11
BAB II
LANDASAN TEORI
Penelitian yang dilakukan ini merupakan studi penelitian komunikasi,
sehingga mengacu pada landasan dan teori komunikasi yang mendukung. Berikut ini,
penulis akan memaparkan konsep-konsep teori komunikasi:
2.1 Budaya
2.1.1 Pengertian Budaya
Menurut Koenjtaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat 1986:180). Dalam definisi
tersebut ada beberapa kata kunci yaitu sistem gagasan, sistem tindakan, hasil karya,
dan miliki diri manusia dengan belajar. Sistem gagasan merupakan wujud idela dari
kebudayaan yang merupakan ide dari alam pikiran manusia. Sistem tindakan
merupakan tindakan berpola yang merupakan aktivitas-aktivitas manusia yang
berinteraksi, berhubungan, berkomunikasi, dan begaul satu dengan yang lain yang
mengikuti pola-pola tertentu sesuai dengan adat istiadat yang mereka akui. Hasil
karya merupakan wujud kebudayaan yang paling mudah dilihat karena segala hal
kebendaan atau material memiliki sifat yang sangat konkrit. Milik diri manusia
dengan belajar merupakan pemahaman kebudayaan yang tidak bisa dilepaskan segala
yang manusia lakukan (gagasan, tindakan, dan ciptaan).
Menurut Van Peursen (2012:37), kebudayaan adalah sebuah strategi atau
sebuah cara untuk menjalankan kehidupannya. Untuk itu setiap manusia melakukan
upaya untuk menemukan cara dalam rangka mempertahankan hidupnya. Kebudayaan
diletakkan secara fungsional sebagai relasi terhadap rencana hidup masing-masing.
Ini menunjukkan bahwa perkembangan kebudayaan tidak terlaksana dengan
12
sendirinya tanpa manusia secara aktif menjalankannya. Manusia secara aktif
mengarahkan kebudayaan agar sesuai dengan keinginan dan yang direncanakan.
Sehingga kebudayaan semestinya selalu dibayangkan sebagai sesuatu yang dinamis,
bukan statis. Dalam dua pandangan di atas, kebudayaan ditempatkan sebagai sesuatu
yang secara aktif dilakukan manusia untuk mencapai tujuan umat manusia yaitu
kesejahteraan.
2.1.2 Fungsi Kebudayaan
Secara fungsional, keberadaan kebudayaan dapat ditunjukkan minimal tiga
macam, sebagai berikut:
1. Fungsi kebudayaan untuk melindungi diri terhadap alam
2. Fungsi kebudayaan untuk mengatur hubungan antar manusia
3. Fungsi kebudayaan sebagai wadah segenap perasaan manusia
2.1.3 Wujud Kebudayaan
Ditinjau dari dimensi wujudnya, menurut Koentjaraningrat (2005:13)
kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu sebagai suatu kompleks gagasan, konsep
dan pikiran manusia atau idea-idea manusia, dan wuduh sebagai suatu kompleks
aktivitas atau tingkah laku manusia, serta wujud sebagai benda-benda atau fisik.
2.2 Keberadaan Masyarakat Jawa & Keturunan Tionghoa
Orang-orang Tionghoa diperkirakan sudah ada di Solo pada tahun 1746.
Tempat tinggal orang Tionghoa dilokalisasi di Kampung Balong, suatu kampong
(pecinan) yang dibangun sejak zaman Kompeni dan berlanjut pada masa kolonial.
Antara tahun 1904 hingga 1910, atas desakan organisasi atau gerakan nasionalis di
kalangan orang-orang Tionghoa di Indonesia, maka pada tahun 1911 pemerintah
colonial mengabulkan tuntutan untuk menghapuskan wijkenstelsel1 dan
1 Terpisah dari kelompok masyarakat yang lain.
13
passenstelsel2, sehingga pemukiman Tionghoa tidak lagi mengelompok pada suatu
tempat atau lokasi tertentu, tetapi menyebar ke tempat atau lokasi lain. Namun tetap
Kampung Balong sebagai perkampungan pecinan, tetapi dalam perkembangannya
hanya orang-orang Tinghoa miskin yang tinggal di sana. Mungkin oleh karena miskin
itu, maka komunikasi sosial dengan masyarakat pribumi di sekitarnya berlangsung
sangat akrab. Proses pembauran langsung secara alami, termasuk perkawinan
campuran Tionghoa-Jawa yang tealh berlangsung selama beberapa generasi. Oleh
karena itu, Kampung Balong tumbuh dan berkembang menjadi perkampungan
heterogen.
2.3 Komunikasi Masyarakat Jawa & Keturunan Tionghoa
Masyarakat Kota Solo yang menggunakan bahasa Jawa untuk komunikasi
bukan hanya masyarakat Jawa, tetapi juga keturunan Tionghoa, Arab, dan lain-
lainnya. Penelitian Markhamah terhadap penggunaan bahasa Jawa oleh orang-orang
Tionghoa di Solo, menyimpulkan, bahwa tuturan Ngoko dan Krama pada orang-
orang Tionghoa dewasa hamper tidak berbeda dengan kualitas ngoko dan karma
masyarakat pribumi (Jawa). Mereka selalu menggunakan tuturan Krama dengan baik,
menurut hirearki, terutama ketika mereka berbicara dengan masyarakat pribumi yang
belum dikenal atau orang-orang yang lebih dihormati.
2.4 Komunikasi Interpersonal
Fenomologi yang menurut EM Griffin (2014:7), The Phenomenological
Tradition, menekankan komunikasi sebagai pengalaman diri sendiri dan orang lain
melalui dialog. Meskipun fenomenologis mengacu pada terminology filosofis akan
tetapi pada dasarnya lebih merujuk pada analisis yang insentif terhadap kehidupan
sehari-hari dari sudut pandang orang yang mengalami kehidupan tersebut. Oleh
karena itu, tradisi fenomenologis sangat bergantung pada persepsi dan interpretasi
orang-orang tentang pengalaman subyektifnya. Bagi para fenomenolog, sebuah cerita
2 Ruang geraknya dibatasi dengan system surat jalan.
14
kehidupan individu lebih penting dan otoritatif daripada berbagai hipotesis riset atau
aksioma komunikasi. Akan tetapi tentu saja persoalannya tidak ada dua orang yang
mempunyai cerita kehidupan yang persis sama. Untuk mengatasi hal tersebut,
menurut Carl Rogers bisa dengan cara makin meningkatnya kondisi hubungan dan
kepribadian orang-orang tersebut melalui: 1. Kesamaan, 2. Penilaian positif yang
tidak bersyarat, 3. Pemahaman empatik. Martin Buber berkesimpulan sama dengan
Carl Rogers bahwa adanya kemungkinan hubungan manusia otentik yang dilakukan
melalui dialog yaitu sebuah proses intensif dimana hanya agenda kedua belah pihak
yang dipahami oleh masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya.
Dilengkapi dengan The Socio-Cultural Tradition, menekankan komunikasi
sebagai penciptaan dan tindakan realitas sosial. Tradisi ini mendasarkan pada premis
bahwa ketika orang berbicara, mereka menciptakan dan memproduksi budaya. Para
teoritisi pada tradisi ini menyatakan bahwa dunia ini mencerminkan apa yang ada
secara actual, meskipun proses menuju kesana seringkali menggunakan jalan yang
berbeda. Sudut pandang kita tentang realitas dibentuk oleh bahasa yang kita gunakan
sejak kita lahir. Tradisi sosio budaya ini melihat symbol yang bersifat arbitrer sangat
bergantung kemampuan sosial budaya penggunanya untuk bisa memahaminya
dengan baik dan benar. Edward Sapir dan muridnya Benyamin Lee Whorf merupakan
pelopor dalam tradisi ini. Hipotesis Sapir-Whorf tentang relativitas bahasa
menyatakan bahwa struktur dari sebuah budaya membentuk apa yang orang pikirkan
dan kerjakan. “Dunia nyata” merupakan suatu yang sangat luas yang secara tidak
disadari dibangun di atas kebiasaan-kebiasaan bahasa suatu kelompok. Bahasa
menstrukturkan persepsi-persepsi kita terhadap realitas. Para teoritisi dalam tradisi ini
berpendapat bahwa melalui komunikasi, realitas diproduksi, dipelihara, diperbaiki,
dan ditransformasikan. Orang-orang melalui percakapan bersama-sama
mengkonstruksi dunia sosial mereka sendiri.
15
2.5 Harmonisasi Sosial
Harmonisasi sosial yang dimaksudkan, merupakan suatu proses transformasi
realitas obyektif, subyektif, dan simbolik yang berlangsung dengan melibatkan
perasaan, motivasi dan sebagainya secara dialektis. Artinya, berkaitan dengan
dimensi-dimensi realitas berbagai dimensi sosial yang ada dengan elemen-elemen
sosial yang ada dengan elemen-elemen sosial yang dimiliki orang. Bagaimana
harmoni sosial sebagai suatu realitas obyektif, subyektif dan simbolik merupakan
suatu proses tesis, antithesis, dan sintesis yang bersifat dialeks sebagai produk sosial.
Masyarakat dalam hal ini merupakan reactor sosial dan individu sebagai creator sosial
yang memproduksi realitas harmoni sosial. Seberapa jauh-dekatnya dengan
pengalaman-pengalaman, pengertahuan serta kesadaran seseorang bertindak atas arti
maupun makna harmoni sebagai suatu realitas sosial.
2.6 Teori Identitas
Teori identitas berusaha menjelaskan makna spesifik yang dimiliki oleh
individu terhadap klaim identitas mereka, bagaimana suatu identitas berhubungan
satu sama lain, bagaimana identitas mereka mempengaruhi perilaku, pikiran, perasaan
atau emosi mereka dan bagaimana identitas mengikat mereka dalam sebuah
masyarakat. Dalam arti yang luas individu merupakan bagian dari konteks struktur
sosial. Beberapa pemikir teori identitas seperti Cooley, Coleman dan Stryker setuju
dengan padangan bahwa masyarakat atau struktur sosial diciptakan oleh tindakan
individu dalam konteks sosial. Maka dari itu, terdapat saling keterkaitan antara
individu dan masyarakat sehingga kita perlu memahami sifat individu yang
menciptakan masyarakat dan juga sifat masyarakat di mana individu bertindak.
Dalam masyarakat sendiri dapat dilihat bahwa tercipta adanya pola perilaku individu
yang dapat membantu kita dalam mengetahui siapa diri kita dan orang lain.
Pengetahuan mengenai tindakan individu dapat dilihat dari pemahaman mengenai
agen yang merupakan entitas yang melakukan tindakan tersebut. Agen atau aktor
16
memiliki berbagai sifat, sifat ini akan membantu kita dalam memahami berbagai jenis
agen dan apa yang akan mereka lakukan(Burke & Stets, 2009 : 3-5).
Sheldon Stryker mengemukakan mengenai identitas atau “penentuan posisi
internal” dengan memberikan gambaran bahwa setiap orang memiliki identitas untuk
masing-masing posisi atau peran yang berbeda dalam yang dimiliki dalam
masyarakat. Stryker menyatakan bahwa terdapat empat premis yang mendasari teori
identitas, premis pertama adalah perilaku didasarkan pada sebuah klasifikasi
penamaan. Nama atau istilah kelas tersebut melekat pada aspek lingkungan, baik fisik
maupun sosial dan membawa makna dalam bentuk ekspektasi perilaku bersama yang
tumbuh dari interaksi sosial. Dari interaksi yang terjalin dengan orang lain inilah,
seseorang dapat mempelajari bagaimana mengklasifikasikan objek yang berhubungan
dengannya dan dalam proses itu juga seseorang diharapkan untuk berperilaku
mengacu pada objek tersebut. Dasar yang pertama ini menggambarkan dasar dari
karakter simbolis dunia dan menjelaskan makna yang berkaitan dengan objek fisik
serta sosial. Seseorang akan merespon benda fisik dan sosial, serta memberikan
tanggapan yang disertai makna. Makna sendiri merupakan tanggapan terhadap objek-
objek yang didefinisikan secara sosial yang membentuk dunia. Orang-orang yang
berbagi tanggapan memungkinkan mereka untuk memahami, memprediksi dan
menduga tindakan orang lain.
Premis yang kedua berusaha menjelaskan bagaimana struktur sosial masuk ke
dalam peradigma simbolis struktural. Di antara klasifikasi nama yang telah dipelajari
dalam interaksi terdapat simbol yang digunakan untuk menunjukkan sebuah ‘posisi’
yang merupakan komponen struktur sosial morfologis yang relatif stabil. Posisi ini
disertai dengan ekspektasi perilaku bersama yang secara konvensional diberi label
‘peran’. Sebuah peran tidak diciptakan lagi dalam setiap situasi yang terjadi, namun
telah ada sejak lama dimana orang merasakan, berekasi dan memberikan label di
masyarakat. Peran tersebut dibagikan melalui kebudayaan dan berkembang seiring
dengan penggunaannya.
17
Premis ketiga dan keempat menunjukkan bagaimana aktor yang memiliki
identitas sesuai dengan pandangan ini. Premis ketiga menunjukkan bahwa orang-
orang dalam masyarakat akan memberikan label satu sama lain sesuai dengan posisi
yang mereka tempati dan Stryker juga menyatakan bahwa ketika mereka telah diberi
label maka akan diikuti dengan adanya makna serta eskpektasi bersama sehubungan
dengan perilaku satu sama lain. Premis keempat menunjukkan bahwa orang-orang
menggunakan aspek refleksi diri, juga akan menyebutkan nama mereka sehubungan
dengan sebutan posisi mereka. Hal ini disebut sebagai self-label yang merujuk pada
seseorang mengetahui perannya dalam suatu posisi tertentu di masyarakat dan
bersifat relasional dalam arti bahwa mereka mengikat individu secara bersama-sama.
Begitupun dengan makna dan ekspektasi tindakan dari setiap posisi yang terkait
dengan identitas, setiap orang tidak hanya mengetahui identitas dirinya sendiri namun
juga mengetahui identitas orang lain. Seseorang dapat mengetahui dirinya dengan
membandingkannya dengan makna dan posisi orang lain. Stryker juga menambahkan
bahwa ketika seseorang memasuki situasi interaktif, situasi ini akan membuat orang-
orang memberikan klasifikasi pada orang lain melalui interaksi dan pada diri mereka
sendiri, sehingga menghasilkan sebuah definsi yang mengatur agar perilaku perilaku
mereka sesuai dengan situasi yang terjadi (Burke & Stets, 2009 : 25-27).
Lalu, seorang tokoh dalam psikologi sosial, Tajfel (2009:11), mencetuskan
teori identitas sosial yang menyatakan bahwa kelompok di mana kita menjadi anggota
merupakan bagian integral dari konsep diri kita. Adanya kelompok memungkinkan
kita mengelola konsep diri dengan cara mengelola keanggotaan tersebut memberikan
identitas sosial yang memberikan rasa aman. Betapa pentingnya menemukan identitas
sosial, hal ini seringkali membuat orang berhenti, tidak lagi mencoba menggali
identitas diri yang lebih hakiki, dan sibuk berkutat mencari kepuasan melalui
kelompok. Apapun kelompoknya apa pun spiritnya (hedonistik, pragmatisme, idealis,
dan sebagainya) karena memberikan rasa aman, akibatnya orang cenderung
konformis (mudah mengikuti apa yang menjadi sikap dan perilaku kelompok).
18
Padahal, kecerendungan konformitas seringkali mengabaikan kebutuhan dan nilai-
nilai pribadi. Hal ini sebenarnya merupakan kerugian bagi individu sebagai pribadi
yang seharusnya berkembang utuh: berorientasi pada orang lain, tetapi juga
berorientasi pada diri sendiri dengan mengaktualisasi apa yang menjadi suara hatinya
sendiri.
2.6.1 Konstruksi Identitas
Teori identitas budaya adalah salah satu dari beberapa teori yang
dikembangkan untuk membangun pengetahuan tentang proses komunikatif yang
digunakan oleh individu untuk membangun dan menegosiasikan identitas dan
hubungan kelompok budaya mereka dalam konteks tertentu. Awalnya dikembangkan
pada akhir 1980an, teori tersebut telah berkembang secara signifikan melalui proyek
kolaborasi yang berkelanjutan di berbagai situs internasional dan beragam wilayah di
Amerika Serikat. Versi awal menekankan perspektif teoretis interpretatif, konstruksi
sosial, dan catatan pengalaman diskursif individu, sementara versi setelah tahun 2000
diperluas untuk menggabungkan perspektif kritis dan untuk memasukkan perhatian
pada struktur kontekstual, ideologi, dan hierarki status. Penelitian yang dipandu oleh
teori saat ini paling sering mencakup analisis diskursif tentang teks publik dan
wawancara yang berfokus pada bentuk-bentuk yang melaluinya posisi identitas
budaya dan hubungan antar budaya dinegosiasikan, peran hak istimewa dalam hasil
wacana, dan implikasi untuk hubungan antar budaya dan keadilan sosial .
Menurut, Mary Jane Collier dan Milt Thomas (2009: 260-261)
menggabungkan etnografi komunikasi dan konstruksi sosial dan dari situ
mengusulkan beberapa sifat pengesahan, atau penciptaan, identitas budaya yang
terlihat dalam teks komunikasi. Mereka berpendapat bahwa pesan individu selama
interaksi mungkin mengandung banyak jenis identitas budaya, seperti nasional, rasial,
etnis, kelas terkait, jenis kelamin dan jenis kelamin, politik, dan agama. Karena
individu memberlakukan banyak identitas, semua suara di dalam setiap kelompok
19
identitas tidak berbicara dengan cara yang sama atau memiliki pengakuan yang sama
dengan orang lain.
Budaya, dalam orientasi ini, dipandang sebagai perwujudan kontekstual,
muncul, kontekstual dengan sistem budaya atau kelompok budaya. Dalam orientasi
ini, budaya didefinisikan sebagai identitas kelompok yang muncul yang menjadi jelas
dalam serangkaian kode komunikatif, norma perilaku, pola tempat dan interpretasi,
dan hasil, seperti posisi hubungan atau status. Secara epistemologis, para ilmuwan
meminta individu untuk membagikan narasi tentang identitas kelompok budaya
mereka atau untuk menggambarkan percakapan yang diingat yang membangun atau
mempengaruhi identitas budaya dan / atau menganalisis wacana publik. Menekankan
pengalaman dan catatan tentang individu tentang keanggotaan kelompok mereka dan
negosiasi identitas, yang menempatkan nilai pada subjektivitas.
2.7 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul Tujuan
Penelitian
Metodologi
Penelitian
Hasil Penelitian
1 Himawan
Pradipta
(2014)
Universitas
Kristen Satya
Wacana
Analisis
Wacana Kritis
Pembauran
Budaya Pada
Acara Grebeg
Sudiro Dalam
Pemberitaan
Koran Lokal di
Solo ( Solopos
Menggambarkan
tentang Grebeg
Sudiro dalam
konsep kritis
pada
pemberitaan di
dalam Solopos
dan Joglosemar.
Pendekatan
yang
digunakan
adalah
kualitatif,
dengan
jenis
penelitian
deskriptif.
Koran lokal
Solopos dan
Joglosemar
dalam
mengkonstruksi
wacana
pembauran
yang ada di
acara Grebeg
20
dan
Joglosemar)
Sudiro hamper
sama, mereka
sama-sama
mampu
menciptakan
realitas yang
sesungguhnya.
Dari
pemberitaan
kedua Koran
local ini
sebenarnya
terkadung unsur
yang secara
tidak langsung
ingin
mempengaruhi
khalayak luas,
Solopos dengan
penulisan
pemberitaanya
secara tidak
langsung
membantu
program
pemerintah
untuk
menjadikan
21
kota Solo
sebagai Kota
Budaya,
sedangkan
Joglosemar
ingin merubah
stereotype
masyarakat kota
Solo tentang
perbedaan
budaya yang
dahulu menjadi
sebuah sekat
atau pembatas
dalam
kehidupan
mereka.
2 Tissania
Clarasati
Adriana
(2012)
Universitas
Sebelas Maret
Tradisi Grebeg
Sudiro di
Sudiroprajan
(Akulturuasi
Kebudayaan
Tionghoa
dengan
Kebudayaan
Jawa)
Menggambarkan
untuk
mengetahui latar
belakang sejarah
upacara tradisi
Grebeg Sudiro di
Sudiroprajan,
untuk
mengetahui
upacara tradisi
Grebeg Sudiro,
Pendekatan
yang
digunakan
adalah
kualitatif,
dengan
jenis
penelitian
deskriptif.
Grebeg Sudiro
terbentuk
karena adanya
kesadaran dan
kesengajaan
dari warga
Sudiroprajan
untuk
memperlihatkan
kerukunan dan
keharmonisan
22
dan untuk
mengetahui
akulturasi
budaya Jawa dan
Tionghoa dalam
Tradisi Grebeg
Sudiro.
yang terjalin
antara dua etnis
yang berbeda,
Pelaksanaan
prosesi upacara
tradisi Grebeg
Sudiro meliputi
berbagai
rangkaian acara
yang harus
dilewati
diantaranya
adalah malam
pra event
sedekah bumi
Bok Teko
tanggal 12
Januari 2012
dan puncak
acara Grebeg
Sudiro yang
berlangsung
pada tanggal 15
Januari 2012
yang mana
kedua acara
tersebut
memiliki
23
persyaratan
yang harus
dipenuhi, dan
melengkapi
perlengkapan
upacara yang
diperlukan.
Akulturasi
kebudayaan
Tionghoa
dengan
kebudayaan
Jawa dalam
tradisi Grebeg
Sudiro terlihat
dalam susunan
gunungan kue
keranjang
dalam dua buah
Gunungan Estri
dan Gunungan
Jaler yang biasa
ada dalam adat
Kejawen,
Penampilan
Liong dan
Barongsai yang
mengadakan
24
upacara ritual
terlebih dahulu
sebelum pentas,
karena sebelum
mengalami
akulturasi
dengan
kebudayaan
Jawa
pementasan
Liong dan
Barongsai tidak
mengenal
upacara ritual
serta musik
tradisiona l
Keroncong
Jawa
berkolaborasi
dengan lagu
Mandarin yang
disebut dengan
Keroncong
Mandarin
3 Raffa
Widyanangsih
(2015)
Universitas
“Misi Suci”
Grebeg Sudiro
(Studi
Eksploratif
Menggambarkan
pesan yang
dikomunikasikan
melalui Grebeg
Pendekatan
yang
digunakan
adalah
Grebeg sudiro
adalah media
untuk
mengkomunika
25
Sebelas Maret Pesan Ritual
Budaya
Grebeg Sudiro
dalam Rangka
Persatuan
Masyarakat di
Kota
Surakarta.
Sudiro dalam
rangka persatuan
masyarakat di
Kota Surakarta
ditinjau dari
perspektif
komunikasi.
kualitatif,
dengan
paradigma
penelitian
eksploratif.
sikan pesan dari
komunikator
(masyarakat
sudiroprajan)
kepada
komunikan
(surakarta
perople). Pesan
grebeg sudiro
dikomunikasika
n dengan
simbol
komunikasi,
gunungan,
jodang karya
seni atau jodang
karya seni,
parade seni, dan
tema grebeg
sudiro.
Gunungan
mengomunikasi
kan ungkapan
terima kasih
kepada tuhan,
jodang karya
seni saling
berkomunikasi
26
harmonis antar
agama, parade
seni
mengkomunika
sikan kesatuan
rasial, dan
themen dari
grebeg sudiro
mengkomunika
sikan
keragaman.
Itulah simbol
komunikasi
yang dibuat
agar kesatuan
masyarakat
Surakarta.
Berdasarkan peneltian-penelitian terdahulu, maka yang membedakan dengan
penelitian terdahulu yaitu : peneliti kali ini akan membahas Grebeg Sudiro Sebagai
Media Komunikasi Harmonisasi Sosial oleh Masyarakat Jawa dan Keturunan
Tionghoa, di Kampung Sudiroprajan, Solo, Jawa Tengah.
27
2.8 Kerangka Berpikir
Keterangan: Acara Grebeg Sudiro adalah sebuah media di mana acara tersebut
mengusung tema pembauran yang ada di kampung Sudiroprajan, disini peneliti ingin
melihat bagaimana Grebeg Sudiro sebagai media menciptakan dalam Komunikasi
Harmonisasi Sosial. Untuk meneliti Komunikasi Harmonisasi sosial di dalam Acara
Grebeg Sudiro yang berada di setiap masyarakat keturunan Jawa dan keturunan
Tionghoa di Kampung Sudiroprajan, Solo, Jawa Tengah.
Etnis Jawa Grebeg
Sudiro Keturunan
Tionghoa
Media
Komunikasi
Harmonisasi
Sosial
Teori Identitas
Komunikasi Interpersonal