Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 91
I
emudian kepada Wulungan ia berkata, “Memang. Maksudku
adalah kembali ke Banyubiru. Disetujui atau tidak oleh Paman
Lembu Sora. Karena itu pertempuran bisa saja berkobar
setiap saat. Nah, sebelum aku dibunuh atau membunuh, aku ingin
menghadap Eyang Sora Dipayana untuk menyampaikan baktiku
sebagai seorang cucu, serta mohon restu sebelum aku mulai
dengan tugas beratku ini.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menahan napasnya
mendengar jawaban Arya Salaka. Agak terlalu keras. Namun
mereka cukup mengerti, bahwa Arya berbicara dengan Wulungan,
pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora, tidak lagi kepada
Srengga. Dengan demikian Arya tidak perlu terlalu banyak
merendahkan dirinya. Terhadap orang seperti Wulungan, Arya
memang harus mempertegas maksudnya.
Tetapi berbeda dengan dugaan Arya Salaka, Wulungan tidak
mendesaknya lagi seperti semula. Di dalam dada orang itu,
timbullah kembali rasa hormatnya. Memang Arya Salaka sejak
kecil menunjukkan sifat jantannya. Dengan demikian maka
Wulungan menjadi percaya, bahwa Arya Salaka itu benar-benar
Arya Salaka yang dikenalnya pada masa kecilnya.
Karena itulah, maka ia menjadi lunak. Permintaan Arya untuk
bertemu dengan eyangnya bukanlah permintaan yang berlebih-
lebihan. Apakah yang akan dilakukan, kalau ia hanya datang
berenam? Di hadapan Ki Ageng Sora Dipayana yang sakti, Ki
Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, mereka pasti tidak akan
dapat berbuat sesuatu kecuali benar-benar seperti apa yang
dikatakan, mohon restu dan menyampaikan bakti seorang cucu.
“Angger Arya Salaka....” jawab Wulungan, “Permintaan Angger
akan kami sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Terserah
keputusan yang akan diambilnya. Menerima atau tidak menerima
kehadiran Angger.”
K
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 91
Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan Wanamerta
menarik nafas panjang mendengar keputusan Wulungan.
Terdengar Arya Salaka perlahan-lahan berkata, “Terima kasih
Paman Wulungan.”
Tetapi ketika Wulungan memanggil seseorang untuk
menyampaikan pesan itu kepada Ki Ageng Sora Dipayana,
terdengarlah suara tertawa nyaring, meskipun tidak terlalu keras.
Kemudian dari dalam regol halaman terdengar suara, “Agaknya
kau mempunyai pimpinan baru Paman Wulungan.”
Wulungan terkejut seperti juga Arya Salaka, Wanamerta,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Karena itu tiba-tiba Wulungan
terhenti di tempatnya seperti patung. Perlahan-lahan ia menoleh
dan mencoba melihat, siapakah yang berkata itu, meskipun
dengan mendengar suaranya ia sudah dapat menebaknya.
Sesaat kemudian muncullah seorang anak muda dengan
pedang yang besar di pinggangnya. Sawung Sariti.
Wulungan mengangguk hormat kepadanya, dan bertanya,
“Apakah maksud Angger?”
“Akulah yang berhak memberikan perintah, mengubah dan
mencabut perintah, selain ayah Lembu Sora,” katanya. “Apa
perintahku yang aku ulangi sore tadi?”
Wulungan menarik nafas panjang, sebab tiba-tiba nafasnya
terasa berhenti di kerongkongan. Terhadap Sawung Sariti
sebenarnya Wulungan agak kurang senang. Sikapnya yang
sombong, keras dan menghina orang lain. Meskipun anak muda ini
berhati baja pula. Namun ia merasakan perbedaan sifat antara
kedua anak muda yang kebetulan dua bersaudara sepupu. Tetapi
ia adalah pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora. Karena
itu ia harus menjalankan pekerjaannya baik-baik. Maka jawabnya,
“Angger memerintahkan, tak seorang pun boleh memasuki kota,
apalagi halaman rumah ini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 91
“Bagus,” sahut Sawung Sariti sambil menarik bibirnya. “Apa
yang akan Paman kerjakan?”
“Mencoba menyampaikan pesan angger Arya Salaka untuk Ki
Ageng Sora Dipayana,” jawab Wulungan.
“Bagaimanakah seharusnya Paman menjawab?” desak
Sawung Sariti.
“Menolak permintaan itu,” jawab Wulungan, namun ia
meneruskan, “Tetapi ia adalah Angger Arya Salaka, yang sekadar
ingin bertemu dengan kakeknya.”
“Justru ia menamakan diri Arya Salaka!” bentak Sawung Sariti.
Wulungan terdiam. Ia tahu sifat anak muda itu. Ia biasa
membentak-bentaknya di hadapan laskarnya dengan kata-kata
yang menyakitkan hati. Bahkan kemudian Sawung Sariti berkata,
“Malahan ayah Lembu Sora menyanggupkan hadiah duapuluhlima
bahu bagi mereka yang dapat menangkap anak muda yang
menamakan diri Arya Salaka. Nah sekarang anak itu telah datang
menyerahkan dirinya.”
Wulungan masih terdiam. Duapuluhlima bahu baginya
samasekali tidak berarti. Di Pamingit ia memiliki tanah yang
berlebihan. Bahkan tenaganya tak mampu lagi untuk menggarap
seluruhnya. Namun yang penting baginya, sikap yang demikian
bukanlah sikap yang jantan. Bukankah Arya Salaka dengan jantan
datang tanpa pasukan untuk menyampaikan sujudnya kepada
kekeknya? Meskipun kakeknya berada di pusat kekuasaan
lawannya. Tetapi kemudian ia mencoba untuk melupakan
tanggapannya itu. Bukankah sudah sekian lama ia sendiri hanyut
dalam arus ketidakjantanan sikap Lembu Sora? Akhirnya ia sadar
bahwa sikap Sawung Sariti lah yang telah mendesaknya untuk
menilai kembali setiap perbuatan yang pernah dilakukan.
Sebagai orang yang jauh lebih tua, Wulungan kadang-kadang
merasa sangat terhina oleh pokal anak muda itu. Namun ia tidak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 91
dapat berbuat sesuatu, sebab Sawung Sariti adalah putra Ki Ageng
Lembu Sora, putra seorang yang memberinya kedudukan dan
pangkat.
Demikian juga kali ini. Ia tidak dapat berkata apa pun, selain
menundukkan kepala.
“Tidakkah Paman berusaha menangkapnya?” tanya Sawung
Sariti.
“Sekarang Angger ada di sini,” jawab Wulungan, “Aku
menunggu perintah Angger.”
“Kalau aku tidak datang bagaimana?” bentak Sawung Sariti.
Kembali Wulungan terdiam.
Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta,
yang menyaksikan peristiwa itu, perasaan mereka ikut tersinggung
pula. Sikap yang demikian bukanlah sikap yang tahu adat.
Wulungan, meskipun ia adalah seorang bawahan saja, namun ia
berumur jauh lebih tua dari Sawung Sariti. Apalagi Arya
menganggap bahwa sikap Wulungan adalah bijaksana. Karena itu
tiba-tiba timbullah keinginan untuk menarik perhatian Sawung
Sariti, katanya, “Adi Sawung Sariti. Baiklah aku langsung minta ijin
kepadamu, untuk menghadap Kakek Sora Dipayana.”
Sawung Sariti menoleh kepada Arya Salaka. Tetapi sesaat
saja. Kemudian ia kembali memandangi Wulungan. “Paman.
Baiklah kalau aku harus memberikan perintah berulang kali.
Meskipun Paman seorang anggota laskar pengawal ayah Lembu
Sora yang sudah kenyang makan garam. Dengarlah Paman, tak
seorangpun aku ijinkan masuk ke dalam kota, apalagi ke dalam
halaman rumah ini. Siapapun dan dengan alasan apapun.”
Wulungan masih menundukkan kepalanya.
“Kau dengar, Paman…?” tanya Sawung Sariti dengan lantang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 91
“Ya, aku dengar,” jawab Wulungan.
“Nah. Laksanakan,” perintah Sawung Sariti.
Wulungan mengangkat mukanya. Dipandanginya wajah Arya
Salaka yang masih duduk di atas kudanya. Kemudian katanya
dengan tenang, “Angger, Angger telah mendengar perintah Angger
Sawung Sariti. Tak seorangpun boleh memasuki halaman ini,
dengan alasan apapun.”
“Alangkah liciknya anak muda itu,” pikir Arya. Ia hanya
berkesempatan untuk berbicara dengan Wulungan, yang hanya
dapat menjalankan perintah. Namun demikian ia mencoba untuk
sekali lagi berbicara langsung kepada Sawung Sariti, katanya, “Adi,
dapatkah Adi Sawung Sariti berlaku bijaksana? Aku hanya ingin
sekadar menghadap Eyang Sora Dipayana.”
Sawung Sariti diam saja. Dengan senyum yang menyakitkan
hati ia berkata kepada Wulungan, “Lakukan tugasmu baik-baik.
Aku akan naik ke pendapa.”
“Gila!” Arya Salaka berdesis. Ia adalah anak muda pula.
Darahnya masih hangat-hangat panas. Karena itu ia benar-benar
merasa terhina. Maka ia berteriak keras-keras, “Tak seorang pun
yang dapat menghalangi aku masuk ke halaman rumahku sendiri.
Minggir kalian, atau aku harus membunuh kalian.”
Tiba-tiba pula, tombaknya telah berpindah di tangan
kanannya. Ujungnya telah tunduk setinggi dada orang yang berdiri
di atas tanah.
Semua yang mendengar suara Arya Salaka itupun terkejut.
Sawung Sariti terhenti pula. Cepat ia memutar tubuhnya dan
tangannya telah melekat di tangkai pedangnya. Ia melihat Arya
telah siap menyerangnya. Tetapi sebelum Arya Salaka mendorong
kudanya menyerbu, terasa Mahesa Jenar menangkap lengannya.
Dengan tenang gurunya itu berkata, “Tahan dirimu Arya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 91
Arya menarik nafas. Wajahnya telah memerah darah, sedang
darahnya rasa-rasanya telah mendidih membakar seluruh
tubuhnya. Dengan gemetar ia berkata, “Apa yang dapat aku
lakukan. Aku datang ke kampung halamanku sendiri. Kenapa aku
harus mengalami penghinaan itu?”
“Sawung Sariti…!” teriaknya, “Jangan berperisai orang setua
Paman Wulungan. Hadapilah kedatanganku. Kasar atau halus.”
Sawung Sariti maju beberapa langkah. Jawabnya, “Turunlah.
Aku bukan pengecut seperti yang kau sangka.”
Hampir saja Arya meloncat turun, kalau sekali lagi Mahesa
Jenar tidak mencegahnya.
“Jangan Arya,” katanya, “Sawung Sariti bukanlah orang yang
harus memberi keputusan terakhir.”
Nafas Arya menjadi berdesakan meloncat dari hidungnya.
Amat sulitlah baginya untuk dapat menahan diri. Apalagi ketika
kemudian terdengar Sawung Sariti berteriak. “Minggir semua.
Biarlah anak itu tahu bahwa Sawung Sariti mampu menjaga
daerahnya. Mampu melakukan pekerjaan yang diperintahkan
kepada orang lain.”
Tetapi Mahesa Jenar memegangi lengan Arya erat-erat.
“Jangan layani. Kita tunggu perkembangan keadaan. Dengan
teriakan-teriakan itu, mungkin pemanmu Lembu Sora akan turun
ke halaman dan akan memberikan kesempatan kepadamu.”
Tubuh Arya telah benar-benar gemetar. Tetapi ia masih
mencoba menahan diri seperti nasihat gurunya, meskipun ia
terpaksa menggigit bibirnya.
Wulungan dan anak buahnya menyaksikan peristiwa itu
dengan berdebar-debar. Tiba-tiba saja mereka meloncat mundur,
ketika Sawung Sariti memerintahkan mundur. Yang dilihatnya
kemudian adalah Sawung Sariti tegak di tanah, dengan dada
tengadah. Ia memandang Arya Salaka dengan pandangan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 91
menghina seolah-olah Arya Salaka adalah seorang yang
samasekali tidak patut mendapat pelayanan. Sedang di atas
punggung kuda, Arya duduk dengan tubuh menggigil menahan
diri. Sekali-kali terdengar giginya gemertak. Sedang dari matanya
memancar api kemarahan.
Sekali lagi terdengar Sawung Sariti menantang, “Turunlah.
Atau kau akan bertempur di atas kudamu? Seperti cara para
penyamun menyerang korbannya, supaya ia dapat cepat
melarikan diri?”
Arya Salaka benar-benar terbakar. Ia benar-benar lupa diri.
Dengan tidak diduga-duga Arya merenggut lengannya dari
pegangan gurunya. Dan sekali loncat ia sudah berdiri di atas tanah
dengan tombak Kyai Bancak siap di tangannya. Pada saat yang
bersamaan, berkilat-kilatlah pedang Sawung Sariti yang besar dan
panjang dalam genggaman jari-jarinya yang kokoh.
Keadaan berkembang sedemikian cepatnya. Ketika Mahesa
Jenar menyusul, meloncat turun dari kudanya, ia sudah terlambat.
Kedua anak muda itu telah terlibat dalam suatu perkelahian.
“Arya….” Terdengar Mahesa Jenar memanggil. Tetapi Arya
Salaka tidak mendengar suara gurunya. Dengan garangnya ia
meloncat langsung menghadapi pedang Sawung Sariti yang
berputar-putar seperti baling-baling. Arya Salaka pun dengan
lincahnya menggerakkan tombak pusakanya. Sekali-kali melingkar
dan sekali-kali mematuk. Cahayanya yang kebiru-biruan
memancar berkilau-kilau memantulkan sinar-sinar obor yang
samar-samar sampai. Keduanya bertempur dengan kemarahan
yang menekan dada masing-masing.
Wulungan dan anak buahnya berdiri saja seperti patung.
Mereka memang pernah mengenal cara Sawung Sariti bertempur.
Tangkas, tangguh dan lincah. Sebagai seorang cucu dari Ki Ageng
Sora Dipayana yang langsung mendapat tuntunan darinya,
Sawung Sariti benar-benar tidak mengecewakan. Seperti ayahnya,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 91
ia mampu menggerakkan pedang yang sedemikian besarnya,
seperti menggerakkan lidi. Karena itu, alangkah berbahayanya
pedang itu. Menyambar seperti burung elang, tetapi sekali-kali
memagut seperti ular, disertai angin yang berdesis mengerikan.
Betapa kuatnya tangan anak muda itu.
Tetapi mereka menjadi kagum pula melihat lawan Sawung
Sariti itu. Dengan tombak pendek di tangan, ia mirip seperti
burung rajawali yang bertempur dengan kuku-kukunya yang
tajam. Sekali Arya meloncat menjauhi lawannya, tetapi tiba-tiba
ujung tombaknya sudah menyambar dada Sawung Sariti, bahkan
tombak itu seperti menyerangnya dari segenap arah. Cahaya
kebiru-biruan yang dipancarkan dari mata tombak itu tampak
melingkar-lingkar membingungkan.
Demikianlah kedua anak muda itu bertempur dengan
sengitnya. Masing-masing memiliki ketangkasan, ketangguhan
dan keteguhan hati, disertai keahlian mereka menguasai senjata
masing-masing. Sehingga senjata-senjata mereka itu seperti
dapat bergerak dengan sendirinya, bahkan di ujung-ujung senjata
itu seperti terdapat biji-biji mata.
Mahesa Jenar pun kemudian terikat pada pertempuran itu. Ia
menempatkan dirinya di muka regol halaman untuk menanti
kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan. Sedang Kebo
Kanigara untuk sementara masih berada di atas kudanya. Ia masih
sempat melihat berkeliling. Melihat para pengawal yang berdiri
dengan mulut ternganga. Melihat Wulungan yang tegak seperti
patung, namun tangannya telah meraba hulu pedangnya. Di
halaman itupun ternyata para pengawal telah siap dengan senjata
masing-masing. Apalagi jatuh perintah Sawung Sariti untuk
bergerak, mereka akan serentak bergerak. Di pendapa, Kebo
Kanigara melihat seorang yang bertubuh besar, berdada bidang
dengan kumis yang lebat di atas bibirnya. Ia tidak begitu jelas,
apakah tanggapannya terhadap perkelahian yang terjadi itu.
Namun segera Kebo Kanigara mengenal orang itu, Ki Ageng Lembu
Sora.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 91
Ia melihat sepintas kepada Wanamerta. Wanamerta pun
kemudian meloncat turun. Demikian juga kedua orang anak
buahnya. Mereka segera meloncat turun pula. Di tangan mereka
erat tergenggam masing-masing sebuah obor, dan di dada mereka
tersangkut sebuah gendewa.
“Nyalakan obor,” perintah Wanamerta. “Obor akan dapat
menjadi senjata yang baik kalau diperlukan. Siapkan gendewamu
dan anak panah yang mungkin akan kita pergunakan.”
Kedua orang itupun segera mempersiapkan alat-alat mereka.
Yang seorang kemudian menyalakan obornya, yang seorang lagi
menyiapkan bumbung panahnya, dan menyangkutkan bumbung
itu di ikat pinggangnya. Gendewanya telah siap di tangannya pula.
Di halaman itu pertem-
puran semakin bertambah
sengit. Sawung Sariti yang
bersenjata pedang, bertempur
dengan garangnya. Bahkan
kemudian tampaklah pedang-
nya seperti gulungan sinar
putih yang mengerikan menye-
rang Arya Salaka dari segala
arah. Namun di antara sinar
putih itu tampaklah cahaya
yang kebiru-biruan, sekali-kali
melingkar dan sekali-kali
meluncur dengan cepatnya
seperti anak panah yang lari
dari busurnya mengarah ke
tubuh lawannya.
Kebo Kanigara pun kemudian turun dari kudanya. Ia
mengambil tempat yang cukup baik, menghadap ke arah pendapa.
Dengan demikian ia dapat langsung melihat apakah Ki Ageng
Lembu Sora akan mengambil sikap. Tetapi untuk sekian lama,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 91
orang itu tetap tegak tanpa bergerak. Agaknya ia benar-benar
tertarik melihat perkelahian itu. Kalau semula ia yakin bahwa
Sawung Sariti memiliki kekuatan dan keteguhan ilmu yang
membanggakan, namun dengan kenyataan itu ia melihat bahwa
anak yang bernama Arya Salaka itupun mampu mengimbanginya.
Dengan permainan tombak yang manis dan cepat, Arya Salaka
samasekali tidak dapat ditembus oleh serangan Sawung Sariti.
Bahkan kalau Sawung Sariti merasa memiliki kekuatan yang
mengagumkan, tiba-tiba ia harus mengakui bahwa kekuatannya
setidak-tidaknya tidak melampaui kekuatan Arya.
Lembu Sora terkejut, ketika ia melihat pedang anaknya
membentur tombak Arya, ia mengharap tangan Arya menjadi
sakit, dan bahkan ia mengharap tombaknya terlepas dari
tangannya. Tetapi ia menyesal. Tidak saja tombak anak muda itu
yang terpental, tetapi pedang Sawung Sariti pun ternyata seperti
membentur dinding besi. Bahkan Sawung Sariti terpaksa meloncat
mundur untuk memperbaiki pegangannya atas pedangnya.
Karena itulah ia terpaksa melihat perkelahian itu dengan
menegang nafas. Perkelahian yang sengit antara dua orang anak
muda yang berdarah panas, yang sedang dikuasai oleh kemarahan
yang memuncak. Demikianlah maka pada malam yang gelap itu,
berkali-kali terdengar dentang senjata beradu dibungai oleh
percikan api yang meloncat-loncat dari titik benturan kedua
senjata itu. Mereka masing-masing mencoba untuk menguasai
keadaan. Bahkan masing-masing telah mengerahkan segenap
kekuatan dan ilmu mereka. Namun ternyata bahwa penderitaan
Arya selama ini, lahir dan batin, memberinya keteguhan lahir dan
batin pula, sehingga ia memiliki naluri yang lebih baik dalam
pengerahan tenaga daripada Sawung Sariti.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar adalah dua orang yang cukup
masak untuk menilai keadaan. Ketika ia mulai melihat bahwa
keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada keadaan Sawung
Sariti, mereka menjadi cemas. Tidak aneh bahwa karena itu, maka
Ki Ageng Lembu Sora akan bertindak. Mengerahkan laskarnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 91
untuk menangkap Arya. Kalau demikian halnya, maka mereka
berdua bersama Wanamerta terpaksa ikut pula bermain-main,
meskipun malam yang gelap itu dinginnya bukan main.
Dengan demikian Mahesa Jenar pun harus menilai keadaan di
sekitar perkelahian itu. Iapun kemudian mengamati Lembu Sora
yang berdiri di pendapa. Seperti Kebo Kanigara, iapun menaruh
perhatian padanya. Kalau-kalau ia dengan tiba-tiba bertindak,
maka adalah kewajibannya untuk melindungi Arya Salaka.
Meskipun ia menjadi kecewa bahwa kedatangan rombongan kecil
ini tiba-tiba telah berkisar dari tujuan, namun Mahesa Jenar tidak
dapat menyalahkan Arya Salaka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa berkisar pula ketika
mereka melihat Lembu Sora turun dari pendapa dan perlahan-
lahan berjalan mendekati titik perkelahian. Dalam usapan sinar
obor, tampaklah garis-garis wajahnya yang tegang. Sekali-kali ia
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi sekali-kali ia menahan
nafasnya.
Perkelahian antara kedua anak muda itupun memang menjadi
bertambah sengit. Kedua senjata itupun menjadi semakin cepat
bergerak dan semakin berbahaya. Agaknya kedua-duanya telah
memutuskan untuk menyelesaikan perkelahian itu dengan
membunuh lawannya atau dirinyalah yang terbunuh. Dengan
demikian keadaan menjadi semakin tegang.
Tetapi ketika ketegangan telah memuncak, muncullah seorang
tua dari antara laskar Banyubiru yang berdiri berjajar mengeliling
perkelahian itu. Dengan suara yang nyaring terdengarlah ia
berkata, “Berhentilah. Berhentilah berkelahi.”
Suara itu mengumandang memenuhi halaman rumah itu.
Namun karena Arya Salaka dan Sawung Sariti benar-benar telah
kehilangan pengamatan diri, maka suara itpun hampir tak mereka
dengar. Sehingga orang tua itu terpaksa meloncat mendekati
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 91
sambil mengulangi kata-katanya, “Berhentilah Sawung Sariti,
berhentilah Arya Salaka.”
Bagaimanapun juga Sawung Sariti dan Arya Salaka
memusatkan segala perhatian mereka kepada lawan masing-
masing, namun orang tua itu berdiri dekat di sisi mereka, sehingga
bagaimanapun juga suara itupun mempengaruhi gerak-gerak
mereka. Ketika gerak mereka menjadi kendor, orang tua itupun
meloncat semakin dekat dan mengangkat kedua tangannya sambil
berkata, “Sudahlah. Berhentilah. Lihatlah aku.”
Suara itu benar-benar berpengaruh. Sawung Sariti dan Arya
Salaka itupun tak dapat berbuat lain, karena kewibawaan orang
tua itu, selain berloncatan mundur.
“Bagus,” kata orang tua itu kemudian. “Kalian berdua benar-
benar mengagumkan. Berbanggalah aku mempunyai dua cucu
yang perkasa tiada taranya. Kalian berdua telah menunjukkan,
betapa darah orangtua kalian mengalir di dalam tubuh kalian.
Sawung Sariti bertempur sebagai seekor harimau yang garang,
sedang Arya Salaka dapat menjadikan dirinya burung rajawali
yang perkasa. Berbahagialah aku. Berbahagialah aku.” Orang tua
itu berhenti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sawung Sariti surut beberapa langkah. Ia mengangguk kepada
kakeknya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Namun
demikian matanya yang merah, masih menyorotkan sinar
kemarahan kepada Arya Salaka yang diam terpaku di tanah.
Dengan seksama Arya mengamat-amati orang tua itu. Lima tahun
lebih ia tidak bertemu. Dan tiba-tiba orang tua itu kini berdiri
dihadapannya dengan wajah sayu. Dan tiba-tiba pula Arya teringat
kepada maksud kedatangannya. Sebelum pecah perang
antarsaudara itu, ia benar-benar ingin bersujud di bawah kaki
kakeknya serta mohon restu kepadanya. Karena itulah maka tiba-
tiba Arya meloncat maju. Betapa rasa haru menguasai dirinya pada
waktu itu, sehingga Arya Salaka pun kemudian menjatuhkan diri
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 91
pada lututnya di hadapan kakeknya sambil memeluk kaki orang
tua itu.
“Eyang....” desisnya. Lalu suaranya terputus oleh sesuatu yang
seolah-olah menyekat kerongkongannya. Di dalam dadanya
banyak sekali kata-kata yang melingkar-lingkar, yang akan
disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah
yang dapat meluncur dari mulutnya.
Didalam dadanya banyak sekali kata kata yang melingkar
lingkar, yang akan disampaikan kepada kakeknya itu, namun
hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari mulutnya.
Ki Ageng Sora Dipayana memandang anak itu dengan mata
suram. Didalam dadanya tersimpan pula rasa rindu kepada anak
itu, yang telah sekian lama hilang dari Banyu Biru. Karena itu,
maka mata orang tua itu menjadi redup. Dibelainya kepala Arya
Salaka dengan kasih sayang seorang kakek kepada cucunya.
Kemudian dipegangnya lengan anak itu dan ditariknya berdiri.
“Berdirilah Arya,” katanya perlahan.
Aryapun kemudian berdiri. Tetapi wajahnya tunduk ketanah.
ia merasa bahwa ia tak berani memandang wajah kakeknya.
Tetapi orang tua itu mengangkat wajah Arya sambil berkata:
“Aku kagum kepadamu cucu, seperti aku kagum kepada Sawung
Sariti. Dengan demikian, tidak sia sialah aku memiliki keturunan
seperti kalian berdua.”
Arya Salaka masih berdiam diri. Belum ada kata kata yang
mampu melontar dari mulutnya. Ketika tiba-tiba matanya menjadi
panas. Arya menengadahkan wajahnya ke langit seperti ia belum
pernah melihat bintang yang bertaburan. Sementara itu Ki Ageng
Sora Dipayana memandang berkeliling halaman.
“Kakang Wanamerta,” gumamnya. Wanamerta mendekati Ki
Ageng Sora Dipayana yang telah bersama-sama memerintah tanah
perdikan ini puluhan tahun.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 91
Ki Ageng Sora Dipayana menepuk bahu Wanamerta sambil
berkata: “Syukurlah kalau kau asuh cucuku ini dengan baik.”
Wanamerta menggeleng, “Bukan aku,” jawabnya, “Tetapi tuan
berdua ini.”
Ki Ageng Sora Dipayana memandangi Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara dengan mata yang berkilat kilat. Katanya, “Tuan ternyata
luar biasa. Cucuku benar benar telah menjelma menjadi murid dari
cabang perguruan Pengging yang perkasa. Ketika aku melihat
caranya bertempur dengan tombak pendeknya, segera aku
teringat kepada sahabatku Ki Ageng Pengging Sepuh. Namun
karena sahabatku itu telah tiada lagi, maka aku yakin bahwa
anggerlah yang menjadi saluran ilmu itu.”
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab: “Sekadar untuk
memenuhi permintaan kakang GajahSora, supaya Arya Salaka
mempunyai bekal buat masa depannya.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk anggukkan kepalanya.
Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata: “Lembu Sora, kenapa
tidakkau persilahkan tamu tamumu untuk naik ke pendapa?”
Lembu Sora menggeram, tetapi ia tidak dapat berbuat lain.
Karena itu, dengan berat hati, dipersilakan tamu tamunya untuk
naik.
Ketika para tamu bersama sama dengan Ki Ageng Sora
Dipayana dan Ki Ageng Lembu Sora naik ke pendapa, Sawung
Sariti menggigit bibirnya. Ia tidak ikut serta dengan mereka, tetapi
segera masuk rumahnya dengan wajah tegang.
Wulungan serta anak buahnyapun menjadi seperti orang
tersadar dari mimpi. Pertempuran itu bagi mereka merupakan
suatu pertunjukan yang mengagumkan. Dua anak yang masih
semuda itu, telah dapat menunjukkan kemampuan mereka yang
luar biasa.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 91
“Yang seorang adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana selain
cucunya. karena itu wajar bahwa anak muda itu menjadi perkasa,”
berbisik Wulungan kepada anak buahnya. “Namun yang seorang
itupun sangat mengagumkan. Siapakah gurunya itu?”
“Mahesa Jenar,” jawab salah seorang anak buahnya.
“Aku sudah tahu,” bentak Wulungan, namun perlahan lahan
pula, “Tetapi maksudku, siapakah Mahesa Jenar itu? menurut
dugaanku serta menurut cerita yang aku dengar Mahesa Jenar
memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun ia tidak
lebih dari pada Sora Dwipayana sendiri. lalu bagaimana mungkin
muridnya menyamai murid Sora Dwipayana yang sakti itu?”
Anak buahnya mengangguk anggukkan kepala mereka.
Pemimpinnya menjadi heran oleh kenyataan itu, apalagi mereka.
Di pendapa, Sora Dwipayana segera mempersilahkan tamunya
untuk duduk melingkar diatas tikar pandan yang putih. Dengan
ramah ia menemui mereka seperti ia menemui sahabat lama yang
telah lama berpisah darinya. Apalagi kepada Arya Salaka. Betapa
rindu seorang kakek terhadap cucunya, seperti juga betapa rindu
Arya kepada kakeknya.
Dengan memandangi tubuh Arya, seperti tak akan pernah
puas, Sora Dwipayana berkata: “Tubuhmu mekar seperti ilalang di
musim hujan Arya. Meskipun diwajahmu tersirat, betapa keras
derita yang kau alami selama ini, namun demikian kau menjadi
batu karang yang kokoh kuat, tak hanyut oleh banjir yang
bagaimanapun besarnya, tak goyah oleh angin yang
bagaimanapun kencangnya.”
Arya menundukkan wajahnya. Ia menjadi terharu kembali
mendengar pujian itu, seperti anak-anak yang terjatuh dan
ditanyakan kepadanya, “Apakah kau terjatuh, sayang.”
Ki Ageng Lembu Sora menjadi tidak senang mendengar pujian
itu. Sebagai seseorang yang selalu membanggakan diri serta
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 91
putera satu satunya Sawung Sariti, maka baginya pujian itu sangat
menyakitkan hatinya. Karena itu, tiba-tiba ia minta diri kepada
ayahnya, untk sesuatu keperluan di belakang.
Sora Dwipayana mengerti perasaan putera bungsunya itu.
Karena itu tidak melarangnya.
Sepeninggal Lembu Sora, Mahesa Jenar merasa lebih bebas
untuk mengemukakan pendapatnya sebab dengan demikian, ia
dapat mengatakan apa saja yang tersimpan didalam hatinya,
didalam hati muridnya.
“Ki, Ageng,” berkata Mahesa Jenar kemudian, “aku telah
mencoba memenuhi perintah ki Ageng, membawa Arya Salaka
kemari. Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menerima bhaktinya.
Selain suatu kemungkinan yang baik bagi masa depannya, dan
bagi rakyatnya. Tetapi aku menyesal bahwa kehadirannya telah
ditandai oleh suatu perkelahian yang samasekali tak
dikehendakinya. Namun itu samasekali bukan salahnya.”
Ki Ageng Sora Dwipayana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Aku tahu Angger. Memang Arya Salaka
tidak dapat dipersalahkan kalau ia terpaksa turun dari kudanya dan
langsung terlibat dalam perkelahian itu. Sebagai anak muda yang
pernah aku alami pula, darahnya tak sedingin darah orang tua-tua
ini.”
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya, sahutnya, “Jadi Ki Ageng
melihat sejak awal kejadian itu?”
“Ya,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Aku melihat sejak
semula dari antara laskar Lembu Sora. Tetapi sengaja aku
membiarkan mereka bertempur, sebab tiba-tiba timbullah
keinginanku untuk mengetahui, sampai di mana kemampuan Arya
Salaka. Sudah sekian lama anak itu meninggalkan aku. Dan
sekarang ia dihadapankan pada suatu tugas yang berat, yang
mungkin harus dihadapi dengan tenaganya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 91
“Sekarang Ki Ageng telah melihatnya,” kata Mahesa Jenar.
“Aku telah melihatnya. Dan aku kagum atas apa yang aku
lihat.” Ki Ageng Dipayana meneruskan, “Seperti pernah aku
katakan kepada Angger beberapa saat yang lalu, bahwa aku harus
menjadikan Lembu Sora dan Sawung Sariti benteng pertahanan
terakhir atas Banyubiru dan Pamingit sepeninggal Gajah Sora. Aku
tak mempunyai pilihan lain. Sebab orang-orang dari golongan
hitam selalu mengarahkan matanya ke daerah kami yang sangat
kami cintai ini. Dengan sekuat tenaga aku telah berhasil
memisahkannya dari antara mereka, dari pergaulan yang
menyedihkan. Aku asah mereka pagi dan sore, siang dan malam.
Dan aku berbangga atas hasilnya, meskipun secara batin belum
memenuhi tuntutan hatiku.
Sayang bahwa selama itu, aku tidak sempat menemukan Arya
Salaka. Pernah aku meninggalkan Banyubiru untuk mencari
cucuku itu. Namun aku tak berhasil menemukan. Sedang daerah
ini tak dapat aku tinggalkan terlalu lama. Karena itu akupun segera
kembali sebelum berhasil. Mangsa kasanga tahun yang lewat, aku
pernah menyusur pantai utara. Aku pernah menemukan jejaknya,
tetapi kemudian lenyap kembali.”
“Mangsa kasanga tahun lampau?” Mahesa Jenar mengulangi
kata-kata itu di dalam hatinya seperti juga Kebo Kanigara dan Arya
Salaka sendiri. Masa itu adalah masa pembajaan yang mahaberat.
Dimana ia terpaksa bersembunyi di atas bukit Karang Tumaritis, di
bawah sejuknya rumpun-rumpun bambu yang bersih di Padepokan
Panembahan Ismaya.
“Aku terlalu tergesa-gesa...” Ki Ageng Sora Dipayana
meneruskan, “Karena aku tidak sampai hati meninggalkan
Banyubiru seperti kataku tadi. Apalagi pada saat-saat terakhir,
sekejappun aku tak berani. Namun suatu keyakinan telah tertanam
di dalam hatiku bahwa cucuku Arya Salaka masih selamat.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 91
Orang itu berhenti sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam,
lalu sambungnya, “Tetapi aku belum tahu, apakah yang telah
didapat anak itu selama perjalanannya di bawah asuhan Angger
Mahesa Jenar. Tiba-tiba aku menyaksikan sesuatu yang
samasekali membuat hatiku mongkok. Arya Salaka telah menjadi
anak muda yang luar biasa.”
Arya Salaka menundukkan wajahnya. Ia berbangga bukan
karena ia merasa dirinya perkasa, tetapi ia berbangga karena
eyangnya merasa bangga kepadanya.
Dalam pada itu terdengar Mahesa Jenar berkata, “Semuanya
adalah karena pangestu Ki Ageng serta karena darah yang
mengalir di dalam tubuh anak itu. Apa yang aku lakukan hanyalah
sekadar memberinya petunjuk-petunjuk.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk sambil
tersenyum. Namun di dalam hatinya tersiratlah perasaan kagum
dan heran. Mahesa Jenar ternyata mampu berbuat di luar
dugaannya pula. Kalau ia dapat menjadikan Arya Salaka
sedemikian mengagumkan, bagaimanakah dengan Mahesa Jenar
itu sendiri? Pada saat ia berpisah dengan Mahesa Jenar itu,
beberapa tahun lampau, Mahesa Jenar baru berada dalam
tingkatan yang sejajar dengan Gajah Sora. Apakah yang sudah
dicapainya selama ini? Sedang gurunya sudah lama tidak dapat
memberinya tuntunan, sejak Ki Ageng Pengging Sepuh itu
meninggal dunia.
“Ki Ageng....” Ki Ageng Sora Dipayana mengangkat mukanya
mendengar Mahesa Jenar berkata. “Barangkali Ki Ageng telah
mengetahui maksud kedatangan kami. Karena itu kami serahkan
persoalan kami kepada kebijaksanaan Ki Ageng. Bukankah maksud
kami telah kami kemukakan pada hari kedatangan kami yang
pertama?”
“Ya,” jawab Ki Ageng. “Aku sudah mengetahuinya. Dan aku
menjadi berdebar-debar karenanya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 91
“Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menemukan
kebijaksanaan,” sahut Mahesa Jenar. “Bagi kami, pertumpahan
darah harus dihindari sejauh-jauh mungkin.”
“Aku sependapat,” jawab Ki Ageng pula. “Namun apakah yang
dapat aku lakukan adalah suatu ikhtiar. Aku sudah mencoba
perlahan-lahan untuk mengubah pendirian Lembu Sora.”
“Adakah Ki Ageng berhasil?” tanya Mahesa Jenar.
“Belum. Ia masih tetap pada pendiriannya,” jawab Ki Ageng
Sora Dipayana. “Aku belum berani memaksanya. Sebab ia akan
dapat terjerumus ke dalam lingkaran hitam, atau usaha yang lain.
Meskipun aku tahu, bahwa pertentangan antara Lembu Sora
dengan golongan hitam itupun tak akan dapat dihindari pula.”
“Aku kira kemungkinan itu kecil sekali Ki Ageng,” sahut Mahesa
Jenar. “Bukankah golongan hitam telah mulai bertindak sendiri?
Bahkan mereka telah mencoba untuk memaksa Lembu Sora
menyerahkan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang
mereka duga berada di Banyubiru atau Pamingit?”
“Angger benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Tetapi
Angger belum mendengar perkembangan yang terakhir. Sejak
Lembu Sora terpaksa berdiri, ia telah membuat hubungan baru
dengan para bangsawan yang tidak puas atas pemerintahan
Demak. Bukankah di Demak ada golongan yang merasa dirinya
disingkirkan oleh Sultan?”
“Sekar Seda Lepen?” tanya Mahesa Jenar terkejut.
“Ya. Dengan para emban dari Arya Penangsang,” jawab Ki
Ageng Sora Dipayana.
“Sudah seberapa jauhnya hubungan mereka?” tanya Mahesa
Jenar pula dengan cemas.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 91
Ki Ageng Sora Dipayana diam sejenak. Tampaklah alisnya
berkerut. “Untunglah....” jawabnya, “Belum terlalu jauh. Karena
itu aku tidak akan mendesaknya lebih dalam lagi.”
Mahesa Jenar pun menjadi tertegun diam. Persoalan ini
menjadi bertambah rumit. Memang dengan tersisihkannya Arya
Penangsang, Demak telah menyimpan sebuah persoalan yang
mungkin akan meledak pada suatu saat. Tetapi Mahesa Jenar
yakin, selama Sultan Trenggana masih memegang pimpinan
pemerintahan, perpecahan itu akan dapat dibatasi. Tetapi
bagaimanakah kemudian…?
Namun, yang dihadapi Mahesa Jenar sekarang adalah
persoalan Banyubiru. Di perbatasan kota ini telah berbaris dalam
kesiagaan tempur laskar Arya Salaka. Mereka menunggu sampai
tengah malam atau sampai mereka melihat tanda panah api naik
ke udara. Sehingga dengan demikian waktu mereka tidak terlalu
banyak.
“Ki Ageng....” kata Mahesa Jenar, “Laskar Arya Salaka telah
siap di perbatasan. Mereka menunggu keputusan sebelum tengah
malam.”
Sekali lagi wajah Ki Ageng Sora Dipayana berkerut-kerut.
Tampaklah betapa suram hati orang tua itu. Pada saat yang
sempit, ia dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit.
“Berilah aku waktu sampai besok,” jawabnya.
“Sayang, Ki Ageng....” jawab Mahesa Jenar, “Kalau tengah
malam ini Arya tidak datang kembali, mereka akan bergerak.”
Orang tua itu menarik nafas panjang. Tetapi ia belum
menjawab. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya
Salaka, kemudian menjadi iba melihat orang tua itu menghadapi
persoalan yang hampir tak terpecahkan. Tetapi apakah yang dapat
dilakukannya?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 91
“Angger....” Tiba-tiba orang tua itu berkata, “Marilah kita
usahakan agar setidak-tidaknya pertempuran tidak berkobar
besok pagi.”
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Baginya sendiri, usaha
ini adalah usaha yang paling baik. Bahkan kalau mungkin untuk
seterusnya. Tetapi bagaimana?
“Persoalannya akan menjadi sederhana kalau Lembu Sora
dapat menarik diri dan menyerahkan tanah ini.” Orang tua itu
meneruskan, “Dan aku akan mengusahakannya. Tetapi tidak
sekarang, dimana ia baru saja dibakar oleh kemarahan melihat
anaknya tak dapat menguasai lawannya.” Ia berhenti sejenak.
“Berilah aku waktu. Biarlah satu atau dua orang pengikutmu itu
kembali ke pasukanmu.” Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada
Arya, “Biarlah ia membawa perintah darimu supaya laskarmu
menunggumu sampai besok.”
“Apakah ia dapat melewati laskar Paman Lembu Sora?” tanya
Arya, yang agaknya ingin memenuhi permintaan kakeknya.
Mahesa Jenar menjadi agak berlega hati mendengar
pertanyaan itu. Mudah-mudahan Arya sempat menahan dirinya,
sehari atau dua hari. Kalau anak itu yang memerintahkan, ia
mengharap laskarnya akan mentaatinya.
“Ia akan diantar oleh orang-orang pamanmu,” jawab Sora
Dipayana.
Arya Salaka memandang wajah Mahesa Jenar minta
pertimbangan. Maka berkatalah Mahesa Jenar, “Tidakkah laskar
Lembu Sora akan mendahului besok pagi?”
“Aku akan mencoba untuk mencegahnya. Setidak-tidaknya
menunda sampai lusa,” jawab orang tua itu.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian
kepada Arya Salaka ia berkata, “Arya, kau dapat memerintahkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 91
dua orangmu kembali. Eyangmu akan menyelamatkan
perjalanannya.”
“Terserahlah kepada Paman,” jawab Arya Salaka.
Mahesa Jenar menarik nafas. Timbullah kembali harapannya
untuk menyelesaikan setiap persoalan tanpa pertumpahan darah.
Maka iapun kemudian berkata, “Kalau kau sependapat Arya, kau
dapat minta sehelai rotan, tulislah perintah itu.”
Arya melaksanakan nasehat gurunya. Dari kakeknya ia
mendapat sehelai rontal, yang kemudian ditulisnya perintahnya,
singkat namun jelas. “Tunggu aku kembali, jangan bergerak
sendiri-sendiri sebelum ada perintahku. Aku akan berada di antara
kalian sebelum tengah hari besok. Teruskan perintah ini ke sayap
pasukan. Laskar Pamingit tak akan bergerak besok.”
Sebelum Arya memerintahkan dua orangnya yang semula
membawa obor untuk kembali ke induk pasukan, Ki Ageng Sora
Dipayana memanggil Lembu Sora duduk di antara mereka. Dengan
nada seorang ayah ia berkata, “Lembu Sora. Aku minta orangmu
untuk mengantarkan orang Arya Salaka kembali ke pasukannya
dengan membawa pesan dari kemenakanmu itu.”
Lembu Sora memandangi ayahnya dengan tegang. “Apakah
pesan itu?” terdengarlah ia bertanya.
Ki Agng Sora Dipayana tidak menjawab. Ia minta Arya
menunjukkan pesannya, yang kemudian dibaca oleh Lembu Sora
dengan dahi yang berkerut. Mula-mula ia ingin menolak
permintaan ayahnya itu, namun tiba-tiba mendapat pikiran lain.
“Apakah maksud penundaan itu?” Ia mencoba menegaskan.
“Aku minta kepadanya,” jawab ayahnya. “Sebab ada yang
ingin aku bicarakan dengan kau dan cucu Arya Salaka.”
“Tak ada yang dapat dibicarakan,” potong Lembu Sora.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 91
“Ada,” sahut ayahnya singkat.
“Tidak ada persoalan,” ulang Lembu Sora.
“Ada!” kembali ayahnya menyahut.
Lembu Sora berdiam. Ia mengumpat di dalam hati. Adakah
ayahnya akan memaksakan pendapatnya kepadanya? Ia tidak
akan pedulikan itu. Ia mempunyai pasukan yang cukup banyak.
Meskipun seandainya di dalam laskar Arya Salaka terdapat orang-
orang yang sakti, namun jumlah laskar dalam setiap pertempuran
akan turut serta mengambil peranan. Dalam penilaiannya, di
dalam laskar Arya Salaka, tidak ada seorang pun yang harus
disegani. Mahesa Jenar, Wanamerta dan orang yang datang
bersama Mahesa Jenar itu, adalah orang yang samasekali tidak
menakutkan, meskipun menurut laporan ada orang yang pernah
mempertunjukkan kesaktian, pada saat ia melindungi Bantaran.
Namun, Lembu Sora tidak cemas menghadapinya.
Meskipun demikian, apabila ayahnya tidak berkenan di
hatinya, atas tindakannya itu, maka yang terbaik adalah
memperkuat pasukannya, memperbesar jumlah orang-orangnya.
Karena itu, waktu yang sehari, yang diperlukan oleh ayahnya itu
akan menguntungkannya pula. Malam nanti ia dapat
memerintahkan orangnya kembali ke Pamingit. Ia harus kembali
dengan segenap laskar cadangan dan laskar remaja. Dengan
demikian ia mengharap bahwa ia akan berhasil memusnahkan
Arya Salaka. Karena pertimbangan itulah maka kemudian ia
berkata, “Terserahlah kepada ayah. Kalau ayah memandang perlu
untuk membiarkan laskar yang berkeliaran di perbatasan itu
memperpanjang umurnya dengan sehari lagi.”
Arya Salaka tersinggung benar mendengar kata-kata
pamannya. Tetapi ketika ia akan menjawab, terasa Mahesa Jenar
menggamit tumitnya, sehingga akhirnya tak sepatah katapun yang
terucapkan. Mahesa Jenar pun samasekali tak memberi tanggapan
apa-apa atas kata-kata Lembu Sora itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 91
“Nah,” kata Ki Ageng Sora Dipayana, “Berilah aku dua orang
itu.”
Lembu Sora menebarkan pandangannya ke halaman. Ketika
dilihatnya Wulungan, ia berteriak memanggil.
Wulungan pun kemudian berjalan mendekatinya, dan berdiri di
bawah tangga pendapa. “Ada perintah Ki Ageng?” ia bertanya
“Suruhlah dua orangmu mengantar kedua orang ini kembali ke
induk pasukannya,” perintah Lembu Sora.
Wulungan ragu sejenak, sampai Lembu Sora mengulanginya,
“Dua orang sampai perbatasan, lewat penjagaan terakhir.”
Wulungan mengangguk hormat. Ia tidak perlu tahu, apakah
yang terjadi. Yang dapat dilakukan adalah memanggil dua orang
dari laskarnya untuk mengantar dua orang laskar Arya Salaka,
melampaui penjagaan terdepan, supaya mereka berdua tidak
mendapat gangguan apapun.
II
Sepeninggal kedua orang yang bertugas untuk mengabarkan
kelambatan Arya, Mahesa Jenar bermaksud untuk mengadakan
pembicaraan-pembicaraan pendahuluan. Namun Ki Ageng Sora
Dipayana berkata dengan tertawa, “Jangan kita berbicara
mengenai persoalan-persoalan yang rumit. Aku akan berpesta
karena aku telah menemukan kembali cucuku yang hilang.”
Kepada Lembu Sora ia berkata, “Lembu Sora, marilah kita lupakan
sejenak. Untuk malam ini saja pertentangan-pertentangan yang
ada di dalam dada kita. Kalau aku besok atau lusa, harus
menghadap kembali kepada Yang Maha Esa, aku akan
meninggalkan kalian dengan senyum di bibirku. Aku akan
mengenang peristiwa malam ini. Makan bersama-sama dengan
anak-cucuku, serta tamu-tamuku yang baik hati.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 91
Lembu Sora tidak dapat menolak permitaan ayahnya itu.
Dengan hati berat, ia terpaksa menyelenggarakan juga makan
bersama seperti yang dikehendaki oleh ayahnya, bersama-sama
dengan tamu-tamu yang samasekali tak dikehendaki
kehadirannya, dengan Arya Salaka, Sawung Sariti dan
Wanamerta. Lembu Sora terpaksa mempersilakan mereka masuk
ke Pringgitan, dimana telah disediakan makanan serta segala lauk
pauknya di atas tikar pandan yang bersih.
Tetapi demikian kaki Arya melampaui tlundak pintu, demikian
terasa jantungnya berdenyut. Di situlah ia beberapa tahun yang
lalu bermain-main. Di atas tlundak itu pula kadang-kadang ia
duduk. Dan di situ pula ia selalu melihat ayah bundanya duduk
bersama-sama, kalau malam turun, sehabis makan sore. Tiba-tiba
saja ia teringat pada ibunya. Kenapa baru sekarang? Agaknya
semula hatinya terampas oleh kemarahannya kepada Sawung
Sariti, sehingga ia tidak ingat lagi kepada kepentingan-
kepentingan lain.
Karena itulah maka tiba-tiba ia menjadi gemetar. Matanya
berkisar dari pintu ke pintu untuk menanti, barangkali dari sanalah
ibunya akan keluar untuk menjumpainya. Tetapi sampai ia duduk
di atas tikar pandan menghadapi hidangan makan, ibunya belum
juga nampak. Untuk sementara ia mencoba menahan hatinya.
Namun akhirnya keluar juga pertanyaan kepada kakeknya,
“Eyang, adakah Eyang memperkenankan aku untuk menemui
ibuku?”
Ki Ageng Sora Dipayana tersentak mendengar pertanyaan itu.
Untuk sesaat tiba-tiba ia terpaku diam dengan wajah yang
berkerut. Melihat perubahan wajah itu, Arya Salaka terkejut pula.
Karena itu ia mendesak, “Eyang, apakah Ibu selamat?”
Orangtua itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya, ya, Arya,
Ibumu selamat.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 91
Arya tidak puas dengan jawaban itu. Maka ia bertanya kembali,
“Tetapi kenapa Ibu tidak datang menemui aku sekarang. Atau
akulah yang harus menghadap?”
Ki Ageng Sora Dipayana melemparkan pandangannya kepada
Ki Ageng Lembu Sora. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Lembu Sora,
jawablah pertanyaan kemenakanmu itu.”
Arya Salaka dan Mahesa Jenar menjadi gelisah karenanya.
Maka ketika Lembu Sora tidak segera menjawab, Arya mendesak
lagi, “Di mana Ibu, Paman?”
Lembu Sora membetulkan letak duduknya. Kemudian ia
berkata, meskipun samasekali tidak memandang wajah Arya
Salaka. “Ayah. Aku sudah berkata sebelumnya, bahwa mBakyu
Gajah Sora perlu mendapat perlindungan dan ketenteraman
sepeninggal Kakang. Di Pamingit, Nyai Lembu Sora akan dapat
menemaninya, serta sekadar memberinya ketenteraman dan
ketenangan.”
Sekali lagi Arya merasa tersinggung. Agaknya pamannya
benar-benar tidak mau mengakui kehadirannya. Meskipun
demikian, hatinya berlega pula. Ternyata ibunya masih selamat,
meskipun tidak segera dapat ditemuinya. Namun dengan
demikian, ia masih mempunyai harapan bahwa pada suatu saat ia
akan dapat membawanya kembali ke Banyubiru. Arya menarik
nafas dalam. Kepada eyangnya ia berkata: “Eyang, betapa
rindukupada bunda. Namun kali ini kerinduanku terpakisa masih
aku simpan didalam dada. Mudah-mudahan aku akan segera dapat
menemuinya.
“Mudah-mudahan Arya,” jawab eyangnya singkat. Yang
kemudian disambungnya dengan cepat,” tapi jangan lupakan
permintaanku. Marilah kita makan bersama. Lupakanlah segala
persoalan, supaya aku tidak menyesal kelak.”
Tak seorangpun menjawab. Ki Ageng Soradipayana
mendahului menikmati hidangan yang tak seberapa baik
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 91
sebagaimana lajimnya makan yang disediakan didaerah darurat.
Dimana setiap saat peperangan dapat berkobar. Meskipun
demikian, orang tua itu makan dengan lahapnya seolah olah
benar-benar untuk yang terakhir kalinya. Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Wanamertapun berusaha untuk makan sebaik-
baiknya, meskipun sore tadi mereka telah makan kenyang-
kenyang. Hanya Arya Salaka yang agaknya tidak dapat menekan
perasaannya, sehingga setiap kali ia menelan, setiap kali ia
merasakan detak jantungnya semakin cepat.
“Betapa enaknya makanan yang kau sajikan Lembu Sora,”
ayahnya memuji.
Lembu Sora samasekali tidak menaruh minat pada pujian itu.
Sore tadi ayahnya juga sudah makan. Makanan yang sama. Tetapi
sore tadi ayahnya samasekali tidak memujinya.
“Suatu peristiwa yang jarang-jarang terjadi,” orang tua itu
meneruskan. “Makan bersama anak cucu. Alangkah nikmatnya.
Kalau saja hal yang demikian ini dapat aku alami tidak hanya
sekali. Aku mengharap untuk dapat makan bersama dengan kedua
anakku, kedua menantuku dan kedua cucuku.”
Tak seorang pun yang menjawab kata-kata itu. Maka orang
tua itu meneruskan, “Memang agak berbedalah hidup diantara
dinding rumah yang sempit, dengan hidup di udara luas. Tetapi
aku kira ada juga perasaan yang serupa dengan perasaanku ini.
Apalagi perasaan orang orang tua. Merekapun, aku kira, ingin
selalu dapat menikmati hidup mereka yang tinggal beberapa tahun
lagi. Mereka ingin selalu dekat dengan anak-anak mereka,
menantu menantu mereka dan cucu cucu mereka. Mereka akan
mengutuk setiap usaha memisahkan mereka itu. Mereka akan
bersedih hati kalau melihat anak cucunya bercerai berai. Apalagi
kalau orang orang tua itu tahu, bahwa anak cucunya bertengkar
satu sama lain. Sebab dalam pertengkaran itu, orang orang tualah
yang pasti akan kehilangan. Siapa pun yang kalah dan siapa pun
yang menang.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 91
Tiba tiba nasi dimulut Lembu Sora terasa betapa keras dan
kering, sehingga ketika ia menelannya, segera ia menyusulnya
dengan minum hampir semangkuk penuh. Meskipun demikian ia
tak berkata sepatah kata pun.
Tetapi, tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti tertawa disusul
dengan kata katanya:” Alangkah pendeknya hidup bagi orang tua.
Beberapa tahun lagi mereka harus meninggalkan dunia ini. Tetapi
bagi naka muda, hidup ini akan dihadapinya dengan penuh gairah.”
Semua mata memandang kearah anak muda itu. Dengan sikap
yang angkuh ia meneruskan: “bagi orang orang tua, sisa hidup
mereka menikmati sebaik baiknya. Tetapi dengan demikian
seharusnya mereka tidak menutup kemungkinan, bahwa anak
anak muda harus berusaha untuk mencapai suatu masa yang
cemerlang. Cemerlang baginya, sebagaimana yang dicita-citakan.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan dahinya, sambil
mengangguk angguk, ia menyahut: “Sawung Sariti benar,
seharusnya orang orang tua tidak menghalangi cita cita mereka.
Cita cita yang luhur, cita cita yang ditandai oleh kehangatan jiwa
menghadapi alam. Namun seharusnya dengan suatu tanggung
jawab yang masak pula. Kepada diri sendiri, kepada angkatannya
dan kepada cita-cita sendiri. Namun lebih daripada itu,
pertanggungan jawab tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karena itulah maka pencapaian cita-cita betapapun indahnya,
harus dilakukan di jalan Allah. Di jalan yang telah dibatasi oleh
hukum hukumnya.”
Kembali ruang itu direnggut oleh kesepian. Tak seorang pun
yang berkata-kata lagi. Yang terdengar adalah mulut-mulut
mereka mengunyah makanan yang disuapkan oleh tangan-tangan
mereka. Tetapi mereka sudah tidak dapat merasakan lagi, betapa
asinnya garam, dan betapa manisnya gula.
Sawung Sariti tidak senang mendengar kata-kata kakeknya
meskipun ia berdiam diri. Ia tahu bahwa ayahnya telah melakukan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 91
beberapa kesalahan, meninggalkan kejujuran dan kebenaran.
Namun ia tidak menyesal bahwa ayahnya telah melakukannya.
Meskipun Sawung Sariti merasakan pula kemutlakan untuk
memusnahkan golongan hitam, namun tanpa disengajanya, ia
telah melakukan hal-hal yang serupa, sebagaimana pernah
dilakukan oleh golongan hitam.
Ki Ageng Sora Dipayana pun tidak berkata-kata lagi. Ia merasa
bahwa keadaan belum memungkinkan untuk menyalurkan
pendapatnya. Meskipun ia merasa bahwa kemungkinan masih ada.
Tetapi yang tidak dapat dibacanya adalah ukiran di dinding hati
anak serta cucunya. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti.
Siapa yang menentang arus harus disingkirkan.
Karena itu, setelah mereka selesai, Ki Ageng Sora Dipayana
berkata, “Tamu-tamuku yang terhormat, beristirahatlah kalian di
sini. Beristirahatlah dengan tenang. Sebab tak akan terjadi apapun
malam ini dan besok pagi. Bukankah begitu Lembu Sora?”
Lembu Sora tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dengan
sengaja.
“Bagus....” kata orang tua itu pula. “Sebelum kau lupa Lembu
Sora, perintahkan kepada laskarmu. Jangan bergerak sampai
besok.”
Lembu Sora juga tidak menjawab, selain mengangguk pula.
“Di manakah tamu-tamumu kau persilahkan beristirahat?”
tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Di sana,” jawab Lembu Sora sambil menunjuk gandok wetan
dengan dagunya.
Sikap itu memang samasekali tidak menyenangkan, namun
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka
menahan kekecewaan di dalam hatinya. Mereka samasekali tidak
memberikan kesan apapun atas kekecewaan itu, sebagai tanda
terima kasih mereka kepada Ki Ageng Sora Dipayana atas
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 91
usahanya, memecahkan persoalan antara kedua cabang aliran
darahnya.
“Silahkan Angger.” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan.
“Aku mengharap Angger berdua dan cucu Arya Salaka beserta
Wanamerta besok pagi untuk mengadakan pesta kembali. Pesta
sederhana, namun berkesan di hati orang-orang tua seperti aku.”
Ki Ageng Sora Dipayana tidak menunggu jawaban. Ia berjalan
mendahului, ke gandok wetan. Tamu-tamunya segera mengikuti
pula tanpa berkata sepatah kata pun.
Di gandok wetan, beberapa orang Lembu Sora datang
mengantarkan tikar pandan rangkap, yang kemudian
dibentangkan di lantai. Di sanalah Arya Salaka beserta
rombongannya akan beristirahat.
“Silahkan Angger.” Ki Ageng mempersilahkan kembali.
“Sedemikian adanya. Besok aku akan mengajak Lembu Sora
bertemu dengan kalian. Apapun yang akan kita putuskan bersama.
Agal atau alus. Namun yang harap kalian ketahui, kemampuanku
sangat terbatas. Aku menyesal bahwa Lembu Sora dan anaknya
tak dapat aku kuasai lagi dengan baik.”
“Mudah-mudahan kita tak perlu memeras keringat Ki Ageng,”
sahut Mahesa Jenar, “Apalagi darah.”
“Mudah-mudahan.” Orang tua itu bergumam. Kemudian
setelah mempersilahkan tamunya beristirahat sekali lagi, Ki Ageng
Sora Dipayana meninggalkan mereka di gandok wetan.
Tidak banyak yang mereka percakapkan. Mereka akan
mempergunakan waktu istirahat itu sebaik-baiknya. Mereka
percaya kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa tak akan terjadi
sesuatu malam ini sampai besok.
Malam itu Ki Ageng Lembu Sora memerintahkan kepada
laskarnya di garis pertama untuk menunda gerakan mereka. Ada
sesuatu yang sedang dipersiapkan. Bukan kemungkinan untuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 91
menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik, namun yang
dipersiapkan adalah memperbanyak jumlah laskarnya.
Sejalan dengan itu, dua orang telah diperintahkannya pula
untuk pergi ke Pamingit. Besok menjelang malam, laskar cadangan
dan laskar remaja harus sudah masuk kota Banyubiru, langsung
menempatkan diri di garis pertahanan. Sebab menilik persiapan
laskar Arya Salaka, mereka akan memasuki kota dalam tiga gelar,
lewat sebelah timur, barat, dan induk pasukan akan menusuk dari
utara. Karena itu, Lembu Sora harus menyesuaikan diri dalam
kesiagaan tiga gelar penuh. Bahkan Lembu Sora menyiapkan
kelompok-kelompok kecil yang harus mengacaukan gelar sayap-
sayap pasukan Arya Salaka dari lambung. Pasukan cadangan ini
akan merupakan pasukan penentu. Sebab menurut perhitungan
Lembu Sora semula, laskar Arya Salaka adalah laskar yang
samasekali tak teratur, dan tak memiliki daya tempur yang baik.
Menurut penilaiannya, laskar itu semula hanyalah laskar yang
dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi. Apakah yang dapat diberikan
oleh kedua orang itu kepada laskarnya, sehingga ia tidak perlu
mengerahkan segenap kekuatannya? Tetapi kemudian Lembu
Sora berpikir lain. Daripada ia harus mengulangi untuk kedua atau
ketiga kalinya, baiklah sekaligus dimusnahkan sajalah laskar Arya
Salaka itu bersama-sama dengan Arya Salaka, Wanamerta dan
kedua orang yang menyertainya itu.
Tetapi adalah di luar perhitungan bahwa di dalam laskar Arya
Salaka terdapat dua orang yang harus diperhitungkan pula, Ki
Dalang Mantingan dari Wanakerta dan gembala bertenaga raksasa
dari Karang Pandan di kaki gunung Kelut. Wirasaba, Bantaran dan
Panjawi itu jauh sebelum mereka bertemu kadang-kadang disebut
Seruling Gading. Apalagi kemudian datang bersama-sama dengan
Arya Salaka, orang-orang seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara
dan Wanamerta. Maka laskar Arya itu sebenarnya merupakan
laskar yang telah ditempa lahir dan batin.
Dalam hal itu, Ki Ageng Sora Dipayana lah yang mempunyai
perhitungan yang mendekati kebenaran. Karena itulah maka ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 91
sudah dapat membayangkan bahwa apabila terjadi peperangan
antara kedua cabang aliran darahnya itu, maka akan habislah
nama yang pernah dipupuknya selama ini, perguruan
Pangrantunan. Hancur seperti gunung berapi yang kokoh kuat,
namun pecah karena kekuatan yang terkandung di dalam perutnya
sendiri.
Ketika matahari kemudian menjenguk dari balik bukit, Mahesa
Jenar dan Arya Salaka beserta Kebo Kanigara dan Wanamerta
segera membersihkan dirinya di sendang kecil di sebalahnya.
Tetapi mereka menjadi terkejut ketika terjadi hiruk pikuk di
halaman.
Karena itulah maka sebelum mereka sempat berpakaian
dengan baik, mereka terpaksa berdiri merapat dinding gandok,
untuk dapat mendengar apakah yang telah menyebabkan
keributan itu.
Dari pendapa terdengarlah suara Ki Ageng Lembu Sora keras:
“adakah kau sudah sampai di Pamingit?”
“Belum Ki Ageng di tengah perjalanan kami jumpai adi Sardu
ini,” jawab seseorang yang berdiri dihalaman dengan memegangi
kendali kudanya.
“Sardu,” teriak Ki Ageng Lembu Sora.
“Ya Ki Ageng,” jawab yang disebut Sardu dengan cemas. Ia
melangkah maju. Tangannya juga memegang kendali kudanya.
“Benarkah laporan itu?”
“Benar, Ki Ageng”
Dari celah celah daun pintu gandok, Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka dapat melihat bahwa wajah
Lembu Sora menjadi merah padam. Dibelakangnya berdiri Sawung
Sariti dengan tegangnya. Sedang disampingnya tampak Ki Ageng
Soradipanaya dengan wajah suram.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 91
“Aku sudah menduga,” teriak Ki Ageng Lembu Sora, kemudian
kepada ayahnya ia berkata: “ bukankah apa yang aku katakan itu
benar benar terjadi?”
”Apa yang pernah kau katakan kepadaku?” bertanya Ki Ageng
Sora Dipayana.
“Bukankah ini permainan
kotor?” sahut Lembu Sora.
“Aku tak akan dapat dikelabuhi
lagi. Persekutuan yang me-
muakkan dari orang gila.”
Ki Ageng Sora Dipayana
menggangguk angguk. Agak-
nya ia dapat menebak
perasaan yang berkobar di
dalam dada anaknya. Karena
itu ia berkata: “Jangan ter-
gesa-gesa Lembu Sora. Aku
mempunyai sangkaan lain,”
ayahnya menyoba untuk me-
nyabarkannya.
“Tak akan salah lagi,”
bantah Lembu Sora.
“Jangan tergesa-gesa Lembu Sora” ayahnya mencoba untuk
menyabarkannya.
“Wulungan!” tiba tiba Ki Ageng Lembu Sora berteriak keras.
Dari regol halaman, Wulungan datang berlari lari. Pedang yang
tergantung dilambungnya berjuntai-juntai hampir menyentuh
tanah. Dengan tangan kirinya ia menyoba untuk menahan
pedangnya, supaya tidak mengganggu langkahnya.
“Panggil mereka, siapkan laskarmu di halaman ini,” teriak
Lembu Sora.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 91
“Baik Ki Ageng,” jawab Wulungan. Ketika kemudian Wulungan
memandang kearah gandok wetan, berdebarlah hati Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta serta Arya Salaka.
“Apakah yang sudah terjadi?” pikir mereka. Tetapi melihat
Wulungan itu benar benar melangkah ke arah pintu gandok itu.
“Ada sesuatu yang tidak beres,” bisik Kebo Kanigara. Mahesa
mengangguk. Bersamaan dengan itu Arya segera menyambar
tongkatnya yang tersandar didinding. “Apakah yang akan mereka
lakukan?” bisiknya.
“Entahlah,” jawab gurunya.
“Apakah mereka sengaja menunggu sampai pagi supaya kami
tidak bisa memberikan tanda anak panah api?” tanya Arya.
“Tapi panah Sendaren masih ada,” kata Mahesa, “bukankah
demikian paman Wanamerta?”
“Ya,” jawab Wanamerta, “panah itu masih ada padaku”.
Mereka tidak berkata-kata lagi ketika Wulungan sudah berdiri
dimuka pintu. Yang kemudian dengan sopan ia berkata, “Angger
Arya, ada pesan dari pamannda untuk anda.”
Arya memperbaiki kainnya sambil melangkah keluar pintu.
“Adakah sesuatu yag penting sekali paman?”
“Aku tidak dapat mengatakannya,” jawab Wulungan “Baiklah
kami segera akan datang,” jawab Arya
Tetapi Wulungan tidak segera pergi. Ketika Arya kemudian
masuk kembali, terdengar orang itu berkata dari luar pintu:
“marilah ngger, pamanda agaknya tergesa-gesa.”
Arya segera keluar kembali dengan tombak di tangannya.
Dibelakangnya berjalan Wanamerta. Dipinggangnya tersangkut
bumbung yang tidak saja berisi panah sendaren tetapi juga panah
berujung tajam. Sedang ditangan kanannya tergenggam busur
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 91
yang besar, dengan bola besi sebesar salak dikedua ujungnya.
Busur itu dalam keadaan terpaksa akan dapat dipergunakan
sebagai senjata pemukul yang berbahaya. Ketika kedua orang
pembantunya diperintahkan untuk mendahului membawa perintah
Arya, busur itu dimintanya.
Dibelakang mereka berjajar dua orang yang masing-masing
menyimpan di dalam dirinya ilmu perguruan Pengging, Mahesa dan
Kanigara.
Sambil berjalan Wanamerta berharap mudah mudahan orang
yang telah ditentukan untuk menangkap bunyi panah sendaren
tidak meninggalkan tempat mereka, sehingga dengan demikian
mereka akan dapat melangsungkan setiap berita yang
disampaikan apabila terjadi sesuatu.
Ketika Arya sampai di ujung tangga, dan ketika ia hampir naik
ke atas tangga itu, Lembu Sora membentak, “Aku tidak
mengharap kau naik!”
Arya terkejut, perlakuan itu terlalu kasar. Tapi ia ingin tahu
persoalan apa yang membuat pamannya bersikap demikian.
Apakah persoalan itu masuk akal atau cuma suatu cara
memancingnya kedalam suatu pertengkaran. Karena itu ia pun
berhenti pula.
Lembu Sora memandangnya dengan mata menyala nyala.
Ketika Arya membalas pandangannya ia membentak; “Aku kira
kau benar-benar lelaki seperti yang aku duga. Sekarang katakan
kepadaku apa yang sedang kau lakukan sekarang?”
Arya menjadi bingung, ia menjawab; “aku tidak tahu maksud
paman.”
Lembu menyibirkan bibirnya sambil sesekali meludah ke
lantai; “kau berhasil menarik sebagian laskarku ke Banyu Biru.
Sekarang kau pergunakan laskar hitam untuk memukul Pamingit.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 91
Kata-Kata pamannya itu bagi Arya seperti suara petir yang
meledak di ubun- ubunnya. Bahkan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara
dan Wanamerta sampai bergeser maju selangkah.
“Apa yang Paman katakan?” Arya ingin penjelasan.
“Sudah kau dengar,” jawab Lembu Sora.
“Bohong,” bantah Arya. Hatinya telah benar-benar panas.
Apalagi dengan tuduhan pamannya yang sangat menyakitkan hati
itu.
“Tak ada yang akan memaksa kau mengakui perbuatan curang
itu. Namun kau tidak akan dapat mengingkari, bahwa laskar di
perbatasan yang samasekali tak berarti itu ternyata hanya suatu
cara untuk memancing laskar Pamingit,” sahut Lembu Sora keras.
“Tidak benar.” Arya menjadi gemetar, karena marahnya.
Tetapi dengan demikian kata-katanya seperti tertahan di
kerongkongan.
“Katakan kepadaku,” sambung Lembu Sora, “Apa sebabnya
kalian tidak segera menyerang sejak kemarin, sejak kemarin dulu
atau sejak seminggu yang lalu? Apa hubungan kalian dengan
kedatangan orang-orang dari Nusakambangan beberapa minggu
lampau, kemudian menyusul orang yang bernama Mahesa Jenar
itu kemari? Apa…? Kalian tidak akan dapat membantah, bahwa
kalian benar-benar telah bekerja bersama dengan mereka. Kalau
tidak, mereka tidak akan secara kebetulan menduduki Pamingit
menjelang ayam berkokok untuk yang kedua kalinya pagi tadi.”
“Bohong!” sekali lagi suara Arya yang bergetar terhenti di
kerongkongannya. Mahesa Jenar tahu hal itu, sebagaimana yang
pernah terjadi. Arya bukan orang yang pandai berbantah. Karena
itu dengan tenang ia melangkah maju untuk mewakili muridnya
berkata, “Ki Ageng Lembu Sora, jangan menuduh kami seperti
menuduh pencuri. Kami bukan sebangsa pengecut yang tidak
percaya pada diri sendiri, sehingga kami telah kehilangan harga
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 91
diri, bekerja bersama dengan golongan hitam. Golongan yang akan
terkutuk sampai seribu keturunan.”
Lembu Sora tertawa terbahak-bahak. Tertawa untuk
melepaskan kemarahan yang hampir tak tertahan lagi. Kemudian
dengan menunjuk kepada Sardu ia berkata keras-keras,
“Berkatalah kepadanya. Berkatalah bahwa kalian telah mencoba
mencuci tangan. Namun orang itu menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, orang-orang golongan hitam menduduki Pamingit.
Membakari rumah-rumah dan segala isinya. Orang itu mendengar
dengan telinga yang melekat di batok kepalanya, bahwa orang-
orang golongan hitam itu berteriak-teriak. Tak ada gunanya kalian
mengirim orang ke Banyubiru. Banyubiru telah dihancurkan oleh
Arya Salaka dan Mahesa Jenar. Apa katamu?”
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada seekor kuda yang
berlari dengan meninggalkan debu yang putih dan menghilang di
cakrawala siang kemarin, ketika laskar Arya sedang berjalan ke
perbatasan. Karena itulah maka ia berkata di dalam hatinya, “Gila.
Orang-orang golongan hitam itu benar-benar mempergunakan
kesempatan ini.” Namun kepada Lembu Sora ia menjawab, “Kau
terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Kalau orang-orang
golongan hitam itu mempergunakan setiap kesempatan di dalam
kekeruhan, adalah mungkin sekali. Karena itulah maka aku selalu
menganjurkan kepada Arya Salaka, untuk menempuh jalan yang
tidak memungkinkan golongan hitam itu mengambil kesempatan.
Tetapi kau telah memaksa untuk memagari kota ini dengan
pasukannya.”
“Kau samasekali tidak bermaksud menyelesaikan masalah
Banyubiru dengan baik. Kau hanya ingin menjajagi keteguhan
tekad kami untuk melindungi daerah ini. Ketika kau merasa tidak
mampu lagi untuk berbuat sesuatu, kau meleburkan dirimu ke
dalam tubuh golongan hitam itu.”
Mahesa Jenar akhirnya menjadi marah pula. Meskipun ia masih
mencoba menahannya. Katanya, “Kami adalah orang-orang yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 91
menempatkan diri kami di dalam lingkungan yang menganggap
bahwa golongan hitam harus dimusnahkan.”
Sekali lagi Lembu Sora tertawa untuk melepaskan
kemarahannya yang semakin memuncak. Sama sekali bukan
tertawa karena ia menjadi gembira. Katanya meledak seperti
guruh, “Mahesa Jenar. Sejak semula aku sudah curiga kepadamu.
Kepada Kakang Gajah Sora aku sudah pernah memperingatkan
bahwa orang Pandanaran ini, kenapa demikian mengikat diri di
Banyubiru. Sejak lenyapnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
dari Walangkan di Banyubiru, sebenarnya aku sudah dapat
mengambil kesimpulan, bahwa kau adalah salah seorang dari
mereka. Salah seorang dari golongan hitam.”
Dada Mahesa Jenar seperti akan meledak mendengar tuduhan
itu. Ia benar-benar marah. Karena itulah maka ia melangkah
selangkah maju.
Dalam pada itu Ki Ageng Sora Dipayana pun menjadi sangat
cemas. Tetapi ketika ia akan melangkah, Mahesa Jenar telah
berkata dengan lantangnya sambil menunjuk ke arah wajah Ki
Ageng Lembu Sora, “Ki Ageng Lembu Sora. Kau jangan mengada-
ada. Siapakah yang pernah berhubungan dengan golongan hitam
untuk meniadakan Kakang Gajah Sora. Siapakah yang telah
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan Sima Rodra Muda
atas tanah Pangrantunan? Dan siapakah yang telah mengerahkan
orang-orangnya untuk mencegat pasukan dari Demak, pada saat
Gajah Sora sedang berusaha untuk memecahkan perselisihan yang
ada antara Banyubiru dengan Demak? Siapakah yang dengan
senang hati menghadiri pertemuan golongan hitam di lembah
Rawa Pening? Siapa? Mahesa Jenarkah itu…?”
“Diam…!” bentak Lembu Sora.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mau diam. Ia berkata terus,
sambungnya, “Kau takut melihat kenyataan itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 91
“Kau takut aku mendahului mengatakan itu kepadamu,” teriak
Lembu Sora, “Dengan ocehanmu itu kau ingin mengaburkan
kenyataan yang kau hadapi kini.”
”Huh,” Mahesa Jenar menyahut, “Katakan kepadaku Lembu
Sora. Siapakah yang telah membunuh Sima Rodra Muda? Siapa
pula yang telah membunuh jandanya, yang telah kehilangan sifat
manusianya? Kau tidak pernah melihat cara mereka bergembira.
Sayang. Barangkali kau akan tertarik pula pada upacara-upacara
yang mereka adakan. Dan siapakah yang telah membunuh
sepasang Uling dari Rawa Pening? Bukan kau? Bukan Ki Ageng
Lembu Sora yang sekarang berdiri dengan gagahnya di pendapa
Banyubiru?”
Lembu Sora terdiam untuk beberapa saat. Ia benar-benar
tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar yang
mengalir seperti banjir itu. Ia memang pernah mendengar kabar,
bahwa Sima Rodra suami-isteri dan sepasang Uling Rawa Pening
telah terbunuh. Namun kabar itu sangat dirahasiakan oleh
golongan hitam. Apalagi kegiatan-kegiatan di Gunung Tidar
maupun di Rawa Pening seolah-olah samasekali belum padam.
Sehingga ia menjadi ragu atas kebenaran berita itu. Dalam keragu-
raguan ia mendengar Mahesa Jenar meneruskan, “Ketahuilah
Lembu Sora, bahwa akulah yang membunuh Sima Rodra Muda.
Sedang jandanya telah mati terbunuh oleh anak tirinya. Kalau kau
ingin tahu siapakah yang membunuh Uling Putih dan Uling Kuning?
Nah, lihatlah anak yang berdiri di hadapanmu itu. Kemenakanmu
sendiri.”
Yang mendengar kata-kata itu menjadi terkejut. Lembu Sora,
Sawung Sariti, juga Sora Dipayana. Apakah benar Arya Salaka
telah dapat membunuh sepasang Uling Rawa Pening? Tetapi
mereka tidak bertanya.
Sehingga kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan,
“Arya Salaka lah yang pada masa orang-orang golongan hitam
mabuk mencari keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 91
kemudian keinginan mereka menelan Pamingit dan Banyubiru,
selalu dikejar-kejar sehingga sangat membahayakan jiwanya, dan
yang kemudian tampil ke depan melawan mereka. Itukah yang kau
tuduh sekarang ini tertelan oleh golongan itu?”
Lembu Sora menjadi pening mendengar suara Mahesa Jenar
seperti hujan tercurah dari langit. Karena itu kemudian ia berteriak
keras-keras, “Cukup. Cukup…! Kebohongan yang teratur memang
kadang-kadang menimbulkan kesan, seolah-olah peristiwa-
peristiwa itu benar-benar telah terjadi. Tetapi aku tidak akan dapat
kau kelabuhi. Aku tidak buta dan aku tidak tuli. Aku melihat semua
yang telah terjadi, dan aku mendengarnya pula. Sekarang aku
tidak akan banyak bicara. Kesempatan yang baik bagiku untuk
menumpas kalian di sini sekarang juga. Baru aku akan tenang
kembali ke Pamingit untuk memusnahkan orang-orang dari
golongan hitam itu.”
Mahesa Jenar sadar, bahwa ia tidak perlu memberi keyakinan
kepada Lembu Sora bahwa ia samasekali tidak mengadakan
hubungan apapun dengan golongan hitam. Ia tidak perlu
mengabarkan bahwa yang terakhir ia bertempur mati-matian
melawan Pasingsingan. Sebab apapun yang dikatakan, tidak akan
mempengaruhi maksud Lembu Sora untuk memusnahkan mereka.
Karena itu yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan diri
sepenuhnya untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan
terjadi.
III
Dalam pada itu tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana melangkah
maju. Agaknya ia dapat mengambil kesimpulan dari pertengkaran
antara anaknya dengan Mahesa Jenar. Maka katanya kemudian,
“Lembu Sora. Jangan kehilangan pegangan. Yang penting
sekarang adalah menyelamatkan tanahmu, Pamingit. Kalau kau
buang waktu dan tenagamu di sini, maka aku kira keadaan
tanahmu dan dirimu sendiri akan menjadi semakin parah.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 91
“Apakah yang dapat dilakukan oleh empat orang itu, Ayah…?”
bantah Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana menyahut, “Empat orang ini adalah
orang-orang yang dapat kau lihat berdiri di sini Lembu Sora. Tetapi
di belakang mereka berdiri satu pasukan yang kuat di perbatasan
kota.”
“Pasukan itu tak akan berarti bagiku,” jawab Lembu Sora
dengan sombongnya.
“Berarti atau tidak berarti, namun itu telah mengurangi
waktumu dan tenaga laskarmu. Kau lihat apa yang tersimpan di
dalam bumbung Wanamerta itu? Panah sendaren, yang dapat
menggerakkan laskar mereka dari jarak yang jauh. Dan kau
dengan apa yang dikatakan Angger Mahesa Jenar? Arya Salaka
telah mampu membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening. Karena
itu kau akan dapat mengira-irakan, apakah yang dapat dilakukan
oleh Angger Mahesa Jenar.”
“Aku tidak peduli,” potong Lembu Sora.
“Kau harus pedulikan itu,” sahut ayahnya. Tetapi Ki Ageng
Sora Dipayana tidak sempat meneruskan ketika di luar regol
terdengar suara ribut.
“Apakah itu?” tanya Lembu Sora keras-keras. “Laskar di
perbatasan mulai bergerak?”
Seseorang berlari-lari datang kepadanya. Dengan hormatnya
ia berkata, “Bukan Ki Ageng. Sama sekali bukan laskar dari
perbatasan. Tetapi mereka adalah rakyat Banyubiru.”
“Apa yang mereka lakukan? Adakah mereka sudah gila?”
bentak Lembu Sora.
“Tidak Ki Ageng,” jawab orang itu. “Mereka mencoba untuk
memasuki halaman.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 91
“Kenapa?” Lembu Sora membentak-bentak.
“Mereka ingin melihat Arya Salaka,” jawabnya.
“Gila. Mereka telah benar-benar gila. Kenapa kau bilang
tidak?” Lembu Sora menjadi semakin marah. Persoalan itu
menambah kepalanya menjadi pening. “Bunuh mereka yang
memaksa.”
“Jangan Lembu Sora,” ayahnya menyabarkan. “Kau jangan
menambah lawan. Rakyat Banyubiru adalah sebagian darimu
selama kau masih berdiri di sini. Karena itu dengarlah suaranya.
Selama ini tak pernah mengerti apa yang tersimpan di dalam
hatinya. Kau paksa mereka berkata seperti apa yang kau katakan.
Sekarang kau benar-benar di dalam kesulitan. Biarlah aku
menempatkan dirimu pada tempat yang seharusnya. Pergilah ke
Pamingit dan hancurkan golongan hitam yang telah menodai
kedaulatanmu.” Kemudian kepada Arya Salaka, kakeknya itu
berkata, “Arya, aku minta kepadamu, tundalah persoalanmu.
Sebab setiap pertengkaran di antara kita hanya akan memberi
kesempatan kepada golongan hitam untuk melumpuhkan kita. Kau
mau?”
Arya ragu sejenak. Tiba-tiba ia dihadapkan pada suatu pilihan
yang sulit. Hampir-hampir ia tidak dapat lagi meredakan
kemarahannya, seandainya bukan kakeknya yang bertanya
kepadanya. Karena itu, berdasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan yang lebih jauh, Arya merasa tidak berkeberatan.
Meskipun demikian ia memandang juga kepada gurunya. Ketika
gurunya mengangguk, Arya pun menjawab, “Aku akan bersedia
dengan sepenuh hati, Eyang.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk gembira. Sambil
tersenyum ia berkata, “Bagus. Aku memang sudah menduga
bahwa hatimu bersih sebersih hati ayahmu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 91
Kembali Lembu Sora menjadi sakit hati mendengar pujian itu.
Dengan lantangnya ia berkata, “Ayah terlalu memberi hati
kepadanya. Biarlah ia tahu bahwa ia samasekali tak cukup bernilai
untuk mempersoalkan kedudukan Kakang Gajah Sora.”
“Eyang....” sahut Arya yang hampir kehilangan kesabarannya
kembali, “Biarlah paman memilih.”
“Jangan, jangan….” potong Sora Dipayana cemas. Suaranya
terputus oleh keributan yang semakin menjadi-jadi di luar regol.
Terdengarlah suara rakyat Banyubiru itu berteriak-teriak, “Berilah
kami jalan. Biarlah kami melihat Arya Salaka.”
Para penjaga menjadi semakin sibuk. Mereka merapatkan diri
dengan senjata terhunus untuk menahan arus rakyat yang
sedemikian lama semakin banyak.
“Dari mana mereka tahu, bahwa Arya Salaka ada di sini?”
tanya Sora Dipayana kepada salah seorang pengawal.
“Entah Ki Ageng,” jawabnya.
“Lembu Sora.” Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada
anaknya, “Kesetiaan mereka kepada kampung halamannya harus
kau perhitungkan pula. Mereka dapat menjadi lunak, namun dapat
menjadi liar melampaui serigala.”
Lembu Sora terdiam. Ia menjadi benar-benar ngeri
menghadapi keadaan. Golongan hitam dengan ganasnya telah
melanda Pamingit. Sekarang rakyat Banyubiru seperti orang
mabuk berbondong-bondong datang untuk melihat Arya Salaka.
“Arya....” kata Ki Ageng Sora Dipayana, “Hanya kau yang
mampu menenangkan mereka. Pergilah kepada mereka, dan
berjanjilah bahwa kau akan menunda persoalan sampai pamanmu
dengan orang-orang golongan hitam itu selesai.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 91
Kembali Arya ragu. Namun sekali lagi ia melihat gurunya
menganggukkan kepalanya. Maka Arya pun menjawab,”Baiklah
Eyang.”
“Aku percaya kepadamu.” Kakeknya berkata seterusnya. Lalu
kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Apalagi kepada Angger Mahesa
Jenar sebagai penerus perguruan Pengging yang terkenal. Aku
percaya kepada Angger seperti aku percaya kepada setiap kata
yang diucapkan oleh Ki Ageng Pengging Sepuh.”
Mahesa Jenar sadar, bahwa kata-kata itu samasekali bukanlah
pujian, tapi baginya, Ki Ageng Sora Dipayana menyatakan
permintaannya yang sedalam-dalamnya, supaya ia dapat
mengendalikan Arya Salaka. Namun demikian ia menjawab,
“Mudah-mudahan aku dapat menjunjung kepercayaan itu.”
Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata, “Kau dapat pergi
dengan tenang Lembu Sora. Anggaplah bahwa di Banyubiru
sekarang tidak ada persoalan apapun. Dengan demikian kau dapat
mencurahkan segenap perhatianmu kepada tanahmu.”
Lembu Sora masih ragu. Baginya sebenarnya akan sama saja
akibatnya. Dalam keadaan payah, ia masih harus menghadapi
lawan lain. Tetapi akhirnya ia benar-benar mengharap, agar Arya
menunda tuntutannya sampai ia dapat menyegarkan laskarnya
kembali.
Ketika di luar suara rakyat Banyubiru seolah-olah hendak
membelah langit, maka sekali lagi Ki Ageng Sora Dipayana berkata
kepada Arya, “Arya, tenangkan mereka. Syukurlah kalau mereka
mau kau minta pulang ke rumah masing-masing, supaya tidak
menambah beban pembicaraan kita di sini. Sementara itu biarlah
pamanmu dan adikmu Sawung Sariti mempersiapkan
keberangkatannya.”
Arya membungkuk hormat. Kemudian ia melangkah ke regol
halaman diikuti oleh Wanamerta, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 91
Demikian ia sampai di depan regol, terdengarlah suara rakyat
Banyubiru itu. “Itukah Arya Salaka? Itukah…?” Kemudian suara itu
menjadi semakin riuh. Akhirnya meledaklah suara mereka, “Arya
Salaka…! Arya Salaka….!”
Kemudian Arya berdiri di atas sebuah dingklik kayu. Mula-mula
yang menyentuh perasaannya adalah keharuan yang mendalam.
Untuk sesaat ia tak dapat berkata sepatah katapun. Seolah-olah
lidahnya menjadi beku. Baru kemudian ia berkata, “Berbahagialah
aku, karena kesempatan yang aku peroleh, berhadapan muka
dengan rakyat Banyubiru yang setia.”
Suara rakyat itu semakin menggemuruh, seperti lebah
berpindah sarang.
Arya Salaka mengangkat
tangannya. Suara itupun
menjadi semakin berkurang,
dan akhirnya hilang sama-
sekali. Para pengawal masih
saja berdiri rapat dengan
ujung senjata yang rapat pula.
“Aku datang kembali ke
Banyubiru, karena rinduku
kepada kampung halaman dan
kepada kalian,” sambung Arya
Salaka. Suaranya terputus
oleh tepuk tangan gemuruh.
“Tetapi....” sambung Arya
Salaka, “Maafkanlah bahwa
aku belum mempunyai banyak
waktu untuk menyambut
kalian dengan tanggapan yang lebih baik. Karena itu aku janjikan,
lain kali aku akan menerima kalian, seluruh rakyat Banyubiru di
alun-alun ini. Sekarang, setelah terpenuhi permintaan kalian,
berhadapan muka dengan aku, aku harap kalian sudi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 91
meninggalkan tempat ini, kembali ke tempat kalian masing-
masing.”
Rakyat Banyubiru menjadi kecewa. Mereka ingin mendengar
kabar, apakah yang telah terjadi di dalam lingkaran dinding rumah
itu. Mereka ingin mendengar, apakah Ki Ageng Lembu Sora masih
akan tetap menguasai Banyubiru. Namun sekali lagi Arya minta
mereka untuk bubar, dengan janji secepat-cepatnya ia akan
memberikan kabar itu kepada rakyat Banyubiru. Sehingga dengan
demikian, meskipun hati mereka belum lapang seperti harapan
mereka, namun setidak- tidaknya mereka telah bertemu dengan
anak muda yang mereka rindukan. Yang telah mereka dengar
kehadirannya dari Ira, yang sengaja menyebar kabar kedatangan
Arya Salaka.
Ketika rakyat yang berjejalan itu telah surut, dan semakin
lama semakin hilang, maka siaplah Lembu Sora beserta putranya
Sawung Sariti. Beberapa orang berkuda telah disebar untuk
menarik pasukan Pamingit dari perbatasan. Penarikan itu disambut
dengan berbagai pertanyaan di dalam hati.
Mula-mula, mereka yang menyandang senjata karena
gemerincingnya uang, merasa berbahagia sekali ketika mereka
mendengar bahwa pasukan itu ditarik dari garis pertempuran.
Sebab mereka memang samasekali tidak mengharapkan darah
mereka menetes, menyiram tanah yang tak memberikan harapan
apa-apa bagi mereka. Dengan demikian mereka mengharap untuk
dapat segera bertemu dengan anak isterinya atau dengan
kekasihnya, atau dengan orang tua mereka yang telah pikun dan
meletakkan harapan mereka kepada anak-anaknya. Tetapi ketika
mereka mendengar kabar, bahwa mereka harus berhadapan
dengan golongan hitam lebih dahulu, mereka menjadi kecewa.
Bagi mereka, orang-orang golongan hitam pasti akan jauh lebih
buas dan biadab daripada orang-orang Banyubiru. Tetapi ketika
mereka teringat anak-isteri mereka, sawah dan ladang dimana
mereka meletakkan harapan mereka untuk memberi anak-anak
mereka makan, maka tiba-tiba timbullah semangat mereka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 91
Terasalah perbedaan tanggapan, bahwa mereka akan lebih ikhlas
berkorban apabila mereka mempertahankan sawah ladang
mereka, daripada mereka harus merampas sawah ladang orang
lain.
Di Alun-alun Banyubiru mereka berkumpul. Di hadapan
mereka Ki Ageng Sora Dipayana berkata, “Rakyat Pamingit yang
berani…. Kenanglah masa-masa orang tuamu dahulu menempa
tanah ini menjadi daerah perdikan seperti yang kalian miliki ini.
Karena itu pertahankan tanah itu. Rakyat Pamingit, bagian dari
tanah perdikan yang semula bernama Pangrantunan, pasti akan
tetap berdarah jantan. Orang-orang golongan hitam bukanlah
hantu yang harus kita takuti, tetapi mereka adalah setan-setan
yang harus kita musnahkan. Masa depan tanah kalian berada di
dalam genggaman kalian.”
Orang yang semula ragu-ragu hatinya, kini menjadi teguh.
Kalau ada di antara orang-orang laskar Pamingit itu orang
Pangrantunan, maka merekapun masih teringat, beberapa tahun
yang lampau, beberapa orang bawahan Sima Rodra selalu datang
menarik tanda panungkul kepada mereka. Mereka tak dapat
berbuat sesuatu, sebab tanah itu telah digadaikan oleh Lembu
Sora. Tetapi sejak dua orang Lembu Sora terbunuh, berbedalah
keadaannya. Apalagi kemudian terjadi perubahan perhubungan
antara Ki Ageng Lembu Sora dan Sima Rodra, apalagi sepeninggal
Sima Rodra muda suami-isteri, sehingga gadai tanah itu dicabut.
Kini mereka harus berhadapan dengan golongan hitam itu. Bekal
dendam yang ada di dalam dada mereka telah menyalakan
semangat mereka untuk menumpas golongan hitam itu habis-
habisan, meskipun ada di antara laskar Pamingit itu yang pernah
mengalami suatu masa, dimana mereka harus bekerja bersama
dengan laskar hitam itu.
Ketika matahari telah memanjat semakin tinggi di kaki langit,
terdengarlah bunyi sangkalala. Seperti air mengalir laskar Pamingit
itu bergerak, meninggalkan Alun-alun Banyubiru kembali ke
kampung halaman, untuk mempertahankan tanah mereka dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 91
terkaman orang-orang yang tergabung di dalam suatu lingkaran
hitam yang berhati kelam.
Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, dengan kuda masing-
masing, berjalan di ujung pasukannya. Di belakangnya berjalan
dengan tekad yang bulat, pemimpin pengawal kepala daerah
perdikan itu, Wulungan. Seterusnya beberapa orang pilihan, yang
tergabung dalam laskar pengawal itu. Barulah kemudian berbaris
membujur ke belakang, kelompok-kelompok laskar Pamingit.
Sebenarnya Lembu Sora pun mempunyai beberapa orang
pilihan yang dapat membantunya, menghadapi tokoh-tokoh hitam.
Selain Wulungan, di dalam laskar Pamingit itu terdapat orang-
orang yang setingkat Galunggung, Welat Ireng, Pakuwon, Sampir,
dan beberapa orang lainnya. Mereka mendapat tugas untuk
mengawasi laskar Pamingit itu, memimpin mereka dan mengolah
mereka, disamping Lembu Sora dan Sawung Sariti sendiri. Kepada
merekalah Lembu Sora meletakkan harapannya atas laskarnya.
Namun demikian, di sepanjang perjalanan itu kepada Ki Ageng
Lembu Sora dan Sawung Sariti selalu dikejar-kejar oleh berbagai
persoalan. Selain perasaan marah yang membakar dadanya,
melontar pula kecemasan di hatinya. Siapa sajakah yang turut
serta di dalam laskar yang menduduki Pamingit itu? Yang sudah
jelas baginya, adalah Joko Soka dari Nusakambangan. Betapa
bencinya ia kepada bajak laut yang gila itu. Kalau saja tak ada
gerombolan lain yang membantunya, maka ia yakin bahwa Jaka
Soka bukanlah beban yang terlalu berat baginya. Ia yakin bahwa
jumlah laskarnya akan terlampau besar untuk menghadapi Ular
Laut itu. Tetapi adakah gurunya ikut serta. Nama Nagapasa adalah
nama yang cukup menggetarkan. Meskipun nama itu telah lama
tenggelam, namun setiap orang tahu, bahwa Jaka Soka adalah
murid dari bajak tua yang terkenal dengan nama ilmunya yang
mengerikan, Nagapasa. Apalagi kalau golongan hitam yang lain
ikut serta mengambil bagian dalam penyerbuan itu, maka
pekerjaannya akan menjadi berat sekali. Di dalam laskarnya tak
seorangpun yang akan dapat berhadapan seorang lawan seorang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 91
dengan Nagapasa itu. Kalau benar orang itu ada, ia sendiri harus
menghadapinya dengan bantuan sepuluh atau duapuluh orang
bersama-sama. Bahkan mungkin ia memerlukan lebih dari
limapuluh orang, sedang yang separonya pasti akan binasa.
Bahkan mungkin dirinya pun akan binasa.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba terasa betapa kecil
kekuatan Lembu Sora kini. Kalau saja kakaknya, Gajah Sora, ada.
Kalau saja ayahnya ada di antara laskarnya. Kalau saja Arya
Salaka….
“Tidak!” Tiba-tiba terdengar suara Lembu Sora tersentak.
Sawung Sariti terkejut. Ia menoleh kepada ayahnya. “Apa
yang ayah maksud?”
Lembu Sora menggeleng. “Tak apa-apa.”
Meskipun jawaban itu samasekali tidak memuaskannya,
namun ia tidak bertanya lagi. Ia sendiri sedang sibuk berangan-
angan. Apakah yang kira-kira akan dilakukan nanti. Sekali-kali ia
menoleh kepada laskarnya yang mengalir tak putus-putusnya.
Dengan tersenyum ia berkata dalam hatinya, “Betapa kuatnya
orang perorang dari golongan hitam, namun dengan ditimbuni
mayat laskar Pamingit yang tak terhitung jumlahnya, mereka pasti
akan ngeri juga.” Memang, bagi Sawung Sariti jumlah korban dari
laskarnya bukanlah soal. Meskipun demikian ia berpikir juga.
“Tetapi kalau terlalu banyak laskar ini akan berkurang nanti,
dengan apa aku harus melawan Arya Salaka?” Ia pun menjadi
bimbang. Sawung Sariti sadar bahwa ia harus bertempur, sebab ia
tahu benar bahwa orang hitam itu tak akan diajak berbaik hati. Ia
sadar bahwa kalau selama ini mereka berdiam diri, bahkan dalam
berbagai hal mereka membantunya, itu karena mereka
mempunyai beberapa persamaan kepentingan.
Tetapi kemudian timbul pula angan-angannya, “Ah, jumlah
laskar anak itu tak akan seberapa kuat.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 91
Ia mencoba membesarkan hatinya sendiri, meskipun setiap
kali ia ingat kepada nama-nama Jaka Soka, Lawa Ijo, apalagi
Nagapasa, mungkin juga Pasingsingan, Sima Rodra tua, Bugel
Kaliki, hatinya berdesir. Tetapi ia mencoba untuk menyem-
bunyikan perasaannya. Dan sekali lagi ia mencoba untuk
membanggakan jumlah laskarnya.
“Satu seratus,” bisiknya di dalam hati. “Laskarku pasti masih
akan mempunyai banyak kelebihan.”
Dengan demikian Sawung Sariti menjadi sedikit tenang.
Sekali-kali ia menatap langit yang biru. Sehelai-helai awan yang
putih mengalir ke utara, seperti kapuk dihanyutkan angin. Putih
dan bersih. Tiba-tiba di balik awan yang bersih itu terbayang wajah
Arya Salaka. Alangkah cekatan tangannya memainkan tombaknya.
Disampingnya terbayang wajah yang meskipun memancarkan
kesejukan hatinya, namun suatu ketika wajah itu cepat menyala
melampui nyala api. Mahesa Jenar. Lalu apakah yang dapat
dilakukan oleh seorang yang berwajah angker yang selalu berada
bersama-sama dengan Mahesa Jenar? Orang itu ternyata pernah
menggemparkan laskarnya, ketika ia melindungi Bantaran di tanah
lapang, tempat orang-orang Banyubiru menyelenggarakan tayub.
Lalu terkenanglah ia kepada Wanamerta yang tua. Yang pada masa
kecilnya, pernah membelai kepalanya, mendukungnya di
punggung dan memberinya buah-buahan yang segar. Ketika awan
yang putih itu telah menjalar semakin jauh, muncullah segumpal
awan yang lain. Tiba-tiba tampaklah seolah-olah memandangnya
dengan segan seorang wanita, yang dikenalnya bernama Rara
Wilis. Wanita inipun bukan wanita kebanyakan yang berlari seperti
kijang apabila ia mendengar dentang senjata. Bahkan wanita ini
pernah diketahuinya, bertempur di antara laskar Gedangan
melawan laskarnya. Yang muncul kemudian adalah wajah yang
manis dari seorang gadis lincah. Endang Widuri. Ia melihat gadis
ini pertama-tama di Karang Tumaritis. Tetapi kemudian di
Gedangan, gadis ini dilihatnya pula sepintas. Namun, dalam
pertemuan yang sebentar itu, tertanamlah suatu perhatian yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 91
aneh kepadanya. Adakah gadis ini ikut serta di dalam laskar Arya
Salaka? Agaknya gadis inipun mampu mempermainkan senjata.
Ketika angin yang kencang bertiup dari pegunungan, awan
yang putih itu pecah berserakan, seperti hati Sawung Sariti yang
pecah pula. Nama-nama itu, Arya Salaka, Mahesa Jenar, Putut
Karang Jati, Wanamerta, Rara Wilis dan Endang Widuri itupun pada
suatu saat akan berdiri berhadapan untuk dilawannya. Apakah
pekerjaan ini lebih ringan daripada melawan orang-orang golongan
hitam?
“Satu seratus.” Kembali Sawung Sariti berdesis di dalam
hatinya. “Tetapi bagaimana dengan rakyat Banyubiru?” Suara
hatinya membantah sendiri, “Mereka agaknya masih tetap
menunggu kedatangan Arya Salaka. Dan merekapun pasti tak
akan dapat diabaikan.”
“Persetan!” Tiba-tiba hati Sariti mengumpat. “Semua harus
aku musnahkan. Baik golongan hitam maupun Arya Salaka.
Pamingit dan Banyubiru harus jatuh ke tanganku. Kemudian akan
aku kuasai Kedu Bagelan. Ke utara sampai ke Bergoto. Apalagi
kalau Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten telah berada di tanganku.”
Sawung Sariti tersenyum sendiri. “Eyang akan tahu nanti,
bahwa cucunya akan mampu menggulung dunia.” Suara itu
mengumandang di dalam otaknya, dibarengi oleh
mengumandangnya derap langkah laskarnya.
Di Banyubiru, sepeninggal laskar anaknya, Ki Ageng Sora
Dipayana berdiri terpaku memandang debu yang mengepul
dibelakang laskar itu. Meskipun ia masih tegak di alun-alun, namun
hatinya serasa pergi bersama-sama dengan pasukan yang akan
menghadapi pekerjaan yang cukup berat. Melawan laskar
golongan hitam. Setelah ekor dari iring-iringan telah lenyap di balik
tukungan, barulah ia beranjak dari tempatnya, dan sambil
menoleh kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Aku mengharap, bahwa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 91
peristiwa ini akan dapat mendorong anak itu menyadari
keadaannya.”
Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
“Marilah Angger....” ajak Ki Ageng Sora Dipayana, “Kita
kembali ke pendapa.”
“Aku sudah menduga bahwa golongan hitam akan mengambil
kesempatan ini,” kata Mahesa Jenar ketika mereka telah duduk
kembali di pendapa Banyubiru.
“Bagaimana Angger dapat mengetahuinya?” tanya Sora
Dipayana, meskipun sebenarnya untuk menduga hal itu tidaklah
sulit.
“Bahkan aku hampir pasti,” jawab Mahesa Jenar, “Karena itu
aku berusaha sedapat mungkin untuk menunda pertempuran.”
Mahesa Jenar berhenti sejenak sambil memandangi wajah Arya.
Tetapi anak itu menundukkan wajahnya. Kemudian terdengar
Mahesa Jenar meneruskan, “Namun darah yang mengalir di dalam
tubuh anak-anak muda memang masih terlalu panas. Bahkan
darah di dalam tubuhku inipun rasa-rasanya masih terlalu sering
mendidih.”
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Kebo Kanigara pun
tersenyum pula.
Kemudian Mahesa Jenar menceriterakan, apa yang selama ini
dialaminya di sekitar Candi Gedong Sanga. Kehadiran gerombolan
Lawa Ijo dan seorang berkuda yang meninggalkan tempatnya
menghilang di balik cakrawala ketika orang itu melihat laskar Arya
Salaka mendekati Banyubiru, kemarin.
“Golongan hitam pasti mengira bahwa pagi ini pertempuran
sudah berkobar di Banyubiru antara laskar Kakang Lembu Sora
melawan laskar Arya Salaka.” Mahesa Jenar mengakhiri
keterangannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 91
“Angger benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Untunglah
bahwa pertempuran di Banyubiru tertunda.”
“Tuhan Yang Maha Adil telah melaksanakan rencananya.
Menyelamatkan rakyat Banyubiru dan Pamingit dari kekuasaan
golongan hitam,” desis Mahesa Jenar. “Andaikata pertempuran
telah berkobar pagi ini, maka kedua laskar Pamingit dan Banyubiru
akan sama-sama hancur. Pamingit hari ini telah jatuh ke tangan
golongan hitam, lalu besok atau lusa Banyubiru inipun akan
mereka telan habis.”
Arya masih berdiam diri. Namun kini membayang kembalilah
di dalam pelupuk matanya, bagaimana gurunya berusaha mati-
matian untuk menunda pertentangan yang mungkin terjadi antara
laskarnya dengan laskar pamannya.
Arya kini dapat menyadari sepenuhnya, bahaya apakah yang
akan menimpa Pamingit dan Banyubiru apabila ia benar-benar
terlibat dalam pertempuran dengan pamannya. Di dalam hati Arya
berkali-kali mengucap syukur, serta berkali-kali ia menyebut
kebesaran nama Tuhan yang telah menunda pertempuran itu.
Dalam pada itu terasalah pada Arya Salaka beserta
rombongannya, betapa Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah.
Agaknya ia benar-benar tidak sampai hati melepaskan Ki Ageng
Lembu Sora dan Sawung Sariti pergi. Sebab iapun tahu bahwa
golongan hitam itu mempunyai orang-orang yang tak akan dapat
dilawan oleh anaknya, meskipun ia telah berusaha untuk menempa
anak serta cucunya siang dan malam.
Hal ini ternyata kemudian ketika orang tua itu akhirnya
berkata, “Arya Salaka. Meskipun kau telah berjanji untuk menunda
persoalanmu sampai waktu yang tak ditentukan, tetapi aku minta
kepadamu untuk mengawasi Banyubiru. Sebab siapa tahu, ada
orang-orang yang akan mengambil kesempatan, mempergunakan
kekosongan Banyubiru untuk memuaskan keinginan diri.
Merampas dan merampok. Jagalah keamanan Banyubiru atas
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 91
nama pamanmu Lembu Sora, sampai ada penjelasan yang mudah-
mudahan tak perlu mempergunakan kekerasan.”
Bagaimanapun juga, terasa dada Arya berdesir ketika ia harus
menjaga keamanan Banyubiru, tetapi atas nama pamannya.
Meskipun demikian ia benar-benar tidak mau mengecewakan
kakeknya. Karena itu ia menjawab, “Baiklah Eyang. Aku akan
menjaga Banyubiru sebaik-baiknya. Tidak hanya atas nama Paman
Lembu Sora, tetapi atas nama ayah Gajah Sora.”
Mahesa Jenar menarik nafas, sedang Ki Ageng Sora Dipayana
tersenyum. “Baiklah....” katanya, “Jagalah keselamatannya. Aku
terpaksa meninggalkan kalian. Bawalah sebagian dari laskarmu ke
dalam kota, supaya kota ini tidak akan menjadi kota yang kosong,
kota yang samasekali tak berkekuatan senjata. Siapa tahu, kalau
ada hal-hal yang gawat. Sebab golongan hitam itupun mempunyai
otak-otak yang cukup berbahaya.”
“Baiklah Eyang,” jawab Arya, “Akupun akan segera kembali ke
tengah-tengah laskarku sebelum tengah hari. Aku akan
menyerahkan sebagaian mereka. Tetapi biarlah Paman
Wanamerta untuk sementara memimpin daerah ini. Aku akan
tetap berada di antara anak buahku.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya. Ia
benar-benar menjadi kagum kepada Arya, yang telah meluluhkan
diri dengan laskarnya, sebagai ciri seorang pemimpin yang merasa
dirinya satu dengan anak buahnya. Sedang Wanamerta menjadi
terkejut karenanya. Katanya, “Apakah yang harus aku lakukan?
Bukankah Cucu Arya Salaka telah berada di sini?”
“Aku akan menepati kata-kataku,” jawab Arya. “Biarlah aku
melepaskan persoalan ini sampai Paman Lembu Sora selesai.
Namun demikian aku juga berjanji bahwa aku akan
menyelenggarakan keamanannya sampai paman selesai.”
“Cucu tidak perlu menarik garis pemisah antara yang
memerintah dan yang menyelenggarakan keamanannya,” Sahut
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 91
Wanamerta, “Sebab seorang kepala daerah perdikan harus
memegang kedua-duanya “
“Tetapi aku bukan kepala daerah perdikan, Eyang,” jawab Arya
Salaka.
“Baiklah Wanamerta,” potong Sora Dipayana. Ia tahu benar
perasaan apakah yang bergolak di dalam dada anak itu. Arya
Salaka agaknya benar-benar segan untuk mewakili pamannya,
sehingga baginya lebih baik untuk menyerahkannya saja kepada
orang lain. “Kau pun berhak untuk berlaku sebagai wakil Lembu
Sora Wanamerta.” Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan. “Hanya
untuk beberapa saat. Aku kemudian akan datang kembali.
Mencoba menyelesaikan masalah tanah ini.”
Kemudian, setelah pembicaraan itu selesai, minta diri kepada
Ki Ageng Sora Dipayana untuk menyusul anaknya ke Pamingit.
Mungkin tenaganya akan sangat dibutuhkan untuk menemui
tokoh-tokoh hitam dari angkatan tua. Sementara itu Arya Salaka
segera akan kembali pula ke tengah-tengah laskarnya. Katanya,
“Eyang Wanamerta, biarlah eyang tinggal di sini. Aku akan datang
kemudian dengan membawa beberapa orang yang akan
membantu Paman di sini.”
Wanamerta tidak dapat berkata lain, kecuali mengiyakan.
IV
Maka sesaat kemudian berangkatlah Ki Ageng Sora Dipayana,
menyusul laskar Pamingit, berkuda seorang diri. Sebagai seorang
yang cukup berpengalaman, ia segera dapat mengetahui, apa yang
harus dilakukan. Sedang Arya Salaka pun kemudian bersama-
sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, juga
meninggalkan kota dengan kuda masing-masing. Hanya
Wanamerta lah yang terpaksa ditinggalkan seorang diri di pendapa
Banyubiru dengan dua tiga orang pengawal yang tak berarti,
orang-orang Banyubiru yang selama ini ikut serta di dalam barisan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 91
Lembu Sora. Tetapi mereka samasekali belum pandai memegang
tangkai pedang.
Ketika kemudian Wanamerta tinggal sendiri di pendapa itu,
dipanggilnya salah seorang dari para pengawal itu, katanya,
“Kemarilah. Aku ingin mendapat keterangan dari kau.”
Orang itu menjadi ketakutan. Sebenarnya nyawa mereka
serasa telah lepas sejak pasukan Pamingit meninggalkan
Banyubiru. Mereka merasa seperti cacing yang dilepaskan di
tengah-tengah abu hangat. Mereka menjadi takut, bahwa orang-
orang Banyubiru akan balas dendam kepada mereka. Tetapi
agaknya wajah Wanamerta samasekali tidak menakutkan. Karena
itu salah seorang darinya datang mendekat dengan sangat
hormatnya. “Ada perintah, Kiai…?” ia bertanya.
“Kemarilah, duduklah,” kata Wanamerta.
Orang itu ragu sebentar. Namun ia akhirnya naik, dan duduk
di depan Wanamerta.
“Berapa orang kalian?” tanya Wanamerta.
“Tiga orang di regol Kiai, di ujung alun-alun tiga orang di setiap
jalan masuk,” jawabnya.
“Siapakah pemimpinmu?” Wanamerta bertanya pula.
“Kerta Pitu,” jawab orang itu.
Wanamerta mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
“Jalankan pekerjaanmu baik-baik, tetaplah waspada. Laporkan
yang perlu kepadaku.”
Orang itu mengangguk hormat. “Baik Kiai,” jawabnya.
“Nah, kembalilah,” kata Wanamerta selanjutnya.
Orang itu pun segera kembali ke tempatnya. Seorang yang lain
telah disuruh oleh Wanamerta memanggil Kerta Pitu untuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 91
diberinya beberapa keterangan. Kerta Pitu harus menempatkan di
setiap gardu penjagaan seorang berkuda yang harus menjadi
penghubung setiap ada persoalan-persoalan penting. Meskipun
sebenarnya Wanamerta terlalu cemas, karena kira-kira limapuluh
pengawal yang belum mampu untuk bertempur itu bagi Banyubiru
adalah kekuatan yang samasekali tak berarti. Beberapa orang
yang telah cukup kuat, ternyata dibawa di dalam laskar Lembu
Sora untuk memperkuat laskar Pamingit. Meski demikian
Wanamerta menjadi sedikit tenang ketika diingatnya bahwa di
perbatasan berbaris dalam kesiagaan tempur laskar Arya Salaka
yang selalu akan menolongnya apabila bahaya datang. Malahan
Arya Salaka telah menyanggupkan diri untuk membawa beberapa
orang laskarnya ke dalam kota dan menjaga keselamatan tanah
ini dari segala yang mungkin akan mengancam. Tetapi ia harus
menunggu sampai laskar itu datang. Mungkin malam nanti,
mungkin besok pagi. Ia mengharap dalam waktu yang singkat
tidak akan terjadi sesuatu.
Ketika Wanamerta telah selesai memberikan beberapa
petunjuk, serta Kerta Pitu telah meninggalkan pendapa itu untuk
melaksanakan, Wanamerta pun masuk ke dalam rumah kepala
daerah perdikan Banyubiru itu. Beberapa orang pelayan, yang
berada di dalam rumah itu sejak masa Ki Ageng Gajah Sora, masih
berada di rumah itu pula, sedang beberapa orang lain adalah
orang-orang baru. Namun demikian, apa yang dilihatnya kini,
adalah jauh berbeda dari kira-kira lima-enam tahun yang lalu. Dulu
ia berada di dalam rumah itu seperti di dalam rumahnya sendiri.
Bahkan ia telah mengenal dengan baik hampir segenap sudut-
sudutnya. Dulu, ketika Nyai Ageng Gajah Sora masih ada,
tampaklah rumah ini bersih dan terawat rapi. Tetapi kini rumah itu
menjadi seakan-akan tak berpenghuni. Tampaklah sarang labah-
labah bergayutan di langit-langit, di setiap sudut dan bahkan
hampir di setiap lekuk-lekuk dindingnya. Hitam-hitam langes dari
lampu-lampu minyak, membekas mengotori dinding dan tiang-
tiangnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 91
Melihat perubahan itu Wanamerta menekan dadanya. Keadaan
rumah ini benar-benar menggambarkan keadaan seluruh tanah
perdikan Banyubiru. Kotor dan tak terawat. Tetapi ia tidak
mempunyai wewenang untuk berbuat lebih jauh. Ia tidak berhak
mengumpulkan para bahu, kepala-kepala dukuh dan para pamong
desa lainnya. Ia tidak mempunyai kekuasaan untuk mengadakan
peraturan-peraturan baru atau perubahan-perubahan apapun.
Sebab ia hanya berada di rumah itu untuk sementara. Mungkin
sangat singkat. Seandainya malam nanti Ki Ageng Lembu Sora
telah selesai dengan pekerjaannya, besok mereka pasti akan
datang kembali. Mungkin dengan pasukan, dan mungkin harus
bertempur melawan orang itu. Karena itu, yang dapat dilakukan
adalah membiarkan segala sesuatu berjalan seperti biasa. Ia
hanya dapat memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam
batas-batas tertentu. Meskipun demikian, seandainya Lembu Sora
memerlukan waktu yang lama dalam perlawannya atas orang-
orang hitam itu, iapun bermaksud untuk berbuat lebih banyak lagi.
Ketika hari semakin siang, dan terik matahari seperti
membakar rumput di alun- alun, Wanamerta bermaksud untuk
beristirahat. Tetapi baru saja ia meletakkan tubuhnya di bale-bale
bambu di pringgitan rumah itu, terdengarlah seorang pengawal
naik ke pendapa, sambil berdiri di depan pringgitan ia berkata,
“Kiai, seseorang ingin bertemu dengan Kiai.”
“Siapa?” tanya Wanamerta sambil bangkit.
“Sontani,” jawab orang itu.
“Sontani…?” ulang Wanamerta, “Apakah keperluannya?”
“Ya, Sontani. Aku tak tahu apa yang akan disampaikan kepada
Kiai. Ia ingin berbicara langsung,” jawab pengawal itu.
Wanamerta berpikir sejenak. Apakah yang akan dilakukan?
Barangkali ia akan membalas dendam sakit hatinya, ketika ia
terpaksa menelan keadaan yang pahit di tanah lapang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 91
“Sendiri...?” tanya Wanamerta pula.
“Tidak Kiai,” jawab orang itu, “Dengan anak-isterinya.”
“He…?” Wanamerta terkejut. “Dengan anak-isterinya?”
Orang itu mengangguk. “Ya.”
“Baiklah, aku datang,” kata Wanamerta kemudian. Namun
demikian ia masih ragu. Apakah maksud kedatangan orang itu.
Kalau saja ia bermaksud jahat, tak akan ia membawa anak-
isterinya. Meskipun demikian, iapun tidak boleh kehilangan
kewaspadaan. Tetapi Sontani bukanlah orang yang harus ditakuti.
Ketika Wanamerta muncul di pintu, dilihatnya Sontani benar-
benar dengan isteri dan seorang anaknya duduk di pendapa.
Demikian Sontani melihat Wanamerta, segera ia berlari
terbongkok-bongkok dan langsung bertiarap di kaki orang tua itu,
sambil berkata meratap, “Kiai, ampunilah segala dosa-dosaku. Aku
merasa bahwa aku telah bersalah terhadap Kiai, terhadap
Banyubiru dan terhadap Anakmas Arya Salaka. Tetapi semuanya
itu adalah karena terpaksa. Aku sebenarnya samasekali tak ingin
untuk sesuatu kedudukan apa pun. Dan sekarang aku
menyerahkan kembali semua jabatan yang pernah aku terima dari
Lembu Sora, orang yang terkutuk itu. Orang yang telah merampas
ketentraman hidup keluargaku. Sebab bagiku, segala jabatan itu
tak akan berarti, selama aku tidak dapat menunjukkan
kesetiaanku kepada kampung halaman ini. Biarlah Ki Bakung
kembali kepada jabatannya, Bahu Lemah Abang. Dengan demikian
Lemah Abang akan menjadi tentram kembali setelah Lembu Sora
mengacaunya. Biarlah orang terkutuk itu disambar petir, atau mati
dicincang oleh orang-orang dari Gunung Tidar atau Rawa Pening,
atau….” Suara Sontani terputus oleh kata-kata Wanamerta,
“Jangan salahkan Lembu Sora, Sontani. Dan jangan kau umpati
orang itu, sebab Lembu Sora adalah paman Arya Salaka. Putra Ki
Ageng Sora Dipayana yang kita hormati.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 91
Sontani terkejut seperti disengat kelabang. Perlahan-lahan ia
bangkit dan duduk di depan Wanamerta yang masih berdiri dipintu.
Ia tidak tahu kenapa Wanamerta tidak mau mengutuk Lembu
Sora. Bukankah Lembu Sora telah mengkhianati Banyubiru?
Karena itu tiba-tiba keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya.
Sontani menjadi bingung. Bagaimanakah tanggapan yang
sebenarnya dari Wanamerta terhadap Lembu Sora? Ketika untuk
beberapa saat Wanamerta masih berdiam diri, berkatalah Sontani
dengan suara gemetar. “Kiai, kenapa Kiai tidak mengutuk Lembu
Sora yang telah memecah belah rakyat Banyubiru?”
“Lembu Sora telah berjuang untuk suatu cita-cita. Dihadapinya
segala akibat dari perjuangannya. Ia tidak takut mati karena cita-
citanya itu. Meskipun jalan yang ditempuhnya tidak benar,
malahan bertentangan dengan keadilan, namun ia dapat dihormati
karena keberaniannya,” jawab Wanamerta. Kemudian ia
melanjutkan, “Sedang ada orang lain yang mencoba untuk
mendapatkan keuntungan dari perjuangan Lembu Sora itu. Ia
bersujud di bawah kakinya selagi kesempatan memungkinkan.
Tetapi kalau keadaan menjadi suram, maka ia akan mencoba
untuk menghindar, meloncat untuk menyesuaikan diri dengan
keadaan baru. Seperti seekor bunglon yang dapat berwarna hitam
kalau ia berada di cabang yang hitam, dan berwarna hijau kalau ia
hinggap di atas daun-daun yang segar.”
Sontani benar-benar menjadi gemetar. Sekali dua kali ia
menoleh kepada isteri dan anaknya, yang memandangi dengan
cemas. Tetapi Sontani masih belum berputus asa. Ketika
Wanamerta masih tegak berdiri, dan memandang ke arah cahaya
terik matahari yang berserak-serak dihalaman, maka tiba-tiba
Sontani berkata, “Kiai, entahlah apa yang dibawa oleh isteriku.
Barangkali Kiai akan dapat menerimanya dengan senang hati,
sebagai persembahan seorang kawula yang setia mengabdi diri
kepada Kiai.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 91
Wanamerta tidak sempat menjawab. Sontani dengan
terbongkok-bongkok bangkit dan melangkah turun dari pendapa.
Ketika ia naik lagi, di tangannya telah tersangkut sebuah
bungkusan yang besar.
“Kiai....” katanya setelah ia berjongkok kembali di hadapan
Wanamerta, “Terimalah tanda kesetiaanku ini.”
Wanamerta memandang Sontani dengan pandangan yang
kosong. Ia bersedih hati, ketika ia melihat kenyataan bahwa di
Banyubiru ada seseorang yang berjiwa seperti orang yang
berjongkok dihadapannya itu. Ia lebih hormat kepada Lembu Sora,
kepada Sawung Sariti, yang dengan gigih bekerja keras untuk
mencapai tempat yang setinggi-tingginya buat dirinya sendiri,
meskipun berdosalah mereka yang mengorbankan orang lain
untuk kepentingan dan kesenangan diri.
Wanamerta masih belum berkata apapun ketika Sontani
membuka bungkusan itu dengan penuh harapan. Kalau
Wanamerta berkenan dihatinya, ia pasti dapat mempengaruhi Arya
Salaka. Mungkin ia tidak akan mendapat sesuatu hukuman,
bahkan mungkin ia akan tetap berada pada kedudukan yang
sekarang, Bahu di Lemah Abang.
Ketika bungkusan itu telah terbuka, Wanamerta melihat
beberapa potong kain lurik didalamnya. Bahkan ia melihat sehelai
sutera yang bagus dan mahal. Ia melihat sebuah pendok keris dari
emas, dan beberapa benda-benda lain yang berharga.
“Kiai,” Sontani meminta, “Adalah suatu karunia yang tiada
taranya kalau Kiai sudi menerima barang-barang yang samasekali
tak berarti ini.”
Hati Wanamerta menjadi bertambah suram. Dan kesuraman
hatinya itu terbayang di wajahnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 91
Sekali lagi ia memandang bungkusan itu. Ketika berkilat
cahaya intan dibalik lipatan kain-kain itu, hatinya berdesir.
Agaknya Sontani membawa pula timang tretes intan berlian.
“Alangkah banyaknya barang-barang yang kau bawa Sontani”,
berkata Wanamerta.
Sontani menjadi bergembira mendengar perhatian itu. Apakah
artinya barang- barang itu dibanding dengan nyawanya?
“Tidak seberapa Kiai. Aku bukanlah orang yang cukup kaya
untuk mempersembahkan barang-barang yang cukup bernilai”,
jawab Sontani. Harapannya tiba-tiba menjadi tumbuh.
“Hampir seluruh umurku aku bekerja keras. Namun aku tak
akan mampu mendapatkan barang-barang yang kau bawa itu,”
sahut Wanamerta.
“Mudah-mudahan lain kali aku dapat menambahnya dengan
barang-barang yang tak bernilai lainnya”, jawabnya. Ia mengharap
Wanamerta membungkuk dan membuka lipatan-lipatan kain,
mengamat-amati pendok emas dan timang tretes intan berlian itu.
Tetapi untuk beberapa saat Wanamerta masih tegak seperti tiang-
tiang pendapa rumah itu, sehingga akhirnya Sontani menjadi
bingung. Bajunya telah basah oleh keringat yang mengalir semakin
deras.
Kemudian Sontani menjadi kecewa. Sangat kecewa, ketika
Wanamerta berkata, “Sontani, darimanakah kau dapatkan barang-
barang itu?”
“Aku telah bekerja keras selama ini Kiai,” jawab Sontani
terbata-bata.
“Aku juga bekerja keras selama ini. Bantaran juga, Penjawi,
Sendang Papat, Jaladri dan orang-orang lain. Tetapi mereka tidak
dapat, jangankan benda-benda serupa itu, sebagian kecilpun tak
dimilikinya”, berkata Wanamerta. Sontani menjadi bingung. Ia
tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dalam kebingungan itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 91
terdengarlah Wanamerta berkata, “Sontani, aku mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya atas pemberianmu itu”,
Wanamerta berhenti sejenak, sedang Sontani menengadahkan
wajahnya. Tetapi Wanamerta meneruskan, “Namun sayang, aku
tak dapat menerimanya. Serahkanlah barang-barang itu kembali
kepada asalnya. Bukankah kau dapat membeli barang-barang itu
karena kau menjabat Bahu Lemah Abang. Karena kau memeras
rakyat Lemah Abang untuk kepentinganmu dan kepentingan
Lembu Sora? Bukankah kau dapatkan barang-barang itu karena
rakyatmu kelaparan? Nah Sontani. Kalau kamu ingin menebus
kesalahanmu, setidak-tidaknya mengurangi, kembalikan barang-
barang itu. Kepada mereka yang berhak. Tidak kepadaku. Tidak
kepada cucu Arya Salaka.”
Sontani menjadi semakin bingung. Mulutnya kini benar-benar
terkunci. Ia masih berjongkok pada kedua lututnya dengan
gemetar, dan Wanamerta masih berdiri dipintu pringgitan.
“Sontani”, terdengar kembali suara Wanamerta, “ada seribu
jalan yang dapat kau tempuh untuk menyerahkan kembali barang-
barangmu itu. Kau dapat membantu mereka dengan alat-alat
pertanian. Kau dapat mendirikan untuk mereka gubug-gubug yang
lebih baik, banjar-banjar desa dan tempat ibadah yang layak.”
Mendengar kata-kata Wanamerta itu, jantung Sontani serasa
membeku dan darahnya serasa berhenti mengalir. Tetapi nafasnya
satu-satu berloncatan lewat lubang- lubang hidungnya. Betapa
panas udara siang ini, namun rasa-rasanya hembusan nafasnya
jauh lebih panas dari panasnya udara.
Tiba-tiba terdorong oleh kegelisahan yang bergelora didalam
dadanya ia berkata putus-putus, “Tetapi, tetapi Kiai, bukankah Kiai
memerlukan barang-barang ini?”
Wanamerta menggeleng lemah, jawabnya, “Tidak, Sontani.”
Dalam kebingungan Sontani mendesak, “Kiai, bukankah Kiai
sendiri berkata bahwa Kiai tidak pernah dapat memiliki barang-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 91
barang serupa ini meskipun Kiai bekerja keras dan membanting
tulang hampir seumur hidup Kiai. Dan sekarang aku datang untuk
mengantarkannya kepada Kiai. Bukankah waktu yang pendek ini
akan jauh lebih berharga daripada hampir seumur hidup Kiai?”
Wanamerta menarik nafas. Perlahan-lahan terdengar ia
menjawab, “Sontani, kau dan aku mempunyai perbedaan
kebutuhan dalam menjalani hidup ini. Aku merasa berbahagia
karena aku tidak akan dapat memiliki benda-benda serupa itu.
Sebab dalam kemiskinan, aku akan dapat menikmati kekayaan.
Miskin akan benda-benda duniawi, tetapi aku merindukan
kekayaan dihari-hari yang abadi. Sebab kekayaan duniawi melulu,
tak akan ada artinya di harapan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
menentukan akan datangnya masa, dimana manusia bertanggung
jawab kepada-Nya.
Sedangkan kau agaknya telah terjerumus ke dalam kekuasaan
nafsu duniawi. Tetapi kau tak akan pernah merasa bahagia
karenanya. Bahagia yang abadi. Kebaktian kepada Tuhan Yang
Maha Esa, dan pengabdian kepada titah yang dikasihi-Nya,
manusia. Dengan demikian hidupmu akan menjadi terasing.
Terasing dari rasa kasih. Kasih antara manusia dan kasih yang
dilimpahkan Tuhan kepadamu. Karena itulah maka kau semakin
dalam membenamkan dirimu ke dalam timbunan benda-benda
serupa itu.”
Sontani merasa seolah-olah terlempar ke dalam suatu keadaan
yang tak dikenalnya. Hitam dan kelam. Tetapi di titik yang sangat
jauh tampaklah cahaya yang terang menyorot langsung ke dalam
jiwanya. Cahaya itu semakin lama menjadi semakin tenang,
bahkan kemudian ia menjadi silau karenanya.
Akhirnya sekali lagi ia bertiarap di hadapan kaki Wanamerta.
Kali ini ia benar-benar tak dapat menahan keharuannya. Sontani,
yang pernah menjabat Bahu pedukuhan Lemah Abang, yang
pernah dengan kekerasan mendesak kedudukan Kiai Bakung itu,
tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dengan keduabelah tangannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 91
ia menutup wajahnya. Ia menjadi sangat malu karena usahanya
untuk menyuap Wanamerta.
Wanamerta sadar bahwa
kata-katanya tepat menyen-
tuh perasaan Sontani, maka ia
meneruskan, “Sontani. Pu-
langlah. Bawalah benda-benda
yang samasekali tidak berarti
bagiku itu. Kembalikan mere-
ka kepada yang berhak
dengan bijaksana. Cepatlah
sebelum Arya Salaka datang
dan melihat caramu yang
samasekali tidak disukainya
itu. Ia masih terlalu muda
untuk dapat berbuat seperti
aku.”
Sontani perlahan-lahan
bangkit dan duduk bersila di
hadapan orang tua itu. Anak-isterinya yang gelisah, me-
mandanginya dengan penuh pertanyaan di dalam kepalanya.
Ketika detak jantung Sontani telah menjadi tenang kembali,
maka hatinya menjadi tenang. Tiba-tiba ia menjadi tidak takut lagi
kepada Wanamerta, juga kepada Arya Salaka. Tidak takut untuk
menerima dendamnya. Di dalam dadanya, kini tersimpanlah suatu
tekad untuk menebus nodanya. Meskipun seandainya ia harus
digantung di tengah-tengah beringin kurung.
“Kiai...” katanya kemudian, “Aku akan pulang ke Lemah
Abang. Aku akan coba untuk memenuhi pesan Kiai Wanamerta.
Menyerahkan kembali barang-barang ini kepada yang berhak.
Seterusnya, seandainya Anakmas Arya Salaka datang, dan
menghendaki hukuman atas pengkhianatanku, aku tidak akan
membela diri. Apa pun yang akan ditimpakan atasku, akan aku
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 91
jalani dengan ikhlas, meskipun seandainya aku akan dihukum
mati.”
Wanamerta menggeleng. Jawabnya, “Percayalah Sontani.
Darah Banyubiru bukanlah darah yang haus akan pembalasan
dendam dan pembunuh. Mungkin kau akan terbunuh oleh pedang
yang bersarang di dalam dadamu, seandainya kau tetap pada
pendirianmu. Tetapi kau telah menemukan jalan kembali.
Kembalilah. Tuhan Maha Pengampun.”
Sekali lagi Sontani bersujud di hadapan Wanamerta. Tetapi
Wanamerta menahannya, dan dengan ramah ia berkata, “Jangan
bersujud kepadaku. Duduklah bersama anak dan isterimu, aku
akan duduk bersama-sama dengan kalian.”
Tetapi Sontani menolaknya. Ia akan meninggalkan pendapa itu
sebelum Arya Salaka datang seperti yang dinasihatkan oleh
Wanamerta. Sehingga dengan demikian iapun segera minta diri
beserta anak-isterinya yang samasekali tidak mengerti persoalan
yang bergolak di dada suaminya.
Sepeninggal Sontani, kembali Wanamerta membaringkan
dirinya untuk beristirahat. Terbayanglah betapa kemunduran lahir
dan batin dari tanah perdikan ini. Sontani adalah salah satu dari
sekitar banyak orang yang kehilangan kepribadiannya. Mungkin
masih banyak orang lain yang justru lebih parah daripadanya.
Ketika kemudian ia tertidur karena lelahnya, mendadak ia
terbangun oleh derap kaki kuda. Cepat ia bangkit dan meloncat ke
pintu. Ia masih sempat melihat seekor kuda lari dengan
kencangnya memasuki halaman. Kemudian seorang pengawal
meloncat turun dan langsung datang kepadanya. Dengan tergesa-
gesa pengawal itu berkata, “Kiai, laskar di perbatasan bergerak
mendekati kota.”
Wanamerta tidak terkejut karenanya. Ia tahu persis, laskar
Arya Salaka yang akan membantu mengamankan kota. Karena itu
ia bertanya, “Semua…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 91
“Tidak Kiai,” jawab orang itu. “Hanya sebagian.”
“Kau tahu, siapa pemimpinnya?” tanya Wanamerta pula.
“Entahlah,” jawab orang itu sambil menggeleng.
“Jemputlah mereka, dan bawalah mereka kemari,” kata
Wanamerta kemudian.
Orang itu ragu sebentar, tetapi kemudian iapun segera
berangkat melakukan perintah itu.
Di sepanjang jalan, hatinya diliputi oleh kecemasan, seperti
pada saat ia melihat laskar Pamingit meninggalkan kota. Apakah
yang akan dilakukan oleh laskar di perbatasan itu atasnya, dan
atas orang-orang Banyubiru yang lain, yang ikut serta dalam
kelaskaran Lembu Sora…?
Ketika ia melewati gardu penjagaan kedua, tiga orang yang
bertugas di gardu itu telah menghilang. Pengawal berkuda itu tahu
bahwa mereka akan berusaha menyembunyikan diri mereka,
karena mereka takut akan pembalasan. Dengan demikian
pengawal itu menjadi semakin ragu. Dalam keraguan itu kudanya
berlari terus. Maka sebelum ia mengambil keputusan, pengawal itu
telah sampai di gardu pertama. Ia menjadi berlega hati ketika di
gardu itu, masih dilihatnya empat orang berjaga-jaga.
Untuk meyakinkan pendiriannya, pengawal itu berhenti
sejenak. Kepada orang-orang di gardu itu ia berkata, “Gardu kedua
telah kosong.”
“Kosong?” tanya orang-orang di gardu pertama itu. “Kenapa?”
“Aku kira mereka takut,” jawab pengawal berkuda itu.
“Takut apa?” tanya orang-orang di gardu.
“Kalau laskar Arya Salaka itu datang, ada kemungkinan
mereka akan ditangkap dan dihukum. Juga kita semua,” jawabnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 91
Tiba-Tiba salah seorang dari mereka berempat itu tertawa.
Dengan lantang ia berkata, “Jangan takut. Mereka tidak akan
berbuat apa-apa selama mereka masih berada di bawah pimpinan
Arya Salaka.”
“Kau yakin?” tanya pengawal berkuda itu.
“Jangankan kita, orang-orang Banyubiru. Terhadap orang
Pamingit pun Arya Salaka tidak berbuat sesuatu. Pimpinan gardu
ini semalam telah mengalami perlakuan yang tak disangka-sangka
dari Arya Salaka. Meskipun orang itu dibawa serta, namun ia
akhirnya kembali dengan selamat, justru pada saat kita telah
memukul tanda bahaya untuk menangkap anak muda itu.”
Pengawal yang masih duduk di atas kudanya itu masih ragu-
ragu juga. Ia mendatangi orang yang berceritera itu, yang tidak
lain adalah Ira, dengan sorot mata yang bertanya-tanya. Sehingga
terdengar Ira menjelaskan, “Aku menjadi jaminan bagi kalian.
Kalau orang-orang yang ikut serta dalam laskar Arya Salaka itu
mendendam kalian, akulah yang pertama-tama akan naik ke tiang
gantungan.”
Orang yang bertugas untuk menjemput laskar yang semakin
lama semakin dekat itupun menjadi percaya, meskipun hatinya
masih gelisah. “Baiklah....” katanya, “Mudah-mudahan katamu
benar.”
Kemudian ia memacu kudanya kembali, ke arah kepulan debu
putih di depan mereka. Kuda itupun melemparkan debu yang putih
pula, yang kemudian lenyap dihembus angin pegunungan.
Semakin dekat orang berkuda itu dengan barisan yang
mendatang, hatinya menjadi semakin gelisah. Ketika kudanya
telah berada beberapa ratus langkah lagi, ia menghentikannya.
Kembali ia menjadi ragu-ragu. Jangan-jangan orang-orang yang
berada di dalam barisan itu akan bersama-sama menyerangnya
dan beramai-ramai mencincangnya sebagai seorang pengkhianat.
Tetapi kalau diingatnya kata-kata Ira, ia menjadi agak tenang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 91
Demikianlah ketika barisan yang mendatang itu sudah semakin
dekat, orang itu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi
sebagai suatu pernyataan bahwa ia tidak sedang menggenggam
senjata.
Di ujung barisan itu, seorang anak muda yang duduk di atas
punggung kuda mengangkat tangannya pula.
Melihat anak muda itu, dada pengawal itu berdesir. Ia tidak
salah lagi. Pasti anak muda itulah Arya Salaka. Dengan demikian
ia menjadi berdebar-debar. Di samping anak muda itu, dilihatnya
seorang gadis yang juga duduk di punggung kuda. Tetapi ketika ia
melihat seorang yang berjalan dibelakangnya, kembali ia menjadi
gelisah. Orang itu adalah Bantaran.
Ketika barisan itu sudah semakin dekat lagi, meloncatlah ia
turun dari kuda, dan dengan hormatnya ia membungkukkan
dirinya.
Arya memandang orang itu dengan seksama. Ia pun
mengangguk pula.
“Tuan....” kata pengawal itu dengan hormatnya, “Aku
menjalankan perintah Kiai Wanamerta untuk menjemput Tuan,
dan membawa Tuan ke halaman rumah Ki Ageng Lembu Sora.”
Arya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Haruskah aku
pergi ke Pamingit?” Pengawal itu menjadi heran, jawabnya, “Tidak
Tuan. Rumah Ki Ageng Lembu Sora di Banyubiru.”
“Adakah Ki Ageng Lembu Sora mempunyai rumah di
Banyubiru?” tanya Arya.
“Ada Tuan, di sebelah alun-alun,” jawab pengawal itu. Ia
menjadi bingung oleh pertanyaan Arya.
”Rumah itu adalah rumahku. Bukan rumah Ki Ageng Lembu
Sora,” jawab Arya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 91
Berdentanglah jawaban Arya Salaka itu ditelinganya. Benar,
rumah itu memang milik rumah Ki Ageng Gajah Sora. Maka dengan
cepatnya ia membetulkan kata-katanya, “Tuan benar. Kiai
Wanamerta menunggu Tuan di rumah Tuan sendiri.”
“Apakah kau dari laskar Paman Lembu Sora?” tanya Arya.
Pertanyaan itu sungguh tidak menyenangkan. Tetapi itu adalah
karena kesalahannya. Sebab selama ini ia memang menganggap
bahwa rumah itu adalah rumah Ki Ageng Lembu Sora. Pengawal
itu menjadi gelisah. Badannya mulai dialiri oleh keringat dingin dari
punggungnya. Ternyata dalam keadaan yang sulit itu ia kurang
berhati-hati. Ia merasa bahwa ia telah menggali lubang untuk
dirinya sendiri. Akhirnya ketika ia tak dapat berbuat lain maka
iapun menjawab, “Ya, Tuan.” Suaranya gemetar. Kini ia tinggal
menunggu apakah yang akan dilakukan oleh anak muda itu, atau
oleh orang yang berdiri di belakangnya, atau oleh seluruh barisan
itu. Mungkin mereka akan melemparinya dengan batu sampai
mati, atau mungkin mengikatnya di belakang kuda itu dan
menariknya sepanjang jalan. Tetapi kalau demikian, ia tidak
berteriak di gardu pertama, bahwa Ira-lah yang pertama-tama
akan naik ke tiang gantungan.
Ketika untuk beberapa saat Arya Salaka masih berdiam diri, ia
menjadi semakin tegang dan gelisah. Sekali-kali ia mencuri
pendang ke arah wajah anak muda itu, namun ia tidak dapat
mengetahuinya, apakah yang tersirat di wajahnya itu.
Tiba-tiba di dalam kegelisahannya ia mendengar jawaban yang
mengejutkan, bahkan hampir tak dipercayainya. “Marilah. Naiklah
ke punggung kudamu. Berjalanlah di depan.”
Untuk sesaat ia terpaku. Dengan termangu-manggu ia
memandang Arya Salaka yang masih duduk di atas kudanya
dengan tenang. Ketika tampak wajah anak muda itu tanpa
berkesan kemarahan, barulah ia percaya pada telinganya.
Perlahan-lahan ia mendekati kudanya, dan meloncat ke atasnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 91
Karena getar kakinya, maka barulah loncatan kedua ia berhasil
duduk di punggung kudanya. Kemudian perlahan-lahan pula ia
memutar kuda itu dan berjalan mendahuluinya.
Kembali barisan itu berjalan maju mendekati kota. Akhirnya
mereka sampai juga di gardu pertama. Keempat penjaganya
berdiri berjajar dengan tegak. Ira lah yang bertanggung jawab atas
keselamatan mereka, sehingga meskipun dengan gemetar mereka
tidak melarikan diri.
Arya melihat keempat orang itu. Tetapi ia tidak berbuat
sesuatu. Bahkan ia segera dapat mengenal Ira. Dengan tersenyum
ia berkata, “Ira, tidakkah kau ikut Paman Lembu Sora ke
Pamingit?”
Ira membungkuk hormat, jawabnya, “Tidak Tuan. Aku lebih
senang menunggu kedatangan tuan di sini.”
“Terima kasih,” jawab Arya, “Agaknya Paman Lembu Sora
memang tak memerlukan kau.”
“Aku bersenang hati kalau demikian,” jawab Ira.
“Tetapi kau tidak akan bersenang hati kalau itu terjadi kemarin
atau lusa,” sahut Arya Salaka.
Ira diam. Memang ia tidak akan bersenang hati. Sebab dengan
demikian berarti ia kehilangan mata pencahariannya. Sungguh
lucu. Tetapi ia diam saja. Ia tidak berkata apa-apa ketika Arya
menjadi bertambah jauh. Ia melihat di belakang Arya Salaka itu
seorang yang baginya sangat menakutkan. Bantaran. Mudah-
mudahan Bantaran pun tidak mendendamnya.
Akhirnya barisan itu sampai juga di halaman rumah kepala
perdikan Banyubiru. Wanamerta menerima mereka dengan
perasaan lega. Kalau ada apa-apa kini, ia tidak cemas lagi.
Segera dipersilakannya Arya Salaka naik ke pendapa. Di
samping Arya Salaka, duduk dengan wajah yang cerah, putri Kebo
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 91
Kanigara, Endang Widuri. Ia mendapat izin dari ayahnya untuk
mengikuti anak muda itu mengantarkan laskarnya ke Banyubiru.
Kemudian Bantaran duduk bersama mereka. Sesudah mereka
mengadakan pembicaraan singkat, segera Bantaran membagi
pekerjaan kepada laskarnya yang berjumlah 100 orang itu. Mereka
disebar di seluruh kota dengan pesan, pekerjaan mereka adalah
mengamankan dan melindungi rakyat Banyubiru. Bukan menakut-
nakuti. Terhadap laskar Banyubiru yang ditinggalkan oleh Lembu
Sora, mereka harus bersikap baik. Dengan demikian mereka harus
memberi kesan, bahwa kehadiran mereka benar-benar
memberikan suasana baru. Suasana yang tenang, tentram dan
damai.
“Kalian kali ini adalah tenaga-tenaga suka rela untuk
membantu Ki Ageng Lembu Sora menjaga ketentraman tanah ini.
Namun kalian harus menunjukkan bahwa kalian mempunyai
tanggungjawab atas pekerjaan kalian. Kalian harus membuktikan
bahwa jiwa kalian berbeda dengan jiwa laskar Ki Ageng Lembu
Sora sendiri. Junjung tinggi namamu dan nama pemimpinmu.”
Arya Salaka menekankan setiap kata kepada laskarnya.
Ketika laskar itu mulai berpencaran, terdengarlah suara riuh
hampir di seluruh jalan-jalan di dalam kota. Rakyat Banyubiru
menyambut kedatangan laskar itu dengan keriangan yang
bergelora. Mereka melihat laskar yang berjalan dalam kelompok-
kelompok kecil itu sebagai pelindung mereka.
V
Kecuali laskar yang diserahkan kepada Wanamerta, yang
dipimpin langsung oleh Bantaran, Arya Salaka telah menugaskan
Penjawi dan Jaladri untuk pergi ke Pamingit. Mereka mendapat
tugas untuk mengetahui, sampai di mana kekuatan golongan
hitam. Mereka harus menyaksikan pertempuran yang terjadi
antara laskar Lembu Sora dan laskar hitam, dan kemudian kembali
kepada Arya Salaka untuk melaporkan hasilnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 91
Malam itu Arya dan Endang Widuri bermalam di rumah Arya
yang telah ditinggalkan hampir enam tahun. Banyaklah yang dapat
diceriterakan kepada gadis itu tentang rumah ini. Ia dapat
menunjukkan di mana ia pada saat itu berhasil membunuh seorang
yang akan mengambil pusaka-pusaka simpanan ayahnya, namun
ia sendiri terpukul dan pingsan karenanya. Ia dapat menunjukkan
pula, ke mana ia melarikan diri ketika tiba-tiba rumah ini diserang
oleh laskar yang tak dikenalnya. Ketika ia telah berhasil
membunuh salah seorang dari mereka, tiba-tiba ia dikeroyoknya.
Untunglah Penjawi datang tepat pada saatnya. Widuri
mendengarkan ceritera itu, dengan penuh minat. Ia menjadi
terharu mendengarkan ceritera pengalaman yang pernah dijalani
oleh Arya Salaka pada umurnya yang masih sangat muda.
“Kalau malam ini mereka datang kembali....” kata Arya Salaka,
“Aku tak perlu berlari-lari lagi.”
“Kau telah merasa dirimu tak terkalahkan?” sahut Widuri.
“Tidak,” jawab Arya. “Sebab sekarang ada kau. Bukankah
kalungmu itu menakutkan orang?”
Widuri mencibirkan bibirnya, katanya kepada Wanamerta yang
duduk bersama mereka, “Apakah Eyang takut juga kepada
kalungku ini?”
Wanamerta tertawa. Jawabnya, “Aku tidak. Sebab aku tak
bermaksud jelek. Entahlah cucu Arya Salaka.”
“Ah....” Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah. Ia tidak tahu
apa sebabnya. Sedang Arya pun tiba-tiba menundukkan wajahnya.
Ketika keadaan menjadi sepi, terdengarlah di kejauhan
gonggong anjing liar yang berkeliaran di lereng-lereng
pegunungan. Dari selatan mengalirlah angin pegunungan
membawa udara yang sejuk.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 91
“Cucu Widuri....” kata Wanamerta kepada gadis lincah itu,
“Aku persilakan Cucu beristirahat di ruang sebelah. Biarlah aku dan
Cucu Arya Salaka berjaga-jaga di sini.”
Widuri memang sudah ngantuk. Karena itu segera iapun
berdiri dan masuk ke ruang di dalam rumah itu. Ia samasekali tidak
takut, karena di luar berjaga-jaga Arya Salaka, Wanamerta dan
Bantaran. Sedang di halaman belakang pun ada beberapa orang
yang mengawal.
Sementara itu di perbatasan, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,
Mantingan, Wirasaba dan para pemimpin laskar Banyubiru yang
lain sedang sibuk menyalakan api untuk mematangkan kijang hasil
buruan mereka.
Tidak jauh dari perapian itu, Rara Wilis bertiduran di atas
rumput-rumput kering sambil menganyam angan-angan. Sekali-
kali angan-angannya itu membumbung tinggi, membelit di antara
bintang-bintang di langit, namun sekali-kali ia terlempar kembali
ke dunianya kini. Berbaring di antara batang-batang ilalang. Di
antara laskar yang bersiaga penuh untuk bertempur. Entah besok,
entah lusa. Kemudian apakah sesudah pertempuran itu berakhir ia
masih dapat menikmati gemerlapnya bintang di langit…? Atau
kalau Tuhan masih mengurniakan umur panjang kepadanya,
apakah ia masih dapat bertemu dengan Mahesa Jenar…?
Rara Wilis tiba-tiba tersentak karena angan-angannya sendiri.
Tidak sengaja ia memandang ke perapian. Dilihatnya di antara
mereka, seorang yang selama ini mengikat hatinya. Tetapi laki-laki
itu tidak menoleh kepadanya. Bahkan ia masih asyik menikmati
daging kijang yang kadang-kadang diselingi oleh tertawanya yang
riang. Agaknya Ki Dalang Mantingan adalah orang yang cukup
jenaka, sehingga mereka tertawa-tawa karena kelucuannya.
Rara Wilis menarik nafas panjang. Sebagai seorang gadis ia
kadang-kadang ditakut-takuti oleh umurnya yang bertambah-
tambah dari hari ke hari. Apakah ia harus berjalan dari satu padang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 91
rumput ke padang rumput yang lain? Dari satu perkelahian ke
perkelahian yang lain sepanjang hidupnya…? Tidakkah pada suatu
saat ia akan dihadapkan kepada suatu kuwajiban yang seharusnya
dijalani oleh setiap wanita…? Rara Wilis pada suatu saat pasti ingin
melepaskan pedang dari pinggangnya dan menggantinya dengan
pisau dapur yang sederhana. Ia pada suatu saat pasti ingin
melepaskan ikat pinggang kulitnya, yang kasar, dimana
pedangnya selalu menggantung, dan menggantinya dengan
selendang yang halus untuk mengemban bayinya. Ya. Ia rindukan
masa yang berbahagia. Masa ia tidak bermain-main dengan
nyawanya, tetapi bermain-main dengan anaknya.
Akhirnya, sebagai seorang manusia yang lemah, ia hanya
dapat memanjatkan doa kepada Kekuasaan Yang Tertinggi,
mudah-mudahan sampailah ia pada saatnya, diperkenankan
menikmati hidup ini sebagai manusia biasa, sebagai wanita biasa.
Ketika sekali lagi ia memandang ke perapian, ia masih melihat
mereka yang duduk melingkari perapian itu bersenda-gurau.
Karena itu iapun terbawa pula oleh suasana yang gembira itu.
Sehingga kemudian ketika ia mendengar Ki Dalang Mantingan
berjenaka, ia pun tersenyum sendiri.
Di langit, bintang gemintang satu-satu berjalan di dalam garis
edarnya. Sedang mega putih yang membayang di selatan, sebagai
selimut yang putih, menaburi punggung bukit Telamaya.
Malam itu berjalan setapak demi setapak menjelang pagi. Baik
yang berada di Banyubiru maupun yang berserak-serak di
perbatasan. Meskipun tidak meninggalkan kewaspadaan, namun
mereka dapat menikmati istirahat malam itu dengan baiknya.
Mereka sadar bahwa bahaya pasti tidak akan datang. Baik dari
laskar Lembu Sora maupun dari laskar golongan hitam. Sebab
mereka selambat-lambatnya petang tadi, pasti sudah saling
berhadapan. Bahkan mungkin bagian-bagian dari laskar mereka
sudah terlibat dalam bentrokan-bentrokan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 91
Perhitungan mereka itupun benar. Tak ada apapun yang terjadi
sampai matahari muncul di timur, diantar oleh kicauan burung-
burung liar yang hinggap di cabang-cabang pohon perdu.
Lereng bukit itu seolah-olah disiram oleh kesejukan cahaya
pagi yang segar yang merayap turun dari ujung-ujung pepohonan,
dan jatuh berserakan di tanah merah.
Ketika Mahesa Jenar membuka matanya, setelah beberapa
saat ia tertidur dalam kehangatan perapiannya, ia terkejut melihat
sesosok tubuh yang berdiri tidak jauh darinya. Dalam keremangan
cahaya pagi, dilihatnya bayangan itu menggeliat dengan
nyamannya, kemudian tampaklah dadanya yang segar
menggelombang dalam tarikan nafas pagi.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar bangkit. Seperti terpaku ia
melihat bayang-bayang yang mengesampingkannya. Ia menjadi
heran sendiri. Seperti kisah dalam mimpi, bahwa di tengah-tengah
padang ilalang itu, dapat ditemuinya keindahan yang sempurna
menurut selera hatinya.
Ketika bayangan itu perlahan-lahan melangkahkan kakinya,
Mahesa Jenar bangkit berdiri. Agaknya bayangan itu mendengar
desis kakinya sehingga terputarlah wajahnya, memandang Mahesa
Jenar yang berjalan perlahan-lahan mengikutinya.
“Bintang pagi masih bersinar di tenggara,” tegur Mahesa Jenar
dalam nada yang rendah.
Rara Wilis tersenyum. “Tetapi matahari telah meninggalkan
peraduannya.”
Mahesa Jenar menengadahkan wajahnya, memandang
matahari pagi yang masih kemerah-merahan. Sambil tersenyum
pula ia berkata, “Ia akan datang pada saat ia harus datang.”
“Dan ia akan pergi pada saat ia harus pergi,” sahut Wilis.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 91
“Peredaran jinantra alam yang tak terkendalikan oleh kekuatan
apapun, selain oleh Maha Penciptanya,” kata Mahesa Jenar.
“Karena itu, milikilah yang harus kau miliki,” potong Wilis.
“Matahari…?” tanya Mahesa Jenar sambil tersenyum.
“Ya,” jawab Wilis
“Matahariku adalah mataharimu,” kata Mahesa Jenar pula.
Keduanya tersenyum. Hanya mereka berdualah yang dapat
merasakan betapa indahnya senyum mereka masing-masing.
Seindah bintang pagi di tenggara, seindah matahari pagi di puncak
bukit.
“Aku akan mencuci muka di mata air sebelah,” kata Rara Wilis
kemudian.
“Pergilah. Aku akan menyiapkan api,” jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis berjalan semakin cepat. Di pinggangnya masih
tergantung pedang tipisnya. Mahesa Jenar memandangi bayangan
itu sampai hilang di balik sebuah batu padas. Disanalah Rara Wilis
mendapatkan mata air yang kecil.
Hari itupun tak mereka jumpai persoalan-persoalan yang
penting. Bahkan mereka dapat hilir-mudik dari perbatasan masuk
ke dalam kota. Kebo Kanigara telah menjemput puterinya, sedang
Mahesa Jenar dan Arya Salaka malam berikutnya bermalam di
Banyubiru.
Seperti malam kemarin. Malam inipun berlalu begitu saja.
Namun mereka mengharap bahwa hari berikutnya Penjawi dan
Jaladri telah dapat datang kembali dengan keterangan-keterangan
yang mereka perlukan.
Sebelum fajar menyingsing di pagi yang dingin, datanglah
orang yang mereka harap-harapkan itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 91
Derap dua ekor kuda yang lari dengan kencangnya, memukul-
mukul jalan yang berbatu-batu menuju ke rumah kepala daerah
perdikan Banyubiru.
Para pengawal perbatasan segera berloncatan dari gardu
mereka yang bersiaga. Tetapi ketika mereka melihat Penjawi dan
Jaladri yang duduk di punggung-punggung kuda itu, maka mereka
biarkan berlalu. Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki
kuda itu seperti tumbuh dari dalam tanah, sejalan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tumbuh di dalam dada para
pengawal itu. Kabar apakah yang dibawa oleh Penjawi dan
Jaladri…?
Arya Salaka dan Mahesa Jenar pun kemudian mendengar
derap kuda yang semakin dekat. Segera mereka bangkit dari
pembaringan mereka sambil menebak-nebak, siapakah orang-
orang yang berkuda di pagi-pagi buta ini. Demikian juga
Wanamerta dan Bantaran yang berada di pendapa pun segera
bersiaga. Kalau-kalau ada sesuatu yang tak mereka harapkan
terjadi. Tetapi hati mereka menjadi kendor kembali setelah mereka
melihat Penjawi dan Jaladri masuk ke halaman.
Demikian ketika kuda-kuda itu berhenti, berloncatanlah
mereka turun dan langsung naik ke pendapa. Tampaklah wajah-
wajah mereka yang kotor karena debu yang tak sempat mereka
usap. Sedang di punggung membekaslah keringat mereka yang
mengalir deras. Namun demikian tampaklah senyum mereka
membayang di bibir mereka.
Wanamerta menerima mereka dengan tergopoh-gopoh.
Dipersilahkanlah mereka duduk, dan kepada seorang pelayan,
Wanamerta minta untuk segera disediakan bagi mereka, minum
yang hangat.
“Terima kasih Kiai,” kata Penjawi di antara desah nafasnya
yang mengalir cepat.
“Selamatkah kalian?” tanya Wanamerta kemudian.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 91
“Baik Kiai,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Syukurlah,” sambung Wanamerta.
Bersamaan dengan itu muncullah Mahesa Jenar dan Arya
Salaka lewat pintu pringgitan. Mereka langsung duduk di hadapan
Penjawi dan Jaladri. Dari wajah-wajah kedua orang itu, Mahesa
Jenar dan Arya Salaka mendapat kesan, bahwa mereka telah
menempuh perjalanan yang berat. Merekapun kemudian
menanyakan keselamatan kedua orang itu.
“Perjalanan yang menyenangkan.” Namun terdengarlah suara
itu amat perlahan-lahan.
Dengan senyum lucu Jaladri memandang Penjawi, sambil
menyebut, “Cemasnya yang tak terduga-duga.”
Yang mendengar ikut tersenyum pula.
“Kalian tentu punya ceritera yang panjang,” kata Arya Salaka.
“Tetapi aku lihat kalian tak sempat mandi di perjalanan. Karena
itu, apabila keadaan tidak mendesak, mandilah kalian dahulu.
Kemudian setelah makan pagi, biarlah kalian berceritera panjang
lebar. Akan aku panggil semua pimpinan laskar Banyubiru, Paman
Kebo Kanigara, Bibi Wilis dan Endang Widuri. Aku kira mereka akan
senang pula mendengar ceriteramu.”
“Baiklah,” jawab Penjawi. “Kami akan mandi dahulu, makan
pagi, lalu kami akan berceritera, supaya ceritera kami tidak terlalu
banyak tertinggal.”
Jaladri tertawa, sambungnya, “Urutan yang bijaksana,”
Kemudian setelah minum teh hangat dengan gula aren,
Penjawi dan Jaladri segera turun ke mata air di sebelah rumah itu.
Mereka mendapat pinjaman beberapa potong pakaian untuk
mengganti pakaian yang telah basah oleh keringat, dan kotor oleh
debu tebal. Dalam kesempatan itu, Arya Salaka telah
memerintahkan untuk menjemput para pemimpin laskar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 91
Banyubiru yang berada di perbatasan, termasuk Mantingan dan
Wirasaba.
Ketika matahari telah naik di ujung cemara, pendapa
Banyubiru itupun telah dipenuhi oleh para pemimpin laskar
Banyubiru. Mereka semua mengharap dapat mendengarkan
langsung ceritera Penjawi dan Jaladri. Meskipun masih agak payah,
di pendapa itu hadir juga Sendang Parapat.
Penjawi dan Jaladri duduk berjajar di samping Arya Salaka.
Kemudian duduk pula Wanamerta, Bantaran, Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara, Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.
“Nah....” kata Arya Salaka kemudian, “Mulailah dengan kisah
cemasmu.”
Penjawi membetulkan letak duduknya, sambil menarik nafas
ia berkata, “Baiklah. Setelah perutku kenyang, ingatanku menjadi
baik, sehingga banyaklah yang akan aku ceriterakan kepada
kalian.”
Yang hadir di pendapa itu telah siap untuk mendengar apakah
yang telah terjadi di Pamingit.
“Lusa,” Penjawi mulai, “aku dan Adi Jaladri berangkat ke
Pamingit, beberapa saat setelah Ki Ageng Sora Dipayana
meninggalkan Banyubiru. Namun demikian, kami masih dapat
mendahului laskar Pamingit itu. Kami titipkan kuda kami dirumah
paman Derpa, dan mulailah kami dengan pekerjaan kami. Ki Ageng
Lembu Sora ternyata benar-benar seorang yang memiliki
ketangkasan berpikir. Kami terkejut ketika kami diketahui, bahwa
beberapa bagian laskarnya langsung menerobos lewat Randu
Putih, dan menduduki Kepandak. Sedang induk pasukannya masih
tetap menuju pusat pemerintahan Pamingit, dan setelah terlibat
dalam bentrokan tak berarti, induk pasukan itu bermalam di
Sumber Panas.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 91
Ini adalah suatu keadaan yang samasekali tak diduga oleh
golongan hitam. Karena itu, dengan mudahnya mereka dapat
didesak dari tempat-tempat itu. Tetapi karena itu pulalah maka
mereka agaknya menjadi marah. Menjelang pagi, aku dan adi
Jaladri melihat-lihat pertempuran yang akan berkobar di
Kepandak. Kami berjanji bahwa malam hari kami bertemu di
rumah Paman Darpa, setelah kami mendapat gambaran dari kedua
garis pertempuran itu. Pekerjaan kamipun menjadi agak sulit,
sebab kami tidak mau diketahui oleh kedua belah pihak. Untunglah
bahwa aku dapat menghubungi beberapa orang Banyubiru yang
berada di dalam Laskar Lembu Sora, ketika mereka sedang
mengambil air untuk keperluan laskar itu. Tetapi pekerjaan Adi
Jaladri agak lebih sulit.”
Penjawi berhenti sejenak. Ia memandang kepada Jaladri,
katanya, “Tidak ada orang yang lebih mengetahui daripada Adi
sendiri. Nah ceriterakanlah.”
Jaladri mengangguk. Sambil tertawa kecil ia berkata, “Bukan
lebih sulit. Tetapi aku justru lebih beruntung.” Ia berhenti sebentar
lalu meneruskan, “Pagi-pagi buta aku mencoba untuk mencari
tempat yang baik. Aku ingin tahu, siapakah yang berada di dalam
kedua pasukan yang akan bertempur itu. Tetapi baru saja aku
mendapat tempat yang baik menurut pikiranku, tiba-tiba
terdengar suara berdesir di belakangku. Aku terkejut, dan aku
menjadi berdesir ketika tiba-tiba aku ketahui, menurut ciri-ciri
yang pernah aku dengar, seorang tua, bertubuh bongkok dengan
wajah yang mengerikan.”
“Bugel Kaliki?” potong Wanamerta.
“Ya, Bugel Kaliki,” sahut Jaladri. “Dengan mata yang
mengandung kebencian ia memandang kepalaku. Akhirnya ia
tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, – “Hai kelinci yang malang.
Siapakah namamu, dan apakah kerjamu di sini?” – Aku menjadi
gemetar. Aku tahu siapakah orang itu. Karena itu tiba-tiba
terbayanglah di dalam otakku, gambaran Yamadipati datang untuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 91
menagih janji. Mengambil kembali nyawa yang dititipkan di dalam
raga ini.”
“Apa yang dikerjakan oleh hantu itu?” bertanya Sendang Papat
tidak sabar.
“Menakut-nakuti aku,” jawab Jaladri. “Dan aku benar-benar
takut kepadanya. Apalagi kemudian ia bertanya kepadaku pula –
Kenalkah kau kepadaku?”
“Aku tahu bahwa aku bukan musuhnya. Karena itu aku tidak
mau kehilangan kesempatan. Tanpa menjawab pertanyaannya,
segera aku menarik kerisku, dan langsung aku menusuk ke arah
telungkup. Nah, kau lihat jalur-jalur di mukaku ini?”
“Tetapi kau tetap hidup,” sela Bantaran ingin tahu.
“Ya. Aku tetap hidup,” sambung Jaladri, “Bukan karena aku
sekarang telah mampu melawan Bogel Kaliki, atau aku dapat
melepaskan diri dari tangannya.”
“Ya. Lalu kenapa?” Sendang Parapat menjadi tidak sabar,
“Apakah kau dibiarkan pergi?”
Jaladri tertawa. “Jangan terlalu tergesa-gesa. Dengar urutan
ceriteraku. Aku kemudian bangkit, dan dengan tekad yang bulat
aku akan mati sebagai laki-laki. Berjuang dengan tenaga yang ada
padaku. Tetapi tiba-tiba Tuhan menyelamatkan aku. Ketika Bugel
Kaliki itu dengan marahnya menggeram, dan hampir menerkam
kepalaku, terdengar suara di belakangku. “Jangan Kaliki. Jangan
mengganggu anak-anak.”
Bugel Kaliki terkejut. Aku juga terkejut. Kalau seseorang dapat
hadir di tempat itu tanpa diketahui oleh Bugel Kaliki, maka aku
mengharap bahwa setidak-tidaknya orang itu akan dapat
menyelamatkan aku.”
“Siapakah orang itu?” tanya Sendang Parapat.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 91
“Aku tidak tahu,” jawab Jaladri.
“Hus!” sahut orang yang berada di pendapa itu hampir
berbareng. “Jangan teka-teki.”
“He....” jawab Jaladri, “Siapa yang berteka-teki? Aku benar-
benar tidak tahu, Kakang Penjawi juga tidak tahu. Siapakah dia.”
Arya tertarik pada ceritera itu. Tampak alisnya berkerut.
Demikian juga Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain.
“Apa yang dilakukan?” tanya Arya Salaka kemudian.
Jaladri mengingsar duduknya, ia meneruskan, “Bugel Kaliki
terkejut atas kehadirannya. Ia mengurungkan niatnya untuk
memecahkan kepalaku. Tetapi
segera ia bersiaga untuk
menghadapi musuh barunya.
“Jangan ganggu aku” ia
berdesis. Tetapi orang yang
datang itu tertawa. Suaranya
nyaring. “Aku mengembara
dari satu tempat ke tempat lain
tanpa tujuan. Karena itu
akupun kadang-kadang mela-
kukan pekerjaan-pekerjaan
tanpa tujuan. Antara lain
mengganggumu.”
Bugel Kaliki benar-benar
marah. Terdengar suaranya
menggeram seperti serigala.
Namun orang asing itu masih
tertawa-tawa saja. Demikian-
lah akhirnya keduanya terlibat dalam satu perkelahian tanpa kata-
kata lain. Aku tidak tahu bagaimana aku harus menilai
pertempuran itu. Mereka bergerak-gerak dengan cepatnya.
Kadang-kadang mereka melontarkan diri mereka seperti bintang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 91
beralih. Sambar-menyambar. Aku pernah menyaksikan dua ekor
elang berkelahi. Gagah benar. Namun itu lebih cepat seperti
Sikatan. Si Bongkok itupun sungguh luar biasa. Aku heran kenapa
bongkoknya itu samasekali tidak mengganggu. Melihat perkelahian
itu aku menjadi malu pada diri sendiri. Apakah yang terjadi
seandainya aku yang harus bertempur melawan Bugel Kaliki itu.
Namun demikian aku tidak mau lari. Aku akan menunggu sampai
pertempuran itu berakhir.Kalau penolongku itu kalah dan binasa,
biarlah aku binasa pula. Tetapi kalau ia menang, biarlah aku
sempat mengucapkan terima kasih kepadanya.
Tetapi pertempuran itu kemudian terganggu. Aku melihat
bayangan lain yang datang di tempat itu pula. Bersamaan dengan
kehadiran orang kedua itu, aku lihat Bugel Keliki berteriak nyaring,
untuk kemudian melontar mundur dan lenyap di dalam
keremangan pagi. Orang yang bertempur melawannya samasekali
tidak mengejarnya. Ia, sekarang berhadapan dengan orang yang
datang terakhir. Namun agaknya mereka tidak akan bertempur.
Bahkan mereka berdua tampaknya seperti dua orang sahabat yang
baru bertemu. Mereka saling mengguncang tangan masing-
masing.”
“Siapakah yang datang kemudian? Juga tidak tahu?” tanya
Wanamerta.
Jaladri tertawa. Penjawi pun tertawa. “Kiai....” jawab Jaladri,
“Kepada orang yang terakhir itu, aku sudah mengenalnya. Bahkan
kalian juga mengenalnya.”
“Ya, siapa? Kalau kau sudah mengenal, kami mengenal pula.”
Sendang Parapat semakin tidak sabar.
“Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Jaladri.
“Oh….” Terdengar orang-orang yang mendengar bergumam.
Mereka menarik nafas lega, seolah-olah merekalah yang terlepas
dari ancaman maut.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 91
Jaladri berhenti pula untuk sesaat. Kemudian ia meneruskan,
“Aku hanya sempat mengucapkan terima kasih kepada orang yang
tak kukenal itu. Tetapi aku tidak sempat bertanya tentang dirinya
sebab kemudian Ki Ageng Sora Dipayana bertanya kepadaku, “Apa
kerjamu di sini Jaladri?”
Aku menjadi ragu sebentar. Tetapi kepada Ki Ageng Sora
Dipayana aku tak dapat berkata lain, kecuali mengatakan yang
sebenarnya. Mula-mula aku menjadi cemas, jangan-jangan hal itu
tak dikehendaki oleh Ki Ageng, namun tiba-tiba Ki Ageng Sora
Dipayana berkata, “Marilah. Hari hampir pagi. Sebentar lagi
pertempuran akan dimulai.”
Aku tak dapat membantah. Aku ikuti Ki Ageng kembali ke
pasukan Pamingit. Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana berada di
dalam laskar yang menduduki Kepandak. Laskar ini dipimpin oleh
Wulungan. Sedang menurut Ki Ageng Sora Dipayana, induk
pasukan yang berada di Sumber Panas dipimpin langsung oleh Ki
Ageng Lembu Sora sendiri. Ketika kami hampir sampai, aku hanya
mendengar orang asing itu berkata, “Kau biarkan anakmu sendiri?”
“Tak ada pilihan lain” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Kalau
aku tak ada di sini, dan ada salah seorang dari setan-setan itu
datang kemari, seperti apa yang dilakukan oleh Bugel Kaliki itu,
maka laskar ini akan habis ludas.”
“Kalau mereka beberapa orang menempatkan diri mereka
untuk melawan anakmu?” jawab orang asing itu.
“Ia membawa laskar lebih banyak. Aku sudah menasehatkan
untuk bertempur dalam kelompok-kelompok, untuk menghadapi
mereka. Dengan senjata jarak jauh atau senjata bertangkai
panjang. Dan Lembu Sora telah menyiapkan laskar panah sebaik-
baiknya.”
“Belum cukup” jawab orang asing itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 91
“Untuk sementara, tak ada cara yang lebih baik. Tetapi aku
percaya, kalau Lembu Sora berotak cair, maka sedikit demi sedikit
ia akan dapat mengatasi keadaan” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
Ternyata ia kemudian meneruskan, “Soalnya terserah kepada
nasibnya. Mudah-mudahan Tuhan memaafkan kesalahan-
kesalahannya.”
“Kalau begitu....” orang asing itu menjawab, “biarlah aku ikut
serta dalam permainan ini. Aku akan bekerja bersama-sama
dengan anakmu.”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut, sampai langkahnya terhenti.
“Kau….” terdengar suaranya dalam.
Orang itu mengangguk, lalu terdengarlah ia tertawa. Sebelum
Ki Ageng Sora Dipayana menjawab orang itu telah melontarkan
dirinya sambil berkata, “Sebelum pagi, mudah-mudahan aku tidak
terlambat.”
Ki Ageng Sora Dipayana hanya dapat menggeleng-gelengkan
kepala. Perlahan-lahan terdengar gumamnya, “Terima kasih,
terima kasih.”
Tiba-tiba saja Ki Ageng Sora Dipayana terkejut oleh suara
kentongan jauh di Pamingit. Agaknya laskar orang-orang hitam itu
telah mempersiapkan diri mereka.
“Ayolah, sebelum kita digilas oleh hantu-hantu yang tak kenal
perikemanusiaan itu.”
Aku mengikuti di belakang Ki Ageng. Di Kepandak, laskar
Pamingitpun telah siap. Di hadapan mereka berdiri dengan
gagahnya, Wulungan. Di pinggangnya terselip sebuah pedang
panjang, sedang dilambungnya tampaklah sebilah keris.
Ketika ia melihat Ki Ageng Sora Dipayana datang, segera ia
membungkukkan dirinya, tetapi ketika ia melihat aku, tampaklah
perubahan di wajahnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 91
Ki Ageng Sora Dipayana tahu perasaannya, katanya, “Jangan
hiraukan kehadiran Jaladri. Aku yang membawanya. Ia tidak akan
mengganggu kalian.”
Wulungan tidak membantah, ia hanya mengangguk hormat.
Ketika cahaya merah di atas bukit-bukit sebelah timur telah
semakin merata, mulailah laskar Pamingit bergerak. Laskar inipun
seperti laskar yang dipimpin oleh Ki Ageng Lembu Sora, bergerak
dalam kelompok-kelompok, dan bersenjata jarak jauh. Agaknya
mereka benar dipersiapkan untuk menghadapi setiap tokoh dari
golongan hitam itu, kelompok demi kelompok.
Aku sendiri, yang tidak tergabung dalam laskar itu, hanya
selalu mengikuti kemana Ki Sora Dipayana pergi. Dan Ki Ageng
pun samasekali tidak keberatan. Bahkan akhirnya Ki Ageng itu
memberi aku sebatang tombak sambil berkata, “Kalau kau
terpaksa mempertahankan dirimu Jaladri, pergunakan tombak ini.
Kerismu terlalu pendek untuk melawan Lawa Ijo atau Jaka Soka,
atau kalau kau bertemu sekali lagi dengan Bugel Kaliki.”
Hatiku jadi berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Laskar
Pamingit dapat melawan mereka dengan kelompok-kelompok
mereka. Aku bagaimana?”
Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana memaklumi perasaanku,
karena itu terdengar kata-katanya, “Kau pun harus membentuk
kelompok tersendiri Jaladri. Nah, akulah orang yang termasuk
dalam kelompok kecilmu.”
Aku menundukkan kepalaku, karena malu.
Ki Wulungan membawa laskarnya, melingkar ke Selatan
dengan gelar Jinantra Sawur. Lingkaran-lingkaran kecil yang
bergerak bersama-sama dalam satu garis yang menebar. Sungguh
suatu yang bagus untuk melawan toko-tokoh yang biasa
bertempur perseorangan dan mempunyai kesaktian yang luar
biasa seperti tokoh- tokoh golongan hitam.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 91
Ketika terdengar sebuah tengara dari Wulungan, maka dengan
kecepatan yang sedang, laskar itu langsung menyerbu kedalam
pemusatan laskar-laskar hitam. Dalam sepintas dari laskar hitam
yang disediakan untuk melawan mereka. Namun diujung laskar
golongan hitam itu aku melihat dua orang yang mengerikan.
Seorang yang sudah aku kenal Bugel Kaliki, dan yang seorang lagi,
aku dengar namanya dari Ki Ageng Sora Dipayana, bernama
Nagapasa.
“Nagapasa…?” Mahesa Jenar mengulang nama itu.
“Ya,” sahut Jaladri. “Melihat mereka berdua Ki Ageng Sora
Dipayana memanggil Wulungan, katanya, “Wulungan, lawanlah
Bugel Kaliki. Bawalah sedikitnya dua kelompok laskar panahmu.
Jaga, jangan sampai salah seorang dari kamu mendekat, dan
jagalah supaya kau dan kelompokmu tidak kehabisan tenaga.
Orang itu mampu bertempur sehari penuh dengan kesegaran yang
sama, bahkan berhari-hari.”
Wulungan mengangguk sambil menjawab, “Baik Ki Ageng,
akan aku bawa tiga kelompok terkuat dari anak buahku. Yang lain
akan dipimpin oleh adi Gupita, melawan laskar hitam itu.”
“Bagus” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Kemudian kepadaku
Ki Ageng itu berkata, “Jaladri. Aku harus melayani musuh yang tak
dapat diduga-duga tabiatnya. Ia dapat berlaku lunak, tetapi ia
dapat bengis seperti setan. Karena itu lebih baik bagimu untuk
memperkuat kelompok-kelompok yang akan dibawa oleh
Wulungan melawan musuhmu pagi tadi.”
Aku tak dapat membantah, meskipun aku tahu bahwa
Wulungan agak bimbang menerima titipan itu.
Ketika aku berjalan di samping Wulungan menuju kekelompok
pertama, aku berkata kepadanya, “Jangan curigai aku. Aku tak
akan mengganggumu. Sebab hidup matiku sekarang berada di
dalam kerjasama antara kita dan laskarmu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 91
Wulungan tersenyum. Jawabnya, “Aku mempercayaimu. Aku
kira setiap orang didalam laskar Arya Salaka berlaku jantan seperti
pimpinan mereka.”
Aku tidak tahu maksudnya. Apakah ia benar-benar memuji,
ataukah ia sedang menyindir aku. Tetapi kemudian kami tak
sempat berkata-kata lagi. Wulungan memerintahkan beberapa
orang untuk memberitahukan tugas-tugas mereka. Tiga kelompok
kemudian saling mendekat dan menuju satu sasaran, sedang yang
lain masih di tempatnya masing-masing, di bawah pimpinan
seorang yang cukup mempunyai wibawa, Gupita.
Laskar hitam itupun kemudian maju menyongsong lawan
mereka. Mereka samasekali tidak mempergunakan gelar perang,
atau gelar mereka mirip dengan gelar Gelatik Neba. Namun
tampaklah betapa mereka percaya pada diri mereka masing-
masing. Terbayanglah diwajah mereka, kebiadaban dan
keganasan yang pernah mereka lakukan dan akan mereka
lakukan. Didalam mata mereka seolah-olah tampaklah goresan-
goresan nama-nama dari korban-korban mereka yang berpuluh-
puluh jumlahnya.
Aku pernah mengalami beberapa kali pertempuran. Namun
kali ini aku benar-benar berdebar-debar. Disekitarku berjalan
orang-orang yang kurang aku kenal, baik tabiatnya maupun cara-
cara mereka mempergunakan senjata. Akupun tidak mengetahui
apakah mereka menganggap aku lawan mereka atau musuh
mereka. Namun demikian akhirnya aku harus melekatkan
kepercayaan kepada diri sendiri. Betapapun ringkihnya aku ini,
namun aku hanya dapat mengeluh dan menyadarkan diri kepada
kepercayaan itu, dilambari oleh pasrah diri kepada pepestan,
kepada kuasa tangan Yang Maha Kuasa.
Demikianlah akhirnya kedua laskar ini bertemu. Sesaat
sebelum pertempuran berkobar, Wulungan berbisik kepadaku,
“Jaladri, kami saat ini akan bertempur di atas tanah persawahan.
Batang-batang padi ini sebentar lagi akan hancur terinjak-injak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 91
oleh kaki-kaki kami. Namun tanah persawahan ini akan
memberikan kesegaran dalam jiwa kami. Karena untuk tanah
inilah kami sekarang sedang menyabung nyawa. Meskipun batang-
batang padi ini akan hancur, namun besok di atasnya akan dapat
kami tanami kembali, dengan batang-batang padi yang lebih
segar. Sebab kami tebarkan pupuk di tanah ini dengan darah
putra-putra terbaik dari tanah ini.”
Aku terharu mendengar kata-katanya. Sedang dari matanya
terpancar ketulusan hatinya serta kesediaannya berkorban untuk
tanahnya.
Sesaat kemudian kami dikejutkan oleh teriakan-teriakan ngeri.
Orang-orang hitam itu berloncatan sambil memekik-mekik.
Senjata-senjata mereka gemerlapan dalam cahaya pagi. Pada saat
yang hampir bersamaan, melontarlah senjata-senjata anak- anak
Pamingit. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus anak panah
bertebaran diudara. Tetapi orang-orang golongan hitam itu
memutar senjata mereka menjadi gulungan perisai yang sangat
rapat.
Demikianlah akhirnya pertempuran tak dapat dihindari. Orang-
orang Pamingit terpaksa meletakkan busur-busur mereka dan
menarik pedang-pedang mereka. Sehingga sesaat kemudian,
riuhlah pertempuran itu dengan dentang senjata beradu, pekik
yang mengejutkan dari orang-orang golongan hitam itu. Wulungan
dengan kelompoknya langsung menyiapkan diri mereka dan
memancing Bugel Kaliki untuk melibatkan dirinya. Anak-anak
dalam kelompok ini agaknya benar-benar terpilih. Mereka tidak
melemparkan panah mereka berlebih-lebihan. Satu-satu saja,
mengarah kepada si Bongkok yang mengerikan itu. Akhirnya
marahlah Bugel Kaliki. Seperti serigala yang menggeram,
kemudian langsung melompat dan menyerbu kedalam laskar
Wulungan. Cepat anak buah Wulungan memencar diri. Mereka
menyerang dengan panah mereka. Tak berhambur-hamburan,
namun cukup memberi perlawanan yang kuat terhadap hantu dari
Gunung Cerme itu.