10
BAB II
DASAR TEORI
A. Kajian Teoritik2.1 Hakekat Matematika
Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang
tidak hanya sekedar menghitung secara teknis dan mekanis.
Matematika pada dasarnya adalah sebuah ilmu yang tujuan
utamanya adalah mengarahkan alur berpikir sesuai dengan
kaidah logika. Pembelajaran matematika di sekolah pada
dasarnya bukanlah sekedar mengajarkan kepada peserta didik
tentang bagaimana menghitung sesuai dengan algoritma yang
diberikan dan bersifat monoton. Lebih dari itu, matematika
sekolah mempunyai tujuan yang lebih mendalam dari itu,
yaitu mengajarkan kepada peserta didik tentang bagaimana
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta
mempunyai kemampuan kerjasama. Sehingga cakap dalam
menghitung secara teknis saja tidak cukup, tetapi juga harus
mampu mengembangkan daya berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis dan kreatif. Kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis dan kreatif sangat dibutuhkan oleh
peserta didik agar dapat mempelajari matematika dengan
baik. Selain itu, kemampuan penalaran dan berpikir logis juga
akan bermanfaat bagi peserta didik dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
11
Matematika mempunyai peranan penting dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Matematika
mempunyai sifat universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern yang memiliki karakteristik menuntut
kemampuan berfikir logis, analitis, sistimatis, kritis, kreatif,
dan inovatif. Konsep-konsep matematika dapat digunakan
membantu peserta didik mengembangkan potensi intelektual
yang ada dalam dirinya serta memudahkan mempelajari
bidang-bidang ilmu yang lain.
Menurut Muhammad Ali (2007), matematika adalah
bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk
mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan
keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk
memudahkan dalam berpikir. Lerner(2008) mengemukakan
bahwa matematika disamping sebagai bahasa simbolis juga
merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia
memikirkan, mencatat dan mengkomunikasikan gagasan atau
ide mengenai elemen dan kuantitas. Hakekat matematika
menurut Hudoyo(1988) adalah berkenaan dengan ide-ide,
struktur-struktur, dan hubungan - hubungannya yang diatur
menurut urutan yang logis dan juga berkenaan dengan
konsep-konsep abstrak. Berdasarkan beberapa pendapat di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian matematika
adalah suatu bahasa simbolis yang mengekspresikan ide-ide,
struktur atau hubungan yang logis termasuk konsep-konsep
abstrak sehingga memudahkan manusia untuk berpikir.
12
B. Hasil BelajarDunia pendidikan selalu berkaitan dengan belajar dan
hasil belajar. Belajar merupakan suatu proses perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungannya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata
dalam seluruh aspek tingkah laku. Pengertian belajar dapat
didefinisikan sebagai berikut, “Belajar adalah suatu proses
usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan
sebagai hasil pengalaman dalam interaksi dengan
lingkungan.” Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang
banyak sekali baik sifat maupun jenis, karena itu sudah tentu
tidak setiap perubahan dalam diri seseorang merupakan
perubahan dalam arti belajar (Slameto, 2003 : 2). Menurut
Sudjana (2000 : 28), “Belajar adalah suatu proses yang
ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang.
Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkkan
dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuannya,
pemahamannya, sifat dan tingkah lakunya, ketrampilannya,
kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya
penerimaanya, dan aspek yang ada pada individu. Oleh sebab
itu belajar adalah proses yang aktif”. Dari belajar akan
diperoleh output yang berupa hasil belajar.
Hasil Belajar merupakan suatu hasil yang diharapkan
dari pembelajaran yang telah ditetapkan dengan aturan
perilaku tertentu sebagai dampak dari proses belajar dan
kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima
13
pengalaman belajar. Hasil belajar mempunyai peranan penting
dalam proses pembelajaran. Proses penilaian terhadap hasil
belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang
kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan belajar melalui
kegiatan belajar. Selajutnya dari informasi tersebut guru
dapat menyusun dan membina kegiatan – kegiatan siswa lebih
lanjut, baik dari keseluruhan kelas maupun individu.
Pencapaian hasil belajar dapat membawa perubahan tingkah
laku yang memiliki ciri – ciri : perubahan terjadi secara sadar,
perubahan dalam belajar bersifat fungsional, perubahan
bersifat positif dan aktif, perubahan bukan bersifat sementara,
perubahan tertuju dan terarah, perubahan mencakup seluruh
aspek tingkah laku (Slameto, 2003:1). Menurut Hudoyo (1990)
hasil belajar matematika melibatkan suatu struktur dari
konsep-konsep tingkat yang lebih tinggi yang dibentuk atas
dasar apa yang telah terbentuk sebelumnya. Jadi, asumsi ini
berarti bahwa belajar konsep - konsep matematika tingkat
lebih tinggi tidak mungkin bila prasyarat yang mendahului
konsep-konsep itu belum dipelajari.
Hasil belajar juga mencakup kemampuan kognitif,
afektif dan psikomotorik. Domain kognitif adalah knowledge
(pengetahuan), comprehension (pemahaman), application
(penerapan), analysis(mengurai), synthesis(mengurai) dan
evaluasi. Domain Afektif adalah receiving, responding, valuing,
organization, dan karateristik. Domain psikomotorik adalah
initiatory, pre-routine, dan rountinized. Kita juga harus ingat
bahwa hasil belajar adalah perubahan prilaku secar
14
keseluruhan bukan hanya dari salah satu aspek potensial
saja. sehingga uraian diatas dapat disimpulkan hasil belajar
adalah hasil yang dicapai seseorang dari pengukuran dan
penilaian dalam proses usaha perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan dengan bahasa simbolis untuk
mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan
keruangan yang memudahkan seseorang untuk berfikir. Maka
hasil belajar adalah hasil yang dicapai seseorang dari
pengukuran dan penilaian usaha belajar. Matematika
merupakan sebuah pelajaran yang menarik, namun ada
sebagian yang mengganggap matematika sulit. Sehingga
dalam pembelajaran ini penulis menerapkan dua model
pembelajaran. Kedua model pembelajaran metematika
tersebut adalah Model Penemuan Terbimbing dan Model
Pemecahan masalah.
2.2 Model Penemuan Terbimbing2.2.1Pengertian Model Penemuan terbimbing
Pembelajaran penemuan terbimbing adalah suatu model
mengajar yang penyampaian materinya, diatur sedemikian
rupa sehingga materi pelajaran tidak diterima siswa hingga
bentuk akhir dari penjelasan guru namun memungkinkan
siswa menemukan sendiri pola atau struktur melalui
pengalaman belajar yang telah dimiliki siwa. Pada model
penemuan terbimbing bentuk akhir yang akan ditemukan
siswa belum diketahui siswa dan merupakan hal baru bagi
siswa. Hal baru tersebut dapat berupa konsep, teorema,
15
rumus, pola, aturan dan lain - lain. Untuk dapat
menemukannya mereka harus melakukan perkiraan, taksiran,
coba coba dan usaha lainnya dengan bimbingan guru. sebuah
model pembelajaran penemuan yang dalam pelaksanaanya
dilakukan oleh siswa berdasarkan petunjuk-petunjuk guru
dan dikembangkan berdasarkan pandangan kognitif tentang
pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivisme.
menggunakan model ini siswa dilatih dan didorong untuk
dapat belajar secara mandiri. Dengan kata lain, belajar secara
konstruktivisme lebih menekankan belajar berpusat pada
siswa sedangkan peranan guru adalah sebagai fasilitator atau
membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip
untuk diri mereka sendiri,bukan memberikan ceramah atau
mengendalikan seluruh kegiatan kelas.
Terdapat tiga indikator utama dalam model penemuan
terbimbing, yaitu mengeksploitasi dan memecahkan masalah
untuk menciptakan, menggabungkan serta menggeneralisasi
pengetahuan, baik pengetahuan yang baru maupun
pengetahuan yang sudah ada, dan berpusat pada siswa.
Secara garis besar langkah dalam pembelajaran dengan model
penemuan terbimbing yaitu melakukan perencanaan yang
matang sebelum pembelajaran dimulai. Terutama fasilitas
yang akan digunakan untuk kepentingan demontrasi
pembelajaran, merumuskan tujuan pembelajaran dan memilih
materi yang tepat untuk diajarakan. Model penemuan
terbimbing merupakan suatu cara belajar siswa aktif, dengan
memahami, mempelajari, menemukan dan menyelidiki sendiri
16
konsep yang dipelajari, maka hasil yang didapat akan tahan
lama dalam ingatan siswa tersebut.
Menurut Markaban ( 2006 : 16 ) agar pelaksanaan
model pembelajaran penemuan terbimbing ini berjalan dengan
efektif, beberapa langkah yang mesti ditempuh oleh guru
matematika adalah sebagai berikut : a. Merumuskan masalah
yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya.
Perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang
menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa
tidak salah. b. Dari data yang diberikan guru, siswa
menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data
tersebut. Dalam hal ini, bimbingan ini sebaiknya
mengarahkan siswa untuk melangkah kearah yang hendak
dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS. c. Siswa
menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang
dilakukannya. d. Bila dipandang perlu,konjektur yang telah
dibuat oleh siswa tersebut diatas diperiksa oleh guru. Hal ini
penting dilakukan untuk menyakinkan prakiraan siswa,
sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai, e. Apabila
telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur, maka
verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa
untuk menyusunnya, f. Sesudah siswa menemukan apa yang
dicari hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal
tambahan untuk memeriksa apakah penemuan itu benar.
Berikut adalah langkah – langkah dalam pembelajaran
dengan model Penemuan Terbimbing.
17
1) Pemberian soal atau masalahPemberian masalah (menentukan tes kriteria), siswa
diminta memahami masalah yang diberikan. Masalah
yang diberikan oleh guru kepada siswa hendaknya
memberi petunjuk, arah, dan tujuan kegiatan yang
dilakukan.
2) Pengembangan dataPengembangan data yang diberikan selalu ada
hubungannya dengan masalah. Bagi siswa yang sudah
menemukan jawaban dapat masalah langsung ke
langkah 6) Penarikan kesimpulan. Bagi siswa yang
belum menemukan jawaban dari masalah, maka harus
melanjutkan ke langkah 3).
3) Penyusunan dataSiswa diminta menyusun data yang diperoleh dari
langkah 2) ke dalam tabel. Bila dari penyusunan data,
siswa mendapatkan pola yang diperlukan untuk
menjawab masalah, siswa bisa langsung ke langkah 6).
Bila belum mendapatkan pola yang diperlukan siswa
melanjutkan ke langkah 4).
4) Penambahan dataDengan penambahan data siswa diharap memperoleh
pola yang diperlukan. Jika siswa mendapatkan pola
yang diharapkan, siswa langsung menuju langkah 6).
Jika belum selesai siswa melanjutkan ke langkah 5).
5) Prompting/loncatan
18
Guru memberikan prompting (menambah data secara
meloncat) sehingga diharapkan siswa memperoleh pola
yang diperlukan. Jika siswa mendapatkan pola yang
diperlukan, siswa tersebut bisa langsung menuju
langkah 6).
6) Penarikan kesimpulanMenjawab masalah berdasarkan pola-pola yang sudah
ditemukan siswa. Jika pola masih belum terlihat oleh
siswa, maka guru memberikan petunjuk singkat,
sehingga siswa memperoleh pola yang diharapkan
untuk dapat menemukan jawaban masalah.
7) Penerapan konsepSiswa diberi soal-soal latihan yang sejenis dengan
tujuan untuk memantapkan ketangkasan siswa
menggunakan konsep/rumus-rumus yang diperoleh.
2.3 Model Pemecahan Masalah2.3.1 Pengertian Model Pemecahan Masalah
Materi matematika yang diberikan pada siswa Sekolah
Dasar (SD) pada dasarnya bersifat untuk memahami konsep,
oleh karena itu diperlukan penguasaan yang memadai
terhadap konsep matematika di tingkat SD agar tidak
menimbulkan kesulitan siswa dalam belajar matematika.
Hudoyo (1979) menyatakan bahwa suatu soal akan
merupakan masalah jika seseorang tidak mempunyai
aturan/hukum tertentu yang segera dapat dipergunakan
19
untuk menemukan jawaban soal tersebut. Masalah
matematika berbeda dengan soal matematika. Soal
matematika tidak selamanya merupakan masalah. Soal
matematika yang dapat dikerjakan secara langsung dengan
aturan/hukum tertentu tidak dapat disebut masalah.Pemecahan masalah sangat penting dalam pembelajaran
matematika karena siswa akan memperoleh pengalaman
menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang sudah
dimiliki siswa untuk diterapkan pada pemecahan masalah
yang bersifat tidak rutin.
2.3.2 Tujuan model Pemecahan Masalah (ProblemSolving):
Penerapan suatu model pembelajaran tentu memiliki
tujuan, dimana tujuan tersebut menjadi hasil akhir yang
diharapkan. Dalam hal ini tujuan penerapan model
Pemecahan Masalah adalah sebagai beriku:
1) Model ini dapat membuat pendidikan disekolah
menjadi relevan dengan kehidupan, khususnya
kehipan sehari hari.
2) Proses belajar mengajar melalui pemecahan
masalah dapat membiasakan para siswa
menghadapi dan memecahkan masalah secara
terampil.
3) Model ini merangsang pengembangan
kemampuan berpikir siswa secara kreatif dan
menyeluruh , karena dalam proses belajarnya
siswa banyak menyoroti permasalahan dari
20
berbagai segi dalam rangka menemukan
solusinya.
Model pembelajaran pemecahan masalah yaitu
pembelajaran yang berbasiskan masalah, pada proses
pembelajarannya siswa dihadapkan pada masalah yang harus
diselesaikan sendiri. Polya (1973:5) menyarankan untuk
membagi proses pemecahan masalah ke dalam empat tahap,
yaitu: 1. Memahami masalah, Pada tahap ini kita harus dapat
mengidentifikasi hal-hal yang diketahui, hal-hal yang
ditanyakan dan syarat-syarat yang ada.Apabila diperlukan
kita dapat membuat gambar/diagram untuk memperjelas
situasinya. Setelah informasi diperoleh sudah lengkap, kita
harus dapat mengorganisasi dan menghubung-hubungkan
informasi tersebut. 2. Menyusun rencana, Pada tahap ini kita
harus dapat menentukan apakah kita pernah menghadapi
masalah tersebut ataupun masalah lain yang serupa. Selain
itu kita harus memikirkan masalah lain yang terkait dengan
masalah yang sedang dihadapi. Selanjutnya kita harus
menentukan strategi pemecahan masalah yang sesuai untuk
masalah tersebut, 3. Melaksanakan Rencana, Pada tahap ini
kita melaksanakan rencana pemecahan masalah dengan
mengecek kebenaran di setiap langkah. 4. Menguji kembali,
pada tahap ini harus memeriksa hasil yang diperoleh, apakah
solusi yang didapat sesui dengn masalah yang di hadapi.
Berikut adalah fase/Tahapan dalam model pemecahan
masalah:
21
Tabel 2.1 Tahapan dalam model Pemecahan masalah
FASE-FASE TINGKAH LAKU GURU
Fase 1
Orientasi siswa kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan
pembelajaran, menjelaskan logistik
yang dibutuhkan, memotivasi siswa
terlibat pada aktivitas pemecahan
masalah yang dipilih
Fase 2
Mengorganisasikan siswa untuk
belajar
Guru membantu siswa
mendefinisikan dan me
ngorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah
tersebut
Fase 3
Membimbing penyelidikan individu
maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan eksperimen,
untuk mendapatkan penjelasan
Dan pemecahan masalah
Fase 4
Mengembangkan dan menyajikan
hasil karya
Guru membantu siswa dalam
merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan,
video, dan model serta membantu
mereka untuk berbagai tugas
dengan temannya
Fase 5
Menganalisis dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk
melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap penyelidikan mereka dan
proses-proses yang mereka
gunakan
22
Dalam pelaksanaan model ini tidak serta merta dengan
mudah kita langsung menerapkan kepada anak didik. Harus
melalui pendekatan-pendekatan. Dalam hal ini penulis
menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
dalam penerapan kedua model tersebut.
2.4 Pendidikan Matematika Realistik (PMR)2.4.1 Pengertian Pendekatan Pendididkan Matematika
Realistik (PMR)Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan
berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat
bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (human
activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan
pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa
dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan
untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui
bimbingan guru, dan bahwa penemuan kembali (reinvention)
ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil”
(Sutarto Hadi, 2005: 9). Dunia riil adalah segala sesuatu di
luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain
matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan
matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan
sekitar kita. Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan
situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum.
Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual
akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi
siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan
23
penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu
menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus
dipetakan. Sebagai konsekuensinya, dalam PMR guru harus
mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif
berpartisipasi dalam proses belajar mereka sendiri (Sutarto
Hadi, 2005: 10).
Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR)
merupakan sebuah pendekatan dengan pembelajaran yang
lebih realistik. Dimana lebih diharapkan kepada anak didik
dapat menemukan ide dan konsep baru dalam pembelajaran
matematika dengan bantuan orang dewasa atau guru. Dalam
dunia pendidikan Matematika diharapkan siswa dapat paham
dan mengerti tentang suatu konsep matematika, bergulat
dengan ide ide baru, dan membuat dan mempertahankan
penyelesaian soal. Dengan Pendekatan PMR ini diharapkan
dapat membawa siswa mampu memahami bahwa matematika
masuk akal. Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran
matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik
sebagai berikut: 1.Menggunakan konteks, artinya dalam
pembelajaran matematika realistik lingkungan keseharian
atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan
sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa, 2.
Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam
matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik
model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke
tingkat abstrak, 3. Menggunakan kontribusi siswa, artinya
24
pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada
sumbangan gagasan siswa, 4. Interaktif, artinya aktivitas
proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan
siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan
sebagainya, 5. Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda
dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan
pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.
Dengan mengkaji prinsip dan karakteristik
pembelajaran matematika realistik nampak bahwa
pendekatan ini dikembangkan berlandaskan pada filsafat
kontruktivisme. Paham ini berpandangan bahwa
pengetahuan dibangun sendiri oleh orang yang belajar secara
aktif. Penanaman suatu konsep tidak dapat dilakukan
dengan mentransferkan konsep itu dari satu orang ke orang
lain. Siswa yang sedang belajar semestinya diberi keleluasaan
dan dorongan untuk mengekspresikan pikirannya dalam
mengkonstruksi pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.
Aktivitas ini dapat terjadi dengan cara memberikan suatu
permasalahan matematika kepada siswa. Permasalahan
matematika tersebut adalah permasalahan yang telah
diakrabi siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagai
akibat dari peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran
matematika realistik adalah berkurangnya dominasi guru.
Dalam pendekatan ini guru lebih berfungsi sebagai fasilitator.
Berikut ini adalah langkah-langkah Pembelajaran Matematika
Realistik: Memahami masalah kontekstual, Menjelaskan
masalah kontekstual, Menyelesaikan, masalah kontekstual,
25
Membandingkan dan mendiskusikan jawaban dan
Menyimpulkan.
Menurut Amin Suyitno (2004: 38), implementasi
pendekatan PMR di sekolah adalah sebagai berikut:
a) Guru menyiapkan beberapa soal realistik (ada
kaitannya dengan kehidupan sehari-hari) yang akan
dikerjakan siswa secara informal atau coba-coba
karena langkah penyelesaian formal untuk
menyelesaikan soal tersebut belum diberikan.
b) Guru memeriksa hasil pekerjaan siswa dengan
berprinsip pada penghargaan terhadap keberagaman
jawaban dan kontribusi siswa.
c) Guru menyuruh siswa untuk menjelaskan temuannya
di depan kelas.
d) Dengan tanya jawab, guru mungkin perlu mengulang
jawaban siswa terutama jika ada pembiasan konsep.
e) Guru baru menunjukkan langkah formal yang
diperlukan untuk menyelesaikan soal tersebut. Bisa
didahului dengan penjelasan tentang materi
pendukungnya.
2.4.2 Tiga Prinsip Pendidikan Matematika RealistikMenurut GRAVEMEIJER
Prinsip tersebut antara lain guided reinvention and
progressive mathematizing, didactical phenomenology, dan self-
developet models. Ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan
secara singkat sebagai berikut:1. Guided reinvention Through
26
progressive mathematizing Prinsip yang pertama adalah
penemuan kembali secara terbimbing melalui matematisasi
secara progressif. Prinsip ini menghendaki bahwa dalam
pembelajaran matematika realistik, siswa harus diberi
kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan
proses penemuan konsep matematika. maksud dari proses
yang sama tersebut adalah siswa diberi kesempatan
merasakan jenis dan situasi nyata (contextual problem) yang
mempunyai berbagai kemngkinan solusi. Dilanjutkan dengan
matematisasi prosedur pemecahan masalah yang sama, serta
perancangan rute belajar yang sedemikian rupa, sehingga
siswa dapat menemukan sendiri konsep dan hasil.
2. Didactical phenomenology (fenomena pembelajaran) Prinsip
ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran,
yang menghendaki bahwa didalam menemukan masalah
kontekstual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan
pendekatan pembelajaran matematika realistik yang
berdasakan atas dua alasan, yaitu untuk menggunakan
berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi
dalam pembelajaran dan untuk dipertimbangkan pantas
tidaknya masalah kontekstual itu digunakan sebagai poin-
poin untuk suatu proses pematematikaan progresif (proses
pembelajaran yang bergerak dari masalah nyata ke
matematika formal). Dari uraian ini menunjukkan bahwa
prinsip yang kedua dari pembelajaran matematika realistik ini
menekankan topik - topik matematika kepada siswa. Hal itu
dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kecocokan
27
masalah konstektual yang disajikan dengan topik-topik
matematika yang diajarkan dan prosedur matematika yang
akan ditemukan kembali oleh siswa dalam pembelajaran. 3.
Self-developed models (mengembangkan model
sendiri)Menurut prinsip ini, model-model yang dibangun
berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan formal
dengan pengetahuan informal dan matematika formal. Dalam
menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan
untuk membangun sendiri model matematika terkait dengan
masalah konstektual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensi
dari kebebasan itu, sangat dimungkinkan muncul berbagai
model yang dibangun siswa. Model yang dikembangkan
tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada
bentuk yang lebih baik dan efisien. Dalam pelaksanaan
pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik
hendaknya memiliki orientasi. Berikut adalah adalah
pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran
matematika realistik :
1) Siswa diharapkan membangun konsep dan
struktur matematika bermula dari intuisi, ide dan
konsep dari mereka sendiri.
2) Pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal yang
konkrit; diawali dari pengalaman siswa serta
berasal dari lingkungan sekitar siswa; diharapkan
siswa tertarik terhadap aktivitas matematika
tersebut; siswa belajar dari pengalamannya
sendiri bukan pengalaman gurunya.
28
3) Pembelajaran didesain dan diawali dari
pemecahan masalah terhadap masalah
kontekstual yang ada di sekitar lingkungan tinggal
siswa atau yang dapat dipikirkan oleh siswa.
4) Selama proses menuju ke arah matematika yang
lebih formal, diharapkan siswa mengkonstruksi
idea tau gagasannya sendiri, menemukan solusi
suatu permasalah, dan membangun atau
memperoleh suatu konsep secara mandiri, tidak
perlu sama dengan siswa lainnya bahkan dengan
gurunya sekalipun.
5) Pembelajaran matematika tidak hanya memberi
penekanan pada komputasi, serta mementingkan
langkah prosedural (algoritmis), tetapi lebih pada
pemahaman yang mendalam pada konsep dan
pemecahan masalah dengan penyelesaian
masalah yang tidak rutin dan mungkin
jawabannya tidak tunggal.
6) Siswa belajar matematika dengan pemahaman,
membangun secara aktif pengetahuan baru dari
pengalaman dan pengetahuan awal. Peran guru
dalam memberi semangat dan dan dorongan
sangatlah penting. Tujuannya adalah agar siswa
lebih aktif memahami soal, menguji ide idenya,
membuat dugaan, membuat alasan da
menjelasakan hasil pekerjaanya . siswa juga
29
harus lepas dari rasa takut jika ide atau konsep
yang mereka terapkan salah.
2.5. Penelitian Yang Relevan
Berikut akan ditunjukkan beberapa hasil penelitian
yang telah dilakukan dengan menggunakan model Penemuan
Terbimbing dan Model Pemecahan masalah:
a. Kasto (2009), melakukan penelitian dengan judul
“Perbandingankeefektifan metode penemuan terbimbing dan
metode pemberian tugas terhadap hasil belajar ilmu
pengetahuan alam ditinjau dari motivasi belajar siswa
(Eksperimen di Sekolah DasarNegeri Kecamatan Jatipuro,
Karanganyar)”. Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan : (1) terdapat Perbedaan pengaruh yang
signifikan penggunaan metode penemuan terbimbing dan
metode pemberian tugas terhadap hasil belajar Ilmu
Pengetahuan Alam (F hitung > F tabel atau 13,57 >4,02)
sehingga hipotesis yang dikemukakan teruji kebenarannya, (2)
TerdapatPerbedaan pengaruh yang signifikan antara motivasi
belajar Ilmu Pengetahuan Alam tinggi dan rendah terhadap
hasil belajar Ilmu Pengetahuan Alam (F hitung > F tabel atau
17,17 > 4,02) sehingga hipotesis yang dikemukakan teruji
kebenarannya, (3). Terdapat Interaksi pengaruh yang
signifikan antara penggunaan metode pembelajaranpenemuan
terbimbing dengan pemberian tugas dan motivasi belajar
terhadap hasil belajar Ilmu PengetahuanAlam (F hitung > F
30
tabel atau 5,89 > 4,02) sehingga hipotesis yang dikemukakan
teruji kebenarannya.
b. Pujiono, (2011) melakukan penelitian dengan judul
“Pembelajaran melalui Metode Penemuan Terbimbing untuk
Meningkatkan Kompetensi Siswa Kelas XI SMK Negeri 3
Boyolangu Tulungagung tentang Barisan dan Deret”. Hasil
penelitian disimpulkan bahwa metode penemuan terbimbing
secara berkelompok dapat meningkatkan kompetensi siswa
kelas XI Teknik Instalasi Tenaga Listrik 2 SMK Negeri 3
Boyolangu Tulungagung. Pada tindakan I hasil pengamatan
aktivitas siswa rata-rata sebesar 84,09% atau berada pada
kategori baik, sedangkan pada tindakan II aktivitas siswa rata-
rata sebesar 85,12% atau berada pada kategori sangat baik.
Nilai akhir pada tindakan I siswa yang tuntas adalah 88,57%,
sedangkan pada tindakan II siswa yang tuntas sebesar
97,14%. Data di atas menunjukkan bahwa pembelajaran
dengan menggunakan metode penemuan terbimbing dapat
meningkatkan kompetensi.
c. Yuni Astuti (2007) yang berjudul Model Pembelajaran
Berbasis Masalah (Problem Based Learning) untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII Semester II SMP
N 5 Semarang Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Datar
Tahun Pelajaran 2006/2007. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat
meningkatkan hasil belajar siswa. Simpulan dari penelitian ini
adalah : (1) Model pembelajaran berbasis masalah dapat
meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP N 5
31
Semarang sub pokok bahasan bangun ruang kubus dan balok
tahun pelajaran 2006/2007, (2) Dengan model pembelajaran
berbasis masalah aktivitas siswa dalam pembelajaran
mengalami peningkatan. Kelebihan pada penelitian di atas
yaitu setiap siklus selalu mengalami peningkatan.
Kelemahannya adalah membutuhkan waktu penelitian yang
relative lama. Mendasarkan kelemahan di atas pada
penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya.
d. Handoko Eko Putro (2010) yang berjudul Penerapan
Metode Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Sebagai
Upaya Meningkatkan Keaktifan dan Prestasi Belajar Siswa
Kelas XI IPS 2 SMA Negeri 8 Surakarta pada Mata Pelajaran
Ekonomi Tahun Ajaran 2009/2010. Penelitian ini menyatakan
bahwa Sebelum diterapkan metode pembelajaran Problem
Based Learning (PBL) keaktifan siswa masih rendah terlihat
dari keaktifan siswa pada aspek visual activities 35,49%, oral
activities 22,58%, listening activities 41,94%, dan writing
activities 45,1 6%. Sedangkan nilai rata-rata kelas sebelum
diterapkan metode pembelajaran Problem Based Learning
(PBL) adalah 60,4. Setelah diterapkam Problem Based Learning
(PBL) diperoleh nilai rata – rata 71,90.
32
2.6. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat
sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti
melalui data yang terkumpul (Arikunto, 1998). Suatu hipotesis
akan diterima bila data yang dikumpulkan mendukung
pernyataan. Hipotesis merupakan asumsi dasar yang
kemudian membuat suatu teori dan masih diuji
kebenarannya. Berikut adalah hipotesis yang dirumuskan
dalam penelitian ini:
a. H0:µ1= µ2 Tidak ada perbedaan prestasi hasil belajar
matematika antara siswa kelas VI yang diajar
dengan menggunakan model Penemuan
terbimbing dan model pemecahan masalah
menggunakan pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik (PMR) pada siswa SDN
Kutowinangun 12 dan SDN Kutowinangun 03
Salatiga.
b. H1:µ1≠ µ2 Ada perbedaan prestasi hasil belajar matematika
antara siswa kelas VI yang diajar dengan
menggunakan model Penemuan terbimbing dan
model pemecahan masalah menggunakan
pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
(PMR) pada siswa SDN Kutowinangun 12 dan
SDN Kutowinangun 03 Salatiga.
33
2.7. Kerangka Pikir
Berdasarkan penyajian diskripsi teoritik dapat disusun
suatu kerangka berpikir untuk memperjelas arah dan maksud
penelitian. Kerangka berpikir ini disusun berdasarkan variabel
yang dipakai dalam penelitian demi mengetahui perbedaan
pengaruh pembelajaran matematika dengan penerapan model
Penemuan terbimbing dan model pemecahan masalah
menggunakan pendekatan Matematika Realistik (PMR)
terhadap prestasi belajar siswa SD Kutowinangun 12 dan SD
Kutowinangun 03 Salatiga. Keberhasilan proses belajar
mengajar dapat dilihat dari prestasi belajar siswa. Banyak
faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa diantaranya
adalah model pembelajaran yang digunakan guru.
Penggunaan model mengajar cukup besar pengaruhnya
terhadap keberhasilan guru dalam mengajar. Pemilihan model
mengajar yang tidak tepat akan dapat menghambat
tercapainya tujuan pembelajaran. Selain itu juga pendekatan
belajar siswa. Pendekatan belajar siswa menggunakan
pendekatan pendidikan matematika realistik. Dengan
pendekatan yang realistik maka siswa akan siap menerima
dan menguasai materi pelajaran yang disampaikan oleh guru,
sehingga dapat meningkatkan prestasi belajarnya. juga
membantu memperoleh prestasi yang diharapkan.