BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu objek penting lainya dalam kajian ‘Ulumul Qur’an’ adalah
perbincangan mengenai mukjizat. Persoalan mukjizat, terutama mukjizat Al-
Qur’an , sempat menyeret para teolog klasik dalam perdebatan yang
berkepenjangan, terutama antara teolog dari kalangan Mu’tazilah dan para teolog
dari kalangan Ahlussunnah mengenai konsep shirfah.
Dengan perantara mukjizat, Allah mengingatkan manusia bahwa para rasul
itu merupakan utusan yang mendapat dukungan dan bantuan dari langit. Mukjizat
yang telah diberikan kepada para nabi mempunyai fungsi yang sama, yaitu
memainkan perananya dan mengatasi kepandaian kaumnya disamping
membuktikan bahwa kekuasaan Allah itu berada diatas segala-galanya.
Suatu umat yang tinggi pengetahuanya dalam ilmu kedokteran, misalnya
tidak wajar dituntun dengan mukjizat dalam ilmu tata bahasa, begitu pula
sebaliknya. Tuntunan dan pengarahan yang ditunjukan pada suatu umat harus
berkaitan dengan pengetahuan mereka karena Allah tidak akan mengarahkan
suatu umat pada hal-hal yang tidak mereka ketahui. Tujuanya adalah agar
tuntunan dan pengarahan Allah bermakna. Disitulah letak mukjizat yang telah
diberikan kepada para Nabi.
B. Perumusan Masalah
Agar lebih memperjelas tentang mukjizat Al-Qur’an. Maka penulis
merumuskan masalah kemukjizatan (keunggulan) Al-Quran sebagai berikut:
a. pengertian Kemukjizatan Al-Quran
b. Bukti Historis kegagalan setiap upaya menandingi Al-Quran
c. Kamukjizatan Al-Quran dalam perspektif ilmiah kontemporer
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Ulumul Qur’an .
2. Untuk mengetahui seluk-beluk mukjizat Al-Qur’an dan menambah
wawasan pengetahuan, khusunya dalam bidang Study Ilmu Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mukjizat
Menurut bahasa kata Mu’jizat berasal dari kata i’jaz diambil dari
kata kerja a’jaza-i’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak
mampu. Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila
kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu
membungkam lawan, ia dinamai mu’jizat.
Menurut istilah Mukjizat adalah peristiwa luar biasa yang terjadi
melalui seseorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya.
Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu
yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT. Melalui para Nabi dan
Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan
kerasulannya.
Kata I’jaz dalam bahasa Arab berarti menganggap lemah kepada
orang lain. Sebagimana Allah berfirman:
�خي وء�ة� أ �و�اري� س��� اب ف���أ �ون� مثل� ه���ذ�االغ�ر� �ك �ن أ ت� أ �عج�ز� أ)31المائدة( :
“…Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku
dapat menguburkan mayat saudaraku ini” (QS. Al Maidah (5): 31)1
Mukjizat ini ditujukan untuk menunjukkan kelemahan manusia
untuk mendatangkan hal yang serupa dengannya. Mukjizat adalah sesuatu
yang luar biasa yang bertentangan dengan adapt dan keluar dari batas-
batas yang telah diketahui. I’jazul Quran (kemukjizatan Al-Quran) artinya
1 Departemen Agama, 2002. Surbaya. Cv. Rams Putra
menetapkan kelemahan manusia, baik secara berpisah-pisa maupun
berkelompok, untuk bias mendatangkan yang sejenis dengan Al-Quran.
Kemukjizatan Al-Quran ini ditujukan untuk menjelaskan bahwa kitab ini
adalah hak, dan Rasul yang membawanya adalah Rasul yang benar. Tidak
ada satu pun dari mukjizat nabi-nabi yang dapat ditandingi oleh manusia.
Tujuan mukjizat hanya untuk melahirkan kebenaran dan menetapkan
bahwa mereka bawa itu adalah semata-mata wahyu dari zat yang
Mahabijaksana., dan diturunkan dari Tuhan yang Mahakuasa. Mereka
hanyalah menyampaikan risalah Allah. Oleh karena itu, mukjizat adalah
dalil dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya untuk membenarkan
Rasul-rasul dan Nabi-nabi. Dengan perantaraan mukjizat ini, seolah-olah
Allah bersabda,”Benar Hamba-Ku dalam hal yang ia sampaikan dari Aku
dan Aku mengutusnya agar ia menyampaikan sesuatu kepadamu.”
Dalil atas kebenarannya adalah dengan cara menjalankan hal-hal
yang bertentangan dengan adapt dan melakukan hal-hal yang berada diluar
kemampuan manusia sehingga tidak ada seorangpun yang bisa
mendatangkan sesamanya. Itulah arti melemahkan dan itu pula pengertian
mukjizat.2
Sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab peristiwa-peristiwa
alam, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan, tidak dinamai
mukjizat. Hal ini karena peristiwa tersebut merupakan suatu yang biasa.
Yang dimaksud dengan “luar biasa” adalah sesuatu yang berbeda di luar
jangkauan sebab akibat yang hukum-hukumnya diketahui secara umum.
Demikian pula dengan hipnotis dan sihir, misalnya sekilas tampak ajaib
atau luar biasa, karena dapat dipelajari, tidak termasuk dalam pengertian
“luar biasa” dalam definisi di atas.
2 Prof. Dr Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Quran, Bandung, : Pustaka Setia, 1998. cetakan I. hlm. 118
Hal-hal di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi pada diri siapapun.
Apabila keluarbiasaan tersebut bukan dari seorang yang mengaku Nabi,
hal itu tidak dinamai mukjizat. Demikian pula sesuatu yang luar biasa pada
diri seseorang yang kelak bakal menjadi Nabi ini pun tidak dinamai
mukjizat, melainkan irhash. Keluarbiasaan itu terjadi pada diri seseorang
yang taat dan dicintai Allah, tetapi inipun tidak disebut mukjizat,
melainkan karamah atau kerahmatan. Bahkan, karamah ini bisa dimiliki
oleh seseorang yang durhaka kepada-Nya, yang terakhir dinamai ihanah
(penghinaan) atau Istidraj (rangsangan untuk lebih durhaka lagi).3
Allah SWT, mengistimewakan Nabi kita Muhammad SAW,
dengan bekal mukjizat yang luar biasa, yaitu Al-Quranul KArim, yang
merupakan nur Ilahi dan wahyu samawi yang diletakkan ke dalam lubuk
hati Nabi-Nya sebagai Quranan Arabiyyan (bacaan berbahasa Arab) yang
lurus. Beliau membacanya sepanjang malam dan siang. Dengannya beliau
dapat menghidupkan semangat generasi dari bahaya kemusnahan, dari
generasi yang sudah punah menjadi generasi yang hidup kembali dengan
pancaran sinar Al-Quran dan menunjukinya dengan jalan yang teramat
lurus sera membangkitkan dari lembah kenistaan menjadi umat yang
terbaik yang ditampilkan untuk ikatan seluruh manusia.
Al-Quran telah membangkitkan umat manusia untuk
memperbaharui masyarakat dan menyusun generasi yang belum pernah
tampil dalam sejarah. Al-Quran pula menampilkan orang Arab dari
kehidupan sebagai penggembala unta dan kambing menjadi pemimpin
bangsa-bangsa, yang dapat menguasai dunia bahkan dikenal samapi
negeri-negeri yang sangat jauh. Kesemuanya itu berkat Al-Quran sebagai
mukjizat (Muhammad) penutup para Nabi dan Rasul.4
3 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Jakarta : Mizan Dian Semesta, 2000. hlm 35.4 Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Quran, …. hlm. 112-113
Mukjizat para Nabi terdahulu itu hanya berupa mukjizat indrawi
yang sesuai dengan masa dan zaman ketika mereka dibangkitkan.
Mukjizat Nabi Isa a.s. yang dapat menghidupkan orang-orang mati,
menyembuhkan penyakit buta dan kusta serta dapat memberitahukan hal-
hal yang gaib. Ia diutus pada suatu masa ketika ilmu kedokteran dan
pengetahuan tumbuh subur dan popular, dan banyak bermunculannya
dokter-dokter spesialis. Waktu itu tampillah Isa Ibnu Maryam dengan
membawa sesuatu yang mengagumkan serta menundukkan mereka, yaitu
dapat menyembuhkan orang-orang yan sakit, menghidupkan orang-orang
yang telah mati dan menyembuhkan orang-orang yang buta dan tuli.
Bila mukjizat-mukjizat Nabi dan Rasul terdahulu berupa mukjizat
materi yang bersifat indrawi maka mukjizat Muhammad Ibnu Abdullah
adalah berupa mukjizat ruhiyah yang bersifat rasional. Allah telah
memberikan keistimewaan kepadanya berupa Al-Quran sebagai mukjizat
rasional yang kekal di sepanjang zaman agar diperhatikan oleh orang yang
mempunyai hati dan pemikiran. Sehingga mereka bias terkena pantulan
sinarnya dan mempergunakan petunjuknya, di saat kini dan nanti. Dalam
sebuah hadits Rasulullah SAW, ia bersabda, “tiada seorang Nabi pun dari
nabi-nabi yang terdahulu itu, kecuali mereka diberi mukjizat yang sesuai,
agar manusia mempercayainya, tetapi (mukjizat) yang diberikan kepadaku
adalah berupa wahyu (pengetahuan) yang disampaikan oleh Allah
kepadaku. Aku mengharapkan agar aku menjadi Nabi yang paling banyak
pengikutnya.”5
Secara garis besar, mukjizat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu
mukjizat yang bersifat material indrawi yang tidak kekal dan mukjizat
immaterial, logis, dan dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-
nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material
dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan dan
5 Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Quran, …. hlm. 113-114
dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat mereka
menyampaikan risalahnya.
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok:
1. Para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, ditugaskan untuk masyarakat
dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa
dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan
mukjizat Nabi Muhammad yang diutus seluruh umat manusia sampai
akhir zaman sehingga bukti ajaranya harus selalu ada dimana dan
kapanpun berada.
2. Manusia mengalami perkembangan dalam pemikiranya. Umat para Nabi
khususnya sebelum Nabi Muhammad membutuhkan bukti kebenaran yang
sesuai dengan tingkat pemikiran mereka. Bukti tersebut harus demikian
jelas dan langsung terjangkau oleh indra mereka. Akan tetapi, setelah
manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, bukti yang
bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi.6
B. Bukti Historis Kegagalan Menandingi Al-Qur'an
Al-Qur'an digunakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk
menantang orang-orang pada masanya dan generasi sesudahnya yang tidak
mempercayai kebenaran Al-Qur'an sebagai firman Allah (bukan ciptaan
Muhammad) dan risalah serta ajaran yang dibawanya. Terhadap mereka,
sungguhpun memiliki tingkat fashahah dan balaghah yang tinggi di
bidang bahasa Arab, Nabi memintanya untuk menandingi Al-Qur'an dalam
tiga tahapan:
1. Mendatangkan semisal Al-Qur'an secara keseluruhan, sebagaimana
dijelaskan pada surat Al-Isra (17) ayat 88:
6 Shihab, Mukjizat….. hlm. 36-37.
“Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian lain.” (Al-Isra (17): 88)7
2. Mendatangkan sepuluh surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam
Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam surat Hud (11) ayat 13 berikut
“Bahkan mereka mengatakan, Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an
itu. “ Katakanlah, kalu demikian, maka datangkanlah sepuluh surat-surat
yang dibuat-buat menyamai, dan panggilah orang-orang yang kamu
sanggup memanggilnya selain Allah, jika kamu memang orang-orang
yang benar” (Q.S. Hud [11]: 13)8
3. surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur'an, sebagaimana
dijelaskan oleh surat Al-Baqarah (2) ayat 23:
7 Departemen Agama, 2002. Surbaya. Cv. Rams Putra8 Departemen Agama, 2002. Surbaya. Cv. Rams Putra
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja)
yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah, jika kami orang-orang yang benar” (QS. Al Baqarah (2): 23)9
Sejarah telah menunjukan bahwa jawaban orang-orang Arab
ternyata gagal menandingi Al-Qur'an. Inilah beberapa catatan sejarah yang
memperlihatkan kegagalan itu:
1. Pemimpin Quraisy pernah mengutus Abu Al-Walid, seorang
sastrawan ulung yang tiada bandingannya untuk membuat sesuatu
yang mirip dengan Al-Qur'an ketika Abu Al-Walid berhadapan
dengan Rasulullah SAW. Yang membaca surat Fushilat, ia
tercengang mendengar kehalusan dan keindahan gaya bahasa Al-
Qur'an dan ia pun kembali pada kaumnya dengan tangan hampa.
2. Musailamah bin Habib Al Kadzdzab yang mengaku sebagai Nabi
juga pernah berusaha mengubah sesuatu yang mirip dengan ayat-
ayat Al-Qur'an. Ia mengaku bahwa dirinyapun mempunyai Al-
Qur'an yang diturunkan dari langit dan dibawa oleh Malaikat yang
bernama Rahman. Di antara gubahan-gubahannya yang
dimaksudkan untuk mendandingi Al-Qur'an itu adalah antara lain:
�ك فى �عال �قين� أ �ن �قي م�ات �اضفد�ع� بنت� ضفد�ع�ين ن لطيني�ك �سف�ل االطن الم�اء و�أ فى
“Hai katak, anak dari dua katak. Bersihkan apa saja yang akan engkau
bersihkan, bagian atas engkau di air dan bagian bawah engkau di tanah”.
Ketika itu pula, ia merobek-robek apa saja yang telah ia kumpulkan dan
9 Departemen Agama, 2002. Surbaya. Cv. Rams Putra
merasa malu tampil di depan khalayak ramai. Setelah peristiwa itu ia
mengucapkan kata-katanya yang masyhur:
“Demi Allah, siapapun yang tidak akan mampu mendatangkan yang sama
dengan Al-Qur'an.”
Tidak mustahil terjadi hal-hal diluar kebiasaan pada diri
siapapun.Namun apabila bukan dari seorang yang mengaku Nabi ,maka ia
tidak dinamakan mu’jizat. Boleh jadi sesuatu yang luar biasa tampak pada
diri seorang yang kelak bakal manjadi Nabi ,inipun tidak dinamakan
mu’jizat tetapi irhash,boleh jadi juga kelurbiasaan itu terjadi pada seorang
yang taat dan dicintai Allah ,tetapi inipun tidak dinamakan mu’jizat hal ini
dinamakan karamah atau kekeramatan yang bahkan tidak mustahil terjadi
pada seseorang yang durhaka kepada-Nya.Nabi Muhammad SAW adalah
Nabi terakhir maka tidak mungkin lagi terjadi suatu mu’jizat sepeninggal
beliau,walaupun ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak dapat terjadi
dewasa ini.
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal yang serupa maka ini
berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti,perlu
digarisbawahi bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami
oleh yang ditantang,bahkan untuk lebih membuktikan tantangan mereka
biasanya aspek kemu’jizatan masing-masing Nabi adalah hal-hal yang
sesuai dengan bidang keahlian umatnya.
Ada beberapa orang yang meragukan kemungkinan terjadinya
“keluarbiasaan”. Bukankah aneka keluarbiasaan tersebut bertentangan
dengan akal sehingga mustahil terjadi ?
Sesungguhnya keluarbiasaan itu tidak mustahil menurut
pandangan akal yang sehat dan tidak pula bertentangan dengannya,yang
sebenarnya terjadi adalah bahwa keluarbiasaan itu hanya sukar,tidak atau
belum dapat dijangkau hakikat atau cara kejadiannya oleh akal.
Sumber daya manusia sungguh sangat besar dan tidak dapat
dibayangkan kapasitasnya. Potensi kalbu yang merupakan salah satu
sumber daya manusia dapat menghasilkan hal-hal yang luar biasa yang
boleh jadi tidak diakui oleh orang yang tidak mengenalnya,hal ini sama
dengan penolakan generasi terdahulu tentang banyaknya kenyataan masa
kini yang lahir dari pengembangan daya pikir.
Sama sekali bukan suatu hal yang mustahil apabila kesucian jiwa
para Nabi dapat menghasilkan _melalui bantuan Allah_peristiwa luar biasa
dipandang dari ukuran hukum-hukum alam yang diketahui umum,padahal
sesungguhnya ia mempunyai hukum-hukumnya tersendiri dan yang dapat
dilakukan oleh siapapun selama terpenuhi syarat-syaratnya.10
C. Kemukjizatan Al-Quran dalam perspektif ilmiah kontemporer
a. Kebenaran Ilmiah Al-Quran
Al-Quran adalah kitab petunjuk, demikian hasil yang kita peroleh dari
mempelajari sejarah turunnya. Ini sesuai pula dengan penegasan Al-Quran:
Petunjuk bagi manusia, keterangan mengenai petunjuk serta pemisah antara
yang hak dan batil. (QS 2:185).
Jika demikian, apakah hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan?
Berkaitan dengan hal ini, perselisihan pendapat para ulama sudah lama
berlangsung. Dalam kitabnya Jawahir Al-Quran, Imam Al-Ghazali
menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang
terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum,
semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Al-Imam Al-Syathibi (w. 1388
M), tidak sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya, Al-Muwafaqat,
beliau --antara lain-- berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui
Al-Quran dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di
10 http://aadesanjaya.blogspot.com/2009/12/makalah-kemukjizatan-al-quran.html
antara mereka yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh cabang
ilmu pengetahuan.
Membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan
dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang
angkasa luar; ilmu komputer tercantum dalam Al-Quran; tetapi yang lebih
utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu
pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran yang
bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata
lain, meletakkannya pada sisi "social psychology" (psikologi sosial) bukan
pada sisi "history of scientific progress" (sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat yang
tercantum dalam Al-Quran (menurut perhitungan ulama Kufah) mengandung
suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah keuntungan yang
diperoleh dengan mengetahui teori-teori tersebut bila masyarakat tidak diberi
"hidayah" atau petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau
menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya?
Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu
fi Al-Fikriy Al-Hadits, menulis: "Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan
masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya
masalah tersebut."11
Selanjutnya beliau menerangkan: "Kemajuan ilmu pengetahuan bukan
hanya terbatas dalam bidang-bidang tersebut, tetapi bergantung pula pada
sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh
negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan
atau mendorongnya lebih jauh."
Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya
dinilai dengan apa yang dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi juga
diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu
pengetahuan itu.12
11 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Terbitan Dar Al-Irsyad, 1969, h. 30.12 Ibid.
Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika mengungkapkan
penemuannya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapat counter dari suatu
lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia hidup malah memberikan
tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo
pada akhirnya menjadi korban tantangan tersebut atau korban penemuannya
sendiri. Hal ini adalah akibat belum terwujudnya syarat-syarat sosial dan
psikologis yang disebutkan di atas. Dari segi inilah kita dapat menilai
hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan.
Di dalam Al-Quran tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk
mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah berfirman:
Katakanlah hai Muhammad: "Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal
saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri,
kemudian berpikirlah." (QS 34:36).
Demikianlah Al-Quran telah membentuk satu iklim baru yang dapat
mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang
dapat menghalangi kemajuannya.
Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang memberikan petunjuk kepada
manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat dalam
hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong manusia
seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya serta menambah ilmu
pengetahuannya sebisa mungkin. Kemudian juga menjadikan observasi atas
alam semesta sebagai alat untuk percaya kepada yang setiap penemuan baru
atau teori ilmiah, sehingga mereka dapat mencarikan dalilnya dalam Al-
Quran untuk dibenarkan atau dibantahnya. Bukan saja karena tidak sejalan
dengan tujuan-tujuan pokok Al-Quran tetapi juga tidak sejalan dengan ciri-
ciri khas ilmu pengetahuan. Untuk menjelaskan hal ini, berikut ini kami
paparkan beberapa ciri-ciri ilmu pengetahuan.13
b. Ciri Khas Ilmu Pengetahuan
13 Ibid.
Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan (science) yang tidak dapat
diingkari meskipun oleh para ilmuwan-- adalah bahwa ia tidak mengenal kata
"kekal". Apa yang dianggap salah di masa silam misalnya, dapat diakui
kebenarannya di abad modern.
Pandangan terhadap persoalan-persoalan ilmiah silih berganti, bukan
saja dalam lapangan pembahasan satu ilmu saja, tetapi terutama juga dalam
teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu, misalnya, segala sesuatu
diterangkan dalam konsep material (istilah-istilah kebendaan) sampai-sampai
manusia pun hendak dikatagorikan dalam konsep tersebut. Sekarang ini kita
dapati psikologi yang membahas mengenai jiwa, budi dan semangat, telah
mengambil tempat tersendiri dan mempunyai peranan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia.
Dahulu, persoalan-persoalan moral tidak mendapat perhatian ilmuwan,
tetapi kini penggunaan senjata-senjata nuklir, misalnya, tidak dapat
dilepaskan dari persoalan tersebut; mereka tidak mengabaikan persoalan
moral dalam penggunaan senjata nuklir yang merupakan hasil dari kemajuan
ilmu pengetahuan.
Teori-teori ilmiah juga silih berganti. Qawanin Al-Thabi'ah (Natural
Law) yang dahulu dianggap pasti, tak mengizinkan suatu kebebasan pun.
Sekarang ini ia hanya dinilai sebagai "summary of statictical averages"
(ikhtisar dari rerata statistik).
Teori bumi datar yang merupakan satu hukum aksioma di suatu masa
misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang kemudian dibatalkan pula
oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur. Mungkin tidak sedikit orang yang
yakin-bahwa pertimbangan-pertimbangan logika atau ilmiah --terutama
menurut Ilmu Pasti-- adalah "benar", sedangkan kenyataannya belum tentu
demikian.
Salah satu sebab dari kesalahan ini adalah karena sering kali titik
tolak dari pemikiran manusia berdasarkan pancaindera atau perasaan umum.
Perasaan umumlah yang, misalnya, menyatakan bahwa sepotong baja adalah
padat, padahal sinar U memperlihatkan bahwa ia berpori.
Karenanya, tidak heran kalau Imam Al-Ghazali pada suatu masa
hidupnya tidak mempercayai indera. Beliau menulis dalam kitabnya Al-
Munqidz min Al-Dhalal: "Bagaimana kita dapat mempercayai pancaindera,
dimana mata merupakan indera terkuat, sedangkan bila ia melihat ke satu
bayangan dilihatnya berhenti tak bergerak sehingga dikatakanlah bahwa
bayangan tak bergerak. Tetapi dengan pengalaman dan pandangan mata,
setelah beberapa saat, diketahui bahwa bayangan tadi tak bergerak, bukan
disebabkan gerakan spontan tetapi sedikit demi sedikit sehingga ia
sebenarnya tak pernah berhenti; begitu juga mata memandang kepada
bintang, ia melihatnya kecil bagaikan uang dinar, akan tetapi alat
membuktikan bahwa bintang lebih besar daripada bumi."14
Dari sini jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat dan
menilik; bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta, objek-objek dan
fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang yang mempunyai sifat
pelupa, keliru, dan ataupun tidak mengetahui. Karenanya, jelas pulalah bahwa
apa yang dikatakan orang sebagai sesuatu yang benar (kebenaran ilmiah)
sebenarnya hanya merupakan satu hal yang relatif dan mengandung arti yang
sangat terbatas.
Kalau demikian ini sifat dan ciri khas ilmu pengetahuan dan
peraturannya, maka dapatkah kita menguatkannya dengan ayat-ayat Tuhan
yang bersifat absolut, abadi dan pasti benar? Relakah kita mengubah arti ayat-
ayat Al-Quran sesuai dengan perubahan atau teori ilmiah yang tidak atau
belum mapan itu? Tidakkah hal ini memberikan kesempatan kepada musuh-
musuh Al-Quran atau bahkan kepada kaum Muslim sendiri untuk meragukan
kebenaran Al-Quran, kitab akidah dan petunjuk, terutama setelah ternyata
terdapat kesalahan suatu teori ilmiah yang tadinya dibenarkan oleh Al-Quran?
Demikian juga mengingkari suatu teori ilmiah berdasarkan ayat-ayat Al-
14 Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, komentar 'Abdul Halim Mahmud, Anglo Al-Mishriyyah, Kairo, 1964,
Quran sangat berbahaya, karena ekses yang ditimbulkannya tidak kurang
bahayanya dengan apa yang timbul di Eropa ketika gereja mengingkari teori
bulatnya bumi dan peredarannya mengelilingi matahari.
c. Isyarat-isyarat Ilmiah
Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Qur-an misalnya:
a. Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan
pantulan. Terdapat dalam Q.S. Yunus [10]: 5.
b. Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakan napas, hal ini
terdapat pada surat Al-An’am [6]: 25
c. Perbedaan sidik jari manusia. Terdapat dalam surat Al-Qiyamah [75]:
4
d. Aroma/bau manusia berbeda-beda. Terdapat dalam surat Yusuf [12]:
94
e. Masa penyusuan yang tepat dan kehamilan minimal. Terdapat dalam
surat Al-Baqarah [2]: 233
f. Adanya nurani (super ego) dan bawah sadar manusia. Terdapat dalam
surat Al-Qiyamah [75]: 14
g. Yang merasakan nyeri adalah kulit. Terdapat dalam surat Al-Qiyamah
[75]: 4
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari makalah dapat di ambil kesimpulan bahwa Al-Qur'an ini
adalah Mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad
SAW. Kita tahu bahwa setiap Nabi diutus Allah selalu dibekali mukjizat
untuk meyakinkan manusia yang ragu dan tidak percaya terhadap pesan
atau misi yang dibawa oleh Nabi.
Mukjizat ini selalu dikaitkan dengan perkembangan dan keahlian
masyarakat yang dihadapi tiap-tiap Nabi, setiap mukjizat bersifat
menantang baik secara tegas maupun tidak, oleh karena itu tantangan
tersebut harus dimengerti oleh orang-orang yang ditantangnya itulah
sebabnya jenis mukjizat yang diberikan kepada para Nabi selalu
disesuaikan dengan keahlian masyarakat yang dihadapinya dengan tujuan
sebagai pukulan yang mematikan bagi masyarakat yang ditantang tersebut.
Pembuktian mukjizat saintifik di dalam Al-Quran akan menjadi
langkah yang sangat strategis di samping juga bisa menjadi piranti dakwah
bagi non muslim agar mereka tertarik oleh Islam. Di samping pembuktian
mukjizat Al-Quran juga berfungsi untuk menutup pintu ateisme pada
mereka dan pada orang-orang yang berada di sekitar mereka baik
golongan anak-anak muda timur maupun mereka yang terbaratkan
pemikiran dan kebudayaannya. Karena imbas kebenaran-kebenaran
saintifik akan berefek lebih besar dan vital bagi akal mereka bila dibanding
dengan dalil-dalil lainnya.
B. SARAN
Demikianlah dalam hal ini penulis akhiri makalah ini tak lupa
mohon maaf kepada semua pihak, kritik dan saran penulis harapkan demi
perbaikan penulisan makalah ini selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, 2002. Surbaya. Cv. Rams Putra
Prof. Dr Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Quran, Bandung, :
Pustaka Setia, 1998. cetakan I.
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Jakarta : Mizan Dian Semesta, 2000.
http://aadesanjaya.blogspot.com/2009/12/makalah-kemukjizatan-al-quran.html
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Terbitan Dar Al-Irsyad, 1969,
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2010, jilid 2
Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, komentar 'Abdul Halim Mahmud, Anglo
Al-Mishriyyah, Kairo, 1964,