Transcript
  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    479

    Makalah Poster

    ANALISIS KARAKTERISTIK KONDISI FISIK LAHAN MENGGUNAKAN

    PJ DAN SIG DI DAS SERANG LUSI JUWANA

    Dini Daruati, Fajar Setiawan dan Iwan Ridwansyah Pusat Penelitian Limnologi LIPI

    Email : [email protected]

    ABSTRAK

    Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sangat diperlukan untuk mengatasi

    permasalahan sumberdaya air yaitu banjir, kekeringan, dan erosi-sedimentasi, seperti yang

    terjadi DAS Serang Lusi Juwana. Penggunaan teknologi Penginderaan Jauh (PJ) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) sangat membantu untuk memperoleh karakteristik fisik DAS karena

    data keruangan yang cukup banyak dan meliputi area yang luas. Tujuan penelitian ini adalah

    untuk mengkaji kondisi karakteristik fisik lahan di DAS Serang Lusi Juwana sebagai masukan

    dalam penelitian selanjutnya. Metode yang digunakan adalah analisis spasial karakteristik fisik

    lahan menggunakan PJ dan SIG. Hasil yang didapatkan adalah informasi batas DAS/subDAS,

    penggunaan lahan, kemiringan lereng, kemiringan sungai utama, kerapatan aliran, pola aliran,

    nilai runoff curve number (CN) dan koefisien aliran (c) yang nantinya sebagai input dalam

    pemodelan ketersediaan air dan erosi-sedimentasi.

    Kata kunci: karakteristik fisik, DAS Serang Lusi Juwana, PJ dan SIG

    ABSTRACT

    Watershed Management is needed to overcome the problems of water resources that is

    flood, drought and erosion-sedimentation, as happened Serang Lusi Juwana Watershed. Use of

    remote sensing (RS) and Geographic Information Systems (GIS) is very helpful to obtain the

    physical characteristics of watersheds due to considerable spatial data and covers a large area.

    The purpose of this study was to assess the condition of the physical characteristics of land in the

    Serang Lusi Juwana Watershed as an input in further research. The method used is a spatial

    analysis of physical characteristics using RS and GIS. The result is a watershed/sub watershed

    boundary information, land use, slope, slope of the main river, the density of the flow, flow pattern, runoff curve number (CN) and the flow coefficient (c), which later as an input in the modeling of

    water availability and erosion- sedimentation.

    Keywords: physical characteristic, Serang Lusi Juwana Watershed, RS and GIS

    PENDAHULUAN

    Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sangat diperlukan untuk

    mengatasi permasalahan sumberdaya air yaitu banjir, kekeringan, dan erosi-

    sedimentasi, seperti yang terjadi DAS Serang, Lusi dan Juwana. DAS merupakan

    daerah dimana semua airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksud.

    DAS juga merupakan suatu kesatuan wilayah tata air dan ekosistem yang di

  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    480

    dalamnya terjadi proses hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara

    unsur-unsur biotik, abiotik dan manusia dengan segala aktivitasnya. Perubahan

    yang terjadi terhadap suatu unsur akan mempengaruhi kondisi DAS secara

    keseluruhan.

    Karakteristik dan variabel DAS meliputi beberapa variabel yang dapat

    diperoleh melalui pengukuran langsung, data sekunder, peta, dan dari data

    penginderaan jauh yang bersifat dinamik dan mutakhir. Ketersediaan data

    keruangan yang cukup kompleks dapat diolah menggunakan Sistem Informasi

    Geografis (SIG). Penggunaan teknologi PJ dan SIG dalam penelitian ini

    digunakan untuk memperoleh beberapa karakteristik fisik DAS seperti penentuan

    batas DAS/subDAS, penggunaan lahan, kemiringan lereng, kemiringan sungai

    utama, kerapatan aliran, pola aliran, penentuan nilai runoff curve number (CN)

    dan koefisien aliran (c) yang nantinya sebagai input dalam pemodelan

    ketersediaan air dan erosi-sedimentasi. Penggunaan teknologi tersebut sangat

    bermanfaat dalam identifikasi karakteristik fisik lahan karena DAS Serang, Lusi,

    dan Juwana cukup luas. Kerja lapangan hanya untuk ground-check dan updating

    data pada beberapa titik lokasi yang representatif sehingga menghemat tenaga,

    waktu dan biaya.

    BAHAN DAN METODE

    Bahan

    1. Peta Rupabumi Indonesia Skala 1:25000

    2. Peta Penggunaan Lahan

    3. Citra SRTM

    Alat:

    1. GPS Garmin 76C

    2. Rol Meter

    3. Theodolit Total Station D 50

    4. Perangkat lunak Pengolahan data PJ dan SIG:

    Arc View 3.1, ER Mapper 5.5

  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    481

    Metode

    Karakteristik DAS

    Luas (Area)

    Luas DAS diukur pada peta topografi yang telah didelineasi batasbatas

    DAS nya, dengan menggunakan fasilitas perangkat lunak Arc View 3.1.

    Bentuk ( Shape )

    Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran sungai dan ketajaman

    puncak debit banjir. Miller (1953) menggunakan circularity ratio dengan

    menggunakan rumus Rc = A/Ac, dimana Rc adalah circularity ratio, A adalah luas

    DAS, dan Ac adalah luas lingkaran yang mempunyai perimeter sama dengan

    perimeter DAS tersebut. Nilai Rc digunakan untuk menentukan bentuk DAS. Bila

    nilainya 1 berarti bentuk DAS tersebut adalah lingkaran.

    Kemiringan DAS ( Slope )

    Kecepatan dan tenaga erosif dari overland flow sangat dipengaruhi oleh

    tingkat kelerengan DAS. Untuk mengukur lereng dapat dilakukan peta topografi

    dengan menggunakan rumus HORTON (1945), S = CL / A, dimana S adalah

    kemiringan DAS (%), C adalah interval kontur (m), L total panjang kontur dalam

    DAS (m), dan A adalah luas DAS (m2)

    Kemiringan Sungai Utama

    Salah satu cara menghitung gradien sungai rata rata adalah dengan slope

    faktor yang dikembangkan oleh BENSON (1962) yaitu, S = (H85 H10) / 0,75 Lb,

    dimana S adalah kemiringan sungai, (H85 - H10) adalah selisih elevasi antara 10 %

    dan 85 % panjang sungai utama diukur dari outlet, dan Lb adalah panjang sungai

    utama.

    Kerapatan Aliran (Drainage Density)

    Kerapatan aliran merupakan perbandingan antara total panjang alur sungai

    dengan luas suatu DAS (Linsley, 1949), Dd = L / A, dimana Dd adalah

    kerapatan aliran sungai (mil/mil2) L adalah total panjang alur sungai (mil), dan

    A adalah luas DAS (mil2).

    Topografi

    Topografi merupakan unsur penting dalam hidrologi, baik itu digunakan

    dalam estimasi, prediksi maupun pemodelan. Dalam Sistem Informasi Geografi

  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    482

    (SIG) data topografi dirubah dalam bentuk model permukaan dalam hal ini

    berformat raster berupa DEM (Digital Elevation Model).

    Pada penelitian ini DEM diolah dari data the Shuttle Radar Topography

    Mission (SRTM). Beberapa parameter morfometri DAS dihasilkan dari DEM

    dengan menggunakan teknologi GIS yang dilengkapi dengan tools pengolah

    model elevasi, pada studi ini pengolahan DEM menggunakan tools 3DAnalyst

    versi 1.0 extension dari ArcView. 3DAnalyst digunakan untuk mendapatkan

    parameter-parameter morfometrik seperti: kemiringan lereng, arah aliran, arah

    lereng (aspect), dan dengan menggunakan tools hydrology model batas DAS

    dapat di delineasi.

    Penentuan Batas Wilayah Sungai

    Batas Daerah Aliran Sungai (DAS) didapat hasil analisis keruangan

    dengan menggunakan 3DAnalyst dan Spatial Analyst yang merupakan extention

    dari ArcView 3.1 produk dari ESRI. Data DEM dengan grid 30 x 30 m sebagai

    masukan data model elevasi digital setelah diproses penghilangan sink, kemudian

    buat peta arah aliran (flow direction) dan akumulasi aliran (flow accumulation).

    Gambar 1 memperlihatkan skema dari arah aliran dan akumulasi aliran, kemudian

    dari peta akumulasi aliran dibangun saluran sungai yang dibangun berdasarkan

    jumlah sel/grid yang mengalir pada sel tertentu. Pada proses ini Sub-DAS dapat

    dibagi berdasarkan jumlah sel/grid diatas. Skema arah dan akumulasi aliran dapat

    dilihat pada Gambar 1 sedangkan diagram alir proses pengerjaan dengan GIS

    diperlihatkan pada Gambar 2.

    Gambar 1. Skema dari arah aliran dan akumulasi aliran

  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    483

    Gambar 2. Diagram alir proses hidrologi model dengan GIS untuk penentuan batas DAS

    Penggunaan Lahan

    Kajian perubahan penggunaan lahan yang dikaji di DAS Serang Lusi

    Juwana adalah tahun 1994 dan 2001. Perubahan penggunaan lahan tersebut

    kemudian dikaji kesesuaiannya dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2010.

    Peta penggunaan lahan tahun 1994 berasal dari kompilasi Peta RBI Bakosurtanal,

    tahun 2001 dari hasil interpretasi Citra Landsat TM oleh LAPAN, sedangkan Peta

    RTRW dari BPDAS Jateng yang diproses menggunakan Arcview 3.1.

    Untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan dilakukan tumpangsusun

    peta dan analisis tabel seperti terlihat pada Tabel 1 sehingga diketahui jenis dan

    luasan perubahan penggunaan lahan dari tahun ke tahun dan kesesuaiannya

    dengan rencana tata ruang.

    Tabel 1. Matrik korelasi perubahan penggunaan lahan

    1994/2001 1 2 3 4 5 6 7 8 9

    10 20 30 40 50 60 70 80 90

    1 11 21 31 41 51 61 71 81 91

    2 12 22 32 42 52 62 72 82 92

    3 13 23 33 43 53 63 73 83 93

    4 14 24 34 44 54 64 74 84 94

    5 15 25 35 45 55 65 75 85 95

    6 16 26 36 46 56 66 76 86 96

    7 17 27 37 47 57 67 77 87 97

    8 18 28 38 48 58 68 78 88 98

    9 19 29 39 49 59 69 79 89 99

    Keterangan:

    1, 2, 3, dst = jenis penggunaan lahan

    11, 21, 31, dst: = perubahan penggunaan lahan

    Peta

    Topografi

    1 : 25.000

    Hidrologi Model :

    - Fill/Sink

    - Flowdirection

    - FlowAccumulation

    - StreamChannel

    (raster Calc : 50.000

    sel/grid = 405 Km2)

    - StreamLink

    - Boundary Watershed

    PETA BATAS D DAS

    Convert data Raster

    watershed ke bentuk

    vector (polygon)

    PETA DAS

    DALAM

    FORMAT GRID

    DEM

    GRID 30 x

    30 m

  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    484

    Parameter Proses Karakterisasi Banjir dan Kekeringan

    Run Off Curve Number (CN)

    Untuk mengetahui nilai run off curve number (CN) dilakukan

    tumpangsusun peta tanah tahun 1989 dan peta penggunaan lahan tahun 2001

    Koefisien aliran (c)

    Koefisien aliran (c) adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan

    antara besarnya aliran permukaan yang terjadi dan curah hujan. Nilai c berkisar

    antara 0 100%. Semakin besar nilai c menunjukkan bahwa semakin banyak air

    hujan yang menjadi aliran permukaan, sehingga nilai ini dapat menjadi indikator

    gangguan fisik dalam suatu DAS. Nilai c digunakan untuk perkiraan nilai puncak

    debit dengan Metode Rasional.

    Penentuan nilai c dilakukan dengan metode Cook. Menurut Cook, nilai

    koefisien aliran sangat dipengaruhi oleh kondisi kemiringan lereng, infiltrasi

    tanah, tutupan vegetasi, dan simpanan permukaan. Nilai c diklasifikasikan

    menjadi empat tingkat yaitu Rendah (c 25%), Sedang ( 25% < c 50%), Tinggi

    (50% < c 75%), dan Ekstrim (75% < c 100%).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Karakteristik DAS

    Luas (Area)

    Luas DAS diukur pada peta topografi yang telah didelineasi batas DAS-

    nya. Luas DAS berpengaruh terhadap aliran permukaan yang terjadi. Semakin

    luas suatu DAS, maka aliran permukaan makin lama mencapai titik tempat

    pengukuran. Hal itu akan menyebabkan dasar hidrograf banjir menjadi lebih besar

    dan debit puncaknya berkurang. Luas DAS Serang outlet Bendung Sedadi adalah

    864,38 km2, DAS Lusi outlet Bendung Dumpil adalah 886,94 km

    2, DAS Serang

    outlet Bendung Klambu adalah 3079,83 km2, sedangkan DAS Juwana mempunyai

    luas 1335,83 km2.

  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    485

    Bentuk (Shape)

    Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran sungai dan ketajaman

    puncak debit banjir. Bentuk daerah aliran sungai ini sulit untuk dinyatakan secara

    kuantitatif. Dengan membandingkan konfigurasi basin, dapat dibuat suatu indeks

    yang didasarkan pada derajat kekasaran atau circularity dari DAS. Apabila nilai

    Rc adalah 1 berarti bentuk DAS tersebut adalah lingkaran. Nilai Rc DAS Serang,

    Lusi, Juwana masing 0,154, 0,213, dan 0,392. Dari nilai tersebut dapat diketahui

    bahwa DAS Serang mempunyai bentuk memanjang, DAS Lusi lebih lebar dan

    DAS Juwana sedikit lebih membulat.

    Kemiringan DAS (Slope)

    Kemiringan DAS berpengaruh terhadap kecepatan dan tenaga erosif dari

    overland flow. Semakin besar tingkat kelerengan DAS akan semakin besar

    kecepatan aliran permukaan dan semakin besar tenaga erosifnya. Kemiringan

    DAS Serang, Lusi, dan Juwana masing-masing adalah 11%, 9%, dan 11%.

    Kemiringan Sungai Utama

    Kemiringan sungai utama merupakan perbandingan antara beda elevasi

    hilir dan hulu sungai utama dengan panjang sungai utama. Nilai kemiringan

    sungai akan berpengaruh pada waktu konsentrasi. Semakin kecil nilai akan

    Gambar 3. Batas DAS Serang - Lusi -Juwana

  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    486

    menyebabkan waktu konsentrasi yang semakin besar. Kemiringan sungai Serang,

    Lusi, dan Juwana masing-masing adalah 0,0003449, 0,000418, dan 0,000000175.

    Kerapatan Aliran (Drainage Density)

    Kerapatan aliran merupakan perbandingan antara total panjang alur sungai

    dengan luas suatu DAS. Nilai kerapatan aliran total DAS Serang, Lusi, dan

    Juwana berturut-turut adalah, 3,89, 3,22, dan 3,84. Nilai tersebut menunjukkan

    bahwa secara keseluruhan DAS Serang merupakan DAS yang mempunyai sifat

    pengaliran yang termasuk baik, namun sebagian daerah terutama daerah Sedadi

    dan Sidorejo rawan kekeringan karena sifat pengalirannya sangat cepat.

    Dibangunnya Waduk Kedungombo, Bendung Sidorejo dan Bendung Sedadi

    berfungsi untuk menahan air di musim penghujan agar dapat digunakan pada

    musim kemarau terutama untuk kepentingan irigasi. DAS Lusi dan Juwana

    mempunyai sifat pengaliran yang termasuk baik, air tidak pernah tergenang terlalu

    lama. Beberapa daerah seperti subDAS Glugu Gendingan dan Penganjing-

    Nglempak di DAS Lusi merupakan daerah rawan kekeringan, sedangkan sebagian

    daerah di DAS Juwana memiliki pengaliran kurang baik karena sering mengalami

    penggenangan.

    Pola Aliran Sungai

    Sistem fluviatil dapat membedakan perbedaan pola geometri dari jaringan

    aliran sungai. Jenis pola aliran sungai antara sungai utama dan anak sungainya

    dari suatu daerah dan daerah lainnya akan bervariasi. Perbedaan pola aliran sungai

    sangai dipengaruhi oleh variasi kemiringan topografi, struktur dan litologi batuan

    dasarnya (Noor, 2005).

    Pola aliran sungai di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4,

    didominasi oleh pola dentritik yang cabang-cabang sungainya menyerupai struktur

    pohon. Pada umumnya dikontrol oleh litologi batuan yang homogen dan jenis

    batuannya. Sungai yang mengalir pada batuan yang keras (granit) akan bertekstur

    kasar, sedangkan pada batuan yang lebih lunak akan mempunyai tekstur yang

    halus. Pola aliran ini dijumpai terutama dibagian hulu dari anak-anak sungai Lusi

    dan sekitar Waduk Kedung Ombo, pada peta pola aliran ditandai dengan warna

    biru muda.

  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    487

    Pola aliran radial mempunyai arah aliran menyebar secara radial dari suatu

    titik ketinggian tertentu seperti seperti pucak gunung api atau bukit intrusi. Pada

    daerah penelitian pola aliran ini dijumpai pada Gunung Muria dan Gunung

    Merbabu, pada peta ditandai dengan warna merah muda.

    Pola aliran rectangular dijumpai sepanjang aliran Sungai Lusi dan Juwana,

    pada peta dicirikan dengan warna kuning. Pada umumnya pola aliran ini dikontrol

    oleh struktur geologi, seperti sesar (patahan) dan kekar (rekahan), pola ini

    dicirikan oleh alur-alur sungai yang mengikuti pola struktur geologi.

    Penggunaan Lahan

    Peta Penggunaan lahan tahun 1994 didapatkan dari peta Rupa Bumi

    Indonesia (RBI) Bakosurtanal dengan skala 1:25000. Setelah dianalisis maka

    diketahui bahwa penggunaan lahan yang dominan adalah sawah irigasi (30,87%),

    kemudian kebun (18,73%), dan sawah tadah hujan (15,8%). Sebaran spasial

    penggunaan lahan di DAS Seluna Tahun 1994 dapat dilihat pada Gambar 5

    Gambar 5. Peta penggunaan lahan DAS Serang-Lusi-Juwana tahun 1994

    Gambar 4 . Peta pola aliran di DAS Serang-Lusi-Juwana

  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    488

    Hasil interpretasi Citra Landsat TM tahun 2001 yang dilakukan oleh

    LAPAN menunjukkan bahwa klasifikasi penggunaan lahan dibagi menjadi hutan

    primer, kampung, kota, lahan terbuka, perkebunan, sawah, semak belukar,

    tambak, dan waduk. Secara keseluruhan di DAS Serang, Lusi, Juwana

    penggunaan lahan yang dominan adalah sawah (35,8%) dan perkebunan (32,3%),

    sedangkan penggunaan lahan terkecil berupa hutan primer (0,25%) yang berada di

    lereng Gunung Muria (Kabupaten Kudus). Berdasarkan survey lapangan pada

    bulan Agustus 2008, pada daerah tersebut penggunaan lahan sawah yang ada

    sebagian besar merupakan sawah irigasi sedangkan perkebunannya berupa

    perkebunan campuran. Jenis tumbuhan yang dijumpai di Jawa Tengah sangat

    beragam (Laporan Akhir Grand Design Pengelolaan Lingkungan Hidup SWS

    Jratunseluna, UGM 2003), tumbuhan tropis dikelompokkan dalam tiga kelompok,

    yaitu: 1) tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang

    panjang, ubi kayu, dll. 2) tanaman sayuran dan buah-buahan seperti kubis, bawang

    merah, bawang putih, cabe, kentang, wortel, mangga, dll. 3) tanaman industri

    seperti tembakau, cengkeh, kapas, teh, coklat, kelapa, dll. Peta penggunaan lahan

    tahun 2001 dapat dilihat pada Gambar 6.

    Gambar 6. Peta penggunaan lahan DAS Seluna tahun 2001

    Semak belukar banyak terdapat di lereng gunung muria, sekitar waduk

    kedungombo, lereng G. Merbabu, dan di perbukitan kapur utara, mencapai

    18,47% dari tutupan lahan secara keseluruhan. Waduk Kedungombo merupakan

    salah satu bendungan terbesar yang pernah dibangun oleh pemerintah, pada

    analisis ini luas tubuh air waduk kedungombo sekitar 3300 Ha. Di bagian hulu

  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    489

    didominasi oleh penggunaan lahan sawah, semak belukar, perkebunan, dan sedikit

    pemukiman sedangkan di bawah bendung sampai outlet Bendung Sidorejo

    didominasi perkebunan campuran.

    Dalam analisis perubahan penggunaan lahan 1994-2001 dilakukan

    penyederhanaan jenis penggunaan lahan karena sumber datanya berbeda yaitu dari

    peta rupabumi dan hasil interpretasi citra. Pada Gambar 7 dapat dilihat grafik

    komposisi perubahan penggunaan lahan tahun 1994-2001 yaitu hutan dan sawah

    berkurang. Dari matrik perubahan penggunaan lahan dalam format .xls hasil dari

    tumpangsusun kedua peta dapat diketahui bahwa sebagian hutan berubah menjadi

    semak, sawah, pemukiman, kebun, dan tanah kosong. Yang paling besar adalah

    perubahan dari hutan menjadi kebun (2300 Ha) yaitu di Kab. Grobogan Kec.

    Geyer Desa Juworo, Moggot, Ngrandu, dan Bangsri yang merupakan perbatasan

    antara DAS Serang dan Lusi. Alasan ekonomi merupakan alasan yang sangat

    mendasar dalam perubahan lahan hutan menjadi non hutan seperti kebun untuk

    tanaman produksi. Sawah sebagian berubah menjadi semak, kebun, pemukiman,

    dan tanah kosong, tetapi yang paling besar adalah berubah menjadi pemukiman

    (34909 Ha). Fenomena tersebut dapat dijumpai di Kabupaten Grobogan, Blora,

    dan Pati.

    Gambar 7. Grafik perubahan komposisi penggunaan lahan tahun 1994-2001

    Secara umum pola rencana tata ruang 2010 mirip dengan pola penggunaan

    lahan 2001. Peta rencana tata ruang tersebut berasal dari Balai Pengelolaan DAS

    Jateng. Pada dataran tinggi diperuntukkan hutan atau perkebunan, sedangkan

    dataran rendah untuk pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan

    Penggunaan Lahan Tahun 1994 dan 2001

    DAS Serang Lusi Juwana

    0

    50000

    100000

    150000

    200000

    250000

    Tubu

    h ai

    r

    Sem

    ak

    Sawah

    Hut

    an

    Pem

    ukim

    an

    Kebu

    n

    Tega

    lan

    Tana

    h Kos

    ong

    Empa

    ng

    Jenis Penggunaan Lahan

    Lu

    as (

    Ha)

    Lu 1994

    Lu 2001

  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    490

    pemukiman walaupun secara rinci rencana tata ruang ini membagi lebih kawasan-

    kawasan tersebut lebih rinci seperti kawasan hutan produksi terbatas, hutan

    produksi tetap, pertanian lahan keras, dsb.

    Areal perkebunan dan sawah pada penggunaan lahan 2001 sebagian

    direncanakan untuk hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, pertambangan,

    tanaman keras, dan perdesaan. Pada RTRW 2010 yang direncanakan untuk

    pertanian lahan basah (sawah) berada di kemiringan lereng datar-landai dengan

    formasi geologi alluvium.

    Penyimpangan terhadap rencana tata ruang terjadi juga pada kampung/kota

    yang telah ada pada penggunaan lahan tahun 2001. Sebagian luasan kampung/kota

    tersebut direncanakan untuk pertanian, yaitu pertanian lahan basah, kering, dan

    tanaman keras. Tambak pada penggunaan lahan tahun 2001 dikategorikan menjadi

    pertanian lahan basah pada rencana tata ruang 2010, sebagian lahan tambak

    tersebut diperuntukkan menjadi perdesaan, danau/waduk/rawa, dan kawasan

    rawan banjir.

    Parameter Proses Karakterisasi Banjir dan Kekeringan

    Run Off Curve Number (CN)

    Nilai run off curve number (CN) yang cukup besar diantaranya adalah di

    outlet sub DAS KlambuLusi dan LusiPurwodadi, yaitu 80,23 dan 80,10 yang

    menunjukkan bahwa sekitar 80% runoff menjadi limpasan permukaan. Hal

    tersebut disebabkan tipe Hidrologi Soil Group (HSG) pada kedua sub DAS

    tersebut adalah D dan penggunaan lahannya sawah irigasi. Pada HSG tipe D,

    potensi aliran permukaan tinggi dan laju infiltrasinya paling rendah sedangkan

    penggunaan lahan sawah tidak bisa meningkatkan laju infiltrasi. Sebaliknya, nilai

    CN yang rendah ada di SubDAS Serangguwo, Labanjengglong, dan

    Kedungombo, yaitu sekitar 53-64. Pada ketiga sub DAS tersebut sebagian besar

    HSG nya adalah tipe B yang mempunyai potensi aliran permukaan kecil dan laju

    infiltrasinya sedang. Penggunaan lahan yang dominan di daerah tersebut adalah

    perkebunan dan semak/belukar yang mampu meningkatkan laju infiltrasi.

    Nilai CN rerata tertimbang dan luasan per tipe HSG pada DAS Serang,

    Lusi, Juwana dapat dilihat pada Tabel 2.

  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    491

    Tabel 2. Luasan HSG dan nilai CN rerata tertimbang di DAS Seluna

    Koefisien Aliran (c)

    Menurut hasil perhitungan dengan metode Cook, daerah Wadung Kedung

    Ombo (WKO) memiliki koefisien aliran terendah. Hal ini berarti bahwa WKO

    berfungsi sebagai penampung aliran air hujan. Sebagian besar wilayah DAS Lusi

    dan Serang memiliki koefisien aliran tinggi. Daerah-daerah dengan rataan

    kemiringan lereng yang tinggi (10-30%) yaitu subDAS Balong-Sumberagung,

    Soca Sapen, Penganjing Ngemplak, Serang-Bendung Sidorejo, bagian selatan

    subDAS Lusi-Tawangharjo, perbatasan DAS Juwana dengan DAS Serang dan

    Lusi, dan beberapa daerah lain, memiliki koefisien aliran ekstrim. Nilai koefisien

    aliran per SubDAS diberikan pada Tabel 3 berikut.

    Tabel 3. Distribusi koefisien aliran pada DAS Lusi dan Serang

    Nama DAS Koefisien Aliran

    Lusi Bendung Dumpil 0.57

    Serang Bendung Sedadi 0.57

    Serang Bendung Klambu 0.58

    KESIMPULAN

    Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk

    analisis perhitungan beberapa karakteristik fisik DAS dan parameter proses

    karakterisasi banjir dan kekeringan.

    Nama DAS Luasan per Tipe HSG (Ha)

    Nilai CN

    Rerata

    tertimbang A B C D

    Serang 2833,67 33875,24 40755,48 22884,04 71,46

    Lusi 0 8266,66 145790,2 46229,1 80,17

    Juwana 8216,34 0 52931,7 74313,17 81,91

  • Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010

    492

    DAFTAR PUSTAKA

    Arsyad, Sitanala. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press. Bogor

    Asdak, Chay. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (cetakan

    ketiga). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

    Chow, V.T., ed. 1964. Handbook of Applied Hydrology. McGraw Hill, New York.

    Lillesand, T.M., & R.W Kiefer., 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra,

    Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

    Moore I, Burch G. 1986. Physical basis of the length-slope factor in the universal

    soil loss equation. Soil Sci Soc Am J 50:12941298.

    Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Williams JR, King KW. 2005. SWAT

    theoretical documentation. Soil and Water Research Laboratory: Grassland;

    494, p. 234235.

    Purwadhi, Sri Hardiyanti. 2001. Interpretasi Citra Digital. Grasindo. Jakarta

    Shaw, Elizabeth M. 2004. Hydrology in Practice (3rd

    ed.). Routledge. Oxon.

    Sosrodarsono, Suyono dan Takeda, Kensaku. 1987. Hidrologi Untuk Pengairan

    Pradnya Paramita; Jakarta

    Soil Conservation Service. 1983. Field investigations and surveys. In National

    Engineering Handbook, NEH-3. USDA SCS, Washington DC.

    Suharyadi. 1992. Tutorial Sistem Informasi Geografis, Yogyakarta, Fakultas

    Geografi, Universitas Gadjah Mada

    Wilson, Bruce N., Billy Barfield, Ian Moore. 1988. A Hydrology and

    Sedimentology Watershed Model Part I: Modeling Techniques. Department of

    Agricultural Engineering, Univ. of Kentucky.

    Wischmeier, W. H. & Smith, D. D. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses - A

    Guide to Conservation Planning. US Dept. of Agricultural Handbook 537.

    CATATAN

    1. Peta yang menggambarkan masing-masing komponen karakteristik DAS (CN, C, dll) perlu ditampilkan untuk mempermudah memperoleh

    gambarannya.

    2. Data koefisien aliran untuk DAS Juwana perlu ditampilkan.


Top Related