AnalisisAnalisisAnalisisAnalisis Rangkaian Rangkaian Rangkaian Rangkaian ListrikListrikListrikListrik
Jilid 3
darpublic
Sudaryatno Sudirham
Analisis
Rangkaian Listrik Jilid 3
(Rangkaian Magnetik, Transformator, Mesin
Sinkron, Mesin Asinkron, Analisis Harmonisa)
oleh
Sudaryatno Sudirham
Hak cipta pada penulis, 2010
SUDIRHAM, SUDARYATNO
Analisis Rangkaian Listrik (3)
Bandung
are-0710
e-mail: [email protected]
Alamat pos: Kanayakan D-30, Komp ITB, Bandung, 40135.
iii
Pengantar
Buku ini adalah jilid ke-tiga dari satu seri pembahasan analisis
rangkaian listrik. Penataan ulang serta penambahan materi bahasan
penulis lakukan terhadap buku yang diterbitkan tahun 2002. Dalam
buku ini pembaca diperkenalkan pada teknik konversi energi, serta
persoalan harmonisa dalam sistem tenaga.
Dalam bab pertama diperkenalkan rangkaian magnetik yang
merupakan landasan dikembangkannya mesin-mesin konversi
energi. Tiga bab berikutnya membahas transformator, mesin sinkron,
dan mesin asinkron. Lima bab berikutnya berisi analisis harmonisa,
diawali dengan pembahasan sinyal non sinus di kawasan waktu,
dilanjutkan dengan tinjauan di kawasan fasor, pembebanan non
linier, dampak harmonisa pada piranti, dan diakhiri dengan
pembahasan harmonisa pada sistem tiga fasa.
Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan
usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya,
sangat penulis harapkan.
Bandung, 26 Juli 2010
Wassalam,
Penulis.
iv
<< La plus grande partie du savoir
humain est déposée dans des
documents et des livres,
mémoires en papier
de l’humanité.>>
A. Schopenhauer, 1788 – 1860
Dari Mini-Encyclopédie
France Loisirs
ISBN 2-7242-1551-6
v
Daftar Isi
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v
Bab 1: Rangkaian Magnetik 1
Hukum-Hukum. Perhitungan Pada Rangkaian Magnetik.
Rugi-Rugi Dalam Rangkaian Magnetik. Gaya Magnetik.
Induktor
Bab 2: Tansformator 29
Transformator Satu Fasa. Teori Operasi Transformator.
Diagram Fasor. Rangkaian Ekivalen. Impedansi Masukan.
Penentuan Parameter Transformator. Efisiensi dan Regulasi
Tegangan. Konstruksi Transformator. Transformator Pada
Sistem Tiga Fasa
Bab 3: Mesin Sinkron 53
Mesin Kutub Menonjol. Mesin Sinkron Rotor Silindris
Bab 4: Motor Asinkron 69
Konstruksi Dan Cara Kerja. Rangkaian Ekivalen. Penentuan
Parameter Rangkaian. Torka.
Bab 5: Sinyal +on Sinus 89
Pendekatan Numerik Sinyal Nonsinus. Elemen Linier
Dengan Sinyal Nonsinus. Nilai Rata-Rata Dan Nilai Efektif
Sinyal Nonsinus. Daya Pada Sinyal Nonsinus. Resonansi.
Bab 6: Pembebanan +on Linier 111
Tinjauan Di Sisi Beban. Tinjauan Di Sisi Sumber. Contoh
Kasus: Penyearah Setengah Gelombang. Perambatan
Harmonisa. Ukuran Distorsi Harmonisa.
Bab 7: Tinjauan Di Kawasan Fasor 129
Pernyataan Sinyal Nonsinus Dalam Fasor. Impedansi. Nilai
Efektif. Sumber Tegangan Sinusiodal Dengan Beban
Nonlinier. Teorema Tellegen. Transfer Daya. Kompensasi
Daya Reaktif.
vi
Bab 8: Dampak Harmonisa Pada Piranti 161
Konduktor. Kapasitor. Induktor. Transformator. Tegangan
Maksimum Pada Piranti. Partial Discharge. Alat Ukur
Elektromekanik. Resume.
Bab 9: Harmonisa Pada Sistem Tiga Fasa 189
Komponen Harmonisa Dalam Sistem Tiga Fasa. Relasi
Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-Netral. Hubungan Sumber
Dan Beban. Sumber Bekerja Paralel. Penyaluran Energi ke
Beban. Rangkaian Ekivalen Untuk Analisis.
Daftar Referensi 199
Indeks 201
Biodata 202
1
BAB 1 Rangkaian Magnetik
Rangkaian magnetik merupakan basis dari sebagian terbesar peralatan
listrik di industri maupun rumah tangga. Motor dan generator dari yang
bekemampuan kecil sampai sangat besar, berbasis pada medan magnetik
yang memungkinkan terjadinya konversi energi listrik. Di bab ini kita
akan melihat hukum-hukum dasar, perhitungan dalam rangkaian
magnetik, rugi-rugi dan gaya magnetik, induktor dan induktansi bersama.
Seperti halnya analisis rangkaian listrik yang dilandasi oleh beberapa
hukum saja, yaitu hukum Ohm dan Hukum Kirchhoff, analisis rangkaian
magnetik juga dilandasi oleh hanya beberapa hukum saja, yaitu hukum
Faraday dan hukum Ampère. Pembahasan kita akan diawali oleh kedua
hukum tersebut dan setelah itu kita akan melihat rangkaian magnetik,
yang sudah barang tentu melibatkan material magnetik. Walaupun
demikian, di bab ini kita tidak akan membahas mengenai material
magnetik itu sendiri, melainkan hanya akan melihat pada hal-hal yang
kita perlukan dalam kaitannya dengan analisis rangkaian magnetik. Kita
juga hanya akan melibatkan beberapa jenis material saja yang telah sejak
lama digunakan walaupun material jenis baru telah dikembangkan.
Setelah mempelajari bab ini kita akan:
•••• memahami hukum-hukum yang mendasari analisis rangkaian
magnetik;
•••• mampu melakukan perhitungan pada rangkaian magnetik;
•••• memahami dan mampu menghitung rugi-rugi dalam rangkaian
magnetik;
•••• memahami dan mampu melakukan perhitungan-perhitungan
pada induktor.
1.1. Hukum-Hukum
Hukum Faraday. Pada 1831 Faraday (1791-1867) menunjukkan bahwa
gejala listrik dapat dibangkitkan dari magnet. Dari kumpulan catatan
hasil percobaan yang dilakukan oleh Faraday, suatu formulasi matematis
telah diturunkan untuk menyatakan hukum Faraday, yaitu :
2 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
dt
de
λ−= (1.1)
dengan e menunjukkan tegangan induksi [volt] pada suatu kumparan,
dan λ adalah fluksi lingkup yang dicakup oleh kumparan. Jika kumparan
mempunyai lilitan dan setiap lilitan mencakup fluksi magnit sebesar φ
[weber], maka fluksi lingkup adalah λ = φ [weber-lilitan] dan (1.1)
menjadi
dt
de
φ−= (1.2)
Tanda negatif pada (1.1) diberikan oleh Emil Lenz, yang setelah
melanjutkan percobaan Faraday menunjukkan bahwa arah arus induksi
selalu sedemikian rupa sehingga terjadi perlawanan terhadap aksi yang
menimbulkannya. Reaksi demikian ini disebut hukum Lenz.
Hukum Ampère. André Marie Ampère (1775 – 1836), melakukan
percobaan yang terkenal dalam kaitan kemagnitan, yaitu mengenai
timbulnya gaya mekanis antara dua kawat paralel yang dialiri arus listrik.
Besar gaya F dinyatakan secara matematis sebagai
2
21 II
r
lF
πµ
= (1.3)
dengan I1 dan I2 adalah arus di masing-masing konduktor, l adalah
panjang konduktor, dan r menunjukkan jarak antara sumbu kedua
konduktor dan besaran µ merupakan besaran yang ditentukan oleh
medium dimana kedua kawat tersebut berada.
Arus I2 dapat dipandang sebagai pembangkit suatu besaran medan magnit
di sekeliling kawat yang dialirinya, yang besarnya adalah
r
IB
2
2
π
µ= (1.4)
Hasil ini juga diamati oleh dua peneliti Perancis yaitu J.B. Biot dan F.
Savart. Dengan (1.4), maka (1.3) menjadi lebih sederhana yaitu
1BlIF = (1.5)
Persamaan (1.5) ini berlaku jika kedua kawat adalah sebidang. Jika kawat
ke-dua membentuk sudut θ dengan kawat pertama maka (1.5) menjadi
3
θ= sin1BlIF (1.6)
Secara umum (1.6) dapat ditulis
)( θ= fIBKF B (1.7)
dengan f(θ) adalah suatu fungsi sudut antara medan B dan arus I , dan KB
adalah suatu konstanta untuk memperhitungkan berbagai faktor, seperti
misalnya panjang kawat. Besaran B mempunyai satuan [weber/meter2];
hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.
Menurut (1.5), satuan B adalah : ][][
][][
meteramp
newtonB
×=
sedangkan ][
]detik[ ][ ][
][
]detik].[[][
meter
ampvolt
meter
watt
panjang
energinewton ===
sehingga ][
][
][
]detik[ ][
][ ][
]detik[ [amp] ][][
222 meter
weber
meter
volt
meteramp
voltB === .
Jadi B menunjukkan kerapatan fluksi magnetik dengan satuan [weber/m2]
atau [tesla]. Arah B ditentukan sesuai dengan kaidah tangan kanan yang
menyatakan bahwa : jika kawat yang dialiri arus digenggam dengan
tangan kanan dengan ibujari mengarah sejajar aliran arus maka arah B
adalah sesuai dengan arah penunjukan jari-jari yang menggenggam
kawat tersebut.
Permeabilitas. Dalam persamaan (1.3), µ mewakili sifat medium
tempat kedua konduktor berada; besaran ini disebut permeabilitas. Untuk
ruang hampa, permeabilitas ini adalah
70 104 −×π=µ (1.8)
dengan satuan ][
][
meter
henry. Hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.
][
][
][ ][
]detik[ ][
][ ][
]detik[ ][ ][
][
][][
220meter
henry
meteramp
volt
meteramp
ampvolt
amp
newton====µ
karena ][ ][
]detik[ ][henry
amp
volt= yaitu satuan induktansi.
4 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Dalam hal mediumnya bukan vakum maka permeabilitasnya dinyatakan
sebagai
0µ×µ=µ r (1.9)
dengan µr adalah permeabilitas relatif, yang merupakan perbandingan
antara permeabilitas medium terhadap vakum.
Intensitas Medan Magnet. Dalam perhitungan-perhitungan rangkaian
magnetik, akan lebih mudah jika kita bekerja dengan besaran magnetik
yang tidak tergantung dari medium. Hal ini terutama kita temui pada
mesin-mesin listrik dimana fluksi magnetik menembus berbagai macam
medium. Oleh karena itu didefinisikan besaran yang disebut intensitas
medan magnetik , yaitu
µ≡
BH (1.10)
dengan satuan ][
][
]/[][
][ ]/[][][
2 meter
amp
ampnewton
meterampnewtonH == .
Dengan pendefinisian ini, H merupakan besaran yang tidak tergantung
dari medium. Secara umum satuan H adalah [lilitan amper]/[meter] dan
bukan [amp]/[meter] agar tercakup pembangkitan medan magnit oleh
belitan yang terdiri dari banyak lilitan.
Hukum Rangkaian Magnetik Ampère . Hukum rangkaian magnetik
Ampère menyatakan bahwa integral garis tertutup dari intensitas medan
magnit sama dengan jumlah arus (ampere turns) yang
membangkitkannya. Hukum ini dapat dituliskan sebagai
mFHdl =∫ (1.11)
Fm dipandang sebagai besaran pembangkit medan magnit dan disebut
magnetomotive force yang disingkat mmf. Besaran ini sama dengan
jumlah ampere-turn yang dilingkupi oleh garis fluksi magnit yang
tertutup.
Dari relasi di atas, diturunkan relasi-relasi yang sangat bermanfaat untuk
perhitungan rangkaian magnetik. Jika panjang total dari garis fluksi
magnit adalah L, maka total Fm yang diperlukan untuk membangkitkan
fluksi tersebut adalah
5
LL µ
==B
HFm (1.12)
Apabila kerapatan fluksi adalah B dan fluksi menembus bidang yang
luasnya A , maka fluksi magnetnya adalah
BA=φ (1.13)
dan jika (1.13) dimasukkan ke (1.12) akan diperoleh
µφ==
AHFm
LL (1.14)
Apa yang berada dalam tanda kurung pada (1.14) ini sangat menarik,
karena sangat mirip dengan formula resistansi dalam rangkaian listrik.
Persamaan (1.14) ini dapat kita tuliskan
ℜ=
µ=φ m
m
FF
A
L (1.15)
Pada (1.15) ini, Fm merupakan besaran yang menyebabkan timbulnya
fluksi magnit φ. Besar fluksi ini dibatasi oleh suatu besaran ℜ yang kita
sebut reluktansi dari rangkaian magnetik, dengan hubungan
Aµ=ℜ
L (1.16)
Persamaan (1.15) sering disebut sebagai hukum Ohm untuk rangkaian
magnetik. Namun kita tetap harus ingat bahwa penurunan relasi ini
dilakukan dengan pembatasan bahwa B adalah kostan dan A tertentu.
Satuan dari reluktansi tidak diberi nama khusus.
1.2. Perhitungan Pada Rangkaian Magnetik
Perhitungan-perhitungan pada rangkaian magnetik pada umumnya
melibatkan material ferromagnetik. Perhitungan ditujukan pada dua
kelompok permasalahan, yaitu mencari mmf jika fluksi ditentukan
(permasalahan ini kita jumpai pada perancangan) mencari fluksi φ apabila
geometri dari rangkaian magnetik serta mmf diketahui (permasalahan ini
kita jumpai dalam analisis, misalnya jika kita harus mengetahui fluksi
gabungan dari suatu rangkaian magnetik yang dikendalikan oleh lebih
dari satu belitan). Berikut ini kita akan melihat perhitungan-perhitungan
rangkaian magnetik melalui beberapa contoh.
6 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
CO+TOH 1.1 : Suatu toroid terdiri dari dua macam material
ferromagnetik dengan belitan pembangkit medan magnetik yang
terdiri dari 100 lilitan, seperti terlihat pada gambar di samping ini.
Material a adalah besi nikel
(nickel iron) dengan panjang
rata-rata La = 0,4 m. Material b
adalah baja silikon (medium
silicon sheet steel) dengan
panjang rata-rata Lb = 0,2 m.
Kedua bagian itu mempunyai
luas penampang sama, yaitu 0,001 m2. a). Tentukan Fm yang
diperlukan untuk membangkitkan fluksi φ = 6×10−4
weber. b).
Hitung arus yang harus mengalir pada belitan agar nilai fluksi
tersebut tercapai.
Penyelesaian :
Untuk memperoleh Fm total yang diperlukan, kita aplikasikan hukum
rangkaian Ampère pada rangkaian magnetik ini.
bbaambmatotalm HHFFF LL +=+=
Fluksi yang diinginkan di kedua bagian toroid adalah 6×10−4
weber,
sedangkan kedua bagian itu mempunyai luas penampang sama. Jadi
kerapatan fluksi di kedua bagian itu juga sama yaitu
tesla6,0001,0
0006,0==
φ==
ABB ba
Untuk mencapai kerapatan fluksi tersebut, masing-masing material
memerlukan intensitas medan yang berbeda. Intensitas medan yang
diperlukan dapat dicari melalui kurva B-H dari masing-masing
material, yang dapat dilihat di buku acuan. Salah satu kurva B-H
yang dapat kita peroleh adalah seperti dikutip pada Gb.1.1.
Dengan menggunakan kurva B-H ini, kita peroleh
AT/m 65 diperlukan tesla6.0untuk : Material
AT/m 10 diperlukan tesla6.0untuk : Material
==
==
bb
aa
HBb
HBa
Dengan demikian Fm total yang diperlukan adalah
AT 172.0654.010LL =×+×=+= bbaatotalm HHF
+
− E
R
Lb La
7
b). Karena jumlah lilitan adalah 100, maka besar arus yang harus
mengalir di belitan untuk memperoleh Fm total sebesar 17 AT adalah
A 17,0100
17==I
Gb.1.1. Kurva B − H beberapa material.
Pemahaman :
Dalam pemecahan persoalan di atas, karakteristik medium tidak
dinyatakan oleh permeabilitas medium, melainkan oleh karakteristik
B-H dari masing-masing material. Kita lihat dari kutipan kurva B-H
pada Gb.1.1, bahwa hubungan antara B dan H adalah tidak linier.
Apabila kita menginginkan gambaran mengenai besar permeabilitas
masing-masing material, kita dapat menghitungnya dengan cara
yang diuraikan berikut ini.
Permeabilitas dari material a dan b masing-masing pada titik operasi
ini adalah
0
0.25
0.5
0.75
1
1.25
1.5
1.75
0 50 100 150 200 250 300 350 400
ickel-iron alloy , 47%
Medium silicon sheet
steel
Soft steel casting
Cast iron
H [ampre-turn / meter]
B
[tes
la]
8 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
7340104
0092,0
rhenry/mete 0092,065
6,0
47740104
06.0
rhenry/mete 06,010
6,0
70
70
=×π
=µ
µ=µ→
===µ
=×π
=µ
µ=µ→
===µ
−
−
bbr
b
bb
aar
a
aa
H
B
H
B
Reluktansi rangkaian magnetik pada bagian toroid dengan material a
dan b masing-masing dapat juga kita hitung, yaitu
21670001,06,0
13
6670001,06,0
4
≈×
=φ
=ℜ
≈×
=φ
=ℜ
bmb
ama
F
F
Jadi walaupun bagian b dari toroid lebih pendek dari bagian a,
reluktansinya jauh lebih besar. Kedua bagian rangkaian magnetik
yang terhubung seri ini mempunyai reluktansi total sebesar
28340216706670 =+≈ℜ+ℜ=ℜ batot .
Untuk meyakinkan, kita hitung balik fluksi magnet.
weber10628340
17 4 −×==ℜ
=φtot
totalmF
Ternyata hasilnya sesuai dengan apa yang diminta dalam persoalan
ini. Hasil ini menunjukkan bahwa reluktansi magnetik yang
dihubungkan seri berperilaku seperti resistansi yang terhubung seri
pada rangkaian listrik; reluktansi total sama dengan jumlah
reluktansi yang diserikan.
CO+TOH 1.2 : Pada rangkaian magnetik dalam contoh 1.1. di atas,
berapakah fluksi magnetik yang akan dibangkitkan bila arus pada
belitan dinaikkan menjadi 0,35 A ?
Penyelesaian :
9
Dengan arus 0,35 A, Fm total menjadi
AT 3535,0100 =×=totalmF .
Untuk menghitung besar fluksi yang terbangkit, kita perlu
mengetahui reluktansi total. Untuk itu perlu dihitung reluktansi dari
masing-masing bagian toroid. Hal ini tidak dapat dilakukan karena
untuk menghitung reluktansi tiap bagian perlu diketahui Fm dan B
untuk masing-masing bagian, sedangkan untuk menghitungnya perlu
diketahui besar fluksi φ yang justru ditanyakan.
Dari apa yang diketahui, yaitu Fm total dan ukuran toroid, kita
dapatkan hubungan
4,0
2,035
352,04,0LL
ba
babbaatotalm
HH
HHHHF
−=⇒
=+=+=
Karena luas penampang di kedua bagian toroid sama, yaitu 0,001
m2, maka kerapatan fluksi B juga sama. Dengan batasan ini, kita
mencoba menyelesaikan persoalan dengan cara mengamati kurva B-
H. Kita perkirakan suatu nilai Hb dan menghitung Ha, kemudian kita
mengamati lagi kurva B-H apakah untuk nilai Ha dan Hb ini terdapat
Ba = Bb . Jika tidak, kita koreksi nilai Hb dan dihitung lagi Ha dan
dilihat lagi apakah Ba = Bb. Jika tidak, kita lakukan koreksi lagi, dan
seterusnya sampai akhirnya diperoleh Ba ≈ Bb.
Kita mulai dengan Hb = 100 AT yang memberikan Ha = 37,5. Kedua
nilai ini terkait dengan Bb = 0,75 dan Ba = 0,9 tesla. Ter-nyata Ba ≠
Bb. Kita perbesar Hb agar Ha mengecil dan akan menyebabkan Bb
bertambah dan Ba berkurang. Pada nilai Hb = 110 AT, maka Ha =
32,5 dan terdapat Bb = 0,8 dan Ba = 0,85 tesla. Kita lakukan koreksi
lagi dan akan kita dapatkan Ba ≈ Bb ≈ 0,825 pada nilai Hb = 125 dan
Ha = 25 AT. Dengan nilai ini maka besar fluksi adalah
weber.1025,8001,0825,0 4−×=×=×=φ AB
Perhitungan secara grafis ini tentu mengandung ketidak-telitian. Jika
kesalahan yang terjadi adalah ± 5%, maka hasil perhitungan ini
dapat dianggap memadai.
Pemahaman :
10 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Jika kita bandingkan hasil pada contoh 1.1. dan 1.2. maka akan
terlihat hal berikut.
contoh 1.1. :
weber106 tesla6,0 A 17,0 4−×=φ→=→= BI
contoh 1.2. :
weber1025,8 tesla825,0 A 35,0 4−×=φ→=→= BI
Dapat kita simpulkan bahwa menaikkan arus belitan menjadi dua
kali lipat tidak menghasilkan fluksi dua kali lipat. Hal ini disebabkan
oleh karakteristik magnetisasi material yang tidak linier.
CO+TOH 1.3 : Pada rangkaian magnetik di bawah ini, tentukanlah mmf
yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar 0,0014 weber
di “kaki” sebelah kanan. Rangkaian magnetik ini mempunyai luas
penampang sama yaitu 0,002 m2, kecuali “kaki” tengah yang luasnya
0,0008 m2. Material yang digunakan adalah medium silicon steel.
Penyelesaian :
Rangkaian magnetik ini mempunyai tiga cabang, yaitu
cabang efab dengan reluktansi ℜ1; be dengan reluktansi ℜ2 dan
bcde dengan reluktansi ℜ3.
Rangkaian ekivalen dari rangkaian
magnetik ini dapat digambarkan
seperti di samping ini. Fluksi yang
diminta di kaki kanan adalah φ3 =
0.0014 weber. Karena dimensi kaki
ini diketahui maka kerapatan fluksi dapat dihitung, yaitu
tesla7,0002,0
0014,03 ==B .
0.15 m 0.15 m
0.1
5 m
a b c
d e f
Fm
ℜ1
ℜ2 ℜ3
11
Berdasarkan kurva B-H dari material yang dipakai, kerapatan fluksi
ini memerlukan H3 sebesar 80 AT/m. Jadi mmf yang diperlukan
adalah
AT 36)15,03(80L33 =××=×= bcdem HF
Rangkaian ekivalen memperlihatkan bahwa ℜ2 terhubung paralel
dengan ℜ3. Hal ini berarti bahwa Fm3 juga harus muncul pada ℜ2,
yaitu reluktansi kaki tengah, dengan kata lain Fm2 = Fm3. Dengan
demikian kita dapat menghitung H2.
AT/m 2400,15
36
L
F
L be
m322 ====
be
mFH
Melihat lagi kurva B-H, kita dapatkan untuk H2 ini tesla125,12 =B .
Luas penampang kaki tengah adalah 0,0008 m2. Maka
weber0009,00008,0125,10008,022 =×=×=φ B
Fluksi total yang harus dibangkitkan di kaki kiri adalah
weber0023,00009,00014,0321 =+=φ+φ=φ
Luas penampang kaki kiri adalah 0,002 m2, sama dengan kaki kanan.
Kerapatan fluksinya adalah
tesla1,15002,0
0023,0
002,0
11 ==
φ=B
Dari kurva B-H, untuk B1 ini diperlukan AT/m 2401 =H ,
sehingga
AT 108)15,03(240L11 =××=×= efabm HF
Jadi total mmf yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar
0,0014 weber di kaki kanan adalah
AT 1803636108321 =++=++= mmmmtot FFFF
12 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
CO+TOH 1.4 : Berapakah mmf yang diperlukan pada contoh 1.3. jika
kaki tengah ditiadakan?
Penyelesaian :
Dengan meniadakan kaki tengah maka fluksi di seluruh rangkaian
magnetik sama dengan fluksi di kaki kanan, yaitu φ = φ3 = 0,0014
weber. Kerapatan fluksi di seluruh rangkaian magnetik juga sama
karena luas penampangnya sama, yaitu
tesla7,0002,0
0014,03 === BB
Dari kurva B-H diperoleh H = 80 AT/m, sehingga mmf yang
diperlukan adalah
AT 72)15,06(80L =××=×= abcdefam HF
Pemahaman :
Dengan menghilangkan kaki tengah, mmf yang diperlukan menjadi
lebih kecil. Bagaimanakah jika kaki tengah diperbesar luas
penampangnya ?
Memperbesar penampang kaki tengah tidak mempengaruhi
kerapatan fluksi di kaki ini sebab Fm3 tetap harus muncul di kaki
tengah. H2 tak berubah, yaitu H2 = Fm3/Lbe = 240 AT/m dan B2 juga
tetap 1,125 tesla. Jika penampang kaki tengah diperbesar, φ2 akan
bertambah sehingga φ1 juga bertambah. Hal ini menyebabkan
meningkatnya B1 yang berarti meningkatnya H1 sehingga Fm1 akan
bertambah pula. Dengan demikian Fm total akan lebih besar.
Penjelasan ini menunjukkan seolah-olah kaki tengah bertindak
sebagai “pembocor” fluksi. Makin besar kebocoran, makin besar
mmf yang diperlukan.
1.3. Rugi-Rugi Dalam Rangkaian Magnetik
Rugi Histerisis. Dalam rekayasa, material ferromagnetik sering dibebani
dengan medan magnit yang berubah secara periodik dengan batas positif
dan negatif yang sama. Pada pembebanan seperti ini terdapat
kecenderungan bahwa kerapatan fluksi, B, ketinggalan dari medan
magnetnya, H. Kecenderungan ini kita sebut histerisis dan kurva B-H
membentuk loop tertutup seperti terlihat pada Gb.1.2. dan kita sebut loop
13
histerisis. Hal ini telah kita pelajari dalam fisika. Di sini kita akan
membahas akibat dari
karakteristik material seperti
ini dalam rekayasa.
Loop histerisis ini
menunjukkan bahwa untuk
satu nilai H tertentu terdapat
dua kemungkinan nilai B.
Dalam memecahkan
persoalan rangkaian magnetik
pada contoh-contoh di sub-
bab 1.2. kita menggunakan
kurva B-H yang kita sebut
kurva B-H normal atau kurva
magnetisasi normal, dimana
satu nilai H terkait dengan hanya satu nilai B, yaitu kurva B-H pada
Gb.1.1. Itulah sebabnya kesalahan perhitungan sebesar ± 5 % masih
dapat kita terima jika kita menggunakan kurva B-H normal karena
sesungguhnya B tidak mempunyai nilai tunggal, melainkan tergantung
dari riwayat magnetisasi material.
Perhatikan integrasi :
bdcbHdBabdaHdBc
b
b
a
B
B
B
B bidang luas ; bidang luas == ∫∫
dan satuan dari HB :
332.][
meter
joule
meter
meternewto
meter
newton
meterampre
newton
meter
ampereHB =
⋅==×=
Jelaslah bahwa HB mempunyai satuan kerapatan energi. Jadi luas bidang
abda pada Gb.1.2. menyatakan kerapatan energi, yaitu energi magnetik.
Karena luas abda diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu H dan B naik,
atau dengan kata lain medan magnetik bertambah, maka ia
menggambarkan kerapatan energi yang disimpan ke material. Luas
bidang bdcb yang diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu medan
magnit berkurang, menggambarkan kerapatan energi yang dilepaskan.
Dari gambar loop histerisis jelas terlihat bahwa luas bdcb < luas abda. Ini
berarti bahwa kerapatan energi yang dilepaskan lebih kecil dari kerapatan
energi yang disimpan. Sisa energi yang tidak dapat dilepaskan
H [AT/m]
B [tesla]
Gb.1.2. Loop histerisis.
a
b
c
d
e
0
14 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
digambarkan oleh luas bidang abca, dan ini merupakan energi yang
diserap oleh material dan tidak keluar lagi (tidak termanfaatkan)
sehingga disebut rugi energi histerisis.
Analisis di atas hanya memperhatikan setengah siklus saja. Untuk satu
siklus penuh, kerapatan rugi energi histerisis adalah luas bidang dari
loop histerisis. Jika kerapatan rugi energi histerisis per siklus (= luas loop
histerisis) kita sebut wh , dan jumlah siklus per detik (frekuensi) adalah f
, maka untuk material dengan volume v m3 besar rugi energi histerisis
per detik atau rugi daya histerisis adalah
[watt] v ikdet
v fwjoule
fwP hhh =
= (1.17)
Untuk menghindari perhitungan luas loop histerisis, Steinmetz
memberikan formula empiris untuk rugi daya histerisis sebagai
)( v nmhh BKfP = (1.18)
dengan Bm adalah nilai maksimum kerapatan fluksi, n mempunyai nilai
antara 1,5 sampai 2,5 tergantung dari jenis material. Kh adalah konstanta
yang juga tergantung dari jenis material; untuk cast steel 0,025; silicon
sheet steel 0,001; permalloy 0,0001.
Rugi Arus Pusar. Jika medan magnetik berubah terhadap waktu, selain
rugi daya histerisis terdapat pula rugi daya yang disebut rugi arus pusar.
Arus pusar timbul sebagai reaksi terhadap perubahan medan magnet. Jika
material berbentuk balok pejal, resistansi material menjadi kecil dan rugi
arus pusar menjadi besar. Untuk memperbesar resistansi agar arus pusar
kecil, rangkaian magnetik disusun dari lembar-lembar material magnetik
yang tipis (antara 0,3 ÷ 0,6 mm). Formula empiris untuk rugi arus pusar
adalah
watt v 222e τ= me BfKP (1.19)
dengan Ke = konstanta yang tergantung dari jenis material; f = frekuensi
(Hz); Bm = kerapatan fluksi maksimum; τ = tebal laminasi; v = volume
material.
Perhatikan bahwa rugi arus pusar sebanding dengan pangkat dua dari
frekuensi, sedangkan rugi histerisis sebanding dengan pangkat satu
frekuensi. Rugi histerisis dan rugi arus pusar secara bersama-sama
15
disebut rugi-rugi inti. Rugi-rugi inti akan menaikkan temperatur
rangkaian magnetik dan akan menurunkan efisiensi peralatan.
1.4. Gaya Magnetik
Energi yang tersimpan dalam
medan magnetik dapat
digunakan untuk melakukan
kerja mekanik (misalnya
menarik tuas rele). Untuk
mempelajari bagaimana gaya
ini dapat timbul, kurva B-H
normal yang tidak linier
seperti terlihat pada Gb.1.3.a,
kita dekati dengan suatu
kurva linier seperti pada
Gb.1.3.b. Jika kita menaikkan H dari 0 ke H1, maka B naik dari 0 ke B1.
Luas bidang 0ab0 menyatakan kerapatan energi yang tersimpan dalam
material, dan besarnya adalah
311 joule/m
2
1HBw f =
Secara umum, dengan medan magnetik sebesar H dalam suatu material
akan terdapat kerapatan simpanan energi sebesar
3joule/m
2
1BHw f = (1.20)
Perhatikan bahwa (1.20) kita peroleh setelah kita melakukan linierisasi
kurva B-H.
Karena (1.20) menunjukkan kerapatan energi, maka jika kita kalikan
dengan volume dari rangkaian magnetik kita akan mendapatkan energi
total yang tersimpan dalam rangkaian tersebut. Misalkan luas penampang
rangkaian A dan panjangnya L, maka energi total menjadi
joule 2
1L))((
2
1L
2
1mFHBABHAW φ=== (1.21)
Antara fluksi φ dan Fm terdapat hubungan φ = Fm / ℜ , sehingga (1.21)
dapat juga dituliskan
joule 2
1
2
1
2
1 22
ℜφ=ℜ
=φ= mm
FFW (1.22)
Gb.1.3. Linierisasi Kurva B-H.
H H
B B
a) b)
H1 0
a b B1
16 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Untuk memahami timbulnya gaya
magnetik, kita lakukan percobaan
dengan suatu rangkaian magnetik
yang terdiri dari tiga bagian yaitu
gandar, celah udara, dan jangkar,
seperti terlihat pada Gb.1.4.
Rangkaian ini dicatu oleh sumber
tegangan Vs yang diserikan dengan
resistor variabel R. Luas
penampang gandar sama dengan
luas penampang jangkar. Untuk
suatu kedudukan jangkar tertentu,
dengan Vs dan R tertentu, terjadi
eksitasi sebesar Fm yang akan
membuat simpanan energi dalam
rangkaian magnetik ini sebesar
( )jjuuggW ℜφ+ℜφ+ℜφ= 222
2
1 (1.23)
Indeks g, u, dan j berturut-turut menunjukkan gandar, udara dan
jangkar. Karena ketiga bagian rangkaian terhubung seri maka jika
penyebaran fluksi di bagian pinggir di celah udara diabaikan fluksi di
ketiga bagian tersebut akan sama. Kerapatan fluksi juga akan sama di
ketiga bagian tersebut. Dengan demikian maka persamaan (1.23) dapat
kita tulis
( ) totaljugW ℜφ=ℜ+ℜ+ℜφ= 22
2
1
2
1 (1.24)
Besar reluktansi total adalah
AAA
u
j
j
g
gtotal
0
LLL
µ+
µ+
µ=ℜ (1.25)
Karena kita melakukan linierisasi kurva B-H, maka permeabilitas
material menjadi konstan.
Hal ini ditunjukkan oleh kemiringan kurva B-H. Jadi µg dan µj dianggap
konstan sedangkan permeabilitas udara dapat dianggap sama dengan µ0 .
x
Gb.1.4. Rangkaian
magnetik dengan jangkar
gandar
jangkar
Lg
Lj
+
− Vs
R
17
Percobaan pertama adalah memegang jangkar tetap pada tempatnya dan
menambah eksitasi dengan menurunkan nilai resistor R sehingga arus
catu naik. Eksitasi akan naik menjadi (Fm+∆Fm) dan simpanan energi
pada seluruh rangkaian magnetik akan naik pula. Artinya tambahan
energi sebesar ∆W yang disebabkan oleh tambahan eksitasi sebesar ∆Fm
tersimpan sebagai tambahan energi di semua bagian rangkaian yaitu
gandar, jangkar dan celah udara.
Untuk percobaan kedua, kita kembalikan dulu eksitasi pada keadaan
semula dengan mengembalikan R pada nilai semula sehingga eksitasi
kembali menjadi Fm dan kita jaga konstan. Jangkar kita lepaskan
sehingga celah udara menjadi (x−∆x). Berkurangnya celah udara ini akan
menyebabkan reluktansi ℜu menurun sehingga secara keseluruhan ℜtot
juga menurun. Menurunnya ℜtot akan memperbesar fluksi karena eksitasi
Fm dipertahankan tetap. Ini berarti bahwa simpanan energi dalam
rangkaian magnetik bertambah.
Pertambahan simpanan energi yang terjadi pada percobaan ke-dua ini
berbeda dengan pertambahan energi pada percobaan pertama. Pada
percobaan pertama pertambahan energi berasal dari pertambahan
masukan, yaitu ∆Fm . Pada percobaan ke-dua, Fm dipertahankan tetap.
Oleh karena itu satu-satunya kemungkinan pertambahan energi adalah
dari gerakan jangkar. Jadi perubahan posisi jangkar memberikan
tambahan simpanan energi dalam rangkaian magnetik. Penafsiran kita
dalam peristiwa ini adalah bahwa perubahan posisi jangkar telah
menurunkan energi potensial jangkar. Penurunan energi potensial
jangkar itu diimbangi oleh naiknya simpanan energi pada rangkaian
magnetik sesuai dengan prinsip konservasi energi.
Jika dx adalah perubahan posisi jangkar (∆x→0), Fx adalah gaya mekanik
pada jangkar pada posisi x, maka perubahan energi potensial jangkar
adalah
dxFdW xj = (1.26)
Perubahan energi tersimpan dalam rangkaian magnetik adalah dW.
Karena tidak ada masukan energi dari luar (sumber listrik) maka
dWdxFdWdxFdWdW xxj −=→=+=+ 0 (1.27)
Karena Fm kita jaga konstan, kita dapat memasukkan persamaan (1.22)
bentuk yang ke-dua ke (1.27) sehingga kita peroleh
18 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
( )dx
d
dx
dFF
dx
dF
FddWdxF
tottot
tot
mtotmx
totmx
ℜφ−=
ℜ
ℜ−=ℜ−=→
ℜ−=−=
−
−
2
2
212
12
2
1
2
1
2
1
) (2
1
(1.28)
Dengan persamaan (1.28) ini kita dapat menghitung gaya mekanik pada
jangkar rele elektromekanik, plunger, dan lain-lain peralatan listrik yang
memanfaatkan gaya magnetik.
CO+TOH 1.5 : Turunkanlah formulasi gaya magnetik pada rangkaian
magnetik Gb.1.4 jika reluktansi inti besi, baik gandar maupun
jangkar, diabaikan terhadap reluktansi celah udara.
Penyelesaian : Dengan hanya memperhitungkan reluktansi celah
udara saja, maka persamaan (1.28) menjadi
dx
L
2
1L
2
1
2
1
0
2
0
22 uuux
d
AAdx
d
dx
dF
µφ
−=
µφ−=
ℜφ−=
newton maka 2)2(L
Karena0
2
AF
dx
xd
dx
dx
u
µφ
=−=−=
Pemahaman : Apakah pengabaian reluktansi inti besi terhadap
reluktansi celah udara ini cukup wajar ? Kita akan melihatnya
dengan ukuran nyata seperti berikut.
Misalkan panjang rata-rata gandar Lg = 3×15 cm = 0,45 m. Panjang
jangkar Lj = 0,15 m. Luas penampang gandar maupun jangkar A =
(5 cm × 4 cm ) = 0,002 m2. Dengan ukuran-ukuran ini maka
reluktansi gandar dan jangkar adalah
00
00
75
002,0
15,0L
225
002,0
45,0L
µµ=
×µµ=
µ=ℜ
µµ=
×µµ=
µ=ℜ
rrj
jj
rrg
gg
A
A
Dengan menganggap luas penampang sama dengan jangkar dan
lebar celah 1 mm, maka celah udara mempunyai reluktansi
19
000
1
002,0
001,02L
µ=
×µ×
=µ
=ℜA
uu .
Perbandingan antara reluktansi celah udara dan jumlah reluktansi
gandar dan jangkar adalah :
300/300
/1
0
0 r
rjg
u µ=
µµ
µ=
ℜ+ℜ
ℜ.
Kalau kita mengambil nilai µr seperti pada hasil perhitungan dalam
pemahaman contoh 1.1, yaitu untuk baja silikon µr = 7340 dan
untuk besi nickel µr =47740, maka
24300
7340 :silikon bajauntuk ≈=
ℜ+ℜ
ℜ
jg
u ;
159300
47740 : nickel besiuntuk ≈=
ℜ+ℜ
ℜ
jg
u .
Makin tinggi permeabilitas material yang kita pakai, reluktansi celah
udara makin dominan sehingga reluktansi jangkar dan gandar wajar
untuk tidak diperhitungkan.
1.5. Induktor
Perhatikan rangkaian
induktor (Gb.1.5).
Apabila resistansi belitan
dapat diabaikan, maka
menurut hukum
Kirchhoff
dt
diLevev
f==→=+− 1111 0 (1.29)
Persamaan (1.29) adalah persamaan rangkaian listrik yang terdiri dari
sumber v1 dan beban induktor L. Tegangan e1 adalah tegangan jatuh
pada induktor, sesuai dengan konvensi pasif pada dalam analisis
rangkaian listrik.
Gb.1.5. Rangkaian induktor.
φ ≈ +
e1
−
1
if
+
v1
−
20 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Sekarang kita lihat rangkaian magnetiknya dengan menganggap inti
induktor ideal (luas kurva histerisis material inti sama dengan nol).
Dalam rangkaian magnetik terdapat fluksi magnetik φ yang ditimbulkan
oleh arus if. Perubahan fluksi φ akan membangkitkan tegangan induksi
pada belitan sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.
dt
det
φ−= 1 (1.30)
Tanda “−” pada (1.30) mempunyai arti bahwa tegangan induksi et harus
mempunyai polaritas yang akan dapat memberikan arus pada rangkaian
tertutup sedemikian rupa sehingga arus tersebut akan memberikan fluksi
lawan terhadap fluksi pembangkitnya, yaitu φ. Menurut kaidah tangan
kanan, polaritas tersebut adalah seperti polaritas e1 pada Gb.1.5. Jadi
tanda “−” pada (1.30) terpakai untuk menetapkan polaritas et sedangkan
nilai et tentulah sama dengan tegangan jatuh e1. Jadi
dt
diLe
dt
de
ft ==
φ= 11 (1.31)
Persamaan (1.31) menunjukkan bahwa φ dan if berubah secara
bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus
if yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.
Arus if sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk
sinus. Jadi dalam sistem ini baik tegangan, arus maupun fluksi
mempunyai frekuensi sama dan dengan demikian konsep fasor yang kita
pelajari di Bab-5 dapat kita gunakan untuk melakukan analisis pada
sistem ini, yang merupakan gabungan dari rangkaian listrik dan
rangkaian magnetik. Jika resistansi belitan diabaikan, persamaan (1.29)
dan (1.31) dapat kita tulis dalam bentuk fasor sebagai
LjjLj ftf IEEIE ω==Φω=ω= 111 ; (1.32)
dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor.
Dengan memperhatikan (1.32), diagram fasor tegangan , arus, dan fluksi
dari induktor tanpa memperhitungkan rugi-rugi inti dan resistansi belitan
adalah seperti pada Gb.1.6.a. dimana arus yang membangkitkan fluksi
yaitu Iφ sama dengan If.
21
Dalam praktek, inti induktor tidaklah bebas dari rugi-rugi. Pada
pembebanan siklis (dalam hal ini secara sinus) rugi-rugi inti
menyebabkan fluksi yang dibangkitkan oleh if ketinggalan dari if sebesar
γ yang disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.1.6.b.
dimana arus magnetisasi If mendahului φ sebesar γ. Melihat kenyataan
ini, If dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu Iφ yang
diperlukan untuk membangkitkan φ, dan Ic yang diperlukan untuk
mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi If = Iφ + Ic.
Komponen Ic merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan E1 akan
memberikan rugi-rugi inti
watt)90cos(o
11 γ−== fcc IEEIP (1.33)
Apabila resistansi belitan tidak dapat diabaikan, maka V1 ≠ E1 . Misalkan
resistansi belitan adalah R1 , maka
111 RfIEV += (1.34)
Diagram fasor dari keadaan terakhir ini diperlihatkan oleh Gb.1.6.c.
Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain
untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya
pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, Pcu.
Jadi θ=+=+= cos112
ffccucin IVRIPPPP (1.35)
dengan V1 dan If adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.
CO+TOH 1.6 : Sebuah reaktor dengan inti besi mempunyai 400 lilitan.
Reaktor ini dihubungkan pada jaringan bertegangan 115 volt, 60 Hz.
Dengan mengabaikan resistansi belitan, hitung nilai maksimum
fluksi magnetnya. Jika fluksi maknit dibatasi tidak boleh lebih dari
1,2 tesla, berapakah luas penampang intinya?
Gb.1.6. Diagram fasor induktor
a). ideal
E1=Et
If =Iφ
Φ
c). ada resistansi
belitan
Iφ
Φ
Ic
If
IfR
1 V1 θ
E1=Et
Iφ
Φ
Ic
If
b). ada rugi-rugi inti
γ
E1=Et
22 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Penyelesaian: Dengan mengabaikan resistansi belitan maka
weber00108,0602400
2115
1152
111
=×π×
=Φ⇒
=Φω
→=
maks
maksVE
Agar kerapatan fluksi tidak lebih dari 1,2 tesla maka
.cm 9m 1,2
00108,0
2,1 12
22 ==Φ
≥⇒≤Φ maksmaks A
A
Induktansi. Menurut (1.15) besarnya fluksi magnetik adalah
ℜ=
µ=φ m
m
FF
A
L.
Dengan mengabaikan fluksi bocor, iFm = dan jika φ ini
dimasukkan ke (1.31) akan diperoleh
dt
diL
dt
dii
dt
d
dt
d
fff=
ℜ=
ℜ=
φ 211
11
sehingga
µ=
ℜ=
L 2
1
21 A
L (1.36)
Induktansi Bersama. Jika pada induktor Gb.1.5. kita tambahkan belitan
kedua, maka pada belitan kedua ini akan diimbaskan tegangan oleh φ
seperti halnya pada belitan pertama. Besar tegangan imbas ini adalah
dt
dii
dt
d
dt
de
ff
ℜ=
ℜ=
φ= 121
222 (1.37)
Jika belitan kedua ini tidak dialiri arus (dalam keadaan terbuka), kita tahu
dari pembahasan di bab terdahulu mengenai induktansi bersama bahwa
dt
diM
dt
diM
dt
diLe
ff=+= 2
22
sehingga kita peroleh induktansi bersama
µ=
ℜ=
L 12
12 A
M (1.38)
23
Pembahasan di atas memperlihatkan bahwa rangkaian induktor dapat kita
analisis dari sudut pandang rangkaian listrik dengan mengaplikasikan
hukum Kirchhoff yang kemudian menghasilkan persamaan (1.29). Kita
dapat pula memandangnya sebagai rangkaian magnetik dan
mengaplikasikan hukum Faraday dimana fluksi magnetik yang berubah
terhadap waktu (dibangkitkan oleh arus magnetisasi if) menimbulkan
tegangan induksi pada belitan.
CO+TOH 1.7 : Hitunglah resistansi dan induktansi selenoida (inti
udara) dengan diameter rata-rata 1 cm dan panjangnya 1 m dan
dengan 1000 lilitan kawat tembaga berdiameter 0,5 mm.
Penyelesaian :
Induktansi:
H 106,98
1
)4/10()104(10
L
6
4762
1
21
−
−−
×=
π××π=
µ=ℜ
=A
L
Resistansi :
Ω=××π
×π×Ω×=ρ=
−
−− 77,2
4/)105,0(
101000]m.[100173,0
23
26
A
lR
CO+TOH 1.8 : Dua buah kumparan, masing-masing 1250 lilitan dan
140 lilitan, digulung pada satu inti magnetik yang mempunyai
reluktansi 160 000. Hitung induktansi bersama, dengan mengabaikan
fluksi bocor.
Penyelesaian :
Induktansi bersama :
H 1,1094,1160000
140125012 ≈=×
=ℜ
=
M
CO+TOH 1.9 : Dua kumparan (inti udara) masing-masing mempunyai
1000 lilitan diletakkan paralel sejajar sedemikian rupa sehingga 60%
fluksi yang dibangkitkan oleh salah satu kumparan melingkupi
kumparan yang lain. Arus sebesar 5 A di salah satu kumparan
membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Hitunglah induktansi masing-
masing kumparan dan induktansi bersama.
24 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Penyelesaian :
Arus 5 A membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Dengan jumlah lilitan
1000 maka reluktansi dapat dihitung
8
310
1005,0
51000=
×
×=ℜ
−
Induktansi masing-masing
mH. 10H 1010
1000 2
8
22
===ℜ
= −L
Fluksi yang melingkupi kumparan yang lain 60% dari fluksi yang
dibangkitkan di salah satu kumparan. Reluktansi bersama adalah
88
10667,16,0
10
6.0×==
ℜ=ℜM
Induktansi bersama
mH 6 H 106,010667,1
10001000 2
8
21 =×=×
×=
ℜ= −
M
M
Catatan Tentang Diagram Fasor. Dalam menurunkan fasor tegangan
induksi Et , kita berangkat dari persamaan (1.30) dengan mengambil
tanda “−” sebagai penentu polaritas. Hasilnya adalah Et merupakan
tegangan jatuh pada belitan, sama dengan E1, dan hal ini ditunjukkan
oleh persamaan (1.32). Kita dapat pula memandang tegangan
terbangkit Et sebagai tegangan naik Et = −E1, dengan mengikut
sertakan tanda “−” pada (1.30) dalam perhitungan dan bukan
menggunakannya untuk menentukan polaritas. Jika ini kita lakukan
maka
ft Ljj IEE ω−=−=Φω−= 11 (1.39)
Dengan memperhatikan (1.39), diagram fasor tegangan, arus, dan fluksi
untuk induktor ideal adalah seperti pada Gb.1.7.a. Di sini fasor tegangan
terbangkit Et berada 90o dibelakang fluksi pembangkitnya yaitu Φ.
Fasor Φ sefasa dengan Iφ = If dan tertinggal 90o dari E1.
Gb.1.7.b. dan Gb.1.7.c. adalah diagram fasor induktor dengan
memperhitungkan rugi-rugi inti dan tembaga.
Gb.28.7. Diagram fasor induktor riil.
25
Gb.1.7. Diagram fasor induktor riil.
a). Induktor ideal.
E1
If =Iφ
Φ
Et
b). ada rugi-rugi inti
c). ada resistansi belitan
VL
Iφ
Φ
Ic
If
γ Et
VL
Iφ
Φ
Ic
If
If R1
Vs θ
Et
26 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Soal-Soal
1. Sepotong kawat tembaga panjangnya 40 cm bergerak memotong
medan magnetik pada arah tegak lurus pada panjangnya. Jika
kerapatan medan magnetik adalah 1 Wb/m2, dan kecepatan gerak
kawat adalah 40 m/detik dengan arah tegak lurus pada arah medan,
hitunglah emf yang terinduksi pada kawat. Hitunglah emf jika arah
gerak membentuk sudut 30o terhadap arah medan.
2. Sebuah kumparan terbuat dari kawat halus dan terdiri dari 500 lilitan.
Luas rata-rata kumparan adalah 600 cm2. Kumparan ini berputar
dengan kecepatan 1500 putaran per menit dalam medan magnetik
uniform yang kerapatannya 100 mWb/m2. Hitunglah nilai puncak dan
nilai rata-rata dari emf yang terinduksi pada kumparan.
3. a). Sebuah konduktor lurus panjang 1 m dialiri arus searah 50 A.
Konduktor ini berada dalam medan magnit dengan kerapatan 1
Wb/m2. Hitunglah gaya mekanis yang bekerja pada konduktor jika
konduktor dipertahankan tetap pada tempatnya. b). Jika konduktor
tersebut digerakkan melawan gaya yang bekerja padanya dengan
kecepatan 10 m/detik. Hitunglah daya mekanis yang diperlukan untuk
menggerakkan konduktor.
4. Sebuah rangkaian magnetik
dibangun dari bahan baja silikon
dengan ukuran ditunjukkan pada
gambar berikut.
a). Untuk memperoleh fluksi
sebesar 30×10−4
weber berapakah
mmf diperlukan?
b). Jika jumlah lilitan adalah 100,
berapakah arus pada lilitan?
5. Jika kaki kanan dari rangkaian magnetik pada soal nomer 7 dipotong
sehingga terbentuk celah udara selebar 0,1 berapakah arus yang harus
mengalir pada belitan untuk mempertahankan fluksi sebesar 30×10−4
weber.
6. Sebuah elektromagnet terbuat dari besi tuang mempunyai celah udara
2 mm dan panjang jalur besinya 30 cm. Tentukan jumlah lilitan-amper
yang diperlukan untuk memperoleh kerapatan fluksi 0,8 Wb/m2.
Abaikan fluksi bocor.
←30 cm →
← 40 cm → 10 cm
27
7. Sebuah cincin besi tuang dengan penampang bulat berdiameter 3 cm
mempunyai panjang rata-rata 80 cm. Cincin ini dililit kumparan secara
merata dengan jumlah lilitan 500. (a) Hitung arus yang diperlukan
untuk memperoleh fluksi 0,5 mWb dalam cincin. (b) Jika cicin
dipotong sehingga terbentuk celah udara setebal 2 mm, berapakah
fluksi magnetnya jika arus pada kumparan tetap seperti pada
pertanyaan (a)?. (c) Untuk mempertahankan fluksi sebesar 0,5 mWb,
berapakah arus yang harus mengalir pada kumparan? Anggaplah
kerapatan fluksi pada celah udara sama dengan kerapatan fluksi dalam
cincin.
8. Sebuah cincin besi dengan panjang rata-rata 50 cm dan celah udara
selebar 1mm, diberi kumparan dengan 200 lilitan. Jika permeabilitas
besi adalah 400 pada waktu kumparan dialiri arus 1 A, hitunglah
kerapatan fluksi dalam cincin.
9. Fluksi magnetik dalam suatu inti berubah secara sinusoidal dengan
frekuensi 500 siklus per detik dan nilai maksimum kerapatan fluksinya
adalah 0,5 Wb/m2. Rugi-rugi arus pusar adalah 15 watt. Berapakah
rugi-rugi arus pusar dalam inti ini jika frekuensinya 750 siklus per
detik dan kerapatan fluksi maksimum 0,4 Wb/m2.
10. Rugi-rugi total (arus pusar + histerisis) dari suatu contoh inti magnet
adalah 1500 watt pada frekuensi 50 Hz. Jika kerapatan fluksi dijaga
konstan sedangkan frekuensinya dinaikkan 50%, rugi-rugi total itu
menjadi 2800 watt. Hitung masing-masing rugi arus pusar dan rugi
histerisis pada kedua macam frekuensi tersebut.
11. Sebuah rele elektromekanik dengan bentuk magnet tapal-kuda
memerlukan eksitasi 1800 lilitan-amper untuk menggerakkan jangkar
dengan sela udara 1,25 mm. Jika luas tiap sepatu kutubnya adalah 2
cm2 dan panjang jalur rangkaian magnetiknya adalah 50 cm, hitunglah
: (a) gaya pada jangkar pada saat jangkar akan bergerak (anggap
rangkaian magnetik tidak jenuh); (b) jika posisi akhir pada keadaan
rele tertutup terdapat celah udara 0,1 mm, hitung gaya yang diperlukan
untuk membuka rele tanpa mengubah eksitasi.
28 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
12. Hitunglah resistansi dan induktansi selenoida (inti udara) dengan
diameter rata-rata 1 cm dan panjangnya 20 cm dan dengan 1000 lilitan
kawat tembaga berdiameter 0,2 mm.
13. Hitunglah induktansi sebuah toroida (inti udara) yang berdiameter
rata-rata 20 cm, diameter penampang 2 cm, dengan 1000 lilitan kawat
tembaga.
14. Sebuah cincin baja mempunyai diameter rata-rata 60 cm dan luas
penampang 20 cm2. Dengan eksitasi sebesar 40 lilitan-amper per cm
timbul fluksi dengan kerapatan 1,2 Wb/m2 dalam cincin. Jika jumlah
lilitan pada cincin ini adalah 500, hitunglah induktansinya.
15. Cincin baja pada soal nomer 17 dipotong sepanjang 1 cm sehingga
membentuk “cincin terbuka” dengan celah udara 1 cm. Dengan jumlah
lilitan tetap 500 dan kerapatan fluksi dipertahankan tetap 1,2 Wb/m2,
hitung arus eksitasi dan induktansinya.
16. Dua buah kumparan, masing-masing 1250 lilitan dan 140 lilitan,
digulung pada satu inti magnetik yang mempunyai reluktansi 160 000.
Hitumg induktansi bersama, dengan mengabaikan fluksi bocor.
17. Dua buah kumparan, masing-masing 50 dan 500 lilitan digulung
secara berdampingan pada inti magnetik yang luas penampangnya 100
cm2 dan panjang rata-rata 150 cm. Jika permeabilitas inti adalah 4000,
hitunglah induktansi bersama dengan mengangabaikan fluksi bocor.
29
BAB 2 Transformator
Salah satu komoditi yang ditawarkan oleh teknik elektro adalah
pemenuhan kebutuhan energi. Energi yang tersedia di alam harus
dikonversikan ke bentuk energi listrik untuk ditransmisikan ke tempat
yang memerlukan. Beberapa piranti untuk mengonversikan energi secara
konvensional akan kita pelajari di bab-bab berikut ini; piranti konversi
energi non-konvensional belum akan kita bahas. Kita juga membatasi
diri hanya pada pembahasan tiga macam mesin konversi energi dan dari
setiap macam kita hanya akan melihat beberapa tipe saja. Macam mesin
listrik yang akan kita bahas adalah:
1. Mesin konversi dari energi listrik ke energi listrik, yaitu
transformator.
2. Mesin konversi dari energi mekanik ke energi listrik, yaitu
generator listrik.
3. Mesin konversi dari energi listrik ke energi mekanik, yaitu
motor listrik.
Di bab ini kita akan mempelajari transformator; setelah mempelajari bab
ini kita akan
• memahami cara kerja transformator;
• mampu menggambarkan diagram fasor transformator;
• mampu melakukan perhitungan-perhitungan pada
transformator satu fasa melalui hasil uji beban nol dan uji
hubung singkat;
• memahami berbagai hubungan transformator untuk sistem tiga
fasa;
• mampu melakukan perhitungan-perhitungan tegangan pada
berbagai hubungan transformator tiga fasa.
2.1. Transformator Satu Fasa
Transformator banyak digunakan dalam teknik elektro. Dalam sistem
komunikasi, transformator digunakan pada rentang frekuensi audio
sampai frekuensi radio dan video, untuk berbagai keperluan. Kita
mengenal misalnya input transformers, interstage transformers, output
transformers pada rangkaian radio dan televisi. Transformator juga
30 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
dimanfaatkan dalam sistem komunikasi untuk penyesuaian impedansi
agar tercapai transfer daya maksimum.
Dalam penyaluran daya listrik banyak digunakan transformator
berkapasitas besar dan juga bertegangan tinggi. Dengan transformator
tegangan tinggi ini penyaluran daya listrik dapat dilakukan dalam jarak
jauh dan susut daya pada jaringan dapat ditekan. Di jaringan distribusi
listrik banyak digunakan transformator penurun tegangan, dari tegangan
menengah 20 kV menjadi 380 V untuk distribusi ke rumah-rumah dan
kantor-kantor pada tegangan 220 V. Transformator daya tersebut pada
umumnya merupakan transformator tiga fasa. Dalam pembahasan ini kita
akan melihat transformator satu fasa lebih dulu.
Kita telah mempelajari transformator ideal pada waktu membahas
rangkaian listrik. Berikut ini kita akan melihat transformator tidak ideal
sebagai piranti pemroses daya. Akan tetapi kita hanya akan membahas
hal-hal yang fundamental saja, karena transformator akan dipelajari
secara lebih mendalam pada pelajaran mengenai mesin-mesin listrik.
Mempelajari perilaku transformator juga merupakan langkah awal untuk
mempelajari konversi energi elektromekanik. Walaupun konversi energi
elektromekanik membahas konversi energi antara sistem mekanik dan
sistem listrik, sedangkan transformator merupakan piranti konversi
energi listrik ke listrik, akan tetapi kopling antar sistem dalam kedua hal
tersebut pada dasarnya sama yaitu kopling magnetik.
2.2. Teori Operasi Transformator
Transformator Dua Belitan Tak Berbeban. Jika pada induktor Gb.1.5.
kita tambahkan belitan ke-dua, kita akan memperoleh transformator dua
belitan seperti terlihat pada Gb.2.1. Belitan pertama kita sebut belitan
primer dan yang ke-dua kita sebut belitan sekunder.
Jika fluksi di rangkaian magnetiknya adalah tmaks ωΦ=φ sin , maka
fluksi ini akan menginduksikan tegangan di belitan primer sebesar
+ E2 −
2 1
If
Gb.2.1. Transformator dua belitan.
φ
Vs
+
E1
− ≈
31
tdt
de maks ωωΦ=
φ= cos111 (2.1)
atau dalam bentuk fasor
efektif nilai ; 02
0 1o1o
11 =∠Φω
=∠= E
Emaks
E (2.2)
Karena ω = 2π f maka
maksmaks ff
E Φ=Φπ
= 11
1 44.42
2 (2.3)
Di belitan sekunder, fluksi tersebut menginduksikan tegangan sebesar
maksfE Φ= 22 44.4 (2.4)
Dari (2.3) dan (2.4) kita peroleh
masi transforrasio 2
1
2
1 =≡= a
E
E (2.5)
Perhatikan bahwa E1 sefasa dengan E2 karena dibangkitkan oleh fluksi
yang sama. Karena E1 mendahului φ dengan sudut 90o maka E2 juga
mendahului φ dengan sudut 90o. Jika rasio transformasi a = 1, dan
resistansi belitan primer adalah R1 , diagram fasor tegangan dan arus
adalah seperti ditunjukkan oleh Gb.2.2.a. Arus If adalah arus magnetisasi,
yang dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu Iφ (90o
dibelakang E1) yang menimbulkan φ dan Ic (sefasa dengan E1) guna
mengatasi rugi inti. Resistansi belitan R1 dalam diagram fasor ini muncul
sebagai tegangan jatuh IfR1.
Fluksi Bocor. Fluksi di belitan primer transformator dibangkitkan oleh
arus yang mengalir di belitan primer. Dalam kenyataan, tidak semua
Gb.2.2. Diagram fasor transformator tak berbeban
a). tak ada fluksi bocor
E1=E2
Iφ
φ
Ic
If
If R1
V1
b). ada fluksi bocor
E1=E2 Iφ
φ
Ic
If
IfR1
V1
φl jIfXl
32 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
fluksi magnit yang dibangkitkan tersebut akan melingkupi baik belitan
primer maupun sekunder. Selisih antara fluksi yang dibangkitkan
oleh belitan primer dengan fluksi bersama (yaitu fluksi yang melingkupi
kedua belitan) disebut
fluksi bocor. Fluksi bocor
ini hanya melingkupi
belitan primer saja dan
tidak seluruhnya berada
dalam inti transformator
tetapi juga melalui udara.
(Lihat Gb.2.3). Oleh
karena itu reluktansi yang
dihadapi oleh fluksi bocor
ini praktis adalah
reluktansi udara. Dengan demikian fluksi bocor tidak mengalami gejala
histerisis sehingga fluksi ini sefasa dengan arus magnetisasi. Hal ini
ditunjukkan dalam diagram fasor Gb.2.2.b.
Fluksi bocor, secara tersendiri akan membangkitkan tegangan induksi di
belitan primer (seperti halnya φ menginduksikan E1). Tegangan induksi
ini 90o mendahului φl1 (seperti halnya E1 90
o mendahului φ) dan dapat
dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh ekivalen, El1 , di rangkaian
primer dan dinyatakan sebagai
11 XjI fl =E (2.6)
dengan X1 disebut reaktansi bocor rangkaian primer. Hubungan tegangan
dan arus di rangkaian primer menjadi
1111111111 XjRR l IIEEIEV ++=++= (2.7)
Diagram fasor dengan memperhitungkan adanya fluksi bocor ini adalah
Gb.2.2.b.
Transformator Berbeban. Rangkaian transformator berbeban resistif, RB,
diperlihatkan oleh Gb.2.4. Tegangan induksi E2 (yang telah timbul dalam
keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di rangkaian
sekunder dan memberikan arus sekunder I2. Arus I2 ini membangkitkan
fluksi yang berlawanan arah dengan fluksi bersama φ dan sebagian akan
bocor (kita sebut fluksi bocor sekunder).
E2
Gb.2.3. Transformator tak berbeban.
Fluksi bocor belitan primer.
≈ Vs φl1
If φ
33
Fluksi bocor ini, φl2 , sefasa dengan I2 dan menginduksikan tegangan El2
di belitan sekunder yang 90o mendahului φl2. Seperti halnya untuk belitan
primer, tegangan El2 ini diganti dengan suatu besaran ekivalen yaitu
tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor sekunder X2 di rangkaian
sekunder. Jika resistansi belitan sekunder adalah R2 , maka untuk
rangkaian sekunder kita peroleh hubungan
2222222222 XjRR l IIVEIVE ++=++= (2.8)
dengan V2 adalah tegangan pada beban RB.
Sesuai dengan hukum Lenz, arus sekunder membangkitkan fluksi yang
melawan fluksi bersama. Oleh karena itu fluksi bersama akan cenderung
mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi di belitan primer
juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke
sumber yang tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi
arus primer yang dalam keadaan transformator tidak berbeban hanyalah
arus magnetisasi If , bertambah menjadi I1 setelah transformator
berbeban. Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi
bersama φ dipertahankan dan E1 juga tetap seperti semula. Dengan
demikian maka persamaan rangkaian primer (2.7) tetap terpenuhi.
Pertambahan arus primer dari If menjadi I1 adalah untuk mengimbangi
fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I2 sehingga φ dipertahankan. Jadi
haruslah
( ) ( ) 02211 =−− III f (2.9)
Pertambahan arus primer (I1 − If) disebut arus penyeimbang yang akan
mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus
penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.
Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder. Dari
(2.9) kita peroleh arus magnetisasi
Gb.2.4. Transformator berbeban.
φ
Vs
φl1
I1
≈ V2 φl2
I2
RB
34 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
( )a
f
212
1
21
IIIII −=−= (2.10)
2.3. Diagram Fasor
Dengan persamaan (2.7) dan (2.8) kita dapat menggambarkan secara
lengkap diagram fasor dari suatu transformator. Penggambaran kita
mulai dari belitan sekunder dengan langkah-langkah:
Gambarkan V2 dan I2 . Untuk beban resistif, I2 sefasa dengan V2.
Selain itu kita dapat gambarkan I’2 = I2/a yaitu besarnya arus
sekunder jika dilihat dari sisi primer.
Dari V2 dan I2 kita dapat menggambarkan E2 sesuai dengan
persamaan (2.8) yaitu
2222222222 XjRR l IIVEIVE ++=++=
Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian
sekunder.
Untuk rangkaian primer, karena E1 sefasa dengan E2 maka E1 dapat
kita gambarkan yang besarnya E1 = aE2.
Untuk menggambarkan arus magnetisasi If kita gambarkan lebih
dulu φ yang tertinggal 90o dari E1. Kemudian kita gambarkan If yang
mendahului φ dengan sudut histerisis γ. Selanjutnya arus belitan
primer adalah I1 = If + I’2.
Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi sesuai
dengan persamaan (2.7), yaitu
XjRR l 111111111 IIEEIEV ++=++=
Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator berbeban.
Gb.2.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud, yang dibuat dengan
mengambil rasio transformasi 1/2 = a > 1
φ γ
V2 I2 I
’2
If
I1
I2R2
jI2X2 E2
E1
I1R1
jI1X1
V1
Gb.2.5. Diagram fasor lengkap,
transformator berbeban resistif . a > 1
35
CO+TOH 2.1 : Belitan primer suatu transformator yang dibuat untuk
tegangan 220 V(rms) mempunyai jumlah lilitan 160. Belitan ini
dilengkapi dengan titik tengah (center tap). a). Berapa persenkah
besar fluksi maksimum akan berkurang jika tegangan yang kita
terapkan pada belitan primer adalah 110 V(rms)? b). Berapa
persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 55 V
(rms) pada setengah belitan primer? c). Berapa persenkah
pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 110 V (rms)
pada setengah belitan primer? d). Jika jumlah lilitan di belitan
sekunder adalah 40, bagaimanakah tegangan sekunder dalam kasus-
kasus tersebut di atas?
Penyelesaian :
a). Dengan mengabaikan resistansi belitan, fluksi maksimum Φm
adalah
ω=
ω=
ω=Φ
160
222022
1
1
1
1
V
Em
Jika tegangan 110 V diterapkan pada belitan primer, maka
ω=
ω
′=Φ′
160
21102
1
1
Vm
Penurunan fluksi m aksimum adalah 50 %, Φ′m = Φm / 2.
b). Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer,
ω=
ω=
ω
′′=Φ ′′
160
2110
80
255
)2/1(
2
1
1
Vm
Penurunan fluksi maksimum adalah 50 %, Φ″m = Φm / 2.
c). Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan maka
ω=
ω=
ω
′′′=Φ ′′′
160
2220
80
2110
)2/1(
2
1
1
Vm
Tidak terjadi penurunan fluksi maksimum, Φ′″m =Φm.
d). Dengan 1/2 = 160/40 = 4 maka jika tegangan primer 220 V,
tegangan sekunder adalah 55 V. Jika tegangan primer 110 V,
tegangan sekundernya 229.5 V. Jika tegangan 55 V diterapkan
pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 27.5 V.
36 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan primer,
tegangan sekunder adalah 55 V.
CO+TOH 2.2 : Sebuah transformator satu fasa mempunyai belitan
primer dengan 400 lilitan dan belitan sekunder 1000 lilitan. Luas
penampang inti efektif adalah 60 cm2. Jika belitan primer
dihubungkan ke sumber 500 V (rms) yang frekuensinya 50 Hz,
tentukanlah kerapatan fluksi maksimum dalam inti serta tegangan di
belitan sekunder.
Penyelesaian :
Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor, maka
2
11
weber/m94.0006.0
00563.0 : maksimum fluksi Kerapatan
weber00563.0502400
2500500
2
==→
=×π×
=Φ→=Φω
=
m
mm
B
V
Tegangan belitan sekunder adalah V 1250500400
10002 =×=V
CO+TOH 2.3 : Dari sebuah transformator satu fasa diinginkan suatu
perbandingan tegangan primer / sekunder dalam keadaan tidak
berbeban 6000/250 V. Jika frekuensi kerja adalah 50 Hz dan fluksi
dalam inti transformator dibatasi sekitar 0.06 weber, tentukan jumlah
lilitan primer dan sekunder.
Penyelesaian :
Pembatasan fluksi di sini adalah fluksi maksimum. Dengan
mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor,
75.184506000
250
45006.0502
260006000
2
2
11
1
=×=⇒
=××π
=→=Φω
=
V m
Pembulatan jumlah lilitan harus dilakukan. Dengan melakukan
pembulatan ke atas, batas fluksi maksimum Φm tidak akan
terlampaui. Jadi dapat kita tetapkan
lilitan 48020250
6000 lilitan 20 12 =×=⇒=⇒
37
2.4. Rangkaian Ekivalen
Transformator adalah piranti listrik. Dalam analisis, piranti-piranti listrik
biasanya dimodelkan dengan suatu rangkaian listrik ekivalen yang
sesuai. Secara umum, rangkaian ekivalen hanyalah penafsiran secara
rangkaian listrik dari suatu persamaan matematik yang menggambarkan
perilaku suatu piranti. Untuk transformator, ada tiga persamaan yang
menggambarkan perilakunya, yaitu persamaan (2.7), (2.8), dan (2.10),
yang kita tulis lagi sebagai satu set persamaan (2.11).
a
XjRXjR f
22
1
22
21222222111111
dengan
; ;
III
IIIIIVEIIEV
==′
′+=++=++= (2.11)
Dengan hubungan E1 = aE2 dan I′2 = I2/a maka persamaan ke-dua dari
(2.11) dapat ditulis sebagai
; ; dengan
)()(
22
222
222
22222
22
222
221222221
XaXRaRaVV
XjR
XajRaaXjaRaa
=′=′=′
′′+′′+′=
′+′+=⇒′+′+=
IIV
IIVEIIVE
(2.12)
Dengan (2.12) maka (2.11) menjadi
21222221111111 ; ; IIIIIVEIIEV ′+=′′+′′+=++= fXjRaXjR
(2.13)
I′2 , R′2 , dan X′2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder yang
dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (2.13) dibangunlah rangkaian
ekivalen transformator seperti Gb.2.6. di bawah ini.
Gb.2.6. Rangkaian ekivalen diturunkan dari persamaan (2.13).
Pada diagram fasor Gb.2.5. kita lihat bahwa arus magnetisasi dapat
dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu Ic dan Iφ . Ic sefasa
dengan E1 sedangkan Iφ 90o dibelakang E1. Dengan demikian maka
impedansi Z pada rangkaian ekivalen Gb.2.6. dapat dinyatakan sebagai
Z
R′2
∼
If B
jX′2 R1 jX1
I1 I′2
V1 E1 V′2=aV2
38 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
hubungan paralel antara suatu resistansi Rc dan impedansi induktif jXφ
sehingga rangkaian ekivalen transformator secara lebih detil menjadi
seperti Gb.2.7.
Gb.2.7. Rangkaian ekivalen transformator lebih detil.
Rangkaian Ekivalen Yang Disederhanakan. Pada transformator yang
digunakan pada tegangan bolak-balik yang konstan dengan frekuensi
yang konstan pula (seperti misalnya transformator pada sistem tenaga
listrik), besarnya arus magnetisasi hanya sekitar 2 sampai 5 persen dari
arus beban penuh transformator. Keadaan ini bisa dicapai karena inti
transformator dibangun dari material dengan permeabilitas magnetik
yang tinggi. Oleh karena itu, jika If diabaikan terhadap I1 kesalahan yang
terjadi dapat dianggap cukup kecil. Pengabaian ini akan membuat
rangkaian ekivalen menjadi lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.2.8.
2.5. Impedansi Masukan
Resistansi beban B adalah RB = V2/I2. Dilihat dari sisi primer resistansi
tersebut menjadi
∼
B
jXe =j(X1+ X′2) Re = R1+R′2
I1=I′2
V1 V′2
Gb.29.8. Rangkaian ekivalen transformator
disederhanakan dan diagram fasornya.
I′2
I′2Re
jI′2Xe V′2
V1
R′2
∼
If
B
jX′2 R1 jX1
I1 I′2
V1 E1
V′2=aV2
jXc Rc
Ic Iφ
39
BB RaI
Va
aI
aV
I
VR
2
2
22
2
2
2
2
/===
′
′=′ (2.14)
Dengan melihat rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.2.10,
impedansi masukan adalah
eBein jXRaRZ ++== 2
1
1
I
V (2.15)
2.6. Penentuan Parameter Transformator
Dari rangkaian ekivalen lengkap Gb.2.7. terlihat ada enam parameter
transformator yang harus ditentukan, R1 , X1 , R′2 , X′2 , Rc , dan Xφ .
Resistansi belitan primer dan sekunder dapat diukur langsung
menggunakan metoda jembatan. Untuk menentukan empat parameter
yang lain kita memerlukan metoda khusus seperti diuraikan berikut ini.
Uji Tak Berbeban ( Uji Beban +ol ). Uji beban nol ini biasanya
dilakukan pada sisi tegangan rendah karena catu tegangan rendah
maupun alat-alat ukur tegangan rendah lebih mudah diperoleh. Sisi
tegangan rendah menjadi sisi masukan yang dihubungkan ke sumber
tegangan sedangkan sisi tegangan tinggi terbuka. Pada belitan tegangan
rendah dilakukan pengukuran tegangan masukan Vr, arus masukan Ir, dan
daya (aktif) masukan Pr. Karena sisi primer terbuka, Ir adalah arus
magnetisasi yang cukup kecil sehingga kita dapat melakukan dua
pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah mengabaikan tegangan
jatuh di reaktansi bocor sehingga Vr sama dengan tegangan induksi Er.
Pendekatan yang kedua adalah mengabaikan kehilangan daya di
resistansi belitan sehingga Pr menunjukkan kehilangan daya pada Rcr (Rc
dilihat dari sisi tegangan rendah) saja.
θ==
θ==⇒
θ=θ=⇒
−=θ→
==θ=
φφ
φ
sin ;
cos
sin ; cos
sin
cos ; :masukan kompleks Daya
22
r
r
r
rr
r
r
cr
rcr
rrrcr
r
rr
rr
r
r
rrrr
I
V
I
VX
I
V
I
VR
IIII
S
PS
IV
P
S
PIVS
(2.16)
40 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Uji Hubung Singkat. Uji hubung singkat dilakukan di sisi tegangan
tinggi dengan si`si tegangan rendah dihubung-singkat. Sisi tegangan
tinggi menjadi sisi masukan yang dihubungkan dengan sumber tegangan.
Tegangan masukan harus cukup rendah agar arus di sisi tegangan rendah
masih dalam batas nominalnya. Pengukuran di belitan tegangan tinggi
dilakukan seperti halnya pada uji beban nol, yaitu tegangan masukan Vt,
arus masukan It, dan daya (aktif) masukan Pt. Tegangan masukan yang
dibuat kecil mengakibatkan rugi-rugi inti menjadi kecil sehingga kita
dapat membuat pendekatan dengan mengabaikan rugi-rugi inti. Dengan
demikian kita dapat menggunakan rangkaian ekivalen yang
disederhanakan Gb.2.9. Daya Pt dapat dianggap sebagai daya untuk
mengatasi rugi-rugi tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen
yang dilihat dari sisi tegangan tinggi Ret.
22
2
2
;
etetet
tetettt
t
tetettt
RZXI
VZZIV
I
PRRIP
−=→=→=
=→=
(2.17)
Dalam perhitungan ini kita memperoleh nilai Ret = R1 + R′2 . Nilai
resistansi masing-masing belitan dapat diperoleh dengan pengukuran
terpisah sebagaimana telah disebutkan di atas.
Untuk reaktansi, kita memperoleh nilai Xet = X1 + X′2 . Kita tidak dapat
memperoleh informasi untuk menentukan reaktansi masing-masing
belitan. Jika sekiranya nilai reaktansi masing-masing belitan diperlukan
kita dapat mengambil asumsi bahwa X1 = X′2 . Kondisi ini sesungguhnya
benar adanya jika transformator dirancang dengan baik.
CO+TOH 2.5 : Pada sebuah transformator 25 KVA, 2400/240 volt, 50
Hz, dilakukan uji beban nol dan uji hubung singkat.
Uji beban nol pada sisi tegangan rendah memberikan hasil
Vr = 240 volt, Ir = 1.6 amper, Pr = 114 watt
Uji hubung singkat yang dilakukan dengan menghubung-singkat
belitan tegangan rendah memberikan hasil pengukuran di sisi
tegangan tinggi
Vt = 55 volt, It = 10.4 amper, Pt = 360 watt
41
a). Tentukanlah parameter transformator dilihat dari sisi tegangan
tinggi. b). Berapakah rugi-rugi inti dan rugi-rugi tembaga pada
beban penuh ?
Penyelesaian :
a). Uji beban nol dilakukan di sisi tegangan rendah. Jadi nilai Rc dan
Xφ yang akan diperoleh dari hasil uji ini adalah dilihat dari tegangan
rendah, kita sebut Rcr dan Xφr.
Ω=×
==Ω=×
=θ
==
=×
−×=θ=
×==θ
φφ 158
95.06.1
240 ; 500
3.06.1
240
cos
240
95.06.1240
114)6.1240(sin ; 3.0
6.1240
114cos
22
I
VX
II
VR
VI
P
rc
cr
Jika dilihat dari sisi tegangan tinggi :
Ω==
Ω=×
==
φφ k 8.15
k 50500240
2400
2
22
rt
crct
XaX
RaR
Resistansi ekivalen dan reaktansi bocor ekivalen diperoleh dari uji
hubung singkat. Uji hubung singkat yang dilakukan di sisi tegangan
tinggi ini memberikan
Ω===→Ω===
Ω===
1.433.329.5 29.54.10
55
; 33.3(10.4)
360
22
22
ett
tet
t
tet
XI
VZ
I
PR
b). Pada pembebanan penuh fluksi bersama dalam inti transformator
hampir sama dengan fluksi dalam keadaan beban nol. Jadi rugi-rugi
inti pada pembebanan penuh adalah 114 Watt. Rugi-rugi tembaga
tergantung dari besarnya arus. Besarnya arus primer pada beban
penuh adalah sama dengan arus sisi tegangan tinggi pada percobaan
hubung singkat, yaitu
W36033.3)4.10(A 4.102400
25000 221
11 =×==→=== etcu RIP
V
SI
42 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat
sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah
penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.
2.7. Efisiensi dan Regulasi Tegangan
Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai
[watt]masukan daya
[watt]keluaran daya=η (2.18)
Karena daya keluaran sama dengan daya masukan dikurangi rugi-rugi
daya, maka efisiensi dapat dinyatakan sebagai
[watt]masukan daya
[watt] daya rugi-rugi1−=η (2.19)
Formulasi (2.19) ini lebih sering digunakan. Untuk transformator rugi-
rugi daya dapat segera diperoleh melalui uji beban nol dan uji hubung
singkat, yaitu jumlah rugi inti dan rugi tembaga.
Regulasi tegangan transformator didefinisikan sebagai perubahan
besarnya tegangan sekunder bila arus berubah dari beban penuh ke beban
nol dengan tegangan primer dijaga tetap. Jadi
2
21
2
21
2
21
penuhbeban 2
penuhbeban 2nolbeban 2
/
Tegangan Regulasi
V
VV
V
VV
V
VV
′
′−=
−=
−=
−=
a
aa
V
VV
(2.25)
Dengan memperhatikan diagram fasor Gb.2.9. maka (2.25) menjadi
2
222 )(Tegangan Regulasi
V
VIV
′
′−+′+′= ee jXR
(2.26)
CO+TOH 2.6 : Transformator pada contoh 2.5. mencatu beban 25 KVA
pada faktor daya 0.8. a). Hitunglah efisiensinya. b). Hitunglah
regulasi tegangannya.
Penyelesaian :
a).
% 97.6atau 976.020
474.01 : Efisiensi
KW 208.025000 :keluaran Daya
KW 0.474 W474360114 : daya rugi Total
o
=−=η
=×=
==+=+
P
P cuc
b). Mengambil V2 sebagai referensi : V′2 = 10×240 = 2400∠0o V.
43
% 2.2atau 022.0
2400
2400)1.433.3(8.364.1002400 Tegangan Reg.
8.364.108.0cos10/)240/25000(/
oo
o122
−+−∠+∠=
−∠=−∠==′ −
j
aII
2.8. Konstruksi Transformator
Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator dengan satu
inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah satu kaki inti dan
belitan sekunder digulung pada kaki inti yang lain. Dalam kenyataan
tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi bocor, belitan primer dan
sekunder masing-masing dibagi menjadi dua bagian dan digulung di
setiap kaki inti. Belitan primer dan sekunder digulung secara konsentris
dengan belitan sekunder berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini
fluksi bocor dapat ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi
bersama. Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk
lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang tentu lebih
tinggi.
Dua tipe konstruksi yang biasa digunakan pada transformator satu fasa
adalah core type (tipe inti) dan shell type (tipe sel). Gb.2.9.a.
memperlihatkan konstruksi tipe inti dengan belitan primer dan sekunder
yang terbagi dua. Belitan tegangan rendah digulung dekat dengan inti
yang kemudian dilingkupi oleh belitan tegangan tinggi. Konstruksi ini
sesuai untuk tegangan tinggi karena masalah isolasi lebih mudah
ditangani. Gb.2.9.b. memperlihatkan konstruksi tipe sel. Konstruksi ini
sesuai untuk transformator daya dengan arus besar. Inti pada konstruksi
ini memberikan perlindungan mekanis lebih baik pada belitan.
Gb.7.9. Dua tipe konstruksi transformator.
T : jumlah lilitan tegangan tinggi
R : jumlah lilitan tegangan rendah.
R / 4
T / 2
R / 2
T / 2
R / 4
T /
2
R / 2 R / 2
T /
2
a). tipe inti. a). tipe sel.
44 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
2.9. Transformator Pada Sistem Tiga Fasa
Pada sistem tiga fasa, penaikan dan penurunan tegangan dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu :
(a) menggunakan tiga unit transformator satu fasa,
(b) menggunakan satu unit transformator tiga fasa.
Transformator tiga fasa mempunyai inti dengan tiga kaki dan setiap kaki
mendukung belitan primer dan sekunder. Untuk penyaluaran daya yang
sama, penggunaan satu unit transformator tiga fasa akan lebih ringan,
lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan tiga unit
transformator satu fasa. Akan tetapi penggunaan tiga unit transformator
satu fasa juga mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan satu
unit transformator tiga fasa. Misalnya beaya awal yang lebih rendah, jika
untuk sementara beban dapat dilayani dengan dua unit saja dan unit
ketiga ditambahkan jika penambahan beban telah terjadi. Terjadinya
kerusakan pada salah satu unit tidak mengharuskan pemutusan seluruh
penyaluran daya. Pemilihan cara mana yang lebih baik, tergantung dari
berbagai pertimbangan keadaan-khusus. Pada dasarnya kedua cara adalah
sama. Berikut ini kita akan melihat hubungan primer-sekunder
transformator, dengan melihat pelayanan sistem tiga fasa melalui tiga unit
transformator satu fasa.
Hubungan ∆∆∆∆−−−−∆∆∆∆. Pada waktu menghubungkan tiga transformator satu
fasa untuk melayani sistem tiga fasa, hubungan sekunder harus
diperhatikan agar sistem tetap seimbang. Diagram hubungan ini
diperlihatkan pada Gb.2.10. Fasa primer disebut dengan fasa U-V-W
sedangkan fasa sekunder disebut fasa X-Y-Z. Fasor tegangan fasa primer
kita sebut VUO , VVO , VWO dengan nilai VFP , dan tegangan fasa sekunder
kita sebut VXO , VYO , VZO dengan nilai VFS. Nilai tegangan saluran
(tegangan fasa-fasa) primer dan sekunder kita sebut VLP dan VLS . Nilai
arus saluran primer dan sekunder masing-masing kita sebut ILP dan ILS
sedang nilai arus fasanya IFP dan IFS . Rasio tegangan fasa primer
terhadap sekunder aVV FSFP =/ . Dengan mengabaikan rugi-rugi untuk
hubungan ∆-∆ kita peroleh :
aI
I
I
Ia
V
V
V
V
FS
FP
LS
LP
FP
FP
LS
LP 1
3
3 ; ==== (2.27)
45
Gb.2.10. Hubungan ∆-∆.
Hubungan ∆∆∆∆-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.11.
Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan tegangan fasa primer, sedangkan
tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa sekunder
dengan perbedaan sudut fasa 30o. Dengan mengabaikan rugi-rugi kita
peroleh
aI
I
I
Ia
V
V
V
V
FS
FP
LS
LP
FS
FP
LS
LP 33 ;
33==== (2.28)
Fasor tegangan fasa-fasa sekunder mendahului primer 30o.
Gb.2.11. Hubungan ∆-Y
Hubungan Y-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.12.
Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer
dengan perbedaan sudut fasa 30o, tegangan fasa-fasa sekunder sama
dengan √3 kali tegangan fasa sekunder dengan perbedaan sudut fasa 30o.
Perbandingan tegangan fasa-fasa primer dan sekunder adalah
VUV = VUO
VXY
VXO
VYO
VZO
VUV = VUO
VXY = VXO
U
V
W
X
Y
Z
VUO VXO
VVO VYO
VWO VZO
U
V
W
X
Y
Z
VUO VXO
VVO VYO
VWO VZO
46 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
aI
I
I
Ia
V
V
V
V
FS
FP
LS
LP
FS
FP
LS
LP 1 ;
3
3==== (2.29)
Antara fasor tegangan fasa-fasa primer dan sekunder tidak terdapat
perbedaan sudut fasa.
Gb2.12. Hubungan Y-Y
Hubungan Y-∆∆∆∆. Hubungan ini terlihat pada Gb.2.13.
Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer
dengan perbedaan sudut fasa 30o, sedangkan tegangan fasa-fasa sekunder
sama dengan tegangan fasa sekunder. Dengan mengabaiakan rugi-rugi
diperoleh
3
1
3 ; 3
3
aI
I
I
Ia
V
V
V
V
FS
FP
LS
LP
FS
FP
LS
LP ==== (2.30)
Fasor tegangan fasa-fasa primer mendahului sekunder 30o.
VUV VXY
VXO
VYO
VZO
VUO
VVO
VWO
U
V
W
X
Y
Z
VUO VXO
VVO VYO
VWO VZO
47
Gb.2.13. Hubungan Y-∆
CO+TOH 2.7 : Sebuah transformator penurun tegangan 3 fasa,
tegangan primernya dihubungkan pada sumber 6600 V dan
mengambil arus 10 A. Jika rasio transformasi adalah 12, hitunglah
tegangan saluran sekunder, arus saluran sekunder dan daya keluaran
untuk hubungan-hubungan berikut : (a) ∆-∆ ; (b) Y-Y ; (c) ∆-Y ;
(d) Y-∆ .
Penyelesaian :
a). Untuk hubungan ∆-∆ :
A. 120101233
33
; V 55012
6600
=×====
=====
LPFPFSLS
LPFPFSLS
IaaIII
a
V
a
VVV
b). Untuk hubungan Y-Y :
VUV
VXY = VXO
VYO
VZO
VUO
VVO
VWO
U
V
W
X
Y
Z
VUO VXO
VVO VYO
VWO VZO
48 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
A. 1201012
; V 55012
66003
333
=×=====
=====
LPFPFSLS
LPFPFSLS
aIaIII
a
V
a
VVV
c). Untuk hubungan ∆-Y :
A. 3,693
1012
3
; V 953312
6600333
=====
=====
LPFPFSLS
LPFPFSLS
IaaIII
a
V
a
VVV
d) Untuk hubungan Y-∆ :
.A 20831012333
; V 3183
6600
12
1
3
1
=××====
=====
LPFPFSLS
LPFPFSLS
aIaIII
V
aa
VVV
Dengan mengabaikan rugi-rugi daya keluaran sama dengan daya
masukan.
kVA. 3,1143106,63 =×=== LPLPmasukankeluaran IVSS
Soal-Soal
1. Sebuah transformator satu fasa diinginkan untuk menurunkan
tegangan bolak-balik 50 Hz dari 20 kV ke 250 V dalam keadaan tak
berbeban. Jika fluksi magnetik dalam inti transformator adalah sekitar
0.08 Wb, tentukan jumlah lilitan belitan primer dan sekundernya.
2. Sebuah transformator tipe inti hendak digunakan untuk menurunkan
tegangan bolak-balik 50 Hz, dari 3000 ke 220 V. Inti berpenampang
persegi dengan ukuran 20 cm × 20 cm. Hitunglah jumlah lilitan pada
kedua belitan jika kerapatan fluksi pada inti dibatasi 1 Wb/m2.
3. Jumlah lilitan belitan primer dan sekunder transformator satu fasa
adalah 200 dan 100 lilitan dan resistansinya 0,255 Ω dan 0,074 Ω.
Hitunglah resistansi belitan primer dilihat di sekunder, resistansi
sekunder dilihat di primer, dan resistansi total di sisi primer.
49
4. Pada test transformator dengan belitan sekunder dihubung singkat,
diperoleh data sebagai berikut : tegangan primer 60 V, arus 100 A,
daya masukan 1,2 kW. Hitunglah resistansi dan reaktansi
transformator dilihat di sisi primer.
5. Sebuah transformator 40 kVA, 2000/250 V, mempunyai resistansi
belitan primer 1,15 Ω dan resistansi belitan sekunder 0,0155 Ω.
Hitunglah rugi-rugi tembaga total dalam keadaan beban penuh.
6. Sebuah transformator 220/110 V, 50 Hz, mempunyai impedansi
0,3+j0,8 Ω di belitan 220 V dan 0,1+j0,25 Ω di belitan 100 V.
Hitunglah arus di kedua belitan jika terjadi hubung singkat di sisi
tegangan rendah sedangkan sisi tegangan tinggi terhubung pada
tegangan 220 V.
7. Data test pada transformator 15 kVA, 2200/440 V, 50 Hz adalah
sebagai berikut. Test hubung singkat : P = 620 W, I = 40 A, V = 25 V.
Test beban nol : P = 320 W, I = 1 A, V = 440 V.
Hitunglah regulasi tegangan pada pembebanan penuh dengan faktor
daya 0,8 lagging (abaikan arus magnetisasi). Hitung pula efisiensi
pada pembebanan tersebut.
8. Data test pada transformator 110 kVA, 4400/440 V, 50 Hz adalah
sebagai berikut. Test hubung singkat : P = 2000 W, I = 200 A, V = 18
V. Test beban nol : P = 1200 W, I = 2 A, V = 4400 V.
Hitunglah regulasi tegangan pada pembebanan penuh dengan faktor
daya 0,8 lagging (abaikan arus magnetisasi). Hitung pula efisiensi
pada pembebanan tersebut.
9. Data test pada transformator 30 kVA, 2400/240 V, 50 Hz adalah
sebagai berikut. Test hubung singkat : P = 1050 W, I = 18,8 A, V = 70
V. Test beban nol : P = 230 W, I = 3,0 A, V = 240 V.
Jika transformator ini dibebani 12,5 A dengan faktor daya 0,8 lagging
pada sisi 240 V, hitunglah tegangan pada sisi primer dan hitung pula
efisiensinya pada pembebanan tersebut
10. Pada pembebanan penuh transformator 150 kVA, rugi-rugi tembaga
adalah 1600 W dan rugi-rugi besi 1400 W. Hitung efisiensi pada
pembebanan 25%, 33% dan 100% dari beban penuh untuk faktor
daya 1 dan 0,8 lagging. Abaikan pengaruh kenaikan temperatur dan
arus magnetisasi.
50 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
11. Efisiensi transformator satu fasa 400 kVA adalah 98,77% pada
pembebanan penuh dengan faktor daya 0,8 dan 99,13% pada setengah
beban penuh dengan faktor daya 1. Hitunglah rugi-rugi besi serta
rugi-rugi tembaga pada beban pebuh.
12. Sebuah transformator 6600/440 V, 50 Hz, terhubung ∆-Y dibebani
motor 50 HP, 440 V, faktor daya 0,85, dan efisiensinya 90%. Dengan
mengabaikan arus magnetisasi pada transformator, hitunglah arus di
belitan primer dan sekunder jika motor bekerja pada beban penuh.
13. Tentukan jumlah lilitan per fasa di setiap belitan dari sebuah
transformator 3 fasa dengan rasio tegangan 20000/2000 V, pada
frekuensi 50 Hz dengan hubungan ∆-Y. Luas penampang inti 600 cm2
dan kerapatan fluksi sekitar 1,2 Wb/m2.
14. Tentukan jumlah lilitan per fasa di setiap belitan dari sebuah
transformator 3 fasa dengan rasio tegangan 12000/400 V, pada
frekuensi 50 Hz dengan hubungan Y-∆. Luas penampang inti 400 cm2
dan kerapatan fluksi sekitar 1,2 Wb/m2.
15. Tegangan primer transformator 3 fasa terhubung ∆-Y adalah 12000 V
(fasa-fasa). Pada pembebanan dengan faktor daya 0,8 lagging
tegangan sekunder yang terhubung Y adalah 410 V (fasa-fasa).
Resistansi dan reaktansi ekivalen adalah 1 dan 5%. Tentukan perban-
dingan jumlah lilitan primer/sekunder
51
BAB 3 Mesin Sinkron
Setelah mempelajari bab ini kita akan
• memahami cara kerja generator sinkron;
• memahami hubungan jumlah kutub, kecepatan perputaran,
frekuensi, dan mampu menghitung tegangan imbas pada
jangkar;
• mampu menggambarkan diagram fasor dan memahami
rangkaian ekivalen mesin sinkron rotor silindris;
• mampu melakukan perhitungan sederhana pada mesin sinkron
melalui karakteristik celah udara dan karakteristik hubung
singkat.
Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari sisi
primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator tersebut sama
bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka mempunyai peubah
sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda besarnya. Kita katakan
bahwa transformator merupakan piranti konversi energi dari energi listrik
ke energi listrik.
Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder
transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan
fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi
primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu dapat
pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis; cara inilah
yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari energi mekanis ke
energi listrik atau disebut konversi energi elektromekanik. Konversi
energi elektromekanik ini tidak hanya dari mekanis ke listrik tetapi juga
dari listrik ke mekanis, dan dilandasi oleh dua hukum dasar yang kita
kenal yaitu hukum Faraday dan hukum Ampere. Secara matematis kedua
hukum ini dinyatakan dalam persamaan (1.1) dan (1.7)
(1.1) dt
d
dt
de
φ−=
λ−= dan (1.7) )( θ= fiBKF B
Persamaan (1.1) menunjukkan bagaimana tegangan dibangkitkan dan
persamaan (1.7) menunjukkan bagaimana gaya mekanis ditimbulkan.
Berikut ini kita akan mempelajari mesin konversi energi yang sangat luas
digunakan di pusat-pusat pembangkit listrik, yang disebut generator
52 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
sinkron. Ada dua macam konstruksi yang akan kita lihat yaitu konstruksi
kutub tonjol dan konstruksi rotor silindris.
3.1. Mesin Kutub Menonjol
Skema konstruksi mesin ini adalah seperti terlihat pada Gb.3.1.a. Mesin
ini terdiri dari bagian stator yang mendukung belitan-belitan a1a11 sampai
c2c22 pada alur-alurnya, dan bagian rotor yang berputar yang mendukung
kutub-kutub magnit. Belitan pada stator tempat kita memperoleh energi
disebut belitan jangkar. Belitan pada rotor yang dialiri arus eksitasi
untuk menimbullkan medan magnit disebut belitan eksitasi. Pada gambar
ini ada empat kutub magnit. Satu siklus kutub S-U pada rotor memiliki
kisar sudut (yang kita sebut sudut magnetis atau sudut listrik) 360o. Kisar
sudut 360o ini melingkupi tiga belitan di stator dengan posisi yang
bergeser 120o antara satu dengan lainnya. Misalnya belitan a1a11 dan
belitan b1b11 berbeda posisi 120o, belitan b1b11 dan c1c11 berbeda posisi
120o, dan mereka bertiga berada di bawah satu kisaran kutub S-U. Tiga
belitan yang lain, yaitu a2a22, b2b22, dan c2c22 berada dibawah satu kisaran
kutub S-U yang lain dan mereka juga saling berbeda posisi 120o.
a). skema konstruksi b). belitan c). fluksi magnetik
Gb.3.1. Mesin sinkron kutub tonjol
Karena mesin yang tergambar ini merupakan mesin empat kutub (dua
pasang kutub) maka satu perioda siklus mekanik (perputaran rotor) sama
dengan dua perioda siklus magnetik. Jadi hubungan antara sudut kisaran
mekanik dan sudut kisaran magnetik adalah
][2][ derajatderajat mekanikmagnetik θ×=θ
atau secara umum
a1
S
U
S
U a2 a1
b1 a11 c1
b2 c2
b11
c22
a22
b22
c11 φ
φ φ
180o mekanis = 360
o
53
][2
][ derajatp
derajat mekanikmagnetik θ×=θ (3.1)
dengan p adalah jumlah kutub.
Kecepatan sudut mekanik adalah
mekanikmekanik
mekanik fdt
d 2π=
θ=ω (3.2)
Frekuensi mekanik fmekanik adalah jumlah siklus mekanik per detik yang
tidak lain adalah kecepatan perputaran rotor per detik. Biasanya
kecepatan perputaran rotor dinyatakan dengan jumlah rotasi per menit
(rpm). Jadi jika kecepatan perputaran rotor adalah n rpm, maka jumlah
siklus per detik adalah 60
n atau
60
nfmekanis = siklus per detik.
Kecepatan sudut magnetik adalah
magnetikmagnetik
magnetik fdt
d 2π=
θ=ω (3.3)
Dengan hubungan (3.1) maka (3.3) menjadi
120
2
602
2 2
22
npnpf
ppmekanikmekanikmagnetik π=π=π=ω=ω
yang berarti 120
npf magnetik = siklus per detik (3.4)
Perubahan fluksi magnetik akan membangkitkan tegangan induksi di
setiap belitan. Karena fluksi magnetik mempunyai frekuensi
Hz 120
npf magnetik = maka tegangan pada belitanpun akan mempunyai
frekuensi
Hz 120
npf tegangan = (3.5)
Dengan (3.5) ini jelaslah bahwa untuk memperoleh frekuensi tertentu,
kecepatan perputaran rotor harus sesuai dengan jumlah kutub. Jika
diinginkan f = 50 Hz misalnya, untuk p = 2 maka n = 3000 rpm; jika p =
4 maka n = 1500 rpm; jika p = 6 maka n = 1000 rpm, dan seterusnya.
54 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Konstruksi mesin dengan kutub menonjol seperti pada Gb.3.1. sesuai
untuk mesin putaran rendah tetapi tidak sesuai untuk mesin putaran
tinggi karena kendala-kendala mekanis. Untuk mesin putaran tinggi
digunakan rotor dengan konstruksi silindris.
Dengan pergeseran posisi belitan 120o magnetik untuk setiap pasang
kutub, maka kita mendapatkan tegangan sistem tiga fasa untuk setiap
pasang kutub, yaitu ea1 pada belitan a1a11 , eb1 pada b1b11 , dan ec1 pada
c1c11 . Demikian pula kita memperoleh tegangan ea2 , eb2 dan ec2 pada
belitan-belitan di bawah pasangan kutub yang lain. Jadi setiap pasang
kutub akan membangkitkan tegangan sistem tiga fasa pada belitan-
belitan yang berada dibawah pengaruhnya. Tegangan yang sefasa,
misalnya ea1 dan ea2 , dapat dijumlahkan untuk memperoleh tegangan
yang lebih tinggi atau diparalelkan untuk memperoleh arus yang lebih
besar.
Tegangan yang terbangkit di belitan pada umumnya diinginkan
berbentuk gelombang sinus tAv ω= cos , dengan pergeseran 120o untuk
belitan fasa-fasa yang lain. Tegangan sebagai fungsi waktu ini pada
transformator dapat langsung diperoleh di belitan sekunder karena
fluksinya merupakan fungsi waktu. Pada mesin sinkron, fluksi
dibangkitkan oleh belitan eksitasi di rotor yang dialiri arus searah
sehingga fluksi tidak merupakan fungsi waktu. Akan tetapi fluksi yang
ditangkap oleh belitan stator harus merupakan fungsi waktu agar
persamaan (1.1) dapat diterapkan untuk memperoleh tegangan. Fluksi
sebagai fungsi waktu diperoleh melalui putaran rotor. Jika φ adalah
Gb.3.2. Perhitungan fluksi.
180o mekanis = 360
o magnetik
φs
a1
a11
θ
55
fluksi yang dibangkitkan di rotor dan memasuki celah udara antara rotor
dan stator dengan nilai konstan maka, dengan mengabaikan efek
pinggir, laju pertambahan fluksi yang ditangkap oleh belitan stator
adalah
magnetikmagnetiks
dt
d
dt
dωφ=
θφ=
φ (3.6)
Karena 120
2 2
npfmagnetikmagnetik π=π=ω , maka
60
np
dt
d s πφ=φ
(3.7)
Dari (3.4) kita peroleh tegangan pada belitan, yaitu
60
np
dt
dv s πφ−=
φ−= (3.8)
Jika φ bernilai konstan, tidaklah berarti (3.8) memberikan suatu t
egangan konstan karena φ bernilai konstan positif untuk setengah
perioda dan bernilai konstan negatif untuk setengah perioda berikutnya.
Maka (3.8) memberikan tegangan bolak-balik yang tidak sinus. Untuk
memperoleh tegangan berbentuk sinus, φ harus berbentuk sinus juga.
Akan tetapi ia tidak dibuat sebagai fungsi sinus terhadap waktu, akan
tetapi sebagai fungsi sinus posisi, yaitu terhadap θmaknetik . Jadi jika
maknetikm θφ=φ cos (3.9)
maka laju pertambahan fluksi yang dilingkupi belitan adalah
( )
magnetikmmmagnetikmagnetikm
magnetikmagnetikmmagnetikm
s
np
dt
d
dt
d
dt
d
dt
d
θ
πφ−=θωφ−=
θθφ−=θφ=
φ=
φ
sin 120
2sin
sincos (3.10)
sehingga tegangan belitan
tf
np
dt
de
mmagnetikm
magnetikms
ωφω=θφπ=
θφπ=φ
−=
sin sin 2
sin60
(3.11)
Persamaan (3.11) memberikan nilai sesaat dari dari tegangan yang
dibangkitkan di belitan stator. Nilai maksimum dari tegangan ini adalah
56 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Volt mm E φω= (3.12)
dan nilai efektifnya adalah
Volt 44,4
2
2
2
2
m
mmm
rms
f
fE
E
φ=
φπ
=φω
== (3.13)
Dalam menurunkan formulasi tegangan di atas, kita menggunakan
perhitungan fluksi seperti diperlihatkan pada Gb.3.2. yang merupakan
penyederhanaan dari konstruksi mesin seperti diperlihatkan pada
Gb.3.1.a. Di sini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu:
1. Belitan terdiri dari hanya satu gulungan, misalnya belitan a1a11,
yang ditempatkan di sepasang alur stator, walaupun gulungan itu
terdiri dari lilitan. Belitan semacam ini kita sebut belitan
terpusat.
2. Lebar belitan, yaitu kisar sudut antara sisi belitan a1 dan a11
adalah 180o magnetik. Lebar belitan semacam ini kita sebut kisar
penuh.
Dalam praktek lilitan setiap fasa tidak terpusat di satu belitan, melainkan
terdistribusi di beberapa belitan yang menempati beberapa pasang alur
stator. Belitan semacam ini kita sebut belitan terdistribusi, yang dapat
menempati stator sampai 1/3 kisaran penuh (60o magnetik). Selain dari
pada itu, gulungan yang menempati sepasang alur secara sengaja dibuat
tidak mempunyi lebar satu kisaran penuh; jadi lebarnya tidak 180o akan
tetapi hanya 80% sampai 85% dari kisaran penuh. Pemanfaatan belitan
terdistribusi dan lebar belitan tidak satu kisar penuh dimaksudkan untuk
menekan pengaruh harmonisa yang mungkin ada di kerapatan fluksi.
Sudah barang tentu hal ini akan sedikit mengurangi komponen
fundamental dan pengurangan ini dinyatakan dengan suatu faktor Kw
yang kita sebut faktor belitan. Biasanya Kw mempunyai nilai antara 0,85
sampai 0,95. Dengan adanya faktor belitan ini formulasi tegangan (3.13)
menjadi
Volt 44,4 mwrms KfE φ= (3.14)
Pada pengenalan ini kita hanya melihat mesin sinkron kutub tonjol dalam
keadaan tak berbeban; analisis dalam keadaan berbeban akan kita pelajari
lebih lanjut pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin listrik.
Selanjutnya kita akan melihat mesin sinkron rotor silindris.
57
CO+TOH 3.1: Sebuah generator sinkron tiga fasa, 4 kutub, belitan
jangkar terhubung Y, mempunyai 12 alur pada statornya dan setiap
alur berisi 10 konduktor. Fluksi kutub terdistribusi secara sinus
dengan nilai maksimumnya 0,03 Wb. Kecepatan perputaran rotor
1500 rpm. Carilah frekuensi tegangan jangkar dan nilai rms
tegangan jangkar fasa-netral dan fasa-fasa.
Penyelesaian :
Frekuensi tegangan jangkar adalah
Hz 50120
15004
120
=
×==
npf
Jumlah alur per kutub adalah 34
12= yang berarti setiap pasang
kutub terdapat 3 belitan yang membangun sistem tegangan tiga fasa.
Jadi setiap fasa terdiri dari 1 belitan yang berisi 10 lilitan.
Nilai rms tegangan jangkar per fasa per pasang kutub adalah
V 6,6603,0105044,4 44,4 =×××=φ= mak fE
Karena ada dua pasang kutub maka tegangan per fasa adalah : 2 ×
66,6 = 133 V.
Tegangan fasa-fasa adalah 133 √3 = 230 V.
CO+TOH 3.2: Soal seperti pada contoh 3.1. tetapi jumlah alur pada
stator ditingkatkan menjadi 24 alur. Ketentuan yang lain tetap.
Penyelesaian :
Frekuensi tegangan jangkar tidak tergantung jumlah alur. oleh
karena itu frekuensi tetap 50 Hz.
Jumlah alur per kutub adalah 64
24= yang berarti setiap pasang
kutub terdapat 6 belitan yang membangun sistem tegangan tiga fasa.
Jadi setiap fasa pada satu pasang kutub terdiri dari 2 belitan yang
masing-masing berisi 10 lilitan. Nilai rms tegangan jangkar untuk
setiap belitan adalah
V 6,6603,0105044,4 V 44,41 =×××=φ= ma fE .
58 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Karena dua belitan tersebut berada pada alur yang berbeda, maka
terdapat beda fasa antara tegangan imbas di keduanya. Perbedaan
sudut mekanis antara dua alur yang berurutan adalah
oo
1524
360= mekanik. Karena mesin mengandung 4 kutub atau 2
pasang kutub, maka 1o mekanik setara dengan 2
o listrik. Jadi selisih
sudut fasa antara tegangan di dua belitan adalah 30o listrik sehingga
tegangan rms per fasa per pasang kutub adalah jumlah fasor
tegangan di dua belitan yang berselisih fasa 30o tersebut.
3,338,124)30sin30(cos6,666,66 oo jjak +=++=E
Karena ada 2 pasang kutub maka
V 258)3,33()8,124(2 22 =+×=aE
Tegangan fasa-fasa adalah 258 √3 = 447 V
CO+TOH 3.3: Soal seperti pada contoh 3.1. tetapi jumlah alur pada
stator ditingkatkan menjadi 144 alur, jumlah kutub dibuat 16 (8
pasang), kecepatan perputaran diturunkan menjadi 375 rpm.
Ketentuan yang lain tetap.
Penyelesaian :
Frekuensi tegangan jangkar : Hz 50120
37516=
×=f
Jumlah alur per kutub 916
144= yang berarti terdapat 9 belitan per
pasang kutub yang membangun sistem tiga fasa. Jadi tiap fasa
terdapat 3 belitan. Tegangan di tiap belitan adalah
V 6,6603,0105044,41 =×××=aE ; sama dengan tegangan per
belitan pada contoh sebelumnya karena frekuensi, jumlah lilitan dan
fluksi maksimum tidak berubah.
Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berturutan adalah
oo
5,2144
360= mekanik. Karena mesin mengandung 16 kutub (8
pasang) maka 1o mekanik ekivalen dengan 8
o listrik, sehingga beda
fasa tegangan pada belitan-belitan adalah o
2085,2 =× listrik.
Tegangan per fasa per pasang kutub adalah jumlah fasor dari
tegangan belitan yang masing-masing berselisih fasa 20o.
59
( )6,652,180
)40sin20(sin40cos20cos16,66
406,66206,666,66
oooo
oo
j
j
ak
+=
++++=
∠+∠+=E
Karena ada 8 pasang kutub maka tegangan fasa adalah
V 15348,1918)6,65()2,180(8 22 =×=+×=aE
Tegangan fasa-fasa adalah 1534 √3 = 2657 V
3.2. Mesin Sinkron Rotor Silindris
Sebagaimana telah disinggung di atas, mesin kutub tonjol sesuai untuk
perputaran rendah. Untuk perputaran tinggi digunakan mesin rotor
silindris yang skemanya diperlihatkan ada Gb.3.3.
Rotor mesin ini berbentuk silinder dengan alur-alur untuk menempatkan
belitan eksitasi. Dengan konstruksi ini, reluktansi magnetik jauh lebih
merata dibandingkan dengan mesin kutub tonjol. Di samping itu kendala
mekanis untuk perputaran tinggi lebih mudah diatasi dibanding dengan
mesin kutub tonjol. Belitan eksitasi pada gambar ini dialiri arus searah
sehingga rotor membentuk sepasang kutub magnet U-S seperti terlihat
pada gambar. Pada stator digambarkan tiga belitan terpusat aa1 , bb1 dan
cc1 masing-masing dengan lebar kisaran penuh agar tidak terlalu rumit,
walaupun dalam kenyataan pada umumnya dijumpai belitan-belitan
terdistribusi dengan lebar lebih kecil dari kisaran penuh.
Gb.3.3. Mesin sinkron rotor silindris.
a
b
a1
c1 b1
c
U
S
60 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Karena reluktansi magnetik praktis konstan untuk berbagai posisi rotor
(pada waktu rotor berputar) maka situasi yang kita hadapi mirip dengan
tansformator. Perbedaannya adalah bahwa pada transformator kita
mempunyai fluksi konstan, sedangkan pada mesin sinkron fluksi
tergantung dari arus eksitasi di belitan rotor. Kurva magnetisasi dari
mesin ini dapat kita peroleh melalui uji beban nol. Pada uji beban nol,
mesin diputar pada perputaran sinkron (3000 rpm) dan belitan jangkar
terbuka. Kita mengukur tegangan keluaran pada belitan jangkar sebagai
fungsi arus eksitasi (disebut juga arus medan) pada belitan eksitasi di
rotor. Kurva tegangan keluaran sebagai fungsi arus eksitasi seperti
terlihat pada Gb.3.4. disebut karakteristik beban nol. Bagian yang
berbentuk garis lurus pada kurva itu disebut karakteristik celah udara
dan kurva inilah (dengan ekstra-polasinya) yang akan kita gunakan untuk
melakukan analisis mesin sinkron.
Karakterik lain yang penting adalah karakteritik hubung singkat yang
dapat kita peroleh dari uji hubung singkat. Dalam uji hubung singkat ini
mesin diputar pada kecepatan perputaran sinkron dan terminal belitan
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
10000
11000
12000
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500Arus medan [A]
Teg
an
gan
Fasa-N
etr
al [V
]
Gb30.4. Karakteristik beban-nol dan hubung singkat.
Karakteristik celah udara (linier).
beban-nol
V=V(If )|I =0
hubung singkat
I = I (If ) |V=0
celah udara
V=kIf
0 0
Aru
s fa
sa [
A]
61
jangkar dihubung singkat (belitan jangkar terhubung Y). Kita mengukur
arus fasa sebagai fungsi dari arus eksitasi. Kurva yang akan kita peroleh
akan terlihat seperti pada Gb.3.4. Kurva ini berbentuk garis lurus karena
untuk mendapatkan arus beban penuh pada percobaan ini, arus eksitasi
yang diperlukan tidak besar sehingga rangkaian magnetiknya jauh dari
keadaan jenuh. Fluksi magnetik yang dibutuhkan hanya sebatas yang
diperlukan untuk membangkitkan tegangan untuk mengatasi tegangan
jatuh di impedansi belitan jangkar.
Perhatikanlah bahwa karakteristik beban-nol dan hubung singkat
memberikan tegangan maupun arus jangkar sebagai fungsi arus medan.
Sesungguhnya arus medan berperan memberikan mmf (lilitan ampere)
untuk menghasilkan fluksi dan fluksi inilah yang mengimbaskan
tegangan pada belitan jangkar. Jadi dengan karakteristik ini kita dapat
menyatakan pembangkit fluksi tidak dengan mmf akan tetapi dengan
arus medan ekivalennya dan hal inilah yang akan kita lakukan dalam
menggambarkan diagram fasor yang akan kita pelajari beikut ini.
Diagram Fasor. Reaktansi Sinkron. Kita ingat bahwa pada
transformator besaran-besaran tegangan, arus, dan fluksi, semuanya
merupakan besaran-besaran yang berubah secara sinusoidal terhadap
waktu dengan frekuensi yang sama sehingga tidak terjadi kesulitan
menyatakannya sebagai fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan dan
arus yang merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor, walaupun
ia merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu tetapi terhadap
posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya. Menurut konsep fasor,
kita dapat menyatakan besaran-besaran ke dalam fasor jika besaran-
besaran tersebut berbentuk sinus dan berfrekuensi sama. Oleh karena itu
kita harus mencari cara yang dapat membuat fluksi rotor dinyatakan
sebagai fasor. Hal ini mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi
rotor sebagai dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan
jangkar. Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia
dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar melihatnya
sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru karena itulah terjadi
tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai dengan hukum Faraday. Dan
sudah barang tentu frekuensi tegangan imbas di belitan jangkar sama
dengan frekuensi fluksi yang dilihat oleh belitan jangkar.
Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga arus
jangkar tertinggal dari tegangan jangkar.
62 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Gb.3.5. Posisi rotor pada saat emaks dan imaks.
Gb.3.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di aa1
maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu kerapatan
fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a1 adalah maksimum.
Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik yang dilingkupi oleh
belitan aa1 adalah minimum. Sementara itu arus di belitan aa1 belum
maksimum karena beban induktif. Pada saat arus mencapai nilai
maksimum posisi rotor telah berubah seperti terlihat pada Gb.3.5.b.
Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut
magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama dengan
pegeseran rotasi rotor, yaitu θ. Arus jangkar memberikan mmf jangkar
yang membangkitkan medan magnetik lawan yang akan memperlemah
fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini maka arus eksitasi haruslah
sedemikian rupa sehingga tegangan keluaran mesin dipertahankan.
Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami reluktansi
magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf rotor. Hal ini
berbeda dengan mesin kutub tonjol yang akan membuat analisis mesin
kutub tonjol memerlukan cara khusus sehingga kita tidak melakukannya
dalam bab pengenalan ini.
Diagram fasor (Gb.3.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut
1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif.
2. Tegangan terminal Va dan arus jangkar Ia adalah nominal.
U
S
sumbu emaks
sumbu magnet
(a)
a
a1
a
a1
U
S
sumbu imaks
sumbu magnet
(b)
θ
63
3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi
tegangan imbas tertinggal 90o dari fluksi yang
membangkitkannya.
4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor Xl dan resistansi Ra.
5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen.
Dengan mengambil tegangan terminal jangkar Va sebagai referensi, arus
jangkar Ia tertinggal dengan sudut θ dari Va (beban induktif). Tegangan
imbas pada jangkar adalah
( )laaaa jXR ++= IVE (3.15)
Tegangan imbas Ea ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara Φa
yang dinyatakan dengan arus ekivalen Ifa mendahului Ea 90o. Arus
jangkar Ia memberikan fluksi jangkar Φa yang dinyatakan dengan arus
ekivalen Iφa. Jadi fluksi dalam celah udara merupakan jumlah dari fluksi
rotor Φf yang dinyatakan dengan arus ekivalen If dan fluksi jangkar. Jadi
affa φ+= III atau afaf φ−= III (3.16)
Dengan perkataan lain arus eksitasi rotor If haruslah cukup untuk
membangkitkan fluksi celah udara untuk membangkitkan Ea dan
mengatasi fluksi jangkar agar tegangan terbangkit Ea dapat
dipertahankan. Perhatikan Gb.3.6. If membangkitkan tegangan Eaa 90o di
belakang If dan lebih besar dari Ea.
Gb.3.6. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris.
Va
Ia IaRa
jIaXl
Ea
Eaa
Iφa
−−−−Iφa
Ifa
If =Ifa− Iφa
θ
γ
64 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Hubungan antara nilai Ea dan Ifa diperoleh dari karakteristik celah udara,
sedangkan antara nilai Ia dan Iφa diperoleh dari karakteristik hubung
singkat. Dari karakteristik tersebut, seperti terlihat pada Gb.3.6., dapat
dinyatakan dalam bentuk hubungan
fava IkE = dan aia IkI φ= atau
vafa kEI /= dan iaa kII /=φ (3.17)
dengan kv dan ki adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan
kurva. Dari (3.47) dan Gb.3.6. kita peroleh
θ−∠−γ∠=
θ−∠+γ+∠=−= φ
i
a
v
a
i
a
v
aafaf
k
I
k
Ej
k
I
k
E )180()90(
ooIII
(3.18)
Dari (3.18) kita peroleh Eaa yaitu
ai
vaa
i
va
i
a
v
avfvaa
k
kjI
k
kjE
k
I
k
Ejjkjk
IE
IE
+=θ−∠+γ∠=
θ−∠−γ∠−=−=
(3.19)
Suku kedua (3.19) dapat kita tulis sebagai aajX Iφ dengan
i
va
k
kX =φ (3.20)
yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat
adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (3.19) dapat ditulis
( )( )aaaa
aalaaaaaaaa
jXR
jXjXRjX
++=
+++=+= φφ
IV
IIVIEE
(3.21)
dengan ala XXX φ+= yang disebut reaktansi sinkron.
Diagram fasor Gb.3.6. kita gambarkan sekali lagi menjadi Gb.3.7. untuk
memperlihatkan peran reaktansi reaksi jangkar dan reaktansi sinkron.
Perhatikanlah bahwa pengertian reaktansi sinkron kita turunkan dengan
memanfaatkan karakteristik celah udara, yaitu karakteristik linier
65
dengan menganggap rangkaian magnetik tidak jenuh. Oleh karena itu
reaktansi tersebut biasa disebut reaktansi sinkron tak jenuh.
Rangkaian Ekivalen. Dengan pengertian reaktansi sinkron dan
memperhatikan
persamaan (3.21)
kita dapat
menggambarkan
rangkaian
ekivalen mesin
sinkron dengan
beban seperti
terlihat pada
Gb.3.8.
Perhatikanlah bahwa rangkaian ekivalen ini adalah rangkaian ekivalen
per fasa. Tegangan Va adalah tegangan fasa-netral dan Ia adalah arus
fasa.
CO+TOH 3.11 : Sebuah generator sinkron tiga fasa 10 MVA,
terhubung Y, 50 Hz, Tegangan fasa-fasa 13,8 kV, mempunyai
karakteristik celah udara yang dapat dinyatakan sebagai
V 78,53 fa IE = dan karakteristik hubung singkat A 7,2 fa II =
(If dalam ampere). Resistansi jangkar per fasa adalah 0,08 Ω dan
Va
Ia IaRa
jIaXl
Ea
Eaa
Iφa
−−−−Iφa
Ifa
If =Ifa− Iφa
θ
γ
jIaXφa
jIaXa
Gb.3.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;
reaktansi reaksi jangkar (Xφa) dan reaktansi sinkron (Xa).
+ − Eaa
Ra jXa
Beban
+
Va
−
Gb.3.8. Rangkaian ekivalen mesin sinkron.
Ia
66 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
reaktansi bocor per fasa 1,9 Ω. Tentukanlah arus eksitasi (arus
medan) yang diperlukan untuk membangkitkan tegangan terminal
nominal jika generator dibebani dengan beban nominal seimbang
pada faktor daya 0,8 lagging.
Penyelesaian :
Tegangan per fasa adalah V 4,79673
13800==aV .
Arus jangkar per fasa : A 4,418313800
1010 6
=×
×=aI .
Reaktansi reaksi jangkar : Ω===φ 92,197,2
78,53
i
va
k
kX
Reaktansi sinkron : Ω=+=+= φ 82,2192,199,1ala XXX
Dengan mengambil Va sebagai referensi, maka Va = 7967,4 ∠0o V
dan Ia = 418,4∠−36,87, dan tegangan terbangkit :
6,73031,1344513,535,912904,7967
)82.2108.0(87,364,41804,7967
)(
oo
o
j
j
jXaRaaaaa
+=∠+∠≈
+−∠+∠=
++= IVE
V 15300)6,7303()1,13445( 22 =+=aaE
Arus eksitasi yang diperlukan adalah
A 5,28478,53
15300===
v
aaf
k
EI
Daya. Daya per fasa yang diberikan ke beban adalah
θ= cosaaf IVP (3.22)
Pada umumnya pengaruh resistansi jangkar sangat kecil dibandingkan
dengan pengaruh reaktansi sinkron. Dengan mengabaikan resistansi
jangkar maka diagram fasor mesin sinkron menjadi seperti Gb.3.9.
67
Gb.3.9. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;
resistansi jangkar diabaikan.
Pada Gb.3.9. terlihat bahwa
θ=δ cossin aaaa XIE atau δ=θ sincosa
aaa
X
EI .
Dengan demikian maka (3.22) dapat ditulis sebagai
δ= sina
aaaf
X
EVP (3.23)
Persamaan (3.23) ini
memberikan formulasi daya
per fasa dan sudut δ
menentukan besarnya daya;
oleh karena itu sudut δ
disebut sudut daya (power
angle). Daya Pf merupakan
fungsi sinus dari sudut daya
δ seperti terlihat pada
Gb.3.10.
Untuk 0 < δ < 180o daya
bernilai positif, mesin beroperasi sebagai generator yang memberikan
daya. (Jangan dikacaukan oleh konvensi pasif karena dalam
menggambarkan diagram fasor untuk mesin ini kita menggunakan
Va
Ia
Eaa
θ
jIaXa
δ
θ
-1.1
0
1.1
-180 -90 0 90 180
Pf
δ (o
listrik)
generator
motor
Gb.3.10. Daya fungsi sudut daya.
68 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
ketentuan tegangan naik dan bukan tegangan jatuh). Untuk 0 > δ >
−180o mesin beroperasi sebagai motor, mesing menerima daya.
Dalam pengenalan mesin-mesin listrik ini, pembahasan mengenai mesin
sikron kita cukupkan sampai di sini. Pembahasan lebih lanjut akan kita
peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin listrik.
Soal-Soal
1. Sebuah generator sinkron 3 fasa, 50 Hz, 10 kutub, memiliki 90 alur di
statornya. Fluksi maksimum per kutub adalah sekitar 0,2 Wb.
Tentukanlah jumlah lilitan per belitan jika tegangan fasa-fasa yang
diharapkan adalah 12 kV, dengan belitan jangkar terhubung Y.
2. Sebuah generator sinkron 3 fasa, 10 kutub, hubungan Y, kecepatan
perputaran 600 rpm. Jumlah alur stator 120 dengan 8 konduktor tiap
alur; belitan fasa terhubung seri. Jika fluksi maksimum tiap kutub
adalah 0,06 Wb, hitunglah tegangan imbas fasa-netral dan fasa-fasa.
3. Sebuah generator sikron 3 fasa, 1500 kVA, 6600 V, hubungan Y,
mempunyai karakteristik celah udara sebagai V 14,57 fa IV ×= dan
karakteristik hubung singkat A 63,2 fa II ×= . Generator bekerja pada
beban penuh pada faktor daya 0,8 lagging. Jika tegangan jatuh reaktif
dan resistif pada jangkar adalah 8% dan 2% dari tegangan normal,
tentukan eksitasi yang diperlukan.
4. Sebuah generator sikron 3 fasa, 5000 kVA, 6600 V, hubungan Y,
mempunyai karakteristik celah udara sebagai V 44,54 fa IV ×= dan
karakteristik hubung singkat A 87,21 fa II ×= . Generator bekerja
pada beban penuh pada faktor daya 0,6 lagging. Jika reaktansi dan
resistansi jangkar per fasa adalah 1 Ω dan 0,2 Ω, tentukan selang
eksitasi yang diperlukan untuk mempertahankan tegangan jangkar
tetap konstan dari beban nol sampai beban penuh.
5. Sebuah generator sikron 3 fasa, 1500 kVA, 6600 V, hubungan Y,
beroperasi pada beban penuh dengan faktor daya 0,8 lagging.
Karakteristik celah udara menunjukkan V 7,217 fa IV ×= . Generator
ini mempunyai stator dengan 9 alur per kutub dan tiap alur berisi 6
konduktor. Jika tegangan jatuh induktif adalah 10% pada beban
penuh sedangkan resistansi dapat diabaikan. Rotor adalah kutub
tonjol dengan 125 lilitan tiap kutub. Tentukan arus eksitasi pada
beban penuh.
69
BAB 4 Motor Asinkron
Setelah mempelajari bab ini, kita akan
• Memahami cara kerja motor asinkron.
• Mampu melakukan perhitungan-perhitungan sederhana pada motor
asinkron melalui rangkaian ekivalen.
4.1. Konstruksi Dan Cara Kerja
Motor merupakan piranti
konversi dari energi listrik ke
energi mekanik. Salah satu
jenis yang banyak dipakai
adalah motor asinkron atau
motor induksi. Di sini kita
hanya akan melihat motor
asinkron tiga fasa. Stator
memiliki alur-alur untuk
memuat belitan-belitan yang
akan terhubung pada sistem
tiga fasa. Gb.4.1. hanya
memperlihatkan tiga belitan
pada stator sebagai belitan
terpusat, yaitu belitan aa1 ,
bb1 dan cc1 yang berbeda
posisi 120o mekanik. Susunan belitan ini sama dengan susunan belitan
pada stator generator sinkron. Ketiga belitan ini dapat dihubungkan Y
ataupun ∆ untuk selanjutnya disambungkan ke sumber tiga fasa. Rotor
mempunyai alur-alur yang berisi konduktor dan semua konduktor pada
rotor ini dihubung singkat di ujung-ujungnya. Inilah salah satu konstruksi
rotor yang disebut rotor sangkar (susunan konduktor-konduktor itu
berbentuk sangkar).
Untuk memahami secara fenomenologis cara kerja motor ini, kita melihat
kembali bagaimana generator sinkron bekerja. Rotor generator yang
mendukung kutub magnetik konstan berputar pada porosnya. Magnet
yang berputar ini mengimbaskan tegangan pada belitan stator yang
membangun sistem tegangan tiga fasa. Apabila rangkaian belitan stator
tertutup, misalnya melalui pembebanan, akan mengalir arus tiga fasa
Gb.4.1. Motor asinkron.
a
b
a1
c1 b1
c
70 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
pada belitan stator. Sesuai dengan hukum Lenz, arus tiga fasa ini akan
membangkitkan fluksi yang melawan fluksi rotor; kejadian ini kita kenal
sebagai reaksi jangkar. Karena fluksi rotor adalah konstan tetapi berputar
sesuai perputaran rotor, maka fluksi reaksi jangkar juga harus berputar
sesuai perputaran fluksi rotor karena hanya dengan jalan itu hukum Lenz
dipenuhi. Jadi mengalirnya arus tiga fasa pada belitan rotor
membangkitkan fluksi konstan yang berputar. Sekarang, jika pada belitan
stator motor asinkron diinjeksikan arus tiga fasa (belitan stator
dihubungkan pada sumber tiga fasa) maka akan timbul fluksi konstan
berputar seperti layaknya fluksi konstan berputar pada reaksi jangkar
generator sinkron. Demikianlah bagaimana fluksi berputar timbul jika
belitan stator motor asikron dihubungkan ke sumber tiga fasa.
Kita akan melihat pula secara skematis, bagaimana timbulnya fluksi
berputar. Untuk itu hubungan belitan stator kita gambarkan sebagai tiga
belitan terhubung Y yang berbeda posisi 120o mekanis satu sama lain
seperti terlihat pada Gb.4.2.a. Belitan-belitan itu masing-masing dialiri
arus ia , ib , dan ic yang berbeda fasa 120o listrik seperti ditunjukkan oleh
Gb.4.2.b. Masing-masing belitan itu akan membangkitkan fluksi yang
berubah terhadap waktu sesuai dengan arus yang mengalir padanya. Kita
perhatikan situasi yang terjadi pada beberapa titik waktu.
Perhatikan Gb.4.2. Pada t1 arus ia maksimum negatif dan arus ib = ic
positif. Ke-tiga arus ini masing-masing membangkitkan fluksi φa , φb dan
φc yang memberikan fluksi total φtot . Kejadian ini berubah pada t2 , t3 , t4
dan seterusnya yang dari Gb.4.2. terlihat bahwa fluksi total berputar
seiring dengan perubahan arus di belitan tiga fasa. Peristiwa ini dikenal
sebagai medan putar pada mesin asinkron.
Kecepatan perputaran dari medan putar harus memenuhi relasi antara
jumlah kutub, frekuensi tegangan, dan kecepatan perputaran sinkron
sebagaimana telah kita kenal pada mesin sinkron yaitu
Hz 120
1
snpf = atau rpm
120 1
p
fns = (4.1)
dengan f1 adalah frekuensi tegangan stator, ns adalah kecepatan
perputaran medan putar yang kita sebut perputaran sinkron. Jumlah
kutub p ditentukan oleh susunan belitan stator. Pada belitan stator seperti
pada contoh konstruksi mesin pada Gb.4.1. jumlah kutub adalah 2,
sehingga jika frekuensi tegangan 50Hz maka perputaran sinkron adalah
3000 rpm.
71
Gb.4.2. Terbentuknya fluksi magnetik yang berbutar.
Arus positif menuju titik netral,
arus negatif meninggalkan titk netral.
Fluksi total φtot tetap dan berputar.
Untuk membuat jumlah kutub menjadi 4, belitan stator disusun seperti
pada stator mesin sinkron pada Gb.3.1.
Selanjutnya medan magnetik berputar yang ditimbulkan oleh stator akan
mengimbaskan tegangan pada konduktor rotor. Karena konduktor rotor
merupakan rangkaian tertutup, maka akan mengalir arus yang kemudian
berinteraksi dengan medan magnetik yang berputar dan timbullah gaya
sesuai dengan hukum Ampere. Dengan gaya inilah terbangun torka yang
akan membuat rotor berputar dengan kecepatan perutaran n.
Perhatikanlah bahwa untuk terjadi torka, harus ada arus mengalir di
b).
ia ib ic
t
t1 t2 t3 t4
-1.1
0
1.1
-180 -135 -90 -45 0 45 90 135 180
ia
ib
ic
ia
ib
ic
ia
ib
ic
φa
φb
φc
φtot φa
φtot
φb
φc
φa
φtot
φb
φc
t1
ia
ib
ic
φa
φb φc
φtot
t2 t3 t4
a).
a a1
b
c
c1
b1
72 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
konduktor rotor dan untuk itu harus ada tegangan imbas pada konduktor
rotor. Agar terjadi tegangan imbas, maka kecepatan perputaran rotor n
harus lebih kecil dari kecepatan perputaran medan magnetik (yaitu
kecepatan perputaran sinkron ns) sebab jika kecepatannya sama tidak
akan ada fluksi yang terpotong oleh konduktor. Dengan kata lain harus
terjadi beda kecepatan antara rotor dengan medan putar, atau terjadi slip
yang besarnya adalah :
s
s
n
nns
−= (4.2)
Nilai s terletak antara 0 dan 1.
Rotor Belitan. Pada awal perkenalan kita dengan mesin asinkron, kita
melihat pada konstruksi yang disebut mesin asinkron dengan rotor
sangkar. Jika pada rotor mesin asinkron dibuat alur-alur untuk
meletakkan susunan belitan yang sama dengan susunan belitan stator
maka kita mempunyai mesin asinkron rotor belitan. Terminal belitan
rotor dapat dihubungkan dengan cincin geser (yang berputar bersama
rotor) dan melalui cincin geser ini dapat dihubungkan pada resistor untuk
keperluan pengaturan perputaran. Skema hubungan belitan stator dan
rotor diperlihatkan pada Gb.4.3; pada waktu operasi normal belitan rotor
dihubung singkat. Hubungan seperti ini mirip dengan transformator.
Medan putar akan mengimbaskan tegangan baik pada belitan stator
maupun rotor.
Tegangan imbas pada stator adalah :
mwKfE φ= 111 44,4 (4.3)
Gb.4.3. Skema hubungan belitan stator dan rotor
mesin asinkron rotor belitan. Garis putus-putus
menunjukkan hubung singkat pada operasi normal.
belitan stator
E1
belitan rotor
E2
73
dengan Kw1 adalah faktor belitan stator, ==120
snpf frekuensi tegangan
stator, φm adalah fluksi maksimum di celah udara, 1 adalah jumlah
lilitan belitan stator.
Jika belitan rotor terbuka dan rotor tidak berputar, maka tegangan imbas
pada belitan rotor adalah
mwKfE φ= 222 44,4 (4.4)
dengan Kw2 adalah faktor belitan rotor, ==120
snpf frekuensi tegangan
stator (karena rotor tidak berputar), φm adalah fluksi maksimum di celah
udara sama dengan fluksi yang mengibaskan tegangan pada belitan
stator, 2 adalah jumlah lilitan belitan rotor.
Jika rotor dibiarkan berputar dengan kecepatan perputaran n maka
terdapat slip seperti ditunjukkan oleh (4.2). Frekuensi tegangan imbas
pada rotor menjadi
Hz 120
120
)( 2 fs
nspnnpf ss ==
−= (4.5)
Jadi frekuensi tegangan rotor diperoleh dengan mengalikan frekuensi
stator dengan slip s; oleh karena itu ia sering disebut frekuensi slip.
Tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan berputar menjadi
222 sEE = (4.6)
Jika rotor tak berputar (belitan rotor terbuka), maka dari (4.56) dan (4.57)
kita peroleh
aK
K
E
E
w
w ==22
11
2
1 (4.7)
Situasi ini mirip dengan transformator tanpa beban.
CO+TOH 4.12 : Tegangan seimbang tiga fasa 50 Hz diberikan kepada
motor asinkron tiga fasa , 4 kutub. Pada waktu motor melayani
beban penuh, diketahui bahwa slip yang terjadi adalah 0,05.
Tentukanlah : (a) kecepatan perputaran medan putar relatif terhadap
stator; (b) frekuensi arus rotor; (c) kecepatan perputaran medan rotor
relatif terhadap rotor; (d) kecepatan perputaran medan rotor relatif
74 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
terhadap stator; (e) kecepatan perputaran medan rotor relatif
terhadap medan rotor.
Penyelesaian:
(a) Relasi antara kecepatan medan putar relatif terhadap stator
(kecepatan sinkron) dengan frekuensi dan jumlah kutub adalah
120
snpf = . Jadi kecepatan perputaran medan putar adalah
15004
50120120=
×==
p
fns rpm
(b) Frekuensi arus rotor adalah 5,25005,012 =×== sff Hz.
(c) Karena belitan rotor adalah juga merupakan belitan tiga fasa
dengan pola seperti belitan stator, maka arus rotor akan
menimbulkan pula medan putar seperti halnya arus belitan stator
menimbulkan medan putar. Kecepatan perputaran medan putar
rotor relatif terhadap rotor adalah
754
5,2120120 22 =
×==
p
fn Hz
(d) Relatif terhadap stator, kecepatan perputaran medan rotor harus
sama dengan kecepatan perputaran medan stator, yaitu
kecepatan sinkron 1500 rpm.
(e) Karena kecepatan perputaran medan rotor sama dengan
kecepatan perputaran medan stator, kecepatan perputaran
relatifnya adalah 0.
4.2. Rangkaian Ekivalen
Rangkaian ekivalen yang akan kita pelajari adalah rangkaian ekivalen
per fasa.
Rangkaian Ekivalen Stator. Jika resistansi belitan primer per fasa adalah
R1 dan reaktansinya adalah X1, sedangkan rugi-rugi inti dinyatakan
dengan rangkaian paralel suatu resistansi Rc dan reaktansi Xφ seperti
halnya pada transformator. Jika V1 adalah tegangan masuk per fasa pada
belitan stator motor dan E1 adalah tegangan imbas pada belitan stator
oleh medan putar seperti diberikan oleh (4.3), maka kita akan
mendapatkan hubungan fasor
75
( ) 11111 EIV ++= jXR (4.8)
Fasor-fasor tegangan dan arus serta reaktansi pada persamaan (4.61) ini
adalah pada frekuensi sinkron ωs = 2π f1. Rangkaian ekivalen stator
menjadi seperti pada Gb.4.4. yang mirip rangkaian primer transformator.
Perbedaan terletak pada besarnya If yang pada transformator berkisar
antara 2 − 5 persen dari arus nominal, sedangkan pada motor asinkron
arus ini antara 25 − 40 persen arus nominal, tergantung dari besarnya
motor.
Selain itu reaktansi bocor X1 pada motor jauh lebih besar karena adanya
celah udara dan belitan stator terdistribusi pada permukaan dalam stator
sedangkan pada transformator belitan terpusat pada intinya. Tegangan E1
pada terminal AB pada rangkaian ekivalen ini haruslah merefleksikan
peristiwa yang terjadi di rotor.
Rangkaian Ekivalen Rotor. Jika rotor dalam keadaan berputar maka
tegangan imbas pada rotor adalah 22E . Jika resistansi rotor adalah R22
dan reaktansinya adalah X22 maka arus rotor adalah :
( )2222
2222
jXR +=
EI (4.9)
Perhatikanlah bahwa fasor-fasor tegangan dan arus serta nilai reaktansi
pada persamaan (4.9) ini adalah pada frekuensi rotor ω2 = 2π f2 , berbeda
dengan persamaan fasor (4.8). Kita gambarkan rangkaian untuk
persamaan (4.9) ini seperti pada Gb.4.5.a.
Gb.4.4. Rangkaian ekivalen stator.
If
I1
Ic Iφ
R1 jX1
V1
jXc Rc
E1
A
B
76 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Menurut (4.6) E22 = sE2 dimana E2 adalah tegangan rotor dengan
frekuensi sinkron ωs. Reaktansi rotor X22 dapat pula dinyatakan dengan
frekuensi sinkron; jika L2 adalah induktansi belitan rotor (yang
merupakan besaran konstan karena ditentukan oleh konstruksinya) maka
kita mempunyai hubungan
2212222 sXLsLX =ω=ω= (4.10)
Di sini kita mendefinisikan reaktansi rotor dengan frekuensi sinkron
212 LX ω= . Karena Resistansi tidak tergantung frekuensi, kita nyatakan
resistansi rotor sebagai R2 = R22. Dengan demikian maka arus rotor
menjadi
22
22
jsXR
s
+=
EI (4.11)
Persamaan fasor tegangan dan arus rotor (4.64) sekarang ini adalah pada
frekuensi sinkron dan persamaan ini adalah dari rangkaian yang terlihat
pada Gb.4.5.b. Tegangan pada terminal rotor A´B´ adalah tegangan
karena ada slip yang besarnya adalah sE2. Dari rangkaian ini kita dapat
menghitung besarnya daya nyata yang diserap rotor per fasa, yaitu
222 RIPcr = (4.12)
Gb.4.5. Pengembangan rangkaian ekivalen rotor.
R22 jX22
I22
E22
A′
B′
R2 jsX2
I2
sE2
A′
B′ a)
s
R2
jX2
I2
E2
A′
B′ c)
b)
s
sR
−12
jX2
I2
E2
A′
B′ d)
R2
77
Jika pembilang dan penyebut pada persamaan (4.64) kita bagi dengan s
kita akan mendapatkan
22
22
jXs
R+
=E
I (4.13)
Langkah matematis ini tidak akan mengubah nilai I2 dan rangkaian dari
persamaan ini adalah seperti pada Gb.4.5.c. Walaupun demikian ada
perbedaan penafsiran secara fisik. Tegangan pada terminal rotor A´B´
sekarang adalah tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan rotor
tidak berputar dengan nilai seperti diberikan oleh (4.14) dan bukan
tegangan karena ada slip. Jika pada Gb.4.5.b. kita mempunyai rangkaian
riil rotor dengan resistansi konstan R dan tegangan terminal rotor yang
tergantung dari slip, maka pada Gb.4.28.c. kita mempunyai rangkaian
ekivalen rotor dengan tegangan terminal rotor tertentu dan resistansi
yang tergantung dari slip. Tegangan terminal rotor pada keadaan terakhir
ini kita sebut tegangan celah udara pada terminal rotor dan daya yang
diserap rotor kita sebut daya celah udara, yaitu :
s
RIPg
222 = (4.14)
Daya ini jauh lebih besar dari Pcr pada (4.12). Pada mesin besar nilai s
adalah sekitar 0,02 sehingga Pg sekitar 50 kali Pcr. Perbedaan antara
(4.14) dan (4.12) terjadi karena kita beralih dari tegangan rotor riil yang
berupa tegangan slip ke tegangan rotor dengan frekuensi sinkron. Daya
nyata Pg tidak hanya mencakup daya hilang pada resistansi belitan saja
tetapi mencakup daya mekanis dari motor. Daya mekanis dari rotor ini
sendiri mencakup daya keluaran dari poros motor untuk memutar beban
ditambah daya untuk mengatasi rugi-rugi rotasi yaitu rugi-rugi akibat
adanya gesekan dan angin. Oleh karena itu daya Pg kita sebut daya celah
udara artinya daya yang dialihkan dari stator ke rotor melalui celah udara
yang meliputi daya hilang pada belitan rotor (rugi tembaga rotor) dan
daya mekanis rotor. Dua komponen daya ini dapat kita pisahkan jika kita
menuliskan
−+=
s
sRR
s
R 122
2 (4.15)
78 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Suku pertama (4.15) akan memberikan daya hilang di belitan rotor (per
fasa) 222 RIPcr = dan suku kedua memberikan daya keluaran mekanik
ekivalen
−=
s
sRIPm
1 2
22 (4.16)
Dengan cara ini kita akan mempunyai rangkaian ekivalen rotor seperti
pada Gb.4.5.d.
Rangkaian Ekivalen Lengkap. Kita menginginkan satu rangkaian
ekivalen untuk mesin asinkron yang meliputi stator dan rotor. Agar dapat
menghubungkan rangkaian rotor dengan rangkaian stator, kita harus
melihat tegangan rotor E2 dari sisi stator dengan memanfaatkan (4.60)
yang memberikan 21 aEE = . Jika E2 pada Gb.4.5.d. kita ganti dengan
21 EE a= , yaitu tegangan rotor dilihat dari sisi stator, maka arus rotor
dan semua parameter rotor harus pula dilihat dari sisi stator menjadi
, '2
'2 RI dan '
2X . Dengan demikian kita dapat menghubungkan
terminal rotor A´B´ ke terminal AB dari rangkaian stator pada Gb.4.4.
dan mendapatkan rangkaian ekivalen lengkap seperti terlihat pada
Gb.4.6.
Aliran Daya. Aliran daya per fasa dalam motor asinkron dapat kita baca
dari rangkaian ekivalen sebagai berikut. Daya (riil) yang masuk ke stator
motor melalui tegangan V1 dan arus I1 digunakan untuk :
• mengatasi rugi tembaga stator : 121 RIPcs =
• mengatasi rugi-rugi inti stator : Pinti
Gb.4.6. Rangkaian ekivalen lengkapmotor asikron.
'2I
s
sR
−1'2
If
I1
R1 jX1
V1 jXc
Rc
A
B
'2R
'2jX
79
• daya masuk ke rotor, disebut daya celah udara s
RIPg
'22'
2 )(= ,
yang digunakan untuk
• mengatasi rugi-rugi tembaga rotor : '2
2'2 )( RIPcr =
• memberikan daya mekanis rotor
−=
s
sRIPm
1 )(
'2
2'2 , yang terdiri dari :
• daya untuk mengatasi rugi rotasi (gesekan dan
angin) : Protasi
• daya keluaran di poros rotor : Po.
Jadi urutan aliran daya secara singkat adalah :
rotasim PPP −=o ; crgm PPP −= ; csing PPPP −−= inti
Rangkaian Ekivalen Pendekatan. Dalam melakukan analisis motor
asinkron kita sering menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan yang
lebih sederhana seperti pada Gb.4.7. Dalam rangkaian ini rugi-rugi
tembaga stator dan rotor disatukan menjadi eRI 2'2 )( . Bagaimana Re
dan Xe ditentukan akan kita bahas berikut ini.
4.3. Penentuan Parameter Rangkaian
Pengukuran Resistansi. Resistansi belitan stator maupun belitan rotor
dapat diukur. Namun perlu diingat bahwa jika pengukuran dilakukan
dengan menggunakan metoda pengukuran arus searah dan pengukuran
dilakukan pada temperatur kamar, harus dilakukan koreksi-koreksi.
Dalam pelajaran lebih lanjut kita akan melihat bahwa resistansi untuk
arus bolak-balik lebih besar dibandingkan dengan resistansi pada arus
searah karena adanya gejala yang disebut efek kulit. Selain dari itu, pada
Gb.4.7. Rangkaian ekivalen pendekatan.
'21 jXjXjXe +=
'21 RRRe +=
s
sR
−1'2
If
I1
V1 jXc
Rc
80 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
kondisi kerja normal, temperatur belitan lebih tinggi dari temperatur
kamar yang berarti nilai resistansi akan sedikit lebih tinggi.
Uji Beban +ol. Dalam uji beban nol stator diberikan tegangan nominal
sedangkan rotor tidak dibebani dengan beban mekanis. Pada uji ini kita
mengukur daya masuk dan arus saluran. Daya masuk yang kita ukur
adalah daya untuk mengatasi rugi tembaga pada beban nol, rugi inti, dan
daya celah udara untuk mengatasi rugi rotasi pada beban nol. Dalam uji
ini slip sangat kecil, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan sehingga
biasanya arus eksitasi dianggap sama dengan arus uji beban nol yang
terukur.
Uji Rotor Diam. Uji ini analog dengan uji hubng singkat pada
transformator. Dalam uji ini belitan rotor di hubung singkat tetapi rotor
ditahan untuk tidak berputar. Karena slip s = 1, maka daya mekanis
keluaran adalah nol. Tegangan masuk pada stator dibuat cukup rendah
untuk membatasi arus rotor pada nilai yang tidak melebihi nilai nominal.
Selain itu, tegangan stator yang rendah (antara 10 – 20 % nominal)
membuat arus magnetisasi sangat kecil sehingga dapat diabaikan.
Rangkaian ekivalen dalam uji ini adalah seperti pada Gb.4.8. Perhatikan
bahwa kita mengambil tegangan fasa-netral dalam rangkaian ekivalen
ini.
Jika Pd adalah daya tiga fasa yang terukur dalam uji rotor diam, Id adalah
arus saluran dan Vd adalah tegangan fasa-fasa yang terukur dalam uji ini,
maka
Gb.4.8. Rangkaian ekivalen motor
asikron pada uji rotor diam.
'21 jXjXjXe +=
'21 RRRe +=
I0
Vfn
81
'21
22
2
'21
3
3
XXRZX
I
VZ
I
PjXXR
eee
d
de
d
de
+=−==
=
=+=
(4.17)
Jika kita menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan, pemisahan antara
X1 dan X2´ tidak diperlukan dan kita langsung memanfaatkan Xe.
CO+TOH 4.12 : Daya keluaran pada poros rotor motor asinkron tiga
fasa 50 Hz adalah 75 kW. Rugi-rugi rotasi adalah 900 W; rugi-rugi
inti stator adalah 4200 W; rugi-rugi tembaga stator adalah 2700 W.
Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah 100 A.. Hitunglah efisiensi
motor jika diketahui slip s = 3,75%.
Penyelesaian:
Dari rangkaian ekivalen Gb.4.29., daya mekanik ekivalen adalah
−=
s
sRIPm
1)(
'2
2'2 .
Pm dalam formulasi ini meliputi daya keluaran pada poros rotor dan
rugi rotasi. Daya keluaran 75 kW yang diketahui, adalah daya
keluaran pada poros rotor sedangkan rugi rotasi diketahui 900 W
sehingga
Pm = 75000 + 900 = 75900 W
dan rugi-rugi tembaga rotor adalah
W29570375,01
0375,075900
1)(
'2
2'2 =
−×
=−
==s
sPRIP m
cr
Efisiensi motor adalah
%45,87
%10029579002700420075000
75000
%100
=
×++++
=
×−+
=ηrugirugiP
P
keluaran
keluaran
82 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
CO+TOH 4.13 : Uji rotor diam pada sebuah motor asinkron tiga fasa
rotor belitan, 200 HP, 380 V, hubungan Y, memberikan data berikut:
daya masuk Pd = 10 kW, arus saluran Id = 250 A, Vd = 65 Vdan
pengukuran resistansi belitan rotor memberikan hasil R1 = 0,02 Ω per
fasa. Tentukan resistansi rotor dilihat di stator.
Penyelesaian :
Menurut (4.70) kita dapat menghitung
Ω=×
== 0533,0)250(3
10000
3 22d
de
I
PR per fasa
Ω=−=−= 0333,002,00533,01'2 RRR e per fasa
CO+TOH 4.14 : Pada sebuah motor asinkron tiga fasa 10 HP, 4 kutub,
220 V, 50 Hz, hubungan Y, dilakukan uji beban nol dan uji rotor
diam.
Beban nol : V0 = 220 V; I0 = 9,2 A; P0 = 670 W
Rotor diam : Vd = 57 V; Id = 30 A; Pd = 950 W.
Pengukuran resistansi belitan stator menghasilkan nilai 0,15 Ω per
fasa. Rugi-rugi rotasi sama dengan rugi inti stator. Hitung: (a)
parameter-parameter yang diperlukan untuk menggambarkan
rangkaian ekivalen (pendekatan); (b) arus eksitasi dan rugi-rugi inti.
Penyelesaian :
a). Karena terhubung Y, tegangan per fasa adalah
V 1273
2201 ==V .
Uji rotor diam memberikan :
Ω=×
== 35,0)30(3
950
)(3 22d
de
I
PR ;
Ω=−=−= 2,015,035,01'2 RRR e
Ω=×
=×
= 1,1303
57
3 d
de
I
VZ ;
Ω=−=−= 14,3)35,0()1,1(2222
eee RZX
83
b). Pada uji beban nol, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan; jadi
arus yang mengalir pada uji beban nol dapat dianggap arus
eksitasi If .
Daya pada uji beban nol 3cos670 00 θ== fIVP
⇒ 19,02,93220
670cos =
×=θ lagging.
Jadi : o
792,92,9 −∠=θ∠=fI .
Rugi inti :
W63215,02,936703 21
200inti =××−=×−= RIPP
CO+TOH 4.15 : Motor pada contoh 4.14. dikopel dengan suatu beban
mekanik, dan pengukuran pada belitan stator memberikan data :
daya masuk 9150 W, arus 28 A, faktor daya 0,82. Tentukanlah : (a)
arus rotor dilihat dari sisi stator; (b) daya mekanis rotor; (c) slip yang
terjadi; (d) efisiensi motor pada pembebanan tersebut jika diketahui
rugi rotasi 500 W.
Penyelesaian :
a). Menggunakan tegangan masukan sebagai referensi, dari data
pengukuran dapat kita ketahui fasor arus stator, yaitu: o
1 3528 −∠=I . Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah :
( ) ( )A 183,22
94,62,2198,019,02,957,00,8228
792,93528
o
oo1
'2
−∠=
−=−−−=
−∠−−∠=−=
jjj
fIII
b). Daya mekanik rotor adalah :
W78672,03,22315,02836329150
22
nti
=××−××−−=
−−−= crcsiinm PPPPP
14,3jjX e =
35,0=eR
s
s−12,0
If
I1
127∠0o
V
jXc Rc
84 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
c). Slip dapat dicari dari formulasi
s
RIPPPP csing
'2
2'2
inti
)(3×=−−= .
0365,015,02836329150
2,03,223)(3
2
2'2
2'2 =
××−−
××==
gP
RIs atau 3,65 %
e). Rugi rotasi = 500 W.
Daya keluaran sumbu rotor :
W73675007867o =−=−= rotasim PPP
Efisiensi motor : %80%1009150
7367%100o =×=×=η
inP
P
4.4. Torka
Pada motor asinkron terjadi alih daya dari daya listrik di stator menjadi
daya mekanik di rotor. Sebelum dikurangi rugi-tembaga rotor, alih daya
tersebut adalah sebesar daya celah udara Pg dan ini memberikan torka
yang kita sebut torka elektromagnetik dengan perputaran sinkron. Jadi
jika T adalah torka elektromagnetik maka
sg TP ω= atau s
gPT
ω= (4.18)
Torka Asut. Torka asut (starting torque) adalah torka yang dibangkitkan
pada saat s = 1, yaitu pada saat perputaran masih nol. Besarnya arus rotor
ekivalen berdasarkan rangkaian ekivalen Gb.4.7. dengan s = 1 adalah
( ) ( )2'21
2'21
1'2
XXRR
VI
+++
= (4.19)
Besar torka asut adalah
( )
( ) ( )2'21
2'21
'2
21
'22'
2
31
31
XXRR
RV
s
RI
PT
s
ss
ga
+++ω=
××ω
=ω
=
(4.20)
85
Pada saat s = 1 impedansi sangat rendah sehingga arus menjadi besar.
Oleh karena itu pada waktu pengasutan tegangan direduksi dengan
menggunakan cara-cara tertentu untuk membatasinya arus. Sudah barang
tentu penurunan tegangan ini akan memperkecil torka asut. Persamaan
(4.20) menunjukkan bahwa jika tegangan dturunkan setengahnya, torka
asut akan turun menjadi seperempatnya.
Torka maksimum. Torka ini penting diketahui, bahkan menjadi
pertimbangan awal pada waktu perancangan mesin dilakukan. Torka ini
biasanya bernilai 2 sampai 3 kali torka nominal dan merupakan
kemampuan cadangan mesin. Kemampuan ini memungkinkan motor
melayani beban-beban puncak yang berlangsung beberapa saat saja.
Perlu diingat bahwa torka puncak ini tidak dapat diberikan secara
kontinyu sebab akan menyebabkan pemanasan yang akan merusak
isolasi.
Karena torka sebanding dengan daya celah udara Pg , maka torka
maksimum terjadi jika alih daya ke rotor mencapai nilai maksimum. Dari
rangkaian ekivalen pendekatan Gb.4.9., teorema alih daya maksimum
mensyaratkan bahwa alih daya ke s
R'2 akan maksimum jika
( )2'21
21
'2 XXR
s
R
m
++= atau
( )2'21
21
'2
XXR
Rsm
++
= (4.21)
Persamaan (4.21) memperlihatkan bahwa sm dapat diperbesar dengan
memperbesar '2R . Suatu motor dapat dirancang agar torka asut
mendekati torka maksimum dengan menyesuaikan nilai resistansi rotor.
Arus rotor pada waktu terjadi alih daya maksimum adalah
Gb.4.9. Rangkaian ekivalen pendekatan.
1R
s
R'2
If
I1
V1 jXc
Rc
)( '21 XXj +
86 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
( ) ( ) ( )
( ) ( )2'21
2'21
211
21
1
2'21
22'
21211
1
2'21
2'2
1
12
222
XXXXRRR
V
XXXXRR
V
XXs
RR
VI
m
'
+++++
=
++
+++
=
++
+
=
(4.22)
Torka maksimum adalah
( )( )
+++
ω=×
ω=
2'21
211
21
'22'
2
2
313
1
XXRR
V
s
RIT
smsm (4.23)
Persamaan (4.23) ini memperlihatkan bahwa torka maksimum tidak
tergantung dari besarnya resistansi rotor. Akan tetapi menurut (4.21) slip
maksimum sm berbanding lurus dengan resistansi rotor. Jadi mengubah
resistansi rotor akan mengubah nilai slip yang akan memberikan torka
maksimum akan tetapi tidak mengubah besarnya torka maksimum itu
sendiri.
Karakteristik Torka – Perputaran. Gb.4.10. memperlihatkan bagaimana
torka berubah terhadap perputaran ataupun terhadap slip. Pada gambar
ini diperlihatkan pula pengaruh resistansi belitan rotor terhadap
karakterik torka-perputaran. Makin tinggi resistansi belitan rotor, makin
besar slip tanpa mengubah besarnya torka maksimum.
0
100
200
300
1
0
sm 0
ns
slip
perputaran
tork
a d
alam
% n
om
inal
Gb.4.10. Karakteristik torka – perputaran.
resistansi rotor rendah
resistansi rotor tinggi
sm1
87
Aplikasi. Motor dibagi dalam beberapa katagori menurut karakteristik
spesifiknya sesuai dengan kemampuan dalam penggunaannya. Berikut
ini data motor yang secara umum digunakan, untuk keperluan memutar
beban dengan kecepatan konstan dimana tidak diperlukan torka asut yang
terlalu tinggi. Beban-beban yang dapat dilayani misalnya kipas angin,
blower, alat-alat pertukangan kayu, pompa sentrifugal. Dalam keadaan
tertentu diperlukan pengasutan dengan tegangan yang direduksi dan jenis
motor ini tidak boleh dibebani lebih secara berkepanjangan karena akan
terjadi pemanasan.
Pengendalian. Dalam pemakaian, kita harus memperhatikan
pengendaliannya. Pengendalian berfungsi untuk melakukan asut dan
menghentikan motor secara benar, membalik perputaran tanpa
merusakkan motor, tidak mengganggu beban lain yang tersmbung pada
sistem pencatu yang sama. Hal-hal khusus yang perlu diperhatikan dalam
pengendalian adalah : (a) pembatasan torka asut (agar beban tidak rusak);
(b) pembatasan arus asut; (c) proteksi terhadap pembebanan lebih; (d)
proteksi terhadap penurunan tegangan; (e) proteksi terhadap terputusnya
salah satu fasa (yang dikenal dengan single phasing). Kita cukupkan
sampai di sini pembahasan kita mengenai motor asinkron. Pengetahuan
lebih lanjut akan kita peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-
mesin listrik.
Tabel-4.1. Motor Dalam Aplikasi
HP jumlah
kutub
torka
asut %
torka
maks arus
asut
slip
faktor
daya efisiensi
2 150
4 150
0,5
sampai
200 6 135
0,87
sampai
0,89
87 %
sampai
89 %
8 125
500 %
sampai
1000 %
3 %
sampai
5 %
10 120
12 115
sampai
250 %
tidak
kurang
dari
200 %
14 110
16 105
Soal-Soal
1. Sebuah motor asinkron 3 fasa, 100 HP, 380 V, 50 Hz, mempunyai
rugi-rugi inti stator 4400 W, dan rugi tembaga stator 3000 W. Rugi-
rugi rotasi adalah 1100 W dan arus ekivalen rotor dilihat di stator
adalah 120 A. Pada slip 4%, hitunglah efisiensi motor.
88 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
2. Sebuah motor asinkron 3 fasa 20 HP, 380 V, 50 Hz, 6 kutub, belitan
stator terhubung Y. Pengukuran resistansi menunjukkan resistansi
belitan stator 0,13 Ω per fasa. Uji rotor diam memberikan resistansi
ekivalen 0,22 Ω dan reaktansi ekivalen 0,52 Ω. Uji beban nol
memberikan rugi-rugi inti 600 W. Jika motor ini beroperasi dengan
slip 3%, hitunglah : (a) arus saluran; (b) faktor daya; (c) daya
keluaran (HP); (d) Torka asut.
3. Sebuah motor asinkron 3 fasa, 2200 V, 50 Hz, 12 kutub, terhubung
Y. Pada uji beban nol, motor menyerap daya 14 kW pada arus
saluran 20 A. Pengukuran resistansi menghasilkan resistansi belitan
stator 0,4 Ω per fasa. Uji rotor diam menghasilan resistansi ekivalen
0,6 Ω dan reaktansi ekivalen 2,0 Ω. Motor beroperasi pada slip 3%.
Hitunglah: (a) arus masukan; (b) faktor daya; (c) besarnya torka.
4. Sebuah motor asinkron 3 fasa, 100 HP, 380 V, 50 Hz, 12 kutub,
belitan stator terhubung Y. Pengukuran resistansi menghasilkan nilai
resistansi belitan stator 0,06 per fasa. Uji beban nol menunjukkan
rugi-rugi inti 4200 W. Uji rotor diam memberikan resistansi ekivalen
0,11 Ω dan reaktansi ekivalen 0,26 Ω per fasa. Jika motor beroperasi
pada beban penuh dan rugi-rugi rotasi diketahui 1800 W,
tentukanlah : (a) arus masukan; (b) faktor daya; (c) efisiensi.
5. Sebuah motor asinkron 3 fasa, rotor belitan terhubung Y, tegangan
masukan 2200 V. Uji beban nol pada tegangan 2200 Vmemberikan
data arus saluran 16,5 A, daya masuk 12,4 kW. Uji rotor diam
dilakukan pada tegangan masuk 450 V memberikan data arus
saluran 176 A dan daya masuk 37,5 kW. Pengukuran resistansi
stator menghasilkan resistansi 0,28 Ω per fasa. Jika motor beropersai
pada slip 2% dan diketahui rugi-rugi rotasi 2 kW, tentukan nilai
parameter untuk menggambarkan rangkaian ekivalen pendekatan.
6. Pada motor soal nomer 5, tentukanlah : (a) slip untuk memberikan
torka maksimum; (b) arus masukan dan faktor daya pada waktu
terjadi torka maksimum; (c) besarnya torka maksimum.
7. Sebuah motor asinkron rotor sangkar, 400 HP, 2200 V, 6 kutub, 50
Hz, belitan stator terhubung Y, mempunyai parameter
Ω=Ω=Ω= 25,0 ; 4,0 ; 2,01 ee XRR
Rugi-rugi inti stator 8800 W dan rugi-rugi rotasi 4800 W. Jika motor
beroperasi pada slip 2%, dengan menggunakan rangkaian ekivalen
pendekatan hitunglah : (a) arus masukan; (b) faktor daya; (c)
besarnya torka; (d) efisiensi.
89
BAB 5 Sinyal +onsinus Pada Rangkaian Linier
Penyediaan energi listrik pada umumnya dilakukan dengan
menggunakan sumber tegangan berbentuk gelombang sinus. Arus yang
mengalir diharapkan juga berbentuk gelombang sinus. Namun
perkembangan teknologi terjadi di sisi beban yang mengarah pada
peningkatan efisiensi peralatan dalam penggunaan energi listrik. Alat-alat
seperti air conditioner, refrigerator, microwave oven, sampai ke mesin
cuci dan lampu-lampu hemat energi makin banyak digunakan dan semua
peralatan ini menggunakan daya secara intermittent. Peralatan elektronik,
yang pada umumnya memerlukan catu daya arus searah juga semakin
banyak digunakan sehingga diperlukan penyearahan arus. Pembebanan-
pembebanan semacam ini membuat arus beban tidak lagi berbentuk
gelombang sinus.
Bentuk-bentuk gelombang arus ataupun tegangan yang tidak berbentuk
sinus, namun tetap periodik, tersusun dari gelombang-gelombang sinus
dengan berbagai frekuensi. Gelombang periodik nonsinus ini
mengandung harmonisa.
Pembahasan mengenai harmonisa dalam buku ini diharapkan menjadi
pengantar untuk pembahasan mengenai Kualitas Daya. Kajian mengenai
kualitas daya dalam system penyaluran energi listrik mencakup setiap
permasalahan pada sistem tenaga yang berdampak pada penyimpngan
besaran tegangan, arus, dan frekuensi dan berakibat kegagalan kerja
sistem atau kegagalan operasi peralatan di sisi beban.
Perkembangan teknologi di sisi beban telah memunculkan berbagai
beban dengan karakteristik masing-masing serta berbagai pola
pembebanan. Karena beban terikat pada sistem pasokan daya, maka
tuntutan pembebanan juga akan berimbas pada sistem. Setiap sebab yang
akan menurunkan kinerja sistem perlu dihindarkan atau ditekan
seminimal mungkin. Oleh karena itu muncullah permasalahan kualitas
daya.
Kegagalan kerja sistem tidak harus berarti ‘shut down’ dan kegagalan
operasi peralatan tidak harus berarti ‘rusak’. Penurunan efisiensi dan
penurunan life time termasuk dalam katagori kegagalan kerja sistem dan
peralatan. Dengan demikian maka upaya peningkatan kualitas daya
90 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
merupakan upaya mencegah kegagalan operasi peralatan di sisi beban
(pengguna akhir) maupun meningkatkan kinerja pasokan. Upaya
peningkatan kualitas dituntut baik pada penyaluran dari pembangkit ke
jaringan, di dalam jaringan, maupun pasokan ke beban.
Masalah faktor daya, ketidak-seimbangan, susut energi di jaringan,
power interruption, adalah masalah-masalah yang selalu muncul dalam
sistem distribusi tenaga listrik. Ketidak-seimbangan pembebanan yang
menyebabkan munculnya komponen-komponen arus negative sequence
dan zero sequence juga akan menambah persoalan di jaringan.
Sesungguhnya persoalan kualitas daya tidak hanya terbatas pada usaha
perbaikan apa yang sudah ada, melainkan mencakup antisipasi pada
keadaan mendatang, baik yang didorong oleh perkembangan teknologi
maupun oleh peraturan-peraturan dan juga kepentingan komersial.
Beberapa perkembangan dalam teknologi energi listrik yang perlu
mendapat perhatian adalah:
a) Distributed Generation
Makin menyusutnya persediaan fossil fuel dan kesadaran akan
lingkungan mendorong upaya ke arah energi alternatif dan energi
terbarukan. Wind power, wave energy, photovoltaic, biomass,
fuelcell, mikrohidro, adalah beberapa contoh. Skala pembangkit
alternatif ini relatif kecil dan kebanyakan tersebar pada lokasi yang
berjauhan. Jika daya dari pembangkit yang relatif kecil ini harus
masuk ke jaringan, maka daya masuk ke jaringan melalui jaringan
distribusi.
b) Energy Storage
Teknologi ini sudah sejak lama menjadi perbincangan. Penyimpanan
energi sejauh ini dilaksanakan pada penyimpanan “energi
pembangkit” seperti energi kimia (batere), mekanik (flywheel), hidro
(hydro pumped storage), panas (thermal storage). Pembangkitan
listrik dari simpanan energi ini juga relative berskala kecil, yang bisa
masuk ke jaringan melalui jaringan distribusi.
c) Power Electronic
Perkembangan di bidang power electronic, dengan beban besar yang
merupakan pembebanan nonlinier, memerlukan perhatian agar
pengaruhnya pada sistem penyaluran daya serta dampaknya terhadap
peralatan-peralatan konvensional sistem (seperti transformator)
91
dapat ditekan. Perkembangan konversi AC/DC, diiringi oleh
pengembangan tapis aktif; walaupun demikian pemantauan kaualitas
daya tetap harus dilakukan.
5.1. Pendekatan +umerik Sinyal +onsinus
Dalam pembahasan harmonisa kita akan menggunakan istilah sinyal
nonsinus untuk menyebut secara umum sinyal periodik seperti sinyal gigi
gergaji dan sebagainya, termasuk sinyal sinus terdistorsi yang terjadi di
sistem tenaga.
Di Bab-3 telah dibahas bagaimana mencari spektrum amplitudo dan
sudut fasa dari bentuk sinyal nonsinus yang mudah dicari persamaannya.
Berikut ini kita akan membahas cara menentukan spektrum amplitudo
sinyal nonsinus melalui pendekatan numerik, yang digunakan jika kita
menghadapi sinyal nonsinus yang tidak mudah dicari persamaannya.
Cara pendekatan ini dapat dilakukan dengan bantuan komputer
sederhana, terutama jika sinyal disajikan dalam bentuk kurva hasil dari
suatu pengukuran analog. Dalam praktik, sinyal nonsinus diukur dengan
menggunakan alat ukur elektronik yang dapat menunjukkan langsung
spektrum amplitudo dari sinyal nonsinus yang diukur.
Penafsiran Grafis Deret Fourier. Pencarian spektrum amplitudo suatu
sinyal periodik y(t) dilakukan melalui penghitungan koefisien Fourier
dengan formula seperti berikut ini.
∫
∫
∫
−
−
−
>ω=
>ω=
=
2/
2/0
0
2/
2/0
0
2/
2/00
0
0
0
0
0
0
0 ; )sin()(2
0 ; )cos()(2
)(1
T
Tn
T
Tn
T
T
ndttntyT
b
ndttntyT
a
dttyT
a
dengan T0 adalah perioda sinyal.
Integral ∫−2/
2/
0
0
)(T
Tdtty adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva y(t)
dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika luas bidang dalam
rentang satu perioda ini dikalikan dengan (1/T0), yang berarti dibagi
92 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
dengan T0, akan memberikan nilai rata-rata y(t) yaitu nilai komponen
searah a0.
Integral ∫− ω2/
2/0
0
0
)cos()(T
Tdttnty adalah luas bidang yang dibatasi oleh
kurva )cos()( 0tnty ω dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika
luas bidang ini dikalikan dengan (2/T0), yang berarti dibagi (T0/2), akan
diperoleh an. Di sini T0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T0
terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω0.
Integral ∫− ω2/
2/0
0
0
)sin()(T
Tdttnty adalah luas bidang yang dibatasi oleh
kurva )sin()( 0tnty ω dengan sumbu-x dalam rentang satu perioda. Jika
luas ini dikalikan dengan (2/T0) akan diperoleh bn. Seperti halnya
penghitungan an, T0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T0
terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω0.
Dengan penafsiran hitungan integral sebagai luas bidang, maka
pencarian koefisien Fourier dapat didekati dengan perhitungan luas
bidang. Hal ini sangat membantu karena perhitungan analitis hanya dapat
dilakukan jika sinyal nonsinus yang hendak dicari komponen-
komponennya diberikan dalam bentuk persamaan yang cukup mudah
untuk diintegrasi.
Prosedur Pendekatan +umerik. Pendekatan numerik integral sinyal y(t)
dalam rentang p ≤ t ≤ q dilakukan sebagai berikut.
1. Kita bagi rentang p ≤ t ≤ q ke dalam m segmen dengan lebar masing-
masing ∆tk; ∆tk bisa sama untuk semua segmen bisa juga tidak,
tergantung dari keperluan. Integral y(t) dalam rentang p ≤ t ≤ q
dihitung sebagai jumlah luas seluruh segmen dalam rentang tersebut.
Setiap segmen dianggap sebagai trapesium; sisi kiri suatu segmen
merupakan sisi kanan segmen di sebelah kirinya, dan sisi kanan suatu
segmen menjadi sisi kiri segmen di sebelah kanannya. Jika sisi kanan
segmen (trapesium) adalah Ak maka sisi kirinya adalah Ak-1, maka
luas segmen ke-k adalah
( ) 2/1 kkkk tAAL ∆×+= − (5.1)
93
Jadi integral f(t) dalam rentang p ≤ x ≤ q adalah
∑∫=
≈m
k
k
q
pLdttf
1
)( (5.2)
2. Nilai ∆tk dipilih sedemikian rupa sehingga error yang terjadi masih
berada dalam batas-batas toleransi yang kita terima. Jika sinyal
diberikan dalam bentuk grafik, untuk mencari koefisien Fourier dari
harmonisa ke-n, satu perioda dibagi menjadi tidak kurang dari 10×n
segmen agar pembacaan cukup teliti dan error yang terjadi tidak
lebih dari 5%. Untuk harmonisa ke-5 misalnya, satu perioda dibagi
menjadi 50 segmen. Ketentuan ini tidaklah mutlak; kita dapat
memilih jumlah segmen sedemikian rupa sehingga pembacaan
mudah dilakukan namun cukup teliti.
3. Relasi untuk memperoleh nilai koefisien Fourier menjadi seperti
berikut:
[ ]
[ ]
[ ]∑ ∑
∑∑
∑∑
=
−−
=
−−
=
−
=∆ω+ω
=
=∆ω+ω
=
=∆+
=
m
k
kbnkkkkn
kanm
k
kkkkn
kam
k
kkk
T
LttnAtnA
Tb
T
LttnAtnA
Ta
T
LtAA
Ta
1 0
1010
0
01
1010
0
0
0
1
1
00
2/2
)sin()sin(2
2/
2
)cos()cos(2
2
1
(5.3)
4. Formula untuk sudut fasa adalah
=ϕ −
n
nn
a
b1tan (5.4)
5. Perlu disadari bahwa angka-angka yang diperoleh pada pendekatan
numerik bisa berbeda dengan nilai yang diperoleh secara analitis.
Jika misalkan secara analitis seharusnya diperoleh a1 = 0 dan b1 =
150, pada pendekatan numerik mungkin diperoleh angka yang sedikit
menyimpang, misalnya a1 = 0,01 dan b1 = 150,2.
6. Amplitudo dari setiap komponen harmonisa adalah 22nnn baA += .
Sudut fasa dihitung dalam satuan radian ataupun derajat dengan
mengingat letak kuadran dari vektor amplitudo seperti telah dibahas
94 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
pada waktu kita membahas spektrum sinyal dalam Bab-3. Persamaan
sinyal nonsinus adalah
)cos()(
1
022
0 ∑∞
=
ϕ−ω++=
n
nnn tnbaaty (5.5)
Berikut ini kita lihat sinyal periodik yang diberikan dalam bentuk kurva
yang tak mudah dicari persamaannya. Prosedur pendekatan numerik
dilakukan dengan membaca kurva yang memerlukan kecermatan. Hasil
pembacaan kita muatkan dalam suatu tabel seperti pada contoh berikut
ini.
CO+TOH-5.1:
Carilah komponen searah, fundamental, dan harmonisa ke-3 sinyal
periodik y(t) yang dalam satu perioda berbentuk seperti yang
diperlihatkan dalam gambar di atas. Perhatikan bahwa gambar ini
adalah gambar dalam selang satu periode yang berlangsung dalam
0,02 detik, yang sesuai dengan frekuensi kerja 50 Hz.
Penyelesaian: Perhitungan diawali dengan menetapkan nilai t
dengan interval sebesar ∆t = 0,0004 detik, kemudian menentukan Ak
untuk setiap segmen. Sisi kiri segmen pertama terjadi pada t = 0 dan
sisi kanannya menjadi sisi kiri segmen ke-dua; dan demikian
selanjutnya dengan segmen-segmen berikutnya. Kita tentukan pula
sisi kanan segmen terakhir pada t = T0. Hasil perhitungan yang
-200
-150
-100
-50
0
50
100
150
200
0 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,012 0,014 0,016 0,018 0,02
y[volt]
t[detik]
95
diperoleh dimuatkan dalam Tabel-5.1 (hanya ditampilkan sebagian),
dimana sudut fasa dinyatakan dalam satuan radian. Pembulatan
sampai 2 angka di belakang koma.
Tabel-5.1. Analisis Harmonisa Sinyal Nonsinus pada Contoh-5.1.
T0 = 0,02 s
∆tk = 0,0004 s
Komp.
searah
Fundamental
f0 = 1/T0 = 50 Hz Harmonisa ke-3
t Ak Lka0 Lka1 Lkb1 Lka3 Lkb3
0 50
0,0004 75 0,025 0,025 0,002 0,024 0,006
0,0008 100 0,035 0,034 0,007 0,029 0,019
0,0012 120 0,044 0,042 0,014 0,025 0,035
: : : : : : :
0,0192 -5 -0,006 -0,006 0,002 -0,003 0,005
0,0196 20 0,003 0,003 0,000 0,003 -0,001
0,02 50 0,014 0,014 -0,001 0,014 -0,001
Jumlah Lk 0,398 0,004 1,501 -0,212 0,211
a0 19,90
a1, b1 0,36 150,05
a3, b3 −21,18 21,13
Ampli-1, ϕ1 150,05 1,57
Ampli-3, ϕ3 29,92 -0,78
Tabel ini memberikan
78,0)18,21/13,21(tan
92,2913,21)18,21( 13,21 ;18,21
57,1)36,0/05,150(tan
05,15005,15036,0 05,150 ;36,0
90,19
13
22333
11
22111
0
−=−=ϕ
=+−=⇒=−=
==ϕ
=+=⇒==
=
−
−
Aba
Aba
a
Sesungguhnya kurva yang diberikan mengandung pula harmonisa ke-
dua. Apabila harmonisa ke-dua dihitung , akan memberikan hasil
43,492 =a dan 36,02 −=b
43,49 2 =Aamplitudo dan 01,02 −=ϕ
96 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Dengan demikian uraian sampai dengan harmonisa ke-3 dari sinyal
yang diberikan adalah
)78,06cos(92,29
)01,04cos(43,49)57,12cos(05,15090,19)(
0
00
+π+
+π+−π+=
tf
tftfty
5.2. Elemen Linier Dengan Sinyal +onsinus
Hubungan tegangan dan arus elemen-elemen linier R, L, C, pada sinyal
sinus di kawasan waktu berlaku pula untuk sinyal periodik nonsinus.
CO+TOH-5.2: Satu kapasitor C mendapatkan tegangan nonsinus
)5,15sin(10)2,03sin(20)5,0sin(100 +ω+−ω++ω= tttv V
(a) Tentukan arus yang mengalir pada kapasitor. (b) Jika C = 30 µF,
dan frekuensi f = 50 Hz, gambarkan (dengan bantuan komputer)
kurva tegangan dan arus kapasitor.
Penyelesaian:
(a) Hubungan tegangan dan arus kapasitor adalah dt
dvCiC =
Oleh karena itu arus kapasitor adalah
A )07,35sin(50
)37,13sin(60)07,2sin(100
)5,15cos(50
)2,03cos(60)5,0cos(100
)5,15sin(10)2,03sin(20)5,0sin(100
+ωω+
+ωω++ωω=
+ωω+
−ωω++ωω=
+ω+−ω++ω=
tC
tCtC
tC
tCtC
dt
tttdCiC
(b) Kurva tegangan dan arus adalah seperti di bawah ini.
detik
[V]
vC
iC
-150
-100
-50
0
50
100
150
0 0.005 0.01 0.015 0.02
[A] 5
2,5
0
−5
−2,5
97
Kurva tegangan dan arus pada contoh ini merupakan fungsi-fungsi
nonsinus yang simetris terhadap sumbu mendatar. Nilai rata-rata
fungsi periodik demikian ini adalah nol. Pendekatan numerik
memberikan nilai rata-rata
14108,1 −×=rrv V dan 17105 −×=rri A.
5.3. +ilai Rata-Rata Dan +ilai Efektif Sinyal +onsinus
+ilai Rata-Rata. Sesuai dengan definisi untuk nilai rata-rata, nilai rata-
rata sinyal nonsinus y(t) dengan perioda T0 adalah
∫=T
rr dttyT
Y00
)(1
(5.6)
Nilai rata-rata sinyal nonsinus adalah komponen searah dari sinyal
tersebut.
+ilai Efektif. Definisi nilai efektif sinyal periodik y(t) dengan perioda T0
adalah
∫=T
rms dttyT
Y0
2
0
)(1
(5.7)
Dengan demikian maka nilai efektif sinyal sinus y1 = Ym1 sin(ωt + θ)
adalah
2)(sin
1 1
0
221
01
mT
mrms
YdttY
TY =θ+ω= ∫ (5.8)
Nilai efektif sinyal nonsinus ∑∞
=
θ+ω+=1
00 )sin()(
n
nmn tnYYty adalah
∫ ∑
θ+ω+=
∞
=
T
n
nmnrms dttnYYT
Y0
2
1
000
)sin(1
Jika ruas kiri dan kanan dikuadratkan, kita dapatkan
98 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
∫ ∑
θ+ω+=
∞
=
T
n
nmnrms dttnYYT
Y0
2
1
000
2 )sin(1 atau
∫
∑
∑
∑
∫ ∑
+
θ+ωθ+ω+
θ+ωθ+ω+
θ+ω
+
θ+ω+=
∞
=
∞
=
∞
=
∞
=
T
n
nmnm
n
nmnm
n
nmn
T
n
nmnrms
dt
tnYtY
tnYtY
tnYY
T
dttnYYT
Y
0
3
0202
2
0101
1
00
0
01
0222
00
2
.................................
)sin()2sin(2
)sin()sin(2
)sin(2
1
)(sin1
(5.9)
Melalui kesamaan trigonometri
)cos()cos(sinsin2 β+α−−α=βα b
dan karena Y0 bernilai tetap maka suku ke-dua ruas kanan (5.8)
merupakan penjumlahan nilai rata-rata fungsi sinus yang masing-masing
memiliki nilai rata-rata nol, sehingga suku ke-dua ini bernilai nol. Oleh
karena itu (5.9) dapat kita tulis
∫ ∑
θ+ω+=
∞
=
T
n
nnmrms dttnYYT
Y0
1
0222
02 )(sin
1 (5.10)
atau
∑
∑ ∫∫∞
=
∞
=
+=
θ+ω+=
1
220
10
022
0
20
2
)(sin11
n
nrms
n
T
nnm
t
rms
YY
dttnYT
dtYT
Y
(5.11)
Persamaan (5.11) menunjukkan bahwa kuadrat nilai efektif sinyal non
sinus sama dengan jumlah kuadrat komponen searah dan kuadrat semua
nilai efektif konponen sinus. Kita perlu mencari formulasi yang mudah
untuk menghitung nilai efektif ini. Kita bisa memandang sinyal nonsinus
sebagai terdiri dari tiga macam komponen yaitu komponen searah (y0),
99
komponen fundamental (y1), dan komponen harmonisa (yh). Komponen
searah adalah nilai rata-rata sinyal, komponen fundamental adalah
komponen dengan frekuensi fundamental ω0, sedangkan komponen
harmonisa merupakan jumlah dari seluruh komponen harmonisa yang
memiliki frekuensi nω0 dengan n > 1. Jadi sinyal nonsinus y dapat
dinyatakan sebagai
hyyyy ++= 10
Akan tetapi kita juga dapat memandang sinyal nonsinus sebagai terdiri
dari dua komponen saja, yaitu komponen fundamental dan komponen
harmonisa total di mana komponen yang kedua ini mencakup komponen
searah. Alasan untuk berbuat demikian ini adalah bahwa dalam proses
transfer energi, komponen searah dan harmonisa memiliki peran yang
sama; hal ini akan kita lihat kemudian. Dalam pembahasan selanjutnya
kita menggunakan cara pandang yang ke-dua ini. Dengan cara pandang
ini suatu sinyal nonsinus dinyatakan sebagai
hyyy += 1 (5.12)
dengan )sin( 1011 θ+ω= tYy m
dan ∑=
θ+ω+=k
n
nnmh tnYYy
2
00 )sin( .
Dengan demikian maka relasi (5.11) menjadi
221
2hrmsrmsrms YYY += (5.13)
Dalam praktik, komponen harmonisa yh dihitung tidak melibatkan
seluruh komponen harmonisa melainkan dihitung dalam lebar pita
spektrum tertentu. Persamaan sinyal dijumlahkan sampai pada frekuensi
tertinggi yang ditentukan yaitu kω0; sinyal dengan frekuensi di atas batas
frekuensi tertinggi ini dianggap memiliki amplitudo yang sudah cukup
kecil untuk diabaikan.
CO+TOH-5.2: Suatu tegangan berbentuk gelombang gigi gergaji
memiliki nilai maksimum 20 volt, dengan frekuensi 20 siklus per
detik. Hitunglah nilai tegangan efektif dengan: (a) relasi nilai efektif;
(b) uraian harmonisa.
Penyelesaian:
100 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(a) Perioda sinyal 0,05 detik dengan persamaan: ttv 400)( = .
Nilai efektif:
V 55,11 3
1600
05,0
1)400(
05,0
105,0
0
305,0
0
2 ≈
== ∫ tdttVrms
(b) Uraian sinyal ini sampai harmonisa ke-7 adalah diberikan dalam
contoh di Bab-3, yaitu
V 7sin909,0
6sin061,15sin273,1 4sin592,1
3sin122,22sin183,3sin366,610)(
0
000
000
t
ttt
ttttv
ω−
ω−ω−ω−
ω−ω−ω−=
Persamaan ini memberikan nilai efektif tegangan fundamental,
tegangan harmonisa, dan tegangan total sebagai berikut.
V 5,42
366,61 ≈=rmsV
V 7,102
909,0
2
061,1
2
273,1
2
592,1
2
122,2
2
183,310
2222222 ≈++++++=hrmsV
V 6,117,105,4 22221 ≈+=+=
hrmsrmsrms VVV
Contoh ini menunjukkan bahwa sinyal gigi gergaji memiliki nilai
efektif harmonisa jauh lebih tinggi dari nilai efektif komponen
fundamentalnya.
CO+TOH-5.3: Uraian dari penyearahan setengah gelombang arus sinus
A sin 0ti ω= sampai dengan harmonisa ke-10 adalah:
A )10cos(007.0)8cos(010.0)6cos(018,0
)4cos(042,0 ) 2cos(212,0)57,1cos(5,0318,0)(
000
000
ttt
tttti
ω+ω+ω+
ω+ω+−ω+=
Hitung nilai efektif komponen arus fundamental, arus harmonisa,
dan arus total.
Penyelesaian:
Nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa dan arus total
berturut-turut adalah
101
354,02
5,01 ==rmsI A
5430,2
007,0
2
01,0
2
018,0
2
042,0
2
212,0318,0
222222 =+++++=hrmsI A
5,0354,0354,0 22221 ≈+=+= hrmsrmsrms III A
Contoh-5.3 ini menunjukkan bahwa pada penyearah setengah gelombang
nilai efektif komponen fundamental sama dengan nilai efektif komponen
harmonisanya.
CO+TOH-5.4: Tegangan pada sebuah kapasitor 20 µF terdiri dari dua
komponen yaitu tv ω= sin2001 dan tv ω= 15sin2015 . Jika
diketahui frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitunglah: (a) nilai
efektif arus yang diberikan oleh v1; (b) nilai efektif arus yang
diberikan oleh v15; (c) arus efektif total; (d) gambarkan kurva ketiga
arus tersebut sebagai fungsi waktu.
Penyelesaian:
a). Komponen tegangan pertama adalah )100sin(2001 tv π= V. Arus
yang diberikan oleh tegangan ini adalah
ttdtdvi π=ππ×××=×= −− 100cos257,1 100cos1002001020/1020 61
61
Nilai efektifnya adalah: A 89,02
257,11 ==rmsI
b). Komponen tegangan ke-dua adalah )1500sin(2015 tv π= V. Arus
yang diberikan oleh tegangan ini adalah
t
tdtdvi
π=
ππ×××=×= −−
1500cos885,1
1500sin1500201020/10206
156
15
Nilai efektifnya adalah: A 33,12
885,115 ==rmsI
c). Tegangan gabungan adalah
)1500sin(20)100sin(200 ttv π+π=
Arus yang diberikan tegangan gabungan ini adalah
102 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
tt
vvdt
ddtdvi
1500cos885,1100cos257,1
)(1020/1020 15166
+π=
+×=×= −−
Arus ini merupakan jumlah dari dua komponen arus yang
berbeda frekuensi. Kurva arus ini pastilah berbentuk nonsinus.
Nilai efektif masing-masing komponen telah dihitung di
jawaban (a) dan (b). Nilai efektif sinyal non sinus ini adalah
A 60,133,189,0 22215
21 =+=+= rmsrmsrms III
d). Kurva ketiga arus tersebut di atas adalah sebagai berikut.
CO+TOH-5.5: Arus tti ω+ω= 3sin2,0sin2 A, mengalir pada beban
yang terdiri dari resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan
induktor 0,5 H. Pada frekuensi 50 Hz: (a) gambarkan kurva tegangan
dan arus beban; (b) tentukan nilai efektif tegangan beban dan arus
beban.
Penyelesaian:
(a) Arus beban adalah tti ω+ω= 3sin2,0sin2 . Tegangan beban
adalah
V 3cos3,0cos3sin20sin200
tttt
dt
diLiRvvv LR
ωω+ωω+ω+ω=
+=+=
Kurva tegangan dan arus:
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 detik
A i1 i i15
103
(b). Nilai efektif arus beban adalah
A 42,12
2,0
2
2 2223
21 =+=+= rmsrmsrms III
Tegangan beban adalah
V 3cos3,0cos3sin20sin200 ttttv ωω+ωω+ω+ω=
Nilai efektif tegangan beban, dengan ω=100π, adalah
V 272 2
)3,0(20
2
2002222
=ω+
+ω+
=rmsV
5.4. Daya Pada Sinyal +onsinus
Pengertian daya nyata dan daya reaktif pada sinyal sinus berlaku pula
pada sinyal nonsinus. Daya nyata memberikan transfer energi netto,
sedangkan daya reaktif tidak memberikan transfer energi netto.
Kita tinjau resistor Rb yang menerima arus berbentuk gelombang
nonsinus
hRb iii += 1
Nilai efektif arus ini adalah 22
12
hrmsrmsRbrms III +=
Daya nyata yang diterima oleh Rb adalah
bhrmsbrmsbRbrmsRb RIRIRIP 221
2 +=×= (5.14)
-600
-400
-200
0
200
400
600
0 0.005 0.01 0.015 0.02
2
4
0
−2
−4
A V
detik
v
i
104 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Formulasi (5.14) tetap berlaku sekiranya resistor ini terhubung seri
dengan induktansi, karena dalam bubungan seri demikian ini daya nyata
diserap oleh resistor, sementara induktor menyerap daya reaktif.
CO+TOH-5.6: Seperti pada contoh-5.5, arus tti ω+ω= 3sin2,0sin2
A mengalir pada resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan
induktor 0,5 H. Jika frekuensi fundamental 50 Hz: (a) gambarkan
dalam satu bidang gambar, kurva daya yang mengalir ke beban
sebagai perkalian tegangan total dan arus beban dan kurva daya yang
diserap resistor sebagai perkalian resistansi dan kuadrat arus resistor;
(b) hitung nilai daya rata-rata dari dua kurva daya pada pertanyaan b;
(c) berikan ulasan tentang kedua kurva daya tersebut.
Penyelesaian:
(a) Daya masuk ke beban dihitung sebagai: p = v × i
sedangkan daya nyata yang diserap resistor dihitung sebagai: pR =
i2R = vRiR
Kurva dari p dan pR terlihat pada gambar berikut.
(b) Daya rata-rata merupakan daya nyata yang di transfer ke beban.
Daya ini adalah daya yang diterima oleh resistor. Arus efektif
yang mengalir ke beban telah dihitung pada contoh-5.5. yaitu
1,42 A. Daya nyata yang diterima beban adalah
202100)42,1( 22 =×== RIP rmsR W.
Teorema Tellegen mengharuskan daya ini sama dengan daya
rata-rata yang diberikan oleh sumber, yaitu p = vi. Perhitungan
dengan pendekatan numerik memberikan nilai rata-rata p adalah
-400
-200
0
200
400
600
0 0.005 0.01 0.015 0.02
W p = vi pR = i2R = vRiR
detik
105
Prr = 202 W
(c) Kurva pR selalu positif; nilai rata-rata juga positif sebesar 202 W
yang berupa daya nyata. Pada kurva p ada bagian yang negatif
yang menunjukkan adanya daya reaktif; nilai rata-rata kurva p
ini sama dengan nilai rata-rata kurva pR yang menunjukkan
bagian nyata dari daya tampak.
CO+TOH-5.7: Tegangan nonsinus pada terminal resistor 20 Ω adalah
)5,15sin(10)2,03sin(20)5,0sin(100 +ω+−ω++ω= tttv V
Tentukan arus efektif yang mengalir dan daya nyata yang diserap
resistor.
Penyelesaian:
Arus yang mengalir adalah
)5,15sin(5,0)2,03sin()5,0sin(5 +ω+−ω++ω== tttR
vi A
Nilai efektif masing-masing komponen arus adalah
2
5,0 ;
2
1 ;
2
5531 === rmsrmsrms III
Arus efektif yang mengalir adalah
A 62,32
25,26
2
25,0
2
1
2
25==++=rmsI
Daya nyata yang diserap resistor adalah
W5,262202
25,0
2
1
2
252 =×
++== RIP rmsR
CO+TOH-5.8: Tegangan nonsinus ttv ω+ω= 3sin10sin100 V, terjadi
pada terminal beban yang terdiri dari resistor 100 Ω tersambung
paralel dengan kapasitor 50 µF. Jika frekuensi fundamental adalah
50 Hz, (a) Tentukan persamaan arus total beban; (b) hitung daya
nyata yang diserap beban.
Penyelesaian:
106 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(a). Arus total (i) adalah jumlah arus yang melalui resistor (iR) dan
kapasitor (iC).
ttR
viR ω+ω== 3sin1,0sin
( )ttdt
dvCiC ωω+ωω×== −
3cos30cos10010506
Arus total beban:
tttti ωω+ω+ω+ω= 3cos0015.0cos005,03sin1,0sin
(b). Arus efektif melalui resistor
A 71,02
1,0
2
1 22
=+=RrmsI
Daya nyata yang diserap beban adalah daya yang diserap
resistor:
W5010071,0 2 =×=RP
5.5. Resonansi
Karena sinyal nonsinus mengandung harmonisa dengan berbagai macam
frekuensi, maka ada kemungkinan salah satu frekuensi harmonisa
bertepatan dengan frekuensi resonansi dari rangkaian. Frekuensi
resonansi telah kita bahas di bab sebelumnya. Berikut ini kita akan
melihat gejala resonansi pada rangkaian karena adanya frekuensi
harmonisa.
CO+TOH-5.9: Suatu generator 50 Hz dengan induktansi internal 0,025
H mencatu daya melalui kabel yang memiliki kapasitansi total
sebesar 5 µF. Dalam keadaan tak ada beban tersambung di ujung
kabel, tentukan frekuensi harmonisa sumber yang akan memberikan
resonansi.
Penyelesaian:
Frekuensi resonansi adalah
4,2828105025,0
11
6=
××==ω
−LCr
107
Hz 4502
4,2828=
π=rf
Inilah frekuensi harmonisa ke-9.
CO+TOH-5.10: Sumber tegangan satu fasa 6 kV, 50 Hz, mencatu beban
melalui kabel yang memiliki kapasitansi total 2,03 µF. Dalam
keadaan tak ada beban terhubung di ujung kabel, induktansi total
rangkaian ini adalah 0,2 H. Tentukan harmonisa ke berapa dari
sumber yang akan membuat terjadinya resonansi pada keadaan tak
ada beban tersebut.
Penyelesaian:
Frekuensi resonansi adalah
rad/det 4,15691003,202,0
11
6=
××==ω
−LCr
atau Hz 78,2492
4,1569=
π=rf
Resonansi terjadi jika sumber mengandung harmonisa ke-5.
108 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Soal-Soal
1. Hasil penyearahan setengah gelombang tegangan sinusoidal
memberikan tegangan dengan amplitudo 250 V, dan frekuensi dasar
50 Hz. Tuliskan lima komponen pertama sinyal yang tak bernilai nol
dan gambarkan spektrum amplitudo dari sinyal ini.
2. Sinyal segitiga mempunyai amplitudo 5 V dan perioda 1 milidetik.
Tuliskan lima komponen pertama sinyal yang tak bernilai nol dan
gambarkan spektrum amplitudo dari sinyal ini.
3. Suatu sinyal gelombang komposit diperoleh dengan menambahkan
tegangan searah 5 V dan geolmbang persegi 1kHz yang memiliki
tegangan puncak-ke-puncak 5 V. Tuliskan lima komponen pertama
sinyal yang tak bernilai nol dan gambarkan spektrum amplitudo dari
sinyal ini.
4. Pulsa pertama dari suatu deret pulsa muncul pada t = 0 dan
menghilang pada t = 1, sedangkan pulsa kedua muncul pada t = 2
dan menghilang pada t = 3. Jika amplitudo pulsa adalah 2 V,
gambarkan bentuk gelombang sinyal ini dan carilah koefisien
Fourier serta gambarkan spektrum amplitudo dari sinyal ini.
5. Suatu sinyal sinusoidal )/2sin(10 0Ttv π= V diproses melalui
rangkaian pemotong gelombang sedemikian rupa sehingga bagian
gelombang yang berada di bawah 5− V terpotong. Jika perioda T0
adalah 0,1 detik, carilah koefisien Fourier serta gambarkan spektrum
amplitudo dari sinyal ini.
6. Bentuk gelombang )5,01(10 tv −= adalah setengah perioda pertama
dari gelombang periodik yang periodanya 4 detik. Jika diketahui
bahwa koefisien Fourier an = 0 untuk semua n, bagaimanakah bentuk
setengah gelombang yang kedua?
7. Bentuk gelombang )5,01(10 tv −= adalah setengah perioda pertama
dari gelombang periodik dengan perioda 4 detik. Jika diketahui
bahwa koefisien Fourier bn = 0 untuk semua n, bagaimanakah bentuk
setengah gelombang yang kedua?
8. Dengan pendekatan numerik, carilah persamaan gelombang periodik
yang salah satu periodanya tergambar di bawah ini.
109
9. Suatu resistor 100 Ω yang tersambung paralel dengan induktor 0,5
H, dihubungkan pada sebuah sumber tegangan
ttv ω+ω= 3sin10sin100 dengan frekuensi 50 Hz. (a) Tentukan
persamaan arus sumber dan nilai efektifnya; (b) hitung daya yang
diserap resistor; (c) dengan hanya memperhatikan komponen
fundamental, hitung nilai rata-rata daya yang keluar dari sumber dan
bandingkan dengan daya yang diserap resistor.
10. Sebuah sumber tegangan 50 Hz, 12 kV mempunyai resistansi
internal 1 Ω dan induktansi internal 0,02 H. Sumber ini mencatu
beban melalui kabel yang mempunyai kapasitansi total 2.9 µF.
Tegangan terbangkit di sumber dinyatakan dengan
tte ω+ω= 13sin170sin17000 . Dalam keadaan tak ada beban
terhubung di ujung kabel, hitunglah tegangan maksimum pada kabel.
11. Tegangan sebesar tv ω+= sin300100 V, diterapkan pada beban
berupa resistor 10 Ω melalui kabel yang memiliki kapasitansi toal
0,3 µF. Hitung arus efektif yang keluar dari sumber dan hitung daya
yang diserap oleh beban jika ω = 314.
12. Suatu induktor 0,225 H dihubungkan seri dengan kapasitor 5 µF.
Tentukan frekuensi sumber yang akan memberikan resonansi pada:
(a) frekuensi dasar; (b) harmonisa ke-tiga; (c) harmonisa ke-lima.
v
[V]
t [det]
-150
-100
-50
0
50
100
150
0 0.005 0.01 0.015 T0
110 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
13. Suatu tegangan nonsinus mengandung komponen fundamental,
harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-5. Nilai puncak tegangan
berturut-turut adalah 2000 V, 400 V, dan 100 V. Tegangan ini
diterapkan pada rangkaian seri R = 10 Ω, kapasitor 30 µF, dan
induktor variabel. Pada frekuensi 50 Hz, hitung nilai induktansi yang
akan menyebabkan resonansi pada harmonisa ke-3, dan harmonisa
ke-5. Hitung pula arus dan tegangan efektif pada waktu terjadi
resonansi.
14. Dua beban paralel terdiri beban resistif 20 Ω dan beban induktif
dengan resistansi 20 Ω seri dengan induktor 0,05 H. Pada terminal
bersama (common point) kedua beban ini dipasang kapasitor 50 µF
paralel dengan kedua beban tersebut. Sebuah tegangan nonsinus
yang tersusun dari komponen fundamental bertegangan puncak 200
V dan harmonisa ke-3 bertegangan puncak 50 V diterapkan pada
terminal bersama dari beban ini. Hitung arus efektif total, daya total,
dan faktor daya dari beban ini. Frekuensi 50 Hz.
111
BAB 6 Pembebanan +on-Linier
Pada pembebanan nonlinier arus yang mengalir ke beban merupakan arus
periodik nonsinus, walaupun sumber memberikan tegangan sinus.
Pembahasan akan kita lakukan di dua sisi yaitu tinjauan di sisi beban dan
tinjauan di sisi sumber. Tinjauan di sisi beban adalah melihat beban yang
menerima arus nonsinus tanpa mempersoalkan bagaimana sumber
melayani pembebanan yang demikian ini. Tinjauan di sisi sumber adalah
melihat sumber yang bertegangan sinus namun harus memberikan arus
yang nonsinus.
6.1. Tinjauan Di Sisi Beban
Rangkaian yang akan kita tinjau terlihat pada Gb.6.1. Sebuah sumber
tegangan sinus memberikan arus pada resistor Rb melalui saluran dengan
resistansi Rs dan sebuah pengubah arus p.i., misalnya penyearah;
pengubah arus inilah yang menyebabkan arus yang mengalir di Rb
berbentuk gelombang nonsinus.
Menurut teorema Tellegen, transfer daya listrik hanya bisa terjadi melalui
tegangan dan arus. Namun dalam tinjauan dari sisi beban ini, Rb hanya
melihat bahwa ada arus yang diterima olehnya. Cara bagaimana arus ini
sampai ke beban tidaklah penting bagi beban.
hRb iii += 1 (6.1)
dengan )sin( 1011 θ+ω= tIi m
∑=
θ+ω+=k
n
nnmh tnIIi
2
00 )sin(
Inilah arus yang diterima oleh Rb.
inonsinus
Rb
p.i. vs + −
Gb.6.1. Pembebanan nonlinier.
Rs
112 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Daya nyata yang diterima oleh Rb adalah
bhrmsbrmsRb RIRIP 221 += (6.2)
6.2. Tinjauan Di Sisi Sumber
Tegangan sumber berbentuk gelombang sinus, yaitu tVv ss 0sinω= .
Daya yang diberikan oleh sumber adalah tegangan sumber kali arus
sumber yang besarnya sama dengan arus beban. Jadi daya keluar dari
sumber adalah
θ+ω+ω+
θ+ωω==
∑=
k
n
nns
ssss
tnIItV
ttIVtitvp
2
000
1001
)sin(sin
)sin(sin)()(
(6.3)
Suku pertama (6.3) memberikan daya
( )
)2cos(2
cos2
2
)2cos(cos)sin(sin
101
11
101110011
θ+ω−θ=
θ+ω−θ=θ+ωω=
tIVIV
tIVttIVp
ss
sss
(26.4)
Suku ke-dua dari persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol akan tetapi
suku pertama mempunyai nilai tertentu. Hal ini berarti ps1 memberikan
transfer energi netto.
Suku kedua (6.3) memberikan daya
[ ]
20
2
0000
sin)sin(sin
shs
n
nnsssh
pp
ttnIVtIVp
+=
ωθ+ω+ω= ∑∞
= (6.5)
Suku pertama persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol. Suku
kedua juga mempunyai nilai rata-rata nol karena yang berada dalam
tanda kurung pada (6.5) berbentuk fungsi cosinus
113
[ ]
( ) ( ) ∑
∑∞
=
∞
=
θ+ω−−θ+ω+=
ωθ+ω=
2
00
2
00
)1(cos)1(cos2
sin)sin(
n
nnn
s
n
nns
tntnI
V
ttnIVy
yang memiliki nilai rata-rata nol. Hal ini berarti bahwa psh tidak
memberikan transfer energi netto.
Jadi secara umum daya yang diberikan oleh sumber pada pembebanan
nonlinier dapat kita tuliskan sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu
shss ppp += 1 (6.6)
Dari dua komponen daya ini hanya komponen fundamental, ps1, yang
memberikan transfer energi netto. Dengan kata lain hanya ps1 yang
memberikan daya nyata, yaitu sebesar
1111
1 coscos2
θ=θ= rmssrmss
s IVIV
P (6.7)
dengan θ1 adalah beda susut fasa antara vs dan i1. Sementara itu Psh
merupakan daya reaktif.
Menurut teorema Tellegen, daya nyata yang diberikan oleh sumber harus
tepat sama dengan daya yang diterima oleh beban. Daya nyata yang
diterima oleh Rb adalah PRb seperti diberikan oleh persamaan (6.2). Daya
nyata yang diberikan oleh sumber, yaitu Ps1 haruslah diserap oleh Rb dan
Rs.
6.3. Contoh Kasus: Penyearah Setengah Gelombang
Sebagai contoh dalam pembahasan pembebanan nonlinier ini, kita akan
mengamati penyearah setengah gelombang. Dengan penyearah ini, sinyal
sinus diubah sehingga arus mengalir setiap setengah perioda seperti telah
pernah kita temui. Rangkaian penyearah yang kita tinjau terlihat pada
Gb.6.2.a.
Arus penyearah setengah gelombang mempunyai nilai pada setengah
perioda pertama (yang positif); pada setengah perioda ke-dua, ia bernilai
nol. Uraian fungsi ini sampai dengan harmonisa ke-6, telah dihitung pada
Contoh-3.3 di Bab-3, yaitu
114 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
V )6cos(018,0 )4cos(042,0
) 2cos(212,0)57,1cos(5,0318,0)(
00
00
ω+ω+
ω+−ω+×=
tt
ttIti m
(6.8)
a).
b).
Gb.6.2. Penyearah setengah gelombang dengan beban resistif.
Dalam rangkaian yang kita tinjau ini hanya ada satu sumber yang
mencatu daya hanya kepada satu beban. Pada waktu dioda konduksi, arus
sumber selalu sama dengan arus beban, karena mereka terhubung seri;
tegangan beban juga sama dengan tegangan sumber karena dioda
dianggap ideal sedangkan resistor memiliki karakteristik linier dan
bilateral. Pada waktu dioda tidak konduksi arus beban maupun arus
sumber sama dengan nol. Gb.6.2.b. memperlihatkan bahwa hanya kurva
tegangan sumber yang merupakan fungsi sinus; kurva arus dan daya
merupakan fungsi nonsinus.
Pada persamaan (6.8) arus fundamental dinyatakan dalam fungsi cosinus
yaitu
)57,1cos(5,0 01 −ω= tIi m
Fungsi ini tidak lain adalah pergeseran 1,57 rad atau 90o ke arah positif
dari fungsi cosinus yang ekivalen dengan fungsi sinus
)sin(5,0 01 tIi m ω=
Pernyataan i1 dalam fungsi sinus ini sesuai dengan pernyataan bentuk
gelombang tegangan yang juga dalam fungsi sinus. Dengan pernyataan
vs
is
iR
pR 0 0 90 180 270 360 450 540 630 720
Vs
−Vs
vs
iR
pR pR ωt [o]
vs R vR
115
yang bersesuaian ini kita dapat melihat beda fasa antara keduanya;
ternyata dalam kasus penyearah setengah gelombang ini, arus
fundamental sefasa dengan tegangan sumber.
CO+TOH-6.1: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi
internal yang dapat diabaikan mencatu beban resistif melalui
penyearah setengah gelombang. Tegangan sumber adalah
V sin380 0tvs ω= dan resistansi beban Rb adalah 3,8 Ω. Hitung
daya nyata yang diterima oleh beban dan daya nyata yang diberikan
oleh sumber.
Penyelesaian:
Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah 380/3,8 = 100 A.
Persamaan arus sampai harmonisa ke-enam menjadi
A )6cos(8,1 )4cos(2,4
) 2cos(2,21)57,1cos(508,31)(
00
00
ω+ω+
ω+−ω+=
tt
ttti
yang memberikan arus-arus efektif pada beban
A; 31,35 2
8,1
2
2,4
2
2,218,31
A; 2
50
2222
1
=+++=
=
bhrms
rmsb
I
I
Daya yang diterima beban adalah
( ) kW 5,9 W94888,3221
2 ≈=×+== bhrmsrmsbbrms IIRIP
Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber adalah
tvs 0sin380 ω= . Komponen arus fundamental yang diberikan oleh
sumber adalah sama dengan arus fundamental beban
ttii Rbs 0011 sin50)57,1cos(50 ω=−ω== A
dengan nilai efektif 2/501 =srmsI A
Tak ada beda fasa antara tegangan sumber dan arus fundamentalnya.
Daya dikeluarkan oleh sumber adalah
116 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
kW 5,92
50
2
380rms 1rms 1 =×== sss IVP
Hasil perhitungan dari kedua sisi tinjauan adalah sama. Daya yang
diberikan oleh komponen fundamental sebagai fungsi waktu adalah
( ) ( )
( ) kW 2cos(119
2cos(12
503802cos(1
2
0
001
1
t
ttIV
p ss
ω−=
ω−×
=ω−=
Gb.6.3 memperlihatkan kurva ps1 pada Contoh-6.1 di atas. Kurva ps1
bervariasi sinusoidal namun selalu positif dengan nilai puncak 19 kW,
dan nilai rata-rata (yang merupakan daya nyata) sebesar setengah dari
nilai puncak yaitu 9,5 kW.
Kurva daya yang dikontribusikan oleh komponen searah, ps0 yaitu suku
pertama (6.5), dan komponen harmonisa psh2 yaitu suku ke-dua
persamaan (6.5), juga diperlihatkan dalam Gb.6.3. Kurva kedua
komponen daya ini simetris terhadap sumbu waktu yang berarti memiliki
nilai rata-rata nol. Dengan kata lain komponen searah dan komponen
harmonisa tidak memberikan daya nyata.
Gb.6.3. Kurva komponen daya yang diberikan sumber.
Konfirmasi logis kita peroleh sebagai berikut. Seandainya tidak ada
penyearah antara sumber dan beban, arus pada resistor akan mengalir
sefasa dan sebentuk dengan gelombang tegangan sumber. Daya yang di
keluarkan oleh sumber dalam keadaan ini adalah
kW )2cos1(382
0cos2cos38000
sin38000sin
00
02
02
tt
ttIVp sss
ω+=+ω
=
ω=ω=
t [det]
W ps0
ps1
psh2
-15000
-10000
-5000
0
5000
10000
15000
20000
0 0.005 0.01 0.015 0.02
117
Dalam hal penyearahan setengah gelombang, arus hanya mengalir setiap
setengah perioda. Oleh karena itu daya yang diberikan oleh sumber
menjadi setengahnya, sehingga
kW )2cos1(19 0tp gelsetengah ω+= , dan inilah ps1.
CO+TOH-6.2: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi
internal yang diabaikan, mencatu beban resistif melalui kabel dengan
resistansi 0,2 Ω dan penyearah setengah gelombang. Tegangan
sumber adalah V sin380 0tvs ω= dan resistansi beban R adalah 3,8
Ω. Hitung daya yang diterima oleh beban.
Penyelesaian:
Rangkaian sistem ini adalah seperti berikut
Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah
A 952,08,3
380=
+=mI
Persamaan arus sampai harmonisa ke-6 menjadi
A )6cos(71,1)4cos(09,4
)2cos(14,20)57,1cos(5,4721,30
)6cos(018,0 )4cos(042,0
) 2cos(212,0)57,1cos(5,0318,095)(
00
00
00
00
tt
tt
tt
ttti
ω+ω+
ω+−ω+=
ω+ω+
ω+−ω+×=
Nilai efektif arus fundamental dan arus harmonisa total adalah
A 54,332
71,1
2
09,4
2
14,2021,30
A; 33,592
5.47
2222
1
=+++=
==
hrms
rms
I
I
vs=380sinω0t Rb=3,8Ω Rs=0,2Ω
118 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Daya yang diterima Rb adalah
W85638,3)54,3359,33( 222 =×+== brmsRb RIP
Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber dan arus fundamental
sumber adalah
V sin380 0tvs ω=
A sin5,47)57,1cos(5,47 001 ttii Rbs ω=−ω==
Tidak ada beda fasa antara vs dan is1. Daya nyata yang diberikan oleh
sumber adalah
W90252
5,47
2
3800cos
o1 =×== rmssrmss ivP
Daya ini diserap oleh beban dan saluran. Daya yang diserap saluran
adalah
W7,450 )55,336,33(02,0
)(02,002,0
22
221
2
=+×=
+×=×= hrmsrmssrmssaluran iiiP
Perbedaan angka perhitungan PRb dengan (Ps – Psaluran) adalah sekitar
0,2%.
6.4. Perambatan Harmonisa
Dalam sistem tenaga, beban pada umumnya bukanlah beban tunggal,
melainkan beberapa beban terparalel. Sebagian beban merupakan beban
linier dan sebagian yang lain merupakan beban nonlinier. Dalam keadaan
demikian ini, komponen harmonisa tidak hanya hadir di beban nonlinier
saja melainkan terasa juga di beban linier; gejala ini kita sebut
perambatan harmonisa. Berikut ini akan kita lihat gejala tersebut pada
suatu rangkaian yang mendekati situasi nyata. Gb.6.4. memperlihatkan
rangkaian yang dimaksud.
119
Gb.6.4. Sumber mencatu beban paralel linier dan nonlinier.
Tegangan sumber berbentuk sinusoidal murni tVv sms 0sinω= . Sumber
ini mencatu beban melalui saluran yang memiliki resistansi Rs. Beban
yang terhubung di terminal A-B (terminal bersama), terdiri dari beban
linier Ra dengan arus ia dan beban Rb yang dialiri arus nonlinier ib = ib1 +
ibh dengan ib1 adalah komponen fundamental dari ib dan ibh adalah
komponen harmonisa total dari ib.
Pada rangkaian sederhana ini, di sisi beban kita lihat bahwa aplikasi
Hukum Arus Kirchhoff di simpul A, yaitu simpul bersama dari kedua
beban, memberikan
0)(//)( 1 =+++− bhbaAssA iiRvRvv
dan dari sini kita peroleh
)( 1 bhbas
ass
as
aA ii
RR
RRv
RR
Rv +
+−
+= (6.9)
Jadi sebagai akibat pembebanan nonlinier di suatu beban menyebabkan
tegangan di terminal-bersama juga mengandung harmonisa. Akibat
selanjutnya adalah bahwa arus di beban lain yang terhubung ke terminal-
bersama ini juga mengandung harmonisa.
)( 1 bhbas
s
as
s
a
Aa ii
RR
R
RR
v
R
vi +
+−
+== (6.10)
Sementara itu di sisi sumber, dengan tegangan sumber berbentuk sinus
tVv sms 0sinω= , keluar arus yang mengandung harmonisa yaitu
vs Rb Ra
ia ib=ib1+ibh
is
Rs
A
B
120 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
)(
)()(
1
11
bhbas
a
as
s
bhbbhbas
s
as
s
bas
iiRR
R
RR
v
iiiiRR
R
RR
v
iii
+
++
+=
++++
−+
=
+=
(6.11)
Adanya komponen harmonisa pada arus sumber dan beban yang
seharusnya merupakan beban linier dapat menyebabkan penambahan
penyerapan daya pada saluran. Hal ini akan kita bahas kemudian.
CO+TOH-6.3: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, V sin240 0tv ω=
memiliki resistansi dan induktansi internal yang diabaikan. Sumber
ini mencatu beban resistif Ra = 5 Ω melalui saluran yang memiliki
resistansi 1Ω. Sebuah beban resistif lain yaitu Rb = 5 Ω dengan
penyearah setengah gelombang dihubungkan paralel dengan Ra.
Hitunglah: (a) daya nyata yang diserap Ra sebelum Rb dan
penyearah dihubungkan; (b) daya nyata yang diserap Rb sesudah Rb
dan penyearah dihubungkan; (c) daya nyata yang diserap Ra sesudah
Rb dan penyearah dihubungkan; (d) daya nyata yang diserap saluran
Rs; (e) daya nyata yang diberikan sumber; (f) bandingkan daya nyata
yang diberikan oleh sumber dan daya nyata yang diserap oleh bagian
rangkaian yang lain.
Penyelesaian:
(a) Sebelum Rb dan penyearah dihubung-kan, rangkaian adalah
seperti di bawah ini.
Arus efektif yang mengalir dari sumber, daya nyata yang
diserap Ra dan Rs , serta daya nyata yang diberikan sumber
adalah
A 28,28)15/()2/240( =+=RarmsI
is
Rs=1Ω
A
B
Ra = 5Ω vs=
240sinω0t
121
W4000528,28 2 =×=RaP ; W800128,28 2 =×=RsP
RsRas PPP +==×= W 48002/24028,28
(b) Setelah Rb dan penyearah dihubungkan, rangkaian menjadi
Untuk menghitung iRb kita buat rangkaian ekivalen Thévenin
terlebih dulu di terminal A-B.
V sin200sin24051
500 ttvsTh ω=ω×
+= ;
Ω=+×
= 833,0 51
51sThR
Setelah Rb dihubungkan pada rangkaian ekivalen Thévenin,
rangkaian menjadi
Nilai maksimum arus iRb adalah
A 29,345833,0
200=
+=RbmI
Arus yang melalui Rb menjadi
vs Rb Ra
ia iRb=
iRb1+iRbh
is
Rs
A
B
isTh
0,833Ω
A
B
5Ω vsTh =
200sinω0t
ib=ib1+ibh
122 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
)6cos(62,0)4cos(47,1
)2cos(27,7)57,1cos(14,179,10
)6cos(018,0)4cos(042,0
)2cos(212,0)57,1cos(5,0318,029,34
00
00
00
00
tt
tt
tt
ttiRb
ω+ω+
ω+−ω+=
ω+ω+
ω+−ω+×=
Dari sini kita peroleh
A 1.122/62,02/47,12/27,79,10
A 12,122
14,17
2222
1
=+++=
==
Rbhrms
rmsRb
I
I
Daya yang diserap Rb adalah
W14705)1.1212,12( 22 ≈×+=RbP
(c) Untuk menghitung daya yang diserap Ra setelah Rb
dihubungkan, kita kembali pada rangkaian semula. Hukum Arus
Kischhoff untuk simpul A memberikan
Rbs
s
asARb
a
A
s
sA iR
v
RRvi
R
v
R
vv−=
+⇒=++
− 110
( )
AhAbh
bh
bhbas
ass
as
aA
vvit
itt
iiRR
RRv
RR
Rv
−=−ω=
+ω××
−ω×=
++
−+
=
10
00
1
V 6
5sin71,185
sin14,176
15sin240
6
5
)(
V 32,1312
71,1851 ==⇒ rmsAV
)6cos(51,0)4cos(23,1)2cos(06,609,9
)6cos(62,0)4cos(47,1
)2cos(27,79,10
6
5
6
5
000
00
0
ttt
tt
tiv bhAh
ω+ω+ω+=
ω+ω+
ω+×=×=
V 09,102
51,0
2
23.1
2
06,609,9
2222 =+++=⇒ AhrmsV
Daya yang diserap Ra adalah
123
W34695
09,10
5
32,1312222
1 =+=+=a
Ahrms
a
rmsARa
R
V
R
VP
(d) Tegangan jatuh di saluran adalah
V sin29,54sin71,185sin240 00011 tttvvv Ass ω=ω−ω=−=∆
→ V 39,382
29,541 ==∆ rmssV
→ V 09,10==∆ Ahrmsshrms VV
Daya yang diserap saluran adalah
W1575 1
09,10
1
39,382222
1 =+=∆
+∆
=s
shrms
s
rmssRs
R
V
R
VP
(e) Tegangan sumber adalah
V sin240 0tv ω=
Arus fundamental sumber adalah
A sin29,54 01
1 tR
vi
s
ss ω=
∆=
Daya nyata yang diberikan sumber
W65152
29,54
2
24011 =×==
RIVp rmsssrmss
(f) Bagian lain rangkaian yang menyerap daya nyata adalah Rs,
Ra, dan Rb. Daya nyata yang diserap adalah
W6512146834691575 =++=++= RbRaRsRtotal PPPP
Hasil ini menunjukkan bahwa daya nyata yang diberikan
sumber sama dengan daya nyata yang diserap oleh bagian lain
dari rangkaian (perbedaan angka adalah karena pembulatan-
pembulatan).
124 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
6.5. Ukuran Distorsi Harmonisa
Hadirnya harmonisa dalam sistem, menimbulkan dampak negatif. Oleh
karena itu kehadirannya perlu dibatasi. Untuk melakukan pembatasan
diperlukan ukuran-ukuran kehadiran armonisa.
Crest Factor. Salah satu ukuran adalah crest factor, yang disefinisikan
sebagai
efektif nilai
puncak nilai =factorcrest
Total Harmonic Distortion (THD). Total Harmonic Distortion,
disingkat THD, digunakan sebagai ukuran untuk melihat berapa besar
pengaruh keseluruhan adanya harmonisa terhadap sinyal sinus. Pengaruh
keseluruhan harmonisa diperbandingkan terhadap komponen
fundamental, karena komponen fundamental-lah yang memberikan
transfer energi nyata.
Untuk tegangan nonsinus, THD didefinisikan sebagai
rms
hrmsV
V
VTHD
1
= (6.13)
Untuk arus nonsinus, THD didefinisikan sebagai
rms
hrmsI
I
ITHD
1
= (6.14)
CO+TOH-6.4: Dari Contoh-6.1, dengan nilai puncak arus 100 A,
persamaan arus penyearahan setengah gelombang sampai harmonisa ke-
enam adalah
A )6cos(8,1 )4cos(2,4
) 2cos(2,21)57,1cos(508,31)(
00
00
ω+ω+
ω+−ω+=
tt
ttti
Hitunglah crest factor dan THDI.
Penyelesaian: Telah dihitung nilai efektif arus dalam contoh soal
tersebut
125
A 31,35 2
8,1
2
2,4
2
2,218,31
A; 2
50
2222
1
=+++=
=
bhrms
rmsb
I
I
Nilai efektif arus adalah
A 7,4931,352/50 22 =+=rmsI
Crest factor adalah: 22,49
100.. ==fc ;
THDI adalah: 12/50
31,35
1
≈==rms
hrmsI
I
ITHD atau 100%
Crest factor dan THD hanyalah tergantung bentuk dan tidak tergantung
dari nilai mutlak arus. Angka yang sama akan kita peroleh jika nilai
puncak arus hanya 1 ampere. Hal ini dapat dimengerti karena persamaan
arus secara umum adalah
ϕ−ω+= ∑
=
maksn
n
nnm tnAAIti
1
00 )cos()(
sehingga dalam perhitungan Irms, I1rms, dan Ihrms faktor Im akan
terhilangkan.
CO+TOH-6.5: Tentukan crest factor dan THD arus yang mengalir dari
sumber tegangan sinusoidal tv 0sin21000 ω= yang mencatu
arus ke beban resistif 10 Ω melalui saklar sinkron yang menutup
setiap paruh ke-dua dari tiap setengah perioda. Kurva tegangan
dan arus terlihat pada gambar di bawah ini.
126 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Penyelesaian:
Uraian bentuk gelombang arus seperti pada gambar di atas hanya
memiliki harmonisa ganjil. Pendekatan numerik dari bentuk
gelombang arus seperti yang digambarkan di atas memberikan
spektrum amplitudo sampai harmonisa ke-11 sebagai berikut:
Arus ini tidak memiliki komponen searah. Nilai efektif arus adalah
A 4,69
2
71,8
2
71,8
2
83,14
2
83,14
2
96,44
2
79,830
222222
=
++++++=brmsI
Nilai puncak arus terjadi pada t = 0,005 detik; Ibm = 141,4 A.
Crest factor adalah 24,69
4,141.. ===
brms
bm
I
Ifc
Nilai efektif komponen fundamental dan komponen harmonisa
total, berturut-turut adalah
0.00
83.79
44.96
14.83 14.838.71 8.71
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1 2 3 4 5 6 7 0 1 3 5 7 9 11 harmonisa
A
-300
-200
-100
0
100
200
300
0 0,01 0,02
is(t)
vs(t)/5
[V]
[A]
[detik]
127
A 25,592
79,831 ==rmsI ;
A 14,36
2
71,8
2
71,8
2
83,14
2
83,14
2
96,440
22222
=
+++++=hrmsI
Total Harmonic Distortion arus adalah
%60atau 6,025,59
14,36≈=ITHD .
Dalam menentukan THD data yang diperlukan adalah spektrum
amplitudo; spektrum sudut fasa tidak diperlukan. Namun untuk
keperluan lain spektrum sudut fasa tetap diperlukan.
128 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Soal-Soal
1. Sebuah tegangan sinusoidal 50 Hz dengan nilai puncak 500 V
mencatu rangkaian melalui sebuah dioda (ideal). Hanya bagian
positif tegangan yang terasakan oleh beban. Beban terdiri dari
dari induktor dan kapasitor terhubung seri; induktor memiliki
resistansi 20 Ω dan induktansi 1 H, sedangkan kapasitor
memiliki kapasitansi 20 µF. Hitung tegangan rata-rata pada
beban, tegangan efektif fundamental, serta tegangan efektif dua
harmonisa di atasnya.
2. Jika beban pada soal nomer 1 diganti dengan resistor 50 Ω,
hitung tegangan rata-rata pada resistor, arus efektif yang melalui
resistor, daya nyata yang diserap resistor, serta faktor daya
beban yang dilihat oleh sumber.
3. Sebuah tegangan sinusoidal 50 Hz dengan nilai puncak 500 V
mencatu rangkaian melalui sebuah penyearah gelombang penuh.
Beban terdiri dari induktor dan kapasitor terhubung seri;
induktor memiliki resistansi 20 Ω dan induktansi 1 H,
sedangkan kapasitor memiliki kapasitansi 20 µF. Hitung
tegangan rata-rata pada beban, tegangan efektif fundamental,
serta tegangan efektif dua harmonisa di atasnya.
4. Jika beban pada soal nomer 3 diganti dengan resistor 50 Ω,
hitung tegangan rata-rata pada resistor, arus efektif yang melalui
resistor, daya nyata yang diserap resistor, serta faktor daya
beban yang dilihat oleh sumber.
5. Jika satu kapasitor sebagai filter diparalelkan dengan resistor
pada soal nomer 2 agar fluktuasi tegangan tidak lebih dari 20%
dari tegangan puncak, gambarkan bentuk gelombang arus
sumber dan tentukan THDI.
6. Jika satu kapasitor sebagai filter diparalelkan dengan resistor
pada soal nomer 4 agar fluktuasi tegangan tidak lebih dari 5%
dari tegangan puncak, gambarkan bentuk gelombang arus
sumber dan tentukan THDI.
129
BAB 7 Tinjauan di Kawasan Fasor
Dalam bab ini kita akan meninjau sinyal nonsinus melalui pengertian
fasor. Konsep fasor sendiri telah kita bahas di buku bagian pertama.
7.1. Pernyataan Sinyal +onsinus Dalam Fasor
Suatu sinyal sinus di kawasan waktu dinyatakan dengan menggunakan
fungsi cosinus seperti pada persamaan
] cos[)( 0 φ−ω= tVtv A
dengan VA adalah amplitudo sinyal, ω0 adalah frekuensi sudut, dan φ
adalah sudut fasa yang menunjukkan posisi puncak pertama fungsi
cosinus. Pernyataan sinyal sinus menggunakan fungsi cosinus diambil
sebagai pernyataan standar.
Jika seluruh sistem bekerja pada satu frekuensi tertentu, ω, maka sinyal
sinus dapat dinyatakan dalam bentuk fasor dengan mengambil besar dan
sudut fasa-nya saja. Untuk suatu sinyal sinus yang di kawasan waktu
dinyatakan sebagai )cos()( θ+ω= tAtv maka di kawasan fasor ia
dituliskan dalam format kompleks sebagai θ= jAeV dengan A adalah
nilai puncak sinyal. Karena kita hanya memperhatikan amplitudo dan
sudut fasa saja, maka pernyataan sinyal dalam fasor biasa dituliskan
seperti pada (12.5) yaitu
θ+θ=θ∠= sincos jAAAV
yang dalam bidang kompleks digambarkan sebagai diagram fasor seperti
pada Gb.7.1.a. Apabila sudut fasa θ = 0o maka pernyataan sinyal di
kawasan waktu menjadi )cos()( tAtv ω= yang dalam bentuk fasor
menjadi o0 ∠= AV dengan diagram fasor seperti pada Gb.7.1.b. Suatu
sinyal yang di kawasan waktu dinyatakan sebagai
)2/cos()sin()( π−ω=ω= tAtAtv di kawasan fasor menjadi
o90 −∠= AV dengan diagram fasor seperti Gb.7.1.c
130 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
a). b).
c). d)
Gb.7.1. Diagram fasor fungsi:
a) )cos()( θ+ω= tAtv ; b) )cos()( tAtv ω= ; c) )sin()( tAtv ω=
d). Fasor a = cosωt dan b = sinωt
Dalam meninjau sinyal nonsinus, kita tidak dapat menyatakan satu sinyal
nonsinus dengan menggunakan satu bentuk fasor tertentu karena
walaupun sistem yang kita tinjau beroperasi pada satu macam frekuensi
(50 Hz misalnya) namun arus dan tegangan yang kita hadapi
mengandung banyak frekuensi. Oleh karena itu satu sinyal nonsinus
terpaksa kita nyatakan dengan banyak fasor; masing-masing komponen
sinyal nonsinus memiliki frekuensi sendiri.
Selain dari pada itu, uraian sinyal sinyal nonsinus ke dalam komponen-
komponennya dilakukan melalui deret Fourier. Bentuk umum komponen
sinus sinyal ini adalah
tnbtnati nnn ω+ω= sincos)(
yang dapat dituliskan sebagai
)cos()( 22nnnn tnbati θ−ω+=
yang dalam bentuk fasor menjadi
nnnn ba θ−∠+= 22I dengan n
n
a
b1tan−=θ
Mengacu pada Gb.7.1.d, diagram fasor komponen sinyal ini adalah
seperti pada Gb.7.2.
Im
Re
tb ω= sin
ta ω= cos
a
b
Im
Re
o90 −∠= AV
Im
Re
θ∠= AV
θ
Im
Re
o0 ∠= AV
131
Gb.7.2. Fasor komponen arus nonsinus dengan an > 0 dan bn > 0.
Fasor In pada Gb.7.2. adalah fasor komponen arus jika an positif dan bn
positif. Fasor ini leading terhadap sinyal sinus sebesar (90o − θ). Gb.7.3
berikut ini memperlihatkan kombinasi nilai an dan bn yang lain.
Gb.7.3. Fasor komponen arus nonsinus untuk
berbagai kombinasi nilai an dan bn.
θ−∠+= 22 nnn baI
Im
Re an
bn
θ
)180( o22 θ+∠+= nnn baI
Im
Re -an
bn
θ
an < 0, bn > 0
In lagging (900 − θ)
terhadap sinyal sinus
)180( o22 θ−∠+= nnn baI
Im
Re -an
-bn
θ
an < 0, bn < 0
In lagging (900 + θ)
terhadap sinyal sinus
θ∠+= 22 nnn baI
Im
Re an
-bn
θ
an > 0, bn <0
In leading (900 + θ)
terhadap sinyal sinus
132 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Perlu kita perhatikan bahwa pernyataan fasor dan diagram fasor yang
dikemukakan di atas menggunakan nilai puncak sinyal sebagai besar
fasor. Dalam analisis daya, diambil nilai efektif sebagai besar fasor. Oleh
karena itu kita perlu memperhatikan apakah spektrum amplitudo sinyal
nonsinus diberikan dalam nilai efektif atau nilai puncak.
CO+TOH-7.1: Dalam Contoh-5.3 di Bab-5 uraian di kawasan waktu
arus penyearahan setengah gelombang dengan nilai maksimum Im A
adalah
A
)10cos(007.0)8cos(010.0
)6cos(018,0 )4cos(042,0
) 2cos(212,0)57,1cos(5,0318,0
)(
00
00
00
ω+ω+
ω+ω+
ω+−ω+
×=
tt
tt
tt
Iti m
Nyatakanlah sinyal ini dalam bentuk fasor.
Penyelesaian:
Formulasi arus i(t) yang diberikan ini diturunkan dari uraian deret
Fourier yang komponen fundamentalnya adalah
tti 01 sin5,00)( ω+= ; jadi sesungguhnya komponen ini adalah
fungsi sinus di kawasan waktu.
Jika kita mengambil nilai efektif sebagai besar fasor, maka
pernyataan arus dalam bentuk fasor adalah
;02
007,0
;02
010,0 ;0
2
018,0 ;0
2
042,0
;02
212,0 ;90
2
5,0 ;318,0
o10
o8
o6
o4
o2
o10
∠=
∠=∠=∠=
∠=−∠==
m
mmm
mmm
I
III
III
I
III
III
Diagram fasor arus-arus pada Contoh-7.1 di atas, dapat kita gambarkan
(hanya mengambil tiga komponen) seperti terlihat pada Gb. 7.4.
133
Gb.7.4. Diagram fasor arus fundamental,
harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4
Persamaan arus pada Contoh-7.1 yang dinyatakan dalam fungsi cosinus
dapat pula dinyatakan dalam fungsi sinus menjadi
A
)10cos(007.0)8cos(010.0
)57,16sin(018,0)57,14sin(021,0
1,57) 2sin(212,0)sin(5,0318,0
)(
00
00
00
ω+ω+
+ω++ω+
+ω+ω+
=
tt
tt
tt
Iti m
Jika komponen sinus fundamental digunakan sebagai referensi
dengan pernyataan fasornya o11 0∠= rmsII , maka masing-masing
komponen arus ini dapat kita nyatakan dalam fasor sebagai:
..;.........902
018,0 ;90
2
042,0
;902
212,0 ;0
2
5,0 ;318,0
o6
o4
o2
o10
∠=∠=
∠=∠==
mm
mmm
II
III
II
III
Diagram fasor-fasor arus ini dapat kita gambarkan seperti terlihat pada
Gb.7.5.
Gb.7.5. Diagram fasor arus fundamental,
harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4
Diagram fasor arus pada Gb.7.5 tidak lain adalah diagram fasor pada
Gb.7.4 yang diputar 90o ke arah positif karena fungsi sinus dijadikan
referensi dengan sudut fasa nol. Nilai fasor dan selisih sudut fasa antar
fasor tidak berubah. Dengan menggunakan Gb.7.5. ini, kita lihat bahwa
komponen harmonisa ke-2 ‘leading’ 90o dari komponen fundamental;
demikian juga dengan komponen harmonisa ke-4. Namun fasor
I1 I2 I4
I1
I2 I4
134 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
harmonisa ke-2 berputar kearah positif dengan frekuensi dua kali lipat
dibanding dengan komponen fundamental, dan fasor harmonisa ke-4
berputar kearah positif dengan frekuensi empat kali lipat dibanding
komponen fundamental. Oleh karena itulah mereka tidak dapat secara
langsung dijumlahkan.
Dalam pembahasan selanjutnya kita akan menggunakan cara
penggambaran fasor seperti pada Gb.7.4 dimana fasor referensi adalah
fasor dari sinyal sinus yang dinyatakan dalam fungsi cosinus dan
memiliki sudut fasa nol. Hal ini perlu ditegaskan karena uraian arus
nonsinus ke dalam deret Fourier dinyatakan sebagai fungsi cosinus
sedangkan tegangan sumber biasanya dinyatakan sebagai fungsi sinus.
Fasor tegangan sumber akan berbentuk osrmss V 90−∠=V dan relasi-
relasi sudut fasa yang tertulis pada Gb.7.3 akan digunakan.
Contoh-7.2: Gambarkan diagram fasor sumber tegangan dan arus-arus
berkut ini
V sin100sin ttVv srmss ω=ω= , A 301 =rmsI 30o lagging dari
tegangan sumber dan A 502 =rmsI 90o leading dari tegangan
sumber.
Penyelesaian:
7.2. Impedansi
Karena setiap komponen harmonisa memiliki frekuensi berbeda maka
pada satu cabang rangkaian yang mengandung elemen dinamis akan
terjadi impedansi yang berbeda untuk setiap komponen. Setiap
komponen harmonisa dari arus nonsinus yang mengalir pada satu cabang
rangkaian dengan elemen dinamis akan mengakibatkan tegangan
berbeda.
Im
Re
Vs
I1 30o
I2
135
CO+TOH-7.3: Arus ttti 000 5sin303sin70sin200 ω+ω+ω= A
mengalir melalui resistor 5 Ω yang terhubung seri dengan kapasitor
20 µF. Jika frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitung tegangan
puncak fundamental dan tegangan puncak setiap komponen
harmonisa.
(a) Reaktansi dan impedansi untuk frekuensi fundamental adalah
15,159)1020502/(1 61 =×××π= −
CX →
23,15915,1595 221 =+=Z Ω
Tegangan puncak fundamental adalah
kV 85,3120023,159111 ≈×=×= mm IZV
(b) Impedansi untuk harmonisa ke-3 adalah
05,533/13 == CC XX → 29,5305,535 223 =+=Z Ω
Tegangan puncak harmonisa ke-3 adalah
kV 73,37029,53333 =×=×= mm IZV
(c) Impedansi untuk harmonisa ke-5 adalah
83,315/15 == CC XX → 22,3283,315 225 =+=Z Ω
Tegangan puncak harmonisa ke-5 adalah
kV 97,03022,32555 =×=×= mm IZV
7.3. +ilai Efektif
Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, sinyal nonsinus
dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu komponen
fundamental dan komponen harmonisa total. Nilai efektif suatu sinyal
periodik nonsinus y, adalah
221 hrmsrmsrms YYY += (7.1)
dengan
rmsY1 : nilai efektif komponen fundamental.
hrmsY : nilai efektif komponen harmonisa total.
136 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Karena komponen ke-dua, yaitu komponen harmonisa total, merupakan
gabungan dari seluruh harmonisa yang masih diperhitungkan, maka
komponen ini tidak kita gambarkan diagram fasornya; kita hanya
menyatakan nilai efektifnya saja walaupun kalau kita gambarkan
kurvanya di kawasan waktu bisa terlihat perbedaan fasa yang mungkin
terjadi antara tegangan fundamental dan arus harmonisa total.
7.4. Sumber Tegangan Sinusiodal Dengan Beban +onlinier
Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, pembebanan nonlinier
terjadi bila sumber dengan tegangan sinus mencatu beban dengan arus
nonsinus. Arus nonsinus mengalir karena terjadi pengubahan arus oleh
pengubah arus, seperti misalnya penyearah atau saklar sinkron. Dalam
analisis di kawasan fasor pada pembebanan non linier ini kita perlu
memperhatikan hal-hal berikut ini.
7.4.1. Daya Kompleks
Sisi Beban. Jika tegangan pada suatu beban memiliki nilai efektif Vbrms V
dan arus nonsinus yang mengalir padanya memiliki nilai efektif Ibrms A,
maka beban ini menyerap daya kompleks sebesar
VA brmsbrmsb IVS ×= (7.2)
Kita ingat pengertian mengenai daya kompleks yang didefinisikan pada
persamaan (14.9) di Bab-14 sebagai *VI=S . Definisi ini adalah untuk
sinyal sinus murni. Dalam hal sinyal nonsinus kita tidak menggambarkan
fasor arus harmonisa total sehingga mengenai daya kompleks hanya bisa
menyatakan besarnya, yaitu persamaan (7.2), tetapi kita tidak
menggambarkan segitiga daya. Segitiga daya dapat digambarkan hanya
untuk komponen fundamental.
Sisi Sumber. Daya kompleks |Ss| yang diberikan oleh sumber tegangan
sinus tVv sms ω= sin V yang mengeluarkan arus nonsinus bernilai
efektif A 221 shrmsrmsssrms III += adalah
VA 2
srmssm
srmssrmss IV
IVS ×=×= (7.3)
137
7.4.2. Daya +yata
Sisi Beban. Jika suatu beban memiliki resistansi Rb, maka beban tersebut
menyerap daya nyata sebesar
( ) W221
2bbhrmsrmsbbbrmsb RIIRIP +== (7.4)
di mana rmsbI 1 adalah arus efektif fundamental dan bhrmsI adalah arus
efektif harmonisa total.
Sisi Sumber. Dilihat dari sisi sumber, daya nyata dikirimkan melalui
komponen fundamental. Komponen arus harmonisa sumber tidak
memberikan transfer energi netto.
Wcos 111 ϕ= rmssrmss IVP (7.5)
ϕ1 adalah beda sudut fasa antara tegangan dan arus fundamental sumber,
dan cosϕ1 adalah faktor daya pada komponen fundamental yang disebut
displacement power factor.
7.4.3. Faktor Daya
Sisi Beban. Dengan pengertian daya kompleks dan daya nyata seperti
diuraikan di atas, maka faktor daya rangkaian beban dapat dihitung
sebagai
b
b
S
P=beban f.d. (7.5)
Sisi Sumber. Faktor daya total, dilihat dari sisi sumber, adalah
s
ss
S
P 1.d.f = (7.6)
7.4.4. Impedansi Beban
Reaktansi beban tergantung dari frekuensi harmonisa, sehingga masing-
masing harmonisa menghadapi nilai impedansi yang berbeda-beda.
Namun demikian nilai impedansi beban secara keseluruhan dapat
dihitung, sesuai dengan konsep tentang impedansi, sebagai
Ω= brms
brmsb
I
VZ (7.6)
138 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Seperti halnya dengan daya kompleks, impedansi beban hanya dapat kita
hitung besarnya dengan relasi (7.6) akan tetapi tidak dinyatakan dalam
format kompleks seperti (a + jb).
7. 5. Teorema Tellegen
Sebagaimana dijelaskan dalam Bab-7, teorema ini menyatakan bahwa di
setiap rangkaian listrik harus ada perimbangan yang tepat antara daya
yang diserap oleh elemen pasif dengan daya yang diberikan oleh elemen
aktif. Hal ini sesuai dengan prinsip konservasi energi. Sebagaimana telah
pula disebutkan teorema ini juga memberikan kesimpulan bahwa satu-
satunya cara agar energi dapat diserap dari atau disalurkan ke suatu
bagian rangkaian adalah melalui tegangan dan arus di terminalnya.
Teorema ini berlaku baik untuk rangkaian linier maupun non linier.
Teorema ini juga berlaku baik di kawasan waktu maupun kawasan fasor
untuk daya kompleks maupun daya nyata. Fasor tidak lain adalah
pernyataan sinyal yang biasanya berupakan fungsi waktu, menjadi
pernyataan di bidang kompleks. Oleh karena itu perhitungan daya yang
dilakukan di kawasan fasor harus menghasilkan angka-angka yang sama
dengan perhitungan di kawasan waktu.
7.6. Contoh-Contoh Perhitungan
CO+TOH-7.4: Di terminal suatu beban yang terdiri dari resistor Rb=10
Ω terhubung seri dengan induktor Lb = 0,05 H terdapat tegangan
nonsinus V sin2200100 0tvs ω+= . Jika frekuensi fundamental
adalah 50 Hz, hitunglah: (a) daya nyata yang diserap beban; (b)
impedansi beban; (c) faktor daya beban;
Penyelesaian:
(a) Tegangan pada beban terdiri dari dua komponen yaitu komponen
searah dan komponen fundamental:
V 1000 =V dan o1 90200 −∠=V
Arus komponen searah yang mengalir di beban adalah
A 1010/100/00 === bb RVI
Arus efektif komponen fundamental di beban adalah
139
A 74,10
)05,0100(10
200
22
11rms =
×π+==
b
rmsb
Z
VI
Nilai efektif arus rangkaian total adalah
A 14,6874,1010 2221
20 =+=+= rmsbbbrms III
Daya nyata yang diserap beban sama dengan daya yang diserap
Rb karena hanya Rb yang menyerap daya nyata.
W21541068,14 22 =×== bbrmsRb RIP
(b) Impedansi beban adalah rasio antara tegangan efektif dan arus
efektif beban.
V 5100200100 2221
20 =+=+= rmsbrms VVV
Ω=== 24,1568,14
5100
brms
brmsbeban
I
VZ
(c) Faktor daya beban adalah rasio antara daya nyata dan daya
kompleks yang diserap beban. Daya kompleks yang diserap
beban adalah:
VA 328168,145100 =×=×= brmsbrmsb IVS
Sehingga faktor daya beban
656,03281
2154f.d. ===
b
bb
S
P
CO+TOH-7.5: Suatu tegangan nonsinus yang terdeteksi pada terminal
beban memiliki komponen fundamental dengan nilai puncak 150 V
dan frekuensi 50 Hz, serta harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki
nilai puncak berturut-turut 30 V dan 5 V. Beban terdiri dari resistor 5
Ω terhubung seri dengan induktor 4 mH. Hitung: (a) tegangan
efektif, arus efektif, dan daya dari komponen fundamental; (b)
tegangan efektif, arus efektif, dan daya dari setiap komponen
harmonisa; (c) tegangan efektif beban, arus efektif beban, dan total
140 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
daya kompleks yang disalurkan ke beban; (d) Bandingkan hasil
perhitungan (a) dan (c).
Penyelesaian:
(a) Tegangan efektif komponen fundamental
V 1062
1501 ==rmsV
Reaktansi pada frekuensi fundamental
Ω=×××π= − 26,1104502 31LX
Impedansi pada frekuensi fundamental adalah
Ω=+= 16,526,15 221Z
Arus efektif fundamental A 57,2016,5
106
1
11 ===
Z
VI rms
rms
Daya nyata yang diberikan oleh komponen fundamental
W2083557,20 2211 =×== RIP rms
Daya kompleks komponen fundamental
VA 218257,20106111 =×== rmsrms IVS
Faktor daya komponen fundamental
97,02182
2083 f.d.
1
11 ===
S
P
Daya reaktif komponen fundamental dapat dihitung dengan
formulasi segitiga daya karena komponen ini adalah sinus
murni.
VAR 9,53120832182222
12
11 =−=−= PSQ
141
(b) Tegangan efektif harmonisa ke-3 dan ke-5
V 21,212
303 ==rmsV ; V 54,3
2
55 ==rmsV
Reaktansi pada frekuensi harmonisa ke-3 dan ke-5
Ω=×=×= 77,326,133 13 LL XX ;
Ω=×=×= 28,626,155 15 LL XX
Impedansi pada komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:
Ω=+= 26,677,35 223Z ; Ω=+= 03,828,65 22
5Z
Arus efektif komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:
A 39,326,6
21,21
3
33 ===
Z
VI rms
rms ;
A 44,003,8
54,3
5
55 ===
Z
VI
rmsrms
Daya nyata yang diberikan oleh harmonisa ke-3 dan ke-5
W4,57539,3 2233 =×== RIP rms ;
W97,0544,0 2255 =×== RIP rms
(c) Daya nyata total yang diberikan ke beban adalah jumlah daya
nyata dari masing-masing komponen harmonisa (kita ingat
komponen-komponen harmonisa secara bersama-sama mewakili
satu sumber)
( )( )
W2174
221
25
23
21
25
23
21531
RIRIRIIRI
RIIIPPPP
hrmsrmsrmsrmsrms
rmsrmsrmsb
+=++=
=×++=++=
Tegangan efektif beban
V 22,1082
5
2
30
2
150 222
=++=brmsV
Arus efektif beban
142 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
A 86,2044,039,357,20 222 =++=brmsI
Daya kompleks beban
VA 225786,2022,108 =×=×= brmsbrmsb IVS
Daya reaktif beban tidak dapat dihitung dengan menggunakan
formula segitiga daya karena kita tak dapat menggambarkannya.
(d) Perhitungan untuk komponen fundamental yang telah kita
lakukan menghasilkan
W20831 =P , VA 21821 =S , dan
VAR 9,5312
12
11 =−= PSQ .
Sementara itu perhitungan daya total ke beban menghasilkan
W2174=bP , dan VA 2257=bS ; ?=bQ
Perbedaan antara P1 dan Pb disebabkan oleh adanya harmonisa
P3 dan P5 .
RIP rms211 = sedang
( ) RIRIIIPPPP brmsrmsrmsrmsb22
523
21321 =++=++= .
Daya reaktif beban Qb tidak bisa kita hitung dengan cara seperti
menghitung Q1 karena kita tidak bisa menggambarkan segitiga
daya-nya. Oleh karena itu kita akan mencoba memperlakukan
komponen harmonisa sama seperti kita memperlakukan
komponen fundamental dengan menghitung daya reaktif
sebagai nnrmsn XIQ 2= dan kemudian menjumlahkan daya
reaktif Qn untuk memperoleh daya reaktif ke beban Qb.
Dengan cara ini maka untuk beban akan berlaku:
( )5253
231
21531 LrmsLrmsLrmsb XIXIXIQQQQ ++=++=
Hasil perhitungan memberikan
143
VAR 4,5762,13,439,531
5253
231
21321
=++=
++=++= LrmsLrmsLrmsb XIXIXIQQQQ
Perhatikan bahwa hasil perhitungan
VAR 9,5311211 == Lrms XIQ sama dengan
VAR 9,5312
12
11 =−= PSQ .
Jika untuk menghitung Qb kita paksakan menggunakan
formulasi segitiga daya, walaupun sesungguhnya kita tidak bisa
menggambarkan segitiga daya dan daya reaktif total komponen
hamonisa juga tidak didefinisikan, kita akan memperoleh
VAR 604217422572222 =−=−= bbb PSQ
lebih besar dari hasil yang diperoleh jika daya reaktif masing-
masing komponen harmonisa dihitung dengan formula
nnrmsn XIQ 2= .
CO+TOH-7.6: Sumber tegangan sinusoidal V sin21000 tvs ω=
mencatu beban resistif Rb = 10 Ω melalui dioda mewakili
penyearah setengah gelombang. Carilah: (a) spektrum amplitudo
arus; (b) nilai efektif setiap komponen arus; (c) daya kompleks
sumber; (d) daya nyata yang diserap beban; (e) daya nyata yang
berikan oleh sumber; (f) faktor daya yang dilihat sumber; (g)
faktor daya komponen fundamental.
Penyelesaian:
a). Spektrum amplitudo arus penyearahan setengah gelombang ini
adalah seperti berikut.
144 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Spektrum yang amplitudo ini dihitung sampai harmonisa ke-
10, yang nilainya sudah mendekati 1% dari amplitudo arus
fundamental. Diharapkan error yang terjadi dalam
perhitungan tidak akan terlalu besar.
b). Nilai efektif komponen arus dalam [A] adalah
7.0 ;1 ;8,1 ;3,4
dst ;2,212
04.30 ;50
2
71.70 ;45
10864
21rms0
====
=====
rmsrmsrmsrms
rms
IIII
III
Nilai efektif arus fundamental A 501 =rmsI
Nilai efektif komponen harmonisa total adalah:
A 507,018,13,42,218,312 222222 =+++++×=hrmsI
Nilai efektif arus total adalah
A 7,705050 22221 =+=+= shrmsrmsrms III
c). Daya kompleks yang diberikan sumber adalah
kVA 7,707,701000 =×=×= rmssrmss IVS
d). Daya nyata yang diserap beban adalah
kW 50 1067,70 22 =×== brmsb RIP
45.00
70.71
30.04
6.032.60 1.46 0.94
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 4 6 8 10 harmonisa
A
145
e). Sumber memberikan daya nyata melalui arus fundamental.
Daya nyata yang diberikan oleh sumber adalah
11 cosϕ= rmssrmss IVP
Kita anggap bahwa spektrum sudut fasa tidak tersedia,
sehingga perbedaan sudut fasa antara tegangan sumber dan
arus fundamental tidak diketahui dan cosϕ1 tidak diketahui.
Oleh karena itu kita coba memanfaatkan teorema Tellegen
yang menyatakan bahwa daya yang diberikan sumber harus
tepat sama dengan daya yang diterima beban, termasuk daya
nyata. Jadi daya nyata yang diberikan sumber adalah
kW 50== bs PP
f). Faktor daya yang dilihat oleh sumber adalah
7,07,70/50// ==== sbsss SPSPf.d.
g). Faktor daya komponen fundamental adalah
1501000
50000cos
11 =
×==ϕ
rmssrms
s
IV
P
Nilai faktor daya ini menunjukkan bahwa arus fundamental
sefasa dengan tegangan sumber.
h). 100%atau 150
50
1
===rms
hrmsI
I
ITHD
Contoh-7.6 ini menunjukkan bahwa faktor daya yang dilihat sumber
lebih kecil dari faktor daya fundamental. Faktor daya fundamental
menentukan besar daya aktif yang dikirim oleh sumber ke beban,
sementara faktor daya yang dilihat oleh sumber merupakan rasio daya
nyata terhadap daya kompleks yang dikirim oleh sumber. Sekali lagi kita
tekankan bahwa kita tidak dapat menggambarkan segitiga daya pada
sinyal nonsinus.
Sumber mengirimkan daya nyata ke beban melalui arus fundamental.
Jika kita hitung daya nyata yang diserap resistor melalui arus
fundamental saja, akan kita peroleh
kW 2510502211 =×== brmsRb RIP
146 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Jadi daya nyata yang diserap Rb melalui arus fundamental hanya setengah
dari daya nyata yang dikirim sumber (dalam kasus penyearah setengah
gelombang ini). Hal ini terjadi karena daya nyata total yang diserap Rb
tidak hanya melalui arus fundamental saja tetapi juga arus harmonisa,
sesuai dengan relasi
( ) bbrmsrmsbbrmsRb RIIRIP ×+== 221
2
Kita akan mencoba menganalisis masalah ini lebih jauh setelah melihat
lagi contoh yang lain. Berikut ini kita akan melihat contoh yang berbeda
namun pada persoalan yang sama, yaitu sebuah sumber tegangan
sinusoidal mengalami pembebanan nonlinier.
CO+TOH-7.7: Seperti Contoh-7.6, sumber sinusoidal dengan nilai
efektif 1000 V mencatu arus ke beban resistif Rb=10 Ω, namun
kali ini melalui saklar sinkron yang menutup setiap paruh ke-dua
dari tiap setengah perioda. Tentukan : (a) spektrum amplitudo
arus; (b) nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa total, dan
arus total yang mengalir ke beban; (c) daya kompleks yang
diberikan sumber; (d) daya nyata yang diberikan sumber; (e)
faktor daya yang dilihat sumber; (f) faktor daya komponen
fundamental.
Penyelesaian:
(a) Diagram rangkaian adalah sebagai berikut:
Bentuk gelombang tegangan sumber dan arus beban adalah
-300
-200
-100
0
100
200
300
0 0,01 0,02
iRb(t)
vs(t)/5
[V]
[A] [detik]
Rb
10 Ω vs Vsrms =1000 V
is saklar sinkron
iRb
∼
147
Spektrum amplitudo arus, yang dibuat hanya sampai harmonisa
ke-11 adalah seperti di bawah ini.
Amplitudo arus harmonisa ke-11 masih cukup besar; masih di
atas 10% dari amplitudo arus fundamental. Perhitungan-
perhitungan yang hanya didasarkan pada spektrum amplitudo
ini tentu akan mengandung error yang cukup besar. Namun hal
ini kita biarkan untuk contoh perhitungan manual ini mengingat
amplitudo mencapai sekitar 1% dari amplitudo arus
fundamental baru pada harmonisa ke-55.
(b) Arus fundamental yang mengalir ke Rb
A 25,592
79,831 ==rmsI
Arus harmonisa total
A 14,36
2
71,8
2
71,8
2
83,14
2
83,14
2
96,440
22222
=
+++++=hrmsI
Arus total : A 4,69 14,3625,59 22 =+=rmsI
(c) Daya kompleks yang diberikan sumber adalah
kVA 4,694,691000 =×== rmssrmss IVS
0.00
83.79
44.96
14.83 14.838.71 8.71
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1 2 3 4 5 6 7 0 1 3 5 7 9 11 harmonisa
A
148 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(d) Daya nyata yang diberikan sumber harus sama dengan daya
nyata yang diterima beban yaitu daya nyata yang diserap Rb
karena hanya Rb yang menyerap daya nyata
kW 17,48104,69 22 =×=== brmsbs RIPP
(e) Faktor daya yang dilihat sumber adalah
69,04,69/17,48/ === sss SPf.d.
(f) Daya nyata dikirim oleh sumber melalui arus komponen
fundamental.
11 cosϕ= rmssrmss IVP
813,025,591000
48170cos..
111 =
×==ϕ=
rmssrms
s
IV
(g) 61%atau 61,025,59
14,36
1
===rms
hrmsI
I
ITHD
Perhitungan pada Contoh-7.7 ini dilakukan dengan hanya mengandalkan
spektrum amplitudo yang hanya sampai harmonisa ke-11. Apabila
tersedia spektrum sudut fasa, koreksi perhitungan dapat dilakukan.
Contoh-7.8: Jika pada Contoh-7.7 selain spektrum amplitudo diketahui
pula bahwa persamaan arus fundamental dalam uraian deret Fourier
adalah
( ))sin(7,0)cos(5.0)( 001 ttIti m ω+ω−=
Lakukan koreksi terhadap perhitungan yang telah dilakukan pada
Contoh-7.7.
Penyelesaian:
Persamaan arus fundamental sebagai suku deret Fourier diketahui:
( ))sin(7,0)cos(5.0)( 001 ttIti m ω+ω−=
Sudut o1 6,57)5.0/7.0(tan ==θ − . Mengacu ke Gb.7.3, komponen
fundamental ini lagging sebesar (90o−57,6
o) = 32,4
o dari tegangan
149
sumber yang dinyatakan sebagai fungsi sinus. Dengan demikian
maka faktor daya komponen fundamental adalah
844,0)4,32cos(cos.. o11 ==ϕ=df
Dengan diketahuinya faktor daya fundamental, maka kita dapat
menghitung ulang daya nyata yang diberikan oleh sumber dengan
menggunakan nilai faktor daya ini, yaitu
kW 50844.04,591000cos 11 =××=ϕ= rmssrmss IVP
Daya nyata yang dikirim sumber ini harus sama dengan yang
diterima resistor di rangkaian beban sbrmsb PRIP == 2 . Dengan
demikian arus total adalah
A 7,7010/50000/ === bsrms RPI
Koreksi daya nyata tidak mengubah arus fundamental; yang
berubah adalah faktor dayanya. Oleh karena itu terdapat koreksi
arus harmonisa yaitu
A 63,3825,597,70 2221
2 =−=−= rmsrmshrms III
Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi
kVA 7,707,701000 =×== rmssrmss IVS
Faktor daya total yang dilihat sumber menjadi
7,07,70/50/.. === sss SPdf
65%atau 65,025,59
63,38==ITHD
Perbedaan-perbedaan hasil perhitungan antara Contoh-7.8 (hasil koreksi)
dan Contoh-7.7 telah kita duga sebelumnya sewaktu kita menampilkan
spektrum amplitudo yang hanya sampai pada harmonisa ke-11. Tampilan
spektrum ini berbeda dengan tampilan spektrum dalam kasus penyearah
setengah gelombang pada Contoh-7.6, yang juga hanya sampai hrmonisa
ke-10. Perbedaan antara keduanya terletak pada amplitudo harmonisa
terakhir; pada kasus saklar sinkron amplitudo harmonisa ke-11 masih
sekitar 10% dari amplitudo fundamentalnya, sedangkan pada kasus
150 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
penyearah setengah gelombang amplitudo ke-10 sudah sekitar 1% dari
ampltudo fundamentalnya.
Pada Contoh-7.8, jika kita menghitung daya nyata yang diterima resistor
hanya melalui komponen fundamental saja akan kita peroleh
kW 1,351025,59 2211 =×== brmsRb RIP
Perbedaan antara daya nyata yang dikirim oleh sumber melalui arus
fundamental dengan daya nyata yang diterima resistor melalui arus
fundamental disebabkan oleh adanya komponen harmonisa. Hal yang
sama telah kita amati pada kasus penyearah setengah gelombang pada
Contoh-7.6.
7.7. Transfer Daya
Dalam pembebanan nonlinier seperti Contoh-7.6 dan Contoh-7.7, daya
nyata yang diserap beban melalui komponen fundamental selalu lebih
kecil dari daya nyata yang dikirim oleh sumber yang juga melalui arus
fundamental. Jadi terdapat kekurangan sebesar ∆PRb; kekurangan ini
diatasi oleh komponen arus harmonisa karena daya nyata diterima oleh
Rb tidak hanya melalui arus fundamental tetapi juga melalui arus
harmonisa, sesuai formula
bbhrmsrmsbRb RIIP )( 221
+=
Padahal dilihat dari sisi sumber, komponen harmonisa tidak memberi
transfer energi netto. Penafsiran yang dapat dibuat adalah bahwa
sebagian daya nyata diterima secara langsung dari sumber oleh Rb , dan
sebagian diterima secara tidak langsung. Piranti yang ada di sisi beban
selain resistor adalah saklar sinkron ataupun penyearah yang merupakan
piranti-piranti pengubah arus; piranti pengubah arus ini tidak mungkin
menyerap daya nyata sebab jika demikian halnya maka piranti ini akan
menjadi sangat panas. Jadi piranti pengubah arus menyerap daya nyata
yang diberikan sumber melalui arus fundamental dan segera
meneruskannya ke resistor sehingga resistor menerima daya nyata total
sebesar yang dikirimkan oleh sumber. Dalam meneruskan daya nyata
tersebut, terjadi konversi arus dari frekuensi fundamental yang diberikan
oleh sumber menjadi frekuensi harmonisa menuju ke beban. Hal ini
dapat dilihat dari besar daya nyata yang diterima oleh Rb melalui arus
harmonisa sebesar
151
bbhrmsrmsbhrmsRbh RIIRIP ×+== )( 221
2 .
Faktor daya komponen fundamental lebih kecil dari satu, f.d.1 < 1,
menunjukkan bahwa ada daya reaktif yang diberikan melalui arus
fundamental. Resistor tidak menyerap daya reaktif. Piranti selain resistor
hanyalah pengubah arus; oleh karena itu piranti yang harus menyerap
daya reaktif adalah pengubah arus. Dengan demikian, pengubah arus
menyerap daya reaktif dan daya nyata. Daya nyata diteruskan ke resistor
dengan mengubahnya menjadi komponen harmonisa, daya reaktif
ditransfer ulang-alik ke rangkaian sumber.
7.8. Kompensasi Daya Reaktif
Sekali lagi kita memperhatikan Contoh-7.6 dan Contoh-7.7 yang telah
dikoreksi dalam Contoh 7.8. Telah diulas bahwa faktor daya komponen
fundamental pada penyearah setengah gelombang f.d.1 = 1 yang berarti
arus fundamental sefasa dengan tegangan; sedangkan faktor daya
komponen fundamental pada saklar sinkron f.d.1 = 0,844. Nilai faktor
daya komponen fundamental ini tergantung dari saat membuka dan
menutup saklar yang dalam kasus penyearah setengah gelombang
“saklar” menutup setiap tengah perioda pertama.
Selain faktor daya komponen fundamental, kita melihat juga faktor daya
total yang dilihat sumber. Dalam kasus penyearah setengah gelombang,
meskipun f.d.1 = 1, faktor daya total f.d.s = 0,7. Dalam kasus saklar
sinkron f.d.1 = 0.844 sedangkan faktor daya totalnya f.d.s = 0,7. Sebuah
pertanyaan timbul: dapatkah upaya perbaikan faktor daya yang biasa
dilakukan pada pembebanan linier, diterapkan juga pada pembebanan
nonlinier?
Pada dasarnya perbaikan faktor daya adalah melakukan kompensasi daya
reaktif dengan cara menambahkan beban pada rangkaian sedemikian
rupa sehingga faktor daya, baik lagging maupun leading, mendekat ke
nilai satu. Dalam kasus penyearah setengah gelombang f.d.1 = 1, sudah
mencapai nilai tertingginya; masih tersisa f.d.s yang hanya 0,7. Dalam
kasus saklar sinkron f.d.1 = 0,844 dan f.d.s = 0,7. Kita coba melihat kasus
saklar sinkron ini terlebih dulu.
CO+TOH-7.9: Operasi saklar sinkron pada Contoh-7.7 membuat arus
fundamental lagging 32,4o dari tegangan sumber yang sinusoidal.
Arus lagging ini menandakan adanya daya rekatif yang dikirim oleh
sumber ke beban melalui arus fundamental. (a) Upayakan
152 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
pemasangan kapasitor paralel dengan beban untuk memberikan
kompensasi daya reaktif ini. (b) Gambarkan gelombang arus yang
keluar dari sumber.
Penyelesaian:
a). Upaya kompensasi dilakukan dengan memasangkan kapasitor
paralel dengan beban untuk memberi tambahan pembebanan
berupa arus leading untuk mengompensasi arus fundamental
yang lagging 32,4o. Rangkaian menjadi sebagai berikut:
Sebelum pemasangan kapasitor:
A 25,591 =rmsI ; A 63,38=hrmsI ; 7,0.. =sdf
kVA 59,2559,25100011 =×== rmssrms IVS ;
f.d.1 = 0,844;
kW 500,84459,251 =×=P
kVAR 75,312
12
1 =−= PSQs
Kita coba memasang kapasitor untuk memberi kompensasi daya
reaktif komponen fundamental sebesar 31 kVAR
CVZVQ srmsCsrmss ω=×= /221
→ F 991001000
31000
2
1 µ=π×
=ω
=srms
s
V
QC ;
kita tetapkan 100 µF
Dengan C = 100 µF, daya reaktif yang bisa diberikan adalah
kVAR 4,31101001001000 62 =××π×= −CQ
Arus kapasitor adalah
∼ Rb vs
is saklar sinkron
iRb
C
iC
153
A 4,31)100/(1
1000=
π==
CZ
VI
C
srmsCrms .
Arus ini leading 90o dari
tegangan sumber dan
hampir sama dengan nilai
A 75,31)4,32sin( o1 =rmsI
Diagram fasor tegangan dan
arus adalah seperti di
samping ini.
Dari diagram fasor ini kita
lihat bahwa arus o1 4,32sindan IIC tidak saling meniadakan
sehingga beban akan menerima arus )4,32cos( o1rmsI , akan
tetapi beban tetap menerima arus seperti semula. Beban tidak
merasakan adanya perubahan oleh hadirnya C karena ia tetap
terhubung langsung ke sumber. Sementara itu sumber sangat
merasakan adanya beban tambahan berupa arus kapasitif yang
melalui C. Sumber yang semula mengeluarkan arus fundamental
dan arus harmonisa total ke beban, setelah pemasangan
kapasitor memberikan arus fundamental dan arus harmonisa ke
beban ditambah arus kapasitif di kapasitor. Dengan demikian
arus fundamental yang diberikan oleh sumber menjadi
A 05)4,32cos( o11 =≈ rmsrmsC II
turun sekitar 10% dari arus fundamental semula yang 59,25 A.
Arus efektif total yang diberikan sumber menjadi
A 2,6363,3850 22221 =+=+= hrmsrmsCsrmsC III
Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi
kVA 2,632,631000 =×=sCS
Faktor daya yang dilihat sumber menjadi
8,02,63/50.. ==sCdf
sedikit lebih baik dari sebelum pemasangan kapasitor
7,0.. =sdf
Im
Re
Vs
I1
32,4o
I1cos32,4o
I1sin32,4o IC
154 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
b). Arus sumber, is, adalah jumlah dari arus yang melalui resistor
seri dengan saklar sinkron dan arus arus kapasitor.
- bentuk gelombang arus yang melalui resistor iRb adalah
seperti yang diberikan pada gambar Contoh-7.7;
- gelombang arus kapasitor, iC, 90o mendahului tegangan
sumber.
Bentuk gelonbang arus is terlihat pada gambar berikut:
Contoh-7.9 ini menunjukkan bahwa kompensasi daya reaktif komponen
fundamental dapat meningkatkan faktor daya total yang dilihat oleh
sumber. Berikut ini kita akan melihat kasus penyearah setengah
gelombang.
Di Bab-3, sub-bab 3.6 buku jilid-1, kita membahas filter kapasitor pada
penyearah yang dihubungkan paralel dengan beban R dengan tujuan
untuk memperoleh tegangan yang walaupun masih berfluktuasi namun
fluktuasi tersebut ditekan sehingga mendekati tegangan
searah. Kita akan
mencoba
menghubungkan
kapasitor seperti pada
Gb.7.3 dengan harapan
akan memperbaiki faktor
daya.
Gb.7.3. Kapasitor paralel dengan beban.
-300
-200
-100
0
100
200
300
vs/5
is
iRb
iC [detik]
[V]
[A]
0 0.005 0.01 0.015 0.02
vs R C
iR iC
is
155
CO+TOH-7.10: Sumber tegangan sinusoidal V sin21000 tvs ω=
mencatu beban resistif Rb = 10 Ω melalui penyearah setengah
gelombang. Lakukan pemasangan kapasitor untuk
“memperbaiki” faktor daya. Frekuensi kerja 50 Hz.
Penyelesaian:
Keadaan sebelum pemasangan kapasitor dari Contoh-7.5:
tegangan sumber V 1000=srmsV ;
arus fundamental A 501 =rmsI ;
arus harmonisa total A 50=hrmsI
arus efektif total A 7,70=rmsI ;
daya kompleks sumber kVA 7,70=sS ;
daya nyata kW 501 == PPs ;
faktor daya sumber 7,07,70/50/.. === sss SPdf ;
faktor daya komponen fundamental 1.. 1 =df .
Spektrum amplitudo arus maksimum adalah
Gambar perkiraan dibawah ini memperlihatkan kurva tegangan
sumber vs/5 (skala 20%), arus penyearahan setengah gelombang
45.00
70.71
30.04
6.032.60 1.46 0.94
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 4 6 8 10 harmonisa
A
156 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
iR, dan arus kapasitor iC seandainya dipasang kapasitor (besar
kapasitor belum dihitung).
Dengan pemasangan kapasitor maka arus sumber akan merupakan
jumlah iR + iC yang akan merupakan arus nonsinus dengan bentuk
lebih mendekati gelombang sinusoidal dibandingkan dengan
bentuk gelombang arus penyearahan setengah gelombang iR.
Bentuk gelombang arus menjadi seperti di bawah ini.
Kita akan mencoba menelaah dari beberapa sisi pandang.
a). Pemasangan kapasitor seperti pada Gb.7.3 menyebabkan sumber
mendapat tambahan beban arus kapasitif. Bentuk gelombang arus
sumber menjadi lebih mendekati bentuk sinus. Tidak seperti
dalam kasus saklar sinkron yang komponen fundamentalnya
memiliki faktor daya kurang dari satu sehingga kita punya titik-
tolak untuk menghitung daya reaktif yang perlu kompensasi,
-400
-200
0
200
400
0 0.01 0.02 0.03 iC
vs/5
iR
[V]
[A]
t [s]
iR+iC
iR
-400
-200
0
200
400
0 0.01 0.02 0.03 iC
vs/5
iR
[V]
[A]
t [s]
157
dalam kasus penyerah setengah gelombang ini f.d.1 = 1; arus
fundamental sefasa dengan tegangan sumber.
Sebagai perkiraan, daya reaktif akan dihitung dengan
menggunakan formula segitiga daya pada daya kompleks total.
kVAR 50507.702222 =−=−= sss PSQ
Jika diinginkan faktor daya 0,9 maka daya reaktif seharusnya
sekitar
kVAR 300,9)sin(cos-1 ≈= ss SQ
Akan tetapi formula segitiga tidaklah akurat karena kita tidak
dapat menggambarkan segitiga daya untuk arus harmonisa. Oleh
karena itu kita perkirakan kapasitor yang akan dipasang mampu
memberikan kompensasi daya reaktif QC sekitar 25 kVAR. Dari
sini kita menghitung kapasitansi C.
kVAR 2510)(1/
1000 622
=ω=ω
== CC
QC
sC
Z
V
Pada frekuensi 50 Hz F 6,7910010
25000
6µ=
π×=C . Kita tetapkan
80 µF
Arus kapasitor adalah
A 13,25)1080100/(1
1000
6=
××π==
−Z
sC
VI
yang leading 90o dari tegangan sumber atau o9013,25 ∠=CI
Arus fundamental sumber adalah jumlah arus kapasitor dan arus
fundamental semula, yaitu
A 2196,559013,25050 ooo11 ∠=∠+∠=+= CsemulasCs III
Nilai efektif arus dengan frekuensi fundamental yang keluar dari
sumber adalah
158 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
A 755096,55 22221 =+=+= hrmsCrmsssCrms III
Jadi setelah pemasangan kapasitor, nilai-nilai efektif arus adalah:
A 96,551 =CrmssI ; ini adalah arus pada frekuensi fundamental
yang keluar dari sumber sementara arus ke beban tidak
berubah
A 50=hrmsI ; tak berubah karena arus beban tidak berubah.
A 75=sCrmsI ; ini adalah arus yang keluar dari sumber yang
semula A 7,70=rmsI .
Daya kompleks sumber menjadi
kVA 75751000 =×== sCrmssrmssC IVS
Faktor daya yang dilihat sumber menjadi
67,075/50/ === sCssC SPf.d.
Berikut ini adalah gambar bentuk gelombang tegangan dan arus
serta spektrum amplitudo arus sumber.
-300
-200
-100
0
100
200
300
0 0.005 0.01 0.015 0.02iC
iRb isC
vs/5
V
A
159
Pemasangan kapasitor tidak memperbaiki faktor daya total bahkan
arus efektif pembebanan pada sumber semakin tinggi.
Apabila kita mencoba melakukan kompensasi bukan dengan arus
kapasitif akan tetapi dengan arus induktif, bentuk gelombang arus
dan spektrum amplitudo yang akan kita peroleh adalah seperti di
bawah ini.
-300
-200
-100
0
100
200
300
0 0.005 0.01 0.015 0.02iC
iRb
isC
vs/5 V
A
45.00
79.14
30.04
6.032.60 1.46 0.94
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1 2 3 4 5 6 70 1 2 4 6 8 10 harmonisa
A
160 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Dengan membandingkan Contoh-7.9 dan Contoh-7.10 terlihat bahwa
perbaikan faktor daya dengan cara kompensasi daya reaktif dapat
dilakukan pada pembebanan dengan faktor daya komponen fundamental
yang lebih kecil dari satu. Pada pembebanan di mana arus fundamental
sudah sefasa dengan tegangan sumber, perbaikan faktor daya tidak terjadi
dengan cara kompensasi daya reaktif; padahal faktor daya total masih
lebih kecil dari satu. Daya reaktif yang masih ada merupakan akibat dari
arus harmonisa. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan adalah
menekan arus harmonisa melalui penapisan. Persoalan penapisan tidak
dicakup dalam Analisis Rangkaian Listrik di buku ini melainkan dalam
Elektronika Daya.
A
45.00
79.14
30.04
6.032.60 1.46 0.94
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1 2 3 4 5 6 70 1 2 4 6 8 10 harmonisa
161
BAB 8 Dampak Harmonisa Pada Piranti
Dalam analisis rangkaian linier, elemen-elemen rangkaian seperti R, L,
dan C, merupakan idealisasi piranti-piranti nyata yang nonlinier. Dalam
bab ini kita akan mempelajari pengaruh adanya komponen harmonisa,
baik arus maupun tegangan, terhadap piranti-piranti sebagai benda nyata.
Dampak harmonisa ini dapat kita klasifikasi dalam dua kategori yaitu:
a). Dampak terhadap sistem tenaga sendiri antara lain peningkatan
susut energi yaitu energi “hilang” yang tak dapat dimanfaatkan,
yang secara alamiah berubah menjadi panas. [5,6].
Harmonisa menyebabkan peningkatan temperatur pada konduktor
kabel, pada kapasitor, induktor, dan transformator, yang bisa
berakibat pada derating dari alat-alat ini dan justru derating ini
membawa kerugian (finansial) yang lebih besar dibandingkan
dengan dampak langsung yang berupa susut energi.
Harmonisa tidak hanya menyebabkan derating piranti tetapi juga
umur ekonomis piranti. Pembebanan nonlinier tidaklah selalu
kontinyu, melainkan fluktuatif. Oleh karena itu pada selang
waktu tertentu piranti terpaksa bekerja pada batas tertinggi
temperatur kerjanya bahkan mungkin terlampaui pada saat-saat
tertentu.
Kenaikan tegangan bisa terjadi akibat adanya harmonisa yang
dapat menimbulkan micro-discharges bahkan partial-discharges
dalam piranti yang memperpendek umur, bahkan mal-function
bisa terjadi pada piranti.
Harmonisa juga dapat menyebabkan terjadinya overload pada
penghantar netral; kWh-meter memberi penunjukan tidak normal;
rele proteksi juga akan terganggu, bisa tidak mendeteksi besaran
rms bahkan mungkin gagal trip.
b). Dampak pada instalasi di luar sistem tenaga antara lain tmbulnya
noise pada saluran telepon serta komunikasi kabel; digital clock
disa berjalan lebih cepat.
162 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
8.1. Konduktor
Pada konduktor, komponen arus harmonisa menyebabkan peningkatan
daya nyata yang diserap oleh konduktor dan berakibat pada peningkatan
temperatur konduktor. Daya nyata yang terserap di konduktor ini kita
sebut rugi daya atau susut daya. Karena susut daya ini berbanding lurus
dengan kuadrat arus, maka peningkatannya akan sebanding dengan
kuadrat THD arus; demikian pula dengan peningkatan temperatur.
Misalkan arus efektif nonsinus rmsI mengalir melalui konduktor yang
memiliki resistansi Rs, maka susut daya di konduktor ini adalah
( ) ( )221
221
2 1 Isrmsshrmsrmssrmss THDRIRIIRIP +=+== (8.1)
Jika arus efektif fundamental tidak berubah, faktor ( )21 ITHD+ pada
(8.1) menunjukkan seberapa besar peningkatan susut daya di konduktor.
Misalkan peningkatan ini diinginkan tidak lebih dari 10%, maka THDI
tidak boleh lebih dari 0,32 atau 32%. Dalam contoh-contoh persoalan
yang diberikan sebelumnya, THDI besar terjadi misalnya pada arus
penyearahan setengah gelombang yang mencapai 100%, dan arus melalui
saklar sinkron yang mengalir setiap paruh ke-dua dari tiap setengah
perioda yang mencapai 65%.
CO+TOH-8.1: Konduktor kabel yang memiliki resistansi total 80 mΩ,
menyalurkan arus efektif 100 A, pada frekuensi 50 Hz. Kabel ini
beroperasi normal pada temperatur 70o C sedangkan temperatur
sekitarnya adalah 25o C. Perubahan pembebanan di ujung kabel
menyebabkan munculnya harmonisa pada frekuensi 350 Hz dengan
nilai efektif 40 A. Hitung (a) perubahan susut daya dan (b)
perubahan temperatur kerja pada konduktor.
(a) Susut daya semula pada konduktor adalah
W80008,010021 =×=P
Susut daya tambahan karena arus harmonisa adalah
W12808,04027 =×=P
Susut daya berubah menjadi
W928128800 =+=kabelP
163
Dibandingkan dengan susut daya semula, terjadi kenaikan susut
daya sebesar 16%.
(b) Kenaikan temperatur kerja di atas temperatur sekitar semula
adalah (70o − 25
o) = 45
o C. Perubahan kenaikan temperatur
adalah
C 2,74516,0oo =×=∆T
Kenaikan temperatur akibat adanya hormonisa adalah
C 52C 2,7C45ooo ≈+=T
dan temperatur kerja akibat adanya harmonisa adalah
C 775225 ooo =+=′T
10% di atas temperatur kerja semula.
CO+TOH-8.2: Suatu kabel yang memiliki resistansi total 0,2 Ω
digunakan untuk mencatu beban resistif Rb yang tersambung di
ujung kabel dengan arus sinusoidal bernilai efektif 20 A. Tanpa
pengubah resistansi beban, ditambahkan penyearah setengah
gelombang (ideal) di depan Rb. (a) Hitunglah perubahan susut daya
pada kabel jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tak
berubah. (b) Hitunglah daya yang disalurkan ke beban dengan
mempertahankan arus total pada 20 A; (c) berikan ulasan.
Penyelesaian:
(a) Sebelum pemasangan penyearah, susut daya di kabel adalah
W802,0202 =×=kP
Dengan mempertahankan besar daya tersalur ke beban tidak
berubah, berarti nilai efektif arus fundamental dipertahankan 20
A. THDI pada penyearah setengah gelombang adalah 100%.
Susut daya pada kabel menjadi
( ) W160112,020 22* =+×=kP
Susut daya menjadi dua kali lipat.
(b) Jika arus efektif total dipertahankan 20 A, maka susut daya di
kabel sama seperti sebelum pemasangan penyearah yaitu
164 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
W802,0202 =×=k
P
Dalam situasi ini terjadi penurunan arus efektif fundamental
yang dapat dihitung melalui relasi kuadrat arus efektif total,
yaitu
20)1( 2221
221
2 =+=+= THDIIII mshmsmsrms
Dengan THD 100%, maka /220221 =rmsI
jadi A 14,142/201 ==rmsI
Jadi jika arus efektif total dipertahankan 20 A, arus fundamental
turun menjadi 70% dari semula. Susut daya di kabel tidak
berubah, tetapi daya yang disalurkan ke beban menjadi
5,07,02 ≈ dari daya semula atau turun menjadi 50%-nya.
(c) Jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tetap, susut pada
saluran menjadi dua kali lipat, yang berarti kenaikan temperatur
dua kali lipat. Jika temperatur kerja semula 65oC pada
temperatur sekitar 25o, maka temperatur kerja yang baru bisa
mencapai lebih dari 100oC.
Jika susut daya pada saluran tidak diperkenankan meningkat
maka penyaluran daya ke beban harus diturunkan sampai
menjadi 50% dari daya yang semula disalurkan; gejala ini dapat
diartikan sebagai derating kabel.
8.2. Kapasitor
Ulas Ulang Tentang Kapasitor. Jika suatu dielektrik yang memiliki
permitivitas relatif εr disisipkan antara dua pelat kapasitor yang memiliki
luas A dan jarak antara kedua pelat adalah d, maka kapasitansi yang
semula (tanpa bahan dielektrik)
00 ε=d
AC
berubah menjadi
rCC ε= 0
165
Jadi kapasitansi meningkat sebesar εr kali.
Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor diperlihatkan pada Gb.8.1.
Arus kapasitor terdiri dari dua komponen yaitu arus kapasitif IC ideal
yang 90o mendahului tegangan kapasitor VC , dan arus ekivalen losses
pada dielektrik Irp yang sefasa dengan tegangan.
Gb.8.1. Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor.
Daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik adalah
δ== tanCCRpCP IVIV (8.2)
atau
δε=δε= tan π2tanω2
000 rr CfCP VVV (8.3)
tanδ disebut faktor desipasi (loss tangent)
εrtanδ disebut faktor kerugian (loss factor)
Pengaruh Frekuensi Pada Dielektrik. Nilai εr tergantung dari frekuensi,
yang secara umum digambarkan seperti pada Gb.8.2.
Gb.8.2. εr dan loss factor sebagai fungsi frekuensi.
im
re IRp
IC Itot
δ
VC
frekuensi
frekuensi listrik
frekuensi optik
power audio radio
εr
loss factor
εr
εrtanδ
166 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Dalam analisis rangkaian, reaktansi kapasitor dituliskan sebagai
fCX C π
=2
1
Gb.8.2. memperlihatkan bahwa εr menurun dengan naiknya frekuensi
yang berarti kapasitansi menurun dengan naiknya frekuesi. Namun
perubahan frekuensi lebih dominan dalam menentukan reaktansi
dibanding dengan penurunan εr; oleh karena itu dalam analisis kita
menganggap kapasitansi konstan.
Loss factor menentukan daya yang terkonversi menjadi panas dalam
dielektrik. Sementara itu, selain tergantung frekuensi, εr juga tergantung
dari temperatur dan hal ini berpengaruh pula pada loss factor, walaupun
tidak terlalu besar dalam rentang temperatur kerja kapasitor. Oleh karena
itu dalam menghitung daya yang terkonversi menjadi panas dalam
dielektrik, kita melakukan pendekatan dengan menganggap loss factor
konstan. Dengan anggapan ini maka daya yang terkonversi menjadi
panas akan sebanding dengan frekuensi dan sebanding pula dengan
kuadrat tegangan.
Tegangan +onsinus. Pada tegangan nonsinus, bentuk gelombang
tegangan pada kapasitor berbeda dari bentuk gelombang arusnya. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan tanggapan kapasitor terhadap komponen
fundamental dengan tanggapannya terhadap komponen harmonisa.
Situasi ini dapat kita lihat sebagai berikut. Misalkan pada terminal
kapasitor terdapat tegangan nonsinus yang berbentuk:
.........)()()()( 531 +++= tvtvtvtv CCCC (8.4)
Arus kapasitor akan berbentuk
.........)(5)(3)()( 503010 +ω+ω+ω= tCvtCvtCvti CCCC (8.5)
Dengan memperbandingkan (8.4) dan (8.5) dapat dimengerti bahwa
bentuk gelombang tegangan kapasitor berbeda dengan bentuk gelombang
arusnya.
CO+TOH-8.3: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen
fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz, serta
harmonisa ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut 30 V.
Sebuah kapasitor 500 µF dihubungkan pada sumber tegangan ini.
Gambarkan bentuk gelombang tegangan dan arus kapasitor.
167
Penyelesaian:
Jika persamaan tegangan
ttvC π+π= 300sin30100sin150 V
maka persamaan arus adalah
t
tiC
ππ×××+
ππ×××=−
−
500cos5001050030
100cos10010500150
6
6
Bentuk gelombang tegangan dan arus adalah seperti terlihat pada
Gb.8.3.
Gb.8.3. Gelombang tegangan dan arus pada contoh-8.3.
CO+TOH-8.4: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen
fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz, serta
harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut
30 V dan 5 V. Sebuah kapasitor 500 µF (110 V rms, 50 Hz)
dihubungkan pada sumber tegangan ini. Hitung: (a) arus efektif
komponen fundamental; (b) THD arus kapasitor; (c) THD
tegangan kapasitor; (d) jika kapasitor memiliki losses dielektrik
0,6 W pada tegangan sinus rating-nya, hitunglah losses dielektrik
dalam situasi ini.
Penyelesaian:
(a) Reaktansi untuk komponen fundamental adalah
Ω=×××π
=−
37,610500502
1
61CX
Arus efektif untuk komponen fundamental
-200
-100
0
100
200
0 0.005 0.01 0.015 0.02 t [detik]
[V]
[A] vC
iC
168 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
A 7,1637,6
2/1501 ==rmsCI
(b) Reaktansi untuk harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut
adalah
Ω== 12,23
13
CC
XX ; Ω== 27,1
5
15
CC
XX
Arus efektif harmonisa
A 1012,2
2/303 ==rmsCI
A 8,227,1
2/55 ==rmsCI
62%atau 62,07,16
8,210 22
1
=+
==rmsC
hrmsI
I
ITHD
(c)
% 20atau 20,0106
5,21
2/150
2
5
2
30
22
1
==+
==rms
hrmsV
V
VTHD
(d) Losses dielektrik dianggap sebanding dengan frekuensi dan
kuadrat tegangan. Pada frekuensi 50 Hz dan tegangan 110 V,
losses adalah 0,6 watt.
W6,0V110,Hz 50 =P
W134,0 6,0110
30
50
1502
V30,Hz 150 =×
×=P
W006,0 6,0110
5
50
2502
V5,Hz 250 =×
×=P
169
Losses dielektrik total:
W74,0006,0134,06,0 =++=totalP
8.3. Induktor
Induktor Ideal. Induktor yang untuk keperluan analisis dinyatakan
sebagai memiliki induktansi murni L, tidak kita temukan dalam praktik.
Betapapun kecilnya, induktor selalu mengandung resistansi dan kita
melihat induktor sebagai satu induktansi murni terhubung seri dengan
satu resistansi. Oleh karena itu kita melihat tanggapan induktor sebagai
tanggapan beban induktif dengan resistansi kecil. Hanya apabila
resistansi belitan dapat diabaikan, relasi tegangan-arus induktor untuk
gelombang tegangan dan arus berbentuk sinus murni menjadi
dt
diLv
f=
dengan v adalah tegangan jatuh pada induktor, dan if adalah arus eksitasi.
Apabila rugi rangkaian magnetik diabaikan, maka fluksi φ sebanding
dengan if dan membangkitkan tegangan induksi pada belitan induktor
sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.
dt
dei
φ−=
Tegangan induksi ini berlawanan dengan tegangan jatuh induktor v,
sehingga nilai ei sama dengan v.
dt
diL
dt
dee
fi =
φ==
Persamaan di atas menunjukkan bahwa φ dan if berubah secara
bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus
if yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.
Arus if sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk
sinus. Oleh karena itu baik tegangan, arus, maupun fluksi mempunyai
frekuensi sama, sehingga kita dapat menuliskan persamaan dalam bentuk
fasor
Ljj fi IEV ω=Φω==
dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor. Relasi ideal ini memberikan
170 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
maksmaksrms f fV φ=φπ
= 44,42
2
fmaksfmaksrms fL ifLiV 44,42
2=
π=
Relasi ideal memberikan diagram fasor seperti di
samping ini dimana arus yang membangkitkan
fluksi yaitu Iφ sama dengan If.
CO+TOH-8.5: Melalui sebuah kumparan mengalir arus nonsinus yang
mengandung komponen fundamental 50 Hz, harmonisa ke-3, dan
harmonisa ke-5 dengan amplitudo berturut-turut 50, 10, dan 5 A.
Jika daya input pada induktor diabaikan, dan tegangan pada induktor
adalah 75 V rms, hitung induktansi induktor.
Penyelesaian:
Jika induktansi kumparan adalah L maka tegangan efektif komponen
fundamental, harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut adalah
LLV rmsL ×=×××= 11100505044,41 V
LLV rmsL ×=×××= 66601015044,43 V
LLV rmsL ×=×××= 5550525044,45 V
sedangkan 25
23
21 rmsrmsrmsLrms VVVV ++= . Jadi
LL ×=++×= 3,14084555066601110075222
Induktansi kumparan adalah
H 0053,03,14084
75==L
Fluksi Dalam Inti. Jika tegangan sinus dengan nilai efektif Vrms dan
frekuensi f diterapkan pada induktor, fluksi magnetik yang timbul dalam
inti dihitung dengan formula
f
Vrmsm ××=φ
44,4
V=Ei
If =Iφ
Φ
171
mφ adalah nilai puncak fluksi, dan adalah jumlah lilitan. Melalui
contoh berikut ini kita akan melihat fluksi dalam inti induktor bila
tegangan yang diterapkan berbentuk nonsinus.
CO+TOH-8.6: Sebuah induktor dengan 1200 lilitan mendapat tegangan
nonsinus yang terdiri dari komponen fundamental dengan nilai
efektif V1rms = 150 V dan harmonisa ke-3 dengan nilai efektif V3rms =
50 V yang tertinggal 135o dari komponen fundamental. Gambarkan
kurva tegangan dan fluksi.
Penyelesaian:
Persamaan tegangan adalah
)1353sin(250sin2150 o00 −ω+ω= ttvL
Nilai puncak fluksi fundamental
Wb 563 12005044,4
1501 µ=
××=φ m
Fluksi φ1m tertinggal 90o dari tegangan (lihat Gb.8.4). Persamaan
gelombang fluksi fundamental menjadi
Wb )90sin(563 o01 µ−ω=φ t
Nilai puncak fluksi harmonisa ke-3
Wb 6,62120050344,4
503 µ=
×××=φ m
Fluksi φ3m juga tertinggal 90o dari tegangan harmonisa ke-3;
sedangkan tegangan harmonisa ke-3 tertinggal 135o dari tegangan
fundamental. Jadi persamaan fluksi harmonisa ke-3 adalah
Wb )2253sin(6,62 )901353sin(6,62 o0
oo03 µ−ω=−−ω=φ tt
Persamaan fluksi total menjadi
Wb )2253sin(6,62)90sin(563 0o
0 µ−ω+−ω=φ tt
Kurva tegangan dan fluksi terlihat pada Gb.8.4.
172 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Gb.8.4. Kurva tegangan dan fluksi.
Rugi-Rugi Inti. Dalam induktor nyata, rugi inti menyebabkan fluksi
magnetik yang dibangkitkan oleh if ketinggalan dari if sebesar γ yang
disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.8.5. dimana
arus magnetisasi If mendahului φ sebesar γ. Diagram fasor ini digambar
dengan memperhitungkan rugi hiterisis
Gb.8.5. Diagram fasor induktor (ada rugi inti)
Dengan memperhitungkan rugi-rugi yang terjadi dalam inti
transformator, If dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu Iφ
yang diperlukan untuk membangkitkan φ, dan Ic yang diperlukan untuk
mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi If = Iφ + Ic.
Komponen Ic merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan V akan
memberikan rugi-rugi inti
)90cos( o γ−== fcc VIVIP watt (8.6)
Rugi inti terdiri dari dua komponen, yaitu rugi histerisis dan rugi arus
pusar. Rugi histerisis dinyatakan dengan
vfwP hh = (8.7)
Iφ
Φ
Ic
If
γ
V=Ei
-600
-400
-200
0
200
400
600
0 0.01 0.02 0.03 0.04
t [detik]
[V]
[µWb] φ
vL
173
Ph rugi histerisis [watt], wh luas loop kurva histerisis dalam
[joule/m3.siklus], v volume, f frekuensi. Untuk frekuensi rendah,
Steinmetz memberikan formulasi empiris
( )nmhh BKvfP = (8.8)
di mana Bm adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, n tergantung dari
jenis bahan dengan nilai yang terletak antara 1,5 sampai 2,5 dan Kh yang
juga tergantung jenis bahan (untuk silicon sheet steel misalnya, Kh =
0,001). Nilai-nilai empiris ini belum didapatkan untuk frekuensi
harmonisa.
Demikian pula halnya dengan persamaan empiris untuk rugi arus pusar
dalam inti
v222 τ= mee BfKP (8.9)
di mana Ke konstanta yang tergantung material, f frekuensi perubahan
fluksi [Hz], Bm adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, τ ketebalan
laminasi inti, dan v adalah volume material inti.
Rugi Tembaga. Apabila resistansi belitan tidak diabaikan, V ≠ E1 .
Misalkan resistansi belitan adalah R1 , maka
11 RfIEV += (8.10)
Diagram fasor dari keadaan terakhir, yaitu dengan memperhitungkan
resistansi belitan, diperlihatkan pada Gb.8.6.
Gb.8.6. Diagram fasor induktor (ada rugi tembaga).
Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain
untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya
pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, Pcu. Jadi
θ=+=+= cos12
ffccucin VIRIPPPP (8.11)
dengan V dan If adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.
Iφ
Φ
Ic
If
IfR1
V
θ
Ei
174 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
8.4. Transformator
8.4.1. Ulas Ulang Tentang Transformator
Transformator Berbeban. Rangkaian transformator berbeban dengan
arus beban I2, diperlihatkan oleh Gb.8.7. Tegangan induksi E2 (yang
telah timbul dalam keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi
sumber di rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder I2. Arus I2
ini membangkitkan fluksi magnetik yang melawan fluksi bersama φ
(sesuai dengan hukum Lenz) dan sebagian akan bocor, φl2; φl2 yang
sefasa dengan I2 menginduksikan tegangan El2 di belitan sekunder yang
90o mendahului φl2.
Gb.8.7. Transformator berbeban.
Dengan adanya perlawanan fluksi yang dibangkitkan oleh arus di belitan
sekunder itu, fluksi bersama akan cenderung mengecil. Hal ini akan
menyebabkan tegangan induksi di belitan primer juga cenderung
mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke sumber yang
tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer
yang dalam keadaan transformator tidak berbeban hanya berupa arus
magnetisasi If, bertambah menjadi I1 setelah transformator berbeban.
Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi bersama
φ dipertahankan dan E1 juga tetap seperti semula. Dengan demikian
maka persamaan rangkaian di sisi primer tetap terpenuhi.
Karena pertambahan arus primer sebesar (I1 − If) adalah untuk
mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I2 agar φ
dipertahankan, maka haruslah
( ) ( ) 02211 =−− III f (8.12)
Pertambahan arus primer (I1 − If) disebut arus penyeimbang yang akan
mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus
φ
φl1
I1
V2 φl2
I2
V1
175
penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.
Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder.
Arus di belitan primer juga memberikan fluksi bocor di belitan primer,
φl1, yang menginduksikan tegangan El1. Tegangan induksi yang
dibangkitkan oleh fluksi-fluksi bocor, yaitu El1 dan El2, dinyatakan
dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada
reaktansi bocor ekivalen, X1 dan X2, masing-masing di rangkaian primer
dan sekunder. Jika resistansi belitan primer adalah R1 dan belitan
sekunder adalah R2, maka kita peroleh hubungan untuk rangkaian di sisi
primer
1111111111 XjRR l IIEEIEV ++=++= (8.13)
dan untuk rangkaian di sisi sekunder
2222222222 XjRR l IIVEIVE ++=++= (8.14)
Rangkaian Ekivalen. Secara umum, rangkaian ekivalen adalah
penafsiran secara rangkaian listrik dari suatu persamaan matematik
yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk transformator,
rangkaian ekivalen diperoleh dari tiga persamaan yang diperoleh di atas.
Dengan relasi 112 / EEE ′== a dan 112 III ′== a di mana 21 / a = ,
tiga persamaan tersebut di atas dapat kita tulis kembali sebagai satu set
persamaan sebagai berikut.
Untuk rangkaian di sisi sekunder, (8.14) kita tuliskan
222221
2 XjRa
IIVE
E ++==
Dari persamaan untuk rangkaian sisi primer (8.13), kita peroleh
111111 XjR IIVE −−=
sehingga persamaan untuk rangkaian sekunder dapat kita tuliskan
22222111111
2 XjRa
XjR
aIIV
IIVEE ++=
−−==
Karena a
21
II = maka persamaan ini dapat kita tuliskan
176 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
( ) ( ) 2122122
22
1222
122
2
12
2
1222222
1
IIV
IIV
IIIIV
V
XXjRR
a
XXj
a
RR
a
Xj
a
RXjR
a
′++′++=
++
++=
++++=
(8.15)
dengan 2
112
11 ;
a
XX
a
RR =′=′
Persamaan (8.15) ini, bersama dengan persamaan (8.12) yang dapat kita
tuliskan ff aaa IIIII −′=−= 112 , memberikan rangkaian ekivalen
untuk transformator berbeban. Akan tetapi pada transformator yang
digunakan pada sistem tenaga listrik, arus magnetisasi hanya sekitar 2
sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Oleh karena itu,
jika If diabaikan terhadap I1 maka kesalahan dalam menghitung I2 dapat
dianggap kecil. Pengabaian ini akan membuat 112 III ′== a . Dengan
pendekatan ini, dan persamaan (8.15), kita memperoleh rangkaian
ekivalen yang disederhanakan dari transformator berbeban. Gb.8.8.
memperlihatkan rangkaian ekivalen transformator berbeban dan diagram
fasornya.
Gb.8.8. Rangkaian ekivalen transformator dan diagram fasor.
∼
jXe = j(X2+ X′1) Re = R2+R′1
I2 = I′1
V1/a V2
I2
I2Re
V2
V1/a
jI2Xe
177
8.4.2. Fluksi Dan Rugi-Rugi Karena Fluksi
Seperti halnya pada induktor, transformator memiliki rugi-rugi inti, yang
terdiri dari rugi hiterisis dan rugi arus pusar dalam inti. Fluksi magnetik,
rugi-rugi histerisis, dan rugi-rugi arus pusar pada inti dihitung seperti
halnya pada induktor.
Rugi-Rugi Pada Belitan. Selain rugi-rugi tembaga pada belitan sebesar
Pcu = I2R, pada belitan terjadi rugi-rugi tambahan arus pusar, Pl, yang
ditimbulkan oleh fluksi bocor. Sebagaimana telah dibahas, fluksi bocor
ini menimbulkan tegangan induksi El1 dan El2, karena fluksi ini
melingkupi sebagian belitan; El1 dan El2 dinyatakan dengan suatu
besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor
ekivalen, X1 dan X2. Selain melingkupi sebagian belitan, fluksi bocor ini
juga menembus konduktor belitan dan menimbulkan juga arus pusar
dalam konduktor belitan; arus pusar inilah yang menimbulkan rugi-rugi
tambahan arus pusar, Pl.
Berbeda dengan rugi arus pusar yang terjadi dalam inti, yang dapat
diperkecil dengan cara membangun inti dari lapisan lembar tipis material
magnetik, rugi arus pusar pada konduktor tidak dapat ditekan dengan
cara yang sama. Ukuran konduktor harus tetap disesuaikan dengan
kebutuhan untuk mengalirkan arus; tidak dapat dibuat berpenampang
kecil. Oleh karena itu rugi-rugi arus pusar ini perlu diperhatikan karena
nilainya sebanding dengan kuadrat frekuensi, seperti halnya rugi arus
pusar pada inti yang diberikan pada formula empiris (8.9). Rugi arus
pusar pada belitan (stray losses) Pl ini dapat kita analogikan dengan rugi
arus pusar pada inti dan kita nyatakan dengan formula
22mll BfKP = (8.16)
dengan Kl adalah suatu konstanta yang tergantung dari material
konduktor, penampang dan panjang konduktor; f frekuensi, dan Bm nilai
maksimum kerapatan fluksi yang dapat dianggap sebanding dengan nilai
maksimum arus. Namun dalam menghitung Pl kita tidak menggunakan
formula (8.16) melainkan memperhitungkan rugi arus pusar sebagai
proporsi tertentu dari rugi tembaga yang ditimbulkan oleh arus tersebut,
dengan tetap mengingat bahwa rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat
ferkuensi. Proporsi ini berkisar antara 2% sampai 15% tergantung dari
ukuran transformator. Kita lihat dua contoh berikut.
178 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Contoh-8.7: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi
0,05 Ω mengalir arus sinusoidal murni bernilai efektif 40 A.
Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus pusar yang
diakibatkan oleh arus ini adalah 5% dari rugi tembaga Pcu = I2R.
Penyelesaian:
Rugi tembaga W8005,0402 =×=cuP
Rugi arus pusar W48005.0%5 =×=× cuP
Rugi daya total pada belitan 80 + 4 = 84 W.
Contoh-8.8: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi
0,05 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen
fundamental bernilai efektif 40 A, dan harmonisa ke-7 bernilai
efektif 6 A. Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus
pusar diperhitungkan 10% dari rugi tembaga Pcu = I2R.
Penyelesaian:
Rugi tembaga total adalah
W8,8105,0)640( 222 =×+== RIP rmscu
Rugi arus pusar komponen fundamental
W805,0401,01,0 2211 =××=×= RIP rmsl
Rugi arus pusar harmonisa ke-7
W8,805,0671,071,0 2227
27 =×××=××= RIP rmsl
Rugi daya total adalah
W6,988,888,8171 =++=++= llcutotal PPPP
Contoh-8.8 ini menunjukkan bahwa walaupun arus harmonisa memiliki
nilai puncak lebih kecil dari nilai puncak arus fundamental, rugi arus
pusar yang ditimbulkannya bisa memiliki proporsi cukup besar. Hal ini
bisa terjadi karena rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi.
179
8.4.3. Faktor K
Faktor K digunakan untuk menyatakan adanya rugi arus pusar pada
belitan. Ia menunjukkan berapa rugi-rugi arus pusar yang timbul secara
keseluruhan.
Nilai efektif total arus nonsinus yang dapat menimbulkan rugi arus pusar
adalah
A
1
2∑=
=k
n
nrmsTrms II (8.17)
dengan k adalah tingkat harmonisa tertinggi yang masih diperhitungkan.
Dalam relasi (8.17) kita tidak memasukkan komponen searah karena
komponen searah tidak menimbulkan rugi arus pusar.
Rugi arus pusar total adalah jumlah dari rugi arus pusar yang ditimbulkan
oleh tiap-tiap komponen arus dan tiap-tiap komponen arus menimbulkan
rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi dan kuadrat arus
masing-masing.
Jika arus nonsinus ini mengalir pada belitan yang memiliki resistansi R0,
dan rugi-rugi arus pusar tiap komponen arus dinyatakan dalam proporsi g
terhadap rugi tembaga yang ditimbulkannya, maka rugi arus pusar total
adalah
W
1
220∑
=
=k
n
nrmsK IngRP (8.18)
Rugi tembaga total yang disebabkan oleh arus ini adalah
W 2
0
1
20 Trms
k
n
nrmscu IRIRP == ∑=
(8.19)
Dengan (8.19) maka (8.18) dapat ditulis sebagai
W20 TrmsK IgKRP = (8.20)
dengan
2
1
22
Trms
k
n
nrms
I
In
K
∑== (8.21)
180 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
K disebut faktor rugi arus pusar (stray loss factor).
Faktor K dapat dituliskan sebagai
∑∑==
==k
n
pun
k
n Trms
nrms InI
InK
1
2)(
2
12
22
(8.21.a)
dengan Trms
nrmspun
I
II =)(
Faktor K bukanlah karakteristik transformator melainkan karakteristik
sinyal. Walaupun demikian suatu transformator harus dirancang untuk
mampu menahan pembebanan nonsinus sampai batas tertentu.
CO+TOH-8.9: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi
0,08 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen
fundamental, harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-11 bernilai efektif
berturut-turut 40 A, 15 A, dan 5 A. Hitung: (a) nilai efektif arus
total; (b) faktor K; (c) rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus
pusar diperhitungkan 5% dari rugi tembaga.
Penyelesaian:
(a) Nilai efektif arus total adalah
A 4351540 222 =++=TrmsI
(b) Faktor K adalah
59,343
51115340
2
22222
=×+×+
=K
(c) Rugi daya total Ptot, terdiri dari rugi tembaga Pcu dan rugi arus
pusar Pl.
W14808,0432 =×=cuP
W6,2659,314805,0 =××== KgPP cul
W6,1746,26148 =+=totP
181
8.5. Tegangan Maksimum Pada Piranti
Kehadiran komponen harmonisa dapat menyebabkan piranti
mendapatkan tegangan lebih besar dari yang seharusnya. Hal ini bisa
terjadi pada piranti-piranti yang mengandung R, L, C, yang mengandung
harmonisa sekitar frekuensi resonansinya. Berikut ini kita lihat sebuah
contoh.
CO+TOH-8.8: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, 12 kV mempunyai
resistansi internal 1 Ω dan reaktansi internal 6,5 Ω. Sumber ini
mencatu beban melalui kabel yang mempunyai kapasitansi total 2.9
µF. Tegangan terbangkit di sumber adalah
tte 00 13sin170sin17000 ω+ω= . Dalam keadaan tak ada beban
terhubung di ujung kabel, hitunglah tegangan maksimum pada kabel.
Penyelesaian:
Tegangan mengandung harmonisa ke-13. Pada frekuensi
fundamental terdapat impedansi internal
Ω+= 5,61int1 jZ ernal ; Ω=+= 58,65,6122
int1Z
Pada harmonisa ke-13 terdapat impedansi
Ω×+= 5,6131int13 jZ ; Ω=×+= 5,84)5,613(1 22int13Z
Impedansi kapasitif kabel
Ω−=××ω
−=
− 6,1097
109,2 60
1 jj
ZC ;
Ω−=××ω×
−=
− 4,84
109,213 60
13 jj
ZC
Impedansi total rangkaian seri R-L-C
Ω−+= 6,10975,611 jjZ tot ; Ω= 1,10911totZ
Ω−×+= 4,845,613113 jjZ tot ; Ω= 0,113totZ
182 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tegangan fundamental kabel untuk frekuensi fundamental
V 17101170001,1091
6,10971
1
11 =×=×= m
tot
Cm e
Z
ZV
V 143151700,1
4,8413
13
1313 =×=×= m
tot
Cm e
Z
ZV
Nilai puncak V1m dan V13m terjadi pada waktu yang sama yaitu pada
seperempat perioda, karena pada harmonisa ke-13 ada 13 gelombang
penuh dalam satu perioda fundamental atau 6,5 perioda dalam
setengah perioda fundamental. Jadi tegangan maksimum yang
diterima kabel adalah jumlah tegangan maksimum fundamental dan
tegangan maksimum harmonisa ke-13.
kV 31,4 V 314161431517101131 ≈=+=+= mmm VVV
Tegangan ini cukup tinggi dibanding dengan tegangan maksimum
fundamental yang hanya 17 kV. Gambar berikut ini memperlihatkan
bentuk gelombang tegangan.
Gb.8.9. Bentuk gelombang tegangan.
8.6. Partial Discharge
Contoh-8.8. memberikan ilustrasi bahwa adanya hamonisa dapat
menyebabkan tegangan maksimum pada suatu piranti jauh melebihi
tegangan fundamentalnya. Tegangan lebih yang diakibatkan oleh adanya
harmonisa seperti ini bisa menyebabkan terjadinya partial discharge
pada piranti, walaupun sistem bekerja normal dalam arti tidak ada
gangguan. Jika hal ini terjadi umur piranti akan sangat diperpendek yang
akan menimbulkan kerugtian besar secara finansial.
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
0 0.005 0.01 0.015 0.02
[kV]
v1
v1+v13
[detik]
183
8.7. Alat Ukur Elektromekanik
Daya sumber diperoleh dengan mengalikan tegangan sumber dan arus
sumber. Proses ini dalam praktik diimplementasikan misalnya pada alat
ukur tipe elektrodinamis dan tipe induksi. Pada wattmeter
elektrodinamis, bagian pengukurnya terdiri dari dua kumparan, satu
kumparan diam dan satu kumparan berputar. Satu kumparan
dihubungkan ke tegangan dan satu kumparan dialiri arus beban. Jika
masing-masing arus di kedua kumparan adalah tIki vv ω= sin1 dan
)sin(2 ϕ+ω= tIki ii , maka kedua arus menimbulkan medan magnit
yang sebanding dengan arus di kedua kumparan. Momen sesaat yang
terjadi sebagai akibat interaksi medan magnetik kedua kumparan
sebanding dengan perkalian kedua arus
)sin(sin3 ϕ+ω×ω= tItIkm ive
Momen sesaat ini, melalui suatu mekanisme tertentu, menyebabkan
defleksi jarum penunjuk (yang didukung oleh kumparan yang berputar) ζ
yang menunjukkan besar daya pada sistem arus bolak balik.
ϕ=ζ cosirmsvrms IkI
Pada alat ukur tipe induksi, seperti kWh-meter elektromekanik yang
masih banyak digunakan, kumparan tegangan dihubungkan pada
tegangan sumber sementara kumparan arus dialiri arus beban. Bagan alat
ukur ini terlihat pada Gb.8.10.
Gb.8.10. Bagan KWh-meter tipe induksi.
Masing-masing kumparan menimbulkan fluksi magnetik bolak-balik
yang menginduksikan arus bolak-balik di piringan aluminium. Arus
induksi dari kumparan arus ber-interaksi dengan fluksi dari kumparan
tegangan dan arus induksi dari kumparan tegangan berinteraksi dengan
fluksi magnetik kumpran arus. Interaksi arus induksi dan fluksi magnetik
tersebut menimbulkan momen putar pada piringan sebesar
βΦΦ= sinive kfM
piringan Al
S1 S1 S2
S2
184 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
di mana f adalah frekuensi, Φv dan Φi fluksi magnetik efektif yang
ditimbulkan oleh kumparan tegangan dan kumparan arus, β adalah selisih
sudut fasa antara kedua fluksi magnetik bolak-balik tersebut, dan k
adalah suatu konstanta. Momen putar ini dilawan oleh momen lawan
yang diberikan oleh suatu magnet permanen sehingga piringan berputar
dengan kecepatan tertentu pada keadaan keseimbangan antara kedua
momen. Perputaran piringan menggerakkan suatu mekanisme
penghitung.
Hadirnya arus harmonisa di kumparan arus, akan muncul juga pada Φi.
Jika Φv berbentuk sinus murni sesuai dengan bentuk tegangan maka Me
akan berupa hasil kali tegangan dan arus komponen fundamental.
Frekuensi harmonisa sulit untuk direspons oleh kWh meter tipe induksi.
Pertama karena kelembaman sistem yang berputar, dan kedua karena
kWh-meter ditera pada frekuensi f dari komponen fundamental, misalnya
50 Hz. Dengan demikian penunjukkan alat ukur tidak mencakup
kehadiran arus harmonisa, walaupun kehadiran harmonisa bisa
menambah rugi-rugi pada inti kumparan arus.
185
BAB 9 Harmonisa Dalam Sistem Tiga Fasa
Analisis harmonisa dalam sistem tiga fasa berikut ini dilakukan dengan
anggapan beban seimbang.
9.1. Komponen Harmonisa Dalam Sistem Tiga Fasa
Frekuensi Fundamental. Pada pembebanan seimbang, komponen
fundamental berbeda
fasa 120o antara
masing-masing fasa.
Perbedaan fasa 120o
antar fasa ini timbul
karena perbedaan posisi
kumparan jangkar
terhadap siklus medan
magnet, yaitu sebesar
120o sudut magnetik.
Hal ini dijelaskan pada
Gb.9.1.
Gambar ini
memperlihatkan skema generator empat kutub; 180o sudut mekanis
ekivalen dengan 360o sudut magnetik. Dalam siklus magnetik yang
pertama sebesar 360o magnetik, yaitu dari kutub magnetik U ke U
berikutnya, terdapat tiga kumparan yaitu kumparan fasa-a (a1-a11),
kumparan fasa-b (b1-b11), kumparan fasa-c (c1-c11).
Antara posisi
kumparan fasa-a dan fasa-b terdapat pergeseran sudut magnetik 120o;
antara posisi kumparan fasa-b dan fasa-c terdapat pergeseran sudut
magnetik 120o; demikian pula halnya dengan kumparan fasa-c dan fasa-
a. Perbedaan posisi inilah yang menimbulkan perbedaan sudut fasa
antara tegangan di fasa-a, fasa-b, fasa-c.
Harmonisa Ke-3. Pada harmonisa ke-3 satu siklus komponen
fundamental, atau 360o, berisi 3 siklus harmonisa ke-3. Hal ini berarti
bahwa satu siklus harmonisa ke-3 memiliki lebar 120o dalam skala
komponen fundamental; nilai ini tepat sama dengan beda fasa antara
komponen fundamental fasa-a dan fasa-b. Oleh karena itu tidak ada
180o mekanis = 360o magnetik
S
U
S
U a2 a1
b1
a11 c1
b2 c2
b11
c22 b22
c11
Gb.9.1. Skema generator empat kutub
186 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
perbedaan fasa antara harmonisa ke-3 di fasa-a dan fasa-b. Hal yang
sama terjadi antara fasa-b dan fasa-c seperti terlihat pada Gb.9.2
Gb.9.2. Tegangan fundamental dan harmonisa ke-3
pada fasa-a, fasa-b, dan fasa-c.
Pada Gb.9.2 tegangan v1a, v1b, v1c, adalah tegangan fundamental dari
fasa-a, -b, dan -c, yang saling berbeda fasa 120o. Tegangan v3a, v3b, v3c,
adalah tegangan harmonisa ke-3 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing
digambarkan terpotong untuk memperlihatkan bahwa mereka sefasa.
Diagram fasor harmonisa
ke-3 digambarkan pada
Gb.9.3. Jika V3a, V3b, V3c
merupakan fasor tegangan
fasa-netral maka tegangan
fasa-fasa (line to line)
harmonisa ke-3 adalah nol.
Hal serupa terjadi pada harmonisa kelipatan tiga yang lain seperti
harmonisa ke-9. Satu siklus fundamental berisi 9 siklus harmonisa yang
berarti lebar satu siklus adalah 40o dalam skala fundamental. Jadi lebar 3
siklus harmonisa ke-9 tepat sama dengan beda fasa antar fundamental,
sehingga tidak ada perbedaan sudut fasa antara harmonisa ke-9 di fasa-a,
fasa-b, dan fasa-c.
Harmonisa ke-5. Gb.9.4. memperlihatkan kurva tegangan fundamental
dan harmonisa ke-5. Tegangan v1a, v1b, v1c, adalah tegangan fundamental
dari fasa-a, -b, dan -c. Tegangan v5a, v5b, v5c, adalah tegangan harmonisa
-300
-200
-100
0
100
200
300
0 90 180 270 360 [o]
V
v3a
v1b v1c
v3b v3c
v1a
)sin()7203sin(
)3sin()3603sin(
)3sin(
o3
o3
3
ttv
ttv
tv
c
b
a
ω=−ω=
ω=−ω=
ω=
)240sin(
)120sin(
)sin(
o1
o1
1
−ω=
−ω=
ω=
tv
tv
tv
c
b
a
Gb.9.3. Diagram fasor harmonisa ke-3.
V3a
V3b
V3c
187
ke-5 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing digambarkan terpotong untuk
menunjukkan bahwa mereka berbeda fasa.
Gb.9.4. Fundamental dan harmonisa ke-5
Satu siklus fundamental berisi 5 siklus harmonisa atau satu siklus
harmonisa mempunyai lebar 72o dalam skala fundamental. Perbedaan
fasa antara v5a dan v5b adalah (2
× 72o − 120
o) = 24
o dalam skala
fundamental atau 120o dalam
skala harmonisa ke-5; beda fasa
antara v5b dan v5c juga 120o.
Diagram fasor dari harmonisa
ke-5 terlihat pada Gb.9.5. Jika
V5a, V5b, V5c merupakan fasor
tegangan fasa-netral maka tegangan fasa-fasa (line to line) harmonisa ke-
5 adalah 3 kali lebih besar dari tegangan fasa-netral-nya.
Harmonisa Ke-7. Satu siklus harmonisa ke-7 memiliki lebar 51,43o
dalam skala fundamental. Perbedaan fasa antara v7a dan v7b adalah (3 ×
51,43o − 120
o) = 34,3
o dalam
skala fundamental atau 240o
dalam skala harmonisa ke-7;
beda fasa antara v7b dan v7c
juga 240o. Diagram fasor dari
harmonisa ke-7 terlihat pada
Gb.9.6. Jika V7a, V7b, V7c
merupakan fasor tegangan
fasa-netral maka tegangan
)240sin(
)120sin(
)sin(
o1
o1
1
−ω=
−ω=
ω=
tv
tv
tv
c
b
a
)120sin()12005sin(
)2403sin()6005sin(
)5sin(
oo5
oo5
5
−ω=−ω=
−ω=−ω=
ω=
ttv
ttv
tv
c
b
a
-300
-200
-100
0
100
200
300
0 90 180 270 360
v1a
V v1b v1c
v5a v5c v5b
[o]
Gb.9.5. Diagram fasor harmonisa ke-5.
V5a
V5c
V5b
Gb.9.6. Diagram fasor harmonisa ke-7.
V7a
V7b
V7c
188 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
fasa-fasa (line to line) harmonisa ke-7 adalah 3 kali lebih besar dari
tegangan fasa-netral-nya.
9.2. Relasi Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-+etral
Pada tegangan sinus murni, relasi antara tegangan fasa-fasa dan fasa-
netral dalam pembebanan seimbang adalah
fnfnff VVV 732,13 ==
di mana Vff tegangan fasa-fasa dan Vf-n tegangan fasa-netral. Apakah
relasi masih berlaku jika tegangan berbentuk gelombang nonsinus. Kita
akan melihat melalui contoh berikut.
CO+TOH-9.1: Tegangan fasa-netral suatu generator 3 fasa terhubung
bintang mengandung komponen fundamental dengan nilai puncak
200 V, serta harmonisa ke-3, 5, 7, dan 9 dengan nilai puncak
berturut-turut 40, 25, 20, 10 V. Hitung rasio tegangan fasa-fasa
terhadap tegangan fasa-netral.
Penyelesaian:
Dalam soal ini harmonisa tertinggi yang diperhitungkan adalah
harmonisa ke-9, walaupun nilai puncak harmonisa tertinggi ini
masih 5% dari nilai puncak komponen fundamental.
Nilai efektif tegangan fasa-netral fundamental sampai harmonisa
ke-9 berturut-turut adalah nilai puncak dibagi 2 :
V 42,1411 =−nfV ; V 28,283 =−nfV ; V 68,175 =−nfV
V 14,147 =−nfV ; V 07,79 =−nfV
Nilai efektif tegangan fasa-netral total
V 16,146 7,0714,1417,6828,2842,14122222 =++++=−nfV
Nilai efektif tegangan fasa-fasa setiap komponen adalah
V 95,2441 =− ffV ; V 03 =− ffV ; V 26,27 5 =− ffV
V 11,227 =− ffV ; V 09 =− ffV
Nilai efektif tegangan fasa-fasa total
189
V 35,247 011,2227,62095,244222 =++++=− ffV
Rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral
70,116,146
35,247==
−
−
nf
ff
V
V
Perbedaan nilai perhitungan tegangan efektif fasa-netral dan tegangan
efektif fasa-fasa terlatak pada adanya harmonisa kelipatan tiga; tegangan
fasa-fasa harmonisa ini bernilai nol.
9.3. Hubungan Sumber Dan Beban
9.3.1. Generator Terhubung Bintang
Jika belitan jangkar generator terhubung bintang, harmonisa kelipatan
tiga yang terkandung pada tegangan fasa-netral tidak muncul pada
tegangan fasa-fasa-nya. Kita akan melihatnya pada contoh berikut.
CO+TOH-9.2: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung bintang
membangkitkan tegangan fasa-netral yang berbentuk gelombang
nonsinus yang dinyatakan dengan persamaan
V 5sin1003sin200sin800 000 tttv ω+ω+ω=
Generator ini mencatu tiga induktor terhubung segi-tiga yang
masing-masing mempunyai resistansi 20 Ω dan induktansi 0,1 H.
Hitung daya nyata yang diserap beban dan faktor daya beban.
Penyelesaian:
Nilai efektif komponen tegangan fasa-netral adalah
V 2/8001 =rmsfnV ; V 2/2003 =rmsfnV ;
V 2/1005 =rmsfnV .
Tegangan fasa-fasa sinyal nonsinus tidak sama dengan 3 kali
tegangan fasa-netralnya. Akan tetapi masing-masing komponen
merupakan sinyal sinus; oleh karena itu tegangan fasa-fasa masing-
masing komponen adalah 3 kali tegangan fasa-netral-nya.
190 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
( ) V 3/280032/8001 ==rmsffV ; V 03 =rmsffV ;
V 2/31005 =rmsffV
V 4,987)2/3(100)2/3(80022 =+=ffrmsV
Reaktansi beban per fasa untuk tiap komponen
Ω=××π= 42,311,05021X ; Ω== 25,943 13 XX ;
Ω== 08,1575 15 XX
Impedansi beban per fasa untuk tiap komponen
Ω=+= 24,3742,3120 221fZ
Ω=+= 35,9625,9420 223fZ
Ω=+= 35,15808,15720 225fZ
Arus fasa:
A 3,2624,37
2/3800
1
11 ===
f
rmsffrmsf
Z
VI
A 0
1
33 ==
f
rmsffrmsf
Z
VI
A 77,035,158
2/3100
5
55 ===
f
rmsffrmsf
Z
VI
A 32,2677,03,2622 =+=frmsI
Daya nyata diserap beban
kW 41,6 W41566203 2 ≈=××=frmsb IP
Daya kompleks beban
kW 78 W 7796732,264,9873 3 ≈=××=××= fffb IVS
Faktor daya beban
191
53,078
6,41.. ===
b
b
S
9.3.2. Generator Terhubung Segitiga
Jika belitan jangkar generator terhubung segitiga, maka tegangan
harmonisa kelipatan tiga akan menyebabkan terjadinya arus sirkulasi
pada belitan jangkar generator tersebut.
CO+TOH-9.3: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung segitiga.
Resistansi dan induktansi per fasa adalah 0,06 Ω dan 0,9 mH. Dalam
keadaan tak berbeban tegangan fasa-fasa mengandung harmonisa ke-
3, -7, -9, dan -15 dengan amplitudo berturut-turut 4%, 3%, 2% dan
1% dari amplitudo tegangan fundamental. Hitunglah arus sirkulasi
dalam keadaan tak berbeban, jika eksitasi diberikan sedemikian rupa
sehingga amplitudo tegangan fundamental 1500 V.
Penyelesaian:
Arus sirkulasi di belitan jangkar yang terhubung segitiga timbul oleh
adanya tegangan harmonisa kelipatan tiga, yang dalam hal ini adalah
harmonisa ke-3, -9, dan -15. Tegangan puncak dan tegangan efektif
masing-masing komponen harmonisa ini di setiap fasa adalah
V 601500%43 =×=mV ; V 2/603 =rmsV
V 301500%29 =×=mV ; V 2/309 =rmsV
V 151500%115 =×=mV ; V 2/1515 =rmsV
Reaktansi untuk masing-masing komponen adalah
Ω=×××π= − 283,0109,0502 31X
Ω=×= 85,03 13 XX
Ω=×= 55,29 19 XX
Ω=×= 24,415 115 XX
Impedansi di setiap fasa untuk komponen harmonisa
Ω=+= 85,085,006,0 223Z
Ω=+= 55,254,206,0 229Z
192 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Ω=+= 24,424,406,0 2215Z
Arus sirkulasi adalah
A 89,4985,0
2/603 ==rmsI
A 33,855,2
2/309 ==rmsI
A 5,224,4
2/1515 ==rmsI
A 6,505,233,889,48222
)( =++=rmssirkulasiI
9.3.3. Sistem Empat Kawat
Dalam sistem empat kawat, di mana titik netral sumber terhubung ke titik
netral beban, harmonisa kelipatan tiga akan mengalir melalui penghantar
netral. Arus di penghantar netral ini merupakan jumlah dari ketiga arus di
setiap fasa; jadi besarnya tiga kali lipat dari arus di setiap fasa.
CO+TOH-9.4: Tiga kumparan dihubungkan bintang; masing-masing
kumparan mempunyai resistansi 25 Ω dan induktansi 0,05 H.
Beban ini dihubungkan ke generator 3 fasa, 50Hz, dengan
kumparan jangkar terhubung bintang. Tegangan fasa-netral
mempunyai komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan ke-5
dengan nilai puncak berturut-turut 360 V, 60 V, dan 50 V.
Penghantar netral menghubungkan titik netral generator dan beban.
Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b) tegangan fasa-fasa;
(c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap beban.
Penyelesaian:
(a) Tegangan fasa-netral efektif setiap komponen
V 4,35
V; 4,42
V; 6,254
5
3
1
=
=
=
rmsfn
rmsfn
rmsfn
V
V
V
Reaktansi per fasa
193
Ω=××π= 70,1505,05021X
Ω=×= 12,473 13 XX
Ω=×= 54,785 15 XX
Impedansi per fasa
Ω=+= 53,2970,1525 221Z
Ω=+= 35,5312,4725 223Z
Ω=+= 42,8254,7825 225Z
Arus saluran
A 62,853,29
6,2541 ==rmsI
A 795,035,53
4,423 ==rmsI
A 43,042,82
4,355 ==rmsI
A 67,843,0795,062.8 222 =++=rmssaluranI
(b) Tegangan fasa-fasa setiap komponen
V 24,61 V; 0 V; 9,440 531 === −−− ffffff VVV
Tegangan fasa-fasa
V 4452,6109,440 22 =++=− ffV
Arus di penghantar netral ditimbulkan oleh harmonisa ke-3,
yang merupakan arus urutan nol.
A 39,2795,033 3 =×=×= rmsnetral II
(c) Daya yang diserap beban adalah daya yang diserap elemen
resistif 25 Ω, yaitu RIP nf ××= −23 . Arus beban terhubung
bintang sama dengan arus saluran. Jadi daya yang diserap
beban adalah
194 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
kW 5,64 W 5636 2567,833 22 ==××=××= RIPb
9.3.4. Sistem Tiga Kawat
Pada sistem ini tidak ada hubungan antara titik netral sumber dan titik
netral beban. Arus harmonisa kelipatan tiga tidak mengalir. Kita akan
melihat kondisi ini dengan menggunakan contoh berikut.
CO+TOH-9.5: Persoalan seperti pada contoh-9-4 akan tetapi
penghantar netral yang menghubungkan titik netral generator dan
beban diputus. Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b)
tegangan fasa-fasa; (c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap
beban.
Penyelesaian:
(a) Karena penghantar netral diputus, arus harmonisa ke-3 tidak
mengalir. Arus fundamental dan harmonisa ke-5 telah dihitung
pada contoh-9.4. yaitu
A 62,853,29
6,2541 ==rmsI
A 43,042,82
4,355 ==rmsI
Arus saluran menjadi A 63,843,062,8 22 =+=rmssaluranI
(b) Walaupun arus harmonisa ke-3 tidak mengalir, tegangan fasa-
netral harmonisa ke-3 tetap hadir namun tegangan ini tidak
muncul pada tegangan fasa-fasa. Keadaan ini seperti keadaan
sebelum penghantar netral diputus
V 4452,6109,440 22 =++=− ffV
(c) Arus di penghantar netral = 0 A
(d) Daya yang diserap beban
kW 5,59 W 5589 2563,833 22 ==××=××= RIPb
195
9.4. Sumber Bekerja Paralel
Untuk mencatu beban yang besar sumber-sumber pada sistem tenaga
harus bekerja paralel. Jika sumber terhubung bintang dan titik netral
masing-masing sumber ditanahkan, maka akan mengalir arus sirkulasi
melalui pentanahan apabila terdapat tegangan harmonisa kelipatan tiga.
CO+TOH-9.6: Dua generator tiga fasa, 20 000 kVA, 10 000 V,
terhubung bintang, masing-masing mempunyai reaktansi jangkar
20% tiap fasa. Tegangan terbangkit mengandung harmonisa ke-3
dengan amplitudo 10% dari amplitudo fundamental. Kedua
generator bekerja paralel, dan titik netral masing-masing
ditanahkan melalui reaktansi 10%. Hitunglah arus sirkulasi di
pentanahan karena adanya harmonisa ke-3.
Penyelesaian:
Tegangan kedua generator adalah
V 10000=ffrmsV
V 5774 3
10000==fnrmsV
Reaktansi jangkar 20% : Ω=×
××= 1
1000000 20
57743%20
2
aX
Reaktansi pentanahan 10% : Ω=×
××= 5,0
1000000 20
57743%10
2
gX
Reaktansi pentanahan untuk urutan nol : Ω=×= 5,15,030X
Tegangan harmonisa ke-3 adalah 10% dari tegangan fundamental :
V 4,5773 =rmsfnV
Kedua generator memiliki Xa dan Xg yang sama besar dengan
tegangan harmonisa ke-3 yang sama besar pula. Arus sirkulasi
akibat tegangan harmonisa ke-3 adalah
( )A 231
5,2
4,577
0
3==
+=
XX
VI
a
rmsfnsirkulasi
196 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
9.5. Penyaluran Energi ke Beban
Dalam jaringan distribusi, untuk menyalurkan energi ke beban digunakan
penyulang tegangan menengah yang terhubung ke transformator dan dari
transformator ke beban. Suatu kapasitor dihubungkan paralel dengan
beban guna memperbaiki faktor daya. Dalam analisis harmonisa kita
menggunakan model satu fasa dari jaringan tiga fasa.
9.5.1. Penyulang
Dalam model satu fasa, penyulang diperhitungkan sebagai memiliki
resistansi, induktansi, kapasitansi. Dalam hal tertentu elemen ini bisa
diabaikan.
9.5.2. Transformator
Perilaku transformator dinyatakan dengan persamaan
111111 XjR IIEV ++=
222222 XjR IIVE ++=
a
f
22
1
2221 dengan
IIIIII ==′′+=
11111 , , , , XREIV berturut turut adalah tegangan terminal, arus, tegangan
induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian primer.
22222 , , , , XREIV berturut turut adalah tegangan terminal, arus,
tegangan induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian
sekunder; V2 sama dengan tegangan pada beban. E1 sefasa dengan E2
karena dibangkitkan (diinduksikan) oleh fluksi yang sama, sehingga nilai
masing-masing sebanding dengan jumlah lilitan, 1 dan 2. Jika
21 / a = maka dilihat dari sisi sekunder nilai E1 menjadi aEE /' 11 = ,
I1 menjadi 11 ' aII = , R1 menjadi R1/a2, X1 menjadi X1/a
2. Rangkaian
ekivalen transformator berbeban menjadi seperti pada Gb.9.7.a. Dengan
mengabaikan arus eksitasi If dan menggabungkan resistansi dan reaktansi
menjadi 21 RRRT +′= dan 21 XXXT +′= maka rangkaian ekivalen
menjadi seperti pada Gb.9.7.b.
197
(a)
(b)
Gb.9.7. Rangkaian ekivalen transformator berbeban.
9.6. Rangkaian Ekivalen Untuk Analisis
Karena resistansi dan reaktansi transformator diposisikan di sisi
sekunder, maka untuk menambahkan penyulang dan sumber harus pula
diposisikan di sisi sekunder. Tegangan sumber Vs menjadi Vs/a, resistansi
penyulang menjadi Rp/a2, reaktansi penyulang menjadi Xp/a
2 . Jika
resistansi penyulang Rp/a2 maupun resistansi transformator RT diabaikan,
maka rangkaian sumber–penyulang–transformator–beban menjadi seperti
pada Gb.9.8. Bentuk rangkaian yang terakhir ini cukup sederhana untuk
melakukan analisis lebih lanjut. Vs/a adalah tegangan sumber.
Gb.9.8. Rangkaian ekivalen penyaluran energi dari sumber ke
beban dengan mengabaikan semua resistansi dalam rangkaian
serta arus eksitasi transformator.
Apabila kita menggunakan rangkaian ekivalen dengan hanya
memandang arus nonlinier, maka sumber tegangan menjadi bertegangan
nol atau merupakan hubung singkat seperti terlihat pada Gb.9.9.
R′1
∼
If
B
X′1 R2 X2
V1 E1
V2
Xc Rc
Ic Iφ
B
RT XT
∼ V1
V2
B
XT
Vs/a V2
Xp/a2
XC
198 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Gb.9.9. Rangkaian ekivalen pada pembebanan nonlinier.
Jika kita hanya meninjau komponen harmonisa, dan tetap memandang
bahwa arus harmonisa mengalir ke beban, arah arus harmonisa
digambarkan menuju sisi beban. Namun komponen harmonisa tidak
memberikan transfer energi neto dari sumber ke beban; justru sebaliknya
komponen harmonisa memberikan dampak yang tidak menguntungkan
pada sistem pencatu daya. Oleh karena itu sistem pencatu daya “bisa
melihat” bahwa di arah beban ada sumber arus harmonisa yang mencatu
sistem pencatu daya dan sistem pencatu daya harus memberi tanggapan
terhadap fungsi pemaksa (driving function) ini. Dalam hal terakhir ini
sumber arus harmonisa digambarkan sebagai sumber arus yang mencatu
sistem seperti terlihat pada Gb.9.10.
Gb.9.10. Rangkaian ekivalen untuk analisis arus harmonisa.
XT sumber arus
harmonisa
Xp/a2
XC
B
XT ibeban Xp/a
2
XC
199
Referensi
1. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit ITB
2002, ISBN 979-9299-54-3.
2. Sudaryatno Sudirham, “Pengembangan Metoda Unit Output Untuk
Perhitungan Susut Energi Pada Penyulang Tegangan Menengah”,
Monograf, 2005, limited publication.
3. Sudaryatno Sudirham, “Pengantar Rangkaian Listrik”, Catatan
Kuliah El 1001, Penerbit ITB, 2007.
4. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Harmonisa Dalam Permasalahan
Kualitas Daya”, Catatan Kuliah El 6004, 2008.
5. P. C. Sen, “Power Electronics” McGraw-Hill, 3rd Reprint, 1990,
ISBN 0-07-451899-2.
6. Ralph J. Smith & Richard C. Dorf : “Circuits, Devices and Systems”
; John Wiley & Son Inc, 5th
ed, 1992.
7. David E. Johnson, Johnny R. Johnson, John L. Hilburn : “Electric
Circuit Analysis” ; Prentice-Hall Inc, 2nd
ed, 1992.
8. Vincent Del Toro : “Electric Power Systems”, Prentice-Hall
International, Inc., 1992.
9. Roland E. Thomas, Albert J. Rosa : “The Analysis And Design of
Linier Circuits”, . Prentice-Hall Inc, 1994.
10. Douglas K Lindner : “Introduction to Signals and Systems”,
McGraw-Hill, 1999.
11. Alexander Kusko & Marc T. Thompson, “Power Quality in
Electrical Systems”, Mc. Graw Hill, 2007.
200 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Daftar +otasi
v atau v(t) : tegangan sebagai fungsi waktu.
V : tegangan dengan nilai tertentu, tegangan searah.
Vrr : tegangan, nilai rata-rata.
Vrms : tegangan, nilai efektif.
Vmaks : tegangan, nilai maksimum, nilai puncak.
V : fasor tegangan dalam analisis di kawasan fasor.
|V| : nilai mutlak fasor tegangan.
V(s) : tegangan fungsi s dalam analisis di kawasan s.
i atau i(t) : arus sebagai fungsi waktu.
I : arus dengan nilai tertentu, arus searah.
Irr : arus, nilai rata-rata.
Irms : arus, nilai efektif.
Imaks : arus, nilai maksimum, nilai puncak.
I : fasor arus dalam analisis di kawasan fasor.
|I| : nilai mutlak fasor arus.
I(s) : arus fungsi s dalam analisis di kawasan s.
p atau p(t) : daya sebagai fungsi waktu.
prr : daya, nilai rata-rata.
S : daya kompleks.
|S| : daya kompleks, nilai mutlak.
P : daya nyata.
Q : daya reaktif.
q atau q(t) : muatan, fungsi waktu.
w : energi.
R : resistor; resistansi.
L : induktor; induktansi.
C : kapasitor; kapasitansi.
Z : impedansi.
Y : admitansi.
201
I+DEKS a
alih daya 78, 150
Ampère 2, 4
arus pusar 14
c
crest factor 124
d
daya kompleks 136
daya nyata 137
daya reaktif 150
daya, faktor 137
daya, non sinus 103
daya, sudut 67
diagram fasor 33, 61
dielektrik 165
e
efisiensi 42
ekivalen 37, 65, 74, 78, 79, 197
f
faktor K 178
Faraday 1
fluksi bocor 31
Fourier 91
frekuensi sinkron 75
g
gaya 14
generator terhubung ∆ 191
generator terhubung Y 189
h
harmonisa-3, -5, -7 185
histerisis 12
hubungan ∆-∆ 44
hubungan ∆-Y 45
hubungan Y-∆ 46
hubungan Y-Y 45
i
impedansi 38, 134, 137
induktor 19, 168
k
kapasitor 164
kompensasi 150
konduktor 161
l
loss factor 165, 166
m
magnetik 1, 5, 14
medan putar 70
mesin sinkron 50, 52, 59
motor asinkron 69
n
nilai efektif 97, 135
nilai rata-rata 96
non linier 111
nonsinus 88, 91, 129, 166
p
parameter 39, 79
partial discharge 182
permeabilitas 3
r
reaktansi 33, 61, 64
regulasi tegangan 42
resonansi 106
s
setengah gelombang 113
sistem 3-kawat 194
sistem 4-kawat 192
t
tegangan maksimum 180
Tellegen 138
THD 124
torka 84, 85
transformator 29, 32, 39, 43,
173, 196
u
uji beban nol 39, 60, 80
uji hubung singkat 40, 60
uji rotor diam 80
202 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Biodata
Nama: Sudaryatno Sudirham
Lahir di Blora pada 26 Juli 1943
Istri: Ning Utari
Anak: Arga Aridarma
Aria Ajidarma.
1971 : Teknik Elektro – Institut Teknologi Bandung.
1972 – 2008 : Dosen Institut Teknologi Bandung.
1974 : Tertiary Education Research Center – UNSW − Australia
1979 : EDF – Paris Nord dan Fontainbleu − Perancis
1981 : INPT - Toulouse − Perancis; DEA 1982; Doktor 1985.
Kuliah yang pernah diberikan: “Pengukuran Listrik”, “Pengantar Teknik
Elektro”, “Pengantar Rangkaian Listrik”, “Material Elektroteknik”,
“Phenomena Gas Terionisasi”, “Dinamika Plasma”, “Dielektrika”,
“Material Biomedika”.
Buku dan Artikel: “Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit ITB, ISBN
979-9299-54-3, 2002, 2005; “Metoda Rasio TM/TR Untuk Estimasi Susut
Energi Jaringan Distribusi”, Penerbit ITB, ISBN 978-979-1344-38-8,
2009; “Fungsi dan Grafik, Diferensial Dan Integral”, Penerbit ITB,
ISBN 978-979-1344-37-1, 2009; “Analisis Rangkaian Listrik (1)”, 2010;
“Analisis Rangkaian Listrik (2)”, 2010; “Analisis Rangkaian Listrik (3)”,
2010; ”Mengenal Sifat Material (1)”, 2010; ”Estimasi Susut Teknik dan
onteknik Jaringan Distribusi”, 2011.
Bidang minat: Power Engineering; Material Science.