1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara hukum1. Pernyataan tersebut secara
tegas tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara
hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai
ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta
kesejahteraan bagi warga negaranya2. Konsekuensi dari itu semua adalah
bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia.
Hukum sebagai ideologi oleh suatu negara adalah bahwa hukum
mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia,
maka hukum juga wajib memberikan timbal balik terhadap negara yang
menerimanya sebagai ideologi, dengan cara memperhatikan kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Peraturan–peraturan tindak pidana yang diatur didalam KUHP dan
subtansinya telah jelas pengikatannya dalam rangka memberikan kepastian
hukum kepada setiap orang sehingga memberikan kejelasan dengan pasti.
apa yang dilarang dan apa yang di perintahkan.
1 Lihat Pasal 1 UUD Republik Indonesia Tahun 1945
2Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru, 1981, hlm.10
2
“Dalam hal ini tujuan pemindanaan menurut WirjonoProjodikoro
terdapat 2 teori yaitu3”:
1. Teori Absolut (Vergeldingsheorie) tujuan pemindanaan sebagai
ajang pembalasan atas perbuatan para pelaku karena telah
melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan
terhadap orang lain atau anggota masyarakat.
2. Teori Relatif (Doeltheorie) memenjarakan agar si pelaku atau
terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya
serta masyarakat umum agar mengetahui jika melakukan
perbuatan yang sama akan mengalami hukuman yang serupa.
dan memperbaiki pribadi si terpidana berdasarkan perlakuan dan
pendidikan selama menjalani hukuman dan menjadikan manusia
seutuhnya yang menyadari kesalahannya.
Walaupun hukum dibuat untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu
memberikan pelayanan bagi masyarakat guna terciptanya suatu ketertiban,
keamanan, keadilan dan kesejahteraaan, namun pada kenyataannya masih
tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan atas hukum, baik yang dilakukan
secara sengaja maupun tidak sengaja atau lalai. Terhadap penyimpangan-
penyimpangan hukum ini, tentunya harus ditindaklanjuti dengan tindakan
hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan
aturan perundang-undangan, meskipun hal itu dilakukan oleh para pejabat
dan petinggi negara yang selama ini banyak melanggar hukum dan
melakukan penyimpangan-penyimpangan diantaranya adalah korupsi.
Setelah rezim silih berganti, justru penegakan hukum Indonesia
semakin terpuruk, dan suka atau tidak suka, keterpurukan membawa
dampak negatif terhadap sektor kehidupan lain, utamanya sektor
3DikdikArief Mansyur , Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan
Realita,Rajawali Pres, Jakarta, 2007, Hal. 20
3
perekonomian bangsa4. Korupsi adalah kejahatan besar dan luar biasa yang
membahayakan kelangsungan pembangunan negara. Keterikatan kita oleh
„tradisi-budaya‟ korupsi merupakan bentuk penjajahan baru yang lebih
„sadis‟ dibandingkan masa penjajahan Belanda dan Jepang. Korupsi tak
berwujud dan tak memiliki senjata fisik sebagaimana Belanda dan Jepang
miliki. Korupsi bagai bom waktu yang suatu saat bisa meledak dan
menghancurkan negara ini. Hingga detik ini, skandal korupsi para koruptor
selalu menjadi menu utama dalam pemberitaan surat kabar.
Beberapa kasus yang sempat mencuat, seperti kasus Nazaruddin yang
menjadi top isu di beberapa media, kasus persengketaan Banggar dengan
KPK dalam hal pembahasan RAPBN 2012, mencuatnya kembali kasus
pembunuhan Nasrudin Zulkarnain, hingga kisruhnya beberapa lembaga
negara atas dugaan korupsi yang melibatkan anggota fraksinya telah
menyulutkan optimisme publik tentang penangan masalah tindak pidana
korupsi.
Duduk permasalahan penyelesaian persoalan korupsi adalah bahwa
masyarakat belum bisa melihat dengan jelas kesungguhan pemerintah dalam
upaya memberantas tindak pidana korupsi. Mungkin menjadi tidak
berlebihan kiranya jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
mengubah jargon politis “Lanjutkan!” menjadi “STOP, Hentikan!” Terlebih
ketika muncul polemik baru seputar pro-kontra pemberian remisi dan grasi
4Achmad Ali. Keterpurukan Hukum di Indonesia (penyebab dan solusinya),Ghalia
Indonesia,Jakarta, 2002, Hal 7.
4
bagi terpidana kasus korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya yang semakin
membingungkan publik atas sikap pemerintah selama ini.
Korupsi di negeri ini sudah sangat akut. Dari masa pasca
“kemerdekaan” hingga pemerintahan SBY jilid 2, kasus korupsi masih saja
sangat eksis. Korupsi kini telah menjadi budaya tersendiri di negeri ini.
Budaya asli Indonesia yang lahir dari kalangan elit, yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara.
Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus yang menyebar ke
seluruh tubuh pemerintahan sehingga sejak tahun 1960an. Langkah-langkah
pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai masa kini. Korupsi
berkaitan pula dengan kekuasaan, karena dengan kekuasaan itu penguasa
dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga
atau kroninya. Ditegaskanlah kemudian bahwa korupsi selalu bermula dan
berkembang di sektor publik dengan bukti-bukti yang nyata bahwa dengan
kekuasaan itulah pejabat publik dapat menekankan atau memeras para
pencari keadilan atau mereka yang memerlukan jasa pelayanan dari
pemerintah.
Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.
Karena itu semua tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan
sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
5
Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan
secara biasa, tetapi dituntut dan diadili dengan cara yang luar biasa.
Menurut catatan Pacific Economic and Risk Concultacy (PERC), pada
2005 silam Indonesia menempati dudukan pertama sebagai negara terkorup
di wilayah Asia. Hal ini tidak menyadarkan presiden untuk lebih tegas
dalam menangani kasus yang merugikan negara ini. Walaupun dalam
kenyataannya berbagai kasus korupsi telah diungkap dan para koruptor telah
diseret dalam Lembaga Permasyarakatan, namun masa hukuman yang
dikenakan berupa masa tahanan dengan rata-rata 4-5 tahun, yang terbilang
sangat ringan. Ditambah lagi hak setiap narapidana untuk mendapatan
asimilasi dan remisi masa tahanan yang tidak dapat dihindarkan, bahkan
dapat mengajukan permohonan grasi berupa pengampunan pada presiden
untuk dibebaskan.
Permohonan grasi kepada Presiden dapat diajukan terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.5 Artinya, setelah
suatu perkara selesai diputus oleh hakim, barulah dapat diajukan
permohonan grasi.
Berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Presiden Republik Indonesia berhak untuk
memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung (Ayat 1), serta memberikan
amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat (Ayat 2).6
5Lihat pasal 1 ayat 1 UU nomor 5 tahun 2010 tentang perubahan atas UU nomor 22 tahun
2002 tentang grasi . 6Lihat pasal 14 UUD RI tahun 1945.
6
Grasi adalah salah satu dari lima hak Presiden Indonesia. Grasi adalah
Hak untuk memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan
pembebasan hukuman. Sebagai contoh yaitu mereka yang pernah mendapat
hukuman mati dikurangi menjadi bebas dari hukuman sama sekali.7
Masalah grasi mulai banyak diperbincangkan sejak pertengahan 2003
lalu. Presiden Megawati Soekarnoputri menolak permohonan grasi enam
narapidana mati. Mereka adalah lima orang terlibat pembunuhan, dan satu
orang dalam kasus narkoba. Pemberian grasi pada masa orde baru bukan
merupakan hal yang baru. Tercatat narapidana yang ditolak grasinya dan
telah dieksekusi mati mulai tahun 1978 hingga akhir 2007 mencapai 28
terpidana.
Tabel I8
Terpidana Yang Mengajukan Grasi di Indonesia
Tahun 2000-2012
No Nama Tahun Kasus Sanksi
Pidana
Keterangan
1 Astini 1994 Pembunuhan
dan mutilasi
Pidana
mati
Grasi ditolak
melaluiKepre
s No.9/G
2004
2 NamsongSiriak 21Februari
1994
Narkotika Pidana
Mati
grasi ditolak
melalui
KeppresNo
7/G tahun
2004
3 Turmudi 1997 Pembunuhan 5
orang
Pidana
mati
29 agustus
1998 Grasi
ditolak
4 Ayub Bulubuli Februari
1999
Pembunuhan 1
keluarga
Pidana
mati
Grasi ditolak
KeppresNo.1
7http://id.wikipedia.org/wiki/Grasi, diakses 28 mei 2012
8Bambang Waluyo. Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 14
7
tahun 2007
5 FabianusTibo Mei 2000 Pembunuhan
poso
Pidana
mati
Grasi ditolak
pada 10
Maret 2005
6 Domingus Da
Silva
Mei 2000 Pembunuhan
Poso
Pidana
mati
Grasi ditolak
pada 10
Maret 2005
7 MarinusRiwu Mei 2000 Pembunuhan
Poso
Pidana
mati
Grasi ditolak
pada 10
Maret 2005
8 Samuel Januari
2001
Narkotika Pidana
mati
Grasi ditolak
tahun
2004
9 Hansen Anthony Januari
2001
Narkotika Pidana
mati
Grasi ditolak
tahun
2004
10 Sumiarsih Januari
1989
Pembunuhan
keluarga
Pidana
mati
Pidana mati
Grasi ditolak
26 Mei
2008
11 Sugeng Januari
1989
Pembunuhan
keluarga
Pidana
mati
Grasi ditolak
26 Mei
2008
12 Tobagus Yusuf
Maulana
Tahun
2006
Penipuan dan
pembunuhan
8 orang
Pidana
mati
Grasi ditolak
10 Maret2008
13 Fausi bin Isman
Tahun
1996
Pembunuhan Penjara
20 tahun
Grasi diterima
tahun 1999
14 Sugeng
Yulianto
April 1998
Pembunuhan
Pidana
Seumur
Hidup
Grasi diterima
tahun1999
15 Riyanto
September
1999
Pembunuhan
Pidana
Seumur
Grasi diterima
tahun 2000
8
Hidup
16 Abadi
Abdullah
April 2000
Pembunuhan
Penjara
20
Tahun
Grasi diterima
tahun
2002
17 Fachrudin
alias Sukirna
September
1998
Pembunuhan
Penjara
20
Tahun
Grasi diterima
tahun
2001
18 Zamzuri bin
Mujib
Agustus
2000
Pembunuhan
Penjara
Seumur
Hidup
Grasi diterima
tahun
2003
19
Hariyanto bin
Yusuf
Juli 2001
Narkoba
Penjara
Seumur
Hidup
Grasi ditolak
tahun
2004
20 Sri Haryadi Oktober
2002
Pembunuhan
Penjara
Seumur
Hidup
Grasi ditolak
tahun
2005
21 Nasiman Oktober
2004
Pembunuhan Penjara
Seumur
Hidup
Grasi diterima
tahun
2008
22 Hariyanto Bin
Yusuf
Juni 1999
Pembunuhan
Seumur
Hidup
Grasi diterima
tahun
2001
23 SaelowPrasad Juni 1998 Narkoba Pidana
Mati
Grasi ditolak
tahun
2003
24 Ayodya
Prasad
Chaubey
Juni 1998 Narkoba Pidana
Mati
Grasi ditolak
tahun
2003
25 Chan Tian
Chong
Mei 2000 Narkoba Pidana
Mati
Grasi ditolak
tahun
2003
26 Syaukani
Hassan Rais
Desember
2007
Korupsi Pidana 6
tahun
penjara
Grasi di
terima tahun
2010, keppres
nomor 7/G
9
tahun 2010
27 SchapelleCorby 2005 Narkoba Pidana
20 tahun
penjara
Grasi di
terima tahun
2012
Dari tabel tersebut telah disebutkan para terpidana yang telah
mengajukan grasi. Dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2002 Tentang
Grasi tidak lagi mengatur bahwa grasi diberikan sebagai upaya hukum
terakhir bagi terpidana mati saja yang telah memenuhi syarat mengajukan
upaya hukum baik biasa maupun luar biasa dan putusannya telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Tidak hanya pidana mati saja yang
diberikan ampunan oleh Presiden akan tetapi memberikan peluang terhadap
terpidana seumur hidup dan pidana penjara minimal 2 tahun. penjelasan
tersebut tertuang dalam Undang-UndangNomor 22 Tahun 2002 tentang
Grasi tertuang dalam pasal 2 ayat 29.
Presiden mempunyai kewenangan untuk memeberikan grasi yang
secara jelas di atur dalam Undang-Undang. Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah agung10
.
Kewenangan presiden dalam memberi grasi diatur dalam pasal 14 ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945, akan tetapi apakah pantas grasi diberikan
kepada seorang narapidana korupsi yang merugikan negara ratusan milyar.
9Lihat pasal 2 ayat 2 UU No 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.
10Lihat pasal 14 ayat 1 UUD RI tahun 1945.
10
Mengenai kewenangan presiden memberikan grasi, disebut
kewenangan presiden yang prerogatif dengan pertimbangan Mahkamah
Agung, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi.
Kekuasaan dengan kosultasi adalah kekuasaan yang dalam pelaksanaannya
memerlukan usulan atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan
dengan materi kekuasaan tersebut. Selain grasi dan rehabilitasi,Presiden
memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat11
.
Kewenangan Presiden memberikan grasi terkait dengan hukum pidana
dalam arti . Hukum pidana subyektif membahas mengenai hak negara untuk
menjatuhkan dan menjalankan pidana12
. Hak negara yang demikian ini
merupakan hak negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya
melalui teori pemidanaan. Oleh karena itu, Presiden dalam memberikan
grasi harus didasarkan pada teori pemidanaan.
teori utilitarian atau teleogis. Teori ini melihat pemidanaan
dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah
situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya
pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk
memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain
pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari
kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini
dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus
mempunyai sifat pencegahan (detterence).
Pemberian grasi terhadap narapidana koruptor menjadi kontroversial
melihat rentetan sejarah bangsa yang terpuruk oleh maraknya kasus korupsi
11
Lihat pasal 14 ayat 2 UUD RI tahun 1945.
12
AdamiChazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1(Stelsel pidana, Tindak pidana, Teori-
teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
Hal 9
11
dengan kerugian negara tak tanggung-tanggung mencapai angka ratusan
miliar, bahkan triliun dalam per tahun. Pemberian grasi padaKeppres Nomor
7/G tahun 2010 tertanggal 15 Agustus 2010 yang didalamnya menyebutkan
memberikan grasi kepada Syaukani HR (mantan Bupati Kutai
Kartanegara), merupakan bukti tidak konsistennya pemerintahan Indonesia
dalam membrantas korupsi.
Syaukani terbukti melakukan tindak pidana korupsi selama 2001
hingga 2005 dan merugikan negara ratusan miliar13
. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menuntut Bupati nonaktif Kutai Kertanegara, Syaukani
Hassan Rais dengan pidana penjara delapan tahun atas dakwaan melakukan
empat tindak pidana korupsi selama 2001-2005 yang menimbulkan kerugian
negara Rp120,251 miliar. Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana
korupsi menyalahgunakan kewenangan melanggar hukum pada pasal 3 jo
pasal 18 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor
20 tahun 2001 jo pasal 65 ayat (1) dan ayat (2).
Perbuatan korupsi yang pertama adalah menyalahgunakan dana
perangsang pungutan sumber daya alam (migas), dana studi kelayakan
bandara Kutai Kartanegara, dana pembangunan bandara Kutai dan
penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat. Sepanjang
2001-2005, dana perimbangan yang disalahgunakan itu berjumlah Rp93,204
miliar. Dari jumlah itu sebanyak Rp27,8 miliar dalam surat dakwaan
disebutkan diterima dan dinikmati oleh terdakwa. Sementara itu untuk
13
http://id.wikipedia.org/wiki/Syaukani_Hasan_Rais (di akses pada tanggal 3 mei 2012)
12
perbuatan korupsi dana studi kelayakan bandara Kutai Kartanegara,
terdakwa pada April 2003 bertemu dengan Voni A Panambunan (Direktur
PT Mahakam Diastar Internasional) dan membicarakan tentang studi
kelayakan bandara Kutai Kartanegara. Anggaran yang diajukan sebesar
722.700 dolar AS dan kemudian disetujui, padahal pos untuk keperluan
tersebut belum tercantum dalam APBD Kutai Kartanegara. "Terdakwa juga
menyetujui pembayaran terhadap konsultan PT Mahakam Diastar
Internasional. Meski sudah ada pimpro proyek tersebut, Syaukani tetap
menyetujui padahal itukewenangan pimpro. Total pembayaran bagi PT MDI
sebesar Rp6,269 miliar. Ternyata perusahaan tersebut tidak melakukan uji
kelayakan namun menyerahkan pekerjaan itu kepada PT Incona dan
membayar Rp2,5 miliar. Sedangkan untuk pembebasan tanah bandara Kutai,
terdakwa setidaknya meminta pemegang anggaran untuk lima kali
mengeluarkan anggaran dengan alasan untuk pembebasan tanah padahal hal
tersebut, menurut JPU tidak dilakukan. Total dana yang digunakan
Rp15,250 miliar dan sebagai usaha untuk seakan-akan memenuhi prosedur
yang ada. Para pejabat terkait pembebasan tanah bandara di kabupaten
tersebut diminta membuat kelengkapan administrasi.
Secara keseluruhan dari kerugian negara sebesar Rp120,251 miliar,
terdakwa dinilai menikmati dan memperkaya diri sendiri sebanyak
Rp50,843 miliar dengan perincian dari dana perimbangan pungutan migas
Rp27,843 miliar, dana pembangunan bandara Rp15,250 miliar dan
penyalahgunaan dana kesejahteraan rakyat Rp7,750 miliar. Syaukani juga
13
didakwa memperkaya orang lain sebanyak Rp65,360 miliar dalam
pemberian keputusan pembagian dana perimbangan dan memperkaya Voni
A Panambunan sebesar Rp4,047 miliar melalui proyek pembangunan
Bandara Kutai Kartanegara.Syaukani merupakan orang Kutai yang
menyalahgunakan uang rakyatnya sendiri dan hukuman yang di jalankan
tidak sebanding dengan hak masyarakat yang telah dia rampas.
Syaukani Hasan Rais diputus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 11/PID.B/TPK/2007/PN.JKT.PST
tanggal 14 Desember 2007. Putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 01/PID/TPK/2008/PT.DKI
tanggal 26 Maret 2008 divonis hukuman penjara dua tahun enam bulan.
Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor: 868 K/Pid.Sus/2008 tanggal 28
Juli 2008, dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor: 8
PK/PID.SUS/2009 tanggal 16 September 2009, Syaukani divonis 6 tahun
penjara.
Syaukani Hasan Rais di jatuhi pidana penjara selama 6 tahun dan
Mendapatkan grasi dari enam tahun menjadi tiga tahun penjara. Dengan
pengurangan hukuman tersebut, Syaukani HR langsung bebas dari penjara
terhitung sejak 18 Agustus 2010. Padahal vonis yang dijatuhkan dalam masa
tahanan tertentu diharapkan menjadi efek jera bagi setiap tedakwa kasus
korupsi. Namun dengan adanya grasi, remisi, ataupun asimilasi
mementahkan efek tersebut dan berindikasi menurunkan frekuensi kerja-
14
kerja lembaga penegakan hukum negara seperti KPK dan Kepolisian dalam
menangani kasus korupsi.
Fenomena pemberian grasi pada koruptor adalah hal baru yang
tentunya sangat mengundang perhatian publik, apalagi hal itu diberikan
pada saat maraknya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh para
penyidik, baik dari Kepolisian Republik Indonesia ataupun Komisi
pemberantasan Korupsi.
Pemberian grasi pada koruptor tidak akan memberikan efek jera bagi
koruptor yang telah merugikan negara. Alasan kemanusian dan keadilan
dalam memberikan grasi dirasa tidak masuk akal, karena Masih banyak
narapidana dengan alasan kemanusiaan yang lebih pantas mendapatkan
grasi.
Pro dan kontra masalah ini akan menimbulkan kecacatan akan hukum
di negara ini. Sebagian masyarakat melihat sebelah mata tujuan pemerintah
akan pemberantasan korupsi. Tanpa mencegah, menangkal, mengeliminasi,
dan menghentikan munculnya keinginan untuk melakukan praktek-praktek
korupsi, maka institusi penegak hukum akan semakin kesulitan
menyelesaikan berbagai kasus yang akan muncul setiap saat. Celah-celah
hukum yang sudah terlewat banyak dalam tatanan penegakan hukum akan
ternoda kembali dengan pemberian remisi dan grasi kepada narapidana
koruptor yang kurang tepat.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan bahwa
masalah Grasi yang merupakan salah satu kewenangan prerogratif presiden
15
banyak menuai kontroversi, khususnya grasi yang di berikan kepada para
narapidana koruptor. Sehingga dalam penelitian dan penulisan ini, penulis
mengambil judul “PEMBERIAN GRASI OLEH PRESIDEN
TERHADAP TERPIDANA KORUPSI SYAUKANI HASAN RAIS”
(Studi Keputusan Presiden Nomor 7/G tahun 2010)”. Dengan
menekankan pada penulisan dan penelitian yuridis yang berlandaskan pada
perundang-undangan yang mengatur secara jelas tentang pemberian grasi di
indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemilihan judul di atas, maka timbul
permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
1. Apa pertimbangan Presiden Republik Indonesia dalam memberikan
grasi kepada terpidana korupsi Syaukani Hasan Rais?
2. Bagaimanakah keabsahan Keppres nomor 7/G tahun 2010 ditinjau
dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi?
C. Tujuan Penelitian
Apa dari tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pertimbangan Presiden Republik Indonesia, dalam
memberikan grasi kepada terpidana korupsi Syaukani Hasan Rais,
pada Keppres Nomor 7/G Tahun 2010.
16
2. Untuk mengetahui keabsahan pemberian grasi pada terpidana korupsi
dalam Keppres Nomor 7/G tahun 2010 ditinjau dengan peraturan
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang grasi.
D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penulisan hukum diatas, maka penulis
mengklasifikasikan manfaat dan kegunaan penelitian sebagai berikut :
1. Manfaat Penelitian
a. Bagi Penulis
Dengan adanya penulisan ini, diharapkan sebagai media
penerapan teori –teori yang diterima pada saat perkuliahan, serta
sebagai pemenuhan persyaratan akademis untuk mencapai gelar
Kesarjanaan bidang Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Malang.
b. Bagi Masyarakat/Pembaca
hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan
bagi masyarakat luas mengenai pertimbangan dalam memberikan
grasi, unsur-unsur hukum pemberian grasi yang sesuai dengan aturan
hukum. pelaksanaan penegakan hukum yang harus didasarkan pada
peraturan perundang-undangan, Baik dari sisi keadilan hukum
ataupun kepastian hukum.
17
c. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan koreksi pada
kebijakan pemerintah dalam memberikan grasi pada narapidana,
khususnya narapidana koruptor. Sehingga implementasi dari
peraturan perundang-undangan tersebut dapat efektif dan tidak
dipergunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai pembenaran
terhadap tindakan yang dapat menguntungkan narapidana yang
mendapat grasi. demi terwujudnya hukum yang adil dan
terbentuknya kepastian hukum tanpa adanya diskriminasi.
d. Bagi Kepentingan Akademis
Skripsi ini dapat ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi
yang berguna untuk menambah wawasan atau pengetahuan tentang
masalah hukum dan sosial.
2. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam bidang hukum, memberikan rekomendasi jawaban
terhadap permasalahan yang sedang di teliti dan sekaligus untuk
mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang
diperoleh khususnya dalam mengkaji pemberian grasi pada terpidana
korupsi.
18
E. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan,
dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan
menggunakan metode ilmiah.
Pentingnya dilaksanakan penelitian hukum adalah untuk
mengembangkan disiplin ilmu dan ilmu hukum sebagai salah satu tridarma
perguruan tinggi. Penelitian hukum itu bertujuan untuk membina
kemampuan dan keterampilan para mahasiswa dan para sarjana hukum
dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah, yang objektif, metodik, dan
sistematik (Hilman Hadikusuma, 1995:8).
Dalam penelitian ini, yang menjadi objek penilitian adalah Keputusan
Presiden Nomor 7/G Tahun 2010 yang di dalamnya berisi pemberian grasi
pada narapidana korupsi. Adapun metode yang digunakan adalah:
1. Metode Pendekatan
Dalam penulisan ini, jenis pendekatan yang digunakan oleh
penulis adalah pendekatan yuridis. Yaitu mengkaji permasalahan
dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang telah
dijabarkan dalam pasal-pasalnya, dengan kata lain metode penelitian
ini dimulai dari menganalisa suatu kasus untuk kemudian dicari
penyelesaianya lewat prosedur perundang-undangan.
19
2. Jenis Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. KUHP;
2. KUHAP;
3. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2002 tentang Grasi;
5. Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasan
Kehakiman
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
sumber-sumber tertulis antara lain mencakup dokumen-
dokumen resmi, buku-buku hasil penelitian, buku harian,
seminar, doktrin, yurisprudensi, azas-azas hukum, koran,
majalah, media cetak, media elektronik, dll.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
20
hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdiri dari
Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum14
.
3. Teknik Pengumpulan data
Dalam memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian
ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data
Kepustakaan. Dalam hal ini penulis menggunakan studi
kepustakaan atau libraryreseach yaitu pengkajian informasi
tertulis/buku-buku mengenai hukum yang berasal dari berbagai
sumber dan di publikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam
penelitian hukum Normatif15
serta studi Dokumentasi dimana
penulis mencari sumber-sumber informasi, baik dari internet dan
berbagai media. mendokumentasikan sebagai bukti riildalam
penyusunan penulisan Hukum ini.
4. Analisa Bahan Hukum
Teknik analisa bahan hukum yang digunakan adalah analisa
isi (content analysis), yaitu menganalisa secara mendalam
tentang isi perundang-undangan yang terkait masalah grasi yang
terdapat pada data primer yang di padukan dengan Keputusan
Presiden Nomor 7/G Tahun 2010. dilanjutkan dengan
menganalisis data yang diperoleh baik dari bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder dan membahas
14
SoerjonoSoekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press,
Jakarta, 2001, hlm.13
15
Abdul khadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya
Bakti,Bandung, 2004, hlm 81
21
permasalahannya. Dengan penganalisaan data primer dan data
sekunder secara kualitatif dari sudut pandang ilmu hukum. Data
primer dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian telah
disusun dengan teratur dan sistematis, kemudian dianalisa untuk
mendapatkan suatu kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan tugas akhir ini, penulis menyajikan dalam 4 (empat)
bab, dengan harapan mempunyai sistematika yang dapat membantu
memudahkan dan memahaminya. Tersusun secara berurutan mulai Bab I
sampai dengan Bab IV.
BAB I. Pendahuluan
Menyajikan dan menerangkan mengenai garis besar permasalahan
dari keseluruhan skripsi ini. Tujuannya agar lebih dahulu dapat mengetahui
permasalahan apa yang akan diteliti. Terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II. Tinjauan Pustaka
Pada bab ini akan disajikan tentang tinjauan umum kajian pustaka
sebagai teori yang menjadi dasar dalam pengkajian dan pembahasan pada
penelitian. Terdiri dari teori tentang tinjauan umum tentang grasi, tinjauan
22
umum tentang lembaga Kepresidenan, tinjauan umum tentang tindak
pidana, tinjauan umum tentang korupsi.
BAB III. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang
pertimbangan Presiden dalam memberikan grasi kepada terpidana korupsi
Syaukani Hasan Rais pada Keputusan Presiden Nomor 7/G tahun 2010,
serta keabsahan Keputusan Presiden Nomor 7/G tahun 2010 yang di tinjau
dari UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
BAB IV. Penutup
Bab ini merupakan bagian akhir dari penyajian hasil penelitian.
Merupakan bab yang berisi kesimpulan dari pembahasan yang telah
diuraikan pada bab sebelumnya dan berisi saran-saran yang perlu
disampaikan sebagai usaha menjawab dan mencari solusi dari masalah yang
ada.