Download - aspirasi gabungan

Transcript
Page 1: aspirasi gabungan

KEMITRAAN adalah komitmen dan upaya bersama bangsa Indonesia

untuk memperbarui tata pemerintahan (governance reform) yang didukung

oleh masyarakat internasional dan lembaga-lembaga multilateral seperti

UNDP, ADB dengan tetap menghormati kedaulatan Indonesia.

Kemitraan memfasilitasi dan membiayai proyek-proyek dan

kegiatan-kegiatan dalam upaya pembaruan tata pemerintahan yang demokratis di tingkat nasional yang

melibatkan semua pihak terkait dengan tujuan menegakkan supremasi

hukum dan hak asasi manusia.

YAYASAN FIELD INDONESIA adalah sebuah organisasi yang memfokuskan

pada pengembangan pertanian ekologis, penguatan masyarakat

pedesaan, dan organisasi-organisasi petani, yang dilaksanakan melalui

pendekatan-pendekatan seperti: Sekolah Lapangan, Pelatihan Petani

ke Petani, dan Riset Aksi Petani. Aktivitas ini sudah dilaksanakan sejak tahun 1990 ketika timnya memberikan

bantuan teknis pada Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang dilaksanakan oleh pemerintah,

LSM-LSM, organisasi petani, maupun swadaya masyarakat desa.

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI)

merupakan sebuah organisasi petani yang beranggotakan para petani

alumni Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT)

yang tersebar di seluruh Indonesia. Organisasi ini terbentuk melalui

Musyawarah Petani PHT Indonesia, 20 Agustus 1999 di Yogyakarta. IPPHTI

lahir karena desakan kepentingan dan kesadaran petani PHT untuk membuat

jaringan dalam upayanya memberdayakan peran petani PHT,

mewujudkan keseimbangan ekologi, dan memperjuangkan hak-hak petani.

ST

UD

I K

AS

US

P

RO

GR

AM

P

EN

GU

AT

AN

P

ER

AN

M

AS

YA

RA

KA

T

SIP

IL

DA

LA

M

PE

RW

UJ

UD

AN

T

AT

A

PE

ME

RIN

TA

HA

N

YA

NG

B

AIK

D I T E R B I T K A N A T A S K E R J A S A M A

Bangkitnya P

eran Masyarakat S

ipil Pedesaan

ujuan umum Program Rural EPICS dimaksudkan

untuk mewujudkan perencanaan program

pengembangan secara partisipatif. Kegiatan ini

dilakukan oleh perwakilan dari kelompok masyarakat

secara langsung dari berbagai sektor penghidupan.

Khususnya dalam pengelolaan perencanaan dan

monitoring terhadap anggaran Pemerintah Daerah

Kabupaten. Secara khusus progam ini berusaha meningkatkan

bentuk partisipasi disesuaikan dengan permasalahan anggota

masyarakat. Dengan tujuan tersebut, program ini juga berusaha

meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk

melaksanakan perencanaan partisipatif, riset aksi dan advokasi

terhadap pengembangan program di wilayahnya. Selain itu

program ini juga diharapkan mampu membantu masyarakat

mendapatkan akses terhadap sumber-sumber dana lokal,

khususnya dari pemerintah daerah setempat untuk mendukung

pelaksanaan program-program pengembangan daerah.

Tentunya, latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya,

menyebabkan perlu adanya upaya yang mendukung inisiatif

masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Selama ini aspirasi

hanya dipahami sebentuk suara pada pemilihan umum. Suara

tersebut hanyalah komoditas politik untuk menghantarkan wakil-

wakil rakyat menuju posisi elit. Aspirasi dalam bentuk

penyuaraan kepentingan masyarakat sendiri, lebih sering hanya

berupa janji-janji dan harapan. Banyak hal yang menjadi

penyebabnya. Pertama, masyarakat tidak mengetahui saluran

penyampaian aspirasi tersebut. Kedua, masyarakat tidak paham

akan peran negara. Ketiga, masyarakat tidak tidak memahami

keterkaitan permasalahan yang dihadapinya. Keempat, negara

tidak menjalankan fungsinya secara benar.

Muara dari penyebab terjadinya permasalah tersebut, adalah tidak

berjalannya sistem kenegaraan dengan baik. Jika merujuk pada

keberadaan negara/pemerintah, maka pada dasarnya merekalah

yang bertanggung-jawab atas permasalahan-permasalahan

tersebut. Pemilihan wilayah kabupaten sebagai lokasi kegiatan

ini, adalah untuk

menyahuti berlakunya

otonomi daerah.

Sedang desa sendiri

sebagai basis

kegiatan, karena

mayoritas wilayah di

Indonesia adalah

pedesaan.

Page 2: aspirasi gabungan

STUDI KASUS PROGRAM PENGUATAN PERAN MASYARAKAT SIPIL DALAM PERWUJUDAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 3: aspirasi gabungan
Page 4: aspirasi gabungan

D I T E R B I T K A N A T A S K E R J A S A M A

2003

STUDI KASUS PROGRAM PENGUATAN PERAN MASYARAKAT SIPIL DALAM PERWUJUDAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 5: aspirasi gabungan

ASPIRASI, Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan, Studi Kasus Program Penguatan Peran Masyarakat Sipil dalam Perwujudan Tata Pemerintahan yang Baik

Penulis:

Dwi Munthaha

Penyelaras Akhir:

Tim Yayasan FIELD Indonesia

Foto-foto:

Tim Yayasan FIELD Indonesia

Desain Cover/Tata Letak/Gambar:

Triyanto PA

Cetakan Pertama: Oktober 2003

Yayasan FIELD IndonesiaPerumahan Tanjung Mas RayaJln. Tanjung Mas Utama B8/8Tanjung Barat, JagakarsaJakarta Selatan 12530Tel./Fax.: (021) 7811145Email: [email protected]

KEMITRAANGedung Surya Lt. 10Jln. MH. Thamrin Kav. 9Jakarta 10350Tel.: (021) 3902543, 323062, 336915Fax.: (021) 2302933

IPPHTIPerumahan Tanjung Mas RayaJln. Tanjung Mas Utama B8/8Tanjung Barat, JagakarsaJakarta Selatan 12530Tel./Fax.: (021) 7811145Email: [email protected]

Page 6: aspirasi gabungan

tudi kasus ini ditulis dengan harapan akan dapat memberi gam-baran, bagaimana masyarakat mampu berbuat untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya. Kemampuan dimaksud-kan bukan dilihat dari hasil yang mereka capai, tetapi pada proses yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Bisa jadi permasalahan yang sedang mereka hadapi, bukan isu yang dianggap penting oleh

kelompok masyarakat lain. Permasalahan mereka, jauh dari sensasi politik elit atau peristiwa dahsyat yang dapat menarik perhatian banyak orang. Di sela-sela publikasi pertikaian antar elit, ledakan bom, gerakan separatis, dan lain-lain banyak permasalahan lain yang luput dari perhatian. Perma-salahan ini cenderung masif karena dialami oleh sebagian besar masyara-kat di negeri ini. Mereka adalah masyarakat kecil yang posisinya lemah un-tuk memperjuangkan perikehidupannya. Ya, memang mereka hidup, tetapi kehidupan yang mereka jalani bukanlah cita-cita ideal dari harapan kese-jahteraan.

Kehidupan mereka terusik ketika alat penopang hidup berupa pekerja-an tidak lagi maksimal untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka hidup di daerah pedesaan yang secara sistematis dibuat sulit untuk berkembang. Pekerjaan mereka adalah petani dan peternak kecil, pedagang kecil, penarik becak, dan pengrajin dengan modal pas-pasan. Sebagian besar dari mereka berusaha untuk mendapatkan mimpi-mimpi hidup layak dan tenang. Sela-ma ini, di dalam mengejar mimpi-mimpi itu, seringkali mereka berhadapan dengan banyak masalah. Dirasakan, tapi tak mampu berbuat untuk keluar dari masalah itu.

Dalam program Rural EPICS (Educational Program for Improving Civil So-ciety/Program Penguatan Peran Masyarakat Sipil dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik), masyarakat diberi kesempatan untuk belajar me-mahami permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Tidak hanya itu, mereka juga mencoba berkelompok untuk bersama-sama mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Penekanan, bahwa permasalahan harus dihadapi bersa-ma-sama adalah strategi yang digunakan agar secara psikologis mampu meningkatkan rasa percaya diri masyarakat. Sebelumnya, mereka berang-gapan bahwa permasalahan tersebut adalah permasalahan pribadi. Mereka pasrah tidak tahu harus berbuat apa.

Kata Pengantar

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan i

Page 7: aspirasi gabungan

Ketidakberdayaan masyarakat tumbuh bukan karena kemampuan masyarakat yang rendah untuk menemukannya solusinya. Seringkali keti-dakmampuan itu disebabkan minimnya kesempatan yang diperoleh, hing-ga masyarakat terlihat lemah. Anggapan bahwa hidup di desa identik de-ngan ketenangan akan sulit ditemui lagi, karena ternyata kehidupan di de-sa pun berangsur ruyam. Desa dapat disebut sebagai marginalisasi dari ke-bijakan pemerintah. Oleh karenanya, sarana pendukung bagi kemajuan masyarakat desa yang minim dapat menjadi permakluman. Masyarakat de-sa dianggap bodoh karena sistem yang memaksakan dan merekapun de-ngan sadar menerima keadaan itu. Coba dengar apa yang sering dikatakan orang kota, ”Dasar orang desa!”, atau orang desa sendiri, ”Maklum kami kan orang desa!”. Stigma itu berakibat pada kurangnya rasa percaya diri orang desa untuk menunjukkan kemampuannya.

Situasi yang tidak sehat semacam inilah yang coba diubah. Program Ru-ral EPICS yang dilakukan oleh Yayasan FIELD Indonesia bekerjasama de-ngan organisasi Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IP-PHTI) dengan dukungan dana dari Kemitraan bagi Pembaruan Tata Peme-rintahan di Indonesia mencoba memfasilitasi masyarakat pedesaan di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah dan Lumajang, Ja-wa Timur, untuk dapat memahami permasalahan yang menyangkut perike-hidupannya. Dari pemahaman itu, kemudian mereka melakukan riset aksi yang hasilnya didialogkan kepada lembaga legislatif dan eksekutif di dae-rahnya. Hasil riset aksi masyarakat itu adalah aspirasi yang bukan sekadar tuntutan, namun juga alternatif solusi untuk mempermudah lembaga-lem-baga pemerintah mengambil keputusan dan tindakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat.

Apa yang dilakukan, apa yang dirasakan dan apa yang dihasilkan oleh perwakilan masyarakat, serta apa yang terjadi selama program Rural EPICS, menjadi sumber utama dalam penulisan studi kasus ini. Hingga sulit untuk menemui teori-teori tentang partisipasi, karena yang ditulis adalah penga-laman aksi masyarakat menyikapi permasalahan yang dihadapinya. Penga-laman-pengalaman itulah yang nantinya diharapkan menyebar ke kelom-pok masyarakat lainnya. Pengalaman yang dapat menunjukkan, jika diberi kesempatan masyarakatpun mampu untuk berbuat. Tetapi yang lebih pen-ting lagi sebagai sebuah pesan, harapan harus diperjuangkan dan direbut oleh masyarakat sendiri.

***

ASPIRASIii

Page 8: aspirasi gabungan

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Daftar Isi

Kata Pengantar ....................................................................................................................................i

Bagian 1.Sekilas Program Rural EPICS Yayasan FIELD Indonesia ..............................................................1

A. Rural EPICS sebagai Upaya Penguatan Masyarakat .............................................................5

B. Organisasi Kegiatan ................................................................................................................7

C. Tahapan Kegiatan ...................................................................................................................8

D. Lokasi Kegiatan .....................................................................................................................11

D.1. Kabupaten Temanggung ............................................................................................11

D.2. Kabupaten Lumajang .................................................................................................12

Bagian 2. “Bayangan saya, CO nantinya akan sering berhadapan dengan aparat…” ............15

A. Pembentukan Community Organizer CO) ............................................................................17

B. Pelatihan Community Organizer ...........................................................................................21

Bagian 3. “Saya seperti detektif yang sedang melakukan penyelidikan…” ............................27

Identifikasi dan Analisa Isu ........................................................................................................29

Bagian 4. “Masyarakat harus bersatu untuk mengatasi masalahnya...” ..................................41

A. Pembentukan Kelompok Sektor ...........................................................................................43

B. Pelatihan dan Persiapan Riset Aksi ......................................................................................47

Bagian 5. Melakukan Riset Aksi: Menguarai Permasalahan Masyarakat .................................53

A. Sektor Pertanian ...................................................................................................................56

A.1. Memburu Tikus Sampai ke Kecamatan .....................................................................57

A.2. Ketika Air Tidak Mengalir ke Sawah ..........................................................................61

A.3. Tanah Rusak, Hama Meledak, Harga digasak ...........................................................66

A.4. Peternakan, Pontensi yang Diabaikan .......................................................................73

iii

Page 9: aspirasi gabungan

ASPIRASI

B. Sektor Transportasi ...............................................................................................................76

B.1 Setia Menanti Penumpang yang Semakin Jarang ......................................................76

B.1.1 Perubahan Jalur yang Merugikan .....................................................................77

B.1.2 Kemeriahan yang Mengurangi Penghasilan .....................................................82

C. Sektor Pedagang dan Pengrajin Kecil ..................................................................................86

Korban Perhatian Setengah Hati .......................................................................................86

D. Sektor Umum ........................................................................................................................91

D.1 Air Pengunungan itu Berwarna Kuning ......................................................................91

D.2 Pengangguran di Pedesaan .......................................................................................96

D.3 Kepemilikkan Tanah tanpa Jaminan Hukum ..............................................................99

D.4 Tanah Tuk Bandung, Kenyataan dalam Mimpi Masyarakat tak Berlahan .................101

Bagian 6. Strategi Menyampaikan Informasi .............................................................................107

Persiapan Dialog .....................................................................................................................109

A. Pertemuan-pertemuan Persiapan ................................................................................110

B. Latihan Teater Rakyat ..................................................................................................112

C. Latihan Media Rakyat ..................................................................................................115

Bagian 7. Saat Suara Rakyat Didengar ......................................................................................117

A. Dialog di Lumajang .............................................................................................................121

B. Dialog di Temanggung ........................................................................................................128

Penutup ...........................................................................................................................................133

iv

Page 10: aspirasi gabungan

Survei ke masyarakat

1Sekilas

Program Rural EPICS

Yayasan FIELD Indonesia

1Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 11: aspirasi gabungan

1 - Sekilas Program Rural EPICS Yayasan FIELD Indonesia

2 ASPIRASI

Page 12: aspirasi gabungan

nisiatif masyarakat adalah gagasan dari masyarakat untuk berbagai hal yang dianggap penting bagi kehidupannya. Karena menyangkut masyarakat, maka kepentingan tersebut adalah bersifat kolektif, bu-kan semata pribadi. Lingkupnya bisa sangat luas, mengenai pekerja-an, sarana-prasarana umum, informasi, rasa aman, dan lain seba-gainya. Semua itu merupakan kebutuhan masyarakat. Untuk me-

wujudkan kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka muncul “kesepakatan” untuk mendirikan negara.

Dari sana dibuat aturan main berupa hukum dan undang-undang. Lalu dibentuk pemerintahan yang bertugas merealisasikan keinginan-keinginan masyarakat. Hanya saja, ketika “pelaksana keinginan” itu diberi kewenang-an dan kekuasaan, seringkali kepentingan masyarakat menjadi sulit untuk direalisasikan. Terjadi personifikasi kepentingan sehingga jarak realitas masalah antara masyarakat dengan wakil-wakilnya menjadi sangat jauh. Situasi semacam inilah yang membuat permasalahan masyarakat sering ti-dak terselesaikan, bahkan cenderung terus bertambah.

Disadari atau tidak, peluang perubahan selalu terbuka di tengah rumit-nya persoalan. Untuk kasus Indonesia, luasnya wilayah mulai disadari se-bagai permasalahan tersendiri bagi terwujudnya pemerataan pembangun-an. Lalu diluncurkan peraturan baru pemerintah berupa paket Perundang-undangan tentang pemerintahan dan otonomi. Peraturan tersebut adalah Undang-undang No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan pemerintah daerah dan pusat. Dengan segala kelebihan dan kelemahan peraturan tersebut, ada peluang yang dapat digunakan untuk memperjelas posisi masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan kondisi yang dicita-citakan.

Mengacu pada wacana good governance atau pemerintahan yang baik dan civil society atau masyarakat warga (sipil) yang mengarah pada pemba-haruan ekonomi dan sosial, maka penerjemahan kedua peraturan tersebut sepatutnya memberi ruang bagi peningkatan kapasitas masyarakat. Good

3

1Sekilas

Program Rural EPICS

Yayasan FIELD Indonesia

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 13: aspirasi gabungan

governance dan civil society bagai 2 sisi pada satu keping mata uang. Tidak terpisahkan satu sama lain dengan artian bahwa, untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dibutuhkan penguatan masyarakat sipil. Demiki-an sebaliknya. Konsep yang tidak saling menegasikan ini adalah syarat per-wujudannya. Karena jika satu sisi saja yang lemah, maka tidak akan ada se-suatu yang baru dari bentuk kekuasaan yang korup, menindas, diktaktor dan sejenisnya.

Program Rural EPICS (Educational Program for Improving Civil Socie-ty/Pendidikan Pedesaan untuk Meningkatkan Peran Masyarakat Sipil) ada-lah program yang mencoba memberi kesempatan bagi masyarakat sipil me-miliki kompetensi untuk mendukung terwujudnya tata pemerinyahan yang baik. Harapannya, ketika masyarakat memiliki kompetensi untuk berpe-ran, dengan sendirinya akan tercipta sebuah masyarakat sipil yang kuat.

Sejarah kekuasaan di negeri ini kurang memberi atau bisa disebut tidak memberi cukup ruang bagi munculnya masyarakat sipil yang kuat. Selama berpuluh-puluh tahun sikap kritis masyarakat dipasung oleh pemerintah beserta aparatnya. Sebelumnya sikap itu juga ditunjukkan oleh kekuasaan kolonial yang menjajah negeri ini. Dari sana, dampak terburuk yang dialami masyarakat adalah munculnya budaya bisu. Masyarakat tidak berani me-nyampaikan aspirasinya, hidup mereka dikendalikan oleh instruksi dan sangsi. Akibatnya, banyak ketidakadilan yang dibiarkan berkembang. Ke-miskinan merata di tengah masyarakat. Sementara korupsi, kolusi, dan ne-potisme (KKN) menjadi budaya dari mereka yang memiliki akses pada ke-kuasaan.

Situasi semacam inilah yang membuat bangunan sebuah bangsa men-jadi rapuh. Pemerintah menjadikan dirinya sebagai representasi dari bang-sa dan negara, hingga merasa memiliki kewenangan untuk sewenang-we-nang. Peluang untuk mengubur bayangan kelam kekuasaan itu muncul, dengan adanya Undang-undang No. 22/1999 dan No. 25/1999. Namun, budaya kekuasaan yang selama ini telah mendarah daging, akan memper-sulit partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Undang-undang desen-tralisasi itu hanya memindahkan wajah lama kekuasaan pusat ke daerah. Yang akan terjadi adalah bentuk otoriterian baru dalam skala lokal. Akan lahir raja-raja kecil dengan kekuasaan penuh di daerah. Sementara mas-yarakat berada dalam posisi yang sama sekali tidak berubah. Jika dahulu atas nama pembangunan nasional masyarakat dikorbankan, maka saat ini atas nama otonomi masyarakat menjadi korban.

Meminjam catatan dari UNDP, ada beberapa karateristik dari sebuah pemerintahan yang masuk dalam kategori tata pemerintahan yang baik. Karateristik tersebut antara lain melibatkan partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan, mempunyai kepastian hukum, terbuka da-lam setiap tindakan, menjunjung tinggi kesepakatan, memiliki asas keseta-raan, efektif dan efisien, memiliki akuntabilitas, mempunyai visi yang strategik, menghargai, dan toleran.

1 - Sekilas Program Rural EPICS Yayasan FIELD Indonesia

4 ASPIRASI

Page 14: aspirasi gabungan

Sementara, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara mengklasifikasikan tata pemerintahan yang baik dalam empat prinsip, yaitu: adanya kepastian hukum, keterbukaan, akuntabili-tas, dan profesionalitas. Dari berbagai kriteria dan prinsip-prinsip di atas, terlihat bahwa tata pemerintahan yang baik tidak berdiri sendiri, tetapi membutuhkan sinergi antara elemen-elemen yang ada di sebuah negara. Otonomi daerah membuka peluang memunculkan tata pemerintahan yang baik dengan syarat terjadinya pengelolaan potensi elemen-elemen sumber daya yang ada secara benar. Cakupan wilayah yang tidak terlalu besar da-lam otonomi daerah, diasumsikan akan mempermudah mengelola daerahnya. Namun kembali pada warisan budaya koruptif yang masih begitu melekat, bahaya itu akan terus menghantui jika medium kon-trol tidak diciptakan dan difungsikan.

Untuk itulah peran dari masyarakat penting untuk diaktifkan. Deklarasi hak pembangunan yang diadopsi me-lalui Resolusi 41/128 disebutkan bahwa, hak untuk pembangunan adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut dari setiap manusia dan semua orang berkewajiban untuk berpartisipasi, memberikan kontribusi dan me-nikmati pembangunan ekonomi, sosial, politik, di mana semua hak asasi manusia dapat direalisasikan seutuhnya (Declaration on the right to Develop-ment). Dengan memposisikan pembangunan sebagai hak, maka peningkat-an sumberdaya manusia untuk mendapatkan hak tersebut adalah kewajib-an negara. Dalam kerangka inilah program Rural EPICS dilaksanakan.

A. Rural EPICS sebagai Upaya Penguatan Masyarakat

ujuan umum Program Rural EPICS dimaksudkan untuk mewujud-kan perencanaan program pengembangan secara partisipatif. Kegi-atan ini dilakukan oleh perwakilan dari kelompok masyarakat seca-ra langsung dari berbagai sektor penghidupan. Khususnya dalam pengelolaan perencanaan dan monitoring terhadap anggaran Peme-rintah Daerah Kabupaten. Secara khusus progam ini berusaha me-ningkatkan bentuk partisipasi disesuaikan dengan permasalahan

anggota masyarakat. Dengan tujuan tersebut, program ini juga berusaha mening-katkan kemampuan anggota masyarakat untuk melaksanakan perencana-an partisipatif, riset aksi, dan advokasi terhadap pengembangan program di wilayahnya. Selain itu program ini juga diharapkan mampu membantu masyarakat mendapatkan akses terhadap sumber-sumber dana lokal, khu-susnya dari pemerintah daerah setempat untuk mendukung pelaksanaan program-program pengembangan daerah.

Tentunya, latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya, menye-babkan perlu adanya upaya yang mendukung inisiatif masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Selama ini aspirasi hanya dipahami sebentuk

pemerintahan lokal

Majelis Umum PBB, 4 Desember 1986

Sekilas Program Rural EPICS Yayasan FIELD Indonesia - 1

5Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 15: aspirasi gabungan

1MM Billah dalam sebuah makalahnya yang berjudul Pengorganisasian Sebagai Strategi Advokasi Pember-dayaan Warga, menyebutkan peran CO pada aksi pengembangan masyarakat, setidaknya ada pada 4 wila-yah, yaitu;(a) kerangka ideologis; (b) tactical repertoire; (c) kepemimpinan, dan (d) struktur organisasional. Untuk bisa melakukan peran itu agar berhasil, di kalangan 'CO' dikenal 10 langkah yang perlu ditempuh, yaitu : (a) go to the people; (b) live among them; (c) learn from them; (d) love them; (e) serve them; (f)plan with them; (g) start with what they know; (h) build on what they have; (i) dialogue with them; dan 0) form self reliance group.

suara pada pemilihan umum. Suara tersebut hanyalah komoditas politik untuk menghantarkan wakil-wakil rakyat menuju posisi elit. Aspirasi da-lam bentuk penyuaraan kepentingan masyarakat sendiri, lebih sering ha-nya berupa janji-janji dan harapan. Banyak hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, masyarakat tidak mengetahui saluran penyampaian aspirasi ter-sebut. Kedua, masyarakat tidak paham akan peran negara. Ketiga, mas-yarakat tidak tidak memahami keterkaitan permasalahan yang dihadapi-nya. Keempat, negara tidak menjalankan fungsinya secara benar.

Muara dari penyebab terjadinya permasalah tersebut adalah tidak ber-jalannya sistem kenegaraan dengan baik. Jika merujuk pada keberadaan negara/pemerintah, maka pada dasarnya merekalah yang bertanggung jawab atas permasalahan-permasalahan tersebut. Pemilihan wilayah kabu-paten sebagai lokasi kegiatan ini, adalah untuk menyahuti berlakunya oto-nomi daerah. Sedang desa sendiri sebagai basis kegiatan karena mayoritas wilayah di Indonesia adalah pedesaan.

1Kegiatan ini diawali dengan pembentukan Community Organizer (CO) di setiap desa yang menjadi lokasi program. CO sendiri dimaksudkan sebagai fasilitator yang membantu masyarakat untuk melakukan riset aksi dan aksi tindak lanjut dari riset tersebut. Sebelumnya, CO melakukan proses iden-tifikasi isu untuk menentukan isu apa yang dominan dan berkembang di te-ngah masyarakat. Kriteria isu tersebut adalah, menyangkut kepentingan masyarakat luas dan terkait dengan penghidupannya. Isu-isu tersebut ke-mudian dianalisa. Untuk memperdalam informasi dan data tentang isu-isu itu dibentuk kelompok sektor isu. Kelompok inilah yang akan melakukan ri-set aksi. Mereka jugalah yang akan melakukan aksi lanjutan berupa dialog dengan pihak-pihak terkait, dalam hal ini pemerintah kabupaten (Pemkab) dan DPRD II.

Konsep CO di Indonesia sebelumnya telah dikembangkan oleh Organi-sasi Non Pemerintah/Lembaga Swadaya Masyarakat (Ornop/LSM) sekitar tahun 1970-an. Namun yang terjadi, seringkali CO berasal dari luar komu-nitas yang hanya tinggal sementara di daerah isu. Karena keberadaan CO terkait dengan sebuah proyek atau program, maka mereka sangat dibatasi oleh waktu program. Alhasil, upaya kesinambungan program tersebut men-jadi terhambat, ketika hanya sedikit atau bahkan tidak ada pengetahuan yang tinggal di masyarakat.

1 - Sekilas Program Rural EPICS Yayasan FIELD Indonesia

6 ASPIRASI

Page 16: aspirasi gabungan

B. Organisasi Kegiatan

Pilihan daerah pedesaan terkait dengan sejarah berdirinya Yayasan FI-ELD Indonesia. Organisasi ini didirikan untuk melanjutkan dukungan yang sebelumnya dilakukan oleh FAO-Community IPM dalam pengembangan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT) di Indonesia, dimana tim Yayasan FIELD Indonesia sendiri sebelumnya tergabung sebagai tim Bantuan Teknis FAO-Community IPM. Program Nasional PHT tersebut ber-akhir setelah berusia sekitar 13 tahun yang dimulai sejak tahun 1989.

PHT sebagai sebagai sebuah metode pengendalian hama sudah ter-catum dalam GBHN sejak tahun 1970. Hal itu dipicu oleh serangan hama wereng yang mengancam ketersediaan beras nasional pada tahun 1970-an dan 1980-an. Serangan hama tersebut disebabkan oleh penggunaan insek-tisida yang berlebihan di areal persawahan. Program Nasional PHT diseleng-garakan tahun 1989 hingga 1999 melalui sebuah pendekatan Sekolah La-pangan PHT (SLPHT) di 12 propinsi, yaitu: Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogya-karta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan.

Melalui SLPHT, petani tidak sekedar belajar masalah hama dan penyakit saja, etapi lebih luas daripada itu yaitu segala permasalahan yang meyang-kut perikehidupannya. Dalam program PHT, petani alumni SLPHT yang me-menuhi syarat tertentu, untuk mempercepat tersebarnya program PHT di tingkat petani, dilatih dalam suatu pelatihan bagi pemandu PHT (training of trainer). Para petani pemandu ini yang selanjutnya akan melatih PHT peta-ni-petani lain (di desanya). Inilah yang dalam program PHT di sebut sebagai “PHT oleh Petani”. Konsep PHT oleh Petani ini ternyata memberikan andil yang berarti dalam terbentuknya sebuah organisasi-organisasi petani di tingkat lokal (desa, kecamatan), bahkan juga nasional.

PHT sebagai sebuah program nasional resmi ditutup pada tahun 1999. Pada tahun itu juga, tepatnya tanggal 20 Agustus 1999, petani-petani alum-ni SLPHT dari berbagai propinsi berkumpul pada acara Musyawarah Peta-ni PHT Indonesia di Yogyakarta. Akhirnya mereka sepakat mendirikan orga-nisasi petani PHT yang bernama Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpa-du Indonesia (IPPHTI).

ada program Rural EPICS ini, CO yang dibentuk berasal dari wakil masyarakat komunitas setempat. Harapannya ketika proyek selesai, pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki akan tetap tinggal dan bergulir ke anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu, selain target pemberdayaan masyarakat, program ini juga mencoba mela-kukan penguatan bagi organisasi masyarakat yang telah ada. De-

ngan maksud tersebut, Yayasan FIELD Indonesia menggandeng organisasi petani Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu (IPPHTI) untuk melaku-kan pengorganisasian kegiatan.

Sekilas Program Rural EPICS Yayasan FIELD Indonesia - 1

7Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 17: aspirasi gabungan

Dalam program Rural EPICS, Yayasan FIELD Indonesia berbagi dengan IPPHTI dalam visi yang sama untuk membangun partisipasi masyarakat da-am pembangunan daerahnya. Alumni SLPHT yang masih aktif di dalam ke-giatan kemasyarakatan, dilatih menjadi CO agar mampu menjadi pengge-rak di lingkungannya. Sebagaimana konsep pengembangan SLPHT, nanti-nya diharapkan kemampuan CO akan merata, bukan hanya masyarakat ta-ni, tetapi lebih luas lagi adalah masyarakat pedesaan.

C. Tahapan Kegiatan

ntuk menjaga agar kegiatan ini mampu menjadi sebuah model kegi-atan pemberdayaan yang partisipatoris, sejak awal rangkaian kegi-atannya di-rancang dengan melibatkan organisasi masyarakat di lokasi program ini dijalankan. Tahap yang dilakukan adalah sebagai berikut:

! Tahapan Persiapan: Pada tahap ini dilakukan beberapa kegiatan di masing-masing kabupaten yang terdiri dari pertemuan dengan pengurus IPPHTI, kunjungan lapangan ke beberapa kecamatan ca-lon lokasi, lokakarya persiapan, kunjungan lapangan untuk menye-leksi calon CO dan pertemuan informal dengan pengurus IPPHTI dan calon panitia latihan CO

! Pelatihan Community Organizer: Pelatihan ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan petani-petani pemandu di desa terpilih untuk menjadi CO dalam rangka memfasilitasi pelaksanaan prog-ram di lapangan.

! Identifikasi dan Analisa Isu, dan Pembentukkan Kelompok Sek-tor: Kegiatan ini terdiri dari beberapa sub kegiatan, yaitu interview untuk identifikasi isu, pertemuan mingguan CO di tingkat kecamat-an, pertemuan untuk analisa isu di tingkat desa, pembentukkan ke-lompok sektor, dan pertemuan perencanaan dari kelompok sektor

! Pelatihan Riset Aksi: Setelah isu teridentifikasi, diadakan pelatihan riset aksi untuk CO dan kelompok sektor. Pelatihan riset aksi untuk CO diorganisir oleh IPPHTI. Setelah itu CO memberi pelatihan riset aksi pada kelompok sektor.

! Pelaksanaan Riset Aksi: Kegiatan ini dilakukan oleh kelompok sek-tor masing-masing desa. Setiap minggunya CO mengorganisir ke-lompok sektor untuk mendiskusikan dan mengevaluasi kegiatan ri-set aksi.

! Forum Intra dan Antar Kelompok Sektor: Forum ini dibentuk da-lam rangka menindaklanjuti kegiatan riset aksi. Tujuannya adalah

1 - Sekilas Program Rural EPICS Yayasan FIELD Indonesia

8 ASPIRASI

Page 18: aspirasi gabungan

menyiapkan bahan-bahan untuk berdialog dengan pihak eksekutif dan legislatif setempat di tingkat kabupaten.

! Dialog dengan Wakil Eksekutif dan Legislatif: Dialog dilaksana-kan sebanyak 4 kali dengan agenda dialog: 1) Penjelasan program; 2) Perkembangan riset aksi; 3) Hasil riset aksi dan usulan-usulan pe-nyelesaian masalah; dan 4) Tuntutan terhadap lembaga-lembaga tersebut untuk membuat kebijakan yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah.

! Seminar: Seminar ini termasuk dalam kerangka penyebaran hasil kegiatan. advokasi dengan melibatkan pihak-pihak yang lebih luas.

Sekilas Program Rural EPICS Yayasan FIELD Indonesia - 1

9Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 19: aspirasi gabungan

Dengan rangkaian kegiatan ini, diharapkan akan terjadi paradigma ba-ru dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Paradigma tersebut berupa pe-ngedepanan partisipasi masyarakat di dalam pembangunan daerahnya. Tentunya, jika pola pembangunan yang partisipatif dapat dilakukan, maka aspirasi masyarakat tidak hanya menjadi jargon maupun simbol belaka. Masyarakat nantinya akan menjadi pendukung aktif dari kebijakan ter-sebut karena kebijakan itu berasal dari mereka dan untuk kepentingan ber-sama.

1 - Sekilas Program Rural EPICS Yayasan FIELD Indonesia

10 ASPIRASI

Page 20: aspirasi gabungan

D. Lokasi Program

rogram Rural EPICS dilaksanakan di 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah dan Lumajang, Jawa Timur. Pemilihan lokasi di 2 daerah tersebut didasari oleh pernah terjalinnya kerja sama antara IPPHTI masing-masing wilayah tersebut dengan peme-rintah daerah setempat. Alasan ini lebih untuk memberi ruang bagi terciptanya sinergi antar penguatan masyarakat sipil dengan tata

pemerintahan yang baik. Adalah mustahil akan terbangun kondisi ideal da-ri 2 elemen tersebut jika masing-masing pihak tidak menunjukkan per-hatian yang sama. Syarat tersebut sedikit banyak sudah terlihat di wilayah Kabupaten Temanggung dan Lumajang. IPPHTI di wilayah tersebut sebagai sebuah organisasi telah menunjukkan eksistensinya dengan melakukan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.

Secara kebetulan, saat program Rural EPICS dilaksanakan, 2 kabupa-ten itu sedang menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Masa-masa itu cukup memanaskan suhu politik di sana. Tentunya, sekecil apapun pe-ristiwa politik itu akan punya dampak, karena dalam program ini masyara-kat akan mengkomunikasikan masalahnya dengan lembaga pemerintahan (Pemkab dan DPRD). Isu Pilkada merupakan isu elit daerah yang kerap menjadi perbincangan banyak kalangan. Isu tersebut yang sering meneng-gelamkan isu-isu lain yang justru terkait dengan kepentingan masyarakat.

D.1. Kabupaten Temanggung

Kabupaten Temanggung pada umumnya berada di dataran tinggi de-ngan ketinggian antara 500 sampai dengan 1.450 meter di atas permukaan laut. Wilayah yang luasnya 82.616 hektar ini memiliki potensi pertanian yang menjanjikan. Kesuburan tanah di sana dipengaruhi oleh adanya 2 gu-nung tinggi yaitu Gunung Sindoro (± 3.151 m.) dan Gunung Sumbing (± 3.260 m.). Lokasi di daerah pengunungan membuat udara di Temanggung

0 0 relatif sejuk berkisar antara 20 C - 30 C.

Selain dikenal sebagai daerah penghasil “emas hijau” (tembakau), Te-manggung juga punya areal persawahan yang tergolong luas dengan per-bandingan ukuran wilayahnya.

Jumlah pen-duduk di kabupaten ini 671.402 jiwa (data akhir Maret 2001), yang terdiri dari 332.143 laki-laki dan 339.259 perempuan. Mayoritas penduduk di Ka-bupaten Temanggung berprofesi sebagai petani. Di sektor pertanian men-capai angka 52 persen, sektor industri 2 persen, sektor bangunan 4,43 per-sen, pedagang 4,36 persen, dan sektor angkutan sebesar 1,48 persen. Ber-dasarkan Perda No. 13 Tahun 2000, secara administratif Kabupaten Te-manggung di bagi menjadi 20 kecamatan, 280 Desa, dan 8 Kelurahan. Ka-

Areal persawahan di sana seluas 20.653 hektar. Sebagian besar menggunakan pengairan setengah teknis yaitu 10.465 hektar. Lahan tadah hujannya sekitar 1.006 hektar.

Sekilas Program Rural EPICS Yayasan FIELD Indonesia - 1

11Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 21: aspirasi gabungan

rena mayoritas penduduknya adalah petani, maka realitas permasalahan di Kabupaten Temanggung banyak menyangkut nasib petaninya. Namun permasalahan-permasalahan tersebut jarang muncul dipermukaan. Te-manggung memang dikenal dengan suasananya yang tenang. Sementara nasib sebagian petaninya tidaklah setenang dengan julukan daerah itu.

IPPHTI Kabupaten Temanggung berdiri pada tahun 1999 mengikuti pembentukan IPPHTI Nasional pada 20 Agustus 1999. Embrio organisasi ini telah muncul seiring dengan adanya forum pertemuan petani-petani alum-ni SLPHT. Sejak awal pendiriannya, IPPHTI Kabupaten Temanggung telah aktif melakukan kegiatan yang sifatnya pemberdayan bagi petani. Kegiatan yang rutin mendapatkan bantuan dari pemerintah baik pusat maupun dae-rah adalah SLPHT. Saat ini di Kabupaten Temanggung terdapat 214 kelom-pok tani PHT atau sekitar 5.353 petani yang telah mengikuti SLPHT baik pa-di maupun sayur-sayuran. 90 petani pemandu siap mengorganisir pelaksa-naan SLPHT dari petani ke petani.

D.2. Kabupaten Lumajang

Lumajang adalah kabupaten yang letaknya berjarak 150 kilometer arah tenggara ibukota Propinsi Jawa Timur, Surabaya. Secara administratif Ka-bupaten Lumajang terdiri dari 21 kecamatan, 195 desa, dan 7 kelurahan. Jumlah penduduk Kabupaten Lumajang pada awal tahun 2002 adalah 966.326 jiwa yang terdiri dari 467.911 laki-laki dan 498.415 perempuan (sumber: Dinas Kependudukan & Transmigrasi Kabupaten Lumajang).

Kabupaten Lumajang merupakan daerah pertanian yang potensial. Ba-nyak komoditas pertanian yang dihasilkan di sana seperti padi, palawija, bermacam-macam tanaman hortikultura, kopi, tembakau, kelapa, dan la-in-lain. Di sekitar ibukota kabupatennya sendiri, areal persawahan masih banyak terlihat. Lumajang perkotaan bisa juga disebut sebagai daerah sub-urban, karena pengaruh lingkungan kota hanya berbatas tipis dengan bu-daya pedesaan. Namun, potensi perluasaan kota menjadi sesuatu yang nya-ta terlihat dari semakin banyaknya proyek-proyek pembangunan fisik yang

Di Kabupaten Temanggung program Rural EPICS ini dilaksanakan di 6 desa di 3 kecamatan, yaitu:

1. Desa Jombor, Kecamatan Jumo

2. Desa Giyono, Kecamatan Jumo

3. Desa Gesing, Kecamatan Kandangan

4. Desa Ngemplak, Kecamatan Kandangan

5. Desa Bagusan, Kecamatan Selopampang

6. Desa Bumiayu, Kecamatan Selopampang

1 - Sekilas Program Rural EPICS Yayasan FIELD Indonesia

12 ASPIRASI

Page 22: aspirasi gabungan

menunjang sarana perkotaan. Selain pertaniannya, Lumajang menyimpan potensi lain berupa perikanan, jasa, dan pariwisata. Sebelah selatan kabu-paten ini berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia, hingga pendu-duk di sana banyak juga yang berprofesi sebagai nelayan. Di Kabupaten Lu-majang juga terdapat Gunung Semeru (3.676 m.) yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa. Pemandangan indah Semeru memiliki daya tarik tersendiri bagi banyak wisatawan untuk melihatnya. Dengan berbagai po-tensi yang dimilikinya, Kabupaten Lumajang sepatutnya mampu untuk menjadi daerah yang dapat menyejahterakan masyarakatnya.

Alasan pemilihan Kabupaten Lumajang sebagai lokasi program adalah karena organisasi IPPHTI di wilayah tersebut mempunyai pengalaman be-kerja sama dengan pemerintah melaksanakan program-program pertanian. Dari 21 kecamatan yang ada, 18 kecamatan sudah berdiri organisasi IP-PHTI. Secara rutin, sejak tahun 2000, IPPHTI diberi peran oleh pemerintah daerah setempat untuk mengadakan SLPHT. Selain SLPHT, IPPHTI Luma-jang juga mengadakan berbagai kegiatan yang terkait dengan peningkatan pengetahuan petani. Kegiatan tersebut antara lain studi-studi petani, pos pelayanan agens hayati, pembentukan koperasi tani dan Wahana Belajar Petani (WBP). Kerjasama dengan FIELD sebelumnya adalah studi System of Rice Intensification (SRI) yang dilakukan di Kecamatan Pasirian. Di Kabupa-ten Lumajang program Rural EPICS ini dilaksanakan di 6 desa di 3 keca-matan, yaitu:

1. Desa Dawuhan Lor, Kecamatan Sukodono

2. Desa Selok Besuki, Kecamatan Sukodono

3. Desa Nguter, Kecamatan Pasirian

4. Desa Bades, Kecamatan Pasirian

5. Desa Sumber Urip, Kecamatan Pronojiwo

6. Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo

***

Sekilas Program Rural EPICS Yayasan FIELD Indonesia - 1

13Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 23: aspirasi gabungan

1 - Sekilas Program Rural EPICS Yayasan FIELD Indonesia

14

Page 24: aspirasi gabungan

15

CO berperan sebagai fasilitator bagikelompok riset aksinya

2“Bayangan saya, CO nan-

tinya akan sering berha-

dapan dengan aparat...”

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 25: aspirasi gabungan

2 - “Bayangan saya, CO nantinya akan sering berhadapan dengan aparat...”

16 ASPIRASI

Page 26: aspirasi gabungan

A. Pembentukan Community Organizer (CO)

ekitar Bulan Juli 2003, bersama dengan beberapa pengurus IPPHTI wilayah Kabupaten Temanggung dan Lumajang, staf Yayasan FIELD Indonesia mendata lokasi dan jumlah alumni SLPHT yang masuk dalam kategori berkegiatan aktif. Setelah pendataan, diadakan pro-ses seleksi lokasi program dan calon CO yang akan dipilih mengikuti program ini, dengan metode diskusi dan wawancara terhadap calon

CO. Proses tersebut diadakan untuk memilih lokasi program yang akan di-lakukan di 2 desa dari 3 kecamatan tiap kabupatennya. Setiap desa akan memilih 3 orang CO, sehingga jumlah CO setiap kabupaten sebanyak 18 orang.

Di Kabupaten Temanggung, setelah wilayah itu dipilih sebagai lokasi program, pada tanggal 19 Juli 2002 diadakan pertemuan antara Yayasan FIELD Indonesia dengan pengurus IPPHTI Kabupaten Temanggung di rumah koordinator IPPHTI, Sudarno. Pertemuan itu membahas rencana pelaksanaan Program Rural EPICS yang menyangkut masalah lokasi serta personil-personil yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Kriteria dari lokasi program adalah:

1. Dalam satu kecamatan, ada 2 atau lebih kelompok tani alumni SL-PHT.

2. Ada petani perempuan alumni SLPHT.

3. Kegiatan-kegiatan kelompok taninya aktif/berjalan.

Walaupun berjalan dalam tempo yang singkat dan relatif lancar, pada awalnya calon-calon CO menunjukkan rasa keterkejutannya terhadap ren-cana program. Budaya bisu yang selama ini terjadi di tengah masyarakat membuat mereka ragu untuk bersuara kritis. Kesan inilah yang pertama

17

2“Bayangan saya, CO nan-

tinya akan sering berha-

dapan dengan aparat...”

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 27: aspirasi gabungan

kali tertangkap ketika program Rural EPICS hendak dimulai. Saat diberi penjelasan tentang program ini, rata-rata dari calon CO memperlihatkan ekspresi raut muka yang berubah. Padahal untuk memilih CO, staf Yayasan FIELD Indonesia dan pengurus IPPHTI setempat menghubungi alumni-alumni SLPHT yang aktif di kelompok-kelompok tani. Alasan pemilihan ter-sebut didasari oleh pengalaman SLPHT, di mana proses belajar di dalamnya dilakukan dengan metode pendidikan orang dewasa (andragogi), nilai-nilai partisipatoris, kritis, dan demokratis. Dengan pengalaman tersebut, diha-rapkan alumninya mampu menjalankan perannya sebagai CO.

Dari hasil diskusi, kemudian ditentukan beberapa alternatif tempat yang bisa dijadikan lokasi program, yaitu: Kecamatan Selopampang, Ka-loran, Kandangan, Jumo, dan Parakan. Dari 5 alternatif tempat tersebut ke-mudian dipilih 3 kecamatan dengan kriteria adanya kelompok tani yang ak-tif untuk mendukung berjalannya program. Akhirnya, setelah melakukan survei lapangan, terpilihlah 3 kecamatan, yaitu: Kecamatan Selopampang, Jumo, dan Kandangan. Setelah penentuan wilayah kecamatan, selanjutnya ditentukan wilayah desa serta para CO-nya. Proses ini menghabiskan wak-tu selama 1 minggu untuk masing-masing kabupaten.

Di Kabupaten Lumajang lokasi yang dipilih adalah Kecamatan Sukodo-no, Pronojiwo, dan Pasirian. Dikatakan oleh koordinator IPPHTI Kabupaten Lumajang, Suharsono, ketiga kecamatan tersebut merupakan kecamatan dimana alumni SLPHT-nya aktif berkegiatan. Proses yang sama dengan Ka-bupaten Temanggung juga dilakukan di Lumajang. Setelah lokasi berhasil dipilih, langkah selanjutnya adalah penjaringan calon CO. Proses seleksi di-lakukan dengan cara mewawancarai calon-calon CO. Hasil wawancara itu-lah yang menjadi penilaian untuk pemilihan CO. Wawancara dilakukan un-tuk mengetahui potensi, motivasi, dan minat calon CO untuk ikut bergabung dalam program ini. Karena calon CO adalah alumni SLPHT, ma-ka pertanyaan-pertanyaan yang diajukan seputar SLPHT dan pengembang-annya. Selain itu juga ditanyakan tentang aktivitas keseharian dari calon-calon CO.

Pada saat penjelasan gambaran program Rural E-PICS, pada awalnya tampak keterkejutan dari para ca-lon CO karena ketidakme-ngertian mereka akan prog-ram ini. Dalam pikiran me-reka, merupakan sesuatu yang mustahil jika masya-rakat kecil bisa berhadapan langsung dengan lembaga pemerintahan untuk mem-perjuangkan nasib mereka

2 - “Bayangan saya, CO nantinya akan sering berhadapan dengan aparat...”

18 ASPIRASI

Page 28: aspirasi gabungan

sendiri. Berikut penuturan M. Tamyiz, 38 tahun, petani dari Desa Gesing (Temanggung):

“Pada bulan Juli 2002, sore hari, saya didatangi oleh Koordinator IPPHTI Temanggung dan orang dari Yayasan FIELD. Mereka meminta saya me-ngumpulkan anggota saya (kelompok tani) yang sudah mengikuti SLPHT. Setelah terkumpul diadakan diskusi dan penjelasan tentang rencana program Rural EPICS. Dan dijelaskan juga secara singkat tentang pem-bentukan CO yang akan menjalankan program itu di lapangan. Bayang-an saya saat itu, kegiatan ini menakutkan. Karena saya pikir dengan kegiatan ini rumah saya bukan lagi bersama anak istri, tapi di kantor polisi. Saya akan sering berhadapan dengan aparat.”

Namun, keinginan untuk berbuat bagi kepentingan masyarakat dan ter-masuk dirinya sendiri, membuat Tamyiz memberanikan diri untuk menjadi CO. Sikap ragu itu berubah menjadi semangat ketika mereka mulai paham kaitan masalah yang dihadapi dengan banyak faktor, terutama negara. Se-suai dengan rancangan program, seleksi CO dilakukan di daerah-daerah terpilih dengan tingkat permasalahan yang mempengaruhi

Istilah CO sendiri merupakan istilah asing yang tidak diketahui sebe-lumnya oleh para alumni SLPHT itu. Namun demikian, ciri khas petani PHT yang membuat mereka bersedia untuk mengikuti program ini. Seperti diungkapkan oleh Budiono, 40 tahun, petani dari lereng Gunung Semeru, Desa Sumber Urip (Lumajang):

“Saya memang senang mengikutinya karena menambah ilmu bagi saya. Waktu ikut SLPHT, saya tahu apa yang dimaksud hama dan musuh alami. Lalu ketika saya ditanya lagi, apakah bersedia untuk mengikuti kegiatan lain, saya bersedia tapi belum paham, karena di kegiatan ter-sebut saya diminta menjadi CO. Apa CO itu, saya tidak mudeng (paham). Kemudian saya mengikuti pelatihan di Lumajang. Baru di sana saya pa-ham bahwa CO adalah penggerak masyarakat. Penggerak di sini bukan seperti demonstrasi, tetapi digugah aspirasinya agar dapat mengung-kapkan masalahnya sendiri.”

Rata-rata para calon CO memang dikenal aktif ber-kegiatan di kelompok tani masing-masing. Motivasi dari calon-calon CO ini re-latif besar. Alasan mereka, program ini menyangkut masalah penghidupan ma-syarakat. Awalnya memang ada yang menganggap pro-gram ini sama dengan prog-ram-program pertanian la-innya. Misalnya Syaiful, 25

perikehidupan-nya.

kritis

“Bayangan saya, CO nantinya akan sering berhadapan dengan aparat...” - 2

19Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 29: aspirasi gabungan

tahun, petani dari Desa Nguter, (Lumajang). “Biasanya program yang melibatkan IPPHTI adalah masalah teknis pertanian, tetapi saya menemu-kan sesuatu yang berbeda pada program ini,” ujarnya.

Walaupun demikian, rasa khawatir tetap dirasakan oleh beberapa calon CO, termasuk Syaiful. Pria yang berasal dari Sulawesi Utara itu mengaku awalnya punya kekhawatiran terhadap program ini. “Di sini masyarakat ti-dak biasa berkumpul-kumpul membahas permasalahan yang ada hubu-ngannya dengan pemerintah. Awalnya kami khawatir jika ada kaitannya de-ngan politik dan demonstrasi,” katanya mengungkapkan kecemasannya. Tetapi keinginan pemuda lajang ini untuk bisa membantu masyarakat da-lam menghadapi permasalahannya lebih besar dibanding rasa cemasnya.

Selain rasa cemas, ada juga yang dengan antusias menanggapi program ini. Santoso 32 tahun dari Desa Bagusan (Temanggung), misalnya. Dia se-hari-hari selain bertani juga aktif bersama pemuda desanya dalam kegiatan masyarakat. Dengan itu, dia mengetahui banyak permasalahan di ling-kungan sekitarnya. “Tapi saya tidak tahu jalan keluarnya. Masalah itu terus saja berlangsung tanpa jelas kapan terselesaikan,” katanya. “Ketika men-dengar adanya program ini, saya sangat tertarik dan berminat untuk terlibat di dalamnya,” ujarnya menambahkan.

Senada dengan pernyataan Santoso, Sofyan Daud, 25 tahun, pemuda lulusan SMA asal Desa Bumiayu dari kabupaten yang sama menyatakan bahwa, dia tidak menyangka akan terlibat pada kegiatan ini. Dirinya me-rasa tertantang untuk terus mengikutinya. “Siapa lagi yang akan mem-perjuangkan nasib masyarakat, kalau tidak masyarakat sendiri?” katanya. Demikian juga dengan Ass'ad, 32 tahun, CO dari Desa Selok Besuki (Lu-majang). Rasa prihatin atas kurangnya perhatian pemerintah pada masya-rakat, terutama petani, membuat dia ingin menyuarakan langsung perma-salahan yang dia ketahui pada pihak yang punya wewenang. “Jangan-ja-ngan pemerintah tidak tahu dengan masalah kami, yang repot kan kalau pura-pura tidak tahu, makanya perlu desakan,” tegasnya.

Ada semacam keseragaman motivasi dari calon-calon CO untuk terlibat dalam program Rural EPICS. Menambah pengetahuan, wawasan, dan mem-bantu masyarakat adalah sebagian besar motivasi dari para calon CO. Ke-seragaman ini menunjukkan bahwa, pada dasarnya masyarakat punya kei-nginan untuk berperan bagi pembangunan di daerahnya. Oleh sebab itu-lah, saat persiapan pelatihan, semua calon CO bersedia menandatangani kesanggupan untuk menjadi CO dan mengikuti pelatihan untuk menjadi CO. Pelatihan ini merupakan kegiatan awal bagi CO untuk memiliki bekal dan penjelasan tentang CO itu sendiri, serta apa peran dan fungsinya.

2 - “Bayangan saya, CO nantinya akan sering berhadapan dengan aparat...”

20 ASPIRASI

Page 30: aspirasi gabungan

B. Pelatihan Community Organizer

elatihan CO di Kabupaten Temanggung dilaksanakan pada tanggal 23-29 Agustus 2002, di Wisma Sumodilogo, Kecamatan Kranggan. Sedangkan di Kabupaten Lumajang dilakukan pada tanggal 5-15 Agustus 2002, di Gedung PTGA, Kabupaten Lumajang. Kegiatan pe-latihan ini diorganisir oleh IPPHTI masing-masing akabupaten. Se-dangkan proses kepemanduannya dilakukan oleh tim dari Yayasan

FIELD Indonesia dan IPPHTI Nasional. Tujuan pelatihan ini adalah me-ningkatkan kemampuan petani-petani pemandu yang dipilih menjadi CO agar mampu memfasilitasi pelaksanaan program di lapangan. Adapun ma-teri-materi pelatihannya adalah:

! Sejarah dan Bentuk Masyarakat! Peta Masyarakat! Analisa Hubungan (Posisi)! Gender! Analisa Proyek Pembangunan Desa! Pemberdayaan dan Kedermawanan! Model Kepemimpinan! Alam dan Budaya! Budaya Bisu! Tingkat Kesadaran! Community Organizer! Isu! Teknik Bertanya! Analisa Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan, dan Ancaman (K3A)! Rencana Tindak Lanjut

Metode pelatihan yang di-terapkan adalah diskusi par-tisipatoris. Sejak awal peserta memperoleh keleluasaan untuk menyampaikan ide dan gagasannya dalam pelatihan. Pelatihan diawali dengan ke-sepakatan belajar oleh peser-ta untuk menyepakati berba-gai hal yang terkait selama proses pelatihan. Fungsi pe-mandu adalah sebatas mem-fasiltasi peserta dalam proses belajar bersama. Pemandu hanya memancing para peserta untuk mengung-

“Bayangan saya, CO nantinya akan sering berhadapan dengan aparat...” - 2

21Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 31: aspirasi gabungan

kapkan apa yang mereka ke-tahui tentang materi-materi yang diterimanya. Selanjut-nya ungkapan-ungkapan tadi mereka rumuskan sendiri sebagai sebuah kesepakatan bersama yang terkait dengan setiap materi pelatihan.

Memang, metode yang di-gunakan tidak serta-merta membuat peserta paham apa

tujuan pelatihan. Namun ternyata pemahaman terbentuk melalui sebuah proses. Riya K

Metode partisipatoris yang dilakukan dalam pelatihan itu ternyata cu-kup mampu membebaskan pesertanya dari rasa rendah diri. Pendidikan mereka beragam. Dari tamatan SD hingga ada yang pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Tetapi mayoritas para calon CO berpendi-dikan SD dan SMP. Karena riwayat jenjang pendidikan peserta berbeda, maka rasa rendah diri sempat hinggap pada beberapa peserta. Tetapi hal itu perlahan menjadi hilang karena mereka memperoleh kesempatan yang sa-ma dalam pelatihan. Seperti yang dikatakan Budiono, CO Desa Sumber Urip, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang,

urbani, petani dari Desa Gesing (Temanggung), misalnya. Dia mengaku di hari pertama tidak paham dengan pelatihan ini. “Saya banyak diam dan mengamati, sebenarnya mau ke mana pelatihan ini?” ungkapnya. “Setelah melalui proses latihan, baru di hari terakhir saya paham bahwa CO berperan sebagai fasilitator yang menjembatani masyarakat untuk mema-hami masalah yang ada di sekitarnya. Kemudian bersama-sama dengan masyarakat CO mencari jalan keluar dari masalah tersebut,” tambah pria tamatan STM Pertanian itu.

“Saya tidak terbiasa un-tuk bicara di depan umum. Waktu hari pertama pelatihan saja, ketika peserta diminta untuk meperkenalkan dirinya satu per satu, rasa takut dan malu muncul. Tetapi karena suasananya dibuat terbuka, rasa itu lama-kelamaan hilang. Sampai akhir pelatihan saya bisa memahami dengan ikut aktif ber-diskusi dengan sesama peserta lainnya,” paparnya. ”Sekarang saya berani untuk tampil di depan umum dan melakukan presentasi tentang masalah yang telah didiskusikan.”

Model pendidikan partisipatoris dalam pelatihan ini tidak menempat-kan peserta sebagai murid dan pemandu sebagai guru. Suasana inilah yang membuat peserta menjadi aktif dan antusias mendiskusikan materi-materi yang diterima saat pelatihan. Pelatihan itu oleh peserta dirasakan berbeda dengan pengalaman mereka mengikuti pelatihan-pelatihan sebelumnya. Rata-rata CO memang orang aktif di dalam kegiatan kelompok taninya. Be-berapa dari mereka biasanya sering diutus untuk mengikuti berbagai pe-

22

2 - “Bayangan saya, CO nantinya akan sering berhadapan dengan aparat...”

ASPIRASI

Page 32: aspirasi gabungan

latihan dan seminar untuk pe-ngembangan program di kelom-pok taninya. Namun, pelatihan CO ini dikatakan para peserta punya nilai lebih bagi pengem-bangan pribadi mereka. Seperti

dikatakan Hafidz, 35 tahun, CO dari Desa Sumber Urip (Luma-jang).

“Pelatihan CO berbeda de-ngan pelatihan yang pernah saya ikuti. Misalnya saya pernah mengikuti pelatihan Manajemen Usaha kelompok tani, kemudian seminar-seminar, tetapi dengan program ini ada nilai yang lebih. Rasa percaya diri saya bertambah. Saya lebih mantap berbicara di depan orang banyak. Respon terhadap program ini juga positif dari masyarakat dan juga aparat di desa. Bahkan bagi mereka ini juga merupakan ke-sempatan agar permasalahan yang ada di desa dapat ditangkap oleh pemerintah dan dewan.”

Pelatihan CO juga mampu menepis rasa khawatir para CO yang awalnya ragu-ragu untuk mengikuti program ini. Kekhawatiran yang cukup ber-alasan karena pada saat penjelasan singkat tentang fungsi CO, bayangan mereka, CO akan banyak menemukan masalah bagi keselamatan dirinya. Namun, ketika mengikuti pelatihan muncul kesadaran baru bahwa, mas-yarakat memang harus berperan bagi pembangunan di daerahnya. Karena konsep dasar pembangunan di sebuah negara adalah untuk menyejah-terakan masyarakatnya, maka memberi usulan perbaikan maupun peru-bahan bagi penghidupan yang lebih baik juga merupakan hak dan kewajib-an dari masyarakat. Pemahaman ini diperoleh saat mengikuti pelatihan. Se-perti diungkapkan oleh Sugimah, 35 tahun, CO perempuan dari Desa Giyo-no (Temanggung), “Yang menjadi kekhawatiran saya adalah bayangan bah-wa tugas CO akan cukup berat dan menggangu waktu saya bersama keluar-ga. Budaya di sini menganggap perempuan tidak pantas untuk sering-sering keluar rumah,” ujarnya. Selain itu, awalnya dia juga merasa tidak punya ke-mampuan untuk menjadi CO. “Ternyata, jika diberi kesempatan, perem-puan juga mampu dan tidak melihat latarbelakang pendidikan,” katanya.

Rasa percaya diri dan mulai berani tampil berbicara di muka umum juga dirasakan oleh Edi Supriyanto, 30 tahun, CO Desa Bades (Lumajang). “Hambatan terbesar dari pengurus kelompok Tani Sasana Rahayu itu adalah berkomunikasi. Itu bisa saya kurangi setelah mengikuti pelatihan CO,” tegas-nya. Selain menambah pengetahuan, banyak hal baru yang didapatkan oleh peserta. “Dulu saat mengikuti SLPHT kami belajar tentang hama dan musuh alami. Setelah mengikuti pelatihan CO, bukan hanya hama di sawah,

“Bayangan saya, CO nantinya akan sering berhadapan dengan aparat...” - 2

23Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 33: aspirasi gabungan

tetapi juga hama masyarakat,” ujar Soleh 36 tahun, CO dari Desa Dawuhan Lor (Lumajang).

Dalam Pelatihan CO, contoh kasus yang didiskusikan, adalah permasa-lahan-permasalahan yang terjadi di lingkungan pedesaan. Pemandu hanya memfasilitasi agar semua peserta menganalisa hubungan masalah-ma-salah tersebut. “Selama ini kami hanya melihat dan merasakan, tetapi ja-rang membuat penilaian dan analisa terhadap suatu masalah, apalagi ber-tindak. Akhirnya banyak masalah yang kami hadapi tidak terpecahkan,” ka-ta Tamyiz, CO Desa Gesing (Temanggung). Pria yang mengaku lulusan Se-kolah Dasar ini, mulanya merasa berat untuk menerima materi-materi yang diberikan pada saat pelatihan. “Namun pada kenyataannya, saya bisa me-nangkap dan itu cukup membanggakan bagi diri saya pribadi,” ungkapnya.

“Saya terkesan dengan proses pendidikannya yang tidak memandang siapapun. Pola pikir saya menjadi berkembang dan terbuka,” ungkap San-toso, 32 tahun, CO Desa Bagusan (Temanggung). “Awalnya pola pendidik-annya saat itu tidak saya sukai karena saya pernah mengikuti pendidikan militer. Jadi tidak cocok bagi saya. Saya sering protes karena sepertinya pe-latihan ini banyak membuang-buang waktu. Saya anggap saat itu berbelit-belit. Tapi setelah pelatihan, saya menganggap pelatihan ini sangat bagus. Tidak seperti dulu, kalau dulu satu arah saja. Peserta tidak diberi kesem-patan untuk bicara. Pemandu seakan hanya memancing pemikiran peserta untuk keluar. Ini yang membedakan dengan pola pendidikan formal yang pernah saya rasakan. Saya akhirnya paham bahwa pola ini mampu mem-buat peserta menjadi lebih paham, karena mereka sendiri diberi kesempatan untuk bertanya dan mengeluarkan pendapatnya,” jelasnya. Dia punya keya-kinan mampu mengembangkan pola ini ke masyarakat lain, karena dalam

2 - “Bayangan saya, CO nantinya akan sering berhadapan dengan aparat...”

24 ASPIRASI

Page 34: aspirasi gabungan

Ahli Filsafat terkenal Aristoteles:“Salah satu sifat dasar manusia adalah sifat ‘ingin tahu’,

yaitu mereka ingin menemukan dan mengerti dinamikaDan pola-pola kehidupan yang dialaminya.”

Ilmuwan terkenal Albert Einstein:“Saya tidak pernah mengajar murid saya. Saya hanyalah

berupaya menciptakan kesempatan agar is bisaBelajar sendiri dan menemukan sendiri.”

pemahamannya, pemandu bukanlah orang yang serba tahu, tapi memfasi-litasi orang lain untuk belajar bersama agar memahami permasalahan yang ada. “Dengan bekal tersebut, saya juga bisa melanjutkan untuk mendidik masyarakat, tapi bukan berarti menggurui,” ujarnya pria yang mengaku lu-lusan perguruan tinggi itu.

“Banyak yang saya pelajari dari pelatihan ini. Kalau boleh saya katakan dari 100% ilmu yang saya miliki, 60 %-nya berasal dari pelatihan ini,” ujar Hafidz, CO Desa Sumber Urip (Lumajang).

Lepas dari berbagai kesan yang dikemukakan oleh peserta pelatihan, mereka menyadari bahwa untuk jangka panjangnya, CO berusaha meng-ubah budaya bisu yang membelenggu masyarakat untuk berpikiran maju. Mereka berkesimpulan bahwa, budaya tersebutlah yang membuat mas-yarakat kehilangan akal untuk mengatasi masalahnya. Dengan program ini, mereka berharap akan mampu membuat perubahan di lingkungannya.

***

25

“Bayangan saya, CO nantinya akan sering berhadapan dengan aparat...” - 2

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 35: aspirasi gabungan

26

2 - “Bayangan saya, CO nantinya akan sering berhadapan dengan aparat...”

ASPIRASI

Page 36: aspirasi gabungan

27

Survei sumber air bersih

3“Saya seperti detektif

yang sedang melaku-

kan penyelidikan...”

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 37: aspirasi gabungan

28 ASPIRASI

Page 38: aspirasi gabungan

Identifikasi dan Analisa Isu

etelah mengikuti pelatihan, masing-masing CO mulai melakukan pencarian isu-isu yang ada di daerahnya. Beragam pengalaman yang dialami oleh para CO tersebut. Rata-rata dari mereka mengakui bahwa, pada dasarnya aktivitas itu bukan sesuatu yang baru me-reka lakukan. Mereka terbiasa berbincang-bincang dengan sesama anggota masyarakat lainnya. Terlebih, kebanyakan mereka sudah

dikenal aktif berkegiatan di lingkungan masyarakat. Tetapi seringkali hal itu tidak disadari dan tanpa tujuan yang jelas. Biasanya obrolan yang me-reka lakukan hanya sebatas omong-kosong belaka.

Dengan menjadi CO, mereka mulai merancang strategi untuk mem-peroleh informasi masalah yang berkembang di masyarakat. “Saya seperti detektif yang sedang melakukan penyelidikan saja! Ketika melakukan iden-tifikasi isu, saya sering keluar rumah untuk bertemu dengan anggota mas-yarakat lainnya. Di mana saja saya temui, di sawah, di pasar, di jalan. Te-tapi pada waktu itu mereka tidak mengetahui maksud saya, karena saya membuat kesan seperti obrolan biasa.” ungkap Tohaji, 26 tahun, CO dari Desa Oro-oro Ombo (Lumajang).

Kegiatan yang dilakukan CO pada tahap ini adalah melakukan interview ke masyarakat untuk menggali sebanyak-banyaknya permasalahan yang terjadi di sana. Kegiatan ini dilakukan selama 2 bulan. Selama kegiatan ini, setiap minggunya para CO berkumpul di tingkat kecamatan. Pertemuan itu membahas pengalaman masing-masing CO dan mendiskusikan permasa-lahan-permasalahan yang ditemui di lapangan. Isu-isu tersebut kemudian dikelompokkan menjadi 3 kelompok isu utama dari tiap desa. Masing-ma-sing kelompok disebut dengan kelompok sektor. Pengelompokan ini dise-suaikan dengan jumlah CO yang tiap desa terdiri dari 3 orang. Pengelom-pokan dan analisa isu dilakukan di pertemuan tingkat desa.

Pada dasarnya mereka relatif mudah untuk mendapatkan isu yang ber-

S

29

3“Saya seperti detektif

yang sedang melaku-

kan penyelidikan...”

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 39: aspirasi gabungan

asal dari masyarakat, namun tidak pada aparat maupun tokoh-tokoh desa. Rupanya gerak-gerik CO mendapat pengamatan di beberapa tempat. Ke-jadian itu dialami oleh Sugimah, CO perempuan dari Desa Giyono (Te-manggung). Dia saat itu merasakan beratnya menjadi CO. ”Dulu CO di dae-rah sini sempat kena teror. Karena sempat berkembang isu bahwa program, ini adalah program yang tidak benar. Mereka menyangka program ini ada kaitannya dengan peristiwa tahun 1965 (G 30 S),” ceritanya.

Kejadian serupa juga terjadi di Desa Gesing, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung. Di sana kepala desanya pernah melarang kegiatan ini. Alasannya sama. Dia beranggapan bahwa kegiatan ini akan membaha-yakan dan berhubungan dengan partai terlarang. Oleh Tamyiz dikatakan, bahkan pihak koramil pernah mendatangi. Menghadapi masalah tersebut, para CO di Kecamatan Kandangan mendatangi kepala desa dan men-

jelaskan maksud kegiat-an ini. Kepala desa memi-nta mereka untuk mene-mui camat setempat. Ak-hirnya mereka menda-tangi camat dan menje-laskan hal serupa. Sete-lah mendengarkan pen-jelasan, pihak kecamatan akhirnya mengizinkan.

Desas-desus tersebut, juga memancing pihak kepolisian di Kecamatan Jumo untuk mendatangi Desa Giyono dan mene-mui Koordinator IPPHTI Kabupaten Temanggung yang kebetulan bertem-

pat tinggal di sana. Berbagai penjelasan diberikan bahwa kegiatan ini me-rupakan sarana belajar bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Dengan penjelasan tersebut pihak kepolisian akhirnya da-pat menerima.

Walaupun sempat mengalami kejadian yang tidak mengenakkan, Sugi-mah merasa senang saat melakukan proses identifikasi isu. Ke mana-mana mata dan telinganya selalu awas untuk melihat dan mendengarkan peristi-wa serta pembicaraan masyarakat. Secara khusus, CO perempuan ini me-mang menyediakan waktu untuk melakukannya di sela-sela kesehariannya sebagai petani dan ibu rumah tangga, misalnya saat mencuci pakaian di sungai, belanja ke pasar, pertemuan-pertemuan rutin di desanya, dan lain sebagainya. Oleh sebab itulah dalam waktu 2 bulan identifikasi isu, dia mampu mencatat permasalahan dari 150 orang.

3 - “Saya seperti detektif yang sedang melakukan penyelidikan...”

30

Mencari isu (pengrajin kecil)

ASPIRASI

Page 40: aspirasi gabungan

Ketika mengikuti pelatihan, peserta sempat menyepakati untuk me-nyembunyikan identitas sebagai CO. Cara ini dimaksudkan agar masyara-kat dapat leluasa menyampaikan permasalahnnya. Bagi para CO yang se-belumnya biasa aktif berkomunikasi dengan masyarakat, kegiatan identifi-kasi isu yang mereka lakukan dapat berjalan lancar. Contohnya seperti apa yang dikatakan Hafidz, CO Desa Sumber Urip (Lumajang), “Saat saya mela-kukan identifikasi isu, tidak mengalami kesulitan yang berarti. Mungkin, ka-rena sebelumnya saya telah aktif di kegiatan kemasyarakatan. Karena su-dah terbiasa, mereka tidak menyadari kalau saya sedang melakukan peng-identifikasian isu. Cara yang saya lakukan adalah wawancara dengan me-ngajak ngobrol. Dari sana keluar masalah-masalah yang dialami oleh pen-duduk.”

Menjadi CO, dikatakan oleh Slamet Waluyo, CO Desa Jombor (Temang-gung), cukup memotivasi diri untuk berkomunikasi dengan banyak orang. Seakan-akan dia punya waktu yang berlebih untuk bisa bertemu orang lain. Biasanya dia melakukan tugas khusus ini setelah pekerjaannya di sawah

Agar setiap permasa-lahan mampu diingat oleh CO, sepulang mela-kukan identifikasi isu mereka langsung menca-tat permasalahan-per-masalahan itu. Itu yang dilakukan oleh Suparjo, CO Desa Jombor (Te-manggung). CO yang te-lah berusia lanjut itu de-ngan teliti membuat ca-tatan-catatan agar apa yang telah diperolehnya tidak lupa dan hilang begitu saja. “Saya kan su-dah tua, biar tidak lupa saya buat catatan-ca-tatan di kertas,” cerita-nya. Namun dia tergolong punya daya ingat yang kuat. Dia hampir bisa mengingat sebagian besar nama anggota riset aksi di Kabupaten Temanggung yang berjumlah 180 orang. Karena merasa bertanggung jawab dengan tugas yang diembannya, selama 2 bulan dia berusaha maksimal untuk mendapatkan isu-isu dari masyarakat. Setiap hari dimanfaatkannya untuk itu dengan khusus datang ke rumah-rumah penduduk atau lewat kegiatan kesehariannya. Karena dia juga tergabung dalam kelompok kesenian campursari di desanya, maka dengan leluasa dia bisa berkomunikasi dengan banyak orang di sana.

“Saya seperti detektif yang sedang melakukan penyelidikan...” - 3

31

Mencari isu (pengrajin kecil)

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 41: aspirasi gabungan

rampung. Di setiap kesempatan dia selalu mendengarkan pembicaraan orang dan ikut terlibat di dalamnya. Artinya, pada tahap identifikasi isu, da-lam situasi apa saja, CO tetap melakukan tugasnya. Ketika sakit atau lelah, tugas itu masih saja dilaksanakan, karena kesempatan mendapatkan in-formasi dari masyarakat di pedesaan relatif mudah antar sesama masya-rakat itu sendiri.

Berkomunikasi dengan baik adalah salah satu cara yang efektif untuk dapat memperoleh informasi sebanyak-banyaknya. Termasuk saat mela-kukan identifikasi masalah. Itu bukan hanya ditujukan kepada masyarakat saja, tetapi juga pada keluarga sendiri. Demikian dikatakan oleh Santoso, CO Desa Bagusan (Temanggung) yang merasakan pentingnya hal tersebut. “Mau tidak mau ada waktu yang harus saya luangkan untuk menjalankan tugas CO,” katanya. Menurutnya, menjadi CO adalah salah satu bentuk perjuangan yang dilakukan untuk kepentingan yang lebih luas. CO bukan-lah pekerjaan yang menghasilkan uang dan ini yang dia yakinkan pada istri-nya. Dengan selalu berkomunikasi, sang istri mampu memahami apa yang dia lakukan dan mendukungnya. “Hanya saja anak saya yang masih ber-usia 4 tahun protes, karena saya sering keluar rumah,” ungkapnya.

Dukungan keluarga memang menjadi faktor yang menentukan bagi CO dalam menjalankan tugasnya. Hal itu sangat dirasakan oleh Sugimah, CO perempuan Desa Giyono (Temanggung). Ibu dari 2 anak ini mengaku lega karena suaminya bisa memahami apa yang dilakukan. Tetapi dia punya ko-mitmen untuk tidak mengabaikan tugasnya di rumah. Berkat komunikasi yang terbuka, hingga saat ini tidak terjadi masalah. Bahkan keluarganya ikut mendukung apa yang dia lakukan.

Cara mengajak berbicara dengan santai, rupanya menjadi taktik dari kebanyakan CO untuk dapat mengumpulkan permasalahan sebanyak-ba-nyaknya. Rata-rata setiap CO dapat mewawancarai tak kurang dari 75 orang. Bahkan ada yang mencapai 150 orang. Dari sana muncul deret pan-jang masalah yang dihadapi masyarakat. Untuk memudahkan analisa isu, masalah-masalah tersebut dikelompok-kelompokkan. Pengelompokan ini didasari oleh sektor-sektor penghidupan masyarakat pedesaan.

Banyak temuan masalah yang dikumpulkan oleh para CO. Mereka se-akan tidak percaya bahwa di lingkungan sendiri begitu banyak perma-salahan yang terjadi. “Selama ini masyarakat hanya berkeluh kesah dengan masalah itu, tanpa tahu jalan keluarnya. Masyarakat mudah pasrah, semen-tara masalah tersebut, terus saja berlangsung,” ungkap Santosa, CO Desa Bagusan (Temanggung).

Di Kabupaten Temanggung waktu selama 2 bulan untuk mengidentifi-kasi isu, diperoleh deretan permasalahan dari 827 responden. Permasalah-an tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam beberapa sektor, sebagai berikut:

3 - “Saya seperti detektif yang sedang melakukan penyelidikan...”

32 ASPIRASI

Page 42: aspirasi gabungan

1. Sektor Petani:! Harga jual tembakau yang rendah! Mahalnya harga pupuk! Saluran irigasi rusak! Jatuhnya harga kopi! Pemberantasan hama tikus! Sumber air irigasi digunakan untuk air minumdi daerah lain! Adanya proyek Perhutani yang merugikan petani

2. Sektor Pengrajin:! Kesulitan modal pengembangan usaha! Kesulitan pemasaran

3. Sektor Peternak:! Sempitnya lahan untuk pembuatan kandang! Kesulitan dalam mengajukan kredit ternak

4. Sektor Jasa Angkutan:! Harga solar yang terus naik! Banyak jalanan yang rusak! Jembatan yang rusak

5. Sektor Umum:! Pemasangan listrik 450 watt tidak dilayani! Tarif listrik yang semakin tinggi! Mahalnya biaya pendidikan! Aparat pemerintahan desa bersifat nepotisme! Ketidakpercayaan terhadap anggota DPR dan aparat kemanan! Permohonan SKKB terlalu mahal! Keamanan tidak terjamin! Biaya transportasi mahal! Pembangunan mesjid kurang dana! Pembagian beras miskin (raskin) tidak tepat sasaran! Biaya periksa dokter dan harga obat mahal! Kesulitan lapangan pekerjaan! Biaya pembuatan sertifikat mahal dan lama

Sedangkan di Kabupaten Lumajang, responden yang diwawancarai se-jumlah 618 orang. Sama seperti di Kabupaten Temanggung, isu-isu yang diperoleh dari masyarakat dikelompokkan dalam sektor-sektor, sebagai be-rikut:

1. Sektor Petani:! Posisi tawar-menawar petani lemah! Pekerjaan sebagai petani secara ekonomi tidak menguntungkan

“Saya seperti detektif yang sedang melakukan penyelidikan...” - 3

33Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 43: aspirasi gabungan

(harga produksi rendah, biaya produksi tinggi)! Saluran irigasi tidak lancar! Ingin budidaya selain padi, tapi kurang modal! Hama tikus! Pajak sawah milik Dinas Pengairan terlalu tinggi! Petugas Penyuluhan Lapangan (PPL) tidak aktif turun ke lapang-

an dan sering keliru memberikan informasi! Kurang informasi perkembangan teknologi pertanian! Kurangnya fasilitas pemerintah terhadap proyek pertanian! Sulitnya pemasaran! Sarana transportasi umum untuk mengangkut hasil pertanian

yang kurang memadai! Keterikatan petani pada hutang, di mana si penghutang juga

yang membeli hasil produksi dengan harga rendah.! Biaya buruh mahal! Setiap panen raya harga jatuh.! Harga ditentukan oleh tengkulak! Harga tebu turun! Ketergantungan pada pupuk kimia tinggi

2. Buruh Tani:! Sifat pekerjaan musiman! Upah kecil sering tanpa makan dan tidak bisa untuk memenuhi

kebutuhan sehar-hari! Sering mendapatkan penyakit kulit

3. Pedagang Kecil:! Persaingan tidak sehat! Harga tidak stabil! Kurang modal! Harga kulakan mahal! Sepi pembeli

4. Industri rumah tangga/pengrajin:! Sulitnya pemasaran! Kurang modal! Bahan baku sulit didapat! Kenaikan harga bahan baku lebih tinggi dari kenaikan harga pro-

duksi! Kualitas bahan baku yang rendah! Pendapatan berkurang karena sistem bagi hasil! Pasar yang terbatas! Persaingan ketat! Tenaga kerja ahli sulit didapatkan

3 - “Saya seperti detektif yang sedang melakukan penyelidikan...”

34 ASPIRASI

Page 44: aspirasi gabungan

Mencari isu (pengrajin kecil)

5. Jasa Angkutan:! Sepi penumpang! Jalur terbatas! Harga suku cadang kendaraan mahal! Harga BBM naik terus! Persaingan ketat! Ongkos jasa becak ditawar rendah

6. Buruh/kuli/pertukangan:! Sering tidak mendapatkan pekerjaan! Sifat pekerjaan tidak tetap! Upah rendah dan sering tanpa makan! Jika bangunan tidak sesuai harus dibongkar, sedang perbaik-

annya tidak mendapatkan bayaran

7. Pengangguran:! Tidak punya keahlian untuk bekerja! Tidak mendapatkan kesempatan kerja

8. Umum:! Tidak ada pemasangan listrik PLN 450VA dan tingginya tarif PLN! Masyarakat dibebani biaya pembelian tiang listrik oleh PLN! Harga barang kebutuhan sehari-hari semakin mahal! Mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan! Pencurian kayu perhutani oleh aparat! Kebutuhan sarana dan prasarana air bersih

“Saya seperti detektif yang sedang melakukan penyelidikan...” - 3

35Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 45: aspirasi gabungan

Berbagai permasalahan yang terkumpul dari masyarakat tersebut, oleh para CO dibahas untuk menentukan satu permasalahan yang dianggap pa-ling dominan untuk diselesaikan. Kriteria permasalahan tersebut adalah menyangkut kepentingan orang banyak. Setiap minggunya, para CO dalam satu kecamatan bersama-sama membahas melakukan evaluasi dari apa yang telah mereka lakukan selama mengidentifikasi isu. Dari sanalah ke-mudian masing-masing CO dapat menentukan sektor isu apa yang akan di-tindaklanjuti dalam program ini.

Tahapan ini oleh CO dianggap sebagai tahapan yang paling sulit, karena beragamnya permasalahan di masyarakat dan semua penting untuk disele-saikan. Untuk itu CO memberi alasan-alasan mengapa 1 sektor isu diang-gap sebagai isu dominan. Hafidz, CO Desa Sumber Urip (Lumajang) menga-takan bahwa, permasalahan terbesar bagi petani di Desa Sumber Urip ada-lah posisi petani yang lemah. Contohnya, harga produk pertanian diten-tukan oleh pedagang. Terutama saat menjelang hari raya. Karena melihat petani butuh untuk persiapan menyambut hari besar tersebut, maka peda-gang membeli dengan harga murah. “Daripada produk tidak laku ya terpak-sa saja dijual,” katanya.

Kejadian serupa berulang lagi ketika musim penghujan. “Kami menjual gabah dan padi kami ke tengkulak. Kalau musim hujan, para pedagang/ tengkulak pasang aksi tidak mau membeli produk dari petani,” jelasnya. Dalam situasi itu petani ak-hirnya melepas harga dengan sangat rendah. Har-ga gabah di sana bisa jatuh hingga Rp. 800,- per kg. Padahal menurut Hafidz, dari gabah itu dijual lagi ke pengusaha penggilingan padi. Dari sana kemudian dijual lagi, sebagian besar ke Bulog.

Rantai perdagangan yang panjang itulah yang menurut Hafidz, membuat kenaikan harga beras pun tidak terlalu berpengaruh pada kesejahtera-an petani. Hampir rata-rata isu sektor pertanian yang muncul adalah masalah tersebut. Memang ada beberapa masalah teknis. Namun muaranya tetap pada ketergantungan petani yang tinggi pa-da pihak lain. Seperti dikatakan oleh Tamyiz, CO Desa Gesing (Temanggung) bahwa, harga saprodi semakin mahal, sementara kualitas kesuburan tanah menurun. “Banyak ma-salah yang dihadapi petani, disamping harga-harga untuk produksi ma-hal, hama-hama pun semakin kebal. Disemprot ti-dak mempan. Harus banyak-banyak sem-protannya. Tapi itu kan merugikan. Selain mahal juga merusak kesuburan dan kesehatan,” ujarnya.

Menganalisa isu

3 - “Saya seperti detektif yang sedang melakukan penyelidikan...”

36 ASPIRASI

Page 46: aspirasi gabungan

Di Desa Dawuhan Lor, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, se-rangan hama dan penyakit yang tinggi dirasakan sebagai masalah utama. Informasi itu diperoleh Ismail, CO di desa itu, saat melakukan identifikasi isu di masyarakat. ”Sebagian besar masyarakat di sini sangat terganggu de-ngan serangan hama dan penyakit di tanaman padi,” ungkapnya. Dikata-kan Ismail, serangan yang selalu datang itu tidak disikapi oleh masyarakat dengan jelas. “Biasanya kami hanya bisa mengeluh tanpa bertindak nyata untuk mengatasi masalah itu bersama-sama,” tambahnya.

Masalah hama dan penyakit juga masuk dalam daftar isu yang teridenti-fikasi. Hama yang cukup membuat petani pusing adalah tikus. Di Bumiayu, Kecamatan Selopampang, Kabupaten Temanggung, isu itu menjadi isu ber-sama dari desa-desa di sana. Setiap tanam, petani di daerah itu selalu ber-hadapan dengan hama tikus. Menurut Kunjanah, CO desa itu, walaupun bupati pernah mengeluarkan kebijakan untuk menghargai 1 ekor tikus se-nilai Rp.1000, tikus-tikus di sana masih saja datang untuk menyerang ta-naman. Atas dasar itu, isu tersebut menjadi prioritas untuk diselesaikan.

Di sektor angkutan di Kecamatan Sukodono dan Pasirian, Kabupaten Lumajang, isu yang dia-komodir untuk diperdalam adalah nasib penge-mudi becak. Ini merupakan isu utama di wilayah tersebut. Perkembangan kota Lumajang rupanya tidak diikuti oleh perkembangan nasib pengemu-di becak di sana. Hari demi hari penumpang se-makin sepi. Oleh Solikhin, CO De-sa Bades, Keca-matan Pasirian dikatakan bahwa kepedulian ter-hadap pengemudi becak sangatlah kurang. “Rata-rata pengemudi becak saat sekarang hanya ber-penghasilan Rp.5000,- per harinya. Bagaimana itu bisa cukup untuk menghidupi keluarganya, jika mereka sudah berkeluarga. Untuk diri sendiri saja pasti kurang,” jelasnya. Dia memutuskan isu ter-sebut karena di wilayahnya banyak penduduk yang berprofesi itu. “Isu itu menjadi isu mayoritas di sini dan menyangkut penghidupan banyak orang”. Hal serupa juga terjadi di Desa Dawuhan Lor, Kecamatan Sukodono. M. Soleh, CO desa ter-sebut, melihat faktor penyebab sepinya pengguna jasa angkutan itu lebih pada kebijakan tran-sportasi pemerintah. ”Pemerintah kurang adil da-lam mengatur jalur angkutan yang ada di sini,” katanya.

Menyangkut kepentingan orang banyak ada-lah alasan utama dari penentuan isu terpilih. Faktor ini dipegang oleh CO, walaupun terkadang

Menganalisa isu

“Saya seperti detektif yang sedang melakukan penyelidikan...” - 3

37Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 47: aspirasi gabungan

isu itu tidak terlampau berpengaruh dengan dirinya. Contohnya, isu ten-tang pengemudi becak, pedagang, dan pengusaha kecil. “Di antara sektor penghidupan yang ada di masyarakat itu saling berhubungan. Jadi bisa saja satu masalah tidak langsung kita rasakan, tapi akhirnya dampak dari ma-salah itu akan sampai juga pada kita,” jelas Tohaji, CO Desa Oro-oro Ombo (Lumajang). Isu yang diangkat adalah mengenai nasib pedagang kecil. “Me-reka ti-dak pernah tahu bagaimana cara meningkatkan usaha. Masalahnya, selain ketrampilan, mereka juga tidak punya modal yang cukup,” katanya. Dalam situasi tersebut dijelaskan Tohaji, mereka seringkali justru terjebak hutang dengan bank-bank cethul (bank swasta kecil yang tidak resmi dan bunganya tinggi, pen).

Masalah lain yang cukup memprihatinkan adalah ketersediaan air, baik irigasi maupun air bersih. Tinggal di desa ternyata tidak menjamin prasa-rana dan sarana itu bisa diperoleh dengan mudah. Di Kecamatan Pronojiwo yang terletak di lereng Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, misalnya. Air bersih menjadi barang mewah di sana. Hanya sedikit warga yang memiliki sumur yang dapat dikonsumsi. Oleh Budiono, CO Desa Sumber Urip kecamatan ini dikatakan, kebanyakan air di sana berwarna kuning. “Untuk air minum biasanya penduduk meminta kepada keluarga yang kebetulan sumurnya bersih,” katanya. Secara kebetulan saja ada sumber air bersih milik salah satu penduduk di sana. Tetapi karena terbatas penduduk harus rebutan untuk itu.

Sementara pihak pemerintah sendiri, oleh Budiono dikatakan, tidak berbuat untuk mengatasi masalah tersebut. “Biasanya mereka hanya me-lakukan pengarahan-pengarahan tentang pentingnya penggunaan air ber-sih, tapi tidak berupaya untuk mengadakannya,” ungkapnya. “Justru kepala desa di sana berharap agar penyediaan air bersih dilakukan secara swa-daya. Namun pada kenyataannya masyarakat di sini ekonominya lemah. Rata-rata penduduk di sini buruh tani,” tambah Budiono menjelaskan le-mahnya posisi masyarakat di sana. Dia juga menceritakan, pernah ada pe-tugas kesehatan yang datang untuk memberi penyuluhan tentang air ber-sih, tetapi setelah itu mereka memaksa penduduk untuk membeli obat untuk menjaga kebersihan air.

Masalah air dalam kebutuhan yang lain juga dijadikan isu oleh Syaiful, CO Desa Nguter (Lumajang). Kebutuhan air yang dimaksudkan adalah air untuk pengairan sawah. Di musim kemarau, air sangat sulit diperoleh pe-tani. “Air di sini bersumber dari beberapa sungai. Sungai yang besar na-manya Sungai Kaliduk, kemudian Kalideres. Sungai-sungai tersebut bukan hanya untuk orang Nguter, tetapi juga untuk beberapa desa lainnya,” je-lasnya. Menurut dia, kekurangan air bukan disebabkan ketersediaan air yang kurang, tetapi karena bangunan bendungan yang dibangun peme-rintah tidak tepat lokasinya. “Sungai tersebut sebenarnya berasal dari wi-layah Candipuro, tapi yang merasakan alirannya adalah warga Nguter,” je-las Syaiful. Saat musim kemarau tiba, pencurian air sering terjadi dan ini

3 - “Saya seperti detektif yang sedang melakukan penyelidikan...”

38 ASPIRASI

Page 48: aspirasi gabungan

“Saya seperti detektif yang sedang melakukan penyelidikan...” - 3

39

yang mengakibatkan sering terjadi pertengkaran di antara masyarakat sen-diri. Saluran air yang mengalami pendangkalan dan banyaknya tanggul-tanggul yang bocor, dikatakan Syaiful, bukan terjadi daerahnya. Tetapi ali-ran air yang ke Desa Nguter menjadi berkurang. “Kalau musim kemarau pendapatan kami sangat menurun. Contohnya saya, saya hanya mengelola lahan 1 bahu. Pada musim biasa keuntungan bersih yang saya terima Rp. 800 ribu, tapi pada musim kemarau saya hanya mendapat Rp. 350 sampai 400 ribu,” keluhnya.

Masalah lahan juga ada yang menjadi pilihan isu. Masalah tersebut muncul di Desa Gesing, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung. Di sana ada lahan yang dinamakan Tuk Bandung. Lahan seluas 134 hektar yang berada di desa ini dikelola secara tidak optimal. Dikatakan Mahmudi, CO di desa ini, pengelolanya adalah PT Rejodadi. Berpuluh-puluh tahun ta-nah itu terbengkalai. Baru sekitar 3 tahun terakhir ini, beberapa bagian ke-cil tanah itu dikontrakkan ke penduduk. “Warga yang kekurangan lahan di sini berharap tanah itu dapat dipergunakan oleh warga,” ungkap Mahmudi. Alasannya, selain dapat dirawat juga bermanfaat bagi peningkatan ekonomi masyarakat di desa tersebut. Menurut informasi yang diperoleh, saat ini ada 58 orang penduduk di sana yang menggarap tanah Tuk Bandung. Mereka dikenakan sewa lahan dan sistem bagi hasil yang tidak menguntungkan.

Setelah berbagai macam permasalahan dipilah menjadi kelompok-ke-lompok isu, maka untuk memperdalam isu tersebut, selanjutnya CO mem-bentuk kelompok-kelompok sektor sesuai dengan isunya.

***

Menentukan isu

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 49: aspirasi gabungan

3 - “Saya seperti detektif yang sedang melakukan penyelidikan...”

40 ASPIRASI

Page 50: aspirasi gabungan

“Masyarakat harus ber-

satu untuk mengatasi

masalahnya…”

4

Setiap minggu kelompokriset aksi mengadakan diskusi

41Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 51: aspirasi gabungan

4 - “Masyarakat harus bersatu untuk mengatasi masalahnya…”

42 ASPIRASI

Page 52: aspirasi gabungan

A. Pembentukan Kelompok Sektor

Pada awalnya CO merasa kesulitan. Walaupun telah dijelaskan bahwa program ini bertujuan membantu masyarakat agar mempunyai kemampu-an mengatasi permasalahan yang ada di sekitarnya, tapi ada rasa khawatir dari para responden ini. Sebuah perasaan yang sama yang juga dirasakan CO ketika masih menjadi calon CO dulunya. “Banyak anggota masyarakat yang khawatir jika program ini berkaitan dengan kepentingan politik ter-tentu,” ujar Syaiful, CO Desa Nguter (Lumajang). “Masyarakat di sini meng-anggap kegiatan ini mencurigakan, karena mereka difasilitasi untuk belajar dan diberi kompensasi pengganti waktu mereka yang hilang,” tambahnya. Kecurigaan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh trauma peristiwa po-litik masa lalu itu, dipertegas oleh M. Imron, 29 tahun, anggota kelompok ri-set aksi Desa Bades (Lumajang). “Saya dilarang oleh orang tua untuk meng-ikuti kegiatan ini,” ungkap M. Imron. “Mereka khawatir akan terkena masa-lah seperti halnya saat tahun 1965. Mereka mengatakan, apa mau jadi ko-munis kamu?” lanjut Imron. Hal itu cukup membuatnya takut mengingat cerita-cerita orang tuanya, bagaimana orang yang disangka komunis diper-lakukan oleh aparat keamanan saat itu. Oleh karenanya, awalnya dia sa-ngat ragu untuk bergabung dalam anggota kelompok riset aksi.

Memilih dan mengajak masyarakat untuk terlibat dalam kelompok riset aksi memang bukan sesuatu yang mudah. CO harus bersikap hati-hati. Terlebih jika CO dihadapkan pada situasi-situasi tertentu. Misalnya di Desa Bagusan, Kecamatan Selopampang, Kabupaten Temanggung. “Waktu akan

etelah menentukan isu dalam sektor penghidupan yang berbeda, CO lalu mengumpulkan anggota masyarakat yang sebelumnya menjadi responden mereka. Rata-rata setiap CO telah mewawancari 75-150 responden. Dari masing-masing responden itulah CO melakukan se-leksi pembentukan kelompok sektor. Kelompok-kelompok sektor inilah yang nantinya akan memperdalam isu tersebut dan mencari

alternatif jalan keluarnya.

43

“Masyarakat harus ber-

satu untuk mengatasi

masalahnya…”

4

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 53: aspirasi gabungan

14

memulai pemilihan orang yang akan terlibat dalam kegiatan ini, awalnya mendatangi mereka satu per satu tanpa menjelaskan maksud saya. Saya ingin melihat motivasinya jika melakukan kegiatan ini. Proses itu agak sulit dan hati-hati sekali, karena saat itu habis pemilihan perangkat desa,” ujar Santoso, CO desa ini. Pada saat-saat itu situasi politik desa sedang mema-nas, karena ada yang baru terpilih dan gagal menjadi perangkat desa. Na-mun momentum itu kemudian dimanfaatkan untuk mencairkan suasana tersebut. Antar kubu yang berhadapan diakomodir untuk ikut bergabung dalam kelompok riset aksi.

Satu per satu permasalahan dihadapi CO. Para CO berupaya meyakin-kan bahwa, masyarakat harus punya kemampuan untuk menyuarakan permasalahan hidupnya pada jalur yang tepat. CO pun harus mendatangi rumah-rumah penduduk agar program ini bisa dipahami secara jelas tu-juannya. Masing-masing CO akhirnya dapat mengumpulkan 25 sampai 30 orang untuk bersama-sama melakukan identifikasi dan analisa isu yang sebelumnya telah lakukan oleh CO. Tujuan dari kegiatan ini, adalah untuk mengetahui apakah isu yang telah dirangkum dan dianalisa CO benar-be-nar merupakan permasalahan penting bagi masyarakat di sana.

Dalam pertemuan itu, CO mendapat pertanyaan-pertanyaan kritis yang pada dasarnya berisi kekhawatiran dari masyarakat. “Mengapa ada yang peduli dengan nasib kami, apakah tidak berbuntut pada kepentingan po-litik, dari mana dananya, apakah kami akan diadu dengan pemerintah?” demikian antara lain deretan pertanyaan yang sering diterima oleh CO Ka-rena para CO juga warga setempat, maka dengan bahasa keseharian mere-ka, penjelasan yang diberikan menjadi mudah untuk dimengerti. Kemudian

.

4 - “Masyarakat harus bersatu untuk mengatasi masalahnya…”

44 ASPIRASI

Page 54: aspirasi gabungan

45

bersama pengurus IPPHTI kabupaten dan calon anggota kelompok sektor, identifikasi dan analisa isu dilakukan. Mereka melakukan pelatihan ber-sama mengenai cara mengidentifikasi isu. Hasil dari identifikasi isu tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diperoleh oleh CO, mengingat sumber informasi berasal dari mereka. Dalam pertemuan yang berlangsung 3 hari, para peserta calon anggota kelompok sektor diminta menyebutkan isu-isu yang menjadi permasalahan serius di daerahnya. Mereka mempelajari apa yang dimaksud dengan isu dan permasalahan. Kemudian terkumpul daftar isu yang menjadi bahan dasar untuk dianalisa. Lalu mereka dikenalkan de-ngan analisa K3A (Kekuatan, Kesempatan, Kelemahan dan Ancaman). Ana-lisa ini dimaksud untuk merencanakan tindakan lebih lanjut yang akan dibuat.

Bagi kebanyakan peserta, proses semacam itu merupakan sesuatu yang asing. Kendala pendidikan dan kebiasaan menjadikan pandangan mereka beragam. Ada yang kaget karena pola penyampaiannya dianggap berbeda. “Mereka terbiasa dengan pola penyuluhan atau penyampaian di waktu se-kolah. Mereka awalnya menuntut CO punya acuan di dalam menyampaikan materi berupa catatan atau fotokopi agar bisa dipelajari oleh peserta. Ada yang meminta dalam menyampaikan langsung ke sasaran tidak pakai pola pancing-pancingan,” ungkap Mahmudi, CO Gesing (Temanggung). Hal ter-sebut juga dirasakan oleh Tamyiz, CO yang satu desa dengan Mahmudi. “Banyak peserta yang ngomel dan menganggap CO tidak sepenuhnya mem-berikan ilmunya,” kata Tamyiz. “Saya hanya mengatakan, nanti peserta se-muanya akan tahu dengan sendirinya, apa yang hendak dituju,” ujarnya menambahkan.

“Masyarakat harus bersatu untuk mengatasi masalahnya…” - 4

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 55: aspirasi gabungan

46

4 - “Masyarakat harus bersatu untuk mengatasi masalahnya…”

Keluhan itu biasanya muncul dari mereka yang usianya lebih tua atau pendidikan formalnya lebih tinggi. Tentunya, itu cukup merepotkan bagi CO. Namun bekal pelatihan telah membuat rasa percaya diri CO meningkat. Jurus permainan refleksi untuk mengendorkan ketegangan dikeluarkan oleh CO sehingga lambat laun peserta memahami maksud dari metode pela-tihan tersebut. Sama seperti saat CO mengikuti pelatihan, calon kelompok sektor juga merasakan sesuatu yang berbeda telah mereka dapatkan. Se-lama ini mereka banyak penghadapi permasalahan, namun tidak pernah memikirkan bagaimana secara berkelompok untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam pelatihan itu dikupas mengenai tingkat kesadaran manu-sia. Dipandu oleh CO, mereka membahas tingkat kesadaran magis, naif, dan kritis. Setelah mulai memahami tingkat kesadaran, peserta mendis-kusikan posisi mereka saat itu. Mereka berharap memiliki kesadaran kritis untuk mampu menyelesaikan permasalahannya.

Dari sana disusun rencana tindak lanjut untuk melakukan riset aksi. Dibentuklah pengorganisasian kelompok sektor dengan memilih pengurus yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara. Sebelumnya mereka ju-ga membahas prinsip-prinsip demokrasi, musyawarah, keadilan, transpa-ransi, dan pertanggungjawaban. Bekal tersebut dijadikan dasar untuk pembentukan kelompok sektor, karena kelompok ini yang nantinya ber-tanggung jawab mengelola kegiatan riset aksi. Mereka mulai menyadari ke-butuhan berkelompok dalam menghadapi permasalahan. “Masyarakat ha-rus bersatu untuk mengatasi masalahnya,” tegas Irfan, 24 tahun, anggota kelompok sektor di Desa Bagusan.

Kelompok Sektor dan Sub-sektor Kabupaten Temanggung

1. Kecamatan Selopampanga. Kelompok Sektor Desa Bagusan! Sub-sektor hama tikus! Sub-sektor air irigasi! Sub-sektor air minum

b. Kelompok Sektor Desa Bumiayu! Sub-sektor hama tikus! Sub-sektor mahalnya saprodi! Sub-sektor air irigasi

2. Kecamatan Kandangana. Kelompok Sektor Desa Gesing

! Sub-sektor kerusakan tanah/pertanian organik! Sub-sektor tanah Tuk Bandung! Sub-sektor kredit ternak

b. Kelompok Sektor Desa Ngemplak! Sub-sektor kerusakan tanah/pertanian organik! Sub-sektor jembatan rusak! Sub-sektor hama tikus

ASPIRASI

Page 56: aspirasi gabungan

47

3. Kecamatan Jumoa. Kelompok Sektor Desa Giyono! Sub-sektor air irigasi! Sub-sektor sempit lahan pekerjaan

b. Kelompok Sektor Desa Jombor! Sub-sektor pembuatan sertifikat tanah! Sub-sektor rendahnya harga kopi! Sub-sektor air irigasi

Kelompok Sektor dan Sub-sektor Kabupaten Lumajang

1. Kecamatan Sukodonoa. Kelompok Sektor Desa Dawuhan Lor! Sub-sektor ledakan OPT/hama dan penyakit! Sub-sektor pedagang/pengrajin kecil! Sub-sektor jasa angkutan becak

b. Kelompok Sektor Desa Selok Besuki! Sub sektor hama dan penyakit! Sub-sektor pedagang/pengrajin kecil! Sub-sektor jasa angkutan becak

2. Kecamatan Pasiriana. Kelompok Sektor Desa Pasirian ! Sub-sektor pertanian organik! Sub-sektor usaha batu bata merah! Sub-sektor jasa angkutan becak

b. Kelompok Sektor Desa Nguter! Sub sektor pengrajin kecil! Sub-sektor pedagang kecil! Sub-sektor irigasi

3. Kecamatan Pronojiwoa. Kelompok Sektor Desa Sumber Urip ! Sub-sektor pertanian/posisi petani lemah! Sub-sektor air bersih! Sub-sektor pengangguran

b. Kelompok Sektor Desa Oro-oro Ombo! Sub sektor Pertanian/ledakan OPT! Sub Sektor Pedagang kecil! Sub Sektor Pengangguran

B. Pelatihan dan Persiapan Riset Aksi

elatihan riset aksi dalam program ini dilakukan 2 tahap. Tahap per-tama pelatihan bagi para CO yang dipandu oleh staf FIELD dan IP-PHTI, sedangkan tahap kedua pelatihan bagi kelompok sektor yang dipandu oleh CO. Pada tahap pertama, seluruh CO dari 2 kabupaten mendapatkan pelatihan di Kabupaten Jombang selama 6 hari, tang-gal 15-20 Desember 2002. Pemilihan Jombang sebagai lokasi pela-

“Masyarakat harus bersatu untuk mengatasi masalahnya…” - 4

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 57: aspirasi gabungan

48

tihan, karena sebelumnya IPPHTI Kabupaten Jombang telah melakukan kegiatan serupa. Harapannya pengalaman pelaku di Kabupaten Jombang bisa menjadi masukan bagi CO Kabupaten Temanggung dan Lumajang da-lam melaksanakan kegiatannya. Di sana mereka mempelajari bagaimana sebuah penelitian tentang kondisi masyarakat dilakukan. Menurut San-toso, CO yang pernah mengikuti pendidikan formal hingga jenjang per-guruan tinggi, menganggap penelitian yang dilakukan oleh masyarakat ber-beda dengan apa yang dilakukan oleh peneliti akademisi. Dari hal tujuan, penelitian yang dilakukan oleh masyarakat bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang ada di sekitarnya dan mencari solusi agar masalah itu bisa dipecahkan. Sedang penelitian yang dilakukan oleh kalangan akade-misi bertujuan untuk kepentingan kariernya. Metode penelitian yang dila-kukan pada dasarnya tidak berbeda. Hanya saja penelitian yang dilakukan masyarakat tidak harus terpaku pada referensi literatur, namun lebih pada kenyataan yang terjadi dalam kehidupan mereka.

Materi Pelatihan Riset Aksi:

! Perkenalan

! Penjelasan tentang IPPHTI

! Kontrak Belajar

! Apa itu Penelitian tentang Kondisi Masyarakat

! Mengapa Perlu Dilakukan Peneltian

! Analisa K3A

! Bagaimana Cara Melakukan Penelitian?

! Apa yang Harus Diteliti?

! Cara Mencari Data

! Cara Menganalisa Data

! Praktek Lapangan

! Pembahasan Praktek Lapangan

! Pengorganisasian Penelitian

! Rencana Tindak Lanjut

Pada pelatihan itu, CO membuat analisa hubungan antara masalah yang dihadapi masyarakat dengan 5 faktor, yaitu faktor alam, kebijakan pe-merintah, perilaku aparat, perilaku swasta, dan perilaku masyarakat. Ana-lisa hubungan ini dimaksudkan untuk mengetahui posisi masalah terse-but. Setelah analisa hubungan masalah, dilakukan analisa K3A, dimana akan diperoleh strategi yang tepat untuk mencari jalan keluar. Bagi para pe-serta, pelatihan yang dilakukan selama 5 hari itu mampu membuka wa-wasan mereka tentang sebuah penelitian. Tentunya, saat awal mengikuti

4 - “Masyarakat harus bersatu untuk mengatasi masalahnya…”

ASPIRASI

Page 58: aspirasi gabungan

49

Untuk lebih mempersiapkan CO agar mampu dalam mendampingi ke-lompok sektor melakukan riset aksi, mereka melakukan praktek lapangan dengan datang ke 2 desa yang punya masalah berbeda di Kabupaten Jom-bang, yaitu: masalah kekurangan air irigasi dan seringnya terjadi banjir. Mereka melakukan wawancara ke masyarakat, pemetaan lokasi, mengum-pulkan data pendukung, dan menganalisa data tersebut.

Selain materi tentang penelitian, CO juga melakukan diskusi tentang kepemanduan. Pada bagian itu, direfleksikan pengalaman CO saat mem-bentuk kelompok sektor dan saat mengikuti pelatihan-pelatihan. Ketram-pilan memandu sangat menentukan bagi pemahaman kelompok sektor un-tuk menyerap materi yang mereka sampaikan. CO juga mendapatkan ma-teri pengorganisasian kegiatan riset. Materi ini dimaksudkan untuk mem-bantu kelompok sek-tor mampu berbagi peran dalam melakukan riset aksi. Lalu dibahas rencana tindak lanjut untuk melakukan pelatihan serupa di kelompok sektor masing-masing.

“Masyarakat harus bersatu untuk mengatasi masalahnya…” - 4

pelatihan banyak di antara mereka yang tidak yakin mampu melakukan pe-nelitian. Memang selama ini masyarakat hanya menjadi objek dari pene-litian. Terkadang mereka sendiri tidak paham apa kegunaan dari penelitian itu sendiri. Setelah mengetahui itu mereka beranggapan penelitian menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan.

AlamPerilaku Swasta

Perilaku Masyarakat

KONDISI MASYARAKATYANG MENGALAMI MASALAH

Perilaku Aparat

Kebijakan Pemerintah

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 59: aspirasi gabungan

50

Sepulang dari Jom-bang, CO mengadakan pertemuan dengan ke-lompok sektor. Kemu-dian CO meminta kelom-pok sektor membentuk perwakilan yang sebe-lumnya dalam satu desa terdiri dari tiga kelompok sektor yang masing-ma-sing berjumlah 25 sam-pai 30 orang. Jumlah itu dikurangi menjadi 1 desa

1 kelompok sektor dengan 3 sub-sektor yang masing-masing berjumlah 10 orang. Sepuluh orang itu nantinya akan aktif dalam melakukan riset aksi. Pemilihan anggota riset aksi dilakukan oleh kelompok sektor itu sendiri. Mereka bermusyawarah menentukan siapa di antara mereka yang dipan-dang mampu untuk aktif di kegiatan riset aksi. Tentunya ini juga meng-antisipasi agar tidak terjadi kompetisi di antara mereka sendiri. Walaupun demikian, ke 10 orang itu punya tanggung jawab melaporkan apa yang me-reka lakukan dan hasil yang diperoleh dari kelompoknya masing-masing. Di Desa Bagusan, Santoso memfasiltasi kelompok riset aksi membuat me-kanisme pertanggungjawaban ke anggota kelompok yang tidak mengikuti kegiatan riset aksi.

Selanjutnya, anggota kelompok sektor yang terpilih mengikuti pelatihan riset dipandu oleh CO yang telah mendapatkan pelatihan serupa di Jom-bang. Banyak di antara mereka yang tidak menyangka dapat mengikuti pe-latihan semacam itu. Kelompok sektor adalah kelompok yang terdiri dari anggota masyarakat dengan penghidupan yang berbeda. Dalam satu desa, 3 sektor tersebut dibagi dengan isunya masing-masing. Ada yang berprofesi sebagai penarik becak, masuk dalam sektor angkutan becak, petani dengan isu serangan hama dan penyakit, pedagang dan pengrajin kecil, dan isu-isu umum seperti kebutuhan air bersih, saluran irigasi yang rusak, dan pe-ngangguran.

Dalam pandangan mereka yang biasa melakukan penelitian adalah orang-orang yang terpelajar. Muncul perasaan senang dan bangga, karena mereka mendapat kesempatan untuk melakukan penelitian. “Saya merasa program ini telah mengangkat rasa percaya diri saya yang selama ini ren-dah,” ujar Irfan. ”Saya hanya lulusan SMP, karena memang tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Dengan latar belakang pendidikan saya yang rendah, awalnya saya merasa tidak mampu untuk mengikuti kegiatan ini,” tambahnya. Pernyataan-pernyataan yang ragu atas kemampuan diri sen-diri, sering dilontarkan pada saat awal pelatihan riset aksi. Pelatihan riset aksi di kelompok sektor berlangsung selama 2 hari di masing-masing desa.

4 - “Masyarakat harus bersatu untuk mengatasi masalahnya…”

ASPIRASI

Page 60: aspirasi gabungan

51

Keawaman masyarakat dalam melakukan penelitian membuat rasa ingin tahu mereka menjadi besar. Dalam setiap sesi pelatihan yang membahas seputar masalah penelitian, tujuan, dan kegunaannya, para peserta terlihat bersemangat. Proses pendidikan yang dinamis itu mematahkan, rasa ren-dah diri mereka untuk mampu melakukan penelitian.

“Pendidikan semacam RA ini sangat aneh bagi kami. Kesannya pemandu membuat bingung peserta dengan pertanyaan-pertanyaan. Kami seakan me-raba-raba sesuatu untuk bisa paham maksud yang disampaikan. Waktu awal pembentukan kelompok riset aksi saya masih belum paham. Baru sete-lah 3 kelompok dijadikan 1 dan mendapatkan pelatihan semacam ini, baru saya paham. Kami merasakan pemandu berbeda dengan guru di sekolah. Setiap masuk pada satu masalah pemandu selalu minta pendapat dari pe-serta. Kalau di sekolahan guru yang menerangkan. Tapi di sini kami semua yang membahasnya,” papar Imron, anggota kelompok riset aksi Desa Bades (Lumajang).

Kesan itu juga dirasakan oleh M. Amin, 29 tahun, tukang becak dari De-sa Dawuhan Lor (Lumajang). “Untuk memperdalam pengetahuannya ten-tang riset aksi, CO memandu tidak seperti di sekolah, karena kami harus mencari tahu sendiri bagaimana cara melakukan riset,” ujarnya. Dengan cara tersebut, dia mengaku mulai paham mengapa riset aksi menjadi perlu dilakukan. Dari sana dia mengaku pemahaman dan daya analisanya mulai tentang struktur sosial yang ada dalam masyarakat, budaya, hubungan so-sial, dan bermacam-macam hal yang terkait dengan masyarakat seperti pemerintah dan kebijakan serta swasta.

Dengan tumbuhnya keberanian peserta selama mengikuti pelatihan ri-set aksi, mereka menganggap melakukan riset aksi bukanlah sesuatu yang sulit. Mereka punya keyakinan untuk mampu melaksanakannya. “Apa yang akan kami lakukan pada dasarnya hanya mengamati, mencari infor-masi, dan membuat analisa tentang sebuah masalah. Sebelumnya kegiatan mengamati secara tidak sadar telah kami lakukan setiap harinya, tetapi ha-nya sebatas itu saja, mengamati dan merasa-kan. Setelah itu kami te-rus merasakan masalah itu,” ujar Irfan yang di desanya biasa dipanggil Kirdi. Penelitian (riset aksi) akan memperjelas posisi masalah yang mereka hadapi dan memberi pengetahuan tentang hubungan ma-salah tersebut dengan berbagai elemen yang

“Masyarakat harus bersatu untuk mengatasi masalahnya…” - 4

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 61: aspirasi gabungan

52

4 - “Masyarakat harus bersatu untuk mengatasi masalahnya…”

ada di masyarakat. “Dengan riset aksi, kami akan lebih mantap dan siap untuk melakukan dialog dengan siapa saja, karena kami bicara atas dasar kenyataan,” ungkap Salim, penarik becak dari Desa Dawuhan Lor (Lu-majang).

Setelah mendapatkan pelatihan riset aksi, kelompok riset aksi dari ma-sing-masing sektor merencanakan pelaksanaan riset aksi. Pertama-tama mereka menyepakati aturan main dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Agar kegiatan riset aksi lebih tertata, maka dirancang ulang pengorga-nisasian kegiatan, mengingat dalam 1 sektor terdapat 3 sub-sektor yang berbeda. Dalam 1 kelompok sektor, di Kabupaten Temanggung dibentuk ke-pengurusan yang terdiri dari kordinator I dan II (di beberapa kelompok ada koordinator III), bendahara I dan II, dan sekretaris I dan II. Kebutuhan un-tuk pengorganisasian kegiatan berdasarkan pada aspek pengelolaan kegiat-an, baik masalah administrasi maupun operasional kegiatan. Dengan pengorganisasian yang baik, kelompok riset diharapkan mampu merumus-kan secara sistematis apa saja yang akan dilakukan dan mengelola hasil yang diperoleh dalam kegiatan riset aksi. Hasil yang diperoleh dari riset aksi nantinya adalah modal masyarakat untuk berdialog dengan pemerintah ka-bupaten dan DPRD. Fungsi CO sendiri selama pelaksanaan riset aksi lebih sebagai pendamping. CO membantu kelompok riset aksi dalam menyiap-kan perencanaan dan mengevaluasi kegiatan riset aksi. Sesekali CO masih harus turun ke lapangan saat diminta oleh anggota kelompok riset aksi.

***

ASPIRASI

Page 62: aspirasi gabungan

5

Kelompok riset aksi pengemudi becakmewawancarai rekan-rekan seprofesinya

53Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Melakukan Riset Aksi:

Mengurai Permasalahan

Masyarakat Desa

Page 63: aspirasi gabungan

54

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 64: aspirasi gabungan

elakukan penelitian atau riset bagi kaum intelektual adalah sebu-ah hal yang biasa. Tetapi bagaimana dengan masyarakat yang di-anggap marginal? Riset bagi mereka adalah sesuatu yang luar bia-sa. Apa yang terjadi ketika masyarakat sendiri yang melakukan ri-set? Kegiatan ini dilakukan oleh sekelompok masyarakat dengan sektor penghidupan yang berbeda di Kabupaten Lumajang dan Te-

manggung. Riset aksi di masing-masing kabupaten dilakukan selama dua bulan. Setiap kelompok sektor membagi diri menjadi tiga sub-sektor dengan isu yang berbeda-beda. Mereka melakukan diskusi intensif setiap minggu-nya, dimulai dari tahap perencanaan hingga riset aksi dilaksanakan. Ten-tunya pelaksanaan riset aksi ini merupakan sesuatu yang baru bagi masya-rakat, khususnya di mana program ini dilaksanakan. Menurut H. Hasan 31 tahun, anggota kelompok riset aksi Desa Sumber Urip (Lumajang), pemilih-an kelompok sektor berdasarkan masalah yang dihadapi. Dia mengaku di awal tidak ada bayangan apa yang akan dilakukan. Motivasinya dalam kegi-atan ini adalah pengalaman baru yang belum pernah dia peroleh. Dengan pengalaman itu dia berharap punya dampak pada terselesainya permasa-lahan yang dihadapi oleh masyarakat.

Merujuk dari temuan CO dan kesepakatan dengan kelompok riset aksi, dari masing-masing kabupaten diperoleh 18 isu. Namun dari total 34 isu tersebut dapat digolongkan ke dalam 4 sektor, yaitu: pertanian, transporta-si, pedagang kecil dan pengrajin, dan sektor umum. Dari sektor-sektor penghidupan itu dibagi lagi dalam beberapa sub-sektor. Sektor pertanian terdiri dari hama dan penyakit, irigasi, mahalnya sarana produksi perta-nian, dan lemahnya posisi tawar petani. Sektor transportasi terdiri tukang becak dan jembatan rusak. Sektor pedagang kecil dan pengrajin mengang-kat isu sepinya pembeli. Sektor umum terdiri dari air bersih, pengangguran, mahalnya membuat sertifikat tanah, dan Tanah Tuk Ban-dung.

Dalam melakukan riset aksi, kelompok riset aksi mendatangi semua ka-langan yang mereka anggap terkait dengan isu-isu yang diteliti, di antara-

55

5Melakukan Riset Aksi:

Mengurai Permasalahan

Masyarakat Desa

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 65: aspirasi gabungan

56

nya anggota masyarakat, dinas-dinas pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat (formal maupun informal), dan pengusaha/swasta. Mereka juga menggali data dengan melakukan pendokumentasian semua yang terkait dengan masing-masing isu. Dalam proses riset aksi, beberapa isu mendapat tang-gapan penyelesaian dari pihak yang berwenang. Misalnya isu pemasangan listrik yang rumit di Desa Giyono, Kecamatan Jumo, Kabupaten Temang-gung. Aparat pemerintah yang terkait dengan masalah itu langsung me-nanggapinya dengan pemasangan instalasi listrik di sana. “Sepertinya pe-merintah tidak ingin terjadi masalah, karena proses riset aksi yang dilaku-kan mendapat dukungan dari semua warga,” ujar Sudarno, koordinator IPPHTI Kabupaten Temanggung.

A. Sektor Pertanian

Isu jembatan rusak di Desa Ngemplak, Kecamatan Kandangan, Kabupa-ten Temanggung juga mendapatkan perhatian yang sama dari pemerintah desa di sana. Oleh Kepala Desa Ngemplak, jembatan yang menghubungkan desa ini dengan desa sekitarnya itu perbaikannya akan dianggarkan pada 2004. Mengingat sudah adanya upaya penyelesaian dari pihak yang berwe-nang, maka kelompok riset aksi yang terkait dengan isu tersebut tidak lagi melakukan pendalaman isu. Mereka kemudian mengalihkan pelaksanaan riset aksinya dengan membantu memperdalam 2 isu lainnya, yaitu isu tikus dan rusaknya lahan pertanian.

Hingga akhir pelaksanaan riset aksi, jumlah isu yang diperdalam tidak lagi sesuai dengan jumlah CO di masing-masing wilayah. “Ada kesepakatan di antara kelompok riset aksi untuk bergabung dan bersama-sama mela-kukan riset aksi. Seperti di Desa Giyono, isu air irigasi dan sempitnya lahan usaha diriset bersama oleh 3 kelompok sektor,” kata Sudarno, koordinator IPPHTI Kabupaten Temanggung.

su di sektor pertanian sering dianggap isu laten bagi masyarakat lu-as. Tetapi tidak bagi petani sendiri. Secara nyata isu tentang hama dan penyakit, irigasi, mahalnya sarana produksi pertanian, dan le-mahnya posisi tawar petani, adalah masalah yang sehari-hari diha-dapi oleh petani. Hanya saja, ketika masalah tersebut mempenga-ruhi sektor penghidupan yang lain, baru isu tersebut menjadi masa-

lah besar. Seperti misalnya isu kekeringan di musim kemarau, isu serangan hama wereng, isu tikus dan penyakit tanaman dalam skala yang besar, dan lainnya yang mengganggu ke-tersediaan pangan, saat itulah, baru perhati-an ditolehkan pada petani. Ramai-ramai media massa memberitakan. Ra-mai-ramai tokoh masyarakat, peneliti, maupun politikus bersuara. Tetapi sedikit sekali kesempatan bagi petani bersuara. Jika ada suara itu adalah suara yang lemah tanpa daya Seakan tidak ada posisi tawar yang dapat diajukan oleh petani.

.

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 66: aspirasi gabungan

57

Di Kabupaten Temanggung, contohnya. Derita petani baru dilirik ketika terkait dengan kepentingan industri besar. Seperti kenaikan pajak rokok, dimana bahan bakunya yang berupa tembakau, merupakan hasil utama daerah tersebut. Selebihnya, ketika mobilisasi menggerakkan petani ber-suara berhasil mengubah kebijakan itu, kembali petani dalam derita sehari-harinya yang lain. Terkadang, permasalahan hanya dipahami sebatas ka-sus yang tampak mata, seperti tanah tidak subur, banyaknya hama tikus, serangan wereng, air irigasi yang berkurang, harga gabah yang murah, dan lain-lain. Apa yang menjadi penyebab masalah itu muncul jarang dicari atau hanya sedikit diketahui. Dalam riset aksi, para petani mencoba mencari tahu mengapa masalah-masalah itu muncul

A.1. Memburu Tikus sampai ke Kecamatan

“Masalah paling penting di tempat kami adalah serangan tikus yang sulit untuk dicegah,” ungkap Widodo, 56 tahun, anggota kelompok riset aksi. Ha-ma tikus merupakan satu masalah pelik hampir di setiap kecamatan di Ka-bupaten Temanggung. Riset aksi mengenai isu tikus di Kabupaten Temang-gung dilakukan di 3 desa, yaitu Desa Bagusan dan Bumiayu, Kecamatan Selopampang, dan Desa Ngemplak, Kecamatan Kandangan. Widodo yang pernah menjadi kepala desa di sana mengatakan bahwa, banyak warga masyarakat di desanya yang tidak tahan, lalu memutuskan ikut tran-smigrasi ke tempat lain. Saat dia menjabat kepala desa pernah mencoba mengurangi populasinya dengan menjadikan tikus sebagai makanan. “Saya ajak perangkat desa untuk gropyokan. Setelah dapat 2 baskom besar, kami kuliti kemudian memasaknya menjadi makanan,” kisah Widodo. Te-rang saja, muncul perdebatan di kalangan masyarakat tentang hal itu. Bahkan menurutnya, Bupati Temanggung saat itu menyebutnya sebagai kepala desa gila. Padahal maksud lain yang hendak dia sampaikan adalah tikuspun bisa dimakan. Jadi masyarakat bisa lebih bersemangat untuk memburunya.

Bermacam-macam cara telah dilakukan untuk menanggulangi hama ti-kus. Oleh Kirdi, anggota kelompok riset aksi dikatakan bahwa, ada bebera-pa cara yang dilakukan, yaitu gropyokan, pengarbitan, penggalian lubang, dan pemberian racun. “Tapi cara itu tidak membuahkan hasil yang maksi-mal,” katanya. Melihat kenyataan tersebut, Pemerintah Kabupaten Te-manggung membuat kebijakan untuk membeli buntut tikus dengan harga per ekornya Rp.1000,-. Kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 2001 itu cukup membuat masyarakat menjadi bersemangat memburu tikus. Pada tahun 2001, sekitar 18 ribu ekor tikus berhasil dikumpulkan. Sedang tahun 2002 berkurang menjadi 16 ribu ekor. Berkurangnya jumlah tangkapan itu, kata Widodo, bukan karena turunnya populasi tikus, tapi disebabkan tidak lancarnya pembayaran.

Dari permasalahan yang ada, kelompok riset aksi mulai memperdalam

.

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 67: aspirasi gabungan

58

masalah itu ke berbagai pihak. Pertama-tama yang dilakukan adalah men-datangi masyarakat. Banyak dari anggota masyarakat yang pesimis. Mere-ka katakan, ”Tikus yang ada di desa ini adalah peliharaan dari Nyai Roro Ki-dul.” Mitos tersebut membuat banyak dari anggota masyarakat tidak ber-buat maksimal untuk mengatasinya. Dugaan mereka itu diperkuat saat pe-tani beramai-ramai melakukan gropyokan. Pada siang hari lubang-lubang tikus dibongkar, tetapi tikusnya tidak ada. Tetapi esok harinya tanaman padi di tempat itu sudah habis dimakan tikus. Jika tikus sudah menyerang, kerugian besar harus diterima oleh petani. “Di sini 1 kesuk (3/4 ha) bisa menghasilkan 6 ton gabah, tetapi kalau tikus sudah menyerang, bisa tinggal 5 kwintal atau bahkan tidak panen sama sekali,” kata Kirdi.

Diceritakan oleh Kirdi, di desanya dan desa-desa lain di Kabupaten Te-manggung secara umum, petani mengenal 2 musim tanam untuk tanaman padi. Musim jegeran dan ulon-ulon. Musim jegeran adalah tanam kedua, ya-itu pada Bulan Februari sampai Juni. Pada musim ini serangan tikus sa-ngat besar. Untuk menghindari kerugian yang besar, ada beberapa petani yang tidak menanam pada pada musim ini. Namun pada kenyataannya yang menanam lebih banyak. Mereka hanya berspekulasi mudah-mudahan saja tidak diserang tikus. Hal itu dipengaruhi faktor ekonomi dan mitos bahwa tikus ada yang memelihara. Mereka khawatir tidak punya persedia-an beras untuk kebutuhannya.

Gerak kelompok riset aksi dalam melakukan riset, rupanya juga meng-undang desas-desus klasik tentang bahaya kepentingan partai politik terlarang (PKI). Seringnya anggota kelompok riset aksi berkumpul sempat menyebarkan isu kebangkitan PKI dari ku-burnya. “Waktu kami mencari

data ke masyarakat banyak dari anggota masyarakat yang menganggap ada kepentingan di balik kegiatan ini. Mereka katakan apa yang kami lakukan seperti tahun 1965,” kata Widodo. Kecurigaan itu muncul khususnya pada orang-orang tua yang pernah meng-alami peristiwa itu. Selain isu traumatik itu, ada juga isu SARA yang dilontarkan oleh tokoh masyarakat di sana. “Dia mencurigai dan mengatakan pada kami,

Kirdi telah berkeluarga punya anak satu. Dia pendatang tinggal di Desa Bagusan karena memperistri orang sana. “Pekerjaan utama saya bertani, makanya jika gagal panen maka urusan ekonomi keluarga jadi kocar-kacir. Saya sendiri kontrak lahan, karena tidak punya lahan. Kebutuhan sehari-hari jadi terganggu kalau padi diserang tikus. Sementara kalau tidak menanam padi, untuk kebutuhan makan akan sulit. Untungnya saya punya sedikit ketrampilan, bisa servis payung, sandal, sepatu, jadi buruh juga,” ungkapnya.

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 68: aspirasi gabungan

59

jangan-jangan ini masalah agama, karena nantinya bisa dimasukkan ke agama lain,” kata Widodo. Pada dasarnya masih banyak masyarakat yang takut terjebak sebagai kambing hitam kepentingan politik. Oleh sebab itu-lah kelompok riset aksi, selain melakukan riset juga menyosialisasikan program ini ke masyarakat. Harapannya, menurut Purwanto, 45 tahun, upaya yang dilakukannya akan mendapat dukungan dari masyarakat luas.

Sayangnya pihak aparat desa dan kecamatan tidak menunjukkan du-kungan yang sepadan dengan upaya yang dilakukan kelompok riset aksi. “Mereka butuh surat izin untuk kami bisa melakukan riset,” ungkap Santoso, CO Desa Bagusan (Temanggung). Namun dia tidak mengambil pusing te-guran dari pihak aparat tersebut. Bahkan dia menyarankan kelompok riset aksi agar lebih sering menjelaskan tujuan dari apa yang mereka lakukan ke masyarakat. Berbagai forum desa seperti pengajian, selapanan, rapat RT, dan lain-lain dapat dijadikan ajang sosialisasi.

Banyak kejadian menarik yang dialami oleh mereka. Misalnya, saat mendatangi kantor kecamatan untuk mengetahui mekanisme program pembelian buntut tikus, justru mereka berhasil mencairkan dana pembelian yang tersendat selama beberapa bulan. “Sa-at itu kami hanya bertanya mengapa dana pembelian buntut tikus sering terlambat atau bahkan dikurangi harganya. Tetapi kami malah diberi kepastian hari pen-cairan dana yang terlambat,” ungkap Kirdi. “Memang aneh kalau tidak ditanyakan, mungkin sampai kapan-pun pencairan dana itu tidak jelas. Saat itu mereka de-ngan entengnya bilang kalau sedang sibuk,” tambah-nya.

Karena hama tikus dianggap permasalahan yang serius, anggota kelom-pok riset aksi melaksanakan riset aksi dengan penuh semangat. Purwanto mengatakan kesempatan ini sangat berharga bagi masyarakat, “Kan ja-rang-jarang ada pendidikan gratis seperti ini, makanya kami harus berhasil mencapai tujuan kami.” Oleh sebab itulah di kelompok riset aksi, mereka bertanggungjawab atas pengelolaan kegiatan, dari pembentukan kelompok riset aksi hingga program berakhir. “Kami belajar berorganisasi dengan prin-sip-prinsip yang benar, demokratis, dan transparan. Untuk pengeluaran da-na harus melalui kesepakatan anggota. Bagi kami yang dibutuhkan adalah transparansi, hingga tidak ada masalah keuangan di sini,” tandas Purwanto

Proses pencarian data tidak saja dilakukan di masyarakat, tetapi juga instansi terkait dengan permasalahan yang ada. Kelompok riset aksi men-datangi kantor kepala desa, kecamatan, dan juga dinas pertanian.

“Waktu kami mencari data ke masyarakat banyak dari anggota masyarakat yang menganggap ada kepentingan di

balik kegiatan ini...” kata Widodo

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 69: aspirasi gabungan

60

Sebenarnya, masyarakat bukannya tidak berbuat apa-apa di saat tikus datang menyerang. Jauh sebelum adanya kebijakan bupati soal pembelian buntut tikus, gropyokan telah dilakukan oleh masyarakat. Tapi memang ti-kus di sana begitu banyak hingga sulit untuk diatasi. “Untuk pencegahan, kami menggunakan ilmu titen. Misalnya untuk melihat apakah bulan-bulan ini banyak hama tikusnya atau tidak,“ kata Kirdi. Pakai ilmu titen lebih efek-tif untuk menghindari tikus karena pakai rumus pranata mangsa. Oleh ka-renanya bisa diketahui bulan-bulan apa saja yang tikusnya banyak.

Namun, ilmu tersebut masih merupakan spekulasi karena, tikus pada saat-saat tidak diduga sering juga melanggar musim yang diperkirakan pe-tani. Situasi tersebut membuat masyarakat menjadi pasrah. Mitos adanya pengembala tikus semakin menebal. Sementara, dari pihak aparat desa, ketika diminta komentarnya oleh kelompok riset aksi dari Desa Bumiayu mengatakan bahwa, masyarakat kurang kompak dalam menghadapi hama tikus. Sedang menurutnya kemampuan desa sendiri terbatas untuk mam-pu menanggulangi masalah itu.

Tikus memang membingungkan. Datang dan perginya tidak pernah da-pat diketahui dengan pasti. Menurut Widodo, radius pergerakan tikus men-cari makan dari 500 m sampai 1 km. Tapi dalam pengamatannya, yang jelas terlihat adalah hilangnya musuh alami pemangsa tikus. Musuh alami seperti ular dan garangan (sejenis musang), waktu dia kecil banyak terlihat dalam ekosistem sawah. “Lambat laun musuh alami itu semakin habis. Kami berharap ada peraturan dari pemerintah untuk melindungi musuh alami. Ba-yangkan, satu ekor ular bisa memakan 15 s/d 20 ekor tikus. Jika ular di lin-dungi, maka tikuspun bisa tidak jadi masalah di sini,” paparnya.

Berkurangnya musuh alami juga dirasakan di Desa Bumiayu. Kelompok riset aksi di desa itu mendapatkan informasi bahwa musuh alami berupa ular dan garangan telah diperjualbelikan. Frekuensi penjualannya relatif tinggi. Dalam 1 minggu sekitar 8 ular mampu dijual dengan harga mulai da-ri Rp. 3.000,- sampai dengan Rp. 25.000,- tergantung jenis ularnya. Se-dangkan garangan bisa mencapai 11 ekor setiap bulannya. Tampaknya pe-dagang musuh alami itu tidak memikirkan dampak dari apa yang mereka lakukan. Menurut Ma'ruf, salah seorang anggota kelompok riset aksi dari Desa Bumiayu, penggunaan musuh alami lebih efektif ketimbang harus membeli racun-racun tikus yang bisa mengganggu kelestarian lingkungan. Senada dengan itu, Kirdi dari Bagusan berharap, agar pemerintah dalam hal ini dinas pertanian tidak hanya sekadar menawarkan racun-racun ti-kus. Pembinaan kelompok agar mandiri dan kompak juga merupakan sya-rat agar petani mampu menghadapi masalahnya.

Kirdi mengatakan bahwa, pola pengorganisasian kelompok riset aksi di Desa Bagusan berdampak pada budaya organisasi yang sebelumnya telah ada di sana. Masalah tranparansi misalnya. Sebelumnya bila menyangkut masalah keuangan, budaya sungkan - ewuh pekewuh - lebih dikedepan-

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 70: aspirasi gabungan

61

kan. “Tahu-tahu ada pemutihan. Terlebih bila menyangkut tokoh masya-rakat atau pejabat-pejabat di sini. Tidak ada laporan keuangan. Sekarang itu tidak terjadi lagi, mungkin karena takut dengan adanya kelompok riset aksi,” katanya.

A.2. Ketika Air Tidak Mengalir ke Sawah

Air merupakan kebutuhan utama bagi mahluk hidup. Baik manusia, hewan, maupun tanaman, semuanya membutuhkan air. Bagi petani kebu-tuhan air bukan sekadar untuk dirinya sendiri, tetapi juga tanaman yang dirawatnya. Dapat dikatakan penopang hidup utama petani adalah tanam-an, sedang tanaman tidak bisa hidup tanpa air. Maka bisa dibayangkan, bagaimana paniknya petani jika air susah diperoleh untuk tanamannya. Kesulitan air irigasi menjadi isu yang diangkat di Desa Giyono, Desa Bagus-an, (Temanggung) dan Desa Nguter (Lumajang).

Saat kelompok riset aksi melakukan riset, banyak hal yang diketahui pe-rihal masalah tersebut. Misalnya di Desa Giyono, dikatakan oleh Slamet Widodo, isu diangkat karena memang menjadi masalah utama petani di de-sanya. Terutama pada musim kemarau air menjadi sangat susah diperoleh. Padahal menurutnya, dulu walaupun musim kemarau air masih dapat mengairi sawah mereka. “Saat ini sebentar saja kemarau air sudah susah didapat,” katanya. Sulitnya air irigasi di Desa Giyono mulai sering dirasa-kan sejak tahun 1997. Penyebabnya adalah sebagian besar air dari sumber mata air Jumprit dialihkan untuk kebutuhan PDAM. Menurut Haryono anggota kelompok riset aksi Desa Giyono, saat itu tidak ada pemberitahuan ke masyarakat. Tahu-tahu proyek itu sudah jadi. “Sepertinya pola itu dijadikan tameng oleh pemerintah sekarang kalau ada masalah, selalu saja dikatakan akibat kebijakan pemerintah yang dulu, padahal dampaknya hingga sekarang,” katanya.

Giyono adalah desa yang terletak di ujung barat Kabupaten Temang-gung. Luas persawahan di desa tersebut sekitar 105 hektar yang sebagian besar akan kekeringan jika musim kemarau tiba. Sebenarnya, jika terjadi sebuah pengelolaan air yang benar, kesulitan air tidak akan terjadi di sana. Sumber mata air Jumprit sendiri letaknya ada di dekat Desa Giyono. Sum-ber mata air itu selama ini menjadi andalan bagi masyarakat di sekitarnya. Namun kejadiannya berubah ketika air yang ada di sana mulai dibagi untuk kepentingan air bersih yang dikelola oleh PDAM. Tetapi itu bukan penyebab utama satu-satunya. Menurut Rohmiyati, yang juga anggota kelompok riset aksi Desa Giyono, selain PDAM, penebangan pohon kawasan hutan di seki-tar sumber air merupakan penyebab penting lainnya dari kurangnya air iri-gasi di daerah mereka. Penebangan itu dilakukan oleh Perhutani dan mas-yarakat tertentu. Mereka mengkategorikan bentuk penebangan itu resmi dan liar. Penebangan resmi karena dilakukan oleh aparat pemerintah, se-dangkan yang tidak resmi dilakukan oleh masyarakat tertentu. Penilaian

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 71: aspirasi gabungan

62

itu bersumber dari pernyataan-pernyataan pemerintah yang mengatakan sering terjadi penebangan liar. Padahal kenyataannya, penebangan lebih banyak dilakukan oleh aparat pemerintah.

“Jika mengacu pada peraturan yang dibuat oleh pemerintah yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang hutan, perlindungan terhadap kawasan hutan sa-ngat dibutuhkan dan menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat,” ujar Rohmiyati, yang juga menyebutkan sangsi yang berat bagi orang yang melakukan perusakan hutan. “Tapi sangsi itu hanya diberikan pada mas-yarakat. Padahal kebanyakan dari masyarakat di sini hanya untuk keper-luan sehari-hari yang jumlahnya sedikit,” katanya. Sayangnya sangsi itu ti-dak berlaku bagi aparat pemerintah. Penebangan pohon yang dilakukan oleh aparat adalah pemandangan yang lumrah bagi masyarakat di sana.

Selain penebangan hutan dan pembagian air dari mata air Jumprit, fak-tor lainnya adalah kerusakan dam saluran air. Di Desa Giyono terdapat be-berapa dam yaitu Dam Sejago, Sekembang, Sebangkong A, Sebangkong B, Sepelem, dan Setalang. Kondisi masing-masing seakan jauh dari perawat-an. Selain Dam Sejago yang rusak total, dam-dam lainnya mengalami ke-rusakan hingga sepanjang 800 meter.

Kerusakan serupa juga terjadi di Desa Bagusan Temanggung). Kelompok riset aksi mencatat jumlah kerusakan yang terjadi di dam-dam dan saluran irigasi yang ada di desanya. Sawah yang diairi luasnya 52 hek-

Data kerusakan dam, salah dari hasil riset aksi.

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 72: aspirasi gabungan

63

tar. Pada musim kemarau yang mendapatkan air hanya seluas 20 hektar. Saluran air yang rusak yang berhasil diukur oleh kelompok riset aksi adalah Saluran Seweru, Saluran Situk Panjang, Saluran Sekauman, dan Saluran Kaliduwur. Panjang saluran air di sana 2.816 meter. Panjang saluran yang rusak yang belum di-pelur 302 meter, sedangkan yang sudah dipelur 158 meter. Panjangnya kerusakan saluran air itu membuat sebagian besar sa-wah menjadi kekeringan. Tentunya ini berdampak pada kerugian petani yang telah bekerja keras agar mendapatkan hasil panen yang baik.

Dikatakan oleh Agus Dwi Wardoyo, anggota kelompok riset aksi Desa Bagusan, air untuk sawah berasal dari Sungai Tegung sebelah selatan desa. Saluran air yang rusak itu dibuat oleh proyek pemerintah. “Pembuatan sa-lurannya kurang bagus karena masyarakat hanya terima paket jadi,” ujar Agus. Hal ini menurutnya, berbeda dengan saluran yang dibuat oleh mas-yarakat. “Yang dibuat masyarakat bisa bertahan sampai 10 tahun sedang yang dibuat oleh proyek hanya bertahan 3 tahun,” tambahnya. Saluran yang pembuatannya dilakukan oleh kontraktor swasta itu, dikatakan Agus, baru dibuat sekitar tahun 1997. Tapi pada kenyataannya, saat ini sudah banyak tanggul yang rusak. Akibatnya mengganggu jalannya air yang mengalir ke sawah-sawah petani. “Proyek yang diborongkan pada kontraktor biasanya kualitas campuran semen dan pasirnya tidak seimbang, hingga bangunan-nya rapuh. Beberapa kali masyarakat mencoba memperbaiki kerusakan itu dengan gerakan swadaya. Te-tapi karena perbaikannya sea-danya, maka sebentar saja su-dah rusak kembali,” ungkap-nya.

Kerusakan yang cukup pa-rah di Desa Bagusan adalah Dam Sijurang. Dam yang diba-ngun pada tahun 1993 itu mengalami kebocoran di sen-deran bagian kanan sebesar bola kaki. Kebocoran tersebut membuat air dari samping ka-nan menuju arah depan damDi bagian depan dam terdapat keru-sakan berbentuk gunung dengan panjang 14 meter, ting-gi 4 meter dan kedalaman 3,5 meter. Sedangkan dasar dari dam tersebut juga mengalami

.

Data tingkat kerusakan damberdasarkan tahun pembuatannya.

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 73: aspirasi gabungan

64

kerusakan sepanjang 13 meter, lebar 4 meter. Pada bagian ini hampir selu-ruh bahan materialnya batu dan semen hilang hanya tersisa 1 x 1.5 meter. Bagian depan dam juga tak luput dari kerusakan. Batu-batuannya banyak yang terlepas, termasuk juga bangunan penopang pintu air mengalami ke-rusakan setinggi 6 meter dan lebar 1 meter. Kerusakan juga terdapat di sen-deran sepanjang 2,5 meter, lebar 4 meter.

Selain dam yang rusak, saluran-saluran air yang mengantarkan air ke sawah petani juga mengalami kerusakan. Awalnya saluran tersebut di-bangun pada tahun 1970 sepanjang 38 meter dengan ketinggian 4 meter. Pembangunan tanggul saluran itu dilakukan dengan swadaya masyarakat. Pada 1980, pembangunan saluran itu dilanjutkan dengan cara yang sama sepanjang 118 meter dengan ketinggian 1,5 meter. Saat ini total saluran yang dibangun oleh masyarakat itu mengalami kerusakannya sepanjang 51 meter sedang sisanya masih dalam keadaan baik. Saluran dengan keru-sakan terparah justru saat pembangunan kelanjutan saluran tersebut pada tahun 1997, dimana pembuatannya dilakukan oleh kontraktor swasta. Sa-luran yang dibangun sepanjang 141 meter itu saat ini dapat dibilang rusak total.

Menghadapi hal tersebut, pemerintahan desa tidak cukup tanggap un-tuk mengatasi masalah masyarakatannya. Di Desa Bagusan, tidak diper-oleh informasi yang jelas tentang apa yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintahnya. Sedang di Desa Giyono, aparat setempat mengakui bahwa, selama 10 tahun terakhir tidak ada perbaikan yang serius dilakukan oleh pemerintah. “Kami hanya sedikit melakukan perbaikan seperti gorong-go-rong dan saluran,” ujarnya Kepala Desa di sana. Walaupun mengakui itu se-bagai masalah penting yang harus diatasi, dia mengakui pemerintahan desa belum punya rencana untuk melakukan perbaikan total.

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 74: aspirasi gabungan

65

Di Desa Nguter (Lumajang), kerusakan saluran air irigasi juga menjadi masalah yang pelik bagi masyarakat petani. Saluran-saluran yang bocor menurut pengamatan kelompok riset aksi disebabkan kurangnya pintu air di saluran yang ada. “Karena kurangnya pintu di dam, beban saluran men-jadi besar, hingga banyak tlengsengan (tanggul) yang bocor,” kata Syaiful. Di musim kemarau, kondisi air menjadi parah karena kebocoran bertambah akibat pembobolan tanggul untuk mendapatkan air. Air untuk persawahan di Desa Nguter berasal dari 5 sungai yang ada di sekitar desa. Sungai itu me-reka sebut Kali Duk, Kali Durek, Kali Duren, Kali Gaplek, dan Kali Manyur. Sungai tersebut bukan hanya digunakan oleh warga Desa Nguter, tetapi ju-ga untuk beberapa desa di sekitarnya. Terdapat 15 Dam di kelima sungai tersebut. Kerusakan terparah adalah Dam Gedong dari Kali Durek yang mencapai panjang 400 meter. Dam lain yang rusaknya tergolong parah ada-lah Dam Mayit yang berasal dari Kali Duk. Sekitar 100 meter terdapat tang-gul yang bocor. Sedang dam-dam lainnya juga berpotensi rusak parah kare-na di musim kemarau terjadi banyak pembocoran. Pembocoran itu dilaku-kan oleh petani yang kekurangan air untuk sawahnya. Akibat pembocoran itu potensi konflik menjadi tinggi karena tak jarang terjadi pertikaian di antara petani sendiri.

Di musim kemarau, sekitar 200 hektar areal persawahan di Desa Nguter mengalami kekeringan. Penghasilan petani padi menjadi sangat menurun. Penurunan tersebut hingga mencapai lebih dari 50%. Sementara untuk me-nanam tanaman lain banyak di antara petani yang keberatan. Di samping kurang modal, para petani khawatir tidak mampu untuk memenuhi kebu-tuhan pangannya. Terlebih sebagian besar petani di Desa Nguter statusnya petani penggarap tak berlahan dan buruh tani. Menurut kelompok riset ak-si, pemerintah sendiri seakan tidak melakukan upaya untuk mengatasi ma-salah ini. “Pemerintah desa di sini tidak aktif untuk melihat permasalahan yang dihadapi masyarakat. Ketika ada program bantuan untuk desa, oleh kepala desanya sendiri dikatakan tidak dipergunakan untuk masalah per-tanian,” ujarnya Syaiful kesal. Padahal Desa Nguter merupakan daerah per-sawahan terluas di Kecamatan Pasirian. Luas areal persawahannya menca-pai 900 hektar. Namun sebagian besar bukan dimiliki oleh penduduk Desa Nguter. Oleh sebab itulah, upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah oleh masyarakat terkesan kurang kompak. Dari berbagai permasalahan air irigasi yang terjadi di sebagian desa yang ada, selain disebabkan oleh ke-bijakan pembangunan yang tidak tepat, juga terdapat banyak kerusakan pada bangunan dam dan salurannya. Kelompok riset aksi mencatat, kualitas fisik dari sarana irigasi sendiri merupakan masalah utama. Namun kerusakan juga disebabkan oleh perilaku masyarakat sendiri.

Ketika menghubungi dinas-dinas yang terkait dengan masalah itu, ke-lompok riset aksi memperoleh dukungan berupa pernyataan lisan. Namun, anehnya dinas-dinas tersebut tidak mengetahui permasalahan yang terkait dengan bidangnya. Mereka mengatakan perlu terlebih dulu untuk mempe-

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 75: aspirasi gabungan

66

lajari permasalahan yang ada di depan mata tersebut. Sedang kejadian ter-sebut sudah berlangsung lama dan bebannya ditanggung oleh petani.

Akibat dari kekeringan di musim kemarau, petani hanya bisa memetik hasil panen setengah dari yang biasa mereka dapat. Bahkan keadaan terpa-rah, petani bisa tidak mendapatkan apapun alias rugi. Kerugian ini menam-bah panjang permasalahan petani, hingga mereka harus kembali berhu-tang pada tengkulak atau rentenir. Saat alam mulai membaik, aliran air mencukupi kebutuhan tanaman mereka. Hasilnya sebagian besar habis hanya untuk membayar hutang. Dalam kesimpulannya, kelompok riset ak-si merumuskan bahwa, pembuatan dan perawatan saluran air untuk persawahan harus melibatkan masyarakat. Menurut Syaiful hal tersebut menjadi mutlak karena masyarakat sendirilah yang paling tahu dengan masalahnya. Dia menyesalkan jika proyek-proyek yang dilakukan peme-rintah, terutama untuk pembangunan dan perawatan saluran irigasi, ha-nya sekadar mencari keuntungan yang bukan ditujukan untuk kepen-tingan rakyat.

A.3. Tanah Rusak, Hama Meledak, Harga Digasak

Petani di Indonesia seakan ditakdirkan penuh dengan masalah. Dari pra tanam hingga pasca panen, masalah selalu datang merundung mereka. Permasalahan petani semakin menjadi, saat modernisasi masuk ke sektor itu. Dampak dari pola pertanian modern adalah ketergantungan petani pa-da barang-barang input pabrikan. Sementara, ketika panen, hasil yang di-harapkan tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan. Masalah ini ter-tangkap di seluruh daerah pedesaan, dimana mata pencarian utama pen-duduknya adalah bertani. Termasuk di Kabupaten Lumajang dan Temang-gung, dimana semua petaninya merasakan masalah yang sama.

Dikatakan oleh Tamyiz, CO Desa Gesing (Temanggung), riset yang dila-kukan masyarakat mencatat sebagian besar barang input pabrikan berasal dari bahan kimia. Proses alami yang biasanya dilalui oleh tanaman akhir-nya terabaikan, hingga lambat laun kualitas tanah tempat tanaman hidup menjadi rendah. Untuk membuktikan dugaan itu, kelompok riset aksi me-lakukan pengecekkan tanah yang ada di Desa Gesing. Dengan alat pinjam-an dari Dinas Pertanian, diketahui bahwa tanah di Desa Gesing tidak ada yang memiliki pH normal. Hasil pengukuran pH tanah tersebut menunjuk-kan: pekarangan 5,5, tanah sawah 5,4, dan jalan 5,5. Selain menggunakan alat pengukur pinjaman itu, kelompok riset aksi juga melakukan pengujian dengan menggunakan alat-alat sederhana yang dirancang untuk menge-tahui daya ikat air pada tanah, kandungan bahan organik, unsur hara, dan struktur tanah. Cara ini diperoleh dari buku Panduan Ekologi Tanah dari IPPHTI. Untuk mengetahui daya ikat tanah, kelompok riset aksi mengambil sampel pasir 300 gram, tanah sawah 300 gram, dan tanah pekarangan 300 gram. Semuanya dalam keadaan kering. Ketiga sampel itu diberi pupuk

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 76: aspirasi gabungan

67

kandang kering dan diletakkan ke dalam botol plastik minuman kemasan berukuran 1,5 liter. Kemudian ketiga botol tersebut diisi air dengan jumlah yang sama. Setelah itu ditunggu sampai air menetes. Jumlah air yang lebih sedikit menunjukkan daya ikat tanah lebih besar. Dari ketiga sampel terse-but, daya ikat terbesar adalah tanah sawah.

Untuk mengetahui kandungan bahan organik dilakukan dengan cara menggoreng tanah tanpa minyak. Sampel tanah yang terdiri dari tanah sa-wah, pekarangan, dan jalan masing-masing seberat 500 gram. Dari hasil penggorengan itu diukur penyusutannya. Semakin besar penyusutan akan semakin banyak kandungan bahan organiknya. Hasil penggorengan me-nunjukkan tidak terjadi penyusutan pada tanah sawah. Pengetesan lain adalah untuk mengetahui unsur hara dalam tanah.

sam-pel tanah yang diambil dengan kedalaman 20 cm, masing-masing beratnya 500 gram dan kemudiabn dimasukkan ke dalam gelas dengan ukuran yang sama. Lalu dituangkan air dengan ukuran yang sama pula. Pada masing-masing gelas dimasukkan pemberat yang ukuran juga sama. Semakin da-lam jatuhnya pemberat tersebut, maka akan semakin bagus struktur ta-nahnya. Di antara sampel yang ada, ukuran yang paling dangkal adalah ta-nah sawah. Hal itu membuktikan struktur tanah yang buruk. Uji terakhir yang dilakukan untuk mengetahui keadaan tanah adalah sirkulasi udara

Unsur hara adalah un-sur-unsur dalam tanah yang dibutuhkan oleh tanaman, seperti N, P, K, dan lain-lain. Cara yang digunakan adalah dengan mempergunakan aliran lis-trik. Sampel tanah ada yang diberi pupuk kandang dan ada yang tidak. Sampel tanah itu dimasukkan ke dalam botol plastik air kemasan, kemu-dian diberi air lalu dicampur. Selanjutnya, dimasukkan kabel, yang telah disambungkan dengan bola lampu dan dihubungkan ke saluran listrik, ke dalam masing-masing botol. Semakin terang nyala lampunya, menunjuk-kan banyak unsur hara yang dikandung tanah.

Kelompok riset aksi juga melakukan pengetesan struktur tiga jenis

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Semakin terang nyala lampunya, menunjukkan banyak unsur hara yang dikandung tanah.

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 77: aspirasi gabungan

68 ASPIRASI

dalam tanah. Cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan sampel ta-nah organik dan tanah yang memakai pupuk kimia. Kedua sampel itu dima-sukkan ke dalam botol. Lalu hembuskan udara ke balon melalui pipa para-lon kecil. Tanah yang menyerap udara lebih cepat menunjukkan sirkulasi udara dalam tanah tersebut lebih baik. Dari pengetesan itu, tanah organik lebih cepat menyerap udara dan membuktikan tanah organik lebih baik sir-kulasinya.

“Hasil pengetesan yang dilakukan oleh kelompok riset aksi menjadi data penting untuk menunjukkan bagaimana kualitas tanah saaat ini di desa ka-mi,” kata Tamyiz. Menurut dia penurunan kualitas tanah itu sudah dirasa-kan sejak lama. Penurunan itu terjadi sejak masyarakat tani sering meng-gunakan pupuk-pupuk kimia. Masyarakat di sana mulai sering mengguna-kan pupuk kimia pada tahun 1970-an. Saat itu pemerintah “menganjur-kan” dengan perintah penggunaan bahan-bahan kimia untuk meningkat-kan produksi. Dulu seakan ada paksaan untuk menggunakan pupuk ki-mia. Penjualannya sering dilakukan oleh petugas-petugas dari dinas per-tanian, selain banyak juga orang swasta/pedagang datang membawa pro-duknya untuk dijual.

Dari penggunaan yang terus-menerus tersebut, perilaku petani dalam bercocok tanam pun berubah. Petani beranggapan kalau tidak pakai bahan kimia produksinya tidak akan memuaskan. Sekarang masyarakat me-rasakan akibatnya. Pada musim-musim kering, tanah di Desa Gesing ber-ubah seperti batu karena begitu kerasnya. Dosis penggunaan pupuk kimia dalam pengamatan kelompok riset aksi berbeda setiap tahunnya. “Misal-nya, tahun ini pakai SP 36, KCl, ZA masing-masing 70 kg serta urea 150 kg. Tahun depannya jika de-ngan dosis yang sama, hasilnya akan berkurang,” kata Tamyiz. Untuk mengatasi hal itu, biasanya petani akan menambah dosis pemakaian pupuk. Menurut salah seorang anggota kelompok riset aksi, di masa lalu, untuk menanam cabe orang tuanya merawatnya secara alami. Tidak pakai apapun yang dibeli. Tapi sekarang hal itu tidak terjadi lagi. Dia menduga hilangnya musuh alami disebabkan gundulnya hutan yang ada di dekat desa mereka.

Walaupun sebagai CO, Tamyiz cukup aktif mendampingi kelompok riset aksi dalam mela-kukan riset aksi. “Saat melakukan riset aksi, saya ikut mendampingi kelompok riset aksi. Pergaulan-nya yang luas membuat dia lebih mudah untuk mengakses data di dinas pertanian. Sebelumnya, ada anggota kelompok riset aksi yang tidak di-layani, saat datang ke kantor dinas,” kata Tamyiz.

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

Tamyiz

ASPIRASI

Page 78: aspirasi gabungan

69

Dari sana kemudian dia sesekali dilibatkan jika mendatangi dinas-dinas lainnya. Data yang diperoleh dari Dinas Pertanian adalah populasi hama dan penyakit, luas lahan, dan jumlah pupuk yang beredar di satu kecamat-an. Data lain yang diperoleh adalah kebutuhan beras, jagung, dan produksi. kelompok riset aksi Desa Gesing juga mendapatkan data tentang tingkat keracunan pestisida yang dialami oleh masyarakat di Kabupaten Temang-gung. Melalui peme-riksaaan ang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung menunjukkan kecilnya angka normal. Dari pemeriksaan sejak tahun 1995 sampai dengan 2000, hanya 1 sampel warga masyarakat saja yang dapat dikatakan normal. Selebihnya beragam. Ada yang keracunan ringan, sedang, hingga berat. “Harusnya masyarakat mulai sadar bahwa penggunaan bahan kimia pada lahan dan tanaman ber-akibat pada kesehatan manusia,” kata Tamyiz. Dengan alasan tersebut dia berharap pertanian organik harus didukung dan dikembangkan.

Isu kerusakan lahan juga diangkat oleh kelompok riset aksi Desa Ngem-plak. Desa yang memiliki luas areal pertanian sekitar 880 hektar itu, juga mengalami permasalahan yang sama dengan desa tetangganya, Gesing. Penggunaan bahan-bahan kimia yang berlebihan dan kerusakan hutan me-nimbulkan dampak yang bermacam-macam di sana. Selain tanah menjadi rusak, hama dan penyakit tanaman semakin sering datang menyerang. Un-tuk mendapatkan data yang akurat tentang penurunan kualitas tanah, kelompok riset aksi juga sempat datang ke Fakultas Pertanian,

a masih disarankan untuk menggunakan pupuk-pupuk kimia, seperti Pupuk N (Urea, ZA), P (TSP, SP-36), K (KCl) dengan dosis biasa. Tetapi lembaga itu juga menyarankan penggunaan bahan-bahan organik untuk menjaga ke-suburan tanah.

Menurut kelompok riset aksi Desa Bumiayu, penggunaan pupuk kimia dianggap memberatkan. “Saat ini, antara harga pupuk dan gabah tidaklah imbang,” ungkap Sofyan CO, Bumiayu. Terlebih lagi dampak penggunaan pupuk-pupuk kimia terbukti membuat kualitas tanah menjadi menurun. Menurut kelompok riset aksi Desa Bumiayu, petani bagaikan memakan bu-ah simalakama. Di satu sisi mereka dituntut untuk meningkatkan pro-duksi, pada sisi lain ketika menggunakan bahan kimia. Selain memupuk dengan pupuk kimia, petani juga sering menyemprot pestisida kimia untuk memberantas hama dan penyakit. Musuh alami yang menghilang akibat ru-saknya ekosistem di lingkungan pedesaan, membuat cara praktis dengan memberi racun mematikan ditempuh oleh sebagian besar petani. Akibatnya isu ledakan hama yang biasa disebut Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), menjadi masalah umum para petani. Termasuk juga Desa Dawuhan Lor dan Selok Besuki, serta Oro-oro Ombo, yang menjadi lokasi dari pro-gram ini.

Dari pengamatan kelompok riset aksi, masalah hama dan penyakit yang dihadapi oleh petani tidak mendapatkan perhatian khusus dari pemerin-

cholinesterase y

Jurusan Ilmu Tanah, Universitas Gajah Mada. Dari lembaga tersebut, merek

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 79: aspirasi gabungan

70

tah. Biasanya pemerintah terkesan menyalahkan petani. Oleh H. Idris, ang-gota kelompok riset aksi Selok Besuki dikatakan, aparat biasanya menya-lahkan petani jika terjadi kegagalan panen. “Macam-macam yang dikata-kan, petani tidak mau tanam serempak, tidak pakai benih dan pupuk yang bagus, dan lain-lain. Padahal harga sarana produksi tersebut sekarang se-makin mahal. Sementara harga jual produknya rendah.

nya.

Masalah harga merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh pe-tani. Sebagian besar pasar petani adalah tengkulak. Dalam posisi ini, petani tidak punya nilai tawar yang lebih untuk kepentingannya. Di Desa Bades (Lumajang), bahkan ada tengkulak yang berani untuk memberi pinjaman modal bagi petani dengan syarat hasil panen dibeli oleh mereka. Tengkulak tersebut sudah seperti mafia dalam usaha pertanian. Dia juga menyediakan pupuk, bibit, dan pestisida kimia pembasmi hama untuk dibeli oleh petani. Situasi ini semakin membuat petani menjadi sulit. Ketika panen tiba, harga tidak lagi mengacu pada pasar tetapi tergantung pada keinginan tengkulak yang bersangkutan. Oleh kelompok riset aksidi katakan, hampir semua petani di Desa Bades tergantung dengan tengkulak tersebut. Beberapa kali petani mencoba mengakses Bulog setempat untuk menjual gabahnya. “Tetapi Bulog selalu memasang syarat yang terlalu tinggi. Terutama untuk jumlah produksi hingga banyak kelompok tani yang tidak mampu,” kata Al Bisri, anggota kelompok riset aksi Desa Bades. Kelompok taninya sendiri, saat ini hanya bisa memasok gabah melalui perantara. Tidak bisa langsung ke Bulog. “Yang saya tidak habis pikir, padahal gabah yang dimasukkan sa-ma, tetapi mengapa kami tidak bisa langsung menjualnya. Karena melalui perantara, maka harga jualpun lebih rendah dari harga standar yang dite-tapkan oleh Bulog,” ungkapnya. Satu kilogram gabah dijual dengan harga di bawah seribu rupiah adalah sesuatu yang wajar terjadi di tingkat petani.

Rendahnya harga yang harus diterima, juga dialami oleh petani kopi di Desa Jombor (Temanggung). Petani harus menjual kopi yang masih merah di pohon dengan harga rendah ke tengkulak. Keterpaksaan didorong oleh pinjaman uang (hutang) yang terlalu tinggi untuk merawat tanaman itu. Harga rata-rata kopi di tingkat petani per kilogram berkisar Rp. 3.000,- s/d Rp. 5.000,-. Menurut Wahyudi, anggota kelompok riset aksi Desa Jombor, harga kopi sangat ditentukan oleh pasar, sementara petani seakan hanya bisa pasrah menerima pembelian yang tidak seimbang. Padahal menurut-nya, ketika kopi sudah lepas dari tangan petani, kualitasnya bisa berubah. “Kopi di Temanggung pada dasarnya punya kualitas yang baik, tetapi ketika sampai di tangan pedagang, mereka suka mencampur dengan perbandingan yang tidak sesuai, hingga menjatuhkan kualitas aslinya,” kata Wahyudi.

Permasalahan lemahnya posisi tawar petani juga merupakan isu pen-ting bagi masyarakat Sumber Urip (Lumajang). Sebagian dari mereka masih

Antara biaya pro-duksi dan harga jual menjadi tidak seimbang,” kata

Ca-ra semacam itu dianggapnya sangat merugikan citra petani kopi Temang-gung. Karena kopi yang dijual di luar daerah dikenal dari Temanggung.

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 80: aspirasi gabungan

Kopi Temanggung sampai di tangan pedagang, kualitasnya dijatuhkan.

71

merupakan petani subsisten, yaitu hasil pertaniannya hanya digunakan sendiri. Seperti biasa, masalah di sektor pertanian mulai terjadi ketika in-dustrialisasi yang dikuasai oleh sedikit orang masuk ke wilayah itu. Budaya pertanian lambat laun bergeser pada bentuk modern, dimana cara-cara la-ma mulai ditinggalkan. Petani di sana mulai tergantung pada benih, pupuk, dan sarana pertanian lainnya untuk bercocoktanam. Namun menurut Hafidz, CO Dea Sumber Urip, di Pronojiwo situasi itu tidak terlalu parah ka-rena kesuburan alam yang dianggap sebagai berkah dari Gunung Semeru. Jadi tidak terlalu membutuhkan bahan-bahan kimia pabrikan untuk per-tanian. Terlebih ketika program PHT masuk ke wilayahnya. Kesadaran peta-ni dengan cepat tumbuh kembali untuk tidak tergantung pada barang-ba-rang tersebut.

Namun masalah lain juga terjadi. Masalah ini sebenarnya terbawa dari luar wilayah Pronojiwo. Persaingan akibat dari sistem kapitalisme, dimana masyarakat digiring untuk menjadi konsumtif, berdampak pada eksploitasi alam untuk memenuhi kebutuhannya itu. Saat itu, muncul kebutuhan-ke-butuhan baru di masyarakat akibat gencarnya promosi gaya hidup modern. Dengan kebutuhan yang sulit dijangkau dan cara berpikir sesaat, membuat petani tidak berhitung dengan cermat dalam melakukan kerjasama. Ke-tidakpahaman akan pasar membuat penentuan harga menjadi dominasi tengkulak.

“Pernah ada perusahaan yang bekerjasama dengan kelompok tani. Di awal pembayarannya lancar, namun kemudian mereka kabur,” ungkap sa-lah seorang anggota kelompok riset aksi di Desa Sumber Urip. Harga hasil pertanian di Pronojiwo dikatakan sangat bergantung pada keinginan teng-

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 81: aspirasi gabungan

72

kulak.

pi mampu memonopoli kebutuhan petani dalam bercocok tanam. Secara res-mi tengkulak di daerahnya sudah berbadan hukum sebagai perusahaan swasta di sektor pertanian. Mereka menjalin kerjasama dengan pemerintah dengan memanfaatkan potensi pertanian di sana. Anggapan bahwa tujuan yang hanya menarik keuntungan sebesar-besarnya, dipertegas ketika ke-lompok riset aksi berhasil mengorek informasi dari mereka. Dikatakan bah-wa, mereka tidak punya kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, selain hubungan bisnis yang dijalin dengan petani. Tentunya sangat wajar bagi mereka membeli produk petani dengan harga rendah kemudian menjualnya dengan harga tinggi ke tempat lain. ”Walaupun selalu menga-takan bahwa harga sangat ditentukan pasar, tetapi saat membeli produk pe-tani merekalah yang menentukannya,” kata Hafidz.

Apa respon pemerintah ketika kelompok riset aksi mencoba mendatangi instansi-instansi yang terkait dengan masing-masing masalah? Ke-banyakan dari aparat pemerintah mengatakan sudah memberi perhatian khusus pada petani. Dikatakan banyak program-program pemerintah yang bertujuan membantu petani. Beberapa program disebutkan seperti KUT, PDMDKE, dan lain-lain, yang merupakan bentuk kongkrit dari perhatian tersebut. Namun, di mata sebagian besar masyarakat, banyak dari pro-gram-program itu tidak tepat sasaran dan cendrung terjadi manipulasi. “Banyak program yang tidak disiapkan secara matang hingga justru mem-beratkan masyarakat sendiri,” kata H. Idris, sambil mencontohkan program KUT. Program itu saat ini berdampak pada beban petani untuk mengem-balikan pinjaman hutang yang kurang mereka pahami. “Menjalankan prog-ram yang berbentuk uang, tanpa persiapan dan penjelasan yang cukup akan membawa dampak negatif di kemudian harinya,” tambahnya. Dia juga me-nyinggung program-program bantuan yang tidak tepat sasaran. “Mereka se-lama ini menyalurkan bantuan-bantuan ke kelompok tani yang anggotanya tidak aktif, hingga bantuan itu menguap entah ke mana,” paparnya. Di dae-rahnya ada kelompok tani yang dibentuk pemerintah sejak tahun 1978. Dari awal pembentukannya hingga sekarang ketuanya tidak diganti-ganti. “Melalui kelompok itulah beberapa program dan bantuan dari dinas perta-nian disalurkan. Karena kelompoknya tidak jelas, maka program dan ban-tuannya menjadi tidak jelas juga,” katanya. Dia mensinyalir, ada kongkali-kong antara pemerintah dengan kelompok yang tidak jelas dalam melaksa-nakan program pertanian. Dugaannya itu muncul, karena banyak ketidak-wajaran yang dibiarkan saja dalam sebuah proyek. Namun kelompok riset aksi menyadari kebutuhan untuk berkelompok adalah sesuatu yang pen-ting. Mereka berencana untuk melakukan perubahan di kelompok itu, agar punya manfaat bagi petani yang ada di sana.

“Saat lebaran misalnya, masyarakat biasanya merasa memiliki ke-butuhan lebih untuk menyambutnya. Karena itu mereka menjual sebagian besar hasil panennya. Melihat kebutuhan yang mendesak, para tengkulak dengan seenak hati menentukkan harga rendah di tingkat petani.” kata Hafidz, sambil menyebutkan sedikit tengkulak yang ada di desanya teta

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 82: aspirasi gabungan

Peternakan mempunyai hubungan yang harmonis denganpertanian. Hanya karena tidak bersertifikat tidak dapat

mewujudkan hubungan yang harmonis tersebut.

73

A.4. Peternakan, Potensi yang Diabaikan

Peternakan punya hubungan yang erat dengan pertanian. Secara alami, paduan yang harmonis antara peternakan dengan pertanian akan mampu mem-bantu keterjagaan lingkungan yang lestari. Contoh sederhana, kotor-an ternak baik padat maupun cair bisa menjadi pupuk untuk lahan dan ta-naman. Selain itu, pengembangan peternakan juga akan meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan bila disinergikan dengan pertanian. Po-tensi yang seharusnya berjalan padu itu, ternyata tidak mudah terlaksana. Kondisi ekonomi masyarakat desa membuat mereka sulit untuk memiliki hewan ternak. Masalah ternak menjadi isu penting setelah CO menganalisa keinginan masyarakat di Desa Gesing (Temanggung) yang berharap dapat memiliki ternak sapi untuk meningkatkan kehidupan ekonomi. Menurut Riya Kurbani, CO desa tersebut, keinginan masyarakat petani untuk dapat mandiri dalam usaha pertaniannya, mensyaratkan adanya ternak yang mampu membantu peningkatan penghasilan mereka.

“Zaman dulu, hewan ternak sudah seperti bagian dari pertanian. Misal-nya sapi atau kerbau yang bisa membantu petani membajak sawah,” kata Slamet anggota kelompok riset aksi desa ini. Namun pola tersebut mulai ja-rang terlihat ketika modernisasi pertanian menghadirkan traktor di desa. “Banyak manfaat yang diperoleh sebenarnya ketika sawah dibajak dengan kerbau atau sapi. Kotorannya bisa menjadi pupuk yang menyuburkan tanah, tetapi memang waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama. Selain itu, meme-lihara sapi juga dapat menambah gizi keluarga dengan meminum susunya,” kata Slamet menambahkan.

Di Desa Gesing, faktor alam pada dasarnya mendukung adanya peter-nakan. Makanan ternak alami berupa rumput dan jerami cukup tersedia. Permasalahannya, untuk dapat memelihara hewan ternak terutama sapi, petani tidak memiliki kemampuan dana yang memadai. Mereka merasa pe-

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 83: aspirasi gabungan

74

luang yang diberikan pemerintah untuk dapat mengakses kredit ternak ter-lalu rumit dan tidak menguntungkan bagi petani. “Kredit ternak di sini tidak berupa uang, melainkan barang (sapi) yang harganya lebih mahal dari harga pasar,” kata Slamet. Kredit tersebut disalurkan melalui Bank Pasar yang merupakan program dari pemerintah. “Syarat untuk bisa mendapatkan kre-dit tersebut juga melalui agunan. Padahal jarang masyarakat di sini yang memiliki sertifikat tanah,” tambahnya. Dengan berbagai permasalahan ter-sebut, program itu menjadi kurang optimal pelaksanaannya. Hanya sedikit masyarakat yang mampu mendapatkan kredit tersebut.

Menanggapi hal itu, kelompok riset aksi melakukan riset aksi dengan mencari tahu apa yang terjadi dengan program kredit ternak hingga mas-yarakat kesulitan untuk mengaksesnya. Mereka datang ke instansi-ins-tansi yang terkait dengan masalah ini. Pertama, mereka datang ke keca-matan untuk menggali informasi. Pejabat di kantor tersebut mengatakan bahwa, dia memahami permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Namun begitu, dia mengatakan prosedur untuk mendapatkan kredit ternak itu sudah baku dan dia tidak punya kewenangan untuk mengubahnya. Dari kantor kecamatan, kelompok riset aksi melanjutkan usahanya ke kantor di-nas tingkat kabupaten. Di kantor tersebut, kelompok riset aksi nyaris tidak mendapatkan apapun, karena lembaga pemerintah itu tidak memberikan data tentang ketentuan kredit ternak. Mereka justru diminta untuk mencari tahu ke kelompok-kelompok yang telah berhasil mendapatkan kredit ter-nak.

Informasi yang agak lengkap justru diperoleh di tempat lain, yaitu be-rupa prosedur pendapatkan kredit ternak. Data tersebut menyebutkan ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa memperoleh kredit. Syarat tersebut antara lain, ada agunan (berupa sertifikat tanah), sudah terbentuk kelompok, adanya pembinaan dari PPL, dan disetujui oleh dinas setelah diadakan survei. Dikatakan pada tahun 2002, ada anggaran se-besar Rp. 750 juta dari Sucofindo untuk kredit ternak. Dari sejumlah dana tersebut, hanya tersalur ke 10 kelompok yang masing-masing mendapat-kan pinjaman sebesar Rp. 5 juta. Sedikitnya jumlah anggota masyarakat yang mendapatkan pinjaman kredit ternak itu membuat rasa ingin tahu ke-lompok riset aksi menjadi besar. Mereka kemudian datang anggota mas-yarakat yang telah mendapatkan kredit ternak. Ternyata, mereka yang telah mendapatkan kredit tersebut juga merasa tidak puas dengan prosedur yang telah dilaluinya. Di Desa Jambon dimana kelompok riset aksi melakukan riset misalnya, jumlah dana pinjaman yang seharusnya Rp. 5 juta tersebut tidak diterima penuh. Ada yang langsung berbentuk sapi. Selain itu ada ba-nyak potongan hingga yang diterima masyarakat tinggal senilai Rp. 4.800.000 yang kemudian disesuaikan dengan harga hewan. Harga ini oleh Slamet dikatakan lebih mahal dengan harga di pasaran. Di desa lainnya, Caruban, jumlah dana kredit yang dikucurkan bahkan hanya sebesar Rp. 4 juta. Dana itu juga kemudian dipotong untuk uang administrasi sebesar

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 84: aspirasi gabungan

75

Rp. 75 ribu. Sama seperti di Desa Jambon, mereka juga tidak mendapatkan dalam bentuk uang, melainkan hewan ternak.

Rata-rata dari penerima kredit ternak mengeluhkan harga yang lebih besar dari harga pasar. Mereka berkeinginan agar pinjaman yang diberikan tidak berbentuk hewan ternak, melainkan uang. “Maksudnya agar kami bi-sa memilih sendiri hewan ternak yang akan dibeli. Jika tidak dipercaya, bo-leh saja ada aparat pemerintah yang ikut ke pasar ketika membelinya,” kata Sunaryo, salah seorang warga yang mendapatkan kredit tersebut. Sebagai peluang bisnis, dikatakan oleh para penerima kredit, pada dasarnya mereka hanya berspekulasi karena harga sapi yang tidak stabil. “Hal itu tidak se-banding dengan persyaratan mendapatkan kredit yang rumit,” ungkap Sun-diro, penerima kredit lainnya.

Kelompok riset aksi beranggapan kerumitan yang terjadi pada kredit ter-nak disebabkan oleh ketidakjelasan tujuan yang hendak dicapai dari prog-ram tersebut. “Jika keinginan pemerintah hendak membantu ekonomi rakyat kecil, harusnya sedapat mungkin beban yang ditanggung oleh rakyat dimini-malkan. Tetapi kenyataannya tidak. Sepertinya ada upaya untuk menarik keuntungan dari masalah yang dihadapi oleh masyarakat,” kata Riya Kur-bani. kelompok riset aksi mencatat permasalahan yang terjadi pada kredit ternak meliputi informasi yang tidak merata, kredit yang turun berbentuk barang, tidak adanya peran petugas lapangan pemerintah, tidak adanya pembinaan yang berkelanjutan pada penerima kredit, persyaratan yang ru-mit, dan tidak adanya kontrol masyarakat dalam penyaluran dana program.

Oleh sebab itulah, kelompok riset aksi berusaha merumuskan beberapa jalan keluar untuk program kredit ternak sapi di daerahnya. Mereka ber-anggapan perlu adanya sistem informasi yang efektif hingga diketahui langsung oleh masyarakat, bentuk kredit harus berupa uang bukan hewan ternak, dibangun sebuah sistem koordinasi hingga aparat yang terkait da-pat menjalankan tugasnya dengan baik, penghapusan persyaratan serti-fikat sebagai agunan dan menggantinya dalam bentuk investasi pemerintah langsung kepada petani dengan sistem bagi hasil, serta dibuat peraturan daerah tentang peran masyarakat dalam pelaksanaan program pemerintah. Terutama masalah kredit ternak.

Usulan yang diajukan dalam sistem bagi hasil adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah berfungsi sebagai penyedia dana, pembuat kebijakan, pengawasan, dan penanggung jawab dari pelaksanaan program

2. Dinas Peternakan berfungsi sebagai pelaksana teknis program, pem-binaan, dan pengawasaan

3. Petani/masyarakat sebagai penerima, bertanggungjawab mengelo-la, dan juga kontrol

4. Swasta berperan sebagai penyedia menyediakan hewan ternak

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 85: aspirasi gabungan

76

Pola ini dianggap dapat menguntungkan se-mua pihak. Terutama bagi masyarakat dan swas-ta. “Tentunya dalam masalah ini, keuntungan pe-merintah bukan dalam sisi ekonomi, tetapi ber-jalannya tugas mereka melayani masyarakat,” ujar Riya Kurbani. Untuk yang terakhir ini dia menekankan sebagai kewajiban dari adanya pe-merintahan. “Buat apa pemerintah membebani masyarakat untuk memenuhi kewajibannya, jika pemerintah sendiri tidak melaksanakan kewa-jibannya,” tandasnya.

B. Sektor Transportasi

B.1. Setia Menanti Penumpang yang Semakin Jarang

Becak yang biasa dikenal sebagai alat transportasi perkotaan, saat ini mulai dapat dilihat di daerah-daerah pedesaan. Barangkali ini akibat dari mulai dibatasinya operasi angkutan tersebut dan juga persaingan dengan angkutan lain yang lebih cepat dan murah. Di Kabupaten Lumajang, alat transportasi ini bisa dijumpai di beberapa kecamatan yang bentuk ta-nahnya datar. Hampir mirip dengan daerah perkotaan, tukang becak seba-gian besar adalah kelompok masyarakat dengan status sosialnya rendah. Mereka harus berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Pembedaan dengan kota, tukang becak di pedesaan kebanyakan tidak ber-profesi tunggal. Mereka juga buruh di lahan pertanian serta bangunan. Hal tersebut dikatakan oleh Muhammad Salim, 45 tahun, tukang becak ang-gota kelompok riset aksi Desa Dawuhan Lor, Kecamatan Sukodono. Na-mun, semasa krisis ekonomi yang tidak berkesudahan ini, Salim dan tu-kang becak lainnya mulai menanggung beban hidup yang semakin berat. Pekerjaan sampingan sebagai tukang bangunan semakin jarang dia pe-roleh. “Sekarang tidak banyak orang yang membangun rumah di sini,” ka-tanya. Sementara penghasilan dari menarik becak semakin berkurang. “Saat ini untuk dapat Rp. 5.000,- sehari sudah sedemikian susahnya,” ung-kap Salim. Awalnya dia dan teman-temannya menunjuk krisis ekonomi se-bagai biang permasalahan yang mengakibatkan sulitnya mereka menda-patkan rezeki. “Bayangkan kami harus bertahan hidup dengan penghasilan

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

Riya Kurbani, “Jika keinginan pemerintah hendak membantu ekonomi rakyat kecil, harusnya sedapat mungkin beban yang ditanggung oleh rakyat diminimalkan...”

ASPIRASI

Page 86: aspirasi gabungan

77

yang tidak menentu,” ujar Misdun, tukang becak anggota kelompok riset ak-si Desa Selok Besuki, Kecamatan Sukodono. Krisis ekonomi bagi mas-yarakat kecil diartikan dengan semakin rendahnya pendapatan yang mere-ka terima dan semakin tingginya harga kebutuhan yang mereka perlukan.

Di Kabupaten Lumajang isu transportasi becak diangkat di 3 desa, yaitu: Selok Besuki dan Dawuhan Lor Kecamatan Sukodono, dan Desa Ba-des, Kecamatan Pasirian. Sukodono adalah kecamatan yang berdekatan de-ngan ibukota Kabupaten Lumajang. Sedangkan Pasirian berjarak sekitar 2 dari ibukota tersebut. Permasalahan transportasi becak yang diha-dapi di 2 kecamatan tersebut sama, yaitu penumpang semakin sepi. Na-mun, selain krisis ekonomi, kelompok riset aksi masing-masing tempat berhasil menemukan permasalahan lain yang berbeda.

B.1.1. Perubahan Jalur yang Merugikan

Di Desa Dawuhan Lor dan Selok Besuki, permasalahan yang dihadapi oleh tukang becak adalah adanya perubahan jalur angkutan antar pede-saan yang melewati daerah strategis bagi mereka untuk mendapatkan pe-numpang. Angkutan sejenis colt yang mereka namakan taksi itu, melewati jalur Perumahan Biting yang terletak di sebelah timur kecamatan tersebut. Sebelumnya taksi tidak melewati daerah itu. Tetapi setelah dibangun Peru-mahan Biting, jalur itu kemudian tidak memberi keuntungan bagi tukang becak. “Perumahan Biting dibangun pada tahun 1997. Saat itu masyarakat di desa yang ada di sekitar perumahan tersebut biasanya menggunakan alat transportasi becak. Namun kemudian setelah pemerintah membuat pera-turan bahwa taksi diharuskan melewati jalur tersebut, rezeki kami para tu-kang becak menjadi sangat berkurang. Bayangkan jika sebelumnya saya bi-sa mendapatkan penghasilan minimal Rp. 10.000,-, sekarang untuk men-dapatkan Rp. 5.000,- saja sangat susah,” ungkap Salim. Dia mencurigai adanya kesepakatan antara manajemen Perumahan Biting dengan Dinas Perhubungan karena latar belakang Perumahan Biting yang dikelola oleh Perumnas. “Barangkali dengan mewajibkan taksi melewati perumahan itu, rumah-rumah yang sudah dibangun di sana cepat laku terjual,” ujar Salim.

Dari informasi yang dikumpulkan oleh kelompok riset aksi, awalnya ja-lur angkutan taksi dari Terminal Wonorejo menuju Kota Lumajang hanya melewati Jl. Selok Besuki, Jalan Sukodono, dan Jl. Gatot Subroto. Ke-mudian jalur taksi antara Guci Alit menuju Lumajang tidak mengangkut pe-numpang dalam jarak dekat. Lalu tahun 1999, wilayah taksi bertambah melalui Perumahan Biting. Kemudian penumpang-penumpang dalam jarak dekat pun mulai diangkut. Permasalahan semakin bertambah ketika mobil sejenis pikap dengan desain bak terbuka di belakangnya juga dijadikan se-bagai mobil angkutan penumpang. Pikap tersebut dipasang atap dan tem-pat duduk menyamping hingga dapat memuat hingga 20 orang penumpang. Lama-lamaan persaingannya menjadi tidak imbang. Tukang becak menjadi

5 km

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 87: aspirasi gabungan

Kelompok riset aksi (pengemudi becak)

78

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

sulit mendapatkan penumpang karena adanya angkutan baru yang lebih modern dan cepat. “Sebenarnya itu memang hak penumpang, tetapi seakan tidak ada perlindungan bagi kami untuk mencari nafkah,” ungkap Moham-mad Amin, 29 tahun, anggota kelompok riset aksi Desa Dawuhan Lor. Ke-sempatan untuk melakukan riset aksi dijalani dengan serius karena me-nyangkut upaya untuk melancarkan dalam mencari nafkah. “Kami senang karena ada yang memperhatikan nasib kami dan memberi kesempatan pa-da kami untuk mengatasi permasalahan itu dengan upaya kami sendiri,” ujar Amin. Keseriusan itu terlihat dari cerita Salim yang mengatakan bah-wa, dia selalu menyempatkan diri untuk melakukan riset setelah dia bekerja menarik becak.

Riset aksi yang dilakukan oleh kelompok riset aksi (kelompok becak) adalah dengan mencari informasi dari penumpang, sopir taksi, pikap, dan Dinas Perhubungan. “Kami ingin membuktikan dugaan-dugaan kami, me-ngapa penumpang semakin lama semakin sepi,” kata Salim. Dia mengaku selama 2 bulan hampir setiap hari melakukan riset pada saat dan setelah bekerja menarik becak. “Selain penumpang yang saya ajak berbicara, saya juga mendatangi anggota masyarakat lainnya dari rumah ke rumah. Pernah saya dikira mau minta sumbangan karena saat keliling itu membawa buku,” ujar Salim. Pengalaman melakukan riset aksi dianggap oleh mereka sangat menarik karena dapat mengetahui dan membuat analisa tentang permasa-lahan yang mereka hadapi. Sebelum membuat analisa, kelompok riset aksi melakukan wawancara dan pengamatan atas permasalahan yang mereka hadapi.

Dari hasil wawancara yang dilakukan tukang becak kepada sopir-sopir taksi, mereka mendapatkan data bahwa sopir taksi pun keberatan atas pe-mindahan jalur melewati Perumahan Biting. “Sopir-sopir taksi pada dasar-nya keberatan dengan pemindahan jalur yang harus mereka tempuh. Mere-ka mengatakan jalur tersebut sangat sepi, hingga tidak terlalu menguntung-kan,” kata Amin. Sementara, saat mewawancarai sopir-sopir pikap, awal-nya mereka tidak mendapat masalah yang berarti. Karena wawancara dila-

ASPIRASI

Page 88: aspirasi gabungan

Suasana sepi begini sudah biasa di daerah Sukodono (Lumajang)

kukan secara informal berupa perbincangan biasanya. Namun setelah itu, informasi kegiatan yang dilakukan oleh kelompok riset aksi menyebar hing-ga sampai pada sopir-sopir pikap. “Mereka berubah memusuhi kami dengan tidak mau menyapa. Padahal sebelumnya sikap mereka cukup baik kepada kami,” kata Amin. “Saya anggap hal tersebut wajar saja karena mungkin mereka pikir kegiatan ini hendak menggganggu mata pencaharian mereka,” tambahnya.

Kesulitan untuk mendapatkan informasi justru ketika kelompok riset aksi berhadapan dengan Dinas Perhubungan. Mereka tidak diterima de-ngan baik di sana. “Orang-orang Dinas Perhubungan tidak memberi kete-rangan apapun pada kami. Mereka sepertinya ingin mempersulit dengan mempertanyakan izin kami kami melakukan riset. Padahal kami adalah war-ga negara yang sah, mengapa tidak diperbolehkan mendapat informasi dari pemerintah?” ungkap Amin setengah bertanya. Ketertutupan dari Dinas Perhubungan tersebut tidak membuat kelompok riset aksi patah semangat. Mereka menghubungi pihak pemerintah lainnya perihal perubahan jalur angkutan tersebut. Camat Sukodono yang berhasil mereka temui me-ngatakan bahwa perubahan jalur tersebut dikatakan sementara, namun dia tidak mengetahui mengapa hingga saat ini masih saja berlaku. Camat tersebut menilai, yang punya wewenang untuk masalah itu adalah Dinas Perhubungan.

Pengalaman di kantor Dinas Perhubungan sempat membuat anggota kelompok riset aksi ragu. Mereka berpikir semua pejabat pemerintah akan berlaku sama pada mereka. Tetapi pengalaman berbeda mereka peroleh di kantor kecamatan. “Awalnya saya merasa takut dan ragu juga apakah kami akan diterima oleh Pak Camat,” ungkap Ahmad Marliyadi, anggota kelom-pok riset aksi. Perasaan itu semakin terasa saat dia sudah sampai di kantor kecamatan dan menunggu giliran bertemu dengan Camat Sukodono. “Ternyata tidak seperti yang saya bayangkan. Setelah bertemu dengan Pak Camat, dia sangat ramah dan memberi dukungan atas apa yang kami la-kukan,” ujarnya.

79

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 89: aspirasi gabungan

Setelah beberapa kali datang ke kantor Dinas Perhubungan, akhirnya perwakilan kelompok riset aksi yang terdiri dari 3 orang berhasil mewawan-carai Kepala Dinas Perhungan di Lumajang. Di sana mereka mendapatkan komentar bahwa, perubahan jalur merupakan tuntutan dari masyarakat. Oleh sebab itu dia menilai perubahan yang ditandai dengan SK Bupati No. 139 tahun 1997 itu tidak mungkin diubah lagi. Dia juga menjelaskan ten-tang aturan untuk trayek kendaraan penmpang di Lumajang. Dikatakan-nya bahwa pikap bukan untuk kendaraan penumpang yang komersial. Oleh sebab itu, dia menganggap adanya kendaraan pikap yang menjual jasa mengangkut penumpang adalah menyalahi aturan. Namun pelanggaran semacam ini sepertinya tidak berbuah pada penertiban praktek tersebut. Bahkan informasi yang diperoleh dari para pengemudi pikup, mereka juga membayar pungutan yang dijalankan oleh oknum petugas. “Oleh karena itu mereka merasa aman saat mengambil penumpang di jalan,” kata Amin.

Walau terusik dalam mencari nafkahnya, Amin terkadang merasa tidak enak hati karena pengemudi-pengemudi pikup kebanyakan tetangganya sendiri. “Saat mereka mengetahui kami tergabung dalam program ini, hu-bungan dengan mereka menjadi renggang. Padahal pada dasarnya kami ti-dak ingin mematikan usaha itu, tetapi harus ada aturan main yang jelas hing-ga tidak ada yang dirugikan,” katanya. Sikap tidak bersahabat dari para pe-ngemudi pikap terpaksa harus dia terima dan menurutnya itu sangat tidak mengenakkan baginya. Dia berharap ada jalan keluar yang tepat untuk me-ngatasi masalah tersebut.

Masalah lain yang dihadapi oleh tukang becak adalah kerusakan jalan. Oleh Roji'un, salah seorang anggota kelompok riset aksi dikatakan bahwa, banyak penumpang yang mengeluhkan ketidaknyamanan naik becak. Bagi tukang becak sendiri, kerusakan jalan menyulitkan mereka bekerja. Selain itu juga membahayakan karena tak jarang ada becak yang terjungkal ka-rena masuk lubang yang digenangi air di musim hujan. Ada sekitar 12 titik kerusakan jalan yang bermasalah bagi tukang becak di Kecamatan Suko-dono. Kerusakan terparah dapat dijumpai di sekitar Jalan Duren. Menurut mereka kerusakan itu telah lama terjadi dan tidak ada perbaikan yang ber-arti dilakukan oleh pemerintah. Memang ada beberapa perbaikan kecil di beberapa tempat, tapi itu hanya sebentar saja bisa bertahan, seminggu ke-mudian jalan kembali rusak. Dia menduga kontraktor yang diberi proyek perbaikan tidak serius menjalankan tugasnya karena hanya berpikiran mengambil untung yang besar saja dari proyek itu.

Bekerja sebagai tukang becak pada dasarnya sama seperti usaha di sek-tor jasa lainnya. Ada kompetisi di antara mereka sendiri untuk menda-patkan penumpang. Berbeda dengan jasa angkutan lainnya, becak tidak memiliki tarif standar untuk penumpangnya. Kadang-kadang itu juga men-jadi masalah bagi tukang becak pada umumnya. “Misalnya ada 3 orang tu-kang becak, ada penumpang yang menawar Rp. 2.000,-, ada yang menolak karena harga itu tidak sesuai dengan jaraknya. Tetapi ada juga tukang

80

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 90: aspirasi gabungan

becak yang mau karena pertimbangan sepi penumpang,” kata Amin. Untuk masalah tersebut, dia mengaku kesulitan untuk mencari alternatif penyele-saiannya. Dari riset yang dilakukannya pada tukang-tukang becak, ada yang mengusulkan keseragaman tarif, tetapi ada juga yang tidak setuju de-ngan itu. “Yang tidak setuju, karena mereka menganggap di situlah seninya bekerja sebagai tukang becak. Artinya masalah keuntungan yang diperoleh tidak bisa diduga. Tetapi jika melihat perkembangan saat ini, keuntungan yang pasti bisa diduga sangatlah kecil,” katanya. Dari masyarakat sendiri, menurut Amin, banyak yang menginginkan keseragaman tarif. “Sepertinya mereka ingin kepastian masalah ongkos. Padahal sebenarnya ongkos becak sendiri biasanya tergantung pada kebiasaan,” tambahnya.

Penghasilan tukang becak memang sangat kecil, jika berbanding de-ngan kebutuhan standar sehari-hari. “Penghasilan yang saya dapat sehari tidak jauh dari Rp. 5.000,- Kelihatannya mudah untuk mendapatkan duit se-gitu. Tetapi khususnya tahun ini, mendapatkannya susah,” kata Salim. Dia menilai krisis ekonomi yang terjadi saat ini hanyalah menimpa masyarakat kecil seperti dirinya. “Lihat saja, makin hari yang memiliki kendaraan pri-badi semakin banyak. Itu kan membuat pendapatan kami menjadi semakin berkurang. Belum lagi jumlah angkutan yang bertambah,” tambahnya. Wa-laupun demikian, dia merasa bersyukur karena masih memilki becak sen-diri. Sewa becak sebenarnya tidak terlalu mahal karena hanya Rp. 1.000,- per harinya. Tetapi menurutnya biaya itu menjadi berarti karena pendapat-an yang minim. Dengan penghasilan yang kecil itu, Salim berkewajiban menghidupi keluarganya. Dia punya anak yang masih duduk di sekolah da-sar. Karena tidak merasa cukup, Salim juga melakukan pekerjaan samping-an sebagai tukang bangunan. Hanya saja dia mengeluhkan sedikitnya orang yang membangun saat ini.

Rendahnya penghasilan itu hampir merata dirasakan oleh tukang be-cak. Misdun, anggota kelompok riset aksi, misalnya. Rata-rata perhari dia hanya mendapat Rp.7.000,- Bahkan dia mengaku kadang-kadang dia tidak mendapatkan satu penumpang pun. Menjadi tukang becak adalah pilihan terpaksa baginya. “Saya menjadi tukang becak ini karena terpaksa. Karena memang tidak punya ketrampilan lain,” ungkapnya. Misdun juga tidak menggantungkan becak sebagai satu-satunya pekerjaannya. “Untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup, saya selain menarik becak juga jadi buruh tani,” katanya. Sebagai tukang becak, dia pernah keluar dari kampung ha-lamannya merantau ke Surabaya. Selama 3 tahun di sana dia juga melaku-kan pekerjaan yang sama. Ketika becak sudah semakin banyak, persaingan di antara tukang becak sendiri membuat dia mengalah untuk kembali ke desanya. Dari pengalamannya merantau tersebut, dia punya pelajaran yang menarik untuk diterapkannya di kelompok tukang becak Desa Selok Be-suki. “Waktu saya di Surabaya, tukang-tukang becak punya kelompok sema-cam paguyuban,” ceritanya. Dia berkeinginan kelompok riset aksi becak di Desa Selok Besuki bisa menjadi perintis adanya paguyuban. Dengan ada-

81

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 91: aspirasi gabungan

82

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

nya paguyuban tukang becak, kami bisa memperjuangkan nasib kami ber-sama-sama saat ada masalah,” katanya.

Misdun sudah memulai menarik becak sejak tahun 1974. Pria yang ha-nya sempat duduk di sekolah dasar ini tidak pernah merasakan adanya bantuan pemerintah yang berarti bagi kehidupannya. “Pernah ada pem-berian dana sebesar Rp.30.000,- beberapa tahun yang lalu. Entah dana apa, waktu itu saya terima saja,” katanya. Pengalaman yang menguntungkan biasanya saat masa pemilihan umum tiba. Dia bisa mendapatkan baju-baju kaos dari berbagai partai politik. “Kadang-kadang kami juga mendapatkan uang jika diminta untuk pawai keliling,” ceritanya. Namun setelah itu keada-an kembali seperti biasanya lagi. Mereka kembali menunggu datangnya pe-numpang yang semakin jarang.

B.1.2. Kemeriahan yang Mengurangi Penghasilan

Saat musim kawin tiba, barangkali ini tidaklah umum sebagaimana mu-sim-musim yang lain. Tetapi budaya masyarakat di Desa Bades, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, dan juga tempat-tempat lain yang mayori-tas penduduknya beragama Islam, ada bulan-bulan tertentu yang dianggap baik untuk membuat hajatan perkawinan. Tentulah acara tersebut akan di-sambut dengan suka cita dengan kemeriahan dalam tingkatan tertentu. Ji-ka kebetulan yang mengadakan adalah keluarga yang kaya, maka acaranya akan dibuat dengan sangat meriah. Kebiasaan di daerah Jawa, acara terse-but bisa berlangsung selama seminggu. Tetapi lain halnya jika yang menga-dakannya keluarga yang sederhana atau miskin. Acaranya juga dilakukan dengan sederhana.

Lalu apa hubungan masalah hajatan dengan kemeriahannya itu dengan tukang becak? Kemeriahan itu ternyata sangat berpengaruh pada pengha-silan yang diperoleh mereka. Tetapi yang terjadi di sana bukan penghasilan-nya bertambah, tetapi justru penghasilan menjadi menurun. Mengapa de-mikian? “Di Bades, masyarakat yang membuat hajatan selalu menutup ruas jalan hingga kendaraan tidak bisa lewat,” kata Khoirun Abidin, anggota ke-lompok riset aksi Desa Bades. Walaupun hajatan tidak dilakukan setiap ha-ri, namun pada bulan-bulan di mana hajatan sering dilakukan, penghasilan tukang becak menjadi sangat berkurang. “Kami merasa sangat terganggu dan dirugikan jika memasuki bulan-bulan tersebut,” kata Imron, yang juga anggota kelompok riset aksi desa ini. Namun demikian dia dan kawan-ka-wannya tidak bermaksud untuk menghalangi anggota masyarakat untuk melangsungkan hajatan. Sebaiknya ada kebijaksanaan agar diberi sedikit ruang agar dapat dilalui becak. Jalanan di Desa Bades tidaklah terlalu banyak. Ketika satu jalan saja ditutup, maka alternatif jalan lainnya sangat jauh hingga orang banyak yang enggan untuk menggunakan becak.

ASPIRASI

Page 92: aspirasi gabungan

83

Persoalan yang sama dengan kawan-kawannya di Kecamatan Sukodo-no, selain penutupan jalan, tukang becak di Kecamatan Pasirian juga ter-usik dengan adanya kendaraan pikap yang mengangkut. “Jumlahnya sema-kin hari makin bertambah sehingga cukup mengganggu perolehan penda-patan kami,” kata Khoirun. Dia berkeyakinan bahwa pikap-pikap itu tidak punya izin beroperasi. “Harusnya ada aturan yang jelas agar tidak ada masalah di kemudian hari dan kami bisa merasa tenang dalam mencari naf-kah,” katanya menambahkan. Masalah lain yang hampir umum terjadi ber-kaitan dengan transportasi adalah jalanan rusak. Di Desa Bades, jalan ru-sak juga punya pengaruh yang menentukan bagi penghasilan tukang becak. “Penumpang merasa tidak nyaman jika menaiki becak karena jalanan yang rusak,” kata Ahmad Joni, juga seorang anggota kelompok riset aksi desa ini. Jalan rusak yang cukup parah terdapat di perempatan Bades-Krajan di Du-sun Bago dan perempatan Bades-Purut di Dusun Tabon. Dia mengaku ba-nyak kehilangan pelanggan yang melintasi jalanan tersebut. Terutama pe-langgan tetap yang berjualan di Pasar Baru. “Mereka sebelumnya meng-gunakan jasa becak untuk mengangkut dagangannya. Karena jalanannya yang rusak, mereka merasa tidak nyaman lagi jika harus menggunakan be-cak,” katanya. “Jalanan rusak selain membuat sepi penumpang, juga ber-pengaruh pada kerusakan becak yang digunakan. Onderdil cepat sekali ru-sak jadi terpaksa biaya dikeluarkan lagi.”

Dalam pikiran para tukang becak di Desa Bades, sepertinya permasa-lahan mereka hanya mereka sendiri yang memikirkannya. “Sampai saat ini belum pernah kami diajak berbicara tentang masalah kami oleh pemerintah. Bahkan terkesan kami tidak dianggap,” kata Imron. Dia memberi contoh Pa-sar Baru yang baru saja selesai di bangun. Di sana tidak ada tempat khusus untuk parkir becak. “Coba lihat betapa semrawutnya becak di sana. Tetapi tetap saja tidak ada aturan yang jelas untuk menertibkan itu,” kata Imron. Kadang-kadang terjadi juga pertengkaran di antara tukang becak karena berebut tempat mangkal yang strategis. Dari berbagai permasalahan yang ditemui itu mereka mulai menetukan strategi di dalam melakukan riset ak-si. Mereka berbagi tugas untuk datang dan mewawancarai pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan mereka. Tentunya tugas yang mereka la-kukan bukanlah sesuatu yang mudah karena mereka akan berhadapan de-ngan pejabat-pejabat pemerintahan yang selama ini tidak mereka bayangkan.

Imron merasakan pengalaman yang luar biasa. Dia bersama kawan-ka-wannya mampu menghalau kendala psikologis untuk mendatangi pejabat-pejabat pemerintah yang terkait dengan masalah mereka. “Hampir di luar apa yang kami pikirkan. Ternyata ketika kami punya keberanian untuk ber-komunikasi dengan pejabat, banyak dari mereka yang menerimanya,” kata Imron. Dia dan kawan-kawannya mendatangi kantor kelurahan, kecamat-an, Dinas Perhubungan, dan Kantor Kepolisian. “Coba bayangkan, tukang becak mendatangi kantor-kantor pemerintah untuk mencari data. Hebat-kan?” ujar Imron tanpa bermaksud menyombongkan dirinya. Pengalaman

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 93: aspirasi gabungan

84

yang paling berkesan adalah saat datang ke kantor polisi. “Sebelumnya da-lam pikiran kami, kantor polisi hanya didatangi oleh orang yang berbuat kri-minal saja. Tentu saja kami punya kekhawatiran dan sedikit takut. Apa mak-sud kami bisa diterima dengan baik oleh bapak-bapak polisi itu?”paparnya. Tapi di luar dugaan, kekhawatiran mereka pupus setelah disambut dengan hangat. “Bapak-bapak polisi itu memahami apa yang kami inginkan. Mereka memberikan data dan juga saran-saran agar apa yang kami perjuangkan dapat berhasil.”

Dari kepolisian mereka mendapatkan informasi bahwa, tidak ada atu-ran hukum yang mengatur tentang penutupan jalan saat ada hajatan. Na-mun mereka menyarankan untuk datang ke Dinas Perhubungan yang ber-wenang untuk masalah tersebut. Pertanyaan-pertanyaan lain yang diaju-kan oleh kelompok riset aksi adalah seputar permasalahan yang telah mere-ka temukan, seperti mengenai areal parkir untuk becak di Pasar Baru dan kendaraan pikap yang mengangkut penumpang. Pihak kepolisian tidak da-pat memberi keterangan yang jelas karena bukan wewenang mereka. Na-mun dijelaskan tidak ada aturan yang memperbolehkan kendaraan pikap mengangkut penumpang. Pertimbangannya adalah keselamatan penum-pang karena desain kendaraan tersebut digunakan untuk mengangkut ba-rang. Untuk masalah penertiban pihak kepolisian menyarankan agar tu-kang becak berunding terlebih dahulu dengan pengemudi dan pemilik ang-kutan tersebut. Pihak kepolisian menganggap masalah ini cukup sulit karena terkait dengan mata pencaharian.

Sebelum datang ke Dinas Perhubungan, kelompok riset aksi terlebih du-lu bertemu dengan pemerintahan desa dan kecamatan. Di kantor desa dan kecamatan, kelompok riset aksi memperoleh informasi dan dukungan dari masing-masing lembaga. Dari Camat Pasirian dikatakan bahwa ada pera-turan untuk penutupan jalan, walaupun tidak spesifik untuk hajatan. “Na-mun proses yang dilakukan bertingkat, diusulkan dari desa ke kecamat-an.Setelah itu diputuskan oleh Dinas Perhubungan untuk mendapatkan ijin,” katanya. Dia menyarankan agar dibuat kesepakatan antara tukang becak dengan pihak yang menyelenggarakan hajatan agar memberi sedikit jalan untuk dapat dilewati becak. Pada Camat Pasirian tersebut, kelompok riset aksi sempat menanyakan tentang program pemerintah yang bertujuan un-tuk membantu mengatasi masalah masyarakat kecil. Kelompok riset aksi juga menanyakan tentang jalanan yang rusak di Kecamatan Pasirian. Na-mun sayangnya, dikatakan oleh Camat tersebut, bahwa perbaikan jalan be-lum menjadi prioritas karena dana yang telah diajukan oleh pihak keca-matan adalah untuk pembuatan pasar umum baru dan pasar hewan. Perta-nyaan lain yang sempat ditanyakan adalah Program Pengembangan Keca-matan (PPK). Oleh Camat itu dikatakan bahwa PPK hanya ditujukan untuk daerah yang kurang sejahtera. Sementara menurutnya Pasirian termasuk daerah yang makmur. Dia punya keinginan untuk mengganti becak dayung (kayuh) yang ada di Kecamatan Pasirian dengan becak motor bermesin. Alasan dia menilai pekerjaan tersebut kurang manusiawi. Terlebih jika se-

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 94: aspirasi gabungan

85

orang tukang becak harus mengangkut 3 orang penumpang.

Tentunya hal tersebut agak bertolak belakang dengan kondisi yang diha-dapi oleh tukang becak. Mereka adalah termasuk kelompok masyarakat yang antara pendapatan dan pengeluarannya tidak berimbang. Timbul Su-noto, misalnya. Dia harus menghidupi keluarganya yang terdiri dari isteri dan 3 orang anak dengan penghasilan rata-rata per hari Rp.5.000,-. Jika mengacu pada ukuran kesejahteraan, saat sekarang ini sangat sulit untuk menyatakan bahwa penghasilan itu cukup disebut sejahtera. Sementara penghasilan serupa tidak hanya dirasakan oleh Timbul, tetapi juga sebagian besar tukang becak di Kecamatan Pasirian.

Tetapi kelompok riset aksi tidak dapat menghubungi Dinas Perhubung-an. Mereka terganjal oleh persyaratan yang diberikan oleh Dinas Perhu-bungan untuk menyertakan izin dari Kesbanglimas. Karena disyaratkan de-mikian, kelompok riset aksi mencoba mendatangi lembaga tersebut. Namun lagi-lagi mereka harus menerima perlakuan yang sama. Lembaga pengganti Dinas Sospol itu mengajukan beberapa persyaratan untuk mendapatkan re-komendasi dari mereka. Kelompok riset aksi diwajibkan menyertakan surat permohonan secara bertingkat dari mulai kantor desa. Dengan berbagai pertimbangan, mereka akhirnya tidak meneruskan upaya menggali in-formasi dari Dinas Perhubungan. “Kami menilai pihak Dinas Perhubungan arogan dan terlampau prosedural karena tidak bersedia menemui kami,” ujar Khoirun. Pada-hal menurutnya kelompok riset aksi hanya membutuhkan beberapa keterangan dan in-formasi yang terkait dengan masalah mereka. “Mengapa masyarakat hendak bertanya saja harus pakai izin?” ujarnya setengah tidak per-caya dengan apa yang dialaminya.

Melakukan riset memang menjadi penga-laman yang mengesankan. Mereka seakan berada dalam 2 posisi yang berbeda, pelaku dan penganalisa. Dalam masa riset aksi, ke-lompok riset aksi sempat dicurigai oleh sesama tukang becak lainnya. Mereka heran karena kami sering berkumpul kemudian mewawan-carai banyak orang serta mendatangi kantor-kantor pemerintah. Tetapi setelah kami jelas-kan maksud dari kegiatan ini mereka sangat mendukung. Walaupun ada juga yang menge-jek tapi itu tidak menjadi masalah bagi mere-ka. Tetapi sempat ada pengalaman yang tidak mengenakkan yang terjadi saat kelompok riset aksi mewawancarai sesama tukang becak. Itu dialami oleh Ahmad Joni yang dimarah-ma-

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 95: aspirasi gabungan

86

rahi oleh salah seorang tukang becak. “Dia marah karena saya menanyakan pendapatannya. Sepertinya dia tersinggung karena bilang: Kamu Siapa? Apa perlunya tanya-tanya? Hampir saja terjadi pertengkaran. Tetapi saya men-coba mengalah lalu pergi begitu saja. Tapi belakangan setelah itu kami ber-baikan kembali karena saat itu dia tidak tahu maksud dan tujuan saya,” katanya.

Pengalaman yang dialami Ahmad Joni tidak menyurutkan dia untuk te-tap mengikuti program ini sampai akhir. Dia merasa apa yang dia kerjakan nantinya punya arti penting bagi penghidupannya kelak. Joni adalah salah seorang warga desa yang merasa tidak beruntung dengan berbagai usaha yang telah dia lakukan. Sebelumnya dia berprofesi sebagai buruh tani. Seja-rah keluarganya tidak mampu mewariskan lahan untuknya bertani, hingga dengan terpaksa melakukan usaha itu. Penghasilan yang minim sebagai buruh tani membuat dia beralih profesi sebagai tukang becak. Dia berharap akan ada perubahan nasib yang lebih menguntungkan. “Di awal memang terlihat mudah, karena kami hanya menunggu penumpang, kemudian mendapat bayaran,” katanya. Namun lambat laun penumpang semakin se-pi. Saat ini usaha itu juga hampir sama dengan usaha sebelumnya sebagai buruh tani. “Sepertinya kesempatan bagi masyarakat kecil dibuat begitu su-lit untuk berkembang. Buktinya saya dan kawan-kawan selalu saja men-dapat masalah dalam berusaha,” ujarnya.

Dari riset yang telah mereka lakukan, ada banyak temuan yang diper-oleh perihal penumpang yang semakin sepi. Temuan tersebutlah yang nan-tinya akan menjadi bahan dialog dengan pihak-pihak yang berwenang. Me-reka mulai menyadari bahwa, permasalahan yang dialami bukanlah hanya berasal dari mereka sendiri. Tapi banyak faktor yang terkait dengan itu. Oleh karena itu mereka akan menuntut tanggung jawab pihak pemerintah untuk membantu penyelesaiannya. “Artinya saat ini kami punya kesadaran baru untuk tidak sekadar pasrah pada nasib. Tapi tetap semangat untuk berusaha,” tegas Khoirul.

C. Sektor Pedagang dan Pengrajin Kecil

Korban Perhatian Setengah Hati

Dalam setiap peristiwa besar yang tidak menguntungkan seperti halnya krisis ekonomi yang melanda negeri ini, korban yang nyata adalah mas-yarakat kecil. Terlebih jika penghidupan mereka bergantung pada sektor-sektor yang terkena dampak krisis tersebut. Sebelumnya, mereka sendiri ti-dak diuntungkan dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Pengrajin dan pedagang kecil merupakan sosok dari kelompok masyarakat yang bertahan hidup dari sisa-sisa peluang yang tidak dianggap sebagai sektor potensial untuk dikembangkan. Mereka tersisih dari fasilitas yang diberikan negara untuk berkembang. Di Kabupaten Lumajang dan Temanggung, isu semakin

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 96: aspirasi gabungan

87

terpuruknya usaha kecil menjadi masalah yang penting bagi masyarakat di sana. Mengapa demikian, karena selain mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani, sebagian kecil lainnya menggeluti sektor ini. Sama seperti halnya petani, kelompok masyarakat yang hidup pada sektor ini adalah ke-lompok yang penting dalam kehidupan masyarakat. Tetapi pentingnya ke-hadiran mereka tidak diimbangi dengan apa yang mereka terima untuk da-pat menikmati hidup. “Kerja keras bukanlah jaminan untuk hidup layak,” ujar Kamto, seorang pedagang bakso dari Desa Dawuhan Lor, Kecamatan Sukodono. Apa yang dia katakan mendapat pembenaran dari Gatot Mul-yono, buruh pembuatan bata merah di Desa Bades, Kecamatan Pasirian. Te-naga yang dikeluarkan tidak seimbang dengan hasil yang diperoleh. Sehing-ga dalam pikiran mereka, bertahan hidup saja sudah patut untuk disyukuri.

Di Kabupaten Lumajang, hampir di setiap desa terdapat industri kecil atau pengrajin kecil dan tentunya juga pedagang kecilnya, termasuk di Desa Dawuhan Lor, Selok Besuki, Nguter, Bades, dan Oro-oro Ombo, lokasi dima-na kegiatan riset aksi dilakukan. Yang termasuk dalam lingkup usaha-usa-ha kecil ini dari pengamatan kelompok riset aksi adalah pedagang bakso, mlinjo (sayuran keliling), genteng, cemplong (batako), bata merah, gerabah, sablon, dan pengrajin (buruh) perak. Sedangkan di Kabupaten Temang-gung, isu ini muncul di satu desa, yaitu di Desa Giyono, Kecamatan Jumo. Usaha kecil yang banyak digeluti masyarakat di sana adalah kerajinan anyaman dan makanan ringan. Usaha-usaha mereka dibangun dengan mo-dal yang kecil karena tujuan awal mereka berusaha hanyalah sekadar ber-tahan hidup.

Apa yang menjadi masalah sehingga hidup menjadi sesuatu yang sulit bagi mereka? Secara klasik, pertama kali yang muncul dari masyarakat ke-tika riset dilakukan adalah masalah modal yang kurang dalam melakukan usaha. Memang, hal itu dapat dikatakan lumrah. Usaha harus ada modal. Hanya saja modal itu dipahami tidak sekadar uang, karena kelompok riset aksi berhasil menemukan permasalahan lain yang terkait dengan modal ini. Akan tetapi di zaman yang serba uang saat ini, orang sangat sulit berang-gapan lain selain modal. Kesan itulah yang tertangkap saat kelompok riset aksi memulai riset aksi. “Awalnya, saat kami mencoba mewawancarai ang-gota masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang kecil, banyak yang me-ngira akan ada program bantuan keuangan,” kata Sami'un, kelompok riset aksi Desa Selok Besuki. “Kami kemudian meluruskan bahwa yang dilaku-kan kelompok riset aksi adalah mencari akar permasalahan yang terjadi pada pedagang kecil. Dari sana kemudian kami memperoleh berbagai ma-cam informasi,” katanya.

Saat melakukan riset aksi, rata-rata anggota kelompok riset aksi punya pengalaman dicurigai oleh para pedagang. Karena dikira mata-mata pe-saing mereka. Dunia bisnis sekecil apapun lingkupnya, selalu menun-jukkan adanya persaingan. “Saya datang dengan bertanya tentang berbagai masalah dalam usaha mereka. Tentunya ini bukan sesuatu yang biasa. Ada

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 97: aspirasi gabungan

88

beberapa orang yang curiga walaupun telah saya jelaskan tentang maksud dan tujuan riset aksi ini dilakukan. Terutama orang-orang tua dan tokoh masyarakat. Misalnya Haji Taufik, dia menanyakan panjang lebar mulai dari siapa yang memberikan dana, apa ke-giatan dari sekolah ini, hingga ada tidaknya tujuan politik dari kegiatan ini,” ungkap Sami'un. Menghadapi hal itu dia berusaha bersikap tenang dan dengan sabar menjelaskan lebih leng-kap lagi. Dan rata-rata setelah masya-rakat mengetahui tentang penjelasan program ini, mereka terlihat sangat antusias. Karena pada masa-masa se-karang ini usaha yang mereka lakukan sedang dalam keadaan yang tidak di-untungkan.

Dari riset yang dilakukan oleh kelompok riset aksi, permasalahan yang dianggap paling penting adalah sepinya pembeli. “Bagaimanapun bagusnya kualitas barang yang kami produksi, tetapi kalau tidak ada pembeli kan percuma saja,” kata Nonik Isnaini, salah seorang pengrajin perak anggota kelompok riset aksi Desa Nguter (Lumajang). Gadis berusia 20 tahun itu mengaku, saat sekarang ini pendapatannya jauh menurun. Walaupun se-bagai pekerja, dia juga merasakan dampak dari kemunduran usaha pemi-liknya. “Produksi semakin sedikit karena jumlah pesanan juga berkurang,” katanya. Kerajinan perak Lumajang sebelumnya punya pasar yang bagus di wilayah Bali. Namun saat tragedi ledakan bom di sana, menyusutkan jum-lah turis yang datang. Pengaruhnya ternyata tidak hanya di Bali saja, na-mun juga industri-industri kecil di tempat lain yang terlanjur menjadikan Bali sebagai pasarnya.

Nonik yang biasanya bisa mengerjakan 4 ons perak seminggu dengan bayaran per ons-nya Rp.16.000,-. Saat sekarang dengan jumlah yang sama terpaksa dikerjakannya selama 1 bulan. Tentunya, penghasilannya ter-sebut sangat minim untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beruntung dia masih tinggal bersama orang tuanya sehingga masih mampu untuk ber-tahan. Dari hasil riset yang dia lakukan ke masyarakat pengrajin, mereka menginginkan adanya pasar lokal yang punya akses luas, sehingga mampu menampung produk-produk yang dibuat oleh pengrajin lokal. Selain produk-produk lokal yang punya potensi pasar di luar daerah, pada sektor ini yang merupakan bagian paling banyak adalah produk lokal untuk konsumsi lokal. Usaha ini sangat bergantung pada pasar lokal, sehingga ke-adaan ekonomi di daerah itu sangat mempengaruhi penghasilan para

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

Pedagang sayur keliling

ASPIRASI

Page 98: aspirasi gabungan

89

pedagang dan pengrajin di sana. “Di sini mayoritas penduduknya petani. Ji-ka hasil pertanian bagus, maka usaha kami pun akan mengikuti,” kata Har-yono, anggota kelompok riset aksi Desa Giyono (Temanggung). Kondisi yang berhubungan ini mempertegas bahwa usaha yang mereka lakukan dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Itu terjadi karena ekonomi mas-yarakat petani, konsumen utama mereka, juga tidak lebih baik. Keterkaitan itu juga dikatakan oleh Agung, yang bekerja di bidang usaha bata merah. “Saat sekarang sedikit orang yang membangun rumah karena mungkin per-ekonomian di sini sedang tidak mendukung. Akibatnya usaha kami menjadi sepi,” kata Agung. Akibat sepinya pembeli, mereka terpaksa menurunkan harga hingga keuntungan yang diambil begitu minim tidak sebanding dengan dana dan tenaga yang dikeluarkan. “Memang agak aneh, kami ter-paksa menurunkan harga di saat bahan baku untuk produksi cendrung naik. Maksudnya disesuaikan dengan kemampuan masyarakat di sini. Tetapi pa-da kenyataannya, tetap saja sepi pembeli,” paparnya. Agung dalam melaku-kan pekerjaannya, mendapat upah sebesar Rp.20.000,- untuk pembuatan 1.000 bata merah. Dia bisa mengerjakan itu selama 2 hari. Tetapi saat ini dia terpaksa harus menunggu bayaran karena tidak bisa penuh dibayar akibat sepinya pembeli.

Hampir rata-rata dari pengrajin dan pedagang kecil mengeluhkan ma-salah pembeli yang berkurang. Termasuk juga dengan pedagang bakso dan sayuran keliling. Kalaupun masih ada pembeli, mereka terpaksa mengu-rangi ukuran barang dagangannya. Misalnya tukang bakso, untuk tidak menaikkan harga, gelindingan baksonya diperkecil. “Itu dilakukan karena harga daging yang naik. Di sini harganya sampai Rp. 30.000,- per kg. Pada-

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Pengrajin batu-bata merah

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 99: aspirasi gabungan

90

hal di kecamatan lain yang tidak begitu jauh dari sini, harganya hanya Rp. 25.000,- per kg,” kata Bambang Sumantri, penjual bakso anggota kelompok riset aksi Desa Dawuhan Lor.

Bambang mengaku kecewa dengan keadaan saat ini. Padahal dulu saat ramai-ramainya reformasi diteriakkan, dia punya harapan akan terjadi per-ubahan yang lebih baik. “Saya pikir-pikir dulu keadaan saya justru lebih baik, karena sekarang saya bekerja siang-malam, keuntungan yang saya peroleh per harinya rata-rata cuma Rp.10.000,-” ujarnya. Biasanya dulu dia dengan mudah menghabiskan 2 kg daging bakso untuk dijual. Sekarang dia kesulitan untuk menghabiskan 1,5 kg. Dia menilai saat sekarang ini banyak orang berlaku seenaknya, termasuk pedagang daging yang menjual daging dengan harga yang tinggi. Hasil riset yang dilakukannya berhasil mem-peroleh informasi bahwa terjadi monopoli penjualan daging di tempatnya. “Ada orang dengan modal yang kuat yang menentukan harga. Dia juga mengancam pedagang-pedagang lain yang menjual di bawah harga yang ditentukannya,” ungkapnya. Sementara problem lain dari pedagang adalah tidak adanya standar harga yang sama untuk bahan-bahan pokok seperti beras, gula, minyak tanah, dan lain sebagainya. Perbedaan ini selain mem-bingungkan konsumen juga membuat persaingan antar pedagang menjadi tidak sehat. Lalu apa yang diharapkan mereka terhadap pemerintah?

Masing-masing kelompok riset aksi di sektor ini lalu mendatangi pihak-pihak pemerintah yang mereka anggap terkait dengan masalah mereka. Di Desa Selok Besuki, Sami'un menceritakan bahwa dia bersama kawan-ka-wannya datang ke kantor desa dan kecamatan untuk mengetahui tang-gapan pemerintah atas masalah yang dihadapi masyarakat pedagang dan pengrajin kecil. Di sana mereka dijelaskan program-program pemerintah untuk membantu meningkat ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah PPK.

Dijelaskan oleh pihak pemerintah desa tersebut bahwa, dana PPK dibe-rikan secara bergilir dan sifatnya adalah pinjaman yang harus dikem-balikan. Di Kecamatan Sukodono, dana yang bisa dipergunakan sebanyak Rp. 2 milyar. Ada 2 bentuk pelaksanaan program tersebut, yaitu berupa da-na pinjaman dan dana hibah. Program yang sudah berjalan sejak tahun 1999 itu, dalam bentuk dana pinjaman diturunkan ke kelompok usaha. Di Kecamatan Sukodono sendiri terdapat 348 kelompok yang rencananya akan diberi dana pinjaman tersebut. Bunga pengembalian dari pinjaman itu sebesar 16%. Namun kemudian diubah menjadi 24% karena 6%-nya men-jadi honor bagi ketua kelompok. Dana hibah, kebanyakan diperuntukkan untuk proyek-proyek bangunan sarana fisik.

Namun pada kenyataannya banyak kelompok masyrakat yang tidak ke-bagian. Kepala Desa Selok Besuki mengatakan bahwa, penyebab itu adalah banyak masyarakat yang tidak mengambalikan pinjamannya. Karena po-lanya yang digunakan bergulir, maka hal tersebut menjadikan dana yang

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 100: aspirasi gabungan

91

akan digulirkan ke kelompok masyarakat lain menjadi terhambat. Riset yang dilakukan oleh kelompok riset aksi mencatat memang banyak kelom-pok masyarakat yang kesulitan dalam mengembalikan dana yang mereka pinjam. “Penyebabnya adalah usaha mereka tidak mengalami kemajuan dan cendrung rugi. Jadi bukan karena tidak mau mengembalikan,” kata Mi-sa, rekan Sami'un dari Desa Selok Besuki.

Selain ada yang mendapatkan dana pinjaman tersebut, ada sebagian masyarakat yang lebih besar lagi tidak mendapatkannya. “Saya pernah diusulkan untuk mendapatkan bantuan dana waktu ada program PPK. Se-telah tanda tangan dua kali, dan diundang ke balai desa, akhirnya saya ti-dak mendapatkan dana. Saya tidak tahu alasannya yang jelas,” ungkapnya. Rencananya dia akan mendapatkan dana sebesar Rp. 1.000.000,- dengan pengembalian Rp.1.100.000 dalam setahun. Riset juga menemukan data bahwa dana yang turun ke kelompok masyarakat juga berbeda-beda. “Ada yang mendapatkan sebesar 10 juta, 15 juta, hingga 21 juta. Perbedaan itu kami juga tidak jelas sebabnya,” kata Sami'un.

Program lain yang dianggap bermasalah bagi kelompok riset aksi adalah PDMDKE. Program itu dinilai tidak tepat sasaran karena banyak yang tidak berhak mendapatkan bantuan pinjaman. Di Desa Bades contohnya, dana pinjaman yang semestinya ditujukan untuk usaha bata merah, malah dike-lola oleh salah satu tokoh masyarakat di sana. “Di sini ada sekitar 24 orang yang berusaha di bidang ini. Tapi hanya 13 orang yang mendapatkan pin-jaman. Rata-rata pinjaman hanya Rp. 500.000,-. Sisanya kami tidak tahu untuk apa,” kata Lasim, salah seorang yang bergerak di bidang itu. Padahal menurut informasi yang diperoleh dari pihak pemerintah desa, alokasi dana tersebut sebesar Rp. 15 juta,-. Sementara informasi lain dari yang terlibat langsung dengan pengelolaan dana itu disebutkan sebesar Rp. 20 juta,-. Pa-da dasarnya dia tidak mempermasalahkan program-program yang telah berjalan. Namun dia berharap jika ada program dari pemerintah harus me-libatkan masyarakat bila ingin target dari program tersebut tepat sasaran. Dia juga menyayangkan tidak adanya pembinaan terlebih dahulu, sehingga ketika program tersebut berbentuk pinjaman uang, masyarakat menjadi sulit untuk mengembalikannya.

D. Sektor Umum

Air pegunungan itu berwarna kuning….

Di setiap benak orang, jika disebut tentang air pegunungan, pasti akan membayangkan kesegarannya. Terutama, jika menyaksikan iklan minum-an kemasan yang berasal dari pegunungan di televisi. Begitu jernih, hingga detail-detail dasar tempat air itu mengalir terlihat dengan jelas. Tapi pada kenyataannya, masyarakat di sekitar pegunungan hanya bisa mengusap dada, ketika air jernih sulit mereka peroleh. Kontradiksi inilah yang terjadi

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 101: aspirasi gabungan

92

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

di Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. Pronojiwo adalah wilayah kecamatan yang terletak di lereng Gunung Semeru di Jawa Timur, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Kecamatan yang terdiri dari 15 desa itu berjarak se-kitar 60 km dari ibukota Kabupaten Lumajang. Jalan menuju ke sana su-dah diaspal mulus dan banyak tikungan tajam layaknya jalanan di daerah pegunungan. Sepanjang perjalanan kita bisa melihat beberapa anak muda dan anak-anak kecil yang berada di tepi jalan. Seperti halnya polisi cepek di kota-kota besar, mereka meminta imbalan jasa sukarela untuk mengatur kendaraan yang melintas di tikungan itu. Sesekali di antara mereka mengejar kendaraan yang tidak memberi imbalan.

Lepas dari itu, pemandangan menuju Pronojiwo memang sangat menge-sankan. Letaknya yang tinggi mampu menghantarkan hamparan peman-dangan yang indah. Jika kabut belum muncul, laut selatan dapat dilihat da-ri kejauhan. Garis pantai sebagai pembatas antara tanah dan air terlihat in-dah, dipadu dengan pemandangan bentangan sawah yang luas. Eksotisme alam ini rupanya tidak berbanding sejajar dengan nasib masyarakat yang ada di sana. Sebagai sebuah wilayah pegunungan, Pronojiwo memiliki ba-nyak potensi yang disediakan oleh alam. Tanahnya yang subur tidak terlalu mengusik petani menggunakan bahan kimia pabrikan yang mahal. Mas-yarakat petani di sana mampu bertani dengan cara yang alami. Sedikit ma-salah memang telah mampu mereka atasi. Namun masalah lain yang me-nyangkut kebutuhan mereka, yaitu air untuk dikonsumsi manusia, tidak tersedia cukup sesuai dengan kebutuhan. Kelompok riset aksi yang ada di sana, khususnya Desa Sumber Urip mengangangkat masalah itu sebagai isu yang perlu dipecahkan.

“Air di sini berwarna kuning, sangat tidak layak untuk kebutuhan rumah tangga,” kata Suwandi, anggota kelompok riset aksi di sana. Dia menyebut

ASPIRASI

Page 102: aspirasi gabungan

93

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

kondisi air tesebut berubah sejak tahun 1997. Kejadian bermula dari banjir lahar besar hingga banyak mata air yang jernih yang hilang. Namun setelah bertahun-tahun kondsi air tidak berubah, hingga mereka menganggap sa-lah satu masalah penting yang harus cepat diselesaikan adalah tersedianya air bersih. kelompok riset aksi Sumber Urip disektor air bersih yang terdiri dari 10 orang tersebut, kemudian membagi diri untuk tugas riset aksi. Be-berapa dari mereka melakukan pengamatan tentang kondisi alam di sana. Ada juga yang menghimpun pernyataan dari masyarakat, serta lembaga-lembaga yang mereka anggap terkait dengan masalah tersebut.

Pengamatan mereka pada alam mencatat banyaknya terjadi penebang-an pohon di lereng Gunung Semeru. “Penebangan itu terus saja terjadi, wa-laupun ada aparat yang menjaganya,” kata Badrulhadi, anggota kelompok riset aksi Desa Sumber Urip. Dia bahkan mengatakan sudah menjadi rahasia umum, jika penebangan terbanyak dilakukan oleh aparat sendiri. Tentunya ini mengundang keikutsertaan sebagian masyarakat yang me-rasa terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penjarahan terhadap kayu-kayu itu membawa dampak pada kelestarian alam yang sebelumnya terjaga.

Saat kelompok riset aksi melakukan riset ke pihak Perhutani, mereka menyangkal terlibat dalam penebangan hutan secara liar. “Dikatakan pada waktu itu, pihak Perhutani menebang pohon dengan perhitungan, tanpa je-las maksud perhitungan itu,” kata Budiono, CO di desa ini, yang saat itu mendampingi kelompok riset aksi ke sana. “Mereka hanya mengatakan, se-telah penebangan, perhutani akan menanam kembali, jadi tidak merusak hu-tan,” jelasnya. Justru pihak Perhutani menuding, penebangan liar sering dilakukan oleh masyarakat sendiri. Ketika kami mendatangi masyarakat, mereka mengatakan memang ada yang melakukan penebangan, tetapi tu

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 103: aspirasi gabungan

94

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

hanya untuk kebutuhan kayu bakar yang tidak dalam jumlah yang besar. Budiono sendiri juga mengaku melakukan itu dan dia penah berurusan de-ngan aparat Perhutani. “Seringkali kami melihat ketidakadilan, kalau mas-yarakat yang melakukan dan dalam jumlah yang kecil, langsung ditangkap, tapi aparat sendiri bisa dengan leluasa melakukan penebangan,” katanya. Dia juga mensinyalir bahwa, banyak aparat perhutani yang menjadi beking dari praktek penebangan liar.

Dampak yang paling terasa dari kerusakan hutan di Desa Sumber Urip adalah sulitnya mereka mendapat air bersih. Di berbagai musim air menjadi masalah yang dirasakan. Bukan hanya di musim kemarau saja, di musim penghujan bencana banjir menjadi ancaman yang menakutkan. Tanaman yang berbulan-bulan mereka garap dengan tekun, tiba-tiba musnah karena genangan air. Belum lagi ketika Gunung Semeru mengeluarkan lahar dari kawahnya. Jika dahulu faktor alam yang merugikan masyarakat hanya be-rupa luapan lahar, tetapi setelah itu membuat tanah menjadi subur, saat ini faktor alam bertambah, justru karena ulah manusia.

Air bersih di Desa Sumber Urip berasal dari aliran mata air Sumber Bun-tung dan sumur-sumur pribadi warga. Mata air tersebut sebagian besar di-gunakan untuk kebutuhan persawahan. Sumber air yang berjarak sekitar 1 km dari desa tersebut, saat ini mengalami pengecilan dan pengurangan de-bit airnya. Hal itu terjadi setelah turunnya lahar panas Gunung Semeru. Se-mentara air sumur sendiri tidak layak untuk dipergunakan karena ber-warna kuning. “Kami tidak berani lagi untuk mempergunakannya untuk kebutuhan rumah tangga, karena waktu ada yang mencoba meminumnya, banyak yang menderita sakit perut,” kata Buimin anggota kelompok riset aksi di desa ini. Air tersebut juga sulit dipakai untuk mandi karena setelah itu akan berakibat kulit menjadi gatal. Karena kesulitan tersebut, maka ba-nyak warga yang memanfaatkan air di dekat lahan persawahan untuk ke-butuhan rumah tangganya. Di sana ada 2 sumber air bersih yang berukuran sedang. Sumber tersebut berada di lahan milik penduduk, na-mun karena sulitnya air bersih di sana, sumber air tersebut menjadi seperti milik umum. Setiap pagi dan sore, banyak penduduk yang terlihat meman-faatkan air di sana. “Memang tidak semua sumur berwarna kuning, tetapi jumlahnya sangat sedikit,” kata Buimin. Dia menyebut empat rumah saja yang air sumurnya bersih di Desa Sumber Urip. Bandingkan dengan jumlah kepala keluarga (KK) di sana yang mencapai 250. Dikatakan oleh Suwandi, bagi warga yang mampu mereka memasang pipa untuk mendapatkan air dari sumber terdekat. Namun, bagi yang tidak mampu dan merupakan ma-yoritas, mereka terpaksa menumpang di rumah-rumah yang memiliki air sumur yang bersih. Jumlah air sumur yang sedikit itu membuat pemiliknya menjadi sangat toleran dengan kebutuhan tersebut. Seringkali rumah-ru-mah mereka didatangi warga lainnya yang meminta air. Suwandi termasuk warga yang memiliki air sumur bersih. Dia tidak merasa keberatan meme-nuhi kebutuhan warga lainnya karena sangat paham akan kondisinya.

ASPIRASI

Page 104: aspirasi gabungan

Dengan alasan tersebut jugalah dia mau bergabung dengan kelompok riset aksi di Desa Sumber Urip ketika diminta oleh Budiono, CO di sana.

Menurut Anisa, anggota riset aksi lainnya, kesulitan air bersih seperti-nya tidak mendapat perhatian yang berarti dari pemerintah. Dia mengata-kan memang pernah ada petugas dari dinas kesehatan yang datang untuk memeriksa keadaan air di sana. Namun yang dilakukan setelah memeriksa hanyalah himbauan untuk mempergunakan air bersih. “Mereka juga men-jual obat-obatan yang terpaksa dibeli oleh masyarakat” katanya. Mas-yarakat tidak butuh perhatian semacam itu, karena menurutnya apa yang dilakukan tidak menyelesaikan masalah. Justru membebani masyarakat dengan biaya yang harus mereka keluarkan. Dari pihak pemerintahan desa sendiri, pernah merencanakan untuk membuat tempat penampungan air yang besar dan berada di tempat-tempat yang strategis di sana itu. “Sampai sekarang itu tidak terealisasi, alasan mereka dana yang belum ada,” ka-tanya. Ditambahkannya, pihak pemerintahan desa seringkali hanya meng-adakan penyuluhan, walaupun mereka mengaku pernah mengajukan per-masalahan tersebut ke pemerintah kabupaten,” kata Sugianto.

“Kami juga mendatangi pihak PDAM di kecamatan untuk menanyakan masalah ini. Tetapi mereka mengatakan hanya menangani masalah teknis,” ujar Sugianto. Petugas PDAM tersebut menyarankan agar masyrakat mem-buat proposal untuk mengatasi masalah air di desanya “Selama riset aksi kami hanya mendapatkan data, namun tidak ada satu kepastian pun yang mengarah pada masalah kami bisa diatasi,” ungkap Buimin. “Pihak peme-rintah desa yang didatangi bahkan tidak memprioritaskan masalah tersebut untuk diatasi. Hal tersebut kami ketahui, karena ketika ada program PPK, tidak ada dana yang dialokasikan untuk masalah kami,” tambahnya. Wak-tu melakukan riset aksi, kelompok riset aksi juga menemukan kemung-kinan alternatif untuk pengadaan air. “Di daerah Oro-oro Ombo ada sumber air yang cukup besar, kami sebenarnya ingin mendapatkan air dari sumber itu untuk dialirkan ke desa kami,” kata Suwandi. Tapi sayangnya hal terse-but tidak diperkenankan oleh masyarakat di sana. “Mereka mengatakan air tersebut juga digunakan untuk persawahan di desa itu. Padahal saya pikir sumber itu cukup besar bisa untuk mencukupi tiga desa,” tambahnya.

Dari berbagai temuan berupa informasi dan data, kelompok riset aksi di Desa Sumber Urip mencoba membuat analisa tentang masalah mereka. Mereka menganggap permasalahan yang dihadapi sangat terkait dengan banyak faktor. Dikatakan oleh Budiono, kerusakan alam yang dipicu oleh lemahnya kebijakan aparat membuat pengelolaan air bersih di desanya menjadi tidak terpola. Permasalahan tersebut kemudan meluas pada peri-laku masyarakat dan aparat. “Kami memang punya rencana untuk memba-ngun penampungan air dan sumur bor di sini, namun hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah untuk jangka panjang,” katanya. Karena menu-rutnya, walaupun disediakan tempat penampungannya, kalau penebangan hutan semakin menjadi, maka sumber airpun akan menyusut. Dengan per-

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

95Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 105: aspirasi gabungan

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

96

timbangan tersebut, kelompoknya juga akan mengupayakan program reboisasi di wilayah lereng Gunung Semeru. Oleh karena itu dia berharap saat berdialog, pihak-pihak yang punya kewenangan dapat memahami permasalahan yang terjadi desanya.

D.2. Pengangguran di Pedesaan

Pengangguran ternyata bukan hanya menjadi masalah di perkotaan. Walaupun agak berbeda, di pedesaan, isu ini juga menjadi penting bagi masyarakat. Pengangguran di pedesaan dipahami oleh masyarakat di sana bukan berarti tanpa kerja. Hal tersebut dikatakan oleh Triyono, anggota ke-lompok riset aksi dari Desa Giyono (Temanggung). Mereka yang disebut pe-nganggur masih melakukan pekerjaan, seperti bertani atau menukang. Te-tapi pekerjaan tersebut hanya bersifat musiman, karena waktu luang yang tidak termanfaatkan lebih besar dibanding mereka melakukan pekerjaan. Rata-rata di antara mereka berusia muda dengan pendidikan formal me-nengah ke atas. Bekas pendidikan formal yang sempat mereka rasakan membuat mereka punya harapan untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Banyak yang tidak puas hanya menjadi petani, karena terkait de-ngan nasib petani yang sering tidak diuntungkan. Sementara, saat meng-ikuti pendidikan formal, mereka membayangkan akan mampu bekerja de-ngan penghasilan yang lebih baik. Oleh karenanya, ketika kesempatan be-kerja lain tak kunjung tiba, bertani yang kadang mereka lakukan tidak di-anggap sebagai sebuah pekerjaan. Maka tidak heran, ketika identifikasi isu dilakukan oleh CO, isu pengangguran muncul sebagai isu mayoritas di pedesaan.

Isu ini diangkat oleh kelompok riset aksi di Desa Sumber Urip dan Oro-oro Ombo (Lumajang) dan Desa Giyono (Temanggung). Menurut H. Hasan, anggota kelompok riset aksi dari Desa Sumber Urip, permasalahan pe-ngangguran muncul ketika modernisasi masuk ke daerah pedesaan. Ba-nyak kebutuhan baru bagi masyarakat yang tidak tercukupi oleh pekerjaan yang ada. Kebutuhan yang terus menerus bertambah itu, tidak mampu di-penuhi dari profesi mayoritas penduduk desa, petani. Banyaknya perma-salahan yang melingkupi dunia pertanian berakibat profesi ini kerap bukan dianggap sebagai pekerjaan. Orang mulai enggan menyebutkan pekerja-annya sebagai petani. Terutama mereka yang berusia muda. Di saat itu pu-la, perkembangan kebutuhan melahirkan profesi-profesi baru di pedesaan. Harapannya profesi itu akan mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Yang menjadi masalah, banyak masyarakat yang tidak punya ketrampilan untuk ikut terlibat dalam profesi itu, di samping profesi itu hanya menyerap sedikit tenaga kerja. Berbeda dengan sektor pertanian yang sebelumnya te-lah digeluti di pedesaan. Banyak sumber daya manusia yang dapat terlibat di dalamnya. Sektor-sektor baru tersebut hanyalah memindahkan profesi di perkotaan yang semakin terdesak dalam kompetisi usaha.

ASPIRASI

Page 106: aspirasi gabungan

97

Kondisi tersebut akhirnya membuat kesan angka pengangguran di pe-desaan menjadi tinggi. Dikatakan oleh H. Hasan, di desanya setiap harinya banyak kelompok anak muda yang nongkrong-nongkrong tanpa punya tu-juan yang jelas. Dia menilai jika hal tersebut dibiarkan, akan berdampak buruk bagi perkembangan desanya. Hal itu diperkuat saat kelompok riset aksi mengadakan riset ke kantor kepolisian di sana. Dari sana mereka mendapat informasi bahwa pelaku kriminal sebagian besar adalah pe-ngangguran. Dikatakan bahwa penganguran memicu tindak kriminal, hingga perlu ada cara untuk mengatasinya. Kegelisahannya menangkap hal itu membuat dia bersama-sama dengan anggota riset aksi lainnya berbagi peran untuk memperdalam akar permasalahan dari pengangguran di desa-nya. Mereka mendatangi masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan untuk memperoleh informasi mengapa pengangguran terjadi. Rata-rata dari me-reka menyatakan kurangnya ketrampilan, pendidikan rendah, dan tidak punya kesempatan untuk bekerja.

kata Ma'sum, anggota kelompok riset aksi Desa Sumber Urip. Beberapa di antara mereka termasuk memiliki lahan. Hanya saja lahan tersebut tidak lagi dikerjakan sendiri.

kata H. Hasan. Sementara hasil dari per-tanian yang tidak memadai harus dibagi dengan buruh tani hingga tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup. Kebanyakan pemilik lahan di Desa Sumber Urip, ternyata berbeda dengan yang biasa terjadi di daerah lain. Pertimbangan untuk menyewakan tanah atau mempekerjakan buruh tani karena banyaknya buruh tani di sana.

jelas H. Hasan. Sementara, sebagai buruh tani sendiri, sifat pekerjaannya mu-siman. Mereka hanya bekerja pada musim-musim tertentu. Selain itu, ibu-ibu rumah tangga di sana juga merasa banyak waktu luang yang mereka mi-liki. Misalnya Hosimah, seorang ibu rumah tangga di Desa Oro-oro Ombo. Dia sesekali membantu saat musim panen tiba. Tak jarang dia juga mencari kayu bakar di hutan. Tetapi dia mengatakan lebih banyak waktu luang yang tidak termanfaatkan. “Ibu-ibu di sini banyak yang ingin bekerja, tetapi ke-trampilan yang dimiliki sangat minim, hingga tidak tahu mau berbuat apa,” katanya.

Keinginan untuk memanfaatkan waktu luang itu juga dirasakan oleh Suliani. Dia ingin mengurangi beban suaminya yang seorang buruh tani.

katanya. Oleh sebab itu dia berharap mendapatkan pelatihan ketrampilan yang bisa membuatnya bekerja. Namun demikian harapannya itu masih berupa mimpi, karena pemerintah belum datang ke sana untuk memberi fasilitas pelatihan ketrampilan yang mereka inginkan. Harapan terkadang menimbulkan kekecewaan. Wijayanto, anggota kelompok riset

“Mereka pada dasarnya tidak benar-be-nar menganggur, karena sesekali juga ikut bertani di sawah,”

“Perilaku masyarakat di sini, karena banyaknya buruh tani membuat la-hannya tidak dikerjakan sendiri,”

“Yang terjadi orang memiliki lahan se-ringkali malah nganggur, sedang hasil dari lahan pun tidak seberapa,”

“Menjadi istri buruh tani itu susah, karena pekerjaannya tidak tentu peng-hasilannya,”

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 107: aspirasi gabungan

Riset ke kantor desa

98

aksi dari Desa Sumber Urip merasa pemerintah tidak cukup punya perha-tian untuk kepentingan masyarakat kecil.

gugatnya.

Peluang untuk punya pekerjaan di desa, sebenarnya cukup besar. Po-tensi alam yang dimiliki oleh Desa Sumber Urip, Oro-oro Ombo, dan juga Desa Giyono, pada dasarnya bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sana. Misalnya di Desa Sumber Urip, pasir dari Gu-nung Semeru tidak bisa diakses sebagai penghasilan yang menguntungkan bagi masyarakat di sana.

katanya. De-mikian juga di Desa Giyono, banyaknya tanaman bambu di sana, sebenar-nya membuka peluang berkembanganya industri kerajinan anyaman bam-bu. Tapi pada kenyataannya, industri kecil itu ibarat pepatah, hidup segan mati tak mau.

kata Triyono.

Untuk meperjelas permasalahan yang terkait dengan penganguran, ma-sing-masing kelompok riset aksi mendatangi kantor-kantor pemerintah yang mereka anggap berwenang dengan masalah itu. Pertama-tama mereka mendatangi kantor pemerintahan desa. Di sana mereka ingin mengetahui tanggapan pemerintah di tingkat pedesaan tentang masalah mereka. Ham-pir rata-rata di masing-masing desa mengatakan, mereka sangat peduli de-ngan masalah pengangguran yang dihadapi masyarakat. Namun sama de-ngan masyarakat sendiri, mereka tidak tahu jalan keluar terbaik untuk mengatasi masalah itu. Ke tingkat yang lebih tinggi lagi, kelompok riset aksi mendatangi kantor kecamatan. Di sana informasi tentang pelatihan untuk memberi ketrampilan masyarakat mulai diperoleh. Mereka mengaku telah menyebarkan informasi tentang hal tersebut ke masyarakat. Hanya saja menurut kelompok riset aksi, penyebaran informasi tersebut masih sangat terbatas. Sehingga banyak dari kelompok masyarakat lain yang tidak men-dapatkannya.

Untuk mengetahui proses penyebaran informasi tentang pelatihan ke-trampilan masyarakat, kelompok riset aksi mendatangi kantor Ketenaga-kerjaan di tingkat kabupaten. Dari sana, kelompok riset aksi mencatat be-

berapa program yang ter-kait dengan masalah ter-sebut. Di sana mereka mendapat penjelasan ten-tang Balai Latihan Kerja (BLK), di mana masyara-kat bisa memperguna-kannya untuk mening-katkan ketrampilannya. Sama seperti halnya pe-

“Padahal di sini kan ada Depsos dan Depnaker, apa gunanya lembaga itu?”

“Penggalian pasir di sini hanya menguntungkan orang luar, padahal pasir di sini bisa terjual sampai Singapura,”

“Padahal jika itu digarap serius bisa menyerap tenaga kerja yang banyak,”

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 108: aspirasi gabungan

Riset ke dinas terkait

99

merintah di tingkat kecamatan yang telah didatangi oleh kelompok riset ak-si, mereka juga mengatakan telah menginformasikan ke masyarakat luas dengan memberi pengumuman tentang program tersebut. Melalui media massa, pamflet, spanduk, dan lain sebagainya, pengumunan itu disebar-kan. Mereka mengatakan pada dasarnya pemerintah memberi ruang bagi masyarakat luas untuk meningkatkan kemampuannya.

Berangkat dari hasil riset yang dilakukan, dikatakan oleh H. Hasan, ke-lompok riset aksi berkesimpulan bahwa, tidak terjadi hubungan komuni-kasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat. Hal itu ditunjukkan dengan ketidaktahuan masyarakat akan program yang telah dibuat oleh pe-merintah. Terutama masalah pengangguran di pedesaan. Padahal menurut Wijayanto, anggota kelompok riset aksi Desa Oro-oro Ombo, masyarakat pe-desaan sebenarnya tidak terlalu menuntut banyak pada pemerintah. Me-reka hanya ingin kesempatan mereka untuk meningkatkan kualitas hidup-nya dipenuhi. Kesempatan inilah yang dianggap sangat minim, hingga na-sib masyarakat pedesaan menjadi tidak menentu. Pendapat lain yang dike-mukan oleh Zaenab, anggota kelompok riset aksi dari desa yang sama de-ngan Wijayanto, penyebab lain dari ketidakpedulian pemerintah adalah me-reka tidak paham dengan masalah rakyat. Hal itu ditunjukkan dengan ting-ginya angka korupsi di berbagai tempat.

tandasnya.

D.3. Kepemilikan Tanah Tanpa Jaminan Hukum

Harapan kepastian atas hak yang dimiliki adalah harapan dari setiap orang. Demikian juga dengan masyarakat di Desa Jombor, Kecamatan Ju-mo, Kabupaten Temanggung. Hampir sebagian besar warga di sana tidak memiliki sertifikat tanah. Padahal mereka sudah berpuluh-puluh tahun la-manya mengelola dan menempati tanah tersebut. Walaupun hingga saat ini belum ada masalah yang berarti atas hal tersebut. Namun tetap saja meng-gelisahkan mereka. Terlebih saat pemerintah selalu memberi himbauan agar tanah sesegera mungkin disertifikatkan. Lalu saat itu mulailah upaya pembuatan sertifikat tanah secara massal dilakukan. Pe-merintah sendiri menyedia-kan fasilitas pembuatan ter-sebut (prona) setiap tahun-nya.

Tetapi apa yang terjadi, waktu pembuatan tersebut begitu lama. Hingga saat ini, telah berjalan 2 tahun lama-

“Coba kalau pejabat punya perha-tian, pasti yang paling diutamakan adalah nasib rakyat, bukan mencari uang untuk kepentingannya sendiri,”

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 109: aspirasi gabungan

100

nya, tidak satupun sertifikat tanah penduduk yang selesai. Sedangkan untuk pembuatan secara pribadi, harga yang ditawarkan oleh pejabat pem-buat akte tanah begitu mahal. Masalah lainnya, untuk tanah warisan, me-reka tidak bisa membaginya dalam beberapa sertifikat. Padahal, pada umumnya perolehan tanah di Desa Jombor berasal dari tanah warisan. Dari sanalah kemudian isu pembuatan sertifikat tanah menjadi penting di Desa Jombor. Dikatakan oleh Wahyudi, salah satu anggota kelompok riset aksi, program prona yang dilakukan pemerintah tersebut terjadi pada tahun 2001. Saat itu masyarakat Desa Jombor mengajukan sebanyak 170 bidang tanah yang akan dibuatkan sertifikatnya.

katanya. Dari masyarakat sendi-ri, mereka tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi.

katanya.

Sedang yang mendapatkannya, mereka mengatakan memberi dana tambahan untuk itu.

kata Partono salah seorang anggota kelompok riset aksi Desa Jom-bor. Walaupun dirasakan sudah mahal oleh masyarakat, angka tersebut le-bih kecil dibanding jika membuat sertifikat dengan jasa notaris.

kata Partono.

Untuk memperjelas hal tersebut, kelompok riset aksi mendatangi kantor pemerintahan desa di sana. Ternyata, posisi pemerintah desa dan masyarakat untuk masalah tersebut sama.

kata Partono. Mereka juga tidak me-ngetahui mengapa hanya sedikit sertifikat yang sudah jadi dan banyak yang belum jadi.

kata Wahyudi. Demikian halnya dengan kantor kecamatan yang mereka datangi. Tidak ada kejelasan informasi yang mereka dapat. La-lu mereka melanjutkan riset dengan mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kabupaten Temanggung. Di sana mereka juga tidak mendapatkan informasi yang jelas perihal keterlambatan sertifikat yang diajukan. Namun mereka mendapatkan informasi bahwa, prona dilakukan berdasarkan status daerah.

kata Wahyudi.

Dengan aturan semacam itu, maka biaya untuk pembuatan akan me-ngacu pada standar yang diberikan oleh notaris yang telah ditunjuk oleh pe-merintah untuk menangani masalah itu. Tentunya dengan biaya tersebut, masyarakat menjadi sulit untuk memiliki sertifikat tanah. Dalam riset yang dilakukan ke masyarakat, mereka berharap biaya untuk membuat serti-fikat tanah menjadi murah dan ada standarisasi untuk itu.

kata Wahyudi. Selain itu, masyarakat berharap agar sosialisasi informasi pem-

“Namun hingga saat ini, hanya se-dikit dari kami yang menerima sertifikat,”

“Seperti biasanya, mas-yarakat di sini hanya menunggu saja dari kepala desa,”

“Biaya pembuatan sertifikat 1 bidang tanah sebanyak Rp.175.000, sedangkan biaya tambahan untuk pengambilannya Rp. 50.000,”

“Informasi yang kami dapat saat melakukan riset hingga mencapai Rp. 1.200.000 per bidang tanah,”

“Mereka juga menunggu dari in-stansi yang berwenang akan hal itu,”

“Mengenai tambahan biaya sebesar Rp. 50.000 itu dikatakan un-tuk kas desa,”

“Prona dikatakan oleh mereka, dilakukan di daerah yang tertinggal,”

“Harapan ini agar tidak ada pungutan-pungutan liar saat pengurusan sertifikat,”

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 110: aspirasi gabungan

101

buatan sertifikat, dapat dilakukan secara sistematis dan menyeluruh, hingga dapat diketahui masyarakat di pedesaan.

D.4. Tanah Tuk Bandung

Tanah Tuk Bandung, kenyataan dalam mimpi masyarakat tak berlahan

Tanah, saat ini memang menjadi barang mewah yang tidak setiap orang mampu memilikinya. Bermula dari tabuhan genderang reformasi, masalah tanah mulai bergema di mana-mana. Terkuak bahwa di masa lalu banyak ketidakadilan terjadi di masyarakat menyangkut masalah tersebut. Biasanya yang terjadi adalah pembebasan tanah rakyat secara paksa dengan ganti rugi yang tidak sepadan. Lalu, ketika angin politik berubah, muncul keberanian untuk mendapatkan tanah itu kembali. Namun, di Desa Gesing kasus yang muncul agak berbeda. Ada tanah seluas 139 hektar di desa itu yang ter-bengkalai, sementara masyarakat di sekitarnya hanya mampu membayang-kan bisa ikut menggarapnya. Mengapa demikian?

Desa Gesing adalah sebuah desa di Kecamatan Kandangan, Kabupaten Te-manggung. Sekitar 4 km arah utara desa itu terdapat areal yang disebut oleh warga di sana sebagai tanah Tuk Bandung. Tanah itu sangat terkenal di ka-langan penduduk Desa Gesing. Di masa lalu tanah Tuk Bandung sempat membuat desa itu dikenal sebagai daerah penghasil kopi andalan. Memang, di masa lalu tanah Tuk Bandung merupakan areal perkebunan kopi milik Be-landa. Saat ini tanah itu dikuasai oleh perusahaan perkebunan swasta. Na-mun perusahaan perkebunan yang bernama PT Redjo Dadi itu, tidak me-manfaatkan secara optimal tanah tersebut. Tanah itu terkesan tidak ter-urus, karena bukan lagi tanaman kopi yang banyak dijumpai di sana, melainkan rumput-rumput liar. Dari sejarah panjang tanah tersebut, masyarakat Desa Gesing merasa tidak mendapatkan keuntungan yang sepadan. Oleh sebab itu, kemudian tanah Tuk Bandung menjadi isu yang penting bagi mereka. Potensi ekonomi yang ada tidak dapat dinikmati oleh masyarakat Desa Gesing, karena secara hukum, PT Redjodadi memiliki kewenangan untuk mengelola tanah itu. Keinginan untuk mengoptimalkan penggunaan lahan itu telah menjadi keinginan masyarakat Gesing sejak lama.

Pengorganisasian kelompok kemudian dilakukan untuk mendapatkan in-formasi sebanyak mungkin tentang status tanah tersebut. Kelompok riset aksi juga mencari informasi agar tanah perbukitan yang subur tersebut bisa dike-lola oleh rakyat. Untuk mendapatkan informasi, data, dan dukungan, kelom-pok riset aksi mendatangi berbagai pihak yang mereka anggap terkait dengan masalah tersebut. Lembaga pemerintah seperti Badan Pertanahan Nasional, Agraria, Dinas Perkebunan, hingga kantor pemerintahan dari tingkat desa hingga kabupaten. Mereka juga mewawancarai masyarakat Desa Gesing, baik yang ikut menggarap tanah itu maupun yang bukan. Setiap minggunya seca-

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 111: aspirasi gabungan

102

ra bergantian, rumah masing-masing anggota kelompok riset aksi dijadikan tempat diskusi tentang temuan yang didapat. Berbagai pengalaman mereka dapatkan saat melakukan riset aksi.

Menurut Indriyanto, salah seorang pengurus kelompok riset aksi Desa Gesing, berdasarkan cerita turun temurun dari orang-orang tua di sana, ta-nah Tuk Bandung di masa lalu memang sudah dikenal sebagai industri kopi. Jejak masa lalu itu bisa dilihat sampai saat ini. Saat kelompok riset aksi men-datangi lokasi tanah tersebut, banyak melihat bangunan-bangunan tua yang tidak terawat. Diduga sebelumnya bangunan tersebut merupakan bekas kan-tor, gudang, dan lain sebagainya. Di sana juga terlihat alat penggilingan kopi yang digerakan oleh kincir angin. Dari berbagai bangunan tua yang ada, me-nunjukkan di masa lalu industri itu sempat berjaya. Setelah Belanda pergi, in-dustri itu diambil oleh seorang tentara dengan pangkat jenderal. Usaha itu dia lanjutkan dan menurut cerita masyarakat dinilai cukup berhasil. Masyarakat di sana sedikit ikut mencicipi keberhasilan itu. Mereka ada yang bekerja un-tuk perkebunan itu. Namun, kisah kesuksesan hanya berlangsung ketika dikelola oleh Haji Bachrun, nama pengelola usaha itu. Dia yang konon ada-lah bekas Panglima Kodam itu, kemudian meninggal dunia. Seiring dengan kepergiannya, perkebunan yang luasnya hampir melebihi wilayah yang di-mukimi penduduk Desa Gesing, berangsur menunjukkan kemunduran. Harumnya aroma kopi secara perlahan menjauh dari Gesing. Terlebih PT Redjodadi, pengelola yang baru, seakan tidak memiliki konsep pengem-bangan yang jelas. PT tersebut terdaftar sebagai eksportir kopi, namun di-ketahui oleh masyarakat Gesing, kopi yang dijual oleh perusahaan itu sebagian besar tidak berasal dari tanah Tuk Bandung, melainkan kopi yang

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 112: aspirasi gabungan

103

ditanam rakyat. Kondisi itu diperjelas dengan tidak adanya tanda-tanda ak-tivitas yang menunjukkan sebuah kantor saat kelompok riset aksi melaku-kan pengamatan di sana.

kata Indriyanto. Kelom-pok riset aksi juga menjumpai gudang dalam keadaan kosong.

Beban masyarakat penggarap...

Dari informasi yang didapat oleh kelompok riset aksi, sejak 4 tahun yang lalu sekitar tahun 1999, pihak pengelola tanah Tuk Bandung mulai menye-wakan sebagian besar tanahnya ke masyarakat. Per tahunnya, 1 bahu (3/4 hektar) disewakan sebesar Rp.150 ribu. Setiap tahunnya akan ada kenaik-an sebesar 20%. Bagi warga yang mampu dana tersebut masih bisa diusa-hakan. Tapi pada kenyataannya biaya pengolahan lahan menjadi tidak ter-duga. Tanaman kopi sendiri yang cocok tumbuh di lahan itu butuh waktu paling cepat 3 tahun untuk dapat menghasilkan. Waktu selama itu membu-tuhkan dana yang tidak sedikit. Bukan hanya sewa lahan, PT juga memu-ngut 40% dari hasil panen yang diperoleh petani.

Pernah ada seorang petani yang hanya menghasilkan 2 kwintal kopi ba-sah. Harga per kilonya saat itu hanya Rp.1. 000,-. Total nilai dari kopi itu ha-nya Rp. 200.000,-. Uang itu kemudian dipotong untuk pihak PT sebanyak 80 ribu. Upah petik per kilonya Rp. 50,- hingga biaya keseluruhannya Rp. 10.000,-. Jadi uang yang tersisa tinggal Rp. 110.000,-. Sementara biaya pe-rawatan yang telah dikeluarkan sebanyak Rp. 75.000,-. Keuntungan yang diperolehnya hanya Rp. 35.000,-. Uang sebesar itu merupakan hasil kerja selama 1 tahun. Bandingan dengan penguasa tanah yang tanpa melakukan apapun sudah mendapatkan keuntungan 80 ribu plus uang sewa yang 150 ribu.

Kondisi semacam inilah yang dihadapi oleh petani penyewa lahan di Tuk Bandung. Mereka harus memberikan tenaga dan penghasilannya pada pi-hak yang sebenarnya tidak punya hak penuh atas tanah itu. Tanah itu milik negara dan jelas dalam UUD 45 negeri ini menyatakan, bumi, laut, udara, dan apa yang terkandung di dalamnya akan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Tuk Bandung adalah contoh nyata dimana masyarakat yang tak berlahan harus bermimpi akan kesejahteraan. Sementara lahan tidur yang ada di dekat mereka tidak bisa digunakan.

Hambatan yang menghadang...

Isu tanah memang menjadi isu yang sangat rawan. Permasalahannya isu tersebut melibatkan pihak yang punya uang dan kekuasaan. Maka tidak heran ketika isu ini diangkat, kelompok riset aksi Desa Gesing banyak me-nuai teror. Teror pertama justru di dapat dari Kepala Desa Gesing. Dia me-minta kelompok riset aksi menghentikan kegiatan riset aksi karena dia menduga ada kepentingan luar yang tidak jelas akan masuk ke daerahnya. Dia juga sempat menyebarkan bahwa kepentingan politik tersebut sama de-

“Papan struktur organisasi perusahaan tidak ada, juga gambar grafik-grafik penjualan juga kosong,”

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 113: aspirasi gabungan

104

ngan apa yang terjadi pada tahun 1965. Tentunya lontaran isu yang dimun-culkan oleh Kepala desa tersebut sempat membuat beberapa anggota ke-lompok riset aksi yang cemas. Namun setelah perihal tersebut dikomuni-kasikan ke kepala desa, kelompok riset aksi berkesimpulan lontaran kepala desa itu hanya untuk menutupi keterlibatannya dalam pengelolaan tanah itu. Dari hasil riset yang dilakukan kelompok riset aksi, kepala desa di sana merupakan ketua kelompok masyarakat penggarap tanah Tuk Bandung. Namun ternyata apa yang hembuskan Kepala Desa Gesing cukup manjur untuk mengundang aparat kemanan datang ke Desa Gesing. Dari pihak ke-polisian dan juga kodim datang untuk mengamat-amati kegiatan yang dilakukan oleh kelompok riset aksi.

Dikatakan oleh Suyatno, salah seorang anggota kelompok riset aksi, si-tuasi semacam itu cukup membuat kami takut. Tetapi sekaligus berani, ka-rena data yang kami dapatkan semakin lengkap. Keberanian itu dia tun-jukkan ketika tekanan datang semakin keras. Pihak pengelola tanah Tuk Bandung melarang penggarap tanah Tuk Bandung ikut dalam kelompok riset aksi.

katanya. Dia dengan tegas menolak larangan itu dan haknya dicabut untuk menggarap lahan.

tegasnya.

Namun demikian mereka merasa terusik dengan isu komunis yang dise-barkan. kelompok riset aksi kemudian mendatangi pihak kecamatan. Di sa-na mereka juga diminta untuk menghentikan kegiatan riset aksi untuk isu tanah Tuk Bandung. Terjadi perdebatan yang lama antara wakil dari kelom-pok riset aksi dengan camat perihal itu. Mereka dengan tegas menyatakan tujuan riset aksi bukan ingin menguasai tanah Tuk Bandung, tapi ingin memberi saran untuk pengelolalan yang melibatkan masyarakat.

Jelas Suyatno.

Berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh kelompok riset aksi mem-buat rasa percaya diri mereka semakin kuat. Rasa itu tumbuh karena mam-pu mengumpulkan data-data yang benar untuk diajukan ke pemerintah.

kata Indriyanto. Saat mewawancarai Direktur PT Rejo Dadi, mereka mendapat informasi bahwa tanah Tuk Bandung statusnya Hak Guna Usaha (HGU), dan dia yang memiliki kewenangan untuk mengelola. Mengenai pengembangan tanah

“Mereka mengatakan kalau kegiatan itu tetap dilanjutkan, hak kami sebagai penggarap akan dicabut,”

“Saya berpikiran jangka panjang, karena kalau kegiatan kami ini berhasil, maka bukan saya pribadi saya yang menikmatinya, melainkan semua masyarakat Gesing,”

“Kami memberi gambaran bagaimana jika tanah tersebut dikelola oleh masyarakat, keuntungan yang didapat bisa menjadi kontribusi bagi peningkatan Peng-hasilan Asli Daerah (PAD) dan juga penghidupan masyarakat di Gesing. Dari perdebatan tersebut, Camat Kandangan tidak lagi melarang, walaupun juga tidak juga menyatakan persetujuannya.”

“Saya pergi ke mana-mana tidak punya rasa takut, Walaupun harus ketemu langsung dengan Pak Dodi (Direktur PT) dan dinas-dinas. Tidak ada kekha-watiran, karena kami membawa bukti yang bisa dipertanggung jawabkan. Justru mereka yang grogi ketika berhadapan dengan kami,”

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 114: aspirasi gabungan

105

tersebut, direktur tersebut menyatakan sudah merencanakan dengan ma-tang apa yang akan dilakukan terhadap tanah tersebut.

Tanah milik negara...

Tidak semua aparat pemerintah yang mepersulit aksi yang dilakukan oleh kelompok riset aksi Desa Gesing. Mereka mendapatkan perlakukan yang simpati dari Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). Di sana mereka mendapatkan informasi yang dianggap cukup untuk menyatakan bahwa, tanah Tuk Bandung dapat dikelola oleh rakyat. Bahkan dari BPN bersedia membantu jika dibutuhkan untuk memberi data-data tentang aturan hu-kum pengelolaan tanah Tuk Bandung. Status hukum tanah Tuk Bandung sama seperti informasi yang diperoleh dari Direktur PT Rejodadi, adalah HGU. HGU yang dimiliki PT Rejodadi berlaku sampai tahun 2014. Di sana mereka mendapatkan data perjanjian penggunaan tanah tersebut. Dise-butkan antara lain, tanah tersebut harus dikelola dan dirawat bukan untuk disewakan. Pihak PT Rejodadi harus membayar uang sewa setiap tahunnya Rp.12 juta. Konsekuensi dari tidak dipenuhi persyaratan-persyaratan ter-sebut, hak pengelolaan atas tanah itu bisa dicabut. Kenyataan yang terjadi, tanah itu terlantar dengan pengelolaan yang minim. Sedikit keuntungan yang bisa didapat dari usaha agrobisnis itu. Setelah berjalan sekitar 10 ta-hun lebih, usaha itu tidak meperlihatkan keuntungan yang berarti. Terlebih lagi bagi masyarakat Gesing. Bahkan, perusahaan itu mulai menyewakan lahan pada masyarakat. Tanpa usaha yang berarti pihak perusahaan bisa mendapatkan keuntungan dengan pola penyewaan tersebut. Bahkan per-nah pada tahun 1990, perusahaan itu mendapatkan pinjaman uang dari Bank Exim sebesar Rp. 700 juta dengan agunan sertifikat HGU. Informasi lain yang didapat dan cukup mengejutkan, PT tersebut memiliki tunggakan.

Bayangkan berapa keuntungan yang dapat dirasakan oleh perusahaan dan apa yang diperoleh oleh masyarakat? Tetapi apakah kemudian perusa-haan tersebut dapat memberi kontribusi bagi PAD maupun masyarakat? Ternyata tidak. Data yang diperoleh dari Dinas Perkebunan Kabupaten Te-manggung menyebutkan, hasil kopi yang dilaporkan oleh PT Rejodadi pada tahun 1999 hanya 1.752 kg. Tentunya ini cukup mengejutkan bagi kelom-pok riset aksi karena jumlahnya sangat sedikit. Terlebih lagi ketika mereka mendapatkan data dari Kantor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), PT itu me-miliki tunggakan pajak per Oktober 2003 sebanyak Rp. 78 juta. Begitu ba-nyak kerugian yang diperoleh Kabupaten Temanggung berikut masyara-katnya, hanya karena tidak jelasnya pengawasan tanah HGU di sana. Pada-hal dari perhitungan kelompok riset aksi, 1 hektar lahan untuk tanaman kopi dapat menghasilkan 1-1.5 ton. Dengan rata-rata harga per kg kopi Rp. 5.000,-, maka tanah Tuk Bandung yang seluas 139 hektar tersebut dapat menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 695 juta per tahunnya.

Dengan pekiraan tersebut, kelompok riset aksi menilai bahwa, tanah Tuk Bandung lebih produktif jika dikelola oleh masyarakat. “Dengan keun-

Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa - 5

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Page 115: aspirasi gabungan

106

tungan tersebut, kami mau saja bagi hasil dengan pemerintah kabupaten, karena hasilnya juga untuk kepentingan masyarakat,”

“Saat inikan situasinya masih be-lum pasti. Reformasi belum total. Walaupun data kami kuat dan kongkrit, dan secara hukum PT Redjo Dadi lemah karena melanggar banyak peraturan, ta-pi mereka kan punya uang dan banyak modal. Kami khawatir jika itu dia 'gunakan' (untuk menutupi kasus pelanggaran hukum, pen). Harapan kami hukum dan keadilan bisa ditegakkan”

kata Indriyanto. Hanya saja, walaupun optimis apa yang dituntut akan berhasil, Indriyanto masih menyimpan sedikit kekhawatiran.

ungkapnya.

***

5 - Melakukan Riset Aksi: Mengurai Permasalahan Masyarakat Desa

ASPIRASI

Page 116: aspirasi gabungan

107Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

6Strategi Menyampaikan

Informasi

Pertemuan persiapan dialogantar kelompok riset aksi

Page 117: aspirasi gabungan

108 ASPIRASI

6 - Strategi Menyampaikan Informasi

Page 118: aspirasi gabungan

109Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Persiapan Dialog

esalahan komunikasi seringkali dituding sebagai sebab dari timbul-nya masalah. Tetapi mengapa kesalahan tersebut terus berulang? Tentu saja hal ini menjadi sangat serius, saat permasalahan yang terjadi menyangkut kehidupan orang banyak. Dalam program Rural EPICS, masalah komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat menjadi fokus yang utama untuk dibenahi, selain pendidikan bagi

masyarakat itu sendiri. Temuan, kajian, dan analisa yang dilakukan oleh masyarakat, tidaklah berhenti pada kesimpulan saja, tetapi dilanjutkan dengan aksi mengkomunikasikan itu semua pada pemerintah.

Secara empiris, mekanisme pemerintahan di Indonesia mengakui ada-nya parlemen yang merupakan lembaga legislatif wakil rakyat. Parlemen itu disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keberadaan DPR ini ber-jenjang, ada tingkat pusat serta ada pula tingkat daerah (DPRD). Di tingkat daerah dibagi menjadi tingkat propinsi dan kabupaten (DPRD I dan DPRD II). Harapannya pola semacam ini akan menampung aspirasi rakyat yang nantinya mampu diartikulasikan oleh pemerintah (eksekutif). Namun, se-cara umum anggota dewan (sebutan singkat lembaga legislatif), seringkali tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Aspirasi rakyat lalu-lalang sebagai wacana mereka, sementara upaya riil untuk me-wujudkannya juga berlalu begitu saja. Terlebih pada masa dominasi kekua-saan eksekutif, peran dari legislatif menjadi sangat terbatas. Bahkan hanya sebagai alat pengesah kebijakan dari eksekutif itu sendiri.

Pada masa reformasi, peta kekuasaan berubah. Dominasi eksekutif menjadi berkurang, sementara peran legislatif mulai menguat. Legislatif ti-dak lagi menjadi alat pengesah kekuasaan eksekutif, tetapi mampu meng-kritisi dan mengontrol jalannya pemerintahan eksekutif. Lalu adakah peru-bahan pada aspirasi rakyat? Ternyata itu tidak terjadi secara otomatis. Aspirasi rakyat masih saja sama dalam posisinya yang dulu. Jika menyebut

6Strategi Menyampaikan

Informasi

K

Page 119: aspirasi gabungan

110 ASPIRASI

rakyat, maka yang muncul adalah representasi tanpa mekanisme yang je-las. Artinya representasi itu tidaklah mewakili wajah rakyat yang sesung-guhnya. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah rakyat kecil, dimana rak-yat kesulitan dalam mengakses sumber daya yang ada di sekelilingnya un-tuk kualitas hidup yang lebih baik.

Tahap dialog, dalam program Rural EPICS, menjadi tahap yang cukup menentukan, karena di sanalah komunikasi politik antara rakyat dan pe-merintah terjadi. Disebut sebagai komunikasi politik, karena yang dibutuh-kan pada saat itu adalah political will (kemauan politik) pemerintah untuk mengatasi masalah rakyatnya. Untuk dapat melakukan hal tersebut, maka perlu persiapan yang matang bagi kelompok masyarakat, agar mampu mengkomunikasikan masalahnya dengan baik. Maka sebelum dialog itu di-lakukan, tahapan persiapan menjadi sesuatu yang penting. Mengkomuni-kasikan masalah memang bukan sesuatu yang sederhana. Terlebih ketika yang dihadapi adalah sosok yang belum tentu berpihak pada mereka. Bisa saja terjadi, saat permasalahan telah diketahui, justru masalah itu menjadi semakin sulit, karena permasalahan tersebut mungkin bertabrakkan de-ngan kepentingan kekuasaan.

Peserta dialog dari kelompok masyarakat terdiri dari wakil kelompok ri-set aksi, wakil CO, dan pengurus IPPHTI. Penggunaan wakil, bertujuan agar masyarakat terbiasa dengan pola perwakilan. Tentunya bukan berarti sama dengan pola perwakilan yang sebelumnya pernah mereka ketahui. Sebelum memilih wakil kelompok, mereka merancang peran dan fungsi wakil, dan mekanisme pertanggungjawaban. Pada pola perwakilan semacam itu, rasa tanggung jawab wakil kelompok menjadi besar. Misalnya kelompok tukang becak di Desa Dawuhan Lor. Mereka menunjuk M. Salim sebagai wakil dari mereka.

kata Salim.

Untuk mematangkan kesiapan peserta dialog, dalam tahap persiapan yang dilakukan adalah pertemuan pengurus IPPHTI dan pertemuan jaring-an riset aksi. Kelompok riset aksi membekali dirinya dengan metode teater rakyat dan media rakyat. Metode ini adalah cara untuk mengekspresikan permasalahan rakyat dengan lisan maupun tulisan. Teater rakyat adalah cara pengungkapan secara lisan, sedangkan media rakyat berupa tulisan maupun gambar/poster.

A. Pertemuan-pertemuan Persiapan

eperti yang telah disebutkan, pertemuan persiapan yang dilakukan adalah pertemuan pengurus IPPHTI dan jaringan riset aksi. Dalam pertemuan pengurus, IPPHTI membahas strategi dukungan yang di-berikan untuk kelompok riset aksi. Dukungan yang dibahas adalah seputar masalah teknis penyelenggaraan dan target-target yang di-

“Saya diwajibkan untuk melaporkan kegiatan yang saya ikuti sela-ma dialog, serta kejadian-kejadian penting di sana ke kelompok,”

6 - Strategi Menyampaikan Informasi

S

Page 120: aspirasi gabungan

111Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

harapkan dalam dialog. Sebelum pertemuan itu diadakan, terlebih dahulu pengurus telah menentu-kan waktu pelaksanaan dialog be-rikut lembaga-lembaga yang diun-dang. Saat pertemuan, dibahas tentang kegiatan yang telah dilaku-kan, seperti lokasi dialog, kemung-kinan jumlah lembaga yang hadir, serta permasalahan lain yang di-anggap perlu. Pada pertemuan itu, juga dirancang agenda dialog agar waktu yang tersedia dapat diper-gunakan secara maksimal.

Setelah semuanya dianggap selesai, baru pertemuan jaringan dilaku-kan. Namun terkadang pembahasan di pertemuan pengurus mampu disele-saikan secara tuntas. Misalnya kepastian lokasi dialog. Upaya yang dilaku-kan adalah membahas kembali masalah tersebut di pertemuan jaringan ri-set aksi. Pertemuan jaringan riset aksi adalah pertemuan antara wakil-wa-kil kelompok sektor dengan pengurus IPPHTI dan Tim Yayasan FIELD Indo-nesia untuk persiapan dialog. Dalam satu desa diwakili oleh 2 CO dan 5 orang kelompok riset aksi, hingga secara resmi dalam setiap pertemuan ja-ringan riset aksi hadir 30 orang sebagai perwakilan kelompok riset aksi. De-mikian juga dengan CO. Sebanyak 12 orang hadir dalam pertemuan terse-but. Namun terkadang jumlah itu menjadi lebih karena CO lainnya juga da-tang dengan maksud menjadi pengamat untuk memperkaya pengalaman mereka.

Di pertemuan jaringan riset aksi, masing-masing kelompok mempre-sentasikan perkembangan mutakhir dari hasil riset aksi mereka. Masing-masing kelompok mendengarkan pengalaman kelompok lain, hingga terjadi arena tukar pendapat sesama mereka. Setelah itu dirumuskan apa yang akan menjadi materi dialog mereka. Masing-masing kelompok dapat meng-kritisi kelompok lainnya, karena saat dialog mereka sudah menjadi satu tim. Presentasi satu kelompok dianggap mempengaruhi kelompok lainnya karena menyangkut masalah manajemen waktu dan strategi menyam-paikan masalah. Maka tidak jarang, pada saat pertemuan jaringan riset ak-si terjadi perdebatan yang alot. Perdebatan itu menyangkut kepentingan masing-masing kelompok. Jika terjadi hal tersebut, maka pengurus IPPHTI dan tim dari Yayasan FIELD Indonesia menjadi mediator agar terjadi titik temu yang saling menguntungkan. Kesadaran sebagai sebuah tim sudah mulai terlihat dalam setiap pertemuan pengurus maupun jaringan. Hal itu dikatakan oleh Suharsono, Koordinator IPPHTI Kabupaten Lumajang.

katanya. Pengalaman di Kabupaten “Untuk menentukan lokasi pertemuan persiapan, kami selalu mempertim-bangan tempat yang mudah dijangkau,”

Strategi Menyampaikan Informasi - 6

Page 121: aspirasi gabungan

112 ASPIRASI

Lumajang, pertemuan-pertemuan dilakukan di lokasi yang ada di tengah-tengah antara masing-masing kecamatan. Bentuk yang sama namun de-ngan cara berbeda juga dilakukan di Kabupaten Temanggung.

kata Sudarno, Koordinator IPPHTI Kabupaten Temanggung. Maksudnya agar terjadi keakraban dari masing-masing kelompok sektor, karena telah mengunjungi kawan-kawan mereka di desa lain. Pertimbangan-pertimbangan itu dilakukan agar kekompakan antar mereka bisa dibina

demikian dite-gaskan oleh, Kuncoro, salah seorang pengurus IPPHTI Kabupaten Te-manggung.

B. Latihan Teater Rakyat

ada awalnya, dalam bayangan kelompok masyarakat yang meng-ikuti program ini, teater rakyat adalah seni pertunjukan. Penilaian itu dapat dilihat saat masing-masing peserta berebut peran, tanpa mengetahui skenarionya terlebih dahulu. Mereka berpikir, bahwa pada saat dialog akan dipertunjukkan tontonan tentang masalah-masalah rakyat. Pada dasarnya dugaan itu tidak meleset. Namun

oleh pemandu dari tim Yayasan FIELD Indonesia dijelaskan bahwa, pertunjukan peran adalah bagian dari kehidupan manusia. Setiap manusia memainkan perannya masing-masing. Demikian juga dengan teater rakyat sendiri, mereka dengan kesadaran sendiri melakukan proses pembelajaran kritis melalui media itu. Alat ini dapat dipergunakan sebagai media ek-spresi untuk mengkomunikasikan masalah yang dihadapi oleh rakyat. Ka-itannya dengan dialog antara masyarakat dengan DPRD dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab), teater rakyat dimaksudkan sebagai media belajar.

DPRD dan Pemkab memain-kan peran sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan, se-mentara masyarakat me-mainkan perannya sebagai rakyat yang punya masalah. Artinya, pada saat dialog rakyat memainkan peran yang sesungguhnya.

Dalam latihan tersebut, pa-ra peserta memperkuat pema-haman diri mereka sebagai se-buah tim..Mereka melakukan diskusi, role play (permainan), juga refleksi atas apa yang te-

“Pengurus dalam menentukan lokasi pertemuan selalu berpindah-pindah, bergilir di de-sa-desa di mana program ini dilakukan,”

“Kami telah menjadi satu tim, dan kami sadar bah-wa itu adalah kekuatan kami untuk menghadapi masalah,”

6 - Strategi Menyampaikan Informasi

P

Page 122: aspirasi gabungan

113Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

lah dilakukan. Di dalam pelatihan teater rakyat, dibahas tentang posisi masyarakat dengan pemerintah. Digunakan beberapa permainan yang me-nunjukkan posisi yang berhadapan, seperti tembok dan buldozer. Satu ke-lompok menjadi buldozer dan kelompok lainnya menjadi tembok. Sesuai de-ngan fungsinya buldozer mencoba merobohkan tembok.

Dari sana dicoba menggali pengetahuan peserta tentang DPRD dan Pemkab. Beberapa peserta mengatakan bahwa, DPRD adalah wakil rakyat yang bertugas memperjuangkan aspirasi rakyat. Sedangkan pengertian pe-merintah adalah lembaga yang menjalankan program untuk kepentingan masyarakat. Tetapi sama dengan DPRD, lembaga itu belum cukup ber-fungsi, karena terbukti di tingkat masyarakat masih banyak masalah yang dihadapi. Walaupun demikian, peserta menganggap dialog perlu dilakukan. Mereka berharap terjadi komunikasi antara masyarakat dengan pemerin-tah, karena pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Pada dialog tersebut, masyarakat juga ingin menilai tingkat kepedulian pemerintah atas nasib mereka. Kesempatan itu juga akan digunakan untuk menuntut adanya kebijakan yang secara nyata berpihak pada petani dan masyarakat.

Mereka menyadari harapan itu sulit tercapai jika dilakukan secara per-orangan. Agar lebih punya kekuatan, masyarakat perlu membentuk kelom-pok yang mereka sebut organisasi masyarakat. Organisasi itu lalu bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendukung agar kekuatannya bertambah. Namun, organisasi yang dibentuk oleh masyarakat tersebut harus sesuai dengan aspirasi yang dinginkan. Syarat yang dikemukakan adalah demo-kratis, transparan, bertanggungjawab, dan kritis. Dari sana, terbuka pelu-ang pemerintah memperhatikan permasalahan rakyat. Lalu muncul kebi-jakan yang berpihak pada rakyat.

Strategi Menyampaikan Informasi - 6

DPRD/Pemkab

OrganisasiMasyarakat

Masyarakat

Kenyataan

Harapan

LembagaPendukung

Page 123: aspirasi gabungan

114 ASPIRASI

Saat memasuki materi dialog, yang merupakan hasil dari riset aksi, me-reka memperdalam tentang isu yang diangkat. Mereka mulai menganalisa antara masalah dengan kaitan-kaitannya. Misalnya isu air bersih dirasa-kan kurang oleh masyarakat. Hal tersebut terkait dengan musim kemarau yang panjang. Kemudian dibandingan dengan masa lalu, walaupun kema-rau panjang, air masih bisa cukup tersedia. Perubahan itu terjadi sejak se-ringnya terjadi penebangan pohon di hutan. Hutan menjadi gundul hingga mengurangi peresepan air. Lalu diidentifikasi siapa saja yang menebang hu-tan serta apa kepentingannya. Maksud dari analisa semacam itu adalah, agar kelompok masyarakat dapat mengatur strategi dengan tepat saat ber-hadapan dengan kelompok lain.

Selanjutnya diadakan simulasi dialog antara masyarakat dengan DPRD dan Pemkab. Dalam sebuah pertunjukan teater atau drama, selalu ada yang berperan protagonis dan antagonis. Mengingat dialog merupakan upa-ya meperjuangkan hak-hak rakyat, maka peran protagonis diwakili oleh rakyat sedang antagonis adalah peran pemerintah. Alasannya beberapa pe-serta mengatakan DPRD seharusnya adalah wakil rakyat yang memper-juangkan kepentingan rakyat. Tetapi peran itu belum jika tidak mau dise-but tidak terlaksana. Banyak kritikan yang dilontarkan pada lembaga itu. Pendapat tersebut mendapat bantahan dari peserta lainnya bahwa, me-ngenai karakter peran dapat ditentukan tergantung skenario dan sutradara serta dari mana sudut pandangnya.

Terjadi perdebatan panjang ketika salah seorang peserta yang mengang-gap posisi masyarakat atau rakyat berada dipihak yang salah. Dikatakan-nya DPRD maupun pemerintah sudah punya keinginan dan program untuk membantu masyarakat, namun di tingkat masyarakat program tersebut ti-dak berjalan. Dia memberi contoh kasus KUT di sektor pertanian. Pinjaman yang diberikan pemerintah tersebut tidak dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat, bahkan banyak yang ngemplang (tidak membayar). Tetapi pe-serta menyepakati untuk menempatkan posisi rakyat sebagai pemain de-ngan karakter protagonis sedang pemerintah dan dewan dalam peran anta-gonis. Alasannya, karena permasalahan yang akan mereka dialogkan me-nyangkut kepentingan mereka sendiri dan mereka sendiri sebagai sutra-daranya.

Dalam simulasi itu kelompok masyarakat dengan lugas mampu me-nyampaikan permasalahan yang mereka hadapi. Oleh pemerintah masa-lah-masalah itu ditanggapi. Terjadi diskusi yang alot dan akhirnya kelom-pok pemerintah tersudut. Setelah itu masing-masing kelompok diminta tanggapannya tentang jalannya simulasi dialog. Kelompok De-wan/pemerintah berusaha menjawab setiap pertanyaan agar posisi mereka tidak tersudutkan. Mereka mengaku tidak tahu harus menjawab apa, na-mun dipaksakan untuk menjawab. Ada juga yang meniru gaya dari pejabat yang berpura-pura memegang handphone, sibuk menerima telepon saat di-alog berlangsung. Sementara dari kelompok rakyat merasa tidak puas atas

6 - Strategi Menyampaikan Informasi

Page 124: aspirasi gabungan

S

115Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

jawaban yang diberikan oleh pemerintah. Mereka beranggapan pemerintah seakan asal jawab atas pertanyaan yang mereka ajukan.

B. Latihan Media Rakyat

e t e l ah l a t ihan seca ra l i san menyampaikan ekspresi, peserta riset aksi juga mempelajari pengungkapan ekspresi melalui tulisan dan gam-bar/poster. Istilah yang digunakan adalah media rakyat. Pelatihan media

rakyat dalam program ini bertujuan untuk membantu kelompok riset aksi dalam meru-muskan informasi penting dan mengung-kapkan gagasan sebagai pintu masuk untuk memecahkan masalah atau sekadar mem-berikan tanggapan (respon) yang berkaitan dengan informasi penting dalam setiap isu. Tujuan lain yang dirumuskan sendiri oleh peserta pelatihan ialah, tulisan harus dapat diketahui oleh pihak lain, perlu penyebaran, dapat menjadi bahan acuan (pemerintah un-tuk menentukan kebijakan), untuk melahir-kan kebijakan yang berpihak kepada masya-rakat, menyalurkan/menyuarakan aspirasi, serta menggugah semangat masyarakat luas untuk memberikan dukungan

Pelatihan media rakyat ini sengaja difo-kuskan pada “pengungkapan pengalaman melalui tulisan”. Latihan awal dimulai dengan memahami informasi. Apa yang dimaksud dengan informasi. Menurut peserta, informasi bisa ber-bentuk: berita atau kabar, tulisan, lisan, gambar, iklan, isyarat, atau tanda-tanda. Dari hasil curah pendapat dengan alat bantu berita media massa ce-tak, peserta membagi tiga bentuk informasi, kabar biasa, gagasan, dan kri-tik. Dalam setiap informasi harus dipahami unsur 5 W + 1 H (what, who, where, when, why, how/apa, siapa, di mana, kapan, mengapa dan bagai-mana). Unsur tersebut adalah unsur baku untuk sebuah informasi yang lengkap. Kaitannya dengan riset aksi, peserta diharapkan mampu men-dapatkan ke unsur-unsur tersebut.

Pada awalnya, peserta menganggap menulis adalah sesuatu yang rumit. Budaya mereka tidak terbiasa untuk menyampaikan sikap melalui tulisan. Terlebih, ketika diminta untuk melengkapi unsur baku yang ada. Namun setelah berdikusi, hal tersebut tidak serumit yang diduga, karena mereka

Strategi Menyampaikan Informasi - 6

Page 125: aspirasi gabungan

116 ASPIRASI

pada dasarnya memiliki beberapa persyaratan yang memudahkan untuk menulis:

! Punya pengalaman

! Melakukan/mengalami sendiri

! Punya data

! Pola pikir maju

! SDM yang ahli (telah mampu melakukan riset)

! Punya impian, cita-cita, angan-angan (Visi)

! Punya Misi

! Punya Strategi

! Punya Tujuan

Walaupun demikian, mereka merasa punya hambatan yaitu, kesulitan merangkai kata-kata (kalimat), perbendaharaan kata-kata yang terbatas, penyusunan paragraf/alenia, dan membuat judul yang menarik. Hambatan itu mereka coba hilangkan dengan melakukan praktek menulis. Setiap orang dari anggota riset aksi membuat tulisan tentang berbagai penga-laman mereka dalam riset dengan berbagai cara penyajian yang beragam, seperti: ulasan, cerita pendek, puisi, surat, dan sejenisnya. Tulisan-tulisan tersebut kemudian dihimpun dalam sebuah media yang diberi nama “SuaRA”, singkatan dari “Surat-surat anggota Riset Aksi”.

Masih berkaitan dengan media rakyat, program ini juga menghasilkan poster-poster yang temanya terkait dengan isu yang diangkat. Poster-poster ini digunakan sebagai alat penyebar informasi dan menggugah kesadaran masyarakat luas tentang isu yang diangkat oleh kelompok riset aksi. Poster juga dapat menjadi alat advokasi bagi masyarakat untuk mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Peserta riset aksi kemudian mempelajari maksud dan tujuan dari gambar yang ada. Tujuannya, agar mereka mampu menjelaskan kepada khalayak luas tentang gambar tersebut. Mengingat pesan-pesan tersebut penting diketahui oleh masyarakat luas, maka mere-ka sepakat untuk menempelkannya di tempat-tempat yang strategis, seper-ti pasar, balai pertemuan, pos ronda, hingga ke instansi-instansi pemerin-tah di desa mereka. Harapannya semakin banyak masyarakat luas yang pa-ham akan masalah mereka, akan semakin banyak dukungan yang diper-oleh. Itu artinya langkah untuk mencapai keberhasilan terbuka lebar.

***

6 - Strategi Menyampaikan Informasi

Page 126: aspirasi gabungan

117Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

7Saatnya Suara Rakyat

Didengar

Dialog denganPemkab dan DPRD

Page 127: aspirasi gabungan

118 ASPIRASI

7 - Saatnya Suara Rakyat Didengar

Page 128: aspirasi gabungan

119Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Dialog

eluang melakukan dialog membuat harapan baru bagi masyarakat yang selama ini pasrah akan nasibnya. Dengan bekal telah melaku-kan riset aksi, mereka punya keyakinan bahwa, pemerintah akan berpihak pada nasib rakyat. Dialog dengan pemerintah memang ke-rap dipandang sederhana, karena hampir setiap hari praktek sema-cam itu muncul dalam publikasi media massa. Bermacam-macam

bentuk dialog yang ditampilkan. Namun sangat jarang ada berita kelompok masyarakat marginal mengundang lembaga pemerintahan untuk datang mendengarkan permasalahan mereka. Dalam program i dia-log semacam itu terjadi.

Di masing-masing kabupaten dilakukan dialog sebanyak 4 kali. Dialog pertama, berupa pengenalan program dan apa yang dilakukan oleh masya-rakat. Dialog kedua adalah perkembangan riset aksi yang dilakukan oleh masyarakat. Dialog ketiga adalah rumusan dari masyarakat tentang ma-salah mereka. Sedangkan dialog keempat adalah menjalin kesepahaman antara masing-masing pihak tentang masalah yang dihadapi oleh masya-rakat. Pada dialog terakhir itu, diharapkan akan mampu mempertegas ko-mitmen pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah rakyat.

Dalam desain awal program, pada dialog pertama dan kedua, masyara-kat dalam posisi yang mengundang lembaga pemerintahan. Sedangkan dia-log ketiga dan keempat, posisinya diubah, masyarakat yang diundang untuk menyampaikan aspirasinya.

Tentunya desain tersebut tidak menjadi baku, karena praktek di lapang-an masyarakat sendiri yang menentukan, kapan saatnya mereka mengun-dang dan diundang. Lepas dari permasalahan tersebut, dialog disikapi de-ngan suasana batin yang berbeda oleh peserta program.

kata Salim, tukang be-cak dari Desa Dawuhan Lor (Lumajang). Namun dia dengan bersungguh-

Rural EPICS in

“Saya tidak punya bayangan bisa berdialog langsung dengan pejabat,”

7Saatnya Suara Rakyat

Didengar

P

Page 129: aspirasi gabungan

120 ASPIRASI

sungguh mempersiapkan diri untuk bisa berdialog dengan baik. Kesung-guhannya itu ditunjukkannya dengan menghimpun semua masukan dari anggota kelompok riset tukang becak. Diskusi dan menata laporan yang he-ndak disampaikan dia lakukan hingga larut malam. Hampir saja dia kehi-langan suara karena terlalu bersemangat dalam mempersiapkan dialog itu. (Lihat Box: Mau Jadi Juru Bicara Tukang Becak).

kata Ismail, CO dari Desa Dawuhan Lor. Waktu pelaksanaan dialog ber-kisar antara Bulan April sampai dengan September 2003. IPPHTI masing-masing kabupaten memegang peranan penting dalam mempersiapkan pelaksanaan dialog tersebut. Untuk dapat menghadirkan pejabat datang ke desa, bukanlah sesuatu yang mudah bagi masyarakat. Terlebih lagi pada masa-masa itu, situasi politik di kedua daerah sedang memanas. Isu Pe-milihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi sangat dominan dibanding masa-lah lain. Dalam situasi ini, masyarakat dipaksa untuk bisa menyesuaikan jadwal dari para pejabat. Rencana awal dialog pertama dan kedua dilak-sanakan atas undangan IPPHTI, tidak semuanya terpenuhi. Demikian juga

“Dialog memang menjadi peristiwa yang sangat dinantikan oleh para pe-serta program ini, karena merupakan kesempatan bagi rakyat untuk bersua-ra,”

7 - Saatnya Suara Rakyat Didengar

Mau Jadi Juru Bicara Tukang BecakPagi itu menjadi pagi yang luar biasa bagi Salim, 45 tahun.

Tidak seperti biasanya, setelah menunaikan sholat Subuh, Salim langsung menekuni lembar demi lembar kertas yang penuh dengan tulisan tangan. Biasanya Salim mempersiapkan becak, alat penopang hidup keluarganya dan bergegas ke pangkalan yang tak jauh dari rumahnya. Lalu dengan sabar, dia menanti datangnya penumpang yang saat ini makin jarang merasakan tarikan becaknya. Tapi hari itu berbeda, dia dengan teliti mem-baca ulang tulisan di kertas dengan sesekali membuat catatan-catatan kecil. Kesibukan Salim di pagi itu terlihat layaknya seo-rang profesor yang yang sedang mepersiapkan diri di sebuah acara seminar atau forum ilmiah. Hanya saja, kondisinya yang berbeda. Di rumahnya tidak terlihat alat-alat modern yang me-nunjang kegiatan seorang intelektual. Tidak ada komputer bahkan mesin ketik. Yang ada di atas ‘meja belaja’” hanyalah lembaran kertas, pena, dan pinsil, serta secangkir kopi hangat yang telah disediakan istrinya.

“Saya nanti yang akan jadi juru bicara tukang becak,” ujarnya saat disapa oleh istrinya me-ngenai kesibukan paginya itu. Tak ada kebanggaan yang tersirat dari ucapan itu, karena dia sadar apa yang dilakukannya adalah amanat yang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Keseriusan Salim di dalam melakukan riset aksi disebabkan adanya secuil harapan akan per-ubahan nasibnya. Dia termasuk orang yang cukup paham soal arti kegagalan, hingga tidak punya

Page 130: aspirasi gabungan

121Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

dua dialog berikutnya. Upaya IPPHTI agar pihak pemerintah yang mengun-dang tidak berjalan dengan lancar. Walau terhambat oleh isu yang sama, namun pengalaman di masing-masing daerah berbeda. Pengalaman-penga-laman itulah yang menjadi modal bagi masyarakat dalam berkomunikasi dengan pemerintah.

A. Dialog di Lumajang

katanya Sismantoro, anggota kelompok riset aksi Desa Dawuhan Lor dari sektor pertanian. Ungkapan kekecewa-an itu muncul saat awal dialog baru dibuka. Tentunya suasana mendadak menjadi tegang. Ini ditunjukkan dari perubahan ek-

spresi wajah semua peserta dialog. Terutama para wakil pemerintah yang hadir pada saat itu. Ketika dia melontarkan kekecewaan itu, baru 1 orang anggota DPRD yang hadir, karena satu orang lagi datang terlambat. Namun,

aya kecewa dengan anggota dewan, mengapa hanya satu orang yang datang, padahal peristiwa ini penting bagi masyarakat Lumajang,”

Saatnya Suara Rakyat Didengar - 7

ambisi yang besar bahwa apa yang diharapkan akan diperoleh dengan mudah. Namun, dia punya semangat untuk memperjuangkan sekecil apapun peluang, karena menurutnya, dari kecilnya pen-dapatan yang dia teria setiap harinya, dia dapat bertahan menghidupi keluarganya

Maka tidak heran, saat mendapat kesempatan untuk mengikuti dialog, sehari sebelumnya, dia sibuk berdiskusi dan mencatat segala temuan dan masukan dari teman-temannya. Alhasil, karena terlalu sering berbicara, suaranya nyaris menghilang tepat saat acara dialog dilakukan. Dengan suara yang berat dan tersendat-sendat, Salim tampil mewakili kelompoknya menyampaikan per-masalahan yang dialami oleh tukang becak di desanya.

Salim adalah salah satu sosok penarik becak yang ikut melakukan riset aksi. Pekerjaan itu telah lama dia tekuni. Pendidikannya yang hanya sekolah dasar, telah mempersempit peluang ba-ginya untuk melakukan pekerjaan lain. Untuk pekerjaan lain, sesekali Salim menjadi tukang ba-ngunan. Namun pekerjaan itu baru didapatkannya ketika ada orang yang membangun atau mem-perbaiki rumah. “Saat ini, sepertinya banyak orang yang krisis, sudah lama sekali saya tidak mendapat order jadi tukang (bangunan),“ keluhnya.

“Saya memilih jadi penarik becak karena tidak punya lahan untuk bertani,” ungkapnya. Dari becak itu dia menghidupi keluarganya. Sedikit demi sedikit Salim bisa menabung. Hasil tabungan-nya itu kemudian dipakainya untuk membeli becak. Sekarang Salim sudah punya becak sendiri. Ja-di dia tidak perlu lagi menyewa becak. Tetapi situasi saat ini dirasakannya bertambah berat. Ja-ngankan bisa menabung, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sangat sulit. Rata-rata per hari Salim hanya dapat mengumpulkan uang sekitar Rp. 5.000,-. Tentu saja uang senilai itu tidak dapat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Beruntung, istrinya punya ketrampilan menjahit, hingga sedikit bisa membantu penghidupan keluarga..

“S

Page 131: aspirasi gabungan

122 ASPIRASI

dengan cepat Suharsono, Koordinator IPPHTI Lumajang menetralisir sua-sana mengingat acara dialog baru saja dibuka.

Dialog pertama di Kabupaten Lumajang dilaksanakan pada tanggal 30 April 2003. Walaupun difasilitasi oleh IPPHTI, pelaksanaan dialog dilaku-kan di Gedung Dinas Pertanian Kabupaten Lumajang. Menurut Suharsono, pilihan tempat tersebut merupakan strategi agar pejabat pemerintah yang terdiri dari wakil DPRD dan wakil Pemkab bersedia hadir dalam acara dia-log.

kata Suharsono. Dengan latar belakangnya sebagai organisasi petani, IPPHTI lalu meminta Dinas Pertanian agar dapat meminjamkan salah satu gedungnya untuk acara dialog.

Pada dialog awal, yang hadir dari pejabat pemerintah adalah 2 orang anggota DPRD, 3 orang wakil dari Pemkab yang terdiri dari 1 Badan Peren-canaan Pembangunan Kabupaten (Bapemkab) dan 2 Dinas Pertanian. Da-lam dialog itu IPPHTI memberi penjelasan tentang program Rural EPICS di Kabupaten Lumajang yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat sipil dalam pembangunan di daerahnya. Selanjutnya wakil-wa-kil kelompok riset aksi memaparkan apa yang mereka lakukan selama me-lakukan riset aksi. Karena riset aksi baru berjalan dua minggu dari ren-cananya selama dua bulan, maka laporan yang mereka paparkan, bukan berupa kesimpulan. Namun jalannya riset aksi. Pengalaman pertama melakukan dialog dengan pemerintah, membuat beberapa wakil kelompok riset aksi terkesan agak grogi. Mereka belum mampu bersikap lepas untuk menyampaikan isu-isu yang mereka riset.

Dalam pemaparan jalannya riset aksi, ada kecendrungan langsung me-nuju pada tuntutan pada pemerintah, dengan data yang masih minim dan belum dianalisa secara mendalam. Misalnya dari kelompok riset sub-sektor

“Agak sulit menghadirkan pejabat ke desa sebelum mereka kenal siapa kita,”

7 - Saatnya Suara Rakyat Didengar

Page 132: aspirasi gabungan

123Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

pertanian, mereka mengatakan bahwa ledakan hama yang terjadi dise-babkan kurangnya upaya pemerintah untuk membina petani. Namun itu terjadi pada semua wakil yang dari kelompok riset. Beberapa dari mereka dengan jelas mampu memaparkan apa yang mereka lakukan selama riset aksi, berikut temuan-temuan yang didapat di lapangan. Dari pemaparan tersebut, diceritakan berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat terkait dengan isu masing-masing. Kesemua permasalahan yang terjadi berhubungan dengan masalah kebijakan pemerintah. Pemerintah dianggap kurang mendengarkan aspirasi masyarakat, sehingga banyak terjadi per-masalahan di tingkat masyarakat. Misalnya tentang perubahan jalur ang-kutan di Desa Dawuhan Lor, sulitnya pedagang dan pengrajin kecil meng-akses tambahan modal ke bank, tidak stabilnya harga pembelian gabah, kesulitan air bersih, dan lain-lain.

Menanggapi pemaparan kelompok riset aksi itu, pejabat dari Bapemkab yang diwakili oleh Sri Edi Astuti, menyampaikan strategi pembangunan di Kabupaten Lumajang. Dikatakan olehnya, saat ini untuk membuat peren-canaan program sudah ada mekanisme yang berasal dari bawah. Di-mulai dari musyawarah di tingkat dusun, kemudian dibawa ke tingkat desa, lalu kecamatan. Kemudian berbagai usulan tersebut dibahas di Rapat Koor-dinasi Pembangunan (Rakorbang) tingkat kabupaten. Dengan mekanisme semacam itu, dia punya keyakinan apa yang telah dilakukan oleh Pemkab Lumajang berasal dari aspirasi masyarakat di tingkat bawah. Oleh karena-nya, dia merasa heran jika disebutkan bahwa, pemerintah tidak mende-ngarkan aspirasi masyarakat.

katanya. Dia menjelaskan program-program pemberdayaan masyarakat sudah sering dilakukan. Oleh sebab itu dia menghimbau agar masyarakat mau peduli dengan memanfa-atkan fasilitas yang telah disediakan pemerintah. Dalam kesempatan itu,

“Jika mau permintaannya dikabulkan, pergu-nakan saja forum-forum yang telah ada, karena agak sulit untuk memenuhi permintaan tersebut dengan jalur yang berbeda,”

Saatnya Suara Rakyat Didengar - 7

Page 133: aspirasi gabungan

124 ASPIRASI

dia juga menyarankan agar masyarakat membentuk kelompok-kelompok usaha. Dia mengatakan bahwa, bantuan program biasanya diperoleh ke-lompok-kelompok tersebut.

Sementara dari Dinas Pertanian yang diwakili oleh Ir. Setiyono menga-takan bahwa, masyarakat masih kurang kompak untuk mengatasi perma-salahannya. Khususnya untuk masyarakat petani dihimbau agar kelom-pok-kelompok tani lebih difungsikan dengan melakukan pengorganisasian yang baik.

katanya. Dia menambahkan bahwa, pemerintah akan selalu siap membantu, tetapi kuncinya tetap pada mas-yarakat sendiri. Lalu apa tanggapan dari wakil rakyat pada forum itu? Sama seperti dengan pihak ekskutif, mereka menyatakan bahwa perhatian yang diberikan pada masyarakat sudah cukup besar.

kata Karni Suwir-yo, salah satu wakil DPRD yang hadir pada saat itu.

Dia menjelaskan bahwa DPRD punya fungsi legislasi (membuat undang-undang), pengawasan, dan anggaran. Dari fungsi tersebut, dia mengatakan DPRD paham betul bahwa program dan anggran yang dibuat di Lumajang sangat berpihak pada kepentingan rakyat.

ujarnya dengan tegas. Sedang-kan Nurhidayati, wakil dari DPRD lainnya, mempertegas apa yang telah diutarakan oleh rekannya. Dia memberikan informasi tentang berbagai program yang bertujuan meningkat kualitas hidup masyarakat yang ada di Lumajang. Dalam dialog itu, anggota DPRD menyampaikan rasa terima ka-sihnya atas pelaksanaan program ini, karena dinilai dapat membantu kerja mereka menangkap aspirasi masyarakat.

Tanggapan-tanggapan dari pejabat negara tersebut diterima secara kri-tis oleh peserta dialog dari masyarakat. Yassin misalnya, dari kelompok pedagang kecil di Desa Dawuhan Lor. Dia meminta agar para pejabat tidak hanya sekadar menampung aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat, tetapi juga merealisasikannya. Demikian juga dengan H. Hasan, misalnya, diminta agar apa yang telah disampaikan bukan sekadar retorika (basa-basi) saja. Dia meminta dialog ini bisa dipahami sebagai upaya masyarakat secara cerdas menyampaikan aspirasinya. Dengan sedikit tidak sabar dia meminta komitmen pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang ada pada masyarakat. Menanggapi hal tersebut, dengan nada yang ditekan, Karni Suwiryo mengatakan bahwa, dirinya sudah terbiasa untuk berkata dengan sebenarnya. Ketika saya mengatakan sesuatu, jika itu pahit, tetap akan saya katakan, katanya. Sebagai wakil rakyat, dia siap membantu apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun, dia juga meminta masyarakat untuk mampu mengubah dirinya sendiri. Beberapa kasus dia beberkan tentang upaya pemerintah untuk membantu masyarakat, tetapi macet

“Pembenahan pada diri sendiri terlebih dulu dilakukan, jadi jangan asal kritik terhadap orang lain,”

“Hanya saja kami akan mempelajari kembali, mengapa masih banyak kelompok masyarakat yang mengeluh tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah,”

“Dari informasi yang saudara-saudara berikan, kami akan menegur pihak eksekutif, ke mana saja dana APBD sebanyak Rp. 333 milyar itu larinya,”

7 - Saatnya Suara Rakyat Didengar

Page 134: aspirasi gabungan

125Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

karena ulah dari masyarakat sendiri.

Dialog pertama usai. Peristiwa apa yang terjadi pada dialog itu menjadi bahan kajian bagi peserta dialog dari masyarakat untuk memahaminya. Target untuk mengkomunikasikan masalah masyarakat dengan peme-rintah sudah dicapai. Mereka melakukan evaluasi tentang apa saja yang su-dah dan belum baik dari pelaksanaan dialog. Kesimpulannya mereka mem-butuhkan perencanaan dan strategi yang matang untuk melakukan dialog dengan pemerintah.

Dialog kedua dilakukan di Balai Desa Dawuhan Lor, Kecamatan Suko-dono, tanggal 5 Juni 2003. Pada dialog kedua tersebut terjadi kebalikan dari sisi komposisi pejabat yang hadir. Pemkab hanya diwakili oleh satu orang dari Dipertan, sedangkan dari DPRD hadir 4 orang mewakili lembaganya. Sama seperti pada dialog sebelumnya, wakil kelompok riset aksi men-jelaskan perkembangan hasil riset aksinya. Mereka menyampaikan temu-an-temuan mutakhir yang diperolehnya. Sayangnya, dengan kehadiran pejabat teknis yang minim, membuat anggota DPRD yang lebih banyak bi-cara. Mereka mengulang penjelasan tentang program-program yang dituju-kan untuk masyarakat. Dialog kedua tersebut, menjadi monoton dikarena-kan kelompok sektor selain pertanian, tidak terakomodir untuk direspon. Melihat hal tersebut, salah seorang anggota DPRD mengusulkan agar per-temuan berikutnya direncanakan lebih matang. Dia memberi kesempatan bagi masyarakat untuk berdialog di Gedung DPRD Kabupaten Lumajang. Dia menginginkan adanya dialog yang dihadiri oleh instansi-instansi yang terkait dengan isu yang diangkat oleh kelompok riset aksi.

Tentunya apa yang disampaikan oleh anggota DPRD itu mendapat sambutan positif, karena sesuai dengan rencana awal. Keinginan dari ang-gota DPRD itu menjadi bahasan pada saat evaluasi dialog dilakukan. Bebe-rapa peserta riset aksi, pada kesempatan itu sempat mempertanyakan ketidakhadiran pejabat dari dinas-dinas selain pertanian. Menurut, Suhar-sono, upaya yang telah dilakukan IPPHTI untuk menghadirkan instansi-instansi pemerintah yang terkait dengan masing-masing isu sudah cukup maksimal. Selain undangan resmi, IPPHTI juga melakukan pendekatan per-sonal agar masing-masing instansi mengirimkan utusannya. Namun, usa-ha itu tidak cukup mampu mendatangkan mereka. Maka, disepakati untuk membentuk tim lobi yang bertugas mendatangkan instansi pemerintah yang terkait dengan isu kelompok riset aksi. Tim lobi terdiri dari pengurus IPPHTI, wakil CO, dan wakil kelompok riset aksi. Dalam evaluasi tersebut, juga disepakati agar dialog antara Pemkab dan DPRD dipisahkan. Alasan-nya, agar pembahasan dari isu yang diangkat oleh kelompok riset aksi bisa lebih terarah.

Atas dasar kesepakatan itu, maka mulailah tim lobi menjalankan tugas-nya. Namun, Pilkada menjadi masalah bagi para tim lobi untuk bisa menda-patkan waktu yang tepat. Saat-saat itu, Kabupaten Lumajang sedang dipa-

Saatnya Suara Rakyat Didengar - 7

Page 135: aspirasi gabungan

126 ASPIRASI

naskan oleh isu pemilihan bupati. Rencananya, pemilihan tersebut dilaksa-nakan pada akhir Bulan Juli. Namun baru dapat terlaksana pada Bulan Agustus. Ada semacam dinamika politik yang klasik di negeri ini terjadi di sana. Pemilihan diwarnai dugaan , hingga perhatian semua orang tertuju ke sana. Pada saat-saat itu, baik pejabat Pemkab maupun DPRD menjadi sulit untuk ditemui. Kesulitan itu berdampak pada waktu pelaksanaan dialog. Rencana dialog sempat terkatung-katung selama ham-pir satu bulan. Baru setelah secara definitif, Kabupaten Lumajang memiliki bupati lagi, kepastian acara dialog menjadi jelas. Dari hasil lobi-lobi, ak-hirnya disepakati dialog diadakan pada tanggal 4 September 2003. Pemkab bersedia menjadi tuan rumah acara dialog. Mereka juga bersedia untuk menghubungi semua instansi yang terkait dengan isu yang diangkat oleh kelompok riset aksi. Demikian juga dengan DPRD, mereka bersedia mene-rima peserta program Rural EPICS dengan komposisi yang lebih lengkap. Tanggal pelaksanaan dialog yang dtentukan oleh DPRD sama dengan Pem-kab. Untungnya, waktu pelaksanaannya berbeda. Dialog dengan Pemkab dilakukan pagi hari, sedangkan dengan DPRD pada siang harinya.

Pada hari yang telah ditentukan, pertama kali dialog dilakukan di Kan-tor Pemerintahan Kabupaten Lumajang. Di ruangan pertemuan yang me-gah itu, hadir wakil-wakil dari Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Ketahanan Pangan, Dinas Tenaga Kerja, Badan Peren-canaan Pembangunan Kabupaten, dan Dinas Pariwisata, serta Kimpraswil. Hanya satu dinas yang tidak hadir pada dialog tersebut, yaitu Dinas Per-hubungan. Setelah dibuka, wakil dari kelompok riset aksi membaca kesim-pulan hasil riset aksi yang telah dilakukan. Pada dialog tersebut, kelompok riset aksi juga membuat tuntutan untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.

Dari uraian wakil kelompok riset aksi, terlihat pemerintah banyak tidak mengetahui masalah yang terjadi di masyarakat. Tapi mereka menunjuk-kan perhatian yang serius pada beberapa masalah yang menyangkut fisik seperti saluran irigasi dan air bersih. Misalnya dari wakil dari Kimpraswil yang merencanakan akan meninjau langsung lokasi yang bermasalah. Sele-bihnya dari pihak pemerintah hanya menjelaskan program-program yang telah mereka jalankan. Sedangkan tuntutan dari masyarakat seakan tidak dibahas. Ketika salah seorang peserta riset aksi muncul dengan tuntutan yang lebih kongkret, mereka menyatakan tidak punya wewenang untuk memutuskan. Mereka menyarankan agar wakil masyarakat yang mengikuti dialog itu berhubungan langsung dengan DPRD. Mereka menyatakan siap untuk membantu jika telah mendapatkan persetujuan dari legislatif.

Siang harinya, sekitar pukul 13.00 WIB, dialog dilanjutkan di Ruang Paripurna Gedung DPRD Kabupaten Lumajang. Pada dialog tersebut, rom-bongan IPPHTI bersama wakil-wakil CO serta wakil-wakil kelompok riset aksi berhadapan dengan wakil-wakil DPRD dari Komisi B dan D. Dialog saat

money politic

7 - Saatnya Suara Rakyat Didengar

Page 136: aspirasi gabungan

itu seperti memberi angin segar bagi penyelesaian isu yang diangkat oleh kelompok riset aksi. Setiap isu mendapat tanggapan yang proporsional. Dalam kesempatan itu, DPRD menyatakan komitmennya untuk membantu penyelesaian yang dihadapi oleh masyrakat. Mereka menilai, apa yang telah dilakukan oleh kelompok riset aksi yang difasilitasi oleh IPPHTI merupakan langkah maju bagi pemberdayaan masyarakat yang partisipatoris. Mereka juga menyarankan agar kelompok riset aksi juga terlibat dalam setiap mus-yawarah tingkat dusun yang biasa disebut sebagai Musyawarah Pemba-ngunan tingkat Dusun (Musbangdus), tingkat desa (Musbangdes), dan musyawarah tingkat kecamatan. Karena menurut DPRD, musyawarah-musyawarah semacam itu yang akan membawa aspirasi masyarakat dari bawah. Dengan mekanisme itu, selama ini mereka berpikir program-prog-ram yang telah dihasilkan oleh Pemerintah Kabupaten Lumajang sudah cukup aspiratif.

Pernyataan dari DPRD tersebut mendapat tanggapan dari masyarakat peserta dialog. Dikatakan bahwa informasi musyawarah dari tingkat dusun hingga ke kecamatan itu tidak pernah sampai ke masyarakat luas

kata H. Hasan. Pola semacam itu dikata-kannya terkadang membuat program yang dilaksanakan tidak tepat sasar-an. Dari IPPHTI sendiri berharap pola penyampaian aspirasi terlebih dahulu melalui riset aksi yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Karena dengan pola demikian program yang akan dibuat pemerintah benar-benar aspiratif dan dibutuhkan. Menanggapi hal tersebut, DPRD akan mempertimbang-kannya untuk dibahas pada rapat anggaran program 2004. Termasuk juga dengan berbagai permintaan dari kelompok riset aksi. Namun ada beberapa program yang masih berjalan yang bisa mengakomodir beberapa isu. Mere--ka minta proposal dari kelompok riset aksi untuk dapat ditindaklanjuti.

Selanjutnya, setelah selesai pertemuan, seperti biasa peserta dialog dari masyarakat mengadakan evaluasi hasil dari dialog. Mereka cukup puas atas hasil yang diperoleh pada dialog-dialog tersebut. Hanya saja, untuk kelompok sektor becak, mereka merasa kurang terakomodir dengan tidak datangnya Dinas Perhubungan. Mereka menilai Dinas Perhubungan adalah lembaga yang arogan, karena sejak dari riset aksi dilakukan sampai dialog terakhir tidak menunjukkan tanda-tanda yang kooperatif. Pernyataan itu sempat mereka lontarkan pada DPRD saat dialog. Namun mereka merasa cukup mendapat dukungan dari DPRD, karena untuk kasus mereka, secara hukum mereka berada dalam posisi yang benar.

Setelah dialog ketiga, dialog selanjutnya direncanakan pada tanggal 25 September 2003. Namun, sayang pada waktu yang bersamaan, lembaga-lembaga yang diharapkan datang tidak dapat hadir. Alasannya, pada saat bersamaan agenda kegiatan masing-masing lembaga telah penuh. Pertemu-an tersebut diganti menjadi pertemuan internal antara pengurus IPPHTI, wakil-wakil CO, dan wakil dari kelompok riset. Dalam pertemuan tersebut

. “Yang diundang biasanya adalah tokoh-tokoh masyarakat, tanpa ada konsultasi terlebih dahulu ke masyarakat,”

127Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Saatnya Suara Rakyat Didengar - 7

Page 137: aspirasi gabungan

dibahas rencana tindak lanjut atas hasil-hasil yang telah didapat. Akhirnya diperoleh kesepakatan, setiap kelompok riset aksi membuat proposal yang ditujukan kepada Pemkab dan DPRD. Mereka secara berkelompok akan mengawal sampai proposal-proposal tersebut disetujui. Untuk itu IPPHTI akan memfasilitasi pertemuan tindak lanjut yang melibatkan DPRD dan Pemkab Lumajang.

B. Dialog Temanggung

ialog pertama di Kabupaten Temanggung dilakukan pada tanggal 1 Mei 2003. Pelaksanaannya berlokasi di Desa Bagusan, Kecamatan Selopampang. Hanya saja, tidak satupun wakil dari Pemkab mau-pun DPRD yang hadir saat itu. Ternyata, pada saat itu, lembaga-lembaga pemerintahan di Kabupaten Temanggung sedang terpusat pikirannya pada rapat paripurna akhir masa jabatan bupati. Akhir-

nya acara dialog diubah menjadi pertemuan internal antara pengurus IPPHTI dengan wakil-wakil CO, dan kelompok riset aksi. Pertemuan itu mengevaluasi perjalanan riset aksi serta rencana dialog berikutnya. Juga sempat dibahas mengenai beberapa kesulitan yang dialami oleh kelompok riset aksi dalam melakukan tugasnya. Kesulitan yang rata-rata dialami ada-lah saat berhadapan dengan lembaga pemerintahan, seperti kantor desa dan kecamatan. Mereka diminta untuk menunjukkan izin resmi melakukan penelitian. Menanggapi hal tersebut, pihak IPPHTI berupaya akan membuat surat pemberitahuan ke lembaga-lembaga yang membutuhkannya. Lalu di-bahas strategi mendatangkan pejabat pemerintah untuk berdialog dengan masyarakat. Sama seperti di Kabupaten Lumajang, mereka membentuk tim lobi yang terdiri dari pengurus IPPHTI, unsur CO, dan kelompok riset aksi. Tim ini, kemudian mulai bekerja menghubungi lembaga-lembaga yang di-

128 ASPIRASI

7 - Saatnya Suara Rakyat Didengar

D

Page 138: aspirasi gabungan

butuhkan untuk hadir pada dialog. Secara formal, surat undangan dila-yangkan ke lembaga-lembaga yang dimaksud.

Akhirnya, didapatkan tanggal 2 Juni 2003 sebagai waktu dialog. Dialog tersebut dilaksanakan di Balai Desa Jombor, Kecamatan Jumo. Wakil dari Pemkab yang hadir adalah Kabag Perekonomian dan wakil dari Dinas Per-tanian. Sedangkan wakil DPRD yang hadir 5 orang dari Komisi B. Selain sebagai tuan rumah, Kepala Desa Jombor, Wakil Camat Jumo juga hadir dengan kapasitas sebagai pemerintah di tingkat desa dan kecamatan. Se-belum dialog dilakukan, terlebih dahulu mereka mendengarkan uraian dari wakil-wakil kelompok riset aksi tentang hasil dari riset yang mereka la-kukan. Berbagai permasalahan yang mereka hadapi dikemukakan untuk mendapatkan respons dari wakil dari Pemkab dan DPRD. Termasuk juga masalah perizinan yang menghambat gerak peserta riset aksi melakukan tugasnya. Termasuk juga dengan isu bahwa kelompok riset adalah bagian dari organisasi terlarang.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Camat Jumo mengatakan bahwa, lem-baganya sangat mendukung kegiatan semacam riset aksi itu dilakukan. Hanya saja dia meminta agar pelaku riset aksi menggunakan prosedur perijinan yang sudah baku. Jika itu sudah dipenuhi, dia yakin tidak akan ada hambatan untuk melakukan riset. Ditambahkannya, maksud dari peraturan itu agar tidak terjadi kejadian yang tidak diinginkan. Tetapi yang pasti, dia menghimbau setiap kegiatan masyarakat agar terlebih dulu memberitahukan pada aparat pemerintah setempat. Terlepas dari masalah itu, Fuad R, salah satu wakil dari anggota DPRD yang hadir, menyatakan dukungannya terhadap program ini. Dia berharap, program ini tidak hanya dilakukan di 3 kecamatan, tapi di semua kecamatan yang ada di Kabupaten Temanggung, terutama daerah sentra-sentra pertanian. Dia mengatakan akan siap umembantu masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan

129Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Saatnya Suara Rakyat Didengar - 7

Page 139: aspirasi gabungan

yang dihadapi. Karena tolok ukur dari keberhasilan otonomi daerah adalah masyarakatnya sejahtera. Dengan adanya program ini dia merasa bangga, karena dapat membuat pola pikir masyarakat menjadi maju. Tidak sekadar pasrah, tetapi berusaha mengubah nasib yang tidak diuntungkan.

Sementara Ir. Sarwoyo, anggota DPRD yang lain, mengatakan bahwa, ada beberapa masalah yang sulit untuk pemerintah turun tangan, misalnya masalah harga. Harga, menurutnya, menggunakan hukum pasar, sehingga sangat ditentukan oleh pasar. Namun, untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan pemerintah, dia menyatakan siap untuk mendukung apa yang diinginkan oleh masyarakat. Di samping itu, dia berharap sikap kemandirian masyarakat juga harus dibina untuk menghadapi masalah. Dia mengambil contoh untuk masalah tikus. Pembelian buntut tikus dimaksudkan sebagai dana perangsang agar masyarakat mau bergerak membasmi tikus. Untuk ke depannya anggaran pembelian buntut tikus lambat laun akan dikurangi, karena masyarakat terbiasa untuk melakukan penggropyokan. Juga mengenai kurangnya air bersih dan irigasi. Dia menilai masalah itu ada kaitannya dengan penebangan pohon di hutan secara liar. Oleh sebab itu dia menghimbau pada masyarakat untuk bisa melestarikan hutan dengan tidak menebangi pohon di hutan.

Pemkab yang diwakili oleh Rahayu Sri Suswati, Kabag Perekonomian Kabupaten Temanggung mempersilakan kepada masyarakat untuk mengi-nventarisir permasalahan yang dihadapi. Setelah itu dia ingin ada wakil-wakil dari kelompok untuk duduk bersama membahas masalah tersebut. Namun dia mengingatkan tentang keterbatasan anggaran pemerintah, sehingga usulan yang diajukan oleh masyarakat harus realistis. Dia juga meminta masyarakat untuk bersabar, karena untuk menyelesaikan perma-salahan yang dihadapi dibutuhkan proses. Tetapi dia berjanji akan mem-bantu sedapat mungkin agar permasalahan-permasalahan tersebut dapat diselesaikan.

Dialog tersebut cukup memberi harapan bagi masyarakat mengingat mereka mendapatkan respons positif dari wakil-wakil Pemkab dan DPRD. Untuk dialog selanjutnya, IPPHTI mengupayakan kegiatan itu dapat dilak-sanakan di gedung DPRD Kabupaten Temanggung. Namun, sama dengan di Lumajang, isu pemilihan bupati membuat mereka kesulitan untuk bisa memenuhi keinginan tersebut. Bahkan untuk dapat berhubungan dengan anggota DPRD saja sudah merupakan sesuatu yang sulit.

Setelah terpilih bupati baru di sana, komunikasi dengan DPRD kembali terbuka. Bahkan salah seorang anggota DPRD ada yang mendatangi lokasi tanah bermasalah, Tuk Bandung di Desa Gesing. Dari kunjungan lapangan itu, dia juga berpendapat bahwa, tanah tersebut terlantar dalam pengelo-laan PT. Redjodadi. Tetapi, walaupun sudah mulai melakukan komunikasi, izin lokasi dialog ternyata tidak juga turun dari DPRD. Akibatnya tempat dialog dipindah ke Gedung Laboratorium Pertanian Temanggung. Dialog dilaksanakan pada tanggal 14 Agustus 2003.

130 ASPIRASI

7 - Saatnya Suara Rakyat Didengar

Page 140: aspirasi gabungan

131Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan

Saatnya Suara Rakyat Didengar - 7

Dialog ketiga dari pihak legislatif hadir satu orang wakil DPRD. Se-mentara dari eksekutif diwakili oleh Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Kepala Bagian Perekonomian Kabupaten. Pada dialog tersebut, kelompok riset aksi menyampaikan kesimpulan riset aksinya di-sertai tuntutan. Masing-masing kelompok sebelumnya sudah merumuskan tuntutan sesuai dengan isunya masing-masing. Isu tikus antara lain merumuskan tuntutannya berupa adanya Peraturan Daerah (Perda) yang melindungi musuh alami, dana pembelian buntut tikus ditingkatkan serta meminta petugas penyuluh lapangan (PPL) pertanian mengubah cara kerjanya. Isu irigasi menuntut adanya pembagian air yang seimbang antara kebutuhan Perusahaan Air Minum (PAM) dengan air irigasi, mengaktifkan kembali P3A, swakelola untuk pembangunan saluran irigasi, menjadikan kawasan Gunung Sindoro dan Sumbing sebagai hutan lindung, serta pembuatan irigasi yang bersumber dari sumur pantek. Isu tanah Tuk Bandung tuntutannya antara lain meng-audit kembali pengelolaan tanah Tuk Bandung, tanah tersebut dikelola oleh masyarakat bersama Pemkab dengan sistem bagi hasil 40% untuk pemerintah dan 60% untuk rakyat, dan lain sebagai.

Isu peternakan menuntut adanya sistem informasi kredit yang bisa diakses oleh masyrakat luas, bentuk kredit berupa uang bukan hewan, kredit tidak melalui lembaga perbankan namun berupa sistem bagi hasil, dan lain sebagainya. Isu pertanian organik menuntut adanya perda tentang pertanian organik, membuat perda yang mengawasi peredaran pestisida dan isektisida kimia, dan perda perlindungan musuh alami. Isu lemahnya posisi tawar petani dengan tuntutan menyeimbangkan harga di tingkat petani dengan harga pabrik, memfungsikan BUMD untuk membeli hasil produk petani, dan mengoptimalkan KUD. Isu sertifikat dengan tuntutan memperingan harga pengurusan sertifikat, mengadakan prona setiap ta-hun, dan membuat sistem informasi bagi pengurusan sertifikat yang bisa menjangkau masyarakat luas.

Dari berbagai tuntutan tersebut, pihak Pemkab maupun DPRD berjanji akan membahasnya di lembaga mereka masing-masing. Oleh Ir. Sarwoyo, wakil dari DPRD yang hadir mengatakan bahwa, apa yang dituntutkan oleh masyarakat itu sebagian besar sejalan dengan visi pemerintah. Dia menga-takan akan membahas segala usulan dan tuntutan tersebut pada rapat ko-misi. Ketika salah seorang peserta dialog menanyakan kapan hasil pemba-hasan tersebut dapat diinformasikan, dikatakannya butuh waktu sekitar satu bulan.

Satu bulan kemudian, dialog keempat dilaksanakan. Tepatnya tanggal 2 September 2003 di ruang komisi B Gedung DPRD Kabupaten Temanggung. Dialog itu dihadiri oleh Ketua Komisi B berserta anggotanya, Kepala Dinas Pertanian, dan Dinas Perkebunan. Pada dialog keempat, posisi masyarakat menunggu jawaban dari Pemkab dan DPRD. Oleh ketua komisi B, dikata-

Page 141: aspirasi gabungan

132 ASPIRASI

7 - Saatnya Suara Rakyat Didengar

kan bahwa, setelah mempelajari tuntutan yang diajukan oleh masyarakat, banyak yang sejalan dengan keinginan lembaganya. Misalnya tentang per-da musuh alami, program pembelian buntut tikus, pertanian organik, dan lain sebagainya. Akan tetapi anggaran keuangan yang ada akan diprioritas-kan pada masalah-masalah yang mendesak. Oleh sebab itu, dia meminta agar kelompok masyarakat dapat bersabar menunggu tahun anggaran yang baru. Dalam dialog tersebut, terjadi diskusi yang sehat, di mana antara masyarakat dengan pemerintah tidak saling menyalahkan. Dalam diskusi itu, kedua belah pihak beradu argumen atas pernyataan yang dilontarkan. Persiapan yang cukup matang untuk berdialog membuat kelompok mas-yarakat mampu dengan lancar mengkomunikasikan masalah mereka.

Pada asarnya, semua tuntutan dari masyarakat mendapat tanggapan yang positif. Artinya bahwa, sinyal tuntutan-tuntutan itu akan dikabulkan mulai terlihat terang. Ir. Sarwoyo, salah seorang anggota DPRD Komisi B, menyatakan akan memperjuangkan tuntutan masyarakat yang disertai argumen yang realistis. Beberapa dia sebutkan seperti perda perlindungan musuh alami yang bisa menginduk pada UU lingkungan, pertanian organik, perbaikan saluran irigasi, perlindungan alam bagi kawasan Gunung Sum-bing dan Sindoro, kredit ternak untuk petani, antara lain cukup realistis untuk diperjuangkan. Sedangkan mengenai harga, dia menilai agak sulit karena kaitannya dengan mekanisme pasar. Demikian juga dengan penye-diaan lapangan pekerjaan, karena yang mungkin dilakukan adalah pening-katan ketrampilan masyarakat.

Sarwoyo menilai upaya yang dilakukan masyarakat melalui program ini adalah terobosan baru bagi penyampaian aspirasi masyarakat. Dia menga-takan program ini akan mampu meningkatkan kepedulian masyarakat ter-hadap lingkungan di sekitarnya.

katanya. Selama ini, dikatakannya bahwa DPRD dengan keterbatasan waktunya masih belum mampu mengiden-tifikasi semua permasalahan yang terjadi di masyarakat. Oleh karenanya, dia tertarik jika program semacam dikembangkan lebih luas lagi ke kecamatan lain yang ada di Kabupaten Temanggung. Karena menu-rut dia, pengembangan program ini akan meningkatkan kualitas berpikir masyarakat pedesaan. Dan itu dikatakannya akan mendukung pemba-ngunan daerah yang berbasis pada masyarakat.

***

“Kerja-kerja DPRD maupun Pemerintah Kabupaten menjadi sangat terbantu, karena mendapatkan informasi yang cukup akurat dari masyarakat,”

Rural EPICS

Page 142: aspirasi gabungan

angat sulit untuk untuk mengukur sebuah keberhasilan, jika fokus utama dari sebuah kegiatan adalah proses. Dalam program Rural EPICS jika ukuran keberhasilan mengacu pada terselesainya masa-lah masyarakat, maka hal itu hanya akan menjadi harapan. Penyele-saian masalah di negeri ini seringkali bagai misteri. Ada yang bisa diselesaikan dengan cepat, namun ada pula yang butuh waktu lama

untuk terselesaikan. Bahkan yang sering terjadi masalah tak terselesaikan. Target penyelesaian masalah akhirnya tidak menjadi utama lagi, walaupun tetap diharapkan dapat terwujud.

Target penting yang hendak dicapai adalah pengalaman masyarakat un-tuk mengkomunikasikan permasalahan mereka dengan pihak-pihak yang memiliki kewenangan dengan masalah tersebut. Masalah komunikasi me-mang kerap menjadi halangan terbesar untuk terwujudnya kesejahteraan rakyat. Dari pengalaman melakukan dialog, pada dasarnya banyak prog-ram yang telah diluncurkan oleh pemerintah untuk mengatasi permasa-lahan masyarakat. Namun, sistem informasi yang tidak tertata dengan baik membuat informasi tersebut hanya bisa dijangkau oleh kalangan yang ter-batas. Demikian halnya dengan aspirasi masyarakat.Tentunya pengalaman itu bukan merupakan sesuatu yang dengan spontan dilakukan. Ada mua-tan pendidikan bagi peningkatan sikap kritis masyarakat untuk berparti-sipasi dalam pembangunan.

Dalam program ini masyarakat belajar berorganisasi dan merencana-kan tindakan aksi melalu penelitian. Banyak pengaruh positif bagi dinami-ka masyarakat pedesaan di mana program ini dilakukan. Misalnya di Desa Bagusan, Kecamatan Selopampang, Kabupaten Temanggung. Di sana, sosi-alisasi yang dilakukan oleh kelompok yang terlibat dalam program ini telah mampu mengubah ke arah perilaku keorganisasian yang demokratis di sa-na. Baik organisasi formal maupun informal. Tuntutan untuk berperilaku transparan dan bertanggung menjadi syarat utama. Dari organisasi di ting-kat Rukun Tetangga (RT) hingga ke desa mulai melakukan hal itu.

Pada sisi masyarakat, sikap kritis mulai bertaburan di antara mereka. Anggota kelompok riset aksi yang kebanyakan berusia muda, dengan cepat menyebarkan pengalaman yang didiperolehnya ke lingkungannya. “Masya-rakat sekarang lebih berani untuk berbicara apa yang menjadi permasa-

Penutup

Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan 133

Penutup

Page 143: aspirasi gabungan

ASPIRASI

lahan, serta gagasan mereka tentang pembangunan desa,”

“Namun bukan berarti kami tidak butuh pemerintah, sangat banyak yang kami butuhkan, tapi cara penyele-saiannya harus melibatkan kami,”

kata Kirdi, ang-gota kelompok riset aksi dari Desa Bagusan. Forum pertemuan rutin seper-ti, selapanan, arisan RT, pengajian, dan sejenisnya, tidak lagi secara khu-sus dengan acara semula. Dalam forum itu, pembicaraan tentang perkem-bangan desa menjadi materi yang bahas. Sebuah perkembangan menarik terjadi pada masyarakat desa. Mereka tidak lagi sekedar menunggu datang-nya inisiatif dari pemerintah. Tapi mereka mencoba mengupayakan solusi terbaik untuk mengatasi masalah mereka.

kata Kirdi lagi.

Bisa jadi, ada beberapa ketidakkonsitenan dari hasil riset aksi dengan tuntutan yang diajukan oleh kelompok riset aksi, seperti misalnya dari per-mintaan sektor isu sempitnya lahan usaha di Desa Sumber Urip (Luma-jang). Kelompok riset aksi ini pada saat melakukan riset tidak memuncul-kan potensi peternakan ikan air tawar di desanya. Namun, pada saat mem-berikan tuntutan potensi tersebut mereka ajukan. Ternyata, kelompok sek-tor tersebutlah yang terlebih dahulu mendapat respon dari DPRD. Usulan mereka disetujui untuk melakukan pengadaan ikan air tawar yang akan di-kelola oleh pemuda-pemudi di sana yang masih belum mendapatkan peker-jaan. Dinamika semacam ini bisa jadi merupakan dampak dari cara berpikir yang cepat untuk mengubah strategi tuntutan.

Program ini telah memfasilitasi masyarakat untuk lebih tanggap dalam kehidupannya. Mereka belajar berorganisasi, berpendapat, dan memilih wakil-wakil melalui cara-cara yang demokratis. Mereka juga belajar meng-identifikasi permasalahan, melakukan penelitian, serta merumuskan solu-si atas permasalahan tersebut. Capaian yang mungkin dapat terbilang be-sar adalah tumbuhnya rasa percaya diri yang selama ini kurang dimiliki oleh masyarakat. Mereka berhasil menghalau rasa rendah diri berhadapan dengan pejabat atau kalangan lain yang status sosialnya dianggap lebih tinggi. Saat dialog berlangsung, ketrampilan mereka untuk mengemukakan pendapat semakin meningkat. Selalu saja dalam setiap dialog tidak pernah cukup waktu untuk memberi kesempatan banyak peserta yang hendak ber-bicara. Mereka akan menolak, ketika ada ketidakwajaran yang disampai-kan pihak legislatif maupun eksekutif. Dengan rumusan-rumusan mereka sendiri, disampaikan gagasan yang mereka anggap tepat untuk menyele-saikan permasalahan di daerahnya. Tentunya, itu bukan harga mati, kare-na mereka telah belajar bagaimana bertukar pendapat untuk mendapatkan keputusan yang tepat. Pengalaman yang telah mereka miliki, nantinya di-harapkan mampu menyebar ke anggota masyarakat lainnya. Semakin luas penyebarannya, akan semakin cepat bangkitnya peran masyarakat sipil di pedesaan.

***

134

Penutup


Top Related