ANALISIS KONTRAK ADIRA FINANCE
DALAM HAL JAMINAN FIDUSIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
MUHAMMAD IRVAN SEPTADIONO
NIM : 11150480000121
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
i
ANALISIS KONTRAK ADIRA FINANCE
DALAM HAL JAMINAN FIDUSIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
MUHAMMAD IRVAN SEPTADIONO
NIM : 11150480000121
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
ii
ANALISIS KONTRAK ADIRA FINANCE
DALAM HAL JAMINAN FIDUSIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
MUHAMMAD IRVAN SEPTADIONO
NIM : 11150480000121
Dibawah Bimbingan:
Ahmad Chairul Hadi, M.A.
NIP: 197205312007101002
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIEF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
iii
iv
v
ABSTRAK
MUHAMMAD IRVAN SEPTADIONO. NIM 11150480000121. ANALISIS
KONTRAK ADIRA FINANCE DALAM HAL JAMINAN FIDUSIA.
Konsentrasi Hukum Bisnis. Program Studi Ilmu Hukum. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1441 H/2020 M. vi + 72 Halaman + 7
Halaman Daftar Pustaka + 3 Halaman Lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai Perjanjian yang
penandatanganannya tidak dihadapan Notaris, padahal dalam pasal 5 ayat 1
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyatakan
bahwa Pembebanan benda jaminan fidusia dibuat dengan akta Notaris dalam
bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Serta tata cara proses
penarikan objek jaminan fidusia harus dilakukan terdapat aparat Kepolisian
sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan
Eksekusi Jaminan Fidusia.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis empiris. Penelitian ini
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun
2011 Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia serta tinjauan langsung
kelapangan untuk melihat langsung penerapan dari Peraturan Perundang-
undangan.
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti adalah Jaminan Fidusia ini
memiliki sifat accesoir (tambahan) artinya perjanjian ini ada setelah adanya
perjanjian pokok yang dimana perjanjian pokok ini adalah perjanjian baku,
atau klausula baku. Mengingat syarat sah perjanjian pasal 1320 telah
memenuhi unsur maka perjanjian tersebut tetap sah. Kemudian Debt Collector
dapat melakukan eksekusi dimana saja sesuai di dalam perjanjian baku
tersebut, namun harus dihadiri pihak ke tiga atau Aparat Kepolisian sebagai
saksi dalam proses Eksekusi Objek Jaminan Fidusia tersebut. Dalam pasal 18
ayat 2 Kepolisian bersikap pasif artinya hanya mengamankan situasi di tempat
eksekusi objek jaminan tersebut. Namun, jika Nasabah melakukan perlawanan
dalam proses eksekusi, maka pihak Kepolisian dapat bersikap Aktif sesuai
pasal 18 ayat (3) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan
Eksekusi Jaminan Fidusia.
Kata Kunci : Jaminan Fidusia, Perjanjian, Eksekusi Jaminan Fidusia.
Pembimbing Skripsi : Ahmad Chairul Hadi, M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1979 sampai Tahun 2012.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Atas berkat rahmat, hidayat, dan
juga anugrah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ANALISIS
KONTRAK ADIRA FINANCE DALAM HAL JAMINAN FIDUSIA”. Sholawat
serta salam tidak lupa tercurah oleh peneliti kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW. Beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini
tidak dapat diselesaikan oleh peneliti sendiri tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para
pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas
pencapaian yang dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ahmad Chairul Hadi, M.A. Pembimbing Skripsi saya yang telah
memberikan saran, kritik, motivasi, dan juga arahan dalam proses saya
menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
5. Dr. Alfitra, S.H.,M.H. Pembimbing Akademik peneliti yang telah
mempermudah dan memberikan saran kepada peneliti didalam proses
penyusunan skripsi.
6. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan studi kepustakaan, sehingga saya dapat memperoleh bahan
referensi untuk melengkapi hasil penelitian saya.
vii
7. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua peneliti
yaitu Bapak Agus Sediono dan Ibu Evi Nuria, serta kedua Adik peneliti
M Fadel Gucevo dan Karcegy Khansagita yang telah memberikan doa
kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini, nafkah dan kasih sayang
sampai saat ini, serta pengorbanan kepentingannya untuk mendahulukan
studi peneliti. Semoga Allah SWT selalu memberikan nikmat panjang
umur dan kesehatan kepada kedua orangtua peneliti, agar mereka dapat
melihat peneliti sukses dimasa depan.
8. Pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi kepada peneliti
dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Jakarta, Januari 2020
Muhammad Irvan Septadiono
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL..................................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN..................................................................................iv
ABSTRAK..............................................................................................................v
KATA PENGANTAR..........................................................................................vi
DAFTAR ISI........................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah...............................5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian............................................7
D. Metode Penelitian.................................................................................8
E. Sistematika Penelitian...........................................................................9
BAB II TINJAUAN UMUM JAMINAN FIDUSIA
A. Kerangka Konseptual……………...………………....……………..11
B. Kerangka Teori…………………………………………………......12
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu…………………………….....14
D. Tinjauan Umum Jaminan Fidusia…………………………………..16
BAB III KONTRAK JAMINAN FIDUSIA DI PT ADIRA FINANCE
A. Profil PT Adira Dinamika Multi Finance, TBK……………………29
B. Prosedur Mekanisme Leasing di PT Adira Finance………………..30
C. Kontrak Adira Finance Dalam Hal Jaminan Fidusia…………….…32
ix
D. Eksekusi Jaminan Fidusia…………………………………………..36
BAB IV ANALISIS AKTA PERJANJIAN LEASING DAN AKTA
PERJANJIAN FIDUSIA
A. Kontrak Perjanjian yang Tidak Dihadapkan Notaris antara Finance
dengan Konsumen di Adira Finance………………………………..40
B. Perlindungan Hukum ketika Jaminan Fidusia tidak Didaftarkan di
Kantor Pendaftara Fidusia…………………………………………..52
C. Analisis Peneliti mengenai Kontrak Perjanjian yang Tidak
Dihadapkan Notaris antara Finance dengan Konsumen serta
Perlindungan Hukum Ketika Objek Jaminan Fidusia Tidak
Didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia………………...………54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..………………………………………………………..58
B. Rekomendasi....……………………………………………………..62
DAFTAR PUSTAKA ………….……………………………………………….63
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perjanjian, merupakan salah satu hubungan hukum yang dilakukan dalam
pergaulan hidup di dalam masyarakat. Hampir segala kegiatan dan hubungan
yang dilakukan antara orang yang satu dengan yang lain dalam masyarakat
adalah berupa perjanjian. Dalam hal ini tentunya pengusaha-pengusaha
menggunakan perjanjian baku untuk mengikatkan dirinya kepada konsumen.
Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan bahwa perjanjian baku adalah
perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksenorasi dan dituangkan
dalam bentuk formulir.1
Secara ekonomis pembuatan perjanjian baku dimaksudkan untuk
menunjang peningkatan efektifitas dan effisiensi serta kelancaran kegiatan
dalam dunia bisnis, namun jika dilihat secara hukum khususnya dalam aspek
hukum perjanjian, pembuatan perjanjian baku nampaknya tidak sejalan dengan
asas kesepakatan dalam perjanjian. Kecuali itu perjanjian baku sangat
berpotensi untuk merugikan pihak konsumen yang menjadi pihak dalam
perjanjian baku tersebut.
Perjanjian baku merupakan perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis
yang telah digandakan berupa formulir-formulir, yang isinya telah dibakukan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak yang menawarkan (dalam hal ini
pelaku usaha), serta ditawarkan secara massal, tanpa mempertimbangkan
perbedaan kondisi yang dimiliki kosumen. Hal ini disebut dengan klausula
baku.
Klausula baku merupakan isi atau bagian dari suatu perjanjian. Perjanjian
yang menggunakan klausula baku ini disebut perjanjian baku. Didalam suatu
1 Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Hukum Dagang di Indonesia, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2012), h.227.
2
perjanjian baku tercantum klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat yang mengakibatkan
sangat merugikan pihak yang lemah yang dapat menimbulkan penyalahgunaan
keadaan.
Asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk
membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi kontrak, memilih
hukum yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan, akan tetapi dalam
perkembangannya terutama dalam kegiatan bisnis, pada umumnya perjanjian
dilakukan secara tertulis, yang tentunya dimaksudkan untuk dijadikan alat
bukti bilamana dikemudian hari terjadi suatu permasalahan yang berkenaan
dengan perjanjian yang bersangkutan.
Menurut C.D. Marpaung Ak., Perusahaan pembiayaan (Leasing) adalah
perusahaan yang memberikan jasa dalam bentuk penyewaan barang-barang
modal atau alat-alat produksi dalam jangka waktu menengah atau panjang
dimana pihak penyewa (lessee) harus membayar sejumlah uang secara berkala
yang terdiri dari nilai penyusutan suatu objek lease ditambah dengan bunga.2
Adanya perusahaan pembiayaan (Leasing) sangat membantu kebutuhan
masyarakat, yang dalam hal ini kebutuhan tersebut menjadi suatu kebutuhan
yang harus dimiliki, oleh karena itu adanya perusahaan tersebut menjadi
alternatif atau solusi untuk membantu mengatasi kebutuhan masyarakat
tersebut.
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia
menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditur bisa
melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan
kesewenang-wenangan dari kreditur. Situasi ini dapat terjadi jika kreditur
dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak,
padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang
lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah
2 Marpaung C.D., Pemahaman Mendasar Atas Usaha Leasing, (Jakarta: Integrita Press,
1985), h.1.
3
milik kreditur yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor
fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa
dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh
jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi
perlindungan hukum yang seimbang antara kreditur dan debitur.3
Lembaga pembiayaan banyak melakukan eksekusi pada objek barang yang
dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Selama ini perusahaan
pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis,
hal ini terjadi karena masih lemahnya pengetahuan hukum nasabah terhadap
kreditur sebagai pemilik dana. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis
industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang
menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.
Para pihak atau subjek dalam perjanjian leasing, umumnya antara
perusahaan dengan perusahaan, tetapi dalam perkembangannya juga bisa
terjadi antara perusahaan dengan seseorang sebagai subyek hukum pribadi.4
Dengan penggunaan perjanjian baku ini, maka pengusaha akan memperoleh
efisiensi dalam penggunaan biaya, tenaga dan waktu. Namun jika dilihat dari
aspek yuridis terutama yang berkenaan hak-hak dan kewajiban serta tanggung
jawab para pihak, terutama pihak konsumen maka terlihat hal tersebut
menimbulkan permasalahan hukum yang memerlukan pemecahan secara
hukum. Dianutnya asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian dan
keadaan sosial ekonomis serta tuntutan dari dunia bisnis yang selalu
menginginkan sesuatu yang serba praktis dan efisien, memungkinkan pihak
pelaku usaha menggunakan perjanjian yang berbentuk tertulis dan dibuat suatu
bentuk formulir yang sifatnya baku, yang dikenal dengan istilah perjanjian
baku atau kontrak baku.
3 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), h.77. 4 R. Subekti, Pokok-Pokok Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa 1979), h.55.
4
Hal ini yang dilakukan oleh pihak perusahaan pembiayaan (Leasing)
kepada debitur, saat debitur ingin mendapatkan hal yang di inginkan namun
tidak mampu mendapatkannya secara lunas maka pihak perusahaan
pembiayaan (Leasing) dapat membantu debitur dengan memberikan perjanjian.
Perjanjian baku ini nantinya terdapat klausula sepihak yang di buat oleh
pihak perusahaan pembiayaan (Leasing) sebagai perikatan antara pihak
Leasing dengan debitur. Perikatan ini sebagai awal mula dari tahapan-tahapan
dalam melakukan proses fidusia.
Kita sering melihat debt collector mengambil atau melakukan penarikan
kepada pihak debitur dikarenakan penunggakan. Terkait dengan ketakutan
masyarakat tentang pelaksanaan pengambilan benda yang menjadi jaminan
baik itu yang dijaminkan secara fidusia. Seringkali pihak debt collector
menggunakan cara yang kurang baik dalam melakukan penarikan. Hal ini
untuk menekan psikologis debitur agar segera membayar tunggakan.
Dilihat maraknya kasus yang terjadi dalam praktek suatu Lembaga
Pembiayaan (Leasing), bilamana terdapat debiturnya yang menunggak
pembayarannya sampai beberapa bulan, kadang dilakukan penarikan. Tidak
jarang terjadi penarikan terhadap obyek jaminan fidusia yang dilakukan secara
paksa oleh Debt Collector penerima fidusia walaupun ada pula yang dengan
sukarela oleh pemberi fidusia. Apabila penarikan dilakukan tidak secara
sukarela, maka akan menimbulkan permasalahan baru dalam perkara pidana
bagi penerima fidusia yaitu adanya perampasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 368 KUH Perdata.
Ketakutan masyarakat terhadap kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh
Debt Collector sangat tinggi apabila kejahatan tersebut tidak segera diatasi.
Dalam hal ini peran penegak hukum juga sangat dibutuhkan karena penegak
hukum mempunyai tugas untuk menciptakan rasa aman dan nyaman terhadap
kehidupan masyarakat pada umumnya.
5
Adira Finance merupakan salah satu perusahaan pembiayaan yang
terdaftar di OJK.5 Selain yang kita ketahui seperti BFI Finance Indonesia,
WOM (Wahana Ottomitra Multiartha) dan perusahaan pembiayaan lainnya.
Sering kita jumpai dalam pelaksanaannya untuk melakukan Leasing suatu
kendaraan, maka terdapat Adira Finance yang menjadi perusahaan pembiayaan
(Lessor) atau yang lebih dikenal Pemberi Sewa. Melihat besarnya suatu
perusahaan pembiayaan seperti Adira Finance yang sudah Go Publik, penulis
ingin menganalisa suatu kontrak yang tidak dihadapkan pada notaris namun
dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1992 tentang
Jaminan Fidusia yang berbunyi “pembebanan benda dengan jaminan fidusia
dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta
jaminan fidusia”.
Berdasarkan uraian masalah diatas maka penulis tertarik untuk mengambil
suatu judul penelitian “ANALISIS KONTRAK ADIRA FINANCE DALAM
HAL JAMINAN FIDUSIA”.
B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti
mengidentifikasikan masalah, sebagai berikut:
a. Kontrak perjanjian ditandatangani tidak dihadapan notaris (tidak ada akta
notaris), berarti kekuatan pembuktian perjanjian “dibawah tangan” tidak
memiliki kekuatan hukum. Dasar Hukum Pasal 1320 KUH Perdata,
bahwa salah satu syarat perjanjian adalah adanya “syarat objektif”. Salah
satu unsur objektif adalah perjanjian yang dibuat harus mempunyai
kekuatan Hukum.
b. Didalam kontrak perjanjian antara finance dengan konsumen disebutkan
bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan “penyerahan hak milik secara
5 https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-statistik/lembaga-pembiayaan/default.aspx
6
fidusia”, tetapi perjanjian fidusia tersebut tidak didaftarkan di kantor
pendaftaran fidusia untuk mendapatkan “sertifikat fidusia”, Dasar
Hukum, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata cara
Pendaftaran Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia
disebutkan bahwa salah satu syarat pendaftaran fidusia adalah adanya
salinan Akta Notaris. Sedangkan kontrak perjanjian yang dibuat
“dibawah tangan” tidak memiliki akta Notaris.
c. Konsumen tidak memegang salinan sertifikat fidusia, sehingga nantinya
pada saat jika terjadi pengeksekusian pada objek fidusia, konsumen tidak
dapat bertindak untuk mempertahankan objek fidusia tersebut.
d. Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat fidusia atau dibuatkan
salinan sertifikat fidusia tetapi dibuat secara sepihak, maka objek jaminan
fidusia tersebut “Tidak Mempunyai Hak Eksekusi Langsung (Parate
Eksekusi)”. Jadi ketika konsumen wanprestasi maka pihak finance tidak
bisa melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia.
2. Pembatasan Masalah
Dari sekian banyak identifikasi masalah yang ada, penulis membatasi
pembahasan hanya terkait Kontrak yang dibuat oleh pihak PT Adira Finance
menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011.
3. Perumusan Masalah
Fokus utama penelitian ini adalah kontrak dalam perusahaan leasing
yang dimana kontrak tersebut merupkan awal mulanya terjadi perjanjian.
Namun tidak ditandatangani di hadapan notaris. Untuk membantu
memahami perumusan masalah maka dapat dijabarkan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana kontrak perjanjian yang tidak dihadapkan Notaris antara
Finance dengan Konsumen di Adira Finance?
b. Bagaimana eksekusi yang sesuai dengan Undang-Undang Jaminan
Fidusia dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Berikut adalah tujuan penelitian yang telah penulis rumuskan :
a. Untuk mengetahui kontrak perjanjian yang tidak dihadapkan Notaris
antara Finance dengan Konsumen di Adira Finance, terkait tindak lanjut
untuk membuat sertifikat fidusia yang harus dibuat secara otentik.
b. Untuk mengetahui mekanisme penarikan objek perjanjian fidusia jika
nasabah wanprestasi.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari skripsi ini sebagai berikut:
a. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu
pengetahuan dalam bidang Jaminan Fidusia. Terutama dalam hal
kontrak yang dibuat oleh pihak finance. Harapan kedepannya adalah
dengan adanya penelitian ini, dapat berkontribusi terhadap
perkembangan kontrak perjanjian fidusia di Indonesia dan juga dapat
menjadi rujukan ataupun bahan refrensi dari penelitian lanjutan terkait
permasalahan terkait dengan Jaminan Fidusia.
b. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
serta gambaran untuk yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan
terkait dengan isi kontrak perjanjian Fidusia yang melemahkan
konsumen. Agar hak-hak konsumen dapat terjaga dan tidak ada yang
dilanggar. dan juga dapat menjadi refrensi perusahaan Finance untuk
wajib mendaftarkan jaminan fidusia.
D. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang akan digunakan adalah yuridis empiris. Penelitian
jenis ini berdasarkan peraturan perundang-undangan dan tinjauan langsung
kelapangan untuk melihat langsung penerapan dari peraturang perundang-
8
undangan. Sehingga nantinya yang akan menjadi patokan berperilaku
manusia yang dianggap pantas.
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis
empiris yakni dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktek
dilapangan, pendekatan ini dikenal juga dengan pendekatan secara
sosiologis yang dilakukan secara langsung ke lapangan dalam studi hukum.
Dalam skripsi ini peneliti melakukan pendekatan perundang-undangan
yang dimana penulis menggunakan pendekatan ini untuk meneliti aturan-
aturan mengenai Fidusia dalam implementasi nya di masyarakat yang
menggunakan finance tersebut.
3. Sumber Data
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari perusahaan dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang
diperoleh langsung dari perusahaan dinamakan data primer (data dasar),
sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan
data sekunder. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-
kata dan tindakan utama atau primer.
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah sumber data primer
yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan dengan metode wawancara.
Sedangkan data sekunder yang dibutuhkan dalam yuridis empiris bersumber
dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang
terdiri dari :
1). Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
2). Peraturan Kementrian Keuangan Nomor 130 Tahun 2012 tentang
Pendaftaran Jaminan Fidusia;
3). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
9
b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, diantaranya yaitu:
1). Buku-buku yang membahas tentang Jaminan Fidusia
2) Buku-buku yang membahas tentang Perjanjian
3). Buku-buku yang membahas tentang Perlindungan Konsumen
4. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data peneliti terlebih dahulu membaca catatan
lapangan dan seluruh data baik yang berasal dari wawancara, observasi
maupun dokumentasi. Selain itu peneliti juga mengumpulkan data-data yang
sudah ada sebelumnya.
5. Tehnik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Sebagai penelitian yang bersifat yuridis empiris, selain dengan
melakukan kegiatan penelitian di lapangan juga dengan berdasarkan
Undang-Undang dan pustaka yang terkait dengan permasalahan yang
diangkat oleh peneliti yaitu berupaa bahan-bahan hukum. Pengumpulan
bahan hukum dalam pustaka dilakukan dengan menganalisis yerhadap
bahan-bahan hukum yang telah terkumpul sesuai dengan permasalahan yang
diangkat. Dalam teknik analisis yang diperlukan adalah adanya diskripsi
yang menguraikan kondisi hukum yang ada dalam permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini, selanjutnya dilakukan penafsiran yang
memberikan penjelasan secara jelas tentang hukum yang berkaitan dengan
masalah penelitian.
6. Metode Penulisan
Penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan
sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2017.
10
F. Sistematika Pembahasan
Penyusunan skripsi ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017 dan dibagi dalam 5
pokok pembahasa yang dibagi dalam tiap bab. Berikut adalah bagian-bagian
pembahasan dalam Skripsi ini.
Pada Bab I : akan dibahas latar belakang masalah, identifikasi batasan dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian
terdahulu, kerangka Konseptual dan kerangka teoritik, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II : ini akan dibahas kedalam beberapa fokus pembahasan diantarnya
adalah tinjauan umum tentang fidusia berkaitan dengan latar belakang
keberadaan jaminan fidusia di Indonesia, ruang lingkup objek jaminan fidusia,
macam-macam benda, subjek dan objek jaminan fidusia.
Bab III : ini akan membahas Kontrak Adira Finance dalam Hal Jaminan
Fidusia
Bab IV : ini berisi analisis kontrak kontrak perjanjian yang tidak dihadapkan
Notaris antara Finance dengan Konsumen di Adira Finance dan perlindungan
hukum ketika Jaminan Fidusia itu tidak didaftarkan
Bab V : Membahas mengenai kesimpulan dan rekomendasi dari peneliti
berdasarkan hasil penelitian.
11
BAB II
TINJAUAN UMUM JAMINAN FIDUSIA
A. Kerangka Konseptual
Untuk lebih memahami isi penulisan ini, maka peneliti akan menguraikan
beberapa istilah yang akan digunakan didalam penelitian ini agar mengurangu
terjadinya perbedaan intepretasi, serta memberikan kemudahan untuk pembaca
dalam memahami isi dari penelitian ini. Istilah yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Leasing adalah perjanjian yang berkenaan dengan kegiatan pembiayaan
dalam bentuk penyediaan barang oleh lessor (pemberi sewa) untuk
digunakan atau dimanfaatkan oleh lessee (penyewa) dalam jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
2. Perjanjian baku merupakan perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis
yang telah digandakan berupa formulir-formulir, yang isinya telah
dibakukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak yang menawarkan
(dalam hal ini pelaku usaha), serta ditawarkan secara massal, tanpa
mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki kosumen.
3. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang
tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 42 tahun 1999.
4. Para Pihak Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi
pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Sedangkan Penerima
Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang
yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.
12
B. Kerangka Teori
Dalam memecahkan masalah yang diangkat oleh peneliti, maka
dibutuhkan beberapa teori yang dibutuhkan peneliti untuk membangun pola
berpikir dan juga membangun argumentasi atau opini peneliti. Maka penulis
akan memaparkan teori yang berkaitan dengan isu yang diangkat. Adapun teori
tersebut adalah:
1. Teori Perlindungan Hukum
Philiphus M. Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi
rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.6
Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam
mengambil keputusan, dan perlindungan hukum represif bertujuan untuk
menyelesaikan jika terjadi sengketa sekaligus penanganannya di lembaga
peradilan.
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah upaya untuk
memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan oleh hukum. Hukum
dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial,
ekonomi dan politik, untuk memperoleh keadilan sosial.7
Perlindungan hukum yang diinginkan oleh masyarakat yang dimaksud di
sini adalah masyarakat sebagai Lessee maupun Lessor yang semuanya
menginginkan adanya ketertiban tentang kepastian hukum, keadilan hukum
dan kegunaan hukum.
Benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan ke Kantor
Pendaftaran Fidusia untuk mendapatkan kepastian hukum benda tersebut.
Hal ini diperlukan untuk kepentingan masyarakat agar adanya perlindungan
hukum dari hal-hal yang dilakukan oleh pihak Leasing. Hal ini nantinya
dapat dijadikan alat bukti selain alat bukti saksi, yaitu berupa Akta Otentik.
Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia serta
6 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT.Bina
Ilmu. 1987). h.2. 7 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum,(Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2000).h.55.
13
Peraturan Kementrian Keuangan Nomor 130 Tahun 2012 tentang
Pendaftaran Fidusia.
2. Teori Kepastian Hukum
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individumengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap
Individu.8
Kehidupan masyarakat memerlukan kepastian hukum antara lain pada
sektor kegiatan pembiayaan penyediaan barang lessor (penyewa) agar,
penyewa tidak bertindak sewenang-wenang dalam kegiatan pembiayaan
penyediaan barang. Peran lessor (penyewa) sangat penting dalam memenuhi
kebutuhan kehidupan masyarakat. Saat masyarakat membutuhkan suatu
barang namun untuk mendapatkan barang tersebut tidak terpenuhi karena
kendala tertentu, Maka pihak lessor (penyewa) berperan aktif dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut.
3. Teori Perikatan
Menurut Abdul Kadir Muhammad, memberikan pengertian perikatan
adalah suatu hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan
orang lain karena perbuatan peristiwa atau keadaan.9 Yang mana perikatan
terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan; dalam bidang hukum
keluarga; dalam bidang hukum pribadi. Perikatan yang meliputi beberapa
bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian terdapat dalam Buku ke
III KUH Perdata dengan judul perikatan. Perikatan diatur dalam pasal 1233
KUH Perdata yang berbunyi “perikatan lahir karena suatu persetujuan atau
undang-undang”. Didalam pasal tersebut tidak memberikan definisi
8 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum,(Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
1999).h.23. 9 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni. 2004). h. 6
14
mengenai secara jelas. Namun, secara garis besar menerangkan bahwa
perikatan merupakan suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak,
yang menunjukan pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua atau lebih orang atau pihak yang terlibat dalam hukum tersebut.10
C. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu
Sebelum melakukan penelitian, Penulis melakukan suatu tinjauan (Review)
terhadap penelitian-penelitian terdahulu, adapun beberapa review studi
terdahulu yang menjadi review penulis untuk melakukan penelitian ini.
1. Skripsi yang ditulis oleh Arif Rezana Dislan.11
Dalam skripsi ini pokok
pembahasannya adalah bahwa yang akan diungkap adalah masalah aturan
dan norma yakni mengenai jaminan fidusia yang tidak didaftarkan padahal
secara yuridis mewajibkan jaminan fidusia didaftarkan serta bagaimana
upaya penyelesaiannya apabila debitor wanprestasi dalam perjanjian kredit
macet dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Namun dalam skripsi
ini tidak dijelaskan bagaimana penerapan eksekusi jika Konsumen (lessor)
wanprestasi untuk itu hal yang membedakan dengan skripsi saya adalah
selain lembaga pembiayaannya dalam skripsi saya terdapat penerapan
eksekusi tambahan dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2011.
2. Skripsi yang ditulis oleh Hani Lisdayani.12
Berdasarkan hasil penelitiannya,
penulis memaparkan kesimpulannya yang lebih menitikberatkan kepada
bagaimana proses pemberian kredit Pihak BMT Tamzis yang menyaratkan
untuk adanya collateral (jaminan, angunan) sebagai benda jaminan yang
bisa ditukar nilainya dengan pemberian kredit dan bagaimana proses
eksekusi benda jaminan fidusia. Berdasarkan penelitiannya peneliti
menyimpulkan bahwa di BMT Tamzis Yogyakarta dalam melaksanakan
10
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta
: Rajawali Pers, 2014) h.1. 11
Arief Rezana Dislan, “Perjanjian Kredit dengan jaminan fidusia yang tidak
didaftarkan (studi kasus di Bank HSBC wilayah Medan)”, Skripsi, Program Kekhususan Hukum
Perdata Dagang, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009. 12
Hani Lisdayani, “Implementasi Jaminan Fidusia di BMT Tamzis Yogyakarta”, Skripsi,
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015
15
eksekusi benda jaminan masih menggunakan asas kekeluargaan, yaitu
melakukan mediasi untuk mencari jalan tengah dan membuat perjanjian
baru yang berisikan tenggang waktu untuk pelunasan utang. Dalam hal ini
yang membedakan dengan skripsi saya adalah selain tempat studi peneliti
dalam penelitian saya lebih kearah aturan hukum terkait dengan
perjanjiannya dan proses eksekusi sesuai dengan aturan yang berlaku.
3. Skripsi yang ditulis oleh Zahroni.13
Dalam skripsi ini pokok pembahasannya
adalah Mekanisme penerapan Jaminan pada pembiayaan Mudharobah
(pembiayaan bagi hasil) di BMT BIF yang ditinjau dari prinsip-prinsip
Syari’ah dan hukum Islam. Dalam hal ini yang membedakan dengan skripsi
saya adalah selain tempat studi peneliti dalam penelitian saya lebih kearah
aturan hukum terkait dengan perjanjiannya dan proses eksekusi sesuai
dengan aturan yang berlaku.
4. Jurnal yang ditulis oleh Sudiharto14
yaitu Jurnal Pembaharuan Hukum
Volume II No.3 September 2015 yang berjudul “Keotentikan akta jaminan
fidusia yang tidak ditandatangani di hadapan Notaris”. Jurnal ini berisi
mengenai Akta fidusia yang dibuat atau ditandatangani tidak dihadapan
Notaris Sehingga berdampak pada kekuatan pembuktian akta jaminan yang
penandatanganannya tidak dihadapan Notaris serta kaitannya dengan
perlindungan hukum bagi para pihak dan pendaftaran akta jaminan fidusia
secara online, sertifikat fidusia apakah dapat dianggap sah menurut hukum.
D. Tinjauan Umum Jaminan Fidusia
1. Pengertian Jaminan Fidusia
Pengertian Fidusia berasal dari kata “fiducia” berasal dari bahasa latin,
kata dasar “fido”, artinya saya mempercayai seseorang atau sesuatu,
sedangkan istilah “fiducia” (kata benda), artinya kepercayaan terhadap
seseorang atau sesuatu, pengharapan yang besar, fidusia dimaksudkan
peristiwa seseorang debitur menyerahkan suatu benda kepada krediturnya
13
Zahroni, “Penerapan Jaminan Pada Pembayaran Mudharobah di BMT BIF
Gedongkuning Yogyakarta”, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008. 14
Sudihato, “Pembaharuan Hukum”, Vol 2 Nomor 3, September 2015.
16
dengan mengadakan jual pura-pura, dengan maksud menerima benda itu
kembali dari kreditu tersebut setelah utangnya dibayar.15
Dalam hukum perdata, arti fidusia secara bahasa adalah kepercayaan
sedangkan arti menurut istilah adalah barang yang oleh debitor
dipercayakan kepada kreditor sebagai jaminan utang.16
Istilah jaminan fidusia terdiri dari 2 kata yaitu kata “jaminan” dan kata
“fidusia”. Kata jaminan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
mempunyai arti tanggungan atas pinjaman yang diterima17
. Dalam istilah
hukum agraria, fidusia berarti hak jaminan yang berupa penyerahan hak atas
benda berdasarkan kepercayaan yang disepakati sebagai jaminan bagi
pelunasan piutang kreditor.18
Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia dapat kita jumpai pengertian fidusia. Fidusia adalah
“Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda itu”. Bahwa yang dimaksudkan dengan
pengalihan hak kepemilikan adalah pemindahan hak kepemilikan dari
pemberi fidusia kepada penerima fidusia atas dasar kepercaaan dengan
syarat bahwa benda yang menjad objeknya tetap berada di tangan pemberi
fidusia. Adapun beberapa ciri-ciri yang tampak dalam perumusan terebut
sebagaimana dikemukakan oleh J.Satrio antara lain: 19
a. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda;
b. Atas dasar Kepercayaan
c. Benda itu tetap dalam penguasaan pemilik benda.
15
Ady Kusnadi, Penelitian Hukum tentang Perkembangan Lembaga Jaminan Di
Indonesia, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI 2007), h.80. 16
CST Kansil dan Cristian ST Kansil, Kamus Istilah Neka Hukum, Cet I, (Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 2000), h.159. 17
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, Cet II, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), h.456. 18
CST Kansil dan Cristian ST Kansil, Kamus Istilah Neka Hukum, Cet I, (Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 2000), h.65. 19
J.Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, (Bandung: PT.Citra
Aditya-Bakti, 2002), h.159.
17
Pengertian atas dasar kepercayaan, tidak ada penjelasan resmi di dalam
Undang-Undang Fidusia. Kata “kepercayaan” mempunyai arti bahwa
pemberi jaminan percaya, bahwa penyerahan “hak miliknya” tidak
dimaksudkan untuk benar-benar menjadikan kreditur pemilik atas benda
yang diserahkan kepadanya, dan jika debitur melakukan kewajibannya
untuk melunasi utang, maka secara otomatis benda yang dijadikan jaminan
tersebut kembali menjadi milik pemberi jaminan.
Benda tetap dalam penguasaan pemilik benda maksudnya adalah
penyerahan itu dilaksanakan secara constitutum possesirum, yang artinya
penyerahan “hak milik” dilakukan dengan janji, bahwa bendanya sendiri
secara fisik tetap dikuasai oleh pemberi jaminan. Jadi, kata-kata “dalam
penguasaan” diartikan tetap dipegang oleh pemberi jaminan.20
Menurut V. Oven sebagaimana dikuti J.Satio, yang diserahkan adalah
hak yuridismya atas benda tersebut. Dengan demikian, hak pemanfaatannya
(hak untuk memanfaatkan benda jaminan) tetap ada pada pemberi jaminan.
Dalam hal demikian maka hak milik yuridisnya ada pada kreditur penerima
fidusia.
Dari berbagai macam definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa
jaminan fidusia merupakan suatu bentuk jaminan terhadap perjanjian utang-
piutang terdapat objek jaminan yang dibawah kekuasaan debitor, sedangkan
kepemilikan sementara di serahkan kepada kreditor selama utang tersebut
belum dapat dilunasi. Apabila debitor cedera janji, maka kreditor sebagai
penerima fidusia tidak dapat memiliki benda yang menjadi objek jaminan
tersebut, melainkan benda tersebut harus terlebih dahulu dijual/lelang untuk
kemudian mengambil hak pelunasan piutangnya sesuai dengan hak preferen
yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditor.21
Hukum Jaminan merupakan suatu peraturan yang mengatur mengenai
hubungan timbal balik antara seorang debitor selaku orang yang berhutang
dengan seorang kreditor selaku orang yang mempunyai piutang. Hubungan
20
J.Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, ... h. 185. 21
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu kebutuhan yang Didambakan, (Bandung :
Alumni, 2004), h.18.
18
kreditor dengan debitor melahirkan suatu perikatan yang menimbulkan hak
dan kewajiban untuk masing-masing pihak. Hak seorang kreditor adalah
menerima pembayaran untuk pelunasan utang sebagaimana tertuang dalam
perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan hak seorang
debitor adalah menerima objek benda yang dijadikan pinjaman.
Untuk memberikan rasa aman dan kepastian seorang kreditor agar benda
yang dijadikan objek pinjamannya bisa kembali sesuai dengan perjanjian
maka seorang debitor memberikan suatu benda yang dijaminkan kepada
keditor, benda jaminan ini bersifat preventif agar jika debitor tidak mampu
melunasi utang-utangnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati,
kreditor bisa melakukan sita eksekusi terhadap benda yang dijadikan objek
jaminan fidusia.
2. Dasar Hukum Jaminan Fidusia
Dalam KUH Perdata tidak diatur secara khusus mengenai lembaga
jaminan fidusia. Lembaga jaminan yang diatur secara khusus dalam KUH
Perdata hanyalah hipotik dan gadai. Namun secara tersirat dapat dilihat dari
Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa hukum perjanjian
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pihak untuk
membuat perjanjian apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hingga pada akhirnya lembaga
fidusia diakui oleh yurisprudensi, baik di negara Belanda yang berdasarkan
asas konkordansi berlaku juga di Indonesia.22
.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur
jaminan fidusia adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, yang diundangkan pada tanggal 30 September 1999 LN.
168, TLN. 3889 daan berlaku pada saat diundangkan, berikut peraturan
pelaksanannya.
22
Sobirin, Kajian Hukum Terhadap Pendaftaran Jaminan Fidusia Di Kantor
Pendaftaran Fidusia Daerah Khusus Ibukota Jakarta, (Tesis Magister Kenotariatan, Universitas
Diponegoro, 2008), h.35.
19
Sebelum diundangkannya Undang-Undang Fidusia, mengenai fidusia
sebetulnya sudah disinggung dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang
Perumahan dan Pemukiman, namun belum diatur secara komprehensif.
Dalam ilmu hukum yang merupakan sumber hukum dalama arti formil
adalah Undang-Undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi dan doktrin
(pendapat ahli hukum). Adapun sumber-sumber hukum yang melandasi
jaminan fidusia ini antara lain adalah:23
a. Umum (general)
1). Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Pasal ini jelas memberikan kebebasan kepada
pihak untuk membuat perjanjian yang mereka buat, dan peraturan
tersebut menjadi peraturan baru untuk dijalankan para pihak yang
berkenpentingan dalam perjanjian tersebut, sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum.
2). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Hakin, bahwa hakim tidak boleh menolak perkara
yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukumnya atau
undang-undang yang mengatur nya, dan hakim wajib menggali hukum
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dalam rangka
penemuan hukum baru.
b. Khusus
1). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
2). Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
3). Peraturan Pemerintah Nomoe 26 Tahun 1999, LN.58,TLN. 3837, jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2000 tentang Tarin atas Jenis
23
A. Hamzah dan Senjun Manullang, Lembaga Fidusia dan Penerapan di Indonesia,
(Jakarta: Inhill Co, 1987), h.34.
20
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen
Kehakiman.
4). Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan
Fidusia.
5). Keputusan Presiden Nomor 139 Tahun 2000 tanggal 30 September
2000 tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia di settiap
Ibukota Propinsi di Wilayah Negara Republik Indonesia.
6). Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M. 01. UM. 01.06 Tahun 2000 tanggal 30 Oktober
2000 tentang Bentuk Formulir dan Tata Cara Pendaftaran Jaminan
Fidusia;
7). Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M. 08. UM. 07.01 tahun 2000 tanggal 30 Oktober
2000 tentang Pembukaan Kantor Pendaftaran Fidusia.
8). Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M. 03-PR.07.10 Tahun 2001 tanggal 30 Maret 2001
tentang Pembukaan Kantor Pendaftaran Fidusia di Seluruh Kantor
Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia;
9). Surat Edaran Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor C.UM.01.1011 tanggal 19 Januari 2001 tentang Penghitungan
Penetapan Jangka Waktu Penyesuaian dan Pendaftaran Perjanjian
Jaminan Fidusia.
3. Subyek dan Objek Jaminan Fidusia
Subyek dari Jaminan Fidusia antara lain:
a. Pemberi fidusia yaitu orang perseorangan atau korporasi pemilik benda
yang menjadi objek jaminan fidusia.
21
b. Penerima fidusia yaitu orang perseorangan atau korporasi yang
mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan
fidusia.
c. Kreditur adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang.
d. Debitur adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau
undang-undang.
Objek yang menjadi jaminan fidusia biasanya adalah barang bergerak.
dalam perkembangannya, objek jaminan fidusia tidak hanya benda bergerak
saja, tetapi juga meliputi benda tidak bergerak. Ketentuan ini sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 1 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Jaminan
Fidusia, bahwa objek jaminan fidusia adalah benda bergerak baik berwujud
maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar dan benda
tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan maupun hipotik.
Selain diakui keberadaannya oleh undang-undang ternyata objek fidusia
telah diperluas bukan hanya barang-barang bergerak, tetapi undang-undang
menetapkan objeknya dapat pula barang-barang tidak bergerak yaitu tanah
hak pakai atas negara beserta bangunan diatas nya. Selanjutnya objek
fidusia terus mengalami perkembangan dalam praktek sampai kepada tanah
yang belum didaftarkan / belum bersertifikat. Dalam praktek juga dapat
ditemui dimana bank-bank menerima tanah yang belum bersertifikat sebagai
jaminan fidusia terutama untuk kredit yang jumlahnya kecil.24
Dengan berlakunya undang-undang jaminan fidusia, maka objek jaminan
fidusia diberikan pengertian yang luas: berdasarkan pasal 1 butir 2 Undang-
Undang Jaminan Fidusia, Objek jaminan fidusia dapat dibagi menjadi 2
macam yaitu :
a. Benda bergerak; baik berwujud maupun tidak berwujud; semua benda
bergerak yang dapat dijadikan jaminan. Kendaraan bermotor, barang-
barang persediaan, hasil tanaman dan lainnya. Sedangkan barang
24
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan yuridis, (Jakarta:
Djambatan, 1997), h.93.
22
bergerak tidak berwujud contohnya adalah piutang / tagihan, hak merek,
paten dll.
b. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan. Bangunan yang tidak dibebani tanggungan disini
maksudnya adalah bangunan yang berdiri di atas tanah yang bukan tanah
hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai atas tanah negara. Sebagai
contohnya yaitu bangunan seperti gedung yang berdiri diatas tanah milik
orang lain, dimana gedung tersebut dijaminkan, akan tetapi tanahnya
tidak, karena gadai, hipotek, dan hak tanggungan tidak bisa menampung
kebutuhan jaminan untuk itu, maka fidusia bisa menjadi jalan keluarnya.
Dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia disebutkan, bahwa objek fidusia adalah segala sesuatu yang
dapat dimiliki dan dialihkan, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang
bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
dan hak hipotek.
Sedangkan menurut J.Satrio yang dapat menjadi objek jaminan fidusia
sekarang ini meliputi : benda bergerak dan benda tetap tertentu yaitu benda
tetap yang tidak bisa dijaminkan melalui lembaga jaminan hak tanggungan
atau hipotik dan dengan syarat benda tetap tersebut dapat dimiliki dan dapat
dialihkan.25
Lebih lanjut dalam ketentuan pasal 3 Undang-Undang Nomor 42 tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan, bahwa jaminan fidusia tidak
berlaku terhadap:
a. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang
peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas
benda-benda tersebut wajib didaftarkan.
b. Hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor 20 (dua puluh) m3 atau
lebih.
c. Hipotik atas pesawat terbang; dan
25
J. Satrio, Hukum Jaminan Kebendaan Fidusia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2002), h.179.
23
d. Gadai.
Dengan demikian, objek jaminan fidusia adalah benda bergerak dan
benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak bisa dibebani dengan
hak tanggungan. Akan tetapi, dalam prakteknya kebanyakan jaminan fidusia
berupa benda bergerak, antara lain kendaraan bermotor, stock barang
dagangan (inventory).
Jaminan fidusia berupa benda tidak bergerak seperti kios yang jarang
digunakan. Hal ini berkaitan dengan tempat pendaftaran yang dirasakan
kurang menjamin kepastian hukum terhadap kreditur, dan kemungkinan
menghadapi kesulitan lebih besar dibandingkan dengan benda bergerak
dalam eksekusi benda jaminan di kemudian hari. sehingga secara praktis
objek jaminan fidusia hanya benda bergerak saja.
4. Asas-asas Jaminan Fidusia
Jaminan Fidusia sesuai Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 adalah
hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani
hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia,
sebagai agunan bagi pelunasan tertentu yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.
Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, pembentuk Undang-Undang
tidak mencantumkan secara tegas asa-asas hukum jaminan fidusia yang
menjadi fundamen dari pembentukan norma hukumnya. Oleh karena itu
untuk menemukan asas-asas hukum jaminan fidusia dicari dengan jalan
menelaah pasal demi pasal dari Undang-Undang Jaminan Fidusia tersebut.26
Adapun asas pokok dalam jaminan fidusia yaitu:
a. Asas Spesialitas atas Fixed Loan
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1 dan 2 Undnag-Undang Jaminan
Fidusia. Objek jaminan fidusia merupakan agunan atau jaminan atas
26
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung:
Alimni, 2004), h.19.
24
pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. Oleh karena itu, objek
jaminan fidusia harus jelas dan tertebty pada satu segi, dan pada segi lain
harus pasti jumlah utang debitor atau paling tidak dipastikan atau
diperhitungkan jumlahnya.
b. Asas Accesoir
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia, Jaminan Fidusia
adalah perjanjian ikutan dari perjanjian pokok (principal agreement).
Perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang. Dengan demikian
keabsahan perjanjian jaminan fidusia tergantung pada perjanjian pokok,
dan penghapusan benda objek jaminan fidusia tergantung pada perjanjian
pokok.
c. Asas Droit de Suite
Menurut Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia
dinyatakan Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek
jaminan fidusia dalam tangan siapapun berada, kecuali keberadaannya
pada tangan pihak ketiga berdasarkan pengalihak hak atas piutang atau
cessie berdasarkan Pasal 613 KUH Perdata. Dengan demikian, hak atas
jaminan fidusia merupakan hak kebendaan mutlak atau in rem bukan hak
in personam
d. Asas Preferen (Droit de Preference)
Pengertian Asas Preferen atau hak didahulukan ditegaskan dalam
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu memberi hak
didahulukan atau diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor
lain untuk mengambil pemenuhan pembayaran pelunasan utang atas
penjualan benda objek jaminan fidusia. Kualitas hak didahulukan
penerima fidusia tidak hapus meskipun debitor pailit atau dilikuidasi
25
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Jaminan
Fidusia27
.
E. Perjanjian Kredit
1. Pengertian Perjanjian Kredit
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan menyebutkan definisi dari
kredit yaitu, penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Menurut Sutan Remy Syahdeini28
mengartikan perjanjian kredit adalah
“Perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur mengenai
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang
mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagaian hasil keuntungan”.
Sedangkan menurut H. Salim HS yang diartikan dengan perjanjian kredit
adalah29
“Perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, dimana krediu
berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan
debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga,serta biaya-biaya
lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya”.
Perjanjian kredit merupakan prejanjia antara pihak bank dengan pihak
nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebernarnya
perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis
perjanjian pinjam pengganti.
2. Dasar Hukum dan Bentuk Perjanjian Kredit (Credit Agreement)
Menurut hukum, Perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tulisan
tertulis, yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata.
27
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, ... h.21. 28
Sutan Remmy Syahdeini, Kebebasan berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), h.14. 29
Salim Hs, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006), h.80.
26
Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan
sebagai alat bukti karena pada dasarnya membuat perjanjian adalah sebagai
alat bukti bagi para pihak yang membuatnya.
Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1988 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Dalam pasal itu
terdapat kata-kata “penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain”.
Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus
dibuat secara tertulis namun menurut Sutarno dalam organisasi bisnis
modern dan mapan maka untuk kepentingan administrasi yang rapi dan
teratur dan demi kepentinganpembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis
dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan
perjanjian kredit harus tertulis.30
F. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Menurut R.M Sudikno Mertokusumo, asas hukum adalah dasar-dasar atau
petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif31
. Adapun asas-asas tersebut
adalah sebagai berikut:32
1. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme ini berkaitan erat dengan saat lahirnya suatu
perjanjian, menurut asas ini suatu perjanjian lahir ketika saat telah
tercapainya suatu kesepakatan antara para pihak yanng mengadakan
perjanjian mengenai unsur-unsur pokoknya. Berkaitan dengan hal ini
R.Subekti berpendapat33
Asas konsensualisme mempunyai arti yang
terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan
30
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, (Bandung: Alfabeta. 2003), h.99. 31
R.M Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta:
Liberty. 1988), h.102. 32
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT Citra Aditya.
1991), h.42. 33
R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa. 1985), h.5.
27
dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut dan
bahwa perjanjian sudah lahir pada saat atau detik tercapainya consensus.
2. Asas Kepercayaan
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus dapat
menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak bahwa satu sama
lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. tanpa adanya
kepercayaan, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para
pihak, dengan kepercayaan ini kedua belah pihak mengikatkan dirinya
kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-
undang.
3. Asas Kekuatan Mengikat
Didalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya
para pihak pada apa yang diperjanjijan dan juga terhadap beberapa unsur
lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan kebiasaan akan
mengikat para pihak.
4. Asas Persamaan Hak
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat. Tidak ada
perbedaan, masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan
mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai
manusia ciptaan Tuhan.
5. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan
melaksanakan perjanjian itu, asas keseimbangan ini merupakankelanjutan
dari asas persamaan, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut
pelunasan prestasi melalu kekayaan debitur, namun kreditur menanggung
beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan baik, dapat dilihat disini
bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk
28
memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur
seimbang.
6. Asas Moral
Hal ini terlihat dimana seseorang yang melakukan perbuatan dengan
sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam pasal
1339 KUH Perdata. faktor yang memberikan motivasi pada yang
bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada
kesusilaan (moral), sebagai panggian dari hati nuraninya.
7. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan di
sini berkaitan dengan mengenai isi perjanjian.
8. Asas Kebiasaan
Asas ini diatur dalam pasal 1339 jo. Pasal 1347 KUH Perdata, yang
dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang
dalam keadaan dan kebiasaan yang diikuti.
9. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian
hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat yaitu sebagai
undang-undang bagi para pihak.
Secara umum dari kesembilan asas yang ada dapat diambil intinya
menjadi tiga asas, sesuai dengan pendapat Prof. Rutten yaitu34
:
a. Asas Konsensualisme
b. Asas Kekuatan Mengikat
c. Asas Kebebasan berkontrak
34
R.Subekti, Hukum Perjanjian, ... h.6.
29
BAB III
KONTRAK JAMINAN FIDUSIA DI PT ADIRA FINANCE
A. Profil PT Adira Dinamika Multi Finance, TBK
PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk atau Adira Finance didirikan pada
tahun 1990 dan mulai beroperasi pada tahun 1991. Sejak awal, Adira Finance
berkomitmen untuk menjadi perusahaan keuangan terbaik dan terkemuka di
Indonesia. Adira Finance hadir untuk melayani berbagai pembiayaan seperti
kendaraan, baik yang baru atau bekas. Menyadari potensi itu, Adira Finance
mulai melakukan penawaran umum perdana untuk sahamnya pada tahun 2004
dan Bank Danamon menjadi pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan
75%. Melalui beberapa aksi korporasi, saat ini Bank Danamon memiliki
92,07% saham Adira Finance35
. Adira Finance menjadi bagian dari Temasek
Holding, sebuah perusahaan investasi yang dimiliki oleh Pemerintah
Singapura.
Kegiatan pembiayaan yang dilakukan oleh PT Adira Dinamika Multi
Finance meliputi Autocilin atau dikenal dengan car finance, motorcycle
finance, include insurance all. Artinya kegiatan tersebut meliputi pembiayaan
mobil, pembiayaan motor, serta asuransi yang merupakan satu paket
didalamnya. Karena tawaran asuransi diberikan satu paket kepada pihak
konsumen / lesse di awal perjanjian leasing ini yang tidak dapat ditolak oleh
pihak konsumen / lesse. Asuransi yang ditawarkan meliputi semua resiko dari
kerusakan atau kehilangan objek leasing tersebut.
Pada 2012, Adira Finance telah menambah aktivitas bisnisnya dengan
pembiayaan syariah. Untuk memberikan layanan pembiayaan yang maksimal,
Perusahaan mulai memberikan pembiayaan yang tahan lama bagi para
pelanggannya. Hingga 2015, Adira Finance mengoperasikan 558 jaringan
bisnis di seluruh Indonesia dan didukung oleh lebih dari 21 ribu karyawan,
35
https://www.adira.co.id/deskripsi-adira-finance
30
untuk melayani 3 juta pelanggan dengan lebih dari Rp40 triliun piutang
dikelola.
Adira Finance terus berkontribusi untuk bangsa dan negara Indonesia.
Melalui identitas merek dan komitmennya, yaitu "Sahabat Setia Selamanya",
Adira Finance berkomitmen untuk memaksakan misinya yang berakhir dengan
peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Ini dilakukan melalui
penyediaan berbagai produk dan layanan sesuai dengan siklus hidup pelanggan
serta memberikan pengalaman yang bermanfaat bagi pelanggan.
Dasar Hukum Pendirian, Adira Finance didirikan berdasarkan Akta
Notaris Misahardi Wilamarta, S.H., No. 131. Akta pendirian ini telah disahkan
oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusan No. C2-
19.HT.01.01.TH.91 tanggal 8 Januari 1991 dan telah diumumkan dalam
Tambahan No. 421 pada Berita Negara Republik Indonesia No. 12 tanggal 8
Februari 1991. Perusahaan memperoleh izin usaha sebagai perusahaan
pembiayaan dari Menteri Keuangan dalam Surat Keputusan No.
253/KMK.013/1991 tanggal 4 Maret 1991.
B. Prosedur Mekanisme Leasing di PT Adira Finance
Prosedur mekanisme leasing ini sangat diperlukan dalam proses
pembuatan perjanjian leasing, sebab dalam prosedur tersebut terdapat tahapan-
tahapan yang mengatur setiap tindakan yang harus diambil oleh para pihak.
Sehingga dapat dipastikan bahwa proses pembuatan perjanjian tersebut dapat
berjalan sesuai dengan teratur dan sistematis sesuai kehendak para pihak
sampai pada detik tercapainya atau lahirnya perjanjian tersebut yang di tandai
dengan penandatanganan kontrak leasing.
Salah satu usaha yang di lakukan pihak Adira Finance adalah menyeleksi
yang ketat terhadap calon konsumennya. Adapun beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi konsumen yang telah ditentukan perusahaan finance antara lain:
1. Warga Negara Indonesia dengan usia minimal 21 tahun
2. Melengkapi dokumen persyaratan, yaitu;
31
a. Fotocopy KTP suami dan istri
b. Fotocopy Kartu Keluarga
c. Bukti Kepemilikan Rumah
d. Fotocopy Kartu Kredit bagi yang memiliki
e. Fotocopy slip gaji
f. Fotocopy rekening tabungan/koran 3 bulan terakhir
g. Membayar uang muka (Down Payment) sesuai yang telah ditentukan oleh
pihak perusahaan
Untuk selanjutnya Pihak Adira Finance akan memeriksa terkait kebenaran
data atau dokumen yang diserahkan dan menganalisa kemampuan calon
konsumen untuk membayar cicilan kendaraan yang akan dibelinya dengan
melakukan :36
1. Kunjungan secara langsung yang dilakukan oleh surveyor yang di tunjuk
oleh PT Adira Finance, ke alamat rumah calon konsumen untuk
mencocokan data yang diterima dengan keadaan kenyataan di lapangan
serta melakukan interview kepada calon konsumen untuk menggali
keterangan tentang hal-hal sebagai berikut:
a. Pekerjaan atau sumber penghasilan yang dipakai untuk cicilan.
b. Pengeluaran atau biaya-biaya rutin yang harus dikeluarkan setiap bulan.
Misalnya untuk keluarga, bayar utang, pembayaran rekening listrik,
telepon dan sebagainya.
c. Status kepemilikan rumah tinggal, apakah milik sendiri, menyewa, punya
orang tua atau keluarga dan sebagainya.
d. Jika masih ragu atas kebenaran yang diberikan oleh calon konsumen,
dapat juga menanyakan kepada tetangga atau relasi calon konsumen
tersebut.
e. Melalui Sistem Informasi Debitur, PT Adira Finance dapat mengetahui
dan menganalisa history dari calon konsumen tersebut. Apakah pernah
bermasalah dengan proses leasing sebelumnya atau di tempat lain.
36
Nico Lahus, Legal Corporate PT Adira Finance, Wawancara Tanggal 22 Juni 2019.
32
Karena dengan Sistem Informasi Debitur ini, pihak finance dapat
bertukar informasi mengenai history dari calon konsumennya tersebut.
2. Jika menurut petugas surveyor yang melakukan kunjugan permohonan dari
calon konsumen layak untuk diterima, maka petugas tersebut mengusulkan
kepada atasannya untuk menyetujui atau mengabulkan permohonan
tersebut.
3. Setelah permohonan disetujui atau dikabulkan oleh pihak perusahaan, maka
petugas yang ditunjuk mempersiapkan perjanjian dengan mengisi formulir
perjanjian leasing.
4. Selanjutnya pihak konsumen, membayar uang muka / DP (Down Payment),
dilanjutkan dengan penandatanganan perjanjian leasing.
5. Dengan ditanda tangani perjanjian leasing, kendaraan mobil atau motor
dapat langsung dibawa oleh konsumen atau diserahkan oleh pihak
perusahaan finance di rumah konsumen tersebut.
6. STNK setelah selesai diurus diserahkan kepada konsumen, sedangkan
BPKB selama harga belum lunas tetap disimpan oleh perusahaan leasing.
C. Kontrak Adira Finance Dalam Hal Jaminan Fidusia
1. Kontrak penjanjian ditandatangani tidak dihadapan notaris (tidak ada akta
notaril), berarti bahwa kekuatan pembuktian perjanjian “dibawah tangan”
dikategorikan tidak memiliki “kekuatan hukum”. Dasar Hukum, Pasal 1320
KUH Perdata, bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya
“syarat objektif”, salah satu unsur objektif adalah perjanjian yang dibuat
harus mempunyai “kekuatan hukum”. Jika syarat objektif tidak dipenuhi,
maka perjanjian yang dibuat “batal demi hukum”. Artinya bahwa dimata
hukum perjanjian itu dianggap tidak ada, dan tidak ada hak/kewajiban pihak
manapun untuk melakukan pemenuhan perjanjian. Undang-Undang No. 30
tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, disebutkan bahwa didalam proses
pembuatan satu akta harus: “dihadiri oleh para penghadap, dihadiri oleh
paling sedikit dua saksi, dibacakan saat itu juga oleh notaris didepan para
penghadap dan saksi, ditandatangani saat itu juga oleh notaris dan kedua
33
penghadap serta kedua saksi tersebut, dan masing-masing pihak diberikan
salinan akta tersebut.
Hal ini dijawab oleh Legal Corporate PT Adira Finance, Kontrak yang
dibuat oleh Adira Finance kepada konsumen adalah perjanjian dibawah
tangan yang artinya jika menyetujui perjanjian tersebut konsumen cukup
menandatangani. Mengingat dalam dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata
bahwa Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal 1875 KUH Perdata
menyatakan bahwa Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang
terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau dengan cara menurut undang-
undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang
menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak
dari mereka. Hal ini merupakan bukti yang sempurna seperti suatu akta
otentik. Terkait dengan penandatanganan oleh Notaris, terdapat dalam
pembuatan Sertifikat Fidusia, (Akta Jaminan Fidusia) dalam hal ini
konsumen dapat di wakilkan.37
2. Didalam kontrak perjanjian antara finance dengan konsumen disebutkan
bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan “penyerahan hak milik secara
fidusia”, tetapi perjanjian fidusia tersebut tidak didaftarkan di kantor
pendaftaran fidusia untuk mendapatkan “sertifikat fidusia”, Dasar Hukum,
Undang-Undnag Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2015 tentang Tata cara Pendaftaran
Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia disebutkan bahwa salah
satu syarat pendaftaran fidusia adalah adanya salinan Akta Notaris.
Sedangkan kontrak perjanjian yang dibuat “dibawah tangan” tidak memiliki
akta Notaris.
Pihak Legal Corporate menanggapi bahwa setiap fidusia wajib di fidusiakan
oleh perusahaan pembiayaan dengan cara di daftarkan di kantor fidusia.
Terkait dengan pendaftaran fidusia, pihak Kreditor membuat Akta Notaris
37
Nico Lahus, Legal Corporate PT Adira Finance, Wawancara Tanggal 22 Juni 2019.
34
namun tidak dihadirkan Konsumen / Debitor. Karena Konsumen / Debitor
dapat memberi kuasa kepada Kreditor atau dapat diwakilkan. dalam hal ini
yang dimaksud pihak Kreditor adalah Adira Finance. Sehingga ini
merupakan bentuk persetujuan bahwa konsumen memberi kuasa kepada
pihak finance dalam tahap pembuatan akta notaris (akta jaminan fidusia).
Jika konsumen tidak hadir dalam pembuatan akta jaminan fidusia (akta
notaril) maka tidak diberikan salinan sertifikat fidusia.
3. Konsumen tidak memegang salinan sertifikat fidusia, sehingga nantinya
pada saat jika terjadi pengeksekusian pada objek fidusia, konsumen tidak
dapat bertindak untuk mempertahankan objek fidusia tersebut.
Pihak Legal Corporate menjawab Debitor tidak ada dalam pembuatan akta
notaril untuk mendaftarkan objek fidusia sehingga tidak dapat salinan
fidusia. Kemudian tidak diberi sertifikat fidusia karena untuk menghindari
Konsumen / Debitor, untuk menyembunyikan Sertifikat Fidusia pada saat
pengeksekusian saat Konsumen / Debitor wanprestasi. Sehingga jika
sertifikat tersebut disembuyikan diperumpamakan tidak memiliki sertifikat
fidusia yang artinya pengeksekusian tidak dapat terjadi atau tidak sah.
Namun jika terjadi pengeksekusian, ada petugas yang diberikan
kewenangan mengenai hal tersebut dan dapat menunjukan sertifikat fidusia
dan bukti bahwa petugas tersebut adalah sah yang ditunjuk langsung oleh
pihak finance untuk melakukan pengambilan objek fidusia tersebut.
4. Terdapat Debt Collector melakukan eksekusi dengan paksa terhadap objek
jaminan tersebut. Sesuai dengan perjanjian pokok yang isinya menyatakan
bahwa Debt Collector dapat melakukan eksekusi sesuai dengan perintah
pihak Adira Finance.
Pihak Legal Corporate menjawab, setiap finance memiliki Debt collector
dan tersertivikasi. ada beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh pihak
Adira Finance, yaitu melakukan pemberitahuan melalui surat (Telepon),
dilakukan pendekatan terlebih dahulu, kemudian jika sudah memenuhi
unsur dalam penarikan maka Debt collector berhak melakukan eksekusi
35
terhadap benda yang menjadi objek fidusia. Dalam setiap penarikan harus
disepakati nasabah dan ditunjukan sertifikat fidusia.
Ditambah pasal 18 ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 yang
menyatakan bahwa Pelaksanaan eksekusi yang berjalan aman, tertib, dan
lancar, personel pengamanan bersikap pasif. Yang artinya dalam hal ini
Kepolisian hanya menjadi pihak ke tiga sebagai saksi bahwa eksekusi
terhadap objek benda fidusia tersebut sah. dan tidak dapat dikatakan
perampasan dalam pengeksekusiannya.
5. Terkait dengan langkah-langkah yang dilakukan finance terhadap nasabah
yang menunggak pembayaran atau wanprestasi. Legal Corporate
mengatakan dalam contoh debitor wanprestasi dalam hal menunggak
pembayaran bulanan, maka sebelum dilakukan penarikan adanya
pemberitahuan secara lisan (telepon) maupun tulisan (surat). Yang artinya
pihak finance tidak semena-mena dalam melakukan pengeksekusian.
Pemberitahuan tersebut bermaksud untuk mengingatkan atau menanyakan
hal apa yang menjadi kendala debitur sehingga menjadi menunggak
pembayaran. Tentunya dari pihak finance ada kebijakan-kebijakan yang
dirasa cukup meringankan debitur. Sehingga jika nanti masih belum
terbayar penunggakan tersebut nantinya akan dilakukan eksekusi oleh debt
collector. 38
Tentunya dengan menunjukan surat-surat (sertifikat fidusia) agar
pengeksekusian tersebut dapat berjalan dengan baik dengan persetujuan
bahwa benda objek tersebut tidak dirampas akan tetapi di eksekusi (di ambil
kembali oleh pihak finance) secara sah dalam hukum.
6. Terkait dengan keabsahan akta dibawah tangan dalam jaminan fidusia. Pihak
Legal Corporate menanggapi bahwa dalam jaminan fidusia diperlukannya
akta otentik dalam pendaftaran fidusia. Namun dalam hal melakukan
perjanjian dengan nasabah / Debitor, cukup melakukan perjanjian pokok
saja. Mengingat perjanjian jaminan fidusia adalah (accesoir) sehingga
38
Nico Lahus, Legal Corporate PT Adira Finance, Wawancara Tanggal 22 Juni 2019
36
diperlukan perjanjian pokok. Dan perjanjian pokok ini bersifat klausula
baku, jadi Nasabah / Debitor di posisi yang lemah hanya bisa menyetujui
kontrak sebagai bentuk persetujuan adanya perjanjian pokok.
7. Terkait dengan Pembuktian di bawah tangan mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna seperti akta otentik. Pihak Legal Corporate
menanggapi untuk akta dibawah tangan yang mengalami penyangkalan
maka pihak yang mengajukan akta tersebut harus membuktikan kebenaran
tanda tangan tersebut sebagai bukti persetujuan dari masing-masing pihak
dalam menyepakati perjanjian. Dengan begitu selama tanda tangan dari
pihak-pihak yang menyusun akta tidak diakui, maka akta dibawah tangan
tersebut tidak dalam pengadilan tidak membawa manfaat bagi pihak yang
mengajukannya.
Hal ini dapat diantisipasi dengan adanya saksi yang akan memberikan
kesaksian bahwa pihak yang menyangkal sebenarnya menandatangani atau
tidak sehingga kebenaran harus diungkap oleh pihak yang mengajukan
kepengadilan. Sehingga nanti jika sudah dapat kebenarannya, perjanjian
dibawah tangan ini merupakan bukt ang sempurna sebagai kekuatan formil.
D.Eksekusi Jaminan Fidusia
Menurut Abdulkadir Muhammad, melaksanakan putusan/eksekusi berarti
bersedia memenuhi kewajiban untuk berprestasi yang dibebankan oleh hakim
melalui putusannya.
Subekti menyatakan bahwa perkataan eksekusi atau pelaksanaan sudah
mengandung arti bahwa pihak yang dikalahka tidak mau mentaati putusan
secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan
bantuan pihak (polisi) dan putusan pengadilan yang perlu
dieksekusi/dilaksanakan itu hanyalah putusan-putusan yang amar atau
diketentuan umumnya adalah condemnatoir saja, artinya mengandung suatu
penghukuman.39
39
Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Bina Cipta, 1989), h. 130.
37
Menurut Sudikno Mertokusumo, eksekusi pada hakekatnya tidak lain
adalah realisasi dari pada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi
pretasi yang tercantum dalam putusan tersebut.40
Dalam Hubungan hutang piutang, terdapat kewajiban berprestasi debitur
dan hak atas prestasi kreditur,hubungan hukum akan lancar terlaksana jika
masing-masing pihak memenuhi kewajibannya. Namun dalam hubunan
hutang-piutang yang sudah dapat ditagih, jika debitur tidak memenuhi prestasi
secara sukarela, kreditur mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan
piutangnya terhadap objek debitur yang menjadi jaminan.41
Berdasarkan Pasal 1238 KUH Perdata, debitur dalam keadaan lalai dan
karenanya wanprestasi, apabila telah disomasi (ditegur), tetap saja tidak
memenuhi kewajibannya dengan baik atau kalau ia demi perikatannya sendiri
harus dianggap lalai setelah lewat waktu yang ditentukan. Di dalam undang-
undang jaminan fidusia tidak digunakan istilah wanprestasi tetapi cidera janji,
sebagaimana diatur pada Pasal 15 ayat (3) yang berbunyi, apabila debitur
cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak menjual benda yang menjadi
objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Sertifikat fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jadi
berdasarkan titel eksekutorial ini penerima fidusia dapat melaksanakan
eksekusi melalui pelelangan umum atas objek jaminan fidusia tanpa melalui
pengadilan.
Selanjutnya pelaksanaan eksekusinya diatur dalam Pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu apabila Debitur atau Pemberi Fidusia
cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat
dilakukan dengan cara;
1. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia;
40
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988),
h.201. 41
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung: Aditya Bakti, 2003), h.42.
38
2. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan
penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambik
pelunasan putsangnya dari hasil penjualan;
3. penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi
dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Pada prinsipnya bahwa penjualan benda yang menjadi objek jaminan
fidusia harus melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkann
memperoleh harga yang paling tinggi.
Namun jika harga melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan
menghasilkan harga tertinggi yang menguntukan baik pemberi fidusia maupun
penerima fidusia, maka dimungkinkan penjualan dibawah tangan. Asalkan hal
tersebut telah disepakati oleh pemberi dan penerima fidusia dan syarat jangka
waktu pelaksanaan penjualan tersebut.
Yang pelaksanaanya dilakukan setelah lewat 1 (satu) bukan sejak
diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua)
surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.
Adapun jika nasabah tidak memberikan atau mempertahankan objek
jaminan fidusia tersebut pada saat dilakukan eksekusi, sesuai dengan Pasal 30
Undang-Undang Jaminan Fidusia yang berbunyi “Pemberi fidusia (nasabah)
wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka
pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.
Jika nasabah tetap mempertahankan objek perjanjian fidusia maka pihak
debt collector dapat meminta bantuan pihak Kepolisian (yang berwenang)
dapat bertindak membantu melakukan eksekusi. Sesuai dengan Pasal 18 ayat
(3) Peraturan Kapolri yang berbunyi “Dalam hal pelaksanaan eksekusi terjadi
perlawanan dari pihak tereksekusi, personel bersikap aktif dengan cara
bertindak:”
1. Mengamankan dan/atau menangkap setiap orang yang melakukan
perlawanan atau perbuatan melawan hukum.
39
2. Melakukan penggeledahan terhadap orang yang dicurigai membawa
senjata api, senjata tajam, dan benda-benda berbahaya lainnya.
3. Menyita senjata api, senjata tajam, dan benda-benda berbahaya lainnya
yang dapat dilokasi eksekusi.
4. Melokalisir dan/atau melakukan penyekatan akses jalan dari dan menuju
lokasi eksekusi.
40
BAB IV
AKTA PERJANJIAN LEASING DAN PERJANJIAN FIDUSIA
A. Kontrak Perjanjian yang Tidak Dihadapkan Notaris antara Finance
dengan Konsumen di Adira Finance
1. Akta Perjanjian Dibawah Tangan dan Akta Otentik
Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa seseorang berjanji
kepada seorang yang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.42
Dari peristiwa itu timbul suatu hubungan antara
dua orang tersebut yang dinamakan perikatan, yaitu suatu hubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak dan berdasarkan hubungan tersebut pihak
yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Tiap-tiap perikatan adalah
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu terdapat dalam Pasal 1234 KUH Perdata.
Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian akan menimbulkan suatu
perikatan antara dua orang atau pihak yang membuatnya dalam bentuknya,
perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau yang ditulis dan yang tertulis disebut
kontrak.
Menurut Munir Fuady43
, kontrak adalah suatu kesepakatan yang
diperjanjikan diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan,
memodifikasi atau menghilangkan hubungan hukum. Hukum yang
mengatur tentang kontrak disebut dengan hukum kontrak atau hukum
perjanjian.
Selanjutnya, secara yuridis akan membawa konsekuensi hukum bagi
seseorang yang telah menandatangani suatu perikatan atau perjanjian atau
kontrak, baik karena persetujuan maupun karena undang-undang. Akibat
hukum tersebut, terdapat rumusannya dalam ketentuan pasal 1239 KUH
42
R.Subekti, Hukum Perjanjian, (PT Intermasa, Jakarta 1983), h.1. 43
Pipin Syarafin, S.H., & Dra Dedah Jubaedah, M.Si., Hukum Dagang Di Indonesia,
(Pustaka Setia, Bandung 2012), h.216.
41
Perdata yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat
sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, apabila yang berhutang tidak memenuhi
kewajibannya memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”.
Pada prinsipnya perjanjian apapun yang telah dilakukan akan berlaku
untuk pihak-pihak yang membuatnya. Hal ini diatur dalam Pasal 1315 KUH
Perdata yang menyebutkan, “Pada umumnya tidak seorangpun
mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji
dari pada untuk dirinya sendiri”. Dan ketentuan Pasal 1340 KUH Perdata
yang menyebutkan “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya”.
Secara umum, surat perjanjian dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Akta Perjanjian di Bawah Tangan
Akta perjanjian di bawah tangan adalah suatu dokumen hasil dari
proses administrasi berupa perjanjian antara para pihak tanpa dihadiri
atau tidak dibuat di hadapan seorang Notaris. Adapun ciri dari Akta
perjanjian dibawah tangan berupa:
1). Berbentuk bebas, artinya dibuat tidak atas dasar format penyusunan
tertentu, atau bisa diartikan bahwa format pembuatannya adalah sesuai
kepentingan para pihak.
2). Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum, atau dapat
diartikan bahwa pembuatannya cukup disaksikan pihak-pihak yang
bekepentingan dalam pembuatan akta tersebut.
3). Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh
pembuatnya, artinya isi dari akta tersebut tidak perlu dibuktikan lagi
kecuali ada yang bisa membuktikan sebaliknya.
4). Apabila harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi
juga dengan saksi-saksi dan bukti lannya, dimana hal tersebut antara
lain ditunjukan dengan dimasukan 2 orang saksi yang sudah dewasa
untuk memperkuat pembuktian.
42
Hal ini diperkuat dalam pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa
untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1). Sepakat mereka yang mengikat dirinya.
2). Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3). Suatu hal tertentu.
4). Suatu sebab yang halal.
Dalam syarat tersebut tidak diatur bahwa perjanjian harus dibuat secara
tertulis dan perjanjian tersebut dibuat dihadapan notaris.
b. Surat Perjanjian Otentik
Surat perjanjian yang dibuat oleh pejabat umum yang diberikan
wewenang untuk membuatnya menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
dalam undang-undang, yang berisikan perjanjian dari para pihak, sedangkan
dalam pengertian dari akta otentik seperti yang dituangkan dalam pasal
1868 KUH Perdata mengatakan bahwa “akta otentik adalah akta yang
dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat di
mana akta dibuatnya”. Maka yang dimaksud sebagai akta otentik harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1). Bentuknya sesuai dengan undang-undang yaitu antara lain: akta notaris,
akta perkawinan, akta kelahiran dan lain-lain yang sudah ditentukan
format dan isinya oleh Undang-Undang. Namun ada juga akta-akta yang
bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya berdasarkan
kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan azas kebebasan
berkontrak.
2). Dibuat oleh pegawai yang bersangkutan membuat akta itu.
3). Di hadapan pejabat umum yang berwenang, yang diartikan bahwa akta
dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan, sedangkan pegawai umum
(notaris) hanya menyaksikan menuliskan dalam bentuk akta, dan
kemudian membacakan isinya kepada para pihak.
43
4). Kekatan pembuktian yang sempurna, khususnya terkait dengan bukti
terjadinya suatu peristiwa atau transaksi tertentu.
5). Jika disangkal mengenai kebenarannya, maka penyangkal harus
membuktikan mengenai ketidak benarannya.
Terkait dengan pejabat yang berhak untuk membuat akta otentik bukan
hanya Notaris, melainkan pejabat yang memang diberikan wewenang dan
tugas untuk melakukan pencatatan tersebut, misalnya: pejabat KUA atau
pejabat catatan sipil yang bertugas untuk mencatat perkawinan, kelahiran
dan kematian, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan lain sebagainya.
2. Perjanjian Leasing
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang dilakukan antara
pihak Leasing dengan nasabah yang dalam perjanjian tersebut terdapat
jumlah yang telah disepakati untuk kegiatan pinjam meminjam. Dalam
pengajuan kredit secara fidusia melalui perusahaan finance terdapat
tahapan-tahapan yang dimana tahapan-tahapan tersebut merupakan syarat
untuk melakukan kredit. Diantaranya adalah melakukan perjanjian dengan
perusahaan pembiayaan.
Maksud dari perjanjian tersebut adalah adanya persetujuan atau
kesepakatan antara nasabah dengan pihak finance untuk melakukan kredit.
Ketika perjanjian tersebut telah di sepakati dengan cara ditandatangani maka
timbulah hubungan hukum.
Kontrak perjanjian finance ini adalah Akta dibawah tangan, maka posisi
hukum konsumen / Debitor tidak leluasa dalam mengutarakan kehendaknya.
Hal ini terjadi karena / Debitor tidak mempunyai kekuatan menawar. Dalam
perjanjian baku, Debitor diberikan perjanjian dengan syarat-syarat yang
telah ditetapkan sendiri oleh finance, sedangkan Debitor hanya dapat
menerima atau tidak hal-hal terkait dalam perjanjian itu. Sehingga tidak
diharuskan untuk melakukan tanda tangan di hadapan notaris. Melihat ciri-
ciri Akta dibawah tangan adalah :
44
a. Berbentuk bebas, artinya dibuat tidak atas dasar format penyusunan
tertentu, atau bisa diartikan bahwa format pembuatannya adalah sesuai
kepentingan dan / atau keinginan para pihak.
b. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum, atau dapat diartikan
bahwa pembuatannya cukup disaksikan pihak-pihak yang berkepentingan
dalam pembuatan akta tersebut.
c. Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh
pembuatnya, artinya isi dari akta tersebut tidak perlu dibuktikan lagi
kecuali ada yang bisa membuktikan sebaliknya
d. Apabila harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi
juga dengan saksi-saksi dan bukti lainnya, dimana hal tersebut antara lain
ditunjukan dengan dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk
memperkuat pembuktian.
Syarat yang pertama dak kedua berkaitan dengan subyek perjanjian. Hal
ini disebut sebagai syarat subyektif. Kemudian untuk syarat ketiga dan
keempat berkaitan dengan obyektif perjanjian dan disebut sebagai syarat
obyektif.
Suatu perjanjian yang tidak terpenuhi syarat-syarat obyektif nya maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan, ini berarti bahwa selama tidak ada
pembatalan dari salah satu pihak maka perjanjian tersebut tetap berlaku.
Kemudian jika tidak terpenuhinya syarat-syarat obyektfnya maka perjanjian
tersebut batal demi hukum.
Menurut J.Satrio, perjanjian menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan
hak dan kewajiban antara dua pihak, atau dengan kata lain, perjanjian berisi
perikatan.44
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Artinya siapa saja dapat diperbolehkan membuat
44
J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti. 1995), hal.5.
45
perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja dan
perjanjian itu mengikat mereka yang membuat.
Adapun dalam pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal.
Keempat hal tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut45
;
a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan para
pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.
yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai
itu adalah pernyataan, karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau
diketahui orang lain. Adal lima cara terjadinya persesuaian pernyataan
kehendak, yaitu dengan;
1). Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2). Bahasa yang sempurna secara lisan;
3). Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Karena dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan
dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak
lawannya.
4). Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
5). Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak
lawannya.
Pada dasanya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu
dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan
45
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h.33.
46
pembuatan perjanjian secara hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti
yang sempurna, jika timbul sengketa di kemudian hari.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kecakapan atau
kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum (membuat perjanjian).
Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum.
Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian (membuat perjanjian)
diharuskan orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-
undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan
hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah
berumur 21 tahun dan atau sudah kawin.
c. Suatu hal tertentu atau Adanya Objek Perjanjian
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek
perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang
menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.
Misalnya dalam hal ini perjanjian leasing. Perjanjian pokoknya adalah
kreditu menyerahkan objek jaminan tersebut kepada debitur, yang dimana
debitur membeli secara mengangsur (cicil). Sedangkan debitur membayar
objek jaminan tersebut secara angsur (cicil) sesuai dengan kesepakatan
berapa lama debitur mengangsur pembayaran objek jaminan tersebut.
d. Adanya suatu sebab yang halal.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan perngertian suatu sebab
yang halal. Di dalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang
terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Misalnya A menjual sepeda motor kepada B, akan tetapi, sepeda motor
yang dijual oleh A adalah barang hasil curian, jual beli tersebut tidak
47
mencapai tujuan dari pihak B. Karena B menginginkan barang yang
dibelinya itu barang yang sah.
Oleh karena itu dalam tahapan pertama dalam melakukan kredit yaitu
melakukan perjanjian dengan finance, maka debitor tidak diperlukan dalam
penandatanganannya di hadapan Notaris. Namun sebaiknya terdapat saksi
dalam proses penandatanganannya, dikhawatirkan terdapat hal-hal yang
tidak diinginkan.
3. Akta Jaminan Fidusia
Proses pendaftaran akta jaminan fidusia diatur dalam pasal 11 sampai
dengan pasal 18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia dan Peraturan Penmerintah tentang Cara Pendaftaran Fidusia dan
Biaya pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Pengaturan pemerintah itu terdiri
dari atas 4 bab 14 pasal. Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
meliputi pendaftaran fidusia, tata cara perbaikan sertifikat, perubahan
sertifikat, pencoretan pendaftaran dan penggantian sertifikat.
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia ditentukan bahwa benda, baik yang berada dalam wilayah negara
Republik Indonesia yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan.
Pendaftaran dilakukan pada kantor pendaftaran fidusia.
Adapun tujuan pengaturan yang mewajibkan adanya pendaftan akta
jaminan fidusia, yakni sebagai berikut46
:
a. Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang
berkepentingan.
b. Memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada penerima fidusia
terhadap kreditu lain. Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan hak
kepada penerima fidusia untuk tetap menguasai bendanya yang menjadi
objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan
c. Menemui asas Publisitas, yaitu merupakan alat untuk mensosialisasikan
kepada masyarakat untuk mengetahui kedudukan atas benda jaminan.
46
Andreas Albertus Andi Prajitno, Hukum Fidusia, (Malang: Selaras, 2010), h.122.
48
Jika terjadi hal-hal tertentu, maka jaminan fidusia oleh hukum dianggap
telah hapus. Kejadian-kejadian tersebut adalah47
:
a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia oleh jaminan fidusia,
b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia,
c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Jika hutang pemberi fidusia telah dilunasi olehnya menjadi kewajiban
penerima fidusia, kuasanya, atau wakilnya untuk memberitahulam secara
tertulis kepada kantor pendaftaran fidusia. Mengenai hapusnya jaminan
fidusia dikarenakan hapusnya utang pokok. Pemberitahuan itu dilakukan
paling lambat 7 hari setelah hapusnya jaminan fidusia yang bersangkutan
dengan dilampiri dengan dokumen pendukung tentang hapusnya jaminan
fidusia. Dengan diterimanya surat pemberitahuan tersebut, maka ada 2 hal
yang dilakukan kantor pendaftaran fidusia, yaitu48
:
a. Pada saat yang sama mencoret pencatatan jaminan fidusia dari buku
daftar fidusia, dan
b. Pada tanggal yang sama dengan tanggal pencoretan jaminan fidusia dari
buku daftar fidusia, kantor pendaftaran fidusia menerbitkan surat
keterangan yang menyatakan “sertifikat jaminan fidusia yang
bersangkutan tidak berlaku lagi.
Jadi, jika terdapat hal-hal yang menghapuskan perjanjian fidusia,
penerima fidusia wajib melaporkan kepada kantor jaminan fidusia. Untuk
dilakukan pencoretan terhadap akta jaminan fidusia sehingga hak
kepemilikan kembali beralih kepada pihak kreditur. Namun hal lain ketika
terjadi permasalahan kredit seperti kredit macet atau yang terdapat dalam
undang-undang jaminan fidusia dapat diambil oleh kreditur atau di eksekusi
untuk pelunasan hutang kreditur.
Menurut hukum, semua perjanjian jaminan hutang merupakan perjanjian
accesoir, antara lain sebagai berikut49
:
a. Perjanjian fidusia.
47
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), h.157. 48
Andreas Albertus Andi Prajitno, Hukum Fidusia, (Malang: Selaras, 2010), h.127. 49
Andreas Albertus Andi Prajitno, Hukum Fidusia, ... h.138.
49
b. Perjanjian gadai.
c. Perjanjian hipotik.
d. Perjanjian hak tanggungan, dan
e. Perjanjian cassie piutang.
Sebagai konsekuensi dari perjanjian accesoir apabila perjanjian induk
atau perjanjian pokok tidak sah atau karena sebab apapun hilang berlakunya
atau dinyatakan tidak belaku karena berakhirnya perjanjian pokok maka
secara hukum perjanjian fidusia sebagai perjanjian accesoir juga ikut
menjadi batal atau juga ikut berakhir.
Pembebanan fidusia dilakukan dengan menggunakan instrumen yang
disebut dengan akta jaminan fidusia. Akta jaminan fidusia ini haruslah
memenuhi syarat-syarat berikut 50
:
a. Haruslah berupa akta notaris.
b. Haruslah dibuat dalam bahasa Indonesia.
c. Haruslah berisikan sekurang-kurangnya hal-hal berikut:
1). Identitas pihak pemberi fidusia.
2). Identitas pihak penerima fidusia.
3). Harus tercantum hari, tanggal dan jam pembuatan akta fidusia.
4). Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia.
5). Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia, yakni
tentang identifikasi benda tersebut dan surat bukti kepemilikannya.
Jika bendanya selalu berubah-ubah seperti benda dalam persediaan
(inventory), haruslah disebutkan tentang jenis, merek, dan kualitas
dari benda tersebut.
6). Berapa nilai penjaminannya.
7). Berapa nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Akta jaminan fidusia atau sertifikat jaminan fidusia ini mempunyai
kekuatan eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Artinya adalah bahwa akta
jaminan fidusia ini dapat langsung dieksekusi / dilaksanakannya tanpa
50
Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), h.153.
50
melalui proses persidangan dan pemeriksaan melalui pengadilan, dan
bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan
tersebut.51
Pendaftaran jaminan fidusia tidak hanya dilakukan untuk diadaknnya
jaminan fidusia, akan tetapi juga mencakup, perubahan, pengalihan dan
hapusnya jaminan fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia tersebut, disamping
untuk memberikan kepastian hukum, kepada para pihak yang
berkepentingan juga memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada
penerima fidusia terhadap kreditur lain. Tata cara pendaftaran fidusia
dimulai dengan pembuatan akta jaminan fidusia oleh notaris yang kemudian
dilakukan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia.
Artinya bahwa benda yang menjadi objek jaminan fidusia wajib
didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal ini ditetapkan untuk
memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan khusus untuk kreditur
dengan dilakukannya pendaftaran benda yang menjadi objek jaminan
fidusia akan menguntungkan kreditur ketika debitur cidera janji dan tidak
memenuhi prestasinya dapat langsung melakukan eksekusi terhadap benda
yang menjadi objek jaminan.
Sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia bahwa akta jaminan fidusia harus
dibuat dalam bentuk otentik. Jika Akta Jaminan Fidusia tidak di
tandatangani di hadapan notaris maka Akta Jaminan Fidusia tersebut sama
dengan hal dibawah tangan. Peneliti berpendapat bahwa Akta Jaminan
Fidusia batal demi hukum dan tidak dapat di daftarkan dikantor Pendaftaran
Fidusia untuk mendapatkan Sertifikat Fidusia karena tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Jaminan
Fidusia.
51
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2003), h.49
51
Suatu akta otentik harus di tandatangani di hadapan notaris karena pada
dasarnya fungsi tanda tangan adalah untuk menjamin kepastian tanggal,
menjamin kepastian para pihak tentang isi akta yang bersangkutan.
Dalam Akta Jaminan Fidusia sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia
b. Data Perjanjian pokok yang dijamin fidusia
c. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia
d. Nilai penjaminan; dan
e. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Pasal 4 Undang-Undang Fidusia yang menjelaskan bahwa jaminan
fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.
Karena jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan berati ada perjanjian
pokok yang menjadi induk dari perjanjian fidusia. Sebagai contoh jika
perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang piutang maka jaminan fidusia
bisa menjadi perjanjian ikutan dari perjanjian utang piutang tersebut.
Pada perjanjian kredit kendaraan terdapat kreditor dan debitor. Kreditor
adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-
Undang. Sedangkan debitor adalah pihak yang mempunyai utang karena
perjanjian atau Undang-Undang.
Kehadiran debitor pada saat pembuatan akta jaminan fidusia, dalam
Undang-Undang Fidusia tidak mengatur tentang keharusan para pihak untuk
hadir pada saat membuat akta jaminan fidusia.
Pada prinsipnya perjanjian yang dibuat di hadapan notaris akan menjadi
suatu alat bukti yang kuat di kemudian hari dalam hal terjadi sengketa
perdata, hal ini tercantum dalam pasal 1902 ayat (2) KUH Perdata yang
berbunyi yang dinamakan bukti permulaan tertulis ialah segala akta tertulis
yang berasal dari orang yang terhadapnya suatu tuntutan diajukan atau dari
orang yang diwakili oleh nya dan yang kiranya membenarkan adanya
peristiwa hukum yang diajukan oleh seseorang sebagai dasar tuntutan itu.
52
Sehingga dapat diketahui pentingnya sifat dari kehadiran para pihak
dalam pembuatan akta tersebut, karena sangat penting untuk pembuktian di
kemudian hari jika terjadi permasalahan hukum. Dengan kehadiran para
pihak dalam pembuatan akta jaminan fidusia tersebut dapat memperkuat
pembuktiannya (untuk membenarkan telah terjadi suatu peristiwa hukum)
jika suatu hari terjadi permasalahan hukum di pengadilan.
Dalam pembuatan akta jaminan fidusia juga dapat diwakilkan, asalkan
yang berkepentingan dalam hal ini debitor memberi kuasa kepada yang
mewakilinya untuk pembuatan akta jaminan fidusia.
Namun sangat disayangkan bahwa Debitor tidak menerima salinan
sertifikat fidusia ataupun salinan akta fidusia. Mengingat akta jaminan
fidusia atau sertifikat jaminan fidusia adalah bentuk kepastian hukum bahwa
objek tersebut benar-benar didaftarkan dikantor fidusia. Karena seperti yang
kita ketahui terdapat pengeksekusian pengambilan objek fidusia tersebut di
pinggir jalan. Hal ini tentu dikhawatirkan pihak debt collector tidak
membawa atau tidak memiliki sertifikat fidusia dari objek tersebut.
B. Perlindungan Hukum ketika Jaminan Fidusia tidak Didaftarkan di
Kantor Pendaftara Fidusia
Prinsip hukum bahwa dalam Undang-Undang melalui ketentuannya
adalah untuk melindungi pihak atau orang tertentu, maka Undang-Undang
memberikan suatu hak kepada para pihak yang berkepentingan atau
bersangkutan dalam suatu peristiwa hukum. Untuk itu, terserah kepada pihak
yang bersangkutan atau berkepentingan untuk menggunakan atau tidak hak
tersebut. Perlindungan hukum yang dimaksud dalam pengkajian ini adalah
terkait dengan pihak pemberi fidusia (debitur) dan penerima fidusia
(kreditur).
Mengenai perlindungan hukum para pihak dalam jaminan fidusia adalah
mengenai sertifikat fidusia. Sertifikat jaminan fidusia ini merupakan salinan
dari buku daftar fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang dimuat
dalam penyataan pendaftaran. Untuk merealisasikan asas publisitas dan asas
53
spesialitas, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia menggunakan sistem pendaftaran. Sistem pendaftaran ini diharapkan
dapat memberikan jaminan perlindungan kepada penerima fidusia dan pihak
yang memiliki kepentingan terhadap objek jaminan tersebut.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Saat ini jaminan fidusia bersifat accesoir merupakan
landasan hukum terhadap perjanjian kredit, hal ini sangat memperhatikan
kepentingan debitur dengan memberikan jaminan hukum kepada benda
bergerak atau kendaraan yang di kredit dari perusahaan pembiayaan.
Jaminan yang lahir karena perjanjian adalah jaminan yang harus
diperjanjikan terlebih dahulu diantara para pihak, yaitu perjanjian yang
mengikuti dan melihat pada perjanjian dasar atau perjanjian pokok yang
menerbitkan utang atau kewajiban atau prestasi bagi debitur terhadap
kreditur.
Pada Pasal 14 ayat 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia berbunyi jaminan lahir saat dilakukan pendaftaran jaminan
fidusia. Pernyataan dalam UU tersebut bisa dimaknai apabila jaminan fidusia
belum didaftarkan maka perusahaan leasing / pembiayaan belum memiliki
hak jaminan fidusia termasuk hak untuk melakukan eksekusi terhadap benda
yang sedang dijaminkan. Hal ini tentunya memberikan kepastian hukum dan
perlindungan kepada para pihak melalui lembaga pendaftaran fidusia.
Lembaga jaminan fidusia juga memberikan perlindungan kepada benda
atau kendaraan yang sedang di kredit oleh debitur tidak bisa di eksekusi oleh
kreditur kecuali dalam hal debitur wanprestasi. Kewenangan melakukan
eksekusi baru bisa dilakukan oleh kreditur apabila debitur melakukan
wanprestasi dengan memperhatikan Pasal 1238 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Pada Pasal 1238 KUH Perdata menyebutkan bahwa debitur dinyatakan
lalai dengan surat perintah, akta sejenis atau berdasarkan kekuatan dari
perjanjian akad kredit sendiri atau berdasarkan lewatnya waktu yang
54
ditentukan dalam perjanjian. Dengan kata lain wanprestasi bisa diartikan
debitur tidak melaksanakan kewajibannya kepada kreditur sesuai perjanjian
yang sudah disepakati.
Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak memberikan kewenangan kepada
kreditur untuk melakukan upaya paksa atau mengambil benda yang menjadi
objek jaminan fidusia secara paksa dari tangan debitur tanpa bantuan pihak
berwenang seperti pengadilan atau kepolisian. Dalam rangka eksekusi fidusia,
Kapolri sendiri sudah mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011
tentang pengamanan eksekusi jaminan fidusia.
Jika Jaminan fidusia tidak di daftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia
maka tidak akan adanya sertifikat fidusia. jika debitor cidera janji atau
wanprestasi maka pihak kreditor tidak mempunyai hak untuk melakukan
eksekusi atau melalukan penarikan karena tidak memiliki sertifikat fidusia.
Sertifikat fidusia ialah merupakan salinan dari buku daftar fidusia
memuat catatan tentang pernyataan pendaftaran yaitu berupa:
1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia.
2. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, tempat kedudukan notaris
yang membuat.
3. Akta jaminan fidusia.
4. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia.
5. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
6. Nilai penjaminan.
7. nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Untuk pembebanan jaminan fidusia , Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengamanatkan
pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris
dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fiudsia. Setelah di
daftarkan di kantor Pendaftara Fidusia maka kantor tersebut akan
mengeluarkan sertifikat fidusia.
55
Keuntungan memiliki sertifikat jaminan fidusia, apabila debitor cidera
janji, penerima fidusia (kreditor) mempunyai hak unntuk menjual benda
yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Jadi, menurut uraian diatas perlindungan hukum jika jaminan fidusia
tidak di daftarkan di kantor fidusia maka tidak memiliki sertifikat fidusia.
artinya jika Debitor wanprestasi maka tetap objek fidusia tersebut tidak
dapat dieksekusi.
C. Analisis Peneliti mengenai Kontrak Perjanjian yang Tidak Dihadapkan
Notaris antara Finance dengan Konsumen serta Perlindungan Hukum
Ketika Objek Jaminan Fidusia Tidak Didaftarkan di Kantor Pendaftaran
Fidusia
Mengenai kontrak perjanjian memang tidak di haruskan berupa akta
otentik, karena perjanjian tetap sah sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata.
akan tetapi mengingat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999
tentang Jaminan fidusia yang menyatakan bahwa syarat pendaftaran fidusia itu
harus berupa akta otentik. Karena setiap objek fidusia wajib di fidusiakan, jadi
untuk mendaftarkan objek fidusia tersebut (karena wajib di fidusiakan) maka
harus berupa akta otentik.
Perjanjian fidusia sifat nya accesoir yang artinya perjanjian tersebut
perjanjian tambahan dari perjanjian pokok. Maka dari itu untuk membuat
perjanjian fidusia harus terdapat perjanjian pokok terlebih dahulu. Disini
perjanjian pokok nya adalah perjanjian finance dengan nasabah. Yang dimana
dalam perjanjian tersebut berbentuk klausula baku. Maksud dari klausula baku
ini adalah nasabah hanya mempunyai dua pilihan antara setuju ataupun tidak
setuju. Jika nasabah setuju dengan perjanjian tersebut maka proses dalam
tahapan-tahapan kredit (leasing) dapat berjalan ke tahap berikutnya, namun
jika nasabah tidak menyetujui kontrak perjanjian yang dibuat Leasing tersebut
maka nasabah tidak akan memperoleh kendaraan yang di inginkan atau tidak
dapat ke tahap berikutnya dalam proses kredit. Oleh karena itu secara tidak
56
langsung nasabah dipaksa harus menyetujui agar proses dapat berjalan ketahap
berikutnya dan segera memiliki kendaraan atau dapat melakukan pengkreditan.
Dalam hal ini pihak leasing menggunakan klausula baku agar,
kewajiban-kewajiban yang didapatkan dari nasabah, dapat menguntungkan
finance sebanyak mungkin. Seperti dalam hal kontrak perjanjian Adira Finance
terdapat kalimat yang menyatakan “pihak debt collector dapat melakukan
eksekusi jika diperlukan atau dibutuhkan oleh Adira Finance. Serta pihak debt
collector dapat melakukan eksekusi dimanapun objek fidusia tersebut berada”.
Artinya jika objek tersebut terdapat di jalan (sedang digunakan) maka, debt
collector dapat melakukan eksekusi tersebut sesuai dengan perintah finance
tersebut. Hal ini yang terkadang disalah artikan oleh masyarakat bahwa proses
eksekusi tersebut dilakukan melanggar hukum atau dapat dikatakan
perampasan.
Menurut saya, kontrak perjanjian finance kepada nasabah ada baiknya
berupa akta otentik, mengingat akta otentik merupakan kekuatan
pembuktiannya dapat diterima dalam hukum jika terdapat sengketa mengenai
perjanjian tersebut. Kemudian jika berupa akta otentik, pihak finance dan
nasabah dibuat sama mengenai kewajiban dan hak dalam perjanjian tersebut.
Sehingga tidak ada yang dominan jika kontrak perjanjian tersebut berupa akta
otentik.
Mengenai perlindungan hukum Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan
hukum adalah upaya untuk memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan oleh
hukum. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara
sosial, ekonomi dan politik, untuk memperoleh keadilan sosial. jika objek
fidusia tersebut tidak di daftarkan di kantor pendaftaran fidusia maka objek
jaminan tersebut tidak memiliki sertifikat fidusia. Sertifikat fidusia memiliki
kekuatan eksekutorial yang sama seperti putusan pengadilan. Artinya jika
objek tersebut tidak memiliki sertifikat fidusia, maka objek tersebut tidak
dapat dilakukan eksekusi.
57
Memang dalam proses pembuatan akta jaminan fidusia, nasabah dapat di
wakilkan oleh pihak finance dalam proses pembuatannya. Namun ada baiknya
jika nasabah memiliki salinan sertifikat fidusia untuk sebagai kepastian hukum.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama,
adanya aturan yang bersifat umum membuat individumengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum
bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan
yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap Individu. Memang tidak ada
dasar hukumnya bahwa nasabah memiliki atau menerima sertifikat fidusia.
Mengingat sertifikat fidusia tersebut sangat penting untuk kedua pihak dalam
hal ini pihak finance dan pihak nasabah, sebagai bukti atau untuk kepastian
hukum bahwa objek tersebut sudah didaftarkan dan jika nasabah wanprestasi
maka, objek jaminan fidusia tersebut dapat di eksekusi.
Adapun jika objek fidusia tersebut didaftarkan dikantor pendaftaran
fidusia, maka pihak finance dapat melakukan eksekusi jika nasabah
wanprestasi , melihat kalimat yang terdapat dalam kontrak perjanjian Adira
finance yang berbunyi “pihak debt collector dapat melakukan eksekusi jika
diperlukan atau dibutuhkan oleh Adira Finance. Serta pihak debt collector
dapat melakukan eksekusi dimanapun objek fidusia tersebut berada” sehingga
terdapat perlindungan hukum yang didapatkan nasabah dari pasal 18 ayat 2
Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Pelaksanaan
eksekusi yang berjalan aman, tertib, dan lancar, personel pengamanan bersikap
pasif. Yang artinya dalam hal ini Kepolisian hanya menjadi pihak ke tiga
sebagai saksi bahwa eksekusi terhadap objek benda fidusia tersebut sah. dan
tidak dapat dikatakan perampasan dalam pengeksekusiannya.
Sehingga pendapat saya, jika debt collector ingin melakukan eksekusi,
harus menunjukan sertifikat fidusia dan bukti bahwa debt collector tersebut
adalah pihak yang diperintahkan untuk melakukan eksekusi. Memang
diperbolehkan dilakukan eksekusi dimana saja sesuai objek jaminan fidusia itu
berada dan jika diperlukan oleh finance, namun pihak debt collector harus
58
melihat Pasal 18 ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011. Artinya saat
ingin melakukan eksekusi, harus terdapat pihak kepolisian yang berada dalam
tempat yang akan dilakukan eksekusi tersebut. adanya pihak kepolisian
tersebut hanya sebagai saksi untuk menghindari adanya “perampasan” yang
dilakukan debt collector sehingga proses eksekusi tersebut dapat dikatakan sah.
Adapun jika debt collector ingin melakukan eksekusi di pinggir jalan tetap
harus menunjukan salinan sertifikat fidusia dan tetap harus terdapat pihak
kepolisian dalam proses eksekusi sebagai saksi untuk menghindari tindakan
perampasan.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah peneliti kaji pada setiap
sub bab pembahasan, maka dalam hal ini peneliti menarik kesimpulan dari
penelitian ini sebagai berikut:
1. Dalam hal ini kontrak yang dibuat Leasing untuk ditanda tangani nasabah
berupa kontrak perjanjian dibawah tangan. Melihat kontrak tersebut yang
baku, dibuat satu pihak, dan ditanda tangani tidak dihadapan notaris
merupakan ciri-ciri kontrak perjanjian dibawah tangan. Melihat syarat
sah kontrak pada Pasal 1320 KUH Perdata, kontrak perjanjian tersebut
tetap sah sesuai aturan yang berlaku. Yang diharuskan penandatanganan
kontrak dihadapan Notaris atau harus berupa akta otentik adalah saat
pembuatan akta jaminan fidusia. pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia bahwa akta jaminan fidusia
harus dibuat dalam bentuk otentik. Jika Akta Jaminan Fidusia tidak di
tandatangani di hadapan notaris maka tidak akan mendapatkan Sertifikat
Fidusia. Terkait dengan penandatanganan di hadapan notaris, nasabah
dapat diwakilkan untuk kemudahan dan kelancaran dalam proses
pendaftaran fidusia. Hal ini tentunya bisa dengan bukti menggunakan
surat kuasa, ataupun cukup dengan persetujuan.
2. Menurut Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia yang berbunyi “Sertifikat jaminan fidusia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Artinya jika memiliki Sertifikat Fidusia maka pihak (Leasing) dapat
melakukan eksekusi jika nasabahnya wanprestasi. Sedangkan menurut
Pasal 18 ayat (2) dan (3) Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2011 tentang
Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia yang berbunyi ayat (2)
“Pelaksanaan eksekusi yang berjalan aman, tertib, dan lancar, personel
60
pengamanan bersikap pasif.” Artinya jika pengamanan berjalan dengan
baik maka personel kepoisian dapat bersikap pasif (mengawasi,
mengamati dan melakukan pengamanan saja). Namun dalam pasal (3)
berbunyi “ Dalam hal pelaksanaan eksekusi terjadi perlawanan dari pihak
tereksekusi, personel bersikap aktif.” Artinya pihak kepolisan dapat
bertindak aktif jika adanya perlawanan dari pihak nasabah.
B. Rekomendasi
1. Untuk Finance yang ada di Indonesia, penulis menyarankan agar salinan
sertifikat fidusia dari objek jaminan tersebut dapat diberikan kepada
nasabah. Mengingat sertifikat fidusia sangat penting untuk para pihak
sebagai bukti tambahan accesoir dalam kegiatan kredit. Dan sebagai
kepastian bahwa objek dari benda yang dijaminkan memang benar di
daftarkan di kantor fidusia.
2. Untuk nasabah diharapkan memberikan atau menandatangani surat kuasa
dalam proses pembuatan jaminan fidusia untuk mendaftarkan di kantor
pendaftaran fidusia.
3. Setiap debt collector yang dalam melaksanakan tugas untuk
mengeksekusi dapat menunjukan salinan sertifikat fidusia dan
menunjukan surat tugas, untuk meminimalisir tindak kejahatan yang
disebut perampasan.
61
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni. 2004).
Albertus, Andreas. dan Prajitno, Andi. Hukum Fidusia, (Malang: Selaras, 2010).
Badrulzaman, Mariam Darus. Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari
Sudut Perjanjian Baku, (Jakarta: Binacipta, 1986).
Badrulzaman, Mariam Darus. Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT Citra Aditya.
1991).
Fuady, Munir. Jaminan Fidusia, (Bandung: Aditya Bakti, 2003).
Gunawan, Johanes. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia dan Perdagangan
Bebas, Dalam Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas Menelaah
Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan
Bebas, (P.T. Citra Aditya Bakti, 2003).
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan yuridis,
(Jakarta: Djambatan, 1997).
Hamzah, A. dan Manullang, Senjung. Lembaga Fidusia dan Penerapan di
Indonesia, (Jakarta: Inhill Co, 1987).
Kamelo, Tan Hukum Jaminan Fidusia Suatu kebutuhan yang Didambakan,
(Bandung : Alumni, 2004).
Kansil, CST. dan Kansil, Cristian ST Kansil. Kamus Istilah Neka Hukum, Cet I,
(Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000).
Kusnadi, Ady. Penelitian Hukum tentang Perkembangan Lembaga Jaminan Di
Indonesia, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI 2007).
Mertokusumo, RM Soedikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty, 1988).
Mertokusumo, R.M Soedikno. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta:
Liberty. 1988).
Miru, Ahmadi. dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen. ( Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2011).
Mujadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
(Jakarta : Rajawali Pers, 2014).
62
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya
(PT.Bina Ilmu. 1987).
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti. 1999).
Salim Hs, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006).
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2000).
Satrio, J. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, (Bandung: PT.Citra
Aditya-Bakti, 2002).
Sobirin, Kajian Hukum Terhadap Pendaftaran Jaminan Fidusia Di Kantor
Pendaftaran Fidusia Daerah Khusus Ibukota Jakarta, (Tesis Magister
Kenotariatan, Universitas Diponegoro, 2008)
Sofwan, Sri Soedewi Mashjchoen. Hukum Perdata Hukum Benda, (Yogyakarta :
Liberti, 2000).
Subekti, R. Pokok-Pokok Perdata, (PT. Intermasa, Jakarta, 1979).
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, (Bandung: Alfabeta.
2003).
Syahdeini, Sutan Remmy. Kebebasan berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta:
Institut Bankir Indonesia, 1993),
Syarafin, Pipin. Dan Jubaedah, Dedah. Hukum Dagang Di Indonesia, (Pustaka
Setia, Bandung 2012)
Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta :
Kencana, 2011).
Yahya, M, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta,
Sinar Grafika, 2006).
63
LAMPIRAN
Daftar Pertanyaan Wawancara
1. Bagaimana keabsahan akta di bawah tangan dalam jaminan fidusia?
2. Apakah akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
seperti akta otentik?
3. Apakah jaminan fidusia itu di daftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia?
4. Apakah salinan sertifikat fidusia diserahkan kepada konsumen?
5. Bagaiman upaya yang dilakukan jika debitor wanprestasi?
6. Apakah ada debt collector jika terjadi kredit macet?
7. Bagaimana cara penyelesaian jika terjadi sengketa
64
65
66