AGAMA DAN KEBUDAYAAN KAHARINGAN DI KALIMANTAN
MENURUT PARA PENULIS INDONESIA (1990-2013)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Mustika Diani Dewi
11140321000046
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
i
LEMBAR PERSETUJUAN
AGAMA DAN KEBUDAYAAN KAHARINGAN DI KALIMANTAN
MENURUT PARA PENULIS INDONESIA (1990-2013)
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Mustika Diani Dewi
NIM: 11140321000046
Di Bawah Bimbingan:
Drs. Dadi Darmadi, MA
NIP:196907071995031001
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Skripsi ini berjudul AGAMA DAN KEBUDAYAAN
KAHARINGAN DI KALIMANTAN MENURUT PARA PENULIS
INDONESIA (1990-2013) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada Program Studi
Agama-agama.
Jakarta, 24 September 2018
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Media Zainul Bahri, MA. Dra. Halimah SM, MA.
NIP. 19751019 200312 1 003 NIP. 19590413 199603 2 001
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Prof. Dr. M Ikhsan Tanggok, M. Si Dr. M. Amin Nurdin, MA.
NIP. 19651129 199403 1 002 NIP. 19550303 198703 1 003
Pembimbing,
Drs. Dadi Darmadi, MA.
NIP. 19690707 199503 1 001
iv
ABSTRAK
Mustika Diani Dewi
Judul Skripsi: “Agama dan Kebudayaan Kaharingan di Kalimantan Menurut
Para Penulis Indonesia (1990-2013)”
Banyak para penulis Indonesia yang menghasilkan karya-karya berupa
buku, artikel dan jurnal yang membahas mengenai Kaharingan.Tidak hanya
mengenai agama, namun mengenai kebudayaan Kaharingan serta etnomatika di
dalam kebudayaan Kaharingan tersebut.Oleh karena itu dalam skripsi ini berusaha
merekonstruksi hasil karya-karya 8 penulis Indonesia mengenai suku bangsa
Dayak Kaharingan dalam kedua aspek, yakni aspek keagamaan Kaharingan dan
kebudayaan Kaharingan.
Melalui kajian kepustakaan (library research) skripsi ini
berkesimpulan bahwa 8 penulis ini memiliki perbedaan dan persamaan dalam
menafsirkan mengenai Kaharingan.Perbedaan pertama yakni, perbedaan susunan
masyarakat Dayak dan perbedaan kedua mengenai klasifikasi motif produk
kesenian masyarakat Dayak. Sementara persamaannya yakni Syamsir Salam dan
Marko Mahin setuju jika agama Kaharingan tidak termasuk dalam paham
keagamaan (animisme, dinamisme, poletiesme dan monoteisme) namun lebih
setuju disebut agama masa lampau atau agama lokal di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini menggunakan
penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode
pendekatan histori dan hermeneutik. Pendekatan historis yang digunakan untuk
memaparkan sejarah agama Dayak Kaharingan, sementara pendekatan
hermeneutik digunakan untuk merekonstruksi hasil karya-karya para Penulis
Indonesia.
Kata kunci: Agama Kaharingan, Kebudayaan Kaharingan, dan Agama Lokal.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala rahmat, taufiq dan hidayah-Nya begitupun hingga skripsi
ini dengan judul “Agama dan Kebudayaan Kaharingan di Kalimantan Menurut
Para Penulis Indonesia (1990-2013),” dapat terselesaikan. Shalawat serta salam
selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW semoga setiap dari kita kelak
mendapat syafaat darinya.
Penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari sempurna ini tidak
akan dapat selesai tanpa adanya dukungan dari banyak pihak baik secara materil
maupun moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini,
terutama kepada yang terhormat.
1. Drs. Dadi Darmadi, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang memberikan
arahan, atas kesabaran dan ketelitian dalam membimbing Penulis. Beliau yang
telah banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan memberikan arahan,
motivasi serta bimbingan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Media Zainul Bahri, M.A, selaku Ketua Jurusan Studi Agama-Agama
serta selaku Penasehat Akademik dan Dra. Halimah Mahmudy M.A, selaku
sekretaris Jurusan Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.
3. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A atas
kesempatan belajar dan fasilitas yang diberikan pada Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat.
vi
4. Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Prof. Dr. Masri Mansoer,
M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, M.A, selaku Wadek I bidang Administrasi Fakultas
Ushuluddin. Dr. Bustamin, M.A, selaku Wadek II bidang Administrasi
Umum. Dr. M. Suryadinata, M.A, selaku Wadek III bidang Kemahasiswaan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, para Staff Akademik Fakultas
Ushuluddin khusus dengan bang Jamil yang membantu dalam informasi
tentang skripsi, para Staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan para Staff
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Ayahanda Drs. Muslimin, Mommi Farlindiani S.Pd, Ibunda Suhrifa, Daddy
Pedro Da Silva tercinta dan adik-adik serta keluarga yang membuat saya
semangat dalam menjalankan skripsi.
8. Teman-teman terbaik yang selalu mensupport dan mendukung dari awal mula
perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi: M. Rian Sujud Taufik, Athoillah
Tantowi, dan M. Qoyyum.
9. Sahabat-sahabat sebagai salah satu sumber keceriaan terampuh bagi penulis:
Nur Shabrina, Windy Anisa Dhiya, Siti Meli Marliana, Elva Nuzuliah, Dede
Nur Afiyah dah Afida Maulia Sabarini.
viii
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQOSYAH ...................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 9
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................ 10
1.4 Metodologi Penelitian ............................................................................ 11
1.5 Sumber Data ........................................................................................... 13
1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................. 16
BAB II ASAL-USUL SUKU BANGSA DAYAK ............................................. 18
2.1 Sejarah Suku Bangsa Dayak ................................................................... 18
2.2 Macam-macam Suku Bangsa Dayak ...................................................... 23
2.3 Upacara Adat dan Agama dalam Suku Bangsa Dayak .......................... 39
2.4 Kepercayaan Suku Bangsa Dayak .......................................................... 48
BAB III PEMIKIRAN PARA PENULIS INDONESIA MENGENAI
AGAMA DAN KEBUDAYAAN SUKU BANGSA DAYAK DI
KALIMANTAN .................................................................................................. 52
3.1 Karya Para Penulis Indoneisa Mengenai Kaharingan ............................ 52
3.2 Agama Kaharingan Menurut Para Penulis Indonesia ............................. 61
ix
ix
3.3 Kebudayaan Kaharingan Menurut Para Penulis Indonesia .................... 80
BAB IV PERBEDAAN DAN PERSAMAAN PENDAPAT PARA PENULIS
INDONESIA MENGENAI KAHARINGAN ................................................. 100
4.1. Perbedaan Susunan Masyarakat Dayak Kaharingan ............................ 100
4.2 Klasifikasi Motif Produk Kesenian Masyarakat Dayak Kaharingan ... 107
4.3 Kaharingan Agama Masa Lampau ....................................................... 115
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 118
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 118
5.2 Saran ..................................................................................................... 123
5.3 Kata Penutup ........................................................................................ 124
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 125
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia memiliki batas-batas georagrafis seperti yang
berlaku sekarang ini adalah suatu kawasan atau wilayah bekas jajahan Belanda
antara abad ke-17 hingga abad ke-20. Pada saat itu, Indonesia disebut Hindia
Belanda Timur. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno dan Mohammad
Hatta mengproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Soekarno dan Hatta
dikenal dalam sejarah perjuangan bangsa sebagai proklamator kemerdekaan
negara Republik Indonesia.1
Dilihat dari perspektif sosial budaya, bangsa Indonesia merupakan
salah satu bangsa di dunia yang paling majemuk dipandang dari segi
banyaknya agama, kepercayaan, tradisi, kesenian, kultur dan etnis. Indonesia
memiliki lebih dari 300 kelompok etnis di Indonesia, masing-masing
mempunyai identitas budayanya sendiri-sendiri, lebih dari 250 jenis bahasa
daerah dipakai, dan hampir semua agama besar diwakili, selain agama asli
yang jumlahnya tidak sedikit.
Pluralitas masyarakat dan keberagaman budaya Indonesia
digambarkan oleh para pendiri Republik Indonesia ini pada tahun 1945
dengan mempergunakan motto ”Bhinneka Tunggal Ika” sebagai motto
nasional. Bhinneka Tunggal Ika adalah bahasa Sansekerta yang berarti
”Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu.” Motto ini diambil dari gagasan brilian
1 Faisal Ismail, “Prolog,”dalam Kementrian Agama RI, Badan LITBANG dan Diklat, Ed.,
Ahmad Syafi’I Muhfid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012), h. xi.
2
pujangga Empu Tantular, seorang pemikir cemerlang pada zaman kejayaan
kerajaan Hindu Majapahit (1293-1478). Para penguasa kerajaan Majapahit,
yang muncul sebagai kerajaan Hindu terbesar sebelum kedatangan Islam di
Indonesia, menggunakan motto tersebut untuk memelihara komitmen kesatuan
seluruh rakyat dan menjaga integritas wilayah kerajaan. Tujuan penggunaan
kembali motto ini oleh para pendiri Republik ini sebagai motto nasional
adalah untuk mempertegas visi kebangsaan dan aspirasi sosial politik mereka
guna merekat, merawat, mempererat dan memperkuat persatuan nasional,
integritas wilayah dan stabilitas negara Indonesia yang kita kenal sebagai
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). NKRI dipatok sebagai telah
final dan ditetapkan sebagai ‘harga mati.’ Konsesus nasional pun secara bulat
disepakati bahwa NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan kemajemukan merupakan
empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.
Realitas kemajemukan bangsa Indonesia tercermin secara nyata dari
banyaknya etnis seperti etnis Jawa, Sunda, Betawi, Madura, Batak, Bugis,
Banjar, Dayak, Buton, Bali, Sasak, Maluku, Minang, dll. yang semuanya
menurut penelitian antropolog Amerika Serikat Hildred Geertz sebagaimana
dikutip oleh Ismail di buku Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan
Agama Lokal di Indonesia (2012)yang di cetak oleh Badan LITBANG dan
Diklat Kementrian Agama RI berjumlah lebih dari 300 etnis. Masing-masing
etnis mempunyai bahasa daerah (Hildred Geertz dalam penelitiannya
memperkirakan lebih dari 250 bahasa lokal dipakai di Indonesia), adat istiadat,
tradisi, seni dan budaya sendiri dengan identitas khas yang berbeda satu sama
lain. Dari segi agama dan kepercayaan, bangsa Indonesia memperlihatkan juga
3
sosok kemajemukan yang sangat kaya dan variatif. Agama-agama besar
seperti Islam (dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia), Kristen (Katolik dan
Protestan), Hindu dan Budha sudah lama eksis di Tanah Air ini dan
mempunyai komunitas penganut masing-masing. Realitas historis sosiologis
ini menunjukkan secara nyata bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat
yang religius. Bahkan di Indonesia terdapat Kementerian Agama (Kemenag)
yang salah satu tugas pokoknya adalah menumbuh-kembangkan, membina
dan menjaga kerukunan antar umat beragama dan toleransi antar penganut
kepercayaan.2
Karena kepercayaan-kepercayaan lokal itu muncul dan berkembang di
lokalitas dengan latar belakang kehidupan, tradisi, adat istiadat dan kultur
yang berbeda-beda, maka dapat dipastikan bahwa masing-masing kepercayaan
lokal itu memperlihatkan ciri-ciri khas yang berlainan satu sama lain. Dengan
kata lain, suatu kepercayaan lokal yang terdapat di suatu daerah akan tidak
sama dengan kepercayaan lokal yang terdapat di daerah lain. Bisa saja
terdapat kemiripan sebagai ekspresi kerohanian dan wujud praktik
kepercayaan, tetapi setiap kepercayaan lokal akan menampakkan ciri khas dan
karakteristiknya tersendiri. Disebut kepercayaan lokal karena kepercayaan
tersebut hanya dipeluk oleh suku atau masyarakat setempat. Pada
kenyataannya, kepercayaan lokal itu tidak berkembang dan hanya dipeluk,
dianut dan dipraktikkan oleh suku yang mendiami daerah tertentu. Dapat
diduga bahwa kepercayaan-kepercayaan lokal ini sudah eksis sebelum agama
Hindu, Budha, Islam dan Kristen datang ke Nusantara. Kepercayaan-
2 Ismail, “Prolog,” h. xiii.
4
kepercayaan lokal ini tetap bertahan pada saat agama Hindu, Budha, Islam dan
Kristen datang ke Nusantara dan terus dianut secara turun temurun oleh suku-
suku di daerah-daerah di Indonesia sampai sekarang ini. Dengan demikian,
kepercayaan-kepercayaan lokal itu tidak mengalami kepunahan dan terus tetap
eksis sampai sekarang ini dalam kehidupan spiritual para penganutnya.
Beberapa Agama lokal di Indonesia yakni Agama Bali (biasa disebut
Hindu Bali atau Hindu Dharma), Aluk Tadolo (Toraja), Sunda wiwitan
(Banten), Kejawen (jawa Tengah dan Jawah Timur), Permalim (Sumatera
Utara), Tonas Waliaan (Minahasa, Sulawesi Utara), Tolottang (Sulawesi
Selatan), Wetu Telu (Lombok), Kaharingan (Kalimantan), Marapu (Sumba)
dan masih banyak lagi.3
Salah satu agama lokal terbesar di Indonesia adalah agama
Kaharingan. Kaharingan diciptakan pada tahun 1957 dari unsur-unsur
sejumlah kepercayaan dalam masyarakat Dayak. Suku Dayak Ngaju
merupakan suku asli paling besar di Propinsi Kalimantan Tengah yang
memeluk agama Kaharingan. Sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju tinggal
di kampung-kampung tepi sungai. Sejak tahun 1957, perkembangan agama
Hindu Kaharingan dipermainkan oleh kekuatan- kekuatan dari pihak politik
serta agama. Upacara paling menentukan dalam kehidupan penganut agama
Hindu Kaharingan adalah Tiwah, yaitu upacara kematian terakhir. Upacara ini
berlangsung paling sedikit tujuh hari dan paling lama tiga puluh tiga hari.
Tujuan upacara ini adalah pengangkatan arwah orang yang meninggal ke
surga agar dapat bersatu dengan nenek moyangnya serta sangiang, mahkluk
3 Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara pada tanggal 25
Maret 2018, 01.51.
5
halus. Di sinilah letak pentingnya upacara rumit ini. Identitas Dayak
berhubungan erat baik dengan agama Hindu Kaharingan maupun dengan
gagasan kekeluargaan.4
Agama, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti ajaran,
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dengan manusia serta lingkungan.5 Di dalam Wikipedia juga
menjelaskan bahwa agama adalah sebuah koleksi terorganisasi dari
kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan
manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki
narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan asal-
usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan kosmos dan sifat manusia,
orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang
disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.6
Kebudayaan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan,
kesenian, dan adat istiadat.7 Senada dengan KBBI, kebudayaan dalam
Wikipedia menjelaskan bahwa budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa
Sanksekerta yaitu buddayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budia atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan
4 Brooke Nolan, Dayak Kaharingan Belief System.(tanpa kota: tanpa penerbit, tanpa
tahun), h. 1. 5Diakses dari https://kbbi.web.id/budaya pada tanggal 27 September 2018 pukul 13.26
WIB. 6Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Agama pada tanggal 27 September 2018
pukul 11.50 WIB 7 Diakses dari https://kbbi.web.id/agamapada tanggal 27september2018 pukul 13.25
WIB.
6
akal manusia. Di Wikipedia juga menjelaskan bahwa dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau
Bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam
bahasa Indonesia.8
Wacana.com menerbitkan informasi mengenai Kaharingan sebagai
agama dan kaharingan sebagai kepercayaan. Dalam wacana.co menjelaskan
bahwa sebagai agama, Kaharingan sudah ada beribu-ribu tahun di Kalimantan
bahkan sebelum datangnya agama Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen.Sebagai
agama “peninggalan leluhur”, Kaharingan sangat erat kaitannya dengan
aktivitas keseharian masyarakat Dayak pada masa lalu, baik dalam upaya
merambah hutan, berladang, berburu, dan kehidupan sosial mereka lainnya.
Sementara sebagai kepercayaan, Kaharingan memuat aturan bagi kehidupan,
nilai dan isinya bukan sekedar kungkungan adat-istiadat yang dirahasiakan
sembari harus dilaksanakan, Kaharingan justru merupakan ajaran untuk
berprilaku yang harus disampaikan secara lisan dan dimengerti secara
menyeluruh.9
Oleh karena itu skripsi ini akan menganalisis hasil-hasil penelitian 8
orang Penulis Indonesia yang membahas mengenai agama dan budaya
Kaharingan, penulis itu diantaranya ialah:
Syamsir Salam, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Salam
dalam bukunya yang berjudul Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku
Dayak di Kalimantan Tengah (2009), lebih menekankan kepada sejarah
8Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya 27 September 2018 pukul 11.35 WIB. 9Diakses dari http://www.wacana.co/2014/02/kaharingan-agama-leluhur-suku-
dayak/pada tanggal 02Oktober 2018 pukul 11.31 WIB.
7
agama suku bangsa Dayak dan upacara-upacara agama Kaharingan ini.
Menurut Salam sistem sosial dan kerohanian suku Dayak yang mereka peroleh
dari nenek moyang secara langsung, yakni melalui cerita-cerita, legenda
ataupun mitos yang disampaikan secara langsung oleh orang tua-tua kepada
anak, dari anak ke anaknya lagi dan begitu seterusnya, sehingga tradisi-tradisi
suku bangsa Dayak tetap terjaga.10
Senada dengan Syamsir Salam, Harun Hadiwiyono di dalam bukunya
yang berjudul Religi Suku Murba di Indonesia (2003) lebih banyak membahas
mengenai keyakinan, mitos dan upacara-upacara keagamaan masyarakat suku
Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Menurut Hadiwiyono suku murba di
Kalimantan disebut sebagai suku Dayak. Walaupun sebenarnya ada perbedaan
yang banyak antara suku yang satu dengan suku lain, baik dibidang
kebudayaan maupun di bidang Bahasa.11
Marko Mahin adalah pendeta dan juga teolog Indonesia yang menulis
disertasi berjudul Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan
Tengah (2009). Marko membahas mengenai aspek keagaman Kaharingan
dimana ia menjelaskan dalam desirtasinya bahwa umat Kaharingan mampu
menggeser posisi Kaharingan dari ketertindasan absolut ke posisi relatif lebih
baik, karena umat Kaharingan melakukan proses mutasi kultural (self-
religionization).12
10 Syamsir Salam, Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan
Tengah (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2009), h. 212. 11 Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), h.
56. 12Marko Mahin, Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, (SKripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI, 2009), h. 343.
8
Penulis lain, Diana H. Sofyan dalam karyanya Agama dan
Pengobatan, Latar Belakang Religi dan Konsep Dasar Pengobatan Suku
Dayak Ngaju Kalimantan Tengah, Khususnya Kota Madya Palangkaraya
(1997) membahas mengenai model pengobatan Suku Dayak Ngaju di
Palangkaraya. Diana mengatakan bahwa pengobatan suku Dayak Ngaju
Kalimantan Tengah erat kaitannya dengan agama, karena beberapa unsur
agama seperti magi, ritual, pembacaan doa dan kepercayaan pada kosmologi
selalu ada dan terkait dalam setiap pengobatan.13
Edy Suprabowo melakukan penelitian mengenai praktik budaya dalam
kehamilan pada Suku Dayak Sanggau. Angka kematian ibu di Kalimantan
Barat adalah 442/100.000 kelahiran hidup berada di atas angka rata-rata dunia,
oleh karena itu Edy melakukan penelitian untuk mengidentifikasi dan
menganalisa praktek budaya masyarakat Suku Dayak Sanggau yang
berpengaruh terhadap kehamilan, kelahiran dan nifas. Penelitian ini di
rumuskan dengan judul Praktek Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan
Nifas pada Suku Dayak Sanggau, Tahun 2006 (2006).14
Penulis lain lagi, Fransisca Muti Setyowati meneliti Etnobotani
Masyarakat Dayak Ngaju di Timpah Kalimantan Tengah (2005). Dalam hasil
penelitian Setyowati disebutkan bahwa masyarakat Dayak Ngaju
memanfaatkan 107 lebih jenis tumbuhan yang dimanfaatkan baik sebagai
bahan pangan (56 jenis), obat-obatan (46 jenis), kosmetik (4 jenis), bahan
bangunan (9 jenis). Oleh karenanya masyarakat Ngaju masih terbilang sangat
13 Diana H. Sofyah, Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep Dasar
Pengobatan Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota Madya Palangkaraya,(Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI Jakarta, 1997), h. 182.
14 Edy Suprabowo, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku Dayak Sanggau,”Kesahatan Masyarakat Nasional, Vol 1, No. 3, Desember 2006, h. 112.
9
tergantung kepada tumbuh-tumbuhan sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.15
Kelompok besar terakhir yakni mengenai aspek Etnomatika dalam
kebudayaan Kaharingan, yang membahas mengenai etnomatika dalam
kebudayaan Kaharingan ialah Edy Tandililing dengan penelitian berjudul
Pengembangan Pembelajaran Matematika Sekolah dengan Pendekatan
Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya untuk Meningkatkan
Kualitas Pembelajaran Matematika di Sekolah (2013) dan Agung Hartoyo
dengan penelitian berjudul Eksplorasi Etnomatika Pada Budaya Masyarakat
Dayak Perbatasan Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau KALBAR (2012).
Penelitian keduanya bertujuan mengungkapkan etnomatika yang di praktekan
oleh masyarakat Dayak dalam menjalani kehidupan sehari-hari atau
melaksanakan berbagai upacara adat.
Dari para penulis di atas, yang telah mendiskripsikan agama
Kaharingan dan masyarakat suku Dayak di Kalimantan ternyata menggunakan
metode-metode yang berbeda. Penulis tertarik ingin meneliti hasil karya para
penulis di atas, yang penulis rumuskan menjadi judul “Agama Suku Bangsa
Dayak Menurut Para Penulis Indonesia (1990-2013)”.
1.2 Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam penulisan penelitian ini tidak melebar, maka
penulis membatasinya pada masalah-masalah berikut:
1. Bagaimana agama dan kebudayaan Kaharingan menurut para penulis
Indonesia?
15 Franisca Murti Setyowati dkk, Enbotani Masyarakat Dayak Ngaju di Daerah Timpah
Kalimantan Tengah,(tanpa tempat: Pusat Penelitian Biologi: LIPI, 2005), h. 504-507.
10
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang disampaikan di atas, maka tujuan
penulisan ini dimaksudkan untuk:
a. Mengetahui dan memahami agama dan budaya Kaharingan menururt
para penulis Indonesia.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini dibagi menjadi tiga, yakni kegunaan teoritis,
praktis dan Akademis.
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
sumbangan data ilmiah dan mampu memperkaya khasanah keilmuan
dalam memahami hasil karya para penulis di Indonesia mengenai
agama dan kebudayaan Kaharingan di Kalimantan.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi para
mahasiswa/i khususnya jurusan Studi Agama-agama agar lebih
subjektif lagi dalam memahami setiap hasil karya orang lain, dan hasil
penelitian ini dapat menjadi rujukan para peneliti lain dengan tema
atau judul yang serupa.
c. Kegunaan Akademis
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
persyaratan akhir perkuliahan guna mendapatkan gelar Sarjana Agama
11
(S.Ag) jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1.4 Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang mana menurut
Sayuthi Ali penelitian kualitatif ini merupakan sebuah penelitian yang
berusaha mengungkapkan keadaan yang bersifat alamiah secara holistik.
Penelitian kualitatif bukan hanya menggambaran variable-variabel tunggal
melainkan dapat mengungkapkan hubungan antara satu variable dengan
variable lain. Bahkan Moleong (1998) menegaskan bahwa penelitian
kualitatif dapat melihat hubungan sebab-akibat. Hanya saja yang menjadi
titik tekan ialah suatu keadaan secara alamiah (apa adanya).16
Penelitian kualitatif berakar pada latar belakang alamiah sebagai
keutuhan mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan
metode kualitatif, mengandalkan analisis secara induktif, mengarahkan
sasaran penelitian pada usaha menemukan teori dasar yang bersifat
deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil. Mengatasi studi
dengan fokus, memiliki seperangkat untuk memeriksa keabsahan data,
rancangan penelitian bersifat sementara dan hasil penelitian disepekati
oleh kedua belah pihak: peneliti dan subjek penelitian.17
Secara umum penelitian kualitatif sangat berkembang sejak tahun
1984, karena berbagai segi yang memang sulit dilaksanakan secara
16 Sayuthi Ali, Metode Penelitian Agama Pendekatan Teori & Praktik (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 58. 17 Lexy J Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdokarya,
1996), h. 27.
12
kuantitatif.18 oleh karena itu penulis menggunakan jenis penelitian
kualitatif pada penelitian ini karna sulit dilaksanakan jika menggunakan
penelitian kauntitatif.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan dua pendekatan
yaitu pendekatan historis dan pendekatan hermeneutik. Pendekatan historis
digunakan untuk menelusuri asal-usul serta pertumbuhan pemikiran-
pemikiran dan lembaga-lembaga keagamaan melalui periode
perkembangan sejarah tertentu, serta untuk memahami peranan kekuatan
yang diperlihatkan oleh agama dalam periode-periode tersebut.19
Pendekatan historis yang digunakan untuk menggambarkan sejarah agama
Kaharingan. Dengan mengetahui sejarah agama Kaharingan, dengan ini
penelitian ini dapat mendiskripsikan agama Kaharingan menurut para
penulis Indonesia serta beberapa perbedaan penafsiran oleh para penulis
Indonesia mengenai agama dan kebudayaan Kaharingan di Kalimantan.
Sementara hermeneutik berasal dari bahasa Yunani berarti
mengintrepretasikan, menjelaskan, atau menerjemahkan. Kata Yunani ini
berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam mitos orang Yunani, yang
bertugas menyampaikan berita dari dewa kepada manusia. Dewa ini juga
dewa ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian.
Hermeneutik tidak hanya untuk menafsirkan Al-kitab saja tetapi dapat
juga digunakan untuk mencari arti sesungguhnya dari kesenian, sejarah,
18 Boy S. Sarbaguna, Analisis Data pada Penelitian Kualitatif (Jakarta: UI Press, 2008), h.
1. 19 Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama Pengenalan Awal Metodelogi
Studi Agama-agama untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 39.
13
literatur, ilmu purbakala, penerjemah dan dapat juga digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.20 Dengan pendekatan hermeneutik ini untuk
mendiskripsikan dan memahami hasil tulisan-tulisan para penulis
Indonesia mengenai agama dan kebudayaan Kaharingan di Kalimantan.
3. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Biro Akademik dan
Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014/2015.
1.5 Sumber Data
Pengumpulan data (heuristik), yaitu kegiatan mencari dan
mengumpulkan data.21 Sumber Literature atau studi kepustakaan (Library
Research), yaitu suatu penelitian kualitatif yang objek kajiannya adalah
kepustakaan, ia memuat gagasan atau pikiran-pikiran yang didukung oleh data
kepustakaan di mana sumbernya dapat berupa jurnal penelitian, skripsi, tesis,
disertasi, laporan penelitian, buku teks, makalah, laporan seminar,
dokumentasi hasil diskusi ilmiah, dokumen resmi dari pemerintah dan
lembaga lainnya.22
Sumber data ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Sumber Primer
20 Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Al-Kitab ( Malang:
Seminari Al-Kitab Asia Tenggara, 1993), h. 1. 21 Heru Sukardi K, Dasar-dasar Metodologi Sejarah (Surabaya, Proyek Peningkatan/
Pengembangan Perguruan Tinggi IKIP Surabaya, 1979), h. 5. 22 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan R&D,
edisi IV (CET XIX, Bandung: Alfabeta, 2014), h. 3.
14
Sumber data primer adalah sumber data yang dapat memberikan data
penelitian secara langsung. Sumber data primer ini merupakan sumber
utama, berupa karya yang ditulis langsung oleh penganutnya sendiri
maupun yang ahli dalam bidangnya. Adapun sumber-sumber primer yang
digunakan penulis antara lain:
1) Syamsir Salam. Agama Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di
Kalimantan Tengah. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah. 2009.
2) Diana H Sofyah. Agama & Pengobatan Latar Belakang Religi dan
Konsep Dasar Pengobatan Dayak Ngaju Kalteng Khususnya Kota
Madya Palangkaraya. Tesis Pasca Sarjana Studi Antropologi
Universitas Indonesia Jakarta. 1997.
3) Marko Mahin. Kaharingan: Dinamika Suku Dayak di Kalimantan
Tengah. Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia Jakarta. 2009.
4) Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba. Jakarta: Gunung Mulia. 2003.
5) Edy Suprabowo. “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan
Nifas pada Suku Dayak Sanggau, Tahun 2006.” Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional. Vo.1. No. 3. Desember 2006.
6) Fransisca Murti Setyowati. dkk., Etnobotani Masyarakat Dayak Ngaju
di Daerah Timpah Kalimantan Tengah (Bidang Botani. Pusat
Penelitian Biologi-LIPI).
15
7) Anne Schiller. An “Old” Religion in “New Order” Indonesia: Notes on
Ethnicity and Religious Affiliation. “Sociology of Religion,” 57:04.
1996.
8) Brooke Nolan. Dayak Kaharingan Belief System (tanpa kota: tanpa
penerbit. tanpa tahun).
9) Para Peneliti Dayak, Ed., Masri Sareb Putra, Prosiding Kongres
International 1: Kebudayaan Dayak (Bengkayang: an1mage. 2017).
10) Edy Tandililing. Pengembangan Pembelajaran Matematika Sekolah
dengan Pendekatan Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai
Upaya Meningkatkan KualitasPembelajaran Matematika di Sekolah.
(Yogayakarta: Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika FMIPA UNY. 19 November 2013).
11) Agung Hartoyo. “Eksplorasi Etnomatika pada Budaya Masyarakat
Dayak Perbatasan Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau
KALBAR.” Penelitian Pendidikan. Vol. 13. No. 1. April 2012.
2. Sumber Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang materinya secara tidak langsung
berhubungan dengan masalah yang diungkapkan. Sumber data sekunder
ini digunakan sebagai pelengkap dari sumber data primer.23 Adapun
sumber-sumber sekunder yang digunakan penulis antara lain:
1) Tim Penulis UIN Sunan Kalijaga dan AIFIS. “Agama dan Budaya
Lokal di Indonesia.” Jurnal Website: www.aiis-digilib.org. 2015.
23 Suharsini Ari Kunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h.117.
16
2) Galuh Subekti. Tradisi Keagamaan Masyarakat Etnis Banjar di
Tulungagung (Skripsi Fakultas Adab UIN Yogyakarta. 2009).
3) Kiki Muhammad Hakiki. “Politik Identitas Agama Lokal (Studi Kasus
Aliran Kebatinan).” Analisis. Vol 1. No. 1. Juni 2011.
4) Kementrian Agama RI. Dinamika Perkembangan sistem Kepercayaan
Lokal di Indonesia (Jakarta: Badan LITBANG dan Diklat Kementrian
Agama RI. 2012).
Cara pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan melalui:
1. Usaha yang bersifat kompilatif, yaitu mengumpulkan data secara
keseluruhan yang bersumber dari literature.
2. Usaha selektif komparatif, yaitu menyeleksi sumber yang
dikumpulkan, dipilih yang paling relevan dengan pokok pembahasan
dengan dibanding-bandingkan dengan data yang lain untuk mencapai
penyajian yang mengarah.
1.6 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembahasan, skripsi tersebut dibagi
menjadi beberapa bab dan sub bab, yaitu:
Bab pertama Pendahuluan. Bab ini membahas tentang alasan
pemilihan judul, dengan menunjukkan faktor yang mendorong pemilihan
judul skripsi. Kemudian diikuti dengan menuliskan rumusan masalah, tujuan
penelitian dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian,
dan sistematika penulisan. Secara garis besar bagian ini bertujuan sebagai
landasan teoritis metodologis dalam penelitian.
17
Bab kedua Selayang pandang agama Kaharingan di Kalimantan. Bab
ini menyajikan tulisan tentang sejarah, macam-macam suku bangsa Dayak,
upacara-upacara adat serta kepercayaan agama Kaharingan di Kalimantan.
Bab ketiga Para Penulis Indonesia dengan isi karyanya. Bab ini
menyajikan 8 karya para penulis Indonesia, dan merekonstruksi karya-karya
tersebut ke dalam dua aspek, yakni aspek keagamaan dan aspek kebudayaan.
Bab keempat Perbedaan dan persamaan Penafsiran. Beberapa
Perbedaan dan persamaan penafsiran atau pendapat oleh para penulis
Indonesia mengenai Agama dan Kebudayaan Kaharingan di Kalimantan.
Bab kelima Kesimpulan, saran dan kata penutup. Yaitu memuat
kesimpulan yang mencakup semua isi skripsi, saran dan diakhiri dengan kata
penutup.
18
BAB II
ASAL-USUL SUKU BANGSA DAYAK
2.1 Sejarah Suku Bangsa Dayak
Suku Dayak (Dajak/Dyak) adalah nama yang diberikan oleh
penjajahan kepada penghuni pedalaman pulau Borneo yang mendiami pulau
kalimantan seperti Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sarawak dan Sabah,
serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan juga Kalimantan Utara.
Kalimantan memiliki 7 suku asli yakni Banjar, Tidung, Melayu, Dayak, Kutai,
Paser dan Berau, namun pada tahun 2010 menururt sensus Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia, suku bangsa yang ada di Kalimantan hanya 3
yakni Banjar, Dayak dan suku bangsa asli Kalimantan lainnya (non Dayak dan
Non Banjar).24
Semua penduduk di pedalaman pulau Kalimantan disebut suku bangsa
“Dayak”. Mereka ini merupakan penduduk asli pulau Kalimantan, yang
tergolong dalam suku bangsa Melayu Tua (Proto Melayu). Istilah “Orang
Dayak” adalah nama yang diberikan oleh pengarang bangsa asing yang
menulis tentang suku bangsa yang mendiami pedalaman Kalimantan. Istilah
itu dahulu terutama dipergunakan sebagai kata ejekan/penghinaan terhadap
penduduk asli yang memang masih jauh ketinggalan, bila dibandingkan
dengan suku bangsa lainnya yang mendiami bagian pantai Kalimantan seperti
suku Banjar. Penduduk asli itu sendiri mulanya tidak mengenal nama “Dayak”
24Diakses dari https://id.wikipdia.org/wiki/suku-Dayak pada tanggal 28 April pukul 23.44
WIB.
19
yang diberikan kepada mereka itu secara keseluruhan. Mereka menyebut suku
mereka menurut tempat atau daerah kediaman masin-masing, yang umumnya
menurut sungai yang mengalir di daerahnya.25
Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan.
Pulau Kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur
wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya
Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan
Tengah ibu kotanya Palangka Raya, Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak,
dan Kalimantan Utara Ibu kotanya Tanjung Selor.
Hamid mengutip dari buku J.U. Lontaan (1974) menjelaskan bahwa
suku Dayak, terbagi dalam 405 sub-sub suku. Etnis Dayak Kalimantan yang
menyebar di seluruh daerah pedalaman Kalimantan, mereka menyebut dirinya
dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai,
nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya
dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut
sumber yang lainnya yang dikutip Hamid bahwa mereka menyebut dirinya
dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar,
daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku
Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok
Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah
nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang kemudian dijadikan
nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari
Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk,
25Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Kalimantan Timur, (Jakarta: PN Balai Pustaka, tanpa tahun), h. 14-15.
20
Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju, Desa dan lainnya, yang memiliki latar
belakang sejarahnya sendiri-sendiri. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di
seluruh wilayah pedalaman Kalimantan baik yang hidup wilayah Indonesia
maupun yang domisili di Sabah Sarak Malaysia. Mereka hidup menyebar
menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir
pulau Kalimantan. Menurut sejarahnya, suku Dayak pernah membangun
sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut "Nansarunai Usak
Jawa", yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit,
yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut
mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman.26
Adat istiadat merupakan salah satu unsur yang sangat berperanan
dalam kehidupan suatu suku bangsa, demikian pula halnya dengan masyarakat
Dayak. Seperti diketahui masyarakat Dayak dari zaman dahulu hingga
sekarang sangat memegang teguh adat istiadat yang berlaku di masyarakatnya.
Adat istiadat itu sangat mereka hormati dan benar-benar dijunjung tinggi.
Seperti yang terdapat pada suku-suku bangsa lain di Indonesia. Suku
bangsa Dayak mempunyai banyak sekali tata aturan hidup yang harus di
patuhi, misalnya adat berpakaian, adat dalam melakukan suatu upacara baik
yang berkaitan dengan daur hidup maupun dengan peristiwa alam, adat
menerima tamu, dan lain-lain. Kecenderungan mereka untuk tetap
menghormati dan menjunjung tinggi adat istiadatnya itu didorong oleh
26 Hamid Darmadi, “Dayak dan Asal-usul Penyeberannya di Bumi Borneo (1),” Jurnal
Pendidikan Sosial, Vol 3, No. 2, Desember 2016, h. 323-333.
21
ketentuan akan hukum adat yang tetap diberlakukan bagi si pelanggar adat
sampai sekarang.
Hukum adat adalah cetusan jiwa dari suatu suku bangsa. Ia lahir
sebagai akibat pengaruh alam dan perkembangan sosial masyarakatnya.
Mengetahui hukum adat adalah salah satu langkah untuk menguasai jiwa
seseorang dalam masyarakat tertentu, sehingga hukum adat itu dapat dengan
jelas menggambarkan kemauan sekelompok manusia. Dengan memahami
hukum adat dan adat istiadat dalam suatu masyarakat berarti telah memiliki
alat untuk mengendalikan perasaan dan kemauannya. Semua itu dapat
disimpulkan bahwa hukum adat juga merupakan adat atau kebiasaan yang
mempunyai akibat hukum atau sanksi.
Hukum adat yang baik tertulis, maupun yang tidak tertulis sampai
sekarang tetap, hidup subur dan terpelihara oleh masyarakat Dayak pada
umumnya. Masyarakat yang melanggar adat atau norma yang berlaku akan
dikenakan sanksi adat (harus membayar adat). Besar kecilnya sanksi adat
ditentukan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini berlaku
bagi semua warga masyarakat yang melakukan pelanggaran tanpa kecuali baik
itu pemangku adat, masyarakat setempat, maupun masyarakat pendatang yang
tinggal di daerah tersebut.27
Sebagian besar suku Dayak yang memeluk agama Islam tidak lagi
mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tetapi menyebut dirinya sebagai orang
“Melayu” atau orang “Banjar”. Sedangkan orang Dayak yang tidak memeluk
agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan.
27Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Kebudayaan
Kalimantan, (Jakarta: Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 19993), h. 34-35.
22
Di Kalimantan Selatan misalnya mereka, bermukim disekitar daerah Kayu
Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang
Balangan. Sebagain lagi terus masuk rimba. Orang Dayak yang memeluk
agama Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian
Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah
Lambung Mangkurat adalah seorang Dayak Maanyan atau Ot Danum.
(Sejarah Asal Usul Suku Dayak Kalimantan) namanya di abadikan sebagai
nama Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin.
Orang-orang Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati.
Tidak ada orang Dayak di pulau lain selain Kalimantan, dahulu mereka ini
mendiami pulau Kalimantan, baik di pantai-pantai maupun dibagian daratan
Akan tetapi ketika orang Melayu dari Sumatera dan Tanah Semenanjung
Melaka datang orang Dayak menyingkir lama kelamaan bertambah jauh ke
daerah pedalaman Kalimantan disatu sisi. Disisi lain masyarakat Dayak
memiliki tradisi berladang berpindah. Dari tahun ketahun mereka mencari
hutan yang dinilai subur untuk berladang dan bercocok tanam sebagai mata
pencaharian demikian seterusnya. Akhirnya tahun berganti tahun, puluhan
tahun, ratusan tahun dan bahkan puluh ribuan tahun akhirnya hampir seluruh
daerah pelosok pedalaman Kalimantan tidak ada yang lepas dari hunian orang
dayak. Masing-Masing orang Dayak menumbuh-kembangkan kebudayaan
tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan
oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-
kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian Sub etnis Dayak
satu dengan lainnya memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai
23
mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya.
Artinya, kemanapun mereka pergi mandau selalu dibawanya karena mandau
juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan) orang Dayak. Sebagai
catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan
dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian
adat, dan perlengkapan upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat
keampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari
proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam
tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-
20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang
digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian
digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang
mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau
tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu
sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata
untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.28
2.2 Macam-macam Suku Bangsa Dayak
Suku Dayak merupakan salah satu suku besar di Indonesia, suku ini
dikenal karena keramahan serta dedikasinya dalam melestarikan alam di pulau
Kalimantan. Pada awalnya kata Dayak yang memiliki arti orang-orang yang
berasal dari Hulu Sungai atau yang tinggal di bukit, hanya merupakan sebutan
kolektif dari orang Inggris dan Melayu bagi suku-suku asli yang mendiami
pulau Kalimantan (Borneo). Seiring berjalannya waktu istilah
28 Hamid, “Dayak dan Asal-usul Penebarannya di Bumi Borneo,” h. 325.
24
tersebut akhirnya dipakai sebagai identitas yang mempersatukan berbagai sub-
suku yang ada di sana.
Secara umum, suku Dayak dapat dikategorikan menjadi 7 rumpun
suku berdasarkan asal daerahnya. Dari ketujuh daerah tersebut, terdapat 405
sub-suku dengan bahasa yang berbeda satu sama lain. Selain bahasa yang
berbeda, dialek atau logat untuk satu bahasa yang sama juga bisa sangat
beragam jika berbeda kampung. Untuk itu disini akan membahas 7
rumpun suku Dayak yang ada di Kalimantan berdasakan kemiripan budaya
serta asal daerahnya.29
Suku Dayak hampir mendiami keseluruhan pulau Kalimantan, yaitu
lembah-lembah, pesisir, hulu-hulu sungai, perbukitan, hingga ke kota-kota
besar dan kecil. Pemukiman mereka jauh dari satu ke yang lain. Pemukiman
yang saling berjauhan ini dikarenakan kebiasaan berperang di kalangan
mereka sendiri, bahkan ada pula yang menganggap bahwa adanya kebiasaan
mengayau (memotong kepala) di kalangan suku Dayak tempo dulu sebagai
tanda kekuatan seseorang atau suatu kelompok, semakin banyak kepala yang
dikumpulkan maka makin kuatlah dia atau kelompoknya.
Karena kebiasaan berperang ataupun mengayau tersebut sebagian di
antara mereka memisahkan diri dan mencari tempat yang lebih aman seperti
pesisir, perbukitan dan lembah-lembah. Lokasi yang berbeda-beda ini seiring
berjalannya waktu berkembang sehingga menjadi pusat pemukiman dalam
bentuk kampung ataupun desa, telah membentuk komunitas sendiri-sendiri
atau telah berkembang menjadi suatu masyarakat yang berdiri sendiri dengan
29Diakses dari https://www.hipwee.com/list/mengenal-7-rumpun-suku-dayak-di-pulau-
kalimantan/ pada tanggal 30 April 2018 pukul 22.29 WIB .
25
lingkungan budayanya sendiri pula. Dengan keadaan demikian maka tidak
dapat dihindarkan akan terjadi perbedaan-perbedaan antara satu pemukiman
dengan pemukiman yang lain atau antara satu kelompok dengan kelompok
lainnya. Itulah yang menjadikan suku Dayak menjadi bermacam-macam dan
tersebar di berbagai lokasi pemukiman.30
Berikut macam-macam suku Dayak di Kalimantan :
1. Dayak Ngaju
Suku Dayak Ngaju (Biaju) adalah suku asli di Kalimatan Tengah.
Suku Ngaju secara administratif merupakan suku baru yang muncul dalam
sensus tahun 2000 dan merupakan 18,02% (400.000 jiwa) dari penduduk
Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Ngaju tergabung ke dalam suku
Dayak dalam sensus 1930. Ngaju berarti udik. Suku Ngaju kebanyakan
mendiami daerah aliran sungai Kapuas, Kahayan, Rungan Manuhing,
Barito dan Katingan bahkan ada pula yang mendiami daerah Kalimantan
Selatan. Orang Dayak Ngaju yang kita kenal sekarang, dalam literatur-
literatur pada masa-masa awal disebut dengan Biaju. Terminologi Biaju
dipakai untuk menyebut nama sekelompok masyarakat, sungai, wilayah
dan pola hidup (Ras 1968: 336). Menurut Hikayat Banjar, Sungai
Kahayan dan Kapuas sekarang ini disebut dengan nama sungai Biaju yaitu
Batang Biaju Basar, dan Batang Biaju Kecil. Orang yang mendiaminya
disebut Orang Biaju Basar dan Orang Biaju Kacil. Sedangkan sungai
Murong (Kapuas-Murong) sekarang ini disebut dengan nama Batang Petak
30 Salam, Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h. 68.
26
(lihat Ras 1968: 314). Pulau Petak yang merupakan tempat tinggal orang
Ngaju disebut Biaju (Ras 1968: 408, 449).
Terminologi Biaju tidaklah berasal dari orang Dayak Ngaju tetapi
berasal dari bahasa orang Bakumpai yang secara ontologis merupakan
bentuk kolokial dari bi dan aju yang artinya ”dari hulu” atau ”dari udik”.
Karena itu, di wilayah aliran sungai Barito, dimana banyak orang
Bakumpai, orang Dayak Ngaju disebut dengan Biaju (lihat Schärer 1963:
1), yang artinya orang yang berdiam di dan dari bagian hulu sungai (Riwut
1958: 208). Di kemudian hari, istilah ini dipungut begitu saja oleh orang
Banjar untuk menyebut semua orang pedalaman hulu sungai yang tidak
beragama Islam. Istilah ini kemudian diperkenalkan kepada para pedagang
dari Cina, Inggris, Portugis yang berlabuh di pelabuhan Banjarmasin.
Karena itu dalam catatan pelayaran para pedagang Cina, Portugis dan
Inggris dapat ditemukan kata Biaju yang merujuk pada suku di pedalaman
yang bukan orang Banjar dan tidak beragama Islam (Groeneveldt 1880,
Beckman 1718).31
Ciri khas dari Dayak Ngaju adalah agama kaharingan yang masih
dianut oleh sebagian suku Ngaju, serta upacara Tiwah, atau upacara
mengantarkan roh leluhur. Untuk pakaian adat, Dayak Ngaju biasanya
menggunakan warna merah sebagai warna dominan, kain atau rompi dari
kulit kayu, serta menggunakan bulu burung enggang dan ruai sebagai
hiasan kepala.
31Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Ngaju pada 02 Juni 2018 pukul
23.04 WITA.
27
Pada beberapa tarian adat, kaum wanita Ngaju biasanya juga
membawakan tarian dengan menggunakan mandau/parang (contoh : Tari
Hetawang Hakangkalu), hal ini berbeda dari wanita sub-suku Dayak
lainnya. Selain itu, alat musik tradisional Dayak Ngaju biasanya di
dominasi oleh Kecapi Karungut, Rebab, Gandang Tatau, Gong, dan suling.
Suku Dayak Ngaju terbagi dalam empat suku kecil dan keempat suku
itu terbagi lagi dalam 90 suku paling kecil (suku sedatuk) yaitu :
a. Dayak Ngaju, dengan 53 macam suku terkecil;
b. Dayak Ma’anyaan, terbagi dalam 8 suku-suku kecil;
c. Dayak Dusun, terbagi kepada 8 suku-suku kecil;
d. Dayak Tawangan, terbagi dalam 6 suku-suku kecil.32
2. Dayak Apu Kayan
Suku Kayan adalah suku Dayak dari rumpun Kenyah-Kayan-Bahau
atau Orang Ulu yang berasal dari Sarawak. Ketika memasuki Kalimantan
Utara suku Kayan pertama-tama menetap di daerah Apau Kayan di daerah
aliran sungai Kayan, karena alasan perang antar suku dan mencari daerah
yang lebih subur serta daerah asal (Apau Kayan) yang sangat tertinggal
dan terisolir, suku Kayan meninggalkan Apau Kayan yang telah mereka
tempati selama 300 tahun dan bermigrasi menuju daerah-daerah yang
lebih maju agar dapat lebih berkembang kehidupannya, yaitu sekarang
menetap di daerah aliran sungai Wahau (daerah Suku Wehea) di
Kabupaten Kutai Timur terutama di Desa Miau Baru sejak tahun 1969.
Diperkirakan pada zaman Kerajaan Kutai Martadipura (Kutai
32 Salam, Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak Kalimantan Tengah, h. 68.
28
Mulawarman), suku Kayan belum memasuki Kalimantan Timur.
Kemungkinan suku Kayan ini termasuk salah satu suku yang belakangan
memasuki pulau Kalimantan dari pulau Formosa (Taiwan). Suku Kayan
juga terdapat di Sungai Mendalam, Kalimantan Barat. Di Kalimantan
Barat, pada sekitar tahun 1863, suku Iban bermigrasi ke daerah hulu
sungai Saribas dan sungai Rejang, dan menyerang suku Kayan di daerah
hulu sungai-sungai dan terus maju ke utara dan ke timur. Perang dan
serangan pengayauan menyebabkan suku-suku lain terusir dari lahannya.
Suku Kayan merupakan 1,4% dari penduduk Kutai Barat (sebelum
pemekaran Mahakam Ulu).33 Populasi suku Apu Kayan diperkirakan lebih
dari 30.000 jiwa tersebar didi 2 negara, di Indonesia berada di Kalimantan
Timur dan Kalimantan Barat hingga ke Serawak Malaysia.34
Ciri khas dari Dayak Apo Kayan adalah telinga panjang, serta tato di
sekujur tubuh yang menandakan status sosial di masyarakat. Pakaian adat
Dayak Apo Kayan biasanya di dominasi oleh warna Hitam, Putih, dan
Kuning. Serta dapat ditemukan berbagai hiasan manik-manik dan hiasan
bulu enggang.
Alat musik yang paling terkenal dari rumput Dayak Apo Kayan adalah
Kecapi tradisional atau Sape' (Bahasa Kayan) atau Sampe' (Bahasa
Kenyah), kecapi ini berbeda dari karungut, berfungsi sebagai alat musik
melodis dan ukurannya lebih besar. Selain itu ada juga Gong,
Sluding/klentangan, Kadire/keledik (alat musik tiup), dan Antoneng.
33Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Kayan pada tanggal 02 Juni
2018 pukul 23.49 WITA. 34Diakses dari http://asiantribal.blogspot.com/2013/03/asal-usul-suku-dayak-kayan.html
pukul 10.33 WIB pada tanggal 06 Agustus 2018.
29
Dayak Apau Kayan terbagi menjadi tiga suku kecil meliputi 60 suku-
suku kecil-kecil, masing-masing adalah:
a. Dayak Kenya, yang terbagi dalam kepada 24 suku kecil-kecil;
b. Dayak Kayan, terbagi kepada 10 suku-suku kecil;
c. Dayak Bahau, terbagi kepada 26 suku kecil-kecil.35
3. Dayak Iban (Dayak Laut)
Suku Dayak Iban, adalah salah satu rumpun suku Dayak yang terdapat
di Kalimantan Barat, Sarawak, Brunei dan Tawau Sabah. Mengikut
sejarah lisan, pembentukan dan perkembangan budaya sosial Dayak
Iban terjadi semasa di Tampun Juah, sebelum berpecah kepada beberapa
subsuku-subsuku yang ada sekarang. Selama masa kolonial Inggris dan
Belanda, kelompok Dayak Iban sebelumnya dikenal sebagai Dayak Laut
yang terbagi kepada 11 suku kecil-kecil.36
Saat ini suku Iban menetap di hutan terpencil dan juga sebagian tinggal
di wilayah sulit dijangkau di tepi sungai Kapuas yang berada di
Kalimantan Barat. Sungai-sungai-sungai yang menjadi tempat tinggal suku
Iban diantaranya Batang Lupar, Saribas, Krian, dan Rejang. Sebagaian
dari mereka pindah ke wilayah pantai atau mendekati perkotaan.
Populasi suku Iban diperkirakan sekitar 330 ribu di tahun 1971.
Ditahun 1947, jumlah mereka diperkirakan hampir lebih dari sepertiga dari
populasi total di Kalimantan bahkan di beberapa tempat mendominasi di
antara etnik grup. Pada dasarnya mereka adalah orang yang tinggal di
pedalaman, sedang perkotaan di dominasi oleh suku Melayu dan China. Di
35 Salam, Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak Kalimantan Tengah, h. 69. 36Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Iban pada 03 Juni 2018 pukul
00.02 WITA.
30
peta populasi orang Iban menunjukkan mereka mendiami di sungai-sungai
besar dengan konsentrasi terpadat di wilayah Rejang.37
Dayak iban memiliki ciri khas yaitu menjamu tamu dengan tuak (rice
wine) serta tato di sekujur tubuh.Tato ini melambangkan pengalaman
hidup seseorang, semakin banyak tato di tubuh berarti orang tersebut
sudah memiliki banyak pengalaman dan sudah berkelana diberbagai
tempat. Motif tato yang sering digunakan adalah motif bunga terong yang
berada di atas dada bagian kiri dan kanan.
Yang membedakan Dayak Iban dari sub-suku Dayak lain adalah
pakaian tradisional wanita Iban memiliki hiasan kepala dari logam, selain
itu Dayak Iban memiliki kain tenun dengan motif yang sangat khas,
ditambah dengan hiasan bulu burung enggang dan ruai di bagian kepala.
Untuk musik tradisional biasanya didominasi oleh Gendang, kollatung,
dan Gong.
4. Dayak Klemantan atau Dayak Darat
Dayak Klemantan atau disebut juga Dayak Darat mendiami daerah
barat pulau Kalimantan.Dayak Darat dikenal karena sifat yang ramah dan
mudah membaur dengan para pendatang. Rumput dayak ini tersebar di
hulu-hulu sungai yang ada di Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia.
Dayak Darat di Malaysia dikenal dengan nama orang Bidayuh. Sub-suku
dari Dayak Darat adalah Kanayatn, Bidayuh, Ketungau, dll.
Banyak dari masyarakat Dayak Darat yang bisa memahat. Di beberapa
tempat terdapat pahatan patung menyerupai manusia dikenal dengan nama
37Andayu Intan Permatasari, Karangan Etnografi Kebudayaan Suku Iban di Kalimantan
Barat, (Tanpa Penerbit, Tanpa Tempat, Tanpa Tahun), h. 2-3.
31
Pantak yang merupakan warisan dari nenek moyang dari rumpun Dayak
Darat.
Pakaian tradisional Dayak Darat biasanya didominasi oleh warna
merah, kuning, hitam dan putih, dengan hiasan manik-manik. Selain itu
terdapat juga rompi dari kulit kayu yang diberi motif tertentu. Untuk
hiasan kepala, rumpun Dayak Darat biasanya menggunakan ikat kepala
berwarna merah dengan hiasan bulu burung ruai, enggang, atau daun
Rinyukang. Untuk alat musik tradisional biasanya didominasi oleh Suling,
Gong, Gendang, dan Kollatung.38
Dayak Klemantan atau Dayak Darat terbagi dalam dusa suku masing-
masing adalah:
a. Dayak Klemantan (Dayak Darat), terdiri dari 47 suku kecil-kecil;
b. Dyak Ketungan, terbagi kepada 40 suku-suku kecil.
5. Dayak Murut
Kaum Murut menetap di pedalaman dan kawasan tenggara Sabah serta
wilayah perbatasan antara Kalimantan dan Sarawak. Suku kaum Murut
adalah suku kaum ketiga terbesar di Sabah. Tempat tinggal mereka
termasuk Tenom, Kemabong, Pensiangan, Tawau (Merotai dan
Kalabakan), Tongod (Pinangah dan Inarad) dan Keningau. Dahulu mereka
tinggal di dalam rumah panjang dan hidup harmoni dalam keluarga besar.
Kebanyakan mereka adalah petani berpindah, pemburu dan penangkap
ikan sungai. Mereka juga mejalankan pemungutan hasil hutan (damar,
rotan dan madu lebah). Pada masa kini kaum murut sudah ada yang
38Diakses dari https://www.hipwee.com/list/mengenal-7-rumpun-suku-dayak-di-pulau-
kalimantan/ pada 03 Juni 2018 pukul 00.14 WITA.
32
berkhidmat dalam sektor awam dalam bidang pendidikan, kesehatan dan
pertahanan.
Perkataan ‘Murut’ merujuk kepada kumpulan penduduk yang tinggal
di lereng bukit atau tanah tinggi di Pedalaman Sabah. Murut terdapat di
beberapa kawasan seperti Keningau, Tenom, Pensiangan, Sipitang,
Kalabakan, Beaufort dan Kinabatangan. Kaum Murut terbagi kepada
Murut Tahol atau Tagal, Tidung atau Tirong, Timugon, Sembakung,
Paluan, Bookan, Kalabakan, Murut Serundung, Murut Agabag atau
Ahavah, Tanggara atau Tanggala, Kolor atau Kolod atau Akolod, Murut
Nabai, Murut Gana atau Hana dan Murut Lundayeh atau Lun Bawang.
Dimana kaum Murut mewakili sebanyak 2,9% daripada penduduk di
Sabah yaitu lebih kurang 50,000 orang. Suku kaum Murut juga terdapat di
Brunei, Sarawak dan sempadan Kalimantan. Kaum Murut mempunyai
bahasa tersendiri yang berbeda dengan suku kaum Murut yang lain seperti
Lun Bawang atau Lun Dayeh. Ini disebabkan faktor geografi sebagai
penghalang dalam komunikasi bahasa mereka. Secara uniknya, kaum
Murut tinggal di rumah panjang yang berhampiran dengan kawasan sungai
atau membuat penempatan sepanjang sungai. Mereka tinggal di dalam
rumah panjang yang menempatkan 10 hingga 20 keluarga. Tetapi terdapat
juga kaum Murut yang tinggal dan membina penempatan secara individu
di sepanjang sungai. Suku kaum Murut pakar dalam membuat perahu dan
menurunkan kepakaran mereka kepada generasi seterusnya. Selain itu
kaum Murut pakar dalam berburu dan masih mengamalkan tradisi bertato
33
seperti kaum Iban di Sarawak tetapi tradisi ini semakin kurang di lakukan
oleh generasi muda suku kaum ini.
Populasi Dayak Murut Tahol masih berkembang dan bertahan hingga
saat ini. Salah satu pemukiman Dayak Murut adalah di Desa Tau Lumbis
Kecamatan Lumbis Ogong Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan
Utara. Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Tau Lumbis
untuk berkomunikasi adalah bahasa Dayak Murut Tahol. Bahasa tersebut
lebih sering digunakan daripada bahasa Indonesia karena mayoritas
masyarakat Desa Tau Lumbis adalah suku Dayak Murut Tahol. Bahasa
Indonesia hanya digunakan untuk berkomunikasi kepada suku lainnya,
seperti suku Jawa, suku Bugis, dan lain-lain.39
Kaum Murut juga menyambut perayaan seperti Hari Raya, Hari
Krismas, Tahun Baru, Majlis hari jadi, pengembumian dan Pesta
Kalimaran dan lain-lain. Pesta Kalimaran ialah pesta sama seperti kaum
kadazan-Dusun yang menyambut pesta Kaamatan. Ia di sambut selepas
mereka menuai padi. Kaum Murut masa kini, telah mengalami proses
kemodenan dan ramai yang berkerja sebagai kaki tangan kerajaan dan
bukan kerajaan. Mereka juga tinggal di bandar-bandar besar dan
mempunyai pekerjaan profesional. Namun demikian, Kaum Murut ini
masih lagi mengamalkan adat istiadat yang diamalkan oleh nenek moyang
39 Nopli Adranus, Mursalim, Syamsul Rijal, “Reduplikasi dalam Bahasa Dayak Murut
Tahol di Desa Tau Lubis Kecamatan Lumbis Ogong Kabupaten Nunukan”, Ilmu Budaya, Vol. 2, No. 1. Januari 2018, h. 36.
34
mereka sebagai adat turun temurun yang mempunyai nilai estetika tinggi
dalam kehidupan.40
Dayak Murut memiliki tarian yang terkenal yaitu tarian Mangunatip.
Perkataan Mangunatip diambil daripada perkataan "atip" yang bermaksud
menekan antara dua permukaan. Penari mangunatip memerlukan
kemahiran dan ketangkasan yang baik untuk menari melintasi buluh yang
dipukul serentak untuk menghasilkan bunyi dan irama tarian tersebut.
Pakaian tradisional Dayak Murut untuk pria secara umum terbuat dari
kulit kayu atau kain tenun, dengan ikat kepala serta hiasan bulu burung
ruai. Untuk wanita, baju tradisional biasanya di dominasi warna hitam
dengan hiasan motif berbagai warna. Untuk alat musik, biasanya
didominasi oleh Suling, Gong, Kollatung, dan Kadire/keledik (alat musik
tiup).
Dayak Murut terbagi pula kepada tiga suku yang meliputi 44 suku-
suku kecil, yakni:
a. Dayak Murut, meliputi 28 suku kecil-kecil;
b. Dayak Idaam (dusun), terbagi kepada 6 suku kecil-kecil;
c. Dayak Tidung, terbagi pula kepada 10 suku kecil-kecil.
6. Dayak Punan
Dayak Punan merupakan rumpun yang mendiami daerah Kalimantan
Timur, Kalimatan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan
Malaysia. Menurut cerita yang tersimpan pada cerita turun temurun,
leluhur suku Dayak Punan datang dari sebuah negeri yang bernama
40Diakses dari https://ms.wikipedia.org/wiki/Murut pada tanggal 03 Juni 2018 pukul
00.41 WITA.
35
"Yunnan", sebuah daerah dari dataran tinggi di Cina bagian Selatan.
Mereka berasal dari suatu komunitas yang konon adalah keluarga salah
satu kerajaan Cina yang kalah berperang dan kemudian menghindar
bersama perahu-perahu, dalam perjalanan mereka terdampar di tanah
Pulau Kalimantan. Di tempat baru ini mereka merasa cocok dan aman, dan
mereka pun menetap hingga kini.
Suku Dayak Punan, lebih memilih hidup di hutan pedalaman, bahkan
di goa-goa, walaupun mereka sebenarnya bukanlah suku primitif tetapi
lebih memilih untuk hidup seperti cara hidup leluhur mereka. Mereka
selalu berpindah pindah dari satu tempat ke lain tempat dan terus
menghindar dari kelompok manusia lain, karena menurut mereka ini
adalah keinginan para leluhur, untuk menghindar dari orang-orang asing.
Apabila ada yang meninggal di antara mereka, setelah upacara
penguburan, biasanya mereka serentak akan pindah ke daerah lain. Mereka
percaya kalau roh dari orang yang meninggal akan gentayangan yang akan
membuat mereka tak merasa tenteram. Masyarakat Dayak Punan ini
disebut juga bangsa nomaden (pengembara) yang hidup dalam satu
kelompok tanpa berpisah-pisah.
Di hulu Barito terdapat 3 desa yang dianggap sebagai perkampungan
orang Dayak Punan, yaitu Tumbang Karamu, Tumbang Tunjang dan
Tumbang Topus. Penduduk ketiga desa ini mengaku sebagai keturunan
orang Punan, dan mereka menyebut diri mereka sebagai orang Dayak
Punan. Tetapi masyarakat yang berada di desa Tumbang Topus,
diperkirakan sudah tidak asli lagi sebagai orang Dayak Punan, karena telah
36
terjadi kawin-campur antara orang Dayak Punan dan orang Dayak Siang-
Murung, Dayak Bahau, Dayak Benuaq dan Dayak Ot Danum atau Dayak
Kahayan. Lagipula beberapa kesenian budaya serta ritual kematian yang
dilaksanakan oleh masyarakat Punan di desa Tumbang Topus ini, adalah
cenderung mengikuti tradisi budaya Dayak Ot Danum atau Dayak Siang
Murung.41 Populasinya paling banyak ditemukan di Kalimantan Timur
diperkirakan berjumlah 8.956 jiwa uku Punan yang tersebar pada 77 lokasi
pemukiman, dan terpecah lagi dalam sub-sub kecil yang terdiri dari:
a. Dayak Basap, terbagi kepada 20 suku;
b. Dayak Punan, terbagi pada 25 suku;
c. Dayak Ot, terbagi 5 suku;
d. Dayak Bukar, terbagi 3 suku.
Masyarakat Dayak Punan dikenal dari pola hidup yang nomaden atau
berpindah-pindah, hal ini berbeda dengan kebanyakan suku Dayak lain
yang memiliki rumah panjang sebagai tempat tinggal. Saat ini kebanyakan
dari sub-suku Dayak Punantelah menetap dan membuat komunitas di
suatu desa yang tersebar di berbagai daerah.
Pakaian tradisional Dayak Punan biasanya masih sangat sederhana,
beberapa dari Dayak Punan juga melakukan tradisi memanjangkan telinga.
Alat musik yang biasa dimainkan adalah Suling yang ditiup dengan
menggunakan hidung dan Sape' (Kecapi).42
41Diakses dari http://protomalayans.blogspot.com/2012/07/suku-dayak-punan.html
pada tanggal 06 Agustus 2018 pukul 13.04 WIB. 42Diakses dari
http://www.netralnews.com/news/rsn/read/101038/inilah.suku.dayak.punan..primitif.yang.t pada 03 Juni 2018 pukul 00. 52 WITA.
37
7. Dayak Ot-Danum
Suku Dayak Ot-Donum atau Dayak Dohoi adalah suku asli
Kalimantan Tengah yang terdapat di hulu-hulu sungai sebelah utara
provinsi ini. Suku Dayak Ot Danum, hidup tersebar di pegunungan
Muller-Schwaner, sungai Mandai di Ulu Ai' dan di sepanjang aliran sungai
Miri, cabang sungai Kahayan di provinsi Kalimantan Tengah. Populasi
diperkirakan sebesar 78.800 orang pada tahun 2007.
Kata Ot berarti "orang" atau "hulu", sedangkan Danum berarti "air",
dan Ot Danum berarti "orang air" atau "orang yang hidup di hulu
sungai". Suku Dayak Ot Danum dekat dengan kehidupan alam dan sangat
menghormati tradisi leluhur untuk menjaga keseimbangan manusia dan
alam sekitarnya. Perawakan suku Dayak Ot Danum berkulit kuning
menunjukkan bahwa mereka adalah ras mongoloid. Suku Dayak Ot
Danum ini memiliki kerabat dekat di provinsi Kalimantan Barat yang
disebut suku Dayak Uud Danum. Secara fisik, karakter dan budaya bisa
dikatakan mirip, hanya saja dibedakan karena perbedaan letak geografis.
Suku Dayak Ot Danum ini dikelompokkan ke dalam rumpun Proto
Malayan cabang dari rumpun bangsa Austronesia.
Suku Dayak Ot Danum memiliki bahasa sendiri yang disebut sebagai
bahasa Ot Danum. Bahasa Ot Danum berkerabat dengan bahasa Dayak
Siang yang memiliki kesamaan sebesar 70%, dengan bahasa Dayak Kohin
memiliki kemiripan sebesar 65%, dengan bahasa Dayak Katingan
kemiripan sebesar 60%, sedangkan dengan bahasa Dayak Ngaju memiliki
kemiripan sebesar 50%. Masyarakat suku Dayak Ot Danum adalah
38
mayoritas beragama Kristen, sebagian tetap mempertahankan agama
Kaharingan dan sebagian kecil memeluk agama Islam.
Dalam legenda suku Dayak Ot Danum, nenek moyang mereka berasal
dari langit yang diturunkan ke dunia dengan wadah emas di 4 tempat,
salah satunya di puncak bukit Pamatuan, suatu dataran tinggi antara hulu
sungai Kahayan dan sungai Barito. Lambung adalah manusia nenek
moyang pertama yang diciptakan, dari si Lambung inilah semua
keturunannya menyebar di perhuluan sungai-sungai besar seperti sungai
Barito, sungai Kahayan, sungai Kapuas dan sungai Katingan yang disebut
suku Dayak Ot Danum.
Beberapa Ahli Sejarah memiliki versi yang berbeda mengenai asal
usul suku Dayak Ot Danum ini, ada yang mengatakan bahwa suku Dayak
Ot Danum ini berasal dari daratan mongolia, yang bermigrasi ke pulau
Borneo. Tetapi versi lain menyebutkan bahwa suku Dayak Ot Danum ini
berasal dari Formosa dan sudah sejak ada di pulau Kalimantan sejak 4000
tahun yang lalu, karena di Formosa Taiwan terdapat budaya yang mirip
dengan suku Dayak Ot Danum ini.
Dalam kesehariannya suku Dayak Ot Danum ini sebagian besar masih
dekat dengan kehidupan alam di hutan, dan melakukan perburuan binatang
liar, serta bertani berladang juga mereka lakukan dan memelihara ternak
seperti ayam dan babi. Kegiatan lain seperti ikut dalam penambangan
emas di sungai-sungai yang mengandung emas, sehingga banyak dari
mereka yang menjadi kaya di pedalaman dari hasil menambang emas.
Selain itu tidak sedikit yang telah bekerja di luar wilayah mereka, seperti
39
di Palangkaraya, Kuala Kapuas, Muara Teweh dan lain-lain sebagai
pekerja di sektor pemerintahan maupun di sektor swasta.43
Ciri khas dari Dayak Ot Danum adalah pada beberapa upacara penting,
seperti upacara kematian, Dayak Ot Danum menggunakan kerbau sebagai
binatang yang dikurbankan selain babi. Di dalam upacara tradisional
tersebut, para dukun biasanya menggunakan kalung dengan berbagai
ornamen kayu, manik, tulang, dsb.
Pakaian tradisional Dayak memiliki variasi warna beragam, termasuk
ikat kepala dan ada beberapa sub-suku Dayak Ot Danum yang juga
menggunakan daun kelapa sebagai hiasan. Alat musik tradisionalnya
adalah Gong, Gendang, dan Kollatung.
Dayak Ot-Donum meliputi 61 suku kecil-kecil. Sehingga acara
keseluruhan suku Dayak yang terdiri dari tujuh besar, terbagi lagi kepada
18 suku kecil dan 405 suku yang lebih kecil lagi. Khusus yang bertempat
tinggal di Kalimantan Tengah, terdiri dari 68 suku, diantaranya suku
Bakumpai, Baraki, Baradia, Ngaju, Kapuas, Kahayan, katian, Sampit,
Seruyan, Ma’nyan dan lain sebagainya.44
2.3 Upacara Adat dan Agama dalam Suku Bangsa Dayak
Upacara-upacara tradisional di Kalimantan merupakan suatu mata
rantai yang tak dapat dipisahkan dari Tattwa yang merupakan inti dari pada
ajaran agama Hindu Kaharingan (tradisi religi asli masyarakat Dayak) dengan
susila yang merupakan aturan-aturan yang patut dilaksanakan untuk mencapai
43Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Ot_Danum pada 03 Juni 2018
pukul 00.59 WITA. 44 Syamsir Salam, Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak Kalimantan
Tengah, h. 69.
40
tujuan. Unsur tattwa, etika dan upacara merupakan unsur universal ajaran
agama Hindu Kaharingan yang terkandung dalam setiap ritual yang dilakukan
oleh masyarakat Dayak, yang mana antara unsur yang satu dengan yang
lainnya harus saling dipahami dan ditaati secara terpadu dan simultan serta
tidak terpisahkan.45
Masyarakat Dayak Ngaju khususnya yang beragama Hindu
Kaharingan sangat kaya dengan upacara-upacara keagamaan antara lain
seperti selingkar hidup, upacara kelahiran, perkawinan hingga upacara tiwah
(kematian).
1. Tiwah (Upacara Kematian)
Tiwah adalah upacara pengangkatan tulang belulang yang sudah
meninggal dari tanah ke dalam sandung (tempat pemakaman tetap) lalu
dikuburkan kembali. Upacara Tiwah mempunyai makna mengantar arwah
nenek moyang ke surga. Bagi masyarakat Kalimantan, khususnya
masyarakat Dayak Tomun Lamandau yang masih menganut agama
Kaharingan (atau lebih dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan), sangat
memperhatikan prosesi penyelenggaraan upacara Tiwah, karena upacara
ini mempunyai makna yang sangat sakral dan penting. Masyarakat Dayak
Tomun Lamandau percaya apabila mereka belum meniwahkan
keluarganya, arwah akan tetap berada di bumi dan tidak bisa menuju ke
surga. Itu sebabnya bagi masyarakat Dayak, mengadakan upacara Tiwah
hukumnya wajib, terutama apabila almarhum masih menganut agama
Kaharingan. Bagi sanak keluarga yang masih hidup, penyelenggaraan
45Diakses dari https://ekapalangka.wordpress.com/2011/05/26/upacara-perkawinan-
masyarakat-suku-dayak-ngaju-dalam-kajian-agama-dan-adat/ pada 11 Mei 2018 pukul 11.40 WITA.
41
upacara tiwah ini merupakan penghormatan terakhir bagi yang meninggal
dunia. Sebelum almarhum ditiwahkan, keluarga merasa masih berutang
dan memiliki beban moral kepada almarhum.46
2. Upacara Perkawinan
Dalam suku bangsa Dayak upacara perkawinan dianggap religius yang
berkaitan dengan memperoleh keturunan dan merupakan suatu
peningkatan nilai berdasarkan hukum agama yang sakral. Salah satu tujuan
perkawinan menurut adat suku bangsa Dayak adalah untuk menjaga nama
baik keluarga, terutama bagi suatu keluarga yang mempunyai anak gadis.
Pada keluarga dari kalangan rakyat yang biasa berlaku anggapan bahwa
anak perempuan yang telah berusia lebih dari 15 tahun dan belum menikah
seakan-akan membawa malu terhadap keluarganya.
Oleh sebab itu apabila suatu keluarga tersebut mempunyai anak gadis dan
ada orang yang meminang, meskipun pinangan ini merupakan pinangan
pertama bagi gadis itu, pinangan tersebut sering kali diterima olah orang
tuanya, walaupun gadis tersebut belum mencapai usia 18 tahun. Ada
kalanya anak perempuan yang berusia 9 tahun atau 10 tahun sudah bisa
dipinang, meskipun pernikahan akan ditunda sampai dia mencapai usia
yang dianggap sudah dapat melangsungkan pernikahan. Misalnya ketika
sudah menginajk 15 tahun.47
Syarat-syarat perkawinan bagi masyarakat suku Bangsa Dayak yakni: pria
dan wania yang telah dewasa (biasanya wanita berumur 15 atau 16 tahun)
46 Nina Putri Hayam Dey, Sri Suwartuningsih dan Daru Purnomo, “Aspek Budaya, Sosial
dan Ekonomi dari Tiwah (Upacara Masyarakat Dayak Tomun Lamandau), Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol XXI no. 2, 2012, h. 175.
47Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Timur, h. 52.
42
dan dapat bertanggung jawab bila mereka telah melaksanakan perkawinan
menurut adat, Mereka tidak mempunyai hubungan kekerabatan atau
keluarga yang dekat, misalnya sepupu sekali sampai sepupu dua kali, tidak
mempunyai darah langsung misalnya antara paman dengan keponakan.
Disamping itu pihak keluarga pria harus menyerahkan tanda jujuran
(ikatan) sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku menurut
kedudukannya di dalam masyarakat seperti yang telah diuraikan pada
bentuk perkawinan. Dikehendaki pula bahwa pria telah mempunyai
pekerjaan atau mata pencaharian, tetapi terkadang terjadi bahwa pihak pria
masih ditanggung sepenuhnya oleh orang tuanya.48
Berikut tahap-tahap upacara perkawinan suku Dayak:
a. Hakumbang Auh (Uang Hantaran)
Dalam tahap ini ialah tahap awal dalam upacara perkawinan suku
Dayak, yakni seorang laki-laki menyampaikan niat ingin
mempersunting seorang gadis melalui perantara yang disebut Uluh
Helat atau Saruhan agar niatnya sampai kepada keluarga gadis yang
ingin dipesunting tersebut. Sebagai bukti kesungguhan dan niat baik,
dari pihak pria memberikan mangkok berisi beras dan telur ayam yang
dibungkus kain kuning dan sejumlah uang sebagai Duit Pangumbang
lalu diberikan kepada Uluh Helat tersebut dan diberika kepada pihak
wanita.
Jika lamaran tersebut diterima maka si Uluh Helat menyampaikan
waktu dan tanggal upacara mamunggul dilaksanakan, sementara
48Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Kalimantan Timur, h. 109.
43
ditolak Uluh Helat tersebut membawa kembali mangkok berisi beras
dan ayam berikut uangnya.
b. Mamanggul
Tahap ini merupakan tahap lanjutan dari Hakumbang Auh yakni cara
meminta sigadis secara resmi setelah pihak pria mengetahui bahwa
keinginan hati mereka diterima oleh pihak wanita. Antara lain
membawa berupa sebuah Balanga (guci asli cina) atau sebuah gong.
Pada acara ini kedua pihak membicarakan waktu pelaksanaan
peminangan, yaitu Maja Misek. Dalam perkembangannya yang
berlaku sekarang, bukti Mamanggul tidak lagi berupa gong melainkan
berupa Duit Panggul. Pada kesempatan ini dibuat sebuah kesepakatan.
Kesepakatan ini dapat berupa lisan maupun tertulis yang dibuat dalam
bentuk sebuah surat perjanjian yang disebut surat Panggul. Jika pihak
keluarga si gadis kemudian menolak maka barang bukti mamanggul
tidak dikembalikan kepada pihak si pemuda.
Dalam perkembangannya, tahapan Hakumbang Auh dianggap sama
dengan Mamanggul. Karena itu rangkaian tata cara perkawinan yang
lazim sekarang ini cenderung mulai dari Hakumbang Auh lalu Maja
Misek dan seterusnya. Istilah Hakumbang Auh lebih sering digunakan,
sedangkan istilah Mamanggul mulai menghilang.
c. Maja Misek (peminangan)
Maja berarti bertemu, Misek berarti bertanya. Dalam upacara ini pihak
pria dan wanita menanyakan atau menyepakati menganai waktu dan
jadwal pelaksanaan pesta perkawinan, Jalan Hadat atau syarat-syarat
44
yang harus dipenuhi oleh pihak pria dalam pelaksanaan upacara
perkawinan tersebut sesuai dengan hukum adat dan tradisi, besarnya
Pelaku atau mas kawin, biaya pesta perkawinan dan pembagiannya,
serta sanksi atau denda jika terjadi pembatalan. Kesepakatan tersebut
ditulis dalam surat perjanjian Pisek.49
d. Mamanggar Janji
Mamanggar Janji berarti memastikan janji, yaitu kedua belah pihak
bertemu lagi secara khusus untuk memastikan kapan waktu
pelaksanaan perkawinan. Pada saat Maja Misek hanya memperkirakan
bulannya saja sementara di tahap ini menentukan tanggalnya serta dari
pihak pria membawa dan memberikan biaya perkawinan kepada pihak
wanita.
e. Pelaksanaan Perkawinan
Pelaksanan perkawinan yang dimaksud ialah upacara dari rumah
pengantin pria sampai dengan peresmian perkawinan. Pada tahap
pelaksanaan perkawinan berikut upacara yang dilaksanakan :
1) PengantenHaguet, pangantin pria berangkat menuju rumah
pengantin wanita dengan membawa rotan yang pada diujung rotan
dibentuk patung manusia, dan pada lehernya diikat seutas manik
bernama manas sembelum dengan tali tengang.
2) Penganten Mandai (pelaksanaan pernikahan), ketika pengantin
pria sampai dirumah pengantin wanita dan dilaksanakannya
membuka lawang sekepeng (pintu yang terbuat dari pelepah daun
49Diakses dari https://ekapalangka.wordpress.com/2011/05/26/upacara-perkawinan-
masyarakat-suku-dayak-ngaju-dalam-kajian-agama-dan-adat/pukul pada tanggal 04 Juli 2018 pukul 16.00 WIB.
45
kelapa dan diberi benang-benang), mamapas (upacara pembersih
dengan doa-doa, agar tempat upacara pernikahan dan pengantinnya
terjauh dari marabahaya), menginjak telor, dan terakhir penganten
pria masuk ke rumah.
3) Haluang Hapelek, semacam dialog wakil dari pihak pria dan
wanita. Tujuan acara ini menagih jalan hadat (syarat-syarat) yang
harus diserahkan oleh pihak pria kepada pengantin wanita. Masing-
masing pihak membentuk kelompok tersendiri, sebagai utusan
yang bertindak sebagai Luang. Masing-masing pihak dapat
menunjuk 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang wakil sebagai utusan.
Luang atau utusan dari pihak penganten pria disebut dengan
Tukang Sambut, yaitu pihak yang menjawab sanggup tidaknya
memenuhi tuntutan pihak penganten wanita. Adapun luang dari
pihak wanita disebut Tukang Pelek, yaitu pihak yang mengajukan
tuntutan. Luang adalah orang yang pekerjaannya mondar-mandir
menghubungi dua pihak untuk mencari kesesuaian pendapat.
4) Manyaki Penganten (penganten hasaki), yaitu mengoleskan darah
hewan korban ke beberapa bagian tubuh kedua mempelai, Adapun
istilah Penganten Hasaki berarti kedua mempelai dipoles dengan
darah. Pada upacara ini kedua penganten duduk di atas gong
dengan memegang pohon sawang yang diikat Bersama dengan
dereh uwei (sepotong rotan) dan rabayang (tombak bersayap
seperti trisula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai
tanda mereka berdua bersaksi pada Ranyiang Hatalla Langit. Kaki
46
menginjak batu asah sebagai tanda bahwa mereka bersaksi kepada
penguasa alam yakni Jatha Balawang Bulau. Setelah itu manyaki
mamalas dilaksanakan yakni mengoleskan darah hewan korban,
minyak kelapa, tanah, air dan beras serta tapung tawar. Beras
diletakkan di atas ubun-ubun kedua mempelai. Upacara itu
bermakna bahwa kedua mempelai disucikan, sehingga dalam
menjalani kehidupan berumah tangga mereka senantiasa sehat,
selamat dan memperoleh rejeki.
Setelah menjalani upacara Hasaki atau Hapalas kedua mempelai
makan makanan yang disebut Pangian Putir Santang (7 gumpal
nasi), sebagai simbol penyatuan mereka bahwa sejak hari itu resmi
suami istri. Setelah acara ini selesai maka dilaksanakan penanaman
pohon sawang yang disebut sawang turus janji.50
3. Wadian atau Melabuh Balai
Wadian adalah upacara pengobatan pada suku Dayak Bawo, Dusun,
Manyaan, Lawangan, Benuaq, dan Bukit. Suku-suku serumpun ini hidup
bertetangga di sekitar wilayah yang berbatasan di Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Sedangkan pada suku Melayu
pedalaman seperti suku Melayu Petalangan atau suku Talak Mamak
disebut Belian. Wadian dilaksanakan selama kurang lebih satu minggu.
Dewasa ini selain untuk pengobatan upacara wadian juga dikembangkan
50 Diakses dari https://rid755.wordpress.com/2012/07/30/pelaksanaan-upacara-
perkawinan-agama-hindu-kaharingan/ pada tanggal 04 Juli 2018 pukul 16.04 WIB.
47
sedemikian rupa menjadi kesenian daerah yang dapat dinikmati sebagai
atraksi kesenian yang sangat menarik.51
4. Balampah
Belampah (bertapa) adalah upacara yang dilakukan oleh seseorang dalam
keheningan dan penuh konsentrasi. Upacara ini dilakukan agar dapat
bertemu dengan Dewa Sangiang, ataupun roh-roh nenek moyang untuk
memohon bantuan pemecahan masalah yang rumit. Selain itu juga
belampah dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada dewa atau roh-roh
nenek moyang karena merasa bersalah terhadap perbuatan buruknya yang
pernah dilakukan, sehingga butuh pendekatan diri dengan dewa atau roh-
roh nenek moyang tersebut.
Tempat yang biasanya dijadikan tempat bertapa yakni, kuburan-kuburan,
hutan-hutan angker, di atas pohon yang rimbun dan tempat-tempat lain
yang dianggap angker dan jarang ditempuh banyak orang. Berikut cara-
cara melakukan belampah:
a. Tidak boleh diketahui orang banyak bahwa akan bertapa, oleh karena
itu bertapa dilakukan secara diam-diam.
b. Membawa sesajen, seperti seekor ayam atau babi serta beberapa
makanan lainnya, yang akan dipersembahkan kepada para dewa,
ataupun roh-roh yang telah meninggal dunia.
c. Berangkat dari rumah haruslah malam hari.
Disaat melakukan belampah, sipetapa pasti mendapatkan cobaan seperti
digoda oleh binatang buas, binatang melata, ataupun oleh suara-suara yang
51 Diakses dari http://www.senibudayaku.com/2017/12/upacara-adat-kalimantan-
tengah.html?m=1# pada tanggal 13 Juli 2018 pukul 12.32 WIB.
48
tidak diketahui darimana asalnya. Disaat godaan itu tiba, maka setiap
petapa harus mengatasinya, misalnya mampu mengatasi rasa sakit, dapat
bertahan dari sengatan serangga, digigit ular dan lain sebagainya. Bila
seluruh godaan tersebut dapat teratasi dan permohonannya dikabulkan,
maka biasanya akan muncul seorang manusia yang berwajah seram, tinggi
besar dan rambut panjang terurai, menyampaikan pesan, nasehat ataupun
keterangan yang diperlukan, tapi terkadang hanya ada suara yang akan
menyampaikan nasehat atau pesan. Selain itu ada pula yang datang berupa
wujud nenek moyang mereka yang telah meninggal.52
2.4 Kepercayaan Suku Bangsa Dayak
Kepercayaan suku Dayak, sejak zaman dahulu telah memeluk agama
Kaharingan sebagai agama asli sebagian besar suku-suku dayak di
Kalimantan. Saat ini sebagian besar masyarakat suku Dayak tetap
mempertahankan agama Kaharingan, sedangkan sebagian lain telah memeluk
agama Kristen dan juga agama Islam. Tetapi walaupun sebagian dari suku
Dayak telah memeluk agama Kristen dan Islam, beberapa tradisi Kaharingan
masih mereka laksanakan, seperti upacara Tiwah yang terkenal di kalangan
masyarakat dayak di Kalimantan Tengah.53
Kaharingan mengajarkan kepada masyarakat penganutnya untuk
menghormati arwah nenek moyang. Mereka menganggap bahwa arwah nenek
moyang itu selalu memperhatikan serta melindungi anak cucunya yang masih
52 Salam, Agama Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h.
187-189. 53Fimier Liadi, “Penelusuran Sistem Kepercayaan Suku Dohoi (Anak Suku Ot Danum) di
Tumbang Samba Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah”, Palita: Journal of Social-Religion Reserch, Vol. 2, No. 2, Oktober 2017, h. 135-136.
49
hidup di dunia. Selain itu mereka juga percaya bahwa hambaruan (jiwa) orang
yang mati itu meninggalkan tubuh kemudian menempati alam sekeliling
tempat tinggal manusia yang disebut liau.
Selain percaya kepada arwah nenek moyang, mereka percaya juga
bahwa setiap benda, baik benda hidup maupun benda mati mempunyai jiwa
atau roh. Jiwa atau roh benda-benda itu dalam kehidupan sehari-hari selalu
diperhatikan dan dihormati. Di samping itu, mereka juga percaya akan adanya
kekuatan gaib. Kekuatan-kekuatan gaib itu biasa terdapat pada segala macam
benda baik manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda mati
seperti batu-batu, kayu besar, dan guci. Demikian mereka percaya bahwa alam
sekitar hidupnya penuh dengan makhluk-makhluk halus dan roh-roh yang
menempati tiang rumah, batu-batu besar, pohon-pohon besar, hutan, air dan
semua benda yang ada disekeliling mereka.54
Suku bangsa Dayak mempercayai adanya alam makhluk-makhluk
halus, yang meliputi: Orang gaib tinggal di bumi lamah, berbentuk manusia
gaib, mati dan melahirkan, hidup bermasyarakat seperti manusia biasa, dari
lapisan raja-raja, bangsawan, kesatria, ulama, dukun dan sebagainya. Dalam
hal ini golongan raja-raja mitologis sampai dengan beberapa raja historis
dikategorikan dengan manusia alam gaib ini. Kepercayaan kepada para datu;
kepercayaan ini juga amat umum di daerah Kalimantan Selatan. Datu-datu ini
terkenal dalam cerita rakyat, berupa mitologi mengenai macam-macam aspek,
seperti datu Pujung, datu pegunungan bukit Meratus, datu Kertamina, datu
yang menguasai para buaya, datu Sapalla dan sebagainya.
54Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Kebudayaan
Kalimantan, h, 63.
50
Kepercayaan kepada kekuatan yang gaib adalah umum berlaku di
pedesaan dan kota. Kekuatan-kekuatan gaib ini bersifat magic memiliki
kekuatan-kekuatan positif atau negatif, dalam istilah daerah kekutan putih dan
kekuatan hitam. Dalam hal ini yang bersumber kebudayaan asli daerah yaitu
Kaharingan terdapat jenis-jenis kekuatan-kekuatan gaib yang digunakan untuk
membunuh, merusak hidup orang dan sebagainya. Seperti jenis-jenis parang
maya, jenis-jenis tundik, yang merupakan sistem untuk membunuh musuh dari
jarak jauh secara halus dengan kekuatan gaib.
Parang maya adalah jenis untuk membunuh musuh dari jarak jauh
dengan memiliki batas waktu seperti sakit-sakitan dan kemudian mati dan
langsung mati tanpa adanya sakit-sakitan atau batas waktu. Sementara tundik
digunakan untuk mencelakan orang atau musuh dengan kekuatan gaib dengan
cara menusuk patung orang yang ingin dibunuh dengan tombak. Bila tombak
yang dipergunakan untuk menombak tersebut berdarah, berarti orang yang
dimaksud telah mati.55
pandangan kosmologi masyarakat Dayak mengatakan bahwa alam
semesta ini terbagi menjadi dualitas sifatnya. Alam atau mereka sebut dikuasai
oleh Mahatala yang digambarkan sebagai burung enggang dan alam bawah
oleh Jata digambarkan sebagai naga. Alam atas bersifat jantan sedangkan
alam bawah bersifat betina.56
Mitologi penciptaan alam dunia dan manusia mengatakan bahwa
semua yang ada diciptakan Mahatala dan Jata Bersama-sama dan diatur
55Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat Istiadat Daerah
Kalimantan Selatan, (Jakarta: PN Balai Pustaka, tanpa tahun), h. 120.123. 56Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Kalimantan
Selatan, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1978), h. 15.
51
Bersama-sama pula. Keduanya merupakan suatu kedwitunggalan. Ilah
Dwitunggal ini mencerminkan sifat alam serba dua dalam ketunggalan, seperti
baik-buruk, putih-hitam, terang-gelap, dan seterusnya, semua melukiskan sifat
etis-religius yang ambivalen. Ilah Dwitunggal ini dengan sifat serba dua tadi
memanifestasikan diri dalam sifat-sifatnya yang dilaksnakan oleh Ilah-ilah
pengantara. Yang kedua ini mewujudkan karakter etis-religius yang ambiven
dari Ilah Dwitunggal tadi.Dalam tiap upacara, baik peserta maupun pimpinan
upacara terlibat dalam pengelompokan ini. Balian pendeta wanita disebut
Naga yang berohkan garuda.
Dalam pemikiran religus sehari-hari Ilah Dwitunggal ini digambarkan
secara antropomorfis sekali, sebagai laki-laki dan wanita. Suku Bangsa Dayak
percaya banyak roh, ada roh yang baik dan ada roh yang jahat. Ada yang
dipandang sebagai pembantu alam atas, ada uang dipandang sebagai pembantu
alam bawah, roh-roh itu adalah:
a. Ilah Kilat atau Raja Pali bertindak dalam pelanggaran adat dan hukum
adat.
b. Raja Ontong, memberi rezeki, kekayaan dan kemakmuran.
c. Raja Sial, mendatangkan kecelakaan dengan memberikan kerugian,
kematian dan sebagainya.
d. Raja Hanteun, memberi segara kerusuhan, pengrusak, mengganggu
manusia dengan sihirnya.
e. Raja Peres, penyebar penyakit atau sumber penyakit.57
57Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Kalimantan
Selatan, h. 25.
52
BAB III
PEMIKIRAN PARA PENULIS INDONESIA MENGENAI AGAMA DAN
KEBUDAYAAN SUKU BANGSA DAYAK DI KALIMANTAN
3.1 Karya Para Penulis Indoneisa Mengenai Kaharingan
A. Syamsir Salam
Syamsir Salam, lahir di Sumatra Barat 20 Juli 1945 adalah ketua
Lembaga Penelitian sekaligus salah satu guru Besar Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, Salam juga
pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah di IAIN Antasari
Palangkaraya Kalimantan Tengah. Salam menghabiskan Strata 1 (S1) di
UIN Jogja dengan jurusan Pengembangan Masyarakat, sementara Salam
memperoleh gelar Magister dan Doktornya di IPB dengan jurusan
Sosiologi Pedesaan.Tidak hanya mengenai Kaharingan Salam juga
menulis beberapa buku seperti: Menuju Islam Berkeadaban (2007);
Metodelogi Penelitian Sosial (2006); Sosiologi Pedesaan (2008) dan
masih banyak lagi.58
Salah satu karya Syamsir salam yang dirumuskan dengan judul Agama
Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah (2009)
adalah salah satu karya yang dibuat sebagai refrensi yang tepat untuk
skripsi saya. Syamsir Salam dalam karyanya mengambil dua pandangan
yang mendorong Salam untuk mempelajari masalah-masalah yang
58 Daftar Riwayat Hidup Syamsir Salam didapatkan dari TU Fakultas Dakwah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
53
berkaitan dengan agama, terutama mengenai Kaharingan dalam suku
Dayak di Kalimantan. Pertama, Fridolin Ukur yang mengatakan:
“barang siapa yang memahami agama-agama penduduk Indonesia serta
melihat proyeksinya dalam kehidupan sehari-hari, akan mengakui kebenaran
pendapat umum yang menyatakan masyarakat Indonesia adalah masyarakat
yang religius, sehingga segala adat dan tradisi, hukum dan moral, kehidupan
sosial, kekeluargaan dan ikatan kekerabatan, semuanya mempunyai
hubungan dengan dasar-dasar religius yang berkembang dalam masyarakat.
Itulah makanya agama merupakan kekuatan yang menentukan di dalam
keseluruhan tindakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”
Kedua, hasil penelitian proyek penelitian agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari Balitbang agama (1976-1977) yang
menyatakan bahwa penelitian di bidang agama di Indonesia oleh ahli-ahli
Indonesia masih dirasakan langka, hal ini mungkin disebabkan beberapa
faktor, yakni adanya rasa segan para peneliti agama terhadap masalah-
masalah agama.59
B. Harun Hadiwijono
Dr. Harun Hadiwijono adalah Guru Besar dan Rektor Sekolah Tinggi
Teologi “Duta Wacana” yang sekarang menjadi Fakultas Teologi
Universitas Kristen Duta Wacana di Yogyakarta. Beliau juga pernah
memperdalam pengetahuan di India. Karya-karya beliau yang diterbitkan
oleh BPK Mulia ialah: Kebatinan dan Injil, Teologi Reformatoris Abad
ke-20, Iman Kristen, Sari Filsafat India, Kebatinan Jawa dalam Abad ke-
59 Salam, Agama Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h. 1.
54
19, dan juga buku yang akan saya bahas yakni Religi Suku Murba di
Indonesia (2003).
Dalam bukunya Harun membagi religi suku murba dalam 3 kelompok,
yakni: religi suku murba di Indonesia Timur (Flores, Sumba, kepulauan di
sebelah timur pulau Alor dan sebelah timur Laut Timor, dan Seram), religi
suku murba di Sulawesi (Toraja dan Minahasa), dan religi suku Murba di
Indonesia Barat (Kalimantan, Tapanuli, dan Nias).
Harun Hadiwijono menulis buku yang membahas mengenai religi suku
murba atau dalam ilmu pengetahuan disebut “religi bersahaja atau religi
primitif”. Disebut demikian karena ada prasangka bahwa suku-suku
bangsa yang masih bersahaja itu secara kebudayaan dan keagamaan
menunjukkan satu kesatuan. Di samping bentuk religi bermacam-macam
diperkirakan ada gagasan yang sama, sehingga religi yang banyak itu
disebut “religi bersahaja”. Namun, menurut Harun prasangka itu salah,
karena ada beberapa gagasan yang dapat disamakan tetapi umumnya para
ahli sudah mengakui bahwa sama sekali tidak ada kesatuan di antara
keyakinan-keyakinan suku bangsa yang bermacam-macam itu.
Selain itu ada juga yang beranggapan bahwa religi umat manusia
mengalami suatu evolosi atau perkembangan, yaitu bentuk terendah ke
bentuk tertinggi. Religi terendah itu ialah religi asal, yang disebut “religi
bersahaja atau religi primitif”. Sebutan ini digunakan untuk membedakan
antara religi yang masih di anut suku-suku bangsa yang bersahaja dan
religi yang dianut oleh bangsa-bangsa yang sudah modern. Keyakinan
seperti itu sudah ditinggalkan oleh para ahli, karena ternyata hingga saat
55
ini bangsa yang disebut modern itu masih ada keyakinan-keyakinan
bersahaja atau primitif. Seperti bangsa Barat masih memakai mascot
(semacam jimat) pada mobilnya, dalam bentuk boneka atau perwujudan
lainnya. Oleh karena itu Harun tidak menggunakan istilah “religi
bersahaja”, tetapi “religi suku murba” di dalam bukunya.60
C. Marko Mahin
Pdt. Dr. Marko Mahin, S. Th. MA. lahir di Sei Kayu, Kapuas 26 Maret
1969 adalah seorang pendeta juga antropolog Indonesia. Selain menulis
buku dan melakukan penelitian, beliau juga aktif sebagai staff pengajar di
STT GKE Banjarmasin. Marko menyelesaikan semua pendidikan dasar
hingga menengah atas di PalangkaRaya. Ia memperoleh gelar Doktor
bidang antropologi setelah berhasil mempertahankan disertasinya berjudul
"Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah" pada
sidang terbuka Senat Akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia pada 29 Desember 2009. Sebelumnya ia
menyelesaikan pendidikan S2 Master of Arts (MA) di Fakultas Teologi,
Universitas Leiden-Belanda pada tahun 2003. Ia juga masih aktif dalam
Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) sejak tahun 2007. Selain
itu, ia juga menulis buku dan melakukan penelitian, salah satunya adalah
"Baseline Survey of Knowledge, Attitude and Perception of People Who
Live in Buffer Zone of National Park Sebangau in Central Kalimantan-
Indonesia."61
60Harun, Suku Murba di Indonesia, h. 1-2. 61Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Marko_Mahin pada tanggal 26 Agustus 18
pukul 12.48 WIB.
56
Dalam disertasi Marko Mahin dengan judul Kaharingan: Dinamika
Agama Dayak di Kalimantan Tengah (2009) menggunakan wawancara
mendalam dan pengamatan terlibat. Sebelum itu untuk mendapat
gambaran yang luas maka ada 2 hal yang dipaparkan oleh Marko, yakni
pertama adalah masyarakat Dayak Ngaju yaitu orang-orang yang
menghidupi dan hidup dalam kaharingan. Kedua adalah ruang atau pentas
sosial dimana Kaharingan adalah proses kehidupan sosial, maka para aktor
atau agen yang menghidupinya adalah orang-orang Dayak Ngaju
Kaharingan dan pentas sosialnya adalah Kalimantan Tengah. Dengan
demikian dapat dijelaskan bahwa sebagai agen, penganut agama
Kaharingan adalah produk dari budaya dan sejarah.62
Namun banyak yang masih memberi label kepada para penganut
Kaharingan bahwa mereka tak beragama, dan kelak akan hilang atau sudah
tidak ada lagi para penganutnya. Tujuan Marko menulis disertasi ini
karena menurut Marko Kaharingan telah digambarkan sewenang-wenang,
bahkan hingga melabeli Kaharingan adalah agama para pengayau. Marko
meyakini pasti ada penjelasan ilmiah yang lebih manusiawi dan tidak
diskriminatif. Oleh karena itu untuk melakukan penelitian ini, Marko
membaur selama 1 tahun untuk mengkaji Kaharingan dan menulis
disertasinya.
D. Diana H. Sofyah
Salah satu karya Diana yang saya paparkan di sini ialah Tesisnya yang
berjudul Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep
62 Marko, Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, h. 341-342.
57
Dasar Pengobatan Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota
Madya Palangkaraya (1997).Dalam tesisnya, Diana menggunakan jenis
penelitian deskriptif dengan penekunan pada data-data kualitatif, dan
didukung data-data survei.Sementara teknik pengumpulan data yang
digunakan Diana ialah dengan melakukan observasi dan wawancara.
Lokasi yang dipilih Diana juga adalah Palangkaraya, karena di
Palangkaraya terdapat Sekolah Tinggi Agama Kaharingan serta majelis
Besar Kaharingan.63
E. Edy Suprabowo
Edy Suprabowo dalam karyanya yang berjudul Praktik Budaya dalam
Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku Dayak Sanggau (2006)
bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa praktek budaya
masyarakat Suku Dayak Sanggau yang berpengaruh terhadap kehamilan,
kelahiran, dan nifas. Menurut WHO, kematian ibu masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat utama di berbagai negara di dunia dengan angka
kematian rata-rata 400 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu
di Kalimantan Barat adalah 442 / 100. 000 kelahiran hidup berada di atas
angka rata-rata dunia tersebut.
Penelitian ini memakai metode penelitian kualitatif dan pengumpulan
data yang meliputi wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah
(DKT) dan observasi langsung. Dalam hasil karya Edy disebutkan ada
beberapa istilah-istilah lokal yang berhubungan dengan kehamilan,
persalinan dan nifas pada masyarakat Dayak Sanggau tersebut antara lain :
63 Diana, Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep Dasar Pengobatan
Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota Madya Palangkaraya, h. 29.30.
58
Ngidam (Ngeraah), kaki bengkak (bosu,muntut), serotinus (kandung
babi), keguguran (mulus, kelabuh), presentasi bokong (lipat kajang),
presentasi kaki (turun tangga).64
F. Fransisca Murti Setyowati
Fransisca Murti Setyowati meneliti peran tumbuhan dalam menunjang
kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan khususnya Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah, metode yang di pakai oleh Fransisca yakni observasi
lapangan dan juga wawancara kepala desa dan beberapa tokoh. Di dalam
karya fransisca yang berjudul Enbotani Masyarakat Dayak Ngaju di
Daerah Timpah Kalimantan Tengah (2005).
Suku Dayak di Kalimantan Tengah, sangat bergantung pada sumber
daya alam di sekitarnya untuk makanan, obat-obatan, kosmetik, bahan
bangunan, dan penggunaan lainnya. Oleh karena itu Fransisca melakukan
penelitian keanekaragaman pemanfataan tumbuhan tersebut, untuk
mengetahui seberapa jauh peran tumbuhan dalam menunjang kehidupan
masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi lapangan
dilakukan di antara ngaju menggunakan pengamatan langsung dan
wawancara orang-orang kunci termasuk pemimpin masyarakat, tabib
tradisional dan keluarga lokal.65
64 Edy, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku Dayak
Sanggau,” h. 113. 65Franiscadkk, Enbotani Masyarakat Dayak Ngaju di Daerah Timpah Kalimantan Tengah,
h. 502-503.
59
G. Edy Tandililing
Edy Tandililing memiliki karya yang berjudul Pengembangan
Pembelajaran Matematika Sekolah dengan Pendekatan Etnomatika
Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kualitas
Pembelajaran Matematika di Sekolah (2013), dalam karya tersebut Edy
merumuskan beberapa pertanyaan yakni; Etnomatika apa saja yang
dipraktikan masyarakat suku Dayak Kanayt’n di Kalimantan Barat dan
bagaimana bentuk aktivitas yang bernuansa matematika dan bersifat
operasi hitungan yang dimiliki dan berkembang dalam masyarakat Dayak
Kanayat’n di Kalimantan Barat?
Target yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah pengembangan
etnomatika berbasis budaya lokal di Kalimantan Barat dalam upaya
pengembangan pembelajaran matematika di sekolah khususnya sekolah
dasar. Teknik pengumpulan data yang digunakan Edy yakni menggunakan
beberapa metode (multi methods), pengamatan, studi dokumenter, diskusi
kelompok terfokus, dan wawancara mendalam (indepth interview).
Sementara subyek penelitian yang digunakan Edy adalah siswa, pemuka
adat, guru dan tokoh masyarakat Dayak Kanayat’n yang mengenal benar
sastra lisan, artifak-artifak, perainan tradisional, dan praktik etnomatika
yang berlaku dalam masyarakat. Subyek penelitian sebanyak 18 orang
tokoh masyarakat dari empat kabupaten berbahasa Dayak Kanayatn’.66
66 Edy, Pengembangan Pembelajaran Metematika Sekolah dengan Pendekatan
Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika di Sekolah, h. 195.
60
H. Agung Hartoyo
Senada dengan karya Edy Tandililing, Agung Hartoyo juga menulis
jurnal mengenai etnomatika pada budaya masyarakat Dayak kabupaten
Sanggau Kalimantan Barat. Penelitian yang dilakukan oleh Agung
bertujuan untuk mengungkapkan etnomatika yang dipraktekan oleh
Masyarakat Dayak di perbatasan Indonesia-Malaysia wilayah Kalimantan
Barat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Penelitian ini menekankan
pada upaya mencari pemahaman aktivitas masyarakat dalam pengebangan
ide-ide matematika dari dunia real. Untuk mencapai maksud tersebut,
Agung memerlukan pendekatan interprevitisme dengan metode
interpretative understanding.
Dengan demikian, jenis penelitian yang sesuai dengan kondisi tersebut
adalah penelitian kualitatif. Pada studi eksplorasi ini diinventarisir konsep-
konsep matematika (etnomatika) yang terkandung dalam budaya
masyarakat atau digunakan dalam berbagai aktivitas kehidupan
masyarakat Dayak perbatasan Indonesia-Malaysia. Metode pengumpulan
dan analisis data yang digunakan Agung yakni: pengumpulan data, reduksi
data, display data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.67
67 Agung,“Eksplorasi Etnomatika pada Budaya Masyarakat Dayak Perbatasan Indonesia-
Malaysia Kabupaten Sanggau KALBAR, h. 16.
61
3.2 Agama Kaharingan Menurut Para Penulis Indonesia
Kaharingan adalah kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan,
ketika agama lain belum memasuki Kalimantan. Istilah Kaharingan artinya
tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan),
maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
(Ranyiang Hatalla Langit), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan
dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan.
Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun
1944, saat ini menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin.
Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan
agama Dayak. Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai
Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah
Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan
Doa), Tawur (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara
menabur beras), dan sebagainya.68
Dalam hal ini saya akan memaparkan pemikiran 8 penulis Indonesia
dalam aspek agama:
1. Syamsir Salam
Suku Dayak mendiami hampir seluruh pulau Kalimantan, dan mereka
mempunyai pandangan bahwa alam yang mereka diami mempunyai
kekuatan-kekuatan gaib atau roh-roh yang mempunyai kekuatan melebihi
dari mereka, sehingga mereka menganggap harus menjaga prilaku dan
mengambil hatinya agar terhindar dari segala marabahaya. Tidak hanya
68Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kaharingan pada tanggal 03 Oktober 2018
pukul 17.56 WIB.
62
alam, mereka juga yakin terhadap manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan,
dan benda-benda mati lainnya mempunyai kekuatan gaib atau kekuatan
sakti. Kekuatan tersebut dapat bertambah, berkurang dan berpindah-
pindah sehingga mereka percaya bahwa kekuatan tersebut diperlukan
untuk menambah kekuatan mereka sendiri dan mereka harus menghormati
benda-benda tersebut dan menggunakannya sebagai bagian dari kekuatan
mereka sendiri.
Sistem sosial dan kerohanian Kaharingan didapatkan dari nenek
moyang secara langsung, dan diceritakan kembali ke anak-anak dan cucu-
cucunya secara turun-temurun sehingga masih tetap terjaga, walaupun
masih ada perubahan, namun tidak dalam hal pokok-pokoknya yang masih
berkembang dan terjaga hingga saat ini.
Menurut Salam Kaharingan tidak dapat disebut sebagai salah satu
paham kegamaan dari dinamisme, animisme, politeismi ataupun
monoteismi, karena yang apa yang ada di dalam dinamisme, animisme,
politeisme dan monoteisme terdapat pula di dalam Kaharingan. Dengan
demikian Kaharingan memiliki semua paham-paham yang berkembang
dikalangan agama-agama masa kini. Jika dilihat dengan kacamata histori
suku Dayak, agama Kaharingan lebih cocok dikatakan agama masa
lampau, karena yang dikatakan Sarwoto Kertodiporo Kaharingan
merupakan sisa-sisa agama Hindu maupun agama Budha. Lebih jauh
ditegaskan bahwa Kaharingan, Hinduisme, serta Budhisme di Indonsia
semuanya memang agama masa lampau, namun Kaharinganlah yang
tertua. Oleh karena itu Kaharingan merupakan agama asli di bangsa
63
Indonesia, yang masih eksis hingga sekarang dan dianut oleh suku Dayak
Kalimantan umumnya dan Kalimantan Tengah khususnya.69
Senadanya dengan Marko, Marko juga pernah mengatakan:
“Kaharingan itu agama para leluhur Dayak. Saya terpanggil meneliti
sekaligus menyelami keluhurannya,”
Ujar Marko yang juga memperoleh Visiting Research Fellowship, Asia
Research Institute (ARI) of the National University of Singapore, pada
Mei-Juni 2008.70
Selain itu juga suku Dayak sangat menghormati arwah nenek moyang,
karena mereka menganggap arwah nenek moyang selalu menjaga dan
memperhatikan cucu-cucunya yang masih hidup. Karena itu mereka
melakukan upacara sebagai ungkapan rasa cinta dan hormat mereka
kepada arwah nenek moyang.71
2. Harun Hadwijono
Harun Hadiwijono, dalam karyanya yang berjudul Religi Suku Murba
di Indonesia (2003) menjelaskan bahwa Seluruh religi suku Dayak di
Kalimantan harus dilihat dari gagasannya tentang para dewa dan tentang
penciptaan. Di satu pihak, Mahatala yang menampakkan diri dengan
wujud burung enggang dan Jata yang menampakkan diri sebagai naga
digambarkan dua kekuatan yang saling bertentangan, namun di pihak lain
mengatakan bahwa pertentangan ini dihapuskan artinya Mahatala dan Jata
69Salam, Agama Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h.
211-212. 70Diakseshttps://tokoh.id/biografi/5-wiki-tokoh/antropolog-penyelami-kaharingan/
pada tanggal 08/08/2018 pukul 20.30 WIB. 71Salam, Agama Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h.
213.
64
bersatu. Oleh karena itu motif religi suku Dayak di Kalimantan adalah
pengaruh timbal balik antara pertentangan antara Mahatala dan Jata dan
tidak adanya pertentangan antar kedua dewa tersebut yang menjadikan
kedua dewa tersebut bersatu. Kesatuan kedua dewa tersebut lahir bukan
karena dualitasnya, bukan juga karena sifatnya yang dwiganda itu hilang
karena bersatunya mereka, melainkan di dalam kesatuannya mereka tetap
dua, dan di dalam sifat dwigandanya mereka tetap satu. Dengan demikian,
religi suku Dayak ini tidak mengajarkan adanya dua asa yang secara
hakiki saling bertentangan, tanpa dapat dipersatukan. Pada dasarnya di sini
ada suatu proses yang dialektis. Antagonisme ada senantiasa ditiadakan
lagi dalam suatu penciptaan baru yang mewujudkan suatu kesatuan yang
baru.
Gejala demikian tampak sebagai benang emas pada seluruh upacara-
upacara religius, di dalam lambang-lambang dan simbol-simbol, juga di
dalam tata tertib sosial, bahkan di dalam hidup rumah tangga dan
ekonomi, di dalam kesenian dan pembagian kerja, serta di dalam adat
istiadat, terlebih-lebih di dalam pesta kematian.72
3. Marko Mahin
Dalam disertasi Marko Mahin menjelaskan juga bahwa pada masa lalu,
untuk mengadapi kekerasan simbolik dari struktur objektif, bagi
Kaharingan telah bersedia jawaban sederhana yaitu konversi eksternal atau
berpindah ke agama lain. Namun pada masa kini, Kaharingan lebih
memilih menjawab konversi internal. Hal itu menimbulkan konsekuensi-
72Harun, Suku Murba di Indonesia, h. 70-71.
65
konsekuensi dan menuntut siasat dan strategi yang tepat. Perlawanan,
siasat dan strategi itu dapat disebut sebagai ”Politik Agama”.73
Keterlibatan umat Kaharingan dalam ruang publik merupakan indikasi
bahwa praktik-praktik sosial yang dilakukan telah berhasil menggeser
posisi Kaharingan dari ketertindasan absolut ke posisi lebih baik, juga
indikasi dari pemilikan modal yang besar. Karena itu mereka cukup berani
mengajukan peraturan-peraturan permainan baru misalnya dana APBN
untuk Kaharingan, posisi Dirjen di Departemen Agama, bahkan
Kaharingan menjadi agama yang otonom. Praktik-praktik sosial yang
dilakukan memungkinkan mereka memiliki modal simbolik semakin besar
sehingga mempunyai keberanian mendeskriditkan “lawannya” sebagai
pelanggar HAM.74
Seperti di Plangkaraya pimpinan tertinggi umat Kaharingan adalah
majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK). MBAHK mengurusi
umat Kaharingan di seluruh provinsi Kalimantan Tengah. MBAHK
membawahi Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan (MDAHK) yang
mengurusi umat Kaharingan di tingkat kabupaten. MDAHK membawahi
Majelis Resort Agama Hindu Kaharingan (MRAHK) yang mengurusi
umat di tingkat kecamatan, sedangkan MRAHK membawahi Majelis
Kelompok Agama Hindu Kaharingan (MKAHK) yang mengurusi umat
Kaharingan di tingkat desa atau kelurahan.
Sebuah organisasi, termasuk organisasi keagamaan tidak dapat
berjalan dengan baik apabila tidak didukung oleh adanya pendanaan yang
73Marko, Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, h. 343. 74Marko, Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, h. 344.
66
mencukupi. Dalam organisasi MDAHK Kabupaten Kotawaringin Timur,
pendanaan paling tidak berasal dari dua sumber yaitu dana dari umat dan
juga dari pemerintah daerah, dalam hal ini PEMDA Kabupaten
Kotawaringin Timur. Dana dari umat didapatkan dalam bentuk
persembahan uang yang ditaruh di bokor yang disebut dengan istilah Duit
Singah Hambaruan. Dikumpulkan sebelum sembahyang dimulai, namun
jumlahnya sangat kecil yaitu anatara 60 ribu hingga ratusan ribu rupiah.
Selain itu ada persembahan khusus yang diberikan oleh keluarga
Kaharingan langsung kepada pengurus MDAHK Kabupaten Kotawaringin
Timur.
Dana yang cukup besar didapatkan oleh pengurus MDAHK dari
pemerintah daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. Sebelum tahun 2000,
setiap tahun pengurus MDAHK mendapat dana Rp2.500.000,- (dua juta
lima ratus ribu rupiah), namun pada tahun 2004 mendapatkan bantuan
dana Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk bantuan pembangunan
Balai Basarah, yang diresmikan pada tahun 2004 dengan menelan dana
Rp186.000.000,- (seratus delapan puluh enam juta rupiah). Balai Basarah
merupakan salah satu bagian dari rencana pembangunan Kaharingan
Centre. Adapun Kaharingan Centre nantinya meliputi:
a) Tempat Ibadah/ Balai Basarah
b) Rumah Duka
c) Sekolah Menengah Kejuruan
d) Museum Budaya
e) Tempat Pertunjukan Seni
67
f) Panggung Tiwah Massal
g) Tempat pembudidayaan tanaman-tanaman yang berkaitan dengan
ritual keagamaan.75
Sekitar kawasan Adat Masyarakat terutama bagi Kaharingan yang
tersebar di seluruh Kabupaten atau Kota ialah termasuk Kawasan strategis
dari sudut kepentingan sosial budaya, hal ini di cantumkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Kalimantan
Tengah 2016-2021 dalam arah kebijakan pengembangan Kawasan
strategis yakni Penetapan kawasan strategis provinsi (KSP) meliputi
kawasan strategis dari sudut kepentingan yaitu: pertumbuhan ekonomi,
sosial budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi
serta fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.76
Dengan demikian menurut Marko kesimpulan telah terjadi pertubrukan
antara konsep kultural Negara telah menghancurkan konsep kultral
Kaharingan adalah kesimpulan yang salah. Kaharingan justru semakin
mengenal dirinya sendiri dan memaparkan dirinya dengan konsep kultur
Negara atau struktur-struktur objektif di sekitarnya. Mereka melakukan
praktik-praktik, proses reproduksi yakni mengolah struktur-struktur
objektif itu demi kepentingan mereka sendiri, secara positif yakni
memanipulasi atas struktur dilakukan demi eksistensi diri.77
75Nasruddin, DKK., Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi, (Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kebudayaan, 2011), h. 117-118. 76Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, RJMD Provinsi Kalimantan Tengah
2016-2017, No. 1 2017. 77 Marko, Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, h. 342.
68
4. Diana H. Sofyah
Dalam hasil kesimpulan Tesis Diana tersebut mengatakan bahwa
sistem pengobatan tradisional suku Dayak Ngaju dapat diklasifikasikan
menjadi:
a) Sistem pengobatan tradisional yang masih asli, dimana landasan logik
dan landasan tekniknya benar-benar murni berdasarkan kepercayaan
lama, yaitu Kaharingan. Para pengobata merupakan orang-orang yang
menganut agama Kaharingan.
b) Sistem pengobatan tradisional yang dipengaruhi agama Islam,
landasan Teknik berdasarkan kepercayaan lama, demikian pula
perangkat-perangkat yang digunakan banyak dipengaruhi kepercayaan
lama. Sedangkan landasan logiknya dipengaruhi agama Islam,
terutama dalam melegatimasi pengobatan itu sendiri.
c) Sistem pengobatan tradisional yang benar-benar dipengaruhi oleh
agama Islam baik landasan teknik maupun landasan logiknya
menggunakan moment yang sakral menurut agama Islam serta
menggunakan doa.
d) Sistem pengobatan tradisional yang berdasarkan pengalaman dan hasil
yang dilihat selama berabad-abad, seperti penggunaan ramuan tumbuh-
tumbuhan tanpa menggunakan mantra-mantra apapun.78
Dalam praktik pengobatan terlihat adanya keterkaitan antara agama
Kaharingan dan agama Islam dengan konsep-konsep pengobatan, konsep-
konsep penyakit serta landasan logiknya. Percampuran kedua konsep
78 Diana, Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep dasar Pengobatan
Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota Madya Palangkaraya, h. 179-180.
69
agama tersebut dalam pengobatan semakin terlihat nyata praktek
pengobatannya, terlihat jelas adanya unsur-unsur kedua agama tersebut
dalam setiap tindakan pengobatannya. Konsep-konsep pengobatan,
pandangan atas penyakit cara-cara pengobatan dan penentuan obat dan
cara pengobatan berlandaskan konsep-konsep kosmologi Kaharingan
sementara alat legitimasi menggunakan doa agama Islam.79
Sebenarnya hubungan masyarakat di sana dengan Islam relatif cukup
lama bahkan sebelum agama Islam didakwahkan dan kemudian diterima
sebagai agama oleh sebagian masyarakat. Hubungan ini terlihat dalam
budaya pinjaman yang ditemukan berasal dari tradisi penganut agama
Islam. Contoh mantra yang dapat membuktikan hal ini, ialah:
Mantra mata untuk penyakit mata“Bi ism Allah ya Rahman ya Rahim
Ambun ijau ambun kuning Ambun manikam raja manawar Aku nuruntan
tawaran saribu Anak ikan putih dari lautan Panas sajuk barat ringan
Tajam tumpul bisa tawar Sah tawar.”
Mantra Kempunan untuk sakit karena kekuatan gaib “Bi ism Allah ya
Rahman ya Rahim Pariu’ si parunggu Barisi’ ruman padi Turun dato’
petara guru Nawari’ kempunan ku tadi’ Jilat makatn.”
Kata-kata bi ism Allah al-Rahman al-Rahim atau kadang-kadang
diucap bi ism Allah ya Rahman ya Rahim yang terdapat dalam mantra-
mantra di atas dapat dipastikan berasal dari sistem kepercayaan Islam.
Mantra-mantra ini diperoleh dan diamalkan oleh mereka sejak sebelum
memeluk Islam. Inilah satu di antara sebab, Islam dapat diterima.
79Diana, Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep dasar Pengobatan
Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota Madya Palangkaraya, h. 183.
70
Kepercayaan terhadap kekuatan supranatural yang sudah tertanam secara
kuat mendapat tempat dalam ajaran Islam. Beberapa aspek kepercayaan itu
mirip dengan kepercayaan Islam seperti konsep tentang Tuhan yang
disebut Jubata. Bahkan, ada informan yang mengaku semakin yakin
dengan Islam ketika mengetahui bahwa sebagian atau keseluruhan bacaan
mantra-mantra yang diamalkannya berasal dari ajaran Islam. Keadaan ini
bisa dibandingkan peralihan agama seorang raja Patani, kawasan Thailand
Selatan, menjadi Islam setelah disembuhkan oleh seorang shaykh dari
Pasai. Setelah jumlah penduduk Muslim di daerah tersebut semakin
signifikan, praktik semacam ini tidak serta-merta hilang. Di Menggala,
daerah Lampung Utara, masyarakat masih menggunakan magi untuk
keperluan pengobatan. Magi tersebut merupakan gabungan antara
kepercayaan lokal dengan Islam. Pemanfaatan sumber-sumber lokal untuk
islamisasi dilakukan oleh elit lokal Islam dalam rangka penyebaran agama
ini yang disesuaikan dengan masyarakat desa yang sinkretik. Mulkhan
menyebut proses islamisasi yang demikian dengan “domestikasi” atau
penjinakan Islam.80
5. Edy Suprabowo
Dalam hasil penelitian Edy Suprabowo ini, Edy menjelaskan bahwa
masyarakat Dayak Sanggau mengetahui tanda-tanda kehamilan seperti
pembesaran perut, ngeraah atau ngidam, tidak datang bulan dan badan
lemas. Sementara tanda-tanda kehamilan yang diketahui yakni keluar
lendir darah atau biasa disebut calak, perut mulas, sakit pinggang, pecah
80Hermansyah, “Islam dan Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Muslim Kanayatn
Dayak di Kalimantan Barat,” Islamica, Vol. 7, No. 2, Maret 2013, h. 349-350.
71
air ketuban atau piying nutup. Masyarakat Dayak Sanggau tidak mengenal
istilah nifas karena itu yang digunakan istilah masa setelah melahirkan.
Menurut masyarakat Dayak Sanggau lamanya masa nifas bervariasi, ada
yang menyatakan satu minggu, dua minggu dan satu bulan mereka tidak
tahu secara pasti berapa lamanya masa nifas.81
Dalam Kaharingan ada upacara selingkar hidup, selingkar hidup
manusia adalah sejak dari masa kehamilan, kelahiran, masa balig,
perkawinan, sampai dengan kematian. Masa-masa tersebut dianggap
masyarakat suku bangsa Dayak sebagai masa-masa kritis yang sering
mendapat gangguan dari makhluk-makhluk halus ataupun roh-roh jahat,
sehingga pada masa-masa perubahan seperti ini, mereka memerlukan
bantuan dari makhluk-makhluk halus atau roh-roh halus, serta campur
tangan orang lain melalui upacara inisiasi.
Ketika ibu hamil maka dilaksanakan upacara Nyaki Tihi. Istilah Nyaki
Tihi berasal dari dua kata yang secara substansi berbeda makna. "Nyaki"
dapat disamakan dengan "mamalas" yang secara literal berarti
"mengoleskan", sedangkan "Tihi" adalah "hamil" atau "mengandung". Jadi
jika dideskripsikan, Nyaki Tihi memiliki pengertian sebagai kegiatan atau
tindakan "memoles ibu hamil". Jadi Nyaki Tihi adalah memoleskan darah
kepada seorang wanita yang sedang mengandung atau hamil anak pertama
dalam masyarakat Dayak. Tujuan Nyaki Tihi ini karena keyakinan atau
kepercayaan terhadap perlindungan atau keselamatan ibu yang hamil,
sehingga upacara adat Nyaki Tihi merupakan semacam perlindungan
81Edy, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku Dayak
Sanggau,” h. 114.
72
terhadap ibu yang mengandung bayi pertama (temei) ketika telah
menginjak usia kandungan 7 bulan. Uniknya, upacara itu hanya dilakukan
untuk kandungan bayi pertama. Terhadap kandungan bayi kedua dan
seterusnya tidak lagi.82
Pada saat persalinanya, biasanya dibantu oleh dukun bayi dan sebelum
melakukannya terlebih dahulu memohon izin kepada para roh dengan
membacakan mantra-mantra. Bila bayi telah lahir, maka ari-ari tersebut
dipotong lalu disimpan di dalam bakul yang beralaskan pelepah pinang
dan abu dapur. Bakul itu kemudian digantungkan diatas pohon buah-
buahan yang ada di sekitar rumah, atau dikubur di bawah tangga depan
pintu.
Pada saat pemotongan pusat bayi, dilangsungkan upacara yang disebut
nuhunan, upacara ini dimaksudkan agar bayi mendapat perlindungan dari
Ranyiang Hatalla Langit, serta roh-roh lainnya baik yang berada di alam
atas maupun alam bawah. Peralatan yang digunakan dalam upacara ini
ialah: satu batang sawang, yang dibungkus dengan tikar pandan dan diikat
dengan rotan, lalu sesajen berupa seekor ayam jago, lakar (wadah dari
rotan), kelambu, jala dan batu asah. Kemudian peralatan itu
dipersembahkan kepada Ranyiang Hatalla Langit, sebagai persembahan
dari keluarga atas keselamatan yang diberikan kepada bayi.83
Dengam dimikan, hasil penelitian Edy Suprabowo mengenai praktik
budaya dalam kehamilan, persalinan dan nifas terdapat aspek
82Wilson, “Makna Upacara Nyaki Tihi Adat Dayak Ngaju di Desa Samba Danum Katingan,
Kalimantan Tengah”, Konstektualita, Vol. 26, No. 2, Desember 2009, h. 43-44. 83 Salam, Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h.
181.
73
keagamaannya, karena dalam kehamilan dan persalinan masyarakat Dayak
juga memiliki upacara keagamannya.
6. Fransisca Murti Setyowati
Telah saya paparkan sebelumnya bahwa tujuan Fransisca meneliti
enbotani masyarakat Ngaju adalah untuk mengetahui seberapa jauh peran
tumbuhan dalam menunjang kehidupan masyarakat Dayak Ngaju. Salah
satu hasil penelitian fransisca ialah pemanfaatan tumbuhan menjadi bahan
obat-obatan, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak Ngaju masih
mempraktekan pengobatan secara tradisional. Dengan demikian hasil
penelitian fransisca dalam aspek keagaman ialah mengenai penggunaan
tumbuhan menjadi bahan obat-obatan. Sistem kepercayaanya didasarkan
kepada pemujaan kepada roh leluhur dan menganggap bahwa alam sekitar
mereka memiliki kekuatan melebihi mereka sehingga mereka harus
menjaga sikap agar alam tidak marah hingga memberikan kekacauan
terhadap hidup mereka.
mengenai kondisi sehat dan sakit (barigas dan haban), diyakini oleh
suku bangsa Dayak karena faktor-faktor alam, manusia dan roh-roh.
Sistem keyakinan terhadap sehat sakit (barigas haban) dalam tradisi suku
bangsa Dayak, tampak dalam sistem kosmologi suku bangsa Dayak yaitu
tentang harmonisasi manusia dan alam suku bangsa Dayak serta
pelestarian budaya. Kosmologi dalam suku bangsa Dayak dapat
digolongkan menjadi dua golongan yaitu kosmologi lisan dan tulisan.
Kosmologi lisan populer dalam masyarakat dengan sebutan tetek tatum
(cerita dari nenek moyang), lime sarahan dan telu kapataut belum.
74
Sedangkan kosmologi tulisan adalah dalam bentuk kitab Panaturan.84
Sikap masyarakat suku bangsa Dayak terhadap alam gaib dan upacara
religi dalam pelaksanaan pengobatan tradisional suku bangsa Dayak, hal
tersebut tampak pada kuatnya keyakinan suku bangsa Dayak dalam
melakukan perawatan penyakit melalui ritual pengobatan, magi dan laku
mistik suku bangsa Dayak.
Konsep pengobatan suku bangsa Dayak dalam kitab Panaturan termuat
dalam pasal 40 ayat 2 dan 19 sebagai berikut:
“Tinai eka ije inyuhu tuntang inampa awi Ranying Hatalla akan ewen ndue,
iete bagare: batang danum rasau kaput, puna batang danum tatau nyahukan,
tuntang aran ewen ndue into hete ije hatue bagare mangku amat sangen, ije
bawi bagare nyai jaya nyangiang, ewen ndue mijen huang ije parung hayak
mahaga garu bahari, santi mait, ulih mambelum tingang tapatusuk pimpinge
nampaharing haramaung nampalang bunu”.
Yang artinya : “Tempat yang diberikan bagi mereka berdua itu disebut
oleh Ranying Hatalla bernama batang danum rasau kaput, yaitu Batang
Danum Tatau Nyahukan dan nama bagi mereka berdua disebut dan
diberikan oleh Ranying Hatalla bernama Mangku Amat Sangen dan Nyai
Jaya Sangiang. Mereka berdua tinggal pada sebuah balai dan mereka
berdua mempunyai kesaktian yang bisa menghidupkan mayat.”
“Iyoh tingang esu rawei mangku amat sangen ewen ndue nyai jaya
nyangiang, kue tingang tatum tuh dia ulih mawi jalanan kanih kate mikeh dia
ulih ketun mahaga palin bambang penyang kue sintung ndue, basa amun
84Kadek Sukiada, “Sistem Medis Tradisional Suku Dayak dalam Kepercayaan Hindu
Kaharingan di Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah”, DHARMASMRT, Vo. XIII, no. 26, Oktober 2015, h. 54.
75
saluh sawak bambang penyang kue sintung ndue, pea ketun mite kue tingang
tatum tinai”.
Yang artinya: “Ya cucuku kata Mangku Amat Sangen dan Nyai Jaya
Sangiang, kami berdua kakek nenekmu, sudah tidak kuat lagi bepergian
jauh dan yang paling utama adalah karena banyak sekali pantangan
makanan yang tidak boleh kami berdua memakannya. Kalau pantangan
dilanggar, kami berdua tidak akan kalian lihat lagi.”85
Dengan demikian, ungkapan tersebut menunjukkan bahwa pantangan
(pali) dalam melakukan pengobatan tradisional suku bangsa Dayak harus
di patuhi oleh pasien sakit untuk keberkhasiatkan pengobatan yang
dilakukan. Keyakinan terhadap pantangan dalam pengobatan tradisional
suku bangsa Dayak sangat menentukan keberhasilan pengobatan terhadap
segala macam jenis gangguan penyakit.
Dalam proses pengambilan bahan obat-obatan, orang Dayak percaya
bahwa segala yang ada di dunia ini ada rohnya. Kami percaya di air ada
rohnya, udara, api dan pada tumbuh-tumbuhan serta binatang ada rohnya.
Oleh karena itu, untuk mengambil bahan obat kita permisi dulu, dengan
menggunakan doa atau mantra, seperti :
”Nah tuh kayu kapanduan i kau akan tatamban, nah mudah-mudahan
anakku tuh ije buat paripit, dohop i kau mangat anakku tuh Salamat,
Panjang umur restu aku”
Yang artinya, “tumbuhan atau pohon ini, aku permisi mau mengambil
sebagian dari tubuhmu itu, aku pergunakan untuk bahan obat agar nanti
85Kadek Sukiada, “Nikai Kebhinekaan Sistem Kosmologi Hindu Kaharingan dalam
Pengobatan Tradisional Suku Dayak”, Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017, h. 124.
76
anakku bisa disembuhkan, aku mohon kepadamu (mukzizat) agar anakku
selamat dan Panjang umurnya, itulah permohonanku”.86
7. Edy Tandililing
Etnomatika menurut Gardes sebagaimana dikutip Edy Tandililing
etnomatematika adalah matematika yang diterapkan oleh kelompok
budaya tertentu, kelompok buruh/petani, anak-anak dari masyarakat kelas
tertentu, kelas-kelas profesional, dan lain sebagainya. Dari definisi seperti
ini, maka etnomatika memiliki pengertian yang lebih luas dari hanya
sekedar etno (etnis) atau suku. Jika ditinjau dari sudut pandang riset maka
etnomatematika didefinisikan sebagai antropologi budaya (cultural
anropology of mathematics) dari matematika dan pendidikan matematika.
Sebagai contoh dalam penelitian ini, etnis suku Dayak Kanayat’n yang
mempunyai populasi terbesar diantara berbagai suku dayak di Kalimantan
Barat, budaya dan kehidupan dalam masyarakat banyak dijumpai yang erat
kaitannya dengan etnomatika. Matemaika sebagai ilmu dasar perlu
mengkaji dan menelaah dasar-dasar ilmu hitung atau komputasi yang
diterapkan dalam masyarakat untuk memperkaya pengembangan
matematika.87
Dalam hasil penelitin Edy mengatakan bahwa tradisi sastra lisan
Dayak Kanayat’n yang mengandung unsur-unsur matematika, kegiatan-
kegiatan tradisis sastra lisan tersebut antara lain : lalak, tanung, totongt,
mantik, bagago’, kobet, pelantar, bontong, nontong, pabayo, kalangkang,
86Kadek Sukiada, “Sistem Medis Tradisional Suku Dayak dalam Kepercayaan Hindu
Kaharingan di Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah”, h. 60. 87 Edy, Pengembangan Pembelajaran Metematika Sekolah dengan Pendekatan
Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika di Sekolah, h. 193.
77
tumpang dan ikat kepala. Contoh : ikat kepala yang digunakan pada saat
pesta atau ritual selalu dipasangkan dengan bulu ruai yang diselipkan di
belakang atau samping kepala. Ikat kepala yang menggunakan 3 bulu
biasanya digunakan oleh laki-laki, 1 bulu ruai digunakan oleh wanita yang
dianggap mempunyai ilmu atau kesaktian, 7 bulu ruai digunakan oleh
seorang panglima atau pemimpin perang.
Contoh lainnya adanya etnomatika dalam tradisi lisan Dayak ialah,
hukuman mati seorang bengkakang (busung atau berdosa), hukumanan
adatnya sebanyak 3 tahil, 2 ekor babi, 24 pinggan, 2 ekor ayam.
Disamping itu tambahan hukuman adat lainnya yaitu: pertama, hukum
waris dua belah pihak sebanyak 4 siam, 4 ekor jalu dan 4 ekor ayam;
kedua, hukum Timanggong Siam Pahar atau pahar badangkop minimal 20
kg; ketiga, hukum pesirah Siam menyanyi yaitu jalu minimal 15 kg.88
Hasil penelitian Edy Tandililing mengenai pengembangan
pembelajaran matematika sekolah dengan pendekatan etnomatika salah
satunya ialah tradisi lisan Dayak Kanayat’n mengandung unsur-unsur
matematika, yang mana berarti ketika upacara keagamaan suku bangsa
Dayak adanya pengucapan, aturan-aturan yang harus dipenuhi serta
jumlah barang atau alat perlengkapan upacara, karena dalam berbagai
upacara adat suku bangsa Dayak Kanayat’n memiliki patokan dan jumlah
tertentu.
88 Edy, Pengembangan Pembelajaran Metematika Sekolah dengan Pendekatan
Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika di Sekolah, h. 196.
78
8. Agung Hartoyo
Menurut D’Ambrosio dalam Rachmawati, (2013:4), menyatakan
bahwa secara bahasa awalan “ethino” diartikan sebagai sesuatu yang
sangat luas yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa,
jargon, kode perilaku, mitos dan simbol. Kata dasar “matIhema”
cenderung berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan
kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi, menyimpulkan,
dan pemodelan. Akhirnya “tIcs” berasal dari techne, dan bermakna sama
seperti teknik. Sedangkan secara istilah etnomatematika diartikan sebagai
“matematika yang dipraktekkan di antara kelompok budaya diidentifikasi
seperti masyarakat nasional suku, kelompok buruh, anak-anak dari
kelompok usia tertentu dan kelas profesional”. Istilah tersebut kemudian
disempurnakan menjadi “Saya telah menggunakan Etnomatematika
sebagai mode, gaya, dan teknik (tics) menjelaskan, memahami, dan
menghadapi lingkungan alam dan budaya (mathema) dalam sistem budaya
berbeda (ethnos).”89
Etnomamatika merupakan jembatan matematika dengan budaya,
etnomatika mengakui adanya cara-cara berbeda dalam melakukan
matematika dalam aktivitas masyarakat. Dengan menerapakan etnomatika
sebagai suatu pendekatan pembelajaran akan sangat memungkinkan suatu
materi yang pelajari terkait dengan budaya mereka sehingga pemahaman
suatu materi oleh siswa menjadi lebih mudah karena materi tersebut terkait
langsung dengan budaya meraka yang merupakan aktivitas mereka sehari-
89Sri Rahmawati Fitriatien, Pembelajaran Brbasis Etnomatika, (Surabaya, PGRI Adi
Buana, Juni 2017), h. 5.
79
hari dalam bermasyarakat. Tentunya hal ini membantu guru sebagai
fasilitator dalam pembelajaran untuk dapat memfasilitasi siswa secara baik
dalam memahami suatu materi.90
Hasil penelitian agung hartoyo yang terdapat aspek keagamaannya
ialah “Menjelaskan”, “menjelaskan” merupakan salah satu akivitas yang
cukup sering dilakukan oleh masyarakat ketika menghadapi pertanyaan-
pertanyaan atau menyampaikan informasi dan pengetahuan kepada orang
lain. Dalam pandangan pendidikan matematika (NCTM, 1989) salah satu
kemampuan peserta didik yang ingin ditumbuh-kembangkan melalui
pembelajaran matematika adalah kemampuan dalam mengo-munikasikan
ide-ide yaitu kemampuan untuk memahami, mengevaluasi dan meng-
intrepretasi ide yang dimiliki serta menjelaskan kepada orang lain.
Aktivitas menjelaskan dalam masyarakat yang menerapkan matematika
informal itu ditemukan pada saat mereka berusaha untuk menyampaika
ide-ide yang ada pada dirinya kepada orang lain secara sistematis dan
mudah dipahami orang lain.91
Menjelaskan adalah salah satu hasil penelitian Agung mengenai
kegiatan Kaharingan dalam sehari-hari yang terdapat unsur etnomatika.
Senada dengan Edy Tandililing, “menjelaskan” juga dapat diartikan
sebagai tradisi sastra lisan, yang mana menurut Edy Tandililing
mengandung unsur-unsur matematika. Dengan demikian “menjelaskan”
adalah kegiatan masyarakat suku bangsa Dayak, seperti pengucapan-
90Wahyu Fitroh dan Nurul Hikmawati, Prosding Seminar Matematika dan Pendidikan
Matematika, (Semarang, UMS, 2015), h. 336. 91 Agung Hartoyo,“Eksplorasi Etnomatika pada Budaya Masyarakat Dayak Perbatasan
Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau KALBAR, h. 20.
80
pengucapan atau mantra-mantra yang di lisankan ketika melakukan setiap
upacara-upacara adat Kaharingan.
3.3 Kebudayaan Kaharingan Menurut Para Penulis Indonesia
Definisi kebudayaan menurut Ralph Linton sebagaimana di kutip oleh
Leonard Siregar, kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat
dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih
tinggi dan lebih diinginkan. Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek
kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan
dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu
masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.92
Sementara definisi kebudayaan yang “klasik” dalam jurnal Bactiar
Alam yang ia kutip dari Taylor mengatakan bahwa, kebudayaan sebagai
“suatu kesatuan kompleks yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, hukum,
moralitas dan adat istiadat,” hingga pendekatan intreperatif yang Bactiar kutip
juga dari Clifford Geertz yang mencoba mempertajam pengertian kebudayaan
sebagai “pola-pola arti yang terwujud sebagai simbol-simbol yang diwariskan
secara historis, dengan bantuan manusia mengkomunikasikan, melestarikan
dan mengembangkan pengetahuan dan sikap terhadap hidup”.93
Dengan demikian, kebudayaan Kaharingan adalah tata cara hidup suku
bangsa Dayak dari satu kesatuan komplek seperti adat istiadat Kaharingan,
kepercayaan Kaharingan yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh
nenek moyang mereka yang hasil kegiatan tersebut di anggap tinggi dan yang
92Leonard Siregar, “Antropologi dan Konsep Kebudayaan”, Antropologi Papua, Vol.1,
No.1, Agustus 2002, h. 5. 93Bachtiar Alam,“Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan”,
Antropologi Indonesia 54, 1998, h. 2.
81
diinginkan. Berikut pemikiran para penulis Indonesia mengenai aspek
kebudayaan Kaharingan:
1. Syamsir Salam
Salam, dalam bukunya menjelaskan bahwa suku Dayak mempercayai
akan adanya kekuatan-kekuatan sakti dalam gejala-gejala dan peristiwa-
peristiwa luar biasa. Gejala-gejala dan peristiwa luar biasa itu dapat
berupa gejala-gejala alam, tokoh-tokoh manusia, bagian-bagian tubuh
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda, dan suara yang luar
biasa. Sedangkan peristiwa yang luar biasa adalah peristiwa yang sangat
menyimpang dari kebiasaan hidup sehari-hari, yang sangat mengherankan,
tak masuk akal, sangat luar biasa, sehingga menimbulkan ketakutan, rasa
segan dan hormat.
Gejala alam yang dianggap mempunyai tenaga gaib salah satunya ialah
angin topan, yang seringkali menjadi penghalang para nelayan menangkap
ikan di sungai, serta merubuhkan rumah-rumah dan pohon-pohon besar
yang menimbulkan korban manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Sedangkan tokoh-tokoh manusia dianggap mempunyai kekuatan gaib,
bila dia dapat melakukan hal yang luar biasa, misalnya para balian yang
dapat menyembuhkan penyakit seseorang, atau bahkan dapat meminta
kembali sebagian roh yang telah diambil dari makhluk-makhluk jahat.
Selanjutnya ada orang kebal dari senjata-senjata tajam, orang yang
dapat mendatangkan ataupun mengusir hujan, tukang-tukang sihir yang
dapat membunuh atau mecelekakan orang lain dari jauh, baik dengan
menggunakan alat-alat tertentu ataupun hanya dengan mantra-mantra
82
belaka, semuanya dianggap mereka sebagai orang-orang yang mempunyai
tenaga gaib atau kekuatan sakti.
Para peramal, yang dapat meramalkan suatu kejadian masa datang,
dengan melihat jarang tangan, tanggal lahir ataupun tanda-tanda lainnya
dianggap pula sebagai orang yang mempunyai kekuatan gaib, meskipun
terkadang peramal itu tidak datang dari kalangan mereka sendiri.
Sementara benda-benda yang dianggap mempunyai mana (kekuatan sakti),
diantaranya guci, piring, mangkok, Mandau, batu-batuan dan lain
sebagainya.94
2. Harun Hadiwijono
Telah saya paparkan sebelumnya bahwa kebudayaan kaharingan
berarti berupa tata cara hidup suku bangsa Dayak seperti adat istiadat dan
kepercayaan suku bangsa Dayak, dan di buku Harun menjelaskan
beberapa kepercayaan suku bangsa Dayak Kaharingan yakni:
a) Kepercayaan terhadap Dewa
Harun menjelaskan di bukunya bahwa 2 tokoh dewa tertinggi ialah
Mahatala dan Jata, yang juga disebut Hatala atau Lahatala (sebutan
yang menunjukan pengaruh agama Islam) memiliki sebutan lain juga,
umpamanya Mohatara dan Bahatara Guru (sebutan yang
menunjukkan pengaruh agama Hindu). Nama aslinya adalah Tingang
(burung enggang). Sementara Jata (nama yang menunjukan pengaruh
agama Hindu) memiliki nama asli Tambon, dan sering juga disebut
94Salam, Agama Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h.
121-122.
83
Bawin Jata Balawang Bulau, artinya wanita Jata berpintukan Permata
(vagina).
Cerita mengenai dua dewata ini saling bertentangan. Ada yang
mengatakan bahwa keduanya sudah ada sejak semula, tanpa ada yang
menjadikan, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa keduanya terjadi
karena sentuhan dua bukit. Mana yang benar sukar untuk ditentukan.95
b) Mite Penjadian
Di dalam mite penjadian dituturkan bahwa segala sesuatu terjadi dalam
bebera tahap:
Pertama, yaitu sebelum alam semesta dijadikan, yang ada semula
adalah dua bukit, yaitu bukit emas dan bukit permata tempat kediaman
dua dewa tertinggi. Tabrakan-tabrakan kedua bukit ini menghasilkan
alam, tabrakan pertama menyebabkan adanya awan, tabrakan kedua
menyebabkan adanya bentangan langit. Tabrakan ketiga menghasilkan
gunung-gunung dan batu karang, sedangkan tabrakan keempat
melahirkan bulan dan matahari. Tabrakan kelima menyebabkan adanya
burung-burung di langit dan ikan di laut. Tabrakan keenam melahirkan
binatang rawang riwo yang memiliki ludah emas, dan binatang didis
mahendra dengan mata batu permata. Akhirnya, tabrakan ketujuh
menghasilkan mahkota Mahatala yang terdiri dari emas dan dihias
dengan sebuah batu permata yang berdiri tegak. Inilah akhir dari tahap
pertama.
95Harun, Religi Suku Murba di Indonesia, h. 57.
84
Tahap Kedua, tidak diceritakan dengan jelas namun dikatakan bahwa
akhir tahap kedua ini alam atas dan alam bawah sudah terjadi sebagai
suatu totalitas. Akan tetapi pada tahap ini manusia belum ada.
Tahap ketiga, Mahatala memanggil Jata untuk berunding di alam atas.
Dalam perundingan itu, Mahatala mengangkat mahkotanya ke atas.
Perbuatan ini menyebabkan tumbuhnya sebatang pohon-hidup yang
memiliki daun terbuat dari emas dan buah terbuat dari gading.
Cerita selanjutnya, ada dua ekor burung enggang (jantan dan betina)
yang hinggap di pohon itu. Kedua burung ini bertengkar sehingga
membuat pohon itu hancur. Dari bagian kayunya yang terpental oleh
patukan burung betina terjadilah perempuan, sedang yang laki-laki
tercipta karena lumut yang keluar dari burung betina ketika
tenggorokannya dipatuk oleh burung yang jantan. Perempuan dan laki-
laki inilah yang menjadi manusia pertama, dan mereka dikawinkan.
c) Kepercayaan Mengenai Alam Semesta (Kosmos)
Alam semesta terdiri dari tiga bagian, yaitu alam atas, alam tengah,
dan alam bawah.
Alam tengah, yaitu bumi tidak lain ruang hidup yang dikenal oleh suku
Ngaju, yang dipandang sebagai tanah suci. Tanah ini diterima dari
dewa mereka sebagai hadiah. Bumi dianggap terletak di Samudra
pertama, di antara alam atas dan alam bawah, di atas punggung Jata.
Selanjutnya bumi dibatasi oleh ekor naga yang ditegakkan di satu sisi
dan kepalanya di sisi lain.
85
d) Kepercayaan Mengenai Jiwa
Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa suku bangsa Dayak mengenal
macam jiwa, hambaruan dan liau. Akan tetapi di balik kedua macam
jiwa ini terkandung dua macam konsepsi yang berbeda, yang tidak ada
hubungan antara satu dengan yang lain.
Hambaruan, adalah jiwa yang menggerakkan tubuh, baik tubuh
manusia maupun tubuh binatang. Liau baru tampil ke depan jika orang
sudah mati, dengan demikian liau berarti dari sang wafat sendiri, yakni
bentuk eksistensi manusia yang dimulai dengan kematiannya dan yang
sangat berbeda dengan bentuk eksistensinya yang semula.96
3. Marko Mahin
Sebelumnya telah saya paparkan hasil disertasi Marko dalam aspek
keagamaan, namun dalam aspek keagamaan tersebut terdapat juga aspek
kebudayaannya.Yakni strategi budaya Kaharingan, yang sekarang
Kaharingan dinyatakan Marko telah berhasil membawa kepada posisi yang
lebih baik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Marko, diketahui bahwa agar
dapat eksis sebagai entitas sosial, politik, budaya dan agama di panggung
kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah dan Indonesia, para aktivis
kaharingan dengan sadar melakukan praktik-praktik sosial kebudayaan
tertentu. Mereka menolak disebut “tanpa agama” atau “belum beragama”.
Bahkan mereka menolak disebut Aliran Kepercayaan. Mereka mengatakan
“kami bukan aliran kepercayaan, secara de facto kami adalah agama”.
96Harun, Religi Suku Murba di Indonesia, h. 65-66.
86
Mereka dengan aktif membangun diri sebagai umat agama menurut
kreteria yang sangat khas Indonesia, yaitu melalui praktik-praktik:
a) Merumuskan bahwa agama Kaharingan adalah agama yang percaya
kepada Sang pencipta Ranying Hatalla yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
b) Menyusun Kitab Suci yang disebut dengan Panaturan dan buku-buku
keagamaan antara lain: Buku Ajar Agama Kaharingan yang berisi
kumpulan doa, pengakuan iman (credo) dan tata cara beribadah. Pada
tahun 1995 buku ini direvisi dengan judul baru Talatah Basarah. Buku
Tawur yang berisi petunjuk tata cara memohon pertolongan Tuhan
melalui upacara menabur beras. Buku kandayu yang berisi lagu-lagu
rohani Kaharingan, buku doa yang berisi formula-formula doa. Buku
pemberkatan perkawinan yang berisi tata cara melaksanakan ritual
perkawinan. Buku petunjuk mengubur yang berisi tata cara
melaksanakan ritual penguburan. Buku manyaki yang berisi formula-
formula doa dan tata cara melaksanakan ritual manyaki. Buku
penyumpahan/pengukuhan yang berisi tata cara dan formula-formula
doa yang harus diucapkan dalam acara pengambilan sumpah atau
pengukuhan jabatan.
c) Menyelenggarakan ibadah (upacara ritual keagamaan) mingguan
secara rutin yang disebut dengan Basarah yaitu setiap kamis atau
jumat malam.
d) Membangun rumah atau tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah
atau Balai Kaharingan.
87
e) Menyelenggarakan perayaan hari raya keagamaan tersendiri yaitu:
Hari Raya Maneneng Pekanan Batu (Hari Raya Mendiamkan Diri
Memberi Makan Batu) dirayakan satu kali setahun setelah panen
sekitar bulan Mei. Hari Raya Turunnya Ilmu Pengetahuan yang
dikenal dengan Bawi Ayah Muhun Bara Lewu Telu Akan Pantai
Danum Kalunen. Hari Raya Pekanan Sahur Lewu atau Hari Raya
Memberi Makan Roh Penjaga Kampung dilakukan satu kali setahun
sebagai ucapan syukur kepada Ranying Hatalla Langit, Jatha
Balawang Bulau atas perlindungan dan rahmat-Nya melalui Leluhur
Penjaga Kampung yang melindungi dan menjaga penduduk kampung.
f) Mendirikan lembaga atau organisasi keagamaan untuk melakukan
pembinaan kepada umat yang tersebar di desa-desa, kecamatan dan
kabupaten.
g) Mendidik guru agama dan mencetak buku pelajaran agama dari tingkat
SD hingga perguruan tinggi.
h) Mengadakan acara Festival Tandak yang serupa dengan Musabaqah
Tilawah Qur’an (MTQ) dan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesperawi).
i) Membangun kompleks perkuburan dan sandung.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penganut Kaharingan telah
melakukan politik kultural dan keagamaan ketika berhadapan dengan
struktur-struktur objektif yang ada di sekitar mereka. Mereka menjadi
individu-individu yang aktif, atau sebagai subjek yang menjalani proses
dialektika kehidupan yang terus menerus melakukan dialog dengan agen-
agen yang lain. Mereka melakukan strategi kebudayaan untuk melawan
88
budaya penyeragaman yaitu dengan melakukan reproduksi kebudayaan
dan melancarkan heterodoxa. Mereka menyusun siasat dan strategi,
mengorganisasikan dan menata diri sedemikian rupa, dengan tujuan agar
memiliki distingsi sosial yaitu kekuasaan untuk mengontrol persepsi,
pandangan, visi, juga cara pandang seseorang maupun kelompok sosial.97
4. Diana H. Sofyah
Tesis Diana dalam aspek keagamaan telah saya paparkan sebelumnya,
namun dalam aspek kebudayaan dari hasil penelitian Diana ialah sistem
pengobatan tradisional yang berdasarkan pengalaman dan hasil yang
dilihat selama berabad-abad,98 artinya sistem pengobatannya telah menjadi
budaya masyarakat Kaharingan yang telah diikuti atau dilakukan selama
berabad-abad.
Para pengobat dari bentuk kebudayaan asli seperti Balian,
Manyanggar, Manawur, dan Nyangiang adalah orang-orang yang
merupakan tokoh-tokoh agama Kaharingan dan karena tindakan-tindakan
pengobatan ini merupakan tindakan magi dan ritual yang mewujudkan
dalam tindakan pengorbanan memberikan persembahan sesajen serta
hewan korban, pembujukan, permohonan dan permintaan.
Kebudayaan Kaharingan juga terletak pada sistem pengobatan yang
berbeda. Jika pasien ternyata bukan pemeluk Kaharingan namun berlatar
97Marko Mahin, “Multikulturalisme, Sebagai Resolusi Konflik dan Pembangunan
Harmoni: Studi Kasus Kaharingan di Kalimantan Tengah” diakses dari https://ahmadsamantho.wordpress.com/2015/02/17/multikulturalisme-sebagai-resolusi-konflik-dan-pembangunan-harmoni-studi-kasus-kaharingan-di-kalimantan-tengah/ pada tanggal 07 oktober 2018 pukul 12.01 WIB.
98 Diana H. Sofyan, Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep Dasar Pengobatan Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota Madya Palangkaraya, h. 180.
89
belakang asal adalah Kaharingan ( telah pindah agama) adanya keterkaitan
antara Kaharingan dengan Islam dengan konsep-konsep pengobatan,
konsep-konsep penyakit serta landasan logiknya. Percampuran kedua
konsep agama tersebut dalam pengobatan semakin terlihat nyata pada
praktek pengobatan dari pengobat yang belum lama meninggalkan agama
Kaharingan yaitu baru satu generasi, pasien yang mempunyai kakek dan
nenek merupakan penganut agama Islam.99
5. Edy Suprabowo
Masyarakat Dayak Sanggau memiliki kepercayaan selama
mengandung, proses persalinan hingga nifas. ketika sedang hamil ada
pantangan makanan yang tidak boleh dimakan seperti, daging binatang
yang hidup di lobang (trenggiling, daging ular dan daging labi-labi)
dengan alasan takut melahirkan akan susah keluar (persalinan macet).
Selain itu juga ada pantangan bagi suami maupun istri yang sedang hamil.
Perbuatan yang tidak boleh dilakukan istri salah satunya tidak boleh duduk
di tengah lawing atau pintu, duduk di tangga, menjahit bantal, merendam
pakaian, dan duduk di atas lesung. Sementara pantangan yang tidak boleh
dilakukan suami ialah memasang pukat (jaring untuk menangkap ikan),
memasang tajur (pancing), mengisis peluru, menambal perahu, menangkap
binatang hidup dalam lobang, membendung parit (anak sungai) dan sawah.
Alasan dilakukan pantangan tersebut agar ibu melahirkan dengan lancar.
Kepercayaan ketika persalinan tidak banyak seperti masa kehamilan,
anjuran yang diyakini yakni harus membuka tutup tempayan,
99Diana, Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep Dasar Pengobatan
Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota Madya Palangkaraya,h. 183.
90
mengosongkan peluru dalam senapan, membuka bendungan air sawah.
Tujuannya agar persalinan lancar. Sementara ketika nifas ada beberapa
pantangan makanan yang tidak boleh dimakan oleh ibu yang habis
melahirkan, yakni daging (3 bulan daging rusa, 1 bulan daging ayam dan
sapi, daging babi 8 bulan), telur (1 bulan), ikan, sayuran yang bersifat
dingin (1 bulan) seperti labu air, timun, perenggi (wuluh), dan sayuran
berbumbu (1 bulan). Anjuran yang dilakukan ibu setelah melahirkan yakni
duduk nyandar (kaki lurus bdan nyandar di dinding).100
Sementara menurut netralnews.com surat kabar online mengatakan ada
9 pantangan yang dilakukan ibu-ibu Dayak ketika hamil, yakni:
a) Pantang keluar senja hingga maghrib, karena pada saat itu dipercaya
ilmu jahat atau roh-roh jahat mencari mangsa dan target utamanya
adalah ibu-ibu hamil.
b) Pantang mengenakan bahan yang mengikat, dipercaya apabila calon
ayah atau ibu mengenakan bahan, seperti: kain, handuk atau tas yang
melilit leher, anak yang keluar nanti lehernya takan terlilit tali pusar.
c) Pantang menyebutkan usia kehamilan, calon ibu Dayak dilarang
menyebutkan usia kehamilan pada orang asing. Alasannya untuk
menghindari kelahiran yang dikunci (dibuat agar tidak kunjung
melahirkan), mungkin karena dendam masa lalu sehingga membuat
usia kehamilan tidak boleh diucapkan tanpa hati-hati.
d) Pantang membunuh hewan atau makhluk apapun, ditakutkan jika
melakukan membunuh makhluk apapun ini persalinan tidak lancar,
100Edy, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku Dayak
Sanggau,” h. 116.
91
namun jika terpaksa maka harus mengucapkan “amit-amit” terlebih
dahulu dan mengatakan “ayo nak kita kerjakan ini”.
e) Pantang mengasah pisau tanpa air, Mengasah pisau tanpa air dianggap
akan berakibat manak teah ini adalah suatu kondisi dimana proses
kelahiran menjadi sulit karena teah atau kering. Tidak ada air ataupun
darah dan sangat menyakitkan.
f) Pantang menjelek-jelekan orang lain, Intinya orang tua atau ibu yang
sedang hamil, harus menjaga mulut untuk tidak berbicara yang jelek-
jelek. Karena, anak dalam kandungan memiliki hubungan yang benar-
benar tidak terpisahkan dengan ibunya. Sehingga, sikap kurang baik
dari sang ibu bisa diikuti atau ketularan ke anak.
g) Pantang mandi terlalu sore atau malam, pantangan ini ialah salah satu
mitos dalam Dayak dikarenakan dengan mandi terlalu sore atau malam
mengakibatkan air ketuban semakin banyak.
h) Pantang bermalas-malasan, Orang Dayak percaya bahwa keluarga
yang menanti kelahiran buah hati tidak boleh sering bermalas-malasan
dan hanya tidur-tiduran, karena berpengaruh pada janin. Selain
memperlambat proses kelahiran, kegiatan bermalas-malasan ini
dianggap kelak akan menghasilkan anak yang juga malas sehingga
untuk doa terbaik bagi calon buah hati, kita harus tetap bekerja seperti
biasanya namun tidak boleh diforsir terlalu berat, sewajarnya saja.101
101Diakses dari http://www.netralnews.com/news/rsn/read/104265/inilah-9-hal-
pantangan-yang-dilakukan-ibu-ibu-dayak-saat-hamil pada tanggal 14 Agustus 2018 pukul 11.16 WIB.
92
Pada masa persalinan, banyak praktek budaya yang membahayakan
kehamilan, kesehatan ibu dan bayinya. Praktek budaya yang
membahayakan kehamilan adalah adanya anjuran selama hamil ibu harus
tetap beraktifitas rutin. Masyarakat Dayak Sanggau sebagian besar bekerja
sebagai petani dengan ibu rumah tangga melakukan pekerjaan tersebut
mendampingi suami. Ketika proses persalinan bidan kampung melakukan
dorongan (nyurung) pada perut ibu. Tindakan tersebut sangat berbahaya
karena dapat menyebabkan sobeknya rahim (rupture uteri). Tindakan
tersebut juga dilakukan tanpa mempertimbangkan kelengkapan
pembukaan kandungan.102
Dengan demikian, telah saya paparkan di atas bahwa hasil penelitian
Edy Suprabowo dalam aspek kebudayaan adanya kepercayaan pantangan-
pantangan untuk ibu hamil yang dimana kepercayaan tersebut merupakan
hasil dari budaya masyarakat suku Bangsa Dayak, begitu pula praktik
budaya persalinan yang membahayakan bagi ibu yang melahirkan adalah
salah satu aktivitas yang dilakukan masyarakat suku bangsa Dayak.
6. Fransisca Murti Setyowati
Di dalam karya fransisca yang berjudul Enbotani Masyarakat Dayak
Ngaju di Daerah Timpah Kalimantan Tengah (2005) menjelaskan bahwa
tumbuhan digunakan sebagai bahan obat-obatan, bahan pangan, tonik,
bahan kosmetik, bahan rempah dan juga bahan pewarna. Tercatat tidak
kurang dari 107 jenis tumbuhan terdiri dari 51 suku dan 86 marga yang
dimanfaatkan baik sebagai bahan pangan (56 jenis), obat-obatan (46 jenis),
102Edy, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku Dayak
Sanggau,” h. 119.
93
kosmetik (4 jenis), bahan bangunan (9 jenis), pemanfaatan lain-lain (9
jenis), beberapa jenis di antaranya mempunyai fungsi ganda. Kehidupan
sehari-hari masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah masih
mempraktekan pengobatan secara tradisional walaupun sudah ada
pelayanan kesehatan berupa Puskesmas. Beberapa macam penyakit yang
disembuhkan dengan obat tradisional yakni demam, diare, malaria, obat
tetes mata, sakit urat, gatal-gatal, perawatan paska kelahiran dan lain-lain.
Bahan pangan yang digunakan tercatat tidak kurang dari 56 jenis
tumbuhan yang diambil di hutan oleh masyarakat Dayak Ngaju. Dari 56
jenis tumbuhan tersebut, yang dimanfaatkan buahnya ada 44 jenis. Suku
yang jenisnya terbanyak adalah Myrtaceae (7jenis), Moraceace (6jenis),
Sapindaceace (5 jenis), dan Clusuaceace ( 3 jenis).103
Hampir semua bagian organ tumbuhan dapat digunakan untuk
pengobatan, yaitu akar, batang, daun, kulit kayu, pucuk, rimpang, umbi,
bunga, buah, dan biji. Penggunaan tumbuhan obat dengan cara yang
sangat sederhana, pada umumnya organ tumbuhan direbus atau direndam
dalam air kemudian air rendaman diminum. Pengobatan penyakit luar
biasanya hanya dengan menghaluskan bagian tumbuhan obat dan
menempelkannya pada bagian tubuh yang sakit.104
Tumbuhan yang dimanfaatkan untuk memelihara kesehatannya
sebagai tonik tercatat 3 jenis tumbuhan, ada yang cara pengolahannya
dalam bentuk tunggal ataupun campuran. Campuran terdiri dari akar
103Fransisca, Etnomatika Masyarakat Dayak Ngaju di Daerah Timpah Kalimantan
Tengah, h. 504-506. 104Mahrus Aryadi, A. Fithria, Susilawati dan Fatria, ”Kearifan Lokal Masyarakat Dayak
Terhadap Tumbuhan Berkhasiat Obat di Lahan Agroforest Kabupaten Barito Utara,” Hutan Tropis, Vo. 2, No. 3, November 2014, h. 237.
94
seluang belum dan akar tekerek, kedua jenis tersebut kemudian direbus
dan selanjutnya air rebusannya diminum, atau biasa juga yang berbentuk
tunggal yaitu dengan meminum rebusan dari kulit batang dan daun
bahantung. Selain tonik ada 4 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai
bahan kosmetik seperti bejakah kalanis, tayak dan kayu baluh. Di lokasi
penelitian ditemukan beberapa jenis tumbuhan yang digunakan sebagai
bahan rempah diantaranya gandis, sintok, dan kaja. Sementara jenis
tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna hanya ada 1 jenis
di lokasi penelitian yakni jenis ehang. Cara pengolahannya yakni kulit
kayunya ditumbuh ditambah dengan air sedikit, selanjutnya digunakan
untuk mengecat perahu.105
Dalam aspek kebudayaan ini, hasil penelitian fransisca memiliki
kesimpulan bahwa masyarakat Ngaju memiliki kebiasaan menggunakan
tumbuh-tumbuhan dalam menunjang kehidupan sehari-hari. Seperti,
kebiasaan mengkonsumsi tonik dari bahan ramuan tumbuh-tumbuhan
berupa akar seluang, akar tekerek dengan cara direbus dan diminum air
rebusan tersebut, guna untuk memelihara kesehatan.
7. Edy Tandililing
Hasil-hasil penelitian Edy meliputi:
1. Aktivitas dalam kehidupan sehari-hari suku Dayak Kanayat’n yang
bersifat operasi hitung, kegiatan tersebut dikelompokkan dalam:
a) Membilang, membilang berkaitan dengan pertanyaan “berapa
banyak?”. Beberapa jenis alat yang sering digunakan oleh suku
105Fransisca, Etnomatika Masyarakat Dayak Ngaju di Daerah Timpah Kalimantan
Tengah, h. 505-507.
95
Dayak Kanayat’n untuk membilang adalah jari tangan, tangan,
batu, tongkat, dan tali (rotan dan akar). Pada berbagai upacara adat
atau upacara ritual di masyarakat Dayak Kanayat’n ada ungkapan
kata-kata membilang. Ucapan kata-kata membilang diucapkan oleh
tua-tua adat dan temenggung. Ucapan tersebut tidak hanya sekedar
ucapan belaka, tetapi memiliki makna yang sangat mendalam dan
mengandung hal-hal yang ritual dan sakral karena menyangkut
seluruh aspek kehidupan manusia.
b) Mengukur, mengukur umumnya berkaitan dengan pertanyaan
“berapa (Panjang, lebar, tinggi, lama dan banyak)”. Pada
masyarakat Dayak Kanayat’n alat ukur digunakan sangat bervariasi
baik jenis maupun penggunaanya. Alat ukur yang sering digunakan
antara lain: untuk ukuran banyaknya menggunakan istilah: saikat
(satu ikat), salongkop (satu batang) dan salonggo (satu tumpukan
dari seikat).
c) Menentukan lokasi, dalam kebiasaan masyarakat Dayak Kanayat’n
banyak konsep geometri yang diawali dengan menentukan lokasi.
Penentuan lokasi digunakan untuk menggunakan rute perjalanan,
menentukan arah tujuan atau jalan pulang dengan tepat dan cepat
atau menghubungkan objek yang satu dengan objek yang lainnya.
d) Membuat rancang bangun, konsep matematika pada kegiatan
merancang bangun dapat dilihat pada perencanaannya. Pada
perencanaan membangun masyarakat Dayak Kanayat’n membuat
sketsa di atas tanah atau batu, kemudian mereka menghitung
96
berapa banyak bahan yang diperlukan , seperti berapa tiang, atap,
pintu, dinding dan sebagainya.
e) Permainan, ada beberapa jenis permainan yang biasa di mainkan
oleh masyarakat Dayak Kanayat’n yang di dalamnya mengandung
unsur-unsur matematika. Contohnya Tapakang, permainan ini
dilakukan pada saat ada pesta dan kadang dipertandingkan.
Bentuknya berupa persegi Panjang yang memuat 6 persegi panjang
kecil. Aturan permainan tiap pemain harus melewati masing-
masing kotak, akan tetapi dalam berpindah dari satu kotak ke kotak
lainnya dijaga oleh pihak lawan, apabila lawan yang sedang main
disentuh oleh kelompok yang sedang menjaga akan dianggap
kalah. Jumlah pemain setiap kesebelasan bisa 3, bisa 5 orang, dan
bisa 7 orang tiap kontingen atau kesebelasan dan semuanya laki-
laki.
Artifak-artifak seni budaya suku Dayak Kanayat’n. Ada dua bentuk
artifak seni budaya di masyarakat Dayak Kanayat’n, yaitu artafak seni
pahat dan artifak seni lukis. Artifak seni pahat sebagai bagian dari seni
budaya di masyarakat Dayak Kanayat’n antara lain: perisai, relief seperti
relief sepasang naga.
Artifak seni dan budaya masyarakat Dayak Kanayat’n antara lain,
motif pengantin, motif manusia jongkok, motif naga, motif bunga, dan
motif paduan naga dan bunga.
Potensi etnomatika yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran
matematika di Sekolah, Edy Tandililing menemukan beberapa potensi
97
etnomatika yang dapat dikembangkan, yakni kata-kata bilangan yang
digunakan dalam upacara adat, tingkatan adat, kebiasaan sehari-hari yang
digunakan dapat dinyatakan sebagai bilangan asli, genap, ganjil bahkan
membilang jumlah “bentuk bulan” merupakan konsep bilangan yang
didasarkan pada pengalaman dan kebutuhan hidup masyarakat Dayak
Kanayat’n. Pengembangan dan bilangan asli, ganjil dan genap merupakan
algoritma alternatif. Kata-kata dalam mantra atau sastra lisan lainnya
dalam masarakat Dayak Kanayat’n banyak mengandung nilai matematika.
Contoh sebuah mantra: asa, dua, talu, ampat, lima, anam, tujuh, ian aku
nyaloatan sirih masak rokok bagolong sabatang.106
Dengan dimikian, apa yang telah saya paparkan di atas, hasil penelitian
Edy Tandililing mengenai pengembangan pembelajaran matematika
sekolah dengan pendekatan etnomatika termasuk dalam aspek kebudayaan
Kaharingan, karena kehidupan sehari-hari masyarakat suku bangsa Dayak
terdapat unsur etnomatika, seperti jenis-jenis permainan anak-anak dan
artifak-artifak seni budaya baik seni pahat maupun seni lukis masyarakat
suku bangsa Dayak mempunyai nilai etnomatika.
8. Agung Hartoyo
Seperti hasil penelitian Agung Hartoyo, aktivitas-aktivitas tersebut selalu
dapat ditemukan pada sejumlah kelompok budaya yakni: Membilang,
penentuan lokasi, mengukur, mendesain, bermain dan menjelaskan.
A. Membilang, salah satu aktivitas membilang dilakukan oleh penenun
yakni menghitung banyaknya bahan benang yang diperlukan untuk
106Edy, Pengembangan Pembelajaran Metematika Sekolah dengan Pendekatan
Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika di Sekolah, h. 197-198.
98
membuat kain tenun, banyaknya bahan disesuaikan dengan banyak
kain dan ukuran kain yang ingin dihasilkan.
B. Mengukur, berikut beberapa jenis alat ukur dan satuan ukuran yang
digunakan oleh masyarakat perbatasan ini antara lain:
1) Lambar, alat ukur dengan menggunakan bilah bambu bahan
anyaman.
2) Tunjuk, alat ukur dengan menggunakan jari telunjuk.
3) Jengkal, alat ukur dengan menggunakan telapak tangan orang
dewasa.
4) Genggam, alat ukur yang menggunakan genggaman orang dewasa.
5) Kalik, alat ukur yang digunakan untuk menentukan besarnya
keliling suatu barang. Ukuran keliling tepi suatau ragak, takin,
ataupun Tanggui sebesar keliling kepala orang dewasa dikatakan
satu kalik.
6) Seta, alat ukur masyarakat dengan menggunakan anggota badan
orang dewasa.
C. Mendesain, kegiatan mendesain yang banyak dilakukan orang Dayak
adalah ketika membuat produk budaya seperti: membuat anyaman
tikar dengan menggunakan berbagai bahan baku, nyiru (tampah atau
nampah), menenun kain dan membuat perisai.
D. Penentuan lokasi, kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak banyak
ditemukan aktivitas mereka yang menyimpan konsep-konsep geometri
penentuan lokasi. Sejauh manapun memasuki wilayah asing atau
hutan, mereka selalu menemukan arah jalan pulang atau posisi awal.
99
Dalam hal ini, masyarakat telah menerapkan konsep navigasi yang
bermanfaat untuk menuntun mereka menemukan arah perjalanan yang
tepat. Masyarakat Dayak telah mengembangkan teknik pengkodean
atau pemberian simbol makna tertentu diberlakukan di lingkungan.
E. Ragam motif produk kerajinan Masyarakat Dayak, etnomatika yang
digunakan masyarakat Dayak, selain tersembunyi di dalam aktivitas
juga terdapat pada berbagai motif yang digunakan untuk memberi
pemanis pada produk-produk kerajinan anyaman. Salah satu produk
kerajinan masyarakat Dayak adalah anyaman dengan bahan baku dari
bambu. Dalam masyarakat Dayak terdapat 12 motif yang digunakan
dalam mempercantik produk berupa topi, tikar juah, jongkuak atau
bakul adalah : siluk langit, ati lang, sulau, siku remaung, berangan
lang, bunga tekembai, angkong, bulan, pangkak, tambat manuk, kiarak
nyulur, lekuk sawak.107
107 Agung,“Eksplorasi Etnomatika pada Budaya Masyarakat Dayak Perbatasan
Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau KALBAR, h. 17-21.
100
BAB IV
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN PENDAPAT PARA PENULIS
INDONESIA MENGENAI KAHARINGAN
4.1. Perbedaan Susunan Masyarakat Dayak Kaharingan
Dayak Kaharingan memandang diri mereka dilahirkan dari Mahatala
dan Jata serta hidup seutuhnya dari kedua tokoh dewa ini. Kedudukan suku
dipandang sama dengan kedudukan seluruh alam semerta, yang keberadaanya
juga disebabkan kedua dewa tersebut sebagai totalitas.
Oleh sebab itu Dayak Kaharingan memiliki susunan masyarakat,
Syamsir Salam dan Harun Hadiwijono pun menuliskan dan menjelaskan
susunan masyarakat Dayak Kaharingan tersebut, berikut susunan masyarakat
Dayak Kaharingan:
Syamsir Salam lebih menjelaskan susunan masyarakat Dayak menurut
Fridolin Ukur, yang membagi susunannya sebagai berikut:
a. Utus Gentong
b. Utus Rendah
c. Golongan Budak
d. Golongan Imam
e. Golongan Hanteun108
Sementara Harun Hadiwijono mengatakan bahwa susunan masyarakat
Dayak Kaharingan hanyalah kelas merdeka dan kelas budak. Di samping itu
masih ada dua golongan lain, yaitu golongan imam dan hanteun, namun
108 Salam, Agama Kaharingan:Akar-akar Budaya Suku Dayak Kaharingan di Kalimantan
Tengah, h. 71-73.
101
pengelompokan ini bukan berdasarkan keturunan, melainkan berdasarkan
fungsi mereka.
Awalnya hanya ada satu kelas masyarakat yaitu kelas merdeka. Kelas
orang budak ini mula-mula terdiri dari orang merdeka, tetapi karena keadaan
semakin berkembang, masyarakat sebagaian menjadi budak yang kemudian
diasingkan dari masyarakat. Mereka terdiri dari orang-orang yang tidak dapat
membayar hutang dan para tawanan yang kalah dalam perang, serta orang-
orang yang melanggar adat. Golongan pertama disebut jipen, yang dapat bebas
jika mereka membayar hutang mereka. Golongan kedua dan ketiga disebut
rewar, yang menjadi budak turun-temurun. Dalam pengertian religius, para
budak itu tidak memiliki hak hidup. Mereka diikut-sertakan dalam upacara-
upacara religius untuk membantu tuannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Mereka berdiam diluar desa dan dikubur di luar desa yang suci.109
Kepustakaan yang merinci dan membahas tentang penggolongan atau
susunan masyarakat Dayak seperti yang di tulis oleh Syamsir Salam yang
merujuk pada Frodlin Ukur dalam bukunya yang berjudul Tanya Jawab Suku
Dayak (1971), meskipun dalam tulisannya mengupas tentang susunan
masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, tetapi pada umumnya
susunan masyarakat Dayak di Kalimantan itu tidak terlalu jauh berbeda satu
sama lainnya. Penggolongan atau susunan masyarakat Dayak yang berada di
Kalimantan pada umumnya sama, yang membedakannya hanyalah istilah atau
bahasa.
109Harun, Suku Murba di Indonesia, h. 62-53.
102
Pada masa lalu menurut Riwut (1958); Ukur (1971); Lontaan (1975)
sebagaimana dikutip oleh Arkanudin, bahwa untuk menyatakan suatu
golongan, kelompok atau kelas di masyarakat Dayak digunakan istilah “utus,
jalahan, bumuh, babuhan dan ungkup”. Berdasarkan atas golongan tersebut,
dalam masyarakat Dayak pada umumnya terbagi atas dua golongan besar;
yaitu (1) golongan merdeka; dan (2) golongan budak.
A. Golongan Merdeka
Masyarakat golongan ini terbagi lagi dalam dua kelompok yaitu: (1)
Utus Gantong atau Utus Tatau; dan (2) Utus Randah atau Utus Pehe
Belum. Kelompok Utus Gantong atau Utus Tatau yaitu golongan
masyarakat yang termasuk kelas bangsawan tinggi, golongan manusia
kaya dan sempurna. Ukuran dominan untuk menentukan batasan kelas
atau golongan gantong ini pada masa lalu adalah dengan melihat jumlah
jipen atau rewar yang mereka miliki, semakin banyak kepala jipen atau
rewar maka semakin tinggi kedudukannya, karena biasanya jipen atau
rewar dapat bebas menyandang jipen dan rewar, bila ia dapat melunasi
seluruh hutangnya kepada tuannya ditambah denda yang di sepakati
sebelum jatuh tempo.
Golongan gantong atau utus tatau ini biasanya memiliki kekayaan,
kedudukan dan kehormatan, ukuran harta yang mereka miliki adalah
tempayan suci yang disebut haramaung dan belanga merupakan harta suci
berasal dari illahi turun dari langit ke tujuh yang di miliki nenek moyang
turun temurun, sejumlah bidang tanah beserta kebun di atasnya seperti
karet (Havea brasiliensis), rotan (Calamus caesius), buah-buahan, tanah
103
perwarisan di kampung, jumlah ternak kerbau, sapi, babi dan binatang
unggas lainnya.
Di lihat dari hubungan kekarabatan dan kekeluargaan golongan
gantong atau utus tatau memiliki keturunan yang kaya dan terhormat,
nama mereka di kenal oleh seluruh kampung atau desa di sepanjang aliran
sungai. Apabila pemangku adat atau ketua adat itu tidak berada di tempat,
maka tidak jarang golongan ini diminta pendapat dalam berbagai hal yang
terutama yang berkaitan dengan masalah pelaksanan hukum adat dan hal
lain yang dianggap penting seperti pesta atau acara kematian bila ada yang
meninggal dunia.
Kelas kedua dalam golongan merdeka adalah Utus Randah atau utus
pehe-belum, yaitu golongan masyarakat rendah atau miskin. Golongan
utus rendah ini, walaupun termasuk kelas merdeka, namun masih juga
dibedakan kedudukan sosial ekonominya yaitu mereka yang tidak
memiliki harta kekayaan, terutama harta pusaka suci yang menandai
hubungan langsung dengan keilahian tertinggi; walaupun mereka memiliki
beberapa benda suci, tetapi umumnya nilainya lebih rendah.Utus rendah
tersirat pengertian dan pemahaman religius bahwa mereka itu berasal dari
keilahian secara tidak langsung, hanya saja mereka hidup miskin dan
menderita karena keadaan. Penamaan pehe belum mengandung pengertian
nilai sosial, mereka tidak memiliki kekayaan seperti benda pusaka yang
suci dan memadai, harta yang mereka miliki umumnya nilainya lebih
rendah dari utus gantong dan lebih rendah dari kekayaan yang di miliki
kebanyakan masyarakat di kampung atau desa, mereka tidak memiliki
104
jipen atau rewar. Utus pehe belum ini masih dilibatkan dalam pengaturan
kehidupan masyarakat, perkara adat dan lain-lain tetapi dalam fungsi yang
relatif rendah dibandingkan dengan utus gantong.
B. Golongan Budak
Dalam masyarakat Dayak golongan budak ini dibedakan lagi dalam
dua kelas yaitu: (1) Jipen; dan (2) Rewar. Kedua kelas ini selalu dikaitkan
dengan kelas di atasnya, baik Jipen maupun Rewar bekerja pada majikan
atau tuannya. Jipen adalah budak yang di kuasai oleh majikan atau
tuannya karena si pemilik hutang tidak dapat melunasi utang sampai jatuh
tempo yang dijanjikan.
Timbulnya kelas Jipen ini disebabkan oleh faktor: (1) berasal dari
keturunan ibu yang memang sudah menjadi Jipen; (2) akibat hutang yang
tak terlunaskan setelah habis terjaminnya; (3) akibat terjadinya
pelanggaran adat, yang dikenakan denda dengan uang, tetapi tidak mampu
membayarnya; (4) akibat dari “persundalan” dengan para belian, yang
menghabiskan harta benda; (5) karena tidak mampu membayar bunga
hutang dari kapital yang dipinjam; dan (6) akibat kalah perang, sehingga
menjadi tawanan.
Selanjutnya menurut Lontaan (1975) yang dikutip oleh Arkanudin
juga, untuk mendapat kembali kemerdekaannya seorang budak harus
memenuhi tuntutan adat yang tersedia yang ditempuh bahwa: (1) harus
membayar habis seluruh hutangnya; (2) setiap habis panen berhak
menerima sepuluh persen dari seluruh panen pemiliknya, bagian ini dapat
dijual atau dipinjamkan dengan bunga, sehingga memungkinkan ia
105
mencicil atau mengangsur pembayaran hutangnya;(3) walaupun malam,
seluruhnya menjadi kepunyaan sendiri; pekerjaan yang dilakukan pada
waktu malam adalah haknya, seperti menganyam, mengukir dan
sebagainya adalah milik pribadinya yang dapat dijual; (4) apabila ada
pekerjaan dihutan, seperti mengambil rotan, maka dalam jumlah tertentu ia
berhak mendapat upah; dan (5) diperbolehkan memelihara binatang ternak
milik sendiri dengan tidak mengurangi pekerjaan untuk pemilik, yang
kemudian dapat dihargai dengan uang.
Namun dalam kenyataan seseorang yang telah menjadi Jipen adalah
sangat sulit untuk melepaskan diri dari kekuasaan majikannya, hal ini
adalah karena selain utangnya sejak dia berstatus Jipen dilipat gandakan
dalam besaran kelipatan tertentu yang jauh lebih besar dari bunganya juga
si Jipen itu oleh majikannya diberikan suatu minyak yang diminumkan
atau dicampur dengan makanan Jipen, dengan maksud agar si Jipen tidak
memiliki pikiran untuk melepaskan diri dari status Jipennya dan selalu
menurut perintah dan kehendak majikan tanpa pamrih.
Kelas kedua dalam golongan budak adalah Rewar yaitu golongan
budak yang turun-temurun menjadi kepunyaan dari si pemilik. Timbulnya
kelas Rewar ini, sebagai akibat adanya penghukuman terhadap
pelanggaran-pelanggaran adat yang berat dan juga utama sekali akibat
kalah perang. Rewar memiliki status yang paling rendah dibandingkan
Jipen, yang dalam pekerjaannya Rewar tidak saja sebagai pembantu,
pesuruh atau pelayan tetapi hidupnya hampir seperti binatang, hak-haknya
sebagai manusia hampir tidak diakui majikannya, konon katanya Rewar
106
ini sering disiksa, dicambuk dan bekerja tidak mengenal waktu. Rewar
hanya boleh makan dari sisa makan anggota keluarga majikannya. Rewar
tidak boleh duduk bersama majikannya, dan ketika berhadapan dengan
majikannya mereka harus menundukkan kepala dan tidak boleh melihat
wajah majikannya begitu juga kalau majikannya berjalan tidak boleh
melintas di depannya. Tempat tidur Rewar tidak di rumah majikannya,
tetapi di pondok kecil di belakang rumah majikan, yang berdekatan
dengan dapur dan kandang binatang kerbau, sapi atau babi.
Di samping kedua golongan tersebut (Merdeka dan Budak), dalam
masyarakat Dayak masih terdapat dua golongan masyarakat lagi yaitu:(1)
Balian (imam-imam); dan (2) Hantuen. Balian (imam-imam) adalah golongan
masyarakat yang memiliki keahlian dan kecakapan khusus, sedangkan
Hantuen adalah golongan masyarakat karena memiliki prilaku aneh atau
menyimpang seperti memiliki pekerjaan yang suka menyantet, meracuni serta
mencelakai orang melalui mantra-mantra.
Dengan perubahan dan perkembangan kepercayaan sesuai dengan
ajaran agama yang mereka anut, sistem pembagian masyarakat yang
didasarkan atas kelas-kelas sosial secara tradisional sebagaimana yang sudah
tidak menjadi acuan dalam kehidupan orang Dayak. Arkanudin menjelaskan
bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh Mudiyono (1995) terhadap
masyarakat Dayak Ribun di Kalimantan Barat, ditemukan bahwa
penggolongan masyarakat Dayak yang ada sekarang tidak di dasarkan dari
segi tinggi rendahnya keturunan, tetapi lebih cenderung mengacu kepada
107
jabatan fungsional seperti golongan adat, pemerintah formal, pegawai dan
golongan petani.110
4.2 Klasifikasi Motif Produk Kesenian Masyarakat Dayak Kaharingan
Pada masyarakat Dayak, salah satu yang berkembang pesat adalah
Seni Rupa atau seni lukis Dayak.Ini terlihat pada seni pahat dan patung yang
didominasi motif-motif hias setempat yang banyak mengambil ciri alam dan
roh dewa-dewa dan digunakan dalam upacara adat.
Salah satu bentuk identitas dari suku Dayak adalah ukirannya yang
khas dan unik. Bagi sebagian suku Dayak, patung dan beberapa benda seni
yang menjadi kekhasan suku memiliki pesan dan makna yang perlu diungkap.
Selain patung, ada juga karya budaya yang lainnya seperti anyaman dengan
berbagai bahan baku, dari bambu, rotan, keladi air, sampai enceng gondok,
yang memiliki pola-pola atau motif-motif unik pada produk-produknya. Pola
yang disenangi umumnya dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang
serta roh dari dewa-dewa, misalnya Naang Brang, Pen Lih, Deing Wung Loh,
dan sebagainya. Etnomatika yang digunakan masyarakat Dayak, selain
tersembunyi di dalam aktivitas juga terdapat pada berbagai motif yang
digunakan untuk memberi pemanis pada produk-produk kerajinan anyaman.
Salah satu produk kerajinan masyarakat Dayak adalah anyaman dengan bahan
baku dari bambu.
Edy Tandililing dan Agung Hartoyo menyebutkan macam-macam seni
motif kerajinan dalam produk yang dihasilkan oleh Dayak berbeda. Edy
110Arkanudin, “ Sekilas Gambaran Suku Dayak” Diakses dari
http://arkandien.blogspot.com/2010/06/sekilas-gambaran-suku-dayak-olehprof.html pada tanggal 06 Agustus2018 pukul 14.22 WIB.
108
mengatakan seni motif Dayak yakni: motif pengantin, motif naga, motif
manusia jongkok, motif bunga dan motif paduan naga dan bunga.111
Sementara Agung Hartoyo mengklasifikasikan seni motif Dayak yakni: motif
siluk langit, motif ati lang, motif sulau, motif bunga tekembai, motif angkong,
motif bulan dan motif pangkak.
Kesimpulan di atas mengatakan bahwa Edy tandililing dan Agung
Hartoyo memaparkan seni motif Kaharingan berbeda, namun perbedaan
tersebut dikarenakan lokasi penelitian berbeda. Agung Hartoyo melakukan
penelitian di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat yang mayoritas kerajinan
yang dihasilkan ialah kerajinan anyaman yang bahan bakunya dari bambu,
rotan, keladi air dan eceng gondok.Motif yang banyak degamaripun motif dari
bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang serta roh dari dewa-dewa.
Berikut motif seni yang dipaparkan Agung dalam karyanya, yakni:
1. Motif Siluk Langit, anyaman tikar yang berbentuk bidang segi delapan
beraturan. Rancangan motif ini diinspirasi dari pelamunan ketika menatap
langit yang begitu luas dan tinggi. Maknanya pembelajaran dari motif ini
mengingatkan kepada manusia agar tidak sombong atas kepandaian
maupun kekayaan yang dimiliki karena dia atas kehebatan manusia masih
ada langit yang kedudukan tetap lebih tinggi.
2. Motif Ati Lang, anyaman tikar berbentuk belah ketupat. Rancangan
pembentukan motif ini didatangkan dari keperkasaan burung Elang yang
mempunyai sifat tekun dalam mengintai mangsanya dari udara,
pengintaian tidak berhenti sehingga ia mendapat kesempatan untuk
111Edy, Pengembangan Pembelajaran Matematika Sekolah dengan Pendekatan
Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran MAtematika di Sekolah, h. 198.
109
menyambar mangsanya. Motif ini memberi pelajaran agar tidak mudah
menyerah untuk menghadapi segaa kesulitan hidup dan tetap tegar.
3. Motif Sulau, anyaman tikar sebagai alas untuk menaruh perlengkapan
sesaji dan topi petani berbentuk lingkaran. Motif ini melambangkan
kehidupan orang-orang yang dianggap suci dan dihormati meskipun telah
meninggal tetap dikenang karena pengaruh hidupnya yang dirasakan
semua orang membawa perubahan kearah yang lebih baik. Makna Sulau
menunjukkan ketulusan dan kesucian atau keterbukaan dalam menerima
perbedaan yang ada, baik masalah sosial maupun keagamaan dan manusia
bertanggung jawab dalam penciptaan perdamaian di antara sesamanya.
4. Berangan Lang, motif yang terdapat pada anyaman topi, tikar saji, dan
juah atau bakul di rancang dalam bentuk layang-layang. Rancangan ini
diinspirasi dari buah Berangan Lang, meskipun buah ini berduri namun
tetap dibutuhkan. Karena untuk menikmati buah ini harus berhati-hati
maka motif ini mengajarkan kita untuk berusaha dalam keinginan
menggapai sesuatu.
5. Motif Bunga Tekembai, motif yang terdapat pada anyaman topi berbentuk
persegi. Bunga tumbuh mekar menandai akan dimulainya musim buah-
buahan, pertumbuhan bunga merupakan sesuatu yang menggembirakan
karena kehidupan masyarakat banyak bergantung kepada kemurahan alam.
Manusia diingatkan untuk saling berbagi, baik terhadap sesama maupun
sesama alam.
6. Motif Angkong, motif yang berbentuk segitiga yang terdapat pada
anyaman topi petani.motif ini dipercayai sebagai motif pertama yang harus
110
dilakukan bagi pemula dan jika dilewati akan jatuh sakit. Motif ini
mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dimulai dari awal dan dipelajari
secara bertahap sedikit demi sedikit.
7. Bulan, adalah motif segi delapan beraturan dan dianyam pada topi dan
tikar. Motif ini sebagai ungkapan masyarakat Dayak terhadap keindahan
dan kelembutan rembulan.
8. Motif Pangkak, dibuat dalam dimensi dua terdapat pada anyaman topi.
Seperti pangkak yang terus berputar selagi ia mampu berputar dapat
dijadikan pelajaran bagi setiap manusia untuk terus belajar hingga akhir
hayat.112
Edy Tandililing melakukan penelitian pada suku Dayak Kanayat’n
yang berlokasi pada 4 kabupaten yakni: Kabupaten Pontianak; Kabupaten
Landak, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Bengkayang.113
Berbeda dengan Agung Hartoyo yang membahas motif kesenian untuk
anyaman, sementara Edy Tandililing mengklasifikasikan motif seni dari seni
pahat yang mengandung unsur-unsur geometri, yakni:
a. Motif Manusia Jongkok
Penggambaran sosok manusia sebagai seorang tokoh atau nenek
moyang dapat ditemukan pada artefak peninggalan prasejarah.
Penggambaran sosok manusia dilambangkan sebagai sosok nenek moyang
dan simbol kekuatan gaib penolak bala. Ornamen manusia
112 Agung, “Eksplorasi Etnomatika pada Budaya Masyarakat Dayak Perbatasan
Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau KALBAR,” h. 21-22. 113Edy, Pengembangan Pembelajaran Matematika Sekolah dengan Pendekatan
Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika di Sekolah, h. 195.
111
mempresentasikan dan memiliki kemiripan dengan suatu objek. Sehingga
dapat digolongkan ke dalam ikon. Motif manusia ini sebagai pengingat
akan nenek moyang dan dianggap dapat menjaga mereka dari kemalangan
atau kejahatan orang lain. Masyarakat Dayak masih ada yang percaya
terhadap hal-hal gaib, sehingga pada lamin banyak terdapat patung
ataupun ukiran yang berbentuk manusia. Melalui pengertian ini,
keberadaan ornamen manusia ini dapat digolongkan ke dalam indeks.
Keberadaan ornamen manusia dalam masyarakat Dayak menjadi raja dan
simbol nenek moyang yang dapat melindungi dari roh jahat.Berkaitan
dengan pemujaan leluhur dan persembahan tradisi.114
b. Motif Naga
Motif naga dianggap motif utama pada masyarakat Dayak, dan
dianggap mewakili segala sesuatu yang datang dari langit; segala sesuatu
yang bersifat supranatural, termasuk kekuatan-kekuatan magis yang
berada di luar jangkauan pikiran manusia.
Motif naga dianggap motif utama pada masyarakat Dayak, dan
dianggap mewakili segala sesuatu yang datang dari langit; segala sesuatu
yang bersifat supranatural, termasuk kekuatan-kekuatan magis yang
berada di luar jangkauan pikiran manusia.115
Motif Naga atau binatang lainnya seperti Macan Kumbang, Ular,
Beruang, Burung Enggang yang merupakan hewan yang langka di
Kalimantan Timur dan memberikan makna penguasa bagi pemiliknya
114Maria Sisilia Mayasari, Lintu Tulistyiantoro, M. Taufan Rifqi, “Kajian Simoatik Ornamen
Interior pada Lamin Dayak Kenyah (Studi Kasus Interior Lamin di Desa Budaya Pampang), Intra, Vol. 2, No. 2, 2014, h. 291.
115 Marcellina Eka Pradita, “Tato Sebagai Sebuah Media KOmunikasi Non Verbal Suku Dayak Bahau”, Ilmu Komunikasi, Vo. 1, No. 4, 2013, h. 12.
112
yang berukirkan hewan-hewan tersebut. Dan didalam bukunya Michael
Hopes yang telah dikutp Katarian menjelaskan bahwa setiap hewan yang
digunakan dalam setiap upacara adat memiliki legenda masing-masing
bagi masyarakat Dayak sehingga masyarakat Dayak harus mengikut
sertakan hewan-hewan tersebut dalam rangkaian upacara adat dalam
bentuk patung maupun hewan kurban.116
c. Motif Bunga
Motif Bunga atau akar-akaran yang biasa diukir tepat di bawah kaki
patung manusia memberikan makna bangsawan bagi pemilik ukiran
tersebut. Ukiran bunga atau akar-akaran yang melingkar tersebut adalah
lambang keturunan mantik yang sangat terlihat jika orang keturunan
bangsawan ukiran tidak terputus satu objek dengan yang lainnya, namun
jika terputus artinya bukan keturunan bangsawan. Sedangkan dari sumber
lainnya mengatakan bahwa ukiran anyaman melingkar ini hanya
merupakan lambang kebersamaan masyarakat Dayak. Terdapat dua makna
yang berbeda ini memberikan kesimpulan bahwa tidak semua masyarakat
Dayak paham dengan ukiran bunga atau akar-akaran yang melingkar
tersebut.117
d. Motif Bunga dan Naga
Motif perpaduan bunga dan naga ini biasanya ditemukan sebagai
ornamen-ornamen penghias tiang, dinding hingga puncak atap Lamin
kediaman bangsawan atau kepala adat. Ornamen pada puncak atap ada
116Katarian Lidya Ega, “Pemaknaan Ukiran Blontakng Kaum Bangsawan Dalam Upacara
Adat Kwangke (Studi diskriptif), Ilmu Pemerintahan, Vol.3 No.1, 2015, h. 437. 117Katarian Lidya Ega, “Pemaknaan Ukiran Blontakng Kaum Bangsawan Dalam Upacara
Adat Kwangke (Studi diskriptif), h. 438.
113
yang mencuat hingga 3 atau 4 meter. Dinding Lamin milik bangsawan
atau kepala adat terbuat dari papan, sedangkan Lamin milik masyarakat
biasa hanya terbuat dari kulit kayu.118
e. Motif Pengantin
Suku Dayak mengenal seni pahat patung yang berfungsi sebagai
ajimat, kelengkapan upacara atau sebagai alat upacara. Patung Ajimat ini
terbuat dari berbagai jenis kayu yang dianggap berkhasiat untuk menolak
penyakit atau mengembalikan semangat orang yang sakit. Ada juga patung
yang berfungsi sebagai kelengkapan upacara. Terdiri dari patung-patung
kecil yang biasanya digunakan saat pelaksanaan upacara adat seperti pelas
tahun, kwangkai dan pesta adat lainnya. Namun pada motif pengantin
tidak ada makna dan histori khusus dari nenek moyang terhadap
masyarakat Dayak, namun karna banyaknya peminat terhadap hasil
kesenian masyarakat Dayak maka masyarakat Dayak Kanayatn
memproduksi kesenian tersebut dengan menciptakan motif pengantin.
Pahatan Suku Dayak memiliki pola-pola atau motif-motif yang unik.
Umumnya polanya diambil dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan,
binatang serta bentuk-bentuk yang mereka percaya sebagai roh dari dewa-
dewa. Patung Dayak terlihat lebih sederhana dibandingkan dengan patung
dari daerah lain di Indonesia, namun hal ini merupakan salah satu
keunikan yang menjadi ciri khas hasil kerajinan masyarakat Dayak.119
118Diakses dari http://storystoryguee.blogspot.com/2011/11/lebih-mengenal-suku-
dayak.html?m=1 pada tanggal 25 Agustus 2018 pukul 21.59 WIB. 119Diakses dari
https://www.google.com/amp/s/doyosukmo.wordpress.com/2011/01/21/seni-pahat-patung/amp/?espv=1 pada tanggal 25 Agustus 18 pukul 22.18 WIB.
114
Seni Arsitektur Dayak terlihat menarik pada rumah tradisional suku
Dayak yang dikenal dengan sebutan Lamin. Bentuk rumah adat Lamin
dari tiap suku Dayak umumnya tidak jauh berbeda. Lamin biasanya
didirikan menghadap ke arah sungai. Dengan bentuk dasar bangunan
berupa empat persegi panjang. Panjang Lamin ada yang mencapai 200
meter dengan lebar antara 20 hingga 25 meter. Di halaman sekitar Lamin
terdapat patung-patung kayu berukuran besar yang merupakan patung
persembahan nenek moyang (blang). Lamin berbentuk rumah panggung
(memiliki kolong) dengan menggunakan atap bentuk pelana. Tinggi
kolong ada yang mencapai empat meter. Untuk naik ke atas Lamin,
digunakan tangga yang terbuat dari batang pohon yang ditakik-takik
membentuk undakan dan tangga ini bisa dipindah-pindah atau dinaik-
turunkan. Semua ini adalah sebagai upaya untuk mengantisipasi ancaman
serangan musuh ataupun binatang buas. Pada awalnya, Lamin dihuni oleh
banyak keluarga yang mendiami bilik-bilik di dalam Lamin, namun
belakangan kebiasaan itu sudah semakin memudar. Bagian depan Lamin
merupakan sebuah serambi panjang yang berfungsi sebagai tempat
penyelenggaraan upacara perkawinan, melahirkan, kematian, pesta panen,
dan lain-lain. Di belakang serambi inilah terdapat deretan bilik-bilik besar.
Setiap kamar dihuni oleh lima kepala keluarga.120
120Diakses dari
http://visitingkutaikartanegara.com/depan?module=daya_tarik&sub=seni_dan_budaya&halaman=5 pada tanggal 12 Agustus2018 pukul 17.45 WIB.
115
4.3 Kaharingan Agama Masa Lampau
Agama masa lampau atau agama lokal ialah agama yang kuno atau
agama yang tertinggal dari segi kebudayaannya. Istilah lokal ini dicirikan pada
manusia atau sekelompok orang yang hidup pada waktu lampau. Meskipun
demikian, agama lokal tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang ada dan hidup
pada masa lampau, tetapi dapat saja terjadi pada seseorang pada masyarakat
modern sekarang.
Indikasi karakterisitik manusia lokal dapat dilihat dari prilaku,
pandangan, ataupun tradisi yang masih kuno misalnya, umumnya agama lokal
tidak bisa menciptakan tegnologi yang serba canggih. Selain itu, indikasi
tersebut banyak pula ditemui di kalangan masyarakat pedesaan, baik dari segi
Pendidikan maupun kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap
keramat.121
Agama lokal memang sangat menghormati dan mengagungkan suatu
benda. Pola pikir ini baru didobrak, ditentang, dan dianggap sesat setelah
datangnya agama Kristen, yang salah satu ajarannya untuk mengeksploitasi
alam, tidak lagi menghormati dan mengeramatkan alam.
Pada dasarnya, masyarakat agama lokal berpandangan bahwa dunia
dan alam sekitarnya bukanlah objek sebagai subjek. Hal ini berbeda dengan
masyarakat modern, yang memandang dirinya sebagai subjek, sedangkan alam
sebagai objek. Akibat dari tidak bisanya membedakan antara subjek dan
objek, yaitu antara manusia dan alam sekitarnya, akhirnya masyarakat agama
121M. Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia Dari Masa Klasik Hingga
modern, (Yogyakarta: IRCISoD, 2015), h. 18.
116
lokal memandang sakral terhadap sesuatu yang dapat memberikan manfaat
dan kebaikan, atau yang bisa menimbulkan bencana.122
Untuk melacak sejarah dari peradaban itu sendiri, kita harus menengok
kembali pengetahuan paling awal kita tentang kehidupan manusia di muka
bumi, dan bertanya kembali apa saja yang di dapat ditemukan dalam hukum
adat, lembaga, seni dan pengetahuan suku atau agama lokal. Apa yang
dianggap benar oleh sebuah peradaban pastilah juga dianggap benar oleh
agamanya, karena agama merupakan salah satu dari elemen dasar pembentuk
peradaban.123
Telah saya paparkan sebelumnya, Salam mengatakan Kaharingan tidak
dapat dikategorikan sebagai salah satu paham keagaman seperti dinamisme,
animisme, politeismi ataupun monoteisme karena dari semua paham-paham
keagaman tersebut tercakup semua di dalam agama Kaharingan. Dalam hal ini
Syamsir Salam dan Marko Mahin sependapat bahwa Kaharingan tidak
termasuk salah satu paham keagaman diatas namun Kaharingan adalah agama
masa lampau atau agama lokal, dimana Kaharingan agama awal atau agama
tertua dari sebelum Hindu dan Budha masuk di Kalimantan.
Marko Mahin seorang pendeta (teolog) dan antropolog yang senada
dengan Salam mengatakan:
“Kaharingan itu agama para leluhur Dayak. Saya terpanggil meneliti
sekaligus menyelami keluhurannya,”
122M. Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia Dari Masa Klasik Hingga
modern, h. 19-20. 123Allan Menzies, Sejarah Agama-agama Studi Sejarah, Karakteristik dan Praktik Agama-
agama Besar di Dunia, (Yogyakarta: FORUM, 2014), 23-24.
117
Marko tidak setuju dengan anggapan banyak orang bahwa Kaharingan
bukanlah agama, melainkan hanya adat, kebudayaan, atau aliran kepercayaan
milik masyarakat suku Dayak di Kalimantan. Anggapan seperti itu muncul
karena negara hanya mengakui enam agama resmi. Para penganut Kaharingan
sempat mendapat lebel sebagai orang yang tak beragama. Kaharingan dinilai
hanya agama orang pedalaman atau penghuni hutan tropis. Agama masa
lampau dan diramalkan bakal punah seperti kayu lapuk. Itu sebabnya beliau
terlibat langsung pada berbagai upacara yang digelar pengikut Kaharingan,
seperti upacara Tiwah (ritual kematian tahap akhir), dan upacara Basarah
(ibadah rutin Kaharingan setiap Kamis atau malam Jumat).
Kaharingan itu adalah agama yang dilahirkan masyarakat Dayak di
Kalimantan, bukan impor dari luar. Secara sosial dan historis, agama ini
berbeda dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Kaharingan awalnya tak bisa mengikuti ukuran beragama seperti keenam
agama itu, yang antara lain punya hari besar, rumah peribadatan, dan
organisasi keagamaan. Tak mengherankan jika ada yang meramalkan, agama
Dayak ini akan punah seperti kayu lapuk.Gagasan di atas menurut Marko
kontras dengan faktanya. Kaharingan mempunyai sistem adaptif yang baik
terhadap perubahan sosial dan modernisasi.124
124Diakses dari https://tokoh.id/biografi/5-wiki-tokoh/antropolog-penyelami-
kaharingan/ pada tanggal 12 Agustus 2018 pukul 19.13 WIB.
118
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Agama adalah suatu pedoman tata aturan hidup manusia yang erat
hubungannya dengan Tuhan, sementara budaya adalah hasil karya manusia
berupa tata cara hidup manusia seperti adat istiadat dan kepercayaan-
kepercayaan. Agama dan budaya saling mempengaruhi dalam
pembentukannya. Artinya agama dan budaya dapat mempengaruhi satu sama
lain. Namun perbedaan dari keduanya ialah, agama tata cara hidup manusia
yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa sementara budaya adalah tata cara
hidup manusia yang dibentuk oleh manusia itu sendiri.
Apakah Kaharingan agama atau budaya? Atau apakah Kaharingan tata
cara hidup yang terkait langsung dengan Tuhan Yang Maha Esa atau tata cara
hidup yang berasal dari hasil karya atau akal manusia? Dalam skripsi ini telah
dijelaskan bahwa Kaharingan lebih pantas disebut agama, karena Kaharingan
memiliki syarat-syarat yang bisa disebut sebagai agama, yaitu: Kaharingan
percaya pada satu tuhan Ranying Hatalla, memiliki kitab suci Panaturan,
melakukan ibadah mingguan secara rutin, membangun tempat ibadah yakni
Balai Basarah, melaksanakan hari raya keagamaan dan juga mendirikan
lembaga atau organisasi keagamaan.
Berdasarkan hasil penelitian saya dari karya-karya para penulis
Indonesia mengenai Kaharingan dalam aspek keagamaan dan budaya secara
garis besar Kaharingan merupakan agama tradisional atau agama awal di
Kalimantan ketika agama lain belum memasuki Kalimantan yang hingga saat
119
ini masih eksis. Proses komunikasi budaya Dayak Kaharingan terbentuk dari
adat istiadat nenek moyang suku Dayak Kaharingan dan menganut nilai-nilai
keluluhuran yang di pimpin oleh balian atau dukun yang mana isi pesan nenek
moyang tersebut digunakan sebagai kerukunan bagi masyarakat Dayak.
Makna budaya bagi masyarakat Dayak ialah sebagai warisan nenek moyang
yang telah menjadi adat istiadat turun temurun.
Paham keagamaan seperti animisme, dinamisme, politeisme dan
monoteisme terdapat dalam Kaharingan, sehingga Kaharingan tidak dapat
disebut sebagai penganut salah satu paham keagamaan saja. Kaharingan
memiliki kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti pada gejala-gejala
dan peristiwa yang luar biasa. Kekuatan alam yang mampu melakukan sesuatu
yang luar biasa, seperti banjir dan angin topan.Kaharingan juga percaya ada
manusia yang memiliki kekuatan sakti yang bisa menyembuhkan orang sakit,
para peramal serta benda-benda mati seperti pohon, Mandau (senjata khas
Dayak), guci, piring, mangkok dan batu-batuan juga dipercaya memiliki
kekuatan sakti.
Tidak hanya percaya pada kekuatan-kekuatan sakti di sekitar namun
Kaharingan mempunyai dua dewa tertinggi yakni Mahatalla dan Jata,
dimana kekuatan keduanya saling bertentangan. Namun keduanya merupakan
satu kesatuan yang saling terkait.Seperti putih-hitam, baik-buruk, atas-bawah,
pagi-malam dan seterusnya. Sehingga masyarakat meyakini bahwa alam
tercipta atas keduanya yang saling terkait. Mite penjadian yang dipercayai
Kaharingan ialah penjadian alam karena pertubrukan-pertubrukkan dua bukit,
dua bukit itu ialah Mahatalla dan Jata.
120
Kaharingan sudah dianggap dapat merubah ketertindasan absolut ke
posisi yang lebih baik, artinya masyarakat suku bangsa Dayak Kaharingan
mampu melakukan politik kultural ketika berhadapan dengan struktur-struktur
objektif yang ada di sekitar mereka. Terbukti bahwa adanya dana APBN untuk
Kaharingan.
Selain itu pada proses pengobatan Kaharingan menggunakan sistem
pengobatan tradisional. Dalam praktik pengobatan adanya keterkaitan antara
Kaharingan dengan Islam, cara-cara pengobatan dan penentuan obat
berlandaskan konsep-konsep kosmologi Kaharingan sementara alat
legimitasinya menggunakan doa-doa Islam.Namun hal itu berlaku jika
pasiennya ternyata beragama non-Kaharingan tetapi berlatar belakang pernah
menganut Kaharingan, artinya berlaku pada pasien yang pindah agama dari
Kaharingan. Sementara cara-cara pengobatan serta mantra-mantra untuk
pasien yang memang penganut Kaharingan tetap menggunakan cara dan
mantra dari Kaharingan.
Tidak hanya sistem pengobatan suku bangsa Dayak, namun dalam
pengobatan Kaharingan yang menggunakan tanaman tradisional ada mantra-
mantranya.Mereka berkeyakinan bahwa segala di dunia ini mempunyai
roh.Oleh karena itu mereka mengambil tumbuh-tumbuhan sebagai obat
dengan mantra-mantra pula.Tumbuhan yang digunakan selain sebagai bahan
obat-obatan yakni sebagai bahan pangan, tonik, bahankosmetik, bahan rempah
dan juga bahan pewarna. Tercatattidak kurang dari 107 jenis tumbuhan terdiri
dari 51 suku dan86 marga yang dimanfaatkan baik sebagai bahan pangan
(56jenis), obat-obatan (46 jenis), kosmetik (4 jenis), bahanbangunan (9 jenis),
121
pemanfaatan lain-lain (9 jenis), beberapajenis di antaranya mempunyai fungsi
ganda.
Dayak Kaharingan masih memiliki banyak mitos yangdipercayai bagi
Ibu hamil.Seperti dilarang duduk ditengah pintu, tidakdiperbolehkan
mengkonsumsi daging binatang yang berasal dari lobang (ular,tringgiling dan
labi-labi), begitu juga seorang suami tidak diperbolehkanmembunuh binatang,
mengisi peluru dan masih banyak lagi. Praktek budayaKaharingan yang
membahayakan yakni menganjurkan ibu hamil agar tetapuntuk beraktifitas,
dan sebagian besar ibu-ibu Dayak menghabiskan waktudengan membantu
suaminya di ladang, dan itu pekerjaan yang sangat beratsehingga beresiko
lahir prematur pada trisemester keempat.
Dalam Kaharingan ada upacara selingkar hidup, yang mana upacara
keagamaan dari masa kehamilan, lahir hingga kematian manusia.Semua
upacara itu dipersembahkan untuk Sang Hyang Mahatalla dan Jatakarna telah
melindungi manusia dari ketika masih berbentuk janin di dalam perut hingga
kematian menjemput.Upacara-upacara tersebut memiliki persyaratan-
persyaratan masing-masing, dan di jelaskan oleh balian.
Dalam “menjelaskan” dan “tradisi lisan” adalah salah satu kegiatan
sehari-hari suku bangsa Dayak Kaharingan yang terdapat unsur
etnomatikanya.yang mana berarti ketika upacarakeagamaan suku bangsa
Dayak adanya pengucapan, aturan-aturanyang harus dipenuhi serta jumlah
barang atau alat perlengkapanupacara, karena dalam berbagai upacara adat
suku bangsa Dayakmemiliki patokan dan jumlah tertentu.
122
Etnomatika juga ditemukan dalam budaya Kaharingan, seperti jenis-
jenis permainan anak, kesenian yang dilakukan masyarakt suku bangsa Dayak
Kaharingan yakni seni lukis dan seni pahat. Masyarakat suku bangsa Dayak
juga menghasilkan kesenian berupa anyaman, dimana ketika proses
pembuatannya terdapat unsur etnomatikanya yakni ketika “mengukur” dan
“mambilang” bahan anyaman. Kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak
jugabanyakditemukan aktivitas mereka yang menyimpan konsep-konsep
geometripenentuan lokasi.
Diantara karya-karya 8 penulis itu terdapat beberapaperbedaan yang
signifikan mengenai agama Kaharingan menurut penulis Indonesia yakni:
a. Terdapat perbedaan susunan masyarakat Dayak Kaharingan, menurut
Syamsir Salam susunan masyarakat Dayak Kaharingan ialah, utus
gantong, utus rendah, golongan budak, golongan imam dan golongan
hantuen. Sementara menurut Harun Hadiwijono Dayak Kaharingan
memiliki dua kelas masyarakat yakni merdeka dan budak. Walaupun ada
lain seperti golongan imam dan hanteun, pengelompokan ini bukan
berdasarkan keturunan melainkan berdasarkan fungsi mereka.
b. Klasifikasi Motif Produk Kesenian Dayak Kaharingan. Terdapat
perbedaan hasil dari penelitian Edy Tandililing dan Agung Hartoyo.
Dalam hasil penelitian Edy Tandililing klasifikasi seni motif Dayak yang
ia paparkan yakni: motif pengantin, motif naga, motif manusia jongkok,
motif bunga dan motif paduan naga dan bunga. Sementara Agung Hartoyo
mengatakan seni motif Dayak yakni: motif siluk langit, motif ati lang,
123
motif sulau, motif bunga tekembai, motif angkong, motif bulan dan motif
pangkak.
Namun dalam analisis saya dan skripsi ini menunjukkan bahwa
perbedaan penafsiran atau pendapat dalam Agama Kaharingan dikarenakan
beberapa faktor yakni:
1. Kelompok atau lokasi penelitian yang dilakukan berbeda.
2. Kebudayaan setempat yang diteliti berbeda.
3. Bahasa yang digunakan dalam setiap lokasi penelitian berbeda.
4. Refrensi yang digunakan berbeda.
Tidak hanya perbedaan, dalam skripsi saya juga menjelaskan ada
persamaan pendapat antar sesama penulis, yakni Syamsir Salam dan Marko
Mahin. Mereka mengatakan Agama Kaharingan adalah agama terdahulu di
Kalimantan, dan tidak termasuk salah satu paham keagamaan (dinamisme,
animisme, politeisme, dan monoteisme), namun agama Kaharingan
mempunyai semua paham keagamaan tersebut di dalamnya.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dari pembahasan serta kesimpulan yang
telah saya paparkan, dari penelitian tersebut ada beberapa saran dari penulis
diantaranya:
a. Bagi penulis diharapkan memberikan arti dari bahasa-bahasa awam atau
bahasa tradisional yang jarang didengar orang-orang pada umumnya.
Karena masih banyak karya-karya penulis Indonesia yang menuliskan
124
kata-kata yang awam di dengar tanpa adanya penjelasan atau arti dari kata
tersebut.
b. Pembaca lebih objektif dan teliti lagi dalam membaca serta memahami isi
karya-karya para penulis khususnya para penulis Indonesia. Karena sering
kali pembaca salah memahami isi buku tersebut, terkadang harus berulang
kali membaca dan memahami isi karya-karya para penulis tersebut.
c. Untuk staf perpustakaan, baik perpustakaan umum ataupun perpustakaan
fakultas agar lebih memperhatikan kualitas dan pelayananya, serta lebih
menambah koleksi buku khususnya mengenai Kaharingan. Karena refrensi
yang disajikan oleh perpustakaan umum maupun perpustakaan fakultas
mengenai Kaharingan masih sedikit.
5.3 Kata Penutup
Demikian skripsi ini dibuat dengan sebaik-baiknya dan penulis juga
menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam skripsi ini,
oleh karenanya dibutuhkan saran serta kritik dari para pembaca agar penulis
dapat menjadi lebih baik lagi dalam menghasilkan karya tulis kedepannya.
Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk
menjadikan tambahan ilmu pengetahuan khususnya mengenai agama dan
budaya Kaharingan, dan juga turut membantu mempermudah para pembaca
yang mencari informasi mengenai agama dan kebudayaan Kaharingan.
125
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Sayuthi. Metode Penelitian Agama Pendekatan Teori & Praktik (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 2002).
Fitriatien,Sri Rahmawati.Pembelajaran Berbasis Etnomatika.(Surabaya.PGRI Adi
Buana.Juni 2017).
Ghazali, Adeng Muchtar. Ilmu Perbandingan Agama Pengenalan Awal
Metodelogi Studi Agama-agama untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung:
CV Pustaka Setia. 2000).
Hadiwijono, Harun. Religi Suku Murba di Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia.
2003).
Imran, M. Ali.Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia Dari Masa Klasik
Hingga modern.(Yogyakarta: IRCISoD. 2015).
Kementrian Agama RI, Badan LITBANG dan Diklat. Ed. Ahmad Syafi’I Muhfid.
Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia
(Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2012).
Kunto, Suharsini Ari. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:
Rineka Cipta. 2002).
Menzies,Allan.Sejarah Agama-agama Studi Sejarah, Karakteristik dan Praktik
Agama-agama Besar di Dunia.(Yogyakarta: FORUM. 2014).
Moleong, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja
Rosdokarya. 1996).
126
Nasruddin, DKK.,Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi.(Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. 2011).
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.RJMD Provinsi Kalimantan
Tengah 2016-2017.No. 1 2017.
Permatasari, Andayu Intan.Karangan Etnografi Kebudayaan Suku Iban di
Kalimantan Barat.(Tanpa Penerbit, Tanpa Tempat. Tanpa Tahun).
Salam, Syamsir. Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak di
Kalimantan Tengah (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah. 2009).
Sarbaguna, Boy S. Analisis Data pada Penelitian Kualitatif (Jakarta: UI Press.
2008).
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan
R&D, edisi IV (CET XIX, Bandung: Alfabeta. 2014).
Sukardi K, Heru. Dasar-dasar Metodologi Sejarah (Surabaya, Proyek
Peningkatan/ Pengembangan Perguruan Tinggi IKIP Surabaya. 1979).
Sutanto, Hasan. Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Al-Kitab ( Malang:
Seminari Al-Kitab Asia Tenggara. 1993).
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Adat Istiadat Daerah
Kalimantan Selatan.(Jakarta: PN Balai Pustaka. tanpa tahun)
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Adat dan Upacara
Perkawinan Daerah Kalimantan Timur.(Jakarta: PN Balai Pustaka.
tanpa tahun).
127
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Sejarah Daerah
Kalimantan Selatan.(Jakarta: PN Balai Pustaka. 1978).
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Sejarah Kebudayaan
Kalimantan.(Jakarta: Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah
Nasional. 19993).
Skripsi, Disertasi dan Tesis
Mahin, Marko. Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah.
(Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univertas Indonesia
2009).
Sofyah, Diana H. Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep
Dasar Pengobatan Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah
Khususnya Kota Madya Palangkaraya.(Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik UI Jakarta. 1997)
Jurnal
Adranus, Nopli. Mursalim. Syamsul Rijal. “Reduplikasi dalam Bahasa Dayak
Murut Tahol di Desa Tau Lubis Kecamatan Lumbis Ogong Kabupaten
Nunukan.” Ilmu Budaya. Vol. 2. No. 1. Januari 2018.
Aryadi,Mahrus. A. Fithria.Susilawati dan Fatria.”Kearifan Lokal Masyarakat
Dayak Terhadap Tumbuhan Berkhasiat Obat di Lahan Agroforest
Kabupaten Barito Utara.”Hutan Tropis.Vo. 2.No. 3. November 2014.
Darmadi, Hamid. “Dayak dan Asal-usul Penyeberannya di Bumi Borneo (1).”
Jurnal Pendidikan Sosial.Vol 3. No. 2. Desember 2016.
128
Dey,Nina Putri Hayam. Sri Suwartuningsih dan Daru Purnomo. “Aspek Budaya,
Sosial dan Ekonomi dari Tiwah” (Upacara Masyarakat Dayak Tomun
Lamandau).Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin.Vol XXI.No. 2.
2012. h. 175.
Ega,Katarian Lidya. “Pemaknaan Ukiran Blontakng Kaum Bangsawan Dalam
Upacara Adat Kwangke (Studi diskriptif).”Ilmu Pemerintahan.Vol.3
No.1. 2015.
Hartoyo, Agung. “Eksplorasi Etnomatika pada Budaya Masyarakat Dayak
Perbatasan Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau KALBAR.”
Penelitian Pendidikan. Vol. 13. No. 1. April 2012.
Hermansyah.“Islam dan Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Muslim
Kanayatn Dayak di Kalimantan Barat.”Islamica.Vol. 7.No. 2.Maret
2013.
Liadi,Fimier. “Penelusuran Sistem Kepercayaan Suku Dohoi (Anak Suku Ot
Danum) di Tumbang Samba Kabupaten Katingan Kalimantan
Tengah”.Palita: Journal of Social-Religion Reserch. Vol. 2.No.
2.Oktober 2017.
Mayasari,Maria Sisilia. Lintu Tulistyiantoro. M. Taufan Rifqi.“Kajian Simoatik
Ornamen Interior pada Lamin Dayak Kenyah (Studi Kasus Interior
Lamin di Desa Budaya Pampang).”Intra.Vol. 2.No. 2. 2014.
Nolan, Brooke. Dayak Kaharingan Belief System.(tanpa kota: tanpa penerbit.
tanpa tahun).
Pradita,Marcellina Eka. “Tato Sebagai Sebuah Media KOmunikasi Non Verbal
Suku Dayak Bahau.”.Ilmu Komunikasi.Vo. 1.No. 4. 2013.
129
Setyowati, Franisca Murti dkk, Enbotani Masyarakat Dayak Ngaju di Daerah
Timpah Kalimantan Tengah (J. Tek. Ling,Pusat Penelitian Biologi: LIPI.
2005).
Siregar, Leonard, “Antropologi dan Konsep Kebudayaan”.Antropologi
Papua.Vol.1. No.1.Agustus 2002.
Sukiada, Kadek.“Sistem Medis Tradisional Suku Dayak dalam Kepercayaan
Hindu Kaharingan di Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan
Tengah”.DHARMASMRT.Vo. XIII.no. 26.Oktober 2015.
Suprabowo, Edy.“Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada
Suku Dayak Sanggau.”Kesahatan Masyarakat Nasional.Vol 1.No.
3.Desember 2006.
Wilson.“Makna Upacara Nyaki Tihi Adat Dayak Ngaju di Desa Samba Danum
Katingan, Kalimantan Tengah”.Konstektualita.Vol. 26.No. 2.Desember
2009.
Makalah Seminar
Fitroh, Wahyu dan Nurul Hikmawati.Prosding Seminar Matematika dan
Pendidikan Matematika.(Semarang: UMS. 2015).
Sukiada, Kadek.“Nikai Kebhinekaan Sistem Kosmologi Hindu Kaharingan dalam
Pengobatan Tradisional Suku Dayak”.Seminar Nasional Filsafat,17 Maret
2017.
Tandililing,Edy.Pengembangan Pembelajaran Metematika Sekolah dengan
Pendekatan Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya Untuk
130
Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika di
Sekolah.(Yogyakarta: Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika FMIPA UNY. 19 November 2013).
Sumber Internet
Mahin, Marko. “Multikulturalisme, Sebagai Resolusi Konflik dan Pembangunan
Harmoni: Studi Kasus Kaharingan di Kalimantan Tengah” diakses dari
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2015/02/17/multikulturalisme-
sebagai-resolusi-konflik-dan-pembangunan-harmoni-studi-kasus-
kaharingan-di-kalimantan-tengah/ pada tanggal 07 oktober 2018 pukul
12.01 WIB.
https://5-wiki-tokoh/antropolog-penyelami-kaharingan/ pada tanggal 08/08/2018
pukul 20.30 WIB.
Arkanudin.“ Sekilas Gambaran Suku Dayak”diakses dari
http://arkandien.blogspot.com/2010/06/sekilas-gambaran-suku-dayak-
olehprof.html pada tanggal 06 Agustus2018 pukul 14.22 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara pada tanggal 25 Maret 2018,
01.51.
https://kbbi.web.id/budaya pada tanggal 27 September 2018 pukul 13.26 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama pada tanggal 27 September 2018 pukul 11.50
WIB
https://kbbi.web.id/agama pada tanggal 27 September 2018 pukul 13.25 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya 27 September 2018 pukul 11.35 WIB.
131
http://www.wacana.co/2014/02/kaharingan-agama-leluhur-suku-dayak/pada
tanggal 02Oktober 2018 pukul 11.31 WIB.
https://id.wikipdia.org/wiki/suku-Dayak pada tanggal 28 April pukul 23.44 WIB.
https://www.hipwee.com/list/mengenal-7-rumpun-suku-dayak-di-pulau-
kalimantan/ pada tanggal 30 April 2018 pukul 22.29 WIB .
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Ngaju pada 02 Juni 2018 pukul 23.04
WITA.
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Kayan pada tanggal 02 Juni 2018
pukul 23.49 WITA.
http://asiantribal.blogspot.com/2013/03/asal-usul-suku-dayak-kayan.html pukul
10.33 WIB pada tanggal 06 Agustus 2018. Diakses dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Iban pada 03 Juni 2018
pukul 00.02 WITA.
https://www.hipwee.com/list/mengenal-7-rumpun-suku-dayak-di-pulau-
kalimantan/ pada 03 Juni 2018 pukul 00.14 WITA.
https://ms.wikipedia.org/wiki/Murut pada tanggal 03 Juni 2018 pukul 00.41
WITA.
http://protomalayans.blogspot.com/2012/07/suku-dayak-punan.html pada tanggal
06 Agustus 2018 pukul 13.04 WIB.
http://www.netralnews.com/news/rsn/read/101038/inilah.suku.dayak.punan..primi
tif.yang.t pada 03 Juni 2018 pukul 00. 52 WITA.
132
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Ot_Danum pada 03 Juni 2018 pukul
00.59 WITA.
https://ekapalangka.wordpress.com/2011/05/26/upacara-perkawinan-masyarakat-
suku-dayak-ngaju-dalam-kajian-agama-dan-adat/ pada 11 Mei 2018
pukul 11.40 WITA.
https://ekapalangka.wordpress.com/2011/05/26/upacara-perkawinan-masyarakat-
suku-dayak-ngaju-dalam-kajian-agama-dan-adat/ pada tanggal 04 Juli
2018 pukul 16.00 WIB.
https://rid755.wordpress.com/2012/07/30/pelaksanaan-upacara-perkawinan-
agama-hindu-kaharingan/ pada tanggal 04 Juli 2018 pukul 16.04 WIB.
http://www.senibudayaku.com/2017/12/upacara-adat-kalimantan-
tengah.html?m=1# pada tanggal 13 Juli 2018 pukul 12.32 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Marko_Mahin pada tanggal 26 Agustus 18 pukul
12.48 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kaharingan pada tanggal 03 Oktober 2018 pukul
17.56 WIB.
https://tokoh.id/biografi/5-wiki-tokoh/antropolog-penyelami-kaharingan/ pada
tanggal 08/08/2018 pukul 20.30 WIB.
http://www.netralnews.com/news/rsn/read/104265/inilah-9-hal-pantangan-yang-
dilakukan-ibu-ibu-dayak-saat-hamil pada tanggal 14 Agustus 2018 pukul
11.16 WIB.
133
https://www.google.com/amp/s/doyosukmo.wordpress.com/2011/01/21/seni-
pahat-patung/amp/?espv=1 pada tanggal 25 Agustus 18 pukul 22.18
WIB.
http://visitingkutaikartanegara.com/depan?module=daya_tarik&sub=seni_dan_bu
daya&halaman=5 pada tanggal 12 Agustus2018 pukul 17.45 WIB.
https://tokoh.id/biografi/5-wiki-tokoh/antropolog-penyelami-kaharingan/ pada
tanggal 12 Agustus 2018 pukul 19.13 WIB
Biografi
Daftar Riwayat Hidup Syamsir Salam didapatkan dari TU Fakultas Dakwah UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.