Download - Bab 3 Lapkas Ga Tiva
BAB 3TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Combustio
3.1.1 Definisi
Combustio (luka bakar) adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan
jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas,
bahan kimia, listrik, dan radiasi15.
3.1.2 Epidemiologi
Luka bakar masih menjadi masalah besar yang mengancam seluruh
kalangan usia. Lebih dari 60% pasien luka bakar terjadi dalam kisaran usia
produktif, dimana pria lebih banyak daripada perempuan. Hingga 55% disebabkan
api, 40% karena air mendidih dan selebihnya dikarenakan kimia dan listrik17.
3.1.2 Patofisiologi
1. Respon lokal16,17
a) Zona koagulasi yaitu daerah yang langsung mengalami kerusakan atau
kehilangan jaringan irreversibel akibat koagulasi protein.
b) Zona statis yaitu area hipoperfusi yang masih berpotensi untuk
diselamatkan. Merupakan target utama resusitasi untuk meningkatkan
perfusi ke daerah ini dan mencegah kerusakan baru yang ireversibel.
Keadaan lainnya seperti hipotensi berkelanjutan, infeksi atupun edema
dapat mengubah area ini menjadi rusak ireversibel. Daerah ini berada
langsung di luar zona koagulasi, terjadi kerusakan endotel pembuluh darah
disertai kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguan
perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapiler dan
19
20
respons inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca
cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
c) Zona hiperemi yaitu daerah dengan perfusi jaringan meningkat, jaringan
akan membaik kecuali terdapat sepsis berat atau hipoperfusi
berkepanjangan.
2. Respon sistemik16,17
Ketika luas luka bakar mencapai 15-20% total permukaan tubuh, terjadi
pelepasan sitokin dan mediator inflamasi pada lesi yang memberi efek sistemik.
a) Perubahan kardiovaskular. Permeabilitas kapiler meningkat membuat
pelepasan protein dan cairan intravaskular ke interstisial. Selain itu terjadi
vasokontriksi arteri-arteri perifer dan splanknik. Pelepasan TNF-α
menyebabkan kontraktilitas miokard menurun. Keadaan tersebut
diperberat dengan hilangnya cairan dari luka, menyebabkan hipotensi
sitemik dan berujung pada hipoperfusi organ.
b) Perubahan respiratorik. Mediator inflamasi menyebabkan bronkokontriksi
dan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan respiratory distress
syndrome.
c) Perubahan metabolik. Basal metabolic rate meningkat hingga 3 kali lipat.
Keadaan tersebut diperberat hipoperfusi splanknik, membutuhkan nutrisi
enteral segera untuk mengurangi katabolisme dan menjaga keutuhan usus.
d) Perubahan imunologis. Terjadi down rwgulation tidak spesifik sistem
imun, baik selular maupun humoral.
21
3.1.3 Klasifikasi17
A. Klasifikasi berdasarkan kedalaman luka
1. Luka bakar derajat satu (I)
Ditandai dengan luka bakar superfisial dengan kerusakan pada lapisan
epidermis. Tampak eritema. Penyebab tersering adalah sengatan sinar matahari.
Pada proses penyembuhan terjadi lapisan luar epidermis yang mati akan
22
terkelupas dan terjadi regenerasi lapisan epitel yang sempurna dari epidermis yang
utuh dibawahnya. Tidak terdapat bula, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik
teriritasi. Dapat sembuh spontan selama 5-10 hari.
2. Luka bakar derajat dua (II)
Kerusakan terjadi pada lapisan epidermis dan sebagian dermis
dibawahnya, berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi. Pada luka
bakar derajat dua ini ditandai dengan nyeri, bercak-bercak berwarna merah muda
dan basah serta pembentukan blister atau lepuh.biasanya disebabkan oleh
tersambar petir, tersiram air panas. Dalam waktu 3-4 hari, permukaan luka bakar
mengering sehingga terbentuklah krusta tipis berwarna kuning kecoklatan seperti
kertas perkamen. Beberapa minggu kemudian, krusta itu akan mengelupas karena
timbul regenerasi epitel yang baru tetapi lebih tipis dari organ epitel kulit yang
tidak terbakar didalamnya. Oleh karena itu biasanya dapat terdapat penyembuhan
spontan pada luka bakar superfisial atau partial thickness burn.
Dibedakan menjadi 2 (dua):
a. Derajat II dangkal (superfisial)
kerusakan mengenai sebagian superfisial dari dermis
apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjer keringat, kelenjer sebasea
masih utuh
penyembuhan terjasi spontan dalam waktu 10-14 hari
23
b. Derajat II dalam (deep)
kerusakan mengenai hampir saluruh bagian dermis
apendises kulit sperti folikel rambut, kelenjer keringat, kelenjer sebasea
sebagian masih utuh
Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang tersisa.
Biasanya terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan
3. Luka bakar derajat tiga (III)
Terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan kulit. Meskipun tidak seluruh
tebal kulit rusak, tetapi bila semua organ kulit sekunder rusak dan tidak ada
kemampuan lagi untuk melakukan regenerasi kulit secara spontan/ reepitelisasi,
maka luka bakar itu juga termasuk derajat tiga. Penyebabnya adalah api, listrik
atau zat kimia. Mungkin akan tampak berwarna putih seperti mutiara dan biasnya
tidak melepuh, tampak kering dan biasanya relatif anestetik. Dalam beberapa
hari, luka bakar semacam itu akan membentuk eschar berwarna hitam, keras,
tegang dan tebal.
24
Derajat I
(Superficial)
atau
dangkal
Derajat IIa
( Partial
Thickness-
Superficial
dermal) atau
sebagian dangkal
Derajat IIb
( Partial
Thickness-Deep
dermal) atau
sebagian dalam
Derajat III
(Full Thickness)
atau seluruh
lapisan
Patologi Hanya
mengenai
epidermis
(contoh: sun-
burn)
Seluruh epidermis
dan lapisan atas
dermis
Seluruh
epidermis,
lapisan dermis
lebih dalam lagi
(tidak seluruh
dermis)
Seluruh
epidermis, seluruh
dermis hingga
lapisan subkutan
Warna Kemerahan Merah muda -
kemerahan
Merah - putih Putih, cokelat
kehitaman
Bula + +/- +/- -
Capillary refill + + + -
Nyeri + + + (tumpul) -
Kekeringan Kering Lembab Lembab Kering
Penampakan Kering dan Gelembung berisi Gelembung Putih berminyak
25
luar merah;
memucat
dengan
penekanan
cairan,
berkeringat,
merah; memucat
dengan penekanan
berisi cairan
(rapuh); basah
atau kering
berminyak,
berwarna dari
putih sampai
merah; tidak
memucat
dengan
penekanan
sampai abu-abu
dan kehitaman;
kering dan tidak
elastis; tidak
memucat dengan
penekanan
Waktu
penyembuhan
3 – 6 hari 7-20 hari >21 hari Tidak dapat
sembuh (jika luka
bakar mengenai
>2% dari TBSA)
Jaringan
parut
Tidak terjadi
jaringan
parut
Umumnya tidak
terjadi jaringan
parut; potensial
untuk perubahan
pigmen
Hipertrofi,
berisiko untuk
kontraktur
(kekakuan
akibat jaringan
parut yang
berlebih)
Risiko sangat
tinggi untuk
terjadi kontraktur
Lainnya - Edema, pucat Tidak terlalu
pucat
Hangus, disertai
eksar
Terapi Tidak perlu
(terapi
suportif:
analgetik)
Dressing: Polyurethrane film, foam
dressing atau bacterial sellulose
Silversulfadiazine,
eksisi tangensial,
skin graft
B. Perhitungan luas combustio16
26
Pada anak-anak terdapat perbedaan dalam luas permukaaan tubuh, yang
umumnya mempunyai pertimbangan lebih besar antara luas permukaan kepala
dengan luas ekstrimitas bawah dibandingkan pada orang dewasa. Area kepala
luasnya adalah 19% pada waktu lahir (10% lebih besar dari pada orang dewasa).
Hal ini terjadi akibat pengurangan pada luas ekstremitas bawah, yang masing-
masing sebesar 13%. Dengan bertambahnya umur setiap tahun, sampai usia 10
tahun, area kepala dikurangi 1 persen dan jumlah yang sama ditambah pada setiap
ekstremitas bawah. Setelah usia 10 tahun, digunakan persentase orang dewasa.
Rumus rule of nine dari Wallace tidak digunakan pada anak dan bayi
karena luas relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif
permukaan kaki lebih kecil. Oleh karena itu, digunakan rumus 10 untuk bayi, dan
rumus 10-15-20 dari Lund dan Browder untuk anak.
27
28
C. Derajat Keparahan Combustio
Berdasarkan berat-ringannya luka bakar (American Burn Association):
1. Luka Bakar Berat ( Major Burn Injury )
Derajat II, terbakar >25% area permukaan tubuh pada dewasa
Derajat III, terbakar >25% area permukaan tubuh pada anak-anak
Derajat III, terbakar >10% area permukaan
Kebanyakan meliputi tangan, muka, mata, telinga, kaki atau perineum
2. Luka Bakar Sedang
Derajat II, terbakar 15-25% area permukaan tubuh pada dewasa
Derajat II, terbakar 10-20% are permukaan tubuh pada anak-anak
Derajat III, terbakar <10% area permukaan tubuh.
3. Luka Bakar Ringan
Derajat II, terbakar <15% area permukaan tubuh pada dewasa
Derajat II, terbakar <10% area permukaan tubuh pada anak-anak
Derajat III, terbakar <2% area permukaan tubuh.
Indikasi rawat inap :
1. Derajat 2 lebih dari 15% pada dewasa, dan lebih dari 10% pada anak
2. Derajat 2 pada muka, tangan, kaki, perineum
3. Derajat 3 lebih dari 2% pada dewasa, dan setiap derajat 3 pada anak
4. Luka bakar yang disertai trauma visera, tulang, dan jalan napas
3.1.4 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan luka bakar adalah untuk mengembalikan bentuk,
fungsi dan sensorik. Tatalaksana dapat dibagi menjadi 7 fase: rescue (selamatkan
29
pasien dari sumber penyebab luka bakar), resuscitate (jaga sirkulasi, biasanya
memberikan cairan), retrieve (setelah evakuasi dan tatalaksana di unit gawat
darurat, rujuk ke unit luka bakar), resurface (perbaikan kulit dan jaringan yang
telah luka): dressing sederhana, debridement hingga skin graft), rehabilitate
(mengembalikan semua fungsi baik fisik, emosional dan psikologi dari pasien),
reconstruct (memperbaiki semua jaringan parut) dan review ( terutama pada anak-
anak, membutuhkan pemeriksaan ulang setiap tahun)17.
1. Upaya pertama saat terbakar adalah menghilangkan sumber panas (api)
dari tubuh misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk
menghentikan pasokan O2 pada api yang menyala. Selanjutnya merendam daerah
luka dalam air atau menyiramnya dengan air mengalir selama 15 menit untuk
menghentikan proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi
yang akan terus berlangsung walaupun api telah dipadamkan, sehingga destruksi
tetap meluas. Oleh karena itu, merendam luka bermanfaat untuk menurunkan suhu
jaringan sehingga kerusakan lebih dangkal dan diperkecil.
2. Pada luka ringan mendinginkan daerah terbakar dengan air, mencegah
infeksi dan memberi kesempatan sisa sel epitel untuk berproliferasi dan menutup
permukaan luka. Luka dapat dirawat secara terbuka atau tertutup. Pada luka bakar
luas dan dalam, pasien harus segera di rujuk ke rumah sakit terdekat.
3. Resusitasi segera dengan pemberian cairan IV berdasarkan perhitungan
kebutuhan cairan pasien. Status hidrasi pasien harus dipantau terus menerus.
Keberhasilan pemberian cairan dapat kita lihat dari dieresis normal (1000-
1500mL/24 jam atau 1 mL/kgBB/jam dan 3 mL/kgBB/jam pada pasien anak.
30
4. Antibiotik sistemik diberikan untuk mencegah infeksi. Paling banyak
menggunakan golongan aminoglikosida yang efektif untuk pseudomonas.
Selanjutnya diberikan analgetik untuk menghilangkan nyeri. Lalu diberikan
pencegahan tetanus berupa ATS dan/atau toksoid.
5. Nutrisi harus diberikan cukup untuk menutupi kebutuhan kalori dan
keseimbangan nitrogen yang negatif pada fase katabolisme (2500-3000 kal sehari
dengan protein tinggi).
6. Penanganan lokal dengan pemberian obat-obat topikal dalam bentuk krim
atau salep. Antiseptik yang dipakai adalah yodium povidon. Krim silver
sulfadiazine 1% berguna sebagai bakteriostatik, memiliki daya tembus yang
cukup, efektif terhadap semua kuman, tidak menimbulkan resistensi dan aman.
7. Debridement diusahakan sedini mungkin untuk membuang jaringan mati
dengan eksisi tangensial. Tindakan ini dilakukan segera setelah keadaan stabil
karena eksisi ini menyebabkan perdarahan. Biasanya dilakukan pada hari ke 3-7.
Luka bakar yang telah dibersihkan dapat ditutup dengan skin graft.
3.2 Anestesi Umum Intravena
Anestesi umum intravena adalah anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Tahapan
tindakan yang dilakukan untuk anestesi umum intravena antara lain:
1. Penilaian dan persiapan pra anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, klasifikasi status fisik, masukan oral, dan
premedikasi.
2. Induksi obat anestesi intravena beserta pemeliharaan.
31
3. Pemulihan.
Setelah berada di dalam vena, obat-obat anestesi intravena ini akan
diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi sistemik. Obat anestesi yang
ideal memiliki sifat:
1. Hipnotik dengan onset cepat serta mengembalikan kesadaran dengan cepat
segera sesudah pemberian dihentikan
2. Analgetik
3. Amnesia
4. Memiliki antagonis
5. Cepat dieliminasi
6. Depresi kardiovaskular dan pernafasan tidak ada atau minimal
7. Farmakokinetik tidak dipengaruhi atau minimal terhadap disfungsi organ1.
Indikasi anestesi intravena antara lain untuk: 1) induksi anestesia; 2)
induksi dan pemeliharaan anestesi pada pembedahan singkat; 3) menambahkan
efek hipnosis pada anestesi inhalasi dan anestesi regional; 4) menambahkan sedasi
pada tindakan medik1.
Cara pemberiannya dapat berupa: 1) suntikan intravena tunggal untuk
induksi anestesi atau pada operasi-operasi singkat hanya obat ini saja yang
dipakai; 2) suntikan berulang untuk prosedur yang tidak memerlukan anestesi
inhalasi dengan dosis ulangan lebih kecil dari dosis permulaan, 3) Melalui infus,
untuk menambah daya anestesi inhalasi2.
32
3.3 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien
dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan3.
3.2.1 Penilaian pra bedah
A. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak
napas pasca bedah sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan lebih
baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah
dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan
digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnue
berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-
2 hari sebelumnya3.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan
33
rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien3.
C. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah rutin (Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa pembekuan)
dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan
foto thoraks3.
D. Status ASA
Risiko anestesi dinilai dengan menentukan (1) apakah kondisi pasien
optimal untuk anestesi dan (2) jika terdapat penyakit lain yang masih dapat
ditangani, apakah manfaat pembedahan saat ini lebih diutamakn daripada risiko
penyulit yang disebabkan oleh penyakit penyerta. Pedoman yang dapat digunakan
untuk menyimpulkan risiko anestesi adalah status fisik menurut American Society
of Anesthesiologists (ASA), yaitu:2,3,10
a. Kelas I : Pasien sehat, normal. Tidak ada gangguan organik,
biokimia dan psikiatri, misalnya pasien hernia inguinalis reponibel tanpa
penyulit. Angka mortalitasnya 0,1%
b. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan bukan
disebabkan oleh penyakit yang akan dibedah, misalnya pasien obesitas,
diabetes melitus ringan atau bronkitis yang akan menjalani apendektomi.
Angka mortalitas 0,2%.
34
c. Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas
rutin terbatas, misalnya pasien diabetes melitus dengan komplikasi
vaskular yang akan menjalani pembedahan apendisitis akut. Angka
mortalitas 1,8%.
d. Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam
jiwanya dan tidak selalu dapat diperbaiki dengan pembedahan, misalnya
insufisiensi koroner atau infark miokard. Angka mortalitas 7,8%.
e. Kelas V : Pasien moribund (sekarat) yang tidak dapat bertahan
tanpa pembedahan, misalnya pasien syok hemoragik berat akibat
kehamilan ektopik yang pecah. Angka mortalitas 9,4%.
f. Kelas VI : Pasien yang dinyatakan telah mati batang otak dan organ
tubuhnya didonorkan
E. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia
harus puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesia3.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak 4-6 jam dan pada bayi
3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia.
Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat, air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia3.
35
F. Pr a medikasi
Idealnya, pasien memasuki ruang pembedahan dalam keadaan tidak
cemas, tidur namun mudah dibangunkan dan kooperatif, sehingga pasien diberi
medikasi prabedah baik secara farmakologis maupun psikologis10. Pramedikasi
farmakologis meliputi pemberian obat sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi. Manfaat
pramedikasi diantaranya:2,3,10
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien.
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui kunjungan pre anestesi,
pengertian masalah yang dihadapi dan keyakinan akan
keberhasilan operasi.
b. Memberikan ketenangan (sedatif), mengurangi kecemasan
(ansiolitik).
c. Membuat amnesia.
d. Mengurangi rasa sakit (analgesia narkotik atau non
narkotik).
e. Mencegah mual dan muntah.
2. Memudahkan atau memperlancar induksi.
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi.
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau liur).
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung dengan cara pemberian
antikolinergik atropine, H2-antagonis.
6. Mengurangi rasa sakit.
36
Pemberian obat pramedikasi secara subkutan tidak akan efektif dalam 1
jam, secara intramuskular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang
sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat
dapat diberikan secara intravena, obat akan efektif dalam 3 - 5 menit. Obat akan
sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1
jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuskular, subkutan tidak dianjurkan.
Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan
sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan
pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan3.
3.4 Obat-Obat Induksi Anestesi Intravena
Anestesia intravena langsung masuk ke darah dan elimininasinya harus
menunggu proses metabolisme maka dosisnya harus diperhitungkan secara teliti.
Untuk mempertahankan anestesia atau sedasi yang diinginkan, kadarnya dalam
darah harus dipertahankan dengan suntikan berkala atau pemberian infus
kontinu10. Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam dua golongan, yakni:
1) Obat yang terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan
barbiturat, eugenol dan steroid; 2) obat yang digunakan baik sendiri maupun
kombinasi untuk mendapat keadaan seperti pada neuroleptanalgesia (seperti
droperidol), anestesi dissosiasi (seperti ketamin), sedatif (seperti diazepam). Dari
bermacam-macam obat anestesia intravena, hanya beberapa saja yang sering
digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin dan diazepam2. Obat tertentu
seperti barbiturat kadar plasmanya bertahan lama sebelum turun di bawah 50%
37
setelah infus kontinu dihentikan, sehingga barbiturat bukan obat intravena yang
sesuai jika diperlukan pulih-sadar yang segera10.
3.3.1 Propofol
Propofol adalah salah satu dari kelompok
derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia
intravena. Pertama kali digunakan dalam praktek
anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol dikemas dalam cairan
emulsi berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg)7.
Pemberian propofol perlu prosedur aseptic karena larutan propofol dalam lipid
merupaka media yang baik bagi pertumbuhan kuman sehingga memudahkan
terjadinya infeksi10.
Propofol menimbulkan induksi anestesi secepat tiopental, tetapi dengan
pemulihan yang lebih cepat dan pasien segera merasa lebih baik dibanding setelah
penggunaan anestetik lain, propofol dapat digunakan dalam “day surgery”11.
Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat
menimbulkan sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit
tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf pusat4. Sebagian besar propofol
terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi
dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3
menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30
menit). Kedua fase ini menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh
jaringan yang cepat5,7.
38
Propofol segera dimetabolisme di hati melalui konjugasi oleh
glukoronida dan sulat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang
selanjutnya diekskresi melalui urin (lebih cepat daripada eliminasi thiopental)
tetapi klirens totalnya ternyata lebih besar dari aliran darah hati yang
menunjukkan bahwa ada eliminasi ekstrahepatik. Sifat ini menguntungkan untuk
pasien dengan gangguan metabolisme hati6,11. Eliminasi propofol sensitif terhadap
perubahan aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh ikatan protein ataupun
aktivitas enzim. Propofol diketahui menghambat metabolisme obat oleh sitokrom
p450 sehingga dapat menyebabkan perlambatan klirens dan durasi yang
memanjang pada pemberian bersama dengan fentanyl, alfentanil dan
propanolol4,5,7.
Farmakodinamik. a) Sistem saraf pusat. Dosis induksi menyebabkan
pasien kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang
cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi,
tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB)
pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood
tapi tidak sehebat thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran
darah ke otak dan konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan
intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%2,3,5.
b) Sistem kardiovaskuler. Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan
depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini
disebabkan oleh efek dari propofol yang menurunkan resistensi vaskular sistemik
sebanyak 30%. Namun penurunan tekanan darah biasanya tidak disertai
39
peningkatan denyut nadi. Pernafasan spontan (dibanding nafas kendali) serta
pemberian drip melalui infus (dibandingkan dengan pemberian melalui bolus)
mengurangi depresi jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek
depresi jantung4,5,7.
c) Sistem pernafasan. Apnu paling banyak didapatkan pada pemberian
propofol dibanding obat intravena lainnya. Umumnya berlangsung selama 30
detik, namun dapat memanjang dengan pemberian opioid sebagai premedikasi
atau sebelum induksi dengan propofol. Dapat menurunkan frekuensi pernafasan
dan volume tidal. Efek ini biasanya bersifat sementara namun dapat memanjang
pada penggunaan dosis yang melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan
bersamaan dengan respiratory depressants4,5,7.
Dosis. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam
anastesia umum4. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien >3 tahun dan
< 55 tahun adalah 2-2,5 mg/kgBB dan untuk pasien >55 tahun, pasien lemah atau
dengan ASA III/IV adalah 1-1,5 mg/kgBB. Dosis untuk pemeliharaan yang
dianjurkan pada pasien >3 tahun dan <55 tahun adalah 0,1-0,2 mg/menit/kgBB
dan untuk pasien >55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV adalah 0,05-
0,1 mg/menit/kgBB4.
Kelebihan propofol adalah bekerja lebih cepat dibandingkan tiopental,
konfusi pasca bedah minimal dan kurang menyebabkan mual-munta pasca
bedah11. Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada
dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka
lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri4,5.
40
Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena3.
Biasanya terjadi saat penyuntikan dilakukan di dorsum palmaris. Insidens nyeri
lebih sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar di fossa
antecubiti5. Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan setelah penyuntikan
propofol, namun dapat diatasi dengan penyuntikkan obat antimuskarinik,
misalnya: atropin. Efek samping eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus serta
konvulsi kadang dihubungkan dengan pemberian propofol dan dapat terjadi pada
masa pemulihan. Risiko konvulsi dan onset yang melambat ditemukan pada
pemberian propofol pada pasien epilepsi4,5,7.
3.3.2 Ketamin
Ketamin adalah suatu “rapid acting
non-barbiturate general anesthetic”.
Pertama kali diperkenalkan oleh Domino
and Carsen pada tahun 19652. Ketamin
kurang digemari untuk induksi anestesia karena sering menimbulkan takikardi,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat menimbulkan mual
muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk3. Blok terhadap reseptor opiat dalam
otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi
terhadap reseptor metil-aspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek
analgesik1,4.
Farmakokinetik. Onset kerja ketamin pada pemberian intravena (IV)
lebih cepat dibandingkan pemberian intramuscular (IM). Onset pada pemberian
41
IV adalah 30 detik sedangkan dengan pemberian IM membutuhkan waktu 3-4
menit, tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih singkat pada pemberian intravena
(5-10 menit) dibandingkan pemberian intramuskular (12-25 menit)1,4.
Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di reticulum
endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek hipnotis namun
30% lebih lemah dibanding ketamin, yang kemudian mengalami konjugasi oleh
glukoronida menjadi senyawa larut air untuk selanjutnya diekskresikan melalui
urin5.
Farmakodinamik Sistem saraf pusat. Ketamine memiliki efek analgetik
yang kuat akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia
disosiasi. Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan
mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata
berupa kelopak mata terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus. Selain itu
kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance),
seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. pasien yang diberikan
ketamin juga mengalami amnesia anterograde. Itu merupakan efek anestesi
dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian ketamin. Sering
mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga
pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin menyebabkan peningkatan aliran
darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan intrakranial1,4.
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan
saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Kontak
penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah permulaan
42
tanda-tanda sadar sampai 1 jam. Sering mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi
tempat dan waktu, halusinasi dan menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali.
1,4.
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun
diastolik. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai
maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15
menit kemudian. Denyut jantung juga meningkat. Efek ini disebabkan adanya
aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat
dicegah dengan pemberian premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang
terjadi1,4.
Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara,
kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depresan sebagai premedikasi.
Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek
konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan untuk
mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang masih ringan1,4.
Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah
1-4mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan
melalui infus dengan kecepatan 0,5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-anak
terdapat banyak rekomendasi. Menurut Mace et al (2004) dosis induksi adalah 1-2
mg/kgBB sedangkan menurut Harriet Lane, 0,25-0,5 mg/kgBB. Dengan dosis
tambahan setengah dari dosis awal sesuai kebutuhan5. Untuk sedasi dan analgesik
dosis yang dianjurkan adalah 0,2-0,8 mg/kgBB IV dan untuk mencegah nyeri
dosis yang dianjurkan adalah 0,15-0,25 mg/kgBB IV5. Ketamin dapat diberikan
43
bersama dengan diazepam atau midazolam dengan dosis 0,1mg/kgBB IV dan
untuk mengurangi salivasi dapat diberikan sulfas atropine 0,01mg/kgBB3.
Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai
induksi pada anestesi umum : 1) untuk prosedur dimana pengendalian jalan napas
sulit, misalnya pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2) untuk prosedur
diagnostik pada bedah saraf atau radiologi (radiografi); 3) tindakan ortopedi,
misalnya reposisi; 4) pada pasien dengan risiko tinggi karena ketamin yang tidak
mendepresi fungsi vital; 5) untuk tindakan operasi kecil; 6) di tempat dimana alat-
alat anestesi tidak ada; 7) pasien asma1,4.
Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1)
Pasien hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan diastolik 100
mmHg; 2) Pasien dengan riwayat CVD; 3) pasien dengan decompensatio cordis.
Penggunaan ketamin juga harus hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan
jiwa & operasi-operasi pada daerah faring karena refleks masih baik.
Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi
buruk sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca
pemberian. Namun efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian opioid
atau benzodiazepine sebagai premedikasi1,4.
44
3.3.3 Midazolam
Midazolam merupakan obat golongan benzodiazepine yang berinteraksi
dengan reseptor GABA di sistem saraf pusat. Benzodiazepine berikatan dengan
reseptor ϕ untuk meningkatkan konduktifitas membran terhadap ion klorida yang
menyebabkan perubahan polarisasi membran sehingga menghambat fungsi
normal neuronal. Efek midazolam yang paling penting adalah efek hipnotik dan
sedatif, serta efek amnesia13,14. Obat golongan benzodiazepine lainnya selain
midazolam yang biasa digunakan sebagai anestesi ialah diazepam dan lorazepam.
Penggunaan benzodiazepine menyebabkan pemulihan lebih lama, tetapi amnesia
anterograd yang ditimbulkannya bermanfaat mengurangi kecemasan
pascabedah11.
Waktu paruh distribusi 7 – 15 menit dan waktu paruh eliminasi 2 – 4 jam.
Potensi yang tinggi dan waktu aksi yang lebih pendek membuat midazolam
menjadi pilihan yang baik untuk digunakan. Midazolam ditransformasikan dan
dieksresi melalui urin. Metabolisme dilakukan di dalam hepar. Pada pasien
dengan gagal ginjal, fungsi kerja sedasi pada midazolam relative lebih panjang
oleh adanya akumulasi dari α-hydroxymidazolam13,14.
Dosis premedikasi dewasa 0,05 – 0,1 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur
dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. Pada orang tua dan pasien lemah
dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB. Pada anak umumnya digunakan oral 0,5 mg/kg,
30 menit sebelum induksi. Efek kerja midazolam pada sistem organ13,14 :
Sistem kardiovaskular. Golongan benzodiazepine memunculkan efek
minimal pada depresi kardiovaskuler walaupun pada penggunaan dosis induksi.
45
Tekanan darah, volume curah jantung dan tahanan pembuluh darah perifer
cenderung akan sedikit menurun, walupun beberapa menimbulkan kenaikan pada
nadi. Hal tersebut terjadi akibat oleh menurunnya tonus vagal (drug-induced
vagolysis)13,14.
Sistem respirasi. Benzodiazepine mendepresi respon ventilasi secara
minimal, dengan mengurangi respons ventilasi terhadap CO2. Oleh karena itu,
golongan ini dapat membuat kegawatdaruratan nafas, sehingga pemakaiannya
perlu dipertimbangan bila ingin diimbangi dengan golongan opioid karena dapat
berakibat apnea13,14.
Sistem serebral. Benzodiazepines menurunkan konsumsi O2 pada otak,
sirkulasi darah di otak dan tekanan intra kranial. Midazolam sangat baik dalam
pencegah dan mengkontrol kejang grand mal. Efek anti cemas, amnesia, dan
sedative dapat terlihat pada dosis rendah, menuju ke keadaan stupor dan
ketidaksadaran pada dosis induksi13,14.
3.3.4 Fentanyl
Fentanyl (N-(1-phenethyl-4-piperidyl) adalah salah satu golongan opioid
yang sering digunakan dalam TIVA. Mulai kerjanya cepat, yaitu dalam 2-3 menit
(IV), tetapi singkat, hanya 30 menit12.. Opioid berikatan dengan reseptor khusus
yang bertempat di sistem saraf pusat dan jaringan lain, yaitu : mu µ (µ1 dan µ2),
kappa ҡ, delta δ, dan sigma ϭ. Fentanyl bekerja pada reseptor µ yang memiliki
efek klinis pada analgesi supraspinal dan spinal. Reseptor µ1 memerantai
analgesia, euphoria dan rasa tenang. Reseptor µ2 menyebabkan hipoventilasi,
bradikardia, pruritus, penglepasan prolaktin, dan ketergantungan fisis. Reseptor
46
opioid yang telah teraktifasi menghambat pengeluaran presinaptik dan
postsinaptik terhadap excitatory neurotransmitter (acetylcholine). Transmisi dari
rangsang nyeri diinterupsi pada tingkat dorsal horn dari spinal cord. Fentanyl
secara tunggal ditransformasi di hepar13,14.
Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit,
karena itu hanya dipergunakan untuk anestesia pembedahan dan tidak untuk pasca
bedah. Dosis besar 50-75 µg/kgBB digunakan untuk induksi anestesia dan
pemeliharaan anestesia dengan kombinasi benzodiazepin dan anestetik inhalasi
dosis rendah, pada bedah jantung. Untuk dosis maintenance dapat digunakan 2-10
µg/kgBB/jam13,14. Efek pada fentanyl pada organ tubuh :
Sistem kardiovaskuler. Opioid tidak terlalu mempengaruhi tekanan darah
kecuali pada dosis yang sangat tinggi. Dalam hal ini dapat terjadi hipotensi dan
bradikardia. Tekanan serebrospinal dapat meningkat karena vasodilatasi
pembuluh serebral akibat depresi pernapasan dan retensi CO213,14.
Sistem respiratori. Golongan opioid dapat membuat depresi nafas oleh
efek penurunan laju nafas dengan cara menurunkan sensitivitas neuron pusat
pernapasan terhadap CO2. Depresi nafas terjadi setelah mencapai kadar tertentu
dan akan meningkat dengan peningkatan dosis. Efek depresi nafas lebih sering
tampak pada wanita. Tidak seperti morfin dan meperidine yang dapat memicu
pengeluaran histamin, fentanyl berbeda sehingga tidak berefek spasme bronkus.
Fentanyl dapat memicu kekuatan dinding dada sehingga mengurangi ventilasi
nafas yang adekuat13,14.
47
Sistem serebral. Golongan opioid secara keseluruhan menimbulkan
penurunan konsumsi O2 di otak, penurunan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial, walaupun efeknya lebih minimal dibandingkan golongan barbiturate
ataupun benzodiazepine. Opioid juga memiliki efek EEG yang minimal bila
diberikan pada dosis tinggi sehingga timbul efek kejang dan kekakuan otot.
Euforia yang ditimbulkan opioid adalah akibat stimulasi dari tegmentum ventral.
Sistem gastointestinal. Opioid menurunkan kecepatan pengosongan
lambung oleh karena penurunan peristaltik, sehingga dapat menghilangkan diare.
Pada pemakaian jangka panjang, opioid dapat menyebabkan konstipasi. Opioid
dapat menyebabkan mual muntah karena menstimulasi secara langsung
chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada area postrema yang menyebabkan
muntah13,14.
3.3.5 Sulfat Atropin
Sulfat atropin merupakan suatu obat yang bersifat antikolinergik kuat atau
parasimpatikolitik (prototype antimuskarinik) yang melawan khasiat asetilkolin
dengan cara menghambat reseptor muskarin yang terdapat di SSP dan organ
perifer. Atropin juga memliki daya kerja atas SSP (sedatif) dan daya
bronkodilatasi ringan12.
Resorpsinya di usus cepat dan lengkap seperti alkaloid alamiah lainnya,
begitu pula dari mukosa. Resorpsinya melalui kulit utuh dan mata tidak mudah.
Distribusinya ke seluruh tubuh baik. Ekskresinya melalui ginjal, yang
setengahnya dalam keadaan utuh. Waktu paruh plasmanya 2-4 jam. Dosis pada
SA oral adalah 3 dd 0,4-0,6 mg (sulfat)12.
48
Kepekaan reseptor muskarinik terhadap anti muskarinik berbeda antar
organ. Pada dosis kecil (0,25 mg) misalnya atropin hanya menekan sekresi air
liur, mukus bronkus dan keringat. Dosis yang lebih besar (0,5-1 mg) baru terlihat
dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan penghambatan nervus vagus sehingga
terlihat takikardia. Diperlukan dosis lebih besar lagi untuk menghambat peristaltik
usus dan sekresi kelenjar di lambung12. Efek atropin pada organ tubuh:
Sistem saraf pusat. Atropin merangsang medulla oblongata, dengan dosis
0,5 mg atropin merangsang nervus vagus sehingga frekuensi denyut jantung
berkurang12.
Sistem kardiovaskular. Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifasik.
Dengan dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung berkurang
disebabkan perangsangan nervus vagus. Obat ini dapat menghambat bradikardia
yang ditimbulkan oleh obat kolinergik12.
Sistem respirasi. Tonus bronkus sangat dipengaruhi oleh sistem
parasimpatis melalui reseptor M3 demikian juga sekresi kelenjar submukosanya.
Penggunaanya saat premedikasi bertujuan untuk mengurangi sekresi lendir jalan
nafas sehingga mengurangi risiko aspirasi saat pemulihan12.
Sistem gastrointestinal. Atropin disebut juga sebagai antispasmodic karena
bersifat menghambat peristaltik lambung dan usus. Atropin menyebabkan
berkurangnya sekresi liur dan sebagian juga sekresi lambung12.
3.5 Pemeliharaan Anestesi (Maintainance)
Pemeliharaan anestesi dapat dikerjakan secara IV (anestesi intravena
total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran IV inhalasi. Rumatan anestesi
49
mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hypnosis) sekedar tidak sadar,
analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri
dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya menggunakan
opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa,
tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama
dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran
2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan,
dibantu atau dikendalikan.
3.6 Teknik Anestesi Umum Intravena
Teknik Anestesi Umum Intravena.:
1. Persiapan pasien
Anamnes is
a. Riwayat penyakit sistemik yang diderita dahulu dan sekarang, meliputi: 1)
respirasi, riwayat penyakit saluran napas atas, asma, batuk, influenza; 2)
kardiovaskular, riwayat penyakit jantung, hipertensi, nyeri dada; 3) sistem
endokrin seperti Diabetes Melitus, Hepatitis.
b. Riwayat penyakit keluarga, yaitu adanya anggota keluarga yang menderita
penyakit sistemik seperti TB, Diabetes Melitus, Asthma.
50
c. Riwayat pengobatan atau pemakaian obat-obatan yang ada hubungannya
interaksi dengan obat anestesi yang digunakan seperti obat anti hipertensi,
anti koagulan, anti konvulsan dan anti diabetikum.
d. Riwayat alergi dan reaksi obat.
e. Riwayat anestesi dan pembedahan
f. Riwayat kebiasaan: suka berolahraga, peminum alkohol, pemakai narkoba.
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan keadaan gigi geligi, tindakan buka mulut,
lidah relatif besar atau tidak, leher pendek dan kaku yang bisa menyulitkan
intubasi. Dan dilanjutkan ke pemeriksaan bagian lain dari inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
Pemeriksaan Laboratorium: Darah, Urinalisa, EKG, Foto Rontgen, USG
Klasifikasi status penderita dengan ASA
Kesimpulan
Instruksi: pasang IV line, pemeriksaan penunjang dan puasa
2. Persiapan alat (STATICS)
Scope : laringoskop yang terdiri dari blade dan lampu, stetoskop
Tube : ETT
Airway : pipa orofaring dan pipa nasofaring
Tape : plaster untuk fiksasi ETT
Intraducer : mandrin
Connector : penghubung pipa dengan mesin anestesi
Suction
51
3. Persiapan obat: (premedikasi, induksi, maintanance)
Premedikasi
Analgesik : fentanyl /petidin /morfin
Sedatif : midazolam /diazepam /dehydrobenzodiazepin
Hipnotik : ketamin /pentotal
Antikolinergik : sulfat atropin (SA)
Anti emetik : ondancetron /ranitidin
Induksi
Propofol /pentotal /ketamin
4. Pemberian premedikasi
Premedikasi dapat dilakukan di ruangan maupun di ruang operasi, melalui
oral (efek tercapai 1-2 jam), IM (efek tercapai 30-40 menit) dan IV (efek tercapai
2-3 menit). Premedikasi digunakan sesuai tujuan;
a) Untuk menenangkan pasien (sedasi) berikan Midazolam (0,1 mg/KgBB) /
Diazepam (0,1 mg/KgBB)
b) Untuk mengurangi nyeri (analgetik) digunakan fentanyl 1-3 mcg/KgBB /
petidin 1-2 mg/KgBB / morfin 0,1 mg/KgBB
c) Bila tekanan darah meningkat dapat diberikan Clonidin HCl (Catapress)
d) Bila mual muntah dapat diberikan ondancentron /ranitidin /simetidin.
5. Induksi
Induksi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar. Induksi intravena adalah induksi yg suntikan ke intravena, disuntikan
perlah-lahan dengan kecepatan antara 30-60 detik. Obat pilihannya: Propofol (2-
52
2,5 mg/KgBB) / ketamin (1-2 mg/KgBB) / pentotal (4-6mg/KgBB) / golongan
benzodiasepin; diazepam (0,05-0,2 mg/KgBB) / midazolam (0,15-0,3 mg/KgBB).
Cek refleks bulu mata untuk penilaian adekuat obat tersebut. Kemudian
berikan oksigen. Untuk dosis pemeliharaan dapat diberikan 1/2-1/3 dari dosis
induksi, dapat pula dikombinasi dengan gas anestesi, seperti N20 atau dengan obat
anestesi inhalasi isofluran, enfluran, dan juga sevofluran. Dengan perbandingan
30:70 / 50:50 / 3:2.