Download - 3. LAPKAS ATRESIA ANI.docx
BAB I
PENDAHULUAN
Kasus ini merupakan salah satu contoh kegawat daruratan medis yang
membutuhkan kerjasama antar berbagai bagian ahli medis, seperti anak, anestesi,
bedah untuk mengoptimalisasikan perawatan kondisi pasien. Berikut ini akan dibahas
sedikit mengenai atresia ani, dan tindakan serta penatalaksanaan yang dilakukan
terhadap pasien ini, sesuai dengan pandangan anestesiologi.
Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya tidak ada
dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia ani
adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang normal. atresia ani
adalah kelainan kongenital dimana anus tidak mempunyai lubang untuk
mengeluarkan feses karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat
kehamilan.
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata
meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002). Atresia ani
merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus
(Donna, 2003). Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada
distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001).
Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk
anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).
Dapat disimpulkan bahwa, atresia ani adalah kelainan kongenital dimana anus
tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan
pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada sumber
yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :
1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang anus.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada
kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot
dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang
tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang
diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom
genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko
untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir,
seperti :
1. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada
gastrointestinal.
2. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.
2
2.2 Klasifikasi Atresia Ani
Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :
Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak
dapat keluar.
Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.
Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :.
Anomali rendah / infralevator
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis,
terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan
fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis, lesung anal
dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
Anomali tinggi / supralevator
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini
biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius – retrouretral (pria) atau
rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit
perineum lebih dari1 cm.
2.3 Anatomi dan Fisiologi
3
Susunan saluran pencernaan terdiri dari :
2.3.1 . Mulut
Mulut atau oris adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri atas 2 bagian yaitu :
a. Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang di antara gusi, gigi,
bibir dan pipi.
b. Bagian rongga mulut bagian dalam, yaitu rongga mulut yang di batasi
sisinya oleh tulang maksilaris, palatum mandibularis, di sebelah
belakang bersambung dengan faring.
Selaput lendir mulut ditutupi epitelium yang berlapis-lapis, di bawahnya terletak
kelenjar-kelenjar halus yang mengeluarkan lendir. Selaput ini kaya akan pembuluh
darah dan juga memuat banyak ujung akhir saraf sensoris.
Di sebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan di sebelah dalam ditutupi oleh selaput
lendir (mukosa). Otot orbikularis oris menutupi bibir. Levator anguli oris mengangkat
dan depresor anguli oris menekan ujung mulut.
Palatum, terdiri atas 2 bagian yaitu :
a. Palatum durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dan
sebelah depan tulang maksilaris dan lebih ke belakang terdiri dari 2 tulang
palatum.
b. Palatum yang dapat bergerak, terdiri mole (palatum lunak) terletak di belakang
yang merupakan lipatan menggantung atas jaringan fibrosa dan selaput lendir.
Gerakannya dikendalikan oleh ototnya sendiri, di sebelah kanan dan kiri
dari tiang fauses terdapat saluran lendir menembus ke tonsil.
2,3,2 Lidah
Lidah terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir, kerja otot
lidah ini dapat digerakkan ke seluruh arah.Lidah dibagi atas tiga bagian, radiks lingua
(pangkal lidah), dorsum lingua (punggung lidah), dan apeks lingua (ujung lidah). Pada
pangkal lidah yang belakang terdapat epiglotis yang berfungsi untuk menutup jalan
nafas pada waktu kita menelan makanan, supaya makanan jangan masuk ke jalan
nafas.
Punggung lidah (dorsum lingua) terdapat puting-puting pengecap atau ujung
saraf pengecap. Frenulum lingua merupakan selaput lendir yang terdapat pada bagian
bawah kira-kira di tengah, jika lidah digerakkan ke atas nampak selaput lendir. Flika
4
sublingua terdapat di sebelah kiri dan kanan frenulum lingua, di sini terdapat pula
lipatan selaput lendir. Pada pertengahan flika sublingua ini terdapat saluran dari
grandula parotis, submaksilaris, dan glandula sublingualis. Fungsi lidah yaitu
mengaduk makanan, membentuk suara, sebagai alat pengecap dan menelan, serta
merasakan makanan.
2.3.3. Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan
kerongkongan (esofagus). Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu
kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit merupakan pertahanan
terhadap infeksi. Di sini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan,
letaknya di belakang rongga mulut dan rongga hidung, di depan ruas tulang belakang,
ke atas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantara lubang
bernama koana. Keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan
perantaraan lubang yang disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari bagian superior
disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak
dengan ruang gendang telinga. Bagian media disebut orofaring, bagian ini berbatas ke
depan sampai di akar lidah, sedangkan bagian inferior disebut laringofaring yang
menghubungkan orofaring dengan laringMenelan (deglutisio), jalan udara dan jalan
makanan pada faring terjadi penyilangan. Jalan udara masuk ke bagian depan terus ke
leher bagian depan sedangkan jalan makanan masuk ke belakang dari jalan napas dan
di depan dari ruas tulang belakang. Makanan melewati epiglotis lateral melaui ressus
piriformis masuk ke esophagus tanpa membahayakan jalan udara. Gerakan menelan
mencegah masuknya makanan masuk ke jalan udara, pada waktu yang sama jalan
udara ditutup sementara.
2,3,4. Esofagus
Esophagus merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan lambung,
panjangnya ± 25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di bawah
lambung. Lapisan dinding dari dalam keluar, lapisan selaput lendir (mukosa), lapisan
submukosa, lapisan otot melingkar sirkuler, dan lapisan otot memanjang
longitudinal.Esophagus terletak di belakang trakea dan di depan tulang punggung.
Setelah melalui thorak menembus diafragma masuk ke dalam abdomen
menyambung dengan lambung.
2.3.5 Hati
5
Hati atau hepar adalah organ yang paling besar di dalam tubuh kita, warnanya
coklat dan beratnya kira-kira 1 ½ kg. Letaknya di bagian atas dalam rongga abdomen
di sebelah kanan bawah diafragma. Hati terdiri atas 2 lapisan utama : permukaan atas
berbentuk cembung, terletak di bawah diafragma, dan permukaan bawah tidak rata
dan memperlihatkan lekukan fisura transverses. Hati mempunyai 2 jenis peredaran
darah yaitu arteri hepatika dan vena porta.
Arteri hepatika, keluar dari aorta dan member 1/5 darah pada hati, masuk ke hati akan
membeku jaringan kapiler setelah bertemu dengan kapiler vena, akhirnya keluar
sebagai vena hepatika. Vena porta yang terbentuk dari lienalis dan vena mesentrika
superior menghantarkan 4/5 darahnya ke hati.
Fungsi hati :
a. Mengubah zat makanan yang di absorpsi dari usus dan yang disimpan di
suatu tempat dalam tubuh.
b. Mengubah zat buangan dan penawar racun untuk disekresi dalam
empedu dan urine.
c. Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen.
d.Sekresi empedu, garam empedu dibuat di hati, dibentuk dalam system
retikuloendotelium.
e. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat.
2.3.6 Lambung
Lambung atau gaster merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang
paling banyak terutama di daerah epigaster. Lambung terdiri dari bagian atas fundus
uteri berhubungan dengan esophagus melalui orifisium pilorik, terletak di bawah
diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah kiri fundus uteri.
Sekresi getah lambung mulai terjadi pada awal orang makan. Bila melihat
makanan dan mencium bau makanan maka sekresi lambung akan terangsang. Rasa
makanan merangsang sekresi lambung karena kerja saraf menimbulkan rangsang
kimiawi yang menyebabkan dinding lambung melepaskan hormon yang disebut
sekresi getah lambung. Getah lambung di halangi oleh sistem saraf simpatis yang
dapat terjadi pada waktu gangguan emosi seperti marah dan rasa takut.
Fungsi lambung :
6
1. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh
peristaltik
lambung dan getah lambung.
2. Getah cerna lambung yang dihasilkan :
a. Pepsin, fungsinya memecah putih telur menjadi asam amino (albumin
dan pepton).
b. Asam garam (HCL), fungsinya mengasamkan makanan, sebagai
antiseptik dan desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen
sehingga menjadi pepsin.
c.Renin, fungsinya sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk
kasein dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).
d.Lapisan lambung jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam
lemak yang merangsang sekresi getah lambung.
2.3.7 Pankreas
Panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari deudenum sampai ke limpa.
Bagian dari pankreas : kaput pankreas, terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan
di dalam lekukan deudenum yang melingkarinya. Korpus pankreas, merupakan
bagian utama dari organ ini, letaknya dibelakang lambung dan di depan vertebra
umbalis pertama. Ekor pankreas, bagian runcing di sebelah kiri menyentuh limpa.
2.3.8 Usus halus
Usus halus atau intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan
makanan yang berpangkal pada pylorus dan berakhir pada sekum panjangnya ± 6 m,
merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorpsi hasil
pencernaan yang terdiri dari lapisan usus halus (lapisan mukosa (sebelah di dalam),
lapisan otot melingkar (M.sirkuler), lapisan otot memanjang (M. longitudinal), dan
lapisan serosa (sebelah luar)
Absorpsi makanan yang sudah dicerna seluruhnya berlangsung di dalam usus
halus melalui 2 saluran yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan seluruh limfe di
sebelah dalam permukaan vili usus. Sebuah vilus berisi lakteal, pembuluh darah
epitelium dan jaringan otot yang diikat bersama oleh jaringan limfoid seluruhnya
diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium.
Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair
dan lemak yang diabsorpsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh
7
limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena porta dibawa ke
hati untuk mengalami beberapa perubahan.
Fungsi usus halus :
a. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-
kapiler darah dan saluran-saluran limfe.
b. Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
c. Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida.
2.3.9 Duodenum
Duodenum disebut juga usus 12 jari, panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu
kuda melengkung ke kiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas. Pada bagian kanan
duodenum ini terdapat selaput lendir, yang membukit disebut papilla vateri. Pada
papilla vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran pankreas
(duktus pankreatikus). Empedu dibuat di hati untuk dikeluarkan ke duodenum melalui
duktus koledokus yang fungsinya mengemulsikan lemak, dengan bantuan lipase.
Pankreas juga menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang menjadi
disakarida, dan tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi asam amino atau
albumin dan polipeptida.
Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar,
kelenjar ini disebut kelenjar-kelenjar Brunner, berfungsi untuk memproduksi getah
intestinum.
2.3.10. Jejunum dan ileum
Jejunum dan ileum mempunyai panjang sekitar 6 m. Dua perlima bagian atas
adalah jejunum dengan panjang ± 23 m, dan ileum dengan panjang 4-5 m. Lekukan
jejunum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan
lipatan peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium.
Sambungan antara jejunum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas. Ujung
bawah ileum berhubungan dengan sekum dengan perantaraan lubang yang bernama
orifisium ileosekalis. Orifisium ini diperkuat oleh sfingter ileosekalis dan pada bagian
ini terdapat katup valvula sekalis valvula baukhini yang berfungsi untuk mencegah
cairan dalam kolon asenden tidak masuk kembali ke ileum.
2.3.11. Usus besar
Usus besar atau intestinum mayor panjangnya ± 1 ½ m, lebarnya 5-6 cm.
Lapisan-lapisan usus besar dari dalam keluar : selaput lendir, lapisan otot melingkar,
8
lapisan otot memanjang, jaringan ikat. Fungsi usus besar adalah menyerap air dari
makanan, tempat tinggal bakteri.
2.3.12. Sekum
Dibawah sekum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk seperti cacing
sehingga disebut juga umbai cacing, panjangnya 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh
peritoneum mudah bergerak walaupun tidak mempunyai mesenterium dan dapat
diraba melalui dinding abdomen pada orang yang masih hidup.
2.3.13. Kolon asendens
Panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kanan, membujur ke
atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini
disebut fleksura hepatika, dilanjutkan sebagai kolon transversum.
2.3.14. Apendiks (usus buntu)
Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung sekum,
mempunyai pintu keluar yang sempit tetapi masih memungkinkan dapat dilewati oleh
beberapa isi usus. Apendiks tergantung menyilang pada linea terminalis masuk ke
dalam rongga pelvis minor, terletak horizontal dibelakang sekum. Sebagai suatu organ
pertahanan terhadap infeksi kadang apendiks bereaksi secara hebat dan hiperaktif
yang bisa menimbulkan perforasi dindingnya ke dalam rongga abdomen.
2.3.15. Kolon transversum
Panjangnya ± 38 cm, membujur dari kolon desenden, berada dibawah
abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatika dan sebelah kiri terdapat fleksura
lienalis.
2.3.16. Kolon desendens
Panjangnya ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membujur dari
atas ke bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri, bersambung dengan
kolon sigmoid.
2.3.17. Kolon sigmoid
Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak miring
dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya
berhubungan dengan rektum.
2.3.18. Rektum
Rektum terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum
mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sacrum dan os koksigis.
Organ ini berfungsi untuk tempat penyimpanan feses sementara.
9
2.3.19. Anus
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum
dengan dunia luar (udara luar). Terletak didasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh
sfingter :
a. Sfingter ani interus (sebelah atas), bekerja tidak menurut kehendak.
b. Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menurut kehendak.
c. Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menurut kehendak.
Defekasi (buang air besar) didahului oleh transport. Feses ke dalam rektum yang
mengakibatkan ketegangan dinding rektum mengakibatkan rangsangan untuk reflex
defekasi sedangkan otot usus lainnya berkontraksi. M. Levator ani relaksasi secara
volunter dan tekanan ditimbulkan oleh otot-otot abdomen.
2.4Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara
komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang.
Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal
genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan
pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan
perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal.
Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan
abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar
melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal
mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur,
sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum
lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran
kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit
dan ujung rektum paling jauh 1 cm.
10
A. Manifestasi Klinik
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi
mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan
fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari (vagina)
dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat
terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang
rektoperineal.
Gejala yang akan timbul :
1.) Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.
2.) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3.) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4.) Perut kembung.
5.) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
(Ngastiyah, 2005)
B. Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2. Obstruksi intestinal
3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
4. Komplikasi jangka panjang :
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.
(Betz, 2002)
11
C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :
a. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah
pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya
sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Untuk anomali tinggi,
dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir.
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan.
Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada
otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah
berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah
operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi
seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak padat.
D. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
12
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rektum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang
atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.
13
BAB III
KESIMPULAN
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata
meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002). Atresia ani
merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus
(Donna, 2003). Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada
distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001).
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit
karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik,
sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Stoelting RK, Miller RD. Basics of ANESTESIA. Fifth edition .Kalamas AG,
Chapter 23. Fluid Management. Churchill Livingstone, Elsevier.Philadelphia ;
2007: 347-52
2. Yao FS, Malhotra MD, Fontes ML. Anesthesiology : Problem Oriented
Patient Management. Sixth Edition. Section III. Lippincot Williams &
Wilkins. Philadelphia ; 2008 :471-514
3. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia. Fifth edition.
Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia ; 2006 :1054-60
15