ANALISIS TEMA PEREBUTAN KEKUASAAN DALAM
NOVEL GAJAH MADA: TAHTA DAN ANGKARA KARYA
LANGIT KRESNA HARIADI DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA DI SMA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
Adinda Putri Nursyahrifah
109013000091
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
LEMBAR PENGESAHAN
REFLEKSI TEMA PEREBUTAII KEKUASAAII DALAM NOYEL GATAII
MADA: TAIITA DAN ANGKARA KARYA LANGIT KRESNA HARIADI
DAN IMPLIKASIIYYA TERIIADAP PEMBALAJARAN SASTRA
IhIDOIYESIA DI SMA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (S. Pd)
Oleh
ADINDA PUTRI NURSYARIF'AII
NIM. 109013000091
Di bawahbimbingan
Dosen Pembimbing,
JURUSA]\ PEIYDIDIKAII BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
F'AKTJLTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF' HII}AYATULLAH JAKARTA
t2 t99703 2 001
20tst20t6
KEMBNTERIAN AGAMAUIN JAKARTAFITK.Il- 1r. H. Jtanda No 95 Cipulal 15112 ltulotpsia
FORM (FR)
No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089
Tgl. Terbit : I Maret 2010
No. Rerisi: : 0lHal
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
. Adinda Putri Nursyarif'ah
Tangerang/ 19 Novernber 1991
109013000091
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajali
Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA
Dosen Pembimbing : l. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA,M.Pd
2. ..............
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri
dansayabertanggung jawab se€ara akademis atas apa yang saya tulis.
Pemyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Adinda Putri NursyarifahNrM. 109013000091
Nama
Tempat/Tgl.Lahir
NIM
Jurusan / Prodi
Judul Slaipsi
Iakarta, I 2 Oktober 201 5
Mahasiswa Ybs.
LEMBAR PENGESAIIAN UJIAII MTJNAQASAII
Skripsi berjudul "Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel GajahMada: Tahta dan Angkara KaryaLangit Kresna Hariadi dan Implikasinya TerhadapPembelajaran Sastra di SMA" di ajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah danKeguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalamUjian Munaqasah padatanggal 25 November 2015 di hadapan dewan penguji. Olehkarena itu, peneliti berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) dalambidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jakarta 25 November 2015
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) Tanggal
'%,tN
Tanda TanganW1n r0E
Makyun Subuki. M.IIU+NrP. 19800305 200901 I 015
Sekretaris Panitia (Sekretaris Jurusan/Prodi)
Donna Aii Putra. M. A.NIP. 19840409201101 I 015
Penguji I
Ilindun. M.PdNIP. 19701215 2009122 001
Penguji II
Achmad Bahtiar. M. Hum197601 18 200912 I 001
tl/, r:otL
I{engetahui
NIP. 195
i
ABSTRAK
Adinda Putri Nursyahrifah (109013000091). Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Judul Skripsi, “Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada:
Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Pembimbing: Dra. Mahmudah
Fitriyah, ZA., M.Pd
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tema perebutan kekuasaan
dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
kualitatif dengan metode analisis isi. Metode analisis isi digunakan untuk menelaah
isi dari novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi.
Penelitian ini mendiskripsikan apa yang menjadi masalah, kemudian menganalisis
dan menafsirkan data yang ada. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini
menggunakan teknik pustaka, pencatatan data, dan analisis.
Hasil penelitian ini menguraikan masalah perebutan kekuasaan antara pihak
keluarga suami Sekar Kedaton Sri Gitarja dengan keluarga suami Dyah Wiyat. Hasil
dalam penelitian ini dapat ditemukan bahwa dalam perebutan kekuasaan itu
disebabkan sistem monarki turun-temurun yang dalam kasus ini pewaris tahtanya
adalah perempuan yang terikat oleh aturan keterpatuhan dengan suami walaupun
derajatnya lebih rendah dan di balik para suami terdapat pihak-pihak yang hendak
mengambil keuntungan pribadi dari tahta tersebut sehingga melakukan cara-cara
seperti sabotase, pembunuhan, percobaan pembunuhan, penculikan, sampai kudeta
untuk mendapatkan kekuasaan. Tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah
Mada: Tahta dan Angkara ini, dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek meneliti. Dalam pembelajaran ini,
kompetensi yang harus dicapai peserta didik ialah menganalisis teks novel baik
secara lisan maupun tulisan, dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel
serta menemukan tema yang terkandung dalam novel.
Kata Kunci: tematik, Gajah Mada: Tahta dan Agkara, Langit Kresna Hariadi
ii
ABSTRACT
Adinda Putri Nursyahrifah (109013000091). Indonesian and Literature Education
Department, Faculty of Tarbiya' and Teachers' Training, Syarif Hidayatullah State
Islamic University Jakarta. Paper’s Title, “Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan
dalam Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”.
Supervisor: Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA., M.Pd
The goal of this research is to describe the theme of the struggle for power in
novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.
The metode that writer used in this research is qualitative descriptive study
with content analysis method. This content analysis methode is used for exam the
content from novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara by Langit Kresna Hariadi. This
research describe what become the problem, than analyze and interpret existing data.
Data collection technique in this study is use technique library, data writer, and
anlysis.
This result of this research is to deciper the problem of the strugle of power
between the family of Sekar Kedaton Sri Gitarja husband’s with the family of Dyah
Wiyat husband’s. Result from this research can found that the strugle of power is
cause by the downhill monarky system that in this case heir to the throne is women
that bound by the rules compliance with her husband altough his level is lower and
behind the husband there is a side that take advantage personal from the throne so do
the bad thing, such as sabotage, murder, attempted murder, kidnaping, until a coup to
get the throne. The theme of power struggle in novel Gajah Mada: Tahta dan
Angkara ini, can implicated againts the learning of Language and Indonesia lecture in
school, in aspect of research. In this study the competence that must achieved by
learnes is analyze the text in novel orally or written, to explain the instrinsic elements
in this novel and faind a theme that contained in the novel.
Keyword: thematic, Gajah Mada: Tahta dan Agkara, Langit Kresna Hariadi
iii
KATA PENGANTAR
Terimakasih ya Allah ya Rabbal aalamin, atas karunia, syafaat dan kasih
sayang-Mu untuk peneliti. Terima kasih ya Rasulullah atas suri tauladan-mu,
salawat dan salam tak lupa peneliti haturkan kepada-mu, keluarga-mu, sahabat-
sahabat-mu, serta umat-mu.
Alhamdulillah, syarat terakhir untuk memperoleh gelar sarjana pada
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta telah rampung
terselesaikan. Adapun skripsi ini peneliti beri judul: Refleksi Tema Perebutan
Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna
Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
di SMA.
Dalam penelitan ini, awalnya peneliti dihinggapi perasaan ragu-ragu untuk
melakukan penelitian. Keraguan tersebut sering kali melahirkan sikap pesimis dan
acuh tak acuh mengingat keterbatasan peneliti dalam menganalisis novel serta
keterbatasan sumber data bacaan. Akhirnya keraguan tersebut hilang berkat
dukungan dan doa dari berbagai pihak yang sangat bermanfaat bagi peneliti. Oleh
karena itu, peneliti menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Makyun Subuki, M. Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang selalu mengerti akan keadaan mahasiswanya, serta
memberikan motivasi dan doa.
3. Dona Aji Putra, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, yang selalu memberikan senyuman terhadap
mahasiswanya.
4. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd. selaku Penasihat Akademik dan
Dosen Pembimbing yang selalu memberikan keceriaan, kesabaran, dan
kelembutan dalam mengajarnya, serta motivasinya.
iv
5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
khususnya Ibu Rosida Erowati, M. Hum., terima kasih peneliti ucapkan,
karna telah membekali peneliti dengan berbagai ilmu yang bermanfaat.
6. Keluarga peneliti, Ayahanda terhormat (alm) R. H. Moch Sjah Marzuki
dan Ibunda tercinta Hj. Nurwati, S.Pd yang tak pernah putus mendoakan
dan membimbing peneliti. Ucapan terima kasih tak akan pernah cukup
untuk menebus setiap tetes keringatnya, derai air matanya, nasihat-nasihat
yang selalu terngiang di telinga agar peneliti mendapatkan apa yang ingin
dicapai; Kedua kakakku tersayang: R. Fabriansjah Marzuki yang dengan
ikhlas berusaha sekuat tenaga menjadi kepala rumah tangga, mejaga mama
dan kedua adiknya dalam usia yang sangat muda; R. Ilham Zulhelmisjah
Marzuki, yang kalau dekat bertengkar kalau jauh dirindukan. Kakak iparku
yang cantik, Niar Daniar, yang telah bersedia menerima peneliti menjadi
adik iparnya. Dan untuk jagoan kecil peneliti, keponakan bibi tersayang,
Alarik Arkananta Marzuki, perwujudan nyata keindahan Allah dimuka
bumi.
7. Keluarga besar (alm) R.H. Oemar Marzuki bin Marzuki, terima kasih telah
mewarisi darah Marzuki kepada peneliti. Darah yang kuat dan menggebu-
gebu. Keluarga besar (alm) H. Niman bin Sabin: (alm) kakek, nenekku
semata wayang, uwa Sumi, Uwa Acung, Bibi Yanah yang telah
menyumbangkan waktunya untuk merawat peneliti di waktu kecil, Om
Jaya si tangan besi pelindung para perempuan di keluarga, Bibi Ibeh yang
telah membawa keceriaan di dalam keluarga dengan keceplas-
ceplosannya, Mami Nana yang ikut merawat peneliti saat kecil dan sebagai
teman bercerita yang baik, Bibi Enong yang suka bagi-bagi info fashion
online.
8. Al Mukarom Muhammad Ahmad Ram, guru peneliti yang dengan sabar
memberikan arahan kepada peneliti untuk menjadi hamba Allah swt yang
baik.
v
9. Rangga Akhirudin, yang telah membantu peneliti siang dan malam
mencari referensi penelitian dan sebagai teman berdiskusi peneliti dalam
menyelesaikan penelitian.
10. Teman seperjuangan masa kuliah PBSI kelas C; terutama Lenjee: Sasya,
Reni, Uci, Agnis yang telah menjadi teman suka duka di dalam dan di luar
kampus sampai sekarang. Serta tak lupa semua teman-teman PBSI
angkatan 2009.
11. Teman-teman Big Friends: Tarra, Ratih, Anggi, Mbayu, Nurina, Adit.
Yang sejak SMA sampai sekarang terus menjaga silahturahmi, berkumpul
bersama dengan peneliti.
12. Pimpinan dan karyawan perpustakaan FITK dan UIN Jakarta, yang telah
memberikan kemudahan bagi peneliti dalam memperoleh bahan ataupun
informasi.
13. Pimpinan dan karyawan perpustakaan Universitas dan non-Universitas
lain yang telah membantu peneliti mendapatkan bahan referensi untuk
penelitian.
14. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis menyelesaikan
skripsi ini, semoga mendapatkan balasan dari Allah SWT. Peneliti
menyadari bahwa dalam penyelasaian skripsi ini, masih terdapat banyak
kekurangan sehingga jauh dari kesempurnaan, karena peneliti hanyalah
manusia biasa. Serta tersirat sekelumit harapan, kehadiran skripsi ini dapat
menyumbangkan sesuatu yang bermakna bagi dunia kesusastraan.
Jakarta, 12 Oktober 2015
Adinda Putri Nursyarifah
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
ABSTRAK .................................................................................................i
ABSTRACT ..............................................................................................ii
KATA PENGANTAR .............................................................................iii
DAFTAR ISI ............................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................... 5
C. Pembatasan Masalah…………………………………5
D. Rumusan Masalah ........................................................ 5
E. Tujuan Penelitian ......................................................... 6
F. Manfaat Penelitian ....................................................... 6
G. Metode Penelitian ....................................................... 7
BAB II KAJIAN TEORI ............................................................... 12
A. Hakikat Novel .............................................................. 12
B. Hakikat Pendekatan Objektif ............................... ........ 13
C. Hakikat Unsur-unsur Intrinsik .............................. ....... 15
1. Pengertian Unsur-unsur Intrinsik ........................... 15
2. Tema ....................................................................... 16
3. Plot ......................................................................... 16
4. Perwatakan ............................................................. 18
5. Latar ...................................................................... 18
6. Sudut Pandang ........................................................ 19
7. Gaya Penceritaan ..................................................... 20
D. Hakikat Tema ............................................................... 21
vii
1. Pengertian Tema ...................................................... 21
2. Penggolongan Tema ................................................ 23
E. Hakikat Negara Monarki .............................................. 25
1. Pengertian Negara Monarki ..................................... 25
2. Jenis-jenis Pemerintahan Monarki ........................... 27
F. Hakikat Kekuasaan ....................................................... 28
1. Pengertian Kekuasaan .............................................. 28
2. Dimensi-dimensi Kekuasaan ................................... 29
3. Sumber Kekuasaan .................................................. 31
G. Pengajaran Sastra di Sekolah .........................................33
H. Penelitian yang Relevan ............................................... 34
BAB III TINJAUAN NOVEL GAJAH MADA: TAHTA
DAN ANGKARA ................................................................ 36
A. Sinopsis ......................................................................... 36
B. Biografi Pengarang ....................................................... 39
C. Pandangan Hidup ......................................................... 43
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ............... 45
A. Kajian Unsur Intrinsik Novel Gajah Mada: Tahta
dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi .................. 45
1. Tema ....................................................................... 45
2. Plot ... .......................................................................46
3. Perwatakan................................................................55
4. Latar ......................................................................... 73
5. Sudut Pandang .......................................................77
6. Gaya Bahasa .............................................................78
B. Analisis Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah
Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi.....
....................... .............................................. 82
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran
viii
Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah ........................95
BAB V PENUTUP ......................................................................... 97
A. Simpulan ...................................................................... 97
B. Saran ............................................................................. 98
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………................99
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan refleksi kebudayaan masyarakat, yang
sastrawan tuangkan dalam bentuk tulisan. Kita tidak bisa memungkiri
bagaimana sebuah karya sastra bisa begitu menyentuh sisi sensitif
pembaca, karena karya sastra bisa menjadi refleksi dari pengalaman yang
pembaca alami. Kita bisa mengetahui bagaimana fenomena hidup di
sekeliling kita yang sebelumnya tidak kita tahu atau sadari dengan karya
sastra. Sebagai refleksi sosial budaya yang dimatangkan oleh ideologi
pengarang, para kritikus sastra mulai menganalisis segala hal di balik
karya sastra tersebut.
Salah satu bentuk karya sastra, novel, merupakan prosa yang
mampu memberikan penggambaran keseluruhan cerita secara lebih detail
daripada cerpen, sehingga analisisnya dapat dilakukan lebih mendalam.
Gambaran detail novel memberikan paparan mengenai gagasan dan ide
pengarang mengenai perkembangan suatu kebudayaan masyarakat pada
periode dan wilayah tertentu. Dengan begitu, pembaca lebih mengetahui
dan memahami kebudayaan yang diceritakan di dalam novel. Novel
memiliki tema, seperti halnya cerpen, namun di dalam novel bisa terdapat
beberapa tema, baik itu tema dominan atau tema pendamping, sehingga
pembaca tidak terpaku dalam ide cerita yang monoton. Selain itu, novel
juga memiliki plot yang lebih kompleks, pembaca dapat mengikuti cerita
dari awal hingga akhir. Penggambaran watak di dalam novel juga lebih
detail dibandingkan cerpen, sehingga pembaca dapat lebih mengenal
karakter tokoh dalam cerita tersebut. Dibandingkan dengan cerpen, novel
berlatar belakang lebih banyak daripada cerpen karena didukung plot yang
kompleks.
2
Era modern ini generasi muda telah lebih mudah menikmati karya
sastra khususnya novel memungkinkan penggunaan novel sebagai sarana
penunjang belajar. Wacana mengenai pendidikan karakter yang
dicanangkan pemerintah membuka lebar peluang novel masuk sebagai
sarana belajar yang mengasah perkembangan afektif peserta didik. Novel
dapat dijadikan penghubung pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
dengan berbagai mata pelajaran yang lain, seperti sejarah, agama,
sosiologi, fisika, dan sebagainya karena teks yang diceritakan di dalam
novel dapat membuka pikiran dan menggugah perasaan peserta didik
sehingga memberi kesan yang berbeda dalam pembelajaran.
Untuk dapat digunakannya novel sebagai penunjang pembelajaran,
kita harus mengerti dan memahami apa yang ada dibalik novel itu sendiri.
Dalam menganalisis teks di dalam novel, kita menggunakan pendekatan
objektif yakni menganalisis unsur-unsur intrinsik. Unsur-unsur intrinsik
terdiri atas tema, plot, perwatakan, latar, sudut pandang, dan gaya
penceritaan. Tema adalah ide, makna, atau gagasan dalam sebuah cerita.
Tema mendasari berkembangnya jalan cerita di dalam novel. Tanpa tema
tokoh tidak dapat memiliki karakter, plot tidak dapat mengalir, latar tidak
dapat ditentukan. Tokoh, plot, latar merupakan alat pendistribusian tema
ke seluruh bagian cerita. Oleh karena itu, penentuan tema tidak bisa
dilakukan dari salah satu unsur saja melainkan hubungan dari seluruh
unsur karena tema adalah ide keseluruhan dari cerita di dalam novel.
Sebagai contoh, para peserta didik dapat mengkaji tema dari novel Gajah
Mada: Tahta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi.
Langit Kresna Hariadi lahir di Banyuwangi tahun 1959, merupakan
anak bungsu dan satu-satunya yang memilih profesi sebagai penulis di
antara kakak-kakanya yang berprofesi sebagai tentara. Berdasarkan karya-
karyanya, dapat kita lihat bahwa latar belakang itulah yang menyebabkan
adanya unsur politik dan militer.
3
Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara berkisah tentang peristiwa
setelah mangkatnya Sri Jayanegara, yakni menentukan siapa yang mengisi
dampar selanjutnya menjadi tema yang panas di kalangan istana. Sri
Gitarja sebagai kakak tentu saja lebih berhak, namun Dyah Wiyat-lah yang
memiliki aura seorang pemimpin. Tapi bukan hal ini yang membuat Gajah
Mada kesulitan untuk membantu para permaisuri menentukan siapa ratu
selanjutnya, melainkan para suami dan orang-orang di belakang para sekar
kedaton. Air mata belum kering menemani kepergian Sri Jayanegara,
pembunuhan dan teror menghantui istana Majapahit. Tak hanya itu, isu
kudeta menyeruak menyebarkan bau busuk membuat Gajah Mada
menyiagakan pasukan khususnya, Bhayangkara, untuk menyelidiki hal
tersebut. Cakradara, suami Sri Gitarja menjadi tertuduh pembunuhan-
pembunuhan yang terjadi di istana. Kudamerta telah memiliki istri ketika
menjadi suami Dyah Wiyat. Gajah Mada terus menguak identitas dan
kejadian-kejadian yang melibatkan kedua pengeran tersebut. Berkat Gajah
Mada dan pasukan Bhayangkara, akhirnya dapat diketahui bahwa Panji
Wiradapa, tangan kanan pangeran Kudamerta yang dikabarkan dibunuh,
merupakan dalang dari pembunuhan yang terjadi di dalam istana dan
rencana kudeta terhadap Kerajaan Majapahit. Ratu Gayatri akhirnya
memutuskan bahwa Majapahit selanjutnya akan diperintah oleh “Ratu
Kembar”.
Kejadian yang terjadi di dalam novel memberikan banyak
informasi kepada para pembacanya. Walaupun dibumbui oleh fiktif,
namun sedikit demi sedikit kita mengetahui apa yang terjadi pada zaman
Kerajaan Majapahit. Semua kejadian yang ada di dalam novel merupakan
jembatan para pembaca untuk menuju tema dari novel ini. Alur yang tidak
terlalu cepat, karakter yang kuat, latar yang detil merupakan beberapa
kelebihan Langit Kresna Hariadi membuai para pembacanya.
Pengkajian novel di sekolah memiliki tantangan tersendiri. Untuk
peserta didik SMA, membaca novel yang berbobot sama beratnya dengan
4
membaca buku pelajaran. Padahal banyak sekali hal-hal yang dapat
dipelajari dari novel yang berbobot. Novel juga dapat menghubungkan
beberapa pengaplikasian pembelajaran seperti Bahasa Indonesia dengan
Sejarah, PKn, dan Fisika. Seperti tema perebutan kekuasaan dalam novel
Gajah Mada: Tahta dan Angkara. Para peserta didik dapat lebih
memahami mengenai pemerintahan, politik, dan sejarah Indonesia. Para
peserta didik juga bisa mengaplikasikannya dalam menganalisis peristiwa
sejarah yang terjadi di Indonesia, seperti peristiwa G30S. Peserta didik
juga dapat mengamati jalannya pemerintahan yang sedang berlangsung di
Indonesia maupun di luar negeri sehingga peserta didik dapat lebih
berperan aktif sebagai warga negara yang baik.
Alasan penulis memilih novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara
karya Langit Kresna Hariadi dikarenakan novel ini termasuk novel baru
yang memiliki informasi tidak hanya untuk pelajaran Bahasa Indonesia
namun juga untuk pelajaran yang lain. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan sebenarnya telah memberikan kesempatan penelaahan novel
sebagai bahan ajar. Peserta didik yang dituntut lebih aktif, sehingga novel
dapat dikaji dengan lebih mendalam dan dapat dijadikan tambahan
informasi bagi pelajaran yang lain. Novel ini dianalisis menggunakan teori
struktural dan pendekatan teori dasar politik. Teori struktural digunakan
untuk menganalisis unsur intrinsik diantaranya, tema, alur, penokohan,
gaya bahasa, sudut pandang, dan amanat dengan memusatkan analisisnya
pada tema, sedangkan teori politik digunakan untuk menganalisis peristiwa
perebutan kekuasaan dan peristiwa konspirasi yang membumbuinya.
5
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini melalui
pendekatan struktural dan teori dasar politik adalah sebagai berikut:
1. Rendahnya pemahaman peserta didik dalam menganalisis unsur-unsur
intrinsik yang meliputi tema, alur, tokoh, latar, sudut pandang, dan
gaya bahasa dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara pada
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.
2. Kesulitan guru mengatasi hambatan pemahaman peserta didik dalam
menganalisis tema karya sastra novel Gajah Mada: Tahta dan
Angkara pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
C. Pembatasan Masalah
1. Unsur intrinsik novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara.
2. Tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada: Tahta dan
Angkara.
3. Implikasinya dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
SMA.
D. Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang di atas, dapat dirumuskan
permasalahan yang akan diangkat:
Bagaimanakah deskripsi unsur intrinsik novel Gajah Mada: Tahta dan
Angkara.
Bagaimanakah tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada:
Tahta dan Angkara?
Bagaimanakah implikasi novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara
dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah?
6
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Mendeskripsikan unsur intrinsik yang membangun novel Gajah
Mada: Tahta dan Angkara.
Memahami tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada:
Tahta dan Angkara.
Mengetahui implikasi novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara
dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat dari segi
teoretis dan praktis.
a. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan tentang unsur-
unsur intrinsik dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara dan
sebagai sarana pemahaman peristiwa politik pada masa Kerajaan
Majapahit.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini dapat mempertajam dan menambah wawasan
mengenai karya sastra khususnya novel sejarah. Bagi pembaca,
penelitian ini diharapkan menambah wawasan mengenai karya
sastra. Sedangkan bagi peneliti sastra diharapkan penelitian ini
sebagai referensi penelitian sastra selanjutnya. Adapun untuk
peserta didik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana
penunjang pembelajaran, baik mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia, Sejarah, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
7
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam suatu penelitian, pengolahan data dilakukan dengan
pendekatan penelitian. Penelitian dalam bidang sastra biasanya
menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memberikan
perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan
konteks keberadaannya.
Ciri-ciri terpenting metode kualitatif sebagai berikut.
a. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai
dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural.
b. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian
sehingga makna selalu berubah.
c. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian,
subjek peneliti sebagai instrument utama, sehingga terjadi interaksi
langsung di antaranya.
d. Desain dengan kerangka penelitian bersifat sementara sebab
penelitian bersifat terbuka.
e. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya
masing-masing1.
Metode kualitatif mengutamakan bahan yang sukar dapat diukur
dengan angka-angka atau dengan ukuran-ukuran lain yang eksak,2
meskipun bahan yang didapat terdapat dalam struktur masyarakat
secara nyata. Untuk karya sastra yang proses kreatifnya berdasarkan
pada fenomena yang terjadi di dalam masyarakat, namun untuk
menelitinya sulit menggunakan tolok ukur karena faktor subjektivitas.
Penggunaan metode kualitatif ini ditujukan untuk menganalisis
struktur-struktur yang ada di dalam novel secara lebih mendalam.
Struktur-struktur tersebut dianalisis kemudian diklasifikasikan sesuai
1 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hlm., 47-48. 2 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Depok: UI-Press, 1981), cetakan
ketujuh, hlm., 29.
8
dengan fungsinya masing-masing. Metode ini memungkinkan
terhubungnya data-data dengan konteks keberadaannya. Metode ini
juga menyebabkan penjabaran-penjabaran hasil penelitian ke dalam
bentuk deskriptif.
Untuk metode deskriptif, penelitian ini menggunakan metode
deskriptif analitik. Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta dan kemudian disusul dengan analisis.3
Seperti yang telah disinggung di atas, data-data yang diambil melalui
analisis struktur diklasifikasi kemudian dijabarkan secara mendetil
yang merupakan hasil proses pengkajian mendalam.
Menurut Vredenbregt, penataan dan deskriptif sistematis dari
sejumlah gejala di dalam suatu universum merupakan ciri-ciri khas
dari penelitian deskriptif. Yang menjadi masalah dalam suatu
penelitian deskriptif adalah menata dan mengklasifikasikan gejala-
gejala yang hendak dilukiskan oleh peneliti, di mana sebanyak
mungkin diusahakan untuk mencapai kesempurnaan atas dasar suatu
permasalahan tertentu.4
2. Objek penelitian
Objek penelitian adalah unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam
novel yang di dalamnya tersirat gambar besar mengenai peristiwa yang
ada dalam novel tersebut. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah
Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta
dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA.
3 Nyoman Kutha Ratna, op.cit., hlm., 53.
4 Jacob Vredenbregt, Pengantar Metodologi Untuk Ilmu-Ilmu Empiris,
(Jakarta:Gramedia, 1985) hal: 52.
9
3. Sumber Data
Sumber data primer dari penelitian ini adalah teks dari novel Gajah
Mada: Tahta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi yang
diterbitkan oleh penerbit Tiga Serangkai dan merupakan jilid kedua dari
pentalogi Gajah Mada.
Data sekunder yang diambil dari peneliti sebagai penunjang data
primer yang digunakan dalam penelitian berupa artikel-artikel internet
yang berhubungan dengan novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini
adalah teknik pustaka. Teknik pustaka adalah teknik yang
mengumpulkan data-data dari sumber tertulis. Teks-teks yang
merupakan penunjang penelitian dicermati oleh peneliti yang kemudian
digunakan sebagai alat untuk menganalisis data primer.
5. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
kualitatif. Seperti yang telah dijabarkan di atas kualitatif adalah teknik
yang tidak menggunakan angka sebagai penjabaran hasil penelitian
yang dilakukan melainkan menggunakan deskripsi data-data. Untuk
menganalisis suatu data berupa teks sastra, maka penjabaran data-data
saja tidak akan cukup melaikan diperlukannya pemahaman.
Pemahaman dalam penelitian karya sastra biasa digunakan dengan
teknik hermeneutika.
Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermeneuien,
bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau mengintrerpretasikan.5
Karena fungsinya sebagai pemahaman akan suatu bahasa, pada awalnya
teknik hemeneutika ini digunakan untuk menafsirkan kitab suci yang
berisi bahasa dari Tuhan. Karena media yang digunakan dalam sastra
5 Nyoman Kutha Ratna, op.cit., hlm., 45.
10
adalah bahasa, maka teknik hermeneutika dianggap tepat digunakan
sebagai teknik dalam penelitian sastra.
Penelitian ini berawal dari mengklasifikasikan teks di dalam novel
sesuai dengan unsur-unsur intrinsiknya yaitu tema, plot, tokoh, dan
latar. Setelah itu dilakukan teknik hermeneutika yaitu pembacaan teks
novel berulang-ulang sehingga dapat dipahami gejala sosial-politik
tentang perebutan kekuasaan di dalam novel Gajah Mada: Tahta dan
Angkara.
6. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang dilakukan peneliti dapat diuraikan sebagai
berikut.
a) Pembacaan Data
Untuk memperoleh data yang akan dianalisis, peneliti membaca
data atau dokumen yang akan dianalisis dalam hal ini cerpen karya
Langit Kresna Hariadi, Gajah Mada: Tahta dan Angkara. Sebagai
pemerolehan data pertama kali, peneliti membaca keseluruhan
novel.
b) Reduksi data
Setelah pembacaan keseluruhan data atau dokumen, peneliti
membaca ulang dokumen tersebut dengan lebih teliti agar dapat
menganalisis dokumen tersebut dengan baik. Setelah mereduksi
data, permasalahan yang akan dianalisis dari data tersebut
diidentifikasi. Kemudian, jika terdapat beberapa data yang
ditemukan, kemudian diklasifikasikan, mana data primer untuk
dianalisis. Teori-teori yang didapat oleh peneliti digunakan untuk
menganalisis data tersebut. Kemudian peneliti mengungkapkan
pendapat tentang hasil analisis data, berdasarkan teori-teori yang
didapat. Setelah melakukan analisis terhadap data atau dokumen,
peneliti menyimpulkan hasil penelitiannya tentang refleksi
11
perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada: Tahta dan
Angkara karya Langit Kresna Hariadi.
12
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
Karya sastra merupakan hasil dari ideologi dan perasaan
pengarang. Dalam menuangkan ide dan perasaannya, pengarang
maupun penyair memiliki pertimbangan dalam memilih genre seperti
apa yang mewakili diri pengarang dan penyair tersebut.
Menurut perkembangannya, jenis sastra dapat dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu: jenis sastra lama dan modern.1 Karya sastra
terbagi menjadi puisi, prosa, dan drama. Ketiga genre ini bisa terlihat
perbedaannya baik dari segi bentuk dan penulisannya, khususnya
prosa. Bentuk prosa rekaan modern bisa dibedakan atas roman, novel,
novelette, dan cerpen.2 Penelitian ini akan memusatkan
pembahasannya pada genre novel.
Novel berasal dari bahasa latin novellus yang kemudian diturunkan
menjadi noveis yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan
kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul
belakangan dibandingkan cerita pendek dan roman3. Walaupun
dikatakan lebih baru dari roman, namun banyak pula yang berpendapat
bahwa kata novel memiliki pengertian yang sama dengan roman.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia novel adalah
karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan
watak dan sifat tiap pelaku. Penjabaran unsur-unsur intrinsik pada
1 Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), hlm., 173. 2 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm., 140.
3 Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fiksi, cetakan kedua, (Surakarta: 1994), hlm.,
37.
13
novel tidak sekompleks roman. Biasanya novel hanya menceritakan
suatu peristiwa tertentu.
B. Hakikat Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif, yaitu kritik sastra yang sasarannya hanya
karya sastra semata tanpa menghubungkannya dengan dimensi-dimensi
lain seperti pengarang, pembaca, keadaan masyarakat, dan lain-lain.4
Pendekatan objektif merupakan salah satu dari sekian banyak
pendekatan yang dilakukan dalam penelitian sastra. Pendekatan ini justru
merupakan pendekatan yang terpenting sekaligus memiliki kaitan yang
paling erat dengan teori sastra modern, khususnya teori-teori yang
menggunakan konsep dasar struktur5.
Kritik sastra dengan pendekatan objektif, memusatkan telaahnya
pada segi intrinsik, struktur dalam karya itu saja.6 Menurut Junus,
pendekatan objektif adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan
kajiannya pada karya sastra7. Karena pendekatan ini memusatkan
kajiannya pada struktur karya sastra itu sendiri, maka pendekatan ini
mengabaikan aspek-aspek ekstrinsik. Oleh karena itulah, pendekatan
objektif juga disebut analisis otonomi, analisis egocentric, pembacaan
mikroskopi. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur
dalam dengan mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak,
dan unsur-unsur dengan totalitas di pihak yang lain.8
Pendekatan struktural, sama dengan pada linguistik, adalah salah
satu pendekatan kajian kesusastraan yang menitikberatkan pada hubungan
antarunsur pembangun karya sastra.9 Teori struktural, teori yang bertolak
4 Atmazaki, Ilmu Sastra: Teori dan Terapan, ( : Angkasa Raya, ), hlm.,
12. 5 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hlm., 72. 6Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI
PRESS, 2006), hlm., 22. 7 Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm.,183.
8 Nyoman Kutha Ratna, op.cit., hlm., 73
9 Nani Tuloli, Kajian Sastra, (Gorontalo: BMT “Nurul Jannah”, 2000), hlm., 41
14
dari asumsi bahwa karya sastra tersusun dari berbagai unsur yang jalin-
menjalin, terstruktur, sehingga tidak ada satu unsur pun yang tidak
fungsional dalam keseluruhannya. Maka itu nilai karya sastra ditentukan
oleh koherentidaknya unsur-unsur karya tersebut.10
Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi
dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan.11
Oleh karena
itu, dalam pengkajian struktural tidak cukup hanya mengidentifikasi dan
menganalisis unsur-unsur intrinsik secara terpisah, namun juga bagaimana
masing-masing unsur itu memiliki keterkaitan dan hubungan satu sama
lain sehingga membentuk pemaknaan karya sastra yang maksimal.
Analisis struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-
masing unsur sebagai kesatuan struktural.12
Analisis struktural bertujuan
untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan
mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek
karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.13
C. Hakikat Unsur-unsur Intrinsik
1. Pengertian Unsur-unsur Intrinsik
Intrinsik ialah unsur-unsur rohaniah, yang harus diangkat dari isi
karya sastra itu mengenai tema dan arti yang tersirat di dalamnya.14
Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri.15
Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur
yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan
antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat novel berwujud.
Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur
10
Atmazaki, op.cit., hlm., 10. 11
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2005), hlm., 37. 12
Maman S. Mahayana, Bermain dengan Cerpen, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm., 244. 13
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm., 135. 1414
P. Suparman Natawidjaja, Apresiasi Sastra dan Budaya, (Jakarta: Intermasa, 1982),
hlm., 102. 15
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm., 23.
15
(cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel.16
Kajian intrinsik membatasi diri pada karya sastra itu sendiri, tanpa
menghubungkan karya sastra dengan dunia di luar karya sastra itu.17
Pembagian unsur intrinsik struktur karya sastra yang tergolong
tradisional, adalah pembagian berdasarkan bentuk dan isi—sebuah
pembagian dikhotomis yang sebenarnya diterima orang dengan agak
keberatan.18
Menurut Burhan walaupaun agak kasar namun pembagian
ini tidak mudah dilakukan. Karena tidak memungkinkan untuk
mengkaji satu unsur intrinsik tanpa melibatkan unsur-unsur yang lain.
Untuk mengkaji unsur tema yang merupakan salah satu unsur isi, tidak
akan lepas masalah pemplotan yang merupakan unsur bentuk, dan juga
unsur-unsur yang lain.
2. Tema
Tema adalah makna yang dapat merangkum semua elemen dalam
cerita dengan cara yang paling sederhana.19
Tema sering juga disebut
ide atau gagasan yang menduduki tempat utama dalam pikiran
pengarang dan sekaligus menduduki tempat utama dalam cerita.20
Setiap aspek cerita turut mendukung kehadiran tema. Oleh karena
itu, pengamatan harus dilakukan pada semua hal seperti peristiwa-
peristiwa, karakter-karakter, atau bahkan objek-objek yang sekilas
tampak tidak relevan dengan alur utama.
3. Plot
Plot atau alur, kadang-kadang disebut juga jalan cerita, ialah
struktur rangkaian kejadian dalam cerita.21
Alur atau plot adalah
16
Ibid. 17
Budi Darma, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2004), hlm., 23 18
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm., 24. 19
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.,
41 20
Widjojoko dan Endang Hidayat, op.cit., hlm., 46. 21
Ibid.
16
struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah
interrelasi fingsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian
dalam keseluruhan fiksi.22
Bisa dikatakan bahwa secara umum, alur
merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuh cerita.23
Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan
seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan kea rah
klimaks dan selesaikan.24
Menurut Abrams alur ialah rangkaian cerita
yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin
sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.25
Plot dibangun oleh beberapa peristiwa yang biasa disebut alur. Unsur-
unsur alur ialah:
a. Perkenalan;
b. Pertikaian;
c. Perumitan;
d. Klimaks/puncak;
e. Peleraian;
f. Akhir.26
Sedangkan menurut Aminuddin tahapan-tahapan dalam alur dibagi
menjadi pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan
penyelesaian.
Susunan alur di dalam novel tidak selalu seperti di atas. Beberapa
novel banyak di awali oleh alur peleraian dan ada pula cerita yang
dimulai dari perumitan. Karena itulah ada laur yang disebut alur maju,
alur mundur, dan alur campuran.
Berdasarkan kualitas hubungan tiap unsur, maka ada alur longgar
dan alur erat. Yang dimaksud dengan alur longgar adalah jika sebagian
peristiwanya kita lepaskan (tidak dibaca) tidak mengganggu keutuhan
22
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (___: Angkasa Raya, __), hlm., 43 23
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.,
26 24
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm., 159. 25
Ibid 26
Widjojoko dan Endang Hidayat, op.cit., hlm., 46.
17
ceritanya. Sedangkan alur erat, bila sebagian ceritanya kita tinggalkan
akan mengganggu keutuhan cerita.27
Pendapat tersebut juga didukung
oleh Sudjiman. Sudjiman juga membagi alur atas alur erat (ketat) dan
alur longgar. Alur erat adalah jalinan peristiwa yang sangat padu di
dalam suatu karya sastra; kalau salah satu peristiwa ditiadakan,
keutuhan cerita akan terganggu. Alur longgar adalah jalinan peristiwa
yang tidak padu di dalam suatu karya sastra, meniadakan salah satu
peristiwa tidak akan mengganggu jalan cerita.28
Sudjiman membagi alur atas alur utama dan alur bawahan. Alur
utama merupakan rangkaian peristiwa utama yang menggerakkan jalan
cerita. Alur bawahan adalah alur kedua atau tambahan yang
disusupkan ke sela-sela bagian-bagian alur utama sebagai variasi.29
4. Perwatakan
Perwatakan atau karakter biasanya dipakai dalam dua konteks.
Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang
muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada
percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip
moral dari individu-individu tesebut30
Cerita prosa Indonesia memperlihatkan tiga cara penokohan, yaitu:
a. Cara analitik;
b. Cara dramatik;
c. Cara campuran;
Cara analitik adalah cara pengarang menjelaskan atau mengisahkan
tokohnya secara langsung. Menurut Atar Semi pengarang langsung
memparkan tetang watak atau karakter tokoh. 31
Cara dramatik cara
pengarang tidak mengisahkan apa dan siapa tokoh ceritanya secara
27
Ibid, hlm., 47. 28
Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm., 161. 29
Ibid., hlm., 160. 30
Robert Stanton, op.cit., hlm., 33 31
M. Atar Semi, op.cit., hlm., 39
18
langsung, tetapi menggunakan hal-hal lain yaitu: a. gambaran tentang
tempat atau lingkungan sang tokoh; b. percakapan tokoh itu dengan
tokoh yang lain, atau cakapan tokoh lain tentang dia; c. pikiran sang
tokoh atau pendapat tokoh-tokoh lain tentang dia; d. perbuatan sang
tokoh.32
5. Latar
Setting/latar adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk
di dalam latar ini ialah tempat atau ruang yang dapat diamati.
Termasuk di dalam unsur ini adalah waktu, hari, bulan tahun, musim,
atau periode sejarah.33
Stanton juga berpendapat sama bahwa latar
adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,
semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang
berlangsung.34
6. Sudut Pandang
Sudut pandang atau pusat pengisahan adalah posisi dan
penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat
peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu.35
Terdapat
beberapa jenis sudut pandang:36
a) Pengarang sebagai tokoh cerita, tokoh cerita bercerita tentang
keseluruhan kejadian atau peristiwa terutama yang menyangkut
diri tokoh.
b) Pengarang sebagai tokoh sampingan, orang yang bercerita
dalam hal ini adalah seorang tokoh sampingan yang
menceritakan peristiwa yang bertalian, terutama dengan tokoh
utama cerita.
32
Widjojoko dan Endang Hidayat, op.cit., hlm., 47 33
Ibid., hlm., 47 34
Robert Stanton, op.cit., hlm., 35 35
M. Atar Semi, op.cit., hlm., 57 36
Ibid. hlm., 57-58.
19
c) Pengarang sebagai tokoh ketiga, berada di luar cerita bertindak
sebagai pengamat sekaligus sebagai narrator yang menjelaskan
peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran
para pelaku cerita.
d) Pengarang sebagai pemain dan narrator, pemain yang bertindak
sebagai pelaku utama cerita, dan sekaligus sebagai narrator
yang menceritakan tentang orang lain di samping tentang
dirinya.
Sudut pandang, antara lain, dapat berfungsi: menentukan tokoh-
mayor (utama dan minor (bawahan), memahami perwatakan para
tokoh yang dianalisis, memperlihatkan motivasi, menentukan alur dan
latar bila dianggap perlu untuk mendukung perwatakan atau tema, dan
menentukan tema karya sastra tersebut.37
Jadi, sudut pandang cerita
merupakan salah satu cara untuk mengetahui tema cerita tersebut.
Pencerita dapat dibedakan menjadi pencerita “akuan” sertaan dan
“akuan” tak sertaan; selain itu ada pula “diaan terbatas” dan “diaan”
mahatahu. Pencerita “akuan” digunakan bila pencerita merupakan
salah satu tokoh dalam cerita yang dalam menyampaikan cerita
mengacu kepada dirinya sendiri dan menggunakan kata “aku”.
Penceritaan “diaan” mahatahu adalah pencerita yang sangat
mengetahui berbagai perasaan, pikiran, angan-angan, keinginan, niat,
dan sebagainya dari si tokoh yang diceritakan. Pencerita “diaan”
terbatas adalah pencerita yang hanya memaparkan segalanya yang
diamatinya dari luar dan tokohnya pun kadang kala terbatas.38
7. Gaya Penceritaan
Gaya penceritaan yang dimaksud di sini adalah tingkah laku
pengarang dalam menggunakan bahasa.39
Tingkah laku ini dianggap
37
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), hlm., 92 38
Ibid, hlm., 94-95. 39
M. Atar Semi, op.cit., hlm., 47
20
sangat penting karena menentukan penghantaran cerita kepada
pembaca. Karena itu pengarang terus melakukan upaya supaya cerita
dapat menggugah pembaca dan larut ke dalam cerita tersebut.
Tindakan tersebut adalah: 1) pemilihan materi bahasa, pengarang
diharuskan memiliki pembendaharaan bahasa yang mumpuni agar
dapat memilih pemakaian kata yang tepat yang bersifat informatif dan
komunikatif kepada pembacanya; 2) pemakaian ulasan, untuk
menopang gagasan pengarang memberikan ulasan, contoh-contoh dan
perbandingan yang kualitas dan kuantitasnya disesuaikan dengan
keinginan; 3) pemanfaatan gaya bertutur, menjadi unik karena gaya
bertutur setiap individu berbeda.
D. Hakikat Tema
1. Pengertian Tema
Tema adalah masalah hakiki manusia40
. Pengarang biasanya
mengambil tema berdasarkan permasalahan yang terjadi di dunia
nyata. Menurut Aminuddin tema adalah ide yang mendasari sautu
cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam
memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan
kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan
oleh pengarangnya41
.
Theme in fiction is what the author is able to make of the total
experience rendered.42
Tema adalah … a ‘central idea’ and those
which view it more as a ‘recurrent argument, claim, doctrine, or
issue’.43
Jika tema adalah permasalahan, ide, ataupun makna yang ada
di dalam suatu novel, maka yang manakah dari permasalahan, ide, dan
makna yang menjadi tema di dalam novel itu?
40
Herman J. Waluyo, op.cit., hlm., 141-142. 41
Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm., 161. 42
William Kenney, How to Analyze Fiction, (New York: Monarch Press, 1966) hal: 91 43
Jeremy Hawthorn, Studying the Novel, (Great Britain: Edwadr Arnold, 1985) hal: 61.
21
Dalam sebuah cerita rekaan terdapat banyak tema. Karena itu,
Marjorie Boulton menyebutkan adanya tema dominan. Yang dapat kita
rangkum dalam sebuah cerita rekaan hanyalah adanya tema dominan
(sentral) dengan tema (tema-tema) lainnya.44
Menurut Hartoko dan Rahmanto, tema merupakan gagasan dasar
umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di
dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.45
. untuk itu dalam
menentukan tema kita harus merunutkan motif-motif yang membentuk
peristiwa dalam cerita, kemudian menghubungkannya dengan unsur-
unsur intrinsik yang lain. Hal ini disebabkan karena cakupan tema jauh
lebih luas daripada unsur-unsur intrinsik yang lain.
Karena itu penentuan tema dalam suatu novel bisa dilakukan jika
novel telah dibaca seluruhnya karena tema juga merupakan makna
yang ada di dalam novel. Namun, bukan berarti tema merupakan
makna tersirat yang ada di dalam cerita. Tema merupakan makna
keseluruhan dari cerita karena itu dalam menentukannya harus
membaca keseluruhan cerita. Hal ini juga dikarenakan tema sangat
bergantung dengan unsur-unsur intrinsic yang lain.
Pengarang menggunakan dialog-dialog tokoh-tokohnya, jalan
pikirannya, perasaannya, kejadian-kejadian, setting cerita untuk
mempertegas atau menyarankan isi temanya. Seluruh unsur cerita
menjadi mempunyai satu arti saja, satu tujuan. Dan yang
mempersatukan segalanya itu adalah tema.46
Di pihak lain, unsur-unsur tokoh (dan penokohan), plot (dan
pemplotan), latar (dan pelataran), dan cerita, dimungkinkan padu dan
bermakna jika diikat oleh sebuah tema47
. Keempat unsure ini
44
Herman J. Waluyo, op.cit., hlm., 144. 45
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm., 68. 46
Jakob Sumardjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1988)
hal: 57. 47
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm., 74.
22
mengemban tugas membawa tema kepada seluruh cerita. Begitu juga
dengan jalan cerita itu sendiri. Karena tema tersebar di dalam seluruh
cerita, bukan berarti cerita itu sendiri adalah tema. Tema merupakan
dasar (umum) cerita, dan cerita disusun dan dikembangkan
berdasarkan tema. Tema “mengikat” pengembangan cerita. Atau
sebaliknya, cerita yang dikisahkan haruslah mendukung penyampaian
tema.48
.
2. Penggolongan Tema
Menurut Nurgiyantoro, tema dapat digolongkan berdasarkan
penggolongan dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional,
penggolongan menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat
keutamaannya.
a) Tema Tradisional dan NonTradisional
Tema tradisional dimaksudkan untuk tema yang biasa
digunakan sejak cerita lama. Menurut Meredith dan Fritzgerald,
tema-tema tradisional, walau banyak variasi-variasinya, boleh
dikatakan, selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan
kejahatan49
. tema seperti ini tidak hanya berlaku di kesusastraan
Indonesia saja melainkan di seluruh dunia, karena tema tradisional
disukai oleh masyarakat golongan apapun dan kebudayaan
manapun. Misalnya tema-tema yang diangkat adalah kebenaran
dan keadilan mengalahkan kejahatan, cinta sejati menuntut
pengorbanan, dan lain-lain. Novel-novel awal kebangkitan sastra
Indonesia modern banyak yang menggunakan tema tradisional,
contohnya adalah Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Salah
Pilih.
Berbeda dengan tema tradisional, tema nontradisional
mengangkat tema-tema yang tidak lazim. Karena sifatnya yang
48
Ibid., hlm., 76. 49
Ibid. hlm., 77.
23
nontradisional, tema yang demikian mungkin tidak sesuai dengan
harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan
boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi
afektif yang lain.50
Misalnya tema dengan sifat melawan arus
adalah kejujuran yang membawa kehancuran. Contoh novel yang
memiliki tema yang melawan arus adalah Kemelut Hidup karya
Ramadhan K.H.
b) Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley dalam Dictionary of World Literature mengartikan
tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama
yang dituangkan ke dalam cerita51
. Shipley membagi tema karya
sastra ke dalam tingkatan-tingkatan.
Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul, man
as molecul. Pada tingkatan ini, tema yang diangkat berkisar tentang
aktivitas fisik daripada aktivitas psikologis. Untuk tingkatan ini,
unsur intriksik yang menonjol adalah unsur latar. Contoh karya
fiksi yang mengangkat tema ini adalah Around the World in Eighty
Days karya Julius Verne.
Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai
protoplasma, man as protoplasm. Untuk tingkatan ini tema yang
diangkat berkisar maslah seksualitas. Biasanya masalah seksualitas
yang menyimpang lebih menonjol misalnya mengenai
perselingkuhan. Contoh karya sastra yang mengangkat tema ini
adalah Senja di Jakarta, Tanah Gersang karya Mochtar Lubis.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk
sosial, man as socious. Untuk tahapan ini, tema yang diangkat
bukan lagi sebatas masalah individu melainkan fenomena yang
terjadi di masyarakat. Bagaimana manusia berinteraksi dengan
sesama manusia, begitu juga hubungan antara manusia dengan
50
ibid. hlm., 79. 51
Ibid, hlm., 80.
24
alam sekitarnya. Contoh karya sastra yang mengangkat tema ini
adalah Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
Keempat, tema tingkat egonik, manusia sebagai individu,
man as individualism. Pada tahap ini tema yang diangkat
merupakan tema tentang reaksi individu dengan fenomena yang
ada di sekitarnya. Umumnya tingkatan tema ini lebih bersifat batin
dan dirasakan oleh individu yang mengalami. Contoh novel yang
mengangkat tema ini adalah Atheis karya Achdiat K. Miharja.
Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk
tingkat tinggi. Maksud dari makhluk tingkat tinggi ini adalah
kedudukan manusia sebagi ciptaan Tuhan yang paling tinggi.
Karena itu sifat dari tingkatan ini religiusitas. Contoh novel yang
mengangkat tema ini adalah Kemarau karya AA Navis.
Menurut Sudjiman tema terbagi atas yang disebutnya tema
sampingan, topik, dan tema sentral. Tema sentral adalah gagasan
yang dominan atau utama, di mana cerita berpusat. Sedangkan
tema sampingan adalah gagasan yang dipergunakan untuk
mengembangkan cerita. Topik adalah penjabaran dari tema sentral,
yang sifatnya lebih konkrit.52
Berdasarkan sumbernya, tema digolongkan menjadi
beberapa.53
1. Tema berasal dari kejiwaan manusia, yang secara tidak
langsung menggambarkan keadaan atau proses atau kejiwaan
manusia.
2. Pengalaman pengarang merupakan dunia tersendiri yang
menjadi sumber tema cerita.
3. Masalah hidup dan kehidupan manusia.
52
Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: BMT”Nurul Jannah”, 2000), hal: 47. 53
Ibid. Hal: 43-46.
25
4. Sejarah. Tema sejarah bukan berarti hanya catatan peristiwa
sejarah masa lampau, tetapi mengandung berbagai pemahaman
tentang manusia.
5. Filsafat.
6. Pendidikan.
E. Hakikat Negara Monarki
1. Pengertian Negara Monarki
Monarki merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani monos
yang berarti tunggal dan arkien yang berarti memerintah. Jadi dapat
dikatakan bahwa negara Monarki adalah bentuk negara yang dalam
pemerintahannya hanya dikuasai dan diperintah (yang berhak
memerintah) oleh satu orang saja.54
Bentuk-bentuk negara bukanlah persoalan utama yang hendak
diketengahkan Machivelli di dalam Il Principe, namun kendati hanya
sepintas, ia pun menyinggung soal bentuk-bentuk negara itu. Menurut
Machiavelli, ada dua bentuk negara yang paling penting, yaitu:
republik dan monarki. Ia mengatakan:
Seluruh negara dan dominion yang menguasai atau yang telah
menguasai umat manusia berbentuk republik atau monarki.55
Machiavelli mengatakan bahwa ada dua jenis monarki, yaitu:
monarki warisan (yang telah lama ada), dan monarki baru. Monarki
baru terdiri dari yang sama sekali baru dibentuk dan ada pula yang
merupakan suatu penggabungan dari kerajaan yang sama sekali baru
atau yang telah ada kepada suatu kerajaan yang telah lama ada.
Machiavelli mengatakan:
Monarki dapat berupa warisan yang para penguasanya selama
bertahun-tahun adalah keturunan dari keluarga yang sama, tetapi
54
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): dmeokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2003), hlm., 58 55
J.H. Rapar, Filsafat Politik: Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm., 412.
26
dapat pula yang baru saja dibentuk. Sedangkan monarki baru dapat
berupa monarki yang sama sekali baru... atau merupakan anggota
baru yang diokulasikan ke monarki warisan milik sang penguasa
yang mencaplok mereka...56
Menurut Jellinek, apabila cara terjadinya pembentukan kemauan
negara itu semata-mata secara psikologis atau secara ilmiah, yang
terjadi dalam jiwa/badan seseorang dan nampak sebagai kemauan
seseorang/individu, maka bentuk negaranya adalah monarchi.57
Sedangkan menurut Mac Iver, monarki ialah pemerintahan oleh satu
orang dengan kekuasaan yang sangat luas atau absolut. Pada bentuk
monarki ini dikenal dengan sistem pergantian yang bersifat turun-
temurun. Di samping itu kita dapati dalam sistem ini suatu tanda
bahwa raja dan kerabatnya merupakan suatu lapisan masyarakat yang
terpisah dari lainnya, oleh karena raja dan kerabat di sekitarnya
mempunyai dan dilengkapi dengan berbagai macam hak yang
istimewa (hak preogatif) yang melekat pada diri mereka.58
2. Jenis-jenis Pemerintahan Monarki
Pemerintahan monarki terbagi menjadi dua:
a) Turun-temurun dan elektif
Monarki mungkin saja diklasifikasikan sebagai tahta turun-
temurun dan elektif. Monarki secara turun-temurun adalah tipe
yang normal. Kebanyakan monarki dahulunya dikenal dengan
istilah turun-temurun. Dan kehidupan monarki turun-temurun ini
memiliki banyak karakter. Monarki ala turun-temurun mewariskan
tahta sesuai dengan peraturan rangkaian pergantian tertentu. Ahli
waris laki-laki yang tertua biasanya menjadi raja, menggantikan
56
Ibid. hal: 414-415 57
Azhary, Ilmu Negara: Pembahasan Buku Prof. Mr. R. Kranenburg, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986), hlm., 49-50. 58
Soelistyani Ismali Gani, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, ---), hlm.,
134
27
posisi raja atau ayahnya sendiri.59
Kerajaan Majapahit menganut
sistem pemerintahan monarki turun-temurun yang biasanya pewaris
laki-laki yang mewarisi tahta. Namun, setelah Sri Jayanegara
meninggal tanpa memiliki keturunan, maka tahta diwariskan
kepada adiknya. Pewarisan tahta ini menjadi konflik ketika pewaris
seorang putri bukan pangeran yang suatu saat akan menikah dan
patuh terhadap suaminya. Hal ini dikhawatirkan dapat berdampak
pada “kemurnian” pemerintahan kerajaan.
Rangkaian pergantian juga bisa ditentukan dengan
konstitusi atau melalui sebuah aksi legislature.60
Namun bukan hal
yang luar biasa jika dari masa ke masa monarki elektif berubah
menjadi monarki turun-temurun.
b) Monarki Mutlak dan Tebatas
Mpnarki juga bisa diklasifikasikan sebagai mutlak dan
terbatas. Garner menyatakan monarki mutlak adalah monarki yang
benar-benar raja. Kehendaknya adalah hukum dalam merespek
segala perkara yang ada. Dia tidak dijilid atau dibatasi oleh apapun
kecuali kemauannya sendiri. Di bawah sistem ini negara dan
pemerintahan tampak identik.61
Monarki terbatas memiliki kekuatan yang dibatasi oleh
konstitusi yang tertulis atau dengan prinsip fundamental yang tak
tertulis.62
Jadi, raja hanya sekadar simbol, sedangkan jalannya
pemerintahan dipimpin yang lainnya.
59
Jefry Hutagalung, Bentuk Pemerintahan Monarki/Kerajaan (Mei 2009), diakses dari
https://jefryhutagalung.wordpress.com/2009/05/04/bentuk-pemerintahan-monarkikerajaan/ 60
Ibid 61
Ibid 62
Ibid
28
F. Hakikat Kekuasaan
1. Pengertian Kekuasaan
Kekuasaan adalah suatu fenomena misterius yang tidak dapat
diukur, ditimbang, ataupun dilihat dengan panca indera.63
Kekuasaan
merupakan suatu model komunikasi yang khas, yang berbentuk tanda
yang berarti merupakan acuan situasi tertentu para pelakunya, baik
pengirim maupun penerima tanda-tanda atau arus informasi tersebut.64
Michel Foucault melihat politik kekuasaan tidak bisa dilepaskan
dari tubuh manusia karena akhirnya kepentingannya adalah
mendapatkan kepatuhan.65
Kekuasaan adalah kemampuan atau
wewenang untuk menguasai orang lain, memaksa dan mengendalikan
mereka sampai mareka patuh, mencampuri kebebasannya dan
memaksakan tindakan-tindakan dengan cara-cara yang khusus.66
Budiardjo juga berpendapat bahwa kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku
seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.67
Oleh karena itu, sejak periode kerajaan seperti Majapahit sampai era
pemerintahan modern kekuasaan merupakan hal yang selalu
diperebutkan karena sebagai alat mengontrol suatu pemerintahan.
Kekuasaan tentu saja tidak dapat dipisahkan dari politik. Politik
dipandang sebagai kegiatan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu ilmu politik dirumuskan
sebagai ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan dan penggunaan
kekuasaan di manapun kekuasaan itu berada. Kekuasaan menurut
pandangan ini adalah kemampuan (kapabilitas) untuk mempengaruhi
63
Orloc, Kekuasaan, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm., 1. 64
Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, (Jakarta: Rajawali, 1990), hlm., 77. 65
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta:Kompas, 2003) hlm., 216. 66
I. Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung,
(Yogyakarta:Kanisius, 1992), hlm., 32. 67
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008), hlm., 17-18.
29
orang lain atau pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan
kehendak yang memengaruhinya.68
2. Dimensi-dimensi Kekuasaan
a) Dimensi Potensial dan Aktual
Seseorang yang dipandang mempunyai kekuasaan potensial
apabila dia mempunyai atau memiliki sumber-sumber kekuasaan,
seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan dan informasi,
popularitas, status sosial yang tinggi, massa yang teroganisir, dan
jabatan.69
Jika seseorang menggunakan sumber-sumber yang
dimilikinya ke dalam kegiatan-kegiatan politik secara efektif maka
orang tersebut memiliki kekuasaan aktual.
b) Dimensi Konsensus dan Paksaan
Aspek paksaan dari kekuasaan cenderung memandang
politik sebagai perjuangan, pertarungan, dominasi, dan konflik.
Tujuan yang hendak dicapai bukan mengenai kepentingan secara
umum namun menyangkut kepentingan kelompok kecil
masyarakat. Selain itu alasan untuk menaati kekuasaan adalah rasa
takut, takut akan paksaan fisik dan paksaan non fisik. Kekuasaan
berdasarkan paksaan merupakan cara paling efektif untuk
mendapatkan ketaatan dari pihak lain. Namun, selain pelanggaran
etik, penggunaan paksaan menimbulkan kediktatoran ketika sarana
paksaan fisik sebagai penentu tidak ada. Sarana kekuasaan yang
dipergunakan untuk mendapatkan ketaatan dnegan kekuasaan
paksaan berjumlah tiga macam, yakni sarana paksaan fisik, sarana
ekonomi, dan sarana psikologis.
Sedangkan aspek konsensus dari kekuasaan akan cenderung
melihat elit politik sebagai orang yang tengah berusaha
menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat secara
68
P. Anthonius Sitepu, Teori-teori Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm., 10 69
Ibid, hlm., 52
30
keseluruhan.70
Alasan untuk menaati kekuasaan konsensus pada
umumnya berupa persetujuan sacara sadar dari pihak yang
dipengaruhi. Kekuasaan konsensus menggunakan sarana-sarana
seperti nilai-nilai kebaikan bersama, moralitas dan ajaran-ajaran
agama, keahlian dan popularitas pribadi terkenal untuk
mendapatkan ketaatan. Tindakan orang lain untuk menaati
kekuasaan tidak tergantung kepada kehadiran pemegang kekuasaan
yang bersangkutan akan tetapi bergantung pada kesadaran,
pengertian, dan persetujuan yang dipengaruhi sendiri.
c) Dimensi Positif dan Negatif
Kekuasaan positif adalah penggunaan sumber-sumber
kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan
diharuskan. Sedangkan kekuasaan negatif adalah penggunaan
sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah orang lain mencapai
tujuannya yang tidak hanya dipandang tidak perlu akan tetapi juga
merugikan pihaknya.
d) Dimensi Jabatan dan Pribadi
Dalam masyarakat yang sudah maju dan mapan,
penggunaan kekuasaan yang terkandung dalam jabatan tersebut
secara efektif tergantung sekali pada kualitas pribadi yang dimiliki
dan ditampilkan oleh setiap pribadi yang memegang jabatan. 71
Pada masyarakat yang masih sederhana, struktur kekuasaan dalam
masyarakat seperti itu didasarkan atas realitas pribadi lebih
menonjol daripada kekuasaan yang terkandung dalam jabatan itu
sendiri.
e) Dimensi Implisit dan Eksplisit
Kekuasaan implisit adalah kekuasaan yang tidak dilihat
dnegan kasat mata akan tetapi dapat dirasakan. Sedangkan
70
Sitepu, op.cit., hlm., 53. 71
Ibid., hlm., 54.
31
kekuatan eksplisit adalah pengaruh yang jelas terlihat dan dapat
dirasakan.72
f) Dimensi Langsung dan Tidak Langsung
Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber
kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan
politik dengan melakukan hubungan secara langsung tanpa
menjadi perantara. Sedangkan kekuasaan tidak langsung adalah
penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi
pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melalui perantara
pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih
besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik.73
3. Sumber Kekuasaan
a) Coercive Power
Coercive Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena
sering menunjukkan kekerasan baik dalam kepemimpinannya
maupun dalam berbagai kepengurusan, unsur-unsur yang harus
dipenuhi adalah sering membentak, menggunakan senjata, sering
marah, oleh karena itu diperlukan suara yang keras, badan yang
tegap dan besar, tetapi beresiko ketika seseorang yang sedang
berkuasa itu seketika sakit dan melemah kekuasaannya.74
b) Legitimate Power
Legitimate Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena
mendapat surat keputusan, mendapat ijazah, mendapat
pengangkatan sehingga absah untuk memimpin, dan absah untuk
memerintah dan menundukkan orang lain, resikonya adalah tidak
menutup kemungkinan setelah memegang surat keputusan, ijazah,
72
Sitepu, op.cit 73
Ibid. 74
Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta. 2010), hlm.,89
32
dan pengangkatan malahan tidak mampu memanfaatkan
kekuasaaan itu.75
c) Expert Power
Expert Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena
seseorang tersebut memiliki keahlian tertentu sehingga orang lain
membutuhkan keahliannya, kecerdasan, keterampilan, baik dalam
mengajar, atau pun tempat bertanya, bahkan tidak menutup
kemungkinan orang lain membayarnya, dengan demikian yang
bersangkutan menjadi mampu memerintah, dan menyuruh sebagai
awal kekuasaan.76
d) Reward Power
Reward Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena
seseorang tersebut sering memberi kepada pihak lain sehingga
resikonya orang yang diberi berhutang budi dan bersedia diatur dan
disuruh oleh orang yang membayar, jadi bukan berarti kekuasaan
yang diberikan dari seseorang kepada seseorang tetapi kekuasaan
yang diperoleh dengan sendirinya karena banyaknya pemberian
dari sang penguasa.77
e) Reverent Power
Kekuasaan ini muncul dengan didasarkan atas pemahaman
secara kultural dari orang-orang dengan berstatus sebagai
pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin itu sebagai panutan
simbol dari perilaku mereka. Aspek kultural yang biasanya muncul
dari pemahaman religiolitas direfleksikan pada kharisma pribadi,
keberanian, sifat simpatik dan sifat-sifat lain yang tidak ada pada
kebanyakan orang. Hal itu menjadikan orang lain tunduk pada
kekuasaannya.78
f) Connection Power
75
Syafiie, op.cit 76
Ibid 77
Ibid 78
Sitepu, op.cit., hlm., 55
33
Connection Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena
seseorang mempunyai hubungan silahturahmi yang luas dengan
orang lain, hal ini disebut juga saat ini koneksi nepotisme, namun
bagaimanapun kekuasaan seseorang itu muncul karena banyaknya
sahabat, relasi, keluarga, almamater, teman, persengkongkolan
dengan pihak lain.79
g) Information Power
Information Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena
seseorang mempunyai data, informasi, fakta, dan lain lain sehingga
pihak lain membutuhkan dirinya, itulah sebabnya wartawan baik
dari media elektronik, maupun media cetak apalagi internet sangat
memiliki kekuasaan saat ini karena menghimpun data dengan
sangat sempurna.80
G. Pengajaran Sastra di Sekolah
Manurut Jakob Sumardjo fungsi sastra dan pengjarannya di
Indonesia belum begitu berhasil, karena itu ia megemukakan beberapa hal
yang dapat diakukan. Pertama, memperbaiki pegajaran sastra di sekolah-
sekolah. Kalau faktor guru dan sistem memang bisa segera diatasi bisa
digalakkan pengadaan buku-buku penuntun yang memadai, buku-buku
antalogi dan semacamnya. Kedua, memanfaatkan kehadiran sastra populer
untuk pengajaran sastra serius.81
Ketiga, kalau sastra popler yang baik
boleh masuk sekolah, maka sebaliknya karya-kayasastra yang baik harus
bisa masuk ke dalam wilayah penerbitan populer.82
Karya sastra merupakan refleksi dari fenomena-fenomena yang
terjadi di masyarakat. Fenomena tersebut juga tidak lepas dari bidang
pendidikan, seperti yang tergambar di dalam novel Laskar Pelangi karya
79
Syafiie, op.cit., hlm., 90 80
Ibid. 81
Jakob Sumardjo, Sastra Populer dan Pengajaran Sastra dalam buku Budaya Sastra,
(Jakarta: Rajawali, 1984), hlm., 61. 82
Sumardjo, op.cit, hlm., 62.
34
Andrea Hirata. Selain itu banyak juga novel-novel yang dapat dikaitkan
dengan disiplin ilmu yang lain.
Melalui karya sastra, kita diajak untuk melihat fenomena-fenomena
yang terjadi di dalam msyarakat dengan kacamata yang berbeda, yaitu
sastra. Sebuah karya sastra yang baik bukan hanya dapat menghibur, tapi
juga dapat membuka pikiran kita kan kemungkinan-kemungkinan lain
dalam menjalani hidup. Asahan emosi dan logika bisa kita dapatkan
melalui karya sastra khususnya novel.
Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan
karena sastra dapat meningkatkan keterampilan berbahasa. Sastra dapat
membantu pendidikan secara utuh karena sastra dapat meningkatkan
pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, rasa dan karsa, menunjang
pembentukan watak, mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan
kehidupan, pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi83
.
H. Penelitian yang Relevan
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan novel Gajah Mada:
Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi.
Penelitian ini menggunakan teori politik mengenai perebutan kekuasaan.
Penelitian ini sebenarnya sangat menarik untuk dikaji. Namun, penelitian
karya Langit Kresna Hariadi terdahulu belum ada yang mengangkat segi
ini. Penelitian yang relevan tersebut diantaranya adalah:
Skripsi karya Handoyo (UNS, 2009) dengan judul Analisis
Struktural Novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan
Angkara dan Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi. Hasil dari
penelitian ini adalah persamaan dan perbedaan unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik dari kedua novel tersebut. Permasalahan yang dibahas adalah
pertama, unsur intrinsik dari novel Bergelut dalam Kemelut Tahta dan
Angkara dan Perang Bubat. Kedua, unsur ekstrinsik kedua novel tersebut
83
Kinayati Djojosuroto, Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya,( Yogyakarta: Penerbit
Pustaka, 2006), hlm., 85.
35
yaitu aspek sosial budaya pengarang dan sosial budaya yang ada dalam
kedua novel tersebut. Teori struktural digunakan untuk membahas
permasalahan pertama, sedangkan teori sosiologi sastra digunakan untuk
membahas permasalahan kedua.84
Selanjutnya skripsi karya Rizki Adistya Zubaida (UNS, 2012)
dengan judul penelitian Analisis Tokoh dan Nilai Pendidikan dalan Novel
Gajah Mada Karya Langit Kresna Hariadi (Tinjauan Psikologi Sastra).
Analisis dalam penelitian ini membahas mengenai: pertama, unsur
intrinsik novel Gajah Mada; kedua, konflik batin tokoh; ketiga nilai
pendidikan yang terkandung di dalam novel Gajah Mada karya Langit
Kresna Hariadi. Nilai-nilai pendidikan yang diangkat penelitian ini adalah
nilai sosial, nilai moral/etika, nilai religius/keagamaaan, nilai
kepahlawanan/patriotisme, dan nilai estetika.85
84
Handoyo. Analisis Struktural Novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan
Angkara dan Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi, skripsi mahasiswa Universitaas Sebelas
Maret, 2009. Dalam http://perpustakaan.uns.ac.id. 85
Rizki Adistya Zubaida. Analisis Tokoh dan Nilai Pendidikan dalan Novel Gajah Mada
Karya Langit Kresna Hariadi (Tinjauan Psikologi Sastra), skripsi mahasiswi Universitas Sebelas
Maret, 2012, Dalam http://perpustakaan.uns.ac.id.
36
BAB III
TINJAUAN NOVEL GAJAH MADA: TAHTA DAN ANGKARA
A. Sinopsis
Siapa yang tidak mengenal Gajah Mada? Tokoh fenomenal yang
merupakan contoh sempurna seorang patriot sejati. Mengerahkan segala
pikiran, jiwa, dan raganya demi keutuhan dan kejayaan Kerajaan
Majapahit. Tangan besi dan hati batu, itulah Gajah Mada.
Negeri yang damai dan tentram semasa pemerintahan Sri
Jayanegara terusik oleh ulah Dharmaputra Winehsuka yang melakukan
makar dan memaksa Sri Jayanegara angkat kaki dari dampar. Gajah Mada,
yang saat itu masih berpangkat bekel, memimpin pasukan kecilnya,
Bhayangkara,namun berkemampuan keprajuritan paling tinggi dibanding
pasukan kerajaan yang lain, berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan
Sri Jayanegara kembali ketahtanya. Usaha itu pun tercapai. Dharmaputra
Winehsuka dihukum mati atas perbuatannya dan Majapahit pun memulai
mengobati luka-luka makar tersebut. Tapi perebutan kekuasaan tetap
berlanjut.
Sembilan tahun setelah makar Dharmaputra Winehsuka, Majapahit
kembali dirundung masalah perebutan kekuasaan. Semua ini berawal dari
terbunuhnya Sri Jayanegara akibat diracun oleh tabib kerajaan
kepercayaannya, satu-satunya Dharmaputra yang menyerah, Ra Tanca.
Setelah meracuni Sri Jayanegara, Ra Tanca pun tewas oleh keris beracun
milik Gajah Mada yang telah berpangkat patih.
Sesuai dengan hukum monarki, tahta raja seharusnya jatuh kepada
saudara satu darah. Namun, kedua saudara Sri Jayanegara bukan laki-laki
melainkan sekar kedaton. Yang lebih berhak atas tahta tentu saja yang
tertua, Sri Gitarja, namun sikapnya yang sangat lembut membuat Gajah
Mada khawatir. Sedangkan sifat-sifat kepemiminan lebih dimiliki oleh
adiknya, Dyah Wiyat. Tapi bukan para sekar kedaton yang membuat Gajah
37
Mada memikirkan ulang mengenai pewaris tahta, namun para suami sekar
kedaton atau yang lebih tepat, orang-orang di balik mereka.
Raden Cakradara, suami Sri Gitarja, memiliki Pakering Suramurda
di belakangnya. Celakanya justru Suramurda yang paling berhasrat
menjadikan Cakradara raja dengan mengawini Gitarja. Recana sedemikian
rupa pun disusun oleh Suamurda untuk menghalangipihak
lainnyamenguasai dampar, dengan cara apapun.
Rencana yang sama juga disusun pendukung Raden Kudamerta,
Panji Wiradapa. Hanya saja motivasi Wiradapa yang menginginan jabatan
Mahapatih apabila Kudamerta menjadi raja dibumbui dendam lama kepada
raja terdahulu, Raden Wijaya. Untuk mempertahankan kendalinya atas
Kudamerta, Wiradapa menyandra orang-orang yang paling dicintai
Kudamerta, istri dan bayi laki-lakinya.
Mengetahui Kudamerta telah beristri bahkan memiliki anak dan
menjadikan Dyah Wiyat sebagai istri kedua, Gajah Mada tentu saja tidak
bisa bertindak diam. Hal ini semakin genting karena Ratu Gaytri, yang
memegang tahta sementara sekaligus ibu kandung kedua sekar kedaton,
mengetahui hal ini, demikan juga Dyah Wiyat. Mengetahui ia dijadikan
istri kedua dan ditambah bahwa ia tidak mencintai Kudamerta membuat
Wiyat sangat membenci suaminya. Namun, beban moral bahwa ia seorang
sekar kedaton yang merupakan panutan rakyatnya membuat ia tidak bisa
meminta cerai, apalagi laki-laki yang ia cintai malah membunuh saudara
laki-lakinya. Selain itu Gajah Mada deengan dibantu pasukan khusus
Bhayangkara juga harus menyelidiki keberadaan istri pertama Kudamerta,
Dyah Menur, serta bayinya. Gajah Mada merasa bahwa keberadaan bayi
ini akan mengancam peralihan kekuasaan Majapahit di masa depan.
Di sisi lain, hal-hal ganjil terjadi di lingkungan istana dan
membawa nama Cakradara dan Suramurda kepada kasus pembunuhan.
Gitarja yang mengetahui hal itu tidak bisa menyembunyikan hatinya yang
hancur. Benarkah suami yang sangat dicintainya tega membunuh? Gitarja
merasa ia tidak pantas mengemban jabatan seorang ratu jika kedaan
38
suaminya seperti itu dan akhirnya memutuskan menyerahkannya kepada
Dyah Wiyat namun ditolak.
Ternyata bahaya perebutan kekuasaan tidak hanya datang dari
dalam istana. Informasi yang didapat oleh pasukan khusus Bhayangkara
bahwa telah dibangun pasukan di wilayah terpencil di dalam hutan,
membuat Gajah Mada waspada akan bahaya makar. Segala daya dan
upaya telik sandi dilakukan untuk mendapatkan informasi sedetil mungkin
tentang pasukan ini. Akhirnya diketahuilah nama pemimpinnya yaitu
Raden Panji Rukmamurti dan tangan kanannya, Mandrawa.
Ancaman pasukan misterius ini terhadap pihak istana semakin
menjadi dengan pencobaan pembunuhan terhadap Dyah Wiyat oleh
Rukmamurti. Sebelumnya pesan-pesan kematian berupa mayat-mayat
yang dikirim ke lingkungan istana dan pencobaan pembunuhan terhadap
Kudamerta, telah membuat Gajah Mada terus meningkatkan
kewaspadaannya. Dan hal ini diperparah dengan cederanya pemimpin
pasukan Bhayangkara, Senopati Gajah Enggon. Karena ancaman
pembunuhan ditujukan kepada pihak Dyah Wiyat dan Raden Kudamerta,
tentu saja kecurigaan akan terlibatnya Raden Cakradara semakin
memuncak. Namun, hal yang tak terduga terjadi. Suramurda mati
terbunuh. Hal ini membuat Gajah Mada harus mengerahkan setiap sel-sel
otaknya untuk mengungkapkan peristiwa sebenarnya yang terjadi.
Di lain pihak Dyah Menur yang terancam dibunuh berhasil
diselamatkan oleh mantan anggota Bhayangkara, Pradhabasu. Pradhabasu
yang merasa kasihan akan keadaan Menur menyembunyikannya dari
Gajah Mada karena ia mengetahui apa yang akan dilakukan Gajah Mada
terhadap Dyah Menur dan bayinya. Pradhabasu berusaha menolong Dyah
Menur yang sangat ingin bertemu dengan suaminya dengan
menyelundupkannya menjadi abdi dalem istana kiri, istana Dyah Wiyat.
Menur yang menyamar menjadi Sekar Tanjung tiba-tiba menjadi dayang
kesayangan Wiyat. Tentu saja hal ini menjadi beban yang sangat berat
untuk Kudamerta.
39
Rencana makar Raden Panji Rukmamurti berhasil digagalkan
dengan ditumpasnya pasukan tersebut dan ditangkapnya Rukmamurti
beserta Mandrawa. Pengadilan pun dilakukan di Bale Manguntur,
dipimpin oleh Ratu Gayatri sendiri. Dari pengadilan itu diketahuilah
bahwa pembunuhan yang terjadi di dalam istana yang ditujukan untuk
mengambinghitamkan Raden Cakradara dilakukan oleh Panji Wiradapa
agar tahta raja jatuh ke tangan Kudamerta. Serta dibukanya identitas asli
Panji Rukmamurti yaitu Nyai Tanca, istri Ra Tanca. Dendamnya kepada
Gajah Mada yang telah membunuh suaminya dan kepada Dyah Wiyat
yang selingkuh dengan suaminya membuatnya gelap mata dan
merancanakan makar. Mandrawa sendiri adalah salah satu anggota muda
pasukan khusus Bhayangkara yang berkhianat akibat terjebak bujuk rayu
Nyai Tanca.
Setelah menjatuhi hukuman kepada Nyai Tanca, Wiradapa, dan
Mandrawa, Ratu Gayatri memanfaatkan kesempatan ini untuk
mengukuhkan status Dyah Wiyat sebagai istri sah dan satu-satunya Raden
Kudamerta demi keutuhan Kerajaan Majapahit dimasa depan.
“Hamba belum pernah mengawini siapa pun, Tuan Putri,” jawab
Kudamerta dengan suara amat tegas.
Dyah Menur yang mendengar pernyataan suaminya di depan
khalayak banyak mengukuhkan hatinya untuk memberikan suaminya
tercinta kepada sekar kedaton. Dan pergi membawa bayi yang
dikhawatirkan Gajah Mada sebagai pembawa bencana bersama
Pradhabasu.
B. Biografi Pengarang
Langit Kresna Hariadi lahir di Banyuwangi tahun 1959 sebagai anak
bungsu dari keluarga besarnya. Ia banyak menghabiskan masa kanak-
kanaknya hingga tamat SD di desa bernama Tegaldlimo sebuah daerah di
Banyuwangi, Jawa Timur. Jenjang SMP diselesaikan di Benculuk, SMA di
Genteng yang kemudian berlanjut ke IKIP di Surabayadengan mengambil
40
jurusan fisika. Hingga akhirnya Langit Kresna Hariadi memilih untuk
tidak menamatkan kuliahnya. Sebuah kekecewaan dialami kakanya yang
telah membiayai studinya, tetapi sebuah berkah di balik itu semua karena
sekarang telah menjadi pengarang yang hasilnya telah bisa untuk
memimpin hidup keluarganya sendiri.1
Sekarang Langit Kresna Hariadi bertempat tinggal bersama
keluarganya di Perumahan Korps Cacat Veteran Nomor 68 di daerah Jaten
Karanganyar. Tanah yang sekarang dibangun menjadi perumahan tersebut
sebelumnya adalah milik almarhum Mantan Presiden Soeharto seluas
17.492 m2
itu kemudian dibagi-bagikan kepada 136 anggota Yayasan
Korps Cacat Veteran RI. Di rumah inilah Langit Kresna Hariadi sehari-
hari melakukan kegiatan menulisnya dan sekarang disibukkan dengan
bolka-balik Solo-Jakarta karena ketiga seri novel Gajah Mada akan
diangkat ke layar lebar oleh Slamet Raharjo Djarot. Langit Kresna Hariadi
kemudian menggubah ketiga seri novel Gajah Mada menjadi sebuah cerita
ringkas yang selanjutnya menjadi sebuah skenario film. Ketekunannya
sebagai penulis inilah yang mengantarkannya menjadi orang yang dikenal
luas oleh berbagai kalangan.2
Latar belakang keluarga yang biasa saja, tetapi terbiasa dengan
semangat yang tinggi dalam memperjuangkan hidup. Pada awalnya pihak
keluarga tidak menyetujui ketika Langit Kresna Hariadi terjun menggeluti
dunia tulis-menulis karena pemikiran pihak keluarga bahwa seorang suami
harus bekerja di kantor seperti orang-orang pada umumnya. Hal ini
membuat Langit Kresna Hariadi tidak bergeming untuk melanjutkan
pemikirannya bahwa dengan menulis kelak akan bisa menghidupi
keluarga. Keyakinan yang telah dibuktikan, novel pertamanya berjudul
Gajah Mada laris di pasaran, meskipun di dalamnya banyak terjadi
berbagai kesalahan. Sebagai tanggung jawab ilmiah, novel pertama
1 Handoyo. Analisis Struktural Novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan
Angkara dan Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi, skripsi mahasiswa Universitaas Sebelas
Maret, 2009. Dalam http://perpustakaan.uns.ac.id. 2 Ibid.
41
tersebut direvisi yang kemudian berjudul Gajah Mada: Bergelut dalam
Kemelut Tahta dan Angkara3.4
Latar Belakang seorang pengarang Langit Kresna Hariadi dalam
mengangkat karya dalam novel Gajah Mada adalah karena
keterpengaruhannya oleh gaya penceritaan novelis S.H. Mintardja (pelopor
cerita silat). Hal ini adalah sebuah kewajaran, karena bagaimanapun juga
seorang pengarang tidak akan pernah lepas pada apa yang pernah dibaca
atau ketertarikannya terhadap beberapa karya sastra yang terlanjur menjadi
favoritnya sehingga secara sadar maupun tidak disadari turut memengaruhi
karya yang dihasilkannya.5
Langit kemudian menekuni kepenulisan secara profesional ketika ia
bekerja di radio PTPN Solo sebagai penulis naskah drama radio. Ia pindah
ke Sanggar Sakutala di Radio Roiska, kemudian ke Sanggar Prativi di
Jakarta. Karena keterbiasaannya membuat naskah drama radio, ia pun bisa
mengetik secara cepat. Oleh karena itu, novel yang tebalnya beratus-ratus
halaman dapat ia selesaikan dalam waktu tiga bulan.
Naskah awal novel Gajah Mada sebenarnya adalah naskah drama
radio yang berjudul Dhuaja Bayangkara. Ia menulis naskah itu atas
perintah produser karena S. Tijab kelelahan. Namun, karena bisnis drama
radio ambruk, naskah itu tidak disiarkan. Kemudian Langit mengubah
naskah drama itu ke dalam novel dan mencoba menawarkannya kepada
dua penerbit, namun ditolak. Barulah pada saat ia menawarkan ke penerbit
Tiga Serangkai, naskahnya diterima dan judulnya diganti menjadi Gajah
Mada.
Novel Gajah Mada awalnya tidak dibuat berseri. Tapi ketika telah
diterbitkan novel tersebut mendapat sambutan yang antusias dari pembaca.
Akhirnya ia pun menyanggupi permintaan penerbit untuk membuat sekuel
dari novel Gajah Mada. Namun, novel pertama Gajah Mada ternyata juga
menuai kritik pedas dari pembaca. Hal ini dikarenakan data-data yang
3 Selanjutnya mengalami revisi pada judul menjadi Gajah Mada: Tahta dan Angkara
4 Handoyo, Op.cit
5 Ibid.
42
Langit cantumkan di dalam novelnya banyak yang tidak akurat. Langit
mengamini hal ini terjadi karena ia menulis novel tersebut tanpa riset yang
benar. Dari situlah keempat sekuel novel Gajah Mada ia buat berdasarkan
riset yang sungguh-sungguh guna tidak adanya kesalahinformasian kepada
pembaca.
Selain menelaah dari buku atau internet, Langit juga mendatangi
situs-situs bersejarah yang mendukung tulisannya. Ia pergi ke Sapih di
daerah Probolinggo, yang termasuk wilayah Madakaripura dan di sana
terletak prasasti Sumpah Palapa. Kemudian ia ke Singapura untuk
membayangkan armada Majapahit di wilayah Tumasek. Ia juga ke situs
Karang Kamulyan yang diperkirakan tempat berdirinya Kerajaan Sunda
Galuh. Namun, ia kesulitan menetapkan lokasi di mana perang Bubat
berlangsung. Karena masih ada polemik mengenai letak lapangan Bubat.
Langit juga dibantu oleh Yayasan Peduli Majapahit untuk mendapatkan
akses data mengenai situasi Majapahit berdasarkan rekonstruksi Henry
Maclaine Pont, seorang peneliti dan arsitek dari Belanda. Dari situ ia
dapat membayangkan bahwa Kerajaan Majapahit sangat besar. Ia melihat
balai prajurit majapahit yang telah dipugar oleh Kodam Brawijaya sangat
megah, berarti istana Majapahit pasti lebih megah dan besar.
Menurut Langit, Majapahit bisa dikatakan sebagai pemersatu atau
agresor. Tapi Majapahit tidak mungkin menyerang jika tidak ada sebab.
Jika suatu wilayah tidak ingin bergabung dengan kerajaan Majapahit
dengan sukarela, barulah melancarkan serangan. Hal ini dikarenakan
Gajah Mada tidak ingin peristiwa Tarta menyerang Singasari terulang lagi,
maka ia pun berambisi menyatukan seluruh nusantara di bawah panji
Majapahit. Masalah penyerangan, Langit membeberkan bahwa formasi
perang ia adopsi dari cerita pewayangan Baratayudha walaupun
sebenarnya pada masa itu formasi perang belum ada.
43
C. Pandangan Hidup
Langit Kresna Hariadi adalah penulis yang mengangkat sejarah dan
budaya Jawa ke dalam karya-karyanya. Beliau berpendapat bahwa novel
yang mengangkat tema mengenai sejarah kuno mengalami kekosongan
setelah penulis-penulis besar seperti Pramudya Ananta Toer dan Seno
Gumira Ajidarma vakum menulis cerita yang mengangkat sejarah.
Karya sastra yang bergenre sejarah memang lebih mundur dari
hadapan pembaca dibandingkan dengan karya sastra yang berbau kritik
sosial. Karena tidak banyak pengarang yang dapat menghantarkan alur
sejarah sedemikian nyata sehingga pembaca seakan ikut dalam peristiwa
tersebut. Langit mencoba menjawab tantangan itu dengan membuahkan
karya Candi Murca yang mengangkat sejarah Kerajaan Sriwijaya. Tak
dinyana keinginannya untuk mengangkat kembali novel sejarah Indonesia
disambut hangat oleh para pembaca.
Menurut Langit, banyak hal yang bisa dipelajari dari masa lalu.
Peristiwa kejayaan, masa-masa keemasan raja-raja pada jaman dahulu
sebenarnya dapat kita pelajari dan amalkan untuk bangsa Indonesia ke
depannya. Anak-anak dan para remaja sayangnya banyak yang tidak
menyukai sejarah. Karya sastra yang mengangkat sejarah pun dinilai
menggunakan “bahasa” yang terlalu tinggi bagi mereka. Karya-karya yang
dihasilkan Langit menggunakan bahasa yang luwes yang bisa dikonsumsi
oleh berbagai kalangan, sehingga diharapkan dapat memancing kaum
muda untuk mulai menggemari sejarah Indonesia.
“Dokumen-dokumen sejarah berupa rontal dan karya-karya pujangga
Majapahit memag perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih
dapat diterima oleh anak-anak dan pemuda. Dan akan sangat
bermanfaat jika saja novel-novel seperti ini tidak saja dikonsumsi oleh
mereka yang tertarik sejarah, tetapi ditanamkan ke dalam lubuk hati
terdalam setiap anak Indonesia. Untuk meyakinkan bahwa bangsa ini
punya pprofil-profil kempemimpinan yang luhur budi dan tinggi
kemampuannya. Bukan hanya pemimpin kagetan seperti sekarang-
sekarang ini.”6
6 Diposkan oleh Bhayangkara Indonesia, Jumat 11 April 2008, 03.27,
http://bhayangkaraindonesia.blogspot.com/2008/04/biografi-gajahmada-oleh-langit-kresna.html
44
Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang memiliki wilayah
kekuasaan terluas di Nusantara. Bahkan lebih luas dari wilayah negara
Indonesia sekarang ini. Hal ini karena sifat-sifat kepemimpinan yang dapat
membawa rakyat menuju zaman keemasannya. Namun, bukan berarti
zaman itu akan berlangsung selamanya, karena tidak ada yang abadi di
dunia ini. Langit juga mengungkapkan jika pemimpin melakukan tindakan
yang menyimpang, maka akan membawa seluruh rakyat dalam
kehancuran.
45
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Kajian Unsur Intrinsik Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara
Karya Langit Kresna Hariadi
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun sebuah karya sastra.
Unsur-unsur intrinsik terbagi menjadi tema, plot, perwatakan, latar,
sudut pandang, dan gaya penceritaan. Unsur-unsur yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah tema, plot, perwatakan, latar, dan gaya
penceritaan.
a. Tema
Tema merupakan gagasan utama yang dimiliki oleh
pengarang dan menempati posisi utama dalam cerita. Tema yang
mendominasi dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara
mengenai perebutan kekuasaan.
Ada tiga kubu yang ingin merebut kekuasaan setelah
meninggalnya Sri Jayanegara, yaitu Panji Wiradapa/Rangsang
Kumuda, Pakering Suramurda, dan Nyai Tanca/Panji Rukmamurti.
Dari ketiga tokoh ini, hanya Panji Wiradapa/Rangsang Kumuda
yang memiliki dua jalur perebutan. Jalur yang pertama dan sama
dengan jalur yang diambil oleh Pakering Suramurda adalah
memanfaatkan keponakannya yang menikah dengan Sekar
Kedaton. Karena Sekar Kedaton dua-duanya adalah perempuan,
mereka mengharapkan jalannya pemerintahan nanti akan
ditanggung oleh para suami, Raden Kudamerta atau Raden
Cakradara.
Jalur kedua dan diambil pula oleh Panji Rukmamurti adalah
jalur makar. Dilihat dari keadaan Karang Watu dan banyaknya
orang yang dilatih ilmu keprajuritan, perihal makar ini diduga
telah direncanakan lama. Walaupun bagaimana Rangsang Kumuda
dan Panji Rukmamurti bertemu itu tidak dijelaskan.
46
Mengenai perebutan kekuasaan, setiap peralihan kekuasaan
selalu ditandai dengan peristiwa berdarah.
“Sejak zaman Mataram, perebutan kekuasaan selalu terjadi.
Setiap peralihan kekuasaan selalu ditandai peristiwa berdarah,”
Pancaksara melanjutkan. “Lebih-lebih zaman Singasari, wilayah
paling berbahaya bagi negara adalah saat-saat peralihan
kekuasaan. Sekarang, tidak layak cemaskah kita dengan
pengalaman peralihan kekuasaan yang macam itu?”1
Sigap Gajah Mada memberikan sembahnya. Tugas yangb sangat
berat itu telah digenggam dan siap untuk dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, maka demikianlah, dengan jelas dan gamblang
Patih daha Gajah Mada melaporkan yang terjadi, siapa saja orang
yang terbunuh dan kemungkinan kepentingan apa saja yang
berada di belakang rentetan kejadian itu. Tegas dan penuh
keyakinan Patih Daha Gajah Mada menyebut, apa yang terjadi itu
merupakan tanda-tanda terjadinya perebutan kekuasaan. Di
belakang Raden Cakradara ada pihak yang bermain, ingin
menunggangi dan memanfaatkan Raden Cakradara.2
Dan pergantian kekuasaan di negeri mana pun selalu menyisakan
gejolak tanpa terkecuali Majapahit setelah meninggalnya
Jayanegara. Udara pun terasa sesak. Gerah akan menyergap siapa
pun yang mendambakan kedamaian dan ketenangan. Singasari
telah memberi contoh. Di setiap pergantian kekuasaan, udara
selalu tersa panas.3
b. Plot
Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita
yang disusun sebagai sebuah interrelasi fingsional yang sekaligus
menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Bisa
dikatakan bahwa secara umum, alur merupakan rangkaian
peristiwa-peristiwa dalam sebuh cerita. Dalam menguraikan cerita
alur terbagi ke dalam tahapan-tahapan yaitu pengenalan, konflik,
komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.
Alur atau plot di dalam novel Gajah Mada: Tahta dan
Angkara adalah mundur-maju-mundur-maju atau bisa kita sebut
alur campuran. Bagian pengenalan dalam novel ini diawali dengan
cuplikan peristiwa terakhir di dalam novel kemudian peristiwanya
1 Langit Kresna Hariadi, Gajah Mada: Tahta dan Angkara, (Yogyakarta: Tiga Serangkai,
2009), hlm. 35 2 Ibid, hlm. 241-242
3 Ibid, hlm. 337
47
bergerak maju. Lalu peristiwa ini berlanjut ketika Pacaksara
mengenang masa lalu mengenai silsilah raja dari Kerajaan
Singasari. Alur berubah menjadi maju, kemudian mulai muncul
beragam konflik. Konflik-konflik ini semakin meruncing dengan
terkuaknya satu persatu rahasia di balik pihak-pihak yang
memperebutkan kekuasaan. Konflik mencapai klimaksnya ketika
pasukan Bhayangkara mulai menyelidiki dan mengagalkan rencana
makar yang akan dilakukan Rukmamurti setelah terjadinya
pembunuhan-pembunuhan di daerah istana. Konflikpun akhirnya
terselesaikan ketika pemimpin makar tertangkap oleh pasukan
Bhayangkara dan Gajah Enggon menangkap Rangsang Kumuda
sebagai otak dibalik sabotase yang terjadi di lingkungan istana.
1. Pengenalan
Cerita di dalam novel Tahta dan Angkara di awali dengan
adegan Dyah Wiyat yang mengejar embannya yang pergi tanpa
pamit. Dyah Wiyat yang mengejar emban tersebut akhirnya
menemukannya di dekat gerbang Purwarakta bersama
seseorang. Dialah Dyah Menur, nama yang dikenal oleh Dyah
Wiyat sebagai emban kesayangannya. Dyah Menur yang
bernama asli Sekar Tanjung pergi dari Majapahit bersama
dengan Pradhabasu. Adegan ini adalah akhir dari cerita novel
ini. Adegan inilah yang menandakan alur mundur.
...Nun jauh di barat setelah melintas Purawaktra, Dyah Wiyat
akhirnya melihat dua orang yang berjalan kaki berdampingan.
Dyah Wiyat yang akhirnya berhasil menandai orang itu benar...4
Alur kemudian mulai maju dengan diawali cerita sakit yang
dialami raja Majapahit pertama, Sri Kertarajasa atau dimasa
mudanya biasa dipanggil Raden Wijaya. Adegan ini
menggambarkan betapa dicintainya Sri Kertarajasa oleh
rakyatnya, begitupula orang-orang yang mengabdi padanya.
4 Ibid, hlm. 2
48
Kala itu tahun 1309. Segenap rakyat berkumpul di alun-alun.
Semua berdoa, apa pun warna agamanya, apakah Siwa, Buddha
maupun Hindu. Semua arah perhatian ditujukan dalam satu
pandang, ke Purwarakta yang tidak dijaga terlampau
ketat.segenap prajurit bersikap sangat ramah kepada siapa pun
karena memang demikian sikap keseharian mereka. Lebih dari
itu, segenap prajurit merasakan gejolak yang sama, oleh duka
mendalam atas gering yang diderita Kertarajasa Jayawardhana.5
Sayangnya sakit yang dialami oleh Raden Wijaya tak
kunjung sembuh. Dan terdengarlah bunyi bende Kiai Samudra,
mengisyaratkan mangkatnya sang raja.
Dan ketika bende Kiai Samudra dipukul bertalu, tangis serentak
membuncah. Ayunan pada bende yang getar suaranya mampu
menggapai sudut-sudut kota merupakan isyarat yang sangat
dipahami. Gelegar bende dengan nada satu demi satu, namun
berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran merupakan
pertanda Sang Prabu mangkat. Semua orang yang mendengar
isyarat itu merasa denyut jantungnya berhenti berdetak.6
Dari cerita ini, alur kemudian maju kepada peristiwa
dibunuhnya Sri Jayanegara oleh tabib istana kepercayaan sang
raja, Ra Tanca. Ra Tanca yang kemudian mati dibunuh oleh
Gajah Mada setelah meminumkan racun kepada Sri Jayanegara.
Kematian Jayanegara seakan mengingatkan kembali atas
peristiwa meninggalnya Raden Wijaya.
Dan, suara bende Kiai Samudra itu .... Suara bende itu siapa pun
tahu artinya. Senyap yang memberangus adalah nestapa bagi
siapa pun yang mencintai Raja. Suaranya yang menggelegar
terdengar sampai ke sudut-sudut kotaraja. Bende yang dipukul
satu-satu, berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran,
merupakan pengulangan apa yang terjadi beberapa tahun
sebelumnya manakala raja pertama Majapahit yang sangat
dicintai dan dihormati mangkat.7
Alur kemudian menjadi mundur kembali ketika Pancaksara
yang dipaksa Gajah Mada menceritakan kembali silsilah raja
Singasari yang menjadi leluhur raja Majapahit.
Jika dirunut jauh ke belakang, awalnya Ken Arok yang kelak di
kemudian hari bergelar Sri Ranggah Rajasa Batara Sang
5 Ibid, hlm. 3
6 Ibid, hlm. 6
7 Ibid, hlm. 14
49
Amurwabumi hanyalah sampah masyarakat belaka. Namanya
melekat dengan sarangnya, Padang Kawutan, yang berada tak
jauh dari Istana Singasari. Ia terkenal sebagai maling, perampok,
penyamun, dan perbuatan tidak terpuji lainnya. Meski ia seorang
penyamun, otaknya jalan dan encer, bahkan jahat. Setidaknya
Ken Arok, anak pasangan suami istri Gajah Para dan Ken Endok
ini bisa menggunakan akalnya untuk menggapai sebuah tujuan
yang luar biasa, menjadi raja. Sebuah kesempatan yang ia peroleh
setelah Brahmana Lohgawe membawanya ke Istana Pakuwon
Tumapel.8
2. Konflik
Pada saat alur kembali maju, konflik-konflik mulai
bermunculan. Konflik ini di awali dengan peristiwa-peristiwa
pembunuhan yang terjadi di dalam kotaraja. Pembunuhan-
pembunuhan ini diasumsikan terjadi karena perebutan tahta
pihak Raden Cakradara dengan Raden Kudamerta.
Manakala Cakradara kemudian lenyap di balik dinding, adalah
bersamaan waktu dengan sebuah peristiwa yang terjadi tak jauh
dari tempatnya. Hanya beberapa jengkal langkah kaki saja
darinya di balik bayangan pohon asoka yang tumbuh lebat dan
bunganya sedang mekar, sebuah anak panah yang dilepas dari
gendewa direntang melesat dan menggapai tenggorokan
seseorang....9 (GM:TdA, 2009:60)
Sang pembunuh yang disewa oleh orang yang memberi
perintah mendapat bayarannya setelah membunuh orang yang
diperintahkan untuk dibunuh terssebut. Namun si pembunuh
bayaran adalah sasaran pembunuhan selanjutnya.
Ada yang tidak disadari oleh pembunuh bayaran itu. Ada sesuatu
yang kenyal melingkar di dalam kantung itu, yang punya tenaga
untuk menggeliat dan mematuk. Menyatu dalam uang yang
gemerincing, seekor ular berjenis weling, kecil saja dan hanya
sepanjang dua kilan. Akan tetapi, siapa pun tahu ular weling
adalah jenis ular yang sangat mematikan. Tidak ada yang bisa
menandingi kekuatan racun ular weling kecuali jenis ular sendok
atau bandotan. Siapa pun yang dipatuk ular itu akan mendapatkan
jaminan terbukanya pintu kematian.10
8 Ibid, hlm. 27
9 Ibid, hlm. 60
10 Ibid, hlm. 61
50
Pembunuhan tidak terhenti sampai di situ. Kotaraja kembali
dibayangi oleh teror pembunuhan ketika ditemukannya dua
sosok mayat di atas kuda yang di pahanya tercap gambar
bulatan digigit ular. Mayat-mayat ini ditemukan oleh tentara
penjaga gerbang Purwarakta yang sedang bertugas. Tentara
yang bertugas melaporkan peristiwa ini kepada Gajah Enggon
sebagai pemimpin pasukan Bhayangkara.
“... Ketika aku berhasil menghentikannya, ternyata kuda itu
membawa mayat. Kuda itu kubawa balik arah, tetapi malah
berpapasan dengan kuda kedua. Dugaanku ternyata benar, kuda
yang kedua pun membawa mayat di punggungnya.”11
Dua ekor kuda itu menyita perhatian Gajah Enggon yang tidak
berkedip dalam memandanginya. Namun, Gajah Enggon tidak
mengenali siapa pemilik kuda tegar itu. Di atas paha kanannya
melekat cap bakar bergambar bulatan dibelit ular. Selebihnya ia
hanya kuda berwarna coklat. Sedangkan yang seekor lagi tidak
memiliki tanda apa pun, tidak ada cap punggung atau tanda
khusus yang lain yang bisa dikenali. Gajah Enggon kemudian
mengarahkan perhatiannya pada dua sosok mayat yang
digeletakkan di bangunan jaga. 12
Tak hanya orang-orang yang dibunuh di dalam kotaraja.
Suami Dyah Wiyat, Raden Kedamerta menjadi sasaran
percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Rubaya.
Saat semua perhatian sedang terpusat macam itulah Rubaya
merasa telah tiba waktunya. Dengan memutar pergelangan
tangan, pisau yang semula tersimpan di balik lengan bajunya
melorot turun dengan gagang menempatkan diri di telapak
tangan. Rubaya mencari kesempatan. Dan, saat ledakan batang
bambu yang terbakar terulang kembali, dengan perhitungan
cermat ia mempersiapkan diri mengayunkan pisaunya.13
Raden Kudamerta yang menjadi sasaran bidik terhenyak
manakala merasakan sakit yang datang tiba-tiba. Perih yang
bukan kepalang terasa di dada kirinya, yang ketika dengan
cermat ia perhatikan ternyata berasal dari sebilah pisau yang
tertancap di dadanya.14
11
Ibid, hlm. 123 12
Ibid 13
Ibid, hlm. 159 14
Ibid
51
Ancaman pembunuhan juga terjadi kepada Sekar Kedaton
Dyah Wiyat. Abdi dalem, Ki Jalak Pripih menerima sebuah
bingkisan mangga dari seorang pemuda yang berisi tiga ekor
ular.
“Aku yang menerima, Ki Patih,” jawab abdi dalem itu. “Aku
menerimanya dari seorang laki-laki berkuda. Orangnya masih
muda dan sangat tampan. Orang itu meminta aku menyerahkan
sekeranjang mangga ini kepada Tuan Putri Dyah Wiyat.”15
“Orang itu tidak menyebut nama dan asalnya. Hanya itu
pesannya dan orang itu pun pergi. Aku sungguh tidak
menyangka di bawah buah mangga ada tiga ekor ular itu.”16
Kemudian pembunuhan terjadi lagi di Bale Gringsing,
tempat Gajah Enggon dirawat setelah menderita trauma di
kepalanya. Korbannya adalah Lurah Ajar Lengse. Tapi sang
pembunuh lari melompati dinding yang jejaknya ditemukan
Riung Samudra.
“.... Dari kejauhan aku melihat Ki Ajar Langse berkelahi dengan
entah siapa. Ketika aku berlari mendatangi, Ki Ajar Langse
mati dengan pisau tertikam di perutnya....”17
“Kutemukan sebuah jejak, Kakang Gajah,” Kata Riung Samudra.
“Orang yang membunuh Lurah Ki Ajar Langse melompati
dinding, ada jejak darah di tembok ketika pelaku pembunuhan
itu beerusaha meninggalkan tempat ini.”18
3. Komplikasi
Konflik semakin meruncing ketika pembunuhan-pembunuhan
yang terjadi diisukan disebabkan oleh orang-orang di balik Raden
Kudamerta dan Raden Cakradara. Tak hanya itu, gerak-gerik kudeta
juga tercium oleh pasukan Bhayangkara dan mengarahkan
perhatiannya ke Karang Watu. Di sana, sejumlah pasukan diberikan
pelatihan tempur membuat pasukan Bhayangkara menyiagakan diri
mengantisipasi makar seperti peristiwa RaKuti. Tak hanya di Karang
15
Ibid, hlm. 342 16
Ibid, hlm. 343 17
Ibid, hlm. 390 18
Ibid, hlm. 391
52
Watu, kecurigaan pemberontakan juga terjadi di Keta dan Sadeng.
Informasi ini didapat dari mantan anggota pasukan Bhayangkara,
Pradhabasu.
“Menurut hamba, Keta dan Sadeng saat ini sedang menyiapkan
makar, Tuan Putri,” ucap bekas Bhayangkara Pradhabasu.19
Pembunuhan di kotaraja dan percobaan pembunuhan yang
dialami oleh Raden Kudamerta dan Dyah Wiyat, membuat pihak
Raden Cakradara dan orang-orang pendukungnya menjadi sasaran
curiga Gajah Mada sebagai dalang. Terutama Pakering Suramurda,
paman Raden Cakradara yang berambisi menjadikan Cakradara
sebagai raja sehingga ia berharap menjadi Mahapatih. Namun,
kecurigaan ini menguap begitu saja ketika Pakering Suramurda
justru terbunuh.
Pakering Suramurda terbelalak dalam memegangi gagang anak
panah yang tenggelam di tengah dadanya. Sakit yang timbul
dirasakan nyeri bukan kepalang dan tidak memberi kesempatan
kepada paman Raden cakradara itu untuk bertahan lama. Hal itu
karena ujung anak panah yang menancap berlumur bisa.
Pakering Suramurda ambruk untuk berkelojotan dan mati.20
4. Klimaks
Klimaks terjadi ketika Pradhabasu bersama orang
bertopeng dan berjubah putih berhasil mencegah Rangsang
Kumuda yang ingin menculik Dyah Menur yang saat itu
berada di pasar bersama Dyah Wiyat. Rangsang Kumuda ynag
ingin menculik Dyah Menur sebagai jaminan agar Raden
Kudamerta bersedia menjadi suami Dyah Wiyat agar kelak ia
menjadi raja.
Dyah Menur tetap tak sadar adanya bahaya yang mengintai.
Lelaki bercaping itu berjalan makin dekat. Siapa pun orang itu, ia
telah mencabut pisau tajam dan menggenggamnya menggunakan
tangan kanan, sementara tongkat kayu penuntunnya pindah ke
tangan kiri. Orang itu berencana memaksa Dyah Menur untuk
mengikutinya dan apabila perempuan yang menjadi sasarannya
19
Ibid, hlm. 169 20
Ibid, hlm. 443
53
itu tidak mau, tersedia pilihan lain, menenggelamkan pisau itu ke
tubuh Dyah Menur.21
“Kisanak, aku ada perlu denganmu,”kata orang itu.
“Siapa kamu?” balas orang itu.
“Apakah kisanak bernama Rangsang Kumuda?”22
Penunggang kuda putih, namun tidak sedang berjubah putih itu
menggeleng.
“Aku pinjam dulu,” jawabnya. “Akan kuhajar dulu sampai
berantakan untuk mengorek keterangan dari mulutnya.”23
Pria berjubah putih itu membawa Rangsang Kumuda ke
balai prajurit. Pria itu membawa Rangsang Kumuda dengan
terikat di atas kuda. Karena pria itu memakai topeng, membuat
beberapa prajurit bersiaga dan merentangkan anak panahnya.
Namun, hal itu dicegah oleh Gajah Mada.
Dua kuda yang datang itu langsung menerobos masuk menyibak
orang-orang yang bergerombol. Menghadapi kemungkinan tak
terduga, beberapa prajurit segera merentang anak panah
mengarah kepada orang itu. Akan tetapi, Gajah Mada
mengangkat tangan menegahnya. Tanpa basa-basi, orang
berjubah putih itu menurunkan barang bawaannya. Tubuh terikat
dengan kepala tertutup kain itu diturunkan di depan Patih Daha
Gajah Mada.24
Untuk meredam kegiatan makar di daerah Karang Watu,
pasukan Jalapati dipimpin Senopati Suryo Manduro
mengirimpasukannya. Namun, Ra Kembar mengajak beberapa
anak buahnya untuk menyerang lebih dahulu ke Karang Watu.
Hal ini karena Ra Kembar ingin mendapat penghargaan dan
ingin diakui lebih hebat daripada Gajah Mada. Namun,
strateginya malah berujung fatal.
“Kuminta kepada kalian berdua untuk masing-masing mengirim
pasukan dan menyerbu tempat itu. Apa pun kesalahan yang
dilakukan Ra Kembar yang mengambil jalan sendiri tanpa minta
21
Ibid, hlm. 477 22
Ibid 23
Ibid, hlm. 479 24
Ibid, hlm. 487
54
izin, tetap saja niatnya baik. Aku mencemaskan Ra Kembar
sedang masuk ke sarang harimau karena kesembronoannya....”25
Namun Gajah Mada memanfaatkan kesempatan ini untuk
menurunkan pasukan Bhayangkara menangkap pemimpin
pemberontakan. Ketika pasukan Jalapati, Sapu Bayu, dan Ra
Kembar bertarung di Karang Watu, Gajah Mada memerintahkan
Pradhabasu untuk memimpin penangkapan Rangsang Kumuda dan
Raden Panji Rukmamurti.
“Untuk menjamin kamu benar-benar berhasil, bawa dua puluh
orang. Langkah dan siasat apa yang akan kau ambil dalam
penyerbuan itu, sepenuhnya aku serahkan kepadamu, termasuk
siapa saja yang akan kau bawa. Terjuni tempat itu ketika Karang
Watu disibukkan oleh serbuah Ra Kembar, pasukan Jalapati, dan
Sapu Bayu. Tangkap hidup-hidup orang yang bernama Rangsang
Kumuda dan Raden Panji Rukmamurti yang bermimpi menjadi
raja itu.26
(GM:TdA, 2009:422)
5. Peleraian
Pada tahap ini pemimpin makar dan dalang kejadian-
kejadian yang terjadi di kotaraja berhasil ditangkap. Misteri-
misteri terungkap dari penangkapan ini. Rangsang Kumuda
yang membantu Panji Rukmamurti untuk menjalankan makar
dan menjadi dalang pembunuhan-pembunuhan yang
mengarahkan Raden Cakradara sebagai tersangka, ternyata
adalah Panji Wiradapa, paman dari Raden Kudamerta.
“Hamba Tuan Putri,” jawab Gajah Enggon. “Orang ini
menggunakan nama Panji Wiradapa yang bukan nama
sebenarnya. Karena di balik nama Panji Wiradapa ada nama
Brama Rahbumi yang lenyap lebih dari sepuluh tahun bersamaan
sejak Mahapati dihukum mati. Panji Wiradapa juga
menggunakan nama lain Rangsang Kumuda. Ini orangnya,
dalang semua kekacauan itu.”27
25
Ibid, hlm. 420 26
Ibid, hlm. 422 27
Ibid, hlm. 490
55
Raden Panji Rukmamurti yang merupakan pemimpin makar
yang berniat menjadi raja, dan pelaku pencobaan pembunuhan Sekar
Kedaton Dyah Wiyat juga memiliki nama lain, yaitu Nyai Tanca,
istri dari Ra Tanca, orang yang membunuh Sri Jayanegara dan
kekasih dari Dyah Wiyat.
“Siapa sebenarnya kamu?” Gajah Mada mencecar.
“Aku, Nyai Tanca,” jawab Panji Rukmamurti.28
“Perempuan tidak tahu malu. Pengganggu ketentraman rumah
tangga orang. Seharusnya kamu mati dipatuk ular itu,” umpat
Nyai Tanca yang mendadak liar itu.29
Sedangkan Mandrawa, orang yang selalu mendampingi Panji
Rukmamurti dan melindunginya, ternyata adalah Kendar Kendara,
prajurit Bhayangkara yang bertugas menjaga rumah Nyai Tanca
namun termakan rayuan Nyai Tanca untuk memberontak.
“Bhayangkara kendar Kendara!” teriak Nyai Tanca. “Kuminta
janjimu yang akan sehidup semati mendampingiku. Ayo,
kekasihku, susul aku ke pakunjaran.”30
6. Penyelesaian
Bagian akhir dari cerita ini sudah terpampang sedikit di bagian
awal. Dyah Wiyat yang akhirnya mengetahui bahwa emban
kesayangannya, Dyah Menur ternyata istri dari suaminya Raden
Kudamerta. Dyah Menur yang merasa tidak mungkin bersaing
mendapatkan hati Kudamerta akhirnya memutuskan unntuk
meninggalkan kotaraja ditemani Pradhabasu. Dyah Wiyat yang
meminta Dyah Menur untuk tinggal dan berbagi suami tidak dapat
menggagalkan keinginan Menur untuk pergi. Raden Kudamerta
hanya bisa melihat kedua istrinya itu dari jauh.
Bagaikan tercekik leher Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji
Wahninghyun. Raden Kudamerta tidak mampu berbicara ketika
melihat dua perempuan itu akhirnya saling melepas pelukan.
Meski Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa telah meminta, Dyah
Menur Hardiningsih memiliki alasan untuk bersikukuh dengan
keputusan yang diambilnya....”31
28
Ibid, hlm. 494 29
Ibid, hlm. 496 30
Ibid 31
Ibid, hlm. 505
56
c. Perwatakan
Perwatakan atau karakter biasanya dipakai dalam dua
konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-
individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter
merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan,
emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tesebut. Langit
Kresna Hariadi menggambarkan tokoh-tokohnya secara analitik,
menjelaskan atau mengisahkan tokohnya secara langsung.
1. Gajah Mada
Sesuai dengan judul novelnya, Gajah Mada merupakan
karakter utama dari pentalogi novel Gajah Mada. Gajah Mada
digambarkan sebagai seorang pemuda yang memiliki tubuh
yang kekar. Tubuh yang ia dapat dari olah kanuragan yang
berkesinambungan membuktikan bahwa Gajah Mada adalah
orang yang ahli kanuragan.
Akan tetapi, dibanding dengan Gajah Enggon dan Gagak
Bongol, Gajah Mada benar-benar tak tertandingi. Kakinya adalah
kaki yang kukuh, tangannya adalah tangan yang kekar, dan otot-
ototnya paling melingkar...32
Di awal karirnya, Gajah Mada hanya berpangkat bekel. Bekel
merupakan pangkat di bawah senopati, yang membawahi pasukan
kecil. Walaupun kecil, pasukan yang dipimpin Gajah Mada adalah
pasukan yang paling mumpuni di kerajaan Majapahit, Bhayangkara.
Peristiwa makar Ra Kuti melambungkan nama Gajah Mada karena
ia berhasil melarikan Sri Jayanegara dari percobaan pembunuhan Ra
Kuti.
.... Peristiwa makar ini melambungkan nama Gajah Mada yang
hanya menyandang pangkat bekel, tetapi karena keberanian dan
kecerdasan otaknya mampu menyelamatkan Raja dari
marabahaya dan mengembalikannya ke tampuk pimpinan
negara.33
32
Ibid, hlm. 92 33
Ibid, hlm. 8
57
Karena dianggap melakukan jasa yang sangat besar bagi
kerajaan, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Kahuripan di
Jiwana dan dilanjutkan menjadi patih di Daha.
Setelah jasa besar yang diperbuatnya ketika melakukan
penyelamatan Raja dari makar yang dilakukan Ra Kuti, Gajah
Mada memperoleh anugrah dengan kedudukan sebagai Patih
Kahuripan di Jiwana yang dilanjutkan anugrah itu dengan
menjabat patih di Daha.34
Tak hanya memiliki tubuh yang tegar dan keberanian
bertindak, Gajah Mada disempurnakan dengan otak yang
cemerlang dan memiliki visi yang jauh ke depan. Banyak
orang yang mengagumi kecerdasan Gajah Mada, termasuk
para anggota kerajaan.
.... Melengkapi tubuhnya yang demikian gagah dan kekar, Gajah
Mada memiliki otak yang cerdas, pendapat dan cara pandangnya
adakalanya bahkan jauh tembus ke masa depan dan sering
mengagetkan yang menyimaknya. Jayanegara termasuk orang
yang sering kaget mendengar gagasan yang keluar dari benak
Gajah Mada.35
Gelegar suara meledak menyamai guntur serasa meledak di
ruangan itu. Ratu Gayatri mencuatkan alis, demikian pula dengan
Ratu Tribhuaneswari mengerutkan dahi pertanda benar-benar
tercuri perhatiannya...36
Gajah Mada adalah orang yang selalu mengutamakan
bangsa dan negaranya. Sebagai seorang patriotik, Gajah Mada
selalu memikirkan dan memberikan saran yang terbaik untuk
Majapahit.
.... Gajah Mada dengan usiannya yang masih muda dan tatapan
matanya yang tajam dalam memandang jauh ke depan sangat
mungkin mempunyai sumbang saran yang akan bermanfaat bagi
kepentingan bangsa dan negara.37
Pemikiran Gajah Mada yang dalam menjadikan Gajah
Mada orang yang bijaksana. Sifat ini bahkan diakui oleh Ratu
Gayatri yang seorang biksuni.
34
Ibid, hlm. 26 35
Ibid, hlm. 92 36
Ibid, hlm. 81 37
Ibid, hlm. 71-72
58
.... Rupanya usulan Gajah Mada itu sungguh bijaksana. Dengan
ditundanya ppengangkatan raja baru maka di rentang waktu yang
ada akan bisa dimanfaatkan untuk menilai sosok macam apa
Raden Cakradara dan Raden Kudamerta. Menjadi suami ratu
dengan sendirinya akan menempatkan suaminya tak ubahnya
raja.38
Wajah Gagak Bongol dan Gajah Enggon menegang. Apabila
Gajah Mada sampai mengeluarkan pendapat macam itu, tentulah
karena berasal dari pemikiran yang mendalam....39
Gajah Mada adalah seorang yang bertanggung jawab dalam
menjalankan tugas-tugasnya. Karena itu Jayanegara dan Arya
Tadah menginginkannya sebagai Mahapatih berikutnya.
Dalam melaksanakan tugas, Gajah Mada selalu mampu
menyelesaikan dengan baik. Oleh karena itu, Jayanegara bahkan
telah mempersiapkannya sebagai pengganti Patih Amangkubumi
Arya Tadah. Mahapatih Arya Tadah sendiri yang merasa dikejar
umur mulai melirik siapa yang pantas mewarisi jabatannya. Arya
Tadah melihat hanya Gajah Madalah orangnya.40
Gajah Mada orang yang keras. Jika menyangkut masalah
kestabilan negara, Gajah Mada tidak pernah mundur untuk
berpendapat.
Namun, bukan Gajah Mada kalau terpangkas niatnya hanya oleh
jawaban itu. Gajah Mada melangkah mundur membelakangi
Arya Tadah untuk sejenak kemudian berbalik lagi.41
“Aku yang memeberi tahu Tuan Putri Ratu Rajapatni. Di mata
Biksuni, Dyah Wiyat hanya tersandung takdir. Namun, dalam
cara pandangku, ke depan Majapahit akan menghadapi
kekacauan apabila Tuan Putri Dyah Wiyat yang terpilih dan tidak
memiliki keturunan. Bisa jadi akan terjadi perubahan arah garis
keturunan, yang tidak punya hak bisa saja merebut menguasai
takhta....”42
Gajah Mada memiliki wibawa yang sangat besar, membuat
orang disekitarnya segan terhadapnya.
....Dari apa yang terjadi itu terlihat betapa besar wibawa Gajah
Mada, bahkan beberapa prajurit harus mengakui wibawa yang
dimiliki Gajah Mada jauh lebih besar dari wibawa Jayanegara.
Sri Jayanegara masih bisa diajak bercanda, tetapi tidak dengan
38
Ibid, hlm. 83 39
Ibid, hlm. 94 40
Ibid, hlm. 115 41
Ibid, hlm. 71 42
Ibid, hlm. 258-259
59
Patih Daha Gajah Mada, sang pemilik wajah yang amat beku
itu.43
Wibawa Gajah Mada memang demikian besar. Tidak seorang
pun dari orang-orang yang hadir di pendapa Balai Prajurit yang
berani mendahuli berbicara.44
2. Sekar Kedaton Dyah Wiyat
Dyah Wiyat merupakan adik bungsu dari Jayanegara yang
berbeda ibu. Dyah Wiyat memiliki sifat tegar, berwawasan
luas, memiliki pandangan ke depan, dan berwibawa.
Sri Gitarja mungkin terpilih sebagai ratu karena dari calon yang
ada, Sri Gitarja lebih tua. Akan tetapi, apabila dilihat dari sisi
kemampuan, adiknya banyak memiliki kemampuan yang tidak
terduga. Lebih tegar, lebih berwawasan luas, lebih jauh dalam
memandang ke depan, dan lebih berwibawa....45
....Ibu Ratu melihat dalam banyak hal dyah wiyat memang
memiliki sifat dan sikap yang menonjol dari kakaknya. Dyah
Wiyat bisa bersikap tegas, mampu memilih secara tegas satu di
antar banyak pilihan yang berada dalam kedudukan tak ubahnya
malakama. Sifat dan sikap yang demikian lebih mandiri dan amat
sesuai untuk menjadi pemimpin.46
Dyah Wiyat juga memiliki kecerdasan yang tidak bisa
diremehkan.
Sementara dalam olah pikir, tidak jarang Dyah Wiyat
melontarkan pendapat yang mengagetkan. Ini menjadi gambaran
anak bungsu mendiang Raden Wijaya itu memiliki kecerdasan
yang tidak bisa diremehkan.47
Dyah Wiyat memiliki kisah percintaan terlarang dengan Ra
Tanca, tabib istana. Karena itu Dyah Wiyat sering menginginkan
dirinya sakit untuk bisa bertemu Ra Tanca.
....Kelemahan Sri Gitarja adalah karena ia sering sakit-sakitan,
sebuah keadaan yang di masa silam sangat diirikan Dyah Wiyat,
sebab hanya dengan sakit ia bisa bertemu dengan Rakrian Tanca
kekasih hatinya.48
43
Ibid, hlm. 134 44
Ibid, hlm. 418 45
Ibid, hlm. 66 46
Ibid, hlm. 244 47
Ibid, hlm. 66 48
Ibid, hlm. 66
60
Dyah Wiyat yang awalnya tidak memikirkan untuk menjadi ratu,
berubah pikirannya setelah mengetahui Raden Kudamerta telah
beristri sebelum menikahinya dan adanya perebutan kekuasaan.
“Semula memang hamba tidak bermimpi, Ibu,” tambah Dyah
Wiyat. “Hamba tak ingin hamba yang diangkat menjad ratu. Di
sisi lain, sebelah hamba ada Mbakyu Sri Gitarja yang lebih tua
dari hamba. Mbakyu Gitarja lebih berhak memimpin negeri ini
didampingi Kakang Raden Cakradara. Akan tetapi, melihat
perkembangan keadaan sekarang, hamba justru terpanggil oleh
tugas berat itu. Di hadapan Ibu Ratu Gyatri junjungan
sesembahan hamba, hamba berjanji akan melaksanakan tugas
dengan baik. Hamba akan menjawab perbuatan orang-orang yang
berniat memperebutkan takhta dan kekuasaan itu dengan cara
yang benar....49
Dyah Wiyat adalah orang yang berani mengungkapkan apa yang
ada dipikirannya. Dan ia juga orang yang memiliki harga diri yang
tinggi.
...Kekuatan derajat yang dimiliki Raden Kudamerta tak cukup
untuk digunakan mempersoalkan masalah itu. Dyah wiyat anak
raja, anak kandung Raden wijaya, Raja Majapahit yang gung
binatara, sementara Kudamerta hanyalah pewaris kekuasaan
Pamotan, penguasa wilayah yang kecil saja. Ketika berniat
menjamah, Raden Kudamerta harus menyembah lebih dulu....50
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang bersedekap berbalik.
“Boleh tahu siapa nama istrimu itu, Kakang?” tanya Dyah Wiyat.
Raden Kudamerta sungguh bingung, tak tahu bagaimana cara
menjawab.
“atau, akan kau sembunyikan istrimu itu selamanya dariku?”51
....Dyah Wiyat tidak merasa terpanggil untuk segera memberikan
pertolongan. Rahasia yang disembunyikan laki-laki itu, rahasia
yang kini bukan rahasia lagi, bahwa ia telah beristri saat
mengawini dirinya, sungguh merupakan pelecehan yang tak akan
terampunkan.52
Walaupun begitu, Dyah Wiyat adalah orang yang baik dan tabah.
Ia mengijinkan Dyah Menur untuk tinggal bersamanya dan berbagi
suami.
“Apa yang aku inginkan sudah jelas, Sekar Tanjung,” kata Dyah
Wiyat. “Aku sama sekali tidak keberatan suamiku memiliki istri
49
Ibid, hlm. 243-244 50
Ibid, hlm. 237 51
Ibid, hlm. 266 52
Ibid
61
lain selain diriku. Kembalilah ke istana dan marilah untuk selalu
berdekatan denganku.”53
3. Sekar Kedaton Sri Gitarja Sri Gitarja merupakan kakak dari Dyah Wiyat. Sebagai
kakak ia telah memangku jabatan di Kahuripan dalam usia
yang masih muda.
.... Dalam usianya yang masih belia, Sri Gitarja telah
menyandang kedudukan yang tidak bisa dianggap ringan.
Kepadanya telah diserahkan tugas untuk menjadi wali pemangku
Istana Kahuripan....54
Walaupun begitu, Sri Gitarja bukanlah orang yang mandiri.
Sri Gitarja adalah orang yang bergantung pada orang lain.
.... tingkat ketergantungan Sri Gitarja sangat tinggi. Ketika Sri
Gitarja yang dipilihnya, nantinya Raden Cakradaralah yang
menjalankan tugas-tugas anaknya itu....55
Sri Gitarja juga orang yang mengalah dan mementingkan
kesejahteraan negaranya. Setelah ia mengetahui bahwa suaminya
Raden Cakradara terlibat perebutan kekuasaan setelah mangkatnya
Jayanegara.
“Aku minta tolong, Paman. Bantu aku menyampaikan sikapku
kepada Ibunda Ratu Gaytri dan para Ibunda Ratu yang lain. Aku
menolak kedudukan itu. Aku lihat Adi Dyah Wiyat justru lebih
pantas dan tepat untuk ditunjuk menjadi ratu. Adi Dyah Wiyat
lebih gesit, lebih ringan tangan, dan tegas. Dibutuhkan sikap yang
tegas dan kuat untuk memimpin negeri ini. Sikap semacam itu
ada pada adikku.”56
“pembunuhan-pembunuhan yang terjadi dimulai bersamaan
dengan mangkat Sang Prabu, suamiku terlibat,” jawab Sri Gitarja
dengan suara serak.57
4. Raden Kudamerta
Raden Kudamerta digambarkan sebagai pemuda tampan
yang memiliki tubuh tinggi dan gagah. Karena itulah ia
menjadi perhatian dari gadis manapun. Saingannya hanya
53
Ibid, hlm. 505 54
Ibid, hlm. 25 55
Ibid, hlm. 244 56
Ibid, hlm. 335 57
Ibid
62
Raden Cakradara. Kudamerta kalah dalam adu panah dengan
Cakradara, namun ia menang dalam hal lari.
Pesaing terdekat Cakradara memang hanya Kudamerta. Dengan
usia sebaya, bentuk tubuh yang sangat mirip, tinggi dan gagah
serta tampan, Kudamerta juga menjadi perhatian siapa pun atau
gadis mana pun. Walaupun Kudamerta tak mungkin menyaingi
Cakradara dalam olah panah ngembat watang, tetapi tak seorang
pun yang mampu menandinginya dalam adu kecepatan lari....58
Walaupun begitu, Raden Kudamerta menganggap
Cakradara sebagai sahabatnya. Ia menghormati Cakradara,
begitu pula sebaliknya. Mereka sering berkuda bersama.
Hubungan secara pribadi antara Kudamerta dan Cakradara
terjalin dengan baik. Dalam banyak hal mereka sering bersama,
satu dan lainnya saling menghormati dan menghargai. Apabila
petang datang senja menbayang, dua satria tampan itu sering
berkuda menyusuri jalan, saling membalap adu cepat....59
Raden Kudamerta menikahi Dyah Wiyat dengan terpaksa.
Ancaman dari pamannya, Panji Wiradapa, yang menculik istri dan
anaknya membuat Kudamerta terpaksa menikah dengan Dyah
Wiyat. Hal ini sebagai jaminan Kudamerta tetap mengikuti rencana
untuk meraih tahta.
....Raden Kudamerta yang oleh Ratu Gayatri dianugrahi gelar Sri
Wijaya Rajasa Sng Apanji Wahninghyun itu tidak mampu
memusatkan perhatiannya pada rangkaian acara yang diikutinya.
Ketika mata Kudamerta terpejam, selalu muncul wajah seseorang
yang amat mencuri dan menyita perhatiannya. Wajah itu wajah
perempuan yang dipelukannya ada bayi yang tengah menyusu.60
“Aku meminta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat
menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan
perkawinan ini sejak awal, tetapi aku tidak punya pilihan,” jawab
Raden Kudamerta.61
Walau pun pahit, akhirnya Raden Kudamerta memutuskan untuk
tetap memilih Dyah Wiyat sebagai istri satu-satunya. Hal ini untuk
kestabilan pemerintahan ke depannya. Walaupun itu membuat
beberapa orang kebingungan karena Kudamerta tidak berkata jujur.
58
Ibid, hlm. 56 59
Ibid, hlm. 57 60
Ibid, hlm. 149 61
Ibid, hlm. 266
63
“Hamba belum pernah mengawini siapa pun, Tuan Putri,” jawab
Kudamerta dengan suara amat tegas.
Jawaban itu menyentakkan Sekar Kedaton Dyah wiyat Rajadewi
Maharajasa. Jelas Raden Kudamerta menyampaikan hal yang
sama sekali tidak benar. Gajah Mada juga terkejut karena Raden
Kudamerta memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan
kenyataan.
Namun, rupanya jawaban itu sudah cukup bagi Ibu Ratu yang
tidak merasa perlu mengejar dengan pernyataan yang lain. Patih
Daha Gajah Mada yang berpikir keras kemudian tersenyum.
Tiba-tiba saja Gajah Mada sadar bahwa tidak penting bagi Ibu
Ratu, apakah Raden Kudamerta berkata jujur atau tidak. Yang
paling penting rupanya bagaimana Raden Kudamerta bersikap.
Dengan jawaban itu berarti Raden Kudamerta harus
menempatkan Maharajasa sebagai satu-satunya istri, tanpa ada
perempuan lain sebagai istri yang lain. Jika istri pertama itu ada,
berarti ia harus disingkirkan.62
5. Raden Cakradara
Raden Cakradara digambarkan sebagai pemuda yang
memiliki tubuh tegap, gagah dan berotot. Tidak hanya itu,
Cakradara adalah seorang ahli memanah. Tidaklah heran
Cakradara menjadi dambaan gadis-gadis.
Cakradara memiliki tubuh yang tegap dan sangat gagah.
Tubuhnya berotot dengan dada bidang, alisnya tebal. Dalam olah
kanuragan Cakradara selalu mencuri perhatian siapa pun.
Kemampuan kelahi menggunakan berbagai jenis senjata sulit
ditandingi. Yang paling menonjol adalah kemampuannya
ngembat watang....63
Ketampanan Cakradara dan segala kelebihan yang dimilikinya
menjadikan dirinya buah gunjing siapa pun, terutama para gadis.
Nyaris tidak seorang pun gadis di Ibukota Majapahit yang tidak
mengenal namanya dan semua berangan-angan menjadi
pendamping hidupnya....64
Cakradara berani menentang keinginan pamannya yang
menginginkan kekuasaan dan berambisi menjadikan Cakradara
seorang raja.
“Semua itu bukan angan-anganku, Paman,” teriak Raden
Cakradara. “Angan-angan itu angan-angan Paman, bukan angan-
anganku. Mimpi itu mimpi Paman bukan mimpiku.”65
62
Ibid, hlm. 498-499 63
Ibid, hlm. 56 64
Ibid 65
Ibid, hlm. 440
64
6. Gajah Enggon
Gajah Enggon adalah pemimpin pasukan Bhayangkara
menggantikan Gajah Mada setelah Gajah Mada diangkat
menjadi patih di Kahuripan.
Tugas berat memimpin dan membina pasukan Bhayangkara
selanjutnya diserahkan kepada Gajah Enggon yang juga memiliki
nama Gajah Pradamba....66
Gajah Enggon adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap kewajibannya. Beberapa tugas berat tak ragu-ragu
diserahkan kepadanya oleh Gajah Mada. Ia juga
mengungkapkan dan menangkap dalang di balik kejadian
pembunuhan di lingkungan istana di balik topeng dan jubah
putih.
“Siapa yang melakukan pembunuhan ini?” tanya Senopati Gajah
Enggon.
“Aku serahkan penelusurannya kepadamu,” jawab Gajah
Mada....67
“Akan kau bawa langsung ke Balai Prajurit?” bertanya
Pradhabasu.
Penunggang kuda putih, namun tidak sedang berjubah putih itu
menggeleng.
“Aku pinjam dulu,”jawabnya. “Akan kuhajar dulu sampai
berantakan untuk mengorek keterangan dari mulutnya.68
7. Pradhabasu
Pradhabasu adalah mantan anggota pasukan Bhayangkara.
Ia keluar dari kesatuan karena kecewa akan keputusan Sri
Jayanegara terhadap kesalahan Gagak Bongol yang ceroboh
membunuh Mahisa Kingkin. Mahisa Kingkin adalah adik ipar
Pradhabasu dan juga sahabatnya di Bhayangkara. Karena
kematian Mahisa Kingkin, istrinya sekaligus adik Pradhabasu
memutuskan bunuh diri untuk menyusul suaminya sebagai
tanda bakti. Ditambah Mahisa Kingkin meninggalkan seorang
66
Ibid, hlm. 17 67
Ibid, hlm. 93 68
Ibid, hlm. 479
65
anak laki-laki. Dan kekecewaan itu membuat Pradhabasu
bersikeras tidak akan kembali ke pasukan Bhayangkara.
“Apa yang terjadi itu menjadi mimpi buruk berkepanjangan,
Tuan Putri Ratu,” Pradhabasu melanjutkan. “Tak hanya kematian
Mahisa Kingkin, sahabat sejati yang juga adik ipar hamba yang
selalu menyelinap dalam mimpi, tetapi apa yang menimpa adik
hamba menjadi beban tak tertanggungkan. Hamba berusaha keras
untuk melupakan, namun karena setiap kali hamba harus
bertatapan muka dengan anak yang mereka tinggalkan, hamba
tidak mungkin melupakan. Meski sembilan tahun telah lewat,
hamba tak mungkin melupakan. Hamba merasa terharu karena
Tuan Putri Ratu telah berkenan meminta hamba untuk mengabdi
kembali di kesatuan Bhayangkara, namun hamba tak
mampu.”...69
Walaupun Pradhabasu telah keluar dari Bhayangkara,
namun pengabdiannya kepada negara, khususnya anggota
kerajaan, tetap dilaksanakannya. Seperti menyelamatkan
Raden Kudamerta dari lemaparan pisau. Pradhabasu juga
memimpin penyerangan ke Karang Watu atas perintah Gajah
Mada.
“Hamba Tuan Putri,” jawab Gajah Enggon. “Hamba sependapat
dengan Tuan Putri Ratu. Pada saat terakhir walaupun Adi
Pradhabasu berada di luar Bhayangkara, kembali ia telah
membuat jasa. Kalau tidak karena kesigapannya, barangkali pisau
itu telah menancap di bagian yang berbahaya di dada Raden
Kudamerta.... (GM:TdA, 2009:174)
8. Gagak Bongol
Gagak Bongol melakukan kesalahan di masa lalu dengan
membunuh Mahisa Kingkin atas hasutan Singa Parepen,
pengkhianat Bhayangkara di masa pemberontakan Ra Kuti.
Gagak Bongol diberi kesempatan oleh Pradhabasu untuk
menebus kesalahannya dengan mengasuh Prajaka, anak laki-
laki Mahisa Kingkin. Awalnya Gagak Bongol kewalahan
mengasuh Prajaka karena Prajaka keterbelakangan mental.
Namun, lama-kelamaan Gagak Bongol menganggap Prajaka
sebagai anugrah unutknya.
69
Ibid, hlm. 180-181
66
Padahal, Gagak Bongol benar-benar menganggapnya sebagai
anugrah. Sekian tahun Gagak Bongol dibayangi rasa bersalah,
kali ini tiba-tiba mendapat kesempatan untuk merebus kesalahan
itu dengan memungut keturunan Mahisa Kingkin sebagai anak
meski keadaan bocah itu tidak waras, cacat pada jiwanya.70
Sebagai pasukan Bhayangkara, walaupun Gagak Bongol
pernah melakukan kesalahan fatal, namun ia tetap orang yang
dapat dipercaya untuk memimpin suatu pekerjaan besar.
Pembuatan candi untuk Sri jayanegara dipercayakan padanya.
“Ada sebuah pekerjaan besar yang harus dikerjakan dan aku
menginginkan pekerjaan besar itu bisa dikerjakan dengan
sempurna tanpa cacat. Walaupun belum ada perintah secara
langsung dari para Tuan Putri Ratu, tetapi jelas bakal ada
pencandian dan pendarmaan. Kuserahkan pengendalian pekerjaan
besar ini kepadamu.”71
9. Dyah Menur Hardiningsih
Dyah Menur adalah istri Raden Kudamerta yang ditawan
oleh Panji Wiradapa atau Rangsang Kumuda agar Raden
Kudamerta bersedia menikah dengan Dyah Wiyat. Dyah
Menur memiliki seorang bayi laki-laki hasil buah cintanya
dengan Raden Kudamerta.
Dyah Menur adalah wanita sederhana yang memiliki
keinginan yang sederhana.
.... Apalagi, pada dasarnya Dyah Menur bukan jenis wanita
serakah. Dyah Menur hanya wanita biasa, wanita sederhana dan
bukan jenis pemimpi menggapai langit. Cita-cita dan
keinginannya hanya sederhana, tidak terlalu muluk terbang ke
awang-awang, tidak ingin bederajat tinggi yang oleh karenanya
harus disembah dan dilayani. Tuntutan kebahagiaannya
sederhana saja. Perempuan itu, Dyah Menur Hardiningsih nama
lengkapnya, merasa kebahagiaannya dirampok.72
Dyah Menur adalah wanita yang gigih berjuang demi
bertemu dengan orang yang ia cintai. Walau pun itu harus
dilakukan dengan cara menyamar menjadi emban di istana
Dyah Wiyat dengan nama samaran Sekar Tanjung. Walaupun
70
Ibid, hlm. 193 71
Ibid, hlm. 96 72
Ibid, hlm. 105
67
menjadi emban, namun kecantikan Dyah Menur/Sekar
Tanjung sanggup membuat Dyah Wiyat terkesima.
Dyah Wiyat memandang Sekar Tanjung dengan mata tak
berkedip dan sedikit rasa takjub. Perempuan bernama Sekar
Tanjung itu memiliki tubuh yang sangat bagus dengan lekuk
pinggang yang indah dan ramping. Wajahnya yang lugu tidak
mampu menyembunyikan kecantikannya. Bila Sekar Tanjung
mendapat kesempatan berdandan sebagaimana dirinya tentu
kecantikannya tak akan kalah dari kecantikannya.73
10. Ibu Ratu Biksuni Gayatri
Ratu Gayatri adalah seorang biksuni. Selayaknya seorang
biksuni, Ratu Gayatri melepaskan semua kehidupan dan
keterikatannya dengan duniawi, sehingga ia menjadi orang
yang sangat tenang. Ketenangan itu membuat orang-orang di
sekitarnya terbawa, terutama abdi dalem dan emban istana.
Berhadapan dengan Ibu Ratu Narendraduhita, Ibu Ratu Rajapatni
Gayatri yang dalam setahun terakhir mempersiapkan diri menjadi
seorang biksuni, justru terlihat amat tenang, tidak tampak
kesedihan di wajahnya. Ibu Ratu Gayatri sangt sadar bahwa pada
dasarnya kematian merupakan pintu gerbang menuju nirwana
yang kedatangannya tidak perlu ditangisi. Pada suatu tingkat
kesadaran, kematian justru harus disambut dengan kebahagiaan,
toh kematian akan menimpa siapa saja, juga raja. Itu sebabnya,
Ibu Ratu Gyatri selalu menampakkan raut wajah yang sangat
bersih, raut muka ikhlas. Segenap abdi perempuan sangat dekkat
dengan Ibu Ratu Gayatri. Namun, kedekatan itu berbalut rasa
hormat dan segan.74
.... Ibu Ratu Gayatri menampakkan wajah yang bersih, jauh dari
keruh duniawi. Senyuman yang ditebar anak kelima Sri
Kertanegara itu menjanjikan ketenangan dan kedamaian kepada
siapa pun yang datang kepadanya....75
Ratu Gayatri juga digambarkan sebagai wanita yang cantik
walaupun sudah berumur lima puluh tahun.
....Meski usianya berada di atas lima puluhan tahun, kecantikan
ratu Gayatri masih memancar bercahaya.76
Kejernihan hati yang dimiliki Ratu Gayatri di dapat karena
penyerahan dirinya menjadi biksuni. Karena itulah ia ditunjuk
73
Ibid, hlm. 398 74
Ibid, hlm. 5 75
Ibid, hlm. 101 76
Ibid, hlm. 64-65
68
oleh para Ibu Ratu untuk memilih siapa pewaris tahta setelah
Sri Jayanegara wafat.
....Untuk menunjuk siapa yang akan menggantikan Jayanegara
dibutuhkan kejernihan mata hati, dan itu hanya adiknya yang
seorang biksuni yang memiliki....77
Selagi menimang untuk memilih siapa yang menggantikan
Jayanegara, Ratu Gayatri juga dipercaya untuk menempati dampar
sementara atas usulan Gajah Mada. Hal ini juga di dukung oleh
Mahapatih Arya Tadah.
“Menurut hamba, untuk sementara kekuasaan itu sebaiknya
berada di tangan Tuan Putri Ratu Gayatri,” jawab Gajah Mada.78
“Hamba sependapat dengan usulan Patih Daha Gajah Mada,
Tuan Putri Ratu. Dengan demikian, Tuan Putri Ratu akan
memiliki kesempatan unutk menimbang lebih teliti dan
memandang peralihan kekuasaan itu dengan lebih jelas.”79
Ratu Gayatri yang seorang biksuni tak lagi mengenal rasa
takut.
Bukannya takut, karena sebagai biksuni, Ratu Gayatri tak lagi
mengenal takut, tetapi memang tak baik apabila sampai terjadi
kekacauan di tempat yang amat padat itu.80
11. Mahapatih Arya Tadah
Arya Tadah digambarkan sebagai seorang laki-laki tua
yang telah mengabdikan dirinya kepada keluarga raja sejak
pemerintahan Raden Wijaya. Masa kecil Jayanegara, Sri
Gitarja, dan Dyah Wiyat dilalui bersama dengan Arya Tadah.
Karena itu, Arya Tadah menganggap mereka seperti anaknya
sendiri.
Berdiri tak jauh dari Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri,
Mmahapatih Arya Tadah terlihat sangat bahagia. Mahapatih Arya
Tadah yang tua itu merasa bahkan mati pun ia ikhlas manakala
melihat momongannya telah memasuki gerbang rumah
tangganya. Bagi Mapatih Amangkubumi Arya Tadah, para Sekar
Kedaton telah menyita banyak ruang kasih sayangnya. Dalam
77
Ibid, hlm. 65 78
Ibid, hlm. 83 79
Ibid, hlm. 83-84 80
Ibid, hlm. 154
69
menyayangi Sri Gitarja dan Dyah Wiyat memang tak ubahnya
terhadap anak sendiri....81
Arya Tadah adalah orang yang setia. Setelah istri
tercintanya meninggal, Arya Tadah tidak berniat untuk
mencari penggantinya. Ia memutuskan untuk hidup sendiri,
tanpa anak pula. Melihatnya sendiri, Sri Gitarja pernah
menjodohkannya dengan emban istana namun ditolak oleh
Arya Tadah.
.... Arya Tadah sendiri adalah orang yang tidak punya siapa-
siapa. Istrinya telah meninggalkannya lebih dari sepuluh tahun
lampau dan tidak meninggalkan keturunan. Arya Tadah tidak
berniat untuk berumah tangga lagi. Kesetiaannya kepada
mendiang istrinya harus ditebus dengan mendudua samai tua,
bahkan telah diniati sampai mati. Terhadap keadaann itu Sri
Gitarja pernah menjodoh-jodohkan, misalnya dengan seorang
abdi dalem istana, namun Mahapatih Arya Tadah menolak....82
12. Panji Wiradapa/Rangsang Kumuda
Panji Wiradapa adalah paman dari Raden Kudamerta. Panji
Wiradapa adalah orang yang berambisi untuk merebut
kekuasaan Majapahit. Ia memanfaatkan keponakannya,
Kudamerta, yang ditunangkan dengan Dyah Wiyat agar segera
menikahinya supaya Kudamerta menjadi raja dan ia menjadi
Mahapatih. Ke depannya akan diketahui bahwa Rangsang
Kumuda adalah Panji Wiradapa yang mendalangi
pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kotaraja. ia bersama
Panji Rukmamurti merencanakan makar.
“Kau bisa menjadi raja, Kudamerta. Manfaatkanlah kesempatan
yang sangat langka ini. Mulai sekarang bermainlah dengan
cantik. Untuk meraih gegayuhan itu memerlukan pengorbanan.
Untuk sebuah tujuan yang sangat kau yakini, kau bahkan harus
menggunakan dan membenarkan cara apa pun. Mulai menyusun
rencana dari sekarang, kau bisa memanfaatkan hubunganmu
dengan Tuan Putri,” lanjut orang itu.83
Bila berkaca pada brenggala, dahulu Panji Wiradapa pernah
menggantungkan cita-citanya setinggi langit. Jabatan
keprajuritannya kali ini hanyalah sebgai lurah prajurit, padahal
81
Ibid, hlm. 98 82
Ibid 83
Ibid, hlm. 52
70
Panji Wiradapa merasa dirinya pantas menjadi seorang patih,
orang kedua setelah raja. Karena mimpi untuk menjadi orang
penting itu ternyata tidak terwujud, cukuplah orang lain yang
mewakilinya. Asal bisa melihat Raden Kudamerta menjadi raja
maka puaslah rasanya. Ki Panji merasa cita-cita itu telah
terwakili.84
Agar ambisinya tercapai, Panji Wiradapa tak henti-hentinya
menghasut Kudamerta untuk menjadi raja.
“Kau harus bermimpi, Kudamerta,” ucap Panji Wiradapa tegas,
tetapi dalam nada bisik. “Kau harus menggantungkan angan-
anganmu setinggi langit. Akan tetapi, tidak sekadar bermimpi,
jauh lebih penting dari itu, kau harus berusaha dengan keras
mewujudkanmimpi itu menjadi kenyataan. Kau punya peluang
itu, kau bisa menjadi raja, menjadi orang tedepan. Kini saatnya,
gunakan kesempatan yang terbuka jelas di depan matamu.”85
Rangsang Kumuda orang yang keji. Ia rela melakukan apa
pun agar ambisinya mendapatkan kekuasaan tercapai. Bahkan
dengan cara membunuh sekali pun. Rubaya, orang suruhannya
ia bunuh agar identitasnya tidak tersebar.
Laki-laki tua itu, ia Rangsang Kumuda, tersenyum penuh arti.
Rangsang Kumuda bergegas menjauh sambil dengan segera
membasuh kesan apa pun dari raut mukanya. Rangsang Kumuda
sadar, apabila rubaya sampai tertangkap dan bisa dikorek semua
keterangan dari mulutnya, hal itu akan membahayakannya.
Apalagi, apabila Rubaya memmbuka simpul hubungannya
dengan raden Kudamerta. Oleh karena itu, sebagaimana yang
lain, orang-orang yang menjadi mata rantai yang menghubungkan
dengan dirinya harus dipangkas. Dengan kematian Rubaya, tak
seorangpun yang bisa menjelaskan siap sebenarnya Rangsang
Kumuda.86
Rangsang Kumuda yang menyandra Dyah Menur dan
bayinya tidak segan-segan melakukan tindakan berbahaya
kepada sang bayi jika Dyah menur tidak menuruti perintahnya.
Betapa remuk hati Menur yang merasa harus melakukan sesuatu
yang berlawanan dengan kata hatinya. Namun, melawan
kehendak orang itu akan berakibat buruk bagi dirinya. Laki-laki
itu sangat kejam. Ancaman akan menyakiti dirinya bukan
ancaman paling kejam, ancaman terhadap anaknyalah yang justru
84
Ibid, hlm. 54 85
Ibid 86
Ibid, hlm. 164
71
sangat mengerikan, apabila tidak dituruti apa yang menjadi
kehendaknya, nyawa anaknya menjadi taruhan. Setiap kali ia
melawan, ancaman terhadap anaknya yang akan dihadapi. Laki-
laki tua itu tak segan-segan akan membuktikan ancamannya.87
Rangsang Kumuda juga berniat membunuh Dyah Menur
saat menemukannya di pasar Daksina bersama Dyah Wiyat
yang sedang menyamar.
Dyah Menur tetap tidak sadar adanya bahaya yang mengintai.
Lelaki bercaping itu berjalan makin dekat. Siapa pun orang itu, ia
telah mencabut pisau tajam dan menggenggamnya menggunakan
tangan kanan, sementara tongkat kayu penuntunnya pindah ke
tangan kiri. Orang itu berencana memaksa Dyah Menur untuk
mengikutinya da apabila perempuan yang menjadi sasarannya itu
tidak mau, tersedia pilihan lainn, menenggelamkan pisau itu ke
tubuh Dyah Menur.88
Demi mendapatkan kekuasaan sebagai patih, Panji
Wiradapa memalsukan kematiannya sendiri. Bahkan rela
memerintah Rubaya untuk melukai Raden Kudamerta dan
membuat Raden Cakradara sebagai kambing hitam.
“Kuwakili Panji wiradapa untuk menjawab pertanyaan itu.”
Gajah Enggon menjawab. “apa yang dilakukan Panji Wiradapa
adalah sebuah fitnah untuk merusak nama Raden Cakradara. Satu
per satu orang-orang Raden Kudamerta dibunuh. Orang pertama
yang dimatikan adalah dirinya sendiri. Panji Wiradapa mati
adalah rekayasa dengan mengorbankan orang lain. Orang itu
didandani tidak ubahnya Panji Wiradapa, lalu dibunuh. Disusul
oelh kematian berikutnya dan berikutnya yang semua adalah
orang –orang Raden Kudamerta. Dengan pembunuhan-
pembunuhan itu maka semua orang akan mengarahkan
pandangan ke Raden Cakradara sebagai pelakunya. Dengan
menghancurkan nama Raden Cakradara, orang ini berharap
terbukka bagi Raden Kudamerta untuk menjadi raja. Bila Raden
Kudamerta menjadi raja, ia berharap ia yang akan duduk di
dampar kepatihan.”89
(GM:TdA, 2009:491)
13. Pakering Suramurda
87
Ibid, hlm. 105 88
Ibid, hlm. 477 89
Ibid, hlm. 491
72
Pakering Suramurda adalah seorang penjaga juda Raden
Cakradara sekaligus pamannya. Seperti Panji Wiradapa,
Pakering Suramurda menghasut Cakradara untuk menempati
posisi raja walaupun Cakradara terang-terangan menolaknya.
“Kamu harus pusatkan perhatianmu, Cakradara. Hubunganmu
dengan Sri Gitarja harus segera dituntaskan ke perkawinan. Sri
Gitarja akan diangkat menjadi ratu, kamulah yang kewahyon,
penggenggam kekuasaan yang sebenarnya. Sudah bisa dipastikan
kamulah nanti yang bakal diangkat menjadi raja. Jangan sampai
kesempatan yang telah berada dalam genggaman tanganmu itu
terlepas. Sekali kesempatan itu lepas maka kau akan meyesal
selamanya.”90
Pakering Suramurda berniat melakukan apa saja untuk
menjadikan Raden Cakradara sebagai raja. Meski pun harus
membunuh Raden Kudamerta.
“Aku wajib mengingatkanmu, pesaing bisa menyerobot dari arah
samping, atau muncul dari tempat yang sama sekali tidak terduga.
Firasatku mengatakan, sejak sekarang kkau berada dalam bahaya
karena pihak pesaing itu menganggap tempat dan kedudukanmu
sekarang bisa menjadi batu sandungan mimpi mereka. Sejak
sekarang berhati-hatilah. Kewajibanku untuk mengamankan
kepentinganmu jangan sampai ada yang mengganggu. Sejak dini
aku melihat Raden Kudamerta telah mempersiapkan diri dan
berupaya keras agar kekuasaan nanti jatuh ke tangannya.
Menghadapi hal itu, Paman tak akan tinggal diam, Paman akan
menghancurkan kekuatan itu. Paman akan menggerogoti sedikit
demi sedikit dan bila perlu anak panah atau ayunan pisau akan di
arahkan ke dadanya....91
Pakering Suramurda juga digambarkan sebagai orang yang
cepat naik darah. Ia tidak segan-segan memaki Raden
Cakradara ketika menolak rencananya untuk merebut tahta.
“Kamu bukan lelaki, tapi kamu perempuan. Kalupun kamu
bersuami istri dengan Sri Gitarja maka tempatmu tak lebih dari
permaisuri. Kamu permaisuri dan Sri Gitarja itu rajanya. Tidak
bisakah matamu melihat kedudukan seperti itulah yang akan
kamu jalani?”
90
Ibid, hlm. 59 91
Ibid
73
Namun, Pakering Suramurda akhirnya mati terbunuh akibat
panah beracun.
Pakering Suramurda terbelalak dalam memegangi gagang anak
panah yang tenggelam di tengah dadanya. Sakit yang timbul
dirasakan nyeri bukan kepalang dan tidak memberi kesempatan
kepada paman Raden Cakradara itu unutk bertahan lama. Hal itu
karena ujung anak panah yang emnancap berlumur bisa. Pakering
Suramurda ambruk untuk berkelojotan dan mati.92
14. Nyai Tanca/Raden Panji Rukmamurti
Nyai Tanca adalah istri dari Ra Tanca, salah satu dari
Dharmaputra Winehsuka yang melakukan makar sembilan
tahun yang lalu. Nyai Tanca digambarkan sebagai wanita yang
licik dan penyebar fitnah. Ia menyebarkan berita bahwa Sri
Jayanegara pernah menggodanya dan juga memnagtakan
bahwa Dyah wiyat sebagai perusak rumah tangga orang karena
hubungan terlarang Dyah wiyat dan Ra Tanca. Tentu saja ini
merupakan tindakan yang sangat berani menyebar fitnah
tentang keluarga kerajaan.
“Aku tidak mengarang cerita. Jayanegara memang pernah berniat
kurang ajar kepadaku. Itu kenyataannya. Aku berkewajiban
memberitahu orang se-Majapahit. Sri Jayanegara adalah jenis
orang sebagaimana yang aku katakan.”
Namun, Gagak Bongol memberinya jawaban yang tangkas,
“Lalu bagaimana dengan kamu menawarkan diri untuk perang
tanding olah asmara denganku. Wanita yang demikian mudah
menawarkan diri kepada orang lain tanpa sepengetahuan suami,
lalu bagaimana kamu bisa mengarang cerita Jayanegara berniat
seperti itu. Jangan-jangan yang terjadi sebenarnya terbalik. Kamu
menawarkan diri kepada Tuanku Jayanegara, sri Baginda tidak
menanggapi, menyebabkan kamu berulah seprti itu.93
“Segenap rakyat memuji Sri Jayanegara sundul langit sebagai
raja yang adil bijaksana, berbudi bawa laksana, ambek adil
paramarta. Tidak ada seorang pun yang tahu raja macam apa
Jayanegara yang menggerayangi semua perempuan. Laki-laki
macam itu tidak pantas menjadi panutan dan sesembahan.
Sementara adik perempuan Sri Jayanegara, kebanggaan macam
apa yang dimiliki oleh Sekar Kedaton yang selalu mengganggu
ketentraman rumah tangga orang. Bagaimana penilaian khalayak
ramai apabila mereka mengetahui perempuan macam apa Dyah
92
Ibid, hlm. 443 93
Ibid, hlm. 310
74
wiyat Rajadewi Maharajasa yang tidak punya urat malu, masih
terus mengusik Kakang Ra Tanca meski telah beristri?” 94
“Soal hubungan suamimu dengan Sekar Kedaton Maharajasa.
Hubungan itu terjadi sebelum kamu mengenal Ra tanca.
Menggunakan cara pandang orang lain, bakal terlihat kamulah
yang mengganggu hubungan antara Ra Tanca dan Sekar
Kedaton.”95
Selain memiliki keberanian yang tinggi dalam menyebar fitnah,
Nyai Tanca adalah orang yang sangat pandai berbicara.
Ceplas-ceplos demikian ringan ucapan Nyai Tanca menjadi tanda
Nyai Tanca memang orang yang sangat pintar, pemberani, dan
punya otak untuk berpikir.96
Nyai Tanca adalah digambarkan sebagai wanita murahan yang
mudah menawarkan jasa seksual kepada lelaki manapun yang ia
temui, bahkan Kendar Kendara yang baru ia temui.
“Berhentilah memfitnah raja,” ucap gagak Bongol. “Semua
orang di bumi Wilwatikta ini tahu siapa kamu. Kamu perempuan
yang pernah menjual diri, bahkan kepadaku pun kau pernah
menawarkan diri. Bagaimana aku bisa percaya kepadamu?
Bagaimana orang se-Majapahit bisa percaya padamu?”
Terbungkam mulut Nyai Tanca. Soal ia pernah memberikan
tawaran itu, benar adanya. Beberapa bulan sebelumnya, ketika
Gagak Bongol datang berkunjung, Nyai Tanca telah
menggodanya dengan cara yang kelewatan melampaui batas
kepatutan.97
“Apa yang Nyai lakukan kepadaku?” pemuda itu meletup.
Nyai Tanca memandang lelaki di depannya dengan amat lahap,
seperti jenis makanan yang menggiurkan.
“Apakah tidak salah bunyi pertanyaan itu?” balas Nyai Tanca.
“Apakah tidak seharusnya aku yang bertanya, apa yang
kaulakukan padaku?” 98
Nyai Tanca memakai nama Radden Panji Rukmamurti
untuk memimpin makar bersama Rangsang Kumuda dan
Mandrawa. Nyai Tanca adalah penggagas lambang pasukan
makar yang dipimpinnya. Ular membelit buah maja.
“Jadi kamu pemilik gagasan pembuatan lammbang ini?” tanya
Gagak Bongol.
“Ya.”
94
Ibid, hlm. 309 95
Ibid, hlm. 310 96
Ibid, hlm. 307 97
Ibid, hlm. 310 98
Ibid, hlm. 313
75
“Lalu, apa artinya?”
Nyai Tanca tidak segera menjawab, menggunakan lampu ublik ia
menerangi lembaran kain yang dipasang terbentang di dinding.
Nyai Ra Tanca sama sekali tidak berniat menyembunyikan
kebanggaannya terhadap lambang yang digagasnya itu.
“Bola itu lambang buah maja. Ular itu lambang kakang Ra
Tanca.”99
“Kamu perempuan rupanya?” tanya gajah Mada.
“Ya,” jawab Panji Rukmamurti dengan suara serak.
Walaupun lirih jawaban itu terdengar jelas.
Jawaban Panji Rukamamurti itu mengagetkan semua yang hadir,
namun lebih khusus anak buahnya yang terkejut. Orang-orang
yang selama ini menghimpun diri di Karang watu itu menduga
Raden Panji Rukamamurti seorang lelaki. Apalagi, suara yang
dimilikinya bernada rendah sepertii umumnya lelaki.
“Siapa sebenarnya kamu?” Gajah Mada mencecar.
“Aku, Nyai Tanca,” jawab Panji Rukmamurti.100
d. Latar
Setting/latar adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi.
Termasuk di dalam latar ini ialah tempat atau ruang yang dapat
diamati. Termasuk di dalam unsur ini adalah waktu, hari, bulan
tahun, musim, atau periode sejarah.
1. Latar tempat
a) Balai Prajurit
Balai prajurit adalah markas besar militer Majapahit. Seperti
halnya markas besar, pertemuan-pertemuan kemiliteran dilakukan
di tempat ini. Walau pun tidak secara aktif melakukan kegiatan
kemiliteran, Gajah Mada sering berkunjung dam mengumpulkan
para prajurit Majapahit, khususnya Bhayangkara, di Balai Prajurit.
Balai Prajurit penuh oleh segenap Bhayangkara. Tak hanya para
Bhayangkara yang berkumpul dan merasa prihatin dengan keadaan
pemimpin mereka yang masih pingsan, tetapi juga para prajurit dari
kesatuan yang lain yang datang menengok. Di pembaringan dan
tetap dalam perawatan Nyai Lengger, Senopati Gajah enggon
terbujur lunglai. Keadaan Gajah Enggon benar-benar seperti orang
mati.101
99
Ibid, hlm. 308 100
Ibid, hlm. 494 101
Ibid, hlm. 324-325
76
Sebelum dimakamkan, Sri Jayanegara diberikan upacara
kemiliteran sebagai anggota kehormatan Bhayangkara di Balai
Prajurit.
Sebelum dilakukan upacara pembakaran layon sebagaimana
keyakinan agama yang dianut Sri Jayanegara, Raya Pralaya itu
disemayamkan lebih dulu ke Balai Prajurit dan akan dilakukan
penghormatan secara keprajuritan mengingat Jayanegara bukan
sekadar seorang raja, namun secara pribadi Sri Jayanegara adalah
bagian dari pasukan Bhayangkara....102
Balai Prajurit juga dijadikan tempat persidangan para petualang
yang berniat makar seperti Panji Rukmamurti, rangsang Kumuda, dan
Mandrawa.
Balai prajurit penuh sesak dan berjejal-jejal. Berita ditangkapnya
para petualang yang berangan-angan menjungkalkan Majapahit
dann berniat mendirikan negara baru menggunakan lambang buah
maja yang dibelit ular menyebar ke mana-mana....103
Tempat ini juga dijadikan tempat di mana Ibu Ratu Gayatri
memberikan pertanyaan kepada Raden Kudamerta terkait status
penikahannya.
Pertanyaan yang diajukan dengan tidak terduga-duga itu
menyebabkan Raden Kudamerta pucat pasi. Raden Kudamerta yang
gugup menyempatkan memejamkan mata untuk meredam gejolak
yang terpancing mendadak itu. Pertanyaan itu tak hanya
mengagetkan Raden Kudamerta, semua yang hadir di Balai Prajurit
tenpa terkecuali terkejut. Mereka yang sudah dengar desas-desus
terpancing rasa ingin tahunya, apalagi mereka yang baru dengar tak
kalah kaget.104
b) Bale Gringsing
Bale Gringsing adalah tempat pemyimpanan benda-benda
pusaka.
Di Bale Gringsing, Senopati Gajah Enggon dirawat setelah
mengalami trauma di kepalanya.
Kini hanya bertiga di ruang itu. Bale Gringsing terasa sepi karena
perhatian sedang di arahkan ke makam Antawulan yang di sana
sedang berlangsung kegiatan yang melibatkan orang banyak. Sri
102
Ibid, hlm. 147 103
Ibid, hlm. 484 104
Ibid, hlm. 498
77
Gitarja dan Dyah Wiyat memerhatikan keadaan Gajah Enggon yang
lunglai, lemah tidak mampu melakukan apa-apa. Senopati Gajah
Enggon yang semula gagah perkasa itu bahkan tak mampu
mengangkat tangan. Tidak untuk mengangkat tangan, bahkan
membuka mata pun tidak mampu.105
c) Alun-alun
Alun-alun adalah tempat yang biasa di gunakan para
prajurit untuk berlatih perang.
Di alun-alun, setelah taklimat yang diberikan masing-masing
pimpinannya, pasukan segelar sepapan yang beristirahat sejenak
itu mempersiapkan diri untuk kembali berlatih. Tambur dipukul
dengan berderap menjadi pembakar semangat. Suara tambur
kemudian dilanjutkan dengan bunyi sangkakala yang melengking
tinggi membelah udara. Suara anak panah yang dilepas ke langit
susul-menyusul merupakan perintah yang harus dipahami karena
tidak mungkin perintah diberikan hanya dengan berteriak. Dan
ktika bende Kiai Samudra ditabuh dalam latihan berkekuatan
segelar sepapan itu, suaranya menggetarkan udara dari ujung ke
ujung. Bila ada yang berani berada pada jarak amat dekat ketika
bende itu dihantam pemukulnya akan merupakan jaminan bakal
jebol gendang telinga orang itu.106
Ra Kembar mendapat informasi mengenai makar di Karang
Watu dari seorang informan mata duitan bernama Singajaya di
alun-alun.
Singajaya nama laki-laki itu, ia merasa berita yang diterimanya
sangat penting sehingga tak sabar menunggu geladi perang di
alun-alun itu berakhir. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat yang
diperas setelah berlari kencang dari makam Antawulan ke alun-
alun. Singajaya yang merasa tidak sabar bahkan memutuskan
menyibak segenap prajurit yang sedang menerima teklimat dari
pimpinan masing-masing. Ra Kembar melihat apa yang
diperbuat orang itu. Bergegas Ra Kembar meneriakinya.107
Alun-alun merupakan lapangan yang sangat luas. Kadang
Gajah Mada menghukum para prajurit dengan berlari mengitari
alun-alun.
Perintah telah dijatuh dan tidak lagi bisa ditawar. Geladi perang
baru saja mereka selesaikan dan itu amat menguras tenaga. Kini,
Gajah Mada memberi hukuman berlari dua puluh lima kali.
105
Ibid, hlm. 351 106
Ibid, hlm. 376 107
Ibid, hlm. 373
78
Tanpa perlu diulang lagi perintah itu, para prajurit yang sedang
apes itu berhamburan menuju alun-alun.108
d) Padas Payung
Padas Payung memiliki nama yang sesuai dengan keadaan
geologisnya, tebing yang memayungi jalan. Di tempat ini, Pekring
Suramurda terbunuh oleh orang yang tidak dikenal ketika
melakukan pertemuan rahasia dengan Raden Kudamerta yang
akhirnya kepergok oleh Gajah Mada.
Karena sering digunakan untuk beradu balap kuda, iitulah
sebabnya Radenn Cakradara sangat mengenal tempat itu.
Kedatangannya ke Padas Payung di tengah malam yang pekat itu
karena sebagaimana pesan yang ia terima dari Gamak Truntung,
di tempat itulah ia harus bertemu pamannya, Pakering
Suramurda, yang ulahnya telah merepotkannya.109
e) Karang Watu
Karang Watu adalah tempat yang digunakan pasukan
pemberontak di bawah pimpinan Raden Panji Rukmamurti dan
Rangsang Kumuda sebagai tempat berlatih perang.
Melalui sebuah kerja keras willayah seluas dua kali Tambak
Segaran itu disulap menjadi tanah lapang yang digunakan untuk
berlatih perang. Di tempat itu dibangun sebuah pendapa yang
sangat besar yang bahkan ukurannya melebihi Balai Prajurit di
Kotaraja Majapahit. Pendapa itu tidak terlihat dari luar sungai
karena telindung oleh barisan pohon kelapa dan bambu. Di
belakang bangunan induk terdapat bangsal panjang yang dihuni
lebih dari dua ratus orang setiap hari, siang dan malam berlatih
amat keras, baik secara perorangan maupun kelompok. Bangsal
memanjang itu ditopang oleh tiang bambu dengan atap ijuk
sehingga sebenarnya sangat mudah terbakar.110
(GM:TdA,
2009:448)
Tempat ini kemudian dihancurkan oleh pasukan Majapahit
dibantu oleh Bhayangkara yang menagkap Panji Rukmamurti.
Sangkakala yang ditiup dengan nada melengking panjang
disambut dengan sorak-sorai mengagetkan Mandrawa. Juga
mengagetkan segenap penghuni Karang Watu. Bumi bagai
berderak ketika prajurit yang sempurna dalam siaga itu bergerak
108
Ibid, hlm. 382 109
Ibid, hlm. 435 110
Ibid, hlm. 448
79
karena mereka berjalan sambil menghentakkan kaki ke tanah
secara bersamaan berirama. Yang terjadi kemudian bagaikan
gajah melawan pelanduk.111
2. Latar waktu
Novel ini berlatar waktu pada masa Kerajaan Majapahit di
bawah pimpinan Sri Jayanegara. Sri Jayanegara wafat karena
diracun oleh Ra Tanca. Wafatnya Jayanegara terjadi pada tahun
1328.
Setelah kematian-kematian itu, adakah kini pencandian yang
sama harus disiapkan pula? Kini, 1328, hampir dua puluh tahun
setelah kematian Rabu Wijaya, atau sembilan tahun setelah
pemberontakan Ra Kuti pada 1319.112
e. Sudut pandang
Sudut pandang atau pusat pengisahan adalah posisi dan
penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia
melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu.
Sudut pandang yang digunakan dalam novel Gajah Mada: Tahta
dan Angkara ini menggunakan sudut pandang orang ketiga.
Pengarang sebagai tokoh ketiga, berada di luar cerita bertindak
sebagai pengamat sekaligus sebagai narrator yang menjelaskan
peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran para
pelaku cerita. Lagit Kresna Hariadi menggunakan penceritaan
“diaan” mahatahu. Penceritaan “diaan” mahatahu adalah pencerita
yang sangat mengetahui berbagai perasaan, pikiran, angan-angan,
keinginan, niat, dan sebagainya dari si tokoh yang diceritakan.
Yang kemudian menjadi gelisah justru Patih Amangkubumi Arya
Tadah. Arya Tadah merasa sikap Patih Daha itu terlalu berlebihan.
Arya Tadah merasa, setinggi apa pun derajajt ataupun pangkat Gajah
Mada sumbang suaranya belum pantas menjadi bahan pertimbangan
para ratu dalam mengambil keputusan. Apalagi bila mengingat
111
Ibid, hlm. 466 112
Ibid, hlm. 7
80
pilihan yang tersedia hanya dua, tinggal memilih salah satu di antara
Sri Gitarja atau Dyah Wiyat.113
Rupanya wajah itulah yang menyebabkan Raden Kudamerta kurang
sepenuh hati menerima kehadiran Dyah Wiyat untuk selalu muncul
dan melekat dalam setiap gerak kegiatannya, dalam ayunan irama
kehidupannya di sepanjang hari di sepanjang waktu karena
bukankah pasangan suami istri haruslah selalu menghamburkan
waktu dan menghabiskannya bersama-sama?114
f. Gaya Bahasa
Gaya penceritaan yang dimaksud di sini adalah tingkah
laku pengarang dalam menggunakan bahasa. Tingkah laku ini
dianggap sangat penting karena menentukan penghantaran cerita
kepada pembaca. Karena itu pengarang terus melakukan upaya
supaya cerita dapat menggugah pembaca dan larut ke dalam cerita
tersebut. Tindakan tersebut adalah: 1) pemilihan materi bahasa,
pengarang diharuskan memiliki pembendaharaan bahasa yang
mumpuni agar dapat memilih pemakaian kata yang tepat yang
bersifat informatif dan komunikatif kepada pembacanya; 2)
pemakaian ulasan, untuk menopang gagasan pengarang
memberikan ulasan, contoh-contoh dan perbandingan yang kualitas
dan kuantitasnya disesuaikan dengan keinginan; 3) pemanfaatan
gaya bertutur, menjadi unik karena gaya bertutur setiap individu
berbeda.
1. Pemilihan Materi Bahasa
Bahasa yang digunakan Langit Kresna Hariadi memiliki
keunikan tersendiri. Langit Kresna jarang menggunakan
bahasa rumit seperti pemakaian majas yang biasa digunakan
oleh pengarang-pengarang. Langit Kresna membubuhkan
tanda tangannya pada novel-novelnya dengan menggunakan
bahasa Jawa. Di dalam novel-novelnya, khususnya Gajah
Mada: Tahta dan Angkara, Langit Kresna banyak
memasukkan kata-kata atau frasa-frasa Jawa.
113
Ibid, hlm. 81 114
Ibid, hlm 149
81
.... Lebih dari itu, segenap prajurit merasakan gejolak yang sama,
oleh duka mendalam atas gering yang diderita Kertarajasa
Jayawardhana.115
Pancaksara mencatat semua yang didongengkan ayahnya itu dan
diguratkan ke berlembar-lembar rontal. Pancaksara juga mencatat
wrna kesedihan yang serupa yang terpancar dari wajah segenap
kawula yang melakukan pepe di alun-alun....116
.... Beberapa hari kemudian, Kalagemet yang telah menyandang
kedudukan sebagai kumararaja dinobatkan menjadi raja
menggantikan ayahandanya.117
1309 dendang duka ditembangkan nglangut karena Sang Prabu
Sri Kertarajasa Jayawardhana wafat....118
.... Adalah istrinya, Dewi Setyawati yang amat mencintai
suaminya mengais ribuan mayat yang salang tunjang
bergelimpangan....119
Prabawa yang dimiliki Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri benar-
benar luar biasa, bahkan Pradhabasu tercengang melihatnya
karena seingat Pradhabasu itulah pertama kalinya sang Prajaka
tidak menolak ketika seseorang berniat berakrab-akrab....120
....Wilang jenis orang yang suka bicara blak-blakan tanpa
tedheng aling-aling.121
.... Untuk rasa hormat, rasa cinta, dan sayangnya terhadap Sri
Gitarja, dari sejak dini ia tidak pernah berangan-angan saoal
dampar kencana....122
.... Kenapa aku menebak di menjelang pintu gerbang utara ada
orang yang melakukan baris pandhem, sebenarnya bisa ditebak
dengan mudah, pastilah ada hubungannya dengan Raden
Kudamerta.”123
Cukat trengginas pasukan khusus Bhayangkara yang tidak
berkurang jumlahnya kecuali nahas yang menimpa Gajah
Enggon, melaksanakan perintah yang dijatuhkan Patih Daha
Gajah Mada....124
Ibu Ratu Gayatri yang berada dalam sikap semadi di sanggar
pamujan, terusik keheningan mata hatinya oleh alunan indah
itu....125
Ra Kembar menjanjikan kepada pendukungnya untuk bersama-
sama mukti wiwaha, tidak sebaliknya hamukti lara lapa terus
sepanjang waktu.126
(GM:TdA, 2009:450)
115
Ibid, hlm. 3 116
Ibid, hlm. 6 117
Ibid, hlm. 7 118
Ibid 119
Ibid, hlm. 177 120
Ibid, hlm. 192 121
Ibid, hlm. 209 122
Ibid, hlm. 244 123
Ibid, hlm. 276 124
Ibid, hlm. 291 125
Ibid, hlm. 428 126
Ibid, hlm. 450
82
Dengan langkah amat ringan bahkan adakalanya dilakukan
sambil berkejar-kejaran, Dyah Wiyat dan Menur mengayun
langkah ke pasar daksina....127
.... Beberapa Bhayangkara sigap membawa Nyai Tanca dan
langsung menggelandangnya ke pakunjaran.128
2. Pemakaian Ulasan
Di dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara,
Langit Kresna banyak memakai perbandingan peristiwa
yanng ditujukan untuk menambah pemahaman pembaca
akan peristiwa yang terjadi.
Langit Kresna membandingkan peristiwa
meninggalnya Sri Jayanegara dengan peristiwa
meninggalnya Raden Wijaya. Di mana digambarkan
keadaan yang terjadi tidak jauh berbeda.
Dan, suara bende Kiai Samudra itu.... Suara bende itu
siapa pun tahu artinya. Senyap yang memberangus
adalah nestapa bagi siapa pun yang mencintai raja.
Suaranya yang menggelegar terdengar sampai ke sudut-
sudut kotaraja. bende yang dipukul satu-satu, berjarak
sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran, merupakan
pengulangan apa yang terjadi beberapa tahun
sebelumnya manakala raja pertama Majapahit yang
sangat dicintai dan dihormati mangkat.129
Langit Kresna juga menbandingkan peristiwa bunuh
diri adik perempuan Pradhabasu dengan peristiwa Dewi
Setyawati istri Prabu Salya, demikian denggan Nyai
Mertaraga dan Nyai Tirtawati istri dari Adipati
Ranggalawe.
Pradhabasu yang menunduk itu tidak menjawab,
sementara Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri merasa
pertanyaan itu sebenarnya tak perlu dilontarkan. Kisah
yang dituturkan Pradhabasu itu merupakan lambang
sasmita yang cukup jelas artinya. Istri Mahisa Kingkin
telah melaksanakan darma kesetiaan seorang istri kepada
suaminya. Tidak ada kkebanggaan seorang istri daripada
127
Ibid, hlm. 477 128
Ibid, hlm. 496 129
Ibid, hlm. 14
83
menyusul dan menemani sang suami di alam kematian.
Setidaknya Kembangrum Ring Puri Widati memiliki
keyakinan, betapa nista baginya bila tidak mempunyai
keberanian untuk menyusul suaminya ke alam
kematian.130
3. Gaya Bertutur
Gaya bertutur yang dilakukan Langit Kresna Hariadi sangat
sederhana. Langit Kresna menuturkan cerita dengan irama
yang tidak terlalu lama dan tidak terlalu cepat juga. Walaupun
ia menggabarkannya secara detil, namun tidak membuat rasa
bosan saat membacanya.
Langit Kresna dapat menyesatkan pembaca bila kita tidak
hati-hati dalam membaca dan berspekulasi. Seperti jika kita
menganggap bahwa Pakering Suramurda sebagai dalang dari
pembunuhan di kotaraja. Hal ini wajar karena kita
menganggap Suramurda tidak memiliki alibi pada saat
peristiwa tersebut berlangsung, namun ia memiliki motif yang
kuat.
Tapi ada juga disaat cerita yang akan disampaikan Langit
Kresna sudah bisa kita tebak. Seperti peran Nyai Tanca sebagai
penggagas gerakan makar. Nyai Tanca mengakui bahwa ia
penggagas lambang buah maja yang dililit ular. Hal ini
menjadikan kita berpikir bahwa ia terlibat. Ditambah dengan
motif bahwa ia adalah istri Ra Tanca yang pernah melakukan
makar dan ia memiliki dendam tersendiri dengan anggota
istana, Dyah Wiyat. Perawakan Panji Rukmamurti yang
digambarkan sebagai pemuda yang tampan, tapi memiliki
rambut yang feminim memudahkan kita menebak bahwa ia
adalah Nyai Tanca.
130
Ibid, hlm. 179
84
B. Analisis Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada:
Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan
yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna
dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.
Telah tersurat dengan jelas bahwa novel ini memiliki tema tentang
perebutan kekuasaan. Hal ini bahkan dapat kita lihat dari pemilihan
judul novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara. Pemilihan judul ini
tepat mewakili alur atau plot yang digambarkan di dalam novel.
“Sejak zaman Mataram, perebutan kekuasaan selalu terjadi.
Setiap peralihan kekuasaan selalu ditandai peristiwa berdarah,”
Pancaksara melanjutkan. “Lebih-lebih zaman Singasari, wilayah
paling berbahaya bagi negara adalah saat-saat peralihan
kekuasaan. Sekarang, tidak layak cemaskah kita dengan
pengalaman peralihan kekuasaan yang macam itu?”131
Sigap Gajah Mada memberikan sembahnya. Tugas yang sangat
berat itu telah digenggam dan siap untuk dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, maka demikianlah, dengan jelas dan gamblang
Patih daha Gajah Mada melaporkan yang terjadi, siapa saja orang
yang terbunuh dan kemungkinan kepentingan apa saja yang
berada di belakang rentetan kejadian itu. Tegas dan penuh
keyakinan Patih Daha Gajah Mada menyebut, apa yang terjadi itu
merupakan tanda-tanda terjadinya perebutan kekuasaan. Di
belakang Raden Cakradara ada pihak yang bermain, ingin
menunggangi dan memanfaatkan Raden Cakradara.132
Dan pergantian kekuasaan di negeri mana pun selalu menyisakan
gejolak tanpa terkecuali Majapahit setelah meninggalnya
Jayanegara. Udara pun terasa sesak. Gerah akan menyergap siapa
pun yang mendambakan kedamaian dan ketenangan. Singasari
telah memberi contoh. Di setiap pergantian kekuasaan, udara
selalu terasa panas.133
Bagaimana peliknya peristiwa pemindahan tampuk kepemimpinan
kerajaan Majapahit dari Sri Jayanegara kepada ratu kembar, Sri
Gitarja dan Dyah Wiyat, di mana sang kakak, Sri Gitarja, yang lebih
berhak mendapatkan tahta karena lebih tua, namun memliki sifat yang
131
Ibid, hlm. 35 132
Ibid, hlm. 241-241 133
Ibid, hlm. 337
85
sangat lembut yang dikhawatirkan kurang mampu dalam memimpin
Kerajaan Majapahit; dan sang adik, Dyah Wiyat, yang lebih muda
namun mewarisi sifat kepemimpinan Raden Wijaya.
Sri Gitarja mungkin terpilih sebagai ratu karena dari calon yang
ada, Sri Gitarja lebih tua. Akan tetapi, apabila dilihat dari sisi
kemampuan, adiknya banyak memiliki kemampuan yang tidak
terduga. Lebih tegar, lebih berwawasan luas, lebih jauh dalam
memandang ke depan, dan lebih berwibawa....134
....Ibu Ratu melihat dalam banyak hal Dyah Wiyat memang
memiliki sifat dan sikap yang menonjol dari kakaknya. Dyah
Wiyat bisa bersikap tegas, mampu memilih secara tegas satu di
antar banyak pilihan yang berada dalam kedudukan tak ubahnya
malakama. Sifat dan sikap yang demikian lebih mandiri dan amat
sesuai untuk menjadi pemimpin.135
Bukan berarti tema perebutan kekuasaan ini menjadikan ia tema
satu-satunya di dalam novel ini. Seperti halnya novel-novel yang lain,
novel ini pun memiliki tema dominan dan tema pendukung. Tema
dominan di novel ini telah dijelaskan di atas, sedangkan tema
pendukung yang ada di novel ini adalah nikah paksa dan dendam.
“Aku meminta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat
menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan
perkawinan ini sejak awal, tetapi aku tidak punya pilihan,” jawab
Raden Kudamerta.136
“Perempuan tidak tahu malu. Pengganggu ketentraman rumah
tangga orang. Seharusnya kamu mati dipatuk ular itu,” umpat
Nyai Tanca yang mendadak liar itu.137
Berdasarkan penggolongan tema, tema perebutan kekuasaan ini
masuk dalam golongan tema nontradisional, karena jarang sekali
novel yang mengangkat tema ini. Untuk novel-novel sejarah seperti
halnya novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara, para pengarang
biasanya mengambil unsur percintaan tokoh-tokohnya agar menarik
kalangan pembaca lebih luas. Hal ini juga didasarkan latar belakang
134
Ibid, hlm. 66 135
Ibid, hlm. 244 136
Ibid, hlm. 266 137
Ibid, hlm. 496
86
Langit Kresna Hariadi yang memiliki keluarga berprofesi militer,
sehingga variasi tematik yang ia miliki berbeda dari yang lain.
Mengenai tema perebutan kekuasaan ini, jika dikategorikan ke
dalam tingkatan tema menurut Shipley, tema ini masuk ke dalam
ketegori tema tingkat sosial, karena tema yang diangkat bukan lagi
sebatas masalah individu melainkan fenomena yang terjadi di
masyarakat. Peristiwa pengalihan kekuasaan dari Sri Jayanegara
kepada Sri Gitarja dan Dyah Wiyat tentu saja bukan sebatas masalah
individual. Karena berdasarkan kekuasaan monarki, keluarga kerajaan
adalah refleksi dari dewa-dewa yang diagungkan para rakyatnya.
Sehingga siapa pun yang menaiki tampuk singgasana otomatis akan
medapatkan kekuasaan mutlak terhadap rakyatnya.
Dan ketika bende Kiai Samudra dipukul bertalu, tangis serentak
membuncah. Ayunan pada bende yang getar suaranya mampu
menggapai sudut-sudut kota merupakan isyarat yang sangat
dipahami. Gelegar bende dengan nada satu demi satu, namun
berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran merupakan
pertanda Sang Prabu mangkat. Semua orang yang mendengar
isyarat itu merasa denyut jantungnya berhenti berdetak.138
(GM:TdA, 2009:6)
Dan, suara bende Kiai Samudra itu .... Suara bende itu siapa pun
tahu artinya. Senyap yang memberangus adalah nestapa bagi
siapa pun yang mencintai Raja. Suaranya yang menggelegar
terdengar sampai ke sudut-sudut kotaraja. Bende yang dipukul
satu-satu, berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran,
merupakan pengulangan apa yang terjadi beberapa tahun
sebelumnya manakala raja pertama Majapahit yang sangat
dicintai dan dihormati mangkat.139
Hal inilah yang menjadikan peralihan kekuasaan ini berdarah,
karena pewaris dampar bukanlah seorang pangeran melainkan puteri
yang masing-masing telah memiliki calon suami yang dikhawatirkan
orang-orang di balik para pemuda ini yang haus akan kekuasaan
tertinggi di Majapahit yang telah memiliki wilayah kerajaan yang
sangat luas.
138
Ibid, hlm. 6 139
Ibid, hlm. 14
87
Sigap Gajah Mada memberikan sembahnya. Tugas yang sangat
berat itu telah digenggam dan siap untuk dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, maka demikianlah, dengan jelas dan gamblang
Patih daha Gajah Mada melaporkan yang terjadi, siapa saja orang
yang terbunuh dan kemungkinan kepentingan apa saja yang
berada di belakang rentetan kejadian itu. Tegas dan penuh
keyakinan Patih Daha Gajah Mada menyebut, apa yang terjadi itu
merupakan tanda-tanda terjadinya perebutan kekuasaan. Di
belakang Raden Cakradara ada pihak yang bermain, ingin
menunggangi dan memanfaatkan Raden Cakradara.140
Selain tema sentral yang telah disinggung di atas, dalam novel
Gajah Mada: Tahta dan Angkara ini juga memiliki tema sampingan
yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Langit Kresna
Hariadi menggunakan tema percintaan dan dendam sebagai bumbu
dalam novel ini. Cinta terlarang yang dimiliki Raden Kudamerta
kepada istrinya Dyah Menur, seorang perempuan dari kalangan rakyat
biasa, menjadikan konflik peralihan kekuasaan ini menjadi lebih
rumit.
....Raden Kudamerta yang oleh Ratu Gayatri dianugrahi gelar Sri
Wijaya Rajasa Sng Apanji Wahninghyun itu tidak mampu
memusatkan perhatiannya pada rangkaian acara yang diikutinya.
Ketika mata Kudamerta terpejam, selalu muncul wajah seseorang
yang amat mencuri dan menyita perhatiannya. Wajah itu wajah
perempuan yang dipelukannya ada bayi yang tengah menyusu.141
“Aku meminta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat
menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan
perkawinan ini sejak awal, tetapi aku tidak punya pilihan,” jawab
Raden Kudamerta.142
Panji Wiradapa yang merupakan paman Kudamerta menculik
Dyah Menur. Hal ini dilakukan Panji Wiradapa untuk memaksa
Kudamerta agar menikahi Dyah Wiyat, seorang Sekar Kedaton
kerajaan besar. Dengan adanya peristiwa terbunuhnya Sri Jayanegara,
Panji Wiradapa semakin membenarkan alasannya sendiri untuk
menawan Dyah Menur, karena dengan begitu kesempatan Dyah Wiyat
mewarisi dampar istana menjadi lebih besar. Jika Dyah Wiyat menjadi
ratu, maka otomatis Kudamerta mejadi seorang raja. Jika Kudamerta
140
Ibid, hlm. 241-242 141
Ibid, hlm. 149 142
Ibid, hlm. 266
88
menjadi orang nomor satu di Majapahit, maka kemungkinan Panji
Wiradapa menjadi orang nomor dua, yaitu Mahapatih, akan terwujud.
“Kau bisa menjadi raja, Kudamerta. Manfaatkanlah kesempatan
yang sangat langka ini. Mulai sekarang bermainlah dengan
cantik. Untuk meraih gegayuhan itu memerlukan pengorbanan.
Untuk sebuah tujuan yang sangat kau yakini, kau bahkan harus
menggunakan dan membenarkan cara apa pun. Mulai menyusun
rencana dari sekarang, kau bisa memanfaatkan hubunganmu
dengan Tuan Putri,” lanjut orang itu.143
Bila berkaca pada brenggala, dahulu Panji Wiradapa pernah
menggantungkan cita-citanya setinggi langit. Jabatan
keprajuritannya kali ini hanyalah sebgai lurah prajurit, padahal
Panji Wiradapa merasa dirinya pantas menjadi seorang patih,
orang kedua setelah raja. Karena mimpi untuk menjadi orang
penting itu ternyata tidak terwujud, cukuplah orang lain yang
mewakilinya. Asal bisa melihat Raden Kudamerta menjadi raja
maka puaslah rasanya. Ki Panji merasa cita-cita itu telah
terwakili.144
“Kau harus bermimpi, Kudamerta,” ucap Panji Wiradapa tegas,
tetapi dalam nada bisik. “Kau harus menggantungkan angan-
anganmu setinggi langit. Akan tetapi, tidak sekadar bermimpi,
jauh lebih penting dari itu, kau harus berusaha dengan keras
mewujudkanmimpi itu menjadi kenyataan. Kau punya peluang
itu, kau bisa menjadi raja, menjadi orang tedepan. Kini saatnya,
gunakan kesempatan yang terbuka jelas di depan matamu.”145
Dan dari cinta terlarang ini jugalah yang menjadikan Gajah Mada
merasa kekhawatirannya akan kestabilan kekuasaan trah murni Raden
Wijaya, karena Raden Kudamerta dan Dyah Menur memiliki seorang
putra. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi peralihan kekuasaan di
masa yang akan datang. Selain itu, hal ini berarti Raden Kudamerta
menempatkan Dyah Wiyat sebagai istri kedua. Kesalahan yang sangat
fatal!
Betapa remuk hati Menur yang merasa harus melakukan sesuatu
yang berlawanan dengan kata hatinya. Namun, melawan
kehendak orang itu akan berakibat buruk bagi dirinya. Laki-laki
itu sangat kejam. Ancaman akan menyakiti dirinya bukan
ancaman paling kejam, ancaman terhadap anaknyalah yang justru
sangat mengerikan, apabila tidak dituruti apa yang menjadi
kehendaknya, nyawa anaknya menjadi taruhan. Setiap kali ia
143
Ibid, hlm. 52 144
Ibid, hlm. 54 145
Ibid
89
melawan, ancaman terhadap anaknya yang akan dihadapi. Laki-
laki tua itu tak segan-segan akan membuktikan ancamannya.146
...Kekuatan derajat yang dimiliki Raden Kudamerta tak cukup
untuk digunakan mempersoalkan masalah itu. Dyah wiyat anak
raja, anak kandung Raden wijaya, Raja Majapahit yang gung
binatara, sementara Kudamerta hanyalah pewaris kekuasaan
Pamotan, penguasa wilayah yang kecil saja. Ketika berniat
menjamah, Raden Kudamerta harus menyembah lebih dulu....147
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang bersedekap berbalik.
“Boleh tahu siapa nama istrimu itu, Kakang?” tanya Dyah Wiyat.
Raden Kudamerta sungguh bingung, tak tahu bagaimana cara
menjawab.
“atau, akan kau sembunyikan istrimu itu selamanya dariku?”148
....Dyah Wiyat tidak merasa terpanggil untuk segera memberikan
pertolongan. Rahasia yang disembunyikan laki-laki itu, rahasia
yang kini bukan rahasia lagi, bahwa ia telah beristri saat
mengawini dirinya, sungguh merupakan pelecehan yang tak akan
terampunkan.149
Namun, tidak hanya Raden Kudamerta saja yang memiliki cinta
terlarang. Dyah Wiyat pun menyimpan cinta kepada pria beristri,
mantan pemberontak, dan pembunuh Sri Jayanegara: Ra Tanca. Kisah
cinta terlarang mereka telah dimulai secara diam-diam. Dyah Wiyat
yang seorang Sekar Kedaton tentu saja mengetahui bahwa
hubungannya dengan Ra Tanca yang seorang mantan pemberontak
tidak akan disetujui keluarganya, terutama Sri Jayanegara sendiri. Dan
benar! Ketika Sri Jayanegara mengetahui hubungan terlarang Dyah
Wiyat dengan Ra Tanca ia menjadi murka. Walaupun kemurkaan itu
hanya diketahui oleh Ra Tanca seorang.
Penolakan Sri Jayanegara diterima Ra Tanca dengan sangat pahit,
sehingga memicu keputusan Ra Tanca untuk mengulang dosa lamanya
sembilan tahun silam: makar. Ra Tanca bekerja sama dengan istrinya,
Nyai Tanca, dan Panji Wiradapa merencanakan merebut dampar
istana. Rencana makar ini pun dimulai pada saat Ra Tanca yang ketika
itu dipanggil ke istana untuk mengobati Sri Jayanegara yang sedang
146
Ibid, hlm. 105 147
Ibid, hlm. 237 148
Ibid, hlm. 266 149
Ibid
90
sakit, namun justru meracuni Sri Jayanegara hingga tewas, walau hal
ini dibayar dengan nyawa Ra Tanca sendiri.
Kabar cinta terlarang antara Dyah Wiyat dan Ra Tanca ternyata
telah menjadi rahasia umum di kerajaan Majapahit, bahkan sampai ke
telinga istri Ra Tanca, Nyai Tanca. Nyai Tanca memiliki cinta yang
teramat besar kepada Ra Tanca, tidak memercayai suaminya
berselingkuh tanpa digoda oleh wanita lain dan ia beranggapan Dyah
Wiyatlah akar dari pohon perselingkuhan itu. Nyai Tanca
beranggapan Dyah Wiyat merebut suaminya dari pelukannya.
Sehingga ia menjadi sangat membenci Dyah Wiyat, sampai kematian
Ra Tanca pun ia anggap disebabkan oleh Dyah Wiyat. Sehingga
memicu Nyai Tanca melakukan percobaan pembunuhan kepada Dyah
Wiyat dengan mengirimkan sekeranjang buah mangga yang di
dalamnya dimasukkan ular bandotan yang sangat beracun.
“Segenap rakyat memuji Sri Jayanegara sundul langit sebagai
raja yang adil bijaksana, berbudi bawa laksana, ambek adil
paramarta. Tidak ada seorang pun yang tahu raja macam apa
Jayanegara yang menggerayangi semua perempuan. Laki-laki
macam itu tidak pantas menjadi panutan dan sesembahan.
Sementara adik perempuan Sri Jayanegara, kebanggaan macam
apa yang dimiliki oleh Sekar Kedaton yang selalu mengganggu
ketentraman rumah tangga orang. Bagaimana penilaian khalayak
ramai apabila mereka mengetahui perempuan macam apa Dyah
wiyat Rajadewi Maharajasa yang tidak punya urat malu, masih
terus mengusik Kakang Ra Tanca meski telah beristri?”150
“Aku yang menerima, Ki Patih,” jawab abdi dalem itu. “Aku
menerimanya dari seorang laki-laki berkuda. Orangnya masih
muda dan sangat tampan. Orang itu meminta aku menyerahkan
sekeranjang mangga ini kepada Tuan Putri Dyah Wiyat.”151
“Orang itu tidak menyebut nama dan asalnya. Hanya itu
pesannya dan orang itu pun pergi. Aku sungguh tidak menyangka
di bawah buah mangga ada tiga ekor ular itu.”152
“Perempuan tidak tahu malu. Pengganggu ketentraman rumah
tangga orang. Seharusnya kamu mati dipatuk ular itu,” umpat
Nyai Tanca yang mendadak liar itu.153
150
Ibid, hlm. 309 151
Ibid, hlm. 342 152
Ibid, hlm. 343 153
Ibid, hlm. 496
91
Majapahit adalah sebuah negara yang berbentuk monarki. Monarki
adalah bentuk negara yang dalam pemerintahannya hanya dikuasai
dan diperintah (yang berhak memerintah) oleh satu orang saja. Dalam
hal ini, Majapahit diperintah oleh seorang raja.
Menurut Machiavelli, monarki terbagi menjadi dua jenis, yaitu
monarki warisan (yang telah lama ada) dan monarki baru. Pada masa
awal terbentuknya Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden
Wijaya, Majapahit berbentuk monarki baru. Namun, ketika kekuasaan
diwariskan kepada keturunan Raden Wijaya, maka seketika Majapahit
berubah bentuk menjadi monarki warisan. Majapahit sebagai negara
monarki menempatkan raja dan kerabatnya terpisah dari lapisan
masyarakat lainnya, baik karena mereka memiliki hak istimewa atau
karena kepercayaan rakyatnya yang menganggap raja adalah jelmaan
dewa.
Kerajaan Majapahit seperti halnya kerajaan nusantara pada
umumnya, menganut sistem pemerintahan monarki turun-temurun.
Tipe monarki ini adalah tipe yang umum, di mana ahli waris laki-laki
yang tertua biasanya menjadi raja, menggantikan raja atau ayahnya
sendiri. Dalam kasus kerajaan Majapahit, raja pertama, Raden Wijaya,
sebagai pendiri kerajaan Majapahit, setelah wafat digantikan oleh
putra mahkota, Sri Jayanegara, sebagai raja. Namun, setelah Sri
Jayanegara wafat tanpa keturunan seorang pun, maka tahta diwariskan
kepada adiknya. Pewarisan tahta inilah yang berujung konflik, di
mana pewaris itu bukanlah laki-laki melainkan perempuan. Mengapa
konflik? Sri Gitarja, sang kakak, seharusnya yang lebih berhak
mendapatkan tahta kerajaan dan menjadi ratu, namun sifatnya yang
sangat lembut dianggap menjadi hambatan dalam menjalankan
pemerintahan yang menbutuhkan tangan besi. Dyah Wiyat, sang adik,
mewarisi sifat kepemimpinan Raden Wijaya, namun sebagai adik ia
tidak bisa begitu saja diangkat menjadi ratu. Hal ini dikarenakan
karena sistem monarki turun-temurun. Di samping itu, walaupun Sri
92
Gitarja dan Dyah Wiyat seorang Sekar Kedaton yang berhak mewarisi
tahta kerajaan, mereka tetap harus mematuhi orang yang kelak akan
menjadi suami mereka, dalam hal ini adalah Raden Cakradara dan
Raden Kudamerta. Sesuai dengan nilai yang ditanamkan kepada
kedua Sekar Kedaton semenjak kecil, walaupun mereka Sekar
Kedaton mereka harus tunduk, patuh, dan taat kepada suami mereka
kelak. Hal inilah yang menjadikan kekhawatiran Patih Gajah Mada
terhadap kemurnian pewaris tahta kerajaan. Karena, ketika salah satu
Sekar Kedaton diangkat menjadi ratu, dalam menjalankan
pemerintahan mereka akan sangat mendengarkan pendapat suami
mereka, bahkan tidak menutup kemungkinan suami merekalah nanti
yang akan menjalankan pemerintahan di balik bahu istri mereka yang
seorang ratu. Jika hal ini terjadi, maka suami Sekar Kedaton menjadi
seorang “raja”. Padahal Raden Cakradara maupun Raden Kudamerta
adalah pihak yang berada di luar trah Raden Wijaya sebagai pewaris
sah kerajaan Majapahit. Di samping itu, pihak-pihak pendukung di
belakang Raden Cakradara dan Raden Kudamerta dapat
mempengaruhi kedua Raden dalam menyumbangkan pendapat
mengenai kebijakan pemerintahan yang dijalankan Sekar Kedaton.
Dengan begitu, kepentingan kedua pihak dapat mengotori kebijakan
Sekar Kedaton dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini menjadi
kekhawatiran Gajah Mada, karena Majapahit adalah negara monarki
mutlak, di mana kehendak raja adalah hukum. Kestabilan
pemerintahan akan goyah jika hukum-hukum tersebut menguntungkan
suatu kelompok dalam hal ini orang-orang di balik Raden Kudamerta
atau Raden Cakradara.
Politik kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari tubuh manusia karena
akhirnya kepentingannya adalah mendapatkan kepatuhan. Kekuasaan
adalah kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang lain,
memaksa dan mengendalikan mereka sampai mereka patuh,
mencampuri kebebasannya dan memaksakan tindakan-tindakan
93
dengan cara-cara yang khusus. Kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku
seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.
Oleh karena itu, sejak periode kerajaan seperti Majapahit sampai era
pemerintahan modern kekuasaan merupakan hal yang selalu
diperebutkan karena sebagai alat mengontrol suatu pemerintahan.
Tujuan kekuasaan yaitu memberi struktur kegiatan manusia dalam
masyarakat dan selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur
kegiatan itu disebut institusional kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur
hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan
suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan.
Pihak-pihak di balik Raden Cakradara dan Raden Kudamerta sadar
bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja khususnya kerajaan besar
seperti Majapahit adalah kekuasaan potensial, oleh karena itu mereka
memutuskan ingin menguasai dampar Kerajaan Majapahit. Majapahit
memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti daerah kekuasaan yang
luas, kekayaan yang didapat dari upeti tiap-tiap daerah kekuasaan
yang yang banyak, bala tentara yang mumpuni dan persenjataan
lengkap yang siap digunakan untuk menaklukan daerah baru atau
untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan. Kekuasaan raja
Majapahit juga merupakan kekuasaan eksplisit dan langsung, di mana
pengaruh dari kekuasaan itu jelas terlihat dan dapat dirasakan secara
langsung. Karena perkataan raja yang dipercaya jelamaan dewa adalah
hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat Majapahit. Keyakinan
bahwa raja merupakan penjelmaan dewa jga menjadikan raja
Majapahit memiliki reverent power. Karena rakyat akan menjadikan
raja sebagai panutan simbol dari perilaku mereke.
Karena hal-hal inilah Panji Wiradapa melakukan berbagai macam
cara agar keponakannya, Raden Kudamerta, menjadi raja Majapahit.
Panji Wiradapa memaksa Raden Kudamerta menikahi Dyah Wiyat
agar kemungkinan Kudamerta menjadi raja semakin besar. Namun, di
94
sisi lain, Panji Wiradapa juga menyadari bahwa Dyah Wiyat yang
seorang Sekar Kedaton tidak mungkin mewarisi tahta jika kakak laki-
lakinya, Sri Jayanegara masih hidup. Oleh karena itu, Panji Wiradapa
juga telah memiliki rencana dengan Ra Tanca dan Nyai Tanca untuk
melakukan makar. Langkah pertama makar tersebut adalah dengan
membunuh Sri Jayanegara oleh racun yang dibuat oleh ahli racun
terkemuka se-Majapahit, Ra Tanca. Setelah Sri Jayanegara wafat,
masih ada pihak yang harus disingkirkan Panji Wiradapa agar Dyah
Wiyat mendapatkan tahta. Ia juga harus menyingkirkan Sri Gitarja,
kakak perempuan Dyah Wiyat. Karena walaupun sama-sama
perempuan, Sri Gitarja lebih tua daripada Dyah Wiyat, jadi jika Sri
Jayanegara Wafat maka yang lebih berhak mendapatkan tahta adalah
Sri Gitarja. Untuk mencegah hal itu, Panji Wiradapa memasang
jebakan berupa fitnah-fitnah pembunuhan dilingkungan istana yang
mengarah kepada calon suami Sri Gitarja, Raden Cakradara. Bahkan
Panji Wiradapa membayar pembunuh bayaran yang merupakan
mantan anggota pasukan Bhayangkara untuk melukai keponakannya
sendiri, Raden Kudamerta, dengan tujuan untuk memfitnah Raden
Cakradara. Hal ini dilakukan Panji Wiradapa karena ia tahu sifat Sri
Gitarja yang terlalu baik hati. Jika Sri Gitarja tahu calon suaminya
adalah dalang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di istana, maka
Sri Gitarja akan menyerahkan haknya sebagai pewaris tahta kepada
adiknya, Dyah Wiyat, dengan sukarela. Jika Sri Gitarja menyerahkan
tahtanya kepada Dyah Wiyat, maka Dyah Wiyat pun akan dinobatkan
menjadi ratu Majapahit, dan suaminya Raden Kudamerta menjadi raja.
Jika Raden Kudamerta menjadi raja, maka ambisi Panji Wiradapa
menjadi Mahapatih juga akan terwujud.
95
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sastra
Indonesia di Sekolah
Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan
karena sastra dapat meningkatkan keterampilan berbahasa. Sastra
dapat membantu pendidikan secara utuh karena sastra dapat
meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, rasa dan
karsa, menunjang pembentukan watak, mengembangkan kepribadian,
memperluas wawasan kehidupan, pengetahuan-pengetahuan lain dan
teknologi.
Jika kita mengacu pada solusi yang dikemukakan Jakob Sumardjo,
yaitu pengadaan buku-buku penuntun yaitu karya sastra serius di
sekolah, maka proses pembelajaran sastra di sekolah akan lebih
maksimal. Melalui karya sastra, kita diajak untuk melihat fenomena-
fenomena yang terjadi di dalam masyarakat dengan kacamata yang
berbeda, yaitu sastra. Sebuah karya sastra yang baik bukan hanya
dapat menghibur, tapi juga dapat membuka pikiran kita kan
kemungkinan-kemungkinan lain dalam menjalani hidup. Asahan emosi
dan logika bisa kita dapatkan melalui karya sastra khususnya novel.
Jika dikaitkan dengan novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara,
pendidik dapat memberikan alternatif pembelajaran yang diharapkan
dapat memotivasi peserta didik dalam mempelajari disiplin ilmu yang
lain. Selain peserta didik dapat lebih memahami dalam menganalisis
unsur intrinsik di dalam novel, peserta didik dapat lebih memahami
sejarah Nusantara khususnya pada masa Kerajaan Majapahit. Selain
itu, peserta didik diharapkan dapat terbantu dalam menganalisis lebih
lanjut pengaplikasian ilmu politik dalam suatu pemerintahan. Di mana
ketika suatu pemerintahan mengalami pergantian kekuasaan, maka
pada saat itulah kestabilan negara terusik. Dengan mempelajari hal ini,
diharapkan peserta didik memiliki bekal dalam menganalisis bahkan
berpartisipasi aktif dalam sistem politik di Indonesia. Sehingga
96
diharapkan ke depannya, peserta didik akan menjadi pemimpin
Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang.
97
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis yang diuraikan pada bab sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Unsur intrinsik dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara karya
Langit Kresna Hariadi ini terdiri dari: tema, yaitu perebutan
kekuasaan; alurnya merupakan alur campuran; perwatakan para tokoh;
latar dalam novel; sudut pandang yang digunakan dalam hal ini sudut
pandang orang ketiga; gaya bahasa yang digunakan pengarang seperti
penggunakan bahasa Jawa, pemakaian ulasan, dan gaya bertutur yang
lugas dan tegas namun sederhana.
2. Dalam penelitian ini, peneliti menguraikan tema novel tentang
perebutan kekuasaan. Tema perebutan kekuasaan menjadi tema utama
dalam novel ini, namun novel ini juga memiliki tema sampingan
seperti tema percintaan dan dendam. Perebutan kekuasaan terjadi
karena sistem monarki turun-temurun yang berlaku di kerajaan
Majapahit di mana garis keturunan laki-laki yang menggantikan raja
sebelumnya. Namun, setelah meninggalnya Sri Jayanegara, pewaris
tahta Majapahit dua Sekar Kedaton: Sri Gitarja dan Dyah Wiyat.
Namun, pemilihan pewaris tahta selanjutnya tidak hanya berkisar
apakah sang kakak, Sri Gitarja, yang lebih berhak mewarisi tahta
sesuai dengan sistem monarki, namun tidak memiliki aura pemimpin,
atau sang adik, Dyah Wiyat, yang mewarisi sifat-sifat Raden Wijaya.
Tapi juga masalah latar belakang calon suami mereka dan orang-orang
di belakang calon suami mereka. Yang kemudian diketahui bahwa
paman dari Raden Kudamerta, Panji Wiradapa, yang paling
berambisius menjadikan Raden Kudamerta, suami Dyah Wiyat,
98
sebagai raja. Ia melakukan penculikan, pembunuhan, dan bekerja
sama dengan Ra Tanca dan Nyai Tanca untuk merencanakan makar.
Hal ini dilakukan paman Raden Kudamerta karena posisi raja
memiliki kekuasaan potensial.
3. Penelitian ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek membaca. Dalam
pembelajaran sastra ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik
ialah menganalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan,
dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta
menemukan tema dalam novel tersebut. Setelah dapat menemukan
tema, peserta didik diharap dapat memahami tema tersebut dan
mengaplikasikannya dalam terapan ilmu disiplin yang lain. Sehingga
pelaksanaan pembelajaran peserta didik dapat lebih bervariatif dan
menyenangkan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, peneliti dapat memberi beberapa
saran yang diharapakan dapat menjadi salah satu upaya konsrtuktif dalam
mengembangkan konsep pendidikan di Indonesia.
1. Dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara, pengarang ingin
menceritakan kepada kita peristiwa sejarah pada masa Kerajaan
Majapahit. Pada era globalisasi sekarang ini, para peserta didik sudah
melupakan dan tidak memedulikan peristiwa sejarah bangsanya
sendiri. Padahal banyak yang bisa dipelajari dari peristiwa lampau dan
dapat dijadikan acuan penerapan kebijakan di era kekinian.
2. Pengarang juga ingin menyampaikan peristiwa perebutan kekuasaan
yang telah terjadi sejak masa lampau. Bagaimana konflik-konflik itu
terjadi, dan bagaimana cara mengatasinya. Hal ini dapat dijadikan
pembelajaran bagi peserta didik sebagai calon penerus bangsa di masa
yang akan datang, bagaimana intrik-intrik politik mengenai
pemerintahan dan kekuasaan terjadi.
99
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. : Angkasa Raya. .
Azhary. Ilmu Negara: Pembahasan Buku Prof. Mr. R. Kranenburg. Jakarta:
Ghalia Indonesia. 1986
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 2008
Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. 2004
Djojosuroto, Kinayati. Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya, Yogyakarta:
Penerbit Pustaka. 2006
Gani, Soelistyani Ismali. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Handoyo. Analisis Struktural Novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta
dan Angkara dan Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi. Skripsi
mahasiswa Universitas Sebelas Maret. Yogyakarta. 2009.
Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta:Kompas, 2003
Hawthorn, Jeremy. Studying the Novel. Great Britain: Edward Arnold. 1985
Hutagalung, Jefry. Bentuk Pemerintahan Monarki/Kerajaan. Diakses dari
https://jefryhutagalung.wordpress.com/2009/05/04/bentuk-pemeritahan-
monarkikerajaan/
Kenney, William. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press. 1966
Mahayana, Maman S. Bermain dengan Cerpen. Jakarta: Gramedia. 2006
Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: Rajawali. 1990
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2005
Natawidjaja, P. Suparman. Apresiasi Sastra dan Budaya. Jakarta: Intermasa. 1982
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. 2005
Orloc. Kekuasaan. Jakarta: Erlangga. 1987
Rapar, J.H. Filsafat Politik: Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli. Jakarta:
Raya Grafindo Persada. 2001
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2007
100
Semi , M. Atar. Anatomi Sastra, ___: Angkasa Raya. . __
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008
Sitepu, P. Anthonius. Teori-teori Politiki. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012
Sumardjo, Jakob. Sastra Populer dan Pengajaran Sastra dalam buku Budaya
Sastra, Jakarta: Rajawali. 1984
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: Gramedia.
1988
Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. cetakan ketujuh. Depok: UI-
Press. 1981
Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007
Syafiie, Inu Kencana. Ilmu Politik. Jakarta: Rineke Cipta. 2010.
Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 1984
Tim ICCE UIN Jakarta. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi,
Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Jakarta.
2003
Tuloli, Nani. Kajian Sastra. Gorontalo: BMT “Nurul Jannah” . 2000
Vredenbregt, Jacob. Pengantar Metodologi Untuk Ilmu-Ilmu Empiris. Jakarta:
Gramedia. 1985
Waluyo, Herman J.. Pengkajian Cerita Fiksi. cetakan kedua. Surakarta: Sebelas
Maret University Press. 1994
Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:
UPI PRESS. 2006.
Windhu, I. Marsana. Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung.
Yogyakarta:Kanisius. 1992
Zubaida, Rizki Adistya. Analisis Tokoh dan Nilai Pendidikan dalam Novel Gajah
Mada Karya Langit Kresna Hariadi (Tinjauan Psikologi Sastra). Skripsi
mahasiswi Universitas Sebelas Maret. Yogyakarta. 2012.
NIM
Jurusan/Prodi
Fakultas
Judul Skripsi
LEMBAR UJI REFERENSI
Adinda Putri Nursyarifah
109013000091
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
"Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah
Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi
dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia
di SMA"
NO REFERENSIPARAF
PEMBIMBING
1 Ratnq Nyoman Kutha. Teori, Metode, dnn Telvtik
P enelitian Sas,trq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2007
2 Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantm.
cetakan ketujuh. Depok: UI-Press. 1981
J Vredenbregt, Jacob. Pengantar Metodologi Untuk
Ilmu-Ilmu Empiris. Jakarta: Gramedia 1985
4 Siswanto, Wahyudi. Pengontm Teori Sastra. Jakarta:
Grasindo.2008
5 Waluyo, Herman 1.. Pengkajian Cerita Fiksi. cetakan
kedua. Surakarta: Sebelas Maret University
Press. 1994
6 Atmazaki. Ilmu Sostra: Teori dan Terapan. _
Angkasa Raya
7 Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori don Sejarah
Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS. 2006.
8 Tuloli, Nani. Kajian Sastro. Gorontalo: BMT 'Tlurul
Jannah" .2000
9 Nurgiyantoro, Burhan. Teori Penglmjian Fil$i.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
2005
10 Mahayana, Maman S. Bermain dengan Cerpen.
Jakarta: Gramedia 2006
11 Teeuw, A. Sustra don llmu Sostra. Jakwta: Pustaka
Jaya 1984
t2 Natawidjaja, P. Suparmat. Apresiasi Sastra danBudaya- Jakarta: Intermasa. 1982
13 Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat
Batrasa.2004
r4 Stanton, Robert. Teori Fil$i Robert Stanton.
Yogyakarta: Pustaka P elalar. 2007
15
t6 Minderop, Albertine. Metode Karakteri s as i Tel aahFiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005
t7 Kenney, William. How to Anolyze Fiction. New York:
Monarch Press. 1966
Semi . M. Atar. Anatomi Sastra,_: Angkasa Raya. . _
18 Hawthorn, Jeremy. Studying the Novel. Great Britain:
Edward Arnold. 1985
l9 Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. Apresiasi
Kesus astraan, Jakartz: Gramedia. I 98 8
20 Tim ICCE UIN Jakarta. Pendidikan Kewargaan (Civic
Education): Demoltqsi, Hak Asasi Manusia,
dan Masyarakat Mqdani. Jakarta: ICCE UIN
Jakarta.2003
2t Rapar, J.H. Filsafat Politik: Plqto, Aristoteles,Augustinus, Machiavelli. Jakarta: RayaGrafindo Persada. 2001
22 Azhary. Ilmu Negara: Pembahasan Bulru Prof, Mr. R.
Kranenbarg. Jakarta: Ghalia Indonesia. I 986
Z) Gani, Soelistyani Ismali. Pengantar llmu Politik.
J akarta: Ghalia Indonesia.
t/
24 Hutagalung, Jefry. Bentuk P emerintahan
Mo nar ki/ Ke r aj aan. Diakses dari
25 Orloc. Kekuasaan Jakarta: Erlangga. 1987
26 Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan Jakarta:Rajawali. 1990
27 Haryahnoko. Etiltn Politik dan Kekuasaan.
Jakarta:Kompas, 2003
28 Windhu" I. Marsana. Kekuasaan dan Kekerasan
menurut Johan Galtung. Yogyakarta:Kanisius.
1992
u
29 Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar llmu Politik. Jakarta:
Gramedia.2008
30 Sitepu, P. Anthonius. Teori-teori Politiki. Yogyakarta:
Graha l1mu.20l2
/
31 Syafiie, Inu Kencana. Ilmu Politik. Jakarta: Rineke
Cipta.2010.
32 Sumardjo, Jakob. Sastra Populer dan Pengajaran
Sastra dalam bttkt Budaya Sastra, Jakarta:
Rajawali. 1984
(-/
JJ Djojosuroto, Kinayati. Analisis Telcs Sastra dnn
P e n g aj ar anny a, Y o gy akarta: Penerbit Pustaka. 2 0 0 6
34 Handoyo. Analisis Struhural Novel Gajah Madq:
Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara
dan Perang Bubat Karya Langit Kyesna
Hariadi. Skripsi mahasiswa Universitas
Sebelas Maret. Yogyakarta. 2A09,
35 ZttbudU Rizki Adistya. Analisis Tolah dan Nilai
Pendidikan dalam Novel Gajah Mada Karya
Langit Kresna Hariadi (Iinjauan Psikologi
Sastra). Skripsi mahasiswi Universitas Sebelas
Maret. Yogyakarta . 2012.
I
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ADINDA PUTRI NURSYARIFAH, atau biasa dipanggil
Dinda. Dia adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, lahir di
Tangerang, 19 November 1991 dari pasangan (alm) Bapak R.
H. Moch Sjah Marzuki dan Ibu Hj. Nurwati S.Pd. kakaknya
yang tertua bernama R. Wahyu Fabriansjah Marzuki dan
kakak kedua bernama R. Ilham Zul Helmisjah Marzuki. Dia
menuntaskan pendidikan dasarnya di MI Madrasah
Pembangunan UIN Jakarta. Lalu melanjutkan sekolahnya di
SMP Negeri 87 Jakarta. Kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 87 Jakarta.
Setelah itu melanjutkan jenjang pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi
ternama di Indonesia yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan
2009.
Perempuan yang mempunyai minat menekuni makeup artis ini, memiliki
tujuan hidup “mengejar ridho Illahi”. Tapi jangan menyamakan tujuan hidupnya
dengan kata-kata yang ada di belakang truk. Dalam hidup ini jika kita hanya
melakukan doa, usaha, dan lain-lain tapi tidak mengharap keridhoan Allah, maka
semua itu sia-sia. Pengalaman Organisasi: Sekretaris MPK SMAN 87 Jakarta
tahun 2006-2007, Sekretaris OSIS SMAN 87 Jakarta tahun 2007-2008, ketua
ekskul tari Glipang SMAN 87 Jakarta tahun 2007-2008, staff akademik LBB
ORBIT 2012-2014. Aktif dalam proyek pertunjukan teater, “parade teater IX”
dengan judul Centeng, tahun 2013, sebagai sutradara dan penulis naskah, dan
sekarang aktif sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP PGRI 1 Ciputat.