10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Bahasa dan Media
Sebagai makhluk sosial, manusia menggunakan bahasa sebagai alat ucap
untuk berkomunukasi dan saling berhubungan antara anggota. Tidak ada
masyarakat tanpa bahasa dan tidak ada bahasa tanpa masyarakat. Oleh karena itu,
manusia mutlak memerlukan bahasa terlepas dari objek mana yang muncul
terlebih dahulu, masyarakat atau bahasa. Seiring berkembangnya zaman,
perkembangan terus terjadi hingga ditemukan media cetak sebagai penghubung
komunikasi yang lebih luas. Dalam hal ini, media yang dimaksud adalah media
cetak yang berupa surat kabar (koran).
Koran merupakan salah satu media cetak yang sampai saat ini masih
banyak diminati oleh banyak kalangan. Salah satu hal yang membuktikannya
adalah masih banyaknya perusahaan surat kabar yang masih tetap eksis di
berbagai belahan dunia. Beberapa alasan mengapa koran masih masih banyak
diminati oleh masyarakat adalah karena harganya yang relatif terjangkau dan
dapat dicari dari berbagai tempat. Selain itu, karena media cetak ini berupa
tulisan-tulisan atau teks maka media ini bisa disimpan, dibaca berulang-ulang dan
bisa didokumentasikan.
Badara (2013: 24) mengatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam berita
surat kabar termasuk dalam kategori bahasa transaksional yang memiliki
karakteristik dan lebih berorientasi pada penyampaian pesan secara efektif.
Ditinjau dari ragam bahasa, bahasa berita merupakan bagian dari bahasa
11
jurnalistik (language of mass comunication), yaitu gaya bahasa yang digunakan
dalam tulisan di media massa, termasuk surat kabar. Ditinjau dari sifatnya, bahasa
jurnalistik dapat dibagi dua, (a) komunikatif dan (b) spesifik.
Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau ke pokok persoalan
(straight to the point), tidak berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dan tidak basa-
basi. Spesifik artinya mempunyai gaya bahasa penulisan tersendiri, yakni
sederhana, kalimatnya pendek-pendek, kata-katanya jelas, dan mudah dimengerti
oleh kalangan awam (massa) (Badara, 2013: 24).
Budyatna (2007: 45) mengatakan bahwa konteks pemakaian bahasa
jurnalistik di surat kabar memiliki bentuk-bentuk kebahasaan yang bernilai rasa
tentu saja tidak banyak dipilih karena sifat pokok berita yang umumnya objektif
dan faktual, akan tetapi, tidak berarti bahwa pers tidak perlu menggunakan kata-
kata yang bernilai rasa itu di dalam koran atau media massa dalam penyampaian
berita. Hal ini sesuai fakta yang terjadi di lapangan.
Nilai rasa pemakaian bahasa dalam media diperlukan kepandaian dan
pengalaman para jurnalis atau redaktur bahasanya dalam menggunakan bahasa
indonesia itu sendiri. Hal ini akan berguna untuk menciptakan nilai rasa tersendiri
bagi media massa tersebut. Kata-kata yang bernilai rasa tinggi itu cenderung akan
melekat dibenak khalayak pembaca dibandingkan dengan kata-kata yang bernilai
rasa rendah (Budyatna, 2007: 46). Hal ini dapat dipahami secara psikologis
misalnya, kata bernilai rasa tinggi menunjukkan penghormatan kepada orang atau
subjek yang sedang dibicarakan. Misalnya penggunaan kata pelacur, lonte,
pekerja seks komersial dan PSK.
12
Penggunaan kata pelacur dan lonte akan terkesan akan menghinakan
dan tidak menunjukkan rasa empati sama sekali. Padahal sebagian besar pekerja
seks komersial sampai terjerumus ke lembah hitam bukan karena pilihan,
keinginan atau sebuah cita-cita, tetapi justru karena desakan ekonomi dan sebagai
akibat korban kekerasan seksual. Memvonis atau menyebut mereka sebagai lonte
atau pelacur dianggap tidak manusiawi dan cenderung melecehkan. Namun,
dalam sejumlah hal dan situasi lain, eufemisme justru dianggap sebagai hal yang
berbahaya karena eufemisme dapat dipahami sebagai gaya bahasa yang
diperhalus, namun dalam taraf penghalusan, sering orang lupa bahwa makna yang
hendak disampaikan telah lenyap. Perwujudan seperti ini jelas merupakan bentuk
manipulasi bahasa pers yang digunakan untuk menutupi kenyataan yang ada.
2.2 Eufemisme
Eufemisme atau eufemismus berasal dari kata Yunani euphemizen yang
berarti menggunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang
baik. Sebagai gaya bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-
ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang
halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina,
menyinggung perasaan atau mensugestisikan sesuatu yang tidak menyenangkan
(Keraf, 2010: 132).
Tarigan (1986: 143) mengemukakan bahwa eufemisme berasal dari bahasa
Yunani yaitu euphemizein yang berarti ‘berbicara’ dengan kata-kata yang jelas
dan wajar. Eufemisme ini merupakan turunan dari kata eu’baik’ dan phanai
‘berbicara’. Secara singkat eufemisme berarti ‘pandai berbicara, berbicara ‘baik’.
13
Jadi, eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan
yang dianggap lebih kasar, yang dianggap merugikan atau yang tidak
menyenangkan.
Chaer (1994:144) mengatakan bahwa eufemisme adalah gejala
ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna
yang lebih halus, atau lebih sopan daripada yang akan digantikan. Misalnya, kata
penjara atau bui diganti dengan ungkapan yang maknanya dianggap lebih halus
yaitu Lembaga pemasyarakatan. Kata korupsi diganti dengan menyalahgunakan
jabatan, dan sebagainya.
Eufemisme ini termasuk ke dalam perubahan makna. Perubahan makna
dapat disebabkan oleh faktor-faktor yakni, perkembangan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi, perkembangan sosial budaya, perbedaan bidang
pemakaian, pertukaran tanggapan indera, perbedaan tanggapan, adanya proses
gramatikal, dan adanya pengembangan istilah. Selain eufemisme yang merupakan
bagian dari perubahan makna, ada juga beberapa istilah lain yang juga merupakan
bagian dari perubahan makna yaitu makna peyoratif dan makna amelioratif. Kata-
kata yang nilainya merosot menjadi rendah disebut dengan peyoratif, sedangkan
yang nilainya naik menjadi tinggi disebut amelioratif. Misalnya kata istri
dianggap amelioratif dari kata bini yang dianggap peyoratif (Chaer, 1994: 145).
Djajasudarma (1999: 78) mengatakan bahwa eufemisme ini termasuk ke
dalam pergeseran makna. Pergesersssan makna terjadi pada kata-kata (frase)
dalam bahasa Indonesia yang disebut dengan eufemisme (melemahkan makna).
Caranya dapat dengan menggantikan simbolnya baik kata maupun frase dengan
yang baru dan maknanya bergeser, biasanya terjadi pada kata-kata yang dianggap
14
memiliki makna yang menyinggung perasaan orang yang mengalaminya.
Misalnya, kata dipecat yang dirasakan terlalu keras diganti dengan diberhentikan
dengan hormat atau dipensiunkan.
Dalam pembicaraan menenai penghalusan ini, kita berhadapan dengan kata-
kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus, atau lebih
sopan daripada yang akan digantikan. Kecenderungan untuk menghaluskan makna
kata yang tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat bahasa indonesia.
Misalnya kata penjara atau bui deganti dengan kata atau ungkapan yang maknanya
dianggap lebih halus yaitu lembaga permasyarakatan, dipenjara atau dibui deganti
menjadi dimasukkan ke lembaga kemasyarakatan. Kata korupsi diganti dengan
menyalahgunakan jabatan, kata pemecatan dari pekerjaan diganti dengan pemutusan
hubungan kerja (PHK), kata babu diganti dengan pembantu rumah tangga dan kini
diganti lagi menjadi pramuwisma.
Wijana (2008: 96) mengatakan bahwa bentuk-bentuk kebahasaan memiliki
hubungan yang arbiter dengan maknanya atau dengan referensinya. Sehubungan
dengan hal ini, kata-kata yang referenya memiliki komponen semantis yang
negatif dapat dipergunakan oleh penutur yang menyerang orang lain. Penggunaan
bentuk-bentuk kebahasaan yang memiliki nilai rasa tidak sopan atau ditabuhkan
disebut desfeminisme. Sebaliknya, untuk menghormati lawan-lawan tuturnya dan
menjaga citra dirinya, penutur dengan berbagai cara harus menghindari
pemakaian kata-kata yang memiliki komponen-komponen semantik yang negatif.
Dengan dipergunakannya bentuk-bentuk yang sopan, hubungan dengan lawan
bicaranya dapat dipelihara, dan akses-akses negatif mungkin timbul dapat
dihindarkan.
15
Referensi eufemisme antara lain, (a) benda dan binatang, maksudnya
benda-benda yang dikeluarkan oleh aktivitas organ tubuh manusia ada beberapa di
antaranya memiliki referen yang men jijikkan. Misalnya air kencing. kata-kata ini
perlu diganti dengan kata yang lebih sopan yaitu air seni, air kecil, pipis
(diucapkan oleh anak-anak). (b) bagian tubuh, maksudnya benda-benda tubuh
tertentu, yang karena fungsinya berhubungan dengan aktivitas seksual, yakni yang
tidak bebas dibicarakan secara terbuka. Bagian-bagian tubuh itu adalah kemaluan.
(c) profesi, maksudnya profesi-profesi yaang dipandang rendah martabatnya.
Untuk menghormati orang-orang yang memiliki atau menjalani profesi semacam
itu, perlu dibentuk kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang bersifat eufemistis.
Kata pelacur, pembantu, pemulung, gelandangan, pengemis adalah profesi
yang dipandang rendah profesinya dan harus diganti dengan kata wanita
penghibur, tunawisma, dan laskar mandiri. (e) penyakit maksudnya, penyaakit
yang diderita seseorang tentu saja merupakan hal yang tidak mengenakkan bagi
penderitanya. Penyakit-penyakit yang referenya mmenjijikkan lazimnya dihindari
penyebutanya defemistisnya. Dan harus diganti dengan bentuk eufemistisnya. (f)
aktivitas, maksudnya aktivitas yang sering memerlukan bentuk eufemistis adalah
aktivitas seksual. Kata bersenggama dan bersetubuh harus diganti dengan
berhubungan intim atau meniduri.
Berikutnya (g) peristiwa, maksudnya peristiwa buruk atau menyedihkan
yang dialami oleh seseorang ada bermacam-macam. Diantara periswa tersebut
adalah kematian. Kata mati sering dikatakan tidak sopan, maka dari itu harus
diganti dengan meninggal. (h) keadaan, maksudnya keadaan buruk atau
kekerungan pada orang lain sering kali merupakan kata yang harus diganti dengan
16
bentuk eufeimistisnya, seperti bodoh, miskin, diganti dengan lemah dan kurang
mampu. (Wijana, 2008: 97-103).
2.2.1 Bentuk Eufemisme
Eufemisme merupakan sebuah bentuk yang khas dalam pemakaian bahasa.
Pemakaian bahasa tersebut dapat berbentuk lisan atau tulisan. Moeliono (1989:
145-146) mengatakan bahwa ada dua perbedaan yang mencolok antara ujaran dan
bahasa tulis, yaitu berhubungan dengan suasana peristiwa dan beberapa upaya
yang kita gunakan dalam ujaran. Berhubungan dengan suasana peristiwa dan
beberapa upaya yang kita gunakan dalam ujaran. Berhubungan dengan suasana
peristiwa, maksudnya jika kita menggunakan sarana tulis kita beranggapan bahwa
orang yang diajak berbicara tidak ada dihadapan kita. Akibatnya, bahasa yang
dipakai harus lebih terang dan jelas karena ujaran kita tidak dapat diikuti oleh
gerak isyarat, pandangan atau anggukan serta tidak mengemukakan makna ganda.
Adapun bentuk eufemisme terkait dengan unsur-unsur bahasa yang ada
seperti kata, frasa, dan klausa. Menurut Keraf (2010: 13) mengemukakan bahwa
kata merupakan bentuk yang dapat berdiri sendiri dan digunakan seseorang untuk
memperhalus bahasa sehingga orang yang terlibat dalam komunikasi tidak
tersinggung. Ada kata yang boleh diucapkan secara terang-terangan, dan ada kata
yang harus disembunyikan. Kata yang dianggap kurang sopan, harus diganti
dengan kata lain yang dianggap lebih sopan. Misalnya, pada kata bunting
dianggap kurang sopan, lalu diganti dengan kata hamil atau mengandung.
Frasa adalah gabungan dua kata tau lebih yang merupakan satu kesatuan,
dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat (subjek, predikat, objek atau
17
keterangan). Jadi, dengan kata lain frasa merupakan gabungan dua kata atau lebih
yang tidak melebihi satu batas fungsi. Fungsi tersebut merupakan jabatan berupa
subjek, predikat, objek, pelengkap dan keterangan (Chaer, 1995: 301).
Klausa adalah satuan gramatikal yang berupa kelompok kata, sekurang-
kurangnya terdiri atas subjek dan predikat yang berpotensi menjadi kalimat.
Klausa bisa dikatakan kalimat yang lengkap (kalimat mayor) apabila diberi
intonasi final. Dalam klausa terdapat komponen berupa kata atau frase yang
berfungsi sebagai predikat dan yang lain berfungsi sebagai subjek, objek dan lain
sebagainya (Chaer, 1995: 303).
Telaah dijelaskan bahwa bentuk-bentuk kebahasaan memiliki hubungan
yang arbiter dengan maknanya atau referensinya. Hanya saja, di dalam berbicara
penutur-penutur selalu menghubungkan kata-kata yang diucapkan dengan
referennya itu. Sehubungan dengan ini, kata-kata yang referennya memiliki
komponen semantis yang negatif yang dapat dipergunakan oleh penutur yang
menyerang orang lain.
Penggunaan bentuk-bentuk kebahasaan yang memiliki nilai rasa tidak
sopan tuturnya dan menjaga citra dirinya, penutur dengan berbagai cara harus
menghindari pemakaian kata-kata yang memiliki komponen-komponen semantik
yang negatif. Dengan dipergunakannya bentuk bentuk yang sopan, hubungan
dengan lawan bicarannya dapat dipelihara, dan aksen-aksen negatif yang mungkin
timbul dapat dihindarkan (Rohmadi, 2008: 96).
18
2.2.2 Fungsi Eufemisme
Fungsi eufemisme terkait dengan fungsi bahasa yaitu sebagai alat
komunikasi. Dengan komunikasi seseorang dapat menyampaikan maksud, dan
memungkinkan dapat menciptakan kerjasama antar sesama. Karena dengan
komunikasi yang kurang lancar maka pesan dari penutur 1 (pembicara/penulis)
tidak bisa disampaikan dengan baik kepada penutur (pendengar/pembaca). Untuk
itu, pemakaian eufemisme oleh seorang penutur dalam kegiatan komunikasi
dimasukkan untuk menghaluskan ungkapan-ungkapan yang hendak disampaikan
agar tidak mnimbulkan kesan yang kurang sopan. Ungkapan-ungkapan yang
dipilih tersebut sebenarnya diupayakan agar mengganti acuan atau referensi
tertentu yang mungkin apabila digunakan akan menyinggung atau menimbulkan
rasa yang tidak menyenangkan.
Terkadang penutur bahasa tidak sadar berhadapan dengan pemilihan kata
yang digunakan. Komunikasi dapat berjalan secara efektif dan efisien apabila
penutur memilih kata yang tepat dan mampu menggunakan makna yang di
maksud. Untuk itu, penutur bahasa yang ingin memperhalus kekayaan
kosakatanya dapat di bantu dengan (a) pemakain kata umum dan kamus sinonim
yang baik, (b) memasukkan kata baru di dalam tulisan maupun lisan, dan (c)
berusaha membaca literatur tulisan sebanyak, banyaknyasehingga memperoleh
kepekaan bahasa yang lebih luas (Moeliono, 1989: 173).
Wijana dan Rohmadi (2008: 105-109) mengatakan eufemisme sebagai alat
untuk mengemas bentuk-bentuk yang ditabuhkan sehingga para pemakai bahasa
memungkinkan membicarakan aspek-aspek atau aktivitas kehidupan yang tidak
menyenangkan memiliki bermacam-macam fungsi di dalam hidup manusia yakni
(a) sebagai alat untuk menghaluskan ucapan, (b) sebagai alat untuk merahasiakan
19
sesuatu (c) sebagai alat untuk berdiplomasi, (d) sebagai alat pendidikan, dan (e)
sebagai alat penolak bahaya.
Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan
penutur dalam memilih bahasa (eufemisme) dikarenakan oleh banyaknya referensi
atau kosa kata yang dibacanya. Akan tetapi penutur harus mengetahui bahwa
eufemisme yang digunakan dapat berfungsi sebagai sarana memperhalus bahasa,
maksudnya menghaluskan bahasa yang digunakan oleh penutur/penulis agar si
penerima/pembaca tidak tersinggung dengan apa yang dimaksudkan oleh penulis.
Para pejabat senantiasa dituntut kemampuannya untuk memberikan penjelasan
yang memuaskan kepada bawahannya agar tidak menimbulkan aksen-aksen yang
tidak diinginkan. Demikian, untuk kepentingan ini para atasan, pemerintah, atau
pejabat seringkali harus mengemas ucapannya dengan bentuk-bentuk eufemistis.
Misalnya, bentuk kenaikan harga seringkali dikatakan penyesuaian harga. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, para pejabat kepolisian harus
membuat pernyataan-pernyataan yang bersifat eufemistis. Kata ditahan,
ditangkap, atau dimasukkan ke dalam tahanan sering diperkaya dengan
diamankan, diinapkan, dan dimintai keterangan.
Pateda (2001: 193) mengungkapkan ada beberapa yang menyebabkan
seseorang untuk melemahkan makna yakni (a) pertimbangan sikologis,
maksudnya agar orang tidak tersinggung perasaanya atau orang tidak merasa
trtekan secara sikologis, (b) pertimbangan secara politis, maksudnya agara
masyarakat tidak sampai terganggu ketentramannya dan mengganggu
keamanannya, (c) pertimbangan sosiologis, maksudnya agar masyarakat tidak
resah, (d) pertimbangan religius, maksudnya agar orang yang dikenai kata tidak
tertekan imannya, dan (e) pertimbangan kemanusiaan, maksudnya manusia
20
mempunyai hak yang disebut, hak-hak asasi manusia yang antara lain menyangkut
martabat dan kehormatan abadi, dan bahwa manusia yang satu dengan yang lain
mempunyai hak yang sama.
2.2.3 Makna Eufemisme
Jenis makna dilihat dari sudut pandang ada tidaknya nilai rasa pada sebuah
kata, maka dibedakan menjadi dua yaitu makna denotataif dan makna konotataif.
Eufeminisme kecenderungan memiliki makna yang menjurus ke pengertian yang
lebih halus sebagai pengganti ungkapan atau ujaran yang kasar. Hal ini
dimaksudkan agar tidak menyinggung perasaan penutur II (pendengar/pembaca).
Misalnya, jika seseorang mengatakan hendaknya mengatakan peristiwa kematian,
maka penutur I bisa menggunakan kata berpulang ke rahmatullah. Kata ini
merupakan ungkapan yang dirasakan lebih halus jika dibandingkan dengan kata
mati. Begitu juga dengan kata tunakarya yang akan lebih halus jika dibandingkan
dengan kata pengangguran.
Makna denotatif biasanya diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai
dengan hasil observasi (penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan) atau
pengalaman lainnya. Dengan kata lasin kata yang tidak mengandung makna dan
perasaan-perasaan tambahan disebit kata denotataif, atau maknanya disebut
makna denotataif. Sedangkan makna kata yang mengandung arti tambahan,
perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang umum
dinamakan makna konotatif atau konotasi (Aminudin, 2011: 130)
Makna eufeminisme juga terjadi pada kata atau frase yang mengalami
makna konotatif. Makna konotatif berkaitan dengan nilai rasa baik positif maupun
negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi.
21
Hal ini dapat dilakukan dengan cara memperhalus pemakaian bahasa untuk
mengganti kata atau atau istilah yang dianggap berkonotasi negatif. Maka dalam
bahasa Indonesia muncullah kata tunawicara untuk menggati bisu, tunawisma
untuk mengganti gelandangan, dan pramuniaga untuk mengganti pelayan toko.
Misalnya, pada kata buta diartikan tidak dapat melihat. Seseorang akan lebih
senang disebut tunanetra daripada dengan sebutan buta. Penyebutan tunanetra
lebih dirasakan pada maknanya, yakni makna konotatif. Jadi sebenarnya arti yang
terkandung pada kata “buta” dan “tunanetra” sama. Kata “buta” mengandung
makna denotatif yakni dirasakan pada penunjuk sebuah arti yang lugas sedangkan
“tunanetra” menunjuk pada makna konotatif (Chaer, 1994:69).
Adapun makna konotatif lebih berhubungan dengan nilai rasa pemakai
bahasa. Perasaan atau pikiran itu ditimbulkan oleh pembicara (penulis) dan
pendengar (pembaca). Maka konotatif berubah dari zaman ke zaman, banyak
makna konotatif tumbuh di dalam bahasa Indonesia, misalnya kata diamankan,
diciduk, atau dirumahkan, dan di-PHK (Chaer, 1994:69). Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa konotasi adalah makna suatu kata yang telah mengalami
penambahan rasa atau nilai rasa. Maksudnya, penggunaan kata menimbulkan
perasaan tertentu , baik positif maupun perasaan negatif. Maka dari itu, makna
konotasi dibedakan atas dua jenis yaitu:
a. Konotasi positif : mengandung nilai rasa positif, seperti rasa sopan,
menenangkan, dan tidak menyinggung perasaan orang lain.
b. Konotasi negatif : mengandung nilai rasa negatif, seperti nilai rasa rendah,
tidak sopan, menyinggung perasaan, kasar, kotor, dan lain sebagainya.
Berdasarkan penjesalan di atas dapat digambarkan dalam tabel berikut.
22
Kata Makna Denotasi Makna Konotasi
Putih Salah satu warna Suci, bersih
Meninggal Mati Nilai rasa sopan (positif)
Bunting Hamil Nilai rasa tidak sopan (negatif)
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita dapat kenyataan bahwa makna
kata tetap dipertahankan meskipun lambangnya diganti. Maksud penggantian
lambang tersebut, yakni ingin melemahkan makna agar orang yang dikenai makna
tersebut tidak tersinggung. Dengan jalan melemahkan makna, kadang-kadang
orang tidak merasa bahwa sesuatu tindakan terlalu berat. Dahulu, di indonesia
dikenal kata bui, penjara. Bui, penjara berfungsi sebagai tempat orang yang
diadali, orang yang mendapat putusan pengadilan untuk menjalani hukuman
badan. Dengan bui, penjara terbayang pada kita orang-orang yang kehilangan
kebebasan untuk melaksanakan aktifitas. Kalau orang mengatakan “dia baru
keluar dari bui” maka orang atau keluarga yang menjalani hukuman tersebut
merasa ada tekanan psikologis. Karena itu, maknanya dilemahkan dengan jalan
mengganti kata. (Pateda, 2001: 192)
Selain itu pelemahan makna terjadi pada kata-kata atau frasa yang
bermakna terlalu menyinggung perasaan orang yang mengalaminya. Oleh karena
itu, lazimnya tidak mengatakan orang sudah tua di depan mereka yang sudah tua,
bila dirasakan menyinggung perasaan yang bersangkutan, maka muncullah orang
yang lanjut usia. Dalam hal ini pemakai bahasa memanfaatkan atau memakai
unsur yang terdapat di dalam bahasa. Pemakai bahasa berusaha agar lawan
bicaranya tidak terganggu secara psikologis. Untuk itu, pergeseran makna hanya
mengalami bergantian lambang (simbol) makna semula yang masih berkaitan erat,
tetapi makna tambahan yakni eufeminisme (menghaluskan bahasa).
23
Djajasudarma (1999:79) mengatakan pelemahan makna di dalam bentuk
imperatif seperti pada kata segera laksanakan yang melemahkan maknanya
menjadi harap dilaksanakan dan mohon dilaksanakan makna tersebut termasuk
dalam eufeminisme (penghalusan bahasa). Modalitas keharusan yang muncul
dengan kata harus untuk prinsip eufeminisme, misalnya harus datang menjadi
mohon hadir, mohon datang. Begitu juga dalam kata memberi intruksi dirasakan
terlalu kasar dan biasanya diganti dengan memberikan pengarahan atau
memberikan pembinaan.
Pateda (2001: 193) mengungkapkan ada beberapa yang menyebabkan
seseorang untuk melemahkan makna yakni (a) pertimbangan sikologis,
maksudnya agar orang tidak tersinggung perasaanya atau orang tidak merasa
trtekan secara sikologis, (b) pertimbangan secara politis, maksudnya agara
masyarakat tidak sampai terganggu ketentramannya dan mengganggu
keamanannya, (c) pertimbangan sosiologis, maksudnya agar masyarakat tidak
resah, (d) pertimbangan religius, maksudnya agar orang yang dikenai kata tidak
tertekan imannya, dan (e) pertimbangan kemanusiaan, maksudnya manusia
mempunyai hak yang disebut, hak-hak asasi manusia yang antara lain menyangkut
martabat dan kehormatan abadi, dan bahwa manusia yang satu dengan yang lain
mempunyai hak yang sama.
2.3 Eufemisme dalam Berita Politik
Bahasa yang digunakana para politisi, banyak dipengaruhi oleh sistem
hirarki (urutan tataran atau tata tingkat dalam bahasa) dan eufimisme. Akibatnya
banyak terjadi pengaburan makna atau makna sesungguhnya yang akan
diungkapkan kepada pendengar atau pembaca menjadi tidak tersampaikan dengan
24
baik, maka diperlukan sebuah komunikasi yang lancar dengan cara menggunkan
bahasa yang jelas, sehingga dapat dimengerti oleh pendengar dan pembaca.
Sejalan dengan pemikiran tersebut Badudu (1999:1) mengatakan bahwa
bahasa yang digunkan untuk keperluan politik menuntut adanya penggunaan
kalimat yang lugas, tepat, objektif, mudah dipahami, serta menggunakan kata-kata
yang sesuai dengan pengertian yang dimaksud. Adapun pemlihan kata-kata dalam
bahasa politik harus diperhatikan dengan benar. Sehingga penggunaa kata yang
tidak tepat maknanya, dapat memunculkan pengertian yang berbeda degan apa
yang dimaksudkan oleh politikus. Karena kalimat yang tidak tersusun dengan baik
akan mengurangi kemampuan pembaca atau pendenganr untuk memahaminya,
bahkan dapat membingungkan atau menimbulkan makna yang ambigu atau
mendua.
Berbeda dengan pendapat Letug (2002: 1) mengatakan bahwa bahasa
politik mengacu pada manusia dengan manusia. Maka ciri bahasa politik adalah
keterbukaannya untuk memberikan pertanggungjawaban rasional kepada publik
atau orang lain. Selain itu, bahasa politik adalah bahasa publik. Artinya bahasa
politik itu tidak mengenai kepentingan individu tetapi mengatasi kepentingan
bersama. Sehingga bahasa politk dituntuk terbuka, rasional sebab dasar bahasa
poltik bukanlah yang mutlak tetapi kepentingan umum.
Pada dasarnya bahasa politik sama saja dengan bahasa yang digunakan
sehari-hari dan bahasa tersebut, sama seperti kata-kata pada umumnya. Hal yang
membedakan hanya berasal dari sisi wacana yang menggunakan tema politik.
Adapun tema politik dalam wacana berita dapat berisi tentang peristiwa, kejadian,
25
dan fakta- fakta seputar politik. Misalnya pada peristiwa kampanye pemilu, sidang
DPR atau MPR, pembelotan tokoh politik, dan sebagainya.