Download - Artikel Penulisan
Kebesaran Jiwa Tak Butuh Plakat Nama Apa Pun
Bangkitkan Kehebatanmu
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Penulis buku-buku best seller,
antara lain Kupinang Engkau dengan Hamdalah, Kado Pernikahan untuk
Istriku, Indahnya Pernikahan Dini dan Agar Cinta Bersemi Indah
Banyak penulis berbakat, tetapi tidak mampu membuat tulisan yang
hebat. Mereka pernah menjadi juara di berbagai sayembara mengarang; mereka memperoleh penghargaan di berbagai perlombaan; mereka menumpuk piala-piala di ruang tamunya, tetapi tak satu pun karya berharga yang mampu mereka tulis. Selebihnya, piala-piala itu hanya menjadi kisah membanggakan untuk penghias cerita saat datang kenalan.
Apa yang menyebabkan mereka gagal menjadi penulis handal? Mental.
Karena tidak memiliki mental pemenang, mereka gagal menjadi penulis
cemerlang. Apa saja yang perlu kita miliki agar dapat melahirkan
tulisan yang selalu dicari-cari? Inilah beberapa hal yang perlu kita
perhatikan untuk melejitkan kehebatan kita sebagai penulis:
Jadi yang Terbaik, Bukan yang Lebih Baik
Ada dua penyakit yang sering membuat kita tak pernah melejit, yakni
banyak mengeluh atau sebaliknya terlalu cepat merasa puas. Banyak
mengeluh membuat kita tidak pernah puas, dan akhirnya menjadikan kita tak pernah memiliki rasa percaya diri bahwa tulisan kita cukup
berharga. Kita selalu merasa lebih jelek, sehingga tidak pernah berani mempublikasikan. Sebaliknya, terlalu cepat merasa puas membuat
kita tidak berkembang. Kita merasa cukup sebelum melakukannya secara optimal. Kita merasa qana'ah, padahal sebenarnya merupakan sikap seenaknya.
Penyakit terakhir ini sering saya temui pada banyak penulis. Mereka
lebih hebat dari saya, tetapi mereka tidak mampu melahirkan karya
dahsyat. Sebabnya sederhana, mereka menganggap tulisannya lebih baik dari orang lain. "Ah, saya kira sudah cukup. Banyak yang lebih
sederhana dari ini, juga bisa terbit." Alhasil, karya mereka pun hanya menjadi karya "yang sedang-sedang saja", meskipun awalnya memang lebih baik dari orang lain.
Nah, jika kita ingin melahirkan karya yang memikat, ada satu sikap
mental yang perlu kita miliki. Saya sering menggambarkannya dalam
ungkapan if the best is excellent, good is not enough. Sederhananya,
jika mampu melakukan yang terbaik, tidak layak melakukan yang sekedar baik. Meskipun "yang sekedar baik" itu sudah jauh lebih baik daripada seluruh tulisan yang ada, tak layak kita menuliskannya jika kita
memang mampu melahirkan tulisan yang lebih baik lagi.
Alhasil, camkanlah untuk selalu menulis dengan sebaik-baiknya. Ini
tidak berarti kita berhenti menulis bila kita sedang sakit karena khawatir tulisan kita tak sebaik kemarin. Tetapi, kita harus menulis dengan sebaik-baiknya sesuai keadaan kita saat itu. Kita melakukan yang terbaik jika kita meraih nilai tujuh karena memang kemampuan maksimal saat ini adalah tujuh, meskipun kemarin kita mampu meraih nilai sembilan. Sebaliknya, nilai delapan saat ini bisa merupakan prestasi yang menyedihkan kalau sebenarnya kita mampu meraih nilai sepuluh.
Termasuk mental untuk menjadi yang terbaik adalah berusaha melahirkan tulisan terbaik untuk media yang terbaik pula. Kalau kemudian kita menulis di media yang tingkat persaingannya rendah, jangan pernah karena alasan mudah menembusnya. Alasan semacam ini selain membuat kita tidak puas, juga membuat kita semakin tidak percaya diri. Lama-lama kita malah mengalami ketakutan untuk memasuki persaingan yang kita. Pada akhirnya kita benar-benar tidak mampu menghasilkan tulisan yang enak dibaca dan perlu. Inilah fenomena ketidakberdayaan karena kita merasa tidak berdaya. Selligman menyebutnya sebagai learned hopelessness (ketidakberdayaan yang dipelajari).
Ketika pertama kali mau menulis buku untuk diterbitkan, tahukah
apakah yang saya lakukan? Saya cari informasi penerbit terbaik dan
paling sulit ditembus. Waktu itu, jawabannya adalah Penerbit Mizan.
Maka saya pun memancangkan tekad, saya akan menulis buku yang layak untuk Penerbit Mizan. Alhamdulillah, naskah saya diterima, cukup
meledak di pasaran, dan cetakan kedua dibeli seluruhnya oleh proyek
pusat perbukuan pemerintah.
Belajar Dari Kesalahan Sendiri
Orang-orang yang memiliki mental pemenang selalu berusaha untuk lebih daripada sebelumnya. Artinya, kita berusaha lebih baik bukan
dibanding orang lain, tetapi dibanding diri sendiri. Jika merasa lebih baik daripada orang lain akan segera mengubur kehebatan kita ke jurang yang paling dalam, berusaha untuk selalu lebih baik daripada sebelumnya akan membuat kita menjadi a few good ones (sekelompok
kecil penulis-penulis terbaik).
Salah satu cara untuk selalu lebih baik daripada sebelumnya adalah
dengan belajar dari kesalahan diri sendiri. Dulu, ketika awal-awal menulis di media massa, saya selalu menyimpan tulisan asli. Bila dimuat, masalah pertama yang saya perhatikan adalah, adakah perbedaan antara tulisan asli dengan tulisan yang sudah dimuat. Jika ada perbedaan, perhatikanlah dengan seksama apakah perbedaan itu karena kelalaian editor ataukah karena tulisan kita memang perlu disempurnakan. Bagaimana mengetahuinya? Kita bisa menalar sendiri, tetapi bisa juga menemui editornya. Melalui cara ini, insya-Allah kualitas tulisan kita akan bisa meningkat dengan cepat.
Cara lain adalah mencari naskah yang terbuang. Di awal karier saya
menulis, saya merasa senang bila menemukan tulisan yang dibuang di
tempat sampah editor. Dibanding membaca karya-karya yang sudah
terbit, tulisan yang terbuang di tempat sampah seringkali memberi
pelajaran yang lebih banyak (soalnya, kadang tulisan kita dimuat kan
karena kasihan. He he he.).
Apalagi yang perlu kita perhatikan untuk membangkitkan kehebatan kita
sebagai penulis? Ada empat hal. Tetapi karena terbatasnya halaman,
insya-Allah kita akan berjumpa di An-Nida' edisi depan. So, don't miss it! OK?
Sebelum berpisah, jangan lupa: Be the best, but not the better.
Jadilah yang terbaik, tapi bukan yang lebih baik.
Daaaagh...[]
Tak Pernah Berhenti Belajar
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Menulis bukanlah bermain kata-kata. Susunan kalimat yang indah bisa sangat membosankan kalau tidak memiliki makna yang kuat. Kebosanan juga bisa muncul karena sebuah karya tidak menawarkan kebaruan, greget dan gagasan yang lebih segar daripada karya-karya sebelumnya. Seorang penulis yang sebelumnya melahirkan karya best-seller, bisa ditinggalkan begitu saja tanpa dikenang karena ia tenggelam dengan ide yang itu-itu saja. Salah satu sebab timbulnya kebekuan dan kejumudan adalah berhentinya proses pembelajaran pada seorang penulis.
Masalah terakhir ini sering saya jumpai pada banyak penulis kita. Mereka memiliki bakat yang luar biasa, tetapi semangat belajarnya amat mengenaskan. Mereka memiliki imajinasi yang dahsyat, tetapi tidak diiringi dengan kemampuan menuangkan gagasan yang semakin baik, tidak juga disertai pengetahuan yang matang mengenai apa yang ia tulis. Sebagai akibat, kadang saya temukan seorang Cerpenis menggarap cerita dengan latar belakang Ambon, tetapi yang terasa adalah suasana Jawa. Atau ada yang mengambil setting luar negeri, tetapi tanpa pengetahuan tentang wilayah tersebut berikut suasana antropologis dan sosiologisnya. Sekali lagi, kerapkali ini semua terjadi karena penulisnya tidak belajar. Ia hanya mengandalkan pengetahuannya yang sangat sedikit dan cukup puas dengan itu.
Saya teringat dengan Jack Trout, seorang pakar pemasaran. Ia pernah menulis buku yang sangat berpengaruh, Differentiate or Die. Berbeda atau Mati. Pemasar akan segera ditinggal pelanggan apabila ia tidak mampu melakukan pembedaan, sehingga ia berbeda dari yang lain. Tetapi hanya sekedar berbeda semata-mata karena ingin berbeda, akan tidak ada artinya. Kalaupun sempat menjadi perbincangan, sesaat akan segera redup kembali. Ini berarti bahwa berbeda bukan semata karena ingin berbeda. Kita melahirkan tulisan dengan gaya yang sangat khas dan pilihan kata yang sangat berbeda dengan umumnya penulis bukan semata-mata karena ingin berbeda, melainkan hasil dari proses belajar terus-menerus. Kesediaan belajar tanpa henti akan melahirkan kemampuan inovasi. Kesediaan untuk belajar terus-menerus juga mendorong kita mampu menuangkan ide secara lebih cerdas, memikat dan mengalir. Kekayaan cara pengungkapan ide atau gagasan muncul karena kepekaan dan kecerdasan kita terus-menerus terasah melalui pembelajaran yang kita lakukan secara sengaja. Jika belajar tanpa henti merupakan kunci untuk melahirkan karya-karya yang senantiasa segar dan mengesankan, maka pujian berlebih merupakan pembunuh kreativitas yang paling sadis. Seorang penulis yang tiba-tiba melejit, kecemerlangannya dapat hilang secara pasti karena ia tenggelam dalam pujian. Setiap kali mau menulis, ia selalu terperangkap dalam pujian yang telah diterimanya secara bertubi-tubi. Ia ingin melahirkan tulisan yang serupa, sehingga ia justru kehilangan nalar inovatifnya. Padahal kalau ia tidak tenggelam dalam pujian, ia akan mampu mencapai kemampuan inovasi yang memukau.
Lalu, apa yang saja harus dipelajari oleh seorang penulis? Sekurang- kurangnya tiga hal. Pertamailmu-ilmu yang dapat menguatkan jiwa, menajamkan hati, mengasah kepekaan dan membimbing ruhani. Ini yang harus selalu ada sebab semuanya bermula dari jiwa. Kalau kita ingin melakukan perubahan, dari jiwalah kita memulai. Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa-apa yang ada pada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa-apa yang ada pada jiwa mereka." Pada ayat ini Allah menunjuk pada jiwa sebagai kekuatan perubahan. Khusus berkenaan dengan kekuatan jiwa dan spiritualitas kita saat menulis, silakan simak kembali Spiritual Writing (baca Annida No. 3/XII)
Kedua, ilmu-ilmu yang berkait erat dengan apa yang akan kita tulis. Jika yang pertama lebih banyak berkait dengan kebangkitan motivasi, komitmen dan missi yang menggerakkan kita untuk menulis, maka yang kedua ini berkait langsung dengan apa yang kita tulis. Meskipun kita memiliki kekuatan jiwa yang besar dalam menulis, tetapi tanpa pengetahuan yang memadai terhadap apa yang akan ditulis, maka kita hanya akan mampu melahirkan tulisan yang dangkal, kaku dan membosankan. Saya teringat dengan seorang teman. Dia kuliah di jurusan Geologi Fakultas Teknik UGM. Sama-sama jalan ke tempat-tempat yang berbatu, akan lain cerita yang saya bawa dengan cerita yang bisa diungkapkan oleh teman saya. Ia akan mampu mengungkapkan sangat banyak hal hanya dari sebongkah batu. Kenapa? Karena ia belajar sangat banyak tentang bebatuan. Ia tak pernah berhenti belajar. Adapun saya, nyaris tak ada yang saya ketahui tentang batu -meskipun saya merasa tahu--sehingga sulit bagi saya untuk bercerita banyak secara padat dan mengalir. Sebagaimana kesulitan saya bercerita tentang batu, kamu juga akan mengalami hal yang sama jika tidak memiliki cukup banyak pengetahuan. Bisa saja kamu bercerita tentang Swedia, atau menggunakan setting negara Swedia, tetapi tanpa pengetahuan yang memadai tulisanmu akan dangkal dan kering. Dari sebagian cerita yang pernah saya baca, terasa betul betapa penulisnya kurang melakukan studi yang mendalam. Hal serupa terjadi ketika seorang penulis mencoba mencoba mengangkat tema-tema futuristik, memasuki zaman digital (digitalized age), tampak sekali bagaimana penulis kurang memiliki pengetahuan tentang piranti-piranti teknologi yang diceritakan. Meskipun memang benar- benar khayal, tetapi cerita sebenarnya tetap berpijak pada teknologi yang sudah berkembang sekarang.
Ketiga, banyaklah belajar ilmu menulis, termasuk psikologi komunikasi. Al-Qur'an memberi pelajaran kepada kita bagaimana seharusnya berkomunikasi sesuai dengan orang yang kita hadapi. Gunakanlah qaulan kariman saat berbicara dengan orangtua, qaulan maysuran saat berkomunikasi dengan orang awam dan masyarakat luas, qaulan ma'rufan saat berbicara tentang masalah-masalah rumah-tangga, serta masih banyak lagi bentuk qaulan lainnya. Semua itu kita perlukan agar kita dapat menyampaikan secara efektif, gamblang (balaghul mubin), hidup, menyentuh dan menggerakkan jiwa. Kita juga diseru agar berbicara sesuai dengan bahasa kaum kita, yakni sesuai dengan audiens saat berbicara dan sasaran pembaca saat menulis. Nah, bagaimana kita bisa menggunakan pendekatan komunikasi yang tepat kalau kita sendiri tidak bagaimana melakukannya? Sayangnya, penulis- penulis kita banyak yang masih bangga menjadi pemalas. Mereka merasa hebat kalau hanya mengandalkan kemampuan yang "sudah ada pada dirinya". Mereka lupa bahwa apa yang dianggap "sudah ada pada dirinya" sesungguhnya juga merupakan hasil pembelajaran yang diserapnya dari rumah dan sekolah, termasuk play-group dan TK.
Saya teringat dengan Albert Camus. Soal produktivitas menulis buku, boleh jadi ia kalah dengan kita. Tetapi karyanya selalu menjadi perbincangan. Salah satu kunci keberhasilan Camus adalah, ia selalu merevisi berulang-ulang setiap kali menulis. Ia terus belajar. Bila dari hasil belajarnya menemukan ada yang kurang kuat atau kurang hidup dari tulisannya, ia akan menyisihkan waktu, khusus untuk memperbaiki tulisannya. Inilah yang menyebabkan tulisannya banyak diburu orang. Saya sendiri bukan tipe penulis seperti Albert Camus. Biasanya saya menulis sekali jadi. Saya menulis dan tidak perbaiki lagi. Kalau kurang bagus, saya lebih suka menyimpannya. Suatu saat ia bisa muncul lagi dalam bentuk ide yang lebih segar dan matang. Akan tetapi dari Albert Camus ada pelajaran yang bisa kita ambil: tak ada kata berhenti untuk belajar. Ya, jangan pernah berhenti belajar. Kata Rasulullah Saw., "Tuntutlah ilmu semenjak dalam buaian sampai ke liang lahat." Nah, sudah siap belajar?[]
Mulailah Sekarang Juga
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Cara paling cerdas untuk memulai karier sebagai penulis adalah dengan MENULIS! Tidak ada rumus yang lebih ajaib daripada itu. Menulislahsekarang juga, sebisa kita. Lupakan sejenak mimpi-mimpi tentang menulis kreatif yang diajarkan di bangku kuliah. Kesampingkan dulu prosedur baku menulis yang diajarkan pada mata kuliah Teknik Penulisan Skripsi dan Karya Ilmiah. Sekarang yang paling penting adalah menulis! Tulislah apa saja yang ingin engkau tulis! Tak soal tulisan itu runtut atau tidak, enak dibaca atau tidak. Tak soal. Yang penting: mulailah menulis sekarang juga! Nanti kalau sudah selesai, kita bisa memperbaiki tulisan kita sampai benar-benar sempurna.
Tapi apa yang harus saya tulis? Bagaimana cara membuka tulisan, sedangkan yang menari-nari di otak adalah puncak paling mendebarkan dari cerita yang hendak saya tulis?
Inilah penyakit yang paling sering dialami oleh penulis pemula. Dia merasa puncak ceritanya terlalu hebat sehingga tidak mau menuliskan di awal cerita. Ia habiskan energi yang sangat besar hanya untuk menunggu momentum yang tepat buat mengungkapkan puncak cerita.
Akibatnya, bagian awal cerita yang ia tulis justru menjadi sangat lamban dan membosankan. Tidak memancing minat untuk melanjutkan membaca. Akibat berikutnya mudah ditebak, editor menolak dengan telak.
Jadi jangan melemahkan diri sendiri dengan terlalu banyak berpikir bagaimana mengawali tulisan, kecuali jika sudah memiliki jam terbang menulis yang sangat tinggi. Jika yang sedang memenuhi pikiran adalah bagian yang paling seru, biarkanlah ia menjadi awalan yang mengejutkan. Ini justru bisa menjadi daya tarik yang unik, seperti ketika WS. Rendra menulis puisi "Khotbah". Ia awali dengan ungkapan mengejutkan: "Fantastis". Sesudah itu, baru ia bertutur tentang seorang paderi muda yang berkhotbah di sebuah gereja, di suatu Minggusiang yang panas.
Dalam Al-Qur'an, banyak surat yang diawali dengan kata-kata mengejutkan. Ia begitu menghentak, sehingga perhatian kita segera terserap ke dalamnya. Terkadang ia bertanya dengan tiba-tiba, mencengangkan dan terduga. Lebih jauh insya-Allah kita akan berbincang secara leluasa pada tulisan-tulisan berikutnya di rubrik ini. Sekarang, saya hanya ingin memantapkan tekadmu: mulailah menulis sekarang juga. Seribu kiat dan berpuluh-puluh rumus menulis yang bagus tidak akan memberi manfaat apa-apa kalau kita tidak pernah memulai untuk menggerakkan pena. Hanya dengan cara inilah, kita dapat menulis dengan baik. Selebihnya, kerja keras dan tetap memelihara semangat untuk menyelesaikan tulisan sampai benar-benar rampung.
Artinya
Tetaplah menulis meski berkali-kali gagal menyelesaikan satu cerita yang utuh dan layak dibaca. Seperti kata Seichiro Honda, keberhasilan itu sembilan puluh delapan persen ditentukan oleh kegagalan, sementara bakat hanya memberi sumbangan dua persen. Senada dengan itu, Marion Zimmer Bradley seorang penulis buku yang suksesmenunjukkan bahwa keberhasilan menjadi penulis hebat sembilan puluh persen ditentukan oleh kerja keras, sedangkan bakat atau inspirasi memberi andil cuma sepuluh persen. Kerja-keras seorang penulis berarti, tetaplah menulis sampai benar-benar bisa menghasilkan tulisan meski harus menghadapi kebosanan, kelelahan dan kehilangan gairah. Tetaplah menulis dan lakukan sekarang juga meskipun orang lain dan bahkan diri kita sendiriberkomentar, "Tulisan apa sih ini? Tulisan kok kayak gini?"
Di awal karier saya menulis, kebosanan sering saya rasakan saat memulai tulisan atau saat buku hampir selesai. Terkadang tulisan yang saya hasilkan benar-benar tidak menarik dan kaku. Tetapi tulisan itu tetap harus saya kerjakan, sebab kalau menuruti hilangnya mood, kita tidak lagi berkuasa atas diri kita. Kalau kemudian tulisan itu memang sangat membosankan, saya memilih menulis ulang atau menyimpannya untuk suatu saat saya buka-buka kembali.
Alhasil, ada dua kunci penting; menulislah sekarang juga dan tetaplah menulis meskipun sangat membosankan, melelahkan dan tulisan yang kita hasilkan benar-benar tidak menarik.
Di luar itu, ada beberapa hal yang acapkali membuat kita kehilangan energi untuk menulis. Pertama, penulis pemula lebih-lebih penulis Cerpensering dihantui oleh keinginan menghasilkan tulisan menarik yang sangat unik, lain daripada yang lain. Kecenderungan ini berakibat pada dua hal. Di satu sisi cerita yang kita tulis terlalu ganjil dan terkesan sangat mengada-ada, sehingga tidak layak baca. Di sisi lain, kita membutuhkan energi yang ekstra besar untuk menyelesaikan satu Cerpen yang paling sederhana sekalipun. Kitamengeluarkan energi ekstra karena perhatian kita terserap untuk menulis dan sekaligus sibuk memikirkan apakah tulisan kita menarik atau tidak. Ini membuat kita sulit menulis. Kalau kita mampu menyelesaikan, tulisan itu acapkali sangat kaku.
Kedua, berpikir tentang panjangnya tulisan yang harus diselesaikan. Menulis Cerpen atau buku sebenarnya tidak sulit kalau kita tidak sibuk membayangkan panjangnya tulisan yang harus diselesaikan.
Penulis Cerpen pemula juga penulis artikelsering kehabisan energi karena banyak melakukan jeda hanya untuk melihat sudah seberapa panjang tulisan yang sudah kita bikin.
Jika kamu sering menghadapi masalah ini, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Pertama-tama, biarkanlah tulisan itu mengalir begitu saja, terserah berapa halaman jadinya. Jika kamu hendak menulis buku, jangan tetapkan target terlalu tinggi. Yang penting, menulislah setiap hari secara rutin. Dua halaman setiap hari lama-lama juga bisa mencapai dua ratus halaman. Tetapi sepuluh halaman hari ini, dan esok hari tak menulis lagi, ide-ide yang bagus di kepala kita hanya menjadi cerita kosong yang tidak pernah terbit sebagai buku.
Cara lain untuk membangkitkan semangat menulis adalah dengan melakukan auto-sugesti. Gunakanlah kertas A-4, bukan folio. Ketik dua spasi dengan font ukuran 12. Pada halaman pertama, beri jarak yang cukup lebar antara judul dengan awal tulisan sehingga kita lebih mudah menyelesaikan satu halaman. Semakin mudah kita menambah halaman, akan membuat kita lebih bersemangat menulis. Sebaliknya, kalau satu halaman saja tidak kunjung selesai, keinginan untuk menulis novel bisa runtuh di saat kita baru mulai menulis. Oleh sebab itu, penulis pemula sebaiknya jangan menggunakan format satu spasi atau memilih font yang type-facenya sangat rapat. Garamond, misalnya.
Ini berbeda dengan penulis senior.
Nah, kepada para penulis muda yang penuh potensi, mulailah menulis
sekarang juga![]Biarkan Inspirasi yang Mengejar Kita
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Aneh tapi nyata, banyak penulis yang sempat-sempatnya mengasingkan diri hanya untuk mendapat inspirasi. Begitu inspirasi didapat, mereka akan segera mengurung diri rapat-rapat. Meskipun dengan cara ini banyak yang bisa menjadi penulis, tetapi untuk benar-benar produktif dan mampu menghadirkan ide-ide segar, kita perlu belajar mengelola diri agar senantiasa kaya inspirasi. Biarlah inspirasi yang mengejar kita, bukan kita yang sibuk mencari- cari inspirasi. Pertanyaannya, mungkinkah itu terjadi? Kekuatan Itu Bernama Komitmen Apabila hatimu dipenuhi oleh kepedihan, keinginan yang kuat untuk menunjukkan orang lain kepada jalan yang kamu yakini kebaikannya, maka pikiranmu akan hidup. Gagasan-gagasan bermunculan dan inisiatif akan saling bersusulan. Apapun yang kamu lihat, akan selalu mengalirkan inspirasi ke dalam jiwamu sesuai dengan apa yang menjadi kegelisahanmu. Komitmen yang kuat akan menjadikan diri kita selalu inspiratif. Komitmen mempengaruhi emosi, pikiran dan konasi kita. Semua itu merangsang munculnya inspirasi-inspirasi yang segar, inovasi yang cerdas dan kekuatan tulisan yang dahsyat. Kegelisahan yang muncul karena dorongan keinginan untuk menunjukkan apa yang baik, dapat menarik kita untuk benar-benar terserap pada apa yang sedang kita kerjakan. Dan inilah flow. Secara sederhana, Daniel Goleman mengemukakan dalam Emotional Intelligence, "Flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan." Dalam buku Working with Emotional Intelligence, Goleman menunjukkan bahwa kita dapat mencapai kondisi flow apabila ada keterlibatan psikologis yang sangat kuat (psychological presence). Keadaan ini membuat otak kita lebih tajam, pikiran kita lebih mudah mengalir dan jiwa kita lebih inspiratif. Menulis terasa lebih menggugah dan membangkitkan semangat apabila kita merasakan benar mengapa kita perlu menulis. Itu sebabnya mengapa saya lebih tertarik menemukan alasan untuk menulis, daripada memikirkan bagaimana membuat tulisan yang menarik. Jadi, jika kamu sekarang bingung harus menulis apa, beralihlah sejenak. Pikirkanlah mengapa kamu harus menulis? Jika kamu menemukan alasan yang kuat, pertarungan batin seorang akhwat yang baru mulai berjilbab pun bisa engkau tuangkan menjadi novel panjang yang mengesankan. Kamu juga bisa mengangkat tema-tema yang sangat sederhana menjadi satu novel yang mempesona. Cinta Itu Menggerakkan Jiwa Pernah mendengar nama Sha'aban Yahya? Ia pernah jatuh cinta dengan seorang gadis Yogya. Karena alasan budaya, ia harus memendam kecewa karena keinginannya untuk menikah tidak dapat terlaksana. Kepedihan yang ia rasakan, gejolak jiwa yang bergemuruh karena cinta yang tak sampai, menggerakkan ia menggubah aransemen musik yang menyentuh. Alunan musiknya ini kemudian dikemas dalam album bertajuk Return to Yogya. Saya hanya ingin menunjukkan satu hal: cinta yang kuat dapat menggerakkan jiwa untuk penuh semangat, yakin, optimis dan penuh harapan. Salah satu penyebab orang-orang Yahudi yang dididik di kibbutzim (semacam pesantren untuk orang Yahudi) memiliki ketajaman otak yang dahsyat, adalah kecintaan dan militansi mereka yang sangat kuat untuk mengabdikan apa yang mereka miliki kepada perjuangan zionisme. Nah, agar tulisanmu senantiasa penuh kekuatan dan dirimu senantiasa penuh dengan inspirasi, kamu perlu belajar mencintai apa yang kamu tulis. Pada saat yang sama, kamu harus ingat bahwa itu semua hanya menjadi penting ketika di dalamnya terkandung keutamaan. Gampangnya begini, meskipun saya sehari-hari menulis tema pernikahan, tetapi saya tidak boleh menganggap inilah brand (merek) saya. Menulis hanyalah alat untuk mendatangkan kemanfaatan, kebaikan dan kemaslahatan. Melalui jalan ini, justru hati kita menjadi ringan. Kita tidak sibuk dengan atribut-atribut kepenulisan yang mengungkung, sehingga kita justru menjadi kreatif dan inovatif. Ketika kita lebih banyak merisaukan masalah yang sungguh-sungguh ada di hadapan kita, baik kita alami sendiri maupun dialami orang lain, kita justru sangat kaya. Wallahu A'lam bishawab.[]Agar Ide Deras Mengalir
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Pernah lihat ibu-ibu marah besar? Menakjubkan. Ketika orang sedang marah besar, saat ada tekanan emosi yang sangat kuat, kata-kata mengucur deras dari mulut mereka. Mereka selalu kreatif menciptakan kalimat-kalimat yang tajam, seakan-akan di benak mereka sudah tersedia stok ucapan yang melimpah. Mereka dengan sangat mudah mempertautkan satu ide dengan ide lainnya. Otak mereka menghubungkan semua pengalaman secara sempurna dalam waktu yang amat cepat.
Seperti orang yang sedang marah besar, kita dapat menulis dengan kecepatan tinggi bila perasaan kita sejalan dengan pikiran. Semakin kuat perasaan kita saat menulis, semakin lancar kalimat mengalir. Berbagai ide yang berkelebat dalam pikiran akan dengan mudah kita rangkai dalam satu tulisan yang menarik, mengalir dan enak dibaca. Keterlibatan perasaan yang kuat Goleman menyebutnya dengan psychological presence (kehadiran psikologis)akan meningkatkan konsentrasi kita sampai ke tingkat yang sangat tinggi. Inilah yang mengantarkan kita pada kondisi flow (mengalir). Secara sederhana, flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakan. Perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan. Daniel Goleman menulis, flow ditandai dengan adanya perasaan bahagia yang spontan dan bahkan keterpesonaan. Bekerja dalam keadaan flow terasa begitu menyenangkan, secara intrinsik bermanfaat. Inilah yang meningkatkan kinerja otak kita sehingga sangat efisien dan peka.
Barangkali atas sebab ini, sebagian penulis sangat tergantung pada mood. Mereka akan menulis bila sudah benar-benar mood. Begitu ada mood yang kuat, mereka akan mencari tempat yang tenang dan relatif tidak terganggu. Persoalannya, haruskah kita tergantung mood untuk bisa mencapai kondisi flow? Tentu saja tidak. Dan kita harus memancangkan tekad kuat-kuat pada diri kita. Selebihnya ada beberapa hal yang dapat kita perhatikan agar kita dapat mengalirkan ide dengan deras saat menulis.
Bangkitkan Perasaanmu
Ada beberapa cara yang biasa saya lakukan untuk membangkitkan perasaan saat menulis. Pertama, menemukan alasan mengapa ide itu harus saya tulis. Ketika saya mampu merasakan beratnya permasalahan yang sedang saya tulis, kalimat-kalimat akan meluncur dengan cepat. Selain itu, setiap kalimat yang tersusun memiliki muatan emosi (emotional tone) yang kuat. Ini akan sangat membantu pembaca untuk dapat memiliki keterlibatan perasaan saat mencerna isi buku. Pengalaman saya, cara ini yang terbaik. Ia tidak saja membangkitkan perasaan, tapi sekaligus meluruskan niat dan menguatkan komitmen. Sebuah kegiatan akan terasa lebih bermakna apabila ada komitmen dan missi yang mengiringinya. Disebabkan oleh komitmen yang kuat, menulis terasa lebih bertenaga. Tidak melelahkan, tidak pula membosankan.
Kedua, menghadirkan nasyid, murattal dan alunan suara lain yang membangkitkan kekuatan jiwa. Melalui fasilitas mp3 maupun tape recorder, saya biasa mengiringi kegiatan menulis dengan alunan nasyid. Di antara nasyid yang saya sukai adalah Berkorban Apa Saja dan Sunnah Berjuang dari Nada Murni. Belakangan saya suka memutar nasyid Demi Masa dari Raihan karena syairnya yang menyentuh dan penuh peringatan. Di saat saya merasa kelelahan dan hampir kehilangan semangat, syair-syair nasyid yang semacam itu membangkitkan kekuatan untuk kembali bersemangat.
Ketiga, menghadirkan suasana emosi melalui aroma. Ini termasuk jarang saya lakukan, tetapi terkadang saya beli wewangian untuk membangkitkan suasana yang sesuai dengan buku yang sedang saya tulis. Selain memutar nasyid dan murattal, ketika menulis buku Agar Cinta Bersemi Indah saya juga menghadirkan pengharum ruangan yang terkesan romantis. Saya juga membeli parfum yang saya semprotkan ketika mulai menulis. Tajamkan Keterampilanmu "Langkah-langkah yang terlatih membutuhkan usaha otak yang lebih ringan daripada langkah-langkah yang baru saja dipelajari, atau langkah-langkah yang masih terlampau sulit," begitu Daniel Goleman menulis dalam Emotional Intelligence. Penguasaan keahlian kita akan lebih tinggi apabila kita berusaha untuk selalu lebih baik daripada sebelumnya, dengan belajar dari kesalahan yang kita lakukan sendiri. Lebih lanjut tentang masalah ini, bisa kamu buka kembali tulisan berjudul Bangkitkan Kehebatanmu (Annida No. 1 dan 2). Alhasil, ide akan lebih deras mengalir kalau kita terlatih. Bukan semata-mata jam terbang. Meskipun jam terbang yang tinggi memudahkan kita dalam menuangkan gagasan, tetapi tanpa secara sadar berusaha menulis yang lebih baik, tingginya jam terbang hanya memberi kita fluency (kelancaran). Kita dapat menulis dengan cepat dan lancar, hanya saja tanpa greget dan harmoni.
Jadi, beda derasnya ide mengalir karena tajamnya keterampilan menulis dengan sekedar bisa karena biasa. Kuatkan Pengetahuanmu Berdasarkan studi selama 18 tahun terhadap 200 seniman, Mihaly Csikzentmihalyi, pakar psikologi dari University of Chicago menyimpulkan, "Prestasi kreatif bergantung pada totalitas hati dan pikiran." Berbekal kepekaan dan kuatnya perasaan, orang tidak biasa menulis pun dapat melahirkan karya yang menggugah perasaan. Mereka dapat menuangkan kata-kata indah. Tetapi keindahan semata tanpa totalitas pikiran yang kuat, akan cepat hilang pesonanya. Sebentar menakjubkan, sesaat berikutnya terasa tak bermakna. Ia hanya menarik pertama kali dibaca. Sesudahnya tak ada lagi yang dapat diambil oleh pembaca, sehingga hilang tak dicari, ada tak dipungut.
Saya jadi teringat nasehat Mas Wijayanto seorang ustadz di Yogyakarta. Katanya, "Tulisan yang baik bukanlah seperti kacang goreng. Sebelum dimakan sangat menarik, sesudah ditelan tak lagi memikat. Apalagi setelah dikeluarkan, tak ada lagi yang dapat dimanfaatkan. Cuma kotoran yang menjijikkan." Tulisan yang baik, kata Mas Wijayanto, adalah tulisan yang setelah dibaca, masih membuat kita ingin membacanya sekali lagi dan sekali lagi. Setiap kali membaca, kita memperoleh manfaat yang semakin baik. Kalau kita mengeluarkannya lagi sebagai pelajaran, orang masih berduyun-duyun untuk memungutnya karena tetap penuh daya tarik dan menyimpan hikmah yang baik. Nah, tulisan yang semacam ini tidak akan lahir kalau kita hanya membangkitkan perasaan. Kita juga perlu menguatinya dengan pengetahuan yang matang, pikiran yang total, dan nalar yang jernih. Kita menggabungkan tafakkur dan tadzakkur. Ini berarti penulis dituntut untuk tidak pernah berhenti belajar.[]
Spiritual Writing
Jalan Lain Membangkitkan Kehebatan
~Mohammad Fauzil Adhim
Berapa lama waktu yang kita perlukan untuk menyelesaikan satu buku?
Agar Cinta Bersemi Indah saya selesaikan dalam waktu satu bulan. Buku
lainnya ada yang rampung dalam waktu 2 minggu, 12 hari, 6 hari dan
ada juga yang selesai dalam waktu tiga hari. Umumnya saya menulis
buku sambil tetap melakukan berbagai aktivitas. Bahkan kadang saya
menulis di tengah aktivitas yang sangat padat. Ketika menulis buku
Agar Cinta Bersemi Indah, saya harus tetap memenuhi berbagai
undangan, mendengar orang-orang yang datang ke rumah untuk curhat.
Buku lainnya ada yang saya tulis di sela-sela kesibukan KKN. Jangan
bayangkan tempat KKN saya mudah dicapai kendaraan. Sekedar gambaran,
untuk mencapai lokasi KKN dari tempat saya mencuci pakaian butuh
waktu 2,5 jam jalan kaki.
Lalu, apakah yang mempengaruhi cepat lambatnya merampungkan buku?
Selain soal tebal tidaknya buku dan padat longgarnya kegiatan,
kecepatan menulis buku juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan jiwa.
Jika kamu mampu mencapai kekuatan tekad yang kokoh, kejelasan visi
dan kemantapan niat, buku setebal 200-an halaman bisa selesai dalam
waktu kurang dari dua minggu. Buku tercepat yang saya susun, Memasuki
Pernikahan Agung, saya tulis dalam waktu kurang dari tiga hari. Waktu
itu saya sedang di Kendari, Sulawesi Tenggara. Ketika menghadiri
pesta perkawinan, saya lihat ada kebiasaan yang sangat merisaukan,
dan saya ingin sekali menyampaikan kepada masyarakat bagaimana
seharusnya. Dorongan itu demikian kuat dan Allah mencurahkan anugerah
dengan ide yang tak berhenti mengalir, kalimat yang meluncur dengan
cepat, dan jari-jemari yang menari dengan lincah di atas tuts mesin
ketik.
Di luar kecerdasan otak, sikap mental yang baik dan kekuatan
motivasi, faktor yang sangat berperan dalam membangkitkan kehebatanmu
adalah kejernihan spiritual. Bila sedang shalat, `Ali bin Abi Thalib
tak lagi merasakan beratnya segala kesusahan dunia. Ketika menantu
Nabi Saw. ini terkena anak panah, ia mendirikan shalat dan minta agar
anak panah itu dicabut pada saat ia sedang khusyuk dalam shalatnya.
Benarlah. Anak panah itu dicabut dan `Ali bin Abi Thalib seperti
tidak merasakan sakit sama sekali.
Apa yang bisa kita ambil dari kisah ini? Kondisi ruhani kita
berpengaruh sangat besar terhadap ketajaman otak kita, kekuatan fisik
kita dan kecemerlangan pikiran kita. Menulis fiksi hanya dengan
mengandalkan kekuatan imajinasi, akan menyerap energi yang lebih
besar, butuh ketenangan untuk menuangkannya, dan meminta daya tahan
yang cukup tinggi. Penulis dengan tipe seperti ini, jangan coba-coba
ganggu meski hanya sehari, sebab ketenangan dan kesinambungan berkait
erat dengan kemampuan mempertahankan, mengembangkan dan menuangkan
imajinasi. Bila penulisnya kurang mampu mempertahankan, maka karyanya
akan kering. Ada cerita, tapi tanpa ada kekuatan jiwa. Ada suspend,
tapi tanpa kedalaman. Ada alur cerita yang lancar, tetapi dangkal dan
tidak mengalir.
Ketajaman spiritual (ruhiyah) kita berpengaruh terhadap kuat tidaknya
pancaran tulisan kita. Sebuah tulisan yang dituangkan dengan hati,
akan meresap masuk ke hati. Bila kita menuangkan dengan hati yang
jernih, maka yang terlahir adalah tulisan yang menyentuh dan bahkan
menggetarkan jiwa. Kekuatan tulisan kamu akan semakin dahsyat apabila
orang yang membaca juga sedang jernih hatinya dan lurus niatnya.
Bertemunya ruh penulis dan pembaca dapat menggerakkan jiwa untuk
melangkah, sebab ruh itu seperti pasukan berbaris. Bila bertemu
dengan yang sejenis, akan mudah menyatu. Sementara bila bertemu
dengan yang bertentangan, akan berselisih. Kita membaca tulisan yang
tampaknya baik, tapi hati kita risau.
Kembali ke soal kekuatan ruhiyah dalam menulis. Saya teringat dengan
Imam Bukhari. Setelah melakukan penelitian secara seksama, mendalam
dan ekstra teliti, Imam Bukhari mengharuskan dirinya melakukan shalat
istikharah setiap kali akan menuliskan satu hadis. Bila Allah memberi
petunjuk bahwa hadis itu sebaiknya ditulis, barulah Imam Bukhari
menuangkannya dalam tulisan. Begitulah, setiap hendak menuliskan satu
hadis, ia selalu melakukan shalat istikharah. Hasilnya, Shahih
Bukhari menjadi kitab yang insya-Allah paling barakah dan sampai hari
ini menjadi rujukan yang paling dipercaya.
Imam Malik yang terkenal dengan kitab Muwaththa'nya, memiliki kisah
yang lain. Bila orang datang hendak meminta fatwa, Imam Malik bisa
segera keluar untuk menemui. Tetapi bila ada yang datang hendak
belajar hadis, Imam Malik memerlukan diri untuk mandi terlebih dulu.
Hadis merupakan perkataan yang sangat agung, sehingga Imam Malik
memerlukan diri untuk mensucikan jiwa sebelum menyampaikan.
Kisah Imam Malik maupun Imam Bukhari merupakan contoh spiritual
writing (menulis spiritual). Mereka menulis dengan terlebih dulu
mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs), sehingga Allah menjadikan setiap
tetes tintanya penuh barakah. Mereka membersihkan hati, memantapkan
niat dan menjernihkan pikiran sehingga bisa tawajjuh (menghadapkan
diri) untuk menulis apa yang sungguh-sungguh penting. Hasilnya,
adalah kecemerlangan dan kemampuan menulis yang dahsyat.
Apa yang bisa kita lakukan untuk menulis spiritual? Tidak ada ritual-
ritual khusus. Prinsipnya adalah apa pun saja yang membuat kita lebih
suci secara ruhiyah. Kita justru perlu berhati-hati agar tidak
terjebak pada praktek-praktek ritual yang tidak dituntunkan agama.
Jika kita merasa dengan mandi hati kita bisa lebih bersih, kita dapat
menerapkannya sebagaimana Imam Malik melakukan. Jika dengan
mendawamkan wudhu sebelum menulis membuat hati kita lebih khusyuk,
maka yang demikian dapat kita lakukan. Tetapi berwudhu atau mandi
bukanlah merupakan kiat menjadi penulis hebat.
Saya perlu menjelaskan masalah ini agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Jangan sampai kita terjatuh pada bid'ah di saat ingin mensucikan
jiwa. Jika saat menulis trilogi Kupinang Engkau dengan Hamdalah saya
berusaha agar selalu dalam keadaan suci, itu bukan berarti cara
menulis yang cemerlang adalah dengan berwudhu terlebih dulu. Begitu
pun jika sekali waktu saya melakukan shalat sebelum menulis dan
kemudian buku-buku itu menjadi best-seller, bukan berarti cara
menulis buku best-seller adalah dengan shalat atau bahkan puasa.
Tetapi yang perlu kita garis-bawahi adalah usaha untuk membersihkan
hati dan mendekatkan diri kepada Allah, sehingga niat kita dalam
menulis lebih mulia.
Alhasil, jika kamu bertanya kepada saya do'a apa yang bisa diamalkan
untuk menjadi penulis best-seller, jawabnya adalah, "Tak ada.
Rasulullah Saw. tidak menuntunkan do'a menjadi penulis yang hebat."
Tetapi jika kamu bertanya apakah saya biasa berdo'a saat menulis,
tanpa ragu saya jawab, "Ya. Sebab do'a adalah otaknya ibadah. Dengan
berdo'a, saya berharap tulisan saya bernilai ibadah. Dan inilah inti
dari spiritual-writing."
Nah, bagaimana? Siapkan penamu, bangkitkan jiwamu dan getarkan jiwa
dengan spiritual writing.[]
MEMUNGUT PERISTIWA, MERANGKAI MUTIARA
Joni Ariadinata
~Cerpenis, Ketua Redaksi Jurnal Cerpen Indonesia
"Seorang pencuri tertangkap masuk di pekarangan. Di samping tubuhnya
masih tegeletak sepasang sandalmerek homyped, sama sekali tidak
baru. Ia telah mati tadi pagi.
Pembantu rumah tangga yang datang pagi itu, memergokinya serta-merta,
dan meneriakkannya lantang; "Maling!" para warga yang beringas,
berbondong menyeretnya, lalu membakar lelaki itu hidup-
hidup.."Anggaplah kutipan di atas adalah sebuah fakta.
Sebuah peristiwa yang sangat unik, mengejutkan, dan sekaligus
mendebarkan. Bagi pembaca biasa, yang membaca peristiwa itu disebuah
koran pagidi sela-sela sarapan dengan secangkir kopi dan sepotong
rotidrama upaya pembakaran "pencuri sandal" Yang mendebarkan itu
sudahlah tentu akan menjadi salah satu dari sekian PR (baca: berita
ramai) paling menarik. Ia akan membawa berita itu ke kantor, ke
kampus, atau ke mana pun ia pergi.Barangkali dengan semangat berapi-
api, disertai dercak dan gelengan kepala berkali-kali, ia akan
mendiskusikannya dengan penuh perjuangan; dibarengi perangkat
berbagai dugaan teori. Barangkali juga di antara mereka yang diajak
bicara akan ada yang menghardiknya, menyebut lelaki pencuri itu
dengan ucapan: "Dia memang pantas dibakar! Seluruh pencuri di dunia
ini harus belajar pada pengalaman ini."
Dan di sudut lain, tak kalah sengitnya pihak pembela lelaki itu
dengan ucapan: "Setimpalkah harga sebuah nyawa ditukar dengan
sepasang sandal usang? Kekejian masyarakat semacam ini harus segera
dihentikan!"Kemudian, seperti biasa dalam kejadian sehari, emosi
perjuangan itu akan reda seiring sore tiba. Ketika ia kembali ke
rumah, ketika ia tidur dengan rutinitas lelah, dan ia akan bangun
keesokan harinya dengan wajah cerah.
Seperti biasa pula, di sela sarapan pagi dengan secangkir kopi dan
sepotong roti, ia akan mencari-cari pada halaman koran pagi
berikutnya: siapa tahu akan ada lagi berita mengejutkan, yang bisa ia
bawa ke kantor, ke kampus, atau ke mana pun ia pergi dan menemukan
komunitasnya.
Tapi siapakah sesungguhnya lelaki pencuri yang kemarin pagi mati
dengan mengenaskan itu? Betulkah ia memang seorang pencuri
kebanyakan, seorang bandit yang jahat, ataukah dia mencuri hanya
lantaran terpaksa? Apakah lelaki pencuri itu memiliki istri dan anak-
anak yang lahir dari rahim istrinya? Lalu bagaimanakah nasib anak-
anak serta istri, ketika mengetahui suaminya dibakar dengan keji? Dan
kenapa pula warga yang memergokinya tak memberi kesempatan sedikit
pun untuk sekedar bertanya, apalagi memberi kesempatan untuk
menjalani hukum sehingga, siapa tahu pintu taubat dibukakan untuknya.
Apakah mungkn para warga yang beringas dan membakarnya hidup-hidup
itu adalah orang-orang suci yang memang pantas mengadili seadil-
adilnya sehingga berhak menentukan bahwa hukuman paling adil adalah
matiSatu hal dari kelemahan peristiwa yang terbaca dalam berita,
atau pun lewat kejadian sehari-hari; adalah keterbatasan ruang dalam
memberi makna. Kejadian demi kejadian berlesatan setiap hari,
sergapan informasi berturutan mengepung seluruh sudut tempat kita
menghirup udara. Ada puluhan fakta, ada ratusan peristiwa. Peristiwa
berkesan hari ini, akan segera ditindih peristiwa mengejutkan pagi
berikutnya.
Hari ini kita ingat, besok kita lupa. Ingat, kemudian lupa.Karya
sastra, dari sudut pandang ini, telah terbukti mampu memberi tekanan
terhadap makna yang memungkinkan kesan terhadap nilai peristiwa
terbenam panjang dalam ingatan. Bahkan lebih jauh memberi kesadaran,
memberi kesimpulan, memberi ruang-ruang jawaban untuk dialog secara
individu terhadap persoalan-persoalan yang tengah terjadi di
lingkungan kita.
***
Kali ini, Annida memilih cerita pendek utama yang merespon kejadian
penting dalam masyarakat, sebuah persoalan yang sungguh-sungguh
berbahaya, akan tetapi selalu kita menganggapnya sepele. Tema
pemurtadan, dengan gerakkan yang khas di negeri ini, sepanjang
pengetahuan saya belum banyak digarap para penulis kita. Lewat tangan
Chairil Gibran Ramadhan (CGR), tema ini meluncur dengan sangat
memikat, penuh ketegangan, dan berakhir dengan renungan panjang.
CGR dengan piawai menghidupkan tokoh lembut bernama Pak Uban (yang
sekaligus menjadi judul cerita pendek ini); dengan pelukisan karakter
fisik yang sangat meyakinkan: dengan muka yang senantiasa bercahaya,
bertutur selalu ramah, dan selalu siap membantu kapan saja setiap
orang membutuhkan. Pak Uban pulalah yang menjadi hero dengan
bantuannya membangun empat sumur mesin yang menjadi kebutuhan vital
penduduk desa, menjadi pahlawan dan tumpuan orangorang desa jika
keluarga mereka sakit (ia juga dikenal sebagai manteri kesehatan,
yang selalu bersedia merawat orang sakit dengan biaya perawatan
gratis ditambah obat-obatan yang diberikan secara cuma-cuma).
Dengan penggarapan alur maju yang rapat, sepanjang cerita berjalan
pembaca selalu disuguhi pertanyaan-pertanyaan misterius seputar:
siapakah sesungguhnya Pak Uban? Ada ketidaksabaran pembaca untuk
segera sampai pada akhir cerita satu ciri karakter bangunan cerpen
yang berhasil. Barulah, pada klimaks yang diledakkan CGR dengan
simbol-simbol: sebuah bangunan, sebuah menara, sebuah lonceng,
sebuah dan kita menarik nafas dengan dada yang sakit.
Kekuatan CGR adalah pada kekuatannya bertutur. Model yang diterapkan,
mengingatkan saya pada sebuah bangunan cerita detektif yang memang
membutuhkan keterampilan untuk mengemas misteri, mengulur ketegangan
dengan rapi, dan meledakkannya tatkala pembaca sudah merasa gerah
dengan ketidaksabaran. Umberto Eco, seorang novelis aliran semiotik
yang melahirkan karya cemerlang berjudul The Name of the Rose,
menyebut jenis cerita ini dengan istilah "penciptaan kosmologis";
dimana sebagai sebuah dunia ciptaan yang mandiri, ia harus memiliki
logika real empiris yang ketat.
CGR menyuguhkan sebuah logika pedesaan, dengan seperangkat dialog
yang kadangkala harus dibuat dangkal sesuai dengan kapasitas tokoh,
akan tetapi kuat secara emosi. Tak ada radikalisme karena yang
diciptakan adalah dunia kelembutan, tak ada pengkhotbahan karena
memang ia menciptakan kelemahan bahkan nyaris kedunguan, dari
sekian tokoh-tokohnya. Akan tetapi, pesan dari darinya cukup kencang
terasa: hati-hati dengan penggerusan iman lewat kelembutan.
Barangkali, satu-satunya kelemahan dari CGR adalah keringnya
eksplorasi bahasa dalam melukiskan suasana (latar) dan psikologi
tokoh lewat pemaparan pengarang. Tapi itu pun, seiring dengan
berjalannya waktu, saya percaya kelemahan itu akan segera tertutupi.[]
KISAH PENJAGA TOKO YANG BERKELILING DUNIA
Joni Ariadinata
Setiap menjelang libur sekolah, Ibu Guru Bahasa yang jelita itu
selalu berpesan: "Kalian akan menikmati hari libur yang panjang.
Pergunakanlah kesempatan itu untuk menulis karangan, yang sekaligus
menjadi PR bagi kalian. Tiga tema yang ibu pilihkan: (1) Berlibur di
Desa, (2) Berkunjung ke Rumah Nenek, dan (3) Berdarmawisata".
Tema biasa, yang sepertinya sudah menjadi ketetapan turun-temurun.
Tapi tahukah Ibu Guru Yang Jelita, bahwa ketiga tema sederhana yang
ibu pilihkan itu, seluruhnya rumit semata?
"Aku lahir di Bandung. Masa kecilku kuhabiskan di Bandung. Dewasa
juga di Bandung. Bagaimana mungkin menulis karangan tentang liburan
di desa, sedangkan aku tidak memiliki desa?
Tema kedua, Berkunjung ke Rumah Nenek, adalah juga sama lucunya
dengan peristiwa paling lucu di dunia. Sebab yang namanya `rumah
nenek', adalah persis sepuluh langkah dari kamarku, terhalang bufet.
Di sanalah pintu rumah nenek, alias kamar nenek karena kami memang
hidup serumah.
Lalu bagaimana dengan nasib tema ketiga, yakni Berdarmawisata?
Siang hari itu, ketika aku pulang sekolah, ayahku sudah menunggu di
pintu toko (yang adalah juga pintu rumahku). Dengan kumisnya yang
tebal, dan senyumnya yang lebar, ia berteriak lantang: "Bagus! Jadi
kau sudah libur, Buyung? Kalau begitu, mulai besok, kaulah yang jaga,
toko!"
Nasib.
***
Nasib semacam itulah yang kemudian mengantarkan Agus R. Sarjono
(seperti pengakuannya di atas), menjadi salah seorang penulis
terkemuka di Indonesia. Kejenuhan seorang penjaga toko,
memperkenalkannya pada keisengan membaca buku. Maka kelak, tatkala
Agus mengakhiri liburannya dan mulai memasuki sekolah, dengan jumawa
ia bertanya kepada teman-teman sekelasnya:
"Kamu berlibur ke mana? Bali? Hem. Kamu?"
"Yogya."
"Hem. Kamu?tak ada yang istimewa. Tak ada yang hebat.'
Maka berceriteralah Agus di depan kelas: "Hari pertama liburan, aku
berkunjung ke Afrika; menelusuri belantara dan hidup di desa-desa
pedalaman Afrika; aku memiliki banyak rumah, menjadi tuan tanah,
memiliki seribu kejahatan dan kelicikan; akan tetapi sekaligus juga
menjadi pejuang keras hak perempuan lewat tokoh Nyonya Mudenda yang
diciptakan Himunyanga-Phiri dalam novelnya Warisan. Dari Afrika, aku
terbang menuju Jepang. Bersama Yatsunari Kawabata, dalam novelnya
Daerah Salju, aku diajak menikmati keindahan lembah, gunung, laut,
dan seluruh tradisi Jepang; --kami sama-sama membuntuti, dan jatuh
cinta pada seorang gadis yang pandai memainkan koto. Tahukah engkau,
bahwa ternyata Jepang itu tak kalah indahnya dengan negeri kita?
Mereka juga memiliki pulau-pulau. Dan aku jadi paham kenapa Jepang,
dengan seluruh tradisinya, menjadi bangsa yang besar.
Begitulah, di hari ketiga, aku mengelilingi Mesir; singgah bertahun-
tahun di lorong-lorong kota lama Kairo bersama Naguib Mahfouz,
menikmati karakter orang-orang Mesir, serta turut merasakan bagaimana
peradaban modern di negara itu telah menggelincirkan orang-orang pada
nafsu kebendaan yang menjungkalkan manusia ke arah jurang malapetaka.
Berkat jasa Naguib Mahfouz, lewat novelnya Lorong Midaq itulah, aku
bisa berkenalan secara dekat dengan Hamidah, Nyonya Hasniya, Zaita,
Tuan Ridwan Husaini, Dokter Busyi, Abbas Hilu, dan sederet
tokoh "dunia lain" yang begitu memikat.
Kemudian bagaimana dengan Balkan, Yunani, dan Cina? Di tiga negara
itu, aku sempat singgah sebentar, yakni pada hari ke tujuh
pengembaraanku, lewat cerpen-cerpen yang ditulis oleh Maguerite
Yourcenar. Setelah itu, aku terpukau berhari-hari di Rusia bersama
Leo Tolstoy, lewat novelnya Perang dan Damai,--sebuah novel yang
menjadi bacaan wajib bagi seluruh anak bangsa Rusia hingga sekarang;
karena lewat novel itulah mereka bisa bercermin dari seluruh
kegagalan, keagungan, keburukan, kemuliaan, kekejaman, dan keangkuhan
bangsa Rusia. Dari novel itu pun aku ikut belajar arti nasionalisme
sebuah bangsa.
Dari Rusia aku terbang ke Amerika, Inggris, Australia; kemudian
berakhir di pedalaman Kalimantan, menjeritkan kekejaman manusia lewat
perburuan harimau yang menegangkan bersama Mohtar Lubis dalam novel
Harimau! Harimau!
***
Dalam rentang usia yang sangat terbatas, manusia tidak mungkin
merangkum dan memahami secara empirik seluruh pengalaman dan
pengetahuan dari berbagai belahan dunia. Padahal, pengetahuan dan
pengalaman empirik (merasakan, melihat, mencatat, mendengar, dan
menghayati) begitu penting untuk menentukan kualitas sebuah tulisan.
Begitu penting untuk menentukan "cara pandang" yang menjadi modal
dasar dalam menulis. Dan kekayaan pemahaman empirik semacam itu, bisa
dipintas lewat luasnya bacaan sastra, baik novel, cerpen, maupun
puisi. Maka adalah suatu kewajaran, bahwa menulis mau tidak mau harus
berdampingan dengan membaca.
Seorang penulis yang memiliki cara pandang yang kaya terhadap nasib
seorang buruh misalnya, (memiliki sedikit pengetahuan sosial, budaya,
ekonomi, psikologi, hingga hak-hak hukum yang melingkupi kehidupan
buruh); tentu akan berbeda hasil penulisannya dengan penulis-penulis
yang hanya mengetahui sebatas tokoh buruh "imajiner" yang
diimajinasikannya semata. Sebab hasil sebuah tulisan, baik itu cerita
pendek, novel, maupun puisi, akan bisa mencerminkan seluruh kekayaan
tentang "apa yang engkau ketahui".
Annida, lewat kisah-kisah cerpennya, telah menentukan cara pandang
yang baru dalam khazanah kesusastraan di negeri ini. Sebagaimana
tugas seorang khalifah dan sekaligus hamba di muka Allah; fungsi
sebuah tulisan harus menjadi selaras dengan tanggungjawab yang
dipikul oleh setiap penulisnya. Ia menjadi media untuk saling
mengingatkan, membangun kesempurnaan, merapatkan jama'ah (dalam
konteks kehidupan yang lebih luas), dan memberi manfaat bagi semesta;-
-memberi manfaat bagi sesama. Maka marilah kita bertanggungjawab
untuk itu, dengan senantiasa meningkatkan bobot tulisan kita lewat
membaca, membaca, membaca. Menulis, menulis, menulis.[]
BENANG-BENANG CERITAJoni Ariadinata
Sebuah jendela: dataran lengang dan horison
Maut sandar di kusen jendela
seraya ngulur tangan mencabut rokokku.
"Kau mengundangku malam ini. Ada apa?"
"Tak ada apa-apa, hanya iseng disekap sunyi"
Maut lantas duduk di tepi meja. Menatapku.
"Kapan giliranku?"
"Kau percaya pada Tuhan?"
"Iya"
"Tutup mulutmu, jangan tanya macam itu!
"Dosaku banyak. Aku takut neraka."
"Takut adalah jalan lempang ke sorga."
"Kamu ganteng, aku kira kayak raksasa."
Maut ketawa terkekeh dan batuk-batuk oleh asap rokok
kemudian melihat arloji dan menoleh ke luar jendela:
"Sayang aku tak dapat lama-lama. Ada tugas lagi"
Maut merentang tangan
melambai sambil melompati jendela
Suatu dataran sepi
rel kereta api, bunyi lokomotif:
sejak purba manusia berangkat ke jurusan yang sama
sebuah gua kelam di pintunya tubuh mesti kita letakkan
kemudian perjalanan terus, terus, terus
sonder reportase,
(dari puisi "Omong-Omong Imajiner", karya Putu Arya Tirthawirya)
Puisi di atas, sengaja saya pilih untuk menunjukkan betapa rawan
sesungguhnya posisi "benang cerita" (narasi) di dalam karya fiksi.
Ada tiga bagian penting yang merupakan benang cerita dalam puisi di
atas pertama, adalah jahitan awal yang berisi deskripsi tentang latar
dan kehadiran tokoh yakni Maut dan Aku, serta alasan tersirat kenapa
kedua tokoh itu ada. Kemudian jahitan tengah, yakni dialog-dialog
yang menjelaskan posisi Maut dan Aku, beserta ketegangan-ketegangan
konflik tentang konsep surga, Tuhan, dan keimanan. Dan terakhir
adalah jahitan akhir yang berisi penyelesaian dengan kesimpulan
tentang keberadaan manusia beserta tujuan manusia satu-satunya,
yakni: mati.
Sebagai sebuah bangunan fiksi puisi tersebut telah memiliki pondasi
yang sangat kuat dan sempurna. Perhatikan, bagaimana pilihan latar
(sebuah jendela: dataran lengang dan horison) amat sangat tepat
dihadirkan dengan kehadiran tokoh Maut, dan Aku. Dengan pilihan latar
sebuah dataran sunyi, kemudian kehadiran tokoh Maut, sebuah jendela,
dan Aku: jahitan awal dalam puisi tersebut mengantarkan pembaca pada
sebuah suasana yang aneh, mencekam, menyedot, dan melahirkan
ketegangan serupa pertanyaan: setelah ini lalu apa? Kemudian
bagaimana:
Jahitan tengah dipilih dengan adegan-adegan dialog yang amat kuat
mendukung latar beserta karakter tokoh: membuat setiap kalimat dalam
dialog tersebut, tidak ditemukan kata-kata yang mubadzir. Kemudian,
jahitan akhir di mana pengarang mencoba membuat jarak dengan para
tokohnya, dan menyampaikan "amanat" atau kesimpulan dari kisah
sesungguhnya: membuat puisi ini tuntas dengan tarikan nafas yang
lega. Tak ada ganjalan, ibarat sebuah jalan yang lempang, dan pembaca
sampai pada kesimpulan yang tuntas.
***
Untuk mengulas sebuah cerpen karya Mairi Nandarson (MN) dari Padang.
Hukum untuk menjahit "benang cerita" dengan pembagian pola awal,
tengah, akhir (pertama kali diperkenalkan Aristoteles pada abad IV
sebelum Masehi); pada perkembangan berikutnya memang telah mengalami
pergeseran dan penyempurnaan terus-menerus. Sebuah cerita, bisa jadi
diawali oleh pola akhir, kemudian tengah, dan terakhir pola awal;
atau diawali oleh tengah, kemudian awal, baru terakhir bola akhir.
Seluruh komposisi yang pada dasarnya semua mengacu pada tujuan akhir
yang sama: kesempurnaan.
MN memberi judul cerpennya dengan kalimat yang sangat sugestif: Aku
Ingin di Kampung Saja. Sugestif, terutama jika dikaitkan dengan
konteks sosial Minang, yang dengan tegas mengatakan bahwa "merantau"
lebih terhormat daripada "tinggal di kampung". Dengan pilihan judul
seperti ini, pembaca langsung dihadapkan pada sebuah perkiraan
konflik yang besar tentang kebudayaan. Sebab siapapun yang pernah
menginjak bumi Minang) dari Padang hingga Bukit Tinggi); akan
disergap oleh sebuah kesunyian desa-desa, di mana banyak rumah-rumah
yang berlomba dibangun dengan megah akan tetapi dibiarkan kosong
lantaran pemiliknya nun jauh tinggal di "rantau" sana. Mereka
membangun kemegahan untuk memamerkan kesuksesannya di rantau. Lantas,
siapakah yang sesungguhnya bertanggungjawab membangun Minang?
Jahitan benang awal cerpen ini, dimulai oleh plash back dari dua
orang tokoh, yakni Aku dan Sardibagaimana keakraban mereka sejak
kecil, dan pertengkaran-pertengkaran yang membuat kenangan manis tak
terlupakan. Hingga kemudian keduanya berpisah; Aku merantau di kota
provinsi menjadi wartawan, dan Sardi merantau ke Jakarta dan meraih
sukses besar secara materi.
Konflik, sebagai jahitan benang tengah diciptakan oleh perbandingan
masyarakat terhadap dua tokoh ini.
Telah merentangkan satu jurang pemisah. Sehingga, ketika dalam proses
kebetulan mereka berdua pulang kampung, dan mereka bertemu; yang
terjadi adalah MN membuat satu kejutan. Tokoh Sardi memilih tinggal
di Kampung. Dan pada penutup cerita dikisahkan, Sardi membuat sebuah
pengakuan bahwa di Jakarta ia menjadi penjahat.
Apa yang menarik dari cerpen MN? Secara struktur bangunan cerita, ia
telah lengkap; dan pembaca dengan jelas disodorkan pada satu nilai
pemahaman; bahwa kesuksesan materi, tidak selalu identik dengan
kebaikan. MN membangunnya lewat pendeskripsian soal pemunculan
konflik, dan penyelesaian akhir cerita dengan sempurna. Hanya saja
pertanyaannya, kenapa cerpen yang secara struktur telah lengkap ini,
masih terasa mengganjal dan aneh? Ada jalan yang tidak lempang, yang
membuat pembaca tidak bisa menarik nafas dengan plong. Marilah kita
bahas ganjalan itu.
Pertama, pada jahitan awal saling berkelit, dengan bahasa "orang
dewesa". Hal semacam itu, terjadi pada dialog-dialog selanjutnya di
bagian tengah: dimana MN sepertinya lupa, bahwa ia menciptakan tokoh
seorang wartawan. Sebuah profesi yang setiap hari dilatih untuk
berbicara, bertanya, dan melakukan investigasi, padahal dialog dalam
cerita, diperlukan pengarang untuk menguatkan tema dan karakter,
menciptakan ketegangan, dan turut merumuskan kesimpulan.
Terakhir, pada jahitan benang akhir, adalah sebuah pertanyaan besar
yang luput dari cerita ini: bisakah seseorang tanpa sebab, tanpa ba
bi bu tiba-tiba membuat sebuah pengakuan secara drastis? Dalam cerpen
ini, tokoh Sardi melakukan sebuah lompatan ajaib dan aneh: tiba-tiba
ia mengaku penjahat. Tiba-tiba, dari seratus prosen penjahat, menjadi
seratus prosen bertobat;--tanpa memerlukan sebab apa pun yang
melatarbelakanginya.
Mungkin, hal ini bisa saja terjadi. Akan tetapi alangkah lemahnya
logika cerita MN, dalam hal ini, terkesan terlalu terburu-buru ingin
merampungkan persoalan. Padahal, penambahan sedikit saja sebab yang
tragis dari tokoh Sardi (misalnya, ia luput dari penembakan, atau
seluruh hartanya terbakar); akan lebih memperkuat kesan yang sampai.
Jika itu dilakukan, maka sebagai bangunan cerita pendek yang utuh, ia
akan menjadi tak terbantahkan.[]
Prosa Bebas Mutlak
oleh : Joni Ariadinata
"Tidakkah engkau lihat bagaimana gunung-gunung ditancapkan?" Itu adalah petikkan satu ayat Qur'an surat Al-Ghasyiyah yang mengharu- biru. Kata "ditancapkan" dalam ayat tersebut, secara revolusioner telah merubah struktur kalimat menjadi bermakna sugestif, menggetarkan, dan tentu: sangat imajinatif. Kenapa tidak menggunakan kata "dijadikan" atau "diciptakan" misalnya; kenapa harus "ditancapkan"? Di dalam tebaran ayat-ayat Al-Qur'an, terlalu banyak contoh-contoh bagaimana kata-kata terpilih dan tersusun dengan sangat sempurna; menggempur keluasan imajinasi sehingga kata-kata, kalimat-kalimat, melesap ke dalam ruang-ruang kedalaman yang tak terhingga. Personifikasi, perumpamaan, simbol-simbol, repetisi, hingga pilihan diksi berdasarkan irama; seluruhnya dipertaruhkan dengan kecermatan yang luar biasa. Tak ada diksi yang mubazir, karena setiap penambahan atau pengurangan sedikit saja, akan menghasilkan efek yang buruk bahkan secara ekstrim akan merusak alur dan makna dari ayat yang dibangun. Maka, tak akan ada satu kata pun yang berlebih; senantiasa ringkas, padat, dan kaya akan makna.
Di dalam bukunya yang sangat terkenal, Cultural Atlas of Islam, Ismail Raji Al-Faruqi, seorang penulis kelahiran Palestina yang mendirikan Islamic Society of North America dan pendiri Universitas Islam di Chicago; memberikan karakteristik bahasa Al-Qur'an sebagai al natsar al muthilaq atau "prosa bebas mutlak". Penafsiran Ismail tersebut berdasarkan karakteristik bahasa Al-Qur'an yang menggabungkan unsur syi'ir (puisi) dan saj' (prosa bersanjak) dengan sangat bagus dan fasih, dalam cara yang "tidak mungkin ditiru sama sekali". Disamping kesempurnaan bunyi, kepadatan makna, kekuatan imaji yang menimbulkan efek "keterpakuan, daya kejut, dan kekaguman"; frase-frase di dalam Al-Qur'an antara satu ayat dengan ayat lainnya, atau bagian dari satu ayat, senantiasa berkesesuaian atau berkontras sangat indahnya dengan kata-kata dan frase dari ayat sebelum dan sesudahnya, baik dalam susunan maupun maknanya. Sehinggadalam bahasa Ismail Raji Al-Faruqiia menyebutkan: "Al-Qur'an memiliki gaya yang kuat, empatik dan tegas, serta halus dan peka. Pembacanya bisa merasakan seakan-akan tertimpa batu besar atau terguyur air segar. Inilah yang disebut husn al iqa (nikmat terbukanya kesadaran). Berbisik bagaikan riak mata air, menggebu bagaikan banjir, atau melompat dan menerjang bagaikan kuda liar, iqa'nya selalu terasa dengan sempurna.
*** Ribuan karya sastra telah ditulis orang di seluruh dunia; baik dalam bentuk novel, puisi, maupun cerita pendek. Jika kita cermati, dari seluruh sejarah penulisan karya sastra: nyaris tak ada satupun penggarapan yang baru dari segi tema. Kemanusiaan, cinta, keadilan, kebenaran,--dan seribu satu macam kisah anak manusia yang berhubungan dengan itu; adalah inti tema yang selalu digarap ulang oleh setiap pengarang di seluruh dunia. Tak pernah jenuh dan bosan. Dalam arti kata, secara tematik, materi karya sastra pada dasarnya telah habis. Lantas pertanyaannya, dimanakah letaknya kreatifitas? Bukankah kreatifitas selalu mempersyaratkan pencarian? Dan pencarian, tentu saja meletakkan padang-padang perburuan pada sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum pernah digarap, atau diketemukan orang. Salah satu jawaban paling menarik tentang kenapa para penulis selalu tertantang untuk menulis hal serupa pada setiap kurun waktu: adalah bahasa. Hukum-hukum penulisan prosa (alur, latar, penokohan, ketegangan) sejungkir-balik apapun ia telah memiliki ketetapan teori yang baku; begitupun hal yang menyangkut teknik bercerita. Akan tetapi, lewat bahasa, setiap karya yang baik akan selalu menemukan kreatifitasnya. Lewat bahasa ia menemukan muara pencerahan;--sebuah sosok misterius yang selalu menggetarkan dan menggemparkan emosi pembacanya. Carmina vel coelo possunt deducere lunam (pun sajak- sajak (bahasa) dapat membuat bulan turun dari langit), begitulah adagium dari sejarah filsafat tentang bahasa mengatakan.
Adalah dangkal menyamakan (baca: menandingi) karya-karya sastra yang lahir kemudian dengan keindahan Al-Quran yang merupakan mukjizat yang tak tertandingi (i' jaz al-Qur'an). Akan tetapi, pelajaran terpenting yang bisa kita petik adalah bagaimana setiap penulis selalu sadar akan pilihan setiap kata frase, dan rangkaian kalimat serta ungkapan- ungkapan yang dipergunakan. Kecermatan dalam memilih kata, frase, dan kalimat baik di dalam prosa maupun puisi, akan sangat menentukan keberhasilan karya yang dibangun. Sebuah contoh sederhana misalnya, bagaimana bisa kita dibandingkan ungkapan kasar "kita pasti mati" dengan keindahan ungkapan "maut menabung kita detik demi detik"; meski pada dasarnya secara semantik maknanya sama? Atau "matahari terbit sangat cerah" dengan "matahari terbit seperti ketika pertama kali diciptakan". Pilihan atas judul, percakapan kalimat dalam dialog, juga ungkapan pemaparan, merupakan ladang menggetarkan setiap pengarang meskipun tema (sebagai bahan material) yang digarap selalu yang itu-itu juga. Gagasan-gagasan besar yang diekspresikan dengan tepat dalam bentuk indah akan menjadi kekuatan-kekuatan besar.
Islam memiliki sejarah panjang kesusastraan yang dimiliki, dan diwariskan dari generasi- kegenerasi. Pada periode Nabi dan Khalifa Rasyidin (1-100 H/622-720 M) tercatat dua penyair yakni Labid dan Umayyah ibn Abu Salt yang sangat dipuji Nabi karena syair-syair mereka menunjukkan kesalehan dan moralitas, meskipun keduanya tidak beragama Islam. Bahkan, Nabi menyeru Hasan ibn Tsabit, Ka'b ibn Malik, dan Abdullah ibn Rawahah ketiganya penyair Muslimuntuk membela Islam dalam karya-karya mereka, yang kemudian menimbulkan kecemasan kepada musuh-musuh Islam di Mekah. Pada beberapa kesempatan, Nabi mencela syair yang menyesatkan. Akan tetapi terhadap syair-syair yang menambah kebijaksanaan dan kebajikan. Nabi memujinya. Tidak hanya puisi, sejarah Islam pun memiliki kecemerlangan prosa yang sama panjangnya.
Tercatat tokoh-tokoh penulis prosa seperti Abdul Hamid al Katib (130 H/749 M), Abu Amr Usman al Jahiz (253 H/868 M), dan Abu Hayyan al-Tahwidi (375 H/987 M). Bahkan, pada zaman kegemilangna prosa, lahirnya kitab-kitab seperti Risalat al Ghufran, Al Risalah al Ighridiyah, yang ditulis oleh Abu al' Ala' Ma'arri ( 449 H/1059 M) telah menembus sedemikian kuat dan mempengaruhi gaya penulisan pengarang-pengarang Eropa pada masa itu. Tidak hanya dalam bentuk surat-menyurat, pidato-pidato indah, esai-esai sastrawi, akan tetapi juga dalam bentuk Maqamat, yakni kisah-kisah pendek yang kemudian menjadi genre tersendiri dalam khazanah kesusastraan dunia. Prosa, puisi, bagi kita adalah sarana. Dan kita (baca: Islam) memiliki pondasi yang kokoh dan kesejahteraan yang tak terbantahkan dalam ketinggian nilai-nilai kesusastraan. Dari setiap periode, kita selalu menolak hembusan para pemikir kontemporer yang melandaskan teori hedonisme estetis dengan jargon "seni untuk hiburan" atau "seni untuk seni" (I'art pour I'art). Bagi kita, sastra adalah komunikasi. Dan komunikasipemahaman, memperoleh penilaian, dan menggerakan tindakan adalah tujuan akhir seni sastra.***[]
Surga Yang Dibayar Dengan Mahal
Oleh : Joni Ariadinata
Pertama kali saya dipaksa menginap di kamar hotel, adalah pada bulan Juni 1994. Saya mendapat penghargaan dari sebuah harian terkemuka di negeri ini, dan menurut mereka: saya wajib mendapat kemewahan "tidur" sebagai orang terhormat. Sungguh, demikianlah seumur hidup baru ketika itu saya melihat sebuah ruang tidur yang begitu bersih, mewah, harum, dan dingin. O-la-la. Bertahun-tahun saya tinggal di rumah kumuh, biasa tidur di lantai kasar dan keras, dengan sehelai tikar tanpa kasur. Dan tiba-tiba, pada malam itu Saya gelisah. Tak sanggup tidur dengan nyenyak. Betapa tidak: kabar dari pelayan hotel bahwa tarif pelayanan saya semalam seharga 370 .000 rupiah, membuat saya merasa menjadi orang yang paling dzalim sedunia. Saya memang tidak memiliki kewajiban untuk membayar sendiri. Akan tetapi, pada tahun 1994, harga sewa kamar saya yang kumuh di Yogyakarta adalah 80.000 rupiah per tahun. Artinya, uang 370.000 rupiah adalah sama dengan harga sewa saya tidur dan tinggal selama empat setengah tahun! Minta ampun. *** Tahun 2002. Jikalau anda adalah seorang pelancong, dan anda ingin mencoba jadi orang terhormat; cobalah pergi ke Borobudur. Singgahlah di sebuah tempat yang memang dirancang untuk menjadi surga bagi para pelancong, yakni sebuah hotel berinisial AJ. Para calon penghuni surga dipersilahkan memilih antara tarif terendah Rp5.000.000 ataukah tarif tertinggi Rp9.000.000 semalam. Itu belum seberapa. Kawan saya di Bali membisikkan sebuah kabar mencengangkan tentang bagaimana orang-orang memburu kebahagiaan: "Mereka adalah para pejabat, politikus, pengusaha, para pelancong, atau hanya sekedar anak-anak dan istri-istri yang kebetulan lahir dari keluarga kaya raya Begitulah, hotel Fourseason di Jimbaran tak pernah sepi meskipun mematok tarif antara 10 hingga 50 juta semalam. Sedangkan hotel Bagawan Giri di Ubud, yang berdiri pada sebuah kawasan teramat luas di mana kamar-kamar dirancang begitu sempurna "menyerupai surga";-- dengan pelayanan paling hati-hatidibuat sedemikian rupa sehingga orang-orang sudah tidak lagi perlu merasa berdosa, apalagi merasa paling dzalim sedunia ketika ia harus membayar tarif "tidur" antara 60 hingga 120 juta semalam. Apa yang bisa kita petik dari pelajaran di atas? Hal yang paling nyata, adalah kesia-siaan manusia dalam mengejar bayang-bayang semu yang bernama kenikmatan, kehormatan sesaat, keagungan palsu; lewat rekaan dunia palsu yang diciptakan untuk menghamburkan kemubadziran. Allah memberi palajaran yang terang lewat contoh kontradiksi ini; bahwa, betapa sesungguhnya nilai surga itu teramat mahal kalau harus dinominalkan dengan materi. Adalah wajar jika imbalan surga di akhirat bagi orang-orang beriman,--surga yang benar-benar abadi dengan kenikmatan dan kebahagiaan berjuta kali lipat `surga palsu" bikinan manusiaharus ditebus dengan keletihan, kesabaran, kegigihan dalam berjuang menegakkan iman, seumur hidup. *** Cerpen Maya Lestari (ML) dari Padang Panjang mencoba mengisahkan kontradiksi yang juga mirip semacam kasus di atas. Ia menciptakan tokoh Raul, seorang wartawan yang sangat gigih, yang nyaris seluruh waktunya ia curahkan untuk pekerjaan. Hampir tak ada waktu luang bagi Raul (waktu melesat sedemikian cepat); pagi-siang-sore-malam ia selalu diburu dan memburu. Begitulah, tokoh Raul secara langsung mengingatkan kita pada jenis-jenis para pekerja di kota-kota besar yang senantiasa mengharuskan berangkat pagi dan pulang pada malam hari. Kita coba baca kutipan ML berikut ini: "Aku akan melakukan segala cara untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Aku mencintai peningkatan hidup. Aku suka kemapanan, begitulah seharusnya manusia. Kemapanan berarti kemakmuran, kemakmuran berarti kemajuan. Dan aku mencintainya. Mencintai semangatku untuk itu." Bagi Raul, kebahagiaan adalah kedudukan dan gaji yang tinggi. Hanya dengan cara itulah hidup menjadi bermakna, berharga, dan bermartabat. Tapi apa yang kemudian ia dapatkan? Kehampaan. Tokoh Raul mengalami kekosongan dan kesepian yang luar biasa. Jika demikian halnya, lantas apakah sesungguhnya kebahagiaan itu? Untuk menunjukkan kontradiksi ini, ML dengan cerdik menghadirkan tokoh antagonis seorang penyapu jalanan; dengan ketenangannya, ketentraman, dan kebersahajaannya. Tokoh penyapu jalan secara telak menggugurkan argumentasi yang kokoh dibangun berdasarkan basis materialisme yang dianut jutaan orang di seluruh dunia. "Bismillah tawakkaltu alallah, La haula wala Quwata ila billah" begitu katanya, mengutip sebuah doa indah yang teramat diyakini kebenarannya. Adalah seorang penyapu jalanan yang sepanjang hidup selalu bercahaya, dengan rizki dari Allah yang "hanya" 200 ribu rupiah (seharga tagihan telepon tokoh Raul dalam sebulan). Adalah seorang penyapu jalanan, yang senantiasa tersenyum, membesarkan tujuh anak, dengan seorang istri; yang setiap bulan masih sempat menabung, meskipun gaji "hanya" sebesar tagihan telpon. Dan ia berkata; "Begitulah keadilan Allah. Ia memberikan otak yang cerdas pada anak-anak saya, sehingga seluruh anak-anak saya mendapat beasiswa" "yang tertuadi Dumai. Caltek baru saja menamatkan pendidikannya di Amerika, atas biaya perusahaan." Tema yang digarap ML adalah sebuah tema besar. Sungguh, sebuah karya sastra menjadi bermakna, kalau dalam kandungannya mengabarkan sebuah pencerahan. Sebuah kebermanfaatan. ML menggarap cerpen ini dengan irama yang amat cepat. Secara teknis, ia berhasil menguasai bahasa menjadi pengantar makna sekaligus kendaraan emosi di luar makna. Perhatikan bagaimana ML mengatur pergerakan antara pemaparan dengan kecepatan dialog; kalimat-kalimat berlesatan dengan kecepatan tinggi. Seperti halnya puisi, dalam cerpen ini ML hendak membuktikan bahwa irama juga begitu penting di dalam prosa. Satu kelemahan yang barangkali masih cukup terasa, adalah pemaksaan pada tokoh ibu yang menjadi ending cerita. Fokus yang sejak awal dibina untuk membidik kontradiksi antara Sang Penyapu Jalan dengan tokoh Protagonis Raul, menjadi hambar manakala sang tokoh lebih memberatkan pada suasana Psikologis kehilangan ibu. Bercabangnya kesimpulan tema pada akhir cerita, membuat cerpen ini seakan-akan kehilangan arah. Akan tetapi, di luar dari penilaian itu, secara umum cerpen ini cukup berhasil sebagai karya yang baik. Setiap pengarang, memang selalu dihadapkan pada pilihan yang sulit dalam menutup cerita. Hanya kecermatanlah yang akan mengantarkan sebuah cerita, menjadi karya yang benar-benar utuh.[]
Langkah-langkah Penulisan Cerpen
oleh : Nurul F Huda
Kebanyakan orang mengatakan menulis itu sulit. Tapi menulis seperti orang belajar bahasa. Ini cuma masalah kebiasaan. Semakin sering menulis semakin terasahlah kemampuannya. Pun sebaliknya. Tentang menulis cerpen. Buat saya sendiri menulis cerpen lebih mudah daripada menulis artikel, tapi ada teman saya yang sangat sulit menulis fiksi karena lebih piawai menulis non fiksi. Begitulah. Lagi-lagi faktor kebiasaan. Ehm... saya cerita yang biasa saya lakukan tiapkali menulis cerpen. So, ini riil dari pengalaman pribadi.
1. IDE. Tentu harus ada ide dulu. Ide ini biasa disebut tema nantinya. Apa sih yang mau kita sampaikan ke pembaca? Begitu kira-kira definisinya.
2. ALUR dan SETTING. Kalau sudah ketemu idenya, tentu kita harus punya bayangan alur ceritanya seperti apa. Bagaimana cerita itu dimulai, kapan konflik muncul, seperti apa ketegangan konflik itu dan bagaimana mengakhirinya. Setting kadang perlu diperhatikan secara khusus, kadang tidak. Tergantung idenya. Yang jelas kalau kita menyebutkan setting secara jelas, tentu harus ada penguatan ciri-cirinya. Dialek, adat, dll.
3. TOKOH dan KARAKTER. Nah, alur tersebut tentu harus ada yang memerankan. Begitu juga ide harus ada yang membawakan. Inilah guna tokoh berikut karakter yag akan menguatkan ide dan alurnya. Tokoh yang menyuarakan ide disebut tokoh utama, bisa antagonis bisa protagonis. Tokoh yang menguatkan atau menentang, itulah tokoh bawahan/pembantu. Khusus untuk cerpen, jangan terlalu banyak tokoh.
4. GAYA BAHASA. Gaya bahasa cerpen sebenarnya sangat tergantung pada pengarang (atau media publikasinya). Tetapi dialog yang hidup adalah kekuatan yang bagus. Dialog biasa membawa pembaca lebih mudah memasuki unsur-unsur cerita. Dialog juga tidak terlalu memanjakan pembaca dengan "pendiktean" pengarang. Saya sendiri tidak terlalu suka cerpen yang deskriptif, karena gaya bahasa ini lebih pas untuk artikel. Nah, kalau menurut media publikasinya, maka yang harus diperhatikan adalah siapa pembaca media itu. Remaja? Ibu-ibu? Umum? De el el.
4 poin di atas sudah lebih dari cukup untuk memulai membuat cerpen. Intinya menulis... menulis... dan menulis. OK? (Medio Juli, 2000, NURUL F. HUDA*)
Menjaring Ide
(Sebuah Tulisan Berbagi Pengalaman)oleh Nurul F Huda
Ide dalam sebuah tulisan adalah titik awal yang akan dilalui. Ide-lah yang pada akhirnya menjadi sentral cerita, sering kemudian disebut tema. Mungkinkah sebuah tulisan, tidak harus cerita, dibuat tanpa ada ide? Hem... it's almost impossible. Saya hanya akan menuliskan sedikit pengalaman sehingga diskusi ini akan lebih terpancing. Sungguh, setiap penulis mempunyai caranya sendiri untuk mendapatkan ide, lebih-lebih mengembangkannya dalam bentuk tulisan. Toh menurut saya inti dari ide adalah kehidupan itu sendiri (coba anda cari teori Mimesis-nya M.H Abrams dalam sastra). Jadi saya sedikit banyak sepakat dengan itu. Kepekaan terhadap kehidupan akan menjadi tabungan yang tidak ada habisnya. Baiklah. Berikut beberapa sumber ide saya:
1. Mengamati apa pun yang terjadi di sekitar kita. Kapan pun saya mempunyai waktu untuk keluar rumah, itulah saat saya mencari ide. Boleh jadi seorang penjual koran sekedar penjual koran bagi orang lain. Tapi tidak bagi penulis. Sekian pertanyaan akan muncul dan kemudian berkembang. Begitu juga ketika terjadi satu peristiwa (bacalah buku Muhammad Diponegoro).
2. Menjadi pendengar yang baik. Saya senang sekali mendengar orang ngobrol atau terlibat obrolan itu sendiri. Bisa jadi tema obrolan itu menjadi ide, boleh jadi juga hanya beberapa kata sudah membuat otak saya bergerak. Biasanya begitu ada key words yang sudah masuk, saya memilih diam, memikirkan jalan cerita dan... jadilah.
3. Membandingkan. Membaca adalah jalan yang paling baik, menurut saya, karena imajinasi kita bisa bermain dengan bebas. Tapi menonton film, melihat pertunjukan drama dan sejenisnya, bahkan mendengarkan lirik bisa menjadi sumber ide yang cemerlang. Tergantung bagaimana kita bisa menemukan sesuatu yang fresh di sana untuk diolah. Tidak usah takut dituduh mencuri ide. Tidak ada ide yang benar-benar asli.
4. Kontemplasi. Sebenarnya seluruh ide tetap melalui proses perenungan. Tapi yang ingin saya katakan di sini adalah merenungi diri kita sendiri, pengalaman bathin, pemaknaan dan sejenis itu. Begitu banyak dinamika fisik dan psikis yang kita alami setiap hari. Itu lagi-lagi sumber ide. Cerita yang lahir dari proses kontemplasi dengan pemaknaan yang kuat biasanya berpengaruh kuat juga kepada pembacanya (bandingkan saat membaca Trilogi-nya Ahmad Tohari dengan novel picisan semacam Fredy S). Bukan saja bobot ceritanya berbeda, namun itulah pemaknaan.
4 poin di atas boleh jadi masih terlalu dangkal dan bodoh. Saya akan lebih senang bila kita bisa berbagi di sini. NURUL F. HUDA
Menulis Fiksi : Khayalan Yang Nyata
oleh Nurul F Huda
A.A Navis: "...sumber penggalian untuk cerita yang saya tulis adalah lingkungan hidup saya... yakni tentang orang-orang biasa pula, tentang pikirannya, tentang tingkah lakunya. Bahan-bahan itu saya renungkan... bila sudah dapat polanya saya menulis." Putu Wijaya: "... cerita-cerita itu merupakan pengembangan peristiwa-peristiwa yang ada waktu itu..." Arswendo Atmowiloto: "Begitulah proses terjadinya cerpen saya. Dari pengalaman langsung, atau mendengar, lantas disambung atau diaduk-aduk.
" Fiksi adalah cerita rekaan yang memang terlahir dari proses imajinatif. Tetapi memisahkan fiksi dari kehidupan adalah sesuatu yang nyaris mustahil. Abrams mengatakan bahwa cerita adalah cermin kehidupan. Karena itu lahir teori Mimetik dan sekarang ini Sosiologi serta Antropologi Sastra. Tapi tulisan ini bukan ingin membahas hal tersebut. Terlalu kecil ruangnya dan juga terlalu memusingkan. Jadi seperti biasa saya akan "ngecap" tentang apa yang saya pahami tentang cerita. Cerita bukan lahir tiba-tiba. Hampir semua penulis orang yang hobby membaca, mengamati peristiwa (entah langsung atau via film), ngobrol, dan... berpetualang. Satu hal yang kadang saya iri karena saya perempuan (masih alone lagi), saya tidak bisa seenaknya "keluyuran". Padahal kehidupan adalah sumber inspirasi yang tiada habisnya. Terlebih bila kehidupan itu "tidak biasa".
Saya iri dengan Putu yang enak saja bergabung dengan sirkus keliling di Jepang. Atau Arswendo yang bisa seenaknya "menaruh badan". Tapi toh masih banyak, banyak sekali malah, sisi kehidupan yang bisa diangkat oleh saya (seharusnya). Ahmad Tohari yang "hanya" tinggal di desa kecil di Purwokerto masih bisa menulis dengan bagus dan fokus. Jadi... saya harus membuka mata lebih lebar dan merenung lebih banyak. BUMBATA. So... mulailah dengan itu. Apabila cerita kita begitu dekat untuk dirasakan Insyaallah pesan akan lebih mudah dipahami pembaca. Yah, kecuali kita ingin cerita kita hanya menjadi konsumsi "elite" sastrawan... itu lain soal. Dosen saya mengatakan, membaca cerita bukan hanya menghibur tapi juga mencari solusi hidup. Bayangkan!
Muhammad Diponegoro menekankan pentingnya real dalam cerita. Tidak lain supaya cerita (yang diharapkan membawa pencerahan) tidak berjarak dengan pembacanya. Mengangkat tema keseharian, tokoh-tokoh yang hadir seakan memang wakil tokoh kehidupan, bahkan setting yang juga nyata. Kenapa? Agar pembaca bisa merasakan, yah itu juga saya. Begitu. Dia merasa menjadi bagian cerita. Dia tidak merasa bahwa itu sekedar "dongeng" negeri antah berantah.
Redaksi Annida mengatakan cerpen-cerpen saya "menubuh". Dekat dengan pengalaman yang mereka alami. Bukan cerita yang mengawang. Ada yang mengatakan bertema berat tapi berbahasa ringan. BAHASANNYA BERAT BAHASANYA RINGAN. Ada yang mengatakan funky, pop bahkan mungkin... picisan. Yah, whatever lah. Saya hanya mencoba mengeluarkan apa yang saya tangkap dengan indra saya dan saya olah dalam pikiran serta rasakan dalam perasaan. Masalah di kehidupan ini terlalu banyak, terlalu kompleks. Rasanya sayang membiarkannya menjadi pikiran beberapa orang hanya karena bahasa yang mengawang.
Tapi saya tidak akan pernah menyalahkan kalau ada orang yang merasa lebih nyaman dengan kiasan, simbol, dan sejenisnya. Semiotis. Itu pilihan. Bagaimana agar cerita bisa "menubuh"?. Saya memulainya dengan sesuatu yang menyentuh, yang saya terkesan. Terus saya renungkan. Saya buat pola cerita. Saya cari tokoh-tokoh yang dekat dengan saya. Kalau perlu setting yang jelas, saya cari datanya. Barulah saya bisa bercerita dengan mood dan keterlibatan emosi. Soalnya beberapa cerpen saya buat tanpa emosi. Dan saya harus merasa berjarak dengan cerita itu. Sungguh tidak mengenakkan. Karena cerita "menubuh" inilah maka biasanya yang menjadi "korban" adalah orang-orang yang cukup dekat dengan saya. Cerpen FUNKY, SIBUKER adalah yang begitu dekat. PASIR PASIR KALIADEM termasuk yang agak jauh. Yang lain? Yah, relatif. Tapi saya mencoba sebisa mungkin untuk selalu dekat dengan cerita saya. Sungguh.
Sekarang ini saya sedang menulis novel. Seluruhnya saya rencanakan 12 episode. Nyatanya saya harus mulai lagi bersatu dengan novel saya karena sempat tertunda (mencari data) selama hampir setahun. Dan itu tidak gampang. Lebih-lebih novel itu saya rasakan agak jauh dengan realita yang saya temui (tentang detektif remaja). Lalu saya membuat serial (tentang lima cowok pengelola kafe). Selesai hanya dalam beberapa minggu, padahal jumlahnya sama. Ternyata karena yang saya angkat adalah realita keseharian. Terlebih lima tokoh itu, beberapa, saya ambil dari tokoh nyata. So... dekat sekali dengan saya. Dari situ saya bisa katakan novel detektif saya kurang menubuh (setidaknya dengan saya) sedangkan yang satunya nyaris menjadi bagian dari hidup saya. Tapi saya harus berusaha masuk secara penuh pada semuanya. Untuk apa? Agar pembaca saya pun bisa merasakan proses penyatuan itu juga. Agar maknanya tertangkap sehingga pesan atau hikmahnya bisa terambil. Saya percaya kalau si pengarang sendiri tidak bisa menyatu dengan ceritanya, apalah lagi pembaca? Begitulah. Wallahu a'lambisshawab Yogyakarta, 23 Februari 2001 NURUL F. HUDA
=====
Ikut nimbrung nih :) Mungkin saya bisa sedikit bantu Nida.
Boleh khan Nid? Tapi maaf kalo nggak berkenan ya jangan
dimasukin ke hati. Cukup lewat di pikir saja.
Kenapa naskah kita ditolak? Kemungkinan besar memang dia tak
layak muat dalam hal 'mutu'. Mutu yang dimaksud dalam naskah
kita (cerpen) adalah mutu pada kriteria penilain dari sebuah
cerpen. Karena dari kriteria itulah naskah kita dinilai.
Coba kita longok kekurangan naskah kita:
1. Barangkali temanya kurang menarik.
2. Cara bertutur dalam cerpen, alur, diksi, mungkin belum
'memadai'.
3. Konflik yang kita suguhkan mungkin kurang 'greget'
sehingga cerpennya jadi hambar.
4. Mungkin kita sendiri yang ada rasa mulai 'menyerah' :P
sehingga kita sebal, kesal ketika naskah kita ditolak mulu
hehehe...
Saya rasa, kita semua percaya/yakin Nida akan menghargai
karya-karya kita kok asalkan memang cukup baik. Kalo naskah
kita masih ditolak terus, ya memang barangkali naskah
saudara-saudara kita sesama penulis lebih baik dari kita.
Jangan sampai kita merasa BETE. Kita juga harus menghargai
usaha keras saudara-saudari ktia sesama penulis. Bisa jadi
usaha kerasnya dan kesabarannya lebih baik dari kita sampai
karyanya dimuat. Kita harus segera menyadari kekurangan
kita.
Saran saya, untuk mengetahui apa yang kurang pada naskah
kita, coba longok deh kolom pembahasan cerpen oleh Mas Joni
Ariadinata. Wah, saya senang lho. Makasih Mas Joni, makasih
Nida. Dari situ banyak dibahas kekurangan-kekurangan dari
cepen yang dimuat, diulas sisi lebih dan kurangnya. Dari
situ saya banyak tahu di mana kekurangan naskah saya. Jadi,
kalo mau buat cerpen lagi saya jadi lebih tahu, o... kaya'
gini itu kurang bagus, o... kalo penokohannya dibuat kaya'
gitu bakalan nggak greget, o... dll.:) Trus buat nambahin
'semangat', baca juga kolom M. Fauzil Adhim, bagus juga lho.
Buat temen-temen, terus berkaya ya! Bersabar pun juga! Tetep
semangat. Jangan menyerah meski masih 'dicuekin' ama Nida.
Teror saja Nida dengan karya kita terus-menerus. Insya Allah
semakin banyak kita ngirim dan belajar berbenah diri, maka
tulisan kita akan makin bagus. Kalo udah gitu Nida pasti
tahu apa yang harus dilakukan :)
Sekian dan mohon maaf atas segala khilaf.
Wassalamu 'alaikum wr. wb.
Nur Mawaddah
(Gatot Wahyudi)