1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki jumlah penduduk
yang padat. Tidak jarang penduduk Indonesia sangat sulit untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak. Hal tersebut juga berdampak kepada penduduk Indonesia
penyandang disabilitas. Banyak penduduk Indonesia penyandang disabilitas
dipandang sebelah mata bahkan tidak mendapatkan tempat yang layak di dalam
masyarakat, sehingga tidak mengherankan tidak sedikit penduduk Indonesia
penyandang disabilitas sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan –
perusahaan maupun hotel - hotel. Penduduk Indonesia penyandang disabilitas
memiliki kesempatan yang terbatas untuk dipekerjakan dibandingkan dengan
penduduk Indonesia non disabilitas.
Disabilitas adalah istilah yang digunakan untuk mengganti kata penyandang
cacat yang sebelumnya digunakan secara umum oleh masyarakat. Disabilitas
merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari serapan kata bahasa Inggris yaitu
disability yang artinya cacat atau ketidakmampuan. Disabilitas adalah orang yang
memiliki perbedaan/keterbatasan dengan orang pada umumnya yang berupa
keterbatasan fisik maupun sistem biologisnya yang dapat mengganggu dalam
berinteraksi dengan masyarakat. Salah satu jenis disabilitas adalah disabilitas fisik.
2
Tuna rungu wicara adalah salah satu bagian dari jenis disabilitas fisik. Tuna
rungu wicara adalah seseorang yang tidak dapat mendengarkan dan tidak dapat
berbicara atau bisu. Penyandang disabilitas seperti disabilitas fisik (tuna rungu
wicara) memiliki hak untuk mendapatkan suatu perlakuan khusus dalam arti
mendapatkan upaya untuk perlindungan dari tindakan diskriminasi dan pelanggaran
hak asasi manusia. Perlakuan khusus tersebut harus ditafsirkan sebagai upaya
maksimalisasi penghormatan, pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi
Manusia (selanjutnya disebut dengan HAM) universal.1
Fakta global saat ini, 82 (delapan puluh dua) persen dari penyandang
disabilitas berada di negara – negara berkembang dan hidup di bawah garis
kemiskinan dan kerap kali menghadapi keterbatasan akses atas kesehatan,
pendidikan, pelatihan, dan pekerjaan yang layak. Hampir sebanyak 785 (tujuh ratus
delapan puluh lima) juta perempuan dan laki – laki dengan disabilitas berada pada
usia kerja, namun mayoritas dari mereka tidak bekerja.2
Perusahaan khususnya hotel – hotel di Indonesia dalam merekrut pekerja
sangat berhati – hati dengan maksud mendapatkan pekerja yang memiliki kualitas.
Hal ini karena pekerja dapat mempengaruhi kegiatan yang ada di dalam perusahaan
karena pekerja merupakan bagian dari faktor produksi yang dapat mempengaruhi
1Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, Budaya,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.273
2International Labour Organization, “Inklusi Penyandang Disablitas di Indonesia”, URL :
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo
jakarta/documents/publication/wcms_233426.pdf diakses tanggal 5 Desember 2015
1
3
faktor produksi yang lain, sehingga pekerja memiliki kedudukan yang sangat penting
bagi perusahaan.
Perusahaan – perusahaan lebih banyak mempekerjakan pekerja non disabilitas
dibandingkan dengan pekerja disabilitas fisik. Pekerja disabilitas fisik (tuna rungu
wicara) dipandang tidak memiliki keahlian dan keterampilan dalam bekerja, sehingga
dianggap tidak dapat bekerja secara maksimal. Suatu kekurangan yang ada dalam
penyandang disabilitas fisik (tuna rungu wicara) seharusnya tidak menjadi hambatan
untuk mendapatkan hak memperoleh pekerjaan. Setiap warga negara memiliki hak
untuk mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang layak, sehingga suatu
penyetaraan hak termasuk hak memperoleh kesempatan kerja yang sama adalah suatu
hal yang wajib dilakukan. Jim Ife menyatakan:
In many cases they are simply claims for human rights that are dinied to
particular groups: people with disabilities, for example, many find it
especially difficult to obtain employment, and hence the right to meaningful
work (recognized as a universal human right) takes on extra significance for
people with disabilities and is included as part of statement of their specific
rights. In this case the right itself is no different from the right of other
member of the population, but the point is that oppressive structures and
discourses mean that it is hard for this particular group to exercises that
right, and hence special provision need to be made. 3
Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan
yang layak sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang – Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja disabilitas fisik (tuna rungu wicara)
3Jim Ife, 2008, Human Rights And Social Work, Cambrige University Press, Port Melbourne,
hlm. 13
4
memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada pekerja disabilitas fisik
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan yang dimiliki.
Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali adalah salah satu hotel di Bali yang
mempekerjakan pekerja disabilitas fisik yaitu tuna rungu wicara (selanjutnya disebut
pekerja disabilitas fisik). Hotel The Westin Resort Nusa Dua mempekerjakan pekerja
disabilitas fisik untuk menjalankan Pasal 14 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat (selanjutnya disebut UU Penyandang Cacat) disebutkan
yang pada prinsipnya bahwa perusahaan wajib memberikan kesempatan dan
perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang
cacat sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya,
yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan atau kualifikasi
perusahaan. Walaupun Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali telah memenuhi
ketentuan Penjelasan Pasal 14 UU Penyandang Cacat, belum tentu Hotel The Westin
Resort Nusa Dua Bali telah melaksanakan Pasal 67 ayat (1) Undang – Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU
Ketenagakerjaan) yaitu memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatan pekerja penyandang disabilitas yang dipekerjakannya. Bentuk
perlindungan tersebut berupa penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja dan alat
pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya sebagaimana
yang ditentukan dalam Penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pasal 31
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (selanjutnya disebut Perda Bali tentang
5
Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas) mempertegas bahwa
salah satu bentuk perlindungan yang wajib diberikan oleh pengusaha yang
mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas adalah dengan memberikan
fasilitas kerja yang aksesibel sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja penyandang
disabilitas
Berdasarkan latar belakang tersebut, akan dilakukan suatu penelitian hukum
dengan mengambil judul “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Teknis Terhadap
Pekerja Disabilitas Fisik Pada Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali” dalam
bentuk skripsi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dalam penelitian ini
dirumuskan beberapa permasalahan yaitu:
1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum teknis terhadap pekerja
disabilitas fisik pada Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali?
2. Apakah kendala yang dihadapi dan upaya yang ditempuh dalam pelaksanaan
perlindungan hukum teknis terhadap pekerja disabilitas fisik pada Hotel The
Westin Resort Nusa Dua Bali?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Dalam penulisan penelitian, apabila suatu ruang lingkup masalah tidak
dibatasi, maka pembahasan akan menjadi luas atau tidak terbatas. Sesuai dengan
permasalahan yang telah dirumuskan dan untuk mendapatkan pembahasan yang
sistematis dan tidak menyimpang dari permasalahan dalam penelitian ini, maka
6
batasan ruang lingkup permasalahannya adalah pelaksanaan perlindungan hukum
teknis terhadap pekerja disabilitas fisik pada Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali
dan kendala yang dihadapi dan upaya yang ditempuh dalam pelaksanaan
perlindungan hukum teknis terhadap pekerja disabilitas fisik pada Hotel The Westin
Resort Nusa Dua Bali.
1.4. Orisinalitas Penelitian
Dalam melakukan suatu penelitian skripsi, mahasiswa diwajibkan untuk
membuat suatu orisinalitas penelitian sebagai pembanding. Terdapat 2 (dua) tesis
yang penulis gunakan sebagai pembanding yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Sariman, tahun 2005, dengan judul Kajian
Yuridis Jaminan Hak Atas Pekerjaan Bagi Penyandang Cacat Tubuh Menurut
Pasal 14 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
di Kota Surakarta.
2. Penelitian yang dilakukan Saru Arifin, tahun 2007, dengan judul Analisis
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Penyandang Cacat dalam Meraih
Pekerjaan (Studi Kasus di Yogyakarta).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
No Peneliti Judul Rumusan Masalah
1 Sariman Kajian Yuridis Jaminan
Hak Atas Pekerjaan Bagi
1.Mengapa kuota 1 (satu)
persen tentang jaminan hak
7
Penyandang Cacat Tubuh
Menurut Pasal 14
Undang – Undang
Nomor 4 Tahun 1997
tentang Penyandang
Cacat di Kota Surakarta.
atas pekerjaan di perusahaan
bagi penyandang cacat tubuh
sebagaimana diatur di dalam
Pasal 14 Undang – Undang
Nomor 4 Tahun 1997 tidak
terpenuhi?
2. Apakah yang seharusnya
dilakukan agar hak atas
pekerjaan di perusahaan
bagi penyandang cacat
tubuh tersebut bisa
terpenuhi sesuai kuota yang
ada?
2. Saru Arifin Analisis Perlindungan
Hukum Terhadap Hak
Penyandang Cacat dalam
Meraih Pekerjaan (Studi
Kasus di Yogyakarta).
1. Bagaimana perlindungan
hukum terhadap kesetaraan
hak – hak penyandang cacat.
2. Bagaimanakah kebijakan
Pemerintah dan kalangan
pengusaha terhadap hak –
hak penyandang cacat dalam
memperoleh pekerjaan.
8
3. Faktor – faktor apa saja
yang mendukung dan
menghambat kesetaraan hak
para tenaga kerja
penyandang cacat dalam
meraih peluang kerja
Sedangkan judul penelitian ini adalah Pelaksanaan Perlindungan Hukum
Pekerja Disabilitas Fisik Pada Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali dan rumusan
masalah yang diangkat adalah:
1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum teknis terhadap pekerja
disabilitas fisik pada Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali?
2. Apakah kendala yang dihadapi dan upaya yang ditempuh dalam pelaksanaan
perlindungan hukum teknis terhadap pekerja disabilitas fisik pada Hotel The
Westin Resort Nusa Dua Bali.
1.5. Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian dapat dibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus
sebagai berikut:
1.5.1. Tujuan umum
a. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum teknis terhadap pekerja
disabilitas fisik pada Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali;
9
b. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dan upaya yang ditempuh dalam
pelaksanaan perlindungan hukum teknis terhadap pekerja disabilitas fisik
pada Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali.
1.5.2. Tujuan khusus
Dengan berdasarkan tujuan umum, maka tujuan khusus yang ingin dicapai
dalam penulisan ini adalah:
a. Untuk memahami pelaksanaan perlindungan hukum teknis terhadap pekerja
disabilitas fisik pada Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali;
b. Untuk memahami kendala yang dihadapi dan upaya yang ditempuh dalam
pelaksanaan perlindungan hukum teknis terhadap pekerja disabilitas fisik pada
Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali.
1.6. Manfaat Penelitian
Terdapat beberapa manfaat yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini.
Pada hakikatnya terdapat 2 (dua) manfaat yang ingin penulis capai terhadap kedua
permasalahan diatas yaitu manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat
praktis.
1.6.1. Manfaat teoritis.
Manfaat teoritis dari penelitian dan penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai perlindungan
hukum teknis terhadap pekerja disabilitas fisik.
10
2. Untuk dapat memberi sumbangan pemikiran terhadap pengembangan –
pengembangan hukum ketenagakerjaan.
3. Diharapkan pekerja disabilitas fisik dan pengusaha mengetahui dan
memahami hak dan kewajiban masing – masing sehingga nantinya hak –
hak pekerja disabilitas fisik dapat terjamin dan menciptakan suatu
kesejahteraan.
1.6.2. Manfaat praktis.
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah
melalui Dinas Tenaga Kerja dan perusahaan – perusahaan Negara yang
meliputi badan usaha milik Negara (BUMN) dan badan usaha milik
daerah (BUMD), serta perusahaan swasta untuk mempekerjakan pekerja
disabilitas fisik dengan kuota 1% (satu persen) dan memberikan
perlindungan hukum teknis kepada pekerja disabilitas fisik sesuai dengan
jenis dan derajat kecacatannya;
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu pedoman bagi kalangan
praktisi maupun Pemerintah di dalam menyelesaikan permasalahan –
permasalahan sejenis mengenai pelaksanaan perlindungan hukum teknis
pekerja disabilitas fisik.
1.7. Landasan Teoritis
Negara Indonesia sebagai Negara hukum berkewajiban untuk memberikan
perlindungan dan pengakuan terhadap hak – hak asasi warganegara termasuk hak –
hak yang dimiliki oleh tenaga kerja. Perlindungan tenaga kerja merupakan
11
perlindungan yang bersifat dasar dan menyeluruh agar tercapai keadilan sosial.
Secara yuridis dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 memberikan perlindungan bahwa
setiap berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam
Pasal 6 UU Ketenagakerjaan mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan
perlakuan yang sama tanpa adanya suatu tindakan diskriminasi dari pengusaha.
Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan
tersebut diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak – hak yang
diberikan oleh hukum.4
Perlindungan pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan
tuntunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak – hak asasi manusia,
perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku
dalam lingkungan kerja itu.5 Menurut Imam Soepomo, perlindungan pekerja dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu:6
a. Perlindungan ekonomis yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan
usaha – usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang
4I Guti Ngurah Agung Udra Sanjaya, 2010, “Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam
Kontrak Kerjasama Pemberian Kredit Terhadap Karyawan Tetap (Kretap) di PT. BRI (Persero) Tbk,
Cabang Denpasar”, Tesis Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya, hlm. 27
5Kartasapoetra, G. dan Rience Indraningsih, 1982, Pokok – pokok Hukum Perburuhan, Cet. I,
Armico, Bandung, hlm. 43
6Zainal Asikin et.al., 2012, Dasar – Dasar Hukum Perburuhan, Cet. IX, Rajawali Prs, Jakarta,
hlm. 97
12
cukup memenuhi keperluan sehari – hari baginya beserta keluarganya,
termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di
luar kehendaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial;
b. Perlindungan sosial yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha
kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan
memperkembangkan prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan
sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga; atau yang biasa disebut
disebut kesehatan kerja;
c. Perlindungan teknis yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan
usaha – usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat
ditimbulkan oleh pesawat – pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan
yang diolah atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan ini disebut dengan
keselamatan kerja. Norma keselamatan kerja meliputi keselamatan kerja yang
bertalian dengan mesin, pesawat, alat – alat kerja bahan dan proses
pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara – cara
melakukan pekerja.
Suatu perlindungan hukum teknis yang diberikan oleh pengusaha kepada
pekerja hanya dapat dilakukan apabila telah terdapat suatu hubungan kerja antara
pengusaha dengan pekerja. Hubungan kerja memuat mengenai hak dan kewajiban
pekerja dan pengusaha. Kewajiban kerja para pihak berlangsung secara timbal balik,
13
artinya kewajiban pengusaha merupakan hak pekerja/buruh dan sebaliknya kewajiban
pekerja/buruh merupakan hak tenaga kerja.7
Hubungan kerja ialah hubungan – hubungan dalam rangka pelaksanaan kerja
antara tenaga kerja dengan pengusaha dalam suatu perusahaan yang berlangsung
dalam batas – batas perjanjian kerja dan peraturan kerja yang telah disepakati
bersama oleh kedua belah pihak.8
UU Ketenagakerjaan merupakan salah satu pedoman bagi tenaga kerja. Pasal
1 angka 2 UU Ketenagakerjaan menyebutkan “Tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
Pekerja dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu pekerja dengan kondisi fisik yang
sempurna (non disabilitas) dan pekerja dengan keterbatasan/memiliki kekurangan
(disabilitas). Pasal 1 angka (1) UU Penyandang Cacat disebutkan
Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental, yang menggangu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:
a. Penyandang cacat fisik;
b. Penyandang cacat mental;
c. Penyandang cacat fisik dan mental.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Penyandang Cacat terdapat ketentuan bahwa
salah satu bagian dari penyandang cacat/disabilitas adalah penyandang cacat
7Abdul Khakim, 2009, Dasar – Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm.46
8G. Kartasapoetra, R.G Kartasapoetra, dan A.G. Kartasapoetra, 1992, Hukum Perburuhan di
Indonesia Berdasarkan Pancasila, Cet III, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.18
14
fisik/disabilitas fisik. Disabilitas fisik adalah penderita mengalami anggota fisik yang
kurang lengkap seperti cacat tulang, cacat sendi otot, tungkai, lengan, dan lumpuh.
UU Penyandang Cacat memberikan landasan hukum yang kuat bagi pekerja
disabilitas fisik untuk mendapatkan kesempatan, hak, kewajiban yang sama dengan
pekerja yang non disabilitas, sehingga diskriminasi di tempat kerja yang didapatkan
disabilitas dapat dihindari. Dalam UU Ketenagakerjaan memberikan perlindungan
hukum teknis terhadap pekerja disabilitas yang berupa aksesibilitas, alat kerja dan
alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Pengusaha memikul tanggungjawab utama dan secara moral pengusaha
mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga
kerja.9 Perlindungan tenaga kerja ditunjukan kepada perbaikan upah, syarat kerja,
kondisi kerja dan hubungan kerja, keselamatan kerja, jaminan sosial di dalam rangka
perbaikan kesejahteraan tenaga kerja secara menyeluruh.10
Pekerja disabilitas fisik memiliki hak, kewajiban, kesempatan, dan peran yang
sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana yang
didapatkan oleh pekerja non disabilitas. Hal tersebut telah ditegaskan di dalam Pasal
5 UU Ketenagakerjaan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama
untuk memperoleh pekerjaan tanpa adanya suatu diskriminasi.
9Imam Soepomo, 1987, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta,
hlm. 81
10G. Kartasapoetra, R.G Kartasapoetra, dan A.G Kartasapoetra, Op.cit.,hlm.127
15
Pekerja disabilitas seperti disabilitas fisik selalu terikat perjanjian kerja
dengan pengusaha. Mansoer Wiriaatmaja menyatakan bahwa
Mengingat keberadaan perjanjian kerja sebagai lembaga hukum bagi pekerja
secara individu dalam memusyawarahkan tentang syarat – syarat kerja, hak –
hak dan kewajibannya dengan pengusaha sebagai imbalan dari penunaian
kerjanya untuk pengusaha dalam suatu proses barang maupun jasa, tidak dapat
ditiadakan eksistensinya untuk berdampingan bersama – sama Peraturan
Perusahaan dan Perjanjian Perburuhan.11
Perjanjian kerja merupakan dasar dari terbentuknya hubungan kerja.12
Perjanjian kerja menurut Wirdjono Prodjodikoro sesuai pasal 1601a ada menyebut
tentang persetujuan perburuhan.13
Pengertian Perjanjian kerja yang umum dapat
dilihat dalam Pasal 1601a Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (selanjutnya
disebut KUHPerdata) yang disebutkan sebagai berikut “Perjanjian kerja ialah suatu
persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh mengikatkan diri untuk menyerahkan
tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang
tertentu”.
Menurut Wiwoho Soedjono, “Perjanjian kerja adalah hubungan hukum antara
seseorang yang bertindak sebagai pekerja/buruh dengan seseorang yang bertindak
sebagai pengusaha/majikan, atau perjanjian orang – perorangan pada satu pihak
11
Djumadi, 2008, Hukum Perburuhan “Perjanjian Kerja”, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
hlm.1
12
Asri Wijayanti, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Cet. II, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm.41
13
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan – Persetujuan Tertentu,
Cet.VII, Sumur, Bandung, hlm.67
16
dengan pihak lain sebagai pengusaha untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan
mendapat upah”.14
Soebekti ada menyebut perjanjian kerja sebagai perjanjian perburuhan yang
sejati. Menurut Soebekti, Perjanjian Perburuhan yang sejati memiliki beberapa sifat –
sifat khusus sebagai berikut:15
1. Ia menerbitkan suatu hubungan diperatas, yaitu suatu hubungan antara
buruh dan majikan, berdasarkan mana pihak yang satu berhak memberikan
perintah – perintah kepada pihak yang lain tentang bagaimana ia harus
melakukan pekerjaannya;
2. Selalu diperjanjikan suatu gaji atau upah, yang lazimnya berupa uang,
tetapi ada juga yang (sebagian) berupa pengobatan dengan percuma,
kendaraan, makan, penginapan, pakaian dan lain sebagainya;
3. Ia dibuat untuk sewaktu – waktu tententu atau sampai diakhiri oleh salah
satu pihak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang – Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat – syarat
kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. Subjek hukum di dalam perjanjian kerja
terdiri atas pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh.
Syarat – syarat suatu perjanjian kerja dapat dibedakan menjadi dua yaitu
syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil dari suatu perjanjian kerja diatur
dalam Pasal 52 UU Ketenagakerjaan yang dibuat atas dasar:
a. Kesepakatan kedua belah pihak;
14
Zaeni Asyhadie, 2007, Hukum Kerja “Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja”,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanutnya disingkat Zaeni Asyhadie I), hlm. 49
15
Soebekti, 1960, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Cet.V, CV. Pembimbing Masa, Jakarta,
hlm.131
17
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Syarat formil suatu perjanjian kerja diatur di dalam Pasal 54 UU
Ketenagakerjaan yaitu:
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. Jabatan atau jenis pekerjaan;
d. Tempat pekerjaan;
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. Syarat – syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh;
g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Perjanjian kerja adalah salah satu bagian dari perjanjian, sehingga, di dalam
membuat suatu perjanjian kerja terdapat hal – hal yang perlu diperhatikan
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri atas:
1. Adanya persetujuan kehendak antara pihak yang membuat perjanjian
(consensus);
2. Adanya kecakapan pihak – pihak untuk membuat perjanjian (capacity);
18
3. Adanya suatu hal tertentu (object);
4. Adanya suatu sebab hal (causa)
Sepakat yang dimaksudkan adanya kesepakatan antara pihak – pihak yang
melakukan perjanjian.16
Secara yuridis, kesepatan yang terjadi harus bebas dengan
kata lain tidak terdapat cacat kehendak yang meliputi adanya dwang, dwaling, dan
bedrog (penipuan, paksaan, dan kekhilafan).
Subekti menyebutkan sepakat sebagai perizinan, yaitu kedua subjek hukum
yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju, atau seia sekata mengenai hal –
hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang
satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama
secara timbal balik.17
Syarat kedua yaitu kecakapan berbuat hukum. Ketentuan Pasal 1320 ayat (2)
KUHPerdata yaitu adanya kecakapan untuk membuat perikatan. Orang yang
membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang
yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut
hukum.18
Dalam bidang hukum ketenagakerjaan, seseorang dikatakan dewasa apabila ia
telah berumur 18 tahun. Ditinjau dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang – Undang
Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 mengenai usia
16
Asri Wijayanti, op.cit. hlm. 43
17
Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, (selantunya disingkat Subekti I),
hlm.17
18
Ibid., hlm.55
19
minimum untuk diperbolehkan bekerja, yaitu usia minimum yang ditetapkan adalah
tidak boleh kurang dari usia tamat sekolah wajib dan paling tidak, tidak boleh kurang
dari 15 tahun. Dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu usia minimum untuk diperbolehkan
masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau kerja yang karena sifatnya atau karena
keadaan lingkungan dimana pekerjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan
kesehatan, keselamatan, atau moral orang muda tidak boleh kurang dari 18 tahun.19
Berdasarkan Pasal 1330 KUHPerdata memberikan batasan dalam hal siapa –
siapa saja yang dikatakan tidak cakap di dalam membuat persetujuan – persetujuan
seperti:
1. Orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3. Orang – orang perempuan yang telah kawin dalam hal ditentukan undang -
undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang – undang dilarang
untuk membuat persetujuan tertentu.
Ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata tidak belaku semuanya karena
berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yaitu hak dan kewajiban istri
adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Dalam Pasal 31 ayat (2) UU
Perkawinan yaitu masing – masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum,
19
Asri Wijayanti, op.cit., hlm. 44
20
sehingga dengan demikian apabila seorang wanita dewasa yang telah menikah tidak
akan mengakibatkan status kedewasaannya hilang.
Selanjutnya ditentukan dalam Pasal 433 KUHPerdata disebutkan bahwa
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada di dalam keadaan dungu, gila atau mata
gelap, harus ditempatkan dibawah pengampuan, walaupun terkadang ia dapat
menggunakan pikirannya dengan baik. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan
dibawah pengampuan karena keborosan.”
Syarat ketiga yaitu adanya hal tertentu. Hal tertentu yang dimaksudkan adalah
setiap orang dapat melakukan hubungan kerja dengan memiliki objek pekerjaan yang
jelas yaitu melakukan pekerjaan.20
Syarat keempat adalah causa yang dibenarkan.
Causa yang dibenarkan memandang kepada objek hubungan kerja dapat melakukan
pekerjaan apapun dengan tidak bertentangan kepada peraturan perundang –
undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.21
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya harus dipenuhi semuanya
kemudian dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemampuan,
kecakapan dan kemauan bebas kedua belah pihak dalam membuat perjanjian pada
hukum perdata disebut syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang
membuat perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan hal
itu harus halal disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Apabila
syarat objektif tidak dipenuhi oleh syarat subjektif, maka akibat dari perjanjian
20
Asri Wijayanti, op.cit., hlm. 45
21 Asri Wijayanti, loc.cit
21
tersebut adalah dapat dibatalkan, pihak – pihak yang tidak memberikan persetujuan
secara tidak bebas, demikian juga orang tua/wali atau pengampun bagi orang yang
tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada
hakim, sehingga perjanjian tersebut mempunyai ketentuan hukum belum dibatalkan
oleh hakim.22
1.8. Metode Penelitian
Agar suatu penyusunan penelitian ini memenuhi kriteria ilmiah, diperlukan
penggunaan metode – metode tertentu. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1.8.1. Jenis penelitian
Sesuai dengan maksud dan judul dari penelitian ini, maka jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian empiris. Penelitian hukum
empiris istilah lain yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis dan dapat
disebut dengan penelitian lapangan.23
1.8.2. Jenis pendekatan
Di dalam suatu penelitian hukum terdapat beberapa macam pendekatan yang
digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai suatu isu yang diteliti. Penelitian
hukum normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni:
a. Pendekatan kasus (the case approach);
22
Lalu Husni, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cet. III, Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 43
23
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet. 3, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.15
22
b. Pendekatan perundang-undangan (the statute approach);
c. Pendekatan fakta (the fact approach);
d. Pendekatan analisis konsep hukum (analytical &conceptual approach);
e. Pendekatan frasa (words & phrase approach);
f. Pendekatan sejarah (historical approach)
g. Pendekatan perbandingan (comparative approach).
Dalam penelitian ini, untuk membedah permasalahan dipergunakan 2 (dua)
jenis pendekatan masalah. Pendekatan tersebut adalah pendekatan perundang –
undangan (The Statute Approach), dan pendekatan fakta (The Fact Approach).
1. Pendekatan Perundang – undangan (The Statute Approach).
Suatu pendekatan dengan menelaah dan menganalisa semua undang – undang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani.24
2. Pendekatan Fakta (The Fact Approach).
Pendekatan fakta adalah adalah suatu pendekatan yang menelaah kepada fakta
– fakta dari pelanggaran hukum teknis yang terjadi. Dalam penelitian ini, penulis
melihat fakta – fakta yang ada dalam Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali
berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan hukum teknis terhadap pekerja disabilitas
fisik pada Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali dan kendala yang dihadapi dan
upaya yang ditempuh dalam pelaksanaan perlindungan hukum teknis kepada pekerja
disabilitas fisik.
24
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
hlm.93
23
1.8.3. Sifat Penelitian
Penelitian hukum empiris yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam
penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif, yaitu
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat – sifat suatu
individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau ada untuk menentukan ada
tidaknya hubungan antar suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian
ini menggambarkan pelaksanaan perlindungan hukum teknis pekerja disabilitas fisik
pada Hotel The Westin Resort Nusa Dua Bali.
1.8.4. Data dan sumber data
1. Data Primer
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari penelitian di
lapangan yang dilakukan dengan menggunakan metode wawancara yang
dilaksanakan dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan sebagai
pedoman dan pertanyaan – pertanyaan lain sesuai dengan wawancara ketika
wawancara dilakukan.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Data sekunder terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang
berhubungan dengan permasalahan penelitian.
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang isinya memiliki kekuatan
mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam penelitian ini
menggunakan bahan hukum primer yang terdiri atas:
24
a. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
c. Undang – Undang Nomor Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat;
d. Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
e. Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Convenstion On The Rights Of Person With Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak – Hak Penyandang Disabilitas);
f. Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
g. Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja;
h. Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;
i. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
j. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
k. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat;
l. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas;
m. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Repubik Indonesia Nomor : KEP-
205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja
Penyandang Cacat;
25
n. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer seperti buku – buku, makalah, internet, skripsi,
tesis, dan bahan – bahan tertulis yang lain yang berkaitan dengan pelaksanaan
perlindungan hukum teknis terhadap pekerja disabilitas fisik.
3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum dipergunakan untuk menjelaskan
terkait bahan hukum primer maupun sekunder, bahan hukum tersier dapat
berupa kamus hukum dan ensiklopedia.
1.8.5. Teknik pengumpulan data
1. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik studi dokumen.
Studi dokumen terdiri atas bahan hukum dan perundang – undangan yang
berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan dan dalam hal melakukan penelitian ini
dengan cara mengumpulkan data berdasarkan bentuk bahan hukum sesuai dengan
permasalahan yang ada yang peraturan relevansinya dengan masalah yang diteliti
berupa pelaksanaan perlindungan hukum teknis pekerja disabilitas fisik.
2. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara.
Wawancara adalah proses interaksi dan komunikasi serta cara untuk
memperoleh informasi dengan cara bertanya secara langsung kepada narasumber.
Wawancara dilakukan dengan teknik tanya jawab dan berlangsung terarah,
sehingga tanya jawab harus dikembangkan dalam pokok permasalahan. Dalam
penelitian ini, wawancara dilakukan untuk mendukung data – data yang diperoleh
melalui studi dokumen. Penelitian yang dilakukan di Hotel The Westin Resort
26
Nusa Dua Bali, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Badung, dan Sekolah
Luar Biasa B Jimbaran, Bali.
1.8.6. Teknik penentuan sampel penelitian
Dalam penelitian ini, teknik penentuan sampel penelitian yang digunakan
adalah teknik Non Probability Sampling. Teknik ini digunakan memperoleh subyek –
subyek yang ditunjuk sesuai dengan tujuan penelitian. Tidak semua populasi
memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Teknik pengumpulan sampel
dengan teknik Non Probability Sampling yang digunakan dalam penelitian ini
memfokuskan kepada Purposive Sampling. Purposive Sampling adalah salah satu
bentuk dari Non Probability Sampling yang penarikan sampel dilakukan berdasarkan
tujuan tertentu yakni sampel dipilih oleh peneliti. Penunjukan dan pemilihan sampel
didasarkan kepada pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan
karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasi.
1.8.7. Teknik pengolahan dan analisis data
Setelah data yang diperlukan dalam penelitian ini terkumpul, tahap
selanjutnya adalah tahap pengolahan data. Data yang telah terkumpul secara lengkap
selanjutnya diolah secara kualitatif yang artinya memilih bahan hukum yang relevan
dan berkaitan dengan permasalahan yang diangkat. Tahap selanjutnya adalah
mengkualifikasikan dan mengumpulkan data berdasarkan kerangka penulisan secara
menyeluruh yang selanjutnya data yang diklasifikasikan tersebut dianalisis secara
deskriptif kualitatif. Deskriprif kualitatif adalah cara menggambarkan secara tepat
tentang hal – hal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
27
Setelah data diolah dan dianalisa, maka akan mendapatkan suatu kebenaran
yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
yang akan disusun secara sistematis untuk mendapatkan suatu kesimpulan.