6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus merupakan kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia yang terjadi karena kelainan kerja insulin, kelainan sekresi
insulin, atau keduanya. Hiperglikemia merupakan suatu kondisi medik berupa
peningkatan kadar glukosa dalam darah di atas batas normal. Hiperglikemia
merupakan tanda khas dari penyakit Diabetes Melitus (PERKENI, 2015).
Hiperglikemia kronis pada Diabetes Melitus berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ di dalam tubuh, terutama
mata, saraf, jantung, ginjal, dan pembuluh darah (American Diabetes Association,
2012).
2.1.2 Epidemologi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus merupakan salah satu masalah emergensi kesehatan
terbesar di abad ke-21. Menurut International Diabetes Federation (2015),
penyandang Diabetes Melitus di dunia pada kelompok usia 20-79 tahun
diperkirakan meningkat dari 415 juta atau 8,8% pada tahun 2015 menjadi 642 juta
atau 10,4% pada tahun 2040. Jumlah penyandang Diabetes Melitus di dunia pada
kelompok usia 20-79 tahun yang meninggal pada tahun 2015 mencapai 5 juta
orang. Peningkatan angka Diabetes Melitus tertinggi berada pada negara dengan
ekonomi rendah sampai sedang.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah
penyandang Diabetes Melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
7
21,3 juta pada tahun 2030. Sedangkan International Diabetes Federation (IDF)
memprediksi peningkatan penyandang Diabetes Melitus di Indonesia dari 9,1 juta
pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035 (PERKENI, 2015). Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 menyatakan bahwa proporsi
penderita Diabetes Melitus penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia sebesar
6,9% atau sebanyak 12.191.564 orang (Infodatin, 2014). Indonesia menempati
peringkat ke-5 di dunia, naik dua peringkat jika dibandingkan data International
Diabetes Federation (IDF) tahun 2013 yang menempati peringkat ke-7 di dunia
(PERKENI, 2015).
Diabetes Melitus tipe 1 lebih jarang ditemui jika dibandingkan Diabetes
Melitus Tipe 2. Peningkatan insidensi Diabetes Melitus tipe 1 di dunia sekitar 3%
(International Diabetes Federation, 2015). Penderita Diabetes Melitus terbanyak di
dunia adalah Diabetes Melitus Tipe 2 yang jumlahnya mencakup 90-95%
(Diabetes Care, 2012).
2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (2015), Diabetes Melitus
diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu:
1. Diabetes Melitus tipe 1
Disebabkan karena destruksi sel β pakreas oleh sistem imun. Biasanya
akan memicu defisiensi insulin absolut.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Disebabkan karena defek sekresi insulin progresif yang dilatarbelakangi
oleh resistensi insulin.
3. Gestational Diabetes Melitus
Diabetes yang didiagnosa pada kehamilan trimester kedua dan ketiga.
8
4. Diabetes Melitus tipe lain
Merupakan tipe spesifik dari Diabetes Melitus karena penyebab lain,
misalnya Sindrom Monogenik Diabetes (misalnya diabetes pada neonatus dan
Maturity Onset Diabetes of the Young [MODY]), penyakit pada kelenjar eksokrin
pankreas (cystic fibrosis), dan Diabetes Melitus yang diinduksi obat atau bahan
kimia (pada pengobatan HIV dan setelah transplantasi organ).
2.1.4 Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes Melitus Tipe 2 disebut juga non insulin dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM) atau adult onset diabetes, jumlahnya meliputi 90-95% dari
seluruh tipe Diabetes Melitus (American Diabetes Association, 2015). Diabetes
Melitus Tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin ataupun resistensi insulin
pada organ target terutama otot dan hati (Soegondo, 2014). Pada Diabetes Melitus
Tipe 2, jaringan lemak, otot, dan hati tidak dapat berespon secara tepat terhadap
insulin. Akibatnya, glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel untuk
disimpan. Ketika glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, kadar glukosa dalam
darah akan tinggi. Keadaan ini disebut hiperglikemia. Tubuh tidak mampu
menggunakan glukosa untuk energi. Hal ini akan memicu munculnya gejala
Diabetes Melitus Tipe 2 (Wisse dan Zieve, 2016).
Resistensi insulin pada awalnya belum mampu menimbulkan diabetes
secara klinis karena sel beta pankreas memproduksi insulin secara ekstra untuk
mengkompensasi terjadinya resistensi insulin. Sehingga terjadi hiperinsulinemia
dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Tetapi lama-
kelamaan sel beta pankreas tidak mampu untuk mengkompensasi keadaan
tersebut dan tidak mampu memproduksi insulin secara cukup. Kondisi ini akan
memicu Diabetes Melitus secara klinis yang ditandai dengan meningkatnya kadar
9
glukosa dalam darah yang memenuhi kriteria diagnosis Diabetes Melitus.
Hiperglikemia awalnya terjadi pada fase setelah makan saat otot tidak mampu
mengambil glukosa secara optimal. Namun pada fase berikutnya saat produksi
insulin semakin menurun, hepar akan memproduksi glukosa secara berlebihan.
Akibatnya, gula darah akan meningkat pada saat puasa (Soegondo, 2014).
Terdapat berbagai macam penyebab Diabetes Melitus Tipe 2. Meskipun
etiologi yang spesifik belum diketahui, pada Diabetes Melitus Tipe 2 tidak terjadi
destruksi sel beta pankreas oleh sistem imun. Kebanyakan pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 mengalami obesitas. Obesitas sendiri dapat menyebabkan
resistensi insulin. Diabetes Melitus Tipe 2 biasanya tidak terdiagnosis selama
beberapa tahun karena hiperglikemia berkembang secara bertahap dan pada
tahap awal tidak cukup berat untuk menimbulkan gejala klasik Diabetes Melitus.
Namun demikian, pasien tersebut mengalami peningkatan risiko terjadinya
komplikasi mikrovaskular dan makrovraskular (American Diabetes Association,
2015).
2.1.5 Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2
Hubungan antara faktor risiko dengan perkembangan penyakit diabetes
tidak pernah 100%. Namun, semakin banyak jumlah faktor risiko pada individu,
semakin besar kemungkinan individu tersebut menderita diabetes (American
Diabetes Association, 2002). Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi yang berkontribusi terhadap
berkembangnya Diabetes Melitus Tipe 2. Tabel di bawah ini merupakan faktor
risiko Diabetes Melitus Tipe 2 yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi
(Hydrie, 2012).
10
Tabel 2.1 Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 (American Diabetes Association, 2002)
Faktor Risiko yang Dapat
Dimodifikasi
Faktor Risiko yang Tidak Dapat
Dimodifikasi
Obesitas Etnis
Sedentary lifestyle Riwayat Keluarga menderita Diabetes
Melitus Tipe 2
Intoleransi glukosa Umur
Sidrom metabolik :
Hipertensi
Kadar HDL rendah
Peningkatan kadar TG
Jenis kelamin
Faktor makanan Riwayat gestational diabetes mellitus
Lingkungan intrauterin Polycystic ovary syndrome
Inflamasi
Faktor risiko mayor Diabetes Melitus Tipe 2, yaitu: (Khardori, 2016)
Usia, risiko lebih tinggi pada usia >45 tahun.
Berat badan lebih dari 120% dari berat badan ideal.
Riwayat keluarga menderita Diabetes Melitus Tipe 2 pada tingkat pertama
hubungan (misalnya orang tua atau saudara kandung).
Ras Hispanik, penduduk asli Amerika, Afrika Amerika, Asia Amerika, atau Pulau
Pasifik.
Riwayat mengalami impaired glucose tolerance (IGT) atau impaired fasting
glucose (IFG).
Hipertensi (≥140/90 mmHg) atau dislipidemia (kolesterol HDL < 40 mg/dL atau
trigliserida >150 mg/dL)
Riwayat Gestational Diabetes Melitus atau atau melahirkan bayi dengan
dengan berat badan di atas 9 Ib.
11
Polycystic ovarian syndrome (dapat menyebabkan resistensi insulin)
2.1.6 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Perkembangan perubahan metabolisme glukosa dihasilkan dari penurunan
fungsi sel beta pankreas secara bertahap yang terjadi dalam latar belakang
resistensi insulin (American Diabetes Association, 2011). Untuk Diabetes Melitus
Tipe 2, resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin harus ada. Gambar
2.1 merupakan skema patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2 (Khardori, 2016).
Gambar 2.1 Skema Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2 (Khardori, 2016)
12
Fungsi Sel Beta Pankreas
Diabetes Melitus Tipe 2 adalah suatu penyakit progresif dan merupakan
faktor utama yang bertanggung jawab terhadap penurunan fungsi sel beta
pankreas secara bertahap. Beberapa studi menyebutkan bahwa diabetes dan
prediabetes tidak berkembang sampai sel beta pankreas gagal untuk
mengkompensasi resistensi insulin perifer. Kemampuan sel beta pankreas
mensekresi insulin dalam jumlah yang cukup untuk respon yang adekuat terhadap
resistensi insulin perifer bergantung pada banyak faktor, yaitu massa sel beta
pankreas dan kapasitas sekresinya, yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan (American Diabetes Association, 2011).
Resistensi Insulin
Resistensi insulin terjadi 10-20 tahun sebelum onset penyakit. Resistensi
insulin mempengaruhi kegagalan fungsi sel beta pankreas secara progresif.
Mekanisme tepat mengenai resistensi insulin akan mempengaruhi kegagalan
fungsi sel beta pankreas masih belum sepenuhnya dipahami. Namun, hipotesis
yang paling mungkin adalah bahwa penyebab dari resistensi insulin juga
bertanggung jawab terhadap kegagalan fungsi sel beta pankreas, misalnya
lipotoksisitas (American Diabetes Association, 2011).
Resistensi insulin dikaitkan dengan peningkatan kadar asam lemak bebas
dan sitokin proinflamasi di dalam plasma yang memicu berkurangnya transport
glukosa ke sel otot, meningkatnya produksi glukosa hepar, dan meningkatnya
pemecahan lemak (Khardori, 2016).
2.1.7 Dislipidemia pada Diabetes Melitus Tipe 2
Tahap selanjutnya dari DM Tipe 2 yaitu sel beta pankreas menjadi lelah
atau rusak sehingga tidak mampu memproduksi cukup insulin untuk mencegah
13
hiperglikemia. Bila insulin tidak cukup, semua aspek pemecahan dan penggunaan
lemak sebagai sumber energi akan meningkat. Keadaan ini akan menyebabkan
hidrolisis trigliserida yang tersimpan pada jaringan adiposa yang akan melepaskan
sejumlah besar asam lemak dan gliserol ke dalam sirkulasi darah. Akibatnya,
konsentrasi asam lemak bebas di dalam plasma akan meningkat. Kelebihan asam
lemak di dalam plasma akan memacu pengubahan asam lemak menjadi fosfolipid
dan kolesterol di hati. Kemudian, kolesterol ini akan dilepaskan ke dalam darah
dalam bentuk lipoprotein. Hal ini mengakibatkan konsetrasi lipid dalam plasma
meningkat. Konsentrasi lipid yang tinggi, khususnya LDL, akan memacu
perkembangan aterosklerosis pada pasien DM Tipe 2 (Guyton dan Hall, 2014).
2.1.8 Stres Oksidatif pada Diabetes Melitus Tipe 2
Radikal bebas merupakan suatu senyawa atau molekul yang mengandung
satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital luarnya. Elektron
yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari
pasangan dengan cara mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya.
Radikal bebas yang terbentuk di dalam tubuh akan menghasilkan radikal bebas
yang baru melalui reaksi berantai yang pada akhirnya jumlahnya akan terus
bertambah. Selanjutnya menyerang sel-sel di dalam tubuh dan akhirnya
menyebabkan kerusakan jaringan. Bila tubuh dalam keadaan normal, di dalam
tubuh terjadi keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Keseimbangan
tersebut dapat terganggu akibat infeksi, radiasi, trauma, Diabetes Melitus,
merokok, dan dislipidemia. Keadaan ini menyebabkan munculnya stres oksidatif
di dalam tubuh (Panut, 2012).
Menurut Nurtamin (2014), stres oksidatif adalah suatu keadaan dimana
terjadi ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang disebabkan oleh
14
peningkatan jumlah ROS atau reactive nitrogen species (RNS) dibandingkan
dengan sistem pertahanan antioksidan endogen tubuh. Yang termasuk ROS
adalah superoksida (O2-), hidroksil (OH), peroksil (RO2), alkalosil (RO), dan non
radikal tertentu yang merupakan senyawa pengoksidasi dan atau mudah
dikonversi menjadi radikal, seperti asam hipoklorus (HOCl), ozone (O3), singlet
oksigen (O2), dan hidrogen peroksida (H2O2).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa stres oksidatif memiliki peran
penting terhadap patogenesis komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular pada
penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Peningkatan stres oksidatif pada penderita
Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan konsekuensi dari berbagai macam
abnormalitas, termasuk hiperglikemia, resistensi insulin, hiperinsulinemia, dan
dislipidemia. Setiap abnormalitas tersebut berkontribusi terhadap overproduksi
superoksida oleh mitokondria sel endotel pembuluh darah. Mekanisme
patofisiologi yang medasari komplikasi Diabetes Melitus dapat dijelaskan melalui
peningkatan produksi ROS yang disebabkan oleh beberapa jalur, yaitu jalur poliol
sorbitol, glikasi nonenzimatik protein, jalur protein kinase C, dan autooksidasi
glukosa (Franco et al., 2014).
Jalur Poliol Sorbitol
Sebagian glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat oleh
enzim heksokinase pada keadaan normoglikemia. Sebagian kecil glukosa yang
tidak mengalami fosforilasi memasuki jalur poliol. Jalur poliol merupakan jalur
alternatif metabolisme glukosa. Melalui jalur ini, glukosa dalam sel dapat diubah
menjadi sorbitol dengan bantuan enzim aldosa reduktase. Konsentrasi sorbitol di
dalam sel rendah pada keadaan normal. Namun pada keadaan hiperglikemia akan
terjadi peningkatan kadar sorbitol. Sorbitol dengan bantuan enzim sorbitol
15
dehidrogenase akan diubah menjadi fruktosa (Panut, 2012). Aktivasi jalur poliol
akan menyebabkan menurunnya rasio NADPH sitosol terhadap NADP+. Rasio
NADPH sitosol terhadap NADP+ sangat penting terhadap fungsi pembuluh darah.
NADPH sitosolik juga sangat penting dalam proses defens antioksidan. Glutation
reduktase memerlukan NADPH sitosolik untuk menetralisasi berbagai oksidan
intrasel. Dengan demikian, menurunnya rasio NADPH sitosolik terhadap NADP+
dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Aktivasi jalur poliol sorbitol ini juga
akan mengaktivasi terjadinya glikasi nonenzimatik protein dan aktivasi protein
kinase C (Waspadji, 2014).
Glikasi Nonenzimatik Protein
Produksi glukosa-6-fosfat dan fruktosa meningkat melalui proses glikolisis
dan jalur poliol pada keadaan hiperglikemia. Glukosa sebagai agen pereduksi
dapat bersifat toksis karena memiliki gugus karbonil aldehid. Aldehid merupakan
senyawa yang mampu berikatan secara kovalen sehingga terjadi modifikasi
protein. Modifikasi tersebut dapat dibangkitkan melalui berbagai mekanisme, salah
satunya mekanisme nonenzimatik (Setiawan dan Suhartono, 2005). Reaksi
pengikatan aldehid dengan protein disebut glikasi. Produk akhir dari proses glikasi
adalah advanced glycosylation end product (AGE). AGE dapat mengakibatkan
kerusakan secara langsung pada sel karena berinteraksi dengan reseptor seluler
yang spesifik pada sel yaitu reseptor AGE (RAGE). Interaksi antara AGE dengan
RAGE menyebabkan peningkatan radikal bebas. Akumulasi AGE di berbagai
jaringan merupakan sumber utama radikal bebas sehingga berperan dalam
peningkatan stres oksidatif (Panut, 2012).
16
Jalur Protein Kinase C
Hiperglikemia akan menyebabkan meningkatnya diasilgliserol (DAG)
intraselular. Peningkatan DAG intrasel akan mengaktifkan protein kinase (PKC),
terutama PKC beta. Perubahan tersebut akan berpengaruh pada sel endotel.
Peningkatan PKC akan menyebabkan proliferasi sel otot polos dan juga
menyebabkan terbentuknya berbagai sitokin serta berbagai faktor pertumbuhan
(Waspadji, 2014).
Autooksidasi Glukosa
Proses autooksidasi glukosa dikatalisis oleh senyawa logam dalam jumlah
kecil seperti besi dan seng. Hasil katalisis tersebut adalah senyawa oksigen reaktif.
Autooksidasi glukosa terjadi pada proses glikasi nonenzimatik protein yang
menghasilkan hidrogen peroksida. Selain hidrogen peroksida, radikal superoksida
juga dihasilkan (Setiawan dan Suhartono, 2005).
2.1.9 Diagnosis
Diagnosis Diabetes Melitus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan kadar
glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan yaitu pemeriksaan
glukosa darah secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena (PERKENI,
2015). Pemeriksaan menjadi akurat hanya jika glikolisis pada sampel darah
dihambat secepat mungkin pada saat mengambil darah. Hal ini dapat dilakukan
melalui dua cara. Pertama, tabung darah disimpan dalam es dan disentrifugasi
selama 30 menit. Kedua, glikolisis di tabung dapat dihambat dengan penambahan
zat tertentu misalnya sitrat+fluoride (W. Kerner dan J. Brϋckel, 2014). Kecurigaan
menderita Diabetes Melitus perlu dipikirkan apabila ada keluhan sebagi berikut :
(PERKENI, 2015)
17
Keluhan klasik Diabetes Melitus : poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan
berat bada yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Diabetes dapat didiagnosis berdasarkan kriteria A1C atau kriteria glukosa
plasma melalui nilai glukosa darah puasa (FPG) atau glukosa plasma 2 jam (2-h
plasma glucose/2-h PG) setelah pemberian beban glukosa 75 gram (75-g oral
glucose tolerance test/OGTT). Tes yang sama dapat digunakan untuk skrining dan
diagnosa diabetes (American Diabetes Association, 2015). Berikut ini merupakan
kriteria diagnosis Diabetes Melitus menurut PERKENI 2015:
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis DM (PERKENI, 2015)
Guidelines merekomendasikan pemeriksaan HbA1C sebagai alat
diagnostik untuk diabetes. Namun, ada beberapa kondisi yang menyebabkan
Pemeriksaan glukosa plasma puasa (FPG) ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi
tidak mendapat asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2 jam setelah Test Toleransi Glukosa
Oral (OGTT) dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1C ≥ 6.5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP).
18
HbA1C tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik (W. Kerner dan J. Brϋckel,
2014).
Tabel 2.3 Kondisi yang Memicu Pengukuran HbA1C Tidak Akurat (W. Kerner dan J. Brϋckel, 2014).
1. Varian hemoglobin (HbS, HbE, HbF, HbC, HbD, dll).
2. Kondisi dengan peningkatan atau pengurangan masa hidup eritrosit
(anemia hemolitik, anemia defisiensi besi, pembentukan darah pada
kondisi pengobatan anemia, penyakit liver dan ginjal).
3. Modifikasi kimia dari uremia hemoglobin (carbamylated Hb), terapi
asam asetilsalisilat dalam waktu lama dan dosis tinggi (acetylated
Hb).
4. Hambatan glikasi (terapi jangka panjang asam askorbat dan vitamin
E).
5. Kehamilan
Pemeriksaan untuk mendeteksi Diabetes Melitus Tipe 2 pada orang yang
asimtomatis harus dipertimbangkan pada orang dewasa dari segala usia yang
kelebihan berat badan (overweight) atau obesitas (BMI ≥25 kg / m2 atau ≥23 kg /
m2 di Amerika Asia) dan yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes.
Pemeriksaan harus dimulai pada usia 45 tahun untuk semua pasien, terutama
mereka yang kelebihan berat badan atau obesitas. Jika hasil pemeriksaannya
normal, pemeriksaan harus diulang dengan interval waktu minimal 3 tahun.
Pemeriksaan untuk mendeteksi Diabetes Melitus Tipe 2 harus dipertimbangkan
pada anak-anak dan remaja yang memiliki kelebihan berat badan atau obes dan
19
yang memiliki dua atau lebih faktor risiko untuk diabetes (American Diabetes
Association, 2015).
2.1.10 Komplikasi
Komplikasi diabetes dibagi menjadi komplikasi mikrovaskular dan
komplikasi makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular disebabkan karena
kerusakan pembuluh darah kecil. Sedangkan komplikasi makrovaskular
disebabkan karena rusaknya pembuluh darah besar. Komplikasi mikrovaskular
termasuk retinopati yang dapat memicu kebutaan, nefropati yang dapat memicu
gagal ginjal, dan neuropati yang dapat memicu impotensi dan kelainan kaki
diabetik (termasuk infeksi berat yang dapat memicu amputasi). Komplikasi
makrovaskular termasuk penyakit kardiovaskular misalnya serangan jantung,
stroke, dan insufisiensi aliran darah ke kaki (WHO, 2016).
Komplikasi makrovaskular disebabkan karena hiperglikemia, kelebihan
asam lemak bebas, dan resistensi insulin. Hal tersebut menyebabkan stres
oksidatif , aktivasi protein kinase, dan aktivasi dari reseptor advanced glycosilation
end products (RAGEs) yang merupakan faktor yang bekerja pada endotelium
(Zimmerman, 2016).
2.1.11 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Penatalaksanaan diabetes bertujuan untuk menghilangkan gejala dan
mencegah atau memperlambat komplikasi (Khardori, 2016). Pengobatan Diabetes
Melitus Tipe 2 berfokus pada tiga area, yaitu: (Ripsin et al., 2009)
1. Perubahan gaya hidup meliputi aktivitas fisik minimal 150 menit/minggu,
penurunan berat badan dengan target awal turun 7% dari berat badan awal,
diet rendah lemak, pengurangan konsumsi kalori.
20
2. Manajemen faktor risiko kardiovaskular, misalnya hipertensi, dislipidemia, dan
mikroalbuminuria dengan penggunaan obat-obatan seperti aspirin, statin, dan
angiotensin converting enzyme inhibitors.
3. Menormalkan gula darah (HbA1C <7%).
Menurut Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia
2011, penatalaksanaan dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu
edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis (Ndraha,
2014).
2.1.11.1 Edukasi
Edukasi bertujuan untuk mendukung usaha pasien untuk mengerti
perjalanan penyakit dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan atau
komplikasi yang mungkin akan timbul saat masih reversibel, perubahan perilaku
atau kebiasaan kesehatan, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan
penyakit secara mandiri. Edukasi pada pasien diabetes meliputi perawatan kaki
diabetes, pemantauan glukosa secara mandiri, ketaatan penggunakan obat-
obatan, peningkatan aktivitas fisik, mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak
(Ndraha, 2014).
2.1.11.2 Terapi Gizi Medis
Terapi gizi medis merupakan bagian paling penting dari penatalaksanaan
DM tipe 2 secara komprehensif. Prinsip pengaturan makan pada penderita
diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu
meliputi makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masing-masing individu (PERKENI, 2015). Penting juga untuk memperhatikan
jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan
21
untuk penderita diabetes terdiri dari karbohidrat 45-65%, protein 10-20%, lemak
20-25%, natrium <3 gram, dan makanan berserat kurang lebih 25 gram/hari
(Ndraha, 2014).
2.1.11.3 Latihan Jasmani
Latihan jasmani merupakan pilar penatalaksanaan diabetes apabila tidak
ada nefropati. Latihan jasmani dilakukan secara teratur 3-5 kali dalam seminggu
selama kurang lebih 30-45 menit, total per minggu 150 menit (PERKENI, 2015).
Latihan jasmani yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobik seperti joging,
bersepeda, dan berenang. Tujuan latihan jasmani adalah untuk menurukan berat
badan, menjaga kebugaran, serta meningkatkan sensitivitas insulin (Ndraha,
2014).
2.1.11.4 Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersamaan dengan latihan jasmani dan
pengaturan makan. Terapi farmakologis terdiri dari sediaan oral dan injeksi
(PERKENI, 2015). Obat oral dan injeksi memiliki mekanisme yang berbeda dalam
menurunkan gula darah. Obat oral antihiperglikemik antara lain sulfonilurea, glinid,
biguanid, tiazolidindion, dan acarbose. Obat antihiperglikemik injeksi yaitu insulin
dan incretin mimetik atau agonis glucagon like peptide 1 (GLP-1) (Ndraha, 2014).
2.2 Aterosklerosis
Penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 adalah penyakit jantung koroner. Mekanisme terjadinya penyakit jantung
koroner dikaitkan dengan aterosklerosis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
(Yuliani et al., 2014). Aterosklerosis atau kekakuan pembuluh darah arteri
merupakan suatu proses inflamasi kronik yang patofisiologinya melibatkan lipid,
22
trombosis, dinding vaskular, dan sel imun (Adi, 2014). Pada aterosklerosis terjadi
pembentukan plak di dalam pembuluh darah arteri. Arteri merupakan pembuluh
darah yang membawa darah kaya akan oksigen ke jantung dan bagian lain dari
tubuh. Plak terbuat dari lemak, kolestrol, kalsium, dan substansi lain yang
ditemukan dalam darah. Lama-kelamaan plak akan mengeras dan mempersempit
lumen pembuluh darah arteri. Hal ini membatasi aliran darah yang kaya akan
oksigen ke berbagai organ dan bagian lain tubuh. Aterosklerosis dapat memicu
terjadinya problem yang serius, termasuk serangan jantung, stroke, dan kematian
(National Heart, Lung, and Blood Institute, 2016).
Aterosklerosis disebabkan karena disfungsi endotel dan inflamasi. Endotel
pembuluh darah akan mengatur homeostasis pembuluh darah dengan
menghasilkan zat-zat yang bisa menyebabkan penggumpalan (clotting) atau anti
penggumpalan (anticlotting). Nitrit Oxide (NO) merupakan bahan antiaterogenik
utama yang dihasilkan endotel sebagai faktor protektif. Adanya inflamasi dan
berbagai faktor risiko lain akan menyebabkan hilangnya efek proteksi endotel
tersebut (Adi, 2014).
Aterosklerosis melibatkan proses yang kompleks. Banyak peneliti percaya
bahwa plak mulai terbentuk karena kerusakan endotel. Kerusakan pada endotel
menyebabkan akumulasi lemak, kolestrol, platelet, debris selular, dan kalsium
pada dinding arteri. Berbagai substansi tersebut dapat menstimulasi sel pada
dinding arteri untuk memproduksi substansi lain. Pada akhirnya terjadi akumulasi
lebih banyak sel pada lapisan dalam dinding arteri. Pada waktu yang sama, lemak
menumpuk di dalam dan sekitar sel ini membentuk jaringan ikat. Dinding arteri
menjadi menebal karena akumulasi sel dan berbagai material disekitar sel. Arteri
menjadi menyempit dan aliran darah berkurang. Hal ini menyebabkan kurangnya
23
suplai oksigen. Jika suplai oksigen ke otot jantung berkurang akan terjadi serangan
jantung. Jika suplai oksigen ke otak berkurang akan terjadi stroke. Jika suplai
oksigen ke ekstremitas berkurang akan terjadi gangrene (American Heart
Association, 2014).
2.2.1 Patogenesis Aterosklerosis
Aterosklerosis adalah sekumpulan proses yang kompleks yang melibatkan
darah dan meterial yang dikandungnya, vasa vasorum, endotel vaskular, dan
mungkin juga lingkungan intrauterin. Aterosklerosis memiliki daerah predileksi
tertentu, misalnya aorta dan arteri koronaria (Adi, 2014).
Mekanisme terjadinya aterosklerosis dapat dilihat pada gambar 2.2. Tahap
awal dari aterosklerosis adalah disfungsi endotel yang akan menstimulasi
akumulasi dan oksidasi LDL kolestrol pada dinding pembuluh darah (Ferrières,
2009). Disfungsi endotel dipicu oleh injuri endotel, misalnya karena stres regangan
(shear stress), toksin dan bahan kimia iritan pada rokok yang akan meningkatkan
produksi ROS, peningkatan LDL kolestrol dalam darah, dan diabetes (Yelle, 2006).
Proses diawali dengan oksidasi LDL kolestrol menjadi LDL yang teroksidasi atau
Ox LDL (Adi, 2014).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa disfungsi endotel disebabkan
oleh penurunan biavailabilitas NO. NO diketahui memiliki fungsi yang sangat
penting bagi pembuluh darah seperti vasodilatasi, menghambat proliferasi sel otot
polos, agregrasi platelet, adesi monosit dan platelet, oksidasi LDL, ekspresi
molekul adesi dan produksi endotelin. Stres oksidatif merupakan
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang disebabkan oleh
peningkatan ROS atau RNS (Reactive Nitrogen Species). Stres oksidatif dapat
menyebabkan disfungsi endotel dengan cara menurunkan bioavalilabilitas NO dan
24
menghambat jalur sintesis NO. Penurunan NO menyebabkan vasokontriksi
pembuluh darah dan endotel menjadi bersifat proaterogenik dan proinflamasi.
Stres oksidatif juga memicu aktivasi nuclear faktor Ƙb (NF-kB) dan aktivator protein
1 (AP-1) yang merupakan gen-gen bersifat proinflamasi. NF-kB dan AP-1
bertanggung jawab terhadap ekspresi molekul vascular cellular adhesion
molecules (VCAM-1), intercellular adhesion molecules (ICAM-1), E selectin, dan
sitokin lain. Pada keadaan ini, pembuluh darah lebih permeabel (Nurtamin, 2014).
Berdasarkan ukuran dan konsentrasinya, molekul plasma dan lipoprotein bisa
ekstravasasi melalui endotel yang rusak atau bocor dan masuk ke ruangan
subendotelial. Ox LDL akan terperangkap dan berubah menjadi bersifat sitotoksik,
kemotaktik, proinflamasi, dan proaterogenik. Endotel menjadi aktif karena
pengaruh inflamasi dan aterogenik tersebut. Selain itu sel-sel adesi (VCAM-1,
ICAM-1, E selectin) akan menangkap monosit dan sel T limfosit. Monosit akan
berubah menjadi makrofag dan menangkap Ox LDL, kemudian akan berubah
menjadi sel busa (foam sel). Selanjutnya, sel busa akan berkembang menjadi inti
lemak (lipid core) dan mempunyai pelindung fibrosa (fibrous cap). Pelindung
fibrosa ini dapat rapuh sehingga memicu proses trombogenesis yang berakibat
terjadinya sindrom koronaria akut (Adi, 2014).
Proses aterosklerosis dimulai dari pembentukan lapisan lemak (fatty
streak). Lapisan lemak merupakan tanda awal aterosklerosis. Lapisan lemak
mengandung sel busa yang berada pada subendotel. Seiring berjalannya waktu,
lapisan lemak dapat berkembang menjadi plak aterosklerosis. Injuri endotel akan
memicu adesi monosit, peregangan celah endotel, dan migrasi monosit ke
subendotel yang kemudian akan menjadi makrofag. Endotelium yang permeabel
akan memperbolehkan LDL untuk masuk ke lapisan intima arteri, dan makrofag
25
akan memakannya melalui fagositosis. Makrofag yang memfagosit Ox LDL disebut
sel busa, dan kumpulan sel busa akan membentuk lapisan lemak (fatty streak).
Gambar 2.2 Patogenesis Aterosklerosis (LaMorte, 2016)
Limfosit T pada tunika intima juga akan memproduksi sitokin yang akan
menginduksi sel otot polos bermigrasi dari tunika media ke tunika intima (LaMorte,
2016). Sitokin yang terlibat antara lain TNF-α dan IL-1. Sel otot polos juga
berproliferasi dibawah pengaruh growth factor (FGF dan TGF-β) (Yelle, 2006).
Lama-kelamaan akan terjadi akumulasi lemak dan sel otot polos secara progresif
pada tunika intima. Akhirnya, lesi ini mulai mengangkat endotel dan mengisi lumen
arteri (LaMorte, 2016).
Terdapat dua bentuk evolusi dari plak aterosklerosis. Plak yang tumbuh
lambat akan meluas secara bertahap karena akumulasi lemak pada sel busa dan
migrasi serta proliferasi sel otot polos. Plak ini cenderung stabil dan tidak mudah
26
ruptur. Plak ini disebut fibrin cap pada lesi yang matur. Sebaliknya, plak lain
tumbuh cepat sebagai hasil dari deposisi lemak yang cepat. Plak ini memiliki fibrin
cap yang tipis dan cenderung mudah ruptur. Ketika plak ruptur akan memicu
trombosis akut (clot) oleh platelet dan clotting cascade yang teraktivasi (LaMorte,
2016).
2.3 Struktur Pembuluh darah
Dinding pembuluh darah terdiri dari tiga lapisan. Lapisan terdalam adalah
tunika intima. Lapisan tengah adalah tunika media. Lapisan terluar adalah tunika
adventitia (Eroschenko, 2012).
2.3.1 Tunika Intima
Tunika intima terdiri dari selapis sel endotel. Sel endotel tersebut ditopang
oleh selapis tipis subendotel jaringan ikat longgar yang terkadang mengandung
otot polos (Mescher, 2011). Sel endotel berfungsi melapisi permukaan dalam
pembuluh darah dan memberikan permukaan licin antara darah dan dinding
pembuluh darah. Sel endotel memproduksi zat-zat seperti prostaglandin, heparin,
dan aktivator plasminogen yang berfungsi untuk mencegah agregrasi trombosit
dan vasokontriksi (Rahman, 2012). Tunika intima dipisahkan dengan tunika media
oleh lamina elastica interna yang merupakan komponen terluar intima. Lamina ini
terdiri atas elastin dan memiliki celah (fenestra) yang memungkinkan terjadinya
difusi zat untuk memeberi nutrisi ke sel-sel bagian dalam pembuluh darah
(Mescher, 2011).
2.3.2 Tunika Media
Terdiri atas lapisan sel otot polos yang tersusun secara berpilin. Diantara
sel-sel otot polos terdapat berbagai serat dan lamela elastin, serat retikular
27
kolagen tipe III, proteoglikan, dan glikoprotein yang semuanya dihasilkan oleh sel
otot polos ini. Tunika media dan tunika aventitia dipisahkan oleh lamina elastica
externa yang lebih tipis (Mescher, 2011).
2.3.3 Tunika Adventitia
Disebut juga tunika eksterna. Terutama terdiri atas serat kolagen tipe I dan
elastin. Lapisan ini berangsur menyatu dengan jaringan ikat stromal organ tempat
pembuluh darah berada (Mescher, 2011). Lapisan ini juga dikelilingi vasa vasorum
yaitu jaringan arteriol (Rahman, 2012).
2.4 Tomat (Lycopersicon esculentum)
2.4.1 Sistematika Tanaman Tomat
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Asteridae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies : Solanum lycopersicum
2.4.2 Karakteristik Umum dan Kandungan Kulit Tomat
Tomat atau Lycopersicon esculentum merupakan jenis tanaman sayuran
yang umumnya ditanam di dataran tinggi (Kusandryani et al., 2005). Tomat tumbuh
di Amerika Tengah, Amerika Selatan, Eropa, dan Asia (Pratiwi, 2009). Faktor
28
temperatur mempengaruhi warna buat tomat. Pada temperatur di atas 32 °C warna
buah tomat cenderung kuning. Temperatur ideal dan berpengaruh baik terhadap
warna buah tomat adalah antara 24°C - 28°C.Tanaman tomat memerlukan
intensitas cahaya matahari sekurang–kurangya 10-12 jam setiap hari (Gehel,
2012).
Kuntum bunga tomat terdiri dari 5 helai daun kelopak dan lima mahkota.
Daun tomat berwarna hijau dan berbulu. Bunga tanaman tomat berwarna kuning.
Buahnya berbentuk bulat, bulat lonjong, bulat pipih, atau oval. Buah tomat yang
masih muda berwarna hijau. Sedangkan buah tomat yang sudah tua berwarna
merah cerah sampai merah gelap. Buah tomat memliki daging yang lembut, lunak,
dan kadang-kadang banyak mengandung biji. Buah tomat memiliki rasa manis,
asam, dan sedikit dingin (Pratiwi, 2009).
Tomat ditanam di seluruh dunia digunakan untuk produksi pasta tomat,
saus tomat, dan sup, sejumlah tomat juga dikonsumsi tanpa diproses. Tomat
mengandung komponen seperti likopen, fenolik, flavonoid, vitamin C dan E yang
berfungsi sebagai antioksidan (Toor dan Savage, 2005). Ketika memasak tomat,
pastikan jangan membuang kulit tomat karena pada kulit tomat banyak
mengandung beta karoten dan likopen. Likopen merupakan antioksidan yang kuat.
Tomat juga memiliki mekanisme protektif, misalnya antitrombotik dan
antiinflamasi. Beberapa menyebutkan bahwa mengkonsumsi tomat secara teratur
dapat menurukan risiko kanker, penyakit kardiovaskular, osteoporosis, kerusakan
kulit akibat sinar ultraviolet, dan disfungsi kognitif.
Tomat memiliki berbagai varietas, tetapi semua varietas memiliki
kandungan nutrisi yang sama. Kandungan nutrisi tomat antara lain potasium,
29
fosfor, magnesium, besi, vitamin A,B, dan C, fitosterol, dan asam folat (Debjit et
al., 2012).
Stewart et al. (2000) melaporkan bahwa kandungan flavonol terbanyak ada
pada kulit tomat. George et al. (2004) melaporkan bahwa kulit tomat mengandung
banyak fenolik dan asam askorbat. Pada studi yang dilakukan oleh Toor dan
Savage (2004) menyebutkan bahwa jumlah fenolik, flavonoid, likopen, dan asam
askorbat terbanyak terdapat pada kulit tomat jika dibandingkan dengan buah dan
biji tomat.
Salah satu keuntungan utama mengkonsumsi tomat adalah kandungan
likopen di dalamnya. Tomat memiliki kandungan likopen tertinggi dibandingkan
buah lain. Likopen merupakan antioksidan kuat yang membantu melawan
pembentukan sel kanker dan berbagai macam masalah kesehatan lain. Radikal
bebas di dalam tubuh dapat dihilangkan oleh kandungan likopen yang tinggi pada
tomat. Tomat juga membantu untuk mengurangi risiko aterosklerosis dan
degenerasi otot. Likopen pada tomat dapat mencegah oksidasi LDL sehingga
pembentukan plak pada dinding arteri dapat dihambat (Debjit et al., 2012).
2.4.2.1 Fenol
Fenol merupakan senyawa organik yang ditandai dengan adanya gugus
hidroksil (-OH) yang menempel pada atom karbon yang merupakan bagian dari
cincin aromatik. Fenol mirip dengan alkohol tetapi membentuk ikatan hidrogen
yang lebih kuat. Oleh karena itu, fenol lebih mudah larut dalam air dan memiliki
titik didih yang tinggi (Wade, 2008). Flavonoid merupakan komponen utama dari
fenol (Toor dan Savage, 2005). Fenol yang paling banyak terdapat pada tomat
adalah flavonoid. Flavonol, salah satu jenis flavonoid, pada tomat sangat tinggi.
98% flavonol terkandung pada kulit tomat. Fenol dapat diklasifikasikan menurut
30
jumlah karbon dalam senyawanya. Berikut ini merupakan klasifikasi fenol
(Mariska, 2009).
2.4.2.1.1 Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa C15 yang semuanya memiliki struktur C6-
C3-C6 (Mariska, 2009). Flavonoid mengandung dua cincin benzena yang
dihubungkan oleh rantai pendek tiga karbon. Flavonoid dapat dibagi menjadi enam
subtipe, yaitu chalcones, flavones, isoflavonoids, flavanones, anthoxanthins and
anthocyanins (Robertson, 2016).Flavonoid dapat memberikan warna pigmen pada
berbagai tanaman, termasuk warna biru gelap pada bluberi dan warna merah pada
raspberi (Mateljan, 2016).
Flavonoid memiliki fungsi antioksidan yang sangat penting bagi kesehatan
tubuh. Flavonoid, terutama subtipe flavonol dan flavan-3-ols, sangat efektif untuk
mengurangi radikal bebas yang merusak sel di dalam tubuh (Mateljan, 2016).
Beberapa studi menyebutkan bahwa flavonoid mengurangi risiko aterosklerosis
dengan cara menghambat oksidasi LDL (Robertson, 2016).
2.4.2.2 Likopen
Likopen atau α-carotene adalah suatu karotenoid pigmen merah terang
yang banyak ditemukan pada buah tomat dan buah lain yang berwarna merah
(Mu’nisa, 2012). Likopen mengandung atom hidrogen dan karbon. Likopen tidak
memiliki aktivitas provitamin A karena tidak memiliki cincin terminal beta ion.
Likopen merupakan antioksidan yang paling poten dan paling efektif sebagai
scavenger singlet oksigen (Story et al., 2013). Kemampuan likopen dalam
mengendalikan radikal bebas 100 kali lebih efisien daripada vitamin E atau 12.500
kali daripada glutathion (Mu’nisa, 2012). Likopen dapat mengurangi risiko penyakit
31
kardiovaskular dengan menghambat oksidasi LDL, sehingga tidak terbentuk plak
aterosklerosis (Debjit et al., 2012).
2.4.2.3 Asam Askorbat
Asam askorbat atau vitamin C terdiri dari enam rantai karbon. Vitamin C
merupakan vitamin yang larut air dan banyak terdapat pada jeruk dan berbagai
sayuran. Vitamin merupakan antioksidan poten yang berfungsi untuk melawan
infeksi bakteri, reaksi detoksifikasi, dan pembentukan kolagen pada jaringan
fibrosa, gigi, tulang, jaringan ikat, kulit, dan kapiler. Vitamin C tidak dapat
diproduksi atau disimpan oleh tubuh dan harus diperoleh dari makanan.
Gambar 2.3 Struktur 2 Dimensi Vitamin C (National Center for Biotechnology Information, 2016).
Efek antoksidan yang dimiliki vitamin C pada perjalanan diabetes adalah
sebagai inhibitor enzim aldolase reduktase dan meminimalisir pembentukan
AGEs, sehingga dapat mencegah terbentuknya ROS. Di dalam sel endotel, asam
askorbat mempengaruhi enzim nitrit oksida sintase sehingga radikal superoksida
sebagai produk samping pembentukan nitrit oksida dapat ditekan (Setiawan dan
Suhartono, 2005). Selain itu, mekanisme antioksidan pada vitamin C yaitu
32
mengurangi oksidasi LDL sehingga mencegah terjadinya penyakit kardiovaskular
dan stroke (National Center for Biotechnology Information, 2016).
2.5 Streptozotocin
Streptozotocin (STZ) merupakan senyawa natural yang diproduksi oleh
bakteri tanah Streptomyces achromogenes. Streptozotocin sangat larut dalam air,
keton, dan alkohol tetapi sedikit larut pada pelarut organik polar. Streptozotocin
memiliki rumus molekul C8H15N3O, berat molekul 265 g/mol dan struktur yang
terdiri dari separuh nitrosourea dengan gugus metil yang menempel pada salah
satu ujung dan molekul glukosa menempel pada ujung lain (Eleazu et al., 2013).
Streptozotocin digunakan untuk menginduksi Insulin Dependent Diabetes Melitus
pada hewan coba karena memiliki efek toksik pada set beta pankreas. Efek
diabetogenik pada STZ secara langsung menghasilkan kerusakan ireversibel
terhadap sel beta pankreas. Akhirnya sel beta pankreas mengalami degranulasi
dan kehilangan fungsinya untuk mensekresi insulin (Khaleel et al., 2015).
2.5.1 Mekanisme STZ Menginduksi Kerusakan Sel Beta Pankreas
STZ memasuki sel beta pankreas melalui glucose transporter (GLUT 2)
dan menyebabkan alkilasi DNA. Kerusakan DNA menginduksi aktivasi poly ADP-
ribosylation, suatu proses yang sangat penting terhadap efek diabetogenesitas
dari STZ. Poly ADP-ribosylation memicu deplesi NAD+ dan ATP. Hal ini juga
mengakibatkan peningkatan produksi xantine oxidase, yang pada akhirnya akan
terjadi pembentukan radikal superoksida. Akibatnya, hidrogen peroksida dan
radikal hidroksil juga terbentuk. Selanjutnya, STZ akan membebaskan sejumlah
toksin yaitu NO. NO akan mengakibatkan kerusakan DNA dan akhirnya terjadi
nekrosis sel beta pankreas (Szkudelski, 2001).
33
Pemberian diet tinggi lemak pada hewan coba akan menyebabkan
resistensi insulin, tetapi tidak hiperglikemia atau diabetes. Pemberian diet tinggi
lemak merupakan cara yang tepat untuk menginisiasi resistensi insulin, yang mana
merupakan salah satu ciri terpenting pada Diabetes Melitus Tipe 2. Pada waktu
yang sama, STZ secara luas digunakan untuk menginduksi insulin dependent dan
non insulin dependent diabetes melitus. STZ dosis tinggi akan mengganggu
sekresi insulin yang mekanismenya mirip dengan Diabetes Melitus Tipe 1.
Sedangkan STZ dosis rendah dapat digunakan untuk menginduksi gangguan
sekresi insulin yang mekanismenya mirip dengan Diabetes Melitus Tipe 2. Oleh
karena itu, kombinasi antara diet tinggi lemak dengan injeksi STZ dosis rendah
dapat memberikan hasil yang lebih baik untuk mengembangkan tikus model
Diabetes Melitus Tipe 2 (Ming et al., 2008)