukkan pada tahun 1908. Kebyar muncul semasa pergantian abad ke-20 di wilayah Buleleng, Bali Utara, yang takluk pada pemerintah Belanda di awal tahun 1849 setelah kekuatan militer yang setia kepada Raja Bali di Lombok bersekutu dengan Belanda dan berhasil membunuh panglima militer dan penasehat utama Raja Buleleng, Gusti Ktut Jlantik, serta Raja Buleleng dan Raja Karangasem, Bali Timur. Pada masa itu, konflik kekuasaan antara delapan raja-raja di Bali memudahkan Belanda untuk mengadu-domba satu kerajaan dengan yang lainnya. Tujuan utama Belanda tentunya adalah penguasaan ekonomi. Untuk membenarkan tujuan itu, Belanda memberikan alasan moral yaitu penghapusan perdagangan budak (yang telah menguntungkan Belanda untuk sekian lama) dan pengorbanan janda berkaitan dengan upacara pembakaran jenazah raja. Satu demi satu kerajaan runtuh diserang Belanda: Lombok pada tahun 1894, Badung (Denpasar) pada tahun 1906 dan Klungkung pada tahun 1908. Masing-masing runtuh melalui “suatu tradisi untuk mengisyaratkan ‘berakhirnya’ sebuah kerajaan,” yang dikenal sebagai puputan. Kata puputan memang berarti “berakhir.” Puputan adalah penanda bagi raja-raja lainnya tentang ajal menjemput, dan suatu cara untuk membebaskan jiwa melalui peperangan sampai titik darah penghabisan.”18 Adrian Vickers melanjutkan, “…Belanda bergerak ke Denpasar. Pada dini hari tanggal 20 September, sang raja berikut keluarga dan ribuan pengikutnya bersenjatakan lengkap, semua berbusana putih-putih, siap menjelang ajal dalam pertempuran, berbaris dan berderap menyambut kedatangan tentara Belanda. Satu demi satu prajurit mengamuk ke garis depan, tak gentar, seolah peluru-peluru Belanda akan terpental dari tubuh mereka.

                                                                                                               16 McPhee (1935: 163) 17 Hildred Geertz (2004) menantang ide tentang anonimitas dengan menunjukkan bahwa pematung-pematung di Batuan dikenal secara perorangan dan diapresiasi selama masa hidupnya untuk karya-karya yang diciptakan untuk kepentingan Pura Desa, namun karena catatan tertulis tidak disimpan, identitas mereka bisa dilupakan dari waktu ke waktu. 18 Vickers (1989: 34)

Page 11: Download (PDF, 3.1MB)

  8  

Tentara Belanda menembaki ‘wanita-wanita dengan senjata tajam terhunus di tangan, tombak atau keris, dan anak-anak dalam gendongan’ yang ‘merangsek maju tanpa takut, mendekati musuh dan menjemput maut’…tidak mungkin menyerah: ‘upaya untuk melucuti mereka hanya berujung kepada bertambahnya korban di pihak kami. Mereka yang selamat berulang kali diteriaki dan dipaksa untuk menyerah, namun sia-sia’. Sang raja, keluarganya dan pengikutnya maju tanpa henti, tak terbendung, membunuh diri sambil mencabut nyawa tentara Belanda yang menghadang derap langkah mereka. Belakangan, pihak Belanda berusaha menutupi jumlah korban yang tewas, walau sedikit di pihak Belanda, lebih dari 1000 orang Bali gugur.”19 Kita hanya bisa menerka tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ledakan artistik sesudah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali. I Nyoman Catra berpendapat bahwa menjamurnya petualangan kreatif saat itu tidak lain adalah pengobatan untuk menyembuhkan masyarakat dari trauma akibat pergolakan sosial dan pendudukan penjajah kolonial.20 Runtuhnya kekuasaan dan lepasnya harta kekayaan dari genggaman kerajaan menyebabkan munculnya desentralisasi dan demokratisasi dalam seni dengan penyebaran ke tingkat banjar. Puput ‘tamat’ juga menyiratkan sebuah permulaan baru. Pada awal tahun 1920-an, bersamaan dengan munculnya mode dan teknologi yang berkaitan dengan modernitas ala Belanda, kunjungan wisatawan Eropa dan Amerika melalui kapal pesiar pun mulai mengalir ke pulau surga ini secara terus-menerus walau masih dalam jumlah yang kecil. Pada awalnya, Bali Hotel yang dibangun pada tahun 1927 merupakan tempat persinggahan bagi para awak kapal Perusahaan Pelayaran Belanda KPM (Koninkelijke Paketvaar Matschappij) yang berlabuh di Bali. Bali Hotel resmi beroperasi pada tahun 1928 setelah diserahkan oleh Pemerintah Belanda kepada pihak KPM21 dan hotel ini berada pada jarak sependengaran dari balé banjar Belaluan yang selalu ramai dengan latihan Gong Belaluan. Bali Hotel pun segera menjadi pusat akomodasi yang sesuai dengan selera tamu internasional. Berbarengan dengan itu semua, inovasi masyarakat Bali terus berlanjut, didorong oleh selera dan hasrat kedaerahan para seniman maupun masyarakat penikmatnya. Menariknya, pada saat yang bersamaan di belahan dunia lain, marching band pascaperang mengilhami lahirnya sejenis musik revolusioner yang menggabungkan matra-matra baru dari kerumitan irama dan melodi, improvisasi, pencampuran dan percobaan kreatif dari jenis-jenis musik sebelumnya. Alat-alat musik yang ditinggalkan dan dibuang pada masa Civil War (Perang Saudara) Amerika Serikat dipunguti oleh para mantan budak yang baru mendapatkan kebebasannya, berujung pada kelahiran musik jazz, yang seperti juga kebyar, menjadi kekuatan musik pada abad berikutnya. Perwujudan dari modernitas Bali yang beragam diwakili dalam kebangkitan jangér,22 khususnya di kalangan remaja. Jangér utamanya dipengaruhi oleh Komedie Stamboel, teater bergaya Eropa-berbahasa Melayu yang pertama kalinya muncul di Surabaya, Jawa

                                                                                                               19 Vickers (1989: 35), dan kutipan tunggal dalam catatan dari kepala staf yang terlibat dalam ekspedisi tersebut seperti tercantum dalam Nordholt (1986: 5) 20 Percakapan (2006) 21 Mardika (2011: 28) 22 Menurut I Made Kredek dari Singapadu, jangér pertama kali muncul pada awal abad ke-20 di Menyali, Bali Utara (Bandem, 2004: 148-52), pandangan ini juga disepakati oleh Gde Budasi dari Menyali (percakapan, 2013).

Page 12: Download (PDF, 3.1MB)

  9  

pada tahun 1891.23 Tampak ‘jinak’ dan ringan untuk orang asing,24 namun sangat dicintai oleh masyarakat Bali sampai masa sekarang, jangér menggabungkan cerita-cerita tradisional nan jenaka dengan lagu-lagu menawan yang dinyanyikan oleh para gadis berbusana tradisional yang ditimpali koor kécak oleh para pemuda yang memakai kostum bergaya Barat, termasuk celana pendek, hiasan tanda pangkat di bahu ‘epaullettes’ dan kumis palsu yang konyol. Jangér (terdapat pada Bali 1928, vol. V) menggabungkan unsur nyanyian dari tari kerauhan Sang Hyang, pantun Melayu, dan cakepung ‘lagu-lagu minum arak’ dengan gamelan geguntangan yang biasanya mengiringi dramatari arja dan juga gamelan tambur yang memakai rebana, kendang yang berasal dari Arab.25 Gerakan-gerakan tangan dan lengan bergaya saman dan saudati ditambah dengan posisi tubuh yang lazimnya diperagakan dalam ritual Muslim Sufi dan tarian lainnya di Aceh, Sumatera Utara, menjadi ciri khas para penari laki-laki jangér. Semua ini menyatu dalam jangér termasuk unsur-unsur tari kuna légong dan dramatari wayang wong yang berdasarkan epos Ramayana, serta akrobat sirkus yang terinspirasi dari kelompok-kelompok seni pertunjukan yang sempat pentas di Bali. Dan sesudah kunjungan aktor dan bintang film Charlie Chaplin ke Bali pada tahun 1932, kumis palsu yang dilukis pada wajah penari kécak pun dinamakan caplin. Menariknya, kebangkitan jangér sepanjang abad ke-20 terjadi kembali di saat ketidakpastian politik dan pergolakan sosial. Cak (kécak) baru muncul sebagai sebuah dramatari yang khas pada tahun 1932 dan berkembang menjadi ‘paduan suara para wanara’ (monkey chant) Ramayana - sebagaimana dikenal oleh masyarakat internasional - walaupun sesungguhnya chorus ‘pengulangan lagunya’ secara tradisi telah mendampingi ritus tari kerauhan ‘kesurupan’ Sang Hyang, dan jangér, ‘saudara sekandung’ kécak yang telah terlebih dahulu tenar. Sebagai sebuah dramatari, cak dikembangkan di Bedulu dan Bona, Gianyar, dan secara bertahap menyebar ke desa-desa lainnya sebagai pertunjukan hiburan bagi wisatawan. Pada tahun 1920-an, gamelan gong kebyar dan tari-tarian yang terkait dengannya mulai terdengar dan ditonton dari Bali Utara sampai ke Selatan; komposisi yang direkam pada tahun 1928 dari Belaluan, Pangkung, Busungbiu, dan Kuta, mencerminkan pergeseran dan perubahan radikal pada kaidah penciptaan dan keindahan seni gamelan dan tari. I Ketut Marya (1897 atau 1898-1968), yang dipanggil Mario oleh Covarrubias dan orang asing lainnya, baru saja menciptakan Igel Trompong (Tari Trompong) dan Igel Jongkok, sebuah tarian yang kelak lebih dikenal dengan sebutan Kebyar Duduk. Dalam catatan McPhee saat pertama kali menyebutkan kebyar ia menuliskan, “Regen Buleleng, Anak Agung Gde Gusti Djelantik, yang pada tahun 1937 bercerita pada saya, menuturkan bahwa penanggalan dalam catatan hariannya menunjukkan gamelan kebyar pertama kali diperdengarkan kepada khalayak umum pada Desember 1915, yaitu pada saat beberapa sekaa gamelan terbaik dari Bali Utara mengikuti perlombaan gamelan di Jagaraga…”26 Sepanjang catatan sejarah, telah banyak perlombaan hebat dalam dunia kesenian Bali, sebagai cerminan dari perilaku jengah, sebuah dorongan ‘tak mau kalah’ dan pemicu

                                                                                                               23 Lihat Achmad (2006: 31) dan Cohen (2006: 21) 24 Covarrubias (1937: 251–255) 25 Percakapan dengan I Made Monog (2007) 26 McPhee (1966:328)

Page 13: Download (PDF, 3.1MB)

  10  

terjadinya praktik-praktik untuk menggunakan hasil karya tandingannya, mengubah, dan mengolahnya sehingga menjadi hasil karya sendiri. Pada masa-masa awal kebyar, sekaa-sekaa kebyar bahkan mengirim mata-mata untuk pergi memanjat pohon di sekitar tempat latihan dalam jarak sependengaran dan sepenglihatan dengan harapan dapat mengetahui ciptaan terkini yang akan dipertandingkan oleh kelompok lawan dalam perlombaan berikutnya. Hubungan persaingan yang ketat juga terjadi antar kelompok jangér, seperti yang terjadi pada desa-desa bertetangga Kedaton dan Bengkel, yang perseteruannya meruncing hingga mencuat ke ranah politik, estetika, dan bahkan sampai pada penggunaan kekuatan ilmu sihir di antara kedua desa.27

Walau persaingan merangsang kreativitas, dunia seni di Bali juga berkembang dari hasil kerja sama yang baik dan erat antara seniman dari berbagai desa dan daerah yang berbeda. Contohnya seperti yang terjadi pada masa awal perkembangan kebyar, di mana seorang pemimpin sekaa gamelan dari Desa Ringdikit di Bali Utara datang mengunjungi Belaluan di Bali Selatan untuk saling bertukar perbendaharaan karya. Alhasil, kebyar Belaluan lebur dengan gaya revolusioner dari Utara, dan Ringdikit mendapatkan pengetahuan karawitan dan tarian légong.28 Bahkan sebelumnya, para ahli légong dari wilayah selatan pergi mengajar ke utara, seperti I Gentih dari Kediri, Tabanan, yang mengajar tari perempuan leko (versi laki-lakinya adalah nandir, dan keduanya diiringi gamelan bambu rindik) di Jagaraga,29 yang mana muridnya, Pan Wandres, mengubahnya menjadi kebyar leko, lalu menjadi kebyar légong, yang turunannya disesuaikan menjadi Teruna Jaya oleh muridnya, Gde Manik dari Jagaraga. Ni Nengah Musti (1934-) dari Bubunan dan belakangan menetap di Desa Kedis, mempelajari kebyar légong dari Pak Gentih, dan menyatakan bahwa ia tidak mendengar penggunaan istilah itu sampai sekitar tahun 1940-an. Malah, istilah yang lebih sering digunakan hanyalah Légong Lasem atau Légong Kapi Raja ‘Raja Wanara’ (sebuah versi cerita Subali-Sugriwa dari kisah Ramayana)30 tergantung pada cerita yang dilakonkan. Nyanyian Puisi dan Kebangkitan Kebyar pada Awal Abad Ke-20

Kebyar muncul ke permukaan pada masa pergantian abad, dan inovasinya berkembang antara 1910 sampai 1915 di Buleleng, sebuah pusat kepemerintahan Belanda di bagian utara Bali. Beberapa sesepuh dari Bungkulan menyebutkan bahwa musik penuh semangat marching band ‘pascaperang’ Belanda telah mempengaruhi selera dan gaya kebyar pada masa permulaannya.31 (Perlu diakui bahwa pengaruh tersebut hanya terbatas pada unsur energinya yang meledak-ledak). Pada akhir abad ke-19, di seantero pulau kita menyaksikan era kreativitas nyanyian puisi geguritan (pupuh) dalam bahasa Bali, mengolah tema-tema sejarah, spiritual, percintaan, dan bahkan juga sosial-politik, yang diungkapkan dalam gaya syair kakawin dalam bahasa Kawi yang digunakan dalam kesusastraan Jawa Kuna. Pada masa pergantian abad ini,

                                                                                                               27 I Made Monog, percakapan pribadi (2007) 28 Covarrubias (1937: 210) 29 Pande Made Sukerta, percakapan pribadi (2006) 30 Versi légong dari cerita Subali—Sugriwa biasanya disebut Kutir atau Jobog. 31 “Menurut beberapa penuturan tetua dahulu, dinamika gong kebyar seperti itu tercipta antara lain akibat pengaruh dinamika marching band Belanda, yang kemudian dipadankan dalam musik gong yang membuahkan gong kebyar seperti kita warisi.” (Sudhyatmaka Sugriwa 2008:72).

Page 14: Download (PDF, 3.1MB)

  11  

meningkatnya ketertarikan akan naskah-naskah kuna telah mendorong tumbuh-suburnya kelompok sastra sekaa papaosan, yang menekankan kemahiran dalam pelantunan bahasa Kawi dan penerjemahannya ke dalam bahasa Bali dengan menggunakan gaya pengucapan dari palawakia (terdapat dalam Bali 1928, vol. II dan vol. V). Palawakia merujuk pada prosa bebas dengan rentangan nada yang lebar dalam bahasa Kawi atau bahasa Bali Alus. Sekaa papaosan dari berbagai desa berkumpul untuk bertanding dengan sesamanya di depan penonton, yang jumlahnya kian hari kian bertambah, pada upacara-upacara agama dan pasar malam. Kadang kala sang juru baca (pangwacen), ‘penembang,’ dan juru basa (paneges) yang menjadi penerjemah duduk di antara ansambel gamelan, sembari melantunkan bait-bait kakawin Bharatayudha (Mahabharata), atau salah seorang penabuh akan menyanyikan kakawin tersebut secara spontan (para penabuh memang dituntut untuk mengakrabi kakawin sehingga mereka dapat mengikuti naskah yang dinyanyikan dengan gending yang mereka mainkan). Gamelan gong yang berdampingan biasanya memainkan selingan-selingan pendek, mulai dari perbendaharaan gending klasik hingga ke alunan gending penuh kekinian yang dikenal sebagai kebyar. Hal paling signifikan adalah ketika seorang penyanyi tunggal akan menyelingi nyanyiannya dengan lantuan melodi-melodi lincah dan penuh gaya, menimpali permainan trompong ‘sederetan gong pencon’. Memang tak pernah jelas sejak kapan permainan trompong melibatkan atraksi memutar-mutar panggul ‘tongkat pendek pemukul’ seperti dalam marching band atau sulap ‘kecekatan tangan’. Tari Palawakia yang dipentaskan dewasa ini bersumber dari kebiasaan tersebut, dan umumnya diakui bermula dari Igel Trompong oleh I Ketut Marya, walau belakangan ini telah muncul pandangan berbeda tentang hal itu.32 Bagaimana pun juga, perlu dicatat bahwa Marya selalu menegaskan bahwa permainan trompong sebelumnya tidak pernah dijadikan tarian, sampai kemudian diciptakan olehnya.33 Memang, ada dua jenis pendekatan dalam permainan Igel Trompong yang berkembang seiring perjalanan waktu: gaya Marya yang mementingkan tarian (dan improvisasi) dibandingkan dengan gaya yang ditenarkan oleh I Nyoman Nyongnyong dari Belaluan, di mana penarinya memainkan bagian-bagian gending yang khas pada trompong yang diselaraskan dengan lantunan gamelan pimpinan Made Regog. Seorang sastrawan terkemuka, I Gusti Bagus Sugriwa dari Desa Bungkulan, mengakui ahli karawitan I Gusti Nyoman Pandji Beloh sebagai seorang penggerak kreativitas di desanya,34 dan tarian kebyar légong sudah disaksikan sejak tahun 1914 di Jagaraga.35 Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa pembaharuan semacam ini sudah berlangsung cukup lama di banyak desa di daerah utara, jauh sebelum sebuah acara yang belakangan disebutkan oleh Regen Buleleng. Sebagai misal, ada juga pernyataan lain yang dilontarkan oleh Wayan Simpen yang amat terperinci:

                                                                                                               32 Simpen (1979) dan Herbst (2009) 33 I Made Bandem, komunikasi pribadi, 2009 34 Sudhyatmaka Sugriwa (2008: 72) 35 Perbincangan I Gusti Bagus Sugriwa dengan I Made Bandem, 1973.

Page 15: Download (PDF, 3.1MB)

  12  

Kira-kira pada tahun 1923, di griya Banjartegeha, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, mengadakan karya (upacara) mengangkat seorang brahmana madwijati, artinya menjadi Pendita. Karena upacara itu besar, maka para sisia yang mempunyai gong maturan, untuk meriahkan upacara itu. Yang maturan ialah sekeha gong Banjartegeha, dan sekeha gong desa Bubunan dari Kecamatan Sririt. Karya diriahkan dengan dua barung gong. Karena itu terjadilah pertandingan (gong mapadu), yaitu gong Banjartegeha melawan gong Bubunan. Oleh karena baru pertama kali ada kejadian pertandingan gong (gong mapadu), maka penonton sangat ramai. Pertandingan itu selama tiga hari siang dan malam. Pertandingan waktu itu, rupanya bukan tabuh (lagu) yang dipertandingkan, melainkan kepandaian orang mabebasan (makekawin). Siapa yang paling banyak mengeluarkan kekawin dengan bermacam-macam wirama dan arti yang tepat, parwa-parwa, tutur-tutur dan kidung itulah yang dianggap menang.

Sekeha gong Bubunan mengeluarkan berbagai permainan, misalnya main sulap. Sekeha gong Banjartegeha mengeluarkan tari duduk. Tarian di gong mula-mula asalnya merupakan suatu gerak seseorang yang mempertunjukkan keahliannya mempermainkan panggul (pemukul) trompong ngelembat di muka, disertai dengan kekawin atau kidung, sambil memukul trompong lambat-lambat, mengikuti irama kekawin itu. Setelah kekawin selesai satu pada (bait), maka disambung dengan tabuh gong pengalang satu pada, yaitu tabuh lelawasan. Kalau masing-masing sudah dapat nabuh sepuluh kali, harus sudah diganti. Demikianlah pertandingan gong itu berlaku berganti-ganti…Mulai pada waktu itulah ada pertandingan gong (gong mapadu) mabebasan yang besar sekali pengaruhnya pada masyarakat di Buleleng dalam seni sastra.36

Walter Spies dan Beryl de Zoete menggambarkan tari kebyar légong di Menyali, Bali Utara, pada tahun 1930-an sebagai sesuatu yang “disebarkan berbarengan dengan pelantunan kakawin (naskah Jawa Kuna) yang telah secara mapan mengiringi tari kebyar jauh ke selatan sampai Tabanan.”37 McPhee juga dengan teliti mengingat sebuah acara di Buleleng:

Tetapi kebyar juga dapat diperpanjang menjadi sebuah hiburan yang tidak hanya berupa tarian dan selingan tabuh, tapi juga nyanyian dan lantunan sastra klasik. Sinopsis berikut tercatat pada tahun 1938 dalam sebuah penampilan gamelan di pasar malam Singaraja, Bali Utara. Tiket masuk dikenakan untuk memasuki arena yang dipenuhi oleh warung-warung, hiburan ‘dagang obat’,

                                                                                                               36 Simpen 1979, “Sejarah Perkembangan Gong Gede”, naskah dikirim kepada Harian Umum Bali Post, 19 Desember 1979. 37 De Zoete dan Spies 1938:238.

Page 16: Download (PDF, 3.1MB)

  13  

kios-kios barang antik, dan meja-meja judi kecil. Di sekeliling perangkat gamelan yang lengkap, sekelompok penonton duduk tenang, terkagum-kagum selama hampir dua jam. Pertunjukan tidak diawali dengan gelegar dari kebyar seperti biasanya, namun justru diawali oleh dentingan lembut tabuh pembuka yang kemudian diikuti lantunan nyanyian tanpa iringan oleh seorang juru kidung pria yang sangat terlatih, melagukan sebuah kisah Mahabharata. Setelah selingan tabuh singkat mengantar pelantunan syair-syair tersebut, kebyar yang dinanti-nanti pun bergemuruh.38

Sejalan dengan berkembangnya gaya ciptaan di atas panggung dan memanasnya suasana persaingan di antara sekaa gamelan di berbagai desa dan wilayah, maka berkembanglah seperangkat gamelan baru untuk menampung gagasan-gagasan segar yang bermunculan. Gangsa mulai digantung di atas penguat suara (resonator) bambu mengikuti gaya gendér palégongan ‘alat gamelan pukul berbilah perunggu untuk mengiringi perbendaharaan tari légong’ dan gangsa angklung dibandingkan dengan gaya gangsa jongkok39 (yang bersandar langsung pada pinggiran kayu dengan bantalan karet atau jerami di masa lalu). Pembaharuan ini menghasilkan getaran nada-nada lebih panjang dan berkembangnya cara-cara baru memainkan bagian-bagian ritmis dari gending. Beberapa ansambel kebyar, terutama di Buleleng, Bali Utara, bertahan memainkan gangsa jongkok gaya lama (pacek) untuk membedakan gaya perkusi mereka dengan daerah lain (simak karya-karya sekaa Busungbiu dalam Bali 1928, vol. I Gamelan Gong Kebyar). Baik pada pacek maupun gantung, meningkatnya jumlah bilah nada-nada utama gangsa pemadé (gangsa bernada menengah) dan kantilan (gangsa bernada tinggi), memungkinkan terjadinya perluasan pada cakupan nada-nada kebyar. Trompong berupa barisan pencon perunggu yang hanya dimainkan oleh satu orang kini dikeluarkan dari kesatuan gamelan, sedangkan jajaran réyong berkembang dari empat menjadi dua belas dan dimainkan oleh barisan empat pemain yang duduk berdampingan. Jumlah dan ukuran céngcéng semakin dikurangi, sementara jumlah gangsa kian lama kian bertambah. Perlu diperhatikan pada rekaman gamelan Belaluan dan Pangkung di sini, sepertinya mereka hanya menggunakan dua gangsa pemadé dan dua kantilan. Hal ini terjadi entah karena skala peralatannya sengaja diperkecil agar terdengar lebih jernih pada rekaman audio, atau juga mungkin pada tahun 1928 memang belum terjadi penambahan jumlah pada bagian gangsa (empat pemadé, dan empat kantilan). Jenis atau gaya baru pada kebyar banyak diturunkan dari dua gaya tradisional, yaitu gamelan gong gedé dan palégongan, dengan tambahan pengaruh irama dan susunan nada-nada dari gendér wayang, gambang, dan angklung. Menurut I Wayan Begeg (1919-2012), istilah kebyar pertama kali digunakan di Pangkung pada tahun 1920 yang berarti ‘krébék’, mengacu pada suara gemuruh dan kilatan petir dalam bahasa Bali. Berdasarkan hasil pembahasan, kami mendapat gambaran bahwa krébék atau kilat merupakan penafsiran paling umum dari kata onomatopoetis ‘byar’.40 Kata                                                                                                                38 McPhee (1966:343) 39 Istilah yang biasa dipertukarkan dengan gangsa jongkok adalah gangsa pacek ‘pasak,’ penggambaran pasak yang menembus dua lubang pada masing-masing bilah agar tetap terpasang di tempatnya. 40 Jika byar ditujukan bagi sebuah kekuatan ledakan dalam arti yang luas, maka ia juga sebenarnya merupakan sebuah istilah yang menggambarkan sebuah kekuatan yang khusus seperti yang dijelaskan oleh Tenzer (2000:25) : ‘‘...byar is actually a tutti sforzando in which all of the bronze-keyed metallophones play

Page 17: Download (PDF, 3.1MB)

  14  

tersebut juga ditafsirkan sebagai “pijar cahaya dari menyalakan korek api atau saat menekan tombol lampu listik.41 McPhee pernah menulis, “kata tersebut pernah dijelaskan kepada saya sebagai pemunculan tiba-tiba, seperti pada ‘bunga yang tiba-tiba mekar.”42 Tetapi terkait dengan percakapan yang sebenarnya terjadi, ia menulis, “Bagi Chokorda Rahi, memang nampak dan rasanya seperti sepucuk bunga yang mekar secara tiba-tiba…,” yang lebih cenderung merupakan kesan dibandingkan pendapat pribadi mengenai makna sebenarnya dari kata kebyar. Untuk membedakan kebyar dengan gaya gamelan sebelumnya, Begeg menjelaskannya sebagai permainan gamelan yang ‘keras dan bersama-sama’. Di daerah Bali Selatan, kata yang biasa digunakan sebelum adanya kata kebyar adalah babantiran atau ‘menirukan gaya Bantiran’, sebuah daerah di wilayah barat laut. Sementara di lain pihak, Bandem berpendapat bahwa mabantir di sini sebagai kata kerja yang artinya ‘muda’, mengacu pada gendingnya yang dimainkan dengan ‘jiwa muda’ atau ‘jiwa baru’.43

Jaap Kunst, yang mengadakan penelitian di Bali pada tahun 1921 dan 1924 (karyanya adalah ‘De Toonkunst von Bali’, 1925), tidak pernah menyebutkan kata kebyar, namun ia pernah menyebutkan pertunjukan gamelan bernama mabantir. Bandem meyakini bahwa sampai tahun 1950-an di kabupaten Gianyar maupun Tabanan, kata kebyar saat itu masih sangat jarang digunakan, lebih jarang daripada kebyang. Ia masih mengingat ketika ia mempelajari tari Kebyar Duduk di Peliatan pada tahun 1958, Marya dan A.A. Gede Mandera masih menyebut tarian tersebut pangeléban gong kebyang, dengan pangeléban yang berarti tarian pembuka légong.44 Menurut pernyataan I Nyoman Rembang,45 tahun 1919 adalah saat pertama kalinya gamelan gong kebyar dimainkan dalam sebuah upacara pembakaran jenazah ‘plebon’ di Puri Subamia, Tabanan, oleh para penabuh Desa Ringdikit, Bali Utara. Kesalahpahaman seringkali terjadi selama beberapa tahun awal karena permainan gamelan kebyar atau kebyang sering kali disebut gong Bantiran, yang arti sebenarnya adalah ‘gaya dari Bantiran’ atau ‘berasal dari Bantiran’.46 Orang banyak salah mengartikan istilah ini dan menyangka bahwa nama ini mengacu kepada para penabuhnya yang diperkirakan benar-benar berasal dari Bantiran. Kronologi yang disusun oleh Rembang menjelaskan bahwa sesaat setelah upacara plebon yang diceritakan di atas, Marya mulai mengembangkan tarian improvisasi dengan iringan kebyar selagi mengajar tari di Desa Busungbiu dan Pangkung. Seperti yang diceritakan oleh banyak orang (termasuk oleh Wayan Begeg), saat itu Marya

                                                                                                               the same scale tone, each in its special register, so that together the more than four octaves of the gamelan’s tuned gamut is spanned. Additionally, the reyong, a set of twelve horizontally mounted knobbed gong-chimes played by four musicians, strikes a set of eight tones spanning over two octaves in the mid-to-upper register. The largest hanging gong, the cymbals, and a deep-pitched drum are sounded too, blending with the reyong and metallophones to produce a sonority that can extend for more than five octaves—from the deepest gong to the smallest, highest metallophone, and farther if the prominent upper partials are counted in.” 41 Simpen (1979: 2) 42 McPhee (1966: 328). Ia mendengar ini di Peliatan (1946: 159) yang baru belakangan mendapat pengaruh kebyar. 43 Bandem (2006: 3) 44 Komunikasi pribadi (2009) 45 Bandem (2002: 6) 46 Bandem (2006: 5)

Page 18: Download (PDF, 3.1MB)

  15  

berjalan melalui sebuah latihan jogéd yang diiringi gamelan bambu, di mana penari wanitanya masing-masing ditemani menari oleh salah seorang penonton pria. Para penabuh kemudian memanggil Marya untuk bergabung dengan latihan tersebut, dan ia pun serta-merta menari, menggabungkan lakon wanita dan pria yang melibatkan adegan-adegan ngibing ‘saling goda’. Persuaan informal dan lincah semacam inilah yang menggiring berkembangnya berbagai interaksi dengan gamelan kebyar. Berbagai kronologi dan narasi sejarah datang silih berganti. Perlu dicatat bahwa Wayan Simpen (kelahiran tahun 1907) memberi sejumlah masukan alternatif ke dalam naskah yang dikutip di atas, yang sesungguhnya merupakan artikel yang tidak sempat dipublikasikan oleh surat kabar Bali Post pada tahun 1979. Pernyataan yang disampaikan Simpen melalui wawancara dengan Raechelle Rubinstein pada tahun 1980 ini dipastikan kebenarannya, setidaknya sebagian, oleh Gde Manik (1912-1984), seorang penari dan ahli karawitan terpandang. Penegasan ini memberi kebenaran kepada pernyataan Simpen, karena Manik berasal dari Jagaraga dan biasanya lebih mendukung teori yang berasal dari daerahnya sendiri. Gde Manik tampil dalam banyak perlombaan kakawin sebagai penari utama dan mengakui Bubunan sebagai yang pertama kali memiliki kebyar légong. Rubinstein mengartikan penjelasannya sebagai berikut: “Pertama-tama ia mengatakan bahwa (tarian) itu berasal dari Busungbiu, namun berkaca pada (kejadian) ini, ia mengubah pikirannya menjadi Bubunan. Ia sangat yakin bahwa itu berawal di Bubunan.”47 Simpen mencatat bahwa Bubunan adalah desa pertama yang menciptakan atau mencetuskan sebuah komposisi kebyar. Ida Bagus Surya diakui sebagai pimpinan kelompok gamelan Bubunan, dengan dibantu I Nengah Dangin, seorang ahli sastra kakawin, penerjemahnya, dan juga penari. Simpen meneruskan penjelasannya tentang tarian dari Bubunan pada acara tahun 1913 itu dengan amat terperinci, termasuk tentang ‘tari lepas, sambil duduk’ yang dipenuhi gerakan berputar-putar sambil duduk, menggunakan kipas, dan menari di antara gamelan.48 Ia menggambarkan bahwa gending yang dimainkan termasuk océt-océtan dan cacandétan, sebuah gaya baru kebyar yang nada-nadanya saling-kait penuh sinkopasi. Simpen mengakui Busungbiu sebagai pencipta kebyar berikutnya di dauh enjung (daerah barat) Singaraja, diikuti oleh Ringdikit, Kedis, Bantiran, dan dangin enjung (daerah timur) sampai ke Jagaraja dan Sudaji.49 Ia menyatakan bahwa para penari Ringdikit-lah yang pertama kali mengganti gerakan dari jongkok ke posisi berdiri ‘seperti légong’ dengan dua orang menari bersama. Sebuah pandangan tambahan terdapat dalam artikel yang ditulis oleh Sudhyadmaka Sugriwa dengan informasi dari ayahnya, I Gusti Bagus Sugriwa, seorang ahli sastra. “Ada catatan yang menunjukkan bahwa di Bali Utara sajian gong kebyar dimainkan untuk mengiringi tarian telah terjadi sekitar tahun 1914. Percobaan ini dicatat oleh ayah penulis di mana (tahun 1914) seorang penari bernama Ngakan Kuta secara langsung, tanpa persiapan menari mengikuti tabuh-tabuh gong kebyar. Begitu tabuh dimulai, Ngakan Kuta pun mulai

                                                                                                               47 Raechelle Rubinstein, melalui korespondensi e-mail pribadi (2008) 48 Tari lepas adalah istilah yang mengacu pada tari-tarian di abad ke-20 yang tidak berupa pertunjukan dramatis. 49 Simpen (1979: 3)

Page 19: Download (PDF, 3.1MB)

  16  

menari dengan intuisi sendiri. Bukan main. Itulah awal dari gong kebyar yang disertai oleh peragaan tari.” 50 Pande Made Sukerta melakukan beberapa wawancara di wilayah utara, dan menggambarkan bahwa proses penciptaan ansambel gong kebyar pada awalnya dilakukan di daerah Ringdikit, Bubunan, dan Busungbiu, lalu diikuti oleh Gobleg, Bungkulan, Sawan, Kalianget, dan Seririt. Sesaat sesudahnya, Bantiran di Tabanan, menjadi poros berikutnya yang menyebarkan kebyar ke Pangkung dan Bali Selatan.51 Arthanegara mengenali kejadian yang berkaitan dengan gong kebyar Bantiran di Puri Subamia pada tahun 1908 tapi tidak menyebutkan apa pun tentang upacara plebon (barangkali upacara itu telah dilakukan sebelumnya?), sambil menambahkan bahwa kelompok gamelan dari Pangkung sudah lebih dahulu membawa seorang guru kebyar dari Pujungan pada tahun 1910. Ia pun mengakui I Wayan Sukra (dari Mel Kangin, Tabanan) sebagai pencipta lagu Igel Trompong dan Igel Jongkok (yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kebyar Duduk) pada tahun 1915.52 Dalam sebuah diskusi dengan Wayan Begeg dari Pangkung, ia menyetujui dua penanggalan cerita yang disebutkan di atas (karena mungkin ia merupakan sumber asli dari kronologi yang ditawarkan Arthanegara tadi),53 namun ia menyebutkan bahwa Gong Bantiran dalam upacara kremasi di Puri Subamia terjadi pada tahun 1913 atau 1915. Begeg juga meyakini bahwa Marya menarikan Igel Trompong pada tahun 1915 (menciptakannya bersama gubahan gamelan Sukra) dan Igel Jongkok pada tahun 1919 atau 1920 juga dengan gubahan karya Sukra (1894-1960) dan Wayan Gejir. Kebyar menyukai kejutan-kejutan pada irama, perpindahan tempo, perhentian yang tiba-tiba, perubahan tema yang silih-berganti dalam satu karya; sangat kontras dengan perbendaharaan tradisional dari gong gedé yang secara kolotomis (pemangku irama) lebih ajeg dan terstruktur. Gamelan dari Buleleng unggul dalam dinamika dan kontras sejalan dengan penyebaran kebyar ke seluruh Bali, sementara itu gaya Bali Tengah muncul dengan pengaruh kuat dari Belaluan, Denpasar54 dan Pangkung, disusul kemudian dengan meningkatnya keunggulan yang setara oleh Peliatan pada tahun 1929. Menurut pengamatan Wayan Beratha baru-baru ini, cara pukul di Belaluan lebih cepat daripada di Pangkung, dan di Peliatan bahkan lebih cepat lagi.55 Pelakonan silang-watak wanita-pria mulai berubah sejalan dengan kemampuan para perempuan memainkan karakter pria halus pada dramatari arja dan jangér, yang sebelumnya hanya ditarikan oleh laki-laki saja (pria masih mendominasi peran wanita dalam tarian gambuh hingga tahun 1960-an). Marya dahulu dilatih untuk menari pria pada

                                                                                                               50 Sudhyatmaka Sugriwa (2008: 74) 51 Sukerta (2004: 513) 52 Arthanegara 1980:73 53 Perlu disebutkan bahwa isi riwayat hidup seniman seringkali tidak konsisten dan tidak bisa diandalkan bila berkaitan dengan tanggal lahir untuk generasi itu, dan penanggalan dari suatu kejadian biasanya merupakan sebuah tebakan. Kami menyertakan tanggal lahir mereka apabila memungkinkan, berusaha memperjelas masa hidupnya dengan keluarga-keluarganya dan mengecek silang pada sumber-sumber lain, karena informasi ini bagian dari narasi pengungkapan sejarah dan jalan cerita yang penting tentang sebuah inovasi kreatif. 54 Pada saat itu nama Denpasar dan Badung sering dipertukarkan. Sekarang mereka menjadi dua kota-kabupaten yang berbeda. 55 Wayan Beratha, percakapan pribadi (2009)

Page 20: Download (PDF, 3.1MB)

  17  

jauk dan baris sebagai materi tambahan selain gandrung (versi laki-laki dari jogéd) dan juga berlatih peran wanita sisia untuk drama magis Calonarang. Dalam menciptakan Igel Trompong dan Kebyar (Igel Jongkok), ia membuat gaya banci sebagai gabungan dari kualitas perempuan dan laki-laki. Ini sangat kontras dengan gandrung yang penari laki-lakinya terlihat sangat mirip dengan perempuan - bahkan sampai menimbulkan berahi bagi penonton lelakinya (terdapat dalam Bali 1928, vol. III sebagai cuplikan video), atau bahkan dalam gambuh, jangér, dan arja, di mana para lelaki memerankan tokoh perempuan. Jadi, ide Marya untuk memunculkan gaya banci sama sekali tidak aneh, bahkan dapat dikatakan pembaharuan dalam cara barunya meleburkan karakter pria dan wanita. Yang menarik, gendér wayang pada masa tersebut juga dipengaruhi oleh kebyar dengan pembukaan dan perhentiannya yang lincah, menciptakan gaya abad ke-20 dari jenis gamelan tersebut, sesuai penuturan I Wayan Konolan (1923-2008) dari Desa Kayumas dan juga I Wayan Loceng (1926-2006) dari Sukawati. Saling pengaruh yang sama juga terasa antara kebyar dengan gamelan angklung.56 Menurut komponis I Wayan Beratha, salah satu aspek yang paling penting dalam Kebyar Ding adalah pembaharuan ‘ngucek’, sebuah teknik permainan ucek-ucekan atau kembangan irama gending yang cepat. “Ngucek berasal dari gerakan bergesek maju mundur, seperti saat mematikan rokok, mengucek mata yang kelilipan, atau menggosok-gosokan batang kayu supaya menghasilkan api. Teknik ngucek digunakan sebagai peralihan untuk memasuki gending baru dalam kebyar. Kebyar Ding diwarnai oleh pola-pola teknik ngucek, yang menjadi karakter khas untuk mengidentifikasi kebyar.”57 Sebagai peralihan tematik, ucek-ucekan menyela dan memutus irama dan alunan nada-nada konstan dari tema sebelumnya dengan bagian iramanya yang tidak ajeg. Walaupun sesungguhnya ngucek bermakna permainan kembangan yang cepat, para penabuh seringkali menyebutkan ngucek atau ucek-ucekan secara lebih luas untuk bagian-bagian gending atau tema tambahan yang mengandung beberapa jenis atau seri kekembangan. Apa yang kami dengar dalam rekaman ini memastikan bahwa ucek-ucekan ini membangun keseluruhan gubahan. Sebuah entitas yang sangat kuat, keberadaan ucek-ucekan membantu terbangunnya sebuah ekspresi revolusioner dengan polah yang mengalir rumit: seperti menyeka, menghapus, mengucek, dan membersihkan mata dari gangguan asap – lalu secara musikal, dalam permainannya, dihentikan sementara, menarik perhatian, memancarkan kekuatan, mempercepat, dan mendorong maju, bergerak ke depan. Bandem (2006: 2) menggambarkan sebuah kesepakatan umum dalam mengungkap gaya khas kebyar yaitu sebagai irama sinkopasi ucek-ucekan, kadensa-kadensa ‘permainan alunan nada-nada yang lepas dari ketukan ajeg’, irama permainan berbarengan, serta cara permainan khusus oleh réyong seperti irama saling-kait ubit-ubitan,58 kenyaringan dan

                                                                                                               56 Ornstein (1971: 360) 57 Wayan Beratha, percakapan pribadi (2003) 58 Tenzer 2000: 455 mengartikan ubit-ubitan sebagai, “Jenis kotékan saat polos dan sangsih dalam sinkopasi (saling sahut) dan berbarengan dalam interval pewaktuan yang ganjil.” Ia mengartikan kotékan sebagai “bagian-bagian melodi saling-kait, terutama dimainkan oleh kantilan dan pemadé; irama gabungannya secara khas membagi ketukan menjadi empat bagian.” Polos adalah “satu dari dua kembangan tambahan, permainan yang mengikuti melodi secara lekat.” Dan sangsih dijelaskan sebagai, “(Berbeda, tambahan). Dari kedua

Page 21: Download (PDF, 3.1MB)

  18  

kemerduan baru dari paduan nada byong, pukulan byok atau byot yang diredam, dan suara-suara tanpa titinada kécék-kécék yang dihasilkan oleh pukulan pada bagian pinggir alat gamelannya. Sebuah potongan cerita tentang latihan Gong Belaluan ditemukan di antara catatan Colin McPhee di Arsip Etnomusikologi UCLA:

Saya menemukan di antara catatan-catatan saya sebuah tulisan tentang latihan sebuah sekaa gamelan yang saya saksikan pada minggu pertama saya di Bali. Kelompok itu adalah kelompok Kebyar dari Badung, salah satu organisasi yang paling terkemuka di pulau tersebut. Ketika saya datang, para penabuh sedang memainkan nada tercepatnya. Tiba-tiba mereka berhenti. Pemain kendang pertama, yang sepertinya pimpinan kelompok itu tampak tidak puas. Para penabuh réyong memainkan alatnya sendiri dengan sebuah permainan yang rumit, terdengar eksperimental. Penabuh gangsa lalu masuk. Pemain kendang pertama memberhentikan mereka kembali. Dia menginginkan pemain gangsa di barisan pertama untuk bermain sendiri. Ah! Seseorang salah memainkan nada! Siapa itu? Masing-masing harus memainkan potongannya sendiri-sendiri. Nada yang salah akhirnya dapat ditemukan pada pemain ketiga yang keliru mengartikan melodi. Sebuah diskusi dan klarifikasi. Begitu saja? Pemain kedua masuk menunjukkan permainannya pada sang pemimpin. Ya! Jawabnya, semua benar. Mari teruskan. Orkestra itu dimulai kembali. Sebuah irama enerjik kini terdengar dari tiga set simbal, keras dan naik-turun. Tiba-tiba orkestra kembali dihentikan. Para pemain simbal telah memainkan sebuah irama satu kali lebih banyak dari seharusnya. Pemain kendang pertama menjelaskan. Ia kini ingin mendengar permainan réyong sekali lagi, setiap penabuh sendiri-sendiri. Mereka memainkan sebuah potongan yang rumit, awalnya perlahan, dan dengan hati-hati meningkat sampai kecepatan sangat tinggi. Bagus! Lanjutkan! Penabuh lainnya kembali mengikutinya. Stop! Gangsa lagi! Main sendiri-sendiri! Tidak, itu salah! Setiap penabuh main secara terpisah. Nomor tiga salah lagi (sepertinya dia baru). Pemain kendang itu mendekati instrumen tersebut, memainkan gending untuknya. Ia memainkannya secara terbalik karena dalam posisi yang berhadapan dengan si penabuh, nada rendah berada di sebelah kanannya. Pemain kendang kedua kini mendekati pemimpin penabuh gangsa dan mengajarkan sebuah bagian baru. (kelihatannya baru, melihat ekspresi dari sang penabuh). Keduanya berlatih bagian sulit ini selama kira-kira 10 menit,

                                                                                                               kembangan tambahan, bagian yang menambah keterhubungan vertikal tingkat kedua ke, dan/atau terkunci dengan polos.”

Page 22: Download (PDF, 3.1MB)

  19  

meneruskannya pada kelompok penabuh gangsa. Akhirnya potongan tersebut dapat dipelajari, dan orkestra pun dimainkan kembali. Belakangan, saya berbicara pada sang penabuh kendang, yang ternyata adalah Regog, yang terkenal atas komposisi kebyarnya, menanyakan apa nama karya yang mereka mainkan tadi saat latihan. Ia menjawab bahwa itu belum bernama karena masih dalam proses komposisi. Kalau sudah selesai, barulah mereka akan menamainya. (Pada suatu waktu Regog pernah memimpin gamelan hanya dengan tangan kanannya. Saya tak pernah melihat hal tersebut dilakukannya kembali).59

Di abad ke-21 ini, kami menemukan rasa ingin tahu yang tinggi di Bali terhadap masa lalunya, berusaha menemukan apa yang sesungguhnya penting dalam kebudayaan Bali. Minat yang begitu tinggi, yang belum pernah ada sebelumnya, terhadap rekaman-rekaman bersejarah ini di antara para penabuh, penari dan penyanyi, baik muda dan tua, kian membesarkan hati kami dalam mengerjakan – selama bertahun-tahun dan lintas benua - sebuah proyek repatriasi ‘pemulangan kembali’, mencari arsip-arsip yang tersebar dimana-mana untuk membantu masyarakat Bali masa kini dalam memperoleh dan menikmati kembali kejayaan kesenian masa lampau mereka.

                                                                                                               59 Atas kebaikan Arsip Etnomusikologi UCLA dan Colin McPhee Estate.

Page 23: Download (PDF, 3.1MB)

  20  

Gamelan Bali

Gamelan, mengacu pada ansambel yang terdiri dari selusin atau lebih alat gamelan Bali, berasal dari kata ‘gambel’ atau memegang. Cara penulisan Bali-nya adalah gambelan (menunjukkan cara pengujarannya dalam bahasa Bali), tapi kebanyakan penulis menggunakan cara penulisan dalam bahasa Indonesia yang lebih dominan dan dikenal. Masyarakat Bali membedakan antara gamelan krawang, perangkat gamelan perunggu yang dirakit oleh pandé krawang ‘ahli perunggu’ dengan gamelan yang terbuat dari bambu. Sebagai tambahan, ada juga perangkat gamelan yang lebih kuna dan terbuat dari besi namun kini jarang digunakan, yaitu gamelan slonding. Kekhasan gaya-gaya gamelan yang terkenal di Bali mengutamakan denting dan getaran suara yang halus dari gong, gong pencon, dan perangkat tabuh berbilah perunggu datar (atau tepatnya bertepi miring) yang disangga di atas penguat suara (resonator) bambu, yang secara umum mempunyai rentang nada sebesar empat sampai lima oktaf. Gamelan Bali berbeda dengan tetangganya, Jawa, karena mengandung unsur bunyi meledak-ledak, kecepatan yang tinggi, dan pola gending yang dinamis.

Page 24: Download (PDF, 3.1MB)

  21  

Salah satu unsur unik dari gamelan Bali adalah sistem pelarasan yang sangat tepat dari ombak ‘dengung akustik’ atau ‘getaran’ yang mempengaruhi dan menghasilkan dentingan khas gamelan Bali. Setiap alat gamelan disusun berpasangan, dengan setiap nada dari pangumbang (ngumbang berarti lebah), disetel lima sampai delapan getaran per detik lebih rendah dari pasangannya ‘pangisep’ (diambil dari kata ngisep atau menghisap); pengistilahan yang berhubungan dengan aktivitas lebah madu.60 Menurut pandé krawang yang bernama Pan Santra (Pande Made Sebeng, putra dari Pande Aseman) dari Tihingan dan Pande Made Gableran dari Blahbatuh,61 kebyar disetel dengan perbedaan delapan getaran per detik, menghasilkan getaran berketukan cepat yang konsisten bahkan dalam permainan yang perlahan, liris, dan melodis. Gendér wayang disetel lima sampai enam ombak per detik dan palégongan pada enam atau tujuh ombak per detik. Perbendaharaan lagu-lagu dan perangkat gamelan dikaitkan dengan pelbagai upacara, tarian, dramatari, atau kegiatan hiburan tertentu. Gamelan biasanya menggunakan oktaf lima-nada, entah itu dilaras dengan setelan saih gendér wayang (yang berhubungan dengan sléndro Jawa), saih angklung empat-nada yang khas untuk gamelan angklung, atau saih selisir yang disebut juga pelarasan pagongan (berhubungan dengan pélog Jawa) yang digunakan oleh kebanyakan jenis-jenis tabuh seperti kebyar, palégongan, dan gong gedé. Selisir sebenarnya adalah salah satu dari lima laras yang bersumber dari sistem saih pitu (deretan tujuh-nada) yang masih digunakan oleh gamelan-gamelan kuna dan pelbagai ansambel yang mulai jarang terdengar misalnya gamelan gambuh, sebagian dari semar pagulingan, gambang, slonding, luang, gamelan saron, dan beberapa inovasi lainnya dari saih pitu yang kini mulai bangkit kembali.62 Komposisi-komposisi yang bersumber dari pelarasan-pelarasan ini sebagian terbatas pada sistem lima-nada per oktaf (misalnya kebyar atau palégongan), atau sebagai enam atau tujuh-nada per oktaf. Suling bambu menambah nuansa tinggi-rendah nada dan warna suara, begitu juga penyanyi atau juru tembang yang mungkin ikut mengiringi gamelan. Bahkan, dalam beragam jenis nyanyian terdapat pelarasan tak bernama lainnya yang luar biasa, menggunakan lebih banyak lagi nada per oktaf termasuk nada-nada berjarak rapat yang kaya. Walaupun istilah Jawa seperti ‘sléndro’ dan ‘pélog’ telah disebut dalam lontar-lontar Bali seperti Prakempa dan Aji Gurnita (diperkirakan ditulis pada abad ke-19)63, pengistilahan tersebut baru digunakan secara umum pada tahun 1960-an, setelah diperkenalkan oleh I Nyoman Rembang, I Gusti Putu Made Geria dan I Nyoman Kaler yang merupakan para ilmuwan dan akademisi di Konservatori Karawitan (KOKAR), yang semuanya pernah mengajar di Konservatori Karawitan (KOKAR) Surakarta, Jawa Tengah. Sebelumnya, masyarakat Bali lebih sering menyebut sléndro sebagai saih gendér (wayang) atau saih angklung dan menyebutkan secara khusus nama suatu saih, patutan, atau tekep, misalnya selisir, untuk menguraikan laras sebuah gamelan gong atau palégongan.64 Hal ini terjadi sebagian karena pemahaman bahwa laras selisir untuk gong kebyar telah                                                                                                                60 Sebuah pengertian tambahan dan umum dalam kegiatan menciptakan karya tabuh adalah ngumbang ‘keras’ dan ngisep ‘senyap, lembut’ 61 Keduanya percakapan pribadi (1972 dan 1980) 62 Lihat Vitale (2002) dan McPhee (1966: 36-55) 63 Bandem (1986) 64 Percakapan pribadi: I Made Lebah dan I Nyoman Sumandhi (1980); I Wayan Sinti (1974 dan 2008)

Page 25: Download (PDF, 3.1MB)

  22  

mengungguli kepekaan intonasi masyarakat Bali dan secara umum penamaan pélog telah menjadi sinonim dengan pelarasan ini. Ada sebuah kecenderungan yang berlaku di antara para seniman dan pendidik untuk menjauhkan diri dari istilah pélog dan sléndro agar tidak terjadi penyeragaman, dan agar berbagai macam penadaan terus dikenal dan dipelajari. Bahkan sampai tahun 1970-an, ada pandangan umum yang mengatakan bahwa tidak ada dua set gamelan Bali yang sama persis. Walau kekhasan daerah mulai luluh dan hilang mengikuti penyeragaman yang meliputi gamelan kebyar dan genre-genre lainnya – akibat pengaruh akademi-akademi seni dan perhelatan tahunan Pesta Kesenian Bali – sesungguhnya ciri khas penadaan dalam berbagai gamelan Bali masih subur. Kumpulan alat-alat gamelan yang unik termasuk gong, gong pencon, kendang ‘drum berkepala dua dan berbentuk tabung’, dan gangsa ‘alat gamelan berbilah perunggu datar’ yang berhubungan dengan gaya gamelan Bali dan Jawa sepertinya berkembang semasa pendirian candi Buddha Borobudur di abad ke-9 dan kedatangan ekspedisi Belanda pertama pada tahun 1595. Nyoman Rembang (1973: 42) mengelompokkan generasi gamelan “tua” termasuk gambang, luang, slonding, gendér wayang, angklung, saron (caruk) dan sebagainya. Rembang lanjut mengungkapkan bahwa masa kesejarahan setelah penaklukan Bali oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1342 merupakan periode “madya” yang mencapai puncaknya pada masa keemasan Gelgel yang berlangsung dari tahun 1500-1651. Masa kekuasaan Raja Waturenggong (Baturénggong) pada pertengahan abad ke-16 menghasilkan jalinan kerjasama dengan pendeta termasyhur bernama Nirartha. Jenis-jenis karawitan yang tumbuh subur pada kurun waktu tersebut termasuk gambuh, Semar Pagulingan, palégongan, bebarongan, bebonangan, gong gedé, dan gandrung (jogéd pingitan). Klasifikasi gamelan “baru” oleh Rembang termasuk gong kebyar, jangér, jogéd bumbung, gong suling, dan angklung lima-nada yang berbilah enam atau tujuh. Secara garis besar, gamelan Bali disusun sebagai tingkatan-tingkatan instrumentalia yang kisarannya mencapai lima oktaf:

a. Dasar alunan nada-nada berkisar antara satu sampai satu-setengah oktaf. b. Artikulasi pada interval waktu yang teratur dari melodi dasar, umumnya setiap

empat nada. c. Ekspresi rangkaian nada-nada penuh, berkisar antara dua sampai tiga oktaf. d. Penggandaan dan penyingkatan berlaku dalam oktaf di atas. e. Kembangan pada alunan nada-nada. f. Penandaan terhadap rentang waktu yang panjang (fungsi umum dari gong) g. Permainan kendang, yang dilakukan oleh satu atau dua orang penabuh

menggunakan telapak tangan atau sebuah alat pemukul menjadi pimpinan dari sekaa dan menyediakan nuansa ritmis baik penggerak, pendorong maupun berdiri sendiri.

Evan Ziporyn mengomentari penggolongan di atas: “b, d, e, dan f adalah aspek-aspek dari sebuah prinsip pengaturan utama, sebagai contoh, susunan atau hitungan dari melodi pada setiap tingkatan permainannya. Sesungguhnya gending merupakan satu keutuhan melodi, entah kemudian diubah atau dikembangkan ke dalam berbagai oktaf. Jadi, gending tidak bisa diuraikan sebagai homofonik atau polifonik - gending merupakan serangkaian nada-

Page 26: Download (PDF, 3.1MB)

  23  

nada yang diolah menjadi bentuk berbeda, tergantung pada oktaf dan alat-alat gamelan.”65 “Sebuah istilah terapan yang dapat mewakili tingkatan semacam ini adalah heterofoni, walau mempunyai fungsi yang sedikit berbeda dengan bentuk-bentuk yang bisa dijumpai di Timur Tengah dan Jawa.”66

Menyadari betapa pentingnya kehadiran céngcéng dan kempli (sebuah gong pencon yang didudukkan mendatar dan berfungsi untuk menjaga ketukan, sama halnya dengan kajar pada ansambel lain) pada gamelan kebyar, menjadi sangat mengejutkan ketika kehadiran alat-alat gamelan ini jarang ditemukan dalam rekaman 1928, barangkali mengikuti arahan pemimpin produksi rekaman saat itu.67 Namun dari film tahun 1930-an karya McPhee dan Covarrubias yang baru-baru ini ditemukan, kita dapat melihat ansambel kebyar lengkap dengan kempli beserta dua hingga tiga penabuh lain yang memainkan céngcéng angkep.                                                                                                                65 Korespondensi melalui e-mail (2009) 66 Korespondensi e-mail berikutnya (2015) 67 Dua pengecualian adalah bagian pembuka dari karya Lotring berjudul Gambangan (Bali 1928, vol. III) dan dalam gaya yang lebih lunak oleh angklung Sidan dalam CD ini.

Page 27: Download (PDF, 3.1MB)

  24  

Alat gamelan yang juga disebut ricik atau rincik gedé ini masing-masing berupa dua simbal yang ditaruh menghadap ke atas dan para penabuh memainkannya dengan dua simbal lain. Ini adalah suatu pembaharuan lain dari kebyar untuk komposisi-komposisi barunya dan juga untuk lelambatan tradisional - perpaduan antara rincik dari gamelan palégongan dengan céngcéng kopyak dari gong gedé yang jauh lebih besar dan mendominasi - yang dimainkan oleh sekelompok penabuh, masing-masing memainkan simbal berukuran besar, tidak mempunyai dudukan dan dipukulkan dengan simbal lain yang berukuran sama. Colin McPhee mengamati pada tahun 1930-an bahwa notasi-notasi tersebut tidak digunakan dalam mengajar atau latihan, namun lebih dimanfaatkan sebagai upaya pelestarian bagi generasi mendatang atau sumber rujukan ketika gending-gending itu terlupakan.68 Secara tradisional, gending gamelan jarang dinotasikan karena para penabuh mempelajari bagian mereka secara pengulangan. Melodi dalam titinada dinyanyikan menggunakan beragam nama nada: nding, ndong, ndéng, ndung, ndang.69 Karena gendingnya yang sangat terstruktur, maka improvisasi hanya diperbolehkan bagi kendang pemimpin, suling, dan alat gamelan tunggal lainnya pada saat-saat tertentu. Namun, para penabuh gendér, setidaknya di desa Sukawati mempunyai praktik improvisasi, permainan bebas tanpa persiapan yang telah berkembang begitu pesat.70 Sekolah-sekolah dan para komponis kontemporer menggunakan sistem notasi hasil penggabungan dari notasi kepatihan Jawa untuk irama dan dinamika, dan aksara Bali untuk vokal yang tinggi-rendah nadanya ditandai seperti yang telah disebutkan di atas. Pengistilahan bisa berbeda antar desa dan antar wilayah, atau bahkan mencerminkan keragaman kosakata pribadi antar penabuh. Tujuan kami dalam catatan pengantar CD ini adalah untuk memasukkan berbagai istilah lokal dari Belaluan, Pangkung, dan Busungbiu, dengan harapan dapat mengungkap kaidah-kaidah berkesenian dan kesusastraan/etnopuitis masing-masing. Walau seorang penabuh bisa sangat spesifik dari waktu ke waktu, terkadang istilah-istilah seperti norot, notol-noltol-neteg, ngucek-norét-norék, oncangan dan nyogcag dapat dipertukarkan dalam konteks dan kosakata pribadi yang berbeda. Pengistilahan ini lebih sering digunakan untuk menggambarkan pergerakan (unsur kinetik) dari aksi jasmaniah dalam permainan dibandingkan untuk menggambarkan suatu konsep berkesenian yang abstrak atau catatan-catatan pengajaran. Volume IV: Pandangan Singkat Terkait Linimasa Rekaman

                                                                                                               68 McPhee (1966: 56) 69 Kerap ditulis ding-dong-déng-dung-dang dan dilafalkan dalam proses pengajaran sebagai ning-nong-néng-nung-nang atau nir-nor-nér-nur-nar atau nyir-nar-nyér-nyur-nyar 70 Nicholas Gray (2011) menulis sebuah buku tentang hal ini.

Page 28: Download (PDF, 3.1MB)

  25  

Dua puluh dua trek dalam volume ini mencerminkan tiga gaya karawitan yang muncul sepanjang satu milenium, semuanya dipentaskan pada masa awal abad ke-20 dalam pelbagai odalan ‘perayaan hari kelahiran suatu pura’ dan upacara berkaitan dengan kematian. Praktik menyanyikan kakawin dan palawakia diiringi oleh gamelan gong kebyar yang mutakhir dan radikal bermula di Bali Utara dan menyebar ke seluruh pelosok pulau dalam waktu singkat. Selingan-selingan tabuh kebyar dalam CD ini adalah dalam gaya Kebyar Ding oleh Gong Belaluan, sebuah karya yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kebyar (bisa disimak secara lengkap dalam Bali 1928, vol. I). Dramatari Gambuh yang bersumber dari kesusastraan Malat yang mengisahkan kehidupan kebangsawanan dan percintaan pada zaman Majapahit, dipentaskan pada saat upacara-upacara kematian para bangsawan dan juga sebagai hiburan di lingkup puri ‘istana’. Réyong mendatar yang masih dipergunakan dalam tabuh angklung kléntangan Sidan diabadikan pada tatahan relief-relief batu di Candi Panataran (dibangun pada masa abad ke-11 sampai 14 di Jawa Timur) tetapi réyong serta pelbagai gong péncon dan gong rupanya telah hidup sejak 896 M dan besar kemungkinan sejak Zaman Perunggu.71 Pada masa pra-sejarah 150 SM, masyarakat Bali telah menguasai teknik-teknik pengecoran perunggu yang menurut para arkeolog diterapkan dalam membuat Bulan Péjéng berukuran besar dan drum-drum perunggu ‘nekara’ lainnya.72 Gamelan angklung (dan kléntangan, dalam bentuk kunanya) lanjut dipentaskan dewasa ini dalam pelbagai odalan dan upacara kematian di seluruh Bali.

                                                                                                               71 Kempers (1988: 240). Ardika merujuk kepada Prasasti Bebetin bertahun 896 M, yang menyebutkan tembaga, emas, dan pandé besi (naskah belum diterbitkan dan percakapan, 2015). 72 Menurut arkeolog I Wayan Ardika, yang telah terlibat dalam pengalian ilmiah di Sembiran, Bali Utara (percakapan, 2015). Lihat juga Calo (2014: 279).

Page 29: Download (PDF, 3.1MB)

  26  

Kakawin, Palawakia dan Tembang bersama Gamelan Gong Belaluan CD Trek #1 Sinom Surakarta Tembang macapat dinyanyikan oleh I Renteg, diiringi oleh gamelan gong Belaluan. Bahasa: Basa Bali Alus Sinom cara Karta Sura, Tembang Sinom gaya Surakarta, anggén masalipang né, digunakan sebagai selingan, sambungan sané punika, untuk melanjutkan cerita, né mungguh wawu ring gurit, yang baru dikisahkan dalam karangan,

Page 30: Download (PDF, 3.1MB)

  27  

tingkahing ngamong budi, perihal mengasuh keluhuran budi, yén wénten magatra tumbuh, jika ada kabar baru, mangdé dasarin tegak, hendaknya dijadikan panduan, tarkala kluruh kapti, ketika yang dicita-citakan tercapai, saking aluh, dengan mudah, terurut mecahang petungan. turut memecahkan masalah. Sinom adalah tembang ‘nyanyian puisi’ dari sebuah jenis seni suara yang disebut pupuh ‘melodi’ yang juga dirujuk sebagai sekar alit atau dalam istilah Jawa sebagai sekar macapat ‘pelafalan dalam kelompok empat suku kata’. Pembawaan oleh I Renteg ini dinyanyikan dalam gaya yang mirip Sinom Uwug Payangan, dan mengingatkan pendengar dengan gaya nyanyian Sasak dengan kelincahan perpindahan antar pelarasan. Dimulai dengan pelarasan saih gong (juga dimainkan oleh gamelan dan kini lebih dikenal sebagai pélog), nyanyian berubah pada 00:36 memasuki relung saih gendér (kini lazim disebut sléndro) pada saat pengujaran lirik anggén masalipang né.73 Sementara I Renteg sesekali mencapai atau mendekati tinggi-rendah nada dari gamelan, lagu dan gamelan masing-masing dalam pelarasan yang berbeda sepanjang bait (dan bahkan pada kata-kata pembuka Sinom cara Karta Sura, tinggi-rendah nada tidaklah mesti bersesuaian walau sama-sama dalam saih gong). Ida Bagus Pidada Kaut mengungkap sebuah cerita terkait kemungkinan asal mula Sinom Surakarta.74 Pak Karta adalah seorang abdi di Kerajaan Gianyar yang kedapatan bertingkah laku melanggar aturan sehingga ia harus menghadapi hukuman sélong ‘diasingkan’ ke pulau tetangga Lombok.75 Di sana ia mempelajari nyanyian tembang dan menciptakan versi dari Sinom yang ia sebut sebagai Surakarta, tajuk yang sebenarnya merujuk kepada dirinya sendiri dibandingkan Surakarta, kota dan kerajaan di Jawa. Sura berarti berani. I Wayan Pamit mengatakan kepada kami bahwa raja pada saat Puputan Badung, Cokorda Ngurah Made mengetahui Sinom Surakarta dan menyertakannya dalam repertoar nyanyiannya yang sangat beragam.76

                                                                                                               73 Menurut penembang Ni Desak Made Suarti Laksmi dan Ni Nyoman Candri (percakapan, 2009) 74 Percakapan di Geria Pidada, Klungkung (2007) 75 Sesungguhnya terdapat sebuah kota kecil di Lombok bernama Selong. Entah yang mana mendahului, aksi diselong atau kenyataan diasingkan ke Selong – merupakan dugaan semata. Ahli sastra Nyoman Suarka menambahkan sebuah eufemisme ‘pelembutan bahasa’ dari diasingkan ke Lombok sebagai melancaran ke Sasak ‘melancong ke Sasak’ (percakapan, 2015). 76 Percakapan (2003)

Page 31: Download (PDF, 3.1MB)

  28  

Kakawin

Kakawin yang juga disebut sebagai wirama atau sekar agung dinyanyikan dalam Basa Kawi ‘Jawa Kuna’. Rekaman-rekaman ini menunjukkan kebebasan yang dimiliki oleh para penyanyi kakawin dalam memberi penekanan pada unsur-unsur tabuh atau pada arti kata-kata dibandingkan dengan mengikuti aturan tetap dari guru laghu ‘suara panjang atau pendek dari huruf hidup’ yang kian berpengaruh sejak tahun 1960-an. Sementara itu, wirama berarti ‘menyanyikan atau membaca kakawin’, dan wirama menunjukkan metrum puitisnya. Di antara para penyanyi, reng diartikan dalam pelbagai cara tetapi umumnya merujuk kepada kualitas getaran yang disebut kumbang ‘dengungan lebah’ atau sebagai ilegan tembang ‘melodi’. Unsur penting dalam kakawin adalah koordinasi antara juru baca (pangwacén) ‘penyanyi, pembaca’ dan jura basa (paneges) ‘penerjemah’. Tafsiran oleh I Gejor Gunaksa dan terjemahannya ke dalam Basa Bali Alus ditunjukkan dalam tanda kurung siku. Banyak ahli dan penggemar kakawin menyibukkan dirinya dengan bagian isi kesusastraan, filsafat dan keagamaan dari naskah-naskah namun kurang memberi perhatian terhadap seni pelaguan dari wirama. Istilah guru laghu dan susunan notasinya diperkenalkan di Universitas Udayana (UNUD) pada akhir tahun 1950-an yang mencantumkan naskah-naskah berhuruf Latin dari versi aslinya dalam Kawi ‘Jawa Kuna”. Ketika kakawin ditulis dalam aksara Bali, huruf panjang dan pendek (aksara diterjemahkan sebagai ‘huruf, suku kata” namun panjang dan pendek merujuk kepada huruf hidup) dilekatkan dalam bentuk tulis sebagai busana aksara ‘pembusanaan huruf hidup’. Terdapat delapan busana aksara yang dibaca sebagai guru ‘suku kata panjang’.77 Guru ‘panjang atau berat’ ditulis sebagai ‘–’ dan laghu ‘pendek atau ringan’ sebagai ‘u’. Raechelle Rubinstein membahasakan kembali ungkapan Ida Pedanda Made Sidemen tentang “rangkaian nada-nada kekawin yang digunakan, sangat kurangnya kepatuhan terhadap panjang suku kata saat menyanyikan kekawin, dan gaya penafsiran yang terdengar pada masa mudanya,” sama sekali tidak mengalami perubahan dari masa kecilnya pada akhir abad ke-19 sampai masa pendudukan Jepang (1945).78 Bukti dari empat kakawin yang terdapat dalam seri Bali 1928, vol. II menunjukkan bahwa gaya nyanyian berdasarkan busana aksara yang diwarisi dalam aksara Bali adalah berbeda dan jarang berhubungan dengan ketaatan kepada suku kata panjang dan pendek di masa sekarang. Para pendengar berpengalaman menyadari bagaimana praktik tersebut berubah-ubah dan dipahami sebagai sebuah kebetulan; lebih merupakan perwatakan bahasa Bali dibandingkan sebuah praktik kesusastraan. Namun seperti petunjuk Sugi Lanus, kita tidak bisa beranggapan secara tegas bahwa keempat wirama kakawin dari Geria Pidada (dan enam kakawin lainnya dari Belaluan dengan gong kebyar yang terdapat pada volume ini) mewakili kakawin Bali pada masa sekitar tahun 1928. Tentunya, Geria Pidada Klungkung adalah pusat dari kegiatan kesusastraan setidaknya sejak abad ke-19 dan kita bisa meyakini bahwa sebagai seorang penasihat kepada Beka dan Walter Spies, Ida Boda pasti memilih seniman-seniman terkemuka yang beliau kenali dengan baik.

                                                                                                               77 Percakapan dengan Sugi Lanus, ahli sastra dari Universitas Udayana dan penulis dari Seririt (2004) 78 Rubinstein (1992: 89)

Page 32: Download (PDF, 3.1MB)

  29  

Bersama tokoh seperti I Gust Bagus Sugriwa, para ahli bahasa di Universitas Udayana di bawah pimpinan profesor Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka, mengembangkan sebuah acuan tentang pengujaran kata-kata baku berdasarkan Canda, sebuah naskah abad ke-15 dari Jawa Timur,79 untuk menggantikan tradisi lisan Bali yang lebih bebas dan lebih mengutamakan guru basa (makna kata-kata) dan keindahan nyanyian. Rubinstein menulis:

“Canda nampaknya menjadi sebuah risalah yang ditulis khusus untuk kalangan pengarang daripada pelantun kekawin, walau ada sebuah stanza yang sebelumnya mengungkap ‘sakweh sang sujana’ (semua orang budiman)…Tentu, kaidah ‘prosodi’ (kaidah irama dan bunyi dalam syair) kekawin yang diurai dan dikembangkan dalam Canda sama sekali tidak menyentuh ihwal pertunjukan kekawin. Naskah ini nampaknya condong kepada kebutuhan kalangan penggubah kekawin, walau ada kemungkinan di masa lalu, para pementas kekawin juga harus menguasai kaidahnya. Mestinya, para penyair Bali adalah pementas mahir dari kekawin. Selanjutnya, pelantunan kekawin hanya dimungkinkan bila metrumnya diatur secara benar, karena kekawin selalu dinyanyikan dari naskah lontar. Informasi penting yang terkandung dalam naskah tertulis memungkinkan pelantunannya sebagai nyanyian. Untaian kata dalam naskah yang ditulis dalam bahasa Kawi menentukan tinggi-rendahnya nada, alunan nada-nada dan irama yang digunakan.”80

Sebagai suatu unsur yang disebut Rubinstein sebagai “Guided Pepaosan” atau ‘petunjuk membaca kakawin, aturan-aturan guru laghu ditegaskan lebih lanjut oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Bali, mulai tahun 1969 melalui berbagai lomba dan festival81 yang berlanjut sampai masa sekarang, salah satunya adalah Utsawa Dharma Gita yang diselenggarakan setiap tahun dalam Pesta Kesenian Bali.82 Acara-acara ini berfungsi untuk memperkenalkan kakawin dan secara bersamaan menanamkan sebuah kaidah keindahan yang mementingkan peraturan akan huruf hidup panjang dan pendek dalam sebuah ketepatan waktu yang dikembangkan sebagai perangkat ukur pecahan-pecahan dari masing-masing ketukan. Mawirama kakawin berkembang pesat di Bali selama enam abad sebagai sebuah tradisi lisan yang berjalin erat dengan naskah sastra – bertahan hidup dan hadir dalam gaya khas Bali dalam hal improvisasi ‘menggubah tanpa persiapan dan spontan’ dan perwujudan suara nan halus yang menyatu dengan pengalaman dalam diri. Tokoh-tokoh seperti Ida I Dewa Gde Catra, Ida Bagus Gandem dan lain-lain menunjukkan bahwa rekaman-rekaman ini memberi contoh bagaimana pada masa itu juru mabasan ‘penerjemah’ tidak sekedar membaca tafsiran dari sebuah naskah yang ditulis dalam Basa Bali seperti layaknya di masa sekarang, namun akan menanggapinya secara spontan, biasanya dari ingatan, kata-

                                                                                                               79 Rubinstein (2000: 133) 80 ibid: 135 81 Rubinstein (1992: 102) 82 Meskipun diselenggarakan oleh Utsawa Dharma Gita dan bukan oleh panitia Pesta Kesenian Bali, keduanya berlangsung bersamaan di Taman Werdhi Budaya (Arts Center) Denpasar, Bali setiap tahunnya.

Page 33: Download (PDF, 3.1MB)

  30  

kata dalam kakawin saat dinyanyikan baris per baris. Bahkan juru mamaca ‘penyanyi’ sering kali menyanyi berdasarkan ingatan, bertumpu kepada tradisi lisan dan tidak selalu dari sumber tertulis. Nyoman Sukartha menunjukkan bahwa dalam berbagai pementasan kakawin pada saat upacara keagamaan di masa sekarang, yang kerap diamplifikasi melalui pengeras suara, terkadang terdengar seorang juru mabasan tersesat dalam buku yang sedang dibacanya dan memberikan tafsiran yang tidak sesuai dengan naskah yang dinyanyikan. Ini mencerminkan hilangnya senoktah kedekatan dan getaran rasa antara penyanyi dan penuturnya dan menunjukkan bagaimana aspek kreativitas ‘daya cipta pribadi’ tidak lagi seperti biasanya.83 Sang juru baca ‘penyanyi’ dari enam rekaman dalam CD ini, I Gejor Kelambu (±1899–1976), adalah tukang emas dari Wangaya, Denpasar, dan nampak dalam foto84 bersama pada halaman 26. Kemahirannya menyanyi juga bisa disimak dalam Bali 1928, CD #5, saat menyanyikan kidung Wilet Mayura. Perbedaan yang jelas dalam jangkauan suara pada saat menyanyikan kidung dalam rentangan nada rendah dan kakawin bertitinada tinggi dalam volume ini menimbulkan pertanyaan apakah keduanya dilantunkan oleh seniman yang sama, walau catatan pada label cakram Odeon menunjukkannya sebagai sama. Tetapi I Wayan Sinti (1941-) dari Binoh, yang berkesempatan mempelajari kidung dari Gejor Kelambu pada tahun 1962, mengingat suara dan gayanya, dan kemudian membenarkan bahwa kedua rekaman dinyanyikan oleh gurunya.85 Guru bisa dipahami lebih sebagai “penekanan” daripada aturan, dan Ida I Dewa Gde Catra mengungkap bahwa seseorang tidak bisa merubah ketetapan guru laghu dalam teori, yang mana bisa diatur saat praktik atau pentas “di lapangan.” Lanjut ditambahkan bahwa nada pokok dari wirama juga terdapat dalam teori tetapi berlainan dalam praktik. Ia memberi contoh tentang seorang penyanyi wirama yang disegani yang mementingkan reng dibanding basa ‘bahasa’ membuat kata-kata dari wirama yang sedang dilantunkan sukar untuk dikenali secara jelas.86 Wayan Pamit dan lainnya juga memperingatkan bahwa pendengar masa sekarang akan menjelaskan keempat kakawin ini sebagai guru lamuk (menyimpang dari aturan guru laghu) sementara pada saat yang bersamaan menghargai gelora prana ‘olah nafas dan kekuatan jiwa’ dan reng ‘melodi dan kekhasan suara’. Dewa Gde Catra menjelaskan cara pemanjangan guru pungsaka demi hadirnya mengurukan laghu ‘menjadikan laghu sebagai guru’ yang dipraktikkan di Bali Timur masa sekarang. Seperti dalam rekaman-rekaman kakawin dalam Bali 1928, vol. II, setiap carik masih dibagi menjadi berbagai frase pendek agar para pendengar bisa mendapatkan pengertian secara lebih singkat dan langsung, dibandingkan menyanyikan keseluruhan baris. Nyanyian dalam CD ini merupakan bukti dari gaya abad ke-20 yang memberi penekanan lebih kepada tembang ‘lagu dan melodi’. CD Trek #2 Sang Dasaratha Dinyanyikan oleh I Gejor ‘Gempa Bumi’ Kelambu dengan penerjemah I Gejor ‘Gempa Bumi’ Gunaksa, diawali tabuh pembukaan oleh gamelan gong Belaluan

                                                                                                               83 Percakapan (2013) 84 Dikenali oleh I Nyoman Yudha dari Belaluan (2006) dan ditegaskan oleh Wayan Sinti (2015). 85 Percakapan (2015) 86 Percakapan (2013)

Page 34: Download (PDF, 3.1MB)

  31  

Kakawin Ramayana, Wirama Sronca, Reng Sronca Hana sira ratu dibya rĕngön, Ada seorang raja mulia, dengarkanlah, [Méh wiakti wénten sang bupati luwih utama] Alkisah ada seorang raja sangat mulia preśāsta ring rāt musuhira prannata, termasyhur di seluruh jagat, semua musuhnya tunduk,

[Kalangkung pageh ida ring jagat, béh satrunida sami atwang] Teramat kuat beliau di dunia, oh semua musuhnya takluk jaya pandita ringngaji kabéh, pandai dalam segala ilmu pengetahuan, [Ngasorang ida kasadon ring wiakta] Baginda menguasai segala ilmu pengetahuan Sang Daśaratha nāma tāmoli. Baginda bernama Sang Dasaratha, dan tiada tersaingi. [Oh mapeséngan reké ida sang Dasaratha ratu sampun nyaya.] Baginda bernama Sang Dasaratha, seorang raja digdaya. Mengingat rekaman kakawin ini mencerminkan sebuah tradisi lisan yang memberikan kebebasan dalam pengungkapan naskah, mendorong pelbagai cara membawakan dan menafsirkan kakawin, Nyoman Suarka memberi kami naskah aslinya dalam tulisan Latin sebagai sumber rujukan.87 Hana sira ratu dibya rĕngön, Praśāsta ring rāt musuhira prannata, jaya pandita ring aji kabéh, Sang Daśaratha nāma tāmoli. Dalam epos Ramayana, Dasaratha adalah raja dari Ayodya dan ayah dari Rama, Laksmana dan Bharata, yang ibunya masing-masing adalah istri-istri raja, Kausalya, Sumitra dan Kaikeyi. CD Trek #3 Nahan Tangguh

Dinyanyikan oleh I Gejor Kelambu dengan penerjemah I Gejor Gunaksa, diawali tabuh

                                                                                                               87 Untuk semua naskah kakawin dalam volume ini, kami mengikuti pendekatan Ida I Dewa Gde Catra, yang menggunakan tanda diakritik (seperti é) sebagaimana diterapkan dalam bahasa Bali untuk suara huruf hidup seperti dalam kata bahasa Indonesia ‘tega’.

Page 35: Download (PDF, 3.1MB)

  32  

pembukaan oleh gamelan gong Belaluan (Kakawin Ramayana) Wirama Anustup Wisama Matra, Reng Sronca Tatkālān panusup kālih, Ketika dua bersaudara tersebut memasuki (hutan), [Arah ri tatkala masusupan sareng kalih ida Sang Rama Déwa] Ketika sang Rama Déwa menjelajahi hutan belantara berduaan (bersama Laksmana) Nton Jatāyu manuk magöng, Terlihat burung besar, sang Jatayu, [Nuli kakanten ipun i kedis geruda punika ageng] Terlihatlah garuda yang sungguh luar biasa Tan biakta téka déning doh, Tak terlalu jelas karena jauh, [Ha-ha-ha-ha, nénten terang kanten antuk dohé] Tetapi tidaklah jelas karena jauhnya Katon kadi gunung magöng. Terlihat bagai gunung besar. [Béh kanten wiakti ten bina kadi giri ageng ipuné.] Oh, benar-benar terlihat seperti gunung besar. Pangeran Rama dan saudara lakinya, Laksamana sedang mencari-cari istri Rama, Dewi Sita yang diculik oleh raja raksasa Rawana dari Alengka. Burung elang Jatayu yang pemberani dan setia mencoba menyelamatkan Dewi Sita, tetapi Rawana memenangkan pertarungan, meninggalkan Jatayu yang terluka parah dan menjelang ajalnya di daratan.88 CD Trek #4 Sang Rama Déwa

Dinyanyikan oleh I Gejor Kelambu dengan penerjemah I Gejor Gunaksa, diawali tabuh pembukaan oleh gamelan gong Belaluan (Kakawin Ramayana) Wirama Anustub, Wisama Matra, Reng Sronca Hé Rāma hé Raghu suta, Wahai Rama, keturunan Raghu,

                                                                                                               88 Naskah yang dinyanyikan sesuai dengan yang tercantum Sugriwa (1977: 30).

Page 36: Download (PDF, 3.1MB)

  33  

[Arah déwa ratu Betara Rama] Wahai, Tuanku Rama Haywa sāhasa ring hulun, Janganlah Tuanku salah sangka terhadap diri hamba, [Ha-ha-ha, sampunang cokor i déwa wirosa ring titiang] Janganlah Tuanku khawatir terhadap hamba Jatayu tāku tan kālén, Hamba tiada lain adalah si Jatayu, [Arah titiang i geruda nénten tiosan aratu déwagung] Hamba tiada lain adalah si Garuda, Tuanku wruh tākun Jānaki pinét. Hamba tahu bahwa Tuanku hendak mencari Dewi Sita. [Uning titiang ring cokor i déwa ngrereh ring i dyah rabi.] Hamba mengerti bahwa Tuanku hendak mencari istri tercinta. Kembali, Nyoman Suarka memberi naskah aslinya dalam huruf Latin sebagai rujukan: Hé Rāma hé Raghusuta, Haywa sāhasa ring hulun, Jatayu tāku tan kālén, wruh tākun Jānakin pinét. Bait-bait dari epos Ramayana ini diujarkan oleh burung elang Jatayu pada saat bertemu dengan Rama dan Laksamana. CD Trek #5 Lahirnya Subali Sugriwa

Palawakia (Kapi Parwa) dari epos Ramayana diceritakan oleh I Gejor Kelambu dengan penerjemah I Gejor Gunaksa, diiringi gamelan gong Belaluan Hana pwakang kawi waksa. Alkisah cerita.

Page 37: Download (PDF, 3.1MB)

  34  

[Inggih mangkin wénten kang kacarita.] Ya, sekarang ada sebuah kisah. Bhagawan Pawatama mwang istri maotama Bhagawan Pawatama bersama istri tercinta [Parawiryan ring Ida Bagawan Pawatama kateka tekéng patnin ida] Seorang pendeta mulia bernama Bhagawan Pawatama bersama istrinya ri tatkalaning nira Ketika beliau… [Béh ri sedek kala ida] Ya, ketika beliau… anangun semadi marwantening udyana melakukan semadi di taman [Ha-ha-ha, kala ngwangun tapa maringkanang taman] Ketika beliau bertapa di taman pwanghana pinakatmaja nira loro Adapun kedua putranya, [arah wénten maka tenayan ida kakalih] ketika kedua anaknys angaran si Bali Sugriwa bernama si Bali dan Sugriwa [wrarian ri kabisékan dané sang kalih Sang Bali Sugriwa.] masing-masing bernama sang Bali dan Sugriwa Ri tatkalaning nira Bhagawan Pawatama Ketika Bhagawan Pawatama… [Inggih ri tadatkala ida Bhagawan utama] Alkisah ketika sang Bhagawan utama marwantening pasraman berada di asrama [asasanjan irika marikanang taman tapa-tapa] bercengkrama di taman pertapaan istri Pawatama rakwa konon istri Bhagawan Pawatama

Page 38: Download (PDF, 3.1MB)

  35  

[Ha-ha-ha… tan doh patnin ida sang istri utama] sang istri tercinta tiada jauh anglila-lila cita marwantening udyana. bermain-main di taman. [ah tan mari béh maseneng-seneng irika.] terus-menenurs menghibur diri di sana. Ri tatkalaning anira adyus Ketika beliau mandi [Ri tatkala ida masuci] Ketika beliau membersihkan diri adulu de Sanghyang Surya. dilihat oleh Sanghyang Surya [Arah apa kadén kaki, aduh ha-ha-ha!] Aduh, apa hendak dikata! Dadi ta kajamah ira istri Pawatama dé Sanghyang Surya. Lalu istri Bhagawan Pawatama dijamah oleh Sanghyang Surya [Ri tatkala punika kajamah ida antuk Sanghyang Surya.] Lalu istri Bhagawan Pawatama dijamah oleh Sanghyang Surya. Dadi mawastu bobot rakwa istri Pawatama. Akhirnya, istri Bhagawan Pawatama hamil. [Anuli aglis…] Kemudian… (naskah terputus pada akhir rekaman) Saudara kembar Subali (Bali) dan Sugriwa adalah raja-raja wanara (kera) dalam epos Ramayana yang bersetia kepada Rama, Sita dan Hanuman. Perseteruan menyedihkan antara mereka terjadi ketika Subali menculik istri Sugriwa, Tara. Pada saat kedua bersaudara ini bertarung, Rama melesatkan anak panah yang akhirnya membunuh Subali yang “mati menyesali perbuatannya dan kemudian menerima penguburan kebangsawanan.”89 Palawakia adalah gaya prosa bebas penuh elaborasi dan dipergunakan dalam pelbagai kesempatan termasuk pembacaan kisah-kisah dari Mahabharata dan Ramayana termasuk juga oleh para panasar (pembawa cerita) dalam pementasan topéng dan sejak awal abad

                                                                                                               89 Zoetmulder (1974: 220)

Page 39: Download (PDF, 3.1MB)

  36  

ke-20 sebagai unsur vokal dalam pementasan tari kebyar. Naskah ini bisa dijumpai antara kanda (babak-babak) epos Ramayana dalam Kapi Parwa, sebuah rangkaian cerita tambahan yang mengisahkan kehidupan para wanara termasuk Anoman (Hanuman) yang juga merupakan tokoh utama dalam cerita tentang Rama. Kutipan yang terekam sebenarnya menceritakan kelahiran Dewi Anjani, ibunda dari Anoman (Hanuman.). Sebagai iringan, Gong Belaluan memainkan sebuah tata tabuh yang sama persis dengan akhir dari bagian Oncang-oncangan dari Kebyar Ding mereka (Bali 1928, vol. I, trek #3). CD Trek #6 Menangis Prabu Yudhistira

Dinyanyikan oleh I Gejor Kelambu dengan penerjemah I Gejor Gunaksa, diawali tabuh pembukaan oleh gamelan gong Belaluan Kakawin Bharatayuddha, Wirama Puspitagra, Reng Sronca Kalalu lara Sang Pāndu putraséna,

Tak terkira duka nestapa putra sang Pandu,

[Béh déwa ratu, karangkung-rangkung kasungkanan ida Prabu Yudhistira]

Oh Tuhan, berlarut-larut kesedihan Baginda Raja Yudhistira

tinutning luwar aprang asrang angdoh,

seiring buyarnya para prajurit beliau di tempat yang jauh,

[awinan ida katinggal antuk sameton anak masiat joh aratu]

mengingat baginda raja ditinggal oleh sanak-saudaranya yang berperang jauh, oh Tuanku

Padha mulih angungsir kuwunga sowang,

Semua pulang ke rumahnya masing-masing,

[Bih sané mangkin sampun budal reké ngungsi pondok ida kang adiri]

Oh, kini semua sudah pulang meninggalkan beliau sendirian

Tuwi wĕngi ludinawa

Malam kesembilan yang pekat setelah bulan purnama pun turun

[Béh, nuju kala tanggal ping sia kala punika]

Yah, saat penanggalan menunjutkan malam kesembilan

mīngkulĕm kamantyan.

Page 40: Download (PDF, 3.1MB)

  37  

sehingga malam semakin mencekam.

[Punika makahawinan peteng pisan-pisan kala punika.] Itulah sebabnya saat itu benar-benar gelap. Kembali, Nyoman Suarka memberi naskah aslinya dalam huruf Latin sebagai rujukan: Kalalu lara sapāuputra séna, tinuti luwar nikang-aprang-asrang-angdoh, padha mulih angusir kuwunya sowang, tuwi wĕngi ludnawa mīngkulĕm kamantyan. Di dalam epos Mahabharata, Yudhistira adalah putra sulung dari Raja Pandu dan Dewi Kunti yang memimpin pasukan perang Pandawa dalam perang melawan saudara-saudara sepupu mereka, Korawa. Naskah ini dikutip dari Bhisma Parwa, kisah tentang gugurnya sang Bhisma. CD Trek #7 Ri Pati Sang Abhimanyu Dinyanyikan oleh I Renteg dengan penerjemah I Gejor Gunaksa, diawali tabuh pembukaan oleh gamelan gong Belaluan Kakawin Bharatayuddha, Wirama Puspitagra, Reng Sronca

Ri pati sang Abhimanyu

Ketika Sang Abhimanyu gugur

[Inggih sané mangkin kalantarayang ring linan ida sang nararya kirtya temaja]

Alkisah diceritakan tentang kematian beliau, putra sang pemburu (Arjuna)

ring ranāngga,

di medan peperangan,

[Ha-ha-ha, noralian irika ri kala ning anak rakryané]

ketika putra Arjuna berada di medan pertempuran

tĕnyuh angraras

remuk redam namun masih tampan

[Bih dekdek remuk sawiakti kebagusan idané]

Yah, hancur lebur sudah ketampanan beliau

kadi śewaléng

Page 41: Download (PDF, 3.1MB)

  38  

bagaikan lumut

[Béh, rencem tan bina kadi surat]

terbenam tak bisa dikenali

tahas mās,

bagai serpihan emas,

[surat luih mawasta mas punika]

meluluhkan hati namun berkilau keemasan

hanan angaraga

sangat menawan hati

[Arahapa kadén kanin idané]

Betapa parah lukanya

kālaning pajang lek,

terpajang di bawah rembulan,

[tur katarung antuk sunar sanghyang pretangga]

diterpa sinar bulan

cinacah alindih

terpotong-potong (tetapi) tetap elok

[wiakti rencem sumangkin bangkit ida]

sungguh tersayat-sayat (namun) beliau semakin membangkitkan asmara

sahanti… [sahan timun]

bagaikan irisan mentimun

[Inggih osah wiakti manah ida sami]

Ya, betapa kalut pikiran mereka

…mun ginenten. yang melihatnya.

[sami sang ngamangguhin ida.]

Page 42: Download (PDF, 3.1MB)

  39  

bagi semua yang memandanginya. Nyoman Suarka memberi naskah aslinya dalam huruf Latin sebagai rujukan: Ri pati sang-abhimanyu ring ranāngga, tĕnyuh-araras kadi śewaléng tahas mās, hanan-angaraga kālaning pajang lek, cinacah-alindi timun digenten. Dalam Mahabharata, Abhimanyu adalah putra dari Arjuna dan Subhadra, saudari dari Kresna dan Baladewa. CD Trek #8 Atur Sang Kresna Dinyanyikan oleh I Gejor Kelambu dengan penerjemah I Gejor Gunaksa, diawali tabuh

pembukaan oleh gamelan gong Belaluan - Metrum Malabharani, Reng Sronca

Hé Prabhu Naranatha Dharma Putra,

Wahai Prabu Dharma Putra,

[Ha-ha-ha-ha-ha, aratu sang Prabu Yudhistira cokor i déwa]

Oh, Raja Yudhistira

lihata tiki bhuwana wasana sirnna,

lihatlah dunia ini berakhir hancur,

[Durus cokor i déwa nyingakin kaula druwené becek]

Lihatlah segenap milik Tuanku hancur lebur

Nrpa Salya musuh Naréndra sakti,

Musuh Tuanku, Prabu Salya sangatlah sakti,

[Satrun cokor i déwa sang Salya punika mawisésa]

Musuh Tuanku, sang Salya itu sangat hebat

Syapa wanyamapaga ranangga mangko.

Siapa yang berani menandinginya di tengah peperangan?

[Ha-ha-ha-ha-ha nénten wénten purun anak nandingin ida ring tengah payudan.]

Tak ada yang berani melawannya di tengah pertempuran. Nyoman Suarka memberi naskah aslinya dalam huruf Latin sebagai rujukan:

Page 43: Download (PDF, 3.1MB)

  40  

Hé Prabhu naranatha Dharma Putra, Lihatiking bhuwanawasana sirnna, Nrpa Salya musuh naréndra sakti, syapa wanyamapageng ranangga mangko. Raja Kresna memberi petuah kepada Yudistira yang juga dikenal dengan sebutan Dharmaputra dan Dharmawangsa, tentang kehebatan Raja Salya, sepupu dari keluarga Pandawa yang terpaksa bertempur melawan Pandawa dan membela kubu lawan, Korawa. Kresna berusaha membangkitkan semangat Yudistira untuk mengalahkan Salya dengan cara menceritakan segenap pengorbanan nyawa dari para pejuang di pihak Pandawa yang direnggut oleh Salya.

Page 44: Download (PDF, 3.1MB)

  41  

Page 45: Download (PDF, 3.1MB)

  42  

Page 46: Download (PDF, 3.1MB)

  43  

Page 47: Download (PDF, 3.1MB)

  44  

Gambuh Sesetan

Gambuh dipandang sebagai jenis seni pertunjukan klasik Bali yang menggabungkan tabuh, tari dan drama, dan merupakan sumber pengembangan bentuk-bentuk lainnya termasuk légong, Calonarang, arja, dan bahkan juga kebyar. Perbendaharaan tabuh dan pelarasan dari gambuh menjadi dasar dari pelbagai jenis gamelan Semar Pagulingan dan palégongan.

Page 48: Download (PDF, 3.1MB)

  45  

Unsur-unsur cerita gambuh bersumber dari kesusasteraan Malat yang mengisahkan kehidupan tokoh-tokoh dan kerajaan-kerajaan Jawa Timur. “Majapahit, kerajaan paling terkenal di Jawa merupakan pusat yang tidak tersebutkan dalam Malat, Majapahit adalah pusaran budaya dan pusat perhatian dari naskah” (Vickers 2005: 256). Majapahit adalah kerajaan yang mempunyai pengaruh seluas Asia Tenggara pada masa tahun 1293 sampai akhir abad ke-15, dan menaklukkan kerajaan Bedulu di Bali pada tahun 1343. Vickers menulis, “Catatan terjelas dan terawal dari Malat berkisar pada tahun 1725…Seberapa lama, sebelum tahun 1725, Malat telah mengembangkan identitasnya di antara naskah-naskah Panji hanyalah dugaan semata, tetapi pastinya telah terbentuk oleh kejadian-kejadian sebelum masa abad ke-18” (2005: 264-65). Cerita-ceritanya berpusar pada kisah petualangan dan percintaan Pangeran Panji (dan dalam perjalanan kisahnya, sebagai seorang raja) dan melibatkan berbagai muslihat, penyamaran, tipu-menipu, dan pelanggaran hukum. Keseluruhan kisah-kisahnya mengangkat polah percintaan dan sensualitas serta kelakuan kaum bangsawan Daha, Jawa Timur yang legendaris. Dikisahkan sang Panji berusaha mencari dan menemukan tunangannya yang bernama Putri Rangkesari (dinamakan Ratnajuwita pada awal cerita). Babak paling terkenal dalam gambuh mengisahkan, secara abstrak, adalah penculikan Rangkesari oleh Raja Lasem. Ini diadaptasi pada tahun 1880 sebagai tema untuk légong dan kemudian, di antara keragaman cerita-cerita légong dan koreografinya, dinamakan Légong Lasem. Dalam studinya yang mendalam akan kesejarahan légong, Ni Nyoman Sudewi (2011: 138) mengutip dari sebuah lontar bertahun 1802 Çaka (1880 Masehi) yang menjelaskan usaha I Dewa Manggis Sukawati yang sedang berkuasa pada saat itu, mendorong delapan mpu tari, penari gambuh, dan penabuh-penabuh ternama untuk mengembangkan sebuah jenis kesenian baru yang dengan dengan Sang Hyang légong tapel terutama sebuah tarian yang tidak mengenakan topeng dan juga berbeda dari nandir. I Dewa (Anak Agung) Rai Perit mengusulkan penggunaan cerita Malat, khususnya bagian pangipuk Lasem (adegan ketika Raja Lasem berusaha merayu dan menaklukkan hati Rangkesari yang menjadi tawanannya, sesaat sebelum beliau bergegas pergi menuju angkatan-batél maya ‘ke medan perang’; sebuah perjalanan yang kemudian berakhir dengan tertabraknya sang raja oleh seekor burung gagak, sebagai pertanda buruk).90 Atas seizin Dewa Manggis, para seniman saling bertukar gagasan dalam mengembangkan tarian ini. Setelah beberapa latihan di Puri Gianyar, lahirlah tari Légong Lasem).91 Pertemuan bersejarah antara para seniman dan penguasa yang menjunjung tinggi kesenian ini menandai sebuah permulaan penting akan pengaruh koreografi, bentuk, dan unsur-unsur dramatis dari dramatari klasik gambuh terhadap Légong Lasem dan juga cerita-cerita légong lainnya.

                                                                                                               90 Dalang Ketut Kodi menjelaskan makna ganda yang menarik dari adegan pangipuk ini, di mana saat Rangkesari menolak rayuan dari Prabu Lasem - tetapi pada saat yang bersamaan - para pencipta légong Lasem menginginkan adanya sebuah adegan percintaan, sehingga para penari dan juru tandak ‘penerjemah’ menyertakan sebuah gambaran abstrak antara Rangkesari dengan Panji, cinta sejatinya. 91 Sudewi (2011: 138) “Kutipan ini disampaikan oleh I Wayan Turun, ahli lontar yang bertempat di Banjar Sumerta, Denpasar. Dikatakan bahwa pernyataan ini dipetik dari Babad Dalem koleksinya, pada lembar ke-5,6, dan 7, dari 7 lembar yang mengulas legong.”

Page 49: Download (PDF, 3.1MB)

  46  

Sampai tahun 1920-an dan 1930-an, kebanyakan peran perempuan dramatis dalam semua jenis kesenian dipentaskan oleh laki-laki. Gambuh di desa Batuan baru menyertakan penari perempuan dalam pementasan sekitar tahun 1960-an.92 McPhee menulis:

Para aktor, terlihat gagah dan menarik dengan mahkota-mahkota dan busana tari berbahan kain brokat. Tuturnya dalam bahasa Kawi yang sedikit dipahami oleh penonton, dan diujarkan dalam gaya yang sangat berlebihan. Tokoh-tokoh ningrat dari jenis alus menggunakan suara tinggi, menyanyikan kalimat-kalimat dalam falsetto ‘di luar jangkauan nada-nada biasa’ yang lirih dan mengakhirinya dengan lengkingan berkepanjangan dan lemah lembut. Tokoh-tokoh Kras menggunakan suara dada yang berat. Iringan tabuh terus mengalun, gending-gending berganti dengan masuk dan diperkenalkannya setiap tokoh baru.93

Semasa pra-kolonial, tradisi gambuh hidup dan didukung oleh para raja dan puri ‘istana’ di pelbagai daerah di Bali. Pada tahun 1930-an, kelompok-kelompok besar hanyalah Batuan, Sesetan dan Puri Tabanan.94 Di masa sekarang, gambuh bertahan dan tumbuh subur di Batuan, Pedungan, Kedisan (Tegallalang), Tumbak Bayuh, Budakeling dan beberapa daerah lainnya, namun di masa terdahulu sekaa-sekaa termasuk di Puri Pemecutan (Badung, kini Denpasar), Puri Klungkung, Puri Gianyar, Sukawati, Kaba-Kaba, dan Singapadu. Dewasa ini, sekaa-sekaa gambuh Batuan pentas pada saat odalan di Pura Desa dan déwa yadnya ‘persembahan upacara kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan YME’. Mereka juga diundang pentas pada saat ngabén atau plebon warga yang mempunyai hubungan dengan puri, dan juga upacara-upacara kebangsawanan lainnya seperti pernikahan. Vickers menulis:

Salah seorang penari gambuh, I Ktut Kantor, memandang fungsi dari gambuh bagi para penguasa di masa lalu adalah semata-mata hiburan saat mereka sedang susah atau pusing karena beban kerja, dan cemas menghadapi atau mengalami semacam ketegangan. Mereka akan duduk di disebut balé bengong ‘balai penonton’ yang terletak di halaman istana, sebuah bangunan yang lebih tinggi untuk menyimak dan menikmati gambuh yang dipentaskan di balé pagambuhan, sebuah bangunan panjang di depan halaman istana yang khusus dibangun untuk pementasan gambuh. Seniman Ida Bagus Togog menjelaskan bahwa fungsi utama dari menyanyikan Malat adalah untuk menghibur masyarakat yang payah, dukita atau gedeg ‘lelah’, ‘penuh sesal’ atau ‘marah’ atau secara umum sedang mengalami gangguan kejiwaan atau emosi ‘pakéweh’.95

                                                                                                               92 Conversation with I Nyoman Kakul (1972) 93 1966: 113 94 McPhee (1966: 113) 95 2005: 171–72

Page 50: Download (PDF, 3.1MB)

  47  

Perangkat tabuh dalam ansambel gambuh sangat beragam, bahkan sampai di tahun 1930-an, namun selalu terdiri dari empat atau enam suling sepanjang satu meter, sebuah rebab ‘biola tegak’, dua kendang, rincik ‘simbal’, kajar, kelenang, kenyir, kempur, dan di Batuan, sebuah gentorak (lonceng-lonceng kecil yang dirangkai seperti pohon). Satu alat gamelan yang sampai saat ini tidak diketahui adalah lupita, sebuah alat gamelan tepuk berbilah tiga kayu datar yang dirangkai menjadi satu. Sebuah foto oleh Colin McPhee pada tahun 1930-an ditemukan di UCLA Ethnomusicology Archive dan foto tersebut dibubuhi tulisan tangan McPhee ‘Loepita’. Tak seorang pun di Bali mengenali obyek dalam foto sampai penulis menunjukkannya kepada I Ketut Wirtawan dari Batuan yang langsung mengenalinya. Ketika ayahnya yang bernama Ketut Kantor pentas di Jepang pada pertengahan tahun 1980-an dengan sekaa gambuhnya, ia diminta membuat daftar instrumen dari gamelan gambuh. Saat menuntaskan daftar tersebut, Pak Kantor mengingat satu lagi instrumen dari masa kecilnya yaitu lupita. Sekembalinya di Batuan, Kantor membuat beberapa lupita yang dipergunakan dalam pelbagai latihan namun tidak pernah disertakan dalam ansambel pokok untuk pementasan.

Page 51: Download (PDF, 3.1MB)

  48  

Dalam sebuah kunjungan, I Dewa Putu Serong (±1918–), penabuh kendang gambuh dari Batuan dan paman dari Ketut Kantor (saudara ipar Nyoman Kakul) mengatakan bahwa ia pernah memainkan lupita dalam gamelan gambuh, sembari menunjukkan bagaimana memainkannya termasuk menirukan bunyimya. Walau pelarasan gambuh – sebagaimana dimainkan oleh suling, rebab dan juru tandak ‘penyanyi’ – disebut sebagai saih pitu ‘sistem tujuh-nada’, naskah kuna Bali Catur Muni-Muni menjelaskan keberadaan sebuah gamelan amladprana atau simladprana sepuluh-nada: . “Bunyi simladprana adalah lagu-lagu dari repertoar gambuh, dengan patut (pelarasan) yang terdiri dari sepuluh bunyi dang, ding, deng, ndung, dong, bernama pélog, kemudian ndang, nding, ndeng, ndung, ndong, yang disebut sléndro. Ketika kedua laras disuarakan bersamaan muncul sebuah melodi seperti ding, nding yang menjadi suara dari pelarasan simladprana, gabungan dari pélog dan sléndro.”96 Seberapa akurat atau tidaknya naskah ini, ada bukti bahwa pemain suling gambuh di Batuan masih menggunakan sepuluh-nada menurut catatan Karl Richter dengan bantuan analisa frekuensi.97 Pada trek CD #11 kita bisa mendengar para juru tandak yang duduk di antara para penabuh menambah kesan dari cerita dan suasana dramatis dalam gaya nyanyian yang mengikuti dan menyelingi nada-nada dan pola permainan suling sepanjang 80 cm sampai satu meter dalam ansambel. Ansambel gambuh Sesetan yang direkam oleh Odeon pada tahun 1928 bubar sekitar tahun 1942 saat penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Ahli karawitan I Nyoman Rembang dari Sesetan (1930-2005) mengingat sekaa gambuh masih aktif pada masa itu dan menduga bahwa perangkat gamelan dikubur di bawah tanah agar tidak disita dan dikirim ke luar negeri selayaknya banyak gamelan lainnya di seluruh Bali.98 Dalam ketiga rekaman ini, tokoh-tokoh yang mesti diperhatikan termasuk Panji (tokoh putra halus) yang berujar dalam alunan suara bernada tinggi dan naik-turun. Para abdi-pendamping-penasehat ‘parekan’ Panji bernama Semar dan penapal kuda dan pengurus kandang kudanya bernama Balantatit. Prabangsa, saudara tiri Panji yang meledak-ledak adalah tokoh antagonis dalam drama. Walau demikian, ketokohannya dalam gaya yang dramatis adalah Prabu Manis (tokoh raja halus). Kemudian para parekan Prabangsa bernama Jebuh (Buh) dan Jodeh, Jerodeh atau Jrudeh (Deh).

99 Para pengiring berkarakter

jenaka dari Prabangsa yang diberi julukan Potet dipanggil dalam suara keras, Tét! yang kemudian menjawab dengan halus, penuh turut, Tiang ‘saya, Tuanku’. Sedangkan para parekan biasanya menjawab dengan ujaran yang resmi, tegas, dan penuh hormat Inggih, titiang! ‘Ya Tuanku, hambamu yang setia siap mengiringi!’

                                                                                                               96 Bandem, I Made (1986: 94-95). “Kunang gagambelan simladprana ika gendingnya pagambuhan, patutanya hana sapuluh swara lwirnya, dang, ding, deng, dung, dong ngaran pelog, ndang, nding, ndeng, ndung, ndong ngaran salendro. Dadinya pelog tinabeh mwang salendro marmanya gending, ding, nding, keneskang tatabuhan. Ikang gagambelan simladprana ika patut pelog kasalendroan.” Kutipan dari penjelasan Catur Muni-muni dalam Prakempa. 97 Richter (1992) 98 Percakapan di Sesetan (1999) 99 Versi lain adalah Jrudéh. Di Batuan, nama-nama dari parekan Prabangsa adalah Togog and Turas.

Page 52: Download (PDF, 3.1MB)

  49  

Vickers menulis:

Prabangsa adalah masalah terpelik bagi kebangsawanan yang ideal, tetapi sebuah pertentangan dari dalam, sebuah parodi yang menunjukkan bahwa segala hal yang mulia bisa dengan cepat ditarik kembali kepada tingkatan yang biasa, sama halnya dengan riuhnya aksi orang di pasar yang berdampingan dengan urusan-urusan para ningrat di istana.100

Sebuah pementasan gambuh yang lengkap bisa melibatkan sebanyak 29 sampai 37 tokoh.101 Tokoh-tokoh dengan status lebih tinggi berujar dalam bahasa Jawa Tengahan yang secara umum disebut oleh para pementas sebagai Kawi. Para punakawan berujar dalam bahasa Bali Alus dan Bali Kapara ‘lumrah, sehari-hari’. Walau basa kidung ‘bahasa kidung’ umumnya Jawa Tengahan, ahli bahasa I Nengah Medera juga merujuk kepada naskah Kawi-Bali sebagai basa kidung.102 Vickers menjelaskan kesulitan-kesulitan dalam membedakan kesejarahan kedua bahasa secara jelas (2010: 110).

                                                                                                               100 (2005: 64) 101 Suasthi Bandem (2007: 299) 102 Percakapan (2009)

Page 53: Download (PDF, 3.1MB)

  50  

Page 54: Download (PDF, 3.1MB)

  51  

Sebagai pembanding, pendengar bisa menyimak adaptasi dari Biakalang oleh Nyoman Kaler yang dipentaskan oleh Gamelan Palégongan Kelandis dalam Bali 1928, vol. III). CD Trek #9 Biakalang Prabangsa Prabangsa: Hm-hm-hm-ha-ha-ha, Buh! Buh: Inggih, titiang parekan cokor i déwa

Page 55: Download (PDF, 3.1MB)

  52  

Ya, Hamba, Tuanku! Prabangsa: Aja doh... aja nunaning parayatna Jangan kau menjauh, jangan kau lalai! Buh: Nénten doh, ha-ha-ha-ha...mamarga-mamarga! Hamba tidak menjauh, silakan berangkat, Tuanku! Prabangsa: Deh! Deh: Titiang! Hamba, Tuanku! Prabangsa: Aja doh, Deh, aja doh! Jangan kau menjauh, Deh, jangan menjauh! Deh: Inggih raris cokor i déwa mamarga! Ya, silakan berjalan, Tuanku! Prabangsa: Aja nunaning parayatna! Jangan kau lalai! Deh: Nggih! Baiklah, Tuanku! Prabangsa: Hm-hm-hm-hm-hm, Buh! Buh: Tiang! Hamba, Tuanku! Prabangsa: Aja doh, aja doh, aja doh! Jangan kau jauh-jauh! Buh: Inggih mase doh parekan cokor i déwa!

103

Baiklah, Tuanku. Hamba tidak menjauh, Tuanku! Prabangsa: Deh! Aja doh, aja doh, aja doh! Deh! Jangan kau jauh-jauh! Deh: Inggih mase doh parekan cokor i déwa!

                                                                                                               103 Di sini mase doh diterjemahkan berdasarkan sebagaimana digunakan dalam bahasa pertunjukan dan bisa berarti ‘Saya bersamamu’ dan ‘Saya dekat’ (percakapan dengan Ketut Wirtawan dan Ketut Kodi, 2015). Penulisan lain adalah masedoh, menggunakan sandhi suara ‘pembauran’ atau ‘penggabungan kata-kata, suku kata atau huruf hidup’.

Page 56: Download (PDF, 3.1MB)

  53  

Baiklah, hamba tidak menjauh, Tuanku! Prabangsa: Deh! Deh: Tiang! Hamba, Tuanku! Prabangsa: Aja nunaning parayatna! Jangan kau lalai! Deh: Inggih! Baiklah! Prabangsa: Wara-wiré… Antian ri kesahira marwantening ajajudén. Hm-hm-hm-hm- hm. Buh! (Mondar-mandir saja kamu!) Pastinya, kita datang dari rumah judi. Hm-hm- hm-hm, Buh! Buh: Inggih, titiang! Hamba, Tuanku! Prabangsa: Aja nunaning parayatna! Jangan kau lalai! Buh: Inggih, mase doh parekan cokor i déwa! Baiklah, Tuanku. Hamba tidak menjauh, Tuanku! Prabangsa: Tet! Potet: Tiang... Ini saya… Prabangsa: Aja doh, Tet, aja doh! Jangan jauh-jauh, Tet, jangan menjauh! Potet: Inggih Ya, Tuanku Prabangsa: Angapa rakwa marmitanira arihinan, ri rehira reko, bipraya jumujug marwantening umah, hm-hm-hm-hm-hm…Buh! Mengapa kamu mendahuluiku? Karena saya ingin pulang. Hm-hm-hm-hm- hm…Buh! Buh: Inggih, titiang! Benar, hamba Tuanku! Prabangsa: Aja doh! Aja doh! Aja doh!

Page 57: Download (PDF, 3.1MB)

  54  

Jangan kau menjauh! Buh: Mase doh parekan cokor i déwa! Hamba tidak menjauh, Tuanku! Prabangsa: Tet! Potet: Tiang... Saya di sini… Prabangsa: Aja nunaning parayatna! Jangan kau lalai! Deh: Inggih… Ya... Prabangsa: Irika tan sumanangsaya ri tindakira. Tansah iniring lan para Potet ira parasama. Ndatan Doh! Ya, Buh! Buh! Derap langkahku tegas dan bersemangat. Selalu ditemani oleh para Potet. (Mereka duduk bersama). Buh: Inggih titiang! Ya, Tuanku! Prabangsa: Aja doh, aja doh! Janganlah kau menjauh! Buh: Mase doh parekan cokor i déwa! Hamba tidak menjauh, Tuanku! Prabangsa: Irika... aglis raris tindakira, apti jumujug marwentening Singhasari. Hm- hm-hm-hm-hm…Buh! Dengan cepat kita melangkah menuju tujuan kita, Singhasari. Hm-hm-hm- hm-hm! Ayo! Buh! Buh: Ha-ha-ha-ha! Inggih titiang! Ha-ha-ha-ha! Hamba Tuanku! Prabangsa: Aja doh, aja doh! Jangan kau menjauh! Buh: Mase doh parekan cokor i déwa! Hamba tidak menjauh, Tuanku! Prabangsa: Tet! Potet: Tiang…

Page 58: Download (PDF, 3.1MB)

  55  

Saya… Prabangsa: Tet! Potet: Ay…

CD Trek #10 Bapang Selisir Panji: Pih ratu, linangkara kawiharanya, lingnira, rakryana prabu, nayaka hulun. Kang ngarasmin pranaraga, yan a tekani sira Panji Malatrasmi, sira yuwaka. Oh, sangat membingungkan, kata Baginda Raja (berujar kepada dirinya). Wahai abdiku, aku sang tampan, aku telah tiba, akulah Panji Malatrasmi. Menghormatlah kalian! Semar: Bih, déwa ratu, mase doh titiang, ngraris cokor i déwa mamarga! Daulat, Tuanku. Silakan Tuanku berjalan!

Page 59: Download (PDF, 3.1MB)

  56  

Panji: Mijil, aja kurang parayatna! Saya telah keluar, jangan kau lalai! Balantatit :Inggih, mase déwék, ngraris cokor i déwa mamarga! Ya, baiklah, Tuanku, silakan Tuanku berjalan! (dari kejauhan) Panji: Angapa kramanikang ira linangkara. Ariaris ira bipraya alunga marwantening Singhasari, sira yuwaka, krian! (Berujar kepada dirinya) Mengapa berbincang lagi? Aku harus beranjak menuju Singhasari. (Berujar kepada Semar) Ikuti aku, wahai abdiku! Semar: Béh déwa ratu, mase doh titiang, raris cokor i ratu mamarga! Daulat, Tuanku, silakan Tuanku berjalan! Panji: Yan hudakakena sang sikaning Singhasari! Aku hendak mengunjungi Tuan Putri Singhasari! Semar: Ainggih, durusang pisan déwa ratu mangdé gelis, déwa ratu. Ya, silakan Tuanku agar segera bisa berjumpa, Tuanku! Panji: Tansah iniring kadian-kadian nira prasama. Hanan ipun arangga sisianira, Kebo Tan Mundur, Angun-Angun, Banyak Talawarsa.

104 Irika prasama

umiring. Sira aywa adoh. (Berujar kepada dirinya) Ditemani para abdi setiaku, Mundung, Angun- Angun, Banyak Talawarsa. (Berujar kepada abdinya) Persiapkan diri kalian untuk menemani perjalananku. Jangan kalian menjauh. Semar: Bih, déwa ratu, mase doh titiang, ngararis cokor i déwa mamarga! Daulat, Tuanku. Silakan Tuanku berangkat! Panji: Riwus samangkana, laju denira lumakwa. Sira aywa doh. (Berujar kepada dirinya) Kalau begitu, mari lekas bergegas dan berangkat! (Berujar kepada abdinya) Jangan menjauh! Semar: Mase déwék titiang déwa ratu, raris cokor i déwa mamarga! Baiklah, Tuanku. Silakan Tuanku berjalan! Vickers (2006: 211-13) membahas tokoh-tokoh ini sebagai kanda, perpanjangan dari identitas pribadi Panji, juga sebagai saudara-saudara tuanya dan dalam cerita-cerita sebagai kadéan ‘pendamping-pendampingnya’. Ketut Wirtawan juga menjelaskan bahwa salah satu dari mereka, Kebo Tan Mundur yang merupakan Patih dari Panji, juga bisa menyamarkan dirinya sebagai Punta, seorang pendamping dan penasihat.

                                                                                                               104 Juga dipanggil Talawarsa and Tarawarsa.

Page 60: Download (PDF, 3.1MB)

  57  

Page 61: Download (PDF, 3.1MB)

  58  

CD Trek #11 Peperangan Sira Panji dengan Prabangsa

Prabangsa: Laju rakwa denira bipraya jumujug marwantening Singhasari, yan anguwah-huwahakena punang nira Panji Malatrasmi. Buh! Dengan cepat ia (merujuk kepada dirinya) menuju Singhasari untuk menyerang Panji Malatrasmi. Buh! Buh: Titiang! Hamba, Tuanku!

Page 62: Download (PDF, 3.1MB)

  59  

Prabangsa: Aja nunaning kurang parayatna! Janganlah lalai! Buh: Inggih! Mase doh! Baiklah! Hamba tidak jauh! Prabangsa: Aja doh, aja doh, aja doh Jangan menjauh! Buh: Inggih ngararis mamarga! Ya, silakan berjalan, Tuanku! Prabangsa: Irika…kadulu punang Jaran Anteban. Di sana... terlihatlah si kuda, Jaran Anteban. Buh: Inggih sayuwakti angob titiang! Benar, terlihat sangat mengagumkan! Prabangsa: Siapa adruwé kuda iki?105 Siapa pemilik kuda ini? Buh: Ih, nyén ngelah jarané né? Nyen?

106

Hai, siapa pemilik kuda ini? Siapa? Deh: Anak lén, Déwagung Orang lain, Tuanku Prabangsa: Yan pejahakena punang jaran iki, kadiang punapa? Jika kuda ini dibunuh, bagaimana? Buh: Yén matiang né kénkén? Kalau kuda ini dibunuh, apa yang akan terjadi? Deh: Nguda matiang jaran anaké? Mengapa kuda orang dibunuh? Prabangsa: Laju rakwa denira bipraya amejahakena punang jaran Anteban. Mundur!...Ih! Irika katon sampun pinejahakena. Dengan penuh kekuatan, terbunuhlah si Jaran Anteban. Minggir, minggir! Oh, lihat! Si Jaran Anteban tewas! (Panji pun tiba)

                                                                                                               105 Dalam pertunjukan oleh sekaa Batuan, Prabangsa benar-benar tidak tahu karena mabuk (percakapan dengan Ketut Wirtawan, 2014). 106 Menurut Nyoman Suarka, ih dalam bahasa Bali adalah seperti ‘hai’ dalam bahasa Indonesia dan ‘hey’ dalam bahsa Inggris, namun menghardik (percakapan, 2015).

Page 63: Download (PDF, 3.1MB)

  60  

Semar: Men kénkén? Bagaimana ini? Panji: Ih! Prabangsa: Sira Panji! Jumujug jumujug jumujug! Hai, Panji! Keluarlah! Buh: Inggih, medal aratu medal! Ya, keluarlah, Tuanku, keluar! Prabangsa: Satata kita ngérés-ngérés kéwala! Selalu mencuri perhatian para wanita! Balantatit: Duén cokor i déwa kapademang aratu, ipun kamatiang antuk I Prabangsa. Milik Tuanku telah dibunuh oleh Tuan Prabangsa! Prabangsa: Uh, Ino Panji!

107

Panji: Duh ari wawu mangkana. Atur ipun Ki Balantatit. Antian, tan sipi asebet rasaning twasira. Ndah reko denira. Mangké bipraya amalesi... Kadulu pun I Jaran Anteban ngemasaken antaka palatra. Kenapa kamu baru melapor, Ki Balantatit? Aduh, tak terkira sedih hatiku. Ini mengharuskan suatu pembalasan yang setimpal! Kuda Anteban telah dibunuh! Baiklah, aku akan segera membalas! Semar: Inggih, sayuwakti. Benar, Tuanku! Panji: Ih, kita Prabangsa! Wahai, kau Prabangsa! Semar: Ih kita Prabangsa, i ratu! Hai, kau Prabangsa! Panji: Punapa marmaning kita amejahakena pun I Jaran Anteban? Mengapa kau membunuh si Jaran Anteban? Balantatit: Kénkén kranané awanan i ratu ngamatiang I Jaran Anteban? Apa sebabnya kau membunuh I Jaran Anteban? Panji: Aparan ta hana singsalira?

                                                                                                               107

Mengacu kepada sebutan Panji lainnya, Raden Ino Nusapati, Ino sebagai gelar dari mantri ‘ pangeran’).

Page 64: Download (PDF, 3.1MB)

  61  

Apa kesalahannya? Semar: Kénkén pelihné? Salah apa dia? Panji: Pun I Jaran Anteban? Sang Kuda Anteban? Semar: I Jaran Antebané? Si Kuda Anteban? Panji: Dadi kita? Mengapa kamu? Semar: Dadi i ratu? Ya, kenapa Tuanku? Panji: Amejahakena pun Jaran Anteban. Membunuh sang Kuda Anteban. Balantatit: Sahasa ngamatiang druén ida ring i ratu. Tega membunuh milik kesayangan Tuanku? Panji: Warah...warah! Katakanlah! Prabangsa: Ih, I Panji Malatrasmi. Akwéh kita ujar. Hai, Panji Malatrasmi. Terlalu banyak bicara! Buh: Liu pandikan i ratuné, liu. Tuanku, terlalu banyak berkata-kata. Prabangsa: Tan wurung kita. Pastinya begitu. Buh: I ratu sing ja nawang. Tuanku tidak tahu. Prabangsa: Kita singsal sama inghulun. Satata kita angéres-érésa kéwala jinek wong pawestri. Kau selalu menyalahkanku bila berurusan dengan wanita! Tak ada habisnya kamu mencuri perhatian wanita! Buh: Sing suwud-suwud i ratu ngérés-érésin anak luh, nggih! Tiada henti-hentinya Tuanku mencuri perhatian para perempuan! Prabangsa: Dudu kuda iki adruwé singsal. Kita kéwala amawa singsal.

Page 65: Download (PDF, 3.1MB)

  62  

Memang, kuda ini tak bersalah. Kamulah yang membawa kesialan! Panji: Ih apa-apa kita Prabangsa! Apa yang mau kamu katakan, Prabangsa? Semar: Ih kénkén! Apa maksudmu? Panji: Haywa akweh ujar. Yan ajati kita wani! Jangan banyak bicara! Kalau berani, hadapilah aku! Semar: Yan sujati ratu wanén Kalau Tuanku memang pemberani! Prabangsa: Énak-énak pukulun, énak…! Baiklah, Tuanku! Demi harga diri, ayo!

Page 66: Download (PDF, 3.1MB)

  63  

Page 67: Download (PDF, 3.1MB)

  64  

Page 68: Download (PDF, 3.1MB)

  65  

Page 69: Download (PDF, 3.1MB)

  66  

Page 70: Download (PDF, 3.1MB)

  67  

Page 71: Download (PDF, 3.1MB)

  68  

Pandangan Singkat tentang Gamelan Angklung

Colin McPhee menulis:

Gamelan angklung selalu merupakan orkes keupacaraan di desa dan tidak pernah digunakan di lingkup istana, begitu saya diberitahu dalam berbagai kesempatan. Dimainkan dan terdengar di upacara-upacara pura dan kerap diundang untuk pentas dalam festival-festival desa, orkes kerakyatan ini barangkali adalah ansambel paling berguna dalam komunitas-komunitas kecil, menyediakan iringan upacara dengan karakter yang riang, cemerlang, dan ringan dibandingkan dengan gamelan gong. Di desa-desa kecil, terutama di Karangasem, gamelan angklung kerap menggantikan peran gamelan gong dalam upacara-upacara keagamaan, dan hanya dikeluarkan pada saat perayaan hari kelahiran pura dan pelaksanaan ritus ngaben ‘pembakaran jenazah’.

Walau nama dari gamelan ini menunjukkan bahan bakunya atau setidaknya terdiri dari beberapa angklung, perangkat gamelan kuna ini telah ditinggalkan di sebagian besar wilayah Bali. Sehingga kita bisa membicarakan dua bentuk dari orkes ini, satu sebagai ansambel yang masih digunakan di seluruh pelosok

Page 72: Download (PDF, 3.1MB)

  69  

pulau, dan sebuah bentuk lebih tua termasuk angklung yang sebagian besar ditemukan di beberapa desa di wilayah Karangasem.108

Masing-masing angklung yang dirujuk oleh McPhee terdiri dari tiga sampai empat tabung bambu besar yang dimainkan secara dikocok-kocok, oleh karenanya dewasa ini disebut secara khusus sebagai angklung kocok. McPhee lanjut menjelaskan:

Angklung yang termasuk orkes in bisa dijumpai dalam dua bentuk. Bentuk pertama yang paling sering digunakan adalah tersusun dari tiga tabung bambu dengan panjang berbeda-beda yang digantung dalam rangka kayu ringan dan dilaras sesuai suara sebuah nada dalam tiga oktaf saat rangka dikocok (Fig. 62). Bentuk berikutnya dipersiapkan dengan empat tabung; dua tabung besar yang sama panjang menghasilkan nada dasar, semnetara dua tabung kecil menghasilkan suara nada yang sama dalam oktaf yang lebih tinggi… …Di Jawa, angklung biasanya dikocok mundur dan maju untuk menghasilkan sebuah nada tremolo ‘perulangan nada yang sangat cepat’. Di Bali, pengulangan sebuah nada tunggal atau nada ganda secara cepat lebih disukai. Satu sentakan pada rangka menyebabkan ujung tabung-tabung bambu mengetuk celah rangka, menghasilkan nada pendek terputus dan tajam; atau angklung bisa dikocok sehingga tabung-tabung bambu mengetuk celah rangka satu kali saja yang kemudian menghasilkan sebuah nada beraksen dengan gema lemah. Nada yang dihasilkan adalah bergaung dan musikal, diperkeras dengan cara melipatgandakan oktaf-oktaf. Empat angklung yang masing-masing dilaras mengikuti skala nada yang berbeda, melengkapi set. Masing-masing dimainkan oleh seorang pemain tunggal. Semua instrumen dibunyikan dalam yang rangkaian permainan yang rapat, menghasilkan pola-pola permainan yang terus berlanjut tanpa jeda sepanjang gending…109

Penelitian McPhee dilakukan di desa-desa Bali Timur termasuk Culik, Abang, Prasi, dan Mega Tiga. Alat gamelan lainnya dalam ansambel adalah cungklik (kini sering disebut sebagai tingklik), “sebuah alat gamelan pukul berbilah kayu yang panjangnya bertahap dan mempunyai dua oktaf’ (xilofon), dan grantang yang mempunyai rentang nada yang hampir sama, namun bilah-bilahnya terbuat dari tabung bambu.” Sebagai tambahan dari alat-alat gamelan bambu tersebut, sebuah ansambel gamelan angklung empat-nada terdiri dari 10 sampai dengan 14 metalofon ‘alat gamelan pukul berbilah perunggu’, satu set réyong berjumlah empat, kempur, dan dua kendang. McPhee menulis:

                                                                                                               108 1966: 234 109 1966: 235

Page 73: Download (PDF, 3.1MB)

  70  

Bagian utama dari ansambel terdiri dari metalofon-metalofon berbilah empat, dua jégogan, empat atau enam génder atau gangsa gantung berukuran besar, dan sejumlah gendér yang lebih tinggi satu oktaf. Tidak terdapat nada-nada pokok yang dijadikan dasar pengembangan melodi. Malahan, melodi lengkap dimainkan dalam oktaf-oktaf oleh kelompok gangsa gantung dan ditekankan dalam dalam jangka waktu tetap oleh kelompok jégogan. Sebuah saduran penuh hiasan dari melodi dimainkan oleh cungklik [tingklik], sebuah xilofon dengan rentang dua oktaf, dan grantang yang mempunyai kemiripan rentang nada namun berbilah tabung-tabung bambu. Iringan permainan kiasan dimainkan oleh satu set angklung berjumlah empat dan satu set réong berjumlah empat. Kempur berfungsi sebagai penjaga utama dari ketukan, sementara aksentuasi tambahan dibunyikan oleh kempli atau tidak sama sekali. Dua kendang angklung berukuran kecil juga disertakan dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat pemukul pendek. Di desa-desa terpencil Karangasem, di mana bentuk gamelan ini secara umum menggantikan peran gamelan gong yang lebih membahana, beberapa pasang simbal besar ditambahkan untuk melengkapi ansambel. Terkadang, sebuah trompong dua-oktaf disertakan dalam gamelan yang secara bebas memainkan melodi-melodi tunggal (solo) yang rumit, menimpali keutuhan permainan melodi oleh kelompok gangsa. Di desa Abang, jauh di atas perbukitan, saya menemukan sebuah instrumen di luar kelaziman yang dijelaskan sebagai “trompong misi bruk,” yaitu trompong dengan “bruk” atau tempurung-tempurung kelapa. Di sini, papan-papan kayu jaka tebal menggantikan gong-gong, dan tempurung-tempurung kelapa, digantung berjejer di bawah bilah-bilah, berfungsi sebagai tabung penggema…Sebuah alat gamelan tunggal dalam rentang dua-oktaf adalah tidak umum dalam gamelan angklung, mengingat bahwa ansambel secara melodis dibatasi oleh skala empat-nada (1966: 235). 110

Perasaan yang tergugah dan muncul saat mendengarkan tabuh angklung adalah beragam (di samping perbedaan pendapat antara pendengar) menurut fungsinya, yang kemudian juga menurut wilayah asal dari ansambel. Di Badung (Denpasar), Buleleng, Bali Utara dan sebagian besar wilayah Gianyar, angklung hanya dimainkan dalam upacara-upacara berkenaan dengan pitra yadnya. Sehingga tanggapan yang muncul dari beberapa narasumber kami saat mendengar permainan angklung mengingatkan mereka akan kematian seseorang, sehingga mengungkap perasaan sedih. Beberapa desa di Denpasar, termasuk Krobokan dan Kayumas Kelod, serta beberapa desa di Gianyar termasuk Ubud dan Sidan, memainkan angklung pada saat odalan dan juga pada pelaksanaan pitra yadnya, sehingga sulit mengungkap adanya suasana hati yang umum.111

                                                                                                               110 1966: 234-235 111 Wayan Suweca menunjukkan bahwa di kebanyakan desa yang menggunakan angklung untuk déwa yadnya, kempur digantikan oleh sebuah gong besar dan sebuah kendang nyelah ‘berukuran tanggung’ digunakan (percakapan, 2015).

Page 74: Download (PDF, 3.1MB)

  71  

Walau beberapa orang mengatakan bahwa angklung membuat mereka sedih dan mengingatkan mereka akan anggota keluarga yang sudah meninggal, banyak juga yang mengatakan bahwa maksud dari angklung adalah untuk mengisi rasa kosong, duka-cita dan kehilangan dengan alunan gending-gending yang riang, menghibur, dan ringan. Pelbagai tahapan upacara kematian yang bisa diiringi oleh angklung atau klentangan adalah penyiraman ‘memandikan jenazah secara kolektif yang melibatkan keluarga besar dan anggota banjar’, ngabén ‘kremasi’, dan ngrorasin (upacara melepas dan mengembalikan jiwa ke semesta yang dilakukan dua belas hari setelah ngabén). Menurut pengamatan kami, saat klentangan (angklung) Sidan dimainkan untuk upacara yang berkaitan dengan kematian, seperti ngrorasin, alunan bunyi dan energi dari gamelan terkesan mencerahkan suasana hati. Beberapa karya tabuh digunakan secara khusus dalam upacara-upacara tersebut, dan mungkin dikenali oleh para penabuh secara sederhana, sebagai contoh, tabuh penyiraman.112 Angklung kléntangan Sidan juga bermain dalam ritual-ritual bhuta yadnya yang berhubungan dengan menentramkan energi-energi perusak dan penghancur kembali ke bumi, yang juga digambarkan sebagai upaya-upaya spiritual untuk mendamaikan dan menenangkan kekuatan-kekuatan dasar.113 McPhee (1966: 255) menulis bahwa génggong membentuk sebagian besar perbendaharaan karya-karya tradisional dari gamelan angklung.114 Beberapa nama dari gubahan-gubahan angklung yang ia sebutkan termasuk capung manyus ‘capung mandi’, capung ngumbang ‘capung berputar-putar’, dongkang menék biyu ‘katak pohon memanjat pohon pisang,115 dongkang menék gedang ‘katak pohon memanjat pohon papaya’, katak ngongkék ‘katak mendengkung’, kupu-kupu metarum ‘kupu-kupu bercengkrama’, lelasan megat yeh ‘kadal melintasi genangan air’, lindung pesu ‘belut menyembul keluar’, lutung megalut ‘kera berpelukan’, ombakan ‘gelombang’, dan tumisi kuning ‘siput kuning’. Kita bisa menduga bahwa angklung dan beberapa pelarasan lainnya sampai tahap-tahap tertentu bersumber dari génggong (harpa mulut tradisional Bali) dan tingkatan nadanya berdasarkan fenomena akustik overtone harmonics ‘nada-nada musikal yang menjadi bagian dari seri harmonik di atas sebuah not dasar, dan terdengar bersamaan dalam rongga mulut manusia’. (Lihat Bali 1928, vol. III: 54 untuk penjelasan lebih lanjut tentang génggong).

                                                                                                               112 Percakapan dengan Nyoman Rata dan Wayan Su di Sidan (2015) 113 Ketut Kodi (percakapan, 2013) 114 Ini sebelum pengaruh kuat kebyar terhadap gaya angklung. 115 Seperti dibahas pada naskah dalam Bali 1928, vol. III, binatang amfibi yang disebut sebagai dongkang sesungguhnya bukan pemanjat pohon, namun bisa memanjat ketinggian tertentu sekiranya tertarik pada sesuatu. Emplégan adalah sebutan masa kini untuk katak pohon.

Page 75: Download (PDF, 3.1MB)

  72  

Gamelan Angklung Sidan, Gianyar

I Wayan Rata (±1930–) mengingat para penabuh yang turut serta dalam rekaman bersejarah tahun 1928 tersebut, dan masing-masing nama dan rentang usia telah dikonfirmasi oleh anggota-anggota sekaa lainnya. Para penabuh tersebut adalah: Kak (kakek) Rukin, Kak Ruken, Ketut Sekar, Kak Selér, Kak Rauh, Kak Getén, Kak Cedor, Kak Repan, Kak Repin, Kak Repun, Kak Neré, Kak Noro, Ngakan Madé Raka, Ngakan Teken, Kak Kicen, Sangging Darta, Ngakan Ongsag, Mangku Pasek, dan Kak Kebek. Daftar nama penabuh ini kami ungkap untuk menunjukkan gaya bahasa Bali terkait penamaan yang kini sebagian besar cenderung diganti dengan nama-nama berorientasi Hindu dan bermuasal dari bahasa Sanskerta. Sekaa di Sidan bisa terdiri dari 17 sampai 24 penabuh, termasuk dua orang yang membantu membawa jégogan, dan biasanya para penabuh berasal dari keturunan tiga keluarga besar di Sidan.

Page 76: Download (PDF, 3.1MB)

  73  

Gamelan angklung Sidan adalah satu-satunya sekaa yang masih menggunakan sebuah réyong ‘sekumpulan gong péncon’ kuna.116 Bentuk awal dari réyong ini digambarkan dalam relief-relief batu di dua candi dari masa abad ke-11 sampai 14 di Jawa Timur yaitu Candi Panataran dan Candi Ngrimbi. McPhee juga menulis:

Relief-relief paling menarik terdapat di Candi Panataran, khususnya sebagai dokumentasi akan alat-alat gamelan yang telah lama punah di Jawa, namun bisa dijumpai dalam bentuk yang persis di Bali saat ini. Réyong aneh yang berbentuk dumbbell atau barbel yang telah lama dikenali oleh para arkeolog sebagai sejenis drum, namun seseungguhnya merupakan sepasang gong kecil yang dipasang di masing-masing ujung dari sebuah perangkat penghubung, muncul empat kali pada satu panel relief. Empat penabuh duduk di atas lantai tanah dengan réyong di atas pangkuan mereka. Dari tata-letak tongkat pemukul sehubungan dengan gong-gong tersebut, kami tahu bahwa para penabuh terlibat dalam permainan irama saling-kait, seperti halnya permainan para penabuh réyong Bali dewasa ini.117

McPhee lanjut menulis di beberapa halaman berikutnya: “Gong péncon atau seperangkat gong-gong bernada dalam bentuk sederhana ditemukan pada réyong angklung atau kléntang(an) yang masih umum digunakan dalam gamelan angklung Bali masa kini. Orkes kecil ini digunakan untuk prosesi-prosesi, dan kemungkinan alat-alat gamelan ini dirancang dan dibuat seperti itu agar gong-gong bisa dimainkan dengan mudah pada saat dibawa. Pada masing-masing ujung dari perangkat berbentuk barbel itu, sebuah gong kecil diikat dalam posisi vertikal atau tegak lurus. Ketika dibawa atau digendong, réyong menggantung secara horisontal di depan badan penabuh, masing-masing ujung terikat seutas tali yang melintasi sisi belakang dari leher sang penabuh. Para penabuh memukul gong-gong dari arah samping dengan menggunakan tongkat ringan yang digenggam masing-masing tangan, seolah memukul ujung dari sebuah drum ‘kendang’.118

McPhee merujuk kepada réyong angklung sebagai “klénténg, sebagaimana lazimnya mereka disebut,” (atau sebagai réyong antik) dan menegaskan bahwa, “Ansambel gamelan terkadang disebut sebagai klénténg(an)” (1966: 244). Dewasa ini, masyarakat Sidan (terutama bila membicarakannya di antara mereka sendiri) masih menyebut gamelan tersebut sebagai kléntangan ‘memukul atau mengenai’, dan pengaturan perangkat gamelannya di luar kelaziman – bahkan unik – dalam berbagai hal. Klentang (tanpa aksen) umumnya merujuk kepada bunyi dari sesuatu benda yang dipukul penuh kekuatan

                                                                                                               116 Menurut Wayan Suweca, ansambel angklung/kléntangan Titih, Kayumas Kelod, Banjar Bun dan Panjer masih menggunakan réyong klénténg kuna, tetapi hanya untuk mapeed ‘prosesi adat dan keagamaan’ (percakapan, 2015). 117 1966: 25 118 1966: 29

Page 77: Download (PDF, 3.1MB)

  74  

(menghasilkan bunyi tang).119 Ansambel terdiri dari dua pasang réyong (masing-masing mempunyai dua-nada) yang biasanya dimainkan oleh dua penabuh berbeda; dua kendang kecil; empat gendér (di daerah lain disebut pemadé atau gangsa); dua jégog (jégogan) yang dimainkan menggunakan tongkat pemukul yang dibungkus kain sehingga menghasilkan suara yang lebih lembut; empat kantilan; dua cururing (disebut juga curing dan ceriring); tiga pasang céngcéng takep ‘tutup’ (di tempat lain disebut céngcéng kopyak) yang dimainkan tiga penabuh; dan satu kempur. Salah satu ciri khas dari ansambel klentangan Sidan adalah diameter céngcéng Sidan sepanjang 12½ cm, lebih besar dari rincik dalam palégongan tetapi jauh lebih kecil dari céngcéng yang dimainkan dalam gaya gamelan prosesi bebonangan atau balaganjur. Baik curing dan gendér menggunakan satu panggul ‘tongkat pemukul’ yang bergaya mirip dengan yang dipergunakan dalam gendér wayang (gamelan untuk mengiringi pementasan wayang). Walau cara memegang panggul dan memukuli bilah-bilah adalah sama dengan gaya gendér wayang (gamelan pengiring pementasan wayang kulit Bali), cara matekep ‘meredam’ bunyi masing-masing bilah curing dilakukan dengan tangan kiri, sedangkan dalam gendér wayang masing-masing tangan memukul dan meredam bilah-bilah secara langsung. Kedua cururing memainkan bagian yang sama dengan gendér (pemadé) tetapi dalam satu oktaf lebih tinggi. Teknik permainan saling-kait molos (polos) dan sangsih disebut dalam berbagai istilah termasuk candétan ‘bebunyian yang saling-sahut’ atau kotékan dalam gaya karawitan Bali dan angklung lainnya. Di Sidan, hal ini disebut sebagai panandan ‘penghiasan’. Keempat kantilan bermain dalam rentangan oktaf tinggi seperti halnya curing, tetapi menggunakan panggul berkepala lengkung yang terbuat dari ujung tanduk kerbau. Ini menghasilkan denting suara nyaring dan merdu saat permainan teknik saling-kait bernama ngoncang (oncangan), dengan polos dan sangsih silih berganti sepanjang barisan melodi yang melibatkan permainan keempat nada. Teknik ngoncang ini ditemukan dalam berbagai jenis gamelan termasuk gamelan gongi dan gambang, dan aslinya bersumber dari kegiatan “penuh irama” saat para wanita menumbuk padi dengan alu bambu atau petung kayu kelapa. Satu kekhasan dari kléntangan’angklung Sidan adalah keulungan dari réyong klénténg mereka yang terkadang memulai gending, memberi pangalihan, dan juga berfungsi sebagai ugal, memimpin perangkat gamelan lainnya saat memainkan bagian-bagian melodi. Nyoman Rata mengingatkan bahwa permainan melodi yang deras dalam rekaman menunjukkan kemampuan tinggi yang dimiliki oleh para pemain réyong. Tetapi teknik permainan melodi paling khas yang kerap dimainkan oleh gendér, curing, dan kantilan adalah noltol ‘istilah yang bersumber dari cara burung mematuki biji-bijian dengan paruhnya dalam gerakan berulang dan naik-turun’. Noltol kerap disamakan dengan neteg                                                                                                                119 Di luar perbedaan-perbedaan kedaerahan yang mempengaruhi keragaman pengertian berdasarkan pengucapan, Kamus Bali-Indonesia (1990) mengartikan kléntangan sebagai ‘nama lain dari angklung’; klentang sebagai ‘bunyi keras yang dihasilkan akibat memukul sebuah benda’; klénteng mempunyai arti sama dengan kléntang; klenting sebagai bunyi sebuah benda logam yang jatuh dengan keras’; klentung sebagai bunyi sebuah kentong. Kamus Bali-Indonesia yang berbeda (2008) mengartikan klentangan sebagai angklung dan kléntang berarti sama dengan klentang.

Page 78: Download (PDF, 3.1MB)

  75  

(paneteg) ‘tetap, terus’ sebagaimana ‘memukuli sesuatu berulangkali’. Noltol adalah istilah yang kami dengar di antara para penabuh Sidan. Pengulangan nada tunggal ini bisa ditemui dalam jenis-jenis kuna seperti Semar Pagulingan (seperti dimainkan oleh gamelan Titih dalam Bali 1928, vol. III). Ketika gamelan Sidan didengar secara langsung (dan di ruang terbuka, tanpa bantuan pengeras suara), pengulangan nada-nada tunggal, noltol, memungkinkan pengalaman yang menyeluruh akan ombak ‘gelombang akustik’ – dan gema yang berkelanjutan menciptakan nuansa lagu sebagaimana suara manusia bisa dipertahankan. Tidak terdapat kempli atau kelenang dan, sampai batasan tertentu, kendang berfungsi untuk menjaga ketukan. Gaya kendang Sidan di masa kini dipandang sebagai gaya kuna terutama saat kendang lanang dan wadon saling jawab, silih-berganti dalam gaya yang disebut gegulet ‘bergumul’ yaitu saat badan pemain kendang bergoyang, berputar dan berhadapan satu sama lain. Ini sangat berbeda dengan gaya-gaya kendang lainnya yang menunjukkan lebih banyak keragaman dalam permainan tanpa mesti bertanggung jawab dalam menjaga ketukan. Suling pun tidak ada dalam ansambel. Perangkat gamelan sangat kecil dan ringan sehingga ansambel bisa dimainkan pada saat pawai tanpa butuh bantuan tambahan untuk mengusung gendér, kantilan dan lain-lain. Umumnya dalam parade angklung keupacaraan, alat-alat gamelan digantung pada petung bambu yang masing-masing ujungnya diusung pada bahu oleh pengusung-pembantu di depan dan penabuh di belakang yang bertugas menepak alat gamelan sembari berjalan. Hal yang paling menarik dari alat-alat gamelan dari ansambel Sidan adalah réyong yang bisa berfungsi dari sebagai ugal yang bertugas memimpin ansambel. Dewasa ini ansambel tersebut dikenal sebagai Sekaa Sida Arsa Budaya Sidan dan disimpan di Puri Sidan. Sebuah rekaman angklung Sidan telah diterbitkan secara komersial , tetapi jiwa dan kekuatan, perasaan indah dan ombak ‘dengung atau getaran akustik’ dari gamelan membuat penikmatan secara langsung lebih mantap dan mengharukan. Di masa lalu, kléntangan disimpan di salah satu rumah anggota masyarakat, namun telah sejak lama tak seorang pun mau dan mampu menyimpan alat-alat gamelan tersebut karena kesakralan dan kekuatan spiritualnya. Sekaa Sidan laris diundang ke seluruh pelosok Bali untuk pentas dalam pelbagai upacara. Di Sidan, sekaa selalu pentas tiga hari berturut-turut untuk odalan di Pura Bukit Camplung yang merupakan pura kahyangan yang mempunyai berbagai fungsi, di antaranya sebagai pura pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi Padi) dan Dewi Uma, sebagai pura subak ‘pura pertanian’ dan juga pura pemujaan terhadap Gunung Agung dan Batur (yang merupakan representasi dari Betara Siwa dan saktinya, Dewi Parwati dan Giri Putri. Dewa Mangku Manggis yang mengabdi di Pura Masceti; sebuah bagian khusus dari Pura Bukit Camplung120 di Sidan yang berhubungan dengan kehidupan subak, menjelaskan sejarah lisan turun-temurun dari kléntangan yang bermula di Zaman Perunggu. Ramseyer menulis:

                                                                                                               120 ‘Sebuah pura di perbukitan Camplung dengan pohon-pohon yang berbuah seperti kelereng.

Page 79: Download (PDF, 3.1MB)

  76  

“Di antara unsur-unsur paling menonjol dari kebudayaan Zaman Logam di Asia Tenggara adalah keberadaan gong-gong berceruk dalam, sering disebut secara salah sebagai ‘drum-drum perunggu’,121 yang bisa dijumpai di Pedalaman Mongolia sampai Indocina dan Indonesia sampai Kepulauan Kai. Fakta arkeologi menanggali benda-benda ini dari 300 SM berdasarkan temuan-temuan dalam makam-makam Dong s’on. Gong Bali berceruk dari Péjéng – sepanjang 186.5 cm dengan penampang suara berdiameter 160 cm – adalah yang terbesar dari kelompoknya. Berdasarkan jenisnya, gong berbentuk jam pasir ini adalah suatu pengecualian (Heger 1902) dan dalam berbagai kesempatan telah dihubungkan dengan gong-gong berceruk berukuran kecil dari Alor (mocco). Gong-gong kecil dari Alor ini masih dipergunakan sebagai perangkat ritual.”122

Tentunya moko masih dipergunakan di Alor sebagai mahar perkawinan dari keluarga pengantin wanita kepada pengantin pria. Ini dan beberapa nekara lainnya bisa dijumpai di Pura Penataran Sasih (dibangun sekitar abad ke-13) dan di Museum Purbakala, keduanya di Pejeng, Gianyar. Hiasan-hiasan pada nekara yang dilestarikan ini dipercayai sebagai khas pribumi dan menyertakan wajah-wajah manusia dan sosok kodok. Dugaan yang beredar adalah kendang-kendang perunggu (atau sejenis gong) ini dibunyikan untuk menurunkan hujan demi kepentingan pertanian.123 Menariknya, penjelasan McPhee tentang klénténg (réyong) yang berbentuk halter atau barbel mempunyai kesamaan dengan moko “berbentuk jam pasir”. Dalam The Kettledrums of Southeast Asia: A Bronze Age World and its Aftermath, A.J. Bernet Kempers menulis bahwa “Indonesia muncul ke permukaan karena drum-drum bergaya Pejeng, khususnya dengan ‘Bulan Pejeng’…tetapi pusat pembuatan dari produk-produk yang rupanya adalah kreasi lokal, tidak bisa disangkal adalah pulau Bali.”124 Dalam bukunya, Ia menduga:

Untuk sementara waktu, sangat tidak mungkin membuktikan bahwa gong dan kumpulan gong telah ada sebelum penciptaan nekara sebagai salah satu jenis alat gamelan metalofon…Di sisi lain, bisa dibuktikan bahwa kumpulan-kumpulan gong adalah seangkatan dengan setidaknya nekara-nekara yang lebih rumit, seperti drum-drum Tonkin dan Sangeang, 4.02+. Lalu kenapa tidak mungkin? Pada masa itu, pekerja logam yang menciptakan nekara semacam itu merupakan tukang-tukang dengan kemahiran tinggi, tentunya mampu mencetak atau mencetak benda-benda seperti gong.125

                                                                                                               121 Ramseyer (1977: 252) menjelaskan, “Nekara bukanlah membranofon (sebuah alat musik, seperti drum yang menghasilkan suara dari getaran selaput bunyi yang ditarik menyelimuti rangkanya); ia adalah sebuah idiofon (sebuah alat musik yang terbuat dari bahan padat dan secara alamiah nyaring, menghasilkan suara melalui getaran dari seluruh badan instrumen). 122 Ramseyer ibid: 26-27 123 Percakapan dengan I Nyoman Adi Suryadarma, Museum Purbakala, Pejeng (2015). 124 1988: 240 125 1988: 60.

Page 80: Download (PDF, 3.1MB)

  77  

Sejarah lisan turun-temurun yang didengar oleh I Gusti Lanang Artika di Sidan126 mempunyai rekam jejak yang bisa ditelusuri sampai masa kekuasaan Kerajaan Gelgel ketika ancaman musuh-musuh mengilhami masyarakat Sidan untuk mencari sebuah tukang perunggu untuk membuat alat-alat gamelan yang bisa menakut-nakuti pengacau-pengacau bermaksud buruk. Gabungan antara réyong dan kempur disebut kléntangan. Bukan hanya suara bertalu-talu dari alat-alat gamelan perunggu ini yang menyebabkan para pengacau jera, tetapi juga kekuatan nisikala ‘tak terlihat’ dari kléntangan yang sangat tenget ‘angker’. Karunia semacam ini sebagian besar dikarenakan doa-doa pasupati yang dipanjatkan kepada Ida Bhatara Bukit Camplung, oleh karenanya ansambel kléntangan dimaksud disimpan di Pura Bukit Camplung. Perangkat gamelan ini dimainkan secara berkala dalam pelbagai upacara pura dan tujuan penyembuhan melalui alunan suaranya, terutama untuk menyembuhkan anak-anak bisu atau terkena racun (praktik ini masih berlangsung di masa sekarang). Kronologi Sidan seperti diungkap Gusti Lanang Artika127 berlanjut sekitar abad ke-17, ketika muncul gagasan untuk menambahkan instrumen lainnya agar menjadi ansambel gamelan, dan 17 warga ditunjuk menjadi tokoh-tokoh pendiri dari ansambel dan jumlah penabuh ini tetap dipertahankan sampai masa kini. Campuran logam untuk dicetak dan ditempa terdiri dari perunggu dan emas. Penemuan-penemuan arkeologi belakangan ini (setelah penerbitan buku Kemper tahun 1988) yang dilakukan oleh Wayan Ardika, Peter Bellwood dan lain-lain – dengan bantuan peralatan teknologi canggih dalam menentukan usia benda-benda secara lebih akurat – membuat mereka memastikan peradaban perunggu Bali dan kepulauan Indo-Malaysia lainnya sudah ada sekitar 150 SM.128 “Ini menyarankan keterhubungan yang kuat dengan sub-benua India dan daratan utama Asia Tenggara pada paruh akhir milenium pertama sebelum Masehi, sekitar 200 tahun lebih awal dari perkiraan semula.129 Artefak-artefak Zaman Perunggu dari peradaban Dong Son ‘Pegunungan Timur’ Vietnam antara 500 SM – 200 M rupanya sebaya dengan benda-benda perunggu yang ditemukan di Bali dan pelbagai pulau di Asia Tenggara.130 Dari pelbagai catatan, para pandé krawang yang menempa gamelan angklung kléntangan Sidan dipandang mempunyai kekuatan batin ‘sakti’131 yang mumpuni dan keahlian yang tinggi, seperti terbukti dari aura tenget ‘penuh kekuatan keramat’ dari gamelan. Kemudian,

                                                                                                               126 1982: 10–16 127 1982: 13–14 128 “Pada Zaman Klasik, benua India merupakan pusat dari jejaring perdagangan yang menuju barat sampai dunia Mediterranean yang berkisar sekeliling Roma: meskipun namanya merujuk laut antara-benua, Mediterranean bukanlah pusat dari dunia saat itu. Sebuah peradaban lain membentang ke timur dari India, dan ada begitu banyak rujukan yang samar akan batas-batasnya di Timur. Kini, penemuan-penemuan di Bali, di kepulauan Indonesia memberi keterhubungan langsung yang sulit dipahami antara para saudagar India dengan belahan dunia paling timur tersebut.”Ardika and Bellwood (1991: 221). 129 Calo dan lain-lain (2015: 378) 130 Calo dan lain-lain (2015: 389) 131 Weiner (1995: 58) menulis: “Kekuatan, kesaktian, adalah hasil dari pembangkitan atau pemeliharaan hubungan antara seseorang dengan dunia yang tak terlihat, khususnya (walau tak sepenuhnya) para dewata dan Tuhan.”

Page 81: Download (PDF, 3.1MB)

  78  

bilah-bilah metalofon cenderung lebih tipis (dibandingkan dengan bilah-bilah yang dipengaruhi oleh kebyar) dan mempunyai gaung dan nuansa yang khas. Dari catatan Gusti Lanang yang dikumpulkan pada tahun 1982, kléntangan Sidan dipercaya aslinya terdiri dari réyong, kempur dan céngcéng (secara kolektif meliputi wewangsuhan). Wangsuh ‘basuh’ adalah proses saat sebuah bunga (jenis bebas) dicelupkan ke dalam air dan digosokkan pada alat-alat gamelan untuk membuat tirta ‘air suci’ sebagai sarana pemujaan dan penyembuhan. Tetesan air kemudian ditampung dalam gelas yang kemudian bisa diminum oleh si penderita sakit atau kemalangan di rumahnya. Masyarakat dari daerah-daerah lainnya di Bali masih datang ke Sidan untuk memohon pengobatan semacam itu, semisalnya untuk menyembuhkan seorang anak yang menderita cacat atau lumpuh. Atau mereka akan membunyikan sebuah nada (tidak memainkan melodi) pada réyong, kempur, dan céngcéng yang dipandang bisa membawa kesembuhan.132 Dewa Mangku Manggis dari Sidan baru-baru ini mengungkapkan gagasan bahwa alat-alat gamelan pada Zaman Batu adalah xilofon bambu mendatar dan bernada empat yang disebut sebgai cungklik atau tungklik (dewasa ini disebut tingklik) yang pada akhirnya membuka jalan terbentuknya gangsa perunggu berbilah datar dan kemudian gong-gong pencon.133 Perlu dicatat bahwa penjelasan sang pamangku akan alat-alat gamelan perunggu Bali pada Zaman Perunggu adalah bersesuain dengan temuan-temuan Kempers dan para arkeolog di lainnya. Seperti halnya di berbagai desa di Bali, kebanyakan gubahan tak mempunyai nama. Di Sidan, penadaan pun tak seragam antara anggota sekaa. Beberapa penabuh berpengalaman menamai keempat nada sebagai néng-nong-nang-ning, sementara para penabuh lainnya saat ditanya akan memberi nama yang berbeda. Ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh akan keragaman istilah, terutama di tengah tradisi lokal yang khas (titinada “normal” untuk angklung adalah néng-nung-nang-ning). Para penabuh menjelaskan bahwa rangkaian nada-nada ‘melodi’, tidak diajarkan secara lisan (berdasarkan nama-nama not) seperti halnya dalam mempelajari jenis-jenis gamelan lainnya, tetap dipelajari melalui praktik langsung mendengar dari memainkan ‘memukul’ alat-alat gamelan atau gegebug. Beberapa istilah musikal nampaknya unik untuk lingkup Sidan saja. Daripada kawitan ‘bagian pembuka’, penabuh Sidan menggunakan istilah pamungkah (dimainkan dua gendér, molos dan sangsih), diikuti dengan pangawak ‘tubuh, isi’ dari gubahan. Beberapa penabuh di Sidan menggunakan istilah pangécét sementara yang lainnya tidak, walau banyak gubahan memang mempunya bagian penutup yang dimainkan secara cepat. McPhee menulis:

Gubahan-gubahan pendek bisa berdasarkan pengulangan irama-irama singkat (ostinato) [bantang] atau terdiri dari permainan melodi tunggal yang diulang sekehendak hati. Gubahan-gubahan panjang mengikuti alur pangawak-pangécét tradisional. Semua bentuk menunjukkan sebuah kebebasan dalam pola-pola

                                                                                                               132 Percakapan dengan Wayan Rata (2015) 133 Percakapan (2015)

Page 82: Download (PDF, 3.1MB)

  79  

gending yang mengejutkan. Pengulangan irama-irama singkat atau ostinato tak hanya mengandung 8 atau 16 nada-nada pokok, tetapi sering terdiri dari 10, 11, atau 12 nada. Permainan berkepanjangan menunjukkan ketidakteraturan yang sama” (1966: 247).

Ia menambahkan:

Gubahan-gubahan yang kembangannya digantikan oleh permainan melodi yang jelas dan mengalir digubah secara lebih bebas…Sementara beberapa gending dari jenis ini mempunyai pergerakan pangawak dan pangécét yang berbeda, secara umum semuanya berbentuk sangat bebas. Masing-masing mempunyai bentuk tersendiri, tidak terlalu berbeda dengan yang lainnya, tetapi disusun secara khusus. Rangkaian dari bagian-bagian melodis dijalin dengan sambungan-sambungan saling-kait; pengulangan-pengulangan irama dengan permainan kembangan diperkenalkan sebagai pembeda. Persis seperti gending pawayangan dalam hal kelenturan, gending-gending ini bisa diperpanjang atau diperpendek saat pementasan melalui pengulangan berkepanjangan atau terbatas dari beragam episode (1966: 252).

Page 83: Download (PDF, 3.1MB)

  80  

Gamelan Angklung Sidan

CD Trek #12 Tabuh Merdah

Menurut beberapa penabuh termasuk Wayan Rata dan putranya Wayan Su, tabuh ini masih lestari dalam perbendaharaan gending mereka, namun tanpa judul yang sama. Merdah adalah salah satu dari empat panakawan ‘abdi’ dalam wayang kulit dan dramatari wayang wong (Ramayana) dan Parwa (Mahabharata). Sementara tak diketahui adanya hubungan langsung antara karya ini dengan sang tokoh, Wayan Rata menyarankan bahwa tabuh kemungkinan diberi judul sedemikian rupa untuk menggugah keterkaitan dengan wayang sebagai hiburan tengah-malam. Namun, McPhee menulis:

“Tentu banyak gamelan angklung menyertakan gubahan-gubahan miliknya yang diambil atau bersumber dari gending pawayangan. Gubahan angklung seperti pamungkah dan lagu gendér wayang bersumber dari pengulangan irama

Page 84: Download (PDF, 3.1MB)

  81  

empat-nada dan bagian-bagian melodi yang diserap langsung dari perbendaharaan gending-gending wayang – sebuah praktik yang menunjukkan kedekatan dan keeratan sistem dua-skala oleh masyarakat Bali” (1966: 246).

Permulaan gending (dijelaskan oleh Wayan Suweca dari Kayumas sebagai pangalihan ‘pencarian’)134 diulang-ulang setelah setiap kempur. Dalam angklung, pengalihan ini bisa di luar atau di dalam bagan utama dari tabuh atau gubahan dan dimainkan oleh satu gendér (pemadé ‘jangkauan menengah’, seperti halnya urutan nama kelahiran anak kedua di Bali, ‘Madé’). Para pendengar bisa mengamati bahwa sepanjang keempat gubahan dari Sidan ini, ada permainan melodi jégogan khususnya nada-nada rendah yang ganjil dan tidak tetap, berbeda dengan gubahan tradisional dari gamelan gong dan palégongan yang berulang menurut perhitungan umum 4, 8, 16, 32, 64, dan seterusnya. Seperti disarankan Wayan Suweca, lika-liku melodi – dibandingkan rancang-bangun gubahannya – merupakan gaya utama dari gubahan. Namun, menjadi menarik untuk mengamati bagaimana tabuh berhasil mengatasi keterbatasan tiga menit dari piringan hitam 78 rpm tersebut. Bagian delapan ketukan dari jégogan (sebut saja ‘bagian A’) diulang tiga kali, diikuti kemudian oleh ‘bagian B’ yang terdiri dari delapan ketukan jégogan yang kemudian menuju kempur pertama pada 01:14. Kemudian ‘bagian A’ kembali diulang dua kali sebelum delapan ketukan dari ‘bagian B’ dan berakhir dengan kempur kedua pada 02:12. Selanjutnya, delapan ketukan ‘bagian A’ diulang dua kali, masuk kepada ‘bagian B’ pada 02:52 yang mesti disudahi secara tiba-tiba. CD Trek #13 Ngisep Dublag

Ini adalah trek yang dikenali oleh Wayan Rata secara nama pada saat mendengarkan rekaman. Ngisep merujuk kepada salah satu dari sepasang nada gamelan yang menghasilkan ombak ‘gelombang’ atau dengung akustik dari perpaduan sepasang alat gamelan yang sama. Keduanya merujuk kepada aktivitas lebah madu: pangumbang ‘mengumbang’ dan pangisep ‘mengisap’ (selayaknya mengisap intisari dari bunga). Ombak atau dengung akustik bergerak di udara, dan komponis asal Amerika Serikat, Alvin Lucier, telah melakukan pelbagai percobaan berkenaan dengan ini dan memastikan bersama ahli-ahli akustik bahwa fenomena akustik memang benar bergerak di udara dari yang rendah (di Bali, pangumbang) menuju ke yang tinggi (di Bali, pangisep). Hal ini menegaskan kebenaran dalam pengamatan masyarakat Bali terhadap fenomena suara yang telah nyata sejak masa lampau.135 Dublag (jublag) mirip dengan jégogan, tetapi satu oktaf lebih tinggi. Komponis Wayan Beratha yang juga seorang pembuat dan pelaras gamelan, menyepakati perhitungan ini, dan menambahkan bahwa ia lebih memilih angklung - sebagai tabuh yang berhubungan dengan

                                                                                                               134 Suweca menyatakan pangalihan dibandingkan dengan kawitan ‘asal mula, awal’ yang bisa sepanjang satu frasa penuh dari kempur. Wayan Rata dari Sidan menyetujui bahwa kawitan bisa berlangsung selama itu (percakapan, 2015). McPhee menggunakan istilah umum: “setiap permainan dimulai dengan pengenalan yang lazim atau pengawit” (sama dengan kawitan). 135 Percakapan dengan Alvin Lucier (1983)

Page 85: Download (PDF, 3.1MB)

  82  

upacara-upacara kematian - untuk dilaras lebih perlahan pada enam ombak per detik agar suaranya terdengar seperti suara seseorang yang menangis.

136

McPhee menulis tentang angklung:

“...gending-gending dari gamelan standar menunjukkan keragaman struktur dan barisan melodi. Terbebas dari bentuk metrum biasa dan sistem pengulangan yang rumit seperti ditemukan pada gending gong dan pagambuhan, gending angklung menunjukkan keluwesan bentuk yang mirip dengan gubahan-gubahan gendér wayang. Sama halnya dengan jenis tabuh lainnya, gending angklung tidak dilestarikan melalui notasi apapun, namun bertahan secara keseluruhan melalui tradisi lisan (1966: 246).

Pangalihan ‘pencarian’ dalam sepuluh hitungan memulai trek dan terdengar mengikuti setiap kempur. Walau céngcéng dan rincik hampir selalu disenyapkan dalam rekaman-rekaman Bali 1928, pendengar bisa mendengarnya sesekali dan tiba-tiba dalam trek-trek Sidan. Tepukan penutup ‘cakep’ dari céngcéng pada 00:06 menandai berakhirnya pangalihan dan dimulainya bagian pokok dari tabuh. Pangalihan kembali terdengar setelah pukulan kempur. McPhee menulis:

“Seperti yang dimainkan di Karangasem, gending-gending dari gamelan standar menunjukkan keragaman struktur dan barisan melodi. Terbebas dari bentuk metrum biasa dan sistem pengulangan yang rumit seperti ditemukan pada gending gong dan pagambuhan, gending angklung menunjukkan keluwesan bentuk yang mirip dengan gubahan-gubahan gendér wayang. Sama halnya dengan jenis tabuh lainnya, gending angklung tidak dilestarikan melalui notasi apapun, namun bertahan secara keseluruhan melalui tradisi lisan (1966: 246).

Pada trek Ngisep Dublag, pendengar bisa, bila mau melakukannya, menghitung bagian-bagian lagu dalam berbagai cara, pertama melalui ketukan kelenang (bilamana sekaa Sidan menggunakan kelenang untuk menjaga ketukan; cara yang sesungguhnya tidak berlaku di sana) yang total berjumlah 60 (bukan norma irama berjumlah 64) menuju pukulan kempur (sekurangnya hanya ada dua-setengah frasa dari kempur pada 01:11 dan 02:23 sebelum gending harus terhenti. Bila pendengar menyertakan bagian pembuka pangalihan sebagai bagian dari perhitungan frasa kempur, pendengar akan mendapatkan jumlah 65 ketukan. Atau pendengar bisa sama sekali tak menghitung dan mendengarkan melodi dan irama yang berubah bentuk secara keseluruhan. CD Trek #14 Tabuh Nandir

                                                                                                               136 Percakapan di Abian Kapas (2009)

Page 86: Download (PDF, 3.1MB)

  83  

Wayan Pogog dari Banjar Lebah menyatakan bahwa gending tidak berhubungan dengan jenis tarian nandir (atau andir), dan Wayan Rata pun menyetujui hal tersebut. Sekali lagi, menurut beberapa penabuh termasuk Wayan Rata dan putranya Wayan Su, tabuh ini masih ada dalam perbendaharaan gending mereka. Tiga detik menuju pangalihan pada awal gubahan, terdapat frasa ganjl yang tak seluruhnya asing dalam angklung tetapi mencolok dalam daya hentak yang membawa dampak penuh semangat. Dari awal ada hitungan enam ketukan genap (tiga ketukan kelénang jika kelénangan dimainkan), diikuti hitungan tujuh ketukan ganda dan kemudian hitungan delapan ketukan genap (atau empat ketukan kelénang). Ini mengarah tepat kepada permainan céngcéng cakep yang meledak-ledak pada 00:08. Pada 02:22, pendengar bisa menyimak ketidaktegasan para penabuh saat mereka memainkan peralihan lebih awal dari seharusnya (untuk memenuhi tuntutan batas waktu tiga menit dari rekaman) menuju frasa yang mengarah kepada kempur. CD Trek #15 Tabuh Lantang

Lantang ‘panjang’ tidak mengandung hubungan khusus dengan gending menurut Wayan Rata, dan sementara gubahan ini masih dimainkan di Sidan, gubahan ini tak disebut dengan judul apapun. Para penabuh di Sidan menjumpai bahwa permainan kendang pada rekaman bersejarah 1928 ini jauh lebih sederhana dibanding permainan masa sekarang – tidak terjalin dengan alat-alat gamelan lainnya dan hanya berfungsi sebagai unsur pelengkap tabuh daripada sebuah entitas irama. Namun, mereke menghargai susunan gending yang lebih rumit, dan berkehendak untuk menghidupkan dan menerapkannya kembali di masa kini. Kembali alunan melodi jégogan pada nada-nada rendah dimainkan dalam pola-pola ganjil, mempertajam derasnya melodi dibanding membuat sebuah struktur gending yang tetap selayaknya jenis-jenis gending lainnya. Permainan pangalihan ‘intro’ yang berulang pada 02:10 dan kembali pada 02:25, jelas di luar pola gending dan terdengar tanpa ketukan yang tetap; kian menggugah perasaan alih-alih ‘mencari-cari’.

Page 87: Download (PDF, 3.1MB)

  84  

Page 88: Download (PDF, 3.1MB)

  85  

Page 89: Download (PDF, 3.1MB)

  86  

Gamelan Angklung Pemogan, Denpasar

Nyoman Kaler (1892-1969) adalah penabuh, komponis, ahli tari, dan akademisi dari Pemogan yang mempunyai keterkaitan yang erat dengan ansambel gamelan angklung Pemogan. Hal tersebut diungkap oleh putranya yang bernama I Nyoman Wisura ketika ia menjadi tuan rumah saat kami dipertemukan dengan anggota sekaa angklung Pemogan. Keempat tabuh angklung dalam rekaman yang secara sengaja dirancang dan digubah agar memenuhi batasan tiga menit dari rekaman tahun 1928 merupakan buah karya dari Nyoman Kaler sebagai komponis. Gamelan milik mereka dilaras lebih rendah (dengan cara mengerik dan mengikis bagian bawah dari bilah-bilah perunggu agar lebih tipis) pada tahun 1950-an agar lebih cocok saat mengiringi pementasan légong dan topéng. Rangka gamelan diprada emas dan masih dalam keadaan yang sama seperti di tahun 1928. Tetapi saat mendengarkan rekaman, mereka membahas tentang kepemilikan gamelan baru yang mempunyai suara kuna dan manis dan dipergunakan untuk memainkan perbendaharaan karya-karya kuna. Dewasa ini, angklung hanya dimainkan saat upacara-upacara pitra yadnya. Umumnya, pangécét dimainkan terus-menerus saat para penabuh berjalan dari rumah duka menuju area kuburan, dan setibanya di sana, mereka akan mengubah permainan menjadi pangawak dari lagu yang baru.

Page 90: Download (PDF, 3.1MB)

  87  

Ansambel Pemogan mempunyai perangkat standar yang terdiri dari empat pemadé (gangsa), empat kantilan, dan dua jégogan (semua dengan bilah-bilah yang disangga di atas tabung penggema), rincik ‘simbal-simbal kecil’ yang dimainkan seorang penabuh, kelenang ‘gong péncon kecil’ sebagai penjaga ketukan, dua kendang kecil, kempur ‘gong kecil’ dan suling. CD Trek #16 Pis Satus Selaka Loyang

Judul ini bisa diterjemahkan sebagai ‘seratus keping uang dalam loyang perak’. Para penabuh Pemogan masih memainkan karya ini. Saat permainan pangawit ‘pengenalan’, pendengar bisa menyimak bahwa kelenang (gong péncon bernada tinggi) sesuai ketukan pada permulaan 00:08, lalu berubah menjadi permainan off-beat ‘penekanan pada nada-nada lemah) pada 00:30 yang berlanjut sampai akhir. Jégogan memainkan ketukan yang tetap (bahkan pada saat tempo dipercepat) dengan satu pengecualian pada 00:50 (dan kembali pada saat refrain pada 02:30). Pada saat ini, jégogan bermain pada nada tertinggi ding, bersamaan dengan melodi dari gendér, dan pemukulan berulang kali dari ding tinggi oleh metalofon-metalofon berukuran lebih kecil secara lembut ditimpali oleh ombak ‘gelombang getaran’ dari jégogan yang mengalun selama dua ketukan tambahan. CD Trek #17 Sekar Jepun

Wayan Konolan menunjukkan bahwa tabuh ini – masih dimainkan oleh para penabuh di Pemogan – sangat pantas untuk upacara-upacara di tanah pekuburan. McPhee mentranskripsi dan menotasi melodi dari gubahan ini dan berkomentar, “Sejauh ini, nada-nada pokok nampaknya mempunyai perhitungan waktu yang sama. Namun, dalam pelbagai gending, melodi jégogan menjadi lebih mengalir, dengan beberapa nada-nada khusus dipanjangkan dua, tiga, atau bahkan lebih dibandingkan perhitungan normalnya” (1966: 248). Dampak dari ketidakteraturan ini dalam Sekar Jepun menunjukkan peran jégogan yang lebih pada aspek lirikal dari gending. CD Trek #18 Pangawak Bérong

Kemungkinan kata bérong menyiratkan makna yang berbeda di tahun 1928 dibandingkan dengan masa kini, namun pengertian paling umum adalah sebuah nada yang sumbang. Wayan Konolan menyarankan bahwa penamaan tersebut hanya bermaksud jenaka, dan kemungkinan mencerminkan suara kempur yang dijelaskannya sebagai poh dibandingkan dengan pur-r-r-r-r yang lebih merdu. Para penabuh Pamogan masih memainkan lagu ini. Kempur kecil dalam ansambel angklung kerap tidak selaras dengan alat-alat gamelan lainnya dengan tujuan menerobos keterpaduan bunyi dari gamelan. Menurut McPhee, di tahun 1930-an, kempur “umumnya dilaras sedikit lebih rendah dari nada terendah dari jégogan” (1966: 245) CD Trek #19 Pangécét Bérong

Di Bali masa kini, suling selalu disertakan dalam ansambel angklung (kecuali di Sidan dan Banjar Batur, Kamasan, Klungkung), tetapi McPhee menegaskan sebuah praktik masa lalu terkait pembawaan Bérong Pangécét, “Keragaman bisa muncul dalam permainan melalui pengubahan susunan alat-alat gamelan dalam ansambel. Dalam rekaman gamelan Mogan

Page 91: Download (PDF, 3.1MB)

  88  

[Pemogan] oleh Odeon, sebuah suling disertakan dalam ansambel – sebuah praktik yang tak lazim di masa sekarang” (1966: 251). Merujuk secara khusus kepada dua trek ini, McPhee menulis:

Pangecet dan pangawak biasanya dimainkan tanpa jeda, dan kerap dijalin oleh sebuah bagian peralihan yang berlanjut dari pangawak menuju bagian utama dari pangécét…Pangécét umumnya berhubungan secara tematik dengan pangawak. [Pada trek #18 dan #19] bagian utama dari pangecet terdiri dari ostinato ‘pengulangan frase musikal’ 16 nada yang bersumber dari 16 nada pokok pertama dari pangawak… Bagian peralihan yang memperkenalkan pangecet dimainkan secara serempak oleh alat-alat gamelan pukul berbilah perunggu (metalofon). Dimulai mengikuti tempo dari pangawak sebelumnya yang nada-nada pokoknya mengalir dengan kecepatan M. 48, permainan secara perlahan makin cepat sampai dua kali lipat, ketika nada dasar dari pangecet terdengar untuk pertama kalinya. (1966: 249-250).

Rekaman sebenarnya dimulai pada saat pangawak dan pada 00:26 memulai peralihan menuju pangécét. McPhee berkomentar bahwa suling adalah komponen tak lazim dalam gamelan angklung pada tahun 1930-an dan:

Dua kali selama péngécet, bagian utama dari gamelan berhenti bermain; kembangan dilanjutkan oleh suling secara sendirian, mengalun melawan melodi jégogan yang kini bergerak dalam kecepatan ganda (ibid: 261).

Gending ini sudah hilang dari repertoar karya di Pemogan dan para penabuh Pemogan yang berkesempatan menyimak rekaman sangat terkesima dengan pengulangan bagian gending yang mengedepankan permainan jégog dan suling. Para penabuh pun membahas untuk menghidupkannya kembali di masa sekarang. Anggota tertua dari sekaa, I Ketut Konolan, mengingat dengan jelas gending tersebut. Ketika sekaa mengeluarkan dua buah gangsa, ia dan seorang penabuh muda bermain bersama mengikuti alunan gending dari rekaman bersejarah tahun 1928. CD Trek #20 Lagu Sesetan

Gamelan Angklung Banjar Bun

Banjar Bun masih memiliki réyong (kléntang) kuna yang digunakan untuk mapeed ‘pawai adat’. Ansambel gamelan tersebut tidak mempunyai curing (cururing) seperti halnya angklung kléntangan Sidan atau céngcéng cakep (kopyak). Wayan Suweca menambahkan bahwa ada kemiripan dengan Sidan dalam hal permainan kembangan oncangan, namun hanya pada beberapa tabuh saja. Menurut penabuh Wayan Konolan (1923–2008) yang merupakan teman dan rekan kerja Ida Boda di Radio Republik Indonesia, jangkauan suara Ida Boda pun merendah seiring usianya, dan itulah yang diakrabi oleh kebanyakan masyarakat Bali. Pak Konolan menjelaskan bagaimana Ida Boda gemar menyanyi dalam nada-nada tinggi seperti

Page 92: Download (PDF, 3.1MB)

  89  

terdengar dalam rekaman Bali 1928, vol. II dan V mendatang, dan menunjukkannya dalam pementasan topéng (umumnya diiringi gamelan gong) dengan menggunakan gamelan angklung yang mempunyai titinada tinggi dari Banjar Bun. Tetapi Ida Boda mengatur agar gamelan dari Banjar Bun tersebut dipinjamkan dan dimainkan oleh para penabuh dari Belaluan pada perayaan-perayaan hari suci seperti Tumpek Landep, Tumpek Wayang atau odalan ‘perayaan hari kelahiran sebuah pura’.

Kebebasan yang diberikan kepada suling untuk menyimpang dari tinggi-rendah nada yang

Page 93: Download (PDF, 3.1MB)

  90  

tetap adalah hal yang sangat menarik, mengingat ketelitian dan ketepatan dalam pengolahan perunggu, pembuatan dan pelarasan gamelan Bali. Namun, permainan suling dalam pembawaan gending ini menyimpang jauh dari kebiasaan dan mengalun jauh memasuki relung béro ‘sumbang’ yang dalam seni suara kerap disanjung dan dihargai sebagai unjuk kemampuan akan kehalusan bila dilakukan secara sengaja. Ada kemungkinan pada saat rekaman, pemain suling tidak membawa perangkat yang biasanya ia gunakan dan nampaknya ia membutuhkan banyak waktu untuk menyesuaikan permainannya dengan pelarasan gamelan. CD Trek #21 Semarandana

Duet Suling oleh I Klingeng Buta dan Ida Bagus Pegug dari Ubud

Sama halnya dengan Sinom (trek #1), Semarandana adalah sebuah jenis tembang yang disebut pupuh atau secara formal sebagai sekar macapat ‘nyanyian dalam hitungan emapt suku kata’ atau sekar alit. Menurut teman dan rekan penabuh Ida Boda yang bernama I Wayan Rugeh (1929-2014) serta keponakan Ida Boda yang bernama Ida Wayan Padang (1913-2012), sesi mabebasan pada masa awal abad ke -20 sering melibatkan seorang penyanyi tunggal (dan penerjemah) yang diiringi permainan suling. Mereka akan mabebasan ‘sesi menyanyi dan menerjemahkan kakawin’ (kini lebih sering disebut sebagai pasantian) pada pelbagai kesempatan yang berkaitan dengan upacara dalam lingkup pura atau rumah tangga. Wayan Rugeh yang kerap menyaksikan acara semacam itu mengatakan bahwa mereka sering melakoni mabebasan di ruang terbuka dekat batas jalan yang dibatasi pagar bambu untuk memisahkan panggung mabebasan dengan para penonton. Di Bali masa kini, para penyanyi tunggal tembang, kidung dan kakawin – pentas dalam pasantian dengan iringan gamelan gaguntangan yang secara tradisi mengiringi dramatari arja dan juga mengetengahkan permainan suling. Ida Pedanda Gde Manuaba (±1920–) dari Geria Peling, Padang Tegal, Ubud, mengingat bahwa salah satu dari dua penabuh tersebut yang bernama I Klingeng Buta merupakan teman ayahnya yang sebelum pindah ke Ubud berasal dari Keramas, sebuah desa yang terkenal karena dramatari arja yang melibatkan permainan suling. Sang pedanda menjelaskan bahwa Klingeng Buta tidaklah buta ‘tuna netra’, namun dipanggil demikian karena usianya yang sangat uzur.137 CD Trek #22 Lagu Tangis

Suling tunggal oleh I Klingeng Buta

Permainan suling solo yang luar biasa ini menimbulkan pertanyaan tentang alasan pemberian judul Lagu Tangis kepada gending, karena senyatanya bagi sebagian besar pendengar kami, gending terdengar sangat riang. I Wayan Pogog (sekitar 1920-2009) dari Banjar Lebah, pemain suling di Radio Republik Indonesia berkomentar bahwa lagu ini tidaklah terdengar sebagai lagu penuh pilu. Ia lanjut menjelaskan bahwa ini mirip dengan

                                                                                                               137 Percakapan di Padang Tegal (2014)

Page 94: Download (PDF, 3.1MB)

  91  

bagian pangécét dari gamelan angklung, tetapi permainan suling menjadi sangat menarik karena menimpali dan mengisi permainan dari pelbagai alat-alat gamelan dengan kelincahan saling-kait kotékan (atau yang disebut oleh Wayan Suweca dari Kayumas sebagai ubit-ubitan). Jawaban pertama yang terlintas dalam benak terkait “riang atau sedih” adalah selera humor yang ironis seperti yang ditunjukkan oleh Ida Boda sebagai seorang panasar ‘pemangku/pembawa cerita secara jenaka’. Sebagai contoh, dalam Bali 1928, vol. II, trek #5 yang berjudul Mas Kumambang, Boda menerjemahkan bait-bait dari kisah asmara penuh keputusasaan dan kesengsaraan yang dinyanyikan Ida Bagus Oka itu, penuh dengan selingan tawa berkepanjangan. Dalam cara yang berbeda, Lagu Tangis ini tentu mengungkap relung emosi yang berkaitan dengan gamelan angklung. Tetapi Ni Nyoman Candri, pelaku arja dari Singapadu mengamati bahwa hembusan dan helaan nafas sekali waktu dalam permainan suling adalah menirukan sigsigan ‘isak tangis’ dan menyarankan bahwa maksud dari Klingeng Buta adalah untuk sekaligus menggugah emosi pilu dari sebuah upacara kematian – sebagaimana alunan lirih dari angklung – dan isak tangis dari anggota keluarga dan kerabat yang berduka. Bisa saja, ini merupakan cara Klingeng Buta menyampaikan kesan mendalam dari sebuah keadaan melalui kesederhanaan alunan sebuah tabung bambu.

Page 95: Download (PDF, 3.1MB)

  92  

Keterangan Tentang DVD Bali 1928, vol. IV

Page 96: Download (PDF, 3.1MB)

  93  

Seni Pertunjukan Upacara dan Yadnya di Bali Tahun 1930-an Selain CD Bali 1928, vol. IV Seni Pertunjukan Upacara, volume ini juga menyertakan sebuah DVD yang berjudul Seni Pertunjukan Upacara dan Yadnya di Bali Tahun 1930-an yang memuat beragam cuplikan film tanpa suara tentang ranah berkesenian baris, bebonangan, gambuh, dan angklung serta pelbagai cuplikan yang menggambarkan suasana pelaksanaan yadnya di Bali pada masa tahun 1930-an. Cuplikan-cuplikan ini dikumpulkan dari film-film karya Colin McPhee, Miguel Covarrubias dan Rolf de Maré. Direkam oleh Colin McPhee antara tahun 1931-1938:

• Bebonangan (Balaganjur) • Gambuh Puri Tabanan • Gamelan Gambuh • Suling Gambuh di Batuan • Gamelan Angklung Kléntangan • Gamelan Angklung anak-anak di Sayan, Gianyar dengan angklung kocok

• Gamelan Angklung Kocok di Culik, Karangasem • Gamelan Gong Luang Singapadu

Direkam oleh Miguel Covarrubias antara tahun 1930-1934: • Pedanda Nyurya Sewana

• Piodalan • Plebon

Direkam oleh Rolf de Maré pada tahun 1938: • Baris Goak Jangkang, Nusa Penida

Naskah penelitian, pemutakhiran informasi, serta pelbagai foto dan film arsip tahun 1930-

an bisa disimak lebih lanjut di www.arbiterrecords.org dan dalam bahasa Indonesia di

www.bali1928.net

Penghargaan dan Ucapan Terima kasih

Page 97: Download (PDF, 3.1MB)

  94  

Proyek Bali 1928 ini telah diuntungkan oleh partisipasi dari berbagai pihak. Tim peneliti inti dari volume Seni Pertunjukan Upacara ini termasuk I Ketut Kodi (Singapadu), Ni Ketut Suryatini (Kayumas Kaja), Ni Ketut Arini (Banjar Lebah) I Nyoman Astita (Kaliungu Kaja), Komang Ongki (Batuan), dan penulis sendiri. Penelitian kami di tahun 2003 secara seksama mempelajari pelbagai jenis gamelan dan nyanyian dengan tim peneliti termasuk Ketut Suryatini, I Made Arnawa (Tunjuk), Wayan Dibia (Singapadu) dan penulis sendiri. Tim peneliti utama pada tahun 2006, ‘07, ‘08–’09, dan ‘13–‘15 terdiri dari Ketut Kodi, Ketut Suryatini, Ketut Arini, Wayan Dibia, Komang Ongki, dan penulis sendiri. Transkripsi naskah-naskah dan terjemahannya dari bahasa Bali dan Kawi ke bahasa Indonesia dilakukan oleh I Nyoman Suarka, Ketut Kodi, Marlowe Makaradhwaja, Ida I Dewa Gde Catra (Sidemen/Amlapura), I Ketut Wirtawan dan I Nyoman Catra. Penasihat ahli untuk penerbitan di Indonesia adalah I Made Bandem. Walau proyek ini tidak akan terlaksana tanpa diskursus lintas-subyek yang mendalam melalui kerjasama dan kebersamaan yang menyenangkan selama bertahun-tahun, saya bertanggung jawab atas segala kesalahan yang mungkin ditemukan para pembaca dalam artikel ini. Ucapan terima kasih setulusnya kami sampaikan kepada para seniman, informan dan konsultan yang telah membantu penggarapan volume ini termasuk including I Wayan Suweca dan I Wayan Konolan (Kayumas Kaja), Ni Nyoman Candri (Singapadu), I Ketut Kanthor, I Wayan Sura, Ida Bagus Tegog (Batuan), I Dewa Putu Serong (Batuan/Silungan), I Nyoman Sudiana (Pedungan), I Nyoman Rata, Pande Putu Sunarta, Pamangku I Dewa Putu Agung (Pura Bukit Camplung, Sidan), I Dewa Mangku Manggis (Pura Masceti, Sidan), I Nyoman Wisura (Pemogan), Ida Pedanda Gde Manuaba dari Geria Peling, Padang Tegal, Ubud, Ida Bagus Pujiarsa (Geria Kaliungu), I Nyoman Rembang (Sesetan), I Wayan Beratha dan I Nyoman Yudha (Belaluan-Sadmertha), I Wayan Pamit (Kaliungu Kelod), I Made Netra and I Wayan Pogog (Lebah), I Ketut Gede Asnawa (Kaliungu Kaja), N.L.N. Suasthi Widjaja Bandem (Denpasar), I Komang Sudirga (Abang), Desak Made Suarti Laksmi (Manggis), dan Ida Bagus Pidada Kaut (Geria Pidada, Klungkung). Ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada I Gede Arya Sugiartha, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, yang menjadi tuan rumah bagi seminar-seminar kami tentang berbagai isu yang berkaitan dengan riset dan dokumentasi.   Kami sampaikan penghargaan setinggi-tingginya atas partisipasi seniman-seniman dan para narasumber yang terlibat dalam keseluruhan proyek Bali 1928 ini termasuk I Wayan Begeg (Pangkung), Ida Bagus Pidada Kaut (Geria Pidada, Klungkung), Ida I Dewa Gde Catra (Amlapura), Mémén Redia, I Wayan Redia, Made Monog (Kedaton), I Wayan Beratha (Belaluan-Sadmertha), I Wayan Pamit (Kaliungu), I Putu Sumiasa (Kedis Kaja), Guru Rsi Gde Adnya (Sawan), I Gusti Gde Tika dan I.G.B.N. Pandji (Bungkulan), I Dewa Putu Berata (Pengosekan), I Wayan Madra Aryasa (Subamia, Tabanan), I Nyoman Sumandhi (Tunjuk), I Wayan Rugeh (Abian Kapas), Ida Wayan Padang dan Ida Made Basma (Budakeling), Mamik Ambar, Ida Bagus Made Gandem, Ida Nengah Pidada, Ida Ketut Pidada (Cakranegara, Lombok), I Madé Sija (Bona), Ni Nengah Musti (Bubunan/Kedis), I Wayan Weker, I Gde Kuat Kusnadi, I Gde Ratep Suryasa dan I Ketut Artika (Busungbiu), I Gusti Ngurah Gede Sumantra dan I Gusti Ngurah Agung (Tegaltamu), I Putu Mataram, I Wayan Budiyasa, I Ketut Nurina, dan I Gde Putra (Jineng Dalem, Singaraja), I Gusti Bagus Sudyatmaka Sugriwa (Ida Rsi Agung Bungkulan), I Wayan Kelo, I Wayan Teling, I Wayan

Page 98: Download (PDF, 3.1MB)

  95  

Pursa, I Made Artajaya, I Wayan Karyasa, I Wayan Suwija, I Wayan Egler dan I Wayan Darta (Kuta), I Wayan Sinti (Ubung), I Gusti Serama Semadi (Saba), De Guh (Titih), I Wayan Tangguh (Singapadu), I Wayan Loceng, I Wayan Nartha (Sukawati), I Wayan Lura, I Ketut Suendra, I Nyoman Mindra (Tumbak Bayuh), I Wayan Gunastra (Kaliungu Kelod), Pedanda Gde Ida Bagus Rai (Tampakgangsul), Ida Wayan Ngurah (Budakeling), Ni Wayan Murdi (Sumerta), I Kadek Wahyudita (Kebon Kuri Mangku), I Gede Anom Astawa (Sebudi), I Wayan Dedi (Tanjung), Ni Gusti Raka Rasmi (Peliatan), I Wayan Lantir (Teges Kanginan), Dewa Nyoman Widja dan Desak Made Warni (Penarukan, Singaraja), Bu Kinon, Dadong Wirasta (Ibu Tin) dan Ni Ketut Mitar (Abian Timbul), Ida Pedanda Gde Oke (Geria Toko, Sanur), Mangku Regig (Abian Nangka), Ida Pedanda Ngurah Bindu (Kesiman), Ni Jero Ranten (Sukawati/Abian Kapas), Ni Desak Made Suarti Laksmi (Manggis), I Wayan Gendra (Batuan), Ida Pedanda Gde Made Tembawu (Aan, Klungkung), Ida Bagus Rai (Geria Pidada, Klungkung), I Gusti Ketut Sudhana (Negara), Anak Agung Gde Ngurah Oka Jaya (Puri Klungkung), Ni Luh Sustiawati (Kedis Kaja), I Gusti Made Peredi (Jeroan Abasan), Jro Mangku Gede Penyarikan, Jro Gede Kehen dan Jro Mangku Gede Dalem Purwa (Pura Kehen, Bangli), Arya Godogan (Marga), I Gusti Nyoman Wirata dan Mangku Wayan Putra (Pura Beda), I Gusti Nengah Nurata dan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang (Banjar Tegal Belodan, Tabanan). Kami sampaikan terima kasih atas saran-saran dalam hal bahasa, kesusastraan, karawitan, dan budaya kepada Hildred Geertz, Evan Ziporyn, Thomas M. Hunter, I Nengah Medera, Hedi Hinzler, I Wayan Juniartha, Mas Ruscitadewi, Beth Skinner, Tilman Seebass, Danker Schaareman, Jose Evangelista, I Wayan Ardika, Raechelle Rubinstein, Ruby Ornstein, David Sandberg, John Stowell, Sugi Lanus, I Nyoman Darma Putra, I Made Suastika, Ron Lilley, Ida Ayu Ari Janiawati, I Made Setiawan, Anak Agung Ayu Kusuma Arini, serta Anak Agung Made Djelantik dan Anak Agung Ayu Bulan Trisna Djelantik yang telah berbagi kenangan dan surat-surat dari Raja Karangasem, Anak Agung Anglurah Djelantik kepada Mangkunegara VII dari Surakarta. Terima kasih setulusnya kepada Andrew Toth, Anthony Seeger, Judith Becker, Mark Slobin, June Nash, dan Sue Flores atas berbagai masukan berharga dan dukungannya, serta Robert J. Buckley dan para staf Research Administration di Hunter College termasuk juga RF–CUNY atas dukungannya. Akses kepada koleksi piringan hitam 78 rpm telah dimungkinkan atas kebaikan University of California, Los Angeles, Ethnomusicology Archive dan the Colin McPhee Estate (terima kasih kepada John Vallier, Maureen Russell, Anthony Seeger, Marlowe Hood, Jacqueline DjeDje dan Aaron Bittel), Museum Nasional Indonesia di Jakarta (Retno Sulisthianingsih, mantan direktur) dan Sana Budaya di Yogyakarta, Laurel Sercombe di University of Washington, New York Public Library, Martin Hatch di Cornell University, Nancy Dean dan Ellen Koskoff, Totom Kodrat dan Soedarmadji J.H. Damais di Jakarta (dan juga koleksi Louis Charles Damais), Wim van der Meer dan Ernst Heins di Jaap Kunst Archives, University of Amsterdam, Jaap Erkelens, Anak Agung Ngurah Gdé Agung, Puri Karangasem, Allan Evans, Michael Robertson, dan Pat Conte. Ucapan terima kasih khusus juga kami sampaikan kepada Rocio Sagaon Vinaver, Djahel Vinaver dan José G. Benitez Muro atas izin yang diberikan untuk memakai rekaman film

Page 99: Download (PDF, 3.1MB)

  96  

dari Bali karya Miguel Covarrubias yang telah sangat berguna untuk menggugah kembali kenangan-kenangan masa lalu dari para seniman generasi tua. Film-film Rolf de Maré disertakan dalam proyek ini atas izin dari Dansmuseet dan the Rolf de Maré Foundation, Stockholm. Reproduksi foto-foto Arthur Fleischmann digunakan atas izin keluarga Arthur Fleischmann. Foto-foto oleh Walter Spies diterbitkan ulang atas seizin Walter Spies Foundation, Holland. Kami haturkan terima kasih setulusnya atas kemurahan hati dan kepercayaan dari UCLA Ethnomusicology Archive, yang telah meminjamkan banyak piringan hitam aslinya dan juga cuplikan film dan foto-foto oleh Colin McPhee yang sungguh tak ternilai dan berperan begitu besar dalam proyek ini. Terima kasih khusus kepada Philip Yampolsky atas ketangkasannya sebagai Program Officer di Ford Foundation, Jakarta (yang mendukung penelitian kami pada tahun 2003, 2006 dan 2007) dan sebagai informan akan sejarah dan keberadaan rekaman-rekaman Odeon-Beka, yang tanpa perannya, koleksi ini tak mungkin kami kumpulkan dan kompilasi. Endo Suanda (Tikar Media Budaya Nusantara) membantu kami memvisikan dan mengatur proyek Bali 1928 pada masa permulaannya. Terima kasih kepada Asian Cultural Council atas pendanaan penelitian selama tahun 2008–2009. Dukungan juga datang dari Ray Noren dan juga Yayasan Bali Purnati. The Research Foundation of the City University of New York (CUNY) telah menerima hibah dari The Andrew W. Mellon Foundation untuk mendukung penelitian yang melibatkan Edward Herbst sebagai pimpinan proyek, etnomusikolog dan peneliti utama, bersama Arbiter of Cultural Traditions di New York, dipimpin oleh Allan Evans, dan STMIK STIKOM Bali, di bawah koordinasi I Made Marlowe Makaradhwaja, di Indonesia. Bali 1928 Project, “Restoration, Dissemination and Repatriation of the Earliest Music Recordings and Films in Bali” akan menghasilkan lima volume CD, DVD dan kaset di Amerika Serikat dan Indonesia, dan juga menyediakan arsip audio-visual melalui pusat data seni dan teknologi berbasis internet di http://www.bali1928.net. Rekan penerbit kami di Indonesia adalah STMIK STIKOM Bali yang dipimpin Dadang Hermawan dengan koordinator proyek dan penerjemah Marlowe Makaradhwaja, video editor Ridwan Rudianto, dan desainer grafis Jaya Pattra Ditya. Beth Skinner secara konsisten memberi saran dan dukungan yang tak bisa dihitung kepada proyek ini. Saya selalu terinspirasi oleh putra dan putri saya, Nico dan Gabrielle, yang tarian dan gubahan musiknya sealami bernafas. Dan akhirnya, apresiasi mendalam kami haturkan kepada Allan Evans dari Arbiter of Cultural Traditions atas kemahirannya dalam mendengarkan, kecanggihan teknisnya dalam rekayasa suara ‘sound engineering’, keahliannya dalam bidang pemutar piringan hitam ‘turntable’ dan dedikasinya yang tulus dalam proses pemulangan kembali ‘repatriation’ dengan tujuan membuat rekaman-rekaman bersejarah ini tersedia untuk masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya.

Edward Herbst pertama kali mengunjungi Bali pada tahun 1972 sembari menyelesaikan studi B.A. di Bennington College dan dibiayai oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Page 100: Download (PDF, 3.1MB)

  97  

(LIPI) selama setahun untuk mempelajari gendér wayang dan palégongan dari I Made Gerindem di Teges Kanginan, praktik pembuatan dan akustik gong di Tihingan, Klungkung, dan keterhubungan gamelan dan dramatari. Ia dan Beth Skinner belajar dari I Nyoman Kakul, master gambuh, baris, dan topéng, sembari tinggal dengan keluarganya di Batuan. Pada tahun 1980-1981, Herbst mendapat hibah dari Fulbright-Hays untuk mempelajari dan meneliti pementasan musik vokal dengan gamelan dan dramatari di Bali selama lima belas bulan, berguru di antaranya dengan I Made Pasek Tempo dari Tampaksiring, Ni Nyoman Candri, Wayan Rangkus dan Pande Made Kenyir dari Singapadu, serta I Ketut Rinda dari Blahbatuh. Herbst ditugaskan oleh sanggar teater-tari eksperimental Indonesia di bawah pimpinan Sardono Kusumo untuk berkolaborasi sebagai komponis dan vokal tunggal dalam Maha Buta di Swiss dan Mexico serta dalam film karya Sardono, The Sorceress of Dirah, di Indonesia. Setelah meraih Ph.D dalam bidang Etnomusikologi dari Wesleyan University, Herbst kembali berada di Bali selama empat bulan pada tahun 1992 (dibiayai oleh Asian Cultural Council) untuk menyelesaikan penelitian untuk buku Voices in Bali: Energies and Perceptions in Vocal Music and Dance Theater. Herbst terus membagi waktunya antara penelitian, mengajar dan turut serta dalam berbagai proyek kreatif di Indonesia dengan perannya di Amerika Serikat sebagai co-artistik direktur dan komponis untuk kelompok pementasan Triple Shadow. Saat ini ia adalah peneliti senior di Department of Anthropology, Hunter College–City University of New York. Sepanjang tahun 2014-2015, Edward Herbst akan melakukan berbagai studi lapangan dan seminar di Bali yang berhubungan dengan rekam jejak musik tahun 1928 dan keberlanjutannya di masa sekarang. Hibah Fulbright Senior Research Scholar Award 2014-15 membantu Edward Herbst dalam melaksanakan penelitian lapangan dan seminar-seminar yang berkaitan dengan rekaman-rekaman bersejarah tahun 1928 ini dan seni-budaya Bali masa kini, disponsori oleh AMINEF dan Kementerian Riset dan Teknologi, Republik Indonesia. Daftar Pustaka dan Bacaan Lanjutan

Page 101: Download (PDF, 3.1MB)

  98  

Ardika, I Wayan, I Gde Parimartha, A. A. Bagus Wirawan. 2013. Sejarah Bali Dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press. _____. and Peter Bellwood. 1991. “Sembiran: the beginnings of Indian contact with Bali.” In Antiquity 65: 221-32. Canberra: Department of Prehistory and Anthropology, The Australian National University. Arthanegara, G.B. et al. 1980. Riwayat Hidup Seniman dan Organisasi Kesenian Bali. (Denpasar: Proyek Penggalian/Pembinaan Seni Budaya Klasik [Tradisional] dan Baru). Artika, I Gusti Lanang Oka. 1982. “Gambelan Angklung di Sidan”. Sarjana Muda thesis. (Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia). Aryasa, I Wayan et al. 1984–85. Pengetahuan Karawitan Bali (Denpasar: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Astita, I Nyoman. 2002. “I Lotring: (Tokoh Pembaharu Seni Tabuh Pelegongan di Bali).” In: Mudra, Vol. 10, No. 1. 126–140. (Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar). Bandem, I Madé. 2009. Wimba Tembang Macapat Bali. (Denpasar: BP STIKOM Bali). _____. 1986. Prakempa: Sebuah Lontar Gamelan Bali. (Denpasar: ASTI). _____. 1991. “Tari Sebagai Simbol Masyarakat.” Jurnal Seni (ISI: Yogyakarta). _____. and Fredrik E. deBoer. 1981. Balinese Dance in Transition: Kaja and Kelod. (2nd Edition. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1995). _____. 1983b. Ensiklopedi Tari Bali. (Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia). Bandem, N.L.N. Suasthi Widjaja. 2007. “Dramatari Gambuh dan Pengaruhnya pada Dramatari Opera Arja.” Doctoral diss. Universitas Gadja Mada, Yogyakarta _____. 2012. Dharma Pagambuhan. (Denpasar: BP STIKOM Bali). Bartók, Béla. 1992. Béla Bartók Essays, ed. Benjamin Suchoff (Lincoln: University of Nebraska [Bison] Press). Becker, Judith. 2004. Deep Listeners: Music, Emotion and Trancing (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press). _____. 1993. Gamelan Stories: Tantrism, Islam, and Aesthetics in Central Java (Arizona State University: Program for Southeast Asian Studies). _____. and Alan H. Feinstein, eds. 1988. Karawitan: Source Readings in Javanese Gamelan and Vocal Music, 3 vols. (Michigan Papers on South and Southeast Asia. Ann Arbor: The University of Michigan). Belo, Jane, ed. 1970. Traditional Balinese Culture (New York: Columbia Univ. Press). _____. 1960. Trance in Bali. (New York: Columbia University Press). _____. 1949. Bali: Rangda and Barong. (Seattle and London: University of Washington Press). Calo, Ambra et al. 2015. “Sembiran and Pacung on the north coast of Bali: a strategic crossroads for early trans-Asiatic exchange.” In Antiquity 89: 378–396. Catra, I Nyoman. 2005. “Penasar: A Central Mediator in Balinese Dance Drama/Theater” (Ph.D. diss. Wesleyan University). Carpenter, Bruce W., John Darling, Hedi Hinzler, Kaja M. McGowan, Adrian Vickers, and Soemantri Widagdo. 2014. Lempad of Bali: The Illuminating Line. (Singapore: Editions Didier Millet). Cohen, Mathew Isaac. 2006. The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891–1903. (Athens: Ohio University Press). Covarrubias, Miguel. 1937. Island of Bali. (New York: A. A. Knopf). [Reprinted 1956].

Page 102: Download (PDF, 3.1MB)

  99  

Darma Putra, I Nyoman. 2009. “‘Kidung Interaktif’: Reading and Interpreting Traditional Balinese Literature through Electronic Mass Media.” In Indonesia and the Malay World. Volume 37, Issue 109. Dibia, I Wayan. 2012. Taksu: in and beyond arts. Yogyakarta: Wayan Geria Foundation. _____. 2008. Seni Kakebyaran, ed. Dibia (Denpasar: Balimangsi Foundation). _____. and Ballinger, Rucina. 2004. Balinese Dance, Drama and Music: A Guide to the Performing Arts of Bali (Singapore: Periplus Editions). _____. 1992. “Arja: A Sung Dance Drama of Bali; A Study of Change and Transformation.” (Ph.D. diss., University of California, Los Angeles). Djelantik, A.A. Madé. 1997. The Birthmark: Memoirs of a Balinese Prince. Hong Kong: Periplus Editions. _____. “Peranan Guru Seni Non Formal Dalam Masyarakat Suku Bangsa.” Mudra: Jurnal Seni Budaya (Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 1993) 16–35. Fleischmann, Arthur. 2007. Bali in the 1930s: Photographs and Sculptures by Arthur Fleischmann. (The Netherlands: Pictures Publishers). Formaggia, Maria Cristina. 2000. Gambuh: Drama Tari Bali. Jilid I dan II (2 vol.) Jakarta: Yayasan Lontar (Lontar Foundation). Geertz, Clifford. 1983. Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology. New York: Basic Books Classics. _____.1980. Negara: The Theatre-State in Nineteenth-Century Bali. (Princeton: Princeton University Press). _____. The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973). Geertz, Hildred. 2004. The Life of A Balinese Temple: Artistry, Imagination and History in a Peasant Village. (Honolulu: University of Hawaii Press). _____. Images of Power: Balinese Paintings Made for Gregory Bateson and Margaret Mead. (Honolulu: University of Hawaii Press, 1994). _____. 1991. “A Theatre of Cruelty: The Contexts of a Topéng Performance.” In: State and Society in Bali, ed. by Hildred Geertz (Leiden: KITLV Press, 1991) 165–98. Gold, Lisa. 2004. Music in Bali: Experiencing Music, Expressing Culture. (New York: Oxford University Press). _____. 1998. “The Gender Wayang Repertoire in Theater and Ritual.” (Ph.D. diss., University of California at Berkeley). Gray, Nicholas. 2011. Improvisation and Composition in Balinese Gendér Wayang. Burlington and Surrey: Ashgate Publishing Co. Hanks, Lucien M. 1972. Rice and Man: Agricultural Ecology in Southeast Asia. Chicago: Aldine. New Edition: (Honolulu: University of Hawaii Press, 1992). Harnish, David. 2005. Bridges to the Ancestors: Music, Myth and Cultural Politics at an Indonesian Festival (Honolulu: University of Hawaii Press). Heger, F. 1902. Alte Metalltrommeln aus Sudostasien, 2 vols, Leipzig. Heimarck, Brita. 2003. Balinese Discourses on Music and Modernization: Village Voices and Urban Views. (New York: Routledge). Herbst, Edward. 2014. “Tembang Kuna: Songs from an Earlier Time.” CD notes online. New York: Arbiter: http://arbiterrecords.org/catalog/bali-1928-vol-ii-tembang- kuna-%E2%80%A2-songs-from-an-earlier-time/ _____. 2009. “Bali, 1928: Gamelan Gong Kebyar.” CD notes online. New York: Arbiter: http://arbiterrecords.org/catalog/category/world-arbiter/ _____. 1999. “The Roots of Gamelan.” CD notes online. New York: Arbiter:

Page 103: Download (PDF, 3.1MB)

  100  

http://arbiterrecords.org/catalog/category/world-arbiter/ _____. 1997. Voices in Bali: Energies and Perceptions in Vocal Music and Dance Theater (Hanover and London: Wesleyan University Press). _____. 1997. “Baris,” “Gamelan,” “Indonesia: An Overview,” “Balinese Dance Traditions,” Balinese Ceremonial Dance,” “Balinese Dance Theater,” “Balinese Mask Dance Theater,” “Kakul, I Nyoman,” “Kebyar,” “Légong,” “Mario, I Ketut,” “Sardono,” “Wayang.” International Encyclopedia of Dance, ed. by Selma Jeanne Cohen (New York: Oxford University Press and Dance Perspectives Foundation). Hinzler, H.I.R. 1994. “Balinese Palm-leaf Manuscripts.” In Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149, pp. 438–74. Hiss, Philip Hanson. 1941. Bali. New York: Duell, Sloan and Pearce. Hobart, Mark. 2007 “Rethinking Balinese dance”, Indonesia and the Malay World 35- 101:107-28. _____.1978. “The Path of the Soul: The Legitimacy of Nature in Balinese Conceptions of Space.” In Natural Symbols in Southeast Asia, ed. by Miller, G. B. (London: School of Oriental and African Studies) 5–28. Hood, Mantle. 1969. “Bali.” Harvard Dictionary of Music, ed. by W. Apel (Cambridge: Harvard University Press) 69–70. _____. “Slendro and Pelog Redefined.” UCLA Selected Reports, 1: 28–48. Gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu: The Heavenly Orchestra of Bali. 2013. I Wayan Sumendra: leader, trompong; Walter Quintus, producer. CMP (Creative Music Productions); 1995: Silva Screen Records]. Hooykaas, C. 1973. Kama and Kala: Materials for the Study of Shadow Theatre in Bali. (Amsterdam, London. North-Holland Publishing Company). Kempers, A.J. Bernet. 1988. The Kettledrums of Southeast Asia: A Bronze Age World and its Aftermath. Modern Quarternary Research in Southeast Asia, Vol. 10. Rotterdam and Brookfields: A.A. Balkema. Laksmi, Désak Madé Suarti. 2007. Kidung Manusa Yadnya: Teks dan Konteksnya dalam Masyarakat Hindu di Bali. (Denpasar: Institut Seni Indonesia). Lansing, J. Stephen. 1991. Priests and Programmers: Technologies of Power in the Engineered Landscape of Bali (Princeton: Princeton University Press). Mardika, I Nyoman, Mardika, I Made & Sita Laksmi, A.A. Rai. 2011. Pusaka Budaya: Representasi Ragam Pusaka dan Tantangan Konservasi di Kota Denpasar, Bali. Geriya, I Wayan (ed). Denpasar: Bappeda Kota Denpasar. McPhee, Colin. 1970. “The Balinese Wayang Kulit and Its Music.” In: Traditional Balinese Culture, ed. by Jane Belo (New York: Columbia University Press) 146– 211. _____. 1966. Music in Bali (New Haven: Yale University Press; reprint, New York: Da Capo Press, 1976). _____. “Children and Music in Bali.” In: Childhood in Contemporary Cultures, ed. by Margaret Mead and Martha Wolfenstein (Chicago: Chicago University Press, 1955). _____. 1948. A Club of Small Men (New York: The John Day Co.). _____. 1946. A House in Bali (New York: The John Day Company; reprint, Oxford University Press, 1987). _____. 1935. “The Absolute Music of Bali.” In: Modern Music 12 (May–June) 163–69.

Page 104: Download (PDF, 3.1MB)

  101  

Medera, I Nengah et al. 1990. Kamus Bali–Indonesia (Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali). Nordholt, Henk Schulte. 1986. Bali: Colonial Conceptions & Political Change, 1700– 1940: From Shifting Hierarchies to “Fixed Order.” (Rotterdam: Erasmus University). Oja, Carol J. 1990. Colin McPhee: Composer in Two Worlds (Washington and London: Smithsonian Institution Press). Ornstein, Ruby. 1971. “Gamelan Gong Kebyar: The Development of a Balinese Musical Tradition.” (Ph.D. dissertation, UCLA). Pemda Tim Humas Kodya Denpasar: I Nyoman Astita, I Ketut Gedé Asnawa, I Gusti Ngurah Gedé Pemecutan, I Gusti Ngurah Yadnya. 1999. Sosok Seniman & Sekaa Kesenian Denpasar (Denpasar: Pemda Kodya Denpasar). Perlman, Marc. 2004. Unplayed Melodies: Javanese Gamelan and the Genesis of Music Theory. (Berkeley: Univ. California Press). _____. 1997. “Conflicting Interpretations: Indigenous Analysis and Historical Change in Central Javanese Music.” In Asian Music 28 (1) 115–40. Rai, Wayan. 1992. “Balinese Gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu: The Modal System.” (Ph.D. diss., University of Maryland–Baltimore County). Rassers, Urs. 1977. The Art and Culture of Bali. Oxford: Oxford University Press. Rembang, I Nyoman. 1973. Gamelan Gambuh dan Gamelan–gamelan Lainnya di Bali (Denpasar: Kertas Kerja Pada Workshop Gambuh, 25 Agustus s/d/ 1 September). _____. 1984–85. Hasil Pendokumentasian Notasi Gending–Gending Lelambatan Klasik Pegongan Daerah Bali (Denpasar: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Richter, Karl. 1992. “Slendro–Pelog and the Conceptualization of Balinese Music: Remarks on the Gambuh Tone System.” Balinese Music in Context: A Sixty–fifth Birthday Tribute to Hans Oesch, ed. by Schaareman. Basler Studien zur Ethnomusikoligie. (Winterthur: Amadeus Verlag, Forum Ethnomusicologicum 4) 195–219. Rhodius, Hans and Darling, John; ed. John Stowell. 1980. Walter Spies and Balinese art. (Amsterdam: Terra, under the auspices of Tropenmuseum). Robson, Stuart. 2002. Javanese English Dictionary. (Singapore: Periplus). Rubinstein, Raechelle. 2000. Beyond the realm of the senses: The Balinese ritual of kekawin composition. (Leiden: KITLV Press). _____. 1992. “Pepaosan: Challenges and Change.” In Balinese Music in Context: A Sixty–fifth Birthday Tribute to Hans Oesch, ed. by Schaareman, D. (Winterthur: Amadeus Verlag, Forum Ethnomusicologicum 4) 85–114. Schaareman, Danker H. 1980. “The Gambang of Tatulingga, Bali.” In Ethnomusicology, vol. 24, No. 3 (Sep., 1980) 465–482. _____. “The Power of Tones: Relationship Between Ritual and Music in Tatulingga, Bali.” In Indonesia Circle, No. 52, June 1990) 5–21. Seebass, Tilman. 1986. “Notes and Paradigms.” In: La Musique et Le Rite Sacré et Profane. Vol.1. (Strasbourg: Association des Publications pres les Universités de Strasbourg). 207–221 _____. I Gusti Bagus Nyoman Pandji, I Nyoman Rembang, and Poedijono. 1976. The Music of Lombok (Bern: Francke Verlag Bern, Series I: Basler Studien zur Ethnomusikologie 2).

Page 105: Download (PDF, 3.1MB)

  102  

Simpen, I Wayan. 1979. “Sejarah Perkembangan Gong Gedé.” (Manuscript submitted to The Bali Post). Sinti, I Wayan. 2011. Gambang: Cikal Bakal Karawitan Bali. (Denpasar: TSP Books). Stowell, John. 2012. Walter Spies: A Life in Art. (Jakarta: Afterhours Books). Suastika, I Madé. 1997. Calonarang dalam Tradisi Bali. (Yogyakarta: Duta Wacana University Press). Sudewi, Ni Nyoman. 2011. “Perkembangan dan Pengaruh Legong Keraton Terhadap Pertumbuhan Seni Tari di Bali Pada Periode 1920–2005.” Doctoral dissertation. Universitas Gadja Mada, Yogyakarta. Sugriwa, I.G.B. Sudhyatmaka. 2008. “Lomba–lomba Gong Kebyar Di Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Datang.” In Seni Kakebyaran, ed. by I Wayan Dibia (Denpasar: Balimangsi Foundation. (70–85). Sugriwa, I Gusti Bagus. 1978. Penuntun Pelajaran Kakawin. (Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali). _____. 1963. Ilmu Pedalangan/Pewayangan. (Denpasar: KOKAR-Bali). Sukartha, Nyoman. 1979. “Hubungan seni mabebasan dengan seni-seni lain.” In: I Wayan Jendra (ed.). Kehidupan mababasan di kebupaten Badung. (Denpasar: Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Kuna, Universitas Udayana). Sumarsam. 1995. Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java (Chicago: University of Chicago Press). Sumarta, I Ketut and Westa, I Wayan, eds. 2000. Sosok Seniman & Sekaa Kesenian Denpasar (Denpasar: PEMDA Kota Denpasar). Sutjaja, I Gusti Madé. 2006. Kamus Bali-Indonesia-Inggris. (Denpasar: Lotus Widya Suari Bekerjasama dengan: Penerbit Universitas Udayana). Tenzer, Michael. Gamelan Gong Kebyar. 2000. (Chicago: University of Chicago Press). _____. 1992. Balinese Music (Singapore: Periplus Editions). Toth, Andrew. 1980. Recordings of the Traditional Music of Bali and Lombok (The Society for Ethnomusicology, Inc. Special Series No. 4). _____. 1975. “The Gamelan Luang of Tangkas, Bali”, UCLA Selected Reports in Ethnomusicology 2(2): 65–79). Vickers, Adrian. 1989. Bali: A Paradise Created (Singapore: Periplus Editions). _____. 1987. “Hinduism and Islam in Indonesia: Bali and the Pasisir World.” Indonesia 44: 30–58. _____. 1985 “The Realm of the Senses: Images of the Courtly Music of Pre-Colonial Bali.” Imago Musicae, International Yearbook of Musical Iconography, Vol. 2, pp. 143-77. Van Eck. 1878-1880 ‘Schetsen van het Eiland Bali’, Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 4th series, 7,8,9. Vitale, Wayne. 2002. “Balinese Kebyar Music Breaks the Five–Tone Barrier: New Music for Seven–Tone Gamelan.” Perspectives of New Music 40/2) 5–69. Wiener, Margaret J. 1995. Visible and Invisible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. (Chicago and London: University of Chicago Press). Yayasan Pustaka Nusatama. 2007. Kamus Bali-Indonesia (Edisi Ke-2). Denpasar: Balai Bahasa Denpasar-Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional. Yudha, I Nyoman. 1968. Sekaa Gong Sad Merta Belaluan: Juara Merdangga Utsava I (Festival Gong Kebyar). (Second printing, 2005). Zoete, Beryl de, and Spies, Walter. 1938. Dance and Drama in Bali (London: Faber and

Page 106: Download (PDF, 3.1MB)

  103  

Faber, Ltd.) New Edition, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973. Zoetmulder, P.J. 1974. Kalangwan; a Survey of Old Javanese Literature. (The Hague: Martinus Nijhoff). _____. with Robson, S.O. 1982. Old Javanese-English Dictionary. 2 vols. (The Hague: Nijhoff). Zurbuchen, Mary S. 1991. “Palmleaf and performance; The epics in Balinese theater.” In: Joyce Burkhalter Flueckiger and Laurie J. Sears (eds.) Boundaries of the text; Epic performances in South and Southeast Asia. pp. 127-40. (Ann Arbor: Center for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan). [Michigan Papers on South and Southeast Asia 35]. _____. 1989 “Internal translation in Balinese poetry.” In: A.L. Becker (ed.), Writing on the tongue, pp. 215-279. Ann Arbor: Center for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan. [Michigan Papers on South and Southeast Asia 33]. _____. 1987. The Language of Balinese Shadow Theater (Princeton: Princeton University Press).