1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan lingkungan merupakan permasalahan yang bersifat global sekaligus
aktual. Dikatakan bersifat global karena efek yang ditimbulkan akibat kerusakan
lingkungan menjadi keprihatinan bersama seluruh manusia, melampaui batas-batas wilayah
suatu daerah maupun negara. Dampak negatif pengrusakan hutan akibat penggundulan
maupun pembakaran hutan tidak hanya dirasakan secara langsung oleh masyarakat lokal
yang berada di dalam maupun sekitar kawasan hutan, melainkan dapat meluas ke skala
nasional, regional bahkan internasional. Asap beracun akibat pembakaran hutan dapat
menggagu pernapasan maupun penglihatan warga yang tinggal di kawasan maupun sekitar
hutan. Hak warga untuk mendapat udara segar, bersih dan sehat semakin sulit diperoleh.
Secara ekonomi pembakaran hutan di Indonesia mengakibatkan kerugian yang besar.
Lucca Taconi mengkalkulasi kerugian akibat pembakaran hutan :
Dampak kebakaran hutan pada tahun 1997/1998 menimbulkan degradasi dan deforestasi menelan biaya sekitar 1, 62 -2,7 Miliar dolar. Biaya akibat pencemaran kabut asap siktar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia.Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanya mencapai 2, 8 Milliar Dolar (Taconi,2003:V).
Pembakaran hutan seringkali diikuti dengan pengalihfungsian hutan menjadi ladang ataupun
lahan pertanian yang hasilnya terkadang hanya dinikmati oleh sekelompok orang tertentu.
Ketidakadilan terjadi karena masyarakat banyak yang menanggung resiko tidak memperoleh
kompensasi setelah terjadi alih fungsi lahan.
Pengrusakan hutan bukan sekedar bencana kemanusiaan, tetapi sekaligus bencana
bagi kehidupan alam semesta. Dampak negatif pengrusakan hutan tidak hanya dirasakan
oleh manusia, tetapi juga binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Merusak hutan bukan
2
sekedar menghilangkan sejumlah pepohonan, melainkan merupakan ancaman serius bagi
keselamatan ekosistem. Keanekaragaman hayati akan menyusut secara drastis bersama
dengan musnahnya pepohonan. Penyusutan keanekaragaman hayati menurut hasil penelitian
Ngakan dkk dapat membuat masyarakat adat yang hidupnya bergantung pada sumber daya
hutan menjadi semakin menderita. Studi kasus di dusun Pompli Kabupaten Luwu Utara
Sulawesi Selatan menemukan ketergantungan masyarakat terhadap hasil sumber hayati
hutan berupa berupa kayu, rotan, udang, ikan, sayuran dan obat-obatan tinggi (Ngakan, dkk,
2006:8). Pihak yang menjadi kurban akibat penyusutan keanekaragaman hanyati bukan
hanya manusia, karena keanekaragaman hayati hutan memiliki multi-fungsi bagi kelestarian
ekosistem. Hutan merupakan penyangga kelestarian ekosistem berfungsi sebagai sarana
penyedia sumber air dan kebutuhan nyata penduduk, penyedia tanaman obat, sumber
penyedia genetik, regulasi iklim, pencegah bencana alam, dan penjaga keseimbangan
ekosistem. Gangguan terhadap salah satu unsur yang terdapat dalam sebuah sistem dapat
merusak kinerja seluruh sistem yang ada. Moralitas lingkungan hendaknya tidak hanya
memikirkan dampak negatif perbuatan manusia terhadap sesama, tetapi juga bagi
keseluruhan ekosistem.
Permasalahan lingkungan juga bersifat aktual hal ini dapat dilihat dari aktivitas
pengrusakan hutan yang terjadi pada saat ini benar-benar ada, masih terus berlangsung
bahkan cenderung mengalami peningkatan secara kwantitatif maupun kwalitatif. Negara
Indonesia yang sebelumnya sangat kaya akan sumber daya alam, termasuk keanekaragaman
hayati yang terkandung di dalamnya mengalami ancaman pengrusakan hutan serius. Forest
Watch Indonesia (2000) mengatakan, hutan di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati
yang tertinggi di dunia, meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di
3
permukaan bumi namun sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Kekayaan hayati ini
meliputi 11 persen spesies tumbuhan di dunia, 10 persen spesies mamalia dan 16 persen
spesies burung di dunia. Hutan tropis merupakan ekosistem daratan terkaya di bumi ini
(Yuda, 2009:11-12). Komunitas internasional mengakui Indonesia termasuk salah satu
diantara 7 negara yang memiliki megabiodiversitas.
Kekayaan sumber daya hutan di Indonesia tidak dapat terjaga kelestariannya, karena
aktivitas pengrusakan hutan terus mengalami peningkatan hampir di seluruh propinsi.
Sejumlah laporan menyebutkan sekitar 1,6 juta sampai 2,4 juta ha hutan di Indonesia hilang
setiap tahunnya atau setara dengan luas enam kali lapangan bola setiap menitnya. Sebelum
tahun 1987, laju degradasi hutan dan lahan tercatat sebesar 900.000 ha per tahun. Pada
periode 10 tahun berikutnya, tahun 1987 sampai tahun 1997, laju degradasi hutan dan lahan
meningkat menjadi 1,6 juta ha per tahun. Pada periode tahun 1997 sampai tahun 2000, angka
ini secara drastis meningkat menjadi 3,8 juta ha per tahun (BAPLAN-JICA, 2003:1).
Penelitian yang dilakukan Forest Watch Indonesia (2009) menemukan dalam kurun waktu
60 tahun luas hutan Indonesia berkurang dari 162 juta ha menjadi hanya 88, 17 juta ha atau
mengalami penyusutan sekitar 46,3 persen.
Kecenderungan pengrusakan hutan masih terus berlangsung di Indonesia. Dinamika
laju deforestasi digambarkan sebagi berikut:
4
Kalangan pemerhati lingkungan memprediksikan dalam 5-10 tahun mendatang apabila
kondisi semacam itu berlangsung secara terus menerus maka hutan di Indonesia bakal
punah.
Sebagian masyarakat Indonesia ada yang memiliki harapan dengan pergantian orde
baru ke orde reformasi akan membawa perubahan tata kehidupan pemerintahan menuju ke
kondisi yang lebih baik. Era reformasi yang diharapkan dapat menjadi jembatan emas
menuju pemerintahan baru yang lebih berpihak terhadap kelestarian lingkungan ternyata
5
masih berjalan dengan setengah hati. Kebijakan di sektor kehutanan masih lebih banyak
berpihak pada kepentingan penguasa dan pemilik modal, dibandingkan pada kelestarian
lingkungan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Fenomena kekurang berpihakan pemerintah terhadap kelestarian hutan dan
kesejahteraan rakyat terutama kaum perempuan dapat dilihat dari produk hukum yang
dihasilkan. Kebijakan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008
yang berisi tentang jenis tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari
penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan
berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi perempuan maupun rakyat kecil yang hidupnya
bergantung pada hutan. PP No. 2 / 2008 memungkinkan perusahaan tambang semakin
leluasa mengubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang
skala besar hanya dengan membayar sewa Rp. 1, 8 juta hingga Rp. 3 juta perhektarnya. Para
pengusaha dapat menyewa hutan lindung untuk kepentingan bisnis hanya dengan
mengeluarkan uang Rp. 120 sampai 300 permeter persegi per tahun. Kebijakan pemerintah
yang semula bertujuan baik untuk menggerakan sektor bisnis, namun karena dilakukan
dengan cara menghargai rendah terhadap potensi sumber daya hutan memunculkan dampak
negatif terhadap kelestarian hutan serta merugikan perempuan. Perempuan yang tinggal
disekitar kawasan hutan akan mengalami pembatasan akses dan kontrol dalam pengelolaan
sumberdaya hutan ketika industri ekstraktif diberi peluang untuk menguasai dan
mengeksploitasi hutan. Perempuan tidak dapat lagi memungut hasil hutan seperti rotan, kayu
bahkan berbagai tanaman obat yang penting bagi keberlanjutan hidup (http//
beliti.wordpress.com/2008/03/10/ solidaritas –perempuan-desak-cabut-pp-no2-2008).
6
Perubahan kebijakan politik tanpa diikuti dengan perubahan mentalitas aparatur
ternyata tidak membawa perubahan signifikan terhadap kehidupan masyarakat maupun
lingkungan. Kebijakan otonomi daerah di era reformasi yang diharapkan dapat lebih
mensejahterakan masyarakat sampai ke wilayah terpencil dan memberi keleluasaan bagi
daerah untuk menjaga kelestarian sumber daya alam dalam implementasinya ternyata tidak
lebih baik dari sistem sentralistik, karena seringkali disalahartikan. Otonomi daerah tidak
membuat lingkungan semakin bertambah asri dan lestari melainkan justru dijadikan
kesempatan bagi para pejabat daerah berlomba-lomba mengeksploitasi sumber daya alam
untuk meningkatkan pendapatan daerah. Perubahan kebijakan ternyata tidak diikuti dengan
pengambilan langkah-langkah strategis pengembangan kesadaran moral aparatur pemerintah
yang berpihak terhadap kelesetarian lingkungan dan nasib perempuan. Otonomi daerah tidak
berjalan secara beriringan dengan peningkatan kesadaran moral masyarakat di tingkat lokal
dalam mengembangkan relasi yang harmoni dengan lingkungan dan berkomitmen adil
terhadap sesama. Pemerintah daerah seakan-akan menjadi raja-raja kecil yang merasa berhak
memanfaatkan hasil hutan di wilayahnya secara besar-besaran, sehingga kurang memikirkan
kelestarian hutan, merugikan sesama maupun nasib generasi mendatang. Di era
desentralisasi pemerintah daerah terkadang mengambil kebijakan mendongkrak Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan .
Aksi pembiaran pengrusakan hutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun
aparat daerah yang berlangsung secara sistematis dan terus menerus dapat mengakibatkan
kerugian besar bagi generasi mendatang maupun kelestarian lingkungan. Pengrusakan hutan
yang semakin marak terjadi dibeberapa daerah semakin menggerus peradaban dan
kemanusiaan sekaligus merusak jaring-jaring keutuhan ekosistem. Menurut Shiva dan
7
Warren perempuan yang tinggal di negara-negara berkembang merupakan pihak yang paling
banyak dirugikan dari adanya pengrusakan hutan sebab ketergantungan perempuan terhadap
sumber daya alam sangat kuat. Kaum perempuan semakin bertambah miskin karena
kehilangan sumber penghasilan dan penghidupannya (Warren,1996:IX –XX, Shiva ,
1997:7). Perempuan semakin sulit mengatur keuangan untuk mensejahterakan anggota
keluarga.
Shiva dan Warren berpendapat akar masalah yang menjadi penyebab krisis
lingkungan dan penindasan perempuan adalah sistem kapitalisme-patriarkhi. Kapitalisme-
patriarkhi cenderung bersikap ekploitatif terhadap alam dan kurang peduli terhadap nasib
perempuan. Kapitalisme-patriarkhi tidak hanya merusak alam tetapi sekaligus merampas
hak-hak perempuan. Kedua filsof ekofeminis tersebut mengembangkan pemikiran kritis
terhadap pola pemikiran kapitalisme-patriarkhi yang menjadi akar penyebab utama
penindasan terhadap alam dan perempuan (Shiva, 1997:52-53; Warren, 1996:21-23).
Keduanya berusaha mendekonstruksikan pemikiran kapitalisme-patriarkhi kemudian
berusaha merumuskan visi baru pengembangan etika lingkungan yang lebih berpihak pada
kelestarian lingkungan dan berkeadilan gender. Kritik terhadap sistem kapitalisme patriarkhi
dan usaha untuk merumuskan konsep keadilan gender yang berwawasan ekologis
merupakan permasalahan fundamental yang menarik untuk diteliti secara mendalam.
Shiva adalah filsuf ekofeminis yang lahir di India pada tanggal 5 November 1952,
sedangkan Warren lahir di Amerika Serikat pada tanggal 10 September 1947. Penekanan
pemikiran etika ekofeminis kedua filsof tersebut berbeda. Shiva lebih banyak memberi
analisis dari perspektif ekologi, sedangkan Warren lebih banyak memberi perhatian pada
perspektif feminis; pemikiran Shiva yang berasal dari India lebih banyak mengungkap
8
pengalaman dari sisi kurban yang menderita akibat penindasan sistem kapitalisme patriarkhi,
Warren filsof yang berasal dari Amerika lebih banyak mengkritisi terhadap kerangka
konseptual patriarkhi masyarakat Barat yang sering dituduh menjadi akar sekaligus alat
penindasan.
Visi ekologi dan perjuangan pembelaan keadilan gender yang ditawarkan Shiva dan
Warren menarik untuk diteliti, diungkap, digali, dikritisi secara lebih mendalam sisi
kelebihan maupun kekurangannya, serta diimplementasikan secara kontekstual dalam
kehidupan masyarakat desa Beji kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul. Desa Beji
menarik dijadikan studi kasus mengkontekstualisasikan pemikiran Shiva dan Warren karena
disatu sisi ada kesamaan visi disisi lain memiliki kekhasan. Figur pemimpin dan kultur
masyarakat menjadikan filosofi yang dikembangkan berbeda dengan yang lain.
Desa Beji sejak tahun 2003 -2013 dipimpin oleh seorang kepala desa berjenis
kelamin perempuan bernama Sulastri. Berkat kemampuan bekerjasama dengan warga dan
tokoh tokoh masyarakat, desa Beji pernah memperoleh berbagai penghargaan di bidang
pelestarian lingkungan. Ketrampilan mengembangkan jaring-jaring kerjasama sebagai salah
satu ciri khas pola pikir ekofeminis (Primavesi, 1991:7-14) mengantar pemangku hutan adat
Wonosadi bernama Sudiyo memperoleh 6 kali penghargaan Keanekaragaman Hayati
(Kehati Award) kategori Prakarsa Lestari, tahun 2000 mendapat penghargaan Kalpataru dan
terakhir pada tanggal 17 Agustus 2009 memperoleh penghargaan dari presiden Susilo
Bambang Yudoyono di Istana Negara (Sartini, 2009: 23). Visi kepemimpinan ekofeminis
dalam menjaga kelestarian hutan Wonosadi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat
desa Beji menarik untuk diteliti secara mendalam.
9
Warga desa Beji mampu mengembangkan relasi sinergi antara kepentingan ekonomi,
budaya dan ekologi. Budaya dijadikan landasan untuk mengembangkan relasi yang lebih
bermartabat dengan sesama maupun dengan alam. Ritual sadranan hutan Wonosadi
dilaksanakan secara rutin setiap tahun sebagai sarana perekat kohesi sosial sekaligus
mengingatkan kembali akan nilai kesucian alam. Penempatan ekspresi budaya dijadikan
strategi untuk mengetuk hati supaya warga lebih peduli terhadap sesama dan alam menarik
untuk diungkap secara lebih mendalam.
Warga desa Beji tidak mempergunakan kemiskinan sebagai alasan pembenar untuk
merusak hutan Wonosadi. Dilihat dari sisi ekonomi, tingkat penghasilan penduduk desa Beji
rata-rata masuk dalam kategori miskin karena hanya sebesar Rp 722.000,00 per bulan
(Ganasari, 2011:XV), meskipun demikian kesadaran melestarikan hutan Wonosadi sangat
tinggi. Integritas moral untuk tetap setia melestarikan hutan ditengah tuntutan kebutuhan
ekonomi yang tinggi merupakan kebiasaan hidup langka yang jarang dijumpai ditempat
lain.Asumsi para kapitalis kemiskinan merupakan faktor utama penyebab pengrusakan hutan
tidak berlaku dalam kehidupan masyarakat desa Beji. Filosofi yang melatarbelakangi
masyarakat desa Beji sehingga mampu mengendalikan diri terhadap godaan pola pikir
kapitalisme untuk mengekploitasi hutan Wonosadi demi memenuhi kepentingan ekonomi
menarik untuk diungkap secara lebih mendalam.
Ide-ide besar yang bernilai luhur terkadang dapat muncul dari proses pembelajaran
kehidupan masyarakat kecil. Masyarakat desa seringkali memiliki kearifan dalam menjaga
relasi harmoni dengan sesama maupun dengan alam yang dipertahankan secara turun
temurun. Pola pikir, cara pandang, sikap maupun perilaku masyarakat desa Beji yang arif
pada saat berelasi dengan sesama maupun dengan hutan dapat menjadi sumber pengetahuan
10
yang berharga bagi pengembangan etika lingkungan maupun kebijakan pengelolaan
lingkungan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Kerusakan lingkungan dan penindasan terhadap perempuan tidak dapat dihentikan tanpa
ada upaya untuk meninggalkan sistem kapitalisme-patriarkhi, menciptakan pola relasi
yang lebih berkeadilan serta mengembangkan etika kepedulian. Dekonstruksi terhadap
pola pikir, cara pandang maupun praktek kapitalisme-patriarkhi yang didukung oleh
pengembangan sikap moral peduli merupakan sarana untuk mewujudkan keadilan gender
dan kelestarian hutan. Bagaimana kritik Warren dan Shiva terhadap sistem kapitalisme-
patriarkhi, pengembangan pola relasi yang lebih berkeadilan, serta konsep etika
kepedulian yang ditawarkan untuk mengatasi krisis lingkungan ?
2. Prinsip-prinsip etis apa saja yang perlu dikembangkan oleh Shiva, Warren, maupun
masyarakat desa Beji dalam upaya membangun relasi antara manusia dengan sesama
maupun dengan alam supaya dapat mewujudkan keadilan gender dan kelestarian hutan?
3. Apakah kelemahan dan kelebihan pemikiran ekofeminis Shiva, Warren, maupun
masyarakat desa Beji dalam memandang relasi antara manusia dengan sesama maupun
dengan alam?
4. Seberapa jauh pemikiran etika ekofemenis Shiva, Warren maupun masyarakat desa Beji
dapat mengembangan visi baru bagi pengembangan etika lingkungan di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mengeksplisitkan, mensistematisasikan , dan merumuskan secara lebih jelas
komprehensif kritik Shiva dan Warren terhadap sistem kapitalisme patriarkhi,
pengembangan konsep keadilan maupun etika kepedulian.
11
b. Mengevaluasi secara kritis kekuatan dan kelemahan pandangan etika ekofeminis Shiva,
Warren maupun masyarakat desa Beji.
c. Mengimplementasikan dan mengkontekstualisasikan pemikiran etika kepedulian,
konsep keadilan dan kritik Shiva dan Warren terhadap sistem kapitalisme patriarkhi
dengan kondisi yang terjadi di masyarakat desa Beji kecamatan Ngawen kabupaten
Gunung Kidul dalam melestarikan hutan Wonosadi
d. Hasil analisis komparatif pandangan ekofeminis Shiva dan Warren setelah
diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat desa Beji diharapkan dapat
menemukan visi, inspirasi dan interpretasi baru bagi pengembangan etika ekofeminisme
di Indonesia.
2. Manfaat Hasil Penelitian
a. Pemikiran di bidang etika lingkungan yang berkembang di masyarakat selama ini lebih
banyak dipengaruhi oleh pemikiran etika hasil konstruksi rasional laki-laki. Cara
pandang perempuan dalam menyelesaikan persoalan etika diharapkan dapat memberi
manfaat untuk memperkaya sekaligus mengimbangi dominasi cara pandang etika hasil
konstruksi pemikiran laki-laki.
b. Pemahaman yang lebih jelas terhadap permasalahan ekofeminisme ditambah wawasan
luas tentang prinsip-prinsip etis relasi antara manusia dengan lingkungannya dari
perpektif pemikiran ekofeminis Shiva dan Warren bermanfaat untuk mengembangkan
sekaligus memperkaya pengetahuan di bidang etika lingkungan. Shiva dan Warren
banyak membahas permasalahan etika yang terjadi di masyarakat. Berbagai persoalan
moral aktual yang berdampak negatif terhadap nasib perempuan dan alam dianalisis
secara kritis, rasional dan mendalam sampai menemukan akar permasalahan. Etika
12
sebagai ilmu kritis menjadi semakin mampu berpartisipasi aktif memberikan
pertimbangan terhadap masalah hidup dan kehidupan yang lebih manusiawi.
c. Manfaat bagi kepentingan masyarakat, melalui pemahaman yang benar tentang relasi
antara manusia dengan lingkungan diharapkan dapat menggugah kesadaran moral
masyarakat sehingga dapat berperilaku secara benar sesuai dengan pengetahuan yang
dimiliki dan memiliki rasa hormat terhadap alam maupun sesama.
d. Manfaat bagi kepentingan negara, kesepakatan-kesepakatan etis yang ditawarkan
oleh Shiva dan Warren dapat membantu memberikan sumber bahan dan sumber nilai
bagi pemerintah pada saat hendak merumuskan berbagai kebijakan di bidang
lingkungan yang lebih berwawasan ekologis dan berkeadilan gender. Pertimbangan
etis yang ditawarkan pemikiran ekofeminis diharapkan dapat menjadi rambu-rambu
penyusunan suatu kebijakan yang lebih manusiawi.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian ini mempunyai keaslian dalam artian sepanjang pengamatan peneliti
belum ada penelitian kefilsafatan yang secara khusus berusaha merekonstruksikan pemikiran
etika ekofeminis Shiva dan Warren secara mendalam kemudian diimplementasikan dalam
pengembangan etika lingkungan di Indonesia dengan mengambil studi kasus masyarakat
desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul. Kajian pemikiran Ekofeminisme
terkait dengan pemikiran Warren maupun Shiva sudah terselib dalam beberapa pustaka
sebagai berikut:
Tabel 1. Penelitian ekofeminis terdahulu
Penulis Judul Media Publikasi Hasil temuan
Ahmad Sururi (2007) Ekofeminisme &
Lingkungan Hidup
Skripsi Sarjana
Fakultas Ushuludin
Kajian Pemikiran
Vandana Shiva yang
13
dalam Pandangan
Vandana Shiva
UIN Sunan Kalijaga masih bersifat umum,
sehingga masih perlu
didalami lagi
Cahaya Khaeron
(2009)
Konsep Ekofeminisme
Vandana Shiva dan
Implikasinya pada
Pengembangan
Paradigma Pendidikan
Agama Islam Inklusif
Skripsi Sarjana
Fakultas Tarbiyah UIN
Sunan Kalijaga
Kajian transformasi
kesadaran ekofeminis
me Shiva kedalam
pendidikan agama
Islam
Rosemarie Putnam
Tong (2006)
Ekofeminisme Buku Feminist
Thought Pengantar
Paling Komprehensif
Kepada Arus Utama
Pemikiran Feminis
Gagasan Pemikiran
Shiva & Warren masih
bersifat umum, perlu
didalami lagi
Charlene Spretnak
(2003)
Sumbangan Kritis dan
Kontruktif Eko-
Feminisme
Buku Agama, Filsafat
& Lingkungan
Penjelasan tetang
ekofeminisme masih
bersifat umum,
sehingga masih perlu
didalami lagi
Keraf (2006) Ekofeminisme Buku Etika
Lingkungan
Uraian Umum tentang
teori Ekofeminisme
Rita Lestari (2009) Citra Wanita dalam
Karya Sastra :
Tinjauan kritik sastra
ekofeminis terhadap
kumpulan cerpen
Jiwaku Adalah Wanita
karya Azimah Rahayu
Tesis S2 Ilmu Satra
UGM
Teori Ekofeminis
digunakan untuk
landasan menganalisis
karya sastra cerpen
Ahmad Sururi (2010) Pemikiran Ekofeminis
Dalam Perspektif
Etika Lingkungan:
Relevansinya Bagi
Pelestarian
Tesis S2 Ilmu Filsafat
UGM
Inventarisasi &
pemetaan beberapa
pemikiran ekofeminis,
pemikiran Warren dan
Shiva masih perlu
14
Lingkungan Di
Indonesia
didalami
Para ilmuwan maupun filsof sudah berusaha membahas pemikiran ekofeminisme,
namun uraian khusus membahas dimensi etis relasi antara manusia dengan sesama dan
dengan hutan dari perspektif pemikiran ekofeminis Shiva dan Warren masih sangat singkat
dan lebih banyak memberi pemahaman bersifat umum. Kritiknya terhadap sistem
kapitalisme-patriarkhi serta pengembangan konsep keadilan gender yang berwawasan
ekologis masih perlu diteliti secara lebih rinci, mendalam dan holistik supaya dapat
menyentuh dimensi integralitas, radikalitas dan komprehensivitas.
Penelitian yang membahas kearifan lokal masyarakat desa Beji dalam melestarikan
hutan Wonosadi sudah pernah dilakukan oleh beberapa ilmuwan maupun filsof sebagai
berikut :
Tebel 2. Penelitian hutan Wonosadi terdahulu
Nama/th Judul Metode Temuan
Sumintarsih
(2005)
Kearifan Tradisional
Masyarakat Pedesaan
Dalam Pemeliharaan
Lingkungan Alam
Kabupaten Gunung Kidul
DIY
Penelitian lapangan
dengan cara
melakukan observasi
partisipatif
Hasil kajian
deskriptif
antropologi tentang
kearifan lokal
masyarakat desa Beji
Bernadus
Wibowo
suliantoro
dan Caritas
Woro (2006)
Kajian ekofeminisme
tentang Sosial Forestry di
kabupaten Gunung Kidul
Kombinasi penelitian
pustaka dan lapangan
dengan menggunakan
Analisis Juristik-Etis
Hasil kajian
pemberdayaan
perempuan dengan
adanya kebijakan
social forestry
Bernadus
Wibowo
Potensi Kearifan Lokal
Masyarakat Adat Desa Beji
Kombinasi penelitian
pustaka dan lapangan
Hasil kajian hukum
adat tentang kearifan
15
suliantoro
dan Caritas
Woro (2008)
Kecamatan Ngawen
Gunung Kidul Dalam
Melestarikan Hutan Adat
Wonosadi
dengan menggunakan
metode Survei
lokal masyarakat
desa Beji
Sartini
(2009)
Kearifan Ekologis Sebagai
Implementasi Pandangan
Organistik Holistik (Studi
kasus Masyarakat hutan
Adat Wonosadi Ngawen
Gunung Kidul
Kombinasi penelitian
pustaka dan lapangan
dengan menggunakan
analisis hermenutika
Hasil kajian filsafat
lingkungan fokus
pada filsafat
organisme
Whitehead
Bernadus
Wibowo
Suliantoro
(2010)
Konsep Ekofeminisme
dalam Tradisi Budaya Jawa
Sebagai dasar Pengelolaan
Hutan Lestari
Riset partisipatoris di
desa Beji
Hasil Kajian
Pendahuluan konsep
ekofeminisme
Umum
Agus
Sudaryanto,
Hisyam
Makmuri
(2010)
Model Pengelolaan Hutan
Wonosadi Desa Beji
Kecamatan Ngawen
Kabupaten Gunung Kidul
Kombinasi penelitian
pustaka dan lapangan
dengan menggunakan
Analisis yuridis-
empiris
Hasil kajian berupa
model pengelolaan
hutan Wonosadi dari
sisi hukum adat
Ahsan
Nurhadi
(2011)
Kearifan Lingkungan
Dalam Perencanaan dan
Pengelolaan Hutan
Wonosadi di Desa Beji
Kecamatan Ngawen,
Kabupaten Gunung Kidul
Wawancara mendalam
dan observasi partisipa
tif
Hasil Kajian
sosiologis latar
belakang historis
munculnya
kesadaran
melastraikan hutan
Wonosadi.
Dian Octatry
Ganasari
(2011)
Kajian Pelestarian Hutan
Wonosadi dengan Pendekat
an Analytical Hierarcy
Process
metode analisis
kebijakan Analytical
Hierarchy Process
(AHP)
Hasil kajian ilmu
kehutanan tentang
pembagian tugas
dalam hal pelestarian
hutan secara
16
bertingkat antara
masyarakat,
pemerintah dan dinas
kehutanan
Al Ajiiz
(2012)
Peran Serta Masyarakat
Terhadap Konservasi
Sumber Daya Alam Hutan
Adat Wonosadi Di Dusun
Duren Kecamatan Ngawen
Kabupaten Gunung Kidul
Metode Survei Hasil kajian peran
serta masyarakat
yang bersifat umum
tanpa analisis
ekofeminis
Dwi Herniti
(2012)
Analisis Sekuestrasi
Karbondioksida (CO 2)
Dengan Pendekatan
Biomassa Di Hutan
Wonosadi Desa Beji
Kecamatan Ngawen
Kabupaten Gunung Kidul
plot bersarang (Nested
Plot)/ Releve Methode
Hutan Wonosadi
membantu
pemerintah
mengurangi dampak
pencemaran
lingkungan dan
pemanasan global
akibat dari adanya
karbondiosida (CO
2)
Penelitian terdahulu belum ada yang menggunakan kerangka pemikiran tokoh
ekofeminis Shiva maupun Warren secara mendalam untuk mengungkap kearifan lokal
masyarakat desa Beji dalam melestarikan hutan Wonosadi, sehingga kajian etika lingkungan
masih diperlukan .
E. Tinjauan Pustaka
Terminologi ekofeminisme pertama kali dilontarkan pada tahun 1974 oleh filsuf
feminis yang berasal dari perancis bernama Francois d’ Eaubonne dalam bukunya yang
berjudul Le Feminisme ou La Mort. Melalui bukunya ini, Francoise d’ Eaubonne
17
menggugah kesadaran manusia, khususnya kaum perempuan, akan potensi perempuan untuk
melakukan sebuah revolusi ekologis menyelamatkan lingkungan hidup (Keraf, 2006:124).
Ekofeminisme merupakan gerakan feminis yang melakukan protes terhadap segala bentuk
aktivitas yang merusak lingkungan. Ekofeminisme menurut Shiva merupakan gerakan yang
diidentifikasikan dengan kaum perempuan yang memiliki tugas khusus yang harus dilakukan
dalam masa-masa menyakitkan akibat kerusakan alam (Shiva dan Mies, 2005:15).
Pemahaman tentang tugas khusus perempuan untuk memulihkan dan melestarikan
lingkungan menjadi perdebatan kefilsafatan. Kedekatan perempuan dengan tindakan
pelestarian alam memunculkan persepsi hanya perempuan yang memimiliki tugas
melestarikan alam. Permasalahan menarik untuk didalami lebih lanjut adalah tentang
relasi antara manusia dengan alam. Ynestra King memiliki pandangan dari perpektif
ekofeminisme terdapat pemikiran yang berusaha memisahkan relasi eklusif antara
perempuan dengan alam (hutan), ada yang berusaha menegaskan kembali pentingnya
hubungan antara perempuan dengan alam, adapula yang memanfaatkan sebagian posisi
strategis perempuan untuk menciptakan jenis kebudayaan dan politik yang berbeda (Tong,
2006:368).
Tong memasukkan pemikiran Warren dalam aliran yang mendukung penghilangan
penekanan hubungan alam dengan perempuan; Shiva lebih banyak menekankan kehidupan
perempuan yang lebih dekat dengan alam dapat menjadi alternatif model untuk melestarikan
lingkungan (Tong, 2006:384-392). Pemaparan Tong masih bersifat umum, perlu dikritisi
dan diperdalam lebih lebih lanjut dasar-dasar filosofis yang melatar belakangi pemikirannya.
Melekatkan kedekatan perempuan dengan alam sebagai bawaan kodrati perempuan dapat
disalah gunakan untuk ”menyajung” sekaligus ”menindas” perempuan (Arivia, 2006:382).
18
Shiva dan Warren hendak mengembangkan sistem etika yang memiliki visi
antropologi berkeadilan gender serta berkepeduli besar terhadap kelestarian lingkungan.
Pemikiran etika lingkungannya lebih dari sekedar teori dan gerakan etika mendobrak etika
antroposentrisme yang mengutamakan manusia dari pada alam, melainkan sekaligus
melawan model pendekatan androsentrisme yaitu teori etika yang berpusat pada laki-laki.
Dominasi laki-laki terhadap alam dan perempuan dipandang sebagai penyebab utama
terjadinya krisis ekologi. Dominasi menjadi awal mula terjadinya tindak ekploitasi. Krisis
ekologi sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang dan perilaku androsentris yang
berparadigma mengutamakan dominasi, manipulasi dan eksploitasi terhadap alam.
Pemahaman secara mendalam terhadap kerangka konseptual yang melatarbelakangi cara
pandang androsentrisme diperlukan untuk mengungkap akar permasalah krisis lingkungan.
Warren memiliki pandangan tentang kerangka konseptual androsentrisme yang
menindas memiliki tiga ciri utama :a) berpikir tentang “nilai-secara-hirarkhi” yang
menempatkan nilai dan status yang lebih tinggi pada pihak yang dianggap lebih tinggi; b)
dualisme nilai yang melakukan penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki-laki
dilawankan dengan perempuan, manusia dilawankan dengan alam) dengan cara memberi
nilai lebih tinggi terhadap pihak satu sambil merendahkan pihak lain; c) logika dominasi
yaitu struktur dan cara berpikir cenderung membenarkan dominasi dan subordinasi ( Keraf,
2006:130).
Tiga ciri utama tersebut di atas diperparah dengan penggunaan bahasa sehari-hari
yang menyimbolkan perempuan diidentikan dengan binatang ataupun unsur-unsur alam.
Bahasa terkadang dijadikan instrumen untuk membenarkan dan melanggengkan dominasi
penindasan. Pendekatan androsentrisme cenderung merugikan perempuan dan merusak
19
lingkungan karena perempuan telah ”dinaturalisasi” (natural = alamiah) dan alam telah
”difeminisasi”. Menurut pandangan Warren perempuan ”dinaturalisasi” ketika mereka
disimbolkan dengan menggunakan acuan binatang, misalnya : ”ayam”, ”sapi”, ”ular”.
Demikian pula alam ”difeminisasi” ketika ”ia menjadi objek” yang diperkosa, dikuasai,
ditaklukkan ,dikendalikan, dipenetrasi, dikalahkan, dieksploitasi oleh laki-laki. Laki-laki
adalah tuan dari alam maka seluruh isi alam berada didalam kendalinya (Tong, 2006:360).
Pandangan Keraf dan Tong terkait dengan kerangka konseptual sistem kapitalisme
patriarkhi yang dapat mengakibatkan terjadinya penindasan terhadap alam dan perempuan
perlu diungkap secara lebih mendalam asumsi-asumsi yang mendasar dan dasar argumentasi
rasionalistasnya.Kapitalisme-patriarkhi dapat bertahan lama karena didukung oleh
argumentasi ilmiah dan logika pembenaran yang masuk akal (Warren, 2000:48-51;
Shiva,1997: 20, 30-38). Penelitian ini hendak menunjukkan ketidakmemadaian sistem
kapitalisme-patriarkhi pada saat hendak dijadikan parameter bagi pengembangan etika
sosial maupun etika lingkungan.
Warren dan Shiva berusaha mengkritisi fenomena kerusakan lingkungan disebabkan
oleh dominasi perebutan dan penyebaran kekuasaan yang tidak seimbang. Perebutan
dominasi kekuasaan berlangsung disegala aspek kehidupan manusia baik itu lingkup
kehidupan keluarga, masyarakat, dijalan maupun di negara. Ketidakadilan terjadi dalam
ranah keluarga, masyarakat, maupun negara karena perbedaan selalu ditafsirkan dan
dimaknai berdasarkan pola pikir kelompok dominan yang berkuasa ( Connell, 1987:119-
134). Logika dominasi kekuasaan dapat menimbulkan kerusakan alam dan kerugian besar
bagi perempuan. Pemikiran ekofeminisme berusaha menggugah kesadaran manusia untuk
20
melakukan revolusi ekologis guna menyelamatkan lingkungan dan mewujudkan keadilan
sosial berkesataraan gender.
Perjuangan mewujudkan lingkungan lestari serta tata kehidupan yang lebih adil tidak
mudah, karena paradigma androsentrisme mengakar dan mendapat legitimasi dalam suatu
kebudayaan. Para filsof kebudayaan berusaha mencari akar penyebab munculnya persepsi
yang menilai rendah terhadap derajar perempuan menemukan jawaban yang paling masuk
akal yang menyangkut kealamian (nature) perempuan. Alasan yang mendasari argumentasi
tersebut berasal dari anggapan bahwa setiap kebudayaan mengenali dan membuat perbedaan
antara lingkungan kemasyarakatan (human society) dan dunia alami (natural world).
Kebudayaan (culture) berusaha untuk mengontrol dan mengalahkan alam (nature) untuk
tujuannya sendiri. Untuk itu , kebudayaan dianggap superior terhadap dunia alami.
Dialektika antara dunia alami dengan dunia kebudayaan berlangsung dalam situasi
perebuatan dominasi, sehingga terjadi proses subordinasi yang berakhir dengan ketidak
adilan gender.
Kait mengkait antara alam dengan budaya, seringkali dipakai untuk menerangkan
hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan seringkali diasosiasikan secara
simbolik dengan alam sementara laki-laki dengan budaya. Karena budaya mencoba untuk
mengontrol dan mengalahkan alam, maka merupakan hal yang “alami” bagi perempuan yang
mempunyai ikatan kuat dengan alam , untuk dikontrol laki-laki. Secara garis besar, pendapat
tersebut diperjelas melalui dua argumentasi. Pertama, psikologi perempuan dan fungsi
reproduktif yang dimilikinya menempatkannya lebih dekat dengan alam. Sedangkan laki-
laki, harus mencari wacana budaya untuk berkreasi. Laki-laki lebih diasosiasikan secara
langsung dengan budaya dan kekuatan kreasi budaya. Dengan kata lain perempuan berkreasi
21
secara alami melalui dirinya sendiri, sedangkan laki-laki berkreasi melalui saluran dan alat
budaya yang ada. Kedua, fungsi sosial perempuan dilihat lebih dekat kepada alam karena
keterlibatan mereka pada fungsi reproduksi telah membatasi gerak mereka untuk terlibat atau
berpartisipasi pada beberapa fungsi sosial yang dekat dengan alam seperti memasak,
mengasuh anak dan lain-lain (domestic domain). Berbeda dengan laki-laki yang aktif dalam
public domain dilingkungan sosial mereka.Laki-laki untuk itu diidentikan dengan
masyarakat dan interest publik (Moeljarto,1997:372-373).
Pembahasan yang dilakukan oleh Sonny Keraf, Rose Marie Tong, Brooks, Connel
maupun Moeljarto memberikan gambaran umum tentang budaya patriarkhi dapat menyebar
ke berbagai aspek kehidupan yang pada akhirnya merugikan nasib perempuan dan alam.
Pembahasan terkait dengan budaya kapitalisme-patriarkhi secara lebih mendalam dan
menyeluruh masih diperlukan untuk mengembangkan landasan etika ekofeminis yang
kokoh. Penelitian ini akan mendalami lebih lanjut dengan memfokuskan pada upaya untuk
mendekontruksikan budaya kapitalisme-patriarkhi yang merupakan akar dari penyebab krisis
lingkungan maupun ketidakadilan gender dari perspektif pemikiran tokoh ekofeminisme
Shiva dan Warren.
Widiantoro dalam karya ilmiah yang berjudul “Reaksi Kaum Feminis Ketika Bumi
Luka Parah ” menjelaskan ekofeminisme mengkritik model pendekatan androsentrisme
yang cenderung merusak lingkungan dan menawarkan paradigma holisme, saling
ketergantungan dan kesederajatan (egalitarian) ( Widiantoro,1990: 33-34). Pembahasan
yang dilakukan oleh Widiantoro belum mengkaji secara lebih mendalam seandainya terjadi
konflik kepentingan antara manusia untuk memanfaatkan alam dengan upaya untuk
melestarikannya. Dilema moral antara kepentingan manusia dengan usaha menjaga
22
kelestaraian lingkungan sering terjadi dalam kehidupan. Manusia agar dapat bertahan hidup
melakukan aktivitas dengan memanfaatkan segala sesuatu yang tersedia di alam, disisi yang
lain alam memiliki hak untuk diperlakukan secara baik. Penyelesaian secara bijaksana dalam
menghadapi dilema moral tersebut perlu diungkap secara lebih mendalam dari pemikiran
ekofeminis Shiva, Warren, dan kearifan lokal masyarakat desa Beji. Selain itu penelitian ini
berusaha mencari visi baru prinsip etis khas yang dipromosikan oleh tokoh ekofeminis
Shiva , Warren maupun kehidupan masyarakat desa Beji dalam melestarikan hutan
Wonosadi.
Perjuangan moral untuk melestarikan lingkungan yang dilakukan oleh eko-
feminisme sesungguhnya sudah dipraktekkan oleh masyarakat adat di berbagai penjuru
dunia termasuk pada masyarakat desa Beji yang tinggal di sekitar hutan. Etika lingkungan
secara implisit telah menjadi bagian dari kebudayaan asli masyarakat yang diwariskan secara
turun temurun. Penelitian yang telah dilakukan oleh Murdiati dan Suliantoro tentang
“Potensi Kearifan Lokal Masyarakat Adat Desa Beji Kecamatan Ngawen Gunung Kidul
Dalam Melestarikan Hutan Adat Wonosadi” (2008) yang memfokuskan kajian hukum adat
maupun penelitian Sumintarsih tentang “Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan
Dalam Pemeliharaan Lingkungan Alam Kabupaten Gunung Kidul DIY” (2005) yang
memfokuskan kajian antropologi memberikan gambaran tentang berbagai kearifan lokal
yang terdapat dalam kesenian Rinding Gumbeng, Reog maupun upacara tradisional
Sadranan dan Bersih Desa memberi kontribusi bagi kelestarian lingkungan. Pesan moral-
sosial yang ada dibalik aktivitas kultural tersebut dipaparkan secara empirik, namun
demikian aspek etika terutama yang berperspektif ekofeminisme dalam kaitannya dengan
upaya melestarikan hutan masih perlu dianalisis secara lebih rinci, sistematis dan mendalam
23
Kajian etika berusaha mengambil sikap kritis terhadap berbagai tradisi yang hidup di
masyarakat. Tradisi bukanlah obyek yang mati, yang sekali tercipta berlaku selamanya.
Tradisi harus selalu direnungkan kembali, disesuaikan dengan tuntutan perkembangan
jaman. Masyarakat sebagai ahli waris kebudayaan harus selalu berani mengadakan
perubahan-perubahan terhadap tradisi, membenahi satu atau beberapa bagian yang dirasa
tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat dewasa ini (Mardimin,1994:13). Tradisi yang
konstruktif dan berkeadilan perlu dipertahankan, sebaliknya yang bersifat destruktif dan
diskriminatif harus ditinggalkan.
Perjuangan mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat maupun lingkungan
merupakan prioritas utama yang menjadi agenda mendesak oleh para filsof ekofeminis.
Kajian etika hendaknya tidak hanya berhenti pada pemaparan peraturan-peraturan ataupun
petuah-petuah kaku yang dianggap baik oleh masyarakat, diwariskan secara turun temurun
dari generasi ke generasi dengan menggunakan logika deduktif; melainkan juga harus
mengambil sikap kritis guna membongkar selubung ideologis yang berpotensi merugikan
kepentingan perempuan maupun lingkungan. Etika hendaknya terlibat secara aktif
membantu memecahkan persoalan konkrit di masyarakat dengan cara memberikan berbagai
alternatif pilihan yang lebih berorientasi pada nilai kemanusiaan (Peursen, 1976:193).
Kebijakan negara kadang ada yang berpihak pada kelompok kapitalis kadang adapula
yang berpihak pada kelestarian ekologis. Negara dalam merumuskan kebijakan maupun
membuat aturan hukum kadang tidak responsif gender sehingga merugikan kepentingan
perempuan dan alam (Kinnon, 1987:135). Kebijakan pengelolaan hutan oleh negara yang
cenderung bersifat sentralistik menurut pandangan Shiva dapat terjebak pada budaya
patriarkhi yang memarginalisasikan alam dan peran perempuan. Bangsa Indonesia dapat
24
belajar dari pemikiran Shiva, Warren dan kearifan lokal masyarakat desa Beji kebijakan
pengelolaan hutan yang mengesampingkan prinsip feminim dapat berdampak negatif
merugikan alam dan perempuan. Rekonstruksi pemikiran etika ekofeminis Shiva, Warren
dan pemikiran masyarakat desa Beji perlu dilakukan untuk dapat dijadikan sumber bahan
dan sumber nilai bagi pengambilan kebijakan supaya lebih berkeadilan gender dan peduli
terhadap kelestarian lingkungan.
F. Landasan Teori
Dalam disertasi ini, peneliti memandang permasalahan hutan sebagai persoalan
moral. Hutan merupakan sumber daya alam yang keberadaanya dibutuhkan oleh berbagai
makhluk, oleh karena itu perlu dikelola secara lebih manusiawi supaya hasilnya
memberikan manfaat bagi sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya makhluk yang
tinggal didalam maupun diluar hutan. Banyak makhluk yang menggantungkan hidup pada
hutan sehingga kepentingannya perlu mendapat perhatian. Ketegangan pada saat berelasi
seringkali terjadi ketika tuntutan kepentinganya dijadikan prioritas utama yang harus
diakomodasi, didahulukan dan dipenuhi. Kepentingan manusia terkadang berbenturan
dengan kepentingan non-manusia, kepentingan laki-laki berbenturan dengan kepentingan
perempuan, kepentingan ekonomi berbenturan dengan kepentingan ekologi yang
kesemuanya seringkali tidak dapat secara mudah didamaikan. Proses pengambilan
keputusan seringkali tidak dapat diambil secara cepat dan tepat, karena setiap alternatif
pilihan yang tersedia membawa konsekuensi negatif bagi aspek lain. Pemutlakan
pemenuhan kepentingan tertuju pada satu aspek atau makhluk tertentu berpotensi
memunculkan rasa ketidakadilan terhadap yang lain. Dibutuhkan landasan teori etika yang
komprehensif untuk memecahkan dilema moral dalam pengelolaan dan pemanfaatan
25
sumberdaya hutan agar keputusan yang diambil memberikan rasa keadilan pada semua
pihak.
Pendekatan etika secara komprehensif pada hakikatnya menyoroti empat segi
perilaku moral yaitu si pelaku, perbuatan, situasi dan kondisi, dan konsekuensi (Bertens,
2003:65). Pembahasan dari sisi si pelaku menggunakan landasan teori etika keutamaan,
pembahasan tentang perbuatan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban menggunakan
landasan teori deontologi, pembahasan tentang situasi dan kondisi menggunakan analisis
studi kasus berlandaskan teori etika interaksi, dan pembahasan konsekuensi dari perbuatan
manusia menggunakan landasan teori etika teleologis yang berkeadilan pada semua pihak.
Landasan teori etika keutamaan, deontologi, interaksi dan teleologi diperdalam lebih lanjut
dengan menggunakan analisis kajian gender.
Landasan teori etika keutamaan dipergunakan dengan pertimbangan kerusakan hutan
lebih banyak disebabkan oleh sikap manusia yang seringkali mengabaikan keutamaan hidup
sebagai manusia. Keutamaan moral merupakan orientasi dasar manusia dalam membangun
relasi yang harmoni dengan sesama maupun dengan lingkungan. Manusia sebagai pelaku
moral (subjek moral) mampu menyadari, merasakan dan melakukan perbuatan yang
dipandang baik secara moral. Tuntutan moral agar bersikap dan bertindak adil hanya dapat
ditujukan pada manusia, karena hanya manusialah satu-satunya makhluk yang memiliki
kekuatan kejiwaan berupa akal,rasa dan karsa. Kekuatan kejiwaan yang dimiliki manusia
mampu dipergunakan sebagai instrumen untuk mentransendensikan perbuatan kearah yang
lebih bermakna sehingga tindakannya tidak sekedar diperbudak oleh dorongan instingtual
semata. Manusia sebagai makhluk moral dapat semakin meluhurkan diri, sesama dan
lingkungannya. Semakin manusia membuka diri berbuat adil terhadap lingkungan sekitar
26
nilai keluhurannya semakin terpancar, sebaliknya semakin berbuat semena-mena semakin
kelihatan hina. Etika lingkungan ekofeminisme berusaha menggugah kesadaran manusia
untuk bersikap adil terhadap semua makhluk dalam memecahkan berbagai dilema moral
yang terjadi di masyarakat.
Masyarakat dalam memecahkan persoalan moral membutuhkan sistem nilai untuk
dijadikan pedoman normatif. Teori etika keutamaan bermanfaat untuk mengungkap
keutamaan-keutamaan moral yang harus diperhatikan dan dijunjung tinggi pada saat
menghadapi persoalan lingkungan yang semakin kompleks. Keutamaan moral bukan diukur
dari kedudukan, jabatan, kekayaan maupun status sosial tetapi dari keluhuran tindakan
manusia sebagai pribadi. Keutamaan merupakan sifat karakter luhur yang ditampilkan oleh
seseorang maupun sekelompok masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (Rachels,
2004:311).
Teori etika keutamaan dipergunakan untuk mengungkap prinsip-prinsip etis
pandangan Shiva, Warren maupun cara pandang masyarakat desa Beji dalam membangun
relasi dengan sesama manusia maupun dengan hutan. Prinsip-prinsip etis yang hendak
diungkap tidak sekedar menurunkan secara deduktif ajaran moral yang berlaku umum,
melainkan digali dari kearifan lokal masyarakat maupun hasil perenungan mendalam kedua
filsof tersebut. Pada saat merekonstruksi prinsip-prinsip etika lingkungan porsi nilai-nilai
feminimitas lebih banyak digali, diungkap, dan dipromosikan. Prinsip-prinsip etis yang
ditemukan menjadi pedoman umum, rambu-rambu , petunjuk arah sekaligus instrumen
untuk mengevaluasi maupun membuat rencana kegiatan dalam mengembangkan relasi
dengan sesama maupun dengan hutan supaya bernilai baik secara moral. Prinsip etis yang
diekplorasi merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai yang diyakini dan dijunjujung tinggi
27
masyarakat desa Beji maupun pemikiran kedua filsof ekofeminis yang dipercayai dapat
mengantar kearah kehidupan lebih baik.
Teori etika deontologi dipergunakan untuk membahas tentang kewajiban dan
tanggungjawab yang dikeluarkan oleh institusi maupun kebiasaan yang diwariskan secara
turun temurun . Peraturan tentang kewajiban dan tanggung jawab tidak diterima secara pasif
sebagai produk jadi yang bersifat final, tetapi perlu direfleksikan secara mendalam. Sistem
nilai, norma maupun produk kebijakan dievaluasi menggunakan parameter keadilan gender
berdasarkan indikator kesetaraan akses, partisipasi, kontrol dan perolehan manfaat antara
laki-laki dengan perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Berbagai kebijakan
maupun praktek kehidupan masyarakat yang diterima secara turun temurun perlu dicermati
dan dikritisi karena terkadang substansinya bersifat bias gender dan kurang berpihak pada
kelestarian lingkungan.
Etika ekofeminis banyak membahas persoalan praxis yang terjadi di masyarakat.
Teori etika interaksi relevan dipergunakan sebagai landasan pada saat mempertimbangkan
situasi dan kondisi pada saat perbuatan moral dijalankan. Penilaian moral akan lebih
bijaksana apabila menyimak circumstances perbuatan, artinya situasi dan kondisi khusus
yang mewarnai suatu perbuatan dipertimbangkan. Circumstances merupakan istilah berasal
dari bahasa latin circumtantiae yang artinya faktor-faktor spesifik yang menandai suatu
situasi tertentu. Perbedaan latar belakang situasi dan kondisi dapat mengakibatkan bobot
baik-buruk suatu perbuatan ditambahkan atau sebaliknya dikurangi (Bertens, 2003:30-35).
Penerapan parameter kesetaraan dan keadilan gender perlu memperhatikan permasalahan
secara kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan penghitungan matematis yang
kemudian diuniversalkan (Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2003:38).
28
Pertimbangan kontekstual diperlukan pada saat melakukan analisis kasus moral
yang terjadi di masyarakat desa Beji. Pendekatan etika menggunakan model analisis studi
kasus dapat memperkaya pengembangan bidang etika terapan. Kajian etika menggunakan
model studi kasus bermanfaat untuk menjembatani kesenjangan sekaligus membangun
dialog antara teori moral dengan praktek supaya tidak jatuh pada pandangan moral ekstrim
yaitu teori relativisme moral atau absolutisme moral (Bertens, 2003:35). Kearifan lokal
yang dihidupi oleh masyarakat desa Beji dalam melastarikan hutan Wonosadi perlu
diungkap serta didialogkan dengan pemikiran teoritis Shiva maupun Warren. Konstruksi
etika ekofeminis yang dikembangkan Shiva maupun Warren pada hakikatnya merupakan
hasil abstraksi dari pemikiran kedua tokoh tersebut pada saat memecahkan persoalan konkrit
yang terjadi dilingkungannya, sehingga perlu dikontekstualkan dengan sistuasi dan kondisi
aktual dan faktual yang ada di masyarakat desa Beji. Kasus-kasus moral yang terjadi di
masyarakat merupakan peristiwa yang bersifat khusus, konkrit dan spesifik sehingga perlu
didialogkan dengan pandangan teoritis pemikiran para filsof.
Dialog antara teori dengan praktek moral dapat memperkaya wawasan bagi kedua
belah pihak. Konstruksi teoritis pemikiran filsof semakin kokoh dengan adanya bukti
praktek moral yang dihidupi masyarakat, dan kearifan lokal menjadi semakin sistematis
sehingga memudahkan masyarakat mencari arah dalam menghadapi persoalan hidup yang
semakin kompleks karena mendapat pencerahan dari pemikiran para filsof. Studi kasus
membuat etika semakin berkembang secara dinamis. Kajian etika tidak hanya berhenti pada
kegiatan menganalisis kumpulan peraturan, sistem nilai, sistem norma yang bersifat abstrak,
teoritis, kaku, beku dan permanen diperpustakaan; melainkan secara kritis terlibat secara
aktif membantu memecahkan persoalan konkrit yang ada di masyarakat. Etika tidak lagi
29
memberi isyarat-isyarat umum seperti tukang pidato, melainkan langsung melibatkan diri
dalam peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan konkrit (Peursen, 1985:193).Gagasan etika
lingkungan ekofeminisme diharapkan dapat membantu menerobos jalan buntu yang
dirasakan oleh para ilmuwan maupun praktisi lingkungan, dengan cara menawarkan
alternatif-alternatif pilihan yang lebih berorientasi pada penghormatan nilai-nilai
kemanusiaan seutuhnya dan kelestarian lingkungan seluruhnya.
Etika merupakan studi tentang tingkah laku manusia yang dilakukan secara sadar
dilihat dari sisi baik-buruk. Setiap aktivitas tingkah laku manusia pasti akan menghasilkan
konsekuensi. Teori etika teleologis yang berkepedulian tinggi terhadap nilai-nilai keadilan
bagi semua pihak dipergunakan sebagai landasan teori pada saat membahasan konsekuensi
moral dari aktivitas perilaku manusia. Teori etika teleologi dibangun atas asumsi manusia
merupakan makhluk bermoral sehingga memiliki kesadaran dan kemampuan mengarahkan
hati, pikiran dan tindakan pada sasaran tertentu yang lebih bermutu. Pikir, kehendak dan
tindakan tidak dibiarkan berkelana liar tanpa arah, melainkan tertuju pada sasaran tertentu
yang lebih bermakna. Manusia sebagai makhluk bermoral menyadari perbuatan yang
dijalankan dapat menimbukan dampak positip maupun negatif terhadap dirinya sendiri
maupun pihak lain, oleh sebab itu senantiasa perlu mempertimbangkan secara rasional,
dilandasi hati nurani yang jernih, serta sedapat mungkin diarahkan untuk kebaikan dan
kesejahteraan semua mahkluk. Konsekuensi dari suatu perbuatan menjadi salah satu
parameter moralitas tindakan manusia, maka perlu dipertimbangkan secara menyeluruh.
Perbuatan yang pada hasil akhirnya menimbukan kenikmatan, kebahagian dan kesejahteraan
bagi sebanyak-banyak makhluk dikategorikan sebagai perbuatan yang baik secara moral,
sebaliknya perbuatan yang membawa konsekuensi memunculkan penderitaan, kesusahan
30
dan kerugian terhadap banyak makhluk dikategorikan sebagai perbuatan yang kurang atau
tidak bermoral.
Teori etika teleologis yang berkepedulian pada semua pihak cakupannya lebih luas
dibandingkan dengan pandangan Jeremy Bentham. Jeremy Bentham mengembangkan teori
etika teleologi dengan menggunakan prinsip utilitas. Parameter kebaikan moral dapat dilihat
dari hasil akhirnya memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan sebanyak
banyaknya bagi subjek moral (The greatest happiness of the greatest number). Kelemahan
mendasar teori utilitarian Bentham terkadang untuk mewujudkan kebahagiaan yang
sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya bagi semua pihak dapat dilakukan dengan
mengorbankan atau mengesampingkan hak-hak dari sebagian kecil makhluk yang ada.
Nilai-nilai manusia sebagai person maupun makhluk non-manusia terkadang dapat diabaikan
demi mewujudkan tujuan akhir berupa kebaikan dan kebahagian banyak pihak.
Kelemahan landasan teori etika teleologi yang mendasarkan pada prinsip utilitas
dilengkapi dengan teori etika deontologi Immanuel Kant yang membahas tentang nilai
intrinsik. Kant memandang manusia merupakan makhluk yang bernilai pada dirinya sendiri,
sehingga tidak dapat dilenyapkan, dipersaldokan atau sekedar dijadikan instrument bagi
yang lain. Perempuan maupun laki-laki merupakan makhluk yang bernilai bagi dirinya
sendiri sehingga tidak dapat hanya digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan yang
lain. Gagasan nilai intrinsik Kant dielaborasi dan diperluas jangkauannya kesemua makhluk
oleh tokoh ekologi dalam (deep ecology) Arne Naess. Arne Naes memiliki pandangan
manusia maupun semua makhluk yang ada di bumi memiliki nilai bagi dirinya sendiri,
terlepas memiliki kegunaan atau tidak bagi kehidupan manusia (Keraf, 2006:84).
31
Gagasan penghormatan terhadap nilai intrinsik masih diperdalam lagi dengan
menggunakan pendekatan gender. Kritik ekofeminis terhadap “ekologi dalam” bersifat buta
gender. Laki-laki dan perempuan memang sama- sama memiliki nilai intrinsik, tetapi
mereka memiliki konstruksi tubuh, kebutuhan stretegis, tugas, dan fungsi berbeda sehingga
memperlakukan secara sama dapat berakhir dengan ketidakadilan. Menyamaratakan
perlakuan ke semua makhluk merupakan gagasan utopis. Adil tidak selalu harus diwujudkan
dalam bentuk memperlakukan secara sama ke semua makhluk. Teori keadilan distributif
berlaku prinsip memperlakukan secara sama untuk hal yang sama dan memperlakukan
secara tidak sama untuk hal yang berbeda. Ketidakadilan terjadi pada saat hal yang sama
diperlakukan secara tidak sama atau hal yang tidak sama diperlakukan secara sama.
Kerusakan lingkungan seringkali membawa konsekuensi penderitaan berbeda antara
laki-laki dengan perempuan, sehingga langkah menyamaratakan begitu saja dapat
mendegradasikan prinsip keadilan. Ekofeminisme transformatif berusaha melakukan kajian
secara lebih ekplisit konsekuensi negatif yang dirasakan perempuan maupun alam karena
praktek penindasan yang dilakukan oleh sistem patriarkhi sudah berlangsung lama,
dilakukan secara masif dan kurang mendapat porsi perhatian serius pada saat melakukan
proses identifikasi dalam mengungkap permasalah dibidang etika di era modern. Suara
pihak yang menjadi kurban ketidakadilan lebih banyak didengar dibandingkan dengan
mereka yang diuntungkan oleh kebijakan.
Ekofeminisme transformatif berusaha menggali, mengindentifikasi, mendengarkan,
memahami persoalan etis yang dirasakan oleh kaum perempuan yang hidup dalam dimensi
ruang dan waktu tertentu. Perspektif feminis digunakan sebagai instrumen untuk
melakukan perubahan terhadap struktur penindasan yang menimpa perempuan dan alam
32
menuju terwujudnya keadilan sosial dan ekologis. Ekofeminisme transformatif berusaha
membongkar berbagai selubung ketidakadilan yang berdampak fisik, psikis maupun kutural
merugikan alam maupun perempuan. Berbagai ketidakadilan gender baik merupakan produk
personal maupun kebijakan struktural dicoba untuk digugat eksistensinya. Transformasi
yang diharapkan tidak hanya menyangkut aspek mentalitas personal tetapi juga struktur
kebijakan yang diberlakukan dalam penyelenggaraan negara.
Transformasi pada hakikatnya merupakan proses perubahan yang terarah dan
terencana. Perubahan sosial tanpa dilandasi dengan norma-norma yang kuat akan menuju ke
arah nihilisme yaitu perubahan demi perubahan yang tidak jelas arah dan tujuannya. Proses
transformasi sosial diarahkan untuk menuju tata kelola masyarakat yang lebih adil dan
lebih mensejahterakan bagi kehidupan manusia maupun kehidupan alam semesta. Perubahan
sosial diarahkan untuk mempertinggi peradaban manusia dengan indikasi manusia semakin
berperikemanusiaan dan semakin peduli terhadap sesamanya (Sosrodihardjo, 1986:80-81).
Arah akhir yang hendak dituju oleh gerakan maupun pemikiran ekofeminisme transformatif
adalah mewujudkan keadilan gender sekaligus peduli terhadap kelestarian lingkungan.
Konsep keadilan gender pada waktu menganalisis visi ekofeminis masyarakat desa
Beji lebih banyak menggunakan pemikiran Shiva dan Warren tidak mempergunakan
parameter kesetaraan dan keadilan gender seperti yang termuat dalam Inpres No. 9 Tahun
2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional berdasarkan
pertimbangan komprehensivitas. Konsep kesetaraan menurut Inpres No. 9 Tahun 2000
diartikan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan
dan hak sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,
ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati
33
hasil pembangunan tersebut. Keadilan gender menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 diartikan
sebagai proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Konsep keadilan
gender yang ditawarkan oleh Shiva dan Warren lebih komprehensif karena tidak semata-
mata menekankan pada prinsip persamaan tetapi juga prinsip pembedaan, tidak hanya
mempertimbangkan kepentingan generasi sekarang tetapi juga generasi masa lampau
maupun masa mendatang, tidak hanya mempertimbangkan dimensi rasionalitas tetapi juga
mempertimbangkan perasaan para kurban ketidakadilan.
34
Secara skematis perpaduan landasan teori dapat digambarkan sebagai berikut:
G. Metode Penelitian
1.Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara memadukan antara penelitian kepustakaan
dengan penelitian lapangan. Objek material penelitian adalah pemikiran filosofis dari
Shiva, Warren serta masyarakat desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul
tentang pengelola maupun pemanfaatan hutan yang berkeadilan gender dan berwawasan
ekologis. Sudut pandang (objek formal) yang dipergunakan untuk melakukan penelitian
melihat dari sisi etika ekofeminis.
Etika keutamaan
Etika Deontologi
Etika Teleologi
Etika Interaksi
Etika
Ekofeminis
Ettka
Ekofeminis
Etika
Ekofeminis Ekofeminisme
Etika
Mengidentifikasi , menginventarisasi & membebaskan penindasan alam & perempuan
35
2. Sumber data
a. Data kepustakaan
a.1. Data kepustakaan primer.
Data kepustakaan primer yang diteliti berupa hasil pemikiran Shiva yang sudah
terbukukan adalah sebagai berikut:
Vandana Shiva, 1988, Staying Allive Women, Ecology and Survival in India,
KALI FOR WOMEN N 84 Panchila Park, New Delhi.
Vandana Shiva dan J. Bandyopadhyay, 1993, “Penilaian Teknologi Oleh Rakyat
Riset” dalam buku Riset Partisipatoris Riset Pembebasan,
Gramedia kerjasama dengan Yayasan Kartika Sarana, Jakarta.
Vandana Shiva, 1994, Bioteknologi dan Lingkungan dalam Perspektif Hubungan
Utara-Selatan, PT. Gramedia Pustaka Utama Bekerjasama dengan
KONPHALINDO, Jakarta.
Vandana Shiva 1997, Bebas dari Pembangunan Perempuan , Ekologi dan
Perjuangan Hidup di India, Yayasan Obor bekerjasama dengan
KONPHALINDO, Jakarta.
Vandana Shiva dan Maria Mies, 2005, Ecofeminisme: Perspektif Gerakan
Perempaun dan Lingkungan , IRE Press, Yogyakarta.
Vandana Shiva, 2005; Earth Democracy; Justice, Sustainability, and Peace,
South End Press,
Data kepustakaan primer hasil pemikiran Warren yang termuat dalam buku:
Karen J. Warren, 1994, Toward An Ecofeminist Peace Politics , dalam buku
Ecological Feminism, Diedit Karen J. Warren, New York:
Routledge,
Karen J. Warren, 1996, The Power And The Promise Of Ecological Feminism,
dalam buku Ecological Feminist Philosophies, diedit Karen J.
Warren, Indiana University Press, Amerika.
36
Karen J. Warren, 2000, Ecofeminist Philosophy, A Western Perspective on What It
Is and Why It Matters, Rowman & Little field Publisher. Inc.
Lanham, Boulder, New York, Oxford.
Sumber data primer tersebut dicermati, diteliti dan dianalisis secara mendalam
terutama yang memiliki keterkaitan dengan bidang etika lingkungan dan persoalan
gender.
a.2. Data sekunder penelitian kepustakaan
Data kepustakaan sekunder berupa literatur filsafat moral, filsafat hukum,
kebudayaan maupun kajian gender yang ada kaitan dengan topik penelitian
b.Data lapangan
Penelitian lapangan dilakukan dengan cara mengamati secara konsisten dan
mendalam terhadap fenomena budaya aktivitas masyarakat dusun Duren pada saat
berelasi dengan lingkungan fisik maupun dengan lingkungan sosial. Proses
pengamatan dilakukan dengan cara melihat sekaligus terlibat dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari masyarakat dusun Duren. Peneliti juga melakukan wawancara
secara mendalam ke pemangku adat Sadiyo dan Kusno, Kepala desa Sularti (2003-
2013) , Sekretaris PKK dusun Duren Sri hartini, Ketua PKK dusun Duren Ngatini,
LSM “Satu Nama” FF. Sri Purwani devisi People Environment Program (PEP)
tentang prinsip-prinsip etis dalam mengembangkan relasi yang harmoni dengan
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, berusaha mengungkap berbagai potensi
konflik yang berdampak merusak kelestarian hutan dan merugikan kepentingan
masyarakat terutama kaum perempuan. Ethos masyarakat dusun Duren yang
berhubungan dengan upaya pelestarian hutan Wonosadi terkait dengan peran gender
diungkap secara mendalam.
37
Data yang dikumpulkan bukan sekedar data sosiologis, psikologis, maupun
antropologis; melainkan berusaha mengungkap pandangan hidup yang mendasari
kehidupan masyarakat desa Beji dalam melestarikan hutan Wonosadi. Pandangan etis
yang paling hakiki dan mendasar tentang kehidupan masyarakat dalam
mengembangkan relasi dengan sesama, hutan maupun Tuhan diteliti secara mendalam.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menelusuri sumber literatur primer
maupun sekunder dari buku-buku, journal, internet yang terkait dengan topik disertasi.
Lokasi pustaka yang dikunjungi Filsafat UGM, PSW UGM, Seminari Tinggi Kentungan,
STF Driyarkara dan Universitas Indonesia. Pertimbangan lokasi tersebut dipilih karena
kajian literatur filsafat dan feminisme lengkap dan mendalam.
Lokasi penelitian lapangan dipusatkan di desa Beji Kecamatan Ngawen Gunung
Kidul. Kegiatan penelitian lebih banyak dipusatkan di Dusun Duren dengan
pertimbangan:
1. Dusun Duren merupakan wilayah yang paling dekat dengan hutan Wonosadi
sehingga dampak positif maupun negatif yang muncul dengan adanya hutan
mereka yang paling banyak merasakan. Aspirasi masyarakat yang berpotensi paling
banyak dirugikan akibat kerusakan hutan menarik untuk diungkap secara lebih
mendalam.
2. Secara formal kepala desa Beji mempercayakan pengelolaan dan pelestaraian hutan
Wonosadi pada warga desa Duren sehingga memiliki tanggungjawab moral yang
lebih besar untuk dapat terus melestarikan hutan Wonosadi.
38
3. Warga dusun Duren memiliki kecerdasan tinggi mengelola potensi konflik antara
ekonomi dengan ekologi pada saat memanfaatkan sumber daya hutan kedalam
sistem yang adil dan mensejahterakan kepentingan berbagai pihak. Kearifan lokal
mengelola konflik kedalam sistem yang mensejahtarakan menarik untuk diteliti
secara mendalam.
4. Masyarakat dusun Duren sebagian besar kaum laki-laki pergi merantau bekerja
keluar daerah, sehingga ketergantungan perempuan terhadap alam untuk dapat
bertahan hidup sangat kuat. Hal ini menarik menjadi fokus dalam penentuan lokasi
dengan mempertimbangkan ditengah himpitan ekonomi yang berat perempuan
disekitar hutan Wonosadi masih memiliki komitmen tinggi untuk melestarikan
Hutan.
Lokasi penelitian lapangan di dusun duren bukan merupakan tempat yang asing
bagi peneliti. Peneliti pernah melakukan riset pendahuluan tentang kehidupan masyarakat
desa Beji dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan yaitu: “Kajian ekofeminisme
tentang Social Forestry di kabupaten Gunung Kidul (2006), “Potensi Kearifan Lokal
Masyarakat Adat Desa Beji Kecamatan Ngawen Gunung Kidul Dalam Melestarikan
Hutan Adat Wonosadi” (2008), “Konsep Ekofeminisme dalam Tradisi Budaya Jawa
Sebagai dasar Pengelolaan Hutan Lestari” (2010). Kegiatan riset terdahulu masih
bersifat sangat umum perlu pendalaman lebih lanjut namun sangat membatu pada saat
melakukan pencarian data lapangan untuk keperluan disertasi, karena peneliti memiliki
wawasan awal tentang kehidupan masyarakat dan antara peneliti dengan warga desa
sudah sedikit saling kenal.
39
4. Langkah-langkah Penelitian
Tahap pertama melakukan penelitian kepustakaan tentang konsep etika ekofeminis
yang dikemukakan oleh Shiva dan Warren. Teknik pengumpulan data penelitian
kepustakaan dilakukan dengan melakukan studi dokumen terkait dengan pemikiran etika
lingkungan yang berperspektif gender dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Peneliti
mengumpulkan buku-buku maupun karya tulis utama dari kedua tokoh untuk kemudian
dilakukan pengkajian secara mendalam. Hasil penelitian dari ilmuwan maupun filsof
terdahulu tentang pemikiran Shiva dan Warren diinventarisasi, divalidasi dan dikritisi.
Selain itu juga dikumpulkan buku-buku, jurnal, ensiklopedia, laporan penelitian, data
internet atau sumber literature lain yang terkait dengan topik yang diteliti dijadikan
sumber data sekunder. Data yang berhasil terkumpul kemudian disistematisasikan.
Sumber data penelitian kepustakaan dipergunakan untuk membangun kerangka pikir dan
membantu mempertajam analisis pada saat mengadakan penelitian lapangan supaya lebih
terfokus dan mendalam.
Setelah selesai melakukan penelitian kepustakaan dilanjutkan dengan melakukan
penelitian lapangan. Peneliti lapangan tidak sekedar mengkonfirmasi maupun
mengimplementasikan pemikiran Shiva dan Warren dengan praktek yang terjadi di desa
Beji tetapi, sekaligus berusaha menemukan kekhasan visi ekofeminis yang
dikembangkan masyarakat. Data lapangan dikumpulkan dengan cara melakukan
observasi partisipatif (participant observation) dalam bentuk kegiatan live in mulai
tanggal 10 Agustus 2010 - 27 Agustus 2010 dan 5 -7 Mei 2014. Peneliti berusaha
memahami seluruh aktivitas kehidupan masyarakat dusun Duren khususnya yang
berkaitan dengan tema penelitian. Peneliti tinggal bersama dengan masyarakat,
40
melakukan pengamatan secara mendalam serta melakukan wawancara mendalam ke para
informan.
Subyek penelitian dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan keluasan dan
kedalaman pengetahuan yang dimiliki terkait dengan hutan Wonosadi serta kedekatan
lokasi tempat tinggal dengan keberadaan hutan Wonosadi. Informan yang memiliki
pengetahuan luas dan mendalam diwawancari untuk melengkapi sekaligus mempertajam
hasil pengamatan terhadap kehidupan masyarakat. Pertimbangan warga yang tinggal
berdekatan dengan hutan Wonosadi dijadikan informan kunci karena mereka merupakan
pihak yang paling banyak merasakan secara langsung akibat positip maupun negatif dari
keberadaan hutan Wonosadi. Tokoh-tokoh masyarakat adat, Kepala desa, pengurus PKK,
petugas Jagawana, LSM ”Satu Nama” yang pernah melakukan pendampingan masyarakat
di desa Beji juga diwawancarai secara mendalam supaya data yang diperoleh bersifat
komprehensif.
Wawancara dilakukan dengan memakai jenis wawancara tak terstruktur dan
wawancara menggunakan petunjuk umum wawancara (Moleong, 1989: 151 –152).
Wawancara tak terstruktur dipilih supaya peneliti dapat lebih leluasa menjelajahi,
mengekplorasi, mendiskripsikan dan menginterpretasikan berbagai aspek dari
permasalahan yang diungkap. Fokus wawancara ditujukan untuk mengungkap cara
pandang masyarakat desa Beji terhadap sesama (laki-laki terhadap perempuan ataupun
sebaliknya) maupun terhadap alam, mengungkap cara pandang masyarakat desa Beji
pada wakatu memaknai konsep keadilan dan kepedulian dalam berelasi dengan sesama
maupun dengan alam, mengungkap visi masyarakat desa Beji dalam upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup sekaligus tetap menjaga kelestarian lingkungan,
41
mempelajari kasus kasus yang terjadi di masyarakat desa Beji terutama yang berkaitan
dengan pengelolaan hutan Wonosadi yang terkait dengan persoalan gender beserta
dengan strategi dalam menyelesaikan persoalan, mengungkap prinsip-prinsip etis yang
dijadikan pegangan oleh masyarakat desa pada saat berelasi dengan sesama maupun
dengan alam. Proses wawancara dilakukan dengan cara berdialog dengan para informan
dalam suasana yang rilek. Suasana nyaman dan saling percaya dibangun supaya
informan dapat leluasa menyampaikan pengalaman, perasaan maupun pengetahuan yang
dimiliki.
Pada saat mengumpulkan data lapangan juga dikumpulkan berbagai laporan tertulis
/ dokumen berupa data monografi desa, kesepakatan bersama warga desa dalam
pengelolaan hutan, CD upacara adat sadranan, buku, artikel, peraturan perundang-
undangan, dan berbagai penelitian ilmiah sebelumnya yang relevan dengan topik
penelitian. Data temuan penelitian lapangan dan kepustakaan disusun dalam kerangka
pemikiran dan penulisan yang logis dan sistematis.
5. Analisis Hasil
Langkah-langkah dalam menganalisis data: pertama, reduksi data yaitu data yang
diperoleh dirangkum, dipilih dan difokuskan pada hal-hal yang pokok; dicari substansi
dan pola-polanya; diseleksi dan direduksi esensi makna serta difokuskan yang terkait
dengan topik penelitian. Kedua , klasifikasi data yaitu mengelompokan data berdasarkan
ciri khas objek formal peneltian. Ketiga, display data yaitu mengorganisir data tersebut
dalam suatu peta sesuai dengan objek formal dan tujuan peneliti. Keempat, melakukan
penafsiran atau interpretasi terhadap sumber data yang ada(Kaelan, 2005:69-70).
42
Analisis data mempergunakan pendekatan kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan
dengan cara menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis,
logis, komprehensif dan rinci sesuai dengan pokok bahasan yang ditentukan sehingga
memudahkan pada saat melakukan interpretasi dan mengambil kesimpulan.
Unsur-unsur metode filsafat yang digunakan untuk menganalisis data kepustakaan
pemikiran filosofis Shiva dan Warren:
1. Deskripsi
Peneliti berusaha memaparkan dan menguaraikan keseluruhan pemikiran etika
lingkungan dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan dari Shiva
maupun Warren secara teratur.
2. Interpretasi
Pemikiran Etika lingkungan ekofeminis Shiva dan Warren diselami dan ditafsirkan
secara tepat untuk menemukan arti dan nuansanya yang khas.
3. Komparasi
Membandingkan pandangan etika Lingkungan Shiva dengan Warren tentang relasi
antara manusia dengan sesama maupun dengan alam baik dari sisi kesamaan
maupun perbedaannya.
4. Holistika
Pemikiran etika lingkungan Shiva dengan Warren dilihat dalam keseluruhan visinya
mengenai hubungan manusia dengan sesama, hutan maupun dengan Tuhan nya
(kepercayaannya terhadap yang transendental) ( Bakker dan Zubair, 1990:63-65).
Hasil analisis filosofis pemikiran Shiva dan Warren diimplementasikan dan
dikontekstualisasikan dalam kerangka pengembangan etika lingkungan di Indonesia
43
dengan mengambil studi kasus pengelolaan hutan Wonosadi di desa Beji Kecamatan
Ngawen kabupaten Gunung Kidul. Unsur –unsur metode filsafat yang dipergunakan
untuk menganalisis data lapangan adalah:
1. Hermeneutika
Metode hermeneutika dilakukan dengan cara menafsirkan kedalam konsepsi filosofis
yang paling dalam tentang dimensi etis yang mewarnai kehidupan Warga desa Beji
dalam pengelolaan hutan Wonosadi. Semua unsur aktivitas budaya masyarakat
dilihat dalam rangka keseluruhan sistem filsafat yang menyangkut hubungan antara
manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan hutan maupun dengan
Tuhannya. Cakrawala pengamatan yang total dan lengkap ini akan memberikan
makna yang difinitif tetang konsep etika lingkungan ekofeminis warga desa Beji
dalam pengelolaan hutan.
Cara kerja metode hermeneutika menggunakan model hermeneutika Ricoeur
yang berawal dari pemaknaan simbol-simbol yang bersifat literal. Bertolak dari
pemaknaan simbol literal kemudian dilanjutkan dengan refleksi – fenomenologis
dengan cara melihat secara kritis dan mendasar tentang fenomena filsafat hidup
masyarakat pemiliki simbol.
Berikut ini bagan yang menggambarkan langkah-langkah metode
hermenutika (Kaelan, 2005:84) :
Peneliti Gejala -GejalaFenomena Sosial budaya
Simbol-Simbol
44
2. Heuristika
Metode heuristika digunakan untuk menelaah keseluruhan data dari sudut arti dan
makna yang ada dibalik praktek hidup masyarakat desa Beji pada saat menjalin
relasi sesama manusia maupun dengan hutan; kemudian direfleksikan dalam
kerangka pemikiran dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dari perspektif
ekofeminisme. Melalui refleksi metodis kefilsafatan ini diharapkan dapat
menemukan visi baru tentang konsep pengelolaan hutan yang lestari ( Baker,
Zubair, 1990:94 –96).
H. Sistematika Penulisan
Bab I : merupakan bagian pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang,
perumusan masalah, manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori, metode penelitian, dan sistemaka penulisan .
Interpretasi
Pemaknaan Makna Literal
Pemaknaan Simbol Pada Tahap Refleksi Fenomenologis
Pemaknaan Simbol Pada Tahap Eksistensial
45
Bab II : mambahas pandangan etika ekofeminis Shiva dimulai dengan
mendeskripsikan riwayat hidup, karya-karya ilmiah, corak pemikiran ekofeminis,
kritik terhadap kapitalisme patriarkhi, konsep hubungan antara alam dengan
perempuan, konsep etika kepedulian, arah rekonstruksi pemikiran ekofeminis
menuju keadilan sosial berwawasan ekologis, dan prinsip-prinsip etis etika
ekofeminisnya.
Bab III. membahas tentang pandangan etika ekofeminis Warren dimulai dengan
mengungkap riwayat hidup dan karya-karyanya, corak pemikiran, kritik terhadap
kerangka kerja konseptual patriarkhi, konsep etika kepedulian yang sensitif, konsep
keadilan sosial inklusif, hubungan antara perempuan dengan alam dan prinsip-
prinsip etis etika ekofeminisnya.
Bab IV. Mengkomparasikan antara pandangan etika ekofeminis Shiva dengan J.
Warren dimulai dengan memaparkan kesamaan dan perbedaan, kelebihan dan
kekurangan, dan kontribusi pemikiran yang dihasilkan bagi pengembangan etika
lingkungan di Indonesia .
Bab V. Pemikiran Shiva dan Warren dipergunakan untuk menganalisis dan
merumuskan visi ekofeminisme masyarakat desa Beji dalam melestarikan hutan
Wonosadi. Diawali dengan pemaparan profil kondisi lingkungan sosial dan
lingkungan fisik desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul meliputi
kondisi lingkungan sosial, ekonomi, budaya, demografi , geografis desa Beji beserta
sejarah hutan Wonosadi untuk digunakan sebagai data awal melakukan kegiatan
refleksi kefilsafatan. Kegiatan refleksi kefilsafatan dilakukan dalam bentuk
mengungkap visi ekofeminis masyarakat desa Beji pada saat melakukan gerakan
46
menghutankan kembali Wonosadi, kearifan perempuan perempuan desa Beji dalam
pengelolaan hutan, konflik dalam pemanfaatan sumber daya hutan Wonosadi,
mengungkap prinsip hormat terhadap kehidupan sebagai fondasi pengembangan etika
ekofeminis masyarakat desa Beji, Ekofeminis spiritual sebagai penopang kelestarian
hutan Wonosadi, visi ekofeminis yang terdapat dibalik pengembangan tata ruang,
visi keadilan ekologis masyarakat desa Beji, prinsip-prinsip etis dalam
pengembangan hutan Wonosadi. Refleksi filsosofis diakhiri dengan melakukan
evaluasi kritis dan konstruktif terhadap kelemahan, kelebihan, serta proyeksi
kedepan arah pengembangan etika ekofeminis warga desa Beji.
Bab VI Penutup berisikan kesimpulan dan saran.