1
BAB I
PENDAHULUAN
Domai T.
1.1 Tujuan dari mempelajari Kepemimpinan adalah :
a. Memperluas cakrawala serta membantu meningkatkan kemampuan anda
sebagai seorang pemimpin
b. Mengusahakan peningkatan sikap dan kepribadian kita serta
meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan
c. Mengusahakan para pemimpin yang juga merupakan panutan yang
berkemampuan memimpin, membina organisasi serta mengembangkan
tugasnya, berdasarkan prinsip-prinsip organisasi dan manajemen yang
efisien dan rasional.
Penulis pikir kita mempunyai kebutuhan pribadi yang langsung dengan
kepemimpinan. Kita, mungkin menduduki jabatan yang kita cari, yang
membutuhkan kepemimpinan. Kita mungkin seorang pemimpin yang
berpengalaman atau kita mungkin baru memasuki tahap permulaan dalam cara-
cara pengelolaan dan berharap untuk menjadi seorang pemimpin. Dalam hal ini
kita mempunyai hubungan dengan kepemimpinan.
Bagaimana cara memajukan daya kepemimpinan yang kita miliki ?
• Kita perlu merangsang ketidak sadaran kita tentang kepemimpinan
dengan segala aspek-aspeknya.
• Kita perlu mempelajari pengertian tentang prinsip-prinsip syarat, sifat-
sifat atau fungsi-fungsi kepemimpinan
• Kita perlu mengembangkan keahlian untuk memberikan fungsi-fungsi
yang penting.
1.2 Cara-Cara Mempelajari
Kita tidak dapat mempelajari hal-hal kepemimpinan, jika kita tidak
membuat usaha-usaha yang disengaja untuk menghubungkan point-point
tersebut dengan pengalaman hidup kita yang nyata.
Seperti kita ketahui bahwa orang belajar dengan suatu hubungan timbal
balik dari :
2
Proses itu terus berlangsung menurut kebalikannya. Pengetahuan dan
pengalaman praktek yang kita miliki pasti diperlukan untuk menunjang suatu
cara yang kritis dalam mencetuskan ide-ide.
1.3 Masalah Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan merupakan problem yang tidak pernah habis-
habisnya. Hal ini disebabkan :
a. Pemimpin perlu dalam setiap kerjasama
b. Seorang pemimpin selalu mengalami siklus lahir - tumbuh - berkembang -
mencapai puncak - menurun - hilang dan diganti dengan yang lain
c. Dalam mengelola organisasi baik publik/ pemerintah, bisnis maupun
sosial diperlukan para eksekutif (manajer) yang profesional yang
mempunyai jiwa kepemimpinan.
1.3.1. Istilah Kepemimpinan
Kepemimpinan :
Kemampuan untuk mempengaruhi, penggerakkan dan mengarahkan suatu
tindakan pada diri seorang atau kelompok orang, untuk mencapai tujuan
tertentu pada situasi tertentu.
Manajemen :
Kemampuan menggerakkan dan mengarahkan untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan dengan menggunakan tenaga orang lain.
Kepemimpinan Executive :
Adalah kemampuan seorang executive untuk mempengaruhi, menggerakkan
dan mengarahkan seorang atau sekelompok orang pada suatu organisasi
dalam upaya pendayagunaan sumber daya manusia, sumber daya material,
Prinsip-Prinsip
atau Teori
Prinsip-Prinsip Contoh dari
orang ketiga
Pengalaman
Anda
Pengalaman
atau Praktek
Dan
3
teknologi maupun finansial demi tercapainya tujuan organisasi secara
efektif.
Kepemimpinan Manajer :
Adalah kemampuan seorang manajer menggerakkan, mengarahkan seorang
atau sekelompok orang pada suatu organisasi dalam upaya pendayagunaan
sumber daya manusia, sumber daya material, teknologi maupun finansial
demi tercapainya tujuan organisasi secara efisien dan efektif.
Kepemimpinan Sosial :
Adalah kemampuan seorang tokoh masyarakat mempengaruhi orang atau
sekelompok orang yang ada disekitarnya melalui keteladanannya sehingga
orang-orang mau mengikutinya.
Disamping itu kita kenal pula istilah :
• Pemimpin (leader) :
Ia mempunyai jiwa kepemimpinan, bukan hanya didapatkan pada
seseorang seperti kepala (ketua) akan tetapi melihat pada orangnya,
meskipun ia tidak diangkat sebagai pemimpin.
• Kepala (head) :
Ialah pemimpin yang diangkat secara resmi oleh atasan, biasanya dengan
surat keputusan
• Ketua (chairman) :
Hampir sama dengan kepala kadang-kadang sudah disertai pengangkatan
resmi oleh atasan.
• Manajer :
Adalah kemampuan menggerakkan orang lain melalui planning,
organizing actuating dan controlling (POAC).
4
1.3.2 Perbedaan Kepemimpinan dan Manajemen
Kepemimpinan Manajemen
1. Mengarah pada kemampuan
individu
1. Mengarah pada sistem dan
mekanisme kerja
2. Merupakan kwalitas hubungan 2. Merupakan fungsi, status,
wewenang
3. Menggantungkan diri pada
sumber yang ada pada dirinya
3. Pengarahan daya dan dana untuk
mencapai tujuan
4. Diarahkan untuk mewujudkan
keinginan si pemimpin
4. Diarahkan untuk mencapai tujuan
5. Bersifat hubungan personal 5. Bersifat impersonal
Pemimpin Manajer
1. Diangkat oleh pengikut 1. Diangkat oleh kekuasaan
2. Mengandalkan kewibawaan 2. Mengandalkan kekuasaan
3. Bertindak sebagai pencetus ide 3. Bertindak sebagai pengusaha
4. Bertanggung jawab pada anak
buah
4. Bertanggung jawab pada atasan
5. Bagian dari pengikut 5. Bagian dari orang
1.3.3. Hubungan Manajemen dan Kepemimpinan
1. Agar organisasi berhasil dengan baik diperlukan manajemen
2. Manajemen dalam mencapai tujuan harus melewati proses kegiatan
mempengaruhi orang lain yang disebut kepemimpinan
3. Seorang pemimpin belum tentu seorang manager
4. Seorang manager dapat berperilaku seorang pemimpin
5. Seorang pemimpin mempunyai arti yang lebih luas dari manager
1.3.4. Fungsi Pemimpin
1. Sebagai pengambil keputusan
2. Memotivasi anak buah
3. Sumber inspirasi
4. Menciptakan keadilan
5
5. Memberi sugesti
6. Katalisator
7. Sebagai wakil organisasi
8. Menyelesaikan konflik
1.3.5. Fungsi Manager
1. Sebagai figur head
2. Sebagai pemimpin
3. Information role
4. Pembuat keputusan
5. Sebagai negotisator
6. Sebagai pelaksana pencapaian tujuan
Sumber : Hasil Kajian LPTP FIA-UB dalam Domai T. Kepemimpinan. FIA-UB.
• Domai, T. (2010). Kepemimpinan : Petunjuk Mutakhir untuk Mengembangkan
Kemampuan dalam Memimpin. Buku Ajar FIA-UB. Malang.
• Adair John (1987). Effective Leadership. Penerbit Bahasa Prize. Semarang.
• Herbert N. Casson (1986). Bagaimana Seharusnya Jadi Pemimpin. Alih Bahasa
Ibrahim Anang. Penerbit PT. Al-Maarif. Bandung.
• Charles J. Keating (1991). Kepemimpinan Teori dan Pengembangannya. Alih
Bahasa A.M. Mangunhardjana. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
• William A. Cohen (1991). The Art of The Leader. Alih Bahasa Anton
Adiwiyono. Penerbit Mitra Utama Jakarta.
• Warren Bennis (1992). Leader on Leadership: Intervies With TOP Executives. A
Harvard Business Review Book.
6
7
BAB II
KEPEMIMPINAN
Domai T.
2.1 Pengertian Kepemimpinan
Pengertian leadership (kepemimpinan) dapat dikelompokkan menurut
fokus pembahasannya, antara lain :
I. Kepemimpinan sebagai Suatu Fokus dari pada Proses Kelompok :
Disini maka Pemimpin dipandang sebagai fokus perubahan kelompok
(group charge) aktivitas dan proses.
Diantara mereka yang memberikan definisi dalam kelompok ini, antaranya:
1. MUMFORD (1906 – 1907)
Leadership is the preeminence of one or few individuals in a group in
the process of control of societal phenomena (Kepemimpinan adalah
kelebihan yang dipunyai oleh seseorang atau beberapa orang, dalam
suatu kelompok, didalam proses pengendalian masalah-masalah sosial/
kemasyarakatan)
2. BLACKMAR (1911)
Leadership as the centralization of effort in one as, an expression of
power of all. (Kepemimpinan adalah pemusatan usaha/ budidaya
seseorang, sebagai suatu kekuatan yang menyeluruh).
3. REDL (1942)
The leader is a central or focal person who integrates the group.
(Pemimpin adalah pusat atau pembawa suara yang meng-integrasi-kan
kelompok).
II. Kepemimpinan sebagai Kepribadian dan Pengaruhnya
Dalam hubungan ini, maka Kepemimpinan dianggap sebagai suatu usaha
yang dilakukan oleh seseorang, agar ia lebih baik daripada orang lain,
dalam melaksanakan kepemimpinan. Antara lain dikemukakan oleh :
1. DINGHAM, (1927),
A leader as, a person who possesses the greatest number of desirable
traits of personality and character. (Pemimpin adalah seorang
pengelola sejumlah sikap kepribadian dan watak).
8
2. ORDWAY TEAD, (1927),
Leadership as a combination of traits which enables an individual to
induce others to accomplish a given task. (Kepemimpinan adalah
serangkaian kepribadian yang mendorong seseorang untuk
menggerakkan orang lain guna mencapai suatu maksud / tujuan
tertentu).
III. Kepemimpinan sebagai Seni untuk Menimbulkan Ketaatan (Art Of
Inducing Compliance),
Antara lain dikemukakan oleh :
1. MUNSON, (1921),
Leadership as the ability to handle men so as to achieve the most with
the least friction and the greatest cooperation (Kepemimpinan adalah
kemampuan menggerakkan orang-orang, guna mencapai yang
dimaksud, dengan sedikit pertikaian atau kerjasama yang besar).
2. MOORE, (1927),
Leadership as the ability to impress the will of the leader on those led
and induce obedience, respect, loyalty and cooperation.
(Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memberikan kesan sang
pemimpin, kepada mereka yang dipimpin, dan menimbulkan kesan
taat, setia dan kerjasama)
3. BENNIS, (1959),
Leadership can be defined as the process by which an agent induces a
subordinate to behave in a desired manner. (Kepemimpinan dapat
didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana seseorang dapat
bertindak sebagai wakil yang berperan didalam suatu cara yang
dikehendaki).
IV. Kepemimpinan sebagai penggunaan pelaksanaan daripada pengaruh
Antara lain diutarakan oleh :
1. ORDWAY TEAD, (1935)
Leadership as the activity of influencing people to corporate toward
some goal which they cam to find desirable. (Kepemimpinan adalah
kegiatan mempengaruhi orang-orang, untuk bekerjasama menuju
beberapa kepentingan, yang mana dikehendaki oleh mereka).
9
2. STOGDILL, (1950)
Leadership is the process (act) of influencing the activities of an
organized group in its efforts toward goal setting and goal
achievement. (Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan
suatu kelompok yang terorganisir, dalam usahanya mengola suatu
tujuan dan mencapai suatu tujuan tertentu).
3. HOLANDER & JULIAN, (1965)
Leadership in the broadest sense implies the presence of a particular
influence relationship between two or more persons. (Kepemimpinan
dalam arti yang luas mencakup pengetrapan suatu pengaruh tertentu,
hubungan antara dua orang atau lebih).
V. Kepemimpinan sebagai Tindakan atau Tingkah Laku
Dikemukakan antara lain oleh :
1. HEMPHILL, (1949),
Leadership may be defined as the behavior of an individual while he is
involved in directing group activities. (Kepemimpinan dapat
didefinisikan sebagai suatu pembawaan perseorangan yang mana dia
melibatkan diri dalam mengendalikan kegiatan kelompok).
2. FIEDLER, (1967),
By leadership behavior we generally mean the particular acts in which a
leader engages the course of directing and coordinating the work of his
group members. (Dengan pembawaan kepemimpinan, umumnya kami
artikan sebagai suatu kegiatan tertentu dalam mana sang pemimpin
giat dalam pengendalian, dan mengkoordinir kegiatan kerja kelompok
anggotanya).
VI. Kepemimpinan sebagai Bentuk Persuasi (Membujuk/Keajakan)
Antara lain dikemukakan oleh :
1. SCHENK, (1928),
Leadership is the management of men by persuasion and inspiration
rather than by the direct or implied threat of coercion. (Kepemimpinan
adalah lebih bersifat pengelolaan manusiawi dengan ajakan-ajakan dan
inspirasi daripada dengan pengendalian atau ancaman/paksaan
terhadap manusia).
10
2. KOONTZ & O’DONNEL, (1955)
Leadership as the activity of persuading people to cooperate in the
achievement of common objective. (Kepemimpinan adalah kegiatan
mengajak orang-orang untuk bekerjasama dalam pencapaian suatu
tujuan pada umumnya).
VII. Kepemimpinan sebagai Hubungan Kekuasaan Kekuatan
Dikemukakan antara lain oleh :
1. FRENCH & RAVEN, (1958),
Leadership in terms of differential power relationships among members
of a group. (Kepemimpinan adalah dalam artian pembedaan hubungan
kekuatan diantara anggota kelompok).
Dalam hubungan ini dikenal 5 (lima) sumber kekuasaan, yaitu :
a. Expert power : kekuasaan yang timbul karena keahlian
b. Respect power : kekuasaan yang timbul karena rasa hormat
c. Reward power : kekuasaan yang timbul karena seseorang
mampu memberikan hadiah kepada orang lain
d. Coorship power : kekuasaan yang timbul karena kemampuan
untuk memberikan hukuman
e. Legitimate power : kekuasaan yang timbul karena ke-syah-an
/resmi
2. GRETH & MILLS, (1953),
Leadership as relation between leader and led in which the leader
influences more than he is influenced, because of the leader those who
are led act or feel differently than they otherwise would.
(Kepemimpinan adalah hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin,
dalam mana sang pemimpin lebih bersifat mempengaruhi daripada
dipengaruhi, karena pemimpinnya (dari) mereka yang dipimpin
bertindak atau secara menonjol berperan daripada apa yang dikerjakan
oleh orang-orang yang bijaksana).
11
VIII. Kepemimpinan sebagai Alat Untuk Mencapai/Pencapaian Tujuan
Antara lain dikemukakan oleh :
1. COWLEY, (1926),
A leader is a person who has a program and is moving toward an
objective with his group in a definite manner. (Seorang pemimpin
adalah seseorang yang memiliki program dan dengan kelompoknya
sedang bergerak kearah tujuan dalam suatu cara yang tertentu).
2. BELLOWS, (1959),
Leadership as the process of arranging a situation so that various
members of a group, including the leader can achieve common goals
with maximum economy and a minimum of time and work.
(Kepemimpinan adalah proses pengaturan waktu sehingga berbagai
anggota suatu kelompok, termasuk pimpinannya dapat mencapai
tujuan-tujuan umum dengan manfaat yang maximum dan dengan
waktu dan kerja yang minimum).
3. K. DAVIS, (1962),
Leadership as the human factor which binds a group together and
motivates it toward goals. (Kepemimpinan adalah faktor kemanusiaan
yang mengikat suatu kelompok menjadi kesatuan dan memberikan
dorongan guna mencapai maksud).
IX. Kepemimpinan sebagai Akibat dari Interaksi
Antara lain dikemukakan oleh :
1. ANDERSON, (1940),
A true leader in the psychological sense is one who can make the most
of individual differences, who can bring out the most differences in the
group and therefore reveal to the group a sounder base for defining
common purposes. (Seorang pimpinan dalam artian psychologis adalah
seseorang yang dapat membuat yang paling dari perbedaan individu,
yang dapat melayani perbedaan-perbedaan yang ada dalam kelompok
dan karenanya mewujudkan pada kelompok suatu dasar yang sehat
guna mendefinir maksud- maksud yang lumrah).
12
2. MERTON, (1969),
Leadership as an interpersonal relation in which others comply,
because they want to, not because they have to. (Kepemimpinan
adalah hubungan antar pribadi dalam mana orang mau tunduk, karena
ingin, bukannya karena mereka harus).
X. Kepemimpinan sebagai suatu Peranan yang Berbeda
Dikemukakan oleh :
1. GORDON, (19o5),
Leadership can be conceptualized as an interaction between a person
and a group or more accurately, between a person and the group
members. Each participant in this interaction may be said to play a role
and in some way these roles must be differenced from each other. The
basis for this differentiation seems a matter of influence that is, one
person, the leader influences while the other persons respond.
(Kepemimpinan dapat dikonsepkan sebagai suatu interaksi antara
seorang dan sekelompok atau lebih, antara seorang dengan anggota
kelompok. Masing-masing yang terlibat dalam interaksi ini dapat
dikatakan memainkan suatu peranan dan didalam beberapa hal
peranan-peranan ini haruslah dibedakan satu sama lainnya. Dasar
untuk perbedaan ini agaknya merupakan suatu pengaruh, yakni; satu
orang, pimpinan mempengaruhi sedang yang lainnya memberikan
tanggapannya).
XI. Kepemimpinan sebagai suatu Pembentukan daripada Struktur
Dikemukakan antara lain oleh :
1. HOMANS, (1950),
The leader of a group as a member who originates interaction.
(Pimpinan suatu kelompok adalah seorang anggota yang mula-mula
menimbulkan interaksi).
2. HEMPHILL, (1954),
To lead is to engage in an act that initiates a structure in the interaction
as part of the process of solving mutual problem. (Memimpin adalah
mengikut sertakan dalam suatu kegiatan yang memulai suatu struktur
13
dalam interaksi sebagai bagian daripada proses penyelesaian suatu
masalah).
3. STOGDILL, (1959),
Leadership as the initiation and maintenance of structure in
expectation and interaction. (Kepemimpinan adalah permulaan dan
pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi).
Sumber : Hasil Kajian LPTP – FIA – UB dalam Domai T. Kepemimpinan. FIA – UB.
• Mumford (1906 – 1907). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB.
Malang.
• Blackmar (1911). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Redl (1942). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Dingham (1927). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Tead Ordway (1927). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB.
Malang.
• Munson (1921). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Moore (1927). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Bennis (1959). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Stogdill (1950). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Holander dan Julian (1965). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB.
Malang.
• Hemphill (1949). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Fiedler (1967). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Schenle (1928). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Koontz dan O’Donnel (1955). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA –
UB. Malang.
• French dan Raven (1958). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB.
Malang.
• Greth dan Mills (1953). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB.
Malang.
• Cowley (1926). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Bellows (1959). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Davis K. (1962). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
14
• Anderson (1940). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Merton (1969). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Gordon (1905). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Homans (1950). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Hemphill (1954). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
• Stogdill (1959). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
15
BAB III
TEORI TIMBULNYA KEPEMIMPINAN
Domai T.
3.1 Pemikiran Dasar tentang Leader Diawali dari Pemahaman Kata Tentang :
1. Pemimpin itu memerlukan serangkaian sifat, ciri, dan karakteristik,
2. Bahwa sifat itu dibawa sejak lahir,
3. Pemimpin itu merupakan hasil dari waktu, tempat dart keadaan,
4. Pemimpin itu dibentuk bukan dilahirkan,
5. Bahwa pengikut dapat mempengaruhi pemimpin,
6. Pemimpin yang memperhitungkan bawahan akan menimbulkan
kepuasan kerja,
7. Pemimpin lahir dengan bakat kemudian dikembangkan melalui
pendidikan dan pengalaman,
8. Pemimpin sangat dipengaruhi oleh situasi yang dialaminya,
Meliputi :
• Tugas dan masalah yang dihadapi
• Orang yang dipimpin
• Keadaan yang mempengaruhi tugas
9. Semakin tinggi interaksi,
• Semakin meningkat perasaan disukai
• Semakin jelas pengertian atau norma kelompok
• Semakin tinggi orang dalam satu kelompok
• Semakin luas jangkauan interaksi,
• Semakin besar jumlah kelompok yang tergerak
10. Perilaku pemimpin akan diterima apabila merupakan sumber yang bisa
memberi kepuasan.
Kesimpulan sederhana tentang teori-teori timbulnya kepemimpinan
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok teori sebagai berikut :
1. Kelompok Teori Keturunan
Dasar kepemimpinan itu harus ditekankan pada sifat-sifat keturunan sejak
orang dilahirkan seperti bakat dan sebagainya. Yang berarti bahwa orang itu
akan menjadi pemimpin karena memang ia telah dilahirkan dengan bakat-
bakat kepemimpinan.
16
2. Kelompok Teori Pengaruh Lingkungan
Dasar kepemimpinan itu harus ditekankan pada sifat-sifat yang diperoleh
karena pengaruh lingkungan hidupnya dan bukan karena keturunan ini
berarti setiap orang mampu menjadi pemimpin apabila diberi kesempatan
dan pendidikan yang cukup.
3. Kelompok Campuran Antara Keturunan dan Teori Pengaruh Lingkungan
Dasar kepemimpinan apabila waktu dilahirkan memiliki bakat-bakat
kepemimpinan dan memperoleh pendidikan dan pengalaman yang cukup
dikemudian hari.
3.2 Tipologi Kepemimpinan
Sepanjang diketahui sekarang ini, para pemimpin dalam berbagai bentuk
organisasi dapat digolongkan kepada lima tipe pemimpin, tipe-tipe itu adalah :
1. Tipe Otokratis
Seorang pemimpin yang otokratis adalah pemimpin yang
- Menganggap organisasi sebagai milik pribadi mengidentikan tujuan
pribadi dengan tujuan organisasi
- Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata
- Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat
- Terlalu tergantung pada kekuasaan formalnya dan sebagainya
2. Tipe Militeristis
Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah pemimpin yang mempunyai
sifat-sifat :
- Dalam menggerakkan bawahan sistem perintah yang sering digunakan
- Dalam menggerakkan bawahan senang menggunakan/bergantung pada
pangkat dan jabatannya
- Senang kepada formalitas yang berlebih—lebihan
- Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan
- Sukar menerima kritikan dari bawahan
- Menggemari upacara-upacara dalam berbagai keadaan
3. Tipe Paternalistis
Pemimpin tipe ini memiliki sifat-sifat, antara lain :
- Menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa
- Bersikap terlalu melindungi (overly protective)
17
- Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil
keputusan dan inisiatif serta untuk mengembangkan daya kreasi
fantasinya
- Bersikap maha tahu.
4. Tipe Karismatis
Hingga sekarang ini para sarjana belum berhasil menemukan sebab –sebab
mengapa seseorang pemimpin memiliki kharisma, yang diketahui hanya
bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya penarik yang amat besar
dan karenanya mempunyai pengikut yang amat besar jumlahnya, meskipun
para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka
menjadi pengikut pemimpin itu.
Seringkali dinyatakan bahwa pemimpin kharismatis memang telah diberkahi
dengan kekuatan gaib (supernatural power). Karenanya kekayaan, profil,
umur, kesehatan tidak dapat digunakan sebagai kriteria untuk kepemimpinan
ini.
Sebagai contoh: Gandhi bukanlah seorang yang kaya Iskandar Zulkarnaen
bukanlah seorang dengan fisik sehat. Mengenai profil pula, Gandhi tidak
dapat digolongkan sebagai orang yang “ganteng”.
5. Tipe Demokratis
Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe
pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern
karena :
- Dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat
bahwa manusia itu adalah mahluk yang termulia di dunia
- Selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi
dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari para bawahannya
- Ia senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya
- Selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan ‘team work’ dalam usaha
mencapai tujuan selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih
sukses daripadanya
- Berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin
- Dengan ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian dibandingkan dan
diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, akan
tetapi berani untuk berbuat kesalahan yang lain.
18
Sumber : Hasil Kajian LPTP – FIA – UB dalam Domai T. Kepemimpinan. FIA – UB.
• Charles J. Keating (1991). Kepemimpinan Teori dan Pengembangannya. Alih
Bahasa A.M. Mangunhardjana. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
• Adair John (1987). Effective Leadership. Penerbit Bahasa Prize. Semarang.
• Herbert N. Casson (1986). Bagaimana Seharusnya Jadi Pemimpin. Alih Bahasa
Ibrahim Anang. Penerbit PT. Al-Maarif. Bandung.
• Charles J. Keating (1991). Kepemimpinan Teori dan Pengembangannya. Alih
Bahasa A.M. Mangunhardjana. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
• Warren Bennis (1992). Leader on Leadership: Intervies With TOP Executives. A
Harvard Business Review Book.
• William A. Cohen (1991). The Art of The Leader. Alih Bahasa Anton
Adiwiyono. Penerbit Mitra Utama Jakarta.
19
BAB IV
SIFAT KEPEMIMPINAN
Edwin A. Locke and Sheley Kirk Patrick et al., Domai T.
4.1 Pengertian Sifat Kepemimpinan adalah
Rupa, keadaan, kodrat, perangai, ciri dan watak seorang yang nampak
dan dimiliki lebih banyak oleh seseorang secara berlebih dari orang lain.
Sementara ahli berpendapat keberhasilan seorang pemimpin banyak
ditentukan oleh sifat-sifat ini, sifat-sifat ini dapat bersifat pisik dan dapat bersifat
psikologis.
1. Dari segi sifat :
Ada 2 sifat utama yakni :
A. Yang bersifat obyektif :
a. Fisik
b. Kecakapan (Skill)
c. Teknologi
d. Daya tanggap (Perception)
e. Pengetahuan (Knowledge)
f. Daya ingat (Memory)
g. Imajinasi (Imagination)
h. Kemampuan mengambil keputusan
i. Kemajuan komunikasi
B. Yang bersifat subyektif
a. Keunggulan dalam keyakinan (Determination)
b. Ketekunan (Persistence)
c. Daya tahan (Endurance)
d. Keberanian (Courage)
e. Ramah
f. Tangguh
g. Ulet
2. SRI RAMAWIJAYA dalam ASTABRATA memberikan perumpamaan sebagai
berikut :
Seorang pemimpin dilambangkan memiliki watak:
A. Watak matahari - Semangat
20
B. Watak Bulan - Memberi terang dalam kegelapan
C. Watak Bintang - Tauladan, taqwa
D. Watak Angin - Teliti
E. Watak Mendung - Wibawa, bermanfaat
F. Watak Api - Adil, punya prinsip
G. Watak Samudera - Pandangan luas
H. Watak Bumi - Sentosa, jujur, mau memberi anugerah pada
yang berjasa
3. Pancasila
A. Sikap Dasar : Konsisten dan konsekwen pada nilai Pancasila
B. Sifat :
- Taqwa
- Adil
- Arif
- Penuh Prakarsa
- Percaya diri
- Penuh daya pemikat
4.2 Sifat Leadership
Tidak akan pernah ada masyarakat, negara, atau organisasi yang tanpa
leader. Jika ada, maka mereka tidak akan bertahan lama. Pentingnya leadership
dalam urusan manusia sudah dikenal sejak awal sejarah.
Warren Bennis dan Burt Nanus (1985) mengemukakan gambaran ini
lewat leadership bisnis: “Sebuah bisnis yang kurang modal bisa meminjam uang,
dan bisnis berlokasi buruk bisa pindah. Tapi, bisnis yang kurang leadership akan
sulit bertahan”. Ini benar di waktu sekarang karena beberapa faktor seperti
peningkatan laju perubahan teknologi, intensifnya persaingan global, deregulasi,
dan tuntutan akan respon kompetitif lebih cepat.
Sebuah artikel majalah Fortune melaporkan bahwa:
“Karena harus menebak rencana CEO, banyak pegawai hanya mengira-
ngira saja. Konfidensi ke kompetensi top management berkurang.
Gochman, wakil direktur Opinion Research Ilene, merasa bahwa turunnya
suara konfidensi ini adalah mengejutkan”. Gochman menyimpulkan
bahwa rendahnya rating manajemen muncul akibat pekerja tahu ada
tantangan baru di luar sana.
21
Kondisi diperburuk dengan keyakinan bahwa top management tidak bisa
melawan tantangan ini (Farnham, 1989).
Meski banyak praktek leadership yang baik di sini bisa juga efektif dalam
terapan politis, fokus di buku ini adalah pada leadership organisasi dan bisnis.
Ada banyak contoh ketika leader bisnis mendirikan sebuah industri baru (seperti
John D. Rockefeller di Standar Oil), merombak perusahaan gagal (seperti Lee
Iacocca di Chrysler), memandu organisasi lewat periode pertumbuhan yang
panjang (Tom Watson di IBM, Harold Geneen di ITT, dan Alfred Sloan di General
Motors), dan menciptakan postur strategis perusahaan (Jack Welsh di General
Electrics). Prestasi leader ini mencerminkan ratusan ribu kasus leadership
organisasi efektif yang terjadi setiap hari di skala kecil.
Tidak sampai peralihan abad ilmuwan sosial mulai mempelajari
leadership secara sistematik. Satu artikel terbaru mengestimasi bahwa ada lebih
dari tiga ribu studi leadership di 70 tahun terakhir (Schriesheim, Tolliver, dan
Behling, 1983). Banyak studi tersebut, meski begitu, bukan tentang leader
sebenarnya, tapi tentang supervisor, dan banyak dari ulasannya kurang jelas.
Pendapat Bennis dan Nanus bahwa “leadership adalah konsep yang paling
banyak dipelajari dan jarang dipahami di ilmu sosial” dan “yang tidak pernah
banyak didalami” didukung kuat dengan digunakannya lagi literatur leadership
“klasik” (1985). Karena jasa ilmuwan sosial, maka gambaran ini berubah cepat di
beberapa dekade terakhir. Studi berskala sempit mulai didukung oleh studi
tentang apa yang dilakukan leader efektif – bukan supervisor. Lebih jauh,
gambaran baru tentang apa yang dibutuhkan leadership efektif sangat konsisten
dari satu studi ke studi lain.
4.2.1 Apa yang dimaksud leadership?
Kita mendefinisikan leadership sebagai proses mendorong orang lain mengambil
tindakan ke tujuan umum. Definisi ini digolongkan ke tiga elemen:
• Leadership adalah konsep hubungan. Leadership hanya ada saat ada
hubungan dengan orang lain, yaitu pengikut. Jika tidak ada pengikut,
tidak ada leader. Menurut konsep ini, leader efektif harus tahu
bagaimana menginspirasi dan berhubungan dengan pengikut.
• Leadership adalah proses. Untuk memimpin, leader harus melakukan
sesuatu. Seperti yang dikatakan John Gardner (1986-88), leadership lebih
22
dari sekadar memiliki posisi otoritas. Meski posisi formal dari otoritas
tersebut bisa membantu proses leadership, sekadar menempati posisi
tersebut dianggap tidak cukup membuat orang menjadi leader.
• Leadership membutuhkan mendorong orang lain untuk mengambil
tindakan. Leader mendorong pengikut untuk bertindak dalam beberapa
cara, seperti menggunakan otoritas legitimate, membuat model
(menetapkan contoh), menetapkan tujuan, memberikan reward dan
hukuman, merestrukturisasi organisasi, membangun tim, dan
mengkomunikasikan visi.
Perbedaan antara leadership dan diktator harus ada. Seorang diktator
meminta orang lain bertindak lewat paksaan fisik atau ancaman kekuatan fisik.
Beberapa diktator, pasatinya, menunjukkan karakteristik aktivitas leader, seperti
menawarkan visi. Contoh, Hitler menginspirasi orang Jerman dengan
memberikannya visi dunia didominasi oleh Jerman. Lenin menginspirasi
pengikutnya dengan memberikan visi sebuah utopia komunis. Tapi, seorang
diktator menggunakan kekuatan untuk mewujudkan visi yang dimiliki. Seperti
yang dikatakan Mao Zedong, “Power tumbuh dari sekumpulan senjata”. Ini benar
untuk power diktator, tapi tidak benar untuk leader.
Beberapa orang berdalih bahwa seorang leader efektif bisa mendorong
pengikutnya untuk mengorbankan self-interestnya untuk memperjuangkan
organisasi (Bass, 1985). Banyak orang, kecuali yang diperah atau korban cuci otak
dari pemerintah komunis atau diktator lain, atau filosofi yang self-destruktif,
tidak bisa bertindak dalam jangka panjang melawan self-interest-nya.
Deskripsi lebih baik tentang apa yang dilakukan leader efektif ke bawahan
adalah bahwa mereka bisa meyakinkan bawahan bahwa self-interest tetap
berada di visi yang dirumuskan dan yang diwujudkan leader. Bagaimana leader
memotivasi bawahan, tapi kita perlu menyadari bahwa ini dilakukan dengan:
• meyakinkan bawahan bahwa visi organisasi (dan peran bawahan di
dalamnya) adalah penting dan bisa dicapai;
• memberikan tantangan bagi bawahan dengan tujuan, proyek, tugas dan
tanggungjawab yang membuatnya merasakan kesuksesan, pencapaian,
dan penyelesaian personal (baik dalam kelompok atau organisasi); dan
• memberikan reward bagi bawahan yang berkinerja baik dengan rekognisi,
uang, dan promosi.
23
Leader bisa meminta pegawai mendahulukan kesenangan, kesuksesan dan
reward dalam waktu sementara, atau dalam kondisi darurat, karena mereka
tidak bisa melakukan itu secara permanen atau selama hidupnya. Leader dalam
dunia bisnis yang memaksakan lingkungan kerja yang penuh penyusutan
membuat pegawainya – khususnya yang terbaik – mencari kerja lain. Orang yang
bertahan mungkin melakukan unjuk rasa atau mencoba kembali ke organisasi
dalam cara lain.
4.2.2 Leadership versus Manajemen
Meski ada perselisihan antar peneliti leadership tentang apakah ada
perbedaan valid antara leadership dan manajemen, kita yakin bahwa perbedaan
bukan hanya valid dan penting, tapi juga sangat sederhana.
• Fungsi kunci dari seorang leader adalah menciptakan visi dasar (tujuan,
misi, tujuan atau agenda) dari organisasi. Leader menjelaskan hasil atau
strategi untuk mencapai itu (Kotter, 1990).
• Fungsi kunci dari seorang manajer adalah mengimplementasikan visi.
Manajer dan bawahan bisa bertindak dalam cara yang cocok menjadi alat
untuk meraih hasil.
Dalam realita, seperti yang dikatakan John Gardner (1986-88), perbedaan
ini sering samar. Ini bukan karena perbedaan ini tidak valid, tapi karena dalam
prakteknya, peran leader dan manajer belum memiliki garis demarkasi yang
jelas. Leader fektif harus memainkan peran dalam mengimplementasikan visi
sendiri, dan manajer efektif bukan hanya harus memahami visi leader, tapi harus
bertindak, sebagian, sebagai leader untuk pihak di bawahnya. Manajer level-atas
(eksekutif) memainkan peran dalam formulasi dan implementasi visi organisasi.
Seringkali, leader hanya melakukan sebagian kerja manajerial. Banyak
organisasi sekarang ini, menurut Bennis dan Nanus (1985), terkesan “terlalu
dimenej tapi minim leadership” (dikutip di Kotter, 1990). Ada pendapat bahwa di
masa depan, bukan hanya leader yang harus memimpin secara efektif, tapi juga
manajer, yang diberi delegasi tanggungjawab. Manajer juga suatu saat nanti
harus memainkan peran leadership. Pendeknya, harus ada arahan untuk
manajemen.
24
4.2.3 Leadership Transformasional versus Transaksional
Perbedaan antara leader transformasional dan transaksional, yang
menjadi dua konsep populer saat ini, tidak sesederhana seperti perbedaan
antara leadership dan manajemen, karena definisi konsep ini sangat rumit.
• Leadership transformasional didefinisikan (Bass, 1985; Burns, 1978; Tichy
dan Devanna, 1986) sebagai leadership yang merubah organisasi
(berbeda dengan leadership yang dimaksudkan untuk menjaga status
quo). Ini juga didefinisikan sebagai leadership yang memotivasi bawahan
untuk bekerja mencapai tujuan “level-tinggi” yang pastinya
mengorbankan self-interest.
• Leadership transaksional didefinisikan sebagai leadership yang menjaga
atau melanjutkan status quo. Ini didefinisikan sebagai leadership yang
melibatkan proses pertukaran, dimana pengikut mendapat reward cepat
dan terukur dalam menjalankan perintah leader.
Kerumitan terjadi antara dua hal ini saat dihadapkan dengan isu perubahan.
Lawan sebenarnya dari leadership transformasional adalah leadership statis atau
status quo, bukan leadership transaksional, karena lawan perubahan adalah tidak
ada perubahan.
Terkait dengan definisi tipe reward, istilah di atas menjadi tidak cocok.
Tidak ada hubungan antara leadership transformasional (terfokus-perubahan)
dan leadership non-transformasional (statis) di satu pihak dan tipe reward yang
digunakan di lain pihak.
Semua leadership faktanya adalah transaksional, tapi transaksi ini tidak
selalu dibatasi ke reward moneter jangka pendek. Semua leader efektif harus
memperhatikan self-interest dari pengikutnya, karena pengikut cenderung
mempersepsikan self-interest-nya atau terbujuk untuk mempersepsikan itu.
Interest yang dimaksud di sini bisa jangka pendek, jangka panjang atau
keduanya. Interest ini bisa berupa reward tangibel (seperti upah) dan reward
intangibel (seperti proses meraih tujuan yang dipersepsikan penting). Leader
transformasional dan transaksional menggunakan dua tipe reward ini (Yukl,
1989), dan leader yang menggunakan beragam reward jangka pendek dan jangka
panjang cenderung efektif dibanding yang tidak.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah leadership non-transformasional
bisa disebut leadership. Mungkin, tidak perlu disebut leadership. Bekerja untuk
25
sebuah tujuan adalah seperti memandu organisasi ke arah sebuah hasil yang
tidak dicapai sebelumnya, bukan mengulangi apa yang telah dilakukan
sebelumnya. Leader yang hanya melakukan apa yang dilakukan pendahulunya
tidak akan bertindak seperti leader atau manajer. Leader riil harus membawa
organisasi ke arah baru. Ini bukan berarti bahwa leader harus melakukan
perubahan demi untuk perubahan. Perubahan harus sebagai respon terukur ke
dunia yang sedang mengalami perubahan cepat. Leader yang tidak
mengantisipasi perubahan ini, atau tidak meresponnya, beresiko menghasilkan
organisasi yang stagnan dan gagal.
4.2.4 Model Leadership
Buku ini difokuskan ke model leadership yang dibuat dari sebuah perpaduan
berbagai tulisan tentang leadership. Banyak tulisan ini berisi studi kualitatif yang
dibuat leader organisasi. Ini berisi empat bagian.
Motif dan sifat yang menjadi karakteristik leader efektif bisa berbeda dari
yang dimiliki non-leader. Leader efektif:
• bisa penuh dorongan, energi dan ambisi;
• cenderung ulet dan proaktif dalam meraih tujuan;
• ingin memimpin – tidak menggunakan power untuk mendominasi pihak
lain tapi meraih tujuan;
• jujur dan punya integritas – bukan hanya bisa dipercaya, tapi juga
mempercayai orang lain;
• memiliki konfidensi yang tinggi, yang membuatnya bukan hanya
bertanggungjawab dan memberikan konfidensi ke orang lain, tapi juga
menghadapi situasi stress dengan tenang;
• sering kreatif;
• fleksibel ketika situasi membutuhkan;
• kadang karismatik (tapi ini bukan hal penting bagi leadership efektif);
• pengetahuan ekstensif tentang lingkungan industri, teknologi dan
organisasi tempat mereka kerja, yang biasanya didapat dari pengalaman
tahunan;
• beragam skill. Karena sifat hubungan di leadership, maka “skill hubungan
orang” menjadi penting. Ini meliputi mendengar, komunikasi lisan,
pembentukan network, manajemen konflik, dan penilaian self dan orang
26
lain. Penyelesaian masalah, pembuatan keputusan, dan skill penetapan
tujuan juga penting di sini;
• kemampuan kognitif, khususnya intelejensi untuk memproses banyak
informasi, memadukannya, dan menarik kesimpulan logis dari itu.
Visi adalah komponen leadership vital lainnya. Dorongan leader, motivasi untuk
memimpin, pengalaman, dan intelejensi, bisa memberikan leader kapasitas
untuk:
• mendefinisikan apa yang harus dilakukan organisasi;
• menjelaskan visi secara ringkas;
• merumuskan visi strategis yang menjelaskan alat untuk mencapai visi;
• membangun komitmen dari pengikut dengan mengkomunikasikan visi
secara jelas dan mendorong.
Implementasi visi adalah kebutuhan akan kesuksesan leadership. Sebuah visi
yang tidak diimplementasikan hanyalah mimpi. Leader yang efektif harus
bertindak untuk memastikan bahwa visi diterjemahkan menjadi aksi spesifik,
yang biasanya bisa dicapai dengan bantuan manajer dan bawahan.
Aksi implementasi efektif memiliki enam kategori utama:
• Strukturisasi memudahkan inovasi dan respon cepat ke kondisi pasar
tanpa gangguan dari atas. Organisasi modern efektif bisa bergerak cepat
ke beberapa layer otoritas (hirarki datar bukan tinggi), sedikit aturan
birokratik, rentang kontrol besar, desentralisasi, staff sentral yang kecil,
dan subunit ukuran kecil.
• Seleksi, pelatihan, dan akulturasi personel bisa diamati secara hati-hati
sehingga hanya individu yang mampu berkinerja efektif-lah yang terpilih.
Pelatihan terfokus di sini menunjukkan bahwa mereka memahami dan
menerima visi organisasi.
• Memotivasi bawahan dilakukan dalam beberapa cara oleh leader efektif,
seperti
o menggunakan otoritas legitimate untuk meminta orang
melakukan apa yang diinginkan;
o menjadi model peran dengan melakukan sesuatu yang nantinya
akan dilakukan oleh bawahan (seperti bertanya ke konsumen
tentang jasa atau produk perusahaan);
27
o membangun konfidensi dalam bawahan dengan mengekspresikan
konfidensi ke diri mereka dan ke kemampuannya;
o menetapkan tujuan yang spesifik dan menantang;
o mendelegasikan tanggungjawab dan otoritas untuk mencapai
tujuan ke pihak manajer dan pegawai;
o mereward orang yang memahami visi dan mencapainya dengan
rekognisi, kenaikan upah, bonus dan promosi; sebaliknya,
menghukum orang yang tidak berkinerja dengan menahan reward
dan melakukan terminasi.
• Mengelola informasi adalah hallmark lain dari leader efektif. Leader
efektif adalah pengumpul informasi. Mereka mendengar bawahan dan
mendengar sumber di luar organisasi, khususnya konsumen. Mereka
berkeliling dan terbuka, bukan menyendiri dan tidak bisa didekati.
Mereka membaca situasi. Mereka membuat network informasi yang luas.
Mereka berbagi dan menyebarkan informasi secara tepat di dalam
organisasi.
• Pembentukan tim terjadi di level top management dan ini didorong untuk
dilakukan di semua level bawah organisasi.
• Memperkenalkan perubahan adalah praktek leader efektif karena
kesadaran bahwa organisasi yang tidak berubah adalah yang tidak bisa
bertahan dalam jangka panjang. Kebutuhan akan perubahan dan inovasi
perlu dikomunikasikan secara konstan. Tujuan untuk perubahan positif
diciptakan dan reward diberikan ketika tujuan dicapai. Pengambilan
resiko yang terukur dijadikan norma.
4.2.5 Bagaimana dengan gaya leadership?
“Gaya leadership” yang menjadi inti teori leadership tradisional tidak tersentuh
dalam model yang digunakan di buku ini. Ini bukanlah kecelakaan. Sekali lagi,
orang yang mempelajari leader melihat bahwa gaya leadership (seperti berapa
banyak partisipasi yang diminta leader, seberapa ekstrover leader, seberapa
intensif leader) bisa berbeda antar leader.
Yang menjadi persamaan antar leader adalah substansinya. Leader efektif
adalah yang termotivasi dan jujur. Mereka tahu cara menghadapi orang. Mereka
punya visi, dan mereka bekerja keras untuk meraihnya. Ini penting bagi
28
leadership, sehingga inilah yang dibicarakan buku ini. Masing-masing dari empat
aspek leadership akan dibahas selama satu bab.
Model menunjukkan bahwa apa yang disebut “teori sifat” (atau apa yang
disebut teori “great man”) tidak sepenuhnya salah tapi bukan sepenuhnya cukup
untuk menjadi teori leadership. Mengapa demikian. Kepemilikan sifat tertentu
adalah prekondisi yang dibutuhkan untuk leadership efektif. Contoh, leader
harus energik dan jujur, dan harus ingin memimpin. Tapi sifat itu saja tidak
cukup. Jika leader ingin efektif, mereka harus menggunakan sifat untuk
membentuk skill, merumuskan visi, dan mengimplementasikan visi secara riil.
Karena itu, sifat ini hanya menjadi bagian dari gambar.
4.1.6 Teori Kontingensi
Dalam “teori kontingensi” dari leadership, pakar teori leadership tradisional
mengklaim bahwa teori leadership harus kontingen situasi. Prinsip leadership
berbeda harus diterapkan di situasi berbeda. Kontingensi bisa berisi faktor
seperti volatilitas lingkungan, ukuran organisasi, jumlah otoritas yang diberikan
leader, kompleksitas tugas atau teknologi, dan seterusnya (Yukl, 1989). Karena
sebagian besar teori kontingensi berbicara tentang supervisi bukan leadership
riil, maka sulit mengevaluasi validitas klaim tersebut.
Situasi berbeda pastinya membutuhkan tipe leader berbeda di dalam
kondisi tertentu. Tujuan model, meski begitu, adalah memperlihatkan inti
leadership, atau esensi dari proses leadership. Jika ada kontingensi, berarti ada
bobot atau kadar kepentingan di berbagai bagian atau sub-bagian model, bukan
komponen inti itu sendiri. Contoh, intelejensi bisa kurang penting di sebuah
industri dengan kompleksitas teknologi yang lebih rendah dibanding
kompleksitas teknologi tinggi. Dalam cara ini, pengalaman bisa jadi lebih penting
di beberapa industri dibanding lainnya. Sifat entrepreneurial bisa dibutuhkan
dalam mengawali perusahaan baru (meski laju perubahan bisa sangat cepat
sehingga semua leader efektif harus memperkuat perubahan dan inovasi sampai
kadar tertentu).
Beberapa aspek dari model bisa jadi penting bagi semua leader jika ingin
efektif. Keinginan memimpin, kejujuran dan integritas, berhubungan secara
efektif dengan orang, dan menciptakan dan mengkomunikasikan visi adalah hal
penting di semua setting leadership. Karena model ini didasarkan pada data
29
kualitatif, maka, bukti ilmiahnya masih membutuhkan uji empiris. Sampai saat
itu, model yang ada sekarang disarankan untuk digunakan leader sebagai
panduan atau digunakan sebagai aspirasi untuk leader.
4.3 Motif Dan Sifat Leadership
Beberapa isu memiliki sejarah lebih kontroversial dibanding sifat
leadership. Di abad 19 dan awal abad 20, teori leadership “great man" sangat
populer (Bass, 1990). Teori “great man” menyatakan bahwa kualitas leadership
adalah warisan, khususnya oleh orang dari kelas atas. Dengan
mempertimbangkan keunggulan herediter, teori “great man” telah berkembang
di paruh awal abad 20 menjadi teori sifat. Teori sifat tidak berasumsi apakah sifat
leadership diwarisi atau didapatkan, tapi menyatakan bahwa leader bisa berbeda
dari non-leader dalam karakteristiknya.
Pandangan sifat mengalami saling-silang di pertengahan abad ketika
review awal dari penelitian leadership menghasilkan kesimpulan bahwa tidak ada
ikatan jelas antara sifat leader dan leadership efektif (Lord, de Vader, dan Alliger,
1986). Preview yang menarik kesimpulan semacam ini berhenti melakukan
penelitian lebih jauh tentang sifat leader selama sekian tahun. Tapi psikolog Gary
Yukl (1989) mengatakan bahwa ketika peneliti leadership menyimpulkan bahwa
sifat leader tidak berbeda sama sekali, mereka dianggap bereaksi berlebihan ke
review pesimistik. Sudah jelas bahwa sifat dan motif bisa mempengaruhi
efektivitas leader, meski seberapa penting ini ke kesuksesan sifat atau motif
masih ditentukan oleh situasi. Sulit menghasilkan keseimbangan emphasis yang
tepat, dan Bass (1990) menyatakan bahwa pereview sebelumnya “memberikan
emphasis besar ke situasi, dan kurang peduli dengan sifat personal dari
leadership”.
Alasan utama dari sulitnya menemukan sebuah hubungan kuat antar sifat
leader dan efektivitas leader adalah bahwa meski sifat tertentu dibutuhkan
untuk leadership efektif, ini tidak cukup. Sifat ini sering berkombinasi dengan
faktor lain. Bahkan ketika leader memiliki sifat penting, agar efektif, leader harus
memiliki atau mendapat pengetahuan, skill dan kemampuan, dan harus
mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah visi.
Memiliki motif dan sifat inti adalah prakondisi dari individu agar menjadi
seorang leader efektif. Motif inti adalah dorongan dan motivasi leadership, dan
30
sifat inti adalah integritas/jujur dan konfidensi diri. Ada bukti bahwa sifat lain –
orisinalitas, fleksibilitas dan karisma – berhubungan erat dengan leadership
efektif, tapi bukti apakah ini dibutuhkan masih tidak jelas.
4.3.1 Motif Inti
Sebuah motif adalah keinginan yang menggerakkan orang menuju aksi. Beberapa
motif bisa bersifat general, dan ini membuat orang bertindak sama ke berbagai
situasi berbeda. Sejumlah motif bisa ditemukan di leader sukses.
A. Drive
Istilah drive digunakan untuk menggambarkan beragam motif yang terkait meski
tidak identik.
Pencapaian (achievement) adalah salahsatunya. Pencapai tinggi bisa
mendapat kepuasan dengan menyelesaikan tugas menantang dengan sukses,
dengan meraih standar ekselensi, dan dengan mencari cara melakukan sesuatu
secara baik (Wexley dan Yukl, 1984). Untuk menempuh bagian atas organisasi,
leader harus punya keinginan untuk menyelesaikan tugas dan proyek
menantang. Ini membuat mereka mendapat keahlian teknis lewat pendidikan
dan pengalaman kerja, dan mengawali dan menindaklanjuti perubahan
organisasi.
Seorang individu yang ingin memimpin tapi tidak ingin melakukan
pencapaian adalah yang jarang sukses dalam menciptakan atau
mengimplementasikan visi. Literatur tentang ini menemukan bahwa leader
memiliki keinginan tinggi untuk pencapaian (Bass, 1990; Yukl, 1989). Psikolog
Bernard Bass (1990) mereview 28 studi dan menemukan bukti bahwa keinginan
akan pencapaian adalah faktor motivasi penting antar leader efektif. David
McClelland (1965) melakukan penelitian ekstensif tentang kebutuhan akan
pencapaian dan menemukan bahwa ini adalah motif penting antar enterpreneur
yang sukses.
Usaha konstan ke arah perbaikan digambarkan oleh Tom, seorang
manajer yang bertanggungjawab atas divisi produk industri dan perkantoran
bernilai aset 260 juta dolar:
Setelah 27 bulan bekerja, Tom merasakan hasil kerjanya. Divisinya meraih
hasil terbaik di kuarter pertama. Di 31 bulan kerjanya, Tom merasa bahwa
31
dia bisa menguasai keadaan. Tom akhirnya merasa bahwa dia punya
struktur dan kelompok manajemen yang bisa meningkatkan pendapatan
divisi menjadi 400 juta dolar, dan dia sekarang memberikan perhatian ke
divestasi sebuah kelompok produk yang dianggapnya tidak lagi cocok
dengan target divisi (Gabarro, 1987).
Agar berkinerja baik, seorang leader membutuhkan usaha konstan ke arah
sukses dan perbaikan. Henry Mintzberg (1973) merasa bahwa leader dan
manajer melakukan sebuah kerja besar dalam laju yang tidak pernah berhenti.
Richard Boyatzis (1982) berpendapat bahwa manajer dan eksekutif atasan bisa
lebih tinggi dibanding eksekutif rata-rata dalam “orientasi efisiensi”-nya, yang
didefinisikan sebagai pertimbangan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik
dibanding yang dilakukan orang sebelumnya atau lebih baik daripada yang
dilakukan orang lain. Di PepsiCo, hanya “pencapai agresif” yang bertahan
(Dumaine, 1989). Tom Watson dari IBM dideskripsikan sebagai “yang tergerak
(drive) oleh usaha personal untuk menciptakan sebuah perusahaan yang lebih
besar dibanding NCR” (Smith dan Harrison, 1986).
Ambisi adalah motif leadership yang kedua dan saling terkait yang bisa
digambarkan lewat kata drive. Leader harus punya keinginan untuk maju dalam
karirnya dan membuat divisi dan perusahaannya bisa tumbuh dan makmur.
Untuk naik dalam jabatan, leader harus aktif mengambil tindakan guna
menunjukkan drive dan determinasinya. Ambisi membuat leader bisa bekerja
keras, menantang diri dan organisasinya dengan tujuan, dan sangat ambisius
dalam kerja dan karirnya (Bass, 1990; Cox dan Cooper, 1988; Howard dan Bray,
1988). Leader bisa lebih ambisius dibanding non-leader. Menurut Ken G. Smith
dan Kline Harrison, Walt Disney, pendiri Walt Disney Production, memiliki
“determinasi yang ulet untuk sukses” (1986), sedangkan “ambisi yang tidak
pernah lelah” adalah slogan dari C. E. Woolman dari Delta Air Lines.
Di antara sampel manajer AT&T, ambisi – spesifiknya, keinginan akan
prestasi – adalah prediktor sukses terkuat selama 20 tahun. Psikolog Ann Howard
dan Douglas Bray memberikan sketsa karakter tentang dua manajer yang sukses
maju lewat perpangkatan perusahaan.
Seorang manajer merasa mampu menunjukkan apa yang didapatnya di
perguruan tinggi untuk naik sampai atas. Dia berencana naik sampai tiga
level dalam lima tahun, minimal direktur, dan setelah itu, naik ke level
32
berikutnya di tahun selanjutnya. Gelar MBA-nya digunakan untuk
membantu itu. Jika tidak merasakan kemajuan, atau tantangannya
kurang, dia keluar dari perusahaan.
Manajer lainnya dipromosikan di level distrik (setelah 8 tahun) dan
berharap bisa berkembang lebih jauh. Meski dia tidak ingin menjadi
direktur (meski istrinya ingin itu), dia hanya berpikir mencapai wakil
direktur (level keenam) setelah promosi pertamanya, persis bayangan
tahun kedua studinya (Howard dan Bray, 1988).
Sebaliknya, perhatikan dua gambaran dari orang yang kurang ambisius:
Meski Chet memiliki gelar perguruan tinggi, kinerjanya yang di bawah
rata-rata tidak lalu memberikannya konfidensi dalam kapabilitas. Dia
sering menghindari pertanyaan pewawancara ketika ditanya aspirasinya,
dengan mengatakan bahwa dia tidak pasti dengan berapa level
manajemennya. Ketika ditekan lebih jauh, dia menjawab, “Saya suka
merasa bahwa semua pekerjaan bisa saya lakukan, tapi saya tidak begitu
memiliki banyak ambisi. Kadang, saya ingin mengatakan, “Biarlah semua
apa adanya”.
Setelah promosi sampai level dua, manajer lain ingin naik ke manajemen
tengah, tapi dia masih puas di level kedua. Dia memang berniat
mendapatkannya bila posisi tengah itu datang. Dia memang melihat ke
depan, tapi tidak pernah melihat ke atas (Howard dan Bray, 1988).
Tiga motif “lainnya” yang bisa digambarkan dengan kata drive bisa dilihat sebagai
sifat implementasi atau wujud perilaku dari motif pencapaian dan ambisi.
Kelimanya bisa dikelompokkan karena memang berkaitan erat.
Energi dibutuhkan bagi leader untuk merasakan drive pencapaian yang
tinggi dan maju di dalam organisasi (Bass, 1990; Cox dan Cooper, 1988). Kerja
yang panjang, dan pekan kerja yang intensif (dan banyak liburan) selama sekian
tahun – sebuah pola kerja yang sering dirasakan leader – mengharuskan individu
memiliki level fisik, mental dan vitalitas emosi yang tinggi. Tampilan energi
seorang leader bisa mencerminkan visi dan membantu meningkatkan komitmen
pegawai.
33
Leader cenderung dibanding non-leader untuk memiliki level energi dan
stamina yang tinggi, dan bahkan kemampuan atletis yang tinggi (Bass, 1990).
Mereka aktif, kadang tidak pernah lelah, dan bisa digambarkan sebagai “elektrik,
giat, aktif, hidup” (Kouzes dan Posner, 1987). Eksekutif Sears yang sukses
ditemukan “memiliki vitalitas fisik untuk menjaga laju kerja produktif” (Bentz,
1967). Bahkan di umur 70-an, Sam Walton, pendiri toko diskon Wal-Mart, masih
mengikuti Saturday Morning Meeting di Wal Mart, acara whoop-it-up jam 7.30
pagi, dan lomba sales untuk 3000 manajer (Huey, 1989).
Ekspansi geografik memunculkan tuntutan akan energi yang lebih besar
di waktu sekarang dibanding masa lalu, karena semakin banyak perusahaan yang
berharap atas pegawainya, baik di level eksekutif dan lainnya, untuk memberikan
lebih banyak waktu di jalan untuk mengunjungi lokasi lain, konsumen dan
suplaier (Peters, 1987).
Tenacity (kegigihan) adalah sebuah motif yang membutuhkan energi
terarah tujuan di antar waktau ketika dihadapkan dengan hambatan. Leader
harus “keras hati tanpa lelah” dalam aktivitasnya – khususnya dalam
memberitahu visi ke pegawainya (Bass, 1990; Smith dan Harrison, 1986). Ketika
mendapat komitmen ke visi, leader harus patuh ke visi apapun penentangannya
dan harus mengikuti itu selama implementasi.
Banyak perubahan di program organisasi butuh waktu beberapa bulan
untuk melaksanakan, dan bisa butuh tahunan untuk meraih keuntungannya.
Leader harus berusaha untuk tetap menindaklanjutinya, dan untuk tetap
persisten guna memastikan bahwa perubahan telah ada di organisasi. Bukti
menunjukkan bahwa leader efektif harus memiliki kegigihan – yang melimpah
(Bass, 1990; Smith dan Harrison, 1986).
Pengusaha jutawan, H. Ross Perot, seorang alumnus Akademi AL US,
memberitahu audiens-nya di Forrestal Lecture Series di tahun 1990 di Annapolis
bahwa akademi telah mengajarkannya kegigihan untuk melawan musuh. Dia
menambahkan bahwa banyak kesuksesan bisnisnya disebabkan oleh
ketidakmampuan dia dalam mengingat kegagalannya (Munsey, 1990).
Leader efektif sering lebih persisten dibanding non-leader saat
menghadapi hambatan, dan memiliki “kapasitas untuk menindaklanjuti obyek
yang jauh dilihat” dan punya “kekuatan kemauan atau keuletan” (Bass, 1990).
34
Gambaran heroik dari keuletan saat menghadapi hambatan adalah cerita
dari John Paul Jones, seorang perwira abad 18 di Angkatan Laut Amerika yang
baru dibentuk. Pada tanggal 25 September 1779, di luar pantai Inggris, Jones,
yang menjadi kapten dari Bonhomme Richard, melakukan pertempuran dengan
kapal Inggris Serapis. Selain lambat, tidak cocok untuk perang laut, dan punya
sedikit meriam, kapal Jones juga diawaki oleh kru cabutan yang kurang
berpengalaman dari beberapa negara berbeda.
Jones kalah dalam perang tersebut setelah diserang oleh tembakan
meriam Serapis dan terkena ledakan dari dua meriam tua di kapalnya sendiri.
Jones juga mengalami kekalahan lain ketika Alliance – yang sebenarnya
sekutunya – malah menembak kapalnya bukan Serapis. Serapis mensejajari
Bonbomme Richard dan kaptennya meminta Jones menyerah. Jones menjawab,
meski pasti kalah, “Aku bahkan belum mulai bertempur”.
Karena masih ingin menenggelamkan kapal Inggris, Jones melihat sebuah
lubang palka di geladak Serapis. Dia meminta seorang pelaut muda untuk
memanjat tali dan melempar granat ke geladak tersebut, karena yakin Inggris
pasti menyimpan amunisinya di sana. Meski beberapa lemparan ternyata gagal,
satu granat bisa masuk ke dalam palka, dan terjadi ledakan besar. Ketika
kapalnya terbakar, kapten Inggris menyerahkan Serapis ke Jones. Meski
pertarungan keseluruhan hampir pasti membuat dia kalah, Jones tetap
menunjukkan kegigihan untuk tidak menyerah, dan kegigihan itulah yang
membuatnya menang (De LaCroix, 1962).
Karena itu, bukan sekadar arahan aksi dari seorang leader yang
dipentingkan di sini, tapi juga tetap teguh ke arah tersebut. Dengan kegighan
adalah satu-satunya cara seorang leader bisa meraih visi, dan seorang leader
efektif harus mendorong dirinya dan orang lain ke tujuan yang harus dicapai
(Bennis dan Nanus, 1985, Kouzes dan Posner, 1987).
Sejumlah leader korporat yang terkenal telah menunjukkan kegigihan.
David Glass, CEO dari Wal-Mart, mengatakan bahwa pemilik Walt Mart, Sam
Walton, “seperti memiliki sesuatu di dalam dirinya sehingga dirinya selalu
memperbaiki sesuatu setiap hari. Dia seperti tidak pernah mencapai titik yang
memuaskannya.” (dikutip dalam Huey, 1989). Walt Disney dideskripsikan sebagai
pengharap terbaik dan tidak pernah berhenti sampai dia mendapatkannya
(Smith dan Harrison, 1986). Ray Kroc, pendiri McDonald’s Corporation,
35
dideskripsikan sebagai “dinamo yang menggerakkan perusahaan tanpa lelah”.
Krock menempelkan pesan inspirasi di dindingnya:
Tidak ada sesuatu di dunia yang bisa menggantikan ketekunan.
Ini tidak bisa diganti dengan bakat. Tanpa ketekunan, orang berbakat
besar pasti tidak sukses.
Ini tidak bisa diganti dengan kejeniusan. Tanpa ketekunan, orang jenius
pun bisa tumpul.
Ini tidak bisa diganti dengan pendidikan. Tanpa ketekunan, orang
berpendidikan pun bisa menjadi gelandangan.
Niat dan tekun adalah syarat utama untuk sukses (dikutip Bennis dan
Nanus, 1985).
Ketekunan harus diterapkan dengan pintar. Penggunaan strategi yang tidak tepat
bisa membuat organisasi hancur. Jadi, penting untuk tekun di sesuatu yang benar
– tapi apa yang dimaksud sesuatu yang benar? Di banyak organisasi di iklim
bisnis sekarang ini, sesuatu yang benar ini bisa meliputi:
• memuaskan konsumen,
• pertumbuhan,
• kontrol biaya,
• inovasi,
• waktu respon cepat, dan
• kualitas.
Seperti yang dikatakan Tom (1987), sebuah usaha konstan untuk memperbaiki
sesuatu yang sudah baik.
Inisiatif adalah motif yang membuat leader efektif mau menggunakan
pendekatan proaktif dibanding reaktif ke pekerjaan (Bass, 1990; Boyatzis, 1982;
Kouzes dan Posner, 1987). Mereka membuat pilihan dan melakukan sesuatu
yang menghasilkan perubahan produktif bukan bereaksi ke kejadian atau
menunggu sesuatu terjadi.
Manajer superior dan manajer level-eksekutif sering lebih produktif
dibanding manajer berkinerja rata-rata atau di bawah rata-rata. Proaktivitas
antar leader efektif bisa digambarkan seperti ini, “bukan duduk menganggur
atau menunggu nasib tersenyum kepadanya”, leader perlu “melawan proses”
(Kouzes dan Posner, 1987). Leader efektif biasanya menggunakan pendekatan
36
“hands on”, dan sering menunjukkan lebih banyak inisiatif dan kerja dibanding
orang non-leader (Bass, 1990; Smith dan Harrison, 1986).
Leader efektif adalah yang punya drive kuat, yaitu yang berorientasi
pencapaian tinggi, ambisius, energetik, gigih, dan proaktif. Kualitas ini
dibutuhkan jika leader ingin secara efektif mengembangkan knowledge, skill and
ability (KSA) yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan
visi.
Level drive yang tinggi, meski begitu, bukan tanpa efek samping. Tipe
drive ini bisa melahirkan seorang leader yang ingin mencapai sesuatu sendiri dan
karena itu, malah gagal menciptakan komitmen dan rasa tanggungjawab di pihak
bawahan (McClelland dan Burnham, 1976). Leader yang efektif bukan hanya
harus penuh drive dan ambisi, tapi harus termotivasi untuk memimpin orang
lain.
B. Motivasi Leadership
Leader efektif harus selalu ingin memimpin. Motivasi leadership bisa
berisi keinginan untuk mempengaruhi orang lain. Ini sering disamakan dengan
kebutuhan akan power. Orang dengan motivasi leadership yang tinggi sering
berpikir bagaimana mempengaruhi orang lain, memenangkan argumen, atau
meraih posisi dengan otoritas besar. Individu dengan motivasi leadership yang
kuat pastinya berada di peran leadership, bukan di peran bawahan, dan mereka
menunjukkan kemauan untuk memegang tanggungjawab (Howard dan Bray,
1988; McClelland, 1965; Yukl, 1989). Studi menunjukkan bahwa keinginan kuat
untuk memimpin orang lain adalah karakteristik dari leader efektif (Boyatzis,
1982; Burns, 1978; House, 1988; House, Woycke, dan Fodor, 1987; Miner, 1978;
Srivastva dan Associates, 1986).
Penelitian tentang sifat leadership di Sears mendeskripsikan eksekutif
Sears yang sukses sebagai orang yang punya “drive kompetitif yang kuat untuk
sebuah posisi otoritas dan ingin dikenal sebagai orang yang berpengaruh” (Bentz,
1967).
Astronot John Glenn dan Frank Borman membangun karir politik dan
bisnisnya dari prestasi awalnya sebagai penjelajah ruang angkasa, sedangkan
astronot lain tidak demikian (Bass, 1985). Karena memiliki peluang sama seperti
37
orang lain, penyesuaian personalnya-lah yang membuat Glenn dan Borman
mengejar ambisinya dan memegang peran leadership.
Leader yang sukses harus mau menggunakan power ke bawahannya,
memberitahu mereka apa yang harus dilakukan, dan menggunakan sangsi positif
dan negatif. Seseorang yang tidak mampu menggunakan power sulit melakukan
sebuah peran leadership.
Power bisa dilihat sebagai mata uang dari seorang leader, yaitu alat
utama yang digunakan leader untuk menyelesaikan sesuatu di sebuah organisasi
(Bennis dan Nanus, 1985). Seorang leader harus punya keinginan meraih power
agar bisa menggunakan pengaruhnya ke orang lain. Dalam satu studi, manajer
level eksekutif dan manajer dengan level kinerja tinggi memberikan nilai tinggi
untuk “peduli ke dampak” (yang dianggap sama seperti kebutuhan akan power)
dibanding manajer level bawah atau manajer yang berkinerja di level
produktivitas rendah (Boyatzis, 1982).
Dalam studi manajemen 20-tahun di AT&T, manajer sukses adalah yang
sering menggunakan kalimat berikut:
“Ketika saya memberikan tugas ke orang lain, saya menemukan kepuasan
terbesar”.
“Pekerjaan yang paling cocok buat saya adalah pekerjaan yang
membutuhkan kemampuan leadership”.
“Saya selalu menggunakan orang lain untuk melakukan rencana dan
arahan saya” (Howard dan Bray, 1988).
Sebaliknya, seoreang manajer yang tidak sukses biasanya menggunakan kalimat
yang berisi frase “menerima perintah……….” yang diakhiri dengan “mudah untuk
menghilangkan bahaya keputusan yang buruk” (Howard dan Bray, 1988).
Power tidak digunakan secara efektif ketika ini dilihat sebagai “kue pie
yang bisa diperbesar”, bukan sebagai kue yang tetap. Seorang leader efektif tidak
melihat power sebagai jumlah statis yang harus diperebutkan. Tapi, seorang
leader efektif melihat power sebagai sesuatu yang bisa diciptakan dan diratakan
ke pengikut tanpa merusak power leader itu sendiri. Leader efektif memberikan
power ke orang lain sebagai alat untuk meningkatkan potensi leader itu sendiri.
Kebutuhan akan power adalah sesuatu yang diinginkan leader, dan
efektivitas seorang leader ditentukan oleh akar dari kebutuhan tersebut.
Keinginan mempengaruhi orang lain bisa berasal dari dua sumber berbeda, yaitu
38
“motif power personal” atau “motif power sosial” (Howell, 1988; McClelland,
1965).
MOTIF POWER PERSONAL. Seorang leader dengan motif power personal
berusaha mencari power sebagai hasil. Individu bisa memiliki self-control dan
sering impulsif. Mereka menfokuskan diri ke penciptaan simbol martabat
personalnya sendiri. Tipe motif power ini bisa dikatakan neurotik karena
mendapat power hanya untuk mendominasi orang lain pastinya dilandasi oleh
keraguan diri. Motif power personal lebih dihubungkan ke dominasi terhadap
orang lain, dan membuat pengikut menjadi dependen dan patuh (Kouzes dan
Posner, 1987).
MOTIF POWER SOSIAL. Sebaliknya, seorang leader dengan motif power sosial
menggunakan power sebagai alat untuk meraih tujuan atau visinya. Motivasi ini
cenderung menghasilkan leadership efektif. Dibanding orang yang memiliki motif
power personal, individu dengan motif power sosial:
• lebih matang secara emosional;
• menggunakan power lebih banyak untuk keuntungan organisasi
keseluruhan;
• jarang menggunakan power dalam cara manipulatif;
• kurang defensif;
• lebih mau menerima saran dari pakar; dan
• memiliki perspektif jangka panjang (Kouzes dan Posner, 1987).
Leader dengan motif power sosial cenderung menggunakan powernya untuk
membangun organisasi dan membuatnya sukses, bukan mencari alasan pribadi
untuk merugikan orang lain. Mereka mempertimbangkan kebutuhan pengikut,
dan tindakannya akan memberdayakan pengikut yang independen.
Penggunaan power sosial yang produktif bisa terbantu lewat kemampuan
membuat network dan koalisi, meraih kerjasama dari pihak lain, menyelesaikan
konflik dalam cara konstruktif, dan menggunakan model peran untuk
mempengaruhi orang lain.
4.3.2 Sifat Inti
Diskusi tentang motif inti difokuskan ke keinginan dasar untuk membuat
seorang leader mengambil tindakan. Dalam sebuah perbedaan yang relevan tapi
39
lunak, sifat bisa berbeda dari motif karena sifat adalah pola aksi – cara bertindak
– atau cara kebiasaan pikir. Orang dikatakan memiliki sifat “tampan”, contohnya,
ketika bertindak mencerminkan cara tampan. Mereka dikatakan “pesimis” jika
mereka mengekspresikan pikiran negatif.
Motif bisa mendasari sifat, tapi tidak ada hubungan satu-lawan-satu
antara sifat dan motif. Sifat tertentu bisa mencerminkan beragam motif, karena
motif tertentu bisa mendasari sejumlah sifat.
Bagian ini menjelaskan sifat leadership inti – yaitu tindakan terukur dan
kebiasaan pikir yang menjadi karakteristik leader efektif (untuk jelasnya, sifat
energi, kegigihan dan inisiatif akan didiskusikan di bagian motif karena ini adalah
ekspresi perilaku dari motif).
Ada bukti bahwa leadership efektif digambarkan oleh sifat
kejujuran/integritas dan konfidensi diri. Ada bukti yang kurang konklusif terkait
dengan peran sifat kreativitas, fleksibilitas dan karisma.
A. Kejujuran/Integritas
Kejujuran dan integritas adalah kebajikan di semua individu (Rand, 1961),
termasuk pengikut, tapi mereka memiliki signifikansi khusus sebagai sifat leader.
Studi menunjukkan bahwa tanpa itu, usaha keseluruhan dari leadership bisa
lemah (Bass, 1990; Bennis dan Nanus, 1985; Peters, 1987). Integritas
didefinisikan sebagai antara kata dan tindakan (Bennis dan Nanus, 1985), dan
kejujuran adalah bisa dipercaya atau tidak curang. Secara keseluruhan, ini
memberikan pondasi sebuah hubungan keterpercayaan antara leader dan
pengikutnya (Kouzes dan Posner, 1987).
Dalam review tentang leadership, Bernad Bass (1990) menemukan bahwa
di antara semua siswa, leader dinilai lebih bisa diandalkan, terpercaya, dan layak
dalam melakukan tanggungjawab dibanding pengikutnya. Peneliti Inggris Charles
Cox dan Cary Cooper (1988) berpendapat bahwa manajer “high-flying” lebih suka
menunjukkan gaya manajemen terbuka, yang mana mereka sering memberitahu
pekerjanya tentang apa yang terjadi di perusahaan. Peneliti di Center for
Creative Leadership di Greensboro, North Carolina, menemukan bahwa manajer
yang mencapai atas sering menggunakan formula berikut: “Saya akan melakukan
apa yang sering saya katakan ketika saya mengatakan akan melakukan itu. Jika
40
saya berubah pikiran, saya akan memberitahu kalian sehingga kalian tidak
dirugikan oleh tindakan saya” (McCall dan Lombardo, 1983).
Leader sukses adalah yang terbuka dengan pengikutnya, tapi juga
menggunakan diskresi dan tidak melanggar konfidensi atau secara ceroboh
membocorkan informasi yang merugikan. John Gabarro di Harvard melaporkan
bahwa satu bawahan menggambarkan direktur baru sebagai “konsisten dengan
apa yang dikatakan dan dilakukan, dan bisa dipercaya”. Bawahan lain
memberikan penilaian ke leader yang tidak sukses, “Bagaimana saya bisa
mengandalkannya jika dia tidak konsisten?” (Gabarro, 1987).
Dalam studi lain, sekitar 1500 manajer ditanya “Nilai apa yang anda cari
dan puji di dalam atasan anda?” Studi ini menunjukkan bahwa integritas
(didefinisikan sebagai percaya, layak, dan punya karakter dan keyakinan) adalah
salahsatu karakteristik yang paling sering disebut. Peneliti leadership James
Kouzes dan Barry Posner (1987) menyimpulkan bahwa:
Kejujuran adalah penting bagi leadership. Jika kita ingin mengikuti
seseorang, apakah ini dalam perang atau ruang dewan, kita harus
memastikan bahwa orang patut dipercaya. Kita ingin tahu bahwa dia bisa
dipercaya, etis dan berprinsip. Kita ingin konfiden dalam integritas leader
(Kouzes dan Posner, 1987).
Banyak studi menyatakan bahwa leader efektif bisa dilihat sebagai kredibel, yang
memiliki reputasi sempurna sebagai yang layak dipercaya (Bass, 1990; Kotter,
1988).
Salahsatu deskripsi bawahan dari atasan mencontohkan makna
integritas. “Untuk integritas, ini bukan berarti dia tekun dalam merampok bank,
atau gigih dalam mencuri dari mesin kas. Anda pasti tidak suka bekerja dengan
orang seperti itu. Orang dikatakan punya integritas, karena dia punya prinsip dan
mau mempertahankannya” (Gabarro, 1987).
Tapi “kredibilitas juga penting di saat ini”, menurut peneliti Bennis dan
Nanus (1985), khususnya karena orang mulai lebih tahu, lebih hati-hati, dan
waspada ke otoritas dan power. Mereka merasa bahwa leader mendapat
kepercayaan karena bisa diprediksi, konsisten dan persisten. Untuk ini, Gabarro
(1987) memasukkan sifat pembangun kredibilitas ke dalam unsur pembuatan
keputusan yang kompeten.
41
Pengusaha sukses H. Ross Perrot mengatakan bahwa penerapan kode
etik yang diajarkan di Akademi Angkatan Laut US ke kehidupan personal
seseorang adalah salahsatu hal terbaik yang bisa dilakukan individu. Dia meminta
awak kapal, “Jangan bahayakan jiwamu untuk hukum atau bukan hukum.
Korbankan jiwamu untuk apa yang benar dan salah” (dikutip oleh Munsey, 1990).
Seorang leader yang jujur adalah yang mampu mengatasi kurangnya skill
lain, seperti yang digambarkan oleh deskripsi atasan oleh seorang bawahan.
“Saya tidak suka dengan apapun yang dia lakukan, tapi pada dasarnya dia jujur.
Dia adalah ibarat tulisan murni, dan anda pasti mudah memaafkannya karena
sifatnya itu. Saya tetap percaya sama dia sejauh ini (dikutip di Gabarro, 1987).
B. Konfidensi-diri
Konfidensi-diri adalah sifat yang dibutuhkan untuk leadership sukses, dan ini
tidak disangkal. Orang yang ragu ketika dihadapkan dengan tantangan dan
tanggungjawab adalah yang tidak mampu mengambil tindakan atau
menghormati posisi orang lain. Leadership bisa membawa tantangan dan
tanggungjawab yang besar karena:
• ada informasi yang harus dikumpul dan diproses;
• beberapa masalah konstan harus dipecahkan dan keputusan harus
dibuat;
• pengikut harus ditemukan dan diyakinkan untuk meraih wacana aksi yang
spesifik;
• reward dan hukuman harus diadakan;
• resiko harus diambil di tengah ketidakpastian;
• kemunduran harus diatasi; dan
• persaingan kepentingan harus diredam.
Sifat penting dari konfidensi diri, yang memberikan kepastian ke ide dan
kemampuan sendiri, telah banyak diulas oleh peneliti leadership (Bennis dan
Nanus, 1985; Burns, 1978). Konfidensi diri memainkan peran penting dalam
pembuatan keputusan dan dalam memperoleh kepercayaan orang lain. Seorang
leader yang tidak pasti dengan keputusan yang dibuat, atau yang
mengekspresikan rasa ragunya, tidak bisa menciptakan konfidensi antar pengikut
yang dibutuhkan komitmennya ke visi.
42
Studi menunjukkan bahwa leader memiliki level konfidensi lebih tinggi
dibanding non-leader. Psikolog Bernard Bass, yang mereview 40 studi,
berpendapat bahwa “hampir semua peneliti yang melaporkan data tentang
hubungan konfidensi-diri ke leadership bisa seragam dalam arah temuan yang
positif” (1990). Ann Howard dan Douglas Bray (1988) menemukan bahwa level
martabat dari manajer AT&T bisa memprediksi kemajuan di 20 tahun terakhir.
Richard Boyatzis (1982) menunjukkan bahwa level eksekutif dan manajer atasan
bisa lebih tinggi konfidensinya – didefinisikan sebagai ketegasan atau presensi –
dibanding manajer level rendah atau manajer rata-rata atau buruk.
Sebuah studi oleh Kouzes dan Posner tentang “keunggulan personal” dari
leader – situasi ketika leader bisa meraih sesuatu yang luar biasa – menunjukkan
bahwa leader memiliki kadar konfidensi yang tinggi.
Setiap orang tertarik oleh dan mau menerima tantangan yang
diterimanya, baik lewat kondisi atau lewat pilihan. Tanpa pengecualian
atau keraguan, orang bisa mengekspresikan konfidensi yang membuat
orang bisa bekerja baik dengan orang lain, dan membuat sebuah tim
untuk mengatasi masalah apapun. Harapan tinggi dari leader ke orang
lain bisa banyak didasarkan pada harapan mereka sendiri (1987).
Konfidensi diri dari seorang leader bukan hanya penting, tapi juga leader harus
mengambil tindakan untuk memastikan bahwa orang lain merasakan konfidensi
dirinya. Leader sering mengambil tindakan untuk mencerminkan konfidensi
dirinya, atau membangkitkan konfidensi diri dari pengikut (Bass, 1985).
Leader yang konfiden diri juga cenderung tegas (Bass, 1990; Cox dan
Cooper, 1988), yang membantunya memperoleh konfidensi orang lain bagi
keputusannya. Ini penting bagi implementasi sebuah keputusan yang efektif.
Ketika sebuah keputusan yang dibuat leader menjadi buruk, leader yang
konfiden diri bisa menggunakannya sebagai peluang belajar dengan mengakui
kesalahan dan membangun kepercayaan di dalam proses. Perusahaan Manor
Care, contoh, merugi lebih dari 21 juta dolar di tahun 1988 ketika menahan
banyak stok Beverly Enterprises, yang kemudian nilainya jatuh. Direktur dan
CEOnya, Stewart Bainum, Jr., mengatakan bahwa dia bertanggungjawab penuh
atas segala urusan akuisisi (dikutip di Girard, 1989). Manor Care sepertinya telah
melakukan rekoveri. Dengan menjadi “perusahaan yang terbaik dalam industri
perlengkapan perawatan”, saham Manor Care melonjak lagi.
43
Di lain pihak, studi menemukan bahwa manajer yang kurang sukses atau
“terpeleset” sering lebih defensif tentang kegagalan dan mencoba menutup
kesalahan dibanding mengakuinya (McCall dan Lombardo, 1983).
Sebuah korelasi dan konsekuensi konfidensi diri adalah stabilitas
emosional dan ketenangan selama stress. Meski leader efektif bisa tergerak ke
kondisi tertentu – seperti ketika melakukan pembicaraan yang bermuatan
emosional – mereka umumnya tidak marah. Tapi, mereka ingin menunjukkan
sebuah ketenangan (Bass, 1990; Kotter, 1982) dengan membiarkan itu berlalu –
seperti saat mendengar berita buruk.
Peneliti di Universitas Maryland, Ken G. Smith dan Kline Harrison (1986)
menemukan bahwa leader yang ditelitinya tidak setenang dan setoleran seperti
yang ditunjukkan di literatur lain, tapi konsensus yang terbentuk adalah bahwa
banyak leader cenderung toleran ke kesalahan pegawai yang tidak terduga. Di
PepsiCo, contohnya, seorang pegawai yang membuat kesalahan “tetap aman
selama masih dalam resiko terukur” (Dumaine, 1989). Ini benar dalam setting
korporat yang telah diteliti (Posner dan Solomon, 1988), selama dipercaya bahwa
error bukanlah dari kecerobohan, dan bahwa pegawai telah melakukan kerja
rumahnya, meski salah menilai situasi.
Stabilitas emosional dianggap penting ketika leader bisa menyelesaikan
konflik interpersonal atau merepresentasikan organisasi. Seorang top executive
yang emosinya meledak tidak akan menghasilkan kepercayaan dan kerja tim
seperti yang dirasakan eksekutif yang bisa menjaga kontrol emosional. Ketika
mendefinisikan sifat negatif ini di atasannya, seorang pegawai berpendapat
bahwa “dia adalah orang impulsif dan tidak pernah yakin kapan dia bisa merubah
sinyalnya” (Gabarro, 1987).
Peneliti di Center for Creative Leadership, yang berusaha mengidentifikasi
sifat sukses atau gagalnya top executive (McCall dan Lombardo, 1983),
menemukan bahwa leader cenderung buruk jika kekurangan stabilitas emosi dan
ketenangan. Leader yang buruk adalah orang yang kurang mampu melawan
tekanan dan yang cenderung ditentukan mood, mudah marah dan menunjukkan
perilaku tidak konsisten, yang melemahkan hubungan interpersonalnya dengan
bawahan, rekan, dan atasan. Sebaliknya, peneliti menemukan bahwa leader yang
sukses adalah kalem, konfiden dan terprediksi selama krisis.
44
Howard dan Bray (1988) menemukan bahwa penyesuaian yang tinggi
(adjustment didefinisikan secara samar dalam studi tapi bisa memberikan
kesehatan mental positif) di manajer AT&T berhubungan dengan kemajuan
karirnya di 20 tahun kemudian. Manajer yang melakukan banyak penyesuaian
bisa maju dalam karirnya. Secara keseluruhan, penyesuaian yang buruk bisa
terlihat di level kinerja manajer yang rendah. Dalam studi ini, toleransi
ketidakpastian memiliki korelasi rendah, tapi signifikan dengan kemajuan
karirnya.
Bagaimana leader bisa mengatasi ketidakpastian dan stress menjadi
ukuran efektivitasnya. Individu yang konfiden dan kuat psikologinya adalah:
• yang menganggap kejadian stress sebagai hal menarik;
• yakin bahwa mereka mempengaruhi hasil kejadian; dan
• melihat mereka sebagai peluang untuk perkembangan (Maddi dan
Kobasa, 1984).
Leader menunjukkan ketenangan di bawah tekanan, dan menginspirasi orang di
sekitarnya untuk tetap tenang dan pintar (Labich, 1988).
C. Originalitas/Kreativitas
Ada beberapa alasan untuk ragu memasukkan originalitas dan kreativitas
di antara sifat leadership yang esensial. Masih sedikit penelitian tentang
kreativitas yang memberikan hasil positif (Bass, 1990), dan kreativitas jarang
disebut sebagai sifat yang dibutuhkan di berbagai studi kualitatif leader.
Ada kemungkinan bahwa kreativitas bisa membantu leadership efektif
hanya dalam situasi tertentu, seperti ketika entrepreneur dihadapkan dengan
perlunya pengembangan produk atau layanan baru, atau perlunya membangun
perusahaan dari bawah ke atas. Kreativitas bisa atau tidak berhubungan dengan
intelejensi.
Bila memperluas konsep kreativitas agar meliputi sumberdaya, review
Bass ke beberapa studi (1990) menemukan bahwa leader memiliki sumberdaya
lebih banyak dibanding non-leader. Manajer yang efektif menunjukkan
kompetensi lebih banyak, yang disebut konseptualisasi, dibanding manajer tidak
efektif (Boyatzis, 1982). Konseptualisasi, dalam studi Boyatzis, berisi kemampuan
untuk mengembangkan solusi kreatif dan wawasan baru tentang masalah. Studi
longitudinal manajer AT&T dari Howard dan Bray (1988) berisi kreativitas sebagai
45
sub-skala kemampuan administratif. Hasil ini menunjukkan bahwa skill
administratif berhubungan positif dengan kemajuan manajerial.
Tapi, seorang leader bisa efektif dengan ide yang baik meski itu pinjaman,
bukan orisinil. Tom Watson dari IBM, contohnya, menggunakan banyak strategi
sales yang dipelajarinya ketika berada di National Cash Register untuk membuat
IBM menjadi sebuah organisasi sales terkemuka (Smith dan Harrison, 1986).
Soichiro Honda, pendiri Honda Motor Company, tidak menemukan mesin
kombusi internal, tapi membantu memperbaiki dan menyempurnakannya.
Sebuah konsep yang berhubungan dengan originalitas adalah imajinasi.
Profesor Abraham Zaleznik, yang mendefinisikan imajinasi sebagai kemampuan
memvisualisasikan apa yang akan terjadi, menyatakan bahwa dalam bisnis
(bukan seni), “imajinasi adalah tiruan dan terapan, tapi mencari solusi
berdasarkan pengalaman dan analogi” (1989). Zaleznik, yang mengatakan bahwa
imajinasi adalah sifat penting bagi leadership efektif, menjelaskan bahwa “untuk
mengatasi kurangnya imajinasi, figur otoritas mencoba menerapkan pesona,
godaan dan tipuan – taktik yang akhirnya merusak otoritasnya sendiri” (1989).
Imajinasi adalah penting bagi pembuatan visi, tapi tidak jelas apakah ini
dibutuhkan atau tidak untuk mengembangkan sebuah visi efektif. Leader efektif
mungkin mampu mengatasi minimnya imajinasi personal atau originalitas
dengan menginspirasi orang lain untuk memberikan ide kreatif. Beberapa leader,
contohnya, bisa sangat baik karena punya tim top management yang bisa
menghasilkan visi perusahaan, bukannya leader yang membuat visi sendiri (Tichy
dan Devanna, 1986), sehingga leader hanya bisa mengandalkan kreativitas dari
orang lain – bukan memilikinya sendiri.
D. Fleksibilitas/Adaptabilitas
Seorang leader efektif harus cukup fleksibel untuk memenuhi tantangan
perubahan cepat yang terjadi di korporat Amerika dan ekonomi dunia turbulen
(Bass, 1990; Boyatzis, 1982). Tom Peters menyatakan bahwa “di jaman yang liar
dan penuh jebakan, dibutuhkan seseorang yang cepat, ulet dan mampu
melakukan perubahan” (1989). Perubahan ini bisa terjadi di beberapa level:
• Kemajuan teknologi bisa mempercepat produksi.
• Layanan baru akan sering ditawarkan dan dikembangkan untuk menarik
dan melestarikan konsumen.
46
• Konsumen menuntut produk terbaru dalam jumlah waktu yang terkecil.
Kecepatan dan perubahan yang cepat adalah kata kunci di tahun 1980-an, dan
juga menjadi karakteristik di tahun 1990-an. Untuk menindaklanjuti dan
menguatkan perubahan, leader harus fleksibel. Perhatikan bahwa dalam konteks
ini, fleksibilitas berarti kemampuan beradaptasi dengan perubahan, bukan
mencerminkan ketidaktegasan.
Fleksibilitas (yang didefinisikan sebagai penyesuaian ke situasi)
berhubungan erat dengan kapasitas leadership di sejumlah studi yang direview
Bass (1990). Dengan menggunakan istilah versatilitas, Hickman dan Silva (1984)
mendiskusikan pentingnya kapasitas untuk ikut dalam proses perubahan dan
melakukan performa secara kreatif dan kuat. Tanpa fleksibilitas, leader sulit
melangkah, terisolasi dengan ide tetap, dan tidak bisa beradaptasi dengan
perubahan di lingkungan dan organisasi.
Fleksibilitas dan adaptabilitas bisa juga diterapkan ke ide dan visi.
Sejumlah “peminjam ide” sukses mengadaptasikan ide untuk memenuhi
kebutuhan perusahaan, seperti Watson dari IBM, yang menggunakan banyak
konsep yang dipelajari di NCR untuk membuat IBM menjadi leader di bidangnya.
Ray Korck meminjam dan mengembangkan ide McDonald untuk restoran fast-
food-nya. Charles Revson (dari Revlon) menggunakan ide General Motors dalam
memisahkan lini produk otomotifnya untuk membentuk lini kosmetik terpisah
(Smith dan Harrison, 1986).
Selain fleksibel dalam menyesuaikan ide baru ke organisasi, leader
mampu merubah emphasis leadership-nya dari orientasi-tugas ke orientasi-
orang, bila situasinya membutuhkan (Smith dan Harrison, 1986).
Meski fleksibilitas sejak awal berkontradiksi dengan kegigihan, ini
bukanlah sifat yang saling berlawanan. Kegigihan berisi melanjutkan kerja untuk
menyelesaikan tugas yang penting ketika orang dihadapkan dengan hambatan
dan kesulitan. Fleksibilitas adalah kemampuan mengenali kapan harus merubah
cara orang dalam mengatasi hambatan dan kesulitan.
Penggunaan fleksibilitas sebagai sebuah sifat leadership esensial ternyata
dihadapkan penolakan. Meski ada bukti bahwa leader efektif menunjukkan
fleksibilitas, masih tidak pasti bahwa orang yang meneliti fleksibilitas leader akan
menggunakan definisi yang sama atau menggunakan ukuran fleksibilitas sama.
Contoh, apakah fleksibilitas bisa diartikan sebagai:
47
• merubah gaya leadership seseorang bila situasi membutuhkan?
• terbuka ke pengetahuan baru dan ide baru?
• harus sering merubah strategi organisasi?
• menyesuaikan diri ke kebutuhan konsumen?
• merubah kebijakan dan prosedur organisasi?
Sayangnya, tidak ada satu cara untuk menggambarkan apa definisi dari
fleksibilitas. Selain itu, fleksibilitas, seperti kreativitas, jarang disebut di studi
kualitatif.
E. Karisma
Karisma adalah karakteristik leader yang sering dipelajari (Bass, 1985;
Conger, 1988; House, Woycke dan Fodor, 1987), tapi ada kerumitan pada
maksud dari itu. Kouzes dan Posner melaporkan bahwa Friedman dkk
menemukan bahwa “orang yang disebut karismatik cenderung lebih animatif
dibanding lainnya. Mereka banyak tersenyum, bicara lebih cepat, mengeja kata
lebih jelas, dan sering menggerakkan kepala dan badannya. Mereka juga
cenderung menyentuh orang lain selama menyapa. Apa yang bisa disebut
karisma bisa juga digambarkan sebagai ekspresi manusia” (1987). Karisma bisa
terlihat sebagai power untuk menggugah emosi di pihak orang lain, dan biasanya
terukur.
Karisma memberikan dampak terbesar selama komunikasi, khususnya
ketika seorang leader memberikan pidato inspirasional untuk memotivasi
bawahannya (Bass, 1990; Smith dan Harrison, 1986). Tapi, visi seorang leader
yang menggunakan karisma tidak lalu terinstitusi di organisasi, dan visi biasanya
pudar ketika leader meninggal atau mundur (Bass, 1985).
Karisma, seperti leadership, hanya ada di sebuah hubungan antara leader
dan follower. Ini tidak akan ada tanpa ada follower. Karena itu, indvidu bisa
merasa punya karisma bila ada sekelompok follower. Contoh, selama jabatan
pertamanya sebagai presiden, banyak orang Amerika menganggap Ronald
Reagan sebagai orang yang karismatik, tapi ada juga yang tidak.
Karisma membantu mengurangi “perlawanan follower ke perubahan
sikap, dan menggugah respon emosional ke leader, dan menciptakan kesan
kesenangan dan petualangan” (Bass, 1985). Martin Luther King, Jr. menggugah
48
follower-nya dengan pidato-nya “I Have a Dream”, yang mengatakan bahwa satu
saat, orang kulit hitam Amerika akan “bebas pada akhirnya”.
Meski ada tekanan kelompok terhadap follower agar melakukan kinerja
di level rendah, “follower dari leader karismatik menunjukkan kinerja lebih tinggi
dibanding follower dari leader “strukturisasi” (berorientasi tugas) atau
“konsideratif” (berorientasi hubungan) (Howell dan Frost, 1989). Yang
mendukung temuan ini, Smith (yang dikutip di Bass, 1985) menemukan bahwa
bawahan dari leader karismatik sering bekerja lebih lama sepekan dan jauh lebih
konfiden dan percaya dibanding bawahan dari leader non-karismatik.
Ketika karisma ada di seorang leader, ini memberikan efek positif terhadp
motivasi, martabat dan sikap follower. Ketika follower menganggap leader
sebagai karismatik, maka karisma ibaratnya ramalan yang terwujud sendiri (self-
fulfilling prophecy), dan leader mampu menghasilkan lebih banyak karisma.
Reaksi berantai dari ini adalah bahwa karisma mempengaruhi perilaku leader,
yang kemudian mempengaruhi kinerja (House, Woycke dan Fodor, 1987).
Perilaku spesifik lain yang ditunjukkan leader karismatik, menurut House,
Woycke, dan Fodor (1987), adalah bahwa mereka:
• menjelaskan sebuah tujuan transkenden (sebuah visi);
• menjadi model peran;
• membangun imej-nya sendiri;
• menunjukkan konfidensi kuat pada pengikut;
• mengkomunikasikan harapan kinerja follower yang tinggi;
• menggugah tuntutan akan pencapaian, power, dan /atau afiliasi; dan
• memiliki sikap pengembangan ke bawahan.
Presiden United States Thomas Jefferson, Andrew Jackson, Abraham Lincoln,
Theodore Roosevelt, Franklin D. Roosevelt, dan John. F. Kennedy dikatakan oleh
House, Woycke, dan Fodor (1987) sebagai leader karismatik. Presiden lainnya
dikategorikan sebagai netral atau non-karismatik. Sedikit sekali presiden netral
atau non-karismatik yang terpilih lagi atau terbunuh, tapi semua leader
karismatik bisa terpilih lagi atau bahkan terbunuh, karena menggugah perasaan
kuat di pihak lain. House dkk menemukan bahwa karisma menjadi separuh faktor
yang membantu efektivitas leader. Perlu diketahui bahwa ukuran ini bisa
problematik karena ini ditentukan oleh pandangan politis.
49
Meski menunjukkan keuntungan, karisma bukanlah sifat esensial dari
leader. George Washington, contohnya, tidak menunjukkan atribut karismatik,
tapi dia adalah leader politik dan militer besar. “Leader bisa sukses dalam banyak
cara tanpa atribut karisma”, seperti sukses menyelesaikan konflik dan
memberikan reward kontingen ke kepatuhan (Bass, 1985).
Bennis dan Nanus menyimpulkan bahwa meski beberapa leader bisa
karismatik, banyak juga leader yang tidak. Leader seperti John F. Kennedy dan
Winston Churchill dianggap karismatik, tapi sebagian besar leader “terlalu
humanis” (1985). Leader yang digambarkan oleh Bennis dan Nanus adalah
“pendek dan tinggi, cakap berbicara dan tidak cakap bicara, tetap berdandan
untuk peristiwa sukses atau gagal, dan tampilan fisik, kepribadian, atau gayanya
tidak berbeda dari follower-nya”. Ini mendorong peneliti berspekulasi bahwa
karisma bukan menghasilkan leadership efektif, tapi sebaliknya malah benar.
Orang yang menjadi leader efektif pasti akan mendapat karisma (hormat dan
pesona) oleh follower-nya sebagai hasil dari kesuksesannya.
4.3.3 Ringkasan
Bukti adalah jelas bahwa berdasarkan rasa hormat yang ada, leader bisa berbeda
dari orang lain. Leader yang sukses adalah punya drive yang kuat, berkeinginan
kuat untuk memimpin dan menggunakan power, menunjukkan kejujuran dan
integritas, dan sangat konfiden. Empat karakteristik ini bisa dibilang mendasar,
sehingga diragukan apakah defisiensi serius dari salahsatu sifat bisa ditutup
dengan sifat lain. Sifat lain yang mendukung, meski membantu tapi tidak
esensial, adalah kreativitas, fleksibilitas, dan karisma.
Dengan memiliki empat karakteristik dasar ini saja tidak cukup. Leader
efektif harus memiliki atau mendapatkan pengetahuan, skill dan kemampuan
penting, dan aspek leadership ini akan dibicarakan di bab ini.
4.4 Pengetahuan, Skill, Dan Kemampuan
Meski memiliki motif dan sifat penting yang dibutuhkan tidak lalu orang
disebut leader efektif. Motif dan sifat ini membantu individu untuk mendapatkan
pengetahuan dan skill yang dibutuhkan untuk merumuskan visi leader dan
mengimplementasikannya. Kemampuan, termasuk kemampuan kognitif,
memainkan peran penting dalam leadership.
50
4.1.1 Pengetahuan
Keahlian teknologi juga membantu kemampuan leader untuk memimpin
sebuah organisasi. Sebuah review ke 11 studi yang dijalankan antara 1904 dan
1947 (Bass, 1981) menemukan bahwa semua orang menyimpulkan bahwa
pengetahuan khusus adalah kontributor kunci dari status leadership.
Sebuah contoh korporat kontemporer dari keahlian ini adalah George N.
Hatsopolous, pendiri dan direktur dari Thermo Electron Corporation. Di beberapa
tahun sebelum boikot OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries)
tahun 1973, Hatsopolous sadar akan perlunya alat efisien-energi, dan perlunya
pengetahuan teknologi thermodinamik untuk menciptakan tungku gas yang lebih
efisien dan memproduksinya ketika kebutuhan akan itu muncul (Posner dan
Solomon, 1988).
Setelah melihat beberapa contoh keahlian teknologi, Labich mengatakan,
“Apa yang tidak diketahui August Busch dari Anheuser-Busch bukanlah yang
pantas diketahui” (1988). Jack Welch, direktur dari General Electric, yang
mendapat Ph.D di bidang teknik, dideskripsikan sebagai “orang yang nyaman
dengan teknologi” (Sherman, 1989). Leader bukan hanya memiliki pengetahuan
teknologi, tapi pengetahuan ini juga terlihat oleh orang di sekelilingnya.
Dalam studi leadership, Kenneth Labich 1988) menyimpulkan bahwa
dengan menjadi seorang pakar (yang harus tahu tentang produk perusahaan)
adalah penting bagi leadership efektif, dan ini bisa didapat lewat pengalaman.
Selain membantu kemajuan teknologi di perusahaan, keahlian semacam
itu membuat leader bisa memahami pertimbangan bawahan seputar isu teknis.
Pemahaman ini selanjutnya meningkatkan aspek interpersonal dari leadership.
Meski keahlian teknologi saja sudah cukup menguntungkan atau
dibutuhkan di beberapa posisi leadership, tapi ini tidak cukup membuat orang
menjadi leader efektif. Leader harus naik lewat pangkat karena pengetahuan
teknis di sebuah segmen atau area tertentu, tapi ketika mereka di atas, mereka
harus mengetahui beberapa area lain agar sukses. Satu studi (Yukl, 1989)
menemukan bahwa manajer yang gagal berkinerja sukses cenderung menjadi
spesialis karena keahlian teknisnya menjadi satu-satunya jalur untuk sukses di
level bawah di manajemen. Di level atas, ini menjadi kelemahan jika manajer
memimpin dengan arogan berdasarkan visi yang sempit.
51
Pengetahuan tentang organisasi dan industri sering lebih penting
dibanding pendidikan formal (Gabarro, 1987; Kotter, 1988). Hanya 40 persen dari
leader efektif yang dipelajari Bennis dan Nanus (1985) yang punya gelar bisnis.
Menurut Kotter (1982), leader harus memiliki informasi ekstensif tentang bisnis
dan organisasinya agar sukses. Studinya ke 15 manajer general yang sukses
ditemukan bahwa manajer menghabiskan 81 persen karirnya di perusahaan
sekarang dan 91 persen karirnya di industri sekarang, dan mengembangkan
pengetahuan detailnya berdasarkan pengalaman. Dalam studi Gabarro (1987) ke
17 top manager, kurangnya pengalaman spesifik-industri adalah sebuah
karakteristik dari tiga dari empat suksesi leadership gagal, tapi ini digambarkan
lebih rendah dibanding separuh yang sukses.
Tidak ada leader yang dipelajari Smith dan Harrison – termasuk Ray Krock
(McDonald), Walt Disney (Disney), dan Tom Watson (IBM) – yang punya
pelatihan formal dalam bisnis. Tapi, “setiap leader menunjukkan pengetahuan
dan keahlian yang spesifik dan mendalam tentang bagaimana dan mengapa
organisasi bisa sukses” (Smith dan Harrison, 1986). Keahlian inilah yang
membuat mereka bisa membuat keputusan pintar dan memiliki pemahaman
tentang implikasi keputusan.
Pengetahuan tentang industri dan organisasi membuat seorang leader
bisa menggunakan pengalaman masa lalunya untuk membuat keputusan rasional
dengan cepat (Fiedler dan Garcia, 1987). Dalam cara ini, banyak perusahaan,
seperti PepsiCo, mengimplementasikan program rotasi-kerja untuk memperluas
pengetahuan pegawai tentang organisasi (Dumaine, 1989; Peters, 1987).
Pengalaman seorang leader adalah basis pengetahuan yang bisa
menstimulasi dan memperluas pemahaman bawahan tentang isu organisasi.
Bass berpendapat bahwa stimulasi intelektual ini tidak menghasilkan
pengetahuan, tapi juga “menggugah dan merubah follower dalam hal kesadaran
masalah dan penyelesaian masalah, pikiran dan imajinasi, dan keyakinan dan
nilai” (1985). Ini adalah sebuah proses yang memotivasi dan memandu bawahan.
4.1.2 Skill
A. Skill Interpersonal
Memiliki skill orang adalah penting karena leadership adalah sebuah hubungan
yang mengandalkan interaksi antar leader dan follower agar tetap eksis. Skill
52
interpersonal dari seorang leader jelas penting dalam proses menginspirasi orang
lain agar mengimplementasikan visinya. Ketidaksensitivan ke orang lain menjadi
alasan utama kenapa eksekutif yang dulunya sukses menjadi gagal, seperti yang
ditunjukkan di penelitian oleh Center for Creative Leadership (McCall dan
Lombardo, 1983). Sebaliknya, leader yang sukses umumnya memiliki skill
interpersonal yang kuat, berhubungan dengan orang lain dengan baik, dan
diplomatis dan taktis (Bennis dan Nanus, 1985; Cox dan Cooper, 1988; Gabarro,
1987; Howard dan Bray, 1988; McCall dan Lombardo, 1983; Yukl, 1989).
Salahsatu faktor interpersonal yang mempengaruhi kepuasan bawahan
dan efektivitas leadership adalah pertimbangan yang ditunjukkan leader. Studi
leadership yang dilakukan Ohio State University dan University of Michigan (Yukl,
1989) mendefinisikan pertimbangan sebagai wujud dari tindakan leader ketika
• bertindak dalam cara yang ramah dan supportif;
• menunjukkan peduli ke bawahan;
• meningkatkan kesejahteraan bawahan;
• menunjukkan kepercayaan dan konfidensi;
• mencoba memahami masalah bawahan;
• membantu mengembangkan bawahan dan meningkatkan karirnya; dan
• membuat bawahan menjadi pintar.
Skill interpersonal lainnya juga penting dalam upaya leader mengkomunikasikan
visinya, membuat orang lain bergabung ke networknya, dan memperoleh
dukungan dari anggota kelompok. Skill ini bisa meliputi:
• mendengar;
• komunikasi lisan;
• membangun-network;
• manajemen konflik, dan
• menilai diri dan orang lain (Bray, Campbell, dan Grant, 1974; Dunnette,
1971; Kotter, 1982; Yukl, 1989).
Skill mendengar membantu leader membangun kepercayaan lewat komunikasi
formal dan informal dengan orang lain. Karena skill mendengar ini membuat
leader menggunakan ide dan pengalaman orang lain sebagai sumberdaya
informasi, maka mendengar menjadi alat mengumpulkan informasi guna
mengembangkan visi, memotivasi follower, dan mengembangkan strategi yang
cocok (Bennis dan Nanus, 1985; Kouzes dan Posner, 1987). Mendengar juga
53
menjadi mekanisme untuk menerima feedback dari bawahan tentang cara
pandang leader.
Peters (1987) menyarankan agar leader di semua level di sebuah
organisasi melakukan usaha mendengar pegawainya dan memadukan dan
menindaklanjuti informasi yang diterimanya. Dia mengatakan, “jika bicara dan
memberikan perintah adalah model administratif yang digunakan selama 50
tahun terakhir, mendengar (bagi banyak orang yang di dekat aksi) adalah model
1980-an dan seterusnya”.
Mendengar adalah sebuah skill interpersonal esensial untuk seorang
manajer baru. Manajer baru belajar tentang organisasi dengan cara ini, dan
bawahan menghormati minat leader ke informasi bawahan. Manajer baru harus
menggunakan skill mendengar untuk meraih keuntungan bagi dirinya dan
bawahannya.
“Mendengar Aktif” banyak digunakan oleh leader efektif. Mendengar
aktif ini melibatkan proses pengulangan kata dan/atau menginterpretasikan apa
yang dikatakan orang lain sehingga mereka yakin bahwa pesan bisa diterima
(Gordon, 1977). Contoh sederhana dari ini adalah:
Pengirim pesan: Apa yang harus dirubah di sini?
Pendengar: Kamu sepertinya sedang bingung.
Pengirim pesan bisa memilih mendukung atau mengkoreksi interpretasi
pendengar, tapi yakin bahwa pendengar sedang mendengarkannya.
Gordon (1977) mengatakan bahwa mendengar aktif bisa digunakan
untuk:
• menenangkan diskusi panas sehingga isu dasarnya bisa diungkap;
• menentukan dan menyelesaikan pertimbangan personal dari bawahan;
dan
• mengajar bawahan agar lebih efektif dengan menciptakan sebuah
lingkungan yang empatik dan menerima.
Skill komunikasi oral berkorelasi signifikan dengan kesuksesan manajerial di
AT&T (Howard dan Bray, 1988). Leader sukses umumnya bisa
• berbicara lancar (Boyatzis, 1982; Yulk, 1989),
• memiliki suara yang menyenangkan (Bass, 1981),
• memiliki skill debat yang unggul (Bass, 1985), dan
• menunjukkan konfidensi lewat tekanan suara (Stogdill, 1974).
54
Contoh dari ini bisa dilihat di antara anak kecil yang menjadi leader dari teman-
temannya.
Untuk menguatkan pentingnya skill komunikasi lisan bagi leadership
efektif, Bennis dan Nanus (1985) menambahkan bahwa “manajemen makna, dan
penguasaan komunikasi, tidak bisa dipisahkan dari leadership efektif”.
Kemampuan seorang leader untuk mengkomunikasikan pesan bisa sama
pentingnya seperti pesan itu sendiri. Ronald Reagan, contohnya, memiliki
kemampuan untuk mengkomunikasikan topik abstrak yang menggunakan contoh
konkrit yang bisa dipahami publik. Di lain pihak, meski Jimmy Carter dianggap
sebagai salahsatu presiden yang berinformasi, dia bukanlah komunikator yang
impresif (Bennis dan Nanus, 1985). Reagan bisa terpilih lagi, tapi Carter tidak.
Salahsatu skill interpersonal yang menjadi karakteristik leader adalah
ekspresivitas dalam berkomunikasi dengan orang lain. Ekspresivitas kadang
disebut karisma, tapi tidak perlu melibatkan tampilan emosi kuat seperti yang
diinginkan karisma. Ekspresivitas ini melibatkan penyajian informasi dalam cara
yang mendorong dan memotivasi follower dengan menindaklanjuti minat dan
kebutuhan mereka, bukan sekadar memenuhi emosi mereka.
Komunikasi efektif tidak hanya dibatasi oleh skill komunikasi verbal. Bill
Moog, produsen sukses suku cadang pesawat di Moog, Inc., dideskripsikan oleh
Bennis dan Nanus (1985) sebagai orang yang taktis. Ketika Moog ditanya
bagaimana cara dia berkomunikasi, dia menjawab
“bahwa dia hanya merasakan sesuatu dengan kuat, sehingga orang juga
merasakannya. Dia tidak tahu bagaimana caranya atau mengapa. Dia
tinggal memahami sesuatu itu dari waktu ke waktu, dan membuat
modelnya. Dia memperlihatkan model itu ke organisasi. Bila digambarkan
dalam grafik, semua orang bisa mengerti”.
Leader efektif menggunakan banyak jenis teknik komunikasi, seperti metafora,
slogan dan model – untuk menjelaskan visinya.
Pembentukan network adalah skill interpersonal lain dari leader efektif.
Dalam transisi manajerial, determinant suksesnya adalah kualitas hubungan kerja
manajer dengan tiga faksi, yaitu bawahan, rekan dan supervisor. Gabarro (1987)
menemukan bahwa leader yang sukses memiliki hubungan interaktif dengan
organisasi lewat pertemuan kelompok dan penggunaan gugus tugas, yang
55
menghasilkan banyak interaksi. Ini nantinya bisa menguatkan pentingnya
membentuk network bila leader ingin sukses.
Pembentukan-network adalah hal penting di luar dan di dalam organisasi.
Pembentukan-network eksternal bisa memberikan pengetahuan ekstensif bagi
top manager tentang apa yang terjadi di industri dan tentang siapa yang punya
keahlian di setiap aspek bisnis dan lingkungan bisnis (Kotter, 1982).
Skill dari networking bisa dikonsepkan sebagai pembentukan sistem rute
dagang untuk mendapat informasi dan power yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan sesuatu (Kaplan dan Mazique, 1983). Hubungan networking
didasarkan pada prinsip resiprokitas antar leader di posisi lateral. Aliansi
networking bisa dibentuk lewat kontak umum atau sejarah personal, tapi ini bisa
bertahan karena setiap pihak yang terlibat memiliki power untuk menyelesaikan
sesuatu yang dibutuhkan orang lain di waktu sekarang atau mengantisipasi
kebutuhan itu di masa depan. Keuntungan yang didapat dari pertukaran
networking bisa meliputi:
• informasi eksklusif atau pakar,
• koneksi ke pihak lain,
• pengaruh dalam pembentukan dukungan, dan
• input untuk membuat keputusan.
Skill manajemen-konflik sering dibutuhkan oleh pihak yang berada di posisi
leadership ketika mereka diminta menyelesaikan perselisihan antara bawahan
atau antar beragam faksi di organisasi. Sifat stabilitas emosional juga masuk
pertimbangan di situasi ini.
Kebutuhan untuk skill penyelesaian-konflik dideskripsikan oleh David L.
Birch, direktur Cognetics dan direktur MIT’s Program on Corporate Change and
Job Creation, sebagai berikut:
Satu hal yang harus dipertimbangkan adalah menjadikan perusahaan
sebagai sebuah masyarakat. Orang bisa datang bekerja, melakukan kerja,
dan pulang. Pimpinan tidak perlu menggunakan waktu untuk menemukan
friksi di sistem. Semuanya berlangsung positif, dan semua kepentingan
seimbang (1989).
Skill orang yang penting lainnya adalah penilaian, baik ke skill sendiri dan skill
orang lain. Penilaian bisa mempermudah penggunaan maksimum dari skill dari
56
pegawai, dan menghasilkan pembentukan tim yang sukses (Bennis dan Nanus,
1985; Kouzes dan Posner, 1987).
Penilaian ke orang lain dibutuhkan untuk menempatkan orang yang
benar dalam posisi yang benar, dan mengetahui apa yang dianggap individu
sebagai menantang. Untuk membantu penempatan yang benar, seorang leader
harus menemukan:
• harapan individu terhadap organisasinya;
• apa yang diinginkan individu untuk meraih keuntungan dari pengalaman
kerja; dan
• kebutuhan, nilai, kekuatan dan kelemahan individu.
Beverly Ann Scott, manajer pengembangan-organisasi di McKesson,
memberitahu bahwa untuk membuat orang mendukung visinya, leader harus
“mengenal follower-nya dan berbicara dengan bahasa mereka” (Kouzes dan
Posner, 1987).
Leader efektif adalah yang sensitif ke follower. “Sebagian besar leader
bisa gagal atau sukses dengan kemampuannya untuk mengenal dan memahami
orang yang bekerja dengannya. Anda bisa mendapat hasil dari usaha anda lewat
orang lain, sehingga anda sangat sensitif ke setiap orang dan ke kebutuhan
mereka”, kata Russ Barnett, direktur manajemen dari MetroBrick di Australia
Barat (Kouzes dan Posner, 1987).
Leader efektif juga tahu kekuatan dan kelemahannya. Ini penting untuk
membangun tim top management, karena kelemahan leader harus ditutup oleh
kekuatan pendukung lainnya (Hambrick, 1987). Leader bisa mendelegasikan
tugas secara tepat ke bawahan kompeten. Ini membangun rasa percaya antara
bawahan dan leader, meningkatkan otonomi bawahan, dan mengembangkan
skill bawahan.
B. Skill dan Kompetensi Manajemen
Skill administratif adalah keahlian penting dalam menjalankan fungsi manajemen
tradisional yang membantu aktivitas harian dari sebuah organisasi. Skill ini bisa
berisi penyelesaian masalah, pembuatan keputusan, penetapan tujuan, dan
perencanaan (Boyatzis, 1982; Howard dan Bray, 1988; Kotter, 1982). Ketika
mengimplementasikan sebuah visi, dan membantu perwujudan visi ke aktivitas
harian organisasi, seorang leader sering menjalankan peran administratif atau
57
manajemen. Skill administratif tidak sama seperti gaya manajemen. Mereka
adalah kompetensi yang membuat leader melakukan tugas dengan gaya apapun.
Studi Michigan klasik (di Yukl, 1989) mempelajari peran leader efektif dan
tidak efektif dalam meraih produktivitas kelompok. Leader efektif sering
berkonsentrasi pada perilaku berorientasi-tugas, seperti perencanaan dan
penjadwalan kerja, mengkoordinasi aktivitas bawahan, dan memberikan bantuan
dan sumberdaya teknis. Bawahan sering dipandu ke setting tinggi tapi dengan
tujuan kinerja yang realistik. Kemampuan administratif (berdasarkan ukuran
dalam organizing, planning, dan decision-making) ditemukan oleh Howard dan
Bray (1988) menjadi prediksi dari kesuksesan manajerial, dan Cox dan Cooper
(1988) melaporkan bahwa direktur manajemen yang sukses di United Kingdom
secara konsisten menunjukkan skill dalam penyelesaian masalah dan pembuatan
keputusan.
Skill penyelesaian masalah dan pembuatan keputusan berhubungan erat
dengan aktivitas konseptualisasi kognitif. Ini ditentukan oleh kemampuan leader
untuk memahami situasi dan menentukan wacana aksi yang tepat. Dengan
memiliki wawasan, leader bisa mengatasi “jantung leader” (Hickman dan Silva,
1984). Dalam cara ini, dampak masalah masa depan bisa dilemahkan atau
dihindari.
Leader yang berpengalaman di sebuah perusahaan atau industri sering
menggunakan intuisi (atau pengetahuan setengah-sadar berdasarkan
pengalaman masa lalu) untuk menyelesaikan masalah. Masalah yang lebih bisa
dilacak membutuhkan teknik lebih formal, seperti metode analisis-masalah dari
Kepner dan Tregoe (1981).
Kluster skill manajemen-efektif yang dikembangkan oleh Boyatzis (1982)
menggunakan skill dalam penyelesaian masalah, termasuk pikiran logis dan
konseptualisasi.
Ackoff (1978) mengatakan bahwa menyelesaikan masalah yang tidak
terstruktur memaksa leader dan manajer memeriksa secara konstan asumsi
tentang faktor seperti:
• apa yang sebenarnya menjadi masalah;
• apa yang diinginkan orang sebagai hasil;
• apa fakta yang ada;
• apa penyebabnya (lawan dari korelasi);
58
• apa skop aktual dari masalah; dan
• apa solusinya.
Penyelesaian masalah kreatif membutuhkan pikiran di luar skop asumsi normal
(yaitu, memikirkan “di luar kotak”).
Pembuat keputusan efektif cenderung menggunakan prosedur yang
berbeda dari pembuat keputusan tidak efektif. Keputusan yang lebih baik perlu
dibuat, tambah Wheeler dan Janis (1980), ketika leader dan manajer (tidak
termasuk follower):
• menerima tantangan (bukan menyangkal masalah);
• memberikan solusi yang pantas untuk dipertimbangkan;
• mengevaluasi setiap alternatif yang berhubungan dengan tujuan yang
ingin dicapai;
• mengkomitmenkan diri ke wacana aksi tertentu setelah
mempertimbangkan alternatif; dan
• mengatasi kelemahan secara konstruktif, seperti mengimplementasikan
rencana kontingensi atau mendiagnosa alasan gagal.
Vroom dan Jago (1988) berpendapat bahwa leader dan manajer efektif lebih
cenderung daripada leader kurang efektif menggunakan partisipasi bawahan
secara tepat ketika membuat keputusan. Efeketivitas partisipasi bawahan
dipengaruhi oleh:
• pengetahuan bawahan yang relevan dengan isu yang dimaksud;
• kemauan bawahan untuk sharing dengan nilai organisasi;
• cukupnya waktu untuk melibatkan bawahan secara tepat; dan
• apakah bawahan cenderung menolak solusi kecuali dimintai konsultasi.
Seni melibatkan bawahan ini, seperti skill manajemen, bisa diperoleh lewat
pelatihan.
Penetapan tujuan adalah skill administratif atau manajemen lain yang
bisa dilihat di leader efektif (Gardner, 1986-88; Kotter, 1982; Locke dan Latham,
1984, 1990). Dalam studinya tentang manajer yang kompeten, Boyatzis (1982)
menggunakan skill menetapkan tujuan yang “menantang tapi realistik” sebagai
karakteristik manajer yang memiliki orientasi efisiensi – sebuah pertimbangan
untuk melakukan sesuatu secara lebih baik. Memiliki skill untuk menentukan
tujuan kelompok dan individu, dan membantu pencapaian, adalah hal penting
bagi implementasi sebuah visi.
59
Perencanaan adalah sebuah penetapan tujuan. Ini mengidentifikasi
sarana untuk mencapai tujuan. Entrepreneur Steve Bostic, dari American Photo
Group, tidak percaya bahwa kesuksesan bisnis membutuhkan bakat khusus
untuk karisma. Dia percaya bahwa kesuksesan membutuhkan “hasrat ke
perencanaan” (dikutip dalam Gendron dan Burlingham, 1989).
Menurut pemikir manajemen-srategis terkemuka, perencanaan yang baik
meliputi:
• orientasi masa depan;
• interaksi dan komunikasi ekstensif antar anggota organisasi;
• analisis sistematik dan komprehensif ke kekuatan dan kelemahan
organisasi;
• analisis peluang dan ancaman yang dihadapi organisasi;
• definisi jelas ke aturan dan fungsi yang dimainkan semua anggota dan
departemen; dan
• alokasi sumberdaya yang tepat untuk mendukung rencana (Lorange dan
Vancil, 1977; Steiner, 1969).
4.4.3 Kemampuan
Kemampuan kognitif (intelejensi) adalah sebuah aset bagi leader karena leader
harus mengumpulkan, memadukan, dan menginterpretasikan banyak informasi.
Meski jika menggunakan komputer, yang dikenal di jaman sekarang, pengolahan
informasi masih membutuhkan kemampuan kognitif intensif. Kebutuhan akan
kemampuan kognitif bisa bertambah seiring cepatnya laju perubahan teknologi.
Leader membutuhkan level kemampuan yang tinggi untuk merumuskan strategi
yang cocok, menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan yang tepat.
Leader sering digambarkan sebagai orang pintar dan berskill konseptual
(Boyatzis, 1982; Yukl, 1989). Kotter mengemukakan perlunya seorang leader
untuk memiliki “pikiran yang baik” (1982, 1988), yang berarti harus memiliki
• kemampuan analitik yang kuat,
• penilaian yang baik,
• kapasitas untuk berpikir strategis,
• kemampuan berpikir multidimensi, dan
• “intelejensi di atas rata-rata”, bukan jenius.
60
Korelasi antara intelejensi individu dan apakah mereka bisa dianggap leader
adalah signifikan statistik menurut Lord, De Vader, dan Alliger (1986). Mereka
menyimpulkan bahwa “intelejensi adalah karakteristik penting dalam
memprediksi persepsi leadership”.
Intelejensi (bisa diukur lewat uji kertas-pensil ke kemampuan verbal dan
kuantitatif, alasan logis, dan urusan yang ada) bisa menjadi kemampuan kognitif
yang bisa memprediksi kesuksesan manajerial (Howard dan Bray, 1988). Lebih
spesifik, Boyatzis (1982) menemukan bahwa manajer efektif bisa menunjukkan
kemampuan lebih besar untuk mengemukakan alasan secara induktif dan
deduktif, dibanding manajer yang tidak efektif.
Intelejensi bisa menjadi sifat yang dicari follower di dalam seorang leader.
Jika seseorang harus memimpin, follower ingin agar orang tersebut mampu
setidaknya dalam beberapa hal dibanding lainnya. Karena itu, persepsi follower
akan kemampuan kognitif dalam seorang leader bisa memberikan sumber
legitimasi bagi leader dan otoritas pakar di dalam hubungan leader-follower.
Kemampuan kognitif sebagian ditentukan oleh keturunan. Ini
memunculkan kemungkinan bahwa ini bisa dikembangkan lebih jauh lewat
upaya dan persistensi. Meski potensi kemampuan intelektual ini bisa diwariskan,
apa yang dilakukan dengan potensi itulah yang menentukan level intelejensi dan
pencapaian seseorang.
4.4.4 Ringkasan
Pentingnya pengetahuan, skill dan kemampuan seorang leader untuk
efektivitasnya dijelaskan secara intuitif dan empiris. Ini berisi keahlian teknologi,
pengetahuan industri, skill orang, skill administratif, dan skill kognitif. Lewat
inilah, kompetensi personal dari leader bisa berkembang untuk
mengimplementasikan visinya.
Sumber : Hasil Kajian LPTP – FIA – UB dalam Domai T. Kepemimpinan. FIA – UB.
• Adair John (1987). Effective Leadership. Penerbit Bahasa Prize. Semarang.
• As’ad M. (1992). Kepemimpinan Efektif dalam Perusahaan. Penerbit Liberty.
Yogyakarta.
• Bass (1985 – 1990). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence of Leadership.
61
• Bass (1985); Burns (1978); Tichy dan Devanna (1986). Dikutip Edwin A. Locke
dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan.
Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan
International New York, Oxford, Singapore, Sydney.
• Bass (1990); Kottler (1988); H.R. Perrot (Munsey, 1990); Burns (1978). Dikutip
Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint
of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell
MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney.
• Bennis W. Burt Nanus (1985). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at
Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill
Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York,
Oxford, Singapore, Sydney.
• Boyatzis (1982); Mc Cell dan Lombardo (1983); Bentz (1967). Dikutip Edwin A.
Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of
Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell
MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney.
• Cox dan Cooper (1988); Howard dan Bray (1988). Dikutip Edwin A. Locke
dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan.
Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan
International New York, Oxford, Singapore, Sydney.
• Domai, T. (2010). Kepemimpinan : Petunjuk Mutakhir untuk Mengembangkan
Kemampuan dalam Memimpin. Buku Ajar FIA-UB. Malang.
• Dumaine (1989); Posner dan Solomon (1988). Dikutip Edwin A. Locke dalam
The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New
York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International
New York, Oxford, Singapore, Sydney.
• Farnham (1989). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership.
Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan.
Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford,
Singapore, Sydney.
• Fiedler dan Garcia (1987); Bray, Campbell dan Grant (1974); Dunnette (1971);
Kotter (1982); Yukl (1989); Peters (1987); Gordon (1977); Stogdill (1974).
Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An
Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto.
Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney.
• Gabarro (1987). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership.
Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan.
Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford,
Singapore, Sydney.
62
• Howell dan Frost (1989); House, woycke dan Fodor (1987); Buss (1985);
Bennis dan Nanus (1985). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at
Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill
Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York,
Oxford, Singapore, Sydney.
• John Gardner (1986 – 1988). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at
Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill
Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York,
Oxford, Singapore, Sydney.
• Ken G. Smith dan Kline Harrison, Walt Disney (1986). Dikutip Edwin A. Locke
dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan.
Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan
International New York, Oxford, Singapore, Sydney.
• Koplan dan Mazique (1983); David L. Birch (1989); Gardner (1986 – 1988);
Locke dan Latham (1984 – 1990); Gendron dan Burlingham (1989); Lorange
dan Vencil (1977); Steiner (1969); Lord, De Vader dan Alliger (1986). Dikutip
Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint
of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell
MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney.
• Kotter (1990). Dikutip Domai T. dalam Bahan Ajar Kepemimpinan Sektor
Publik. FIA – UB. Malang
• Kouzes dan Posner (1987); Bentz (1967); Huey (1989); Petter (1987). Dikutip
Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint
of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell
MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney.
• Lord, de Vader, dan Allinger (1986). Dikutip Edwin A. Locke dalam The
Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New
York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International
New York, Oxford, Singapore, Sydney.
• Mao Zedung (2010). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership.
Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan.
Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford,
Singapore, Sydney.
• Mc Clelland (1965). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership.
Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan.
Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford,
Singapore, Sydney.
• Mc Clelland dan Burnham (1976); House (1988); House, Woycke dan Fodor
(1987); Miner (1978); Srivostua dan Associates (1986). Dikutip Edwin A. Locke
63
dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan.
Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan
International New York, Oxford, Singapore, Sydney.
• Mintzberg H. (1973). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at
Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill
Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York,
Oxford, Singapore, Sydney.
• Munsey (1990); De La Croix (1962); Tom Watson (1987). Dikutip Edwin A.
Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of
Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell
MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney.
• Pamudji S. (1986). Kepemimpinan Pemerintah di Indonesia. Penerbit PT. Bina
Aksara. Jakarta.
• Posner dan Solomon (1989); Agust B (1988); Jack Welch (Sherman, 1989);
Kenneth Labich (1988). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at
Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill
Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York,
Oxford, Singapore, Sydney.
• Richard Bayetzis (1982). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at
Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill
Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York,
Oxford, Singapore, Sydney.
• Schriesheim et al (1983). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at
Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill
Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York,
Oxford, Singapore, Sydney.
• Stewart B. Jr (Girard, 1989), Maddi dan Kobasa (1984); Labich (1988). Dikutip
Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint
of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell
MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney.
• Wahyo Sumidjo (2000). Teori Kepemimpinan dan Dasar-Dasar Manajemen.
Lembaga Administrasi Negara. Jakarta.
• Watson, Ray Kack, Charles Revson (Smith dan Horrison, 1986), Friedman at
al., (Kouzes dan Posner, 1987). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at
Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill
Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York,
Oxford, Singapore, Sydney.
• Wexley dan Yukl (1989). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at
Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill
64
Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York,
Oxford, Singapore, Sydney.
• Widjaja A.W. (1985). Pola Kepemimpinan dan Kepemimpinan Pancasila.
Penerbit Armico. Bandung.
• Yukl (1989). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership.
Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan.
Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford,
Singapore, Sydney.
• Zaleznik A. (1989); Soicho Honda (1989); Hickman dan Silva (1984). Dikutip
Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint
of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell
MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney.
65
BAB V
KEPEMIMPINAN YANG FLEKSIBEL
Tim LPTP FIA - UB
Tinjauan mengenai kepemimpinan yang flesibel, kiranya tidak terlepas
dari pembahasan tentang latar belakang kepemimpinan dan situasi
kepemimpinan. Oleh sebab itu pada bagian ini akan ditinjau mengenai situasi
kepemimpinan dan baru kemudian akan ditinjau tentang kepemimpinan yang
fleksibel.
5.1 Situasi Kepemimpinan
5.1.1 Pengertian
Seorang pemimpin, selalu dihadapkan kepada situasi tertentu (Alan,
1969), dengan kata lain ia tidak dapat melepaskan dirinya dari pengaruh situasi.
Situasi yang selalu dihadapi pimpinan inilah yang dimaksud dengan situasi
kepemimpinan. Apabila diamati maka situasi itu selalu berbeda-beda, terus
berubah baik kualitatif maupun kuantitatif, baik keadaan maupun macamnya,
baik ruang maupun waktu Jayadiatma (1972).
Apabila dipelajari maka perbedaan serta perubahan itu timbul karena
perubahan atau perbedaan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap situasi.
Adapun faktor-faktor itu terletak pada pimpinan sendiri, pada bawahannya dan
yang berbeda di luar kedua faktor tersebut Filley (1969).
Kalau kita tinjau lebih mendalam isi dari setiap faktor tersebut adalah
sebagai berikut :
A. Faktor yang ada pada pimpinan :
1. Kemampuan serta sikap kepribadian
Kemampuan berkaitan dengan intelegensia, pendidikan dan pengalaman.
Sedangkan sikap kepribadian ialah perpaduan dari macam-macam faktor
dalam imbangan tertentu yang telah memola pada diri manusia tertentu.
2. Macam kebutuhan yang dituntut
3. Fungsi dan tugasnya
a. Kekuatan pemimpin untuk merasakan pengaruh dari keputusan-
keputusannya terhadap bawahannya
66
b. Tingkat kepercayaan pimpinan terhadap bawahannya dalam
menyelesaikan tugas pekerjaan
c. Kemampuan pimpinan untuk mempertimbangkan tingkat
kemampuannya dengan tingkat kemampuan bawahannya
d. Kecenderungan pimpinan untuk sukses, yang menyangkut macam-
macam jabatan atau tugas yang disenanginya
e. Ketenangan pemimpin dalam menghadapi semua masalah yang ada
B. Faktor kekuatan yang ada pada bawahan
1. Macam atau besarnya kebutuhan atau tuntutan bawahan
2. Tingkat kemampuan bawahan, baik yang menyangkut intelegensia,
pendidikan, pengetahuan atau pengalaman secara individual maupun
yang berhubungan dengan kelompok
3. Besar kecilnya tanggung jawab, sikap toleransi, pengertian atau dukungan
terhadap suksesnya tujuan organisasi
4. Kekompakan dalam bekerjasama, baik untuk menghadapi pekerjaan rutin
maupun yang insidentiil
C. Faktor kekuatan diluar pimpinan dan bawahan
1. Tipe Organisasi
Tipe organisasi itu berbeda-beda karena faktor-faktor sebagai berikut :
a. Ukuran pekerjaan :
- Jumlah atau besarnya beban pekerjaan
- Macam atau jenis pekerjaan, dan sebagainya
b. Tempat kerja:
- Apakah tersebar atau berjauhan
- Apakah terkumpul atau sentralisir
- Atau apakah gabungan antara tersebar dan terkumpul
2. Apakah waktu yang tersedia untuk penyelesaian sesuatu tugas pekerjaan
cukup panjang atau mendesak.
Penggabungan ketiga faktor kekuasaan inilah yang merupakan ciri atau
bentuk dari situasi itu, sehingga dapat selalu berubah dan berbeda-beda. Apabila
salah satu faktor saja berubah, maka berubahlah wajah dari model komposisinya.
Situasi kepemimpinan yang diuraikan tersebut di atas hanya untuk
menggali isi masing-masing faktor, belum lagi mempelajari interaksi dari ketiga
67
faktor tersebut karena menurut pengamatan ketiga faktor tersebut mempunyai
hubungan saling pengaruh Filley (1969).
Interaksi ketiga faktor inilah yang membuat situasi kepemimpinan selalu unik.
Oleh karena cakupannya sangat luas maka situasi kepemimpinan bersifat
multidimensional Filley (1969).
Dari uraian tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa situasi
kepemimpinan itu memiliki karakteristik sebagai berikut :
A. Bersifat multidimensi selalu berubah-ubah dan berbeda-beda.
B. Sesuai dengan faktor-faktor kekuatan yang ada pada pemimpin, bawahan
dan diluar kedua faktor tersebut.
C. Karena macam-macam karakteristik yang dimiliki oleh pemimpin,
bawahan, dan diluar kedua faktor tersebut maka karakteristik situasi
kepemimpinan juga demikian, karakteristik yang dimaksud itu meliputi
antara lain tingkat kemampuan, pengetahuan, pengalaman, prestasi dari
pemimpin dan bawahan maupun jenis-jenis dan besarnya tugas
pekerjaan yang dihadapi dan sebagainya.
D. Situasi kepemimpinan juga ditentukan oleh efek dari interaksi ketiga
faktor tersebut, baik yang berkenaan dengan hubungan antara pemimpin
dengan bawahan, sesama bawahan dan sebagainya.
Situasi yang demikian selalu dihadapi oleh seorang pimpinan lalu situasi
kepemimpinan yang bagaimanakah yang menguntungkan atau yang tidak
menguntungkan bagi si pemimpin. Untuk itu perlu diketahui mudah tidaknya si
pemimpin menggunakan atau mempraktekkan kekuasaan atau pengaruhnya
terhadap bawahannya Fiedler dan Chamers (1974).
Diakui bahwa seorang pemimpin secara relatif akan mudah
mempengaruhi bawahannya bila bawahannya merasa suka, loyal, percaya
kepadanya dan mau dipimpin oleh pemimpin yang bersangkutan. Sebaliknya
pemimpin akan sukar mempengaruhi bawahannya bila bawahannya merasa
tidak suka, tidak loyal, tidak percaya atau tidak mau dipimpin oleh pemimpin
yang bersangkutan Fiedler dan Chamers (1974). Oleh karena itu apabila bawahan
mudah dipengaruhi maka pemimpin mudah mendapat dukungan dari
bawahannya untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas bersama mereka
Filley (1969). Jadi jika pimpinan mudah mendapat dukungan dari bawahannya
maka yang dihadapi adalah situasi yang menguntungkan baginya, sebaliknya bila
68
sulit untuk mendapatkan dukungan dari bawahannya maka situasi
kepemimpinan yang sedemikian lalu menjadi kurang atau tidak menguntungkan
baginya.
Faktor yang dikemukakan di atas merupakan faktor yang pertama yang
dapat menentukan apakah situasi kepemimpinan itu menguntungkan atau tidak
menguntungkan bagi pemimpin. Sedangkan faktor yang kedua yang menentukan
apakah situasi kepemimpinan itu menguntungkan atau tidak ialah susunan tugas
pekerjaan Fiedler (1974).
Apabila susunan dan pembagian tugas itu teratur dan jelas maka
pemimpin dapat lebih mudah untuk memimpin dan mengawasi bawahannya
Filley (1969), sebaliknya apabila susunan dan pembagian tugas itu kabur, tidak
teratur akan menyulitkan pemimpin untuk memimpin. Jadi jika susunan tugas itu
baik maka situasinya menguntungkan bagi si pemimpin, sebaliknya jika susunan
tersebut kurang baik maka situasi tersebut kurang menguntungkan bagi si
pemimpin yang bersangkutan. Faktor yang ketiga ialah kewenangan untuk
memberikan penghargaan atau hadiah dan kewenangan untuk memberikan
peringatan, teguran atau hukuman. Pemimpin yang mempunyai kewenangan
untuk memberikan penghargaan dan hukuman, pasti mempunyai pengaruh yang
lebih besar dari pada pemimpin yang tidak mempunyai kewenangan-
kewenangan itu Fiedler (1974).
Dengan kewenangan itu ia cenderung akan dapat menyelenggarakan
kegiatannya dengan lebih baik, karena dalam kedudukannya ia mempunyai
kekuasaan atau kewenangan yang secara hukum sah Fiedler (1974).
Dengan demikian jelaslah bahwa ada tiga faktor yang berpengaruh
terhadap situasi kepemimpinan. Faktor yang menentukan apakah situasinya
menguntungkan, kurang atau bahkan tidak menguntungkan bagi pemimpin,
pertama ialah hubungan pimpinan dengan bawahannya, kedua susunan tugas
pekerjaannya dan ketiga besarnya hak kekuasaan untuk memberikan hadiah
atau penghargaan dan hukuman Fiedler (1974).
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapatlah ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
A. Ada tiga macam faktor yang berpengaruh terhadap kepemimpinan, yaitu
hubungan pimpinan dengan bawahannya, struktur atau tugas pekerjaan
dan besarnya hak kekuasaan dari seorang pemimpin.
69
B. Paduan komposisionil dari ketiga faktor itu akan mempengaruhi sifat
kepemimpinan, sehingga dapat menguntungkan, kurang atau tidak
menguntungkan bagi pemimpin.
C. Apabila hubungan pimpinan dan bawahannya baik maka pemimpin akan
dapatlah lebih mudah meminta atau memerintah bawahannya untuk
melaksanakan tugas tertentu, sebaliknya jikalau hubungan itu tidak baik
maka bagaimanapun juga pemimpin akan sulit atau kurang mampu untuk
menggerakkan bawahannya. Demikian pula halnya dengan susunan tugas
pekerjaan dan tanggung jawab. Bila tugas dan tanggung jawab tersusun
dengan baik dan jelas, maka si pemimpin cenderung lebih mudah
memberikan instruksi, perintah dan sebagainya kepada bawahannya.
Sebaliknya apabila susunan tugas pekerjaan tiada atau kurang teratur
maka pemimpin akan cenderung lebih sulit mempengaruhi bawahannya.
Kemudian wewenang atau kekuasaan pemimpin seharusnya diberikan
oleh atau berasal dari organisasi. Seseorang pemimpin yang mempunyai
kewenangan yang sah menurut hukum untuk memberikan penghargaan
atau ganjaran dan hukuman, akan cenderung lebih mempunyai
kemampuan untuk memimpin.
Demikianlah gambaran tentang situasi kepemimpinan yang selalu
dihadapi oleh pemimpin. Situasi kepemimpinan itu dapat dilihat dari dua
pendekatan, pertama dari faktor-faktor yang intern dari pemimpin, bawahan,
dan organisasi atau lingkungan dan kedua dari sifat situasi kepemimpinan itu
menguntungkan atau tidak menguntungkan bagi si pemimpin.
5.1.2 Perlunya Memahami Situasi Kepemimpinan
Seperti yang telah dikemukakan di atas secara ringkas pengertian situasi
kepemimpinan. Pada bagian ini akan digali lebih mendalam perlunya memahami
situasi kepemimpinan yang dihadapi terutama bagi pemimpin.
Menurut pengamatan baru pada akhir-akhir ini tumbuh perhatian untuk
mempelajari kepemimpinan dari sudut tinjauan situasi Tjokroamidjojo (1974).
Dalam penyelenggaraan kepemimpinan nampaknya belum begitu dipahami segi-
segi dan liku-liku serta nilai yang terkandung didalam situasi kepemimpinan itu.
Pada hal seorang pemimpin yang ingin sukses selalu perlu memperhatikan dan
mempertimbangkan situasi kepemimpinan dalam pelaksanaan tugasnya. Oleh
70
sebab itu seorang pemimpin harus mampu memahami situasi kepemimpinan
Tjokroamidjojo (1974). Melalui pemahaman situasi tersebut seorang pemimpin
akan dapat menentukan sifat atau tipe kepemimpinannya yang tepat dengan
pengharapan akan mencapai hasil yang lebih besar Tannenbaum (1967). Dengan
kata lain pemahaman terhadap situasi kepemimpinan akan lebih memudahkan
bagi pemimpin untuk menentukan cara kepemimpinan yang relatif lebih sesuai
dengan situasi yang dihadapinya. Tanpa pemahaman akan sulit dan malahan
tidak mungkin bagi pemimpin untuk menentukan sifat atau cara kepemimpinan
yang paling efektif.
Dari tinjauan tersebut di atas, dapatlah kiranya dikemukakan kesimpulan
sebagai berikut:
A. Usaha pemahaman situasi kepemimpinan untuk menentukan sifat atau
cara kepemimpinan yang diharapkan lebih tepat dan lebih baik daripada
tanpa pemahaman atau kurang paham.
B. Pemahaman terhadap situasi kepemimpinan, memberikan kemungkinan
kepada pemimpin untuk mengetahui relatif lebih jelas faktor-faktor
penunjang dan penghambat kepemimpinan. Dengan demikian diharapkan
bahwa tindakannya akan lebih baik, lebih mengarah dan lebih tepat.
5.2 Kepemimpinan Yang Fleksibel
5.2.1 Pengertian
Mula-mula banyak para ahli yang menyatakan bahwa seorang pemimpin
itu sukses menurut situasi yang cocok bagi pemimpin yang bersangkutan,
sedangkan terhadap situasi yang lain mungkin sekali pemimpin itu akan gagal
Scott (1967). Jadi seorang pemimpin dapat sukses pada situasi yang satu tapi
tidak sukses atau gagal pada situasi yang lain. Masalah inilah yang menghantui
setiap penyelenggaraan kepemimpinan. Pemimpin memang dapat gagal apabila
ia tidak merubah-rubah metode kepemimpinannya sesuai dengan perubahan
situasi.
Menurut pengamatan sementara ini, kepemimpinan yang efektif adalah
kepemimpinan yang sesuai dengan situasi yang diharapi. Dalam kepemimpinan
yang sedemikian pemimpin yang bersangkutan mau dan mampu merubah
metode kepemimpinannya sesuai dengan tuntutan situasi. Dengan kata lain ia
harus fleksibel Jayadiatma, (1972). Dengan demikian dapat dikukuhkan bahwa
71
tipe atau kepemimpinan yang fleksibel merupakan salah satu syarat yang perlu
diperhatikan dan dipertimbangkan oleh pemimpin dalam mengelola
organisasinya.
Jadi kepemimpinan yang fleksibel itu bila pemimpin telah mempelajari
situasi kepemimpinan yang dihadapinya, baik yang ada pada dirinya sendiri, pada
bawahannya, organisasi, lingkungan dan sebagainya. Setelah dipertimbangkan
barulah ditetapkan sifat atau kepemimpinan yang cocok dan tepat dengan situasi
yang ada. Apabila nanti situasi berubah lagi, pemimpin harus merubah lagi gaya
atau corak kepemimpinannya demikian seterusnya. Dengan perkataan lain,
untuk menguasai situasi ia harus mampu merubah metode kepemimpinannya,
dengan demikian metode kepemimpinannya tidak boleh statis melainkan harus
berubah-ubah menurut kebutuhan situasi.
5.2.2 Ruang Lingkup Kepemimpinan Yang Fleksibel
Corak kepemimpinan seorang pemimpin dapat diamati melalui kegiatan-
kegiatan atau tindakannya. Tindakan pemimpin tentunya bersumber dari
pendekatan yang digunakan. Dengan demikian perbedaan kepemimpinan timbul
karena perbedaan dalam pendekatan yang digunakan Abdurrahman (1971).
Pada umumnya kegiatan kepemimpinan bertujuan untuk menyelesaikan
tugas pekerjaan dan menciptakan kepuasan dari pada anggotanya. Dua macam
tujuan inilah yang kemudian menentukan ciri macam-macam corak
kepemimpinan. Apabila tujuan kepemimpinan hanya untuk menyelesaikan tugas
saja, dan hanya menuruti kehendak pemimpin, jadi segala sesuatunya ditentukan
pemimpin, maka corak kepemimpinan yang demikian disebut kepemimpinan
yang otokratis. Tetapi apabila kewenangan itu lebih banyak diserahkan kepada
bawahan maka corak kepemimpinan itu disebut kepemimpinan yang demokratis.
Diantara kedua bentuk ekstrim dari kepemimpinan itu ada beberapa corak
kepemimpinan, kesemuanya tersusun dalam satu kontinum Abdurrahman
(1971). Kontinum itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Apabila susunannya dimulai dari kepemimpinan yang otokratis, dimana
kekuasaan terpusat pada pemimpin, maka kekuasaan itu semakin
berkurang atau melanggar apabila semakin banyak kekuasaan yang
diserahkan kepada bawahan. Apabila kekuasaan itu semakin banyak
diserahkan kepada bawahan tentunya kekuasaan pemimpin semakin
72
sedikit. Apabila semakin besar kekuasaan diserahkan kepada bawahan
maka sampailah kepada corak kepemimpinan yang ekstrim demokratis.
Dalam tulisan ini akan dicoba menghubungkan corak-corak
kepemimpinan itu dengan situasi kepemimpinan. Sebagaimana telah
dikemukakan bahwa situasi kepemimpinan tertentu menuntut corak
kepemimpinan tertentu.
Kini yang menjadi persoalan adalah ialah corak kepemimpinan yang
bagaimana yang cocok untuk dipakai dalam situasi kepemimpinan tertentu
Tannenbaum (1967). Menentukan corak kepemimpinan untuk suatu situasi
tertentu berikut faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dan diperhitungkan
inilah yang menjadi ruang lingkup pembahasan kepemimpinan yang fleksibel ini.
Sehubungan dengan itu maka di bawah ini akan ditinjau gejala-gejala
kepemimpinan yang dituntut oleh situasi kepemimpinan. Adapun gejala-gejala
kepemimpinan yang diamati dibatasi pada pengambilan keputusan,
pendelegasian wewenang dan motivasi.
5.2.3 Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan merupakan salah satu fungsi pemimpin Fiedler,
(1974). Apabila diikuti proses pengambilan keputusan, Jelaslah kiranya bahwa
semua kegiatan dalam rangka pengambilan keputusan itu dilakukan sendiri oleh
pemimpin. Dalam hubungan ini biasanya andil bawahan baik secara individual
maupun secara kelompok tidak jarang tidak kecil Terry (1970).
Kiranya dimaklumi bahwa apabila tidak ada kebebasan dari bawahan
untuk bertindak, semuanya terpusat pada pimpinan, maka corak
kepemimpinannya adalah otokratis demikian pula dengan pengambilan
keputusan. Apabila keputusan itu berasal dari ide pemimpin maka corak
kepemimpinannya adalah otokratis. Sebaliknya apabila kebebasan bertindak
diserahkan kepada bawahan misalnya dalam pengambilan keputusan, yang
idenya berasal dari bawahan maka corak kepemimpinannya ialah demokratis.
Dalam kepemimpinan yang fleksibel, apakah ide pengambilan keputusan
itu berasal dari idenya sendiri atau berasal dari ide bawahannya tidak menjadi
persoalan. Yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan ialah situasi atau latar
belakang kepemimpinan yang ada. Jadi dalam pengambilan keputusan,
73
pemimpin harus terlebih dahulu meneliti dan mengamati situasi atau latar
belakang kepemimpinannya yang dihadapi Tannenbaum (1967). Pengamatan
dan penelitian terhadap faktor-faktor yang berperan dalam situasi
kepemimpinan perlu dilakukan, karena kepahaman akan faktor-faktor itu akan
memudahkan bagi pemimpin untuk memahami situasi yang dihadapi. Dengan
demikian ia dapat mengukur dan kemudian dapat meramalkan yang akan terjadi
tanpa diagnosa, tindakan pemimpin cenderung tidak mengarah.
Lalu bagaimanakah terjadi pengambilan keputusan yang idenya berasal
dari dirinya sendiri dan bilamanakah terjadi pengambilan keputusan yang idenya
berasal dari bawahannya, yang bersumber dari diagnose situasi yang dihadapi.
A. Keputusan yang berasal dari ide pimpinan (corak kepemimpinan otokratis),
terjadi apabila :
1. Pimpinan memang mempunyai kemampuan untuk itu dan bawahan
kurang atau tidak mempunyai kemampuan
2. Hubungan pimpinan dan bawahannya tidak atau kurang baik sehingga
pimpinan terpaksa memakai idenya sendiri dari bawahan sulit diperoleh
B. Keputusan yang berasal dari ide bawahan (corak kepemimpinan demokratis),
terjadi apabila :
1. Bawahan memang mampu, sedang pemimpin kurang mampu
2. Bawahan dan pemimpin sama-sama mampu tetapi dirasa lebih baik
untuk menyerahkannya kepada bawahan karena luasnya beban tugas
pekerjaan yang harus dipikul
3. Hubungan pemimpin dengan bawahannya relatif baik, karena melalui
hubungan tersebut, pimpinan dapat meminta dan menerima dukungan
dari bawahannya
Dengan landasan berfikir yang dipaparkan tersebut di atas dapatlah
disimpulkan bahwa ditinjau dari gejala pengambilan keputusan, kepemimpinan
yang flesibel adalah sebagai berikut :
A. Melalui diagnosa terhadap situasi dan latar belakang kepemimpinan,
pemimpin dapat menilai corak kepemimpinannya.
B. Seorang pemimpin dapat mengambil keputusan yang idenya berasal dari
dirinya sendiri, apabila situasi dan latar belakang kepemimpinan yang
dihadapi mengijinkan, demi tercapainya hasil yang optimal. Sebaliknya
pemimpin dapat mengambil keputusan yang idenya berasal dari ide
74
bawahannya, apabila situasi kepemimpinnya memang menghendaki ia
bertindak demikian.
C. Pemimpin dapat bertindak otokratis atau demokratis asal tindakannya sesuai
dengan kebutuhan situasi dan latar belakang kepemimpinan yang dihadapi.
Sumber : Hasil Kajian LPTP – FIA – UB dalam Domai T. Kepemimpinan. FIA – UB.
• Abdurrahman (1971). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan
Sektor Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang.
• Alan (1969). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor Publik.
Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang.
• Fiedler dan Chamers (1974). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam
Kepemimpinan Sektor Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang.
• Filley (1969). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor
Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang.
• Jayadiatma (1972). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor
Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang.
• Scott (1967). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor
Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang.
• Terry (1970. Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor Publik.
Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang.
• Tjokroamidjojo (1974). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan
Sektor Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang.
• Tonnenbaum (1967). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan
Sektor Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang.
75
BAB VI
BEYOND THEORY Y
Tim LPTP FIA - UB
Organisasi yang efektif tidak hanya sekedar teori yang universal tetapi
harus ada kesesuaian antara pekerjaan dan pegawai.
6.1 Pendahuluan
Konsep Manajemen Partisipatif dikemukakan oleh Douglas Mac Gregor
dengan sebutan Teory Y merupakan teori yang penting untuk mengembangkan
keefektifan organisasi, namun beberapa “leader” berasumsi bahwa hanya teori
Y-lah yang benar. Dalam pembahasan ini kita akan melihat apa yang ada di luar
teori Y dengan tujuan agar organisasi itu lebih Produktif dimana tercapai adanya
kesesuaian antara kebutuhan kerja dan pegawai pada situasi tertentu.
Morse adalah assiten Prof. ilmu perilaku pada the Graduate School of
Business Administration University California di Los Angles. Tesis ini merupakan
hasil penelitiannya untuk memperoleh gelar Doktor di Harvard Business School.
Lorsch adalah Prof. perilaku organisasi di Harvard Business School. Selama
30 tahun yang lalu para “leader” membandingkan dua pendekatan. Pendekatan
klasik dan pendekatan partisipatif. Pendekatan klasik menekankan pada
kemantapan kekuasaan, kejelasan tugas dan menyamakan tugas dengan
tanggung jawab. Pendekatan partisipatif berfokus pada keterlibatan anggota
dalam pembuatan kebijaksanaan sehingga ia lebih termotivasi.
Mac Gregor mengetengahkan teori X dan teori Y. Teori X mengasumsikan
bahwa anggota tidak menyukai pekerjaan harus dipaksa, dikontrol, harus
diarahkan kepada pencapaian tujuan organisasi, mereka selalu menghindari
tanggung jawab.
Teori Y menekankan pada tertariknya seseorang dengan pekerjaannya,
keinginan untuk mengarahkan dirinya sendiri, mencapai tanggung jawab dan
kreatifitasnya memecahkan problem bisnis. Kesimpulan Mac Gregor : Teori Y ini
baik diikuti oleh “leader”.
6.2 Pendekatan Baru
Hasil kerja dari sekelompok mahasiswa dalam manajemen dan hasil kerja
organisasi menolong kita untuk mendapatkan suatu jawaban bahwa ternyata
76
tidak ada satu pendekatanpun yang paling baik diterapkan pada suatu organisasi.
Pendekatan yang terbaik ini tergantung pada situasi pekerjaan yang harus
dikerjakan. “Leader” harus mempunyai pola dan mengembangkan organisasi
sehingga sifat organisasi atau karakteristik dari organisasi sesuai dengan situasi
pekerjaan yang dikerjakan. Pendekatan yang baru ini akan memberikan jawaban
terhadap kebingungan manager dalam memilih pendekatan yang paling baik,
namun masih ada dua pernyataan penting yang belum terjawab, yakni :
1. Bagaimana formalitas dan kontrol organisasi itu mempengaruhi motivasi
dari anggota organisasi ?
2. Apakah formalitas yang rendah dari organisasi menyebabkan motivasi
yang tinggi bagi anggotanya ?
Asumsi dasar yang kita ketengahkan diluar teori Y kita sebut “Teori
Kontigensi” yaitu kesesuaian antara tugas/ pekerjaan, organisasi dan pegawai.
Asumsi teoritis ini menekankan penyediaan penyediaan pola organisasi yang
kontigen terhadap situasi kerja yang harus dikerjakan dan keterlibatan pegawai.
Asumsi ini merupakan langkah diluar teori Y karena Mac Gregor sendiri
mengatakan bahwa: teori Y dalam waktu yang dekat akan diganti oleh teori yang
baru.
6.3 Pola Studi
Digunakan dalam 4 unit organisasi, dua diantaranya untuk menentukan
pekerjaan sehingga tercapai standardisasi produk dan jaringan produk yang
otomatis.
Dua yang lain untuk penelitian kerja yagn tidak tertentu dan
pengembangan dalam teknologi komunikasi.
Pola studi ini disimpulkan dalam bagan di bawah ini :
Karakteristik Campani I tugas yang
diramalkan
Campani II tugas yang
tidak diramalkan
Bentuk yang efektif Tanah Pertanian Akron Laboratorium Penelitian
Stockton
Bentuk yang kurang
efektif
Tanah Pertanian Hartford Laboratorium Penelitian
Carmel
77
Obyek ini menyelidiki bagaimanakah kesesuaian antara organisasi dan
pekerjaan dengan menghubungkan pada kesesuaian organisasi. Untuk hal ini ada
pertanyaan yang diajukan yaitu: adalah kesesuaian yang baik antara karakteristik
organisasi dengan individu dan membuahkan organisasi yang lebih efektif.
Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan pendekatan khusus yang
lebih berguna untuk menemukan bahwa seseorang itu memiliki keinginan yang
kuat untuk menguasai dunia disekelilingnya termasuk tugas-tugas yang harus dia
laksanakan sebagai seorang anggota organisasi. Jika seseorang merasa
terpuaskan bila dia mampu menguasai lingkungan sekitarnya dikatakan dia
memiliki “a sense of competence” (rasa kemampuan). Kita tahu bahwa rasa
mampu ini menyebabkan kita lebih mudah mengerti bagaimana suatu
kesesuaian antara pekerjaan dan karakteristik organisasi dapat memotivasi orang
menuju kesuksesan.
6.4 Dimensi Organisasi
Para “leader” menginginkan adanya pembuka jalan untuk membedakan
karakteristik organisasi apakah yang sesuai untuk tugas yang harus dikerjakan.
Pertama-tama kita harus mengenal karakteristik organisasi macam apakah yang
membatasi organisasi didalam pelaksanaan tugas tertentu.
Kita mengelompokkan karakteristik organisasi menjadi dua, yaitu :
1. Karakteristik formal yang dapat digunakan untuk menilai kesesuaian
antara jenis tugas yang harus dikerjakan dan praktek formal daripada
organisasi.
2. Karakteristik iklim atau disebut persepsi subyektif dan orientasi yang
mengembangkan individu dalam organisasi (kesesuaian tugas dapat
dicapai apabila organisasi itu bisa efektif)
Morse dan Lorsch menggunakan kuesioner dan interview terhadap
sekitar 40 “leader” dalam setiap unit-unit membatasi organisasi dalam
menentukan pekerjaan yang dikehendaki. Juga menggunakan rasa mampu dari
orang-orang dalam organisasi sehingga dapat menghubungkan karakteristik dari
orang dengan rasa mampu.
78
6.5 Penemuan Terbesar
Penemuan prinsipil dalam survey telah ditunjukkan dengan jalan
membandingkan kesuksesan tanaman di daerah Akron dengan laboratorium di
Stockton, keduanya ini memiliki jenis pekerjaan yang berbeda.
Akron berhubungan dengan pekerjaan pabrik.
Stockton berhubungan dengan pekerjaan penelitian.
Untuk mencapai organisasi yang efektif kita memang harus membedakan
karakteristik organisasi dan hal inilah yang dicari. Namun kita juga menemukan
bahwa setiap unit yang efektif memiliki kesesuaian yang lebih baik dalam tugas
tertentu dibandingkan unit lain yang kurang efektif.
Tujuan yang utama dalam pembahasan ini adalah untuk menyelidiki
bagaimanakah kesesuaian antara pekerjaan dan karakteristik organisasi bila
dihubungkan dengan motivasi dan bagaimanakah hal itu bisa menyebabkan
adanya perilaku lebih efektif.
6.6 Karakteristik Formal
Untuk mempelajari karakteristik formal kita akan membandingkan Akron
dengan Stockton. Aktron memiliki pola hubungan dan tugas yang tersusun rapi
dan tertentu.
Sedangkan Stockton tingkat strukturnya rendah dan tidak memiliki pola
hubungan formal karakteristik organisasi formal digunakan untuk membedakan
jenis pekerjaan dari kedua organisasi tersebut. Formal struktur Akron yang tinggi
secara praktis menyesuaikan diri dengan ramalan tugas karena perilaku harus
ditentukan dan dikontrol secara otomatis dan adanya jalur produksi kecepatan
tinggi setiap orang bekerja menurut apa yang dia kehendaki sebaliknya formal
struktur yang tinggi dari Stickton secara praktis digunakan untuk memenuhi
efektifitas dalam laboratorium dan jenis pekerjaan itu tidak ditentukan, tidak
diramalkan dan menggunakan penelitian teknologi komunikasi disini
menggunakan pendekatan yang banyak agar pekerjaan itu dikerjakan dengan
baik. Sebagai konsekuensinya manager di Stockton menggunakan pola struktur
yang tidak terlalu formal sehingga para ahli bisa bekerja secara di laborat.
Praktis formal Akron dipakai untuk jangka waktu pendek dan digunakan
dalam pabrik-pabrik, sebagi contoh : untuk laporan produksi formal dan
mengotrol pelaksanaan kerja setiap hari sesuai dengan waktu yang telah
79
dijadwalkan untuk berproduksi. Sebaliknya Produktif formal Stockton dipakai
untuk jangka panjang dan digunakan dalam bidang keilmuan. Laporan formal
dibuat beberapa kali saja berdasarkan hasil riset.
Perbedaan Karakteristik Formal dalam Meningkatkan Organisasi
Karakteristik Aktron / Otoriter Stockton /
Demokratis
1. Pola hubungan & tugas
formal digambarkan dalam
manual tugas
1. Struktur tinggi dan
tertentu
1. Struktur rendah
dan kurang
tertentu
2. Pola aturan formal,
prosedur, kontrol, sistem
pengukuran
2. Pervasif, spesifik,
uniform,
komprehensif
2. Minimal tidak
spesifik, fleksibel
3. Dimensi waktu dalam
praktis formal
3. Jangka waktu
pendek
3. Jangka waktu
panjang
4. Dimensi tujuan dalam
praktis formal 4. Pabrik
4. Scientific (ilmu
pengetahuan)
Contoh Organisasi yang Tidak Tetap
Tanaman di Harford dan laboratorium di Carmel. Praktis formal Harford
masih kalah dibandingkan dengan Akron dalam hal struktur dan kontrol. Carmel
lebih bersifat membatasi daripada Stockton.
6.7 Karakteristik Persepsi
Orang-orang di Akron memiliki struktur yang baik dengan perilaku yang
dikontrol dan ditentukan. Seorang manajer di tanah pertanian tersebut
mengatakan “kami akan kehilangan uang jika mereka bekerja oleh sebab itu kami
menyakinkan setiap orang untuk mengetahui tugasnya, mengetahui kapan
mereka beristirahat, kapan mereka bekerja dan lain-lain”. Sebaliknya para ahli di
Stockton memiliki struktur yang kecil dengan perilaku yang tidak begitu
dikontrol.
80
6.7.1 Penyerapan
Orang-orang di Akron merasa mereka tidak terlalu berpengaruh dalam
penentuan kebijaksanaan daripada para ahli di laboratorium Stockton. Pekerjaan
di Akron ditentukan secara jelas dan dituangkan dalam aliran produksi yang
otomatis sehingga sedikit sekali keterlibatan individu dalam pembuatan
kebijaksanaan dalam proses kerja di Akron pengaruh pembuatan kebijaksanaan
itu dikonsentrasikan pada the upper level (level tertinggi dari formal struktur (di
Stockton)) pengaruh itu menyebar pada semua level dalam formal struktur.
6.7.2 Orientasi Waktu
Orang di Akron berorientasi pada rentangan waktu yang pendek dan
mempunyai tujuan untuk pabrik, mereka mempunyai respon umpan balik yang
cepat dalam menghubungkannya dengan kualitas dan servis terhadap tanah
pertaniannya inilah essensial yang diberikan oleh situasi kerja.
Para peneliti di Stockton berorientasi pada rentangan waktu yang panjang
dan bertujuan untuk ilmu pengetahuan.
Orientasi berarti mereka mau menunggu umpan balik yang panjang dari
proyek riset yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai
kekomplitannya.
6.7.3 Gaya Managerial
Baik individual di Akron maupun di Stockton mempunyai gaya managerial
yang diekspresikan dengan menghubungkan pekerjaan dengan orang sehingga
nampak adanya kesesuaian. Di Akron teknologi pekerjaan sangat dominan
dimana perilaku Top Manager tidak memfokuskan pada pekerjaan tetapi pada
keefektifan, sebaliknya pekerjaan penelitian di Stockton lebih bersifat perilaku
pemecahan masalah individu. Perilaku itu terbagi-bagi dan tidak terkoordinasi.
Semua perbedaan dalam karakteristik iklim disimpulkan dalam kolom dibawah
ini.
81
Perbedaan Karakteristik Iklim dalam Meningkatkan Organisasi
Karakteristik Aktron Stockton
1. Orientasi struktural
1. Persepsi perilaku
sangat terkontrol dan
tingkat strukturnya
tinggi
1. Perilaku
strukturalnya
rendah
2. Penyebaran pengaruh
2. Dikonsentrasikan
dalam upper level
dalam organisasi
2. Pengaruh
persepsi itu
menyebar di
seluruh level
3. Sifat hubungan atasan
dan bawahan
3. Kebebasan atasan
rendah untuk
memilih dan
menangani
pekerjaan, tipe
kepemimpinannya
terarah
3. Kebebasan
atasan tinggi
untuk memilih
dan menangani
obyek, tipe
atasannya
4. Hubungan teman
sekerja
4. Adanya kesamaan
persepsi diantara
teman sekerja,
tingkat koordinasi
yang tinggi
4. Partisipasi yagn
berbeda diantara
teman sekerja,
tingkat
koordinasi
rendah
5. Orientasi waktu 5. Jangka pendek 5. Jangka panjang
6. Orientasi tujuan 6. Pabrik 6. Ilmu
pengetahuan
7. Gaya managerial dari
Top Manager
7. Menghubungkan
pekerjaan
7. Menghubungkan
pekerjaan
6.7.4 Motivasi Kerja
Karena adanya perbedaan karakteristik organisasi di Akron dan Stockton
maka terjadi perbedaan penempatan dalam bekerjasama kedua organisasi
tersebut memiliki dua hal penting yang sama.
1. Setiap orang memiliki kesesuaian yang baik dalam pekerjaan
82
2. Walaupun perilaku kedua orang itu berbeda namun akibatnya sama yaitu
adanya keefektifan kerja
Dalam studi ini kita akan berusaha untuk menghubungkan kesesuaian
antara orang dan pekerjaan dengan motivasi individu untuk mencapai
keefektifan. Disini dikemukakan dua cara untuk mengukur motivasi “rasa
mampu” dari individu:
1. Menyuruh individu (partisipan) untuk menulis cerita yang imajinatif dan
Kreatif yang merupakan respon dari gambar yang ditunjukkan
2. Menyuruhnya menulis cerita imajinatif dan Kreatif tentang apa yang
harus dia kerjakan, pikirkan dan rasakan untuk masa depan pekerjaannya
Hal ini kita kenal dengan tes proyektif dimana dalam tes diasumsikan
bagaimanakah proyek responden yang dituangkan dalam ceritanya, tingkah laku,
pikiran, perasaan, kebutuhan dan keinginannya. Semua itu bisa diukur lewat
ceritanya tersebut.
Individu di Akron dan Stockton menunjukkan rasa mampu yang lebih
signifikan dibandingkan Harvard dan Carmel. Disini kami menemukan bahwa
kesesuaian pekerjaan, orang mempunyai hubungan yang simultan dengan
motivasi individu dan keefektifan organisasi. Saling ketergantungan ini
diilustrasikan dalam gambar dibawah ini :
Gambar Hubungan Kontigen Dasar
Dari gambar ini kita bisa menyimpulkan bahwa diantara ketiganya itu
memiliki hubungan sebab dan akibat. Hal ini sangat penting bagi penerapan teori
dan praktek manajemen.
Kesesuaian pekerjaan
organisasi
Keefektifan
pekerjaan
Motivasi rasa mampu
dari individu
83
6.7.5 Teori Contigency
Jika kita kembali pada asumsi teori Y dari Mac Gregor kita akan tahu
validitas kesimpulannya. Teori Y menolong kita menerangkan penemuan-
penemuan dalam laboratorium tersebut. Namun kita masih memerlukan hal-hal
lain disamping teori X dan teori Y untuk menerangkan penemuan-penemuan di
kedua tanah pertanian tersebut. Sebagai para manager di Akron bekerja dalam
kondisi organisasi formal dengan sedikit partisipasi dalam pembuatan
kebijaksanaan namun mereka tetap termotivasi.
Sesuai dengan Teori X orang harus dipaksa untuk bekerja dan mereka
harus bekerja keras. Sesuai dengan teori Y mereka harus dilibatkan dalam
pembuatan keputusan dan mengarahkan dirinya sendiri sehingga merasa
termotivasi.
Tak satupun dari data kami yang menunjukkan asumsi lain yang cocok jika
diterapkan di Akron.
Kebalikannya para manager di Harvard bekerja dalam kondisi organisasi
yang kurang formal. Namun memiliki partisipasi yang kurang tinggi dalam
pembuatan keputusan. Dan ternyata mereka tidak memiliki motivasi yang tinggi
seperti di Akron padahal menurut teori Y seharusnya mereka lebih termotivasi.
Menurut asumsi teori kontigensi ada 4 penemuan yang diketengahkan
yakni :
1. Kehidupan manusia itu memiliki berbagai macam pola kebutuhan dan
motivasi dalam kerja. Namun kebutuhan yang utama adalah untuk
mencapai/ memperoleh a sense of competence (rasa mampu)
2. Motivasi rasa mampu ini harus ada pada setiap manusia dan harus
terpenuhi. Cara pencapaian setiap orang berbeda tergantung
bagaimanakah interaksi kebutuhan itu dibandingkan kekuatan
kebutuhan-kebutuhan individu lainnya antara lain: kekuasaan,
kemerdekaan, struktur, pencapaian tujuan
3. Motivasi kemampuan akan terpenuhkan bila ada kesesuaian antara
pekerjaan/ tugas dan organisasi
4. Rasa mampu ini menyebabkan adanya motivasi untuk pencapaian tujuan
dan jika tujuan pertama telah tercapai maka dia akan berusaha mencapai
tujuan yang lebih tinggi
84
Dari pembahasan ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa setiap orang
yang berbeda mempunyai kebutuhan yang berbeda. Namun mereka memiliki
kebutuhan yang sama dalam hal memiliki a sense of competence. Untuk
pencapaian tujuan ini setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda.
Penerapan teori contigency yang terpenting adalah tidak hanya mencari
kesesuaian antara pekerjaan dan organisasi namun juga adanya kesesuaian
pekerjaan dan pegawai.
Kesesuaian antara pegawai dan organisasi yang perlu diperhatikan untuk
memperoleh kepuasan yang sesungguhnya motivasi tidak boleh menurut jikalau
tujuan yang pertama sudah tercapai. Jika seseorang memiliki rasa mampu hal ini
akan lebih konsisten dibanding motivator yang berasal dari gaji dan keuntungan.
6.7.6 Penerapan bagi Manager
Penerapan managerial yang terutama dari teori contigency adalah adanya
kesesuaian antara pegawai, organisasi dan pekerjaan. Interelasi ini sifatnya
sangat kompleks, kemungkinan yang terbesar bagi tindakan managerial didalam
menjalankan organisasi adalah mencari kesesuaian antara pekerjaan dan
pegawai. Jikalau kesesuaian ini telah tercapai baik keefektifan dan motivasi yang
lebih tinggi hanyalah merupakan akibatnya.
Seorang manager dalam memulai proses pekerjaan dia harus
mempertimbangkan umpan balik dari proses sebelumnya sedang pekerjaan
mendatang akan lebih berguna.
Keputusan seorang manager membentuk pola hirarki manajemen,
penentuan tugas yang spesifik, prosedur kontrol dan upah. Untuk itu perlu
adanya selektivitas dalam proses training penekanan pada pengadaan gaya
kepemimpinan akan menyebabkan adanya kesesuaian organisasi. Problematic
pencapaian kesesuaian antara pegawai, organisasi dan pekerja akan berkurang
apabila kita menempatkan kepribadian macam apakah yang sesuai untuk
bermacam-macam pekerjaan dan organisasi. Jikalau seseorang memiliki keahlian
yang terbatas dia harus menempatkan dibagian pekerjaan yang sesuai antara
tugas, pekerjaan dan organisasi kita harus mempertajam kriteria seleksi terhadap
seseorang sehingga seseorang itu betul-betul cocok dengan yang kita butuhkan.
Kalau dulu para manager bingung untuk memiliki pendekatan apakah
yant terbaik, pendekatan Klasik atau Partisipatif, namun sekarang mendapatkan
85
satu pertanyaan yang baru yaitu pendekatan organisasi apakah yang harus
diberikan kesesuaian antara pekerjaan dan pegawai.
Bagi beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang teknologi mereka
lebih senang menggunakan pendekatan Partisipatif. Namun dalam situasi
tertentu dibutuhkan adanya kontrol dan formalitas organisasi. Pemberian
kebutuhan dan pekerjaan bagi para pegawai menyebabkan mereka memperoleh
gaji dan motivasi.
6.8 Kesimpulan
Kekuatan pendekatan contigency yang telah diterangkan di atas berguna
sebagai jalan pemikiran untuk memperoleh kompleksitas. Jikalau teori ini
dikembangkan kami yakin bahwa teori motivasi dan contigency akan menjadi
pertimbangan dalam hubungan kontigen antara pekerjaan, organisasi dan
pegawai. Agar seseorang merasa senang dalam pekerjaan ada 3 hal yang
diperlukan:
- Mereka harus merasa cocok dengan pekerjaannya
- Mereka tak boleh bekerja terlalu keras
- Mereka harus memiliki rasa sukses dalam pekerjaannya tersebut (Sumber:
Diskusi Kelas PDIA (S3) FIA – UB. 2010)
Sumber : Hasil Kajian Politik dan Tata Pemerintahan. FIA – UB. Mc Gregor
Douglas, Haman Side of Entreprise. Alih Bahasa Arlina. Erlangga.
Jakarta.
• Gregor Mac Douglas, Morse, Lorsch (1976). Dikutip oleh Domai, T. (2010).
Dalam Buku Ajar Teori Kepemimpinan. Buku Ajar FIA-UB. Malang.