Download - analisis masalah skenario d blok 19
Analisis Masalah
1. Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin dan status gizi?
Rasio jenis kelamin anak epilepsi, lelaki sedikit lebih banyak dibanding anak
perempuan yaitu hal ini sesuai dengan penelitian Shorvon dkk,yang mendapatkan
rasio 1,1 dan Cowan dkk.1,5 .Sebaran usia kasus yang diteliti sesuai dengan insidens
epilepsi yang berubah-ubah menurut usia, yaitu insidens tertinggi pada usia anak dini,
mencapai nadirnya pada usia dewasa dini, dan naik kembali pada usia tua. Bangkitan
epilepsi jarang dijumpai pada usia bulan-bulan pertama, dan lebih sering antara usia 4
bulan-4 tahun, kemudian frekuensinya menurun sampai remaja. Bangkitan kejang
pada bayi premature lebih jarang terjadi dibanding bayi cukup umur, karena sistem
saraf bayi prematur belum berkembang. Hal ini menunjukkan faktor usia dan
perkembangan ikut mempengaruhi terjadinya epilepsi pada anak.
2. Apa hubungan riwayat meningitis dengan penyakit sekarang?
Meningitis menyebabkan timbulnya lesi pada daerah intrakranial, apakah lesi tersebut
bersifat fokal atau pun secara keseluruhan. Dimana lesi tersebut menyebabkan
timbulnya gangguan pada sekelompok kecil sel neuron, atau sekelompok besar sel
neuron atau keseluruhna neuron. Hal ini menyebabkan terganggunga fungsi
neurotransmitter sehingga terjadi hiperaktvitas atau berlebihan muatan listrik sehingga
ecxitatory > inhibitory sehingga memacu timbulnya kejang paroksismal (epilepsi).
3. Bagaimana mekanisme obat asam valproat?
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens,
kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik, dan kurang efektif terhadap epilepsi
fokal . Asam valproat dapat meningkatkan GABA di sinaps dengan menghambat
degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA dengan cara mengurangi GABA
transaminase. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA ( inhibitor,
antikonvulsan alami di otak ) post sinaptik yang langsung menstabilkan membran
serta mempengaruhi kanal kalium. GABA berikatan dengan reseptornya di Sinaps
akan mengaktivasi kanal clorida sehingga canal clorida membuka akibatnya clorida
yang ada di luar sel akan masuk ke dalam sel, ketika clorida masuk ke dlam sel.
Membran potensial sel menjadi lebih negatif, sehingga sel yang awalnya depolarisasi
dengan ambang – 59 mv akan menjadi lebih negatif -70 mw, dan kembali ke potensial
normal dan tidak terjadi depolarisasi. Jadi selama 6 bulan obat dikonsumsi,
konsentrasi GABA meningkat untuk mempengaruhi kanal kalium. Setelah obat
dihentikan konsentrasi GABA berangsur-angsur mulai berkurang untuk menghambat
terjadinya kejang. Tetapi penumpukan acetylcholine tetap terjadi.
4. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus?
- Pemeriksaan Electro-encephalography (EEG).
Rekaman EEG merupakan pemeriksan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu menunjang diagnosis dan
membantu penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan
tertentu dapat membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu/tidaknya
pengobatan dengan AED.
- Pemeriksaan pencitraan Otak (brain imaging)
Pemeriksaan CT Scan dan MRI meningkatkan kemampuan kita dalam mendeteksi
lesi epileptogenik di otak. Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi
patologik dapat terdiagnosis secara non-invasif, misalnya mesial temporal
sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (dysembryoplastic
neuroepihelial tumor). Ditemukannya lesi-lesi ini menambah pilihan terapi pada
epilepsi yang refrakter terhadap OAE. Funtional brain imaging seperti Positron
Emission Tomography (PET), Single Photon Emission Comuted Tomography
(SPECT) dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam
menyediakan informasi tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan
perubahan aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan.
- Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan hematologik
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, lekosit, hematokrit, trombosit, apusan
darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium). kadar gula,
fungsi hati, ureum, kreatinin). Pemeriksaan ini dilakukan pada awal
pengobatan, beberapa bulan kemudian, diulang bila timbul gejala klinik, dan
rutin setiap tahun sekali.
- Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai steady state,
pada saat kebangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik. Pemeriksaan ini
diulang setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan pasien. Pemeriksaan ini
dilakukan pula bila bangkitan timbul kembali, atau bila terdapat gejala toksisitas,
bila akan dikombinasi dengan obat lain, atau saat melepas kombinasi dengan obat
lain, bila terdapat perubahan fisiologi pada tubuh penyandang (kehamilan, luka
bakar, gangguan fungsi ginjal).
Sedangkan status epileptikus bisa kita bedakan dengan gejala klinis berupa kejang
yang serangan terus menerus lebih dari 5 hingga 10 menit atau serangan datang
dan pergi, masing-masing berlangsung kurang dari 5 menit, tetapi tanpa
memperoleh kesadaran di antara serangan.
5. Bagaimana klasifikasi dari working diagnosis pada kasus?
Klasifikasi epilepsi :
a. Bangkitan Parsial/fokal
- Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1) Dengan gejala motorik.
2) Dengan gejala sensorik.
3) Dengan gejala otonomik.
4) Dengan gejala psikis.
- Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan
kesadaran.
2) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan.
- Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
1) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan
umum
2) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan
umum
3) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)
- Bangkitan lena (absence)
Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi
mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik
pada mata, dagu dan bibir.
- Bangkitan mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat
umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih
ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.
- Bangkitan tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas
menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan
kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah
menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat
bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan
pupil dilatasi.
- Bangkitan atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya
kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh
sehingga pasien terjatuh.
- Bangkitan klonik
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang
kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak.
- Bangkitan tonik-klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian
diikuti oleh gerakan klonik.
6. Bagaimana patofisiologi pada kasus?
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan
ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion
ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih
negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu
masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan
menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil,
akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk
merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga terjadilah epilepsi.
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang
berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan
menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi.
Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan
inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada
sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa
kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi
fisik dan retardasi mental.
Sintesis Masalah
Status epileptikus dan epilepsi
1. Definisi
Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-
waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan penurunan
kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang
intermiten dan stereotipik. Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di
otak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa
gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi baik lokal maupun
general.
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang
berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan
International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali
definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini
membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan
bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / gejala yang timbul sepintas
(transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan oleh
ILAE dan IBE yaitu13 :
a. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.
b. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya
c. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.
Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam mentatalaksana seorang
penyandang epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu
diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan
seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit
menular, dan sebagainya.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan sementara, dengan atau
tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf
di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).
2. Etiologi
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang yang muncul
tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang
tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa
diindikasikan sebagai disfungsi otak. Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan
lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh
adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-
tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau fungsi sel neuron
di otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau serangan epilepsi.
Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan
pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor penyebabnya
ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit
metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala, dan lain-lain.
Bangkitan kejang juga dapat disebabkan oleh berbagai kelainan dan macam-macam
penyakit diantaranya ialah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, tumor otak,
perdarahan otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak,
kelainan degeneratif susunan saraf pusat, gangguan metabolisme, gangguan elektrolit,
demam, reaksi toksis-alergis, keracunan obat atau zat kimia, dan faktor hereditas.
3. Faktor Risiko
Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang demam adalah :
a. Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam
pertama
b. Kejang demam kompleks
c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsi 4-6%; kombinasi faktor
resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsi menjadi 10-49%.13 Epilepsi diartikan
sebagai kejang berulang dan multipel. Anak dengan riwayat kejang demam
mempunyai risiko sedikit lebih tinggi menderita epilepsi pada usia 7 tahun
dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami kejang demam.
4. Klasifikasi
Klasifikasi epilepsi :
c. Bangkitan Parsial/fokal
- Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
5) Dengan gejala motorik.
6) Dengan gejala sensorik.
7) Dengan gejala otonomik.
8) Dengan gejala psikis.
- Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
3) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan
kesadaran.
4) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan.
- Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
4) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan
umum
5) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan
umum
6) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
d. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)
- Bangkitan lena (absence)
Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi
mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik
pada mata, dagu dan bibir.
- Bangkitan mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat
umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih
ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.
- Bangkitan tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas
menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan
kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah
menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat
bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan
pupil dilatasi.
- Bangkitan atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya
kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh
sehingga pasien terjatuh.
- Bangkitan klonik
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang
kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak.
- Bangkitan tonik-klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian
diikuti oleh gerakan klonik.
5. Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan
ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion
ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih
negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu
masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan
menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil,
akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk
merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga terjadilah epilepsi.
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang
berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan
menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi.
Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan
inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada
sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa
kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi
fisik dan retardasi mental.
6. Diagnosis
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu :
a. Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksisimal
merupakan bangkitan epilepsi.
b. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah
bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana.
c. Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan
tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan tentukan etiologinya.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang
(minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform
pada EEG.
Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai
berikut:
a. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Penjelasan perihal
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala
dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan
kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
- Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri / berbaring / tidur
/ berkemih.
- Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech arrest).
- Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk bangkitan) : gerakan
tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, maupun deviasi mata.
- Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
gelisah, atau Todd’s paresis.
- Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat
perubahan pola bangkitan.
2) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit
neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang
mungkin menjadi penyebab.
3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar
bangkitan.
4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam.
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien anak,
pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan
pertumbuhan otak unilateral.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan ureum
dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia,
dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan
serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen,
kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat
berguna.
2) Elektro ensefalografi (EEG)
Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui
elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada
penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity.
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di
otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar adanya :
- Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
- Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
- Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal.
3) Rekaman video EEG
Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh
karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-
menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan
gambaran serangan kejang epilepsi.
4) Pemeriksaan Radiologis
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala merupakan Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging
yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural di otak dan
melengkapi data EEG.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi, namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk
epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh
karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal,
tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin
dilakukan terapi pembedahan. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus
kanan dan kiri.
5) Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan
akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan
apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan
bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.
7. Prognosis
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor
penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis epilepsi
cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah
dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti
minum obat. Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik
dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita.
Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang)
dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus
dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan
(remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan
selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk
menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu
mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor
prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja /
dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG.
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko
kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling
tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit
kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh
penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.
Daftar Pustaka
Davis, B.J., 2004. Predicting Nonepileptic Seizures Utilizing Seizure Frequency, EEG, and
Response to Medication. Eur Neurol; 51: 153-156.
Kania N. 2007. Kejang Pada Anak. Bandung: Acara Siang Klinik Penanganan Kejang Pada
Anak di AMC Hospital.
Muzayyanah, NL. 2013. Epilepsi dan Status Epileptikus. Diunduh dari
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/15-3-4.pdf pada 15 September 2015 Pukul 6.09
Shorvon S. The Management of status epilepticus. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001 June;
70 (Suppl 2):1122-7.
Shorvon. Status epilepticus: its clinical features and treatment in children and adult.
Cambridge: University Press; 1995.