1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bertambahnya perekonomian suatu daerah mempengaruhi kebutuhan dari
setiap individu atau masyarakat.Salah satunya pemenuhan kebutuhan akan
transportasi. Transportasi merupakan pemindahan manusia atau barang dari satu
tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan
oleh manusia atau mesin.Transportasi diartikan sebagai pemindahan barang dan
manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.1
Sistem transportasi yang andal merupakan sarana penunjang kemajuan
ekonomi karena akan mendukung mobilisasi penduduk dari satu daerah kedaerah lain
yang mampu mendistribusikan barang dari satu tempat ketempat lainnya secara
meluas.2Sedikitnya angkutan umum mengakibatkan kebutuhan akan transportasi
bertambah, karena dengan transportasi dapat memudahkan masyarakat dalam
melakukan aktivitas sehari-hari.
Kebutuhan akan transportasi yang semakin banyak, maka demi memenuhi
kebutuhan dari masyarakat para penyedia jasa kursus mengemudi pun mulai
menjamur. Hal tersebut mengakibatkan kendaraan pribadi adalah satu-satunya sarana
1Muchlisin Riadi, 2012,“Pengertian dan Fungsi
Transportasi”http://www.kajianpustaka.com/p/profil.html, diakses pada tanggal 6 januari 2015 2Syafran Sofyan, 2012, “Pengembangan Sistem Trasnsportasi Nasional guna mempercepat
dan memperluas pembangunan ekonomi dalam rangka ketahanan nasional” Jurnal Kajian Nasional
Lemhannas Republik Indonesia, Edisi 14, Desember 2012, h. 31
2
yang memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan akan transportasi dari masyarakat
yang dinamis. Kursus mengemudi merupakan alternatif yang digunakan oleh
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dari sektor ekonomi dengan
bertransportasi.Dengan menggunakan jasa kursus mengemudi dapat mempermudah
dari segi fasillitas, dan efisiensi waktu.Tujuan lain masyarakat untuk ikut serta dalam
kursus mengemudi adalah untuk mendapatkan lisensi resmi untuk mengendarai
kandaraan bermotor.
Kemudahan-kemudahan yang telah dijanjikan, mengakibatkan penyedia jasa
kursus mengemudi menjadi idola dikalangan masyarakat terutama pelajar yang
usianya sudah dianggap cukup untuk mengendarai kendaraan bermotor khususnya
mobil.Pelayanan tersebut diantaranya:mendapat pengarahan dari instruktur pribadi
mulai dari hal-hal teknis memang terpapar secara teoritis seperti cara melepas
kopling, memindahkan tuas perseneling, mengerem, sampai teknik menahan kopling
dalam kondisi macet di jalan menanjak.
Pada umumnya ada 3 macam cara mengemudi yaitu :safety driving,
aggressive driving dan defensive driving.Safety driving adalah mengemudi dengan
selamat, dimana pengemudi dalam berkendaraan hanya mengutamakan selamat bagi
dirinya pribadi tanpa memperhatikan sekitarnya, serta memperhatikan peraturan dan
cara mengemudi yang baik. Aggressive drivingadalah yaitu mengemudi dengan lebih
cepat dalam berkendara bahkan sampai ugal-ugalan, kadang pengemudi sudah tidak
memperhatikan peraturan, dan sangat membahayakan pemakai jalan lain. Kemudian
defensive drivingadalah mengemudi dengan cara aman, dengan banyak mengalah,
3
selain cara mengemudi ini akan aman bagi dirinya juga aman bagi pengguna jalan
lainnya. Dari berbagai cara yang telah disebutkan diatas tujuan dari kursus
mengemudi adalah menciptakan pengemudi yang safety driving dan defensive driving
karena cara tersebut adalah cara yang bertoleransi dengan pengendara lain dan
menaati aturan lalu lintas serta menjadikan jalan raya menjadi tempat aman untuk
berkendara.3
Semakin banyaknya minat dari masyarakat untuk mengikuti kursus
mengemudi, maka semakin banyak pula lembaga kursus mengemudi yang
bermunculan sehingga timbulnya persaingan pelaku usaha. Demi mendapatkan
pelanggan yaitu pengguna jasa kursus mengemudi maka banyaklah promosi-promosi
yang dimuat dalam surat kabar, jejaring sosial, serta iklan di televisi lokal dan masih
banyak lagi. Promosi tersebut menjanjikan banyak hal diantaranya harga yang
terjangkau, servis antar jemput pengguna jasa kursus, serta memberanikan akan
memberikan jaminan untuk mendapatkan lisensi mengemudi atau surat ijin
mengemudi.
Namun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan pada Pasal 7 angka 2e telah jelas merumuskan bahwa : “Urusan
pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan
3Achmad Salamun, 2011, “Cara Mengemudi Yang Aman - Defensive driving (Transporatsi
6)”, Published: 08 Oktober 2011, URL :http://www.kompasiana.com/. diakses tanggal 11 oktober
2015.
4
Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas,
serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
Pasal 12a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang merumuskan :
Penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor
dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu
Lintas, serta pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
huruf e meliputi pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi Kendaraan
Bermotor.
Bunyi pasal dari undang – undang telah dengan tegas menjelaskan bahwa
yang berhak untuk melakukan pengujian ataupun penerbitan lisensi mengemudi atau
surat ijin mengemudi adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Maka dari itu perlunya diteliti mengenai peraturan yang terkait lebih lanjut
karena kondisi ini dapat dikatakan norma yang kabur (vague van normen). Sahnya
suatu perjanjian karena adanya kesepakatan antara para pihak. Apabila dikaitkan
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan dalam bidang kursus mengemudi keabsahan suatu perjanjian perlu
dipertanyakan. Maka dari itu timbulah masalah yang perlu dikaji yaitu keabsahan
perjanjian yang terjadi dalam kursus mengemudi berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Serta dalam
pelaksanaan kursus mengemudi tujuan dari calon pengemudi adalah untuk
mendapatkan SIM (Surat Ijin Mengemudi). Sering kali calon pengguna jasa
berasumsi bahwa mengikuti kursus mengemudi menjamin dalam mendapatkan SIM
5
(Surat ijin Mengemudi).Dengan demikian perlu pula diketahui lebih lanjut mengenai
tanggungjawan pelaku usaha kursus dalam upaya mendapatkan SIM (Surat Ijin
Mengemudi).
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka akan dibahas masalah ini
dalam sebuah bentuk karya ilmiah yang berupa skripsi dengan judul: “Perjanjian
Penyedia Jasa Kursus Mengemudi Bagi Pengguna Jasa Ditinjau Dari Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan atas uraian dalam latar belakang masalah, maka dapat
dikemukakan beberapa permasalahan yang akan menjadi pokok bahasan dalam
penulisan skripsi ini. Permasalahan-permasalahan tersebut jika dirumuskan adalah
sebagai berikut:
1. Apakah perjanjian penyedia jasa kursus mengemudi denganpengguna jasa
kursus mengemudi dapat diakui keabsahannya berdasarkan Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPer) ?
2. Apakah tangggung jawabpenyedia jasa kursus mengemudi terhadap pengguna
jasa dalam upaya memperoleh SIM (Surat Ijin Mengemudi) berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
6
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pokok pembahasan disini adalah
mengenai keabsahan perjanjian antara lembaga pendidik pengemudi dengan
pengguna jasa pendidik pengemudi ditinjau dari Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPer).
Pada pembahasan rumusan masalah yang kedua mencakup mengenai
pertanggungjawaban lembaga pendidik pengemudi terhadap pengguna jasa dalam
upaya memperoleh SIM (Surat Ijin Mengemudi)apabila dikaitkan dengan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
1.4 Orisinalitas
Skripsi ini merupakan karya tulis asli penulis sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Permasalahan yang diangkat
oleh penulis adalah mengenai keabsahan dari pelaksanaan perjanjian lembaga
pendidik pengemudi terhadap pengguna jasa ditinjau dari KUHPer, dan juga
tanggung jawab penyedia jasa kursus mengemudi terhadap pengguna jasa dalam
upaya memperoleh SIM (Surat Ijin Mengemudi) berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang merupakan
fenomena Hukum yang sering terjadi dimasyarakat.
1.5 Tujuan Penelitian
Bertolak dari pemaparan permasalahan yang diajukan di atas, dan yang akan
menjadi pokok bahasan. Maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.5.1 Tujuan umum
7
1. Untuk mengetahui dasar dari Hukum perjanjian dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPer) antara pihak penyedia jasa kursus pengemudi
dengan pengguna jasa kursus mengemudi.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab lembaga kursus pengemudi dalam upaya
memperoleh SIM (Surat Ijin Mengemudi)berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
1.5.2 Tujuan khusus
1. Untuk memahami keabsahan perjanjian yang terjadi antara penyedia jasa dan
pengguna jasa ditinjau dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).
2. Untuk memahami hak dan kewajiban pengguna jasa dan pelaku usaha kursus
serta pertanggungjawaban lembaga kursus pengemudi dalam upaya
memperoleh SIM (Surat Ijin Mengemudi) berdasarkanUndang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
1.6 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian selalu diharapkan dapat memberikan manfaat pada berbagai
pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1.6.1 Manfaat teoritis
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum bisnis,
khususnya dasar sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan jasa dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).
8
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan menambah
informasi bagi pihak-pihak yang menjadi subjek hukum dalam kegiatan Lalu
Lintas serta Angkutan Jalan yaitu Polisi Lalu Lintas, penyedia jasa kursus
mengemudi, dan tentu saja masyarakat .
1.6.2 Manfaat praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman oleh para pihak
dalam kursus mengemudi, sehingga mampu menyelesaikan permasalahan
yang sejenis.
2. Hasil penelitian ini dapat diharapkan menjadi pedoman bagi para pihak dalam
kursus mengemudi mengenai batasan tanggung jawab dalam upaya
memperoleh SIM (Surat Ijin Mengemudi).
1.7 Landasan Teoritis
Dalam penelitian ilmiah diperlukan teori yang berupa asumsi, konsep, definisi
dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan
cara merumuskan hubungan antar konsep4. Dalam bentuknya yang paling sederhana,
suatu teori merupakan hubungan antar dua variabel atau lebih yang telah diuji
kebenarannya5.Landasan dari suatu penelitian Hukum perlu diawali dari pengertian
Hukum itu sendiri. Menurut Van Apeldoorn bahwa hukum itu terdiri dari :
4Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19.
5Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
30.
9
pertama, peraturan-peraturan, kedua, obyek dari peraturan-peraturan adalah
perhubungan hidup yang menampakkan diri di dalam perbuatan atau kelakuan
manusia, dan bukan soal-soal pribadi atau soal bathin, dari obyeknya, dan ketiga,
peraturan hidup itu tidak berlaku untuk hewan atau tumbuh-tumbuhan6. Dengan
demikian, hukum mengatur perhubungan antar manusia7.
Menurut Mochtar Kusumaatmaja, bahwa pengertian hukum yang memadai
harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai perangkat kaedah dan asas-asas
yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi juga harus mencakup
lembaga (institution) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan
hukum itu dalam kenyataan8. Hal ini berarti Hukum sebagai suatu kaidah, memuat
petunjuk pedoman dan merupakan salah satu dari jenis kaidah sosial.Kaidah sosial
sendiri diartikan sebagai suatu pedoman, patokan, atau ukuran untuk berperilaku atau
bersikap dalam kehidupan bersama ini.9 Hukum sebagai kaedah mempunyai fungsi
sebagai berikut:
(a) Hukum yang menjamin kepastian hukum
(b) Hukum yang menjamin keadilan sosial
6Van Apeldoorn, 1976, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 13.
7Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia
Modern, PT. Refika Aditama, Jakarta, h. 7.
8Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina
Cipta, Bandung, h. 15. 9Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 4
10
(c) Hukum berfungsi pengayoman/perlindungan.10
Hukum berfungsi pengayom berasal dari teori Soehardjo (Menteri Kehakiman
dalam Kabinet Soekarno).Makna dari fungsi hukum ini, dimana hukum berfungsi
mengayomi atau melindungi manusia dalam bermasyarakat dan berbangsa, serta
bernegara, baik jiwa dan badannya maupun hak-hak pribadinya, yaitu hak asasinya,
hak kebendaannya maupun hak perorangannya11
.
Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah
kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah
tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi.Kepentingan pada hakekatnya mengandung
kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya12
.
Menurut Soerjono Soekanto dan Otje Salman, hak merupakan suatu
wewenang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dan secara sosiologis, hak
merupakan suatu peranan atau lebih tepat peranan yang diharapkan (“ideal role”,
“expected role”)13
.Hak yang bersumber dari hukum maupun perjanjian itu dibedakan
menjadi hak kebendaan dan hak perorangan. Lebih lanjut diberikan pengertian dari
kedua hak tersebut sebagai berikut :
10
Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 20. 11
Ibid, h. 21.
12
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h.
40. 13
Soerjono Soekanto dan Otje Salman, 1996, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Radjawali
Press, Jakarta, h. 96.
11
Hak kebendaan berkaitan dengan penguasaan langsung atas suatu benda yang
dapat dipertahankan terhadap setiap orang.Sedangkan hak perorangan memberikan
suatu tuntutan atau penagihan terhadap seseorang. Dalam Hukum Romawi keduanya
disebut dengan “actiones in rem” untuk tuntutan kebendaan dan “actiones in
personam” untuk tuntutan perseorangan14
.
Hubungan perdata dalam bentuk perikatan antara penyedia kursus
mengemudi dengan pengguna jasa. Berdasarkan KUHPerdata buku ke tiga tentang
perikatan dalam Pasal 1313 menyebutkan :“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.”
Sedangkan dasar hukum perjanjian lainnya ialah Pasal 1338 KUHPerdata
tentang asas kebebasan berkontrak bahwa : “setiap orang bebas mengadakan suatu
perjanjian apa saja, baik perjanjian itu sudah diatur dalam Undang-undang maupun
belum diatur dalam Undang-undang.”Perjanjian dengan demikian mengikat para
pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang
ditentukan dalam perjanjian itu.Perjanjian memberikan kepastian bagi penyelesaian
sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum15
.
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa belanda yaitu
“overeenskomst”. Overeenskomst biasanya diterjemahkan dalam perjanjian dan atau
14
R. Subekti, 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, h. 63.
15
Ibid, h.28.
12
persetujuan. Menurut R. Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan suatu hal.16
Menurut Abdul Kadir Muhammad menjelaskan
bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.17
Dalam KUHPerdata telah diatur syarat-syarat umum sahnya suatu perjanjian
terdapat pada Pasal 1320 KUHPerdata, menurut ketentuan pasal tersebut perjanjian
sah apabila telah memenuhi persyaratan antara lain yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang
atau lebih dengan pihak lainnya.18
Kedua belah pihak diberi kebebasan dalam
menentukan hal-hal pokok yang akan disepakati dalam perjanjian.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Pasal 1329 KUHPerdata merumuskan bahwa “Setiap orang adalah cakap
untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh Undang-Undang dinyatakan tak
cakap”.
Menurut Pasal 1330 KUHPerdata merumuskan, Mereka yang tidak cakap
membuat suatu perjanjian adalah mereka yang termasuk dalam katagori:
16
R. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, h.1. 17
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia,PT. Citra Aditya Bakti,Bandung,
h.225.
18
Salim H.S, H. Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, 2008, Perancangan Kontrak &
Memorandum Of Understanding (MOU), Sinar Grafika, Jakarta, h.9.
13
a. Orang yang belum dewasa.
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan
semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
3. Suatu hal tertentu;
Adapun yang dimaksud dalam hal tertentu adalah objek dari perjanjian
dalam Pasal 1332 KUHPerdata merumuskan bahwa “Hanya barang-barang yang
dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian”.Menurut Pasal
1333 KUHPerdata “Suatu perjanjian harus mempunyai pokok sebagai suatu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”.Selanjutnya menurut Pasal 1334
ayat (1) KUHPerdata juga merumuskan “Barang-barang yang baru akan ada di
kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.
4. Suatu sebab yang halal.
Dalam Pasal 1337 KUHPerdata merumuskan bahwa “Suatu sebab adalah
terlarang yang apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
Dalam hukum perjanjian terdapat tiga asas hukum yang melandasi perjanjian,
yaitu asas konsensualisme, asas pacta sunt servada, dan asas kebebasan berkontrak.
Asas konsensualisme (concsensualism) adalah bahwa suatu perikatan itu
tersebut terjadi atau ada sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak. Dengan
kata lain bahwa perikatan itu sudah sah dan memiliki akibat hukum sejak saat
14
tercapai kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perikatan.19
Sepakat, berarti
telah terjadi consensus secara tulus tidak ada kekilapan, paksaan ataupun
penipuan.20
Kesepakatan tersebut dapat dibuat secara lisan maupun tulisan. Dalam
perjanjian antara penyedia jasa kursus mengemudi dengan pengguna jasa kursus
perjanjian harus dibuat secara tertulis baik itu dalam bentuk kontrak, akta dibawah
tangan, ataupun surat berharga dalam hal ini yang dimaksud adalah nota pembayaran
dan/atau kwitansi pembayaran.
Asas pacta sunt servada atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas
pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang
merumuskan :“Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang.”
Kalimat secara sah berlaku sebagai Undang-undang mengandung arti bahwa para
pihak dalam membuat perjanjian harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
dan isi dari perjanjian tersebut bersifat mengikat sebagai Undang-undang terhadap
para pihak dan pada akhirnya akan terealisasikannya asas kepastian hukum bagi para
pihak21
.
Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) dapat dianalisis dari
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang merumuskan :“Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang
19
Titik Triwulan Tutik, 2010, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cet.II,
Kencana, Jakarta, h.227. 20
I Ketut Artadi dan I Dewa Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan
Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, h.48
21
Titik Triwulan Tutik, op.cit, h.228.
15
membuatnya.” Menurut Salim H.S, bahwa asas kebebasan berkontrak adalah suatu
asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk; (1) membuat atau tidak
membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi
perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan (4) menentukan bentuknya
perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Namun demikian, Abdulkadir Muhammad
berpendapat bahwa kebebasan berkontrak tersebut tetap dibatasi oleh tiga hal, yaitu :
(1) tidak dilarang oleh Undang-Undang; (2) tidak bertentangan dengan kesusilaan;
dan (3) tidak bertentangan dengan ketertiban umum.22
Dapat diambil kesimpulan
bahwa setiap orang dibebaskan dalam membuat pokok-pokok dari perjanjian selama
memenuhi syarat sahnya perjanjian, tidak melanggar kesusilaan, dan ketentuan
Hukum.
Asas itikad baik (good faith/tegoeder trouw) terdapat dalam Pasal 1338 ayat
(3) KUH Perdata yang merumuskan :“Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad
baik.”Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu para pihak harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh
atau kemauan baik dari para pihak.
Asas kepribadian terdapat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.
Pasal 1315 KUH Perdata merumuskan bahwa :“Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”Inti ketentuan ini
22
Titik Triwulan Tutik, op.cit, h.229.
16
bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya
sendiri.
Pasal 1340 KUH Perdata merumuskan bahwa :“Perjanjian hanya berlaku
antara pihak yang membuatnya.”Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para
pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada
pengecualiannya, sebagaimana dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang merumuskan
:“Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna
kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh
seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberianyang dilakukannya kepada
seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu”. Pasal tersebut bermaksud bahwa
perjanjian dapat diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang
dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu
syarat semacam itu.”Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak
dalam menentukan dan membuat suatu perjanjian.
Secara umum teori tanggung jawab dalam hukum perlindungan konsumen
dapat dibedakan sebagai berikut23
: Tanggung jawab atas dasar kesalahan (Based on
fault liability) adalah tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan terdapat dalam
Pasal 1365 KUH Perdata, yang dikenal sebagai tindakan melawan hukum
(onrechtsmatigdaad). Menurut pasal tersebut setiap perbuatan melawan hukum yang
menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena
23
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h.58.
17
perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian24
. Tanggung jawab atas
dasar kesalahan harus memenuhi unsur-unsur adanya perbuatan, kesalahan, kerugian
yang diderita dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian25
.
Tanggung jawab hukum tanpa bersalah / mutlak (liability without fault /
strict liability) adalah prinsip tanggung jawab mutlak ini dalam hukum perlindungan
konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen
barang yang produknya merugikan konsumen.Prinsip ini lebih dikenal dengan istilah
product liability. Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan prinsip tanggung
jawab ini terletak pada risk liability yang mempunyai arti kewajiban mengganti rugi
dibebankan kepada pihak yang menimbulkan resiko adanya kerugian itu. Namun, si
penggugat atau konsumen tetap diberikan beban pembuktian walaupun tidak sebesar
si tergugat atau pelaku usaha26
Mengenai dirugikanya pengguna jasa kursus mengemudi atas tidak
terlaksananya kewajiban dari penyedia jasa kursus mengemudi yang posisi dari
pengguna jasa kursus mengemudi adalah sebagai konsumen, maka dalam menegakan
Hukum dapat menggunakan Undang-Undang Nomor.8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.Hukum Perlindungan Konsumen adalah upaya hukum bagi
konsumen untuk memperoleh hak-hak konsumen sebagaimana yang tertera dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
24
H.K.Martono dan Amad Sudiro, 2011, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No 1
Tahun 2009, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.219. 25
Shidarta, op.cit, h. 59 26
Shidarta, op.cit, h. 63
18
Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalammengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi danjaminan
barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;27
Mengenai perlindungan hukum terhadap pengguna jasa kursus mengemudi
atas penyedia jasa kursus menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusi (HAM) yang dirugikan orang
lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh Hukum.28
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa : Perlindungan hukum merupakan
perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang
dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan
27
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen
Indonesia,Cet.IV, Gramedia, Jakarta, h. 4.
28
Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 53
19
hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-
wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan
tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi
yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya.29
Menurut Philipus M. Hadjon, dibedakan 2 macam perlindungan hukum, yaitu:
Perlindungan Hukum yang preventif, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
permasalahan atau sengketa, dan perlindungan Hukum yang represif, yang bertujuan
untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.30
Perlindungan
hukum memperoleh landasan idiil atau filosofis pada sila kelima Pancasila, yaitu :
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Didalamnya terkandung suatu hak
seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama di hadapan Hukum serta patut
untuk dilindungi pula oleh Hukum.
1.8 Metode Penelitian
Secara umum metode dapat diartikan sebagai suatu prosedur atau cara untuk
mengetahui segala sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis.31
1.8.1 Jenis penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:Penelitian
Hukum normatif adalah penelitian Hukum yang meletakkan Hukum sebagai sebuah
29
Philipus M. Hadjon, 1987, “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia”, Bina Ilmu,
Surabaya, h. 205. 30
Ibid, h. 117.
31
Soerjono Soekanto, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h.5
20
bangunan sistem norma, asas, kaidah dari suatu peraturan perundangan, putusan
pengadilan, perjanjian serta doktrin.32
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam tulisan dan pembahasan masalah
yaitu dengan metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif
yang dipergunakan dalam penulisan ini guna melakukan penelitian yang beranjak dari
kaburnys norma yang berlaku. Dimana pendekatan masalah dikaji berdasarkan
peraturan perundang-undangan, pandangan pendapat para ahli, tetapi juga
mengkaitkan, mengolah dan menganalisa data-data dari kegiatan penelitian di
lapangan yang disajikan sebagai pembahasan.Dalam penelitian hukum dengan aspek
normatif digunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.
1.8.2 Jenis pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan Skripsi ini, yakni
Pendekatan perundang-undangan (The statute approach), dan Pendekatan analisis
konsep hukum (Analitical &conceptual approach)
Pendekatan perundang-undangan (The statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
Hukum yang sedang ditangani.33
Dalam metode pendekatan perundang-undangan
32
Mukti Fajar & Yulianto Ahmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
Pustaka Pelajar, h. 34
33
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 93
21
peneliti perlu memahamihierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-
undangan.34
Pendekatan analisis konsep Hukum (Analitical &conceptual approach)
dilakukan dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam
ilmu hukum, penelitian akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan
isu yang dihadapi.35
pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak
beranjak dari Hukum yang ada.36
1.8.3 Sumber bahan hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan meliputi :
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas.Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan,
dan putusan-putusan hakim.37
Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang
dipergunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Menteri Pendidikan
34
Ibid, h. 96 35
Ibid, h.95 36
Ibid, h. 137
37
Ibid, h.141.
22
Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2013 Tentang Pendirian
Satuan Pendidikan Nonformal. Sehubungan dengan penulisan yang berkaitan dengan
konsumen maka menggunakan juga Resolusi perserikatan bangsa-bangsa nomor
39/248 tahun 1985 tentang perlindungan konsumen (Guidelines for consumer
protection).
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum penunjang yang berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi
yang meliputi buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa
permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum, kamus-kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan.38
Berkembangnya teknologi komunikasi bahan Hukum sekunder juga
didapatkan melalui situs-situs internet.
1.8.4. Teknik pengumpulan bahan hukum
Terhadap bahan-bahan hukum yang diperlukan dan akan digunakan dalam
penelitian, dijelaskan teknik pengumpulannya. Teknik pengumpulan bahan hukum
dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan tehnik sistem kartu (card system)
tehnik ini menggunakan literatur dari berbagai jenis buku serta ditunjang pula dengan
menggunakan metode bola salju (snow ball method) sehingga menemukan literatur –
literatur baru, peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah yang sesuai
untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
38
Ibid., h.143.
23
1.8.5 Teknik analisis bahan hukum
Setelah bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder
terkumpul selanjutnya diteliti.Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah
teknik deskripsi dan teknik argumentasi, yakni menguraikan dan menghubungkannya
dengan teori-teori atau literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan dan
akhirnya menarik suatu kesimpulan dalam bentuk argumentasi hukum untuk
menemukan hasil dari penelitian.