1
BAB 1
PENDAHULUAN
Inovasi organisasi sangat memerlukan dukungan budaya
yang serupa artinya budaya yang mendukung inovasi. Budaya
yang mendorong eksperimentasi, mendukung baik
keberhasilan maupun kegagalan. Sayang, dalam banyak
perusahaan, orang diakui untuk tidak adanya kegagalan dan
bukannya hadirnya kesuksesan (Damanpour, 1991:557). Kultur
yang terbuka terhadap inovasi di semua tingkat sangat mungkin
mengidentifikasi dan mengimplementasikan inovasi proses
dalam frekuensi yang lebih tinggi (Davenport, 1995:112;
Schermerhorn, 1996:132).
Budaya organisasi sering diartikan sebagai suatu sistem
makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang
membedakan organisasi itu dan organisasi-organisasi lain
(Schein, 1985:168). Dengan demikian, dalam suatu budaya
organisasi yang kuat, nilai inti organisasi itu dipegang secara
intensif dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak
anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar
komitmen mereka pada nilai itu, makin kuat budaya tersebut.
Konsisten dengan hal tersebut maka budaya yang kuat
akan mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku anggota-
anggotanya karena tingginya tingkat kebersamaan dan
intensitas menciptakan suatu iklim internal dan kendali perilaku
2
yang tinggi. Kebulatan maksud semacam itu akan membina
kekohesifan, kesetiaan dan komitmen organisasi.
Walaupun diyakini secara luas dewasa ini bahwa budaya
yang kuat menciptakan kinerja unggul namun Kotter dan
Heskett memberi catatan atas teon tersebut. Dalam
perusahaan dengan budaya yang kuat, para manajer
cenderung berbaris secara penuh semangat dengan arah yang
sama dengan cara yang terkoordinasi secara baik.
Kebersamaan, motivasi dan kontrol dapat membantu kinerja,
tetapi hanya jika tindakan yang berhasil itu cocok dengan
strategi bisnis yang pintar untuk lingkungan khusus tempat
sebuah perusahaan beroperasi (Kotter dan Heskett,1997:157).
Kinerja tak akan meningkat jika perilaku dan metode yang
umum dalam melakukan bisnis tidak cocok dengan kebutuhan
sebuah produk perusahaan atau pasarjasa, pasar keuangan
dan pasar tenaga keqa. Budaya yang kuat dengan praktik yang
tidak cocok dengan konteks perusahaan sesungguhnya dapat
mengakibatkan orang pandai untuk berperilaku destruktif --yang
secara sistematis menghancurkan sebuah kemampuan
organisasi untuk hidup dan berhasil baik--.
Lebih jauh lagi Kotter dan Heskett menunjukkan bahwa
budaya yang tepat secara kontekstual dan strategis tidak akan
mempromosikan kinerja yang unggul selama periode-periode
yang panjang kecuali kalau budaya-budaya tersebut
mengandung norma dan nilai yang dapat membantu
perusahaan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
3
berubah. Tentang budaya organisasi adaptif dan tidak adaptif
simak tabel berikut (Kotter dan Heskett, 1997:159):
Tabel 1.1 BUDAYA PERUSAHAAN ADAPTIF LAWAN TIDAK ADAPTIF Budaya Perusahaan
Adaptif Budaya Perusahaan Tidak
Adaptif
Nilai Dasar
Kebanyakan manajer sangat mempedulikan pelanggan, pemegang saham dan karyawan. Mereka juga sangat menghargai orang dan proses yang dapat menciptakan perubahan yang bermanfaat (misalnya manajemen naik dan turun pada hierarkhi)
Kebanyakan manajemen sangat mempedulikan din mereka sendiri, kelompok kerja mereka yang paling dekat, atau suatu produk (atau teknologi) yang berhubungan dengan kelompok kerja tersebut. Mereka menghargai proses manajemen yang teratur dan mengurangi resiko lebih tinggi daripada inisiatif kepemimpinan.
Perilaku yang umum
Para manajer memberi perhatian yang cermat terhadap konstituensi mereka, khususnya pelanggan dan memulai perubahan bila dibutuhkan untuk melayani kepentingan mutlak mereka, bahkan kalaupun menuntut beberapa pengambilan resiko.
Para manajer cenderung berpenilaku agak picik, politis dan birokratis. Akibatnya mereka tidak cepat mengubah strateginya untuk menyesuaikan dengan atau mengambil keuntungan dan perubahan di dalam lingkungan bisnis mereka.
Sumber: John P. Kotter, James L. Heskett, (1997:159), Corporate Culture and Performance: Dampak Budaya perusahaan
terhadap Kinerja, terjemahan, PT. Prenhallindo, Jakarta.
Hasil riset Kotter dan Heskett tersebut, dapat
didayagunakan untuk menegaskan suatu skenario bahwa
pengaruh budaya yang kuat tidaklah secara otomatis
4
meningkatkan kinerja organisasi. Dibutuhkan suatu „kecocokan‟
antara nilai-nilai dominan dalam orgamsasi dengan
lingkungannya, sementara lingkungan itu sendiri kini semakin
dinamis --penuh dengan perubahan-perubahan yang terus
berlangsung- maka dalam jangka panjang „kecocokan‟ itu
seridiri tidaklah cukup untuk memenuhi tuntutan perubahan.
Diperlukan tidak saja budava yang kuat dan „cocok‟ dengan
konteks lingkungannya namun budaya tersebut harus
mengandung norma dan nilai yang dapat membantu
perusahaan menyesuaikan din dengan lingkungan yang selalu
berubah.
Dalam kerangka ini dapat dikemukakan bahwa budaya
organisasi tidak secara Iangsung nieningkatkan kinerja, budaya
organisasi akan fungsional jika mendorong dan mendukung
terjadinya inovasi organisasi. Inovasi organisasi dilakukan
sebagai suatu refleksi kebutuhan dan upaya perusahaan untuk
adaptif terhadap tuntutan perubahan yang terus terjadi. Inovasi
organisasi yang efektif akan mampu meningkatkan kinerja
perusahaan. Lebih jelas lagi dikemukakan oleh Gault dan
Jaccaci (1996:9-14) bahwa perusahaan yang sukses harus
menciptakan pembelajaran (learning) nilai yang kreatif yang
bisa menghubungkan inovasi di satu sisi dan provitabilitas di
sisi yang lain. Hal itu sejalan dengan pendapat Robbins yang
mengingatkan aspek budaya yang secara potensial bersifat dis-
fungsional, teristimewa budaya yang kuat, pada keefektifan
suatu organisasi. OIeh sebab itu, kritik budaya sebagai beban
5
lebih banyak diartikan dalam konteks budaya tersebut menjadi
penghalang terhadap perubahan, penghalang terhadap
keanekaragaman serta penghalang terhadap merjer dan
pencaplokan (1996:295). Namun demikian ada beberapa studi
yang menunjukan hubungan antara budaya organisasi dengan
kinerja organisasional (Wilkins and Ouchi, 1983:468; Gordon,
1985:13; Deshpande et al., 1993:57).
Riset paling baru mengemukakan tujuh karakteristik
primer yang secara bersama-sama menangkap hakikat dan
budaya suatu organisasi yaitu:(O‟Reilly et al.,1991:487-516;
Chatman and Jehn, 1994: 522-553).
1. Inovasi dan pengambilan risiko. Sejauh mana para
karyawan didorong untuk inovatif dan menambil risiko.
2. Perhatian ke rincian. Sejauh mana pam karyawan
diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis
dan perhatian kepada rincian.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus path
hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan
untuk mencapai hasil itu.
4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen
memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di
dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan
sekitar tim-tim, bukannya individu-individu.
6. Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan
kompetitif dan bukannya santai-santai.
6
7. Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi
menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras
dan pertumbuhan.
Sementara itu Betts dan HalfhiIl (Robbins, 1990:480)
menyatakan bahwa karakteristik utama yang menjadi pembeda
budaya organisasi adalah:
1. Inisiatif individual. Tingkat tanggung jawab, kebebasan dan
independensi yang dipunyai individu.
2. Toleransi tethadap tindakan berisiko. Sejauh mana para
pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan
mengambil risiko.
3. Arah. Sejauh mana organisasi tersebut menciptakan
dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi.
4. Integrasi. Tingkat sejauh mana unit-unit dalam orgamsasi
didorong untuk bekerja dengan cara terkoordinasi.
5. Dukungan dan manajemea Tingkat sejauh mana pam
manajer memben komunikasi yang jelas, bantuan serta
dukungan terhadap bawahan mereka.
6. Kontrol. Jumlah peraturan dan pengawasan Iangsung yang
digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku
pegawai.
7. Identitas. Tingkat sejauh mana para anggota
mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan
organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu
atau dengan bidang keahlian profesional.
7
8. Sistem imbalam Tingkat sejauh mana alokasi imbalan
(misal, kenaikan gaji, promosi) didasarkan alas kriteria
prestasi pegawai sebagai kebalikan dan senioritas, sikap
pilih kasih dan sebagainya.
9. Toleransi terhadap konflik. Tingkat sejauh mana para
pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik
secara terbuka.
10. Pola-pola komunikasi. Tingkat sejauh mana komunikasi
organisasi dibatasi oleh hirarkhi kewenangan formal.
Tiap kharakteristik ini berlangsung pada suatu kontinum
dan rendah ke tinggi. Maka dengan menilai organisasi inti
berdasarkan karakteristik-karakteristik mi akan diperoleh
gambaran majemuk dan budaya organisasi yaitu dan yang
paling konservatif hingga paling inovatif. Dalam hal ini
Sonnenfeld mengenali empat tipe buthya yaitu akademi, kelab,
tim bisbol dan benteng (Hymowitz, 1989:1). Studi Ekvall
(1993:17) menunjukkan adanya hubungan antara budaya
organisasi dengan inovasi organisasi. Artinya budaya
organisasi yang mendukung perubahan akan memberikan
kontribusi yang besar terhadap keberhasilan inovasi organisasi.
Dengan demikian, pengaruh budaya organisasi yang
kuat terhadap keefektifan organisasi mensyaratkan bahwa
budaya, strategi, lingkungan dan teknologi sebuah organisasi
bersatu. Makin kuat budaya suatu organisasi, makin penting
bahwa budaya tersebut cocok dengan variabel-variabel
tersebut (Arogyaswamy dan Byles,dalam Cohen,1994:112-
8
127). Kerangka ini sekali lagi untuk menegaskan bahwa budaya
organisasi yang kuat dan cocok dengan strategi yaitu inovasi
organisasi --yang merupakan refleksi dan upaya adaptasi
terhadap lingkungan yang makin dinamis-- akan mampu
meningkatkan kinerja organisasi. Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan Budaya organisasi adalah sistem pengertian
dan nilai-nilai dominan yang diterima secara bersama oleh
anggota organisasi.
Budaya organisasi dapat diindikasikan oleh beberapa
faktor, berdasarkan kajian literatur dan basil penelitian
terdahulu, antara lain terdiri dari:
a. O‟Reilly llI et al. (1991:487-516), Chatman and Jehn
(1994:522-553), budaya organisasi diukur dari: inovasi dan
pengambilan resiko, perhatian ke rincian, onientasi hasil,
onientasi orang, onientasi tim, keagresifan, kemantapan.
b. Betts and Halfhill (1990:480), budaya organisasi diukur dari:
inisiatif individual, toleransi terhadap tindakan berisiko,
kejelasan arah, integrasi, dukungan dan manajemen,
kontrol, tingkat identitas, system imbalan, toleransi terhadap
konflik, pola-pola komunikasi.
c. Muluk (1999:37-39), budaya organisasi diukur dari: asumsi
keterkaitan lingkungan organisasi, asumsi hakikat realitas
dan kebenaran, asumsi hakikat sifat manusia, asumsi
hakikat aktivitas manusia, asumsi hakikat hubungan antar
manusia.
9
d. Kotter dan Hesskett (1997:176), budaya organisasi diukur
dari: sejauh mana para manajer menggunakan cara dalam
melakukan sesuatu, sejauh mana perusahaan melakukan
usaha yang serius untuk mendorong para manajer
mengikuti mereka, sejauh mana perusahaan telah dikelola
menurut kebijakan dan praktik jangka panjang.
e. Anggraini (1995:81-91), budaya organisasi diukur dari: asas
tujuan, keakraban, empirik, prestasi, integritas, consensus,
keunggulan, kesatuan.
f. Hofstede (1980:67), budaya organisasi diukur dan:
individualism collectivism, power distance, uncertainty
avoidance, masculinity-femininity.
g. Iverson and Deery (1997:71-82), budaya organisasi diukur
dari: job search behavior, job opportunity, organizational
commitment, unity loyalty, job satisfaction, career
development, routinization, promotional opportunity, role
conflict, negative affectivity.
lstilah budaya mula-mula datang dan antropologi sosial
(Taylor, 1993:161), sedangkan menurut Hofstede (1994:4-5)
budaya didefinisikan sebagai:
―the whole thinking model, feeling and action of a social
community that differ to the other social community.‖
(keseluruhan pola pemikiran, perasaan dan tindakan dan
suatu kelompok sosial yang membedakan dengan kelompok
sosial yang lain).
10
Hal senada diungkapkan juga oleh Kilmann et al. (1985)
yang mendefinisikan budaya sebagai:
―culture as philosophy, idelogy, values, impression,
belief, hope, attitude and norm owned by a community.‖
(Budaya sebaga falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan,
keyakinan, harapan, sikap dan norma yang dimiliki bersama
oleh suatu masyarakat).
Tidak jauh berbeda disampaikan oleh AIMS Consultants
(2004) yang menyatakan:
―Culture as a set of value, guideline, trust, understanding,
norm, philosophy, ethic, and point of view.‖
(Budaya sebagai satu set nilai, penuntun, kepercayaan,
pengertian, norma, falsafah, etika, dan cara pandang).
Dalam kaitan semua itu, agar benar-benar memahami
suatu budaya dan untuk lebih memastikan secara lengkap nilai-
nilai serta perilaku nyata dari suatu kelompok, perlulah diselidiki
asumsi yang mendasarinya, yang biasanya tidak disadari, tetapi
secara aktual menentukan bagaimana para anggota kelompok
berpersepsi, berpikir dan merasakan. Asumsi seperti itu dengan
sendirinya merupakan reaksi yang dipelajari, yang bermula
sebagai nilai-nilai yang didukung, namun ketika nilai
menyebabkan pertlaku dan ketika perilaku tersebut mulai
memecahkan masalah, maka nilai tersebut ditransformasikan
menjadi asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu
sesungguhnya terjadi. Dengan kata lain, perbedaan antara
asumsi dengan nilai terletak apakah nilai-nilai tersebut rnasih
11
diperdebatkan atau tidak. Mengena hal tersebut, Schein
(1996:16-17) menyatakan:
―If the values is still being debated and accepted as what
it is, so that its called by assumption, however if its still
open characteristic and able to be debated so that the
term of value is more suitable.‖
(Bila nilai tersebut masth diperdebatkan dan diterirna apa
adanya, maka ia disebut sebagai asurnsi, namun bila rnasih
bersifat terbuka dan dapat diperdebatkan maka istilah nilai lebih
sesuai).
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalarn
mernandang budaya, dapat ditinjau dan berbagai segi. Hal ini
diperjelas lagi oleh pandangan Hostede (1980) yang rneninjau
dan sisi yang lain, di mana dia menyatakan bahwa budaya di
tingkat nasional (national culture) dibagi ke dalam 4 dimensi,
yakni jarak kekuasaan (power distance), penghindaran
ketidakpastian (uncertainty avoidance), individu-kolektif
(individualism-collectivism), dan maskuIin-feminin (masculinity-
feminity).
Sedangkan budava perusahaan lingkupnya lebih kecil,
yang menurut Robbins dan Coulter (1999:282-295) dinyatakan:
“Sebagai suatu sistern makna bersama yang dianut oleh
angota organisasi, yang membedakan organisasi
tersebut dengan organisasi yang lain. Makna itu mewakili
suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota
organisasi tersebut. Sama halnya dengan budaya suatu
12
suku yang memiliki beberapa aturan dan larangan yang
menentukan bagairnana para anggota akan bertindak
terhadap yang lain dan terhadap orang luar, organisasi
juga memiliki budaya yang menentukan bagaimana
anggotanya harus berperilaku.”
Dari pendapat tersebut, Robbins dan Coulter lebih
menekankan bahwa budaya organisasi hampu mirip dengan
peraturan yang ada dalam suatu organisasi, di mana
anggotanya harus mentaati peraturan tersebut. Kaitan dengan
pewarisan pengetahuan terhadap generasi berikutnya
ditekankan oleh Deal dan Kennedy (1982:4) yang
mendefinisikan budaya organisasi sebagai:
―the integrated pattern of human behavior that includes
thought, speech, action, and artifacts and depend on
man‘s capacity for learning and transmitting knowledge
to succeeding generations.‖
(Perilaku terpadu yang dianut oleh setiap manusia yang
meliputi pemikiran, perkataan, perbuatan, dan aspek-aspek
budaya dan bergantung kepada kapasitas manusia dalam
mempelajari dan mewariskan pengetahuan kepada generasi
penerusnya).
Pernyataan di atas menyiratkan bahwa aspek budaya
organisasi sangat tergantung dan kapasitas manusia yang ada
untuk mewariskan pengetahuan kepada generasi berikutnya.
Lebih jauh Schein (1996:5-9) menyatakan budaya
organisasi sebagai:
13
―a pattern of shared basic assumption that the group
learned as it solves its problems of external integration,
that has worked well enough to be considered valid and,
therefore, to be thought to new members as the correct
way to perceive, think, and feel in relation to those
problems.‖
(Beberapa asumsi mendasar yang dianut kelompok
tertentu guna memecahkan permasalahannya mengenai
integrasi internal yang berjalan dengan cukup baik dan
dianggap valid, sehingga para anggota organisasi yang baru
memiliki cara yang paling tepat dalam mempersepsikan,
berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi oleh
organisasi).
Pendapat Schein di atas Iebih menekankan kepada
anggota baru yang ada dalam organisasi, dan kaitannya
dengan pemecahan masalah yang dialami oleh suatu
organisasi dengan adanua budaya organisasi. Hal senada
dikemukakan juga oleh Gibson et al. (1995:64-108) yang
menyatakan bahwa:
“Budaya organisasi mengandung bauran nilai,
kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan
pola perilaku anggota suatu organisasi.”
Budaya perusahaan mempengaruhi manusia bertindak
di dalam perusahaan seperti bagaimana mereka bekerja,
memandang pekerjaan mereka, bekerja bersama rekan kerja
14
dan memandang masa depan. Sementara itu, Susanto (1997:3)
mendefinisikan budaya organisasi sebagai nilal-nilal yang
menjadi pegangan sumberdaya manusia dalam menjalankan
kewajibannya dan juga perilakukanya di dalam organisasi.
Steers (1987:56) mengkaitkan budaya organisasi
dengan ciri atau sifat yang dirasakan dalam lingkungan kerja
dan timbul karena adanya kegiatan organisasi dengan
menyatakan:
―Organization culture will reflect characteristics or
character which can be felt in working environment and
raise by organization activity, that being done either by
awareness or not, and considered to influence
behavior, so that culture in the organization can be
pointed as the organization personality.‖
(Budaya organisasi akan mencerminkan sifat atau ciri
yang dirasakan terdapat dalam lingkungan kerja dan timbul
karena kegiatan organisasi, yang dilakukan secara sadar atau
tidak, dan dianggap mempengaruhi perilaku, sehingga budaya
yang ada pada perusahaan dapat dipandang sebagai
kepribadian organisasi).
Pernyataan di atas memberi pengertian yang jelas
bahwa budaya organisasi tak beda dengan kepribadian
organisasi, yang secara sadar atau tidak dapat mempengaruhi
perilaku orang yang ada di dalamnya. Hingga mendekati tahun
1980-an beberapa orang konsuitan dan peneliti manajemen
menemukan bahwa budaya organisasi juga merupakan
15
instrumen lain untuk mengawasi aspek non-rasional perilaku
karyawan (Peters dan Waterman, 1982:98).
Sedangkan Rusaw (2000:249-250) menyatakan bahwa
budaya organisasi sebagai:
―a systematic set of norms, beliefs, and attitudes that
people accept unquestionably as guides for eve,yday
thinking and behavior.‖
(Satu set yang sistematik tentang norma, kepercayaan
dan sikap yang diterima dan tak perlu dipertanayakan sebagai
petunjuk berpikir dan berperilaku setiap harinya).
Jauh sebelumnya Ouchi (1980) menyatakan budaya
perusahaan adalah alat penting untuk menciptakan hubungan
kerja yang harmonis di antara anggota organisasi dalam bentuk
perasaan pada nilai dan keyakinan umum yang sama sehingga
dapat menghilangkan kemungkinan peraku oporturistik.
Selanjutnya Ouchi (1980) menyatakan lagi:
―Corporate culture is important, because, when the
transaction cost is complex and ambiguous for
organizations, a set of common values and beliefs is
needed as a regulatory mechanism.‖
(Budaya organisasi adalah penting, karena biamana
biaya transaksi adalah rumit dan mendua untuk organisasi,
maka sekumpulan nilai dan kepercayaan yang dianut secara
bersama dibutuhkan sebagai suatu mekanisme yang
mengatur).
16
Pernyataan itu didukung lagi oleh pendapat Peters and
Waterman (1982:106) yang menyatakan:
―Culture and shared values are important in unifying the
social dimension of an organization.‖
(Budaya dan nilai-nilai bersama adalah penting dalam
menyatukan dimensi sosial suatu organisasi).
Beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
budaya organisasi sebagai suatu mekanisme yang mengatur
dan juga merupkan dimensi sosial suatu organisasi.
Sedangkan Martin dan Frost (1999) mengibaratkan
antusiasisme di antara anggota organisasi tersebut akan
mempengaruhi perilaku kerja Iayaknya seperti efek domino,
yaitu akan berakibat pada komitmen yang Iebih tinggi,
produktivitas yang Iebih besar dan pada akhirnya keuntungan
yang lebih banyak. Sedangkan Deal dan Kennedy (1982)
menyebutkan ada 5 elemen yang mampu membuat suatu
budaya dalam suatu organisasi menjadi demikian kuat, yaitu
lingkungan bisnis, nilai-nilai, kepahlawanan, ritus dan ritual,
serta jaringan budaya. Dikatakannya, budaya yang kuat akan
mampu menjadi penuntun tingkah laku karyawan melalui 2
cara, yakni: a. budaya yang kuat merupakan suatu sistem dan
aturan informal yang menjelaskan atau menunjukkan
bagaimana seseorang harus berperilaku dalam kesehariannya
di organisasi; dan b. budaya yang kuat memungkinkan para
karyawan menjadi sangat memahami apa yang mereka
kerjakan, dan mereka akan memerlukannya dengan lebih giat
17
atau lebih keras. Hal itu dipertegas lagi oleh Nimran (1999:140)
yang menyatakan:
„Budaya perusahaan dapat berperan dalam menciptakan
jati diri, mengembangkan keikatan pribadi dengan
perusahaan, dan menyajikan pedoman perilaku kerja
karyawan”.
Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa budaya organisasi merupakan nilai-nilai, keyakinan-
keyakinan, kebiasaan-kebiasaan dan tingkah laku bersama dan
seluruh anggota suatu organisasi yang mempengaruhi perilaku
kerja para anggotanya dalam aktivitas keseharian di
organisasinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut pendapat Hofstede (1994:181) dinyatakan:
―Between national culture and organization culture there
is an identical phenomenon. The difference of those
reflected in the culture manifestation into some values
and practice of an organization. The difference of
organizational culture furthermore can be analized at the
level of organization unit or sub-unit‖
(Antara budaya nasional dengan budaya organisasional
merupakan fenomena yang identik. Perbedaan keduanya
tercermin dalam manifestasi budaya ke dalam beberapa nilai
dan praktek suatu organisasi).
Hal itu berarti adaya kesamaan antara lingkungan makro
dan mikro suatu organisasi, yang membedakannnya hanyalah
seberapa jauh dimensi budaya nasional diimplementasikan
18
dalam lingkup mikro organisasi. Pendapat Hofstede tersebut
dijelaskan lagi oleh Gordon (1991:46) yang menyatakan
perbedaan budaya organisasiona selanjutnya dapat dianalisis
pada tingkat unit organisasi atau sub-unit organisasi.
Sedangkan Hood dan Koberg (1991) menyatakan tipe budaya
suatu perusahaan dapat juga bervariasi antara divisi,
departemen atau bagtan yang satu dengan yang lain.
Dari beberapa pendapat tersebut tampaknya budaya
organisasi dapat ditinjau dan berbagai segi dan tingkatan,
tergantung dari mana akan dianalisis.
Dalam literatur perilaku organisasi definisi mengenai
budaya organisasi telah diajukan oleh Deshpande dan Webster
(1989) sebagai pola nilai dan keyakinan bersama yang
membantu orang memahami fungsi organisasi dan memben
mereka norma-norma bagi perilaku dalam organisasi. Kilmann
et al. (1985) mendefinisikan budaya organisasi sebagai „filosofi,
ideologi, nilai, asumsi, keyakinan, harapan, sikap dan norma
bersama yang menyatukan sebuah organisasi. Budaya
organisasional mempengaruhi cara pikir orang secara sadar
dan tidak sadar, membuat keputusan dan cara yang mereka
gunakan dalam menerima, merasakan dan bertindak (Schein,
1990). Budaya organisasi merupakan salah satu faktor
kontekstual yang berpotensi untuk mempengaruhi proses-
proses kelompok (Williams dan O‟Reilly 1998). Oleh karena
budaya organisasi merupakan sebuah sistem kendali sosial
yang membentuk perilaku individu (O‟Reilly dan Chatman
19
1996), maka budaya organisasional tentunya akan membawa
dampak yang signifikan terhadap fungsi dan berbagal kelompok
yang berbeda-beda (Chuang et al., 2004).
Peran penting dan budaya korporat atau budaya
organisasi pada industn, sekarang semakin besar, belum ada
konsensus tentang apa yang dimaksud dengan istilah budaya
organisasi itu sendiri. Namun sudah ada beberapa kesamaan
yang tumpang tindih (overlap) mengenai elemen-elemen utama
dan dimensi-dimensi apa yang ada di dalam budaya
organisasional itu, termasuk di antaranya kesamaan makna,
norma, nilai dan keyakinan (Denison, 1996).
Budaya setidaknya memiliki empat peranan penting di
dalam organisasi yaitu, sebagai bentuk identitas kolektif,
norma-norma, kerja sama dan sebagai struktur dan pengendali
(Tepeci, 2001).
Dari keempat indikasi peran tersebut dapat artikan
bahwa, pertama, budaya adalah sebuah identitas kolektif yang
membantu anggota-anggota organisasi untuk menjadikan
kebijakan dan misi organisasi sebagai kebijakan dan misi
mereka sendiri, dan membantu mereka untuk merasa menjadi
bagian dan organisasi itu (Hofstede, 1998; Peters dan
Waterman 1982). Kedua, budaya organisasional merupakan
norma-norma yang menentukan perilaku mana yang dapat
ditenma dan mana yang tidak dapat ditenma sehingga
membuat jelas bagi para pegawai tentang apa yang harus
mereka katakan atau lakukan di dalam situasi tertentu (Schein
20
1990). Ketiga, norma-norma ini membantu pegawai untuk
bekerja secara bersama-sama di dalam memenuhi kebutuhan
konsumen dan untuk merespon tekanan dari luar (Schneider
dan Bowen, 1995). Keempat, budaya berperan sebagai struktur
dan pengendali sehingga struktur dan kendali itu tidak perlu
dicapai dengan gaya manajemen otoriter yang bisa mengurangi
motivasi dan kreatifitas (O‟Reilly dan Chatman 1996).
Menurut Applebaum et al. (2004), budaya sebuah
organisasi terdin dan aspek-aspek organisasi yang memberikan
suasana tertentu organisasi itu. Budaya dan sebuah organisasi
dapat diumpamakan kepribadian dan seseorang individu.
Budaya adalah konstelasi (kumpulan) keyakinan, nllai, gaya
bekerja dan hubungan yang membedakan organisasi yang satu
dan yang lain. Para pegawai membentuk persepsi subyektif
secara umum terhadap organisasi berdasarkan faktor-faktor
seperti tingkat toleransi resiko, penekanan tim dan dukungan
yang diberikan tertiadap orang. Persepsi umum ini kemudian
akan menjadi budaya atau kepribadian dan organisasi.
Persepsi ini bisa bemada positif atau negatif dan selanjutnya
akan mempengaruhi kinerja pegawai dan kepuasan pegawai
dimana dampak dan persepsi ini akan makin kuat sejalan
dengan makin kuatnya budaya yang beriaku di organisasi itu.
Menurut Rashid et al. (2004), penelitian-penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya mengenal budaya korporat
memfokuskan perhatiannya pada hubungan antara budaya
korporat dengan kinerja.
21
Budaya organisasi merupakan struktur dalam dan
sebuah organisasi, dan budaya organisasi berakar pada nilai,
keyakinan dan asumsi yang dianut oleh anggota-anggota
organisasional. Sebuah sistem nilai organisasional (atau
budaya organisasional) dikatakan ada jika: 1. individu tahu
bahwa kelompok memberikan dukungan terhadap keyakinan /
nilai tertentu, 2. sebagian besar anggota yang aktif dalam
organisasi saling sepakat satu sama lain, dan 3. nilai-nilai inti
dari sebuah organisasi dipertahankan dengan kuat di
keseluruhan organisasi. Selama kriteria-kriteria ini dipenuhi,
maka budaya akan menjadi unit analisa yang relevan dan
penting (Chatman, 1991). Nilai-nilai yang dianut anggota
organisasi sangat menentukan fungsi organisasi sebab nilai-
nilai itu akan mempertahankan keutuhan organisasi sebagai
satu unit dan memberikan identitas yang khas kepada
organisasi. Kaum “personalogis” yang menekankan bahwa
perilaku seorang individu dipengaruhi karakteristik kepribadian
individu itu sendiri, seperti nilai, keyakinan dan ciri kepribadian
individu itu. Sesuai dengan temuan-temuan dan penelitian-
penelitian sebelumnya, dapat didefinisikan budaya
organisasional sebagai pola dan nilai-nilai yang dianut anggota
organisasi yang mendefinisikan perilaku dan sikap apa yang
pantas / tepat untuk dilakukan dan untuk menentukan apa yang
penting bagi anggota-anggota organisasi (Hofstede 1998;
O‟Reilly dan Chatman 1996). Nilai dan keyakinan adalah
22
etemen-elemen utama di dalam konseptualisasi budaya
organisasional (O‟Reilly et al., 1991).
Nilai adalah aspek yang memiliki pengaruh yang
mendasar dan bertahan lama bagi orang maupun bagi
organisasi. Karena nilai adalah sesuatu yang sama-sama ada
di dalam budaya organisasional dan kepribadian individu, maka
nilai biasanya digunakan sebagai ukuran bagi individu di dalam
penelitian terhadap kecocokan antara pribadi dengan
organisasi (Chatman, 1991). Organisasi tidak meyakini nilai
tersendiri yang terlepas dan nilai-nilai yang diyakini oleh
anggota-anggotanya (Tepeci, 2001). Chuang et al. (2004)
menyatakan bahwa budaya organisasi dapat dikatakan sebagai
karakteristik dan sebuah organisasi bukan merupakan
karakteristik dan individu.
Kecocokan antara pribadi dengan organisasi (P-O) telah
didefinisikan dan dikonseptualisasikan dalam empat cara
(Knstof 1996), yaitu sebagai keselarasan nilai (value
congruence), keselarasan tujuan (goal congruence),
keselarasan antara kebutuhan dan pilihan pegawai dengan
penguat (reinforcer) yang tersedia dalam lingkungan kerja serta
sebagai keselarasan antara kepribadian dan individu dengan
budaya organisasional. Para peneliti selama ini lebih banyak
menggunakan keselarasan nilai sebagai operasionalisasi dad
kecocokan antara pribadi dengan organisasi sebab: 1. nilai
adalah karakteristik yang mendasar dan bertahan lama dad
individu maupun organisasi (Chatman 1991), dan 2. karena
23
nilai dapat memprediksikan berbagai hasil-hasil individual
termasuk kepuasan dan niatan perilaku (Meglino et al., 1992).
Ketika organisasi mengedepankan sejumlah nilai
tertentu, seperti rasa hormat terhadap orang dan ganjaran yang
besar bagi kinerja yang tinggi, maka dari nilai-nilai itu akan
tercipta energi sosial atau motivasi yang akan mempengaruhi
sikap dan perilaku pegawai (Tepeci, 2001). Sebagai contoh,
Sommer, et al. (1996) mendapati bahwa pegawai yang
mempersepsi bahwa organisasi mereka memiliki keakraban
(warmth) yang besar, dukungan yang besar, pembagian
tanggung jawab dan ganjaran yang besar akan memiliki
komitmen organisasional yang lebih besar. Shendan (1992)
mendapati bahwa perusahaan-perusahaan yang menekankan
nilai-nilai hubungan interpersonal (antar pribadi) akan lebih
berhasil di dalam mempertahankan pegawai-pegawainya jika
dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tebih
menekankan nilai-nilai tugas.
Ada beberapa sumber yang telah menyajikan justifikasi /
pembenaran teoritis dan bukti empins bahwa kecocokan P-O
menghasilkan efek positif Schneider (1987) berpendapat bahwa
individu biasanya merasa tertank dan merasa akrab dengan
organisasi-organisasi yang memiliki karakteristik yang mirip
dengan karakteristik mereka. Chatman (1989) berpendapat
bahwa individu yang memiliki kecocokan dengan organisasi
dalam hal nilai akan besar kemungkinannya untuk merasa puas
dan untuk menjadi kompeten dan bertahan lama di dalam
24
perusahaan. Meglino et al. (1989) berpendapat bahwa individu
yang menganut nilai dan keyakinan yang mirip dengan nilai-
nilai organisasi akan bennteraksi secara lebih efisien dengan
sistem nilai organisasi mereka, sehingga mengurangi
ketidakpastian dan konflik, dan ini pada gilirannya
meningkatkan kepuasan dan komitmen.
Fokus dari keselarasan nilai budaya organisasional
menurut Chuang dkk (2004) terletak pada tingkat kemiripan
nilai antar anggota-anggota organisasi. Keselarasan nilai tidak
terkait dengan kandungan / isi dari nilai budaya. Isi dari nilai-
nilai budaya organisasional dan komposisi demografis juga
dapat mempengaruhi kelompok yang tinggi tingkat
keanekaragamannya dengan berbagai cara. Berdasarkan
temuan-temuan dan penelitian teontis yang telah dilakukan
terhadap budaya organisasional, O‟Reilly et al. (1991)
mengembangkan Profit Budaya Organisasi (Organizational
Culture Profli selanjutnya disebut OCP) yang mengukur tujuh
dimensi budaya organisasional, yaitu: inovasi, stabilitas,
penghormatan terhadap orang, orientasi pada hasil, perhatian
terhadap rincian, orientasi pada tim dan agresifitas
(pembahasan terinci mengenai pengembangan dan taksonomi
ini bisa dibaca dalam O‟Reilly et al., (1991). OCP
mengasumsikan bahwa sebuah organisasi hanya dapat
dikarakterisasikan / digambarkan berdasarkan nilai-nilai
budayanya dengan menggunakan profit dan tujuh dimensi ini
saja (dan tidak bisa dengan cara lain) (Chatman dan Jehn,
25
1994). Konsistensi dari respon-respon anggota organisasional
terhadap OCP adalah ukuran bagi keselarasan dan kekuatan
dan budaya organisasional dalam sebuah organisasi. Ke tujuh
dimensi itu adalah:
1. lnovasi: dimensi ini mencakup nilai-nilai dan inovasi,
keterbukaan terhadap peluang baru, mengambil resiko,
kesediaan bereksperimen, kurangnya kehati-hatian dan
kurangnya orientasi terhadap aturan.
2. Stabilitas: dimensi ini mencakup orientasi pada aturan,
menghargai rasa aman dan stabilitas.
3. Perhatian terhadap rincian: dimensi ini berisi nilai-nilai
khusus berupa bekerja secara presisi / tepat dan berpikir
analitis.
4. Hormat pada orang: dimensi ini mencakup nilai-nilai berupa
penekanan pada keadilan, hormat pada orang dan bersikap
toleran
5. Orientasi pada tim: dimensi ini mencakup nilai-nilai berupa
orientasi pada orang, kerjasama (kolaboratif) dan orientasi
pada tim.
6. Oner,tasi pada hasil: dimensi ini mencakup nilai-nilai seperti
berorientasi pada pencapaian, berorientasi pada tindakan
dan berorientasi pada hasil.
7. Agresifitas: dimensi ini mencakup nilai-nilai seperti ini
memiliki tingkat persaingan yang tinggi dan tingkat tanggung
jawab sosial yang rendah. (Robbins, dalam Applebaum et
al. 2004 ).
26
Rousseau (1990) berpendapat bahwa ke tujuh dimensi
ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yang lebih luas:
1. Penyelesaian tugas kerja (inovasi, stabilitas dan perhatian
terhadap rincian)
2. Hubungan interpersonal (orientasi pada tim dan hormat
pada orang)
3. Perilaku individu (orientasi pada basil dan agresifitas)
Organizational Culture Profit (OCP) memiliki bidang
pembahasan yang paling luas dibandingkan dengan instrumen
yang lain, sehingga untuk penelitian OCP dirasakan sebagai
instrumen yang paling mampu menangkap elemenelemen
budaya dan industri dan dimensi-dimensinya telah dieksplorasi
di dalam penelitian-penelitian sebetumnya. OCP juga telah
terbukti memiliki validitas konstruk, yaltu terbukti memiliki
dimensi-dimensi faktor yang stabil di berbagai sampel,
termasuk di dalam sampel yang terdiri dan akuntan (Chatman
1991; O‟Reilly et al. 1991), pegawai industri jasa (Chatman dan
Jehn, 1994), pegawai pemerintah (O‟Reilly et al., 1991).
O‟Reilly et al. (1991) dalam penelitian terhadap
hasil dan
kecocokan P-O mendapati adanya korelasi positif antara
kecocokan P-O dengan kepuasan dan komitmen, serta adanya
hubungan negatif antara kecocokan P-C dengan niatan keluar
dan tingkat perpindahan (tumove,) aktual. Vandenberghe
(1999) mendapati bahwa pegawai-pegawai yang baru diterima
yang memiliki profil nilai yang mirip dengan organisasi tempat
27
mereka bekerja memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
bertahan di dalam organisasi selama masa-masa awal dan
masa kerja mereka. Ringkasan mengenai temuan empiris yang
dibuat Kristof (1996) memberikan dukungan tertiadap adanya
efek positif dan kecocokan P-O terhadap kepuasan pegawai,
komitmen organisasional, perilaku di luar peran formal (extra
role), kinerja. stress dan niatan perilaku pegawai serta
perpindahan pegawai. Tapi, sekalipun sudah ada beberapa
penelitian yang telah meneliti kecocokan P-O, hanya penelitian
dan Chatman (1991) saja yang telah meneliti apakah
kecocokan P-O dapat menjelaskan variansi pada hasil-hasil
indMdual secara Iebih besar daripada yang dapat dijelaskan
oteh karakteristik individu dan oleh karakteristik organisasional.
Chatman mendapati bahwa kecocokan P-O ternyata memiliki
kemampuan yang lebih besar untuk memprediksikan kepuasan,
komitmen, niatan pindah dan lama masa kerja daripada
karakteristik pribadi atau karakteristik situasional maupun
danpada gabungan antara karakteristik pribadi dengan
karakteristik situasional.
Menurut Tepeci (2001) Sekalipun kecocokan P-O pada
umumnya telah didapat menimbulkan dampak yang positif,
namun Schneider dan Bowen. (1995) mempenngatkan bahwa
kecocokan P-C yang tinggi berpotensi untuk menimbulkan
homogenitas/keseragaman dalam organisasi yang bisa
menimbulkan masalah tersendiri. Level kecocokan P-O yang
tinggi pada anggota-anggota organisasi bisa menghasitkan
28
kepuasan yang lebih besar, komitmen yang lebih besar dan
konflik yang Iebih sedikit, namun kecocokan P-C yang terlalu
tinggi bisa menimbulkan konformitas (kepatuhan yang
berlebihan) dan menghambat inovasi.
Schneider (1987). berpendapat bahwa homogenitas bisa
membawa dampak yang positif pada masa-masa awal dan
sejarah sebuah organisasi karena homogenitas itu akan
meningkatkan koordinasi dan komunikasi, tapi jika homogenitas
itu bertahan terus, maka akan menimbulkan infleksibilitas
(kekakuan) dan penolakan terhaclap perubahan. Maka memilih
pelamar kerja yang memiliki kecocokan P-C tinggi belum tentu
akan membawa dampak yang baik bagi organisasi yang berada
dalam lingkungan yang mengalami perubahan cepat.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan secara
lebih akurat hasil-hasil organisasional jangka panjang dan
kecocokan P-C.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa budaya
organisasional bisa mempengaruhi bagaimana orang
menetapkan tujuan personal dan profesional, melaksanakan
tugas dan menggunakan sumber daya dalam mencapainya
(Lok dan Crawford, 2004). Budaya organisasional
mempengaruhi cara pikir orang secara sadar dan tidak sadar,
membuat keputusan dan cara yang mereka gunakan dalam
menerima, merasakan dan bertindak (Schein, 1990). Budaya
organisasi bisa memberikan pengaruh besar kepada
29
organisasi, khususnya pada area-area seperti kinerja dan
komitmen (Peters dan Waterman, 1982)
Budaya diyakini oleh banyak perusahaan sebagai
budaya yang akan berdampak besar terhadap kinerja
perusahaan (Schein, 1992). Masalah perbedaan budaya yang
mendalam dapat mempengaruhi bagaimana orang memandang
dunia dan mengoperasikan bisnisnya. Budaya mengerjakan
sesuatu dan perilaku orang pada suatu negara atau daerah
tertentu dikembangkan sepanjang waktu. Budaya, membantu
membentuk sense (rasa) dan membentuk identitas manusia
(Cascio, 1992:622).
Budaya organisasi produktif yang kuat diterapkan pada
suatu organisasi perusahaan akan dapat menciptakan
kreativitas sumber daya manusia yang ada dan
diimplementasikan dalam melakukan pekerjaan yang
ditugaskan, baik secara individu maupun secara kelompok.
Seperti yang terjadi pada perusahaan-perusahaan di Jepang,
dimana para karyawannya mempunyai budaya disiplin dan
malu apabila tidak berprestasi pada perusahaan.
Walaupun budaya adalah sesuatu yang sulit ditunjukkan
atau diukur, namun dapat dirasakan dan bagaimana orang
berbicara, menulis dan bertindak. Dalam perusahaan konsep
budaya, sekalipun lebih luas dari philosofi manajemen, ada
saling tindih dalam dua hal. Pertama, budaya perusahaan
termasuk dalam philosofi manajemen, yang terdiri dan asumsi,
keyakinan dan nilai-nilai. Kedua, filosofi manajemen didapati
30
Iebih memberikan efek kepada budaya perusahaan itu sendiri,
utamanya disebabkan karena para pekerja sangat kuat
dipengaruhi oleh bagaimana manajemen berpikir (French,
1994:88).
Dalam studi empirik tentang praktek manajemen pada
suatu organisasi perusahaan tentu tidak akan meninggalkan
faktor sumber daya manusia yang berhubungan dengan
masalah budaya organisasi. Oleh karena itu, studi tentang
organisasi dan praktek manajemen dapat dipastikan akan
membahas tentang budaya.
Budaya perusahaan membentuk cara bagaimana
pekerja memandang dunia. Disebabkan apa yang dilihat
seseorang tergantung dimana ia berdiri, perubahan Iingkungan
yang bervariasi diyakini secara berbeda oleh pekerja yang
memiliki budaya nasional yang berbeda, budaya profesional,
departemen dan subkultur perusahaan yang lain (Fombrun,
1992:185).
Inti dari budaya perusahaan muncul dan cara bagaimana
perusahaan melakukan bisnisnya, perlakuan terhadap
pelanggan dan pekerja, otonomi atau kebebasan yang ada
dalam kantor, dan derajat kesetiaan yang diekspresikan oleh
para pekerjanya terhadap perusahaan. Tidak ada satupun
budaya yang terbaik bagi pengembangan sumber daya
manusia.
Perusahaan MacDonald berbeda dengan apa yang ada
dalam Wendys. Budaya dapat kuat dan lemah, dimana
31
perusahaan dengan nilai yang dipegang kuat oleh mayoritas
pekerja dikatakan memiliki budaya yang kuat (Ivancevich,
1995:45). Di Jepang, Sony, Honda dan Toyota sering
diidentikkan dengan perusahaan yang berbudaya kuat,
sedangkan di Amerika Serikat adalah IBM, 3 M dan Merck.
Budaya dapat berpengaruh terhadap perilaku, produktivitas dan
harapan para pekerja. Ia menyediakan peroman (benchmark)
bagi kinerja standar bagi pekerja.
Santhe (1985:15) mengemukakan bahwa kekuatan
budaya mempengaruhi intensitas perilaku. Budaya dalam
organisasi yang ideal adalah budaya kuat. Ada tiga ciri khas
budaya kuat yaitu: a. thickness, b. extent of sharing, dan c.
clarity is characterized by organization‘s core value being
intensively held, clearly ordered, and widely shared‖. Budaya
kuat adalah budaya organisasi yang dipegang secara intensif
(semakin dasar dan kukuh). Pemimpin yang kuat cenderung
untuk mempercepat pengembangan dengan cara membujuk
(seducing) pegawal untuk berbagal visi masa depan dan pada
akhirnya memobilisasi effort karyawannya.
Untuk memberikan gambaran tentang budaya kerja
suatu organisasi perusahaan dapat digunakan pengukuran
indikator-indikator yang membentuk variabel budaya kerja. Ada
10 (sepuluh) karakteristik utama yang sering digunakan dalam
penelitian manajemen yang menunjukkan pentingnya budaya
organisasi dalam membentuk budaya kerja pada organisasi
32
perusahaan, indikator-indikator yang digunakan sebagai
instrumen penelitian meliputi
1. Identitas anggota: suatu derajat (degree) dalam nama
anggota mengidentifikasi organisasi sebagai keseluruhan
daripada tipe pekerjaannya atau bidang tugas atau keahlian
profesional.
2. Penekanan pada kelompok (group emphasis): suatu
derajat (degree)
dimana kegiatan (work) disekitar kelompok daripada
disekitar individu.
3. Fokus terhadap orang (people focus): suatu derajat (degree)
dimana keputusan manajemen diambil berdasar
pertimbangan terhadap efek keluaran yang berakibat
kepada orang didalam organisasi.
4. Integrasi unit suatu derajat (degree) dimana unit-unit dalam
organisasi diberanikan (encouraged) untuk beroperasi
dalam koordinasi atau dalam sikap saling tergantung
(interdependent manner).
5. Kendali: suatu derajat (degree) dimana aturan (rules),
ketentuan (reguations), dan pengawasan langsung
digunakan untuk mengamati dan mengendalikan perilaku
karyawan.
6. Toleransi terhadap risiko suatu derajat (degree) dimana
karyawan diberanikan untuk lebih agresif, inovatif dan
berani mengambil risiko (risk seeking).
33
7. Kriteria reward: suatu derajat (degree) dimana reward yakni
menaikkan gaji dan mempromosikan dialokasikan berdasar
kinerja karyawan, daripada berdasar senioritas, favorit, dan
faktor non-kinerja lainnya.
8. Toleransi terhadap konflik. Suatu derajat (degree) dimana
karyawan diberanikan mengutarakan konflik dan kritik
dengan terbuka.
9. Orientasi tujuan akhir (means-end): suatu derajat (degree)
dimana manajemen berfokus pada hasil akhir (result)
daripada terhadap teknik dan proses yang digunakan untuk
mencapai hasil tersebut.
10. Fokus terhadap sistem yang terbuka: suatu derajat (degree)
dimana organisasi memantau dan merespon perubahan
yang terjadi di lingkungan luar (external environment).
Setiap karakteristik ini terjadi berkelanjutan (continuum).
Menilai organisasi berdasarkan referensi pada 10 karakteristik
akan menghasilkan gambaran lengkap terhadap budaya
organisasi. Gambaran ini akan menjadi dasar memahami
pengertian unsur kebersamaan (shared) yang dimiliki anggota
terhadap organisasinya, bagaimana segala sesuatunya
dikerjakan dan cara mana anggota diharapkan berperilaku.
Menyadari tidak ada negara yang bisa memberikan
jawaban semaunya. Jam kerja yang fleksibel, inovasi yang
variatif tentang produktivitas dapat meningkatkan
pengembangan keluar negeri dan Amerika. Seorang manajer
yang efektif harus tidak hanya berpandangan global saja tetapi
34
juga menganalisis pendekatan manajemen untuk bertransaksi
pada permasalahan yang dihadapi lebih komplek.
Demikian halnya dengan organisasi koperasi yang
memiliki ciri berbeda dengan organisasi perusahaan, akan
tetapi secara esensialnya adalah sama dalam mengelola
aktivitas usahanya dipenlukan manajemen bisnis yang
kompetitif dengan perusahaan lainnya. Perbedaan
substansinya hanya pada tujuan dan azas yang dipedomani,
akan tetapi yang berkaitan dengan manajemen sumber daya
manusianya adalah tidak jauh berbeda. Agar koperasi dapat
bersaing dengan perusahaan lainnya, maka manajemen
koperasi harus mengacu pada manajemen bisnis lainnya yang
lebih profesional (Ropke, 1989).
lstilah budaya mula-mula datang dan antropologi sosial
(Taylor, 1993:161), sedangkan menurut Hofstede (1994:4-5)
budaya didefinisikan sebagai:
―The whole thinking model, feeling and action of a sosial
community that differ to the other sosial community‖
Artinya keseluruhan pola pemikiran, perasaan dan
tindakan dan suatu kIompok sosial yang membedakan dengan
kelompok sosial yang lain.
Hal senada diungkapkan juga oleh Kilmann et al. (1985)
yang mendefinisikan budaya sebagai
―Culture as philosophy, idelogy, values, impression,
belief, hope, attitude and norm owned by a community.‖
35
Artinya budaya sebagai falsafah, ideology, nilai-nhlai,
anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma yang dimiliki
bersama oleh suatu masyarakat.
Tidak jauh berbeda disampaikan oleh AIMS Consultants
(2004) yang menyatakan:
―Culture as a set of value, guideline, trust, understanding,
norm, philosophy, ethnic, and point of view.‖
Artinya budaya sebagai satu set nilai, penuntun,
kepercayaan, pengertian, norma, falsafah, etika, dan cara
pandang.
Dalam kaitan semua itu, agar benar-benar memahami
suatu budaya dan untuk Iebih memastikan secara lengkap nilai-
nilai serta perilaku nyata dan suatu kelompok, perlulah diselidiki
asumsi yang mendasarinya, yang biasanya tidak didasari, tetapi
secara aktual menentukan bagaimana para anggota kelompok
berpersepsi, berpikir dan merasakan. Asumsi seperti itu dengan
sendirinya merupakan reaksi yang dipelajari, yang bermula
sebagai nilai-nilai yang didukung, namun ketika nilai
menyebabkan perilaku dan ketika perilaku tersebut mulai
memecahkan masalah, maka nilai tersebut d itransformasikan
menjad i asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu
sesungguhnya terjadi. Dengan kata lain, perbedaan antara
asumsi dengan nilai terletak apakah nilai-nilai tersebut masih
diperdebatkan atau tidak.
Mengenai hal tersebut, Schein (1996:16-17)
menyatakan:
36
―If the values is still being debated and accepted as what
it is, so that its called by assumption, however if its still
open characteristic and able to be debated so that the
term of vakue is more suitable.‖
Artinya bila nilal tersebut masih diperdebatkan dan
diterima apa adanya, maka ia disebut sebagai asumsi, namun
bila masih bersifat terbuka dan dapat diperdebatkan maka
istilah nilai lebih sesuai.
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalam
memandang budaya, dapat ditinjau dan berbagal segi. Hal ini
diperjelas lagi oleh pandangan Hopstede (1980) yang meninjau
dan sisi yang lain, dimana dia menyatakan bahwa budaya di
tingkat nasional (national culture) dibagi ke dalam 4 dimensi,
yakni jarak kekuasaan (power distance), penghindaran
ketidakpastian (uncen‘ainty avoidance), individu-kolektif
(individualism-collectivism), dan maskulin-feminin (masculinity-
feminity). Sedangkan budaya perusahaan lingkupnya lebih
kecil, yang menurut Robbins dan Coulter (1999:282-295)
dinyatakan:
“Sebagai suatu system makna bersama yang dianut oleh anggota organisasi, yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Makna itu mawakili suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota organisasi tersebut. Sama halnya dengan budaya suatu suku yang memiliki beberapa aturan dan larangan yang menetukan bagaimana para anggota akan bertindak terhadap yang lain dan terhadap orang luar, organisasi juga memiliki budaya yang menetukan bagaimana anggotanya harus berperilaku.”
37
Dari pendapat tersebut, (Robbins dan Coulter, 1996)
lebih menekankan bahwa budaya organisasi hampir mirip
dengan peraturan yang ada dalam suatu organisasi, di mana
anggotanya harus mantaati peraturan tersebut. Kaitan dengan
pewarisan pengetahuan terhadap genersi berikutnya
ditekankan oleh Deal dan Kennedy (1982:4) yang
mendefinisikan budaya organisasi sebagai:
―the integrated pattern of human behavior that includes
thought, speech, action, and artifacts and depend on
man‘s capacity for learning and transmitting knowledge
to succeeding generations.‖
Artinya merupakan perilaku terpadu yang dianut oleh
setiap manusia yang meliputi pemikiran, perkataan, perbuatan,
dan aspek-aspek budaya dan bergantung kepada kapasitas
manusia dalam mempelajari dan mewariskan pengetahuan
kepada generasi penerusnya.
Pernyataan diatas menyiratkan bahwa aspek budaya
organisasi sangat tergantung dan kapasitas manusia yang ada
untuk mawariskan pengetahuan kepada generasi berikutnya.
Lebih jauh Schein (1996:5-9) menyatakan budaya
organisasi sebagai:
―A pattern of shared basic assumption that the group
learned as it solves its problems of external integration,
that has worked well enough to be considered valid and,
therefore, to be thought to new members as the correct
38
way to Derceive. think, and feel in relation to those
problems.‖
Dalam hal ini beberapa asumsi mendasar yang dianut
kelompok tertentu guna memecahkan permasalahannya
mengenai integrasi internal yang berjalan dengan cukup baik
dan dianggap valid, sehingga para anggota organisasi yang
baru memiliki cara yang paling tepat dalam mempersepsikan,
berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi oleh organisasi.
Pendapat Schein (1997) di atas lebih menekankan
kepada anggota baru yang ada dalam organisasi, dan
kaitannya dengan pemecahan masalah yang dialami oleh suatu
organisasi dengan adanya budaya organisasi. Hal senada
dikemukakan juga oleh Gibson et al. (1996:64 -108) yang
menyatakan bahwa:
“Budaya organisasi mengandung bauran nilai,
kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan
pola perilaku anggota suatu organisasi.”
Budaya perusahaan mempengaruhi manusia bertindak
di dalam perusahaan seperti bagaimana mereka bekerja,
memandang pekerjaan mereka, bekerja bersama rekan kerja
dan memandang masa depan. Sementara itu, Susanto (1997:3)
mendefinisikan budaya organisasi sebagai nilai-nilai yang
menjadi pegangan sumberdaya manusia dalam menjalankan
kewajibannya dan juga perilakunya didalam organisasi.
Steers (1987:56) mengkaitkan budaya organisasi
dengan ciri atau sifat yang dirasakan dalam lingkungan kerja
39
dan timbul karena adanya kegiatan organisasi dengan
menyatakan:
―Organization culture will reflect characteristics or
character which can be felt in working environment and
raise by organization icr, vitv. that beina done either by
awareness or not, and considered to influence behavior,
so that culture in the organization can be pointed as the
organization Personality.‖
Dalam hal ini budaya oranisasi akan mencerminkan sifat
atau ciri yang dirasakan terdapat dalam lingkungari kerja dan
timbul karena kegiatan organisasi, yang dilakukan secara sadar
atau tidak, dan dianggap mempengaruhi perilaku, sehingga
budaya yang ada pada perusahaan dapat dipandang sebagai
kepribadian organisasi.
Pernyataan diatas memberi pengertian yang jelas bahwa
budaya organisasi tak beda dengan kepribadian organisasi,
yang secara sadar atau tidak dapat mempengaruhi perilaku
orang yang ada di dalamnya. Hingga mendekati tahun 1980-an
beberapa orang konsultan dan peneliti manajemen menemukan
bahwa budaya organisasi juga merupakan instrumen lain untuk
mengawasi aspek non-rasional perilaku karyawan (Peters dan
Waterman, 1982:98).
Sedangkan Rusaw (2000:249-250) menyatakan bahwa
budaya organisasi sebagai:
40
A systematic set of norms, beliefs, and attitudes that
people accept uriguestionably as guides for everyday
thinking and behavior.‖
Artinya budaya merupakan satu set tentang norma yang
sistematis, kepercayaan dan sikap yang diterima dan tak perlu
dipertanyakan sebagai
petunjuk berpikir dan berperilaku setiap harinya.
Jauh sebelumnya Ouchi (1980) menyatakan budaya
perusahaan adalah alat penting untuk menciptakan hubungan
kerja yang harmonis di antara anggota organisasi dalam bentuk
perasaan pada nilai dan keyakinan umum yang sarna sehingga
dapat menghilangkan kemungkinan perilaku oportunistik.
Selanjutnya Ouchi (1980) menyatakan lagi:
―Corporate culture is important, because, when the
transaction cost is complex and ambiguous for
organizations, a set of common values and beliefs is
needed as a regulatory mechanism.‖
Artinya budaya organisasi adalah penting, karena
bilamana biaya transaksi rumit dan mendua untuk organisasi,
maka sekumpulan nilai dan kepercayaan yang dianut secara
bersama dibutuhkan sebagai suatu mekanisme yang mengatur.
Pernyataan itu didukung lagi oleh pendapat Peters &
Waterman (1982:106) yang menyatakan:
―Culture and shared values are important in unifying the
sosial dimension of an organization.‖
41
Artinya budaya dan nilai-nhlai bersama adalah penting
dalam menyatukan dimensi sosial suatu organisasi.
Beberapa pengertian diatas memberikan kesimpulan
bahwa budaya organisasi sebagai suatu mekanisme yang
mengatur dan juga merupakan dimensi sosial suatu organisasi.
Sedangkan Martin dan Frost (1999) mengibaratkan antusiasme
di antara anggota organisasi tersebut akan mempengaruhi
perilaku kerja Iayaknya seperti efek domino, yaitu akan
berakibat pada komitmen yang lebih tinggi, produktivitas yang
Iebih besar dari pada akhirnya keuntungan yang lebih banyak.
Sedangkan Deal dan Kennedy (1982) menyebutkan ada 5
elemen yang mampu membuat suatu budaya dalam suatu
organisasi menjadi demikian kuat, yaitu lingkungan, bisnis, nilai-
nilai, kepahiawanan, ritus dan ritual, serta jaringan budaya.
Dikatakannya, budaya yang kuat akan mampu menjadi
penuntun tingkah laku karyawan melalui 2 cara, yakni: a.
budaya yang kuat merupakan suatu sistem dan aturan informal
yang menjelaskan atau menunjukkan bagaimana seseorang
harus berperilaku dalam kesehaniannya di organisasi: dan b.
budaya yang kuat memungkinkan para karyawan menjadi
sangat memahami apa yang mereka kerjakan, dan mereka
akan melakukannya dengan Iebih giat atau lebih keras. Hal itu
dipertegas lagi oleh Nirnran (1999:140) yang menyatakan:
“Budaya perusahaan dapat berperan dalam dalam
menciptakan jati diri, mengembangkan keikatan pribadi
42
dengan perusahaan, dan menyajikan pedoman perilaku
kerja karyawan.”
Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa budaya organisasi merupakan nilai-nilai, keyakinan-
keyakinan, kebiasaan-kebiasaan dan tingkah laku bersama dan
seluruh anggota suatu organisasi yang mempengaruhi perilaku
kerja para anggotanya dalam aktivitas keseharian
diorganisasinya untuk mencapai ujuan yang telah ditetapkan.
Menurut pendapat Hofstede (1994:181) dinyatakan:
―Between national culture and oraanizauon cuiwre mere
is
identical phenomenon. The difference of those reflected
in the culture manifestation into some values and
practice of an organization. The difference of
organizational culture furthermore can be analized at the
level of organization unit or sub-unit.‖
Dalam hal ini antara budaya nasional dengan budaya
organisasional merupakan fenomena yang identik. Perbedaan
keduanya tercermin dalam manifestasi budaya ke dalam
beberapa nilai dan praktek suatu organisasi.
Berarti adanya kesamaan antara lingkungan makro dan
mikro suatu organisasi, yang membedakannya hanyalah
seberapa jauh dimensi budaya nasional diimplementasikan
dalam lingkup mikro organisasi. Pendapat Hofstede tersebut
dijelaskan lagi oleh Gordon G.G. (1991:46) yang menyatakan
perbedaan budaya organisasional selanjutnya dapat dianalisis
43
pada tingkat unit organisasi atau sub-unit organisasi.
Sedangkan Hood dan Koberg (1991) menyatakan tipe budaya
suatu perusahaan dapat juga bervariasi antara divisi,
departemen atau bagian yang satu dengan yang lain. Dari
beberapa pendapat tersebut tarnpaknya budaya organisasi
dapat ditinjau dan berbagai segi dan tingkatan, tergantung dari
mana akan dianalisis.
Ada banyak konsep dan pendekatan yang digunakan
untuk menjelaskan pengertian mengenai budaya (Gordon GG,
1991; Hatch, 1993; Baligh, 1994). Menurut Hofsetde (1994)
budaya dapat dikiasifikasikan ke dalam berbagai tingkatan,
antara lain: nasional, daerah, gender, kelas sosial, organisasi
atau pewsahaan. Pada tingkat organisasi, budaya merupakan
sepenangkat asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai
dan persepsi yang memiliki para anggota kelompok dalam
suatu organisasi yang membentuk dan mempengaruhi sikap
dan perilaku kelompok yang bersangkutan (Schein, 1996;
Hofstede, 1980; Sackmann, 1992; Meschi dan Roger, 1995).
Robbins (2001:529) menyatakan ada tujuh karakteristik budaya
organisasi yang mempengaruhi, yaitu inovasi dan keberanian
mengambil resiko (inovation and risk taking), perhatian
terhadap detail (attention to detail), beronientasi pacla hasil
(outcome orientation), beronientasi kepada manusia (people
orientation), berorientasi kepada tim (team onentation), agresif
(aggressiveness), dan stabil (stability). Selanjutnya menurut Mc
Kinsey dan Company (dalam Peters dan Waterman, 1982), ada
44
tujuh variabel yang berpengaruh terhadap kesuksesan suatu
organisasi yang terangkum dalam 7-S McKinsey, yaitu
perangkat keras organisasi (hadware of organization), gaya
(style), sistem (systemi), karyawan (staff), kemampuan /
ketrampilan (skill), dan budaya organisasi (shared value) yang
merupakan perangkat lunak organisasi (software of
organization). Sedangkan Jusi (2001) menyatakan budaya
organisasi yang kuat didukung oleh faktor leadership, sense of
direction, climate, positive teamwork, value add system,
enabling structure, appronate competences, and developed
individual.
Sementara itu, Hofstede et al. (1990:286-316) membagi
budaya organisasi ke dalam enam dimensi praktek, yaitu: 1.
Process-Oriented vs Results-Oriented; 2. Employee-Oriented
vs Job-Oriented; 3. Pamchial vs Pro fesional; 4. Open System
vs Closed System; 5. Loose Control vs Tight Control; dan 6.
Normative vs Pragmatic. Dan keenam dimensi praktek yang
dikemukakan oleh Hofstede et al. (1990) tersebut, banyak
penelitian yang dilakukan selama ini memakai konsep dimensi
praktek yar g kedua, yaitu budaya yang beronientasi pada
orang (employee oriented) dan budaya yang berorientasi pada
pekerjaan (job oriented) (Indriantoro, 2000). Dalam konsep ini,
perbedaan dimensi praktek budaya organisasi antara yang
berorientasi pada tugas dapat dilihat dan empat aspek: 1.
pembuat keputusan-keputusan penting organisasi; 2.
perbedaan ketertarikan organisasional antara kepada hasil
45
pekerjaan dengan orang yang jelas mengerjakan; 3. ada atau
tidaknya petunjuk kerja yang jelas bagi karyawan baru; dan 4.
kepedulian organisasi terhadap masalah pribadi karyawan.
Lebih lanjut Kotter dan Heskett (1992) menyatakan bahwa
sepanjang studi yang dilakukan, paling tidak ada 3 macam
budaya perusahaan yang mampu meningkatkan kinerja, yaitu:
1. Budaya yang kuat. Dalam perusahaan yang memiliki
budaya perusahaan yang kuat, hampir semua manajer
menganut seperangkat nilai dan metode dalam menjalankan
bisnis yang relatif konsisten. Di sisi lain, pada budaya
perusahaan yang kuat, karyawan baru akan mengadopsi
nilai dengan sangat cepat. Dalam budaya perusahaan yang
seperti itu, seorang manajer bisa saja dikoreksi oleh
bawahannya, selain juga oleh pimpinannya jika melanggar
aturan;
2. Budaya perusahaan yang mampu meningkatkan kinerja
adalah budaya yang secara strategis cocok. Artinya, budaya
perusahaan haruslah tepat secara kontekstual. Adapun
konteks yang dimaksud adalah kondisi objektif dan industri
perusahaan tersebut, segmen industri yang dispesifikasi
oleh strategi perusahaan atau strategi bisnis itu sendiri.
Semakin besar kecocokan antara budaya perusahaan
dengan strategi yang direncanakan, semakin baik kinerja,
begitu juga sebaliknya;
3. Budaya pensahaan yang adaptlf. Hanya budaya yang
adaptif dapat membantu organisasi dalam mengantisipasi
46
dan beradaptasi dengan per ubahan Iingkungan. Budaya
yang adaptif akan diasosiasikan dengan kinerja yang
superior sepanjang periode waktu yang panjang. Dalam
pandangan ini, dikatakan bahwa ciri budaya perusahaan
yang tidak adaptif adalah yang penuh birokrasi, anggotanya
sangat reaktif, menolak resiko dan sangat tidak kreatif,
informasi tidak mengalir cepat dan mudah di seluruh
organisasi. Atas dasar itu, jika ingin membentuk budaya
yang adaptif, harus memiliki karakteristik yang berbeda.
Adapun ciri budaya perusahaan yang adaptif adalah siap
menanggung resiko, percaya, proaktif terhadap kehidupan
perusahaan dan juga kehidupan individu karyawannya.
Dalam hidupnya, manusia dipengaruhi oleh budaya di
mana dia berada, seperti nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku
masyarakat yang kemudian menghasilkan budaya masyarakat
(Luthans, 1992:562; Nimran, 1997:121-122).
Hal yang sama juga akan terjadi pada para karyawan
organisasi dengan segala nilai, keyakinan, persepsi dan
perilakunya dalam organisasi yang kemudian menjadi budaya
organisasi. Ketika orang-orang bergabung atau masuk dalam
suatu organisasi, maka pada mereka diperkenalkan nilai-nilai,
dan keyakinan-keyakinan. Namun demikian, seringkali nilai-nilai
dan keyakinan-keyakinan saja tidaklah cukup untuk membantu
sukses individu dalam organisasi. Orang-orang perlu belajar
47
atau berlatih bagaimana melaksanakan suatu pekerjaan secara
khusus.
Brown (1973:157) mengatakan bahwa budaya
organisasi merupakan bagian dari keseluruhan faktor
lingkungan, internal dan eksternal, dalam mana kepemimpinan
yang ada harus berjuang untuk memperoleh respon atau reaksi
dalam rangka pencapaian tujuan perusahaan.
Adanya respon atau reaksi berarti terdapat tanggapan
dan karyawan untuk turut serta menjaga dan memberikan
situasi yang kondusif terhadap pelaksanaan tugas-tugas
organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi,
sehingga hal ini adalah sangat penting untuk kelangsungan
hidup organisasi.
48
BAB 2
PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI
Sebelum memahami pengertian budaya organisasi,
maka sebenarnya kata budaya sendiri telah menjadi konsep
penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia
untuk waktu yang lama. Stoner, dkk (1995) memberikan arti
budaya sebagai gabungan kompleks asumsi, tingkah laku,
cerita, mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi satu
untuk menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat
tertentu.
Budaya di dalamnya juga termasuk semua cara yang
telah terorganisasi, kepercayaan, norma, nilai-nilai budaya
implisit, serta premis-premis yang mendasar dan mengandung
suatu perintah. Beberapa pemikir dan penulis telah mengadopsi
tiga sudut pandang berkaitan dengan budaya (Graves, 1986);
1. budaya merupakan produk konteks pasar di tempat
organisasi beroperasi, peraturan yang menekan, dan
sebagainya, 2. budaya merupakan produk struktur dan fungsi
yang ada dalam organisasi, misalnya organisasi yang
tersentralisasi berbeda dengan organisasi yang
terdesentratisasi, 3. budaya merupakan produk sikap
orangorang dalam pekerjaan mereka, hal ini berarti produk
perjanjian psikologis antara individu dengan organisasi.
49
Pengertian budaya ini kemudian dikaitkan dalam suatu
organisasi, sehingga menjadi istilah budaya organisasi yang
menarik perhatian bagi para akademisi dan praktisi untuk
mempelajarinya lebih seksama karena diyakini bahwa budaya
organisasi ini memiliki peran penting dalam pengelolaan
organisasi. Setelah istilah ini makin populer, maka
memunculkan banyak definisi, di antaranya yang dikemukakan
oleh Schein (1992:12) merumuskan budaya organisasi sebagai:
―A pattern of shared basic assumptions that the group
learned as it solved its problem of external adaptation
and internal integration, that has worked well enough to
be considered valid and therefore, to be taught to new
members as the correct way to perceive, think, and feel
in relation to those problems‖.
Definisi Schein ini memandang budaya organisasi
sebagai suatu pola asumsiasums mendasar yang dipahami
bersama dalam sebuah organisasi terutama dalam
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Pola-pola
tersebut menjadi sesuatu yang pasti dan disosialisasikan
kepada anggota-anggota baru dalam organisasi.
Lebih jauh lagi, dalam meneliti budaya organisasi perlu
dianalisis beberapa tingkat atau level yang berbeda.
Schen (1992: 16-27) menggambarkan adanya tiga
tingkat budaya yaitu:
50
1. Artifak (artifacts)
Merupakan tingkat budaya yang tampak di permukaan,
yang termasuk dalam artifak adalah semua fenomena yang
dapat dilihat, didengar dan dirasakan ketika seseorang
memasuki sebuah kelompok dengan budaya yang masih
asing baginya. Hal-hal ini yang juga termasuk dalam artifak
adalah produk yang tampak (visible products) dan
organisasi seperti rancangan lingkungan fisik, bahasa,
teknologi, produk, kreasi-kreasi artistik, gaya dalam
berbusana, pengungkapan emosi, mitos dan cerita tentang
organisasi, daftar nilai-nilai organisasi yang terpublikasikan,
ritual, perayaan-perayaan, dan lain-lain. Untuk tujuan
analisis, tingkat mi juga mengikutsertakan perilaku yang
tampak (visible behavior) dan kelompok dan prosesproses
organisasional dimana terdapat perilaku yang secara rutin
dilakukan.
2. Nilai-nilai yang diyakini (espoused values)
Dalam organisasi terdapat nilai-nilai tertentu yang umumnya
dicanangkan oieh tokoh-tokoh seperti pendiri dan
pemimpinnya, yang menjadi pegangan datam menekan
ketidakpastian pada bidang-bidang yang kritis. Nilai-nilai itu
menjadi sesuatu yang tidak lagi didiskusikan dan didukung
oleh perangkat keyakinan, norma, serta aturan-aturan
operasional mengenai perilaku dalam organisasi. Hal-hal
tersebut membentuk suatu kesadaran dan secara eksplisit
diucapkan serta dilakukan karena telah berfungsi sebagai
51
norma atau moral yang memandu anggota organisasi dalam
menghadapi situasi tertentu dan melatih anggota baru.
3. Asumsi-asumsi dasar (basic assumptions)
Merupakan asumsi-asumsi dasar yang telah ada
sebelumnya (taken for granted) dan menjadi panduan
perilaku bagi anggota organisasi dalam memandang suatu
permasalahan. Jika asumsi dasar dipegang teguh, maka
anggota organisasi akan merumuskan perilaku berdasarkan
pada kesepakatankesepakatan yang berlaku. Asumsi-
asumsi dasar cenderung tidak untuk dipertentangkan atau
diperdebatkan dan cenderung sangat sulit diubah.
Heliriegel et al., dalam bukunya Organitation Behavior
(1989:302) mendefinisikan budaya organisasi sebagai
gahungan atau integras I dan falsafah, ideologi, nilai-nilai,
kepercayaan, asumsi, harapan-harapan, sikap dan norma-
norma atau organitation culture is detined as shared
philosophies, ideologi, beliefs, assumptions, expectations
attitudes and norms.
Definisi tersebut rnenggarnbarkan dimensi-dimensi
sebagai herikut:
1. Tergambar pada tata krama perilaku setiap anggota yang
saling berinteraksi, misalnya dalam melakukan upacara dan
pertemuan.
52
2. Sebagai peraturan-peraturan yang dipatuhi sewaktu
kelompok anggota organisasi melaksanakan kerja dalam
organisasi.
3. Sebagai norma-norma yang dipatuhi oleh kelompok kerja
pada setiap han kerjanya.
4. Sebagai nilai-nilai yang dominan yang berlaku dalam
organisasi yang merupakan kualitas dan produk yang
dihasilkan atau sebagai harga dan kepemimpinan.
5. Sebagai falsafah yang mempedornani organisasi dalam
membuat kebijaksanaan bagi karyawan dan pelanggannya,
6. Sebagai iklim yang dirasakan dalam selalu organisasi yang
menjadi pedoman pada layout fisik dan cara-cara interaksi
dan anggota-anggota organisasi kepada langganan dari
fihak luar.
Sejalan dengan Jacques (lihat Duncan, 1989) dalam
Nimran (1999: 134) menyatakan budaya organisasi sebagai
cara berpikir dan melakukan sesuatu yang mentradisi, yang
dianut bersama oleh semua anggota organisasi dan para
anggota baru harus mempelajari atau paling sedikit menerima
sebagian agar mereka diterima sebagai bagian dari
organisasi/perusahaan.
Maciarello and Kirby (1994:13) mendefinisikan budaya
sebagai berikut: “budaya organisasi terdiri dari seperangkat
nilai-nilai persepsi umum, keputusankeputusan umum yang
diaplikasikan oleh anggota organisasi dalam aktivitas dan
memecah masalah dalam organisasi. Kekuatan budaya
53
tergantung pada sejumlah kunci premis yang disepakati dan
dianut oleh anggota organisasi. Selain definisi di atas, ada
beherapa defrnisi lain, diantaranya dan Schein (1985:158) yang
dikutip Sobirin pada Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia
(1997).
Schein menyatakan ―Culture is a pattern of basic
assumption-invented, discovere or developed by a given group
as it learns to cope with its problem of adaptation and internal
integration that has worked will enough to be considered valid
and therefore to be taught to new members as correct way to
perceive an feel in relation to those problems.‖
Pengertian definisi Schein di atas, bahwa budaya
sebagai asumsi dasar yang berpola telah ditemukan, dipahami
dan dikembangkan oleh anggota organisasi. Bahwa asumsi
tersebut telah terbukti kebenarannya ketika digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh group, baik
masalah adaptasi external maupun masalah integrasi internal.
Maka asumsi-asumsi tersebut, dianjurkan kepada anggota-
anggota baru. Sebagai cara pandang, cara berprestasi dan
pola pikir yang benar untuk menghadapi masalah-masalah
yang sama di masa yang akan datang.
Gibson et al. (1992:42), mendefinisikan budaya
organisasi sebagai suatu sistem nilai-nilai, keyakinan dan
norma-norma yang unik, dimiliki secara bersama oleh anggota
suatu organisasi. Budaya organisasi dapat menjadi kekuatan
positif dan negatif dalam mencapai prestasi organisasi yang
54
efeklif Kotter and Heskett (1977:5) menyatakan bahwa budaya
dalam organisasi merupakan nilai yang dianut bersama oleh
anggota organisasi, cenderung membentuk perilaku kelompok.
Nilai-nilai sebagai budaya organisasi cenderung tidak terlihat
maka sulit berubah. Norma perilaku kelompok yang dapat
dilihat, tergambar pada pola tingkah laku dan gaya anggota
organisasi relatif dapat berubah. Misalnya dengan memberikan
imbalan bagi mereka yang dapat menyesuaikan diri, sebaliknya
akan diberi sanksi bagi mereka yang tidak dapat menyesuaikan
diri dengan organisasi.
Dari seluruh definisi dapatlah disimpulkan bahwa budaya
organisasi adalah keseluruhan sistem nilai, norma-norma, pola
pikir dan perilaku serta keyakinan dan kebijaksanaan yang
ditampilkan secara konsisten yang akan mempengaruhi pola
kerja sama anggota organisasi serta manajemen organisasi.
Budaya organisasi bertujuan meningkatkan kinerja dan
kepuasan anggota / karyawan dalam organisasi. Selain itu
disimpulkan juga bahwa budaya organisasi pada
operasionalnya mencinikan sebagai berikut: 1 merupakan suatu
keadaan tekad untuk dimiliki dan dianut bersama oleh semua
anggota organisasi; 2. mengatur sikap dan perilaku serta
keyaknan para anggota organisasi; 3. cenderung dapat
dipelajari dan dapal disosialisasikan serta dapat diwariskan
pada anggota organisasi dan juga pada generasi berikutnya; 4.
membedakan budaya organisasi satu dengan lainnya; dan 5.
memperlihatkan etos kerja dari para anggota organisasi dan
55
perusahaan dengan berperan mengarahkan anggota organisasi
dalam mengelola dan memecah masalah-masalah dalam
lingkungan kerjanya.
Untuk dapat memahami apa yang dimaksudkan dengan
budaya organisasi ada beberapa batasan atau pernyataan
yang dapat membantu penyamaan persepsi, atau setidaknya
pemahaman mengenai budaya organisasi.
Beberapa pengertian budaya organisasi telah
dikemukakan oleh para ahli, misalnya Schein (Luthans,
1995:497), yang merumuskan pengertian budaya organisasi
sebagai:
―A pattern of shared basic assumptions that the group
learned as it solved its problem of external adaptation
and internal integration, that has worked well enough
considered valid and, therefore, to be tough to new
members as the correct way to perceive, think and feel in
relation to those problems―
Schein memandang budaya organisasi sebagai suatu
pola asumsi dasar yang dimiliki bersama oleh suatu kelompok
ketika memecahkan masalah penyesuaian lingkungan
eksternal dan integrasi lingkungan internal, yang telah berhasil
dengan cukup baik, untuk diajarkan kepada anggota baru
sebagai cara yang tepat.
Tunggal (2001:17) menegaskan bahwa budaya adalah
bagaimana organisasi belajar berhubungan dengan lingkungan.
Berarti budaya merupakan bauran kompleks dari asumsi,
56
tingkah laku, cerita, mitos dan ide yang lain yang digabung
menjadi satu untuk menentukan apa arti bekerja dalam suatu
organisasi tertentu.
Susanto (1997:3) juga memberikan pengertian terhadap
budaya organisasi, adalah:
“Nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia
untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha
penyesuaian integrasi kedalam perusahaan, sehingga
masing-masing anggota organisasi harus memahami
nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus
bertindak atau berperilaku“
Artinya budaya organisasi merupakan peraturan-
peraturan dan norma-norma yang mengatur perilaku kerja
karyawan dalam suatu organisasi. Berdasarkan beberapa
pengertian budaya organisasi, dapat diperoleh gambaran
bahwa pandangan-pandangan tentang budaya organisasi
sebagai aturan main yang ada didalam perusahaan yang akan
menjadi pegangan dari sumberdaya manusianya dalam
menjalankan kewajibannya dan nilai-nilai untuk berperilaku
didalam organisasi tersebut. Hal tersebut yang akan
membedakan satu organisasi dengan organisasi lainnya, maka
suatu organisasi memiliki kepribadian yang berbeda satu
dengan lainnya.
Gagasan atau konsep budaya organisasi berakar dan
antropologi budaya. Budaya organisasi merupakan kumpulan
keyakmnan-keyakinan, nilai-nilai, ritual-ritual, cerita-cerita,
57
mitos, dan bahasa tertentu yang dianut bersama yang turut
mengembangkan perasaan komunitas di antara para anggota
oganisasi. Beberapa praktisi dan disiplin Antropologi telah
menghasilkan suatu kerangka literatur yang sangat penting
selama 1940 dan 1950-an di mana penelitian mereka
berhubungan langsung dengan kebiasaan dan tradisi kerja
organisasi. Hatch (1993) mengatakan bahwa walaupun studi
budaya organisasi mulai tampak pada sekitar tahun 1970-an,
tidak sampai tahun 1980-an para sarjana manajemen telah
banyak mengadopsi konsep budaya organisasi.
Sekalipun budaya organisasi sangat bergantung pada
taken-for granted atau fakto-faktor yang tidak dapat dilihat,
namun sangat berpengaruh terhadap perilaku. Beberapa ahli
menyebut budaya organisasi atau budaya organisasi dengan
‗social glue‘ (lem/perekat sosial) yang mengikat para anggota
suatu organisasi. Tanpa melakukan apresiasi terhadap aspek
budaya, maka suatu organisasi hanyalah sebagai sekumpulan
peta, tugas-tugas, dan orang-orang yang tidak/kurang
bermakna. Hal itu berarti bahwa budaya organisasi bukanlah
sebuah alat ideologi yang dijatuhkan dan atas oleh manajemen,
tetapi budaya organisasi adalah suatu fakta yang harus
dihadapi oleh organisasi sosial manusia yang dapat menyia-
nyiakan perencanaan organisasi yang terbaik apabila
keberadaan budaya organisasi tidak diperhitungkan. Oleh
karena itu, Denison et al. (1995) mengatakan bahwa budaya
organisasi dapat dipelajari sebagai ian yang integral dan proses
58
adaptasi organisasi dan berguna sebagai prediktor kinerja dan
efektivitas.
Budaya organisasi dapat didefinisikan dalam beberapa
hal sesuai dan mana sudut pandang dilakukan. Namun
demikian dapat dikatakan bahwa budaya organisasi merupakan
seperangkat kepercayaan, nilai, filosofi, ideologi, asumsi,
harapan, pemikiran, sikap dan tindakan yang dipergunakan
untuk membuat keputusan dan memecahkan masalah.
Pengertian tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh
Smircih (1983) bahwa budaya organisasi adalah a set of key
values, guiding beliefs, and understandings that are shared by
members of an organization; Kiliman et al. (1986) bahwa
budaya organisasi adalah ‗the shared philosophies, ideologies,
values, assumptions, beliefs, expectations, attitudes, and norms
that knit a community together‘; Schein (1992:8) bahwa budaya
organisasi merupakan ―patterns of shared values and beliefs
over time which produce behavioral norms that are adopted in
solving problems‖, dan Nimran (1997:121) bahwa budaya
organisasi adalah ‗the collection of beliefs, expectations and
values shared by the corporation‘s members and transmitted
from one generation of employees to another‘, yaitu budaya
merupakan sekumpulan dan keyakinan-keyakinan, harapan-
harapan, dan niIai-nilai yang dianut bersama-sama oleh para
anggota perusahaan dan disebarkan dan generasi yang satu ke
generasi selanjutnya. Hal ini dipertegas lagi oleh Deal dan
Kennedy (1984:4) bahwa budaya organisasi merupakan ‗the
59
integrated pattern of human behavior tha includes thought,
speech, action, and artifacts and depends on man‘s capacity for
learning and transmitting knowledge to succeeding generations.
Dengan demikian budaya organisasi merupakan pola perilaku
manusia terpadu yang terdiri dari pemikiran, perkataan,
tindakan, dan artifak dan yang tergantung pada kapasitas
manusia untuk proses pembelajaran dan penyebaran
pengetahuan dalam rangka pergantian generasi. Pola perilaku
tersebut dipandang akan sangat
menguntungkan bagi organisasi, dan seharusnya
dipertimbangkan untuk diadakan suatu proses pembelajaran
pada para pendatang baru.
Hofstede (1986:25) juga memberikan pengertian bahwa:
―Culture has been defined in many ways. Culture consists in patterned ways of thinking, feeling and reacting, acquired and transmitted mainly by symbols, constituting the distinctive achievements of human groups, including their embodiments in artifacts; the essential core of culture consists of traditional (i. e. historically derived and selected) ideas and especially their attached values‖. Ini menunjukkan bahwa budaya secara umum dapat
didefinisikan dalam berbagai dimensi. Budaya organisasi terdiri
dari pola berpikir, perasaan dan yang pada prinsipnya diperoleh
dan disebarkan melalui simbol-simbol, pencapaian tujuan dan
kelompok-kelompok manusia, yang meliputi artifak-artifak; dan
inti pokok dan budaya terdiri dari ide-ide dan khususnya nilai-
nilai yang telah mengikat mereka.
60
Dari pengertian tersebut, maka budaya organisasi tidak
hanya meliputi sesuatu yang berwujud seperti simbol-simbol,
artifak, akan tetapi juga meliputi sesuatu yang tidak berwujud
seperti ide atau nilai-niiai. Dengan demikian, maka budaya
organisasi merupakan salah satu variabel yang banyak
menerima perhatian dalam studi perilaku organisasi, oleh
karena budaya organisasi merupakan suatu konsep yang
dituntut harus mampu dan dapat menyesuaikan terhadap
tujuan, dan strategi organisasi. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikatakan oleh Dennison (1995), dan Deal dan Kennedy
(1984:189), bahwa faktor budaya organisasi memainkan
peranan kunci dalam memperbaiki kinerja karyawan sekaligus
menentukan tingkat keberhasilan organisasi.
Oleh karena budaya organisasi merupakan seperangkat
nilai, pola pikir, dan tindakan, maka budaya organisasi tersebut
merupakan suatu sistem yang dinamis menyangkut keyakinan,
nilai-nilai, norma-norma bersama yang menjadi pengikat (lem)
bagi orang-orang dalam suatu organisasi. Keyakinan-
keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma tersebut akan
membimbing orang-orang mengenal „apa yang harus dilakukan‟
dan „bagaimana melakukannya‟. Budaya organisasi
berkembang daam organisasi karena orang-orang di dalamnya
berinteraksi dan bersama-sama mengelolanya. Dengan
demikian budaya organisasi dapat memberikan petunjuk dalam
berperilaku, dan memberikan pemahaman kepada para
anggota organisasi. Budaya organisasi mempengaruhi
61
bagaimana cara orang-orang bertindak dalam organisasi di
mana orang-orang melakukan pekerjaan, memandang
pekerjaan, bekerja dengan kolega, dan melihat masa yang
akan datang. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh
Plunket dan Attner (1994:349) bahwa budaya organisasi
merupakan suatu sistem yang dinamis yang menyangkut
keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma bersama yang
mengikat orang-orang dan membantu mereka dalam
memahami sistem-sistem dalam suatu organisasi, juga Trice
dan Beyer (1991) yang mengatakan bahwa:
Organizational culture is the shared beliefs, values, and normas that bind people totether and help them make sense of the systems within an organization. The beliefs, values, and norms tell people ‗what is to be done‘, and ‗how it is to be done‘. Culture has two components. The first is substance, which consists of shared systems of belie fes, values, expectations, and norms; the second is form, which consists of the obseivable ways that members of a culture express ideas. Budaya organisasi merupakan seperangkat keyakinan,
nilai-nilai dan norma yang mengikat orang-orang secara
bersama-sama dan memberikan pemahaman atas sistem yang
ada dalam organisasi. Keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan
norma-norma memberikan pemahaman kepada orang
mengenai „apa yang harus dikerjakan, dan „bagaimana
mengerjakannya. Budaya organisasi mempunyai dua (2)
komponen. Pertama, merupakan hal yang substansi, yaitu yang
terdiri dan seperangkat sistem keyakinan, nilainhlal, harapan-
62
harapan, dan norma-norma; yang kedua, merupakan bentuk
budaya, yaitu yang terdiri dan cara-cara yang dapat diamati,
ditampakkan oleh penganutnya. Selanjutnya, Robbins (2001:
247-248) yang mengatakan bahwa budaya organisasi mengacu
ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota
organisasi yang membedakan organisasi yang satu dengan
organisasi yang lainnya. Apabila diamati dengan seksama,
maka sistem makna bersama ini merupakan seperangkat
karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi yang
bersangkutan.
Schein (1992:11) mengatakan budaya organisasi
sebagai asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan dasar yang
dirasakan bersama oleh para anggota dan sebuah kelompok
atau organisasi. Para pemimpin mempunyai potensi paling
besar menanamkan dan memperkuat aspek-aspek budaya
dengan lima mekanisme utama berikut:
1. Perhatian
2. Reaksi terhadap krisis
3. Pemodelan peran
4. Alokasi imbalan
5. Kriteria seleksi, dan pemberhentian
Sebagai mekanisme sekunder, maka akan sangat
berguna untuk menanamkan dan memperkuat budaya apabila
konsisten dengan mekanisme budaya yang utama. Mekanisme
tersebut adalah sebagai berikut:
63
1. Desain struktur organisasi
2. Desain dan sistem dan prosedur
3. Desain fasilitas-fasilitas
4. Kisah-kisah, legenda, dan dongeng
5. Pernyataan-pernyataan formal.
64
BAB 3
BUDAYA ORGANISASI DAN BUDAYA INDIVIDU
Gibson (1996:76) mengemukakan bahwa kultur
mengandung pola eksplisit maupun implisit dan untuk perilaku
yang dibutuhkan dan diwujudkan dalam simbol, menunjukkan
hasil kelompok manusia secara berbeda, termasuk benda-
benda hasil ciptaan manusia, inti utama dan kultur terdiri dari
ide tradisional (turun-temurun dan terseleksi) dan terutama
pada nilai yang menyertai. Kultur organisasi merupakan bauran
nilal kepercayaan, norma dan pola perilaku dalam suatu
organisasi.
Kultur organisasi merupakan bauran nilai, kepercayaan,
norma dan pola perilaku dalam suatu organisasi. Sama dengan
kepribadian seorang individu (Gibson, 1996:77). Dari definisi ini
bisa disimpulkan bahwa pengertian kultur atau budaya individu
dapat disamakan dengan budaya organisasi.
Hanson, Yance (1992:2) mengungkapkan bahwa kultur
dalam suatu organisasi membantu pekenja memberikan
tanggapan atas ketidakpastian yang tidak bisa dihindari dan
keruwetan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Kultur atau
budaya organisasi juga merupakan cara melihat atau berfikir
mengenai perilaku dan dan dalam organisasi, suatu perspektif
untuk memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi.
Dalam kaitan ini kultur organisasi ditujukan pada sekumpulan
65
pokok pikiran yang mencoba menjelaskan dan mempekerjakan
bagaimana organisasi dan manusia bertindak dalam
Iingkungan yang berbeda. Kultur organisasi secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai kepribadian atau
perasaan organisasi.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kultur
memiliki karakteristik seperti:
1. Mempelajari: Budaya diperlukan dan diwujudkan dalam
belajar, observasi dan pengalaman.
2. Saling berbagi: Individu dalam kelompok, keluarga dan
masyarakat saling berbagi budaya.
3. Transgenerasi: Merupakan kumulatif dan melampaui
generasi satu ke generasi lain.
4. Persepsi pengaruh: Membentuk perilaku dan struktur
bagaimana seseorang menilai dunia.
5. Adaptasi: Budaya didasarkan pada kapasitas seseorang
berubal‟ atau beradaptasi.
Dalam organisasi tradisional fungsi sumber daya
manusia mengidentifikasi, menyiapkan, mengarahkan dan
memberikan reward kepada manajemen organisasi sesuai
dengan deskripsi jabatan yang sesuai. Dalam pandangan non
klasik pengelolaan sumber daya manusia mengembangkan
berbagai kebijakan dan prosedur untuk memberikan kepastian
bahwa para karyawan dapat melaksanakan peran gandanya
sebagai akibat dan pelatihan serta kerja tim yang dilaksanakan
sesuai dengan kebutuhan serta mengarah pada proses
66
perbaikan secara terus menerus. Pergeseran paradigma
tersebut dapat dirangkumkan dalam Tabel 2.1.
Dari Tabel 2.1 dapat diberikan satu penjelasan,
dimensi pertama dalam pergeseran paradigma manajemen
sumber daya manusia adalah berkaitan dengan budaya
organisasi. Dalam paradigma tradisional budaya organisasi
diarahkan (memfokuskan) pada individualis, produktivitas,
orientasi profit sedangkan pada paradigma TQM, kerja tim
menjadi fokus perhatian. Produktivitas tidak semata-mata
mengarah pada kuantitas melainkan pada kualitas dan
berorientasi pada kepuasan pelanggan.
Oleh karena orientasi tim, kepuasan pelanggan serta
kualitas menjadi tekanan, maka pembentukan budaya, proses
pembelajaran dalam rangka membentuk budaya menjadi
sangat relevan. Pembentukan budaya ini tidak begitu saja
terbentuk dalam organisasi, melainkan diawali dan survey dan
pengamatan terhadap kebiasaan yang dilakukan oleh karyawan
dalam sebuah organisasi. Dengan demikian akan diketahui
dasar dan pola awal bentuk kebiasaan dan bahkan dalam
jangka panjang budaya. Budaya organisasi mengacu pada
suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota yang
membedakan organisasi itu dengan organisasi lain (Robbin,
1996:80). Sistem makna bersama ini bila diamati dengan lebih
seksama merupakan seperangkat karakteristik utama yang
dihargai oleh organisasi itu.
67
Tabel 3.1 TABEL PERBEDAAN DIMENSI SUMBER DAYA MANUSIA
ANTARA PARADIGMA TRADISIONAL DAN MODERN(TQM) Dimensi Konteks Perusahaan
Paradigma Tradisional Paradigma Total Quality (Modern)
o Budaya organisasi
o Individualisme. o Diferensiasi. o Otokratik. o Profit. o Produktifitas.
o Usaha Bersama. o Kerja fungsi silang. o Kepuasan Pelanggan. o Qualitas.
o Komunikasi o Top Down o Top Down Horizontal, Lateral, Multidireksional
o Voice and Invovement
o Employment at will suggestion system
o Due process Quality circles attitudes survey.
o Desain Job o Efisiensi. o Produktifitas. o Standarisasi o Prosedur o Rentang kendall dan
pengawasan pendek. o Spesifikasi diskripsi
jabatan.
o Qualitas. o Kustomisasi. o Inovasi. o Rentang kendali dan
pengwasan lebar. o Pemberdayaan tim
verja o Tujuan tim o Pelanggan. o Menekankan pada
kualitas dan layanan
o Evaluasi dan Pengukuran Kinerja.
o Tujuan individu. o Supervisi. o Menekankan pada
kinerja finansial.
o Tujuan Tim o Pelanggan o Menekankan pada
kualitas dan layanan
o Reward. o Peningkatan Kompetensi Individu secara Kekeluargaan.
o Tim dadasarkan pada flnasial dan non finansial.
o Seleksi dan pengembangan karir.
o Selektif. o Skill. o Promosi didasarkan
pada individual accomplishment.
o Jalur karier linear
o Selektif didasarkan padapeer
o Problem solving skill. o Promosi didasarkan
pada kelompok. o Jalur karier horizontal.
68
o Training o Skill fungsional dan teknikal
o Problem solving, skill, fungsi silang.
o Helt and Safety o Trat Problem. o Prevent Problem, Safety program Weliness program. Employee assisten.
Sumber: Diadopsi dan Blackburn R dan Rosen B (1993) Total Quality and Human Resources Management: Lesson learned from Baidrige Award-Wining Companies Academy of Management Executive, dalam Perminas Pangeran 1999, Manajemen Usahawan Indonesia No. 11 Tahun XXVII, Nopember 1999.
Tujuh karakteristik primer yang bersama-sama
menangkap hakekat dan budaya organisasi (0‟ Reilly, 1991).
1. Inovasi dan pengambilan resiko, yaitu menunjukkan tingkat
para karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil
resiko.
2. Perhatian ke rincian, yaitu harapan manajemen terhadap
para karyawan mempenlihatkan kecermatan, analisis dan
perhatian kepada rincian.
3. Orientasi hasil yaitu, upaya manajemen memfokuskan pada
hasil, bukannya pada teknik dan proses yang digunakan
untuk mencapai hasil itu.
4. Orientasi orang yaitu keputusan manajemen
memperhitungkan efek hasil pada orang di dalam
organisasi.
5. Orientasi tim yaitu, kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim,
bukannya individu.
69
6. Keagresifan yaitu meningkatkan orang untuk agresif dan
kompetitif bukannya untuk santai.
7. Kemantapan yaitu, kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo sebagai kontras dan
pertumbuhan.
Tiap karakteristik ini berlangsung pada suatu kontinum
dan rendah ke tinggi. Maka dengan menilai organisasi itu
berdasarkan tujuh karakteristik ini akan diperoleh gambaran
majemuk dan budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi
dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para
anggota mengenai organisasi itu, bagaimana urusan
diselesaikan didalamnya dan cara para anggota diharapkan
berperilaku.
Pengakuan bahwa budaya organisasi mempunyai sifat-
sifat bersama tidaklah berarti bahwa tidak dapat ada anak
budaya atau subkultur didalam setiap budaya yang ada.
Kebanyakan organisasi besar mempunyai suatu bUdaya yang
dominan dan sejumlah anak budaya (Robbin 1996:292). Suatu
budaya dominan mengungkapkan nilai-nilai inti yang dianut
bersama oleh mayoritas anggota organisàsi itu. Bila kita bicara
mengenai budaya suatu organisasi kita menacu pada budaya
dominanriya. Anak budaya atau subkultur cenderung
berkembang dalam organisasi besar untuk mencerminkan
masalah, situasi atau pengalaman bersama yang dihadapi oleh
para anggotanya.
70
Jika organisasi tidak mempunyai budaya dominan dan
tersusun hanya dari sangat banyak anak budaya, nilai budaya
organisasi sebagai suatu variabel independen akan sangat
berkurang karena tidak akan ada penatsiran yang seragam
atas apa yang menggambarkan perilaku yang tepat dan tidak
tepat. Merupakan aspek makna bersama dan budaya yang
membuatnya sebagai piranti yang ampuh untuk memandu dan
membentuk perilaku itu, tetapi kita tidak dapat mengabaikan
realitas bahwa banyak organisasi juga mempunyai anak
budaya yang dapat mempengaruhi perilaku anggotanya.
Budaya yang akan menjadi penuntun perilaku anggota
organisasi, dapat diwariskan dan generasi yang satu ke
generasi yang lain melalui bebagai cara. Menurut Robins
(1996). Adapun cara yang dat dilakukan agar budaya selalu
menjadi tradisi bagi anggota orga „iisasi tersebut adalah:
a. Melalui berbagai cerita
Budaya yang dibentuk lewat biasanya tentang sejarah
berdirinya perusahaan dan mulai terbentuk sampai menuju
kesuksesan, berbadai keputusan penting yang pernah
diambil, dan mengenai manajemen puncak sekarang ini.
b. Upacara atau Ritual
Acara ritual dapat digunakan juga sebagai penerus suatu
budaya. Aktivitas seperti pemberian penghargaan tiap tahun
bagi karyawan terbaik, piknik tiap akhir tahun, perayaan han
besar bersama. Tujuan dari acara seperti ini adalah
pengungkapan dan memperkuat nilai atau budaya
71
perusahaan tersebut, serta tujuan apa yang penting, orang
mana yang penting, dan mana yang dapat ditingkatkan.
c. Berbagai Simbol Materi
Simbol materi seperti desain serta penataan fisik ruang dan
gedung, perabot kantor, kebiasaan eksekutif serta cara
berpakaian merupakan suatu pengungkapan kepada
pegawai siapa yang penting, tingkat dan derajat kesamaan
yang diinginkan manajemen puncak, dan perilaku tertentu
yang sesuai.
d. Bahasa
Banyak perusahaan dan unit dalam sebuah perusahaan
yang menggunakan bahasa sebagai suatu cara untuk
mengidentifikasi para anggota dari suatu budaya atau
subbudaya. Dengan mempelajari bahasa, para anggota
membuktikan bahwa mereka telah menerima budaza
tersebut dan dengan melakukan hal tersebut mereka
membantu mempertahankannya.
Budaya sebagai acuan berperilaku bagi anggota
organisasi dapat diwariskan secara turun temurun dan generasi
ke generasi melalui berbagai cara. Apabila budaya telah
terbentuk dan memberi manfaat besar bagi kelangsungan
hidup perusahaan, maka sewajarnya budaya tersebut
dipertahankan. Mempertahankan budaya yang sudah terbentuk
dan budaya tersebut adalah berkontribusi besar terhadap
pencapalan kinerja organisasi maka hal itu adalah sesuatu
yang tidak mudah. Agar budaya suatu perusahaan dapat
72
bertahan lama, Robbins (1996) memberikan beberapa Iangkah
yang dapat ditempuh, yaitu:
a. Seleksi.
Tujuan dari seleksi adalah menyelaraskan antara berbagai
syarat pekerjaan dengan kualitas pencari kerja. Selain itu
proses seleksi memberi informasi kepada pencari kerja
mengenai organisasi tersebut, dan jika mereka merasakan
adanya konflik antara nhlai mereka dengari nilai yang ada
pada perusahaan, pencari kerja dapat dengan segera
mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Dengan
demikian, proses seleksi dapat digunakan sebagai salah
satu cara untuk mempertahankan budaya perusahaan
dengan menyaring individu yang mungkin akan menyerang
atau mengacaukan berbagai nilai inti dari organisasi.
b. Manajemen Puncak
Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak
penting terhadap budaya perusahaan. Para pekerja akan
selalu memantau tindak tanduk manajer dalam
memperlakukan karyawan. Kapan manajer memberikan
peringatan, kapan manajer memuji, pada saat kapan
karyawan menerima sangsi atas kesalahannya akan selalu
meresap dalam ingatan karyawan. Sehingga kejadian
tersebut dalam kurun waktu tertentu akan menjadi nilai atau
norma dalam perusahaan.
73
c. Sosialisasi
Seleksi pada awalnya memberikan pemahaman yang umum
terhadap beberapa hal yang terkait dengan perusahaan.
Namun tidak semua karyawan akan mengerti sepenuhnya
dengan apa yang ada dalam perusahaan tanpa melalui
sosialisasi, terutama terkait dengan seperangkat nilai dalam
perusahaan. Dengan adanya karyawan baru akan lebih
memahami dan meyelami apa yang harus diperbuat agar
tindak tanduk mereka tidak menyimpang dan berbagai nilai
yang ada.
Budaya perusahaan yang merupakan ciri khas yang
membedakan perusahaan tersebut dengan yang lainnya
merupakan pemahaman yang diberikan oleh Wheelen dan
Hunger (dalam Nimran, 1996). Terkait dengan ciri khas
tersebut, Gordon dan Cummincs serta Betts dan Halfhfill (dalam
Robbins, 1996) mengidentifikasi bahwa ada sepuluh
karakteristik utama yang menjadi pembeda budaya perusahaan
satu sama lainnya, yaitu:
a. Inisiatif Iridividu. Tingkat tanggung jawab, kebebasan dan
independensi yang dimiliki individu.
b. Toleransi terhadap tindkan beresiko. Sejauh mana para
pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan
mengambil resiko.
c. Arah adalah sejauhmana perusahaan tersebut menciptakan
dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi.
74
d. Integrasi. Tingkat sejauh mana sebagai unit dalam
perusahaan didorong untuk bekerja dengan cara
terkoordinasi.
e. Dukungan dan manajemen. Tingkat sejauh mana para
manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan, serta
dukungan terhadap bawahan mereka.
f. Kontrol. Jumlah aturan dan pengawasan yang langsung
digunakan untuk mengawasi dan mengendaikan perilaku
pegawai.
g. Identitas. Tingkat sejauhmana para anggota organisasi
mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan
perusahaannya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu
atau dengan bidang keahlian professional.
h. Sistem imbalan. Tingkat sejauhmana alokasi imbalan (misal,
kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas kriteria prestasi
pegawai sebagai kebalikan dan senioritas, sikap pilih kasih,
dan sebagainya.
i. Toleransi terhadap konflik. Tingkat sejauhmana para
pegawai didorong untuk mengerhukakan konflik dan kritik
secara terbuka.
j. PoIa kamunikasi. Tingkat sejauhmana komunikasi
organisasi dibatasi oleh hirarki keWenanan yang formal.
75
BAB 4
KONSEP BUDAYA ORGANISASI
Budaya sebagai suatu output adalah potret atau
rekaman hasil proses budaya yang berlangsung di dalam suatu
organisasi atau perusahaan, pada suatu saat. Sithi-Amnuai
(1989) membenikan definisi budaya organisasi sebagai:
A set of basic assumptions and beliefs that are shared by
members of au organization, being developed as they
learn to cope with problems of external adaption and
internal integration.
Menurut definisi tersebut terdapat kata kunci (indikator),
yaitu basic, assumption, belief, shared dan learn. Kata basic
assumption menunjukkan dasar kualitas dan posisi anggapan
yang bersangkutan, sedangkan belief merupakan dasar
anggapan yang dipercayai, yang selanjutnya berbagi nilai yang
sama kepada kepada anggota di datam organisasi melalui
proses pembelajaran, baik dan pengalaman maupun peniruan
dan luar yang dianggap baik.
Matsumoto (1996) mengemukakan konsep, bahwa
budaya organisasi mempengaruhi tujuan, struktur, dan fungsi
organisasi serta sikap, nilai, dan tingkah laku karyawan,
sehingga mempengaruhi perbedaan perilaku kerja antara
karyawan yang berbeda budaya yang disebabkan oleh nilai-
nilai yang menjadi dimensi nilai kerja individu tidak sama.
76
Dalam beberapa konsep dan hasil kajian empirik jarang
dijumpai istilah budaya kerja secara eksplisit. Namun istilah
budaya kerja sebenarnya adalah operasionalisasi dan budaya
organisasi yang mempunyai implikasi terhadap pembentukan
proses manajerial untuk mencapai tujuan organisasi.
Budaya organisasi yang membentuk perilaku manajerial
akan berhubungan dengan budaya kerja, budaya kerja sebagai
operasionalisasi budaya organisasi yang memegang peranan
penting dalam mencapai tujuan yang hendak diwujudkan
secara bersama-sama komponen dalam organisasi (Ndraha,
2003:111).
Konsep dan pendekatan yang digunakan untuk
menjelaskan dan memberikan pengertian mengenai budaya
(culture). Menurut Hofstede (1994), budaya merupakan
keseluruhan pola pemikiran, perasaan dan tindakan dari suatu
kelompok sosial yang membedakan dengan kelompok sosial
lain. Sebelumnya Hofstede, (1980:34) memberikan istilah the
collective mental programming atau sofware of mind untuk
membentuk keseluruhan pola tersebut. Mental program atau
culture suatu kelompok terbentuk oleh lingkungan sosial (antara
lain: negara, daerah, tempat kerja, sekolah, dan rumah tangga)
dan kejadian-kejadian yang dialami dalam kehidupan para
anggota kelompok yang bersangkutan.
Proses terbentuknya pola pikir, perasaan, dan tindakan
tersebut dapat dianalogikan dengan proses penyusunan
77
program dalam komputer yang sistematik sehingga dapat
membentuk suatu sistem dalam pekerjaan.
Culture (budaya) mengacu kepada karakteristik cara
melakukan sesuatu dan perilaku bahwa orang di suatu daerah
mengembangkannya sepanjang waktu (Cascio, 1992:622).
Kadangkala budaya perusahaan didefinisikan pula sebagai
budaya organisasi (organization culture) yakni menggariskan
perilaku yang tepat, mengikat dan memotivasi individu serta
menegaskan solusinya saat terjadi keraguan (Turner, 1990:11).
Budaya mengatur cara bagaimana perusahaan memproses
informasi, hubungan internal dan nilai-nilai (values).
Setiap karakteristik ini terjadi secara berkelanjutan
(continoum). Menilai organisasi yang berdasarkan pada 10
karakteristik akan menghasilkan gambaran Iengkap terhadap
budaya organisasi. Gambaran ini akan menjadi dasar
memahami pengertian kebersamaan (shared) yang dimiliki
anggota terhadap organisasinya, bagaimana segala
sesuatunya dikerjakan dan cara dimana anggota diharapkan
berperilaku.
Lebih lanjut sepuluh klasifikasi utama yang dapat
menolong manajer menilai bermacam budaya dan menguji
pegawainya dengan cara yang lebih sistematis. Dalam praktek
sumber daya manusia yang dijabarkan dalam suatu kerja
sistematis terdiri dan 10 klasifikasi utama, menurut Cascio,
1992:644), yakni: 1. rasa tentang diri dan ruang (sense of self
and space), 2. pakaian dan penampilan (dress and
78
appearance), 3. makanan dan kebiasaan makan (food and
eating habits), 4 komunikasi dan bahasa (communication and
language), 5. waktu dan sikap terhadap waktu (time and time
sense), 6. hubungan (relationship), 7. nilai dan norma (values
and norms), 8. keyakinan dan sikap (beliefs and attitudes), 9.
motivasi kerja dan prakteknya (work motivation and practices),
10. proses mental dan pembelajaran (mental proceses and
learning), antara
lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jati diri dan lingkungan (sense of selfing space) merupakan
sutu cara yang unik untuk melaksanakan tugas. Identitas diri
bisa ditunjukkan dengan sikap yang sederhana atau
menonjol. Seperti kalau di Amerika meningkatkan
kemandiriian dan kreativitas, sedangkan di Jepang
menekankan pada hubungan kerjasama dan kenyamanan.
Amerika mempunyai / menciptakan lingkungan yang
ditandai terdapat jarak diantara orang disisi lain
menginginkan kedekatan.
2. Pakaian dan penampilan (dress and apperance) adalah
pakaian dan asesorisnya. Beberapa budaya mempunyai
pakaian adat, seperti Jepang dengan kimono, India dengan
turban (kain sari), sedangkan Polynesia dengan pakaian
sarung. Kosmetik menjadi semakin populer dan dapat
diterima sebagaimana penggunaan cologne dan aftershave
lotion oleh para pria.
79
3. Makanan dan kebiasaan makan (food and eating habits)
adalah cara memilih makanan, menyiapkan, menyampaikan
dan kebiasaan makan berdasarkan budaya. Cara makan
dengan Iangsung menggunakan tangan yang biasanya
ditemui di Timur Tengah, bisa dianggap cara makan suku
nomaden masa lalu oleh orang Barat, padaha perilaku
tersebut adalah bagian dan tuntunan agama dan tradisi
budaya mereka.
4. Komunikasi verbal dan non verbal, artinya pada masyarakat
yang berbeda budayanya, seperti misalnya meja, untuk
orang Amerika artinya adalah menerima sesuatu dan
menyimpan, sedangkan untuk orang Inggris artinya
mendiskusikan sesuatu. Isyarat non verbal juga mempunyai
arti yang berbeda, di Amerika kalau seseorang tidak
menatap mata orang yang diajak bicara akan menimbulkan
kecurigaan disebut dengan “Si mata meleng”, sedangkan di
negara lain bisa dianggap melakukan penyerangan.
5. Waktu dan sikap terhadap waktu (time and time sense)
adalah suatu keadaan masyarakat tentang waktu, di
Amerika waktu adalah uang, sedangkan di negara lain
keterlambatan pada pertemuan adalah sesuatu yang
lumrah.
6. Hubungan (relationship) adalah terjadinya hubungan antara
manusia itu di latar belakangi oleh umur, jenis kelamin,
status hubungan keluarga, bisa berdasarkan kekayaan,
kearifan dan kekuasaan. Pada suatu budaya terdapat
80
hubungan yang hangat tetapi pada budaya yang lain
ditunjukkan dengan menjaga jarak. Pada budaya tertentu
wanita harus berperilaku tertutup dan bersikap berbeda,
tetapi pada budaya lain wanita diberlakukan sama.
7. Nilai dan norma (values and norms) merupakan budaya
yang dibangun dan norma, atau disebut dengan kebiasaan
setempat. Manajer internasional menghindar dan bahaya /
resiko, contoh adalah: mempertimbangkan akibat dan nilai
dan norma pada cara bernegosiasi.
8. Keyakinan dan sikap (beliefs and attitudes) adalah dimensi
yang paling penting dalam kehidupan manusia. Pada
budaya barat umumnya dipengaruhi oleh yudeo-cristian dan
sebagian Timur budayanya Islam, Cina dan India adalah
Budha. Budaya itu nampak pada pekerjaan yang sedang
dikerjakan, pekerjaan itu menunjukkan cara bagaimana
melayani Tuhan dan manusia, dan ini ditunjukkan pada
komitmen moral dan kualitas kerja.
9. Motivasi kerja dan prakteknya (work motivation and
practices) adalah pengetahuan tentang motivasi pekerja
dalam budaya dikombinasikan dengan pengetahuan tentang
apa itu arti hidup adalah hal yang penting untuk manajer
internasional.
10. Proses mental dan pembelajaran (mental proceses and
learning) menurut ahli Antropologi menemukan perbedaan
yang besar tentang proses belajar pada budaya yang
berbeda. Ada budaya yang mendorong pemikiran yang
81
abstrak dan konseptualisasi pada budaya lainnya
menekankan pada menghapalkan kenangan dan belajar.
Cina, Jepang, dan Korea menulis berdasarkan ideograms
atau gambar tulis. Di pihak lain Inggris berdasarkan pada
mempraktekkan menggunakan kata. Dunia barat berpikiran
linear dan logis seperti dan A, lalu ke B, C, dan ke D. Di
Arab dan Cina berlaku pemikiran non linear dan ini
berdampak pada proses negosiasi. Misalnya dan A bisa
terus ke C, kembali ke B dan ke D. Hal ini membuat frustasi
pada dunia barat karena tidak logis. Manajer yang tidak
mengantisipasi perbedaan ini dapat mengambil kesimpulan
keliru yang hasilnya menjadi tidak terduga.
Setiap karakteristik ini terjadi berkelanjutan (continuum).
Menilai organisasi berdasar pada sepuluh karakteristik akan
menghasilkan gambaran Iengkap terhadap budaya organisasi.
Gambaran ini akan menjadi dasar memahami pengertian
kebersamaan (shared) yang dimiliki anggota terhadap
organisasinya, bagaimana segala sesuatunya dikerjakan dan
cara dimana anggota diharapkan berperilaku.
Menurut konsep yang dikemukan oleh Robbins
(1993:43), bahwa keberhasilan sumber daya pada tingkat
organisasi terdapat empat variabel bebas, yaitu struktur dan
disain organisasi, budaya organisasi, kebijaksanaan
pengembangan sumber daya, dan tekanan pekerja (work
stress). Pengembangan konsep budaya organisasi tersebut
dalam kajian empirik telah dilakukan oleh beberapa peneliti
82
yang menerapkan konsep sumber daya manusia pada
perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Biantoro (2002) menemukan dan hasil penelitiannya,
bahwa praktek manajemen dan budaya berpengaruh signifikan
dan kuat terhadap kinerja karena dapat memotivasi karyawan.
Konsep budaya (culture) berasal dari disiplin ilmu
antropologi (Evan, 1990; Kotter and Haskeit, 1992), sudah
sejak seabad yang lalu digunakan para antropolog untuk
menjelaskan:
1. Keunikan sekelompok masyarakat tertentu dibanding
dengan sekelompok masyarakat lainnya.
2. Mengapa perilaku masyarakat bisa bentahan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Seseorang mempelajari budaya dengan melihat dan
mengobservasi gambaran budaya yang ada pada masyarakat
seperti upacara-upacara, simbol-simbol, slogan, mitos-mitos,
cerita-cerita dan bahasa termasuk bangunan.
Nimran (1999:134) mengartikan culture atau budaya
yang bersumber dari Kiliman et al. (1986), ―culture is the shared
philosophies, ideologies, values, assumption, belief,
expectations, attitude and norms that knit a community together
“, atau merupakan seperangkat falsafah, ideologi, nilai-nilai,
anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma yang dirniliki
bersama yang mengikat sualu masyarakat. Menurut llodge et
al. (1996:264), budaya yang ada untuk menolong manusia
dalam membantu menghadapi ketidakpastian dan kebingungan
83
manusia. Budaya herkembang secara alamiah biIa manusia
bersama-sama membentuk kelompok. Sekelompok anggota
organisasi formal yang menghadapi ketidakpastian dan
kebingungan, keberadaannya sebagai sistem sosial. Makanya
tidak perlu heran jika organisasi banyak berkembang dengan
berbeda-beda budayanya, sebagai mekanisme untuk
mengelola lingkungan yang herheda.
Hoefstede (1973-1978) (dalam Budipararnita, 1991:16)
menjelaskan konsep budaya nasional dicirikan menjadi empat
dimensi yang dapat diukur dengan skala ordinal, tingkat
ukurannya tersebut dapat dibandingkan dengan budaya
nasional negara-negara asing lainnya, sebagai berikut:
a. Individual-berkelompok (indivisualisme/kolektifisme).
Kolektif merupakan sifat pola hubungan masyarakat yang
longgar dimana individu mengharap para keluarga dan
handai taulan atau kelompok bersedia dan mau
memperhatikan kepentingannya, sebagai balas jasa atas
kesetiaannya pada kelompok.
b. Jarak kekuasaan yang tinggi-rendah (power distance)
Sejauh mana anggota masyarakat menerima herbagai
ketimpangan kekuasaan (ketidakmerataan kekuasaan
dalam organisasi). Dalam masyarakat dengan jarak
kekuasaan yang besar orang dapat menerima tingkatan
kekuasaan terjadi dalam masyarakat contohnya pada
masyarakat yang telah maju dimana individualisme relatif
dominan. Dalam masyarakat dengan jarak kekuasaan yang
84
kecil, orang menginginkan pernerataan kekuasaan dan
perbaikan keadaan dan berbagai ketimpangan kekuasaan,
dimensi ini akan mempengaruhi struktur organisasi yang
ada.
c. Penghindaran ketidakpastian tinggi dan rendah (Uncertainty
Avoidance).
Taraf kurang senangnya orang untuk rnenghadapi keadaan
kurang pasti. Perasaan ini menjurus pada tindakan untuk
rnernperoleh kepastian dan persamaan tindakan. Dalam
masyarakat dengan penghindaran ketidakpastian yang
tinggi berusaha menggunakar formalisasi dan strukturisasi
dalam organisasi dengan mempertahankan aturan-aturan
serta norma-norma yang ketat dalam manajemen.
Sebaliknya dalam masyarakat dengan ketidakpastian yang
rendah, beranggapan bahwa praktek lebih penting daripada
prinsip. Dimensi ini berhubungan dengan pandangan
mengenai waktu dan masa depan yang tidak diketahui,
maka mereka cenderung lebih bersikap pasrah.
d. Maskulin / Feminin
Maskulin adalah keinginan kuat masyarakat akan
keberhasilan, kepahlawanan, keyakinan dan keuntungan
materi.
Feminim menunjukkan keinginan masyarakat mempunyai
hubungan dan perilaku yang sederhana serta
rnernperlihatkan kelemah lembutan dan mementingkan
mutu kehidupan.
85
Sejak akhir tahun 1970-an, kata budaya dikaitkan
dengan organisasi atau perusahaan. Pengkaitan kata budaya
dengan kata organisasi menghasilkan istilah baru sebagai
budaya organisasi atau budaya perusahaan (organization
culture) atau kultur perusahaan.
Tinjauan Terhadap Budaya Internasional (international
cultural consideration)
Suatu negara cenderung mengembangkan sekian
banyak karakteristik budaya (seperti nilai-nilai, norma, praktis,
dan keyakinan dan standar), yang terkumpul dan tercipta dan
berlangsung dalam waktu lama. Karakteristik telah berurat
berakar pada kebiasaan lingkungan manusia. Misalnya
perkembangan pemakaian bahasa dan pola pikir, baik secara
sadar ataupun tidak sadar, langsung membentuk kebiasaan
masyarakat yang akhirnya menjadi budaya. Dalam perusahaan
juga mempunyai dan menganut banyak budaya (multi cultural),
misal suatu perusahaan multinasional dengan mencampur
hanyak budaya dan herhagai negara / nasional dimana
perusahaan tersebut melakukan hubungan aktivitas
dagang/bisnis.
86
Tabel 4.1. PERBEDAAN BUDAYA ORGANISASI ANTARA JEPANG
DAN AMERIKA Budaya Jepang Budaya Amerika
1. Menekankan pada = kolektifisme dan kelompok.
1. Menekankan pada individualisme
2. Menekankan pada kefarnilian / kekeluargaan dan hormat pada atasan sebagai pemegang authority
2. Menekankan pada individualisme dan tenaga muda yang bebas
3. Menekankan pada kerja sama kelompok dan menjaga hubungan yang harmonis
3. Menekankan saling kompetisi, konflik, berkonfrontasi dan saling ada perbedaan
4. Menekankan pada rasa hormat dan hasilnya untukjangka panjang
4. Menekankan perolehan hasil pada waktu seketika dan juga pendek
5. Menekankan perilaku rendah hati dan sederhana
5. Menekankan pada promosi individu dan mengejar materiaL
Sumber: Hodge et al. (996:273).
Pada saat sekarang banyak diskusi difokuskan pada
budaya-budaya nasional dan budaya organisasi yang saling
herbeda. Sebagai contoh lerutama perbedaan budaya antara
organisasi Jepang dan Amerika. Bertujuan untuk mengerti
sepenuhnya budaya nasional Jepang termasuk memahami
budaya perusahan nya yang ada di lingkungannya, yang
ternyata mempunyai beberapa keunikan pada manajemen
budaya Jepang. Beberapa karakteristik manajemen budaya
Jepang dibandingkan dengan budaya manajemen dan
organisasi Amerika, terlihat pada Tabel 4.1. di atas.
87
Sesuai dengan gambaran budaya nasional di atas, maka
kecenderungan setiap organisasi bisnis, mengembangkan
budaya organisasinya sesuai dengan budaya nasionalnya dan
sesuai dengan lingkungan organisasi. Demikian juga setiap
individu atau konsumen terikat oleh budaya organisasinya.
Sebaliknya bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang
beroperasi di beberapa negara asing, cenderung
rnengernbangkan beberapa budaya organisasi, sebagai hasil
campuran budaya nasional dengan budaya dan negara-negara
dimana perusahaan tersebut beroperasi dengan melakukan
kontak hisnis. Lebih-lebih setelah tahun 2003 Indonesia akan
memasuki era perdagangan bebas AFTA dan APEC (2010-
2020), di mana tidak ada batas-batas tegas yang memisahkan
antar negara di dunia ini dalam melakukan perdagangan dunia
secara bebas. Selain itu juga didukung dengan adanya inovasi-
inovasi dan kemajuan-kemajuan, khususnya dalam bidang
teknologi komunikasi dan informasi. Masuknya arus informasi
dan komunikasi memberi kesempatan-kesempatan masuknya
budaya negara asing yang cenderung mempengaruhi budaya
nasional dan berdampak pada budaya organisasinya.
Kebaikan-kehaikan era glohalisasi antara lain memberi
kesempatan atau peluang untuk mengembangkan
perdagangan nasional sehingga mampu rnenjangkau sampai
ke internasional. Sebaliknya arus perdagangan produk dan jasa
luar negeri akan membanjiri perdagangan domestik, hal ini
merupakan ancaman atau tantangan hagi perusahaan-
88
perusahaan domestik nasional. Untuk mampu mengatasi
persaingan dengan perusahaan-perusahaan internasional
maka perusahaan-perusahaan perdagangan domestik harus
mempersiapkan diri dan mengembangkan unsur-unsur
internalnya melingkupi kelemahan-kelemahan yang harus
diatasi dan di sisi lain kekuatan-kekuatan yang harus tetap
dipertahankan dan dikembangkan olch organisasi termasuk
budaya organisasi, sehingga mampu melakukan adaptasi
perilaku manajerial perusahaan ke arah kondisi-kondisi global.
Hal ini bertujuan agar perusahaan domestik nasional mampu
memenangkan tingkat persaingan sehingga dapat bertahan
terus atau survival dalam rnenghadapi persaingan global.
Budaya Kuat dan Lernah
Hodge et al. (1996:273) menvatakan bahwa “budaa kuat,
apabila budaya dapat menyebar luas dan mendalam dan dapat
diterima segenap anggota organisasi. Sedangkan budaya
lemah (a thin culture), apabila budaya tersebut tidak
menyebarluaskan ke seluruh organisasi, dan tidak diterima
dengan menyenangkan oleh segenap anggota organisasi.
Sebagai akibatnya budaya tidak menjadi pusat kehidupan
organisasi. Kalau budaya kuat berperan sebagai pusat
kehidupan sel uruh organisasi (a core of organization life)‖.
Robbins (1988:208) menyatakan “a strong culture is
characterized by the organization ‗s core values being
intensively held, clearly ordered, and widely shared‖. Makna
89
dan budaya organisasi yang kuat mempunyai karakteristik
sebagai pusat nilai dalam organisasi dan dapat konsisten
dengan strategi-strategi perusahaan, diterapkan secara intensif,
jelas arahnya dan secara hias diadopsi dan dianut, cenderung
meningkatkan konsisten untuk berperilaku, yang diterapkan
mulai dan pimpinan sampai karyawan. Budaya organisasi kuat
berperan sebagai substitusi bagi formalisasi organisasi. Dan
cenderung mengurangi kebutuhan manajemen untuk
mengemhangkan peraturan formal, mampu mengontrol pikiran,
jiwa, disamping jasmani, untuk membentuk perilaku pegawai.
Budaya organisasi sangat berpengaruh terhadap pendekatan
menejer untuk mensolusi masalabmasalah dan mampu
bercaksi dalam berkompelisi dan juga pada implementasi
strategi-strategi baru di perusahaan. Maka sernakin kuat
budaya organisasi akan membantu pencapaian keefektifan
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi dan kepuasaan
karyawan.
Sumber: Robbins, Perilaku Organisasi (1996:480)
Gambar 4.1
KARAKTERISTIK PEMBENTUKAN BUDAYA ORGANISASI BARU
90
Robbins menyimpulkan suatu budaya dengan
serangkaian karakteristiknya dapat mengarahkan pembentukan
budaya kuat dalam organisasi, sehingga mampu berfungsi
rneningkatkan kinerja organisasi dan menciptakan kepuasan
karyawan, dan pada akhirnya mempengaruhi efektivitas
organisasi, sebagaimana terlihat pada Gambar di atas. Luthans
(1995:232) menyatakan bahwa upaya memperkuat dan
mempertahankan budaya adalah dengan melakukan sosialisasi
budaya atau proses meneruskan (mentransmisikan budaya)
dengan cara: 1. melalui seleksi bagi calon karyawan, 2.
memberikan penempatan, 3. melakukan orientasi (pendalaman)
bidang pckerjaan. 4. penilaian kinerja dan pemberian
penghargaan; 5. menanamkan kesetiaan pada nilai-nilai luhur;
6. membuat cerita, hikayat atau berita; dan 7. pengakuan atas
kineria dan promosi. Maka melalui sosialisasi, budaya dapat
ditanamkan dan dikembangkan, mampu memadukan antara
nilai budaya karvawan dengan nilai budaya organisasi sehingga
terjadi penerirnaan nilai inti untuk dianut oleh setiap anggota
organisasi. Menurut Hodge et al. (1996:288), ada tiga
karakteristik budaya kuat yaitu: 1. mengarahkan (direction), 2.
kuat (strength), dan 3. mempengaruhi (pervasiveness). Budaya
mengarahkan (direction) perilaku ke jalan pencapaian tujuan
organisasi. Budaya kuat (strong) mempunyai kekuatan
mengawasi terhadap perilaku anggota organisasi. Sedangkan
budaya mampu mempengaruhi (pervasiveness), mampu
meyakinkan semua anggota organisasi.
91
BAB 5
KARAKTERISTIK BUDAYA ORGANISASI
Berbagai studi tentang teori budaya organisasi telah
banyak dilakukan dan masing-masing teori tersebut dikaitkan
dengan ukuran-ukuran yang mewakili budaya organisasi
tersebut, Xenikou dan Furuham (1996) dalam artikelnya yaitu,
―A Correlational and Factor Analytic Study of Four
Questionnaire Measures of Organizational Culture‖ mencoba
untuk mengukur norma-norma atau nilai-nilai dan budaya
organisasi melalui 4 model kuesioner yang dikembangkan, dan
mereka juga berusaha untuk membandingkan ukuran-ukurkan
yang berbeda tersebut melalui anaIsis korelasional dan faktor.
Ukuran-ukuran yang dikembangkan tersebut
mencerminkan pandangan serta definisi budaya organisasi
yang dicetuskan oleh peneliti yang bersangkutan. Jadi ketika
budaya organisasi ditinjau sebagai kumpulan nilai-nilai, maka
ukuran-ukuran atau indikator yang dikembangkan terfokus dan
nilai-nilai tersebut. Apabila definisi dan budaya tersebut lebih
dikaitkan dengan artefact nya, maka indikator-indikator budaya
organisasi diwarnai dengan keberadaan artefact tersebut.
Sementara itu dan hasil survey terhadap para eksekutif,
ternyata pandangan dan Deshpande et al., tentang budaya
organisasi atau perusahaan cukup konsisten dengan opini para
praktisi. Dalam artikelnya, Deshpande et al. (1993:25)
92
memperkenalkan atribut budaya sebagai budaya-budaya yang
competitive, innovative, bureaucratic, dan community. Ternyata
ukuran-ukuran budaya yang dikembangkan ini cukup ringkas,
dapat diterapkan dan diterima para praktisi, dan respondent
friendly.
Ada banyak pendapat yang berusaha untuk mencirikan
budaya suatu organisasi. Robbins (1998:595-596)
mengemukakan tujuh karakteristik primer yang digunakan
secara bersama untuk memahami hakikat dan budaya suatu
organisasi, pada masa sekarang. Ketujuh karakteristik primer
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Inovasi dan pengambilan nisiko (innovation and risk taking)
Suatu keleluasaan bagi anggota organisasi sehingga
terdorong untuk melakukan tindakan-tindakan yang inovatif
dan berani mengambil resiko.
2. Perhatian pada rincian (attention to detail)
Harapan organisasi kepada anggotanya agar bertindak
secara cermat, analitis dan memperhatikan pada rincian.
3. Orientasi pada hasil (outcome orientation)
Sejauhmana pihak manajemen organisasi Iebih
memperhatikan hasil kerja anggota organisasi daripada
teknik atau proses yang dilakukan untuk mencapai hasil
tersebut.
4. Orientasi pada orang (people orientation)
Bagaimana organisasi memperlakukan anggota-anggotanya
secara manusiawi.
93
5. Orientasi pada tim (team orientation)
Menunjukkan apakah proses-proses kerja dalam organisasi
dilaksanakan dalam kelompok-kelompok kerja, bukan pada
individu.
6. Agresivitas (aggresiveness)
Sejauh mana anggota organisasi berperilaku agresif dan
kompetitif dalam proses kerjanya.
7. Kemantapan (stability)
Kekuatan anggota organisasi memegang teguh 7
karakteristik tersebut menunjukkan stabil atau tidaknya
organisasi dalam menata dirinya menghadapi perubahan-
perubahan yang terjadi. Tampaknya ada kesepakatan yang
luas bahwa budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna
bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan
organisasi itu dan organisasi-organisasi yang lain. Maka
dengan menitai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik
ini, akan diperoleh gambaran majemuk dan budaya organisasi.
Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman
bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu,
bagaimana urusan diselesaikan dan cara para anggota
diharapkan berperilaku.
Sedangkan Jakarta Consulting Group menggunakan
seputuh macam karakteristik budaya organisasi (Susanto,
1997:5-8), sebagai berikut:
94
1. Inisiatif Individual
Seberapa jauh inisiatif seseorang dikehendaki dalarn
perusahaan. Meliputi derajat tanggung jawab, kebebasan,
dan independensi dan masing-masing anggota organisasi.
Seberapa besar seseorang diberi wewenang dalam
menjalankan tugasnya, seberapa berat tanggung jawab
yang harus dipikul sesuai dengan kewenangannya dan
seberapa luas kebebasan dalam mengambil keputusan.
2. Toleransi Terhadap Resiko
Seberapa jauh sumber daya manusia di dorong untuk lebih
agresif, inovatif, dan mau menghadapi resiko di dalam
pekerjaannya.
3. Pengarahan
Kejelasan organisasi dalam menentukan objektif dan
harapan terhadap sumber daya manusia terhadap hasil
kerjanya. Harapan dapat dituangkan dalam bentuk
kuantitas, kualitas, dan waktu.
4. Integrasi
Bagaimana unit-unit di dalam organisasi di dorong
melakukan kegiatannya dalam satu koordinasi yang baik.
Seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama ditekankan
dalam pelaksanaan tugas. Seberapa dalam interdepedensi
antar sumber daya manusia ditanamkan.
95
5. Dukungan Manajemen
Seberapa jauh para manajer memberikan kornunikasi yang
jelas, bantuan, dan dukungan terhadap bawahannya dalam
melaksanakan tugasnya.
6. Pengawasan
Meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung yang
digunakan untuk melihat secara keseluruhan dan perilaku
karyawan.
7. Identitas
Pemahaman anggota organisasi yang loyal kepada
organisasi secara penuh. Seberapa jauh loyalitas terhadap
organisasi.
8. Sistem Penghargaan
Alokasi ―reward‘ (kenaikan gaji, promosi) yang berdasarkan
pada kriteria hasil kerja karyawan. Pada perusahaan yang
sistern penghrgaarinya jelas, semuanya telah
terstandardisasi berdasarkan kriteria-kriteria yang telah
ditentukan.
9. Toleransi terhadap Konflik
Usaha mendorong karyawan untuk kritis terhadap konflik
yang terjadi. Dalam budaya perusahaan yang toleransi
konfliknya tinggi, perdebatan dalam pertemuan adalah
sesuatu yang wajar. Tetapi dalam perusahaan yang
toleransi konfliknya rendah, SDM akan menghindari
perdebatan dan menggerutu di belakang.
96
10. Pola Komunikasi
Komunikasi organisasi yang terbatas pada hierarki formal
dan setiap perusahaan.
Bahkan dari karakteristik yang telah dikemukakan di atas
memperkenalkan 2 macam budaya dalam suatu organisasi
atau perusahaan yaitu budaya entrepreneur dan budaya
administratif. Bagi perusahaan yang memiliki jenis budaya
entrepeneur di dalam setiap aktivitasnya selalu memfokuskan
pada peluang-peluang baru. Hal ini tercermin dalam jiwa
kewiraswastaan yang selalu menganggap bahwa dengan
menemukan dan memanfaatkan peluang-peluang baru tersebut
perusahaan akan selalu survive dan terdorong untuk selalu
berusaha mencapai sasaran yang berbeda-beda dan satu
periode ke periode berikutnya. Oleh karena itu, kegiatan
operasional yang terjadi di dalam perusahaan ini cukup dinamis
dan membutuhkan sumber daya manusia yang cukup cepat di
dalam mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi baik
dan sisi internal maupun eksternal.
Di samping itu, perusahaan akan berusaha memenuhi
sarana yang dibutuhkan untuk merealisasi kegiatan di dalam
meraih keberhasilan dan peluang baru tersebut. Selain itu juga
dibutuhkan struktur organisasi yang cukup dengan budaya
yang dianut, karena apabila hal-hal ini tidak disesuaikan
dengan budaya tersebut maka perusahaan tidak akan pernah
memperoleh peluang-peluang baru dan juga tidak akan pernah
berhasil mempertahankan peluang yang sudah ada.
97
Sedangkan perusahaan yang memiliki budaya
administratif ini sangat bertolak belakang dan budaya
entrepreneur, hal ini terlihat bahwa pada budaya administratif
seluruh aktivitas yang dilakukan lebih memfokuskan pada
peluang-peluang yang sudah ada. Sebab budaya ini
memandang bahwa peluang yang diperoleh harus terus
dipertahankan karena usaha untuk mendapatkan pekerjaan
tersebut, perusahaan telah menginvestasikan dana yang cukup
besar. Oleh karena itu, perusahaan membutuhkan prosedur
pengendalian yang cukup ketat untuk mempertahankan
peluang yang sudah diperoleh ini. Dalam kegiatan pada budaya
administratif ini, tingkat dinamika yang terjadi tidak terlalu tinggi
seperti yang terjadi pada budaya entrepreneur. Maka,
perusahaan yang menganut budaya administratif ini
membutuhkan struktur organisasi yang dapat mendukung
kegiatan usaha perusahaan tersebut.
Berangkat dan tradisi dalam studi Antropologi, Schein
mengungkapkan budaya organisasi dan kepemimpinan para
eksplisit terlihat dan sebuah perspektif perubahan (Lakomski,
201), dan terdapat dua (2) perubahan mendasar dan model
Schein (Hatch, 1993). Pertama, simbol yang diperkenalkan
sebagai suatu unsur baru; kedua, unsur-unsur budaya (asumsi-
asumsi, nilai-nilai, artifak, dateimboI-simbol), bergerak dan
konsepsi yang statis ke konsepsi yang dinank (seperti dalam
Gambar 5.1).
98
Sumber: The Dinamics of organizational culture, Mary Jo Hatch,
Academy of Management Review, 1993, Vol.18, No. 4, 657-693.
Gambar 5.1 MODEL DINAMIKA BUDAYA
Berdasarkan Gambar 5.1. di atas, unsur-unsur budaya
dapat pula digunakan sebagai peningkat budaya. Ini berarti
bahwa apabila unsur-unsur tersebut dijadikan peringkat, maka
peringkat budaya organisasi berawal dari nilai-nilai, kemudian
diwujudkan dalam bentuk artifak, disampaikan melalui simbol-
simbol, dan dinterpretasi dengan asumsi-asumsi yang
merupakan manifestasi dan nilai. Atau dengan kata lain,
seperangkat nilai yang dianut dimanifestasikan dalam bentuk
seperangkat asumsi yang disampaikan melalui simbol-simbol
dan dipertegas dengan artifak. Ini sejalan juga dengan apa
yang dikatakan oleh Trice dan Beyer (1991) bahwa dalam
rangka kekongkritan dan menjaga kepentingannya, maka
pemahaman terhadap budaya harus dikomunikasikan secara
kontinyu dan ditegaskan melalui bentuk-bentuk budaya, seperti
cerita, simbol, seremoni atau upacara. Jika metodologi
Hofstede (1986: 15-16) digunakan, maka tingkatan budaya
99
diidentifikasi dalam tiga (3) tingkatan, yaitu: universal, collective,
and individual. Ketiga tingkatan budaya tersebut dapat dilihat
dalam Gambar 5.2 berikut.
Gambar 5.2. berikut merupakan suatu piramida yang
menunjukkan adanya tiga tingkatan nilai-nilai (mental
programming). Nilai-nilai tersebut semakin unik ketika pada
tingkat individu, di mana pada tingkat mi masingmasing individu
memiliki nilai-nilai unik atau khas. Kemudian ketika sudah
berada di terigah-tengah suatu kelompok, nilai-nilai dibagi
(share) di antara sekelompok orang. Pada akhirnya, pada
tingkat universal, nilai-nilai tersebut menjadi dan terbagi
semakin luas untuk seluruh umat manusia.
Sumber: Geert Hofstede, Culture‘s Consequences in Work-
Related values, 1986:16. Sage Publications, Beverly Hills, London, New Delhi.
Gambar 5.2
THE LEVELS OF UNIQUENES IN HUMAN MENTAL PROGRAMMING
Selanjutnya, ada dua (2) komponen dan budaya.
Pertama, merupakan hal yang substansi dan budaya yaitu
100
sistem-sistem keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma. Kedua,
merupakan bentuk dan budaya yang terdiri dari cara-cara yang
dapat diteliti dan para penganut budaya dalam
mengekspresikan ide-idenya.
Untuk memperjelas pemahaman pemahaman terhadap
komponen budaya, maka Gambar 5.3 berikut, suatu budaya
digambarkan sebagai gumpalan es yang terapung (iceberg)
karena permukaan meliputi unsur-unsur bentuk-bentuk
berdasarkan pada unsur-unsur substansi yang lebih dalam.
Unsur-unsur yang dapat dilihat (artifacts: cultural routines, the
rituals, and ceremonies) merupakan praktek-praktek budaya
organisasi.
Sumber: Pamela S. Lewis, Stephen H. Goodman, dan Patricia
M. Fandt: Management, Challenges for Tomorrow‘s Leaders, 2004: 350.
Gambar 5.3 KOMPONEN BUDAYA ORGANISASI
101
Unsur-unsur tersebut didukung oleh nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, harapan-harapan, dan norma-norma
bersama di tingkat paling dalam atau yang dikenal sebagai inti
organisasi. Artifak mendukung dan mengukuhkan keyakinan-
keyakinan, nilai-nilai, harapan-harapan, dan norma-norma
bersama dalam organisasi. Para manajer seharusnya
menyadari bahwa adalah hal yang tidak mungkin merubah
permukaan tanpa melakukan perubahan terhadap yang
mendasarinya.
Geletkanycz (1997) mengatakan bahwa “culture has an
important impact on executive mindsets‖. Budaya mempunyai
dampak yang penting bagi kerangka berpikir eksekutif.
Pemahaman hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa
budaya organisasi seharusnya menjadi landasan kerangka
berpikir eksekutif menuju suatu kebijakan dan strategi
kepemimpinan.
Sementara itu, Hennessy (1998) mengatakan bahwa
budaya organisasi merupakan penentu yang utama dan kinerja
organisasi. Ketidakmampuan dalam mengelola budaya
organisasi diidentifikasi sebagai kendala yang serius dalam
mengadakan perubahan pemerintahan federal, dan apabila
demikian, dikatakan sebagai sesuatu yang tidak realistik dalam
pendekatannya.
Perusahaan yang mencapai kinerja superior
berkelanjutan adalah perusahaan yang dicirikan oleh
seperangkat nilai-nilai manajerial inti yang mendukungnya,
102
yang karenanya dikatakan bahwa budaya organisasi sebagai
seperangkat nilai, kepercayaan, asumsi, dan simbol yang
dengan caranya membantu bisnis perusahaan (Deal dan
Kennedy, 1984; Peters dan Waterman, 1998). Hal ini dapat
dipahami bahwa budaya organlsasi merupakan pedoman
bertingkah laku bagi seluruh anggota organisasi, yang apabila
memperoleh dukungan yang kuat akan mempercepat proses
pencapaian tujuan organisasi.
Yukl (1998:303) mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin
yang mempertahankan budaya, menegaskan nilai-nilai dan
tradisi-tradisi yang berlaku yang cocok bagi keberhasilan yang
terus menérus dan organisasi tersebut, dan mereka hanya
membuat perubahan-perubahan sedikit demi sedikit dalam
strategi-strategi tersebut. Sebaliknya, para pemimpin yang
melakukan inovasi budaya, mengajukan sebuah ideologi radikal
dengan nilai-nilai dan strategi-strategi baru untuk menanggapi
sebuah krisis yang seningga para pemimpin yang melakukan
inovasi budaya perlu Iebih dramatis dan ekspressif.
Dari uraian pengertian-pengertian di atas, maka nampak
ada tiga (3) hal yang menjadi ciri-ciri budaya organisasi, yaitu:
dapat dipelajari, dimiliki bersama dan diwariskan dan generasi
ke generasi.
Banyaknya variabel yang terlibat dalam budaya
organisasi, memungkinkan semakin meluasnya karakteristik
budaya yang bisa diuraikan. Namun demikian, ada beberapa
karakteristik umum dan budaya organisasi. Kreitner (1995: 285-
103
286) mengatakan bahwa terdapat enam (6) karakteristik umum
dan budaya organisasi, yaitu:
1. Collective. Ini mengandung makna bahwa budaya
organisasi merupakan entitas sosial.
2. Emotionally charged. Manusia cenderung metnperoleh
budaya organisasi untuk suatu penlindungan atau
keamanan, karena bukan hal yang mustahil dihadapkan
pada ketidak-amanan dan ketidak-pastian.
3. Historically based. Pengalaman-pengalaman bersama,
dalam waktu yang panjang, mengikat kelompok orang
secara bersamasama. Kecenderungan yang ada adalah
orang-orang mengidentifikasikan dengan orang-orang lain
yang mempunyai pengalaman hidup yang sejenis.
Kepercayaan dan kesetiaan merupakan dua komponen
kunci budaya, diperoleh melalui pola-pola dalam perkataan
dan tindakan yang secara konsisten dilakukan.
4. Inherently symbolic. Seringkali tindakan dianggap lebih
keras daripada kata-kata. Beberapa kata atau slogan bisa
memberikan makna simbolik yang besar. Tetapi seringkali
perlu menelaah untuk menemukan pesan-pesan budaya
dengan tepat.
5. Dynamic. mi berarti bahwa budaya organisasi yang
merupakan pedoman bertingkah laku bersifat dinamis, dan
dalam jangka panjang dapat meningkatkan daya ramal,
konformitas, dan stabilitas.
104
6. Inherently fuzzy. Kemenduaan, kontradiksi, dan banyaknya
pengertian merupakan hal yang mendasar pada budaya
organisasi.
Luthans (1992:563) mengatakan bahwa budaya
organisasi
mempunyai sejumlah karaktristik penting. Beberapa
karakteristik penting tersebut adalah sebagai berikut:
1. Observed behavioral regulities. Pada saat para anggota
organisasi berinteraksi antara yang satu dengan yang lain,
dipastikan mempergunakan bahasa, terminologi yang
umum, dan ritual-ritual yang berhubungan dengan
penghormatan.
2. Norms. Standar-standar perilaku yang ada, meliputi
petunjuk seberapa banyak pekerjaan dikerjakan.
3. Dominant values. Ada beberapa nilai dominan di mana
organisasi ingin agar para karyawan memilikinya.
4. Philosophy. Beberapa filosofi organisasi mengenai
bagaimana para karyawan dan atau konsumen dihormati.
5. Rules. Ada beberapa aturan yang harus dipenuhi para
anggota organiasi selama berada dalam organisasi.
6. Organizational culture. Ini mengandung makna bahwa
budaya organisasi memberikan pedoman bertingkah (aku
karyawan, dan bagaimana para karyawan bertingkah-Iaku
menghadapi konsumen átau pihak luar.
105
Karakteristik di atas tidak bisa di pisah-pisah, masing-
masing tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling terkait dan
secara kolektif akan menunjukkan suatu budaya organisasi.
Sementara itu, bentuk-bentuk dan konsekuensi-
konsekuensi budaya organisasi digambarkan seperti dalam
Gambar 5.4.
Sumber: Robert Kreitner, Management Principles and Practices, 1995
Gambar 5.4 BENTUK DAN AKIBAT BUDAYA ORGANISASI
Perusahaan dengan budaya kuat merupakan
manajemen yang handal (Peter dan Waterman, 1982).
Budaya mempunyai dampak yang pervasif pada
organisasi karena budaya organisasi tidak hanya menetapkan
para pegawai yang relevan, konsumen, supplier, dan pesaing,
tetapi juga menetapkan bagaimana organisasi akan
berinteraksi dengan actor-aktor kunci organisasi.
Setiap organisasi mempunyai budaya, walaupun tidak
semua budaya organisasi tersebut mempunyai dampak yang
sama terhadap para karyawan dan pimpinan. Budaya kuat
106
berarti bahwa organisasi yang di dalamnya mempunyai nilai-
nilai kunci yang secara intensif dipegang teguh dan secara luas
dimiliki secara bersama-sama sehingga mempunyai pengaruh
yang Iebih besar terhadap para karyawan dan pada organisasi
dengan budaya yang Iemah. Lebih banyak para karyawan
menerima nilai-nilai kunci organisasi dan Iebih besar komitmen
para karyawan pada nilai-nilai tersebut, maka budaya
organisasi menjadi lebih kuat (Robbins dan Coulter, 1999:82).
Pengukuran budaya organisasi menurut Deshpande, et
al. (1993) adalah ‗...the labels competitive, innovative,
bureaucratic, and community culture‘.
Sementara itu, Denison dan Mishra (1995)
mengemukakan bahwa terdapat empat dimensi pengukuran
budaya, yaitu involvement, consistency, adaptability, and sense
of mission. Involvement dan adaptability merupakan indikator
fleksibilitas, keterbukaan, dan responsibilitas, sehingga menjadi
pemrediksi yang kuat terhadap pertumbuhan. Dua Girl budaya
yang lain, consistency dan mission merupakan indikator
integrasi, arah dan vlsi, sehingga menjadi pemrediksi
profitabilitas yang Iebih baik. Input dan kolaborasi menjadi item
dan involvement, agreement, dan predictability menjadi item
consistency, change dan responsiveness menjadi item
adaptability, dan direction dan vision menjadi item mission
(Gambar 5.5).
107
Sumber: Denison and Mishra, Toward a Theory of
Organizational Culture and Effectiveness, 1995.
Gambar 5.5 MODEL TEORITIS SIFAT BUDAYA
Sarros, et al., (2002) telah melakukan pengukuran
terhadap budaya organisasi terkait dengan perilaku
kepemimpinan dengan mempergunakan OCP. OCP
(Organizational Culture Profile) merupakan dimensi-dimensi
terukur dan budaya organisasi, dikembangkan oleh O‟Reilly, et
al. (1991) dan telah diadakan perbaikan. Ada delapan (8)
dimensi budaya organisasi yaitu:
1. innovation,
2. attention to detail,
3. outcomes orientation,
4. aggressiveness,
5. supportiveness,
6. emphasis on rewards,
7. team orientation, and
8. decisiveness
108
Selanjutnya, kedelapan dimensi tersebut dikaji ulang dan
terangkum dalam tujuh (7) karakteristik utama dan budaya
organisasi, yaitu:
1. Inovasi dan pengambilan risiko. Ini menunjukkan sejauh
mana para karyawan didorong untuk melakukan tindakan
inovatif dan mengambil risiko.
2. Perhatian ke rincian. Ini menunjukkan sejauh mana para
kanyawi diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan),
analisis, dan perhatian pada rincian.
3. Orientasi hasil. Ini menunjukkan sejauh mana manajemen
memusatkan perhatian pada hasil dan bukan pada teknik
dan proses yang dipergunakan untuk mencapai hasil
tersebut.
4. Orientasi orang. Ini, menunjukkan sejauh mana keputusan
manajemen memperhitungkan hasil-hasil pada orang-orang
di dalam organisasi yang bersangkutan.
5. Orientasi tim. Ini menunjukkan sejauh mana kegiatan kerja
diorganisasikan di antara tim, bukan pada individu-individu.
6. Keagresifan. Ini menunjukkan sejauh mana para karyawan
agresif dan kompetitif, bukan santai.
7. Kemantapan. ini menunjukkan sejauh mana kegiatan
organisasi menekankan pada dipertahankannya status quo
dan pada pertumbuhan.
Gordon dan Cummins (1979) yang juga kajian Betts dan
Haithill (1985) serta kajian Glaser, et al. (1987)
109
mengatakan bahwa terdapat sepuluh sifat budaya organisasi,
yaitu:
1. Individual Initiative, menunjukkan tingkatan
pertanggujawaban, kebebasan, dan ketergantungan yang
dimiliki individu.
2. Risk Tolerance, menunjukkan tingkatan aggresifitas, inovasi,
dan risk-seeking individu.
3. Direction, menunjukkan tingkatan di mana organisasi
mampu menciptakan tujuan yang jelas dan harapan kinerja.
4. Integration, menunjukkan tingkatan di mana unit-unit dalam
organisasi melaksanakan tugas secara terkoordinasi.
5. Management Support, menunjukkan tingkatan dimana para
manajer mampu menyediakan komunikasi yang jelas,
asistensi, dan dukungan pada bawahannya.
6. Control, berupa peraturan-peraturan, dan sejuiniah supervisi
langsung yang digunakan untuk mengamati dan mengontrol
perilaku individu.
7. Identity, menunjukkan tingkatan di mana para karyawan
mengidentifikasi dengan organisasi secara keseluruhan.
8. Reward System, menunjukkan tingkatan pengalokasian
reward.
9. Conflict Tolerance, menunjukkan tingkatan di mana
karyawan didorong untuk kritis.
10. Communication Patterns, menunjukkan tingkatan
komunikasi organisasional yang dibatasi oleh hirarki formal.
110
Budaya dalam suatu organisasi ditinjau dan
kepemimpinan merupakan kepercayaan yang meliputi upaya
bagaimana tugas dilaksanakan dan bagaimana karyawan
berperilaku baik dan menyenangkan. Untuk itu pimpinan
mempunyai peluang yang lebih besar untuk turut menciptakan
budaya. Dengan demikian, maka hal yang paling penting bagi
para manajer atau pemimpin organisasi adalah menciptakan
dan memelihara suatu budaya organisasi yang kuat.
Melalui uraian sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa
indikator-indikator budaya organisasi seharusnya mendukung
terciptanya kondisi pertumbuhan dan lebih menguntungkan
organisasi. Ini berarti terdapat peningkatan prestasi kerja
(kinerja). Dengan kata lain, kinerja karyawan menjadi lebih baik
melalui pemahaman dan penerapan budaya organisasi.
Karakteristik atau dimensi-dimensi budaya organisasi yang
telah diuraikan di atas dijadikan indikator-indikator budaya
organisasi, dipandang telah memenuhi kelengkapan penelitian
ini.
111
BAB 6
TIMBULNYA BUDAYA ORGANISASI
Budaya organisasi atau kultur organisasi tidak muncul
dengan sendirinya pada kalangan anggota organisasi, metapi
perlu dibentuk dan dipelajari, disosialisasikan serta
diperlahankan. Budaya organisasi merupakan sekumpulan
nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma dikombinasikan dengan
gaya kepemimpinan dan top manajemen, maka membentuk
budaya organisasi yang harus dipelajari dan harus dimiliki
hersarna oleh anggota organisasi, perlu diwariskan dan
generasi ke generasi berikutnya, maka sangat penting
peranannya. Pembentukannya adalah hasil interaksi antara
anggota organisasi yang berinteraksi ke dalam strukiur
organisasi dan kedalam sistem yang ada dalam organisasi.
Semakin kompleksnya lingkungan, maka perlu
penyesuaian pada organisasi dengan upaya memperlebar
rentang kendali, menciptakan struktur yang datar dengan
membentuk dan mengembangkan budaya organisasi yang
berkarakteristik yang lebih dinamis, sehingga budaya organ
isasi dapat mendorong terciptanya jati diri, mengembangkan
keikatan pribadi, menyajikan pedoman sikap dan perilaku kerja
karyawan, mengurangi formalisasi dan penciptaan iklim kerja
yang kondusif, maka peranan budaya organisai sangat
mendukung terciptanya suatu organisasi yang efektif.
112
Pembentukan budaya menurut Harvey (1996:353)
terlihat dalam gambar dibawah ini:
Sumber: Human Resource Management, 1996, Harvey D and
Bruce Bowin R, Prestice Hall international, Inc, USA: 353.
Gambar 6.1 CULTURE FORMATION
Di dalam setiap organisasi lazimnya telah tumbuh dan
generasi awal suatu budaya organisasi, baik yang pada
awalnya ditetapkan oleh pendiri dan dirumuskan oleh
manajemen, maupun tercipta dengan sendirinya, karena hasil
interaksi dan iklim perusahaan.
Secara umum budaya organisasi tumbuh secara
sukarela dan diterapkan sepenuh hati oleh anggota organisasi
mulai dari jajaran pimpinan sampai dengan segenap karyawan,
atau antara karyawan saling mematuhi penerapannya dan
dimasyarakatkan, agar tercipta suasana kerja yang diwarnai
113
oleh saling menghargai terhadap perilaku kerjasama dalam
organisasi. Budaya organisasi menggambarkan pola yang
komplek dan nilai-nilai, kepercayaan dan harapan yang dianut
oleh sesama anggota organisasi dan gaya kepemimpinan
(managernen style) yang mampu menopang strategi
perusahaan dan rnenamin kelangsungan hidup organisasi
dalam gejolak perubahan organisasi yang disehahkan oleh
pengaruh faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal
organisasi.
Menurut Harvey et al. (1996:354), budaya organisasi
cenderung membawa kesuksesan dengan cara sebagai
berikut:
1. Budaya organisasi memberikan manfaat pada anggota
organisasi tentang bagaimana harus bersikap dan
berprilaku.
2. Bagaimana harus beraktivitas dan dimana menentukan
prioritas kerja.
3. Budaya organisasi menuntun dan meniadi pedoman
anggota organisasi dalam mengisi kekosongan antara
ketentuan formal yang dihadapi versus kenyataan yang
harus dilaksanakan dalam bekerja.
Kesimpulannya, budaya organisasi berperan sangat
dinamis dalam mengaplikasikan strateg perusahaan.
Sebaliknya budaya organisasi, tidak akan berfungsi sebagai
pengikat antara pr1oadi, dan antara karvawan dengan
perusahaan, apabila ragam unsur budaya organisasi yang
114
dianut, ebth menekankan dan berdasarkan pada rasa takut
ataupun dipaksakan. Perlu sekali penerapan budaya organisasi
yang berfungsi sebagai unsur yang dapat mempengaruhi
efektivitas organisasi dan dapat mencapai kepuasan karyawan
sehingga merangsang motivasi karyawan untuk bekerja efektif.
Pada aplikasi budaya organisasi haru dan hasil survei
pendahuluan dapat dijabarkan kepada 7 butir karakteristik yang
aplikasinva pada sikap dan perilaku jajaran manajer menengah
serta dilengkapi dengan kebijakan pihak perusahaan untuk
mendorong terciptanya aplikasi budaya organisasi baru secara
efektif. Karekteristik budaya organisasi diuraikan sebagai
berikut: 1. Profesionalisme, 2. Orientasi pekerjaan, 3. Aspek
kompetisi, 4. Dinamika tim kerja, 5. Dinamika kompensasi, 6.
Dinamika peluang karir, 7. Dinamika kebijakan perusahaan.
Flarvey et al, 1996:334, menyatakan karakteristik budaya
organisasi sebagai berikut:
1. Individual Autonomy, menekankan pada tingkat tanggung
jawab, kemerdekaan dan kesempatan untuk meningkatkan
inisatif dan anggota organisasi
2. Structure, menekankan pada tingkat berlakunya aturan-
aturan dan peraturan-peraturan (The degre of rules and
regulations) dan tingkat pelaksanaan supervisi secara
langsung kepada sikap dan prilaku anggota organisasi.
3. Performance Insentive, menekankan pemberian insentif
pada konfensasi anggota organisasi seperti kenaikan gaji,
kenaikan pangkat.
115
4. Risk Behavior, menekankan pada tingkat kemauan
menanggung resiko untuk pengembangan agresifitas,
inovasi dan kesediaan menanggung resiko.
Budaya organisasi yang terbentuk banyakditentukan
oleh beberapa unsur, yaitu (Atmosoeprapto, 2000:72):
1. Lingkungan usaha
Lingkungan organisasi itu beroperasi akan menentukan apa
yang harus dikerjakan oleh organisasi tersebut untuk
mencapai keberhasilan.
2. Nilai-nilai
Nilai-nilai merupakan konsep dasar dan keyakinan dan
suatu organisasi.
3. Panutan dan keteladanan
Orang-orang menjadi panutan atau teladan karyawan
Iainnya karena keberhasilannya.
4. Upacara-upacara
Acara-acara rutin yang diselenggarakan oleh perusahaan
dalam rangka memberikan penghargaan pada
karyawannya.
5. Jaringan
Jaringan komunikasi informal didalam organisasi yang dapat
menjadi saran penyebaran nilai-nilai dari budaya organisasi.
Pada satu pihak, budaya bermuatan nilai dasar yang
mengaktualisasikan din dalam wujud raga (memperagakan diri)
melalui perilaku dengan cara tertentu, dan di pihak lain budaya
terbentuk (nilai membudayakan dirinya) melalui raga yang
116
dilakonkan dengan cara tertentu pula. Hubungan antara kedua
hal tersebut dapat digambarkan (Ndraha, 2003: 47-48) sebagai
berikut:
Sumber: Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi, 2003, 48
Gambar 6.2 AKTUALISASI DAN TERBENTUKNYA BUDAYA
Para pendiri suatu organisasi secara tradisional
mempunyai dampak utama pada budaya dini organisasi
tersebut. Sebagai pembentuk awal budaya organisasi, maka
para pendiri mempunyai suatu visi mengenai bagaimana
seharusnya organisasi itu. Ukuran kecil yang lazimnya
mencirikan organisasi baru, akan mempermudah pendiri untuk
menerapkan dan menanamkan visinya kepada semua anggota
organisasi. Dengan demikian budaya organisasi diturunkan dan
filosofi pendirinya. Selanjutnya budaya organisasi ini akan
sangat mempengaruhi kriteria yang dipergunakan dalam
mempekerjakan karyawan. Atau dengan kata lain, tindakan dan
manajemen puncak akan menentukan iklim umum dan perilaku
117
yang dapat denma atau yang tidak (seperti Gambar 6.3.
berikut).
Sebagai contoh, budaya Microssoft sebagian besar
merupakan suatu renungan dan salah seorang pendiri dan
direktur utamanya dewasa ini, Bill Gates. Secara pribadi, Gates
adalah seorang yang agresif, kompetitif, dan sangat disiplin.
Hal itu merupakan karakteristik yang sama, yang sering
dipergunakan untuk mendeskripsikan raksasa perangkat lunak
yang dipimpinannya (Robbins, 2002: 255).
Sumber: Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi, 2002, 262.
Gambar 6.3 TERBENTUKNYA BUDAYA ORGANISASI
Setidaknya terdapat tujuh (7) faktor yang membentuk
budaya organisasi, sekalipun setiap organisasi dapat
mengumpulkan beberapa untuk mengembangkan suatu
budaya yang unik. Faktor-faktor tersebut dalam Gambar 6.3.
berikut.
118
Sumber: Plunkett and Attner, Introduction to Management, 1994, 266.
Gambar 6.3 FAKTOR-FAkTOR YANG MEMBENTUK BUDAYA
ORGANISASI
Gambar di atas sebagai suatu perbandingan, walaupun
setiap organisasi memiliki unsur-unsur budayanya yang unik,
maka setidaknya factor tersebut adalah faktor-faktor yang
membentuknya yaitu:
• Key organizational pmcesses (proses organisasi kunci),
merupakan pimpinan berkomunikasi dengan para karyawan,
mengambil keputusan, dan menstruktur tugas. Proses ini
mempengaruhi dipengaruhi enam faktor yang lain.
• Employees and other tangible assets (sumber daya
organisasi), merupakan semua sumber daya atau asset
organisasi secara kualitas maupun kuantitas akan
mempengaruhi budaya organisasi.
119
• Formal organizational arrangements (susunan organisasi
formal), menggambarkan bagaimana tugas dan individu-
individu dalam organisasi diorganisir, meliputi struktur
organisas, prosedur dan aturan yang berlaku.
• The dominant coalition (koalisi dominan), memberikan
makna bahwa budaya organisasi sangat dipegaruhi oleh
tujuan, strategi, ciri-ciri pribadi dan hubungan para pemimpin
selaku yang membentuk koalisi dominan.
• The social system (sistem sosial), merupakan suatu sistem
yang banyak memberikan kontribusi norma dan nilai-nilai
terhadap budaya organisasi.
• Technology, menunjukkan bahwa budaya organisasi
dipengaruhi oleh proses-proses dan teknologi yang d
ipergunakan.
• The external environment (lingkungan), merupakan unsur-
unsur di luar organisasi yang mempengaruhi tujuan, sumber
daya, dan proses organisasi. Ini meliputi supplier, pasar,
pesaing, peraturan pemerintah dan lain-lain.
120
BAB 7
FUNGSI BUDAYA ORGANISASI
Dalam suatu organisasi atau perusahaan diperlukan
suatu acuan baku sehingga sumber daya manusia dapat
diberdayakan secara optimal, artinya agar karyawan dapat
berfungsi secara profesional dengan integritas yang tinggi.
Acuan baku tadi dapat dimanifestasikan dalam bentuk budaya
perusahaan yang secara sistematis menuntun para karyawan
untuk meningkatkan komitmen kerjanya bagi perusahaan dan
pada akhirnya akan meningkatkan kinerja perusahaan.
Memang ada beberapa faktor yang menentukan perilaku
manajemen sebuah perusahaan, namun dalam studinya, Kotter
dan Heskett (1997:17) menempatkan budaya organisasi
sebagai faktor utama yang mengkondisikan faktor-faktor
lainnya, sehingga secara realitas dapat dikatakan bahwa
budaya organisasi memiliki keterkaitan yang erat terhadap
keberhasilan suatu organisasi Harvey dan Bowin (1996) dalam
bukunya mengungkapkan bahwa semakin jelas terbukti bahwa
hanya perusahaan-perusahaan dengan budaya perusahaan
efektif yang dapat menciptakan peningkatan produktivitas,
meningkatkan rasa ikut memiliki dan karyawan, dan pada
akhirnya meningkatkan keuntungan perusahaan.
Lebih jauh Robbins (2001:801) memerinci fungsi budaya
organisasi sebagai berikut: Pertama, budaya mempunyai suatu
121
peran pembeda. Hal itu berarti bahwa budaya organisasi
menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi
dengan yang lain. Kedua, budaya organisasi membayar suatu
rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya
organisasi mempermudah timbul pertumbuhan komitmen pada
sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual.
Keempat, budaya organisasi itu meningkatkan kemantapan
sistem sosial.
Dalam hubungannya dengan segi sosial, budaya
berfungsi sebagai perekat sosial yang membentuk
mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-
standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan
dilakukan oleh para karyawan.
Sementara itu Susarito (1997:19-20) mercoba
mengungkapkan dua sisi manfaat yang diperoleh apabila
budaya perusahaan dipahami oleh seluruh lapisan sumber
daya manusia dan bagi perusahaan. Manfaat bagi sumber daya
manusia adalah sebagai berikut: 1. Sebagai pedoman
berperilaku di dalam perusahaan. Dalam hat ini sumber daya
manusia tidak dapat semena-mena bertindak atau berperilaku
sekehendak hati, melainkan harus menyesuaikan din dengan
siapa dan di mana mereka berada, 2. Adanya kesamaan
langkah dan visi di dalam melakukan tugas dan tanggung
jawab, masing-masing individu dapat meningkatkan fungsinya
dan mengembangkan tingkat interdependensi antar individu
atau bagian karena individu atau bagian yang lain sating
122
melengkapi dalam kegiatan usaha perusahaan, 3. Memberikan
dorongan kepada sumber daya manusia untuk mencapai
prestasi kerja atau produktivitas yang Iebih baik. Hal ini dapat
dicapai apabila proses sosialisasi dapat dijalankan dengan
tepat kepada sasarannya, 4. Mengetahui secara pasti tentang
kanirnya di perusahaan sehingga mendorong mereka untuk
konsisten dengan tugas dan tanggung jawab.
Sedangkan manfaat yang diperoleh perusahaan antara
lain sebagai berikut: 1. Merupakan salah satu unsur yang dapat
menekan tingkat perputaran (turn over) karyawan. Ini dapat
dicapai karena budaya perusahaan mendorong sumber daya
manusia memutuskan untuk tetap berkembang bersama
perusahaan, 2. Sebagai pedoman di dalam menentukan
kebijakan yang berkenaan dengan ruang lingkup kegiatan
intern perusahaan seperti tata tertib administrasi, hubungan
antar bagian, penghargaan prestasi sumber daya manusia,
penilaian kerja dan lain-lain, 3. Untuk menunjukkan pada pihak
eksternal tentang keberadaan perusahaan dan ciri khas yang
dimiliki, di tengah-tengah perusahaan yang ada di masyarakat,
4. Merupakan acuan dalam penyusunan perencanaan
perusahaan (corporate planning) yang meliputi pembentukan
perencanaan pemasaran (marketing planning), penentuan
segmentasi pasar yang akan dikuasai, dan penentuan posisi
(positioning) perusahaan yang akan dikuasai, dan 5. Bisa
membuat program-program pengembangan usaha dan
123
pengembangan sumber daya manusia dengan dukungan
penuh dan seluruh jajaran sumber daya manusia yang ada.
Menurut Robbin (1996:294) budaya melakukan sejumlah
fungsi dalam organisasi.
1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas
artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara
satu organisasi dengan organisasi lain.
2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-
anggota organisasinya.
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu
yang lebih luas dan pada kepentingan diri individual
seseorang.
4. Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial.
Budaya merupakan perekat sosial yang membantu
mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standart
yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan
oleh karyawan.
5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendall
yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku
karyawan.
Kottler, Heshet (1992:12) dari hasil studinya
menunjukkan fungsi budaya dalam perusahaan yang secara
garis besar adalah sebagai berikut:
1. Budaya perusahaan dapat mempunyai dampak yang berarti
terhadap kinerja ekonomi jangka panjang. Penulis
menemukan bahwa perusahaan dengan budaya yang
124
rnementingkan setiap komponen utama managerial
(pelanggan, pemegang saham, karyawan) dan
kepemimpinan managerial pada setiap tingkat, berkinerja
melebihi perusahaan yang tidak memiliki ciri budaya
tersebut dengan perbedaan yang sangat besar.
2. Budaya perusahaan mungkin akan menjadi suatu faktor
bahkan Iebih penting lagi dalam menentukan keberhasilan
atau kegagalan perusahaan dalam dasawarsa yang akan
datang. Budaya yang memerosotkan kinerja mengakibatkan
dampak keuangan negatif dengan berbagal alasan utama
adalah kecenderungan menghambat perusahaan dalam
menerima perubahan taktik dan strategi yang dibutuhkan.
Dalam suatu dunia yang semakin cepat berubah dapat
diramalkan bahwa budaya yang tidak adaptif akan semakin
membawa dampak keuangan negatif dalam dasa warsa
mendatang.
3. Budaya perusahaan yang menghambat kinerja keuangan
jangka panjang cukup banyak, budaya tersebut mudah
berkembang, bahkan dalam perusahaan yang penuh
dengan orang pandas dan berakal sehat. Budaya yang
mendorong perilaku yang tidak dapat dan menghambat
perubahan ke arah strategi yang Iebih tepat, cenderung
muncul perlahan dan tanpa disadari dalam waktu bertahun-
tahun. Biasanya suatu perusahaan berkinerja baik.
4. Walaupun sulit untuk timbul budaya perusahaan dapat
dibuat agar bersifat Iebih meningkatkan kinerja. Perubahan
125
semacam ini memang rumit, membutuhkan waktu dan
menuntut kepemimpinan yang sedikit berbeda walaupun
dibandingkan dengan manajemen yang unggul.
Kepemimpinan harus dipandu oleh suatu visi yang realistis
terhadap jenis budaya yang meningkatkan kinerja.
Budaya organisasi yang kuat akan mempengaruhi
perilaku karyawan sehingga lebih tinggi komitmennya pada
organisasi. Menjadi suatu faktor atau kenyataan bahwa budaya
organisasi akan terkait dengan kinerja organisai. Peranan
budaya organisasi mendorong tercapainya tujuan organisasi
dan berkemampuan mern uaskan kehutuhan anggota organi
sasi sehingga tercapai efektivitas organisasi. Sekaligus budaya
organisasi dapat mempengaruhi bagaimana manajer dan
anggota organisasi mampu dalam upaya pemecahan masalah,
bagairnana menservis dan memotivasi langganan dan mampu
bereaksi terhadap saingannya dan melakukan aktivitas yang
efektif. Maka dapat disimpulkan budaya organisasi sangat kritis
dan dinamis dalam mengendalikan implementasi strategi
perusahaan. Walaupun belum terbukti bahwa budaya
organisasi yang terbaik akan sesuai atau arna untuk semua
jenis organisasi atau untuk semua karyawan maupun
masyarakat.
Heliriegel et al. (1998:311) mengelompokkan fungsi
budaya organisasi ke dalam empat kunci pokok:
1. Dengan mengetahui dan mernahami budaya organisasi,
para karyawan mengetahui mengenai: “Sejarah
126
Perusahaan” dan pengembangan perusahaan pada “masa
sekarang”. Maka informasi tersebut akan merupakan
pedoman terhadap harapan hagi perilaku karyawan untuk
masamasa mendatang yang disebarluaskan melalui cerita,
ritual, simbol malenal dan bahasa.
2. Budaya organisasi akan membantu menciptakan dan
memperkuat kornitmen kepada falsafah dan nilai-nilai serta
norma-norma inti organisasi. Hal tersebut mendorong
partisipasi karyawan agar bersedia bekerja mencapai tujuan
organisasi (boosted camaraderie and increased employee‗s
sense of ownership).
3. Budaya organisasi dengan norma-normanya akan menjadi
mekanisme (alat) pengawasan terhadap arus perilaku
karyawan rnengenai perilaku yang disukai dan menghindari
perilaku yang tidak disukai.
4. Berbagai aspek dan budaya organisasi akan berkaitan
dengan peningkatan produktivitas dan efektivitas.
Menurut Gibson (1992:43) bahwa fungsi-fungsi
manajerial berinteraksi dengan karakteristik perilaku
keorganisasian, yaitu perilaku, struktural, dan proses organisasi
yang menciptakan budaya organisasi yang kuat, selanjutnya
mewujudkan nilai-nilai keyakinan dan norma-norma yang akan
mempengaruhi perilaku individu dan kelompok. Peran atau
fungsi budaya organisasi ditampilkan apabila diterapkan atau
dtinteraksikan kepada lingkungan yang lebih luas dimana
organisasi berada. Misalnya beraplikasi dengan norma-norma
127
sosial, pendidikan yang dicapai, kepuasan, perkembangan,
adaptasi, kelangsungan hidup, aliran politik, dan sejarah
nasonal. Maka merupakan tantangan bagi manajerial untuk
mengaplikasikan budaya organisasi ke arah yang dapat
mendorong lebih konsisten agar dapat menimbulkan efektifitas
organisasi, seperti terlihat pada Gambar 7.1.
Sumber: Gibson et al. (1992:43)
Gambar 7.1 BUDAYA ORGANISASI DAN EFEKTIVITAS ORGANISASI
Robbins (1996:294) menyatakan bahwa buda a
organisasi dengan didukung oleh karakteristiknya sebagai
faktor objektif yang cenderung kuat, maka aplikasinya akan
berdampak positif dan peningkatan kineria, kepuasan karyawan
dan secara keseluruhan meningkatkan efektivitas organisasi.
Budaya organisasi melakukan sejumlah fungsi dalam suatu
organisasi dengan didukung oleh karakteristik sebagai faktor
objektif yang cendertmg kuat, maka aplikasinya akan
berdampak positif pada peningkatan kinerja perusahaan dan
kepuasan karyawan. Secara kesciuruhan akan rneningkatkan
128
efektivitas organisasi dengan meakukan fungsinya dalam
organisasi antara lain:
a. Mempunyai peran atau fungsi menetapkan tapal batas yang
menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi
dengan organisasi lainnya.
b. Budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi para
anggota organisasi atau jati diri.
c. Budaya organisasi rnemperrnudah komitmen bagi suatu yang
lebih luas dibanding kepentingan individu.
d. Budaya organisasi meningkatkan kemantapan sistem sosial
atau sebagai perekat sosial yang membantu
mempersatukan organisasi dengan memberikan standard-
standard yang tepat untuk cara berkomunikasi dan
beraktivitas hagi para karyawan.
Maka jelaslah budaya organisasi berfungsi sebagai
mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan
membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
Schein (1992:22) menyatakan bahwa sebagai kumpulan
asumsi-asumsi mendasar, budaya organisasi berfungsi untuk
memberikan arah bagi anggota organisasi tentang apa yang
harus diperhatikan makna dari segala sesuatu yang harus
dicapai, bagaimana seharusnya reaksi dan tindakan yang
diambil dalam situasi-situasi tertentu. Artinya budaya organisasi
sebagai pedoman pokok bagi para anggota organisasi dalam
pelaksanaan tugas-tugas dari organisasi.
129
Robbins (1996:294) menambahkan bahwa budaya
organisasi mempunyai fungsi utama sebagai berikut :
1. Memberikan rasa identitas kepada karyawan.
2. Memberikan perbedaan dengan jelas karyawan di
organisasi lain.
3. Mempermudah timbulnya komitmen pada suatu kepentingan
yang lebih luas daripada kepentingan individu sebagai
akibat dari budaya organisasi yang tumbuh secara kondusif.
4. Meningkatkan kemantapan sistem sosial dalam organisasi.
5. Merupakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang
memandu dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Budaya organisasi dapat membantu karyawan sebagai
anggota organisasi untuk memberikan batasan-batasan dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Budaya
organisasi membantu anggota organisasi dalam mengkonsep,
menjelaskan, menganalisis, serta menyusun pemecahan
masalah-masalah organisasi yang mereka hadapi.
Budaya organisasi memberikan kontribusi kepada
kesuksesan organisasi melalui kemampuannya dalam
memberikan rasa aman kepada anggotanya serta menjadi
sumber penting bagi stabilitas dan kontinuitas organisasi.
Budaya organisasi mampu memberikan identitas bagi anggota
organisasi, bahkan dapat menjadi pendorong semangat
anggota organisasi untuk menyelesaikan tugas dan
pekerjaannya.
130
Davis dan Newstrom (1993:58-59) menyatakan budaya
organisasi juga dapat memberikan gambaran suasana atau
keadaan yang terlihat sulit atau membingungkan bagi anggota-
anggota baru organisasi. Artinya budaya organisasi dapat
memberikan gambaran tentang suasana/situasi/kondisi
organisasi bagi para anggota organisasi yang hal ini masih sulit
untuk dipahami oleh para anggota-anggota organisasi yang
masih baru.
Susanto (1997:19-20) menerangkan manfaat yang dapat
diperoleh bila budaya organisasi dipahami oleh seluruh lapisan
sumberdaya manusia yang ada didalam organisasi yang
meliputi manfaat bagi sumberdaya manusia maupun bagi
organisasi. Artinya budaya organisasi berguna, baik bagi
individu sebagai anggota organisasi maupun organisasi itu
sendiri dalam pencapaian tujuannya.
Manfaat budaya organisasi bagi sumberdaya manusia
adalah (Susanto 1997:19) :
1. Memberikan arah atau pedoman berperilaku didalam
organisasi. Dalam hal ini sumberdaya manusia tidak dapat
semena-mena bertindak atau berperilaku sekehendak hati,
melainkan harus menyesuaikan diri dengan siapa dan
dimana mereka berada.
2. Mempunyai kesamaan langkah dan visi didalam melakukan
tugas dan tanggung jawab, masing-masing individu dapat
meningkatkan fungsinya dan mengembangkan tingkat
interdependensi antar individu atau bagian karena antar
131
individu atau bagian yang lain saling melengkapi dalam
kegiatan usaha perusahaan.
3. Mendorong sumberdaya manusia selalu mencapai prestasi
kerja atau produktivitas yang lebih baik. Hal ini dapat dicapai
apabila proses sosialisasi dapat dijalankan dengan tepat
kepada sasarannya.
4. Mengetahui secara pasti tentang karirnya di organisasi
sehingga mendorong mereka untuk konsisten dengan tugas
dan tanggung jawab.
Manfaat budaya organisasi bagi perusahaan adalah
(Susanto, 1997:20):
1. Sebagai salah satu unsur yang dapat menekan tingkat
perpindahan karyawan. Ini dapat dicapai karena
perusahaan mendorong sumberdaya manusia memutuskan
untuk tetap berkembang bersama perusahaan.
2. Sebagai pedoman didalam menentukan kebijakan yang
berkenaan dengan ruang lingkup kegiatan internal
perusahaan seperti tata tertib administrasi, hubungan antara
bagian, penghargaan prestasi sumber daya manusia,
penilaian kerja dan lain-lain.
3. Untuk menunjukkan pada pihak eksternal perusahaan
tentang keberadaan perusahaan dari ciri khas yang dimiliki,
di tengah-tengah perusahaan yang ada di masyarakat.
4. Sebagai acuan dalam penyusunan perencanaan
perusahaan (corporate planning) yang meliputi
pembentukan perencanaan pemasaran (marketing
132
planning), penentuan segmentasi pasar yang akan dikuasai
dan penentuan posisi (positioning) perusahaan yang akan
dikuasai.
5. Dapat membuat program-program pengembangan usaha
dan pengembangan sumberdaya manusia dengan
dukungan penuh dari seluruh jajaran sumberdaya manusia
yang ada.
Baik Susanto (1997:16-17) maupun Schein (1992:9)
sepakat bahwa memahami dan mengelola budaya organisasi
tidak hanya ditujukan untuk mencari penjelasan tentang
fenomena keberhasilan organisasi, melainkan juga dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan organisasi menjadi lebih
efektif. Artinya budaya organisasi merupakan sebuah
pernyataan tujuan manajemen dalam mencoba untuk
mempertajam perilaku anggotanya, sehingga mereka akan
lebih memegang komitmen terhadap tujuan organisasi.
Pengaruh Budaya Organisasi yang Kuat dan Budaya
Organisasi yang Lemah
Setiap organisasi mempunyai budaya organisasi yang
berlaku didalam organisasi tersebut, tetapi tidak semuanya
membawa pengaruh yang sesuai bagi anggota organisasi.
Budaya organisasi yang kuat membawa pengaruh yang
positif bagi karyawan dan organisasi, dimana anggota
organisasi memegang komitmen yang lebih besar pada nilai-
nilai yang ditetapkan oleh organisasi. Budaya yang kuat
133
dicirikan oleh nilai inti dari organisasi yang dianut dengan kuat,
diatur dengan baik dan dirasakan bersama secara luas. Makin
banyak anggota organisasi yang menerima nilai-nilai inti,
menyetujui jajaran tingkat kepentingannya dan merasa sangat
terikat kepadanya, maka makin kuat budaya tersebut (Robbins,
1996:483-485). Artinya semakin karyawan menerima nilai-nilai
utama perusahaan tersebut dan semakin besar keterlibatan
mereka dengan nilai-nilai itu, semakin kuatlah budaya tersebut.
Sebaliknya budaya yang lemah dalam organisasi, tidak
memberikan batasan-batasan yang jelas pada apa-apa yang
harus dikerjakan atau batasan mana yang baik atau tidak
seharusnya, sehingga pada organisasi dengan jenis budaya
yang demikian ini biasanya berpengaruh dalam menghasilkan
komitmen anggota organisasi yang cenderung rendah.
Sementara bagi organisasi, budaya yang kuat akan
membantu efektifitas dan kinerja organisasi. Budaya yang kuat
dalam organisasi akan menanamkan nilai-nilai dan doktrin
organisasi lebih kuat pada anggota organisasi. Budaya yang
kuat juga lebih berpotensi dibandingkan kontrol struktural
formal manapun karena budaya mengontrol pikiran, jiwa dan
jasmani. Makin kuat budaya suatu organisasi, makin kurang
manajemen itu perlu memperhatikan pengembangan aturan
dan pengaturan formal untuk memandu perilaku karyawan
ketika mereka menerima budaya organisasi itu (Tunggal,
2001:27). Artinya suatu budaya organisasi yang kuat akan
semakin memperingan organisasi dalam melakukan
134
pengarahan dan pengawasan terhadap individu-individu
anggota organisasi tersebut.
Dalam kenyataanya, salah satu kajian budaya organisasi
menemukan bahwa para karyawan di perusahaan-perusahaan
yang budayanya kuat lebih terlibat dengan perusahaan mereka
dari pada karyawan-karyawan di perusahaan-perusahaan yang
budayanya lemah. Perusahaan-perusahaan dengan budaya
kuat juga menggunakan usaha-usaha perekrutan dan praktek-
praktek sosialisasi mereka untuk membina keterlibatan
karyawan dan suatu kumpulan bukti yang makin banyak,
mengemukakan bahwa budaya kuat berkaitan dengan
komitmen yang dari komitmen itu menuntut adanya penerapan
sehingga diperoleh kinerja organisasi yang tinggi (Tunggal,
2001:6). Berarti budaya yang kuat akan menghasilkan
komitmen yang kuat dari individu-individu anggota organisasi
untuk terciptanya kinerja organisasi yang optimal.
Luthans (1995:564) menerangkan bahwa terdapat dua
faktor utama yang menjelaskan kekuatan dari budaya
organisasi, yaitu :
1. Penyebaran (sharedness).
Mengacu pada pengertian derajat penyebaran nilai-nilai inti
yang dianut oleh anggota organisasi. Kekuatan dari aspek
ini sendiri dipengaruhi oleh dua faktor utama dalam
prosesnya, yaitu orientasi dan balas jasa (reward) yang
diberikan oleh pihak manajemen pada anggota organisasi
dalam memahami nilai-nilai inti dari organisasi. Semakin
135
baik orientasi dan balas jasa yang diberikan sehubungan
dengan pemahaman nilai-nilai tersebut maka semakin kuat
derajat penyebaran dari budaya organisasi.
2. Intensitas (intensity).
Mengacu pada derajat komitmen dari anggota organisasi
pada nilai-nilai inti. Tingkat kekuatan dari aspek ini juga
dinilai dari hasil struktur balas jasa yang diberikan pada
anggota organisasi.
Du Brin (1993:574) mengemukakan bahwa budaya yang
kuat dalam organisasi akan membawa dampak yang
berpengaruh pada perilaku karyawan. Artinya anggota dari
organisasi yang memiliki budaya yang kuat akan dengan
mudah mengikuti nilai-nilai yang berkembang didalam
organisasi. Sebaliknya budaya yang lemah hanya akan menjadi
sebuah petunjuk kerja bagi karyawan. Berikut dijelaskan
konsekuensi yang dapat dicapai dari penerapan budaya yang
kuat dalam organisasi.
1. Keuntungan kompetitif dan keberhasilan financial
(competitive advantage and financial success).
Penerapan budaya yang kuat dapat memberikan kontribusi
terhadap pencapaian keunggulan kompetitif dan keunggulan
finansial organisasi. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa budaya organisasi yang bersifat partisipatif dapat
mendorong anggota organisasi dalam memilki hubungan
dengan pencapaian tujuan perusahaan, sehingga dapat
136
meningkatkan produktivitas (ROI dan tingkat penjualan)
secara signifikan.
2. Produktivitas dan moral (Productivity and morale).
Aplikasi dari budaya organisasi yang kuat dalam organisasi,
yaitu jenis budaya yang mampu menghargai martabat
karyawan berperan dalam mengembangkan moral dan
kepuasan kerja karyawan.
3. Kecocokan orang–organisasi (Person-organization fit).
Budaya organisasi yang kuat dan sesuai, menciptakan
karyawan profesional dengan tingkat komitmen dan
kepuasan kerja yang lebih tinggi.
4. Kecocokan dari penggabungan dan pengambilalihan
(Compatibility of mergers and acquisitions).
Dalam beberapa kasus merger, salah satu indikator
kesuksesan proses merger tersebut adalah keberhasilan
sosialisasi budaya yang dilakukan.
5. Pedoman untuk manajer–manajer tingkat atas (Guidance for
top level managers).
Budaya yang kuat dapat menjadi acuan bagi keseluruhan
anggota organisasi, baik dari top managers dan
keseluruhan level karyawan. Budaya yang baik adalah
budaya yang mampu menciptakan kesesuaian dan ideal
bagi keseluruhan organisasi.
Budaya Dominan dan Sub-Budaya
Tunggal (2001:24) menegaskan bahwa pengakuan
terhadap budaya organisasi yang mempunyai sifat-sifat
137
bersama bukan berarti tidak ada sub-budaya didalam setiap
budaya yang ada. Berarti kebanyakan organisasi besar
mempunyai suatu budaya yang dominan dan sejumlah sub-
budaya.
Suatu budaya dominan (dominant culture)
mengungkapkan nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh
mayoritas anggota organisasi itu. Bila membicarakan mengenai
budaya suatu organisasi, maka akan mengacu pada budaya
dominannya. Pandangan makro mengenai budaya inilah yang
memberi kepada organisasi itu kepribadian yang jelas
terbedakan.
Anak budaya (sub-kultur atau sub-culture) cenderung
berkembang dalam organisasi besar untuk mencerminkan
masalah, situasi, atau pengalaman bersama yang dihadapi oleh
para anggotanya. Sub-budaya ini ditentukan oleh rambu-rambu
departemen dan pemisahan geografis. Nilai inti pada
hakikatnya dipertahankan tetapi dimodifikasi untuk
mencerminkan situasi yang jelas terbedakan dari unit yang
terpisah itu.
Schein (1992:256-274) memberikan beberapa alasan
yang menjadi dasar penyebab terjadinya pembedaan sub-
budaya yang satu dengan sub-budaya yang lainnya atau
budaya dominan.
138
Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Pembedaan fungsional (functional differentiation).
Pembedaan fungsional muncul karena adanya komunitas
yang terkait dengan bidang pekerjaannya (occupational)
dan keberadaan teknologi sebagai dasar dari fungsi yang
bersangkutan. Misalnya seorang karyawan yang mengikuti
proses rotasi jabatan, dalam setiap posisi yang
ditempatinya, karyawan itu tidak hanya akan mempelajari
ketrampilan teknis dari jabatannya, melainkan juga
perspektif dan asumsi-asumsi yang mendasari proses dari
fungsi tersebut.
2. Pembedaan letak geografis (geographical differentiation).
Salah satu dasar yang paling kuat bagi terciptanya sub-
budaya adalah pembentukkan unit-unit kerja geografis.
Beberapa tujuan yang hendak dicapai dari pembentukkan
ini adalah dengan mendekati basis pelanggan, lokasi tenaga
kerja dan bahan baku yang lebih murah, serta permintaan
dari pelanggan lokal. Faktor pembeda geografis ini terjadi
suatu fenomena dimana masyarakat lokal mempengaruhi
sub-budaya yang terbentuk dalam unit kerja geografis.
3. Pembedaan akibat produk, pasar, atau teknologi
(differentation by product, market, or technology).
Seiring dengan perkembangan organisasi, maka organisasi
itu sering membedakan diri berdasarkan teknologi yang
digunakan, produk yang diciptakan dan jenis-jenis
pelanggan yang dituju.
139
4. Divisionalisasi (divisionalzation).
Seiring dengan perkembangan organisasi tersebut dalam
mewujudkan pasar yang berbeda, maka organisasi sering
melakukan divisionalisasi untuk mendesentralisasikan
sebagian besar fungsinya agar lebih terfokus pada produk
atau unit pasar. Keuntungan yang diperoleh adalah
menyatukan fungsi-fungsi yang mendekatkan dan
menciptakan lintas sub-budaya fungsional.
5. Pembedaan akibat adanya tingkat hirarki (differentation by
hierarchical level).
Organisasi yang berhasil dan sedang berkembang cepat
atau lambat akan menciptakan tingkat-tingkat hirarki agar
efektifitas tentang pengendalian tetap terjaga. Interaksi dan
proses berbagi pengalaman dari anggota masing-masing
tingkat menciptakan kesempatan munculnya asumsi-asumsi
dasar. Budaya yang tercipta pada tiap tingkat hirarki
umunya dipengaruhi oleh tugas-tugas yang kerjakan pada
tiap tingkat hirarki tersebut.
6. Merger dan akuisisi (mergers and acquisition).
Masalah mengenai budaya dominan dan sub-budaya
muncul ketika dua organisasi atau perusahaan melakukan
merger atau akuisisi. Pada proses merger, dua budaya yang
berbeda digabungkan tanpa harus memperlakukan salah
satunya sebagai budaya yang lebih dominan terhadap yang
lain. Pada proses akuisisi, perusahaan yang di akuisisi
secara otomatis menjadi sub-budaya. Masalah yang timbul
140
pada proses pencampuran budaya dalam konteks kedua
kasus tersebut adalah fakta bahwa unit-unit yang bergabung
tidak memiliki kesamaan perjalanan sejarah dan adanya
unit-unit yang merasa takut, terancam, marah, maupun
mempertahankan diri (deffensive).
7. Join ventura, aliansi strategis, dan bentuk-bentuk
penggabungan lainnya (joint ventures, strategic alliances,
and other multi organizational enterprises).
Masalah mengenai budaya makin tampak ketika organisasi
melakukan aktivitas-aktivitas seperti join ventura dan aliansi
strategis guna menyiasati ketatnya persaingan karena pada
proses tersebut terjadi penyatuan budaya yang berbeda.
Faktor penting yang mempengatuhi adalah kebijakan
organisasi dalam menangani masalah-masalah yang timbul
dikemudian hari.
8. Kelompok oposisi (structural opposition groups).
Dalam organisasi sering ditemui adanya kelompok-
kelompok yang menyatakan dirinya sebagai oposisi dari
kelompok lain dan dengan sengaja melakukan aktivitas
budaya-kontra (counter-cultural), namun tetap menghormati
keberadaan budaya dominan. Contoh yang paling umum
adalah keberadaan serikat pekerja yang menjadi oposisi
bagi manajemen. Sub-budaya yang berorientasi pada sifat
oposisi (opposition-oriented) juga bisa muncul dari filosofi
manajemen yang mendorong timbulnya persaingan internal
antara tiap anggota atau kelompok dalam suatu organisasi.
141
Pendapat-Pendapat mengenai Penelitian Budaya
Organisasi
Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi
keinginan banyak orang untuk mempelajari budaya organisasi.
Schein (1992:12-14) menerangkan empat alasan pokok yang
mendorong orang memahami budaya organisasi, yaitu:
1. Analisis budaya menerangkan dinamika sub-budaya dalam
organisasi (cultur analysis illuminates sub-cultural dynamics
within organization). Konsep budaya menjadi relevan bagi
analisis tingkat organisasional dan menambah pengertian
mengenai apa yang terjadi dalam organisasi ketika sub-sub
budaya berbeda dan kelompok-kelompok yang ada harus
bekerja bersama. Masalah-masalah yang muncul sering
diterjemahkan sebagai kegagalan komunikasi atau
kelemahan tim kerja. Kini pemahaman itu diperjelas menjadi
kegagalan dari komunikasi antar budaya.
2. Analisis budaya merupakan hal yang penting untuk
mengetahui teknologi baru yang mempengaruhi organisasi
(cultur analysis is necessary if we are to understand how
new technologies influence and are influenced by
organizations). Teknologi baru umumnya merupakan refleksi
dari budaya yang terkait dengan pekerjaan yang terbentuk
disekeliling konsep-konsep ilmiah atau industri yang baru
dan peralatan-peralatannya. Konsep baru ini akan menjadi
bagian dalam organisasi dan bagian luar organisasi seperti
para pemasok dan akademis.
142
3. Analisis budaya penting bagi manajemen organisasi yang
melampaui batas-batas negara dan budaya (cultural
analysis is necessary for management across national and
etnic boundaries). Konsep budaya menjadi relevan untuk
menganalisis segi antar negara dan lintas etnis dalam
bentuk joint venture, aliansi strategis, merger dan akuisisi.
Masalah yang kerap timbul adalah kesalahpengertian
budaya yang justru tidak pernah atau tidak sempat
didiskusikan. Kegagalan dari proses-proses join ventura dan
lain-lain dijelaskan dengan kegagalan untuk pengertian
sejauh mana kesalahpengertian budaya terjadi.
4. Proses pembelanjaan, pengembangan dan perencanaan
dalam organisasi tidak dapat dimengerti tanpa
memperhatikan budaya sebagai sumber utama perlawanan
terhadap Perubahan (organizational learning, development,
and planned change cannot be understood without
considering culture as a primary source of resistance to
change). Perlawanan terhadap proses pembelajaran dan
perubahan merupakan fenomena umum yang sering
dibicarakan namun jarang bisa dimengerti. Sebagian besar
perubahan dalam organisasi melibatkan perubahan budaya
dan bahkan perubahan pada sub-budaya. Jika Manajemen
mengerti kesulitan apa yang dihadapi orang-orang pada
tingkat sub-budaya ketika mereka harus mengubah
sebagian dari asumsi-asumsi mendasar, nilai-nilai dan
143
perilaku, maka manajemen akan lebih simpati pada
resistensi mereka dan akan lebih
realistis dalam mengelola perubahan.
Empat (4) fungsi budaya organisasi dikatakan oleh
Kreiner dan Kinichi (2001:72) sebagai berikut:
1. Membenkan suatu identitas pada anggota organisasi atau
karyawan.
2. Mempermudah timbulnya komitmen bersama
3. Meningkatkan kemantapan sistem sosial. Hal ini
menunjukkan bahwa budaya organisasi yang kuat akan
banyak membantu organisasi dalam menghadapi
perubahan yang terjadi dengan efektif, sehingga budaya
sekaligus berfungsi sebagai perekat sosial.
4. Membentuk perilaku melalui pembentukan persepsi dan
keyakinan bersama. Hal ini sangat penting dalam rangka
memberikan kontribusi yang berharga bagi efektifitas
pencapaian tujuan organisasi.
Ndraha (2003:45) mengatakan bahwa pada umumnya
fungsi budaya organisasi adalah sebagai berikut:
1. Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat. Identitas ini
terbentuk oleh berbagai faktor seperti sejarah, kondisi dan
sisi geografis, sistem-sistem sosial, politik dan ekonomi, dan
perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat. Perbedaan dan
identitas budaya dapat mempengaruhi kebijaksanaan
pemerintahan di berbagai bidang.
144
2. Sebagai pengikat suatu masyarakat. Kebersamaan adalah
faktor pengikat yang kuat seluruh anggota masyarakat.
3. Sebagai sumber. Budaya merupakan sumber inspirasi,
kebanggaan, dan sumber daya. Budaya dapat menjadi
komoditi ekonomi, seperti wisata budaya.
4. Sebagai kekuatan penggerak. Apabila budaya terbentuk
melalui proses belajar-mengajar (learning process), maka
budaya tersebut dinamis, resilient, tidak statis, dan tidak
kaku.
5. Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah. Ini
merupakan hasil yang diperoleh apabila dikaitkan dengan
manajemen, kinerja, atau kekuatan organisasional dan
kekuatan bisnis.
6. Sebagai pola perilaku. Budaya berisi norma tingkah laku
dan menggariskan batas-batas toleransi sosial.
7. Sebagai warisan. Budaya disosialisasikan dan diajarkan
kepada generasi berikutnya. Isu ini dijadikan tema sentral
dan International Conference on Tourism and Heritage
Management di Yogyakarta pada tanggal 28-30 Oktober
1996.
8. Substitusi (pengganti) formalisasi. Hal ini berarti bahwa
tanpa diperintahpun, orang akan melakukan tugasnya.
9. Sebagai mekanisme untuk adaptasi terhadap perubahan.
Dilihat dari sudut ini, pembangunan seharusnya merupakan
proses budaya.
145
10. Sebagai proses yang menjadikan bangsa kongruen dengan
negara sehingga terbentuk nation-state.
Robbins (2002:253) mengatakan bahwa budaya
menjalankan
sejumlah fungsi di dalam organisasi, yaitu:
1. Budaya organisasi mempunyai peran menetapkan tapal
batas, yang berarti budaya meciptakan pembedaan yang
jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang
Iainnya.
2. Budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi
para anggota
organisasi.
3. Budaya organisasi mempermudah timbulnya komitmen
pada sesuatu yang Iebih luas dari pada kepentingan diri
pribadi seseorang.
4. Budaya organisasi meningkatkan kemantapan sistem sosial.
Budaya merupakan perekat sosial yang membantu
mempersatukan organisasi yang bersangkutan dengan
memberikan standar-standar yang tepat terhadap apa yang
harus dikatakan dan apa yang harus dilakukan oleh para
karyawan.
5. Budaya organisasi berfungsi sebagai mekanisme pembuat
makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap
serta perilaku para karyawan.
146
BAB 8
PERUBAHAN BUDAYA ORGANISASI
Menurut Kotter and Heskett (1992:6) bahwa budaya
organisasi merupakan bagian dan perilaku manajemen dalam
suatu perusahaan (the behavior of firm‗s management). Apabila
salah satu unsur organisasi seperti struktur, sistem, kebijakan,
kepemimpinan dan lingkungan organisasi berubah maka
kecenderungan budaya organisasi juga berubah.
Menurut Harvey et al. (1996:341) menyatakan dalam
upaya melakukan perubahar budaya organisasi harus dimulai
dengan menciptakan visi untuk masa depan (developing a
sharp vision), memberdayakan anggota organisasi
(empowerment of members), dan mengernbangkan hubungan
kepercayaan satu dengan lainnya dalam segala tingkat
organisasi (the development of a trust relationship at all level).
Hodgetts et al. (1996:282) menyatakan bahwa kunci untuk
mengelola budaya dalam organisasi adalah meyakinkan
apakah budaya organisasi yang dioperasionalkan masih
sejalan dan mendukung aspek-aspek intern organisasi seperti
strategi, struktur, teknologi, proses dan perilaku karyawan.
Untuk rneyakinkan hal tersehut perlu dilakukan audit budaya
organisasi baik secara informal maupun secara formal, untuk
tujuan meyakinkan apakah nilai-nilai dominan, kepercayaan,
norma-norma yang berlaku atau perilaku anggota organisasi
147
masih sejalan dan mendukung kegiatan operasi perusahaan
terutama mengarahkan implementasi strategi perusahaan.
Apabila tidak ada kecocokan antara aspek-aspek yang
dominan dalam organisasi (struktur, strategi, teknologi,
karvawan) maka perlu dilakukan perubahan budaya organisasi
secara terencana agar sejalan dan konsisten dengan aspek-
aspek dominan struktur, strategi, karyawan, dan proses
organisasi agar kembali tercapai tujuan secara efektif. Dengan
kata lain untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan budaya
(cultural gap) maka audit budaya harus dimulai dari dalam
perusahaan sendiri. Artinya, perusahaan yang berinisiatif
melakukan merger harus terlebih dahulu memahami budaya
organisasinya. Sebab seperti dikatakan oleh Grossman
(1999:125), sering terjadi para eksekutif justru berbeda
pandangan dengan staffnya tentang budaya perusahaan.
Misalnya, para eksekutif mengklaim bahwa perusahaan yang
dikelolanya lebih people oriented, sementara para karyawan
mengatakan lain. Oleh karena itu, perbedaan pandangan ini
harus diluruskan terlebih dahulu sebelurn audit budaya
terhadap target perusahaan sebelum dilakukan merger. 1-lasil
audit ini kernudian digunakan sebagai dasar untuk memutuskan
apakah nantinya implementasi merger memerlukan perubahan
budaya atau tidak. Sedangkan Robbins (1996:311)
menyarankan kondisi yang paling membantu sebelum
mengadakan peruhahan, ditekankan agar melakukan analisis
budaya untuk melakukan audit budaya yaitu menilai apakah
148
budaya sekarang dibandingkan dengan budaya yang diinginkan
relatif saling mendukung. Melalui audit budaya dapat
mengevaluasi faktor-faktor kesenjangan dan dapat
mengidentifikasi elemen-elemen budaya mana yang harus
diganti.
Ada beberapa faktor situasional yang memungkinkan
dilakukannya perubahan budaya dalam organisasi yaitu: 1.
apabila organisasi menghadapi krisis yang drarnatis maka
secara spontan perlu mengubah budaya organisasi agar
mampu menangani krisis yang dirasakan anggota organisasi, 2.
apabila terjadi pergantian pimpinan dalam organisasi,
kecenderungan perubahan posisi kepemimpinan akan
melakukan perubahan budaya organisasi dengan penerapan
nilai-nilai baru yang dianggap sesuai oleh pimpinan baru, dan 3.
melalui transisi dan tahap-tahap daur budaya organisasi. Tahap
yang paling penting apabila melakukan perubahan dan tahap
pembentukan ke tahap pertumbuhan dan mencapai
kedewasaan maka sangat diperlukan untuk meningkatkan
perubahan budaya agar mendukung efektifitas organisasi.
Menurut Hodge et al. (1996:285) peruhahan budaya
organisasi melalui dua pendekatan yaitu: 1. perubahan budaya
organisasi dan atas ke bawah (top down change); 2. perubahan
dan anggota organisasi atau karyawan (bottom up change)
yaitu pendekatan partisipatif dimana perubahan terjadi karena
permintaan karyawan. Top down change berfokus pada
perubahan nilai-nilai, keyakinan, norma-norma dan harapan,
149
perilaku yang perubahannya berasal dan manajemen puncak,
Contoh setelah diadakan observasi oleh pimpinan puncak
maka perlu meningkatkan kualitas pekerjaan dengan
menetapkan nilai-nilai baru, perilaku karyawan baru, penetapan
norma-norma baru yang menciptakan budaya organisasi baru.
Caranya dengan melakukan rapat-rapat serta pertemuan
dengan bawahan untuk menetapkan strategi-strategi baru.
Kelemahan perubahan budaya organisasi melalui top
down management kemungkinan bertentangan atau tidak
konsisten dengan nilai-nilai dan nonnanorma dan bawahan /
karyawan. Maka berakibat terjadinya penolakan terhadap
perubahan budaya organisasi (resistance to change) yang
dapat menimbulkan kebencian dari pihak karyawan. Hal ini
cenderung menyebabkan peruhahan tidak dapat dipertahankan
secara permanen atau bertahan lama. Perubahan budaya
organisasi melalui bottom up change merupakan perubahan
yang lambat laun merupakan pendekatan partisipasi, tipe
peruhahan seperti ini didukung oleh manajemen level bawah
atau karyawan. Misalnya manajemen membuat survei terhadap
aktivitas karyawan melalui bantuan konsultan, kemudian
diputuskan untuk melakukan perubahan budaya. Hal ini dapat
berlangsung secara terbuka dalam organisasi dan secara
permanen dapat membawa serta karyawan dalam perubahan
budaya organisasi.
Spencer (Atmosoeprapto, 2000:72) menjelaskan bahwa
proses pengembangan budaya organisasi dipengaruhi oleh
150
beberapa faktor, yaitu Kebijakan organ isasi (organizational
wisdom)
Kebijakan organisasi ditunjang oleh filosofi organisasi
(serangkaian nDi-nilai yang monjelaskan bagaimana organisasi
berhubungan dengan pelanggaran, produk, atau pelayanannya,
bagaimana karyawan berhubungan satu sama lain, sikap,
perilaku, gaya pakaian, dan lain-lain serta apa yang bisa
mempengaruhi semangat, keterampilan yang dimiliki, dan
pengetahuan yang terakumulasi dalam perusahaan).
1. Gaya perusahaan (organizational style)
Gaya perusahaan dipengaruhi oleh profil karyawannya,
pengembangan sumber daya manusianya, dan masyarakat
organisasi, atau bagaimana penampilan organisasi tersebut
dilingkungan organisasi lainya.
2. Jati diri organisasi (organizational identity)
Jati diri organisasi ditunjang oleh citra organisasi, kredo atu
semboyan organisasi, dan proyeksi organisasi atau apa
yang ditonjolkan oleh oerganisasi.
Menurut Haris dan Moran (Atmosoeprapto, 2000:73)
sejak dekade akhir 70-an atau awal 80-an, para eksekutif dan
cendikiawan benar-benar mulai rnenghargai bagaimana budaya
organisasi atau budaya perusahaan memberikan perasaan
siapa mereka, kebersamaan, rasa ikut memiliki, bagaimana
meraka harus berperilaku, dan apa yang harus mereka lakukan,
sehingga perusahaan bukan lagi sekedar tempat berkarya dan
mencari nafkah, tetapi Iebih dan itu, diyakini sebagai tempat
151
dimana setiap individu merasa memperoleh nilai tambah dan
dapat mengembangkan dirinya.
Mengubah budaya suatu organisasi dapat merupakan
sesuatu yang sangat rumit atau komplek. Ahli manajemen,
Peter Drucker (dalam Lewis, et al., 2004: 355-361) mengatakan
bahwa para manajer dapat memodifikasi bentuk-bentuk budaya
yang dapat dilihat, seperti bahasa organisasi, cerita-cerita,
upacara-upacara, ritual, dan kisah-kisah.
Para manajer dapat mengubah materi-materi yang
digambarkan dalam cerita-cerita pada umumnya, bahkan para
manajer dapat mendorong para karyawan untuk melihat suatu
realitas yang berbeda. Karena posisinya, para manajer tingkat
atas (top-level managers) dapat menginterpretasi situasi dalam
cara-cara baru dan menyesuaikan pemahaman-pemahaman
yang melekat terhadap peristiwa-peristiwa organisasi yang
penting. Memodifikasi budaya dalam cara-cara tersebut
memerlukan waktu dan energi yang sangat besar, tetapi sangat
menguntungkan dalam jangka waktu panjang. Untuk mencapai
sukses, perubahan harus konsisten dengan nilai-nilai yang
penting dalam budaya, dan berasal dan para partisipan dalam
organisasi.
Perubahan budaya organisasi secara evolusi akan
melibatkan perubahan-perubahan dalam kegiatan-kegiatan
organisasi yang ringan dalam merespon perubahan kejadian
internal maupun eksternal. Perubahan budaya secara revolusi
juga dapat dilakukan karena organisasi berhubungan dengan
152
tantangan-tantangan utama. Perubahan budaya pada dasarnya
sulit dalam lingkungan persaingan global saat ini, beraneka
ragamnya angkatan kerja, dan inovasi teknologi. Namun
demikian adalah bagian pekerjaan manajer untuk membantu
organisasi dan para anggota organisasi dalam menanggulangi
resistensi pada perubahan. Melakukan perubahan memerlukan
pemahaman akan keberadaan organisasi saat ini dan visi yang
diemban yang ingin diciptakan. Beberapa kegiatan berikut ini
akan banyak membantu para manajer dalam mencapai budaya
organisasi yang etektif dan perubahannya. Merubah budaya
berarti melakukan perubahan-perubahan tertentu pada budaya.
Melakukan perubahan terhadap budaya tersebut juga
mengandung makna memunculkan suatu modifikasi atau
mengembangkan budaya, dan atau menciptakan budaya.
Manajer pada semua tingkatan dalam organisasi dapat
membantu mengembangkan budaya. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa para supervisor menetapkan ‗tone‘ nya,
mengelola sumber daya yang dimiliki, dan mengendalikan cara-
cara mempengaruhi hasil. Para manajer membantu
menciptakan budaya (Plunkett dan Attner, 1994:271) melalui:
Identifying the underlying values (identifikasi nilai-nilai yang
mendasari).
Clearly defining the company‘s mission and goals
(menjelaskan pengertian atau pemahaman misi dan tujuan-
tujuan perusahaan).
153
Determining the amount of individual autonomy and the
degree to which people work separately or in group
(menentukan sejumlah otonomi individu dan tingkatan di
mana orang-orang bekerja secara terpisah atau dalam
kelompok).
Structuring work to achieve goals in accordance with the
corporation‘s values (menstrukturisasi pekerjaan untuk
mencapai tujuan-tujuan sesuai dengan nilai-nilai
perusahaan).
Developing reward systems that rein force values and goals
(mengembangkan sistem ganjaran yang mengukuhkan nilai-
nilai dan tujuan-tujuan).
Creating methods of socialization that will bring new workers
inside the culture and reinforce the culture for existing
workers (menciptakan metode sosialisasi yang nantinya
akan membawa para pekerja baru ke dalam budaya dan
mengukuhkan budaya untuk keberadaan para pekerja
tersebut).
Perubahan budaya dilakukan dalam rangka upaya untuk
menjadikan suatu budaya yang efektif, dan mengurangi atau
menghindari atau bahkan menghapus budaya yang tidak
efektif. Karena itu pula pemahaman terhadap budaya
merupakan hal yang penting, karena budaya mempengaruhi
kinerja. Ada tiga (3) faktor yang dapat membantu menentukan
bagaimana suatu budaya organisasi dapat efektif, yaitu:
154
1. Coherence, seberapa baik budaya sesuai dengan misi dan
unsur-unsur organisasi yang lain.
2. Pervasiveness and depth, seberapa luas para karyawan
menganut budaya organisasi.
3. Adaptability to the external environment. Apabila budaya
organisasi sesuai dengan lingkungan eksternal, para
manajer dan karyawan mempunyai mindset untuk bersaing.
Cornelius (2003) mengatakan bahwa terdapat empat (4)
syarat
menciptakan budaya yang dapat dirubah, yaitu:
1. a workforce that is business literate (tenaga kerja yang
usaha)
2. a workforce with permission to act (tenaga kerja yang
dengan suka rela atau atas kemauan sendin bertindak)
3. a workforce that will challenge the status quo (tenaga kerja
yang menentang status quo).
4. leadership that encourages a culture ready for change
(kepemimpinan yang mendorong suatu budaya yang siap
untuk dirubah).
155
BAB 9
MEMPERTAHANKAN BUDAYA ORGANISASI
Menurut Robbins (1996:298) ada tiga cara
mempertahankan budaya organisasi agar dapat survival yaitu:
1. Praktek seleksi dalam oragnisasi. Proses seleksi ini untuk
memakai dan mernperkerjakan karvawan ang niernpunyai
pengetahuan dan keniampuan berprestasi yang berhasil.
Proses seleksi dapatl mempertahankan dan berfungsi
sebagai penyaring karyawan termasuk juga untuk menilai
apakah individu-individu dapat mendukung nilai-nilai yang
berlaku dalam organisasi.
2. Peranan manajemen puncak dalam mcrnpertahankari
budaya organisasi. Bagaimana manajemen puncak
rnenetapkan norma-norma yang dapat meresap sampai ke
tingkat bawah baik dengan kekuatan atau dengan sukarela,
misalnya dalam menetapkan gaji, promosi, dan lain-lain.
3. Sosialisasi, Kegiatan sosialisasi budaya kepada anggota
organisasi terutama selama mereka berkarir dalam
perusahaan, bagaimana caranya memberikan orientasi,
bagaimana memberikan pelatihan untuk mendalami dan
mengaplikasikan budaya organisasi yang herlaku. Selain hal
tersehut di atas, penyampaian budaya organisasi dapat
melalui interaksi atau program-program pelatihan yang
156
menyampaiannva rnelalui cerita-cerita, ritual, bahasa, dan
simbol-simbol.
Tiga kekuatan memainkan peran penting dalam
mempertahankan suatu budaya organisasi, yaitu (Robbins,
1996:198):
1. Praktek Seleksi.
Tujuan eksplisit dari proses seleksi adalah
megidentifikasikan dan memperkerjakan individu-individu
yang mempunyai pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan sukses
didalam organisasi itu.
Proses seleksi juga memberikan informasi kepada para
pelamar mengenai organisasi itu. Para calon belajar
mengenai organisasi itu, dan jika mereka merasakan konflik
antara nilai mereka dan nilai organisasi, mereka dapat
menyeleksi diri mereka untuk keluar dari perkumpulan
pelamar. Dengan cara ini, proses seleksi mendukung
budaya suatu organisasi dengan menyeleksi keluar individu-
individu yang memungkinkan menyerang atau
menghancurkan nilai-nilai inti suatu organisasi.
2. Tindakan manajemen puncak.
Tindakan manajemen puncak mempunyai dampak besar
pada budaya organisasi. Lewat apa yang mereka katakan
dan bagaimana mereka berperilaku, eksekutif senior
menegakkan norma-norma yang merembes ke bawah
sepanjang organisasi, misalnya apakah pengambilan resiko
157
diinginkan; berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan
oleh para manajer kepada bawahan mereka; pakaian
apakah yang pantas dan tindakan apakah yang akan
diimbali dalam kenaikan upah, promosi dan ganjaran lain.
3. Metode sosialisasi.
Tidak perduli berapa yang telah dilakukan organisasi itu
dalam perekrutan dan seleksi, karyawan baru tidak
sepenuhnya diindoktrinasi dalam budaya organisasi itu.
Mungkin yang paling penting, karena mereka tidak kenal
baik dengan budaya organisasi, karyawan baru agak
potensial mengganggu keyakinan dan kebiasaan yang ada.
Oleh karena itu, organisasi itu akan berniat membantu
karyawan baru menyesuaikan diri dengan budayanya.
Proses penyesuaian ini disebut sosialisasi.
158
BAB 10
BUDAYA SEBAGAI SUATU BEBAN
Budaya memberitahu para karyawan bagaimana segala
sesuatu dilakukan dan apa yang penting. Namun kita tidak
boleh mengabaikan aspek budaya yang secara potensial
bersifat disfungsional, teristimewa budaya yang kuat. (Robbin,
1996:295).
1. Penghalang terhadap perubahan budaya merupakan suatu
beban bilamana nilai-nilai bersama tidak cocok dengan nilai
yang akan meningkatkan efektifitas organisasi. Kondisi ini
paling mungkin terjadi bila lingkungan organisasi itu dinamis.
Jika Iingkungan itu mengalami perubahan yang cepat,
budaya yang telah berakar dan organisasi itu mungkin tidak
tepat lagi. Jadi konsistensi perilaku merupakan suatu asset
bagi organisasi. Bila organisasi itu menghadapi suatu
Iingkungan yang mantap. Tetapi konsistensi itu dapat
membebani organisasi itu dan menyulitkan untuk
menanggapi perubahan dalam lingkungan itu.
2. Penghalang terhadap keanekaragaman. Mempekerjakan
karyawan-karyawan baru yang karena ras, kelamin, etnis
dan perbedaan lain tidak sama dengan mayoritas anggota
organisasi menciptakan suatu paradoks. Manajemen
menginginkan karyawan baru itu menerima baik nilai budaya
itu dan organisasi itu. Bila tidak karyawan ini kecil
kemungkinannya cocok atau dapat diterima. Tetapi
159
sekaligus manajemen ingin mengumumkan secara terbuka
dan menunjukkan dukungan akan perbedaan-perbedaan
yang dibawa karyawan ini ke tempat kerja. Budaya yang
kuat mengenakan tekanan yang cukup besar pada para
karyawan untuk menyesuaikan diri. Mereka membatasi
rentang nilai dan gaya yang dapat diterima. Jelas ini
menciptakan suatu dunia organisasi-organisasi
mempekerjakan individu yang berkeanekaragaman karena
kebutuhan atau alternatif yang dibawa mereka ke tempat
kerja. Kemungkinan besar perilaku dalam kekuatan yang
beraneka ragam mengurangi budaya kuat ketika orang
berupaya menyesuaikan diri dalam organisasi itu. OIeh
karena itu budaya kuat dapat merupakan beban, bila
budaya itu dengan efektif menginginkan kekuatan unik
tersebut yang dibawa oleh orang yang dengan latar
belakang yang berlainan.
3. Penghalang terhadap merger dan pencapokan. Secara
historis faktor-faktor utama yang dipandang oleh
manajemen dalam mengambil keputusan merger atau
akuisisi dikaitkan dengan keuritungan finansial atau sinergi
produk.
160
BAB 11
SOSIALISASI BUDAYA ORGANISASI
SosiIisasi dapat didefinislkan sebagai proses yang
menadatasikan para karyawan pada budaya organisasi.
Robbins (1996) membagi ada 3 tahapan proses sosialisasi:
1. Tahap prakedatangan. Secara eksplisit mengakui bahwa
tiap indvidu tiba dengan seperangkat nilai, sikap dan
harapan. ini mencakup baik kerja yang harus dilakukan
maupun organisasi itu.
2. Tahap perjumpaan. Pada tahapan ini individu menghadapi
dikotomi atau percabangan yang mungkin antara
harapannya mengenai pekerjaan, rekan sekerja, atasan dan
organisasi itu secara umum dan kenyataan. Jika harapan
terbukti kurang Iebih tepat tahap perjumpaan itu sekedar
memberikan suatu pemastian ulang dan persepsi yang
diperoleh sebelumnya.
3. Tahan metaformis. Pada tahap dalam proses sosialisasi
dimana seorang karyawan baru menyesuaikan diri pada
nilai dan norma kelompok kerjanya. Hasil dari metaformis
ada 3 yakni, produktifitas, komitmen, keluarnya karyawan.
Jika dalam proses penyesuaian tidak banyak hambatan
atau nilai pribadi selaras dengan norma kelompok kerjanya
biasanya dapat meningkatkan produktititas dan komitmen
yang tinggi. Kondisi sebaliknya jika karyawan tidak dapat
menyesuaikan dengan nilal kelompok, bisa menyebabkan
161
kondisi kerja kanyawan tidak menyenankan bahkan bisa
mengalami stres yang mengakibatkan karyawan tersebut
keluar dan pekerjaannya. Kondisi demikian ini tidak
menguntuhgkan kedua belah pihak yakni karyawan maupun
perusahaan.
Sumber: Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi versi Bahasa
Indonesia edisi ke delapan . PT. Prenhallindo, Jakarta 1998. Hal 27
Gambar 11.1 MODEL PERILAKU ORGANISASI DASAR
162
Dari model yang ditawarkan berdasarkan Gambar 11.1.
untuk analisis dibedakan dalam beberapa tingkatan yakni pada
unit analisis di tingkat individual, unit analisis pada tingkat
kelompok dan unit analisis pada tingkat sistem organisasi.
Setelah pada tingkat sistem organisasi keluaran manusia
outputnya dapat berupa produktifitas, absensi, pergantian
karyawan dan kepuasan.
Variabel pada tingkat individual. Bila individu-individu
memasuki suatu organisasi, mereka sedikit sama dengan mobil
bekas. Semua berlainan. Beberapa masih rendah kilometernya
- mereka telah diperlakukan dengan seksama dan hanya
terbatas tersingkap pada realitas unsur-unsur yang lain sudah
usang benar dengan tidak mengalami sejumlah jalan yang
kasar. Analog ini menandakan bahwa orang-orang memasuki
organisasi dengan karakteristik-karaktei istik tertentu yang akan
mempengaruhi perilaku mereka di tempat kerja. Yang jelas
karaktenistik ini adalah ciri pribadi atau biografis seperti
misalnya usia, jenis kelamin, status perkawinan, ciri
kepribadian, nilai dan sikap dan tingkat kemampuan dasar.
Karakteristik ini pada hakekatnya masih utuh ketika seorang
individu memasuki angkatan kerja, dan umumnya manajemen
tidak dapat berbuat banyak untuk mengubahnya.
Variabel tingkat kelompok. Perilaku orang-orang dalam
kelompok lebih dan pada jumlah total dan tiap-tiap individu
yang bertindak menurut caranya sendiri. Kerumitan model
ditingkatkan bila kita mengakui bahwa perilaku orang-orang bila
163
berada dalam kelompok yang berbeda dan perilaku mereka bila
sendirian.
Variabel pada tingkat sistem organisasi. Perilaku
organisasional mencapal tingkat kecanggihan yang tertinggi
bila kita tambahkan struktur formal kepada pengetahuan kita
sebelumnya mengenal perilaku individu dan kelompok. Seperti
kelompok lebih dan jumlah anggota individunya, demikian pula
organisasi lebih dan pada jumlah kelompok-kelompok
anggotanya. Desain dari organisasi formal, teknologi dan
proses kerja, serta pekerjaan, kebijakan dan praktik sumber
daya manusia dan organisasi itu yaitu proses seleksi, program
pelatihan metode penilaian kerja, budaya intern dan tingkat
stress semuanya mempunyai dampak pada variabel-variabel
bebas.
164
BAB 12
HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN
KINERJA
Kotter dan Heskett (1992) peneliti dari Harvard Business
School dalam penelitiannya yang memakan waktu cukup
panjang menemukan bahwa terdapat 4 (empat) faktor yang
menentukan perilaku kerja manajemen suatu perusahaan,
yaitu: 1. budaya perusahaan; 2. struktur, sistem, rencana dan
kebijakan formal; 3. kepemimpinan (leadership); dan 4.
Iingkungan yang teratur dan bersaing.
Kotter dan Heskett menemukan juga banyak faktor yang
mempengaruhi kinerja perusahaan, namun mereka hanya
tertanik dengan dampak potensial dan satu unsur variabel saja,
yaitu budaya perusahaan. Telaah yang dilakukan adalah untuk
menjawab apakah ada hubungan antara budaya perusahaan
dan kinerja ekonomi jangka panjang, untuk mengklarifikasi sifat
dan alasan-alasan bagi hubungan keduanya, untuk
menemukan apakah dan bagaimana hubungan itu dapat
dieksploitasi dalam upaya meningkatkan kinerja suatu
perusahaan.
Penelitiannya berhasil menunjukkan bahwa: 1. budaya
perusahaan mempunyai pengaruh yang berarti (signifikan)
terhadap kinerja ekonomi jangka panjang, 2. budaya
perusahaan mungkin akan menjadi suatu faktor yang bahkan
165
Iebih penting lagi dalam menentukan keberhasilan atau
kegagalan perusahaan dalam dasawarsa yang akan datang, 3.
budaya perusahaan yang menghambat kinerja keuangan
jangka panjang cukup banyak, dan budaya semacam itu mudah
berkembang, bahkan dalam perusahaan-perusahaan yang
penuh dengan orang-orang pandai serta berakal sehat, dan 4.
walaupun sulit untuk diubah, budaya perusahaan dapat
disesuaikan agar bersifat Iebih akomodatif pada anggota
sehingga bisa meningkatkan kinerja.
Kuchinks (1999) melakukan penelitian tentang
kepemimpinan dan budaya organ isasi di dua negara industri
maju yang mempunyai hubungan historis dan kuat, yaitu di
Amerika serikat dan Jerman. Studi yang berdasarkan survay ini
meneliti perbedaan dalam gaya kepemimpinan dan beberapa
nilai budaya pada perusahaan telekomunikasi di AS dan di
Jerman.
Hasil studinya menemukan bahwa terdapat banyak
kesamaan dan juga perbedaan antara kepemimpinan dan
budaya organisasi di kedua negara tersebut. Dengan
menggunakan beberapa variabel independen, --tapi
dikendalikan dalam rancangan eksperimentalnya dalam hal
pengaruh usia, jenis kelamin dan pendidikan--, ditemukan
bahwa adanya perbedaan dalam dimensi kepemimpinan
transformasional khususnya pada kharisma dan motivasi
inspirasional. Pekerja di AS memiliki jiwa kepemimpinan yang
Iebih besar pada variabel yang fokus pada visi, masa depan
166
yang diharapkan, optimisme dan antusiasisme dalam usaha
pencapaian hasil. Sedangkan di Jerman, para pekerja kurang
mempunyai kharisma dan inisiatif. Namun dalam hal
kepemimpinan transaksiona ditemukan tidak ada perbedaan.
Beberapa nilai budaya dapat pula memprediksi gaya
kepemimpinan, tetapi hanya menjelaskan perbedaan dalam
porsi yang kecil. Hal ini menerangkan bahwa nilai-nilai budaya
memiliki pengaruh kecil pada kepemimpinan.
Littrell (2003) melakukan penelitian tentang pengaruh
komposisi lintas budaya (influence of the cross-cultural
composition) pada tim manajemen yang berkaitan dengan
pitihan kepemimpinan. Sebagai indikatornya adalah perilaku
manajer dan supervisor di dua hotel yang berada di kota
Zhengzhou Propinsi Henan, China. Pengumpulan data dalam
rentang waktu 3 tahun yakni pada tahun 1999 sd. tahun 2002
dengan jumlah populasi yang sama. Data dikumpulkan
memakai kuisioner yang dikembangkan oleh Ohio State
University (USA), yaitu Leader Behavior Description
Questionnaire (LBDQ), yang mengidentifikasikan dua
karakteristik utama perilaku pemimpin, yakni orieritasi tugas
(task-orientation) dan pemeliharaan anggota kelompok
(nurturance of the members of the group).
Salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa budaya
organisasional berpengaruh signifikan terhadap perilaku
(behaviours), opini (opinions), sikap (attitudes) dan
kepercayaan (beliefs) anggota organisasi.
167
Lusch dan Harvey (1994) meneliti para pengawas
keuangan
(controller) yang bekerja di beberapa perusahaan jasa akuntan
publik (public accountant) di Amerika Serikat menemukan
bahwa
peningkatan kinerja organisasional dapat dipengaruhi oleh
aktiva tak berwujud (intangible assets), antara lain budaya
organisasional (organizational culture), hubungan dengan
pelanggan (customer relationship) dan citra perusahaan (brand
equity / corporate image).
Dalam penelitiannya, kinerja organisasional ditunjukkan
oleh jumlah jasa yang berhasil dilakukan serta peningkatan
profit (laba) perusahaan, sedangkan budaya oganisasi diukur
dengan menggunakan konsep yang dikemukakan oleh
Hofstede et al. (1990).
Arogyaswamy dan Byles (1987) dalam penelitianya
menemukan bahwa budaya organisasi hanya merupakan salah
satu dan banyak variabel yang dapat memberi kontribusi untuk
menjelaskan kinerja organisasi. Hubungan antara budaya
organisasi dengan kinerja dipandang dalam suatu kerangka
kontingensi. Budaya yang ada dalam satu organisasi memang
memberikan kontibusi terhadap sikap dan perilaku orang-orang
yang ada di dalamnya, yang merupakan nilai-nilai dan ideologi
yang dipakai dalam aktivitas keseharian.
Internal fit (keserasian internal) akan memberikan
karakter budaya pada masing-masing individu yang ada dalam
168
organisasi, sedangkan external fit (keserasian eksternal)
merupakan indikator lanjutan, yang mana budaya dan strategi
organisasi ada dalam satu garis dengan yang lainnya.
Beberapa katagori variabel berbeda dipakai untuk
membahas pengaruh keserasian antara kebutuhan, yaitu: 1.
jenis stretagi generik yang telah disesuaikan; 1. katagorisasi
produk atau layanan yang ditawarkan; 3. lingkungan alam 4.
karakteristik perusahaan dalam memanfaatkan persaingan; 5.
ukuran organisasi dan 6. tingkat ketergantungan. Analisisnya
menghasilkan bahwa internal fit bukan merupakan syarat yang
universal untuk kesuksesan suatu organisasi, namun budaya
organisasi merupakan hal yang sangat penting untuk
diperhatikan.
Kemp dan Dwyer (2001) dalam penelitiannya di The
Regent Hotel Sidney berusaha mencari jawaban tentang
pengaruh antara jaringan budaya (cultural web) yang ada
dalam organisasi pada hotel tersebut terhadap perilaku
karyawan dan dampaknya terhadap organisasi secara
keseluruhan.
Dalam kesimpulan, mereka menemukan bahwa
penggunaan jaringan budaya berpengaruh terhadap perilaku
karyawan dan dapat meningkatkkan kinerja organisasi.
Waclawski (1996) daam penelitiannya menggunakan
hasil-hasil survai organisasional untuk meningkatkan kinerja
organisasional dalam perusahaan jasa finansial, di mana
termasuk budaya dan kepemimpinan digunakan sebagai
169
variabel independen. Konsep budaya yang dipakai adalah yang
dikemukakan oleh Pettigrew (1979), dan konsep leadership
style dan EkvaII dan Arnonen (1991) serta kinerja organisasi
diukur dengan kinerja finansial (financial performance) yang
dilakukan dengan mengumpulkannya seama 18 bulan.
Dalam penelitiannya itu, Waclawski menemukan bahwa
budaya (culture) Iebih penting dibandingkan gaya
kepemimpinan (leadership style) dalam meningkatkan kinerja
organisasional.
O‟Reilly (1989) menganalisis adanya 4 faktor yang
membuat budaya perusahaan menjadi kuat, yakni: 1. sistem
partisipasi, 2. gaya manajemen, 3. informasi dari orang lain
sehingga membentuk sikap dan perilaku karyawan; dan 4.
adanya sistem penghargaan. Ke-4 faktor tersebut memberikan
pengaruh yang sangat besar untuk terwujudnya budaya
perusahaan yang kuat.
O‟Reilly et al. (1991) mengkaji tiga tema yang dewasa ini
banyak dibahas dalam perilaku organisasi, yaitu: 1. ketertarikan
dalam melakukan penilaian konstruk hubungan antara situasi
dengan seseorang (person-situation interactional constructs); 2.
penilaian budaya organisasi secara kuantitatif (the quantitative
assesment of organizational culture); dan 3. penerapan “Q-sort”
atau template-matching, yang merupakan pendekatan yang
digunakan dalam menilai hubungan antara situasi dengan
seseorang.
170
Data longitudinal dari para akuntan dan mahasiswa MBA
serta data cross-sectional dan karyawan pemerintah dan
perusahaan-perusahaan akuntansi digunakan untuk
mengembangkan dan validasi suatu instrumen dalam menilai
kaitan antara person, organization fit dan the organizational
culture pto file.
Hasilnya menunjukkan bahwa dimensi preferensi
seseorang dalam budaya organisasi dan keberadaan budaya
dapat diinterpretasikan. Kecocokan seseorang dalam
organisasi dapat dilihat dari kepuasan kerja dan komitmen
terhadap organisasinya setelah dua tahun bekerja. Hal penting
lainnya adalah adanya kesesuaian antara preferensi (pilihan)
individual dengan budaya organisasi.
Pratt dan Beaulieu (1992) dalam penelitiannya menguji
perbedaan budaya organisasi kantor akuntan publik yang
disebabkan oleh size, teknologi, kisaran (rank), dan bidang
fungsi organisasional. Dengan menggunakan 338 responden
yang bekerja sebagai managing partner pada akuntan publik di
Seattle, Denver, Chicago, South Bend dan New York City, Pratt
dan Beaulieu menemukan bahwa size perusahaan mempunyai
pengaruh signifikan terhadap dimensi budaya power distance,
tetapi tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
dimensi budaya uncertainty avoidance. Juga ditemukan bahwa
perbedaan lingkungan kerja pada kantor akuntan publik, yang
dalam hal ini diklasifikasikan ke dalam management advisory
services (MAS) dan non-MAS, mempunyai pengaruh yang
171
signifikan terhadap budaya organisasional. Hasil penelitian
Pratt & Beaulieu mendukung temuan peneliti sebelumnya
seperti Watson (1975), Ballew (1982) dan Jiambalvo et al.
(1983) yang mengemukakan bahwa perbedaan bidang fungsi
organisasi mempunyai pengaruh terhadap perbedaan budaya.
Hofstede et al. (1990) dalam penelitiannya dengan
menggunakan sampel pada 20 departemen organisasiona yang
terdapat dalam 10 perusahaan, masing-masing 5 di Denmark
dan 5 di Netherlands (Belanda) dengan jumlah 180 orang yang
diwawancari (rsponden). Variabel size yang digunakan adalah
diukur ndengan tiga jenis, yaitu jumlah anggaran tahunan,
investasi modal dan jumlah karyawan. Sedangkan dimensi
praktek budaya organisasi yang diteliti mencakup enam
dimensi, yaitu: 1. Process-Oriented vs. Result-Oriented: 2.
Employee—Oriented vs. Job–Oriented; 3. Parochial vs.
Profesional; 4. Open System vs. Closed System; 5. loose
Control vs. Tight Control; dan 6. Normative vs. Pragmatic.
Penelitian Hofstede menemukan bahwa perbedaan
budaya organisasional dipengaruhi oleh size, tipe kepemilikan
(swasta-pemerintah), struktur organisasional, system
pengendalian dan profil karyawan. Jumlah karyawan sebagai
salah satu pencerminan size unit organisasional mempunyai
pengaruh yang sangat kuat terhadap budaya organisasi,
dibandingkan dengan jumlah anggaran dan modal yang
diinvestasikan.
172
Lewis (1994) dalam penelitiannya di sebuah perguruan
tinggi di Australia menemukan tidak ada pengaruh langsung
antara budaya organisasi dengan kinerja organisasi. Lewis
meneliti keterkaitan antara reaksi, perilaku dan kinerja
organisasi dengan adanya perubahan organisasi pada suatu
lembaga pendidikan lanjutan (college) yang akan menjadi suatu
universitas, di mana college tersebut sebelumnya sudah
memiliki budaya organisasi. Dinyatakannya, organisasi yang
dijalankan secara baik sesuai kriteria yang diamanatkan oleh
para pemegang saham (pemilik), kendatipun ada pertentangan
yang luas antara kelompok bawah dengan menejemen level
menengah selama terjadinya perubahan organisasi, ditemui
kinerja organisasi tak mengalami perubahan yang signifikan.
Bernard (1995) dalam penelitiannya menguji keterkaitan
antara budaya organisasi dan kinerja organisasi. Bernard
meneliti hubungan kausal antara kedua variabel tersebut
dengan model-model empirik yang sudah dilakukan peneliti
sebelumnya. Ditemukan adanya kaitan (link) yang tidak jelas
antara budaya dan kinerja, serta masih diperlukannya
perbaikan-perbaikan penerapan konsep yang dilibatkan oleh
peneliti sebelumnya. Bernard juga mengajukan beberapa
variabel moderator yang perlu dipertimbangkan jika melakukan
penelitian di masa mendatang.
Chuang et al. (2004) dalam penelitiannya yang berjudul
”Organizational Culture, Group Diversity and Infra-Group
Conflict‖, menggunakan alat analisis konseptual dan proposal
173
penelitian yang didasarkan pada temuan penelitian terdahulu.
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah hubungan
antara budaya organisasi, konflik dalam kelompok dan
keanekaragaman kelompok. Temuan utamanya adalah
keanekaragaman kelompok dipengaruhi oleh keselarasan niali
dan kandungan nilai dalam organisasi.
Peter Lok dan John Crawford (2004) dalam penelitiannya
yang berjudul ”The effect Organizational Culture and
Leadership Style On Job satisfaction and Organizational
Commitment‖, mengukur pengaruh dari budaya organisasi,
gaya kepemimpinan, kepuasan kerja dan komitmen organisasi
dengan menggunakan metode Analisis Regresi. Temuan utama
dalam penelitian ini adalah adanya dampak budaya organisasi
inovatif dan suportif terhadap komitmen, dan dampak budaya
inovatif terhadap kepuasan. Tidak ditemukan perbedaan
signifikan damapk gaya kepemimpinan terhadap kepuasan
kerja dan komitmen antara manajer.
Moon M.J. (2000) dalam penelitiannya yang berjudul
”Organizational Commitment Revisited In New Public
Management‖, menjelaskan hubungan motivasi, komitmen
organisasional, tingkat manajerial dan budaya organisasional.
Alat analisis yang digunakan adalah Analisis Multiple Regresi.
Temuan utama dalam penelitian ini adalah hasil statistik dari
model gabungan, faktor motivasi instrinsik bersumbangsih pada
meningkatnya komitmen organisasional yang dipersepsikan,
174
sementara hanya pengharapan gaji yang tampak sebagai
penentu mencolok dari komitmen organisasional.
Yousef D.A. (2000) dalam penelitiannya yang berjudul
”Organizational Commitment: A Mediator of The Relationships
of Leadership Behaviour With Job Satisfaction and
Performance In A Non-Western Country‖, masalah yang diteliti
adalah untuk mengetahui peran budaya nasional dalam
memoderasi hubungan antara perilaku kepemimpinan dengan
komitmen organisasi, kepuasan kerja dan kinerja. Variabel-
variabel yang diteliti adalah perilaku kepemimpinan, komitmen
organisasi, kinerja pekerjaan, kepuasan kerja, dan karakteristik
demografi. Penelitian ini menemukan korelasi antar variabel:
komitmen organisasi dengan kepuasan kerja sebesar 0,47;
dengan kinerja sebesar 0,28.
Elenkov (2000) dalam penelitiannya mengkaji secara
bersamaan pengaruh utama (the main effects) penilaku
kepemimpinan transaksional dan transformasional atas kinerja
organisasional di Russian Companies dengan variabel
moderatornya adaiah dukungan inovasi (support for
innovation). Data yang digunakan berasal dari Directory of the
State Institute for Statistics of Rusia tahun 1998, dengan teknik
pengambilan sampel memakai stratified random sample atas
sekitar 50.000 private companies. Perilaku kepemimpinan
diukur dengan metode Multifaktor Leadership Questionnaire
(MLQ)-Form 10 dan Bass dan Avolio‟s (1990). Sedangkan
kinerja organisasional ditunjukkan dan tingkatan yang berhasil
175
dicapai sesuai dengan tujuan organisasi, yaitu kuisionernya
disusun oleh suatu kelompok eksekutit sejumlah 38 orang pada
sebuah seminar. Ada 29 tujuan perusahaan yang dipakai
sebagai tolok ukur.
Hasil penelitiannya adalah perilaku kepemimpinan
transformasional secara langsung dan positif berpengaruh
terhadap kinerja organisasional melebihi dampak dan perilaku
kepemimpinan transaksional. Dukungan terhadap
inovasisecara signifikan sebagai moderator antara
kepemimpinan transformasional dengan kinerja organisasional.
Fernandez (2003) dalam penelitiannya yang berjudul
“Pengaruh Komitmen Manajemen Pada Budaya Organisasi,
Komitmen Individu, dan Kinerja RS Nirlaba”, mendiagnosis
hubungan kausal antara budaya dengan kinerja Rumah Sakit
kabupaten dan faktor yang berpengaruh terhadap keduanya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh tidak
langsung antara komitmen manajemen terhadap kinerja dan
terdapat pengaruh tidak langsung antar asumsi dan nilai
individu terhadap kinerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Parry dan Thomson
(2003) mengenai kepemimpinan, budaya dan kinerja,
merupakan sebuah studi kasus di sektor publik, New Zealand.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan mengajukan
tes hipotesis hubungan antara kepemimpinan, jenis budaya dan
efektivitas dalam sektor publik dengan menggunakan SEM
(Structural Equation Model). Konstruk yang diukur dalam
176
penelitian ini meliputi budaya organisasi transformasional /
transaksional, iklim untuk mengadakan inovasi, kepemimpinan
transformasional individu, kepemimpinan transformasional tim,
dan hasil-hasil tim dan organisasi. Data dikumpulkan dalam dua
kali survey yang dilakukan secara berurutan. Pertama, 388
sektor publik, kedua, 190 sektor publik di bidang kesehatan
publik dan pendidikan. Kedua survei tersebut didesain sebagai
kelengkapan investigasi beberapa aspek kepemimpinan di New
Zealand. Kesimpulan yang diperoleh bahwa terdapat korelasi
negatif antara budaya organisasi transaksional dan hasil,
korelasi positif antara budaya organisasi transformasional dan
hasil. Temuan di atas menunjukkan bahwa bentuk dan
dinamika dampak budaya dan iklim dalam sektor publik bisa
berbeda dan hubungan serupa yang diperoleh dalam sektor
privat. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Kepemimpinan berpengaruh secara signifikan terhadap
kinerja.
2. Budaya organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap
efektivitas organisasi atau kinerja organisasi.
Casson (2002) dalam penelitiannya yang berjudul
“Leadership and Cultural Change: An Economic Analisys‖,
menguji pengaruh budaya terhadap kinerja ekonomi. Hasil
penelitian ini adalah budaya dapat megurangi biaya transaksi
dan memperbaiki kinerja ekonomi; pemimpin yang dapat
meningkatkan kinerja ekonomi dan sebaliknya pemimpin yang
jelek akan menghalangi atau merusaknya. Pemimpin yang baik
177
meningkatkan kombinasi nilai-nilai secara khusus yang meliputi
keberpihakan terhadap kepentingan orang lain dan
pertimbangan yang matang dalam pengambilan keputusan;
pemimpin yang jelek meningkatkan kombinasi nilai-nilai egois
dan seketika.
Penelitian yang dilakukan oleh Barney (1986) mengenai
budaya organisasi yang mengarah pada apakah budaya
organisasi dapat menjadi suatu sumber keunggulan kompetitif,
menemukan bahwa budaya organisasi dapat berpengaruh
signifikan terhadap kinerja ekonomi jangka panjang sehingga
dapat meraih Sustainable Competitive Advantage. Dengan
demikian, maka dapat dikatakan bahwa budaya organisasi
berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.
Smart, John C., dan Edward (1996) dalam penelitiannya
yang berjudul “Organizational Culture and Effectiveness in
Higher Education: A Test of the ‗Culture Type‘ and ‗Strong
Culture‘ Hypotheses‖, menentukan apakah dua penyelidikan
(jenis budaya dan pertumbuhan konsensus) dapat
menerangkan hipotesis hubungan antara budaya organisasi
dan kinerja perguruan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa budaya perusahaan merupakan sumber keuntungan
yang berasal dari atribut yang melekat pada budaya tersebut.
Perusahaan yang mempunyai budaya dengan atribut yang
diperlukan dapat memperoleh sustainable superior financial
performance dari budaya tersebut.
178
DAFTAR BACAAN
Betts, C.A., and S.M.Halfhill. 1985. Organization Culture: Theory, Definitions, and Dimentions, Las Vegas.
Brown, Douglas J. 1973. The Human Nature of Organizations,
First Printing, New York: AMACOM, USA. Cornelius, Ed. 2003. Leading a culture ready for change,
Executive Excellence (EEX), Vol. 20, Iss. 7, p. 15. Deal, Térrence E., and Allan A. Kennedy. 1984. Corporate
Cultures: Th Rites and Rituals of Corporate Life, Fourth Printing, Canada: rhe Dryden Press, Harcourt College Publishers.
Denison, Daniel R., Ancil K. Mishra. 1995. Toward a Theory of
Organizational Culture and Effectiveness, Organization Science, Vol. 6, No.2.
Deshpande, R., FrIe. J.U., Webster, F.E. 1993. „Corporate
Culture, Customer Orientation and Innovativeness in Japanese Firms: A Quadrad Analysis‟, Journal of Marketing, 57, p.p. 7-23.
Fogli, Lawrence, Hulin, Charles, Blood, Milton. 1971.
development of first k level behavioral job criteria, Journal of Applied psychology, 55, pp. 3-8.
Geletkanycz, Marta A. 1997. The Salience of Culture‟s
Consequences: The Effects of Cultural Values on Top Executive Commitment to the Status Quo, Strategic Management Journal, Vol.18, No. 8, p.p. 615- 634.
Glaser, S.R., S. Zamanou, and K. Hacker. 1987. Interpreting
Organizational Culture, Management Communication Quarterly.
179
Gordon, G.G., and W.M. Cummins. 1979. Managing Management Climate, Lexington MA.
Hatch, Mary J0. 1993. The Dynamics of Orgnizational Culture,
Academy of: Management Review, Vol. 18, No. 4, p.p. 657- 693.
Hennessey, J. Thomas, Jr. 1998. Reinventing Government:
Does Leadership make the difference?, Public Administration Review, Vol. 58, No. 6, p.p. 522- 532.
Hofstede, Geert. 1986. Culture‘s Consequences, International
Differences in Work-Related Values, New Delhi: Sage Publication, Beverly Hills, London.
Killman, R.H., Saxton, M.J., and Serpa, R. 1986. Issues in
Understanding and changing culture, California Management Review, No.2, pp. 87- 94.
Kreitner, Robert. 1995. Management Principles and Practices.
New Jersey: Houghton Mifflin Company, Boston, Toronto.
Kreitner, Robert, and Kinicki, Angelo. 1995. Organizational
Behavior, Thirth Edition, USA: Richard D. Irwin Inc. Lakomski, Gabriele. 2001. Organizational Change, Leadership
and Learning: Culture as Cognitive Process, The International Journal of Educational Management, Vol. 15, No.2, pp. 68-77.
Lewis, Pamela S., Stephen H. Goodman, and Fandt, Patricia M.
Goodman, 2004. Management: Challenges for Tomorrow‘s Leaders, Fourth Edition, Canada: South-Western.
Luthans, Fred. 1992. Organizational Behavior, Sixth Edition,
Singapore: Mc Graw Hill Book Inc.
180
Ndraha, Taliziduhu. 2003. Budaya Organisasi. Cetakan ke-2, Jakarta: Penerbit PT. Rineka Cipta.
Nimran, Umar.1997. Perilaku Organisasi. Cetakan ke-1,
Surabaya: Penerbit CV. Citra Media. Peter, T. J., and Waterman, R. H. 1982. In Research of
Excellence: Lessons from America‘s best-run Companies, New York: Harper and Row.
Plunkett, Warren R., Raymond F. Affner. 1994. Introduction to
Management, Fifth Edition, USA: lnternational Thompson Publishing.
Robbins, Stephen P. 2002. Organizational Behavior: Consepts, Controversies, and Applications, Eight Edition, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Pren.
Robbins, Stephen P., and Coulter, Mary.1999. Management, Sixth Edition, New Jersey: A Simon & Schuster Company.
Sarros, James C.m Judy Gray, laian L. Densten. 2002. Leadership and its Impact on Organizational Culture, International Journal of Business Studios, Vol. 10, No. 2, p.p. 1-26.
Schein, E. H. 1992. OrgnizationaI Culture and Leadership, Second Edition, CA, San Fransisco: Jossey-Bass.
Smircich, L. 1983. Concepts of culture and organizational analysis, Administrative Science Quarterly, 28, p.p. 339-358.
Trice, Harrison M., and Janice M. Beyer. 1991. Cultural Leadership in Organizations, USA, Organization Science, Vol. 2, No. 2. p.p. 149-169.
Yukl, Gary A. 1998. Leadership in Organizations, 3e, Edisi
Bahasa Indonesia, Jakarta: Prehhallindo.