Download - BAB I (Autosaved)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Percobaan
Untuk mengetahui kadar Fe(II) yang terkandung dalam sampel dengan
menggunakan metode titrasi oksidimetri.
1.2 Dasar Teori
1.2.1 Titrasi
Titrasi adalah proses penentuan banyaknya suatu larutan dengan konsentrasi
yang diketahui dan diperlukan untuk bereaksi secara lengkap dengan sejumlah
contoh tertentu yang akan di analisis. Contoh yang akan di analisis dirujuk
sebagai zat yang tidak diketahui (uknown). Titrasi didasarkan pada suatu reaksi
yang digambarkan sebagai :
aA + tT → hasil reaksi
dimana : a adalah molekul analit A bereaksi dengan t molekul pereaksi T.
Pelaksanaan pengukuran volume ini dilakukan dengan jalan titrasi yaitu
proses dimana larutan baku (dalam bentuk larutan yang diketahui
konsentrasinya) ditambahkan sedikit demi sedikit dari buret pada larutan yang
ditentukan atau yang dititrasi sampai keduanya bereaksi sempurna dan mencapai
jumlah mol ekuivalen larutan baku sama dengan mol ekuivalen larutan yang
dititrasi, dimana titik titrasi ini dinamakan titik ekuivalen.
Untuk mengetahui kesempurnaan berlangsungnya reaksi antara larutan baku
dan larutan yang dititrasi digunakan suatu zat kimia yang dikenal sebagai
indikator, yang dapat membantu dalam menentukan kapan penambahan titran
harus dihentikan. Bila reaksi antara analit dan titran telah berlangsung sempurna,
maka indikator harus memberikan perubahan visual yang jelas pada larutan
(misalnya dengan adanya perubahan warna atau pembentukan endapan). Saat
indikator memberikan perubahan disebut titik akhir titrasi. Titik ekuivalen
terkadang tidak sama dengan titik akhir titrasi, namun titik ekuivalen biasanya
mendekati titik akhir titrasi.
1.2.2 Persyaratan untuk Reaksi yang Dipergunakan dalam Analisis Titrimetrik.
Sejauh ini, relatif sedikit reaksi kimia yang dapat dipergunakan sebagai basis
untuk titrasi. Sebuah reaksi harus memenuhi beberapa persyaratan sebelum
reaksi tersebut dapat dipergunakan :
1. Reaksi tersebut harus diproses sesuai persamaan kimiawi tertentu.
Seharusnya tidak ada reaksi sampingan.
2. Reaksi tersebut harus diproses sampai benar-benar selesai pada titik
ekuivalensi. Cara lain untuk mengatakannya adalah bahwa konstanta
kesetimbangan dari reaksi tersebut haruslah amat besar. Jika persyaratan
ini dipenuhi, akan terjadi perubahan yang besar dalam konsentrasi analit
(atau titran) pada titik ekuivalensi.
3. Harus tersedia beberapa metode untuk menentukan kapan titik ekuivalen
tercapai. Harus tersedia beberapa indikator atau metode instrumental agar
analis dapat mengentikan penambahan dari titran.
4. Diharapkan reaksi tersebut berjalan cepat, sehingga titrasi dapat
diselesaikan dalam beberapa menit. (Day & Underwood, 2002).
Penggunaan indikator warna untuk menunjukkan titik akhir titrasi harus
tergantung pada senyawa yang akan ditentukan konsentrasinya. Setelah proses
titrasi selesai, maka perhitungannya menggunakan rumus :
V1 x N1 = V2 x N2
Dimaana, V1 = Volume larutan titrit
N1 = Normalitas larutan titrit
V2 = Volume larutan titran
N2 = Normalitas larutan titran
Sebagai contoh suatu reaksi yang cocok untuk titrasi, penentuan konsentrasi
dari larutan asam klorida melalui titrasi dengan natrium hidroksida standar.
Hanya ada satu reaksi,
H3O+ + OH- → 2H2O Kw = 1 x 10-14
Dan reaksi ini berjalan cepat. Reaksi ini berlangsung samapi benar-benar selesai.
Pada titik ekuivalen pH larutan berubah beberapa bagian untuk beberapa tetes
titran, dan tersedia sejumlah indikator yang bereaksi pada perubahan pH ini
dengan berubah warna.
Dengan kata lain, reaksi antara asam borat dan natrium hidroksida,
HBO2 + OH- → BO2- + H2O K = 6 x 104
Tidak cukup sempurna untuk memenuhi persyaratan 2; konstanta kesetimbagan
hanya sekitar 6 x 104. Untuk alasan ini, perubahan pH untuk beberapa tetes titran
pada titik ekuivalen sangat kecil, dan isi titran yang dibutuhkan tidak dapat
ditentukan dengan akurasi yang tinggi.
Reaksi antara etil alkohol dengan asam asetat juga tidak cocok untuk titrasi,
karena sangat lambat untuk kenyamanan dan tidak berjalan baik sampai selesai.
Reaksi antara timah (II) dengan kalium permanganat tidak memuaskan jika
udara tidak dihilangkan. Reaksi sampingan dapat terjadi karena timah telah
teroksidasi dahulu dengan oksigen dalam atmosfer. Pengendapan dari ion metal
tertentu oleh ion sulfida memenuhi persyaratan di atas terkecuali nomor 3;
karena tidak tersedia indikator yang cocok . (Day & Underwood, 2002).
Istilah-istilah penting dalam titrasi :
1. Titik ekuivalen : keadaan dimana mol ekuivalen (grek) titran sama
dengan mol ekuivalen (grek) titrat secara stokiometri.
2. Titik akhir titrasi : saat dimana titrasi harus dihentikan yang ditandai
dengan adanya perubahan warna.
3. Normalitas : banyaknya gram ekiuvalen zat terlarut dalam 1 L
larutan.
4. Molaritas : jumlah mol zat terlarut dalam setiap 1 L larutan.
1.2.3 Standarisasi Larutan
Proses dimana konsentrasi suatu larutan ditetapkan dengan tepat, dikenal
sebagai standarisasi. Suatu larutan standar dapat disiapkan dengan menguraikan
suatu sampel dari zat terlarut yang diinginkan dan menimbang secara akurat
dalam suatu larutan yang volumenya diukur secara akurat. Tetapi pada umumnya
metode ini tidak dapat diterapkan karena relatif sedikit reagensia kimia yang
diperoleh dalam bentuk yang cukup murni unuk memenuhi kebutuhan analis
dalam hal keakuratan. (Day & Underwood, 2002).
Apabila titran tidak cukup murni maka perlu distandarisasi dengan standar
primer. Standar yang tidak termasuk standar primer dikelompokkan sebagai
standar sekunder. Contohnya : NaOH, karena NaOH tidak cukup murni
(mengandung air, natrium karbonat dan logam-logam tertentu) untuk digunakan
sebagai larutan standar secara langsung, oleh karena itu perlu distandarisasi
dengan asam yang merupakan standar primer, misal Asam Oksalat (H2C2O4).
1.2.3.1 Persyaratan Standar Primer
Reaksi antara titran dengan substansi yang terpilih sebagai standar primer
harus memenuhi sejumlah persyaratan untuk analisis titrimetrik. Di samping itu,
standar primer harus mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Kemurnian tinggi
2. Stabil terhadap udara
3. Harus mudah dikeringkan dan tidak terlalu higroskopis
4. Bukan termasuk kelompok hidrat
5. Berat ekuivalen yang cukup tinggi
6. Tersedia dengan mudah
7. Cukup mudah larut
1.2.3.2 Larutan Standar yang Ideal untuk Titrasi
1. Cukup stabil sehingga penentuan konsentrasi cukup dilakukan sekali
2. Bereaksi cepat dengan analit sehingga waktu titrasi dapat dipersingkat
3. Bereaksi sempurna dnegan analit sehingga titik akhir yang memuaskan
dapat dicapai
4. Melangsungkan reaksi selektif dengan analit
1.2.4 Metode Titrasi
Macam-macam metode titrasi adalah :
a. Titrasi Asam - Basa (Asidi – Alkalimetri)
Reaksi dasar dalam titrasi asidi alkalimetri adalah reaksi netralisasi /
penetralan yaitu reaksi asam-basa yang dapat dinyatakan dalam persamaan
reaksi sebagai berikut :
H2O + OH- → H2O
Larutan asam dengan titar tertentu yang diperlukan untuk menentukan
suatu larutan basa, yang kadar atau titarnya dicari disebut sebagai asidimetri,
sedangkan penitaran sebaliknya, asam dengan basa yang titarnya diketahui
disebut alkalimetri.
Beberapa indikator titrasi asam – basa (Day & Underwood, 2002)
INDIKATOR PERUBAHAN
WARNA
RENTANG pH
Timol Biru Merah – Kuning 1,2 – 2,8
Metil Kuning Merah – Kuning 2,9 – 4,0
Bromofenol Biru Kuning – Biru 3,0 – 4,6
Metil Orange Merah – Kuning 3,1 – 4,4
Bromokresol Hijau Kuning – Biru 3,8 – 5,4
Metil Merah Merah – Kuning 4,2 – 6,2
Bromtimol Biru Kuning – Biru 6,0 – 7,6
Fenolftalein Tidak berwarna –
Merah
8,0 – 9,6
b. Titrasi Oksidimetri (Redoks)
Titrasi oksidimetri (redoks) adalah titrasi yang dasarnya melibatkan
reaksi oksidasi dan reduksi antara titran dan analit. Reaksi ini melibatkan
transfer elektron. Istilah oksidasi mengacu pada kehilangan satu atau lebih
elekton oleh suatu molekul atom, sedangkan reduksi adalah perolehan
elektron.
Reaksi kimia yang melibatkan oksidasi – reduksi dipergunakan secara
luas dalam analisisi titrimetrik. Sebagai contoh, besi dengan tingkat oksidasi
+ 2 dapat dititrasi dengan sebuah larutan standar dari serium (IV) sulfat :
Fe2+ + Ce4+ → Fe3+ + Ce3+
Untuk pengoksidasi lainnya yang sering dipergunakan sebagai titran
adalah kalium permanganat, KMnO4. Reaksinya dengan besi (II) dalam
larutan asam adalah :
5Fe2+ + MnO4- + 8H+ → 5Fe3+ + Mn2+ + 4H2O
c. Titrasi Pengendapan (Argentometri)
Dasar titrasi ini adalah reaksi-reaksi yang menghasilkan endapan
yang sukar larut termasuk didalam golongan argentometri (titrasi dengan
AgNO3) yaitu titrasi yang berdasarkan pada pengendapan ion klorida,
idodida atau bromida dengan AgNO3 yang konsentrasinya telah
diketahui.
NaCl + AgNO3 → AgCl + NaNO3
Titrasi ini dibagi menjadi tiga metode yaitu :
a) Metode Mohr : titik ekuivalen data diamati dengan penambahan
indikator K2Cr2O7 yang dengan kelebihan AgNO3 akan membentuk
endapan perak kromat berwarna kemerah-merahan Ag2Cr2O7.
AgNO3 + K2Cr2O7 → Ag2Cr2O7 + 2KNO3
Titrasi Mohr terbatas pada larutan-larutan dengan nilai pH
sekitar 6 sampai dengan 10. Dalam larutan-larutan yang lebih alkalin
perak oksida ( AgOH ) akan mengendap, sedangkan dalam larutan-
larutan asam Ag2Cr2O4 akan larut dalam asam.
b) Metode Volhard : Metode ini didasari oleh pengendapan dari perak
tiosianat dalam larutan asam nitrit, dengan ion besi (III)
dipergunakan untuk mendeteksi kelebihan ion thiosianat :
Ag+ + SCN- → AgSCN(s)
Fe3+ + SCN- → FeSCN2+(merah)
Ion Fe3+ dengan kelebihan rhodanida (CNS) akan menghasilkan
warna merah yang berasal dari kompleks besi yaitu Fe(CNS)6.
Larutan harus diasamkan dengan HNO3 untuk menghindari hidrolisis
dari indikator ion-besi(III), dan titrasi pada suhu biasa. Pada akhir
titrasi harus dikocok kuat-kuat karena mungkin ion Ag+ yang di
adsorbsi oleh endapan tidak larut dalam reaksi. Kesalahan lain yang
mungkin terjadi disebabkan reaksi :
AgCl + NH4CNS → AgSCN + NH4Cl
Yang terjadi karena harga Ksp AgCl dan AgSCN masing-masing :
[Ag+] [Cl-] = 2 x 10-10
[Ag+] [SCN-] = 1,5 x 10-12
Oleh karena AgSCN kurang dapat larut dibandingkan dengan
AgCl, reaksi ini cenderung untuk bergeser dari kiri ke kanan dan akan
menyebabkan hasil-hasil yang rendah dalam analisis klorida. Hal ini
dapat dicegah dengan menyaring penuh AgCl atau menambahkan
nitrobenzena sebelum titrasi dengan tiosianat.
c) Metode Fajans : pemanfaatan peristiwa adsorbsi ion-ion yang
sejenis. Bila ada ion Cl dalam suatu medium yang mengandung
endapan AgCl, maka ion Cl- akan diadsorbsi oleh AgCl. Setelah
tercapai fluorensein akan membentuk larutan berwarna kehijau-
hijauan.
d. Titrasi Kompleksometri
Titrasi kompleksometri adalah suatu titrasi berdasarkan reaksi
pembentukan senyawa kompleks antara ion logam dengan zat
pembentuk kompleks (ligan) (Day & Underwood, 2002). Dasar
penentuan titrasi ini melibatkan pembentukan (formasi) kompleks atau
ion kompleks yang larut namun sedikit terdisosiasi.
Jenis kompleks yang paling banyak digunakan adalah EDTA (Etilen
Diamine Tetra Asetat) dalam bentuk garam dinatriumnya. Indikator
yang digunakan dalam titrasi ini antara lain EBT (Eriochrome Black
Tea) dengan Kalsium, Magnesium atau kation lain yang membentuk
kompleks berwarna merah tua (merah Anggur) sedangkan warna
indikatornya sendiri adalah biru tua.
1.2.5 Titrasi Oksidemetri
Titrasi oksidimetri ini menggunakan reaksi oksidasi-reduksi sebagai
dasarnya. Ada tiga metode yang dikenal dalam cara ini, yaitu Titrasi
Permanganometri, Titrasi Dikromatometri, dan Titrasi Iodometri/Iodimetri.
a. Titrasi Permanganometri
Permanganometri merupakan metode titrasi dengan menggunakan
kalium permanganat yang merupakan oksidator kuat sebagai
titran.titrasi ini dadasarkan atas titrasi okidasi reduksi atau redoks.
Kalium permanganat terlah digunakan sebagai pengoksidasi selama
lebih dari 100 tahun. Reagen ini dapat diperoleh dengan mudah, tidak
mahal, dan tidak membutuhkan indikator terkecuali untuk larutan yang
sangat encer. Permanganat berekasi secara beraneka, karena mangan
dapat memiliki keadaan oksidasi +2, +3, +4, +6, dan +7 (Day &
Underwood, 2002).
Dalam suasana asam atau [H+] ≥ 0,1 N, ion permanganat mengalami
reduksi menjadi ion mangan (II) sesuai reaksi :
MnO4- + 8H+ + 5e → Mn2+ + 4H2O E°=1,51 volt
Dalam suasana netral, ion permanganat mengalami reduksi menjadi
mangan dioksida seperti reaksi berikut :
MnO4- + 4H+ + 3e → MnO2 + 2H2O E° = 1,70 volt
Dalam suasan basa atau [OH-] ≥ 0,1 N, ion permanganat akan
mengalami reduksi sebagai berikut :
MnO4- + e → MnO42- E°= 0,56 volt
(Svehla, 1995)
Asam sulfat adalah asam yang paling sesuai, karena tidak bereaksi
terhadap permanganat dalam larutan encer. Dengan asam klorida, ada
kemungkinan terjadi reaksi :
2MnO4- + 10Cl- + 16H+ → 2Mn2+ + 5Cl2 + 8H2O
dan sedikit permanganat dapat dipakai dalam pembentukan klor. Reaksi
ini terutama berkemungkinan akan terjadi dengan garam-garam besi,
kecuali jika tindakan-tindakan pencegahan yang khusus diambil.
Dengan asam bebas yang sedikit berlebih, larutan yang sangat encer,
temperatur yang rendah, dan titrasi yang lambat sambil mengocok terus
menerus, bahaya dari penyebab ini telah dikurangi sampai minimal.
Pereaksi kalium permangat bukan merupakan larutan baku primer dan
karenanya perlu dibakukan terlebih dahulu. Pada percobaan ini untuk
membakukan kalium permanganat dapat digunakan natrium oksalat
yang merupakan standar primer yang baik untuk permanganat dalam
larutan asam (Basset, 1994).
Untuk pengasaman sebaiknya dipakai asam sulfat, karena asam ini
tidak menghasilkan reaksi samping. Sebaliknya jika dipakai asam
klorida dapat terjadi kemungkinan teroksidasinya ion klorida menjadi
gas klor dan reaksi ini mengakibatkan dipakainya larutan permanganat
dalam jumlah yang berlebih. Kalium permanganat adalah oksidator
kuat, oleh karena itu jika berada dalam HCl akan mengoksidasi ion Cl-
yang menyebabkan terbentuknya gas klor dan kestabilan ion ini juga
terbatas. (Svehla, 1995)
b. Titrasi Dikromatometri
Titrasi dikromatometri adalah titrasi redoks yang menggunakan
senyawa dikromat sebagai oksidator. Senyawa dikromat merupakan
oksidator kuat, tetapi lebih lemah dari permanganat. Penggunaan utama
dikromatometri adalah untuk penentuan besi (II) dalam asam klorida.
Larutan baku kalium dikromat lebih stabil dari KMnO4. Persamaan
pengasaman dapat dilakukan dengan H2SO4, HClO4, HCl
Cr2O72- + 14H+ + 6e → 2Cr3+ + 7H2O
c. Titrasi Iodometri/Iodimetri
Titrasi dengan iodium ada dua macam yaitu iodimetri (secara
langsung), dan iodometri (secara tidak langsung). Iodin mempunyai
potensial standar sebesar +0,54V. karena itu iodin adalah sebuah agen
pengoksidasi yang jauh lebih rendah daripada kalium permanganat dan
kalium dikromat.
Dalam proses analitis, iodin dipergunakan sebagai agen
pengoksidasi (iodimetri), dan iodida dipergunakan sebagi sebuah agen
pereduksi (iodometri). Hanya sedikit substansi yang cukup kuat sebagai
unsur reduksi untuk dititrasi langsung dengan iodin. Karena itu jumlah
penentuan iodimetrik cenderung sedikit. Akan tetapi, banyak agen
pengoksidasi yang cukup kuat untuk bereaksi secara lengkap dengan
iodida dan ada banyak penggunaan proses iodometrik. Kelebihan dari
ion iodida ditambahkan ke dalam agen pengoksidasi yang sedang
ditentukan, dengan membebaskan iodin yang kemudian dititrasi dengan
larutan natrium thiosulfat. Reaksi antara iodin dengan thiosulfat
berlangsung sempurna.
Iodin hanya sedikit larut dalam air (0,00134 mol/liter pada 25°C),
namun cukup banyak larut dalam larutan yang mengandung ion iodida.
Larutan standar iodin dapat dibuat melalui penimbangan langsung iodin
murni dan pengenceran dalam labu volumetrik. Iodin akandimurnikan
oleh sublimasi dan ditambahkan ke dalam sebuah larutan KI pekat yang
ditimbang secara akurat baik sebelum atau sesudah penambahan iodin.
Namun demikian, biasanya larutan tersebut distandarisasi terhadap
suatu standar primer, As2O3 yang paling sering dipergunakan.
HAsO2 + I2 + 2H2O → H3AsO4 + 2H+ + 2I-
Larutan standar yang dipergunakan dalam kebanyak proses
iodometrik adalah natrium thiosulfat. Garam ini tersedia sebagai
penghidrat, Na2S2O3 . 5H2O, dan larutannya distandarisasi terhadap
suatu standar primer. Larutan natrium thiosulfat tidak stabil dalam
jangka waktu yang lama. Iodin murni merupakan standar yang paling
nyata, namun jarang dipergunakan dikarenakan kesulitannya dalam
penanganan dan penimbangan yang lebih sering dipergunakan adalah
standar dari agen pengoksidasi kuat yang akan membebaskan iodin dari
iodida, suatu proses iodometri. (Day & Underwood, 2002).
1.2.6 Reaksi Redoks
Reaksi redoks dapat digunakan untuk mengetahui jumlah elektron yang
terlibat dalam suatu reaksi. Jumlah inilah yang menentukan valensi dari suatu
senyawa. Secara umum ada tiga hal yang harus dilakukan dalam penyetaraan
reaksi redoks, antara lain :
1. ∑ atom sejenis rumus kiri = ∑ atom sejenis ruas kanan
2. ∑ muatan reaksi kiri = ∑ muatan reaksi kanan
3. ∑ elektron reaksi oksida = ∑elektron reaksi reduks
Jika ketiga hasil tersebut sudah dipenuhi, maka persamaan reaksi tersebut
dapat diuraikan melalui dua prosedur yang biasa digunakan untuk menyetarakan
persamaan rekasi reduksi, yaitu :
a. Aturan bilangan oksidasi
b. Aturan setengah sel
Pada reaksi redoks, komponen-komponen yang terlibat mengalami
perubahan bilangan oksidasi (Biloks). Pada reaksi redoks terjadi 2 reaksi yaitu :
a. Reaksi oksidasi yaitu :
Reaksi kenaikan bilangan oksidasi
Reaksi pelepasan elektron
Reaksi pengikatan oksigen
b. Reaksi reduksi yaitu :
Reaksi penurunan bilangan oksidasi
Reaksi pengikatan elektron
Reaksi pelepasan oksigen
Adapun zat yang mengalami reduksi adalah oksidator (zat yang meyebabkan
zat lain mengalami oksidasi) sedangkan zat yang mengalami oksidasi disebut
reduktor (zat yang menyebabkan zat lain mengalami reduksi).
Valensi oksidator adalah banyaknya penurunan bilangan oksidasi atom pusat
oleh satu molekul dan banyaknya pengikatan elektron oleh satu molekul
oksidator. Sedangkan valensi reduktor adalah banyaknya kenaikan bilangan
oksidasi atom pusat oleh satu molekul dan banyaknya pelepasan elektron oleh
satu molekul reduktor.
Bilangan oksidasi adalah muatan formal atom dalam suatu molekul atau
dalam ion yang dialokasikan sedemikian sehingga atom yang
keelektronegatifannya lebih rendah mempunyai muatan positif. Bilangan
oksidasi memudahkan dalam menghitung valensi dan dalam menangani reaksi
redoks.
1.2.7 Penentuan Valensi
a. Aturan cara bilangan oksidasi
Dalam reaksi redoks hanya beberapa unsur yang mengalami oksidasi-
reduksi. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui spesi-spesi yang
mengalami perubahan biloks sebelum persamaan redoks tersebut disetarakan.
Beberapa aturan dalam penentuan bilangan oksidasi :
Bilangan oksidasi senyawa atau ion sama dengan muatannya.
Bilangan oksidasi semua unsur adalah 0
Bilangan oksidasi atom atau gugus atom sama dengan total bilangan oksidasi
atom penyusunnya.
Bilangan oksidasi dari H adalah + 1, kecuali pada hidrida logam (-1).
Bilangan oksidasi O2 adalah -2, kecuali pada peroksida (-1).
Bilangan oksidasi logam selalu sama dengan muatan ion yang dapat
dibentuk. (Purba, 2004)
Tahap-tahap cara bilangan oksidasi adalah :
1. Tuliskan bilangan oksidasi unsur-unsur yang mengalami perubahan
bilangan oksidasi diatas lambangnya.
Biloks Mn dalam MnO4- :
MnO4−
+ Cl-→ Mn2+ + Cl20-1
+2+7
Mn + 4(Biloks.O) = -1
Mn + 4(-2) = -1
Mn + (-8) = -1
Mn = -1+ 8
Mn = +7
Biloks Mn dalam Mn+2 = + 2 (Biloks sama dengan muatannya)
2. Memasangkan zat pengoksidasi dengan produknya dan zat pereduksi
dengan produknya.
3. Menyetarakan koefisien unsur yang mengalami perubahan bilangan oksidasi
4. Menghitung pertambahan dan penurunan bilangan oksidasi masing-masing
unsur.
5. Menuliskan jumlah ē yang terlibat
Jadi valensi MnO4- yang terlibat dibagi dengan koefisiennya = 5 x 1 = 5
b. Aturan setengah sel
Menurut cara ini redoks dipecah menjadi dua buah reaksi. Setengah reaksi
oksidasi dan setengah reduksi. Suatu setengah reaksi menyatakan dari jumlah
reaksi. Tahap-tahap setengah reaksi :
MnO4−
+ Cl-→ Mn2+ + Cl20-1
+2+7
X2MnO4
− + Cl-→ Mn2+ + Cl20-1
+2+7
-2
+5
MnO4−
+ Cl-→ Mn2+ + Cl20-2
+2+7
-2e-
+5e-
MnO4−
+ Cl-→ Mn2+ + Cl20-2
+2+7
Cr2O72- + 14 H+ + 2S2O3
2- → 2Cr3+ + 7H2O + S4O62-
Tuliskan dua buah setengah reaksi yang belum setara, satu untuk spesies
yang dioksidasi dan hasilnya setara satu untuk spesies yang direduksi dengan
hasilnya.
R = Cr2O72- → Cr3+
O = S2O32- → S4O6
2-
1. Menyetarakan jumlah atom unsur-unsur diruas kiri dan kanan (kecuali H dan
O)
R = Cr2O72- → 2Cr3+
O = 2S2O32- → S4O6
2-
2. Menyetarakan atom oksigen dan hidrogen. Untuk larutan asam atom O
disetarakan dengan menambahkan H2O ruas yang kekurangan O dan atom H
disetarakan dengan menambahkan ion H+ pada ruas kekurangan yang
kekurangan atom H. Jika larutan basa, diasamkan terlebih dahulu.
R = Cr2O72- + 14 H+ + 6 ē → 2Cr3+ + 7H2O
O = 2S2O32- → S4O6
2- + 2 ē
3. Menyatakan jumlah muatan listrik dengan menambahkan ē pada ruas yang
mewakili jumlah muatan yang lebih besar.
R = Cr2O72- + 14 H+ + 6 ē → 2Cr3+ + 7H2O
O = 2S2O32- → S4O6
2- + 2 ē
4. Menentukan valensi zat yang diinginkan. Misalnya Cr2O72- mempunyai
valensi ∑ muatan dibagi dengan koefisien Cr2O72- = 6/1 = 6 dan S2O3
2-
mempunyai valensi = 2/2 = 1
1.2.8 Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum
1. Kalium Permanganat
Kalium permanganat adalah oksidator kuat yang telah banyak digunakan
sebagai agen pengoksidasi selama lebih dari 100 tahun. Reagen ini dapat
diperoleh dengan mudah, tidak mahal, dan tidak membutuhkan indikator
terkecuali untuk larutan yang amat encer. Satu tetes permanganat 0,1 N dapat
memberikan warna merah muda yang jelas pada volume dari larutan yang biasa
dipergunakan dalam sebuah titrasi. Warna ini digunakan untuk mengidentifikasi
kelebihan reagen tersebut. Kelemahannya adalah medium HCl. Cl- dapat
teroksidasi, demikian juga larutannya, memiliki kestabilan yang terbatas. Reaksi
yang paling umum ditemukan dalam laboratorium pengantar adalah reaksi yang
terjadi dalam larutan yang bersifat asam 0,1 N atau lebih besar.
MnO4- + 8H+ + 5e ? Mn2+ + 4H2O E° = +1,51 V
Permanganat bereaksi secara cepat dengan banyak agen pereduksi menurut
reaksi diatas, namun beberapa zat memerlukan pemanasan atau katalis untuk
mempercepat reaksi. Sebagai contoh, permanganat merupakan zat pengoksidasi
yang cukup kuat untuk mengoksidasi Mn(II) menjadi MnO2, titik akhir
permanganat tidak permanen dan warnanya dapat hilang karena reaksi :
3Mn2+ +2MnO4- + 2H2O ↔ 5MnO2 + 4H+
Ungu Tidak berwarna
Reaksi ini berjalan lambat dalam keadaan asam, tapi cepat dalam keadaan
netral. Sedikit kelebihan yang ada pada titik akhir suatu titrasi telah cukup untuk
menimbulkan pengendapan sejumlah MnO2. Mengingat reaksinya yang berjalan
lambat, MnO2 tidak diendapkan secara normal pada titik akhir titrasi
permanganat. Valensi dari kalium permanganat adalah 5.
2. Asam Sulfat
Asam yang digunakan adalah asam sulfat encer, karena tidak bersifat
oksidator, sehingga tidak bereaksi dengan zat yang ditentukan dan juga tidak
beroksidasi oleh kalium permanganat. Bila menggunakan asam klorida sebagai
pengasam, sebagian klorida akan ikut teroksidasi klor dan pemakaian kalium
akan menjadi berlebihan. Valensi dari asam sulfat adalah 2.
3. Besi
Endapan besi dalam biji besi merupakan salah satu endapan yang penting
dari titrasi permanganat. Bijih besi yang utama adalah oksida atau oksida
terhidrasi : homofit Fe2O3 ; magnetik Fe3O4; geofit Fe2O3 . H2O dan limonit
2Fe2O3 . 7H2O, karbonat FeCO3 dan sulfida FeS2. Asam terbaik untuk
melarutkan bijih-bijih besi ini adalah asam klorida. Oksida terhidrasi mudah
melarut, sedangkan magnetik dan homofit melarut dengan agak lambat.
Penambahan timah (II) klorida membantu dalam melarutkan oksida tak terhidrasi
ini. Residu silika yang tetap tinggal setelah sampel dipanaskan dengan asam,
dapat menahan sejumlah besi. Silika itu dapat dileleh dengan natrium karbonat
dan kemudian diolah dengan asam klorida untuk memulihkan besinya. Valensi
dari FeSO4 adalah 1.
4. Asam Oksalat
Asam oksalat adalah senyawa kimia yang memiliki rumus H2C2O4 dengan
nama sistematis asam etanadioat. Asam dikarboksilat paling sederhana ini biasa
digambarkan dengan rumus HCOOH-COOH. Merupakan asam organik yang
relatif kuat, 10.000 kali lebih kuat daripada asam asetat. Di-anionnya, dikenal
sebagai oksalat, juga agen pereduktor. Banyak ion logam yang membentuk
endapan tak larut dengan asam oksalat, contoh terbaik adalah kalsium oksalat
(CaCOOC-COO), penyusun utama jenis batu ginjal yang sering ditemukan.
Valensi dari asam oksalat adalah 2.
1.2.9 Pembuktian Rumus
Grek Oksidator = Grek Reduktor
Grek KMnO4 = Grek H2C2O4
N KMnO4 . V KMnO4 = N H2C2O4 . V H2C2O4
N KMnO4 . V KMnO4 = M H2C2O4 . Valensi . V H2C2O4
N KMnO4 . V KMnO4 =Massa H 2C2O 4
Mr .V H 2C2O4awal . Valensi . VH2C2O4
N KMnO4 . V KMnO4 = Massa H2C2O4 . V H 2C2O4
V H 2C2O4awal . ValensiBM
N KMnO4 . V KMnO4 = Massa H2C2O4 . 1Fp.
1BEH 2C2O4
N KMnO4 = Massa H 2C2O 4
V KMnO4 . Fp .BEH 2C2O4
Kadar Fe (II)
Grek Oksidator = Grek Reduktor
Grek KMnO4 = Grek FeSO4 . 7 H2O
N KMnO4 . V KMnO4 = n Fe . Valensi
N KMnO4 . V KMnO4 =MassaFeAr
. Valensi
Massa Fe = N KMnO4 . V KMnO4 . Mr
Valensi
Massa Fe = N KMnO4 . V KMnO4 . BEFe
% Berat = MassaFe
MassaFeSO4 .7H2O x 100%
= N KMnO 4 .V KMnO4 .BEFeMassaFeSO4 .7H 2O
x 100
Jika volume yang digunakan dalam satuan ml, maka satuan massa yang
digunakan adalah mili gram (mg).
BAB II
METODOLOGI
2.1 Alat yang digunakan
1. Erlenmeyer 250 ml
2. Buret
3. Neraca digital
4. Gelas kimia 100 ml
5. Labu ukur 100 ml
6. Spatula
7. Kaca arloji
8. Hot plate
9. Pipet volume 10 ml
10. Statif dan klem
11. Botol semprot
12. Magnetik stirrer
2.2. Bahan yang digunakan
1. Sampel (FeSO4 . 7H2O)
2. Larutan KmnO4 0.1 N
3. Larutan H2S2O4
4. Hablur asam oksalat
5. Aquadest
2.3 Prosedur Kerja
2.3.1 Standarisasi Larutan KMnO4 Dengan Bahan Baku Asam Oksalat
1. Mengambil hablur asam oksalat dengan menggunakan spatula.
2. Menimbang dengan teliti ± 500 mg hablur asam oksalat dengan neraca
digital.
3. Membilas dengan air suling ke dalam labu ukur 100 ml, melarutkan dan
mengimpitkan hingga tanda batas.
4. Memipet larutan dari labu ukur sebanyak 10 ml dan memasukannya ke
dalam Erlenmeyer 250 ml. menambahkan 25 ml larutan H2SO4 dan
mengencerkan hingga 100 ml.
5. Memanaskan larutan hingga 70°C dan menitrasi dengan KMnO4 0,1 N
(dalam keadaan panas) hingga terjadi perubahan warna dari tidak
berwarna hingga menjadi merah muda.
6. Melakukan penetapan secara triplo.
2.3.2 Penentuan Kadar Fe(II) Dalam Sampel
1. Memanaskan aquadest didalam Erlenmeyer diatas hot plate kemudian
mendinginkannya kembali.
2. Mengambil sampel besi sulfat menggunakan spatula kemudian
menimbang dengan neraca digital ±500 mg sampel besi sulfat.
3. Melarutkan sampel ke dalam Erlenmeyer 250 ml dengan aquadest yang
telah dididihkan terlebih dahulu dan didinginkan kembali.
4. Kemudian menambahkan 25 ml H2SO4 dengan pipet volume dan menitar
dengan KMnO4 dengan buret hingga terjadi perubahan warna menjadi
merah muda
5. Menghitung kadar Fe(II) dalam sampel.
2.4 Diagram Alir
2.4.1 Standarisasi Larutan KMnO4 Dengan Bahan Baku Asam Oksalat
Menimbang ± 500 mg hablur H2C2O4, membilas dengan air suling ke dalam
labu ukur 100 ml, melarutkan dan mengimpitkan hingga tanda batas
2.1 Penentuan Kadar Fe(II) Dalam Sampel.
Memipet 10 ml larutan H2C2O4, memasukan ke dalam Erlenmeyer 250 ml, menambahkan 25 H2SO4 4N dan mengencerkan hingga 100 ml
Memanaskan larutan hingga 70°C kemudian menitrasi dengan KMnO4 0,1 N hingga terjadi perubahan warna menjadi merah muda.
MMelakukan penetapan secara triplo
Menimbang ± 500 mg sampel besi sulfat, melarutkan kedalam erlenmeyer dengan aquadest yang telah dipanaskan lalu didinginkan kembali.
Menambahkan 25 ml H2SO4 4N kemudian menitar dengan KMNO4 0,1 N hingga berubah warna menjadi merah muda
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Pengamatan
3.1.1 Standarisasi Larutan KMnO4 Dengan Bahan Baku Asam Oksalat
No
Volume
H2C2O4
Massa
H2C2O4
Volume
H2SO4 4 N
Volume
H2C2O4
untuk
titrasi
Volume
KMnO4
Volume
KmnO4
(rata-
rata)
fp
1
100 mL 527,6 mg 25 mL 10 mL
10,1 mL
10, 1 mL 102 10,2 mL
3 10 mL
3.1.2 Penentuan Kadar Fe (II)
NoMassa FeSO4 . 7H2O
(mg)
Volume KMnO4
(mL)
Perubahan
Warna
1 500,3 22,4Bening menjadi
merah muda
3.2 Data Hasil Perhitungan
Normalitas KMnO4 Kadar Fe(II)
0,083 N 20,78 %
Menghitung kadar Fe(II) dalam sampel
3.1 Pembahasan Hasil
Pada praktikum ini yang bertujuan untuk menentukan kadar Fe(II) dalam
sampel dengan menggunakan metode titrasi oksidimetri. Sebelum menentukan
kadar Fe(II) dalam sampel hal pertama yang dilakukan adalah menstandarisasi
larutan KMnO4. Kalium permanganat ini yang nantinya akan digunakan untuk
menentukan kadar Fe(II) dalam sampel.
Langkah awal dalam standarisasi KMnO4 adalah menimbang ± 500 mg asam
oksalat yang kemudian ditambahkan dengan 25 mL H2S2O4 4N. Larutan asam
sulfat digunakan karena asam sulfat bukan merupakan oksidator kuat dan tidak
ikut beroksidasi dengan KMnO4. Selanjutnya larutan asam oksalat dan asam
sulfat dititrasi dengan KMnO4. Titrasi dilakukan dengan pemanasan agar reaksi
berlangsung cepat. Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna dari bening
menjadi merah muda. Titrasi dilakukan secara triplo dan didapat volume rata-
rata sebesar 10,1 mL dengan Normalitas KMnO4 yang didapat yaitu 0,083 N.
Langkah selanjutnya adalah penentuan kadar Fe(II) dalam sampel besi sulfat.
Sampel besi sulfat digunakan sebesar ± 500 mg yang dilarutkan dengan
menggunakan aquadest yang telah dipanaskan lalu didinginkan kembali.
Tujuannya adalah untuk menghilangkan ion-ion pengotor yang terdapat dalam
sampel. Kemudian larutan ditambahkan dengan H2S2O4 lalu dititrasi dengan
KMnO4 sampai terjadi perubahan warna dari kuning bening menjadi merah
muda. Volume titrasi yang didapatkan adalah 22,4 ml dan kadar Fe(II) yang
didapatkan sebesar 20,87%. Kadar Fe(II) yang diperoleh berbeda dari kadar Fe
secara teoritis yaitu 20,14%. Hal ini dikarenakan sampel FeSO4 . 7H2O yang
terurai di udara sehingga mengakibatkan kandungan H2O dalam sampel
berkurang hingga membuat kadar semakin bertambah.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Normalitas KMnO4 adalah sebesar 0,083 N.
2. Kadar Fe(II) dalam sampel sebesar 20,78% (praktek).
3. Kadar Fe(II) dalam sampel sebesar 20,14% (teoritis).
4. Hasil praktikum tidak sesuai dengan teoritis karena sampel FeSO4 . 7H2O
yang terurai di udara, sehingga mengakibatkan kandungan H2O dalam
sampel berkurang dan membuat kadar semakin bertambah.
DAFTAR PUSTAKA
Bassett, J, dkk. 1994. Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik Edisi Keempat.
Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Day, R.A. dan A.L. Underwood. 2002. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.
Jakarta : Erlangga.
Purba,Michael. 2006. Kimia untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga
Svehla, G. 1979. Vogel Analisis Anorganik Kualitatif Edisi Kelima. Jakarta : Kalman
Media Pusaka.
LAMPIRA
N
PERHITUNGAN
Standarisasi KMnO4
N KMnO4 = mgH 2C2O4
fp xV KMnO4 x63
= 527,6mg
10x 10,1x 63
= 0,083 N
Penentuan Kadar Fe(II) Dalam Sampel
Kadar Fe (II) praktek = V KMnO4 x N KM nO4 x 56
mgFeSO4 .7H 2Ox 100 %
= 22,4mL x 0,0823N x 56
500,3mgx 100 %
= 20,78 %
Kadar Fe(II) secara teoritis = Ar Fe
MrFeSO 4 .7H 2Ox100 %
= 56
278x100 %
=20,14 %
GAMBAR ALAT
Neraca Digital Buret Erlenmeyer Kaca Arloji
Spatula Pipet Ukur Hot Plate
Bulp Labu Ukur