Download - analisis kebijakan UAN
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
“PENDIDIKAN”
OLEH :
RINDI PUJI A. 084674005
GEMILANG FARID P. 084674016
FIKRI HIDAYATI 084674022
SUCI RAMADANI 084674026
REZA YUNAN C. 084674038
ANDRY RISTIAWAN 084674049
S1 ADMINISTRASI NEGARA 2008
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ujian akhir nasional atau lebih sering kita kenal dengan sebutan UNAS atau UN
memang merupakan hal yang wajib dijalani oleh siswa siswi SMP dan SMA. Bagi
pemerintah ini adalah hal yang wajib dijalani para siswa tersebut guna mngetahui apakah
mereka layak dianggap lulus atau tidak. Dengan demikian mereka mampu melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Namun tanpa disadari bagi para siswa,
UNAS layaknya ancaman yang selalu menghantui mereka, banyak siswa yang merasa
stres akibat tuntutan lulus UNAS dengan standar nilai yang makin naik tiap tahunnya.
Kebanyakan dari mereka bahkan merasa belum sanggup menjalani ujian ini yang pada
akhirnya berakibat fatal atau tidak lulus.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa pelaksanaan ujian akhir di berbagai
tingkatan pendidikan setiap akhir tahun ajaran, seringkali memunculkan pro-kontra.
Tujuan UN memang sangat mulia. Peraturan Mendiknas No. 39 tahun 2007, pasal 2 (a)
menyebutkan tujuan UASBN adalah mendorong tercapainya target wajib belajar
pendidikan dasar yang bermutu. Artinya, ujian nasional dilaksanakan secara terintegrasi
dengan pelaksanaan ujian sekolah/madrasah. Hasil UASBN pun menjadi sumber untuk: a.
pemetaan mutu satuan pendidikan; b. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
c. penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan d. dasar pembinaan dan
pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan
(Peraturan Mendiknas No. 39 tahun 2007, pasal 3).
Namun pada pelaksanaannya, UN mendapat berbagai kecaman dari berbagai pihak,
terutama dari komunitas pendidikan di Tanah Air. Kalangan pendidikanpun malah
menganggap bahwa UN justru tidak sesuai dengan UU No 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan berbagai program pemerintah lainnya pun pada
tahun 2008. Kalangan aktivis pendidikan dari Koalisi Pendidikan pun berpendapat serupa.
Pemerintah berkeinginan keras untuk menerapkan UN dengan harapan dapat mengangkat
kualitas pendidikan di Tanah Air. Peningkatan kualitas dianggap cukup lewat tes.
1
Padahal, kualitas hanya dapat diperoleh lewat proses. Pemerintah justru harus melihat
faktor-faktor penentu berjalannya proses dan sejauh mana itu sudah terpenuhi di sekolah.
Akibat keinginan keras pemerintah ini pada akhirnya banyak kalangan masyarakat
berpendapat bahwa banyaknya siswa yang tidak lulus ini dikarenakan pemenuhan
berbagai sarana dan prasana kebutuhan pendidikan yang tampaknya belum terlalu
dihiraukan pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Selain
itu, perbedaan sarana pendidikan ditiap wilayahpun, menjadi salah satu sebab tidak tepat
menjadikan ujian nasional standar kelulusan siswa, hal tersebut menyebabkan dunia
pendidikan menjadi pasif dan apatis. Sebab, banyak sekolah menginginkan siswanya lulus
dan akhirnya menempuh cara-cara curang untuk menggapainya. Berdasarkan latar
belakang inilah kami membuat makalah ini untuk dapat menganalisis masalah dari
penyebab banyaknya siswa yang tidak lulus tersebut untuk dapat memecahkan masalah
ini melalui analisis kebijakan publik.
Dasar Hukum Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) adalah, sbb :
1. Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 58
ayat (2): “Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan
dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan
sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan”.
2. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 63 ayat (1). Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
Pasal 66 ayat (1).
Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara
nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional.
2
Pasal 66 ayat (2). Ujian nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan,
dan akuntabel.
Pasal 66 ayat (3). Ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali
dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran.
Pasal 68. Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan
untuk:
a. pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
b. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
c. penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan
pendidikan;
d. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam
upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Pasal 69 ayat (1): Setiap peserta didik jalur formal pendidikan dasar dan
menengah dan pendidikan jalur nonformal kesetaraan berhak mengikuti
ujian nasional dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan
lulus dari satuan pendidikan.
Pasal 69 ayat (2): Setiap peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mengikuti satu kali ujian nasional tanpa dipungut biaya.
Pasal 69 ayat (3): Peserta didik pendidikan informal dapat mengikuti ujian
nasional setelah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh BSNP.
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 tahun 2009 tentang Ujian
Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (Smp/Mts), Sekolah
Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah
Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Dan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2009/2010.
Tujuan diberlakukannya Ujian Nasional
UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata
pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
3
Anggapan UN dijadikan satu-satunya untuk menentukan kelulusan adalah keliru. Hasil
UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk
1) pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan
2) seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya
3) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan,
4) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan.
Faktor Munculnya Ujian Nasional Ulangan
Pada pelaksanaan UN tahun pelajaran 2009/2010 dilaksanakan dua kali yaitu UN
Utama dan UN Ulangan. Selain itu bagi peserta didik yang karena alasan tertentu dan
disertai bukti yang sah tidak dapat mengikuti UN Utama, maka dapat mengikuti UN
Susulan yang dilaksanakan seminggu setelah UN Utama.
Dibukanya kesempatan untuk melakukan UN Ulangan berkait dengan upaya (i)
memberi kesempatan peserta didik yang telah mengikuti pendidikan formal untuk tetap
memperoleh tanda kelulusan di jalur formal (bukan penyetaraan); (ii) membantu
menghindari terjadinya tekanan psikologis terhadap peserta didik akibat gagal dalam
pelaksanaan UN Utama. Dengan tetap memberi kesempatan untuk mendaftar di
perguruan tinggi negeri.
UN Ulangan diikuti oleh peserta didik yang dinyatakan tidak lulus UN. Peserta
didik yang akan mengikuti UN ulangan adalah yang memiliki nilai mata pelajaran kurang
dari 5,5 pada semua atau sebagian mata pelajaran. Nilai yang dipakai adalah yang
tertinggi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah alternatif kebijakan yang tepat untuk mengatasi problem UNAS diatas?
2. Bagaimana deskripsi dan kerangka kebijakannya?
C. TUJUAN KEBIJAKAN
4
1. Mencari kebijakan yang lebih baik, agar fenomena banyaknya siwa yang tidak lulus
ini bisa diselesaikan dengan lebih baik.
2. Bagi pemerintah agar sadar akan pentingnya menyadari kemampuan para siswa dan
kurang siapnya para siswa dalam menghadapi UNAS. Sehingga pemerintah bisa
memikirkan kembali kebijakan yang lebih baik untuk kemajuan pendidikan dan
tidakterlalu menekan para siswa.
3. Bagi para siswa agar nantinya lebih siap mengahadapi segala bentuk ujian demi
kemajuan bersama.
5
BAB II
PERUMUSAN ALTERNATIF KEBIJAKAN
1. Alternatif Kebijakan dan Deskripsi Sistem Ujian Kelulusan Siswa
(UKS) secara intern
Beberapa waktu yang lalu sempat muncul wacana untuk dilakukannya
penghapusan sistem Ujian Nasional (UNAS) sebagai salah satu syarat kelulusan proses
belajar mengajar siswa (SMP dan SMA). Ironisnya, sistem UNAS itu sendiri sebenarnya
memiliki tujuan yang baik, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan dengan menetapkan
standart nilai sebagai acuan yang tiap tahunnya semakin meningkat. Namun, dibalik
tujuan yang baik tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan sarana dan prasarana
sebagai penunjang serta peningkatang SDM. Akibatnya UNAS itu sendiri saat ini bak
sebuah momok yang menakutkan di masa - masa akhir kelulusan sekolah. Muncul
berbagai dampak sebelum dan sesudah dilaksanakannya UNAS tersebut, dampak
psikologis yang lebih dirasakan baik dikalangan siswa maupun orang tua siswa.
Karena semakin meningkatnya siswa - siswa yang tidak lulus tiap tahunnya,
banyak kalangan yang menyayangkan bahwa sekolah yang telah ditempuh selama 3
tahun, kelulusannya hanya ditentukan 3 hari. Namun, wacana untuk melakukan
perubahan kebijakan tersebut memerlulkan proses dan waktu yang cukup panjang untuk
dapat disahkan menjadi sebuah kebijakan. Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap kebijakan
pasti memiliki kelemahan dan kelebihannya.
Alternatif kebijakan yang mungkin dapat menggantikan sistem UNAS tersebut
adalah membuat sistem Ujian Kelulusan Siswa (UKS) secara intern yang diadakan oleh
tiap sekolah dengan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan selaku pengawas. Soal yang
digunakan berbeda tiap sekolah dengan bekerjasama Dinas Pendidikan pusat. Selain nilai
ujian tersebut yang menjadi acuan kelulusan siswa, dimasukkannya nilai perilaku/sikap
keseharian siswa selama bersekolah sebagai akumulasi.
Adapun kelemahan dari alternatif kebijakan tersebut, antara lain :
6
Rawan terjadi kecurangan dari pihak sekolah, jika kurangya pengawasan dari
pusat serta kesadaran dari panitia penyelenggara Ujian untuk bertindak jujur.
Sedangkan kelebihan dari alternatif kebijakan tersebut, antara lain :
Dampak psikologis siswa sebagai peserta ujian dapat ditekan / diminimalisir.
Penilaian terjadi secara subyektif, tidak hanya mengacu pada satu faktor saja.
2. Alternatif Kebijakan dan Deskripsi Peningkatan Mutu dan
Pemerataan Pendidikan
Salah satu alasan mengapa penetapan standar dalam Ujian Akhir Nasional
diperdebatkan keberadaannya adalah karena masalah mutu dan akses terhadap pendidikan
di Indonesia yang belum merata antara daerah satu dengan daerah yang lain. Masalah
tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Kita tidak
bisa menyamakan kualitas pendidikan di daerah terpencil dengan fasilitas pendidikan
yang pas-pasan, bahkan bisa dibilang tidak layak dan akses yang terbatas dengan daerah
perkotaan yang didukung dengan sarana dan prasarana yang serba ada. Maka jika kita
menerapkan standar yang sama terhadap dua daerah dengan kondisi yang bertolak
belakang tersebut dapat dikatakan bahwa kita telah bertindak tidak adil. Bagaimana bisa
daerah dengan kondisi serba keterbatasan dalam hal pendidikan dapat mencapai standar
pendidikan yang biasanya diambil dari daerah dengan fasilitas pendidikan yang
memadahi? Alternatif ini mencoba untuk memberikan solusi dengan perbaikan terhadap
mutu dan pemerataan pendidikan terutama di daerah-daerah yang tertinggal sebelum
menetapkan suatu standar pendidikan yang bersifat nasional.
Pemerataan Pendidikan
Pemerataan pendidikan adalah suatu proses, cara dan perbuatan melakukan
pemerataan terhadap pelaksanaan pendidikan, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat
merasakan pelaksanaan pendidikan. Pemerataan dan perluasan pendidikan merupakan
salah satu sasaran dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan agar
setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Masalah pendidikan ini lebih banyak terjadi pada daerah-daerah terpencil atau
perbatasan karena memang keadaan geografis negara indonesia yang berpulau-pulau
7
sehingga menyebabkan sulitnya menghadirkan pendidikan yang layak di daerah-daerah
yang dimaksud. Akses jalan dan transportasi yang terbatas, bahkan mungkin tidak ada
sama sekali, menjadi kendala utamanya. Dengan kondisi yang serba keterbatasan tersebut
maka guru-guru pengajar banyak yang enggan bila dimutasi ke daerah-daerah terpencil
karena selain karena alasan diatas juga karena biaya hidup yang lebih tinggi akan
dibebabkan kepada mereka jika pindah ke daerah tersebut.
Permasalahan Pemerataan dapat terjadi karena kurang tergorganisirnya koordinasi
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan hingga daerah terpencil
sekalipun. Hal ini menyebabkan terputusnya komunikasi antara pemerintah pusat dengan
daerah. Selain itu masalah pemerataan pendidikan juga terjadi karena kurang berdayanya
suatu lembaga pendidikan untuk melakukan proses pendidikan, hal ini bisa saja terjadi
jika kontrol pendidikan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak menjangkau
daearh-daerah terpencil. Jadi hal ini akan mengakibatkan mayoritas penduduk Indonesia
yang dalam usia sekolah, tidak dapat mengenyam pendidikan sebagaimana yang
diharapkan.
Peningkatan Mutu Pendidikan
Pendidikan yang bermutu yaitu pelaksanaan pendidikan yang dapat menghasilkan
tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan negara dan bangsa pada saat ini. Sejalan
dengan proses pemerataan pendidikan, peningkatan mutu untuk setiap jenjang pendidikan
melalui persekolahan juga dilaksanakan. Peningkatan mutu ini diarahkan kepada
peningkatan mutu masukan dan lulusan, proses, guru, sarana dan prasarana, dan anggaran
yang digunakan untuk menjalankan pendidikan.
Rendahnya mutu pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor terpenting
yang mempengaruhi adalah mutu proses pembelajaran yang belum mampu menciptakan
proses pembelajaran yang berkualitas. Hasil-hasil pendidikan juga belum didukung oleh
sistem pengujian dan penilaian yang melembaga dan independen, sehingga mutu
pendidikan tidak dapat dimonitor secara teratur.
Selain itu, kurikulum sekolah yang terstruktur dan sarat dengan beban menjadikan
proses belajar menjadi kaku dan tidak menarik. Akibat dari pelaksanaan pendidikan
tersebut adalah menjadikan sekolah cenderung kurang fleksibel, dan tidak mudah berubah
8
seiring dengan perubahan jaman dan kondisi pada masyarakat. Rendahnya mutu
pendidikan juga dapat disebabkan oleh rendahnya kualitas tenaga pengajar.
Beberapa kebijakan strategis yang dapat disusun dalam rangka peningkatan mutu
dan memperluas pemerataan pendidikan adalah sebagai berikut:
1. memperluas akses bagi anak usia 0-6 tahun, baik laki-laki mapun perempuan
untuk memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai potensi
yang dimiliki dan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan dalam
mengikuti pendidikan di SD / MI.
2. Menghapus biaya pendidikan melalui pemberian Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) bagi semua siswa pada sekolah umum maupun madrasah yang dimiliki
oleh pemerintah. Di samping itu, dilakukan kebijakan pemberian bantuan biaya
personal terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin melalui
pemanfaatan BOS untuk tujuan tersebut.
3. Membentuk ”SD-SMP Satu Atap” bagi daerah terpencil yang berpenduduk jarang
dan terpencar, dengan menambahkan ruang belajar SMP di SD untuk
menyelenggarakan program pendidikan SMP bagi lulusannya.
4. Memfasilitasi peran serta masyarakat dalam memperluas akses sekolah menengah
(SM), khususnya pada daerah-daerah yang memiliki lulusan SMP cukup besar. Di
sisi lain, juga mengembangkan SM terpadu, yitu pendidikan yang mampu
menyelenggarakan pendidikan umum dan kejujuran dalam satu satuan pendidikan.
5. Memperluas akses terhadap pendidikan di SMK sesuai dengan kebutuhan dan
keunggulan lokal. Perluasaan SMK ini dilaksanakan melalui penambahan program
pendidikan kejuruan yang lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang
berkembang.
6. Melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat agar keluarga makin sadar akan
pentingnya pendidikan serta mau mengirimkan anak-anaknya ke sekolah
7. Memfaatkan secara optimal siaran radio, televisi, komputer dan perangkat TIK
lainnya untuk digunakan sebagai mesin pembelajaran dan sarana belajar alternatif,
terutama bagi daerah terpencil dam mengalami hambatan dalam transportasi, serta
jarang pendduk.
9
8. Melakukan koordinasi dengan instansi lain (Dinas PU mungkin) untuk
mempermudah akses jalan dari pemukiman penduduk ke sekolah pada daerah-
daerah yang terpencil sehingga mempermudah akses jalan ke sekolah bagi anak-
anak usia sekolah.
9. Memberikan insentif tambahan bagi guru-guru yang akan dimutasi ke luar
daerahnya. Pemberian insentif tersebut juga bisa disertai dengan pemberian rumah
dan kendaraan dinas untuk mempermudah guru dalam mengakses jalan ke
sekolah.
10. Mengharuskan calon-calon guru lulusan baru untuk melakukan pengablian ke luar
daerah sebelum diangkat menjadi PNS. Hal tersebut bertujuan untuk menambah
kuota guru di daerah terpencil dan juga mengasah pengalaman guru-guru muda
dalam mengajar.
11. Melakukan pengadaan alat-alat lab atau praktek bagi sekolah di daerah terpencil
untuk meningkatkan kualitas pengajaran.
12. Melakukan kegiatan peremajaan gedung sekolah beserta sarana prasarananya
secara berkala dalam kurun waktu tertentu.
Kekurangan
1. Program ini merupakan program jangka panjang, memerlukan waktu yang lama
dalam pelaksanaannya. Jadi untuk menentukan standar pendidikan bagi skala
nasional harus memerlukan waktu yang lama pula seiring dengan keberhasilan
program ini.
2. Biaya dalam APBD harus dianggarkan lebih besar dalam setiap periode untuk
pendidikan demi mendukung berjalannya program ini.
3. Biaya APBD untuk pendidikan ini sangat rentan untuk digelapkan, sehingga
program ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
4. Kondisi masyarakat daerah terpencil yang belum sadar akan pentingnya
pendidikan bagi putera-puterinya dapat menghambat berjalannya program ini.
5. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap guru-guru yang berdinas di luar pulau.
10
Kelebihan
1. Dengan berjalannya program ini maka kita dapat menetapkan standar pendidikan
dalam skala nasional.
2. Kesenjangan dalam hal kualitas pendidikan antar daerah dapat dikurangi.
3. Kedepannya proses pendidikan di negeri ini dapar berjalan dengan lancar dan
berkeadilan.
4. Dengan adanya pengabdian dari para calon guru muda pada daerah terpencil akan
mengurangi biaya anggaran negara untuk pengadaan guru.
11
BAB III
REKOMENDASI KEBIJAKAN
A. Penilaian Fisibilitas Alternatif
Fisibilitas adalah penerimaan masyarakat terhadap alternatif kebijakan yang telah
dibuat. Sebelum dilaksanakan harus dilakukan penilaian fisibiltas untuk meminimalisir
hal-hal yang merugikan saat pelaksanaan kebijakan.
Fisibilitas dapat dipandang dari dua sisi, yaitu dari segi kultur atau budaya dan
dari segi biaya. Dari dua alternatif kebijakan yang telah dibahas sebelumnya, penilaian
fisibilitasnya adalah sbb :
1. Segi Kultur / Budaya
Alternatif (1)
Dalam tiap sekolah terdapat ujian yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan
umum para siswanya. Dan semakin intensif pelaksanaan ujian, maka semakin paham
sekolah tersebut terhadap kemampuan individu para siswanya. Namun, terkadang ujian
yang dibuat dari pihak sekolah sangat berbeda dengan ujian nasional. Baik dari segi
kesulitan, gaya pembuatan soal hingga pilihan jawaban pada saat latihan soal disesuaikan
dengan kemampuan guru bidang studi masing-masing. Dengan adanya alternatif
kebijakan Sistem Ujian Kelulusan Sekolah, setiap sekolah memiliki otoritas dan
kemampuan untuk bisa meluluskan siswa-siswanya disesuaikan dengan kompetensi guru
dan siswa di sekolah tersebut. Namun, dalam setiap kebijakan terdapat kelemahan juga.
Salah satunya yaitu, dengan adanya ujian sekolah yang sekaligus sebagai standar
kelulusan, pihak sekolah dapat memanfaatkan situasi tersebut untuk meningkatkan tingkat
kelulusan di sekolah mereka, padahal belum tentu kompetensi siswa memenuhi standar
kompetensi yang ada.
Alternatif (2)
Saat ini setiap sekolah negeri mendapat bantuan operasional dari pemerintah
berbentuk dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Jumlahnya beragam, berbeda di tiap
12
tingkatan dan daerah. Tujuan utama diberikan dana ini adalah sebagai wujud peningkatan
fasilitas pendidikan. Semakin baik faslitas pendidikan maka semakin baik kualitas yang
dihasilkan oleh sekolah tersebut. Dapat kita amati bahwa Ujian Nasional di tiap daerah
memiliki tingkat keluluan yang berbeda, hal ini dapat dipengaruhi oleh kompetensi SDM
pengajar dan juga minimnya fasilitas pendidikan yang ada. Maka dari itu campur tangan
pemerintah sangat dibutuhkan untuk perbaikan kualitas pendidikan ini, disamping untuk
menghasilkan output siswa-siswa yang lebih baik, hal ini juga dapat menekan tingginya
angka ketidaklulusan di tiap daerah. Solusi yang ditawarkan ini menjadi alternatif yang
lebih menguntungkan pemerintah saat ini. Karena tidak perlu menganalisis kembali
peraturan pengganti unas dengan “hanya” membenahi fasilitas pendidikan yang ada.
2. Segi Biaya
Dari kedua alternatif yang ada, biaya yang dikeluarkan lebih besar untuk alternatif
(2), karena pembenahan sarana dan prasarana tiap sekolah memiliki estimasi
penghitungan yang berbeda selain itu ditambah lagi dengan faktor wilayah atau daerah.
Pada alternatif (1) biaya yang dikeluarkan cenderung lebih kecil, karena pihak sekolah
tidak perlu melakukan ujian dua kali, seperti yang dilakukan pada tahun-tahun
sebelumnya. Ujian Sekolah yang disebut dengan EBTA dan Ujian nasional yang disebut
dengan EBTANAS. Kedua ujian itu memiliki sunstansi yang sama, namun kepentingan
dan tujuan yang berbeda.
B. Pihak-pihak yang terlibat
Peran Siswa
Para siswa sebagai peserta Ujian Nasional, mereka sebagai pengukur langsung
tingkat kualitas pendidikan di suatu sekolah. Namun, terkadang kualitas yang diukur tidak
murni hasil siswa tersebut, masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi seperti
faslilitas pendidikan dan kompetensi guru sekolah mereka tersebut.
Peran BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) dalam pelaksanaan UN
Sebagai penyelenggara UN, BSNP memiliki tugas dan tanggungjawab,
diantaranya adalah melakukan sosialisasi penyelenggaraan UN, menetapkan kisi-kisi soal
berdasarkan standar kompetensi lulusan (SKL), menyusun dan merakit soal, menjamin
13
mutu soal, menyiapkan master naskah soal, melakukan penskoran hasil UN,
mendistribusikan hasil UN ke provinsi, mengkoordinasikan kegiatan pemantauan UN,
menganalisis data hasil UN, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan UN kepada
Menteri Pendidikan Nasional.
Menurut PP Nomor 19 Tahun 2005; Pasal 76 ayat (3) BSNP berwenang untuk :
a. mengembangkan Standar Nasional Pendidikan;
b. menyelenggarakan ujian nasional;
c. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan pemerintah daerah dalam
penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan.
d. merumuskan kriteria kelulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah.
PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 63 ayat (1). Penilaian pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
Dalam kenteks ini, penilaian hasil belajar oleh Pemerintah diselenggarakan oleh
BSNP. Sedangkan satuan pendidikan memiliki wewenang untuk menyelenggarakan ujian
sekolah untuk mata pelajaran yang tidak diujikan dalam UN. Dalam penyelenggaraan UN
BSNP bekerjasama dengan Pemerintah, Perguruan Tinggi Negeri, dan Pemerintah Daerah
Tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Sekolah/Madrasah.
Peran dan fungsi perguruan tinggi dalam penyelenggaraan UN
Peran perguruan tinggi adalah sebagai koordinator tim pemantau independen
(TPI) untuk UN SMP/MTs dan SMPLB, sebagai koordinator pengawas pada satuan
pendidikan untuk UN SMA/MA, dan melakukan pemindaian LJUN SMA/MA.
Peran aparat penegak hukum
Menjaga distribusi soal-soal UNAS dan mengantisipasi terjadinya pembocoran
soal UN. Menyangkut pelaku pembocoran, kini pihak aparat penegak hukum, terutama
14
polisi terus mengusut kasus ini. Dari pengungkapan polisi, terlihat banyak pihak yang
terlibat dalam masalah ini. Hanya jika diurai, pihak-pihak yang terlibat tersebut termasuk
orang-orang dari dunia pendidikan sendiri, dalam hal ini pihak guru dan siswa.
Biaya penyelenggaraan UN menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.
C. Peramalan Kebijakan
Permasalahan pendidikan merupakan permasalahan bersama, yang harus ditangani
secara bersama – sama pula oleh para stakeholder pendidikan. Seperti yang tertuang
dalam Undang – Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa agar pemerintah
mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh karenanya pemerintah harus mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, bukan lantas bermakna bahwa
pendidikan nasional adalah hanya milik pemerintah. Penerapan kebijakan sistem
pendidikan nasional tidak boleh hanya berkiblat pada satu pusat yakni pemerintah saja.
Perjalanan pendidikan dimasa lalu cukup dijadikan sebagai batu pijakan bagi
pemerintah serta seluruh warga Indonesia dalam merumuskan kebijakan. Seperti yang
disinyalir dalam tajuk rencana media Indonesia yang menyatakan bahwa dalam negara
demokrasi pemerintah masih tampak belum melibatkan suara guru dalam proses
pengambilan kebijakan pendidikan (Tilaar, 2005:2). Oleh karenanya, kebijakan yang
berlaku hingga saat ini masih dalam kekalutan dan keterpurukan.
Toisuta menyatakan bahwa kekacauan manajemen pendidikan Indonesia
disebabkan karena pemerintah tidak mempunyai suatu platform pendidikan nasional.
Sehingga yang terjadi adalah adanya kebijakan yang tidak berkesinambungan. “ganti
menteri ganti kebijakan” jargon yang sering diperdengarkan. Kebijakan silih berganti
yang tidak berkesinambungan tersebut yang pada akhirnya menyebabkan evaluasi yang
dilakukan tidak tuntas sehingga melahirkan kebijakan – kebijakan baru yang tidak mantap
(Tilaar, 2005:2)
Oleh karenanya, dalam pembuatan kebijakan pendidikan tentunya para analis
harus menggunakan peramalan kebijakan. Meramalkan tentang kejadian yang akan terjadi
di masa depan merupakan faktor penting, karena sesuai dengan konsep peramalan
15
ekstrapolatif bahwa kejadian-kejadian di masa lalu akan mempunyai kecenderungan dan
siklus yang sama di masa yang akan datang.
Saat ini banyak sekali kebijakan-kebijakan pemerintah kaitannya dengan
pendidikan yang ada di indonesia ini mempunyai dampak yang luar biasa baik terhadap
pengelola pendidikan maupun terhadap peserta didik. Misalnya kita dapat cermati pada
kebijakan yang saat ini sedang mendapat sorotan dari masyarakat yaitu tentang kebijakan
Ujian Nasional (Unas).
Ujian pada akhir satuan pendidikan secara nasional merupakan kegiatan rutin.
Ujian Nasional menuai kritikan tajam dari berbagai kalangan. Kontroversi tentang unas
diawali oleh munculnya penolakan sekelompok masyarakat terhadap kebijakan kenaikan
batas kelulusan dari 3,01 pada tahun 2003 menjadi 4,01 pada tahun 2004. kemudian pada
tahun 2006 naik menjadi 4,25, pada tahun 2008 naik menjadi 5,25 bahkan pada tahun
2010 naik menjadi 5,5 dan munculnya tambahan 3 Mata Pelajaran untuk tingkat SMU
yang tentu saja akan menambah deretan panjang penderitaan pada siswa.
Di antara mereka berpendapat bahwa unas bertentangan dengan UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 58 ayat 1 dan pasal 59 ayat 1). Sebagian
berpendapat bahwa unas berdampak negatif terhadap pembelajaran di sekolah,
menghamburkan biaya, dan hanya mengukur aspek kognitif. Argumentasi lain adalah
kondisi mutu sekolah yang sangat beragam sehingga tidak adil jika harus diukur dengan
menggunakan ukuran (standar) yang sama.
Salah satu isu yang mendapat perhatian banyak pihak adalah kekhawatiran tentang
kemungkinan banyaknya siswa yang tidak lulus (tidak dapat mencapai batas minimal
5,5). Berbagai survei pra-unas dilakukan di sejumlah daerah yang menunjukkan proporsi
siswa yang tidak lulus, cukup besar.
Selain keadaan diatas unas dengan standar kelulusannya sangat bertentangan
dengan prinsip KBK yang lebih menekankan pada pembelajaran tuntas, sehingga
kemampuan (kompetensi) siswa tidak hanya diukur dengan kognitifnya saja yang hanya
merupakan beberapa lembar soal.
Pendapat yang mendukung agar Unas tetap dipertahankan antara lain didasarkan
kepada argumentasi tentang pentingnya unas sebagai pengendali mutu pendidikan secara
16
nasional dan pendorong bagi pendidik, peserta didik, dan penyelenggara pendidikan
untuk bekerja lebih keras guna meningkatkan mutu pendidikan (prestasi belajar).
Mereka berpendapat bahwa UU No. 20 tahun 2003 mengamanatkan perlunya
evaluasi untuk mengendalikan mutu pendidikan secara nasional (pasal 57) dan untuk
memantau tingkat ketercapaian standar nasional tentang kompetensi lulusan (pasal 35).
Selain itu, mereka juga melihat perlunya ukuran (skala) baku nasional yang dapat
digunakan untuk membandingkan posisi antara sekolah, kabupaten, dan antar provinsi,
serta perbandingan antar waktu bagi suatu sekolah, kabupaten/kota, provinsi, dan
nasional.
Sejumlah pengamat tidak terlalu mempersoalkan ada-tidaknya unas. Mereka lebih
memusatkan perhatiannya kepada sejumlah kelemahan dan kekurangan unas, seperti
mutu soal (termasuk mutu kertas dan cetakan) yang kurang memadai di sejumlah lokasi,
sosialisasi kebijakan yang tergesa-gesa, kurangnya balikan (feedback) ke sekolah
berdasarkan hasil ujian, distribusi dana yang lambat, dan kekurangterbukaan di dalam
pengelolaan (misalnya, tabel konversi).
Peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan, antara lain, dengan menerapkan
sistem ujian yang baik pada setiap akhir tahun pelajaran untuk kenaikan kelas dan pada
akhir setiap satuan pendidikan. Ujian merupakan strategi yang umum digunakan oleh
negara-negara berkembang dalam meningkatkan mutu pendidikannya karena merupakan
cara yang efektif dan murah dalam memengaruhi apa yang diajarkan guru dan apa yang
dipelajari peserta didik. Penggunaan tes dan ujian dalam dunia pendidikan, walaupun
dengan misi dan tujuan yang beragam, terus berkembang di berbagai negara, termasuk di
negara-negara Mediterranean and Anglo-Saxon.
Selain itu peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dapat dicapai dengan
memberlakukan sistem E-learning. Sistem ini telah banyak digunakan banyak negara di
dunia dan terbukti dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Sistem ini sangat cocok
diberlakukan di Indonesia karena sistem ini dapat menjangkau semua daerah di indonesia,
asalkan ada jaringan internet di sana.
Untuk memahami mengapa ujian yang dilaksanakan selama ini belum mampu
mewujudkan fungsinya secara optimal dapat merujuk, antara lain, kepada temuan tim dari
Bank Dunia yang menyatakan bahwa dua hal penting yang menentukan manfaat ujian
17
bagi peningkatan mutu pendidikan adalah (a) mutu tes yang digunakan, dan (b) mutu
balikan yang diberikan. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa prasyarat agar kedua
faktor tersebut berfungsi dengan baik dalam meningkatkan prestasi akademik peserta
didik adalah kesamaan persepsi guru, kepala sekolah, orang tua, dan siswa tentang
pentingnya ujian dalam proses pendidikan.
Peramalan apapun bentuknya, memberikan informasi tentang perubahan di masa
yang akan datang dalam kebijakan dan akibat-akibatnya. Jika peramalan dapat
meningkatkan pemahaman, maka biasanya hal tersebut berhubungan dengan kontrol
sosial. Peramalan dapat membentuk masa depan dengan cara yang aktif dan kreatif,
daripada secara pasif menerima masa lalu sebagai penentu masa depan.
Dalam membuat kebijakan seharusnya pemerintah juga memperhatikan dan
meramalkan tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi sebagai akibat dari
diberlakukannnya kebijakan tersebut. Misalnya dengan adanya kebijakan terbaru
mengenai unas harusnya pemerintah tidak menutup diri dengan masukan dari suara
masyarakat.
Dengan berbagai macam teknik peramalan tentang masa depan tentunya
pemerintah setelah merumuskan kebijakan tersebut akan meramal kejadian apa sebagai
akibat dari munculnya kebijakan tersebut. Namun seharusnya tidak menutup mata dengan
reaksi dari masyarakat yang selama ini kurang didengar oleh pemerintah pusat. Terlepas
dari adanya kepentingan dari berbagai pihak yang mendompleng kebijakan tersebut,
tentunya setiap kebijakan yang diambil adalah untuk kesejahteraan masyarakat, bukan
hanya untuk kesejahteraan kelompok tertentu. Misalnya kebijakan unas harusnya
fungsinya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
UU No. 20 tahun 2003 mengamanatkan perlunya ujian untuk menentukan tingkat
kemampuan (prestasi belajar) peserta didik pada akhir setiap satuan pendidikan. Selain
menekankan perlunya evaluasi untuk mengendalikan mutu pendidikan secara nasional
dan memantau ketercapaian standar nasional (termasuk kompetensi lulusan), UU No. 20
tahun 2003 juga memberikan peluang kepada pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, dan organisasi profesi untuk membentuk lembaga serta melakukan kegiatan
evaluasi (di dalamnya dapat mencakup pengujian hasil belajar peserta didik). Berbagai
kegiatan evaluasi dan ujian yang dimungkinkan oleh UU tersebut perlu dipetakan dan
18
dirancang ke dalam suatu sistem evaluasi dan ujian di dalam kegiatan pendidikan secara
keseluruhan.
Sistem ujian yang diharapkan adalah suatu sistem yang mampu membantu
penyelenggara pendidikan menegakkan akuntabilitas publik, memberikan balikan yang
bermanfaat kepada sistem pendidikan untuk meningkatkan mutu kinerja dan
efektivitasnya, serta mampu mengendalikan dan mendorong terjadinya peningkatan mutu
pendidikan (sekurang-kurangnya prestasi akademik peserta didik). Studi yang dilakukan
oleh tim dari Bank Dunia memberikan pelajaran bahwa sistem apa pun yang dihasilkan
hanya akan efektif jika didukung oleh kesamaan persepsi dan komitmen dari pihak-pihak
yang terkait untuk mengimplementasikan sistem itu secara konsekuen.
D. Kerangka Strategi Implementasi Kebijakan
I. Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Dalam sebuah riset dinyatakan bahwa perbedaan latar belakangan ekonomi siswa
tidak terlalu terlihat jika fasilitas yang sama diberikan ke semua siswa. Riset itu
mengundang para siswa dari kalangan tidak mampu yang bersekolah di sekolah terminal
Depok – Jawa Barat. Para siswa dari sekolah yang sangat mapanpun diundang untuk
partisipasi. Dalam kegiatan ini mereka diminta menggunakan portal e-learning yang
dikembangkan tim Fasilkom UI, yaitu E-School for Indonesia (ESFINDO). Pada sistem
ini, seluruh siswa diberikan tes pendahuluan (pretest), kemudian diberikan pelatihan
bagaimana mengikuti suatu pembelajaran suatu modul matematika dasar melalui sistem
e-learning. Kemudian para siswa diberikan tes akhir (posttest). Dari proses pelatihan dan
pembelajaran, siswa dari golongan tak mampu pada awalnya canggung berinteraksi
dengan komputer yang mengakses sistem e-learning, namun dalam waktu singkat mereka
mempunyai kecekatan yang sama dengan siswa dari sekolah yang mapan.
Perbandingan hasil pretest dan posttest menunjukkan memang secara umum siswa
dari sekolah tak mampu mempunyai nilai yang lebih rendah dibanding dengan siswa dari
sekolah mampu. Namun hasil menarik ditunjukkan pada peningkatan nilai seluruh siswa
dan peningkatan kecepatan mereka memecahkan persoalan. Berdasarkan ini, maka riset
tersebut menyimpulkan suatu hipotesis bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan
pembelajaran yang sama, faktor fasilitas dan pendukung dapat mempengaruhi
kemampuan siswa. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana tindak lanjut yang akan
19
dilakukan untuk merespon fenomena ini. Salah satu pendekatan yang mungkin adalah
mengajak semua pihak terkait untuk mendukung penerapan sistem e-learning sebagai
pendukung mutu pendidikan di sekolah. Pertanyaan berikutnya adalah langkah langkah
apa saja yang perlu dilakukan.
Penggunaan teknologi internet untuk mendukung kegiatan pembelajaran
merupakan hal yang cukup layak untuk dilakukan. Harga koneksi internet saat ini
semakin murah. Ini ditandai dengan jumlah pemakai internet untuk di Indonesia terus
meningkat. Menurut data dari APJII, pada tahun 2007 pemakai internet di Indonesia
mencapai 25 juta orang, meningkat 25% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah warnet
juga semakin banyak. Menurut AWARI, pada awal tahun 2008 jumlah warnet di seluruh
Indonesia sekitar 10.000, dan diperkirakan mencapai 12.000 di akhir tahun. Biaya warnet
juga terus turun dari tahun ke tahun. Hal ini semakin memperluas peluang masyarakat
untuk menggunakan internet. Sementara di berbagai belahan dunia, pemanfaatan sistem
e-learning bukanlah suatu barang baru namun sudah lama dan meluas. Bahkan suatu riset
di US menyatakan bahwa proses pembelajaran online mempunyai dampak yang lebih
baik dibandingkan dengan pembelajaran tradisional Riset ini mengamati proses
pembelajaran online dan tradisional di berbagai tingkat, mulai dari pendidikan dasar,
menengah dan tinggi.
Memperhatikan beberapa hasil riset dan implementasi di berbagai institusi
pendidikan di Indonesia maka sistem e-learning sudah cukup layak untuk dipakai sebagai
pendukung pembelajaran di sekolah sekolah Indonesia. Faktor-faktor yang mendukung
hipotesis ini antara lain adalah
Pada tingkat SMP dan SMA, TIK merupakan salah satu mata pelajaran yang
wajib diadakan oleh sekolah tingkat SMP dan SMA [Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No 22, 23, 24 Tahun 2006]. Para siswa tingkat SMA dan
SMP sudah sangat pandai dalam memanfaatkan TIK dalam aktifitas sehari
hari. Blog serta aplikasi social networking seperti Friendster dan Facebook
merupakan beberapa media mereka untuk saling berkomunikasi sesama
kawannya
Banyak sekolah sekolah di Indonesia sudah dilengkapi dengan komputer
namun kebanyakan hanya terbatas untuk pendukung administrasi sekolah dan
administrasi belajar mengajar yang terbatas pada pembuatan modul/materi
20
statis. Dengan arahan yang lebih optimum maka penerapan sistem e-learning
dapat dimulai.
Rencana Pemerintah yang akan melengkapi daerah pedesaan di Indonesia
dengan sambungan internet pada akhir tahun 2010
Strategi Implementasi
1. Pemenuhan kebutuhan standar minimum
Standard minimum yang harus dipenuhi oleh suatu sekolah adalah adanya fasilitas
komputer dan sambungan internet yang dapat dimanfaatkan oleh guru, karyawan, dan
siswa.
2. Pemenuhan server dan SDM TIK di Sekolah
Server sistem e-learning dan SDM TIK merupakan inti dari penerapan sistem e-learning.
Ini dapat diatasi dengan berbagai strategi, tergantung pada kemampuan sekolah masing
masing.
3. Implementasi di tingkat Guru
Setiap guru perlu mempelajari bagaimana sistem e-learning dapat membantu pengelolaan
mata pelajaran yang diampunya. Apakah guru harus membuat seluruh materi
pelajarannya dalam bentuk yang on-line. Hasil pengalaman kebanyakan dosen yang telah
memanfaatkan sistem e-learning, tidak seluruh bagian perkuliahan perlu di lakukan secara
on-line, namun beberapa modul suatu pembelajaran didukung oleh implementasi e-
learning. Salah satu teknik yang dapat dicoba oleh seorang guru misalnya adalah dengan
memulai dengan satu modul lengkap dalam satu semester, dilanjutkan berkembang
menjadi dua modul di semester berikutnya, sampai seluruh modul on-line dapat
diterapkan.
4. Pelatihan berkala
Program pelatihan penggunaan sistem E-learning harus dilakukan berkala kepada siswa
dan guru. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan E-learning dapat berjalan secara optimal.
21
5. Peran pemerintah
Pemerintah dapat menjadi faktor pendukung dari segi kebijaksanaan yang antara lain
mendorong sekolah sekolah untuk menerapkan dari mulai tingkat uji coba hingga tingkat
pemakaian secara penuh. Program program kompetitif yang melibatkan para ahli dapat
direncanakan guna memperkaya materi-materi online yang berkualitas untuk mengisi
portal-portal sistem e-learning. Selain itu pemerintah berperan menyediakan dana untuk
program ini melalui alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN.
Saat mutu dan sarana prasarana pendidikan dapat dirasakan secara adil di seluruh
Indonesia, barulah pemerintah dapat mempertimbangkan pemberlakuan standarisasi
sistem kelulusan secara nasonal.
II. Sistem Ujian Kelulusan Siswa (UKS) secara intern
Fakta ironis bahwa belum meratanya mutu dan sarana prasarana pendidikan di
Indonesia membuat pelaksanaan unas secara nasional terkesan tidak adil dan terlalu
dipaksakan. Jalan lain yang dapat ditempuh untuk menggantikan unas adalah dengan
memberikan wewenang kepada setiap sekolah untuk menentukan secara mandiri kriteria
kelulusan bagi peserta didiknya. Jalan tersebut ditempuh atas dasar beberapa hal, antara
lain :
Pihak sekolah yang tahu secara pasti kualitas peserta didiknya
Masih timpangnya mutu pendidikan antar daerah di Indonesia
Sarana prasarana pendukung pendidikan masih minim khususnya di daerah
terpencil
Strategi Implementasi
1. Pemetaan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah
Setiap sekolah melakukan pemetaaan kualitas pendidikan yang ada di sekolahnya,
termasuk di dalamnya kondisi peserta didik dan sarana prasarana pendukung
pendidikan.
22
2. Menentukan standar kelulusan yang rasional
Melalui pemetaan diatas akan didapatkan informasi tentang keadaan riil
pendidikan di sekolah-sekolah. Melalui informasi tersebut, ditentukan standar
kelulusan yang relevan untuk diberlakukan di sekolah. Sekolah dengan kualitas
bagus memiliki standar kelulusan yang tinggi dan sebaliknya sekolah dengan
kualitas rendah memiliki standar kelulusan yang rendah pula.
3. Peran pemerintah
Pemerintah berperan membantu sekolah-sekolah untuk melakukan pemetaan
pendidikan. Selain itu pemerintah harus tetap berusaha meningkatkan kualitas
pendidikan di sekolah-sekolah dengan kualitas yang rendah untuk menciptakan
keadilan pendidikan di Indonesia.
23
DAFTAR PUSTAKA
http://nunusdwinugroho.wordpress.com/2010/04/26/apa-dasar-hukum-pelaksanaan-un/
Tilaar, H.A. 2005. Manifesto Pendidikan; Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan
Cultural. Kompas
24