ABSTRAK
Masagus Ahmad Fahrobi. NIM 1113045000056. PENCANTUMAN ALIRAN
KEPERCAYAAN DALAM KARTU TANDA PENDUDUK PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI KASUS SUNDA WIWITAN) DI BADUY,
LEBAK BANTEN, Program studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syari’ah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Studi ini menegaskan bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016 tentang yudicial review Undang-Undang Administrasi
Kependudukan, telah membolehkan para penganut aliran kepercayaan untuk
mencantumkan keyakinannya pada kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu
Tanda Penduduk Elektronik (KTP elktronik). Lahirnya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
merupakan suatu bentuk pengakuan yang diberikan negara terhadap kebebasan dalam
memilih dan memeluk agama dan kepercayaan yang diyakini, termasuk bagi
Masyarakat Baduy Penganut Kepercayaan Sunda Wiwitan di Desa Kanekes Banten.
Secara yuridis normatif, terdapat berbagai pengaturan yang berkaitan dengan
pengakuan dan penghormatan yang diberikan negara bagi Masyarakat Baduy yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep Indegenous Peoples, di
antaranya Pasal 18 B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945, berbagai undang-
undang sektoral dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUUXIV/2016 yang
secara eksplisit menentukan bahwa Masyarakat Baduy yang meyakini kepercayaan
Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun
dapat mengisi kolom isian agama atau kepercayaan dalam pembuatan dokumen
kependudukan, baik Kartu Keluarga maupun Kartu Tanda Penduduk. Namun
demikian, hasil penelitian yang telah dilakukan membuktikan, bahwa pada tataran
implementasi pengisian kolom agama pada dokumen kependudukan, khususnya
KTP-el tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terdapat berbagai faktor penyebab
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak dapat diimplementasi, mulai dari
persoalan regulasi turunan sebagai peraturan teknis, dan penolakan Masyarakat
Baduy terhadap sistem aplikasi perekaman KTP-el, karena sampai pada persoalan
budaya dan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan suatu bentuk langkah konkret dan
nyata yang dilakukan untuk mengakomodir persoalan pencantuman “penghayat
kepercayaan Sunda Wiwitan” pada KTP-el bagi Masyarakat Baduy.
Kata Kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi, Pelaksanaan pencatuman Aliran
Kepercayaan Sunda Wiwitan
Pembimbing : Dr. Khamami Zada, SH., MA
Daftar Pustaka :
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................................................v
DAFTAR ISI...................................................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................................................
B. Identifikasi Masalah .................................................................................................................
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................................................................
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................................................
E. Tinjauan Pustaka (Kajian Terdahulu).......................................................................................
F. Metode Penelitian .....................................................................................................................
G. Sistematika Penelitian ..............................................................................................................
BAB II KEBIJAKAN HUKUM AGAMA DAN ALIRAN KEPERCAYAAN
A. Agama dan Aliran Kepercayaan ..............................................................................................
B. Kebijakan Hukum Agama dan Aliran Kepercayaan ................................................................
BAB III TINJAUAN UMUM ALIRAN SUNDA WIWITAN
A. Sejarah Aliran Kepercayaan Sunda Wiwitan ...........................................................................
B. Pokok Ajaran Kepercayaan Sunda Wiwitan ............................................................................
BAB IV IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG
PENCANTUMAN ALIRAN KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN DI KTP
A. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi ..........................................................................
1. Normatif .......................................................................................................................
2. Filosofis ........................................................................................................................
3. Sosiologis .....................................................................................................................
B. Pencantuman Aliran Kepercayaan dalam KTP Masyarakat Penganut Sunda Wiwitan Pasca
Putusan Mahkamah Konsitusi ..................................................................................................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................................................................
B. Saran-saran ...............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI 1945) sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 merupakan
“salah satu tuntutan gerakan reformasi pada tahun 1998”.1 Sri Soemantri
menyatakan, bahwa tuntutan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang digulirkan tersebut didasarkan pandangan, bahwa
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak cukup
memuat sistem check and balances antar cabang-cabang pemerintahan (lembaga
negara) untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak
melampaui wewenang.2 Dengan kata lain UUD NRI 1945 dinilai tidak dapat
memenuhi landasan bagi kehidupan demokratis, pemberdayaan rakyat, dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia. Aturan UUD NRI 1945 juga banyak
menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan yang
otoriter, sentralistik, tertutup, dan KKN (Korupsi Kolusi, dan Nepotisme).
Tuntutan perubahan atau amandemen UUD NRI 1945 tersebut kemudian
diwujudkan dalam empat kali amandemen terhadap UUD NRI 1945. Adapun
salah satu perubahan mendasar tersebut adalah dibentuknya suatu lembaga
peradilan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kekuasaan
kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai badan yudisial yang salah satu
tugasnya ialah melindungi hak konstitusional seluruh warga Negara Republik
Indonesia, merupakan opsi utama untuk menyelesaikan problematika
konstitusional kenegaraan. Seperti yang kita ketahui, kehadiran Mahkamah
1 Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh
Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi , Volume 7 Nomor 3, Jakarta, Juni 2010, h. 2.
2 Sri Soemantri, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit Presiden dan
Otonomi Daerah , Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, h. 64.
2
Konstitusi merupakan pencerahan baru dalam mewujudkan kehidupan demokrasi
dan Ketatanegaraan Republik Indonesia. 3 Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir
tertinggi konstitusi telah melaksanakan kewenangan yang dibebankan kepadanya
melalui berbagai putusan yang telah dikeluarkannya. Mahkamah Konstitusi telah
menjadi sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang diakui oleh para pencari
keadilan ( justisiabellen). Keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya
menjadi perhatian publik, tetapi juga akademisi dan peneliti hukum. Berbagai
pemahaman atas teori hukum diperlihatkan dalam putusan yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Konstitusi. Khususnya dalam pengujian materi undang-undang,
Mahkamah Konstitusi dijuluki sebagai lembaga pelindung konstitusi (The
guardian constitusion), bilamana terdapat undang-undang yang dianggap
bertentangan dengan konstitusi yang ada, maka Mahkamah Konstitusi dapat
melakukan pembatalan atas eksistensi undang-undang tersebut secara menyeluruh
atau per pasal melalui putusannya dengan berbagai pertimbangan. 4
Terkait dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sendiri khususnya
dalam hal pengujian undang-undang, terkadang menimbulkan prokontra di
lingkungan masyarakat seperti kebijakan dalam Undang Undang No.23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan. Sebagai petunjuk pelaksanaan Undang
Undang tersebut, telah diterbitkan pula Peraturan Pemerintah (PP) No.37 Tahun
2007. Dalam Pasal 61 Ayat 1 dan Ayat 2 dan Pasal 64 Ayat 1 dan Ayat 5 Undang
Undang No. 23 Tahun 2006 tersebut secara garis besar menyatakan bahwa
keterangan kolom agama dalam dokumen kependudukan seperti Kartu Keluarga
(KK) dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) penduduk yang agamanya
belum diakui negara berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, atau
bagi masyarakat penghayat kepercayaan, kolom agama dalam dokumen
kependudukan tersebut tidak diisi atau dikosongkan, kebijakan ini telah
menimbulkan dampak buruk bagi pelaksanaan hak-hak mereka dalam beribadah
3 Soimin dan Mashuriyanto, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2013, h. 12.
4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 97/PUU-XIV/2016”, h. 3.
3
dan hak-hak dalam memperoleh akses terhadap layanan umum, seperti
pernikahan, kelahiran, pekerjaan, pemakaman, pendidikan.
Oleh karena alasan tersebut Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait,
Arnol Purba dan Carlim melakukan judicial review terhadap Pasal 61 Ayat 1 dan
Ayat 2 dan Pasal 64 Ayat 1 dan Ayat 5 Undang Undang No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30
November 2016. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan pasal-pasal tersebut
bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan bagi setiap warga
negara di hadapan hukum, karena dalam rumusannya tertulis bahwa Kartu
Keluarga (KK) dan KTP-el memuat kolom isian agama di dalamnya, namun
khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan, telah
melanggar hak-hak dasar warga negara yang bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3,
Pasal 27 Ayat 1, dan Pasal 28D Ayat 1 Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Jika mengaju pada Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 2
menyebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu’’, yang berarti keberadaan penganut kepercayaan diakui di
Indonesia.5 Dalam Pasal 29 Ayat 2 dipaparkan bahwa negara menjamin kebebasan
setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat karena dasar negara yang
percaya konsep Ketuhanan. Jadi, logika yang tepat adalah negara memberi
kebebasan beragama karena negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan
bukan agama yang menyebabkan Indonesia berdasarkan Ketuhanan.6
5 Moh. Soehadha, KebijakanPemerintah Tentang Agama Resmi, serta implikasinya
terhadap peminggiran sistem religi lokal dan konflik antar agama, Jurnal Esensia, tahun 2004,
h.101
6 Moh. Soehadha, KebijakanPemerintah Tentang Agama Resmi, serta implikasinya
terhadap peminggiran sistem religi lokal dan konflik antar agama, Jurnal Esensia, tahun 2004,
h.101
4
Namun dalam pengujian Pasal 61 Ayat 1 dan Ayat 2 dan Pasal 64 Ayat 1
dan Ayat 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut juga menimbulkan pro kontra
dan polemik. Beberapa tokoh agama atau tokoh masyarakat beranggapan nantinya
hal tersebut memberikan implikasi yang besar terhadap tatanan masyarakat. Salah
satunya K.H Maaruf Amin menyatakan bahwa unsur identitas pada seseorang
warga negara adalah agama, bukan penganut kepercayaan, akan menjadi rancu
ketika seseorang menuliskan penganut kepercayaan pada kolom agama di KTP-el
ataupun KK.7
Setelah menggelar beberapa sidang pada akhirnya Mahkamah Konstitusi
memutuskan mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan
kolom agama pada KK dan KTP-el. Hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan
(2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) Undang-Undang No 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang No 24 Tahun 2013 tentang
Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Dalam putusannya, Majelis Hakim
berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat
(1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut
kepercayaan.
Banyak kejutan dalam konsep berhukum Indonesia melalui putusan
Mahkamah Konstitusi yang membuat publik berpikir masih terdapat harapan
dalam memperjuangkan keadilan. Pada kenyataannya, Mahkamah Konstitusi tidak
hanya berani dalam memutus fakta-fakta hukum yang ada, namun lebih jauh dari
itu. Mahkamah Konstitusi juga melakukan pembenahan yang berani dalam
bentuk-bentuk putusannya.7
Keberanian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut telah
memperlihatkan, bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi telah
7 Nasional.kompas.com/read/2017/11/13/18151261/maruf-amin-putusan-mk-final-
danmengikat-tetapi-implikasinya-besar-sekali, Ma'ruf Amin: Putusan MK Final dan Mengikat, tetapi Implikasinya Besar Sekali (diakses pada tanggal 13 April 2018).
5
dilaksanakannya suatu konsep hukum yang tidak dibatasi dengan konsep tekstual
semata, melainkan juga memperhatikan rasa keadilan dan kemanfaatan hukum
bagi masyarakat, sehingga pada akhirnya Mahkamah Konstitusi dinilai tidak
sekedar peradilan yang hanya menjadi corong undang-undang (bouche de la loi).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Mahfud MD yang menyatakan, bahwa
“Mahkamah Konstitusi saat ini menganut hukum progresif”.8
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menentukan bahwa, penghayat
kepercayaan memiliki hak yang sama dalam pencantuman elemen data
kependudukan berupa pencantuman kepercayaan yang mereka yakini di dalam
dokumen Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Penduduk Elektronik
(KTPel).9 Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dinilai akan membawa
implikasi hukum yang luas, terutama bagi masyarakat yang masih menganut
keyakinan penghayat kepercayaan, seperti Penganut kepercayaan Sunda Wiwitan
Suku Baduy di Desa kanekes, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, dimana
Masyarakat Baduy merasa didiskriminasi dan sudah lama berusaha untuk
mendapatkan pengakuan secara birokrasi oleh negara dengan mencantumkan
kepercayaan yang mereka yakini (Sunda Wiwitan) dalam Kartu Tanda Penduduk
Elektronik (KTP-el).
Masyarakat di Desa Kanekes adalah salah satu contoh kelompok
masyarakat yang memiliki kebudayaan hasil dari akulturasi budaya lokal dengan
budaya asing, masyarakat di desa ini akrab dikenal dengan sebutan Suku Baduy.
Dalam tulisannya, Djajadiningrat menjelaskan bahwa Suku Baduy pada dasarnya
adalah masyarakat penganut kepercayaan Animisme, namun seiring berjalannya
waktu dan berkembangnya zaman, kepercayaan Animisme mereka sedikit banyak
dipengaruhi oleh agama Hindu dan juga Islam8. Masyarakat Suku Baduy
menyebut agama atau kepercayaan mereka tersebut dengan nama “Sunda
Wiwitan”. Suku Baduy dikenal karena komitmen dan kemampuannya menjaga,
melestarikan, serta menjunjung tinggi tradisi yang diwariskan dari para
8 Toto Sucipto, Julianus Limbeng, Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa
Kanekes Provinsi Banten, (Departemen Kebudayaan dan pariwisata Direktorat Jendral Nilai
Budaya Seni dan Film Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2007), h. 58
6
pendahulunya sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. salah satu
tradisi yang masih dipegang teguh sebagai pedoman hidup adalah kepercayaan
Sunda Wiwitan.
Setidaknya terdapat dua isu utama yang menjadi akar persoalan dalam
pembahasan ini. Pertama, ungkapan diatas menggambarkan suatu realitas yang
terjadi dalam masyarakat di Indonesia, berupa anggapan bahwa negara telah
melakukan tindakan diskriminasi terhadap warga negaranya sendiri melalui
kebijakanya terhadap hak konstitusional komunitas penganut adat, komunitas
penghayat atau ajaran kultural kepercayaan (local belief) dalam hal ini yang
berkaitan dengan isian kolom agama pada aplikasi sistem adminitrasi
kependudukan. Kedua, sejauh mana perkembangan kebijakan negara melindungi
dan mengakui praktek masyarakat penghayat kepercayaan dalam konteks Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian terhadap
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan serta mengakuinya dalam sistem informasi Administrasi
Kependudukan.
Dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-
XIV/2016 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan
UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dinilai secara
normatif teoretis dapat menjadi dasar yuridis bagi penghayat kepercayaan untuk
dihormati dan diakui dalam administrasi kependudukan berupa pencantuman
kepercayaan mereka dalam data KTP-el. Namun demikian, pada tataran
pelaksanaan menjadi menarik untuk dilakukan penelitian dan kajian, apakah
Putusan Mahkamah konstitusi tersebut dapat diimplementasi dengan optimal,
khususnya terhadap pencantuman penghayat aliran kepercayaan Sunda Wiwitan
dalam KTP-el yang dimana itu adalah ajaran kepercayaan leluhur mereka, yang
7
sekaligus menjadi dasar yuridis pula bagi mereka untuk menjalankan birokrasi
pemerintahan secara bersamaan.
Dari beberapa permasalahan yang telah tertera diatas maka penulis
menuangkannya dalam skripsi yang berjudul “PENCANTUMAN ALIRAN
KEPERCAYAAN DALAM KARTU TANDA PENDUDUK PASCA
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI KASUS SUNDA
WIWITAN) DI BADUY, LEBAK BANTEN”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah dalam penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi tentang
pencantuman aliran kepercayaan dalam KTP?
2. Bagaimana pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi dalam
pencantuman aliran kepercayaan Sunda Wiwitan dalam KTP?
3. Bagaimana respon tokoh agama dan masyarakat penganut kepercayaan
Sunda Wiwitan pasca putusan Mahkamah Konstitusi tentang pencantuman
aliran kepercayaan dalam KTP?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penulis akan mencoba menjelaskan pembatasan masalah skripsi ini yaitu
dibatasi dengan penelitian terhadap penganut aliran kepercayaan Sunda Wiwitan
di Desa Kanekes, Banten, 2016-2019. Rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi tentang pencantuman aliran
kepercayaan dalam KTP?
2. Bagaimana pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi dalam
pencantumanan penganut aliran kepercayaan Sunda Wiwitan dalam KTP?
D. Tujuan dan manfaat penelitian
Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui putusan dan pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi
tentang pencantuman aliran kepercayaan dalam KTP.
8
2. Mengetahui pencantuman aliran kepercayaan Sunda Wiwitan dalam KTP.
Adapun manfaat penelitian yang juga akan sangat berguna jika dilihat
dalam dua hal, yaitu:
a. Secara teoritis penelitian ini dapat menambah atau meningkatkan
pengetahuan dalam bidang penelitian hukum yang berhubungan dengan
Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan juga wawasan dalam
bidang sosial khususnya dalam kaitannya dengan penghormatan terhadap
penghayat kepercayaan. serta dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan pada umumnya.
b. Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan pedoman dan bacaan yang
bermanfaat bagi para praktisi dalam upaya pembaharuan pemikiran
analisis dalam konteks penelitian hukum tentang Implementasi Putusan
Mahkamah Konstitusi dan memberikan pemikiran baru bagi praktisi
tentang penganut aliran kepercayaan, kebudayaan atau kearifan lokal yang
telah ada sehingga dapat meningkatkan rasa toleransi terhadap penganut
aliran kepercayaan penelitian ini juga dapat berguna bagi masyarakat
secara umum.
E. Review Kajian Terdahulu
Berdasarkan studi kepustakaan dan penelusuran yang telah dilakukan
penulis, ada beberapa penelitian yang mirip dengan objek penelitian penulis, yaitu
pencantuman aliran kepercayaan di KTP pasca putusan Mahkamah Konstitusi.
Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian karya peneliti tersebut:
Oki Wahyu Budianto dalam artikel yang berjudul “Penghormatan Hak
Asas Manusia Bagi Penghayat Kepercayaan Di Kota Bandung” menyimpukan di
Indonesia terdapat pemilahan antara 6 agama resmi dengan kepercayaan, namun
dalam hal pemenuhan hak-hak sipil bagi penghayat kepercayaan tetap dilayani
dan dicatat dalam data kependudukan dan catatan sipil dengan diatur oleh
berbagai peraturan perundang-undangan. Pada tataran implementasi (khususnya
Kota Bandung), para penghayat kepercayaan tidak mengalami kendala dalam
memperoleh layanan kependudukan dan catatan sipil, namun masih terdapat
penolakan masyarakat umum terhadap pemakaman bagi para penghayat
9
kepercayaan di tempat pemakaman umum. Penolakan pemakaman bagi penghayat
kepercayaan dari masyarakat umum diakibatkan oleh kurangnya pemahaman
masyarakat terhadap keberadaan penghayat kepercayaan.
Feby Yudianita dalam artikel yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap
Aliran Kepercayaan Dihubungkan Dengan Pasal 29 Ayat 2UUD 19945”
menyimpulkan bahwa keberadaan aliran kepercayaan berdasarkan pasal 29 ayat 2
UUD 1945 adalah tidak mendapat pengakuan dari negara. Selain enam agama itu,
dianggap tidak resmi dan tidak diakui. Negara hanya memberi batasan ada enam
agama resmi yang diakui.9
Syahlevy Lisando Abadia dalam skripsi yang berjudul “Implikasi Putusan
MK nomor 97/PUU-XIV/2016 terhadap Jaminan Hak Konstitusional warga
negara penganut/penghayat kepercayaan” menyimpulkan bahwa jika mengacu
pada pengertian diskriminasi dari Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi,
diantaranya Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 070/PUU-II/2004, bertanggal
12 April 2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005,
bertanggal 29 Maret 2006, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-
V/2007, bertanggal 22 Februari 2008, perbedaan pengaturan antar warga negara
dalam hal pencantuman elemen data penduduk, menurut Mahkamah tidak
didasarkan pada alasan yang konstitusional. Pengaturan tersebut telah
memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama, yakni terhadap warga
negara Indonesia penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang
diakui menurut peraturan perundang-undangan dalam mengakses pelayanan
publik. Jika pun dikaitkan dengan pembatasan terhadap hak dan kebebasan
dengan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD
1945, menurut Mahkamah pembatasan demikian tidak berhubungan dengan
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan bukan pula untuk memenuhi
tuntutan yang adil dalam kehidupan masyarakat yang demokratis10
9 Feby Yudianita, Tinjauan Yuridis Terhadap Aliran Kepercayaan Dihubungkan Dengan
Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945, dalam Jurnal JOM Fakultas Hukum vol 2 No.2, Oktober 2015,
10 Syahlevy Lisando Abadia, Implikasi Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 terhadap
Jaminan Hak Konstitusional warga negara penganut/penghayat kepercayaan. (Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia,2018)
10
Dengan penjabaran tinjauan pustaka diatas penulis belum menemukan
penelitian yang sama dengan skripsi penulis yaitu membahas implementasi atau
pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi dalam pencantuman aliran
kepercayaan Sunda Wiwitan dalam KTP. Objek atau tema penulis merupakan
kajian hukum tata negara, terlebih kajian penelitian penulis difokuskan pada studi
kasus Masyarakat Baduy penganut kepercayaan Sunda Wiwitan di Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif atau disebut juga dengan
penelitian hukum empiris dengan pendekatan non doktrinal (social legal
approach) Dalam penelitian ini, perilaku masyarakat sangat menentukan
keberlakukan hukum.11
Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis, dan
mengkritisi peraturan perundang-undangan, argumentasi dasar hukum, dan sejarah
hukum.12
Mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pencantuman aliran
kepercayaan Sunda Wiwitan dalam KTP.
2. Sumber Data
a. Data primer, yaitu disandarkan pada wawancara Jaro Pamarentah
(Lurah) Baduy luar, Perangkat Desa Masyarakat Baduy , dan
Administrasi Kependudukan Kabupaten Lebak Banten terkait
implementasi pencantuman aliran kepercayaan di KTP-el pasca
putusan Mahkamah Konstitusi
11
Soerjono Soekanto Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum , Bina Aksara, Jakarta,
1988, h. 9
12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian hukum , Cetakan Kelima, Edisi Pertama, Kencana,
Jakarta, 2009, h. 97-137.
11
b. Data sekunder, penulis memperoleh data dalam penyususnan
skripsi ini yaitu dari literatur yang berasal dari buku-buku yang
terkait dan berbagai peraturan perundangundangan yang terkait
dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset
pustaka (Library Research) dan studi lapangan (Field Research). Library
Research yakni proses pengindentifikasian secara sistematis penemuan-penemuan
dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan
masalah penelitian. Pengumpulan data diperoleh berdasarkan bahan-bahan yang
ada di perpustakaan, baik berupa arsip, dokumen, majalah maupun lainnya.13
Sedangkan penelitian lapangan (Field Research) yakni menggunakan data primer
(data yang diperoleh langsung dari kehidupan masyarakat dengan cara
wawancara, observasi, kuesioner, sample dan lain-lain). Data primer diperoleh
dengan cara wawancara dengan tokoh-tokoh Masyarakat Baduy penganut
kepercayaan Sunda Wiwitan dan Administrasi Kependudukan Kabupaten Lebak
Banten.
4. Metode Analisis Data
Teknik analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini menggunakan
teknik analisis deskriptif yaitu mendeskripsikan implementasi putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap penganut kepercayaan Sunda Wiwitan di Kanekes Lebak
Banten. Seluruh data akan diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum,
kemudian dikaji dan diteliti, selanjutnya ditarik kesimpulan yang mampu
memberikan gambaran spesifik dan relevan tentang pencantuman aliran
kepercayaan di KTP pasca putusan Mahkamah Konstitusi.
5. Teknik Penulisan Skripsi
Teknik penulisan skripsi ini menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.
Dalam penulisan ini buku pedoman yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
13
Consuele G Sevilla, Pengantar Metedelogi Penelitian, (Jakarta: UI Pres,1993), h.37
12
adalah buku pedoman penulisan skripsi yang disusun oleh tim Fakultas Syariah
Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
13
BAB II
ALIRAN KEPERCAYAAN DALAM AGAMA DAN HUKUM
A. Agama dan Aliran Kepercayaan
1. Agama
Para pakar memiliki beragam pengertian tentang agama. Zainal Arifin
Abbas secara etimologi menyebut agama berasal dari istilah bahasa Sansekerta
yang merujuk pada sistem kepercayaan Hinduisme Budhisme di India. Agama
terdiri dari kata a yang berarti ‟tidak‟ dan gama yang berarti ‟kacau‟. Merujuk
pada pengertian ini Abdul Moqsith Ghazali mendefinsikan agama dengan sejenis
peraturan yang menghindarkan manusia dari kekacauan serta mengantarkan
manusia menuju keteraturan dan ketertiban.1
Emile Durkheim mendefiniskan agama dengan ”unfied system of beliefs
and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and
forbidden-beliefs and practices which unite into one single moral community
called a church, all those who adhere to them”2 (agama adalah kesatuan sistem
keyakinan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan yang sakral. Sesuatu
yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan praktikpraktik yang
menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut Gereja, dimana semua orang
tunduk kepadanya atau sebagai tempat masyarakat memberikan kesetiaanya).3
Menurut Herbert Spencer agama merupakan pengakuan bahwa segala
sesuatu adalah manifestasi dari yang Kuasa (power) yang melampaui pengetahuan
manusia. J.G Frazier mengemukakan bahwa agama dimaksudkan sebagai upaya
1 Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis
Al-Quran, (Depok; Kata Kita 2009), h. 42.
2 Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiosias Sipil di Indonesia, Universitas
Kristen Satya Wacana, 2015, h. 80.
3 Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiosias Sipil di Indonesia, Universitas
Kristen Satya Wacana, 2015, h. 30.
14
menyenangkan atau berdamai dengan kuasa-kuasa di atas manusia yang dipercaya
dapat mengarahkan dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia.4
Pendek kata, agama merupakan segala hal yang lahiriah bersifat kolektif untuk
mengatur dan mengarahkan sikap-sikap serta kerohanian pemeluknya.
Menelaah konsepi agama yang dikemukakan para pakar di atas, agama
tampak erat kaitanya dengan alam keyakinan personal. Bahkan bisa dikatakan
merupakan fitrah manusia yang tak dapat melepaskan diri dari agama, karena
agama merupakan kebutuhan manusia. Selama manusia memiliki perasaan takut
dan cemas, selama itu pula manusia membutuhkan agama. Beragamnya definisi
definisi yang dikemukakan para ahli itu pun tak bisa menggambarkan seutuhnya
tentang agama dan penganutnya.
Akhirnya, definisi menjadi semacam batasan atau memiliki keterbatasan,
sementara agama tak bisa dibatasi. Hakikat dari agama memang tak bisa
digambarkan secara utuh melalui konsep yang dibuat para ahli. Namun, dengan
adanya konsepsi itu, dapat dipahami bahwa agama berkait erat dengan keyakinan
individu, komunitas dan yang transenden (Tuhan). Dengan konsep di atas,
penganut agama adalah setiap orang yang meyakini adanya kekuatan lebih dari
dirinya dan sebangsanya (manusia). Kekuatan supra-manusia itulah yang
kemudian diyakini dan dipercayai sebagai Yang Maha Kuasa.
2. Kepercayaan
Pakar sosio-antropologis mengistilahkan kepercayaan dengan berbeda-
beda. Ada yang menyebut kepercayaan Agama Asli, Agama Budaya, Aliran
Kebatinan bahkan ada menyebutnya Aliran Kerohanian.5 sejarawan Belanda yang
kemudian menetap di Indonesia menyebut kepercayaan dengan istilah Agama Asli
Indonesia. Rahmat Subagya juga menyebutnya dengan Kebatinan yang
4 Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis
Al-Quran, (Depok; Kata Kita 2009), h. 45.
5 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapa dan Yayasan Cipta
Loka Caraka, cet-2 1981), h. 237.
15
didefinisikan dengan suatu ilmu atas dasar ketuhanan absolut, yang mempelajari
kenyataan dan mengenal hubungan langsung dengan Allah tanpa perantara.6
Sementara Kamil Kartapradja juga menyebut kepercayaan dengan aliran
kepercayaan. Menurutnya, aliran kepercayaan adalah keyakinan dan kepercayaan
rakyat Indonesia di luar agama dan tidak termasuk ke dalam salah satu agama. Ia
mengartikan kebatinan sebagai gerak badan jasmani disebut olah raga dan gerak
badan rohani dinamai olah batin atau kebatinan. Jadi kebatinan dapat disimpulkan
sebagai olah batin yang bermacam-macam bentuknya.7
Seno Harbangan Siagian menyebut, di Indonesia baik agama, religi, dan
kepercayaan memang ada yang membedakannya. Namun, perbedaan ini terjadi
karena titik tolak pendefinisannya yang berbeda. Ketika, bertitik tolak dari ilmu
agama (bukan dari Ilmu sosial), antara ketiga terminologi terdapat kesamaan.
Agama adalah kepercayaan dan keyakinan manusia mengenai kuasa atau
penguasa dan kenyataan yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Sesuatu yang
dianggap lebih tinggi dari dirinya sendiri itu disebut sebagai ilahi dan yang
biasanya dipersonifikasikan kedalam wujud dewa, ilah, allah, dan sebagainya,
yang kepadanya manusia tergantung dan berusaha mendekatinya.8
Seharusnya, definisi agama dan kepercayaan yang berbeda-beda hanya
sebatas kajian kultural yang digunakan untuk kajian akademik. Kajian kultural
yang menunjukan adanya perbedaan kriteria antara agama dan kepercayaan tidak
tepat jika dijadikan panduan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan
karena berimplikasi pada perlakuan diskriminatif negara terhadap penganut
kepercayaan.
6 Rahmat Subagya, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama,
Yogyakarta: Spektrum, No 3 Tahun 1973, h. 189
7 Kamil Kartapradja, Aliran kebatinan dan kepercayaan di Indonesia, Yayasan
Masagung, Jakarta, cet 3, 1990, h. 61.
8 Seno Harbangan Siagian, Agama-agama di Indonesia, Semarang; Satya Wacana Press,
1987), h. 20-21
16
3. Kesamaan Konseptual Agama dan Kepercayaan
Konsep agama dan konsep kepercayaan pada hakikatnya sama. Penganut
agama dan penganut kepercayaan sama-sama mempunyai sistem keyakinan
(teologi) yang tak bisa dibedakan. Menganut agama atau menganut kepercayaan
merupakan ekspresi dari sebuah keyakinan yang transenden (tersembunyi). Setiap
individu baik yang beragama maupun berkeyakinan sama-sama memiliki rasa
kerinduan terhadap suatu kekuatan yang melebihi dirinya.
Konsep religiusitas tertua yang ada di Indonesia adalah “term
kepercayaan”. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa keberadaan penganut
kepercayaan ada sejak sebelum agama Hindu datang dari India.9 Kepercayaan
sudah melekat dianut masyarakat Nusantara. Meskipun secara definisi berbeda-
beda namun yang dimaksud adalah sama. Kepercayaan adalah sistem keyakinan
individu atau kelompok dengan sesuatu (dzat) yang melebihi dirinya (lazimnya
disebut Tuhan Yang Maha Esa). Sementara penganut kepercayaan merujuk pada
subjek yang meyakini itu. Namun, seiring penataan pemerintahan melalui
peraturan perundang-undangan, kepercayaan kerap didefinisikan dengan suatu
sistem keyakinan diluar agama-agama yang “diakui‟ di Indonesia. pakar sosio-
antropologis mengistilahkan kepercayaan dengan berbedabeda. Ada yang
menyebut kepercayaan agama Asli, agama Budaya, Aliran Kebatinan bahkan ada
menyebutnya Aliran Kerohanian.10
Selain agama-agama besar (Islam, Kristen, Hindu dan Budha) yang sudah
membentuk komunitas penganut masing masing, ada pula kepercayaan-
kepercayaan lokal yang banyak jumlahnya di Indonesia. Keberadaan kepercayaan-
kepercayaan lokal yang banyak dipeluk oleh suku-suku di Indonesia semakin
menambah panorama pluralitas, keberagaman dan kemajemukan bangsa
9 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, Jakarta: Sinar Harapa dan Yayasan Cipta
Loka Caraka, cet-2 1981, h.237.
10 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, Jakarta: Sinar Harapa dan Yayasan Cipta
Loka Caraka, cet-2, 1981 h. 35
17
Indonesia. Fakta bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralistik semakin
dirasakan dengan banyaknya agama, kepercayaan, tradisi, seni dan kultur yang
sudah lama hidup subur dan berkembang di tangah-tengah kehidupan bangsa
Indonesia. Agama dan kepercayaan bagi bangsa Indonesia merupakan suatu hal
yang sangat penting dan fundamental (ultimate) yang tidak bisa dipisah-pisahkan
dari sisi kehidupan mereka. Sangat beralasan apabila rumusan sila pertama
Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ini membuktikan secara jelas
bahwa bangsa Indonesia pada hakikatnya percaya kepada Tuhan (dalam hal ini
masing-masing komunitas pemeluk agama dan kepercayaan mempunyai
interpretasi dan pandangan teologis sendiri-sendiri sesuai ajaran agama dan
kepercayaan mereka masing-masing).
Karena kepercayaan-kepercayaan lokal itu muncul dan berkembang di
lokalitas dengan latar belakang kehidupan, tradisi, adat istiadat dan kultur yang
berbeda-beda, maka dapat dipastikan bahwa masing-masing kepercayaan lokal itu
memperlihatkan ciri-ciri khas yang berlainan satu sama lain. Dengan kata lain,
suatu kepercayaan lokal yang terdapat di suatu daerah akan tidak sama dengan
kepercayaan lokal yang terdapat di daerah lain. Bisa saja terdapat kemiripan
sebagai ekspresi kerohanian dan wujud praktik kepercayaan, tetapi setiap
kepercayaan lokal akan menampakkan ciri khas dan karakteristiknya tersendiri.
Disebut kepercayaan lokal karena kepercayaan tersebut hanya dipeluk oleh suku
atau masyarakat setempat. Pada kenyataannya, kepercayaan lokal itu tidak
berkembang dan hanya dipeluk, dianut dan dipraktikkan oleh suku yang mendiami
daerah tertentu. Dapat diduga bahwa kepercayaan-kepercayaan lokal ini sudah
eksis sebelum agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen datang ke Nusantara.
Kepercayaan-kepercayaan lokal ini tetap bertahan pada saat agama Hindu, Budha,
Islam dan Kristen datang ke Nusantara dan terus dianut secara turun temurun oleh
suku-suku di daerahdaerah di Indonesia sampai sekarang ini. Dengan demikian,
18
kepercayaan-kepercayaan lokal itu tidak mengalami kepunahan dan terus tetap
eksis sampai sekarang ini dalam kehidupan spiritual para penganutnya.11
Ada dua elemen penting dan mendasar dalam setiap bingkai kepercayaan
lokal, yaitu lokalitas dan spiritualitas. Lokalitas akan mempengaruhi spiritualitas.
Spiritualitas akan memberi warna pada lokalitas. Keduanya saling mempengaruhi,
bersinergi dan berintegrasi. Spiritualitas lahir dan terefleksikan dari asas ajaran
kepercayaan lokal itu sendiri. Hal ini memunculkan ekspresi kerohanian dan
praktik-praktik ritual sesuai doktrin kepercayaan lokal yang dianut oleh suatu
suku di daerah tertentu. Dalam ekspresi spiritualitas dan praktik ritualitas tadi
sudah barang tentu masuk unsur-unsur lokalitas (tradisi, adat istiadat, kebiasaan
dan seni budaya setempat) yang kemudian menyatu, bersenyawa dan berintegrasi
dengan unsur-unsur spiritualitas dan ritualitas. Semua ini membentuk konstruk
sosiokultural-spiritual-ritual yang menyatupadu dalam ranah kehidupan
kepercayaan/agama suku. Dalam konstruk seperti itu, maka ranah kepercayaan
tidak dapat dipisahkan dari wilayah tradisi, kebiasaan, seni dan budaya.
Sebaliknya, wilayah tradisi, kebiasaan, adat istiadat, seni dan budaya tidak dapat
dilepaskan dari ranah kepercayaan. Demikianlah watak, karakteristik dan ciri khas
kepercayaan lokal itu.
Sebagai misal, agama/ kepercayaan Kaharingan yang secara khusus dan
ekslusif dipeluk oleh etnis Dayak di Kalimantan barat. Dapat dikatakan bahwa
agama Kaharingan adalah agama asli (indigenous) orang-orang Dayak. Pada masa
rezim Orde Baru, agama Kaharingan dikelompokkan ke dalam agama Hindu.
Kebijakan pemerintah ini untuk memudahkan pengelolaan dan penataan
kehidupan keagamaan di Tanah Air agar lebih mudah mengurusnya. Jadi
alasannya lebih bersifat praktis administratif. Tetapi secara faktual, agama
Kaharingan tidak sama dan tidak identik dengan agama Hindu. Sistem atau
kebiasaan pemberian nama pada orang-orang Dayak, misalnya, tidak sama dengan
kebiasaan pemberian nama pada orang-orang Hindu yang memakai Wayan,
11
Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di
IndonesiaKementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta 2012, h.116-120.
19
Nyoman, Putu, Ketut, I Gusti atau Tjokorde. Tradisi ”ngaben” (pembakaran
mayat) seperti yang terdapat pada masyarakat Hindu Bali tidak terdapat pada
masyarakat Dayak di Kalimantan barat. Kesenian dan kebudayaan masyarakat
Hindu Bali yang bersumber dari agama Hindu tidak sama dengan kesenian dan
kebudayaan etnis Dayak yang bersumber dari agama Kaharingan. Ringkas kata,
agama Kaharingan secara substansial tidak sama dengan agama Hindu. Ketika
saya menjabat sebagi Sekjen Depag (sekarang: Kemenag) pada tahun 2002-2006,
beberapa pemimpin agama Kaharingan mewacanakan „pelepasan‟ agama mereka
dari agama „induknya‟(agama Hindu).12
Ilustrasi di atas dimaksudkan untuk menekankan bahwa
kepercayaan/agama Kaharingan merupakan salah satu kepercayaan lokal yang
secara ekslusif dianut dan dipraktikkan oleh mayoritas suku Dayak. Masih banyak
lagi kepercayaan-kepercayaan lokal yang dipeluk oleh suku-suku di seluruh
wilayah Indonesia. Pada tahun 1950-an, antropolog dan sosiolog Amerika Serikat,
Clifford Geertz, melakukan penelitian di Pare, Kediri, Jawa Timur, dan hasil
penelitiannya itu dituangkan dalam sebuah karyanya berjudul “The Religion of
Java” (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Santri, Abangan,
dan Priyayi”). Dalam buku tersebut, Geertz menunjukkan bahwa di kalangan
kaum Muslim Abangan masih banyak ditemukan praktik-praktik kepercayaan dan
ritual yang bersumber dari adat istiadat dan kepercayaan lokal (animisme) yang
menjadi anutan kepercayaan mereka sebelum mereka masuk Islam. Sisa-sisa
kepercayaan lokal belum sepenuhnya hilang walaupun mereka sudah masuk
Islam. Di kalangan para nelayan di Banyuangi dan di beberapa tempat lainnya,
masih ditemukan kebiasaan melakukan ”sedekah laut” dengan tujuan menyatakan
terima kasih kepada ”penjaga lautan” atas rizki dan berkah yang mereka terima.
Juga pernah terjadi di masa lalu, kepala kerbau ditanam sebelum sebuah gedung
atau bangunan didirikan. Fenomena ini menunjukkan bahwa tradisi, kebiasaan dan
kepercayaan lokal masih belum hilang sepenuhnya pada sebagian orang-orang
12 Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di
IndonesiaKementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta 2012, h.116-120.
20
Islam. Diperlukan kearifan dan kesantunan dakwah untuk secara bertahap
menghilangkan sisa-sisa tradisi dan kepercayaan lokal yang tidak sesuai ajaran
Islam.13
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kepercayaan diartikan
sebagai keyakinan, bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau nyata. Kata
kepercayaan ini juga bisa berarti pengakuan terhadap kebenaran apa yang
diceritakan/ disampaikan oleh orang mengenai suatu kejadian atau keadaan.
Sebagai sebuah proses, maka kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME)
dapat diartikan sebagai suatu pengakuan terhadap suatu kebenaran ajaran yang
dibawa seseorang penerima wahyu dari Tuhan YME.14
Menurut definisi Mulder, kata kepercayaan dipakai untuk menyebut
gerakangerakan mistisme kejawen. Istilah kejawen dapat diartikan juga sebagai
ilmu kebatinan Jawa. Menurut Wongsonegoro, kebatinan merupakan bentuk
kebaktian kepada Tuhan YME menuju tercapainya budi luhur dan kesempurnaan
hidup. Kebatinan di Indonesia, dalam praktiknya dapat berupa tassawuf, ilmu
kesempurnaan, theosofi, dan mistik. Di dalamnya tetap mengembangkan aspek
inner reality, kenyataan rohani.15
Kepercayaan terhadap Tuhan YME telah ada sejak dahulu kala. Sebagian
aliran kepercayaan ini membawa dampak, yaitu adanya usaha agar aliran
kepercayaan tersebut disejajarkan sebagai agama. Sebelum agama-agama
kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan yang kini tersisa pada etnis Baduy di
Kanekes (Banten), Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama
Cigugur di Kuningan, agama Buhun di Jawa Barat, Kejawen di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, agama Parmalim di Sumatera Utara, dan lain sebagainya.
13
Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di
IndonesiaKementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta 2012, h.116-120.
14
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta,
2008, h. 1190
15
Rahmat Subagya, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama,
Yogyakarta: Spektrum, No 3 Tahun 1973, h. 21
21
Jadi, aliran kepercayaan berarti kepercayaan masyarakat Indonesia yang
tidak termasuk ke dalam salah satu agama resmi. Aliran kepercayaan dapat
digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu; (1) golongan kepercayaan yang
animistis tradisional tidak terdapat filosofinya dan tidak ada mistiknya, misalnya
Kaharingan, kepercayaan suku Dayak di Kalimantan, dan lain-lain; (2) golongan
kepercayaan masyarakat yang ada filosofinya disertai ajaran mistik yang memuat
ajaran-ajaran bagaimana caranya agar manusia bisa mendekatkan diri atau bahkan
bisa bersatu dengan Tuhan. Ajarannya selalu membicarakan yang ada sangkut
pautnya dengan batin atau hal-hal yang gaib. Karena itu, golongan ini sering
disebut dengan golongan kebatinan. Di Indonesia, utamanya setelah kemerdekaan,
persoalan agama dan kepercayaan menjadi satu masalah yang serius. Kata
“kepercayaan‟ yang dimaksud di sini merujuk pada ajaran pandangan hidup
berkepercayaan kepada Tuhan YME yang tidak bersandar sepenuhnya kepada
ajaran agama-agama yang diakui pemerintah Indonesia.16
Realitas kemajemukan bangsa Indonesia tercermin secara nyata dari
banyaknya etnis seperti etnis Jawa, Sunda, Betawi, Madura, Batak, Bugis, Banjar,
Dayak, Buton, Bali, Sasak, Maluku, Minang, dll. yang semuanya -menurut
penelitian antropolog Amerika Serikat Hildred Geertz- berjumlah lebih dari 300
etnis. Masing-masing etnis mempunyai bahasa daerah (Hildred Geertz dalam
penelitiannya memperkirakan lebih dari 250 bahasa lokal dipakai di Indonesia),
adat istiadat, tradisi, seni dan budaya sendiri dengan identitas khas yang berbeda
satu sama lain. Dari segi agama dan kepercayaan, bangsa Indonesia
memperlihatkan juga sosok kemajemukan yang sangat kaya dan variatif.
Agamaagama besar seperti Islam (dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia),
Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu dan Budha sudah lama eksis di Tanah Air
ini dan mempunyai komunitas penganut masing-masing. Realitas historis
sosiologis ini menunjukkan secara nyata bahwa masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang religius. Bahkan di Indonesia terdapat Kementerian Agama
16 Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di
IndonesiaKementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta 2012, h.116-120.
22
(Kemenag) yang salah satu tugas pokoknya adalah menumbuhkembangkan,
membina dan menjaga kerukunan antarumat beragama dan toleransi
antarpenganut kepercayaan.17
Dalam Living Religion of the World, Ahmad Abdullah al-Masdoosi
membagi agama menjadi tiga macam, yaitu (1) agama wahyu dan bukan wahyu
(revealed and non-revealed), (2) agama misi (dakwah) dan agama bukan misi atau
dakwah (missionary and non-missionary), dan (3) agama geografis kesukuan dan
agama universal (geoghraphical racial and universal).18
Teori agama wahyu dan
bukan wahyu (revealed and non-revealed) yang dimaksud dengan agama wahyu
atau agama samawi (revealed religions) adalah agama yang seluruh ajarannya
berasal dari Allah SWT, yang disampaikan melalui Rasulullah SAW melalui Al-
Qur‟an untuk disebarkan kepada seluruh umat manusia.
Dalam pengertian ini tentu saja agama yang dimaksud adalah Islam.
Sementara pengertian yang hampir sama mengatakan bahwa agama samawi atau
agama wahyu (revealed religions), yaitu agama yang dipercayai diwahyukan
Tuhan melalui malaikat-malaikatNya kepada utusanNya yang dipilih dari
manusia. agama wahyu ini disebut juga dinul haq atau agama yang full fledged,
yaitu agama yang mempunyai nabi dan rasul, mempunyai kitab suci dan umat.
Revealed religions juga sering disebut sebagai agama wahyu, agama langit, agama
samawi, atau agama profetis.
Adapun nonrevealed religion sering disebut sebagai agama kebudayaan
(cultural religions, agama tabi‟i‟ atau agama ardhi) yaitu agama yang bukan
berasal dari tuhan dengan jalan diwahyukan, melainkan agama yang ada karena
hasil proses antropologis, yang terbentuk dari adat istiadat dan melembaga dalam
bentuk agama formal. Menurut al-Masdoosi agama-agama selain Yahudi, Kristen
17
Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia
Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta
2012, h.116-120.
18
Agus Miswanto, S.AG., MA Seri Studi Islam Agama, Keyakinan, dan Etika (seri Studi
Islam), Muhamadiyah, 2012 h.25.
23
dan Islam termasuk dalam nonrevealed religion atau worldly religion atau agama
bukan wahyu, sering disebut juga dengan istilah agama budaya.
Adapun ciri-ciri revealed-religion dan nonrevealed religion adalah,
Agama wahyu berpokok pada konsep keesaan Tuhan, sedangkan agama bukan
wahyu tidak demikian, agama wahyu beriman kepada kenabian, sedangkan agama
bukan wahyu sebaliknya. Bagi agama wahyu yang menjadi sumber utama
peraturan dan kriterian baik dan buruk adalah kitab suci, sedangkan agama bukan
wahyu tidak demikian, Secara geografis, agama wahyu lahir di timur Tengah
sedangkan agama bukan wahyu lahir dari luar wilayah tersebut, agama wahyu
lahir di wilayah-wilayah yang secara histories di bawah pengaruh ras semitik.
Sebaliknya agama bukan wahyu lahir di luar wilayah semitik, agama wahyu
adalah bersifat missionary sedangkan agama bukan wahyu tidak missionary,
ajaran agama wahyu tegas dan jelas, sedangkan bukan wahyu bersifat tidak tegas
atau jelas dan sangat elastis, ajaran agama wahyu memberi arah ke jalan yang
lurus dan ajaran yang lengkap, sedangkan ajaran agama bukan wahyu tidak
demikian.19
Perlu dikemukakan bahwa agama samawi (revealed religion) yang
murni hingga sampai saat ini adalah Islam. Demikianlah keterangan yang dapat
dijumpai dalam Al-Qur‟an20
. Bila kita telaah agama wahyu (revealed) adalah yang
kita ketahui selama ini agama samawi dan agama yang telah diakui negara
sedangkan agama bukan wahyu (nonrevealed) adalah aliran kepercayaan dan
tidak diakui oleh negara sebagai agama resmi.
B. Kebijakan Hukum Agama dan Aliran Kepercayaan
Hakikat agama dan kepercayaan adalah sama, namun kesamaan hakikat itu
menjadi berbeda setelah ada institusionalisasi atau pelembagaan agama dan
19
Agus Miswanto, S.AG., MA Seri Studi Islam Agama, Keyakinan, dan Etika (seri Studi
Islam), Muhamadiyah, 2012 h.26-27.
20 Baca surat al-Baqarah (2): 130, 131 dan 136, Surat Ali Imron (3): 73, dan 85, Surat
Yusuf: 101.
24
kepercayaan oleh negara. Kehadiran negara dalam ”kesucian” agama dan
kepercayaan menjadi jurang pembeda antara agama dan kepercayaan. Adanya
peraturan perundang-undangan yang mengatur agama dan kepercayaan secara
sistematis telah membuat agama dan kepercayaan tidak setara. Bahkan, dalam tata
pemerintahan agama dimasukan kedalam Kementerian agama dan kepercayaan
dimasukkan kedalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Artinya, negara
terang-terangan membedakan dua hakikat yang sebetulnya sama.
Pintu terjadinya perbedaan antara agama dan kepercayaan dimulai dengan
definisi dalam peraturan perundang-undangan. Definisi agama selama ini
mengacu pada UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaaan agama yang isinya ”melarang menceritakan, menganjurkan,
untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia”.
Klausula ”agama yang dianut di Indonesia” merujuk pada penjelasan pasal
tersebut yang menyatakan ”agama yang dianut di Indonesia ialah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu (Confusius)”.21
Meskipun masih ada perdebatan, Undang Undang produk 1965 itu masih
menjadi landasan utama negara dalam mengatur tentang agama, khususnya
mengenai penodaan agama. Para pegiat kebebasan beragama, sebagian
memandang definisi agama dibutuhkan untuk memberikan kepastian apa yang
dimaksud dengan agama. Namun sebagian besar tidak sepakat karena memandang
akan banyak orang yang dituntut secara pidana karena tidak masuk agama seperti
yang didefinisikan oleh negara.
Saat Orde Baru hanya menerima lima agama resmi, yakni Islam, Kristen,
Katholik, Hindu, dan Buddha, aliran kepercayaan semakin tidak mendapatkan
tempat. Akibat paling jelas dari hal ini adalah pengisian kolom agama dalam
Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang tidak boleh kosong. Hal ini pula yang
21
Yasser Arafat, Pengakuan Terhadap 6 Agama Resmi adalah Inkonstitusionali dalam
ressaywordpresscom, di unduh pada 8 Agustus 2018.
25
menyebabkan jumlah penganut agama resmi, terutama Islam, mengalami
peningkatan dengan ditandai oleh perpindahan para penganut aliran kepercayaan
kepada salah satu agama resmi negara. Banyak penganut aliran kepercayaan
mengakui bahwa meskipun mereka mengisi kolom agama, Islam misalnya pada
KTP, namun mereka merasa seperti membohongi diri. Maka dari itu
menempatkan kebebasan beragama sebagai hak konstitusional warga negara
merupakan konsekuensi menjadi negara hukum.
Negara Hukum Indonesia memiliki ciri khas sendiri. Karena pancasila
harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara Hukum
Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok
dalam Negara Hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap Freedom of
Religion atau kebebasan beragama. Tetapi, kebebasan beragama di Negara
Hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi
ateisme atau propaganda antiagama di Bumi Indonesia. Hal ini sangat berbeda
dengan misalnya Amerika Serikat yang memahami freedom of religion baik
dalam arti negatif.
Negara hukum bukan hanya sekedar menjamin secara konstitusional,
melainkan juga mengawal, menjaga pelaksanaannya. Hak konstitusional warga
negara merupakan hak yang diberikan oleh negara yang diberikan kepada setiap
orang karena status kewarganegaraan sebagai warga negara. Berbicara mengenai
pengakuan terhadap kebebasan beragama dalam konteks negara modern saat ini
tidaklah dapat dilepaskan dari perkembangan pengakuan atas Hak Asasi Manusia
(HAM).
Seiring dengan perkembangan ajaran negara hukum, di mana manusia atau
warga negara mempunyai hak-hak utama dan mendasar yang wajib dilindungi
oleh pemerintah, maka muncul istilah basic rights atau fundamental rights. Bila
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah merupakan hak-hak dasar
manusia atau lebih dikenal dengan istilah hak asasi manusia.
26
Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa hak adalah (1) yang
benar, (2) milik, kepunyaan, (3) kewenangan, (4) kekuasaan untuk berbuat
sesuatu, (5) kekuasaan untuk berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu, dan (6)
derajat atau martabat. Pengertian yang luas tersebut pada dasarnya mengandung
prinsip bahwa hak adalah sesuatu yang oleh sebab itu seseorang pemilik
keabsahan untuk menuntut sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari.
Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka orang tersebut dapat
melakukan sesuatu tersebut sebagaimana dikehendaki, atau sebagaimana
keabsahan yang dimilikinya.
Menurut Pasal 1 butir 1 UU No. 39/1999 tentang HAM, menyatakan
bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi Negara, hukum dan
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.31
Hak Asasi Manusia bersifat universal, namun jika diatur dalam Hak
Konstitusional maka Hak Asasi Manusia merupakan Hak yang diberikan Negara
dan telah diatur dalam konstitusi masing-masing Negara kepada seluruh warga
negara atau diamanatkan untuk warga negaranya, yang menjamin terpenuhinya
hak-hak maupun kewajiban dari warga negara, baik perlindungan HAM, Peradilan
Bebas, dan Asas Legalitas. Tentunya Hak konstitusi berbeda dengan Hak Asasi
Manusia yang mencakup secara Universal, sedangkan hak konstitusional hanya
mencakup warga negara, yang mana telah diatur dalam konstitusi.
Hak untuk menganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, adalah bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hakhak sipil dan
politik, yang diturunkan dari atau bersumber pada konsepsi hakhak alamiah.
Sebagai hak asasi yang bersumber pada hak alamiah, hak ini melekat pada setiap
27
orang karena ia adalah manusia, bukan pemberian negara, dalam konteks ke
Indonesiaan.22
Hak Asasi Manusia tentang kebebasan beragama telah diatur dalam
Konstitusi Republik Indonesia, terdapat di beberapa pasal. Sebelum perubahan
amandemen Undang-Undang Dasar 1945, pengaturan akan jaminan konstitusional
hak asasi manusia mengenai kebebasan beragama terdapat pada Pasal 29 Ayat (2)
yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Namun setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, poin-poin
mengenai perlindungan hak asasi manusia terdapat penambahan. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J. Antara lain sebagai berikut:
Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada Pasal 28
E Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”23
Pada Pasal 28 E Ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1)
Undang Undang Dasar 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan
hak asasi manusia. kemudian pada Pasal 29 Ayat (2) Undang Undang Dasar 1945
juga menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya
untuk memeluk agama. Akan tetapi, aktualisasi hak asasi beragama tersebut
bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28 J ayat (1) Undang Undang Dasar
1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28
22
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 97/PUU-XIV/2016, op.cit, h.138.
23
Hamonangan Albariansyah ,Eksistensi Komunitas Penghayat di Persimpangan :
Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Sebagai Warga Negara Jurnal hukum unsri, vol 24, No 2
Mei 2017 h.47.
28
J ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan
hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam Undang Undang.
Hak kebebasan beragama dan meyakini kepercayaan dijamin secara
konstitusional dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 sebagai bagian dari hak
asasi manusia yang mendapat pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum oleh
negara, sehingga setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agama yang dianutnya. Maka hal ini menimbulkan tanggung jawab dari
pemerintah untuk mengatur (dengan Peraturan Perundang-undangan) dan
mengawasi pelaksanaannya (dengan penegakan hukum). Pasal 28 E Ayat (2)
Undang Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28 I Ayat (1) Undang
Undang Dasar 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi
manusia. Selanjutnya Pasal 29 Ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 juga
menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk
memeluk agama. Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan.
Dalam Pasal 28 J ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 diatur bahwa setiap
orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28 J ayat (2) Undang
Undang Dasar 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib
tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi
manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan
yang diatur dalam undang-undang.
Undang Undang No. 12 Tahun 2005. Berdasarkan pada Kovenan
Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil
and Political Rights) pada tahun 1966, pemerintah Indonesia kemudian
meratifikasi ketentuan tersebut pada tanggal 28 Oktober 2005 melalui Undang
Undang No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Convenant on Civil
and Political Rights (ICCPR). Dalam ketentuan Pasal 18 Ayat (1) Undang
Undang No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)
29
yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir,
berkeyakinan dan beragama”. Apabila diletakkan pada konsep yang lebih
universal maka pengakuan atas hak beragama dan menganut kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana disebutkan dalam konstitusi
bersesuaian dengan semangat rumusan kebebasan beragama seperti yang
tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) dan
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah
diratifikasi melalui UndangUndang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
ICCPR.
Dengan demikian dapatlah ditarik mengenai garis besar yang berkaitan
dengan kebebasan beragama di Indonesia, bahwa dasar hukum yang menjamin
kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi, yaitu Pasal 28 E Ayat (1)
Undang Undang Dasar Tahun 1945. Ketentuan Pasal 28 E Ayat (2) Undang
Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan.24
Apabila dasar-dasar hukum konstitusi diatas di kaitkan
secara sistematis, maka dapat dipahami bahwa Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD
1945 merupakan bagian BAB XA yang terkait dengan Hak Asasi Manusia
sedangkan Pasal 29 merupakan isi dari BAB XI terkait dengan Agama. Dengan
demikian, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 berisi pengakuan terhadap
hak setiap manusia untuk memeluk agama dan hak untuk meyakini kepercayaan.
Pengakuan tersebut membawa dampak bahwasannya memeluk agama dan
meyakini kepercayaan merupakan hak yang melekat pada setiap orang. Hal
tersebut secara tidak langsung merupakan sebuah pengakuan dari konstitusi
(negara) terhadap setiap penduduk untuk berhak meyakini agama dan
kepercayaan.
Berdasarkan uraian diatas maka, menjadi tepat apabila Pasal 28I ayat (1)
UDD 1945 menegaskan bahwa hak ini adalah termasuk dalam kelompok hak yang
24
Hamonangan Albariansyah ,Eksistensi Komunitas Penghayat di Persimpangan :
Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Sebagai Warga Negara Jurnal hukum unsri, Vol 24, No 2
Mei 2017 h.47.
30
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Lebih jauh, oleh karena itu hak
beragama dan menganut keprcayaan sebagai bagian dari hak asasi manusia
sekaligus sebagai hak konstitusional, maka timbul kewajiban dan tanggung jawab
bagi negara terutama pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi,
hak tersebut.25
Dalam konteks negara memenuhi hak-hak tersebut terdapat pelaksana
yaitu Administrasi Kependudukan yang merupakan bagian atau salah satu bentuk
dari pelayanan publik sebagai hak yang melekat bagi setiap warga negara,
sehingga menjadi kewajiban bagi negara untuk menjamin dan memenuhinya.
Terkait hal ini, hal konsideran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik) dinyatakan bahwa negara berkewajiban
melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan
dasarnya dalam rangka pelayanan publik.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU Pelayanan Publik, penyelenggaraan
pelayanan publik harus berpijak, diantaranya, pada asas kesamaan hak dan
persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. Kesamaan hak dimaksudkan bahwa
dalam memberikan pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan,
gender, serta status sosial. Selanjutnya berkenan dengan persamaan perlakuan,
penjelasan Pasal 4 UU Pelayanan Publik menggariskan bahwa setiap warga
negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.
Secara tekstual, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta Pasal 29
ayat (2) UUD 1945 menempatkan agama selalu berdampingan dengan
kepercayaan. Dimana agama merupakan kepercayaan itu sendiri, hanya saja
dengan memebaca dan memahami keberadaan Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD
1945, agama dan kepercayaan sangat mungkin dipahami sebagai dua hal yang
berbeda atau tidak sama, namun keduanya sama-sama diakui eksistensinya.26
25
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 97/PUU-XIV/2016, op.cit, h.139. 26
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 97/PUU-XIV/2016, op.cit, h.139.
31
Mengacu pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 kepercayaan dipahami sebagai
agama, namun jika dikaitkan dengan konteks Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD
1945 sebagai pengaturan HAM dan Pasal 29 UUD 1945 sebagai jaminan negara
atas kemerdekaan memeluk agama, maka dalam hal ini dapat dipersoalkan
menyangkut pembatasan hak asasi yang berhubungan dengan agama dan
kepercayaan, norma kostitusi yang lebih tepat diacu adalah Pasal 28E ayat (1) dan
(2) UUD 1945, dimana agama dan kepercayaan diatur sebagai dua hal yang
berbeda. Pola pengaturan yang demikian, misalnya juga telah diikuti Pasal 58 ayat
(2) huruf h UU Administrasi Kependudukan yang menempatakan agama dan
kepercayaan sebagai dua hal yang terpisah secara setara.
32
BAB III
TINJAUAN UMUM ALIRAN SUNDA WIWITAN
A. Sejarah Asal Usul Sunda Wiwitan
Salah satu warisan keyakinan masyarakat Indonesia, agama Sunda
Wiwitan yang tetap hidup lestari dan damai di tengah-tengah hutan tua lebat, hulu
sungai dan puncak gunung Kendeng Banten Selatan. Sunda Wiwitan adalah
agama masyarakat Baduy yang menghormati roh karuhun, nenek moyang1.
Wiwitan berarti jati, asal, pokok, pemula, pertama. Sunda Wiwitan dalam Carita
Parahiyangan disebut kepercayaan Jati Sunda. Naseni, seorang kokolot Kampung
Cikeusik, menjelaskan bahwa “kepercayaan animisme masyarakat Baduy telah
dimasuki unsur-unsur agama Hindu dan agama Islam”. Pada tahun 1907, menurut
laporan Controller Afdeeling, di wilayah Lebak terdapat komunitas masyarakat
beragama Hindu sebanyak 40 keluarga2. Sedangkan, Islam pertama dikenal
oleh masyarakat Baduy di kampung Cicakal Girang sejak kurang lebih 300
tahun silam. Kira-kira tahun 1680-an Islam dianut oleh masyarakat Baduy di
kampung Cikakal Girang.
Sedangkan Wiwitan berarti asal mula. Dengan demikian, Sunda wiwitan
berarti Sunda asal atau Sunda yang asli. Dengan pengertian di atas, Sunda wiwitan
dimaknai sebagai aliran kepercayaan yang dianut oleh orang Sunda asli dari
dahulu hingga saat ini. Kepercayaan Sunda wiwitan juga dibuktikan dengan
adanya temuan arkeologi di berbagai daerah seperti situs Cipari kabupaten
kuningan, situs Arca Domas di Kanekes Kabupaten Lebak, serta yang paling
fenomenal situs gunung padang yang ada di kabupaten Cianjur. Temuan tersebut
1 Permana, R. Cecep Ek. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra 2006 h.37.
2 Ekadjati, Edi S. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya
1995 h. 72
33
menunjukkan bahwa orang Sunda awal telah memiliki sistem kepercayaan.3
Masyarakat tradisional Sunda menganut paham kepercayaan yang memuja
terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (Animisme dan Dinamisme) yang di
kenal dengan agama atau aliran Sunda Wiwitan.4 Akan tetapi ada sementara pihak
yang berpendapat bahwa agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur Monoteisme
purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dia
tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Hyang Kersa yang
di samakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Masyarakat Baduy bertempat tinggal di tanah adat (ulayat) di daerah
pedesaan di antara perbukitan dan pegunungan Kendeng, Banten Selatan. Yakni,
Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten.
Letak Desa Kanekes sekitar 17 kilometer sebelah selatan Kota Kecamatan
Leuwidamar. Sekitar 38 kilometer sebelah selatan Kabupaten Lebak. Sekitar 65
kilometer sebelah selatan Ibukota Propinsi Banten. Dan, sekitar 172 kilometer
sebelah barat Ibukota Jakarta. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak
No. 32 Tahun 2001, luas desa ini kira-kira 5.101,85 hektar. Luasnya terdiri dari
pemukiman masyarakat seluas 2.101,85 hektar dan hutan lindung mutlak (taneuh
larangan) seluas 3.000 hektar. Luasnya di antara desa-desa di wilayah Propinsi
Banten, Desa Kanekes adalah wilayah pedesaan yang terluas.
Masyarakat Baduy tinggal secara mengelompok pada suatu kampung dan
menyebar di wilayah Kanekes. Ada dua kelompok besar pemukiman masyarakat
Baduy, yaitu kelompok Baduy Dalam dan Kelompok Baduy Luar. Kelompok
yang berada di Baduy Luar disebut masyarakat “panamping” yang artinya adalah
pendamping, karena mereka bermukim di bagian luar wilayah Baduy dan
mendampingi masyarakat Baduy Dalam. Kelompok Baduy Luar ini tersebar di 50
kampung. Sementara kelompok Baduy Dalam disebut dengan masyarakat
3 Ira Indrawarna,berketuhanan dalam perspektif kepercayaan sunda wiwitan, dalam
jurnal Melintas, 2014 h. 109-112
4 Ekadjati, Edi S, Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1995),H,72-73
34
“Kajeroan” yang artinya dalam atau “Girang” yang artinya hulu. Mereka
bermukim di bagian dalam atau daerah hulu dari Sungai Ciujung. Ada tiga
kampung yang mereka tinggali, yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo.
Kelompok Baduy Dalam tidak pernah menambah jumlah kampung yang
ada, wilayahnya hanya ada di tiga kampung tersebut. Sementara untuk Baduy
Luar dari tahun ketahun jumlah kampungnya bertambah seiring dengan
pertambahan populasi disana. Jika populasi di Baduy Dalam bertambah dan tidak
sesuai dengan kapasitas kampungnya, maka sebagian dari mereka akan keluar
untuk tinggal di wilayah Baduy Luar dan menjadi kelompok Baduy Luar.
Dalam struktur kepemimpinan kelompok Baduy Dalam juga disebut
masyarakat Tangtu merupakan kelompok yang tinggi, sehingga pemimpin
tertinggi yang disebut Puun berasal dan tinggal di ketiga kampung Baduy
Dalam.5 Dalam berpakaian mereka memiliki ciri berwarna putih alami dan biru
tua serta memakai ikat kepala putih. Baduy Luar juga disebut dengan masyarakat
panamping berciri khas dengan pakaian hitam dan ikat kepala hitam.
Hubungan dari berbagai aspek kehidupan di Kanekes memiliki integrasi
yang bagus dalam menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Yang mana sudah
tersusun dalam ideologi kehidupan mereka yang bisa dipahami dan dijalankan
oleh seluruh masyarakat di Baduy. Pandangan masyarakat Baduy relatif sama
terhadap hubungan antara kehidupan sosial budaya, ekonomi, serta pengelolaan
lingkungan. Mereka mampu membuat instrumen-instrumen yang menjamin
keberlanjutan kehidupan disana. Ada beberapa aspek kehidupan yang diciptakan
oleh masyarakat Baduy untuk menciptakan keberlanjutan kehidupan mereka, yaitu
sistem sosial dan budaya yang sangat kuat, pengaturan sistem ekonomi berbasis
pada pemenuhan kebutuhan primer, dan pengaturan pengelolaan lingkungan
hidup. Ketiga aspek tersebut ditata oleh mereka untuk menjamin terciptanya
kehidupan yang layak bagi masyarakat Baduy.
5 Djoko Mudji Rahardjo, Urang Kenakes di Banten Kidul, Proyek Pemanfaatan dan
Kebudayaan Direktorat Tradisi dan Kepercayaan : Jakarta, 2002, h. 11-12
35
Pemimpin tertinggi dalam sistem adat Baduy disebut Puun yang ada di
tiga kampung di Baduy Dalam, yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo.
Jabatan puun ini berlangsung secara turun temurun, meskipun tidak otomatis dari
bapak ke anak, tetapi bisa ke saudara puun lainnya yang dianggap memiliki
kemampuan untuk menjadi pemimpin.6
Tidak ada batasan waktu bagi puun untuk menjabat sebagai pimpinan
tertinggi masyarakat Baduy, hanya didasarkan pada batas kemampuannya untuk
memimpin. Sebagai pelaksana sehari-hari dalam sistem adat dilaksanakan oleh
Jaro Tangtu di masing-masing kampung di Baduy Dalam, sedangkan untuk
kampung-kampung di Baduy Luar dipimpin oleh Jaro Urusan puun lebih banyak
untuk dunia gaib, sedangkan Jaro Tungtu lebih banyak pada urusan duniawi.
Selain itu Puun juga memiliki pembantu umum yang disebut Girang Seurat
dan juga memiliki penasehat yang disebut Baresan . Untuk kesehatan dan kepala
dukun yang ada di wilayah Baduy diurus oleh Tangkesan Orang menjabat
tangkesan haruslah seorang cendikia dan menguasai ilmu obat-obatan dan juga
pandai meramal masa depan. Tangkesan juga terlibat di dalam penentuan
pemilihan puun yang tepat dan juga sebagai penasehat Puun.
Dalam struktur pemerintahan banyak dijumpai istilah Jaro yang artinya
adalah pemimpin kelompok. Pemimpin-pemimpin di Baduy dipilih secara turun
temurun, sehingga ada hubungan kekerabatan dalam sistem kepemimpinan. Untuk
urusan yang bersifat duniawi ditunjuk dari garis keturunan yang paling muda,
sedangkan untuk pemimpin urusan keagamaan, budaya, serta adat istiadat dipilih
dari garis keturunan yang tertua. Sinergi dalam kepemimpinan tersebut ditujukan
untuk menjangkau seluruh wilayah Baduy.
Dengan sistem yang dibangun tersebut seluruh kampung di Desa Kanekes
tidak ada yang terabaikan dan tetap patuh dengan aturan-aturan adat yang ada,
karena selalu ada fungsi kontrol di tiap-tiap kampung. Selain itu sebagai bentuk
penghargaan dan pengakuan keberadaan pemerintah nasional mereka punya cara
6 Zulyani Hidayah, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Pustaka Obor Indonesia :
Jakarta, 2015. h.44-45
36
tersendiri yaitu dengan melakukan upacara seba. Upacara seba adalah dilakukan
setahun sekali dengan menghantar berbagai macam hasil bumi (padi, palawija,
buah-buahan) kepada Gubernur Banten dan dilakukan dengan jalan kaki
sepanjang sekitar 120 km dari Kanekes ke kantor gubernur.
Baduy merupakan sebutan populer orang lain terhadap masyarakat Desa
Kanekes Banten. Sebutan Baduy muncul sesudah agama Islam masuk ke daerah
Banten utara pada abad ke-16, sekitar tahun 1522-1526. Akan tetapi, orang Baduy
dipaparkan oleh Judistira Garna7, sebagai berikut: “Kesetiaan orang Baduy kepada
agama yang diwarisi secara turun temurun dari nenek moyangnya seperti keadaan
sebelum Hindu dan Islam berkembang di Jawa Barat serta letak desanya yang tak
mudah dicapai orang seolah-olah memperkuat angggapan bahwa orang Baduy itu
bukan orang Sunda”. Meskipun demikian, pada tahun 1822 C.L. Blume pernah
menulis bahwa masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan Sunda Kuno, yakni
Pajajaran, yang bersembunyi ketika kerajaan Pajajaran runtuh pada awal abad
ke-17, dan sejalan pesatnya kemajuan kerajaan Banten Islam8. Terlepas dari
perdebatan para ahli sejarah tentang sebutan Baduy, penelusurannya dapat
diteruskan dan ditemukan di banyak sumber.
Salah satu sumber menyebutkan Asal usul orang Baduy merupakan bagian
dari suku Sunda yaitu suku asli masyarakat Provinsi Jawa Barat dan sekarang
menjadi Provinsi Banten, bahasa yang digunakan mereka juga bahasa sunda1
Diperkirakan mereka pindah di daerah terpencil di Gunung Kendeng ini pada abad
16, seiringan dengan keruntuhan Kerajaan Pajajaran. Karena pada zaman dahulu
sebelum Islam masuk ke Jawa pengaruh agama Hindu dan Budha semakin kuat,
termasuk Kerajaan Pajajaran. Tahun 1579 masuklah Islam untuk menghancurkan
Pajajaran dan masyarakat disana berpindah ke agama Islam. Ada sekelompok
masyarakat yang menolak untuk masuk kedalam Islam, kemudian mereka
7 Garna, Judistira. Orang Baduy. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia 1987 h.16-17.
8 Spradley, James P. Metode Etnografi. Terjemahan. (Edisi ke-2). Yogyakarta: Tiara
Wacana 2006.h. 27
37
berpindah tempat dan mengasingkan diri. Kelompok tersebut yang kemudian
dinamakan Suku Baduy.9 Meraka juga sering disebut orang-orang Kanekes,
bahkan dalam referensi tertentu menyebut mereka sebagai orang Rawayan
Banyak istilah kata Baduy itu yang salah satunya dari kata “badawi” yaitu
julukan bagi orang yang bertempat tinggal tidak tetap di jazirah Arab.dalam buku
Asep Kurnia yang berjudul saatnya Baduy Berbica bahwa mereka menjelaskan
istilah Baduy sebenarnya itu adalah sasaka dari sebuah nama sungai tempo dulu,
yaitu sungai Cibaduy yang mengalir di tempat mereka berdasarkan satu bukit
yang berada di kawasan tanah ulayat mereka., yaitu bukit Baduy. Dikaitkan
dengan keberadaan Baduy di Indonesia pada waktu itu yang menolak untuk
masuk Islam, maka muncul istilah Baduy.
Baduy yang juga sebuah kelompok masyarakat yang kehidupannya tidak
mengenal budaya tulisan, sampai sekarang melarang mereka untuk bersekolah
secara formal, mereka juga tidak memiliki catatan silsilah keturunana atau leluhur
yang lengkap. Menurut orang setempat juga Baduy merupakan keturunan
langsung dari manusia pertama yang diciptakan Tuhan di muka bumi ini yang
bernama Adam Tunggal. Selain itu kesukuan mereka juga tidak ditugaskan untuk
meramaikan dunia, tetapi lebih pada kewajiban untuk memelihara keharmonisan
dan keseimbangan alam semesta dengan tidak mengubah tanah sehingga
kehidupan sederhana dengan ajaran hukum adat yang seragam satu keyakinan.10
Karena itu, menurut Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Baduy
adalah masyarakat setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara
resmi oleh raja, sebab masyarakatnya berkewajiban memelihara kabuyutan,
tempat pe-muja-an nenek moyang, bukan Hindu atau Budha. Kabuyutan di Desa
Kanekes dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Dari sinilah,
masyarakat Baduy sendiri menyebut agamanya adalah Sunda Wiwitan, Sunda
9 Feri Prihantoro , ”Kehidupan Berkelanjutan Masyarakat Suku Baduy” , dalam Jurnal
Asia Good ESD Practice Project, BINTARI (Bina Karta Lestari) Foundation, 2006, h.2
10
Asep Kurnia, Saatnya Baduy Bicara, Jakarta : Bumi Aksara, 2010, hlm 24-25.
38
Pertama11
. Hal itu menjelaskan juga bahwa asal usul Baduy secara tepat bisa
ditemukan di dalam diri masyarakat Baduy sendiri yang kukuh melestarikan alam
lindung pegunungan Kendeng
Menurut orang Baduy kata wiwitan berasal dari kata wit-wit-an yang
berarti „pepohonan‟. Mereka menganalogikan bahwa unsur-unsur tubuh manusia
itu berasal dari pepohonan, dan semua itu bertumbuh menjadi besar atau dewasa.
Sesungguhnya, di kalangan mereka ada anggapan bahwa Sunda Wiwitan
merupakan „asal usul‟ atau pangkal dari semua agama. Semua agama yang ada di
dunia ini akan mencerminkan nilai-nilai dasar agama wiwitan, yang dalam istilah
mereka katitipan wiwitan. Dasar etis “agama wiwitan” – Sunda Wiwitan – itu
tercermin pada pandangan orang baduy dalam memelihara keseimbangan
hubungan antara manusia dengan sesamanya, lingkungan alamnya, dan Tuhan.12
Bagi masyarakat Baduy Sunda Wiwitan mereka meyakini bahwa pendiri
agama atau kepercayaan Sunda wiwitan adalah Madrais yang nama lengkapnya
Madrais Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat hidup sekitar tahun 1832-
1939. Madrais sebenarnya nama pesantren yang dia dirikan di Cigugur yang
sekarang menjelma menjadi paseban, ayahnya yaitu pangeran Alibasa, cucu dari
pangeran Sutajaya Upas, menantu pangeran kesepuhan keturunan 8 dari Sunan
Gunung Jati. Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa,
kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki rasa cinta yang tinggi terhadap
budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Beliau mengajarkan Islam
kepada rakyat dan mengajarkan pentingnya hidup sebagai orang yang mandiri dan
mencintai sesama. Dan beliau mengajarkan agama Islam (Al-Qur‟an dan hadits)
disampaikan dalam tulisan Jawa Sunda yaitu tulisan ha, na, ca, ra, ka dan
seterusnya. Agar tidak di ketahui oleh penjajah bahwa beliau sedang menyebarkan
agama Islam. Dengan cara demikian ajaran madrais disebut agama jawa Sunda
11
Permana, R. Cecep Eka. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra 2006 h.27
12 Ira Indrawarna,”Berketuhanan dalam Perspektif Kpercayaan Sunda Wiwitan”, dalam
Jurnal melintas,30-01-2014 h. 113
39
atau yang sekarang disebut Sunda Wiwitan. Akan tetapi, saat itu ajaran madrais
ialah tauhid murni, hanya Allah yang wajib di sembah.13
Keberadaan “manusia Sunda” masa lalu di antaranya bisa dilihat pada
peninggalan-peninggalan. Mengacu pada temuan artefak yang berumur ribuan
bahkan puluhan ribu tahun sebelum masehi di dataran tinggi Bandung (sebagai
wilayah cekungan Bandung), benda-benda tersebut adalah salah satu bukti
penulusuran leluhur “Ki Sunda”. Adanya situs-situs purbakala tertentu, misalnya,
situs purbakala Cipari, Kuningan, yang ditaksir berusia 2000-3000 tahun SM,
menunjukkan bahwa “manusia Sunda” sudah mengenal tatanan hidup
bermasyarakat dengan sistem kepercayaan atau religiositasnya. Menurut tafsir
arkeologi adanya situs artefak menhir dan lingga yoni di Cipari adalah bukti
nenek moyang bangsa Indonesia (khususnya nenek moyang manusia Sunda)
sudah memiliki karakter dan sifat religius.14
Upaya penelusuran jejak-jejak dinamika spiritual Orang Sunda masa lalu,
sebagai upaya pengungkapan eksistensi kebudayaan Sunda berikut penjelasan
sistem kepercayaan „asli‟ masyarakat Sunda, terkadang mendapatkan reaksi yang
kontraproduktif dari masyarakat Sunda sendiri. Sampai saat ini masih ada
berbagai pendapat yang mengatakan bahwa kerajaan Sunda masa lalu, termasuk
raja-rajanya, adalah penganut Hindu; ada pula yang berpendapat bukan Hindu,
tetapi penganut Agama Asli Sunda atau sistem kepercayaan leluhur Sunda
sebelum pengaruh Hindu masuk. Ada pula polemik atas klaim bahwa Orang
Sunda itu sudah Islami sebelum agama Islam masuk, sehingga beranggapan
bahwa Orang Sunda adalah penganut agama Islam. Munculnya komunitas kaum
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau dahulu ada yang
menyebutnya sebagai Aliran Kepercayaan
13
http://m.voa-islam.com/news/citizens-jurnalism/2014/10/17/33436/mengungkap-
asalusul-sunda-wiwitan (di akses pada tanggal 05 desember 2018 )
14 Kosoemadinata, R.P. (2006) ‘Asal-Usul dan Prasejarah Ki Sunda’, dalam Rosidi, Ajip
dkk. (ed.) Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) 2006. Jilid 1
40
Terlepas dari polemik yang masih berkembang sampai sekarang itu,
adanya artefak peninggalan prasejarah maupun sejarah yang terkait dengan simbol
dan ajaran yang tertulis dalam naskah-naskah kuno menyiratkan dan menyuratkan
bahwa Orang Sunda sejak Zaman Prasejarah sudah bersifat religius, atau memiliki
kepercayaan dan sistem kepercayaan terhadap Tuhan. Beberapa data
mengungkapkan sebutan-sebutan terhadap yang disembah dan diyakini dalam
sistem kepercayaan masyarakat Sunda masa lalu, seperti Hiang atau Hyang,
Hyang Tunggal, Batara Tunggal, Nu Ngersakeun, Gusti Pangeran Sikang sawiji-
wiji, dan sebagainya. Menurut Richadiana Hyang sebagai istilah kuno yang umum
sampai sekarang digunakan dalam penyebutan kepada Sang Maha Pencipta Alam
Raya beserta isinya15
B. Pokok Ajaran Sunda Wiwitan
Tuhan yang diyakini oleh umat Sunda Wiwitan adalah Allah, sebagaimana
terucapkan di dalam kalimat syahadat Baduy.16
Meskipun, mereka menyebut-Nya
Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam) dan
Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Mereka mempercayai Sang Hiyang Keresa
(Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki) sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi. Tuhan Sunda Wiwitan bersemayam di Buana Nyungcung
(Dunia Atas). Bahkan, diyakini bahwa semua dewa agama Hindu (Brahma,
Wisnu, Siwa, Indra, Yama, dan lain-lainnya) tunduk terhadap Batara Seda
Niskala.17
Mereka beriman kepada yang gaib, yang tidak bisa dilihat dengan mata,
tetapi dapat diraba dengan hati. Nabi-nabi yang diimani secara eksplisit adalah
Nabi Adam dan Nabi Muhammad. Mereka beriman kepada hidup, sakit, mati dan
nasib adalah titipan. Umat Sunda Wiwitan menjalankan juga ritual ibadah sunah
15
Richadiana, „Situs (Kabuyutan) Kawali di Ciamis, Jawa Barat: Ajaran Sunda di dalam
Tatanan Tradisi Megalitik 2006. Jilid 1. Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage h. 264
16 Sam, A. Suhandi. Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat.
Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1986 h.62.
17 Ekadjati, Edi S.. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya
1995 h.73
41
Rasul, yakni sunat atau khitan.18
Ritus sunat diyakini sebagai nyelamkeun,
mengislamkan, bagi laki-laki pada umur 4-7 tahun dan perempuan. Dan, mereka
tak lupa melaksanakan ritual ibadah puasa kawalu, lebaran. Puasa ini dilakukan
hanya sehari pada bulan pertama, kedua dan ketiga dalam setahun sekali.
Kekuasaan Tuhan dipahami oleh umat Sunda Wiwitan sebagai pencipta
alam semesta. Dalam mitos penciptaan Baduy dijelaskan bahwa “dunia pada
waktu diciptakan masih kosong, kemudian Tuhan mengambil segenggam
tanah dari bumi dan diciptakanlah Adam. Dari tulang rusuk Adam terciptalah
Hawa. Tuhan juga menciptakan Batara Tujuh, yaitu: (1) Batara Tunggal, (2)
Batara Ratu, (3) puun yang dititipkan di Kanekes (Cikeusik, Cikertawana, Cibeo),
(4) Dalem, (5) Menak, (6) Putri Galuh dan (7) Nabi Muhammad yang diturunkan
di Mekah. Batara Tujuh merupakan Sanghyang Tujuh yang bersemayam di
Sasaka Domasi”.19
Dari mitos penciptaan ini, masyarakat Baduy menyakini
bahwa manusia yang pertama kali diciptakan di bumi ini berada di Kanekes
sebagai inti jagat, pancer bumi. Karena itu, mereka melaksanakan ritual ibadah
pemujaan di Sasaka Domas sebagai penghormatan kepada roh karuhun, nenek
moyang. Mereka menyakini juga agamanya adalah Sunda Wiwitan, bukan Hindu
ataupun Islam.
Nabi Adam diyakini oleh umat Sunda Wiwitan sebagai simbol penciptaan
manusia pertama yang berada di Sasaka Domas. Keyakinan seperti ini terdapat
juga di dalam agama masyarakat Jawa yang masih menghormati raja-raja, nenek
moyang, mereka, Ahimsa-Putra.20
menjelaskan bahwa antara Nabi Islam, Batara
dan Raja Jawa terdapat relasi genealogis, Batara Tunggal yang dipercayai oleh
umat Sunda Wiwitan adalah manusia biasa yang tidak pernah mati, akan tetapi
18
Djoewisno, MS. Potret Kehidupan Masyarakat Baduy. Banten: Cipta Pratama
Adv.pt 1987 h. 28.
19 Sam, A. Suhandi.Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat.
Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1986 h.64.
20 Permana, R. Cecep Eka. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra . 2006 h. 345
42
jasad dan rohnya ngahiyang, sirna, dari dunia ini. Mereka menyakini juga bahwa
Batara Tunggal-lah yang mengatur nasib dan kehidupan manusia di muka bumi
ini. Begitu pun, Dalem dan Menak adalah karuhun nenek moyang yang jasad dan
rohnya ngahiyang, sirna. Sebab itu, diyakini bahwa Kanekes tidak akan hilang
hingga saat ini, seiring terpeliharanya keturunan puun.21
Menurut pengakuan dan kepercayaan orang Kanekes, leluhur mereka
mempunyai hubungan langsung dengan Adam (manusia pertama) dan agama yang
mereka anut disebut Sunda Wiwitan.22
Selanjutnya, Sunda Wiwitan juga sering
dipakai sebagai penamaan atas keyakinan atau sistem keyakinan “masyarakat
keturunan Sunda” yang masih mengukuhkan ajaran spiritual leluhur kesundaan.
Penamaan itu tidak muncul serta merta sebagai sebuah konsep penamaan
keyakinan oleh komunitas penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian dilekatkan
pada beberapa komunitas dan individu Sunda (orang Sunda) yang dengan kokoh
mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda. Dengan
demikian Sunda Wiwitan secara literal berarti Orang Etnis Sunda Awal atau awal
mula orang Sunda. Sunda Wiwitan yang sejauh ini oleh para antropolog Indonesia
dianggap sebagai salah satu sistem religi dan identitas masyarakat Sunda,
khususnya di masyarakat Baduy atau Kanekes.
Secara formal-normatif, puun adalah pimpinan adat istiadat masyarakat
Baduy. Untuk memimpin adat istiadat aspek spiritual puun dibantu oleh
perangkat puun. Yaitu, baresan (dewan penasehat), (peramal) dan girang seurat
(pembantu pelaksana ritual). Selain puun diyakini sebagai pemimpin tertinggi
adat, juga merupakan keturunan karuhun, nenek moyang, yang langsung
mempresentasikannya di dunia. Selain menyakini adanya karuhun, masyarakat
Baduy juga menyakini adanya guriang, sanghyang dan wangatua. Guriang dan
sanghyang adalah penjelmaan para karuhun untuk melindungi keturunannya dari
21
Sam, A. Suhandi. Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat.
Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1986 h.62-63
22 Ira Indrawarna,berketuhanan dalam perspektif kepercayaan sunda wiwitan, dalam
Jurnal melintas,30-01-2014 h. 109-112
43
segala bahaya, baik dari gangguan orang jahat maupun makhluk-makhluk halus
yang jahat. Sedangkan, wangatua adalah penjelmaan roh ibu dan bapak yang telah
meninggal dunia. Para puun adalah orang-orang yang bertanggung jawab dan
bertugas melestarikan kepercayaan warisan nenek moyang, pikukuh, supaya tidak
terkena pengaruh proses perubahan sosial budaya dari luar.23
Kiblat ibadah pemujaan umat Sunda Wiwitan disebut Sasaka Domas, atau
Sasaka Pusaka Buana atau Sasaka Pada Ageung. Sasaka Domas adalah bangunan
punden berunduk atau berteras-teras sebanyak tujuh tingkatan. Setiap teras diberi
hambaro, benteng, yang terdiri atas susunan “menhir” (batu tegak) dari batu kali.
Pada teras tingkat keempat terdapat menhir yang besar dan berukuran tinggi
sekitar 2 m. Pada tingkat teratas terdapat “batu lumpang” dengan lubang bergaris
tengah sekitar 90 cm, menhir dan “arca batu”. Arca batu ini disebut Arca Domas.
Domas berarti keramat, suci. Tingkatan teras, makin ke selatan undak-undakan
makin tinggi dan suci. Digambarkan oleh Koorders (1869), Jacob dan Meijcr
(1891) dan Pleyte (1909) bahwa letaknya di tengah hutan tua yang sangat lebat,
hulu sungai Ciujung dan puncak gunung Pamuntuan. Bangunan tua ini merupakan
sisa peninggalan megalitik. Sebagai kiblat ibadah, Sasaka Domas diyakini sebagai
tanah atau tempat suci, keramat (sacral), para nenek moyang berkumpul.24
Pikukuh, aturan adat mutlak pandangan hidup (world view) umat Sunda
Wiwitan berpedoman pada pikukuh, aturan adat mutlak. Pikukuh adalah aturan
dan cara bagaimana seharusnya (wajibnya) melakukan perjalanan hidup sesuai
amanat karuhun, nenek moyang. Pikukuh ini merupakan orientasi, konsep-
konsep dan aktifitas-aktifitas religi masyarakat Baduy. Hingga kini pikukuh
Baduy tidak mengalami perubahan apapun, sebagaimana yang termaktub di dalam
buyut (pantangan, tabu) titipan nenek moyang. Buyut adalah segala sesuatu yang
melanggar pikukuh. Buyut tidak terkodifikasi dalam bentuk teks, tetapi menjelma
23
Permana, R. Cecep Eka. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra. 2006 h.40
24 Spradley, James P. Metode Etnografi. Terjemahan. (Edisi ke-2). Yogyakarta: Tiara
Wacana. 2006. h. 89-90.
44
dalam tindakan sehari-hari masyarakat Baduy dalam berinteraksi dengan
sesamanya, alam lingkungannya dan Tuhannya, Pikukuh Sunda Wiwitan di
atas dikukuhkan dengan kearifan atau filsafat hidup sehari-hari. Filsafat hidup
yang diajarkan di dalam agama Sunda Wiwitan adalah bahwa “kehidupan
manusia itu telah ditentukan kedudukannya dan tempatnya masing-masing.”
Filsafat hidup ini dapat menjelaskan bahwa manusia harus menerima kodratnya
masing-masing dan menempati tempat yang sudah ditentukan. Manusia hidup di
dunia ini tidak boleh berlebihan dalam mencari kesenangan, cukup menerima
yang sudah ada saja. Sebab itu, tujuan hidup bagi umat Sunda Wiwitan adalah
kebajikan (goodness) yang dapat dicapai dengan jalan mentaati pikukuh yang
sudah dikodratkan dan yang diberikan kepada kita masing-masing. Jika tidak,
berarti hidup itu tidak baik yang akan dirasakan sebagai siksaan atau neraka.
Demikian itu menekan bahwa hidup berarti narimakeun kana kadar
(menerima yang sudah ditentukan dan jauh dari hawa nafsu). Dengan kata lain,
hirup narimakeun berarti hidup menerima apa yang sudah menjadi bagiannya,
sehingga membuatnya tidak berani untuk berbuat atau hidup di luar yang
ditentukan.25
Sebab itu pandangan hidup umat Sunda Wiwitan ini yang
dipraktikkan dalam ibadah ritual keagamaan yang diatur dengan pikukuh dan
ketaatan pada buyut, menentukan keberhasilan panen padi yang melimpah dan
kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian, identitas Sunda Wiwitan adalah
agama sinkretis. Sebagian antropolog menganggap bahawa sinkretisisme sebagai
salah satu dari tiga hasil proses akulturasi: penerimaan, penyesuaian dan reaksi.
Dalam Antropology Today R. Beals menjelaskan bahwa “acculturation is
combining original and foreign traits either in harmonious whole or with
retention of conflicting attitudes which are reconciled in everyday behavior
according to specific occasions.” Jelasnya, sinkretisasi adalah proses
25
Rosmana, Tjetjep dkk. Kompilasi Eksistensi Lembaga Adat di Jawa Barat.
Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen kebudayaan dan Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional 1993 h. 88-90.
45
penggabungan dan pengombinasian unsur-unsur asli dengan unsur-unsur asing
yang dapat memunculkan sebuah pola budaya baru26
.
Religi ini memberikan pandangan hidup kepada umatnya supaya hidup
sederhana dan menerima apa adanya, hanya untuk dapat bekerja di ladang,
menanam padi, dengan damai dan sejahtera. Pandangan hidup ini mengkonstruksi
pribadi-pribadi Baduy yang taat menjaga alam lindung Kanekes. Di samping itu,
menciptakan agama ini tetap lestari secara turun temurun dengan penganut yang
semakin bertambah.
Sebagai sebuah sistem religi, Sunda Wiwitan tentu juga memiliki upacara-
upacara keagamaan sebagai suatu bentuk penyembahan terhadap tuhan. Menurut
masyarakat Suku Baduy.
a. Kawalu
Kawalu adalah salah satu bagian dari ibadah khusus bagi masyarakat Suku
Baduy. Di dalam penanggalan adat masyarakat Suku Baduy, Kawalu dilaksanakan
selama tiga bulan pada bulan Kasa, Karo, dan Katiga. Jika dikonversi ke dalam
penanggalan masehi maka kegiatan Kawalu dilaksanakan pada sekitar akhir bulan
Desember sampai dengan bulan Maret. Secara kronologis Kawalu terbagi menjadi
tiga, yaitu bulan Kawalu tembay (awal) di bulan Kasa, Kawalu tengah di bulan
Karo, dan Kawalu tutug (besar atau penutup) di bulan katiga27
. Kegiatan inti dari
Kawalu adalah berpuasa pada pada bulan Kawalu (Kasa, Karo, Katiga) selama
satu hari penuh tanpa sahur hingga terbenam matahari. Berpuasa hanya
dilaksanakan selama satu hari pada setiap bulannya, jadi total puasa yang
dilaksanakan oleh masyarakat Suku Baduy adalah tiga hari. Selama Kawalu
berlangsung wilayah terutama Baduy Dalam tidak diperbolehkan didatangi oleh
tamu dalam jumlah besar, sedangkan untuk tamu yang datang secara perorangan
masih bisa diterima apabila ada salah satu dari orang Baduy Dalam yang dikenal
26 Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra.
(Yogyakarta 2006) h. 338.
27 Erwinantu. Saba Baduy: Sebuah Perjalanan Wisata Baduy Inspiratif. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2012.h.42
46
b. Ngalaksa
Ngalaksa juga menjadi salah satu bagian dari ibadah khusus bagi
masyarakat Suku Baduy yang dilaksanakan pada setiap bulan Katiga di dalam
penanggalan adat masyarakat Suku Baduy. Ngalaksa menjadi sebuah ibadah
khusus yang juga dilaksanakan pada salah satu bulan Kawalu, yaitu bulan Katiga.
Kegiatan inti dari Ngalaksa adalah pembuatan makanan yang diberi nama laksa,
laksa merupakan makanan yang harus dibuat pada pelaksanaan Ngalaksa. Laksa
merupakan makanan sejenis mie yang berbentuk pipih dan lebar yang terbuat dari
tepung beras. Ngalaksa dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Suku baduy dari
wilayah Suku Baduy Dalam dan wilayah Suku Baduy Luar. Mereka berkumpul di
Kampung Cibeo yang menjadi pusat dari pelaksanaan Ngalaksa. Ibadah khusus
Ngalaksa merupakan waktu dimana seluruh masyarakat Suku Baduy berkumpul.
Laksa yang telah dibuat kemudian dibagikan secara menyeluruh tanpa terkecuali
meskipun ada yang masih bayi28
. Pelaksanaan Ngalaksa juga dimanfaatkan
sebagai kegiatan sensus bagi masyarakat Suku baduy, karena pada saat itu semua
dari mereka berkumpul di satu tempat dan satu waktu. Selain membuat laksa,
Ngalaksa juga dijadikan sebagai momen untuk “ngasah diri” dan tutup tahun di
dalam penanggalan adat masyarakat Suku Baduy
c. Seba
Ibadah khusus yang lain adalah Seba, yang dilaksanakan setelah Kawalu
dan Ngalaksa. Seba adalah ibadah khusus yang dilaksanakan sebagai bentuk rasa
syukur atas hasil panen yang diterima selama satu tahun. Bentuk pelaksanaan
Seba adalah dengan mengunjungi pemerintah daerah untuk bersilaturahmi dan
juga berkoordinasi. Di dalam Seba masyarakat Suku Baduy pergi dengan
rombongan besar untuk bersilaturahmi dengan membawa berbagai macam hasil
bumi yang berasal dari tanah mereka. Masyarakat Suku Baduy menganggap Seba
sebagai sebuah hari raya besar yang dilakukan setelah melaksanakan dua ibadah
khusus lainnya, yaitu Kawalu dan Ngalaksa. Pemerintah daerah yang menjadi
28
Erwinantu. Saba Baduy: Sebuah Perjalanan Wisata Baduy Inspiratif. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2012. h.42
47
tujuan dari masyarakat Suku baduy untuk bersilaturahmi adalah pemerintah
Provinsi banten, kegiatan itu dimanfaatkan oleh mereka sebagai sarana untuk
berkoordinasi dan melaporkan situasi serta perkembangan dari wilayah adat Suku
Baduy.
Selain ibadah umum dan ibadah khusus bagi masyarakat Suku Baduy, ada
beberapa kegiatan juga yang diatur dan ditentukan berdasarkan ketentuan Sunda
Wiwitan, antara lain:
a. Khitan
Khitan atau sunat adalah momen yang dipercaya merupakan sebuah proses
yang harus dilalui oleh setiap anak laki-laki dari masyarakat Suku Baduy.
Menurut mereka Khitan adalah sesuatu yang wajib hukumnya bagi setiap anak
laki-laki. Biasanya khitan dilakukan ketika seorang anak masih berumur sepuluh
tahun ke bawah. Yang khas Baduy dari Khitan acara ini adalah dibangunnya
tempat khusus yaitu saung papajangan atau saung pesajen di halaman kampung,
ukurannya sekitar 4 meter x 4 meter dengan tinggi lantai saung sekitar 1,5 meter,
yang merupakan simbol dari harapan tinggi bagi anak-anak agar kelak hidupnya
mulia dan sejahtera29
.
b. Pemakaman
Berdasarkan ajaran Sunda Wiwitan, masyarakat Suku Baduy memiliki tiga
tahapan di dalam mengurus anggota kelompoknya yang telah meninggal dunia.
Tahap pertama adalah memandikan, yang kemudian dilanjutkan dengan
mengkafani, dan diakhiri dengan memakamkan jenazah ke liang kubur. Ketika
anggota kelompoknya ada yang meninggal dunia maka tugas pertama dari
anggota kelompok yang masih hidup adalah memandikan jenazah hingga bersih,
setelah dimandikan jenazah langsung dikafani dengan sehelai kain putih untuk
laki-laki ataupun perempuan, setelah selesai dimandikan dan dikafani maka
jenazah langsung dibawa ke liang kubur yang telah disiapkan. Tidak ada tempat
29
Erwinantu. Saba Baduy: Sebuah Perjalanan Wisata Baduy Inspiratif. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2012. h. 44
48
khusus yang menjadi pusat pemakaman bagi masyarakat Suku Baduy, liang kubur
disiapkan di lahan yang memang kebetulan sedang kosong. Hal tersebut dilakukan
karena tanah yang dijadikan kuburan, di waktu yang akan datang juga akan
dimanfaatkan sebagai lahan berladang bagi keturunan-keturunan berikutnya.
Jenazah diletakkan dengan posisi kepala menghadap ke arah barat, dan posisi
badan menghadap ke arah selatan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa arah selatan adalah arah yang dijadikan kiblat/patokan bagi masyarakat
Suku Baduy, karena di Selatan lah letak dari hutan larangan yang di dalamnya
terdapat Sasaka Domas, tepat yang sangat disucikan. Setelah selesai mengurus
jenazah mulai dari memandikan hingga menguburkan, maka pihak keluarga yang
ditinggalkan membuat acara tahlilan yang diadakan pada hari kematian, hari
ketiga setelah kematian, dan hari ketujuh setelah kematian. Setelah tahlilan hari
ketujuh selesai dilaksanakan, maka pihak keluarga tidak boleh lagi melakukan
segala sesuatu yang berhubungan dengan almarhum, semisal mengunjungi
makamnya untuk berziarah.
Secara singkat ajaran ini berisi tentang pendidikan yang memberi aturan
dan tuntunan moral kepada penganutnya. Lalu, tentang bagaimana mereka dapat
tumbuh menjadi resi (bijaksana atau suci) dengan menempatkan wujud yang
bersemayam dalam Buana Nyungcung. Yang mereka sebut dengan istilah Sang
Hyang (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Maha Menghendaki),
Batara Jagad (Penguasa Alam) dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib). Dan
bagaimana mereka melaksanakan hidup secara simetri dengan sesama manusia.30
Hubungan simetri dengan sesama manusia menimbulkan aturan-aturan
yang harus di sepakati oleh semua warga masyarakat. Selain itu, ukuran baik dan
buruk pun muncul berdasarkan penilaian terhadap pelaksanaan aturan-aturan tadi.
Oleh karena itu, antara aturan dengan ukuran saling berkaitan. Dalam Sanghyang
Siksakandang Karesian di jelaskan bahwa masyarakat Sunda telah mampu
menunjukkan dua kelompok manusia yang berlainan, yaitu kelompok orang yang
30
https;//www.lyceum.id/sunda-wiwitan-dan-puncak-ketuhanan. (diakses pada tanggal 7
desember 2018)
49
berbuat baik, dan kelompok orang yang berbuat jahat sebagai mana tampak dalam
teks berikut31
: Sifat-sifat manusia yang tidak terpuji menurut anggapan
masyarakat Sunda ialah sifat iri, dengki, dan culas, sebagaimana tercermin dalam
teks berikut: mulah hiri mulah dengki deung deungeun sakahuluan. Maka nguni
nyeueung nu meunang pudyan, meunang parekan, nyeueung nu dineneh ku
tohaan, teka dek nyetnyot tineung urang. Haywa,
31
Elis Suryani, Ragam Pesona Budaya Sunda. (Bandung: Ghalia Indonesia,2010).
50
BAB IV
PENCANTUMAN ALIRAN KEPERCAYAAN DI KTP PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI KASUS ALIRAN KEPERCAYAAN
SUNDA WIWITAN DI DESA KANEKES, KECAMATAN LEUWIDAMAR,
KABUPATEN LEBAK, BANTEN)
A. Isi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pencantuman Aliran
Kepercayaan di KTP
Permasalahan pengisian kolom agama atau kepercayaan bagi
penghayat kepercayaan, menjadi faktor yang mendorong masyarakat adat
mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Administrasi
Kependudukan ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2016, persis disaat
Undang-Undang Administrasi Kependudukan baru berusia 3 (tiga) tahun
setelah dilakukan perubahan. Masyarakat adat mempermasalahkan ketentuan
Pasal 61 ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang
Administrasi Kependudukan terkait pencantuman kolom kepercayaan dalam
dokumen kependudukan berupa KTP-el. Judicial review yang diajukan oleh
masyarakat adat tersebut telah membawa angin segar bagi masyarakat adat,
dan sekaligus mengakibatkan terjadinya perubahan yang cukup siginifikan
dalam perkembangan hukum. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
ditentukan, bahwa:
Menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sebagaimana yang telah diubah dengan UndangUndang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan AtasUndangUndang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
51
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak
termasuk “kepercayaan”.1
Selanjutnya dalam poin ke dua Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
menentukan, bahwa:
Menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
B. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pencantuman
Aliran Kepercayaan di KTP
Salah satu prinsip negara hukum adalah terwujudnya independensi
kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu
kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan penting guna menegakkan
keadilan dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan
kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945.2 Dalam
memeriksa, mengadili dan memutus sebuah perkara Mahkamah Konstitusi
harus mempertimbangkan secara filosofis, yuridis, dan sosiologis, dengan
maksud bahwa perkara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi mempunyai
kekuatan hukum dan tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Unsur filosofis diartikan sebagai pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
1 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016, h, 154
2 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Naskah Akademik Rancangan Undang-
undang Tentang Mahkamah Konstitusi, 2016,
52
kebatinan sertah falsafah Bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan UUD NRI 1945.3
Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan
sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.4
Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu berkaitan dengan substansi
atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-
undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu antara lain, peraturan
yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,
jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya
berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau
peraturannya memang sama sekali belum ada.5 Ketiga unsur tersebut akan
penulis jelaskan sebagai berikut:
1. Unsur Filosofis
Pancasila sebagai falsafah Bangsa Indonesia menjadikan Ketuhanan
sebagai norma yang fundamental dari empat norma yang lain. Ketuhanan
yang Maha Esa selain menjadi norma rohani yang diyakini oleh masyarakat,
juga menjadi nilai moral yang dipahami mengandung norma baik buruk,
3 Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
4 Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. 5 Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
53
salah benar sebagai tuntunan moral masyarakat. Tidak hanya itu, sila pertama
Pancasila tersebut mengandung ajaran toleransi antarumat beragama. Artinya
sila “Ketuhanan Pancasila” mendukung hak asasi manusia, yang didalamnya
terdapat penghormatan terhadap hak untuk beragama. Oleh karena itu jika
manusia meyakini kedaulatan Tuhan, maka setiap manusia yang menganut
suatu agama juga harus memahami bahwa persoalan keimanan manusia
adalah hak prerogatif dari Tuhan yang tidak boleh dibatasi maupun dilarang.6
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila
dan UUD NRI 1945 pada hakekatnya berkewajiban memberikan
perlindungan dan pengakuan atas status hukum atas Peristiwa Kependudukan
maupun Peristiwa Penting yang dialami Penduduk. Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2006 yang merupakan penjabaran amanat Pasal 26 ayat (3) UUD
NRI 1945 bertujuan untuk mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan
dengan terbangunnya database kependudukan secara nasional serta keabsahan
dan kebenaran atas dokumen kependudukan yang diterbitkan dan peraturan
perundang-undangan yang lainnya. Dalam perkara Nomor 97/PUU-XIV/2016
tentang pengujian UU Administrasi Kependudukan terhadap UUD NRI 1945
bahwa dalam memutus perkara tersebut Mahkamah Konstitusi memberikan
beberapa pertimbangan, yaitu.
Kebebasan untuk memilih agama maupun meyakini sebuah
kepercayaan adalah hak setiap individu yang ada dan melekat dalam diri
manusia sejak mereka dilahirkan. Kebebasan berkehendak yang paling sakral
adalah kebebasan untuk memilih agama dan keyakinannya. Oleh karena itu
sebagai sebuah hak yang sangat suci, Memilih suatu agama dan keyakinan
merupakan hubungan transendental antara manusia dengan penciptanya.
Beragama berkaitan erat dengan bagaimana seseorang berkehendak bebas
untuk menentukan keyakinannya dan tidak jarang pula menjurus kepada
sikap yang fanatik. Fanatisme adalah sebuah sikap melahirkan sikap intoleran
terhadap pemeluk agama yang berbeda dengan yang dianut oleh suatu
6 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016, h, 86
54
kelompok. Tindakan intoleransi seperti menebar kebencian (hate speech) dan
mendorong terjadinya kekerasan (condoning) merupakan modal buruk bagi
penguatan demokrasi dan hak asasi manusia. Sila Pertama memberikan ruang
kepada pemeluk agama dan keyakinan yang berbeda untuk hidup
berdampingan secara damai dalam kehidupan yang beragam latar belakang
kebudayaan. Secara filsafati, sila pertama ini melandasi semangat kebangsaan
yang menghormati keberagaman agama, keyakinan dan budaya dalam
bingkai Bhineka Tunggal Ika yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu
jua. Citacita dari sila pertama adalah semangat keberagaman yang dilandasi
penghormatan tertinggi atas kemerdekaan memilih satu agama dan
kepercayaan tertentu.
Yang menjadi masalah adalah tentang klasifikasi agama yang diakui
dan agama yang belum diakui. Agama yang berstatus sebagai agama
kepercayaan atau dikenal dengan agama penghayat tidak mendapat perlakuan
yang sama dalam rangka pencantuman dalam kolom agama pada KTP. Hal
ini bertentangan dengan PNPS Nomor 1 Tahun 1965 yang menjelaskan
bahwa negara mengakui agama dan kepercayaan lain selain agama resmi dan
memiliki hak yang sama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (2)
UUD 1945. 7
Meskipun agama kepercayaan tetap dicatat dalam data kependudukan,
disisi lain konsekuensi kolom yang tidak diisi sebenarnya juga
mengindikasikan negara melakukan diskriminasi dalam regulasi. Yang
pertama, negara melakukan tindakan diskriminatif terhadap agama dengan
mengisi kolom agama bagi agama-agama resmi dan mengkosongkan kolom
agama pada agama kepercayaan. Ketika negara menegaskan tidak melarang
adanya agama atau kepercayaan, maka negara harus memastikan aksebilitas
bagi pemeluknya. Hak warga negara atas pengakuan sebagai penduduk mulai
dari identitas seperti KK, KTP, Akta Nikah, Akta lahir harus diberikan dan
dijamin kepastian hukum terhadap pelaksanaannya. Tidak hanya lalu
7 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016, h, 90
55
memberikan, namun juga harus melakukan pengawasan dan jaminan
perlindungan hukum bagi penganut kepercayaan diluar pemeluk agama resmi
yang diakui negara. Sering kali warga negara yang kolom agama dalam
KTPnya dikosongi atau bertanda strip, mendapat tuduhan sebagai komunis,
atheis dan beraliran sesat dan berimbas pada isu-isu agama yang bernuansa
SARA. hal ini sangat tidak sejalan dengan nafas kebangsaan yang berarah
pada nilai luhur Pancasila, bahwa penghormatan terhadap kebebasan
beragama sangat dijunjung tinggi sebagai pengamalan sila pertama yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa.8
Kompleksitas agama-agama minoritas yang tidak masuk dalam
kategori agama resmi di Indonesia mengindikasikan bahwa meskipun
Indonesia tidak mengenal konsep negara teokrasi dimana sumber hukum
tertinggi berasal dari suatu ajaran agama tertentu, namun didalam praktik
kenegaraan pengaruh agama tidak bisa dihindarkan dari praktik hukum dan
kebijakan pemerintah. Indonesia adalah negara Pancasila dimana semua
hukum positif harus senafas dengan lima sila yang terkandung didalamnya.
Namun nilai-nilai yang terkandung di Pancasila juga tidak bisa dilepaskan
dari diskursus agama didalam sejarah Indonesia. Artinya konsep
perlindungan hak-hak dasar agama minoritas juga tidak bisa dilepaskan dari
sila pertama Pancasila karena Indonesia adalah negara yang Berketuhanan
Yang Maha Esa atau Tuhan Theistik yang sekuler. Saya sebut sebagai
“Theistik-Sekuler” karena Pancasila tidak menyebut salah satu nama Tuhan
dalam agama-agama. Siapa saja yang percaya kepada ke-Esaan Tuhan harus
mendapat hak-hak yang sama dengan warga negara lainnya. Perbedaan
keyakinan atau cara memahami wahyu Tuhan seharusnya tidak bisa dijadikan
dasar hukum bagi negara dan masyarakat untuk mendiskriminasi suatu
kelompok agama tertentu. Pada kenyataannya, hingga kini masih banyak
kelompok-kelompok keagamaan yang mendapatkan perlakuan diskriminatif
8 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016, h, 92
56
dan bahkan jumlahnya semakin banyak pasca runtuhnya Era Orde Baru di
tahun 1998.
Membaca fenomena hak beragama bagi kelompok agama minoritas
berdasarkan perspektif Pancasila menjadi penting karena Pancasila adalah
sumber hukum tertinggi dalam hirarkhi hukum nasional di Indonesia. Selain
itu, Pancasila juga sudah ditetapkan oleh para pendiri bangsa sebagai falsafah
negara sehingga sila-sila yang terkandung didalamnya harus menjadi sumber
inspirasi pengembangan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Oleh
karena itu, menguraikan persoalan agama minoritas tidak bisa akurat tanpa
mengetahui doktrin Pancasila. Namun karena sila yang terkandung di
Pancasila sangat umum, seringkali Pancasila dipahami secara bebas di era
demokrasi sekarang ini. Oleh karena itu, penegakan prinsip-prinsip agama
dan keyakinan monotheisme Pancasila untuk melindungi kelompok-
kelompok agama minoritas sering berbenturan dengan pengaruh orthodoksi
agama.
Jika kita menggabungkan dua prinsip Pancasila, yakni prinsip
humanisme dan monotheisme, keduanya merupakan prinsip yang saling
melengkapi karena keduanya menegaskan bahwa semua agama harus
dilindungi. Pancasila, meskipun berasal dari terminologi Sanskrit Jawa,
merupakan perwujudan Islam dan agama-agama monotheisme lainnya di
Indonesia. Konsep ideologi yang religius ini dimaksudkan oleh para pencipta
Pancasila untuk mengakomodir dan melindungi pluralisme agama di
Indonesia sehingga sudah seharusnya Pancasila mampu menjaga dan
menginspirasi semua aspek pembangunan agama-agama di Indonesia.
Proposisi ini ingin menegaskan bahwa semua agama dan sekte-sekte didalam
agama punya hak yang sama untuk hidup dan berkembang di Indonesia.9
KTP merupakan hak yang harus diberikan oleh negara, karena akan
memperkuat eksistensi negara dan menjamin pemberian hak kepada
9 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016, h, 94
57
warganegaranya. Warga negara yang tidak memiliki identitas sama dengan
warga yang tidak diakui sebagai warga negara Indonesia. Para penganut
agama/kepercayaan selain keenam agama resmi di Indonesia sering
menghadapi perlakuan yang diskriminatif sehingga praktik tersebut harus
dimaknai sebagai pelanggaran terhadap hak-hak dasar dari warga negara.
Diskriminasi terhadap pencantuman kepercayaan dalam kolom agama
menyulitkan para penganut kepercayaan sebagai agama asli Indonesia untuk
mendapatkan akses yang selayaknya seperti jaminan kesehatan (BPJS),
pendidikan, ekonomi, politik dan hak untuk mempertahankan hidup dan
kehidupannya.10
Kesakralan hak beragama tidak hanya ditunjukan oleh Pancasila dan
UUD 1945 melainkan juga dilindungi oleh berbagai instrumen hak asasi
manusia. Kebebasan beragama dilindungi oleh Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia (DUHAM) pada Pasal 18 yang meliputi: memilih dan
berpindah agama, beribadah dan berdakwah baik secara pribadi maupun
kelompok. Pada Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal
29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan negara berdasar atas ketuhanan Yang
Maha Esa dan bahwa negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya itu. Di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa perlindungan,
pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi kewajiban
negara. Perkawinan sebagai hak dasar untuk memilih pasangan dan
regenerasi bagi kehidupan manusia adalah hak yang harus diberikan secara
utuh dengan segala konsekuensinya. Bahwasannya penduduk sebagai
penganut kepercayaan di luar enam agama resmi semestinya mendapat
kepastian hukum berkenaan dengan perbuatan hukumnya. Melakukan
perkawinan yang sah menurut undang-undang harus diikuti dengan
pemenuhan hak-hak sipil sebagai penduduk Indonesia yaitu pencatatan setiap
10
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016, h, 95
58
peristiwa penting, seperti yang tercantum dalam Pasal 8 huruf b Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi kependudukan.11
2. Unsur Yuridis
Salah satu pasal yang di uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi terkait
Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 adalah Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5)
Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Pasal 64 ayat (1)
menyatakan bahwa:
“KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan
peta wilayah Negara NKRI, memuat elemen data penduduk, yaitu
NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama,
status perkawinan, golongan darah, alamat, tanggal dikeluarkan
KTP-el, dan tanda tangan pemilik KTP-el.”
Ayat (5) menyatakan bahwa:
“Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai
agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau
bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan
dicatat dalam database kependudukan.”
Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,
dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
2.1 Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Admiistrasi Kependudukan
bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditegaskan
dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena hak asasi manusia dan/atau
hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan KTP-el
potensial dihilangkan oleh ketentuan pasal-pasal dimaksud. Meskipun
dalam ketentuan a quo dinyatakan tetap dilayani
11
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016, h, 95
59
2.2 Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU
Administrasi Kependudukan bertentangan dengan kepastian hukum
dan perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 karena antara norma yang satu dengan yang lain
dinilai saling bertentangan dan melahirkan penafsiran yang berbeda.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, bagi masyarakat penganut
kepercayaan/penghayat atau bagi penganut agama yang belum diakui
sebagai agama, kolom agama dikosongkan, sementara sesuai Pasal 58
ayat (2) UU Administrasi Kependudukan “agama/kepercayaan” adalah
bagian dari data perseorangan yang harus dicatat dalam database
kependudukan. Pada saat yang sama pasal-pasal tersebut juga
menyebabkan terdapatnya perbedaan dalam hal pengurusan KK dan
KTP-el antara penghayat kepercayaan dengan warga negara lainnya.
Di mana pengurusan KK dan KTP-el antara penghayat kepercayaan
dengan warga negara pada umumnya terdapat perlakuan yang berbeda.
2.3 Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU
Administrasi Kependudukan melanggar jaminan kesamaan warga
negara di hadapan hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945 karena adanya perlakuan yang tidak sama di hadapan
hukum antar warga negara, yaitu antara warga negara
penganut/penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama
yang diakui menurut peraturan perundang- undangan dalam mengakses
pelayanan publik. Perlakuan diskriminasi yang dimaksud telah
menimbulkan pertentangan dengan asas persamaan warga negara di
hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD
1945.12
2.4 Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU
Administrasi Kependudukan melanggar hak warga negara untuk tidak
diperlakukan secara diskriminatif sebagaimana dijamin oleh Pasal 28I
12
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016, h, 135
60
ayat (2) UUD 1945 karena pasal-pasal a quo merupakan ketentuan
yang diskriminatif terhadap para penghayat kepercayaan atau bagi
penganut agama yang belum diakui oleh negara. Dengan tidak diisinya
kolom agama bagi para penghayat kepercayaan, maka hal demikian itu
merupakan pengecualian yang didasarkan pada pembedaan atas dasar
agama atau keyakinan yang mengakibatkan pengurangan,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.13
Berdasarkan argumentasi ahli di bidang Hukum Administrasi Negara
menyimpulkan bahwa Pasal 61 ayat (1) dan (2) UU Nomor 23 Tahun 2006
dan Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Nomor. 24 Tahun 2013 bertentangan
dengan prinsip perlindungan bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia (protectional principle), prinsip persatuan dan
kesatuan, prinsip negara hukum yang demokratis, prinsip kesamaan hak
warga negara, dan prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia sebagaimana
dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 dan menjadi landasan perumusan
norma-norma konstitusional dalam UUD 1945.
Dengan paparan di atas, Pasal 61 ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 ayat
(1) dan ayat (5) UU Adminduk memang bertentangan dengan UUD 1945,
khususnya Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan negara Indonesia adalah negara
hukum. Pertentangan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ini
memiliki konsekuensi logis pada pertentangan dengan ketentuan-ketentuan
lain, sebagaimana juga telah disampaikan oleh para pemohon, yaitu Pasal
28D ayat (1) tentang hak setiap orang atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum; Pasal 27 ayat (1) tentang kesamaan kedudukan segala
warga negara di dalam hukum dan pemerintahan dan kewajiban mereka
13
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016, h, 136
61
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; serta
Pasal 28I ayat (2) tentang hak setiap orang untuk bebas atas perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
3. Unsur Sosiologis14
Secara sosiologis, ketidak sinkronan sikap para penyelenggara
administrasi negara dalam melayani masyarakat dengan cara mengosongkan
kolom agama pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk (KTP-el), telah
memberi dampak yang sudah diungkapkan oleh para pemohon. Beberapa di
antara mereka mengungkapkan kesulitan yang dialami tatkala mereka harus
mendapat pelayanan publik, seperti bekerja dan bersekolah. Ada instansi
yang khawatir menerima mereka untuk bekerja atau anak-anak mereka untuk
bersekolah ketika didapati kolom agama tidak diisi pada kartu keluarga dan
kartu tanda penduduk mereka. Kondisi seperti ini mengarahkan warga
masyarakat tersebut ke dalam kematian perdata (civiliter mortuus burgelijke
dood). Larangan tentang kematian perdata ditulis dalam Pasal 3 Kitab Hukum
Acara Perdata. Rumusan asli pasal ini berbunyi sebagai berikut: “Geenerlei
straf heeft den burgerlijken dood of het verlies van alle burgerlijke
regten ten gevolge” (Tiada suatu penjatuhan hukuman yang dapat
mengakibatkan seseorang mati perdata atau kehilangan semua hak- hak
sipilnya). Tentu kita tidak ingin ada warga masyarakat kita, termasuk para
pemohon yang menjadi penghayat kepercayaan, sampai menerima
penghukuman berupa kematian perdata tersebut.15
Dengan demikian keberadaan Pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU
Administrasi Kependudukan yang mengosongkan kolom agama bagi
penghayat kepercayaan, telah merugikan Pemohon dan para penghayat
14
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016, h, 16-18.
15 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016, h, 37
62
kepercayaan. Karena dengan tidak diisinya kepercayaan di kolom agama
Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP elektronik), berimbas pada
pelanggaran dalam pemenuhan hak-hak kependudukan yang seharusnya bisa
dinikmati pemohon, bahkan dengan tidak dicantumkannya agama
kepercayaan di dalam KTP elektronik Pemohon telah terjadi diskriminasi
yang dialami oleh pemohon dalam berbagai bentuk, seperti: kesulitan
mengakses pekerjaan, tidak dapat mengakses hak atas jaminan sosial,
kesulitan mengakses dokumen kependudukan seperti KTP elektronik, Kartu
Keluarga (KK), Akte Nikah, dan akte kelahiran dan juga mendapat stigma
sesat dari masyarakat umum.
Keberadaan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 64 ayat (1) dan
ayat (5) UU Administrasi kependudukan yang memerintahkan agar penganut
kepercayaan atau bagi penganut agama yang belum diakui untuk
mengosongkan kolom agama di KK dan KTP elektronik merupakan bentuk
keengganan negara mengakui keberadaan para penganut kepercayaan serta
penganut agama lain yang bukan mayoritas di Indonesia. Ketidakmauan
Negara untuk mengakui ini merupakan tindakan diskriminasi secara
langsung, yang dalam kasus ini setidaknya dialami oleh pemohon.
Pasal undang-undang a quo telah melanggar kepastian hukum, hal ini
karena dalam rumusannya mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Pasal
undang-undang a quo disebutkan bahwa KK memuat elemen keterangan
agama di dalamnya, begitu juga dengan KTP elektronik memuat elemen data
penduduk, termasuk agama si pemegang KTP elektronik. Namun, khusus
bagi penganut kepercayaan/ penghayat atau bagi penganut agama yang belum
diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kolom agama tersebut dikosongkan.
Pasal undang-undang a quo menunjukan adanya pertentangan satu
sama lainnya, karena terdapat perbedaan dalam hal pengurusan KK dan KTP
elektronik antara penghayat kepercayaan dan pemohon dengan warga negara
lainnya, sebab bagi penghayat kepercayaan, kolom agama dikosongkan,
meskipun dalam undang-undang a quo disebutkan tetapi tetap dilayani dan
63
dicatat di dalam database kependudukan. Hal ini menunjukan ketidakjelasan
dan melanggar hak-hak dasar yang dimiliki warga negara pada umumnya,
kolom agama tidak dikosongkan.
Dengan demikian Pasal undang-undang a quo bertentangan dengan
asas hukum perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini adalah karena
pasal undang-undang a quo menunjukan tidak ada kesetaraan/kesamaan
dalam hukum bagi setiap warga negara dan menunjukan perlakuan yang
berbeda antara warga negara, yakni membedakan pengurusan KK dan KTP
elektronik antara penhayat kepercayaan dengan warga negara pada umumnya
dengan mengosongkan kolom agama bagi penghayat kepercayaan. Bahwa
dalam Pasal 58 ayat (2) huruf h UU Administrasi Kependudukan telah
disebutkan “agama/kepercayaan” adalah bagian dari data perseorangan yang
harus dicatat dalam database kependudukan. Akan tetapi data itu hanya
disimpan dalam sistem data perseorangan secara kualitatif dan kuantitatif
dalam data kependudukan, namun tidak dicantumkan secara ekplisit dalam
elemen data di fisik dokumen KK dan KTP elektronik, sehingga keberadaan
Pasal a quo yang memerintahkan dikosongkannya penhayat kepercayaan
tidak senada dan sesuai dengan Pasal 58 ayat (2) huruf f UU Administrasi
Kependudukan dan akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum dan
inkonsistensi pengaturan pengisian kolom agama/kepercayaan.
C. Pencantuman Aliran Kepercayaan dalam KTP Masyarakat Penganut
Sunda Wiwitan Pasca Putusan MK
Ketiadaan pencantuman “penghayat kepercayaan” dalam isian kolom
agama pada KTP-el mengindikasikan negara melakukan tindakan
diskriminatif dalam regulasi. Negara melakukan tindakan diskriminatif
terhadap agama dengan mengisi kolom agama bagi agama-agama resmi dan
mengosongkan kolom agama pada agama kepercayaan. Ketika negara
menegaskan tidak melarang adanya agama atau kepercayaan, maka negara
harus memastikan aksebilitas bagi pemeluknya. Hak warga negara atas
pengakuan sebagai penduduk mulai dari identitas, seperti KK, KTP-el, Akta
Nikah, dan Akta Kelahiran harus diberikan dan dijamin kepastian hukum
64
terhadap pelaksanaannya. Tidak hanya memberikan, namun juga harus
melakukan pengawasan dan jaminan perlindungan hukum bagi penganut
kepercayaan di luar pemeluk agama resmi yang diakui negara. Akan tetapi,
dalam praktik, seringkali masyarakat yang kolom agama pada KTP-el-nya
dikosongi atau bertanda strip (-), mendapat tuduhan sebagai atheis, beraliran
sesat, bahkan dinilai sebagai masyarakat yang “kolot”. Hal ini sangat tidak
sejalan dengan prinsip dan nafas kebangsaan yang berarah pada nilai luhur
Pancasila, bahwa penghormatan terhadap kebebasan beragama sangat
dijunjung tinggi sebagai pengamalan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-
XIV/2016 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dinilai
secara normatif teoretis dapat menjadi dasar yuridis bagi penghayat
kepercayaan untuk dihormati dan diakui dalam administrasi kependudukan
berupa pencantuman kepercayaan yang mereka anut dan yakini pada KTP-el,
termasuk bagi penganut Kepercayaan Sunda Wiwitan. Namun demikian,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUUXIV/2016 tentang pengujian
terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan yang telah diputuskan oleh Mahakamah
Konstitusi tersebut, suatu putusan yang sebenarnya menjadi dasar hukum
bagi Masyarakat penganut kepercayaan Sunda Wiwitan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 Tentang
pengujian Undang-Undang Administrasi Kependudukan terdapat landasan
hukum bagi Masyarakat penganut Kepercayaan Sunda Wiwitan untuk
mengisi kolom agama kepercayaan Sunda Wiwitan pada KTp-el. Namun
untuk menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sangat diperlukan
65
implementasi yang bersifat teknis. Implementasi pembuatan KTP-el tidaklah
berjalan tanpa adanya permasalahan. Berbagai macam permasalahan muncul
seiring dengan tuntutan masyarakat, sehingga mendorong dilakukannya
perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan. Permasalahan pengaturan KTP-el ternyata tidak sampai
disitu saja. Keberadaan Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang
baru ternyata dinilai masih belum bisa mengakomodir aspirasi masyarakat
penganut kepercayaan Sunda Wiwitan yang masih mempertahankan adat
istiadat dengan kepercayaan leluhur yang mereka anut secara turun temurun
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tidak diakomodirkannya
kepercayaan yang dikenal di tengah-tengah masyarakat adat, dinilai sebagai
suatu bentuk pengaturan yang diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip
dasar yang terkandung dalam UUD NRI 1945 dan Pancasila sebagai dasar
konstitusi negara
Sekalipun konstitusi telah mengatur tentang kebebasannya dalam
meyakini kepercayaan, namun pada kenyataannya masyarakat hukum adat
Baduy merasakan adanya diskriminasi terkait kepercayaannya tersebut
sehingga masyarakat hukum adat Baduy kesulitan dalam memperoleh hak-
hak sipilnya. Diketahui sejak 2011, KTP Lokal telah diubah menjadi KTP-el
dan diatur secara pusat, sejak saat itulah KTP Lokal yang masih menyebutkan
“agama: Sunda Wiwitan” diubah menjadi KTP-el yang tidak lagi
menyebutkan kepercayaan masyarakat hukum adat Baduy, sehingga kolom
agama pada KTP masyarakat hukum adat Baduy hanya di strip (-) saja.16
Namun setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016 tentang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas
16
Sarpin, Perangkat Desa Kepala Seksi Pemerintahan, Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 23 April 2019.
66
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
Sebagai tindak lanjut dari putusan tersebut Kementerian Dalam Negeri
mengeluarkan aplikasi SIAK yang terbaru yaitu Aplikasi SIAK nomor 7.3
yang juga mengakomodir khusus untuk aliran kepercayaan.
Setelah adanya aplikasi SIAK 7.3, masyarakat hukum adat Baduy
tetap merasakan adanya diskriminasi karena pengaturan dalam SIAK 7.3
yaitu diubahnya kolom agama dalam KTP dari yang sebelumnya “agama: -“
menjadi “Kepercayaan: Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Hal
ini yang kemudian ditindaklanjuti oleh para penghayat aliran kepercayaan,
termasuk masyarakat Baduy penganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka
menuntut agar tidak diperlakukan secara diskriminasi oleh aturan terbaru dari
Kementerian Dalam Negeri yang mana harapan masyarakat Baduy adalah
aturan yang menyamakan hak-hak antara penganut aliran kepercayaan dan
penganut agama setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016.
Masyarakat hukum adat Baduy menginginkan adanya perubahan frasa
pada KTP dari yang sebelumnya “Kepercayaan: Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa” menjadi “Agama: Sunda Wiwitan”. Alasan mengapa
masyarakat hukum adat Baduy menginginkan perubahan tersebut yaitu
karena 6 (enam) agama yang diatur oleh Negara secara resmi menggunakan
frasa “Agama” sebelum titik dua (:), sehingga masyarakat hukum adat Baduy
yang menginginkan adanya persamaan hak juga menuntut agar kepercayaan
yang mereka anut menggunakan frasa “Agama” sama halnya dengan 6
(enam) agama resmi.
Namun, hal tersebut akan sangat sulit diwujudkan, sekalipun dapat
terwujud akan melewati proses yang sangat rumit mengingat ada sekitar 187
jumlah aliran kepercayaan di Indonesia yang artinya ada 187 aliran
kepercayaan yang akan ditulis pada kolom isian KTP, sehingga bagaimana
mungkin Negara mengatur secara merinci dalam suatu peraturan terkait setiap
aliran kepercayaan di Indonesia, dan pengaturan terhadap setiap aliran
kepercayaan tersebut sifatnya adalah wajib untuk menghindari aliran
67
kepercayaan yang perkembangannya bertentangan atau tidak selaras dengan
landasan falsafah Negara.
Disini Administrasi kependudukan sebagai suatu sistem pelaksana
bagi penduduk diharapkan dapat memberikan pemenuhan atas hak-hak
administratif penduduk dalam pelayanan publik serta memberikan
perlindungan yang berkenaan dengan penerbitan Dokumen Kependudukan
tanpa ada perlakuan yang diskriminatif melalui peran aktif Pemerintah dan
Pemerintah Daerah. Berdasarkan SIAK (Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan)17
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Lebak dalam
Implementasi keputusan MK Nomor: 97/PUU-XIV/2016 tentang
pencantuman penghayat kepercayaan dalam Kolom KTP-el secara teknis
sudah terlaksana dengan diberlakukanya software Sistem Informasi
Administrasi Kependudukan (SIAK) terbaru versi 7.3. yang ditingkatkan dari
versi 7.0. dimana aplikasi tersebut mengatur tentang kolom golongan darah,
status perkawinan, tanggal perkawinan kemudian penambahan kolom
kepercayaan.
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lebak
menjelaskan bahwa yang tertulis di KTP-el masyaraat Baduy setelah putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang di implementasikan
dalam aplikasi SIAK 7.3 adalah “Kepercayaan: Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa” namun itu hanyalah tulisan fisik di KTP-el karena dalam
database yang sudah terekam di NIK KTP-el masyarakat adat Baduy sudah
tertulis bahwa aliran kepercayaan mereka adalah Sunda Wiwitan. Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil juga sudah menjelaskan kepada
perangkat desa adat Baduy bahwa pihak dukcapil hanya melaksanakan
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU/2016 yang sudah diatur dalam
peraturan Kementrian Dalam Negri Republik Indonesia tentang blangko kartu
keluarga, register dan kutipan akta pencatatan sipil.
17
Naji, Kepala Seksi SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan), Dinas
Catatan Sipil Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 24 April 2019.
68
Pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil juga berpendapat
bahwa jika semua aliran kepercayaan di tulis secara fisik di KTP-el terlalu
beresiko. Dikarnakan terlalu banyaknya aliran kepercayaan di indonesia yang
terdaftar maupun tidak. sehingga terlalu beresiko penyalahgunaan KTP-el. 18
Sejauh ini dalam tataran implementasi atau pelaksanaan putusan Mahkamah
Konstitusi oleh Administrasi Kependudukan telah terlaksana dengan
sebagaimana mestinya.
Namun timbulnya permasalahan justru pada masyarakat sendiri
dimana kebanyakan dari masyarakat hukum adat Baduy tidak terlalu
mementingkan dokumen-dokumen kenegaraan. Dan Puun(pemimpin
masyarakat adat Baduy) melarang adanya perekaman KTP-el. mereka
merasakan adanya diskriminasi semenjak diberlakukanya KTP-el
dikarenakan kolom agama pada masyarakat adat Baduy yang sebelumnya
“Agama : Sunda Wiwitan” telah berganti menjadi Agama: (-) strip saja.
Sehingga implementasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU/2016
menjadi terhambat dan tetap terjadi penolakan oleh masyarakat Baduy.
Perangkat desa Masyarakat Baduy yang peduli dan paham terhadap
hak-hak kenegaraan mereka tetap menuntut perubahan frasa kata di kolom
agama KTP-el masyarakat adat Baduy seperti saat KTP lokal berlaku yaitu
“Agama: Sunda Wiwitan” bukan kepercayaan. Perangkat desa adat Baduy
berpendapat bahwa agama sunda wiwitan ini adalah warisan dari leluhur
mereka bahkan agama sunda wiwitan sudah ada sejak dulu sebelum adanya
organisasi penghayat kepercayaan sehingga sangat diskriminatif jika (6) enam
agama yang diakui negara Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu
di tulis dengan jelas sedangkan agama Sunda Wiwitan hanya ditulis
penghayat kepercayaan. Perangkat desa adat Baduy merasa kolom agama di
KTP-el yang menyebutkan “Kepercayaan: Kepercayaan terhadap tuhan yang
18
Naji, Kepala Seksi SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan), Dinas
Catatan Sipil Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 24 April 2019.
69
maha esa” terlalu universal sehingga semua aliran kepercayaan di indonesia
di anggap sama.19
Sehingga sampai saat penelitian ini dilakukan (awal tahun 2019),
Masyarakat Penganut Aliran Kepercayaan Sunda Wiwitan tidak mengisi
kolom agama dengan isian “penghayat kepercayaan”. dan mereka juga tidak
memilih salah satu agama resmi, dalam kolom isian agama pada dokumen
kependudukan berupa KTP-el terpaksa harus dikosongkan ataupun diisi
dengan tanda strip (-). Dikarnakan Puun (tetua Masyarakat Penganut
Kepercayaan Sunda Wiwitan) memang melarang adanya perekaman
semenjak diberlakukanya KTP-el.
19
Jaro Saija, Kepala desa Seksi Pemerintahan, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 23 April 2019.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan dan analisis pada penelitian ini, maka penulis
merumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor perkara Nomor 97/PUU-
XIV/2016 mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dan
Menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk
“kepercayaan”; dan Menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Dalam memutus perkara Mahkamah Konstitusi melakukan
pertimbangan. Dalam pertimbangan ini Hakim Mahkamah Konstitusi
menekankan pada pemahaman bahwa agama atau kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional (constitutional
rights) warga negara, bukan pemberian negara. Negara hadir atau dibentuk
justru untuk melindungi (yang didalamnya juga berarti menghormati dan
menjamin pemenuhan) hak-hak tersebut. Amanat ini tersebut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD NKRI 1945 yang menyatakan,
“perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Kemudian, apabila
norma-norma hukum dasar (konstitusi) tentang agama dan kepercayaan
dihubungkan, maka terdapat dua poin penting yang dapat dipahami.
Pertama, Pasal 28 E ayat (1) dan (2) UUD NKRI 1945 merupakan bagian
dari Bab XA yang terkait dengan Hak Asasi Manusia, sedangkan Pasal 29
merupakan isi dari Bab XI terkait dengan Agama dan sebagai warna
negara Indonesia, pemohon telah mengalami perlakuan diskriminasi
dalam mendapatkan hak-haknya, diantaranya adalah mendapat tindakan
diskriminasi dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dan masyarakat dalam
mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara, seperti tidak dapat
mengakses hak atas jaminan sosial, kesulitan mengakses dokumen
kependudukan, perkawinan tidak bisa dicatatkan dalam dokumen negara,
dan dipaksa memilih salah satu dari 6 (enam) agama yang diakui oleh
pemerintah.
2. Belum diimplementasikannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Undang-Undang Administrasi
Kependudukan terhadap pencantuman Penghayat Kepercayaan Sunda
Wiwitan di Desa Kanekes Banten. Masyarakat Baduy penganut
Kepercayaan Sunda Wiwitan yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Indigenous Peoples tidak dapat mengisi kepercayaan
yang mereka yakini dan terima secara turun temurun dari leluhurnya di
dalam dokumen kependudukan, baik berupa KK maupun KTP-el. Oleh
sebab itu, dalam pembuatan KK dan KTP-el, Orang Lom dihadapkan
dengan situasi pilihan yang tidak diinginkan, memilih salah satu agama
resmi, atau mengosongkan dengan diberi tanda strip (-). Kemudian
Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 97/PUU-XIV/2016,
pencantuman penghayat kepercayaan bagi Masyarakat penganut
Kepercayaan Sunda Wiwitan terlihat menemui titik terang, karena melalui
aplikasi SIAK 7.3 perekaman KTP-el telah dimunculkan pilihan
“Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME” dalam kolom isian
agama. Namun demikian, permasalahan lain yang muncul adalah
legalisasi dari Puun sebagai pemimpin atau kepala suku Masyarakat
Baduy Penganut Kepercayaan Sunda Wiwitan yang menolak perekaman
KTP-el karena merasakan adanya diskriminasi dengan (6) enam agama
yang diakui negara memiliki pilihan agamanya dalam KTP-el, sedangkan
tidak ada pilihan Kepercayaan Sunda Wiwitan dalam KTP-el. Hal ini
menjadi persoalan yang lebih mendalam lagi karena setelah putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 97/PUU-XIV/2016 diskriminasi bagi
Masyarakat Penganut Kepercayaan masih sangat terasa.
B. Saran-saran
1. Diharapkan pemerintah melakukan langkah-langkah konkret untuk
mengimplementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-
XIV/2016 tentang Pengujian UndangUndang Administrasi Kependudukan
terhadap Masyarakat hukum adat Baduy Sunda wiwitan dalam bentuk
pengakuan kepercayaan yang dianutnya, tidak hanya pada tataran normatif
saja tetapi juga pada tataran implementasi.
2. Bagi pemerintah, agar lebih menerapkan dan konsisten untuk melindungi
kebebasan dan menghapus diskriminasi terhadap hak-hak masyarakat
penghayat kepercayaan, karena pada dasarnya hadirnya negara yaitu untuk
melindungi, menjamin, dan menghormati hak-hak warga negaranya sesuai
dengan cita-cita Negara yang ada pada amanat Pancasila dan UUD 1945.
3. Bahwa Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang berwenang menguji
suatu undang-undang terhadap UUD NKRI 1945, maka dituntut untuk
lebih mendalam dan jelas dalam mengeluarkan putusannya, karena
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and bulding dan tidak ada
upaya hukum lagi terhadap putusannya.
86
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi
Berbasis Al-Quran, Depok Kata Kita, 2009.
Agus Miswanto, S.AG., MA Seri Studi Islam Agama, Keyakinan, dan Etika
(seri Studi Islam), Muhamadiyah, 2012.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya
Sastra. (Yogyakarta 2006).
Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di
Indonesia, Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta 2012.
Asep Kurnia, Saatnya Baduy Bicara, Jakarta : Bumi Aksara, 2010.
Consuele G Sevilla, Pengantar Metedelogi Penelitian, Jakarta, UI Pres, 1993.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa,
Jakarta, 2008.
Djoko Mudji Rahardjo, Urang Kenakes di Banten Kidul, Proyek Pemanfaatan
dan Kebudayaan Direktorat Tradisi dan Kepercayaan : Jakarta, 2002.
Ekadjati, Edi S. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta:
Pustaka Jaya 1995.
Elis Suryani, Ragam Pesona Budaya Sunda. (Bandung: Ghalia
Indonesia,2010)
Erwinantu. Saba Baduy: Sebuah Perjalanan Wisata Baduy Inspiratif. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2012.
Feri Prihantoro, Kehidupan Berkelanjuta Masyarakat Baduy , dalam Jurnal
Asia Good ESD Practice Project, BINTARI (Bina Karta Lestari)
Foundation, 2006.
Garna, Judistira. Orang Baduy. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia 1987.
87
Hamonangan Albariansyah, Eksistensi Komunitas Penghayat di
Persimpangan : Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Sebagai Warga
Negara Jurnal hukum unsri, vol 24, No 2 Mei 2017.
http://m.voaislam.com/news/citizensjurnalism/2014/10/17/33436/mengungkap
asalusul sunda wiwitan (di akses pada tanggal 05 desember 2018 ).
https;//www.lyceum.id/sunda-wiwitan-dan-puncak-ketuhanan. (diakses pada
tanggal 7 desember 2018).
Ira Indrawarna,berketuhanan dalam perspektif kepercayaan sunda wiwitan,
dalam jurnal Melintas, 2014.
Jaro Saija, Kepala desa Seksi Pemerintahan, Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 23 April 2019.
Kamil Kartapradja, Aliran kebatinan dan kepercayaan di Indonesia, Jakarta,
Yayasan Masagung, cet 3, 1990.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Naskah Akademik Rancangan
Undang-undang Tentang Mahkamah Konstitusi, 2016.
Kosoemadinata, R.P. (2006) ‘Asal-Usul dan Prasejarah Ki Sunda’, dalam
Rosidi, Ajip dkk. (ed.) Prosiding Konferensi Internasional Budaya
Sunda (KIBS) 2006. Jilid 1.
Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi , Volume 7
Nomor 3, Jakarta, Juni 2010.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 97/PUU-XIV/2016
Moh. Soehadha, Kebijakan Pemerintah Tentang Agama Resmi, serta
implikasinya terhadap peminggiran sistem religi lokal dan konflik
antar agama, Jurnal Esensia, tahun 2004.
88
Naji, Kepala Seksi SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan),
Dinas Catatan Sipil Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 24 April
2019.
Nasional.kompas.com/read/2017/11/13/18151261/maruf-amin-putusan-mk-
final-danmengikat-tetapi-implikasinya-besar-sekali, Ma'ruf Amin:
Putusan MK Final dan Mengikat, tetapi Implikasinya Besar Sekali
(diakses pada tanggal 13 April 2018).
Permana, R. Cecep Ek. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra 2006.
Permana, R. Cecep Eka. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra . 2006.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian hukum, Jakarta, Kencana, Cetakan
Kelima, Edisi Pertama, 2009.
Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, Jakarta, Sinar Harapa dan
Yayasan Cipta Loka Caraka, cet-2, 1981.
Rahmat Subagya, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama,
Jakarta: Majalah Spektrum, No 3, 1973.
Richadiana, ‘Situs (Kabuyutan) Kawali di Ciamis, Jawa Barat: Ajaran Sunda
di dalam Tatanan Tradisi Megalitik 2006. Jilid 1. Bandung: Yayasan
Kebudayaan Rancage.
Rosmana, Tjetjep dkk. Kompilasi Eksistensi Lembaga Adat di Jawa
Barat. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen
kebudayaan dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional 1993.
Sam, A. Suhandi. Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat.
Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986.
Sarpin, Perangkat Desa Kepala Seksi Pemerintahan, Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 23
April 2019.
89
Soerjono Soekanto Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Jakarta, Bina
Aksara, 1988.
Soimin Mashuriyanto, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, Yogyakarta, UII Press, 2013.
Spradley, James P. Metode Etnografi. Terjemahan. (Edisi ke-2). Yogyakarta:
Tiara Wacana 2006.
Sri Soemantri, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit
Presiden dan Otonomi Daerah, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,
1996.
Surat al-Baqarah (2): 130, 131 dan 136, Surat Ali Imron (3): 73, dan 85, Surat
Yusuf: 101.
Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiosias Sipil di Indonesia,
Universitas Kristen Satya Wacana, 2015.
Toto Sucipto, Julianus Limbeng, Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di
Desa Kanekes Provinsi Banten, (Departemen Kebudayaan dan
pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya Seni dan Film Direktorat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2007.
Yasser Arafat, Pengakuan Terhadap 6 Agama Resmi adalah Inkonstitusionali
dalam http://ressaywordpresscom, di unduh pada 8 Agustus 2018.
Zulyani Hidayah, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Pustaka
Obor Indonesia, 2015.
90