1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Analisis kesalahan berbahasa bertujuan untuk mendeskripsikan kesalahan
pelajar dalam mempelajari bahasa kedua. Hasil dari analisis kesalahan ini
kemudian dijadikan acuan bagi para guru untuk lebih menekankan aspek
kebahasaan tertentu yang merupakan wilayah terjadinya kesalahan siswa. Akan
tetapi, kesalahan yang terjadi pada siswa tidak hanya disebabkan oleh faktor dari
dalam diri siswa saja melainkan juga berasal dari berbagai faktor eksternal. Salah
satunya adalah kesalahan siswa yang disebabkan oleh kesalahan guru dalam
mentransfer pengetahuan kepada siswa. Hal ini senada dengan pendapat Pateda
(1989:37) yang menyatakan bahwa kesalahan berbahasa pada siswa dapat
disebabkan oleh kesalahan guru.
Pada saat mengajar, guru dituntut untuk dapat mengoreksi kesalahan yang
diproduksi oleh siswanya. Namun, pada kenyataannya, guru juga tidak luput dari
kesalahan-kesalahan berbahasa disebabkan kurangnya pemahaman guru terhadap
hal-hal tertentu dalam suatu sistem bahasa. Kesalahan guru tersebut dapat
menyebabkan terjadinya kesalahan yang sama pada siswa. Kesalahan yang sama
ini muncul karena kebiasaan siswa menyerap semua informasi dari guru tanpa
2
menyaringnya terlebih dahulu (Pateda, 1989:47). Sistem pembelajaran siswa
tersebut sering dikenal dengan proses imitating (meniru).
Salah satu bentuk kesalahan berbahasa yang sering dilakukan guru pada saat
mengajar adalah kesalahan pada tataran fonologi. Kesalahan ini berupa kesalahan
pengucapan pada bunyi-bunyi tertentu dalam sistem fonologi suatu bahasa. Bentuk
kesalahan seperti ini dapat ditemukan pada pengajaran bahasa Inggris di Sekolah
Dasar (SD) yang ada di Indonesia.
Pada hakikatnya, penguasaan pelafalan bunyi bahasa Inggris dengan baik
dan benar merupakan salah satu faktor penting dalam pengajaran bahasa Inggris di
SD. Hal ini dinilai penting karena bertolak dari pendapat bahwa usia pembelajar SD
merupakan usia kritis untuk mempelajari bahasa kedua. Nunan (1999:105)
beragumentasi bahwa waktu paling baik bagi siswa untuk belajar bahasa dan dapat
menguasai pelafalan bunyi seperti penutur asli (native-like) adalah sebelum
memasuki masa pubertas. Pada usia ini, pengaruh bahasa ibu tidak begitu
signifikan. Selain itu, penguasaan pelafalan juga berpengaruh terhadap lancar
tidaknya suatu komunikasi. Pelafalan suatu bunyi dengan benar akan membuat
pendengar paham terhadap maksud pembicara. Sebaliknya, kesalahan pelafalan
akan membingungkan pendengar, bahkan dapat menimbulkan kesalahan interpretasi
terhadap maksud pembicara.
Sayangnya, pada pengajaran bahasa Inggris di SD, pelafalan bunyi bahasa
Inggris dengan baik dan benar belum sepenuhnya dikuasai oleh para guru. Pada
3
observasi awal penelitian ini diketahui bahwa kesalahan pelafalan pada guru Bahasa
Inggris SD umumnya terjadi pada bunyi vokal. Berikut adalah contoh kesalahan
pelafalan bunyi vokal bahasa Inggris yang teridentifikasi pada observasi awal 4
Oktober 2013:
Tabel 1.1 Contoh Temuan Data
Dari tabel di atas, terlihat bahwa kesalahan pelafalan yang diproduksi
umumnya terjadi pada bunyi vokal. Bunyi diftong [eɪ] pada kata later [leɪtə(r)]
„nanti‟ diucapkan dengan bunyi monoftong [e] karena dalam bahasa pertama
responden, yaitu bahasa Jawa tidak mengenal adanya bunyi diftong terutama di
suku pertama sebuah kata sehingga sulit untuk dilafalkan. Kesalahan pengucapan
bunyi diftong ini memunculkan makna baru pada kata yang diucapkan, yaitu letter
[letə(r)] „surat‟. Demikian pula halnya dengan bunyi triftong [aɪə] pada kata quiet
[kwaɪət] „diam‟ yang diucapkan hanya dengan diftong [aɪ] sehinga menjadi quite
[kwaɪt] „sungguh‟, serta bunyi monoftong panjang [u:] pada kata food [fu:d]
diucapkan dengan bunyi monoftong pendek [ʊ]. Namun, ada juga kesalahan yang
Kata Arti Dilafalkan Arti
later [leɪtə(r)] nanti letter [letə(r)] surat
quiet [kwaɪət] diam quite [kwaɪt] sungguh
tie [taɪ] dasi tea [ti:] teh
food [fu:d] makanan foot [fʊt] kaki
paper [peɪpə(r)] kertas pepper [pepə(r)] merica
bread [bred] roti [brɪd] -
one hundred [wʌn hʌndrəd] seratus [wan handrid] -
circle [sɜ:kl] lingkaran [si(r)kl] -
note book [nəʊt bʊk] buku catatan [nt bʊk] -
4
tidak sampai menghadirkan makna baru, contohnya pengucapkan bunyi [e] pada
kata bread [bred] „roti‟ yang diucapkan menjadi bunyi [ɪ] sehingga menjadi [brɪd],
dan sebagainya. Jika guru Bahasa Inggris SD di Indonesia masih banyak memiliki
kesalahan seperti ini, tentunya mengoreksi kesalahan pelafalan pada siswa akan sulit
dilakukan.
Adanya bentuk kesalahan pelafalan guru tersebut memunculkan suatu
kejanggalan dalam penelitian analisis kesalahan selama ini yang selalu
menitikberatkan kesalahan pada siswa. Hal ini seolah-olah mengesampingkan salah
satu penyebab signifikan kesalahan pada siswa, yaitu kesalahan dari guru. Paparan
di atas juga menunjukkan bahwa kesalahan pelafalan oleh guru umumnya terjadi
pada bunyi vokal dan dapat menyebabkan terjadinya kesalahan produksi bunyi
bahasa Inggris yang serupa pada siswa SD karena sistem pembelajaran siswa SD
yang bersifat meniru. Dengan kata lain, jika guru mengucapkan kata paper
[peɪpə(r)] „kertas‟ dengan pepper [pepə(r)] „merica‟, siswa pun akan
mengucapkannya dengan bunyi yang sama. Oleh sebab itu, kesalahan pelafalan
terutama pada bunyi vokal oleh guru Bahasa Inggris SD perlu untuk diminimalisasi
agar tidak menimbulkan kesalahan yang sama pada siswa.
1.2 Masalah dan Ruang Lingkup
1.2.1 Masalah
Masalah pokok dalam penelitian ini adalah kesalahan pelafalan bunyi vokal
bahasa Inggris oleh guru SD. Masalah-masalah ini dapat diuraikan sebagai berikut.
5
a. Bagaimanakah bentuk-bentuk kesalahan pelafalan bunyi vokal bahasa
Inggris oleh guru Bahasa Inggris SD?
b. Mengapa kesalahan pelafalan bunyi vokal bahasa Inggris terjadi pada guru
Bahasa Inggris SD?
1.2.2 Ruang Lingkup
Lingkup penelitian ini difokuskan pada tataran fonologi, yaitu tentang bunyi
vokal dalam bahasa Inggris. Satuan lingual ini didapatkan dan dianalisis dari
kesalahan pelafalan bunyi vokal guru bahasa Inggris SD yang menjadi objek
penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Madya (Kodya) Yogyakarta untuk
memudahkan perolehan data. Penelitian ini berbentuk studi kasus pada 15 SD
Negeri maupun Swasta yang ada di Kodya Yogyakarta. Kriteria SD tidak begitu
dipentingkan karena yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah produksi ujaran
(pelafalan) guru bahasa Inggris SD, bukan kualitas institusi maupun kemampuan
pedagoginya.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk
a. mendeskripsikan bentuk-bentuk kesalahan pelafalan bunyi vokal guru
Bahasa Inggris SD,
6
b. menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya kesalahan pelafalan bunyi
vokal bahasa Inggris pada guru Bahasa Inggris SD.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu manfaat
teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapakan dapat
memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan dalam pengembangan linguistik,
khususnya bidang fonologi. Melalui penelitian ini, diharapkan bunyi-bunyi yang
sering salah dilafalkan oleh guru Bahasa Inggris SD dan penyebab kesalahan
tersebut dapat terinventarisasikan sehingga dapat dijadikan sebagai referensi untuk
mengatasi kesalahan pelafalan pada guru Bahasa Inggris SD.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat, baik bagi pengajar
maupun pembelajar bahasa Inggris sehingga dapat melaksanakan kegiatan belajar
dan mengajar bahasa dengan lebih baik dan bermutu. Jika hal-hal yang sering
menimbulkan kesalahan pelafalan terutama pada bunyi vokal telah diketahui, arah
pengajaran dan pembelajaran diharapkan akan menjadi lebih jelas, metode
pembelajaran menjadi lebih efektif, dan keterampilan bahasa Inggris guru atau para
siswa, khususnya dalam tataran fonologi, menjadi lebih baik.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian terkait masalah kesalahan fonologi bahasa Inggris telah banyak
dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Tiono dan Yustanto (2008) pernah
7
menganalisis kesalahan mahasiswa pada pelafalan bunyi konsonan bahasa Inggris
khususnya yang tidak terdapat di dalam bahasa Indonesia, yaitu bunyi [v], [θ], [ð],
[ʒ], [dʒ], dan [tʃ]. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa
memproduksi sebanyak 34 jenis kesalahan pelafalan bunyi konsonan tersebut, baik
pada posisi awal, tengah, dan akhir. Sementara itu, Sulistyaningrum (2013) telah
membahas variasi dan kesalahan pelafalan kata bahasa Inggris yang memiliki
diftong [eɪ], [aɪ], [ɪə] dan [eə], serta faktor-faktor yang memungkinkan
mempengaruhi kesalahan pelafalan kata tersebut. Kesimpulan dari penelitiannya
yaitu mahasiswa tidak mengalami kesulitan dalam mengucapkan diftong. Di
samping itu, Kussemiarti (2003) telah meneliti dan mengklasifikasikan fonem-
fonem bahasa Inggris yang mendapat interferensi fonologi bahasa Indonesia.
Temuannya menunjukkan bahwa masing-masing bahasa mempunyai keunikan
sendiri-sendiri yang terlihat jelas di dalam sistem bunyi antara kedua bahasa.
Selanjutnya, Perwitasari (2012) telah mengidentifikasikan bunyi-bunyi vokal apa
saja yang sering menimbulkan salah dengar pembelajar bahasa Inggris di Indonesia.
Tak hanya itu, Perwitasari juga meneliti bagaimana pengaruh konteks terhadap
keliru dengar bagi pembelajar bahasa Inggris di Indonesia serta penyebab terjadinya
keliru dengar pada pembelajar bahasa Inggris di Indonesia.
Selain itu, banyak juga penelitian sebelumnya yang telah terfokus pada
analisis kesalahan berbahasa. Salah satunya penelitian oleh Seon-Hee (2009) yang
meneliti bentuk-bentuk dan penyebab kesalahan berbahasa Korea. Bentuk-bentuk
8
kesalahan dideskripsikan pada kategori pelafalan, tata bahasa, dan kosakata secara
garis besar. Kesalahan pelafalan yang telah dianalisis, diambil dari kesalahan yang
tercermin pada penulisan bahasa Korea. Faktor penyebab utama kesalahan pelafalan
adalah perbedaan sistem fonologi antara bahasa Indonesia dan bahasa Korea.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian
ini membahas tentang kesalahan pelafalan bunyi vokal bahasa Inggris oleh guru
Bahasa Inggris SD di Kodya Yogyakarta. Di samping itu, penelitian ini juga
menemukan penyebab terjadinya kesalahan pelafalan bunyi vokal pada guru Bahasa
Inggris tersebut. Berdasarkan referensi yang dikumpulkan, belum ada penelitian
sebelumnya yang serupa dengan penelitian ini. Kebanyakan penelitian sebelumnya
terfokus pada kesalahan siswa bukan pada guru yang tentunya memproduksi
kesalahan yang berbeda. Akan tetapi, penelitian-penelitian sebelumnya turut
membantu penelitian ini dalam memberikan informasi tentang bagaimana
mengklasifikasikan dan menemukan penyebab kesalahan berbahasa. Oleh sebab itu,
jika ditemukan adanya penelitian yang mirip dengan penelitian ini, diharapkan
penelitian ini dapat memberikan informasi yang berbeda dan bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang fonologi dan linguistik terapan.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Analisis Kesalahan
Istilah “kesalahan” dalam penelitian ini adalah padanan kata “errors” dalam
bahasa Inggris. Kata errors (kesalahan) dalam bahasa Inggris bersinonim dengan
9
kata mistake (kekeliruan). Dalam analisis kesalahan berbahasa, dua istilah ini
dibedakan oleh linguis berdasarkan faktor penyebab terjadinya kesalahan.
Kekeliruan adalah penyimpangan yang disebabkan oleh faktor-faktor performance
seperti keterbatasan ingatan, mengeja dalam lafal, tekanan emosional, keragu-
raguan, selip lidah, ketidakgramatikalan acak, dan kegagalan performa lain dalam
produksi bahasa kedua (Brown, 2008:283 dan Parera, 1997:143). Suatu
penyimpangan dikatakan sebagai sebuah kekeliruan apabila pembelajar bahasa
target dapat mengoreksi sendiri bentuk bahasa yang tidak benar tersebut, dan
penyimpangan tersebut tidak terjadi secara regular atau tidak sistematis.
Sementara itu, kesalahan adalah penyimpangan bahasa dari beberapa norma
baku yang mencerminkan kompetensi belajar sehingga bersifat sistematis dan
konsisten pada tempat tertentu (Brown, 2008:283 dan Dulay et al., 1982:277).
Sebuah kesalahan tidak bisa dengan segera dapat diperbaiki karena seseorang tidak
sadar bahwa ia membuat kesalahan tersebut. Bentuk penyimpangan dikatakan
sebuah kesalahan apabila penyimpangan tersebut terjadi secara regular atau
sistematis. Artinya, kesalahan yang dibuat oleh pembelajar selalu atau hampir selalu
dibuat karena sumbernya adalah ketidaktahuan pembelajar tentang butir yang salah.
Suatu kesalahan berbahasa juga ditentukan berdasarkan aturan
keberterimaan, yaitu apakah suatu ujaran itu diterima atau tidak oleh penutur asli.
Hal ini juga diungkapkan oleh Pateda (1989:32) bahwa kesalahan berbahasa itu
muncul jika kata atau kalimat yang diutarakan oleh seseorang, salah menurut
10
penutur aslinya. Misalnya, jika guru yang mengajar bahasa Inggris membuat
kesalahan pada produksi bunyi bahasa Inggris, maka ukuran yang digunakan yakni
apakah bunyi yang diproduksi tersebut benar atau salah menurut penutur asli bahasa
Inggris.
Sejumlah kategori dari kesalahan berbahasa telah diuraikan para linguis
dalam berbagai penelitian. Salah satunya adalah kategori kesalahan berdasarkan
daerah atau butir linguistik yang dipengaruhi kesalahan (Brown, 2007: 288). Dalam
kategori ini, semua komponen bahasa mencakup fonologi atau ortografi, leksikon,
tata bahasa, semantik dan wacana dapat ditelaah. Analisis kesalahan pada tataran
fonologi dapat berhubungan dengan kesalahan pelafalan bunyi, grafemik, pungtuasi,
silabisasi dan sebagainya. Pada tataran morfologi, misalnya adalah kesalahan yang
bertalian dengan morfem, kata dengan segala derivasinya. Kesalahan pada bidang
sintaksis, misalnya menyangkut urutan kata, koherensi, dan logika kalimat.
Sementara itu, analisis kesalahan pada tataran semantik, contohnya adalah
kesalahan yang berhubungan dengan ketepatan penggunaan kata atau kalimat yang
didukung oleh makna, baik makna leksikal maupun gramatikal.
Selain itu, terdapat pula kategori kesalahan berdasarkan efek kesalahan
terhadap komunikasi. Kesalahan pada kategori ini terbagi atas dua tipe yaitu
kesalahan lokal (local errors) dan kesalahan global (global errors) (Norrish, 1983
dan Dulay et al., 1982). Kesalahan lokal adalah kesalahan yang tidak menggangu
komunikasi secara signifikan yang biasanya terjadi karena adanya penyimpangan
11
kecil terhadap satu segmen dalam sebuah tuturan. Sementara itu, kesalahan global
adalah kesalahan yang menghalangi komunikasi sehingga mencegah pendengar
untuk memahami suatu aspek pesan.
Dalam analisis kesalahan berbahasa, selain pengklasifikasian atau
pengkategorian kesalahan perlu juga diketahui penyebab terjadinya kesalahan.
Dengan menilik sumber terjadinya kesalahan, peneliti dapat mengetahui dan
memahami bagaimana proses kognitif dan afektif seseorang yang membuat
kesalahan terkait dengan sistem linguistik, sehingga dapat dirumuskan pemahaman
utuh terhadap sistem pembelajaran bahasa kedua seseorang tersebut. Secara garis
besar, sumber kesalahan ini dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu kesalahan karena
faktor linguistik dan kesalahan karena faktor nonlinguistik.
Sumber kesalahan pada faktor linguistik yang pertama adalah kesalahan
karena transfer interlingual. Menurut Pateda (1989: 72), kesalahan ini ditunjukkan
dengan penerapan pola dan bentuk bahasa pertama ke dalam pola dan bentuk bahasa
target. Sementara itu, sumber kesalahan yang kedua adalah kesalahan karena
transfer intralingual yang juga menjadi penyebab utama kesalahan berbahasa.
Brown (2008: 290) mengatakan bahwa kesalahan pada transfer ini terjadi ketika
pembelajar mulai memperoleh bagian-bagian sistem baru dalam bahasa target. Hal
ini menimbulkan adanya generalisasi pada sistem bahasa sasaran. Generalisasi ini
pula kemudian membentuk suatu transfer interlingual negatif yang berupa
generalisasi berlebihan.
12
Selain sumber kesalahan yang disebabkan oleh faktor kebahasaan di atas,
ada beberapa faktor lain yang memengaruhi kesalahan berbahasa, diantaranya
adalah faktor lingkungan dan kebiasaan. Faktor lingkungan merupakan konteks
kesalahan yang meliputi rumah, sekolah, dan masyarakat dimana seseorang bergaul.
Sementara itu, faktor kebiasaan bertalian dengan pengaruh bahasa ibu dan
lingkungan (Pateda, 1989: 71). Pada faktor ini, seseorang telah terbiasa dengan
pola-pola bahasa yang didengarnya.
1.6.2 Fonologi
Penelitian suatu bahasa lazimnya dimulai dari tataran lingual yang paling
rendah, yaitu tataran bunyi. Hal ini disebabkan karena yang menjadi objek primer
linguistik adalah bahasa lisan (Verhaar, 1983:3). Bunyi bahasa sebagai media
penyampaian pesan ini penting dikaji lebih dahulu karena dapat menjadi dasar bagi
penelitian linguistik pada tataran morfem, leksikon, dan satuan gramatikal bahkan
semantis. Di sinilah letak pentingnya fonologi sebagai ilmu yang mengkaji tentang
bunyi bahasa.
Fonologi adalah sub disiplin ilmu bahasa atau linguistik yang membicarakan
tentang bunyi bahasa. Hyman (1975:2) mengatakan bahwa fonologi merupakan
studi tentang sistem bunyi yang meliputi bagaimana bunyi tersebut terstruktur dan
berfungsi dalam suatu bahasa, yaitu bagaimana bunyi-bunyi bahasa ini digunakan
untuk menyampaikan makna. Sedangkan tujuan fonologi adalah untuk mempelajari
13
perangkat-perangkat sistem bunyi yang harus dipahami oleh penutur agar dapat
menggunakan bahasanya untuk tujuan berkomunikasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, Kridalaksana (1985:60) dan Stork &
Widdowson (1974:75) mengatakan bahwa setiap bahasa terdiri dari beberapa sistem
yang terbentuk atas dasar sistem-sistem yang lebih kecil. Sistem-sistem tersebut
membentuk satuan-satuan bahasa mulai dari bunyi, kata, kalimat hingga wacana.
Dengan demikian, setiap bahasa mempunyai sistem yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lain. Maka, untuk membahas kesalahan pelafalan bunyi vokal bahasa
Inggris oleh guru bahasa Inggris SD di Kodya Yogyakarta, perlu diuraikan terlebih
dahulu bunyi-bunyi vokal bahasa Inggris yang berbeda dengan bahasa lain.
Roach (1998) telah merincikan bunyi-bunyi bahasa Inggris yang disesuaikan
penulisannya dengan simbol IPA (International Phonetics Alphabet). Dalam daftar
bunyi bahasa Inggris ini, terdapat 24 fonem konsonan, 12 fonem monoftong, 8
diftong dan 5 triftong. Dalam penelitian ini, hanya akan diuraikan bunyi monoftong,
diftong, dan triftong saja, yaitu sebagai berikut.
1.6.2.1 Bunyi Vokal dalam Bahasa Inggris
a. Bunyi Monoftong
Di dalam sistem fonologi bahasa Inggris, dikenal adanya dua jenis
monoftong, yaitu monoftong panjang dan monoftong pendek. Monoftong panjang
ditandai dengan adanya [:] pada bentuk penulisan bunyinya, sedangkan bunyi
14
monoftong pendek tidak demikian. Berikut adalah uraian masing-masing bunyi di
dalam tabel.
Monoftong Fitur Bunyi Contoh
[i:] monoftong panjang, tak bulat, tertutup, depan eagle
[ɪ] monoftong pendek, tak bulat, hampir tertutup, hampir depan sit
[e] monoftong pendek, tak bulat, setengah tertutup, depan egg
[æ] monoftong pendek, tak bulat, hampir terbuka, depan apple
[:] monoftong panjang, tak bulat, terbuka, belakang starling
[] monoftong pendek, bulat, terbuka, belakang olive
[:] monoftong panjang, bulat, setengah terbuka, belakang horse
[ʊ] monoftong pendek, bulat, hampir tertutup, hampir belakang pudding
[u:] monoftong panjang, bulat, tertutup, belakang goose
[ʌ] monoftong pendek, takbulat, setengah terbuka, belakang cup
[з:] monoftong panjang, takbulat, setengah terbuka, tengah bird
[ə] monoftong madya/pepet (schwa), tak bulat, tengah ago
Tabel 1.2 Bunyi monoftong dalam Bahasa Inggris (Roach, 1998: 14-22)
Bunyi-bunyi monoftong ini dapat dilihat pada bagan berikut.
Bagan 1.1 Bunyi Monoftong Bahasa Inggris, (Roach, 1998:14-15)
15
b. Bunyi Diftong
Bahasa Inggris mengenal adanya dua buah jenis bunyi diftong, yaitu bunyi
diftong memusat (centering) dan bunyi diftong menutup (closing). Bunyi diftong
memusat adalah bunyi diftong yang bergerak menuju bunyi monoftong [ə] (schwa).
Sementara itu, bunyi diftong menutup adalah bunyi diftong yang memiliki
karakteristik bahwa bunyi ini diakhiri dengan bunyi monoftong yang diucapkan
dengan bentuk mulut tertutup. Dikarenakan bunyi kedua lebih pendek dari bunyi
pertama, maka pengucapan bunyi diftong ini tidak sampai tertutup sebagaimana
seharusnya pelafalan bunyi kedua tersebut. Berikut adalah pembagian kedua jenis
bunyi diftong ini dalam bentuk diagram.
Diftong
memusat (centering) menutup (closing)
diakhiri [ə] diakhiri [ɪ] diakhiri [ʊ]
[ɪə] [eə] [ʊə] [eɪ] [aɪ] [ɪ] [əʊ] [aʊ]
Diagram 1.1 Pembagian Bunyi Diftong dalam Bahasa Inggris (Roach, 1998:20)
Adapun contoh distribusi bunyi-bunyi diftong di atas dalam sebuah kata
yaitu, diftong [eə] pada kata hair, [ɪə] pada kata near, [ʊə] pada kata tour, [eɪ] pada
16
kata face, [aɪ] pada kata mind, [əʊ] pada kata go, [ɪ] pada kata boy, dan [aʊ] pada
kata now. Kedelapan buah diftong ini dapat dilihat pada bagan berikut.
Bagan 1.2 Bunyi Diftong dalam Bahasa Inggris, (Roach, 1998:20-22)
c. Bunyi Triftong
Bahasa Inggris mempunyai jenis vokal yang terdiri atas tiga bunyi atau
disebut dengan triftong (triphtong). Bunyi triftong ini diinterpretasi sebagai sebuah
diftong menutup (closing diphtong) yang diikuti oleh bunyi [ə] (schwa). Ada lima
buah triftong yang dikenal dalam bahasa Inggris, yaitu:
[eɪ] + [ə] = [eɪə] [əʊ] + [ə] = [əʊə]
[aɪ] + [ə] = [aɪə] [aʊ] + [ə] = [aʊə]
[ɪ] + [ə] = [ɪə]
Contoh kelima bunyi triftong ini, yaitu [eɪə] pada kata player, [aɪə] pada kata fire,
[əʊə] pada kata lower, [ɪə] pada kata loyal, dan [aʊə] pada kata power. Untuk
mengetahui lebih jelas mengenai bunyi triftong ini, dapat dilihat pada diagram
berikut.
17
Bagan 1.3 Bunyi Triftong dalam Bahasa Inggris (Roach, 1998:23)
Di samping bunyi-bunyi vokal dalam bahasa Inggris di atas, perlu juga
diuraikan bunyi vokal dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa karena seluruh guru
yang menjadi subjek penelitian menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional dan bahasa Jawa sebagai bahasa pertama.
1.6.2.2 Bunyi Vokal dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa
a. Bunyi Monoftong
Marsono (2013:37-46) menguraikan bahwa bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa memiliki bentuk dan jumlah bunyi monoftong yang sama, yaitu ada sepuluh
bunyi monoftong. Kesepuluh bunyi monoftong pada kedua bahasa ini beserta
contohnya dapat dilihat pada tabel berikut.
18
Bahasa Monoftong Fitur Bunyi Contoh
Jawa [i] vokal tinggi atas, tak bulat, tertutup, depan
iki „ini‟
Indonesia ibu
Jawa [ɪ]
vokal tinggi bawah, tak bulat, semi-tertutup,
depan
arit „sabit‟
Indonesia pinggir
Jawa [e] vokal madya atas, tak bulat, semi tertutup, depan
eling „ingat‟
Indonesia enak
Jawa [ɛ]
vokal madya bawah, tak bulat, semi terbuka,
depan
lengket „lekat‟
Indonesia leher
Jawa [a] vokal rendah bawah, tak bulat, terbuka, depan
ora „tidak‟
Indonesia apa
Jawa [ə] vokal pendek, tak bulat, semi terbuka, tengah
edol „jual‟
Indonesia emas
Jawa []
vokal madya bawah, bulat, semi terbuka,
belakang
obor „suluh‟
Indonesia otot
Jawa [o] vokal madya atas, bulat, semi tertutup, belakang
loro „dua‟
Indonesia toko
Jawa [U] vokal tinggi bawah, bulat, semi tertutup, belakang
irus „cedok‟
Indonesia ukur
Jawa [u] vokal tinggi atas, bulat, tertutup, belakang
guru „guru‟
Indonesia paku
Tabel 1.3 Bunyi Monoftong dalam Bahasa Indonesia dan Jawa (Marsono, 2013:37-46)
Berikut adalah bagan bunyi vokal dalam bahasa Indonesia dan Jawa.
Depan Tengah Belakang
Tinggi ●[i] ● [u] Tertutup
●[I] ●[U] Semi-tertutup
●[e] ●[o]
Madya ●[ɛ] [ə] ●[] Semi-terbuka
Rendah ●[a] Terbuka
Bagan 1.4 Bunyi Monoftong dalam Bahasa Indonesia dan Jawa (Marsono, 2013:37-46)
19
b. Bunyi Diftong
Chaer (2009:44-45) menerangkan bahwa di dalam bahasa Indonesia hanya
terdapat satu jenis bunyi diftong, yaitu bunyi diftong naik. Di sisi lain, Marsono
(2013:55-57) menjelaskan bahwa di dalam bahasa Jawa terdapat dua buah bunyi
diftong, yaitu bunyi diftong naik dan bunyi diftong turun. Berikut adalah penjelasan
masing-masing bunyi diftong tersebut.
1. Bunyi Diftong Naik
Bunyi ini merupakan bunyi diftong yang cara pengucapan bunyi monoftong
kedua pada diftong tersebut dilafalkan dengan posisi lidah lebih tinggi daripada
yang pertama. Di dalam bahasa Indonesia, dikenal ada empat bunyi diftong naik,
yaitu [ai] seperti pada kata nilai, [au] seperti pada kata kacau, [oi] seperti pada
kata amboi, dan [əi] pada kata esei. Sementara itu, di dalam bahasa Jawa dikenal
hanya ada satu bunyi diftong naik, yaitu [ui] seperti pada kata uijo „sangat hijau‟,
dan cuilik „sangat kecil‟. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan berikut.
●[i] ● [u]
●[o]
[ə]
●[a]
Bagan 1.5 Bunyi Diftong Naik dalam Bahasa Indonesia (Chaer, 2009:44)
20
●[i]
● [u]
Bagan 1.6 Bunyi Diftong Naik dalam Bahasa Jawa (Marsono, 2013:55)
2. Bunyi Diftong Turun
Bunyi diftong turun merupakan bunyi diftong yang terjadi jika bunyi
monoftong kedua pada diftong tersebut dilafalkan lebih rendah dari yang
pertama. Di dalam bahasa Jawa, terdapat empat buah bunyi diftong turun, yaitu
[ua] seperti pada kata muarem „sangat puas‟, [u] pada kata duawa „sangat
panjang‟, [uɛ] pada kata uelek „sangat jelek‟, dan [uə] pada kata luemu „sangat
gemuk‟. Bagannya dapat dilihat seperti berikut ini.
● [u]
●[ɛ] [ə] ●[]
●[a]
Bagan 1.7 Bunyi Diftong Turun dalam Bahasa Jawa (Marsono, 2013:37-46)
21
1.6.3 Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa Inggris di SD
Pembelajaran bahasa kedua sama halnya dengan pembelajaran bahasa asing
(Subhan, 2003:2). Salah satu bahasa asing yang diajarkan di Indonesia adalah
bahasa Inggris. Bahasa Inggris merupakan bahasa yang sangat berbeda dengan
bahasa pertama siswa SD (bahasa Indonesia, Jawa, Batak, dan bahasa daerah
lainnya). Perbedaan kebahasaan ini penting untuk dipahami guru agar pembelajaran
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Perbedaan tersebut antara lain adalah
perbedaan ucapan, ejaan, struktur bahasa, tekanan dan intonasi, kosakata, dan nilai
kultur bahasa asing.
Terkait dengan hal ini, seorang guru bahasa Inggris selayaknya memiliki
pemahaman yang baik dan menyeluruh terhadap bahasa yang diajarkannya. Salah
satu kompetensi penting yang harus dimiliki oleh seorang guru bahasa Inggris
adalah penguasaan pelafalan dengan baik. Hal ini dikarenakan penguasaan bunyi
akan memengaruhi lancar tidaknya suatu komunikasi. Dalam mengajarkan bahasa
Inggris, tentunya penguasaan pelafalan ini dibutuhkan guru guna menyampaikan
bentuk-bentuk kata dalam bahasa Inggris kepada siswa. Dengan kata lain,
pengajaran bahasa Inggris tidak akan pernah lepas dari masalah pelafalan. Seorang
guru mau tidak mau akan mengatasi pertanyaan dan permasalahan siswanya terkait
pelafalan, berapapun umur dan bagaimanapun tahapan pembelajaran siswanya.
Masalah ini dapat diatasi guru dengan baik atau buruk. Guru kemungkinan akan
22
merasa puas atau mungkin tidak puas dengan caranya mengatasi hal ini, tetapi guru
tidak akan mampu untuk menghindarinya (Abercrombie, 1956:28).
Pendapat di atas menunjukkan bahwa pengajaran dan pembelajaran bahasa
Inggris di SD mempunyai pengaruh yang paling besar dalam pemerolehan bahasa
Inggris pada anak terutama dalam hal penguasaan pelafalan. Hal ini didukung pula
oleh hipotesis periode kritis (The Critical Period Hypothesis) pada pembelajaran
bahasa kedua yang menyatakan bahwa bahasa kedua akan lebih mudah dikuasai
pada masa kanak-kanak atau usia SD. Pada hipotesis ini, Brown (2008:67)
menyimpulkan bahwa sebagian besar kenyataan yang ada pada pembelajaran bahasa
kedua mengindikasikan bahwa orang-orang yang sudah melewati masa akil-
baliknya tidak akan memperoleh apa yang disebut pelafalan otentik (penutur asli)
bahasa kedua.
Dikarenakan adanya hipotesis periode kritis ini, maka tanggung jawab guru
SD pun meningkat. Guru perlu meyakinkan siswa bahwa mereka mampu untuk
membekali siswa dengan segala bentuk pengetahuan yang dibutuhkan siswa pada
usia dini. Hal ini dapat dicapai salah satunya dengan memiliki penguasaan pelafalan
bahasa Inggris yang baik karena ini sangat dibutuhkan oleh siswa SD. Brewster et
al. (2002:80) menyatakan bahwa kemampuan pengucapan seorang siswa hanya
akan sebagus model yang ia dengar, dan model utama mereka adalah guru. Di
samping itu, Harmer (2007:81) menyimpulkan beberapa teori dalam bukunya
tentang pengajaran, yaitu siswa SD memiliki keuntungan pada kemampuan
23
pelafalan. Akan tetapi, hal ini bergantung pada kemampuan guru untuk
mengucapkan bunyi dengan benar. Apabila guru memiliki kemampuan pelafalan
bahasa Inggris yang baik, guru dapat mengoreksi kesalahan pelafalan yang
diproduksi oleh siswa SD guna menunjang kemampuan mereka dalam pembelajaran
bahasa Inggris.
Lebih jauh lagi, Fries (1954:3) mengatakan bahwa pengajaran pelafalan
tidaklah semata-mata mengajarkan bagaimana siswa mengucapkan suatu kata, akan
tetapi pengajaran pelafalan melibatkan pengenalan dari bunyi-bunyi dan juga
bagaimana bunyi itu diproduksi. Oleh sebab itu, sebelum mempelajari bagaimana
memproduksi bunyi, seorang guru bahasa Inggris sebaiknya memiliki kemampuan
untuk mengenali bunyi-bunyi tertentu. Misalnya, kata men, man, bad dan bed dapat
digunakan untuk membantu siswa agar mampu membedakan dua bunyi yang
berbeda, yaitu bunyi [æ] dan [e].
Adanya kenyataan dan pendapat di atas, menuntut guru bahasa Inggris SD
untuk memiliki kemampuan dan keterampilan berbahasa Inggris yang mumpuni dan
menguasai teknik-teknik mengajar bahasa Inggris yang sesuai untuk anak-anak.
Abercrombie (1956:28) berpendapat bahwa untuk pengajaran pelafalan bahasa
Inggris yang efektif, seorang guru bahasa Inggris hendaknya memiliki persyaratan
sebagai berikut.
a. Secara teoretis, seorang guru bahasa Inggris perlu mengetahui
bagaimana cara kerja dari organ wicara dan bagaimana tuturan dianalisis
24
atau dideskripsikan dengan baik untuk tujuan pengajaran. Selain itu,
guru juga harus memiliki pengetahuan tentang struktur bunyi bahasa
Inggris dan bahasa ibu (pertama) siswanya.
b. Secara praktis, guru harus mempunyai pendengaran yang baik untuk
mengamati kesalahan siswa. Di samping itu, guru hendaknya
mempunyai organ wicara yang baik agar dapat memproduksi bunyi
bahasa Inggris secara terpisah dan dapat pula menirukan kesalahan
produksi bunyi siswanya. Guru juga harus memiliki beberapa
pengetahuan tentang langkah-langkah singkat dalam fonetik untuk
mengoreksi kesalahan bunyi siswanya.
Kecakapan fonetik ini merupakan kecapakan minimum yang harus dikuasai dan
dimiliki oleh setiap guru bahasa Inggris.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi deskriptif yang bertujuan untuk
mendeskripsikan kesalahan pelafalan bunyi vokal bahasa Inggris oleh guru Bahasa
Inggris SD. Ada tiga tahapan yang di lakukan dalam penelitian ini, yaitu tahap
pengumpulan data, analisis data dan penyajian data.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data, langkah pertama yang dilakukan adalah
menyiapkan instrumen penelitian. Instrumen ini berupa daftar kata yang disusun
25
dengan asumsi bahwa kata yang dipilih merupakan kata yang memiliki
kecenderungan untuk salah diucapkan oleh guru bahasa Inggris SD sehingga dapat
diperoleh variasi data. Setiap kata yang dipilih merepsentasikan satu bunyi vokal
dengan distribusinya pada suatu posisi, baik di posisi awal, tengah dan akhir kata.
Hal ini tentunya bergantung pada frekuensi kemunculan suatu bunyi di suatu posisi.
Setelah itu, instrumen penelitian ini diuji pada beberapa orang guna melihat apakah
instrumen yang disiapkan efektif untuk melihat kesalahan pelafalan. Dari hasil uji
coba ini, ditetapkan 62 kata yang mengandung masing-masing bunyi vokal bahasa
Inggris pada tiap posisi sebagai instrumen penelitian.
Langkah selanjutnya adalah menyiapkan kuesioner yang digunakan untuk
menganalisis penyebab terjadinya kesalahan pelafalan bunyi vokal oleh guru Bahasa
Inggris SD terutama dari faktor nonlinguistik. Kuesioner ini berisi data diri guru
Bahasa Inggris SD yang menjadi subjek penelitian. Di samping itu, juga berisi
tentang pengalaman berbahasa Inggris guru terkait bagaimana guru mendapatkan
kemampuan bahasa Inggris, kebiasaan guru, lingkungan, minat dan motivasi guru
dalam mengajar bahasa Inggris.
Setelah menyiapkan instrumen dan kuesioner, dilakukan pemilihan subjek
penelitian. Teknik yang digunakan untuk memilih subjek penelitian ini adalah
purposive sampling. Kriteria guru yang menjadi subjek penelitian adalah memiliki
organ wicara yang baik, tidak memiliki gangguan pendengaran, dan berusia antara
20-45 tahun. Berdasarkan kriteria tersebut, dipilih secara acak 20 orang guru dari 15
26
SD Negeri maupun Swasta di Kodya Yogyakarta. Dari 20 orang guru bahasa Inggris
ini diperoleh variasi data yang cukup untuk dianalisis.
Data dalam penelitian ini dijaring melalui teknik rekam (Kesuma, 2007:41-
46). Guru diminta untuk melafalkan daftar kata yang telah disiapkan, kemudian
direkam. Alat yang digunakan untuk merekam adalah SONY ICD-PX312 Digital
Voice Recorder. Proses perekaman dilakukan pada saat guru tidak sedang mengajar.
Dilakukan demikian karena penelitian ini berfokus pada kesalahan (errors) terkait
kompetensi guru melafalkan bunyi bahasa Inggris. Jika perekaman dilakukan pada
saat guru mengajar, dikhawatirkan akan diperoleh data yang berupa kekeliruan
(mistakes) yang disebabkan faktor performansi. Seperti dijelaskan sebelumnya,
kesalahan (errors) disebabkan kebutaan konsep oleh seseorang terhadap suatu
sistem kebahasaan sehingga data yang diambil secara sengaja dan disadari oleh guru
yang diteliti merupakan data terbaik yang dapat menunjukkan kemampuan
maksimalnya dalam memproduksi bunyi yang diujikan. Sebelum melakukan
perekaman, guru diminta untuk memahami daftar kata yang diujikan guna
mencegah terjadinya kekeliruan dalam menanggapi kata apa yang akan
dilafalkannya. Selain itu, guru juga diminta untuk mengisi kuesioner terlebih dahulu
serta diwawancarai dengan singkat untuk mengetahui faktor nonlinguisitk yang
dapat menyebabkan kesalahan. Setelah guru memahami instrumen penelitian, maka
proses perekaman dilakukan.
27
1.7.2 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, setiap kesalahan yang ditemukan selalu dirujukkan
kepada kaidah bahasa Inggris baku berdasarkan standar RP (Received
Pronunciation) mengingat banyaknya aksen lain dalam bahasa Inggris. Selain itu,
RP juga dipandang sebagai aksen bahasa Inggris terbaik dan paling tepat yang juga
digunakan dalam pengajaran Pronunciation serta merupakan aksen yang paling
banyak dibahas di dunia dan telah digunakan oleh ahli fonetik dalam tulisannya
selama berabad-abad (Skandera dan Burleigh, 2005:6; Abercrombie, 1956:48).
Dengan demikian, dapat diidentifikasi pelafalan bunyi vokal bahasa Inggris oleh
guru bahasa Inggris SD dengan memperhatikan bunyi-bunyi vokal yang sudah
sesuai dengan standar RP dan bunyi-bunyi vokal yang tidak sesuai sehingga
dikategorikan sebagai bunyi yang salah. Adapun parameter ucapan yang digunakan
adalah transkripsi fonetis di dalam kamus Oxford Advanced Learner‟s Dictionary of
Current English karya AS. Hornby (1995) yang sudah sesuai dengan standar RP.
Analisis data dimulai dengan mentranskripsi data rekaman secara fonetis
dengan menggunakan lambang IPA. Dalam proses penyimakan data ini, peneliti
menggunakan aplikasi IPA Help 2.1 untuk mengidentifikasi bunyi vokal mana yang
dilafalkan oleh guru. Aplikasi ini hanya digunakan untuk bunyi-bunyi yang dirasa
sulit dibedakan oleh peneliti. Bunyi-bunyi lain yang tidak diragukan peneliti
kejelasannya, langsung ditranskripsikan tanpa bantuan aplikasi tersebut. Dari hasil
transkripsi ini, diperoleh bentuk-bentuk kesalahan pelafalan bunyi vokal. Kemudian,
28
dihitung persentase jumlah guru yang melafalkan kesalahan pada tiap-tiap bentuk.
Persentase ini memudahkan proses analisis bentuk kesalahan sehingga diketahui
jumlah guru yang melafalkan bunyi dengan benar dan jumlah guru yang salah.
Selanjutnya, jumlah kesalahan pada bunyi monoftong, diftong, dan triftong juga
dipersentasekan guna mengetahui mayoritas bentuk kesalahan yang terjadi. Setelah
itu, diuraikan tiap-tiap kesalahan pelafalan bunyi vokal yang telah diklasifikasikan
terlebih dahulu dalam sebuah tabel. Masing-masing bentuk kesalahan ini dijelaskan
berdasarkan posisi terjadinya kesalahan, persentase guru yang melafalkannya, serta
ada tidaknya makna baru yang dibawa dari bentuk kesalahan tersebut.
Analisis data selanjutnya dilanjutkan dengan mencari penyebab terjadinya
kesalahan pelafalan bunyi vokal. Penyebab dari faktor linguistik diprediksi dari
bentuk kesalahan yang terjadi. Sementara itu, untuk penyebab kesalahan dari faktor
nonlinguistik diperoleh dari wawancara dan kuesioner yang telah diisi oleh guru.
Hasil kuesioner dipersentasekan sehingga dapat ditarik suatu generalisasi dari
jawaban yang diberikan. Selanjutnya, diuraikan masing-masing faktor berikut
dengan contoh kesalahan yang ditemukan.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan
metode penyajian formal dan metode penyajian informal. Penyajian formal
digunakan untuk menyajikan daftar klasifikasi kesalahan pelafalan bunyi vokal
bahasa Inggris oleh guru SD berdasarkan tingkat kesalahannya, mulai dari bunyi
29
monoftong, diftong dan triftong dalam bentuk tabel. Sementara itu, penyajian
informal yang berupa rumusan kata-kata digunakan untuk merumuskan penyebab
kesalahan pelafalan bunyi vokal bahasa Inggris oleh guru bahasa Inggris SD di
Kodya Yogyakarta.
1.8 Sistematika Penyajian
Hasil penelitian ini disajikan dalam empat bab. Bab 1 berisi latar belakang,
masalah dan ruang lingkup, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, dan metode penelitian. Bab 2 berisi bentuk-bentuk kesalahan
pelafalan bunyi vokal. Bab 3 berisi tentang penyebab terjadinya kesalahan pelafalan
bunyi vokal bahasa Inggris. Terakhir, Bab 4 berisi kesimpulan dan saran.
Kesimpulan berisi hasil akhir dari penelitian yang dilakukan, dan saran berupa
masukan untuk masalah yang dianalisis dalam penelitian ini serta untuk penelitian
sejenis di masa mendatang.