9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Patofisiologi
Plantar fascitis merupakan suatu inflamasi fascia plantaris yang
disebabkan oleh cedera yang berulang. Terjadi karena penguluran yang berlebihan
dan penekanan saat kaki menyangga beban berat badan hingga mengakibatkan
fascia mengalami kerobekan-kerobekan kecil pada jaringannya. (Sunarya, 2014).
Pantar fascitiis merupakan masalah muskuloskeletal yang dipicu oleh beberapa
faktor, yaitu umur, jenis kelamin, berat badan (overweight atau obesitas),
degeratif, anatomi kaki seperti flat foot atau pes cavum, aktivitas fisik, aktivitas
berjalan mengunakan alas kaki, etnik, dan ras.
Menurut (Sunarya, 2014) Plantar fasciitis merupakan peradangan yang
terjadi pada fascia plantaris di anteromedial dari tuberositas kalkaneus. Pada
keadaan ini pasien akan merasakan nyeri pada tumit terutama saat bangun tidur.
Nyeri dapat merupakan akibat : tekanan mekanis (yang lebih mungkin teijadi
kalau kaki rusak bentuknya), radang sendi atau kekakuan, lesi tulang setempat,
iskemia perifer dan ketegangan otot.
Fascia plantaris merupakan jaringan kolagen seperti tendon yang terletak
di sepanjang tungkai sampai telapak kaki. Dalam keadaan normal, fascia plantaris
bekerja seperti shock-absorbing bowstring yaitu menyangga lengkung dalam kaki.
10
Akan tetapi, jika tegangan pada serabut-serabut tersebut terlalu besar, maka dapat
terjadi robekan kecil di serabut-serabut tersebut (Munadi, 2012)
Pada saat inflamasi di fascia plantaris akan menyebabkan nyeri ketika
melakukan aktivitas, seperti berjalan, berlari, dan berdiri dalam waktu yang lama.
Jika dibiarkan terjadi inflamasi dalam waktu yang lama maka akan menimbulkan
abnormal pada crosslink yang akan mengakibatkan penurunan fleksibilitas pada
ankle dan kadang-kadang juga mengakibatkan terbentuknya osteosfit pada
calcaneus bagian medial.
Secara aktual patofisiologi dari plantar fascitis berawal dari stress yang
menyebabkan penguluran yang berlebihan dari plantar fascianya. Faktor yang
menyebabkannya yaitu kurangnya fleksibilitas dari plantar fascia dan tightness
otot-otot gastroc atau soleus. Lemahan dari otot-otot intrinsik kaki dan yang
utama yaitu m.tibialis posterior pada ankle, penambahan berat badan atau
aktivitas yang berat, kekurangan propriosepsi atau adanya deformitas dari struktur
kaki, seperti: pes cavus dan flat foot. Hal tersebut akan mengakibatkan tarikan
pada fascia, sehingga terjadi kerobekan dan timbul iritasi pada fascia
plantarisnya.
11
Gambar 2.1 Plantar Fasciitis
(Sumber : http://www.home-remedies-for-you.com/ )
2.2 Anatomi Ankle
Kaki sangat berperan dalam menumpuh berat tubuh saat berdiri dengan
pengeluaran energi otot yang minimum. Kaki juga berperan menjadi lever
struktural yang kaku untuk gerakan tubuh kedepan saat berjalan atau berlari.
Regio ankle dan kaki memiliki beberapa sendi dan regio ini sangat penting
dalam melakukan aktivitas seperti : berjalan, berlari, dan menumpu berat badan
saat berdiri. Ankle and foot setidaknya memiliki 28 tulang dan paling sedikit
memiliki 29 sendi.
12
2.2.1 Ankle Joint
Ankle joint atau talocrural joint termasuk ke dalam sendi sinofial hinge
joint dibentuk oleh malleolus tibia dan malleoulus fibula serta talus. Ketiga tulang
tersebut membentuk tenon dan mortise joint. Ankle joint diperkuat oleh ligament
deltoideum dan ligament coleteral lateral.
Ligament deltoideum terdiri atas empat buah ligament yang mengikat
malleolus medial tibia dengan calcaneus, talus dan navicular yaitu ligament
calcaneotibia, talo tibial anterior, tibionavicular, dan talotibia posterior.
Ligament deltoideum juga dibentuk oleh ligament spring (ligament plantar
calcaneonavicular) yang memberikan hubungan horisontal antara os navicular
dan proyeksi sustentaculum tali pada bagian medial calcaneous.
Ligament collateral lateral terdiri atas 3 ligament yang menghubungkan
malleolus lateral dangan bagian upper lateral dari colcaneus serta bagian lateral
dan posterior talus, yang tersiri atas ligament colcaneusfibular, talofibula anterior
dan posterior. Ligament collateral lateral lebih lemah daripada ligament
deltoideum (sisi medial), diantara semua ligament cillateral lateral terdapat
ligament talofibular anterior yang paling lemah.
13
Gambar 2.2 Struktur Tulang Pembentuk Ankle Joint
(sumber : http://www.eorthopod.com/ )
2.2.2 Subtalar Joint / Talocalcanea Joint
Termasuk kedalam sendi sinovial plane joint yang dibentuk oleh
permukaan inferior talus dan superior calcaneus.
Subtalar joint ini diperkuat oleh ligament-ligament sebagai berikut :
1. Ligament talocalcanea interosseus
2. Ligament talocalcanea posterior
3. Ligament deltoiddeum (ligamen calcaneoyinial dan talotibial
posterior)
4. Ligament collateral lateral (ligamen calcaneofibular dan talifubular
posterior)
14
Gambar 2.3 Struktur Tulang Pembentuk Subtalar Joint
(sumber : http://www.hosphysicians.com/anatomy )
2.2.3 Talonavicular joint
Secara anatomis dan fungsional talonavicular joint merupakan bagian dari
talocalneonavicular joint. Sendi ini distabilitasi oleh ligament talonavicular
dorsal dan ligament bifurcatum, serta dibantu oleh ligament deltoideum (ligament
tibionavicular)
2.2.4 Tranfersal Tarsal Joint
Transversal tarsal joint biasanya dikenal dengan “chopart’s joint”. Secara
fungsional, merupakan gabungan dari 2 sendi yaitu sisi medial oleh talonavicular
joint dan sisi lateral oleh calcaneocuboid joint walaupun secara anatomis terpisah.
Lalu yang paling besar menstabilisasi sendi ini adalah ligament
calcaneocuboid (ligament plantaris yang panjang dan pendek) dibantu oleh
15
ligament talonavicular dorsal, ligament bifurcatum dan ligament tibionavicular
(bagian dari ligament deltoideum)
2.2.5 Intertarsal Joint dan Tarsometatarsal Joint
Dibentuk oleh tulang tulang tarsal yaitu antara navicular, cuneiforme
medial, cuneiforme intermediate, dan cuneiforme lateral serta antara cuneiforme
lateral dengan cuboideum. Sendi ini tergolong plane joint non-axial.
Tarsometatarsal joint terdiri atas lima sendi yaitu tarsometatarsal I – V,
yang dibentuk oleh ossa tarsalia bagian distal (cuneiforme medial, cuneiforme
intermediate, cuneiforme lateral, cuboideum) dengan basis metatarsal I sampai V.
sendi ini juga tergolong plane joint non axial.
2.2.6 Metatarsalsophalanngeal Joint
Metatarsalsophalanngeal joint terdiri atas lima sendi yaitu
metatarsalsophalanngeal joint I – V. Sendi sendi ini adalah modifikasi condyloid
joint. MTP joint ibu jari kaki (MTP I) berbeda dengan lainnya karena lebih besar
dan memiliki 2 tulang sesamoid diantaranya.
2.2.7 Interphalangeal joint
Interphalangeal joint pada kaki sama dengan pada tangan , yaitu tergolong
hinge joint. Pada ibu jari kaki II – V terdapat proximal interphalangeal joint dan
distal interphalangeal joint.
16
Gambar 2.4 Struktur Tulang Ankle and Foot
(Sumber : https://elgisha.files.wordpress.com/ )
2.2.8 Arkus Plantaris
Terdiri atas arkus longitudinal medial, arkus longitudinal lateral , dan
arkus transversal dan dipertahankan oleh :
1. Bentuk tulang dan saling keterketaitan antara tulang satu dengan
tulang lainnya
2. Ligament dan aponeurosis plantaris yang merupakan struktur
paling penting dalam mempertahankan arkus.
17
3. Otot-otot plantaris yaitu otot tibialis posterior, fleksor hallucis
longus, fleksor digittorum longus dan peroneus longus.
2.3 Penyebab dan Faktor Pemicu Plantar Fasciitis
Masalah utama penyebab plantar fasciitis umumnya berdasarkan
klasifikasi bagian dari tumit yang terasa nyeri yaitu penyakit pada calcaneus
(Osteomyelitis, tumor, paget's disease), arthritis pada persendian subtalar, post
calcaneus bursitis, rufture tendon calcaneus, paratendinitis calcaneus, tender
heel pad dan plantar fasciitis) (Roxas, 2005)).
Faktor yang mempengaruhi plantar fasciitis menurut (Napitulu, 2011) :
1. Pola kaki datar terjadi gerakan pronasi sehingga terjedi pemegangan fascia
sisi medial.
2. Lengkungan kaki yang tinggi, sehingga mengakibatkan pemendekan pada
laseaa plantaris.
3. Pola hidup memiliki penggaruh yang besar terjadinya Basciitis plantaris
seperti; kebiasaan berdiri dalam jangka waktu yang lama dan kebiasaan
berjalan jauh dengan menggunakan alas kaki yang keras.
18
Sedangkan faktor lainnya menurut (Sunarya, 2014), adalah
1. Obesitas menyebabkan penumpuan berat beban yang besar pada kaki,
terutama daerah tumit yang menerima persentase tekanan yang besar
sehingga perlekatan struktur fasia mengalami penekanan berlebihan.
2. Over use plantar fascia akan menyebabkan penguluran yang berlebihan
pada fascia plantaris.
3. Pada degenerative terjadi penurunan healing respon dan penurunan
elastisitas jaringan sehingga mempengaruhi kelenturan fascia plantaris.
Selain faktor di atas juga terdapat faktor berupa bentuk telapak kaki. Kaki
pes cavum memiliki tekanan yang berlebih pada fascia plantaris selama heel strike
ke midstance, sedangkan kaki yang pes planus akan memberikan penekanan pada
fascia selama midstance ke terminal stance dan juga pada saat toe off. (Saidoff,
2002)
Sedangkan bentuk pada kaki flat foot atau pronated flat dapat
menimbulkan perubahan liganment dari calcaneus sehingga mempengaruhi arkus
plantaris dalam aktifitas saat menumpu berat badan ketika berdiri atau berjalan.
Bentuk kaki flat foot disebabkan otot-otot intrinsik plantaris tidak memadai yang
mengakibatkan terlalu teregangnya ligamen sehingga arcus plantaris menjadi
collaps. Bila hal ini teijadi, maka talus pronasi dan dapat tergeser ke medialis dari
calcaneus, Pada akhirnya dapat merubah bentuk susunan ossa tarsi yang terlibat
os.Calcaneus, os.Naviculare dan os. Cuboideum (Kahle, 1995).
19
2.4 Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan pengalaman emosional yang
tidak menyanangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan. Nyeri sangat
penting karena berhubungan sebagai mekanisme proteksi diri apabila ada jaringan
tubuh yang rusak. Nyeri merupakan gejala umum dari hampir setiap penyakit,
bersifat subjektif dan disertai konsekwensi patologis yang berfariasi,
menyebabkan nyeri memiliki definisi bermacam-macam.
Nyeri dipengaruhi oleh genetik, latar belakang, kultural, umur, dan jenis
kelamin. Selain itu persepi nyeri juga sangat berpengaruh terhadap individu itu
sendiri. Nyeri juga banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor non fisik dan faktor
fisik, bukan hanya itu saja nyeri juga kombinasi dari faktor psikologis,
emosional, fisiologi dan lingkungan sosial.
Berdasarkan mekanisme nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi 3 jenis
nyeri :
1. Nyeri fisiologis, nyeri terjadi akibat stimulasi singkat yang tidak
merusak jaringan. Ciri dari nyeri fisiologis ini adalah terdapat
korelasi postif antara kuatnya stimulasi dan persepsi nyeri.
Semakin kuat stimulasi yang di berikan, maka semakin berat nyeri
yang dialami.
2. Nyeri inflamasi, nyeri terjadi akibat stimulasi yang dapat merusak
jaringan. Jaringan tersebut mengalami inflamasi sehingga
menyebabkan komponen nosiseptif berubah dan mengeluarkan
meiator inflamasi seperti : bradikinin, leukotrin, prostaglandin,
20
purin, dan sitokin yang bisa mengativasi nosiseptor secara
langsung maupun tidak langsung. Aktivasi pada nosiseptor
menyebabkan stimulasi nyeri dan sensitisasi menyebabkan
hiperalgesia.
3. Nyeri neuropatik, nyeri yang disebabkan adanya disfungsi primer
ataupun lesi pada saraf. Lesi pada saraf tersebut menyebabkan
perubahan khusunya pada serabut saraf aferen, sehingga
menimbulkan gangguan keseimbangan.
2.4.1 Proses Terjadinya Nyeri
Kerusakan di jaringan kulit atau jaringan perifer menyebabkan lepasnya
mediator kimiawi dan merangsang nosiseptor sehingga terjadi penurunan nilai
ambang nyeri. Selanjutnya terjadi proses transmisi, yang menghantarkan impluls
nosiseptif melalui serabut aferen primer nosiseptif dari perifer melewati radik
posterior menuju kornu posterior medula spinalis. Di kornu posterior terdapast
sistem medula impuls nosiseptif yang disebut gerbang kendali nyeri (gate control
theory of pain). Gerbang kendali nyeri ini berperan sebagai modulator terhadap
semua impuls nosiseptif yang masuk, dengan cara memperbesar atau menghambat
impuls. Serabut fasikulus desendens keluar dari otak berjalan menuju gerbang
kendali nyeri pada setiap segmen medula spinalis. Serabut ini berfungsi
membantu menghambat impuls nosiseptif yang berjalan dari perifer menuju
sentral dan melewati gerbang kendali nyeri. Apabila intensitas impuls nosiseptif
21
melampaui ambang set transmisi T, maka impuls nosiseptif akan berjalan
mengikuti sistem aksi menuju pusat supraspinal untuk dipersepsi di pusat
somatosensoris sebagai pengalaman nyeri.
a. Transduksi
Merupakan proses dimana rangsang nyeri diubah menjadi aktifitas listrik
yang diterima ujung-ujung saraf sensoris.
Kerusakan jaringan menyebabkan substansi kimia endogen yaitu
bradikinin, substansi P, serotonin, histamine, ion H+, ion K+, dan prostaglandin.
Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan ekstraseluler yang melingkupi nosiseptor.
Kerusakan senyawa sel akan melepaskan senyawa phospholipid yang
mengandung asam arakhidonat (AA, Aracidonic Acid) dan terjadi aktivasi ujung
saraf aferen nosiseptif. Asam arakhidonat atas pengaruh prostaglandin (PG)
endoperoxide synthase akan menstimulasi isoform enzim cyclooxygenase (COX-
2) dan membentuk cyclic endoperoxide (PGG2 dan PGH2) serta membentuk
mediator inflamasi sekaligus mediator nyeri yaitu thromboxane (TXA2),
prostaglandin (PGE2, PG2α) dan prostasiklin (PGI2). Terbentuk pula leukotriene
(LT) atas pengaruh 5-lipooksigenase, dan dari sel mast dilepaskan histamine.
Kombinasi senyawa ini menyebabkan vasodilatasi lokal dan peningkatan
permeabilitas vaskuler lokal sehingga terjadi gerakan cairan ekstravasasi ke dalam
ruangan interstitial jaringan yang mengalami kerusakan.
Sebagai tambahan, dilepaskan juga 5-hydroxytryptamine (5-HT),
bradykinin (BK), dan histamine selama terjadinya kerusakan sel dan merupakan
22
stimulus nyeri yang sangat kuat. PGs dan LTs tidak langsung mengaktifkan
melainkan mensentisisasi nosiseptor agar dapat distimulasi oleh senyawa lain
seperti bradikinin, histamine sehingga terjadi hiperalgesia, yaitu terjadinya
peningkatan respon tubuh terhadap stimulus. Umumnya, 5-HT dilepaskan pada
saat kerusakan sel akibat panas, dan menyebabkan thermal allodynia melalui
reseptor saraf tepi 5-HT2a. Sedangkan Bradykinin dimediasi oleh reseptor G-
Protein, dimana saat teraktifasi oleh Bradykinin dan Kallidin, reseptor G-Protein
akan meningkatkan influx Na+ dan melemahkan efflux K+ yang menghasilkan
peningkatan eksitabilitas nosiseptor.
Selanjutnya Leukotrien D4 (LTD4) mengaktifkan makrofag dan basophil
yang selanjutnya akan menstimulasi dan meningkatkan pelepasan eicosanoid,
yaitu metabolit dari metabolisme asam arakhidonat. Polymorphonuclear (PMN)
leucosit melepaskan leukotriene B4 (LTB4). Keduanya berperan dalam sentisisasi
nosiseptor.
Pada inflamasi , sistem imun akan melepaskan sitokin proinflamasi yaitu :
interleukin (IL)-1β, IL-6, Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), interferon (IFN).
Sitokin ini dengan cepat akan berinteraksi dengan saraf perifer melalui mediator.
IL-1β akan berinteraksi dengan neouron sensoris, mengaktifkan eicosanoid dalam
sel seperti fobroblast dan menyebabkan lepasnya prostaglandin. Platelet atau sel
mast juga melepaskan serotonin yang langsung mengaktifkan dan mensentisisasi
nosiseptor dan menyebabkan hiperalgesia. Proses transduksi ini dapat dihentikan
atau dihambat oleh obat-obatan anti inflamasi.
23
b. Transmisi
Transmisi adalah perambatan rangsang nyeri melalui serabut saraf sensoris
menyusul proses transduksi.
Dalam keadaan hiperalgesia, intensitas impuls akan membesar dan
kemudian ditransmisi oleh serabut aferen nosiseptif primer yaitu serabut tipe Aδ
dan C lewat radiks posterior menuju kornu posterior medulla spinalis (PHC,
Posterior Horn Cell). serabut aferen primer nosiseptif khusus yang
menghantarkan impuls nosiseptif terdapat di kulit, periosteum, sendi, ligament,
otot, dan viscera. Stimulus yang dapat direspon adalah stimulus mekanik,
mekanotermal, dan polimodal. Impuls di neuron aferen primer melewati radiks
posterior masuk ke medulla spinalis pada berbagai tingkat dan membentuk badan
sel dalam ganglia radiks posterior. Serabut ini akan membelah menjadi dua dan
mengirim banyak cabang kolateral. Serabut aferen primer berakhir pada lamina I,
substansia gelatinosa (lamina II, III), dan lamina V (nucleus proprius). Impuls
ditransmisi ke neuron sekunder dan masuk ke traktus spinothalamikus lateralis.
Impuls selanjutnya disalurkan ke daerah somatosensorik di korteks serebri dan
diterjemahkan. Proses transmisi ini dapat dihambat oleh anastetik lokal.
c. Modulasi
Modulasi adalah proses interaksi antara system analgesic endogen dengan
impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior. Modulasi juga dikatakan sebagai
sistem suppressive-mechanism dari medulla spinalis, batang otak, dan midbrain.
24
Impuls setelah mencapai kornu posterior medulla spinalis mengalami
penyaringan intensitas yang bisa diperbesar atau dihambat. System pengendali
modulasi ini adalah gerbang kembali spinal. Terdiri dari substansia gelatinosa
sebagai penghambat sel transmisi T, serabut aferen dengan diameter besar akan
menutup gerbang, sedangkan yang berdiameter kecil akan membuka gerbang.
Cabang serabut desendens dari otak yang menuju ke substansia gelatinosa akan
menambah hambatan transmisi sel T. Apabila impuls melebihi ambang sel T
maka akan melewati system kendali gerbang spinal dan diteruskan ke pusat
supraspinal di korteks somatosensoris. Impuls akan dipersepsi sebagai
pengalaman nyeri.
Substansi yang bekerja sebagai modulator penghambat nyeri di medula
spinalis yaitu dinorfin, enkefalin, noradrenalin, dopamine, 5 Hidroksi Triptamin-
2(5HT2) dan Gama Amino Butiric Acid (GABA) mengaktivasi opioid, alpha
adrenergic, dan reseptor-reseptor sejenis lainnya yang bekerja menghambat
pelepasan Glutamat (Glu) dari afferent nosiseptor sehingga mengurangi respon
pada membrane post sinaps. Sedangkan substansi yang meningkatkan nyeri yaitu
substansi P, Adenosin Tri Phosphat (ATP) dan asam amino eksitatori.
d. Persepsi
Adalah proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses
transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya menghasilkan suatu
perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
25
Juga merupakan proses integrasi pada pusat kognisi, afeksi dan impuls
nyeri yang dirasakan individu dan bagaimana cara individu menghadapinya.
2.4.2 Mekanisme Timbulnya Nyeri pada Kasus Plantar Fasciitis
Nyeri pada plantar fasciitis merupakan jenis nyeri inflamasi karena
plantar fasciitis merupakan proses inflamasi akibat adanya stress mekanik.
Adanya penekanan dan gaya regang yang konstan dan berulang menyebabkan
fascia mengalami iritasi pada tendon periosteal atau kerobekan pada tempat
perlekatannya sehingga timbul inflamasi. Inflamasi dapat dikatakan sebagai
penyebab utama dari nyeri pada plantar fasciitis.
Proses inflamasi menyebabkan jaringan di sekitar lesi memproduksi
mediator inflamasi yang dapat menyebabkan aktivasi nosiseptor sehingga
merangsang serabut saraf afferen bermyelin tipis (serabut saraf A delta dan tipe
C). Impuls tersebut dibawa ke ganglia akar saraf dorsalis dan merangsang
produksi 'T" substance yang memicu terjadinya reaksi radang. Kemudian impuls
tersebut dibawa ke cornu dorsalis medula spinalis dan dikirim ke level SSP yang
lebih tinggi melalui traktus spinothalamicus. Pada level SSP yang lebih tinggi
(corteks sensorik, hipothalamus & limbik system) impuls tersebut mengalami
proses interaksi yang kemudian menghasilkan suatu perasaan subyektif yang
dikenal dengan persepsi nyeri. (Sunarya, 2014).
26
2.5 Mekanisme Penurunan Kemampuan Fungsional pada Kasus Plantar
Fasciitis
Plantar fasciitis adalah nyeri yang ditandai pada bagian calcaneus yang
ditandai dengan inflamasi atau radang pada perlekatan apponeurosis plantaris
bagian bawah dari tuberositas calcaneus akibat penguluran yang berlebih dan
terus menerus pada fascia plantaris (Roxas, 2005)
Jika dibiarkan inflamasi pada apponeurosis plantaris tersebut akan
menimbulkan abnormal crosslink yang menimbulkan adhesion pada interfiber
sehingga berdampak terhadap penurunan fleksibilitas pada fascia plantaris (Ayu,
2014). Muscle imbalance menyebabkan otot menjadi tidak seimbangan dalam
mempertahankan kestabilan dan fungsional ankle saat melakukan aktivitas dengan
kaki. Sehingga otot deep posterior tibia akan bekerja lebih berat saat ankle
memasuki fase mid stance ke toe off ketika bejalan dan berlari. Sehingga otot
akan cepat lelah dan beban kontraksi berlebih secara terus menerus.
Rasa nyeri pada medial calcaneus akibat plantar fasciitis saat beraktivitas
akan menyebabkan pasien membatasi gerakaknnya sehingga pasien menjadi
hipomobile. Akibat membatasi gerakan ankle saat beraktivitas membuat pasien
mengalami kesulitan saat akan memasuki fase mid stance saat berjalan.
Peningkatan zat iritan akibat nyeri yang timbul juga akan menyebabkan
konduktifitas saraf menurun sehingga koordinasi intermuscular pada otot
mengalami penurunan, akibatnya gerakan menjadi tidak efisien dan efektif yang
berdampak terhadap keseimbangan saat berjalan dan fungsional ankle menurun.
Sehingga menjadi antalgic gait.
27
2.6 Latihan Calf Raises
Latihan calf raises adalah latihan penguatan otot di bagian bawah ankle
yang menggunakan beban tubuh sendiri. Latihan ini dapat memaksimalkan
kekuatan otot dan mempengaruhi peningkatan tonus otot. Selain itu latihan calf
raises juga mengaktivasi propioceptif. Latihan calf raises dapat mengembalikan
gerakan pasien setelah pasien mengalami cedera. Dan latihan calf raises dapat
meminimalisasi cedera ulang kembali terhadap pasien tersebut.
Latihan calf raises bertujuan untuk menciptakan lenghening dari achiles,
tendon, atau calf muscle sehingga dapat melepas abnormal crosslink, sehingga
nyeri berkurang, stabilisasi ankle menurun dan menigkatkan fleksibilitas ankle
yang umumnya semakin lemah sehingga terjadinya peningkatan berjalan (Ayu,
2014).
Gambar 2.5 Latihan Calf Raises
(Sumber : http://duniafitnes.com/training/latihan-apa-untuk-membentuk-
pantat-lebih-indah-seksi.html )
28
Gerakan calf raises terdiri dari gerakan plantar fleksi dan dorso fleksi.
Pada saat melakukan gerakan calf raises, otot-otot ankle yang bekerja adalah
m.Gastrocnemius, m.Soleus, dan m.Gluteus maximus. Otot-otot stabilisasi pada
gerakan dorso fleksi ankle pada peregangan maksimal adalah m.Tibialis anterior.
Sedangkan otot yang menstabilisasi pada gerakan plantar fleksi ankle pada saat
gerakan menjinjit adalah m.Gastrocnemius, m.Soleus, dan tendon achiles.
Gambar 2.6 Gerakan Latihan Calf Raises
(Sumber : http://dunialari.com/achilles-tendinitis/ )
Manfaat pemberian latihan calf raises pada ankle (Saydah, 2013):
1. Meningkatkan stabilitas dan keseimbangan ankle
2. Meningkatkan fungsi sensorimotor dan propioceptif
3. Mempertahankan kekuatan otot ankle
4. Meningkatkan fleksilitas ankle
29
5. Membentuk dan mengencangkan otot tungkai bawah
6. Memelihara sistem sirkulasi
Prosedur pemberian calf raises:
1. Sebelum melakukan latihan calf raises, pasien diberi penjelasan
bagaimana cara melakukan latihan calf raises dengan benar.
2. Siapkan blok kayu atau gunakan anak tangga sebai tempat untuk
melakukan standing calf raises
3. Kemudian terapist mengawasi dan memberi contoh bagaimana latihan calf
raises terhadap pasien.
Dosis pemberian latihan calf raises :
Tabel 2.1 Intensitas Pemberian Latihan Calf Raises
Minggu Ke- Frekuensi Intensitas Repitisi
1 3 x Seminggu Jinjit selama 3 detik dan
peregangan selama 6 detik
10 x 3 set
2 3 x Seminggu Jinjit selama 3 detik dan
peregangan selama 6 detik
15 x 3 set
3 3 x Seminggu Jinjit selama 3 detik dan
peregangan selama 6 detik
15 x 3 set
30
2.7 Mekanisme Pemberian Latihan Calf Raises pada Kasus Plantar Fasciitis
untuk Meningkatkan Fungsional Ankle
Pada plantar fasciitis inflamasi yang terjadi pada fascia plantaris karena
penguluran yang berlebihan pada fascia plantarisnya yang mengakibatkan
kerobekan dan timbulnya pada fascia plantaris (Mcpoil, 2008).
Dengan latihan calf raise akan meningkatkan stabilisasi ankle dan
kekuatan otot lower leg, khususnya m.gastrocneminus yang berperan dalam
gerakan-gerakan ankle saat beijalan, melompat, dan berlari. Sehingga otot tidak
akan cepat lelah jika dipakai secara berlebih, dan tidak akan menimbulkan cedera
berulang (Radfoid. 2007).
Mekanismenya untuk meningkatkan fungsional ankle dengan latihan calf
raises adalah pada saat melakukan gerakan calf raises terjadi co-contractions dan
eccentric pada otot. Pada kontraksi eccentric terjadi aktivitas kontraktil saat
melawan beban selama gerakan dorsal fleksi ankle. Serat-serat otot tibialis
posterior, soleus dan gastrocnemeus tetap berkontraksi melawan peregangan,
ketegangan ini menahan berat badan, Sehinga selama kontraksi eksentrik
kekuatan otot yang dihasilkan dari otot lebih tinggi bila dibandingkan dengan
kontraksi isometrik dan kontraksi konsentrik. Hal ini terjadi karena ketegangan
yang dihasilkan dari sliding myofilament meningkat sehingga teijadi peningkatan
pada elastisitas serabut otot. Pada kontraksi eksentrik pembuluh darah dalam
keadaan yang bebas sehingga memungkinkan nutrisi dan suplai oksigen jadi
tercukupi (Ayu, 2014).
31
2.8 Penggunaan Ultrasound di Bidang Fisioterapi
Utrasound adalah modalitas yang menggunakan gelombang suara dengan
frekuensi dengan kisaran 2-10 Mhz. Pembagian frekuensi gelombang suara
berdasarkan kemampuan telinga manusia dalam mendengar gelombang suara atau
dibagi menjadi:
1. Infrasonik dengan frekuensi (< 20 Hz)
2. Audiosonik (20-20,000 Hz)
3. Ultrasonik (20.000 Hz)
Ultrasound menggunakan gelombang suara dengan getaran mekanis
membentuk gelombang longitudinal dan berjalan melalui medium tertentu dengan
frekuensi yang bervariasi. Pada prakteknya frekuensi yang umum digunakan
antara 0.7 MHz dan 3 MHz. Peralatan yang dipergunakan pada terapi ultasound
adalah generator penghasil frekuensi gelombang yang tinggi, dan transducer yang
terletak pada aplikator. Transducer terbuat dari kristal sintetik seperti barium
titanate atau sirkon timbal titanat yang memiliki potensi piezeloelectric yakni
potensi untuk memproduksi arus listrik bila dilakukan penekanan pada kristal
(Aproval, 2010).
Pada saat penggunaan ultrasound, frekuensi rendah biasanya di gunakan
dan disarankan pada cidera jaringan yang dalam, dengan daya serap dengan
kedalaman jaringan 3-5 cm, sedangkam dengan frekunsi 3 Mhz biasanya di
gunakan pada lesi superfisial dengan kedalaman jaringan 1-2 cm. Pada saat
gelombang ultrasound masuk kedalam tubuh, maka akan terjadi efek termal dan
32
mekanik dalam tubuh. Pengaruh termal dari ultrasound yaitu memperlambat dan
mengurangi nyeri, peningkatan jaringan relaksasi, aliran darah lokal, dan
kerusakan jaringan parut dan membantu mengurangi peradangan pembengkakan
dan kronis lokal. Pengaruh Efek mekanis dari ultrasound adalah adanya pengaruh
dari kavitasi dan streaming akustik pada ultrasound memberikan dampak
fisiologis pada jaringan berupa degranulasi sel mast, peningkatan kadar kalsium
intraseluler, stimulasi aktivitas fibroblast mengakibatkan peningkatan sintesis
protein, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan peningkatan kekuatan
tarikan kolagen (Baliand, 2001).
Dampak ultrasound antara lain mengurangi inflamasi, meningkatkan
metabolisme local, mengurangi nyeri otot dan spasme, mempercepat
penyembuhan serta meningkatkan ekstenbilitas scars tissue. Waktu penggunaan
ultrasound kira-kira selama kurang lebih 3-5 menit, tergantung dari luas area yang
mengalami gangguan. Pemberian modalitas ultrasound yang terlalu lama dapat
menyebabkan mikrotrauma jaringan.
Intensitas penggunaan modalitas ultrasound di nyatakan dalam satuaan
watt per sentimeter persegi (W/cm2). Yang biasanya digunakan dalam praktek
fisioterapi dalam penggunaan modalitas ultrasound adalah dengan intensitas 0,5
W/cm2 sampai dengan 2 W/cm
2.
33
Gambar 2.7 Unit Ultrasound
(Sumber : Buku Dasar-Dasar Fisioterapi pada Cedera Olahraga (e-book))
Daya tembus modalitas ultrasound dalam tubuh adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Half Valve Depth (Krismatani, 2010)
Media 1 MHz 3 MHz
Tulang 2,1 mm -
Kulit 11,1 mm 4 mm
Kartilago 6 mm 2 mm
Jaringan tendon 6,2 mm 2 mm
Jaringan otot 9 mm *
24,6 mm **
3 mm *
8 mm **
Jaringan Lunak 50 mm 16-5 mm
Udara 2,5 mm 0-8 mm
Air 11500 mm 3133,3 mm
Keterangan: *Tegak lurus
** Memanjang
34
Tabel 2.3 Penetrasi Depth (Krismatani, 2010)
Media 1MHz 3 MHz
Tulang 7 mm -
Kulit 37 mm 12 mm
Tulang rawan 20 mm 3 rrmn
Udara 20 mm 3 mm
Jaringan tendon 21 mm 7 mm
Otot 30 mm* 10 mm*
82 mm** 27 mm**
Lemak 165 mm 55 mm
Air 38330 mm 12770 mm
Keterangan : * Tegak lurus
** Memanjang
Pada penggunaan modalitas ultrasound di sertai juga dengan coupling
media yang berfungsi sebagai perantara penghantaran gelombang ultrasound ke
dalam jaringan.
Ciri-ciri coupling media adalahBersih, transparan dan steril
a. Tidak terlalu cair ketika digunakan, kecuali menggunakan metode
ultrasound underwater.
b. Bahan yang biasa digunakan adalah gel, miyak, baby oil.
35
c. Dan coupling media yang digunakan harus mudah dibersihkan
setelah pasien selesai menggunakan modalitas ultrasound.
Adapun efek yang dihasilkan dari penggunaan modalitas ultrasound
adalah sebagai berikut :
1. Efek Mekanik
Pada saat menggunakan modalitas ultrasound, gelombang ultrasound akan
masuk kedalam jaringan tubuh, sehingga akan menimbulkan pemampatan dan
peregangan di dalam jaringan tersebut. Sehingga terjadi variasi tekanan dalam
jaringan. Efek variasi tekanan tersebut menimbulkan efek mekanik yg biasanya
disebut dengan micromassage.
2. Efek Thermal
Micromassage yang timbul akibat gelombang ultrasound di dalam
jaringan, menimbulkan efek thermal atau efek panas. Serabut saraf afiferen yang
distimulasi dengan panas akan memiliki efek sedatif akibat aksi dari rnekanisrne
gate control pada cara yang sama seperti mekanoreseptor. Panas juga bisa
meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf, meningkatkan konduktifitas
saraf dan meningkatkan ambang rangsang (Krismantani, 2010)
Efek fisiologis yang timbul dari efek thermal dari ultrasound :
a. Melancarkan sirkulasi darah
Efek micromassage yang timbul dari gelombang ultrasound dalam
jaringan, sehingga menimbulkan kerusakan mikroskopis dan timbulnya inflamasi
dan menimbulkan vasodilatasi lokal (Lestari, 2014).
36
Vasodilatasi ini bermanfaat menghantarkan nutrisi ke jaringan. Dengan
demikian dapat meningkatkan extensibilitas collagen dari periosteum, sendi dan
scar tissue, meningkatkan konduksi syaraf motor maupun sensor dengan
meningkatkan ambang rangsang rasa nyeri dan mengurangi spasme otot yang
dapat menyebabkan nyeri (Ayu, 2014)
b. Relaksasi Otot
Efek vasodilatasi pada pembuluh darah menyebabkan sirkulasi darah
menjadi lancar, sehingga mengakibatkan rileksasi pada otot yang mengalami
cedera. Ini disebabkan oleh efek vibrasi ultrasound yang mempengaruhi serabut
afferent secara langsung dan menyebabkan rileksasi otot.
c. Meregenerasi Jaringan
Efek termal menyebabkan vasodilatasi, sehingga meningkatkan pasokan
nutrisi ke jaringan. sehingga mempercepat penyembuhan luka dengan perbaikan
sirkulasi yang memerlukan sintesis collagen, mempercepat penyembuhan dengan
memproduksi collagen yang hilang meningkatkan daya lentur jaringan,
mempercepat fase awal peradangan dan fase akhir peradangan, mempercepat
penyusutan luka akibat kurangnya pembentukan scar tissue, dan mengurangi nyeri
karena pengangkutan zat-zat iritan nyeri oleh sirkulasi (Ayu, 2014)
d. Mengurangi Nyeri
Efek ultrasound menyebabkan efek termal dan berpengaruh langsung
terhadap saraf sensorik dan menimbulkan efek sedatif terhadap jaringan. Efek
37
micromassage pada ultrasound juga mampu mempercepat proses metabolisme zat
iritasi nyeri sehingga menurunkan rasa nyeri. Rangsangan nyeri ringan di bawa ke
thalamus melalui jalur traktus spinothalamicus, sehingga stimulus ini
memunculkan dan mamicu produksi endorphine oleh sel thalamus sehingga
mempengaruhi penurunan ambang nyeri pada jaringan.
Kontraindikasi pengunaan ultrasound adalah pada pasien yang mengalami:
a. Diabetes melitus
b. penyakit jantung atau penderita dengan alat pacu jantung
c. kehamilan, khususnya pada daerah uterus
d. jaringan lembut : mata, testis, ovarium, otak
e. jaringan yang baru sembuh atau jaringan granulasi baru
f. pasien dengan gangguan sensasi
g. tanda-tanda keganasan atau tumor malignan
h. insufisiensi sirkulasi darah : thrombosis, thromboplebitis atau occlisive
occular disease
i. infeksi akut
j. daerah epiphysis untuk anak-anak dan dewasa
2.9 Mekanisme Modalitas Ultrasound pada Kasus Plantar Fasciitis dalam
Penurunan Rasa Nyeri
Ultrasound menghasilkan Efek thermal yang akan menimbulkan vodilatasi
pembuluh darah sehingga terjadi perbaikan sirkulasi darah pada fascia sehingga
zat-zat iritan penyebab nyeri dapat terangkut dan masuk kembali ke dalam aliran
38
darah. Dengan hilangnya zat-zat iritan tersebut maka sensasi nyeri juga akan
berkurang.
Selain itu efek thermal atau efek panas ringan juga akan menimbulkan
stimulasi Affrent AB dan Ay (II dan Ala), sehingga pada posterior horn cell
(PHC) diperoleh pemblokiran terhadap impuls noxius. Perangsangan pada serabut
syaraf tersebut akan menimbulkan efek sedatif sehingga terjadi pengurangan
nyeri.
Efek Mekanik menimbulkan Micromassage yang dapat melunakkan
abnormal crosslink yang terdapat pada fascia dan serabut otot sehingga dapat
melepaskan perlengketan jaringan. Dengan terlepasnya perlengketan jaringan
maka akan mengurangi iritasi serabut saraf A delta dan tipe C sehingga nyeri akan
berkurang, terjadinya penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan.
(Sunarya, 2014)