1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jerawat adalah penyakit kulit kronis akibat abnormalitas produksi sebum
pada kelenjar sebasea yang muncul pada saat kelenjar minyak pada kulit terlalu
aktif (Kumar, 2008). Jerawat dapat terjadi pada usia muda atau tua dengan
persentase kejadian pada wanita sebanyak 27% dan 34% pada pria (Klaus, 2005).
Walaupun tidak termasuk penyakit serius yang dapat menyebabkan kematian,
jerawat jika tidak ditangani dapat menimbulkan depresi dan krisis kepercayaan
diri penderitanya (Purvis dkk., 2006).
Obat jerawat topikal dapat dikategorikan menjadi dua yaitu obat jerawat
tanpa resep dokter yang dijual bebas di pasaran dan obat jerawat dengan resep
dokter. Obat jerawat tanpa resep dokter seperti benzoil peroksida, sulfur, dan
asam salisilat memiliki efek samping iritasi dan tak jarang mengakibatkan
parakeratolitik. Selain itu dokter pun tak jarang meresepkan antibiotik seperti
klindamisin, eritromisin, dan tetrasiklin (Murini, 2003), dimana penggunaan
antibiotik dalam jangka panjang selain dapat menimbulkan resistensi mikroba
juga dapat menimbulkan kerusakan organ dan imunohipersensitivitas
(Wasitaatmaja, 1997).
2
Kulit buah manggis berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen anti
jerawat. Chomnawang dkk. (2005) menyatakan bahwa ekstrak diklorometana kulit
buah manggis memiliki aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acnes dan
Staphylococcus epidermidis, 2 bakteri utama timbulnya jerawat. Kadar hambat
minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM) terhadap P. acnes sebesar 0,039
mg/mL, sedangkan terhadap S. epidermidis mempunyai nilai KHM sebesar 0,039
mg/mL dan nilai KBM sebesar 0,156 mg/mL. Werayut dkk. (2009) melaporkan
bahwa senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antibakteri ini adalah α
mangostin, yang merupakan senyawa turunan xanthon.
Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap aktivitas antibakteri ekstrak kulit
buah manggis, namun belum banyak penelitian mengenai formulasi ekstrak etanolik
kulit buah manggis dalam basis krim. Pemakaian kulit buah manggis dalam
pengobatan sebagian besar adalah dengan mengkonsumsinya secara per oral, baik
dengan mengkonsumsi rebusan kulit buah manggis, dalam bentuk ekstrak, maupun
yang sudah dibuat dalam sediaan seperti tablet atau kapsul. Salah satu tujuan
penelitian ini adalah untuk memberikan alternatif pengobatan jerawat dengan kulit
buah manggis secara topikal, yaitu dalam bentuk sediaan krim.
Pemilihan krim sebagai bentuk sediaan karena krim memiliki sifat umum
mampu melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu cukup lama
sebelum sediaan tersebut dicuci atau dihilangkan (Lachman dkk., 1994). Selain itu
krim lebih mudah dioleskan dan tidak berlemak layaknya sediaan salep, dimana pada
penderita jerawat sediaan berlemak dan berminyak sangat dihindari. Pada terapi
3
jerawat umumnya menggunakan krim tipe o/w (minyak dalam air) karena tipe krim
tersebut memperlambat proses pengeringan dan tidak mengiritasi kulit sehingga
cocok digunakan untuk penderita kulit sensitif atau kering Selain itu krim tipe o/w
memiliki sifat penyebaran pada kulit yang baik, memiliki efek dingin, serta sifatnya
lentur-lembut (Murini, 2003).
Pemilihan jenis dan konsentrasi emulgator mempengaruhi stabilitas fisik krim
(Singh, 2006). Penelitian Yuniaty (2010) menyebutkan bahwa konsentrasi xanthan
gum mempengaruhi stabilitas fisik krim ekstrak etanol biji kemiri, dimana setelah 5
minggu penyimpanan krim mengalami penurunan stabilitas fisik. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi xanthan gum terhadap sifat fisik
dan aktivitas krim o/w ekstrak kulit buah manggis, sehingga diharapkan dapat
mendukung pengembangan formulasi sediaan antijerawat dan menambah informasi
baru pengaruh konsentrasi xanthan gum terhadap sifat fisik krim ekstrak kulit buah
manggis sebagai antijerawat.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana pengaruh konsentrasi xanthan gum terhadap sifat fisik krim
ekstrak etanol kulit buah manggis yang meliputi organoleptis, pH, homogenitas,
viskositas, daya sebar, dan daya lekat, serta aktivitas antibakteri terhadap P. acnes
dan S. epidermidis sebagai penyebab jerawat?
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi xanthan
gum terhadap sifat fisik krim ekstrak etanol kulit buah manggis yang meliputi
organoleptis, pH, homogenitas, viskositas, daya sebar, dan daya lekat, serta aktivitas
antibakteri terhadap P. acnes dan S. epidermidis sebagai penyebab jerawat.
D. Tinjauan Pustaka
1. Manggis
a. Sistematika tanaman
Kedudukan manggis dalam sistem taksonomi tumbuhan (Backer & Van den
Brink, 1965) adalah :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Anak divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Clusiaceales
Suku : Clusiaceae
Marga : Garcinia
Jenis : Garcinia mangostana L.
5
b. Morfologi tanaman
Tanaman manggis merupakan pohon besar, berdaun rapat (rimbun), tinggi
mencapai 6-25 m, berbatang lurus dengan cabang simetris membentuk piramid ke
arah ujung tanaman dan berdaun tebal, permukaan daun bagian atas berwarna
hijau kekuningan sedangkan permukaan daun bagian bawah berwarna kuning
kehijauan. Buah manggis berdiameter 4-8 cm, berbentuk bulat, berwarna
kekuningan hingga berwarna ungu kehitaman pada saat masak dan beratnya
berkisar 30-180 g. Daging buah manggis terdiri atas 5-7 segmen berwarna putih,
rasanya manis dan hanya mengandung 1-2 biji (Nakasone & Paull, 1998).
Kulit buah (perikarp) manggis mempunyai ketebalan 0,8-10 cm,
berdaging dan bergetah kuning. Pada awal pertumbuhan, kulit luar berwarna hijau
yang sangat muda dan pada tingkat kematangan berikutnya, warnanya menjadi
lebih pekat, kemudian timbul bercak coklat hingga merah, yang pada akhirnya
menjadi ungu kehitaman pada seluruh permukaan kulit apabila telah matang
(Lodh & Selvaraj, 1972).
Gambar 1. Kulit buah manggis (Dokumentasi pribadi, 2013)
6
c. Kandungan
Kulit manggis mengandung berbagai senyawa xanthon seperti
mangostin, yang merupakan komponen utamanya dan senyawa bioaktif lain
seperti tannin, flavonoid, dan polifenol (Pedraza dkk., 2008), mangostenol,
mangostenon A, dan mangostenon B, trapezifolixanton, tovofilin B, α-mangostin,
β-mangostin, garsinon B, mangostinon, mangostanol, flavonoid epikatekin
(Suksamram dkk., 2002). Walker (2007) mengisolasi kurang lebih enam puluh
xanthon dari buah manggis yaitu β-mangostin, 1-isomangostin, 3-isomangostin,
9-hidroksicalabaxanton, 8-deoksigartanin, dimetilcalabaxanton, garsinon B,
garsinon D, garsinon E, gartanin, mangostanol, mangostanin, dan mangostinon.
Huang dkk. (2001) berhasil mengisolasi 4 senyawa dari kulit buah manggis yaitu
garcimangoson A, garcimangoson B, garcimangoson C dan garcimangoson D.
Gambar 2. Struktur Kimia Senyawa α-mangostin (Werayut dkk., 2009)
d. Manfaat tanaman
Penelitian membuktikan bahwa kandungan yang terdapat dalam kulit buah
manggis memiliki aktivitas farmakologis seperti mengobati infeksi kulit, luka,
diare, ulcer, gonorrhea (Pedraza dkk., 2008), antioksidan (Márquez, 2009),
antiinflamasi (Lin, 1996), dan menghambat HIV (Chen, 1996). Xanton dalam
7
kulit buah manggis dapat digunakan sebagai anti jerawat, antioksidan,
antiinflamasi, antimalaria, dan antimikroba (Walker, 2007)
Ekstrak kulit buah manggis mempunyai nilai KBM 0,039 mg/mL terhadap
P. acnes dan S. epidermidis. Harga KBM ini lebih rendah jika dibandingkan
dengan nilai KBM dari ekstrak tanaman lain seperti sambiloto, kirinyuh, amis-
amisan, sena (Chomnawang dkk., 2005). Ekstrak etanol buah manggis dapat
mengurangi produksi dari sel TNF-α dari sel mononuklear perifer darah secara
signifikan oleh stimulan P. acnes (Chomnawang dkk., 2007). Selain itu
berdasarkan penelitian Sukatta & Rugthaworn (2008) gel anti jerawat dari ekstrak
kulit buah manggis dengan kadar 0,50% tidak menunjukkan iritasi yang berarti
pada responden.
2. Jerawat
Jerawat merupakan penyakit kulit yang terjadi akibat tersumbatnya folikel
pilosebacea, sehingga menyebabkan sebum tidak dapat keluar dan menimbulkan
peradangan. Peradangan ini menyebabkan komedo yang merupakan permulaan
terjadinya jerawat (Wasitaatmadja, 1997). Faktor utama penyebab terjadinya jerawat
adalah peningkatan produksi sebum, peluruhan keratinosit, pertumbuhan bakteri, dan
inflamasi (Athikomkulchai dkk., 2008).
a. Patogenesis
Jerawat terbentuk ketika kelenjar minyak pada kulit terlalu aktif, sehingga
menyebabkan pori kulit tersumbat oleh timbunan lemak. Keberadaan keringat,
8
debu, dan kotoran lain akan meneyebabkan timbunan lemak menjadi kehitaman
yang lebih dikenal dengan komedo. Komedo yang disertai dengan infeksi bakteri
akan menimbulkan peradangan yang dikenal dengan jerawat, dimana ukurannya
bervariasi mulai dari kecil hingga besar serta berwarna merah, kadang bernanah
serta menimbulkan rasa nyeri (Jung dkk., 2004). Selain itu jerawat juga dapat
dipengaruhi oleh hormon-hormon androgenik seperti testosteron yang
mengakibatkan pembesaran kelenjar sebasea yang akhirnya meningkatkan
produksi sebum (Odom, 2000).
b. Pengobatan
Tujuan pengobatan jerawat adalah mencegah timbulnya jaringan parut
akibat jerawat, mengurangi proses peradangan kelenjar polisebasea dan frekuensi
eksaserbasi jerawat, serta memperbaiki penampilan pasien. Ada tiga hal yang
penting pada pengobatan jerawat (Price & Lorraine, 2006), yaitu:
1) Mencegah timbulnya komedo, biasanya digunakan bahan pengelupas kulit.
2) Mencegah pecahnya mikrokomedo atau meringankan reaksi peradangan.
3) Mempercepat resolusi lesi peradangan
Pengobatan terhadap jerawat dapat dikategorikan menjadi dua yaitu
pengobatan yang diberikan dengan resep dokter dan tanpa resep dokter. Obat
jerawat tanpa resep dokter seperti benzoil peroksida, sulfur, dan asam salisilat
memiliki efek samping iritasi dan tak jarang mengakibatkan parakeratolitik.
Pengobatan dengan resep dokter pun tak jarang menggunakan antibiotik seperti
klindamisin, eritromisin, tetrasiklin, asam azeloat, tretinoin, dan adapalen .
9
Penggunaan antibiotik tersebut dalam jangka panjang dapat menimbulkan
resistensi, fotosensitivitas, kerusakan organ dan imunohipersensitivitas
(Wasitaatmaja, 1997; Murini, 2003).
3. Bakteri Penyebab Jerawat
Bakteri utama yang menjadi penyebab timbulnya jerawat adalah :
a. Propionibacterium acnes
Sistematika dari P. acnes (Salle, 1961) adalah :
Kerajaan : Bacteria
Divisi : Actinobacteria
Kelas : Actinobacteridae
Bangsa : Actinomycetales
Suku : Propionibacteriaceae
Marga : Propionibacterium
Jenis : Propionibacterium acnes
Gambar 3. Proppionibacterium acnes (Anonim, 2012)
Propionibacterium acnes merupakan bakteri anaerob Gram positif yang
toleran terhadap udara. Sel berbentuk batang yang tidak teratur, bercabang atau
10
campuran antara bentuk batang dengan bentuk kokoid. Propionibacterium acnes
dapat tumbuh di udara dan tidak menghasilkan endospora. Beberapa endospora
bersifat patogen untuk hewan dan tanaman. Propionibacterium acnes termasuk ke
dalam kelompok bakteri corynebakteria anaerob yang biasanya menetap pada
kulit normal (Jawetz dkk., 2001).
Pada proses patogenesis jerawat, P. acnes menghasilkan lipid dengan
memecah asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak yang dihasilkan
menimbulkan radang jaringan dan menyebabkan jerawat (Jawetz dkk., 1996).
b. Staphylococcus epidermidis
Sistematika dari S. epidermidis (Salle, 1961) adalah :
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Micrococcaceae
Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri aerob Gram positif
pembentuk spora yang banyak terdapat di udara, air, dan tanah. Sel berbentuk
bola dengan diameter 1 μm yang tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur,
dan tampak sebagai kokus tunggal, berpasangan, tetrad dan berbentuk rantai
dalam biakan cair. Koloni biasanya berwarna putih atau kuning dan bersifat
11
anaerob fakultatif. Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal pada kulit
manusia (Jawetz dkk., 2001).
Aktivitas S. epidermidis adalah menginfeksi kulit terluar sampai unit
sebasea (Burkhart dkk., 1999). Enzim lipase yang dimiliki S. epidermidis telah
diketahui dapat menghidrolisis trigliserida di unit sebasea menjadi asam lemak
bebas yang dapat menyebabkan terjadinya keratinisasi dan inflamasi. Inflamasi
dan keratinisasi yang berlebihan inilah yang akan menimbulkan jerawat
(Kligman, 1994).
Gambar 4. Staphylococcus epidermidis (Anonim, 2000)
4. Uji Aktivitas Antibakteri
Aktivitas antibakteri diukur secara in vitro untuk menentukan potensi zat
antibakteri dalam larutan, konsentrasi dalam cairan tubuh dan jaringan, serta
kepekaan mikroorganisme terhadap obat pada konsentrasi tertentu. Stabilitas obat, pH
lingkungan, komponen-komponen pembenihan, besarnya inokulum, masa
pengeraman, dan aktivitas metabolik mikroorganisme merupakan faktor penting
12
yang dapat mempengaruhi aktivitas antibakteri in vitro sehingga harus diperhatikan
(Jawetz dkk., 2001). Metode pengukuran daya antibakteri ada dua macam, yaitu :
a. Dilusi
Metode dilusi digunakan untuk menghitung konsentrasi minimal
antibakteri yang dibutuhkan untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme.
Prinsipnya adalah antibakteri diencerkan sampai diperoleh beberapa konsentrasi.
Pada dilusi cair, masing-masing konsentrasi sampel ditambah suspensi bakteri
dalam media. Konsentrasi terendah dimana terjadi penghambatan pertumbuhan
bakteri yang ditunjukkan dengan tidak adanya kekeruhan disebut Kadar Hambat
Minimal (KHM). Pada dilusi padat tiap konsentrasi sampel dicampur dengan
media agar lalu ditanami bakteri. Konsentrasi yang mempunyai hambatan
masing-masing digores pada media padat dan diinkubasi hingga didapat Kadar
Bunuh minimal (KBM) (Anonim, 1993).
b. Difusi
Metode difusi digunakan untuk menentukan sifat suatu bakteri uji yaitu
peka, resisten atau intermediet terhadap suatu antibakteri (Murray dkk., 1995).
Prinsipnya yaitu uji aktivitas berdasarkan pengamatan luas daerah hambatan
pertumbuhan bakteri dari titik awal pemberian ke daerah difusi (Warsa, 1993).
Pada metode difusi ini dikenal beberapa metode, yaitu metode Kirby-Bauer (disk
diffusion) dan metode sumuran. Terdapat dua macam zona dalam pembacaan
hasil pengukuran daya antibakteri dengan metode difusi, yaitu :
13
1) Zona radikal adalah daerah di sekitar disk dimana tidak ditemukan adanya
pertumbuhan bakteri sama sekali
2) Zona irradikal adalah daerah di sekitar disk dimana hanya terjadi
penghambatan pertumbuhan bakteri tetapi bakteri tersebut tidak mati.
Pengukuran aktivitas antibakteri dilakukan dengan mengukur diameter zona
tersebut (Anonim, 1993).
5. Krim
a. Definisi krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat, berupa emulsi dengan
kandungan air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar.
Berdasarkan fase internalnya, krim dibagi menjadi 2 yaitu krim minyak dalam air
(o/w) dan krim air dalam minyak (w/o). Krim w/o mengandung air kurang dari
25% dengan minyak sebagai medium pendispersi. Krim o/w mengandung air
lebih dari 31%. Krim o/w merupakan bentuk yang paling sering dipilih dalam
dermatoterapi karena mudah diaplikasikan pada kulit, mudah dicuci, kurang
berminyak, dan relatif lebih mudah dibersihkan (Bergstorm & Strobber, 2008),
dan memiliki daya pendingin lebih baik. Krim w/o kurang disukai secara
kosmetik karena komponen minyak yang lama tertinggal di permukaan kulit
dengan daya emolien lebih besar dari krim o/w (Sharma, 2008)
b. Metode pembuatan
Pada pembuatan krim perlu digunakan zat pengemulsi atau emulgator.
14
Emulgator didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menurunkan tegangan
permukaan (surface tension) antar cairan-cairan yang terdapat dalam suatu sistem
karena mempunyai aktivitas permukaan (surface active agent). Kemampuan
menurunkan tegangan permukaan yang dimiliki emulgator terkait dengan struktur
kimianya yang mampu menyatukan dua senyawa dengan polaritas yang berbeda
(Ansel, 1989).
Menurunnya tegangan permukaan antar permukaan akan meningkatkan
dispersi cairan yang satu ke dalam cairan yang lain. Emulsi yang stabil didapatkan
jika emulgator membentuk lapisan tipis (film) antar permukaan, yaitu lapisan
yang menjaga agar butiran-butiran tidak bergabung kembali dengan butiran
lainnya dengan cara mengelilingi tiap butiran yang terdispersi (Lachman dkk.,
1994).
Salah satu komponen yang berpengaruh terhadap stabilitas fisik krim
adalah emulgator. Pemilihan jenis dan konsentrasi emulgator akan menentukan
kestabilan emulsi yang terbentuk (Swarbrick dkk., 2000). Xanthan gum termasuk
emulgator hidrokoloid yang membentuk emulsi tipe o/w. Yuniaty (2010)
melaporkan bahwa konsentrasi xanthan gum mempengaruhi stabilitas fisik krim
ekstrak etanol biji kemiri. Emulgator ini mempunyai stabilitas dan viskositas yang
baik pada rentang pH dan suhu yang luas (Singh, 2006). Penstabilan emulsi oleh
emulgator hidrokoloid termasuk xanthan gum dilakukan dengan pembentukan
lapisan kaku-viskoelastik pada permukaan minyak-air dan peningkatan viskositas
krim yang terbentuk (Swarbrick dkk., 2000).
15
Hal penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan krim adalah seleksi
terhadap basis yang cocok karena basis dapat mempengaruhi efek terapi krim.
Basis tidak boleh merusak atau menghambat aksi terapi obat dan dapat melepas
obat pada daerah yang diinginkan. Basis harus dapat campur secara fisika dan
kimia dengan obat. Basis yang digunakan tidak boleh merusak kestabilan krim
selama masih digunakan, stabil pada suhu kamar dan kelembaban udara, serta
tidak inkompatibilitas dengan bahan lain (Joenoes, 1998).
c. Kontrol sifat fisik krim
1) pH
Uji pH digunakan untuk mengetahui pH krim apakah sesuai dengan
pH kulit yang akan mempengaruhi kenyamanan dan keamanan
penggunannya. Selain itu pH dapat mempengaruhi difusi obat dari sediaan
(Astuti dkk., 2012)
2) Viskositas
Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui besarnya tahanan
suatu cairan untuk mengalir. Semakin tinggi viskositas maka akan semakin
besar tahanannya. Viskositas dipengaruhi oleh suhu, yang untuk cairan akan
menurun bila suhu dinaikkan (Sinko, 2006). Viskositas dapat dijadikan
kontrol kualitas fisik krim yang bersifat kuantitatif (Betageri & Prabhu, 2002).
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas emulsi adalah viskositas
medium dispers. Peningkatan viskositas medium dispers dapat menghambat
gerakan droplet, sehingga dapat mencegah terjadinya ketidakstabilan fisik
16
krim (Friberg dkk., 1996). Selain itu, peningkatan viskositas akan
menyebabkan penurunan jumlah dan laju difusi (Baines & Morris, 1987).
3) Daya sebar
Daya sebar suatu krim dilakukan untuk mengetahui kecepatan
penyebaran krim pada kulit yang sedang diobati dan untuk mengetahui
kelunakan dari sediaan tersebut untuk dioleskan pada kulit. Uji ini
menggambarkan kemampuan menyebar pada kulit. Penentuannya dilakukan
dengan ekstensometer. Sejumlah tertentu krim dengan volume tertentu
diletakkan di antara dua lempeng kaca dan dalam interval waktu tertentu
dibebani oleh anak timbangan. Penyebaran yang dihasilkan dapat dilihat dari
kenaikan pembebanan yang menggambarkan karakteristik daya sebar krim
tersebut (Voigt, 1984).
4) Daya lekat
Pengujian tehadap daya lekat dilakukan untuk mengetahui
kemampuan krim melekat pada kulit. Waktu kontak yang cukup
memungkinkan krim telah bekerja dengan efektif terhadap kulit sehingga
kegunaan krim dapat dirasakan sebagaimana seharusnya (Betageri & Prabhu,
2002).
5) Organoleptis
Uji organoleptis meliputi warna, bau, dan konsistensi dapat digunakan
sebagai indikator kualitatif ketidakstabilan fisik sediaan yang berhubungan
dengan kenyamanan sediaan oleh konsumen.
17
6. Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang merupakan pembatas terhadap lingkungan luar
tubuh manusia, baik fisik maupun kimia dan berperan penting dalam pertahanan
tubuh. Kulit berfungsi menjaga bagian dalam tubuh, membatasi keluar masuknya zat-
zat kimia dari tubuh, menjaga tekanan darah, suhu, dan sebagai mediator panas,
dingin, sentuhan dan luka (Lachman dkk., 1994).
a. Anatomi dan fisiologi kulit
Kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu:
1) Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas :
a) Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar dan
terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan
protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).
b) Stratum lusidium terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan
lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi
protein yang disebut eleidin.
Gambar 5. Struktur kulit (Wasitatmadja, 1997)
18
c) Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel
gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya.
Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin.
d) Stratum spinosum (stratum malphigi) atau disebut pula pricle cell layer
(lapisan akanta) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal
yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Sel-sel spinosum
mengandung banyak glikogen.
e) Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang
tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar
(palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah.
2) Lapisan dermis
Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal
daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat
dengan elemen-elemen seluler dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
a) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung
serabut saraf dan pembuluh darah.
b) Pars retikulare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah subkutan.
3) Lapisan subkutan
Lapisan subkutan adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar
berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar,
dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah.
19
b. Fungsi kulit
Kulit memiliki beberapa fungsi, ada pun fungsinya yaitu :
1) Fungsi proteksi. Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis
atau mekanis, misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi,
misalnya zat- zat kimia terutama yang bersifat iritan.
2) Fungsi absorpsi. Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan, atau
benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitu
pun yang larut lemak.
3) Fungsi ekskresi. Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak
berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat,
dan amonia.
4) Fungsi persepsi. Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan
subkutan terhadap rangsang panas yang terletak di dermis dan subkutis serta
rangsang dingin yang terletak di dermis.
5) Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi). Kulit melakukan peranan ini
dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi)
pembuluh darah kulit.
6) Fungsi pembentukan pigmen. Sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak di
lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Perbandingan jumlah sel basal
dengan melanosit adalah 10 : 1. Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya
butiran pigmen (melanosom) menentukan warna kulit ras maupun individu.
20
7) Fungsi keratinisasi. Kulit memberi perlindungan terhadap infeksi secara
mekanis maupun fisiologik.
8) Fungsi pembentukan vitamin D. Perubahan dihidroksi kolesterol dengan
pertolongan sinar matahari memungkinkan terlaksananya fungsi ini
(Wasitaatmadja, 1997).
7. Monografi bahan
a. Asam stearat
Asam stearat berupa hablur padat, keras, mengkilap, warna putih atau
kekuningan, pucat atau serbuk berwarna putih kekuningan. Bau dan rasa lemah
mirip lemak. Praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol (95%), mudah larut
dalam kloroform P, dan dalam eter (Anonim, 1980). Pada formula topikal, asam
stearat digunakan sebagai emulsifying agent dan solubilizing agent. Konsentrasi
yang digunakan adalah 1-20% (Allen, 2006)
Gambar 6. Stuktur kimia asam stearat (Allen, 2006)
b. Lanolin
Lanolin adalah zat seperti lemak dari bulu domba Ovis aries L. yang
telah dimurnikan. Lanolin memiliki warna kuning pucat, bau lemah, dan khas.
Lanolin sangat mudah larut dalam eter P dan kloroform P, dan agak sukar larut
dalam etanol (95%) P (Anonim, 1980). Lanolin dalam sediaan topikal,
21
digunakan sebagai emulsifying agent dan basis salep dan krim o/w (Winfield,
2006).
c. Trietanolamin
Trietanolamin merupakan campuran dari trietanolamina, dietanolamina,
dan monoetanolamina, berupa cairan jernih, kental, tidak berwarna hingga
kuning pucat, memiliki bau amoniak lemah dan higroskopis. Trietanolamin
mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, dan larut dalam kloroform P
(Anonim, 1979). Trietanolamin digunakan sebagai alkalizing agent dan
emulsifying agent (Goskonda & Lee, 2005)
Gambar 7. Stuktur kimia trietanolamina (Anonim, 1979)
d. Xanthan gum
Xanthan gum merupakan suatu gum yang dihasilkan melalui fermentasi
karbohidrat oleh Xanthomonas campestris dan dimurnikan. Serbuk berwarna
putih atau putih kekuningan, free flowing, larut dalam air panas dan dingin,
praktis tidak larut dalam pelarut organik (Parfitt, 1999). Xanthan gum digunakan
sebagai bahan pensuspensi, penstabil, pengental, dan emulgator. Xanthan gum
stabil pada rentang pH 3-12 dan rentang suhu yang lebar (Singh, 2006).
22
Gambar 8. Stuktur kimia xanthan gum (Friberg dkk., 1996)
e. Metil paraben
Metil paraben atau nipagin berupa serbuk hablur halus berwarna putih,
hampir tidak berbau, tidak mempunyai rasa, agak membakar diikuti rasa tebal.
Nipagin mudah larut dalam air, benzen P, dan karbontetraklorida P, serta praktis
tidak larut dalam minyak mineral. Nipagin digunakan sebagai pengawet
antimikroba sediaan kosmetika, makanan, maupun formulasi farmasetik. Nipagin
dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan pengawet paraben yang lain.
Konsentrasi nipagin yang biasa digunakan dalam sediaan topikal adalah 0,02%-
0,3% (Johnson & Steer, 2006a)
Gambar 9. Stuktur kimia metil paraben (Johnson & Steer, 2006a)
f. Propil paraben
Propil paraben memiliki nama lain nipasol, merupakan serbuk putih atau
hablur kecil, tidak berwarna, tidak berasa. Nipasol sangat sukar larut dalam air,
23
sukar larut dalam air mendidih, mudah larut dalam etanol, aseton, dan dalam eter.
Nipasol digunakan sebagai pengawet antimikroba pada sediaan kosmetika,
makanan maupun formulasi farmasetika baik sendiri maupun dikombinasikan
dengan pengawet lain. Konsentrasi nipasol yang umumnya digunakan pada
sediaan topikal adalah 0,01-0,6% (Johnson & Steer, 2006b)
Gambar 10. Stuktur kimia propil paraben (Johnson & Steer, 2006b)
g. Gliserin
Gliserin merupakan cairan bening, tidak berwarna, tidak berbau, kental,
dan higroskopis. Gliserin praktis tidak larut dalam benzena, kloroform, minyak,
sedikit larut dalam aseton, larut dalam etanol, metanol, dan air. Pada sediaan
topikal dan kosmetik gliserin digunakan sebagai humectant dan emollient (Price,
2006)
h. Air murni (Aqua purificata)
Air murni adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi,
perlakuan menggunakan penukar ion, osmosis balik, atau proses lain yang sesuai.
Gambar 11. Stuktur kimia gliserin (Price, 2006)
24
Berupa cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak memiliki rasa (Anonim,
1995).
E. Landasan Teori
Salah satu tanaman yang berkhasiat untuk mengobati jerawat adalah manggis,
terutama bagian kulit buahnya. Chomnawang dkk. (2005) melaporkan bahwa pada
konsentrasi 0,039 mg/ml ekstrak kulit buah manggis memiliki aktivitas menghambat
dan membunuh bakteri P. acnes serta pada konsentrasi 0,039 mg/ml dan 0,156 mg/ml
memiliki aktivitas menghambat dan membunuh bakteri S. epidermidis, 2 bakteri
utama penyebab timbulnya jerawat. α-mangostin, senyawa turunan xanthon yang
banyak terkandung dalam kulit buah manggis pun diketahui memiliki aktivitas
antibakteri terhadap P. acnes dan S. epidermidis (Werayut dkk., 2009).
Pemilihan sediaan yang tepat memiliki peran penting terhadap efektivitas
terapi. Pada terapi jerawat, krim merupakan sediaan yang tepat karena lebih mudah
dioleskan dan tidak berlemak layaknya sediaan salep, dimana pada penderita jerawat
sediaan berlemak dan berminyak sangat dihindari. Bahan pembawa pada formulasi
suatu sediaan akan mempengaruhi jumlah dan kecepatan difusi zat aktif hingga dapat
diabsorpsi kemudian memberikan efek (Wyatt dkk., 2001).
Salah satu komponen yang berpengaruh terhadap stabilitas krim adalah
emulgator. Pemilihan jenis dan konsentrasi emulgator akan menentukan kestabilan
krim yang terbentuk (Swarbrick dkk., 2000). Xanthan gum termasuk emulgator
hidrokoloid yang membentuk emulsi tipe o/w. Stabilisasi oleh emulgator hidrokoloid
25
termasuk xanthan gum dilakukan dengan pembentukan lapisan kaku-viskoelastik
pada permukaan minyak-air dan peningkatan viskositas krim yang terbentuk
(Swarbrick dkk., 2000).
Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat fisik krim adalah
organoleptis, homogenitas, viskositas, daya sebar, dan daya lekat. Parameter tersebut
dapat dipengaruhi oleh konsentrasi xanthan gum yang digunakan. Selain itu,
peningkatan viskositas akibat peningkatan konsentrasi xanthan gum yang digunakan
akan menyebabkan penurunan difusi (Baines & Morris, 1987). Penurunan jumlah dan
laju difusi ini akan menyebabkan penurunan luas senyawa obat yang kontak dengan
media yang berisi bakteri, sehingga diameter hambat yang diberikan akan semakin
kecil.
F. Hipotesis
Variasi konsentrasi xanthan gum pada sediaan krim ekstrak etanolik kulit
buah manggis dapat mempengaruhi sifat fisik dan aktivitas antibakteri krim.
Peningkatan konsentrasi xanthan gum pada rentang konsentrasi 0,50 hingga 1,00%
dapat meningkatkan viskositas krim, daya sebar krim menurun, dan daya lekatnya
semakin lama. Peningkatan konsentrasi xanthan gum akan menurunkan daya
antibakterinya terhadap bakteri P. acnes dan S. epidermidis.